BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pada

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Pada bagian kajian pustaka dan hipotesis penelitian akan diuraikan teoriteori yang menjadi landasan dalam penelitian dan ditentukan hipotesis penelitian
berdasarkan teori-teori yang berkembang serta penelitian-penelitian sebelumnya.
2.1
Landasan Teori
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai materi tentang teori keagenan,
auditing, jenis-jenis auditor, profesi akuntan publik, kualitas audit, pengalaman
kerja auditor, kepatuhan terhadap kode etik, dan skeptisisme profesional auditor.
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori agensi merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual
antara principals dan agents. Pihak principals adalah pihak yang memberikan
mandat kepada pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas
nama principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan (Jensen dan
Smith, 1984). Berkaitan dengan auditing, baik prinsipal maupun agen
diasumsikan sebagai orang yang memiliki rasionalitas ekonomi, dimana setiap
tindakan yang dilakukan termotivasi oleh kepentingan pribadi.
Teori keagenan mengatakan bahwa sulit untuk mempercayai bahwa
manajemen (agen) akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pemegang
saham (prinsipal), sehingga diperlukan monitoring dari pemegang saham
(Copeland dan Weston, 1992:20). Teori keagenan menyatakan bahwa dalam
pengelolaan perusahaan selalu ada konflik kepentingan antara 1) manajer dan
pemilik perusahaan, 2) manajer dan bawahannya, 3) pemilik perusahaan dan
kreditor (Brigham dan Gapenski, 1996). Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pihak
yang melakukan proses pemantauan dan pemeriksaan terhadap aktivitas yang
dilakukan oleh pihak-pihak tersebut di atas. Aktivitas-aktivitas tersebut dinilai
melalui kinerja keuangannya yang tercermin dalam laporan keuangan. Lebih
lanjut, dalam agency theory, pemilik perusahaan membutuhkan auditor untuk
memverifikasi informasi yang diberikan manjemen kepada pihak perusahaan.
Sebaliknya, manajemen membutuhkan auditor untuk memberikan legitimasi atas
kinerja yang mereka lakukan (dalam bentuk laporan keuangan), sehingga mereka
layak memdapatkan insentif atas kinerjanya. Di sisi lain, kreditor membutuhkan
auditor untuk memastikan bahwa dana yang mereka pinjamkan untuk membiayai
kegiatan perusahaan, benar-benar digunakan sesuai dengan persetujuan yang ada ,
sehingga kreditor bisa menerima bunga atas pinjaman yang diberikan. Dalam hal
ini auditor dianggap sebagai pihak yang dapat menjembatani kepentingan pihak
pemegang saham (principal) dengan pihak manajemen (agent) dalam mengelola
keuangan perusahaan termasuk menilai kelayakan strategi manajemen dalam
upaya mengatasi kesulitan keuangan perusahaan.
Auditor melakukan fungsi pengawasan atau monitoring atas pekerjaan
manajer melalui laporan keuangan. Auditor akan melakukan proses audit terhadap
kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan modal dan laporan arus kas termasuk catatan atas laporan keuangan
yang kemudian akan memberikan pendapat atas pekerjaan auditnya dalam bentuk
opini audit.
2.1.2 Auditing
Auditing merupakan proses audit yang dilakukan secara kritis dan sistematis
yang dilakukan oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang
telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti
pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan tersebut (Agoes, 2012:3).
Menurut American Accounting Association (AAA), auditing merupakan
suatu proses yang sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara
objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan
menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan criteria yang
telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
Auditing berguna untuk membantu manajemen meyakinkan para pemangku
kepentingan (stakeholders) atas pertanggungjawaban kinerjanya dalam laporan
keuangan, atau dengan kata lain audit membantu para pemangku kepentingan
(stakeholders) meyakini bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen
telah disajikan secara wajar sesuai dengan kriteria atau standar yang ada.
2.1.3 Jenis-Jenis Auditor
Menurut Jusuf (2001), auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1)
Auditor Pemerintah
Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban
keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintah. Auditor
yang dimaksud adalah auditor yang bekerja di BPKP (Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), serta
instansi pajak. BPKP adalah instansi pemerintah yang bertanggungjawab
langsung kepada presiden RI dalam bidang pengawasan keuangan dan
pembangunan
yang
dilaksanakan
oleh
pemerintah.
