IUU - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang
mengakibatkan kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi yang signifikan (APFIC,2007). IUU
Fishing mengancam keberlangsungan sepesies tertentu, ekosistem dan lingkungan. Selain itu
IUU Fishing juga melemeahkan upaya pengolahan dan konservasi oleh Regional Fisheries
Management Organisations (RFMOs). Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing
merupakan masalah global yang mengakibatkan kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi
yang signifikan (APFIC,2007). IUU Fishing merupakan aktivitas yang berdampak secara
langsung dan tidak langsung dan berpengaruh pada jangka panjang dan pendek.
Pada tahun 2011, FAO memperkirakan aktivitas IUU Fishing yang terjadi di dunia
dalam setahun mencapai 33 persen dari total perikanan tangkap yang dilaporkan atau sekitar
26 juta ton ikan. FAO juga memperkirakan total kerugian ekonomi dari aktivitas IUU Fishing
di Indonesia mencapai 31,2 trilyun rupiah. Nilai tersebut jauh dibawah penerimaan negara di
sub-sektor perikan pada saat itu yang hanya mencapai 183,86 millyar rupiah.
Kompleksitas dampak ekonomi dari IUU Fishing yang ditunjukkan oleh Krause
(2008). Penelitian tersebut mengidentifikasi berbagai dampak ekonomi, antara lain:

dampak pada keberlangsungan mata pencaharian pemasok ikan yang sah dibawah
tekanan harga yang disebabkan oleh kehadiran produk IUU Fishing di pasar;

dampak terhadap kelangsungan hidup ekonomi jangka panjang yang disebabkan oleh
penurunan kapasitas industri

kerugian pajak terhadap perekonomian domestik .
1
Studi kasus IUU Fishing di pantai timur Semenanjung Malaysia memperkuat temuan
ini. Studi kasus ini menyoroti luasnya dampak ekonomi dari IUU Fishing dengan
mengidentifikasi pendapatan kerugian ekonomi Malaysia termasuk kerugian yang timbul
dari hilangnya sumber daya,
biaya lisensi, pajak dan pungutan lain yang terkait dan
hilangnya penghasilan dan pekerjaan di industri perikanan (Resources Management, 2008).
Perikanan merupakan sumber pekerjaan di banyak negara Asia-Pasifik di mana
kesempatan kerja alternatif dan kesempatan untuk memperoleh keterampilan baru atau
pelatihan terbatas. FAO memperkirakan bahwa pada tahun 2004 terdapat 8,5 juta orang yang
dipekerjakan sebagai nelayan di China, hampir 4 juta di Indonesia, sekitar 230.000 orang di
Jepang dan 95.000 orang di Peru (FAO, 2007).
Dalam banyak kasus nelayan individu tertarik melakukan kegiatan IUU Fishing
karena keinginan untuk menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan tidak adanya
alternatif pendapatan, selain itu tingkat pengangguran yang tinggi membuat pekerja rentan
terhadap IUU Fishing. Misalnya, perekrutan warga desa di fillipina sebagai awak kapal IUU
Fishing di pengaruhi oleh tingginya tingkat pengangguran. Para pekerja ini dibayar dengan
upah rendah, pekerja ini di pekerjakan dengan waktu yang tidak wajar, akomodasi dan
makanan di bawah standar (Bernardi, 2006). Standar keselamatan yang buruk adalah masalah
umum dalam operasi IUU Fishing. Hal ini disorot dalam studi kasus Krause (2008) yang
mencatat
kurangnya
pengawasan
pemerintah
terhadap
praktek
keselamatan
yang
menyebabkan cidera serius dan kematian.
JALA / EJF (2007) menemukan bahwa trawl ilegal oleh kapal-kapal domestik di
Sumatera Utara berdampak pada persaingan yang tidak sehat antara pengguna trawl dan
nelayan tradisional. Hal ini menyababkan berkurangnya akses nelayan tradisional terhadap
2
sumberdaya laut. Persaingan yang tidak sehat juga meyebabkan konflik fisik antara nelayan
tradisional dan pengguna trawl.
Sea Resources Management (2008) melaporkan bahwa kecelakaan yang sering terjadi
pada kapal yang beroperasi secara illegal di lepas pantai timur Semenanjung Malaysia karena
terabaikannya standar keselamatan. Secara lebih luas, operasi penangkapan ikan secara illegal
tidak sesuai dengan perburuhan internasional standar yang diadopsi oleh ILO. Dalam kasus
seperti awak dari kapal yang beroprasi secara illegal dipaksa untuk bertahan hidup tidak
dalam kondisi kerja yang tidak dapat diterima.
