evaluasi kebijakan persaingan usaha di indonesia

advertisement
Jurnal Keuangan dan Bisnis
Vol. 1 No. 1, November 2009
EVALUASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA
DI INDONESIA
Asmalidar
Dosen Politeknik Negeri Medan
ABSTRACT
In new era, the conglomeration business would make Indonesian economic growth was
high. That conglomerations coped the Indonesian economy and their developing was applied by
any facilities such as protection, monopoly right, and deducting of taxes that supported by
Indonesia Government. Even though, cause of the selfish that they owned, they borrowed a lot
of money from the foreign and the world monetary crisis in 1998 made their business
underwent destruction. These industries got the helping from Indonesia Government through
Indonesian obligation paper. Therefore, the monetary crisis become the starting point to create
the regulation of business competation.
IMF had entered the program of compilation of business competation law in letter of
intent. Then, in year 1999, by the regulation No. 5 year 1999 cited that prohibition on the
monopoly practice. The consequency of this rule, the unfear competition in business, can be
deducted little by little for to achieve efficiency, effectiveness, and the public welfare.
Keywords: business competition, conglomeration, monopoly
keinginan ini dilatarbelakangi berbagai
faktor. Minat untuk memperbaiki kebijakan
persaingan usaha dan antimonopoli
merupakan hasil dari kegagalan reformasi
ekonomi di tahun 1980-an. Di Indonesia
misalnya,
kebijakan
pembangunan
substitusi impor
yang diimplementasi
dengan melindungi industri bayi (infant
industry)
terbukti
menimbulkan
perusahaan-perusahaan
korporat
yang
menyebabkan
inefisiensi
dan
pendegradasian
hak-hak
konsumen.
Sedangkan Tybout (1992) menjelaskan
bahwa perdagangan bebas yang telah
disepakati oleh banyak negara di dunia,
tidak akan mencapai tujuan efisiensi dan
persaingan secara adil (fair) apabila tidak
diberlakukannya undang-undang yang
menjamin persaingan usaha secara sehat.
Selanjutnya Evenett (2002) berpendapat
perlunya penyempurnaan undang-undang
persaingan usaha sebagai konsekuensi atas
munculnya
praktek-praktek
merger
perusahaan- perusahaan besar.
PENDAHULUAN
Dalam dua dekade terakhir, kebijakan
tentang persaingan usaha telah menjadi
salah satu isu utama di negara sedang
berkembang. Sejumlah negara telah
mempersiapkan undang-undang persaingan
usaha untuk menghadapi liberalisasi
ekonomi dunia. Berkembangnya privatisasi,
perdagangan internasional dan investasi
serta disepakatinya perjanjian bilateral dan
multilateral
membawa
terwujudnya
integrasi ekonomi. Hampir seluruh negara
terlibat dalam perjanjian tesebut sehingga
harus menghilangkan berbagai macam
hambatan seperti hambatan tarif maupun
non-tarif. Dengan demikian, konsekuensi
yang harus dijalankan oleh negara-negara
tersebut ialah menjalankan kebijakan
persaingan usaha dan menghilangkan
praktek-prakter bisnis tidak sehat.
Saat ini, di negara sedang berkembang
muncul keinginan untuk memperbaharui
kebijakan persaingan usaha. Hal ini terlihat
dari
banyaknya
negara
yang
menyempurnakan undang-undang lamanya
dengan undang-undang yang baru. Cook
(2004) menggambarkankan munculnya
Dengan berbagai argumen di atas,
pembentukan dan penyempurnaan undangundang tentang persaingan usaha dan anti
monopoli memang perlu dilakukan. Untuk
78
2009
Asmalidar
itu perlu dibuat kajian tentang kebijakan
yang tepat untuk diimplementasikan agar
secara efektif dapat menciptakan suasana
persaingan usaha yang lebih baik.
PERSAINGAN
EFISIENSI
USAHA
menyelesaikan permasalahan ini, maka
penyelesaiannya adalah melalui kebijakan
publik untuk kembali meningkatkan
efisiensi dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam struktur pasar, pencapaian efisiensi
tercapai pada pasar persaingan sempurna
(perfect competition). Efisiensi tercapai
karena pada pasar ini, jumlah pembeli dan
jumlah produsen sangat banyak. Dengan
demikian, untuk tetap eksis dalam pasar,
produsen atau penjual harus mengikut
kepada harga pasar (price taker). Tidak ada
campur tangan pemerintah pada pasar ini.
Dalam pasar ini, efisiensi akan ditunjukkan
jika Marginal Cost (MC) sama dengan
Marginal Revenue (MR) dan juga harga
(P). Dalam pasar persaingan sempurna,
dijelaskan bahwa mekanisme pasar akan
mengarahkan suatu perusahaan untuk
menggunakan sumber daya yang efisien.
Produsen harus menemukan metode
produksi yang paling murah, dengan
menggunakan sumber daya (tenaga kerja,
kapital, dan input lainnya) secara efisien,
jika tidak perusahaan tersebut akan
tersingkir dari pasar karena mengalami
kerugian.
DAN
Berbagai pendapat diberikan oleh
ekonom tentang persaingan usaha dan
efisiensi. Banyak pakar menyatakan bahwa
persaingan usaha memberi dampak yang
positip antara persaingan usaha dengan
efisiensi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, beberapa di antaranya, berpendapat
sebaliknya, bahwa tidak ada yang salah
dengan monopoli. Justru monopoli dapat
meningkatkan efisiensi dan meningkatkan
kesejahteraan konsumen.
Mankiw (2002) menegaskan bahwa
kondisi pasar yang efisien akan dapat
tercapai apabila dua asumsi berikut dapat
dipenuhi. Pertama, pasar harus bersaing
secara sempurna. Namun dalam dunia
nyata, persaingan masih jauh dari
sempurna. Pada beberapa pasar, masih ada
praktek
monopoli,
oligopoli
dan
monopsoni.
