analisis resepsi penonton perempuan yang sudah menikah

advertisement
ANALISIS RESEPSI PENONTON PEREMPUAN YANG SUDAH
MENIKAH TERHADAP KEKERASAN PADA PEREMPUAN DI FILM
DIE FREMDE (WHEN WE LEAVE)
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1 Ilmu Komunikasi
Oleh :
AISYAH FATIN
L 100 080 074
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
ANALISIS RESEPSI PENONTON PEREMPUAN YANG SUDAH
MENIKAH TERHADAP KEKERASAN PADA PEREMPUAN DI FILM
DIE FREMDE (WHEN WE LEAVE)
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Komunikasi dan Informatika Universitas
Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana S-1 Komunikasi
Diajukan oleh :
AISYAH FATIN
L 100 080 074
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
(um)'I'1,,11 ?urnsn;tr pesuuJg).
g Euquqtue4
lAI ryurya@0f, :
:
qhd
PEEuel
rrBH
?ile>pms qe,(peurmuqnru se1lre^run
?)l}?urroJul u?(I Isg)Ilmulox sulln{Ec
rsqrrmruo) nulg en1s ulu.6or6 Isagqnd rle:ls€N
rralrsu>lrlqndlO
{n1un Isergqnd rlt>lsuN Surqrurqured uosoq qslo pfnreslq 1uI rs€{flqnd qu:Is"N
NYIIfnItrSUf,d NYI{\TIYH
'o'rld
?,{!}€uroJul tlsp
}
€IrB{emS qe&puurueqqnl @!sream61
'"UB{BJrtS
t,TOZ
en.n{..Drurv t
lD yu l^'rrArr.l ^^q-.
:
nroy'I'tr tr'eumsn;X uBsBuIU 'Z
.:
l
:
IS'ht'lpasunf
ff["9 'I
l
i
.:
Ifn8uaa uer\eg usunsns
'!
1-g mlo8 ue4pdupueur 1ere.ds Iqnuerueu WIsl
fl3f
=
f,
ue{€}efup ueg
{I
rrenuuf 41 :p8Euelupe6
rfn8ue4 rm/yroq uudep tp ue:1u"qsuedp qele;
-i
-.?
!
?/.0080 00r
j
!
r
d
-._
NIIY.{ HVASIY
j
-1
@Avgr iut Nglr/*t) sqruga,i gto
IA[TI.{ I(I NYOdIItflUgd Y{IYd NYSYUDIf,)T dYflYHUflI HY}TINXII'
NYn{rufif,gd NOINONf,it IS{flStrU SISI:TYNY
I
qolo rmsnslp usp ueldersrp Euea
!
'd
n
:l
l
HYOOS SNYT
1
'J
I
ISYXIT{Od HY}ISYN
;i
{
.l
'a
a
t
.i
:l
NYHVSf,CNfld NY}IMTYH
{
j
*a
I
i
.i
.t
.II
{t
E
I
f
Ii
ilOZ Z.
'ue>lysqlp 8ue{ rsluus
?rposraq e,(mlnusdos qu*ref EmE8ueuoq udes uqetu 'se]erp u{es
urslcp rr€rsueq {uppe{
"p€ Ir?tI
uulpnure{ }p
{"le{
e1efurel epqedy
'oplsnd regup urulsp uqmqCIsrp u"p t{s{suu trelsp
srpuetr sr?ces 8ue,( qence{ 'ul?l Suero qolo uerplqre1ry nup sIIqIp Wured
pdepued nep edrt4 ledupr4 qeprl eEn[ tf,es uvnqe]aEued ftrcfudea uup;
uenm8re4 n1sns ry ueuueftuse>1 rele8 qeloredustu {n1un ue{nF1p quund
B,iJull pdeprel
{"pq ruI rsdpqs urel€p ?rllquq uele}e,(uaru 3,(3s'tur ue8mq
NYYIYANUTd
PENDAHULUAN
Peran film dalam masyarakat sebagai
salah satu media komunikasi saat ini
berpengaruh besar, karena film juga
mempunyai
banyak
andil
dalam
pembentukan pola pikir masyarakat.
Berbagai macam cerita yang ditampilkan
di dalamnya, sedikit banyak dan secara
tidak langsung bisa mengubah pola pikir
masyarakat
atau
penonton
setelah
menonton film tersebut. Hal ini juga bisa
dikatakan kekuatan film sebagai salah satu
media komunikasi. Content film sendiri
bisa terdiri dari berbagai macam tema,
antara lain kriminalitas, heroik, seks,
kekerasan, percintaan, budaya, gender dan
lain sebagainya.
Isu gender sendiri telah banyak
diperbincangkan dan menjadi topik utama
dalam masyarakat yang juga diangkat ke
dalam film, seperti beberapa film
Indonesia, antara lain Ayat-ayat Cinta,
Perempuan Berkalung Sorban, Jamila dan
Sang Presiden, Arisan!, dan masih banyak
lagi. Bahasan gender pun juga berbagai
macam, mulai dari kekuasaan laki-laki
atau perempuan, serta ketidak-adilan atau
diskriminasi yang diterima perempuan itu
sendiri. Diskriminasi muncul dalam
berbagai aspek; seperti pendidikan,
kehidupan sosial, budaya, agama, bahkan
sampai kepada aspek rumah tangga.