Tugasnya
adalah
melaksanakan audit atas laporan keuangan instansi pemerintahan, projek-projek
pemerintah, BUMN, BUMD, projek pemerintah dan perusahaan-perusahaan
swasta dimana pemerintah mempunyai investasi yang besar di dalamnya. BPK
adalah
lembaga
tinggi
negara
yang
tugasnya
melakukan
audit
atas
pertanggungjawaban keuangan presiden RI dan aparat di bawahnya kepada DPR.
Instansi pajak adalah unit organisasi di bawah Departemen Keuangan yang tugas
pokoknya adalah mengumpulkan beberapa jenis pajak yang dipungut oleh
pemerintah.
2)
Auditor Intern
Auditor intern adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh
karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas audit yang
dilakukannya terutama ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat
dimana ia bekerja. Pada umumnya staff auditor intern wajib memberikan laporan
langsung kepada pimpinan tertinggi perusahaan (Direktur Utama), atau ada pula
yang melapor kepada pejabat tinggi tertentu lainnya dalam perusahaan, atau
bahkan ada pula yang berkewajiban melapor kepada komite audit yang dibentuk
oleh dewan komisaris.
3)
Auditor Independen (Akuntan Publik)
Tanggung jawab utama auditor independen atau yang lebih umum dikenal
dengan akuntan publik adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan
keuangan yang diterbitkan perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada
perusahaan-perusahaan terbuka yaitu perusahaan yang menjual sahamnya kepada
masyarakat melalui pasar modal, perusahaan-perusahaan besar, dan juga pada
perusahaan-perusahaan kecil serta organisasi-organisasi nirlaba.
2.1.4 Profesi Akuntan Publik
Akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari menteri
keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Ketentuan
mengenai akuntan publik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 443/KMK.01/2011 tentang Penetapan Institut Akuntan Publik
Indonesia sebagai Asosiasi Profesi Akuntan Publik Indonesia. Setiap akuntan
publik wajib menjadi anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), asosiasi
profesi yang diakui oleh pemerintah. Menurut pasal 6 SK. Menkeu No.43/1997,
izin untuk mendirikan Kantor Akuntan Publik akan diberikan apabila pemohon
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Berdomisili di wilayah Indonesia
2) Memiliki register akuntan
3) Menjadi anggota IAI
4) Lulus ujian Sertifikasi Akuntan Publik yang diselenggarakan IAI
5) Memiliki pengalaman kerja minimal 3 (tiga) tahun sebagai akuntan dan
pengalaman audit umum sekurang-kurangnya 3.000 jam dengan reputasi baik
6) Telah menduduki jabatan manajer atau ketua tim dalam audit umum sekurangkurangnya 1 (satu) tahun
7) Wajib mempunyai KAP atau bekerja pada Koperasi Jasa Audit
2.1.5 Kualitas Audit
Kualitas audit sulit diukur secara obyektif, sehingga para peneliti
sebelumnya menggunakan berbagai dimensi kualitas audit. Sebagaimana
dijelaskan oleh De Angelo yang dikutip oleh Mulyadi (2002) bahwa kualitas audit
adalah probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang
adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Tan dan Alison
(dalam Ramdanialsyah, 2010) menyatakan bahwa kualitas audit yang dihasilkan
dinilai dari seberapa banyak auditor memberikan respon yang benar dari setiap
pekerjaan audit yang diselesaikan. Menurut Hasibuan (2010) kualitas audit
merupakan suatu hasil kerja auditor dalam mengevaluasi tentang kewajaran pada
laporan keuangan klien dan melaporkannya
Carcello dan Halim (dalam Rusyanti, 2010) mengungkapkan pengalaman,
pemahaman industri klien, respon atas kebutuhan klien dan ketaatan pada standar
umum audit adalah faktor-faktor penentu kualitas audit. Ramdanialsyah (2010)
mengemukakan indikator kualitas audit adalah sebagai berikut: 1) melaporkan
semua kesalahan klien, 2) pemahaman terhadap sistem informasi akuntansi klien,
3) komitmen yang kuat dalam menyelesaikan audit, 4) berpedoman pada prinsip
auditing dan prinsip akuntansi dalam melakukan pekerjaan lapangan, 5) tidak
percaya begitu saja terhadap pernyataan klien, dan 6) sikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan.
