Jurnal Keuangan dan Bisnis Vol. 1 No. 1, November 2009 EVALUASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Asmalidar Dosen Politeknik Negeri Medan ABSTRACT In new era, the conglomeration business would make Indonesian economic growth was high. That conglomerations coped the Indonesian economy and their developing was applied by any facilities such as protection, monopoly right, and deducting of taxes that supported by Indonesia Government. Even though, cause of the selfish that they owned, they borrowed a lot of money from the foreign and the world monetary crisis in 1998 made their business underwent destruction. These industries got the helping from Indonesia Government through Indonesian obligation paper. Therefore, the monetary crisis become the starting point to create the regulation of business competation. IMF had entered the program of compilation of business competation law in letter of intent. Then, in year 1999, by the regulation No. 5 year 1999 cited that prohibition on the monopoly practice. The consequency of this rule, the unfear competition in business, can be deducted little by little for to achieve efficiency, effectiveness, and the public welfare. Keywords: business competition, conglomeration, monopoly keinginan ini dilatarbelakangi berbagai faktor. Minat untuk memperbaiki kebijakan persaingan usaha dan antimonopoli merupakan hasil dari kegagalan reformasi ekonomi di tahun 1980-an. Di Indonesia misalnya, kebijakan pembangunan substitusi impor yang diimplementasi dengan melindungi industri bayi (infant industry) terbukti menimbulkan perusahaan-perusahaan korporat yang menyebabkan inefisiensi dan pendegradasian hak-hak konsumen. Sedangkan Tybout (1992) menjelaskan bahwa perdagangan bebas yang telah disepakati oleh banyak negara di dunia, tidak akan mencapai tujuan efisiensi dan persaingan secara adil (fair) apabila tidak diberlakukannya undang-undang yang menjamin persaingan usaha secara sehat. Selanjutnya Evenett (2002) berpendapat perlunya penyempurnaan undang-undang persaingan usaha sebagai konsekuensi atas munculnya praktek-praktek merger perusahaan- perusahaan besar. PENDAHULUAN Dalam dua dekade terakhir, kebijakan tentang persaingan usaha telah menjadi salah satu isu utama di negara sedang berkembang. Sejumlah negara telah mempersiapkan undang-undang persaingan usaha untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dunia. Berkembangnya privatisasi, perdagangan internasional dan investasi serta disepakatinya perjanjian bilateral dan multilateral membawa terwujudnya integrasi ekonomi. Hampir seluruh negara terlibat dalam perjanjian tesebut sehingga harus menghilangkan berbagai macam hambatan seperti hambatan tarif maupun non-tarif. Dengan demikian, konsekuensi yang harus dijalankan oleh negara-negara tersebut ialah menjalankan kebijakan persaingan usaha dan menghilangkan praktek-prakter bisnis tidak sehat. Saat ini, di negara sedang berkembang muncul keinginan untuk memperbaharui kebijakan persaingan usaha. Hal ini terlihat dari banyaknya negara yang menyempurnakan undang-undang lamanya dengan undang-undang yang baru. Cook (2004) menggambarkankan munculnya Dengan berbagai argumen di atas, pembentukan dan penyempurnaan undangundang tentang persaingan usaha dan anti monopoli memang perlu dilakukan. Untuk 78 2009 Asmalidar itu perlu dibuat kajian tentang kebijakan yang tepat untuk diimplementasikan agar secara efektif dapat menciptakan suasana persaingan usaha yang lebih baik. PERSAINGAN EFISIENSI USAHA menyelesaikan permasalahan ini, maka penyelesaiannya adalah melalui kebijakan publik untuk kembali meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam struktur pasar, pencapaian efisiensi tercapai pada pasar persaingan sempurna (perfect competition). Efisiensi tercapai karena pada pasar ini, jumlah pembeli dan jumlah produsen sangat banyak. Dengan demikian, untuk tetap eksis dalam pasar, produsen atau penjual harus mengikut kepada harga pasar (price taker). Tidak ada campur tangan pemerintah pada pasar ini. Dalam pasar ini, efisiensi akan ditunjukkan jika Marginal Cost (MC) sama dengan Marginal Revenue (MR) dan juga harga (P). Dalam pasar persaingan sempurna, dijelaskan bahwa mekanisme pasar akan mengarahkan suatu perusahaan untuk menggunakan sumber daya yang efisien. Produsen harus menemukan metode produksi yang paling murah, dengan menggunakan sumber daya (tenaga kerja, kapital, dan input lainnya) secara efisien, jika tidak perusahaan tersebut akan tersingkir dari pasar karena mengalami kerugian. DAN Berbagai pendapat diberikan oleh ekonom tentang persaingan usaha dan efisiensi. Banyak pakar menyatakan bahwa persaingan usaha memberi dampak yang positip antara persaingan usaha dengan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, beberapa di antaranya, berpendapat sebaliknya, bahwa tidak ada yang salah dengan monopoli. Justru monopoli dapat meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. Mankiw (2002) menegaskan bahwa kondisi pasar yang efisien akan dapat tercapai apabila dua asumsi berikut dapat dipenuhi. Pertama, pasar harus bersaing secara sempurna. Namun dalam dunia nyata, persaingan masih jauh dari sempurna. Pada beberapa pasar, masih ada praktek monopoli, oligopoli dan monopsoni. Struktur pasar tersebut memiliki kemampuan untuk mengatur harga pasar. Kemampuan untuk mengatur harga disebut market power (kekuatan pasar). Produsen yang memiliki market power akan menyebabkan pasar menjadi tidak efisien, karena mereka mengontrol harga dan produksi di bawah keseimbangan. Namun pasar tidak dapat mengalokasikan sumber daya - sumber daya secara efisien jika terjadi persaingan tidak sempurna (monopoli dan oligopoly). Perusahaan monopoli berupaya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum. Keuntungan tersebut dapat diperolehnya melalui penentuan jumlah barang yang diproduksi dan harga barang. Umumnya, monopoli akan menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan pasar persaingan. Kedua, dampak kegiatan transaksi hanya terjadi pada pembeli dan penjual atau tidak ada eksternalitas. Dalam dunia nyata, dampak kegiatan transaksi di pasar juga mempengaruhi orang lain, misalnya polusi. Pembeli dan penjual tidak memperhitungkan dampak eksternal dari kegiatan mereka sehingga dapat merugikan pihak lain dan selanjutnya menyebabkan ketidakefisienan. Harga yang lebih tinggi dan jumlah barang yang diproduksi lebih sedikit dibandingkan pasar persaingan, menyebabkan kesejahteraan masyarakat menjadi berkurang. Berkurangnya kesejahteraan tersebut terlihat dari terbentuknya area deadweight loss, yakni area surplus konsumen dan produsen yang hilang. Market power dan eksternalitas merupakan penyebab ketidakefisienan pada pasar. Ketika pasar gagal untuk 79 78 - 89 Jurnal Keuangan dan Bisnis P Pm November C M C D E Pc PC = MRC B A MRm Qm Dm QC Q Gambar 1. Permintaan Pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna Gambar 1. merupakan ilustrasi untuk menunjukkan perbedaan keseimbangan antara pasar persaingan sempurna dan pasar monopoli. Pada pasar persaingan sempurna, keseimbangan akan berada pada titik E, yakni dengan jumlah barang yang diproduksi sebanyak Qc dan harga sebesar Pc. Surplus konsumen yang diterima oleh konsumen sebesar segitiga CEPc. Sedangkan surplus produsen yang diterima oleh produsen sebesar segitiga AEPc. Bila pasar barang tersebut ialah monopoli, maka jumlah barang yang diproduksi sebesar Qm dan harga sebesar Pm. Konsumen akan menikmati jumlah barang yang lebih sedikit dan membayar dengan harga yang lebih mahal dibandingkan di pasar persaingan. Selanjutnya, total surplus yang diterima baik produsen dan konsumen menjadi berkurang. Pada pasar monopoli, surplus konsumen menjadi segitiga CDPm, sedangkan surplus produsennya menjadi segiempat ABDPm. Jika dibandingkan dengan pasar persaingan sempurna, maka ada wilayah yang tidak dimiliki oleh siapapun baik konsumen maupun produsen yaitu segitiga BDE. Daerah ini disebut dengan dead weight loss. Dengan demikian, bila sebuah barang diproduksi pada pasar monopoli, maka dapat menyebabkan harga barang semakin tinggi, jumlah barang yang diproduksi berkurang dan kesejahteraan yang dicerminkan dari total surplus menjadi berkurang. Persaingan yang sehat merupakan hal yang baik bagi konsumen. Perusahaanperusahaan akan saling bersaing untuk membujuk para konsumen agar membeli produk/jasa yang dihasilkan. Dengan demikian kesejahteraan konsumen akan naik melalui pilihan yang semakin banyak dan harga barang yang bersaing. Dawar (2007) menjelaskan bahwa dalam pasar persaingan, permintaan dan penawaran akan menghasilkan harga dan jumlah barang keseimbangan, sementara pada pasar bukan persaingan (monopoli dan oligopoli) keseimbangan harga dan jumlah barang lebih disebabkan oleh kesepakatan (kolusi) antar perusahaan tersebut. Hal senada tentang manfaat dari persaingan juga disampaikan oleh Geroski (2006). Menurutnya, konsekuensi dari persaingan adalah harga akan ditawar semakin turun sampai pada tingkat biaya yang efisien, dengan produk yang ditawarkan sangat beragam yang sesuai dengan keberagaman kebutuhan dan selera konsumen. Dengan demikian, produsen akan semakin inovatif untuk memenangkan persaingan. Namun dalam beberapa kajian dijumpai bahwa tidak semestinya perusahaan monopoli itu tidak memberikan kesejahteraan konsumen (consumer welfare) yang lebih besar. Darby dan Zucker (2006) mengatakan bahwa inovasi dan teknologi akan dapat meningkatkan kesejahteraan 80 2009 Asmalidar konsumen, karena perusahaan tersebut dapat menekan biaya dan menjual produknya dengan harga yang lebih murah. P MCc Pc Pm E D PC = MRC MCm MRm QC Q D Q m Gambar 2. Dampak Inovasi Monopoli terhadap Kesejahteraan Masyarakat m Pendapatan senada juga dikemukakan oleh Yao dan Gan (2006). Dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum (general equilibrium), mereka menemukan bahwa inovasi yang dibuat oleh perusahaan monopoli justru membuat kesejahteraan sosial menjadi semakin meningkat. Gambar 2. bahwa perusahaan monopoli yang memiliki inovasi dan menggunakan teknologi yang tinggi akan dapat menekan biaya menjadi MCm. Dalam keadaan keseimbangan, maka jumlah barang yang diproduksi oleh perusahaan monopoli tersebut lebih banyak dan harga juga lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan persaingan. Dengan demikian kesejahteraan konsumen juga semakin meningkat. LATAR BELAKANG PERLUNYA UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Jumlah negara yang melaksanakan undang-undang persaingan usaha meningkat secara signifikan selama dua dekade terakhir. Dalam mendesain undang-undang tersebut, negara-negara ini dipengaruhi oleh undang-undang persaingan usaha yang telah berjalan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Korea Selatan. Tabel 1. Negara yang Mempengaruhi Pembuatan Undang-Undang Persaingan Usaha Negara Jepang (1947) Australia (1974) Korea Selatan (1980) Taiwan (1992) Thailand (1999) Indonesia (1999) Sumber : Lee (2007) Negara yang Menjadi Rujukan USA (1890) USA (1890) Jepang (1947), Jerman (1957) Jepang (1947), Jerman (1957) Korea Selatan (1980) USA (1890), Jepang (1947), Jerman (1957), Uni Eropa 81 78 - 89 Jurnal Keuangan dan Bisnis Lembaga internasional seperti OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), Bank Dunia, UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) berperan besar dalam membantu negara-negara sedang berkembang untuk membuat undang-undang persaingan usaha. Thailand dan Indonesia membentuk undang-undang ini sebagai pelaksanaan komitmennya untuk membuat program perubahan struktural ekonominya setelah dilanda krisis tahun 1997/1998 (Lee, 2007). Penyusunan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diawali dari perjanjian yang dilakukan International Monetary Fund (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, sebagai syarat agar bantuan IMF dapat diberikan kepada Indonesia yaitu melaksanakan reformasi sistem ekonomi dan hukum ekonomi, yakni dengan membuat Undang-undang Antimonopoli. November hubungan keluarga dan pendekatan pribadi. Pihak lain tidak diberi kesempatan atau mengalami hambatan untuk terlibat dalam kegiatan bisnis. Setelah memperoleh kemerdekaan, pemimpin Indonesia bertekad untuk menggerakkan perekonomian yang disponsori oleh negara. Perusahaan Belanda dinasionalisasi dan giliran orang Indonesia pribumi yang diuntungkan, yakni mendapat akses dari fasilitas pemerintah, termasuk kredit murah (Habir, 2001). Pemberian preferensi kepada sekelompok pengusaha tertentu terus berlangsung pada masa pemerintahan Orde Baru. Regulasi yang berlaku di Indonesia pada masa itu, tidak menghambat terjadinya penguasaan usaha secara vertikal. Misalnya terdapat grup bisnis tunggal yang mengurus kayu dari penebangan, perusahaan lainnya untuk pemrosesan dan perusahaan lainnnya untuk pemasaran produk kayu. Regulasi yang ada saat itu mendorong pembentukan banyak perusahaan yang terkait dalam grup-grup besar atau konglomerat. Bahkan pada tahun 1996, lebih dari 2.000 perusahaan yang berbeda-beda hanya dikuasi oleh 25 konglomerat terbesar (Habir, 2001). Selain paksaan IMF untuk membuat UU Antimonopoli tersebut, sebenarnya wacana untuk membuat undang-undang ini telah dibahas dan didiskusikan secara intensif sejak tahun 1989 (Säcker, 2000). Hal ini dilatarbelakangi oleh munculnya konglomerat pelaku usaha yang dijalankan oleh keluarga atau pihak tertentu yang menyebabkan persaingan tidak sehat dan pengurangan kesempatan berkembang bagi usaha kecil dan menengah. Para konglomerat tersebut menikmati perlindungan atas usahanya melalui undangundang dan serangkaian praktek kartel pada semen, kayu, kertas, gula, beras, dan lainlain. Praktek konglomerasi ini terbukti tidak berhasil menyelamatkan perekonomian Indonesia ketika krisis ekonomi tahun 1997/1998, dimana sebagian besar usaha para konglomerat Indonesia mengalami kebangkrutan. Berkembangnya konglomerasi di Indonesia awalnya disebabkan kebijakan pembangunan yang dikenal dengan substitusi impor. Tujuan dari kebijakan ini ialah untuk melindungi industri dalam negeri dari pesaing luar negeri. Kebijakan ini meliputi pengenaan tarif yang tinggi untuk barang-barang impor yang strategis, terutama yang dapat menimbulkan persaingan dengan barang di dalam negeri. Kebijakan ini juga dikenal dengan istilah melindungi industri baru (infant industry) di dalam negeri. Berbagai fasilitas diterima oleh pengusaha lokal seperti insentif pajak, dukungan keuangan, infrastruktur dan lainlain. Iwantono (2003) mengatakan bahwa ada dua dampak dari kebijakan substitusi impor yang dikeluarkan pemerintah. Pertama, di Indonesia muncul dua tipe industri (dualism) yakni industri dengan teknologi modern (yang muncul akibat