Struktur
pasar
tersebut
memiliki kemampuan untuk mengatur harga
pasar. Kemampuan untuk mengatur harga
disebut market power (kekuatan pasar).
Produsen yang memiliki market power akan
menyebabkan pasar menjadi tidak efisien,
karena mereka mengontrol harga dan
produksi di bawah keseimbangan.
Namun
pasar
tidak
dapat
mengalokasikan sumber daya - sumber daya
secara efisien jika terjadi persaingan tidak
sempurna (monopoli dan oligopoly).
Perusahaan monopoli berupaya untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimum.
Keuntungan tersebut dapat diperolehnya
melalui penentuan jumlah barang yang
diproduksi dan harga barang. Umumnya,
monopoli akan menjual barang dengan
harga yang lebih tinggi dibandingkan pasar
persaingan.
Kedua, dampak kegiatan transaksi hanya
terjadi pada pembeli dan penjual atau tidak
ada eksternalitas. Dalam dunia nyata,
dampak kegiatan transaksi di pasar juga
mempengaruhi orang lain, misalnya polusi.
Pembeli
dan
penjual
tidak
memperhitungkan dampak eksternal dari
kegiatan mereka sehingga dapat merugikan
pihak lain dan selanjutnya menyebabkan
ketidakefisienan.
Harga yang lebih tinggi dan jumlah
barang yang diproduksi lebih sedikit
dibandingkan
pasar
persaingan,
menyebabkan kesejahteraan masyarakat
menjadi
berkurang.
Berkurangnya
kesejahteraan
tersebut
terlihat
dari
terbentuknya area deadweight loss, yakni
area surplus konsumen dan produsen yang
hilang.
Market power dan eksternalitas
merupakan penyebab ketidakefisienan pada
pasar.
Ketika
pasar
gagal
untuk
79
78 - 89
Jurnal Keuangan dan Bisnis
P
Pm
November
C
M
C
D
E
Pc
PC = MRC
B
A
MRm
Qm
Dm
QC
Q
Gambar 1. Permintaan Pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna
Gambar 1. merupakan ilustrasi untuk
menunjukkan perbedaan keseimbangan
antara pasar persaingan sempurna dan pasar
monopoli. Pada pasar persaingan sempurna,
keseimbangan akan berada pada titik E,
yakni dengan jumlah barang yang
diproduksi sebanyak Qc dan harga sebesar
Pc. Surplus konsumen yang diterima oleh
konsumen
sebesar
segitiga
CEPc.
Sedangkan surplus produsen yang diterima
oleh produsen sebesar segitiga AEPc. Bila
pasar barang tersebut ialah monopoli, maka
jumlah barang yang diproduksi sebesar Qm
dan harga sebesar Pm. Konsumen akan
menikmati jumlah barang yang lebih sedikit
dan membayar dengan harga yang lebih
mahal dibandingkan di pasar persaingan.
Selanjutnya, total surplus yang diterima baik
produsen dan konsumen menjadi berkurang.
Pada pasar monopoli, surplus konsumen
menjadi segitiga CDPm, sedangkan surplus
produsennya menjadi segiempat ABDPm.
Jika dibandingkan dengan pasar persaingan
sempurna, maka ada wilayah yang tidak
dimiliki oleh siapapun baik konsumen
maupun produsen yaitu segitiga BDE.
Daerah ini disebut dengan dead weight loss.
Dengan demikian, bila sebuah barang
diproduksi pada pasar monopoli, maka dapat
menyebabkan harga barang semakin tinggi,
jumlah barang yang diproduksi berkurang
dan kesejahteraan yang dicerminkan dari
total surplus menjadi berkurang.
Persaingan yang sehat merupakan hal
yang baik bagi konsumen. Perusahaanperusahaan akan saling bersaing untuk
membujuk para konsumen agar membeli
produk/jasa yang dihasilkan. Dengan
demikian kesejahteraan konsumen akan naik
melalui pilihan yang semakin banyak dan
harga barang yang bersaing. Dawar (2007)
menjelaskan bahwa dalam pasar persaingan,
permintaan
dan
penawaran
akan
menghasilkan harga dan jumlah barang
keseimbangan, sementara pada pasar bukan
persaingan (monopoli dan oligopoli)
keseimbangan harga dan jumlah barang
lebih disebabkan oleh kesepakatan (kolusi)
antar perusahaan tersebut. Hal senada
tentang manfaat dari persaingan juga
disampaikan
oleh
Geroski
(2006).
Menurutnya, konsekuensi dari persaingan
adalah harga akan ditawar semakin turun
sampai pada tingkat biaya yang efisien,
dengan produk yang ditawarkan sangat
beragam yang sesuai dengan keberagaman
kebutuhan dan selera konsumen. Dengan
demikian, produsen akan semakin inovatif
untuk memenangkan persaingan.
Namun dalam beberapa kajian dijumpai
bahwa tidak semestinya perusahaan
monopoli
itu
tidak
memberikan
kesejahteraan konsumen (consumer welfare)
yang lebih besar. Darby dan Zucker (2006)
mengatakan bahwa inovasi dan teknologi
akan dapat meningkatkan kesejahteraan
80
2009
Asmalidar
konsumen, karena perusahaan tersebut dapat
menekan biaya dan menjual produknya
dengan
harga
yang
lebih
murah.
P
MCc
Pc
Pm
E
D
PC = MRC
MCm
MRm
QC Q
D
Q
m
Gambar 2. Dampak Inovasi Monopoli
terhadap Kesejahteraan Masyarakat
m
Pendapatan senada juga dikemukakan
oleh Yao dan Gan (2006). Dengan
menggunakan pendekatan keseimbangan
umum (general equilibrium), mereka
menemukan bahwa inovasi yang dibuat oleh
perusahaan monopoli justru membuat
kesejahteraan sosial menjadi semakin
meningkat.
