A. Pengantar Tidak semua manusia yang dilahirkan ke dunia

advertisement
A. Pengantar
Tidak semua manusia yang dilahirkan ke dunia memiliki bentuk fisik yang
lengkap atau sempurna. Mereka tergolong kelompok individu yang memiliki
kebutuhan khusus (individual with special needs) karena ketidaksempurnaan
kondisi fisik. Mangunsong, dkk. (1998) secara khusus menyebutkan individu
yang masuk kelompok tersebut sebagai penyandang tuna daksa.
Tuna daksa atau cacat tubuh menurut Mangunsong, dkk. (1998), adalah
ketidakmampuan seseorang secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti
manusia yang normal karena ketidaklengkapan anggota tubuh yang disebabkan
bawaan sejak lahir, kecelakaan sehingga harus diamputasi, dan adanya
gangguan neuromuscular. Pendapat lain mengatakan tuna daksa atau cacat
tubuh adalah individu mengalami cacat, hambatan, kerugian pada jasmani,
syaraf penggerak atau motorik, anggota gerak yang memerlukan pengobatan
untuk meluruskan anggota gerak atau tulang punggung yang tidak lurus atau
salah bentuk (Mumpuniarti, 2001).
Berdasarkan data terakhir menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat
di dunia dan di Indonesia sangat banyak. Menurut data PBB, di dunia ini hingga
tahun 2000 terdapat sekitar 500 juta orang cacat. Sekitar 80% hidup di negaranegara berkembang (www.pikiranrakyat.com, 2004). Sedangkan data WHO
memperlihatkan bahwa jumlah penyandang cacat yang ada di Indonesia adalah
sekitar 20 juta jiwa (www.kompas.com, 2002). Sedangkan jumlah penyandang
cacat di DIY pada tahun 1992/1993 saja menurut catatan Kantor Wilayah
Departemen Sosial DIY berjumlah 16.068 orang (Koentjoro, 2000).
1
2
Kenyataan jumlah penyandang tuna daksa yang cukup banyak, ternyata
belum
mendapat
perhatian
lebih
dari
masyarakat
maupun
pemerintah
(www.kompas.com, 2002). Di Indonesia, boleh dikata hampir tidak ada
aksesibilitas ke ruang-ruang publik yang membuat penyandang cacat semakin
merasa terpinggirkan. Menurut Sutomo (2003), selama ini tidak banyak
kesempatan
yang
diberikan
kepada
penyandang
cacat,
karena
ada
kecenderungan bahwa lembaga atau industri memandang penyandang cacat
dalam hal ini tuna daksa dengan sebelah mata. Sejauh ini penyandang cacat
banyak mendapat perlakuan diskriminatif, salah satunya adalah penerapan UU
tahun 1997 menyebutkan bahwa tiap perusahaan mempekerjakan 1% dari
jumlah karyawannya adalah penyandang cacat. Undang-undang tersebut dibuat
untuk memberi peluang kerja bagi penyandang cacat. Namun dalam
penerapannya masih banyak lembaga atau industri yang tidak memenuhi
perundang-undangan tersebut.
Keadaan tersebut membuat mereka untuk menjadi mandiri menjadi lebih
berat. Selain keadaan psikologis mereka juga masih harus menyiasati keadaan
akibat - akibat yang ditimbulkan dari kecacatan yang ada di dalam dirinya. Akibat
yang ditimbulkan dari lingkungan tersebut disikapi oleh sebagian penyandang
tuna daksa dengan sikap yang negatif. Seperti yang diungkapkan oleh Sriyati
yang mengalami cacat tubuh akibat polio, bahwa selama ini dia tidak mempunyai
kegiatan yang lain selain menunggu rumah. Dia merasa tidak dapat membantu
kegiatan
dalam
keluarganya
(pusatrehabilitasi-yakkum.co.id).
Berdasarkan
wawancara terhadap beberapa penyandang tuna daksa diperoleh data bahwa
(ESW), menyatakan bahwa selama ini ia merasa minder karena merasa dia
sendiri yang mengalami kecacatan dalam lingkungannya. Kemudian hal lain
3
diungkapkan oleh (Sj), yang mengatakan bahwa ia jarang keluar rumah karena
merasa minder, selama ini ia dianggap tidak dapat berbuat apa-apa.
Keinginannya untuk sekolah tidak dapat tanggapan yang positif dari keluarganya,
menurut mereka sekolah bagi orang cacat tidak berguna. Perasaan minder yang
dialami oleh penyandang tuna daksa itu dapat menyebabkan terhambatnya
aktivitas atau kegiatan yang bersifatnya positif.
Namun tidak semua penyandang tuna daksa mengalami hal tersebut.
