BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker 2.1.1 Pengertian Kanker Kanker merupakan suatu kondisi dimana sel telah mengalami kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali (LeMone, 2008 dalam Melia, 2013). Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal menbentuk klon dan mulai berploriferasi secara abnormal, mengabaikan sinyak pengatur pertumbuhan dalam lingkungan sekitar sel tersebut (Smeltzer, 2002). 2.1.2 Etiologi Kanker Smeltzer, 2002 menyatakan faktor-faktor tertentu telah memberikan implikasi dalam proses karsinogenik. Faktor-faktor tersebut termasuk virus, agens fisik, agens kimia, faktor genetik atau keturunan, makanan dan hormonal. Virus sebagai penyebab kanker dianggap dapat menyatukan diri dalam struktur genetik sel, sehingga mengganggu generasi mendatang dari populasi sel tersebut. Sebagai contoh virus Epstein –Barr sangat dicurigai sebagai agens penyebab 9 10 limfoma Burkitt dan kanker Nasofaring. Virus herpes simpleks tipe II, sitomegalovirus, dan human papilloma virus (HPV) tipe 16 dan 18, semuanya pernah berkaitan dengan displasia dan malignansi serviks uteri. Faktor fisik yang berkaitan dengan karsinogenesik mencakup pemajanan terhadap sinar matahari atau radiasi, iritasi kronis atau inflamasi, dan penggunaan tembakau. Pemajanan berlebih terhadap radiasi ultraviolet, terutama pada individu yang berkulit terang dan bermata biru atau hijau, meningkatkan risiko kanker kulit. Pemajanan terhadap medan elektromagnetik (EMF) dari kabel listrik, mikrowave, dan telepon seluler juga meningkatkan risiko kanker. Sedangkan iritasi atau inflamasi kronik diduga merusak sel-sel yang menyebabkan diferensiasi sel abnormal. Kanker mulut berkaitan dengan penggunaan tembakau jangka panjang atau pemasangan gigi palsu yang tidak pas. Melanoma berkaitan dengan mola yang mengiritasi secara kronis, kanker kolorektal dengan kolitis ulserativa, dan kanker hepar dengan sirosis (Smeltzer, 2002). Beberapa kanker pada masa dewasa dan masa anak-anak menunjukkan predisposisi keturunan. Kanker cenderung terjadi pada usia muda dan pada berbagai tempat dalam satu organ atau sepasang organ. Pada kanker dengan predisposisi herediter, umumnya saudara dekat (sedarah) mempunyai tipe kanker yang sama. Kanker yang berkaitan dengan sifat yang diturunkan termasuk retinoblastoma, nefroblastoma, leukimia, dan kanker payudara (Smeltzer, 2002). Beberapa substansi makanan yang berkaitan dengan peningkatan risiko kanker mencakup lemak, alkohol, daging diasinkan atau diasap, makanan yang 11 mengandung nitrat atau nitrit, dan masukan diet dengan kalori tinggi. Sedangkan substansi makanan yang mengurangi risiko kanker yaitu makanan tinggi serat, dan sayuran yang mengandung karotenoid (Smeltzer, 2002). Pertumbuhan tumor mungkin dipercepat dengan adanya gangguan dalam keseimbangan hormon baik oleh pembentukan hormon tubuh itu sendiri (endogenus) atau pemberian hormon eksogenus. Kanker payudara, prostat, dan uterus dianggap tergantung pada kadar hormon endogen untuk pertumbuhannya (Smeltzer, 2002). 2.1.3 Penatalaksanaan Kanker Menurut Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (2005) dalam Melia (2013) penatalaksanaan atau pengobatan utama penyakit kanker meliputi empat macam yaitu pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan terapi hormon. Kemoterapi merupakan penggunaan preparat antineoplastik yang digunakan sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor dengan mengganggu fungsi dan reproduksi selular. Setiap kali tumor terpajan terhadap agens kemoterapeutik, persentase sel-sel tumor (20% sampai 99%, bergantung pada dosis) mengalami kerusakan (Smeltzer, 2002). Prinsip kerja dari kemoterapi yakni terapi sistemis yang ditambahkan pada tubuh, dimana kemoterapi akan menyebar tanpa bergantung pada jalan masuknya dan dapat mempengaruhi jaringan, organ bahkan sel tubuh, sehingga secara tidak 12 langsung setiap sel sehat dalam tubuh akan menerima racun dalam konsentrasi yang sama. Adapun sel-sel yang rentan mengalami kerusakan akibat kemoterapi yaitu sel dengan kecepatan pertumbuhan yang tinggi seperti epithelium, sumsum tulang, folikel rambut dan sperma. Namun pada dasarnya kemoterapi akan mempengaruhi berbagai sistem tubuh sebagai akibat penggunaan obat-obatan kemoterapi seperti yang tercantum dalam jurnal Using Nursing Diagnoses in Prevention and Management of Chemotherapy- Induced Alopecia in the Cancer Patient (2007). Efek samping kemoterapi yang klien rasakan pada sistem pencernaan yaitu mual dan muntah yang biasanya bersifat menetap hingga 24 jam setelah dilakukannya kemoterapi. Selain itu klien dapat mengalami stomatitis dan anoreksia mengingat epithelium merupakan salah satu sel yang berploriferasi cepat dan rentan terhadap efek kemoterapi. Kemoterapi juga mendepresi fungsi sumsum tulang sehingga dapat menurunkan produksi sel darah yang mengakibatkan klien rentan mengalami infeksi ataupun anemia (Smeltzer, 2002). Kerusakan pada folikel rambut dapat mengakibatkan kebotakan pada klien (alopesia). Menurut jurnal Using Nursing Diagnoses in Prevention and Management of Chemotherapy- Induced Alopecia in the Cancer Patient (2007) disebutkan bahwa alopesia akibat kemoterapi muncul karena sitotoksik obat yang digunakan seperti doxorubicin dan paclitaxel. Dan pada sistem reproduksi, kemoterapi dapat mengakibatkan azoospremia (tidak adanya sperma) baik temporer atau permanen (Smeltzer, 2002). Efek lain yang dapat dirasakan klien yaitu nyeri kronik dan rasa tidak nyaman yang timbul sebagai akibat dari penyakit yang mendasarinya, prosedur pemeriksaan 13 diagnostik ataupun banyaknya pengobatan kanker yang harus digunakan. Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologis sehingga memunculkan masalah seperti ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman. Berbagai efek yang menyertai kemoterapi dapat menyebabkan stress pada klien, dimana stress dapat memunculnya perasaan cemas dan depresi (Smeltzer, 2002). Menurut Snyder (1993) dan Egan (1993), salah satu metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan stress dan kecemasan yaitu dengan teknik relaksasi. Teknik yang biasa digunakan adalah relaksasi otot, relaksasi dengan imajinasi terbimbing, dan relaksasi benson. Teknik relaksasi memiliki tujuan untuk menghasilkan respon yang dapat memerangi stress dan kecemasan dengan mekanisme menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis dan parasimpatis, sehingga diharapkan stress dan kecemasan psikologis dapat berkurang. 2.2 Relaksasi Otot Progresif 2.2.1 Pengertian Relaksasi Otot Progresif Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stres, dimana teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri (Potter & Perry, 2006). Relaksasi adalah suatu bentuk latihan untuk mengurangi stres, yang menurut cara latihannya 14 dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu relaksasi otot, relaksasi dengan latihan pernapasan, dengan hipnosis/autosugesti, dan cara lain (Hartono, LA (2007). Menurut Richmond (2007) dalam Mashudi (2011), relaksasi otot progresif merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang. Dalam jurnal yang berjudul Pengembangan Multimedia “Relaksasi” oleh Neila Ramdhani dan Adhyos Aulia Putra (2008) dinyatakan bahwa relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Teknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan, membantu orang yang mengalami insomnia, dan asma. Relaksasi otot bertujuan agar badan bisa rileks. Relaksasi ini dilakukan dengan mencoba merasakan otot-otot saat tegang dan kaku, dengan cara mengencangkan otot-otot badan, serta mencoba merasakan otot kendor dengan cara mengendorkan otot-otot. Latihan dimulai dengan mengepalkan otot tangan dan lengan, kemudian mengendorkannya; lakukan pula pada otot bahu dan dada, terus berganti-ganti ke otot betis, otot kaki kiri, kemudian otot kaki kanan. Harus diperhatikan latihan otot sebaiknya dilaksanakan dalam posisi duduk atau terlentang santai, dengan bernapas pelan. Lakukan selama 15 menit (Hartono, LA 2007). 15 Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa relaksasi progresif merupakan salah satu teknik relaksasi untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan, dengan melakukan gerakan-gerakan sistematis berupa pengencangan dan pengenduran otot yang ada di seluruh tubuh. 2.2.2 Prinsip Kerja Relaksasi Otot Progresif Ankrom (2008) dalam Mashudi (2011) menyatakan bahwa stres dan kecemasan mencetuskan beberapa sensasi dan perubahan fisik, meliputi peningkatan aliran darah menuju otot, ketegangan otot, mempercepat atau memperlambat pernapasan, meningkatkan denyut jantung, dan menurunkan fungsi digesti. Jika stres dan kecemasan yang dialami berlangsung terus menerus, maka respon psikofisiologikal yang berulang dapat membahayakan tubuh. Brown (1997) dalam Snyder dan Linquist (2002) menyebutkan bahwa respon stres adalah bagian dari jalur umpan balik yang tertutup antara otot-otot dan pikiran. Penilaian terhadap stresor mengakibatkan ketegangan otot yang mengirimkan stimulus ke otak dan membuat jalur umpan balik. Relaksasi otot progresif akan menghambat jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatis dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat sikap positif sehingga rangsangan stres terhadap hipotalamus berkurang (Copstead & Banasik, 2000). 16 Pemberian relaksasi otot progresif akan menimbulkan stress fisik pada tubuh sehingga merangsang hipotalamus untuk melepaskan CRF (Faktor Pelepas Kortokotropin) yang selanjutnya merangsang sekresi ACTH. Sewaktu terjadi sekresi ACTH dalam jumlah yang tinggi, beberapa hormon yang memiliki sifat kimiawi sama juga akan disekresikan secara bersamaan. Sintesis ACTH menyebabkan pembentukan suatu molekul protein yang lebih besar disebut, POMC (Proopimelanokortin) yang salah satunya termasuk endhorpin. Sekresi endorphine akan mengakibatkan tubuh menjadi rileks. Hal tersebut menimbulkan perasaan tenang sehingga ketegangan pun berkurang (Guyton, 2007). Menurut Domin (2001) dalam Wulandari (2006), secara fisiologis, latihan relaksasi akan membalikkan efek stres yang melibatkan bagian parasimpatetik dari sistem saraf pusat. Relaksasi akan menghambat peningkatan saraf simpatetik, sehingga hormon penyebab disregulasi tubuh dapat dikurangi jumlahnya. Sistem saraf parasimpatetik, yang memiliki fungsi kerja yang berlawanan dengan saraf simpatetik, akan memperlambat atau memperlemah kerja alat-alat internal tubuh. Akibatnya, terjadi penurunan detak jantung, irama nafas, tekanan darah, ketegangan otot, tingkat metabolisme, dan produksi hormon penyebab stres. Seiring dengan penurunan tingkat hormon penyebab stres, maka seluruh badan mulai berfungsi pada tingkat lebih sehat dengan lebih banyak energi untuk penyembuhan (healing), penguatan (restoration), dan peremajaan (rejuvenation). Berdasarkan hasil penelitian oleh Wulandari (2006), peregangan otot berdampak pada berkurangnya ketegangan ibu