Gambar 2. bahwa perusahaan monopoli
yang memiliki inovasi dan menggunakan
teknologi yang tinggi akan dapat menekan
biaya menjadi MCm. Dalam keadaan
keseimbangan, maka jumlah barang yang
diproduksi oleh perusahaan monopoli
tersebut lebih banyak dan harga juga lebih
rendah dibandingkan dengan perusahaan
persaingan. Dengan demikian kesejahteraan
konsumen juga semakin meningkat.
LATAR
BELAKANG
PERLUNYA
UNDANG-UNDANG
PERSAINGAN
USAHA DI INDONESIA
Jumlah negara yang melaksanakan
undang-undang persaingan usaha meningkat
secara signifikan selama dua dekade
terakhir. Dalam mendesain undang-undang
tersebut, negara-negara ini dipengaruhi oleh
undang-undang persaingan usaha yang telah
berjalan di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Korea
Selatan.
Tabel 1.
Negara yang Mempengaruhi Pembuatan
Undang-Undang Persaingan Usaha
Negara
Jepang (1947)
Australia (1974)
Korea Selatan (1980)
Taiwan (1992)
Thailand (1999)
Indonesia (1999)
Sumber : Lee (2007)
Negara yang Menjadi Rujukan
USA (1890)
USA (1890)
Jepang (1947), Jerman (1957)
Jepang (1947), Jerman (1957)
Korea Selatan (1980)
USA (1890), Jepang (1947), Jerman (1957), Uni Eropa
81
78 - 89
Jurnal Keuangan dan Bisnis
Lembaga internasional seperti OECD
(Organization for Economic Co-operation
and Development), Bank Dunia, UNCTAD
(United Nations Conference on Trade and
Development) berperan besar dalam
membantu
negara-negara
sedang
berkembang untuk membuat undang-undang
persaingan usaha. Thailand dan Indonesia
membentuk undang-undang ini sebagai
pelaksanaan komitmennya untuk membuat
program perubahan struktural ekonominya
setelah dilanda krisis tahun 1997/1998 (Lee,
2007).
Penyusunan Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat diawali dari perjanjian yang dilakukan
International Monetary Fund (IMF) dengan
pemerintah Republik Indonesia pada tanggal
15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut,
sebagai syarat agar bantuan IMF dapat
diberikan
kepada
Indonesia
yaitu
melaksanakan reformasi sistem ekonomi dan
hukum ekonomi, yakni dengan membuat
Undang-undang Antimonopoli.
November
hubungan keluarga dan pendekatan pribadi.
Pihak lain tidak diberi kesempatan atau
mengalami hambatan untuk terlibat dalam
kegiatan bisnis.
Setelah memperoleh kemerdekaan,
pemimpin Indonesia bertekad untuk
menggerakkan
perekonomian
yang
disponsori oleh negara. Perusahaan Belanda
dinasionalisasi dan giliran orang Indonesia
pribumi yang diuntungkan, yakni mendapat
akses dari fasilitas pemerintah, termasuk
kredit murah (Habir, 2001). Pemberian
preferensi kepada sekelompok pengusaha
tertentu terus berlangsung pada masa
pemerintahan Orde Baru. Regulasi yang
berlaku di Indonesia pada masa itu, tidak
menghambat terjadinya penguasaan usaha
secara vertikal. Misalnya terdapat grup
bisnis tunggal yang mengurus kayu dari
penebangan, perusahaan lainnya untuk
pemrosesan dan perusahaan lainnnya untuk
pemasaran produk kayu. Regulasi yang ada
saat itu mendorong pembentukan banyak
perusahaan yang terkait dalam grup-grup
besar atau konglomerat. Bahkan pada tahun
1996, lebih dari 2.000 perusahaan yang
berbeda-beda hanya dikuasi oleh 25
konglomerat terbesar (Habir, 2001).
Selain paksaan IMF untuk membuat UU
Antimonopoli tersebut, sebenarnya wacana
untuk membuat undang-undang ini telah
dibahas dan didiskusikan secara intensif
sejak tahun 1989 (Säcker, 2000). Hal ini
dilatarbelakangi
oleh
munculnya
konglomerat pelaku usaha yang dijalankan
oleh keluarga atau pihak tertentu yang
menyebabkan persaingan tidak sehat dan
pengurangan kesempatan berkembang bagi
usaha
kecil
dan
menengah.
Para
konglomerat
tersebut
menikmati
perlindungan atas usahanya melalui undangundang dan serangkaian praktek kartel pada
semen, kayu, kertas, gula, beras, dan lainlain. Praktek konglomerasi ini terbukti tidak
berhasil menyelamatkan perekonomian
Indonesia ketika krisis ekonomi tahun
1997/1998, dimana sebagian besar usaha
para konglomerat Indonesia mengalami
kebangkrutan.
Berkembangnya
konglomerasi
di
Indonesia awalnya disebabkan kebijakan
pembangunan
yang
dikenal
dengan
substitusi impor. Tujuan dari kebijakan ini
ialah untuk melindungi industri dalam negeri
dari pesaing luar negeri. Kebijakan ini
meliputi pengenaan tarif yang tinggi untuk
barang-barang impor yang strategis,
terutama
yang
dapat
menimbulkan
persaingan dengan barang di dalam negeri.
Kebijakan ini juga dikenal dengan istilah
melindungi industri baru (infant industry) di
dalam negeri. Berbagai fasilitas diterima
oleh pengusaha lokal seperti insentif pajak,
dukungan keuangan, infrastruktur dan lainlain.
