BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Besaran nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset (Permendagri 13 Tahun 2006). Dalam Lampiran III PMK No. 101/PMK.02/2011 Belanja Modal dipergunakan untuk antara lain: Belanja Modal Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Gedung dan bangunan, Belanja Modal Jalan Irigasi dan Jaringan, Belanja Modal lainnya, dan Belanja Modal Badan Layanan Umum (BLU). Secara spesifik sumber pendanaan untuk Belanja Modal belum ditentukan aturannya. Namun seluruh jenis sumber-sumber penerimaan daerah dapat dialokasikan untuk mendanai Belanja Daerah diantaranya Belanja Modal. Sumber-sumber penerimaan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) yang dapat digunakan sebagai sumber pendaaan Belanja Daerah berasal dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah. Universitas Sumatera Utara b. Dana Perimbangan yaitu: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. c. Lain-Lain pendapatan yang sah yaitu: Hasil Penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan, Jasa Giro, Pendapatan bunga, Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Sedangkan Pembiayaan daerah bersumber dari: Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Daerah, Penerimaan Pinjaman Daerah, Dana cadangan daerah, dan Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pengalokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan daerah kepada belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah sendiri atas kebutuhan belanja daerahnya. Pada umumnya sumber dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah lebih banyak dialokasikan kepada belanja operasional daerah dan sisanya dialokasikan untuk belanja daerah lainnya diantaranya belanja modal. DAU lebih banyak dialokasikan kepada belanja pegawai, dan sisanya dialokasikan kepada belanja-belanja daerah diantaranya Belanja Modal. Abdullah (2008) juga menjelaskan bahwa belanja modal pada umumnya berasal dari dana bantuan (fund). Dana bantuan pemerintah yang selalu dialokasikan untuk membiayai Belanja Modal adalah Dana Alokasi Khusus. Secara keseluruhan jumlah belanja modal yang dialokasikan dalam APBD sekurang-kurangnya 29 persen dari belanja daerah sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014. Namun Bank Indonesia dalam Bisnis.com (02/03/2013) mencatat bahwa alokasi Belanja Modal di hampir seluruh daerah Universitas Sumatera Utara terhadap total anggaran secara umum masih rendah. Pangsa Belanja Modal terhadap APBD di Luar Jawa memang lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa, sejalan dengan luasnya ruang kebutuhan pengembangan infrastruktur. Dari teori diatas peneliti mencoba menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya alokasi Belanja Modal Pemda dalam APBD yaitu: 1. Kelemahan perencanaan belanja pemerintah daerah. Proporsi alokasi belanja daerah masih didominasi kepentingan operasional rutin pemerintahan seperti belanja barang dan belanja pegawai dibandingkan dengan alokasi belanja untuk kegiatan yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan publik. Hal ini tentunya mempengaruhi besarnya anggaran Belanja Modal Pemda. 2. Ketersediaan sumber-sumber dana belanja daerah. Pendapatan Daerah dan Pembiayaan merupakan sumber-sumber dana belanja daerah. Apabila PAD terbatas untuk membiayai belanja daerah maka diperlukan adanya bantuan dana transfer (DAU, DBH, DAK) dari pemerintah pusat untuk membantu pendanaan belanja daerah dan menggunakan dana Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman) bila terjadi defisit anggaran. Apabila tidak tersedia sumber-sumber dana belanja daerah yang cukup maka sangat riskan untuk bisa menyediakan anggaran yang besar khususnya untuk Belanja Modal. 3. Luasnya daerah yang perlu dikembangkan dan dibangun. Daerah yang padat pembangunan tentunya tidak membutuhkan alokasi Belanja Modal yang banyak. Pengalokasian dana pemeliharaanlah yang perlu ditingkatkan. Namun bagi daerah yang baru dimekarkan tentunya membutuhkan alokasi dana yang Universitas Sumatera Utara sangat besar pada Belanja Modalnya. Daerah pemekaran membutuhkan banyak pembenahan, pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana publik yang memadai dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga daerah tersebut memiliki daya saing yang kuat dengan daerah lainnya. Straub (2008) menjelaskan bahwa teori pertumbuhan modern menekankan kemungkinan peran belanja modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitiannya efek langsung peningkatan Belanja modal adalah dapat secara langsung mempengaruhi produktivitas faktor-faktor lain yang dapat merangsang peningkatan output ekonomi. Dan secara tidak langsung terkait dengan eksternalitas. Dengan adanya infrastruktur yang berkualitas maka dapat mengurangi biaya ketergantungan terhadap sektor swasta seperti penyediaan air bersih, listrik maupun jalan sesuai dengan hasil penelitian Agenor dan Moreno (2006). Pengeluaran biaya daerah ke sektor swasta juga dapat dikurangi melalui peningkatan modal manusia dan produktivitas tenaga kerja sebagai hasil atas investasi publik (Galiani et al., 2005). 