hamil. Beberapa subjek penelitian ternyata mampu merasakan efek psikologis 17 terhadap keluhan yang dirasakan, seperti rasa kencang di perut atau pegal di punggung. Zinbarg, dkk. (1993) menyatakan bahwa dengan melakukan relaksasi otot, individu akan menjadi lebih mampu mendeteksi peningkatan ketegangan pada tubuh selama aktivitas sehari-harinya, digunakan sebagai isyarat untuk menerapkan latihan relaksasi. Stuart (2009) dalam Supriatin (2011) menjelaskan bahwa dengan latihan ini, individu dapat melakukan kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi proses berfikir, dan ketegangan otot. Terapi relaksasi otot progresif merangsang pengeluaran zat‐zat kimia endorphin dan ensephalin serta merangsang signal otak yang menyebabkan otot rileks dan meningkatkan aliran darah ke otak. 2.2.3 Manfaat Relaksasi Otot Progresif Menurut Potter dan Perry (2006) perubahan/manfaat yang terjadi akibat teknik relaksasi yaitu: a. Menurunkan tekanan darah (nilai dasar) b. Menurunkan frekuensi jantung (nilai dasar) c. Mengurangi disritmia jantung d. Mengurangi kebutuhan oksigen dan konsumsi oksigen e. Mengurangi ketegangan otot Menurut Silbernagl (2009) dalam Wahyuni dan Farid Rahman, kontraksi isometrik mengaktivasi golgi tendon organ sehingga relaksasi dapat dicapai (reverse 18 innervation) dan ketegangan otot menurun. Hal itu terjadi karena adanya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon 2:3. Kontraksi isometrik yang dilakukan selama 9 detik mampu memperoleh relaksasi maksimal karena mekanisme reverse innervation tadi. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot diperoleh pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot (fascia dan tendo). Selain itu respon relaksasi didapatkan melalui pelepasan analgesik endogenus opiat (Enkifalen, betaendorfin, dimorfin) yang ada didalam tubuh setelah melaksanakan teknik relaksasi progresif. f. Menurunkan laju metabolik g. Meningkatkan gelombang alfa otak, yang terjadi ketika klien sadar, tidak memfokuskan perhatian dan rileks. Jeong Lee, Eun, dkk (2012) menyajikan jurnal yang berjudul Monochord sounds and progressive muscle relaxationreduce anxiety and improve relaxation duringchemotherapy: A pilot EEG study. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki efek relaksasi dari musik monochord terhadap pasien yang menjalani kemoterapi dibandingkan dengan pemberian relaksasi otot progresif yang juga merupakan teknik relaksasi. Metode penelitian yaitu dengan membagi sampel menjadi dua grup secara acak untuk diobservasi selama menjalani kemoterapi. Satu grup mendengarkan musik monochord (n=20) dan grup yang lain diberikan terapi relaksasi otot progresif (n=20). Masing-masing sesi diamati respon pre dan post dengan menggunakan Spielberger’s State Anxiety Inventory (SAI) dan kuisioner mengenai status fisik dan psikologis pasien. Pasien pada masing-masing grup 19 menunjukkan peningkatan dari segi fisik dan psikologis serta tingkat kecemasan. Hasil : data EEG menunjukkan bahwa musik monochord dan relaksasi otot progresif memiliki hubungan dalam meningkatkan aktivitas posterior theta (3,5 – 7,5 Hz) dan menurunkan midfrontal beta-2 band (20-29,5 Hz) selama tahap akhir dari terapi. h. Meningkatkan rasa kebugaran i. Meningkatkan konsentrasi j. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stresor Sedangkan menurut Supriatin (2011) manfaat relaksasi otot progresif antara lain sebagai berikut. a. Mengurangi kecemasan klien b. Mengurangi insomnia Hasil penelitian oleh Erliana (2008) dalam Virgantari (2013) yang menunjukkan hasil sebelum diberikan latihan relaksasi otot progresif tingkat insomnia tertinggi adalah insomnia ringan yaitu sebanyak 16 lansia (55,17%), sedangkan tingkat insomnia terendah adalah insomnia sangat berat yaitu sebanyak 3 lansia (10,34%). Setelah diberikan relaksasi otot progresif selama 7 hari didapatkan hasil tingkat insomnia mengalami penurunan, yaitu sebanyak 19 lansia (65,52%), berubah menjadi tidak ada keluhan insomnia dan 10 lansia (24,48%) mengalami insomnia ringan. c. Menurunkan tingkat stress d. Menurunkan denyut jantung dan tekanan darah e. Menurunkan ketegangan otot 20 f. Meningkatnya kontrol diri (misalnya pada perilaku kekerasan) 2.2.4 Kontra Indikasi Relaksasi Otot Progresif Beberapa hal yang mungkin menjadi kontra indikasi latihan relaksasi otot progresif antara lain cidera akut atau ketidaknyamanan muskuloskleletal, dan penyakit jantung berat/akut (Fritz, 2005) dalam Mashudi, 2011. 2.2.5 Prosedur Relaksasi Otot Progresif Relaksasi otot progresif merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang. Sangat baik dilakukan bila pasien dalam posisi berbaring pada bantalan yang lunak atau di lantai, di ruang yang tenang, dan bernapas lega. Seseorang biasanya membacakan instruksi dengan nada rendah dengan cara yang lambat dan relaks, atau dapat diputar kaset yang berisi instruksi tersebut. Pasien diminta menegangkan otot di seluruh tubuhnya, menahan, merasakan ketegangan tersebut dan kemudian melemaskannya. Kemudian pasien mulai menegangkan kelompok otot individual, sedangkan bagian tubuh yang lainnya rilekstangan, kemudian lengan, lalu bahu, dan sebagainya-setiap kali merasakan 21 ketegangan dan relaksasi. Setelah semuanya selesai, seluruh tubuh harus rileks (Benson, 1993); Scandrett-Hibdon & Uecker, 1992). Dalam Mashudi (2011) dijelaskan untuk hasil yang maksimal dianjurkan untuk melakukan relaksasi otot progresif pada jam yang sama 2 kali sehari selama 2530 