proteksi) dan industri tradisional yang telah ada dan menggunakan teknologi yang sederhana. Kedua, muncul perusahaan-perusahaan besar yang dikenal dengan istilah konglomerat. Kelompok ini Kosentrasi ekonomi oleh kelompok tertentu di Indonesia sudah berlangsung sejak Belanda berkuasa di Indonesia. Selama masa kolonial, Belanda menghambat berkembangnya pengusaha pribumi dan lebih memilih untuk memodernisasi praktek usaha orang Tionghoa. Kelompok ini menjalankan bisnisnya berdasarkan 82 2009 Asmalidar beroperasi dengan menikmati proteksi pemerintah dari pesaing luar negeri dan juga memperoleh fasilitas pemerintah serta peraturan yang menguntungkan yakni posisi perusahaan sebagai monopoli dan oligopoli. Pengusaha yang menikmati fasilitas ini kemudian mengembangkan usahanya baik secara vertikal maupun secara horizontal dan melakukan praktek-praktek kartel dengan penentuan harga dan wilayah pemasaran. konglomerat. Para konglomerat mempunyai koneksi yang sangat kuat dengan pengambil kebijakan. Padahal, para konglomerat tumbuh dan menjadi sangat besar bukan karena kepandaiannya mengembangkan usaha, melainkan berkat dukungan politik dan perlakuan khusus dari pemerintah. Akan tetapi, para konglomerat tetap dibela sebagai sumber daya nasional yang dapat dipergunakan demi kepentingan nasional (Warta Ekonomi, 1989). Para konglomerat di Indonesia tidak hanya mendapat fasilitas berupa proteksi, kemudahan berusahaa dan insentif pajak (tax incentive), tetapi juga memperoleh pinjaman dari bank-bank milik pemerintah. Ketimbang perusahaan kecil, konglomerat menikmati akses ke dana-dana yang lebih mudah. Pada tahun 1994, empat perlima jumlah kredit bank, yang sebagian besar berasal dari bank negara diberikan kepada konglomerat (Swasembada, 1995). Banyak dari pinjaman itu dimaksudkan untuk mendanai mega proyek, seperti memperbaiki prasarana negara, ekspansi usaha dari hulu ke hilir dan industri bahan baku seperti petrokimia. Berbagai argumen pro dan kontra muncul saat itu. Kelompok yang prokonglomerat berargumen bahwa struktur dan kepemilikan jenis usaha tersebut telah tepat karena konglomerat yang besar memungkinkan untuk memusatkan konsentrasinya dan memiliki inovasi dan mampu mengembangkan usaha-usaha lain melalui program kemitraan. Contoh sukses negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi karena konglomerasi ialah Korea Selatan dan Jepang yang dikenal dengan nama chaebol dan keiretsu. Sementara itu, kelompok yang mengecam konglomerat menyatakan bahwa konglomerat di Indonesia sama sekali tidak mendorong kewirausahaan bahkan menghambatnya melalui dominasi industri, monopoli pasar dan penggunaan koneksi politik untuk mencegah atau mengalahkan saingan. Konglomerat hanya menempatkan anggota keluarganya yang tidak memiliki keterampilan untuk menduduki jabatan tertinggi sehingga mencegah orang-orang terampil dan profesional untuk memperoleh pengalaman yang dibutuhkan guna menjadi pengusaha yang berhasil dalam konglomerat itu (Habir, 2001). Kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan membangun korporasi raksasa dan konglomerat ini, selanjutnya memberikan pengaruh negatif dalam berbagai aspek kehidupan. Susanto (1999) menemukan bahwa konglomerat jelas-jelas telah merugikan pelaku-pelaku ekonomi lainnya, seperti: 1. terhadap konsumen melalui penentuan struktur harga; 2. terhadap buruh melalui kebijakan terhadap pengurangan hak-hak pekerja seperti di bidang pengupahan, kesehatan dan keselamatan kerja dan PHK; 3. terhadap lingkungan melalui penguasaan, penggunaan, pengurasan dan perusakan sumber daya alam serta pencemaran lingkungan; 4. terhadap sesama pelaku ekonomi melalui tidak berkembangnya persaingan secara sehat; 5. terhadap pengambil kebijakan melalui pengaruh dalam menentukan kebijakankebijakan publik yang cenderung berpihak kepada konglomerat ketimbang kepada publik sehingga menghasilkan Berkembangnya konglomeratkonglomerat di Indonesia mendapat kritikan dari pengusaha kecil dan menengah, media massa dan akademisi. Debat mengenai perlunya undang-undang anti monopoli telah muncul di tahun 1980-an. Kelompok penentang praktek konglomerasi menganggap bahwa ada perlakukan yang kurang adil dari pemerintah terhadap kelompok tersebut, sehingga perlu segera dibentuk undang-undang pembatasan tingkat konsentrasi (antitrust law). Namun pada saat itu, pembuatan undang-undang anti monopoli menjadi tidak mungkin untuk direalisasikan karena perekonomian Indonesia sangat dikendalikan oleh para 83 78 - 89 kebijakan-kebijakan masyarakat. Jurnal Keuangan dan Bisnis yang merugikan November rangkap direksi atau komisaris untuk perusahaan yang sejenis (pasal 26); pembatasan pemilikan saham (pasal 27); penggabungan, peleburan dan pengambilalihan usaha yang mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan tidak sehat (pasal 28 – 29). Dari 25 konglomerat yang besar di Indonesia pada tahun 1996, ternyata hanya 