konsep dasar strategi pembelajaran - PPKN-UAD

advertisement
KONSEP DASAR STRATEGI PEMBELAJARAN
http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/konsep-dasar-strategi-pembelajaran-3/
Pada handout ini dibahas mengenai hal-hal sebagai berikut:
1
Pengertian Strategi Pembelajaran
2
Model, Pendekatan, Strategi, Metode dan Teknik pembelajaran
3
Klasifikasi Strategi Pembelajaran
4
Komponen Strategi Pembelajaran
5
Strategi Pembelajaran Efektif
1.1 Pengertian Strategi Pembelajaran
Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer dan diartikan sebagai cara
penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Seorang yang
berperang dalam mengatur strategi, untuk memenangkan peperangan sebelum melakukan suatu
tindakan, ia akan menimbang bagaimana kekuatan pasukan yang dimilikinya baik dilihat dari
kuantitas maupun kualitasnya. Setelah semuanya diketahui, baru kemudian ia akan menyusun
tindakan yang harus dilakukan, baik tentang siasat peperangan yang harus dilakukan, taktik dan
teknik peperangan, maupun waktu yang tepat untuk melakukan suatu serangan. Dengan
demikian dalam menyusun strategi perlu memperhitungkan berbagai faktor, baik dari dalam
maupun dari luar.
Dari ilustrasi tersebut dapat disimpulkan, bahwa strategi digunakan untuk memperoleh
kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan
sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular education goal.
Jadi, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Menurut Sanjaya Wina (2007) istilah strategi, sebagaimana banyak istilah lainnya, dipakai dalam
banyak konteks dengan makna yang tidak selalu sama. Di dalam konteks belajar-mengajar,
strategi berarti pola umum perbuatan guru-peserta didik di dalam perwujudan kegiatan belajarmengajar. Sifat umum pola tersebut berarti bahwa macam dan urutan perbuatan yang dimaksud
tampak dipergunakan dan/atau dipercayakan guru-peserta didik di dalam bermacam-macam
peristiwa belajar. Dengan demikian maka konsep strategi dalam hal ini menunjuk pada
karakteristik abstrak rentetan perbuatan guru-peserta didik di dalam peristiwa belajar-mengajar.
Implisit di balik karakteristik abstrak itu adalah rasional yang membedakan strategi yang satu
dari strategi yang lain secara fundamental. istilah lain yang juga dipergunakan untuk maksud ini
adalah model-model mengajar. Sedangkan rentetan perbuatan guru-peserta didik dalam suatu
peristiwa belajar-mengajar aktual tertentu, dinamakan prosedur instruksional.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa definisi tentang strategi pembelajaran.





Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan
pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan peserta didik agar tujuan pembelajaran
dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Kozma (dalam Sanjaya 2007) secara umum menjelaskan bahwa strategi pembelajaran
dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang dipilih, yaitu yang dapat memberikan
fasilitas atau bantuan kepada peserta didik menuju tercapainya tujuan pembelajaran
tertentu.
Gerlach dan Ely menjelaskan bahwa strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang
dipilih untuk menyampaikan materi pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran
tertentu. Selanjutnya dijabarkan oleh mereka bahwa strategi pembelajaran dimaksud
meliputi; sifat, lingkup, dan urutan kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan
pengalaman belajar kepada peserta didik.
Dick dan Carey (1990 dalam Sanjaya, 2007) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran
terdiri atas seluruh komponen materi pembelajaran dan prosedur atau tahapan kegiatan
belajar yang/atau digunakan oleh guru dalam rangka membantu peserta didik mencapai
tujuan pembelajaran tertentu. Menurut mereka strategi pembelajaran bukan hanya
terbatas pada prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja, melainkan termasuk juga
pengaturan materi atau paket program pembelajaran yang akan disampaikan kepada
peserta didik.
Cropper di dalam Wiryawan dan Noorhadi (1998) mengatakan bahwa strategi
pembelajaran merupakan pemilihan atas berbagai jenis latihan tertentu yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. la menegaskan bahwa setiap tingkah laku
yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya harus dapat
dipraktikkan.
Ada dua hal yang patut dicermati dari pengertian-pengertian di atas. Pertama, strategi
pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode
dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti penyusunan
suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan.
Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan
penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian, penyusunan langkah-langkah
pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam
upaya pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi, perlu dirumuskan tujuan
yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya, sebab tujuan adalah rohnya dalam implementasi
suatu strategi.
Strategi pembelajaran berbeda dengan desain instruksional karena strategi pembelajaran
berkenaan dengan kemungkinan variasi pola dalam arti macam dan urutan umum perbuatan
belajar-mengajar yang secara prinsip berbeda antara yang satu dengan yang lain, sedangkan
desain instruksional menunjuk kepada cara-cara merencanakan sesuatu sistem lingkungan belajar
tertentu, setelah ditetapkan untuk menggunakan satu atau lebih strategi pembelajaran tertentu.
Kalau disejajarkan dengan pembuatan rumah, pembicaraan tentang (bermacam-macam) strategi
pembelajaran adalah ibarat melacak pelbagai kemungkinan macam rumah yang akan dibangun
(joglo, rumah gadang, villa, bale gede, rumah gedung modern, dan sebagainya yang masing-
masing menampilkan kesan dan pesan unik), sedangkan desain instruksional adalah penetapan
cetak biru rumah yang akan dibangun itu serta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan langkahlangkah konstruksinya maupun kriteria penyelesaian dari tahap ke tahap sampai dengan
penyelesaian akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibuat.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa untuk dapat melaksanakan tugas secara profesional, seorang
guru memerlukan wawasan yang mantap tentang kemungkinan-kemungkinan strategi
pembelajaran sesuai dengan tujuan-tujuan belajar, baik dalam arti efek instruksional maupun
efek pengiring, yang ingin dicapai berdasarkan rumusan tujuan pendidikan yang utuh, di
samping penguasaan teknis di dalam mendesain sistem lingkungan belajar-mengajar dan
mengimplementasikan secara efektif apa yang telah direncanakan di dalam desain instruksional.
Ceramah, diskusi, bermain peran, LCD, video-tape, karya wisata, penggunaan nara sumber, dan
lain-lainnya merupakan metode, teknik dan alat yang menjadi bagian dari perangkat alat dan cara
di dalam pelaksanaan sesuatu strategi pembelajaran. Juga harus dicatat bahwa dalam peristiwa
pembelajaran, seringkali harus dipergunakan lebih dari satu strategi, karena tujuan-tujuan yang
akan dicapai juga biasanya kait-mengait satu dengan yang lain dalam rangka usaha pencapaian
tujuan yang lebih umum.
Agar tidak bias dalam mendefinisikan strategi pembelajaran, dibutuhkan pemahaman terhadap
pengertian-pengertian lain yang mirip dengan strategi pembelajaran yang selalu digunakan
seperti model, pendekatan, strategi, metode dan teknik. Dalam referensi kependidikan sering
disandingkan antara pengertian-pengertian tersebut dengan maksud yang serupa, namun dalam
bahan perkuliahan ini akan diuraikan perbedaan antara model, pendekatan, strategi, metode dan
teknik pembelajaran,
1.2 Model,Pendekatan, Strategi,metode dan teknik pembelajaran
Arends (1997) menyatakan “The term teaching model refers to a particular approach to
instruction that includes its goals, syntax, environment, and management ystem.” Istilah model
pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya,
sintaksnya, lingkungan, dan sistem pengelolaannya, sehingga model pembelajaran mempunyai
makna yang lebih luas daripada pendekatan, strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran
adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkatperangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lainlain (Joyce, 1992 ). Selanjutnya Joyce menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarah
kepada desain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan
pembelajaran tercapai.
Soekamto, dkk (dalam Nurulwati, 2000) mengemukakan maksud dari model pembelajaran
adalah: “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan
aktivitas belajar mengajar.” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan
Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.
Model pembelajaran mempunvai empat ciri khusus yang membedakan dengan strategi, metode
atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah:
1. rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya;
2. landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (tujuan pembelajaran
yang akan dicapai);
3. tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan
dengan berhasil; dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu
dapat tercapai (Kardi dan Nur, 2000 ).
Adapun istilah pendekatan (approach) dalam pembelajaran menurut Sanjaya (2007) memiliki
kemiripan dengan strategi. Sebenarnya pendekatan berbeda baik dengan strategi dan metode.
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya proses yang
sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya, strategi dan metode pembelajaran yang digunakan
dapat bersumber dari pendekatan tertentu. Roy Killen (1998) misalnya mencatat ada dua
pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred
approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches).
Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct
instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri
serta strategi pembelajaran induktif.
Menurut Fathurrahman Pupuh (2007) metode secara harfiah berarti cara. Dalam pemakaian yang
umum, metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, metode didefinisikan sebagai cara-cara
menyajikan bahan pelajara pada peserta didik untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam
pembelajaran adalah keterampilan memilih motode. Pemilihan metode terkait langsung dengan
usaha-usaha guru dalam menampilkan pengajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi
sehingga pencapaian tujuan pengajaran diperoleh secara optimal. Oleh karena itu, salah satu hal
yang sangat mendasar untuk dipahami guru adalah bagaimana memahami kedudukan metode
sebagai salah satu komponen bagi keberhasilan kegiatan belajar-mengajar sama pentingnya
dengan komponen-komponen lain dalam keseluruhan komponen pendidikan.
Makin tepat metode yang digunakan oleh guru dalam mengajar akan semakin efektif kegiatan
pembelajaran. Tentunya ada juga faktor-faktor lain yang harus diperhatikan, seperti: faktor guru,
anak, situasi (lingkungan belajar), media, dan lain-lain.
Selain strategi, metode, dan pendekatan pembelajaran, terdapat istilah lain yang kadang-kadang
sulit dibedakan, yaitu teknik dan taktik mengajar. Teknik dan taktik mengajar merupakan penjabaran dari metode pembelajaran. Teknik adalah cara yang dilakukan orang dalam rangka
mengimplementasikan suatu metode, yaitu cara yang harus dilakukan agar metode yang
dilakukan berjalan efektif dan efisien. Dengan demikian, sebelum seseorang melakukan proses
ceramah sebaiknya memperhatikan kondisi dan situasi. Misalnya, berceramah pada siang hari
dengan jumlah peserta didik yang banyak tentu saja akan berbeda jika dilakukan pada pagi hari
dengan jumlah peserta didik yang sedikit.
Taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu. Dengan
demikian, taktik sifatnya lebih individual. Misalnya ada dua orang yang sama-sama menggunkan
metode ceramah dalam situasi yang sama maka bisa dipastian mereka akan melakukannya secara
berbeda .
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru
akan tergantung pada pendekatan yang digunakan; sedangkan bagaimana menjalankan strategi
itu dapat diterapkan berbagai metode pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode
pembelajaran, guru dapat menentukan teknik yang dianggap relevan dengan metode, dan
penggunaan teknik itu setiap guru memiliki taktik yang mungkin berbeda antara guru yang satu
dengan yang lain.
1.3 Klasifikasi Strategi Pembelajaran
Strategi dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu: strategi pembelajaran langsung (direct
instruction), tak langsung (indirect instruction), interaktif, mandiri, melalui pengalaman
(experimental).
Strategi pembelajaran langsung
Strategi pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang banyak diarahkan oleh guru.
Strategi ini efektif untuk menentukan informasi atau membangun keterampilan tahap demi tahap.
Pembelajaran langsung biasanya bersifat deduktif.
Kelebihan strategi ini adalah mudah untuk direncanakan dan digunakan, sedangkan kelemahan
utamanya dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan, proses-proses, dan sikap yang
diperlukan untuk pemikiran kritis dan hubungan interpersonal serta belajar kelompok. Agar
peserta didik dapat mengembangkan sikap dan pemikiran kritis, strategi pembelajaran langsung
perlu dikombinasikan dengan strategi pembelajaran yang lain.
Strategi pembelajaran tak langsung
Strategi pembelajaran tak langsung sering disebut inkuiri, induktif, pemecahan masalah,
pengambilan keputusan dan penemuan. Berlawanan dengan strategi pembelajaran langsung,
pembelajaran tak langsung umumnya berpusat pada peserta didik, meskipun dua strategi tersebut
dapat saling melengkapi. Peranan guru bergeser dari seorang penceramah menjadi fasilitator.
Guru mengelola lingkungan belajar dan memberikan kesempatan peserta didik untuk terlibat.
Kelebihan dari strategi ini antara lain: (1) mendorong ketertarikan dan keingintahuan peserta
didik, (2) menciptakan alternatif dan menyelesaikan masalah, (3) mendorong kreativitas dan
pengembangan keterampilan interpersonal dan kemampuan yang
lain, (4) pemahaman yang lebih baik, (5) mengekspresikan pemahaman. Sedangkan kekurangan
dari pembelajaran ini adalah memerlukan waktu panjang, outcome sulit diprediksi. Strategi
pembelajaran ini juga tidak cocok apabila peserta didik perlu mengingat materi dengan cepat.
Strategi pembelajaran interaktif
Pembelajaran interaktif menekankan pada diskusi dan sharing di antara peserta didik. Diskusi
dan sharing memberi kesempatan peserta didik untuk bereaksi terhadap gagasan, pengalaman,
pendekatan dan pengetahuan guru atau temannya dan untuk membangun cara alternatif untuk
berfikir dan merasakan.
Kelebihan strategi ini antara lain: (1) peserta didik dapat belajar dari temannya dan guru untuk
membangun keterampilan sosial dan kemampuan-kemampuan, (2) mengorganisasikan pemikiran
dan membangun argumen yang rasional. Strategi pembelajaran interaktif memungkinkan untuk
menjangkau kelompokkelompok
dan metode-metode interaktif. Kekurangan dari strategi ini sangat bergantung pada kecakapan
guru dalam menyusun dan mengembangkan dinamika kelompok.
Strategi pembelajaran empirik (experiential)
Pembelajaran empirik berorientasi pada kegiatan induktif, berpusat pada peserta didik, dan
berbasis aktivitas. Refleksi pribadi tentang pengalaman dan formulasi
perencanaan menuju penerapan pada konteks yang lain merupakan faktor kritis
dalam pembelajaran empirik yang efektif.
Kelebihan dari startegi ini antara lain: (1) meningkatkan partisipasi peserta didik, (2)
meningkatkan sifat kritis peserta didik, (3) meningkatkan analisis peserta didik, dapat
menerapkan pembelajaran pada situasi yang lain. Sedangkan kekurangan dari strategi ini adalah
penekanan hanya pada proses bukan pada hasil, keamanan siswa, biaya yang mahal, dan
memerlukan waktu yang panjang.
Strategi pembelajaran mandiri
Belajar mandiri merupakan strategi pembelajaran yang bertujuan untuk
membangun inisiatif individu, kemandirian, dan peningkatan diri. Fokusnya
adalah pada perencanaan belajar mandiri oleh peserta didik dengan bantuan guru. Belajar
mandiri juga bisa dilakukan dengan teman atau sebagai bagian dari kelompok
kecil.
Kelebihan dari pembelajaran ini adalah membentuk peserta didik yang mandiri dan
bertanggunggjawab. Sedangkan kekurangannya adalah peserta MI belum dewasa, sehingga sulit
menggunakan pembelajaran mandiri.
Karakteristik dan cara penggunaan macam-macam strategi di atas, akan dibahas tuntas pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya. Strategi yang akan dibahas telah dimodivikasi sesuai yang
banyak diperlukan dalam pembelajaran di Mi, yaitu: pada paket 5, dibahas tentang strategi
pembelajaran langsung (direct instruction), paket 6, strategi pembelajaran tak langsung (indirect
instruction) yang diberi judul dengan startegi pembelajaran inkuiri , paket 7, strategi
pembelajaran berbasis masalah (SPBM), paket 8, strategi pembelajaran kooperatf (Cooperative
Learning), paket 8, strategi pembelajaran aktif, dan paket 9, strategi pembelajaran peningkatan
kemampuan berfikir
1.4 Komponen Strategi Pembelajaran
Pembelajaran merupakan suatu sistem instruksional yang mengacu pada seperangkat komponen
yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Selaku suatu sistem, pembelajaran
meliputi suatu komponen, antara lain tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, situasi, dan
evaluasi. Agar tujuan itu tercapai, semua komponen yang ada harus diorganisasikan sehingga
antarsesama komponen terjadi kerja sama. Oleh karena itu, guru tidak boleh hanya
memperhatikan komponen-komponen tertentu saja misalnya metode, bahan, dan evaluasi saja,
tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.
Guru
Guru adalah pelaku pembelajaran, sehingga dalam hal ini guru merupakan faktor yang
terpenting. Di tangan gurulah sebenarnya letak keberhasilan pembelajaran. Komponen guru tidak
dapat dimanipulasi atau direkayasa oleh komponen lain, dan sebaliknya guru mampu
memanipulasi atau merekayasa komponen lain menjadi bervariasi. Sedangkan komponen lain
tidak dapat mengubah guru menjadi bervariasi. Tujuan rekayasa pembelajaran oleh guru adalah
membentuk lingkungan peserta didik supaya sesuai dengan lingkungan yang diharapkan dari
proses belajar peserta didik, yang pada akhirnya peserta didik memperoleh suatu hasil belajar
sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu, dalam merekayasa pembelajaran, guru harus
berdasarkan kurikulum yang berlaku.
Peserta didik
Peserta didik merupakan komponen yang melakukan kegiatan belajar untuk mengembangkan
potensi kemampuan menjadi nyata untuk mencapai tujuan belajar. Komponen peserta ini dapat
dimodifikasi oleh guru.
Tujuan
Tujuan merupakan dasar yang dijadikan landasan untuk menentukan strategi, materi, media dan
evaluasi pembelajaran. Untuk itu, dalam strategi pembelajaran, penentuan tujuan merupakan
komponen yang pertama kali harus dipilih oleh seorang guru, karena tujuan pembelajran
merupakan target yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran
Bahan Pelajaran
Bahan pelajaran merupakan medium untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berupa materi
yang tersusun secara sistematis dan dinamis sesuai dengan arah tujuan dan perkembangan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tuntutan masyarakat. Menurut Suharsimi (1990) bahan ajar
merupakan komponen inti yang terdapat dalam kegiatan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran
Agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal, maka dalam menentukan strategi
pembelajaran perlu dirumuskan komponen kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan standar
proses pembelajaran.
Metode
Metode adalah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Penentuan metode yang akan digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran akan
sangat menentukan berhasil atau tidaknya pembelajaran yang berlangsung.
Alat
Alat yang dipergunakan dalam pembelajran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan
dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dalam proses pembelajaran alat memiliki fungsi
sebagai pelengkap untuk mencapai tujuan. Alat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu alat verbal
dan alat bantu nonverbal. Alat verbal dapat berupa suruhan, perintah, larangan dan lain-lain,
sedangkan yang nonverbal dapat berupa globe, peta, papan tulis slide dan lain-lain.
Sumber Pembelajaran
Sumber pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat atau
rujukan di mana bahan pembelajaran bisa diperoleh. Sehingga sumber belajar dapat berasal dari
masyarakat, lingkungan, dan kebudayaannya, misalnya, manusia, buku, media masa, lingkungan,
museum, dan lain-lain.
Evaluasi
Komponen evaluasi merupakan komponen yang berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang
telah ditetapkan telah tercapai atau belum, juga bisa berfungsi sebagai sebagai umpan balik untuk
perbaikan strategi yang telah ditetapkan. Kedua fungsi evaluasi tersebut merupakan evaluasi
sebagai fungsi sumatif dan formatif.
Situasi atau Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi guru dalam menentukan strategi pembelajaran. Lingkungan
yang dimaksud adalah situasi dan keadaan fisik (misalnya iklim, madrasah, letak madrasah, dan
lain sebagainya), dan hubungan antar insani, misalnya dengan teman, dan peserta didik dengan
orang lain. Contoh keadaan ini misalnya menurut isi materinya seharusnya pembelajaran
menggunakan media masyarakat untuk pembelajaran, karena kondisi masyarakat sedang rawan,
maka diubah dengan menggunakan metode lain, misalnya membuat kliping.
Komponen-komponen strategi pembelajaran tersebut akan mempengaruhi jalannya
pembelajaran, untuk itu semua komponen strategi pembelajaran merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap strategi pembelajaran. Untuk lebih mempermudah menganalisis faktor
yang berpengaruh terhadap strategi pembelajaran, komponen strategi pembelajaran dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: peserta didik sebagai raw input, entering behavior peserta
didik, dan instrumental input atau sasaran.
Peserta didik sebagai raw input.
Strategi pembelajaran digunakan dalam rangka membelajarkan peserta didik. Untuk itu dalam
pembelajaran seorang guru harus memperhatikan siapa yang dihadapi. Peserta didik pada tingkat
sekolah yang sama cenderung memiliki umur yang sama, sehingga perkembangan intelektual
pada umumnya adalah sama. Dipandang dari kesamaan ini, maka seorang guru dapat
menggunakan metode atau teknik yang sama dalam membelajarkan peserta didik. Namun
demikian di samping persamaan tersebut, peserta masih mempunyai perbedaan-perbedaan
walaupun pada umur yang relatif sama.
Perbedaan peserta didik tersebut dari segi fisiologisnya adalah pendengaran, penglihatan, kondisi
fisik, juga perbedaan dari segi psikologisnya. Perbedaan segi psikologis tersebut antara lain
adalah IQ, bakat, motivasi, minat/perhatian, kematangan, kesiapan, dan masih banyak lagi.
Kondisi-kondisi tersebut sangat mempengaruhi peserta didik dalam belajar. Untuk itu, dalam
menentukan strategi pembelajaran harus diperhatikan hal-hal di atas.
Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menghadapi heterogenitas peserta dalam kelas yang
sama adalah seorang guru disarankan untuk menggunakan multimetode dan multimedia. Hal ini
disebabkan masing-masing metode dan media mempunyai kelebihan dan kekurangan, dan
dimungkinkan masing-masing peserta didik akan mempunyai kecenderungan tertarik pada
metode dan media tertentu.
Entering Behavior Peserta Didik
Seorang pendidik untuk dapat menentukan strategi pembelajaran yang sesuai terlebih dahulu
harus mengetahui perubahan perilaku, baik secara material-subtansial, struktural-fungsional,
maupun secara behavior peserta didik. Misalnya, apakah tingkat prestasi yang dicapai peserta
didik itu merupakan hasil kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan?. Untuk kepastiannya
seharusnya guru mengetahui tentang karakteristik perilaku peserta didik saat mereka mau masuk
sekolah dan saat kegiatan belajar mengajar dilangsungkan, tingkat dan jenis karakteristik
perilaku peserta didik yang dimilikinya ketika mau mengikuti kegiatan belajar mengajar. Itulah
yang dimaksudkan dengan entering behavior peserta didik.
Entering bahavior akan dapat diidentifikasi dengan cara sebagai berikut:


Secara tradisional, telah lazim para guru mulai dengan pertanyaan mengenai bahan yang
pernah diberikan sebelum menyajikan bahan baru.
Secara inovatif, guru tertentu di berbagai lembaga pendidikan yang memiliki atau mampu
mengembangkan instrumen pengukuran prestasi belajar dengan memenuhi syarat,
mengadakan pretes sebelum mereka mulai mengikuti program belajar mengajar.
Pola-pola Belajar Peserta Didik
Mengetahui pola belajar peserta didik adalah modal bagai seorang guru untuk menentukan
strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke
dalam delapan tipe, yang tiap tipe merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi
hierarkinya. Delapan tipe belajar dimaksud adalah: 1) signal , (belajar isyarat), 2) stimulusresponse learning (belajar stimupons), 3) chaining (rantai atau rangkaian), 4) verbal
association,(asosiasi verbal), 5) discrimination learning (belajar diskriminasi), 6) concept
learning (belajar konsep), 7) rule learning (belajar aturan), problem solving (memecahkan
masalah).
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan dijelaskan satu per satu secara
singkat dan jelas sebagai berikut.
Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi, tidak ada persyaratan, namun
merupakan hierarki yang harus dilalui untuk menuju jenjang belajar yang paling tinggi. Signal
learning dapat diartikan sebagai penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary ( tidak
sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di
dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya
stimulus (signal) secara serempak dan perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali.
Signal learning. Ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah
pengalaman tertentu. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional selain timbulnya dengan
tidak sengaja dan tidak dapat dikuasai. Contoh: Aba-aba “Siap!” merupakan suatu signal atau
isyarat mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu di sini
merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar
menimbulkan rasa takut. Melihat ular merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu.
Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus-respon)
Bila tipe di atas digolongkan dalam jenis classical condition, maka belajar 2 ini termasuk ke
dalam instrumental conditioning atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses
belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang
diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara
stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya,
semakin kuat reinforcement.
Contoh: Anjing dapat diajar “memberi’ salam”.dengan mengangkat kaki depannya bila kita
katakan “Kasih tangan! ” atau “Salam “. Ucapan `kasih tangan’ merupakan stimulus yang
menimbulkan respons `memberi’ salam’ oleh anjing itu.
Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan
yang lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara
internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun
verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi
berlangsungnya proses chaining.
Contoh: Dalam bahasa kita banyak contoh chaining seperti ibu-bapak, kampung-halaman,
selamat tinggal, dan sebagainya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini,
misalnya pulang kantor, ganti baju, makan malam, dan sebagainya. Chaining terjadi bila
terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi
berdasarkan hubungan conntiguity).
Belajar Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Baik chaining maupun verbal association, yang kedua tipe belajar ini, menghubungkan satuan
ikatan S-R yang satu dengan lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila
diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur sangkar”, atau
mengatakan “itu bola saya”, bila melihat bolanya. Sebelumnya, ia harus dapat membedakan
bentuk geometris agar dapat mengenal `bujur sangkar’ sebagai salah satu bentuk geometris, atau
mengenal ‘bola’, `saya’, dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsurnya terdapat dalam urutan
tertentu, yang satu segera mengikuti satu lagi (conntiguity).
Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar membedakan. Tipe ini peserta didik mengadakan seleksi
dan pengujian di antara perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih
pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama berlangsung proses belajar ini
adalah anak didik sudah mempunyai pola aturan melakukan chaining dan association serta
pengalaman (pola S-R)
Contoh:. Guru mengenal peserta didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan
diskriminasi di antara anak itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus
mengenal mobil tertentu berserta namanya. Untuk mengenal model lain diadakannya chain baru
dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi. Makin banyak yang
dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau
interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.
Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari
sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi
utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.
Belajar konsep dapat dilakukan karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi
internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Manusia dapat melakukannya
tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia
dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk,
besar, jumlah, dan sebagainya. la dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga,
seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya.
Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan
dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh peserta didik dengan perintah:
“Ambilkan botol yang di tengah! ” Untuk mempelajari suatu konsep, peserta didik harus
mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus dapat mengadakan
diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses
belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik
belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika
formal (induktif, dedukatif, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga
peserta didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dipandang sebagai
“rule “: prinsip, daliI, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para peserta didik belajar
merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang
menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai
kaidah yang telah dikuasainya. Belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut:
Individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan
sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang memecahkan masalah,
adalah sebagai berikut:
Merumuskan dan Menegaskan Masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan mencari jalan
pemecahannya. la menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan
prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai pegangan.
Mencari Fakta Pendukung dan Merumuskan Hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam
menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasi berbagai alternatif
kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan dan jawaban sementara
yang memerlukan pembuktian (hipotesis).
Mengevaluasi Alternatif Pemecahan yang Dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan
pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan
menguntungkan.
Mengadakan Pengujian atau Verifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif pemecahan yang dipilih,
dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk
membuktikan benar atau tidaknya yang telah dirumuskan.
Instrumental Input atau Sasaran
Instrumental input menunjukkan kualifikasi serta kelengkapan sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk berlangsungnya proses pembelajaran. Yang termasuk dalam instrumental input
antara lain guru, kurikulum, bahan/sumber, metode, dan media.
Keberadaan instrumental input ini sangat mempengaruhi dalam menentukan strategi
pembelajaran. Misalnya secara teoritis, dipandang dari tujuannya maka suatu materi harus
disajikan dengan menggunakan metode laboratorium, namun karena tidak adanya media di
sekolah tersebut, maka diganti dengan metode demonstrasi atau yang lainnya.
Strategi pembelajaran yang dterapkan oleh guru akan selalu bergantung pada sasaran atau
tujuan. Tujuan itu bertahap dan berjenjang mulai dari yang sangat operasional dan konkrit, yakni
Tujuan Instruksional Khusus dan Tujuan Instruksional Umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional,
sampai kepada tujuan yang bersifat universal.
Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan pelajaran akan
mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran-antara serta sasaran-kegiatan. Sasaran itu
harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan tersebut harus
memiliki kualifikasi: a) pengembangan bakat secara, optimal, b) hubungan antarmanusia, c)
efisiensi ekonomi, dan d) tanggung jawab warga selaku warga negara.
Pandangan hidup para guru maupun peserta didik akan turut mewarnai berkenaan dengan
gambaran karakteristik sasaran manusia idaman. Konsekuensinya akan mempengaruhi juga
kebijakan tentang perencanaan, pengorganisasian, serta penilaian terhadap kegiatan belajar
mengajar.
Enviromental Input ( Lingkungan).
Lingkungan sangat mempengaruhi guru di dalam menentukan strategi belajar- mengajar.
Lingkungan yang dimaksud adalah situasi dan keadaan fisik (misalnya iklim, sekolah, letak
sekolah, dan lain sebagainya), dan hubungan antar insani, misalnya dengan teman, dan peserta
didik dengan orang lain. Contoh keadaan ini misalnya seharusnya menurut isi materinya
seharusnya menggunakan media masyarakat untuk pembelajaran, karena kondisi masyarakat
sedang rawan, maka diubah dengan menggunakan metode lain, misalnya membuat kliping.
Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diiorganisasi.
Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan
pendidikan. Pengawasan itu turut menentukan lingkungan dalam membantu kegiatan belajar.
Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang para peserta
didik belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan serta mencapai tujua yang diharapkan. Salah
satu faktor yang mendukung kondisi belajar di dalam suatu kelas adalah job description proses
belajar mengajar yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok peserta didik. Sehubungan dengan hal ini, job description guru dalam
implementasi proses belajar- mengajar sebagai berikut.




· Perencanaan instruksional, yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan
organisasi belajar.
Organisasi belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas-fasilitas atau
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya
proses belajar mengajar. Menggerakkan anak didik yang merupakan usaha memancing,
membangkitkan, dan mengarahkan motivasi belajar peserta didik.
Supervisi dan pengawasan, yakni usaha mengawasi, menunjang, manbantu, mengaskan,
dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan perencanaan instruksional
yang telah didesain sebelumnya.
Penelitian yang lebih bersifat penafsiran penilaian yang mendukung pengertian lebih
luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan.
1.5 Strategi Pembelajaran efektif
Pengertian strategi pembelajaran efektif adalah prinsip memilih hal-hal yang harus diperhatikan
dalam menggunakan strategi pembelajaran. Prinsip umum penggunaan strategi pembelajaran
adalah bahwa tidak semua strategi pembelajaran cocok digunakan untuk mencapai semua tujuan
dan semua keadaan. Setiap strategi memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Killen (1998): No teaching strategy is better than others in all circumstances,
so you have to be able to use a variety of teaching strategies, and make rational decisions about
when each of the teaching strategies is likely to most effective.
Apa yang dikemukakan Killen itu jelas bahwa guru harus mampu memilih strategi yang
dianggap cocok dengan keadaan. Oleh sebab itu, guru perlu memahami prinsip-prinsip umum
penggunaan strategi pembelajaran sebagai berikut.
Berorientasi pada Tujuan
Segala aktivitas guru dan peserta didik, mestinya diupayakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Ini sangat penting, sebab mengajar adalah proses yang bertujuan. Oleh karena
keberhasilan suatu strategi pembelajaran dapat ditentukan dari keberhasilan peserta didik
mencapai tujuan pembelajaran.
Aktivitas
Belajar bukanlah menghafal sejumlah fakta atau informasi. Belajar adalah berbuat; memperoleh
pengalaman tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena itu, strategi pembelajaran
harus dapat mendorong aktivitas peserta didik.
Individualitas
Mengajar adalah usaha mengembangkan setiap individu peserta didik. Walaupun kita mengajar
pada sekelompok peserta didik, namun pada hakikatnya yang ingin kita capai adalah perubahan
perilaku setiap peserta didik.
Integritas
Mengajar harus dipandang sebagai usaha mengembangkan seluruh pribadi peserta didik.
Mengajar bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif saja, tetapi juga meliputi aspek
afektif, dan psikomotorik.
Prinsip khusus dalam pengelolaan pembelajaran sebagai berikut.
Interaktif
Prinsip interaktif mengandung makna bahwa mengajar bukan hanya sekadar menyampaikan
pengetahuan dari guru ke peserta didik; akan tetapi mengajar dianggap sebagai proses mengatur
lingkungan yang dapat merangsang peserta didiik untuk belajar. Dengan demikian, proses
pembelajaran adalah proses interaksi baik antara guru dan peserta didik, antara peserta didik dan
peserta didik, maupun antara peserta didik dengan lingkungannya. Melalui proses interaksi,
memungkinkan kemampuan peserta didik akan berkembang, baik mental maupun intelektualnya.
Inspiratif
Proses pembelajaran adalah proses yang inspiratif, yang memungkinkan peserta didik untuk
mencoba dan melakukan sesuatu. Berbagai informasi dan proses pemecahan masalah dalam
pembelajaran bukan harga mati, yang bersifat mutlak, akan tetapi merupakan hipotesis yang
merangsang peserta didik untuk mau mencoba dan mengujinya. Oleh karena itu, guru mesti
membuka berbagai kemungkinan yang dapat dikerjakan peserta didik. Biarkan peserta didik
berbuat dan berpikir sesuai dengan inspirasinya sendiri, sebab pengetahuan pada dasarnya
bersifat subjektif yang bisa dimaknai oleh setiap peserta didik.
Menyenangkan
Proses pembelajaran adalah proses yang dapat mengembangkan seluruh potensi peserta didik.
Seluruh potensi itu hanya mungkin dapat berkembang manakala mereka terbebas dari rasa takut
dan menegangkan. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar proses pembelajaran merupakan
proses yang menyenangkan (joyfull learning). Proses pembelajaran yang menyenangkan bisa
dilakukan, pertama, dengan menata ruangan yang apik dan menarik, yaitu yang memenuhi unsur
kesehatan, misalnya dengan pengaturan cahaya, ventilasi, dan sebagainya; serta memenuhi unsur
keindahan, misalnya cat tembok yang segar dan bersih, bebas dari debu, lukisan dan karya-karya
peserta didik yang tertata, vas bunga, dan lain sebagainya. Kedua, melalui pengelolaan
pembelajaran yang hidup dan bervariasi, yakni dengan menggunakan pola dan model
pembelajaran, media, dan sumber belajar yang relevan serta gerakan-gerakan guru yang mampu
membangkitkan motivasi belajar peserta didik.
Menantang
Proses pembelajaran adalah proses yang menantang peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan berpikir, yakni merangsang kerja otak secara maksimal. Kemampuan tersebut dapat
ditumbuhkan dengan cara mengembangkan rasa ingin tahu peserta didik melalui kegiatan mencoba-coba, berpikir secara intuitif atau bereksplorasi. Apa pun yang diberikan dan dilakukan
guru harus dapat merangsang peserta didik untuk berpikir (learning how to learn) dan
melakukan (learning how to do). Apabila guru akan memberikan informasi, hendaknya tidak
memberikan informasi yang sudah jadi yang siap dikonsumsi peserta didik, akan tetapi informasi
yang mampu membangkitkan peserta didik untuk mau “mengunyahnya”, untuk memikirkannya
sebelum ia mengambil kesimpulan. Untuk itu, dalam hal-hal tertentu, sebaiknya guru
memberikan informasi yang “meragukan”, kemudian karena keraguan itulah peserta terangsang
untuk membuktikannya.
Motivasi
Motivasi adalah aspek yang sangat penting untuk membelajarkan peserta didik. Tanpa adanya
motivasi, tidak mungkin mereka memiliki kemauan untuk belajar. Oleh karena itu,
membangkitkan motivasi merupakan salah satu peran dan tugas guru dalam setiap proses
pembelajaran. Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan yang memungkinkan peserta didik
untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Dorongan itu hanya mungkin muncul dalam diri peserta
didik manakala mereka merasa membutuhkan (need). Peserta didik yang merasa butuh akan
bergerak dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab, itu dalam rangka
membangkitkan motivasi, guru harus dapat menunjukkan pentingnya pengalaman dan materi
belajar bagi kehidupan peserta didik, dengan demikian peserta didik akan belajar bukan hanya
sekadar untuk memperoleh nilai atau pujian akan tetapi didorong oleh keinginan untuk
memenuhi kebutuhannya.
Rangkuman

Ada dua hal yang patut dicermati dari pengertian-pengertian strategi pembelajaran
Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan)
termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam
pembelajaran. Ini berarti penyusunan suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan
rencana kerja belum sampai pada tindakan. Kedua, strategi disusun untuk mencapai








tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah
pencapaian tujuan.
Model pembelajaran adalah: “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.”
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya proses yang
sifatnya masih sangat umum
Metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam kaitannya dengan pembelajaran metode didefinisikan sebagai cara-cara
menyajikan bahan pelajara pada peserta didik untuk tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan
Teknik dan taktik mengajar merupakan penjabaran dari metode pembelajaran. Teknik
adalah cara yang dilakukan orang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode
yaitu cara yang harus dilakukan agar metode yang dilakukan berjalan efektif dan efisien.
Taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu.
Dengan demikian, taktik sifatnya lebih individual.
Komponen strategi pembelajaran adalah; guru, siswa, tujuan, bahan pelajaran, kegiatan
pembelajaran, metode, alat, sumber pembelajaran dan evaluasi
Komponen-komponen strategi pembelajaran akan mempengaruhi jalannya pembelajaran,
untuk itu, semua komponen strategi pembelajaran merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap strategi pembelajaran.
Faktor yang mempengaruhi strategi pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu
peserta didik, sebagai raw input, instrumental input atau sasaran, enviromental input (
lingkungan).
Strategi pembelajaran efektif: berorentasi pada tujuan. aktivitas, individualitas, integritas,
motivasi, menantang. menyenangkan, inspiratif, interaktif
INOVASI MODEL DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
http://zaifbio.wordpress.com/category/sbm/
Oleh : Lussy Dwiutami Wahyuni
Pengajar, desain pembelajaran, dan peserta didik adalah 3 (tiga) hal yang selalu disebut saat kita
ingin berbicara tentang proses pembelajaran. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya 3 (tiga)
hal tersebutlah yang menjadi motor dalam pergerakan sebuah roda pembelajaran.
Pengajar disini dapat diartikan secara luas, apalagi dalam era internetisasi saat ini. Salah satu
dampak yang ditimbulkannya pada dunia pendidikan adalah munculnya metode-metode
pembelajaran secara elektronik (elearning atau online learning). Hal tersebut akhirnya berimbas
pada cara guru dalam menyampaikan atau membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya
bertutur atau lisan menjadi tulisan. Namun demikian, peran guru atau pengajar di kelas tidak
dapat tergantikan karena tidak semua peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara
mandiri. Untuk mengatasinya adalah dengan cara memblend antara metode klasikal dan
elektronik (adanya hybrid instruction).
Menurut Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007) desain pembelajaran membantu
proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka
panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya kondisi-kondisi belajar, internal
maupun eksternal. Tapi menurut Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi
disain pembelajaran mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa, tujuan pembelajaran,
metode, dan penilaian.
Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens dalam suatu lingkup pembelajaran.
Biasanya penyebutan peserta didik ini mengikuti skup/ruang lingkup dimana pembelajaran
dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa
untuk jenjang pendidikan tinggi, dan peserta pelatihan untuk diklat.
Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam sebuah proses pembelajaran yang harus
dithreat agar output dan outcomesnya sesuai dengan yang dicanangkan institusi (khususnya) dan
dunia pendidikan Indonesia pada umumnya. Agar keluarannya dapat beradaptasi dengan
kemajuan zaman, maka sudah sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun disesuaikan
dengan dunia nyata juga. Hal tersebut biasa dikenal dengan model pembelajaran inovatif.
Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi. Terbukti, saat ini paper and pen
bukanlah satu-satunya cara untuk menilai keberhasilan belajar peserta didik. Asesmen portofolio,
autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak inovasi cara menilai keberhasilan peserta didik
yang lebih menitikberatkan pada proses.
1. A.
Model Pembelajaran Inovatif
Model pembelajaran inovatif lahir dari adanya keresahan terhadap cara belajar klasikal. Dimana
peserta didik tidak dapat terlibat aktif dalam hal intelektual maupun fisik. Karena itu,
dirancanglah sebuah model pembelajaran yang bisa mengaktifkan seluruh indera dan
intelektualitas peserta didiknya.
Yang termasuk ke dalam model pembelajaran inovatif adalah pembelajaran berbasis quantum
teaching, pembelajaran berbasis multiple intelegencies, elearning, active learning, integrated
learning, cooperative learning, pembelajaran berbasis sumber, konteksual learning, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Selanjutnya yang akan dibahas disini adalah hanya model pembelajaran inovatif berbasis
elektronik (elearning) dan contextual learning.
1. 1.
2. a.
Model Pembelajaran Berbasis Elektronik (Elearning)
Pengertian E-Learning
E-learning tersusun dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘electronica’ dan
‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan
menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam pelaksanaannya, e-learning
menggunakan jasa audio, video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. Dengan
kata lain e-learning adalah pembelajaran yang dalam pelaksanaannya didukung oleh jasa
teknologi seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelite atau komputer.(Tafiardi, 2005).
Sejalan dengan itu, Onno W. Purbo (dalam Amin, 2004) menjelaskan bahwa istilah “e” dalam elearning adalah segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran
lewat teknologi elektronik internet. Internet, satelit, tape audio/video, tv interaktif, dan CD-ROM
adalah sebagian dari media elektronik yang digunakan. Pengajaran boleh disampaikan pada
waktu yang sama (synchronously) ataupun pada waktu yang berbeda (asynchronously).
Secara lebih singkat William Horton mengemukakan bahwa (dalam Sembel, 2004) e-learning
merupakan kegiatan pembelajaran berbasis web (yang bisa diakses dari internet). Tidak jauh
berbeda dengan itu Brown, 2000 dan Feasey, 2001 (dalam Siahaan, 2002) secara sederhana
mengatakan bahwa e-learning merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan
(internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitas yang didukung oleh
berbagai bentuk layanan belajar lainnya.
Selain itu, ada yang menjabarkan pengertian e-learning lebih luas lagi. Sebenarnya materi elearning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet.
Interaksi dengan menggunakan internetpun bisa dijalankan secara on-line dan real-time ataupun
secara off-line atau archieved. Distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun
termasuk pola e-learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai
kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat
memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat dimana dia berada (Lukmana, 2006).
b. Karakteristik E-Learning
Karakteristik e-learning ini antara lain adalah:
1)
Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau
guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal-hal
yang bersifat protokoler.
2)
Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan computer networks)
3)
Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer
sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan di mana saja bila yang bersangkutan
memerlukannya
4)
Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.
c. Syarat-Syarat Penggunaan E-Learning
Menurut Newsletter of ODLQC, 2001 (dalam Siahaan) syarat-syarat kegiatan pembelajaran
elektronik (e-learning) adalah :
1)
kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan dalam hal ini internet.
2)
tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta belajar,
misalnya CD-ROM atau bahan cetak
3)
tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila
mengalami kesulitan
4)
adanya lembaga yang menyelenggarakan/mengelola kegiatan e-learning
5)
adanya sikap positif pendidik dan tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan
internet
6)
adanya rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh setiap peserta
belajar
7)
adanya sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta belajar
8)
adanya mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara
Berbeda dengan yang telah diungkapkan di atas, dalam Sembel, 2004, lebih menyoroti dari
tenaga-tenaga ahli yang perlu ada untuk “menghidupkan” sebuah e-learning adalah :
1)
Subject Matter Expert (SME), merupakan nara sumber dari pembelajaran yang
disampaikan.
2)
Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME
menjadi materi e-learning dengan memasukkan metode pengajaran agar materi menjadi lebih
interaktif, lebih mudah, dan lebih menarik untuk dipelajari.
3)
Graphic Designer (GD), bertugas untuk mengubah materi teks menjadi bentuk grafis
dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif, dan menarik untuk dipelajari.
4)
Learning Management System (LMS), bertugas mengelola sistem di website yang
mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya,
serta hal lain yang berhubungan dengan pembelajaran, seperti tugas, nilai, dan peringkat
ketercapaian belajar siswa.
Ahli-ahli pendidikan dan ahli internet menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran (Hartanto dan Purbo dalam
Tafiardi, 2002) antara lain:
1)
Analisis Kebutuhan (Need Analysis). Dalam tahapan awal, satu hal yang perlu
dipertimbangkan adalah apakah memang memerlukan e-learning. Pertanyaan ini tidak dapat
dijawab dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas saran orang lain. Setiap lembaga
menentukan teknologi pembelajaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu
diadakan analisis kebutuhan atau need analysis yang mencakup studi kelayakan baik secara
teknis, ekonomis, maupun sosial.
2)
Rancangan Instruksional yang berisi tentang isi pelajaran, topik, satuan kredit, bahan
ajar/kurikulum.
3)
Evaluasi yaitu sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan mengambil
beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut mengevaluasi.
d. Fungsi E-Learning
Setidaknya ada 3 (tiga) fungsi pembelajaran elektronik terhadap kegiatan pembelajaran di dalam
kelas (classroom instruction), yaitu (dalam Siahaan, 2002) :
1) suplemen (tambahan)
Dikatakan berfungsi sebagai suplemen, apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih,
apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada
kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik.
Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan
pengetahuan atau wawasan.
2) komplemen (pelengkap)
Dikatakan berfungsi sebagai komplemen, apabila materi e-learning diprogramkan untuk
melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa di dalam kelas (Lewis, 2002). Sebagai
komplemen berarti materi e-learning diprogramkan untuk menjadi materi enrichment
(pengayaan) atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran
konvensional.
Sebagai enrichment, apabila peserta didik dapat dengan cepat menguasai/memahami materi
pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka diberikan kesempatan untuk mengakses
materi e-learning yang memang secara khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar
semakin memantapkan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan
guru di kelas.
Sebagai remedial, apabila peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran
yang disampaikan guru secara tatap muka di kelas. Tujuannya agar peserta didik semakin lebih
mudah memahami materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.
3) substitusi (pengganti)
Tujuan dari e-learning sebagai pengganti kelas konvensional adalah agar peserta didik dapat
secara fleksibel mengelola kegiatan perkuliahan sesuai dengan waktu dan aktivitas lain seharihari. Ada 3 (tiga) alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat diikuti peserta didik : (1)
sepenuhnya secara tatap muka (konvensional), (2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi
melalui internet, atau bahkan (3) sepenuhnya melalui internet.
e. Manfaat E-Learning
E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi pelajaran. Peserta
didik dapat saling berbagi informasi atau pendapat mengenai berbagai hal yang menyangkut
pelajaran atau kebutuhan pengembangan diri peserta didik. Selain itu, guru dapat menempatkan
bahan-bahan belajar dan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik di tempat tertentu
di dalam web untuk di akses oleh peserta didik. Sesuai dengan kebutuhan, guru dapat pula
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun
soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh peserta didik sekali saja dan dalam rentangan
waktu tertentu pula (Website Kudos, 2002, dalam Siahaan).
Secara lebih rinci, manfaat e-learning dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu dari sudut peserta
didik dan guru :
1) sudut peserta didik
Dengan kegiatan e-learning dimungkinkan berkembangnya fleksibilitas belajar yang tinggi.
Menurut Brown, 2000 (dalam Siahaan) ini dapat mengatasi siswa yang (1) belajar di sekolahsekolah kecil di daerah-daerah miskin untuk mengikuti mata pelajaran tertentu yang tidak dapat
diberikan oleh sekolahnya, (2) mengikuti program pendidikan keluarga di rumah (home
schoolers) untuk mempelajari materi yang tidak dapat diajarkan oleh orang tuanya, seperti
bahasa asing dan ketrampilan di bidang komputer, (3) merasa phobia dengan sekolah atau
peserta didik yang di rawat di rumah sakit maupun di rumah, yang putus sekolah tapi berminat
melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di berbagai daerah atau bahkan
yang berada di luar negeri, dan (4) tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan
pendidikan.
2) guru
Menurut Soekartawi (dalam Siahaan) beberapa manfaat yang diperoleh guru adalah bahwa guru
dapat : (1) lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan yang menjadi tanggung jawabnya
sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang terjadi, (2) mengembangkan diri atau
melakukan penelitian guna peningkatan wawasannya karena waktu luang yang dimiliki realtif
lebih banyak, (3) mengontrol kegiatan belajar peserta didik. Bahkan guru juga dapat mengetahui
kapan peserta didiknya belajar, topik apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topik dipelajari,
serta berapa kali topik tertentu dipelajari ulang, (4) mengecek apakah peserta didik telah
mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topik tertentu, dan
(5) memeriksa
jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepada peserta didik.
Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi yang tersedia di literatur,
memberikan penjelasan tentang manfaat penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan
terbuka dan jarak jauh (Soekartawi dalam Tafiardi, 2002 : 94-95), antara lain dapat disebutkan
sbb:
a)
Tersedianya fasilitas e-moderating. Guru dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah
melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan
tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.
b)
Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan
terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar
dipelajari.
c)
Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau
diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer.
d)
Bila siswamemerlukan tambahan informasi berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia
dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah.
e)
Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti
dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang
lebih luas.
f)
Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif
g)
Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau
sekolah konvensional, bagi mereka yang sibuk bekerja, bagi mereka yang bertugas di kapal, di
luar negeri, dsb-nya.
f.
Kelebihan E-Learning
E-learning dapat dengan cepat diterima dan kemudian diadopsi adalah karena memiliki
kelebihan/keunggulan sebagai berikut (Effendi, 2005)
1)
Pengurangan biaya
2)
Fleksibilitas. Dapat belajar kapan dan dimana saja, selama terhubung dengan internet.
3)
Personalisasi. Siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan belajar mereka.
4)
Standarisasi. Dengan e-learning mengatasi adanya perbedaan yang berasal dari guru,
seperti : cara mengajarnya, materi dan penguasaan materi yang berbeda, sehingga memberikan
standar kualitas yang lebih konsisten.
5)
Efektivitas. Suatu studi oleh J.D Fletcher menunjukkan bahwa tingkat retensi dan aplikasi
dari pelajaran melalui metode e-learning meningkat sebanyak 25 % dibandingkan pelatihan yang
menggunakan cara tradisional
6)
Kecepatan. Kecepatan distribusi materi pelajaran akan meningkat, karena pelajaran
tersebut dapat dengan cepat disampaikan melalui internet.
g. Keterbatasan E-Learning
Terakhir yang harus diperhatikan masalah yang sering dihadapi yaitu:
1)
Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan jaringan internet,
listrik, telepon dan infrastruktur yang lain.
2)
Masalah ketersediaan software (piranti lunak). Bagaimana mengusahakan piranti lunak
yang tidak mahal.
3)
Masalah dampaknya terhadap kurikulum yang ada.
4)
Masalah skill and knowledge
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas
dari berbagai kekurangan antara lain:
1) Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya
interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar.
2) Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong
tumbuhnya aspek bisnis
3) Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan bukan pendidikan.
4) Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini
juga dituntut menguasai teknik pembelajaran yang menggunakan internet.
5) Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar tinggi cenderung gagal
6) Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah
tersedianya listrik, telepon ataupun komputer).
7) Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan bidang internet dan
kurangnya penguasaan bahasa komputer.
h. Kendala-Kendala
Kendala atau hambatan dalam penyelenggaraan e-learning, yaitu (Effendi, 2005) :
1) Investasi. Walaupun e-learning pada akhirnya dapat menghemat biaya pendidikan, akan
tetapi memerlukan investasi yang sangat besar pada permulaannya.
2) Budaya. Pemanfaatan e-learning membutuhkan budaya belajar mandiri dan kebiasaan untuk
belajar atau mengikuti pembelajaran melalui komputer.
3) Teknologi dan infrastruktur. E-learning membutuhkan perangkat komputer, jaringan handal,
dan teknologi yang tepat.
4) Desain materi. Penyampaian materi melalui e-learning perlu dikemas dalam bentuk yang
learner-centric. Saat ini masih sangat sedikit instructional designer yang berpengalaman dalam
membuat suatu paket pelajaran e-learning yang memadai.
1. 2.
Model Pembelajaran Berbasis Konteks (Contextual and Teaching Learning
(CTL))
Fenomena pembelajaran yang berkembang di lapangan adalah masih banyak pengajar yang
mengajar hanya sekedar menyelesaikan materi tanpa memikirkan apakah yang diberikannya itu
bermakna ataupun ada keterkaitan dengan dunia nyata. Yang mengakibatkan fenomena ini
terjadi, salah satunya adalah karena banyaknya materi yang harus diselesaikan tetapi waktu yang
tersedia kurang. Akibatnya, materi yang tersampaikan tidak ada yang terinternalisasi dalam diri
peserta didik, kalau boleh dikatakan secara ekstrim adalah lewat begitu saja tanpa meninggalkan
bekas apapun di kepala.
Beranjak dari fenomena itulah pembelajaran berbasis konteks atau CTL muncul. Intinya CTL
adalah pembelajaran yang menggabungkan isi/materi dengan pengalaman harian individu,
kehidupan di dalam masyarakat dan alam pekerjaan. Diharapkan dengan pembelajaran secara
konteks, peserta didik dapat memahami materi secara konkrit. Dikatakan konkrit karena tangan
dan “kepala” mereka ikut terlibat secara aktif dalam mempelajari dan memahami materi yang
disampaikan. Hal ini biasa disebut dengan hands on and minds on activity.
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi
anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata
guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Suatu
pembelajaran dikatakan CTL, jika didalamnya terdapat komponen-komponen sebagai berikut
(dikdasmen) :
1. Konstruktivisme, dalam hal ini peserta didik dikondisikan agar mampu membangun
pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal yang
telah mereka miliki. Jadi pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”
bukan menerima pengetahuan.
2. Inquiry, disini peserta didik belajar mencari (melalui pengamatan) dan menemukan
sendiri hal-hal yang harus diketahui dari sebuah topik yang disodorkan kehadapan
mereka. Disini peserta didik belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
3. Questioning (Bertanya), dengan bertanya pengajar mendorong, membimbing dan menilai
kemampuan berpikir siswa terhadap topik/materi. Bagi siswa, kegiatan bertanya
merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
4. Learning community (masyarakat belajar), disini peserta didik berkumpul dengan
peergroupnya untuk saling berbagi ide, curah pendapat, dan tukar pengalaman.
Masyarakat belajar sangat membantu sekali untuk mengokohkan pemahaman mereka
terhadap pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya.
5. Modeling (pemodelan), tujuan adanya pemodelan adalah agar peserta didik mempunyai
gambaran nyata tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Yang memberikan
pemodelan ini biasanya adalah pengajarnya.
6. Reflection (refleksi), pada tahap ini peserta didik diminta untuk mencatat setiap kejadian
yang telah mereka lalui, memikirkannya, dan merefleksikannya. Semua hal itu digunakan
peserta didik untuk mengevaluasi pembelajaran yang telah mereka laksanakan.
7. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya), yaitu penilaian yang dilakukan tidak
terbatas secara kognitif (melalui paper and pen test) saja, tapi lebih holistic, yaitu
penilaian proses dan produknya. Apakah sudah relevan dan kontekstual ?
Segala hal yang telah dijabarkan di atas bila disintesiskan akan menghasilkan karakteristik CTL,
sebagai berikut :
1. kerjasama
2. saling menunjang
3. menyenangkan, tidak membosankan
4. belajar dengan bergairah
5. pembelajaran terintegrasi
6. menggunakan berbagai sumber
7. siswa aktif
8. sharing dengan teman
9. siswa kritis guru kreatif
10. dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel,
humor dan lain-lain
11. laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil
praktikum, karangan siswa dan lain-lain
Dari 2 (dua) model pembelajaran yang telah dijabarkan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa untuk membelajarkan peserta didik dengan sesungguhnya belajar sangatlah sulit.
Dibutuhkan pemikiran kritis, kreatif, dan mendalam untuk mewujudkannya.
1. B.
Evaluasi Pembelajaran
Tidak lazim dan sayang rasanya bila model pembelajaran yang diberikan sangat inovatif, tapi
cara penilaiannya masih biasa-biasa saja. Karena tes tradisional cenderung hanya mengukur
kemampuan kogitif peserta didik saja dan terkadang hasil tes tersebut tidak murni (bila peserta
didik menyontek). Padahal, dalam pembelajaran inovatif peserta didik dituntut untuk lebih
berproses secara aktif dalam pembelajaran.
Evaluasi pembelajaran merupakan usaha-usaha terarah, terencana, dan sistematis untuk meneliti
proses pembelajaran. Objek evaluasinya antara lain tujuan pembelajaran, perencanaan dan
pengelolaan pembelajaran, serta penyelenggaraan evaluasi hasil belajar.
Evaluasi dikatakan penting karena mempunyai tujuan utama sebagai berikut (Gronlund, 2003) :
1. Feedback untuk peserta didik, dengan adanya evaluasi yang dilakukan secara berkala
peserta didik menjadi tahu kelebihan dan keterbatasannya dalam memahami materi.
Sebisa mungkin, feedback yang diberikan kepada peserta didik harus serinci mungkin,
agar mereka dapat menilai apakah hasil yang mereka dapat memang karena
kemampuan/pemahamannya atau hanya sekedar suatu kebetulan.
2. Feedback untuk guru, fungsi evaluasi terpenting bagi pengajar adalah untuk menilai
seberapa efektifkah pembelajaran yang telah ia laksanakan ? Apakah peserta didik
mampu menyerapnya ?
3. Informasi untuk orang tua, hasil dari tes yang telah dilaksanakan peserta didik
menghasilkan skor yang dapat menggambarkan kemampuan mereka terhadap materi.
Kumpulan-kumpulan angka tersebut dapat menginformasikan orang tua bagaimanakah
kemampuan anaknya di sekolah.
4. Informasi untuk seleksi, biasanya skor yang didapat dari setiap evaluasi adalah untuk
membuat keputusan/seleksi apakah peserta didik tersebut perlu remedial materi sampai
dengan keputusan apakah peserta didik perlu tinggal kelas atau tidak ?
5. Informasi untuk akuntabilitas. Biasanya nilai/skor yang didapat siswa dapat digunakan
pula untuk mengevaluasi guru, performansi sekolah oleh pihak-pihak terkait.
6. Evaluasi sebagai insentif, maksudnya evaluasi dapat berfungsi sebagai hadiah atas segala
usaha yang telah dilakukan oleh peserta didik.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa model pembelajaran yang inovatif harus dinilai secara
inovatif pula. Penilaian tersebut biasa dikenal dengan asesmen. Alasan mengapa pengajar
menggunakan asesmen, karena asesmen dapat :
1. Mendiagnosis kelebihan dan kelemahan peserta didik
2.
3.
4.
5.
6.
Memonitor kemajuan belajar peserta didik
Memberikan grade pada peserta didik
Memberikan batasan bagi efektivitas pengajaran
Mengevaluasi guru
Meningkatkan kualitas pengajaran
Berhubung penilaian/asesmen banyak ragamnya, maka penjabarannya dibatasi hanya pada
asesmen autentik dan asesmen portofolio.
1. 1.
Asesmen Autentik
Adalah asesmen hasil belajar yang menuntut peserta didiknya dapat menunjukkan hasil belajar
berupa kemampuan dalam kehidupan nyata, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang hanya
diperoleh di kelas, tetapi tidak dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, dalam hal ini peserta
didik bukan memilih atau menjawab jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang sudah
tersedia. Asesmen autentik sering disamakan dengan asesmen kinerja dan sebaliknya.
Asesmen kinerja setidak-tidaknya harus memiliki 3 (tiga) cirri utama, yaitu (Zainul, 2005) :
1. Multi kriteria, kinerja peserta didik harus dinilai dengan penilaian lebih dari satu kriteria.
Misalkan kemampuan peserta didik dalam berbahasa Inggris harus memiliki dasar
penilaian dari aspek aksen, sintaksis, dan kosa kata.
2. Standar kualitas yang spesifik (dalam artian tidak ambigu dan jelas), masing-masing
kriteria kinerja peserta didik dapat dinilai secara jelas dan eksplisit dalam memajukan
evaluasi kualitas kinerja peserta didik.
3. Adanya judgement penilaian, asesmen kinerja membutuhkan penilaian yang bersifat
manusiawi untuk menilai bagaimana kinerja siswa dapat diterima secara nyata (real).
Berikut contoh-contoh tugas yang termasuk dalam asesmen autentik :
1. Computer adaptive testing (sepanjang tidak berbentuk objektif), yang menuntut peserta
didik untuk mengekspresikan diri sehingga dapat menunjukkan tingkat kemampuan yang
nyata
2. Tes pilihan ganda yang diperluas
3. Extended response atau open ended question (asal tidak hanya menuntut adanya satu
jawaban “benar” yang terpola.
4. Group performance assessment, yaitu tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik
secara berkelompok
5. Individual performance assessment, yaitu tugas yang harus diselesaikan secara mandiri
6. Interview, yaitu siswa harus merespon pertanyaan lisan dari pengajar
7. Nontraditional test items, yaitu butir soal yang tidak bersifat objektif tetapi merupakan
suatu perangkat respon yang mengharuskan peserta didik memilih berdasarkan kriteria
yang ditetapkan
8. Observasi, meminta peserta didik melakukan suatu tugas. Selama melaksanakan peserta
didik tersebut peserta didik diobservasi baik secara terbuka maupun tertutup.
9. Portofolio, suatu kumpulan hasil karya peserta didik yang disusun berdasarkan urutan
waktu maupun urutan kategori kegiatan.
10. Project, exhibition, or demonstration, yaitu penyelesaian tugas-tugas yang kompleks
dalam suatu jangka waktu tertentu yang dapat memperlihatkan penguasaan kemampuan
sampai pada tingkatan tertentu pula
11. Short answer, open ended menuntut jawaban singkat dari siswa, tetapi bukan memilih
jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang disediakan.
Asesmen autentik/kinerja memiliki dua bentuk utama yaitu tugas (task) dan skala penilaian
(rubric). Tugas-tugas kinerja harus memperlihatkan kemampuan siswa menangani hal-hal yang
kompleks melalui penerapan pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu dalam bentuk yang
paling nyata. Sedangkan, rubric merupakan panduan untuk member skor yang jelas dan
disepakati oleh peserta didik dan pengajar. Dengan bentuk asesmen autentik/kinerja ini
diharapkan peserta didik dan pengajar ada upaya memperbaiki proses pembelajaran.
1. 2.
Asesmen Portofolio
Asesmen portofolio adalah asesmen yang terdiri dari kumpulan hasil karya peserta didik (bisa
berasal dari asesmen autentik) yang disusun secara sistematik, sehingga menunjukkan dan
membuktikan upaya, hasil, proses, dan kemajuan (progress) belajar yang dilakukan peserta didik
dalam jangka waktu tertentu.
Portofolio bisa bertindak hanya sebagai koleksi/kumpulan hasil karya peserta didik, tetapi bisa
juga bertindak sebagai asesmen. Hal yang harus diperhatikan, jika kita ingin menggunakan
portofolio sebagai instrument asesmen adalah :
1. Hendaknya memiliki kriteria penilaian yang jelas
2. Informasi atau hasil karya yang didokumentasikan dapat berasal dari semua orang yang
mengetahui peserta didik secara baik, seperti : guru, rekan sesama siswa, guru mata
pelajaran lain, dan sebagainya
3. Dapat terdiri dari berbagai bentuk informasi, seperti : karangan, hasil lukisan, skor tes,
foto hasil karya, dll
4. Kualitas portofolio harus senantiasa ditingkatkan dari waktu ke waktu berdasarkan hasil
karya yang memenuhi kriteria
5. Setiap mata pelajaran mungkin mempunyai bentuk portofolio yang sangat berbeda
dengan mata pelajaran lainnya
6. Harus terbuka bagi orang-orang yang secar langsung berkepentingan dengan hasil karya,
seperti : guru, sekolah, orang tua siswa, dan siswa itu sendiri.
Setiap portofolio yang digunakan sebagai instrumen asesmen hasil belajar, secara langsung dapat
dijadikan landasan pengembangan kegiatan pembelajaran berikutnya. Dengan demikian,
portofolio dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan bagi pengajar maupun peserta didik.
Pada dasarnya asesmen portofolio memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu koleksi, seleksi, dan refleksi.
Dalam implementasinya ketiga prinsip tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah yang harus dilalui dalam mengimplementasikan asesmen portofolio, yaitu :
1. Tahap persiapan
1)
Mengidentifikasi atau menetapkan tujuan pembelajaran yang akan diases dengan asesmen
portofolio
2)
Menjelaskan kepada peserta didik bahwa akan dilaksanakan asesmen portofolio untuk
mengases tujuan tertentu atau keseluruhan tujuan pembelajaran
3)
Menjelaskan bagian mana dan seberapa banyak kinerja dan hasil karya yang secara
minimal harus tercantum atau disertakan dalam portofolio, dalam bentuk apa, dan bagaimana
kinerja atau hasil kerja itu akan diases
4)
Menjelaskan bagaimana hasil karya tersebut harus disajikan
1. Tahap pelaksanaan
1)
Guru mendorong dan memotivasi peserta didik
2)
Guru melakukan pertemuan secara rutin dengan peserta didik guna mendiskusikan proses
pembelajaran yang akan menghasilkan karya peserta didik, sehingga setiap langkah peserta didik
dapat memperbaiki kelemahan yang mungkin terjadi
3)
Memberikan umpan balik secara berkesinambungan kepada peserta didik
4)
Memamerkan keseluruhan hasil karya yang disimpan dalam portofolio bersama-sama
dengan karya keseluruhan peserta didik yang menjadi peserta mata pelajaran tersebut
1. Tahap penilaian
1)
Menegakkan kriteria penilaian yang akan dilakukan bersama-sama atau partisipasi peserta
didik
2)
Kriteria yang disepakati diterapkan secara konsisten, baik oleh pengajar atau peserta didik
3)
Arti terpenting dari tahap penilaian ini adalah self-assessment yang dilakukan oleh peserta
didik, sehingga peserta didik menghayati dengan baik kekuatan dan kelemahannya
4)
Hasil penilaian dijadikan tujuan baru bagi proses pembelajaran berikutnya.
1. C.
Kesimpulan
Model pembelajaran dan evaluasi saling terkait satu sama lain. Model pembelajaran yang
dilaksanakan akan semakin baik, bila dalam pengimplementasiannya selalu memperhatikan hasil
evaluasi yang telah dilakukan. Jadi bisa dikatakan, evaluasi hadir salah satunya untuk menilai
keberhasilan model pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Model pembelajaran yang baik adalah yang dapat mengakomodir dan mengaktifkan peserta
didik (yang heterogen), baik dari segi fisik maupun intelektualitasnya. Begitu juga dengan cara
penilaiannya, diharapkan menggunakan instrumen yang tidak hanya mengukur potensi
kognitifnya saja.
1. D.
Daftar Pustaka
Anonymous.
Pengenalan
pembelajaran
secara
kontekstual.
http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/09kontekstual.pdf. Diakses pada
23
Februari 2008 pada 12.57.
__________.
Pembelajaran
secara
http://219.94.96.174/sainsmath2002/pedagogi%20ubahsuai/Kontekstual.pdf
Februari 2008 pada 1.18 pm.
.
kontekstual.
Diakses 23
__________. Kaidah pembelajaran kontekstual. http://www.tutor.com.my/lada/tourism/edukontekstual.htm. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.03 pm.
Dikdasmen.
Pengembangan
model
pembelajaran
yang
efektif.
http://
www.dikdasmen.org/files/KTSP/SMP/PENGEMMODEL%20PEMBEL%20YG%20EFEKTIFSMP.doc. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.00 pm.
Effendi,
Empy,
“E-Learning
:
Pelatihan
di
era
informasi”,
http://www.freshmindsgroup.com/resources/index.php?option=com_content&task=view/&i
Lukmana, Lukas, ”Dukungan industri software dalam implementasi
dunia pendidikan”,
e-Learning di
http://www.wahanakom.com/infotek/elearning.htm, dikunjungi 10 Juli 2006.
Prawiradilaga, Dewi Salma. Prinsip Disain Pembelajaran : Instructional Design Principles.
Jakarta : Kencana, 2007.
Siahaan, Sudirman, “E-Learning (pembelajaran elektronik) sebagai salah Satu Alternatif
Kegiatan Pembelajaran”, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/42/sudirman.htm, dikunjungi 16
Februari 2006.
______, “Penelitian penjajagan tentang kemungkinan pemanfaatan internet untuk pembelajaran
di
SLTA
di
wilayah
jakarta
dan
sekitarnya”,
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/39/Penelitian%20Penjajagan%20tentang.htm, dikunjungi 16
Februari 2006.
Tafiardi, “Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning”, Jurnal Pendidikan Penabur –
No.04/ Th.IV/ Juli 2005,
http://www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/085-097.pdf, dikunjungi 10 Juli 2006
Zainul, Asmawi & Agus Mulyana. Tes dan Asesmen di SD. Jakarta : Universitas Terbuka, 2005.
BIOLOGI ONLINE
blog pendidikan biologi


