metode pengajaran notasi balok

advertisement
„FIXED DOH‟ SEBAGAI
METODE MEMBACA NOTASI BALOK
YANG EFEKTIF BAGI PEMULA
S. Kari Hartaya
A. Latar Belakang Masalah
Hampir setiap manusia menyenangi cabang seni yang satu ini, yaitu
musik. Baik itu pada tingkat sebagai pendengar saja sampai pada hasrat untuk
bisa menguasai/ memainkan salah satu ataupun lebih alat musik, termasuk
menyanyi, yang hasilnya minimal dapat untuk menghibur dirinya sendiri, atau
bahkan untuk menghibur banyak orang dalam suatu pentas. Akan tetapi ada suatu
“rintangan” yang pada umumnya dianggap cukup “berat”, manakala seseorang
yang tengah mempelajari musik tersebut harus berhubungan dengan notasi balok.
Pembelajar merasa terbebani dalam mempelajari notasi balok. Bahkan tidak
jarang menjadikan putus asa dalam perjalanan belajarnya. Hal ini juga terjadi
pada dunia pendidikan kita. Terlepas dari permasalahan minimnya jumlah jam
pelajaran seni, fasilitas yang tersedia ataupun metode pengajaran guru yang
kurang memadai, walaupun notasi balok sudah diajarkan kepada siswa sejak
Sekolah Menengah Pertama (SMP), namun pada kenyataannya pemahaman
terhadap notasi balok pada kebanyakan siswa tidak/ belum seperti yang
diharapkan. Bahkan notasi balok dianggap sebagai “momok” dalam pembelajaran
musik bagi para siswanya. Mereka lebih terbiasa dengan bentuk notasi yang lain
yaitu notasi angka, yang mana notasi ini hanya digunakan pada salah satu bentuk
metode membaca notasi, yaitu movable doh atau do yang berpindah-pindah.
Beberapa negara menggunakan metode ini, termasuk Indonesia.
Kiranya diperlukan suatu usaha yang efektif guna mengantisipasi hal-hal
yang disebut di atas mengingat notasi balok adalah tulisan musik international
1
yang sebenarnya tidak boleh dihindari oleh setiap pemusik, apalagi untuk
pemusik pemula, melainkan justru perlu biasakan dan diakrabi dengan berbagai
cara. Karena pada dasarnya tidak ada istilah “bisa” dan “tidak bisa” untuk
membaca notasi balok, tetapi “biasa” dan “tidak biasa”.
B. Pembahasan
Jika dilihat perkembangan sejarah musik, kita akan melihat bahwa mulamula ada suara alam, misalnya suara burung, angin, dan sebagainya. Kemudian
timbul alat musik yang dimaksudkan untuk meniru suara-suara alam tadi,
disamping untuk membuat suara-suara sendiri. Kemudian timbulnya kebutuhan
untuk mencatat suara-suara tersebut. Maka munculah tanda-tanda abstrak yang
merupakan notasi (aksara) musik. Tanda-tanda abstrak ini akhirnya dapat dengan
mudah direalisasikan kembali menjadi suara. Kegiatan ini biasa disebut dengan
membaca not, yakni sebutan untuk penterjemahan aksara musik kembali menjadi
suara (Latifah Kodijat dan Marzoeki, 1984 : 4).
Notasi adalah lambang atau tulisan musik. Sedangkan notasi balok adalah
tulisan musik dengan menggunakan lima garis datar guna menunjukkan tinggi
rendahnya suatu nada (Pono Banoe, 2003 : 299). Peran notasi ini sangat penting
dalam musik, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Aksara musik
tersebut terutama penting untuk menetapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tinggi nada
2. Nilai nada, dan
3. Cara nada itu dibunyikan.
(Kodijat dan Marzoeki, 1984 : 4)
Tangganada diatonis berdasar atas tetrachord, yakni tangga nada yang
dirumuskan Phytagoras, seorang filsuf dan matematikus Yunani pada abad VI,
melalui alat musiknya yang disebut monochord (Karl-Edmund Prier. sj, 2004 : 8).
Perkataan diatonis dipetik dari bahasa latin, yakni diatonicus, yang maksudnya
adalah nada-nada yang terdiri dari tujuh jenis bunyi yang ditulis di atas garis titi,
yaitu c, d, e, f, g, a, dan b (Remy Sylado, 1986 : 8).
Pada abad ke IX, muncul istilah solmisasi, yaitu cara baca solmisasi
seperti yang diperkenalkan (dipelopori) oleh seorang pastor Katolik di Italia,
2
Guido D‟ Arezzo, dikenal sebagai do-re-mi-fa-sol-la-si-do sebagai pernyataan cd-e-f-g-a-b-c (absolute) (Banoe, 2003 : 385). Sebutan nada-nada diatonis ini
berasal dari rentetan kata-kata pujaan kepada Sancta Ioannis, murid termuda
Yesus Kristus, yang isinya memohon kepadanya, agar suara para penyanyi yang
menyanyikan pujian kepada Tuhan, tetap merdu dan tidak parau. Rentetan
singkatan tersebut adalah sebagai berikut :
Dominus
Renonare
Mira gestorum
Famuli tuorum
Solve polluti
Labii reatum
Sancta Ioannis, yang disingkat Si.