Beberapa penyandang tuna daksa berhasil mencapai prestasi yang cukup
membanggakan, seperti yang terjadi pada Titik Winarti (Jawapos.com, Maret
2005), yang berhasil meraih penghargaan pertama Pengusaha Mikro Indonesia
(Microcredit Award) dengan sebagian besar karyawannya adalah penyandang
tuna daksa. Kemudian Siswadi (www.Kompas.com, Juni 2002) ketua Umum
Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) berhasil dipercaya sebagai tim
perumus visi Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi sekaligus. Dia juga menjadi tim
perumus pendirian Badan Wakaf Produktif Bekasi, Wakil Ketua Dewan
Pendidikan Daerah Kota Bekasi, dan aktif di Dewan Pakar Pusat Kajian
Managemen Strategik. Ia berhasil membuktikan bahwa cacat bukan berarti
bodoh. Masih menurut Siswadi, kalau orang normal bisa melakukan sesuatu, dan
ia tidak bisa maka itu suatu kewajaran. Namun bila ia bisa melakukan seperti
orang normal bisa lakukan maka itu suatu kelebihan.
Berdasarkan pengamatan pada penyandang tuna daksa di Mandiri Craft,
menunjukkan bahwa mereka sanggup membuat karya atau barang kerajinan
yang orang normal dapat membuatnya, seperti mainan kuda, puzzle, sepatu,
dompet, dan berbagai barang kerajinan lainnya. Bahkan menurut pimpinan dari
4
Mandiri Craft, barang kerajinan yang mereka hasilkan berhasil menembus pasar
luar negeri seperti Australia, Selandia Baru, dan Hongkong.
Kemampuan penyandang tuna daksa dalam berkarya dan menghasilkan
barang atau jasa tersebut merupakan salah satu bentuk perilaku produktif.
Menurut Sinungan (2003) menjelaskan bahwa manusia yang produktif adalah
manusia yang menghargai kerja sebagai suatu sikap pengabdian kepada Tuhan,
berbudi luhur, cakap bekerja dan trampil, percaya kepada kemampuan diri
sendiri, mempunyai semangat kerja yang tinggi dan memandang hari esok
dengan gairah dan optimis. Perilaku produktif memerlukan prasyarat lain sebagai
faktor pendukung antara lain kemauan kerja yang tinggi, kemampuan kerja yang
sesuai dengan isi kerja, lingkungan kerja yang nyaman, penghasilan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum, jaminan sosial yang memadai, kondisi
kerja yang manusiawi dan hubungan kerja yang harmonis.
Di samping itu, untuk meningkatkan perilaku produktif pada penyandang
tuna daksa diperlukan keyakinan penyandang tuna daksa akan kemampuannya
dalam hal ini dinamakan self efficacy. Menurut Damayanti dan Rostiana (2003),
salah satu yang berperan dalam diri penyandang tuna daksa adalah self efficacy.
Self efficacy secara lebih detail merupakan penilaian atau pendapat individu
tentang keyakinannya terhadap kemampuan melakukan sesuatu untuk mencapai
performansi tertentu (Bandura, 1986). Individu yang memiliki self efficacy yang
tinggi akan merasa mampu untuk mandiri yaitu mampu mencukupi kehidupan diri
dan keluarganya, individu merasa memiliki keyakinan yang kuat bahwa ia tidak
perlu tergantung dari orang lain dalam melanjutkan kelangsungan hidupnya
karena ia merasa mampu untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan dari
pekerjaannya itu. Sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang rendah
5
kurang memiliki kekuatan dan keyakinan akan kemampuannya sehingga mudah
menyerah dan dalam hidupnya selalu mengharapkan bantuan dan tergantung
dari orang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa penyandang tuna
daksa secara umum menyikapi perlakuan yang kurang adil dari lingkungan
dengan sikap yang negatif. Namun beberapa penyandang tuna daksa menyikapi
hal tersebut dengan positif. Mereka tetap dapat mandiri dan bekerja
menghasilkan suatu karya, baik barang atau jasa yang merupakan salah satu
bentuk perilaku produktif. Salah satu yang dapat meningkatkan perilaku produktif
adalah self efficacy. Sehingga peneliti berasumsi bahwa keyakinan seseorang
akan kemampuannya (dalam hal ini self efficacy) akan dapat membuat
seseorang semakin berperilaku produktif. Berdasarkan uraian di atas, timbul
pertanyaan bagaimanakah hubungan self efficacy dengan perilaku produktif pada
penyadang tuna daksa.
B. Tinjauan Pustaka
1. Individu yang Produktif
Sinungan (2003) menjelaskan bahwa manusia pembangunan yang
produktif adalah manusia yang menghargai kerja sebagai suatu sikap
pengabdian kepada Tuhan, berbudi luhur, cakap bekerja dan trampil, percaya
kepada kemampuan diri sendiri, mempunyai semangat kerja yang tinggi dan
memandang hari esok dengan gairah dan optimis.