Diskriminasi ini juga mencakup perbedaan
peran dan hak antara perempuan dan lakilaki dalam masyarakat.
Disinilah peran film sebagai reflektor
sangat berpengaruh di dalam masyarakat.
Terkadang di dalam film, hal-hal yang
dimunculkan seolah-olah adalah suatu
kewajaran atau mereka menganggap hal
itu biasa terjadi. Tetapi di sisi lain,
penonton atau masyarakat juga harus
pintar memaknai film yang ada. Adapun
jika kita bisa menilik lebih dalam film
bertema gender saat ini, tak sedikit juga
dari film-film tersebut merupakan film
yang menggambarkan keadaan sosial
realitas masyarakat.
Seperti halnya kekerasan dalam
rumah tangga, dimana hal tersebut masih
sangat sering kita temui dalam kehidupan
masyarakat kita. Banyak perempuan dalam
kesehariannya
masih
mendapat
diskriminasi dalam berbagai hal, walau tak
sedikit juga dari mereka yang telah
mendapatkan haknya atau sedang berjuang
dan mempertahankan haknya dalam
kehidupan
masyarakat.
Memang
seharusnya perempuan di era modern
seperti sekarang berhak menentukan dan
mendapatkan hak dalam pendidikan dan
juga pekerjaan.
Sedangkan dalam rumah tangga
sendiri, sering terjadi kekerasan fisik
maupun mental terhadap perempuan yang
berujung perceraian. Hak pengasuhan anak
pun menjadi permasalahan baru yang
muncul setelahnya. Tak sedikit juga kaum
laki-laki yang menginginkan hak asuh
anaknya jatuh ke tangan mereka,
Walaupun dalam beberapa aturan sudah
disebutkan bahwa anak di bawah umur
hak asuh diberikan kepada ibunya.
Masalah pengasuhan anak pun menjadi
ancaman tersendiri bagi perempuan.
Seperti yang digambarkan dalam film
Die Fremde (When We Leave) yang
menceritakan Umay, seorang wanita muda
keturunan
Turki
yang
mengalami
kekerasan oleh suaminya, berjuang untuk
hidup mandiri dan menentukan hidupnya
sendiri di Jerman serta melawan tekanan
dari keluarganya. Memulai perjuangannya
yang dinamis, yang menghasilkan situasi
yang mengancam jiwa.
Dari film ini, diharapkan masyarakat
bisa menilai dan memaknai isi film
tersebut. Apakah bisa disebut wajar ketika
kekerasan dan diskriminasi terhadap
perempuan terjadi, di tengah-tengah
masyarakat kita yang telah mengenal
adanya emansipasi wanita. Kekerasan
terhadap perempuan tidak hanya terjadi
dari perempuan oleh suaminya, tetapi juga
terdapat beberapa kasus yang menjadikan
pacar, kerabat bahkan keluarga seperti
ayah atau kakak laki-laki sebagai pelaku
kekerasan
tersebut.
Seperti
yang
diceritakan dalam film, seorang wanita
Turki yang memilih pergi dari suaminya
yang berlaku kasar dikatakan sebagai
wanita yang tidak baik oleh masyarakat
Turki yang tinggal di Jerman. Selain
mendapatkan tekanan dari suami, wanita
ini juga mendapatkan tekanan dan teror
dari keluarganya sendiri. Sedangkan,
dalam lingkungan barunya di Jerman, dia
mendapat dukungan dari teman-temannya
untuk membebaskan diri dari kekangan
dan kekerasan yang dialaminya.
TINJAUAN PUSTAKA
Kekerasan Terhadap Perempuan
Kajian tentang kekerasan yang
berperspektif juga memasuki komunitas
yang paling privacy, yakni keluarga yang
selama ini dianggap tempat yang paling
aman dan bebas dari tindakan kekerasan,
ternayata tak terbukti. Domestic violence,
yakni kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga, dilakukan antar anggota keluarga
seperti abuse of wife, child abuse, marital
rape dan tindak kekerasan antar-anggota
keluarga lainnya kerap terjadi dalam rumah
tangga (Sihite, 2007: 234).
Diantara kasus kekerasan dalam
rumah tangga, sebagian besar korban atau
pihak yang dirugikan adalah perempuan.
Tidak hanya kekerasan fisik yang
menyebabkan luka pada tubuh yang biasa
mereka alami, tetapi juga kekerasan secara
verbal dan atau penyiksaan secara batin,
yang bisa menyebabkan pengaruh kepada
psikologi kejiwaan dari korban tersebut.
Pelaku kekerasan berbasis gender
yang kebanyakan dialami perempuan ini
biasanya tidak jauh dari orang-orang
terdekat yang ada. Paling banyak adalah
dilakukan oleh suami, ayah atau saudara
kandung sendiri. Bahkan pacar yang belum
mempunyai ikatan pun bisa melakukan
kekerasan tersebut.
