Perbedaan Forgiveness pada Lansia yang Tinggal di Panti Wredha

advertisement
Perbedaan Forgiveness pada Lansia yang Tinggal di Panti
Wredha dan di Rumah
Davin Aristyo Rahadiyan Lumadyo 1
Stefanus Soejanto Sandjaja
Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
Abstract. This research aimed to determine whether there is a difference between forgiveness
of the elders who live in nursing home and in home. This study used a quantitative methods
approach and used t-test statistic technique. The forgiveness were measured by TRIM 18
scale. The subjects were elderly aged 65 years old or above with random sampling (n=89).
The result showed that there are differences between forgiveness the elders who live in nursing
home and in home. Elders who live in nursing home have a fair score in forgiveness category
and elders who live in home have a low score in forgiveness category. The result of data
analysis showed the value of t is 3.440 with probability (p) < 0.05. If viewed from the mean
value, there is a significant difference, in which the highest value of mean obtained by the
elders who live in nursing home = 43.75 and the elders who live in home = 36.14.
Keywords: elderly, forgiveness, nursing home
Pendahuluan
Perkembangan Penduduk Lanjut usia (lansia) di Indonesia menarik diamati. Dari
tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Kantor Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat (KESRA) tahun 1998 melaporkan, jika tahun 1980 usia
harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka
pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2
tahun). Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9
juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada
tahun 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 %
dengan UHH sekitar 71,1 tahun.
Kondisi yang baik dialami oleh seorang lansia di masa tuanya adalah ketika
seorang lansia merasakan kebahagiaan masa tuanya, di mana mereka dapat
mengalami masa-masa berbagi kebahagiaan dengan anak dan menantu juga dengan
cucu mereka. Bermain bersama dengan cucu setiap hari, pergi bersama dengan
anggota keluarga dengan anak, menantu, dan cucu untuk berlibur ataupun
1
Korespondensi artikel ini dapat menghubungi:[email protected]
Bermain bersama dengan cucu setiap hari, pergi bersama dengan anggota
keluarga dengan anak, menantu, dan cucu untuk berlibur ataupun berbelanja. Lansia
dengan anggota keluarga juga dapat berbagi bersama dalam setiap kondisi, pada saat
sedih, senang, menangis, semua perasaan yang ada dalam diri manusia dapat
bersama sama dirasakan, inilah yang seharusnya dialami oleh seorang lansia pada
masa tuanya.
Pada kondisi nyatanya, masa tua merupakan periode penutup dalam rentang
hidup seseorang. Usia enam puluh lima sampai awal tujuh puluhan digunakan sebagai
patokan usia pensiun, serta tanda dimulainya usia lanjut. Seseorang merasa dirinya
tua, selain dipengaruhi kondisi real kesehatan tubuhnya juga ditentukan oleh usia
mental (tingkat kecerdasan), penghayatan mengenai dirinya sendiri (konsep diri),
pandangan orang lain dan norma masyarakat (sosial-budaya) terhadap dirinya.
Pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya adanya interaksi sosial. Kebutuhan akan orang lain itu terlihat dari hubungan
yang terjalin antar manusia, yang dapat berupa saling melengkapi dan memenuhi
kebutuhan satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, suatu hubungan tidak selamanya
berjalan sesuai dengan keinginan kita karena manusia tidak dapat menghindari
segala masalah atau konflik yang terjadi dengan orang lain. Menurut Davis, Keith, dan
Newstorm (1996), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang dapat berlaku
dalam berbagai keadaan akibat daripada munculnya keadaan ketidaksetujuan,
kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Menurut Rowe dan Kahn dalam berhubungan dengan orang lain, lansia
mengalami kesulitan dalam mencari teman baru yang dapat menggantikan peran
orang-orang yang sudah sering kali berada dalam hidupnya, seperti teman yang
meninggal, berpindah tempat, dan sebagainya. Hal-hal tersebut menyebabkan lansia
lebih memilih untuk menetap dengan keluarga di rumah dibandingkan berpindah ke
tempat lain atau menetap sendirian. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya
banyak lansia yang mengalami kesepian dan terisolasi secara sosial (dalam Santrock,
2007). Salah satu hal positif yang dapat menjadi solusi bagi masalah ini adalah
forgiveness. Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan forgiveness
sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang
yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa
kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti. Dengan sikap forgiveness
seseorang akan merasakan hal yang berbeda, entah solusi yang didapatkan
menghasilkan perasaan yang memuaskan atau tidak, hal itu tidaklah menjadi suatu
masalah. McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) mendefinisikan memaafkan
sebagai serangkaian perubahan motivasional di dalam diri seseorang, di mana
motivasinya untuk membalas perbuatan pelaku menurun, motivasinya untuk
memelihara hubungan yang renggang dengan pelaku menurun, dan motivasinya
untuk berdamai pada pelaku transgresi (pihak yang telah menimbulkan rasa sakit)
meningkat.