2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Mardiasmo (2002), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain Pendapatan Asli Daerah. PAD yang tinggi merupakan impian yang harus diperjuangkan oleh setiap daerah untuk mencapainya. Tingginya PAD suatu daerah menggambarkan Universitas Sumatera Utara kemandirian suatu daerah otonom, sehingga tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah akan bantuan dana dari Pemerintah Pusat semakin rendah Penerimaan PAD digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan daerah untuk mendukung penyediaan prasarana dan sarana daerah. Penyediaan prasarana dan sarana tentunya akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang sejahtera tentunya di indikasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Peningkatan ekonomi masyarakat mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah diantaranya peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah dari usaha masyarakat. Semakin besar PAD maka semakin besar pula kembali dana yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana publik yang kembali berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan seterusnya hingga dapat meningkatan PAD kembali. Dengan PAD yang besar maka Belanja Modal dapat dibiayai sendiri melalui PAD tanpa harus menunggu bantuan Pemerintah Pusat, sehingga proses percepatan pembangunan, penyediaan fasilitas pelayanan publik dapat terlaksana dengan cepat. Peningkatan kualitas layanan publik akan mampu meningkatkan kontribusi publik terhadap pembangunan melalui peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002). 2.1.3 Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum dijelaskan dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2004 sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Yang termasuk dalam pengertian tersebut adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Universitas Sumatera Utara seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan kesatuan dengan penerimaan umum APBD (Widjaja, 2002). DAU merupakan dana yang bersifat “Block Grant” yang artinya ketika dana tersebut diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah bebas untuk menggunakan dan mengalokasikan dana ini sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU merupakan dana perimbangan Pemerintah Pusat yang memiliki persentase paling besar diantara jumlah dana perimbangan lainnya yang diberikan kepada Pemerintah Daerah dalam APBN. DAU diberikan Pemerintah untuk mengatasi masalah horizontal imbalance, yaitu untuk menjamin keseimbangan sumber-sumber alokasi antar unit-unit pemerintah pada tingkat pemerintah yang sama (Solihin, 2011) Dibeberapa daerah sebagian besar DAU dialokasikan untuk membiayai belanja pegawai dan sisanya digunakan untuk belanja lainnya seperti belanja modal. Pada dasarnya tidak terdapat batasan dalam penggunaan DAU, sehingga daerah dapat leluasa dalam mengalokasikan dana tersebut sesuai kebutuhan. Yang menjadi permasalahan apabila DAU tidak dikelola dengan efektif dan efisien. Pemanfaatan DAU yang dominan terhadap belanja pegawai berdampak pada berkurangnya alokasi DAU pada Belanja Modal, ataupun berkurangnya alokasi dana untuk kegiatan yang berdampak langsung pada penyediaan layanan masyarakat seperti program penanggulangan kemiskinan, program pemberdayaan masyarakat dan sebagainya. Pemanfaatan DAU harus dialokasikan pada kegiatan yang sangat penting tapi juga tidak mengesampingkan pengalokasian terhadap Universitas Sumatera Utara belanja pegawai sebagai suatu keharusan daerah dalam mengembangkan potensi sumber daya pegawainya. 2.1.4 Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Bagi Hasil dijelaskan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Dalam penjelasannya Dana Bagi Hasil pada APBN merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah berupa pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil diberikan Pemerintah Pusat untuk mengatasi masalah vertical fiscal balance yaitu untuk menjamin keseimbangan antara kebutuhan fiskal dengan sumber-sumber fiskal pada berbagai tingkat pemerintah (Solihin, 2011). Kegunaan DBH sama dengan DAU. Kedua dana tersebut bersifat “block grant” artinya apabila dana tersebut telah diterima Pemerintah Daerah dalam Kas Daerah maka dana tersebut dapat dialokasikan pada berbagai belanja daerah sesuai dengan kebutuhan sehingga DBH dapat menjadi salah satu sumber dana untuk membiayai belanja modal. 