4 (empat) bidang saja yang dijalankan yakni real estate (tanah, bangunan dan konstruksi), keuangan, industri manufaktur dan perkebunan/perkayuan. Bidang real estate dan keuangan merupakan bidang yang memicu terjadinya krisis moneter di Indonesia. Pinjaman yang berlebihan dan pengelolaan utang yang salah menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar pada tahun tersebut. Dampak lanjutan dari krisis moneter ini adalah kehancuran para konglomerat Indonesia. Selanjutnya, dalam undang-undang ini juga tercantum beberapa perjanjian yang dilarang yakni oligopoli (pasal 4); penetapan harga (pasal 5 - 8); pembagian wilayah (pasal 9); pemboikotan (pasal 10); kartel (pasal 11); trust (pasal 12); oligopsoni (pasal 13); integrasi vertikal (pasal 14); perjanjian tertutup (pasal 15); dan perjanjian luar negeri yang menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 16). Berdasarkan kondisi tersebut disadari perlu dilakukan pembubaran segala praktek konglomerasi dan pemberian hak-hak khusus kepada sejumlah pengusaha dan praktek-praktek monopoli dan oligopoli yang menghambat persaingan usaha. Negara perlu menjamin keutuhan proses persaingan usaha dan intervensi pelaku usaha dengan menyusun undang-undang yang melarang pelaku usaha untuk menghambat persaingan usaha. Hal ini dikarenakan persaingan usaha dan kebebasan dalam berusaha akan mendorong muncul dan berkembangnya kegiatan usaha, efisiensi kegiatan usaha, produktivitas usaha serta peningkatan kuantitas dan kualitas barang dengan harga yang lebih rendah. Dengan demikian, sumber daya dapat dialokasikan secara efisien dan efektif dan pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas. Dalam undang-undang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, tercakup dua hal pokok yakni pengaturan aktivitas ekonomi yang mendorong pelaksanaan persaingan usaha yang sehat dan sanksi baik administrasi maupun denda bagi aktivitas yang melanggarnya. Bagi usaha yang melanggar dapat dikenakan sanksi administrasi untuk menghentikan praktek persaingan tidak sehat atau denda yang berkisar antara Rp1 miliar hingga Rp 5 miliar. Bagi praktek ekonomi yang berkenaan dengan pidana pokok dikenakan denda bervariasi dari Rp 1 miliar hingga Rp100 miliar. Penyempurnaan undang-undang persaingan usaha merupakan kebijakan yang tepat untuk membuat persaingan usaha menjadi lebih adil dan tepat sasaran. Dalam implementasi undang-undang persaingan usaha ini, beberapa pasal yang perlu dievaluasi, antara lain: 1. Undang-undang ini mengatur larangan monopoli dan oligopoli. Pelaku suatu usaha patut diduga melakukan praktek monopoli bila telah menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu atau praktek oligopoli bila lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar. Dalam prakteknya akan terjadi kesulitan untuk menentukan apakah sebuah usaha dapat menjadi perusahaan monopoli akibat menang secara alamiah dalam persaingan atau tidak. Perusahaan yang EVALUASI ATAS IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Undang-undang persaingan usaha meliputi berbagai larangan aktivitas ekonomi seperti menjalankan monopoli (pasal 17); atau monopsoni (pasal 18); penguasaan pasar yang berupa tindakan praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat (pasal 19 – 21); persengkokolan usaha (pasal 22 – 24); penggunaan posisi dominan untuk menghalangi masuknya pesaing potensial (pasal 25); larangan jabatan 84 2009 Asmalidar menang dalam persaingan secara alamiah, perusahaan perlu mencapai kondisi economic of scale sehingga mampu menekan biaya dengan sangat rendah Untuk mencapai kondisi ini, suatu usaha terkadang perlu menggunakan biaya yang sangat besar (misalnya menggunakan teknologi yang tinggi). Di samping itu, untuk mempertahankan posisinya tetap unggul dalam persaingan, perusahaan tersebut melakukan upaya-upaya pemasaran (seperti iklan, bonus, dan lain-lain) sehingga tetap dominan. Dengan demikian perusahaan ini akan sulit untuk disaingi oleh perusahaan lain dan menjadi tetap dominan menguasai pasar. Selanjutnya, dalam persaingan usaha, mungkin saja terjadi suatu usaha dominan akibat preferensi masyarakat terhadap barang yang diproduksinya, karena barang yang dihasilkan murah dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Untuk itu perlu dicantumkan dalam undang-undang perlu dilakukan kajian khusus sebelum memutuskan sebuah perusahaan tersebut monopoli karena alamiah atau karena mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Bagi perusahaan yang menjadi perusahaan monopoli secara alamiah tidak perlu mendapat hukuman, karena tidak terbukti membuat kesejahteraan konsumen berkurang. Dawar (2007) melihat bahwa masih banyak dijumpai formulasi undangundang yang tidak jelas antara tujuan yang ingin dicapai dengan peraturannya. Sebagai contoh ada perbedaan antara pelaksanaan persaingan sehat dengan bentuk dari struktur pasar. Dalam hukum, sebuah