Kontak sosial merupakan salah satu hal yang penting dalam mendapatkan
dukungan pada seorang lansia. Keluarga memberikan keamanan dan dukungan
emosional, sedangkan teman juga merupakan sumber penting untuk mendapatkan
kesenangan dengan cepat (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Menurut Genevay, hal
tersebut disebabkan karena teman dapat menjadi tempat untuk menceritakan pikiran,
perasaan, kekhawatiran, dan kesedihan yang dapat membantu menghadapi
perubahan dan krisis penuaan (dalam Papalia, Olds & Feldmans, 2004). Tidak semua
lansia tinggal bersama keluarganya di rumah, ada juga lansia yang tinggal di rumah
perawatan usia lanjut atau yang lebih dikenal dengan istilah Panti Wredha. Panti
Wredha merupakan unit pelaksanaan teknis kegiatan pelayanan sosial kepada lansia
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara layak, melalui pemberian
penampungan berupa tempat tinggal, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian,
pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial,
mental serta agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi
ketentraman lahir dan batin (Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial &
Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2004).
Tinggal di Panti Wredha berarti lansia diharuskan berpisah dari keluarga, baik
anak maupun cucu mereka. Hal ini dapat memberikan dampak kondisi tertekan bagi
para lansia. Kemungkinan terjadinya efek negatif pada diri lansia sangat mungkin
terjadi karena adanya perasaan terabaikan, tidak dipedulikan, tidak lagi bermakna
bagi orang lain terutama bagi anak-anaknya yang dewasa dan mandiri, serta
kebersamaannya dengan orang lain hanya bersifat sementara yang ada kalanya
hanya berupa formalitas (Setiadarma, 2004).
Keputusan untuk menetap di Panti Wredha seringkali bukanlah keputusan dari
para lansia sendiri, tetapi keputusan orang lain yaitu keluarga. Keberadaan seorang
lansia di Panti Wredha cenderung dikaitkan dengan tingkat ketergantungan yang
tinggi dan penekanan lebih besar untuk mengikuti program yang telah ditentukan oleh
Panti Wredha, daripada rencana atau proyek yang diajukan oleh lansia itu sendiri
(Newman & Newman, 2006). Penelitian Cahyawati (2009) mengungkapkan bahwa
lansia yang tinggal di Panti Wredha memiliki kebebasan yang terbatas dan tidak
merasakan
kehangatan
keluarga
meskipun
terdapat
pengurus
yang
memperhatikannya. Beberapa lansia yang tinggal di Panti Wredha juga disebabkan
keluarga yang tidak memperhatikan dan memperdulikannya.
Hal yang telah disebutkan sejak awal juga dinyatakan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Cahyawati, bahwa lansia yang tinggal di Panti Wredha merasa bahwa
mereka tidak dapat bertindak sesuai keinginannya sendiri dan merasakan terkekang.
Berbeda dengan lansia yang tinggal di rumah, mereka lebih merasa bebas melakukan
keinginannya dan merasakan kebutuhan mereka terpenuhi. Untuk itu, peneliti memiliki
argumen bahwa lansia yang tinggal di Panti Wredha memiliki forgiveness yang lebih
rendah daripada lansia yang tinggal di rumah.
Peneliti melaksanakan studi pendahuluan untuk melihat adakah perbedaan
forgiveness pada lansia yang berada di Panti Wredha dan di rumah. Penelitian awal
ini dilakukan di dua panti yang berbeda di daerah Jakarta Selatan dan Tangerang,
serta lansia yang berada di rumah yang berdomisili di daerah Jakarta selatan dan
Tangerang, melalui pengujian yang dilakukan pada 40 orang lansia diperoleh adanya
perbedaan forgiveness pada lansia yang berada di panti dan di rumah, di mana secara
rata-rata pengampunan lansia yang berada di panti jauh lebih tinggi dibandingkan
lansia yang tinggal di rumah. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan peneliti
yang menganggap bahwa lansia yang berada di rumahlah yang memiliki forgiveness
lebih tinggi dibandingkan dengan di Panti Wredha.