Gender Dalam Media
Bias gender sering kali ditampilkan
dalam media. Banyak film atau acara yang
memberikan
sebuah
hiburan
yang
menyinggung atau merendahkan salah satu
gender. Seperti dengan menampilkan lakilaki dengan dandan wanita beserta sikap
yang menyerupai wanita. Atau yang banyak
dialami wanita, banyak dari mereka hanya
menjadi bahan eksploitasi oleh media.
Media menampilkan seksualitas wanita
atau menampilkan wanita sebagai sosok
teraniaya atas pria, tak jarang wanita
ditampilkan sebagai sosok yang lemah.
Konsep gender, yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksi secara sosial
maupun kultural. Terbentuknya perbedaanperbedaan gender dikarenakan oleh banyak
hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial
dan kultural, melalui ajaran keagamaan
maupun negara (Fakih, 1996: 8-9)
Media mencerminkan tiga tema yang
berkaitan
dengan
gender.
Pertama,
perempuan dan minoritas kurang terwakili.
Kedua,
laki-laki
dan
perempuan
digambarkan terutama dalam cara yang
mencerminkan stereotip dan mereproduksi
pandangan konvensional gender. Ketiga,
hubungan antara pria dan wanita biasanya
digambarkan sebagai konsisten dengan
peran
gender
dalam
hubungannya
kekuasaan (Wood, 2007: 258)
Media yang paling sering mewakili
anak laki-laki dan laki-laki sebagai aktif,
petualang, kuat, agresif secara seksual, dan
sebagian besar tidak terlibat dalam
hubungan manusia, dan mewakili anak
perempuan dan perempuan sebagai muda,
tipis, indah, pasif, tergantung, dan sering
tidak kompeten (Wood, 2007: 259).
Meskipun
media
terkadang
menghadirkan wanita dalam peran nontradisional atau dengan kualitas nontradisional,
sebagian
besar
media
mencerminkan terbentuknya stereotype
budaya
perempuan
dan
feminitas.
Stereotype yang paling banyak adalah
perempuan sebagai objek seks, dan itu terus
mendominasi media (Wood, 2007: 262) .
Encoding – Decoding
Dalam model komunikasi televisual
Hall (1973), sirkulasi ‘makna’ dalam
wacana televisual melewati tiga momen
yang berbeda: ‘masing-masing punya
kondisi eksistensi dan modalitasnya yang
spesifik’. Pertama-tama para professional
media memaknai wacana televisual dengan
suatu laporan khusus mereka tentang,
misalnya, sebuah peristiwa sosial yang
‘mentah’. Pada momen dalam sirkuit ini,
serangkaian cara melihat dunia (ideologiideologi) berada ‘dalam kekuasaan’
(Storey, 2006: 12).
Momen produksi media dibingkai
seluruhnya oleh makna-makna dan ide-ide;
praktik pengetahuan yang menyangkut
rutinitas
produksi,
secara
historis
mendefinisikan keahlian teknis, ideologi
profesional, pengetahuan institutional,
definisi dan asumsi, asumsi tentang
khalayak dan seterusnya membingkai
komposisi program melalui struktur
produksi ini. Lebih lanjut, meskipun
struktur produksi televisilah yang memulai
wacana televisi, ia bukan merupakan sistem
tertutup (Storey, 2006: 12)
Dengan demikian, para profesional
media
yang
terlibat
didalamnya
menentukan bagaimana peristiwa sosial
‘mentah’ di-encoding dalam wacana. Akan
tetapi, pada momen kedua, segera sesudah
makna dan pesan berada pada wacana yang
bermakna, yakni, segera sesudah makna
dan pesan itu mengambil bentuk wacana
televisual, aturan formal bahasa dan
wacana ‘bebas dikendalikan’ (Storey, 2006:
13)
Akhirnya, pada momen ketiga,
momen decoding yang dilakukan khalayak,
serangkaian cara lain dalam melihat dunia
(ideologi) bisa dilakukan dengan bebas.
Seorang khalayak tidak dihadapkan dengan
peristiwa sosial ‘mentah’ melainkan dengan
terjemahan diskursif dari suatu peristiwa.
Jika suatu peristiwa menjadi ‘bermakna’
bagi khalayak, pastilah peristiwa itu
menyertakan interpretasi dan pemahaman
terhadap wacana. Jika tidak ada ‘makna’
yang diambil, maka boleh jadi tidak ada
‘konsumsi’.
Jika
makna
tidak
diartikulasikan dalam praktik, pasti tidak
ada efek. Jika seorang khalayak bertindak
atas dasar decoding-nya, maka tindakan ini
menjadi praktik sosial itu sendiri, sebuah
peristiwa sosial ’mentah’, yang siap untuk
di-encoding dalam wacana lainnya. Jadi,
melalui sirkulasi wacana, produksi menjadi
reproduksi untuk menjadi produksi lagi.
Sirkuit bermula dalam yang sosial dan
berakhir, untuk selanjutnya memulai lagi,
dalam yang sosial (Storey, 2006: 14).
