BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lingkungan hidup disusun oleh sumberdaya alam non hayati (abiotic), sumberdaya alam hayati (biotic) dan sumberdaya manusia bersama sumberdaya buatan yang digabung menjadi sumberdaya kultural (culture). Ketiga komponen lingkungan tersebut memiliki interaksi dan hubungan timbal balik yang dinamis. (Tandjung, 2003). Hubungan timbal balik yang dinamis dalam konteks kondisi saat ini menjadi menarik dikaji dalam perspektif ilmu lingkungan. Perubahan kondisi salah satu komponen menyebabkan siklus timbal balik antara ketiga komponen tidak lagi dinamis. Kajian hubungan ketiga komponen lingkungan terpapar dalam penelitian ini. Atmosfer yang tergolong sumberdaya alam abiotik, komoditi pertanian yang tergolong sumberdaya alam hayati serta kegiatan pertanian yang dilakukan tergolong sumberdaya manusia dan kebudayaannya. Gambar 1.1 Komponen Lingkungan (Tandjung, 2003) Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca pada suatu daerah dalam kurun waktu minimal 30 tahun. Klimatologi adalah ilmu yang mencari gambaran dan penjelasan sifat iklim, mengapa iklim di berbagai tempat di bumi berbeda, dan bagaimana kaitan antara iklim dengan aktivitas manusia. Unsur-unsur dalam iklim adalah radiasi matahari, temperatur, kelembaban udara, curah hujan, dan kecepatan angin. Faktor alami yang menyebabkan variabilitas iklim global 1 meliputi fluktuasi energi radiasi matahari, perubahan transparansi atmosfer dan pergantian siklus rotasi bumi pada sumbunya dan revolusi bumi terhadap matahari (Wigley TML, et al., dalam Reiter, 2001). Klimatologi memerlukan interpretasi dari data-data yang banyak (time series) sehingga memerlukan penerapan statistik dalam pengerjaannya, oleh karena itu klimatologi disebut juga sebagai meteorologi statistik (Tjasyono, 2004). Iklim Indonesia erat dipengaruhi oleh fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang setiap beberapa tahun memicu berbagai peristiwa cuaca ekstrem di Indonesia. ENSO merupakan perpaduan seluruh fenomena El Nino, La Nina dan Osilasi Selatan. Pada saat terjadi El Nino, Indonesia mengalami musim kemarau yang panjang sehingga berpotensi untuk terjadi kekeringan. Ketika terjadi La Nina, Indonesia mengalami musim hujan yang panjang sehingga berpotensi untuk terjadi banjir (McBride et al., 2002). Kekeringan dan banjir merupakan fenomena bencana meteorologis yang dapat menstimulus bencanabencana alam lainnya. Salah satu aspek yang sangat bergantung pada iklim adalah pertanian. Cuaca dan iklim adalah salah satu faktor lingkungan yang memegang peranan penting dalam produksi tanaman. Akhir-akhir ini para petani tradisional telah banyak membicarakan terjadinya perubahan musim. Kearifan lokal petani mengenai musim tanam dikacaukan oleh terjadinya perubahan iklim. Banyak petani yang mengalami gagal panen akibat musim yang tidak normal. Sebagian besar wilayah Sumatera mengalami keterlambatan awal musim hujan 10 hingga 20 hari dan awal musim kemarau mengalami keterlambatan 10 hingga 60 hari (Naylor, 2007). Pergeseran musim serupa juga terjadi di pulau Jawa dan mempengaruhi produktivitas serta kualitas hasil pertanian. Pertanian merupakan aktivitas usaha turun temurun yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat. Faktor turun temurun itulah yang mendasari petani memiliki dasar ilmu Pranatamangsa, yang merupakan produk dari sistem “titen” siklus musim sejak dahulu. Indikator kejadian alam seperti musim kemarau, penghujan, musim berbunga, musim gugur dan sebagainya 2 digunakan untuk mengurangi risiko dan pencegahan biaya produksi tinggi. Pengetahuan lokal ini masih digunakan oleh para petani di Provinsi Jawa Tengah, namun seiring perubahan musim dewasa ini indikator-indikator pranatamangsa menjadi semakin sulit ditandai. Dari uraian latar belakang inilah penulis tertarik melakukan penelitian “RELEVANSI VARIABILITAS HUJAN DENGAN PENERAPAN PRANATAMANGSA OLEH PETANI DI KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH”. 