TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Kelapa sawit (Elaeis guineensis) termasuk klas monokotil, famili palrnae genus elaeis dan species Elaeis guineensis, Elaeis alora dan Elaeis oleifera. Varietas yang dikembangkan adalah dura, pisifera dan tenera dari spesies Elaeis guineensis. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman asli Afiika, sesuai dengan hasil penemuan fosil, sejarahnya dan asal mula bahasa dari nama kelapa sawit tersebut (Elaeis dari bahasa Greek 'elaion', oil, sementara guineensis menunjukkan asal yaitu Guinea Coast). Dari Afrika, kelapa sawit menyebar ke Amerika Selatan dan ke Semenanjung Indo-Malaysia. Tanaman kelapa sawit berakar serabut yang sebagian besar berada dekat permukaan tanah yaitu pada kedalaman 15-30 cm (dangkal). Batangnya tegak tidak bercabang, berdiameter 40-75 cm, tinggi batang dalam pembudidayaan tidak lebih 15- 18m. Berdaun majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang pelepah daun mencapai 9 m dengan panjang helai daun mencapai 1,2 m berjumlah 100 - 160 pasang. Jumlah pelepah yang dipertahankan dalam perkebunan kelapa sawit sekitar 30-50 pelepah (Harley, 1971). Tipe pembungaan kelapa sawit adalah berumah satu ( m o n ~ o u s yaitu ) bunga betina dan bungan jantan terdapat pada satu tanaman, tetapi pada tandan yang berbeda. Bunga tumbuh pada setiap ketiak pelepah daun, satu tandan bunga berupa bunga jantan atau bunga betina, dengan masa siap polinasi yang berbeda sehingga terjadi penyerbukan silang. Rasio bunga jantan dan betina dapat dipengaruhi oleh keadaan iklim. Pada tanaman yang mengalami masa kekeringan bunga jantan mendominasi, sementara pada musim penghujan bunga betina yang lebih dominan. Pada tanaman muda (umur 2-4 tahun) kadang kala dijumpai bunga banci (hermaprodit), yaitu bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tandan (Harley, 1971). Namun demikian, bunga banci akan menyusut atau menghilang dengan sendirinya sejalan dengan bertambahnya umur tanaman. Buah kelapa sawit tersusun dalam suatu tandan yang merupakan buah batu yang terdiri dari kulit buah, daging buah, cangkang dan inti. Minyak sawit sebagian besar (20-27%) terdapat pada bagian perikarp yaitu pada kulit buah dan daging buah, sementara bagian inti hanya mengandung minyak sekitar 4-6%. Berdasarkan ketebalan cangkang dan daging buah (mesokarp), tanaman kelapa sawit dibedakan atas tiga tipe yaitu dura, pisifera dan tenera. Tipe dura bercangkang tebal (2-8 mm), tanpa lingkaran sabut di bagian luar tempurung, kandungan mesokarp rendah sarnpai medium (3545% terhadap buah, tetapi kadang-kadang dijumpai di atas 65%). Pisifera tidak mempunyai cangkang dan kandungan minyak sangat tinggi. Tipe tenera yang merupakan persilangan dura x pisifera bercangkang tipis (0,5-4 mm), kandungan mesokarp medium sampai tinggi (60-96% terhadap buah, tetapi kadang-kadang dijumpai dibawah 55%), mempunyai lingkaran serabut pada bagian luar (Harley, 1971). Menurut Harley (1971) kelapa sawit tumbuh baik iklim tropis zone katulistiwa dengan tipe iklim Af dan Am (menurut klasifikasi Koppen), dengan curah hujan sekurang - kurangnya 9 bulan, 2000-3000 rnmltahun yang menyebar sepanjang tahun. Lahan pertanaman mulai dari dataran rendah sarnpai pada ketinggian tidak lebih dari 600 m di atas permukaan laut dan sangat sesuai bila tanah tersebut bertopografi datar. Syarat tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman adalah subur bersolum dalam, berdrainase baik, pH 5,5-7,O yaitu tanah-tanah aluvial yang bertekstur lempung liat berpasir. Pemuliaan Tanaman Program pemuliaan tanaman kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1910an menggunakan material tanaman secara terbatas dari empat tanaman kelapa sawit induk varietas dura yang ditanam pertarna kali di kebun Botani Bogor pada tahun 1848. Sejak itu pula material tanaman lainnya diintroduksikan dari Zaire, Ivory Coast dan Nigeria. Menurut PPKS, PT.Socfindo dan PT.PP Lonsum (2000) strategi pengembangan bahan tanaman kelapa sawit melalui penajaman pada pemuliaan tanaman di Indonesia adalah dengan perbaikan produktivitas tanaman yang mempunyai keunggulan sekunder. Keunggulan sekunder yang dimaksud antara lain laju pertumbuhan meninggi yang lambat, kualitas minyak yang tinggi, komponen minor kelapa sawit, ketahanan terhadap hama dan penyakit, toleransi terhadap cekarnan lingkungan, serta keragaman morfologi yang kompak. Sementara itu, tidak jauh berbeda dengan Indonesia, tujuan utama pemuliaan tanaman kelapa sawit di Malaysia adalah untuk memperbaiki produktivitas tanaman sehingga implikasinya untuk meningkatkan keuntungan komersial kelapa sawit. Di samping itu pemuliaan kelapa sawit dewasa ini juga bertujuan untuk menghasilkan rninyak yang berkualitas tinggi yaitu meningkatkan kandungan asam lemak tidak jenuh, karoten dan tokoferoVtokotrieno1(Tajudin & Lee, 2000). Artas Soewar et al. (2000) menyatakan bahwa kelapa sawit yang diharapkan adalah yang memili performan yang baik dari segi produksi dan karakteristik sekunder yang berhubungan dengan siklus hidup dan kemudahan pemanenan serta memperpanjang umur ekonornis tanaman. Di samping itu juga dikombinasikan dengan upaya mereduksi pertumbuhan lilit batang agar kompetitif antar tanaman dapat ditekan. Dengan dernikian produksi yang stabil dapat dipertahankan. Karakter sekunder lainnya adalah ketahanan terhadap penyakit tanaman terutama penyakit tajuk (crown disease) dan penyakit ganoderma. Penyakit ganoderma adalah busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Ganoderma boninense. Gejala penyakit busuk pangkal ini dapat dilihat dari mahkota tanaman, di mana jumlah jamur yang belum membuka lebih banyak dan daun-daun berwarna hijau pucat. Gejala lebih lanjut daun-daun patah dan menggantung pada batang. Strategi yang ditempuh dalam upaya perbaikan produktivitas dan performan kelapa sawit tersebut adalah melalui aktivitas pemuliaan yang sistematis dan berkelanjutan. Menurut PPKS, PT.Socfindo dan PT. PP Lonsum (2000), institusinya secara terus menerus telah melakukan aktivitas tersebut sejak 1916. Pada awalnya perhatian para pemulia kelapa sawit terfokus pada perbaikan tanaman yang mempunyai produktivitas CPO tinggi. Namun, sejalan dengan berkembangnya industri hilir kelapa sawit dan tuntutan konsumen yang beragam, para pemulia juga mengarahkan penelitiannya ke tanaman kelapa sawit yang mempunyai keunggulan sekunder. Seleksi tanaman kelapa sawit di Indonesia dimulai di Marihat Baris pada 1905 dan di Tinjowan pada 1919 dari hasil pertanaman kelapa sawit yang materialnya berasal dari Kebun Botani Bogor tersebut. Selanjutnya terus dilakukan aktivitas pemuliaan dengan menyilangkan tipe dura (D) dengan varietas lain yang didatangkan dari Afrika yaitu tipe tenera (T) ke Sumatera Utara pada 1922. Tenera adalah hibrida hasil persilangan tipe dura dengan tipe pisifera dari varietas lain kelapa sawit. Teramati kemudian bahwa DxP ternyata memberikan hasil 2530% lebih tinggi dibandingkan dengan dura. Pada skala komersial dikembangkan tipe tenera melalui persilangan konvensional yang terkontrol antara dura unggul (sebagai tetua betina) dan pisifera unggul (sebagai tetua jantan sumber serbuk sari) (Asmono