Demikian pula, penangkapan hiu ilegal di perairan Australia bagian utara terutama
oleh nelayan Indonesia, semakin terorganisir dan dibiayai oleh pedagang ikan grosir atau
rentenir. Dalam kasus ini, nelayan dan awak kapal sering ditarik ke dalam lingkaran hutang
yang menghalangi mereka keluar dari kegiatan IUU Fishing (Sea Resources Management,
2008) .
Dampak dari IUU Fishing yang utama adalah rusaknya habitat perairan terutama
habitat yang sensitif seperti lingkungan trumbu karang yang sensiitif, menipisnya
sumberdaya laut karena penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Selain itu, degradasi
lingkungan laut dapat mengurangi peluang ekowisata. Pitcher et al. (2006) menemukan,
bahwa di sejumlah negara Asia-Pasifik, IUU Fishing mempengaruhi akurasi manajemen
cadangan ikan dan penetapan batas penangkapan untuk beberapa spesies.
Banyak literatur tentang dampak IUU Fishing terhadap habitat dan ekosistem
berkaitan dengan dampak dari praktik penangkapan ikan yang merusak lingkungan seperti
penggunaan racun dan pengeboman ikan (Burke et al., 2002). Praktek ini memiliki potensi
untuk menyebabkan kerusakan permanen pada habitat laut yang sensitif seperti terumbu
karang.
3
Penggunaan metode penangkapan ikan lain seperti trawl juga diidentifikasi memiliki
konsekuensi lingkungan yang signifikan di beberapa daerah. Burke et al. (2002)
menyebutkan penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing diperkirakan menjadi faktor
dalam penurunan terumbu karang Kamboja. Meskipun tidak mungkin untuk mengukur
dampak lingkungan dari IUU Fishing tampak jelas bahwa IUU fishind berkontribusi pada
overfishing, kehancuran ekosistem laut yang sensitif dan memberikan tekanan pada spesies
laut yang sudah rentan.
Berbagai Instrumen peraturan Internasional telah dibuat oleh masyarakat dunia dalam
rangka mencegah dan menanggulangi IUU Fishing. Pada tahun 1982 telah di sepakati United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ditindak lanjuti dengan FAO
Compliance Agreement dan United Nations Fish Stocks Agreement. Selain itu peraturan yang
tidak terikat juga dikembangkan untuk menanggulangi IUU Fishing yaitu Code of Conduct
for Responsible Fisheries dan International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate
IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing).
Selain peraturan Internasional, banyak negara telah membuat aturan-aturan tentang
managemen perikanan dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan IUU Fishing.
Australia mengeluarkan Act No. 162 of 1991 yang mengatur tentang manajemen perikanan
dan aktivitas penangkapan ikan, Malaysia mengatur industri perikanannya dengan Act No.
317 of 1985 sedangkan di Indonesia peraturan tertinggi yang mengatur tentang manajemen
perikanan tertuang dalam UU No 31 Tahun 2004 yang diamandemen dengan UU No 45
Tahun 2009.
Dalam peraturan yang ada di negara negara tersebut terdapat sanksi-sanksi yang
diberikan kepada pihak yang melakukan aktivitas dibidang perikanan yang tidak sesuai
dengan ketentuan ketentuan yang ada. Sanksi tersebut berupa hukuman denda, hukuman
kurungan dan perampasan barang bukti milik terdakwa. Besarnya sanksi yang diberikan
4
kepada terdakwa berbeda-beda. Pada umumnya, sanksi yang diberikan terdakwa kasus
perikanan dibedakan berdasarkan jenis pelanggarannya.
Tabel 1.1
Perbandingan hukuman antara malaysia dan indonesia pada kasus IUU Fishing
Hukuman Denda
Jenis Pelanggaran
Malaysia Indonesia
Malaysia (Rp.)
Kapal tanpa izin
Hukuman Penjara
Indonesia (Rp.)
(tahun)
(tahun)
360.000.000*
2.000.000.000
2
6
180.000.000*
2.000.000.000
5
10
Menangkap menggunakan
bahan yang berbahaya
*kurs IDR-MRG=3600
Sumber: malaysian Act no 317 of 1985 dan UU No 31 Tahun 2004, diolah
Becker (1968) berpendapat bahwa tindak kriminal merupakan aktivitas ekonomi yang
dilakukan oleh pelaku ekonomi tetapi tidak sesuai dengan moral dan aturan yang berlaku
sehingga dikategorikan sebagai tindakan illegal. Levit dan Miles (2007) menyatakan bahwa
konsep ekonomi kriminal didasarkan pada keputusan rasional yang muncul setelah seseorang
menimbang ekspektasi biaya dan manfaat dari melakukan tindakan kriminal, sementara
pengaruh dari faktor biologis seseorang tidak diperhitungkan.