Dari hasil analisis ini terlihat perbedaan antara hasil analisis peneliti dengan
hasil penelitian awal. Hasil penelitian awal menyatakan adanya perbedaan pada
forgiveness pada lansia yang tinggal di Panti Wredha dengan di rumah, karena hasil
skala pengampunan yang didapatkan menyatakan bahwa forgiveness pada lansia
yang berada di Panti Wredha sebesar 45.40 tergolong cukup, sedangkan forgiveness
pada lansia yang berada di rumah 35.45 tergolong rendah. Sehingga peneliti tertarik
untuk meneliti
lebih lanjut tentang forgiveness pada lansia. Apakah Panti Wredha ataukah rumah
yang membuat seorang lansia mempunyai pemaafan yang tinggi dan faktor-faktor
apakah yang mendukung seorang lansia untuk melakukan forgiveness.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti membuat suatu rumusan masalah
yaitu apakah ada perbedaan forgiveness pada lansia yang tinggal di panti jompo
dengan di rumah. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui
perbedaan forgiveness pada lansia yang tinggal di panti jompo dengan di rumah.
Forgiveness
Snyder (dalam Agustinus, 2012) mendefinisikan forgiveness sebagai
penyusunan suatu transgresi yang dialami seorang individu saat berhadapan
dengan transgressor (orang yang melakukan kesalahan), transgresi (orang yang
disakiti), dan sekuel (kelanjutan dari sebuah cerita) dari transgresi. Hal itu yang
akan memunculkan suatu perubahan terhadap suatu efek yang negatif menjadi
efek yang netral dan positif. Transgresi itu sendiri juga dapat berasal dari dirinya
sendiri, dari orang lain, ataupun dari situasi yang berada di luar kendali dirinya,
seperti bencana alam, penyakit, dan lain-lain. Jadi, metode yang digambarkan
oleh Snyder itu adalah sebuah metode dimana dapat mengubah pengaruh yang
negatif tersebut dari suatu peristiwa distress yang dialaminya menjadi sebuah
pemikiran atau emosi yang positif yang dikeluarkan oleh trangresi.
Worthington dan Wade (1999) menambahkan dampak positif lainnya dari
memaafkan, bahwa secara kesehatan memaafkan memberikan keuntungan
psikologis, dan memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam intervesi yang
membebaskan seseorang dari kemarahannya. Dengan demikian hal ini berpengaruh
pada perasaan forgiveness seorang lansia, ketika memaafkan, lansia bisa
memulihkan kembali hubungan dengan keluarganya, lansia tidak lagi menjadi
seorang yang cepat tersinggung, mudah marah, dan secara mental tidak lagi menjadi
stres karena memaafkan dapat mengurangi stres (Worthington, 2005).
Baumeister (1998) menemukan hambatan dari forgiveness berdasarkan
penelitian yang telah dilakukannya. Ia mengatakan bahwa paling tidak terdapat
dua hambatan terbesar dalam diri seseorang dalam melaksanakan proses
forgiveness . Pertama,seseorang yang memiliki kepribadian narsisistik akan sulit
dalam melakukan forgiveness, hal itu dikarenakan orang yang narsisistik ingin
mendapatkan hal yang lebih dan merasa dirinya benar. Kedua, seseorang akan
sulit melakukan proses forgiveness karena ia takut mengalami peristiwa yang
menyakitkan kembali. Kesempatan untuk disakiti kembali pada diri seorang
individu menjadi penghambat yang membuat seseorang untuk menjalani proses
forgiveness. Hal itu yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang dalam
melihat potensi dalam dirinya sendiri untuk tidak melakukan hal yang tidak
semestinya pada orang lain.
McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) mendefinisikan forgiveness
sebagai perubahan motivasi ketika individu mengganti respon destruktif terhadap
transgressor, dengan respon yang konstruktif. Forgiveness merupakan kesediaan
untuk menanggalkan kekeliruan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencaricari nilai dalam amarah dan kebencian, dan menepis keinginan untuk menyakiti
orang lain atau diri sendiri. Enright (dalam McCullough, Fincham, & Tsang, 2003)
mendefinisikan forgiveness sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif
dan penghakiman terhadap orang yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa
sakit itu sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba, dan cinta kepada pihak yang
menyakiti.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness
adalah sebagai serangkaian perubahan motivasional pada seseorang di mana terjadi
penurunan motivasi untuk membalas dendam terhadap pelaku pelanggaran.