Tahapan decoding yaitu pada proses
memproduksi makna dan membagikan
kepada orang lain. Hall menurunkan dan
mengelaborasi gagasan Parkin mengenai 3
sistem pemaknaan dasar yang digunakan
individu untuk menafsirkan atau memberi
respon terhadap persepsinya mengenai
kondisi dalam masyarakat. Ia menunjukkan
bahwa 3 sistem tersebut terkait dengan cara
pembaca men-decode teks media. Ketiga
sistem itu adalah sebagai berikut (Barker,
2000: 270) :
1. Sistem
Dominan
(Dominant
Readings), merupakan salah satu sistem
atau kode yang dihasilkan ketika situasi
sosial
yang
mengelilingi
pembaca
menyerupai preferred readings.
2. Sistem Subordinat
(Negotiated
Readings), merupakan sistem atau kode
yang dinegosiasikan. Dalam hal ini, nilainilai dominan dan struktur yang ada
dalam preferred readings diterima, namun
nilai-nilai tersebut digunakan sebagai
penegasan bahwa situasi sosial yang ada
perlu diperbaiki
3. Sistem Oposisional (Oppositional
Readings), merupakan sistem atau kode
yang menolak versi dominan dan nilai-nilai
sosial dari preferred readings. Pembaca
menempatkan pesan dalam sistem makna
yang secara radikal berlawanan dengan
makna dominan.’
Reception Studies
Reception Analysis adalah sebuah
metode yang membandingkan antara
analisis tekstual wacana dan media dan
wacana
khalayak,
yang
hasil
interpretasinya merujuk pada konteks,
seperti cultural setting dan konteks atas isi
media lain (Jensen, 1993: 139)
Reception
Analysis
merupakan
pengkajian atas makna isi media
berdasarkan persepsi khalayak, bagaimana
proses persepsi tersebut dilakukan oleh
khalayak, bagaimana penggunaan media
tersebut oleh khalayak, dan bagaimana
peranan persepsi khalayak terhadap isi
media tersebut. Reception Analysis
memandang khalayak sebagai khalayak
aktif dan dikaji menggunakan metode
kualitatif mendalam berdasarkan isi media
dan perilaku khalayak yang dijadikan
informan (McQuail. 1997: 19-20)
Analisis
resepsi
memfokuskan
perhatian
individu
dalam
proses
komunikasi massa (decoding), yaitu pada
proses pemaknaan dan pemahaman yang
mendalam atau teks media, dan bagaimana
individu menginterpretasikan isi media
(Baran dalam Hadi, 2008: 3)
Penggunaan
metode
penelitian
reception analysis digunakan dalam
melakuakan penelitian ini, yang dimana
data
didapat
dari
mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan (wawancara) kepada
objek melalui in-depth interview.
Analisis penerimaan mengatakan
bahwa teks dan penerima adalah satu
kesatuan yang saling melengkapi dalam
satu area penelitian. Menurut Klaus Bruhn
Jensen dan Nicholas W. Jankowski dalam
bukunya mengatakan, “In two words,
reception analysis assumes that there can
be no „effect‟ without „meaning‟”. Yaitu
pesan yang dikonstruksikan oleh pengirim
pada dasarnya telah mengharapkan adanya
efek yang diterima oleh penerima pesan,
akan tetapi pada konteks reception. Pesan
yang diterima oleh khalayak tidak selalu
linier seperti apa yang diharapkan oleh
produsen pesan tersebut (Jensen &
Jankowski, 2003: 135)
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang menggunakan metode
analisis resepsi. Dalam penelitian ini,
peneliti akan menggali pemaknaan
khalayak atau informan mengenai film Die
Fremde (When We Leave). Reception
Analysis adalah sebuah metode yang
membandingkan antara analisis tekstual
wacana dan media dan wacana khalayak
yang hasil interpretasinya merujuk pada
konteks, seperti cultural setting dan
konteks atas isi media lain (Jensen, 1993:
139).
Penelitian dengan menggunakan
analisis resepsi dapat melihat bagaimana
khalayak atau informan memaknai isi dari
film Die Fremde (When We Leave), dengan
latar belakang mereka yang berbeda-beda.
Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian analisis resepsi
ini adalah khalayak yang telah menonton
objeknya, yakni film Die Fremde (When
We Leave), yang selanjutnya disebut
sebagai informan.
Wanita yang sudah menikah dianggap
tepat untuk menjadi informan dalam
penelitian ini, karena film ini yang
menceritakan tentang seorang perempuan
yang telah menikah. Latar belakang yang
berbeda-beda dari para informan bisa
memberikan pemaknaan tersendiri dari
setiap informan yang telah menonton film
tersebut.
Adapun kriteria dalam menentukan
sampling ini adalah penonton wanita yang
sudah menikah. Infroman berasal dari latar
belakang, yaitu ibu rumah tangga, wanita
pekerja kelas menengah dan juga
mahasiswi dengan usia rata-rata 20-30,
karena pada film tersebut diceritakan
seorang ibu muda berusia 25 tahun. Pada
khususnya, ibu rumah tangga warga
Rt.01/Rw.14 Mlinjon Tonggalan Klaten,
wanita pekerja yang bekerja pada bagian
pelayanan dan administrasi PT. PLN
(Persero) Area Klaten, sedangkan untuk
mahasiswi adalah mahasiswi Program Studi
Komunikasi UMS.