perusahaan yang menjadi dominan harus memiliki patokan (benchmark) atau besaran tertentu (seperti di Indonesia monopoli bila mencapai pangsa pasar 50%). Sebuah perusahaan dapat saja memiliki pangsa pasar yang sangat besar, walaupun tidak ada dibuat hambatan (larangan) agar perusahaan lain dapat masuk ke pasar. Perusahaan tersebut menjadi besar atau monopoli karena menggunakan teknologi yang tinggi dan memberikan sumbangan yang besar bagi masyarakat dan negara melalui lapangan pekerjaan dan pajak. Selain itu, terdapat perbedaan dalam model penentuan posisi dominan yang dibuat oleh lembaga-lembaga dunia seperti World Bank – OECD dan UNCTAD. WB-OECD mempunyai pendekatan dimensi kuantitatif sedangkan UNCTAD lebih kepada pendekatan dimensi kualitatif (Lee, 2007). Dalam menentukan posisi dominan, WB-OECD membuat benchmark secara kuantitatif dari posisi dominan (Tabel 2). Sementara itu, UNCTAD mendefinisikan posisi dominan sebagai sebuah situasi dimana sebuah perusahaan baik merupakan tindakannya maupun tindakan bersamasama dengan perusahaan lainnya, berada dalam posisi mengontrol pasar yang relevan untuk barang atau jasa tertentu (UNCTAD, 2003). Tabel 2. Benchmark Posisi Dominan Secara Kuantitatif Kelompok Negara Negara Sedang Berkembang dan Transisi Asia Timur Eropa Timur dan Asia Tengah Afrika Negara Maju Amerika Serikat Uni Eropa Pangsa Pasar dari Perusahaan 50 – 75% 30 – 40% 20 – 45% 33% 40 – 50% Sumber: Lee (2007) 85 78 - 89 Jurnal Keuangan dan Bisnis Melarang sebuah perusahaan yang menang dalam persaingan dan menjadi perusahaan dominan akan sulit untuk dilakukan. Karena malah dapat membuat masyarakat menjadi berkurang kebebasannya dalam berkonsumsi. Oleh karena itu, daripada memberantas perusahaan monopoli, lebih baik membuat reformasi ekonomi dengan cara yang sederhana yaitu menghilangkan hambatan untuk masuk ke pasar dan membuat barang-barang substitusi baik melalui memberikan kesempatan kompetitor masuk ke pasar atau inovasi teknologi yang mengubah produk dari pasar tersebut. Contohnya dahulu industri telekomonukasi dimonopoli oleh pemerintah. Namun berkembangnya teknologi telekomunikasi, seperti telepon seluler, membuat monopoli telekonomunikasi tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah. November intelektual, berarti negara mendukung munculnya inovasi-inovasi kreatif yang dapat memberikan peningkatan utility (kepuasan) masyarakat. Akan tetapi, untuk perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise) masih perlu dipertimbangkan. Undang-undang ini tidak menjelaskan secara detail mengenai perjanjian seperti apa yang dapat dikecualikan dalam persaingan usaha. Bukanlah hal yang mustahil, bila perjanjian waralaba yang dibuat akan dapat menimbulkan persaingan menjadi tidak sehat. Usaha waralaba merupakan salah satu strategi yang digunakan pengusaha untuk menekan biaya dan standarisasi mutu, sehingga dapat saja akan mematikan persaingan usaha sejenis yang masih bersifat tradisional, yang mana masih banyak terdapat di Indonesia. 4. Dalam pasal 50h tercantum bahwa usaha kecil dikecualikan dalam undang-undang persaingan. Hal ini dikarenakan usaha kecil tidak mempunyai pengaruh terhadap struktur pasar dan tidak mempunyai kemampuan untuk memegang kendali kekuasaan dalam rangka kegiatan pasar. Pengecualian ini dapat saja memiliki dampak yang tidak sehat bagi persaingan. Ketika beberapa usaha kecil bergabung membentuk kartel di suatu wilayah, sehingga kekuatan mereka menjadi cukup dominan di pasar, maka dapat memberikan dampak kepada persaingan yang tidak sehat bagi usaha kecil lainnya. Untuk itu, perlu penjelasan lebih lanjut tentang pasal 50h ini, agar penafsiran dari pengecualian bagi usaha kecil menjadi lebih jelas dan seragam. 2. Tujuan dari pembentukan undangundang ini seperti yang tercantum pada pasal 3 yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat. Tujuan undang-undang ini sangat kompleks dan akan sulit untuk mencapainya. Secara umum, ada dua yang ingin dicapai melalui undangundang ini yaitu (1) persaingan usaha yang sehat dan (2) peningkatan efisiensi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Padahal, dua institusi yang mendesain persaingan usaha hanya mempunyai satu tujuan. Pendekatan undang-undang persaingan yang didisain WB-OECD bertujuan untuk mencapai efisiensi ekonomi dan kesejahteraan konsumen. Sementara UNCTAD mempunyai tujuan terciptanya persaingan usaha yang lebih sehat (Lee, 2007). Di samping itu, dalam pelaksanaan persaingan usaha di Indonesia, sebagian dari implementasinya telah berjalan baik, namun masih perlu beberapa perbaikan. Beberapa implementasi yang masih perlu diperbaiki antara lain: pertama, berkaitan dengan persekongkolan tender. Persekongkolan tender telah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 pasal 22-24. Namun dalam undang-undang tersebut perlu dibuat aturan tambahan tentang pengurangan 3. Dalam pasal 50 undang-undang