Menurunnya motivasi ini untuk dapat mempertahankan kerenggangan hubungan
dengan pelaku pelanggaran, dan dapat meningkatkan motivasi untuk berdamai dan
berbuat baik terhadap pelaku pelanggran. Tanpa adanya forgiveness, konflik yang
akan terjadi di dalam diri seseorang akan semakin bertambah bahkan akan membuat
semakin besar. Maka dari itu, seseorang dituntut untuk mempunyai sikap memaafkan
untuk membuat hidupnya jauh lebih aman dan nyaman.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemaafan
Menurut McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthington, dan Hight (1997),
ada empat faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk memaafkan yaitu:
1. Variabel sosial – kognitif atau afektif
Faktor ini adalah faktor yang sangat berpengaruh dan berhubungan pada
bagaimana seorang korban mempunyai cara berfikir dan mempunyai perasaan
tentang perilaku yang dialami olehnya. Forgiveness juga ditentukan oleh beberapa
variabel atribusi penilaian terhadap tanggung jawab dan kesalahan, niat,
penderitaan yang dipersepsikan oleh korban dan penghindaran terhadap serangan.
2. Karakteristik serangan
Faktor ini memengaruhi seseorang untuk dapat memberikan forgiveness
pada seseorang yang telah membuat luka dan penderitaan bagi korban. Semakin
menyakitkan serangan yang diberikan oleh peluka hati maka akan semakin sulit
forgiveness diberikan pada pelaku. Kebesaran hati dari pelaku untuk meminta maaf
atas serangan yang diberikan pada korban, juga dapat menjadi pengaruh dalam
korban memberikan forgiveness.
3. Kualitas hubungan interpersonal
Salah satu faktor penentu dalam forgiveness adalah kualitas dari hubungan
interpersonal. Forgiveness merupakan sebuah perubahan motivasional yang
mengarah kepada hubungan yang konstruktif, maka tingkat keintiman atau
kedekatan berhubungan positif dengan forgiveness.
McCullough mengatakan bahwa terdapat tiga bentuk kualitas hubungan yang
berkaitan dengan forgiveness, yaitu: (a) adanya pengalaman atau sejarah yang
dialami bersama yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan motivasi, (b)
kemampuan korban untuk memaknai transgresi atau peristiwa menyakitkan terjadi
untuk kebaikan dirinya, dan (c) peluka hati mampu meminta maaf atau
mengkomunikasikan penjelasan baik secara verbal maupun non verbal.
4. Faktor kepribadian
Proses forgiveness memiliki hubungan yang kuat dengan keramahan dengan
stabilitas emosional seseorang. Faktor keagamaan juga mempunyai peran yang
tidak kecil dalam memberikan dorongan seseorang untuk dapat forgiveness.
Dimensi Pemaafan
Dimensi forgiveness yang dikemukakan di sini merupakan penjelasan lebih jauh
mengenai
definisi
McCullough,
seperti
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya.
Forgiveness merupakan proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap
transgressor. Pada TRIM 18 (McCullough, Root, & Cohen, 2006), terdapat tiga
dimensi forgiveness yaitu, membalas dendam (revenge), menghindar (avoidance),
dan mendekat (benevolence). Berikut ini akan dijabarkan mengenai ketiga dimensi
tersebut:
1. Membalas dendam (revenge)
Dimensi ini merefleksikan kecenderungan seseorang untuk membalas
dendam. Setelah terjadi transgresi, korban yang memiliki kecenderungan tinggi
untuk membalas dendam akan berusaha menyakiti pelaku transgresi dengan
tujuan agar pelaku merasa sakit seperti apa yang korban rasakan.
2. Menghindar (avoidance)
Dimensi ini merefleksikan kecenderungan seseorang untuk menghindar
pelaku transgresi. Bentuk penghindaran ini dilakukan dengan cara yang berbedabeda, antara lain tidak mau melakukan kontak personal maupun psikologis
dengan pelaku, tidak mau berdekatan dengan pelaku, mengabaikan keberadaan
pelaku, tidak mau menunjukan keramahan terhadap pelaku dan yang lebih
ekstrim yaitu memutuskan hubungan yang selama ini terjalin dengan pelaku.
3. Mendekat (benevolence)
Dimensi ini ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku,
dengan kehadiran benevolence, berarti menghilangkan kedua dimensi
sebelumnya. Oleh karena itu individu yang memaafkan, memilki benevolence
motivation yang tinggi, namun disisi lain memilki revenge motivation dan
avoidance motivation yang rendah.
