BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pada bagian kajian pustaka dan hipotesis penelitian akan diuraikan teoriteori yang menjadi landasan dalam penelitian dan ditentukan hipotesis penelitian berdasarkan teori-teori yang berkembang serta penelitian-penelitian sebelumnya. 2.1 Landasan Teori Pada bagian ini akan diuraikan mengenai materi tentang teori keagenan, auditing, jenis-jenis auditor, profesi akuntan publik, kualitas audit, pengalaman kerja auditor, kepatuhan terhadap kode etik, dan skeptisisme profesional auditor. 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori agensi merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara principals dan agents. Pihak principals adalah pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan (Jensen dan Smith, 1984). Berkaitan dengan auditing, baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang yang memiliki rasionalitas ekonomi, dimana setiap tindakan yang dilakukan termotivasi oleh kepentingan pribadi. Teori keagenan mengatakan bahwa sulit untuk mempercayai bahwa manajemen (agen) akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pemegang saham (prinsipal), sehingga diperlukan monitoring dari pemegang saham (Copeland dan Weston, 1992:20). Teori keagenan menyatakan bahwa dalam pengelolaan perusahaan selalu ada konflik kepentingan antara 1) manajer dan pemilik perusahaan, 2) manajer dan bawahannya, 3) pemilik perusahaan dan kreditor (Brigham dan Gapenski, 1996). Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pihak yang melakukan proses pemantauan dan pemeriksaan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut di atas. Aktivitas-aktivitas tersebut dinilai melalui kinerja keuangannya yang tercermin dalam laporan keuangan. Lebih lanjut, dalam agency theory, pemilik perusahaan membutuhkan auditor untuk memverifikasi informasi yang diberikan manjemen kepada pihak perusahaan. Sebaliknya, manajemen membutuhkan auditor untuk memberikan legitimasi atas kinerja yang mereka lakukan (dalam bentuk laporan keuangan), sehingga mereka layak memdapatkan insentif atas kinerjanya. Di sisi lain, kreditor membutuhkan auditor untuk memastikan bahwa dana yang mereka pinjamkan untuk membiayai kegiatan perusahaan, benar-benar digunakan sesuai dengan persetujuan yang ada , sehingga kreditor bisa menerima bunga atas pinjaman yang diberikan. Dalam hal ini auditor dianggap sebagai pihak yang dapat menjembatani kepentingan pihak pemegang saham (principal) dengan pihak manajemen (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan termasuk menilai kelayakan strategi manajemen dalam upaya mengatasi kesulitan keuangan perusahaan. Auditor melakukan fungsi pengawasan atau monitoring atas pekerjaan manajer melalui laporan keuangan. Auditor akan melakukan proses audit terhadap kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal dan laporan arus kas termasuk catatan atas laporan keuangan yang kemudian akan memberikan pendapat atas pekerjaan auditnya dalam bentuk opini audit. 2.1.2 Auditing Auditing merupakan proses audit yang dilakukan secara kritis dan sistematis yang dilakukan oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut (Agoes, 2012:3). Menurut American Accounting Association (AAA), auditing merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan criteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Auditing berguna untuk membantu manajemen meyakinkan para pemangku kepentingan (stakeholders) atas pertanggungjawaban kinerjanya dalam laporan keuangan, atau dengan kata lain audit membantu para pemangku kepentingan (stakeholders) meyakini bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah disajikan secara wajar sesuai dengan kriteria atau standar yang ada. 2.1.3 Jenis-Jenis Auditor Menurut Jusuf (2001), auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: 1) Auditor Pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintah. Auditor yang dimaksud adalah auditor yang bekerja di BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), serta instansi pajak. BPKP adalah instansi pemerintah yang bertanggungjawab langsung kepada presiden RI dalam bidang pengawasan keuangan dan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tugasnya adalah melaksanakan audit atas laporan keuangan instansi pemerintahan, projek-projek pemerintah, BUMN, BUMD, projek pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta dimana pemerintah mempunyai investasi yang besar di dalamnya. BPK adalah lembaga tinggi negara yang tugasnya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan presiden RI dan aparat di bawahnya kepada DPR. Instansi pajak adalah unit organisasi di bawah Departemen Keuangan yang tugas pokoknya adalah mengumpulkan beberapa jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah. 2) Auditor Intern Auditor intern adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas audit yang dilakukannya terutama ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat dimana ia bekerja. Pada umumnya staff auditor intern wajib memberikan laporan langsung kepada pimpinan tertinggi perusahaan (Direktur Utama), atau ada pula yang melapor kepada pejabat tinggi tertentu lainnya dalam perusahaan, atau bahkan ada pula yang berkewajiban melapor kepada komite audit yang dibentuk oleh dewan komisaris. 