et al.,2000). Bahan tanaman komersial selain berupa benih hasil persilangan dan seleksi dikembangkan melalui perbanyakan secara kultur jaringan untuk memperoleh turunan yang membawa sifat induknya secara murni, sehingga memunculkan klon-klon kelapa sawit. Klon-klon tersebut dihltur dari tetua terpilih (ortet) dengan seleksi ketat didasarkan pada seleksi individu, seleksi famili, seleksi individu-famili dan indeks seleksi, yang mempunyai potensi produksi rninyak tinggi, bebas penyakit tajuk dan pertumbuhan 40-60 cmltahun (Ginting & Fatmawati, 1996). Klon yang dihasilkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Marihat diberi nama MK (Marihat Kultur jaringan). Hasil penelitian Ginting & Fatmawati (1996) menunjukkan bahwa produksi tandan buah segar kelapa sawit lebih tinggi 10-30% dibandingkan dengan tanaman benih. Dari sejumlah klon yang dihasilkan, MK60 memproduksi tandan bu& segar 40 tonlhaltahun dengan rendemen minyak 13,13% dan berpotensi menghasilkan minyak sawit mentah 13 tonlhdtahun. Kultur jaringan tanaman kelapa sawit dapat dilakukan dengan yaitu kultur embrio (penyelamatan embrio), kultur organ, kultur pollen (tanaman haploid) maupun kultur protoplast (hsi protoplas). Dengan kultur jaringan juga diperoleh embriosomatik yang dapat disimpan (konservasi), sehingga stok selalu tersedia dan sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk tujuan pemuliaan maupun tujuan perbanyakan tanaman. Tahapan perlakuan kultur jaringan kelapa sawit dimulai dari pemilihan pokok induk (ortet), pengambilan sumber jaringan (eksplan), pembuatan media, sterillisasi, penanaman eksplan, pembentukan kalus (kalogenesis), pembentukan embrio (embriogenesis somatik), pembentukan tunas, pembentukan akar, aklimatisasi dan pengujian di lapang (Lubis et al., 1985). Abnormalitas Tanaman Meskipun penampakan tanaman hasil perbanyakan klon di lapangan relatif seragam, namun perlu diamati lebih teliti apabila terjadi perubahan abnormalitas pada bagian organ reproduksinya yaitu bunga dan buah. Abnormalitas pada bunga atau buah tanaman kelapa sawit dilaporkan pada Konferensi Kultur Jaringan Kelapa Sawit yang diselenggarakan di Kuala Lumpur pada Maret 1986. Corley et al. (1986) mengemukan ada tiga macam abnormalitas pada tanaman kelapa sawit yaitu berupa rangkaian bunga jantan andromorphic, buah mantled dan buah partenokarpi. Abnormalitas berupa terbentuknya rangkaian bunga jantan andromorphic dan buah mantled terjadi sebagai akibat adanya kesalahan fbngsi dari organ-organ reproduksi, sedangkan buah partenokarpi dapat terbentuk karena penyerbukan kurang sempurna. Buah mantled sangat jarang terdapat pada tanaman asal seedling, tetapi bmyak ditemukan pada bahan tanam yang berasal dari perbanyakan in vitro melalui teknik kultur jaringan. Sekitar 10-40% dari bahan tanam klon memiliki pembungaan dan pembuahan abnormal yang terdeteksi setelah tanaman berproduksi yaitu umur 3-5 tahun (Toruan - Mathius, 1996). Beberapa ahli berpendapat bahwa terjadinya abnormalitas bisa bersifat genetik (Rao & Danough, 1990). Selain itu juga dapat terjadi karena gangguan ekspresi gen yang disebabkan gangguan fitohorrnon (Jones, 1991). Menurut Paranjothy et a1 (1993) abnormalitas berhubungan dengan lamanya subkultur dan umur kalus. Struktur kalus yang kompak dan vriabel juga dapat mengakibatkan adanya tanaman abnormal sebesar 5-10% (Pannetier et al.,1981; Duran et al.,1993). Pada tingkat tanaman yang ada di lapangan yang abnormal ratio bunga jantan akan lebih tinggi d a i pada tanaman normalnya, sehingga buah yang terbentuk akan berkurang dan akhirnya