Beranda
SINOPSIS
Belajar dan Pembelajaran
BBEELLAAJJAARR DDAANN PPEEMMBBEELLAAJJAARRAAN
BBEELLAAJJAARR ::
Belajar merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Sejak lahir
manusia telah melakukan kegiatan belajar untuk memenuhi kebutuhan sekaligus
mengembangkan dirinya. Oleh karena itu belajar sebagai suatu kegiatan telah dikenal dan
bahkan sadar atau tidak telah dilakukan oleh manusia. Namun pengertian yang lengkap atau
memenuhi keinginan semua orang, sampai sekarang boleh dikatakan belum ada. Hal ini tidak
berarti kita tidak perlu dan tidak dapat memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan
Belajar.
Para ahli telah mencoba menjelaskan pegertian belajar dengan mengemukakan berbagai rumusan
atau definisi menurut sudut pandang masing – masing. Baik bentuk rumusan, maupun aspek –
aspek yang ditekankan dalam belajar, berbeda antar ahli yang satu dengan yang lain. Namun
demikian, satu hal yang perlu dikemukakan bahwa Pengertian Belajar dapat dibedakan menjadi 2
pengertian, yaitu : Pengertian Belajar Secara Populer (Umum) dan Pengertian Belajar Secara
Khusus.
Pegertaian Belajar scr. Populer adalah pengertian belajar secara umum, tanpa mengacu kepada
suatu aliran psikologi tertentu. (David R. Shaffer ; N.L.Gage ; W.S.Winkel ; etc)
Pengertian Belajar scr. Khusus adalah pengertian belajar yang sudah diwarnai atau dipengaruhi
oleh suatu aliran psikologi tertentu. (Psikologi Behavioristik ; Psikologi Kognitif ; Psikologi
Humanistik ; Psikologi Gestalt)
PEMBELAJARAN :
Kegiatan pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar. Penggunaan istilah
pembelajaran sebagai pengganti Mengajar relative baru. Penggunaan istilah ini mempunyai dasar
yang kuat, yang menyangkut perubahan filosofi pendidikan yang lebih manusiawi. Dimana
dalam istilah ini terasa ada pengakuan terhadap kemampuan mahasiswa untuk belajar, dan
kemampuan ini akan terwujud apabila dibantu dan dibimbing oleh guru.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan,
sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dan tugas guru adalah
mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta
didik. Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai usaha sadar pendidik untuk membantu peserta
didik agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Disini pendidik berperan
sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas dan menciptakan situasi yang mendukung
peningkatan kemampuan belajar peserta didik.
Dalam perkembangannya, metode pembelajaran ini banyak mengalami perubahan dengan
berbagai macam dari yang tradisional hingga yang muthakir. Metode pembelajaran muthakir
yang berkembang saat ini diantaranya adalah “Metode Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences” (Dr. Howard Gardner,1983) dan “Sistem Pembelajaran Kontekstual (CTL=
Contextual Teaching and Learning”, Elaine B. Johnson). Kedua metode tersebut dirasakan
sangat sesuai dengan prinsip pembelajaran modern, dimana pada kedua metode tersebut
berorientasi pada kemampuan dan keunikan peserta didik yang mempunyai potensi kondrati
yang dibawa sejak lahir dan memerlukan bimbingan dalam pengembangannya. Kedua metode ini
sama – sama didasari oleh pengakuan terhadap keunikan manusia, yang masing – masing
mempunyai kemampuan yang berbeda – beda.
RAAGGAAMM PPEENNDDEEKKAATTAANN BBEELLAAJJAARR
PPeennddeekkaattaann BBeellaajjaarr yygg RReepprreesseennttaattiiff
BBanyak pendekatan belajar yang dapat anda ajarkan kepada mahasiswa untuk mempelajari
bidang studi atau materi pelajaran yang sedang mereka tekuni dari yang paling klasik sampai
yang paling modern, diantaranya :
11.. PPeennddeekkaattaann HHuukkuumm JJoosstt
• Perumpamaan pendekatan belajar dengan cara bertahap (mencicil/sedikit demi sedikit).
• Menurut Reber (1988), salah satu asumsi pendting yang mendasari Hukum Jost (Jost’s Law)
adalah Siswa lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih mudah memanggil
kembali memori – memori lama yang berhubungan dengan materi yang akan ditekuni.
Contoh :
Belajar dengan kiat 5 x 3 adalah lebih baik daripada 3 x 5 walaupun perkalian kedua kelipatan
tersebut adalah sama.
Maksudnya : Mempelajari suatu materi dengan alokasi waktu 3 jam perhari selama 5 hari akan
lebih efektif daripada mempelajari materi tersebut dengan alokasi waktu 5 jam sehari tetapi
hanya selama 3 hari.
22.. PPeennddeekkaattaann BBaallllaarrdd && CCllaanncchhyy
• Menurut Ballard & Clanchy (1990), pendekatan belajar mahasiswa pada umumnya dipengaruhi
oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan (Attitude to Knowledge), yang terdiri atas :
a) Sikap Conserving (Melestarikan apa yang sudah ada)
Siswa / mahasiswa yang bersikap Conserving pada umumnya menggunakan pendekatan belajar
Reproduktif (bersifat menghasilkan kembali fakta dan informasi).
b) Sikap Extending (Memperluas) Siswa / mahasiswa yang bersikap Extending biasaya
menggunakan pendekatan Analitis (berdasarkan pemilihan & interpretasi fakta dan informasi)
dan pendekatan Spekulatif (berdasarkan pemikiran mendalam) yang bukan saja bertujuan
menyerap pengetahuan tetapi juga mengembangkannya.
• Perbandingan Pendekatan menurut Ballard dan Clanchy
RRAAGGAAMM PPEENNDDEEKKAATTAANN BBEELLAAJJAARR DDAANN CCIIRRII KKHHAASSNNYYAA
REPRODUKTIF
ANALITIS
SPEKULATIF
� Menghafal
� Berpikir kritis
� Meniru
� Mempertanyakan
� Menjelaskan
� Menimbang
� Meringkas
� Apa ….?
� Berargumen
� Mengapa ….. ?
� Sengaja mencari
kemungkinan dan
penjelasan baru.
STRATEGI
� Berspikulasi dan
membuat hipotesis
� Bagaimana
kalau…………. ?
� Bagaimana …?
PERTANYAAN
� Apa benar ….?
TUJUAN
Pembenaran /
Penyebutan kembali
� Apa penting ..?
Pembentukan kembali
materi kedalam pola
baru / berbeda.
Menciptakan
pengetahuan baru.
33.. PPeennddeekkaattaann BBiiggggss
• Menurut hasil penelitian Biggs (1991), pendekatan belajar siswa/mahasiswa dapat
dikelompokkan ke dalam 3 Prototipe ( Bentuk Dasar ), yaitu :
a) Pendekatan Surface (Permukaan / Bersifat Lahiriah) Mau belajar karena dorongan dari luar
(ekstrinsik), misalnya : takut tidak lulus yang menyebabkan dia malu. Sehingga gaya belajarnya
santai, asal hafal dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam.
b) Pendekatan Deep (Mendalam) Mempelajari materi karena memang tertarik dan merasa
membutuhkannya (instrinsik). Oleh karena itu gaya belajarnya serius dan berusaha mendalami
materi secara mendalam serta memikirkan cara mengaplikasikannya. Bagi siswa seperti ini, lulus
dengan nilai baik adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah memiliki pengetahuan yang
cukup banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya.
c) Pendekatan Achieving (Pencapaian Prestasi Tinggi)
Dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri khusus yang disebut Ego-Enhancement yaitu :
ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih
indeks prestasi setinggi – tingginya.
Memiliki keterampilan belajar (Study Skills) dalam arti : sangat cerdik dan efisien dalam
mengatur waktu, ruang kerja dan penelaahan isi materi.
Berkompetisi dengan teman – teman dalam meraih nilai tertinggi adalah penting, sehingga
sangat disiplin, rapid an sistematis serta berencana maju ke depan (plans ahead).
Table perbandingan prototipe pendekatan belajar menurut Biggs :
PENDEKATAN BELAJAR
Surface Approach
� Ekstrinsik
MOTIF & CIRI
Deep Approach
� Dengan ciri : menghindari
kegagalan tetapi tidak belajar
keras.
� Instrinsik
Achieving Approach
� Dengan ciri : berusaha
memuaskan keingintahuannya
terhadap isi materi.
� Ego-Enhancement
� Dengan ciri : bersaing untuk
meraih nilai prestasi tertinggi.
METODE BELAJAR SQ3R
Suatu Metode Memahami Teks/Bacaan
STRATEGI
� Memusatkan pada rincian –
rincian materi dan
mereproduksi secara persis.
� Memaksimalkan pemahaman
dengan berpikir, banyak
membaca dan diskusi.
� Mengoptimalkan pengaturan
waktu dan usaha (Study Skills)
Metode ini dikembangkan oleh Francis P. Robinson di Universitas Negeri Ohio Amerika
Serikat, yang bersifat praktis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai pendekatan belajar. SQ3R
merupakan singkatan dari langkah – langkah mempelajari teks yang meliputi :
1. SSUURRVVEEYY :
Memeriksa atau meneliti atau mengindentifikasi seluruh teks dalam bacaan.
22.. QQUUEESSTTIIOONN ::
Menyusun daftar pertanyaan yang relevan dengan teks yang dipelajari.
33.. RREEAADD ::
Membaca teks secara aktif untuk mencari jawaban atas pertayaan – pertanyaan yang telah
disusun.
44.. RREECCIITTEE ::
Menghafal setiap jawaban yang telah ditemukan.
55.. RREEVVIIEEWW ::
Meninjau ulang seluruh jawaban atas pertanyaan yang tersusun.
PPEERRUUMMUUSSAANN TTUUJJUUAANN PPEEMMBBEELLAAJJAARRAANN &&
KKAAIITTAANNNNYYAA DDEENNGGAANN TTAAKKSSOONNOOMMII
HHAASSIILL BBEELLAAJJAARR..
HHasil belajar yang dicapai oleh mahasiswa sangat erat kaitannya dengan rumusan tujuan
pembelajaran yang direncanakan oleh guru sebalumnya. Hal ini dipengaruhi pula oleh
kemampuan guru sebagai perancang (designer) belajar – mengajar. Untuk itu guru dituntut untuk
menguasai Klasifikasi Tujuan Pendidikan ( Taxonomy of Educational Objectives ). Tujuan
pembelajaran pada umumnya dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu :
1. Domain Kognitif,
Mencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan
intelektual.
2. Domain Afektif,
Mencakup tujuan – tujuan yang berhubungan dengan perubahan – perubahan sikap, nilai,
perasaan dan minat.
3. Domain Psikomotor.
Mencakup tujuan – tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor).
AA.. KKllaassiiffiikkaassii TTuujjuuaann KKooggnniittiiff ((BBlloooomm,,11995566)) ::
Domain Kognitif terdiri atas 6 bagian sebagai berikut :
1. Ingatan (recall) / Pengetahuan
Mengacu kepada kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang
sederhana sampai pada teori – teori yang sukar.
Yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar.
2. Pemahaman
Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat diatas
pengetahuan dan merupakan tingkat berpikir yang rendah.
3. Penerapan Mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah
dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan atau prinsip.
4. Analisis
Mengacu kepada kemampuan menguraikan materi kedalam komponen – komponen atau factor
penyebabnya dan mampu memahami hubungan diantara bagian yang satu dengan yang lainnya,
sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti.
5. Sintesis
Mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen – komponen, sehingga
membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru.
6. Evaluasi
Mengacu kepada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai – nilai materi untuk
tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat berpikir yang tinggi.
BB.. KKllaassiiffiikkaassii TTuujjuuaann AAffeekkttiiff ((KKrraatthhwwoohhll,, 11996644)) ::
Terbagi dalam 5 kategori, yakni :
1. Penerimaan
Mengacu pada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan dan memberikan respons terhadap
stimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar yang terendah dalam domain
afektif.
2. Pemberian Respons
Dalam hal ini, mahasiswa mulai terlibat secara aktif, menjadi peserta dan tertarik.
3. Penilaian
Mengacu pada nilai – nilai pribadi yang ditandai dengan reaksi – reaksi seperti menerima,
menolak atau tidak menghiraukan. Hal ini dapat terlihat dalam sikap dan apresiasi.
4. Pengorganisasian Mengacu kepada penyatuan nilai. Sikap – sikap yang berbeda yang
membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik – konflik internal dan akhirnya membentuk
suatu system nilai internal mahasiswa yang tercermin dalam perilakunya.
5. Karakterisasi
Mengacu pada karakter dan gaya hidup seseorang. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya
dengan ketentuan pribadi, social dan emosi mahasiswa.
CC.. KKllaassiiffiikkaassii TTuujjuuaann PPssiikkoommoottoorr ((DDaavvee,, 11997700)) ::
Terbagi dalam 5 kategori sebagai berikut :
1. Peniruan
Terjadi ketika mahasiswa mengamati suatu gerakan. Mahasiswa mulai memberi respons serupa
dengan yang diamatai. Mengurangi koordinasi dan control otot – otot syaraf. Peniruan ini pada
umumnya dalam bentuk global dan belum sempurna.
2. Manipulasi
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan – gerakan
pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini, mahasiswa
menampilkan sesuatu menurut petunjuk – petunjuk dan tidak hanya meniru tingkah laku saja.
3. Ketetapan
Memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respons –
respons lebih terkoreksi dan kesalahan – kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
4. Artikulasi
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan
mencapai yang diharapkan atau terbentuk konsistensi internal diantara gerakan – gerakan yang
berbeda.
5. Pengalamiahan
Menuntut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik
maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat
kemampuan tertinggi dalam domain psikomotor.
08/25/2010 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | 2 Komentar
KARAKTERISTIK, MODEL, DAN IMPLEMENTASI
KURIKULUM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
MAKALAH
KARAKTERISTIK, MODEL, DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM
PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
(Mohamad Yunus)
BAB I. PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan elemen strategis dalam sebuah layanan program pendidikan. Ia adalah
’cetak biru’ (blue print) atau acuan bagi segenap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
program. Dalam konteks ini dapatlah dikatakan bahwa kurikulum yang baik semestinya akan
menghasilkan proses dan produk pendidikan yang baik. Sebaliknya, kurikulum yang buruk akan
membuahkan proses dan hasil pendidikan yang juga jelek.
Persoalannya, hubungan antara kurikulum (sebagai rencana atau doku-men) dengan proses dan
hasil pendidikan (kurikulum sebagai aksi dan produk) tidaklah bersifat linear. Terlalu banyak
faktor yang mempengaruhinya. Pertama, sebagai suatu sistem, mutu sebuah kurikulum akan
ditentukan oleh proses perancangan, pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Kedua,
secara programatik, kualitas sebuah kurikulum ditentukan oleh kesanggupannya dalam
mempertanggungjawabkan pelbagai keputusan yang diambil, baik secara keilmuan, moral,
sosial, dan praktikal. Ketiga, secara pragmatik, nilai sebuah kurikulum ditentukan oleh
kemampuannya dalam memberikan layanan pendidikan yang dapat mendorong peserta didik
untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, baik oleh peserta didik sendiri
maupun oleh masyarakat dan sistem sosial.
Dari perspektif manajemen mutu terpadu (Total quality management) —- yang telah lama
diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan—– pendidikan adalah jasa layanan. Sebagai
sebuah jasa layanan, keberhasilan suatu program pendidikan ditentukan oleh kesanggupannya
dalam memenuhi kepuasan pengguna (customer satisfaction). Indikator kepuasan itu, demikian
dinyatakan ahli manajemen mutu seperti Deming dan Juran, ditetapkan oleh kesanggupan
layanan pendidikan dalam memenuhi harapan, keinginan, dan kebutuhan pengguna (peserta
didik dan pemangku kepentingan). Itu berarti, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang
berorientasi akhir pada kebutuhan dan kepuasan pengguna.
Atas dasar itu pula dapatlah ditegaskan di sini bahwa kurikulum yang baik dan bermakna adalah
kurikulum yang dikembangkan dengan beranjak dari hakikat pendidikan termasuk pendidikan
menengah umum (pengertian dan tujuan), hakikat pebelajar, hakikat belajar dan pembelajaran,
hakikat muatan, serta kesanggupan lulusan pendidikan dalam menghadapi secara layak dinamika
kehidupan yang akan datang. Namun demikian, mengingat tujuan dan ciri setiap kelompok usia
sekolah pada masing-masing satuan pendidikan itu berbeda-beda, adalah sebuah kenisyaan jika
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum itu mengakomodasi setiap perbedaan atau keunikan
yang ada.
Mengapa serumit dan selengkap itu pijakan yang digunakan? Karena sekolah bukan sekedar
kebutuhan edukasi formalistik. Sekolah adalah kawah candradimuka yang akan membantu
peserta didik dalam mengembangkan potensi dan membentuk dirinya secara optimal menjadi
pribadi dan anggota komunitas yang memiliki kesanggupan dan kecakapan untuk hidup
produktif dan bermakna tanpa tercerabut dari hakikat kemanusiaan dan kehambaannya terhadap
Sang Maha Agung.
Beranjak pada pelbagai faktor penentu kualitas kurikulum dan pemikiran tersebut, melalui
makalah ini, penulis berupaya untuk menggambarkan secara konseptual mengenai karakteristik
dan tuntutan terhadap pendidikan sekolah menengah umum (PMU), model kurikulum yang
sesuai khususnya untuk mewadahi layanan pembelajaran Bahasa Indonesia, serta imlementasi
kurikulum dalam tataran praksis pendidikan di sekolah.
Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini akan dikemas dalam tiga bagian pokok. Bagian pertama
akan membahas karakteristik PMU (tujuan pendidikan, karakter peserta didik, dan muatan
pendidikan) serta tuntutan terhadap PMU, yang berhubungan dengan keluaran, kebutuhan, dan
pengelolaan pendidikan. Bagian kedua memaparkan model kurikulum dan pembelajaran pada
PMU, yang di antaranya dikaitkan dengan bidang studi Bahasa Indonesia. Bagian Ketiga,
menguraikan sketsa tentang implementasi kurikulum pada level PMU, khususnya yang berkaitan
dengan bidang studi Bahasa Indonesia.
BAB II. KARAKTERISTIK DAN TUNTUTAN PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
(PMU)
Setiap jenjang pendidikan memiliki ciri, tujuan, kebutuhan, dan tantangan-nya masing-masing.
Begitu pula dengan pendidikan pada jenjang PMU. Keempat hal itu merupakan pijakan, acuan,
dan sekaligus kejaran dalam mengembangkan kurikulum dan mengelola
pengimplementasiannya. Untuk itulah, pada bab ini akan dipaparkan tentang karakteristik dan
tuntutan PMU.
A. Karakteristik PMU
1. Tujuan PMU
Pasal 18 ayat (1) dan pasal 15 Penjelasan UU UU RI Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa
pendidikan pada level PMU bertujuan meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,
akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri, serta mengikuti pendidikan lebih lanjut. Tujuan
itu secara spesifik dijabarkan oleh Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) yang menjelaskan adanya 23 SKL yang harus dikuasai oleh siswa
pada satuan pendidikan SMA/ MA/SMALB*/Paket C.
Dari perspektif ini, PMU merupakan sekolah menengah yang sejajar dengan Gymnasium di
Jerman, Voortgezet Wetenschappelijk Onderwijs (VWO) di Belanda, Baccalauret di Prancis, ALevel di Inggris, dan Prep-Highscool di AS. Semua jenis sekolah tersebut mempersyaratkan
penguasaan kemampuan akademik yang tinggi untuk mempersiapkan lulusannya memasuki
dunia perguruan tinggi. Tak heran, jika jumlah siswa yang masuk jenis sekolah tersebut tak lebih
dari 30 persen. Bagi mereka yang tidak cukup pandai untuk masuk Gymnasium, VWO, dan
semacamnya, juga tidak mampu atau berminat masuk sekolah kejuruan, pemerintah telah
menyiapkan Realschule di Jerman, Hoger Algeemen Vormend Onderwijs (HAVO) di belanda,
O-Level di Inggris, dan Nonprep-Highschool di AS. Lulusan sekolah menengah tersebut tidak
dapat melanjutkan ke perguruan tinggi umum, tetapi bisa ke perguruan tinggi kejuruan (Drost,
1998)
Secara yuridis-formal orientasi dan posisi PMU di Indonesia tidak jauh berbeda dari Gymnasium,
VWO, dsb. Tetapi, dalam tataran praksis terjadi inkonsistensi yang luar biasa, misalnya, pada
hal-hal sebagai berikut.
1. Tak ada seleksi khusus yang mendorong siswa untuk memilih PMU atau SMK setelah lulus kelas
IX. Siapa pun boleh masuk PMU, atau SMK.
2. Pada kelas XI, siswa akan diseleksi untuk masuk ke jurusan-jurusan yang ada di PMU. Tindakan
seleksi dan penjurusan itu seyogyanya didasarkan atas uji kemampuan akademik dan
pertimbangan minat/bakat yang ketat. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa seleksi ketat
dalam penjurusan cenderung hanya dilakukan terhadap siswa yang akan ditempatkan pada
jurusan IPA. Siswa yang tidak masuk jurusan IPA dikelompokkan ke jurusan IPS dan Bahasa. Tak
ada siswa yang tidak lulus pada saat penjurusan IPA, IPS atau Bahasa, kemudian dianulir dari
SMU/MA. Perilaku tersebut menimbulkan stereotip bahwa siswa pada jurusan IPA lebih serius,
lebih unggul, dan lebih superior secara akademik daripada siswa jurusan IPS dan Bahasa.
3. Kenaikan kelas yang semestinya dilakukan melalui seleksi akademik yang ketat, juga sangat
longgar. Asal tidak terlalu parah perilaku dan kemampuan akademiknya, semua siswa dipastikan
akan naik kelas. Tak ada siswa yang dianulir dari PMU karena lemahnya kemampuan akademik
mereka.
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan, ”Mau dibawa ke mana pendidikan menengah
umum?” Begitu jauh ketidaktaatasasan yang terjadi antara tujuan yang ditetapkan dalam
dokumen yuridis dengan kenyataan di lapangan. Keadaan itu pada gilirannya menimbulkan
persoalan dan implikasi berikut.
1. Secara sistem, kebijakan pendidikan di Indonesia belum memberikan ’ruang khusus dan
proporsional’ bagi perbedaan lulusan PMU dan SMK di satu sisi, serta keragaman kesanggupan
ekonomi masyarakat di sisi lain. Ini berarti pemikiran dan perencanaan pendidikan menengah di
Indonesia belum tertangani secara holistik, terpadu, dan sistemik.
2. Rendahnya siswa lulusan PMU yang melanjutkan ke perguruan tinggi memerlukan reorientasi
dan penataan kembali arah dan kebijakan sistemik dalam penyediaan layanan pendidikan.
2. Karakteristik peserta didik
Usia peserta didik anak SMU secara umum berada pada rentang 15/16-18/19 tahun, yang kerap
disebut sebagai usia remaja, adolescent, atau storm and drunk. Fase ini disebut Suryabrata
(2002) sebagai masa merindu-puja yang ditandai dengan ciri-ciri berikut.
1. Anak merasa kesepian dan menderita. Dia menganggap tak ada orang yang mau mengerti,
memahami, dirinya, dan menjelaskan hal-hal yang dirasakan-nya.
2. Reaksi pertama anak ialah protes terhdap sekitarnya, yang dirasakan tiba-tiba memusuhi,
menerlantarkan, dan tidak mau mengerti.
3. Memerlukan teman yang dapat memahami, menolong, dan turut merasakan suka-duka yang
dialaminya.
4. Mulai tumbuh dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dipandang
bernilai, pantas dijunjung tinggi dan dipuja.
5. Anak mengalami goncangan batin. Dia tidak mau memakai lagi pedoman hidup masa kanakkanaknya, tetapi ia juga belum mempunyai pedoman hidup yang baru.
6. Merasa tidak tenang, banyak kontradiksi dalam dirinya. Dia merasa mampu, tetapi tidak tahu
bagaimana mewujudkannya.
7. Anak mulai mencari dan membangun pendirian atau pandangan hidupnya. Proses tersebut
melewati tiga langkah.
1) Karena belum memiliki pedoman, remaja memerlukan sesuatu yang dapat dianggap
bernilai, pantas dihargai, dan dipanuti. Pada awalnya, sesuatu yang dipuja itu belum memiliki
bentuk tertentu. Si remaja sendiri kerap hanya tahu bahwa dia menginginkan sesuatu, tetapi tidak
tahu apa yang diinginkannya. Keadaan seperti ini biasanya melahirkan sajak-sajak alam.
2) Pada taraf kedua, objek pemujaan kian jelas, yaitu pribadi-pribadi yang mendukung
personifikasi nilai-nilai tertentu yang diinginkan anak. Dalam pemujaan, anak laki-laki dan
perempuan memiliki cara yang berbeda dalam mengkespresikannya. Pada masa ini tumbuh
dengan subur rasa kebangsaan.
3) Pada taraf ketiga, si remaja telah dapat menghargai nilai-nilai lepas dari pendukung-nya,
nilai sebagai hal yang abstrak, sehingga tibalah waktunya bagi si remaja untuk menentukan
pilihan atau pendirian hidupnya. Penentuan ini biasanya berkali-kali melalui proses jatuh
bangun, karena ia menguji nilai yang dipilihnya dalam kehidupan nyata, sampai diperoleh
pandangan/pendirian yang tahan uji.
Implikasi dari karakteristik peserta didik tersebut terhadap pendidikan adalah sebagai berikut.
1. Remaja memerlukan orang yang dapat membantunya mengatasi kesukaran yang dihadapi.
2. Pribadi pendidik (sebagai pendukung nilai) berpengaruh langsung terhadap perkembangan
pendirian hidup remaja. Karena itu, segala sikap dan perilaku pendidik harus dapat
dipertanggungjawabkan dari segi pendidikan.
3. Pendidik hendaknya:
1)
berdiri ’di samping’ mereka, tidak di depannya melalui dikte dan instruksi;
2) menunjukkan simpati bukan otoritas, sehingga dapat memperoleh kepercayaan dari remaja
dan memberinya mereka bimbingan; serta
3)
menanamkan semangat patriotik dan semangat luhur lainnya karena ini memang masanya.
Pada dasarnya, keseluruhan ciri umum tersebut lebih bersifat konseptual. Kenyataan
menunjukkan bahwa setiap anak baik yang berjenis kelamin sama ataupun berbeda, menghayati
masa remajanya dengan cara yang tidak persis sama. Kajian terhadap perkembangan peserta
didik usia PMU menunjukkan bahwa secara biologis, didaktis, dan psikologis, mereka berada
dalam periode berikut (Hunkins, 1980; Hamachek, 1990; Santrock, 1994; Suryabrata, 2002;
Sukmadinata, 2004; Desmita, 2005).
ANCANGAN
Biologis
PENDAPAT
Umum
PERIODE
Fase pubertas ditandai dengan perkembangan fisik:
1. perubahan tinggi dan berat tubuh yang
mendekati ukuran orang dewasa
b. perubahan pubertas berupa kematangan seksual
terjadi dengan pesat, baik dalam bentuk ciri-ciri
seks primer (organ reproduksi) maupun sekunder
(tanda-tanda jasmaniah yang kian membedakan laki
dan perempuan)
Aristoteles (3 fase)
Psikososial
Fase III (14-21 tahun): masa remaja atau pubertas,
peralihan dari anak ke remaja dan remaja ke dewasa
Kretschmer
(4 Fase IV (13-20 tahun) atau Sterckungsperiode II:
fase)
anak-anak terlihat langsing kembali (sifat jiwa sukar
didekati)
S. Freud (6 fase)
Fase pubertas (12/13-20 tahun): impuls-impuls
seksual menonjol kembali
hingga
mencapai
kematangan
Montessori (4 fase) Periode IIII (12-18 tahun): masa penemuan diri dan
kepekaan rasa sosial. Pada masa ini kepribadian harus
dikembangkan sepenuhnya dan harus sadar akan
keharusan-keharusan.
Ch. Buchler (5 fase) Fase V (13-19 tahun): fase penemuan diri dan
kematangan
Oswald Kroh
Trotzperiode II (remaja): masa kematangan
(3 fase)
Kohnstamm
(4 Usia 13/14-20/21 tahun: masa sosial (mirip
fase)
Rousseau)
J. Piaget (4 fase)
Tahap berpikir operasional formal (11 tahun ke atas):
mampu berpikir secara abstrak, idealistik, dan logis
ANCANGAN
PENDAPAT
PERIODE
(hypothetical-deductive
reasoning).
Pemikirannya
menjadi kian ilmiah. Pendidikan bergaya dialog yang
objektif dan logis
Erickson
Usia 12-18 tahun: anak memiliki jati diri meskipun
masih disertai kebimbangan akan peran dirinya
Santrock
Perkembangan kesanggupan mengambil keputusan
Hurlock; Nurmi
Perkembangan orientasi terhadap masa depan
Dacey & Kenny; Secara sosial cenderung menerima dunia dan dirinya
Elkind
sendiri dari perspektifnya (egosentrisme), yang ditandai
dengan penonton khayalan (orang lain memperhatikan
dirinya) dan dongeng pribadi (orang lain tidak
memahami dirinya)
Josselson; Jones & Upaya mencari, mempertanyakan, dan menemukan
Hartmann
jati diri
Didaktis
Comenius (4 fase)
Scola latina (sekolah latin) untuk anak usia 12-18
tahun.
Rousseau (4 fase)
Fase IV: periode pembentukan watak dan pendidikan
agama (periode 12-15 tahun untuk pendidikan akal)
Moral-Spiritual/ Kohlberg
Pascakonvensi: anak telah dapat berbuat baik sesuai
Keagamaan
dengan nilai-nilai tak tertulis yang ada di masyarakat
dan kata hatinya, tanpa memiliki pamrih apa pun
Seifelt & Hoffnung Mencari
konsep
tentang
Tuhan
dan
mempertanyakan keyakinan yang dianutnya
Fowler
Pemikiran
tentang
Tuhan
lebih
abstrak,
menyesuaikan diri dengan keyakinan orang lain, serta
mulai berkesang-gupan memikul tanggung jawab
terhadap keyakinannya
Menurut Hunkins (1980), siswa PMU cenderung berkarakteristik berikut.
1. Secara fisik:
1)
umumnya individu telah mempunyai kematangan yang lengkap;
2) individu-individu ini kian menyerupai orang dewasa: tulang-tulang tumbuh kian lengkap,
dan sosoknya kian tinggi; serta
3)
meningkatnya energi gerak pada setiap individu.
1. Secara mental:
1)
individu dilanda kerisauan untuk menemukan jati diri dan tujuan hidup mereka;
2)
keadaan mental remaja itu terus berlanjut dan untuk berusaha keras untuk menjadi mandiri;
3) dalam melepaskan ketergantungan dari orang dewasa, pelbagai individu ini kerap
memperlihatkan perubahan mood yang ekstrem, dari yang kooperatif hingga yang suka
memberontak;
4) kendali untuk dapat diterima lingkungan masih kuat, dan individu-individu itu sangat
memperhatikan popularitas, terutama bagi kalangan yang berbeda kelamin; serta
5)
berbagai individu kerap mengalami beberapa masalah dengan membuat penilaian sendiri.
Atas dasar ciri-ciri tersebut, maka kebutuhan siswa pada level PMU ialah sebagai berikut.
1. Pengetahun tentang diri sendiri.
2. Pengetahuan dan pemahaman tentang sikap dan hubungan seksual.
3. Ketersediaan pelbagai peluang yang memungkinkan individu untuk terlibat dalam tanggung
jawab pengambilan keputusan dan memperoleh penerimaan dari lingkungan-nya. Peluang yang
disediakan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hubungan antar individu dengan orang
dewasa lain, termasuk keluarga.
4. Perhatian yang berkelanjutan untuk memberikan peluang bagi individu berkembang sesuai
dengan minat dan keterampilannya. Perhatian juga diberikan untuk mengembang-kan bakat
dan keterampilan khusus siswa.
5. Pelbagai peluang itu di samping menyertai peluang-peluang itu untuk memahami diri mereka
sendiri, juga untuk memahami perasaan, perilaku, dan pengetahuan orang lain.
Berdasarkan paparan di atas, apakah itu berarti karakteristik siswa PMU akan tetap seperti itu
sepanjang masa, tidak pernah berubah? Adakah ’pengasuhan’ pendidikan bagi mereka akan
berarti stagnan kendati zaman terus berganti? Terhadap pertanyaan itu, pada tahun 1973 para
tokoh pendidikan di Amerika Serikat mengadakan sebuah simposium dengan tema How Will We
raise Our Children in the Year 2000? Simposium itu menyimpulkan bahwa cara pengasuhan
anak setelah tahun 2000 harus berubah sebagai akibat dari perubahan Iptek dan industri yang
sangat cepat, karena akan berpengaruh terhadap lingkungan dan norma-norma sosial di mana
anak-anak akan tumbuh dan berkembang (Suyanto dan Hisyam, 2000).
3. Muatan pendidikan
Tugas utama sekolah ialah membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan, dan
membangun kemampuan yang akan menjadikannya berkesanggupan secara efektif menunaikan
tugas-tugas individu dan sosialnya pada saat ini dan saat mendatang. Untuk mencapai tugas
tersebut, maka layanan pendidikan sekolah akan bersentuhan dengan pelbagai jenis pengetahuan
yang tergambar dalam kurikulum.
Pada era merebaknya Latin Grammar School di AS dan Inggris, tujuan pendidikan seperti itu
diwujudkan dalam bentuk divisi-divisi pelajaran klasik (classical subjects) seperti Bahasa Latin
atau Bahasa Yunani, Matematika, dan Sain, yang kemudian dilengkapi oleh Benjamin Franklin
dengan Bahasa Inggris dan bidang filsafat, termasuk seni. Pada tahun 1890-an The Committee of
Ten dari National Education Association merekomendasikan sembilang bidang kajian untuk
PMU, yang terdiri dari: (1) Bahasa Latin, (2) Bahasa Yunani, (3) Bahasa Inggris, (4) bahasa
modern negara lain, (5) Matematika, (6) Fisika, Astronomi, dan Kimia, (7) Sejarah Alam
(natural history), (8) Sejarah, Pemerintahan, dan Ekonomi-Politik, serta (9) Geografi.
Memperhatatikan pelbagai perkembangan yang terjadi, tahun 1911 The Committee of Nine dari
National Education Association memperluas substansi PMU dengan menambahkan muatan yang
dapat mendorong peserta didik menjadi warga negara yang berkomitmen terhadap nilai-nilai dan
berkontribusi terhadap persoalan negara (socially efficient).
Pada tahun 1918, Commision on the Reorganization of Secondary Education dari National
Education Association memperluas misi dan cakupan PMU yang dikemas ke dalam model
comprehensive high school yang hingga kini dominan di AS. Model ini diharapkan dapat
mengakomodasi kebutuhan dan minat siswa yang beragam. Bertolak dari harapan itu, lahirlah
cardinal principles of secondary school yang menekankan tujuan PMU pada: (1) health, (2)
command of fundamental process, (3) worthy home membership, (4) vocational preparation, (5)
citizenship, (6) worthy use of leisure time, dan (7) ethical character.
Munculnya gagasan tentang comprehensive high school paling tidak dipicu oleh tiga hal: (1)
kebutuhan mempertahankan jati diri dan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa dan negara AS, yang
diwujudkan melalui mata pelajaran baru kewarganegaraan (civics), (2) pengaruh kuat dari
progresivisme John Dewey, serta (3) terpatrinya keyakinan bahwa PMU merupakan perluasan
dan kelanjut-an logis dari program pendidikan SD dan SMP (Hass, 1977; Hunkins, 1980;
Armstrong & Savage, 1983; Oliva, 1988). Selanjutnya, muatan akademik PMU pun berkembang
menjadi seperti yang umumnya digunakan sekarang ini, termasuk dalam PMU di Indonesia.
Lalu, substansi apa yang selayaknya menjadi muatan PMU? Jawaban atas pertanyaan tersebut
harus bertolak dari tujuan PMU, masyarakat, serta hakikat pebelajar.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, PMU bertujuan membekali anak didik dengan
kemampuan akademik untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Karena
tujuan PMU seperti itu, maka pertama, substansi pendidikan harus memiliki muatan akademik
yang solid dan komprehensif. Peserta didik harus dibekali dengan kerangka dan dasar disiplin
ilmu yang kuat serta kemampuan belajar secara mandiri, sehingga mereka akan dapat memahami
perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi.
Faktor kedua yang perlu diperhatikan dalam menentukan muatan PMU ialah masyarakat atau
lingkungan. Peserta didik tidak hidup steril di menara gading. Mereka berhadapan dengan sistem
mikro dan makro sosial. Sekolah merupakan bentuk mikro dari sebuah suprasistem sosial makro.
Di sekolah siswa berkomunikasi, bergaul, beraktualisasi, dan berhadapan dengan masalah. Pun
ketika usai kegiatan belajar di sekolah, mereka berhadapan langsung dengan kenyataan sosial
yang lebih luas, yang ada, mengada, dan mengemuka dengan segala kedinamisan dan
kompleksitasnya. Sebagai mahluk hidup, mereka tumbuh-kembang dalam suatu lingkungan yang
sarat nilai. Peserta didik tentu memerlukan bekal agar dapat hidup dan menghadapi kehidupan
dengan layak pada masanya..
Oleh karena itu, betapa pun akademiknya muatan PMU, ia tetap harus membekali siswanya
secara cukup dengan kemampuan hidup dan menghadapi kehidupan (life skill). Life skill tersebut
terdiri dari: (1) kesadaran diri (personal skill), (2) kecakapan berpikir (intellectual skill), serta
(3) kecakapan generik, yang berkaitan dengan kesanggupan menghadapi persoalan-persoalan
lingkungan dan sosial.
Ketiga, unsur lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan muatan PMU ialah hakikat
pebelajar. Peserta didik PMU adalah manusia multidimensi yang dibalut oleh perkembangan
fisik, mental-spiritual, sosial, dan intelektual yang khas, yang membedakan dirinya atau
kelompok mereka dari individu dan kelompok lain. Kekhasan peserta didik PMU ini tentu saja
berimplikasi secara luas terhadap filosofi, tujuan, pemilihan dan pencakupan, pengorganisasian
dan penekanan subtansi, serta tata pembelajarannya. Dari sisi ini, maka substansi PMU harus
mencakup seluruh dimensi kemanusiaan peserta didik.
Pendeknya, sesuai dengan tujuannya, substansi PMU memang akan sarat dengan dimensi
akademik. Namun, istilah akademik ini hendaknya tidak dimaknai secara sempit hanya sekedar
ranah kognitif. Apalagi hanya sekedar penguasaan-penguasaan informasi yang melibatkan daya
pikir rendah. Istilah akademik di sini memuat perangkat kesanggupan multidimensi (kognitif,
psiko-sosial, spiritual, dan psikomotor) yang dapat menopang penguasaan substansi dan
kerangka keilmuan, serta kemampuan yang menimbulkan citra akademik pada diri siswa.
Menyitir apa yang disampaikan oleh Gagne, Briggs, dan Wager (1992), sub-stansi pendidikan
PMU harus dapat melahirkan pengembangan lima kemampu-an (capabilities) peserta didik.
Kelima kemampuan itu berkaitan dengan kemam-puan intelektual, strategi kognitif, penguasaan
informasi verbal, keterampilan motorik, dan kemampuan sikap. Penulis memaknai sikap di sini
dalam pers-pektif bukan hanya sebatas dengan hubungan intra- dan antarpersonal semata, tetapi
juga sikap dan perilaku spiritual yang melandasi seluruh kemampuan tersebut.
B. Tantangan dan Tuntutan Terhadap PMU
1. Tantangan zaman
Dinamika pada era milenium III ini ditandai oleh fenomena globalisasi. Fenomena ini membuat
banyak negara di dunia, khususnya negara berkembang dan miskin, dihinggapi oleh kecemasan
dan kepanikan. Perkembangan masyarakat atau sistem dunia dan modernisasi kian tak
terbendung. Fenomena kekuatan globalisasi yang umumnya dihasilkan dan dipetik manfaatnya
oleh negara maju, menjadi ‘bom waktu’ bagi negara-negara berkembang.
Menghadapi keadaan tersebut, hanya dua pilihan yang dapat diambil. Pilihan itu ialah menyerah
dan membiarkan diri tergerus oleh arus globalisasi, atau secara cerdik mengambil manfaat dari
proses globalisasi. Jika pilihan kedua yang diambil, maka kita harus memiliki kesiapan
memasuki the world systems tersebut. Itu berarti, perlu dilakukan persiapan dan penataan
berbagai perang-kat yang dimiliki agar dapat menghadapi era tersebut dengan baik. Kunci
kebertahanan dan keberjayaan suatu bangsa atau negara dalam era of human capital atau
knowledge society ini terletak pada kualitas sumber daya manusia.
Para ahli menjelaskan kecenderungan yang akan diwarnai oleh berbagai kecenderungan berikut
(Miller & Seller, 1985; Thurrow, 1992; UNESCO, 1996; Sindhunata, Ed., 2000; Buchori, 2001;
Azra, 2002; Bahgwati, 2004).
Pertama, terjadinya kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi. Bagi negaranegara maju, integrasi ekonomi tersebut akan melahirkan persekutuan dan kekuatan baru yang
dapat mempengaruhi dan mengendalikan modal, perdagangan, dan perpolitikan dunia. Lagi-lagi,
yang akan menjadi korbannya adalah negara-negara lemah.
Kedua, kemajuan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah secara
radikal situasi dalam pasar tenaga kerja. Produksi barang serta pekerjaan mekanik-administratif
yang semula membutuhkan banyak orang, dengan adanya kemajuan teknologi berupa komputer
dan mesin-mesin canggih, hanya perlu ditangani oleh sedikit orang. Keadaan ini pada gilirannya
akan melahirkan berbagai pekerjaan baru yang menuntut kecakapan yang juga baru dari orangorang yang terdidik dan terlatih dengan baik (well-educated and well-trained), serta
tersingkirnya tenaga-tenaga kasar dan tak terdidik. Jika tidak diantisipasi dengan baik, keadaan
ini akan menimbulkan ledakan masalah sosial yang sangat serius seperti pengangguran, yang
akan melahirkan efek berganda seperti kemiskinan, kebodohan, kesehatan, kriminalitas, dan
kesenjangan yang kian menajam antarberbagai kelompok masyarakat dan antarnegara.
Ketiga, proses indutrialisasi dalam ekonomi dunia makin mengarah pada teknologi tingkat
tinggi. Negara-negara maju akan mengekspor alat-alat produksi berteknologi rendah ke negaranegara yang keadaan ekonomi dan teknologinya belum berkembang. Negara-negara maju akan
memusatkan kegiatan ekonomi mereka pada usaha-usaha yang diperkirakan akan mengha-silkan
nilai tambah yang tinggi, seperti mikroelektronik, bioteknologi, teleko-munikasi, penerbangan,
robotik, serta the new material-science industries. Jika dibiarkan, keadaan ini akan makin
menjauhkan negara miskin dan berkembang dari kesanggupannya untuk mengejar
ketertinggalannya, apalagi mensejajar-kan dirinya negara-negara maju.
Keempat, akibat dari globalisasi informasi akan menimbulkan gaya hidup baru dengan segala
eksesnya. Globalisasi memang menjanjikan kemudahan. Orang dapat berkomunikasi dengan apa
dan siapa saja, serta dapat bepergian dengan cepat ke mana pun ia suka. Berbagai ide dan ilmu
pengetahuan pun bertebaran di mana-mana dan dapat diakses oleh siapa pun. Namun, pada
waktu yang bersamaan, fenomena kehidupan destruktif pun seperti pergaulan bebas, penggunaan
obat-obatan terlarang, konsumerisme, hedonisme, permisi-visme, kriminalitas, dan
ketercerabutan atau keterpecahan jati diri, adalah fenomena kehidupan yang akan kian mewabah.
Fenomena itu akan merasuk seluruh lapisan masyarakat, baik yang ada di perkotaan maupun di
pinggiran.
Kelima, terjadinya kesenjangan antara peningkatan angka pertumbuhan penduduk serta
keseimbangan jumlah penduduk usia tua dengan usia muda di satu sisi, dengan kesiapan negara
dalam menanganinya di sisi lain. Mening-katnya jumlah penduduk akan menimbulkan tuntutan
penyediaan infrastruktur kehidupan baru termasuk lembaga pendidikan, kebutuhan belajar baru,
dan lapangan kerja yang juga baru. Sementara itu, ketidakseimbangan jumlah penduduk usia tua
dengan usia muda akan melahirkan persoalan yang tak kalah krusialnya.
Berbagai kecenderungan tersebut mau tidak mau berpengaruh terhadap berbagai sektor
kehidupan, termasuk pendidikan. Semestinya, pendidikan berada di garda terdepan dalam
mengantisipasi dan merespon perubahan yang sedang dan akan terjadi. Namun, kenyataan kerap
menunjukkan bahwa pendidikan kerap diperlakukan sekedar faktor pendukung belaka. Keadaan
ini terutama terjadi di negara miskin/berkembang yang menerapkan kebijakan pendidikan
sebagai trickle down effect dari bidang perekonomian. Akibatnya, dunia pendidikan kerap
kedodoran, idiot, atau bahkan mati rasa terhadap perubahan yang terjadi, stagnan atau reaktif,
dan hanya menghasilkan produk-produk didik yang usang dan tak berdaya dalam menghadapi
derasnya peru-bahan zaman. Keadaan seperti itu mengakibatkan terjadinya krisis pendidikan.
Krisis dalam pendidikan memang tidak bisa dihindari. Bahkan ia akan selalu terjadi. Betapa pun
kadarnya. Tidak hanya di negara-negara terbelakang/ berkembang, bahkan juga di negara-negara
maju. Krisis pendidikan itu tak hanya berkenaan dengan sistem, tetapi juga kepercayaan
masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri. Pemicunya tidak semata bersumber dari persoalan
domestik, tetapi juga masalah-masalah internasional lainnya, seperti perubahan lingkungan,
perubahan perkembangan berpikir dan kebijakan, serta perubahan pemikiran dalam pendidikan
(Coombs, 1985).
Pelbagai fenomena perkembangan zaman itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap/dan
harus diakomodasi oleh dunia pendidikan, terma-suk PMU. Perubahan yang sedang dan akan
terjadi harus menjadi pijakan bagi PMU untuk menata kembali arah dan sosok eksistensinya.
Sebab, bila tidak, maka PMU hanya akan menghasilkan manusia-manusia berijasah, tetapi lemah
tak berdaya dan tak berarti apa-apa. Jika itu terjadi, maka tepatlah apa yang dikatakan Ivan Illich
bahwa sekolah telah menemui kematiannya. Dan pproduk didik hanyalah ‘mayat-mayat
berjalan’ yang tak memiliki energi masa depan.
Dengan memperhatikan karakteristik PMU serta tantangan yang dihadapinya, maka dapatlah
digambarkan tuntutan yang berkenaan dengan hasil belajar peserta didik, institusi PMU, serta
pengelolaan PMU.
2. Tuntutan terhadap kemampuan peserta didik
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, PMU bertujuan membekali peserta didik dengan
kemampuan akademik yang tinggi agar dapat melanjut-kan studinya ke perguruan tinggi. Ini
berarti, kemampuan yang dimiliki peserta didik setlah mereka menyelesaikan PMU-nya terdiri
dari sub-subkemampuan berikut.
1. Pemahaman spiritualitas keagamaan yang diyakini peserta didik serta kebiasaan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Penguasaan secara solid dan komprehensif kerangka dasar pelbagai disiplin keilmuan untuk
dapat:
1)
mempelajari lebih lanjut state the art keilmuan di perguruan tinggi;
2)
memahami perkembangan ilmu pengetahuan;
3) mengaitkan dengan/dan menggunakannya secara kritits dan kreatif dalam memahami serta
memecahkan masalah dan fenomena kehidupan nayata.
1. Pemilikan kemauan, kebiasaan, dan kesanggupan untuk mengakses,mempel-ajari, memilih, dan
mengorganisasikan informasi dengan memanfaatkan pelbagai sumber, termasuk sumber
elektronik/komputer.
2. Penguasaan komunikasi dan kesanggupan berinteraksi secara terhormat di tengah-tengah
masyarakat yang beragam.
3. Pemilikan kemampuan bekerja sama dengan orang lain.
4. Pemahaman, pengembangan, dan pembaharuan potensi dan kemampuan diri sendiri, serta
kesanggupan mengambil keputusan terbaik tentang masa depannya.
5. Pemilikan kesanggupan untuk menikmati, mengapresiasi, dan mengekspre-sikan nilai-nilai
keindahan.
3. Tuntutan terhadap PMU
Keberadaan PMU merupakan jembatan strategis bagi pembekalan dan pengembangan individu
untuk dapat meraih hari esok yang lebih baik. Sebagaimana dipahami bersama, para siswa PMU
adalah para remaja yang begitu lulus sekolah akan memasuki fase kritis ambang dunia orang
dewasa. Kualitas pengalaman belajar yang diperoleh di PMU akan sangat menentukan
keberhasilan mereka dalam menempuh jenjang pendidikan tinggidan kehidupan selanjutnya.
Atas dasar itu, PMU memang harus terus berubah. Tetapi, perubahan itu tidak boleh superficial,
tambal sulam, dan hanya berada pada tataran sistem operasi. Perubahan itu harus berssifat
sistemik, integratif, dan holistik. Oleh karena itu pula, sudah saatnya untuk dilakukan reorientasi
dan penataan menyeluruh terhadap dunia PMU. Upaya itu dimaksudkan agar pendidikan dan
keluarannya selalu dapat memperbaharui diri dalam menghadapi berbagai perubahan yang
sedang dan akan terjadi.
Dengan memperhatikan karakteristik PMU dan tantangan yang akan dihadapi lulusannya kelak,
maka gambaran ideal tentang pendidikan pada PMU dapat ditinjau dari pelbagai segi, seperti
tujuan, substansi, dan delivery system.
1. a. Tujuan
Pendidikan menengah umum di Indonesia merupakan jenis dan jenjang pendidikan lanjut dari
pendidikan dasar, dalam hal ini SD/MI dan SMP/MTs, serta sekaligus sebagai program
intermediate yang membekali dan mempersiap-kan peserta didik untuk dapat melanjutkan studi
ke perguruan tinggi. Berdasarkan tujuan tersebut, maka corak dan substansi pendidikan pada
level PMU akan diwarnai secara kental dengan muatan akademik. Pemilikan kerangka dasar
keilmuan yang solid dan komprehensif memungkinkan peserta didik dapat mengikuti,
mempelajari, dan mengembangkannya lebih lanjut dalam konteks keilmuan yang lebih khusus
dan kompleks. Tujuan inti tersebut dibingkai dalam suatu tujuan utuh yang menjadikan peserta
didik dapat memiliki wawasan, sikap, dan keterampilan untuk hidup sebagai pribadi dan warga
sosial yang agamis, aktif, kritis, kreatif, produktif, dan bermakna.
1. b. Muatan pendidikan
Dengan memperhatikan tujuan PMU tersebut, muatan pendidikan harus menekankan pada
pembentukan dan pengembangan peserta didik sebagai sinatria saintis pinandita. Maksudnya,
sinatria mengacu pada pemilikan pribadi yang sehat, seimbang, bersemangat, antusias, sportif,
berani, tidak mudah menerima dan menyerah, serta rela berkorban untuk berdarma bakti dalam
menegakkan kebenaran, keluhuran, serta keadilan dalam peri kehidupan yang bermartabat.
Saintis merepresentasikan sikap dan kemampuan ilmuwan yang cerdas, kreatif, kritis, dinamis,
dan tak pernah berhenti untuk menemukan dan membangun pengetahuan baru. Pinandita
menggambarkan sosok pribadi yang arif, bermakna, menerangi, dan berbuat apa pun bagi
kemaslahatan diri dan orang lain dalam bingkai ajaran spiritualitas-keagamaan yang diyakininya.
Dengan ungkapan lain, pendidikan pada PMU harus dapat mempersiap-kan peserta didik untuk
dapat: (a) membangun dan mengembangkan sikap dan substansi keilmuan secara terus menerus
(knowledge constructor and developer), (b) mengarungi kehidupan (to make leaving), (c)
mengembangkan kehidupan yang bermakna, serta (d) memuliakan kehidupan itu sendiri (to
ennoble life).
Dalam perspektif Islam sebagai din atau way of life, pendidikan harus mampu menghantarkan
manusia pada kesanggupan untuk menunaikan tugas-tugas individu dan kekhalifahan secara utuh
dan harmoni dalam kerangka pengabdian kepada Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap diri dan kaitannya dengan Sang Pencipta, orang tua, dan lingkungan sosial, merupakan
fondasi pendidikan yang harus melandasi pengembangan keilmuan peserta didik.
Untuk mencapai kesanggupan tersebut, Philip H. Phenix dalam bukunya Realms of Meaning
(1964, dalam Buchori, 2001), menyatakan sebagai berikut.
1) Pendidikan harus dapat memfasilitasi tumbuh-kembangnya kemampuan yang bermakna.
Pengetahuan yang tak bermakna hanya menyia-nyiakan hidup anak karena tidak berguna dan
menjadi beban hidupnya. Sebaliknya, pengetahuan yang bermakna merupakan sesuatu yang
fungsional, yang akan bermanfaat bagi hidup anak.
2) Dalam wilayah pendidikan terdapat enam jenis wilayah makna, yaitu makna: simbolik,
empirik, estetik, sinutik, etik, dan sinoptik. Pemahaman makna simbolik diungkapkan melalui
pendidikan bahasa (termasuk bahasa asing), matematika, dan nondiscursive system; makna
empirik disediakan melalui pendidikan lingkungan fisik (fisika, kimia, biologi), lingkungan
sosial, dan lingkungan budaya; makna estetik diajarkan melalui seni (seni suara, musik, gambar,
dan gerak); makna sinutik (pengetahuan personal dan pemahaman antarsubjektivitas) disajikan
melalui karya sastra drama dan bahasan film atau pelbagai jenis cerita lain; makna etik
ditanamkan melalui pendidikan sosial dan kewarganegaraan, serta makna sinoptik yang
diinternalisasikan melalui pelajaran filsafat, sejarah, dan agama. Keenam makna itu pada
dasarnya merupa-kan satu kesatuan interaktif yang saling terkait dan mempengaruhi. Bukan
sebagai elemen-elemen yang terpisah secara linear dan diskrit.
1. c. Orientasi dalam penyelenggaraan pendidikan
Dengan memperhatikan tantangan, karakteristik, serta tuntutan terhadap tujuan dan peserta
didik, maka implementasi pendidikan pada PMU hendaknya bertolak dari paradigma berikut.
1) Berorientasi pada kebutuhan hidup nyata dan keakanan
Pemikiran ini memiliki implikasi berikut terhadap penyelenggaraan pendi-dikan.
a)
Inti dalam pendidikan adalah menemukan dan memahami makna ilmu dan kehidupan itu
sendiri. Pengetahuan yang tak bemakna, tidak ada gunanya dan hanya menjadi sebuah kesiasiaan. Sebaliknya, pengetahuan yang bermakna merupakan sesuatu yang fungsional dan berguna
dalam kehidupan. Pengetahuan yang bermakna bukan sekedar penguasaan fakta-fakta,
melainkan juga berupa dasar-dasar keilmuan yang kukuh dan menyeluruh serta terkait
dengan/dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Karena itu:



pendidikan harus dapat membekali peserta didik dengan kemampuan untuk mema-hami dan
mengembangkan pengetahuan dan problematika baru, sehingga apa yang diperoleh peserta
didik tidak segera usang dan mubazir karena kelenturan dan daya antisipasi yang dimilikinya,
atau yang disebut Buchori (2001) dengan pendidikan antisipatoris atau pendidikan yang
berorientasi pada keakanan;
apa yang dipelajari peserta didik di sekolah harus terkait dan dapat diterapkan dengan apa
yang terjadi di luar sekolah, atau disebut dengan integration in and out of school (Gavelek,
2000), yang dikemas dalam bentuk pengalaman belajar problem solving; serta
pengemasan substansi pendidikan tidak dikemas hanya dalam divisi-divisi atomistik bidang
studi, tetapi juga dalam kesatuan keilmuan yang utuh, yang disebut dengan integarated study
atau integration curriculum (Beane, 1997).
b) Kehidupan bukan melulu persoalan fisik-materiil, tetapi juga masalah psikis-spiritual dan
sosial. Oleh karena itu, pendidikan harus dapat menyentuh multidimensi kemanusiaan peserta
didik secara utuh dan seimbang.
2) Beorientasi pada belajar dan belajar seumur hidup
Kehidupan itu selalu berubah, terlebih lagi pada era global ini. Pengetahuan dan keterampilan
yang telah diperoleh peserta didik sebelumnya, bisa jadi akan segera usang dan imun ketika
dihadapkan pada pelbagai perubahan yang terjadi. Keadaan itu menuntut manusia untuk dapat
memperbaharui dirinya secara terus menerus melalui belajar, termasuk pendidikan dan pelatihan
kembali (reeducation and retrained).
Oleh karena itu, dunia pendidikan perlu membekali peserta didik dengan kemampuan belajar
yang tinggi agar mereka berkesanggupan untuk menjadi pebelajar seumur hidup. Kesanggupan
individu itu pada akhirnya akan membentuk masyarakat pebelajar (learners community) atau
komunitas pendidikan (educational community), yang akan menjadi bagian dari masyarakat
madani (civil society) sebagai kekuatan penopang dalam menentukan martabat suatu bangsa dan
negara.
Implikasi dari paradigma pendidikan tersebut adalah sebagai berikut.
a)
Pendidikan harus dapat membekali peserta didik dengan:

Kerangka dasar keilmuan, yang memungkinkan peserta didik dapat memahami pelbagai
perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi.

Kemauan dan kemampuan belajar (willing and learning to learn), yang berhubungan dengan
kesanggupan mencari, menemukan, memilah, mengolah, dan memanfaatkan informasi bagi
pengembangan diri anak dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi.
b) Pembelajaran bukan sekedar penyediaan fakta, melainkan pengalaman belajar yang
memungkinkan peserta didik terlibat secara aktif untuk memahami, menghayati, dan
membangun pengetahuan yang dipela-jarinya. Pengalaman belajar merupakan refleksi atas
tujuan yang akan diupayakan capaiannya oleh guru dan peserta didik.
c) Kemajuan dan keragaman media publikasi memungkinkan peserta didik untuk dapat
belajar kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja, dan dari siapa saja. Karenanya, dalam
hal-hal tertentu, bisa jadi peserta didik memiliki informasi yang lebih baik daripada gurunya.
Keadaan ini memerlukan perubahan pendulum dalam pendidikan dari pengajaran menjadi belajar
dan pembelajaran. Pembelajaran berarti melakukan pelbagai upaya agar siswa dapat belajar.
Belajar artinya segenap kegiatan dan pengalaman yang secara aktif dikerjakan dan dihayati siswa
dalam mengubah perilakunya. Dalam konteks ini, maka peran guru bukan lagi sebagai satusatunya sumber informasi dan transmitter atau penerus informasi itu. Guru lebih berperan
sebagai partner, motivator, dan fasili-tator yang membantu dan memicu siswa untuk dapat
belajar dan menjadi pebelajar yang baik.
3) Berorientasi pada makna
Dalam Learning: The Treasure Within, Unesco (1996) menyatakan bahwa hakikat pendidikan
adalah belajar. Dengan demikian, layanan pendidikan harus dilakukan untuk mencapai adanya
lima pilar belajar berikut.





Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Belajar untuk memahami dan menghayati, yang terjadi tidak hanya di sekolah tetapi sepanjang
hidup (learning to know).
Belajar untuk dapat menerapkan secara efektif apa yang telah dipahami, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam dunia kerja (learning to do).
Belajar untuk menemukan dan membangun jati diri menjadi manusia yang produktif, utuh, dan
bermakna (learning to be).
Belajar untuk sanggup hidup bersama secara damai dengan prinsip-prinsip saling membantu,
saling menghormati hak-hak orang lain, dan saling menjaga, baik dalam kapasitasnya sebagai
penduduk suatu negara maupun sebagai warga dunia (learning to live together).
Pendidikan yang menerapkan kelima pilar tersebut memungkinkan peserta didik untuk meraih
kehidupan yang bermakna. Untuk mewujudkan orientasi tersebut, penyediaan layanan
pendidikan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

Tugas tersebut tidak mungkin sepenuhnya dibebankan kepada sekolah. Di samping memperoleh
pengalaman pendidikan formal, siswa harus mendapat peluang untuk dapat memperoleh
pendidikan informal dan nonformal. Dipandang dari prinsip ini, kurikulum yang menyita seluruh
waktu dan energi anak sehingga anak tidak sempat lagi memikirkan siapa sebenarnya dia dan
apa yang sebaiknya akan ia lakukan dalam hidupnya, adalah suatu kurikulum yang
mendangkalkan tujuan pendidikan itu sendiri.

Substansi pendidikan tidak boleh berhenti sebatas apa dan bagaimana, tetapi juga harus dapat
menyentuh aspek mengapa.
4) Beorientasi pada keutuhan dan keunikan peserta didik
Kehidupan memiliki dimensi dan tantangan yang kompleks. Keberhasilan hidup tak cuma
ditentukan oleh ketinggian intelegensia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Utami Munandar
dan tim dari Fakultas Psikologi UI pada tahun 80-an menunjukkan betapa banyak anak yang
jenius gagal dalam belajar dan bidang kehidupan lainnya. Umumnya orang-orang besar dan
manajer yang berhasil bukan karena kejenialan yang mereka memiliki, melainkan karena
kecerdasan dalam mengendalikan emosi dirinya. Oleh karena itu, pendidikan harus memberikan
perhatian yang seimbang terha-dap aspek kognitif, sosio-emosional, spiritual, dan psikomotor.
5) Beorientasi pada proses dan hasil
Dalam perpektif konstruktivisme, kegiatan belajar merupakan sebuah proses aktif dan interaktif
yang mendorong siswa untuk menemukan, mengolah, dan membangun pengetahuannya sendiri
dengan bantuan dari lingkungan, yang disebut scaffolder. Tyler (1949) pun menyatakan bahwa
pengalaman belajar merupakan sebuah proses penting yang harus dilalui peserta didik untuk
dapat memperoleh hasil belajar yang bermakna. Tanpa proses yang berkualitas, sulit akan dapat
dihasilkan produk belajar yang bermutu, sebagaimana pula dianut oleh prinsip TQM dalam
pendidikan.
Dalam perspektif ini, proses dan hasil belajar sama pentingnya. Pembelajaran yang melulu hanya
berfokus pada hasil akan membuahkan internalisasi kegiatan belajar yang dangkal dan sikap
instan atau tidak sabar dalam meraih sesuatu, serta pelbagai dampak negatif lainnya. Begitu pula
halnya, belajar yang hanya berfokus pada proses akan menjadikan peserta didik kurang terfokus
serta tak terbiasa efisien dalam mencapai sebuah tujuan.
BAB III. MODEL KURIKULUM PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PENDIDIKAN MENENGAH UMUM (PMU)
A. Landas Pikir Pengembangan Kurikulum
1. Hakikat bahasa dan bahasa Indonesia
Para ahli merumuskan makna bahasa secara bervariasi, sesuai dengan minat dan sudut pandang
penyusunnya, seperti contoh berikut.
1. Bahasa adalah sebuah simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia
(Wardhaugh, 1972);
2. Bahasa ialah sebuah alat untuk mengkomunikasikan gagasan atau perasaan secara sistematis
melalui penggunaan tanda, suara, gerak, atau tanda-tanda yang disepakati, yang memiliki
makna yang dipahami (Webster’s New Collegiate Dictionary, 1981);
3. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota sosial
untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri (Kentjono, Ed., 1984:2);
4. Bahasa ialah salah satu dari dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama
membentuk budaya manusia (Halliday dan Hasan, 1991).
Dari pelbagai definisi tersebut, tampaklah bahwa pada dasarnya bahasa memiliki karakteristik
sebagai berikut.
1. a. Bahasa adalah sebuah sistem
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sitematis dan sitemis. Sistematis artinya bahasa itu dapat
diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombi-nasi dengan kaidah-kaidah yang dapat
diramalkan. Jika bahasa tidak sistematis, maka bahasa akan kacau, tidak bermakna, dan sulit
dipelajari. Sistemis artinya bahasa terdiri dari sejumlah subsistem, yang satu sama lain saling
terkait dan membentuk satu kesatuan utuh yang bermakna. Subsistem bahasa terdiri atas:
subsistem fonologi (bunyi-bunyi bahasa), subsistem gramatika (morfologi, sintaksis, dan
wacana), serta subsistem leksikon (kosakata). Ketiga subsistem itu menghasilkan dunia bunyi
dan dunia makna, yang membentuk sistem bahasa.
1. b. Bahasa merupakan sistem lambang yang arbitrer dan konvensional
Bahasa merupakan sistem simbol bunyi dan/atau tulisan yang diperguna-kan dan disepakati
oleh suatu kelompok mayarakat penggunanya. Sebagai sebuah simbol, bahasa memiliki arti.
Keberadaan simbol menjadikan interaksi berbahasa antarpenutur lebih mudah. Karena simbol itu
merupakan sistem, maka untuk memahaminya harus dipelajari. Mengapa harus dipelajari?
Pertama, karena penamaan suatu obyek atau peristiwa yang sama antara satu masyarakat bahasa
dengan masyarakat bahasa lainnya cenderung berbeda. Kedua, bahasa terdiri dari aturan-aturan
atau kaidah yang disepakati. Ketiga, tidak ada hubungan langsung dan wajib antara simbol
bahasa dengan obyeknya. Hubungan keduanya bersifat manasuka (arbitrer). Tak dapat
dijelaskan mengapa orang Indonesia menamai ’hewan yang hidup di air, ada siripnya, dan biasa
dikonsumsi’ dengan kata ikan; orang Sunda menamainya lauk; orang Jawa menyebutnya iwak;
orang Inggris memanggilnya fish; dan orang Arab mengata-kannya samak.
1. c. Bahasa bersifat produktif
Jumlah fonem, huruf, dan pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia itu sangat terbatas. Tetapi,
dengan keterbatasannya itu dapat dihasilkan satuan bahasa dalam jumlah yang tak terbatas. Kita
dapat membentuk ribuan kata, kalimat, atau wacana dengan segala variasinya, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat penggunanya.
1. d. Bahasa memiliki fungsi dan variasi
Bahasa tercipta karena kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan
eksistensinya. Dengan bahasa manusia dapat mengeks-presikan dan menangkap pikiran,
perasaan, dan nilai-nilai diri dan orang lain, sehingga dapat memahami, dipahami, dan bekerja
sama. Dengan demikian, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi.
Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi personal, yang mengacu
pada peranan bahasa sebagai alat untuk mengung-kapkan pikiran dan perasaan setiap diri
manusia sebagai makhluk individu. Kedua, fungsi sosial, yang merujuk pada peranan bahasa
sebagai alat komunikasi dan berinteraksi antar-individu atau antarkelompok sosial.
Secara rinci, Halliday (1975, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) meng-identifikasi tujuh
fungsi bahasa, yaitu: (1) fungsi personal (untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, sikap, atau
perasaan pemakainya), (2) fungsi regulator (untuk mempengaruhi sikap atau pikiran/pendapat
orang lain), (3) fungsi interaksional (untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan sosial,
seperti sapaan, basa-basi, simpati, atau penghiburan), (4) fungsi informatif (untuk
menyampaikaninformasi, ilmu pengetahuan, atau budaya), (5) fungsi heuristik (untuk belajar
atau memper-oleh informasi, seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan atas sesuatu hal), (6)
fungsi imajinatif (untuk memenuhi dan menyalurkan rasa estetis), serta (7) fungsi instrumental
(untuk mengungkapkan keinginan atau kebutuhan pema-kainya).
Suatu bahasa digunakan untuk berbagai kebutuhan dan tujuan dalam konteks yang berbeda-beda.
Karena itu suatu bahasa tidak pernah tampil statik atau seragam. Perbedaan pengguna (individual
atau kelompok) dan penggunaan bahasa (topik, latar, situasi, dan tujuan) menimbulkan variasi
wujud suatu bahasa, yang disebut ragam bahasa. Dari perspektif ini muncullah istilah ragam
bahasa: baku-tak baku, formal-tak formal, ilmiah-sastra, lisan-tulis, jurnalistik, ekonomi, dsb.
Sebagai sebuah produk kebudayaan, bahasa juga merupakan simbol kelompok, yang
mencerminkan identitas masyarakat penggunanya. Anggota masyarakat suatu bahasa diikat oleh
perasaan sebagai satu kesatuan, yang membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya.
Bahasa Indonesia adalah jati diri masyarakat dan bangsa Indonesia, yang memiliki ciri khas
tersendiri, yang berbeda dari bahasa lain. Kendati memiliki akar bahasa yang sama, yaitu bahasa
Melayu, bahasa Indonesia memiliki ciri yang khas dibandingka dengan bahasa Melayu Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Lalu, apa bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Penggunaannya
yang meluas sebagai lingua franca dalam wilayah Nusantara, menjadikan bahasa tersebut
disepakati dalam Sumpah Pemuda 1928 sebagai bahasa negara dan bahasa nasional di
lingkungan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangannya kemudian,
bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup memperkaya dirinya dengan kata-kata yang
bersumber dari perekayasaan internal serta adopsi dan/atau adaptasi dari bahasa daerah dan
bahasa asing.
2. Hakikat peserta didik PMU dalam belajar bahasa Indonesia
Bangsa Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat poliglot (multibahasa). Mereka berasal dari
pelbagai suku dengan budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Keadaan ini menjadikan para siswa
pendidikan menengah berpeluang menguasai lebih dari satu bahasa. Lalu, mana dulu bahasa
yang dikenal peserta didik? Bahasa daerah atau bahasa Indoensia dulu, atau sebaliknya?
Ada tiga kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, para siswa lebih dulu mempelajari
dan menguasai bahasa ibunya, baru kemudian bahasa Indonesia. Bagi mereka, bahasa Indonesia
merupakan bahasa kedua (second language), yang diperoleh secara berurutan (sequencial
language acquisition). Kemungkinan kedua, bahasa Ibu dan bahasa Indonesia dipelajari
simultan. Bagi mereka, bahasa Indonesia seperti halnya bahasa Ibu merupakan bahasa pertama
(first language) yang diperoleh secara serempak (simultaneous languge acquisitioon).
Kemungkinan ketiga, seiring dengan derasnya perpindahan anggota masyarakat suatu suku ke
daerah suku lain, perkawinan antarsuku, dan banyaknya masya-rakat yang tinggal di kota-kota
besar, tak jarang pula seorang anak hanya menguasai satu bahasa. Mereka dibesarkan di dalam
situasi komunikasi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa yang pertama kali dikenal,
dikuasai, dan digunakan dalam tindak komunikasi adalah bahasa Indonesia. Bagi mereka bahasa
Indonesia merupakan bahasa pertama (first language).
Ketika mereka masuk ke pendidikan menengah, apa pun status pemer-olehan bahasa
Indonesianya (bahasa pertama/kedua), pada umumnya mereka telah dapat berbahasa Indonesia
dengan lancar. Oleh karena itu, kebutuhan mereka dalam belajar bahasa di PMU tidak lagi
berupa kemahiran berbahasa elementer. Yang mereka perlukan adalah penguasaan kemampuan
berbahasa yang lebih kompleks dengan tantangan yang lebih tinggi (lisan/tulis), yang terkait
dengan kepentingan pengembangan diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan pengekspresian
diri yang lebih cerdas dan elegan.
3. Hakikat belajar
Gagne (1977) menganalogkan belajar dengan sebuah proses membangun gedung. Anak-anak
secara terus menerus membangun makna baru (pengeta-huan, sikap, dan keterampilan)
berdasarkan apa yang telah mereka kuasai sebelumnya. Anak atau peserta didik adalah orang
yang membangun. Makna adalah apa yang mereka bangun. Apa yang mereka miliki atau kuasai
sebelumnya adalah material atau bahan bangunan yang mereka gunakan untuk membangun.
Belajar adalah sebuah proses penambahan bagian demi bagian informasi baru terhadap
informasi yang telah mereka ketahui dan kuasai sebelumnya. Ini terjadi karena belajar
merupakan proses developmental. Perkembangan kognitif anak terkait dengan kematangan
biologis, psikologis, dan sosialnya. Proses belajar terjadi ketika siswa dapat menghubungkan apa
yang telah mereka ketahui dengan apa yang mereka temukan dalam pengalaman belajar yang
terjadi melalui interaksi yang bermakna antara siswa dengan siswa, guru, bahan pelajaran, dan
lingkungan belajarnya. Ini berarti siswa dapat belajar dengan baik ketika mereka mendapat
dukungan dari orang lain yang memiliki pengetahuan lebih sehingga mereka terbantu untuk
dapat belajar secara lebih mandiri. Dalam perspektif ini, guru berperan sebagai inspirator,
fasilitator, direktor, dan scaffolder (Piaget dan Vygostky, dalam Greedler, 1992).
Menurut Goodman (1987), siswa belajar dengan menggunakan tiga cara, yaitu melalui
pengalaman (dengan kegiatan langsung atau tidak langsung), pengamatan (melihat contoh atau
model), dan bahasa. Dengan cara-cara seperti itu, siswa belajar melalui kehidupan secara
langsung. Mereka menggali, mela-kukan, menguji coba, menemukan, mengungkapkan, dan
membangun secara aktif pengetahuan yang baru melalui konteks yang otentik. Ini berarti,
kegiatan belajar berlangsung melalui apa yang dilakukan secara aktif oleh siswa. Sesibuk apa
pun yang dilakukan guru, jika anak tidak belajar, maka sebenarnya pembelajaran tidak pernah
terjadi.
Menjadikan siswa sebagai knowledge constructor atau discoverer itu memang tidak mudah.
Perlu waktu, kesabaran, dan keahlian tertentu. Akan tetapi, belajar dengan cara itu akan
memberikan hasil yang lebih bermakna bagi siswa. Mengapa? Karena yang dipelajari relevan
dengan kebutuhan dan kehidupan nyata. Keadaan ini dapat menimbulkan daya retensi yang
lebih tinggi, daripada perolehan pengetahuan yang dilakukan sekedar melalui ’penjejalan’ dan
’penerusan’ informasi belaka. Dari perspektif ini, indikator tingkat kebelajaran siswa terletak
pada seberapa jauh guru dapat melibatkan siswa secara aktif dalam belajar (Tyler, 1949; Kemp,
1985; Reece dan Walker, 1997; serta Glover dan Law, 2002; Sukmadinata, 2004).
4. Hakikat belajar bahasa
Sebelum masuk sekolah, anak belajar bahasa melalui komunitasnya: keluarga, teman, media
radio atau televisi, dan lingkungannya. Anak memahami apa yang dikatakan oleh
lingkungannya; sekaligus, ia pun menyampaikan ide dan perasaannya melalui bahasa. Hanya
dalam waktu sekitar empat tahun, anak-anak telah menguasai sistem yang kompleks dari bahasa
ibunya. Mereka telah dapat memahami kalimat-kalimat yang lebih kompleks, yang belum pernah
didengar sebelumnya, serta menghasilkan kalimat-kalimat baru yang cukup rumit, yang belum
pernah terucap sebelumnya. Lalu, bagaimana mereka belajar bahasa sehingga hasilnya begitu
luar biasa?
Cukup banyak pendapat tentang bagaimana anak belajar dan menguasai bahasa. Pelbagai
pendapat itu dapat diklasifikasikan atas tiga pandangan. Pertama, pandangan nativistik yang
berpendapat setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemampuan bawaan atau alami
untuk dapat berbahasa. Selama belajar bahasa, sedikit demi sedikit potensi berbahasa yang secara
genetis telah terprogram menjadi terbuka dan berkembang. Kemampuan bawaan berbahasa itu
disebut dengan ’piranti pemerolehan bahasa’ (language acquisition device, atau LAD) yang
berpusat di otak. Piranti itulah yang membuat anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip
dan ekor yang memungkinkan seekor ikan bisa berenang. Cara kerja LAD adalah sebagai
berikut.
MASUKAN LAD KELUARAN
Gambar 2 Cara Kerja LAD
Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak memberikan masukan berbahasa kepada anak.
Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD dengan memakai potensi gramatika bahasa anak
sehingga tersusunlah pola-pola kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak, yang
kemudian tercermin dalam tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai dengan
pola ujar orang dewasa (Chomsky dalam Santrock, 1994; Cahyono, 1995).
Kedua, pandangan behavioristik, yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa anak ditentukan
oleh rangsangan yang diberikan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya
sebagai penerima pasif dan peniru belaka. Perkembangan bahasa anak sangat ditentukan oleh
kekayaan dan lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungan, serta peniruan yang dilakukan
anak terhadap tindak berbahasa lingkungannya.
Ketiga, pandangan kognitif, yang berpendapat bahwa penguasaan dan perkembangan bahasa
anak ditentukan oleh daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta memberikan pengaruhnya
terhadap perkembangan intelektual dan bahasa anak, kalau si anak sendiri tidak melibatkan diri
secara aktif dengan lingkungannya. Dengan kata lain, anaklah yang berperan aktif untuk terlibat
dengan lingkungannya agar penguasaan bahasanya dapat berkembang secara optimal. Ketika si
ibu mengajak berbicara dengan anak, misalnya, si anak akan meresponnya dengan berbagai cara
yang tidak selalu sama dengan cara yang pernah dipertunjukkan si ibu sebelumnya. Cara anak
menanggapi apa yang disampaikan oleh ibunya, bersumber dari kemampuan berpikir anak.
Bukan karena menirukan atau mencontoh tuturan orang dewasa.
Anak-anak belajar dan menguasai bahasa tanpa disadari, dan tanpa beban, apalagi diajari secara
khusus. Mereka belajar bahasa melalui pola berikut.
1. a. Semua komponen, sistem, dan keterampilan bahasa dipelajari secara terpadu
Ketika anak belajar berbicara, dia sekaligus belajar menyimak. Pada saat itu pula, tanpa disadari,
mereka pun mempelajari dan menguasai komponen dan aturan bahasa seperti: bunyi bahasa
berikut sistem fonologinya, satuan bahasa (seperti frase, kalimat, wacana, intonasi) berikut
sistem gramatika, kosa kata dan sistem pengunaannya, serta pragmatik yang memungkinkan
mereka dapat memilih dan menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan fungsi dan tujuan
berbahasa.
1. b. Belajar bahasa dilakukan secara alami, langsung, dan kontekstual
Anak-anak belajar bahasa tanpa terlebih dulu belajar teori bahasa, melainkan melalui
pengalaman langsung dalam kegiatan berbahasa (immersion) melalui interaksi dengan keluarga,
pengasuh, teman bermain, dan lingkungannya dalam konteks nyata, alami, dan tidak dibuat-buat
(otentik). Tak ada satu pun orang tua yang mengajari anaknya berbahasa dengan mengajarkan
teori bahasa lebih dulu. Komponen, sistem, dan keterampilan berbahasa yang dikuasai anak
dibangun secara tidak sadar berdasarkan pengalaman bahasanya.
Komunitas di mana anak tumbuh dan berkembang memberikan inspirasi, masukan, dan model
dalam belajar bahasa. Oleh karena itu, kualitas berba-hasa komunitas yang mengitari anak, akan
mempengaruhi pula corak berba-hasa yang dikuasai dan dihasilkannya. Jika masukan dan model
berbahasa yang diperoleh anak kaya dan bagus, maka akan tinggi dan bagus pula bahasa yang
dikuasai anak. Begitu pula, sebaliknya.
1. c. Belajar bahasa dilakukan secara bertahap
Anak belajar bahasa secara bertahap, seiring dengan pertumbuhan fisik, intelektual, sosial, dan
kebutuhan mereka. Mereka belajar bahasa mulai dari tahap meracau, holofrasis, satu kata, dua
kata, hingga yang paling kompleks. Jika masukan bahasa yang mereka terima tidak sesuai
dengan kebutuhan mereka, atau ternyata terlalu sulit, maka mereka akan mengabaikannya.
Mereka belajar bahasa dari yang sederhana menunju yang rumit, dari yang dekat menuju yang
jauh, dan konkret menuju yang abstrak, serta sesuai dengan keperluan kehidupan mereka.
1. Belajar bahasa dilakukan melalui strategi uji-coba dan strategi lainnya
Mencontoh adalah salah satu cara yang dilakukan anak dalam belajar bahasa. Namun demikian,
perilaku mencontoh yang dilakukan anak tidak seperti halnya beo yang mengikuti apa saja yang
’diajarkan’ orang kepadanya. Peniruan atau pencontohan anak dilakukannya secara kreatif atas
peristiwa berbahasa yang disediakan lingkungannya. Ia mengolah dan menerapkannya secara
langsung dalam berbahasa melalui strategi uji-coba. Kalau ternyata unjuk berbahasa yang dia
lakukan mendapat repon yang ia harapkan, maka si anak akan melanjutkannya dengan kreasikreasi berbahasa lainnya. Sebaliknya, bila anak merasa apa yang disampaikkanya tidak pas,
maka ia akan menghentikan dan memperbaikinya.
Dalam perspektif ini, kesalahan anak dalam belajar bahasa harus disikapi secara wajar, dan
dianggap sebagai bagian penting dari belajar bahasa itu sendiri. Dengan strategi itu, tak jarang
tingkah berbahasa anak akan membuat orang tuanya terkaget-kaget karena anak ternyata dapat
mema-hami dan menghasilkan tuturan baru, yang tidak pernah didengar dan diucapkan
sebelumnya.
1. e. Anak belajar bahasa karena ia memerlukannya
Anak belajar bahasa bukan demi bahasa itu sendiri. Ia belajar bahasa tidak untuk mengetahui apa
itu fonem, morfem, kalimat, makna, atau terminologi linguistik lainnya. Anak belajar bahasa
karena ia perlu untuk kelangsungan hidupnya: untuk memahami dan dipahami, untuk diakui dan
mengakui, serta untuk merespon dan direspon.
B. Kurikulum Bahasa Indonesia PMU
1. Tujuan dan Muatan Kurikulum Bahasa Idonesia PMU
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta
didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempel-ajari semua bidang studi.
Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan
budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan
imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan
baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil
karya kesastraan manusia Indonesia.
Beranjak dari paparan tersebut dan dengan memperhatikan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar isi, kedudukan dan misi pelajaran Bahasa Indonesia PMU tersebar ke dalam tiga
kelompok mata pelajaran berikut.
1. Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian bertujuan: mem-bentuk peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai
melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan
budaya, dan pendidikan jasmani.
2. Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan: mengem-bangkan logika,
kemampuan berpikir dan analisis peserta didik. Pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB/Paket
C, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/ atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi,
serta muatan lokal yang relevan
3. Kelompok mata pelajaran Estetika bertujuan: membentuk karakter peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan
dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk membekali
siswa PMU dengan kemampuan minimal dalam hal: penguasaan pengetahuan, keterampilan
berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Secara spesifik, tujuan
pembelajaran Bahasa Indone-sia tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan
maupun tulis
2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa negara.
3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai
tujuan.
4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta
kematangan emosional dan sosial.
5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memper-halus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia.
Perangkat tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kemampuan minimal yang harus dikuasai lulusan
PMU (Program IPA dan IPS) dalam belajar bahasa Indonesia. Kemampuan minimal itu dikemas
ke dalam komponen kemampuan berbahasa dan bersastra berikut.
1. a. Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan penyampaian berita, laporan, saran, pidato,
wawancara, diskusi, seminar, dan pembacaan karya sastra berbentuk puisi, cerita rakyat,
drama, cerpen, dan novel.
1. b. Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam
kegiatan berkenalan, diskusi, bercerita, presentasi hasil penelitian, serta mengomentari
pembacaan puisi dan pementasan drama
1. c. Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis teks non-sastra berbentuk
grafik, tabel, artikel, tajuk rencana, teks pidato, serta teks sastra berbentuk puisi, hikayat, novel,
biografi, puisi kontemporer, karya sastra berbagai angkatan dan sastra Melayu klasik
1. d. Menulis
Menggunakan berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan
informasi dalam bentuk teks narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, teks pidato, proposal,
surat dinas, surat dagang, rangkuman, ringkasan, notulen, laporan, resensi, karya ilmiah, dan
berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerpen, drama, kritik, dan esei.
Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku
sastra dan nonsastra. Selanjutnya, SKL-MP Bahasa Indonesia tersebut dijabarkan ke dalam
serangkaian standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD) terlampir.
Mencermati paparan tentang tentang tujuan dan SKL-MP Bahasa Indonesia, lalu bagaimana
menyiasatinya ke dalam kurikulum dan pembelajaran? Pada dasarnya, materi kajian mata
pelajaran Bahasa Indonesia terdiri dari tiga bidang: (1) kebahasaan, yang mencakup: sejarah,
fungsi dan kedudukan, serta teori bahasa seperti fonologi, ejaan, morfologi, sintaksis, dan
semantik; (2) keterampilan berbahasa, yang meliputi: mendengarkan atau menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis; serta (3) Ketiga, kesastraan, yang terdiri dari pengetahuan dan apresiasi
sastra.
Dalam Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006, materi kebahasaan tidak diterakan secara
rinci dan eksplisit. Ini berarti, guru dituntut untuk dapat menafsirkan sendiri rincian aspek
kebahasaan yang harus diajarkan kepada siswa. Implisitasi materi kebahasaan tampaknya
pengembang SKL-MP berpikir bahwa materi tersebut terintegrasi ke dalam kegiatan berbahasa
dan bersastra. Sementara itu, untuk membangun kegemaran dan kemampuan membaca, siswa
PMU diwajibkan membaca buku sastra dan nonsastra sekurang-kurangnya 15 buah buku.
Itu berarti, pengemasan SKL dan SK-KD mata pelajaran Bahasa Indonesia ke dalam kurikulum
dan pembelajarannya harus memperhatikan rambu-rambu berikut.
1. Sajian pelajaran bahasa Indonesia dikemas ke dalam aspek kemampuan berbahasa dan
bersastra melalui kegiatan: mendengarkan, berbicara, mem-baca, dan menulis.
2. Pembelajaran lebih menekankan pada penguasaan fungsi komunikasi bahasa Indonesia. Ini
berarti, pembelajaran berbahasa harus dapat membekali siswa dengan kemampuan memahami
dan menggunakan bahasa secara kritis dan kreatif sesuai dengan maksud, fungsi, dan situasi
berbahasa.
3. Pembelajaran bahasa tidak ditujukan sebatas bahasa itu sendiri. Pembelajaran bahasa harus
dapat membekali siswa dengan kemampuan untuk mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan,
teknologi, budaya, dan seni, serta menemukan, mempelajari, mengolah, dan mengorganisasikan
infor-masi. Dengan upaya ini, siswa diharapkan memiliki kebiasaan dan kebisaan untuk menjadi
pebelajar mandiri seumur hidup.
4. Pembelajaran bahasa harus dapat menumbuhkan kebanggaan dan daya apresiasi terhadap
bahasa dan sastra Indonesia. Ini berarti pembelajaran tidak hanya menyentuh dimensi nalar dan
keterampilan semata, tetapi juga aspek rasa, estetika, imajinasi, spiritualitas, dan ketinggian
akhlak siswa.
5. Pembelajaran pelbagai aspek bahasa Indonesia (kebahasaan, kesastraan, dan keterampilan
berbahasa) dilakukan secara terpadu atau tematik, tidak secara terpisah-pisah.
6. Dalam membangun kegemaran dan kemampuan membaca, pembelajaran melibatkan berbagai
sumber yang utuh dan otentik dalam bentuk buku, artikel, karya sastra, atau bahan/sumber
lainnya. Ini berarti pembelajaran membaca tidak lagi disajikan dalam bentuk serpihan-serpihan
bacaan yang sepotong-sepotong sebagaimana biasanya disajikan dalam buku teks.
Untuk mewujudkan sajian pelajaran Bahasa Indonesia yang seperti itu, maka daerah, sekolah,
dan guru:
1. memusatkan perhatian pada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan
menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
2. menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan secara mandiri dan leluasa sesuai dengan
kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
3. melibatkan orang tua dan masyarakat secara aktif dalam pelaksanaan program kebahasaan dan
kesastraan di sekolah;
4. menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan
peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; serta
5. menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan
kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
2. Konsep dan Model Kurikulum Bahasa Indonesia
Hingga Kurikulum 1984, materi pelajaran Bahasa Indonesia sangat kental diwarnai oleh model
kurikulum subjek akademik dengan pendekatan struktural. Sasaran belajar lebih mengarah pada
penguasaan ilmu bahasa atau linguistik dan sastra. Sementara pengorganisasian materi pelajaran
—–kebahasaan, kesas-traan, dan keterampilan berbahasa—– disajikan sendiri-sendiri secara
isolatif.
Kecenderungan itu mulai bergeser sejak Kurikulum 1994. Kendati nuansa kurikulum subjek
akademik masih tampak jelas, tetapi upaya mengakomodasi pemikiran progresivisme mulai
terlihat. Tujuan kurikuler pelajaran Bahasa Indo-nesia pun lebih ditekankan pada penguasaan
kemahiran berbahasa dan apresiasi sastra, yang dikaitkan dengan pembentukan kemampuan
peserta didik dalam menghadapi realita kehidupan. Pengorganisasian materi ajar dikemas dalam
bentuk kegiatan-kegiatan belajar. Namun demikian, materi kebahasaan dan kesastraan masih
tersaji dalam daftar khusus secara terpisah.
Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun
2006, setiap sekolah berkewenangan untuk mengembangkan sendiri kurikulum pendidikannya
dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan, standar kompetensi dan kompetensi dasar
mata pelajaran, serta perangkat acuan standar nasional lainnya. Sekolah bebas untuk memilih
dan mengembangkan sendiri model kurikulum yang diperlukannya, termasuk untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia.
Dengan mempertimbangkan hakikat peserta didik, hakikat belajar, hakikat belajar bahasa
Indonesia, tujuan kurikuler, dan karakteristik mata pelajaran Bahasa Indonesia, penulis
berpendapat bahwa model kurikulum yang paling sesuai untuk mata pelajaran tersebut ialah
Model Kurikulum Integratif atau Tematik.
3. Rasional dan konsep kurikulum integratif
Kurikulum integratif memiliki sejarah yang cukup panjang. Konsep itu telah mulai mengemuka
pada tahun 1800-an (lihat Beane, 1997). Namun demikian, dari penelusuran kepustakaan yang
penulis lakukan, konsep itu kian mengkristal di tangan Dewey. Tak heran jika banyak ahli
menyatakan bahwa pendekatan integratif mencerminkan pengaruh dari pemikiran progresivisme
Dewey, yang beranjak dari filosofi pendekatan interdisipliner. Menurut Dewey (1993),
kehidupan sekolah harus menarik, memberikan pengalaman yang berarti, dan melibatkan anak
dalam aktivitas sekolah. Untuk itu, proses pembelajaran harus mengacu pada minat, kekuatan,
dan kemampuan siswa.
Beranjak dari pemikiran Dewey tersebut, melalui kolaborasi dengan 300 universitas, para periset
di Amerika Serikat melakukan studi terhadap 30 sekolah menengah. Para periset
mengembangkan sebuah kurikulum yang berfokus pada kebutuhan personal dan sosial siswa.
Pelbagai pelajaran yang dikembangkan memadukan batas-batas antarbidang studi, dengan
menekankan pada pengalaman belajar yang mencerminkan berbagai kejadian di dunia nyata.
Ketika hasil kajian ini dibandingkan dengan siswa dari sekolah tradisional, ternyata para siswa
dari sekolah yang menerapkan prinsip progresivisme tersebut pada umumnya memiliki unjuk
kerja yang melampaui para siswa di sekolah tradisional. Hasil kajian itu menginspirasi lahirnya
pelbagai pendekatan yang mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan integratif, seperti
pembelajaran yang berpusat pada siswa dan whole language (Beane, 1997; Gavelek, dkk., 2000).
Hasil penelitian Beane (1997) menunjukkan adanya sejumlah faktor pemicu mengemukanya
gagasan integrasi.
1. Tumbuhnya dukungan terhadap penataan kurikulum yang melibatkan aplikasi pengetahuan
daripada hanya sekedar hapalan atau akumulasi.
1. Minat terhadap gagasan baru tentang cara kerja otak dalam belajar. Menurut riset, otak
memproses informasi melalui pola dan hubungan dengan suatu penekanan pada
koherensi daripada fragmentasi. Dengan demikian, semakin utuh pengetahuan, semakin
kompatibel dengan otak, dan kian lebih mudah diakses dalam belajar.
2. Pengetahuan itu tidak pasti (fixed), juga tidak universal. Pengetahuan itu dibangun
secara sosial (socially constructed).
3. Pemeliharaan minat yang serius terhadap gagasan pendidikan progresif. Termasuk
kelompok ini adalah para pembela ‘whole learning’, seperti whole language,
pengajaran unit, kurikulum tematik, serta metode yang berpusat pada problem dan
projek.
Sementara itu, hasil kajian Fogarty (1991), Gavelek, dkk. (2000), serta Charbonneau dan Reider
(1995) mengungkapkan bahwa munculnya pemikiran tentang pendekatan integratif dipicu oleh
sejumlah persoalan pendidikan yang perlu segera diatasi.
1. Kegiatan pendidikan harus bersifat otentik, yakni terkait dengan tugas-tugas dalam kehidupan
nyata, bukan semata-mata untuk kegiatan persekolahan.
2. Kegiatan pendidikan harus bermakna, yaitu pengetahuan atau informasi yang dipelajari siswa
disajikan dalam sebuah konteks, tidak isolatif.
3. Pemecahan persoalan kehidupan nyata hanya dapat dilakukan dengan baik melalui penguasaan
pengetahuan yang komprehensif dan lintas disiplin.
4. Kegiatan pendidikan harus efisien dengan menawarkan daya cakup kurikulum yang lebih luas.
5. Layanan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan peserta didik. Oleh karena itu, penyediaan
kegiatan pendidikan harus berorientasi pada kebu-tuhan siswa.
Bangkitnya perhatian orang terhadap pendekatan integratif, menyemarak-kan pelabelan
pendekatan tersebut dengan peristilahan yang beraneka. Pada tahun 1990-an hingga sekarang,
istilah yang digunakan dan dikaitkan dengan integrasi di antaranya: thematic unit oleh Betty
Shoemaker (1991); integrated day, interdisciplinary, dan multidisciplinary yang sebenarnya
berbasis mata pelajaran atau subject-based oleh Jacob, (1989), Fogarty (1991), dan Krogh
(1990). Mereka beranggapan bahwa konsep kurikulum integrasi secara historis merupakan
representasi dari transdisciplinary, supradisciplinary, dan whole-language approach yang
memadukan pembelajaran bahasa dengan berbagai disiplin lain (Pearson, 1989; Hiebert &
Fisher, 1990; Routmann, 1991; Zemelman, Daniels, & Hyde, 1993).
Namun, apa pun istilah yang digunakan, Gavelek, dkk. (2000) menyatakan bahwa ketika
diterapkan dalam kurikulum dan pembelajaran bahasa, konsep pendekatan integratif memiliki
tiga tipe. Ketiga tipe itu ialah sebagai berikut.
1. Tipe kurikulum keterampilan berbahasa integratif, yang merujuk pada penerpa-duan pelbagai
aspek dalam pelajaran bahasa dan sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bermakna.
2. Tipe kurikulum integratif, yang mengacu pada pengintegrasian pelajaran bahasa melalui
pengaitan atau pencampuran berbagai disiplin ilmu yang dilakukan melalui keterampilan,
konsep, dan sikap yang saling terhubung.
3. Tipe integrasi di dalam dan di luar sekolah, (integration in and out of school), yang menunjuk
pada penekanan kegiatan belajar secara lintas konteks (seperti rumah, sekolah, masyarakat, dan
pekerjaan). Tipe integrasi ini mengandung pemaduan lintas proses berbahasa atau pelajaran
sekolah yang terjadi di dalam dan di luar kelas sekolah itu sendiri.
Pelbagai aktivitas belajar pada semua tipe integratif tersebut dihubungkan oleh sebuah tema.
Tema merupakan payung keterpaduan dari pelbagai kegiatan belajar sehingga satu sama lain
memiliki keterkaitan yang erat. Sebagai sebuah jembatan antarkegiatan belajar, tema dapat
berupa masalah, kasus, wacana, karya sastra, atau proyek. Penggunaan tema yang sangat
menonjol dalam pendekatan integratif ini mengakibatkan pendekatan ini kerap disebut juga
sebagai Pendekatan Tematik.
Secara singkat, ketiga tipe pendekatan integrasi dalam bahasa tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut.
C. Paradigma dan Model Pembelajaran Bahasa Indonesia PMU
Paradigma adalah kerangka pikir yang mempengaruhi seseorang berperilaku dalam bidang yang
dikerjakannya. Dalam kaitannya dengan penelitian, Poedjiadi (2001) merumuskan paradigma
sebagai pandangan seorang peneliti tentang pembelajaran yang memberikan pedoman bagi
seorang ilmuwan dalam melakukan penelitian ilmiahnya. Sementara itu, Schubert (1986)
mendefinisikan paradigma atau kerangka pikir (framework) sebagai keterkaitan serangkaian ide,
nilai, dan kaidah yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan penyelidikan
(inquiry), cara-cara melihat dan menafsirkan data, serta cara memandang dunia dalam batas
wilayah tertentu. Selanjutnya, Schubbert mencontohkan bahwa pertanyaan-pertanyaan pemandu
‘apa’ (what) dan ‘bagaimana’ (how) seperti yang dilontarkan Tyler dalam Basic Principles of
Curriculum and Instruction merupakan pertanyaan yang bersifat paradigmatik.
Kaitannya dengan pembelajaran bahasa, seorang guru (bahasa) yang profesional di antaranya
ditandai dengan kemampuannya mempertanggung-jawabkan serta mengartikulasikan dasar
pertimbangan pengambilan keputusan instruksionalnya secara benar dan ilmiah (Pappas, Kiefer,
& Levstik, 1990). Prinsip-prinsip pembelajaran bahasa yang terpercaya berawal dari serangkaian
asumsi atau teori tentang hakikat bahasa, hakikat belajar, serta hakikat belajar bahasa, yang
darinya diturunkan serangkaian rambu-rambu dalam merancang dan melaksanakan kurikulum
pembelajaran, termasuk peran guru dan siswa di dalamnya (Brown, 1995). Keselarasan dan
keajegan hubungan antara hakikat bahasa, hakikat belajar, dan hakikat belajar bahasa itu
menurunkan apa yang disebut oleh Tompkin dan Hoskisson (1995) dengan istilah paradigma
pembelajaran bahasa.
Menurut Goodman, dkk. (1987) serta Thompkin dan Hoskisson (1994), bagaimana guru
mengajarkan bahasa akan sangat dipengaruhi oleh paradigma pembelajaran bahasa yang
dipahami dan dianutnya. Semakin tepat dan kokoh paradigma yang dimiliki seorang guru, akan
semakin mantap pula perilaku mengajarnya. Sebaliknya, semakin tidak karuan paradig-ma
pembelajaran yang dipahami seorang guru, semakin ‘acak-acakan’ pula tindak pembelajaran
yang dilakukannya. menyatakan bahwa
Dari paparan tersebut dapatlah dinyatakan bahwa paradigma pembelajaran bahasa merupakan
kerangka pikir atau cara pandang seorang guru bahasa terhadap pembelajaran bahasa yang akan
memberinya arah dan acuan dalam melakukan tindak pengajaran bahasa. Dalam paradigma
pembelajaran bahasa terkandung komponen konsepsi bahasa, teori belajar, dan teori belajar
bahasa yang saling terkait secara konsisten.
Halliday (1979, dalam Goodman, dkk., 1987). menyatakan ada tiga tipe belajar yang melibatkan
bahasa.
1. Belajar bahasa (language learning), yaitu seseorang mempelajari suatu bahasa dengan fokus
pada penguasaan kemampuan berbahasa atau kemampuan berkomunikasi melalui bahasa yang
digunakannya. Kemampuan ini melibatkan dua hal: (1) kemampuan untuk menyampaikan
pesan, baik secara lisan (berbicara) maupun tertulis (menulis), serta (2) kemampuan memahami, menafsirkan, dan menerima pesan, baik yang disampaikan secara lisan (menyimak)
maupun tertulis (membaca). Secara implisit, kemampuan-kemampuan itu tentu saja melibatkan
penguasaan kaidah bahasa serta pragmatik.
1. Belajar melalui bahasa atau learning through language, yaitu seseorang meng-gunakan bahasa
untuk mempelajari pengetahuan, sikap, keterampilan. Dalam konteks ini bahasa berfungsi
sebagai alat untuk mempelajari sesuatu, seperti Matematika, IPA, Sejarah, dan
Kewarganegaraan.
1. Belajar tentang bahasa atau learning about language, yaitu seseorang mempel-ajari bahasa
untuk mengetahui segala hal yang terdapat pada suatu bahasa, seperti sejarah, sistem bahasa,
kaidah berbahasa, dan produk bahasa seperti sastra.
Lalu, dari ketiga tipe belajar bahasa tersebut, mana yang dipelajari di sekolah? Mengacu pada
uraian tentang tujuan dan muatan, SKL, dan SK-KD terdahulu, belajar bahasa Indonesia bagi
siswa PMU mencakup ketiga tipe tersebut.
Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia berfokus pada penguasaan berbahasa (tipe 1:
belajar bahasa), agar siswa dapat menggunakan-nya secara tepat untuk berbagai keperluan dan
dalam bermacam situasi, seperti: belajar, berpikir, berekspresi, bersosialisasi atau bergaul, dan
berapresiasi (tipe 2: belajar melalui bahasa). Penguasaan kemampuan itu hanya akan dapat
diperoleh siswa PMU apabila mereka menguasai kaidah atau sistem bahasa dengan baik pula
(tipe 3: belajar tentang bahasa). Karena itu pula, pengetahuan kebahasaan dan kesastraan tetap
perlu dipelajari. Hanya saja, penguasaan kaidah bahasa dan sastra bukan tujuan, melainkan
hanyalah sebagai alat agar kemampuan berbahasa dan bersastra siswa serta daya apresiasi bahasa
dan sastranya dapat terbangun dengan baik. Sementara itu, penguasaan kemampuan berbahasa
pun tidak berakhir di situ, melainkan untuk dapat digunakan sebagai alat untuk belajar dan
mempel-ajari segala sesuatu.
Jadi, ketiga tipe belajar tersebut saling terkait. Ketiganya terjadi secara bersamaan dalam belajar
bahasa. Ketika siswa belajar kemampuan berbahasa yang terkait dengan penggunaan dan
konteksnya, ia pun belajar tentang kaidah bahasa, dan sekaligus belajar menggunakan bahasa
untuk mempelajari berbagai mata pelajaran. Oleh karena itulah mengapa pembelajaran bahasa
seyogyanya dilakukan secara integratif, baik antaraspek dalam bahasa itu sendiri (kebaha-saan,
kesastraan, dan keterampilan berbahasa) atau antarbahasa dengan mata pelajaran lainnya.
Bila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa, maka wujud kemampuan itu lazimnya
diklasifikasikan menjadi empat macam.
1. Kemampuan menyimak atau mendengarkan, yaitu kemampuan memahami dan menafsirkan
pesan yang disampaikan secara lisan oleh orang lain. Kendati tercantum dalam kurikulum,
kemampuan menyimak ini kurang mendapat perhatian guru untuk dilatihkan. Mengapa? Karena
guru biasanya menganggap keterampilan ini mudah dipelajari sehingga tidak begitu
dipentingkan dalam pembelajaran. Tentu saja pendapat itu keliru! Menyimak itu banyak
macamnya. Bukan hanya mendengarkan percakapan, tetapi juga berita, ceramah, cerita,
penjelasan, dan sebagainya. Siswa mendengarkan beragam simakan dengan tujuan yang
berbeda: untuk berkomunikasi, belajar, hiburan, serta memperoleh, merangkum, mengolah,
mengkritisi, dan merespon informasi. Tujuan menyimak yang berbeda tentu saja menuntut
strategi menyimak yang berlainan pula.
1. Kemampuan berbicara, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada
orang lain. Yang dimaksud pesan di sini adalah pikiran, perasaan, sikap, tanggapan, penilaian,
dsb. Seperti halnya menyimak, banyak pihak yang kurang mengangap penting keterampilan
berbicara. Mereka beranggapan bahwa berbicara itu mudah dan dapat dipelajari di mana saja
dan dengan siapa saja. Lagi-lagi anggapan ini keliru. Sekedar berbicara dengan teman atau
keluarga mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi, berbicara secara sistematis untuk berbagai
keperluan dan situasi, tentu tidak mudah. Berbicara juga bermacam-macam: berinteraksi
dengan sesama, berdiskusi dan berdebat, berpidato, menjelaskan, bertanya, menceritakan,
melaporkan, dan menghibur. Tujuan dan mitra berbicara yang berbeda akan memerlukan
strategi berbicara yang tidak sama. Keterampilan itu sulit dikuasai siswa dengan baik tanpa
latihan dan pemberian balikan yang bermakna.
1. Kemampuan membaca, yaitu kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang
disampaikan secara tertulis oleh pihak lain. Kemampuan ini tidak hanya berkaitan dengan
pemahaman simbol-simbol tertulis, tetapi juga memahami pesan atau makna yang disampaikan
oleh penulis, bahkan mengkritisinya.
1. Kemampuan menulis, yaitu kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis.
Kemampuan ini bukan hanya berkaitan dengan kemahiran siswa menyusun dan menuliskan
simbol-simbol tertulis, tetapi juga mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan perasaannya
secara jelas, sistematis, berisi, dan menarik sehingga dapat dipahami oleh orang yang
menerimanya seperti yang dia maksudkan.
Umumnya orang beranggapan bahwa keempat kemampuan berbahasa itu berkembang secara
berurutan, dari kemampuan menyimak, berbicara, membaca, baru menulis. Anggapan itu tidak
sepenuhnya benar. Mungkin kemampuan menyimak anak berkembang lebih awal, tetapi
kemampuan itu segera diikuti oleh kemampuan berbicara. Begitu pula dengan kemampuan bacatulis. Pada akhirnya, pelbagai kemampuan itu berkembang secara interaktif dan saling
mempengaruhi. Ketergangguan pada salah satu aspek akan dapat menghambat aspek
kemampuan berbahasa lainnya. Penelitian yang dilakukan Walter Loban menunjukkan adanya
bukti hubungan antara keterampilan berbahasa siswa serta keterampilan berbahasa dengan
belajar. Pertama, siswa dengan kemam-puan berbahasa lisan (menyimak dan berbicara) yang
kurang efektif cenderung kurang efektif pula kemampuan berbahasa tulisnya (membaca dan
menulis). Kedua, daya kemampuan berbahasa siswa akan mempengaruhi kemampuan akademik
yang diperolehnya (Loban, 1976, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995).
Pemilahan dan pengurutan keempat kemampuan berbahasa itu sepertinya menyiratkan bahwa
masing-masing keterampilan itu terkesan berdiri sendiri. Bukan begitu, maksudnya. Pemilahan
dan pengurutan itu hanya untuk keperluan akademik yang didasarkan atas komponen yang paling
menonjol diperoleh anak dalam fase belajar bahasa. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu
aktivitas berbahasa melibatkan lebih dari satu jenis kegiatan berbahasa. Ketika anak berbicara
dengan temannya, maka sebetulnya ia pun menyimak respon lawan bicaranya. Sewaktu anak
membaca, sebenarnya tanpa disadari ia pun melakukan kegiatan menulis, apakah mencatat halhal yang dianggap penting atau belajar bagaimana penulis menata tulisannya.
Atas dasar itulah mengapa pembelajaran bahasa Indonesia perlu dilakukan secara terintegrasi
atau tematik. Pengintegrasian pembelajaran dilakukan dengan bertolak dari sebuah tema tertentu
yang berfungsi sebagai payung yang akan menghubungkan berbagai kegiatan berbahasa dan
bersastra dalam kesatuan yang mengalir, sinergis, dan utuh.
Beranjak dari uraian sebelumnya tentang hakikat bahasa dan belajar, serta mengapa dan
bagaimana anak belajar bahasa, maka paradigma pembelajaran bahasa di sekolah adalah sebagai
berikut.
1. Terkait dan bertahap, yaitu pembelajaran bahasa bertolak dari apa yang telah dikenal,
dipahami, dan dikuasai siswa, serta memperhatikan perkembangan dan kemampuan siswa.
Siswa dapat belajar bahasa dengan baik apabila apa yang dipelajarinya terhubung dengan apa
yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa harus beranjak dari yang mudah ke
yang sukar, dari yang sederhana ke yang rumit, dari yang dekat ke yang jauh, dan dari yang
konkret ke yang abstrak. Apabila yang dipelajari siswa terlalu mudah, maka akan membosankan
mereka; sebaliknya, bila terlalu sukar akan memfrustasikan mereka. Kedua hal itu akan
menjadikan kegiatan belajar tidak bermakna.
2. Imersi, yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan ’menerjunkan’ siswa secara langsung
dalam kegiatan berbahasa yang dipelajarinya. Contoh, ketika siswa belajar mengarang, ia
diterjunkan langsung dalam kegiatan mengarang. Berikan ia pengalaman bagaimana dan seperti
apa mengarang itu dengan memintanya menulis sebuah karangan dengan topik tertentu. Jika
siswa kesulitan, berikan ia model atau contoh karangan yang sesuai. Selanjutnya, guru
memandu siswa untuk dapat menggali dan menemukan sendiri ’teori’ atau tata cara
mengarang yang efktif dan efisien berdasarkan pengalaman yang dilaluinya.
3. Pengerjaan (employment), yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan berbahasa yang
bermakna, fungsional, dan otentik. Bermakna artinya kegiatan berbahasa yang dilakukan siswa
dapat menghasilkan wawasan, sikap, atau keterampilan baru yang secara bertahap dapat
meningkatkan kemampuan berbahasanya. Fungsional artinya aktivitas berbahasa yang
dilakukan siswa memiliki tujuan yang jelas dalam berkomunikasi, yang mengarah pada salah
satu atau lebih dari tujuh fungsi bahasa sebagaimana dipaparkan pada Bab I. Otentik artinya
aktivitas berbahasa siswa terjadi dalam konteks yang jelas, yang memang lazim digunakan
dalam kenyataan berbahasa di luar kelas. Ini berarti, kalau siswa harus membuat satu kalimat
atau wacana, siswa harus dapat membayangkan untuk apa dan dalam situasi berbahasa apa ia
membuat kalimat atau wacana tersebut. Dengan paradigma ini diharapkan tidak terjadi lagi
adanya tugas atau kegiatan siswa yang asal-asalan atau hanya sekedar rekaan, yang tidak
pernah ada dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Kita tidak akan lagi menemukan guru bahasa
mengajarkan kalimat aktif dan pasif yang lepas konteks, seperti:
(1) Budi memukul anjing.
(2) Anjing dipukul Budi.
1. Demonstrasi, yaitu siswa belajar bahasa melalui demonstrasi —dengan pemodelan dan
dukungan— yang disediakan guru. Model atau contoh merupakan upaya pembelajaran yang
dapat menjadikan sesuatu (konsep, sikap, keterampilan) yang abstrak, rumit, atau sulit menjadi
konkret, seder-hana, atau mudah, karena gambaran yang ditampilkannya. Model itu dapat
berupa manusia (guru atau sumber lain) atau sesuatu yang lain. Ketika siswa belajar
membacakan berita, akan lebih efektif apabila mereka diberikan model ’pembacaan berita’
2.
3.
4.
5.
dengan mendengarkan radio, melihat TV, atau melihat contoh yang ditampilkan guru. Dari
model itu siswa akan meng-inspirasi atau mencontoh secara kreatif apa dan bagaimana
membacakan berita itu dilakukan. Demonstrasi itu tidak hanya sesuatu yang dicontohkan secara
langsung kepada siswa, tetapi juga yang tidak langsung melalui penyediaan berbagai sumber
belajar bahasa yang kaya dan menarik.
Integratif, yaitu pembelajaran aspek-aspek bahasa (kebahasaan, kesastraan, keterampilan
berbahasa yang terdiri atas menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dilakukan secara
terpadu ——baik antaraspek dalam bahasa Indonesia itu sendiri maupun dengan bidang studi
lain—– serta terkait dengan kehidupan nyata.
Uji-coba (trial-error), yaitu pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan kegiatan dari perspektif atau sudut pandang siswa. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, kesalahan dalam belajar bahasa merupakan bagian dari proses belajar
bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, siswa akan lebih percaya diri dalam belajar apabila ia
mengerti bahwa gurunya tidak hanya menekankan pada ketepatan, tetapi memberinya
kesempatan untuk memperbaiki atau menyempurnakan hasil kerjanya melalui uji-coba yang
dilakukan siswa
Tanggung jawab (responsibility), yaitu pembelajaran bahasa memberikan pelu-ang kepada
siswa untuk memilih aktivitas berbahasa yang akan dilakukan-nya. Upaya ini akan bermanfaat
bagi siswa untuk (1) menyalurkan minat dan keinginannya dalam belajar bahasa, dan (2)
menjadikan siswa lebih percaya diri dan bertanggung jawab atas tugas atau kegiatan yang dipilih
dan dilakukannya. Kalau siswa mendapat tugas membaca suatu karya sastra cerpen, misalnya,
siswa diberi kesempatan untuk memilih salah satu karya sastra yang dibacanya. Siswa pun
diberikan kebesan untuk memilih bentuk respon terhadap karya sastra yang dibacanya.
Berpengharapan (expectation), artinya siswa akan berupaya untuk sukses atau berhasil dalam
belajar, jika dia merasa bahwa gurunya mengharapkan dia menjadi sukses. Sikap guru itu
ditunjukkan melalui perilakunya yang mau memperhatikan, mengerti, dan membantu kesulitan
siswa; mendorong atau membesarkan hatinya apabila siswa melakukan kesalahan disertai
dengan pemberian masukan; serta memberikannya penguatan apabila siswa melakukan hal
yang benar.
Dengan kedelapan prinsip tersebut, maka prinsip-prinsip pembelajaran bahasa seperti
mengaktifkan siswa, otentik dan kontekstual, bermakna, dan lingkungan yang kaya dengan
sumber belajar bahasa, dengan sendirinya terkandung di dalamnya.
Selanjutnya, berdasarkan paradigma pembelajaran bahasa tersebut, guru dapat memilih dan
mengembangkan metode dan strategi pembelajaran bahasa Indonesia. Apapun strategi
pembelajaran yang digunakan guru tidak menjadi masalah selama sesuai dengan hakikat bahasa,
hakikat belajar, tujuan dan cara belajar bahasa anak, serta paradigma pembelajaran bahasa.
Bearanjak dari konsepsi tentang pembelajaran Bahasa Indonesia tersebut, lalu bagaimana
asesmen belajar siswa harus dilakukan? Berikut ini merupakan rambu yang perlu diperhatikan
dalam melakukan asesmen Bahasa Indonesia.
1. Penilaian dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kemajuan dan hasil belajar dalam
ketuntasan pengusaan kompetensi (mastery learning). Implikasinya: (1) semua kompetensi
perlu dinilai menggunakan acuan kriteria berdasarkan pada indikator hasil belajar; dan (2)
capaian hasil belajar ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang
2.
3.
4.
5.
memadai dan dapat dipertanggung-jawabkan sebagai prasyarat penguasaan kompetensi lebih
lanjut.
Penilaian di dilakukan dalam pelbagai bentuk (lisan, tulis, perbuatan), melalui proses dan
produk, serta dilakukan secara formal maupun informal, dengan menggunakan pelbagai metode
dan alat penilaian (tes dan nontes, termasuk portofolio) untuk memantau kemajuan dan hasil
belajar peserta didik.
Penilaian melibatkan siswa melalui refleksi dan pemberian balikan yang me-mungkinkannya
menemukan kekuatan dan kelemahannya dalam belajar, serta merancang upaya peningkatan
kekuatan dan perbaikan kelemahannya.
Penilaian kelas sebagai bagian integral dari kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru. Dalam
pelaksanaan penilaian kelas, guru berwenang untuk menentukan kriteria keberhasilan, cara, dan
jenis penilaian. Penilaian Kelas berorientasi pada:
Hasil penilaian diinformasikan kepada siswa, orang tua, dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Informasi memuat deskripsi kemajuan dan hasil belajar secara utuh dan menyeluruh. Hasil
penilaian dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memberikan umpan balik untuk perbaikan
pembelajaran dan program.
BAB IV. IMPLEMENTASI KURIKULUM BAHASA INDONESIA PMU
Pengalaman perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa
pada akhirnya persoalan terbesar terletak pada pelaksana-annya. Tataran implementasi kerap
terseok-seok ketika dihadapkan pada cermin kurikulum sebagai sebuah rencana atau dokumen.
Diskrepansi pengejawan-tahan kurikulum merentang dari kadar yang sangat rendah dalam
bentuk adopsi kurikulum yang superfisial dan parsial, hingga kadar yang sangat tinggi dalam
bentuk adopsi esensi yang komprehensif. Tentu saja tak ada faktor tunggal yang mengakibatkan
terjadinya keadaan seperti itu. Banyak faktor yang berkontribusi, yang satu sama lain saling
berkelindan.
Menurut amatan penulis, di antara faktor yang selama ini sangat meng-ganggu keberhasilan
pelaksanaan kurikulum baru ialah dimensi sosialisasi. Persoalan dalam dimensi itu mencakup
kelemahan dalam penyiapan bahan dan strategi kegiatan sosialisasi, ketuntasan sosialisasi,
petugas sosialisasi, serta elemen yang menjadi sasaran sosialisasi.
Faktor lainnya ialah masalah penyiapan dan pembinaan kemampuan guru sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan oleh kurikulum baru. Bagaimanapun pelaksanaan kurikulum baru
tidak sekedar menghendaki adanya pengetahuan baru, tetapi juga memerlukan paradigma, sikap,
kebiasaan, kebisaan, dan komitmen baru guru dan aparat terkait. Untuk itu, implementasi
kurikulum perlu dipersiapkan sedemikian rupa. Persiapan itu meliputi tiga hal yang saling
terkait, yaitu orang, program, dan proses. Dari ketiga hal itu, ’orang’ sebagai pelaksana
merupakan faktor kunci dan elemen strategis yang paling menentukan keberhasilan iplementasi
kurikulum. Menurut Fullan dan Pomfret (dalam Ornstein & Hunkins, 1993), implementasi yang
efektif dari sebuah kurikulum baru memerlukan waktu, kontak dan interaksi personal, pelatihan
dalam-tugas (in-service training), serta berbagai hal lain yang mendukung keberhasilan
pelaksanaan inovasi.
Pada tahun 2006 pemerintah menggulirkan penerapan kurikulum baru, yang disebut dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebagai-mana terjadi pada setiap penerapan
kurikulum baru sebelumnya, pember-lakukan KTSP pun diwarnai oleh hiruk pikuk keragaman
persepsi bahkan kebingungan dan kesalahpahaman yang menghinggapi para pelaksananya.
Karenya, fase implementasi KTSP merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji.
Untuk keperluan tersebut, penulis mencoba ’terjun ke lapangan’ guna memotret dan menelisik
bagaimana kurikulum itu diterapkan, khususnya untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA.
Sayangnya, saat akan ke lapangan, kegiatan pembelajaran di kelas telah usai. Para siswa sedang
disibukkan mengikuti ujian praktik dan persiapan ujian sumatif. Penulis pun akhirnya hanya
melakukan wawancara dengan seorang guru Bahasa Indonesia dari SMAN 19 Bandung. Panduan
pengumpulan data yang telah penulis siapkan pun secara spontan diubah (lihat lampiran), untuk
kepentingan wawancara saat itu juga.
Dipandang dari segi apa pun, pengandalan satu sumber data untuk sebuah tulisan tidaklah
memadai. Namun, dalam kondisi yang sangat tidak ideal itu, hanya upaya itu yang bisa
dikerjakan. Oleh karena itu, untuk melengkapi wawancara tersebut, penulis mengkaji perangkat
dokumen KTSP yang telah dikembangkan oleh sumber data dan sejawat-jawatnya dalam
MGMP.
A. Sketsa tentang Pelaksanaan KTSP Bahasa Indonesia di PMU
Dalam rangka memahami penerjadian KTSP pada tataran persekolahan, penulis berhasil
mewawancarai seorang guru Bahasa Indonesia dari SMAN 19 Bandung. Yang bersangkutan
juga menyerahkan ’perangkat dokumen’ KTSP berupa silabus mata pelajaran bahasa Indonesia
SMA untuk kelas X – XII, serta program semester dan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP)
kelas X semester pertama. Hasil wawancara dan studi dokumen disajikan sebagai berikut.
1. Profil Sumber Data
Sumber data adalah seorang guru perempuan mata pelajaran bahasa Indo-nesia. Orangnya
ramah, gesit, blak-blakan, banyak berbicara, dan mau diajak berbicara apa saja. Di samping
mengajar di SMAN 19, ia pun mengajar di sejumlah sekolah lain dan lembaga bimbingan tes.
Ibu yang berusia 47 tahun dengan tiga anak itu aktif pula di MGMP Kota Bandung dan Bandung
Utara sebagai sekretaris. Pendidikan S1 dan S2 Bahasa Indonesia telah diraihnya dari UPI
Bandung. Kini, ia tengah menempuh semester 3 program S3 di jurusan dan institusi yang sama.
Kiprahnya dalam pendidikan di sekolah membuatnya terpilih sebagai guru pavorit dan guru yang
paling banyak menugaskan siswa-nya untuk ke perpustakaan.
Pelatihan KTSP telah diikutinya dua kali. Bekal pelatihan dan posisinya di MGMP, menjadikan
dia merasa paham dan berkesanggupan untuk memberikan pelatihan KTSP bagi para guru
Bahasa Indonesia SMP dan SMA. Ia juga memberikan pelatihan instruksional lainnya seperti
pengembangan soal dan pembelajaran Bahasa Indonesia.
2. Sosialisasi dan Pemahaman tentang KTSP
Menurut sumber data, ia memperoleh dua kali pelatihan tentang KTSP. Pelatihan pertama
disampaikan oleh unsur Dinas Pendidikan Kota Bandung selama satu hari, dan yang kedua oleh
pengawas mata pelajaran Bahasa Indo-nesia selama tiga hari. Materi yang diberikan berupa apa,
mengapa, dan bagai-mana KTSP. Dalam pelatihan itu, dia dan peserta lainnya berlatih membuat
silabus, program semester, dan RPP Bahasa Indonesia. Lalu, apakah persepsi sumber data
tentang KTSP, prosedur pengembangan, dan perangkat pendukung pelaksanaan KTSP? Berikut
penulis sajikan rangkuman hasil wawancaranya.
”Sebagian orang menyebut KTSP dengan Kurikulum 2006. Tetapi, saya tidak setuju. Menurut
saya, KTSP adalah sebuah model kurikulum dari Kurikulum 2004. Oleh karena itu,
pengembangan KTSP untuk bahasa Indonesia dilakukan dengan mengacu pada kurikulum itu.
Dari kurikulum tersebut dikembangkan silabus. Dari silabus disusun program semester, dan
selanjutnya diturunkan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP).
Saat ini kami telah memiliki silabus mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas X – XII, serta
program semester dan RPP untuk kelas X semester I. Untuk SMA, KTSP baru diterapkan di
kelas X. Kalender pendidikan belum disusun. Penyusun-an kalender sekolah menunggu kalender
pendidikan yang dikembangkan dan ditetapkan oleh Dinas Pendidikan.
Semua dokumen kurikulum KTSP, termasuk RPP, dikembangkan bersama-sama dalam
MPGMP. Pengembangan RPP saya pandu dengan memberikan masukan mana yang mungkin
dan tak mungkin diterapkan. Namun demikian, khusus untuk RPP keputusan akhirnya
diserahkan kepada masing-masing guru untuk memodifikasinya jika diperlukan.”
Penulis sempat mempertanyakan kepada sumber data bagaimana pemanfa-atan Permendiknas
nomor 22 dan 23 Tahun 2006 dalam pengembangan KTSP. Berikut kutipan wawancaranya.
Intr: ”Dalam mengembangkan KTSP, apa yang dilakukan oleh Teteh dan tim terhadap
Permendiknas nomor 22 dan 23 tahun 2006?”
Inte: ”Apa tuh …?”
Intr: ”Itu tuh tentang Standar Kompetensi Isi atau SKI dan Standar Kompetensi Lulusan atau
SKL?
Inte: ”Tidak tuh! Kami tak pernah tahu itu dan tidak menggunakannya dalam pengembangan
KTSP. Kami menggunakan Kurikulum 2004. Tapi seminggu lalu, kami peroleh ini (Intr: SKLMP Bahasa Indonesia untuk kelas XII). Katanya ini bahan untuk ujian nasional”
Intr: ”Kalau begitu, lalu apa yang dimaksud Teteh dengan KTSP?”
Inte: ”Ya itu tadi. KTSP itu model Kurikulum 2004, yang dijabarkan oleh sekolah ke dalam
bentuk dokumen-dokumen yang menjadi pedoman guru dalam pembelajaran.”
Intr: ”Jadi, dalam penataran, penyaji tidak menyampaikan keberadaan dan isi dari Permendiknas
itu?”
Inte: ”Tidak! Penyaji hanya menyampaikan apa itu KTSP dan bagaimana mengem-bangkan
KTSP. Itu saja. Saya jadi bingung sendiri apa sih KTSP itu. Kok yang disampaikan penatar
Kurikulum 2004. Itu kan sudah diterapkan. Atau, jangan-jangan kegiatan itu hanya untuk
menghabiskan uang saja.”
Ket.: Intr = pewawancara (interviewer), inte = yang diwawancara (interviwee)
Selanjutnya, penulis mencoba menggali kesulitan yang dialami sumber data atau temantemannya dalam mengembangkan KTSP. Inilah rangkuman informa-si yang berhasil digali.
”Kesulitan dalam pengembangan KTSP itu terutama dalam menjabarkan Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar ke Indikator. Ada beberapa penyebab terjadi-nya kesulitan itu. Pertama,
penguasaan materi ajar lemah dan tidak komprehensif. Kalau materi yang paling dikuasai guru
itu sastra, maka materi itulah yang paling banyak, termasuk dalam pengajaran. Begitu pula jika
yang paling dikuasai materi tentang kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Tetapi, guru
biasanya kurang menguasai kedua materi itu. Kedua, bahan rujukan untuk materi yang
diperlukan susah. Banyak sih buku pelajaran Bahasa Indonesia. Tetapi, isinya banyak yang tak
relevan. Ketiga, lemahnya pemahaman dan keterampilan guru tentang ranah belajar, termasuk
jenjang-jenjang kemampuan, serta pemilihan kata kerja yang digunakan dalam mengembangkan
indikator. Keempat, lemahnya kemauan guru untuk belajar secara mandiri. Maunya dibimbing
terus.
Kalau kemampuan guru seperti itu, bagaiman bisa diharapkan mereka dapat merancang dan
melakukan pembelajaran secara terpadu atau tematik. Bukankah pendekatan itu memerlukan
penguasaan materi pelajaran yang bagus?”
Mengakhiri kegiatan wawancara ini, penulis bertanya tentang pengajaran Bahasa Indonesia yang
biasa dilakukan oleh sumber data. Inilah cuplikannya.
Intr: ”Biasakah ceritakan apa yang dilakukan Teteh dalam pengajaran Bahasa Indonesia di
kelas?”
Inte: ”Saya ditugasi mengajar di kelas XII, karena kelas itu akan menghadapi ujian nasional.
Saya secara tidak langsung ditugasi menyiapkan siswa agar nilai ujian bahasa Indonesianya
bagus.”
Intr: ”Memangnya apa tantangan mengajar di kelas XII selama ini?”
Inte: ”Saya harus merapikan dan sekaligus memperkuat basic pengetahuan anak-anak baik
tentang bahasa, sastra, maupun keterampilan berbahasa. Ini terjadi seperti saya katakan tadi guru
umumnya mengajar sesuai dengan keahlian-nya saja. Kalau yang dikuasainya tentang cerpen,
maka yang banyak diberi-kan kepada anak-anak tentang cerpen. Juga, kalau yang dikuasainya
tentang puisi. Anak-anak sering mengeluh bosan. Untungnya, para guru itu mau cerita tentang
hal-hal yang sudah dan belum diberikan, sehingga saya tahu apa yang harus saya lakukan.”
Intr: ”Padat sekali dong materi yang diberikan kepada anak-anak?”
Intr: ”Memang. Tak ada pilihan. Saya tidak mau malu nilai ujian nasional anak-anak jelek. Apa
kata orang nanti, sudah S2 dan sedang S3 lagi, ngajarnya kok tidak bagus. Jadi, teori saya berikan
di kelas, sedangkan keterampilannya dikerjakan di rumah sebagai tugas. Saya tidak menuntut apa
yang mereka lakukan harus sempurna betul. Bagi saya yang penting mereka mengalami dan
mengerjakan tugas itu. Misalnya, mereka harus membuat tiga alinea tentang sebuah topik. Saya
terima juga kalau mereka hanya menyerahkan satu alinea. Semua tugas dan tes siswa saya catat
sehingga isi buku nilai berderet. Padahal, guru lain hanya tiga sampai empat saja komponen
penilaiannya.”
Intr: ”Lalu, apa hasil pengajaran yang seperti itu dan bagaimana reaksi siswa, orang tua, dan
kepala sekolah?”
Intr: ”Nilai ujian nasional pelajaran Bahasa Indonesia anak-anak bagus. Paling rendah 7,8, dan
ada pula yang 10. Tetapi, anehnya tugas-tugas yang saya berikan dipandang orang tua
membebani anak. Mereka mengadukannya kepada kepala sekolah. Lalu, kepala sekolah
memanggil saya agar mengajar-nya biasa-biasa saja. Saya sendiri bingung. Kalau mengajarnya
biasa-biasa saja, lalu kalau nilai siswa rendah atau ada yang tak lulus, bagaimana?”
3. Perangkat Dokumen KTSP
Penulis dipinjami oleh sumber data seperangkat ”Dokumen KTSP”. Perang-kat dokumen itu
terdiri dari Kurikulum 2004, Silabus kelas X-XII, serta Program Semester dan RPP kelas X
semester 1. Inilah gambaran singkat tentang pelbagai dokumen tersebut.
1) Kurikulum 2004 SMA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Dokumen ini berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta pedom-an khusus
pengembangan silabus dan penilaian, yang dikeluarkan oleh Dep-diknas.
2) Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia




Menurut pengakuan sumber data, pengembangan silabus bertolak dari Kurikulum 2004.
Silabus yang dikembangkan mencakup kelas X – XII.
Materi pembelajaran kebahasaan dan kesastraan diintegrasikan ke dalam empat aspek
keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, memba-ca, dan menulis.
Setiap aspek keterampilan berbahasa berikut standar kompetensi dan kompetensi dasarnya
dijabarkan sendiri-sendiri.
3) Program semester


Program semester diturunkan dari silabus.
Berisi standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok dan sub-sub pokok, alokasi waktu,
dan jadwal pembelajaran.
4) Rencana pelaksanaan pengajaran (RPP)

Dokumen RPP diturunkan dari silabus dan program semester.



Dikembangkan oleh MGMP untuk kepentingan pembelajaran satu semester
Disajikan secara singkat, hanya berisi elemen-elemen esensial pelaksanaan pengajaran
Setiap RPP hanya memuat satu aspek keterampilan berbahasa, sebagai mana halnya silabus.
B. Pembahasan
1. Sosialisasi dan Pemahaman tentang KTSP
Berkenaan informasi tentang KTSP tersebut, ada beberapa informasi pen-ting berikut yang patut
digarisbawahi.
1. a. KTSP adalah Kurikulum 2006
Penulis sependapat dengan sumber data bahwa KTSP bukanlah Kurikulum 2006, kendati
peresmiannya dilakukan pada tahun 2006. Label tahun 2006 memiliki konotasi makna
sentralistik sebagaimana halnya dengan nama Kurikulum 2004, Kurikulum 1994, Kurikulum
1984, dst. Sebutan KTSP menyi-ratkan nuansa politis desentralisasi pendidikan di mana satuan
pendidikan (sekolah) dengan topangan pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk
mengembangkan sendiri kurikulum pendidikannya. Kebijakan ini memungkin-kan setiap satuan
pendidikan dan pemerintah daerah mengembangkan kurikulum sesuai dengan keperluannya.
Namun demikian, pengembangan kurikulum itu harus mengacu kepada standar kompetensi
minimal (SKL) dan standar isi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Nomor 14 tahun 2005.
1. b. KTSP adalah sebuah model dari Kurikulum 2004
Sebagaimana pernah diberitakan oleh BSNP dan pejabat Depdiknas, KTSP memang bersumber
dari Kurikulum 2004 yang substansinya telah direduksi dan disesuaikan berdasarkan masukan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dapat dipahami jika keberadaan KTSP tidak melalui uji
coba karena fase itu dianggap telah dilakukan melalui piloting Kurikulum 2004.
Jadi, penulis masih bisa menerima jika ada yang mengatakan bahwa KTSP merupakan varian
dari Kurikulum 2004. KTSP bukanlah sebuah model kuriku-lum, melainkan model pengelolaan
kurikulum. Kurikulum yang semula sentralistik, seperti Kurikulum 1984 dan 1994, menjadi
desentralistik. Artinya, pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan pengembangan kurikulum
ke guru, sekolah, dan daerah.
1. c. Pengembangan KTSP dilakukan di dalam MGMP
Pengembangan KTSP memang tidak harus dilakukan oleh setiap guru atau sekolah. Kerja sama
antarsekolah, termasuk sekolah-sekolah dalam sebuah rayon, serta kelompok guru satuan
pendidikan (PKG) atau kelompok guru bidang studi sekolah (MGMP) merupakan wahana saling
belajar dan saling membantu yang cukup efektif. Situasi kesejawatan memungkinkan terjadinya
interaksi saling memberi dan menerima dalam menghadapi sebuah situasi baru, seperti KTSP.
Namun demikian, ada beberapa peluang terjadinya kenegatifan dalam kebersamaan seperti ini.
Pertama, keseragaman produk dan pengabaian keunik-an masing-masing sekolah bahkan guru.
Yang pasti silabus dan program semester sama. Tetapi, untuk RPP, kendati dokumen itu
dikembangkan bersama tetapi masing-masing guru memiliki peluang untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan kelasnya. Kedua, kekeliruan informasi yang disampaikan oleh sumber atau
pupuhu berpeluang besar menimpa semua elemen dalam komunitas itu, sebagaimana halnya
mispersepsi tentang konsep KTSP.
1. d. Pemahaman tentang Permendiknas nomor 22 dan 23
Sangat menyedihkan memang ketika memperbincangkan dan mengem-bangkan KTSP orang
yang terlibat di dalamnya tidak mengenal muatan dari Permendiknas nomor 22 dan 23 tahun
2006. Kejadian ini menimpa guru senior yang berada di daerah kota penyangga ibu kota
pemerintahan pusat. Lalu, apa jadinya dengan mereka yang ada di pelosok?
Memperhatikan fenomena tersebut tampaknya kesalahan yang sama dalam setiap perubahan
kurikulum berulang. Kecarutmarutan, ketergesaan, ketidak-sistematisan, ketaktuntasan, dan
penyepelean sosialisasi KTSP kembali terjadi. Depdiknas atau BSNP tidak banyak belajar dari
persoalan masa lalu. Tak ada bahan sosialisasi standar, juga tak ada kriteria yang jelas dan
standardisasi kemampuan petugas diseminasi pada semua lini. Mereka sepertinya berang-gapan
bahwa semua orang yang pernah mengikuti sosialisasi KTSP otomatis bisa menjadi diseminator
yang baik.
Akibat perilaku dan strategi sosialisasi seperti itu, tak perlu diherankan jika pemahaman banyak
pihak tentang KTSP menjadi beragam, merentang dari yang keliru hingga yang benar.
Sosialisasi itu baru dilakukan pada dimensi konsep-tual dan pengembangan dokumen. Lalu,
bagaimana dengan sosialisasi pene-rapan KTSP dalam tataran praksis pembelajaran? Janganjangan guru dianggap sudah mengerti dan berpengalaman, sehingga mereka tinggal switch off-on
dari kurikulum lama ke KTSP.
Atas dasar itu, dapatlah dipahami jika sumber data memiliki persepsi yang tidak pas tentang
KTSP. Ketika mengikuti penataran, dia sempat bertanya-tanya dalam hatinya kenapa KTSP tidak
berbeda dari Kurikulum 2004. Kalau itu yang dimaksud dengan KTSP untuk apa lagi diberikan.
Tetapi, pertanyaan itu segera ia bungkus dengan mengobati dirinya sendiri, ”Ah ini kan kegiatan
proyek. Hanya untuk menghabiskan uang.”
1. 2. Perangkat Dokumen KTSP
Dalam kaitannya dengan pengakuan responden tentang pengembangan perangkat dokumen
KTSP, terdapat sejumlah hal berikut yang perlu digaris-bawahi.
1. a. Perangkat dokumen KTSP dikembangkan dari Kurikulum 2004
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sumber data telah memiliki doku-men KTSP berupa
silabus, program semester, dan RPP yang dikembangkan oleh anggota MGMP Bahasa
Indonesia. Semua dokumen itu, menurut pengakuan-nya, diturunkan dari Kurikulum 2004
SMA/MA. Namun demikian, dari telaah yang penulis lakukan terhadap perangkat dokumen
KTSP itu ada beberapa hal yang perlu dikemukakan.
1) Silabus
Mencermati isi silabus tersebut, khususnya standar kompetensi dan kom-petensi dasar, ternyata
keduanya diambil dari Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Tidak diturunkan dari
Kurikulum 2004, sebagai-mana dikatakan oleh sumber data. Mari bandingkan cuplikan rumusan
kompetensi mendengarkan yang terdapat dalam silabus, Kurikulum 2004, dan Lampiran
Permendiknas Nomor 22 untuk kelas X semester 1.
RMS
SK
KD
SILABUS
KURIKULUM 2004
PERMENDIKNAS
Memahami siaran atau Mampu memahami dan Memahami siaran atau
cerita yang disampaikan menanggapi berbagai ragam cerita yang disampaikan
secara
langsung/tidak wacana lisan nonsastra melalui secara
langsung/tidak
langsung
mendengarkan informasi (siar- langsung
an berita dan nonberita) baik
dari media elektronik maupun
cerita yang disampaikan secara
langsung atau melalui rekaman
2)
Menanggapi 1) Mendengarkan siaran/ a. Menanggapi siaran
siaran/informasi
dari informasi
dari
media atau informasi dari media
media elektronik (berita elektronika, tuturan langsung, elektronik
(berita
dan
dan non berita)
atau pembacaan teks dan nonberita)
memberikan tanggapan
3) Mengidentifikasi
1. Mengidentifikasi
unsur sastra (intrinsik 2) Mendengarkan berbagai
unsur sastra
(intrinsik dan
dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan
ekstrinsik) suatu
secara langsung atau melalui
cerita yang
cerita yang
rekaman
disampaikan secara
disampaikan seca-ra
langsung/melalui
langsung/melalui
3)
rekaman
rekaman
Lalu, mengapa terjadi perbedaan antara pengakuan sumber data bahwa silabus itu dikembangkan
dari Kurikulum 2004, sedangkan kenyataannya bersumber dari Permendiknas Nomor 2001
Tahun 2006? Beranjak dari inkonsistensi itu, ada tiga kemungkinan yang terjadi. Pertama,
penatar (pengawas mata pelajaran Bahasa Indonesia) telah memperoleh silabus tersebut dari
penataran yang dia ikuti sebelumnya, kemudian komunitas MGMP diminta untuk mereviu dan
memperbaikinya. Kedua, silabus yang telah diperoleh penatar diserahkan kepada MGMP untuk
dimanfaatkan sebagai acuan dalam menyusun program semester dan RPP. Ketiga, penatar
memperoleh lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 yang berisi rumusan Standar
Kompetensi dan Dasar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia kelas X-XII. Dokumen itu
selanjutnya diserahkan kepada MGMP untuk digunakan sebagai acuan dalam pengembangan
silabus.
Di antara ketiga kemungkinan itu, kemungkinan kedua yang paling logis. Dokumen silabus itu
diperoleh penatar dan diberikan kepada MGMP sebagai acuan dalam pengembangan program
semester dan RPP. Mungkin penatar memperolehnya dari penataran yang ia ikuti sebelumnya,
atau dari penerbit yang konon telah menyiapkan silabus untuk setiap mata pelajaran dan
menyebarkannya kepada aparat dinas pendidikan dan guru. Dengan demikian, saya duga sumber
data tidak berbicara yang sesungguhnya. Dia dan tim MGMP tidak mengembangkan silabus itu,
melainkan menerimanya dalam keadaan sudah jadi. Simpulan penulis ini didasarkan atas
beberapa temuan berikut.



Sumber data mengatakan bahwa silabus diturunkan dari Kurikulum 2004. Tetapi, hasil analisis
menunjukkan silabus itu diturunkan dari standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD)
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Ini berarti, sumber data sebenarnya tidak melihat
dokumen Kurikulum 2004 mata pelajaran Bahasa Indonesia, apalagi SK-KD Permendiknas. Dia
hanya menerima silabus yang sudah jadi, dan tidak mengembangkannya.
Pada cover silabus tertulis ”Contoh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia”, tanpa ada identitas pengembangnya, seperti ”Disusun oleh Tim MGMP Bandung.
Sumber data mengatakan bahwa Program Semester diturunkan dari silabus. Melihat dokumen
yang dihasilkan, pengakuan sumber data dalam hal ini benar. Tetapi, secara prosedural
sebenarnya keliru. Semestinya yang dikembangkan itu program semester terlebih dahulu, baru
ke silabus. Temuan ini berarti sumber data sebenarnya belum terlalu memahami KTSP
Dari rumusan kompetensi 1 dan 1.a aspek mendengarkan tampak bahwa jabaran materi, kegiatan
pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat, tidak sepenuhnya
konsisten satu sama lain dengan kompetensi dasarnya.





Komponen materi pembelajaran tidak mencakup informasi nonberita.
Komponen kegiatan pembelajaran lebih mengarah pada aktivitas rep-roduksi isi berita,
sedangkan kegiatan merespon informasi tidak ada.
Komponen indikator belum menyertakan kemampuan yang terkait dengan aktivitas menyimak.
Komponen penilaian menyertakan pelbagai instrumen yang dapat mengases kemampuan dalam
kompetensi dasar.
Komponen alokasi waktu dan sumber/bahan/alat sesuai dengan karakter kompetensi yang
ditetapkan.
2) Program semester
Mencermati jabaran rumusan kompetensi 1 dan 1.a aspek mendengarkan, ada beberapa
kelemahan berikut.


3) RPP
Format program semester telah sesuai dengan ketentuan.
Pokok materi tidak lengkap, dan jabarannya tidak ada. Komponen materi hanya mencantumkan
informasi berita, tetapi nonberita tidak ada.
o Alokasi waktu 2 jam, sedangkan dalam silabus 4 jam pertemuan.
o Jadwal pembelajaran belum tercantum
Dari telisik terhadap jabaran rumusan kompetensi 1 dan 1.a aspek mendengar-kan pada RPP, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan.






Komponen materi hanya mencantumkan sub-sub pokok materi saja. Itu pun hanya yang terkait
dengan informasi berita, sementara nonberita tidak ada.
Komponen sumber/alat bantu mencantumkan surat kabar dan buku teks. Tak ada sumber
elektronik. Padahal, dalam komponen materi dinyatakan siaran langsung dari radio atau televisi,
teks yang dibacakan, atau rekam-an berita dan nonberita.
Metode yang dipilih dapat digunakan untuk mangajarkan materi yang diisyaratkan oleh
kompetensi dasar.
Kegiatan belajar-mengajar hanya memuat aktivitas umum yang tidak lengkap.
Informasi yang terdapat pada penilaian dan alat penilaian tidak jelas.
Pengorganisasian materi pelajaran terpisah-pisah. Padahal, KTSP meng-hendaki penggunaan
tematik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Apa yang disusun persis seperti yang tersaji
dalam silabus dan program semester.
Akhirnya, berdasarkan temuan dari perangkat dokumen KTSP tersebut dapatlah disimpulkan
sebagai berikut.
1) Sumber data dan tim MGMP-nya tidak melakukan pengembangan silabus sebagaimana
pengakuannya. Dokumen silabus yang ia berikan kepada penu-lis tampaknya sudah terima jadi
dari pihak lain.
2) Keadaan itu dapat dipahami jika kemudian sumber data mengatakan bahwa program
semester dikembangkan dari silabus. Padahal, secara prosedural mestinya program semester
dulu, baru silabus.
3) Terdapat inkonsistensi vertikal (antara silabus, program semester, dan RPP) dan horizontal
(antar komponen dalam silabus, program semester, dan RPP), baik dalam materi pelajaran,
kegiatan pembelajaran, penilaian, maupun alat/ sumber/bahan pelajaran. Rincian pokok bahasan
dalam silabus, program semester, dan RPP, serta kegiatan pembelajaran dalam program semester
dan RPP tidak lengkap sebagaimana diminta oleh kompetensi dasar, sehingga tidak cukup untuk
dijadikan pedoman operasional pembelajaran.
4) Sumber data tidak sepenuhnya jujur dalam memberikan informasi. Sayang, pendalaman hal
ini tidak bisa dilakukan karena sumber data hanya satu.
1. b. Kesulitan guru dalam menjabarkan KTSP
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, menurut sumber data, tantangan yang dihadapi guru
dalam penjabaran KTSP terutama terletak pada kekurang-cukupan atau kekurangkomprehensifan
penguasaan materi ajar dan metodologi pembelajaran Bahasa Indonesia.
Kemampuan guru yang seperti itu memang tidak dapat diharapkan untuk dapat merancang dan
melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia secara tematik atau terpadu. Penerapan
pendekatan pembelajaran itu hanya dapat dila-kukan apabila guru menguasai semua aspek materi
pelajaran Bahasa Indonesia (kebahasaan, kesastraan, dan keterampilan berbahasa) secara
memadai. Itulah akar masalahnya. Persoalan referensi sebenarnya cukup banyak tersedia selama
mau mencari dan bekerja keras meraciknya. Tetapi, kalau yang dimaksudkan adalah referensi
(buku pelajaran, dsb.) yang siap pakai, memang belum ada di Indonesia ini.
3. Wujud Sumir Penerapan Kurikulum
Informasi yang diperoleh dari sumber data semakin memperkukuh keya-kinan penulis bahwa
ujian nasional itu menjadi momok bagi para guru yang mengajar di kelas XII. Khususnya,
mereka yang mengajar mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Rendahnya nilai
apalagi ketidaklulusan siswa dalam ujian nasional akan menjadi citra buruk bagi reputasi diri
guru itu sendiri dan sekolahnya. Oleh karena itu, tak heran apabila pembelajaran Bahasa
Indonesia pun, misalnya, sangat memperhatikan apa yang akan terjadi pada ujian nasional.
Keadaan ini, disadari atau tidak, menjadikan pembelajaran dikendalikan oleh tes. Lalu, apa
jadinya praksis pendidikan persekolahan yang seperti ini bagi peserta didik?
BAB V. SIMPULAN
Mengembangkan kurikulum yang konsisten secara konseptual dari hulu ke hilir, memang tidak
mudah. Lebih tidak mudah lagi mengimplementasikannya. Apalagi jika penerapan kurikulum
baru itu tidak disertai dengan penyiapan lapangan yang baik. Perubahan kurikulum bukan
sekedar pergantian dokumen. Melainkan berimplikasi luas terhadap perubahan paradigma,
kebiasaan, dan kemampuan lama menuju yang baru.
Sebagai contoh, penerapan pendekatan integratif atau tematik dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia, sebenarnya sudah diberlakukan sejak Kuriku-lum 1994. Setelah 12 tahun, realisasi
pendekatan itu belum juga dapat diwujud-kan pada tataran praksis pembelajaran. Ada apa ini?
Sampai kapan ketegangan antara inovasi (pembaharuan dalam kurikulum-pembelajaran) dan
tradisi (mengajar dengan kebiasaan lama) akan terjembatani?
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aldridge, J. Dan Goldman, R. (2002). Current Issuues and Trends in Education. Boston: Allyn
& Bacon.
Alwasilah, A. Ch. (1983). Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Amstrong, D.G. dan Savage, T.R. (1983). Secondary Education: An Introduction. New York:
Macmillan Publ. Co., Inc.
Azra, A. (2002). Paradigma Baru pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokrati-sasi.
Jakarta: Kompas.
Beane, J.A. (1997). Curriculum Integrated: Designing the Core of Democratic Educa-tion. New
York: Teachers College, Columbia University.
Brown, J.D. (1993). The Element of language curriculum: A Systematic Approach to Program
Development. Massachusetts: Heinle & Heinle.
Buchori, M. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Charbonneau, M.P. dan Reider, B.E. (1995). The Integrated Elementary Classroom: A
Developmental Model of Education for the 21st Century. Boston: Allyn & Bacon.
Coombs. Ph. H. (1985). The World Crisis in Education: The View from the Eighties. New York:
Oxford University Press.
Cox, C. 1999. Teaching Language Arts: A Student- and Response-Centered Classroom. Boston:
Allyn and Bacon.
Drost, J.I.G.M. (1998). Sekolah: Mengajar atau Mendidik? Yogyakarta: USD-Kanisius.
Fogarty, R. (1991). The Mindful School: How to Integrate the Curricula. Illinois: IRI/Skylight
Pub, Inc.
Gagne, R.M. (1977). The Conditions of Learning. Edisi III. New York: Holt, Rinehart, and
Winston.
Gagne, R.M., Briggs, L.J., dan Wager, W.M. (1992). Principles of Instructional Strategies.
Orlando: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.
Gavelek, J.R., dkk. (2000). Integrated Literacy Instruction. Dalam Michael L Kamil, dkk., Ed.,
Handbook of Research Reading. Volume III. New Jersey: Lawrence Erlbaum Ass., Publisers.
Glover, D. dan Law, S. 2002. Improving Learning: Professional Practice in Secondary School.
Philadelphia: Open University Press.
Goodman, K.S., dkk. 1987. Language and Thinking in School: A Whole Language Curriculum.
Edisi Ketiga. New York: Richard C. Owen Pub.
Greedler, M.E. (1992). Learning and Instruction: Theory into Practice. Edisi III. New York:
Macmillan.
Halliday, M.K. dan Hasan, R. 1991. Language, Context, and Text: Aspect of Language in a
Social-Semiotic Perspectif. Melbourne: Oxford University Press.
Hamalik, Oe. (2000). “Model-model Pengembangan Kurikulum“. Bandung: PPS-UPI (Diktat).
Hamachek, D. (1990). Psychology in Teaching Learning and Growth. Edisi IV. Boston: Allyn
and Bacon.
Hass, G. (1977). Curriculum Planning: A New Approach. Edisi II. Boston: Allyn and Bacon.
Hunkins, F.P. (1980). Curriculum Development:: Program Improvement. Columbus: A Bell &
Howell Company.
Jacob, H.H., Ed. (1989). Interdisciplinary Curriculum: Design and Implementation. Alexandria,
V.A.: ASCD
Kentjono, Dj., Ed. 1984. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta: FS-UI.
Miller, J.P. dan Seller, W. (1985). Curriculum: Perspectives and Practice. New York: Longman.
Morrow, L.M., Smith, J.K., dan Wilkinson, L.Ch., Ed. (1994). Integrated Language Arts:
Controversy to Concensus. Massachusetts: Allyn & Bacon.
Moeliono, A.M. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.
Nur, Agustiar Syah. (2001). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung: Lubuk
Agung.
Oliva, P.F. (1988). Developing the Curriculum. Edisi II. Boston: Scott, Foresman and Company.
Ornstein, A. dan Hunkins, F. (1993). Curriculum: Foundations, Principles, and Theory. Edisi II.
Boston: Allyn and Bacon.
Pappas, Ch.C., Kiefer, B.Z., dan Levstik, L.S. (1990). An Integrated Language Perspective in the
Elementary School: Theory into Action. New York: Longman.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. [Online]. Tersedia:
http://www.puskur.net/index.php?menu= profile&pr0= 148&iduser=5.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. [Online]. Tersedia: http://www.puskur.
net/index.php?menu= profile&pr0=148&iduser=5.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan 23 Tahun 2006. [Online]. Tersedia: http://www.
puskur.net/ index.php?menu= profile&pr0=148&iduser=5.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta: Sinar Grafika.
Rao, V.K. (2004). Policies for Effective Secondary Education. Dalam Encyclopaedia of
Educational Development: Education System. Volume I. New Delhi: A.P.H. Publishing Corp.
Reece, I. dan Walker, S. 1997. Teaching, Training, and Learning: A Practical Guide. Edisi III.
Sunderland, Tyne and Wear: Business Education Pub.
Rubin, D. (1994). Comprehension Strategies for an Integrated Language Arts Classroom.
Illinois: Fearon Teacher Aids.
Santrock, J.W. (1994). Child Development. Edisi VI. Wisconsin: Brown & Benchmark.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York:
Macmillan.
Sindhunata, Ed. (2000). Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi,
Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Sukmadinata, N. Sy. (2004). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT
Rosdakarya.
Suryabrata, S. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Suyanto dan Hisyam, Dj. (2000). Refleksi dan reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
Milenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Tyler, R. W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The University
of Chicago Press.
Tompkins, G.E. dan Hoskisson, K. 1995. Language Arts: Content and Teaching Strategies. New
Jersey: Merrill.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.
UNESCO. (1996). Learning: the Treasure Within: Report to UNESCO of the International
Commission on Education for the Twenty-first Century. Paris: UNESCO Publishing.
Wardhaugh, R. 1972. Introduction to Linguistics. New York: McGraw-Hill.
Wragg, E.C., Ed. 2004. The RoutlegeFalmer Reader in Teaching and Learning. New York: The
RoutlegeFalmer.
Lampiran:
STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR
MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA PMU (PROGRAM IPA & IPS)
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
Mendengarkan
1. Memahami siaran atau cerita 1.1 Menanggapi siaran atau informasi dari media
elektronik (berita dan nonberita)
yang disampaikan secara
langsung/tidak langsung
1.2 Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan
ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara
langsung/melalui rekaman
1. Memahami puisi yang
disampaikan secara
langsung/tidak langsung
2.1 Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi
yang disampaikan secara langsung ataupun melalui
rekaman
2.2 Mengungkapkan isi suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman
1. Memahami informasi melalui
tuturan
3.1 Menyimpulkan isi informasi yang disampai-kan
melalui tuturan langsung
3.2 Menyimpulkan isi informasi yang didengar
melalui tuturan tidak langsung (rekaman atau teks
yang dibacakan)
1. Memahami cerita rakyat yang
dituturkan
4.1 Menemukan hal-hal yang menarik tentang
tokoh cerita rakyat yang disampaikan secara langsung
dan atau melalui rekaman
4.2 Menjelaskan hal-hal yang menarik tentang
latar cerita rakyat yang disampaikan secara
langsung dan atau melalui rekaman
1. Memahami berbagai
informasi dari
sambutan/khotbah dan
wawancara
1. Memahami pementasan
drama
5.1
Menemukan pokok-pokok
khotbah yang didengar
isi
sambutan/
5.2 Merangkum isi pembicaraan dalam
wawancara
6.1
Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan
perwatakannya, dialog, dan konflik pada pementasan
drama
6.2 Menganalisis pementasan drama berdasarkan
teknik pementasan
1. Memahami pendapat dan
informasi dari berbagai
sumber dalam diskusi atau
7.1 Merangkum isi pembicaraan dalam suatu
diskusi atau seminar
7.2
Mengomentari pendapat seseorang dalam
STANDAR KOMPETENSI
seminar
1. Memahami pembacaan
cerpen
KOMPETENSI DASAR
suatu diskusi atau seminar
8.1 Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar
dalam cerpen yang dibacakan
8.2 Menemukan nilai-nilai dalam cerpen yang
dibacakan
1. Memahami informasi dari
berbagai laporan
9.1 Membedakan antara fakta dan opini dari
berbagai laporan lisan
9.2 Mengomentari berbagai laporan lisan dengan
memberikan kritik dan saran
10. Memahami pembacaan novel
10.1 Menanggapi pembacaan penggalan novel dari
segi vokal, intonasi, dan penghayatan
10.2 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari
pembacaan penggalan novel
11. Memahami informasi dari 11.1 Mengajukan saran perbaikan tentang informasi
berbagai sumber yang disampaikan yang disampaikan secara langsung
secara lisan
11.2 Mengajukan saran perbaikan tentang informasi
yang disampaikan melalui radio/televisi
12. Memahami pembacaan teks 12.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik teks drama
drama
yang dididengar melalui pembacaan
12.2 Menyimpulkan isi drama melalui pembacaan
teks drama
Berbicara
1.1 Memperkenalkan diri dan orang lain di dalam
1. Mengungkapkan pikiran,
forum
resmi dengan intonasi yang tepat
pera-saan, dan informasi
melalui kegiatan berkenalan,
berdiskusi, dan bercerita
1.2 Mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari
berbagai berita, artikel, atau buku)
1.3 Menceritakan berbagai pengalaman dengan
pilihan kata dan ekspresi yang tepat
1. Membahas cerita pendek
melalui kegiatan diskusi
2.1
Mengemukakan hal-hal yang menarik atau
mengesankan dari cerita pendek melalui kegiatan
diskusi
2.2 Menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui
kegiatan diskusi
1. Mengungkapkan komentar
terhadap informasi dari
3.1 Memberikan kritik terhadap informasi dari
media cetak dan atau elektronik
STANDAR KOMPETENSI
berbagai sumber
KOMPETENSI DASAR
3.2 Memberikan persetujuan/dukungan terhadap
artikel yang terdapat dalam media cetak dan atau
elektronik
4.1
Membahas isi puisi berkenaan dengan
terhadap puisi melalui diskusi gambaran penginderaan, perasaan, pikiran, dan
imajinasi melalui diskusi
1. Mengungkapkan pendapat
4.2 Menghubungkan isi puisi dengan realitas
alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui
diskusi
5.1 Menjelaskan secara lisan uraian topik tertentu
informasi hasil membaca dan dari hasil membaca (artikel atau buku)
wawancara
1. Mengungkapkan secara lisan
5.2 Menjelaskan hasil wawancara tentang
tanggapan narasumber terhadap topik tertentu
1. Memerankan tokoh dalam
pementasan drama
6.1 Menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan
mimik, sesuai dengan watak tokoh
6.2 Mengekpresikan perilaku dan dialog tokoh
protagonis dan/atau antagonis
7.1 Mempresentasikan hasil penelitian secara
penelitian dalam diskusi atau runtut dengan menggunakan bahasa yang baik dan
benar
seminar
1. Menyampaikan laporan hasil
7.2 Mengomentari tanggapan orang lain terhadap
presentasi hasil penelitian
1. Mengungkapkan wacana
sastra dalam bentuk
pementasan drama
8.1 Mengekspresikan dialog para tokoh dalam
pementasan drama
8.2 Menggunakan gerak-gerik, mimik, dan
intonasi, sesuai dengan watak tokoh dalam
pementasan drama
1. Mengungkapkan gagasan,
tang-gapan, dan informasi
dalam diskusi
9.1 Menyampaikan gagasan dan tanggapan dengan
alasan yang logis dalam diskusi
9.2 Menyampaikan intisari buku nonfiksi dengan
menggunakan bahasa yang efektif dalam diskusi
10.Mengungkapkan
tentang pembacaan puisi
pendapat
10.1 Menanggapi pembacaan puisi lama tentang
lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat
10.2 Mengomentari pembacaan puisi baru tentang
lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat
11.Mengungkapkan
informasi
melalui presentasi program/ proposal
11.1 Mempresentasikan program kegiatan/ proposal
STANDAR KOMPETENSI
dan pidato tanpa teks
KOMPETENSI DASAR
11.2 Berpidato tanpa teks dengan lafal, intonasi,
nada, dan sikap yang tepat
12.Mengungkapan
tanggapan 12.1 Membahas ciri-ciri
terhadap pembacaan puisi lama
terkandung dalam gurindam
dan
nilai-nilai
yang
12.2 Menjelaskan keterkaitan gurindam dengan
kehidupan sehari-hari
Membaca
1. Memahami berbagai teks
bacaan nonsastra dengan
berbagai teknik membaca
1.1 Menemukan ide pokok berbagai teks non-sastra
dengan teknik membaca cepat (250 kata/menit)
1.2 Mengidentifikasi ide teks nonsastra dari
berbagai sumber melalui teknik membaca ekstensif
1. Memahami wacana sastra
melalui kegiatan membaca
puisi dan cerpen
2.1 Membacakan puisi dengan lafal, nada, tekanan,
dan intonasi yang tepat
2.2 Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu
cerpen dengan kehidupan sehari-hari
1. Memahami ragam wacana
tulis dengan membaca
memindai
3.1 Merangkum seluruh isi informasi teks buku ke
dalam beberapa kalimat dengan membaca memindai
3.2 Merangkum seluruh isi informasi dari suatu
tabel dan atau grafik ke dalam beberapa kalimat
dengan membaca memindai
1. Memahami sastra Melayu
klasik
4.1 Mengidentifikasi karakteristik dan struktur
unsur intrinsik sastra Melayu klasik
4.2 Menemukan nilai-nilai yang terkandung di
dalam sastra Melayu klasik
1. Memahami ragam wacana
tulis dengan membaca
intensif dan membaca
nyaring
1. Memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/novel
terjemahan
5.1 Menemukan perbedaan paragraf induktif dan
deduktif melalui kegiatan membaca intensif
5.2 Membacakan berita dengan intonasi, lafal,
dan sikap membaca yang baik
6.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
hikayat
6.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
7.1 Mengungkapkan pokok-pokok isi teks dengan
tulis dengan membaca cepat membaca cepat 300 kata per menit
dan membaca intensif
1. Memahami ragam wacana
7.2
Membedakan fakta dan opini pada editorial
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
dengan membaca intensif
1. Memahami buku biografi,
novel, dan hikayat
8.1 Mengungkapkan hal-hal yang menarik dan
dapat diteladani dari tokoh
8.2 Membandingkan unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan
hikayat
1. Memahami artikel dan teks
pidato
9.1 Menemukan ide pokok dan permasalahan
dalam artikel melalui kegiatan membaca intensif
9.2 Membaca nyaring teks pidato dengan intonasi
yang tepat
10. Memahami wacana sastra puisi 10.1 Membacakan puisi karya sendiri dengan lafal,
dan cerpen
intonasi, penghayatan dan ekspresi yang sesuai
10.2 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen
11.Memahami ragam wacana tulis 11.1 Menemukan ide pokok suatu teks dengan
melalui kegiatan membaca cepat dan membaca cepat 300-350 kata per menit
membaca intensif
11.2 Menentukan kalimat kesimpulan (ide pokok)
dari berbagai pola paragraf induksi, deduksi dengan
membaca intensif
12.Memahami buku kumpulan 12.1 Mengidentifikasi tema dan ciri-ciri puisi
puisi kontemporer dan karya sastra kontemporer melalui kegiatan membaca buku
yang dianggap penting pada tiap kumpulan puisi komtemporer
periode
12.2 Menemukan perbedaan karakteristik angkatan
melalui membaca karya sastra yang dianggap
penting pada setiap periode
Menulis
1. Mengungkapkan informasi
dalam berbagai bentuk
paragraf (naratif, deskriptif,
ekspositif)
1.1 Menulis gagasan dengan menggunakan pola
urutan waktu dan tempat dalam bentuk paragraf
naratif
1.2 Menulis hasil observasi dalam bentuk paragraf
deskriptif
1.3 Menulis gagasan secara logis dan sistematis
dalam bentuk ragam paragraf ekspositif
2
Mengungkapkan pikiran, dan 2.1 Menulis puisi lama dengan memperhatikan bait,
perasaan melalui kegiatan menulis irama, dan rima
puisi
2.2 Menulis puisi baru dengan memperhatikan
bait, irama, dan rima
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
3
Mengungkapkan informasi 3.1 Menulis gagasan untuk mendukung suatu
melalui penulisan paragraf dan teks pendapat dalam bentuk paragraf argumentatif
pidato
3.2 Menulis gagasan untuk meyakinkan atau
mengajak pembaca bersikap atau melakukan
sesuatu dalam bentuk paragraf persuasif
3.3 Menulis hasil wawancara ke dalam beberapa
paragraf dengan menggunakan ejaan yang tepat
3.4 Menyusun teks pidato
4
Mengungkapkan pengalaman 4.1 Menulis karangan berdasarkan kehidupan diri
diri sendiri dan orang lain ke dalam sendiri dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar)
cerpen
4.2 Menulis karangan berdasarkan pengalaman
orang lain dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar)
1. Mengungkapkan informasi
5.1 Menulis proposal untuk berbagai keperluan
dalam bentuk proposal, surat
dagang, karangan ilmiah
5.2 Menulis surat dagang dan surat kuasa
5.3 Melengkapi karya tulis dengan daftar pustaka
dan catatan kaki
1. Mengungkapkan infomasi
6.1 Mengungkapkan prinsip-prinsip penulisan resensi
melalui penulisan resensi
6.2 Mengaplikasikan prinsip-prinsip penulisan
resensi
1. Mengungkapkan informasi
7.1 Menulis rangkuman/ringkasan isi buku
dalam bentuk rangkuman/
ringkasan, notulen rapat, dan 7.2 Menulis notulen rapat sesuai dengan pola
karya ilmiah
penulisannya
7.3 Menulis karya ilmiah seperti hasil pengamatan,
dan penelitian
1. Menulis naskah drama
8.1 Mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog
naskah drama
8.2 Menarasikan pengalaman manusia dalam
bentuk adegan dan latar pada naskah drama
1. Mengungkapkan infomasi
dalam bentuk surat dinas,
laporan, resensi
9.1 Menulis surat lamaran pekerjaan berdasarkan
unsur-unsur dan struktur
9.2 Menulis surat dinas berdasarkan isi, bahasa, dan
format yang baku
9.3 Menulis laporan diskusi dengan melampirkan
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
notulen dan daftar hadir
9.4 Menulis resensi buku pengetahuan berdasarkan
format baku
10. Mengungkapkan pendapat, 10.1 Menulis resensi buku kumpulan cerpen
informasi, dan pengalaman dalam berdasarkan unsur-unsur resensi
bentuk resensi dan cerpen
10.2 Menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang
lain (pelaku, peristiwa, latar)
11.Mengungkapkan
pikiran, 11.1 Menulis karangan berdasarkan topik tertentu
pendapat, dan informasi dalam dengan pola pengembangan deduktif dan induktif
penulisan karangan berpola
11.2 Menulis esai berdasarkan topik tertentu
dengan pola pengembangan pembuka, isi, dan
penutup
12.Mengungkapkan
pendapat 12.1 Memahami prinsip-prinsip penulisan kritik dan
dalam bentuk kritik dan esai
esai
12.2 Menerapkan prinsip-prinsip penulisan kritik
dan esai untuk mengomentari karya sastra
04/29/2010 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | 1 Komentar
PENGERTIAN PENDIDIKAN IPA
DAN PERKEMBANGANNYA
PENDAHULUAN
BAB I
IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan mempunyai hubungan yang sangat luas terkait
dengan kehidupan manusia. Pembelajaran IPA sangat berperan dalam proses pendidikan dan
juga perkembangan Teknologi, karena IPA memiliki upaya untuk membangkitkan minat
manusia serta kemampuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pemahaman tentang alam semesta yang mempunyai banyak fakta yang belum terungkap dan
masih bersifat rahasia sehingga hasil penemuannya dapat dikembangkan menjadi ilmu
pengetahuan alam yang baru dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, IPA memiliki peran yang sangat penting. Kemajuan IPTEK yang begitu pesat
sangat mempengaruhi perkembangan dalam dunia pendidikan terutama pendidikan IPA di
Indonesia dan negara-negara maju.
Pendidikan IPA telah berkembang di Negara-negara maju dan telah terbukti dengan adanya
penemuan-penemuan baru yang terkait dengan teknologi. Akan tetapi di Indonesia sendiri belum
mampu mengembangkannya. Pendidikn IPA di Indonesia belum mencapai standar yang
diinginkan, padahal untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sains penting
dan menjadi tolak ukur kemajuan bangsa.
Kenyataan yang terjadi di Indonesia, mata plajaran IPA tidak begitu diminati dan kurang
diperhatikan. Apalagi melihat kurangnya pendidik yang menerapkan konsep IPA. Permasalahan
ini terlihat pada cara pembelajaran IPA serta kurikulum yang diberlakukan sesuai atau malah
mempersulit pihak sekolah dan siswa didik, masalah yang dihadapi oleh pendidikan IPA sendiri
berupa materi atau kurikulum, guru, fasilitas, peralatan siswa dan komunikasi antara siswa dan
guru.
Oleh sebab itu untuk memperbaiki pendidikan IPA di SMP diperlukan pembenahan kurikulum
dan pengajaran yang tepat dalam pendidikan IPA. Masalah ini juga yang mendasasri adanya
kurikulum yang di sempurnakan (KYD) yang saat ini sedang di kembangkan di sekolah-sekolah,
yaitu KTSP.
Dalam makalah ini penulis akan menyajikan tentang pengertian pendidikan IPA dan
perkembangannya sehingga menyebabkan adanya perubahan kurikulum yang disempurnakan.
Diharapkan setelah adanya penyempurnaan kurikulum maka pendidikan IPA dapat diajarkan
sesuai dengan konsepnya serta dapat dikembangka dala dunia tekologi. Pendidikan IPA terpadu
yang diterapkan di SMP dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, yang mampu berpikir
logis, kreatif dan kritis dalam menanggapi isu teknologi di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. Pengertian Pendidikan IPA
Pendidikan IPA merupakan disiplin ilmu yang didalamnya terkait dengan ilmu pendidikan dan
IPA itu sendiri. Sebelum mengetahui lebih jelas mengenai pendidikan IPA serta ruang
lingkupnya, IPA memiliki dua pengertian yaitu dari segi pendidikan dan IPA itu sendiri.
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan menurut Siswoyo (2007: 21) merupakan “proses sepanjang hayat dan perwujudan
pembentukan diri secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi dalam rangka
pemenuhan dan cara komitmen manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social, serta
sebagai makhluk Tuhan”.
Sugiharto (2007: 3) menyatakan bahwa “pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan
secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun
kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan”.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses sadar dan
terencana dari setiap individu maupun kelompok untuk membentuk pribadi yang baik dan
mengembangkan potensi yang ada dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan yang
diharapkan.
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwapendidikan tidak hanya menitik beratkan pada
pengembangan pola piker saja, namun juga untuk mengembangkan semua potensi yang ada pada
diri seseorang. Jadi pendidikan menyangkut semua aspek pada kepribadian seseorang untuk
membuat seseorang tersebut menjadi lebih baik.
2. Pengertian IPA
IPA sendiri berasal dari kata sains yang berarti alam. Sains menurut Suyoso (1998:23)
merupakan “pengetahuan hasil kegiatan manusia yang bersifat aktif dan dinamis tiada hentihentinya serta diperoleh melalui metode tertentu yaitu teratur, sistematis, berobjek, bermetode
dan berlaku secara universal”.
Menurut Abdullah (1998:18), IPA merupakan “pengetahuan teoritis yang diperoleh atau disusun
dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi,
penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya kait
mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain”.
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan pengetahuan dari hasil
kegiatan manusia yang diperoleh dengan menggunakan langkah-langkah ilmiah yang berupa
metode ilmiah dan dididapatkan dari hasil eksperimen atau observasi yang bersifat umum
sehingga akan terus di sempurnakan.
Dalam pembelajaran IPA mencakup semua materi yang terkait dengan objek alam serta
persoalannya. Ruang lingkup IPA yaitu makhluk hidup, energi dan perubahannya, bumi dan
alam semesta serta proses materi dan sifatnya. IPA terdiri dari tiga aspek yaitu Fisika, Biologi
dan Kimia. Pada apek Fisika IPA lebih memfokuskan pada benda-benda tak hidup. Pada sapek
Biologi IPA mengkaji pada persoalan yang terkait dengan makhluk hidup serta lingfkungannya.
Sedangkan pada aspek Kimia IPA mempelajari gejala-gejala kimia baik yang ada pada makhluk
hidup maupun benda tak hidup yang ada di alam.
Dari uraian di atas mengenai pengertian pendidikan dan IPA maka pendidikan IPA merupakan
penerapan dalam pendidikan dan IPA untuk tujuan pembelajaran termasuk pembelajaran di
SMP.
Pendidikan IPA menurut Tohari (1978:3) merupakan “usaha untuk menggunakan tingkah laku
siswa hingga siswa memahami proses-proses IPA, memiliki nilai-nilai dan sikap yang baik
terhadap IPA serta menguasi materi IPA berupa fakta, konsep, prinsip, hokum dan teori IPA”.
Pendidikan IPA menurut Sumaji (1998:46) merupakan “suatu ilmu pegetahuan social yang
merupakan disiplin ilmu bukan bersifat teoritis melainkan gabungan (kombinasi) antara disiplin
ilmu yang bersifat produktif”.
Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan IPA merupakan suatu usha
yang dilakukan secara sadar untuk mengungkap gejala-gejala alam dengan menerapkan langkahlangkah ilmiah serta untuk membentuk kepribadian atau tingkah laku siswa sehingga siswa dapat
memahami proses IPA dan dapat dikembangkan di masyarakat.
Pendidika IPA menjadi suatu bidang ilmu yang memiliki tujuan agar setiap siswa terutama yang
ada di SMP memiliki kepribadian yang baik dan dapat menerapkan sikap ilmiah serta dapat
mengembangkan potensi yang ada di alam untuk dijadikan sebagai sumber ilmu dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pendidikan IPA bukan hanya sekedar teori akan tetapi dalam setiap bentuk
pengajarannya lebih ditekankan pada bukti dan kegunaan ilmu tersebut. Bukan berarti teori-teori
terdahulu tidak digunakan, ilmu tersebut akan terus digunakan sampai menemukan ilmu dan
teori baru. Teori lama digunakan sebagai pembuktian dan penyempurnaan ilmu-ilmu alam yang
baru. Hanya saja teori tersebut bukan untuk dihapal namun di terapkan sebagai tujuan proses
pembelajaran. Melihat hal tersebut di atas nampaknya pendidikan IPA saat ini belum dapat
menerapkannya.
Perlu adanya usaha yang dilakukan agar pendidikan IPA yang ada sekarang ini dapat
dilaksanakan sesuai dengan tujuan awal yang akan dicapai, karena kita tahu bahwa pendidikan
IPA tidak hanya pada teori-teori yang ada namun juga menyangkut pada kepribadian dan sikap
ilmiah dari peserta didik. Untuk itu maka kepribadian dan sikap ilmiah perlu ditumbuhkan agar
menjadi manusia yang sesuai dari tujuan pendidikan.
1. B. Perkembangan Pendidikan IPA
Pemberian pendidikan IPA di sekolah menengah bertujuan agar siswa paham dan menguasai
konsep alam. pembelajaran ini juga bertujuan agar siswa dapat menggunakan metode ilmiah
untuk menyelesaikan persoalan alam tersebut.
Pendidikan IPA atau IPA itu sendiri memiliki peran penting dalam meningkatkan mutu
pendidikan terutama dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas yang mepunyai
pemikiran kritis dan ilmiah dalam menanggapi isu di masyarakat. Perkembangan IPA ini dapat
menyesuaikan dengan era teknologi informasi yang saat ini tengah hangat di bicarakan dalam
dunia pendidikan.
Menyadari hal ini maka pendidikan IPA perlu mendapat perhatian, sehingga dapat dilakukan
suatu usaha yang di sebut modernisasi. Modernisasi sendiri merupakan proses pergeseran sikap,
cara berpikir dan bertindak sesuai dengan tuntunan zaman. Dengan demikian modernisasi
pendidikan IPA memiliki upaya untuk mengubah system menjadi lebih modern dan akan terus
berjalan dinamis.
Modernisasi dalam pendidikan IPA meliputi dua hal yaitu materi IPA dan matematika, serta
system penyampaian. Modernisasi pendidikan IPA telah berkembang di Negara-negara maju
seperti Amerika, namun untuk Indonesia sendiri belum nampak perkembangannya
Modernisasi yang dilakukan di Indonesia terkait dengan adanya perubahan kurikulum yang
dominant terlihat pada kurikulum 1975, kurikulum ini berpengaruh pada kurikulum 1984 dan
1994. selanjutnya berubah menjadi Kurikulum 2004 yang biasa dikenal dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) sampai akhirnya sekarang telah disempurnakan menjadi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
1. Perkembangan Kurikulum
Kurikulum sendiri memiliki pengertian sebagaimana dalam UU SPN No 20 Tahun 2003 pada
bab I pasal I (Muhammad. Joko,2007:82) yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Kurikulum dimulai sejak
adanya kurikulum 1975 yang berpengaruh pada kurikulum 1984 dan 1994.
a. Kurikulum 1975
Pendidikan di Indonesia sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan atau tepatnya tanggal 17
agusyus 1945. sejak saat itu telah terjadi beberapa kali pembaharuan kurikulum mulai dari
yingkat sekolah dasar hingga menengah. Pembaharuan kurikulm tersebut dilakukan
untukmembuat pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, menurut Jasin (1987), sudah
dilakukan lima kali pembaharuan kurikulum. Pembaharuan tersebut adalah:
v Pembaharuan pertamakali dilakukan pada tahun 1947. Pembaharuan tersebut dilakukan untuk
mengganti seluruh sistem pendidikan kolonial Belanda yang sebelumnya telah dicanangkan di
Indonesia. Pembaharuan ini sangat didukung dengan masih adanya semangat revolusi nasional
dan semangat proklamasi kemerdekaan yang masih menyala-nyala. Pembaharuan yang pertama
atau disebut dengan rencanapelajaran 1947 ini menekankan pada pembentukan karakter manusia.
v Pembaharuan yang kedua terjadi dengan keluarnya rencana pendidikan 1964. Pembaharuan
kurikulum ini didasarkan pada usaha untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di Indonesia di
bidang ilmu alam (science) dan matematika.
v Pembaharuan yang ketiga terjadi karena dikeluarkannya kurikulum 1968. Pembaharuan ini
terjadi bersamaan dengan beralihnya sistem pemerintahan dari orde lama ke orde baru. Keadaan
tersebut menuntut adanya pembaharuan dalam segala aspek kehidupan yang salah satunya adalah
pendidikan.
v Pembaharuan yang keempat terjadi seiring dengan diterbitkannya kurikulum 1975/1976/1977.
Kurikulum ini ditandai dengan adanya usha yang sistematis dalam penyusunan kurikulum
tersebut. Bahan-bahan yang bersifat empiris dijadikan dasar dalam penyusunan kurikulum ini.
b. Kurikulum 1984
Kurikulum ini manggantikan kurikulum 1975 yang didasarkan pada surat keputusan menteri
pendidikan dan kebudayaan nomor 0461/U/1983 tentang perbaikan kurikulum pendidikan dasar
dan menengah. Kurikulum ini sudah disesuaikan dengan kebutuhan kerja industri pada masa itu.
c. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 berisi tentang kewenangan pengembangan yang seluruhnya beada ditanagn
pusat dan daerah sehingga sekolah tidak begitu terlibat, kemudian tidak terjadi penataan materi,
jam pelajaran serta struktur program siswa hanya dianggap sebagai siswa yang harus menerima
semua materi dan tanpa mem[praktekannya. Pembelajaran hanya dilakukan di dalam kelas dan
ketrampilan hanya dikembangkan melalui latihan soal. Mulyasa (Muhammad Joko,2007:102104).
Dari uraian di atas erlihat bahwa kurikulum ini tidak atau kurang mengena pada siswa untuk
pendidikan IPA, mengingat bahwa pendidikan IPA tidak sekedar mengajarkan konsep namun
membutuhkan proses ketrampilan. Sebagai contoh meneliti, mengalami danmembuat rancangan
prosedur sehingga kurikulum ini dirasa kurang baik dan akhirnya terjadi perubahan kurikulum
yang disebut KBK.
d. Kurikulum 2004 (KBK)
KBK tidak ditetapka dalam UU
atau Peraturan Pemerintah. Alasan dirubahnya kurikulum
1994 menjadi KBK karena mutu pendidikan di Indonesia yang kurang baik dan banyak siswa
yang tidak menerapkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan, selain itu mereka dituntut
untuk menghapal materi tanpa memahaminya sehingga apa yang telah di ujikan maka materi itu
akan dengan mudah lupa.
Oleh karena itu dengan dirubahnya kurikulum 1994 menjadi KBK diharapkan dapat menekankan
kurikulum pada kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai siswa dalam menyelesaikan
pembelajaran. Menurut Paul (2007:43) kompetensi merupakan “kemampuan yang dapat berupa
keterampilan, nilai hidup siswa yang mempengaruhi cara mereka berpikir dan bertindak”.
Secara umum KBK memiliki enam karakteristik menurut Muhammad joko (2007:102) yaitu:
“(1) system belajar dengan modul,(2) menggunakan keseluruhan sumber belajar, (3) pengalaman
lapangan, (4) strategi individual personal, (5) kemudahan belajar dan (6) belajar tuntas”.
Dalam kurikulum KBK ini sekolah dimberi keleluasaan dalam menyusun dan mengembangkan
silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasi potensi sekolah, kebutuhan dan
kemampuan peserta didik serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. Di samping itu kurikulum
ini juga menuntut siswa untuk aktif dan diharapkan lulusan dari tingkat SMP siswa dapat
berpikir logis, kritis dan inovatif serta dapat memecahkan masalah sesuai metode ilmiah.
e. Kurikulum 2006 (KTSP)
KTSP (kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) merupakan kurikulum yang di sempurnakan dari
kurikulum 2004 (KBK). Kurikulum ini disusun oleh masing-masing satuan pendidikan atau
sekolah. Prinsipnya hamper sama dengan KBK. KTSP diberlakukan mulai tahun 2006/2007.
Dalam kurikulum ini pemerintah hanya sebagai pengembang kompetensi sebagai standar isi dan
kelulusan. Selanjutnya sekolah bebas menyusun kurikulum sesuai dengan keadaan sekolah dan
siswa didik.
KTSP disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam UU republic Indonesia No
20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional dan permen No 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam KTSP pendekatan balajar berbasis kompetensi dan
terjadi penataan materi, jam belajar dan struktur program. (Muhammad Joko, 2007:102).
Perubahan urikulum harus beranjak pada kompetensi yang berdasar pada kebutuhan
dimasyarakat. Harapannya dengan kurikulum terakhir yang lebih dikenal dengan KTSP lebih
mudah diterapkan karena guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kompetensi siswa.
Keberhasilan pendidikan akan tergantung pada sekolah dan guru yang menerapkan kurikulum
tersebut. Harapannya dapat meningkatkankualitas SDM.
2. Kurikulum IPA di Indonesia
Melihat dari kurikulum di atas maka kurikulum Pendidikan IPA di SMP telah dirancang sebagai
pembelajaran yang berdimensi kompetensi karena IPA sangat penting sebagai Ilmu Pengetahuan
dan untuk mengembangkan teknologi.
Kurikulum sebelum KTSP IPA di SMP diajarkan dengan memisahkan mata pelajaranm kedalam
tiga aspek yaitu Fisika, Biologi dan Kimia. Dalam hal ini ketiga mata pelajaran ini hanya
mencakup pada aspek IPA tanpa teknologi dan masyarakat. Padahal tujuan dari pembelajaran
IPA buakn hanya pada konsep tetapi ketrampilan proses agar dapat berpikir ilmiah, rasional dan
kritis.
Sesuai dengan adanya isi materi yang kurang mengena pada teknologi maka ketiga aspek
tersebut dirangkum dalam satu mata pelajaran yaitu pendidikan IPA terpadu yang saat ini telah
diterapkan dalam kurikulum KTSP.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pendidikan IPA merupakan disiplin ilmu yang di dalamnya terkait antara pendidikan dengan
IPA. Pendidikan merupakan suatu proses sadar dan terencana dari setiap individu maupun
kelompok untuk membentuk pribadi yang baik dalam mengembangkan potensi yang ada dalam
upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan hidup yang diharapkan. IPA sendiri
merupakanpengetahuan dari hasil kegiatan manusia yang dipeoleh dengan menggunakan
langkah-langkah ilmiah yang berupa metode ilmiah yang didapatkan dari hasil eksperimen atau
observasi yang bersifat umum sehingga akan terus disempurnakan.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan IPA merupakan suatu usaha
yang dilakukan secara sadar untuk mengungkap gejala-gejala alam dengan meerapkan langkahlangkah ilmiah serta untuk membentuk kepribadian atau tingkah laku siswa sehingga siswa dapat
memehami proses IPA yang kemudian dapat dikembangkan di masyarakat.
Pendidikan IPA di SMP memiliki tujuan agar peserta didik dapat mempelajari diri sendiri dan
alam sekitar yang kemudian dapat dikembangkan menjadi suatu ilmu yang baru.
Perkembangan IPA ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi yang berpengaruh dalam
kehidupan di masyarakat. Oleh sebab itu pendidikan IPA sangat diperlukan, melalui
pembelajaran IPA ini, diharapkan peserta didik dapat menggali pengetahuan melalui kerja ilmiah
dan terus mengembangkan sikap ilmiah.
B. Saran
Dengan adanya kurikulum yang disempurnakan, diharapkan pendidikan IPA di SMP menjadi
lebih baik dan sesuai dengan kurikulum, terutama dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta: Bumi Aksara
Abdullah Aly & Eny Rahma. (1998). Ilmu Alamiah Dasar.
UNY Press
Dwi Siswoyo, dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta.
-
Djohar.(1990).Pendidikan Sains.Yogyakarta:FMIPA UNY
Hermana Soemantri. (1993). Perekayasaan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(pengembangan dan penilaian). Bandung: Angkasa. Mulyasa. (2006). Kurikulum yang
Disempurnakan: Pengambangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bandung: PT
Remaja Rasdakarya
Masnur Muslich. (2007). KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:PT Bumi
Aksara
Muhammad Joko Susilo. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen
Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mulyasa. (2006). Kurikulum yang Disempurnakan: Pengambangan Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar. Bandung: PT Remaja Rasdakarya
Mulyasa. (2006). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan
Implementasi. Bandung: Remaja Rasdakarya
-
Moh. Amien. (1984). Hakekat Science. Yogyakarta: IKIP
Paul Suparno. (2007). Kajian dan Pengantar Kurikulum IPA SMP & MTS. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma
Sugiharto, Kartika N.F. Farida Harahap. dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta.
UNY Press
Sumaji, Soehakso, Mangun Wijaya, dkk. (1998). Pendidikan Sains yang Humanistis.
Yogyakarta: Kanisus
-
Suyoso, Suharto dan Sujoko. (1998). Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakart: IKIP
-
Thohari Mustamar. (1978). Program Pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Yogyakarta
04/29/2010 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | 3 Komentar
Pengembangan Model PembelajaranTatap Muka,
Penugasan Terstruktur dan Tugas Mandiri
Tidak Terstruktur
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pasal 5 ayat (4) menyatakan
bahwa warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus. Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pasal 12 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak antara lain: (1)
Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (2)
Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak
menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan acuan dan pedoman dalam mengembangkan
kurikulum. Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan oleh satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum
secara nasional seperti periode sebelumnya. Tidak ada lagi kurikulum nasional seperti kurikulum
1984, 1994 dan sebagainya. Pemerintah hanya menetapkan SNP yang menjadi acuan sekolah
dalam mengembangkan kurikulum. Kini saatnya sekolah mengembangkan sendiri kurikulum
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan potensi peserta didik, masyarakat dan lingkungannya.
Sementara itu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 14 tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah (Ditjen Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyebutkan
bahwa salah satu tugas Subdirektorat Pembelajaran – Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Atas (Dit. PSMA) adalah melakukan penyiapan bahan kebijakan, standar, kriteria, dan pedoman
serta pemberian bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum.
Lebih jauh dijelaskan dalam Permendiknas nomor 25 tahun 2006 tentang Rincian Tugas Unit
Kerja di Lingkungan Ditjen Mandikdasmen bahwa rincian tugas Subdirektorat Pembelajaran –
Dit. PSMA, antara lain melaksanakan penyiapan bahan penyusunan pedoman dan prosedur
pelaksanaan pembelajaran, termasuk penyusunan pedoman pelaksanaan kurikulum.
Pengembangan KTSP (KTSP) berdasarkan SNP memerlukan langkah dan strategi yang harus
dikaji berdasarkan analisis yang cermat dan teliti. Analisis dilakukan terhadap tuntutan
kompetensi yang tertuang dalam rumusan SK dan KD; analisis mengenai kebutuhan dan potensi
peserta didik, masyarakat, dan lingkungan; serta analisis peluang dan tantangan dalam
memajukan pendidikan pada masa yang akan datang dengan dinamika dan kompleksitas yang
semakin tinggi.
Penjabaran standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) sebagai bagian dari
pengembangan KTSP dilakukan melalui pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran. Silabus merupakan penjabaran secara umum dengan mengembangkan SK dan KD
menjadi indikator, kegiatan pembelajaran, materi pembelajaran dan penilaian. Penjabaran lebih
lanjut dari silabus dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran.
Sebagai bagian dari langkah pengembangan silabus, pengembangan kegiatan pembelajaran
merupakan langkah strategis yang berpengaruh pada kualitas pembelajaran di kelas. Kemampuan
guru dan sekolah dalam mengembangkan pembelajaran tatap muka, tugas terstruktur, dan
kegiatan mandiri tidak terstruktur berpengaruh pada kualitas kompetensi peserta didik di sekolah
tersebut. Dengan demikian diperlukan panduan pengembangan kegiatan pembelajaran yang
dapat dijadikan pedoman bagi guru dan sekolah dalam mengembangkan SK dan KD tiap mata
pelajaran.
1. B. Tujuan
Penyusunan panduan ini bertujuan:
1. memberikan pemahaman lebih luas bagaimana merancang dan melaksanakan kegiatan
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan metode dan media secara bervariasi;
2. memberikan alternatif pembelajaran bervariasi untuk kegiatan tatap muka, kegiatan tugas
terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur;
3. mendorong peningkatan mutu pendidikan melalui proses pembelajaran yang efektif.
1. C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup panduan ini meliputi: konsep dasar dan implementasi pembelajaran, mekanisme
pengembangan pembelajaran tatap muka, tugas terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur
untuk sistem paket dan sistem satuan kredit semsester (SKS), serta evaluasi dan tindak lanjut
untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran.
BAB II
KONSEP DASAR DAN IMPLEMENTASI
1. A. Konsep Dasar Pembelajaran
1. 1. Belajar dan Pembelajaran
Belajar dan pembelajaran merupakan konsep yang saling berkaitan. Belajar merupakan proses
perubahan tingkah laku akibat interaksi dengan lingkungan. Proses perubahan tingkah laku
merupakan upaya yang dilakukan secara sadar berdasarkan pengalaman ketika berinteraksi
dengan lingkungan. Pola tingkah laku yang terjadi dapat dilihat atau diamati dalam bentuk
perbuatan reaksi dan sikap secara mental dan fisik.
Tingkah laku yang berubah sebagai hasil proses pembelajaran mengandung pengertian luas,
mencakup pengetahuan, pemahaman, sikap, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi memiliki
karakteristik: (1) perubahan terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat sinambung
dan fungsional, (3) tidak bersifat sementara, (4) bersifat positif dan aktif, (5) memiliki arah dan
tujuan, dan (6) mencakup seluruh aspek perubahan tingkah laku, yaitu pengetahuan, sikap, dan
perbuatan.
Keberhasilan belajar peserta didik dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal,
yaitu kondisi dalam proses belajar yang berasal dari dalam diri sendiri, sehingga terjadi
perubahan tingkah laku. Ada beberapa hal yang termasuk faktor internal, yaitu: kecerdasan,
bakat (aptitude), keterampilan (kecakapan), minat, motivasi, kondisi fisik, dan mental.
Faktor eksternal, adalah kondisi di luar individu peserta didik yang mempengaruhi belajarnya.
Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah: lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat
(keadaan sosio-ekonomis, sosio kultural, dan keadaan masyarakat).
Pada hakikatnya belajar dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak maupun manusia dewasa.
Pada kenyataannya ada kewajiban bagi manusia dewasa atau orang-orang yang memiliki
kompetensi lebih dahulu agar menyediakan ruang, waktu, dan kondisi agar terjadi proses belajar
pada anak-anak. Dalam hal ini proses belajar diharapkan terjadi secara optimal pada peserta
didik melalui cara-cara yang dirancang dan difasilitasi oleh guru di sekolah. Dengan demikian
diperlukan kegiatan pembelajaran yang disiapkan oleh guru.
Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar
peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap
rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik (Winkel, 1991).
Pengaturan peristiwa pembelajaran dilakukan secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar
dan membuat berhasil guna (Gagne, 1985). Oleh karena itu pembelajaran perlu dirancang,
ditetapkan tujuannya sebelum dilaksanakan, dan dikendalikan pelaksanaannya (Miarso, 1993)
Proses pembelajaran yang berhasil guna memerlukan teknik, metode, dan pendekatan tertentu
sesuai dengan karakteristik tujuan, peserta didik, materi, dan sumber daya. Sehingga diperlukan
strategi yang tepat dan efektif.
Strategi pembelajaran merupakan suatu seni dan ilmu untuk membawa pembelajaran sedemikian
rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efesien dan efektif (T. Raka Joni,
1992). Cara-cara yang dipilih dalam menyusun strategi pembelajaran meliputi sifat, lingkup dan
urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik (Gerlach and
Ely). Strategi belajar mengajar tidak hanya terbatas pada prosedur dan kegiatan, melainkan juga
termasuk di dalamnya materi pengajaran atau paket pengajarannya (Dick and Carey).
Faktor yang memengaruhi proses pembelajaran terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pribadi guru sebagai pengelola kelas. Guru
harus dapat melaksanakan proses pembelajaran, oleh sebab itu guru harus memiliki persiapan
mental, kesesuaian antara tugas dan tanggung jawab, penguasaan bahan, kondisi fisik, dan
motivasi kerja.
Faktor eksternal adalah kondisi yang timbul atau datang dari luar pribadi guru, antara lain
keluarga dan lingkungan pergaulan di masyarakat. Faktor lingkungan, yang dimaksud adalah
faktor lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan sekolah.
Berdasarkan pendekatan yang digunakan, secara umum ada dua strategi pembelajaran yaitu
strategi yang berpusat pada guru (teacher centre oriented) dan strategi yang berpusat pada
peserta didik (student centre oriented). Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru
menggunakan strategi ekspositori, sedangkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik menggunakan strategi diskoveri inkuiri (discovery inquiry).
Pemilihan strategi ekspositori atau diskoveri inkuiri dilakukan atas pertimbangan karakteristik
kompetensi yang menjadi tujuan yang terdiri dari sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta
karakteristik peserta didik dan sumber daya yang dimiliki. Oleh karena itu tidak ada strategi yang
tepat untuk semua kondisi dan karakteristik yang dihadapi. Guru diharapkan mampu memilah
dan memilih dengan tepat strategi yang digunakan agar hasil pembelajaran efektif dan maksimal.
Pemilihan strategi ekspositori dilakukan atas pertimbangan:
1.
2.
3.
4.
5.
karakteristik peserta didik dengan kemandirian belum memadai;
sumber referensi terbatas;
jumlah pesera didik dalam kelas banyak;
alokasi waktu terbatas; dan
jumlah materi (tuntutan kompetensi dalam aspek pengetahuan) atau bahan banyak.
Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi ekspositori adalah sebagai berikut.
1. Preparasi, guru menyiapkan bahan/materi pembelajaran
2. Apersepsi diperlukan untuk penyegaran
3. Presentasi (penyajian) materi pembelajaran
4. Resitasi, pengulangan pada bagian yang menjadi kata kunci kompetensi atau materi
pembelajaran.
Pemilihan strategi diskoveri inkuiri dilakukan atas pertimbangan:
1.
2.
3.
4.
5.
karakteristik peserta didik dengan kemandirian cukup memadai;
sumber referensi, alat, media, dan bahan cukup;
jumlah peserta didik dalam kelas tidak terlalu banyak;
materi pembelajaran tidak terlalu luas; dan
alokasi waktu cukup tersedia.
Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi diskoveri inkuiri adalah sebagai berikut.
1.
2.
3.
4.
5.
Guru atau peserta didik mengajukan dan merumuskan masalah
Merumuskan logika berpikir untuk mengajukan hipotesis atau jawaban sementara
Merumuskan langkah kerja untuk memperoleh data
Menganalisis data dan melakukan verifikasi
Melakukan generalisasi
Strategi ekspositori lebih mudah bagi guru namun kurang melibatkan aktivitas peserta didik.
Kegiatan pembelajaran berupa instruksional langsung (direct instructional) yang dipimpin oleh
guru. Metode yang digunakan adalah ceramah atau presentasi, diskusi kelas, dan tanya jawab.
Namun demikian ceramah atau presentasi yang dilakukan secara interaktif dan menarik dapat
meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran.
Strategi diskoveri inkuiri memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh, oleh karena itu
dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru agar pengaturan kelas maupun waktu lebih efektif.
Kegiatan pembelajaran berbentuk Problem Based Learning yang difasilitasi oleh guru. Strategi
ini melibatkan aktivitas peseserta didik yang tinggi. Metode yang digunakan adalah observasi,
diskusi kelompok, eksperimen, ekplorasi, simulasi, dan sebagainya.
1. 2. Prinsip Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi
pencapaian kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah
meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan
keterampilannya.
Prinsip pembelajaran berbasis kompetensi adalah sebagai berikut:
1. Berpusat pada peserta didik agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Peserta didik menjadi
subjek pembelajaran sehingga keterlibatan aktivitasnya dalam pembelajaran tinggi. Tugas guru
adalah mendesain kegiatan pembelajaran agar tersedia ruang dan waktu bagi peserta didik
belajar secara aktif dalam mencapai kompetensinya.
2. Pembelajaran terpadu agar kompetensi yang dirumuskan dalam KD dan SK tercapai secara utuh.
Aspek kompetensi yang terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan terintegrasi menjadi
satu kesatuan.
3. Pembelajaran dilakukan dengan sudut pandang adanya keunikan individual setiap peserta didik.
Peserta didik memiliki karakteristik, potensi, dan kecepatan belajar yang beragam. Oleh karena
itu dalam kelas dengan jumlah tertentu, guru perlu memberikan layanan individual agar dapat
mengenal dan mengembangkan peserta didiknya.
4. Pembelajaran dilakukan secara bertahap dan terus menerus menerapkan prinsip pembelajaran
tuntas (mastery learning) sehingga mencapai ketuntasan yang ditetapkan. Peserta didik yang
belum tuntas diberikan layanan remedial, sedangkan yang sudah tuntas diberikan layanan
pengayaan atau melanjutkan pada kompetensi berikutnya.
5. Pembelajaran dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, sehingga peserta didik menjadi
pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena
itu guru perlu mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan atau
konteks kehidupan peserta didik dan lingkungan.
6. Pembelajaran dilakukan dengan multi strategi dan multimedia sehingga memberikan
pengalaman belajar beragam bagi peserta didik.
7. Peran guru sebagai fasilitator, motivator, dan narasumber
Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu
strategi yang memenuhi prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi
pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing,
applying, cooperating, dan transferrini diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi
secara maksimal.
Tujuh konsep utama pembelajaran kontekstual, yaitu:
1. Constructivisme



§ Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami
maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan
memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang
dimiliki
§ Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya
§ Kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahu-an, bukan menerima
pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik
menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian
peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan
kepuasan atas penemuannya itu.
1. Inquiry


§ Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data,
dan menarik simpulan.
§ Langkah-langkah inkuiri dengan merumuskan masalah, melakukan observasi, analisis data,
kemudian mengomunikasikan hasilnya
1. Questioning


§ Berguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta didik; menggali
informasi tentang pemahaman, perhatian, dan pengetahuan peserta didik.
§ Berguna bagi peserta didik sebagai salah satu teknik dan strategi belajar.
1. Learning Community


§ Dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif
§ Belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga kemampuan sosial dan komunikasi
berkembang
1. Modelling


§ Berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara menggali
informasi, demonstrasi, dan lain-lain.
§ Pemodelan dilakukan oleh guru (sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.
1. Reflection




§ Tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari
§ Respon terhadap kejadian, aktivitas/pengetahuan yang baru
§ Hasil konstruksi pengetahuan yang baru
§ Bentuknya dapat berupa kesan, catatan atau hasil karya
1. Autentic Assesment




§ Menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan
§ Berlangsung selama proses secara terintegrasi
§ Dilakukan melalui berbagai cara (test dan non-test)
§ Alternative bentuk: kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal
1. B. Implementasi Pengembangan Kegiatan Pembelajaran
Sebagai tahapan strategis pencapaian kompetensi, kegiatan pembelajaran perlu didesain dan
dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga memperoleh hasil maksimal. Berdasarkan
panduan penyusunan KTSP (KTSP), kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan tatap muka,
kegiatan tugas terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Sekolah standar yang
menerapkan sistem paket, beban belajarnya dinyatakan dalam jam pelajaran ditetapkan bahwa
satu jam pelajaran tingkat SMA terdiri dari 45 menit tatap muka untuk Tugas Terstruktur dan
Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur memanfaatkan 0% – 60% dari waktu kegiatan tatap muka.
Sementara itu bagi sekolah kategori mandiri yang menerapkan sistem kredit semester, beban
belajarnya dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). 1 (satu) sks tingkat SMA terdiri dari 1
(satu) jam pelajaran (@45 menit) tatap muka dan 25 menit tugas terstruktur dan kegiatan mandiri
tidak terstruktur. Dengan demikian, pada sistem paket maupun SKS, guru perlu mendesain
kegiatan pembelajaran tatap muka, tugas terstruktur dan kegiatan mandiri.
1. 1. Kegiatan Tatap Muka
Untuk sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tatap muka dilakukan dengan strategi
bervariasi baik ekspositori maupun diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah
interaktif, presentasi, diskusi kelas, diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif,
demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, ekplorasi dan kajian pustaka atau internet, tanya
jawab, atau simulasi.
Untuk sekolah yang menerapkan sistem SKS, kegiatan tatap muka lebih disarankan dengan
strategi ekspositori. Namun demikian tidak menutup kemungkinan menggunakan strategi
dikoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas,
tanya jawab, atau demonstrasi.
1. 2. Kegiatan Tugas terstruktur
Bagi sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tugas terstruktur tidak dicantumkan dalam
jadwal pelajaran namun dirancang oleh guru dalam silabus maupun RPP (Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran). Oleh karena itu pembelajaran dilakukan dengan strategi diskoveri
inkuiri. Metode yang digunakan seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.
Bagi sekolah yang menerapkan sistem SKS, kegiatan tugas terstruktur dirancang dan
dicantumkan dalam jadwal pelajaran meskipun alokasi waktunya lebih sedikit dibandingkan
dengan kegiatan tatap muka. Kegiatan tugas terstruktur merupakan kegiatan pembelajaran yang
mengembangkan kemandirian belajar peserta didik, peran guru sebagai fasilitator, tutor, teman
belajar. Strategi yang disarankan adalah diskoveri inkuiri dan tidak disarankan dengan strategi
ekspositori. Metode yang digunakan seperti diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan
kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, ekplorasi dan kajian pustaka atau
internet, atau simulasi.
1. 3. Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur
Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru
namun tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran baik untuk sistem paket maupun sistem SKS.
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah diskoveri inkuiri dengan metode seperti
penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.
BAB III
MEKANISME PENGEMBANGAN
1. A. Mekanisme
Mekanisme pengembangan kegiatan pembelajaran dilakukan secara simultan dengan
pengembangan KTSP (KTSP) dan silabus mata pelajaran. Sekolah atau kelompok sekolah
dengan karakteristik yang hampir sama dan/atau kelompok guru mata pelajaran merumuskan
bersama pengembangan kegiatan pembelajaran.
Kegiatan dilakukan dalam koordinasi kepala sekolah yang dilaksanakan oleh tim pengembang
kurikulum di sekolah bersama dengan guru baik melalui rapat kerja dan/atau kegiatan MGMP.
Dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, diperlukan informasi yang cukup berkaitan
dengan karakteristik sekolah yang terdiri dari, potensi dan kebutuhan peserta didik, sumber daya,
fasilitas, lingkungan, dan lain-lain. Informasi diperoleh dari berbagai sumber seperti catatan dan
pengalaman guru, hasil riset bagian penelitian dan pengembangan (Litbang), atau informasi
bagian inventarisasi di sekolah, serta karakteristik keilmuan sesuai mata pelajaran.
Hasil pengembangan dituangkan dalam rancangan kegiatan pembelajaran dalam bentuk silabus
dan desain pembelajaran, rancangan pelaksanaan pembelajaran lebih rinci (RPP), desain
penilaian dan instrumennya, serta dilaksanakan secara efektif dan efisien. Mekanisme kerja tim
pengembang kurikulum, MGMP, dan guru mata pelajaran disajikan dalam skema berikut ini.
Gambar 1.
Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum,
MGMP dan Guru Mata Pelajaran
1. B. Langkah-Langkah
Pengembangan kegiatan pembelajaran dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengkaji dan memetakan KD (KD) agar diketahui karakteristiknya. Hal ini perlu dilakukan guna
merancang strategi dan metode yang akan digunakan pada kegiatan tatap muka, tugas
terstruktur, dan mandiri tidak terstruktur.
2. Mendeskripsikan KD secara lebih rinci dan terukur ke dalam rumusan indikator kompetensi.
Indikator berguna untuk merancang kegiatan pembelajaran yang diperlukan. Indikator yang
dominan pada prinsip dan prosedural misalnya, menyarankan kegiatan pembelajaran dengan
strategi diskoveri inkuiri.
3. Membuat desain pembelajaran dalam bentuk silabus atau desain umum pembelajaran seperti
disajikan dalam Contoh Desain Umum Pembelajaran Sistem SKS.
4. Menjabarkan silabus atau desain pembelajaran dalam bentuk rancangan pelaksanaan
pembelajaran (RPP) tiap pertemuan.
5. Melaksanaan pembelajaran sesuai dengan silabus/desain pembelajaran dan RPP.
6. Melakukan penilaian proses maupun hasil belajar untuk mengukur pencapaian kompetensi
Contoh Desain Umum Pembelajaran :
MING
GU
KEGIATAN PEMBELAJARAN
KOMPETENSI
DASAR
TATAP MUKA
KE
1
1.1. Mengukur
besaran
fisika
Guru
TUGAS
TERSTRUKTUR
1.
mengukur
KEGIATAN MANDIRI
praktik 1.
di ukur
mendata alat
yang
sering
MING
GU
KEGIATAN PEMBELAJARAN
KOMPETENSI
DASAR
TATAP MUKA
KE
(massa, panjang,
dan waktu)
1. melakukan
TUGAS
TERSTRUKTUR
laboraorium
questioning
pengalaman siswa
tentang mengukur,
besaran, dan satuan
KEGIATAN MANDIRI
digunakan sehari-hari
2. membuat laporan
hasil praktik
2. menjelaskan
aspek penting
dalam mengukur
2
Dst.
04/29/2010 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | 3 Komentar
Panduan Pengembangan Indikator
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)
maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor
22 dan nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Sedangkan standar lainnya ditetapkan melalui Permendiknas nomor 13, 16, 19, 20, 24 dan 41
Tahun 2007 tentang tenaga pendidik dan kependidikan, pengelolaan, penilaian,sarana prasarana,
dan proses.
SNP merupakan acuan dan pedoman dalam mengembangkan kurikulum pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum seperti kurikulum 1984, 1994
dan sebagainya. Pemerintah hanya menetapkan SNP yang menjadi acuan sekolah dalam
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai dengan karakteristik,
kebutuhan potensi peserta didik, masyarakat dan lingkungannya.
Pengembangan KTSP berdasarkan SNP memerlukan langkah dan strategi yang harus dikaji
berdasarkan analisis yang cermat dan teliti. Analisis dilakukan terhadap tuntutan kompetensi
yang tertuang dalam rumusan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD); analisis
mengenai kebutuhan dan potensi peserta didik, masyarakat, dan lingkungan; serta analisis
peluang dan tantangan dalam memajukan pendidikan pada masa yang akan datang dengan
dinamika dan kompleksitas yang semakin tinggi.
Penjabaran SK dan KD sebagai bagian dari pengembangan KTSP dilakukan melalui
pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Silabus merupakan penjabaran
lebih lanjut dari SK dan KD menjadi indikator, kegiatan pembelajaran, materi pembelajaran dan
penilaian. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan
prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu KD yang ditetapkan dalam SI
dan telah dijabarkan dalam silabus.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengembangan indikator merupakan langkah strategis dalam
peningkatan kualitas pembelajaran di kelas dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dengan
demikian diperlukan panduan pengembangan indikator yang dapat dijadikan pedoman bagi guru
dan sekolah dalam mengembangkan SK dan KD tiap mata pelajaran.
1. B. Tujuan
Penyusunan panduan ini bertujuan:
1. memberikan pemahaman lebih luas kepada guru dalam mengembangkan indikator kompetensi
berdasarkan tuntutan KD dan SK;
2. memotivasi guru untuk mengembangkan kurikulum di tingkat sekolah guna mencapai
kompetensi, minimal sesuai dengan SI dan SKL;
3. mendorong pengembangan kurikulum lebih lanjut untuk mencapai kompetensi, melebihi SI dan
SKL sehingga mutu pendidikan diharapkan meningkat;
4. mendorong guru dan sekolah terus mengembangkan kurikulum melalui penyusunan dan
pengembangan indikator yang digunakan sebagai acuan pembelajaran dan penilaian.
1. C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengembangan indikator mencakup pengertian dan fungsi indikator dalam KTSP,
mekanisme, dan implementasi dalam pengembangan instrumen penilaian.
BAB II
INDIKATOR DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
1. A. Pengertian
Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat
diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai
dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan
dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.
Dalam mengembangkan indikator perlu mempertimbangkan:
1. 1. tuntutan kompetensi yang dapat dilihat melalui kata kerja yang digunakan dalam KD;
2. 2. karakteristik mata pelajaran, peserta didik, dan sekolah;
3. 3. potensi dan kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan lingkungan/ daerah.
Dalam mengembangkan pembelajaran dan penilaian, terdapat dua rumusan indikator, yaitu:
1. 1. Indikator pencapaian kompetensi yang dikenal sebagai indikator;
2. 2. Indikator penilaian yang digunakan dalam menyusun kisi-kisi dan menulis soal yang di kenal
sebagai indikoator soal.
Indikator dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan menggunakan kata kerja operasional.
Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencakup dua hal yaitu tingkat kompetensi dan materi
yang menjadi media pencapaian kompetensi.
1. B. Fungsi Indikator
Indikator memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam mengembangkan pencapaian
kompetensi berdasarkan SK-KD. Indikator berfungsi sebagai berikut :
1. 1. Pedoman dalam mengembangkan materi pembelajaran
Pengembangan materi pembelajaran harus sesuai dengan indikator yang dikembangkan.
Indikator yang dirumuskan secara cermat dapat memberikan arah dalam pengembangan materi
pembelajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, potensi dan kebutuhan
peserta didik, sekolah, serta lingkungan.
1. 2. Pedoman dalam mendesain kegiatan pembelajaran
Desain pembelajaran perlu dirancang secara efektif agar kompetensi dapat dicapai secara
maksimal. Pengembangan desain pembelajaran hendaknya sesuai dengan indikator yang
dikembangkan, karena indikator dapat memberikan gambaran kegiatan pembelajaran yang
efektif untuk mencapai kompetensi. Indikator yang menuntut kompetensi dominan pada aspek
prosedural menunjukkan agar kegiatan pembelajaran dilakukan tidak dengan strategi ekspositori
melainkan lebih tepat dengan strategi discovery-inquiry.
1. 3. Pedoman dalam mengembangkan bahan ajar
Bahan ajar perlu dikembangkan oleh guru guna menunjang pencapaian kompetensi peserta didik.
Pemilihan bahan ajar yang efektif harus sesuai tuntutan indikator sehingga dapat meningkatkan
pencapaian kompetensi secara maksimal.
1. 4. Pedoman dalam merancang dan melaksanakan penilaian hasil belajar
Indikator menjadi pedoman dalam merancang, melaksanakan, serta mengevaluasi hasil belajar,
Rancangan penilaian memberikan acuan dalam menentukan bentuk dan jenis penilaian, serta
pengembangan indikator penilaian. Pengembangan indikator penilaian harus mengacu pada
indikator pencapaian yang dikembangkan sesuai dengan tuntutan SK dan KD.
BAB III
MEKANISME PENGEMBANGAN INDIKATOR
1. A. Menganalisis Tingkat Kompetensi
dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Langkah pertama pengembangan indikator adalah menganalisis tingkat kompetensi dalam SK
dan KD. Hal ini diperlukan untuk memenuhi tuntutan minimal kompetensi yang dijadikan
standar secara nasional. Sekolah dapat mengembangkan indikator melebihi standar minimal
tersebut.
Tingkat kompetensi dapat dilihat melalui kata kerja operasional yang digunakan dalam SK dan
KD. Tingkat kompetensi dapat diklasifikasi dalam tiga bagian, yaitu tingkat pengetahuan, tingkat
proses, dan tingkat penerapan. Kata kerja pada tingkat pengetahuan lebih rendah dari pada
tingkat proses maupun penerapan. Tingkat penerapan merupakan tuntutan kompetensi paling
tinggi yang diinginkan. Klasifikasi tingkat kompetensi berdasarkan kata kerja yang digunakan
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat Kompetensi Kata Kerja Operasional
Klasifikasi
No Tingkat
Kompetensi
1
Berhubungan
dengan mencari
keterangan
(dealing
with
retrieval)
2
Memproses
(processing)
Kata Kerja Operasional yang Digunakan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Mendeskripsikan (describe)
Menyebutkan kembali (recall)
Melengkapi (complete)
Mendaftar (list)
Mendefinisikan (define)
Menghitung (count)
Mengidentifikasi (identify)
Menceritakan (recite)
9. Menamai (name)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Mensintesis (synthesize)
Mengelompokkan (group)
Menjelaskan (explain)
Mengorganisasikan (organize)
Meneliti/melakukan eksperimen (experiment)
Menganalogikan (make analogies)
Mengurutkan (sequence)
Mengkategorikan (categorize)
Menganalisis (analyze)
Klasifikasi
No Tingkat
Kompetensi
Kata Kerja Operasional yang Digunakan
10.
11.
12.
13.
Membandingkan (compare)
Mengklasifikasi (classify)
Menghubungkan (relate)
Membedakan (distinguish)
14. Mengungkapkan sebab (state causality)
3
Menerapkan
dan
mengevaluasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Menerapkan suatu prinsip (applying a principle)
Membuat model (model building)
Mengevaluasi (evaluating)
Merencanakan (planning)
Memperhitungkan/meramalkan kemungkinan (extrapolating)
Memprediksi (predicting)
Menduga/Mengemukakan pendapat/ mengambil kesimpulan
(inferring)
8. Meramalkan kejadian alam/sesuatu (forecasting)
9. Menggeneralisasikan (generalizing)
10. Mempertimbangkan /memikirkan kemungkinan-kemungkinan
(speculating)
11. Membayangkan /mengkhayalkan/ mengimajinasikan
(Imagining)
12. Merancang (designing)
13. Menciptakan (creating)
14. Menduga/membuat dugaan/ kesimpulan awal (hypothezing)
Selain tingkat kompetensi, penggunaan kata kerja menunjukan penekanan aspek yang
diinginkan, mencakup sikap, pengetahuan, serta keterampilan. Pengembangan indikator harus
mengakomodasi kompetensi sesuai tendensi yang digunakan SK dan KD. Jika aspek
keterampilan lebih menonjol, maka indikator yang dirumuskan harus mencapai kemampuan
keterampilan yang diinginkan. Klasifikasi kata kerja berdasarkan aspek kognitif, Afektif dan
Psikomotorik disajikan dalam tabel 2, 3, dan 4.
Tabel 2 : Kata Kerja Ranah Kognitif
Pengetahuan
Mengutip
Pemahaman
Memperkiraka
Penerapan
Menugaskan
Analisis
Menganalisis
Sintesis
Mengabstraksi
n
Menyebutkan
Mengurutkan Mengaudit
Mengatur
Menjelaskan
Menjelaskan
Menggambar
Menentukan
Mengkategorik
an
Menerapkan
Penilaian
Membandingk
an
Menyimpulkan
Memecahkan Menganimasi
Menilai
Menegaskan
Mengumpulkan
Pengetahuan
Membilang
Pemahaman
Mencirikan
Penerapan
Analisis
Menyesuaikan Mendeteksi
Sintesis
Penilaian
Mengkategorika Mengarahkan
n
Mengidentifika Merinci
Mengkalkulasi Mendiagnosis
Mengkritik
si
Mengkode
Mengasosiasika Memodifikasi Menyeleksi
Menimbang
Mendaftar
n
Mengombinasik
an
Mengklasifikas Merinci
Memutuskan
Menunjukkan Membandingka i
n
Menominasika Menyusun
Memisahkan
Memberi label
Menghitung n
Menghitung
Mengarang
Memprediksi
Memberi
Membangun Mendiagramka
indeks
Mengkontraska
n
Membangun
Memperjelas
n
Membiasakan
Memasangkan
Megkorelasika Menanggulangi Menugaskan
Mengubah
n
Mencegah
Menamai
Menghubungkan Menafsirkan
Mempertahank Menentukan Merasionalkan
an
Menandai
Menciptakan
Mempertahank
Menggambark Menguji
an
Menguraikan an
Membaca
Mengkreasikan
Mencerahkan
Memerinci
Menjalin
Menyadari
Menggunakan
Mengoreksi
Menjelajah
Mengukur
Membedakan Menilai
Menghafal
Merancang
Membagankan
Merangkum
Mendiskusikan Melatih
Meniru
Merencanakan
Menyimpulkan
Membuktikan
Menggali
Mencatat
Menggali
Mendikte
Menemukan
Memvalidasi
Mencontohkan
Mengulang
Mengemukaka
Meningkatkan
n
Menelaah
Mengetes
Mereproduksi Menerangkan
Memperjelas
Mengadaptasi Memaksimalk
Mendukung
Mengemukakan
an
Meninjau
Memfasilitasi
Menyelidiki
Memilih
Mempolakan
Memerintahka Membentuk
Memilih
Mengoperasika n
Memproyeksik
n
Menyatakan Memperluas
Merumuskan
an
Mengedit
Mempelajari Menyimpulkan Mempersoalka
Menggeneralisas
n
Mengaitkan i
Mentabulasi Meramalkan
Mengkonsepka Memilih
Menggabungkan
Pengetahuan
Pemahaman
Penerapan
Analisis
Sintesis
Penilaian
Mengukur
Memadukan
Memberi kode Merangkum
n
Menelusuri
Melaksanakan Melatih
Membatas
Meramalkan
Mereparasi
Menjabarkan
Menulis
Mentransfer
Memproduksi
Menampilkan
Memproses
Menyiapkan
Memproduksi
Mengaitkan
Merangkum
Menyusun
Merekonstruksi
Mensimulasika
n
Memecahkan
Melakukan
Mentabulasi
Memproses
Meramalkan
Tabel 3. Kata Kerja Ranah Afektif
Menerima
Memilih
Menanggapi
Menjawab
Menilai
Mengasumsika
Mengelola
Menganut
n
Mempertanyakan Membantu
Mengubah
Meyakini
Mengikuti
Mengajukan
Memberi
Mengompromikan
Menganut
Menyenangi
Mematuhi
Menyambut
Meminati
Mendukung
Menghayati
Mengubah
perilaku
Berakhlak mulia
Menata
Melengkapi
Mempengaruhi
Mengklasifikasikan
Meyakinkan
Mendengarkan
Mengombinasikan
Memperjelas
Mengkualifikasi
Mempertahankan
Memprakarsai
Melayani
Membangun
Mengimani
Menunjukkan
Membentuk
Menyetujui
Mengundang
pendapat
Menampilkan
Menggabungkan Memadukan
Melaporkan
Mengusulkan
Mengelola
Memilih
Menekankan
Menegosiasi
Mengatakan
Menyumbang
Merembuk
Membuktikan
Memecahkan
Memilah
Menolak
Tabel 4. Kata Kerja Ranah Psikomotorik
Menirukan
Mengaktifkan
Memanipulasi
Mengoreksi
Pengalamiahan
Mengalihkan
Artikulasi
Mengalihkan
Menyesuaikan
Mendemonstrasikan
Menggantikan
Mempertajam
Menggabungkan
Merancang
Memutar
Membentuk
Melamar
Memilah
Mengirim
Memadankan
Mengatur
Melatih
Memindahkan
Menggunakan
Mengumpulkan
Memperbaiki
Mendorong
Memulai
Menimbang
Mengidentifikasikan Menarik
Menyetir
Memperkecil
Mengisi
Memproduksi
Menjeniskan
Membangun
Menempatkan
Mencampur
Menempel
Mengubah
Membuat
Mengoperasikan
Menseketsa
Membersihkan
Memanipulasi
Mengemas
Melonggarkan
Memposisikan
Mereparasi
Membungkus
Menimbang
Mengonstruksi
Mencampur
1. B. Menganalisis Karakteristik Mata Pelajaran, Peserta Didik, dan Sekolah
Pengembangan indikator mempertimbangkan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, dan
sekolah karena indikator menjadi acuan dalam penilaian. Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 19
tahun 2005, karakteristik penilaian kelompok mata pelajaran adalah sebagai berikut.
Kelompok Mata Pelajaran Mata Pelajaran
Agama dan Akhlak Mulia
Pendidikan Agama
Kewarganegaraan
dan Pendidikan
Kepribadian
Kewarganegaraan
Jasmani Olahraga dan
Penjas Orkes
Kesehatan
Estetika
Seni Budaya
Matematika, IPA, IPS
Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Bahasa, dan TIK.
Aspek yang Dinilai
Afektif dan Kognitif
Afektif dan Kognitif
Psikomotorik, Afektif, dan
Kognitif
Afektif dan Psikomotorik
Afektif, Kognitif, dan/atau
Psikomotorik sesuai karakter
mata pelajaran
Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dari mata pelajaran
lainnya. Perbedaan ini menjadi pertimbangan penting dalam mengembangkan indikator.
Karakteristik mata pelajaran bahasa yang terdiri dari aspek mendengar, membaca, berbicara dan
menulis sangat berbeda dengan mata pelajaran matematika yang dominan pada aspek analisis
logis. Guru harus melakukan kajian mendalam mengenai karakteristik mata pelajaran sebagai
acuan mengembangkan indikator. Karakteristik mata pelajaran dapat dikaji pada dokumen
standar isi mengenai tujuan, ruang lingkup dan SK serta KD masing-masing mata pelajaran.
Pengembangkan indikator memerlukan informasi karakteristik peserta didik yang unik dan
beragam. Peserta didik memiliki keragaman dalam intelegensi dan gaya belajar. Oleh karena itu
indikator selayaknya mampu mengakomodir keragaman tersebut. Peserta didik dengan
karakteristik unik visual-verbal atau psiko-kinestetik selayaknya diakomodir dengan penilaian
yang sesuai sehingga kompetensi siswa dapat terukur secara proporsional. Sebagai contoh dalam
mata pelajaran fisika terdapat indikator sebagai berikut:
1. 1. Membuat model atom Thomson, Rutherford, dan Niels Bohr dengan menggunakan bahan
kertas, steroform, atau lilin mainan.
2. 2. Memvisualisasikan perbedaan model atom Thomson, Rutherford, dan Niels Bohr.
Indikator pertama tidak mengakomodir keragaman karakteristik peserta didik karena siswa
dengan intelegensi dan gaya belajar visual verbal dapat mengekspresikan melalui cara lain,
misalnya melalui lukisan atau puisi.
Karakteristik sekolah dan daerah menjadi acuan dalam pengembangan indikator karena target
pencapaian sekolah tidak sama. Sekolah kategori tertentu yang melebihi standar minimal dapat
mengembangkan indikator lebih tinggi. Termasuk sekolah bertaraf internasional dapat
mengembangkan indikator dari SK dan KD dengan mengkaji tuntutan kompetensi sesuai rujukan
standar internasional yang digunakan. Sekolah dengan keunggulan tertentu juga menjadi
pertimbangan dalam mengembangkan indikator.
1. C. Menganalisis Kebutuhan dan Potensi
Kebutuhan dan potensi peserta didik, sekolah dan daerah perlu dianalisis untuk dijadikan bahan
pertimbangan dalam mengembangkan indikator. Penyelenggaraan pendidikan seharusnya dapat
melayani kebutuhan peserta didik, lingkungan, serta mengembangkan potensi peserta didik
secara optimal. Peserta didik mendapatkan pendidikan sesuai dengan potensi dan kecepatan
belajarnya, termasuk tingkat potensi yang diraihnya.
Indikator juga harus dikembangkan guna mendorong peningkatan mutu sekolah di masa yang
akan datang, sehingga diperlukan informasi hasil analisis potensi sekolah yang berguna untuk
mengembangkan kurikulum melalui pengembangan indikator.
1. D. Merumuskan Indikator
Dalam merumuskan indikator perlu diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. 1. Setiap KD dikembangkan sekurang-kurangnya menjadi tiga indikator
2. 2. Keseluruhan indikator memenuhi tuntutan kompetensi yang tertuang dalam kata kerja yang
digunakan dalam SK dan KD. Indikator harus mencapai tingkat kompetensi minimal KD dan
dapat dikembangkan melebihi kompetensi minimal sesuai dengan potensi dan kebutuhan
peserta didik.
3. 3. Indikator yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi.
4. 4. Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencakup dua aspek, yaitu tingkat kompetensi dan
materi pembelajaran.
5. 5. Indikator harus dapat mengakomodir karakteristik mata pelajaran sehingga menggunakan
kata kerja operasional yang sesuai. Contoh kata kerja yang dapat digunakan sesuai dengan
karakteristik mata pelajaran tersaji dalam lampiran 1.
6. 6. Rumusan indikator dapat dikembangkan menjadi beberapa indikator penilaian yang
mencakup ranah kognitif, afektif, dan/atau psikomotorik.
1. E. Mengembangkan Indikator Penilaian
Indikator penilaian merupakan pengembangan lebih lanjut dari indikator (indikator pencapaian
kompetensi). Indikator penilaian perlu dirumuskan untuk dijadikan pedoman penilaian bagi guru,
peserta didik maupun evaluator di sekolah. Dengan demikian indikator penilaian bersifat terbuka
dan dapat diakses dengan mudah oleh warga sekolah. Setiap penilaian yang dilakukan melalui
tes dan non-tes harus sesuai dengan indikator penilaian.
Indikator penilaian menggunakan kata kerja lebih terukur dibandingkan dengan indikator
(indikator pencapaian kompetensi). Rumusan indikator penilaian memiliki batasan-batasan
tertentu sehingga dapat dikembangkan menjadi instrumen penilaian dalam bentuk soal, lembar
pengamatan, dan atau penilaian hasil karya atau produk, termasuk penilaian diri.
Pengembangan indikator dapat menggunakan format seperti contoh berikut.
Kompetensi Dasar/Indikator
3.2 Mendeskripsikan
Indikator Penilaian
Bentuk
 Siswa dapat memvisualisasikan bentuk Penilaian hasil
atom Thomson, Rutherford, dan Bohr
 Siswa dapat menunjukkan sikap
Kompetensi Dasar/Indikator
perkembangan teori atom



Mendeskripsikan
karakteristik teori atom
Thomson, Rutherford,
Niels Bohr, dan
mekanika kuantum
Menghitung perubahan
energi elektron yang
mengalami eksitasi
Menghitung panjang
gelombang terbesar
dan terkecil pada deret
Lyman, Balmer, dan
Paschen pada spectrum
atom hidrogen
Indikator Penilaian
Bentuk
kerjasama, minat dan kreativitas, serta karya/produk
komitmen melaksanakan tugas dalam
kerja kelompok
Penilaian sikap
 Siswa dapat menunjukkan kelemahan
dari teori atom Thomson, Rutherford, Tes tertulis
atau Niels Bohr
 Siswa dapat menghitung energi dan
Tes tertulis
momentum sudut electron berdasarkan
teori atom Bohr
Tes tertulis
 Siswa dapat menghitung besar
momentum sudut berdasarkan teori
Tes tertulis
atom mekanika kuantum
 Siswa dapat menghitung panjang
Tes tertulis
gelombang atau frekuensi terbesar dari
deret Lyman, Balmer, atau Paschen
 Siswa dapat menerapkan konsep energi
ionisasi, energi foton, dan/ atau energi
foton berdasarkan data dan deskripsi
elektron dalam atom.
1. F. Manfaat Indikator Penilaian
Indikator Penilaian bermanfaat bagi :
1. Guru dalam mengembangkan kisi-kisi penilaian yang dilakukan melalui tes (tes tertulis seperti
ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester, tes praktik, dan/atau tes
perbuatan) maupun non-tes.
2. Peserta didik dalam mempersiapkan diri mengikuti penilaian tes maupun non-tes. Dengan
demikian siswa dapat melakukan self assessment untuk mengukur kemampuan diri sebelum
mengikuti penilaian sesungguhnya.
3. Pimpinan sekolah dalam memantau dan mengevaluasi keterlaksanaan pembelajaran dan
penilaian di kelas.
4. Orang tua dan masyarakat dalam upaya mendorong pencapaian kompetensi siswa lebih
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Harrow, A. J. (1972). A taxonomy of the psychomotor domain: A guided for developing
behavioral objective. New York: David Mc Key Company.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002). Jakarta: Balai Pustaka
Mardapi, Dj. dan Ghofur, A, (2004). Pedoman Umum Pengembangan Penilaian; Kurikulum
Berbasis Kompetensi SMA. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Mehrens, W.A, and Lehmann, I.J, (1991). Measurement and Evaluation in Education and
Psychology. Fort Woth: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta:
Fokus Media.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 14 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi, Jakarta, 2006.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta, 2006.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007. Jakarta:
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 tahun 2006 tentang Rincian Tugas Unit Kerja
di Lingkungan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang
tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Popham,W.J., (1999). Classroon Asessment: What teachers need to know. Mass: Allyn-Bacon.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Fokus
Media.
Lampiran 1
Contoh Kata Kerja Operasional
Sesuai dengan Karakteristik Matapelajaran
Berhubungan dengan Prilaku Sosial





§ Menerima (accept)
§ Mengakui/menerima sesuatu (admit)
§ Menyetujui (agree)
§ Membantu (aid)
§ Membolehkan/menyediakan/memberikan (allow)




























§ Menjawab (answer)
§ Menjawab/mengemukakan pendapat dengan alasan-alasan (argue)
§ Mengkomunikasikan (communicate)
§ Memberi pujian/mengucapkan selamat (compliment)
§ Menyumbang (contribute)
§ Bekerjasama (cooperate)
§ Berdansa (dance)
§ Menolak /menidaksetujui (disagree)
§ Mendiskusikan (discuss)
§ Memaafkan (excuse)
§ Memaafkan (forgive)
§ Menyambut/menyalami (greet)
§ Menolong/membantu (help)
§ Berinteraksi/melakukan interaksi (interact)
§ Mengundang (invite)
§ Menggabung (joint)
§ Menertawakan (laugh)
§ Menemukan (meet)
§ Berperanserta (participate)
§ Mengizinkan/membolehkan (permit)
§ Memuji-muji (praise)
§ Bereaksi (react)
§ Menjawab/menyahut (reply)
§ Tersenyum (smile)
§ Berbicara (talk)
§ Berterimakasih (thank)
§ Berkunjung (visit)
§ Bersukarela (volunteer)
Berhubungan dengan Kompetensi Berpikir tingkat Tinggi
(complex, logical, judgmental behaviors)













§ Menganalisis (analyze)
§ Menghargai (appraise)
§ Menilai (assess)
§ Mengkombinasikan (combine)
§ Membandingkan (compare)
§ Menyimpulkan (conclude)
§ Mengkontraskan (contrast)
§ Mengkritik (critize)
§ Menarik kesimpulan (deduce)
§ Membela/mempertahankan (defend)
§ Menunjukkan / menandakan (designate)
§ Menentukan (determine)
§ Mencari /menjelajah (discover)





























§ Mengevaluasi (evaluate)
§ Merumuskan (formulate)
§ Membangkitkan/menghasilkan/menyebabkan (generate)
§ Membujuk/menyebabkan (induce)
§ Menduga/Mengemukan pendapat/mengambil kesimpulan (infer)
§ Merencanakan (plan)
§ Menyusun (structure)
§ Menggantikan (substitute)
§ Menyarankan (suggest)
§ Memilih (choose)
§ Mengumpulkan (collect)
§ Mendefinisikan (define)
§ Menjelaskan sesuatu (describe)
§ Mendeteksi (detect)
§ Membedakan antara 2 macam (differentiate)
§ Membedakan/Memilih-milih (discriminate)
§ Membedakan sesuatu (distinguish)
§ Mengidentifikasi (identify)
§ Mengindikasi (indicate)
§ Mengisolasi (isolate)
§ Mendaftarkan (list)
§ Memadukan (match)
§ Meniadakan (omit)
§ Mengurutkan (order)
§ Mengambil (pick)
§ Menempatkan (place)
§ Menunjuk (point)
§ Memilih (select)
§ Memisahkan (separate)
Berhubungan dengan Kompetensi Musik (seni)














§ Meniup (blow)
§ Menundukkan kepala (bow)
§ Bertepuk (clap)
§ Menggubah /menyusun (compose)
§ Menyentuh (finger)
§ Memadankan/berpadanan (harmonize)
§ Menyanyi kecil/bersenandung (hum)
§ Membisu (mute)
§ Memainkan (play)
§ Memetik (misal gitar) (pluck)
§ Mempraktikkan (practice)
§ Menyanyikan (sing)
§ Memetik/mengetuk-ngetuk (strum)
§ Mengetuk (tap)

§ Bersiul (whistle)
Berhubungan dengan Kompetensi Berbahasa



























§ Menyingkat/memendekkan (abbreviate)
§ Memberi tekanan pada sesuatu /menekankan (accent)
§ Mengabjad/menyusun menurut abjad (alphabetize)
§ Mengartikulasikan/ mengucapkan kata-kata dengan jelas (articulate)
§ Memanggil (call)
§ Menulis dengan huruf besar (capitalize)
§ Menyunting/mengedit (edit)
§ Menghubungkan dengan garis penghubung (hyphenate)
§ Memasukkan (beberapa spasi) /melekukkan (indent)
§ Menguraikan/memperlihatkan garis bentuk/ menggambar denah atau peta (outline)
§ Mencetak (print)
§ Membaca (read)
§ Mendeklamasikan/membawakan/mencerita-kan (recite)
§ Mengatakan (say)
§ Menandai (sign)
§ Berbicara (speak)
§ Mengeja (spell)
§ Menyatakan (state)
§ Menyimpulkan (summarize)
§ Membagi atas suku-suku kata (syllabicate)
§ Menceritakan (tell)
§ Menerjemahkan (translate)
§ Mengungkapkan dengan kata-kata (verbalize)
§ Membisikkan (whisper)
§ Mengucapkan/melafalkan/menyatakan (pronounce)
§ Memberi atau membubuhkan tanda baca (punctuate)
§ Menulis (write)
Berhubungan dengan Kompetensi Drama









§ Berakting/berperilaku (act)
§ Menjabat/mendekap/ menggengam (clasp)
§ Menyeberang/melintasi/ berselisih (cross)
§ Menunjukkan/mengatur/ menyutradarai (direct)
§ Memajangkan (display)
§ Memancarkan (emit)
§ Memasukkan (enter)
§ Mengeluarkan (i
§ Mengekspresikan (express)











§ Meniru (imitate)
§ Meninggalkan (leave)
§ Menggerakkan (move)
§ Berpantomim/Meniru gerak tanpa suara (pantomime)
§ Menyampaikan/menyuguhkan/ mengulurkan/melewati (pass)
§ Memainkan/melakukan (perform)
§ Meneruskan/memulai/beralih (proceed)
§ Menanggapi/menjawab/ menyahut (respond)
§ Memperlihatkan/Menunjukkan (show)
§ Mendudukkan (sit)
§ Membalik/memutar/mengarahkan/mengubah/ membelokkan (turn)
Berhubungan dengan Kompetensi Seni Lukis
































§ Memasang (assemble)
§ Mencampur (blend)
§ Menyisir/menyikat (brush)
§ Membangun (build)
§ Mengukir (carve)
§ Mewarnai (color)
§ Mengkonstruk/membangun(construct)
§ Memotong (cut)
§ Mengoles (dab)
§ Menerangkan (dot)
§ Menggambar (draw)
§ Mengulang-ulang/melatih (drill)
§ Melipat (fold)
§ Membentuk (form)
§ Menggetarkan/memasang (frame)
§ Memalu (hammer)
§ Menangani (handle)
§ Menggambarkan (illustrate)
§ Mencairkan (melt)
§ Mencampur (mix)
§ Memaku (nail)
§ Mengecat (paint)
§ Menepuk (pat)
§ Menggosok (polish)
§ Menuangkan (pour)
§ Menekan (press)
§ Menggulung (roll)
§ Menggosok/ menyeka (rub)
§ Menggergaji (saw)
§ Memahat (sculpt)
§ Menyampaikan/melempar (send)
§ Mengocok (shake)











§ Membuat sketsa (sketch)
§ Menghaluskan (smooth)
§ Mengecap/menunjukkan (stamp)
§ Melengketkan (stick)
§ Mengaduk (stir)
§ Meniru/menjiplak (trace)
§ Menghias/memangkas (trim)
§ Merengas/memvernis (varnish)
§ Melekatkan/menempelkan/merekatkan (paste)
§ Menyeka/menghapuskan/ membersihkan (wipe)
§ Membungkus (wrap)
Berhubungan dengan Kompetensi Fisik (Jasmani)
































§ Melengkungkan (arch)
§ Memukul (bat)
§ Menekuk/melipat/ membengkokkan (bend)
§ Mengangkat/membawa (carry)
§ Menangkap (catch)
§ Mengejar/memburu (chase)
§ Memanjat (climb)
§ Menghadap (face)
§ Mengapung (float)
§ Merebut/menangkap/ mengambil (grab)
§ Merenggut/memegang/ menyambar/merebut (grasp)
§ Memegang erat-erat (grip)
§ Memukul/menabrak (hit)
§ Melompat/meloncat (hop)
§ Melompat (jump)
§ Menendang (kick)
§ Mengetuk (knock)
§ Mengangkat/mencabut i
§ Berbaris (march)
§ Melempar/memasangkan/memancangkan/menggantungkan (pitch)
§ Menarik (pull)
§ Mendorong (push)
§ Berlari (run)
§ Mengocok (shake)
§ Bermain ski (ski)
§ Meloncat (skip)
§ Berjungkirbalik (somersault)
§ Berdiri (stand)
§ Melangkah (step)
§ Melonggarkan/merentangkan (stretch)
§ Berenang (swim)
§ Melempar (throw)


§ Melambungkan/melontarkan (toss)
§ Berjalan (walk)
Berhubungan dengan Perilaku Kreatif
























§ Mengubah (alter)
§ Menanyakan (ask)
§ Mengubah (change)
§ Merancang (design)
§ Menggeneralisasikan (generalize)
§ Memodifikasi (modify)
§ Menguraikan dengan kata-kata sendiri (paraphrase)
§ Meramalkan (predict)
§ Menanyakan (question)
§ Menyusun kembali (rearrange)
§ Mengkombinasikan kembali (recombine)
§ Mengkonstruk kembali (reconstruct)
§ Mengelompokkan kembali (regroup)
§ Menamakan kembali (rename)
§ Menyusun kembali (reorder)
§ Mengorganisasikan kembali (reorganize)
§ Mengungkapkan kembali (rephrase)
§ Menyatakan kembali (restate)
§ Menyusun kembali (restructure)
§ Menceritakan kembali (retell)
§ Menuliskan kembali (rewrite)
§ Menyederhanakan (simplify)
§ Mengsintesis (synthesize)
§ Mengsistematiskan (systematize)
Berhubungan dengan Kompetensi Matematika











§ Menambah (add)
§ Membagi dua (bisect)
§ Menghitung/mengkalkulasi (calculate)
§ Mencek/meneliti (check)
§ Membatasi (circumscribe)
§ Menghitung/mengkomputasi (compute)
§ Menghitung (count)
§ Memperbanyak (cumulate)
§ Mengambil dari (derive)
§ Membagi (divide)
§ Memperkirakan (estimate)



















§ Menyarikan/menyimpulkan (extract)
§ Memperhitungkan (extrapolate)
§ Membuat grafik (graph)
§ Mengelompokkan (group)
§ Memadukan/mengintegrasikan (integrate)
§ Menyisipkan/menambah (interpolate)
§ Mengukur (measure)
§ Mengalikan/memperbanyak (multiply)
§ Menomorkan (number)
§ Membuat peta (plot)
§ Membuktikan (prove)
§ Mengurangi (reduce)
§ Memecahkan (solve)
§ Mengkuadratkan(square)
§ Mengurangi (substract)
§ Menjumlahkan (sum)
§ Mentabulasi (tabulate)
§ Mentally (tally)
§ Memverifikasi (verify)
Berhubungan dengan Kompetensi Sains
























§ Menjajarkan (align)
§ Menerapkan (apply)
§ Melampirkan (attach)
§ Menyeimbangkan (balance)
§ Mengkalibrasi (calibrate)
§ Melaksanakan (conduct)
§ Menghubungkan (connect)
§ Mengganti (convert)
§ Mengurangi (decrease)
§ Mempertunjukkan/memperlihatkan (demonstrate)
§ Membedah (dissect)
§ Memberi makan (feed)
§ Menumbuhkan (grow)
§ Menambahkan/meningkatkan (increase)
§ Memasukkan/menyelipkan (insert)
§ Menyimpan (keep)
§ Memanjangkan (lenghthen)
§ Membatasi (limit)
§ Memanipulasi (manipulate)
§ Mengoperasikan (operate)
§ Menanamkan (plant)
§ Menyiapkan (prepare)
§ Memindahkan(remove)
§ Menempatkan kembali(replace)








§ Melaporkan (report)
§ Mengatur ulang (reset)
§ Mengatur (set)
§ Menentukan/menetapkan (specify)
§ Meluruskan (straighten)
§ Mengukur waktu (time)
§ Mentransfer (transfer)
§ Membebani/memberati (weight)
Berhubungan dengan Kompetensi Umum, Kesehatan, dan Keamanan



























