BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin mengalami
kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging
Medicine (AAM) atau disebut juga ilmu anti penuaan. Ilmu Anti Aging Medicine
(AAM) berkembang dengan luar biasa, sangat kuat menarik perhatian dan
merambah seluruh dunia. Proses penuaan merupakan proses yang alami yang
pasti dihadapi semua makhluk hidup. Definisi dari penuaan itu sendiri adalah
menghilangnya
kemampuan
jaringan
untuk
memperbaiki
diri
atau
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Pangkahila, 2011).
Ada 3 pokok penting dalam ilmu Anti Aging Medicine, yaitu: bahwa
penuaan dapat dianggap sama dengan suatu penyakit yang dapat dicegah, diobati,
dan bahkan dikembalikan ke keadaan semula, manusia bukanlah semacam orang
hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya dan manusia memiliki
keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya yang menurun (Pangkahila,
2011).
Dengan adanya ilmu AAM ini, setiap orang dapat tetap hidup sehat dan
berada dalam kualitas hidup yang optimal meskipun usianya bertambah. Proses
penuaan dapat diperlambat, ditunda atau dihambat dan usia harapan hidup akan
1
2
meningkat disertai kesehatan dan kebugaran tubuh serta kualitas hidup yang baik
(Pangkahila, 2011).
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan orang mengalami penuaan,
yang kemudian menyebabkan sakit dan berakhir dengan kematian. Faktor-faktor
ini dapat dikelompokkan menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal seperti: gaya hidup yang tidak sehat, stres, polusi lingkungan dan
kemiskinan. Sedangkan yang termasuk dalam faktor internal adalah :
terbentuknya radikal bebas yang bersifat merusak sel, hormon yang berkurang,
dan kelainan genetika. Jika faktor-faktor ini dibiarkan saja tanpa ada usaha untuk
mencegah atau menanggulanginya, maka proses penuaan akan terjadi lebih cepat,
bahkan angka morbiditas dan mortalitas akan ikut meningkat pula (Pangkahila,
2011).
Gaya hidup tak sehat seperti diet tinggi karbohidrat dan lemak, serta pola
hidup dengan aktivitas fisik sehari-hari yang minimal, akan memicu terjadinya
penyakit degeneratif seperti Diabetes Melitus (DM). Penyakit Diabetes Melitus
sering dianggap sebagai model biologis proses penuaan dini. Mereka yang
mengalami diabetes, akan lebih awal mengalami proses patologik. Karena itu,
usia harapan hidup pada orang diabetes menjadi lebih pendek dari orang non
diabetes (Pangkahila, 2011).
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.
WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang cukup
3
besar pada tahun-tahun mendatang. WHO menyatakan bahwa terdapat kenaikan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta orang pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009
menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi,
laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).
Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik dengan gejala
hiperglikemia yang bisa disebabkan karena gangguan pada sekresi insulin, aksi
insulin, atau rusaknya sel beta pankreas. DM tipe 2 merupakan suatu penyakit
yang ditandai dengan penurunan progresif fungsi sel β pankreas dan resistensi
insulin kronis. Pada pulau Langerhans pankreas pasien DM tipe 2, ditemukan
deposit amiloid yang berasal dari islet amyloid peptide protein (IAPP). Peptida
tersebut menyebabkan terjadinya apoptosis pada sel β, terutama jika dalam bentuk
IAPP oligomer kecil. Peningkatan apoptosis pada penderita DM tipe 2 juga dapat
disebabkan oleh hiperglikemia (Butler et al., 2012).
Saat ini, pasien dengan hiperglikemia dapat diberikan pengobatan dengan
sulfonilurea, biguanid atau injeksi insulin. Tetapi obat-obat ini memiliki efek
samping dan kadang tidak dapat mengatasi keluhan pada pasien DM yang sudah
kronis. Hal ini menyebabkan tingginya permintaan akan hadirnya obat anti DM
baru terutama yang berasal dari herbal. Yang diharapkan memiliki potensial
antidiabetes yang tinggi dengan efek samping yang minimal. Pohon Mahoni
4
(Swietenia mahagoni. jacq) termasuk famili Meliceae, merupakan pohon yang
memiliki tinggi sekitar 30-40 meter. Pohon ini banyak terdapat di Amerika,
Meksiko, Amerika Selatan dan di asia termasuk Indonesia. Biji mahoni dilaporkan
memiliki efek anti inflamasi, antimutagenik, dan anti tumor (Pari and Saravanan,
2004).