1.2 Permasalahan Penelitian Pemanasan global telah menjadi masalah serius yang dihadapi dunia pada saat ini. Pemanasan global ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi yang mencapai 0,6oC sejak pertengahan abad ke 19 yang dipicu oleh peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer (IPCC, 2001). Gas rumah kaca memperangkap panas matahari sehingga menyebabkan suhu bumi semakin panas dan lebih panas dari suhu normal (lihat Gambar 1.2). Peningkatan suhu rata-rata bumi menyebabkan ketidakstabilan atmosfer yang berdampak pada terjadinya anomali-anomali cuaca yang berlangsung terus menerus. Anomali cuaca yang terjadi dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menghadapi dampak perubahan iklim yang begitu besar, maka diperlukan suatu upaya mitigasi dan adaptasi. Salah satu upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada aspek pertanian adalah dengan melakukan perubahan pola tanam. Perubahan pola tanam dapat dilakukan oleh petani dengan memanfaatkan informasi-informasi mengenai prediksi musim yang akan datang. Hal ini diharapkan dapat mengurangi risiko dampak perubahan iklim bagi pertanian. 3 b a Gambar 1.2 Peningkatan temperatur global (a) peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) salah satunya adalah CO2 (b) (Sumber : PA Government Service Inc. (2000) diakses https://en.wikipedia.org/wiki/Global_cooling 20 Agustus 2015) Berbagai model dan skenario dapat digunakan untuk menghitung pengaruh perubahan iklim terhadap beberapa kondisi. Pengaturan pola tanam dapat dilakukan berdasarkan pola curah hujan. Curah hujan di suatu daerah memiliki pola berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan pola curah hujan ini akan menghasilkan perbedaan pola sumberdaya iklim. Zonasi agroklimat diperlukan untuk menentukan pola tanam yang cocok pada suatu wilayah. Zonasi tersebut didasarkan pada pola curah hujan masing-masing wilayah. Pengaturan pola tanam ini diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya penurunan produktivitas pertanian akibat terjadinya perubahan iklim. Kearifan lokal petani tentang dimulainya musim tanam di wilayah mereka secara langsung akan terganggu akibat adanya perubahan-perubahan kondisi iklim. Penanda dimulainya musim (pranatamangsa) merupakan salah satu adaptasi masyarakat dalam melakukan pengurangan risiko akibat adanya perubahan iklim. Penanda ini harus disesuaikan dengan adanya penilaian dan perhitungan yang tepat tentang perubahan iklim, sehingga kaum petani tidak mengalami kerugian yang besar akibat kondisi ini. Pranatamangsa memiliki dua belas mangsa yang memiliki durasi hari berbeda. Dari kedua belas mangsa tersebut kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok mangsa yang merupakan satu musim tanam sesuai kondisi alamnya. Empat kelompok mangsa tersebut yakni Ketiga yang terdiri dari mangsa Kaso, Karo, dan Ketelu dalam kalender masehi akhir bulan Juni sampai pertengahan September. Labuh yang 4 terdiri dari Kapat, Kalima, Kanem mulai pertengahan September sampai akhir Desember. Rendeng yakni mangsa Kapitu, Kawolu, Kasanga mulai akhir Desember sampai akhir Maret. Dan Mareng terdiri dari mangsa Kasepuluh, Dhesta, Sadha yakni akhir Maret sampai akhir Juni. Setiap kelompok mangsa memiliki komoditas unggulan masing-masing untuk ditanam sesuai kondisi lingkungan terutama faktor ketersediaan airnya. Gambar 1.3 Kalender Pranatamangsa karya Ronggowarsito (Yulianto, 2012) diakses http://setbakorluh.jatengprov.go.id/pertanian/185-pranata_mangsa.html 20 Januari 2016. Dekade ini pranatamangsa cenderung tidak dapat sepenuhnya dipedomani dalam menetapkan awal musim tanam karena adanya indikasi perubahan iklim. Pranatamangsa diindikasikan kurang relevan lagi, serta hilangnya sebagian flora dan fauna yang menjadi indikator penanda musim. Contoh lain kejadian pergeseran musim