menit. Latihan bisa dilakukan pagi atau sore hari, dilakukan 2 jam setelah makan untuk mencegah rasa mengantuk setelah makan (Charleswarth & Nathan, 1996). Jadwal latihan biasanya memerlukan waktu 1 minggu. Berstein & Borkovec menganjurkan menggunakan 10 sesi untuk latihan. Greenberg (2002) mengatakan relaksasi akan memberikan hasil setelah dilakukan sebanyak 3 kali latihan. Dalam Modul Progressive Muscle Relaxation (PMR) Perilaku Kekerasan oleh Supriatin (2011), strategi pelaksanaan relaksasi otot progresif dibagi menjadi 4 (empat) sesi modifikasi dari relaksasi otot progresif yang disusun oleh Supriatin (2010), yaitu: a. Sesi satu: pelaksanaan tehnik relaksasi, meliputi: dahi, mata, rahang, mulut, leher belakang dan leher depan, masing‐masing gerakan dilakukan sebanyak 2 kali. Gerakan pertama ditujukan untuk otot dahi yang dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis sekeras‐kerasnya hingga kulit terasa mengerut. Lemaskan dahi dan alis secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. Gerakan kedua merupakan gerakan yang ditujukan untuk mengendurkan otot‐otot mata diawali dengan memejamkan sekuat‐kuatnya sehingga dapat dirasakan 22 ketegangan di sekitar mata dan otot‐otot yang mengendalikan gerakan mata. Lemaskan kedua mata secara perlahan hingga 10 detik, lakukan kembali sekali lagi. Gerakan ketiga bertujuan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot‐otot rahang dengan cara mengatupkan mulut sambil menggigit gigi sekuat‐kuatnya, sehingga terasa ketegangan di sekitar otot‐otot rahang. Lemaskan mulut secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. Gerakan keempat ini dilakukan untuk mengendurkan otot‐otot sekitar mulut. Moncongkan bibir ke depan sekeras‐kerasnya hingga terasa tegang di mulut. Lemaskan mulut dan bibir secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. Gerakan kelima ditujukan untuk otot‐otot leher belakang. Klien dipandu untuk menekankan kepala kearah punggung sedemikian rupa sehingga terasa tegang pada otot leher bagian belakang. Lemaskan leher secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. Gerakan keenam bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan. Gerakan ini dilakukan dengan cara tekuk atau turunkan dagu hingga menyentuh dada, kemudian pasien diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian depan. Lemaskan dan angkat dagu secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. 23 b. Sesi dua: pelaksanaan tehnik relaksasi, meliputi: tangan, tangan bagian belakang, lengan dan bahu, masing‐masing gerakan dilakukan sebanyak 2 kali. Gerakan ketujuh ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan. Selanjutnya pasien diminta membuat kepalan ini semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan, pasien dipandu untuk merasakan rileks selama 10 detik. Gerakan pada tangan kiri dilakukan dua kali sehingga pasien dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan. Gerakan kedelapan adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang. Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua pergelangan tangan ke belakang secara perlahan hingga otot‐otot tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari‐jari menghadap ke langit‐langit. Lemaskan atau turunkan kedua tangan secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali. Gerakan kesembilan adalah untuk melatih otot‐otot lengan atau biseps. Otot biseps adalah otot besar yang terdapat di bagian atas pangkal lengan. Gerakan ini diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot‐otot lengan bagian dalam menegang. Lemaskan atau turunkan kedua tangan secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. 24 Gerakan kesepuluh ditujukan untuk melatih otot‐otot bahu. Relaksasi untuk mengendurkan bagian otot‐otot bahu dapat dilakukan dengan cara mengangkat kedua bahu kearah telinga. Lemaskan atau turunkan kedua bahu secara perlahan hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas dan leher. c. Sesi tiga: pelaksanaan tehnik relaksasi, meliputi: punggung, dada, perut, tungkai dan kaki, masing‐masing gerakan dilakukan sebanyak 2 kali. Gerakan sebelas bertujuan untuk melatih otot‐otot punggung. Gerakan ini dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi, lalu busungkan dada dan dipertahankan selama 10 detik. Lemaskan punggung hingga 10 detik lakukan kembali sekali lagi. Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi, sambil membiarkan otot‐otot menjadi lemas. Gerakan dua belas ditujukan untuk melatih otot‐otot dada. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik nafas dalam sekuat‐kuatnya dan tahan beberapa saat sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian turun ke perut. Hembuskan nafas secara perlahan. Sebagaimana dengan gerakan yang lain, gerakan ini diulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan rileks. Gerakan tiga belas bertujuan untuk melatih otot‐otot perut. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik perut kearah dalam sekuat‐kuatnya. Tahan selama 10 detik hingga perut terasa kencang dan tegang. Lemaskan perut secara perlahan hingga 10 detik, lakukan kembali sekali lagi. 25 Gerakan empat belas dan lima belas adalah gerakan gerakan untuk otot-otot kaki. Gerakan ini dilakukan secara berurutan. Gerakan 14 bertujuan untuk melatih otot‐otot paha, dilakukan dengan cara meluruskan kedua belah telapak kaki selama 10 detik hingga terasa tegang di kedua paha. Lemaskan kedua kaki secara perlahan hingga 10 detik, lakukan kembali sekali lagi. Gerakan kelima belas ditujukan untuk otot‐otot betis. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik kedua telapak kaki kearah dalam sekuat‐kuatnya hingga terasa tegang di kedua betis selama 10 detik. Lemaskan kedua kaki secara perlahan hingga 10 detik, lakukan kembali sekali lagi. d. Sesi empat: evaluasi kemampuan klien melakukan latihan relaksasi progresif. 2.2.6 Posisi Tubuh untuk Relaksasi Posisi tubuh untuk relaksasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu duduk atau berbaring. Posisi duduk dilakukan dengan seluruh tubuh bersandar pada kursi, meletakkan kaki datar pada lantai, terpisah antara kaki yang satu dengan yang lain, menggantungkan lengan pada sisi atau meletakkan pada lengan kursi, dan mempertahankan kepala sejajar dengan tulang belakang. Pada posisi berbaring, kaki diletakkan terpisah satu sama lain dengan jari-jari kaki agak meregang lurus ke arah luar, lengan diletakkan pada sisi tanpa menyentuh sisi tubuh, mempertahankan kepala 26 sejajar dengan tulang belakang dan menggunakan bantal yang tipis dan kecil di bawah kepala (Potter & Perry, 2006). 2.2.7 Pengaruh Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Kecemasan Ansietas menyebabkan respons kognitif, psikomotor, dan fisiologis yang tidak nyaman, misalnya kesulitan berpikir logis, peningkatan aktivitas motorik agitasi, dan peningkatan tanda-tanda vital. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman ini, individu mencoba mengurangi tingkat ketidaknyamanan tersebut dengan melakukan perilaku adaptif yang baru atau mekanisme pertahanan. Perilaku adaptif dapat menjadi hal yang positif dan membantu individu beradaptasi dan belajar-misalnya, menggunakan teknik imajinasi untuk memfokuskan kembali perhatian pada pemandangan yang indah, relaksasi tubuh secara berurutan dari kepala sampai jari kaki, dan pernapasan yang lambat dan teratur untuk mengurangi ketegangan otot dan tanda-tanda vital. Respons negatif terhadap ansietas dapat menimbulkan perilaku maladaptif, seperti sakit kepala akibat ketegangan, sindrom nyeri, dan respons terkait stres yang mengurangi efisiensi sistem imun (Potter & Perry, 2006). Menurut Domin (2001) dalam Wulandari (2006), secara fisiologis, latihan relaksasi akan membalikkan efek stres yang melibatkan bagian parasimpatetik dari sistem saraf pusat. Relaksasi akan menghambat peningkatan saraf simpatetik, sehingga hormon penyebab disregulasi tubuh dapat dikurangi jumlahnya. Sistem 27 saraf parasimpatetik, yang memiliki fungsi kerja yang berlawanan dengan saraf simpatetik, akan memperlambat atau memperlemah kerja alat-alat internal tubuh. Akibatnya, terjadi penurunan detak jantung, irama nafas, tekanan darah, ketegangan otot, tingkat metabolisme, dan produksi hormon penyebab stres. Seiring dengan penurunan tingkat hormon penyebab stres, maka seluruh badan mulai berfungsi pada tingkat lebih sehat dengan lebih banyak energi untuk penyembuhan (healing), penguatan (restoration), dan peremajaan (rejuvenation). 2.3 Ansietas 2.3.1 Definisi Ansietas Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas (Comer, 1992). Ansietas merupakan alat peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu. Ansietas mencakup perasaan samar tentang ketakutan dan kekhawatiran dalam merespons ancaman terhadap sistem nilai atau pola keamanan seseorang (May, 1977). Ansietas dan ketakutan menghasilkan respons simpatis yang mirip, mencakup 28 eksitasi kardiovaskuler, dilatasi pupil, berkeringat, tremor dan mulut kering. Ansietas juga mencakup respons parasimpatis peningkatan aktivitas gastrointestinal (GI); orang yang ansietas mengalami peningkatan ketegangan, kegelisahan umum, insomnia, kekhawatiran dan perasaan tidak berdaya, serta kerisauan yang tidak jelas mengenai situasi yang tidak dapat dihindari atau dipecahkan dengan mudah (May, 1977). Ansietas merujuk pada perasaan yang ditimbulkan oleh ancaman nonspesifik terhadap konsep diri seseorang yang menyangkut kesehatan, aset, nilai, lingkungan, peran fungsi, pemenuhan kebutuhan, pencapaian tujuan, hubungan personal, serta perasaan aman (Miller, 1999). Intensitas ansietas bervariasi bergantung pada beratnya ancaman yang dirasakan dan kesuksesan atau kegagalan usaha mengatasi perasaan. Dalam NANDA 2012-2014, ansietas didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik/ tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman. Jadi dapat disimpulkan bahwa ansietas adalah perasaan yang muncul akibat ketakutan dan kehawatiran yang dapat menimbulkan respon fisik ataupun psikologis seperti berkeringat, tremor, insomnia, kegelisahan dan lain-lain sebagai respon kewaspadaan dalam menghadapi ancaman atau bahaya. 