Iwantono (2003) mengatakan bahwa ada
dua dampak dari kebijakan substitusi impor
yang dikeluarkan pemerintah. Pertama, di
Indonesia muncul dua tipe industri (dualism)
yakni industri dengan teknologi modern
(yang muncul akibat proteksi) dan industri
tradisional yang telah ada dan menggunakan
teknologi yang sederhana. Kedua, muncul
perusahaan-perusahaan besar yang dikenal
dengan istilah konglomerat. Kelompok ini
Kosentrasi ekonomi oleh kelompok
tertentu di Indonesia sudah berlangsung
sejak Belanda berkuasa di Indonesia. Selama
masa kolonial, Belanda menghambat
berkembangnya pengusaha pribumi dan
lebih memilih untuk memodernisasi praktek
usaha orang Tionghoa. Kelompok ini
menjalankan
bisnisnya
berdasarkan
82
2009
Asmalidar
beroperasi dengan menikmati proteksi
pemerintah dari pesaing luar negeri dan juga
memperoleh fasilitas pemerintah serta
peraturan yang menguntungkan yakni posisi
perusahaan sebagai monopoli dan oligopoli.
Pengusaha yang menikmati fasilitas ini
kemudian mengembangkan usahanya baik
secara vertikal maupun secara horizontal dan
melakukan praktek-praktek kartel dengan
penentuan harga dan wilayah pemasaran.
konglomerat. Para konglomerat mempunyai
koneksi yang sangat kuat dengan pengambil
kebijakan. Padahal, para konglomerat
tumbuh dan menjadi sangat besar bukan
karena kepandaiannya mengembangkan
usaha, melainkan berkat dukungan politik
dan perlakuan khusus dari pemerintah. Akan
tetapi, para konglomerat tetap dibela sebagai
sumber daya nasional yang dapat
dipergunakan demi kepentingan nasional
(Warta Ekonomi, 1989). Para konglomerat
di Indonesia tidak hanya mendapat fasilitas
berupa proteksi, kemudahan berusahaa dan
insentif pajak (tax incentive), tetapi juga
memperoleh pinjaman dari bank-bank milik
pemerintah. Ketimbang perusahaan kecil,
konglomerat menikmati akses ke dana-dana
yang lebih mudah. Pada tahun 1994, empat
perlima jumlah kredit bank, yang sebagian
besar berasal dari bank negara diberikan
kepada konglomerat (Swasembada, 1995).
Banyak dari pinjaman itu dimaksudkan
untuk mendanai mega proyek, seperti
memperbaiki prasarana negara, ekspansi
usaha dari hulu ke hilir dan industri bahan
baku seperti petrokimia.
Berbagai argumen pro dan kontra
muncul saat itu. Kelompok yang prokonglomerat berargumen bahwa struktur dan
kepemilikan jenis usaha tersebut telah tepat
karena
konglomerat
yang
besar
memungkinkan
untuk
memusatkan
konsentrasinya dan memiliki inovasi dan
mampu mengembangkan usaha-usaha lain
melalui program kemitraan. Contoh sukses
negara yang pertumbuhan ekonominya
tinggi karena konglomerasi ialah Korea
Selatan dan Jepang yang dikenal dengan
nama chaebol dan keiretsu. Sementara itu,
kelompok yang mengecam konglomerat
menyatakan
bahwa
konglomerat
di
Indonesia sama sekali tidak mendorong
kewirausahaan bahkan menghambatnya
melalui dominasi industri, monopoli pasar
dan penggunaan koneksi politik untuk
mencegah atau mengalahkan saingan.
Konglomerat hanya menempatkan anggota
keluarganya
yang
tidak
memiliki
keterampilan untuk menduduki jabatan
tertinggi sehingga mencegah orang-orang
terampil dan profesional untuk memperoleh
pengalaman yang dibutuhkan guna menjadi
pengusaha yang berhasil dalam konglomerat
itu (Habir, 2001).
Kebijakan pembangunan pemerintah
Orde
Baru
yang
mengutamakan
pertumbuhan ekonomi dengan membangun
korporasi raksasa dan konglomerat ini,
selanjutnya memberikan pengaruh negatif
dalam berbagai aspek kehidupan. Susanto
(1999) menemukan bahwa konglomerat
jelas-jelas telah merugikan pelaku-pelaku
ekonomi lainnya, seperti:
1. terhadap konsumen melalui penentuan
struktur harga;
2. terhadap buruh melalui kebijakan
terhadap pengurangan hak-hak pekerja
seperti di bidang pengupahan, kesehatan
dan keselamatan kerja dan PHK;
3. terhadap
lingkungan
melalui
penguasaan, penggunaan, pengurasan
dan perusakan sumber daya alam serta
pencemaran lingkungan;
4. terhadap sesama pelaku ekonomi
melalui
tidak
berkembangnya
persaingan secara sehat;
5. terhadap pengambil kebijakan melalui
pengaruh dalam menentukan kebijakankebijakan publik yang cenderung
berpihak kepada konglomerat ketimbang
kepada publik sehingga menghasilkan
Berkembangnya
konglomeratkonglomerat di Indonesia mendapat kritikan
dari pengusaha kecil dan menengah, media
massa dan akademisi. Debat mengenai
perlunya undang-undang anti monopoli telah
muncul di tahun 1980-an. Kelompok
penentang
praktek
konglomerasi
menganggap bahwa ada perlakukan yang
kurang adil dari pemerintah terhadap
kelompok tersebut, sehingga perlu segera
dibentuk undang-undang pembatasan tingkat
konsentrasi (antitrust law). Namun pada saat
itu,
pembuatan
undang-undang
anti
monopoli menjadi tidak mungkin untuk
direalisasikan
karena
perekonomian
Indonesia sangat dikendalikan oleh para
83
78 - 89
kebijakan-kebijakan
masyarakat.
Jurnal Keuangan dan Bisnis
yang
merugikan
November
rangkap direksi atau komisaris untuk
perusahaan yang sejenis (pasal 26);
pembatasan pemilikan saham (pasal 27);
penggabungan,
peleburan
dan
pengambilalihan usaha yang mengakibatkan
praktek monopoli atau persaingan tidak
sehat (pasal 28 – 29).