3) Auditor Independen (Akuntan Publik) Tanggung jawab utama auditor independen atau yang lebih umum dikenal dengan akuntan publik adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan-perusahaan terbuka yaitu perusahaan yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal, perusahaan-perusahaan besar, dan juga pada perusahaan-perusahaan kecil serta organisasi-organisasi nirlaba. 2.1.4 Profesi Akuntan Publik Akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari menteri keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Ketentuan mengenai akuntan publik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2011 tentang Penetapan Institut Akuntan Publik Indonesia sebagai Asosiasi Profesi Akuntan Publik Indonesia. Setiap akuntan publik wajib menjadi anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), asosiasi profesi yang diakui oleh pemerintah. Menurut pasal 6 SK. Menkeu No.43/1997, izin untuk mendirikan Kantor Akuntan Publik akan diberikan apabila pemohon memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Berdomisili di wilayah Indonesia 2) Memiliki register akuntan 3) Menjadi anggota IAI 4) Lulus ujian Sertifikasi Akuntan Publik yang diselenggarakan IAI 5) Memiliki pengalaman kerja minimal 3 (tiga) tahun sebagai akuntan dan pengalaman audit umum sekurang-kurangnya 3.000 jam dengan reputasi baik 6) Telah menduduki jabatan manajer atau ketua tim dalam audit umum sekurangkurangnya 1 (satu) tahun 7) Wajib mempunyai KAP atau bekerja pada Koperasi Jasa Audit 2.1.5 Kualitas Audit Kualitas audit sulit diukur secara obyektif, sehingga para peneliti sebelumnya menggunakan berbagai dimensi kualitas audit. Sebagaimana dijelaskan oleh De Angelo yang dikutip oleh Mulyadi (2002) bahwa kualitas audit adalah probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Tan dan Alison (dalam Ramdanialsyah, 2010) menyatakan bahwa kualitas audit yang dihasilkan dinilai dari seberapa banyak auditor memberikan respon yang benar dari setiap pekerjaan audit yang diselesaikan. Menurut Hasibuan (2010) kualitas audit merupakan suatu hasil kerja auditor dalam mengevaluasi tentang kewajaran pada laporan keuangan klien dan melaporkannya Carcello dan Halim (dalam Rusyanti, 2010) mengungkapkan pengalaman, pemahaman industri klien, respon atas kebutuhan klien dan ketaatan pada standar umum audit adalah faktor-faktor penentu kualitas audit. Ramdanialsyah (2010) mengemukakan indikator kualitas audit adalah sebagai berikut: 1) melaporkan semua kesalahan klien, 2) pemahaman terhadap sistem informasi akuntansi klien, 3) komitmen yang kuat dalam menyelesaikan audit, 4) berpedoman pada prinsip auditing dan prinsip akuntansi dalam melakukan pekerjaan lapangan, 5) tidak percaya begitu saja terhadap pernyataan klien, dan 6) sikap hati-hati dalam pengambilan keputusan. 2.1.6 Pengalaman Kerja Nirmala (2013:35), menyatakan bahwa pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun informal, atau dapat diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Ramdanialsyah (2010) menyatakan bahwa semakin luas pengalaman kerja seseorang, maka semakin terampil dan semakin sempurna pula pola berpikir serta sikap dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kushasyandita (2012) memberikan bukti empiris bahwa seseorang yang berpengalaman dalam suatu bidang substantif memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya. Standar Audit seksi 210 paragraf ketiga (IAPI, 2013) menyatakan bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam industri-industri yang mereka audit. 2.1.7 Kepatuhan terhadap Kode Etik Kode etik merupakan aturan perilaku etika akuntan dalam memenuhi tanggung jawab profesinya. Auditor harus mematuhi kode etik yang telah ditetapkan. Arens dkk. (2008) menyatakan bahwa setiap praktisi wajib mematuhi prinsip dasar etika profesi, yaitu: a) tanggung jawab, b) kepentingan publik, c) integritas, d) obyektifitas dan independensi, e) keseksamaan, f) ruang lingkup dan sifat jasa. Kode etik pada prinsipnya merupakan sistem dari prinsip-prinsip moral yang diberlakukan dalam suatu kelompok profesi yang ditetapkan secara bersama. Kode etik suatu profesi merupakan ketentuan perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap mereka yang menjalankan tugas profesi (Ananda, 2014). Menurut Sahara (2014), kode etik akuntan merupakan norma perilaku yang mengatur hubungan auditor dengan klien, auditor dengan sejawat, serta antar profesi dengan masyarakat. Auditor wajib mematuhi kode etik yang telah ditetapkan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari standar audit. 