Kerja produktif memerlukan ketrampilan kerja yang sesuai dengan isi
kerja sehingga bisa menimbulkan penemuan-penemuan baru untuk memperbaiki
cara kerja yang sudah baik. Kerja produktif memerlukan prasyarat lain sebagai
6
faktor pendukung yaitu: kemauan kerja yang tinggi, kemampuan kerja yang
sesuai dengan isi kerja, lingkungan kerja yang nyaman, penghasilan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum, jaminan sosial yang memadai, kondisi
kerja yang manusiawi dan hubungan kerja yang harmonis.
Menciptakan perilaku produktif bagi seseorang tidaklah mudah. Menurut
Suhariadi (2002), ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Menurutnya untuk
membentuk dan mengubah perilaku produktif seseorang haruslah ditanamkan
terlebih dahulu kepercayaan pada diri individu tentang arti pentingnya
produktivitas bagi dirinya. Kalau keyakinan akan pentingnya produktivitas ini
sudah terbentuk, nantinya akan muncul sikap positif terhadap produktivitas.
Sikap positif ini akan mendorong kemauan untuk berperilaku cukup besar dalam
bentuk niat untuk berperilaku produktif. Niat ini nantinya akan menimbulkan
perilaku produktif pada seseorang.
Dengan demikian produktif berarti bekerja dengan giat dan optimis
untukmenghasilkan sesuatu dengan jumlah yang banyak dan memandang hari
esok secara optimis dan menghargai kemampaun diri sendiri sehingga dapat
berguna bagi kehidupannya.
2. Self Efficacy
Self Efficacy menurut Bandura (1986) adalah keyakinan individu terhadap
kemampuannya dalam mengerjakan tugas, aktivitas ataupun usaha untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara itu, Baron dan Byrne (1997)
mendefinisikan self efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan
atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan atau
mengatasi hambatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa self efficacy perasaan akan
keyakinan individu akan kemampuan dirinya untuk dapat melakukan dan berhasil
7
dalam suatu tugas atau tindakan tertentu. Keyakinan akan kemampuan tersebut
mengarah pada fungsi kognitif seseorang dalam usahanya untuk berhasil dalam
melakukan suatu tindakan atau tugas tertentu.
Bandura (1977) mengungkapkan bahwa self efficacy memiliki tiga
dimensi, yaitu:
a. Dimensi tingkat (magnitude)
Berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, dimana individu merasa
mampu melakukannya. Individu merasa mampu melakukan tugas, apakah
berkaitan dengan tugas yang sederhana, agak sulit, atau sangat sulit.
b. Dimensi kekuatan (strength)
Dimensi
ini
dikaitkan
dengan
kekuatan
penilaian
tentang
kecakapan individu. Dimensi ini mengacu pada derajat kemampuan individu
terhadap keyakinan akan harapan yang dibuatnya.
c. Dimensi generalisasi (generality)
Dimensi ini berhubungan dengan luas bidang perilaku. Self efficacy
seseorang tidak terbatas hanya situasi spesifik saja. Dimensi ini mengacu pada
variasi situasi dimana penilaian tentang self efficacy dapat diungkapkan.
Menurut Bandura (1986), informasi mengenai self efficacy dapat berasal
dari empat sumber informasi utama, yaitu:
a. Pengalaman keberhasilan atau prestasi (Enactive Attainment)
b. Pengalaman orang lain (Vicarious Experience)
c. Persuasi verbal (Verbal Persuasion)
d. Kondisi fisiologis dan perasaan (Physiological Affective State)
Menghadapi kehidupan yang serba kompleks saat ini menuntut
penyandang tuna daksa untuk selalu siap, baik secara fisik maupun psikologis.
8
Kondisi fisik yang tidak sehat dan keadaan afeksi yang berada dalam tekanan
akan mempengaruhi self efficacy penyandang tuna daksa untuk tidak tergantung
dari orang lain. Kemampuan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ia memiliki
keyakinan untuk menghadapi semua rintangan dengan kemampuan yang dimiliki
akan meningkatkan perkembangan diri dan self eficacy individu.
Dikaitkan dengan penyandang tuna khususnya tuna daksa, self efficacy
adalah sejauh mana penyandang tuna daksa dengan segala kekurangannya
mempunyai keyakinan tentang sejauh mana kemampuan yang dimilikinya dalam
melakukan tugas dan tindakan tertentu untuk mencapai hasil yang diinginkan.
3. Tuna Daksa
Menurut Simangunsong, dkk (1998), tuna daksa atau cacat tubuh
mempunyai
pengertian
yang
luas
dimana
secara
umum
dikatakan
ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti
dalam keadaan normal. dalam hal ini yang termasuk tuna daksa adalah orangorang yang lahir dengan cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak
lengkap, orang yang kehilangan anggota badan karena amputasi, orang dengan
gangguan neuro muscular seperti cerebral palsy, orang dengan gangguan senso
motorik (alat pengideraan) dan orang yang menderita penyakit kronis.