hujan dan musim kemarau berdampak pergeseran musim berbunga dan masa panen. Oleh sebab itu, usaha tani tanaman pangan dalam 5 beberapa dekade terakhir seringkali hanya mengandalkan kebiasaan dan insting dalam menetapkan pola tanamnya. Penilaian karakteristik hujan sesuai pembagian mangsa yang diterapkan petani diharapkan dapat berguna dalam menentukan waktu pola tanam dan komoditas yang diusahakan. Provinsi Jawa Tengah termasuk provinsi penyangga pangan nasional. Data publikasi Kementrian Pertanian 2015 menyebutkan total produksi Padi Jawa Tengah 9.712.000 ton dimana total produksi padi Indonesia mencapai 70.846.000 ton, atau Jawa Tengah menyumbang ± 15% dari produksi padi seluruh Indonesia. Pemilihan daerah penelitian di Kabupaten Magelang diharapkan mampu merepresentasikan keadaan pertanian di Provinsi Jawa Tengah. Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 Kabupaten Magelang memiliki luasan lahan pertanian 86.410 Hektar, dengan luasan sawah 36.892 Hektar, dan bukan sawah 49.518 Hektar. Kabupaten Magelang mempunyai 17 stasiun penakar hujan akan tetapi tidak semua stasiun memiliki kelengkapan dan konsistensi data yang baik. Data hujan Kabupaten Magelang yang diperoleh hingga tahun 2013 tergolong up to date, dimana tidak semua kabupaten/ kota memiliki data hujan dalam tempo panjang dikarenakan ketiadaan/kondisi alat penakar hujan, maupun pencatatan yang bisa diakses untuk penelitian. Uraian permasalahan diatas dapat dirumuskan dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik hujan terhadap pembagian mangsa pranatamangsa dalam kurun waktu tahun 1980-2015 di Kabupaten Magelang? 2. Apakah terjadi perubahan kecenderungan hujan setiap periode mangsa? Jika terjadi bagaimana sifat hujannya? 3. Apakah petani masih mengetahui dan menerapkan pranatamangsa sebagai pedoman penentuan musim tanam? Masih sesuaikah pranatamangsa yang digunakan petani terkait variasi hujan? 6 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis karakteristik hujan dan relevansinya terhadap pembagian mangsa pranatamangsa di Kabupaten Magelang. 2. Mengkaji perubahan kecenderungan hujan dan intensitasnya setiap periode mangsa. 3. Mengetahui kesesuaian penerapan pranatamangsa oleh petani terkait variasi hujan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dan penambahan informasi dalam : 1. Indentifikasi perubahan iklim, dan karakteristiknya dalam kajian akademis. 2. Upaya penyelarasan usaha pertanian mempertimbangkan perubahan iklim dengan pengetahuan lokal bagi petani. 3. Masukan bagi Pemerintah dalam meningkatkan upaya produktivitas pertanian dengan memberikan arahan dan pendampingan bagi petani. 1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Hujan Hujan atau sering disebut presipitasi merupakan suatu fenomena alam pengendali siklus hidrologi. Air hujan yang sampai ke permukaan bumi merupakan penyedia utama pemenuhan kebutuhan air. Hujan di setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda seperti periode, intensitas, atau asal proses genesisnya. Hal tersebut terkait perbedaan unsur-unsur penyebab terjadinya hujan di setiap daerah. Menurut Sandy (1987) unsur-unsur terkait variasi hujan yakni kelembapan udara, topografi, arah dan kecepatan angin, suhu, serta arah hadap lereng. Faktor-faktor yang terkait dengan pembentukan hujan sendiri antara lain kelembapan atmosfer (ketersediaan uap air dan panas laten dari radiasi), 7 pembentukan awan (kondensasi), mekasnisme terjadi hujan. (Linsley, 1972). Chay Asdak (2007) membedakan hujan menurut mekanisme terjadinya menjadi hujan konvektif (adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan lapisan udara diatas tanah tersebut), hujan frontal (bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembapannya), dan hujan orografik (tipe hujan yang umum terjadi di daerah pegunungan, massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti topografi pegunungan hingga