Dalam
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data
dengan cara: a). Wawancara kepada
informan dilakukan secara mendalam (indepth interview) dengan pertanyaanpertanyaan yang dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan keterkaitan dengan objek
penelitian. b). Peneliti menulis hasil
wawancara mendalam itu dan menulis hasil
analisis, bagaimana penerimaan khalayak
terhadap film Die Fremde (When We
Leave).
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan
peneliti lakukan adalah sebagai berikut:
Menyeleksi,
peneliti
memilih
dan
melakukan wawancara kepada informan
yang sesuai dengan kriteria dari peneliti.
Mengklasifikasi, peneliti menetapkan
posisi reception informan (accepting,
negotiated, oppositional dan aspek
perbedaan latar belakang (mahasiswi,
wanita pekerja, ibu rumah tangga).
Menganalisis, selanjutnya, peneliti akan
menganalisis adegan-adegan tersebut
dengan analisis penerimaan serta hasil
wawancara dan penerimaan para informan
yang kemudian ditulis dalam bentuk
laporan tertulis. Dari hasil analisis akan
didapatkan para informan tersebut
termasuk dalam jenis yang mana dalam
memahami kekerasan dalam rumah
tangga.
HASIL PENELITIAN
Encoding
Dalam film Die Fremde (When We
Leave) perbedaan gender dimunculkan,
utamanya dalam kehidupan berkeluarga
dan
bermasyarakat.
Perempuan
mendapatkan diskriminasi ketika dia
memilih untuk pergi dari suaminya yang
melakukan tindak kekerasan. Di usianya
yang masih muda namun sudah memiliki
anak, ibunya melarang untuk melanjutkan
pendidikan sesuai keinginannya.
Di film tersebut juga dimunculkan
adegan ketika Umay diminta ayahnya
untuk kembali ke suaminya. Pada saat itu
Umay berbalik meminta kepada ayahnya
untuk memberika dia kebebasan dalam
menentukan hidupnya sendiri, namun ayah
Umay tetap tidak setuju dengan keinginan
Umay tersebut.
Yang berikutnya adalah ketika Ayah dan
Ibu Umay berharap Umay terlahir sebagai
seorang anak laki-laki. Mereka pikir dengn
begitu Umay tidak akan mempermalukan
keluarganya karena meninggalkan suami
yang memberikan perlakuan kasar kepada
Umay, serta membawa anaknya ikut
bersama Umay.
Tindakan kekerasan lainnya juga
dimunculkan dalam film tersebut, seperti
ketika suami dan kakaknya memperlakukan
Umay dengan kasar, mendorong dan lain
sebagainya. Serta ketika keluarganya
sendiri mulai memusuhi Umay karena
Umay dianggap sebagai pembawa malu
bagi keluarga. Ancaman dari keluarganya
sendiri pun terus didapatkan oleh Umay,
mulai dari teror sampai upaya kakak dan
adiknya untuk membunuh Umay.
Decoding
Pendapat informan I tentang posisi
keluarga Umay sendiri adalah penuh
dengan konflik. Di satu pihak ibu Umay
sangat mendukung Umay, tetapi di lain sisi
ayahnya juga menentang keputusan Umay
yang ingin berpisah dengan suaminya.
Disini ayahnya tetap berpegang pada
prinsipnya sendiri. Sedangkan adik-adiknya
juga salah jika harus mengikuti ayah
mereka,
dimana
seharusnya
Umay
mendapatkan perhatian lebih dari masalah
keluarga yang dia hadapi.
Film ini menurut informan I, tidak
secara umum menggambarkan situasi dan
kondisi di lingkungan sekitar informan.
Menurutnya, orang tua seringnya membela
anak-anaknya, apalagi dari suami yang
tidak baik. Jadi kondisi seperti film ini
tidak pernah ditemui sendiri oleh informan.
Bagi informan II, film ini banyak
memiliki adegan yang bisa membuat
informan ikut terbawa emosi juga
tersentuh. Terutama saat informan melihat
adegan Umay diusir dari pernikahan
adiknya, saat anaknya meninggal di tangan
saudaranya sendiri, saat dia mencoba
bertahan dengan kondisinya, juga saat dia
mempertahankan anaknya untuk tetap
bersama dia.
Informan II menganggap, hal-hal
yang dilakukan keluarga Umay adalah hal
yang tidak benar. Menurut informan, jika
memang keluarganya tidak mau menerima
Umay
karena
Umay
dianggap
mempermalukan nama baik keluarga, lebih
baik langsung saja melepaskan Umay dari
kehidupan keluarga. Jadi kekerasan tidak
perlu dialami dan dilakukan oleh keluarga
Umay, lebih baik membebaskan Umay,
biarkan masalah tersebut menjadi masalah
Umay dan suaminya saja.