menyebabkan hasil minyak mengalami penurunan. Pada buah yang abnormal akan dijumpai endosperm tipis dan juga bentuk buah yang abnormal dari biasanya (Haris, 1998). Penampakan fenotipe (morfologi) merupakan suatu indikator gen-gen yang spesifik dan berguna sebagai penanda genetik dalam kromosom. Penampakan fenotipe sebenarnya mudah diamati di lapangan, narnun karena adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi dan berinteraksi h a t dengan faktor genetik, maka penampakan fenotipe sering berbeda-beda walaupun secara genetik sama. Selain itu ada perrnasalahan lain yang timbul yaitu pada populasi tunggal sulit diperoleh jumlah yang banyak penanda fenotipe yang disegregasikan. Gambar 1. Buah n o d dan tidak normal lammankelapa sawit yang berasal dari kultur jaringan Keterangrm : (I) buah normal ; (2) mesokarp berdagmg ; (3a) buah abnormal / bersayap ;(3 b) buah normal ;(4a) buah abnormal / mantel ringan ;(4b) buah abnormal / mantel berat ;(4c) penampang atas buah abnormal ;(44 & (4e) mantel berat 1mesokarp bersayap keras ;(5a) & (5b) bunga jantan / steril Haris & Darussamin (1997) telah menemukan bahwa beberapa nomor dari primer acak ABI dan OPB yang digunakan dalam analisis RAPD mampu membedakan antar genotipe tanaman kelapa sawit yang berbuah normal dan abnormal dari klon yang sama, khususnya beberapa nomor dari klon SOC, LMC, MK dan BC. Namun, tidak ditemukan pita spesifik yang dapat membedakan tanaman yang berbuah normal dengan abnormal secara universal. Nurhaimi-Haris (1998) mendeteksi perbedaan genetik beberapa nomor klon SOC, LMC dan MK tanaman kelapa sawit yang berbuah normal dan abnormal serta melakukan analisis pengelompokkan klon-klon tersebut berdasarkan analisis RAPD. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ada kecenderungan genotipe tanaman yang berbuah normal dan tidak normal dari satu klon yang sama berada dalam satu kelompok. Diperoleh juga bahwa klon SOC mempunyai variasi genetik lebih tinggi dibandingkan dengan klon LMC dan MK. Hal ini menunjukkan bahwa klon SOC cenderung tidak stabil apabila diperbanyak secara in vitro. Berdasarkan hasil yang sudah diperoleh tersebut dilakukan analisis RAPD menggunakan klon-klon serta primer yang berbeda, dengan tujuan mendapatkan informasi yang lebih jauh mengenai pemanfaatan RAPD untuk menganalisis pitapita DNA pembeda antar klon-klon kelapa sawit yang berbuah normal dan abnormal. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui sejauh mana terjadi variasi genetik antar genotipe normal dan abnormal dalam satu klon dan antar klon. Markah Molekuler Karakter morfologi telah lama digunakan untuk mengidentifikasi spesies, famili dan genus. Markah molekuler merupakan markah yang polimorfismenya berdasarkan protein atau DNA, dan telah sangat membantu penelitian pada berbagai disiplin seperti taksonomi, filogeni, ekologi, dan pemuliaan tanaman. Markah molekuler pada tingkat DNA memiliki kelebihan dibandingkan dengan morfologi atau alozim antara lain : (1) karena genotipe suatu organisme diuji secara langsung, sehingga pengaruh lingkungan dan perkembangan terhadap fenotipe tidak menjadi masalah; (2) karena bagian yang berbeda dari DNA berevolusi dengan kecepatan yang berbeda, sehingga bagian yang cocok dapat digunakan untuk studi tertentu, misalnya bagian yang variabilitasnya tinggi untuk identifikasi kultivar atau yang variabilitasnya rendah untuk studi filogenetik; (3) karena jumlah polimorfisme yang ada tidak terbatas dan (4) berbagai macam teknik telah dikembangkan yang masing-maing dapat menyediakan markah yang sesuai terhadap suatu tujuan tertentu (Weising et al., 1995). Lebih jauh lagi Berg et a1.