2.1.6 Pengalaman Kerja
Nirmala (2013:35), menyatakan bahwa pengalaman merupakan suatu proses
pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik dari
pendidikan formal maupun informal, atau dapat diartikan sebagai suatu proses
yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi.
Ramdanialsyah (2010) menyatakan bahwa semakin luas pengalaman kerja
seseorang, maka semakin terampil dan semakin sempurna pula pola berpikir serta
sikap dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kushasyandita (2012) memberikan bukti empiris bahwa seseorang yang
berpengalaman dalam suatu bidang substantif memiliki lebih banyak hal yang
tersimpan dalam ingatannya. Standar Audit seksi 210 paragraf ketiga (IAPI, 2013)
menyatakan bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup
dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis
dan berpengalaman dalam industri-industri yang mereka audit.
2.1.7 Kepatuhan terhadap Kode Etik
Kode etik merupakan aturan perilaku etika akuntan dalam memenuhi
tanggung jawab profesinya. Auditor harus mematuhi kode etik yang telah
ditetapkan. Arens dkk. (2008) menyatakan bahwa setiap praktisi wajib mematuhi
prinsip dasar etika profesi, yaitu: a) tanggung jawab, b) kepentingan publik, c)
integritas, d) obyektifitas dan independensi, e) keseksamaan, f) ruang lingkup dan
sifat jasa.
Kode etik pada prinsipnya merupakan sistem dari prinsip-prinsip moral
yang diberlakukan dalam suatu kelompok profesi yang ditetapkan secara bersama.
Kode etik suatu profesi merupakan ketentuan perilaku yang harus dipatuhi oleh
setiap mereka yang menjalankan tugas profesi (Ananda, 2014). Menurut Sahara
(2014), kode etik akuntan merupakan norma perilaku yang mengatur hubungan
auditor dengan klien, auditor dengan sejawat, serta antar profesi dengan
masyarakat. Auditor wajib mematuhi kode etik yang telah ditetapkan yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari standar audit.
2.1.8 Skeptisisme Profesional Auditor
Skeptisisme, berasal dari kata skeptis, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008) berarti sikap meragukan, mencurigai dan tidak mempercayai
kebenaran suatu hal, teori, ataupun pernyataan. Dalam buku istilah akuntansi dan
auditing, skeptisisme berarti bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan
yang belum cukup kuat dasar pembuktiannya (Islahuzzaman, 2012). Sedangkan
profesional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah sesuatu yang
bersangkutan dengan profesi, yang membutuhkan keahlian khusus untuk
menerapkannya. Kata profesional pada skeptisisme profesional merujuk pada
fakta bahwa auditor telah, dan terus dididik dan dilatih untuk menerapkan
keahliannya dalam mengambil
(Quadackers, 2009).
keputusan sesuai
standar profesionalnya
Standar Audit seksi 200 paragraf ketujuh (IAPI, 2013), menjelaskan bahwa
skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang
selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit.
Dalam menggunakan skeptisisme profesionalnya, auditor tidak boleh puas dengan
bukti yang kurang meyakinkan walaupun menurut anggapannya manajemen
adalah jujur. Basu (dalam Djohar, 2012) menambahkan bahwa skeptisisme
profesional auditor hendaknya tidak menjadi kecurigaan yang berlebihan atau
membuat auditor sepenuhnya menjadi skeptis. Dalam hal ini, auditor yang
memiliki skeptisisme profesional akan menerapkan sikap skeptisnya hanya
sebatas melaksanakan tugas profesinya saja, tanpa sepenuhnya menjadi skeptis.