§ Mengancingi (button)
§ Membersihkan (clean)
§ Menjelaskan (clear)
§ Menutup (close)
§ Menyikat/menyisir(comb)
§ Mencakup (cover)
§ Mengenakan/menyarungi (dress)
§ Minum (drink)
§ Makan (eat)
§ Menghapus (eliminate)
§ Mengosongkan (empty)
§ Mengetatkan/melekatkan (fasten)
§ Mengisi/memenuhi/melayani /membuat (fill)
§ Melintas/berjalan (go)
§ Mengikat tali/menyusuri (lace)
§ Menumpuk/menimbun (stack)
§ Menghentikan (stop)
§ Merasakan (taste)
§ Mengikat/membebat (tie)
§ Tidak mengancingi (unbutton)
§ Membuka/menanggalkan (uncover)
§ Menyatukan (unite)
§ Membuka (unzip)
§ Menunggu (wait)
§ Mencuci (wash)
§ Memakai (wear)
§ Menutup (zip)
04/29/2010 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | Tinggalkan sebuah Komentar
teori-teori belajar behaviorisme, gestalt, kognitivisme,
konstruktivisme, CBSA, Keterampilan Proses, sosial, CTL,
pendekatan komunikatif, pendekatan tematik-integratif
Bahan:
1. Teori belajar.
Sebelum merancang pembelajaran, seorang guru harus menguasai sejumlah teori atau filsafat
tentang belajar, termasuk beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Teori belajar
tersebutsebagian sudah dikenal dalam pelaksanaan Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan
Kurikulum 2004. Sebagian bahkan sudah dikenal dalam mata kuliah tentang pendidikan dan
pengajaran. Penguasaan teori itu dimaksudkan agar guru mampu mempertanggungjawabkan
secara ilmiah perilaku mengajarnya di depan kelas.
a. Behaviorisme.
Teori ini di dalam linguistik diikuti antara lain oleh L.Bloomfield dan B.F.Skinner. Dalam hal
belajar, termasuk belajar bahasa, teori ini lebih mementingkan faktor eksternal ketimbang faktor
internal dari individu, sehingga terkesan siswa hanya pasif saja menunggu stimulus dari luar
(guru). Belajar apa saja dan oleh siapa saja (manusia atau binatang) sama saja, yakni melalui
mekanisme stimulus – respons. Guru memberikan stimulus, siswa merespons, seperti tampak
pada latihan tubian (drill) dalam pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran yang mementingkan kaidah
tatabahasa, struktur bahasa (fonem, morfem, kata, frasa, kalimat) dan bentuk-bentuk kebahasaan
merupakan penerapan behaviorisme, karena behaviorisme lebih mementingkan bentuk dan
struktur bahasa ketimbang makna dan maksud.
b. Gestalt.
Berbeda dengan behaviorisme yang bersifat fragmentaris (mementingkan bagian demi bagian,
sedikit demi sedikit), teori belajar ini melihat pentingnya belajar secara keseluruhan. Jika Anda
mempelajari sebuah buku, bacalah dari awal sampai akhir dulu, baru kemudian bab demi bab.
Dalam linguistik dan pengajaran bahasa, aliran ini melihat bahasa sebagai keseluruhan utuh,
melihat bahasa secara holistik, bukan bagian demi bagian. Belajar bahasa tidak dilakukan setapak
demi setapak,dari fonem, lalu morfem dan kata, frasa, klausa sampai dengan kalimat dan
wacana. Bahasa adalah sesuatu yang mempunyai staruktur dan sistem, dalam arti bahasa terdiri
atas bagian-bagian yang saling berpengaruhdan saling bergantung.
c. Kognitivisme.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa
meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi
antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi
adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan
kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari
informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya. Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya
ialah Jean Piaget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak
yang terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget mengatakan
bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa ibunya;
(ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu
memiliki struktur dan fungsi. Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur
kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu.
Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terusmenerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. (Lihat strategi
pembelajaran!).
d. Konstruktivisme.
Teori Piaget di atas melahirkan teori konstruktivisme dalam belajar. Piaget mengatakan bahwa
struktur kognisi itu dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu sendiri.
Menurut konstruktivisme, pebelajar (learner, orang yang sedang belajar) akan membangun
pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang sudah diketahuinya. Karena itu belajar tentang dan
mempelajari sesuatu itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat “diborongkan” kepada orang
lain. Siswa sendiri harus proaktif mencari dan menemukan pengetahuan itu, dan mengalami
sendiri proses belajar dengan mencari dan menemukan itu. Di sini diperlukan pemahaman guru
tentang “apa yang sudah diketahui pebelajar”, atau apa yang disebut pengetahuan awal (prior
knowledge), sehingga guru bisa tepat menyajikan bahan pengajaran yang pas: Jangan
memberikan bahan yang sudah diketahui siswa, jangan memberikan bahan yang terlalu jauh bisa
dijangkau oleh siswa. Patut diingat bahwa sebelum belajar bahasa Indonesia siswa sudah
mempunyai bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai “pengetahuan awal” mereka. Pengetahuan,
pengalaman, dan keterampilannya dalam bahasa daerahnya itu harus dimanfaatkan oleh guru
untuk belajar berbahasa Indonesia dengan lebih baik.
e. CBSA.
Sebenarnya CBSA sudah kita kenal sejak 1981 yang menyertai Kurikulum 1984 juga. CBSA itu
suatu pendekatan yang lahir untuk mengatasi keadaan kelas yang siswanya serba pasif. Adalah
pandangan yang salah jika dikatakan CBSA itu mengaktifkan siswa dan “membuat guru diam”
(tidak aktif). Juga salah jika CBSA itu mesti berdiskusi secara kelompok, mesti memindahkan
bangku dan kursi. Yang penting sebenarnya ialah CBSA itu menuntut agar ada keterlibatan
mental-psikologis pada siswa sepanjang proses belajar-mengajar. Hanya saja keterlibatan mentalpsikologis itu kadang-kadang harus diwujudkan dalam perilaku fisik, misalnya bertanya,
memberikan jawaban dan tanggapan, memberikan pendapat, dsb. Dalam hal pelajaran bahasa
Indonesia, CBSA itu harus mewujud dalam kegiatan siswa untuk banyak berbicara dan menulis,
pokoknya harus aktif-produktif ketimbang pasif-reseptif. Dalam hal-hal tertentu CBSA itu
mengharuskan siswa banyak terlibat dalam proses belajar-mengajar, siswa mengalami belajarnya
sendiri, mendalami materi, dsb. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia CBSA amat bisa sejalan
dengan pendekatan komunikatif.
f. Keterampilan Proses.
Sebenarnya keterampila proses itu serupa dan senafas dengan CBSA karena roh dari kedua
pendekatan itu sama yaitu bagaimana agar siswa itu terlibat aktif dalam proses belajar-mengajar
di dalam kelas. Keterampilan proses ini lahir antara lain karena guru sering hanya
memperhatikan hasil belajar dan kurang memperhatikan proses untuk mencapai hasil itu. Dengan
kata lain, guru (dan murid) menghalalkan segala cara agar memperoleh hasil yang “baik” tanpa
melihat cara (teknik, metode, pendekatan, teori) memperoleh hasil itu. Akibatnya, guru berlaku
kurang jujur, misalnya dengan membuat soal-soal yang sangat-saangat mudah, membiarkan
murid menyontek, dan sebagainya; murid pun berlaku tidak jujur, yakni sengaja menyiapkan
sontekan, turunan, dan sebagainya. Sebenarnya, sejak kurikulum 1975 kita sudah mengenal TIK
(Tujuan Instruksional Khusus) yang rumusannya mencantumkan cara-cara untuk mencapai hasil
belajar yang bisa diamati dan diukur. Dalam rumusan yang kira-kira sama, KBK pun
merumuskan “kompetensi” dengan deskriptor-deskriptor tertentu. Dalam bahasa Indonesia
pendekatan ini dapat secara langsung digunakan untuk menilai perilaku berbhasa sehari-hari di
dalam kelas secara terus-menerus.
g. Belajar secara Sosial.
Istilah Inggrisnya ialah social learning, dan sekarang dikenal dengan istilah belajar secara
gotong royong. Pendekatan ini menekankan pentingnya belajar bersama, secara berkelompok
atau berpasangan, mengingat di dalam kehidupan bermasyarakat pun orang
selalu bekerja sama untuk melakukan sesuatu. Dalam pelajaran bahasa Indonesia pendekatan ini
bisa diterapkan misalnya dalam menyusun karya tulis (membuat laporan, membuat sinopsis,
meringkas bacaan, dan sebagainya), berdiskusi, berdialog, mendengarkan, dan sebagainya.
h. CTL.
Seiring dengan diperkenalkannya KBK, muncul gagasan tentang CTL, singkatan dari Contextual
Teaching and Learning, atau mengajar dan belajar secara kontekstual. Pendekatan ini sebenarnya
diilhami oleh filsafat konstruktivisme. Sebenarnya siswa itu bisa didorong untuk aktif melakukan
tindak belajar jika apa yang dipelajari itu sesuai dengan konteks. Konteks ini tidak sekadar
diartikan lingkungan belajar. Konteks itu bisa berupa konteks siswa (usia, kondisi sosialekonomi, potensi intelektual, keadaan emosi, dsb), konteks isi (materi pelajaran), konteks tujuan
(tujuan belajarnya, kompetensi yang hendak dicapai), konteks sosial-budaya, konteks
lingkungan, dsb. Ada beberapa unsur dalam CTL yang harus diterapkan di dalam proses belajarmengajar, antara lain, pertanyaan, inkuiri, penemuan, pengalaman. Dalam pelajaran bahasa dan
sastera Indonesia guru hendaknya memperhatikan kondisi kebahasaan siswa: apakah siswa Anda
berasal dari pedesaan atau perkotaan, dari keluarga ekonomi lemah atau keluarga mampu, ada di
SMP atau SMA. Guru hendaknya juga memperhatikan besar-kecilnya pengaruh bahasa daerah
terhadap bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari. Hal ini sering
menyulitkan guru karena guru dan murid mempunyai latar belakang kebahsaan yang sama
sehingga kedua pihak bisa melakukan “kesalahan” yang sama dalam berbahasa Indonesia. Guru
yang berlatar belakang bahasa Bali tentu sulit mengidentifikasi kesalahan dalam berbahasa
Indonesia yang dilakukan murid-muridnya yang juga berkatar belakang bahasa Bali, karena guru
tidak menyadari kesalahannya sendiri. Minat siswa dalam sastra dan kesastraan juga bisa
bergantung kepada latar belakang di atas.
i. Pendekatan Komunikatif.
Ini adalah pendekatan khas dalam belajar berbahasa. Intinya pendekatan ini menuntut agar (i)
siswa diberi kebebasan berbicara tanpa beban (wajib berbahasa Indonesia yang baik dan benar);
(ii) siswa mampu mengomunikasikan gagasannya kepada orang lain dan mampu menangkap
dana memahami gagasan orang lain; (iii) siswa lebih banyak belajar berbahasa (empat
keterampilan berbahasa) ketimbang belajar bahasa (teori, kaidah tatabahasa, struktur
bahasa,dsb); (iv) guru tidak perlu banyak menyalahkan ujaran siswa, apalagi menginterupsi
ketika siswa sedang berbicara, karena hal itu dapat mematikan motivasi siswa untuk berbicara.
Bahasa harus kita pandang secara holistik (menyeluruh), bukan serpih-serpih (bagian demi
bagian). Pendekatan komunikatif hakikatnya juga sejalan dengan prinsip-prinsip dalam
pragmatik.
j. Pendekatan Tematik-Integratif.
Sebenarnya pendekatan ini sudah kita kenal pada kurikulum 1984. Intinya, tiap pelajaran harus
berpijak pada tema atau subtema tertentu. Dan tiap bahan pelajaran tidaklah berdiri sendiri
melainkan dipadukan (diintegrasikan) dengan bahan pelajaran yang lain. Dalam belajar
berbahasa Indonesia, bahan pelajaran dapat dipadukan secara internal, misalnya keterampilan
berbicara dengan tema pariwisata dengan keterampilan menulis, dengan aspek kebahasaan
seperti kalimat dan frasa. Dapat pula secara eksternal dipadukan dengan sastra. Bahkan bahasa
Indonesia dapat dipadukan dengan mata pelajaran yang lain. Misalnya, untuk pelajaran kalimat
majemuk, guru dapat memadukan kalimat majemuk dengan keterampilan membaca, dan bacaan
itu diambil dari buku teks Sejarah, Ekonomi, Biologi, IPA, IPS, dsb. Artinya, siswa dapat
ditugasi untuk mencari dan menemukan contoh-contoh kalimat majemuk di dalam buku-buku
teks itu.
2 Penerapan Teori Belajar.
Dalam hal penerapan teori belajar, guru hendaknya memperhatikan dulu kompetensi dasar yang
hendak dicapai oleh siswa, indikator, deskriptor, dan bahan ajarnya. Misalnya, jika untuk
kompetensi K, indikator I, dan deskriptor D, serta bahan ajar fakta dan kosep frasa, guru akan
menggunakan pendekatan tematik-integratif, bagaimana wujudnya dalam Rencana
Pembelajaran?
Untuk menjawab pertanyaan ini guru hendaknya menentukan dulu temanya, misalnya lalu-lintas.
Jika kompetensi yang hendak dicapai ialah keterampilan membaca pemahaman, maka ditentukan
bacaan bertema lalu-lintas yang dipastikan mengandung sekian banyak frasa. Jika Anda
mengajar di SMP, bacaan seperti itu dapat dicari dalam buku teks IPS tentang transportasi. Di
situ Anda sudah melakukan integrasi antardisiplin atau antarmata pelajaran. Di dalam bacaan itu
siswa diperkenalkan dengan fakta tentang frasa dan bukan frasa. Lalu guru melakukan diskusi
untuk mencapai pemahaman tentang konsep frasa. Siswa kemudian bisa diajak mengalami
belajar dengan cara mencari dan menemukan frasa-frasa lain dalam novel atau cerpen. Lagi-lagi
ini adalah pendekatan integratif. Siswa akhirnya diminta membuat laporan singkat secara
tertulis. Artinya, Anda telah melakukan integrasi internal: aspek kebahasaan (yakni konsep
frasa), keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.
Cobalah buat Rancangan Pembelajaran, dengan kondisi seperti di atas tetapi dengan
menggunakan teori konstruktivisme!
3 Beberapa Catatan.
a. Fakta: dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bisa mengacu kepada fakta-fakta
kebahasaan seperti bahasa terdiri atas bunyi-bunyi; sebuah kata terdiri atas fonem-fonem;
kalimat terdiri atas beberapa kata, dsb.
b. Konsep: mengacu kepada batasan, definisi, atau deskripsi (perian) tentang fon, fonem, morf,
morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dsb.
c. Prosedur: mengacu kepada langkah-langkah dalam mempelajari suatu pengetahuan atau
keterampilan tertentu. Misalnya, bagaimana prosedur menulis surat resmi, membuka dan
menutup diskusi, cara mengajukan pertanyaan dalam diskusi, dsb.
d. Prinsip: mengacu kepada teori, rumus, hukum, dsb.yang bersifat aksiomatis. Misalnya, dalam
bahasa Indonesia ada hukum D-M, ada prinsip kerjasama dalam percakapan, ada kaidah tentang
giliran berbicara, dsb.
Masing-masing itu merupakan bahan ajar yang sedikit banyak mempunyai ciri khas, sehingga
teori dan pendekatannya pun bisa berbeda. Misalnya, agak sulit kita mengajarkan prinsip atau
konsep jika kita harus menggunakan teori behaviorisme.
b. Indikator Esensial: Menentukan strategi pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia
berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi pelajaran.
Deskriptor:
1)
Mendeskripsikan berbagai strategi pembelajaran.
2) Memilih strategi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang sesuai dikaitkan dengan
karakteristik peserta didik, dan materi ajar.
Bahan:
1 Strategi Pembelajaran.
Dalam dunia militer, strategi ialah cara memenangkan perang (war), dengan mempertahankan
keadaan dan kekuatan lawan dan membandingkannya dengan keadaan dan kekuatan sendiri.
Dalam proses belajar-mengajar, strategi itu harus “memenangkan” perjuanagn guru dan siswa
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu tiga hal harus diperhatikan guru, yaitu (i)
karakteristik siswa, (ii) kompetensi yang hendak dicapai, dan (iii) bahan ajar.
Menurut Raka Joni (1984), strategi, atau sering disebut model-model mengajar (teaching
models), berarti “pola umum perbuatan guru-murid di dalam perwujudan kegiatan belajar-
mengajar”. Sifat “umum” dari pola itu mengacu kepada jenis dan urutan perilaku tersebut
tampak dipergunakan dan atau diperagakan guru-murid dalam bermacam-macam peristiwa
belajar. Jadi konsep strategi ini mengacu kepada karaktersitik abstrak rentetan perbuatan gurumurid di dalam peristiwa belajar-mengajar. Implisit di balik karakteristik abstrak itu adalah
penalaran (rasionel) yang membedakan strategi yang satu dengan strategi yang lain secara
mendasar. Patut diingat juga bahwa istilah strategi ini sering dikacaukan dengan
pendekatan.Berikut ini dikemukakan berbagai strategi pembelajaran sebagaimana dikemukakan
oleh Raka Joni (1984).
2. Berbagai Strategi
Berbagai strategi dapat dimunculkan dari beberapa dasar penggolongan.
(1) Berdasarkan pengaturan guru-siswa.
Dari segi pengaturan guru, dapat dibedakan strategi pembelajaran oleh seorang guru atau oleh
tim pengajar. Lalu, berdasarkan hubungan guru-siswa, dapat dibedakan strategi pembelajaran
tatap muka atau dengan media pembelajaran, misalnya melalui media cetak, audiovisual
(televisi, CD, VCD). Dari sudut siswa, dapat dibedakan pembelajaran klasikal (seluruh kelas)
atau kelompok kecil (5-7 orang), atau individual.
(2) Struktur peristiwa belajar-mengajar.
Dari sudut struktur ini dapat dibedakan strategi pembelajaran tertutup, dalam arti segala
sesuatunya telah ditentukan secara relatif ketat dalam rancangan pembelajaran, dan strategi yang
relatif terbuka. Dalam hal ini tujuan khusus (kompetensi yang hendak dicapai) dan bahan ajar
serta prosedur yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan itu ditentukan ketika proses belajarmengajar berlangsung. Dalam model kedua itu peranan siswa bisa teramat besar. Penejlasan agak
terperinci tentang pembelajaran inkuiri akan disajikan kemudian.
(3) Peran pembelajar-pebelajar di dalam mengolah pesan.
Tiap proses belajar-mengajar tentu mempunyai tujuan atau kompetensi yang hendak dicapai,
selalau ada pesan yang bisa berupa pengetahuan (knowledge), wawasan, keterampilan, atau isi
pengajaran lainnya. Pesan itu dapat disajikan melalaui strategi ekspositoris atau strategi
heuristik atau hipotetis. Dalam strategi ekspositoris pembelajar (guru) sudah mengolah tuntas
sebelum proses belajar-mengajar berlangsung lalu disampaikan kepada pebelajar (siswa).
Sebaliknya, dalam strategi heuristik pesan itu diolah sendiri oleh pebelajar dengan bantuan,
sedikit atau banyak, gurunya. Yang tergolong heuristik ialah penemuan (discovery) dan inkuiri
(inquiry). Dalam hal penemuan siswa menemukan prinsip atau hubungan yang sebelumnya tidak
diketahuinya sebagai akibat dari pengalaman belajarnya yang sudah diatur oleh guru. Contohnya
ialah percobaan di dalam laboratorium. Di dalam inkuiri, struktur peristiwa belajar benar-benar
bersifat terbuka, dalam arti siswa sepenuhnya dilepas untuk menemukan sesuatu melalui proses
asimilalsi, yaitu proses “memasukkan” hasil pengamatannya ke dalam struktur kognitifnya yang
telah tersedia, dan proses akomodasi, yaitu dengan mengadakan perubahan-perubahan
(modifikasi) atau penyesuaian-penyesuaian di dalam struktur kognitifnya yang lama sehingga
cocok dengan gejala (pengetahuan) baru yang diamati.
(4) Proses pengolahan pesan.
Bagaimanapun yang namanya belajar itu mesti melibatkan proses berpikir, khususnya dalam
mengolah pesan, melalui pengalaman belajarnya. Proses berpikir ini tidak sama dari orang ke
orang, juga tidak sama bagi bahan ajar yang berbeda-beda. Ada proses pengolahan pesan yang
berpangkal pada yang umum (generik), berupa teori, hukum, prinsip, rumus, kepercayaan, dsb.
untuk dilihat keberlakuan atau akibatnya pada gejala-gejala yang khusus. Strategi ini disebut
strategi deduktif. Sebaliknya, ada peristiwa belajar-mengajar yang pengolahan pesannya
bertolak dari conntoh-contoh atau gejala-gejala konkret menuju ke perampatan (generalisasi)
atau prinsip yang bersifat umum. Strategi belajar yang bergerak dari khusus ke umum ini disebut
strategi induktif.
Bruce Joyce dan Marsha Weil (1972) mengadakan pengelompokan lain yang dianggap para
pakar lebih komprehensif, dalam arti bahwa penggolongan ini dilakukan dengan memperhatikan
beberapa faktor sekaligus, seperti wawasan tentang manusia dan dunianya, tujuan belajar, dan
lingkungan belajar. Mereka mengemukakan empat kelompok model atau strtaegi pembelajaran.
(1) Kelompok model-model interaksi sosial.
Kelompok model-model ini didasarkan kepada dua asumsi pokok, yaitu (a) masalah-masalah
sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan yang diperolah di dalam,
dan dengan menggunakan proses-proses sosial, dan (b) proses sosial yang demokratis perlu
dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara built-in
dan terus-menerus.
Yang tergolong kelompok ini ialah pengajaran dengan model yurisprudensi, yasng bertujuan
untuk melatih kemampuan berpikir sebagaimana dibutuhkan di dalam penelitian IPA, meskipun
penerapannya di dalam ilmu-ilmu sosial untuk dapat memahami peristiwa kemasyarakatan juga
diharapkan. Yang lain ialah model kerja kelompok, yang menekankan pembentukan
keterampilan untuk ambil bagian dalam proses-proses kelompok yang menekankan keterampilan
komunikaksi antarpribadi (interpersonal), bekerja dan inkuiri ilmiah. Pembentukan pribadi di
dalam aspek-aspek di atas merupakan hasil pengiring yang penting yang hendak dicapai. (Lihat
pendekatan sosial di atas!).
(2) Kelompok model-model pengolahan informasi.
Kelompok ini bertolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi oleh manusia: bagaimana
manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengolah data, mendeteksi masalah, menyusun
konsep, memecahkan masalah, dan menggunakan lambang-lambang. Model-model ini sangat
bermanfaat untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif yang banyak diperlukan dalam
kegiatan akademik, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Model ini juga penting
bagi pembentukan konsep, pembentukan kemampuan berpkir pada umumnya tetapi juga untuk
kemampuan sosial-moral, dan untuk proses berpikir akomodatif.
(3) Kelompok model-model personal — humanistik.
Model-model ini meletakkan nilai tertinggi pada perkembangan pribadi di dalam memandang
dan membangun realitas, yang melihat manusia terutama sebagai pembuat makna (meaning
maker). Atau dengan kata lian, kelompok ini mengutamakan proses perngorganisasian internal
yang dilakukan individu serta pengaruhnya terhadap cara dan proses “pergaulan” individu
tersebut dengan lingkungannya dengan dirinya sendiri. Model-model mengajar dalam kelompok
ini sangat mementingkan efek pengiring (nurturent effects) sistem lingkungan belajar. Contoh
dari model ini ialah model pengajaran non-direktif dari Carl Rogers yang bermanfaat untuk
pembentukan kemampuan belajar mandiri untuk mencapai pemahaman dan penemuan diri
sendiri sehingga terbentuk konsep diri (self-concept). Yang lain ialah model sinektetik dari
William Gordon, bermanfaat untuk pembentukan kreativitas dan kemampuan secara kreatif.
(4) Kelompok model-model modifikasi perilaku.
Ini bertolak dari psikologi behavioristik, yang mementingkan penciptaan sistem lingkungan
belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan (reinforcement) terhadap perilaku secara
efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Istilah teknis yang digunakan untuk
proses pembentukan perilaku dengan manipulasi ini shaping (Inggris to shape ‘membentuk’).
Contohnya ialah model operant conditioning dari tokoh behaviorisme, B.F.Skinner.
Dari sumber-sumber lain dapat dapat ditambahkan beberapa strategi pembelajaran yang berikut.
(1) Strategi inkuiri.
Strategi yang sangat dianjurkan oleh Bruner (1966) ini dapat dipandang sebagai unsur penting
dalam teori konstruktivisme. Dalam strategi inkuiri siswa didorong untuk secara aktif terlibat
dalam kegiatan belajarnya dan membangun konsep-konsep bagi dirinya sendiri. Ini berarti
perilaku guru untuk selalu “menceramahi” dalam bentuk sajian teori, hukum, prinsip, dsb yang
bersifat induktif harus dihindari. Model inkuiri akan sangat memacu siswa untuk selalu ingin
tahu dan memotivasi siswa untuk mandiri dalam menentukan solusi, dan berpikir kritis. Dari
paparan singkat di atas, kita dapat melihat bahwa strategi ini senafas dengan pendekatan CBSA,
keterampilan proses, dan pendekatan komunikatif. Dalam hal itu guru dapat membantu dan
melatih dengan pertanyaan-pertanyaan pendalaman.Dalam pembelajaran bahasa Indonesia
strategi ini dapat digunakan, misalnya, dalam membaca pemahaman. Siswa dapat diminta untuk
mencari dan menemukan makna kata-kata tertentu di dalam kamus. Dari situ mereka akan
tertantang untuk “melihat” kata-kata lain. Pelajaran tentang polisemi, homonimi, makna kias, dsb
juga dapat menggunakan strategi ini dengan memanfaatkan kamus. Dalam hal keterampilan
mendengarkan guru dapat memanfaatkan televisi dengan berbagao ragam bahasanya.
(2) Model pembelajaran berbasis masalah.
Model pembelajaran yang juga menekankan pentingnya berpikir kritis, terutama berpikir tingkat
tinggi, juga dianut oleh model ini. Tujuannya agar siswa dapat memperoleh pengetahuan dan
konsep esensial dari bahan ajar. Kadang-kadang strategi ini juga disebut “pendekatan”, dan sama
dengan istilah-istilah seperti Pembelajaran Berbasis-Proyek (Project-Based Learning),
Pendidikan Berbasis Pengalaman (Experience-Based Education), Pembelajaran Autentik
(Authentic Learning), Pembelajaran Berpijak pada Kenyataan Hidup (Anchored Instruction).
Salah satu ciri penting dari model ini ialah penentuan sebuah masalah (problematik) yang dapat
dirumuskan dalam sebuah pertanyaan. Masalah ini akan dikaji dan diteliti, dicarikan
pemecahannya. Dalam hal yang berhubungan dengan masalah sosial dan humaniora,
pemecahannya tentu tidak cukup dari satu aspek tertentu, tetapi diperlukan perlakuan
antardisiplin ilmu. Penelitian ini harus berakhir dengan sebuah produk atau karya tertulis yang
harus disajikan secara lisan atau dipajang. Tujuan model ini ialah membantu siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan secara
umum mengembangkan keterampilan intelektual.
(3) Model pembelajaran kooperatif.
Kita sudah maklum, tidak ada dua manusia yang persis sama dalam berbagai hal. Tiap siswa
adalah individu yang unik. Perbedaan inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh dunia
pendidikan. Mereka dapat dimanipulasikan oleh guru untuk belajar secara kooperatif, bekerja
sama. Ini yang disebut belajar secara kooperatif (kooperative learning) atau belajar secara
sosial (social learning). Dengan cara ini potensi-potensi positif yang ada di dalam diri tiap siswa
dipertemukan dalam kegiatan belajar bersama, dalam kelompok-kelompok kecil (5-7 orang),
tidak hanya untuk hal-hal yang bersifat intelektual melainkan juga untuk urusan sikap dan nilai.
Dalam budaya Jawa konsep ini mungkin lebih tepat dipahami sebagai perilaku yang “serba
saling”, yaitu saling asih, saling asah, dan saling asuh, yang secara sederhana dapat dikatakan
bahwa belajar secara kooperatif itu dapat membangun rasa kasih sayang (yang kuat dan “pandai”
menyayangi dan membantu yang lemah dan “kurang pandai”), membangun kebiasaan bertukar
pikiran, berdiskusi, bermusyawarah dengan sesama teman atau orang lain, dan membangun kerja
sama, kebiasaan saling mengingatkan, saling melengkapi (bukan saling bersaing dan
bertentangan). Dari sini pula ditunjukkan adanya ketergantungan antarmanusia, perlu dan
manfaatnya hubungan dan kontak pribadi melalui pertemuan tatap muka, sehingga terjalin
komunikasi terbuka sehingga terjalin persaudaraan, pertemanan, dan solidaritas, tetapi juga
terbangun tanggung jawab individu untuk jalinan tersebut. Untuk itu patut disarankan adanya
pengelompokan yang bersifat heterogen. Dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, siswa
secara berkelompok bisa, misalnya, menyusun pantun atau puisi, mengisi teka-teki silang,
menulis anekdot atau naskah pidato, menyusun laporan, dsb.
3. Memilih Strategi.
Strategi itu boleh saja kita umpamakan sebagai penggunaan salah satu pendekatan (atau lebih),
berikut metode-metode dan teknik-teknik yang cocok untuk ketiga hal di atas.Dalam dunia
pengajaran bahasa dipahami bahwa pendekatan itu bersifat aksiomatis, mengacu kepada asumsi,
teori, prinsip, hukum, dsb. tentang psikologi belajar dan tentang bahasa yang kita yakini
kebenarannya. Metode bersifat prosedural, yaitu langkah-langkah pembelajaran yang sesuai
dengan pendekatan yang sudah ditentukan. Teknik merupakan implementasi dari metode itu.
Jika, misalnya, guru sudah menentukan “strategi” CBSA, atau strategi “semi-terbuka” dan
inkuiri, dengan pendekatan komunikatif, maka dia harus melihat ketiga hal tsb, kemudian
mengharmoniskannya dengan strategi terpilih. Jika pendekatan komunikatif yang dipilih, maka
seluruh metode dan teknik tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip komunikatif. Misalnya,
jangan mengajarkan struktur bahasa atau kaidah tatabahasa, seperti mempersoaalkan apa kalimat
tanya itu, susunannya bagaimana, intonasinya bagaimana, dst., apalagi membahas kalimat tanya
tanpa mengaitkannya dengan keterampilan berbahasa tertentu, apalagi paparannya lebih banyak
didominasi guru, karena semuanya itu bertentangan dengan CBSA dan pendekatan komunikatif.
Andaikata Anda mengajar di SMP di wilayah pedesaan. Cobalah dulu membayangkan seperti
apa karateristik mereka dari segi perkembangan kognitifnya, keadaan sosial-ekonominya, dsb.
Yang Anda hadapi adalah siswa kelas 3 (atau kelas 9). Anda bayangkan berapa rerata usia
mereka, kemampuan berbahasanya seperti apa. Kemampuan yang hendak dicapai ialah menulis
dengan bahan ajar paragraf argumentasi. Bayangkan seperti apa kira-kira motivasi dan minat
mereka untuk menulis, dan kemampuan mereka untuk berargumentasi. Jika jawaban untuk
semua itu “kurang positif”, maka Anda perlu memakai metode imitasi, yakni minta siswa untuk
membaca contoh-contoh dalam bacaan; gunakan pula teknik pertanyaan atau pancingan,yakni
memancing minat siswa dengan berbagai pertanyaan, memancing dengan pertanyaan agar siswa
memberikan argumen, dst. Dalam seperti agak sulit jika guru memakai strategi “terbuka”.
Mungkin guru perlu memakai strategi pengajaran berkelompok dengan strategi induktif.
c. Indikator Esensial: Menyusun rancangan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
berdasarkan strategi yang telah dipilih.
Deskriptor:
1)
Menyusun silabus dan rencana pembelajaran;
2) Merancang kerangka pengalaman belajar (tatap muka, terstruktur, dan mandiri) untuk
mencapai kompetensi;
3)
Memilih dan mengorganisasikan materi dan bahan ajar;
4)
Memilih dan merancang media dan sumber belajar yang diperlukan;
5)
Membuat rancangan evaluasi proses dan penilaian hasil belajar.
Bahan:
1. Silabus.
Seorang guru dintuntut menguasai seluruh isi materi kurikulum sebagai bagian pokok dari
kompetensi profesionalnya. Kurikulum itu menurunkan silabus. Sebenarnya tiap guru wajib
menyusun sendiri silabus bagi sekolah dan siswa-siswanya sendiri. Artinya, silabus merupakan
hasil penyesuaian antara kurikulum nasional dengan kondisi dan karakteristik sekolah dan siswa.
Tetapi, yang sangat mungkin sebagian dari silabus itu, sedikit atau banyak, sudah disepakati
bersama oleh sekelompok guru bidang studi.
Silabus berisi uraian program yang mencantumkan bidang studi yang diajarkan, tingkat sekolah,
semester, pengelompokan kompetensi dasar, materi pokok, indikator, tema, strategi
pembelajaran, alokasi waktu, dan strategi asesmennya. Wujudnya serupa dengan GBPP. Dari
silabus diturunkan ke rencana pembelajaran (RP).
2. Rancangan Pembelajaran.
RP diturunkan dari silabus. RP merupakan rancangan pembelajaran yang disusun guru untuk
satu atau dua pertemuan untuk mencapai satu kompetensi dasar. RP itu harus merupakan
program yang dapat diterapkan di dalam kelas. Isinya berupa gambaran tentang kompetensi
dasar (yang hendak dicapai), indikator, materi pokok, skenario pembelajaran tahap demi tahap,
dan penilaian belajar.
(1) Merumuskan tujuan/kompetensi dasar.
Kompetensi dasar atau indikator hasil belajar harus dirumuskan secara jelas-gamblang. Jika kita
menggunakan model Tujuan Instruksional Khusus (TIK), maka rumusannya harus mengandung
unsur: A (audience), yakni siswa; B (behaviour), yaitu perilaku yang diharapkan dikuasai siswa;
C (condition) yakni syarat atau kondisi yang diciptakan guru untuk mencapai perilaku yang
diharapkan, dan D (degree), yaitu tingkat atau kriteria keberhasilan belajar. Jika tujuan itu
diperinci dalam beberapa jenjang maka urutannya harus logis, dalam arti dari yang mudah ke
yang sukar, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari yang konkret ke yang abstrak, dari
berpikir tingkat rendah ke berpikir tingkat tinggi.
Di samping tujuan, yang hakikatnya merupakan dampak atau hasil instruksional (instructional
effects), guru juga harus merancang dampak atau hasil pengiring (nurturent effects)-nya. Hasil
atau efek instruksional adalah hasil langsung dari tindak mengajar, yaitu hasil yang dirumuskan
di dalam kompetensi dasar atau tujuan tersebut. Jika tujuan instruksionalnya dirumuskan “Diberi
sebuah topik tentang pariwisata siswa mampu menyusun sebuah paragraf argumentatif terdiri
dari 200 kata.”, maka hasil instruksionalnya pastilah sesuai dengan rumusan itu. Tetapi, di balik
rumusan itu haruslah dirumuskan juga pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, atau wawasan
yang terbentuk sebagai hasil yang mengiringi tujuan-tujuan instruksional tadi. Misalnya:
mengetahui cara berargumentasi, terampil berdebat, berbahasa secara logis, bernalar dalam
bahasa, berpikir kritis, santun dalam berargumen, jujur dan bertanggung jawab atas kritikkritiknya, dsb. Berbeda dengan hasil instruksional yang segera bisa dilihat setelah, misalnya,
siswa diberi tes hasil belajar, dampak pengiring ini mungkin baru dapat tercapai dalam beberapa
pertemuan.
(2) Mengembangkan dan mengorganisasikan materi, media pembelajaran, dan sumber belajar.
Pertama harus dibedakan antara media pembelajaran (bagan, gambar, grafik, jangka,
penggaris, hand-out, LKS, dsb) dengan sumber belajar (kamus umum, kamus istilah,
ensiklopedi, buku teks, buku sumber, dsb). Media dapat dibagi menjadi media cetak (hand-out,
LKS) dan media elektronik (mesin perekam, televisi, komputer, CD, VCD).Dapat pula
dibedakan antara media pandang atau media visual (bagan, gambar, grafik), media dengar atau
audio (mesin perekam, kaset, radio), dan media dengar-pandang atau audio-visual (televiisi,
CD, VCD). Kedua unsur di atas, sedikit atau banyak, harus ada dan tersedia; keduanya harus
sesuai dengan kompetensi yang hendak dicapai dan bahan-ajar. Di dalam RP guru harus secara
jelas menyebutkan apa medianya dan apa sumber belajarnya, difungsikan untuk apa, dan
mengapa menggunakan media ini dan sumber belajar itu. Misalnya, jika kompetensi dasarnya
berhubungan dengan keterampilan mendengarkan, mungkin perlu disediakan media cetak berupa
formulir isian (berisi hal-hal yang perlu diperhatikan) atau hand-out (lembar pegangan), dan
media elektronik berupa radio, mesin perekam, atau televisi. Sumber belajarnya mungkin berupa
buku teks dan kamus (KBBI). Sumber belajar ini juga harus sesuai dengan tingkat perkembangan
siswa, dan dengan lingkungan siswa, di samping dengan materi.
Dalam hal materi yang perlu diperhatikan ialah cakupannya, baik secara kuantitas (keluasannya)
maupun secara kualitas (kedalamannya). Sistematika materi harus ditata (diurut, disusun) secara
logis. Materi juga harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa. Untuk itu
diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang siswa (Ingat pendekatan
kontekstual!). Materi yang “terlalu mudah” bagi siswa akan membuat siswa jenuh dan tidak
bermanfaat bagi mereka; materi yang “terlalu sulit”, karena terlalu jauh dari pengetahuan-awal
mereka, akan menyebabkan siswa tidak termotivasi untuk mempelajarinya, bahkan bisa frustrasi.
Akhirnya, guru harus memperhatikan kemutakhiran materi itu, berikut contoh dan ilustrasinya.
(3) Merencanakan skenario kegiatan pembelajaran.
Skenario adalah sebuah rancangan berupa kerangka pengalaman belajar, dalam bentuk perilaku
belajar sswa. Pengalaman belajar itu biasanya dilakukan dengan tatap muka antara guru-siswa,
tetapi dapat pula dalam bentuk belajar terstruktur dan mandiri. Belajar terstruktur ialah belajar
untuk mendalami materi sajian, yang dalam kurikulum lama mungkin disebut kegiatan
kokurikuler, wujudnya bisa berupa latihan, mencari contoh-contoh pendukung, dsb. Belajar
mandiri merupakan kegiatan belajar yang mengarah ke perluasan atau penerapan materi di luar
kelas.
(4) Rancangan evaluasi proses dan hasil belajar.
Penilaian (evaluasi, asesmen) yang dirancang mencakup dua kegiatan, yaitu penilaian proses dan
penilaian hasil belajar. Penilaian proses menyoroti perilaku siswa selama proses belajarmengajar, perilaku yang dapat diamati dan mencakup, misalnya prakarsa siswa untuk bertanya,
menyumbangkan saran/pikiran, menjawab pertanyaan, memberikan saran perbaikan, mengoreksi
kesalahan, kesediaan untuk membantu teman, dsb. Semua itu menunjukkan aktivitas siswa.
Untuk itu barangkali yang perlu disiapkan guru ialah blanko (form) pengamatan, yang dapat diisi
segera setelah proses belajar-mengajar usai. Di dalam blanko itu dicantumkan aktivitas-aktivitas
apa yang hendak diamati guru sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, dan semua itu harus
sudah dirancang dalam RP. Jadi penilaian proses itu merupakan penilaian yang bersifat nontes.
Penilaian hasil belajar biasanya berupa tes. Untuk itu guru harus menentukan dulu jenis dan
prosedur penilaian, serta menyiapkan alat evaluasi. Jika hasil belajar akan dinilai dengan tes
esai, tentukan langkah-langkah yang harus dilakukan siswa. Tuliskan pertanyaanpertanyaannya, berikut saran jawabannya. Sertakan pula skor (termasuk bobotnya, jika ada)
untuk masing-masing unsur dari jawaban itu. Misalnya, jika siswa diminta menulis sebuah
paragraf, guru harus sudah menentukan unsur-unsur apa dari paragraf itu yang akan dinilai:
urutan yang logis, kohesi dan koherensi, diksi, ejaan, dsb. Masing-masing unsur itu dapat diberi
bobot skor yang berbeda-beda. Yang penting syarat-syarat untuk melakukan tugas itu harus jelas
bagi siswa (supaya tidak salah mengerjakan) dan guru (supaya mudah menskor dan menilai).
Jika penilaian dilakukan dengan tes objektif, buatlah alatnya, yaitu berupa seperangkat butir tes
yang sesuai dengan tujuan dan materi, yang memang mampu mentes apa yang seharusnya dites,
berikut kunci jawabannya. Tes ini sebaiknya mencakup seluruh materi yang dipelajari oleh
siswa. Perhatikan jenjang kesulitan tes: jangan hanya bersifat hapalan (recall), melainkan juga
pemahaman dan penerapan, syukur bisa lebih.
DAFTAR BACAAN
Ardiana, Leo Indra.dkk 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Pelatihan Terintegrasi Berbasis
Kompetensi Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2005. Buku Saku Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Dit.PTK dan KPT.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Pusat Perbukuan & Rineka
Cipta.
Gulö, W. 2002. Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Gramedia.
Joni,T.Raka. 1984. Strategi Belajar-Mengajar, suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta: Ditjen Dikti,
P2LPTK.
Joni, T.Raka.1985. Cara Belajar Siswa Aktif, Implikasinya terhadap Sistem Penyampaian.
Jakarta: Ditjen Dikti, P2LPTK.
Joni,T.Raka, dkk. 1985. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Ditjen Dikti, P2LPTK.
Mappa, Syamsu, dkk. 1984. Teori Belajar-Mengajar. Jakarta: Ditjen Dikti, P2LPTK.
Nurhadi dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda, dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta:
Kanisius.
Sumarsono. 2002. Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo
04/29/2010 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | 6 Komentar
HAKIKAT PEMBELAJARAN
BAB
HAKIKAT PEMBELAJARAN
II
2.1 Pengertian dan Ciri-ciri Pembelajaran
Pembelajaran atau mengajar adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku siswa. Hal ini
disebabkan karena pembelajaran adalah upaya guru untuk supaya siswa mau belajar. Sedangkan
belajar adalah perubahan tingkah laku siswa. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar
bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan, tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan
sesuai dengan tujuan.
Apabila dilihat dari arti belajar pada Bab I, yang menyatakan bahwa perubahan yang dimaksud
dengan belajar adalah perubahan yang konstan, berbekas, dan menjadi milik siswa, maka dalam
belajar siswa mengalami proses dan meningkatkan kemampuan mentalnya. Dengan demikian
maka mengajar haruslah mengatur lingkungan agar terjadi proses belajar mengajar dengan baik.
Dari pengertian tersebut mengajar mempunyai dua arti, yaitu:
Menyampaikan pengetahuan kepada siswa, dan
Membimbing siswa.
Dua arti belajar di atas menunjukkan bahwa pelajaran lebih bersifat pupil-centered, dan guru
berperan sebagai meneger of learning. Hal ini membedakan dengan mengajar dalam arti
menanamkan pengetahuan, yang biasanya pelajaran bersifat teacher-centered.
Mengajar yang berarti menanam pengetahuan, tujuannya adalah penguasaan pengetahuan anak.
Anak dianggap pasif, dan gurulah yang memegang peranan utama. Kebanyakan ilmu
pengetahuan diambil dari buku pelajaran yang tidak dihubungkan dengan realitas dalam
kehidupan sehari-hari. Pengajaran serupa ini disebut intelektualitas, sebab menekankan pada segi
pengetahuan.
Hal di atas berbeda dengan pengertian belajar: “suatu aktivitas mengatur dan mengorganisasi
lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses
belajar”. Perbedaan itu ditunjukkan pada mengajar di sini adalah usaha dari pihak guru untuk
mengatur lingkungan, sehingga terbentuk suasana yang sebaik-baiknya bagi anak untuk belajar.
Artinya yang belajar adalah anak itu sendiri dan berkat kegiatannya sendiri, sedangkan guru
hanya dapat membimbing anak. Dalam membimbing tersebut guru tidak hanya menggunakan
buku pelajaran semata, tetapi dimanfaatkannya segala faktor dalam lingkungan, termasuk
dirinya, alat peraga, lingkungan, dan sumber-sumber lain.
Uraian di atas memberikan batasan-batasan yang benar tentang mengajar, yaitu:
Mengajar adalah membimbing aktivitas anak. Artinya yang belajar adalah anak sendiri,
sedangkan tugas guru adalah mengatur lingkungan dan membimbing aktivitas anak. Jadi yang
aktif adalah siswa, dan bukan sebaliknya.
Mengajar berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah proses dan hasil interaksi
anak dengan lingkungan. Jadi interaksi dengan lingkungan itulah yang dinamakan belajar. Dari
pengalaman, anak memperoleh pengertian-pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan,
kecakapan, dan lain sebagainya. Lingkungan jauh lebih luas dibandingkan dengan buku dan
kata-kata guru. Seluruh lingkungan anak adalah sumber belajar, untuk itu pelajaran hendaknya
dihubungkan dengan kehidupan anak dalam lingkungannya.
Mengajar berarti membantu anak berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan.
Artinya mengajar adalah mengantarkan anak agar bakatnya berkembang. Sedangkan membantu
anak untuk supaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat diupayakann dengan
memberikan pelajaran yang berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini agar lebih sanggup
mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya. Dengan upaya tersebut diharapkan anak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, termasuk lingkungan sosialnya. Ia harus belajar
berpikir, merasa, dan berbuat sesuai dengan norma-norma lingkungan.
Sedangkan tafsiran yang kurang tepat tentang mengajar antara lain:
Mengajar adalah menyuruh anak untuk menghafal.
Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan.
Seluruh rangkaian penjelasan tentang mengajar di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan mengajar di sini adalah juga termasuk di dalamnya mendidik. Jadi bukan saja
mentransfer pengetahuan, tetapi juga membimbing ke arah norma yang benar. Atau dapat
dikatakan bahwa mengajar atau pembelajaran adalah aktivitas mengatur lingkungan, sehingga
terjadi proses belajar. Untuk itu dalam pembelajaran perlu adanya komponen-komponen
pendukung dengan tujuan supaya proses pembelajaran berjalan dengan baik.
Komponen pembelajaran secara garis besar terdiri dari:
Tujuan.
Bahan.
Metode dan media pembelajaran.
Penilaian.
Hubungan komponen-komponen pembelajaran tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.1
berikut ini:
Tujuan
Bahan
Metode dan Media
Penilaian
Gambar 2.1 Hubungan antar komponen Pembelajaran
Dalam pelaksanaan pembelajaran, disamping memperhatikan ke 5 komponen dasar di atas
ternyata masih harus dipertimbangkan pula lingkungan untuk membentuk situasi yang
menyenangkan di dalam pembelajaran. Dan perlu pula memperhatikan dari pelaku belajar
(siswa) dan pelaku pembelajaran (guru). Dari sini dapat ditunjukkan ciri-ciri pembelajaran, yaitu:
Adanya tujuan.
Adanya bahan yang sesuai dengan tujuan.
Adanya metode dan media pembelajaran.
Adanya penilaian.
Adanya situasi yang subur.
Adanya guru yang melaksanakan pembelajaran.
Adanya siswa yang melaksanakan belajar.
2.2 Jenis-jenis Pembelajaran
2.2.1 Jenis belajar berdasarkan cara mengorganisasi siswa.
Jenis pembelajaran dapat ditentukan dari cara mengorganisasi siswa ataupun dari pendekatan
pembelajarannya. Berdasarkan cara mengorganisasi siswa, ada 3 cara yang dapat dilakukan guru
dalam mengelola siswa, supaya pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Tiga cara tersebut
adalah:
1. Pembelajaran secara individual.
2. Pembelajaran secara kelompok.
3. Pembelajaran secara klasikal
2.2.1.1 Pembelajaran secara individual
Pembelajaran secara individual adalah kegiatan pembelajaran yang menitik beratkan pada
bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing individu. Pemberian bantuan dan
bimbingan secara individual dapat dilakukan pada pembelajaran individual ataupun
pembelajaran klasikal. Pembelajaran individual dalam pembelajaran individual dengan cara guru
memberi bantuan pada masing-masing pribadi, sedangkan bantuan individual dalam
pembelajaran klasikan dengan cara guru memberi bantuan individu secara umum. Contohnya
misalnya siswa diminta untuk membaca dalam hati pada pokok bahasan tertentu.
Tujuan pembelajaran individual adalah:
Memberi kesempatan dan keleluasaan siswa untuk belajar berdasarkan kemampuan sendiri.
Pengembangan kemampuan tiap individu secara optimal.
Kedudukan siswa dalam pembelajaran individual adalah:
Keleluasaan belajar berdasarkan kemampuan sendiri.
Kebebasan menggunakan waktu belajar.
Keleluasaan dalam mengontrol kegiatan, kecepatan, dan intensitas belajar dalam rangka
mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan.
Siswa melakukan penilaian sendiri atas hasil belajar.
Siswa dapat memiliki kesempatan untuk menyusun program belajar sendiri.
Kedudukan guru dalam pembelajaran individual adalah membantu dalam:
Perencanaan kegiatan belajar, dengan cara antara lain membantu menetapkan tujuan belajar,
membuat program sesuai dengan kemampuan siswa, merencanakan pelaksanaan belajar, dan
membantu siswa untuk melihat kemajuan. Dalam kegiatan ini guru berperanan sebagai penasihat
atau pembimbing.
Pengorganisasian kegiatan belajar. Dalam pengorganisasian ini guru berperan sebagai pengatur
dan memonitor semua kegiatan dengan cara: (1) memberi orientasi umum sehubungan dengan
belajar topik tertentu, (2) membuat variasi belajar supaya tidak menimbulkan kebosanan, (3)
mengkoordinasikan kegiatan dengan memperhatikan kemajuan, materi, dan sumber, (4)
membagi perhatian pada sejumlah siswa, menurut tugas dan kebutuhan siswa, (5) memberi
balikan terhadap setiap siswa, dan (6) mengakhiri kegiatan belajar dalam suatu unjuk hasil
belajar.
Penciptaan pendekatan terbuka antara guru dan siswa bertujuan untuk menimbulkan perasaan
bebas dalam belajar. Dilakukan dengan cara antara lain: (1) membuat hubungan akrab dan peka
terhadap kebutuhan siswa, (2) mendengarkan secara simpatik terhadap segala ungkapan jiwa
siswa, (3) tanggap dan memberi reaksi positip terhadap siswa, (4) membina suasana aman
sehingga siswa bebas mengemukakan pendapat.
Fasilitator yang mempermudah belajar, dengan tujuan untuk mempermudah proses belajar. Cara
yang dapat dilakukan antara lain: (1) membimbing siswa belajar, (2) menyedia media dan
sumber belajar, (3) memberi penguatan belajar, (4) menjadi teman dalam mengevaluasi
keberhasilan, (5) memberi kesempatan siswa untuk memperbaiki diri.
Kelemahan pembelajaran individual adalah:
Bila jumlah siswa banyak maka pembelajaran ini kurang efisien, karena akan melelahkan guru.
Tidak semua bidang studi atau pokok bahasan sesuai diorganisasi dengan pembelajaran ini.
Pembelajaran ini dapat efektif bila:
Disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa.
Tujuan pembelajaran dibuat dan dimengerti siswa.
Prosedur dan cara kerja dimengerti siswa.
Kriteria keberhasilan dimengerti siswa.
Keberhasilan guru dalam evaluasi dimengerti oleh siswa.
2.2.1.2 Pembelajaran secara kelompok
Pembelajaran kelompok adalah pembelajaran dengan cara kelas dibagi menjadi beberapa
kelompok, antara 3-8 orang. Penekanan pembelajaran ini pada peningkatan kemampuan individu
sebagai anggota kelompok.
Tujuan pembelajaran kelompok adalah:
Memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan
masalah secara rasional.
Mengembangkan sikap sosial dan bergotong royong.
Tiap anggota mempunyai tanggung jawab terhadap kelompok.
Mengembangkan kemampuan memimpin.
Kedudukan siswa dalam kelompok adalah:
Tiap siswa merasa sadar diri sebagai anggota kelompok.
Tiap siswa merasa diri memiliki tujuan bersama berupa tujuan kelompok.
Memiliki rasa saling membutuhkan dan saling tergantung.
Ada interaksi dan komunikasi antar anggota.
Ada tindakan bersama sebagai perwujudan tanggung jawab kelompok.
Pada peran guru dalam pembelajaran kelompok adalah:
Pembentukan kelompok. Pertimbangan dalam pembentukan kelompok adalah: tujuan yang akan
diperoleh siswa dalam kelompok, latar belakang pengalaman siswa, minat atau pusat perhatian
siswa.
Perencanaan tugas kelompok. Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan adalah untuk
menentukan bentuk tugas. Tugas yang diberikan dalam kelompok ada dua macam, yaitu: (1)
dengan paralel, (2) dengan komplementer. Tugas kelompok paralel berarti semua kelompok
mempunyai tugas yang sama. Sedangkan tugas komplementer bearti masing-masing kelompok
mempunyai tugas yang berbeda. Tujuannya untuk saling melengkapi dalam pemecahan masalah.
Pelaksanaan. Tugas guru dalam tugas kelompok antara lain: (1) memberi informasi umum
tentang pelaksanaan diskusi, (2) saat siswa berdiskusi tugas guru sebagai fasilitator, (3) pada
akhir diskusi guru berperanan sebagai evaluator terhadap hasil diskusi.
Evaluasi hasil belajar kelompok.
2.2.1.3 Pembelajaran secara klasikal
Pembelajaran klasikal yaitu pembelajaran yang dilaksnakan secara klasikal atau diikuti siswa
dalam jumlah berkisar antara 1- 45 orang. Karena guru harus menghadapi siswa dengan jumlah
banyak, maka dalam pembelajaran klasikal diperlukan pelaksanaan dua kegiatan sekaligus, yaitu
pengelolaan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Pengelolaan pembelajaran adalah kegiatan untuk melaksanakan desain instruksional, sedangkan
pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan
belajar dengan baik. Sedangkan pengelolaan kelas biasanya dilakukan karena adanya masalah
disaat pembelajaran, di mana sumber masalah tersebut antara lain dari kondisi tempat belajar
ataupun dari siswa yang terlibat dalam pembelajaran. Contoh sumber masalah dari kondisi
tempat belajar misalnya ruang kotor, kursi rusak, papan tulis kotor, dan lain sebaginya.
Sedangkan sumber dari siswa dapat secara individu ataupun kelompok.
Kelebihan pembelajaran ini adalah efisien dan murah. Sedangkan kelemahannya adalah kurang
dapat memperhatikan kebutuhan individual. Kelemahan ini dapat diatasi dengan memberikan
pembelajaraan individual dalam pembelajaran klasikal.
Tindakan pembelajaran kelas antara lain:
Penyususunan desain instruksional.
Melaksanakan tindakan-tindakan antara lain:
Penciptaa tertib belajar di kelas.
Penciptaan suasana senang dalam belajar.
Pemusatan perhatian pada bahan ajar.
Mengikut sertakan siswa aktif belajar.
Pengorganisasian belajar sesuai kondisi siswa.
2.2.2 Jenis Pembelajaran berdasarkan Pendekatan
2.2.2.1 Pendekatan Konsep
Pendekatan konsep merupakan pendekatan yang mementingkan hasil daripada proses perolehan
hasil. Untuk itu pendekatan ini terkesan hanya merupakan pemberian informasi, sehingga
hasilnya kurang bermakna dan bertahan lama.
Bagaimanapun pendekatan ini masih pula dibutuhkan dalam pembelajaran, karena tidak
mungkin semua pokok bahasan dapat digunakan pendekatan keterampilan proses. Hal ini
disebabkan karena jenis bahan atau mungkin waktu yang tidak memungkinkan dengan
menggunakan pendekatan keterampilan proses semua. Hanya saja perlu digali bagaimana
penerapan pendekatan konsep ini dapat digunakan semaksimal mungkin di dalam pembelajaran.
2.2.2.2 Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses merupakan pendekatan yang mengembangkan keterampilan
memproseskan pemerolehan, sehingga siswa mampu menemukan dan mengembangkan secara
bebas dan kreatif fakta dan konsep serta mengaitkannya dengan sikap dan nilai yang diperlukan.
Hal ini dapat dilakukan karena pendekatan keterampilan proses dilakukan sebagaimana layaknya
ilmuwan menemukan pengetahuan (menggunakan langkah-langkah metode ilmiah), sehingga
kevalidannya dapat diandalkan.
Keterampilan proses ini tidak saja mementingkan hasil, tetapi juga memperhatikan proses
mendapatkan hasil. Dengan melaksanakan pendekatan ketarmpila proses berarti siswa terlibat
seccara aktif dalam kegiatan pengamatan, dan menemukan sendiri konsep dan prinsip, sehingga
materi belajar mudah dikuasai oleh siswa. Dengan mengetahui proses diharapkan dapat
merangsang daya cipta untuk menemukan sesuatu, dan pada akhirnya dapat membentuk manusia
yang berkualitas, yaitu manusia yang kreatif, mampu memecahkan persoalan-persoalan aktual
dalam kehidupan, dan mampu mengambil keputusan yang menjangkau masa depan.
Perkembangan selanjutnya pendekatan keterampilan proses yang perlu di terapkan terutama
dalam pembelajaran IPA adalah pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM). Berikut akan
dibicarakan pendekatan STM.
2.2.2.3 Pendekatan Expository
Pada pendekatan expository guru cenderung memberikan informasi yang berupa teori,
generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti-bukti yang mendukung. Sedangkan siswa hanya
menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru, sehingga
siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya
itu.
2.2.2.4 Pendekatan Discovery
Discovery atau penemuan adalah proses mental yang dicirikan dengan siswa dapat
mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental itu misalnya mengamati,
menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan, dan sebaginya.
Inqury atau penyelidikan mengandung proses mental yang lebih tinggi, misalnya merumuskan
problem, merancang eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis
data, membuat kesimpulan, dan lain sebagainya. Dari sini dapat dilihat bahwa inquiry ini selaras
dengan teori belajar yang ditemukan oleh Brunner. Menurut Brunner discovery learning adalah
merupakan belajar dengan menemukan sendiri menggunakan prinsip belajar induktif, yaitu dari
khusus ke yang umum. Sumber munculnya discovery learning ini adalah teori belajar Piaget,
yaitu anak harus berperan secara aktif di dalam kelas.
2.2.2.5 Pendekatan Humanistik
Suatu pendekatan yang berpusat pada siswa (Student centered). Pendekatan ini mengutamakan
perkembangan afektif siswa sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar.
Hal ini dapat terlaksana apabila kesejahteraan mental dan emosional siswa dipandang sebagai
sentral pendidikan. Prioritasnya adalah pengalaman belajar yang diarahkan terhadap tanggapan
minat, kebutuhan, dan kemampuan siswa.
2.2.2.6. Pendekatan Rekonstruksionalisme
Suatu pendekatan yang menfokuskan pada masalah-masalah pendting yang dihadapi masyarakat.
Untuk itu pendekatan ini juga disebut pendekatan rekonstruksi sosisal. Pendekatan ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
Rekonstruksionalisme Konservatif
Pendekatan ini ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat
dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi
masyarakat.
Rekonstruksionalisme Radikal
Pendekatan ini mempunyai tujuan untuk menrombak tata sosial yang ada dan membangun
struktur sosial baru.
2.3 Tujuan dan Unsur-unsur Dinamis Pembelajaran
2.3.1 Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran yang biasanya disebut tujuan instruksional merupakan tujuan yang akan
dicapai setelah pembelajaran selesai dilakukan. Tujuan instruksional ini dibedakan menjadi dua,
yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
Tujuan instruksional umum (TIU) telah tersedia di dalam kurikulum, sedangkan tujuan
instruksional khusus (TIK) merupakan hasil perencanaan dan perumusan guru, dimana
merupakan penjabaran dari tujuan instruksional umum. TIU menggunakan kata kerja yang
bersifat umum, dan memuat lebih dari satu pengertian, misalnya mengenal, mengerti,
memahami, sehingga sulit diukur keberhasilannya atau dievaluasi. Sedangkan TIK menggunakan
kata kerja yang bersifat operasional, dapat dikerjakan, yang memuat hanya satu pengertian,
sehingga mudah diukur keberhasilannya atau dievaluasi.
Tujuan instruksional ini sebenarnya merupakan tujuan yang dijabarkan dari tujuan kurikuler.
Secara lengkap hierarki tujuan pembelajaran itu adalah sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan Nasional.
Tujuan pembelajaran pada jangka panjang sebenarnya akan mencapai pada tujuan pendidikan
nasional. Tujuan pendidikan nasional didasarkan pada falsafah negara atau way of life nya
bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Citra tujuan pendidikan nasional adalah terbentuknya manusia
pancasila yang utuh dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air
melalui pembangunan nasional. Jadi tujuan pendidikan seluruh lembaga pendidikan di Indonesia
baik formal maupun non formal mengarah pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Dan tujuan
pendidikan nasional tersebut akan terwujud dengan dijabarkannya ke dalam tujuan institusional.
Atau dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional merupakan pedoman umum bagi
pelaksanaan pendidikan dalam jenis dan jenjang pendidikan. Karena merupakan pedoman umum
tentu saja dalam pencapaiannya perlu dioperasionalkan lagi supaya terealisasi. Penjabaran
tersebut menjadi tujuan institusional.
Tujuan pendidikan nasional ini tercantum dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II, Pasal 4, yang berbunyi: Pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan Institusional.
Tujuan institusional merupakan tujuan pendidikan yang ingin dicapai pada tingkat lembaga
pendidikan. Keluaran dari lembaga akan tercermin dari tujuan institusional lembaga pendidikan
tersebut. Dengan demikian akan dapat segera dibedakan antara Sekolah Tingkat Dasar, Sekolah
Tingkat Menengah, dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pendidikan Mengah juga masih dapat
dibedakan dari pendidikan kejuruan (SMK/Sekolah Menengah Kejuruan) dan pendidikan umum
(SMU/Sekolah Menengah Umum). Begitu juga masih dapat dibedakan lagi antara sekolah umum
(di bawah Departemen Pendidikan), dan sekolah agama (di bawah naungan Departemen
Agama). Misalnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) akan berbeda dengan Sekolah Dasar (SD).
Madrasah Tsanawiyah (MTs) akan berbeda dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP),
dan Madrasah Aliyah (MA) akan berbeda dengan Sekolah Menengah Umum (SMU). Tujuan
institusional atau tujuan sekolah ini dapat tercapai dengan dijabarkannya tujuan ini ke tujuan
kurikuler.
Tujuan Kurikuler
Tujuan kurikuler adalah tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh atau melalui tiap bidang studi.
Atau dapat disebut juga tujuan bidang studi, misalnya tujuan sejarah, biologi, kimia, dan lain
sebaginya. Tujuan kurikuler ini akan dicapai melalui tujuan instruksional atau tujuan
pembelajaran.
Tujuan Instruksional.
Tujuan instruksional adalah tujuan yang pencapaiannya dibebankan pada tiap pokok bahasan.
Selanjutnya akan dibahas lebih rinci di bagian lain pada bab ini juga.
Rangkaian tujuan pembelajarn di atas mengandung harapan apabila rangkaian tujuan
instruksional berhasil, maka akan berhasil pula tujuan institusionalnya, yang pada akhirnya akat
tercapai tujuan pendidikan nasional.
Secara teoritis memang penjabaran secara struktural tujuan di atas dapat dipertanggungjawabkan,
namun pelaksanaannya sangat sulit. Belum tentu pencapaian tujuan instruksional akan diikuti
tercapainya tujuan kurikuler, dan seterusnya.
Tujuan tersebut dapat dicapai apabila di dalam pembelajaran berhasil mencapai dua hasil yang
diharapkan dari pembelajaran, yaitu damak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak
pengajaran adalah hasil yang dapat diukur (tujuan instruksional khusus), dan dampak pengiring,
yaitu terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain. Untuk memberi gambaran tentang
dampak pengajaran dan dampak pengiring dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut:
Guru melakukan tugas pembelajaran, dilakukan dengan pengorganisasian siswa, pengolahan
pesan, dan evaluasi.
Siswa memiliki motivasi belajar dan beremansipasi sepajang hayat.
Siswa memiliki kemampuan pra belajar.
Berkat tindak pembelajaran ataupun motivasi instrinsik, siswa melakukan kegiatan belajar.
Guru melakukan evaluasi untuk melihat hasil yang dicapai dalam pembelajaran.
Hasil belajar sebagai dampak pengajaran, dan
Dampak pengiring.
Hasil belajar dapat tercermin melalui dampak pengajaran dan dampak pengiring, apabila dalam
pembelajaran memperhatikan ketiga ranah tujuan pembelajaran, yaitu ranah kognitif, afektif,
psikomotorik. Ke tiga ranah tersebut harus tercermin dalam tujuan instruksional khusus (TIK)
atau tujuan pembelajaran khusus (TPK).
2.3.2 Unsur-unsur Dinamis Pembelajaran
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran dinamakan unsur-unsur dinamis
pembelajaran. Sama halnya dengan unsur dinamis belajar, maka nnsur dinamis pembelajaran
juga dapat mendukung (berpengaruh positif) atau sebaliknya menjadi penghambat (berpengaruh
negatif). Faktor internal yang berpengaruh dalam proses pembelajaran dapat dibedakan menjadi
faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis misalnya pendengaran, penglihatan, dan
kondisi fisik. Sedangkan faktor psikologis, misalnya kecedasan, motivasi, perhatian, berpikir,
dan ingatan. Bedanya dengan faktor dinamis belajar di atas adalah internal yang dimaksud di
dalam pembelajaran adalah dari segi guru (pelaku pembelajaran).
Faktor eksternal belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan pembelajar dan
sistem instruksional. Lingkungan belajar dapat dibedakan menjadi lingkungan dalam sekolah
dan dan lingkungan luar sekolah. Sedangkan sistem instruksional antara lain kurikulum, bahan
ajar, metode, media, dan evaluasi. Penjelasannya sama dengan faktor dinamis belajar di atas.
Teori – teori atau pendekatan reduksionisme sangat banyak dikemukakan didalam khazanah ilmu
pendidikan. Dalam hal ini akan dibicarakan berbagai pendekatan reduksionisme sebagai berikut :
v Pendekatan Pedagogis atau Pedagogisme
v
v
v
v
v
Pendekatan Fisolofis atau Filosofisme.
Pnedekatan Religius atau Religionisme.
Pendekatan Psikologis atau Psikologisme.
Pendekatan Negativis atau negativisme.
Pendekatan Sosiologis atau Sosilogisme.
1. Pendekatan Pedagogisme
Titik tolak dari teori ini ialah anak yang dibesarkan menjadi dewasa, pandangan ini apakah
berupa pandangan nativisme Schopenhaur serta penganut – penganutnya yang beranggapan
bahwa anak telah mempunyai kemampuan – kemampuan yang dilahirkan dan tinggal
dikembangkan saja atau apakah pandangan tersebut dari teori tabularasa atau empirisme John
Locke yang mengatakan bahwa anak dilahirkan seperti kertas putih yang akan diisi oleh
pendidikan.
Pandangan pedagogisme ini memang mempunyai segi – segi yang positif yang sangat
menghormati perkembangan anak, namun juga mempunyai berbagai kelemahan karena anak
seakan – akan disolasikan dari kehidupan bersama didalam masyarakat. Pedagogisme
melahirkan child centered education yang cenderung bahwa anak hidup didalam suatu
masyarakat tertentu dan mempunyai cita – cita hidup bersama yang tertentu pula. Memang child
centered education tersebut antara lain merupakan reaksi terhadap pendidikan yang tidak melihat
hakikat anak sebagai makhluk manusia yang hidup didalam dunianya sendiri sehingga perlu
memperoleh perlakuan – perlakuan khusus didalam proses mendewasakannya.
2. Pendekatan Fisiolofis
Pendekatan fisolofis atau fisiolofisme mengenai pendidikan antara lain bertitik – tolak dari
pertentangan mengenai hakikat manusia dan hakikat anak. Anak manusia mempunyai hakikatnya
sendiri dan berbeda dengan hakikat orang dewasa, anak bukanlah orang dewasa didalam
bentuknya yang kecil. Anak mempuyai nilai – nilainya sendiri yang akan berkembang menuju
kepada nilai – nilai seperti orang dewasa, oleh sebab itu proses pendewasaan anak bertitik – tolak
dari anak sebagai anak manusia yang mempunyai tingkat – tingkat perkembangannya sendiri.
Pandangan ini sudah mulai ditinggalkan oleh karena ternyata manusia tidak pernah akan berhenti
untuk memperoleh pendidikan, selain itu manusia itu akan terus – menerus berkembang selama
dia hidup. Dengan demikian pandangan bahwa pendidikan berakhir ketika manusia itu dewasa
tidak relevan lagi di dalam dunia informasi dewasa ini dan pendidikan berlaku untuk seumur
hidup.
3. Pendekatan Religius
Pendekatan religius atau religionisme dianut oleh pemikir – pemikir yang melihet hakikat
manusia sebagai makhluk yang religius, dengan demikian hakikat pendidikan ialah membawa
peserta – didik menjadi manusia yang religius karena sebagai makhluk ciptaan Tuhan peserta –
didik itu harus dipersiapkan untuk hidup sesuai dengan harkatnya.
Pendekatan religius mengenai hakikat pendidikan menekankan kepada pendidikan untuk
mempersiapkan peserta – didik bagi kehidupannya diakhirat, oleh sebab itu pendidikan agama
manjadi yang sentral dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang mempunyai citra religius
ini dikenal dalam semua kebudayaan baik di Barat maupun di Timur. Namun demikian kemajuan
ilmu pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral, jangan –
jangan pendidikan yang sekuler telah ikut memicu berbagai pihak berbagai peperangan serta
kemunduran moral manusia dewasa ini. Di pihak lain kehidupan modern bukan hanya menuntut
manusia – manusia yang religius dan bermoral tetapi juga kehidupan yang menuntut penguasaan
dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk memerangi kemiskinan dan kemunduran hidup.
Pendidikan hendaknya berfungsi bukan hanya untuk kehidupan akhirat tetapi juga untuk
meningkatkan mutu kehidupan duniawi yang aman dan adil.
4. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis atau psikologisme dalam pendidikan sangat kuat terutama pada tahap
permulaan lahirnya ilmu pendidikan pada permulaan abad 20. Pandangan – pandangan
pedagogisme seperti yang telah diuraikan telah lebih memacu masuknya psikologi kedalam
bidang ilmu pendidikan.
Psikologisme cenderung mereduksi ilmu pendidikan menjadi ilmu proses belajar dan mengajar,
dengan sendiriny pendekatan tersebut lebih memperkuat lagi pandangan pedagogisme seperti
yang telah dijelaskan. Hal tersebut telah mempersempit pandangan para pendidik seakan – akan
ilmu pendidikan terbatas pada ilmu mengajar saja, dan oleh sebab mengajar merupakan suatu
tugas yang setua dengan manusia itu sendiri maka profesi pendidik mendapat penghargaan
kurang dari profesi – profesi lainnya.
Dengan demikian pandangan – pandangan pedagogisme serta psikologisme akan memperpuruk
profesi pendidikan sebagai profesi yang tidak professional dan kurang bobot ilmiahnya.
5. Pendekatan Negativis
Pendekatan negativis atau negativisme didalam urainan ini diambil dari pendapat filosof
Bertrand Russel didalm bukunya yang terkenal Education and Social Order. Menurut beliau ada
tiga teori yang sifatmya negatif yaitu :
· Teori yang menyatakan bahwa tugas pendidikan ialah menjaga pertumbuhan anak, didalam
pertumbuhan itu perlu disingkirkan hal – hal yang dapat merusak atau yang sifatnya negatif
terhadap pertumbuhan itu.
· Ialah yang melihat pendidikan sebagai usaha mangembangkan kepribadian pesert – didik atau
dengan kata lain membudayakan individu. Pandangan ini di anggap sebagai pandangan yang
negatif oleh karena didalam mengembangkan kepribadian anak implisif melindungi dari hal – hal
yang negatif yang menghalangi perkembangan kepribadiannya.
· Proses pendidikan adalah melatih peserta – didik menjadi warga negara yang berguna.
Pandangan ini berarti menghindarkan peserta – didik dari hal – hal yang mengakibatkan dia itu
menjadi warga negara yang tidak berguna bagi masyarakatnya, pandangan ini tidak realistis oleh
sebab seseorang didalam masyarakat akan menghadapi kenyataan hidup bermasyarakat yang
penuh dengan hal – hal yang positif maupun yang negatif.
Pandangan – pandangan negatif tersebut memang membawa proses pendidikan kepada suatu
proses yang defensif atau protektif, dengan demikian tidak akan membawa peserta – didik
kepada pengambilan keputusan untuk berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu
proses pendidikan bukanlah suatu proses yang protektif tetapi yang memberikan kesempatan
yang seluas – luasnya untuk belajar berdiri sendiri dan mengambil keputusan sendiri secara
moral.
6. Pendekatan Sosiologis
Pandangan sosiologisme mengenai hakikat pendidikan terdapat versi yang bermacam – macam,
pada prinsipnya pandangan ini meletakkan hakikat pendiddikan kepada keperluan hidup bersama
dalam masyarakat. Pandangan sosiologisme cenderung berlawanan arah dengan pedagogisme,
titik – tolak dari pandangan ini prioritas kepada kebutuhan masyarakat dan bukan kepada
kebutuhan individu.
b.2.Pendekatan Holistik Integratif
Pendekatan – pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan, peserta – didik dan
keseluruhan perbuatan pendidikan termasuk lembaga – lembaga pendidikan telah menampilkan
pandangan – pandangan ontologis maupun metafisis tertentu mangenai hakikat pendidikan.
Pandangan – pandangan tersebut tidak menampilkan hakikat pendidikan secara utuh tetapi
sepihak berdasarkan sudut pandangan yang digunakan.
Berdasarkan pengetahuan kita mengenai pendekatan reduksionisme terhadap hakikat khakikat
pendidikan maka dapatlah dirumuskan suatu pengertian operasional mengenai hakikat
pendidikan sebagai berikut : Hakikat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan
eksistensi peserta – didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang
berdimensi lokal, nasional dan global.
Rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan tersebut diatas mempunyai komponen –
komponen sebagai berikut :
· Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan
1. Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan. Proses tersebut berimplikasikan
bahwa di dalam peserta-didik terdapat kemampuan-kemampuan yang immanen sebagai makhluk
yang hidup di dalam suatu masyarakat. Kemampuan-kemampuan tersebut berupa dorongandorongan, keinginan, elan vital, yang ada pada manusia. Kemampuan-kemampuan tersebut harus
dikembangkan dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup atau dihidupkan dalam
masyarakat.) Proses pendidikan yang berkesinambungan berarti bahwa manusia tidak pernah
akan selesai. Pendidikan tidak berhenti ketika peserta-didik menjadi dewasa tetapi akan terusmenerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan sesama
manusia serta dengan lingkungan alamnya
2. Proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Hal ini berarti
eksistensi atau keberadaan manusia adalah suatu keberadaan interaktif. Tidak dapat kita
bayangkan apabila interaksi manusia dilumpuhkan. Interaksi tersebut bukan hanya interaksi
dengan sesama manusia tetapi juga dengan alam dan dunia ide termasuk dengan
Tuhannya.Tanggung jawab manusia yang ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan
bukan hanya mempunyai dimensi lokal tetapi juga berdimensi nasional dan global.
3. Eksistensi manusia yang memasyarakat. Proses pendidikan adalah proses mewujudkan
eksistensi manusia yang memasyarakat, Proses itu sendiri tidak terjadi di dalam vacuum atau
ruang hampa tetapi sekurang-kurangnya terdapat unsur-unsur ibu, orang tua 1 pendidik formal
dan pendidik nonformal. Dengan kata lain manusia hanya eksis dalam masyarakatnya. Lembagalembaga pendidikan adalah prana sosial masyarakat yang ditugaskan untuk melaksankaan
proses pendidikan secara sistematis. Dengan kata lain, tujuan atau visi pendidikan adalah
kongruen dengan visi masyarakat di mana pendidikan itu berada. Karena proses pendidikan
mengandalkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat maka dengan sendirinya proses
pendidikan adalah penghayatan dan perwujudan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut adalah
nilai-nilai yang hidup maupun karena inovasi nilai-nilai baru,
4. Proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya. Inti dari kehidupan bermasyarakat
adalah nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut (perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan dan
dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakatnya. Keseluruhan proses tersebut, adalah
kebudayaan Di mana ada kebudayaan di situ ada pendidikan. Di mana ada pendidikan di situ ada
kebudayaan.
5. proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi waktu dan ruang. Dengan
dimensi waktu, p roses tersebut mempunyai aspek historistas, kekinian dan visi masa depan.
Aspek historitas, berarti bawah suatu masyarakat telah berkembang di dalam proses waktu, yang
menyejarah, berarti bahwa kekuatan-kekuatan historis telah menumpukj dan berasimilasi di
dalam suatu proses kebudayaan. Demikianlah pendekatan hakikat pendidikan yang holistik
inregratif yang merupakan suatu pandangan pengembangan manusia seutuhnya. Dengan
demikian pendekatan-pendekatan reduksionis yang hanya melihat manusia itu dari suatu segi
tertentu tidak menggambarkan keseluruhan hakikat manusia dan hakikat pendidikan.
Pengembangan manusia seutuhnya melihat manusia itu atau peserta-didik sebagai makhluk yang
dikaruniai oleh Penciptanya berbagai potensi. Potensi-potensi yang beragam tersebut hanya
dapat dikembangkan di dalam dan oleh masyarakat di mana seseorang menjadi anggotanya dan
sekaligus mewujudkan suatu tata kehidupan tertentu dengan nilai-nilai tertentu yang pada
dasarnya diarahkan kepada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan sebagai ciptaan ilahi. Itulah
manusia yang berbudaya. Dengan demikian pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan
dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan
adalah proses pendidikan. Menggugurkan pendidikan dari proses pembudayaan merupakan
alienasi dari hakikat manusia dan dengan demikian alienasi dari proses humanisasi. Alienasi
proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai
moral di dalam kehidupan manusia
6. Manusia berpendidikan dan manusia berbudaya
Manusia yang berpendidikan adalah sama artinya dengar. manusia yang berbudaya. Rumusan ini
benar karena lahir dari pengertian bahwa pendidikan adalah aspek dari kebudayaan. Dengan
demikian scoring yang lelah berkembang sesuai dengan kebudayaannya adalah juga seseorang
yang telah memperoleh pendidikan yang bertujuan yang sama dengan perkembangan priadi di
dalam kebudayaan di mana pendidikan itu berlangsung.
7. Mencari Konsep Manusia Indonesia
Sebagaimana sulitnya kita menggambarkan mengenai bentuk rupa kebudayaan nasional
Indonesia maka begitu pula sulitnya kita merumuskan konsep manusia Indonesia yanr jelas dan
dapat disepakati oieh semua orang. Kesulitan tersebut disebabkan karena bukan saja masyarakat
dan bangsa Indonesia yang bhinneka tetapi juga karena manusia itu sendiri bersifat multi
dimensional. Hanyala manusialah makhluk yagn menyerajarah. Oleh sebab itu manusia akan
terus menerus berkembang selama keberadaannya di dunia ini.
8. Pengembangan Manusia Indonesia Seutuhnya
Apabila kita melihat rumusan pakar-pakar tersebut di atas yang tentunya masing-masing dilihat
dari dimensi tertentu, dan belum dilihat manusia saeabagai multi dimensional, maka ada
kebutuhan untuk melihat manusia itu sebagai keseluruhan. Maka lahirlah suatu tantangan yang
ingin merumuskan pendidikan itu sebagai aktivitas untuk pembangunan manusia seutuhnya.
Konsep pengembangan manusia seutuhnya muncul untuk mengimbangi konsep pendidikan yang
mengarah kepada spesialisasi yagn sempit. Seorang spesialis yang sempit tidak melihat
keahliannya itu di dalam keselurhan pola kehidupan yang menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran atau mengajar adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku siswa. Hal ini
disebabkan karena pembelajaran adalah upaya guru untuk supaya siswa mau belajar. Sedangkan
belajar adalah perubahan tingkah laku siswa. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar
bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan, tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan
sesuai dengan tujuan.
Komponen pembelajaran secara garis besar terdiri dari:
1 Tujuan.
2 Bahan.
3 Metode dan media pembelajaran.
4 Penilaian.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, disamping memperhatikan ke 5 komponen dasar di atas
ternyata masih harus dipertimbangkan pula lingkungan untuk membentuk situasi yang
menyenangkan di dalam pembelajaran. Dan perlu pula memperhatikan dari pelaku belajar
(siswa) dan pelaku pembelajaran (guru). Dari sini dapat ditunjukkan ciri-ciri pembelajaran, yaitu:
1 Adanya tujuan.
2 Adanya bahan yang sesuai dengan tujuan.
3 Adanya metode dan media pembelajaran.
4 Adanya penilaian.
5 Adanya situasi yang subur.
6 Adanya guru yang melaksanakan pembelajaran.
7 Adanya siswa yang melaksanakan belajar.
3.1.1 Jenis-jenis Pembelajaran
3.1.1.1 Jenis belajar berdasarkan cara mengorganisasi siswa.
1 Pembelajaran secara individual.
2 Pembelajaran secara kelompok.
3 Pembelajaran secara klasikal
3.1.1.2 Jenis Pembelajaran berdasarkan Pendekatan
1. Pendekatan Konsep
2. Pendekatan Keterampilan Proses
3. Pendekatan Expository
4. Pendekatan Discovery
5. Pendekatan Rekonstruksionalisme
6. Pendekatan Humanistik
3.1.2 Tujuan dan Unsur-unsur Dinamis Pembelajaran
3.1.2.1 Tujuan Pembelajaran
1. Tujuan Pendidikan Nasional.
2. Tujuan Institusional.
3. Tujuan Kurikuler
4. Tujuan Instruksional.
3.1.2.2 Unsur dinamis pembelajaran
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran dinamakan unsur-unsur dinamis
pembelajaran. Sama halnya dengan unsur dinamis belajar, maka nnsur dinamis pembelajaran
juga dapat mendukung (berpengaruh positif) atau sebaliknya menjadi penghambat (berpengaruh
negatif). Faktor internal yang berpengaruh dalam proses pembelajaran dapat dibedakan menjadi
faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis misalnya pendengaran, penglihatan, dan
kondisi fisik. Sedangkan faktor psikologis, misalnya kecedasan, motivasi, perhatian, berpikir,
dan ingatan. Bedanya dengan faktor dinamis belajar di atas adalah internal yang dimaksud di
dalam pembelajaran adalah dari segi guru (pelaku pembelajaran).
Faktor eksternal belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan pembelajar dan
sistem instruksional. Lingkungan belajar dapat dibedakan menjadi lingkungan dalam sekolah
dan dan lingkungan luar sekolah. Sedangkan sistem instruksional antara lain kurikulum, bahan
ajar, metode, media, dan evaluasi. Penjelasannya sama dengan faktor dinamis belajar di atas.
01/30/2009 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | 5 Komentar
Insighful Learning
Insighful learning adalah belajar menurut pandangan kognitif. Disebut juga Gestalt dan Field
Teories. Teori mengutamakan pengertian dalam proses belajar mengajar, jadi bukan ulangan
seperti halnya kedua teori terdahulu. Dengan demikian menurut teori ini belajar merupakan
perubahan kognitif (pemahaman). Belajar bukan hanya ulangan tetapi perubahan struktur
pengertian. Dengan demikian teori belajar ini berhaluan pada pandangan belajar konstruktivistik.
Gestalt dan Field theories berorientasi pada Thorndike. Dalam teori insightful learning terdapat
trial and error, tetapi tidak seperti tafsiran Thorndike (belajar ngabur). Dalam semua belajar
didahului trial and error. Trial ang error mempunyai peranan dalam timbulnya insight. Pada teori
Thorndike tidak ada tujuan, otomatis, tanpa konsep, sedang pada field theories ada tujuan dengan
konsep.
Insight
learning
dapat
digunakan
dalam
situasi
yang
serupa.
Insightful learning berorientasi pada Edward L. Thorndike yang menemukan dan
mengembangkan teori koneksionisme berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui
fenomena
belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi
dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang enghubungkan pengungkit
dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing
tersebut
memperoleh
makanan
yang
tersedia
di
depan
sangkar
tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi
stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan
yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan
berlarian-larian, namun gagal membuk pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya.
Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan
terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama
instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yan dipelajari berfungsi sebagai instrumental
(penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan
antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond
Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Selain itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan
“Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah
kekeliaruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgrad & Bower, 1975). Apabila kita perhatikan
dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang
mendorong
tumbuhnya
fenomena
belajar.
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu akan berusaha
keras untuk keluar. Bahkan, barabngkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang
menggurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk ke
luar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar)
merupakan
hal
yang
sangat
vital
dalam
belajar.
Di samping law of effect, Thorndike juga mengemukakan dua macam hukum lainnya yang
masing-masing disebut law of readiness dan law of exercise. Sekarang, kedua macam hukum ini
sesungguhnya tidak begitu populer, namun cukup berguna sebagai tambahan kajian dan
perbandingan.
Law of readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa
kepuasan organism itu berasal dari pendayagunaan conductions units (satuan perantaraan). Unitunit ini menimbulkan kecendrungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini semata-mata bersifat historis. Dalam hal ini perlu dicatat,
bahwa ada kemiripan antara kecendrungan dalam conduction units tersebut dengan selfregulation/self-direction
dalam
peristiwa
belajar.
Law of exercise (hukum latihan) ialah generalisasi atas law of use dan law of disuse. Menurut
Hilgrad & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan
akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi sering dilatih atau digunakan maka
eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak
sering dilatih atau tidak digunakan maka ia akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan
menurun (law of disuse).
1. Teori Belajar Gestalt
Menurut teori Gestalt, insight merupakan hal yang penting, jadi tidak bisa hanya hafalan. Peletak
dasar teori ini adalah:
Mex Wetheiner (19880-1943): Pengamatan dan problem solving.
Kurt Koffka (1886-1941): Hukum-hukum pengamatan
Walfgang Kohler (1887-1959): Penelitian insight pada simpanse.
Penelitian:
Pisang digantung, di dekatnya diletakkan dua peti, ternyata simpanse mengambil pisang dengan
menumpuk peti.
Pisang digantung, di dekatnya diletakkan tongkat, ternyata simpanse menyambung tongkat
tersebut untuk mengambil pisang.
Pisang digantung, di dekatnya ada pohon yang berdaha, ternyata simpanse mematahkan dahan
kayu untuk mengambil pisang.
Penenelitian ini menunjukkan bahwa simpanse telah menggunakan insight yang timbul pada
percobaan pertama untuk mendapatkan hasil di percobaan ke dua, dan mendapat insght pada
percobaab kedua untuk mrndapatkan hasil pada percobaab ke tiga. Kesimpulannya bila ada
masalah dapat dipecahkan bila terbentuk insight, jadi bukan hafalan.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan belajar juga diartikan dengan problem solving dan insight
dapat digunakan dalam problem solving. Yang paling penting dalam belajar adalah insight.
2. Field Teories
Field teories atau teori Medan ditemukan oleh Kurt Lewin, menyatakan bahwa belajar adalah
perubahan kognitif (pemahaman). Belajar bukan hanya ulangan, tetapi perubahan struktur
pengertian.
Insight tergantung dari:
Kecerdasan dan bakat. Kecerdasan tergntung pada umur dan keadaan. Semakin muda semakin
kurang kecerdasannya.
Pengalaman. Pengalaman yang telah diolah individu akan mempengaruhi insight seseorang.
01/30/2009 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | Tinggalkan sebuah Komentar
HAKIKAT BELAJAR
BAB I
HAKIKAT BELAJAR
1.1
Pengertian
Belajar
Belajar secara umum dapat diartikan sebagai perubahan, contohnya dari tidak tahu menjadi tahu,
dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak mau menjadi mau, dan lain sebagainya. Namun
demikian tidak semua perubahan pasti merupakan peristiwa belajar. Sedangkan yang dimaksud
perubahan dalam belajar adalah perubahan yang relatif, konstan, dan berbekas.
Relatif artinya ada kalanya suatu hasil belajar ditiadakan atau dihapus dan digantii dengan yang
baru, dan ada kemungkinan suatu saat hasil belajar terlupakan. Hal ini tergantung dari kebutuhan
belajar saat itu, karena belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan. Dengan demikian
relatif
tersebut
dalam
arti
tergantung
dari
perubahan
lingkungan.
Konstan dan berbekas maksudnya bahwa perubahan dalam belajar harus menjadi milik pribadi,
artinya perubahan itu akan bertahan lama, sehingga bila digunakan akan segera dapat
direproduksi. Secara rinci dapat dijelaskan ciri-ciri belajar atau perubahan yang dimaksud dalam
belajar
adalah
sebagai
berikut:
Intensional
Intensional maksudnya disengaja, disadari, dan bukan karena suatu kebetulan. Dengan demikian
perubahan yang dimaksud merupakan perubahan yang mempunyai tujuan tertentu. Hanya saja
syarat ini tidak mutlak sifatnya, karena kadangkala ada perubahan yang terjadi dengan tidak
disadari.
Misalnya
pengalaman.
Positif
Positif yang dimaksud dalam perubahan ini adalah perubahan harus sesuai yang diharapkan
secara normatif atau berdasarkan kriteria keberhasilan. Bila dilihat dari syarat nomer satu
sebenarnya perubahan tidak harus positif, asalkan sesuai dengan tujuan. Apapun tujuan tersebut,
misalnya belajar mencuri, belajar menyontek, dan lain sebagainya. Namun demikian karena
belajar dimaksudkan untuk menuju pada pekembangan anak didik yang positif, maka syarat ke
dua
ini
diperlukan.
Efektif
Efektif yang dimaksudkan adalah perubahan itu harus mempunyai pengaruh dan makna tertentu
bagi
siswa
yang
bersangkutan.
Fungsional
Fungsional yang dimaksudkan adalah perubahan harus bersifat relatif tetap, sehingga setiap saat
dapat direproduksi.
Ciri-ciri belajar di atas dapat memberi batasan perubahan dalam belajar, yaitu:
Belajar merupakan proses mencapai tujuan, dan bukan hasil atau tujuan.
Proses
terjadi
melalui
interaksi
dengan
lingkungan.
Dalam belajar diperlukan tujuan, bahan pelajaran, perencanaan yang matang, dan kegiatan, di
mana
guru
banyak
terlibat
langsung.
Perubahan harus menunjukkan perubahan tingkah laku.
Dengan demikian perubahan-perubahan yang tidak memiliki ciri-ciri di atas tidak dapat
dikatakan sebagai belajar. Contoh perubahan yang bukan merupakan belajar adalah:
Perubahan
karena
pertumbuhan
jasmanai.
Perubahan
akibat
kelelahan
fisik.
Perubahan
karena
menggunakan
obat.
Perubahan akibat penyakit parah atau trauma.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang belajar, dapat diuraikan pengertian belajar
dari
beberapa
sisi
pandang
sebagai
berikut:
Belajar adalah memodifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Maknanya
adalah:
Belajar
merupakan
proses.
Belajar
merupakan
suatu
kegiatan.
Belajar
bukan
hasil
tujuan.
Belajar
bukan
hanya
mengingat,
tetapi
juga
mengalami.
Belajar
bukan
hanya
menguasai
latihan,
melainkan
perubahan
kelakuan.
Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan
lingkungan.
Maknanya
adalah:
Belajar
adalah
perubahan
tingkah
laku.
Belajar
menitik
beratkan
pada
interaksi
individu
dengan
lingkungan.
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penugasan,
penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap, dan nilai-nilai pengetahuan, kecakapan
dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek
kehidupan
atau
pengalaman
yang
terorganisasi.
Maknanya
adalah:
Proses adalah interaksi antara individu dengan sikap, nilai, atau kebiasaan, pengetahuan, dan
keterampilan
dalam
hubungannya
dengan
dunia
sehingga
berubah.
Berubah di sini dalam pengertian yang baik, yaitu dalam bentuk penguasaan, penggunaan,
maupun
penilaian
suatu
sikap.
Dari semua pengertian di atas belajar dapat disimpulkan sebagai suatu aktivitas mental/psikis,
yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perubahan itu bersifat relatif, konstan,
dan berbekas.
1.2
Jenis-jenis
Belajar
Berbicara jenis-jenis belajar sebenarnya banyak sekali cara-cara pengklasifikasian belajar ini,
sehingga jenis-jenis belajar itu dapat dibedakan dengan bervariasi sekali. Untuk itu dalam modul
ini akan penulis coba mengambil dari pendapat salah satu ahli untuk mengklasifikasikan jenis
belajar.
Sistematika
belajar
menurut
A.De
Block
adalah
sebagai
berikut:
1.
Bentuk-bentuk
belajar
menurut
bentuk
psikis.
Belajar
dinamik/konatif.
Belajar dinamik/konatif adalah belajar yang bercirikan bahwa orang itu mempunyai kehendak.
Berkehendak suatu aktivitas psikis yang terarah pada pemenuhan suatu kebutuhan yang disadari
atau
dihayati
Belajar
afektif.
Belajar afektif adalah belajar menghayati nilai dari objek-objek (bisa orang, benda, atau
peristiwa) yang dihadapi melalui alam perasaan. Atau dapat dikatakan belajar mengungkapkan
perasaan
dalam
bentuk
ekspresi
yang
wajar.
Belajar
kognitif:
mengingat,
berpikir.
Belajar kognitif adalah belajar memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang
mewakili objek-objek yang dihadapi, dan ini merupakan proses mental. Terdiri dari mengingat
dan berpikir. Mengingat dapat dibedakan menjadi dua peristiwa, yaitu rekognisi (mengenal
kembali), dan reproduksi (mengingat kembali). Sedangkan berpikir mempunyai syarat harus
mengenai pengetahuan yang tepat, berupa fakta. Fakta dan data menjadi bahan baku untuk
berpikir.
Belajar
sensori-motorik,
mengamati,
bergerak,
berketerampilan.
Belajar sensori-motorik merupakan belajar menghadapi dan menangani objek-objek fisik.
Bentuk-bentuk
belajar
menurut
materi
yang
dipelajari.
Belajar
teoritis
Belajar teoritis merupakan data dan fakta (pengetahuan) dalam suatu kerangka organisasi mental,
sehingga
dapat
dipahami
dan
digunakan
untuk
memecahkan
problem.
Belajar
teknis.
Belajar teknis atau praktis adalah belajar dalam mengembangkan keterampilan. Belajar teknis
dapat berjalan dengan baik apabila jenis belajar yang lain telah dipahami. Atau dapat dikatakan
bahwa belajar teknis mempunyai syarat, yaitu belajar fakta, konsep, dan prinsip.
Belajar
sosial
atau
bermasyarakat.
Belajar
bermasyarakat
adalah
belajar
untuk
hidup
bersama.
Belajar
estetis.
Belajar estetis adalah belajar untuk membentuk kemampuan menciptakan dan menghayati
keindahan.
Bentuk-bentuk
belajar
yang
tidak
sebegitu
disadari.
Belajar
insedental.
Belajar insidental merupakan belajar sampingan dari belajar yang sebenarnya. Maksudnya
adalah dalam belajar sesuatu dengan tujuan tertentu, masih ada hal lain yang dipelajari yang
sebenarnya
tidak
menjadi
sasaran.
Belajar
dengan
mencoba-coba.
Belajar dengan coba-coba adalah jenis belajar yang didapatkan dengan mencoba-coba. Hal ini
biasanya terjadi karena belum ada teori yang mendahului apa yang akan dipelajari.
Belajar
tersembunyi.
Belajar tersembunyi adalah jenis belajar di mana yang mengetahui tentang tujuan hanya guru.
Siswa tidak tahu bahwa yang ia lakukan adalah suatu yang mempunyai tujuan. Atau dapat
dikatakan siswa tidak sadar kalau ia sedang belajar, padahal ia sedang belajar.
Jenis
belajar
menurut
materi
Jenis belajar menurut materi ini sangat penting dalam rangka menentukan jenis pembelajaran
yang akan digunakan di sekolah. Untuk itu akan dibicarakan lebih banyak tentang jenis belajar
fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan.
Belajar
fakta/informasi
Informasi sering disebut fakta, pengetahuan, atau isi. Sifat dari bahan informasi ini adalah
hafalan, sebab biasanya dipelajari secara hafalan. Contoh dari jenis belajar informasi adalah
belajar lambang, kata, istilah, definisi, peraturan, persamaan, perkalian, pernyataan sifat, dan lain
sebagainya.
Karena belajar informasi ini dipelajari secara hafalan, maka ada beberapa kerugian dalam belajar
jenis
ini,
antara
lain:
Hasil tidak efektif dan sedikit yang dapat dipindahkan ke dalam situasi lain.
Tidak
dapat
disimpan
lama.
Untuk mengurangi kelemahan di atas ada cara untuk mempelajari informasi, antara lain:
Dengan membuatnya ke dalam pola yang bermakna atau ke dalam suatu rangkaian yang logis
seperti
menggunakan
singkatan,
akronim,
dan
cara-cara
lain
Membuat bentuk stimulus yang berbeda. Misalnya dengan menunjukkan gambar, model, peta,
kunjungan
ke
objek
yang
nyata,
dan
percobaan.
Bahan informasi digunakan apabila bahan tersebut sering kali digunakan. Contoh perkalian,
nama-nama latin, dan masih banyak lagi.
Belajar
konsep
Konsep disebut juga pengertian, yaitu merupakan serangkaian perangsang dengan sifat-sifat
yang
sama.
Konsep
dibagi
menjadi
dua,
yaitu:
Konsep yang sederhana, yaitu pola unsur bersama diantara anggota kumpulan atau rangkaian.
Hakikat suatu konsep tidak terdapat di dalam masing-masing anggota, tetapi di dalam unsur atau
sifat
yang
terdapat
pada
semua
anggota.
Contoh:
darah.
Konsep yang lebih tinggi, yaitu yang mempunyai hubungan antara konsep dasar. Contoh:
jantung.
Cara
mengajarkan
suatu
konsep
adalah:
Renungkan
arah,
orientasi,
dan
aplikasi
konsep
yang
dipelajari.
Tinjau
kembali
unsur
prasyarat
konsep
yang
dipelajari.
Sajikan stimulus sederhana yang tepat dari unsur-unsur, pola, atau hubungan bersama dapat
diketahui.
Definisikan
dan
asosiasikan
nama
konsep.
Perluas
asosiasi
melalui
berbagai
contoh
dan
aplikasi.
Pertajam kemampuan dengan menggunakan lebih banyak contoh yang realistis. Dalam beberapa
kasus
contoh-contoh
negatif
berguna
untuk
mempertajam
kemampuan.
Berikan
latihan
dan
peninjauan
kembali.
Uji kemampuan melalui konsep, menggunakan konsep, mendefinisikan konsep, dan
menanamkan konsep.
Belajar
prinsip
Prinsip adalah pola hubungan fungsional antar konsep. Prinsip pokok yang diterima dengan baik
dinamakan hukum. Jenis belajar ini mempunyai kebaikan-kebaikan, antara lain:
Merupakan sarana penting untuk dapat meramalkan, memecahkan masalah, dan membuat
kesimpulan
baru.
Prinsip
sangat
berguna
untuk
menyatakan
sebab
akibat.
Bila prinsip telah dikuasai dengan baik, banyak fakta dapat diperoleh, melalui kesimpulan logis.
Jika digunakan bersama-sama dengan kemampuan manusia lainnya, prinsip menjadi sarana
pokok
dalam
memperkaya
informasi.
Dalam belajar prinsip, konsep prasyarat hendaknya siap dulu, dan siap digunakan dalam ingatan
jangka pendek. Contoh: Prinsip sirkulasi darah, harus memahami konsep darah dan konsep
jantung.
Cara
mengajarkan
prinsip:
Renungkan orientasi, hubungkan dengan belajar sebelumnya dan aplikasikan prinsip yang akan
dipelajari.
Mintalah siswa mengingat kembali untuk mengecek, apakah dia mengerti konsep prasyarat yang
diperlukan.
Tunjukkan
contoh
sederhana
pola
hubungan
prinsip.
Jika perlu, gunakan syarat tertentu untuk membawa siswa menemukan sendiri hakikat hubungan
tersebut.
Mintalah siswa menunjukkan penggunaan prinsip yang dipelajari dalam meramalkan atau
memecahkan
masalah.
Perluas
asosiasi
melalui
berbagai
contoh
dan
penggunaannya.
Perjelas kemampuan membedakan melalui penyampaian contoh negatif (bila perlu).
Secara umum belajar mulai dari yang konkrit menuju yang abstrak, dan dari yang sederhana
menuju
yang
kompleks.
Tinjau
kembali
dan
latih
penggunaan
prinsip.
Tes kemampuan siswa dengan menyebutkan dan menggunakan prinsip tersebut.
Belajar
keterampilan.
Keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi
informasi yang dipelajari. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu psikomotorik dan
intelektual.
Contoh dari keterampilan psikomotorik antara lain, mencangkok, menanam, bersepeda,
mengajar, berenang, dan lain sebagainya. Sedangkan contoh dari keterampilan intelektual adalah
merumuskan masalah, mengadakan penelitian, menyimpulkan, dan masih banyak lagi.
Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan di dalam belajar keterampilan adalah:
Jelaskan
tujuan
dan
nilai
keterampilan
yang
dipelajari
kepada
siswa.
Tunjukkan tingkat prestasi siswa yang diharapkan bagaimana hal itu akan dinilai.
Ulang kembali pelajaran sebelumnya yang diperlukan sebagai prasyarat atau yang berguna untuk
mempelajari
keterampilan.
Sajikan demonstrasi keterampilan oleh petugas yang mampu dan jelaskan secara singkat bagianbagian
penting
dan
kegiatan
yang
dilatihkan.
Berikan latihan keterampilan dasar kepada siswa dan didiskusikan pola atau rantai tingkah laku
yang
digunakan.
Lakukan latihan tambahan disertai evaluasi kegiatan secara cepat dan umpan baliknya kepada
siswa
untuk
peningkatan
atau
perbaikan.
Aturlah kondisi untuk mempelajari istilah, konsep, prinsip, prosedur, teknik, dan strategi yang
menghasilkan belajar dan aplikasi keterampilan. Hal ini harus benar-benar dikerjakan pada
waktu
yang
dibutuhkan.
Dalam mempelajari keterampilan yang kompleks perlu mengajak siswa mengamati kegiatan
yang
telah
dimikinya.
Ubah cara menilai kegiatan dari orang lain kepada penilaian diri sendiri.
Latihan keterampilan sebaikknya diberikan dalam kondisi sedekat mungkin dengan pelaksanaan
keterampilan dalam situasi sesungguhnya.
1.3
Tujuan
dan
Faktor-faktor
Dinamis
Belajar
1.3.1
Tujuan
Belajar
Guru bertindak sebagai perekayasa pembelajaran, yang direalisasikan dengan membuat desain
instruksional. Dalam desain instruksional akan terdapat tujuan pembelajaran yang dibuat oleh
guru.
Dengan
demikian
muncul
pertanyaan:
Samakah
antara
tujuan
pembelajaran
dan
tujuan
belajar?
Siapa yang memiliki tujuan belajar? Kalau jawabannya siswa, muncul pertanyaan berikutnya:
Kapan siswa boleh memiliki tujuan belajar sendiri (dalam arti tidak dibuatkan guru)?
Pertanyaan-pertanyaan
di
atas
dapat
dijawab
dari
penjelasan
berikut
ini:
Tujuan pembelajaran yang terealisasikan dalam tujuan instruksional (akan dibicarakan lebih
lanjut dalam bab II) dibuat oleh guru dengan memandang siswa sebagai subjek yang akan
mencapai sasaran belajar. Sehingga dapat dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran
merupakan
sasaran
belajar siswa
menurut
pandangan
dan
rumusan
guru.
Dari segi guru tujuan pembelajaran merupakan pedoman tindak mengajar, dan dari segi siswa
sasaran belajar merupakan panduan belajar yang diketahuinya dari informasi guru. Kesejajaran
tindak guru mencapai sasaran belajar, dan tindak siswa yang belajar untuk mencapai tujuan
belajar, dapat digambarkan pada Gambar 1. 1 berikut ini.
Gambar 1.1 Kesejajaran sasaran belajar dan tujuan belajar siswa dalam kegiatan belajar menju
kemandirian.
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran yang dibuat guru untuk mencapai sasaran
belajar siswa sejajar dengan tindak belajar siswa dalam mencapai tujuan belajar. Artinya disaat
guru berusaha mencapai sasaran belajar 1, maka siswa juga berusaha dalam mencapai tujuan
belajar 2. Serangkaian tujuan yang dicapai siswa akhirnya akan meningkatkan kemampuan siswa
yang
akan
membawa
siswa
mencapai
kemandirian.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tujuan belajar tentu saja ditujukan bagi siswa yang
dinamakan dengan sasaran belajar. Hanya saja tujuan tersebut dibuat oleh guru demi terarahnya
tujuan belajar itu sendiri. Dan pertanyaan kapan siswa bisa membuat tujuannya sendiri, dapat
dijawab bahwa siswa dapat membuat tujuannya sendiri di saat siswa telah dapat mencapai tujuan
pembelajaran
yang
dibuat
oleh
guru.
Bukti bahwa siswa sudah dapat mencapai tujuan belajar yang dibuat guru ditunjukkan dengan
perilaku siswa yang merupakan hasil proses belajar atau hasil pembelajaran. Hasil belajar
merupakan puncak proses belajar, dan bagi siswa yang telah berhasil mencapai hasil belajar
dinyatakan lulus. Di saat itulah siswa dapat menyusun program belajar sendiri atau belajar secara
mandiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.2. halaman 14.
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran dibuat oleh guru berdasarkan kepentingan
siswa. Sehingga tujuan pembelajaran tersebut juga merupakan sasaran belajar bagi siswa
menurut pandangan dan rumusan guru. Selanjutnya tujuan pembelajaran itu akan digunakan
dalam mencapai hasil belajar yang ditujukkan dengan perilaku siswa yang berubah. Hasil belajar
tersebut akan tercapai dengan melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa
dalam kegiatan belajar mengajar (pembelajaran). Apabila siswa telah mencapai hasil belajar,
maka siswa dapat membuat program belajar sendiri atau membuat tujuan belajar sendiri.
1.3.2
Faktor-faktor
Dinamis
Belajar
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses belajar dinamakan unsur-unsur dinamis belajar.
Unsur dinamis belajar tersebut dapat mendukung (berpengaruh positif) atau sebaliknya menjadi
penghambat (berpengaruh negatif). Faktor internal yang berpengaruh dalam proses belajar dapat
dibedakan menjadi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis misalnya pendengaran,
penglihatan, dan kondisi fisik. Sedangkan faktor psikologis, misalnya kecedasan, motivasi,
perhatian,
berpikir,
dan
ingatan.
Faktor eksternal belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan belajar dan sistem
instruksional. Lingkungan belajar dapat dibedakan menjadi lingkungan dalam sekolah dan dan
lingkungan luar sekolah. Sedangkan sistem instruksional antara lain kurikulum, bahan ajar,
metode, media, dan evaluasi.
1.3.2.1
Faktor
Internal
1.3.2.1.1
Faktor
Fisiologis
1.
Pendengaran
Pendenganran merupakan faktor penting di dalam belajar, karena pendengaran merupakan alat
untuk menangakap informasi. Bila alat penangkap informasi ada gangguan, maka informasi yang
dutangkappun akan terganggu. Secara umum pada usia yang sama mempunyai kemampuan
mendengarkan yang sama. Misalnya pada usia 20 tahunan mempunyai kemampuan mendengar
dengan jarak kurang lebih 8-10 meter. Dan pada usia 40 tahunan kemampuan mendengar dengan
jarak
kurang
lebih
5
meter.
Berkaitan dengan kemampuan mendengar ini guru tidak diperbolehkan untuk menyamaratakan
kemampuan mendengarkan berdasarkan umur, karena masing-masing siswa mempunyai daya
mendengarkan sendiri. Untuk itu bila ada gejala kesulitan belajar guru juga harus memperhatikan
atau
menditeksi
dari
pendengaran
ini.
2.
Penglihatan
Seperti halnya pendengaran penglihatan juga mempunyai arti penting dalam penerimaan
informasi. Secara umum penglihatan mempunyai kekuatan dengan peneangan 40 watt untuk usia
sekitar 20 tahunan, dan 60-100 watt untuk usia sekitar 40 tahunan. Dipandang dari kekuatan
jarak melihat masing-masing siswa mempunyai kekuatan yang sangat bervariasi sendiri. Untuk
itu
seorang
guru
juga
harus
memperatikan
faktor
ini.
3.
Kondisi
fisik
Kondisi fisik akan sangat berpengaruh akan sangat berpengaruh dalam proses belajar pada semua
fase. Kondisi fisik itu antara lain kesegaran jasmani, keletihan, kekurangan gizi, kurang tidur dan
sakit. Hal ini biasanya dijadikan pertimbangan untuk menentukan urutan jadual. Untuk mata
pelajaran yang memperlukan keseriusan yang bersifat rekreatif diberikan dalam jam-jam akhir.
1.3.2.1.2
Faktor
Psikologis
1.
Kecerdasan
dan
bakat
Pembelajaran merupakan proses membantu individu mencapai pengkembangan optimal dari
kecerdasan yang dimiliki. Kecerdasan seseorang sangat bervariasi walau umur yang sama. Untuk
itu
guru
harus
memperhatikan
hal
ini.
Perlu diketahui bahwa kecerdasan seseorang sebenarnya telah terbentuk sampai 50% pada saat
usia 4 tahun, dan terbentuk sampai 80% diperoleh saat usia kurang lebih 8 tahun. Sedangkan
20% sisanya masih dapat terbentuk sampai usia kurang lebih 20 tahun. Dan titik optimal adalah
pada usia 20 sampai 30 tahun. Usia 30-60 tahun mengalami penurunan.
Berdasarkan hal tersebut sebenarnya pada saat guru mengajarkan siswa SMU tingkat kacerdasan
mereka sudah terbentuk. Pembelajaran hanya mengoptimalkan kemampuan, dan tidak
diperkenankan memaksakan kehendak untuk menjadikan anak melebihi kapasitas tingkat
kecerdasannya.
2.
Motivasi
Seseorang akan terdorong untuk belajar apabila ada motivasi tertentu. Motivasi biasanya terkait
erat dengan adanya suatu kebutuhan. Untuk itu untuk menimbulkan motivasi belajar siswa
seorang guru harus berupaya bagaimana belajar merupakan kebutuhan bagi siswa. Hal ini
disebabkan karena motivasi mempunyai fungsi yang cukup besar dalam belajar, yaitu
mendorong manusia untuk berbuat, menentukan arah perbuatan, dan menyeleksi perbuatan.
Sebenarnya motivasi yang berasal dari guru merupakan motivasi ekstrinsik, dimana motivasi ini
kurang efektif dibandingkan motivasi instrinsik. Namun harannya motivasi ekstrinsik dari guru
menimbulkan kemauan siswa untuk belajar yang berarti motivasi tersebut menjadi motivasi
tersebut menjadi motivasi instrinsik. Karena motivasi ini merupakan faktor penting dalam belajar
akan
dibicarakan
tersendiri
pada
bab
lain
buku
ini.
3.
Perhatian
Perhatian merupakan modal dalam belajar, untuk itu seorang guru harus memahami tentang
perhatian ini untuk memaksimalkan perhatian siswa dalam belajar. Perhatian dapat dibedakan
menjadi
lima,
yaitu:
Perhatian disengaja: perhatian yang timbul karena keharusan untuk memperhatikan. Perhatian
jenis ini biasanya untuk dapat berhasil, karena siswa merasa ada pemaksaan. Hanya saja
diharapkan guru dapat mengkondisikan perhatian ini untuk menjadikan siswa tidak terpaksa.
Perhatian spontan: Suatu perhatian di mana orang akan tertarik untuk melihat atau mendengarkan
sesuatu atas kemauannya sendiri. Perhatian ini hasilnya dapat bertahan lama. Guru diharapkan
dapat memotivasi siswa yang awalnya menggunakan perhatian yang disengaja menjadi perhatian
spontan.
Perhatian intensif: Perhatian yang timbul karena kebutuhan atau kepentingan pribadi.
Perhatian memusat: Perhatian pada satu objek tertentu. Hal ini dilakukan untuk memperhatikan
objek
yang
harus
diperhatikan
adalah
menuntut
ketelitian.
Perhatian memencar: Perhatian dengan memperhatikan banyak objek sekaligus.
4.
Berpikir
Berpikir adalah suatu kegiatan mental berupa pelukisan gagasan berdasarkan pengetahuan yang
ada dengan memperhatikan hubungan sebab akibat, dirangkaikan secara logis dan rasional.
Langkah-langkah
berpikir
adalah:
Pembentukan pengertian kunci sebagai titik tolak untuk berpikir lebih lanjut.
Pemahaman
atau
identifikasi
masalah
yang
perlu
dipikirkan/dipecahkan.
Penyusunan
argumen
untuk
pembentukan
pendapat/pemecahan
masalah.
Guru perlu memberi kesempatan siswa untuk berlatih mengkaji permasalahan, dan
mengemukakan masalah, serta memberi kesempatan untuk beradu argumentasi.
5.
Ingatan
Ingatan adalah suatu kegiatan kognitif yang memungkinkan seseorang menyadari bahwa
pengetahuan yang dimilikinya itu bersumber dari masa lalu. Fase ingatan adalah sebagai berikut:
Fase fiksasi, yaitu kegiatan mencamkan sesuatu yang berkesan, terjadi secara disengaja,
dihubungkan
dan
disesuaikan
dengan
pengalaman
yang
telah
dimiliki.
Fase retensi, yaitu penyampaian kesan-kesan tanpa disadari. Kesan yang tersimpan tersebut
dapat disadarkan kembali bila keadaan meminta/diperlukan. Daya ingat seseorang terbatas,
sehingga banyak yang pernah diingat akan lupa. Cara untuk menjadikan daya ingat tahan lama
adalah dengan mengulang-ulang.
1.3.2.2
Faktor
Eksternal
1.3.2.2.1
Lingkungan
Belajar
1.
Lingkungan
dalam
sekolah
Lingkungan merupakan faktor luar belajar yang membawa siswa nyaman atau tidak nyaman
dalam belajar. Lingkungan dalam sekolah dapat dibedakan atas lingkungan alam, fisik, dan
sosial. Lingkungan alam misalnya keadaan suhu, kelembaban dan pertukaran udara, serta cahaya
dalam ruangan. Sedangkan lingkungan fisik misalnya gedung, mebeler, instalasi, pertamanan,
sistem pembuangan air, dan masih banyak lagi. Dan lingkungan sosial menyangkut suasana
hubungan timbal balik antara segenap warga sekolah, misalnya guru, sesama teman, staf tata
usaha.
2.
Lingkungan
luar
sekolah
Lingkunan luar sekolah terdiri dari lingkungan fisik, alam, dan sosial. Lingkungan fisik misalnya
bangunan gedung, perkantoran, perumahan, pasar, gedung film, terminal, dan lain sebagainya.
Sedangkan lingkungan alam misalnya cuaca, kondisi flora dan fauna, dan lain sebaginya. Dan
lingkungan sosial mencakup struktur sosial, adat istiadat, budaya setempat, dan lain sebaginya.
Kondisi tersebut sangat mempengaruhi belajar siswa.
1.3.2.2.2
Sistem
Instruksional
1.
Kurikulum
Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksankan untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Program yang ada akan berpengaruh terhadap proses
belajar seseorang, sebab di dalam kurikulum tersebut mencakup komponen: tujuan, isi,
organisasi, dan strategi. Dengan adanya pembatasan belajar dari kurikulum akan memberi warna
dalam belajar itu sendiri. Sehingga bila kurikulum tidak lagi sesuai dengan zamannya akan
menghambat
jalannya
belajar.
2.
Metode
Metode adalah cara menyajikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan instruksional
tertentu. Untuk mempermudah dalam belajar metode ini harus menggunakan prinsip:
efektif
dan
efisien.
Digunakan
secara
bervariasi.
Digunakan
dengan
memadukan
beberapa
metode.
Jika metode itu digunakan dengan benar, maka akan membantu tercapainya proses belajar, tetapi
bila
penggunaannya
salah
akan
terjadi
sebailknya.
3.
Media
Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke
penerima pesan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan perhatian, serta minat
seseorang yang mendorong terjadinya proses belajar mengajar. Penggunaan media yang tepat
sangat
diharapkan
untuk
merangsang
terjadinya
belajar
bagi
siswa.
4.
Guru
Guru adalah faktor penting dalam pembelajaran, karena gurulah yang melakukan rekayasa
pembelajaran. Rekayasa pembelajaran tersebut dilakukan berdasarkan kurikulum yang berlaku.
Faktor yang direkayasa guru antara lain dengan menyusun desain instruksional, yaitu
menentukan tujuan, bahan, metode, media, dan evaluasi. Jadi kelebihan guru dari faktor-faktor
yang lain adalah guru dapat merekayasa faktor yang lain, sedangkan faktor yang lain tidak dapat
merekayasa guru.
Gambar 1.2 Pola hubungan pembelajaran dalam rangka emansipasi diri siswa menuju
kemandirian
BAB
HAKIKAT PEMBELAJARAN
II
2.1
Pengertian
dan
Ciri-ciri
Pembelajaran
Pembelajaran atau mengajar adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku siswa. Hal ini
disebabkan karena pembelajaran adalah upaya guru untuk supaya siswa mau belajar. Sedangkan
belajar adalah perubahan tingkah laku siswa. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar
bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan, tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan
sesuai
dengan
tujuan.
Apabila dilihat dari arti belajar pada Bab I, yang menyatakan bahwa perubahan yang dimaksud
dengan belajar adalah perubahan yang konstan, berbekas, dan menjadi milik siswa, maka dalam
belajar siswa mengalami proses dan meningkatkan kemampuan mentalnya. Dengan demikian
maka mengajar haruslah mengatur lingkungan agar terjadi proses belajar mengajar dengan baik.
Dari
pengertian
tersebut
mengajar
mempunyai
dua
arti,
yaitu:
Menyampaikan
pengetahuan
kepada
siswa,
dan
Membimbing
siswa.
Dua arti belajar di atas menunjukkan bahwa pelajaran lebih bersifat pupil-centered, dan guru
berperan sebagai meneger of learning. Hal ini membedakan dengan mengajar dalam arti
menanamkan
pengetahuan,
yang
biasanya
pelajaran
bersifat
teacher-centered.
Mengajar yang berarti menanam pengetahuan, tujuannya adalah penguasaan pengetahuan anak.
Anak dianggap pasif, dan gurulah yang memegang peranan utama. Kebanyakan ilmu
pengetahuan diambil dari buku pelajaran yang tidak dihubungkan dengan realitas dalam
kehidupan sehari-hari. Pengajaran serupa ini disebut intelektualitas, sebab menekankan pada segi
pengetahuan.
Hal di atas berbeda dengan pengertian belajar: “suatu aktivitas mengatur dan mengorganisasi
lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses
belajar”. Perbedaan itu ditunjukkan pada mengajar di sini adalah usaha dari pihak guru untuk
mengatur lingkungan, sehingga terbentuk suasana yang sebaik-baiknya bagi anak untuk belajar.
Artinya yang belajar adalah anak itu sendiri dan berkat kegiatannya sendiri, sedangkan guru
hanya dapat membimbing anak. Dalam membimbing tersebut guru tidak hanya menggunakan
buku pelajaran semata, tetapi dimanfaatkannya segala faktor dalam lingkungan, termasuk
dirinya,
alat
peraga,
lingkungan,
dan
sumber-sumber
lain.
Uraian di atas memberikan batasan-batasan yang benar tentang mengajar, yaitu:
Mengajar adalah membimbing aktivitas anak. Artinya yang belajar adalah anak sendiri,
sedangkan tugas guru adalah mengatur lingkungan dan membimbing aktivitas anak. Jadi yang
aktif
adalah
siswa,
dan
bukan
sebaliknya.
Mengajar berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah proses dan hasil interaksi
anak dengan lingkungan. Jadi interaksi dengan lingkungan itulah yang dinamakan belajar. Dari
pengalaman, anak memperoleh pengertian-pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan,
kecakapan, dan lain sebagainya. Lingkungan jauh lebih luas dibandingkan dengan buku dan
kata-kata guru. Seluruh lingkungan anak adalah sumber belajar, untuk itu pelajaran hendaknya
dihubungkan
dengan
kehidupan
anak
dalam
lingkungannya.
Mengajar berarti membantu anak berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan.
Artinya mengajar adalah mengantarkan anak agar bakatnya berkembang. Sedangkan membantu
anak untuk supaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat diupayakann dengan
memberikan pelajaran yang berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini agar lebih sanggup
mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya. Dengan upaya tersebut diharapkan anak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, termasuk lingkungan sosialnya. Ia harus belajar
berpikir,
merasa,
dan
berbuat
sesuai
dengan
norma-norma
lingkungan.
Sedangkan
tafsiran
yang
kurang
tepat
tentang
mengajar
antara
lain:
Mengajar
adalah
menyuruh
anak
untuk
menghafal.
Mengajar
adalah
menyampaikan
pengetahuan.
Seluruh rangkaian penjelasan tentang mengajar di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan mengajar di sini adalah juga termasuk di dalamnya mendidik. Jadi bukan saja
mentransfer pengetahuan, tetapi juga membimbing ke arah norma yang benar. Atau dapat
dikatakan bahwa mengajar atau pembelajaran adalah aktivitas mengatur lingkungan, sehingga
terjadi proses belajar. Untuk itu dalam pembelajaran perlu adanya komponen-komponen
pendukung dengan tujuan supaya proses pembelajaran berjalan dengan baik.
Komponen
pembelajaran
secara
garis
besar
terdiri
dari:
Tujuan.
Bahan.
Metode
dan
media
pembelajaran.
Penilaian.
Hubungan komponen-komponen pembelajaran tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.1
berikut ini:
Tujuan
Bahan
Metode dan Media
Penilaian
Gambar 2.1 Hubungan antar komponen Pembelajaran
Dalam pelaksanaan pembelajaran, disamping memperhatikan ke 5 komponen dasar di atas
ternyata masih harus dipertimbangkan pula lingkungan untuk membentuk situasi yang
menyenangkan di dalam pembelajaran. Dan perlu pula memperhatikan dari pelaku belajar
(siswa) dan pelaku pembelajaran (guru). Dari sini dapat ditunjukkan ciri-ciri pembelajaran, yaitu:
Adanya
tujuan.
Adanya
bahan
yang
sesuai
dengan
tujuan.
Adanya
metode
dan
media
pembelajaran.
Adanya
penilaian.
Adanya
situasi
yang
subur.
Adanya
guru
yang
Adanya siswa yang melaksanakan belajar.
melaksanakan
pembelajaran.
2.2
Jenis-jenis
Pembelajaran
2.2.1
Jenis
belajar
berdasarkan
cara
mengorganisasi
siswa.
Jenis pembelajaran dapat ditentukan dari cara mengorganisasi siswa ataupun dari pendekatan
pembelajarannya. Berdasarkan cara mengorganisasi siswa, ada 3 cara yang dapat dilakukan guru
dalam mengelola siswa, supaya pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Tiga cara tersebut
adalah:
1.
Pembelajaran
secara
individual.
2.
Pembelajaran
secara
kelompok.
3. Pembelajaran secara klasikal
2.2.1.1
Pembelajaran
secara
individual
Pembelajaran secara individual adalah kegiatan pembelajaran yang menitik beratkan pada
bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing individu. Pemberian bantuan dan
bimbingan secara individual dapat dilakukan pada pembelajaran individual ataupun
pembelajaran klasikal. Pembelajaran individual dalam pembelajaran individual dengan cara guru
memberi bantuan pada masing-masing pribadi, sedangkan bantuan individual dalam
pembelajaran klasikan dengan cara guru memberi bantuan individu secara umum. Contohnya
misalnya siswa diminta untuk membaca dalam hati pada pokok bahasan tertentu.
Tujuan
pembelajaran
individual
adalah:
Memberi kesempatan dan keleluasaan siswa untuk belajar berdasarkan kemampuan sendiri.
Pengembangan
kemampuan
tiap
individu
secara
optimal.
Kedudukan
siswa
dalam
pembelajaran
individual
adalah:
Keleluasaan
belajar
berdasarkan
kemampuan
sendiri.
Kebebasan
menggunakan
waktu
belajar.
Keleluasaan dalam mengontrol kegiatan, kecepatan, dan intensitas belajar dalam rangka
mencapai
tujuan
belajar
yang
telah
ditetapkan.
Siswa
melakukan
penilaian
sendiri
atas
hasil
belajar.
Siswa dapat memiliki kesempatan untuk menyusun program belajar sendiri.
Kedudukan
guru
dalam
pembelajaran
individual
adalah
membantu
dalam:
Perencanaan kegiatan belajar, dengan cara antara lain membantu menetapkan tujuan belajar,
membuat program sesuai dengan kemampuan siswa, merencanakan pelaksanaan belajar, dan
membantu siswa untuk melihat kemajuan. Dalam kegiatan ini guru berperanan sebagai penasihat
atau
pembimbing.
Pengorganisasian kegiatan belajar. Dalam pengorganisasian ini guru berperan sebagai pengatur
dan memonitor semua kegiatan dengan cara: (1) memberi orientasi umum sehubungan dengan
belajar topik tertentu, (2) membuat variasi belajar supaya tidak menimbulkan kebosanan, (3)
mengkoordinasikan kegiatan dengan memperhatikan kemajuan, materi, dan sumber, (4)
membagi perhatian pada sejumlah siswa, menurut tugas dan kebutuhan siswa, (5) memberi
balikan terhadap setiap siswa, dan (6) mengakhiri kegiatan belajar dalam suatu unjuk hasil
belajar.
Penciptaan pendekatan terbuka antara guru dan siswa bertujuan untuk menimbulkan perasaan
bebas dalam belajar. Dilakukan dengan cara antara lain: (1) membuat hubungan akrab dan peka
terhadap kebutuhan siswa, (2) mendengarkan secara simpatik terhadap segala ungkapan jiwa
siswa, (3) tanggap dan memberi reaksi positip terhadap siswa, (4) membina suasana aman
sehingga
siswa
bebas
mengemukakan
pendapat.
Fasilitator yang mempermudah belajar, dengan tujuan untuk mempermudah proses belajar. Cara
yang dapat dilakukan antara lain: (1) membimbing siswa belajar, (2) menyedia media dan
sumber belajar, (3) memberi penguatan belajar, (4) menjadi teman dalam mengevaluasi
keberhasilan,
(5)
memberi
kesempatan
siswa
untuk
memperbaiki
diri.
Kelemahan
pembelajaran
individual
adalah:
Bila jumlah siswa banyak maka pembelajaran ini kurang efisien, karena akan melelahkan guru.