Masih adanya diskriminasi hukum dalam sistem peradilan di Indonesia merupakan
salah satu masalah yang harus diselesaikan. Diskriminasi hukum merupakan pelanggaran
asas equity before the law. Pradiptyo (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa masih
ada diskriminasi hukum dari keputusan hakim di indonesia., dimana hakim cendrung lebih
lunak terhadap terdakwa kasus korupsi dengan pekerjaan tertentu. Permana (2010), dalam
penelitian mengenai kasus pembalakan liar di Indonesia juga menemukan adanya
5
diskriminasi yang memandang usia terdakwa. Diskriminasi hukum atas status pekerjaan, usia,
maupun jenis kelamin terdakwa merupakan sebuah pelanggaran terhadap asas equity before
the law.
Selanjutnya, Pradiptyo (2009) juga menemukan bahwa biaya sosial yang ditimbulkan
oleh terdakwa kasus korupsi tidak menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan pengadilan
baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung dalam memutuskan
apakah terdakwa tersebut dikenakan hukuman pidana atau tidak. Lebih jauh dalam
penelitiannya Pradiptyo (2009) menemukan bahwa hukum finansial yang diberikan oleh
pengadilan tidak cukup untuk menutupi biaya kasus korupsi.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Penelitian ini akan difokuskan kepada faktor faktor yang memepengaruhi keputusan
Mahkamah Agung dan tuntutan Jaksa dalam memberi hukuman denda dan penjara terhadap
pelaku tindak pidana IUU Fishing.
Mahkamah Agung sebagai sebuah lembaga peradilan merupakan kumpulan dari
hakim-hakim yang tidak luput dari kesalahan. Keputusan yang dibuat oleh hakim
dimungkinkan tidak sesuai dengan asas hukum maupun peraturan-peraturan yang ada di
Indonesia dan kurang mempertimbangkan kerugian yang terjadi akibat tindakan yang
dilakukan terdakwa. Faktor penentu jenis dan lama hukuman yang terdapat dalam undang
undang maupun asas hukum yang berlaku di Indonesia seringkali tidak sesuai dengan
keputusan yang dibuat oleh hakim. Dengan alasan tersebut maka penelitian ini mencoba
untuk mempertanyakan beberapa hal:
a. apakah kerugian negara yang disebabkan oleh terdakwa tindak pidana perikanan
merupakan faktor yang mempengaruhi jaksa dalam memberikan tuntutan dan
mempengaruhi MA dalam menentukan pemberian hukuman pidana penjara dan
denda terhadap terdakwa.
6
b. Apakah ada diskriminasi oleh mahakamah agung atau pelanggaran terhadap asas
hukum equity before the law dalam memberikan hukuman kurungan dan hukuman
denda terhadap terdakwa kasus IUU Fishin.
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;.
a. Menganalisis pertimbangan hukuman kurungan dan denda yang dituntut oleh
jaksa.
b. Menganalisis pertimbangan hukuman kurungan dan denda yang dijatuhkan oleh
MA.
c. Menganalisis adanya diskriminasi hukum terhadap terdakwa tindak pidana IUU
Fishing dari sisi pekerjaan, usia dan kewarganegaraan terdakwa.
1.4 Manfaat penelitian
Mengetahui gambaran hukum perikanan di Indonesia bukan saja dari sudut hukum,
namun juga dari sudut pandang ilmu ekonomi. Penelitian ini juga sebagai syarat kelulusan
jenjang S1 peneliti di fakultas Ekonomika dan Bisnis.
1.5 Sistematika penulisan
Bab I: Pendahuluan
Menjelaskan mengenai latar belakang masalah dilanjutkan dengan pembahasan
rumusan den batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan diakhiri
dengan pembahasan sistematika penulisan.
Bab II: Krangka Teoritis Dan Metodologi
Berisi landasan teori dalam penelitian ini, kemudian dilanjutkan dengan
perkembangan kasus IUU Fishing, dan berbagai penelitian sebelumnya yang
berkaitan dengan penelitian ini pembahasan equity before the law, pembahasan
7
undang undang pidana perikanan yang berlaku di Indonesia, hipotesis dan model yang
digunakan, dan alat analisis yang akan digunakan.
Bab III: Analisis
Berisi hasil analisis data, nilai deskriptif variabel, serta penjelasan hasil analisis
terhadap model yang digunakan.
Bab IV: Kesimpulan
Berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini.
8
Download