2.2
Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dibuat beberapa hipotesis sebagai
berikut:
2.2.1 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Skeptisisme Profesional Auditor
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) pengalaman didefinisikan
sebagai sesuatu yang pernah dialami dalam kehidupan ini. Pengalaman audit yang
dimaksudkan adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan
keuangan yang diukur dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan
yang pernah dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Syamsuddin dkk. (2014) menyatakan bahwa
auditor dengan tingkat pengalaman dalam auditing yang tinggi memiliki
skeptisisme profesional yang jauh lebih baik sehingga mereka dapat menemukan
dan mengerti kesalahan atau ketidakwajaran yang terdapat dalam laporan
keuangan. Pramudita (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa auditor yang
berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugastugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Seorang
auditor yang lebih berpengalaman akan memiliki tingkat skeptisisme profesional
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang
pertama, yaitu:
H1 :
Pengalaman kerja berpengaruh positif pada skeptisisme profesional
auditor.
2.2.2 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Kualitas Audit
Standar Audit seksi 210 paragraf ketiga (IAPI, 2013), mensyaratkan agar
auditor memiliki pengalaman kerja yang memadai dalam profesi yang
ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman
dalam bidang industri yang digeluti kliennya.
Syamsuddin dkk. (2014) menganalisis faktor-faktor penentu kualitas audit
dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor pengalaman audit
berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Penelitian yang dilakukan Slamet
(2010) juga menyatakan bahwa pengalaman kerja berpengaruh positif pada
kualitas audit. Seorang auditor dengan pengalaman yang memadai akan
menghasilkan laporan auditan yang lebih akurat dan dapat diandalkan, karena
melalui pengalaman yang diperoleh dari penugasan yang dilaksanakan serta
pelatihan-pelatihan yang diikuti, pengetahuan auditor tentang auditing akan
semakin bertambah baik dari segi prosedurnya maupun standar yang berlaku.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang
kedua, yaitu:
H2 : Pengalaman kerja berpengaruh positif pada kualitas audit
2.2.3 Pengaruh Kepatuhan terhadap Kode Etik pada Skeptisisme Profesional
Auditor
Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh
suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik juga dapat diartikan sebagai suatu
pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau
pekerjaan. Tujuan kode etik adalah agar profesional memberikan jasa sebaikbaiknya kepada pemakai atau kliennya.
Auditor sebagai profesi yang dituntut atas opini laporan keuangan perlu
menjaga sikap profesionalnya. Untuk menjaga profesionalisme auditor perlu
disusun kode etik yang akan mengikat semua anggota profesi tersebut. Kode etik
profesi dibutuhkan oleh seorang auditor untuk dapat menjaga kepercayaan publik
terhadap mutu audit. Kepatuhan terhadap kode etik profesi menjadi salah satu
kunci atau faktor yang dapat meningkatkan skeptisisme profesional seorang
auditor. Kode Etik Profesi Akuntan bagian A seksi 130 (IAPI, 2010), menyatakan
bahwa dalam melaksanakan tugas auditnya, seorang auditor harus memperhatikan
kecermatan dan kehati-hatian profesionalnya sehingga dapat menghasilkan
laporan audit yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keakuratannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Anisma dkk. (2011) menunjukkan bahwa
kesadaran dan kepatuhan auditor terhadap kode etik profesinya menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi tingkat skeptisisme profesional auditor. Semakin tingi
kesadaran dan kepatuhan auditor terhadap kode etik profesinya, maka auditor
akan cenderung lebih
berhati-hati
dalam mengambil
keputusan dalam
pemeriksaan audit.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang
ketiga, yaitu:
H3 : Kepatuhan terhadap kode etik berpengaruhpositif pada skeptisisme
profesional auditor.
2.2.4 Pengaruh Kepatuhan terhadap Kode Etik pada Kualitas Audit
Kode etik menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus
diterapkan oleh setiap individu yang menjalankan tugas profesi. Setiap praktisi
wajib mematuhi dan menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi
yang diatur dalam kode etik profesinya (Kode Etik Profesi Akuntan, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Subhan (2012) menunjukkan bahwa
kepatuhan terhadap kode etik secara parsial berpengaruh signifikan pada kualitas
audit. Penelitian yang sama dilakukan oleh Ananda (2014) mengenai pengaruh
kepatuhan terhadap kode etik pada kualitas audit, penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kepatuhan terhadap kode etik berpengaruh positif pada kualitas audit.