Untuk film Die Fremde (When We
Leave), bagi informan III mempunyai kesan
yang sangat mendalam, apalagi tentang
kekerasan dalam rumah tangga. Anak disini
menjadi korban dari permasalahan orang
tuanya. Tidak hanya menyangkut orang tua
saja, tetapi sudah dua rumah tangga, dari
keluarga Umay sendiri dan keluarga
suaminya. Jadi semua itu bermasalah dan
mengganggu mentalitas dari anak itu
sendiri. Menurut informan, perbedaan
gender dalam film ini sangat terlihat sekali,
dimana ketika keluarga Umay mengalami
masalah tersebut, seperti hanya anak lakilaki yang pegang kendali, dan terkesan
kalau anak perempuan kurang di dengarkan
dalam keluarga. Seharusnya sebagai orang
tua kan mengerti, membantu, bukan
mengintimidasi dan seakan-akan tidak
peduli dengan anak perempuannya. Padahal
Umay sedang membutuhkan bantuan,
apalagi dia memiliki seorang anak. Bagi
informan, film ini sangat menyedihkan.
Informan menganggap, apa yg
dilakukan keluarga Umay terhadap Umay
itu adalah hal yang kurang tepat. Keluarga
seharusnya tetap mengayomi anaknya,
menuntun anaknya ke arah yang lebih baik,
berempati, lebih mengerti dengan kondisi
anaknya, dan mengerti mengapa Umay bisa
menjadi keras seperti itu. Ada latar
belakang di balik sikap Umay yang seperti
itu. Jadi keluarga harus lebih mengerti,
bukan malah memperlakukan kasar dan
menghakimi.
Informan IV kali ini mempunyai
hobi menonton film dengan genre action.
Untuk film gender sendiri, informan
mengaku belum pernah melihat tetapi juga
tertarik dengn film bertema gender. Karena
sebelumnya informan belum pernah
melihat film dengan tema gender, jadi
informan belum bisa membandingkan atau
membedakan antara film Die Fremde
(When We Leave) dengan film bertema
gender lainnya.
Sedangkan dalam film ini, banyak
sekali adegan yang juga membuat informan
ikut terbawa emosi, yaitu setiap adegan
kekerasan yang ada. Kekerasan yang sering
di dapat Umay mulai dari suami, keluarga,
adik-adiknya. Menurut informan, kekerasan
yang ada dalam film tersebut sudah tidak
wajar.
Untuk film Die Fremde (When We
Leave) ini sendiri menurut informan V
hampir sama dengan cerita film gender
lainnya. Karena disini wanita selalu
diposisikan sebagai makhluk yang lemah,
yang padahal sebenarnya perempuan bisa
melakukan hal-hal yang lebih daripada
laki-laki.
Adegan terkahir ketika anaknya
meninggal, membuat informan ikut dalam
terbawa emosi. Anak yang selama ini dia
pertahankan, ternyata terbunuh oleh
pamannya sendiri. Dan juga adegan ketika
Umay berada di pernikahan adiknya, yang
ditarik paksa keluar dari pesta pernikahan
adiknya tersebut.
Untuk keluarga Umay sendiri,
informan menganggap bahwa apa yang
dilakukan mereka adalah hal yang kurang
tepat. Bagaimanapun juga tidak pantas jika
anak sendiri dianiaya oleh keluarganya.
Seharusnya keluarga Umay memberikan
pengertian kepada suami Umay dan
membela Umay. Bukan salah Umay jika
sampai Umay meninggalkan suaminya
karena diperlakukan kasar. Untuk kejadian
seperti yang dialami Umay di lingkungan
sekitar informan, menurut informan belum
pernah ada cerita seperti itu. Tetapi
menurut informan, mungkin kejadian
seperti itu di daerah lain masih saja bisa
terjadi.
Sedangkan menurut informan VI,
film Die Fremde (When we Leave) ini lebih
terlihat
pada
kekerasan
terhadap
perempuan. Dimana perempuan itu
mendapatkan perlakuan yang tidak adil,
baik dari suami maupun keluarganya.
Disaat suami melakukan kekerasan, dan
akhirnya Umay mengadu kepada orang
tuanya, dan orang tua Umay berbalik
meminta Umay untuk kembali ke
suaminya. Sehingga menjadi sebuah
polemik yang membuat Umay ini bingung.
Di satu sisi dia ingin safe, merasa aman di
dalam keluarganya sendiri, tetapi dia tidak
di dukung oleh keluarganya. Adegan
terakhir, membuat informan satu ini juga
ikut terbawa emosi. Dan ternyata dalam
sebuah konflik pasti selalu ada korban,
yang di film ini korban itu adalah anaknya
sendiri. Sebenarnya konflik ini terjadi
antara dua orang dewasa, dan yang menjadi
korban ini bukan satu diantara mereka
tetapi anaknya sendiri. Lalu adegan saat
Umay datang ke pernikahan adiknya, yang
sesampainya disana Umay di usir dengan
cara yang sangat kasar dan di depan umum.
Lalu adegan yang saat diperlihatkan bekas
luka Umay saat dia selesai mandi dan
mengobrol dengan ibunya. Ternyata ibunya
sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
PEMBAHASAN
Dari fokus permasalahan yang telah
diteliti oleh peneliti, yaitu mengenai
pemaknaan yang diberikan penonton yang
sudah menikah terhadap film Die Fremde
(When We Leave). Pemilihan informan
dengan latar belakang dari ibu rumah
tangga, mahasiswi, dan wanita pekerja,
diharapkan akan mewakili dari masingmasing latar belakang. Seperti ibu rumah
tangga yang dimana besar kemungkinan
bagi mereka menjadi korban dan tidak
mempunyai pilihan ketika berada di posisi
seperti Umay, karena sedikit banyak
hidupnya bergantung penuh pada suami.