(1997) menambahkan bahwa skoring terhadap kedua markah tersebut tergantung dari ekspresi gen yang mungkin sensitif terhadap faktor lingkungan, tahap perkembangan dan tipe jaringan. Keuntungan utama markah DNA molekuler adalah sifat alarninya. Markah ini mencerminkan perubahan pada tingkat DNA sehingga menunjukkan jarak genetik yang sesungguhnya (aktual) antara individu secara lebih akurat daripada dengan markah fenotipe. Sering sekali sulit untuk menyetarakan fenotipe dan genotipe karena fenotipe yang sama bisa dimunculkan oleh genotipe yang berbeda (Serret et ~1,1997). Beberapa kegunaan markah molekuler dalam membantu pemuliaan antara lain adalah (i) untuk analisis pautan dan pemetaan genetik; (ii) untuk identifikasi genotipe; (iii) untuk mengestimasi keragaman genetik dan kekerabatan inter dan antar spesies atau varietas dan juga dapat membantu menjelaskan filogenetiknya (Weising et aZ.,1996). Lebih jauh lagi Ribaut & Hoisington (1998) menguraikan bahwa berdasarkan keragaman genetik yang dihasilkan dari data sidik jari, bahan tanaman bisa dikelompokkan ke dalam genetik pool tertentu. Informasi ini sangat membantu dalam mengidentifikasi tetua yang paling cocok untuk disilangkan. Untuk tanaman yang heterosis dimana pemanfaatannya adalah dengan memproduksi kultivar hibrida, pengukuran jarak genetik berdasarkan markah DNA dapat sangat membantu. Menurut Powell et al., (1996) ha1 tersebut dapat dilakukan misalnya melalui analisis menggunakan NTSYS. Analisis klaster berdasarkan kesamaan genetik menggunakan UPGMA dan hubungan antara individu divisualisasi dalam bentuk fenogram yang dapat menggambarkan jarak genetik antara individu yang diuji. Perkembangan teknologi baru telah dapat menggembangkan analisis yang dapat mempertinggi tingkat polimorfisme DNA untuk pemetaan genetik, MAS, genom fingerprinting dan untuk menemukan hubungan genetik. Teknologi tersebut meliputi antara lain : RFLP, RAPD, AFLP dan mikrosatelit (SSR). Polimorfisme yang terdeteksi oleh AFLP dan RFLP mengungkapkan variasi ukuran berdasarkan situs restriksi. Polimorfisme berdasarkan RAPD mencerminkan variasi sequen DNA pada situs perlekatan (binding site) primer dan dari perbedaan panjang DNA antara situs perlekatan primer (juga untuk AFLP). Lokus SSR berbeda pada jurnlah unit ulangan di, tri atau tetranukleotida yang ada pada DNA dan variasi panjang ini dapat dideteksi dengan PCR dengan memanfaatkan sepasang primer yang mengapit setiap SSR tersebut (Powell et aZ.,1996). Karp et al. (1997) mengelompokkan teknik menjadi tiga kategori dasar berdasarkan apakah analisa tersebut menggunakan PCR atau tidak, dan apakah primernya arbitrarilsemi-arbitrari ataukah secara spesifik dirancang berdasarkan sekuen yang telah diketahui terlebih dahulu : (1) tidak berdasarkan PCR (RFLP, VNTRs); (2) teknik berdasarkan primer arbitrari atau semi arbitrari (multiple arbitrarily amplicon profiling) (MAAP) misalnya RAPD dan DAF atau AFLP); (3) Site-targeted PCR (STMS) ; SSR. Banyak terdapat variasi dari berbagai teknik dasar tersebut, diantaranya adalah sequence characterized amplified region (SCARS) yang dihasilkan dari markah RAPD tunggal. Fragmen tersebut diklon dan sekuen nukleotida pada ujungnya disekuensing, kemudian dipakai sebagai dasar mendisain primer untuk amplifikasi spesifik. Teknik lain misalnya ISSR, PCR-RFLP (cleaved ampl$ed polymophic sequenceslCAPS) dan AFLP mikrosatelit. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Tanaman menyimpan informasi genetiknya dalam genom inti maupun organel (khloroplas dan mitokondria). Genom didefenisikan sebagai gugus atau keseluruhan gen dari suatu organisme yang mengendalikan seluruh metabolisme sehingga organisme tersebut dapat hidup dengan sempurna. Gen dari setiap organisme dapat mengalami perubahan yang disebut mutasi. Proses mutasi dapat terjadi pada satu gen yang disebut mutasi gen, atau melibatkan potongan kromosom, kromosom utuh atau mungkin juga seluruh set kromosom secara kolektif yang disebut mutasi kromosom. Beberapa mekanisme mutasi seperti delesi, duplikasi, inversi, dan translokasi yang dapat mengubah fenotipe tanaman. Itu sebabnya penggunaan penanda morfologi menjadi terbatas pemanfaatannya dan dengan demikian penggunaan penanda DNA lebih mampu menggambarkan keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Kemajuan bioteknologi mengungkapkan infonnasi genetik yang terkandung dalam genom tanaman dapat diamati sampai tingkat DNA. Analisis dapat dilakukan melalui hibridisasi fiagmen DNA genom tanaman dengan pelacak DNA (probe) pada teknik Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), atau dengan mengamplifikasi DNA genom tanaman dalam mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik RAPD merupakan suatu cara untuk menganalisis variabilitas genetik melalui amplifikasi DNA genom suatu tanaman menggunakan primer acak tunggal. Variabilitas genetik tanaman dilihat berdasarkan polimorfisme pita DNA yang berhasil diamplifikasi. Prinsip dasar RAPD adalah komplementasi urutan basa primer dengan urutan basa DNA cetakan. Apabila terdapat komplementasi urutan basa antara primer dan DNA cetakan, maka primer akan menempel pada kedua ujung 3'OH utas DNA cetakan. Jika kedua situs penempelan primer berada dalam jarak yang dapat diamplifikasi, maka produk PCR akan diperoleh berupa fragmen atau pita DNA (Tingey et al., 1992). Prinsip amplifikasi fragmen DNA pada mesin PCR dapat dilihat pada Gambar 2. Pada dasarnya amplifikasi DNA dalam mesin PCR mengikuti pola sintesis DNA di dalam sel. Di dalam sel, proses sintesis DNA meliputi penguraian utas ganda DNA menjadi utas tunggal yang disebut denaturasi. Kemudian sintesis rantai DNA baru dengan menggunakan utasan tunggal sebagai model atau cetakan. Sintesis DNA dimulai dengan penempelan primer pada utas tunggal DNA cetakan, dilanjutkan dengan pemanjangan rantai DNA dan pembentukan utas ganda kembali. Sintesis DNA mempunyai arah pertumbuhan 5 + 3, yaitu dua nukleotida digabungkan satu dengan yang lainnya dengan cara merangkaikan karbon gula kelima (C5) yang mengandung fosfat dari satu nukleotida kepada karbon gula ketiga (C3) yang mengandung OH dari nukleotida lain, membentuk ikatan 5 + 3 fosfodiester. Weising et al., (1995) menyatakan, seperti halnya sintesis DNA di dalam sel, amplifikasi DNA pada mesin PCR secara in vitro membutuhkan enzim polimerase DNA, primer, basa nukleotida (dATP, dCTP, dGTP, dTTP), MgC12, dan bufer yang befingsi sebagai kofaktor enzim, serta H2O. Reaksi PCR melibatkan pengaturan suhu pada mesin PCR selama pengulangan siklus. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap yaitu denaturasi DNA menjadi utas tunggal (94'~), penempelan primer pada DNA cetakan ( 2 5 ' ~ - 65'~), dan pemanjangan primer (biasanya 72'~). Hallden et al., (1996) menegaskan reaksi PCR sangat dipengaruhi oleh konsentrasi komponen reaksi (MgC12, bufer, enzim, DNA cetakan, primer, nukleotida, dan HzO), suhu denaturasi, suhu penempelan primer pada DNA cetakan, suhu pemanjangan primer, jumlah siklus, serta keutuhan dan kemurnian DNA cetakan. Enzim polimerase DNA yang pertama kali digunakan dalam reaksi PCR dan