Lansia
Lansia adalah lanjut usia, sebutan untuk seseorang yang memang sudah
masuk dalam periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Late adulthood
adalah kategori lanjut usia yang dimana mereka berusia 65 tahun ke atas (Papalia,
Olds, & Feldman, 2004). Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup
seseorang, yaitu
periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih
definisi lansia yang dikemukakan dalam konstitusi negara Indonesia yaitu UndangUndang No.13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud lanjut
usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (dikutip Siftriani,
2009).
Dalam Hurlock (2001), diungkapkan tiga kelompok older adult, yaitu: Young
adult, yang pada umumnya adalah yang umurnya berkisar antara 65 sampai 74 tahun,
yang umumnya masih aktif, penuh perhatian dan bersemangat; Old – old, yang pada
umumnya adalah umur antara 75-84 tahun; dan Oldest – old, yang pada umumnya
adalah yang berumur 85 tahun ke atas, yang umumnya lemah dan sulit untuk
mengatur aktivitas sehari-hari.
Batasan usia lansia yang dipakai dalam penelitian ini adalah menurut Papalia,
Olds, dan Feldman (2004), yaitu pada kelompok penduduk lansia berusia 65 tahun
keatas, baik yang berada di rumah maupun di Panti Wredha. Penggolongan yang
dipakai peneliti berdasarkan pada penggolongan organisasi kesehatan dunia.
Lansia di Panti Wredha
Lansia pada saat ini sering kali dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, dan
berbeda dengan sebelum mereka tinggal di panti. Hal ini akan mendorong mereka
untuk dapat dan mampu melakukan penyesuaian diri agar mereka mampu hidup
berdampingan selaras dan berjalan baik dengan sesama mereka yang berada di
panti. Jika mereka mampu hidup berdampingan menyesuaikan diri dengan tepat akan
membuat lansia merasa nyaman untuk tinggal di panti berdampingan dengan sesama
mereka.
Menurut Kadir (2007), terdapat beberapa alasan yang menyebabkan lansia
tinggal di Panti Wredha, yaitu: (a) Perubahan tipe keluarga, (b) berubahnya peran ibu,
dan (c) kebutuhan sosialisasi. Hawari (dalam Cahyawati, 2009), menyebutkan bahwa
peningkatan jumlah lansia yang terdaftar dalam Panti Wredha adalah karena adanya
pergeseran struktur keluarga menjadi keluarga inti (nuclear family) yang “tidak
menyediakan tempat” bagi para lansia. Sehingga para lansia hidup hanya ditemani
oleh binatang peliharaan dalam kesepian, isolasi sosial, dan tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya di hari tua. Hal inilah yang menjadi pemicu depresi pada lansia, sehingga
mereka memutuskan untuk lebih memilih Panti Wredha sebagai tempat mereka
singgah.
Selain dari itu, Wijayanti (dalam Sulandari, 2009) menyebutkan bahwa lansia di Panti
Wredha terdapat fenomena, yaitu diantaranya tidak ada yang perduli, perhatian,
kurang kasih sayang dari keluarga, kosongnya kehidupan mereka, rasa tidak lagi
dibutuhkan, dan kesepian.
Lansia di Rumah
Lansia yang tinggal di rumah, baik hidup sendiri ataupun hidup dengan
keluarganya akan cenderung memiliki cara perawatan berbeda. Menurut Versayanti
(2011), ketika seseorang sudah mencapai usia tua di mana fungsi-fungsi tubuhnya
tidak dapat lagi berfungsi dengan baik maka lansia membutuhkan banyak bantuan
dalam menjalani aktivitas-aktivitas kehidupannya. Belum lagi berbagai penyakit
degeneratif yang menyertai keadaan lansia membuat mereka memerlukan perhatian
ekstra dari orang-orang disekitarnya, terutama keluarga yang merawat mereka di
rumah (Versayanti, 2011).
Merawat lansia tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan fisik saja,
namun juga pada aspek psikologis dan sosiologis. Menurut Versayanti (2011), nilai
kekeluargaan yang sangat dipegang erat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
mungkin menjadi salah satu alasan mengapa rumah jompo bukan dianggap sebagai
suatu pilihan dalam merawat lansia. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekstra
lansia tersebut mereka memperkerjakan seorang perawat untuk merawat orangtua di
rumah.
