BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Belanja Modal
Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam
APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah
pengeluaran anggaran untuk aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari
satu periode akuntansi. Besaran nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan
aset tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga
beli/bangun aset (Permendagri 13 Tahun 2006). Dalam Lampiran III PMK No.
101/PMK.02/2011 Belanja Modal dipergunakan untuk antara lain: Belanja Modal
Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Gedung dan
bangunan, Belanja Modal Jalan Irigasi dan Jaringan, Belanja Modal lainnya, dan
Belanja Modal Badan Layanan Umum (BLU).
Secara spesifik sumber pendanaan untuk Belanja Modal belum ditentukan
aturannya. Namun seluruh jenis sumber-sumber penerimaan daerah dapat
dialokasikan untuk mendanai Belanja Daerah diantaranya Belanja Modal.
Sumber-sumber penerimaan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) yang dapat
digunakan sebagai sumber pendaaan Belanja Daerah berasal dari Pendapatan
Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.
Universitas Sumatera Utara
b. Dana Perimbangan yaitu: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana
Alokasi Khusus.
c. Lain-Lain pendapatan yang sah yaitu: Hasil Penjualan kekayaan Daerah yang
tidak dipisahkan, Jasa Giro, Pendapatan bunga, Keuntungan selisih nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, dan Komisi, potongan, ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
Daerah.
Sedangkan Pembiayaan daerah bersumber dari: Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran Daerah, Penerimaan Pinjaman Daerah, Dana cadangan daerah, dan
Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pengalokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan daerah
kepada belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah sendiri atas kebutuhan
belanja daerahnya. Pada umumnya sumber dana yang bersumber dari Pendapatan
Asli Daerah lebih banyak dialokasikan kepada belanja operasional daerah dan
sisanya dialokasikan untuk belanja daerah lainnya diantaranya belanja modal.
DAU lebih banyak dialokasikan kepada belanja pegawai, dan sisanya
dialokasikan kepada belanja-belanja daerah diantaranya Belanja Modal. Abdullah
(2008) juga menjelaskan bahwa belanja modal pada umumnya berasal dari dana
bantuan (fund). Dana bantuan pemerintah yang selalu dialokasikan untuk
membiayai Belanja Modal adalah Dana Alokasi Khusus. Secara keseluruhan
jumlah belanja modal yang dialokasikan dalam APBD sekurang-kurangnya 29
persen dari belanja daerah sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010
tentang RPJMN Tahun 2010-2014. Namun Bank Indonesia dalam Bisnis.com
(02/03/2013) mencatat bahwa alokasi Belanja Modal di hampir seluruh daerah
Universitas Sumatera Utara
terhadap total anggaran secara umum masih rendah. Pangsa Belanja Modal
terhadap APBD di Luar Jawa memang lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa,
sejalan dengan luasnya ruang kebutuhan pengembangan infrastruktur.
Dari teori diatas peneliti mencoba menguraikan beberapa faktor yang
mempengaruhi besarnya alokasi Belanja Modal Pemda dalam APBD yaitu:
1. Kelemahan perencanaan belanja pemerintah daerah.
Proporsi alokasi belanja daerah masih didominasi kepentingan operasional
rutin pemerintahan seperti belanja barang dan belanja pegawai dibandingkan
dengan alokasi belanja untuk kegiatan yang langsung bersentuhan dengan
kebutuhan publik. Hal ini tentunya mempengaruhi besarnya anggaran Belanja
Modal Pemda.
2. Ketersediaan sumber-sumber dana belanja daerah.
Pendapatan Daerah dan Pembiayaan merupakan sumber-sumber dana belanja
daerah. Apabila PAD terbatas untuk membiayai belanja daerah maka
diperlukan adanya bantuan dana transfer (DAU, DBH, DAK) dari pemerintah
pusat untuk membantu pendanaan belanja daerah dan menggunakan dana
Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman) bila terjadi defisit anggaran. Apabila tidak
tersedia sumber-sumber dana belanja daerah yang cukup maka sangat riskan
untuk bisa menyediakan anggaran yang besar khususnya untuk Belanja
Modal.