Tidak semua bidang studi atau pokok bahasan sesuai diorganisasi dengan pembelajaran ini.
Pembelajaran
ini
dapat
efektif
bila:
Disesuaikan
dengan
kebutuhan
dan
kemampuan
siswa.
Tujuan
pembelajaran
dibuat
dan
dimengerti
siswa.
Prosedur
dan
cara
kerja
dimengerti
siswa.
Kriteria
keberhasilan
dimengerti
siswa.
Keberhasilan guru dalam evaluasi dimengerti oleh siswa.
2.2.1.2
Pembelajaran
secara
kelompok
Pembelajaran kelompok adalah pembelajaran dengan cara kelas dibagi menjadi beberapa
kelompok, antara 3-8 orang. Penekanan pembelajaran ini pada peningkatan kemampuan individu
sebagai
anggota
kelompok.
Tujuan
pembelajaran
kelompok
adalah:
Memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan
masalah
secara
rasional.
Mengembangkan
sikap
sosial
dan
bergotong
royong.
Tiap
anggota
mempunyai
tanggung
jawab
terhadap
kelompok.
Mengembangkan
kemampuan
memimpin.
Kedudukan
siswa
dalam
kelompok
adalah:
Tiap
siswa
merasa
sadar
diri
sebagai
anggota
kelompok.
Tiap siswa merasa diri memiliki tujuan bersama berupa tujuan kelompok.
Memiliki
rasa
saling
membutuhkan
dan
saling
tergantung.
Ada
interaksi
dan
komunikasi
antar
anggota.
Ada
tindakan
bersama
sebagai
perwujudan
tanggung
jawab
kelompok.
Pada
peran
guru
dalam
pembelajaran
kelompok
adalah:
Pembentukan kelompok. Pertimbangan dalam pembentukan kelompok adalah: tujuan yang akan
diperoleh siswa dalam kelompok, latar belakang pengalaman siswa, minat atau pusat perhatian
siswa.
Perencanaan tugas kelompok. Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan adalah untuk
menentukan bentuk tugas. Tugas yang diberikan dalam kelompok ada dua macam, yaitu: (1)
dengan paralel, (2) dengan komplementer. Tugas kelompok paralel berarti semua kelompok
mempunyai tugas yang sama. Sedangkan tugas komplementer bearti masing-masing kelompok
mempunyai tugas yang berbeda. Tujuannya untuk saling melengkapi dalam pemecahan masalah.
Pelaksanaan. Tugas guru dalam tugas kelompok antara lain: (1) memberi informasi umum
tentang pelaksanaan diskusi, (2) saat siswa berdiskusi tugas guru sebagai fasilitator, (3) pada
akhir
diskusi
guru
berperanan
sebagai
evaluator
terhadap
hasil
diskusi.
Evaluasi hasil belajar kelompok.
2.2.1.3
Pembelajaran
secara
klasikal
Pembelajaran klasikal yaitu pembelajaran yang dilaksnakan secara klasikal atau diikuti siswa
dalam jumlah berkisar antara 1- 45 orang. Karena guru harus menghadapi siswa dengan jumlah
banyak, maka dalam pembelajaran klasikal diperlukan pelaksanaan dua kegiatan sekaligus, yaitu
pengelolaan
pembelajaran,
dan
pengelolaan
kelas.
Pengelolaan pembelajaran adalah kegiatan untuk melaksanakan desain instruksional, sedangkan
pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan
belajar dengan baik. Sedangkan pengelolaan kelas biasanya dilakukan karena adanya masalah
disaat pembelajaran, di mana sumber masalah tersebut antara lain dari kondisi tempat belajar
ataupun dari siswa yang terlibat dalam pembelajaran. Contoh sumber masalah dari kondisi
tempat belajar misalnya ruang kotor, kursi rusak, papan tulis kotor, dan lain sebaginya.
Sedangkan
sumber
dari
siswa
dapat
secara
individu
ataupun
kelompok.
Kelebihan pembelajaran ini adalah efisien dan murah. Sedangkan kelemahannya adalah kurang
dapat memperhatikan kebutuhan individual. Kelemahan ini dapat diatasi dengan memberikan
pembelajaraan
individual
dalam
pembelajaran
klasikal.
Tindakan
pembelajaran
kelas
antara
lain:
Penyususunan
desain
instruksional.
Melaksanakan
tindakan-tindakan
antara
lain:
Penciptaa
tertib
belajar
di
kelas.
Penciptaan
suasana
senang
dalam
belajar.
Pemusatan
perhatian
pada
bahan
ajar.
Mengikut
sertakan
siswa
aktif
belajar.
Pengorganisasian
belajar
sesuai
kondisi
siswa.
Untuk
memperjelas
uraian
di
atas
dapat
dipelajarai
pada
Tabel
2.1.
Tabel 2.1 Pengorganisasian Siswa dalam Pembelajaran.
2.2.2
Jenis
Pembelajaran
berdasarkan
Pendekatan
2.2.2.1
Pendekatan
Konsep
Pendekatan konsep merupakan pendekatan yang mementingkan hasil daripada proses perolehan
hasil. Untuk itu pendekatan ini terkesan hanya merupakan pemberian informasi, sehingga
hasilnya
kurang
bermakna
dan
bertahan
lama.
Bagaimanapun pendekatan ini masih pula dibutuhkan dalam pembelajaran, karena tidak
mungkin semua pokok bahasan dapat digunakan pendekatan keterampilan proses. Hal ini
disebabkan karena jenis bahan atau mungkin waktu yang tidak memungkinkan dengan
menggunakan pendekatan keterampilan proses semua. Hanya saja perlu digali bagaimana
penerapan pendekatan konsep ini dapat digunakan semaksimal mungkin di dalam pembelajaran.
2.2.2.2
Pendekatan
Keterampilan
Proses
Pendekatan keterampilan proses merupakan pendekatan yang mengembangkan keterampilan
memproseskan pemerolehan, sehingga siswa mampu menemukan dan mengembangkan secara
bebas dan kreatif fakta dan konsep serta mengaitkannya dengan sikap dan nilai yang diperlukan.
Hal ini dapat dilakukan karena pendekatan keterampilan proses dilakukan sebagaimana layaknya
ilmuwan menemukan pengetahuan (menggunakan langkah-langkah metode ilmiah), sehingga
kevalidannya
dapat
diandalkan.
Keterampilan proses ini tidak saja mementingkan hasil, tetapi juga memperhatikan proses
mendapatkan hasil. Dengan melaksanakan pendekatan ketarmpila proses berarti siswa terlibat
seccara aktif dalam kegiatan pengamatan, dan menemukan sendiri konsep dan prinsip, sehingga
materi belajar mudah dikuasai oleh siswa. Dengan mengetahui proses diharapkan dapat
merangsang daya cipta untuk menemukan sesuatu, dan pada akhirnya dapat membentuk manusia
yang berkualitas, yaitu manusia yang kreatif, mampu memecahkan persoalan-persoalan aktual
dalam kehidupan, dan mampu mengambil keputusan yang menjangkau masa depan.
Perkembangan selanjutnya pendekatan keterampilan proses yang perlu di terapkan terutama
dalam pembelajaran IPA adalah pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM). Berikut akan
dibicarakan pendekatan STM.
2.2.2.3
Pendekatan
Expository
Pada pendekatan expository guru cenderung memberikan informasi yang berupa teori,
generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti-bukti yang mendukung. Sedangkan siswa hanya
menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru, sehingga
siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya
itu.
2.2.2.4
Pendekatan
Discovery
Discovery atau penemuan adalah proses mental yang dicirikan dengan siswa dapat
mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental itu misalnya mengamati,
menjelaskan,
mengelompokkan,
membuat
kesimpulan,
dan
sebaginya.
Inqury atau penyelidikan mengandung proses mental yang lebih tinggi, misalnya merumuskan
problem, merancang eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis
data, membuat kesimpulan, dan lain sebagainya. Dari sini dapat dilihat bahwa inquiry ini selaras
dengan teori belajar yang ditemukan oleh Brunner. Menurut Brunner discovery learning adalah
merupakan belajar dengan menemukan sendiri menggunakan prinsip belajar induktif, yaitu dari
khusus ke yang umum. Sumber munculnya discovery learning ini adalah teori belajar Piaget,
yaitu anak harus berperan secara aktif di dalam kelas.
2.2.2.5
Pendekatan
Humanistik
Suatu pendekatan yang berpusat pada siswa (Student centered). Pendekatan ini mengutamakan
perkembangan afektif siswa sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar.
Hal ini dapat terlaksana apabila kesejahteraan mental dan emosional siswa dipandang sebagai
sentral pendidikan. Prioritasnya adalah pengalaman belajar yang diarahkan terhadap tanggapan
minat, kebutuhan, dan kemampuan siswa.
2.2.2.6.
Pendekatan
Rekonstruksionalisme
Suatu pendekatan yang menfokuskan pada masalah-masalah pendting yang dihadapi masyarakat.
Untuk itu pendekatan ini juga disebut pendekatan rekonstruksi sosisal. Pendekatan ini dibagi
menjadi
dua,
yaitu:
Rekonstruksionalisme
Konservatif
Pendekatan ini ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat
dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi
masyarakat.
Rekonstruksionalisme
Radikal
Pendekatan ini mempunyai tujuan untuk menrombak tata sosial yang ada dan membangun
struktur sosial baru.
2.3
Tujuan
dan
Unsur-unsur
Dinamis
Pembelajaran
2.3.1
Tujuan
Pembelajaran
Tujuan pembelajaran yang biasanya disebut tujuan instruksional merupakan tujuan yang akan
dicapai setelah pembelajaran selesai dilakukan. Tujuan instruksional ini dibedakan menjadi dua,
yaitu
tujuan
instruksional
umum
dan
tujuan
instruksional
khusus.
Tujuan instruksional umum (TIU) telah tersedia di dalam kurikulum, sedangkan tujuan
instruksional khusus (TIK) merupakan hasil perencanaan dan perumusan guru, dimana
merupakan penjabaran dari tujuan instruksional umum. TIU menggunakan kata kerja yang
bersifat umum, dan memuat lebih dari satu pengertian, misalnya mengenal, mengerti,
memahami, sehingga sulit diukur keberhasilannya atau dievaluasi. Sedangkan TIK menggunakan
kata kerja yang bersifat operasional, dapat dikerjakan, yang memuat hanya satu pengertian,
sehingga
mudah
diukur
keberhasilannya
atau
dievaluasi.
Tujuan instruksional ini sebenarnya merupakan tujuan yang dijabarkan dari tujuan kurikuler.
Secara
lengkap
hierarki
tujuan
pembelajaran
itu
adalah
sebagai
berikut:
Tujuan
Pendidikan
Nasional.
Tujuan pembelajaran pada jangka panjang sebenarnya akan mencapai pada tujuan pendidikan
nasional. Tujuan pendidikan nasional didasarkan pada falsafah negara atau way of life nya
bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Citra tujuan pendidikan nasional adalah terbentuknya manusia
pancasila yang utuh dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air
melalui pembangunan nasional. Jadi tujuan pendidikan seluruh lembaga pendidikan di Indonesia
baik formal maupun non formal mengarah pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Dan tujuan
pendidikan nasional tersebut akan terwujud dengan dijabarkannya ke dalam tujuan institusional.
Atau dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional merupakan pedoman umum bagi
pelaksanaan pendidikan dalam jenis dan jenjang pendidikan. Karena merupakan pedoman umum
tentu saja dalam pencapaiannya perlu dioperasionalkan lagi supaya terealisasi. Penjabaran
tersebut
menjadi
tujuan
institusional.
Tujuan pendidikan nasional ini tercantum dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II, Pasal 4, yang berbunyi: Pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan
Institusional.
Tujuan institusional merupakan tujuan pendidikan yang ingin dicapai pada tingkat lembaga
pendidikan. Keluaran dari lembaga akan tercermin dari tujuan institusional lembaga pendidikan
tersebut. Dengan demikian akan dapat segera dibedakan antara Sekolah Tingkat Dasar, Sekolah
Tingkat Menengah, dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pendidikan Mengah juga masih dapat
dibedakan dari pendidikan kejuruan (SMK/Sekolah Menengah Kejuruan) dan pendidikan umum
(SMU/Sekolah Menengah Umum). Begitu juga masih dapat dibedakan lagi antara sekolah umum
(di bawah Departemen Pendidikan), dan sekolah agama (di bawah naungan Departemen
Agama). Misalnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) akan berbeda dengan Sekolah Dasar (SD).
Madrasah Tsanawiyah (MTs) akan berbeda dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP),
dan Madrasah Aliyah (MA) akan berbeda dengan Sekolah Menengah Umum (SMU). Tujuan
institusional atau tujuan sekolah ini dapat tercapai dengan dijabarkannya tujuan ini ke tujuan
kurikuler.
Tujuan
Kurikuler
Tujuan kurikuler adalah tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh atau melalui tiap bidang studi.
Atau dapat disebut juga tujuan bidang studi, misalnya tujuan sejarah, biologi, kimia, dan lain
sebaginya. Tujuan kurikuler ini akan dicapai melalui tujuan instruksional atau tujuan
pembelajaran.
Tujuan
Instruksional.
Tujuan instruksional adalah tujuan yang pencapaiannya dibebankan pada tiap pokok bahasan.
Selanjutnya akan dibahas lebih rinci di bagian lain pada bab ini juga.
Rangkaian tujuan pembelajarn di atas mengandung harapan apabila rangkaian tujuan
instruksional berhasil, maka akan berhasil pula tujuan institusionalnya, yang pada akhirnya akat
tercapai
tujuan
pendidikan
nasional.
Secara teoritis memang penjabaran secara struktural tujuan di atas dapat dipertanggungjawabkan,
namun pelaksanaannya sangat sulit. Belum tentu pencapaian tujuan instruksional akan diikuti
tercapainya
tujuan
kurikuler,
dan
seterusnya.
Tujuan tersebut dapat dicapai apabila di dalam pembelajaran berhasil mencapai dua hasil yang
diharapkan dari pembelajaran, yaitu damak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak
pengajaran adalah hasil yang dapat diukur (tujuan instruksional khusus), dan dampak pengiring,
yaitu terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain. Untuk memberi gambaran tentang
dampak pengajaran dan dampak pengiring dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar
2.1
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut:
Guru melakukan tugas pembelajaran, dilakukan dengan pengorganisasian siswa, pengolahan
pesan,
dan
evaluasi.
Siswa
memiliki
motivasi
belajar
dan
beremansipasi
sepajang
hayat.
Siswa
memiliki
kemampuan
pra
belajar.
Berkat tindak pembelajaran ataupun motivasi instrinsik, siswa melakukan kegiatan belajar.
Guru melakukan evaluasi untuk melihat hasil yang dicapai dalam pembelajaran.
Hasil
belajar
sebagai
dampak
pengajaran,
dan
Dampak pengiring.
Psikologi Pend.42
Gambar 2.1 Kemampuan yang Dicapai dalam Pembelajaran.
Hasil belajar dapat tercermin melalui dampak pengajaran dan dampak pengiring, apabila dalam
pembelajaran memperhatikan ketiga ranah tujuan pembelajaran, yaitu ranah kognitif, afektif,
psikomotorik. Ke tiga ranah tersebut harus tercermin dalam tujuan instruksional khusus (TIK)
atau tujuan pembelajaran khusus (TPK).
2.3.2
Unsur-unsur
Dinamis
Pembelajaran
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran dinamakan unsur-unsur dinamis
pembelajaran. Sama halnya dengan unsur dinamis belajar, maka nnsur dinamis pembelajaran
juga dapat mendukung (berpengaruh positif) atau sebaliknya menjadi penghambat (berpengaruh
negatif). Faktor internal yang berpengaruh dalam proses pembelajaran dapat dibedakan menjadi
faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis misalnya pendengaran, penglihatan, dan
kondisi fisik. Sedangkan faktor psikologis, misalnya kecedasan, motivasi, perhatian, berpikir,
dan ingatan. Bedanya dengan faktor dinamis belajar di atas adalah internal yang dimaksud di
dalam
pembelajaran
adalah
dari
segi
guru
(pelaku
pembelajaran).
Faktor eksternal belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan pembelajar dan
sistem instruksional. Lingkungan belajar dapat dibedakan menjadi lingkungan dalam sekolah dan
dan lingkungan luar sekolah. Sedangkan sistem instruksional antara lain kurikulum, bahan ajar,
metode, media, dan evaluasi. Penjelasannya sama dengan faktor dinamis belajar di atas.
BAB
PROSES BELAJAR DAN JALUR-JALUR BELAJAR
III
3.1
Fase-fase
dalam
Proses
Belajar
Proses belajar menunjukkan bahwa dalam belajar memerlukan serangkaian peristiwa yang pada
akhirnya akan mendapatkan hasil belajar, yaitu berupa perubahan perilaku baik perilaku kognitif,
afektif, maupun psikomotorik. Dalam serangkaian peristiwa belajar tersebut diperlukan berbagai
perangkat supaya proses belajar belajar sesuai dengan yang diharapkan. Perangkat tersebut
antara lain: tujuan instruksional, materi belajar, media belajar, metode belajar, dan evaluasi.
Selain perangkat tersebut yang tidak kalah pentingnya adalah keadaan awal siswa dan guru yang
memodifikasi
perangkat
belajar
di
atas.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa belajar merupakan peristiwa internal atau dalam diri
individu yang belajar. Namun demikian belajar masih sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal
atau dari luar diri siswa. Untuk memperjelas keterangan tentang proses belajar akan digambarkan
proses belajar beserta fase-fasenya.
3.1.1 Proses Belajar menurut Daur S-O-R
Proses belajar menurut daur S-O-R dikatakan bahwa belajar dimulai dari peristiwa penerimaan
input informasi melalui reseptor atau panca indera, untuk disimpan dalam memory. Selanjutnya
akan akan diteruskan pada proses pengolahan informasi.
Pengolahan adalah suatu peristiwa mengolah informasi yang diterima untuk mengubah informasi
ke dalam bahasanya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyimpanan dan
mencari data kembali bila diperlukan. Sesuatu informasi yang sudah diubah menjadi bahasanya
sendiri, maka informasi tersebut akan menjadi milik pribadi. Dengan demikian bila informasi
tersebut dibutuhkan, dengan mudah akan dapat diprodukasi.
Langkah selanjutnya adalah proses untuk mengekspresikan hasil pengolahan informasi. Proses
ini untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah mengalami proses belajar. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada skema di bawah ini.
O2
R
e
r
S
Di
O
R
W
mana:
=
S
=
Peserta
=
=
Stimulus
didik
Komponen
(informasi)
(siswa)
Respons
guru
R
=
e
=
Keterangan:
Tahap
1
=
S
–
r
–
Ow
(fase
penerimaan
input
Pada
fase
ini
informasi
disimpan
dalam
Tahap
2
=
Ow
(fase
pengolahan
Pada
fase
ini
informasi
diolah
ke
dalam
bahasanya
Tahap 3 = Ow – e – R (fase ekspresi hasil pengolahan informasi).
Reseptor
Ekspresi
informasi)
memory.
informasi)
sendiri.
3.1.2
Proses
Belajar
menurut
Daur
What-Whay-How
Proses belajar menurut daur what-Whay-How mengatakan bahwa belajar dimulai bila siswa
merasakan adanya suatu kebutuhan. Dengan adanya kebutuhan siswa mempunyai motivasi untuk
belajar sesuatu. Selanjutnya siswa akan berperilaku tertentu untuk memenuhi kebutuhannya.
Peristiwa
ini
yang
dinamakan
belajar.
Selanjutnya siswa mencoba melakukan cara-cara atau pola sambutan yang telah diketahui dan
dipilihnya dalam praktek. Proses ini untuk melihat perubahan tingkah laku setelah belajar. Dalam
proses ini ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu gagal dan berhasil. Gagal berarti tujuan
tidak tercapai, dan yang berhasil bearti tujuan tercapai. Dan yang berhasil ini dinamakan intensif,
karena perubahan yang terjadi sesuai dengan tujuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam
skema berikut ini:
Tahap I
Kebutuhan
Tahap III
Praktek
Thap II
Belajar
Motivasi Belajar
Keterangan:
Tahap
1
=
Fase
dimana
siswa
merasa
adanya
kebutuhan.
Tahap 2 = Menciptakan situasi yang dapat menimbulkan kebutuhan, untuk
Memperoleh
kecakapan/keterampilan.
Tahap 3 = Siswa mencoba melakukan cara-cara atau pola-pola sambutan yang telah
diketahui dan dipilihnya dalam praktek.
3.1.3
Proses
Belajar
menurut
Pengolahan
Informasi
Proses belajar menurut teori peroleh informasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses belajar
dalam diri seseorang atau internal, dan proses belajar yang dipengaruhi oleh faktor luar atau
eksternal. Proses belajar dalam diri individu dialami melalui fase-fase yang panjang. Fase-fase
tersebut mengandaikan sejumlah satuan-satuan struktural yang masing-masing mempunyai
fungsi tertentu.
Fas-fase
proses
belajar
yang
internal
adalah
sebagai
berikut:
Proses belajar dimulai dari penerimaan informasi dari lingkungan yang diterima oleh receptor
atau alat-alat indera. Di dalam receptor ini informasi diolah atau diubah menjadi rangsang sistem
urat syaraf (neural). Rangsang itu selanjutnya disalurkan melalui urat syaraf sebagai masukan
bagi
satuan
struktural
sensory
register.
Masukan dari reseptor ditampung dalam sensory register (pusat penampungan sementara). Di
sini informasi hanya tinggal dalam waktu singkat. Informasi ditampung dandiseleksi untuk dicari
informasi yang diperlukan. Informasi yang dirasa tidak diperlukan akan dibuang. Sedangkan
yang diperlukan akan dibentuk menjadi pola kebulatan perseptual. Pola kebulatan perseptual
masuk
pada
short-term-memory.
Pola perseptual yang masuk di short-term-memory = STM (ingatan jangka pendek), akan
ditampung, disimpan, dan dicari maknanya, sehingga terbentuk perseptual yang sudah
terorganisasi. Pengolahan yang terjadi pada fase ini memerlukan waktu yang singkat, yaitu
kurang lebih 20 menit. Artinya informasi yang tidak segera diolah akan terdesak ke luar dari
LTM, karena ada informasi lain yang masuk ke STM. Daya tampung pada fase ini sangat
terbatas.
Hasil
pengolahan
dari
STM
ini
masuk
ke
LTM.
Hasil pengolahan dari STM ditampung di Long-term-memory = LTM (ingatan jangka waktu
lama), di mana daya tampungnya tidak terbatas. Proses yang terjadi di LTM ini adalah:
Menampung hasil pengolahan informasi dari STM, disimpan sebagai informasi siap pakai.
Apabila informasi dibutuhkan, maka akan digali dari LTM ini. Penggalian tersebut akan terjadi
dua kemungkinan, yaitu berhasil ditemukan atau gagal. Bila berhasil ditemukan proses
selanjtnya akan dikirim ke receptor generator. Tetapi apabila tidak berhasil ditemukan dapat
dibantu dengan mengirimkan kembali ke STM untuk digabung dengan informasi baru dengan
maksud akan dapat menggali informasi yang dicari. Penggalian informasi di LTM selain untuk
keperluan reproduksi (mencari informasi), juga digunakan untuk membentuk informasi baru
dengan
cara
dikirim
ke
STM
untuk
digabung
informasi
yang
baru.
Informasi yang berhasil digali dari LTM masuk ke respons generator (pusat perencanaan
reaksi/jawaban). Proses yang terjadi di sini adalah: menampung informasi yang digali dari LTM,
mengubah menjadi rencana jawaban/reaksi. Selanjutnya dikirim ke effector.
Rencana jawaban dari respons generator ditampung di effector (pusat-pusat pelaksanaan). Proses
yang terjadi di sini adalah: menampung hasil perencanaan, melaksanakan bentuk
tindakan/perbuatan. Selanjutnya perbuatan tersebut akan lebih baik apabila ada umpan balik hasil
atau prestasi.
Secara lengkap fase-fase belajar secara internal dari proses belajar dapat dilihat pada Tabel 3.1
berikut ini:
Tabel 3.1 Fase-fase Belajar (Internal)
Satuan
Struktural
Proses
yang
Terjadi
1. Receptor Menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsangan
natural.
2. Sensory register Menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga
terbentuk
suatu
kebulatan
perseptual.
3. Short-term memory Menampung pengolahan perseptual dan menyimpannya. Informasi
tertentu
disimpan
lebih
lama
dan
diolah
untuk
menemukan
maknanya.
4. Long-term-memory Menampung hasil pengolahan yang berada di STM dan menyimpannya
sebagai informasi yang siap pakai pada saat dibutuhkan. Informasi dapat dikembalikan ke STM
atau
langsung
diteruskan
ke
pusat
perencanaan
reaksi/jawaban.
5. Respons generator Menampung informasi yang tersimpan dalam LTM dan mengubahnya
menjadi
rencana
reaksi/jawaban.
6. Effector Menampung hasil perencanaan dan melaksanakan rencana dalam bentuk tindakan
atau perbuatan. Diberikan prestasi yang menampakkan hasil belajar.
Subjek mendapat umpan balik melalui balik melalui observasi terhadap efek tindakannya atau
melalui komentar dari orang lain.
Fase-fase belajar dalam diri individu di atas sebenarnya masih dipengaruhi dari lingkungannya
atau faktor eksternal. Pengaruh faktor eksternal dalam fase-fase belajar internal dapat
ditunjukkan
sebagai
berikut:
Pada fase penerimaan informasi, faktor eksternal berpengaruh memberikan rangsangan supaya
penerimaan informasi tersebut maksimal. Misalnya dengan rangsangan yang kuat atau tidak
terduga, dapat menyebabkan alat indera lebih siap megamati apa yang terjadi. Contoh suara
keras,
nada
naik
turun,
warna
yang
mencolok,
dan
lain
sebagainya.
Pada fase penyeleksian informasi faktor eksternal dapat mempengaruhi dengan memberikan
tekanan pada rangsangan-rangsangan yang diperlukan atau yang penting. Misal dengan nada
suara yang berbeda, bila tulisan mungkin dapat dengan huruf yang berbeda, bila tulisan mungkin
dapat dengan huruf yang berbeda, contoh cetak miring atau tebal, dan lain sebagainya.
Pada fase pengolahan informasi faktor eksternal dapat mempengaruhi dengan membantu
mempermudah pengolahan data. Misalnya data yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik,
gambar,
skema,
dan
lain
sebagainya.
Pada fase penyimpanan di LTM belum jelas betul fungsi faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi pada fase ini. Namun demikian untuk menggali informasi pada fase ini faktor
eksternal sangat berpengaruh dalam pencarian informasi yang diperlukan. Misalnya dengan
memberikan rangsangan informasi baru yang berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan. Pada
fase ini informasi yang berhasil digali dengan perangsang-perangsang tertentu dari faktor-faktor
perangsang
untuk
menjadi
informasi
yang
dibutuhkan.
Pada fase perencanaan jawaban faktor eksternal dapat mempengaruhi dengan memberi
pertanyaan pelacak atau memberi contoh-contoh yang berhubungan dengan rencana jawaban.
Fase selanjutnya dari faktor eksternal untuk mempertinggi pemrosesan informasi internal dapat
dengan
pemberian
prestasi,
motivasi,
dan
juga
umpan
balik.
Untuk memperjelas fase-fase pemrosesan belajar secara keseluruhan dapat dijelaskan pada Tabel
3.2 berikut ini:
Tabel 3.2 Fase-fase Proses Belajar (Internal dan Eksternal)
Fase
Proses
yang
Terjadi
1. Fase Motivasi Siswa sadar akan tujuan yang harus dicapai dan bersedia melibatkan diri.
2. Fase Konsentrasi Siswa khusus memperhatikan unsur-unsur yang relevan, sehingga terbentuk
pola
perseptual
tertentu.
3. Fase Mengolah Siswa menahan informasi dalam STM dan mengolah informasi untuk diambil
maknanya.
4. Fase Menyimpan Siswa menyimpan informasi yang telah diolah dalam LTM. Informasi
dimasukkan ke dalam ingatan. Hasil belajar sudah diperoleh, sebagian atau seluruhnya.
5. Fase Menggali 1 Siswa menggali informasi yang tersimpan dalam ingatan dan
memasukkannya kembali ke dalam STM. Informasi ini dikaitkan dengan informasi baru atau
dikaitkan dengan sesuatu di luar lingkup bidang studi yang bersangkutan
6. Fase Menggali 2 Siswa menggali informasi yang tersimpan dalam LTM dan
mempersiapkannya sebagai masukan bagi fase prestasi. Langsung atau melalui STM.
7. Fase Prestasi Informasi yang tergali digunakan untuk memberikan prestasi yang
menampakkan
hasil
belajar.
8. Fase Umpan Balik Siswa mendapat konfirmasi, sejauh prestasinya tepat.
Tabel 3.2 menunjukkan pentingnya kesiapan individu dalam memproses informasi. Di sana juga
diperlihatkan adanya pengaruh yang tidak kecil dari faktor eksternal. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pemrosesan informasi diperlukan fase-fase tertentu, di mana masing-masing
fase dipengaruhi faktor internal dan juga faktor eksternal.
3.2
Jalur-jalur
Belajar
Jalur belajar menunjukkan pada jenis belajar tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap
jalur belajar akan membentuk suatu proses belajar, dan proses belajar menunjuk pada
serangakaian fase-fase belajar. Fase-fase belajar secara umum adalah sama pada setiap jalur
belajar seperti yang telah dijelaskan pada sub bab proses belajar di atas (sub bab 3.1). Namun
mengingat adanya ciri-ciri khas dari setiap jalur belajar, maka akan nampak perbedaan
penekanan yang harus diberikan pada fase-fase tertentu dari setiap jalur belajar.
Untuk memperjelas fase-fase setiap jalur belajar, pada sub bab ini akan dibahas tentang jalur
belajar menurut pandangan Gagne, yaitu: (1) Jalur belajar verbal, (2) Jalur belajar kemahiran
intelektual, (3) Jalur belajar pengaturan kegiatan kognitif, (4) Jalur belajar sikap, (5) Jalur belajar
motorik. Berkaitan dengan jalur belajar tersebut maka menurut R. Gagne taksonomi tujuan
adalah: (1) tujuan informasi verbal, (2) tujuan keterampilan intelektual, (3) tujuan strategi
kognitif, (4) tujuan sikap, dan (5) tujuan motorik. Secara ringkas ke lima tujuan tersebut dapat
dibedakan sebagaimana tertera pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Taksonomi Tujuan menurut Gagne
No. Taksonomi Tujuan Pencapaian Tujuan
1. Informasi Verbal Kemampuan menyimpan sesuatu: nama, macam, jenis, dll. Saat lain dapat di
recall
2. Keterampilan Intelektual Penggunaan simbol dalam melakukan interaksi, mengorganisir,
membentuk arti, huruf, angka, simbol dasar.
3. Strategi Kognitif Kemampuan untuk berfikir, mengingat, dan belajar.
4. Sikap Kepemilikan kondisi mental perilaku tertentu.
5. Motorik Kemampuan untuk melakukan gerakan tubuh.
3.2.1
Jalur
Belajar
Verbal
Jalur belajar verbal akan mendapatkan hasil belajar berupa pengetahuan dan akan menuangkan
pengetahuan tersebut dalam bahasa, sehingga dapat dikomunikasikan pada orang lain. Bila
disejajarkan dengan jenis belajar di bab 1, maka jalur belajar di sini bisa masuk pada jenis belajar
fakta ataupun konsep, karena yang dihadapi ada yang berupa fakta ataupun konsep. Namun
cenderung ke arah fakta, karena lebih banyak fakta dibandingkan konsepnya.
Seperti halnya pada jenis belajar fakta di bab 1, maka untuk mengurangi sulitnya menghafal
banyak fakta yang akan diwujudkan dalam daftar kata-kata, maka untuk mengurangi
keterbatasan jalur belajar informasi verbal diperlukan cara untuk mengatasinya, antara lain:
Mempelajari daftar kata-kata itu secara berulang-ulang, lebih-lebih pada padanan kata yang agak
mirip.
Membuat siasat untuk mengakarkan padanan kata dalam ingatan, misalnya dengan jembatan
keledai, atau bentuk organisasi. Bentuk organisasi ini bisa dengan cara mengelompokkan atau
mencari kaitan dengan data yang sudah diketahui. Misalnya: untuk menghafal nomer telpon yang
cukup panjang akan sulit, maka perlu diorganisasi dengan memisah menjadi beberapa kelompok.
Contoh: No. 08123382579, dapat dipisah menjadi 4 kelompok, yaitu: 0812. 33. 815. 79. Fase ini
akan diolah dalam ingatan jangka pedek (STM), sehingga bantuan guru sangat berpengaruh
untuk pematangan data dan fakta agar dapat disimpan dalam ingatan jangka panjang.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa dalam belajar informasi verbal masih diperlukan hasil
dari belajar kemahiran (konsep, kaidah) dan belajar pengaturan kognitif (kontrol mental). Hal ini
ditunjukkan perlunya kebermaknaan dalam belajar informasi verbal. Secara lengkap fase-fase
tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Fase-fase dalam Jalur Belajar Informasi Verbal
No. Fase Internal Eksternal
1.
2.
3.
4. Motivasi
Mengolah
Menggali
Prestasi Dengan mau mempelajari banyak kata-kata atau fakta.
Diulang-ulang,
dicari
maknanya,
dalam
menemukan
konsep
atau
kaidah
Berperanan sekali bila fakta yang telah dihafal, dimasukkan ke dalam LTM untuk dipelajari
kembali (review) atau dihubungkan dengan fakta baru. Dengan demikian, working memory
memegang
peranan
penting
dalam
belajar
informasi
verbal.
Mengambil wujud menuangkan informasi yang dimiliki dalam perumusan verbal yang tepat,
sehingga orang lain dapat menangkapnya dengan jelas. Memotivasi untuk mau mempelajari
banyak
kata-kata
atau
fakta.
Teknik pembelajaran yang tepat dalam pengulangan dan pencarian makna.
Pengaturan waktu dan cara pengulangan kata-kata yang sedang dipelajari. Atau untuk menggali
fakta yang telah disimpan di LTM untuk memasukkan kembali ke STM dengan mengajukan
pertanyaan.
Mengajukan pertanyaan yang menuntun.
3.2.2
Jalur
Belajar
Kemahiran
Intelektual
Menurut Gagne yang termasuk kategori hasil belajar kemahiran intelektual adalah persep,
konsep, kaidah, dan prinsip. Ke empatnya menunjukkan suatu urutan hierarkis. Persep
merupakan kemampuan untuk mengadakan diskriminasi antara objek-objek berdasarkan ciri-ciri
fisik yang berbeda-beda, sedangkan konsep merupakan kemampuan untuk mengadakan
generalisasi dengan mengelompokkan objek-objek satu atau lebih ciri yang sama. Kaidah
merupakan kemampuan untuk menghubungkan beberapa konsep, sehingga membentuk suatu
pemahaman baru yang mewakili kenyataan yang selalu demikian, sedangkan prinsip merupakan
kemampuan untuk menggabung beberapa kaidah, sehingga tercipta pemahaman yang lebih
tinggi, yang membantu dalam memecahkan masalah atau problem.
3.2.2.1
Belajar
Persep
Belajar persep penekanan pada fase konsentrasi, pengolahan, prestasi, dan umpan balik. Pada
fase konsentrasi merupakan fase dimana akan ada wujud mengamati melalui penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan. Pda fase pengolahan perlu mendapat
tekanan, karena dalam fase ini ditentukan apakah sesuatu berbeda atau sama dengan yang lain
dan perbedaan/persamaan itu menyangkut ciri fisik apa. Sejumlah ciri fisik yang khas pada suatu
objek, dikombinasikan dalam pola perseptual tertentu (persepsi). Fase prestasi adalah mengambil
wujud suatu perbuatan, seperti menunjuk jari atau memakai beberapa kata untuk menyatakan
sama atau beda. Sedangkan fase umpan balik cukup berperanan sebagai konfirmasi terhadap
diskriminasi yang telah dibuat. Peranan internal dan eksternal pada masing-masing fase dapat
dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Fase-fase dalam Jalur Belajar Persep
No Fase Internal Eksternal
1.
2.
3.
4. Konsentrasi
Mengolah
Prestasi
Umpan balik
Mencatat ciri-ciri fisik secara seksama.Syarat siswa harus memiliki peralatan indera yang
normal,
mampu
mengamati
perbedaan-perbedaan
fisik.
Mengolah dengan teliti supaya berlangsung persepsi yang tepat.
Harus mampu menyatakan dengan salah satu cara bahwa ini dan itu berbeda.
Siswa perlu mengetahui apakah diskriminasi yang telah dibuatnya tepat atau tidak. Diskriminasi
yang tepat menjadi unsur dalam diskriminasi yang lebih kompleks. Penyajian untuk
membedakan ciri-ciri fisik, misal gambar menonjolkan ciri-ciri khas dari benda yang tergambar.
Memberi penekanan (Ciri-ciri fisik yang mirip sebaikknya ditunjukkan beberapa kali, sehingga
perbedaannya
dapat
diamati
secara
seksama).
Memberi petunjuk tentang cara menyatakan perbedaan yang telah diamatinya, apakah harus
dengan cara menunjukkan, memberikan tanda atau dengan cara menggunakan kata-kata.
Memberi petunjuk bahwa diskriminasi yang dibuat tepat.
3.2.2.2
Belajar
Konsep
Konsep dibedakan menjadi dua, yaitu konsep konkret, dan konsep yang didefinisikan. Dasar
pembentukan konsep konkrit adalah ciri-ciri fisik yang dapat diamati dalam lingkungan fisik.
Jadi belajar konsep ini menuntuk kemampuan untuk menemukan ciri-ciri yang sama pada
sejumlah objek. Sedangkan konsep yang didefinisikan didasarkan atas sejumlah objek yang tidak
bersumber pada kesamaan dalam ciri-ciri fisik. Sehingga kesamaan itu tidak dapat diamati
langsung.
Pada belajar konsep konkret fase-fase belajar yang perlu diberi penekanan adalah fase
konsentrasi, fase mengolah, fase prestasi, dan fase umpan balik. Sedangkan pada belajar konsep
yang didefinisikan tekanan yang harus diberikan pada fase motivasi, pengolahan, prestasi, dan
umpan
balik.
Fase konsentrasi pada belajar konsep konkret dibutuhkan dalam mengamati ciri-ciri fisik yang
perlu dibeda-bedakan. Pada fase mengolah dilakukan dengan mengambil bersama-sama ciri-ciri
fisik yang sama, dan pada fase prestasi siswa membuktikan bahwa dia sudah memiliki konsep
yang dipelajari dengan menunjukkan atau memisah-misahkan, sering disertai pula dengan
menyebutkan nama untuk konsep itu. Dan fase konfermasi cukup berperanan sebagai konfirmasi
terhadap penggolongan yang telah dibuat. Peranan faktor internal dan eksternal pada belajar
konsep konkrit ini disajikan pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Fase-fase dalam Jalur Belajar Konsep Konkrit
No Fase Internal Eksternal
1.
2.
3.
4. Konsentrasi
Mengolah
Prestasi
Umpan balik
Kemampuan
Mendiskriminasikan
Cermat
dan
kemampuan
Sehingga perlu juga motivasi.
untuk
mengadakan
untuk
secara
abstraksi.
Informasi verbal yang diperoleh atau informasi verbal yang digali dari ingatan membantu siswa
dalam pembuatan konsep
Menunjukkan atau memisah-misahkan, dan menyebutkan nama konsep.
Menggunakannya konsep yang tepat dan membuang konsep yang kurang tepat Kejelasan dalam
ciri-ciri fisik pada objek-objek yang harus dikelompokkan.
Disajikan objek-objek yang bervariasi banyak. Menyebutkan nama konsep yang ditemukan dan
membantu
dalam
membahaskan ciri-ciri fisik yang relevan.
Petunjuk
memberikan prestasi
Menunjukkan
tidaknya prestasi
tentang
tepat
cara
dan
Dalam belajar konsep yang didefinisikan, siswa menghadapi suatu tantangan khusus, karena ciriciri atau sifat-sifat yang sama, tidak dapat ditemukan hanya melalui pengamatan. Tetapi dapat
diperoleh melalui membaca penjelasan dalam bentuk bahasa tertulis, atau mendengarkan
penjelasan dalam bentuk bahasa lisan. Untuk fase motivasi sangat cukup berperanan, karena
dalam belajar semacam ini, ciri-ciri yang sama tidak dapat ditemukan melalui pengamatan. Pada
fase pengolahan konsep-konsep yang menjadi kmponen digali dari LTM untuk dimasukkan ke
STM. Pada fase prestasi siswa mengemukakan definisi atau menunjukkan pada skema dan
diagram, satu atau lebih bagian yang mencerminkan konsep yang bersangkutan. Dan fase umpan
balik cukup berperanan sebagai konfirmasi terhadap penggolongan yang telah dibuat. Peranan
faktor internal dan eksternal pada belajar konsep konkrit ini disajikan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Fase-fase dalam Jalur Belajar Konsep yang Didefinisikan
No Fase Internal Eksternal
1.
2.
3.
4. Motivasi
Mengolah
Prestasi
Umpan balik
Siswa termotivasi
Mendengarkan
Sehingga
Diperlukan.
untuk
mencari
ciri-ciri
yang
konsentrasi
sama
melalui
membaca atau
penjelasan.
juga
Mempunyai kemampuan untuk memahami konsep-konsep yang menjadi komponen dalam
definisi. Dapat menuangkan konsep yang dipelajari dalam bentuk skema atau diagram.
Kemampuan
dalam
Pembahsanan yang tepat dapat meyakinkan orang lain, bahwa konsep yang dituju sudah
Dimiliki.
Konfirmasi mengenai tepatnya prestasi, memberikan keyakinan kepada siswa bahwa usahanya,
yang bersumber pada motivasi yang kuat tidak bercuma. Memberi motivasi supaya siswa
memungkinkan untuk membaca dan mendengarkan penjelasan.
Cara
mendifinisikan
dan
menyajikan konsep, misalnya dengan skema, diagram, bagan, atau gambar. Pembahasan harus
cukup baik.
Petunjuk
memberikan prestasi.
tentang
cara
Tepat dan tidaknya prestasi akan bermanfaat bagi siswa.
3.2.2.3
Belajar
Kaidah
dan
Prinsip
Belajar kaidah dibicarakan dalam satu sub bab yang sama, sebab prinsip dipandang sebagai
kaidah yang bertaraf lebih tinggi, sehingga fase-fase belajarnyapun tidak jauh berbeda. Belajar
kaidah menuntut kemampuan untuk menunjukkan suatu keteraturan yang mencakup sejumlah
golongan objek. Pada belajar kaidah ini diharapkan dapat mengurutkan sejumlah langkah
operasional terhadap lambang-lambang. Dalam suatu kaidah aktivitas berpikir seolah-olah diatur,
dijalurkan, dan disalurkan, sehingga orang memiliki sejumlah ketentuan prosedural yang dapat
diterapkan, dengan menggunakan pola pengetahuan prosedural pengalaman pola. Kemampuan
untuk mengenal pola baru atau mengenal kembali pola lama membantu sekali dalam melakukan
operasi-operasi
tertentu
secara
terencana
dan
teratur.
Belajar prinsip menuntut kemampuan untuk menggabungkan beberapa kaidah sampai dapat
terjadi kombinasi yang cukup kompleks. Prinsip-prinsip itu sering ditemukan sebagai dasar
untuk memecahkan problem atau masalah tertentu dan kemudian disimpan dalam LTM untuk
digunakan
dalam
memecahkan
problem-problem
sejenis
di
kemudian
hari.
Proses belajar kaidah, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan proses belajar konsep yang
didefinisikan, karena juga berlangsung melalui membaca atau mendengarkan penjelasan verbal
dan juga membutuhkan pemahaman dari konsep-konsep yang menjadi komponen dalam kaidah.
Tekanan yang harus diberikan pada fase proses belajar juga sama dengan fase-fase dalam proses
belajar konsep yang didefinisikan. Yang membedakan adalah penekanan pada fase konsentrasi
untuk belajar kaidah diperlukan pengamatan langsung dalam memecahkan problem. Dimana hal
ini
belum
diperlukan
sekali
pada
belajar
konsep
yang
didefinisikan.
Peranan faktor internal dan eksternal pada belajar kaidah tidak jauh berbeda dengan belajar
konsep yang didefinisikan. Bedanya pada faktor eksternal untuk belajar kaidah diperlukan
adanya komunikasi verbal (learning guidance) sebagai tuntunan. Tuntunan itu bisa sedikit atau
banyak. Kalau sedikit berarti siswa sendiri yang harus menemukan kaidah, menyusunnya, dan
juga membahasnya, yang dinamakan discovery learning. Sedangkan kalau banyak berarti siswa
dituntun langkah demi langkah, sampai memahami kaidah, yang disebut expository teaching.
Biasanya penerapan di dunia pendidikan adalah dengan memadukan keduanya, yang dikenal
dengan
guided
discovery
learning.
Peranan faktor internal dan eksternal pada belajar prinsip juga tidak jauh berbeda dengan belajar
konsep yang didefinisikan. Letak perbedaannya adalah informasi verbal menjadi penunjang pada
belajar prinsip. Maksudnya jumlah pengetahuan fakta yang dimiliki siswa mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan masalah yang dihadapi, akan membantu siswa dalam menemukan prinsip yang
relevan.
3.2.3
Jalur
Belajar
Pengaturan
Kegiatan
Kognitif.
Pengaturan kegiatan kognitif merupakan suatu kemahiran yang terorganisasi dengan baik,
dimana orang mempunyai kemampuan untuk memusatkan perhatian, menggali ingatan, berfikir,
menggunakan pengetahuan yang dimiliki, terutama dalam menghadapi problem atau masalah.
Sasaran dari belajar ini adalah sistematisasi atas pikiran sendiri dan sistematisasi proses belajar
dalam
diri
sendiri.
Tujuan-tujuan instruksional kognitif sering mengandung sasaran supaya siswa belajar berpikir.
Secara instrinsik belajar berpikir ini dipengaruhi oleh taraf kemampuan belajar yang dimiliki
siswa, termasuk di dalamnya taraf intelegensi. Sedangkan faktor eksternal yang menunjang
belajar semacam ini biasanya terbatas pada memberikan kesempatan untuk memecahkan
berbagai problem. Artinya masing-masing siswa akan memiliki cara pemecahan problem sendirisendiri, walau guru memberikan beberpa petunjuk cara pemecahan problem tersebut, karena
yang
akan
berpikir
adalah
siswa
sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diramalkan peranan masing-masing fase belajar dalam
mengatur jalur belajar kognitif ini yang dapat dilihat pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Fase-fase dalam Jalur Belajar Kognitif
No Fase Internal Eksternal
1.
2.
3.
4. Motivasi
Konsentrasi
Pengolahan
Umpan balik
Siswa harus mempunyai motivasi, karena siswa harus berupaya memeras otaknya sendiri. Kalau
motivasi siswa tidak tinggi, siswa akan cenderung membiarkan problem menjadi problem.
Siswa harus konsentrasi penuh dalam mengatasi problem. Hal ini harus dilakukan siswa dengan
pengamatan secara cermat, perhatian terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam problem yang
akan dipecahkan.
Siswa harus menggali dari ingatan siasat-siasat yang pernah digunakannya, mana yang cocok
untuk problem ini. Kalau tidak tersedia siasat dalam ingatan, siswa harus menciptakan siasat
baru yang membutuhkan pikiran kreatif, paling tidak pikiran terarah.
Siswa mendapat konfirmasi tentang tepat tidaknya penyelesaian yang ditemukannya, konfirmasi
ini dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi siswa untuk berusaha memeras otak lagi pada
lain kesempatan. Memberi motivasi supaya siswa memungkinkan untuk mau dan dapat
memecahkan problem.
Memberi kesempatan untuk memecahkan suatu problem dengan siasat tertentu.
Memberi petunjuk siasat
Memberi konfermasi tentang tepat dan tidaknya siswa memecahkan problem.
Untuk mencapai ke arah pemecahan problem, hierarki tujuan kognitif dapat digambarkan pada
Tabel 3.9, sebagaimana yang dituturkan oleh B. Bloom.
Tabel 3.9 Taksonomi Tujuan Kognitif menurut B. Bloom
No. Aspek Tujuan yang Dicapai
1.
2.
3.
4.
5.
6. Pengetahuan
Pemahaman
Penerapan
Analisis
Sintesis
Evaluasi Mengidentifikasikan, memilih, menyebutkan.
Membedakan,
menyimpulkan, merangkum.
menyelaraskan,
Menghitung,
memodifikasi, mentransfer.
mengembangkan,
Membuat
diagram,
menjabarkan ke dalam bagian-bagian
Menciptakan,
predikasi.
mendesain,
membedakan,
menformulasikan,
memperkirakan,
menggunakan,
menghubungkan,
membuat
Membuat kritik, membuat penilaian, membandingkan, membuat evaluasi.
3.2.4
Jalur
Belajar
Sikap
Belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek.
Penerimaan atau penolakan tersebut didasari atas penilaian terhadap objek tersebut, yaitu
berguna/berharga (sikap positif) atau tidak berharga/berguna (sikap negatif). Atau dapat
dikatakan sikap atau afektif menyangkut perasaan, misalnya perasaan senang atau tidak senang,
puas atau tidak puas, gembira atau tidak gembira, dan lain sebagainya. Sikap biasanya didahului
oleh
aspek
kognitif,
dan
konatif.
Perkembangan kognitif meliputi peningkatan pengetahuan serta pemahaman yang sering disebut
perkembangan intelektual. Sedangkan perkembangan konatif meliputi penghayatan berbagai
kebutuhan, baik psikologis, maupun psikologis dan penentuan diri sebagai makhluk yang bebas
dan
rasional.
Contoh dari rangkaian perkembangan tersebut adalah seseorang mau bersikap menerima
tumbuhan obat sebagai pengobatan menuju kesehatan keluarga mandiri apabila dia telah
memiliki serangkaian pengetahuan tentang tumbuhan obat. Selanjutnya dia akan menghayati
betapa pentingnya tumbuhan obat sebagai pengobatan mandiri. Dan akhirnya dia akan
mempunyai
sikap
menerima
tumbuhan
obat
sebagai
pengobatan
mandiri.
Penerapan belajar sikap ini melalui fase-fase belajar yang penting, yaitu fase motivasi,
konsentrasi, pengolahan, dan umpan balik. Pada fase motivasi mempunyai harapan siswa akan
mempunyai keinginan belajar tertentu, hal ini bisa terjadi dengan pengkondisian. Pada fase
konsentrasi ditekankan dengan adanya model yang diidolakan oleh seseorang. Dalam hal idola
akan dijadikan model dia bersikap atau digunakan sebagai contoh. Fase pengolahan memahami
penjelasan verbal yang disertai contoh atau teladan yang diberikan oleh model. Dan fase umpan
balik siswa mendapat konfirmasi mengenai perbuatan dan perkataannya yang mencerminkan
suatu sikap positif. Peranan faktor internal dan eksternal pada masing-masing fase belajar sikap
dapat dilihat pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10 Fase-fase dalam Jalur Belajar Sikap
No Fase Internal Eksternal
1.
2.
3.
4. Motivasi
Konsentrasi
Pengolahan
Umpan balik
Siswa termotivasi untuk bersikap terhadap sesuatu hal. Misalnya melihat sesuatu yang
menyenangkan. Juga dipenga ruhi kemampuan kognitif siswa
Belajar dari model (idola).
Kemampuan siswa untuk mencerna penjelasan verbal model dan contoh-contoh sikapnya.
Kemampuan kognitif siswa sangat berpengaruh
Konfirmasi sikap yang positif berfungsi sebagai penguatan siswa.
Memberi motivasi supaya siswa memungkinkan untuk bersikap sesuai dengan tujuan. Menggali
dari kemampuan kognitif siswa.
Guru bertindak sebagai model sesuai dari sikap yang diharap kan.
Kejelasan dalam menyampaikan uraian verbal dan teladan (contoh).
Memberikan penekanan pada sikap positif siswa sebagai penguatan.
Menurut Krathwohl taksonomi tujuan afektif atau sikap adalah sebagai tercantum pada Tabel
3.11.
Tabel 3.11 Taksonomi Tujuan Afektif menurut Krathwohl
No. Aspek Tujuan yang Dicapai
1.
2.
3.
4.
5. Pengenalan
Pemberian Respon
Penghargaan terhadap nilai
Pengorganisasian Sosial
Mengamankan
Mendengarkan, menghadiri, melihat, memperhatikan.
Mengikuti,
mematuhi.
Memilih,
argumentasi.
mendiskusikan,
meyakinkan,
Memilih,
memutuskan,
membandingkan, membuat sistematisasi.
berlatih,
bertindak,
berpartisipasi,
mengemukakan
menformulasikan,
Menunjukkan sikap, mendemonstrasikan, menghindari
3.2.5
Jalur
Belajar
Motorik
Belajar keterampilan motorik menuntut kemampuan untuk merangkaikan sejumlah gerak-gerik
jasmani, sampai menjadi suatu keseluruhan yang dilakukan dengan alami atau luwes, tanpa
memikirkan lagi secara detail apa yang dilakukan dan mengapa dilakukan begini begitu. Hal ini
dapat terjadi dengan dukungan jalur belajar yang lain, seperti jalur belajar verbal, kemahiran
intelektual, kognitif, dan sikap. Artinya jalur belajar motorik sangat dipengaruhi oleh hasil jalurjalurbelajar yang lain. Dengan demikian secara garis besar jalur belajar motorik terdiri dari dua
fase,
yaitu:
(1)
Fase
kognitif,
dan
(2)
Fase
fiksasi.
Fase kognitif adalah bentuk pengetahuan deklaratif mengenai urutan langkah-langkah
operasional atau urutan gerak-gerik yang harus dibuat. Sedangkan fase fiksasi merupakan
rangkaian gerak-gerik yang mulai dilaksanakan secara pelan-pelan dahulu, dengan dituntun oleh
pengetahuan prosedural, sampai semua gerakan mulai berlangsung lebih lancar dan akhirnya
keseluruhan
uratan
gerak-gerik
berjalan
sangat
lancar
dan
otomatis.
Untuk mencapai itu dapat ditunjukkan pada pencapaian tujuan secara urut yang dapat dlilihat
pada hierarki tujuan motorik pada Tabel 3.12.
Tabel 3.12 Taksonomi Tujuan Psikomotor menurut Harlow
No.
1.
Aspek
Tujuan
yang
Dicapai
2.
3.
4.
5.
Peniruan (menirukan gerak)
Immitation
Manipulation
Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
Presicion
Ketepatan (melakukan gerak dengan tepat)
Arculation
Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
Naturalisasi
Melakukan
gerak
secara
Mengulangi, mengikuti, memegang, menggambar, mengucapkan.
wajar.
Sama dengan atas, tapi diberi instruksi tertulis atau verbal
Dengan tepat, dengan lancar tanpa kesalahan.
Membuat selaras, terkoordinasi, stabil, lancar.
Dengan otomatis, dengan sempurna, dengan lancar.
Peranan dan wujud dalam belajar keterampilan motorik dapat dilihat pada tekanan fase-fase
belajar jalur motorik Tabel 3.13.
Tabel 3.13 Fase-fase dalam Jalur Belajar Motorik
No Fase Internal Eksternal
1.
2.
3.
4.
5. Motivasi
Konsentrasi
Pengolahan
Menggali
Umpan balik
Siswa harus termotivasi untuk untuk melakukan gerak-gerik, lebih-lebih bila keterampilan yang
dipelajari membutuhkan usaha kontinyu dan banyak waktu latihan.
Berperan dalam belajar keterampilan yang menuntut pengamatan terhadap lingkungan untuk
menentukan posisi badan.
Mempelajari prosedur yang harus diikuti dan melatih diri, baik sub keterampilan maupun
keseluruhan rangkaian gerak-gerik, disertai koordinasi. Fase ini memegang peranan pokok.
Menggali program mental yang tersimpan dalam LTM (dari ingatan). Diperkirakan program
mental ini langsung menjadi masukan bagi fase prestasidan tidak disalurkan melalui STM.
Konfirmasi ketarampilan yang positif berfungsi sebagai penguatan siswa, dalam rangka
penyempurnaan keterampilan sampai semua berjalan secara otomatis. Memberi motivasi supaya
siswa dengan memberitahu pentingnya keterampilan motorik yang akan dipelajari. Jadual latihan
diatur dengan baik, sehingga tidak menimbulkan kebosanan.
Menyampaikan prosedur yang harus dipegang sebagai pola, disertai demonstrasi dalam bentuk
gambar, diagram, film atau contoh nyata.
Membantu mengingat dari apa yang telah dimiliki siswa, sebagai dasar gerak-geriknya.
Memberi petunjuk sampai seberapa jauh prestasi yang tepat.
BAB
TEORI-TEORI BELAJAR
IV
4.1
Peranan
Teori
Belajar
dalam
Belajar
dan
Pembelajaran
Teori adalah seperangkat azas yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia
nyata. Sedangkan ciri-ciri teori adalah membebaskan penemuan penelitian secara individual dari
kenyataan kesementaraan waktu dan tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang lebih
luas.
Dari pengertian teori secara umum tersebut, maka teori belajar adalah seperangkatat azas belajar
yang tersusun tentang kejadian-kejadian belajar dalam dunia nyata. Atau dapat dikatakan bahwa
teori belajar dapat menjelaskan sejumlah fakta khusus yang diamati secara terpisah dengan jalan
menghubungkan fakta itu dengan suatu model yang bersifat konseptual.Dengan demikian teori
belajar dapat memberikan penerangan atau penjelasan dasar proses belajar dan dalil-dalilnya. Hal
tersebut akan dapat mempengaruhi proses belajar. Secara rinci peranan/fungsi teori belajar
adalah:
Sebagai
kerangka
kerja
untuk
penelitian.
Sebagai kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi tertentu.
Mengungkapkan
kekompleksan
peristiwa-peristiwa
yang kelihatannya
sederhana.
Mengorganisasi
kembali
pengalaman-pengalaman
sebelumnya.
Sebagai kerangka kerja untuk penelitian berarti teori belajar dapat digunakan untuk mencegah
praktek-praktek pengumpulan data yang tidak memberikan sumbangan bagi pemahaman
peristiwa. Sedangkan peranan sebagai kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi
tertentu maksudnya adalah bahwa teori belajar sebagai organisasi pengetahuan. Contohnya
adalah: Teori belajar A mengahsilkan sesuatu, teori B juga menghasilkan sesuatu. Sintesa dari
teori-teori tersebut akan menghasilkan pengetahuan yang merupakan organisasi teori-teori (teori
A
dan
B).
Peranan teori belajar yang dapat mengungkapkan kekompleksan peristiwa-peristiwa yang
kelihatannya sederhana adalah bila dilihat proses belajar merupakan peristiwa yang sederhana.
Namun demikian bila ditinjau terjadinya belajar terutama bila dihubungkan dengan fase-fase
belajar akan terlihat kekompleksannya. Dari kekompleksan itu akan ditemukan faktor-faktor
yang mempengaruhi peristiwa belajar. Hal ini ditemukan dari teori-teori yang ada. Sedangkan
fungsi mengorganisasi kembali pengalaman-pengalaman sebelumnya menunjuk pada ciri teori
secara umum, yaitu penggantian teori lama apabila ada penemuan-penemuan teori yang baru.
Sejalan dengan berkembangan zaman dan waktu, maka banyak ditemukan teori-teori belajar.
Setiap teori biasanya mempunyai kekuatan dan kelemahan, dan teori yang dikemukakan lebih
kemudian biasanya sebagai reaksi terhadap teori yang dikemukakan sebelumnya. Namun tidak
menutup kemungkinan juga teori-teori belajar tersebut masih digunakan bersama-sama dalam
pembelajaran, sehingga teori yang satu tidak menumbangkan teori yang lainnya. Hal ini akan
terjadi apabila masing-masing teori masih dapat mempertanggungjawabkan argumentasinya.
Kebenaran teori dapat diterima sejauhmana teori dapat mempertanggung jawabkan
argumentasinya berdasarkan penelitian-penelitian ilmiah dan sejauhmana sebuah teori
memberikan jawaban dan manfaat terhadap kebutuhan-kebutuhan praktis dalam kegiatan belajar
yang dilakukan. Dengan demikan maka dalam membelajarkan siswa diharapkan seorang
menggunakan teori-teori belajar yang dianggap sesuai.
4.2
Teori-teori
Belajar
Secara garis besar teori belajar menurut Gredler (1991), dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok,
yaitu:
Conditioning
theory.
Connection
theories.
Insighful
Learning.
4.2.1
Conditioning
theory
Conditioning theoty adalah suatu teori yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu respons
dari stimulus tertentu. Teori ini dikemukakan oleh Pavlov, dan dikembangkan oleh Watson,
Guthreic, dan Skinner. Teori belajar ini berhaluan pada pandangan behavioristik.
Pavlov (1949-1936) mengembangkan teori belajar ini dengan disebut juga conditioning reflex,
sebab yang dipelajari adalah gerakan gerakan otot sederhana yang secara otomatis bereaksi
terhadap suatu perangsang tertentu. Reflex juga dapat ditimbulkan oleh perangsang lain yang
mulanya tidak menimbulkan reflex. Secara teoritis refleks dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
Unconditioned
(refleks
wajar)
atau
tidak
terkondisi,
yang
terdiri
dari:
Unconditioned
respons
(respons
tak
terkondisi).
Unconditioned
stimulus
(stimulus
tak
terkondisi)
Contoh
:
Anjing
–
Daging
–
Timbul
air
liur.
S1
……………..R1
Anjing ditunjukkan daging (S1), sehingga menimbulkan air liur (R1). Daging dalam peristiwa ini
bertugas
sebagai
stimulus
untuk
menimbulkan
reflekx
air
liur.
Implikasi
dalam
belajar:
Dari penelitian ini ditemukan pendapat bahwa asalkan ada stimulus belajar, anak pasti akan mau
belajar. Sehingga diharapkan guru memberikan stimulus supaya anak mau belajar.
Conditioned
(Refleks
bersyarat),
yang
terdiri
dari:
Conditioned
respons
(respons
terkondisi)
Conditioned
stimulus
(stimulus
terkondisi).
Contoh:
Anjing
–
Bel
–
Daging.
S2
(Cond)
………….
R2
Setiap membunyikan bel ditunjukkan daging, maka air liur anjing keluar. Di sini yang
berperanan sebagai syarat adalah membunyikan bel. Lama kelamaan setiap ada bel berbunyi
(walau
tanpa
daging)
air
liur
anjing
keluar.
Implikasi
dalam
Belajar:
Pendapat dari conditioning theories menuntut kondisi tertentu, sehingga organisme dengan
sendirinya belajar. Harapan penerapan dari teori ini adalah ada pengkondisian terhadap siswa,
sehingga siswa mau belajar.
Teori Pavlov ini disebut juga Kondisioning Klasik (Classical Conditioning) atau stimulus
substitution. Hal ini disebabkan karena kondisi yang ada akan menyebabkan begitu saja respons,
karena respons itu yang digunakan penelitian adalah respon alami (keluar air liur). Sehingga hal
ini menimbulkan banyak kelemahan, karena dalam belajar sulit disamakan dengan keluarnya air
liur. Namun demikian teori ini akan membawa peneliti lain untuk mendasari penelitian
selanjutnya.
Selanjutnya John B. Watson (1878-1958) mengembangkan teori belajar dengan berpola pada
penemuan Pavlov, dimana pendapatnya adalah belajar merupakan proses terjadinya refleksrefleks
atau
respons
bersyarat
melalui
stimulus
pengganti.
Percobaan
yang
dilakukan
adalah:
Anak susia 11 bulan diberi kelinci aebagai kawan bermain (anak tidak takut kelinci). Selanjutnya
dibuat
kondisi
supaya
anak
takut
dengan
kelinci
(conditioning).
Cara
percobaannya
adalah:
(Kelinci
–
Suara
gong)
(S1)
–
anak
takut
(R1)
Kelinci
(S2)
…………….
Anak
takut
(R2)
Penjelasan:
Setiap ditunjukkan kelinci dibarengi suara gong yang menakutkan (S1), sehingga anak menjadi
takut (R1). Perlakuan itu dilakukan berkali-kali, yang pada akhirnya setiap ditunjukkan kelinci
tanpa
ada
bunyi
gongpun
(S2),
anak
menjadi
takut
(R2).
Impilikasi
dalam
belajar:
Apabila pada awalnya anak belum mau belajar, dan diberi stimulus yang menyenangkan, maka
anak akan berubah menjadi mau belajar. Atau sebaliknya yang pada awalnya anak senang sekali
belajar kalau ada hal yang menjadikannya dia tidak nyaman lagi maka menyebabkan ia tidak
mau belajar lagi. Teori ini mengharapkan guru memberikan stimulus yang menyenangkan
apabila yang dikehendaki adalah perubahan positip, dan stimulus yang tidak menyenangkan bila
perubahan
yang
dikehendaki
adalah
yang
tidak
menyenangkan.
Guthric(1886-1959) memperluas penemuan Watson yang dikenal dengan the law of association,
yaitu suatu kombinasi stimuli yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung menimbulkan
gerakan apabila kombinasi stimuli itu muncul kembali. Maksudnya jika sesuatu dalam situasi
tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama akan mengerjakan hal yang serupa lagi. Hal
tersebut disebabkan karena terdapatnya suatu pola perangsang yang bekerja pada suatu reaksi
dilakukan menyebabkan pola perangsang yang sama bekerja lagi. R tadi akan timbul kembali.
Suatu perangsang yang dalam situasi tertentu akan berasoaiasi pada situasi tertentu. Dan belajar
memerlukan reward (hadiah) dan kedekatan antara stimulus dan respons. Belajar dapat
digunakan
untuk
pembentukan
sikap.
Percobaan/Contoh
Peristiwa:
Gadis melempar topi sepulang sekolah. Gadis tersebut disuruh mengambil lagi, diajak keluar
rumah, selanjutnya diajak masuk dan disuruh meletakkan topi ke gantungan. Setelah itu ternyata
gadis
tersebut
mau
meletakkan
topinya
setiap
pulang
sekolah.
Perlakuan yang dilakukan dari awal atau pangkal dapat mengubah atau melenyapkan sikap buruk
gadis tersebut.
Peristiwa tersebut dapat menjelaskan bahwa teori Guthric dapat digunakan dalam pembentukan
sikap (habit formation). Beraitan dengan hal tersenut dapat ditemukan metode untuk
memperbaiki
kebiasaan
buruk,
yaitu:
Incompetible
response
Prinsip metode ini adalah: a. S1 ————— R1
R1
S1
R2
b.
R2
c. S1
Keterangan:
S1
=
Tingkah
laku
yang
tak
baik.
R2 = Tingkah laku yang baik untuk mendesak R1 (Incompetible response untuk menghilangkan
R1)
R1
=
Hilang
karena
R2
Contoh:
Kelinci
S1
—————————————————————R2
(Ketakutan).
Anak diperlihatkan kelinci, kemudian timbul R1. Tetapi pada saat itu diberi gula-gula, sehingga
menimbulkan R2. Ketakutan tadi (R1) dikompensir dengan kesenangan (R2). Lambat laun
kelinci
analog
dengan
R2.
Exhqustied
method
Diperlakukan untuk mengulangi terus menerus tingkah laku yang buruk sehingga akan bosan.
Misalnya anak yang mempunyai kebiasaan main korek api. Beri saja anak tersebut banyak korek
api dan diminta untuk menyalakan satu persatu, sampai akhirnya anak bosan dan tidak mau lagi
main
korek
api.
Tolerance
Perubahan perangsang diberi secara berangsur, sehingga timbul reaksi yang tolerence. Misalnya
kuda yang diharapkan dapat ditunggangi dapat dilatih dulu dengan diletakkan selimut,
berangsung-angsur hingga beratnya menyerupai manusia. Dengan demikian kuda tersebut dapat
ditunggangi.
Change
of
environment.
Kebiasaan buruk yang sering ada pada anak, mungkin disebabkan perangsang yang tak beres.
Untuk meninggalkan kebiasaan itu perlu anak itu dipindahkan dari lingkungan yang
menimbulkan tingkah laku buruk tadi. Mode ini menjadi dasar bagi seorang dokter menyuruh
seseorang
istirahat.
Skinner (tahun 30 an) mengembangkan teori belajar ini dengan teori operant conditioning, yaitu
tingkah laku bukanlah sekedar respons terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja
atau operant. Teori ini terlihat bahwa di dalam belajar diperlukan adanya pengulanganpengulangan suatu stimulus untuk mendapatkan respons.Dan menganggap reward (hadiah) atau
reinforcement
(penguatan)
sebagai
faktor
penting.
Hal tersebut merupakan bentuk ketidak setujuan Skinner terhadap pendapat Pavlov, yaitu setiap
ada stimulus akan ada respons. Alasannya adalah banyak faktor di lingkungan yang mempunyai
pengaruh terhadap organisme untuk merespons. Sehingga teori belajar Pavlov S – R hanya bisa
dilakukan pada tingkah laku yang sederhana, sedangkan tingkah laku yang kompleks tidak bisa.
Hal ini disebabkan karena rintangan tingkah laku yang dihasilkan terbatas. Sehingga model
Pavlov itu cocok untuk respons yang sudah diasosiasikan dengan stimulus tertentu. Sedangkan
menurut Skinner kunci memahami tingkah laku adalah pemahaman antara situasi stimulus,
respons
dan
konsekuensi
respons
itu.
Ada
enam
asumsi
yang
membentuk
operan
condisioning,
yaitu:
Belajar
itu
adalah
tingkah
laku.
Perubahan tingkah laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya perubahan dalam
kejadian-kejadian
di
lingkungan
kondisi-kondisi
lingkungan.
Hubungan yang berhukum antara tingkah laku dan lingkungan hanya dapat ditentukan kalau
sifat-sifat tingkah laku dan kondisi eksperimennya didefinisikan menurut fisiknya dan
diobservasi
di
bawah
kondisi-kondisi
yang
dikontrol
secara
bermakna.
Data dari studi eksperimental tingkah laku merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat
diterima
tentang
penyebab
terjadinya
tingkah
laku.
Tingkah laku organisme secara individual merupakan sumber data yang cocok.
Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama untuk semua jenis makhluk hidup.
4.2.2
Connection
theories
Connection theories (1874 – 1949) merupakan teori belajar yang menyatakan bahwa belajar
merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori belajar ini
dikembangkan oleh Thorndhike yang juga dinamakan trial and error learning. Hal ini disebabkan
karena proses belajar dapat melalui coba-coba dalam rangka memilih respons yang tepat bagi
stimulus
tertentu.
Hukum
belajarnya
dinamakan
Law
effect,
yaitu:
Segala tingkah laku yang menyenangkan akan diingat dan mudah dipelajari.
Segala tingkah laku yang tidak menyenangkan akan diingat dan mudah dipelajari.
Hasil
Percobaan:
Problem
box
Kucing dimasukkan dalam peti tertutup. Peti tersebut mempunyai pintu yang dapat dibuka
dengan cara menekan knop. Kucing dalam peti berputar-putar berupaya untuk keluar, dan secara
kebetulan kucing menekan knop, maka pintu terbuka. Selanjutnya percobaan diulangi, ternyata
kucing dapat keluar lebih cepat. Begitu selanjutnya semakin lama, keluarnya kucing dari box
semakin cepat. Hal ini disebabkan karena telah ada pengulangan-pengulangan yang awalnya
ditemukan karena coba-coba atau kebetulan. Dengan kata lain terjadi asosiasi, connection
dengan
suatu
keadaan
yang
menyenangkan
(reward).
Law effect: Segala tingkah laku yang mengakibatkan keadaan yang menyenangkan akan diingat.
Dan tingkah laku yang menyenangkan mudah untuk dipelajari. Sebaliknya segala tingkah laku
yang tidak menyenangkan cenderung untuk tidak dilakukan kembali. Di antara keseluruhan
tingkah laku hanya tingkah laku teretntu hanya tingkah yang menyenangkan itulah yang
dipelajari.
Aplikasi dari teori ini dengan adanya pemberian ganjaran, hukuman, dan dalam belajar perlu
adanya pengulangan-pengulangan. Tingkah laku yang dihargai dapat dipelajari anak secara
mendalam, sedangkan hukuman memperkecil proses belajar. Selain itu belajar dapat juga
dilakukan dengan coba-coba.Teori belajar ini cenderung mengacu pada pandangan belajar
behavioristik.
4.2.3
Insighful
Learning
Insighful learning adalah belajar menurut pandangan kognitif. Disebut juga Gestalt dan Field
Teories. Teori mengutamakan pengertian dalam proses belajar mengajar, jadi bukan ulangan
seperti halnya kedua teori terdahulu. Dengan demikian menurut teori ini belajar merupakan
perubahan kognitif (pemahaman). Belajar bukan hanya ulangan tetapi perubahan struktur
pengertian. Dengan demikian teori belajar ini berhaluan pada pandangan belajar konstruktivistik.
Gestalt dan Field theories berorientasi pada Thorndike. Dalam teori insightful learning terdapat
trial and error, tetapi tidak seperti tafsiran Thorndike (belajar ngabur). Dalam semua belajar
didahului trial and error. Trial ang error mempunyai peranan dalam timbulnya insight. Pada teori
Thorndike tidak ada tujuan, otomatis, tanpa konsep, sedang pada field theories ada tujuan dengan
konsep. Insight learning dapat digunakan dalam situasi yang serupa.
1.
Teori
Belajar
Gestalt
Menurut teori Gestalt, insight merupakan hal yang penting, jadi tidak bisa hanya hafalan. Peletak
dasar
teori
ini
adalah:
Mex
Wetheiner
(19880-1943):
Pengamatan
dan
problem
solving.
Kurt
Koffka
(1886-1941):
Hukum-hukum
pengamatan
Walfgang
Kohler
(1887-1959):
Penelitian
insght
pada
simpane.
Penelitian:
Pisang digantung, di dekatnya diletakkan dua peti, ternyata simpanse mengambil pisang dengan
menumpuk
peti.
Pisang digantung, di dekatnya diletakkan tongkat, ternyata simpanse menyambung tongkat
tersebut
untuk
mengambil
pisang.
Pisang digantung, di dekatnya ada pohon yang berdaha, ternyata simpanse mematahkan dahan
kayu
untuk
mengambil
pisang.
Penenelitian ini menunjukkan bahwa simpanse telah menggunakan insight yang timbul pada
percobaan pertama untuk mendapatkan hasil di percobaan ke dua, dan mendapat insght pada
percobaab kedua untuk mrndapatkan hasil pada percobaab ke tiga. Kesimpulannya bila ada
masalah
dapat
dipecahkan
bila
terbentuk
insight,
jadi
bukan
hafalan.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan belajar juga diartikan dengan problem solving dan insight
dapat digunakan dalam problem solving. Yang paling penting dalam belajar adalah insight.
2.
Field
Teories
Field teories atau teori Medan ditemukan oleh Kurt Lewin, menyatakan bahwa belajar adalah
perubahan kognitif (pemahaman). Belajar bukan hanya ulangan, tetapi perubahan struktur
pengertian.
Insight
tergantung
dari:
Kecerdasan dan bakat. Kecerdasan tergntung pada umur dan keadaan. Semakin muda semakin
kurang
kecerdasannya.
Pengalaman. Pengalaman yang telah diolah individu akan mempengaruhi insight seseorang.
3.
Teori
Belajar
Piaget
Menurut Piaget, interaksi yang terus menerus antara individu dan lingkungan adalah
pengetahuan. Artinya, pengetahuan itu suatu proses, bukan suatu barang. Karena itu, untuk
memahami pengetahuan seseorang dituntut untuk mengenali dan menjelaskan berbagai cara
bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya. Selanjutnya, kecerdasan juga
membentuk struktur kognitif yang diperlukan untuk penyesuaian dengan lingkungan.
Faktor
yang
berpengaruh
dalam
perkembangan
kognitif
adalah:
Lingkungan fisik. Kontak dengan lingkungan fisik mutlak perlu karena interaksi antara individu
dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru. Namun kontak dengan lingkungan fisik
tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika intelegensi individu dapat
memanfaatkan pengalaman tersebut. Karena itu kematangan sistem syaraf menjadi penting
karena memungkinkan anak memperoleh manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik.
Kematangan. Kematangan membuka kemungkinan untuk perkembangan, sedangkan kalau
kurang hal itu akan membatasi secara luas prestasi kognitif. Perkembangan berlangsung dengan
kecepatan yang berbeda, bergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan si belajar
sendiri.
Pengaruh sosial, termasuk peranan bahasa dan pendidikan. Pentingnya lingkungan sosial ialah
dapat
memacu
dan
menghambat
perkembangan
struktur
kognitif.
Proses pengaturan diri (ekuilibrasi), yaitu proses pengaturan diri dan pengoreksian diri dari si
belajar.
Selanjutnya teori ini dikembangkan oleh Piaget. Menurut teori Piaget adalah:
Proses
belajar
dari
konkrit
ke
yang
abstrak.
Pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan mental baru yang sebelumnya.
Perubahan
umur
mempengaruhi
kemampuan
belajar
individu.
Struktur intelektual terbentuk di dalam individu akibat interaksi dengan lingkungan.
4.
Teori
Belajar
Brunner
Teori belajar Brunner merupakan pengembangan dari insightful learning. Dalam teori Brunner
dikatakan untuk mendapatkan pemahaman belajar dengan menemukan sendiri, sehingga
menggunakan pendekatan discovery learning, yaitu belajar dengan menemukan sendiri.
Pendekatan ini pemahaman didapatkan secara induktif dengan membuat perkiraan yang masuk
akal atau menarik kesimpulan. Sebagai hasil belajar ini siswa mendapat pengetahuan dan
pemahaman baru, yang kemudian dikaitkan dengan kerangka kognitif yang sudah dimiliki
sehingga kerangka itu berubah, dalam arti ada yang digeser, dikurangi atau ditambah. Jadi
kerangka kognitif yang terbentuk tidak bersifat statis dan dapat berubah.
Dalam pendekatan ini mengandung makna bahwa refleksi belajar berkisar pada manusia sebagai
pengolah terhadap informasi (masukan) yang diterimanya untuk memperoleh pemahaman. Dasar
pikiran
teori
ini
adalah”
Belajar
berinteraksi
dengan
lingkungan
secara
aktif.
Orang
menciptakan
sendiri
suatu
kerangka
kognitif
bagi
diri
sendiri.
Bruner beranggapan, bahwa cara belajar dengan menemukan sendiri ini sesuai dengan hakikat
manusia sebagai seorang yang mencari-cari secara dan menghasilakan pengetahuan serta
pemahaman yang sungguh-sungguh bermakna. Kelebihan dari cara belajar ini adalah:
Hasilnya
lebih
berakar
dan
mengendap.
Lebih mudah dan cepat dimanfaatkan dalam bidang studi lain atau dalam kehidupan sehari-hari
(transfer
belajar).
Berdaya
guna
dalam
mengembangkan
daya
nalar
siswa.
Membentuk
kerangka
kognitif
siswa.
Namun demikian teori ini juga ada kelemahannya, yaitu memerlukan biaya banyak, waktu lama,
dan kepemilikan teori dasar mutlak diperlukan. Untuk mengurangi kekurangan tersebut adalah:
Dengan menggunakan cara belajar yang dinamakan guided discovery learning, yaitu siswa
menemukan
sendiri
dengann
tuntunan.
ada pengembangan teori insightful learning ini dengan tetap membangun kerangka kognitif
sendiri tetapi tidak dengan induktif tetapi deduktif. Jadi siswa tidak harus mengalami sendiri.
Teori ini dikembangkan oleh Ausebel.
5.
Teori
Ausebel
Teori terakhir ini dikembangkan oleh Ausebel dengan nama teori bermakna. Belajar bermakna
tidak mutlak harus menemukan sendiri, yang penting siswa dapat membentuk kerangka kognitif
sendiri. Ausebel belum menyediakan cara bagi guru untuk pengembangan belajar bermakna,
selanjutnya
Novak
menemukan
yang
dikembangkan
dengan
peta
konsep.
Peta konsep adalah suatu konsep yang disajikan berupa kaiatan-kaitan yang bermakna antara
konsep-konsep dalam bentuk proposisi. Konsep-konsep tersebut dikait-kaitkan dengan kata-kata
teretntu sehingga mengandung pengertian yang bermakna (Rustaman, 1986). Misalnya konsep
tumbuhan dan organisme proposisinya adalah itu, sehingga kaitannya menjadi: tumbuhan itu
organisme. Konsep organisme dan energinya proposisinya adalah membutuhkan, kaitannya
menjadi:
organisme
membutuhkan
energi.
Peta konsep ini menggunakan cara berpikir dari deduktif ke induktif, yaitu dari yang bersifat
umum ke yang khusus. Jadi peta konsep dibuat dari konsep yang paling umum ke konsep yang
lebih
khusus.
Dalam penerapannya sebenarnya guru dapat saja memadukan beberapa teori belajar di atas.
Hanya saja biasanya seorang guru akan mempunyai kecenderungan ke arah mana mereka akan
bertindak. Pada saat ini yang banyak dikembangkan adalah teori yang ke tiga, karena diharapkan
siswa lebih banyak memahami atau mengerti dibandingkan hanya menghafal saja. Karena
dengan menghafal saja konsep-konsep materi akan segera dilupakan lagi.
Berdasarkan teori-teori di atas muncul adanya prinsip-prinsip belajar yang sebenarnya
merupakan penggabungan dari beberapa teori belajar. Prinsip belajar itu antara lain perhatian dan
motivasi, kreatifitas, keterlibatan langsung/pengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan
penguatan, perbedaan individu (bab VI modul ini)
4.3
Pandangan
Belajar
4.3.1
Pandangan
Behavioristik
Pandangan behavioristik sebenarnya merupakan penerapan dari teori belajar Conditioning theory
dan Connection theories. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan dari operant conditioning yang
dikemukakan oleh B.F. Skinner. Operant ialah sebuah perilaku yang memberikan pengaruh pada
lingkungannya serta menimbulkan akibat. Sebaliknya, perilaku tersebut dipengaruhi oleh akibat
itu. Dan tindakan yang utama ialah pengadaan reinforcement/penguatan. Kemungkinan
terulangnya sebuah perilaku akan lebih besar, jikalau akibat-akibat yang ditimbulkannya
memberikan
reinforcement/penguatan.
Penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa menurut operant conditioning ada tiga
komponen belajar, yaitu: (1) stimulus diskriptif, (2) respons si belajar, dan (3) konsekuensi
perkuatan operan pembelajaran. Asumsi yang membentuk landasan untuk conditioning theoris
ini adalah: (1) Belajar adalah tingkah laku, (2) Perubahan tingkah laku secara fungsional terkait
dengan adanya perubahan kejadian di lapangan, (3) Hubungan antara tingkah laku dan
lingkungan bersifat jika sifat tingkah laku dan kondisi-kondisi dapat terkontrol secara seksama,
(4) Data dari studi eksperimental tingkah laku merupakan satu-satunya sumber informasi yang
dapat diterima sebagai penyebab terjadinya tingkah laku, (5) Tingkah laku organisme secara
individual merupakan sumber data yang cocok, (6) Dinamika interaksi organisme dengan
lingkungan
adalah
sama
untuk
semua
jenis
makhluk
hidup.
Penerapan teori tersebut dalam pembelajaran dari pandangan behavioristik adalah teknik
pembelajaran berprogram yang mengatur bahan pelajaran menjadi bagian-bagian kecil
(operasional) dan memberikan penguatan pada jawaban-jawabannya (reinforcement). Sehingga
behavior modification merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah perilaku
seseorang sesuai dengan yang diinginkan, melalui reinforcement berulang sampai perilakunya
berubah. Dari sini mengandung pengertian bahwa si belajar diharapkan memiliki pemahaman
yang
sama
terhadap
pengetahuan
yang
diajarkan.
Penjelasan di atas mengartikan belajar dari pandangan behavioristik sebagai perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar,
sehingga tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan. Pengetahuan itu telah
terstruktur dengan rapi, objektif, pasti, dan tetap, sehingga orang yang belajar harus dihadapkan
pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial, atau dapat dikatakan ciri dari pembelajaran behavioristik adalah adanya
keteraturan.
Ketatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek
yang harus berperilaku sesuai dengan aturan. Kontrol belajar dipegang oleh sistem yang berada
di luar diri si belajar. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikatagorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan
dikatagorikan
sebagai
bentuk
perilaku
yang
pantas
diberi
hadiah.
Pembelajaran cenderung mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi
buku
teks.
Pembelajaran
dan
evaluasi
menekankan
pada
hasil.
Kecenderungan pandangan ini adalah belajar merupakan perilaku yang nampak. Menurut
pandangan ini perilaku yang nampak sangat sesuai dalam pembelajaran karena pengaruh
teknologi yang serba rasional dan realistik serta praktis, maka manusia saat ini cenderung untuk
lebih operasional, lebih menyukai yang nampak (observable), yang dapat diukur (measurable),
penampilan/kinerja
(performance),
kemasan
yang
rapai
(appearance).
Permasalahan yang timbul dari pandangan behavioristik ini adalah adanya hal-hal yang mungkin
tidak tercakup dalam perilaku manusia yang tampak. Selain itu juga perlu dipertimbangkan
adalah apakah belajar bisa terjadi dalam lingkungan yang penuh aturan? Tampaknya memang
tidak mudah untuk menerapkan pandangan ini untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang diharapkan saat ini, yaitu berpikir kreatif, dapat mengambil keputusan, dapat
memecahkan masalah, belajar bagaimana belajar, kolaborasi, dan pengelolaan diri. Karena
menurut pandangan ini rasanya tidak mungkin pembelajaran tanpa adanya ketaatan atau
keteraturan.
Apapun kelemahan dari pandangan ini, ternyata dewasa ini banyak teori-teori belajar dalam
lingkup pandangan behavioristik yang diterapkan pada prinsip-prinsip belajar yang diharapkan.
Hal ini menandakan bahwa pandangan ini juga banyak diterapkan dewasa ini, walau
implikasinya banyak dipadukan dengan pandangan konstruktivistik. Yang perlu dilakukan adalah
harus dilihat dan dipilih benar secara jeli mana yang dapat ditangani dengan menerapkan
pandangan behavioristik ini dalam pembelajaran.
4.3.2
Pandangan
Konstruktivistik
Menurut pandangan konstruktivistik, belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Sedangkan mengajar adalah menata
lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Dengan demikian maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
Implikasi pembelajaran dari pernyataan di atas adalah guru diharapkan dapat mendorong
munculnya diskusi dalam rangka memberi kesempatan siswa untuk meluapkan pikiran atau
aktivitas dan keterampilan berpikir kritis. Selain itu guru diharapkan dapat mengkaitkan
informasi baru ke pengalaman pribadi atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa.
Konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan adalah non objective, bersifat temporer, selalu
berubah, dan tidak menentu, sehingga ciri konstruktivistik adalah ketidakteraturan. Maksudnya
kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar, karena hanya di alam yang
penuh kebebasan si belajar dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasinya
terhadap
segala
sesuatu
yang
ada
di
dunia
nyata.
Si belajar adalah subjek yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan
pengaturan diri dalam belajar, dan kontrol belajar dipegang oleh si belajar. Kegagalan atau
keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang
perlu
dihargai.
Implikasi dalam pembelajaran dari pernyataan di atas adalah diharapkan guru menyediakan
pilihan tugas, sehingga tidak semua siswa harus mengerjakan tugas yang sama. Dan sediakan
pula pilihan bagaimana cara memperlihatkan bahwa siswa telah menguasai apa yang telah
dipelajari.
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar, menciptakan pemahaman baru
yang menurut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata, yang mendorong si belajar untuk
berpikir ulang dan mendemonstrasikan. Dengan demikian maka pembelajaran dan evaluasi
menekankan
pada
proses.
Pembelajaran lebih diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar. Penyajian isi
menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan
ke bagian. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugastugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari
dalam
konteks
nyata.
Implikasi dari pernyataan di atas adalah hendaknya guru memberikan kesempatan untuk
menerapkan cara berpikir dan belajar yang paling cocok dengan dirinya. Beri kesempatan siswa
untuk melakukan evaluasi diri tentang cara berpikirnya, tentang cara belajarnya, tentang
mengapa
ia
menyukai
tugas
tertentu.
Secara ringkas penataan lingkungan belajar berdasarkan pandangan konstruktivistik menurut
Wilson
(1996)
dalam
Diptiadi
(1997)
adalah:
Menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan. Dalam hal ini dapat
dilakukan dengan cara siswa diajak ikut menentukan topik/sub topik bdangsdyang mereka
pelajari,
metode
pengajaran,
dan
strategi
pemecahan
maslah.
Menyediakan pengalaman belajar yang kaya akan berbagai alternatif. Dalam hal ini dapat
dilakukan
dengan
peninjauan
kembali
masalah
dari
berbagai
segi.
Mengintegrasikan proses belajar mengajar dengan dengan konteks yang nyata dan relevan.
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan mengupayakan siswa dapat menerapkan pengetahuan
yang
didapat
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka. Dalam hal
ini
guru
berperan
sebagai
konsultan.
Mengintegrasi belajar dengan pengalaman bersosialisasi. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan
cara
peningkatan
interaksi
antara
guru-siswa
dan
siswa-siswa.
Meningkatkan penggunaan berbagai media disamping komunikasi tertulis dan lisan.
Meningkatkan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan mereka. Dalam hal ini
diharapkan siswa mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah
dengan
cara
tertentu.
Dengan penataan lingkungan belajar seperti disebutkan di atas diharapkan mendapatkan hasil
aplikasi pandangan konstruktivistik dalam proses belajar mengajar, antara lain:
Siswa
memiliki
sikap
dan
persepsi
positif
terhadap
belajar.
Siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya,
nisalnya mengklasifikasikan, membandingkan, menganalisis, membuat induksi – deduksi,
memecahkan
maslah.
Siswa memiliki kebiasaan mental yang produktif, untuk menjadi pemikir yang mandiri, kritis,
dan
kreatif.
Secara ringkas, manusia yang diharapkan dalam belajar konstruktifistik adalah berpikir kreatif,
berani mengambil keputusan, dapat memecahkan masalah, belajar bagaimana belajar, kolaborasi,
dan pengelolaan diri. Bila dihubungkan dengan teori belajar terdahulu, yang sesuai dengan
pandangan konstruktivistik ini adalah kelompok teori belajar Insightful Learning, karena harapan
hasilnya adalah sama.
BAB
LUPA
V
5.1
5.2
Waktu
5.3 Upaya Mengurangi Lupa
dan
Pengertian
Dasar
Terjadina
Lupa
Lupa
Belajar merupakan suatu perubahan sari belum mampu menjadi mampu dalam jangka waktu
tertentu. Saat terjadinya proses belajar yang berperan tidak saja usaha mental seperti bepikir
tetapi fisik seseorang turut berperan dalam proses belajar. Dalam menjalani proses belajar ada
yang lebih dominant usaha mental seperti berpikir dan ada pula yang lebih dominant ketrampilan
atau fisik dari orang yang mengalami proses belajar. Belajar matematik merupakan proses
belajar dimana berpikir merupakan kegiatan yang dominan. Tetapi kegiatan lain seperti
mengetik,
skil
lebih
dominant
daripada
berpikir.
Usaha mental dan fisik orang yang sedang mengalami proses belajar dipengaruhi oleh
lingkungan fisik dimana orang tersebut mengalami proses belajar. Lingkungan fisik tersebut
dapat berupa kebisingan, pencahayaan, temperature, dimensi alat kerja dan lain sebagainya. Pada
penelitian ini dikaji pengaruh temperature serta kebisingan terhadap proses belajar.
Eksperimen yang dilakukan berupa pemberian empat jenis perlakuan pada empat kelompok
naracoba. Kelompok naracoba pertama diberi perlakuan sedag-sepi yang bertindak sebagai
control. Kelompok kedua diberi perlakuan sedang bising, kelompok ketiga panas-sepi, dan
kelompok keempat panas-bising. Masing-masing kelompok mengerjakan modul matematik serta
modul
mengetik.
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil, kebisingan berpengaruh terhadap prestasi belajar
matematis juga prestasi belajar mengetik. Panas tidak berpengaruh pada prestasi belajar
matematis serta mengetik. Kombinasi panas-bising berpengaruh pada prestasi belajar matematis
serta mengetik. Bising, panas serta kombinasi panas bising berpengaruh pada presentase
kesalahan mengerjakan modul matematis, dan tidak ditemukan pengaruh yang berarti pada
kesalahan mengetik.
BELAJAR
BERBASIS
Sebuah
Pemikiran
tentang
Oleh: Mohammad Tahmid **)
ANEKA
Peluang
SUMBER
dan
(BEBAS):
Tantangannya*)
Abstrak
Belajar Berbasis Aneka Sumber (BEBAS) merupakan proses belajar alternatif bagi mereka yang
tak mampu masuk ke dalam lembaga pendidikan konvensional. Dengan BEBAS seorang anak
didik dapat belajar dengan bantuan sumber belajar apa saja, belajar dari siapa saja, belajar
kepada siapa saja, belajar tentang apa saja, dan belajar untuk tujuan apa saja. BEBAS dapat
berlangsung jika ada inisiator yang berasal dari masyarakat yang peduli kepada pemerataan
pendidikan, LSM, organisasi atau bahkan pemerintah . Peran penting yang diharapkan dari
pemerintah adalah kebijaksanaan sertifikasi bagi mereka yang dinilai telah mendapatkan
keahlian tertentu setelah mengikuti BEBAS. Keuntungan dari BEBAS disamping perluasan
kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang mereka inginkan juga
mengurangi beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional.
A.
Pendahuluan
Belajar tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan fisik, melainkan non-fisik, yakni rasa
ingin tahu dan prasyarat untuk mencapai kemampuan yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya
mampu pula memecahkan berbagai masalah. Kenyataan hidup sehari-hari dalam meningkatkan
kualitas dan bertahan hidup diperlukan berbagai kompetensi sehingga mampu bersaing dengan
lainnya. Hal demikian dapat dicapai kalau seseorang mampu belajar dengan baik dan benar.
Dengan demikian belajar sudah selayaknya menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi
seseorang yang ingin mempertahankan, meningkatkan kualitas diri dan kehidupannya serta ingin
memenangkan
persaingan
di
tengah
arus
global.
Belajar Berbasis Aneka Sumber (selanjutnya disingkat dan ditulis dengan huruf kecil “bebas”)
memang telah dipakai sebagai pendekatan di lingkungan pendidikan1) konvensional sebagai
upaya memperluas sumber belajar. Namun bebas di sini dimaksudkan sebagai proses belajar dari
sumber apa saja, tentang apa saja, dan kemudian di sini, mengenai bebas ini juga diperluas dalam
pengertian bebas yang sebenarnya, yakni tidak terikat. Jadi bebas dapat dilakukan di mana saja,
kapan saja, oleh siapa saja dan bagaimanapun caranya yang tidak terikat oleh format pendidikan
formal
yang
telah
diatur
pemerintah.
Belajar di lingkungan formal dan non-formal telah dirasakan oleh masyarakat pada umumnya
sebagai suatu yang semakin sulit dijangkau dan di sisi lain mereka semakin rnenyadari arti
pentingnya. sebagian kecil masyarakat dengan relatif mudah mendapatkan (menikmati) proses
pembelajaran yang bermutu tinggi di institusi unggulan sementara jauh lebih banyak mereka
yang tidak mampu memperoleh pendidikan (baca: menyekolahkan) anggota keluarganya di
institusi pendidikan yang lumayan baik saja. Mahalnya biaya pendidikan (belajar) merupakan
salah satu yang mendorong penulis untuk mencoba memaparkan bebas ini sebagai salah satu
alternatif pemecahannya. Keuntungan bebas lainnya disamping segi relatif murah biayanya
adalah terkait dengan waktu dan keleluasan pebelajar untuk menguasai materil kemampuan
tertentu, tanpa terikat oleh berbagai aturan baku yang terkadang bersifat kaku.
Tanpa disadari setiap hari anak-anak maupun orang dewasa telah menerapkan bebas ini. Namun
demikian perlu disadari bahwa belajar merupakan suatu proses yang disengaja
Untuk tujuan tertentu dan mengarah pada perubahan yang ralatif menetap. Pada tataran
terjadinya proses bebas ini memang sebaiknya pemerintah atau lembaga resmi lainnya tidak ikut
campur tangan, namun persoalan pengendalian mutu dan standar hasil belajarnya diperlukan
campur tangan pihak-pihak yang lebih berkompeten termasuk dan terutama sertifikasi atau
pemberian semacam surat tanda tamat belajar/menguasai kemampuan tertentu. Dalam benak
penulis mungkin akan dapat muncul semacam sertifikasi bebas; SD, SLTP, SMU, SMK, D II, D
III dan lain-lainnya sebagai tanda bahwa peserta bebas telah memiliki dan bisa dibuktikan
mereka mampu dalam hal tertentu yang disyaratkan untuk melaksanakan tugas tertentu. Misal
bebas D III Perhotelan, bila peserta bebas entah bagaimanapun caranya telah memiliki
kemampuan
tertentu
sebagai
petugas
khusus
di
Hotel.
Siapapun dapat melakukan dan atau ikut serta di dalam pendekatan bebas ini sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Tentu saja akan disyaratkan umur tertentu apabila dalam
pelaksanaannya diharuskan belajar mandiri dan memerlukan persyaratan minimal tertentu.
Mengingat masih minimnya kemampuan masyarakat secara umum mengidentifkasi sumbersumber belajar dari kemampuan tertentu sebagai tujuan belajar yang harus dikuasainya, maka
diperlukan paling tidak adanya inisiator maupun lembaga tertentu yang memungkinkan
terlaksananya bebas ini sesuai dengan karakteristiknya (yang penulis maksudkan di atas) tanpa
mengarah
kepada
format
pendidikan
yang
telah
ada.
lnisiator di sini diharapkan dari orang/lembaga yang sangat peduli kepada pemerataan
pendidikan dari kesejahteraan ataupun mungkin adanya campur tangan pemerintah sebagai
legitimator terhadap hasil belajar mereka (peserta bebas). Kepedulian dapat diwujudkan antara
lain dengan kesediaan membantu proses bebas dalam bentuk bekerjasama dengan para
“inisiator”, “organisator”; “koordinator” atau apapun namanya serta masing-masing individu
pembelajar sehingga memungkinkan adanya arah yang dituju secara jelas. Hal demikian tentunya
akan dimungkinkan lebih cepat terwujud apabila pemerintah mengeluarkan aturan khusus
tentang bebas ini sebagai proses pendidikan/pembelajaran alternatif dan inovatif. Dan akhirnya
pantaslah untuk direnungkan ungkapan berikut ” Bebas untuk Belajar dan Belajar untuk Bebas “.
B.
Bebas
di
Lembaga
Pendidikan
Konvensional
Konsep pemakaian sumber belajar di sekolah/institusi pendidikan konvensional memang telah
menggunakan pendekatan bebas ini. Namun kenyataannya penggunaan sumber belajar masih
didominasi oleh yang sifatnya merancang, belum memanfaatkan yang ada disekelilingnya secara
optimal. Keberadaan SLTP dan SMU Terbuka yang dirintis oleh Pustekkom nampaknya cukup
mendekati apa yang penulis maksudkan, yakni berusaha menggunakan sumber belajar yang
relatif
lebih
luas
yang
berada
di
lingkungan
sekitar
para
siswa.
C.
Bebas
Non-Format
Pendidikan
Konvensional
Belajar di lingkungan formal telah banyak mendapat kritik yang tajam berbagai kalangam
berkaitan dengan hasil belajarnya maupun pola-pola administratif dan manajerial yang terkadang
dirasa kaku dan menghambat kreativitas. Uraian berikut mencoba memaparkan pola lain proses
belajar dan pembelajaran yang lebih banyak mendasarkan diri pada pembelajar. Hal demikian
akan sejalan dengan apa yang dipandang oleh Teori Belajar Berdasarkan Psikologi Sasial:
Dalam pandangan faham belajar sosial, orang tidak didorong oleh tenaga dari dalam, demikian
pun tidak digencet stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan. Alih-alih fungsi psikologi
orang itu dijelaskan sebagai fungsi interaksi timbal balik yang terus menerus terjadi antara
faktor-faktor penentu pribadi dan lingkungannya. (Bandura, 1977b, hal. -11).2)
Teori belajar sosial Albert Bandura tersebut berusaha menjelaskan asas belajar yang berlaku
dalam latar/lingkungan yang wajar. Tidak seperti halnya latar laboratorium, lingkungan sekitar
memberikan kesempatan yang luas kepada individu untuk memperoleh keterampilan yang
kompleks dan kemampuan melalui pengamatan terhadap tingkah-laku model dan konsekuensikonsekuensinya.
Menyimak sekilas teori belajar sosial tersebut, selanjutnya dalam tulisan ini penggunaan sumber
belajar di dalam aktivitas belajar oleh pembelajar menurut hemat penulis dapat di golongkan ke
dalam
3
tingkatan
kebebasannya:
1.
Bebas
mutlak
Urusan belajar dan hal lain yang terkait, merupakan hak asasi manusia sehingga setiap individu
atau kelompok orang bebas menentukan apa saja yang terkait dengan belajar termasuk sumber
belajarnya. Hal ini dapat dilihat dengan lebih jelas pada orang dewasa lengkap dengan sifat-sifat
kedewasaan yang lekat padanya. Mereka memandang dan menyadari benar bahwa belajar adalah
kebutuhan individual dan sehagai kecenderungan/kodrat manusia/binatang untuk memahami
sesuatu dan bertahan hidup. Dalam hal demikian siapapun kita tak dapat berbuat banyak atas
orang lain dalam hat belajarnya, tetapi semua hal yang berkait dengan belajar terpulang pada
individu,
terutama
yang
tergolong
telah
dewasa.
2.
Bebas
terkendali
longgar
Proses belajar dan penggunaan sumber belajar terkendali dalam arti positif oleh para inisiator,
organisator, lembaga swadaya masyarakat (LSM) secara longgar demi efektivitas proses belajar.
Peran pengendali di sini hanyalah mungkin sebagai perumus tujuan belajar, penyedia pokokpokok materi dan pengidentifikasi sumber-sumber belajar yang dapat digunakan oleh si belajar
dan kamudian hanya menginformasikan (termasuk di mana ada pusat sumber belajar yang bisa
dimanfaatkan) hal tersebut kepada pembelajar yang selanjutnya terserah sepenuhnya kepada si
belajar. Dengan demikian akan tampak perbedaan model ini dengan format pendidikan formal
dan non-formal selama ini. Hal demikian disadari karena pada dasarnya basis belajar ini pada
aneka sumber yang harus dicari, dialami, dicoba, dikoreksi sendiri dan dimanfaatkan sendiri oleh
si pembelajar. Namun demikian juga masih dimungkinkan para inisiator tersebut menyediakan
sumber
belajar
tertentu
untuk
tujuan
belajar
tertentu.
Format seperti inilah yang penulis maksudkan di dalam tulisan ini, sehingga memang di sana-sini
terdapat berbagai peluang dan tantangan bagi berbagai pihak mulai dari individu yang ingin
belajar menguasai sesuatu sampai lembaga-lembaga yang secara resmi bertanggung jawab
terhadap
penyelenggaraan
pendidikan/proses
pembelajaran.
3.
Bebas
terkendali
ketat
Hal demikian telah dilakukan oleh berbagai institusi pendidikan konvensional yang telah
memiliki aturan yang terkadang bersifat kaku dan berskala nasional. Namun demikian
nampaknya sekarang ini sedang berlangsung suatu proses penyusunan peraturan pemerintah
tergantung pendidikan yang di dalamnya terdapat reorientasi keberadaan pendidikan nasional
selama ini, baik terkait dengan persoalan kurikulum, profesionalisme kependidikan dan lain-lain
termasuk
di
dalamnya
penggunaan
sumber-sumber
belajar.
Proses belajar itu dapat dilakukan setiap individu sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Belajar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari paling tidak dapat dipilah-pilah menjadi:
belajar
dengan
…
belajar
dari
…
belajar
kepada
…
belajar
tentang
…
- belajar untuk …
• Belajar dengan. Menunjukkan bahwa proses belajar itu disertai, didampingi, dengan
perantaraan, menggunakan sesuatu yang mendukung terjadinya proses belajar itu sendiri
sehingga tercapailah tujuan belajar. Dikaitkan dengan bebas, maka hal ini dapat ditafisirkan pula
penggunaaan aneka sumber belajar baik insani maupun non-insani yang telah dirancang maupun
yang tinggal memanfaatkan. Namun peran sumber belajar di sini merupakan pendamping,
penyemangat ataupun penguat sehingga pebelajar mampu melalukan tugas belajarnya. Misalnya
untuk belajar mengendarai sepeda motor seorang anak didampingi oleh kakaknya/orangtuanya,
untuk
belajar
desain
grafis
pebelajar
menggunakan
perantaraan
komputer.
• Belajar dari. Menunjukkan bahwa di dalam proses belajar terdapat sesuatu yang digali sehingga
pebelajar menguasai dan mencapai tujuan belajar. Nuansa ini juga dapat disebut belajar karena
yang maksudnya lebih dekat kepada susuatu yang menjadi inspirasi terjadinya belajar. Kaitannya
dengan bebas adalah bahwa segala sesuatu dapat menjadi inspirasi terjadinya belajar, sehingga
hal tersebut dapat disebut pula sumber belajar. Misalnya; peristiwa hujan dapat kita jadikan
sumber belajar. Jadi kita dapat belajar dari hujan, kebakaran, kekeringan, kerusuhan, dll.
• Belajar kepada. Hal ini lebih menunjukkan adanya obyek yang dijadikan narasumber belajar.
Narasumber lebih berperan sebagai pengajar yang memiliki kemampuan lebih dan dengan
demikian ia dapat memberikan bahan ajar (sesuatu yang dapat dipelajari) melalui dirinya kepada
si belajar. Misalnya; belajar kepada Ustadz, Kyai, Guru, Seorang Ahli, dll.
• Belajar tentang. Hal ini menunjukkan adanya spesifikasi materi yang akan dikuasai sehingga
proses belajar menjadi terfokus kepada satu atau beberapa hal yang sejenis. Misalnya; belajar
tentang matematika, pemograman barbasis komputer, bagaimana cara belajar yang baik, desain
interior,
sepak
bola,
dll.
• Belajar untuk. Hal ini menunjukkan adanya tujuan akhir belajar, tujuan di sini lebih merupakan
tujuan utama yang harus dilewati melalui pencapaian tujuan-tujuan lain yang menjadi tahapan ke
arah tujuan utama. Kata untuk di sini juga bisa dipadankan dengan demi, guna. Misalnya; belajar
untuk menjadi seorang sopir yang baik maka seseorang harus pula belajar tentang mobil, jalan
raya, aturan lalu lintas dan juga ia harus pula belajar dari/kepada sopir lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikaitkan bahwa berbasis dalam bahasan bebas ini dapat
meliputi berbagai hal di atas kecuali belajar tentang dan belajar untuk. Karena kata berbasis
penulis artikan sebagai “berdasar”, “mendasarkan diri”, “berpijak” kepada segala macam
sumber-sumber
belajar.
Menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT ) sumber belajar
sebagaimana dikutip oleh Karti Soeharto, dkk dalam bukunya Teknologi Pembelajaran (1995):
Learning resources (for Educational Technology) all of the resources (data, people, and things)
which may be used by the learner in isolation or in combination, usuaily in a formal manner, to
facilitate learning; they include messages, people, materials, devices, techniques, and setting.
(AFCT,
1977,
p.F)
3)
Yang dimaksud dengan sumber (pen: sumber belajar) ialah asal (pen: sesuatu) yang mendukung
terjadinya belajar, termasuk sistem pelayanan, bahan pembelajaran dari lingkungan.4)
D.
Peluang
Peluang dalam hal ini dimaksudkan sebagai adanya kesempatan baik, yang penulis pandang
sebagai sesuatu yang cukup inovatif dan alternatif yang bisa di dapat/terwujud apabila
diusahakan ke arah itu dan berhasil melewati tantangan-tantangan tertentu.
Peluang melaksanakan bebas dan memperoleh manfaat dari bebas ini secara garis besar dapat
dikelompokkan
ke
dalam:
1.
Individu
2.
Keluarga
3.
Masyarakat
4.
Pemerintah
5.
Tempat
Kerja
6.
Tempat
Ibadah
7.
Media
8.
Sekolah
9.
Perguruan
Tinggi
Namun demikian, konsisten dengan apa yang penulis maksudkan pada uraian terdahulu yang
diharapkan dapat berperan penting dalam pelaksanaan bebas ini adalah individu, keluarga, dan
masyarakat
lengkap
dengan
segala
potensinya.
Beranjak dari kesempatan yang dimungkinkan oleh keleluasaan penyelenggaraan bebas ini,
maka
berikut
ini
terdapat
keuntungan
yang
bisa
didapat:
1. Masing-masing individu akan leluasa menentukan tujuan dari topik belajar sendiri, baik
menyangkut -pengetahuan, keterampilan dan atau sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
Kebebasan inipun dapat difaktakan dalam hal waktu penyelesaian belajarnya.
2. Memotivasi masyarakat untuk ikut serta menggerakkan pebelajar ataupun menjadi inisiator
pelaksanaannya.
3. Pendanaan relatif lebih rendah daripada yang ada pada lembaga formal karena telah banyak
variabel-variabel pembiayaan yang bisa dihemat/dipangkas, antara lain tak perlu gedung sekolah,
tak perlu pegawai administrasi yang banyak, tak perlu rnembuat aturan. yang macam-macam, tak
perlu
gedung
pertemuan,
dll.
4. Beban pemerintah dalam penyelenggaraair pendidikan menjadi lebih ringan dengan adanya
partisipasi aktif masing-masing individu pelajar, masyarakat, para inisiator, organisator, dll.
E.
Tantangan
Konsep bebas dalam tulisan ini dalam prakteknya lebih dimungkinkan berhasil apabila terarah
pada tingkat SLTP ke atas, karena perlu adanya persyaratan minimal tertentu sehingga belajar
mandiri dapat dilaksakan. Sedangkan dalam tingkat SD pendekatan bebas juga akan sangat baik
dilakukan
untuk
merangsang
kamandirian
dan
kreativitas
siswa.
Mengingat dengan bebas ini dimungkinkan banyak keuntungan/kelebihan yang dapat diperoleh,
tentunya akan sulit terwujud apabila tidak ada peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan
pelaksanaannya secara rill di masyarakat. Berikut ini akan dicoba paparkan pihak-pihak yang
dapat berperan menembus tantangan dimaksud yang tentu saja akan berbeda dengan apa yang
oleh
sekolah
konvensioal
pernah
lakukan.
Pemerintah. Pemerintah dapat berperan dengan mengeluarkan aturan khusus mengenai
mekanisme pelaksanaan bebas termasuk di dalamnya; kurikulum khusus untuk bebas, acuan
patokan penguasaan kemampuan, standar minimal, serta sertifikasi atau pemberian semacam
surat tanda tamat belajar sehingga hal ini menarik perhatian banyak kalangan untuk ikut serta di
dalamnya. Baik individu maupun masyarakat akan tergerak karena terdapat legitimasi/pengakuan
bahwa tidak hanya mereka yang menamatkan sekolah di lembaga formal saja yang berhak
mendapatkan pekerjaan ataupun menduduki jabatan yang layak. Contoh bila ada seseorang yang
memiliki kemampuan tertentu sebanding dengan tamatan SMK (Mis: dulu STM jurusan
Otomotif) namun tidak pernah bersekolah di SMK, tentunya mereka akan senang kalau
kemampuannya
dihargai
dengan
tamatan
SMK.
Selanjutnya dengan adanya ketentuan khusus yang telah dikeluarkan pemerintah, tentunya harus
diikuti pula kesadaran berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang biasanya mensyaratkan ijasah
tertentu untuk bekerja di instansinya dengan merubah paradigma rekruitmen menjadi persyaratan
kemampuan minimal tertentu dan bukan ijasah tertentu. Misalnya; seseorang yang bekerja di
hotel sebagai ‘house keeping’ yang agak jarang berhubungan dengan orang adalah tamatan D III
perhotelan. Mungkin nanti pekerjaan house keeping dapat pula dilakukan oleh seseorang yang
hanya memiliki ijasah SD atau SLTP namun ia mampu melakukan hal sebagaimana D III
perhotelah tersebut. Kenapa tidak? Yang digaji itu pekerjaannya atau ijasahnya dan apakah
ijasah
sudah
pasti
menjamin
keterampilan
riil
yang
diperlukan?
Persyaratan peserta dibuat seringan dan semudah mungkin dipenuhi; misalnya telah miliki ijasah
SD atau bisa membaca dan menulis saja. Umur pesertapun tidak dibatasi, mengingat hak belajar
dan
berkemampuan
adalah
hak
setiap
orang.
Individu. Setelah tahu kurikulum dan tujuan belajar, peserta bebas selanjutnya akan mandiri
mencari sumber belajarnya dan berusaha dengan berbagai cara menguasainya. Dituntut disiplin,
kemandirian dan kemampuan untuk maju yang tinggi dari para peserta bebas beserta kelompokkelompok belajarnya. Memang dimungkinkan peserta bebas bisa semaunya sendiri dan tak
terkontrol dalam hal belajarnya. Hal demikian menurut hemat penulis justru merupakan
tantangan kemadirian yang harus ditanamkan sehingga dalam sikapnya mereka memiliki
kedewasaan
dan
kesadaran
penuh.
Dorongan masyarakat orangtua juga tetap dimungkinkan. Kepentingan belajar sudah seharusnya
melekat pada pebelajar tanpa adanya campur tangan pihak lain terutama pemerintah sehingga
diharapkan akan mendewasakan mereka. Dengan banyaknya contoh temannya yang berhasil,
maka akan lebih memacu, merangsang dan mendorong, memotivasi mereka untuk mengikuti
jejak
teman-temannya.
Inisiator. Inisiator dapat dilakukan pada prinsipnya siapa saja yang peduli akan pemerataan
pembelajaran baik berupa individu, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, institusi
pendidikan,
tempat-tempat
kerja,
tempat-tempat
ibadah,
pemerintah,
dll.
Para tokoh masyarakat, Ormas, LSM dan lain-lain dapat berperan memantau/menyemangati para
peserta agar dengan sungguh-sungguh “berproses” kepada tujuan belajarnya. Masyarakat
maupun lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi terkait diharapkan membantu
mengidentifikasi, bahkan bila mungkin, menyediakan sumber-sumber belajar yang diperlukan.
Institusi pendidikan dan lembaga lain yang berkompeten hendaknya menyediakan sumber belajar
terbuka (open learning resources) yang akan bisa dimanfaatkan oleh peserta bebas.
Mengingat sebagian besar masyarakat telah terlalu banyak yang terbiasa dengan bersekolah
secara konvensional, kemampuan untuk belajar mandiri akan tergantung dengan pola bebas ini.
Dengan demikian perlu adanya bahan belajar mandiri (BBM) karena kurang ada kemampuan
otodidak dan tidak yakin akan berhasil, selalu ingin dibimbing, diarahkan, diberitahu dan lainlain. Hal ini juga merupakan tantangan para inisiator maupun pemerintah untuk membantu lebih
banyak tersedia bbm.
F.
Pengendalian
Mutu
Bebas
Pengendalian mutu dapat dengan lebih mudah dilakukan pada materi-materi tertentu yang lebih
terkait dengan perfarmunce ability daripada kemampuan konseptual. Pengendalian ini
dimaksudkan agar terdapat standar minimal yang disesuaikan dengan kondisi si pelajar dan
lingkungannya. Dalam dunia pendidikan formal hal ini dikenal dengan standar acuan patokan
yakni level kemampuan tertentu yang menjadi rujukan pengusaan kemampuan peserta belajar.
Pengendalian ini dapat diperankan oleh lembaga-lembaga pendidikan konvensional yang
ditunjuk yang dalam prakteknya hanya memfasilitasi terlaksananya ujian/tes penguasaan materi
peserta bebas. Peran ini juga dapat dimainkan oleh segenap komponen bangsa yang potensial,
institusi swasta, maupun LSM yang memiliki kompeteltsi yang relevan sebagai bentuk
partisipasi aktif masyarakat. Adapun sasaran pengendalian mutu adalah kompetensi para peserta
bebas dalam prosesnya menuju tujuan akhir belajarnya.
G.
Mekanisme
Bebas
Mekanisme pelaksanaan bebas yang penulis maksudkan secara sederhana dapat digambarkan
dengan
mengacu
pada
prinsip
belajar
dan
kepentingan
si
belajar.
Para inisiator memberitahukan kurikulum berikut dengan sumber belajar standar buku-bukunya.
Selanjutnya peserta bebas mencari tambahan referensi sendiri. Bila peserta telah merasa
menguasai
materi
mereka
dapat
mengajukan
ujian
kepada
inisiator.
Berikut ini digambarkan struktur subordinat dalam pendekatan yang berorientasi pada
siswa/pembelajar5).
Gambar tersebut di atas merupakan pendekatan kepada siswa yang dilaksanakan di institusi
pendidikan konvensional, sehingga beban lembaga penyelenggaran menjadi berat dan dibalik itu
kebebasan
siswa
dirasa
kurang.
Berikut ini bandingkan dengan pendekatan bebas yang penulis maksudkan dengan mengadaptasi
bagan di atas. Dalam bagan berikut siswa/pebelajar masih menjadi pusat perhatian, namun
kemandirian dan kedewasaan mereka sangat ditantang yang tentu saja peran orang tua maupu
masyarakat
sebaiknya
menyertai
proses
belajar
mereka.
Pendekatan
Bebas
yang
penulis
maksudkan
dapat
digambarkan
sbb:
H.
Bebas
dalam
Pandangan
Islam
Menurut Agama Islam, ayat pertama dalam Al-Qur’an adalah IQRO’ yang berarti bacalah.
Menyimak ayat pertama surat Al-Alaq ini (iqro’bismirobbika alladzi kholaq: bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan) sebenarnya dalam pandangan Al-Qur’an sejak
diturunkan ayat tersebut umat Islam khususnya telah diperintahkan untuk “membaca”. Tentu saja
membaca dalam hal ini tidak hanya diartikan sebagaimana membaca tulisan di dalam buku,
kitab, dan lain-lainnya, tetapi ia mengandung arti yang lebih luas dari itu. Menurut hemat penulis
membaca dapat diartikan selain membaca dalam arti sesungguhnya tersebut adalah juga sebagai
mengamati, menganalisa, mengambil pelajaran hikmah, dari lingkungan sekitar kita, diri kita
sendiri, peristiwa, keteladanan, aktivitas sosial, dll. Lebih lanjut dalam surat Al-Alaq ayat lima
(allamal insaanna maa lam ya’lam: Dia (pen: Allah) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Bila dikaitkan dengan bebas, maka Al-Qur’an pun sejak ayat pertamanya telah menunjuk dan
menginspirasikan pada kita untuk membaca (baca:belajar) dari berbagai sumber, walaupun tidak
dijelaskan secara eksplisit di sana. Adapun ayat lima lebih eksplisit disinggung bahwa Allah
(Tuhan)
adalah
sumber
ilmu.
Dalam hal penafsiran terhadap ayat tersebut, para ulama rupanya telah sepakat bahwa iqro dapat
dibagi/dijabarkan
dalam
tiga
dimensi:
Membaca
diri
sendiri
(iqro’
bin-Nafs)
- Membaca alam semesta/lingkungan (iqro’ maa fi Samawati wal Ard)
- Membaca kitab (iqro’ bil Kutub)
Dengan demikian jelaslah bahwa sebenarnya bukan hanya konsep modern sekarang saja yang
menyatakan bahwa belajar itu dapat dan sebaiknya Harus berbasis segala sumber yang
memungkinkan. Bahkan telah diakui dan terbukti oleh berbagai kalangan terutama para Ilmuwan
dan umat Islam sendiri bahwa .Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan. Di kalangan umat
Islam telah sangat populer adanya ajaran bahwa; apabila kulian ingin memperoleh kebaikan
dengan ilmu dan apabila kalian ingin kebaikan pada keduanya hendaklah dengan ilmu pula.
Maka dari itu jelaslah khususnya bagi umat Islam, Al-Qur’an bukan sekedar sumber belajar,
tetapi pedoman/tuntunan hidup. Demikian pula tentunya umat yang beragama selain Islam
menyakini bahwa kitab sucinya dapat merupakan sumber belajar dan pedoman hidup mereka.
I.
Penutup
Inilah sebuah pemikiran dan apabila diperkuat dengan pemikiran-pemikiran lain tentu akan lebih
baik dan berpengharapan. Dan bahkan bila muncul pemikiran yang berbeda tentu hal ini juga
sebuah pemikiran yang bila digambarkan sebuah pemikiran dari masing-masing kita, yang peduli
tentunya, akan menjadi kumpulan pemikiran yang luar biasa yang diharapkan menjadi salah satu
solusi krisis multi dimensi masa kini. Penulis menyadari di sana sini terdapat kekurangan, baik
kurang operasinal, terlalu teoritis, tidak jelas maksudnya dan lain-lain. Namun paling tidak,
penulis harapkan paper ini menggugah dan merangsang pemikiran kita akan nasib anak bangsa
yang kurang beruntung untuk dapat berkemampuan, berketerampilan, bersikap sebagaimana
mereka yang lebih dulu menikmatinya pembelajaran yang baik.
VIRTUAL LEARNING/VIRTUAL CLASSROOM SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN
JARAK
JAUH:
KONSEP
DAN
PENERAPANNYA*)
Oleh:
Anung
Haryono
dan
Abubakar
Alatas**)
Abstrak
Kelas virtual akan menjadi trend teknologi pembelajaran masa depan. Pemanfaatan teknologi
pembelajaran seperti video conference, audio conference, e-learning, CD interaktif, dll telah
dimulai di sejumlah institusi Pendidikan. Secara konseptual, kelas virtual memiliki sejumlah
potensi antara lain; memberikan peluang bagi siswa untuk berinterkasi dengan guru, teman,
maupun bahan belajar tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Demikian pula guru melalui internet
dapat mengontrol kegiatan belajar siswa kapan saja diperlukan. Selain itu, kelas virtual dapat
memberikan sajian bahan belajar yang menarik sehingga siswa termotivasi untuk belajar. Namun
di pihak lain, kelas virtual juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain; penggunaan internet
memerlukan imprastruktur yang memadai, saat ini masih relatif mahal, dan komunikasi melalui
internet sering kali lamban. Oleh karena itu penerapan kelas virtual di Indonesia perlu dilakukan
secara bertahap. Sekolah-sekolah di perkotaan yang telah mempunyai akses ke internet dapat
memulai
terlebih
dahulu.
PENDAHULUAN
Banyak orang di seluruh penjuru dunia mengakui bahwa Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) dapat
digunakan sebagai salah satu cara yang efektif untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang
sulit diatasi dengan cara konvensional. Permasalahan itu misalnya banyaknya anak usia sekolah
yang tidak dapat mengikuti pendidikan konvensional karena tinggal di tempat yang jauh dari
sekolah, banyaknya anak maupun orang dewasa yang ingin memperoleh pendidikan tetapi tidak
dapat mengikuti pendidikan konvensional karena harus bekerja mencari nafkah pada jam jam
sekolah, banyaknya orang yang pada waktu mudanya tidak mendapatkan kesempatan
memperoleh pendidikan dan sekarang ingin mendapatkan kesempatan kedua tetapi tidak dapat
meninggalkan pekerjaannya, banyaknya orang yang ingin mendapatkan pendidikan tetapi tidak
dapat karena cacat badan, sakit, tinggal di penjara, tidak dapat meninggalkan rumah karena
banyaknya
urusan
dan
tanggung
jawab
keluarga,
dan
sebagainya.
Makalah ini membahas mengenai pengertian PJJ, efektivitas dan kelemahan sistem yang
digunakan selama ini, timbulnya keinginan untuk mengembangkan kelas virtual sebagai cara
baru dalam menyelenggarakan sistem PJJ, serta potensi, cara menggunakan, dan kelemahan
model PJJ melalui internet ini.
DEFINISI
PENDIDIKAN
JARAK
JAUH
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) berkembang sudah lama sebelum kita di Indonesia
menggunakannya. Banyak definisi yang digunakan untuk PJJ. JW. Keegan melakukan penelitian
mengenai praktek penyelenggaraan dan definisi PJJ yang digunakan di berbagai negara di dunia.
Dia melakukan analisis dan menelaah berbagai definisi yang hampir sama, mulai dari definisi
Doamen (1967), Meckenzie. Christensen; dart Rigby (1968); Undang-undang Pendidikan
Perancis (1971); Peters (1973), Holmberg (1977) dan membuat sintese mengenai definisidefinisi tersebut. Menurut dia ada enam unsur dasar pengertian (six defining elements)
Pendidikan
Jarak
Jauh
yang
dapat
diketengahkan,
yaitu:
• Terpisahnya guru dan siswa. Karakteristik inilah yang membedakan PJJ dari pendidikan
konvensional.
• Adanya lembaga yang mengelola PJJ. Hal ini yang membedakan orang yang mengikuti PJJ dari
orang
yang
belajar
sendiri
(self
study).
• Digunakannya media (biasanya media tercetak) sebagai sarana untuk menyajikan isi pelajaran.
• Diselenggarakannya sistem komunikasi dua arah antara guru dan siswa atau antara lembaga
dan siswa sehingga siswa mendapatkan manfaat darinya. Dalam hal ini siswa dapat berinisiatif
untuk
terjadinya
komunikasi
itu.
• Pada dasarnya PJJ itu bersifat pendidikan individual. Pertemuan tatap muka untuk melengkapi
proses pembelajaran berkelompok maupun untuk sosialisasi dapat bersifat keharusan
(compulsory), pilihan (optional), ataupun tidak ada sama sekali tergantung kepada organisasi
penyelenggaranya.
Definisi tersebut berlaku bagi berbagai sistem atau model PJJ yang menggunakan nama yang
berbeda-beda seperti Correspondence School, Distance Learning, Open Learning. Open
Education, Open University, Extentiori Study, Home Study, Independent Learning, dan masih
banyak lagi istilah lain. Definisi itu bahkan juga masih berlaku bila diterapkan pada sistem PJJ
baru yang sekarang sedang banyak diminati orang yaitu On-line Learning, Virtual Learning atau
e-Learning.
JARAK
TRANSAKSI
DAN
CARA
MENJEMBATANINYA
Sebelum pembahasan mengenai pendidikan jarak jauh melalui internet ini dilanjutkan kiranya
perlu dibahas terlebih dahulu mengenai arti jauh dalam istilah “pendidikan jarak jauh” dan
bagaimana cara menjembatani jarak itu. Menurut Moore (1983) jarak antara siswa dan guru
dalam pendidikan jarak jauh hanya dipandang dari segi jarak fisik dan geografis saja melainkan
harus dilihat sebagai jarak komunikasi dan psikologis yang disebabkan karena keterpisahan
siswa dari guru. Dewey dalam Moore (1903) menjelaskan bahwa transaksi pendidikan
merupakan interaksi antara individu; lingkungan, dan perilaku yang terjadi dalam situasi tertentu.
Transaksi pendidikan dalam sistem PJJ terjadi antara siswa dan guru dalam situasi yang bersifat
khusus yaitu keterpisahan mereka satu dari lainnya. Jarak transaksi dalam sistem pendidikan
jarak jauh merupakan jarak komunikasi dan jarak psikologis antara siswa dan guru. Jarak
transaksi ini dapat mengakibatkan perbedaan persepsi mengenai konsep yang dijelaskan oleh
guru melalui media dan pemahaman siswa mengenai konsep itu. Oleh karena itu jarak itu perlu
dijembatani
supaya
perbedaan
persepsi
itu
berkurang
atau
hilang.
Menurut Moore (1983, 1996) jarak transaksi itu dapat dijembatani melalui komunikasi dan
percakapan (dialogue). Dialog atau komunikasi pembelajaran dapat mengurangi jarak
transaksinya. Artinya makin mudah dan makin sering guru dan siswa berinteraksi makin kecil
kemungkian terjadinya kasalahpahaman dalam menafsirkan isi pelajaran. Jadi dalam sistem PJJ
ini adanya interaksi aktif antara siswa dan guru itu sangat penting supaya proses belajar dapat
terjadi.
Moore (1983, 1996) juga mengatakan bahwa media yang digunakan untuk menyajikan isi
pelajaran itu sangat mempengaruhi ada tidaknya komunikasi, dialog, atau interaksi antara guru
dan siswa. Kalau media yang digunakan adalah TV, radio, atau buku kesempatan siswa untuk
berkomunikasi, berdialog, atau berinteraksi dengan guru sangat kecil. Kalau media yang
digunakan adalah audio conference, video conference, atau internet kesempatan bagi siswa untuk
berkomunikasi, berdialog, atau berinteraksi dengan guru secara relatif jauh lebih besar. Dengan
perkataan lain, bila media yang digunakan itu internet jarak transaksi antara siswa dan guru kecil
dan karenanya komunikasi dapat sering dilakukan sehingga kesalahpahamanan penafsiran isi
pelajaran semakin kecil.
USAHA
YANG
TELAH
DILAKUKAN
Sampai saat ini media pembelajaran yang masih banyak digunakan dalam sistem pendidikan
jarak jauh terutama adalah media cetak berupa bahan belajar mandiri yang biasa disebut modul.
Media ini seringkali ditunjang dengan media radio, TV, kaset audio, dan kaset video.
Seperti yang telah dibicarakan pada bagian sebelumnya media tersebut di atas kurang
memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk saling berinteraksi, karena itu
menyebabkan adanya jarak transaksi yang besar. Artinya media tersebut kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berkomunikasi, berdialog, atau berinteraksi dengan guru.
Akibatnya siswa yang mendapatkan kesulitan dalam memahami isi pelajaran tidak dapat
menanyakan kesulitan itu kepada guru. Dengan demikian kalau siswa salah dalam menafsirkan
isi pelajaran, kesalahan itu akan disimpannya dan dibawanya terus sebelum ada orang yang
memberi
penjelasan
mengenai
penafsiran
yang
benar.
Apakah usaha yang dilakukan untuk menjembatani jarak tersebut? Telah banyak usaha yang
dilakukan untuk membantu siswa dalam mengatasi kesulitan belajar. Usaha itu antara lain berupa
layanan bantuan belajar melalui tutorial. Dalam kegiatan tutorial ini guru atau tutor memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menanyakan atau mendiskusikan kesulitan belajar yang mereka
hadapi. Guru akan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah itu dengan memberikan
penjelasan atau mendiskusikannya dengan siswa yang lain.
BEBERAPA
JENIS
TUTORIAL
DAN
KELEMAHANNYA
Tutorial dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya tutorial tatap muka, tutorial melalui
surat-menyurat, turorial melalui telepon, tutorial melalui audio konference atau video
conference.
•
Tutorial
tatap
muka
Siswa dan guru atau tutor bertemu muka secara berkala untuk memberikan kesempatan kepada
siswa menanyakan kesulitan yang dihadapi siswa. Tutorial seperti ini sangat bagus untuk
mengurangi jarak transaksi antara guru dan siswa. Dengan demikian kesalahpahaman dalam
menafsirkan
isi
pelajaran
dapat
diperkecil.
Kekurangan
yang
ada
dalam
tutorial
semacam
ini:
- Tutorial tidak dapat dilakukan terlalu sering. Makin sering dilakukan makin mahal biayanya.
Biasanya tutorial ini diadakan seminggu sekali, sebulan sekali, atau bahkan ada yang hanya
diselenggarakan dua atau tiga kali dalam satu semester. Hal ini menyebabkan siswa harus
menunggu lama sebelum mereka dapat mengutarakan kesulitannya kepada guru atau tutor.
- Tutorial seperti ini biasanya bukan merupakan keharusan. Akibatnya banyak siswa yang
memilih tidak hadir karena pertimbangan-pertimbangan yang bersifat individual. Banyak yang
tidak
hadir
karena
aiasan
waktu,
biaya
transpor,
atau
alasan
lain.
•
Tutorial
melalui
telepon
dan
surat
Tutorial jenis ini tidak banyak dimanfaatkan siswa, pada hal biayanya relatif murah dan mudah