Sedangkan Mumpuniarti (2001) mengartikan cacat tubuh atau tuna daksa
sebagai individu yang keadaannya mengalami cacat, hambatan, kerugian pada
jasmani, syaraf penggerak atau motorik, anggota gerak yang memerlukan
pengobatan untuk meluruskan anggota gerak atau tulang punggung yang tidak
lurus atau salah bentuk. Khusus yang menjadi tekanan keadaan rugi, hambatan,
cacat adalah pada anggota gerak.
9
Menurut As’jari (1995), Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna yang
berarti rugi, kurang dan daksa berarti tubuh”. Tuna daksa ditujukan kepada
mereka-mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, misalnya buntung
atau cacat. Sedangkan istilah tuna daksa atau cacat tubuh dimaksudkan untuk
menyebut mereka yang memiliki cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat
pada inderanya. Ditambahkan bahwa pengertian tuna daksa adalah sebagai
bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang
bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan
pribadi.
Dengan demikian, cacat tubuh atau tuna daksa dapat diartikan sebagai
bentuk ketidaknormalan atau ketidaksempurnaan bagian tubuh yang disebabkan
karena bawaan atau kejadian yang menyebabkan tidak dapat berfungsinya
anggota tubuh sehingga tubuh tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal.
Tuna Daksa diklasifikasi atas dasar bahwa jenis kelainan tuna daksa
amat bervariasi ragamnya dan setiap jenis kelainan juga bervariasi tingkatannya.
Klasifikasi ini akan memperlihatkan jenis-jenis kelainan yang termasuk tuna
daksa (Mumpuniarti, 2001).
a. Klasifikasi berdasarkan penyebab orang menjadi tuna daksa.
b. Klasifikasi tuna daksa berdasarkan sistem jaringan tubuh yang mengalami
kelainan.
c. Klasifikasi berdasarkan jumlah anggota badan yang kelainan atau ketunaan.
Satu anggota badan.
d. Klasifikasi berdasarkan tingkatan ketunaan atau cacat yang disandang.
e. Klaifikasi berdasarkan kemampuan dalam mengikuti pendidikan.
10
f. Klasifikasi berdasarkan kecerdasannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tuna daksa antara lain:
a. Asalnya faktor, yaitu:
1) Faktor yang berasal dari dalam (internal).Termasuk faktor ini adalah faktor
keturunan (genetis), faktor kromosom, faktor RH (Rhesus factor).
2) Faktor yang berasal dari luar (external). Seperti faktor gizi yang kurang
sewaktu anak masih dalam kandungan (malnutrition), faktor kejiwaan dari ibu
sewaktu anak masih dalam kandungan, berbagai macam penyakit (polio, TBC
tulang dan persendian), berbagai macam zat kimia yang terbawa oleh makanan
dan minuman pada waktu ibu mengandung anak, berbagai macam kecelakaan,
berbagai radiasi, sinar tembus (rontgen), atau sinar yang mengandung ion lain.
b. Munculnya/ terjadinya kelainan
1) Terjadi dalam kandungan yang sering disebut dengan faktor bawaan
(congenital).
2) Terjadi sewaktu lahir, seperti: waktu lahir sulit sehingga lama dijalan lahir,
lama di jalan lahir ini dapat menyebabkan kekurangan oxygen yang merusak
otak, sehingga memunculkan cerebral palsy.
3) Terjadinya setelah anak lahir dan berkembang sampai dewasa.
Dijelaskan oleh Mumpuniarti (2001), bahwa karakteristik tuna daksa dapat
ditinjau secara fisiologis dan psikologis, hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Karakteristik fisiologis terlihat pada gejala fisik di antaranya:
1) Gerak di antara keempat anggota tubuh tidak sempurna, misalnya: kaku,
kejang, gerak sendiri, gerak tidak terkoordinir.
2) Pada bentuk tubuh terlihat bengkok, bungkuk, geraknya sempoyongan
karena tidak mempunyai keseimbangan.
11
3) Satu, dua, tiga di antara keempat anggota tubuh tidak dapat digerakkan
atau bahkan tidak ada (amputasi).
4) Bagi penyandang yang kelainannya pada persyarafan pusat di otak akan
berpengaruh pada kemampuan-kemampuan yang lain.
5) Didapatkan juga kelainan yang nampak pada penderita dalam keadaan
lemas, lumpuh, tidak mempunyai tenaga untuk bergerak, dan penderita
yang tidak mampu bergerak bebas berhubung jika bergerak keadaan tulang
menjadi retak.
b. Karakteristik psikologis.