3. Luasnya daerah yang perlu dikembangkan dan dibangun. Daerah yang padat
pembangunan tentunya tidak membutuhkan alokasi Belanja Modal yang
banyak. Pengalokasian dana pemeliharaanlah yang perlu ditingkatkan. Namun
bagi daerah yang baru dimekarkan tentunya membutuhkan alokasi dana yang
Universitas Sumatera Utara
sangat besar pada Belanja Modalnya. Daerah pemekaran membutuhkan
banyak pembenahan, pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana
publik yang memadai dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat
sehingga daerah tersebut memiliki daya saing yang kuat dengan daerah
lainnya.
Straub (2008) menjelaskan bahwa teori pertumbuhan modern menekankan
kemungkinan peran belanja modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam penelitiannya efek langsung peningkatan Belanja modal adalah dapat
secara langsung mempengaruhi produktivitas faktor-faktor lain yang dapat
merangsang peningkatan output ekonomi. Dan secara tidak langsung terkait
dengan eksternalitas. Dengan adanya infrastruktur yang berkualitas maka dapat
mengurangi biaya ketergantungan terhadap sektor swasta seperti penyediaan air
bersih, listrik maupun jalan sesuai dengan hasil penelitian Agenor dan Moreno
(2006). Pengeluaran biaya daerah ke sektor swasta juga dapat dikurangi melalui
peningkatan modal manusia dan produktivitas tenaga kerja sebagai hasil atas
investasi publik (Galiani et al., 2005).
2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Mardiasmo (2002), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan
daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain Pendapatan Asli
Daerah. PAD yang tinggi merupakan impian yang harus diperjuangkan oleh setiap
daerah untuk mencapainya. Tingginya PAD suatu daerah menggambarkan
Universitas Sumatera Utara
kemandirian suatu daerah otonom, sehingga tingkat ketergantungan Pemerintah
Daerah akan bantuan dana dari Pemerintah Pusat semakin rendah
Penerimaan PAD digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan daerah
untuk mendukung penyediaan prasarana dan sarana daerah. Penyediaan prasarana
dan sarana tentunya akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat,
masyarakat yang sejahtera tentunya di indikasikan dengan pertumbuhan ekonomi
yang meningkat. Peningkatan ekonomi masyarakat mempengaruhi Pendapatan
Asli Daerah diantaranya peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah dari
usaha masyarakat. Semakin besar PAD maka semakin besar pula kembali dana
yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan
sarana dan prasarana publik yang kembali berdampak terhadap kesejahteraan
masyarakat dan seterusnya hingga dapat meningkatan PAD kembali. Dengan
PAD yang besar maka Belanja Modal dapat dibiayai sendiri melalui PAD tanpa
harus menunggu bantuan Pemerintah Pusat, sehingga proses percepatan
pembangunan, penyediaan fasilitas pelayanan publik dapat terlaksana dengan
cepat. Peningkatan kualitas layanan publik akan mampu meningkatkan kontribusi
publik terhadap pembangunan melalui peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002).
2.1.3 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum dijelaskan dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2004
sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Yang termasuk dalam pengertian
tersebut adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Universitas Sumatera Utara
seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan
merupakan kesatuan dengan penerimaan umum APBD (Widjaja, 2002). DAU
merupakan dana yang bersifat “Block Grant” yang artinya ketika dana tersebut
diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah
bebas untuk menggunakan dan mengalokasikan dana ini sesuai prioritas dan
kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.
DAU merupakan dana perimbangan Pemerintah Pusat yang memiliki
persentase paling besar diantara jumlah dana perimbangan lainnya yang diberikan
kepada Pemerintah Daerah dalam APBN. DAU diberikan Pemerintah untuk
mengatasi masalah horizontal imbalance, yaitu untuk menjamin keseimbangan
sumber-sumber alokasi antar unit-unit pemerintah pada tingkat pemerintah yang
sama (Solihin, 2011)
Dibeberapa daerah sebagian besar DAU dialokasikan untuk membiayai
belanja pegawai dan sisanya digunakan untuk belanja lainnya seperti belanja
modal. Pada dasarnya tidak terdapat batasan dalam penggunaan DAU, sehingga
daerah dapat leluasa dalam mengalokasikan dana tersebut sesuai kebutuhan. Yang
menjadi permasalahan apabila DAU tidak dikelola dengan efektif dan efisien.