Dari 25 konglomerat yang besar di
Indonesia pada tahun 1996, ternyata hanya 4
(empat) bidang saja yang dijalankan yakni
real estate (tanah, bangunan dan konstruksi),
keuangan,
industri
manufaktur
dan
perkebunan/perkayuan. Bidang real estate
dan keuangan merupakan bidang yang
memicu terjadinya krisis moneter di
Indonesia. Pinjaman yang berlebihan dan
pengelolaan utang yang salah menyebabkan
nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang
sangat besar pada tahun tersebut. Dampak
lanjutan dari krisis moneter ini adalah
kehancuran para konglomerat Indonesia.
Selanjutnya, dalam undang-undang ini
juga tercantum beberapa perjanjian yang
dilarang yakni oligopoli (pasal 4); penetapan
harga (pasal 5 - 8); pembagian wilayah
(pasal 9); pemboikotan (pasal 10); kartel
(pasal 11); trust (pasal 12); oligopsoni (pasal
13); integrasi vertikal (pasal 14); perjanjian
tertutup (pasal 15); dan perjanjian luar
negeri yang menimbulkan praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal
16).
Berdasarkan kondisi tersebut disadari
perlu dilakukan pembubaran segala praktek
konglomerasi dan pemberian hak-hak
khusus kepada sejumlah pengusaha dan
praktek-praktek monopoli dan oligopoli
yang menghambat persaingan usaha. Negara
perlu menjamin keutuhan proses persaingan
usaha dan intervensi pelaku usaha dengan
menyusun undang-undang yang melarang
pelaku usaha untuk menghambat persaingan
usaha. Hal ini dikarenakan persaingan usaha
dan kebebasan dalam berusaha akan
mendorong muncul dan berkembangnya
kegiatan usaha, efisiensi kegiatan usaha,
produktivitas usaha serta peningkatan
kuantitas dan kualitas barang dengan harga
yang lebih rendah. Dengan demikian,
sumber daya dapat dialokasikan secara
efisien dan efektif dan pada akhirnya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi dan berkualitas.
Dalam undang-undang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
tercakup dua hal pokok yakni pengaturan
aktivitas
ekonomi
yang
mendorong
pelaksanaan persaingan usaha yang sehat
dan sanksi baik administrasi maupun denda
bagi aktivitas yang melanggarnya. Bagi
usaha yang melanggar dapat dikenakan
sanksi administrasi untuk menghentikan
praktek persaingan tidak sehat atau denda
yang berkisar antara Rp1 miliar hingga Rp 5
miliar. Bagi praktek ekonomi yang
berkenaan dengan pidana pokok dikenakan
denda bervariasi dari Rp 1 miliar hingga
Rp100 miliar.
Penyempurnaan
undang-undang
persaingan usaha merupakan kebijakan yang
tepat untuk membuat persaingan usaha
menjadi lebih adil dan tepat sasaran. Dalam
implementasi undang-undang persaingan
usaha ini, beberapa pasal yang perlu
dievaluasi, antara lain:
1. Undang-undang ini mengatur larangan
monopoli dan oligopoli. Pelaku suatu
usaha patut diduga melakukan praktek
monopoli bila telah menguasai lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu atau praktek oligopoli bila
lebih dari 75% (tujuh puluh lima
persen)
pangsa
pasar.
Dalam
prakteknya akan terjadi kesulitan untuk
menentukan apakah sebuah usaha dapat
menjadi perusahaan monopoli akibat
menang
secara
alamiah
dalam
persaingan atau tidak. Perusahaan yang
EVALUASI ATAS IMPLEMENTASI
UNDANG-UNDANG
PERSAINGAN
USAHA DI INDONESIA
Undang-undang
persaingan
usaha
meliputi berbagai larangan aktivitas
ekonomi seperti menjalankan monopoli
(pasal 17); atau monopsoni (pasal 18);
penguasaan pasar yang berupa tindakan
praktek monopoli dan atau persaingan tidak
sehat (pasal 19 – 21); persengkokolan usaha
(pasal 22 – 24); penggunaan posisi dominan
untuk menghalangi masuknya pesaing
potensial (pasal 25); larangan jabatan
84
2009
Asmalidar
menang dalam persaingan secara
alamiah, perusahaan perlu mencapai
kondisi economic of scale sehingga
mampu menekan biaya dengan sangat
rendah Untuk mencapai kondisi ini,
suatu
usaha
terkadang
perlu
menggunakan biaya yang sangat besar
(misalnya menggunakan teknologi
yang tinggi). Di samping itu, untuk
mempertahankan
posisinya
tetap
unggul dalam persaingan, perusahaan
tersebut
melakukan
upaya-upaya
pemasaran (seperti iklan, bonus, dan
lain-lain) sehingga
tetap dominan.
Dengan demikian perusahaan ini akan
sulit untuk disaingi oleh perusahaan
lain dan menjadi tetap dominan
menguasai pasar. Selanjutnya, dalam
persaingan usaha, mungkin saja terjadi
suatu usaha dominan akibat preferensi
masyarakat terhadap barang yang
diproduksinya, karena barang yang
dihasilkan murah dan sesuai dengan
keinginan masyarakat. Untuk itu perlu
dicantumkan dalam undang-undang
perlu dilakukan kajian khusus sebelum
memutuskan
sebuah
perusahaan
tersebut monopoli karena alamiah atau
karena mendapat perlakuan khusus dari
pemerintah. Bagi perusahaan yang
menjadi perusahaan monopoli secara
alamiah
tidak
perlu
mendapat
hukuman, karena tidak terbukti
membuat kesejahteraan konsumen
berkurang.