melakukannya. Kendalanya mungkin tidak semua siswa mempunyai telepon, atau sungkan untuk
menanyakan pelajaran kepada guru melalui telepon atau surat. Rasa sungkan ini mungkin
dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Di samping itu tutorial melalui surat jawabannya seringkali
datangnya
sangat
lambat.
•
Tutorial
melalui
konferensi
audio
atau
video
Tutorial ini jarang digunakan karena biayanya relatif mahal.
SISTEM
PEMBELAJARAN
MELALUI
INTERNET
Dunia telah mengakui bahwa sistem PJJ yang diselenggarakan selama ini merupakan wahana
belajar siswa yang cukup efektif. Lulusan PJJ dapat bersaing dengan lulusan sekolah
konvensional di pasar kerja di masyarakat. Banyak juga lulusan PJJ yang berhasil memasuki dan
meyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dalam kedudukan yang sama seperti lulusan
sekolah konvensional. Namun kekurangan yang ada dalam penyelenggaraan sistem PJJ yang
selama ini berlangsung dan kemajuan di bidang teknologi informasi telah mendorong banyak
orang untuk menjajagi efektifitas teknologi pembelajaran melalui internet yang diduganya dapat
meningkatkan proses belajar dalam sistem PJJ. Dalam sistem pembelajaran melalui intemet isi
pelajaran disampaikan secara on-line, siswa belajar, berdiskusi, bertanya, dan mengerjakan soal
latihan secara on-line. Karena itu sistem pembelajaran ini seringkali disebut pembelajaran secara
on-line. Dalam sisten pembemlajaran ini semua proses pembelajaran dapat dilakukan tanpa
menuntut siswa hadir di ruang kelas tertentu, tetapi mereka dapat berinteraksi satu sama lain
untuk mendiskusikan pelajaran seperti yang terjadi di kelas biasa. Karena dalam sistem
pembelajaran ini tidak ada ruang kelas atau kampus secara fisik maka sistem ini seringkali
disebut virtual learning, virtual classroom, atau virtual campus (Potter, 1997). Selain dari pada
itu, karena proses pembelajaran, dalam sistem ini dilaksanakan melalui komunikasi elektronik
dengan menggunakan intemet, maka sistem ini juga sering disebut e-learning.
POTENSI
VIRTUAL
LEARNING
DALAM
PROSES
PEMBELAJARAN
Virtual Learning ini banyak diminati orang karena potensi yang dimilikinya untuk membuat
proses
belajar
menjadi
efektif.
• Potensi yang utama adalah dapat memberikan peluang bagi siswa untuk berinteraksi dengan
guru,
dengan
teman,
maupun
dengan
bahan
belajarnya.
- Siswa dapat berkomunikasi dengan gurunya melalui e-mail. Komunikasi ini bersifat orang
perorang. Siswa dapat mengajukan pertanyaan kapan saja dia mau. Guru akan menjawab secepat
mungkin sesuai dengan waktu yang dimilikinya. Cara berkomunikasi seperti ini jauh lebih cepat
dari
pada
komunikasi
yang
dilakukan
melalui
pertemuan
tatap
muka.
- Siswa dapat berkomunikasi dengan guru dan teman-temannya secara bersama-sama melalui
papan buletin. Dalam forum ini pertanyaan seorang siswa kepada guru dapat dibaca oleh temantemannya yang mengambil pelajaran yang sama. Jawaban guru juga dapat dibaca oleh siswa lain
yang tidak mengajukan pertanyaan. Dalam proses ini guru juga dapat melontarkan pertanyaan
tadi kepada siswa yang lain. Siswa yang lain dapat memberikan jawaban yang akan dibaca oleh
seluruh anggota kelas. Dengan demikian sesuatu persoalan dapat dipecahkan bersama antara
guru
dan
semua
siswa
di
dalam
“kelas
virtual-nya”.
Komunikasi antara siswa dan guru atau antara siswa dengan siswa lain itu dapat dilakukan secara
tidak bersamaan waktu (a-synchronous) maupun secara bersamaan waktu (synchronous).
Komunikasi melalui e-mail dan papan buletin seperti yang diutarakan di atas dilakukan secara
tidak bersamaan waktu. Pengiriman dan penerimaan informasi tidak dilakukan pada waktu yang
sama.
Komunikasi yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan (synchronous) dapat dilaksanakan
melalui forum diskusi secara on-line. Diskusi semacam itu dilakukan menurut jadwal waktu
yang disepakati. Dengan demikian pada waktu yang sama semua peserta diskusi akan membuka
internetnya. Masing-masing akan dapat membaca informasi yang masuk dan pada waktu itu juga
akan dapat memberikan tanggapan. Diskusi semacam ini akan sama menariknya dengan
konferensi melalui audio atau video. Hanya biayanya relatif lebih murah.
- Komunikasi antara siswa dengan isi pelajaran. Siswa akan terbiasa untuk mempelajari sendiri
bahan belajar yang disajikan secara on-line. Karena bahan belajar on-line itu biasanya disertai
dengan tes mandiri, siswa akan dapat menguji kemajuan belajar dirinya sendiri. Bila siswa
memerlukan pengayaan bahan belajar siswa juga dapat mencari sumber bacaan yang sesuai
melalui internet. Hal tersebut akan mernbiasakan siswa mencari informasi dan sumber belajar
sendiri, tidak menunggu diberikan oleh guru. Karena itulah proses pembelajaran on-line ini
sering kali disebut juga resource based learning atau belajar berbasis sumber.
• Guru dapat mengontrol aktivitas belajar siswa melaiui internet. Guru akan dapat melihat kapan
siswa belajar, topik apakah yang dipelajari, berapa lama ia mempelajarinya, berapa kalikah ia
mempelajari ulang topik itu. Guru juga dapat melihat apakah siswa mengerjakan latihan soal
setelah selesai mempelajari topik tertentu. Berapa banyak soal yang dapat dikerjakan dengan
betul.
Berapa
sekornya
dan
sebagainya.
• Virtual learning dapat menyajikan pelajaran dengan cara yang menarik. Merrill dalam
Reigeluth (1983) mengemukakan bahwa dalam mengajar ada empat langkah utama yang
dilakukan guru (1) pemberian penjelasan, (2) pemberian contoh, (3) pemberian latihan
(exercise), dan (4) pemberian umpan balik atau feedback yang berfungsi sebagai reinforcement.
Keempat langkah ini dapat diterapkan dengan mudah dalam penyajian pelajaran melalui internet.
Dalam memberikan penjelasan dan contoh, internet dapat menggunakan gambar, diagram, chart,
suara, dan juga gerakan. Kalau dalam memberikan penjelasan digunakan, kata, atau istilah, atau
konsep yang umum dikenal oleh siswa, siswa dapat meng-klik kata, istilah, atau konsep itu dan
akan muncul paparan yang dengan mudah dapat dipelajari siswa. Setelah mempelajari paparan
itu siswa akan dengan mudah kembali ke pelajaran semula. Dengan cara ini interaksi antara
siswa
dan
bahan
belajar
dapat
berlangsung
secara
aktif.
Pada saat siswa mengerjakan latihan, siswa akan segera mengetahui apakah jawaban yang
diberikan betul atau salah. Karena program on-line akan segera memberikan umpan baliknya.
Dengan demikian siswa akan gembira mendapatkan umpan balik itu dan akan termotivasi untuk
belajar lebih lanjut.
MENCIPTAKAN
KELAS
VIRTUAL
(VIRTUAL
CLASSROOM)
Porter (1997) menyarankan, kalau kita akan menciptakan kelas virtual kita harus
mempertimbangkan berbagai hal supaya kelas virtual tersebut dapat menjadi wahana proses
belajar
yang
efektif
• Kelas virtual tersebut harus dilengkapi dengan sumber belajar yang pada saat diperlukan siswa
telah tersedia dan mudah diakses. Andaikan sumber belajar itu tidak dapat disediakan,
penyelenggara kelas virtual tersebut harus dapat menunjukkan di mana sumber belajar itu dapat
dicari. Kelas virtual itu harus dilengkapi dengan peralatan (tool) yang dapat digunakan untuk
mencari dan mengirimkan pesan kepada guru atau sesama siswa. Sebagai contoh, bila siswa
ingin mempelajari buku atau dokumen tertentu yang berkaitan dengan pelajaran yang sedang
dipelajari, bahan belajar tersebut harus dapat diakses secara on-line. Bila tidak tersedia, setidak
tidaknya alat yang tersedia dapat digunakan untuk mencarinya di sumber data yang lain.
Kelas virtual seringkali juga menggunakan alat komunikasi lain selain internet, seperti fax,
telepon,
konferensi
audio
dan
konferensi
video.
• Kelas virtual tersebat harus dapat memberikan harapan kepada siswa untuk terjadinya proses
belajar dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Hal tersebut antara lain dapat
diwujudkan dengan merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas dan spesifik, menyusun bahan
belajar yang baik dan berkualitas tinggi, dan memfasilitasi terjadinya komunikasi timbal balik
antara
siswa
dan
guru.
• Kelas tersebut harus dapat menyatukan siswa dan guru supaya mereka bersikap terbuka untuk
berbagi informasi dan bertukar gagasan. Mungkin siswa dan guru dalam kelas virtual tidak
pemah berjumpa satu dengan lainnya, tetapi kalau mereka sering berdialog jarak komunikasi dan
jarak psikologisnya (jarak transaksinya) menjadi kecil. Dalam situasi seperti ini kemungkinan
terjadinya
kesalahan
dalam
menafsirkan
isi
pelajaran
juga
kecil.
• Kelas virtual harus menyediakan ruang untuk percobaan dan penerapan. Dalam sistem
konvensional siswa sering diberi kesempatan melakukan percobaan, menghadapi workshop,
melakukan demonstrasi mengenai hasil pelaksanaan tugas-tugas akademik, dan melakukan
penyajian
untuk
mengungkapkan
gagasan.
Kelas virtual juga perlu dirancang supaya siswa dapat berbagi (share) hasil karya dan bertukar
pengalaman dalam menerapkan pengetahuan yang telah diperolehnya. Misalnya konferensi jarak
jauh atau desktop video conference dapat digunakan untuk ceramah atau penyajian. Dapat juga
dilakukan simulasi secara on-line mengenai penerapan pengetahuan tentang prosedur melakukan
sesuatu yang baru dipelajari. Simulasi seperti ini harus dirancang untuk dapat memperoleh
umpan balik, sehingga dapat diketahui apakah penerapan pengetahuan yang disimulasikan
tersebut
benar
atau
salah.
• Kelas virtual juga harus dapat memberikan penilaian terhadap kinerja siswa. Dalam sistem
pembelajaran ini harus dimasukkan evaluasi kemajuan belajar siswa yang dapat dikerjakan
secara on-line. Guru dapat memeriksa dan memberikan penilaian secara on-line juga. Pekerjaan
siswa dan nilainya hanya dapat dilihat oleh siswa dan gurunya saja. Siswa lain tidak dapat
mengetahui hasil tes tersebut. Dengan perkataan lain kerahasiaan hasil tes itu terjaga dengan
baik.
Kelas virtual ini juga dapat memberikan tugas perorangan kepada setiap siswa melalui e-mail.
Pekerjaan siswa yang dikirimkan kepada guru melalui e-mail diperiksa oleh guru, diberi
komentar, dan diberi nilai. Komentar dan nilainya dikirimkan ke siswa melalui e-mail.
• Kelas virtual harus dapat menjadi wahana kebebasan akademik. Siswa itu perlu memperoleh
kebebasan dalam melakukan percobaan, dalam membuat asumsi, dalam berinteraksi dengan
siswa lain tanpa harus merasa takut dan cemas. Kelas yang efektif merupakan wahana bagi siswa
untuk mengekspresikan diri dengan cara yang tepat, wahana untuk menempuh resiko sehingga
dapat belajar lebih banyak, wahana berbagi gagasan, dan wahana melontarkan pertanyaan tanpa
rasa takut.
KELEMAHAN
KELAS
VIRTUAL
Kelas virtual diciptakan dengan bantuan media internet. Ungkapan yang mengatakan bahwa
“tidak ada media terbaik” kiranya berlaku juga bagi media internet. Media ini baik kalau
digtmakan untuk tujuan yang tepat dalam situasi yang tepat juga. Ada beberapa kelemahan yang
perlu
dikemukakan
dalam
paper
ini.
•
Penggunaan
intemet
memerlukan
infrastuktur
yang
memadai
Internet dapat dioperasikan kalau ada jaringan listrik dan ada jaringan telepon. Tempat-tempat
yang belum mempunyai jaringan listrik dan telepon tidak dapat menggunakan internet. Karena
itu banyak tempat di Indonesia yang belum dapat menggunakan internet.
•
Penggunaan
internet
mahal
Untuk dapat menggunakan internet orang harus mempunyai komputer yang dilengkapi dengan
modem, tenaga listrik, fasilitas telepon, dan terhubung dengan internet provider yang dapat
diperoleh melalui langganan. Harga komputer dan modemnya mahal tetapi membeli sekali dapat
dipakai
dalam
waktu
yang
lama.
Sedangkan biaya penggunaan saluran telepon, tenaga listrik dan langganan provider internet
harus dibayar setiap bulan. Biaya ini untuk banyak orang seringkali tidak terpenuhi.
•
Komunikasi
melalui
internet
sering
kali
lamban
Arus komunikasi melalui internet sering kaki berjalan lamban. Lebih-lebih kalau informasi itu
mengandung gambar, chart, bagan, gambar bergerak, suara dan sebagainya. Lambatnya arus
informasi ini dapat menyebabkan proses belajar menjadi membosankan.
APAKAH
KELAS
VIRTUAL
DIPERLUKAN
DI
INDONESIA?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Untuk menjawabnya memerlukan pemikiran dan analisis
yang mendalam dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Kalau melihat kondisi infrastruktur
dan kondisi perekonomian di Indonesia terutama di daerah pedesaan kelas virtual ini mungkin
memang belum waktunya dikembangkan dan digunakan. Namun kalau kita melihat potensi yang
dimiliki oleh kelas virtual sebagai suatu sistem pembelajaran rasanya salah kalau kita tidak
menggali potensi itu dan memanfaatkannya sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Demi rasa keadilan dan pemerataan kesempatan belajar kita memang perlu mengutamakan
pengembangan sistem pembelajaran yang sesuai untuk daerah-daerah pedesaan dan daerah
terpencil. Namun kalau Indonesia tidak ingin tertinggal dalam penggunaan teknologi umtik
memajakan sistem pendidikan, kita harus juga memikirkan cara penggunaan teknologi itu sesuai
dengan
kondisi
di
Indonesia.
Kelas virtual mungkin dapat dikembangkan dan digunakan untuk meningkatkan efektivitas
proses pembelajaran di daerah perkotaan yang infrastruktur dan kondisi perekonomian warganya
dapat mendukung pelaksanaan kelas virtual itu.
PENUTUP
Sungguhpun mempunyai berbagai kelemahan, sistem PJJ yang digunakan untuk mengatasi
problema pendidikan di Indonesia selama ini ternyata cukup efektif. Sistem ini perlu terus
dikembangkan dan digunakan terutama untuk melayani kebutuhan pendidikan di daerah
pedesaan
dan
daerah
perkotaan.
Kelas virtual yang mempunyai potensi yang tinggi untuk meningkatkan efektititas proses
pembelajaran dalam sistem PJJ, ternyata memerlukan infrastruktur dan biaya yang mahal untuk
melaksanakannya. Karena itu mungkin pada saat ini biaya dapat dikembangkan untuk daerah
perkotaan saja. Supaya sistem pendidikan kita dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
teknologi barat dalam bidang pendidikan, pengembangan dan penggunaan kelas virtual ini
merupakan kebutuhan pengembangan pendidikan yang tidak dapat kita abaikan.
REFERENSI
Alatas, Abubakar (2002) Virtual Campus: a Project Proposal. Jakarta: SEAMOLEC
Bullen Mark (2001) E-Learning and Internationalisation of Education, Malaysian Journal of
Educational Technology. Volume 1, Number l, June 2001.Penang : META.
Buck,
Martin
(2000)
Introduction
to
Web
Course
College.
Haryono, Anung (2000) Self Learning: The Concept and its Application in ODL. Jakarta :
SEAMOLEC
Moore, Michael (1983) A Theory of Apartness and Autonomy dalam Keegan, Desmond Six
Distance
Education
Theorist.
ZIFF
:
Hagen
Moore, Michael G and Kearsley, Greg (1996) Distance Education: A System View. Belmond :
Wadworth
Publishing
Company
Porter, Lyhhette (1997) Virtual Classroom, Distance Learning with the Internet. New York :
John
Wiley
and
Sons,Inc.
Regeluth, Charles M (1963) Instructional Design Theories and Models:An Overview of their
Current
Status.
London:
Lawrence
Erlabaum
Associates,
Publisher
Suryo, Roy (2001) Information Technology and Communication Technology for Open And
Distance Learning. Jakarta : Pustekkom-SEAMOLEC.
BABVI
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR DAN AZAS PEMBELAJARAN
6.1
Prinsip-prinsip
Belajar
Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang ditemukan oleh beberapa ahli, di mana ada
persamaan dan perbedaan. Di sini akan diungkap tentang prinsip-prinsip yang relatif umum dari
penemuan beberapa ahli. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: (1) Perhatian dan motivasi, (2)
keaktifan, (3) Keterlibatan langsung/berpengalaman, (4) Pengulangan, (5) Tantangan, (6)
Balikan dan Penguatan, (7) Perbedaan Individual.
6.1.1
Perhatian
dan
Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran. Berdasarkan kajian teori
pengolahan informasi, terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar
(Winkel, 1996). Perhatian terdiri dari perhatian disengaja, perhatian spontan, perhatian intensif,
perhatian
memusat,
dan
perhatian
memencar.
Diharapkan guru dapat membawa anak ke perhatian spontan dibandingkan perhatian yang
disengaja. Hal tersebut dapat dilakukan apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai suatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar
lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkit motivasi untuk
mempelajarinya.
Motivasi adalah tenaga penggerak yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang.
Motivasi mempunyai kaitan dengan minat. Anak yang memiliki minat terhadap sesuatu,
cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian ia akan termotivasi untuk mempelajari
sesuatu
tersebut.
Motivasi juga berhubungan dengan nilai dianggap penting dalam kehidupannya. Berkaitan
dengan hal tersebut maka bahan pelajaran yang disajikan hendaknya disesuaikan dengan minat
dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
6.1.2
Keaktifan
Keaktifan merupakan keharusan dalam belajar, karena belajar merupakan kegiatan individu yang
belajar. Teori-teori belajar yang mendukung keaktifan ini antara lain: (1) Teori kognitif
menyatakan bahwa belajar menunjukkan adanya jiwa sangat aktif. Jiwa mengolah informasi
yang diterima, tidak sekedar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. (2) Teori
Thorndike, yang dikenal dengan hukum belajar law of exercise yang menyatakan bahwa belajar
memerlukan
latihan-latihan.
Dari teori-teori belajar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar memerlukan keaktifan dari
siswa. Atau dapat dikatkan bahwa keaktifan merupakan prinsip belajar.
6.1.3
Keterlibatan
Langsung/Berpengalaman
Keterlibatan langsung atau berpengalaman akan mendukung prinsip keaktifan, sehingga
keterlibatan langsung berperanan dalam belajar. Dengan berperanan langsung orang akan lebih
mendalami tentang apa yang dipelajarinya. Ia tidak hanya sekedar mendapatkan cerita, tetapi
benar-benar mengalami. Harapan dari pengalaman langsung ini perubahan dalam belajar dapat
berbekas atau menjadi milik pribadinya. Teori belajar yang mendukung pprinsip keterlibatan
langsung ini antara lain: (1) John Dewey dengan learning bay doing nya, yang menyatakan
bahwa belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. (2) Teori belajar Piaget, yang
menyatakan bahwa proses berfikir adalah dari yang konkrit ke yang abstrak. Sesuatu yang
konkrit berarti siswa harus benar-benar mengalami sendiri. (3) Teori belajar Brunner dengan
discovery learning nya, yang menyatakan bahwa belajar seharusnya dengan menemukan sendiri.
Pengalaman lansung merupakan prinsip belajar karena: (1) belajar merupakan proses berinteraksi
dengan lingkungannya secara aktif, (2) Orang dapat menciptalan sendiri suatu kerangka kognitif
bagi diri sendiri.
6.1.4
Pengulangan
Belajar perlu adanya pengulangan, hal ini disebabkan untuk menghindari lupa akan apa yang
pernah dipelajari. Dengan pengulangan-pengulangan orang akan sedikit hafal dan sesuatu itupun
dapat menjadi miliknya. Teori belajar yang mendukung prinsip belajar pengulangan ini antara
lain: (1) Teori psikologi daya, yang menyatakan bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang
ada pada manusia yang terdiri dari daya mengamat, menaggap, mengingat, menghayal,
merasakan, berpikir, dan sebagainya. Ilustrasi dari teori ini adalah piasaui yang selalui diasah
akan menjadi tajam. (2) Connectionn Theories yang dikemukakan oleh Thorndike, yang dikenal
dengan hukum belajarnya law of exercise, menyatakan bahwa belajar adalah pembentukan
hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu
memperbesar peluang timbulnya respons benar. Teori ini dikenal dengan penelitian problem box.
(3) Conditioning theory, menyatakan bahwa belajar timbul dari stimulus yang dikondisikan.
Tingkah laku manusia banyak terjadi karena pengkondisian, misalnya bel berbunyi anak masuk
kelas dengan berbaris. Karena dikondisikan seperti itu dengan mengulang-ulang tingkah laku
akan menjadikan kebiasaan yang dengan spontan dapat dilakukan. Belajar sesuatu juga
diharapkan dapat dilakukan dengan pengulangan yang dikondisikan seperti itu. Namun demikian
tidak semua bentuk belajar cocok digunakan prinsip pengulangan ini.
6.1.5
Tantangan
Adanya tantangan diharapkan dapat menjadikan motivasi belajar siswa, karena tantangan yang
dihadapi siswa cenderung siswa untuk menyelesaikan sesuatu yang menantang tersebut. Teori
belajar yang mendukung prinsip belajar tantangan ini adalah: Teori Medan (Field Theory) dari
Kurt Lewin. Teori ini menyatakan bahwa belajar adalah perubahan kognitif (pemahaman), jadi
belajar bukan hanya ulangan tetapi perubahan struktur pengertian. Untuk membentuk perubahan
struktur pengertian perlu adanya tantangan-tantangan. Adanya tantangan akan menimbulkan
motif untuk mengatasi tantangan tersebut. Apabila tantangan sudah diatasi berati tujuan belajar
telah tercapai, maka ia akan masuk pada medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya
sehingga tercapai tujuan pembelajaran.
6.1.6
Balikan
dan
Penguatan
Balikan adalah konfermasi atas prestasinya. Baik prestasi yang bagus atau sebaliknya. Hal
tersebut dapat diungkapkan dengan penguatan. Bila pprestasi baik dapat digunakan dengan
penguatan positif, dan bila prestasi jelek dapat digunakan dengan penguatan negatif. Teori
belajar yang mendukung balikan dan penguatan dalam belajar antara lain: (1) Operant
Conditioning dari B.F.Skinner. Kalau pada teori conditioning yang diberi kondisi adalah
stimulusnya, tetapi pada operant conditioning yang diperkuat adalah responnya. Respons akan
diberi penguatan, baik penguatan positif ataupun negatif dalam rangka memberi balikan atas
prestasi yang diraih. (2) Teori Belajar Thorndike dengan law of effect nya, yang menyatakan
bahwa siswa akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.
Hasil yang baik akan merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha
selanjutnya. Hal ini juga dapat dijelaskan dengan hasil penelitiannya tentanh Problem box.
6.1.7
Perbedaan
Individual
Perbedaan individual ini ditekankan karena adanya teori yang menyatakan bahwa tidak ada
manusia ini yang sama persis. Pernyataan ini menun jukkan bahwa manusia memiliki perbedaanperbedaan. Dengan perbedaan-perbedaan ini menyebabkan tidak ada manusia yang mempunyai
cara belajar yang sama persis.
6.2
Azas
Pembelajaran
Azas pembelajaran sebenarnya menrupakan implikasi pprinsip-prinsip belajar bagi guru. Atau
dapat dikatakan seorang guru melakukan pembelajaran berdasarkan atas prinsip belajar yang ada.
Untuk itu urutan azas pembelajaran di sini diurutkan pula dari prinsip-prinsip belajar yang telah
dibicarakan terdahulu. Azas-azas pembelajaran tersebut adalah: Perhatian dan motivasi, (2)
keaktifan, (3) Keterlibatan langsung/berpengalaman, (4) Pengulangan, (5) Tantangan, (6)
Balikan dan Penguatan, (7) Perbedaan Individual.
6.2.1
Perhatian
dan
Motivasi
Dalam rangka memenuhi prinsip belajar perhatian ini iharapkan guru dapat membawa anak ke
perhatian spontan dibandingkan yang perhatian yang disengaja. Hal tersebut dapat dilakukan
apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhan anak. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan
sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya. Perhatian ini harus
diupayakan guru sejak guru membuat perencanaan mengajar. Implikasi prinsip perhatian ini
tampak pada perilaku guru antara lain: (a) Menunjukkan tujuan pembelajaran kepada siswa, (b)
menggunakan metode secara bervariasi, (b) menggunakan media sesuai dengan tujuan dan
materi belajar, (c) menggunakan gaya bahasa yang tidak monoton, (d) mengemukakan
pertanyaan
yang
membimbing.
Dimuka telah dikatakan bahwa motivasi mempunyai kaitan dengan minat. Anak yang memiliki
minat terhadap sesuatu, cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian ia akan
termotivasi untuk mempelajari sesuatu tersebut. Motivasi juga berhubungan dengan nilai
dianggap penting dalam kehidupannya, untuk itu bahan pelajaran yang disajikan hendaknya
disesuaikan dengan minat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Implikasi yamng harus dilakukan guru antara lain: (a) Memilih bahan ajar sesuai
dengan minat siswa, (b) menggunakan metode dan teknik mengajar yang disukai siswa, (c)
memberi tahu hasil pekerjaan siswa, (d) memberi penguatan.
6.2.2
Keaktifan
Keaktifan merupakan keharusan dalam belajar, karena belajar merupakan kegiatan individu yang
belajar. Untuk itu guru harus memberi kesempatan pada siswa supaya aktif dalam pembelajaran.
Cara-cara guru untuk membri kesempatan aktif siswa antara lain dengan serangkaian proses
sebagai berikut: (a} menggunakan multimetode dan multimedia, (b) memberi tugas secara
individual atau kelompok, (c) memberi kesempatan pada siswa melaksanaka eksperimen atau
memecahkan masalah, (d) memberi tugas untuk membaca bahan dan mencari hal-hal yang
penting dari bahan bacaan, (e) mengadakan tanya jawab dan diskusi.
6.2.3
Keterlibatan
Langsung/Berpengalaman
Keterlibatan langsung atau berpengalaman akan mendukung prinsip keaktifan, sehingga
keterlibatan langsung berperanan dalam belajar. Dengan berperanan langsung orang akan lebih
mendalami tentang apa yang dipelajarinya. Pengalaman langsung yang dimaksudkan disini
adalah pengalaman fisik. Mental emosionmal, dan intelektual. Untuk membentuk pengalaman
langsung yang seperti itu, upaya yang harus dilakukan guru adalah: (a) Merancang kegiatan
pembelajaran yang lebih banyak pada pembelajaran individual dan kelompok, (b) mementingkan
eksperimen langsung oleh siswa dibandingkan dengan demonstrasi, (c) menggunakan media
langsung yang digunakan siswa, (d) memberikan tugas kepada siswa untuk mempraktekkan
gerakan psikomotorik yang dicontohkan, (d) melibatkan siswa mencari informasi atau pesan dari
sumber di luar kelas atau di luar sekolah, (e) melibatkan siswa dalam merangkum atau
menyimpulkan informasi pesan pembelajaran, (f) guru bertindak sebagai manajer atau mengelola
pembelajaran.
6.2.4
Pengulangan
Belajar perlu adanya pengulangan, hal ini disebabkan untuk menghindari lupa akan apa yang
pernah dipelajari. Dengan pengulangan-pengulangan orang akan sedikit hafal dan sesuatu itupun
dapat menjadi miliknya.. Namun demikian tidak semua bentuk belajar cocok digunakan prinsip
pengulangan ini. Untuk itu seorang guru harus mampu memilih mana pesan yang perlu
pengulangan. Pengulangan terutama dibutuhkan untuk pesan-pesan pembelajaran yang harus
dihafalkan secara tetap tanpa ada kesalahan sedikitpun, dan pesan-pesan yang memutuhkan
latihan. Apabila dipadang dari jenis belajar berdasarkan materi atau bahan pelajaran, maka yang
perlu diulang-ulang adalah jenis belajar fakta. Implikasi prinsip pengulangan yang dapat
dilakukan guru antara lain: (a) merancang pelaksanaan pengulangan, (b) mengembangkan atau
merumuskan soal-soal latihan, (c) mengembangkan petunjuk kegiatan psikomotorik yang harus
diulang, (d) mengembangkan alat evaluasi kegiatan pengulangan, dan (e) membuat kegiatan
pengulangan yang bervariasi.
6.2.5
Tantangan
Adanya tantangan diharapkan dapat menjadikan motivasi belajar siswa, karena tantangan yang
dihadapi siswa cenderung siswa untuk menyelesaikan sesuatu yang menantang tersebut. Adanya
tantangan akan menimbulkan motif untuk mengatasi tantangan tersebut. Tantangan yang harus
diupayakan guru dalam bentuk bahan, kegiatan, dan alat yang digunakan untuk kegiatan
pembelajaran. Perilaku yang dapat dilakukan guru antara lain: (a) Merencaan eksperimen secara
individual atau kelompok kecil, (b) memberi tugas memecahkan masalah yang harus dipecahkan
dari luar kela atau sekolah, (c) meminta siswa untuk menyimpulkan isi pelajaran yang telah
disajikan, (d) menyajikan bahan tidak secara detail, supaya siswa tertantang untuk mencari
sendiri, (e) membimbing siswa untuk menemukan fakta, konsep, prinsip, dan generalisasi
sendiri, dan (f) menggunakan metode diskusi.
6.2.6
Balikan
dan
Penguatan
Balikan adalah konfermasi atas prestasinya. Baik prestasi yang bagus atau sebaliknya. Hal
tersebut dapat diungkapkan dengan penguatan. Bila pprestasi baik dapat digunakan dengan
penguatan positif, dan bila prestasi jelek dapat digunakan dengan penguatan negatif. Supaya
balikan itu bermakna bagi siswa, maka guru harus pandai-pandai melaksanakan balikan tersebut.
Yang perlu diperhatikan di dal;am memberikan balikan adalah karakteristik siswa dan jangan
diulang-ulang dengan cara yang sama. Implikasi prisip balikan dan penguatan ini bagi guru
antara lai: (a) Memantapkan jawaban siswa yang telah benar, (b) membenarkan jawaban siswa
yang salah atau yang kurang benar, (c) Mengoreksi pekerjaan rumah yang diberikan kepada
siswa, (d) memberi catatan-catatan pada tugas yang diberikan, (e) membagi lembar jawaban tes,
(f) mengumumkan peringkat yang diraih setiap siswa berdasarkan skor yang dicapai dalam tugas
ataupun tes, (g) memberikan isyarat tanda membenarkan jawaban yang benar, misalnya
anggukan, acungan jempol, dan lain sebagainya, (h) memberi hadiah atau ganjaran kepada siswa
yang berhasil menyelesaikan tugas.
6.2.7
Perbedaan
Individual
Perbedaan individual ini ditekankan karena adanya teori yang menyatakan bahwa tidak ada
manusia ini yang sama persis. Pernyataan ini menun jukkan bahwa manusia memiliki perbedaanperbedaan. Dengan perbedaan-perbedaan ini menyebabkan tidak ada manusia yang mempunyai
cara belajar yang sama persis. Dengan demikian guru harus mampu meghadapi siswa yang
mempunyai perbedaan individual tersebut. Implikasi prinsip belajar perbedaan individual ini
antara lain dilakukan guru dengan: (a) menggunakan multimetode dan multimedia, (b) mengenali
karakteristik masing-masing siwa dalam rangka melaksanakan pembelajaran individual dalam
pembelajaran klasikal, (c) memberikan pengayaan atau remidiasi bagi yang membutuhkan.
6.3
Hubungan
prinsip
Belajar,
Azas
Pembelajaran
dan
Teori
Belajar
Pembelajaran atau mengajar yang baik seharusnya menggunakan teori-teori dan prinsip-prinsip
belajar tertentu. Hal ini dimaksudkan supaya di dalam mengajar dapat bertindak dengan tepat,
karena teori dan prinsip belajar dapat digunakan sebagai arah prioritas dalam tindakan guru yang
mengajar.
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa di dalam menentukan azas pembelajaran atau
mengajar harus berdasarkan pada teori-teori dan prinsip-prinsip belajar. Atau dapat dikatakan
bahwa azas pembelajaran sebagai implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru. Hubungan antara
prinsip belajar, azas pembelajaran, dan teori belajar dapat dilihat pada Tabel 6.1
Tabel 1.6 Hubungan antara prinsip belajar, teori belajar, dan azas pembelajaran
Prinsip
Belajar
Dasar
Perhatian dan Motivasi.
Teori
Keaktifan
Keterlibatan langsung/Berpengalaman.
Pengulangan
Belajar
Implikasi
Azas
Pembelajaran
Tantangan
Balikan dan penguatan
Perbedaan Individual.
BF
Operant Conditioning
Skiner
Teori
Teori
(Hukum
of exercise)
kognitif
Thorndike
law
belajar
John
Dewey
Piaget
(konkrit
Brunner (Discovery Learning)
Teori
Connection
(Thorndike-Low of exercise)
(Learning
by
–
psikologi
doing)
abstrak).
daya.
Theories
Conditioning Theory.
Teori
Kurt Lewin.
Medan
BF
(Operant
Thorndike
(Low
Perbedaan
Menunjukkan
Metode
Media
Gaya
Pertanyaan membimbing.
Motivasi:
Bahan
Metode
Memberitahu
Penguatan.
Multi
Tugas
Theory)
Skiner
Conditioning)
of
individual
yang
bahasa
ajar
dan
(Field
tidak
sesuai
teknik
hasil
metode
individu
minat
yang
disukai
pekerjaan
dan
dan
Effect).
Perhatian:
tujuan.
bervariasi.
sesuai.
monoton.
siswa.
siswa.
siswa.
media.
kelompok.
Eksperimen
Mengerti
Tanya jawab dan diskusi.
dan
memecahkan
masalah.
bacaan.
isi
Pembelajaran
individual
Eksperimen.
Media.
Psikomotorik.
Mencari
informasi
Merangkum.
Guru sebagai menejer dan pengelola.
dan
kelompok.
sendiri.
Merancang
Mengembangkan
Petunjuk
Alat
Bervariasi.
Eksperimen
Tugas
Menyimpulkan
Menyajikan
Menemukan
Diskusi.
Memantapkan
Membenarkan
Mengoreksi
Catatan-catatan
Membagi
Peringkat.
Isyarat.
Hadiah.
Multi
Mengenali
Pengayaan dan remidiasi
pengulangan.
soal-soal.
kegiatan.
evaluasi.
individual
pelajaran
konsep,
jawaban
jawaban
dan
pemecahan
kelompok
dengan
fakta,
tidak
prinsip,
siswa
siswa
yang
yang
pada
lembar
jawaban
metode
dan
karakteristik
BAB
MOTIVASI BELAJAR
7.1
7.2
7.3
UPAYA
Pengertian
dan
Pentingnya
Jenis
dan
Sifat
Motivasi
dan
PENINGKATAN MOTIVASI BERPRESTASI DALAM
kecil.
masalah.
isi.
detail.
generalisasi.
benar.
salah.
PR.
tugas.
siswa.
media.
siswa.
VII
Motivasi
Motivasi
Belajar
PEMBELAJARAN
DI
SLTP
Oleh: Nurdin Ibrahim *)
DAN
SMU
TERBUKA
Abstrak
Keberhasilan pembelajaran pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sangat dipengaruhi
oleh karakteristik si pebelajar dan strategi (metode) pembelajaran. Hal ini termasuk pada sistem
pendidikan terbuka jarak jauh seperti SLTP Terbuka dan SMU Terbuka. Karakteristik si
pebelajar akan mencakup beberapa variabel yang di antaranya kemampuan awal dan motvasi
belajar dan berprestasi yang biasanya disebut kondisi pembelajaran, sedangkan dalam strategi
pembelajaran mencakup variabel strategi pengorganisasian bahan pembelajaran, strategi
penyampaian isi pembelajaran, dan strategi pengelolaan pembelajaran. Strategi penyampaian isi
pembelajaran: mencakup penggunaan media pembelajaran dan bentuk kegiatan pembelajaran,
sedangkan strategi pengelolaan pembelajaran: mencakup penjadwalan, pembuatan catatan
kemajuan belajar siswa, kontrol belajar, dan pengelolaan motivasional si pebelajar.
I.
PENDAHULUAN
Untuk mengatasi permasalahan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan sekaligus sebagai
upaya mensukseskan wajib belajar pendi9dikan dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun, pemerintah telah
mengembangkan sistem pendidikan terbuka pada tingkat SLTP. SLTP Terbuka semula dirintis
pada lima lokasi, yaitu SLTP Terbuka Kalianda Lampung Selatan, SLTP Terbuka Plumbon
Cirebon Jawa Barat, SLTP Terbuka Adiwerna Tegal Jawa Tengah, SLTP Terbuka Kalisat
Jember Jawa Timur, dan SLTP Terbuka Terara Lombok Timur. Pada tahun 1994/1995 pada saat
Wajar Dikdas 9 tahun dicanangkan, jumlah SLTP Terbuka sebanyak 59 lokasi dan tahun
2002/2003 jumlah telah berkembang menjadi 2,870 lokasi dengan jumlah siswa 232.395 orang.
Berdasarkan hasil evaluasi tahun 1984/1985 lulusan SLTP Terbuka mempunyai hasil belajar
yang tidak berbeda secara signifikan dengan lulusan SLTP reguler lainnya. Selain itu lulusan
yang melanjutkan ke jenjang SLTA (SMU dan SMK) mempunyai hasil belajar yang sama
dengan lulusan SLTP lainnya, bahkan di beberapa tempat lain cukup banyak lulusan SLTP
Terbuka masuk kategori lima besar di kelasnya. Namun setelah ditetapkan bahwa sistem SLTP
Terbuka sebagai salah satu pola Wajar Dikdas 9 tahun yang diunggulkan, maka pengembangan
lokasi SLTP Terbuka tidak didasarkan studi kelayakan lokasi secara sistem dan sistemik,
sehingga
cukup
banyak
lokasi
pengembangan
yang
kurang
layak.
Cukup banyak lokasi SLTP Terbuka yang mempunyai SLTP Induk yang tidak memenuhi syarat
seperti kecukupan jumlah guru yang sesuai latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran
yang ajarkan (dibina) dan sarana dan prasarana pembelajaran yang tidak tersedia
Hal ini menyebabkan cukup banyak lokasi SLTP Terbuka tidak dapat menyelenggarakan proses
pembelajaran yang sesuai dengan konsepsi pembelajaran pendidikan pada SLTP Terbuka.
Kondisi dan strategi pembelajaran tak bisa dilaksanakan secara optimal sehingga diasumsikan
(belum ada penelitian) motivasi belajar dan motivasi keberhasil siswa semakin menurun. Pada
akhirnya hasil belajar siswa tidak sesuai dengan yang diharapkan seperti pada lokasi-lokasi
perintisan. Permasalahan yang terjadi pada sistem SLTP Terbuka, terjadi pula pada sistem SMU
Terbuka, walaupun jumlahnya baru diritis di tujuh lokasi. Atas dasar itu maka perlu upaya-upaya
untuk meningkatkan motivasi belajar dan motivasi berprestasi siswa SLTP Terbuka dan SMU
Terbuka.
II.
KAJIAN
LITERATUR
Cukup banyak faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Namun dalam makalah ini, kami
mencoba mengangkat dari berbagai sumber, yang mengatakan hasil belajar siswa dapat
dipengaruhi oleh 1) karakteristik siswa dan 2) metode atau strategi pembelajaran (Reigeluth,
1983).
1.
Karakteristik
Siswa
Karakteristik siswa dalam kajian ini penulis batasi pada dua faktor yaitu a) kemampuan awal dan
b)
motivasi
belajar
dan
motivasi
berprestasi.
a.
Kemampuan
awal
Beberapa ahli perancang pembelajaran, mengisyaratkan bahwa rancangan pembelajaran
dikatakan baik apabila memperhitungkan kemampaun awal siswa sebagai sasaran. Pada awal
proses pembelajaran kadang-kadang siswa belum mempunyai kemampuan yang dijadikan tujuan
dalam kegiatan pembelajaran, bahkan terdapat suatu jurang antara tingkah laku (kemampuan,
pengetahuan, sikap, dan keterampilan) awal proses pembelajaran dan tingkah laku siswa pada
akhir proses pembelajaran. Jurang tingkah laku siswa pada awal dengan akhir pembelajaran
tersebut perlu dijembatani, sehingga hasil setelah proses dilakukan tercapai sebagaimana yang
direncanakan. Proses pembelajaran yang baik dimulai dengan titik tolak yang berpangkal pada
kemampuan awal siswa untuk dikembangkan menjadi kemampuan baru, sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang dirumuskan (kemampuan atau tingkah laku final). Oleh karena itu, keadaan
siswa pada awal proses pembelajaran tertentu (tingkah laku awal) mempunyai relevansi terhadap
penentuan, perumusan, dan pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran (tingkah laku akhir/final).
Menurut Winkel (1991), tingkah laku awal itu dipandang sebagai pemasukan (input; entering
behavior), yang menjadi titik tolak dalam proses pembelajaran yang berakhir dengan suatu
pengeluaran (output; final behavior). Kalau demikian kemampuan awal siswa merupakan salah
satu karakteristik yang perlu diperhatikan oleh perancang pembelajaran atau guru dalam
merancang pembelajaran tertentu, karena kemampuan awal memungkinkan proses pembelajaran
akan berjalan dengan efektif dan pencapaian hasil sebagaimana yang diharapkan.
Benyamin S. Bloom (1976), menyebutkan kemampuan awal (Cognitive Entery Behavior) adalah
berkaitan dengan berbagai tipe pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dipersyaratkan
(prerequisite), yang esensial untuk mempelajari tugas atau satu set tugas khusus yang baru. Ini
berarti kemampuan awal itu adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang telah
dipelajari atau dikuasai oleh siswa sebagai persyaratan untuk mempelajari tugas-tugas
pembelajaran yang baru. Pengetahuan faktual itu mungkin saja sesuatu yang telah atau pernah
dipelajari oleh siswa, yang perlu dikeluarkan untuk mempelajari atau memecahkan soal-soal
yang sedang dipelajari. Misalnya; untuk mempelajari atau menghitung masa jenis suatu benda (r)
pada pelajaran fisika di SLTP menggunakan rumus; masa jenis benda (r) = masa jenis (M) dibagi
Volume (V) atau r = M : V. Dalam memecahkan persoalan rumus dan problem fisika ini siswa
harus telah mengetahui atau mempunyai pengetahuan tentang perkalian, dan pembagian. Selain
itu siswa harus juga telah menguasai pengetahuan bahwa konsep tentang volume sama dengan isi
yang disimbolkan ukurannya dengan meter kubik (m3 ) dan masa jenis dengan ukuran kg. Selain
itu siswa haru tahu pula bahwa 1 m3 sama dengan 1.000 liter, karena 1 m3 sama dengan 1.000
dm3,
sedangkkan
1
dm3
sama
dengan
1
liter.
Gerlach dan Ely mengatakan bahwa melalui tes Enteryng Behaviors (kemampuan awal) siswa,
guru akan mengetahui apa yang dibawa atau yang telah diketahui oleh siswa terhadap sesuatu
pelajaran pada saat (pelajaran) dimulai. Para perancang pembelajaran atau guru dalam
mengembangkan satuan pelajaranya dia harus mengetahui; siapa kelompok, populasi, atau
sasaran kegiatan pembelajaran tersebut ? Perlunya guru atau perancang pembelajaran
mengetahui kemampuan awal ini, agar pelaksanaan pembelajaran berjalan efektif, karena
pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa terdapat juga pengetahuan yang merupakan
prerequisit bagi tugas belajar yang baru. Untuk mengetahui kemampuan awal sekelompok siswa
atau mahasiswa perlu diadakan tes awal. Tes awal mempunyai fungsi atau tujuan yang berharga
bagi
pengembang
pembelajaran.
Menurut Popham dan Baker (Hadi, dkk., 1992) berdasarkan data tes awal guru dapat
menentukan 1) apakah siswa-siswanya telah memiliki keterampilan yang diperlukan demi
berhasilnya program pengajaran yang disusunnya. 2) Sudahkan siswanya telah mencapai tujuantujuan yang seharusnya sudah dicapai dalam pelajaran-pelajaran sebelumnya? Apabila siswa
telah gagal menguasai prilaku-prilaku prasyarat maka pelaksanaan pembelajaran berikutnya akan
mengalami
hambatan.
Bloom berpendapat, kemampuan membaca pemahaman pada kelas 1 – 6 kelihatannya
mempunyai pengaruh yang besar dalam belajar di sekolah yang lebih tinggi kemudian. Hal ini
dimungkinkan karena kebanyakan bahan belajar yang digunakan di sekolah mempersyaratkan
kemampuan membaca pemahaman. Bahkan telah diteliti hubungan antara kemampuan membaca
pemahaman dengan keberhasilan mempelajari mata pelajaran Matematik dan IPA Fisika. Dari
penelitian tersebut dinyatakan bahwa; korelasi antara membaca pemahaman dengan matamatika
0.72, dan membaca pemahaman dengan IPA Fisika 0.62 untuk kelas 6 – 8; sedangkan pada kelas
9 – 12, korelasi antara membaca pemahaman dengan Matematika 0. 54, serta antara membaca
pemahaman dengan IPA Fisika 0.58. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelas-kelas
rendah (SD dan SLTP) keberhasilan dalam mempelajari berbagai mata pelajaran khususnya
Matematikan dan Fisikan banyak dipengaruhi oleh kemampuan membaca pemahaman dari
siswa. Makin tinggi kemampuan membaca pemahamannya semakin mudah menelaah materimateri mata pelajaran lain. Hal ini lebih-lebih pada SLTP Terbuka, karena sistem ini menerapkan
sistem belajar mandiri dengan modul cetak sebagai bahan belajar utamanya. Oleh karena itu
pengetahuan prerequisites atau cognitive entry behaviors untuk menelaah tugas-tugas belajar
kognitif memerlukan suatu keterkaitan antara siswa dengan penyelesaian tugas belajar. Bila
siswa telah menguasai pengetahuan prerequisit yang diperlukan untuk tugas-tugas belajar yang
baru kemungkinan mereka akan mudah menyesuaikan mempelajari tugas-tugas belajar yang
baru, sehingga memungkinkan mereka berhasil dalam mempelajari nata pelajaran yang
bersangkutan. Walaupun demikian, hal ini akan terjadi bila mereka termotivasi untuk melakukan
tugas-tugas balajar itu dan bila kualitas dari pembelajaran sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan demikian keberhasilan belajar seseorang akan tercapai, di samping mempunyai
kemampuan awal yang memadai, bermotivasi untuk melaksanakan tugas-tugas belajarannya
dengan baik, dan juga kualitas pembelajaran yang disajikan sesuai dengan kebutuhan (need)
siswa.
Selanjutnya Bloom mengatakan, ada bukti bahwa kemampuan awal (cogtinive entry behaviors)
dapat menjelaskan (mempunyai pengaruh) 50 persen terhadap keberhasilan seseorang terhadap
suatu set tugas belajar. Ini berarti walaupun kemampuan awal mempunyai andil 50 persen dalam
keberhasilan belajar seseorang, namun temuan tersebut belum tentu benar untuk semua tugas
belajar
atau
semua
mata
pelajaran.
Dari uraian tersebut jelas sekali bahwa kemampuan awal, dapat mempengaruhi keberhasilan
belajar siswa. Kemampuan awal yang dibutuhkan untuk mempelajari suatu mata pelajaran,
bukan saja pengetahuan yang dikuasai oleh siswa pada mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi
juga pengetahuan mata pelajaran lain. Pengetahuan awal pada suatu mata pelajaran
memungkinkan untuk dimanfaatkan secara lintas mata pelajaran. Misalnya, kemampuan
membaca pemahaman dapat mempermudah mempelajari semua mata pelajaran yang tertulis.
Begitu pula, simbol-simbol atau angka-angka yang telah dipelajari dan dikuasai melalui mata
pelajaran matematika dapat digunakan di samping untuk mempelajari matematika lebih tinggi,
tetapi juga untuk mempelajari mata pelajaran fisika, kimia, biologi, tata buku, geografi, ekonomi,
statistik,
dan
sebagainya.
b.
Motivasi
belajar
dan
motivasi
berprestasi
Motivasi (motivation) berarti to move atau menyebabkan terjadinya aktifitas-aktifitas seseorang
(si pebelajar). Motivasi disebut juga sebagai sesuatu yang melatar-belakangi terjadinya prilaku si
pebelajar. Bisa juga sebagai dorongan atau hasrat yang menyebabkan si pebelajar beraktifitas
atau bertingkah laku dalam mencapai tujuan (pembelajaran) atau kebutuhan (Suriasumantri,
tanpa
tahun).
Dalam kegiatan pembelajaran, motivasi merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan belajar siswa, di samping faktor karakteristiknya di antaranya kemampuan awal dan
sikap siswa terhadap mata pelajaran dan guru. Menurut Davies (1981), motivasi mempunyai
pengaruh
penting
dalam
pembelajaran.
Pertama; Motivasi memberi semangat siswa; Hal ini membuat siswa menjadi aktif, sibuk, dan
tertarik. Ini berarti siswa melakukan berbagai upaya atau usaha untuk meningkatkan keberhasilan
dalam belajar sehingga mencapai kleberhasilan yang cukup memuaskan sebagaimana yang
diharapkan. Di samping itu motivasi juga menopang upaya-upaya dan menjaga agar proses
belajar siswa tetap jalan. Hal ini menjadikan siswa gigih dalam belajar. Upaya-upaya atau usaha
(Gredler, 1986), merupakan atribusi intrinsik untuk memperoleh kesuksesan atau menghindari
kegagalan. Siswa yang bermotivasi tinggi (motivasi berprestasi) akan melakukan upaya-upaya
atau usaha dengan frekuensi dan intensitasnya pun akan tinggi. Bila hal ini terjadi, maka
keberhasilan belajar siswa akan terjadi. Dengan kata lain siswa yang bermotivasi tinggi dalam
belajar memungkinkan akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula. Semakin tinggi
motivasinya, semakin intensitas usaha dan upaya yang dilakukan, maka semakin tinggi hasil
belajar
yang
diperolehnya.
Kedua; Motivasi mengarahkan dan mengendalikan tujuan. Siswa yang bermotivasi mampu
mengarahkan dirinya untuk melengkapi tugas-tugas, memungkinkan ia mencapai tujuan (khusus)
yang diinginkan. Hal ini menjadikan siswa terarah. Dalam proses pembelajaran, selalu mengarah
untuk pencapaian tujuan. Bila dalam pembelajaran setelah dievaluasi, menunjukkan sebagian
besar tujuan telah dicapai, itu menunjukkan proses pembelajaran tersebut berjalan efektif dan
terarah. Semakin tinggi motivasi siswa, semakin efektif atau terarah mengerjakan atau
melengkapi tugas-tugas belajar, dan memungkinkan memudahkan pencapaian tujuan
pembelajaran. Ini berarti motivasi dapat mengarahlan seseorang untuk mencapai tujuan.
Ketiga; Motivasi itu adalah selektif; Selektif dalam menentukan kegiatan yang akan dilakukan
(diambil). Artinya siswa terpusat perhatian dan pikirannya terhadap apa yang sedang
dihadapinya. Bila pada saat itu sedang belajar, berarti siswa terpusat perhatiannya pada apa yang
sedang dipelajarinya. Bila perhatian terpusat banyak informasi, konsep, prosedur, atau meta
kognitif, dalam materi yang dipelajarinya terserap. Begitu pula, bila siswa menemukan masalah
dalam kondisi pikiran yang terpusat, memungkinkan ia mampu menemukan bagaimana tugastugas atau masalah-masalah itu akan dilakukan. Berarti motivasi menentukan prioritas
pemecahan masalah dari berbagai kemungkinan pemecahannya. Menilik penjelasan ini, motivasi
dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Siswa yang tidak bermotivasi, pikiran dan
perhatiannya tidak terpusat, sehingga tidak mampu menemukan alternatif pemecahan masalah
belajarnya,
memungkinkan
hasil
belajarnya
menurun
atau
tidak
tercapai.
Keempat; Motivasi membentuk prilaku siswa. Motivasi mengorganisir berbagai aktivitas siswa.
Aktivitas-aktivitas memungkinkan keberhasilan ditingkatkan frekuensinya, sebaliknya aktivitasaktivitas yang memungkinkan akan kegagalan, dienyahkan atau diacuhkan. Bila hal ini terjadi
dalam kondisi pembelajaran, maka akan memungkinkan keberhasilan akan diperoleh atau diraih.
Ini
berarti
hasil
belajar
dapat
ditingkatkan.
Dari uraian di atas, motivasi yang merupakan fungsi stimulus tugas, dan mendorong siswa
(individu) untuk berusaha atau berupaya mencapai keberhasilan atau menghindari kegagalan.
Siswa yang bermotivasi (belajar dan berprestasi) tinggi, misalnya ingin memproleh nilai prestasi
tinggi, melihat dirinya lebih mampu daripada siswa yang bermotivasi rendah. Mereka akan
berusaha lebih banyak serta melakukan atau menyelesaikan tugas-tugas untuk mencapai prestasi
itu. Jadi untuk keberhasilan belajar siswa di samping bermotivasi tinggi, juga harus didukung
oleh kemampuan yang memadai (kemampuan awal siswa) untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
2.
Metode
(Strategi)
Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses interaksi peserta didik (si pebelajar) dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belaqjar (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003). Sementara itu,
“strategi dapat diartikan sebagai cara bagaimana isi pelajaran disajikan atau dipresentasikan
dalam lingkungan pembelajaran” (Gerlach & Ely, 1971). Ini dapat diartikan bahwa strategi
pembelajaran adalah cara bagaimana isi pembelajaran dipresentasikan. Hal itu termasuk keluasan
dan urutan kegiatan/kejadian yang dapat memberikan pengalaman belajar. Sementara itu
Reigeluth & Merril (1983), menyatakan ada tiga komponen utama dalam strategi pembelajaran,
yaitu: strategi pengorganisasian Pembelajaran, strategi penyampaian, dan strategi pengelolaan
(kegiatan)
pembelajaran.
a.
Strategi
pengorganisasian
Strategi pengorganisasian pembelajaran atau strategi pengorganisasian bahan ajaran lebih
menitikberatkan pada “cara untuk membuat urutan dan mensintesis fakta, konsep, prosedur, dan
meta kognitif yang berkaitan dalam penyajian isi suatu mata pelajaran yang diajarkan kepada
siswa”. Cara penyajian semacam ini dalam sistem SMP dan SMU Terbuka lebih cenderung
kepada pengembangan dan penulisan bahan belajar atau modul pelajaran cetak. Modul pelajaran
sudah disusun melalui diskusi dan lokakarya yang melibatkan akhli mata pelajarn, guru mata
pelajaran,
dan
pengkaji
media.
b.
Strategi
penyampaian
Strategi penyampaian pembelajaran dapat dirinci menjadi 1) penggunaan media pembelajaran,
dan
2)
bentuk
belajar
mengajar
(pembelajaran).
Pertama; Penggunaan media pembelajaran. Media pembelajaran mampu menyajikan muatan isi
(fakta, konsep, prosedur,meta kognitif) yang akan disampaikan kepada siswa. Interaksi siswa
dengan media akan mencakup “apa yang harus dilakukan siswa dan bagaimana peranan media
untuk meningkatkan interaksi yang dimaksud”. Proses belajar terjadi dalam diri siswa ketika
mereka berinteraksi dengan media atau sumber belajar. Pada sistem SLTP Terbuka, siswa
melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan modul cetak sebagai media utama, dan media
audio visual (audio kaset, video kaset, program radio, program TV, VCD, buku paket) sebagai
media penunjang. Media-media tersebut dipilih dan dikembangkan berdasarkan karakteristik
mata pelajaran, dan melibatkan berbagai unsur seperti guru, ahli mata pelajaran, dan pengkaji
media. Misalnya; media audio, diperioritaskan untuk mata pelajaran yang diasumsikan efektif
disimak melalui pendengaran seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan mata pelajaran IPS.
Mata pelajaran-mata pelajaran yang muatan isinya lebih banyak mengandung konsep, prosedur,
dan prinsip seperti matematika, fisika, biologi, dan beberapa topik IPS, lebih banyak disajikan
dengan
media
video,
atau
televisi.
Kedua; Bentuk kegiatan pembelajaran. Dalam bahasan ini akan mencakup pengelompokan siswa
dalam bentuk kelompok besar, kecil, perorangan atau mandiri. Dalam sistem SLTP Terbuka,
bentuk kelompok besar terjadi pada saat siswa mengikuti pembelajaran melalui tatap muka. Pada
kegiatan ini lebih difoluskan pada pemecahan kesulitan-kesulitan atau materi-materi yang tidak
dimengerti oleh siswa pada saat belajar mandiri atau kelompok kecil di TKB masing-masing.
c.
Strategi
pengelolaan
Menurut Reigeluth dan Merrill (Degeng, 1989) paling tidak ada 4 (empat) hal yang menjadi
urusan strategi pengelolaan, yaitu: “1) penjadwalan; (2) pembuatan catatan kemajuan belajar
siswa; (3) kontrol belajar; dan 4) pengelolaan motivasional. Pengelolaan motivasional telah
diuraiakan pada bagian-bagian sebelumnya, sehingga tidak perlu dibahas di bagian ini.
Pertama; Penjadwalan penggunaan strategi pembelajaran mengacu kepada kapan dan berapa kali
suatu strategi pembelajaran atau komponen-nya dipakai dalam suatu situasi pembelajaran.
Misalnya berapa kali siswa menggunakan program kaset audio dan mendengarkan program radio
dalam seminggu, berapa kali kegiatan belajar secara tatap muka dilakukan dalam sebulan untuk
tiap mata pelajaran, berapa lama mereka dijadwalkan untuk melaksanakan praktek IPA (fisika)
dalam satu semester, berapa kali mereka menonton proram video dan televisi dalam satu bulan,
dan berapa kali mereka belajar serta mengunjungi alam terbuka seperti metode proyek, serta
berapa kali dalam seminggu mereka mengunjungi dan magang pada industri-industri kecil atau
rumah tangga di sekitarnya. Bila semua hal tersebut di atas dijadwalkan dengan jelas, maka
pelaksanaan pembelajaran akan berjalan secara efektif, menarik, praktekable, maka niscaya hasil
belajar
siswa
meningkat
dan
bermanfaat.
Kedua; Pembuatan catatan kemajuan belajar siswa, mengacu kepada kapan dan berapa kali
penilaian hasil belajar dilakukan, serta bagai-mana prosedur penilaian. Pada sistem SMP
Terbuka dilakukan bermacam bentuk penilaian, yaitu penilaian akhir modul, akhir unit (beberapa
modul), akhir catur wulan dan ujian akhir dalam bentuk EBTA dan UAN. SLTP Terbuka yang
bagus, apabila melaksanakan semua ketentuan termasuk pelaksanaan dan pembuatan catatan
kemajuan belajar siswa. Catatan kemajuan belajar siswa, sebagai salah satu fungsinya adalah
sebagai balikan (umpan balik) baik bagi siswa maupun bagi sekolah dan guru mata pelajaran
(Guru Bina). Berdasarkan hasil penelitian dan berbagai sumber menunjukkan bahwa umpan
balik yang dilakukan dengan baik dan benar, mampu mendongkrak motivasi belajar dan
berprestasi siswa. Ini berarti umpan balik secara tidak langsung meningkatkan hasil belajar
siswa.
Ketiga; Kontrol belajar merupakan bagian penting untuk mempreskripsikan strategi pengelolaan
pembelajaran. Komponen ini mengacu kepada “kebebasan siswa melakukan pilihan pada bagian
isi yang dipelajari, kecepatan belajar, komponen strategi pembelajaran yang dipakai, dan strategi
kognitif yang digunakan. Aspek-aspek ini dapat memberikan petunjuk bagaimana cara
pengelolaan
pembelajaran”.
Setiap siswa mempunyai kondisi dan karakteristik yang berbeda dengan yang lainnya. Kemajuan
belajar setiap siswa selalu berbeda dengan siswa yang lain. Untuk itu diperlukan pengontrolan
belajar siswa, termasuk pengontrolan belajar mandiri dan kelompok di rumahnya. Data kemajuan
belajar dapat dipakai sebagi informasi tentang fluktuasi dan atmosfir kemajuan belajar siswa.
Siswa yang kelihatan kemajuan belajarnya cenderung menurun, maka kepadanya perlu diberikan
pengarahan, bimbingan, dan petunjuk-petunjuk bagaimana meningkatkan hasil belajarnya.
Sebaliknya siswa yang prestasinya baik dan fluktuasi hasil tesnya menunjukkan grafik yang
bagus, maka kepadanya pula diberi pengarahan supaya mempertahankan prestasinya.
III.
UPAYA-UPAYA
PENINGKATAN
MOTIVASI
Untuk menentukan upaya-upaya peningkatan motivasi, indikatornya banyak sekali. Karakteristik
siswa dan mata pelajaran sangat menentukan untuk menentukan upay-upaya tersebut. Siswa
yang mempunyai motivasi belajar dan berprestasi intrinsik yang kuat berbeda penanganannya
dengan siswa yang bermotivasi belajar dan berprestasi ekstrinsiknya yang kuat. Siswa yang
bermotivasi atau beraspirasi melanjutkan pendidikan, berbeda dengan siswa beraspirasi mencari
pekerjaan setelah tamat SLTP. Begitu pula pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan
motivasi belar IPA berbeda dengan mata pelajaran Bahasa Inggris, IPS, Bahasa Indonesia, atau
Muatan Lokal. Di sisi lain faktor-faktor terjadinya penurunan motivasi belajar dan berprestasi
juga turut menentukan pemilihan upaya yang akan dilakukan. Oleh karena itu sangat mustahil
dalam tulisan ini untuk menyajikan upaya peningkatan motivasi sesuai dengan karakteristik
siswa dan mata pelajaran. Lagi pula (Davies, 1971) mengatakan sering terjadi strategi yang
paling baik adalah tanpa menghiraukan ada atau tidak adanya motivasi, akan tetapi memusatkan
pada penyampaian materi dengan cara yang begitu rupa sehingga motivasi siswa dapat
dimunculkan dan diperkuat selama proses belajar. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan hasil
belajar di atas juga merupakan upaya-upaya dalam meningkatkan motivasi belajar siswa
terutama siswa SLTP Terbuka. Atas dasar itu kami mencoba menyampaikan upaya-upaya
peningkatan
motivasi,
pada
situasi
pembelajaran
secara
umum.
a.
Pengembangan
Bahan
Pembelajaran
Pada sistem SLTP dan SMU Terbuka, siswa belajar secara mandiri melalui bahan belajar utama
berupa modul cetak yang ditopang oleh berbagai media non cetak. Berbagai macam jenis media
tersebut harus menarik dan mudah dipahami siswa, kalau tidak maka motivasi belajar dan
motivasi berprestasi siswa akan menurun. Berarti upya peningkatan motivasi belajar dan
berprestasi siswa SLTP dan SMU Terbuka dimulai dengan pengembangan bahan belajar
mandirinya.
Upaya-upaya dan usaha untuk meningkatkan motivasi belajar siswa melalui pengembanagan
bahan belajar sudah dilakukan dengan mengacu kepada teknik-teknik, konsep-konsep atau teoriteori pengembangan dan penulisan modul. Misalnya, menggunakan ilustrasi, gambar, dan grafis,
menggunakan bahasa yang sederhana sehingga memudahkan siswa memahaminya, penyajian
materi dari yang sederhana ke kompleks, dari yang mudah ke sukar, dari yang konkrit ke yang
abstrak,
dan
penampilan
serta
perwajahan
berwarna.
Penyediaan jenis media yang disesuaikan karakteristik mata pelajaran ini, dimungkinkan guru
atau siswa dalam proses pembelajaran dapat memilih jenis media yang sesuai karakteristik dan
pola pembelajaran yang diinginkannya, dan memungkinkan pemanfaatannya secara kombinasi.
Berarti kehadiran berbagai jenis media, memungkinkan proses pembelajaran sesuai dengan
minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa. Dengan kata lain kehadiran berbagai jenis media
dalam sistem SLTP Terbuka, membuka dan mendorong motivasi siswa untuk melakukan
aktivitas belajar dan mecapai keberhasilan dalam belajar. Berarti pemanfaatan media oleh siswa
dan guru dalam proses pembelajaran secara maksimal akan memungkinkan peningkatan hasil
belajar siswa. Perlu pula diperhatikan dan dicatat oleh Kepala sekolah, Guru Bina, dan Guru
Pamong bahwa media atau sumber belajar di samping dapat meningkatkan pengaruh
motivasional siswa, “misalnya seorang guru/tokoh masyarakat sebagai sumber belajar dapat
bertindak sebagai motivator bagi seorang siswa, namun perlu hati-hati kadang-kadang pada saat
yang
sama
ia
justru
menghancurkan
motivasi
siswa
yang
lain”.
b.
Awal
Pembelajaran
Di TKB siswa belajar mandiri dan dalam kelompok kecil dibawah bimbingan atau kontrol dari
Guru Pamong. Dalam 2 (dua) hari dalam seminggu mereka mengikuti belajar melalui tatap muka
di SLTP Induk atau tempat lain, di bawah bimbingan Guru Bina (Guru Mata Pelajaran).
Pada awal pelajaran kelompok di TKB dan belajar melalui tatap muka, Guru Pamong dan Guru
Bina,
hendaknya
memulai
pelajaran
atau
pertemuan
dengan
Pertama; Menyapa siswa, misalnya selamat berjumpa, selamat siang/sore dan diikuti dengan
mencek kehadiran siswa; Kegiatan ini dimaksudkan untuk memusatkan perhatian siswa pada
situasi pembelajaran yang akan di mulai. Dengan demikian baik fisik dan mentalnya terjaga dan
siap mengikuti pelajaran. Memusatkan perhatian berarti motivasi siswa sudah mulai muncul;
Kedua; Mengutarakan mata pelajaran, judul, dan nomor modul yang akan dibahas atau
didiskusikan, dan diikuti dengan penjelasan singkata materi yang lalu serta kaitannya dengan
modul yang didiskusikan. Perhatian siswa terhadap mata pelajaran bersangkutan susdah lebih
dipusatkan. Melalu penjelasan hubungan materi yang lalu dengan materi yang dibahas sekarang,
berarti guru merangsang siswa untuk memunculkan informasi berupa fakta, konsep, prosedur,
dan prinsip yang telah ada dalam ingatan jangka panjangnya (long term memory). Informasi
yang telah dipunyai itu dapat mempermudah mempelajari informasi yang baru.
Ketiga; Membentuk kelompok (belajar kelompok di TKB); siswa diatur duduknya dalam
kelompok yang dipimpin oleh seorang temannya, dan dijelaskan berapa lama mereka belajar
mandiri, diskusi kelompok, dan diskusi dalam kelompok besar seluruh siswa di TKB tersebut.
Melalui pengelompokan ini, berdasarkan teori belajar arah diri, siswa dapat berinteraksi antar
teman, saling tukar menukar pendapat dan pikiran, dan dapat membahas masalah secara
bersama. Melalui kegiatan semacam ini dapat mengembangkan konsep diri dan kemampuan
memecahkan masalah bagi siswa. Pada sekolah-sekolah di negara Eropah kegiatan semacam ini
ditunjang oleh komputer menggunakan bahasa LOGO dengan program grafik kura-kura (turtle
graphics)
Untuk menunjang beberapa upaya tersebut di atas, pada setiap bagian pendahuluan modul, selalu
menggunakan bahasa sapaan, kaitan isi modul dengan modul sebelumnya, tujuan, pokok-pokok
materi, petunjuk cara mempelajari modul, dan petunjuk mengerjakan tes akhir modul sebagai
balikan hasil belajar. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan motivasi belajar siswa
waktu
belajar
mandiri.
c.
Saat
Proses
Pembelajaran
Pertama; Membuat suasana kelas yang mengandung persaingan dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan saksama, terarah, dan jelas secara umum kemudian perkelompok (per TKB pada
tatap muka). Namun demikian, kurangi persaingan untuk memperoleh ganjaran dan kegiatan
yang
memberikan
ganjaran
yang
berkaitan
dengan
akademik.
Kedua; Menciptakan kondisi kelas yang mendukung terjadinya interaksi antar siswa, saling
menukar pengalaman dan pengetahuan melalui teknik atau metode diskusi;
Ketiga; Tingkatkan motivasi dan perhatian ke arah siswa yang kelihatan kurang perhatian atau
motivasi dengan menggunakan kode gerakkan mata, intonasi suara yang sekali-sekali keras dan
bersemangat.
Keempat; Manfaatkan dan gunakan berbagai macam media dan teknik atau metode secara
bergantian sesuai dengan spsifikasi materi yang dibahas dan didiskusikan.
d.
Akhir
Pembelajaran
Pertama; Beriakan balikan (umpan balik) pada saat jawaban pertanyaan oleh siswa, hasil
jawaban siswa setiap tes. Dalam memberikan balikan, guru hendaknya memberikan penjelasan
jawaban yang benar seharusnya bagaimana, bila jawaban siswa hampir betul atau betul berikan
pujian misalnya; bagus sekali, betul sekali dsb. Tetapi bila jawabannya belum betul, janganlah
memberikan balikan dengan mengatakan salah, bodoh. Dalam hal ini, alangkah baiknya gunakan
bahasa yang menyenangkan, misalnya, jawabanmu belum betul, atau kamu sebenarnya pintar
mungkin
belum
berusaha
dengan
baik,
dan
sebagainya.
Kedua; Pada akhir pertemuan atau kegiatan, usahakan materi yang dibahas tadi dibuatkan atau
dijelaskan secara singkat rangkumannya dengan tepat, jelas, dan singkat.
Ketiga; Pada akhir kegiatan perlu juga diperingatkan siswa waktu pertemuan lagi, kegiatankegiatan yang harus dilakukan siswa sebelum kegiatan berikutnya, atau memberikan pekerjaan
rumah.
Keempat; Pada sat kegiatan berakhir, ucapkan selamat sore atau siang, dan selamat bertemu lagi
pada
pertemuan
yang
akan
datang.
Selain dari berbagai upaya tersebut di atas, ada pula upaya-upaya lain yang lebih umum dan di
luar
kegiatan
pembelajaran
di
kelas,
seperti
berikut.
Pertama; Biasakan memberikan ganjaran berupa hadiah alat tulis, buku pelajaran, atau bea siswa
bagi siswa yang masuk kategori 10 besar pada setiap tingkat kelas dan tiap semester.
Kedua; Pada waktu pembagian raport, siswa yang termasuk dalam 10 besar diumumkan di muka
orang tua murid, dan dipanggil untuk maju dan berdiri di muka kelas.
Ketiga; Adakan kegiatan olah raga dan kesenian, pertandingan olah raga dan kesenian antar
kelas, antar tingkat, dan atar sekolah. Berikan hadiah dan piagam bagi yang berhasil juara, baik
perorangan
maupun
kelompok.
Keempat; Khusus siswa SLTP dan SMUTerbuka, berilah kesempatan mereka untuk mengikuti
upacara penaikan dan penurunan bendera, sekali gus sebagai petugasnya. Lebih bagus kegiatan
tersebut
bergabung
dengan
siswa-siswa
SLTP
Induknya.
e.
Kehadiran
Guru
Bina
dan
Guru
Kehadiran guru bina dan guru pamong dalam pembelajaran tutorial tatap muka dan belajar di
TKB
akan
meningkatkan
motivasi
belajardan
motivasi
berprestasi
siswa.
Guru mata pelajaran yang bersangkutan di samping membantu siswa memecahkan kesulitan,
juga diharapkan meningkatkan motivasi belajar siswa khususnya siswa yang bermotivasi rendah.
Kehadiran guru mata pelajaran yang sehari-harinya mengajar dan sebagai guru SLTP reguler
(Induk), memunculkan perasaan/keyakinan siswa bahwa mereka betul-betul bersekolah di SLTP
Negeri, walaupun rata-rata hanya dua hari dalam seminggu bertemu dengan guru-guru mata
pelajaran (guru bina) dan Kepala Sekolahnya. Pertemuan yang demikian, dapat memunculkan
dan meningkatkan rasa senang, menambah wawasan, menambah jumlah kawan dari berbagai
TKB dan dari SLTP Induk, dan bahkan dapat menghilangkan ketegangan. Kalau demikian
kegiatan pembelajaran melalui tatap muka ini dapat meningkatkan motivasi belajar dan
berprestasi siswa, khususnya siswa-siswa yang bermotivasi rendah. Hal ini secara tidak langsung
akan meningkatkan hasil belajar siswa. Perlu ditambahkan bahwa, penentuan waktu (hari dan
jamnya) dalam pelaksanaan pembelajaran melalui tatap muka di SLTP Terbuka di dasarkan
waktu
luang
bagi
siswa
itu
sendiri.
Pada sistem SLTP dan SMU Terbuka, selain ada pengelompokkan pada pembelajaran tatap
muka, juga ada kegiatan belajar dalam kelompok kecil dan mandiri di TKB masing-masing. Pada
waktu belajar di TKB, siswa dikelompokkan dalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 4
atau 5 orang siswa. Dalam kelompok kecil ini siswa diberikan kebebasan untuk menentukan
waktunya berapa lama mereka belajar mandiri, kemudian berdiskusi untuk memecahkan
kesulitan yang dialami setiap siswa, dan merumuskan kesulitan-kesulitan yang akan diajukan
untuk didiskusikan seluruh siswa di TKB tersebut. Selama kegiatan belajar mandiri dan diskusi
kelompok, guru pamong bersikap proaktif memonitor, memantau, mengarahkan, membantu
memecahkan kesulitan bila kebenaran informasinya tidak diragukan. Suasana belajar rileks,
tanpa ada tekanan, siswa bebas memilih mata pelajaran yang didiskusikan asal sesuai dengan
jadwal yang ada. Kondisi belajar seperti ini memungkinkan gejolak emosi siswa pada taraf yang
normal atau moderat sehingga memungkinkan pembangkitan dan peningkatan motivasi siswa.
Berdasarkan berbagai sumber, pada saat emosi seseorang berada pada taraf moderat, akan
membuka peluang munculnya motivasi termasuk motivasi belajar dan berprestasi.
Dalam kondisi emosi moderat. seseorang dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, mampu
membangkitan informasi-informasi dalam memorinya, baik memori jangka panjang maupun
jangka pendek. Belajar itu sendiri akan berlangsung dengan baik dan efektif bila mampu
mengkaitkan dan menghubungkan informasi yang sudah dimiliki dengan informasi-informasi
yang baru.
IV.
PENUTUP
Isi makalah ini mungkin saja bukan hal yang baru, terutama sekali para pembaca dan peserta
latihan yang pernah duduk dibangku pendidikan guru atau pernah mengikuti penataran yang
serupa. Kalau demikian kehadiran makalah ini sebagai upaya untuk membangkitkan dan
mengaktifkan informasi-informasi yang telah tertahan dalam ingatan jangka panjang, serta
dimanfaatkan dalam menjalankan tugas sebagai pengelola pendidikan. Mungkin juga beberapa
informasi dalam paper ini ada hal-hal yang baru, sehingga melengkapi pengetahuan dan
pengalaman
yang
pernah
dirasakan
dan
dilaksanakan.
Bagi pembaca yang berstatus sebagai Kepala Sekolah, kami himbau sebarkan pengetahuan dan
informasi dalam makalah ini kepada teman-teman sesama Kepala Sekolah, kepada Guru Bina
dan Guru Pamong, serta aplikasikan apabila masuk mengajar di kelas. Menyebarkan ilmu dan
pengetahuan itu adalah suatu perbuatan yang baik dan mendapat pahala tiada taranya dari Allah
Yang Maha Kuasa. Lebih-lebih orang ditulari itu ditularkan lag kepada temannya dan diamalkan
dalam
menjalankan
tugasnya
sebagai
pendidik
dan
pengajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Berliner, David C. and Calfee, Robert C., Hand Book of Educational Psychology, New York,
Macmillan
library
Revarence
USA,
1996.
Bloom, Benyamin S., Human Characteristics and School Learning, New York, McGraw-Hill
Company,
1976.
Buchler/Snowman, Psychology Applied to Teaching, Boston, Houston Miffin Company, 1986.
Davies, Ivor K., Pengelolaan Belajar, (Penterjemah Sudarsono sudiardjo, Lily Rompas, Koyo
Kartasurya),
Jakarta,
PAU-UT
kerjasama
dengan
CV
Rajawali,
1981.
—-, Instructional Technique, New York, McGrow-Hill Book Company,1981.
Degang, I. Nyoman S., Ilmu Pengajaran; Taksonomi Variabel, Jakarta Depdikbud Ditjen Dikti,
1989.
Gagne, Robert M. and Briggs, Lislie J., Principle of Instructional Design, Second Edition, New
York,
Holt
Rinchart
and
Winstone,
1979.
Gerlach Vernon S. and Ely, Donald P., Teaching and Media, A Systematic Approach, New
Jersey,
Prentice-Hall
Inc.
Engliwood
Cliffa,
1971.
Good, Thomas L. and Brophy, Jere E., Educational Psychology A Realistic Approach, Four
Edition,
New
York
&
London,
Longman,
1990.
Gredler, Margaret E. Bell, Belajar dan Membelajarkan, Penterjemah Munandir, Jakarta, Rajawali
Pers,
1986.
McClelland, David C. dkk., The Achievement Motive, New York, Irvington Publishers, 1976.
Pophan, W. James and Baker, Evil L. Teknik Mengajar Secara Sistematik, Penterjemah Amirul
Hadi,
dkk.,
Jakarta,
Rineka
Cipta,
1992.
Reigeluth, Charles M., Instructional Design, Theories and Model An Overview of Their Current
Status,
London,
Lawence
Erlbaum
Associaties
Publisher,
1983.
Steers, Richard M. and Porter, Lyman W., Motivation and Work Behavior, Fift Edition, New
York,
McGrew-Hill
Inc.,
BAB
VIII
MASALAH-MASALAH BELAJAR DAN KESULITAN BELAJAR
8.1
Konsep
Dasar
dan
Latar
8.2
Cara
Menentukan
8.3
Patokan
Gejala
8.4 Penanganan Kesulitan Belajar
Belakang
Kesulitan
Masalah-masalah
Kesulitan
Belajar.
Belajar.
Belajar.
Perubahan yang bagaimanakah yang dinamakan belajar? Dan perubahan yang bagaimana pula
yang
tidak
bisa
dikatakan
belajar.
Mengapa
demikian?
Bedakan antara belajar afektif dan kognitif menurut bentuk psikis. Bedakan pula antara belajar
fakta,
konsep,
dan
prinsip.
Apakah pembelajaran individual itu? Kapan pembelajaran individual mungkin dilakukan?
Bagaimana
kedudukan
guru
dalam
pembelajaran
individual?
Penggalian informasi di LTM selain untuk keperluan reproduksi (mencari informasi), juga
digunakan untuk membentuk informasi baru. Jelaskan proses kedua penggalian informasi di
LTM
tersebut.
Secara garis besar teori belajar menurut Gredler (1991), dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok, yaitu: Conditioning theory, Connection theories, Insighful Learning. Cari perbedaan
yang prinsipiil dari ketiga teori tersebut, dan bagaimana penggunaan ke tiga teori belajar tersebut
dalam
pembelajaran?
Menurut pandangan konstruktivistik kebebasan adalah kunci kesuksesan dalam belajar. Beri
penjelasan pernyataan tersebut. Dan bagaimana sanggahan dari pandangan behavioristik
terhadap prinsip kebebasan di atas.
SISTEM
BELAJAR
MANDIRI:
Dapatkah
Diterapkan
dalam
Pola
Pendidikan
Konvensional?
Oleh:
Uwes
A.
Chaeruman*)
Abstrak
Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih menitikberatkan pada peran otonomi
belajar kepada pebelajar. Dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, pebelajar diberikan
kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa
yang harus dicapai); 2) apa yang harus dipelajari dan darimana sumbernya; 3) bagaimana
mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur
(evaluasi). Belajar mandiri juga dapat dipandang sebagai metode (proses) maupun tujuan
(produk). Sebagai proses, belajar mandiri dijadikan sebagai metode/cara dalam sistem
pembelajaran tertentu. Sedangkan sebagai produk, mengandung arti bahwa suatu sistem
pembelajaran dengan berbagai strateginya ditujukan untuk menghasilkan pebelajar mandiri.
Sebenarnya pendidikan dengan sistem belajar mandiripun, secara tidak langsung akan membantu
dan mengembangkan kecakapan belajar mandiri. Sehingga, pendidikan dengan sistem belajar
mandiri dapat menghasilkan pebelajar mandiri. Pada dasarnya, sistem belajar mandiri bukan
hanya milik pendidikan jarak jauh. Tapi, dapat diterapkan dalam semua pola pendidikan,
termasuk dalam pola pendidikan konvensional. Dalam rangka membentuk manusia sebagai
pebelajar mandiri yang dibutuhkan di abad 21, maka penerapan sistem belajar mandiri atau
metode lain yang dapat membentuk kemampuan belajar mandiri perlu digalakan dalam semua
pola pendidikan.
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, belajar mandiri dikenal sebagai salah satu sistem pembelajaran yang diterapkan
dalam pendidikan terbuka atau jarak jauh. Tidak semua orang memahami dengan baik konsep
belajar mandiri, bahkan akademisi. Berdasarkan pengalaman penulis, di kampus, beberapa
akademisi (mahasiswa) masih banyak yang belum memahami betul tentang konsep belajar
mandiri atau istilah terkait lain seperti belajar individual, belajar sendiri, belajar terbuka atau
jarak jauh, dll. Ada beberapa pertanyaan fundamental yang sering muncul di kalangan
akademisi: 1) apakah sebenarnya yang dimaksud dengan belajar mandiri?; 2) mengapa belajar
mandiri diterapkan untuk pendidikan terbuka atau jarak jauh?; 3) apakah hanya dapat diterapkan
dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh?; 4) dapatkah diterapkan dalam pendidikan
konvensional?;
5)
jika
jawabannya
ya,
mengapa
dan
bagaimana?
Dalam makalah ini, penulis ingin berbagi gagasan tentang konsep belajar mandiri dan
aplikasinya dalam pendidikan, bukan hanya untuk pendidikan jarak jauh. Pada dasarnya, sistem
belajar mandiri dapat diterapkan dalam semua pola pendidikan, baik konvensional maupun nonkonvensional (seperti pendidikan terbuka dan jarak jauh). Disamping itu, penulis juga ingin
berbagi pengalaman tentang penerapan belajar mandiri dalam pendidikan konvensional. Dengan
harapan gagasan yang disampaikan dalam makalah singkat ini dapat memperluas wawasan
akademisi dan professional lain dalam bidang pendidikan tentang belajar mandiri dan
penerapannya. Penulis juga ingin berbagi ide bahwa belajar mandiri dapat dipandang sebagai
proses (metode) dan produk (tujuan). Penulis ingin mengajak pembaca untuk memikirkan ulang
pernyataan kedua. Pebelajar mandiri sebagai produk dari suatu institusi pendidikan sangatlah
penting dan dibutuhkan dalam abad 21 ini.
KONSEPSI
BELAJAR
MANDIRI
Ada beberapa istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang belajar mandiri. Istilahistilah tersebut antara lain adalah 1) independent learning, 2) sel-directed learning, 3)
autonomous learning.1) Wedemeyer (1973) menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah cara
belajar yang memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar
kepada pebelajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajarnya.
Pebelajar mendapatkan bantuan bimbingan dari guru atau orang lain tapi bukan bearti harus
bergantung
kepada
mereka.2)
Rowntree (1992), mengutip pernyataan Lewis dan Spenser (1986) menjelaskan bahwa ciri utama
pendidikan terbuka yang menerapkan sistem belajar mandiri adalah adanya komitmen untuk
membantu pebelajar memperoleh kemandirian dalam menentukan keputusan sendiri tentang 1)
tujuan atau hasil belajar yang ingin dicapainya; 2) mata ajar, tema, topic atau issu yang akan ia
pelajari; 3) sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan; dan 4) kapan, bagaimana
serta dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan diuji (dinilai).3) Pengertian senada juga
dijelaskan oleh Knowles (1975), belajar mandiri adalah suatu proses dimana individu mengambil
inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain untuk 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya
sendiri; 2) merumuskan/menentukan tujuan belajarnya sendiri; 3) mengidentifikasi sumbersumber belajar; 4) memilih dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4) mengevaluasi hasil
belajarnya
sendiri.4)
Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan dengan sistem
belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam
menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan
dari mana sumber belajarnya (materi dan sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi
belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).
KARAKTERISTIK
BELAJAR
MANDIRI
Belajar mandiri juga tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi merupakan suatu
kontinum. Inti dari konsep belajar mandiri terletak pada otonomi belajar. Artinya, semakin besar
derajat otonomi/kemandirian (peran kendali, inisiatif, atau pengambilan keputusan) diberikan
oleh suatu lembaga pendidikan (guru/dosen) kepada pebelajar dalam menentukan keempat
komponen diatas, maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri yang diberikan
oleh suatu lembaga pendidikan tersebut. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990)
menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat
dari tiga asoek 1) kemandirian dalam menentukan tujuan: apakah penentuan tujuan belajar
ditentukan oleh guru atau pebelajar? 2) kemandirian dalam menentukan metode belajar: apakah
pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau
pebelajar?; 3) kemandirian dalam menentukan evaluasi: apakah keputusan tentang metode
evaluasi serta criteria yang digunakan ditentukan guru atau pebelajar? 5)
Moore juga memberikan contoh derajat kemandirian belajar yang diterapkan dalam suatu
pembelajaran
tertentu
sebagai
berikut:
Contoh
Penentuan
Penentuan
Evaluasi
Tujuan
Strategi
1.
Privat
O
O
O
2.
University
of
London
External
Degree
O
O
NO
3.
Belajar
Keterampilan
Olah
Raga
O
NO
O
4.
Belajar
Mengemudi
Kendaraan
O
NO
NO
5.
Learner
Control
Course
and
Evaluation
NO
O
O
6.
Kebanyakan
Kursus/Kuliah
dengan
Belajar
Mandiri
NO
O
NO
7.
Independent
Study
for
Credit
N
N
N
Diadaptasi
dari
Moore
(1977)
Keterangan:
O
=
Otonom
(ditentukan
oleh
pebelajar)
NO
=
Non-otonom
(tidak
ditentukan
oleh
pebelajar)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa privat merupakan salah satu contoh suatu pembelajaran
yang benar-benar menerapkan sistem belajar mandiri murni. Sedangkan belajar mandiri untuk
mencapai suatu kredit adalah contoh pembelajaran yang benar-benar tidak menerapkan sistem
belajar mandiri.
BELAJAR MANDIRI SEBAGAI METODE VS BELAJAR MANDIRI SEBAGAI TUJUAN
Candy (1975), menyatakan bahwa belajar mandiri dapat dipandang sebagai proses atau produk.
Artinya belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode atau tujuan. Belajar mandiri sebagai
proses (metode) mengandung makna bahwa belajar mandiri dijadikan sebagai cara untuk
mencapai tujuan pendidikan dimana pebelajar diberikan kemandirian yang relatif lebih besar
dalam menentukan ketiga aspek seperti dijelaskan Moore diatas. Belajar mandiri sebagai produk
(tujuan) mengandung makna bahwa setelah mengikuti pembelajaran tertentu pebelajar
diharapkan
menjadi
seorang
pebelajar
mandiri
(independent
learner).6)
Dalam konteks yang kedua ini, belajar mandiri dianggap sebagai keterampilan hidup yang harus
dikuasai oleh setiap orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dunia industri sangat
membutuhkan professional bisnis yang memiliki kecakapan belajar mandiri. Karena dalam
konteks bisnis, setiap individu dituntut untuk terus belajar sepanjang karirnya.7) Down (1994)
dan Mullen (1997), dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa setiap organisasi bisnis
mengharapkan lulusan perguruan tinggi yang memiliki kemampuan dalam memecahkan
masalah, beradaptasi dengan perubahan-perubahan (belajar terus menerus) dan berkolaborasi
dengan orang lain.8) Lebih jauh, Hughes (2000) menyatakan bahwa kemampuan untuk belajar
dan mengaplikasikannya secara mandiri seharusnya menjadi karajteristik yang membedakan
antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama.9) Issu ini telah menjadi sedemikian pentingnya
bagi isntitusi pendidikan di beberapa negara maju seperti Penn’ State University10), Cuya Hoga
Community
College11),
Open
University
of
Hongkong12)
dan
lain-lain.
Dari beberapa keterangan diatas jelas menunjukkan bahwa belajar mandiri tidak hanya menjadi
metode, tapi lebih jauh merupakan tujuan. Pebelajar mandiri telah menjadi produk yang
diharapkan oleh setiap institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi karena pebelajar mandiri
juga
merupakan
kebutuhan
dunia
kerja.
Belajar
Mandiri:
antara
Pendidikan
Jarak
Jauh
dan
Pola
Konvensional
Dengan melihat konsepsi dan karakteristik belajar mandiri diatas, maka timbul pertanyaan,
“Apakah belajar mandiri hanya dapat diterapkan dalam pendidikan jarak jauh?” Mengapa
pendidikan jarak jauh menggunakan sistem belajar mandiri? Apakah sistem belajar mandiri
dapat
diterapkan
dalam
pola
konvensional?
Jawabnya, belajar mandiri dapat diterapkan dalam pendidikan jarak jauh maupun pola
pendidikan konvensional. Pada prinsipnya, sejauh suatu sistem pembelajaran memberikan
otonomi/kemandirian yang lebih besar kepada pebelajar untuk mengendalikan belajarnya maka
dapat dikatakan bahwa sistem pembelajaran tersebut menerapkan sistem belajar mandiri.
Knowless mengatakan bahwa beda antara pembelajaran yang menggunakan sistem belajar
mandiri dengan yang tidak dapat dilihat dari: 1) apakah pembelajaran yang digunakan lebih
berpusat pada pebelajar (student centered) atau tidak; 2) apakah pembelajaran yang digunakan
lebih bersifat dari bawah ke atas (bottom-up) atau tidak; dan 3) apakah pembelajaran yang
digunakan lebih banyak dikendalikan oleh pebelajar (student-directed) atau guru.
Dalam pendidikan konvensional, menurut pengalaman penulis, lebih banyak masih bersifat
“teacher-centered” atau “teacher-directed”. Padahal, seiring dengan perkembangan teori belajar,
khususnya konstruktifisme, hal itu tidak perlu terjadi lagi. Bahkan, tidak hanya dalam pendidikan
orang dewasa, tapi dalam pendidikan anakpun (preschool education) sudah semestinya
menggunakan
pendekatan
student
center
atau
student
directed
learning.
Sebagai kesimpulan, mengingat: 1) telah terjadinya pergeseran paradigma pendidikan dari
“teacher-centered” ke “student-centered”; dan 2) pentingnya pebelajar mandiri sebagai produk
institusi pendidikan, maka sistem belajar mandiri sangat memungkinkan diterapkan di berbagai
pola pendidikan. Tidak hanya terbatas pada pendidikan jarak jauh. Pendidikan jarak jauh
memiliki karakteristik utama terpisahnya antara pebelajar dan guru atau tutor. Oleh karena itu,
sebagai konsekuensi logis dari karakteristik tersebut maka pendidikan jarak jauh menerapkan
sistem belajar mandiri.
KONSEKUENSI
PENERAPAN
SISTEM
BELAJAR
MANDIRI
Namun demikian, penerapan sistem belajar mandiri memiliki konsekuensi yang berbeda. Para
Ahli menyarankan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan sistem belajar
mandiri baik dalam pendidikan jarak jauh maupun dalam pola pendidikan konvensional. Hal-hal
tersebut adalah kita harus menyadari bahwa peristiwa belajar yang optimal terjadi dalam kondisikondisi tertentu. Race (1994)13), mengidentifikasi bahwa peristiwa belajar yang optimal terjadi
apabila:
•
Pebelajar
merasa
menginginkan
untuk
belajar
(want
to
learn).
• Belajar dengan melakukan (learning by doing) melalui praktek, trial and error dan lain-lain.
• Belajar dari umpan balik (learning from feedback), baik dari orang lain (tutor, guru, teman)
atau
diri
sendiri
(seeing
the
result).
• Mendalami sendiri (digesting), artinya membuat apa yang telah mereka pelajari masuk akal dan
dapat
dirasakan
sendiri
aplikasinya
bagi
kehdiupannya.
•
Sesuai
dengan
situasi
dan
kondisinya
(at
their
own
pace).
• Pada saat dan tempat yang mereka pilih sendiri (at their own pace).
• Pebelajar mengendalikan sendiri belajarnya (feel in control of their learning)
• Sering bersama dengan kolega (often with other people around, especially fellow-learners).
Beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa secara umum peristiwa belajar terjadi secara
independent (mandiri). Disamping itu, persitiwa belajar terjadi apabila ditunjang oleh sumber
belajar (resource-based learning). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, “most learning is
indendent
and
resources-based”.
Apa implikasinya dalam pendidikan dengan menerapkan system belajar mandiri? Race
(1994)14), menyatakan bahwa implikasi utamanya adalah perlunya mengoptimalkan sumber
belajar dengan tetap memberikan peluang otonomi yang lebih besar kepada pebelajar dalam
mengendalikan belajarnya. Bentuk-bentuk sumber belajar yang perlu dioptimalkan tersebut
meliputi:
• Sumber belajar berupa orang (human resources); seperti tutor, guru, atau teman sejawat. Dalam
menerapkan system belajar mandiri, peran guru/tutor bergeser dari pemberi informasi menjadi
fasilitator
dengan
cara:
Menyediakan
berbagai
sumber
belajar
yang
dibutuhkan
pebelajar;
Merangsang
gairah/selera/kemauan
pebelajar
untuk
belajar.
- Memberi peluang kepada pebelajar untuk menguji atau mempraktekkan belajarnya;
Memberikan
umpan
balik
tentang
perkembangan
belajarnya;
dan
- Membantu pebelajar bahwa apa yang telah dipelajarinya masuk akal dan berguna dalam
kehidupannya
(kontekstual).
Sementara itu, teman sejawat diberdayakan sebagai mitra belajar dengan cara memberikan
peluang
keapda
mereka
untuk:
Belajar
dari
kesalahan
satu
sama
lain;
- Saling membantu menyamakan perspektif dari apa yang telah dipelajari;
- Membantu satu sama lain mencari/bertuka/memberi sumber belajar yang terbaik; dan
Mendiskusikan
ide-ide
atau
konsep-konsep
sulit
bersama.
• Sumber Belajar berupa Informasi (Information-Type Resources); Secara histories, jenis sumber
belajar berupa informasi biasanya ditulis/disimpan diatas kertas (paper-based) seperti buku,
modul, jurnal, artikel, handout atau catatan, buku panduan, buku tugas, dll. Jenis sumber
informasi seperti ini adalah yang paling umum digunakan dan paling mudah dikembangkan.
Jenis sumber informasi lain, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
antara lain adalah paket belajar berbantuan computer (seperti CD ROM interaktif dan
hypermedia), media komunikasi berbasiskan komputer (seperti computer conferencing, e-mail,
online database, dan internet), atau media belajar lain seperti program video, program audio,
practical kits dan lain-lain. Jenis yanag kedua ini kebanyakan memerlukan bantuan elektronik
dan
komputer
(electronic
and
computer-based).
Bagaimana cara mengoptimalkan kedua sumber belajar tersebut? Phill Race (1994) menyarankan
beberapa
hal
sebagai
berikut:
- Motivasi untuk belajar sangat penting bagi pebelajar sehingga mereka mempunyai tanggung
jawab untuk belajar secara mandiri. Oleh karenanya, semua sumber belajar (orang maupun nonorang) harus dirancang/direncanakan dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga benar-benar
atraktif agar dapat merangsang gairah/minat mereka untuk belajar/mempelajarinya.
- Belajar mandiri tergantung pada belajar sambil melakukan (learning by doing). Jangan biarkan
pebelajar hanya mempelajari bahan belajar tanpa diberikan peluang untuk mempraktekkannya.
Sumber belajar yang efektif adalah sumber belajar yang memberikan peluang kepada pebelajar
memilih
dan
menentukan
sendiri
tugasnya
dan
mempraktekkannya.
- Pebelajar memerlukan umpan balik tentang perkembangan belajarnya. Sumber belajar (orang
maupun non-orang) harus memungkinkan adanya pemberian umpan balik sebagai respon
terhadap
kegiatan
belajar
yang
telah
mereka
lakukan.
- Pebelajar harus merasa bahwa apa yang dipelajarinya itu berarti bagi dirinya. Oleh karena itu
mereka, harus memperoleh arti/makna tersebut dari latihan yang mereka lakukan, umpan balik
yang mereka terima dan atau dari kegiatan melakukan tugas/praktek bersama kelompok (teman
sejawat).
SISTEM BELAJAR MANDIRI DALAM POLA PENDIDIKAN KONVENSIONAL: CONTOH
KASUS
Penulis telah mencoba menerapkan sistem belajar mandiri dalam beberapa mata kuliah yang
penulis ampu. Salah satunya adalah dalam mata kuliah Pengenalan Komputer untuk mahasiswa
S1 Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Dalam mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan
dapat menguasai minimal tiga program aplikasi komputer, yaitu MS Word, MSExcel dan
MSPowerPoint. Sistem belajar mandiri ini dilakukan tiak semata-mata sebagai metode, tapi
penulis mencoba melalui segala ktifitas yang dilakukan didalamnya berharap agar para
mahasiswa tersebut secara tidak dapat mengembangkan keterampilan belajar mandiri.
Penulis sebagai dosen untuk mata kuliah tersebut berupaya memfasiltasinay dengan berbagai
langkah
sebagai
berikut:
1. Pembahasan kontrak kuliah dengan cara membangun visi bersama (shared vision); pada awal
perkuliahan, penulis menggambarkan secara umum mata kuliah Pengenalan Komputer kepada
mahasiswa. Setelah itu, para mahasiswa, satu persatu diminta untuk menuliskan harapan masingmasing yang ingin dicapai diakhir mata kuliah. Dari 20 mahasiswa, dipilih satu harapan yang
dianggap oleh semuanya sebagai harapan (visi) yang paling ideal. Visi bersama ini dijadikan
sebagai tujuan umum pembelajaran oleh penulis. Setelah itu penulis, meminta mahasiswa untuk
mengidentifikasi kompetensi-komptensi khsusu apa sajakah yang harus dikuasai agar tujuan
umum (visi) tersebut tercapai. Dari hasil diskusi tersebut diperoleh beberapa tujuan pembelajaran
khusus. Untuk membahas dua topik ini, memakan dua jam pelajaran atau 90 menit.
2. Pembahasan Strategi Belajar; Pada pertemuan berikutnya, baru membahas strategi belajar.
Dalam hal ini penulis menjelaskan bahwa mahasiswa boleh belajar mulai dari mana saja (apakah
mau belajar MSWord dulu, MS excel dulu atau MS Powerpoint dulu) dan boleh mengusulkan
ujian kapan saja mereka siap. Dalam belajar mereka akan dibekali modul atau buku lain yang
relevan dan aplikasi komputer itu sendiri sebagai sumber belajar non orang dan teman sejawat
serta dosen sebagai sumber belajar orang. Dengan demikian, setiap kali pertemuan kuliah,
mereka harus datang dengan tujuan dan ide (apa yang mau mereka pelajari, apa yang mau
mereka
tanyakan,
apa
yang
mau
mereka
lakukan).
3. Pembahasan Sistem Evaluasi; masih pada pertemuan yang sama, disampaikan kepada
mahasiswa bahwa evaluasi dilakukan melalui: 1) sistem portfolio (mereka harus membuat
refleksi belajar harian, evaluasi diri, evaluasi dari dua atau tiga orang teman lainnya, dan mereka
harus menunjukkan tiga karya yang mereka anggap terbaik untuk dinilai; 2) Mid Test (test
buatan dosen) dan 3) Ujian Akhir (dimana ia boleh mengusulkan kapan saja mereka siap dengan
soal yang dibuat oleh mereka sendiri). Namun demikian dalam ujian akhir, mahasiswa diajak
untuk berdiskusi menyusun kriteria penilaian ujian akhir termasuk bobotnya.
4. Pelaksanaan; dalam pelaksanaan tugas penulis sebagai fasilitator hanya berkeliling
membimbing
dan
mengarahkan
mereka.
Percobaan untuk mata kuliah dengan sistem belajar mandiri ini memberikan dampak yang luar
biasa tidak hanya untuk hasil belajar tapi juga motivasi, gairah dan kepuasan belajar mahasiswa.
Memnagajtrkan MSWord yang biasanya memakan waktu 8 kali pertemuan lebih dengan pola
konvensional, dengan metode ini hanya memakan waktu 3-4 kali pertemuan. Disamping itu,
dalam ujian kahir, mahasiswa beanr-benar menunjukkan produk terbaiknya untuk mengejar
kriteria
yang
telah
mereka
susun
bersama.
Namun demikian, metode ini, untuk mata kuliah yang sama, tidak berhasil bagi mahasiswa kelas
alih program. Mereka masih memiliki tipe “dependent learner” sehingga harus dibimbing
langkah per langkah secara bersama. Satu semester tidak cukup untuk mengajarkan MSWord.
Hal ini mungkin lebih banyak disebabkan karena faktor: 1) kefamiliaran dengan komputer; 2)
umur;
3)
orientasi;
4)
motivasi
belajar
dan
lain-lain.
KESIMPULAN
Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih menitik beratkan peran otonomi belajar
kepada pebelajar. Dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan
kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa
yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi &
sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana
keberhasilan
belajarnya
diukur
(evaluasi).
Belajar mandiri juga dapat dipandang sebagai proses (metode) maupun produk (tujuan). Sebagai
proses, belajar mandiri dijadikan sebagai metode dalam sistem pembelajaran tertentu. Sedangkan
sebagai produk mengandung arti bahwa suatu sistem pembelajaran dengan berbagai strateginya
ditujukan menghasilkan pebelajar mandiri. Sebenarnya, pendidikan dengan sistem belajar
mandiripun, secara tidak langsung akan membentu dan mengembangkan keterampilan belajar
mandiri.
Sehingga
produknya
adalah
pebelajar
mandiri.
Belajar mandiri tidak hanya dapat diterapkan dalam pendidikan jarak jauh. Tapi, dapat
diterapkan dalam semua pola pendidikan sejauh otonomi belajar lebih besar diberikan kepada
pebelajar. Dengan kata lain, sejauh suatu sistem pembelajaran lebih bersifat “student-centerd”
atau “student-directed”. Namun demikian, dalam penerapannya terdapat beberapah konsekuensi
yang harus dipertimbangkan agar berhasil secara optimal. Salah satunya adalah dengan
mengoptimalkan atau memberdayakan segala sumber belajar baik yang berupa orang maupun
non-orang. Semuanya itu harus dirancang dan dikembangkan sedemikian rupa agar sesuai
dengan kebutuhan belajar mandiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Candy,
Philip
C.,
“Independent
Learning:
Some
Ideas
from
Literature”,
(http://www.brookes.ac.uk
/services/ocsd/2_learntch/independent.html)
Cuya
Hoga
Community
College,
http://www.dle.tre-c.cc.ch.us/docs/l.html
Hughes,
Peter,
“Developing
Independent
Learning
Skills”,
http://www.herts.ac.uk./envstrat/HLP/
dowconfproc/proc2/hughes%20.htm.
h.
7.
Irene, S. C. Siauw, Fostering Self-Directed Learning Readiness by Way of PBL Intervention in
Bussiness
Education”,
Open
University
of
Hongkong,
http://www.TPK.edu.sg/pblconference/full/irene%20
siauw.pdf.
h.
1
Keegan, Desmond, “Foundation of Distance Education”, (London: Routledge, 1990), h. 54.
Knowless, Malcolm S., “Self-Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers” Rowntree,
Derek, “Exploring Open and Distance Learning” (London: Kogan Page Limited, 1992) h. 61
Open University of Hongkong, http://www.TPK.edu.sg
Belajar
itu
Asyik…
August
7,
2006
Suka
Musik
itu
Baik
Filed
under:
Pertumbuhan
Anak
Suka
Musik
itu
Baik
Kecerdasan bermusik adalah salah satu dari delapan kecerdasan teori Multiple Intelligences yang
dikembangkan oleh Dr. Howard Gardner, guru besar pendidikan dari Harvard University, AS.
Menurutnya, kecerdasan bermusik mencakup kepekaan dan atau penguasaan terhadap nada,
irama, pola-pola, ritme, tempo, instrumen, dan ekspresi musik, hingga seseorang mampu
menyanyikan
lagu,
bermain
musik
dan
menikmati
musik.
Gardner mengatakan, pada dasarnya setiap anak memiliki kecerdasan musikal secara alamiah.
Penelitian menunjukkan bahwa anak usia dua bulan sudah dapat menyuarakan nada tinggi dari
nyanyian yang didengarnya, misalnya lagu yang disenandungkan ibunya. Selain itu, di usia
empat bulan anak sudah mampu mengikuti ritme/irama lagu. Kecerdasan musik alamiah anak
menjadi bertambah atau berkurang tergantung lingkungan. Menurut psikolog sekaligus
Managing Partner Jagadnita Consulting, dra. Clara Kriswanto, MA, CPBC, kecerdasan musik
dapat distimulasi sejak dalam kandungan hingga usia tiga tahun. “Karena pada rentang usia ini
otak
anak
sedang
tumbuh
pesat”
katanya.
Kecerdasan musik diindikasikan memiliki banyak pengaruh terhadap perkembangan kognitif dan
aspek emosional. Dr. Frances Rauscher dari University of Wisconsin dan Dr. Gordon Shaw dari
University of California menyimpulkan bahwa musik melibatkan rasio, pembagian, proporsi
serta
daya
pikir
dalam
ruang
dan
waktu.
Menurut mereka, musik secara unik juga mempengaruhi fungsi otak untuk mempelajari
matematika, sains, catur, serta permesinan. Para pakar pun sepakat, musik juga mampu
mengembangkan kecakapan sikap, tingkah laku, dan disiplin anak. Melalui musik rasa percaya
diri anak meningkat yang kemudian menular ke bidang lainnya, seperti matematika, geografi,
ekonomi,
dan
sebagainya.
Pakar pendidikan musik dari Ohio of State University, AS, Jim McCutcheon M.M.Ed dalam
artikelnya Private Music Lesson for Kids, memaparkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
orangtua
sebelum
mengajak
si
Kecil
belajar
di
kelas
musik:
Perkembangan mental dan fisik anak. Apakah rentang perhatian si kecil lebih dari 2 menit?
Karena di tahun awal, anak setidaknya memiliki kemampuan mendengarkan, memperhatikan dan
mengikuti
arahan
yang
diberikan
selama
15-30
menit.
Alat musik yang dimainkan. Perhatikan alat musik yang tepat sesuai perkembangan usia anak.
Seperti terompet yang tidak sesuai untuk anak usia di bawah 10 tahun, akan lebih tepat piano,
gitar,
biola
dan
alat
musik
perkusi.
Pemilihan guru musik. Sebaiknya pilih guru yang mahir berinteraksi dengan anak-anak.
Bisakah meluangkan waktu? Dengan demikian, Anda bisa melihat perkembangan dan potensi
anak
di
bidang
alat
musik
tersebut.
Comments
(0)
Stimulasi
Untuk
Optimalkan
Potensi
Kecerdasan
Si
Kecil
Filed
under:
Pertumbuhan
Anak
Stimulasi Untuk Optimalkan Potensi Kecerdasan Si Kecil
Tahun-tahun pertama anak termasuk golden period bagi perkembangan otaknya. Di masa ini
informasi akan tertanam kuat dalam dirinya. Bahkan menurut psikolog perkembangan anak,
Felicia Irene, M.Psi, akan mempengaruhi sikap dan filosofi hidupnya kelak. Karena pada masa
ini anak memiliki konsentrasi 100 persen dalam ingatannya saat menerima informasi, seperti
kertas
putih.
Jika seorang anak kehilangan kesempatan untuk belajar di usia dini, maka perkembangan
otaknya pun akan berlangsung di bawah rata-rata. Kemampuan logika, bahasa, dan
menyelesaikan masalahnya menjadi terbatas. Sebab perkembangan otak anak di usia dini hanya
mengandalkan eksposur yang diulang sebagai stimulus. Craig dan Sharon Ramey, Direktur
Civitan International Research Center, University of Alabama dalam bukunya Right From Birth
memaparkan, metode dan stimulasi sangat memperngaruhi perkembangan otak secara optimal.
Keberhasilan dalam mengoptimalkan potensi kecerdasan anak memerlukan pastisipasi orangtua
sejak dini dengan melakukan praktik komunikasi di rumah, kegiatan fisik bersama, dan
mendongeng. Kerja otak tak hanya terasah, tapi kemampuan verbal dan indera geraknya pun
terlatih. Latihan motorik juga diyakini baik untuk meningkatkan kerja otak pada tahun pertama
pertumbuhan
anak,
khususnya
kegiatan
yang
aktif
menggunakan
tangan.
Elly Risma Musa, psikolog dari Universitas Indonesia, berpendapat setiap anak memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda. Ia menyebutkan, terdapat sembilan potensi kecerdasan yaitu
serdas kata, cerdas sosial, cerdas diri, cerdas gerak, cerdas gambar, cerdas hidup, cerdas spiritual,
cerdas alam dan cerdas angka. “Kemampuan dan kecerdasan tersebut, terletak di bagian otak
yang berbeda, tinggal bagaimana orangtua dapat mengasah kerja otak tersebut, bukan
sebaliknya,” paparnya. Kecerdasan anak, tambah Elly, tidak hanya bersumber dari pemenuhan
nutrisi seimbang, tetapi juga disertai pemberian stimulasi pada anak. Berikut beberapa kegiatan
stimulasi yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan potensi kecerdasan anak.
Bernyanyi
Menyanyi bersama dapat menghibur anak sekaligus membantu perkembangan kreativitasnya.
Karena lirik lagu dapat membantu mengembangkan daya ingat dan bahasanya.
Bersajak
Berdasarkan penelitian di Universitas Oxford, Inggris, semakin sering anak mendengarkan sajak
maka semakin cepat anak mengerti kata-kata. Bersajak disertai gerakan tubuh mendidik anak
berkomunikasi
dan
berekspresi.
Baca
Kebiasaan membacakan dongeng sebelum tidur dapat membantu anak mengembangkan daya
ingat dan perbendaharaan katanya. Salah satu pengamatan menunjukkan, anak berumur 2 tahun
yang terbiasa dengan hal tersebut, terbukti dapat mengerti kata-kata sulit tiga kali lipat
dibandingkan
anak
lain
yang
tidak
memiliki
kebiasaan
demikian.
Membahas
Cerita
Saat Anda membacakan buku, tanyakan pendapat anak mengenai gambar, karakter dan alur
ceritanya. Hal ini dapat mengukur tingkat pemahaman anak pada cerita.
Berhitung
Tumpukan piring, buku atau baju bisa menjadi inspirasi untuk mengajak anak berhitung.
Awalilah pengenalan konsep matematika sederhana dengan permainan mencocokkan, memilah
dan
melatih
anak
memahami
konsep
warna
dan
bentuk.
Bermain
Waktu bermain bersama teman-teman adalah kesempatan bagi anak untuk menyalurkan
kreativitas dan energinya. Anak juga dapat memahami konsep berbagi dan peraturan permainan.
Bermain
juga
efektif
menghilangkan
stres
dan
trauma
pada
anak.
Berikan
Semangat
Berikan dukungan jika mereka berhasil menemukan hal baru dan jangan paksa anak untuk
mengetahui hal yang belum jadi ketertarikannya. Perkembangan otak terbaik adalah ketika
mereka
mencari
dan
menelitinya
sendiri.
Comments
(0)
STIMULASI INDRA PERABA DAN PENGECAP PENTING UNTUK KECERDASAN
Filed
under:
Pertumbuhan
Anak
STIMULASI INDRA PERABA DAN PENGECAP PENTING UNTUK KECERDASAN
Ingin punya bayi hebat? Salah satu kuncinya pasti stimulasi! Terdengar klise mungkin, tapi
memang begitulah prosesnya. Stimulasi diperlukan untuk perkembangan otak yang akan
menentukan kecerdasan. Stimulasi indra peraba dan pengecap juga akan mengoptimalkan
perkembangan
otak,
selain
stimulasi
indra
pendengaran
dan
penglihatan.
Stimulasi indra peraba dan pengecap juga akan mengoptimalkan perkembangan otak, selain
stimulasi
indra
pendengaran
dan
penglihatan.
Ingin punya bayi hebat? Salah satu kuncinya pasti stimulasi! Terdengar klise mungkin, tapi
memang
begitulah
prosesnya.
Stimulasi
diperlukan
untuk
perkembangan
otak
yang
akan
menentukan kecerdasan. Apalagi bila dikaitkan dengan the golden age atau masa pesat
perkembangan otak di usia 0-3 tahun (ada juga yang mengatakan 0-6 tahun).
Setelah itu, perkembangan otak manusia pun akan melambat. Jadi manfaatkan masa ini dengan
sebaik-baiknya.
Cepatnya
perkembangan
otak
dalam
periode
ini
ditandai dengan pertambahan berat otak dari 400 gr di waktu lahir menjadi hampir 3 kali lipatnya
setelah
akhir
tahun
ketiga.
Sekadar untuk diketahui, pada masa awal usianya, fungsi kedua belahan otak bayi masih sama.
Hal ini bisa terlihat dari cara bayi meraih benda dengan menggunakan kedua tangannya. Setelah
otak berkembang, secara individual fungsi belahan otak kanan dan kiri menjadi berbeda.
Perkembangan ini menyebabkan anak cenderung memakai tangan tertentu (umumnya kanan)
untuk
melakukan
sesuatu.
Contoh lain akan pentingnya stimulasi terlihat pada penelitian tentang huruf ‘’L” yang diadakan
di Jepang. Dari riset yang dilakukan ditemukan, bayi-bayi di negeri Sakura hingga usia 6 bulan
masih peka terhadap konsonan ‘’L”. Namun, saat menginjak usia 1 tahunan kepekaan itu hilang
karena konsonan L dalam bahasa Jepang tidak diperlukan. ‘’Itu salah satu bukti kalau otak tidak
distimulasi,
sinaps-sinapsnya
(simpai)
akan
hilang
begitu
saja.”
IBARAT
PESAWAT
TELEPON
Saraf-saraf dalam organ otak diibaratkan sebagai kumpulan pesawat telepon yang koneksinya
belum terhubung satu sama lain. Agar koneksi antara pesawat telepon di dalam otak ‘’saling
nyambung”
diperlukan
stimulasi.
Tujuan stimulasi adalah mengembangkan hubungan (network) antara satu saraf dengan saraf
lain. ‘’Saat anak sudah sekolah, ia akan lebih cepat menangkap pelajaran yang diberikan karena
‘pesawat-pesawat telepon’ miliknya sudah terkoneksi sebelum itu. Sebaliknya, bila pesawatpesawat telepon itu tidak distimulasi maka sinaps-sinapsnya akan hilang.
Bahkan beberapa ahli percaya, kalau tidak ada rangsangan, jaringan organ otak jadi mengecil
akibat
menurunnya
jaringan
fungsi
otak.
Masalahnya, begitu banyak hal yang perlu dipelajari si bayi kecil lewat kelima indranya; ada
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba hingga pengecap. Orang tua harus rajin
menstimulasi semua indra bayi secara seimbang agar tumbuh kembangnya menjadi optimal.
Nah, kali ini yang akan dibahas adalah stimulasi indra peraba dan indra pengecap.
STIMULASI
INDRA
PERABA
Sebenarnya, secara tidak sadar, orang tua sudah melakukan beberapa stimulasi indra sentuhan
dari hari ke hari. Hanya saja, mungkin upayanya kurang maksimal. Agar lebih maksimal berikut
beberapa
cara
yang
dapat
dilakukan:
Pijat
bayi
Pijatan dapat memberi efek relaks pada bayi. Penelitian membuktikan bayi prematur yang sering
dipijat akan tumbuh lebih baik, lebih cepat, lebih tenang serta lebih jarang menangis ketimbang
bayi-bayi
prematur
yang
tidak
dipijat.
‘’Jadi terbukti sentuhan orang tua mempengaruhi perkembangan bayi, bukan?”.
Akan lebih baik bila mengikuti berbagai kursus pijat bayi yang banyak diselenggarakan untuk
mengetahui teknik pijatan yang tepat. Jika bayi dipijat tanpa mengenakan pakaian, pilih ruangan
yang
cukup
hangat.
Perhatikan
ranjang
Kebanyakan, waktu bayi akan dihabiskan di atas ranjang. Nah, untuk menstimulasi indra peraba,
lapisi ranjang dengan alas tempat tidur yang lembut dan hangat sehingga ia merasa nyaman di
dalamnya.
Manfaatkan
berbagai
bahan
Bayi perlu mengenal konsep kasar-halus atau keras-lunak. Untuk itu kita bisa mengenalkannya
kepada berbagai tekstur bahan seperti sutera, satin, velvet, kulit, handuk dan sebagainya. Bisa
juga memanfaatkan kegiatan sehari-hari. Dengan mandi, misalnya, bayi jadi tahu sifat sabun
yang
licin.
Berjalan
tanpa
alas
Bila sudah agak besar, bayi bisa diajak berjalan-jalan tanpa alas kaki sehingga ia dapat
merasakan perbedaan kala menyentuh lantai, karpet, atau rumput. Nah, apa yang kita sampaikan
kepada sensori peraba bayi akan terekam di dalam otaknya dan membantu dia menghubungkan
jaringan sel-sel saraf yang ada di dalamnya. Akhirnya, pada sekitar usia 2 tahun ia mulai
bisa
menyebutkan
kalau
batu
itu
keras
atau
sutera
itu
lembut.
STIMULASI
INDRA
PENGECAP
Stimulasi indra pengecap pun sudah akrab dengan aktivitas sehari-hari si kecil, berikut beberapa
di
antaranya:
Menyusu
ASI
Menyusu ASI merupakan salah satu cara merangsang indra pengecap bayi. Beberapa pakar
mengatakan, bayi yang menyusu ASI akan lebih jarang mengisap jari ketimbang yang menyusu
dari botol. Waktu menyusu yang ideal sekitar 30 sampai 40 menit. Di atas 20 menit sebenarnya
susu ibu sudah kosong, namun bayi tetap mengisap puting ibunya demi memenuhi kebutuhan
mengisapnya.
Biarkan
mengisap
jari
Untuk menstimulasi indra pengecapnya biarkan bayi mengisap jari. Seperti diketahui, setiap bayi
pasti akan mengisap jari. Terlebih pada bayi baru lahir hingga usia 3 bulan. Sampai usia 7 bulan
pun, kebiasaan mengisap jari pada bayi masih dianggap wajar. Setelah usia itu tentu kebiasaan
ini
mesti
dihentikan.
Memberikan
PASI
Selepas usia 6 bulan, mulailah bayi diperkenalkan dengan berbagai macam rasa makanan agar
saat besar nanti indra pengecapnya terbiasa dengan aneka jenis makanan. Ia pun akan tumbuh
menjadi
anak
yang
tidak
pilih-pilih
makanan.
Mainan
gigitan
Bisa
diberikan
saat
ia
mulai
memasukkan
segala
sesuatu
ke dalam mulutnya, yakni sekitar usia 6 bulan. Tentu saja perhatikan kebersihannya.
Ajak si kecil ngobrol saat kita memberinya stimulasi. Dengan begitu, perkembangan bahasanya
pun akan ikut terangsang. Dengan berkomunikasi, orang tua juga akan menjalin kedekatan
dengan anak. Namun, kelekatan tetap kurang terjalin bila sambil berbicara, pikiran orangtua
berada entah di mana. Jadi, ajak bayi berbicara dengan tatapan mata. Saat memandikan, kita bisa
ngobrol
tentang
air
yang
begitu
dingin.
‘’Ih
airnya
dingin,
ya..”
Dengan begitu, anak merasa bahwa kita berusaha berhubungan dengannya. Walau mungkin
respons bayi belum terlihat, hanya menatap saja, misalnya, tapi itu sebenarnya menunjukkan
kelekatan
sudah
terbangun.
Comments
(0)
Si
Kecil
Sehat
Bila
Pencernaannya
Kuat
Filed
under:
Pertumbuhan
Anak
Si
Kecil
Sehat
Bila
Pencernaannya
Kuat
Apa
itu
mikroflora?
Mikroflora usus umumnya diidentikkan sebagai flora bakteri di dalam usus. Saluran cerna anak
sehat bila keadaan mikroflora dalam tubuhnya stabil dan seimbang, dimana komposisi bakteri
yang menguntungkan (bakteri-baik) lebih banyak dibanding yang merugikan (bakteri-jahat).
Bagaimana cara mengupayakan pertumbuhan bakteri baik pada mikroflora?
Berikan prebiotik, yaitu suatu karbohidrat yang tidak dicerna sebagai makanan bakteri
menguntungkan, ke dalam makanan si kecil sehari-hari. Prebiotik terdapat pada bahan makanan,
seperti gandum, pisang, bawang putih. Penambahan prebiotik dalam jumlah yang cukup ke
dalam makanan atau minuman (susu) dapat memenuhi kebutuhan untuk mendukung
pertumbuhan
bakteri
yang
menguntungkan.
Apa
manfaat
pemberian
bakteri
baik?
Mikroflora usus yang didominasi oleh bakteri-baik bermanfaat untuk memberi pertumbuhan
yang optimal pada anak, juga memperlihatkan kejar tumbuh yang baik pada anak yang menderita
malnutrisi, serta mengurangi kejadian diare akut secara drastis. Dengan memberikan asupan
Prebiotik pada anak dalam jumlah yang cukup diharapkan bisa mendukung keseimbangan
mikroflora
saluran
cerna
secara
optimal.
Tip
menjaga
keseimbangan
mikroflora
dalam
saluran
cerna:
•
Berikan
pola
makan
sehat
dan
seimbang
bagi
anak.
•
Biasakan
anak
untuk
menjalani
pola
makan
yang
teratur.
•
Hindari
pemakaian
antibiotika
yang
berlebihan.
•
Jaga
kebersihan
tangan
sebelum
dan
sesudah
makan
*Setiap individu berbeda kondisi kesehatannya. Sebagian individu mungkin alergi terhadap salah
satu atau beberapa bahan makanan tertentu. Sesuaikan bahan makanan yang digunakan dengan
kondisi kesehatan anda. Perhatikan baik-baik selalu bahan-bahan yang tercantum dalam setiap
kemasan.
Comments
(0)
Setiap
Anak
Memiliki
Kepekaan,
Asahlah
Selagi
Masih
Dini
Filed
under:
Pertumbuhan
Anak
Setiap
Anak
Memiliki
Kepekaan,
Asahlah
Selagi
Masih
Dini
Dua anak TK B itu saling berebut ayunan, dan tidak satu pun yang mau mengalah. “Aku
duluan!” ujarnya. “Jangan! Aku dulu. Kamu nggak boleh!” katanya mempertahankan ayunan itu.
Kejadian seperti ini bukan hal asing lagi. Mereka seolah tak memiliki tenggang rasa dan mau
menang sendiri. Keinginan mereka seolah tak dapat ditawar, dan selalu ingin mendapatkannya.
Melihat kejadian itu, Rahma, ibu dari salah satu anak tersebut khawatir kalau-kalau buah hatinya
kelak akan tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki kepekaan atau empati. Hal ini sebenarnya
tidak perlu dikhawatirkan, sebab pada dasarnya setiap anak itu memiliki kepekaan, tinggal
bagaimana orangtua dan orang-orang terdekat mengasah kecerdasan emosi anak tersebut, agar
terbentuk
anak-anak
yang
berkarakter
baik.
Dalam mengasah kecerdasan emosi, Daniel Goleman dalam bukunya berjudul Emotional
Intelligence, Why It Can Matter More Than IQ (Kecerdasan Emosi, Mengapa lebih Penting
daripada IQ), membagi kecerdasan emosi ke dalam enam wilayah, yaitu empathy (kesadaran
akan perasaan, kebutuhan, dan keprihatinan orang lain), understanding others (dapat memahami
perasaan dan pandangan orang lain dan mempunyai ketertarikan akan keprihatinan mereka),
developing others (mengetahui kebutuhan orang lain ), service orientation (mampu
mengantisipasi, mengenali, dan memenuhi kebutuhan orang lain), leveraging deversity
(mengolah kesempatan melalui orang-orang yang berbeda), dan organization awareness
(mengenali
keadaan
dalam
kelompok).
Menurut Goleman, anak yang memiliki kemampuan-kemampuan tersebut kelak akan mampu
membina hubungan personal yang baik dengan lingkungannya, serta membawanya ke pintu
sukses
dalam
berkarir.
Mengasah empati, menjadi satu hal penting yang perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini,
sebab empati merupakan kunci keberhasilan anak kelak. Mengasah empati bisa dilakukan lewat
bermain. Selama bermain anak akan belajar memahami dan mengerti orang lain. Bukankah
selama bermain anak berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya?
Cara lainnya dengan mengajak anak bermain di tempat umum. Di situ ia akan belajar
menghargai bahwa anak lain pun juga berhak menggunakan mainan itu secara bergantian. Bisa
juga dengan cara mengajak ia berkenalan dengan anak lain seusianya, dan membiarkan mereka
bermain bersama. Ajari pula anak untuk memberi pertolongan pada orang yang kekurangan,
misalnya
ketika
ada
pengemis,
biarkan
anak
yang
memberi
uang.
Dengan cara ini, anak akan belajar bagaimana menghargai orang lain.
Kapan saat yang tepat untuk mengajarkan empati pada anak? Membentuk nilai dan pesan moral
anak, hasilnya akan semakin baik jika dilakukan sedini mungkin, saat ia mulai bersosialisasi
dengan
orang
lain.
Jadi, bu-pak, tak ada kata terlambat untuk mengarahkan si kecil agar menjadi anak yang penuh
empati.
Apalagi
setiap
anak
itu
pada
dasarnya
memiliki
kepekaan.
Tips
Agar
Tak
Tumbuh
Jadi
Anak
Egois:
Biasakan anak untuk berkata “maaf” bila menyakiti teman atau berbuat kesalahan, atau “terima
kasih”
bila
ia
menerima
sesuatu
dari
orang
lain.
Ketika melihat temannya jatuh dan menangis, ajarkan untuk mendekati dan membantu anak
tersebut.
Dengan
.
Ajarkan anak untuk berbagi dengan temannya. Biarkan temannya meminjam mainannya saat
mereka
bermain.
Ketika ia sedang memegang makanan, ajarkan dia untuk memberikan sebagian pada orang yang
meminta,
atau
menawarkannya
pada
orang
lain.
Beri pengertian, memukul dan dipukul tidak akan menyelesaikan masalah, dan hanya
menghasilkan
rasa
sakit.
Sesekali
ajak
anak
berkunjung
ke
panti
asuhan.
Comments
(0)
Seni
dan
Balita
Anda
Filed
under:
Pertumbuhan
Anak
Seni
dan
Balita
Anda
Anak yang memperoleh kesempatan, dorongan dan semangat untuk mengekspresikan perasaan,
pikiran serta imajinasinya melalui seni, ternyata memperkaya dan memperluas fikir, jiwa dan
budi-dayanya. Seni mendorong kreativitas dan kemampuan berfikir. Seni sebagai bagian integral
dari pendidikan usia pra-sekolah. Sebagian besar kegiatan sehari-hari asuhan usia prasekolah
sebenarnya
telah
berhubungan
erat
dengan
seni.
Tak kan lepas dari ingatan ketika kita kecil ibu bersenandung lagu, ayah mengajak tepuk tangan
gembira kala kita bisa menyanyikan lagu sembarang atau meniru tarian-asal. Kemudian guru di
taman-kanak mengajarkan melipat, mencoret, menyusun, menempel, mewarnai, menyanyi,
deklamasi, menari, bermain peran dan apapun hasilnya penghargaan serta pujian yang di dapat;
kemudian semgangatpun mengatakan apa yang kukerjakan ternyata bisa. Adakah suasana seperti
diatas
juga
diperoleh
putra-putri
kecil
kita?
Seni adalah media bagi anak untuk mengekspresikan pikiran, perasaan dan fantasinya. ‘Karyaseni’ (art-work) anak-anak merupakan gambaran persepsi dunia yang melingkupinya.
Menurut
Zimmerman
ada
3
hal
pendidikan
seni
untuk
anak
Balita:
·
Karya-seni adalah refleksi dari perkembangan natural inner processes
·
Berdasar pada pendekatan perkembangan kognitif (cognitive developmental approach),
terfokus pada pembangunan pengetahuan umum tentang lingkungan(dunia)nya.
·
Pembelajaran seni untuk mendukung pengembangan-diri sehingga anak anak dapat
memahami diri dengan lingkungan sosial dimana mereka tinggal.
Bahwa anak memilki kemampuan alami seni yang tak terhingga bila para dewasa (misal: orangtua, guru) memfasilitasi dengan ‘lingkungan-kesempatan’ dorongan serta sarana. Bagi anak
Balita bebas bereksplorasi pada benda, tekstur, bau, warna, bentuk-susun-bangun, bersuara
(menyanyi, bercerita, deklamasi), bergerak (menari, bergaya, berperan) serta berkesempatan
mengekspresikan perasaan, persepsi, pendapat/ide merupakan tujuan awal pembelajaran seni.
Proses adalah hal yang lebih penting dari pada ‘produk’ seni itu sendiri.
Ketika anak menyelesaikan ‘karya-seni’nya sebagi pengganti sebuah kata pujian ajaklah ia
berbincang ringan namun riang. Anda akan belajar banyak tentang karya-seni dan pikiran anak
dari berbincang dengannya. Ikuti terus proses itu, karya-seni anak membantu pra dewasa
mengikuti
jejak-perkembangan
anak.
Seni
Membuatnya
Lebih
Ekspresif
Nancy Beal dan Gloria Bley Miller dalam bukunya The Art of Teaching Art to Children
menyebutkan bahwa kegiatan seni sangat baik untuk mengembangkan kemampuan motorik
halus anak. Aktivitas ini membuat anak sanggup mengendalikan otot-otot halusnya untuk
membentuk plastisin, memotong dengan gunting, melukis dengan kuas dan menggambar atau
mewarnai dengan krayon. Konsentrasi, koordinasi, kesabaran dan gerakan tangan anak pun
terlatih. Bukan hanya itu, anak pun memperoleh pengalaman mengembangkan daya visualnya.
Aktivitas seni juga dapat membantu anak untuk mengembangkan rasa percaya dirinya. Ia akan
merasa jerih payahnya dihargai ketika melihat hasil karyanya dipajang. Hal itu membuat si kecil
terus terpacu untuk menghasilkan karya. Dan, ia pun merasa dirinya mampu untuk melakukan
suatu
hal.
Baiknya seni untuk perkembangan balita juga diulas oleh Anne Reyner, M.A, seorang Art
Therapist asal Amerika Serikat. Dalam tulisannya Seven Good Things for You to Know About
How The Arts Help Children Grow, ia memaparkan bahwa seni dapat mengembangkan
kemampuan dan kreativitas anak secara maksimal. Menurut Reyner, saat bereksperimen dengan
peralatan seninya, anak berlatih untuk mencari pemecahan masalah. Ia pun terlatih untuk
mengambil keputusan saat harus membangun atau membuat karya seninya. Seni pun dapat
melatih kemampuan sosial anak. Misalnya, anak yang pemalu bisa lebih nyaman melakukan
koneksi dengan orang lain ketika ia melakukan aktivitas seni bersama-sama.
Lebih lanjut Reyner menyatakan bahwa aktivitas seni melatih otak kiri dan kanan. Aktivitas seni
akan merangsang otak kiri yang berhubungan dengan kemampuan membaca, menghitung dan
pemecahan masalah. Secara bersama-sama aktivitas tersebut pun akan melatih otak kanan yang
‘bertanggung
jawab’
atas
kreativitas
dan
intuisi.
Bagaimana
Tips
Membimbingnya?
Amy S. Hood dan Connie Jo Smith dalam tulisannya Safe Play for Toddlers menyebutkan bahwa
yang harus disadari orang tua ketika membimbing anaknya adalah seni bagi anak bukanlah
hasilnya,
melainkan
prosesnya.
Biarkan
anak
menggunakan
imajinasinya:
1. Memberi contoh boleh, tetapi jangan mendikte. Anak akan menemukan caranya sendiri untuk
membuat hasil karya dari peralatan seni yang Anda berikan. Dengan imajinasi dan kreativitasnya
sendiri, anak akan membuat hasil karya yang unik dan berarti bagi dirinya.
2. Memuji tak ada salahnya, tapi fokuslah pada pekerjaan yang dilakukannya. Jangan buru-buru
melontarkan pujian: “Wow! Itu bagus sekali!” tetapi berikan perhatian pada proses pekerjaannya.
Misalnya, berikan komentar seperti:”Wah, kamu pakai tiga warna untuk gambar hati yang kamu
buat.”
3. Selalu tekankan sisi positif dari hasil karya anak Anda. Fokus pada hasil karya yang telah jadi
dan bukan pada harapan atau ukuran Anda. Jika Anda memberikan komentar berdasarkan apa
yang ingin Anda lihat atau harapkan, maka anak tak pernah berhasil memenuhi keinginan Anda.
Hal ini akan menimbulkan kekecewaan pada Anda dan anak Anda. Komentar yang positif,
bukan celaan atau pujian berlebihan akan membuat anak terpacu untuk membuat hasil karya
yang
lebih
baik.
4. Hargai karya anak Anda. Ada dua cara untuk melakukannya yaitu memberikan komentar
positif tentang karyanya dan cara Anda memperlakukan hasil karyanya. Maka, pajanglah karya
anak Anda atau simpan di album khusus. Pasang dalam pigura satu atau dua gambar karyanya
yang ia sukai. Dengan cara ini, anak mengetahui bahwa Anda menghargai hasil karyanya. Jika
perlu, fotokopi atau foto hasil karya anak Anda dan tunjukkan pada nenek dan pamannya.
Sumber: www.sahabatnestle.co.id
01/30/2009 Posted by zaifbio | Belajar Dan Pembelajaran | 8 Komentar
Kategori
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