29 2.3.2 Etiologi Ansietas terjadi ketika seseorang mengalami kesulitan menghadapi situasi, masalah, dan tujuan hidup. Apabila individu beradaptasi terhadap stres, tubuh berespon dengan rileks dan kelenjar, organ serta respon sistemik menurun. Tahap kelelahan terjadi ketika individu berespon negatif terhadap ansietas dan stres: cadangan tubuh berkurang atau komponen emosional berubah sehingga timbul respon fisiologis yang kontinyu dan kapasitas menjadi sedikit. a. Teori biologi Penelitian terkini berfokus pada penyebab biologis terjadinya ansietas yang berlawanan dengan penyebab psikologis. Penelitian ini dimulai setelah tampak jelas bahwa benzodiazepin yang ditemukan pada tahun 1950-an, mengurangi ansietas. Liberthson et al. (1986) mempelajari hubungan antara prolaps katup mitral dengan gangguan panik. Beberapa individu yang mengalami episode sikap bermusuhan, iritabilitas, perilaku asosial, dan perasaan mendadak bahwa segala sesuatu tidak nyata, dapat menunjukkan gangguan panik atipikal. Mereka mengalami abnormalitas elektroensefalografik pada lobus temporal yang biasanya berespons terhadap karbamazepin (suatu antionvulsan) atau obat-obatan lain dalam kategori ini (Sullivan & Coplan, 2000). b. Teori Genetik Ansietas dapat memiliki komponen yang diwariskan karena kerabat tingkat pertama individu yang mengalami peningkatan ansietas memiliki kemungkinan lebih 30 tinggi mengalami ansietas. Insiden gangguan panik mencapai 25 % pada kerabat tingkat pertama, dengan wanita beresiko dua kali lipas lebih besar daripada pria. Kembar monozigot memiliki concordance lima kali lebih besar daripada kembar dizigot (DSM-IV-Tr, 2000). Horwath dan Weissman (2000) menjelaskan suatu kemungkinan “sindrom kromosom 13”. Kromosom ini dikatakan terlibat dalam hubungan genetik yang mungkin pada gangguan panik, sakit kepala hebat, dan masalah ginjal, kandung kemih, atau tiroid (kebanyakan hipotiroid) atau prolaps katup mitral. c. Teori Neurokimia GABA, suatu neurotransmiter inhibitor, berfungsi sebagai agens antiansietas alami tubuh dengan mengurangi eksitabilitas sel sehingga mengurangi frekuensi bangkitan neuron. GABA tersedia pada sepertiga sinaps saraf, terutama sinaps di sistem limbik dan lokus seruleus, tempat neurotransmiter norepinefrin diproduksi, yang menstimulasi fungsi sel. Karena GABA mengurangi ansietas dan norepinefrin meningkatkan ansietas, diperkirakan bahwa masalah pengaturan neurotransmiter ini menimbulkan gangguan ansietas. Benzodiazepin, suatu kelas obat-obatan ansiolitik terikat pada tempat reseptor yang sama seperti GABA Benzodiazepin membantu reseptor pascasinaps untuk lebih reseptif terhadap efek GABA, yang lebih lanjut mengurangi frekuensi bangkitan sel dan mengurangi ansietas. Ansiolitik mengurangi ansietas prabedah dan mengendalikan reaksi ansietas akut, tetapi agens ini harus digunakan dengan bijaksana karena bersifat adiktif (Sullivan & Coplan, 2000). 31 Serotonin (5-HT), neurotransmiter indolamin yang biasanya terlibat dalam psikosis dan gangguan mood, memiliki banyak subtipe. 5-HT1a berperan dalam terjadinya ansietas, juga memengaruhi agresi dan mood. Serotonin diyakini memainkan peran yang berbeda dalam OCD, gangguan panik, dan gangguan ansietas umum, dan gangguan stres pascatrauma (Sullivan & Coplan, 2000). d. Teori Psikodinamik (Intrapsikis/Psikoanalitik) Freud (1936) memandang ansietas alamiah seseorang sebagai stimulus untuk perilaku. Ia menjelaskan mekanisme pertahanan sebagai upaya manusia untuk mengendalikan kesadaran terhadap ansietas. Misalnya, jika seseorang memiliki pikiran dan perasaan yang tidak tepat sehingga meningkatkan ansietas, ia merepresi pikiran dan perasaan tersebut. Represi adalah proses menyimpan impuls yang tidak tepat ke dalam alam bawah sadar sehingga impuls tersebut tidak dapat diingat kembali. e. Teori Interpersonal Harry Stack Sullivan (1952) berpendapat bahwa ansietas timbul dari masalahdalam hubungan interpersonal. Pada individu dewasa, ansietas muncul dari kebutuhan individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan norma dan nilai kelompok budayanya. Semakin tinggi tingkat ansietas, semakin rendah kemampuan untuk mengomunikasikan dan menyelesaikan masalah dan semakin besar pula kesempatan untuk terjadi gangguan ansietas. 32 2.3.3 Tingkat Respon Ansietas Tabel 1 Tingkat Respon Ansietas Tingkat Ansietas Ringan (1+) Sedang (2+) Berat (3+) Panik (4+) Respon fisik Respon Kognitif Respon Emosional Ketegangan otot ringan,sadar akan lingkungan Rileks atau sedikit gelisah Penuh perhatian Rajin Lapang persepsi luas,terlihat tenang, percaya diri Perasaan gagal sedikit Waspada dan memerhatikan banyak hal Mempertimbangkan informasi Tingkat pembelajaran optimal Lapang persepsi menurun Tidak perhatian secara selektif Fokus terhadap stimulus meningkat Rentang perhatian menurun Penyelesaian masalah menurun Pembelajaran terjadi dengan memfokuskan Perilaku otomatis Sedikit tidak sabar Aktivitas menyendiri Terstimulasi Tenang Lapang persepsi terbatas Proses berfikir terpecah pecah Sulit berpikir Penyelesaian masalah buruk Tidak mampu mempertimbangkan informasi Hanya memperhatikan ancaman Preokupasi dengan pikiran sendiri Egosentris Merasa terbebani Merasa tidak mampu, tidak percaya Lepas kendali Mengamuk, putus asa Marah, sangat Ketegangan otot sedang Tanda-tanda vital meningkat Pupil dilatasi mulai berkeringat Sering mondar mandir, memukulkan tangan Suara berubah bergetar, nada suara tinggi Kewaspadaan dan ketegangan meningkat Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung Ketegangan otot berat Hiperventilasi Kontak mata buruk Pengeluaran keringat meningkat Bicara cepat, nada suara tinggi Tindakan tanpa tujuan dan serampangan Rahang menegang, menggertakangigi Kebutuhanruanggerakmenin gkat Mondar-mandir, berteriak Meremas tangan, gemetar Flight, fight atau freeze ketegangan otot sangat berat Agitasimotorikkasar Pupil dilatasi Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun. Tidak dapat tidur Hormon stress dan Persepsi sangat sempit Pikiran tidak logis, terganggu Kepribadian kacau Tidak dapat menyelesaikan masalah Focus pada pikiran sendiri. Tidak rasional Sulit memahami stimulus Tidak nyaman Mudah tersinggung Kepercayaan diri goyah Tidak sabar Gembira Sangat cemas Agitasi