Dawar (2007) melihat bahwa masih
banyak dijumpai formulasi undangundang yang tidak jelas antara tujuan
yang
ingin
dicapai
dengan
peraturannya. Sebagai contoh ada
perbedaan
antara
pelaksanaan
persaingan sehat dengan bentuk dari
struktur pasar. Dalam hukum, sebuah
perusahaan yang menjadi dominan
harus memiliki patokan (benchmark)
atau besaran tertentu (seperti di
Indonesia monopoli bila mencapai
pangsa pasar 50%). Sebuah perusahaan
dapat saja memiliki pangsa pasar yang
sangat besar, walaupun tidak ada dibuat
hambatan (larangan) agar perusahaan
lain dapat masuk ke pasar. Perusahaan
tersebut menjadi besar atau monopoli
karena menggunakan teknologi yang
tinggi dan memberikan sumbangan
yang besar bagi masyarakat dan negara
melalui lapangan pekerjaan dan pajak.
Selain itu, terdapat perbedaan dalam
model penentuan posisi dominan yang
dibuat oleh lembaga-lembaga dunia
seperti World Bank – OECD dan
UNCTAD. WB-OECD mempunyai
pendekatan
dimensi
kuantitatif
sedangkan UNCTAD lebih kepada
pendekatan dimensi kualitatif (Lee,
2007). Dalam menentukan posisi
dominan,
WB-OECD
membuat
benchmark secara kuantitatif dari posisi
dominan (Tabel 2). Sementara itu,
UNCTAD
mendefinisikan
posisi
dominan sebagai sebuah situasi dimana
sebuah perusahaan baik merupakan
tindakannya maupun tindakan bersamasama dengan perusahaan lainnya,
berada dalam posisi mengontrol pasar
yang relevan untuk barang atau jasa
tertentu
(UNCTAD,
2003).
Tabel 2.
Benchmark Posisi Dominan Secara Kuantitatif
Kelompok Negara
Negara Sedang Berkembang dan Transisi
Asia Timur
Eropa Timur dan Asia Tengah
Afrika
Negara Maju
Amerika Serikat
Uni Eropa
Pangsa Pasar dari Perusahaan
50 – 75%
30 – 40%
20 – 45%
 33%
40 – 50%
Sumber: Lee (2007)
85
78 - 89
Jurnal Keuangan dan Bisnis
Melarang sebuah perusahaan yang
menang dalam persaingan dan menjadi
perusahaan dominan akan sulit untuk
dilakukan. Karena malah dapat
membuat
masyarakat
menjadi
berkurang
kebebasannya
dalam
berkonsumsi. Oleh karena itu, daripada
memberantas perusahaan monopoli,
lebih baik membuat reformasi ekonomi
dengan cara yang sederhana yaitu
menghilangkan hambatan untuk masuk
ke pasar dan membuat barang-barang
substitusi baik melalui memberikan
kesempatan kompetitor masuk ke pasar
atau inovasi teknologi yang mengubah
produk dari pasar tersebut. Contohnya
dahulu
industri
telekomonukasi
dimonopoli oleh pemerintah. Namun
berkembangnya
teknologi
telekomunikasi, seperti telepon seluler,
membuat monopoli telekonomunikasi
tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah.
November
intelektual, berarti negara mendukung
munculnya inovasi-inovasi kreatif yang
dapat memberikan peningkatan utility
(kepuasan) masyarakat. Akan tetapi,
untuk perjanjian yang berkaitan dengan
waralaba (franchise) masih perlu
dipertimbangkan. Undang-undang ini
tidak menjelaskan secara detail
mengenai perjanjian seperti apa yang
dapat dikecualikan dalam persaingan
usaha. Bukanlah hal yang mustahil, bila
perjanjian waralaba yang dibuat akan
dapat menimbulkan persaingan menjadi
tidak sehat. Usaha waralaba merupakan
salah satu strategi yang digunakan
pengusaha untuk menekan biaya dan
standarisasi mutu, sehingga dapat saja
akan mematikan persaingan usaha
sejenis yang masih bersifat tradisional,
yang mana masih banyak terdapat di
Indonesia.
4. Dalam pasal 50h tercantum bahwa
usaha kecil dikecualikan dalam
undang-undang persaingan. Hal ini
dikarenakan
usaha
kecil
tidak
mempunyai pengaruh terhadap struktur
pasar
dan
tidak
mempunyai
kemampuan untuk memegang kendali
kekuasaan dalam rangka kegiatan
pasar. Pengecualian ini dapat saja
memiliki dampak yang tidak sehat bagi
persaingan. Ketika beberapa usaha
kecil bergabung membentuk kartel di
suatu wilayah, sehingga kekuatan
mereka menjadi cukup dominan di
pasar, maka dapat memberikan dampak
kepada persaingan yang tidak sehat
bagi usaha kecil lainnya. Untuk itu,
perlu penjelasan lebih lanjut tentang
pasal 50h ini, agar penafsiran dari
pengecualian bagi usaha kecil menjadi
lebih jelas dan seragam.
2. Tujuan dari pembentukan undangundang ini seperti yang tercantum pada
pasal 3 yaitu meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya
untuk
meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang
sehat. Tujuan undang-undang ini sangat
kompleks dan akan sulit untuk
mencapainya. Secara umum, ada dua
yang ingin dicapai melalui undangundang ini yaitu (1) persaingan usaha
yang sehat dan (2) peningkatan
efisiensi ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Padahal, dua institusi yang
mendesain persaingan usaha hanya
mempunyai satu tujuan. Pendekatan
undang-undang
persaingan
yang
didisain WB-OECD bertujuan untuk
mencapai efisiensi ekonomi dan
kesejahteraan konsumen. Sementara
UNCTAD
mempunyai
tujuan
terciptanya persaingan usaha yang lebih
sehat (Lee, 2007).
Di samping itu, dalam pelaksanaan
persaingan usaha di Indonesia, sebagian dari
implementasinya telah berjalan baik, namun
masih perlu beberapa perbaikan. Beberapa
implementasi yang masih perlu diperbaiki
antara lain: pertama, berkaitan dengan
persekongkolan tender. Persekongkolan
tender telah diatur dalam Undang-undang
No. 5 Tahun 1999 pasal 22-24. Namun
dalam undang-undang tersebut perlu dibuat
aturan tambahan tentang pengurangan
3. Dalam pasal 50 undang-undang no. 5
tahun 1999 dijelaskan pengecualian
atas ketentuan undang-undang. Khusus
untuk pasal 50b, adalah hal yang
rasional bila kekayaan intelektual
dikecualikan dalam undang-undang ini.