Pemanfaatan DAU yang dominan terhadap belanja pegawai berdampak pada
berkurangnya alokasi DAU pada Belanja Modal, ataupun berkurangnya alokasi
dana untuk kegiatan yang berdampak langsung pada penyediaan layanan
masyarakat seperti program penanggulangan kemiskinan, program pemberdayaan
masyarakat dan sebagainya. Pemanfaatan DAU harus dialokasikan pada kegiatan
yang sangat penting tapi juga tidak mengesampingkan pengalokasian terhadap
Universitas Sumatera Utara
belanja pegawai sebagai suatu keharusan daerah dalam mengembangkan potensi
sumber daya pegawainya.
2.1.4 Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil dijelaskan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004). Dalam penjelasannya Dana Bagi Hasil pada APBN
merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber daya nasional yang
berada di daerah berupa pajak dan sumber daya alam.
Dana Bagi Hasil diberikan Pemerintah Pusat untuk mengatasi masalah
vertical fiscal balance yaitu untuk menjamin keseimbangan antara kebutuhan
fiskal dengan sumber-sumber fiskal pada berbagai tingkat pemerintah (Solihin,
2011). Kegunaan DBH sama dengan DAU. Kedua dana tersebut bersifat “block
grant” artinya apabila dana tersebut telah diterima Pemerintah Daerah dalam Kas
Daerah maka dana tersebut dapat dialokasikan pada berbagai belanja daerah
sesuai dengan kebutuhan sehingga DBH dapat menjadi salah satu sumber dana
untuk membiayai belanja modal.
2.1.5 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) menurut Abdullah (2013)
merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran
sebelumnya sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006. Menurut Tanjung (2009),
SiLPA didefenisikan sebagai selisih antara surplus/defesit dengan pembiayaan
Universitas Sumatera Utara
neto. SiLPA merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan untuk
menutup defisit APBD akibat dari usaha peningkatan kualitas pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat sesuai penjelasan dalam PMK No.45/PMK.02/2006.
Jika SiLPA daerah cukup besar dan diperkirakan mampu membiayai seluruh
Belanja Modal Daerah maka untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk
meningkatkan pelayanan publik tidak harus menunggu bantuan dana transfer dari
Pemerintah Pusat. Dana Transfer dapat dialokasikan untuk belanja operasional
dan belanja tak terduga daerah. Di samping itu jumlah SiLPA suatu daerah dapat
juga mengindikasikan sejauh mana Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran
daerah secara efisien dan ekonomis dalam setiap anggaran belanja daerah.
Menurut Tanjung (2009) bahwa kelebihan SiLPA yang cukup besar dapat
mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak tepat dalam menganggarkan anggaran
belanja daerah sehingga seharusnya kelebihan penganggaran tersebut dapat
digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan belanja modal yang berguna untuk
penyediaan pelayanan publik pada tahun berjalan menjadi tertunda.
2.1.6 Luas Wilayah
Luas Wilayah merupakan salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan
akan penyediaan sarana dan prasana daerah sesuai dengan penjelasan dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Maksudnya semakin besar luas wilayah
suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang
harus disediakan Pemerintah Daerah agar tersedia pelayanan publik yang baik.
Dikaitkan dengan pemekaran daerah maka luas wilayah kemungkinan erat
kaitannya dengan penganggaran belanja modal. Daerah Otonom Baru (DOB) hasil
Universitas Sumatera Utara
pemekaran tentunya berupaya membangun daerahnya dengan berbagai fasilitas
layanan publik yang lebih layak terutama di wilayah-wilayah yang belum
menikmati pembangunan layanan publik seperti Rumah Sakit/Puskesmas, Gedung
Sekolah, pembuatan tower telekomunikasi, pembangunan pasar-pasar tempat
berdagang, pembukaan jalur perhubungan berupa dermaga atau jalan-jalan kota
yang memudahkan mobilitas masyarakat terutama dari wilayah-wilayah yang
belum terjangkau pemerintah sebelumnya. Jadi semakin luas daerah yang perlu
dibangun maka semakin besar belanja modal yang harus dianggarkan.