Penyandang
tuna
daksa
akan
mengalami
gejala
yang
dapat
membahayakan perkembangan kepribadian, seperti:
1) Terhambatnya aktivitas normal pada penyandang cacat akan dapat
menyebabkan frustasi.
2) Orang tua yang overprotection akan dapat menghambat perkembangan
penyandang cacat.
3) Karena kecacatannya tersebut, orang yang ada disekitarnya menganggap
dia berbeda dengan orang yang lain. Perlakuan yang berbeda tersebut dapat
menyebabkan penyandang cacat merasa dirinya berbeda pula.
Ketiga hal diatas dapat menimbulkan sifat-sifat, seperti; harga diri yang
rendah, tidak percaya pada diri sendiri, dan kurang atau bahkan tidak
mempunyai inisiatip dalam menjalani aktivitas kehidupannya.
4. Self Efficacy dan Perilaku Produktif Pada Penyandang Tuna Daksa
Selama ini, penyandang tuna khususnya penyandang tuna daksa
mengalami perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Mereka beranggapan
penyandang tuna daksa adalah orang-orang yang hanya dapat berpangku
12
tangan. Keadaan tersebut membuat mereka untuk menjadi mandiri menjadi lebih
berat. Selain keadaan psikologis mereka juga masih harus menyiasati keadaan
akibat-akibat yang ditimbulkan dari kecacatan yang ada di dalam dirinya.
Seseorang
dikatakan
mengalami
tuna
daksa
apabila
menderita
kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang dan otot). Kecacatan
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bergerak, menggunakan
lengan dan kakinya secara efektif serta bernafas secara bebas (Hardman, dalam
Damayanti dan Rostiana, 2003).
Menurut Koentjoro (2000), bahwa pada dasarnya penderita tuna daksa
umumnya memiliki rasa rasa percaya diri yang rendah dan hal itu semakin
membuat adanya hambatan-hambatan interpersonal. Ditambahkan oleh Hill dan
Monks
(dalam
Wrastari
dan
Handadari,
2003),
bahwa
penyimpangan-
penyimpangan pada seseorang akan menimbulkan masalah-masalah yang
berhubungan dengan penilaian diri dan sikap sosialnya. Oleh karena itu pada
penyandang tuna daksa, dengan ketidaksempurnaan bagian tubuhnya akan
menghambat
perkembangan
kepribadian
yang
sehat.
Pendapat
lain
mengemukakan bahwa akibat dari kecacatan yang dialami, penyandang tuna
daksa seringkali mengalami masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan pekerjaan
(Damayanti dan Rostiana, 2003). Sehingga dalam bekerja penyandang tuna
daksa banyak yang mengalami ketidakyakinan, ketidakpercayaan diri, tergantung
akan orang lain, dan menjadi tidak produktif.
Damayanti dan Rostiana (2003) mengatakan bahwa, salah satu faktor
yang dipandang turut berperan dalam diri penyandang tuna daksa adalah self
efficacy. Self efficacy merupakan faktor kunci untuk melihat bagaimana
seseorang berupaya mengatasi atau menghadapi keadaan di atas. Individu
13
dengan self efficacy yang tinggi akan terlihat optimis, percaya diri, dan
berpandangan positif. Sebaliknya individu dengan self efficacy yang rendah akan
terlihat pesimis, tidak percaya diri, dan dipenuhi perasaan khawatir. Dengan self
efficacy yang tinggi, individu akan termotivasi untuk terus berusaha mengatasi
masalah yang dihadapi.
Keyakinan
dimilikinya
akan
penyandang
meningkatkan
tuna
daksa
terhadap
kemampuannya
dalam
kemampuan
bekerja.
yang
Dengan
meningkatnya kemampuan akan dapat membuat penyandang tuna daksa untuk
berbuat lebih baik dalam bekerja maupun pada kehidupan yang lain.
Self efficacy pada penyandang tuna daksa dapat ditingkatkan. Menurut
Apriadi (2001), bahwa ada hubungan antara sikap terhadap program pelayanan
rehabilitasi dan penyesuaian diri pada self efficacy remaja penyandang tuna
daksa.
Sehingga
dengan
pemberian
pelatihan
sebelum
bekerja
dapat
meningkatkan self efficacy penyandang tuna daksa dalam bekerja. Ditambahkan
oleh Sumiatun (2002), bahwa kemampuan penyandang tuna daksa yang bekerja
dapat ditingkatkan melalui program pelatihan, pendidikan, dan pengembangan.
Menurut Bandura (dalam Kharis, 2001), individu yang memiliki efikasi diri
umumnya lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan, tidak mudah menyerah,
dan memiliki kepercayaan yang lebih tinggi untuk mengejar tantangan.