Semakin tinggi kesadaran dan kepatuhan auditor terhadap kode etik profesinya,
maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin baik, karena dalam proses
pelaksanaan auditnya auditor akan menerapkan prinsip-prinsip dasar dan aturan
etika profesi yang sudah ditentukan dalam kode etik profesinya.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian
keempat, yaitu:
H4 : Kepatuhan terhadap kode etik berpengaruh positif pada kualitas audit
2.2.5 Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor pada Kualitas Audit
Skeptisisme profesional auditor dapat mempengaruhi kualitas audit yang
dihasilkan. Dengan adanya skeptisisme profesional maka auditor dapat
mengevaluasi bukti audit dengan lebih baik sehingga dapat menemukan
pelanggaran-pelanggaran yang ada pada laporan keuangan klien. Dengan
mengevaluasi bukti audit secara terus-menerus akan menghasilkan laporan audit
yang berkualitas.
Penelitian mengenai skeptisisme profesional auditor sebelumnya telah
dilakukan oleh Handayani (2014), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara
skeptisisme profesional auditor dan kualitas audit
terdapat hubungan yang
signifikan.
Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2010) yang
menyimpulkan bahwa skeptisisme profesional auditor berpengaruh secara
signifikan dalam mendeteksi kecurangan. Semakin tinggi tingkat skeptisisme
profesional yang dimiliki oleh seorang auditor, maka kualitas hasil auditnya akan
cenderung lebih baik karena ketika melakukan pemeriksaan audit, auditor akan
lebih berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis penelitian yang
kelima, yaitu:
H5 : Skeptisisme profesional auditor berpengaruh positif pada kualitas
audit
2.2.6 Pengaruh Pengalaman Kerja pada Kualitas Audit Melalui Skeptisisme
Profesional Auditor
Standar Audit seksi 210 paragraf ketiga (IAPI, 2013), menyatakan bahwa
auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang memadai dalam profesi yang
ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman
dalam bidang industri yang digeluti kliennya.
Pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya masa kerja
auditor, banyaknya penugasan yang pernah dilakukan, serta banyaknya pelatihan
yang pernah diikuti. Menurut Shaub dan Lawrence (dalam Kushasyandita, 2012),
auditor yang masa kerjanya lebih lama cenderung lebih skeptis, sehingga opini
atas laporan keuangan klien diberikan dengan tepat. Semakin lama masa kerja
seorang auditor, semakin banyak penugasan yang dilaksanakan, maka
pengetahuan auditor dalam bidang audit akan semakin bertambah, termasuk
mengetahui celah-celah kecurangan yang mungkin terjadi yang kemudian akan
meningkatkan kewaspadaan auditor, dan pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas hasil auditnya.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis yang keenam
yaitu:
H6: Pengalaman kerja berpengaruh positif pada kualitas audit melalui
skeptisisme profesional auditor
2.2.7 Pengaruh Kepatuhan terhadap Kode Etik pada Kualitas Audit Melalui
Skeptisisme Profesional Auditor
Kode etik profesi dibutuhkan oleh seorang auditor untuk dapat menjaga
kepercayaan publik terhadap mutu audit. Kepatuhan terhadap kode etik profesi
menjadi salah satu kunci atau faktor yang dapat meningkatkan skeptisisme
profesional seorang auditor yang secara tidak langsung juga dapat meningkatkan
kualitas audit yang dihasilkannya. Suraida (dalam Kushasyandita, 2012),
menyatakan bahwa auditor yang memiliki kepatuhan dan kesadaran yang tinggi
terhadap kode etik profesinya cenderung lebih bersikap skeptis, sehingga dapat
meningkatkan mutu atau kualitas audit yang dihasilkannya.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan hipotesis ketujuh, yaitu:
H7: Kepatuhan terhadap kode etik berpengaruh positif pada kualitas audit
melalui skeptisisme profesional auditor
Download