Takut Bingung Merasa tidak adekuat Menarik diri Menyangkal Ingin bebas 33 neurotransmitter berkurang Wajah menyeringai, mulut menganga eksternal Halusinasi, waham, mungkin terjadi takut Mengharapkan hasil yang buruk Kaget, takut Lelah Diadaptasi dari : Beck, A.T. & Emery,C. (1985). Anxiety disorders and phobia: a cognitive perpective. New York: Basic Books; Peplau,H. (1952). Interpersonal relations in nursing. New York: GP Putnam’s Sons; Selye,H. (1956). The stress of life. New York: McGraw-Hill; Sullivan,H.S. (1954). The psychiatric interview. New York: W.W. Norton. ilusi 2.3.4 Kategori Gangguan Ansietas Gangguan ansietas memiliki banyak menifestasi, tetapi ansietas adalah gambaran utama pada gangguan berikut ini (DSM-IV-TR,200) : a. Gangguan panik dengan atau tanpa agorafobia b. Gangguan fobia: sosial atau spesifik c. Agorafobia tanpa gangguan panik d. Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) e. Gangguan stres pascatrauma f. Gangguan stres akut g. Gangguan ansietas umum h. Gangguan ansietas akibat kondisi medis i. Gangguan ansietas akibat zat 34 2.3.5 Respon Fisiologis Dan Psikologis Terhadap Ansietas Respons sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan aktivitas involunter pada tubuh yang termasuk dalam pertahanan diri. Serabut saraf simpatis “mengaktifkan” tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh. Kelenjar adrenal melepas adrenalin (epinefrin), yang menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen, mendilatasi pupil, dan meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung sambil membuat konstriksi pembuluh darah perifer dan memirau darah dari sistem gastrointestinal dan reproduksi serta meningkatkan glikogenolisis menjadi glukosa bebas guna menyokong jantung, otot dan sistem saraf pusat. Ketika bahaya telah berakhir, serabut saraf parasimpatis membalik proses ini dan mengembalikan tubuh ke kondisi normal sampai tanda ancaman berikutnya mengaktifkan kembali respon simpatis (Guyton, 2008). Ansietas menyebabkan respons kognitif, psikomotor, dan fisiologis yang tidak nyaman, misalnya kesulitan berpikir logis, peningkatan aktivitas motorik agitasi, dan peningkatan tanda-tanda vital. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman ini, individu mencoba mengurangi tingkat ketidaknyamanan tersebut dengan melakukan perilaku adaptif yang baru atau mekanisme pertahanan. Perilaku adaptif dapat menjadi hal yang positif dan membantu individu beradaptasi dan belajar-misalnya, menggunakan teknik imajinasi untuk memfokuskan kembali perhatian pada pemandangan yang indah, relaksasi tubuh secara berurutan dari kepala sampai jari kaki, dan pernapasan 35 yang lambat dan teratur untuk mengurangi ketegangan otot dan tanda-tanda vital. Respons negatif terhadap ansietas dapat menimbulkan perilaku maladaptif, seperti sakit kepala akibat ketegangan, sindrom nyeri, dan respons terkait stres yang mengurangi efisiensi sistem imun (Potter & Perry, 2006). 2.3.6 Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi Menurut Kaplan dan Sadock (1997) dalam Lutfa, Umi dan Arina Maliya (2008), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan, yaitu: a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain: (a) Usia pasien Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Untari (2013) menyatakan wanita cenderung memiliki sikap cemas karena wanita lebih banyak menggunakan perasaan dalam menyikapi segala bentuk perubahan yang terjadi, dikarenakan perempuan lebih peka terhadap emosi. Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun. Namun menurut Sarwono (2003) dalam Lutfa dan Arina (2008) semakin bertambah usia seseorang tidak menjamin bahwa kepribadiannya akan semakin baik. Ada beberapa variabel luar yang dapat mempengaruhi seperti faktor pengalaman. 36 (b) Pengalaman pasien menjalani pengobatan Kaplan dan Sadock (1997) dalam Lutfa dan Arina (2008) mengatakan pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Apabila pengalaman individu tentang kemoterapi kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan kecemasan saat menghadapi tindakan kemoterapi. (c) Konsep diri dan peran Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi individu berhubungan dengan orang lain. Menurut Stuart dan Sundeen (1991) peran adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran. Disamping itu pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik di dalam keluarga atau di masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu. 37 b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain: (a) Kondisi medis (diagnosis penyakit) Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecemasan klien. Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan. (b) Tingkat pendidikan Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan (Notoatmodjo, 2000). Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus (Jatman, 2000). Yunitasari (2012) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rendah pula kemungkinan mengalami kecemasan. Hal ini dikarenakan pendidikan menjadikan individu lebih mudah memahami fenomena yang terjadi pada dirinya. (c) Akses informasi Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Informasi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan kemoterapi terdiri dari tujuan 38 kemoterapi, proses kemoterapi, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses administrasi (Smeltzer & Bare, 2001). (d) Proses adaptasi Kozier and Oliveri (1991) mengatakan bahwa tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus. Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau mencapai keseimbangan diri dalam menghadapi lingkungan yang baru. (e) Tingkat sosial ekonomi Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik. Berdasarkan hasil penelitian Durham diketahui bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah prevalensi psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah atau tidak memadai dapat mempengaruhi peningkatan kecemasan pada klien menghadapi tindakan kemoterapi. (f) Jenis tindakan kemoterapi Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat mendatangkan kecemasan karena terdapat ancaman pada integritas tubuh dan jiwa seseorang (Long, 1996). Semakin mengetahui tentang tindakan kemoterapi, akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien kemoterapi. 39 (g) Komunikasi terapeutik Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih bagi pasien yang akan menjalani proses kemoterapi. Hampir sebagian besar pasien yang menjalani kemoterapi mengalami kecemasan. Pasien sangat membutuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik diantara mereka akan menentukan tahap kemoterapi selanjutnya. Pasien yang cemas saat akan menjalani kemoterapi kemungkinan mengalami efek yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan. Faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat kecemasan adalah dukungan keluarga. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Dengan adanya dukungan keluarga yang tinggi, maka pasien akan merasa lebih tenang dan nyaman dalam menjalani masa kemoterapi, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Friedman (1998:196) (dalam Utami,2013). Penelitian oleh Utami (2013) yang meneliti hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan kemoterapi pasien kanker serviks. Hasil analisis data korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan kemoterapi pasien kanker serviks. Semakin tinggi dukungan yang diberikan keluarga terhadap pasien yang akan menjalani kemoterapi kanker serviks maka akan semakin rendah tingkat kecemasan yang dialami pasien yang akan menjalani kemoterapi kanker serviks. 40 2.3.7 Skala Ukur Tingkat Kecemasan Salah satu skala penilaian untuk mengukur tingkat kecemasan yaitu Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). HARS digunakan untuk melihat tingkat keparahan terhadap gangguan kecemasan seorang pasien yang terdiri 14 item penilaian (Norman, 2005) yang dijelaskan dalam (Kusumadewi, 2008) yaitu: a. Anxious mood: pada bagian ini akan melihat kondisi emosi pasien yang menunjukkan ketakutan yang luar biasa terhadap ketidakpastian masa depan, merasa khawatir, merasa tidak aman, mudah tersinggung, dan kecemasan. b. Ketegangan (tension): pada bagian ini akan melihat ketidakmampuan pasien untuk bersikap relaks,tidak nervous, ketegangan, gemetaran, dankepenatan. c. Ketakutan (fear): pada bagian ini akan melihat ketakutan pasien di keramaian, terhadap binatang, di tempat umum, sendirian, lalu lintas,orang asing, kegelapan, dll. d. Sulit tidur (insomnia): pada bagian ini akan melihat pengalaman pasien terhadap durasi tidur dan kepulasan tidur selama 3 malam sebelumnya. (Catatan: tanpa penggunaan obat penenang) e. Sulit konsentrasi dan daya ingat: pada bagian ini akan melihat ketidakmampuan pasien untuk berkonsentrasi, mengambil keputusan terhadap kejadian sehari-hari, dan lemahnya daya ingat. 41 f. Depressed mood: pada bagian ini akan melihat komunikasi pasien baik secara verbal maupun non-verbal tentang kesedihan, depresi, tanpa harapan, kemurungan, dan ketakberdayaan. g. Gejala-gejala somatik umum (muscular): pasien merasa lemah, sakit, ketegangan otot seperti pada bagian leher dan rahang. h. Gejala-gejala somatik umum (sensory): pasien merasa penat dan lemah, atau mengalami gangguan fungsi perasa seperti: tinnitus, matakabur, sensasi panasdingin dan keringat buntat. i. Gejala-gejala yang berhubungan dengan jantung (cardiovascular): termasuk tachycardia, jantung berdebar, tekanan pada bagian dada, dentaman pada pembuluh darah, dan perasaan seakan-akan ingin pingsan. j. Gejala-gejala yang berhubungan dengan pernafasan: seperti merasa sesak nafas atau kontraksi pada tenggorokan atau dada, atau rasa seperti tercekik. k. Gejala-gejala yang berkaitan dengan usus (gastrointestinal); seperti sulit menelan, merasa ada tekanan pada bagian perut, gangguan pencernaan (rasa panas pada bagian perut, sakit perut berhubungan dengan makanan, mual dan muntah), perut terasa keroncongan dan diare. l. Gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran kencing (genito-urinary); termasuk gejala-gejala non-organik atau psikis, seperti: sering atau susah buang air kecil, menstruasi tidak teratur, anorgasmia, ejakulasi dini. m. Gejala-gejala otonomik lainnya, seperti mulut terasa kering, pucat, sering keluar keringat dingin dan pusing, 42 n. Sikap pada saat wawancara: seperti pasien kelihatan tertekan, nervous, gelisah, tegang, suara gemetar, pucat, keluar keringat. Setiap item bernilai 0, 1, 2, 3 atau 4. Nilai 0 menunjukkan tidak ada gejala- gejala yang tampak, dan nilai 4 menunjukkan gejala-gejala dominan dan sangat mengganggu. Penentuan derajat kecemasan yaitu dengan cara menjumlahkan nilai skor pada masing-masing item dengan total skor (Saseno, 2013) : a. Skor < 14 : tidak ada kecemasan b. Skor 14 – 20 : kecemasan ringan c. Skor 21 – 27 : kecemasan sedang d. Skor 28 – 41 : kecemasan berat e. Skor 42 – 56 : kecemasan sangat berat (panik)