2.1.5 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) menurut Abdullah (2013) merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006. Menurut Tanjung (2009), SiLPA didefenisikan sebagai selisih antara surplus/defesit dengan pembiayaan Universitas Sumatera Utara neto. SiLPA merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit APBD akibat dari usaha peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sesuai penjelasan dalam PMK No.45/PMK.02/2006. Jika SiLPA daerah cukup besar dan diperkirakan mampu membiayai seluruh Belanja Modal Daerah maka untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan pelayanan publik tidak harus menunggu bantuan dana transfer dari Pemerintah Pusat. Dana Transfer dapat dialokasikan untuk belanja operasional dan belanja tak terduga daerah. Di samping itu jumlah SiLPA suatu daerah dapat juga mengindikasikan sejauh mana Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran daerah secara efisien dan ekonomis dalam setiap anggaran belanja daerah. Menurut Tanjung (2009) bahwa kelebihan SiLPA yang cukup besar dapat mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak tepat dalam menganggarkan anggaran belanja daerah sehingga seharusnya kelebihan penganggaran tersebut dapat digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan belanja modal yang berguna untuk penyediaan pelayanan publik pada tahun berjalan menjadi tertunda. 2.1.6 Luas Wilayah Luas Wilayah merupakan salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan sarana dan prasana daerah sesuai dengan penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Maksudnya semakin besar luas wilayah suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang harus disediakan Pemerintah Daerah agar tersedia pelayanan publik yang baik. Dikaitkan dengan pemekaran daerah maka luas wilayah kemungkinan erat kaitannya dengan penganggaran belanja modal. Daerah Otonom Baru (DOB) hasil Universitas Sumatera Utara pemekaran tentunya berupaya membangun daerahnya dengan berbagai fasilitas layanan publik yang lebih layak terutama di wilayah-wilayah yang belum menikmati pembangunan layanan publik seperti Rumah Sakit/Puskesmas, Gedung Sekolah, pembuatan tower telekomunikasi, pembangunan pasar-pasar tempat berdagang, pembukaan jalur perhubungan berupa dermaga atau jalan-jalan kota yang memudahkan mobilitas masyarakat terutama dari wilayah-wilayah yang belum terjangkau pemerintah sebelumnya. Jadi semakin luas daerah yang perlu dibangun maka semakin besar belanja modal yang harus dianggarkan. Penyediaan prasarana berdasarkan wilayah ini tidak lepas juga kaitannya dengan penyebaran penduduk di wilayah tersebut. Semakin banyak jumlah penduduk dalam satu wilayah maka semakin banyak prasarana dan sarana yang disediakan Pemerintah Daerah. Sebaliknya semakin baik prasarana dan sarana yang disediakan disuatu wilayah akan menarik penduduk untuk berdomisili di wilayah tersebut. Dimana ada penduduk maka disana terjadi kegiatan ekonomi. Jika kegiatan ekonomi masyarakat berkembang dengan baik maka kesejahteraan masyarakat di daerah setempat juga meningkat. Hal ini terkait dengan teori dasardasar ekonomi wilayah yaitu efisiensi dan keadilan. Efisensi pembangunan wilayah untuk menunjang alokasi sumber daya secara efektif diberbagai wilayah, hal ini berkaitan dengan persoalan bagaimana memanfaatkan sumber daya secara lebih baik. Keadilan artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk membantu wilayah-wilayah yang kurang maju. Karena penduduk mempuyai mobilitas, maka upaya terbaik adalah membantu penduduk yang kurang makmur yang tinggal di suatu wilayah tertentu agar berani pindah ke wilayah lain (Adisasmita, 2005). Universitas Sumatera Utara 2.1.7 Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu yang mempunyai kebutuhan khusus dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 Tahun 2004). Bratakusumah dan Solihin (2003) menjelaskan bahwa kebutuhan khusus yang dimaksud adalah kebutuhan yang secara umum tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum dan juga tidak sama dengan kebutuhan daerah lainnya yang mana kebutuhan tersebut merupakan prioritas nasional, misalnya pembangunan jalan di kawasan terpencil, proyek-proyek kemanusiaan, proyek yang dibiayai donor. Dalam penjelasan UU No. 33 Tahun 2004 semakin dipertegas bahwa DAK dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Jumlah DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN berdasarkan masing-masing bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. DAK yang dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan kegiatan, dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut. Bila kegiatan yang diusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan, daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagian daerah dari PBB, Bagian daerah dari BPHTB, Bagian daerah dari penerimaan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan Universitas Sumatera Utara yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2002). Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan dana pendamping dari penerimaan umum APBD sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) sebagai komitmen dan tanggungjawab daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut. Jika usulan kegiatan Belanja Modal daerah seluruhnya diterima Menteri Teknis, maka sumber pembiayaan belanja modal daerah juga dapat berasal dari DAK. Tentunya dengan adanya alokasi DAK dari pusat, pemerintah daerah dapat semakin memperbesar alokasi dana untuk kegiatan Belanja Modal daerah. 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah Jean-Faguet (2005) dalam penelitiannya yang berjudul The Effects of Decentralisation on Public Investment: Evidence and Four Lessons From Bolivia and Colombia, menggunakan variabel desentralisasi sebagai variabel independen dan investasi publik sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa di Bolivia, desentralisasi membuat pemerintah menjadi lebih tanggap dan mengarahkan investasi publik pada daerah-daerah dengan kebutuhan besar, sedangkan di Columbia, desentralisasi berdampak signifikan terhadap investasi kota, sedangkan biaya operasional kota berkurang. Abdullah (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan, di Kabupaten/Kota di beberapa Provinsi di Universitas Sumatera Utara pulau Sumatera, menggunakan PAD, Pendapatan dari Pemerintah sebagai variabel independen, sedangkan Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pertama, Belanja Modal berpengaruh terhadap Belanja Pemeliharaan. Kedua, sumber dana pendapatan berupa dana perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal sementara PAD tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Situngkir (2009) dengan judul penelitian Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK terhadap Anggaran Belanja Modal di Pemko/Pemkab Sumatera Utara, menggunakan PAD, DAU dan DAK sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menemukan bahwa secara simultan Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK berpengaruh terhadap Belanja Modal namun secara parsial Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal. Putro (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU terhadap pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, menggunakan Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan PAD tidak berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal. Kusnandar dan Siswantoro (2012) dengan judul penelitian Pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja modal di Kabupaten/Kota se Indonesia. Penelitian ini menggunakan DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil Universitas Sumatera Utara penelitiannya mengatakan bahwa DAU, PAD, SiLPA, dan Luas Wilayah berpengaruh terhadap Belanja Modal, namun secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Secara ringkas tinjauan atas penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1. Tinjauan atas Penelitian Terdahulu Nama Peneliti/ Tahun Jean-Faguet (2005) Abdullah (2008) Situngkir (2009) Putro (2011) Kusnandar dan Siswantoro (2012) Judul Penelitian Variabel yang Digunakan The Effects of Decentralisation on Public Investment: Evidence and Four Lessons From Bolivia and Colombia Independen: Desentralisasi Dependen: Investasi Publik Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan Independen: PAD, Pendapatan dari Pemerintah Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK terhadap Anggaran Belanja Modal pada Pemko/Pemkab Sumatera Utara Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Study Kasus pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah) Pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal (Penelitian Kabupaten/Kota se – Indonesia) Dependen1: Belanja Modal Dependen 2: Belanja Pemeliharaan Independen: Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK Dependen: Belanja Modal Independen: Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU Dependen: Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Independen: DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah Dependen: Belanja Modal Hasil Penelitian Di Bolivia, desentralisasi membuat pemerintah menjadi lebih tanggap dan mengarahkan investasi publik pada daerah-daerah dengan kebutuhan besar Di Colombia, desentralisasi berdampak signifikan terhadap investasi kota, sedangkan biaya operasional kota menurun. Belanja Modal berpengaruh terhadap Belanja Pemeliharaan. Sumber dana pendapatan berupa dana perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal sementara PAD tidak berpengaruh. Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK secara keseluruhan berpengaruh terhadap Belanja Modal namun secara parsial Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. DAU berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan PAD tidak berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal. DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah secara keseluruhan berpengaruh terhadap Belanja Modal namun secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Universitas Sumatera Utara