terkondensasi) seperti yang tampak pada Gambar 1.2. Mekanisme terjadinya hujan. Gambar 1.4 Mekanisme Terjadinya Hujan (Sumber : Asdak, 2007) 1.5.2 Musim Indonesia mempunyai batasan musim yang jelas antara musim hujan dan kemarau. Musim diidentikkan dengan bulan, akan tetapi agar lebih detail diperoleh kapan pergantian musim terjadi data yang digunakan yakni data hujan 10 harian. Awal musim hujan didefinisikan ketika pada daerah tersebut terjadi curah hujan 50 mm atau lebih dalam periode 10 hari yang kemudian diikuti dengan kondisi hujan di atas 50 mm pada 10 hari berikutnya. Awal musim kemarau, diidentifikasikan hujan kurang dari 50 mm per 10 hari dan diikuti dengan 10 hari berikutnya (BMKG, (2009), McBride et al., 2002). Fenomena-fenomena atmosfer yang mempengaruhi musim di Indonesia dalam McBride et al., 2002 antara lain El Ninno - La Nina, Indian 8 Ocean Dipole Mode (IODM), Sirkulasi Monsun Asia – Australia, daerah pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zone / ITCZ), dan suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia. Pergeseran Musim Penyimpangan musim di suatu wilayah dapat dicirikan dengan pergeseran atau maju-mundurnya awal suatu musim serta semakin tinggi atau rendahnya intensitas hujan musiman yang terjadi. Musim kemarau dapat berlangsung lebih lama dan musim hujan dapat pula berlangsung lebih singkat dengan intensitas curah hujan yang lebih besar. Lamanya musim kemarau akan menimbulkan bencana kekeringan dan saat musim hujan dengan intensitas curah hujan tinggi mengancam timbulnya bencana banjir ataupun longsor. Hal tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan manusia, salah satunya sektor pertanian baik berupa perubahan pola tanam menyesuaikan musim hingga produktivitas pertanian. 1.5.3 Perubahan Iklim Perubahan iklim adalah pergerakan dari parameter atau unsur-unsur iklim yang disebabkan oleh perubahan dari parameter-parameter iklim atau interaksi dari parameter iklim (suhu, kelembapan, curah hujan, arah dan kecepatan angin). Perubahan iklim dapat pula disebabkan oleh faktor eksternal, seperti faktor alam, faktor aktivitas manusia (IPCC, 2001). Perubahan iklim didasari oleh pergeseran dari kondisi meteorologi dalam jangka waktu yang lama. Dalam penelitian ini perubahan curah hujan harian yang menyusun suatu musim (pergeseran musim) menjadi faktor utama penciri perubahan iklim. Data panjang yang historis kemudian digunakan untuk memodelkan musim yang akan datang. 1.5.4 Aktivitas Pertanian Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya (ILO, 1999). 9 Pertanian biasa dipahami sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan pemasaran. Sistem pertanaman dapat bervariasi pada setiap lahan usaha tani, tergantung pada ketersediaan sumber daya dan pembatas; geografi dan iklim; kebijakan pemerintah; tekanan ekonomi, sosial, dan politik; dan filosofi dan budaya petani. Kementrian Pertanian (2007) mengelompokkan usaha pertanian di Indonesia dibudidayakan pada lahan sawah, tegalan, dan pekarangan. Sawah, yaitu suatu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan basah dan memerlukan banyak air baik sawah irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan maupun sawah pasang surut. Tegalan, yaitu suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada pengairan air hujan, ditanami tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari lingkungan dalam sekitar rumah. Lahan tegalan tanahnya sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena permukaan yang tidak rata. Pada saat musim kemarau lahan tegalan akan kering dan sulit untuk ditumbuhi tanaman pertanian. Pekarangan, yaitu suatu lahan yang berada di lingkungan dalam rumah (biasanya dipagari dan masuk ke wilayah rumah) yang dimanfaatkan untuk ditanami tanaman pertanian 1.5.5 Sistem Pranatamangsa Kalender Pranatamangsa merupakan kalender surya yang mulai dipergunakan atas ketetapan Paku Buwono VII dari kerajaan Surakarta pada tanggal 22 Juni 1855 (Van Hien, 1906; dalam Wisnubroto, 1995). Seperti diketahui kalender Pranatamangsa terdiri atas 12 bulan dengan umur berkisar 23-43 hari. Dari pustaka yang ditemukan, kemungkinan Paku Buwono VII ingin mengabadikan karya dinastinya. Pranatamangsa diketahui telah dimuat dalam buku Centini karya Paku Buwono V yang disusun tahun 1820-1833. 