Penyediaan prasarana berdasarkan wilayah ini tidak lepas juga kaitannya
dengan penyebaran penduduk di wilayah tersebut. Semakin banyak jumlah
penduduk dalam satu wilayah maka semakin banyak prasarana dan sarana yang
disediakan Pemerintah Daerah. Sebaliknya semakin baik prasarana dan sarana
yang disediakan disuatu wilayah akan menarik penduduk untuk berdomisili di
wilayah tersebut. Dimana ada penduduk maka disana terjadi kegiatan ekonomi.
Jika kegiatan ekonomi masyarakat berkembang dengan baik maka kesejahteraan
masyarakat di daerah setempat juga meningkat. Hal ini terkait dengan teori dasardasar ekonomi wilayah yaitu efisiensi dan keadilan. Efisensi pembangunan
wilayah untuk menunjang alokasi sumber daya secara efektif diberbagai wilayah,
hal ini berkaitan dengan persoalan bagaimana memanfaatkan sumber daya secara
lebih baik. Keadilan artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk
membantu wilayah-wilayah yang kurang maju. Karena penduduk mempuyai
mobilitas, maka upaya terbaik adalah membantu penduduk yang kurang makmur
yang tinggal di suatu wilayah tertentu agar berani pindah ke wilayah lain
(Adisasmita, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.1.7 Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu yang mempunyai kebutuhan
khusus dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 Tahun
2004). Bratakusumah dan Solihin (2003) menjelaskan bahwa kebutuhan khusus
yang dimaksud adalah kebutuhan yang secara umum tidak dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus alokasi umum dan juga tidak sama dengan
kebutuhan daerah lainnya yang mana kebutuhan tersebut merupakan prioritas
nasional, misalnya pembangunan jalan di kawasan terpencil, proyek-proyek
kemanusiaan, proyek yang dibiayai donor.
Dalam penjelasan UU No. 33 Tahun 2004 semakin dipertegas bahwa DAK
dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah. Jumlah DAK ditetapkan setiap tahun dalam
APBN berdasarkan masing-masing bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan
kebutuhan. DAK yang dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan
kegiatan, dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri
Teknis oleh daerah tersebut. Bila kegiatan yang diusulkan oleh daerah termasuk
dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan, daerah perlu membuktikan
bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan
tersebut dari PAD, Bagian daerah dari PBB, Bagian daerah dari BPHTB, Bagian
daerah dari penerimaan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan
Universitas Sumatera Utara
yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh daerah
(Bratakusumah dan Solihin, 2002).
Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan dana pendamping dari
penerimaan umum APBD sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) sebagai
komitmen dan tanggungjawab daerah dalam pembiayaan program-program yang
merupakan kebutuhan khusus tersebut.
Jika usulan kegiatan Belanja Modal daerah seluruhnya diterima Menteri
Teknis, maka sumber pembiayaan belanja modal daerah juga dapat berasal dari
DAK. Tentunya dengan adanya alokasi DAK dari pusat, pemerintah daerah dapat
semakin memperbesar alokasi dana untuk kegiatan Belanja Modal daerah.
2.2
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah Jean-Faguet
(2005) dalam penelitiannya yang berjudul The Effects of Decentralisation on
Public Investment: Evidence and Four Lessons From Bolivia and Colombia,
menggunakan variabel desentralisasi sebagai variabel independen dan investasi
publik sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa di
Bolivia, desentralisasi membuat pemerintah menjadi lebih tanggap dan
mengarahkan investasi publik pada daerah-daerah dengan kebutuhan besar,
sedangkan di Columbia, desentralisasi berdampak signifikan terhadap investasi
kota, sedangkan biaya operasional kota berkurang.
Abdullah (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Studi atas Belanja
Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam hubungannya dengan Belanja
Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan, di Kabupaten/Kota di beberapa Provinsi di
Universitas Sumatera Utara
pulau Sumatera, menggunakan PAD, Pendapatan dari Pemerintah sebagai variabel
independen, sedangkan Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan sebagai variabel
dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pertama, Belanja Modal
berpengaruh terhadap Belanja Pemeliharaan. Kedua, sumber dana pendapatan
berupa dana perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal sementara PAD
tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal.