(Sylado, 1986 : 8)
Dalam perkembangannya, tepatnya pada tahun 1840, orang Inggris yang
bernama J.S. Curwen memeprkenalkan metode baca notasi yang baru, yakni cara
baca solmisasi dengan transposisi (Banoe, 2003 : 384). Dalam metode ini sebutan
do tidak selalu untuk nada c, tetapi bisa digunakan sebagai sebutan untuk nadanada yang lain. Akhirnya sampai saat ini dikenal dua macam metode dalam
kaitannya dengan penggunaan solmisasi atau rentetan istilah diatas, yakni metode
Fixed do atau „do tetap‟, seperti yang terjadi di Itali oleh Guido D‟ Arezzo, dan
metode Movable do atau „do bergerak‟, yakni metode transposisi seperti yang
diperkenalkan pertama kali oleh J.S. Curwen di Inggris.
Metode membaca Fixed do atau ‘do tetap’.
Pada metode ini pengertian kata „do‟ pada dasarnya bukanlah nada/ not,
melainkan hanya sebutan untuk nada C, kemudian „re‟ untuk D, „mi‟ untuk E, „fa‟
untuk F, dan seterusnya. Dan semua ini sesuai dengan pengertian istilah solfes
(solfege) yakni metode latihan pendengaran, berupa cara baca absolut : C adalah
do, G adalah sol. Dengan demikian Cis sebagai C-kres tetap dibaca do; Ges
sebagai G-mol tetap dibaca sol (Banoe, 2003 : 384).
3
Jadi „do‟ selalu pada nada C, tidak pernah berpindah kepada nada yang lain.
Sedangkan untuk membedakan :
sebutan do untuk nada c dan sebutan do untuk nada cis,
sebutan re untuk nada d dan sebutan re untuk nada dis,
sebutan si untuk nada b dan sebutan si untuk nada bes, dan seterusnya,
adalah dengan memberikan pengalaman visual dan audio/ suara alat musik yang
mempunyai konstruksi seperti pada piano, yakni dengan menggunakan tuts untuk
menyuarakannya (misalnya pianika, keyboard, akordion, dan lain sebagainya).
Mengapa demikian, karena :
1. Secara visual bentuk serta konstruksi tuts yang mudah dipahami oleh
pembelajar, terutama pemula, yakni bahwa semakin kekanan letak tuts
akan menghasilkan nada semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya. Dengan
mengkaitkan gambar bentuk dan konstruksi tuts dengan posisi letak notasi
pada garis paranada, akan memudahkan pemahaman pembelajar tentang
susunan serta posisi masing-masing nada apabila ditulis sebagai notasi.
Hubungan posisi tuts dengan letak notasi balok
2.
Secara audio/ suara pembelajar mendapatkan pengalaman, yakni
perbedaan nada pada :
sebutan do untuk notasi c dan sebutan do untuk notasi cis atau c#,
sebutan re untuk notasi d dan sebutan re untuk notasi dis atau d#,
sebutan si untuk notasi b dan sebutan si untuk notasi bes atau bb,
dan seterusnya.
4
Oleh karenanya keberadaan alat musik tersebut selalu sangat diperlukan,
agar pembelajar mengetahui letak nadanya dalam tuts, mengetahui
„gambarnya‟ dalam not balok serta mendengar dan merasakan nada/ suaranya.
Lebih lanjut keterangan di atas dapat dijelaskan dalam gambar di bawah ini :
Contoh penyebutan nada-nada pada beberapa tangga nada dalam fixed doh
dapat dilihat pada gambar berikut :
5
Dan seterusnya.
Sedangkan contoh notasi dari sebuah potongan lagu dari lagu yang berjudul
“Selendang Sutera” ciptaan Ismail Marzoeki, yang dibaca dengan menggunakan
metode fixed doh adalah sebagai berikut :
Contoh 1 : Dalam Natural
Contoh 2 : Dalam 2 # (kres)
6
Contoh 3 : Dalam 3b (mol)
Movable do atau ‘do bergerak’.
Pada metode ini kata „do‟ dapat berpindah-pindah sesuai dengan tangganada yang
dipergunakan. Setiap notasi/ nada mempunyai sebutan masing-masing.
Berikut penyebutan nada dalam movable doh :
7
Contoh penyebutan nada-nada pada beberapa tangga nada dalam movable
doh dapat dilihat pada gambar berikut :
8
Dan seterusnya.