Ekstrak biji mahoni mengandung senyawa-senyawa yang terdiri dari
flavonoid, alkaloid, terpenoid, antraquinon, cardiac glycosides, saponin dan
volatile oils yang terbukti memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan ini
mampu menangkap radikal bebas yang menyebabkan perbaikan pada kerusakan
sel beta pankreas penyebab DM. Dengan adanya perbaikan pada jaringan
pankreas, maka terjadi peningkatan jumlah insulin didalam tubuh sehingga
glukosa darah akan masuk ke dalam sel sehingga terjadi penurunan glukosa darah
dalam tubuh (Choi et al., 2009).
Mekanisme antidiabetik suatu senyawa fitokimia belakangan ini tidak
hanya diarahkan pada menurunkan glukosa darah perifer secara langsung,
menurunkan absorbsi glukosa pada usus, menghambat produksi glukosa di hati,
meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan, dan/atau meningkatkan sekresi
insulin saja, tetapi diarahkan pula pada efek meningkatkan regenerasi sel beta
pankreas (Hossein et al., 2015).
Sebuah penelitian biji mahoni dalam menurunkan kadar glukosa darah
pada hewan percobaan pernah dilakukan oleh Mihardja et al. (2014). Pemberian
ekstrak mahoni dosis 45 mg/160 gram berat badan tikus setelah 7 hari
5
menunjukkan hasil berbeda yang signifikan dibandingkan plasebo dan tidak
berbeda dengan gliclazide 7,2 mg/160 gram berat badan. Disimpulkan, mahoni
dapat menurunkan glukosa darah pada hewan percobaan. Selain itu, Linghuat
Lumban Raja (2008) dari Universitas Sumatera Utara juga pernah meneliti
tentang ekstrak etanol biji mahoni dosis 50 mg/kg bb dan 100 mg/kgbb pada tikus
yang diberi tes toleransi glukosa. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa ekstrak
etanol biji mahoni dosis 50 mg/kg bb dan dosis 100 mg/kgbb mampu menurunkan
kadar gula darah dan hasilnya tidak berbeda nyata dengan glibenklamid dosis 1
mg/kgbb (Lumban Raja, 2008).
Berdasarkan hasil tersebut diatas, maka memacu peneliti untuk meneliti
efek antidiabetes ekstrak etanol biji mahoni dengan menggunakan streptozotocin
sebagai senyawa penginduksi diabetes juga mengharapkan terjadinya regenerasi
sel ß pankreas pada tikus yang diinduksi diabetes melitus.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dirumuskan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pemberian ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni jacq) dapat
meregenerasi sel β Pankreas pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar Diabetes Melitus?
6
2. Apakah pemberian ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni jacq)
menurunkan kadar glukosa darah puasa pada tikus (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar Diabetes Melitus?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak biji mahoni (Swietenia
mahagoni jacq) dapat meregenerasi sel β Pankreas pada tikus (Rattus
norvegicus) jantan galur wistar Diabetes Melitus.
2. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak biji mahoni (Swietenia
mahagoni jacq) menurunkan kadar glukosa darah puasa pada tikus (Rattus
norvegicus) jantan galur wistar Diabetes Melitus
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Ilmiah : memberikan informasi mengenai efektivitas konsumsi
ekstrak biji mahoni dapat meregenerasi sel β pankreas dan menurunkan
kadar gula darah puasa pada tikus DM.
2. Manfaat Praktis : sebagai acuan bagi masyarakat untuk memahami
kemungkinan manfaat konsumsi ekstrak biji mahoni bagi kesehatan,
terutama bagi penderita diabetes melitus.
Download