Sedangkan menurut Muryanto (2004) dalam penelitiannya tentang efikasi diri
dalam persaingan memperoleh pekerjaan pada alumni Universitas Islam
Indonesia meyatakan bahwa keberhasilan dan efikasi diri juga memiliki
keterkaitan yang timbal balik, artinya keberhasilan yang di capai individu dalam
setiap aktivitas ataupun tugas akan meningkatkan keyakinan terhadap
kemampuan diri individu dalam melakukan aktivitas atau tugas tersebut sehingga
14
tujuannya tercapai. Begitu pula sebaliknya, keyakinan terhadap kemampuan diri
untuk melakukan aktivitas ataupun tugas untuk mencapai tujuan juga akan
mempengaruhi individu untuk mencapai keberhasilan. Berdasarkan penelitian ini
didapat bahwa efikasi diri mempengaruhi keberhasilan individu dalam bekerja.
Menurut Bandura (1986), faktor yang dapat meningkatkan self efficacy
antara lain: pengalaman keberhasilan atau prestasi, pengalaman orang lain,
persuasi verbal, dan kondisi fisiologis dan perasaan. Ditambahkan oleh Suhariadi
(2002), bahwa perilaku produktif efisien terbentuk dari semangat akan kepuasan
dalam bekerja. Semangat akan kepuasan dalam bekerja ini ditunjang oleh
keterlibatan dalam pekerjaan yang digeluti. Semakin orang terlibat dalam
pekerjaan yang digeluti maka semakin orang akan berperilaku produktif. Untuk
dapat membuat seseorang menjadi semakin terlibat akan pekerjaannya maka
salah satunya dibutuhkan keyakinan yang kuat akan kemampuan yang dimiliki
seseorang. Dengan demikian penyandang tuna daksa yang mempunyai self
efficacy yang baik akan dapat meningkatkan perilaku produktif dalam bekerja dan
dalam berbagai bidang kehidupan.
E. Hipotesis
Ada hubungan positif antara self efficacy dengan perilaku produktif.
Semakin tinggi self efficacy maka semakin tinggi perilaku produktif pada
penyandang tuna daksa.
D. Metode Penelitian
1. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel Tergantung
: Perilaku Produktif Penyandang Tuna Daksa
15
Variabel Bebas
: Self Efficacy
2. Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Perilaku Produktif pada Penyandang Tuna Daksa adalah perilaku pada
seseorang yang mempunyai bentuk tubuh yang tidak sempurna atau kurang
normal namun dapat ia dapat menghasilkan suatu karya secara kontinyu
yang memiliki nilai jual. Ciri-ciri perilaku penyandang tuna daksa dalam
penelitian ini didasarkan pada kesimpulan dari ciri-ciri seseorang yang
produktif menurut Timpe (2002), yaitu: ulet dan bekerja secara efisien,
memiliki ketrampilan, hasilnya memiliki nilai jual, memahami pekerjaan, ada
target yang ingin dicapai, bisa bekerja dibawah tekanan, dan merasakan
kepuasan dari hasil kerja.
b. Self
Efficacy
adalah
keyakinan
penyandang
tuna
daksa
terhadap
kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan tugas atau pekerjaan. Aspekaspek yang tercakup dalam self efficacy pada penelitian ini meliputi dimensidimensi yang diungkapkan oleh Bandura (1977), yaitu: tingkat kesulitan tugas
(magnitude), kekuatan keyakinan terhadap kemampuan (strength), dan
dimensi keluasan tugas (generality).
3. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah penyandang tuna daksa yang bekerja
di Mandiri.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis statistik korelasi
product moment dari Spearman. Dengan bantuan program komputer statistical
Package for Sosial Science (SPSS) for Windows 12.
16
E. Hasil Penelitian
1. Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi product
moment dari Spearman, didapatkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,392 dan p =
0.016 (p< 0.05). Jadi hipotesis yang menyatakan ada hubungan yang positif
antara self efficacy dengan perilaku produktif pada penyandang tuna daksa
diterima. Dimana semakin tinggi self efficacy semakin tinggi pula perilaku
produktifnya.
2. Analisis Tambahan
Analisis tambahan pertama dilakukan untuk mengetahui perbedaan self efficacy
dan perilaku produktif pada penyandang tuna daksa ditinjau dari tingkat
pendidikan. Analisis dilakukan dengan teknik One Way Anova dan menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan self efficacy pada penyandang tuna daksa ditinjau
tingkat pendidikan dimana F = 1.228 dan nilai p = 0.310 (p > 0.05). Sedangkan
pada analisis perilaku produktif menunjukkan ada tidak ada perbedaan perilaku
produktif pada penyandang tuna daksa ditinjau dari tingkat pendidikan dimana
nilai F = 2.691, dan p = 0.087 (p > 0.05).