no. 5 tahun 1999 dijelaskan pengecualian atas ketentuan undang-undang. Khusus untuk pasal 50b, adalah hal yang rasional bila kekayaan intelektual dikecualikan dalam undang-undang ini. Dengan perlindungan kekayaan 86 2009 Asmalidar kesempatan bagi panitia tender dalam berhubungan dengan para peserta tender. Di samping itu, banyak dijumpai persyaratanpersyaratan yang menuju kepada kartel, yakni dengan persyaratan tertentu sehingga hanya beberapa peserta tender saja yang dapat berpartisipasi dalam proses pelelangan. Misal dalam persyaratan mengikuti tender harus menjadi keanggotaan asosiasi tertentu, klasifikasi perusahaan tertentu dan lain-lain. tabungannya yang semakin kecil. Selain biaya administrasi yang cukup tinggi (lebih besar dibandingkan bunga tabungan), nasabah yang memiliki tabungan lebih rendah dari batas minimum tabungan akan dikenakan denda (biaya tambahan). Dengan demikian praktek ini jelas bertentangan dengan undang-undang persaingan yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Keempat, dalam pasal 9 undang-undang no 5 tahun 1999 tentang pembagian wilayah, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran. Salah satu jasa profesi yang beroperasi menurut wilayahnya ialah notaris dan pejabat pembuat akte tanah (PPAT). Penelitian yang dilakukan Kovacic (2007) menemukan bahwa pembatasan wilayah operasional usaha profesi dapat menimbulkan kecenderungan harga yang tinggi dan keterbatasan layanan. Pembagian wilayah kerja para notaris ditentukan oleh negara berdasarkan undang-undang no. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Memang dalam pasal 50a, jasa profesi notaris dapat dikecualikan karena bertujuan melaksanakan perundang-undangan yang berlaku. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa pembagian wilayah kerja jasa profesi seperti notaris ini dapat menyebabkan munculnya kesepakatan (perjanjian) antar sesama jasa profesi sehingga menyebabkan harga menjadi tinggi. Selain itu, akan terjadi serta persaingan yang tidak sehat antar sesame notaris dimana mereka akan berupaya melobi pemerintah agar ditempatkan di kota-kota besar. Dalam pengimplementasian undangundang persaingan akan dijumpai berbagai tantangan. Joekes dan Evan (2008) menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan undang-undang persaingan antara lain kepastian dan dukungan politik serta dukungan masyarakat, penegakan hukum dengan keterbatasan sumber daya, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan batas negara seperti masalah kartel internasional. Keterbatasan sumber daya merupakan kendala terbesar dalam mensukseskan pelaksanaan undang-undang persaingan. Kebutuhan sumber daya tidak hanya dari sisi finansial, tetapi juga dari Kedua, di sektor penerbangan masih dijumpai beberapa hal yang masih berpotensi terjadi pelanggaran terhadap undang-undang persaingan usaha. Tarif pesawat yang beroperasi di Indonesia berpatok kepada harga yang ditetapkan oleh INACA (Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia). Padahal dalam pasal 11 UU no. 5 tahun 1999 tentang kartel dilarang. Dalam implementasinya, perusahaan penerbangan dapat menetapkan harga tiket yang berbeda-beda pada satu jadwal penerbangan. Hal ini tentunya berpotensi untuk melanggar ketentuan pada pasal 6 UU no. 5 tahun 1999, dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan jasa yang sama. Ketiga, di sektor perbankan, walaupun akses kepada bank sudah diperoleh oleh usaha mikro dan kecil (UKM) melalui berbagai program seperti kredit usaha rakyat, kredit usaha kecil dan lain-lain, namun perbedaan pelayanan dan biaya masih dilakukan. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) perlu membuat peraturan yang bertujuan menghilangkan perbedaan biaya dan pelayanan oleh perbankan. Sebagai contoh, di perbankan masih dijumpai perbedaan bunga pinjaman dan bunga deposito untuk nasabah-nasabah yang berbeda. Umumnya untuk nasabah yang memiliki deposito besar akan mendapatkan bunga lebih tinggi dibandingkan nasabah kecil. Sebaliknya untuk kredit, nasabah kecil akan dikenakan bunga yang lebih besar dibandingkan nasabah besar. Di samping itu, di perbankan juga ditemukan pengurangan kesejahteraan nasabah kecil. Bagi nasabah yang memiliki tabungan kecil, secara perlahan-lahan akan mendapati nilai 87 78 - 89 Jurnal Keuangan dan Bisnis kapasitas kelembagaannya, terutama sumber daya manusia yang memiliki keahlian, dan kapasitas masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang ini. Selain itu, negara juga memerlukan hakim dan pengacara yang benar-benar mengerti tentang kompetisi, serta tenaga kerja pendukung pada institusi persaingan usaha yang berkompeten dalam mengidentifikasi perilaku-perilaku yang pengusaha yang anti dengan persaingan usaha. Di bagian luar dari kelembagaan persaingan, negara juga memerlukan jurnalis, kelompok konsumen, dan lembaga swadaya masyarakat yang mengerti akan undang-undang persaingan usaha dan berperan sebagai pengawas pelaksanaan persaingan usaha yang sehat. November Dalam pengimplementasian undangundang persaingan akan dijumpai berbagai tantanganseperti kepastian dan dukungan politik serta dukungan masyarakat, penegakan hukum dengan keterbatasan sumber daya, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan batas negara. Keterbatasan sumber daya merupakan kendala terbesar dalam mensukseskan pelaksanaan undang-undang persaingan. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan selain sisi finansial, juga dari kapasitas kelembagaannya seperti sumber daya manusia yang memiliki keahlian (hakim, jaksa, tenaga pendukung institusi persaingan), dan kapasitas masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang ini (jurnalis, kelompok konsumen dan LSM). KESIMPULAN Pembentukan dan penyempurnaan undang-undang tentang persaingan usaha yang sehat dan larangan praktek monopoli memang perlu dilakukan. Hal ini sebagai konsekuensi dari kegagalan kebijakan pembangunan masa lalu yang menyebabkan munculnya korporasi-korporasi besar sehingga muncul praktek-praktek persaingan yang tidak sehat. Dengan demikian efisiensi, efektivitas dan kesejahteraan masyarakat tidak mencapai keadaan yang optimal. Di samping itu, berkembangnya privatisasi, perdagangan internasional dan investasi serta disepakatinya perjanjian bilateral dan multilateral membawa terwujudnya integrasi ekonomi sehingga setiap negara yang terlibat dalam perjanjian harus menjalankan perdagangan internasional secara adil dengan menghilangkan berbagai macam hambatan. DAFTAR PUSTAKA Cook, P. (2004). Competition Policy, Market Power and Collusion in Developing Countries, dalam P. Cook, C. Kirkpatrick, M. Minogue and D. Parker (eds), Leading Issues in Competition, Regulation and Development, Cheltenham, UK and Northampton, MA, Edward Elgar, USA. Darby, Michael R. dan Zucker, Lynne G. (2006). Inovation, Competition, Welfare-Enhancing Monopoli, NBER Working Paper Series. Dawar, Kamala (2007). Establishing Consumers as Equivalent Players in Competition Policy dalam Paul Cook, Raul Fabella dan Casset Lee, Competitive Advantage and Competition Policy in Developing Countries, Edward Elgar, USA. Dalam pengimplementasian undangundang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, masih dijumpai beberapa permasalahan dan perlu untuk perbaikan seperti perdebatan dominasi pasar dengan economic of scale, beberapa pengucualian dalam pasal 50 UU no. 5 tahun 1999. Di samping itu, terdapat pula beberapa praktek usaha yang dapat merugikan masyarakat dan melanggar undang-undang persaingan usaha seperti persyaratan tender, jasa penerbangan, praktek perbankan dan jasa profesi. Evenett, S. (2002). How Much Have Merger Review Laws Reduced Cross-border Mergers and Acquisitions. Mimeo, February, Bern: World Trade Institute. Geroski, Paul (2006). Essay in Competition, UK : Competition Commision. Habir, Ahmad D. (2001). Konglomerat : Antara Pasar dan Keluarga dalam 88 2009 Asmalidar Donald K. Emmerson (Editor), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. and Unfair Business Competition, Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Iwantono, Sutrisno (2003). Economic Crisis and Cartel Development in Indonesia, Presented at 5th International Cartels Workshop, 1 – 3 October 2003, Belgium, Brussel, Swasembada. (1995). Mari Mengaudit Konglomerat Kita, Volume 10 Edisi 12 Maret 1995 halaman 14. Susanto, I.S. (1999). Pidato Guru Besar Madya dalam pada Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang: Diponegoro. Joekes, Susan dan Phil Evans. (2008). Competition and Development: The Power of Competitive Market, Canada: International Development Research Center. Pengukuhan Ilmu Hukum Universitas Universitas Tybout, J. (1992). Linking Trade and Productivity : New Research Directions, World Bank Economic Review, 6 (2), 189–212. Kovacic, Wiliam E. (2007). Competition Policy, Consumer Protection, and Economic Disadvantage, Journal of Law and Policy Vol. 25 (101), 101-118. UNCTAD. (2003). Model Law on Competition, Geneva: United Nations. Lee, Cassey. (2007). Model Competition Laws, dalam Paul Cook, Raul Fabella dan Casset Lee, Competitive Advantage and Competition Policy in Developing Countries, Edward Elgar, USA. Warta Ekonomi (1989). 40 Konglomerat Indonesia, Volume 5 Edisi No. 5 tanggal 31 Juli 1989. Yao, Shuntian dan Gan, Lydia L. (2006). The Welfare Effects of Monopoli Innovation, Economic Growth Center Working Paper Series, Nanyang Technological University. Mankiw, Gregory. (2002). Principles of Microeconomics, 3rd Edition, Ohio: Thomson South-Western. Säcker, Franz Jurgen, Wolfgang Kartte, Wolfgang Pfletschinger, Hans-W. Micklitz, Peter W. Heermann dan Herbert Sauter (2000). Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices ________________, 2008. Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: KPPU. 89