sampai sekarang masih digunakan adalah Tag polimerase DNA yang diisolasi dari mikroorganisme Thermus aquaticus. Tag polimerase DNA bersifat tahan suhu panas ( 9 4 ' ~ ) ~menghasilkan fragmen DNA amplifikasi dengan ujung 3'A menggantung (overhang), kecepatan amplifikasi 2-4 kilobasa (kb) per menit atau 35 - 70 basa per detik (Kidd & Ruano, 1995), dan lebih murah dibandingkan enzim polimerase lain seperti Pfu dan Tli polimerase DNA. Analisis genetik yang menggunakan prinsip kerja PCR pertama kali dikembangkan oleh William dkk. tahun 1990 menggunakan primer tunggal atau sekuen nukleotida pendek dengan jumlah basa antara 10 - 20 basa (Weising et al., 1995). Primer adalah suatu f'ragmen DNA pendek dengan berukuran 10 - 20 pasang basa (pb) yang berperan dalam inisiasi sintesis untaian DNA. Peranan primer pada teknik RAPD seperti peranan RNA-primer pada proses replikasi DNA di dalam sel. Pada prinsipnya ada dua jenis primer yang dapat digunakan, yaitu primer spesifik dan primer acak. Primer spesifik merupakan fragmen DNA yang disintesis dari rangkaian oligonukleotida yang berpasangan dengan rantai DNA (gen) tertentu yang biasa digunakan pada teknik RFLP, atau bagian dari rantai DNA yang mengapit untaian DNA dari wilayah bukan penyandi seperti lokus mini (mikrosatelit) pada teknik Simple Sequence Repeats (S SR). Sedangkan primer acak merupakan fi-agmen DNA yang disintesis menggunakan "DNA synthesizer", dan dapat dibeli dalam bentuk kit dari suatu perusahaan seperti Operon Alamedh Technology (OPA). Macam primer yang digunakan pada teknik RAPD berkaitan dengan suhu penempelan primer dalam reaksi amplifikasi. Primer yang biasanya digunakan mengandung basa G+C antara 60% - 70%, karena semakin banyak kandungan basa Guanin dan Cytosin, maka ikatan antara primer dengan DNA cetakan semakin kuat dan stabil. Basa Guanin dan Cytosin mempunyai tiga ikatan hidrogen, lebih banyak daripada basa Tirnin dan Adenin yang hanya mempunyai dua ikatan hidrogen. I Pca$a?s.jatsgm prkc r ' i II.................. . P d....,......... ...................... ... , , , , , - , . . . . . . . . ,,, i , # Gambar 2. Prinsip amplifikasi fragmen DNA pada mesin PCR Sumber : Weising et al., 1995 Analisis variabilitas genetik melalui teknik RAPD menggunakan primer acak banyak digunakan karena mudah dilakukan, murah, cepat memberikan hasil, cocok untuk membuat diagnosis silsilah (filogeni) suatu spesies, tidak memerlukan latar belakang genom yang dianalisis, mudah mendapatkan primer acak yang biasa digunakan untuk analisis genom semua organisme, menghasilkan data seperti ale1 dominan dan polimorfisme yang dihasilkan sangat banyak (Tingey et al., 1992). Pada umumnya pemanfaatan markah DNA sudah banyak diterapkan dalam pemuliaan tanaman misalnya dalam memperkirakan keragaman genetik, kerabatan inter dan antar spesies atau varietas, identifikasi genotipe serta analisis pautan dan pemetaan genetik. RAPD sebagai markah molekuler telah banyak diterapkan dalam studi keragaman genetik, misalnya pada Vigna angularis (Yee et al., 1999), kedelai (Powell et al.,1996; Doldi et al., 1997, Thompson et al., 1998), kopi (Orozco-Castillo et al., 1994), pada Sesamun indicum L, (Bhat et al., 1999), sorghum (Menkir et al.,1997), blueberry (Levi & Rowland, 1997), kelapa (Ashburner et al., 1997), pada Hordeum vulgare (Selbach & Molina, 2000). Studi keterpautan markah RAPD dengan sifat tertentu misalnya telah diterapkan antara lain pada Prunus persica L (Warburton et a1.,1996), keterpautan dengan sifat tahan terhadap Colletotrichum lindemuthianum pada tanaman buncis (Young & Kelly, 1997).