Situngkir (2009) dengan judul penelitian Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
PAD, DAU dan DAK terhadap Anggaran Belanja Modal di Pemko/Pemkab
Sumatera Utara, menggunakan PAD, DAU dan DAK sebagai variabel independen
dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menemukan
bahwa secara simultan Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK
berpengaruh terhadap Belanja Modal namun secara parsial Pertumbuhan Ekonomi
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal.
Putro (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, PAD dan DAU terhadap pengalokasian Belanja Modal pada
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, menggunakan Pertumbuhan Ekonomi,
PAD dan DAU sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel
dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap
pengalokasian Belanja Modal sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan PAD tidak
berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal.
Kusnandar dan Siswantoro (2012) dengan judul penelitian Pengaruh DAU,
PAD, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja modal di Kabupaten/Kota se
Indonesia. Penelitian ini menggunakan DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah
sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil
Universitas Sumatera Utara
penelitiannya mengatakan bahwa DAU, PAD, SiLPA, dan Luas Wilayah
berpengaruh terhadap Belanja Modal, namun secara parsial DAU tidak
berpengaruh terhadap Belanja Modal.
Secara ringkas tinjauan atas penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1
berikut ini:
Tabel 2.1.
Tinjauan atas Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti/
Tahun
Jean-Faguet
(2005)
Abdullah
(2008)
Situngkir
(2009)
Putro
(2011)
Kusnandar dan
Siswantoro
(2012)
Judul Penelitian
Variabel yang
Digunakan
The Effects of
Decentralisation on Public
Investment: Evidence and
Four Lessons From Bolivia
and Colombia
Independen:
Desentralisasi
Dependen:
Investasi Publik
Studi atas Belanja Modal pada
Anggaran Pemerintah Daerah
Dalam Hubungannya dengan
Belanja Pemeliharaan dan
Sumber Pendapatan
Independen:
PAD, Pendapatan
dari Pemerintah
Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, PAD, DAU dan
DAK terhadap Anggaran
Belanja Modal pada
Pemko/Pemkab Sumatera
Utara
Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, PAD dan DAU
terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal
(Study Kasus pada
Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah)
Pengaruh DAU, PAD, SiLPA
dan Luas Wilayah terhadap
Belanja Modal
(Penelitian Kabupaten/Kota se
– Indonesia)
Dependen1:
Belanja Modal
Dependen 2:
Belanja
Pemeliharaan
Independen:
Pertumbuhan
Ekonomi, PAD,
DAU, DAK
Dependen:
Belanja Modal
Independen:
Pertumbuhan
Ekonomi, PAD
dan DAU
Dependen:
Pengalokasian
Anggaran Belanja
Modal
Independen:
DAU, PAD,
SiLPA dan Luas
Wilayah
Dependen:
Belanja Modal
Hasil Penelitian
Di Bolivia, desentralisasi
membuat pemerintah menjadi
lebih tanggap dan
mengarahkan investasi
publik pada daerah-daerah
dengan kebutuhan besar
Di Colombia, desentralisasi
berdampak signifikan
terhadap investasi kota,
sedangkan biaya operasional
kota menurun.
Belanja Modal
berpengaruh terhadap
Belanja Pemeliharaan.
Sumber dana pendapatan
berupa dana
perimbangan
berpengaruh terhadap
Belanja Modal
sementara PAD tidak
berpengaruh.
Pertumbuhan Ekonomi, PAD,
DAU dan DAK secara
keseluruhan berpengaruh
terhadap Belanja Modal
namun secara parsial
Pertumbuhan Ekonomi tidak
berpengaruh terhadap Belanja
Modal.
DAU berpengaruh terhadap
Pengalokasian Belanja Modal
sedangkan Pertumbuhan
Ekonomi dan PAD tidak
berpengaruh terhadap
Pengalokasian Belanja
Modal.
DAU, PAD, SiLPA dan Luas
Wilayah secara keseluruhan
berpengaruh terhadap Belanja
Modal namun secara parsial
DAU tidak berpengaruh
terhadap Belanja Modal.
Universitas Sumatera Utara
Download