Analisis tambahan kedua yaitu analisis data tambahan kualitatif yang
memuat data tentang perubahan-perubahan yang ingin dilaksanakan oleh
subyek penelitian. Dari data tersebut secara garis besar perubahan yang ingin
dilakukan oleh subyek penelitian dapt dibagi menjadi tiga perubahan, yaitu
17
42.86% menginginkan perubahan dari segi kebijakan perusahaan terkait dengan
pemasaran, 28.57% menginginkan perubahan dari segi peningkatan kualitas
produk, dan 28.57% menginginkan perubahan dari segi peningkatan kualitas
pribadi.
E. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa pada penyandang tuna
daksa, self efficacy mempunyai hubungan yang positif dengan perilaku produktif.
Dimana semakin tinggi self efficacy semakin tinggi pula perilaku produktifnya.
Adanya hubungan yang positif antara self efficacy dengan perilaku produktif
senada dengan pendapat Damayanti dan Rostiana (2003) bahwa self efficacy
merupakan faktor penting yang harus dimiliki oleh penyandang tuna daksa. Self
efficacy merupakan faktor kunci untuk melihat bagaimana seseorang berupaya
mengatasi atau menghadapi keadaan di atas. Individu dengan self efficacy yang
tinggi akan terlihat optimis, percaya diri, dan berpandangan positif. Sebaliknya
individu dengan self efficacy yang rendah akan terlihat pesimis, tidak percaya
diri, dan dipenuhi perasaan khawatir. Dengan self efficacy yang tinggi, individu
akan termotivasi untuk terus berusaha mengatasi masalah yang dihadapi.
Subyek dalam penelitian ini mempunyai self efficacy dan perilaku
produktif yang tinggi. Hal ini berarti bahwa subyek mempunyai keyakinan diri
yang kuat di tengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki sehingga keyakinan
diri yang mereka miliki mampu membuat mereka tetap berguna yaitu dengan
berperilaku produktif. Tingginya self efficacy pada subyek penelitian dikarenakan
mereka mempunyai ketrampilan yang diperoleh dalam pelatihan. Di samping itu,
mereka juga selalu mengasah ketrampilan mereka setiap hari sehingga hal
tersebut dapat menambah pengalaman yang mereka miliki. Hal itu sesuai
18
dengan pendapat Bandura (1986), yang mengatakan bahwa salah satu sumber
informasi self efficacy adalah pengalaman. Dengan memiliki pengalaman dalam
bekerja, mereka dapat meningkatkan perilaku produktif. Selain itu, pendapat lain
dikemukakan oleh Simanjuntak dalam Ravianto (1987), bahwa orang mempunyai
sikap tersebut terdorong untuk menjadi dinamis, kreatif, inovatif serta terbuka,
akan tetapi kritis terhadap ide-ide baru dan perubahan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sumbangan efektif self
efficacy terhadap perilaku produktif adalah sebesar 9,7 % sisanya adalah faktor
lain yang mempengaruhi perilaku produktif yang tidak diteliti lebih lanjut oleh
peneliti. Hal itu menunjukkan bahwa self efficacy mempunyai pengaruh yang
kecil
terhadap
perilaku
produktif
penyandang
tuna
daksa.
Rendahnya
sumbangan efektif self efficacy terhadap perilaku produktif bisa disebabkan oleh
adanya kebutuhan atau keinginan akan harapan dari penyandang tuna daksa
yang belum terpenuhi, seperti kerjasama, pengambilan keputusan dilakukan
bersama-sama, disiplin, dan lain-lain (data tambahan kualitatif). Hal ini sesuai
pendapat dari Bandura (1986) bahwa self efficacy dan harapan akan hasil
(outcome expectancy) sebagai dua mekanisme evaluasi diri kognitif yang
menyertai kinerja kecakapan individu. Ketika ada harapan-harapan dari
penyandang tuna daksa yang tidak terpenuhi maka hal tersebut dapat
menghambat perilaku produktif mereka. Di samping itu, rendahnya sumbangan
efektif self efficacy tersebut juga disebabkan karena kurang spesifiknya alat ukur
self efficacy untuk pengukuran pada penyandang tuna daksa. Kurang spesifiknya
alat ukur tersebut menyebabkan penyandang tuna daksa cenderung kurang
memahami setiap kalimat dalam alat ukur tersebut.
19
Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa pada penyandang tuna
daksa hanya pada aspek magnitude dan aspek strength yang mempengaruhi
aspek-aspek pada perilaku produktifnya, sedangkan pada aspek generality tidak
ditemukan
hubungan
dengan
aspek-aspek
perilaku
produktif.
Hal
ini
menunjukkan bahwa keyakinan penyandang tuna daksa terhadap kemampuan
mengerjakan berbagai tugas tidak mempunyai dampak terhadap perilaku
produktifnya.