Menurut Versayanti (2011), melalui cara menggunakan perawat di rumah, akan
terdapat beberapa kerugian dan keuntungan. Lansia dapat tetap tinggal di rumah
sehingga ia mendapatkan rasa nyaman dan aman. Namun juga banyak hal yang
harus diperhatikan secara seksama. Perlu diingat bahwa lansia memerlukan banyak
hal-hal lain untuk dapat mempertahankan kualitas hidupnya seperti latihan-latihan
yang dapat melatih tubuhnya agar tidak terus menurun, ataupun untuk bagaimana
mempertahankan fungsi kognitifnya (Versayanti, 2011). Tak lupa juga lansia juga
membutuhkan sosialisasi. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan oleh Versayanti
(2011), yaitu bahwa lansia yang membutuhkan sosialisasi akan menuntut perhatian
khusus dari keluarga yang menjaga lansia tersebut. Jangan sampai lansia merasa
sendirian yang akan berdampak pada depresi walaupun tinggal di rumahnya sendiri.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bekerja dengan angka, dan
teknik analisis data dilakukan menggunakan statistik t-test. Desain penelitian ini adalah
non-eksperimental dimana peneliti tidak melakukan manipulasi pada variabel yang
akan diukur. Penelitian ini mengambil sampel lansia yang tinggal di rumah dan lansia
yang tinggal di Panti Wredha. Adapun kriteria subjek dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: a) Lansia yang berusia lebih dari 65 tahun atau kriteria seseorang
dikatakan sebagai lansia; b) Khusus subyek Panti Wredha merupakan penghuni dari
Panti Wredha yang telah tinggal selama lebih dari satu bulan dimaksudkan agar
subyek telah melakukan adaptasi dengan lingkungan barunya; c) Subyek tidak
mengalami gangguan komunikasi verbal dan gangguan kognitif yang berat. Alat ukur
sudah diadaptasi dan sudah diuji validitas dalam penelitian Sandjaja (2011) dengan
skor 0,36 sampai dengan 0,627 dan reliabilitas skor 0,889.
Hasil Penelitian
Tabel 1 menunjukan bahwa penelitian ini memiliki data yang berdistribusi
normal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien Kolmogorov-Smirnov 1,018 dengan
p > 0,05, yang artinya tidak ada perbedaan distribusi data yang signifikan antara
sampel dengan populasinya. Distribusi data populasi adalah normal, jadi distribusi
data sampel penelitian ini juga normal.
Angka F test yang mengasumsikan kedua varians sama adalah 6,481 dengan
probabilitas (p) sebesar 0,013. Oleh karena angka probabilitas 0,013 < 0,05, maka Ho
ditolak dan Ha diterima. Artinya ada perbedaan varians antara forgiveness lansia di
Panti Wredha maupun di rumah dengan forgiveness lansia di populasi. Varians
forgiveness lansia di populasi itu homogen, berarti varians forgiveness dalam sampel
penelitian ini tidak homogen sebab berbeda secara signifikan dengan populasinya.
Tabel 1
Hasil uji normalitas
Total
N
Normal Parametersa,b
Most Extreme
Differences
89
40,67
11,347
0.108
0,108
-0,088
1,018
0,251
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Tabel 2
Hasil Uji Group Statistics
Tempat tinggal
N
Pemaafan
Panti
dimension1
penelitian utama
Rumah
53
36
Mean
43,75
36,14
Std.
Deviation
11,770
9,075
Std. Error
Mean
1,617
1,512
Tabel 3
Hasil Uji Beda Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances
t-test for Equality of
Means
F
Sig.
T
Df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
Pemaafan penelitian utama
Equal
Equal
variances
variances not
assumed
assumed
6,481
0,013
3,275
3,440
87
85,524
0,002
0,001
7,616
7,616
2,325
2,214
2,994
3,214
12,238
12,017
Hasil analisis data menunjukan nilai t adalah sebesar 3,440 dengan probabilitas
(sig) sebesar 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya, ada perbedaan
yang signifikan antara forgiveness pada lansia yang berada di Panti Wredha dengan
lansia di rumah.
Tabel 5
Norma Forgiveness pada Lansia
No.
Skor Total
Penjelasan
1.
2.
3.
4.
5.