2.1.8 Skeptisisme Profesional Auditor Skeptisisme, berasal dari kata skeptis, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) berarti sikap meragukan, mencurigai dan tidak mempercayai kebenaran suatu hal, teori, ataupun pernyataan. Dalam buku istilah akuntansi dan auditing, skeptisisme berarti bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup kuat dasar pembuktiannya (Islahuzzaman, 2012). Sedangkan profesional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, yang membutuhkan keahlian khusus untuk menerapkannya. Kata profesional pada skeptisisme profesional merujuk pada fakta bahwa auditor telah, dan terus dididik dan dilatih untuk menerapkan keahliannya dalam mengambil (Quadackers, 2009). keputusan sesuai standar profesionalnya Standar Audit seksi 200 paragraf ketujuh (IAPI, 2013), menjelaskan bahwa skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Dalam menggunakan skeptisisme profesionalnya, auditor tidak boleh puas dengan bukti yang kurang meyakinkan walaupun menurut anggapannya manajemen adalah jujur. Basu (dalam Djohar, 2012) menambahkan bahwa skeptisisme profesional auditor hendaknya tidak menjadi kecurigaan yang berlebihan atau membuat auditor sepenuhnya menjadi skeptis. Dalam hal ini, auditor yang memiliki skeptisisme profesional akan menerapkan sikap skeptisnya hanya sebatas melaksanakan tugas profesinya saja, tanpa sepenuhnya menjadi skeptis. 2.2 Pengembangan Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dibuat beberapa hipotesis sebagai berikut: 2.2.1 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Skeptisisme Profesional Auditor Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) pengalaman didefinisikan sebagai sesuatu yang pernah dialami dalam kehidupan ini. Pengalaman audit yang dimaksudkan adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang diukur dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Syamsuddin dkk. (2014) menyatakan bahwa auditor dengan tingkat pengalaman dalam auditing yang tinggi memiliki skeptisisme profesional yang jauh lebih baik sehingga mereka dapat menemukan dan mengerti kesalahan atau ketidakwajaran yang terdapat dalam laporan keuangan. Pramudita (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugastugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Seorang auditor yang lebih berpengalaman akan memiliki tingkat skeptisisme profesional yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang pertama, yaitu: H1 : Pengalaman kerja berpengaruh positif pada skeptisisme profesional auditor. 2.2.2 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Kualitas Audit Standar Audit seksi 210 paragraf ketiga (IAPI, 2013), mensyaratkan agar auditor memiliki pengalaman kerja yang memadai dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya. Syamsuddin dkk. (2014) menganalisis faktor-faktor penentu kualitas audit dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor pengalaman audit berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Penelitian yang dilakukan Slamet (2010) juga menyatakan bahwa pengalaman kerja berpengaruh positif pada kualitas audit. Seorang auditor dengan pengalaman yang memadai akan menghasilkan laporan auditan yang lebih akurat dan dapat diandalkan, karena melalui pengalaman yang diperoleh dari penugasan yang dilaksanakan serta pelatihan-pelatihan yang diikuti, pengetahuan auditor tentang auditing akan semakin bertambah baik dari segi prosedurnya maupun standar yang berlaku. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang kedua, yaitu: H2 : Pengalaman kerja berpengaruh positif pada kualitas audit 2.2.3 Pengaruh Kepatuhan terhadap Kode Etik pada Skeptisisme Profesional Auditor Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik juga dapat diartikan sebagai suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Tujuan kode etik adalah agar profesional memberikan jasa sebaikbaiknya kepada pemakai atau kliennya. Auditor sebagai profesi yang dituntut atas opini laporan keuangan perlu menjaga sikap profesionalnya. Untuk menjaga profesionalisme auditor perlu disusun kode etik yang akan mengikat semua anggota profesi tersebut. Kode etik profesi dibutuhkan oleh seorang auditor untuk dapat menjaga kepercayaan publik terhadap mutu audit. Kepatuhan terhadap kode etik profesi menjadi salah satu kunci atau faktor yang dapat meningkatkan skeptisisme profesional seorang auditor. Kode Etik Profesi Akuntan bagian A seksi 130 (IAPI, 2010), menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas auditnya, seorang auditor harus memperhatikan kecermatan dan kehati-hatian profesionalnya sehingga dapat menghasilkan laporan audit yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keakuratannya. Penelitian yang dilakukan oleh Anisma dkk. (2011) menunjukkan bahwa kesadaran dan kepatuhan auditor terhadap kode etik profesinya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat skeptisisme profesional auditor. Semakin tingi kesadaran dan kepatuhan auditor terhadap kode etik profesinya, maka auditor akan cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dalam pemeriksaan audit. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang ketiga, yaitu: H3 : Kepatuhan terhadap kode etik berpengaruhpositif pada skeptisisme profesional auditor. 2.2.4 Pengaruh Kepatuhan terhadap Kode Etik pada Kualitas Audit Kode etik menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu yang menjalankan tugas profesi. Setiap praktisi wajib mematuhi dan menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam kode etik profesinya (Kode Etik Profesi Akuntan, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Subhan (2012) menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap kode etik secara parsial berpengaruh signifikan pada kualitas audit. Penelitian yang sama dilakukan oleh Ananda (2014) mengenai pengaruh kepatuhan terhadap kode etik pada kualitas audit, penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap kode etik berpengaruh positif pada kualitas audit. Semakin tinggi kesadaran dan kepatuhan auditor terhadap kode etik profesinya, maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin baik, karena dalam proses pelaksanaan auditnya auditor akan menerapkan prinsip-prinsip dasar dan aturan etika profesi yang sudah ditentukan dalam kode etik profesinya. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian keempat, yaitu: H4 : Kepatuhan terhadap kode etik berpengaruh positif pada kualitas audit 2.2.5 Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor pada Kualitas Audit Skeptisisme profesional auditor dapat mempengaruhi kualitas audit yang dihasilkan. Dengan adanya skeptisisme profesional maka auditor dapat mengevaluasi bukti audit dengan lebih baik sehingga dapat menemukan pelanggaran-pelanggaran yang ada pada laporan keuangan klien. Dengan mengevaluasi bukti audit secara terus-menerus akan menghasilkan laporan audit yang berkualitas. Penelitian mengenai skeptisisme profesional auditor sebelumnya telah dilakukan oleh Handayani (2014), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara skeptisisme profesional auditor dan kualitas audit terdapat hubungan yang signifikan. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2010) yang menyimpulkan bahwa skeptisisme profesional auditor berpengaruh secara signifikan dalam mendeteksi kecurangan. Semakin tinggi tingkat skeptisisme profesional yang dimiliki oleh seorang auditor, maka kualitas hasil auditnya akan cenderung lebih baik karena ketika melakukan pemeriksaan audit, auditor akan lebih berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang kelima, yaitu: H5 : Skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif pada kualitas audit 2.2.6 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Kualitas Audit Melalui Skeptisisme Profesional Auditor Standar Audit seksi 210 paragraf ketiga (IAPI, 2013), menyatakan bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang memadai dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya. Pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya masa kerja auditor, banyaknya penugasan yang pernah dilakukan, serta banyaknya pelatihan yang pernah diikuti. Menurut Shaub dan Lawrence (dalam Kushasyandita, 2012), auditor yang masa kerjanya lebih lama cenderung lebih skeptis, sehingga opini atas laporan keuangan klien diberikan dengan tepat. Semakin lama masa kerja seorang auditor, semakin banyak penugasan yang dilaksanakan, maka pengetahuan auditor dalam bidang audit akan semakin bertambah, termasuk mengetahui celah-celah kecurangan yang mungkin terjadi yang kemudian akan meningkatkan kewaspadaan auditor, dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hasil auditnya. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis yang keenam yaitu: H6: Pengalaman kerja berpengaruh positif pada kualitas audit melalui skeptisisme profesional auditor 2.2.7 Pengaruh Kepatuhan terhadap Kode Etik pada Kualitas Audit Melalui Skeptisisme Profesional Auditor Kode etik profesi dibutuhkan oleh seorang auditor untuk dapat menjaga kepercayaan publik terhadap mutu audit. Kepatuhan terhadap kode etik profesi menjadi salah satu kunci atau faktor yang dapat meningkatkan skeptisisme profesional seorang auditor yang secara tidak langsung juga dapat meningkatkan kualitas audit yang dihasilkannya. Suraida (dalam Kushasyandita, 2012), menyatakan bahwa auditor yang memiliki kepatuhan dan kesadaran yang tinggi terhadap kode etik profesinya cenderung lebih bersikap skeptis, sehingga dapat meningkatkan mutu atau kualitas audit yang dihasilkannya. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis ketujuh, yaitu: H7: Kepatuhan terhadap kode etik berpengaruh positif pada kualitas audit melalui skeptisisme profesional auditor