Dengan
perlindungan
kekayaan
86
2009
Asmalidar
kesempatan bagi panitia tender dalam
berhubungan dengan para peserta tender. Di
samping itu, banyak dijumpai persyaratanpersyaratan yang menuju kepada kartel,
yakni dengan persyaratan tertentu sehingga
hanya beberapa peserta tender saja yang
dapat
berpartisipasi
dalam
proses
pelelangan. Misal dalam persyaratan
mengikuti tender harus menjadi keanggotaan
asosiasi tertentu, klasifikasi perusahaan
tertentu dan lain-lain.
tabungannya yang semakin kecil. Selain
biaya administrasi yang cukup tinggi (lebih
besar dibandingkan bunga tabungan),
nasabah yang memiliki tabungan lebih
rendah dari batas minimum tabungan akan
dikenakan denda (biaya tambahan). Dengan
demikian praktek ini jelas bertentangan
dengan undang-undang persaingan yang
bertujuan meningkatkan efisiensi dan
kesejahteraan masyarakat.
Keempat, dalam pasal 9 undang-undang
no 5 tahun 1999 tentang pembagian wilayah,
dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran. Salah satu jasa profesi
yang beroperasi menurut wilayahnya ialah
notaris dan pejabat pembuat akte tanah
(PPAT). Penelitian yang dilakukan Kovacic
(2007) menemukan bahwa pembatasan
wilayah operasional usaha profesi dapat
menimbulkan kecenderungan harga yang
tinggi dan keterbatasan layanan. Pembagian
wilayah kerja para notaris ditentukan oleh
negara berdasarkan undang-undang no. 30
tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Memang dalam pasal 50a, jasa profesi
notaris dapat dikecualikan karena bertujuan
melaksanakan perundang-undangan yang
berlaku. Namun, perlu dipertimbangkan
bahwa pembagian wilayah kerja jasa profesi
seperti notaris ini dapat menyebabkan
munculnya kesepakatan (perjanjian) antar
sesama jasa profesi sehingga menyebabkan
harga menjadi tinggi. Selain itu, akan terjadi
serta persaingan yang tidak sehat antar
sesame notaris dimana mereka akan
berupaya
melobi
pemerintah
agar
ditempatkan di kota-kota besar.
Dalam pengimplementasian undangundang persaingan akan dijumpai berbagai
tantangan. Joekes dan Evan (2008)
menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan undang-undang persaingan
antara lain kepastian dan dukungan politik
serta dukungan masyarakat, penegakan
hukum dengan keterbatasan sumber daya,
dan masalah-masalah yang berkaitan dengan
batas negara seperti masalah kartel
internasional. Keterbatasan sumber daya
merupakan
kendala
terbesar
dalam
mensukseskan pelaksanaan undang-undang
persaingan. Kebutuhan sumber daya tidak
hanya dari sisi finansial, tetapi juga dari
Kedua, di sektor penerbangan masih
dijumpai beberapa hal yang
masih
berpotensi terjadi pelanggaran terhadap
undang-undang persaingan usaha. Tarif
pesawat
yang beroperasi di Indonesia
berpatok kepada harga yang ditetapkan oleh
INACA (Asosiasi Perusahaan Penerbangan
Nasional Indonesia). Padahal dalam pasal 11
UU no. 5 tahun 1999 tentang kartel dilarang.
Dalam
implementasinya,
perusahaan
penerbangan dapat menetapkan harga tiket
yang berbeda-beda pada satu jadwal
penerbangan. Hal ini tentunya berpotensi
untuk melanggar ketentuan pada pasal 6 UU
no. 5 tahun 1999, dimana pelaku usaha
dilarang
membuat
perjanjian
yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
untuk barang dan jasa yang sama.
Ketiga, di sektor perbankan, walaupun
akses kepada bank sudah diperoleh oleh
usaha mikro dan kecil (UKM) melalui
berbagai program seperti kredit usaha
rakyat, kredit usaha kecil dan lain-lain,
namun perbedaan pelayanan dan biaya
masih dilakukan. KPPU (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha) perlu membuat peraturan
yang bertujuan menghilangkan perbedaan
biaya dan pelayanan oleh perbankan.
Sebagai contoh, di perbankan masih
dijumpai perbedaan bunga pinjaman dan
bunga deposito untuk nasabah-nasabah yang
berbeda. Umumnya untuk nasabah yang
memiliki deposito besar akan mendapatkan
bunga lebih tinggi dibandingkan nasabah
kecil. Sebaliknya untuk kredit, nasabah kecil
akan dikenakan bunga yang lebih besar
dibandingkan nasabah besar. Di samping itu,
di perbankan juga ditemukan pengurangan
kesejahteraan nasabah kecil. Bagi nasabah
yang memiliki tabungan kecil, secara
perlahan-lahan akan mendapati nilai
87
78 - 89
Jurnal Keuangan dan Bisnis
kapasitas kelembagaannya, terutama sumber
daya manusia yang memiliki keahlian, dan
kapasitas masyarakat yang terlibat dalam
pelaksanaan undang-undang ini. Selain itu,
negara juga memerlukan hakim dan
pengacara yang benar-benar mengerti
tentang kompetisi, serta tenaga kerja
pendukung pada institusi persaingan usaha
yang berkompeten dalam mengidentifikasi
perilaku-perilaku yang pengusaha yang anti
dengan persaingan usaha. Di bagian luar dari
kelembagaan persaingan, negara juga
memerlukan jurnalis, kelompok konsumen,
dan lembaga swadaya masyarakat yang
mengerti akan undang-undang persaingan
usaha dan berperan sebagai pengawas
pelaksanaan persaingan usaha yang sehat.