Hasil tambahan kedua menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan self
efficacy dan perilaku produktif berdasarkan tingkat pendidikan. Artinya bahwa
subyek dalam penelitian ini tetap berperilaku produktif apapun tingkat pendidikan
yang dimiliki oleh subyek. Penyandang tunda daksa yang mempunyai pendidikan
rendah tetap berperilaku produktif di tengah – tengah keterbatasan yang mereka
miliki, begitu juga sebaliknya penyandang tuna daksa yang mempunyai
pendidikan tinggi juga berperilaku produktif di tengah – tengah keterbatasan yang
mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhariadi (2002) bahwa
kepandaian tidak berpengaruh terhadap perilaku produktif. Kepandaian yang
dimiliki oleh penyandang tuna daksa dapat ditentukan dari tingkat pendidikan
formal penyandang tuna daksa dimana semakin tinggi pendidikan formal yang
diperoleh penyandang tuna daksa maka semakin ia memperoleh banyak
pengetahuan sehingga hal tersebut berdampak pada kepandaian yang
dimilikinya. Di samping itu, dapat dilihat dari skor perilaku produktif yang
diperoleh oleh subyek dengan melihat pada tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
subyek (lampiran data tambahan kualitatif).
Hasil analisis tambahan berikutnya adalah analisis kualitatif. Dari data
tersebut didapatkan hasil bahwa sebagian besar subyek dalam penelitian ini
20
menginginkan perubahan dalam hal kerja sama. Hal ini berarti bahwa dengan
peningkatan dalam hal kerja sama seperti pengambilan keputusan yang
dibicarakan bersama-sama antara pimpinan dengan pengrajin diharapkan akan
mampu meningkatkan sikap produktif penyandang tuna daksa.
Secara keseluruhan bahwa perilaku produktif yang dimiliki oleh
penyandang tuna daksa banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Selain faktor
dari dalam seperti keyakinan penyandang tuna daksa akan kemampuan yang
dimilikinya (dalam hal ini self efficacy), juga dipengaruhi oleh faktor luar seperti
sistem penggajian, kerja sama antar sesama pengrajin, perhatian dari pimpinan
(lampiran data tambahan). Perilaku produktif pada penyandang tuna daksa dapat
ditingkatkan dengan usaha dari penyandang tuna daksa itu sendiri, maupun
dukungan dari lingkungan sekitar.
Kelemahan dalam penelitian ini adalah kurang spesifiknya alat ukur self
efficacy untuk mengukur self efficacy pada penyandang tuna daksa. Alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini masih mengukur hal-hal yang bersifat
umum, hal tersebut menyebabkan penyandang tuna daksa kurang dapat
memahami kalimat dalam alat ukur tersebut. Menurut Brehm dan Kassin (1990)
bahwa
self
efficacy
berkaitan
dengan
keyakinan
seseorang
terhadap
kemampuannya dalam melakukan tugas yang spesifik untuk memperoleh hasil
yang diinginkan dalam suatu situasi. Oleh sebab itu, dalam penyusunan alat ukur
self efficacy hendaknya disesuaikan dengan kondisi keseharian yang dilakukan
oleh subyek penelitian yang dijadikan sebagai sasaran penelitian. Sebagai
contoh, dalam penelitian ini subyek penelitian adalah penyandang tuna daksa
yang bekerja sebagai pengrajin sehingga dalam penyusunan alat ukur self
21
efficacy disesuaikan dengan kegiatan penyandang tuna daksa yang berkaitan
dengan proses membuat barang kerajinan.
F. Kesimpulan
Self efficacy pada penyandang tuna daksa mempunyai hubungan positif
dengan perilaku produktif mereka, dimana semakin tinggi self efficacy
penyandang tuna daksa maka semakin tinggi perilaku produktifnya.
Self efficacy mempunyai sumbangan efektif yang kecil terhadap perilaku
produktif yaitu sebesar 9.7%.
A. Saran
Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran-saran
yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya,
antara lain:
1. Saran Bagi Lembaga
Pihak lembaga diharapkan dalam setiap pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pekerjaan pengrajin dilakukan secara bersama-sama. Dengan
begitu, pengrajin merasa lebih diperhatikan dan lebih diperlukan dalam pekerjaan
mereka.
Dengan
ditekuninya,
semakin
mereka
terlibatnya
akan
semakin
pengrajin
terpacu
dalam
untuk
pekerjaan
yang
mengingkatkan
kemampuannya dan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas barang yang
dihasilkannya.
3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
Mengingat kurang spesifiknya alat ukur self efficacy pada penelitian ini yang
menyebabkan sumbangan efektif self efficacy terhadap perilaku produktif pada
penyandang tuna daksa, diharapkan peneliti selanjutnya dapat membuat sebuah
22
alat ukur self efficacy yang lebih spesifik yang disesuaikan dengan kegiatan
subyek penelitian yang akan diteliti. Dengan pembuatan alat ukur self efficacy
yang lebih baik, diharapkan dapat menyempurnakan dan membuat penelitian ini
menjadi lebih baik lagi.
Download