Sedangkan untuk mahasiswi sendiri,
mereka cenderung masih mempunyai
kemungkinan bertumpu pada orang tua,
sehingga jika mengalami hal seperti Umay,
mereka masih mempunyai pilihan untuk
kembali ke orang tua untuk meminta
perlindungan, tentu saja jika orang tua
mereka tidak benar-benar menganut sistem
patriarki seperti orang tua Umay. Untuk
wanita pekerja sendiri, jika dia mengalami
hal seperti Umay, dia akan sangat bisa
mempunyai pilihan untuk melawan dan
membebaskan diri dari segala bentuk
kekerasan. Karena wanita pekerja dianggap
sebagai wanita yang independent yang
dimana dia bisa membuat keputusan sendiri
untuk dirinya, apalagi ketika mengalami
kekerasan dalam rumah tangga.
Pada hasil wawancara, memang
ditunjukkan hampir seluruh informan
mempunyai tanggapan yang sama. Banyak
dari
emreka
berada
pada
posisi
oppositional dalam banyak hal di film Die
Fremde (When We Leave) ini, dimana
mereka menolak versi dominan yang
ditawarkan oleh film ini. Tapi dalam hal
tertentu, beberapa dari informan berada
pada posisi negotiated untuk hal-hal
tertentu, khalayak pada posisi ini bisa
menerima apa yang dimunculkan dalam
film Die Fremde (When We Leave), tetapi
mereka tetap mempunyai pendapat yang
tidak sesuai dengan apa yang dimunculkan.
Pada perbedaan gender dan kekerasan
terhadap perempuan di film Die Fremde
(When we Leave) ini informan mempunyai
pendapatnya masing-masing tentang apa
yang dimunculkan.
Oppositional
Penerimaan makna oleh ibu rumah
tangga ini dapat disimpulkan bahwa nilai
perbedaan peran berdasarkan film Die
Fremde (When We Leave) yang diterima
informan I dan informan II berada pada
posisi oppositional atau tidak sesuai dengan
para informan tersebut. Kedua informan
tidak setuju dengan adanya pembedaan
dalam menerima hak dan melakukan
kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Seperti dalam adegan ketika Umay
menginginkan untuk kembali melanjutkan
pendidikan dan mencari pekerjaan, ibunya
yang tidak setuju karena menganggap
Umay di usia 25 tahun sudah terlalu tua
untuk hal itu, apalagi Umay sudah
mempunyai satu orang anak. Walaupun
sekarang hanya sebagai ibu rumah tangga,
kedua informan yang pernah menduduki
bangku kuliah ini tidak setuju dengan apa
yang dikatakan oleh ibu Umay. Bagi
informan I (Cory Helena) sendiri, usia dan
anak bukanlah hal yang bisa menghalangi
bagi
siapapun
untuk
mendapatkan
pendidikan serta pekerjaan. Sedangkan bagi
informan II (Rima Muthi), hal wajar jika
Umay
menginginkan
bekerja
dan
melanjutkan pendidikan, karena posisi
Umay sendiri sudah ingin terlepas dari
suaminya. Pada adegan ketika Umay
mendapatkan perlakukan kasar yang sama
seperti yang suami dan kakaknya lakukan,
yaitu mendorong Umay dengan kasar,
informan I dan II tidak ada yang
membenarkan perlakuan tersebut.
Penerimaan yang diterima oleh
informan III (Fonna Heldiana Lily) dan IV
(Violita Sari) yang juga masih berstatus
mahasiswi dari film Die Fremde (When We
Leave) ini tidak jauh berbeda dengan
informan I dan II yang hanya sebagai ibu
rumah tangga. Informan III dan informan
IV pun berada pada posisi oppositional
yang menolak nilai makna perbedaan
gender dalam film tersebut. Informan IV
pun memaknainya pada posisi oppositional.
Baginya kekerasan dalam film tersebut
sudah tidak wajar dan keterlaluan. Pada
adegan Acar mengusir Umay dari
pernikahan Rana, seharusnya Acar lebih
bisa menghormati kakaknya. Dan ketika
Mehmet mendatangi tempat tinggal Umay
yang baru dan menerornya, itu adalah yang
benar-benar
keterlaluan.
Seharusnya
sebagai
seorang
kakak.
Mehmet
memberikan bantuan kepada Umay atau
dating dengan baik-baik. Mungkin karena
Mehmet merasa laki-laki dan mempunyai
kekuatan, maka dari itu dia berlaku kasar
kepada Umay. Sedangkan pada adegan
ketika ibu Umay melihat bekas luka di
punggung Umay, yang ada di pikiran
informan, kekerasan yang dialami Umay
sudah parah. Sebenarnya ibunya kasihan
dengan Umay, tetapi tidak bisa berbuat
apa-apa pada posisinya yang juga sebagai
perempuan di keluarga tersebut.