November
Dalam pengimplementasian undangundang persaingan akan dijumpai berbagai
tantanganseperti kepastian dan dukungan
politik
serta
dukungan
masyarakat,
penegakan hukum dengan keterbatasan
sumber daya, dan masalah-masalah yang
berkaitan
dengan
batas
negara.
Keterbatasan sumber daya merupakan
kendala terbesar dalam mensukseskan
pelaksanaan undang-undang persaingan.
Oleh karena itu dibutuhkan dukungan selain
sisi
finansial, juga
dari
kapasitas
kelembagaannya seperti sumber daya
manusia yang memiliki keahlian (hakim,
jaksa,
tenaga
pendukung
institusi
persaingan), dan kapasitas masyarakat yang
terlibat dalam pelaksanaan undang-undang
ini (jurnalis, kelompok konsumen dan
LSM).
KESIMPULAN
Pembentukan
dan
penyempurnaan
undang-undang tentang persaingan usaha
yang sehat dan larangan praktek monopoli
memang perlu dilakukan. Hal ini sebagai
konsekuensi dari kegagalan kebijakan
pembangunan masa lalu yang menyebabkan
munculnya
korporasi-korporasi
besar
sehingga muncul praktek-praktek persaingan
yang tidak sehat. Dengan demikian efisiensi,
efektivitas dan kesejahteraan masyarakat
tidak mencapai keadaan yang optimal. Di
samping itu, berkembangnya privatisasi,
perdagangan internasional dan investasi
serta disepakatinya perjanjian bilateral dan
multilateral membawa terwujudnya integrasi
ekonomi sehingga setiap negara yang
terlibat dalam perjanjian harus menjalankan
perdagangan internasional secara adil
dengan menghilangkan berbagai macam
hambatan.
DAFTAR PUSTAKA
Cook, P. (2004). Competition Policy, Market
Power and Collusion in Developing
Countries,
dalam P. Cook, C.
Kirkpatrick, M. Minogue and D. Parker
(eds), Leading Issues in Competition,
Regulation
and
Development,
Cheltenham, UK and Northampton,
MA, Edward Elgar, USA.
Darby, Michael R. dan Zucker, Lynne G.
(2006).
Inovation,
Competition,
Welfare-Enhancing Monopoli, NBER
Working Paper Series.
Dawar, Kamala (2007). Establishing
Consumers as Equivalent Players in
Competition Policy dalam Paul Cook,
Raul Fabella dan Casset Lee,
Competitive Advantage and Competition
Policy in Developing Countries, Edward
Elgar, USA.
Dalam pengimplementasian undangundang no. 5 tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat, masih dijumpai beberapa
permasalahan dan perlu untuk perbaikan
seperti perdebatan dominasi pasar dengan
economic of scale, beberapa pengucualian
dalam pasal 50 UU no. 5 tahun 1999. Di
samping itu, terdapat pula beberapa praktek
usaha yang dapat merugikan masyarakat dan
melanggar undang-undang persaingan usaha
seperti persyaratan tender, jasa penerbangan,
praktek perbankan dan jasa profesi.
Evenett, S. (2002). How Much Have Merger
Review Laws Reduced Cross-border
Mergers and Acquisitions. Mimeo,
February, Bern: World Trade Institute.
Geroski, Paul (2006). Essay in Competition,
UK : Competition Commision.
Habir, Ahmad D. (2001). Konglomerat :
Antara Pasar dan Keluarga dalam
88
2009
Asmalidar
Donald
K.
Emmerson
(Editor),
Indonesia Beyond Soeharto: Negara,
Ekonomi, Masyarakat, Transisi, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
and Unfair Business Competition,
Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Iwantono, Sutrisno (2003). Economic Crisis
and Cartel Development in Indonesia,
Presented at 5th International Cartels
Workshop, 1 – 3 October 2003,
Belgium, Brussel,
Swasembada. (1995). Mari Mengaudit
Konglomerat Kita, Volume 10 Edisi 12
Maret 1995 halaman 14.
Susanto, I.S. (1999). Pidato
Guru Besar Madya dalam
pada Fakultas Hukum
Diponegoro, Semarang:
Diponegoro.
Joekes, Susan dan Phil Evans. (2008).
Competition and Development: The
Power of Competitive Market, Canada:
International Development Research
Center.
Pengukuhan
Ilmu Hukum
Universitas
Universitas
Tybout, J. (1992). Linking Trade and
Productivity : New Research Directions,
World Bank Economic Review, 6 (2),
189–212.
Kovacic, Wiliam E. (2007). Competition
Policy, Consumer Protection, and
Economic Disadvantage, Journal of Law
and Policy Vol. 25 (101), 101-118.
UNCTAD. (2003). Model Law on
Competition, Geneva: United Nations.
Lee, Cassey. (2007). Model Competition
Laws, dalam Paul Cook, Raul Fabella
dan Casset Lee, Competitive Advantage
and Competition Policy in Developing
Countries, Edward Elgar, USA.
Warta Ekonomi (1989). 40 Konglomerat
Indonesia, Volume 5 Edisi No. 5 tanggal
31 Juli 1989.
Yao, Shuntian dan Gan, Lydia L. (2006).
The Welfare Effects of Monopoli
Innovation, Economic Growth Center
Working Paper Series, Nanyang
Technological University.
Mankiw, Gregory. (2002). Principles of
Microeconomics, 3rd Edition, Ohio:
Thomson South-Western.
Säcker, Franz Jurgen, Wolfgang Kartte,
Wolfgang
Pfletschinger,
Hans-W.
Micklitz, Peter W. Heermann dan
Herbert Sauter (2000). Law Concerning
Prohibition of Monopolistic Practices
________________, 2008. Undang-undang
Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, Jakarta: KPPU.
89
Download