> 60
52 – 59
44 – 51
36 – 43
< 35
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
Hasil penelitian ini menyatakan adanya perbedaan pada forgiveness pada lansia
yang tinggal di Panti Wredha dengan di rumah, karena hasil skala pengampunan yang
didapatkan menyatakan bahwa forgiveness pada lansia yang berada di Panti Wredha
sebesar 43,75 tergolong cukup, sedangkan forgiveness pada lansia yang berada di
rumah 36,14 tergolong rendah.
Pembahasan
Ada beberapa faktor yang memengaruhi forgiveness pada lansia. Faktor-faktor
tersebut tidak hanya berkisar pada tempat tinggal lansia saja (di Panti Wredha atau di
rumah). Menurut McCullough et al. (dalam Kustianti, 2005), ada empat faktor yang
dapat memengaruhi seseorang untuk memaafkan yaitu faktor sosial-kognitif, faktor
karakteristik, faktor kepribadian, faktor karakteristik serangan. Akan tetapi, ada juga
faktor lain yang memengaruhi, yaitu faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor empati,
dan faktor hubungan interpersonal. Pada penelitian ini, jumlah subyek yang berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah subyek yang berjenis
kelamin laki-laki.
Sosial kognitif merupakan faktor yang pertama, di mana proses berpikir
seorang lansia berpengaruh pada seorang lansia untuk mengambil keputusan,
apakah lansia akan melakukan forgiveness atau sebaliknya. Contoh kasus yang
dialami oleh lansia di panti adalah seorang lansia mempunyai konflik dengan anaknya,
dimana anak dari lansia dengan sengaja memasukkan lansia ke Panti Wredha dengan
tujuan agar lansia ada yang mengurus di masa tuanya, dan terdapat konflik pribadi
dari lansia terhadap menantu yaitu faktor kebiasaan menantu yang tidak sesuai
dengan kebiasaan lansia, sehingga sering kali lansia dan menantu melakukan
perdebatan yang tidak ada jalan keluarnya, seperti dalam hal masakan kesuakaan
anak atau suami, yang pada akhirnya anak dan menantu berkeputusan untuk
memasukkan lansia ke panti. Lansia yang merasa dirinya tidak lagi mempunyai
kekuatan untuk melawan ataupun mengurus dirinya sendiri, maka
Kepribadian seorang lansia mempengaruhi apakah lansia merupakan seseorang
yang mudah untuk melakukan forgiveness. Contohnya, seorang yang memiliki
kepribadian extrovert akan lebih mudah untuk bergaul dan bersosialisasi
dibandingkan dengan orang yang memiliki kepribadian introvert. Tetapi bukan berarti
seorang yang memiliki kepribadian introvert sulit untuk melakukan pemaafan, hal
tersebut bergantung dari bagaimana kepribadian seorang lansia dapat memahami
sebuah masalah sehingga lansia tau apa yang harus dilakukan dalam proses
forgiveness-nya. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut untuk melihat pengaruh kepribadian
seseorang untuk melakukan forgiveness.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada beberapa subyek, dapat
disimpulkan bahwa terkadang rasa sakit membuat mereka berfikir negatif, takut
seperti orang yang dikhianati dan diperlakukan secara kejam. Mereka merasa takut
mengakui sakit hatinya dan sulit terbuka karena dapat mengakibatkan mereka
membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun melukai. Mereka pun
menggunakan berbagai cara untuk menyangkal rasa sakit hati mereka atau bisa
disebut mekanisme pertahanan dirri. Hal ini kerap kali dilakukan oleh para lansia yang
berada di rumah, sehingga membuat lansia yang berada di rumah memiliki pemaafan
yang rendah dibandingkan dengan lansia yang beradi di panti. Lansia yang berada di
rumah lebih sering berhadapan dengan orang orang terdekat di sekitarnya, baik itu
keluarga, teman sebaya, teman di lingkungan sekitar, ataupun di komunitasnya.
Sedangkan lansia yang berada di panti hanya berhadapan dengan sesama mereka di
lingkungannya.
Proses memaafkan adalah proses yang berjalan perlahan dan memerlukan
waktu (Smedes, 1984). Semakin parah rasa sakit hati semakin lama pula waktu yang
diperlukan untuk memaafkan. Kadang-kadang seseorang melakukannya dengan
perlahan-lahan sehingga melewati garis batas tanpa menyadari bahwa dia sudah
melewatinya. Proses juga dapat terjadi ketika pihak yang disakiti mencoba mengerti
mengapa hal itu terjadi bersama-sama dengan upaya meredakan kemarahan.