ANFISMAN
Belajar Dan Pembelajaran
BIOKIMIA
Biologi Umum
BTR
BTT
CONTOH LKTM
Contoh PKM
Dasar-Dasar Ilmu Gizi
Ekologi Hewan
Ekologi Tumbuhan
Evaluasi Pendidikan
Evolusi Organik
Fisiologi Hewan
Fitofarmaka
Genetika Dasar
KWD
Metodologi Penelitian Biologi
MIKROBIOLOGI
MIKROTEKNIK
Morfologi Tumbuhan
PARASITOLOGI
Pengetahuan Lingkungan
PPD
Profesi Kependidikan
PTK
SBB
SBM
Uncategorized
Vertebrata
Tulisan Terkini
o
o
o
o
o

Arsip
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Juli 2011
Juni 2011
Mei 2011
November 2010
Agustus 2010
Juni 2010
Mei 2010
April 2010
Februari 2010
Januari 2010
Desember 2009
November 2009
Oktober 2009
September 2009
Juli 2009
Juni 2009
Maret 2009
Februari 2009
Januari 2009
Klik tertinggi
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

INOVASI MODEL DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
“TINJAUAN DASAR SALEP”
Efektivitas Pembelajaran Statistika Melalui Pendekatan Kontekstual Berbasis Life Skill
Pada Siswa Kelas XI-IA SMA PGRI Sumenep Tahun 2008/2009”
Studi Pengintegrasian Nilai-Nilai Kedisiplinan Pada Metode Pemecahan Masalah
Terhadap Prestasi Belajar Matematika Kelas X SMA PGRI Sumenep Pokok Bahasan
Matriks Tahun Pelajaran 2006/ 2007”.
aplikasi metode berbasis masalah dalam mata pelajaran matematika terhadap prestasi
belajar siswa kelas X SMA PGRI Sumenep pokok bahasan ruang dimensi tiga tahun
pelajaran 2006/2007.
widgia.com
ceriagames.com/support_pa…
[email protected]
hadirukiyah.blogspot.com/…
geocities.com/apii-berlin…
ditplb.or.id/2006/index.p…
distan.jakarta.go.id/toda…
forum.detik.com.tanggal
wikimu.com/News/Kesehatan…
michaelharatuarajagukguk.…
Tulisan Teratas
o
o
o
o
RANAH PENILAIAN KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTORIK
Identitas Nasional dan Hakekat Bangsa
Pertumbuhan dan Perkembangan
SISTEM GERAK MANUSIA
o
o
o
o
o
o
Ganggang (Algae)
PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN BAHAN MAKANAN SERTA PERMASALAHANNYA
Ciri-ciri dan Masalah Pendidikan di Indonesia
Keanekaragaman Makhluk Hidup
teori-teori belajar behaviorisme, gestalt, kognitivisme, konstruktivisme, CBSA,
Keterampilan Proses, sosial, CTL, pendekatan komunikatif, pendekatan tematikintegratif
Sistem Respirasi Manusia
Download