Yang terakhir bagi informan VI
adalah adegan ketika ternyata ada bekas
luka di punggung Umay dan ibunya
melihat. Ternyata ibunya pun juga tidak
bisa berbuat apa-apa karena posisinya
sebagai wanita dalam keluarga itu, yang
dimana anggapan informan bahwa suara
wanita dalam keluarga tersebut tidak di
dengar dan harus menurut juga dengan
aturan yang mengikat.
Negotiated
Tidak banyak dari seluruh informan
berada pada posisi negotiated. Hanya pada
adegan tertentu saja yang beberapa dari
mereka masih bisa menerima kondisi
seperti yang dimunculkan, tetapi dengan
kondisi-kondisi
tertentu.
Adegan
pengusiran dan penusukan anak Umay
yang dilakukan oleh kakak Umay sendiri
menjadi adegan yang paling menguras
emosi informan.
Informan III dan IV juga berada pada
posisi negotiated untuk beberapa makna
yang ditawarkan oleh film Die Fremde
(When We Leave), sama seperti informan
II. Sedangkan informan IV berada pada
posisi negotiated, ketika pada adegan
ketika Umay dan suaminya terlibat percekcokan di depan umum, yang dimana disana
ada orang tua Umay juga. Saat suami Umay
berusaha mengambil anaknya dari Umay.
Untuk adegan saat ibu Umay melarang
Umay kembali melanjutkan pendidikan dan
mendapatkan pekerjaan, informan III
berada pada posisi negotiated karena
baginya saat itu tidak ada yang benar atau
yang salah.
Selanjutnya bagi Astrid Bunga yang
sebagai wanita pekerja, Umay ada benarnya
jika dia mendapatkan pekerjaan dan
melanjutkan pendidikan walaupun dia
sudah mempunyai anak, tetapi Umay juga
salah jika dia tidak terlebih dahulu
menyelesaikan
permasalahan
dengan
suami.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang sudah dilakukan,
peneliti menemukan bahwa banyak dari
informan menerima makna oposisi yang
ditawarkan oleh film Die Fremde (When
We Leave), tetapi ada juga yang
memaknainya dengan negosiasi pada
situasi tertentu. Dalam kategorisasi
encoding-decoding Stuart Hall, mereka
termasuk dalam kategori oppositional
readings. Yaitu, penonton film ini
mengambil makna yang mengandung arti
dalam film tersebut dan men-decode-nya
dengan menolak versi dominan dan nilainilai dari preffered readings yang
ditawarkan oleh media. Khalayak sudah
mempunyai pemahaman yang tidak sama,
pandangan komunikator dan komunikan
berbeda atas kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi pada film Die Fremde (When
We Leave). Sedangkan pada posisi
negotiated readings, khalayak masih bisa
menerima apa yang ditampilkan dalam film
tersebut, tetapi pada kondisi-kondisi
tertentu.
Pengamatan yang telah dilihat para
informan sejauh ini menunjukkan apa yang
ditampilkan oleh film Die Fremde (When
We Leave) ini tidak sesuai dengan apa yang
terjadi di sekitar mereka. Menurut para
informan, kekerasan terhadap perempuan
tidak perlu terjadi hanya karena perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan, baik
dalam masyarakat atau pun keluarga.
Walaupun
masing-masing
informan
mempunyai latar belakang yang berbeda,
tetapi mereka semua tidak setuju dengan
kekerasan yang ada pada film Die Fremde
(When We Leave) ini.
Saran
Pada penelitian lebih lanjut untuk
objek film Die Fremde (When We Leave)
ini, dapat dilakukan dengan menggunakan
perspektif
lain
seperti
metodologi
kuantitatif, sehingga diharapkan dapat
meneliti konsep-konsep gender dan
kekerasan terhadap perempuan secara
obyektif dan terukur.
Jika penelitian ini menggunakan
analisis resepsi dengan menggunakan
penelitian konstruktivis. Dengan orang
yang ahli dalam bidangnya dijadikan
sebagai subjek, ada kemungkinan hasil
penelitian akan lebih mendalam daripada
jika khalayak secara umum yang
memaknai.
DAFTAR PUSTAKA
Barker,
Chris. 2000. Cultural Studies,
Theory, and Practice, London : Sage
Publications
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Yogyakarta :
Sosial Pustaka Pelajar
Hadi, Ido Prijana. 2008. Penelitian Khalayak
Dalam
Perspektif
“Reception
Analysis”.
Jurnal
Ilmiah
SCRIPTURA, vol. 2
Jensen,
Klaus Bruhn dan Jankowski,
Bicholas W. 1993. A Handbook of
Qualitative Methodologies for Mass
Communication Research, London
and New York : Routledge
Jensen, Klaus Bruhn & Jankowski, Nicholas
W.
2003.
A
Handbook
of
Communication Research, New York
: Routledge
McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis,
London : Sage Publications
Sihite,
Roman.
2007.
Perempuan,
Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada
Storey, John. 2006. Cultural Studies dan
Kajian Budaya Pop, Yogyakarta :
Jalasutra
Wood, Julia T. 2007. Gendered Lives,
Communication, Gender and Culture,
USA : Wadsworth Cengage Learning
Download