Sedangkan contoh notasi dari sebuah potongan lagu dari lagu yang
berjudul “Selendang Sutera” ciptaan Ismail Marzoeki, yang dibaca dengan
menggunakan metode movable doh adalah sebagai berikut :
Contoh 1 : Dalam Natural. Biasa disebut Do = C
Contoh 2 : Dalam 2 # (kres). Biasa disebut Do = D
9
Contoh 3 : Dalam 3b (mol). Biasa disebut Do = Es
Setelah memperhatikan penjelasan gambar dari kedua metode tersebut
timbul beberapa hal yang perlu di perhatikan, yaitu :
a. Pada fixed doh, letak gambar do tidak berubah-ubah dan tidak berpindahpindah. Sedangkan dalam movable doh gambar „do‟ dapat berpindah-pindah
tempat, yang akhirnya sulit dimengerti oleh siswa/ pembelajar yang baru
mulai belajar musik.
b. Pada fixed doh, dalam satu oktaf hanya ada tujuh sebutan nada, yaitu do, re,
mi, fa, sol, la, dan si. Sedangkan dalam movable do masih ditambah sebutan-
10
sebutan nada di, ri, fi, sel, le sa, li, sal, ma, dan ra. Yakni ada 17 macam
sebutan.
c. Pada movable doh, do dianggap sebagai nada/ not, bahkan kemudian
“diterjemahkan” menjadi angka Arab, seperti yang terlihat dalam table berikut
ini :
1 = do
2 = re
1 = di
2 = ri
-
2 = ra
3 = mi
3 = ma
4 = fa
5 = sol
6 = la
7 = si
4 = fi
5 = sel
6 = le
-
5 = sal
6 = li
-
7 = sa
Keterangan :
Garis miring ke kanan pada angka berarti nada dinaikkan setengah
laras (kres/#)
Garis miring ke kiri pada angka berarti nada di turunkan setengah laras
(mol/ b).
Sehingga akhirnya angka inilah yang dianggap sebagai nada/ not, yang pada
akhirnya timbul lagu yang ditulis dengan menggunakan notasi angka. Contoh
kongkrit yang banyak terjadi pada kebanyakan guru musik dalam memulai
pelajaran musik (khususnya pada waktu mengajar bernyanyi) dengan
mempelajari not angkanya, yang pada tahap selanjutnya siswa diharuskan
untuk memindahkan ke not balok. Akibatnya, sulit bagi siswa untuk
menentukan letak „do‟ yang sesungguhnya, karena kekeliruan pada saat
pertamanya., yaitu menganggap angka 1 sama dengan „do‟ sama dengan
nada/not. Sedangkan pada fixed doh tidak mengenal notasi angka.
C. Kesimpulan
Dari semua paparan di atas penyaji menyimpulkan bahwa metode fixed
doh lebih tepat dan efektif untuk digunakan dalam pembelajaran notasi
balok, khususnya bagi pemula. Karena dalam metode fixed doh lebih
bersifat visual, yakni dengan selalu melihat letak/ posisi notasi yang
mewakili nada. Pengajaran musik menggunakan metode baca fixed doh
11
mutlak diperlukan alat musik yang bertuts, seperti piano, keyboard,
akordion, ataupun pianika, sebagai media audio dan visual bagi
pembelajar musik, yakni dengan melihat posisi tuts dan nada yang
dihasilkan. Untuk vokal, membaca notasi selalu dibantu dengan instrumen
(khususnya piano, organ, akordion, pianika).
Daftar Pustaka
Banoe, Pono. Kamus Musik, Kanisius, Yogyakarta, 2003
Hartayo, Jimmy. Musik Konvensional Dengan ‘Do Tetap’, Yayasan Pustaka Nusatama
bekerja sama dengan Institute Seni Indonesia, Yogyakarta, 1994.
Kodijat, Latifah – Marzoeki. Penuntun Mengajar Piano, Djambatan, Jakarta, 1984.
Prier, Karl-Edmund. Sejarah Musik Jilid I, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta, 2004.
Siagian, M. Pardosi. Indonesia Yang Kucinta, Penyebar Musik Indonesia, Yogyakarta,
1978.
Sukohardi, Al, Teori Musik Umum, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta, 1986)
12
Sylado, Remy. Menuju Apresiasi Musik, Angkasa, Bandung, 1986.
BIODATA
Nama
M.Sn
NIP
Pangkat/Golongan Ruang/TMT
2009
Jabatan
Unit Kerja
Bidang Keahlian
Alamat rumah
DIY
: Drs. S. Kari Hartaya,
: 19650929 199203 1 004
: Pembina, IV/a, 8 April
: Widyaiswara Madya
: PPPPTK Seni dan Budaya
: Seni Musik
: jln. S. Parman 1b Bantul,
Download