Faktor-faktor itu yang membantu lansia untuk dapat menentukan apakah
forgiveness dapat dilakukan oleh para lansia. Penelitian ini melihat apakah ada
perbedaan dari tempat tinggal dimana lansia berada, peneliti juga akan sedikit
membahas beberapa variabel yang nantinya dapat diteliti lebih lanjut
Penelitian ini ingin mengetahui apakah ada perbedaan forgiveness pada lansia
yang berada di Panti Wredha dengan di rumah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
ada perbedaan forgiveness pada lansia yang berada di Panti Wredha dan di rumah.
Lansia yang berada di panti lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang berada di
rumah. Lansia yang berada di Panti Wredha mempunyai kategori forgivenessnya
dengan skor yang cukup dan lansia yang berada di rumah dengan kategori
forgivenessnya dengan skor yang rendah.
Daftar Pustaka
Agustinus, S. (2012). Pengaruh inner healing pada forgiveness etnis Batak.
(Manuskrip tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Krida
Wacana, Jakarta.
Baumeister, R. E., Exline, J. J., & Sommer, K. L. (1998). The victim role, grudge theory
and two dimensions of forgiveness. Dalam E.L. Worthington, Jr (Ed.),
Dimensions of
forgiveness: Psychological research and technological
perspectives. Philadelphia: Templeton Foundation Press.
Cahyawati, R. (2009). Perbedaan makna hidup pada lansia yang tinggal di Panti
Wredha dengan yang tinggal bersama keluarga. (Manuskrip tidak
dipublikasikan). Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta.
Davis., Keith., & Newstorm. (1996). Perilaku dalam organisasi. (ed.7). Jakarta:
Erlangga.
Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial & Direkorat Bina Pelayanan
Sosial Lanjut Usia (2004). Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Jakarta: Departemen
Sosial RI.
Diunduh dari http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunairbab2.pdf
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hurlock, E. B. (2001). Developmental psychology. New York: McGraw Hill.
Kadir & Mariani. (2007). Panti werdha sebuah pilihan. Diunduh pada tanggal 13 Maret
2012, dari http://subhankadir.wordpress.com
McCullough, M. E., Fincham, F. D., & Tsang, J. (2003). Forgiveness, forbearance and
time: The temporal unfolding of transgression-related interpersonal motivations.
Journal of Personality and Social Psychology, 84(3), 540-557.
McCullough, M. E., Root, L. M., & Cohen, A. D. (2006). Writing about the benefits of
an
interpersonal transgression facilitates forgiveness. Journal of Counseling and
Clinical Psychology, 74(5), 887-897.
McCullough, M. E., Wortington, E. L., & Rachal, K. C. (1997). Interpersonal forgiving
in close relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 73(2),
321-336.
McCullough, M.E., Sandage, S. J., Brown, S. W., Rachal. K. C., Worthington, E. L., &
Hight, T. L. (1998). Interpersonal Forgiving in Close Relationship: II. Theoritical
Elaboration and Measurement. Journal of Personality and Social
Psychology,75(6), 1586-1603.
Newman, B. M., & Newman, P. R. (2006). Development through life: A psychosocial
approach (9th ed.). Stamford: Thomson Wadsworth.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development (2th ed.).
New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Sandjaja, S. S. (2011). Analisa faktor pengampunan: Laporan penelitian (Research
report). Jakarta: Universitas Kristen Krida Wacana.
Sandjaja, S. S. (2011). Pendidikan karakter berbasis pembelajaran eksperiensial.
Buletin Ilmiah Psikologi, 5(19), 21-27.
Santrock, J. W. (2007). Life-span development (8th ed.). New York: McGraw – Hill
Companies, Inc.
Setiadarma, M. P. (2004). Sindrom sarang hampa ancaman bagi manula. Bunga
rampai psikologi perkembangan dari anak sampai usia lanjut. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Siftriani. (6 Agustus 2009). Lansia dan optimum aging. Diunduh pada tanggal 6 Maret
2012, dari http://sitifitriani.wordpress.com/2009/06/08/lansia-dan-optimumaging
Versayanti, S. (2011). Merawat lansia: Di sendiri atau di rumah jompo? Diunduh pada
tanggal
6
Maret
2012,
dari:
http://www.tanyadokteranda.com/
kesehatan/2011/10/ merawat-lansia-di- rumah-sendiri- atau-rumah-jompo
Worthington, E. L., & Wade, N. G. (1999). The psychological of unforgiveness and
forgiveness and implications for clinical practice. Journal of Social and Clinical
Psychology, 18(4), 385-418.
Download