10 Pranatamangsa yang digunakan petani umumnya menggunakan tanda fenomena alam dalam memprakirakan kapan musim hujan mulai, kapan musim hujan berhenti. Pranatamangsa yang menjadi dasar penanggalan masyarakat selama setahun disajikan dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1. Pembagian Pranatamangsa Bulan Pranatamangsa Bulan Masehi Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. 2/3 Agustus - 25/26 Karo (Kadua) Agustus. 25/26 Agustus - 18/19 Katiga (Katilu) September. 18/19 September - 13/14 Kapat (Kaopat) Oktober. 13/14 Oktober - 9/10 Kalima (Kalima) November. 9/10 November - 22/23 Kanem (Kagenep) Desember. 22/23 Desember - 3/4 Kapitu (Katujuh) Pebruari. Penciri Musim tanam palawija Musim kapok bertunas tanam palawija kedua Musim ubi-ubian bertunas,panen palawija. Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah. Musim banjir, badai, longsor, mulai tanam (tandur). Musim padi beristirahat, banyak Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. ulat,banyak penyakit. Musim padi berbunga, turaes Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. (sebangsa serangga) ramai berbunyi. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. palawija di lahan kering. Masih ada waktu untuk palawija,burung-burung menyuapi Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. anaknya. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. udara dingin di pagi hari Sumber :(Wiriadiwangsa, 2005). Tanggal 22 Juni dipilih sebagai permulaan kalender Pranata Mangsa, terkait dengan kedudukan matahari. Tanggal 22 Juni bertepatan dengan hari pertama pergeseran matahari berpengaruh terhadap keadaan unsur-unsur meteorologis suatu wilayah. Pada kalender pranatamangsa perbedaan antara mangsa terpendek dan terpanjang mencapai 20 hari. Hal ini akibat dari dasar 11 yang dipergunakan Pranatamangsa adalah gejala-gejala alam fisik maupun biologis, sehingga umur mangsa tergantung pada keberadaan gejala-gejala tersebut. Tabel 1.2 Pengelompokan Pranatamangsa NAMA MANGSA Kasa WAKTU 22/23 Juni-2/3 Agus KETERANGAN Musim tanam palawija; tanah sawah melungka KETIGA Karo 2/3 Agus-25/26 Agus Musim bertanam palawija kedua Katelu 25/26 Agus-18/19 Musim panen palawija, udara Sept dingin, minyak goreng membeku, ada lintang kemukus Kapat 18/19 Sept-13/14 Okt Musim sumur mengering Kalima 13/14 Okt-9/10 Nov Musim hujan mulai turun, pohon LABUH asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda Kanem 9/10 Nov-22/23 Des Musim buah-buahan mulai tua dan petani mulai menggarap sawah Kapitu 22/23 Des-3/4 Feb Musim banjir, badai, petir dan RENDHENG petani mulai tandur Kawolu 3/4 Feb-1 Mar Musim padi mulai tegak, banyak hama dan penyakit MARENG Kasanga 1/2 Mar-26/27 Mar Musim padi berbunga Kasepuluh 26/27 Mar-19/20 Apr Musim padi mulai berbuah Dhesta 19/20 Apr-12/13 Mei Musim panen padi, dan mulai menanam palawija Sadha 12/13 Mei-22/23 Juni Musim menumpuk jerami Sumber : Daldjoeni (1997) Kalender pranatamangsa dalam Daldjoeni (1997) yang terdiri dari 12 mangsa dikelompokkan menjadi empat nama mangsa yaitu nama mangsa : Ketiga (mangsa Kasa, Karo, Katelu), Labuh (mangsa Kapat, Kalima, Kanem), Rendheng (mangsa Kapitu, Kawolu, Kasanga), dan Mareng (mangsa Kasepuluh, Dhesta, dan Sadha). Tabel 1.2 menyajikan pembagian 12 mangsa dalam empat kelompok mangsa. Pembagian sesuai kelompok mangsa ini yang akan dipergunakan dalam kajian temporal penelitian. Tabel 1.3 Indikator dan tafsir mangsa masing-masing dari Pranatamangsa Mangsa 1 (Kasa) 2 (Karo) 3 (Katiga) 4 (Kapat) 5 (Kalima) 6 (Kanem) 7 (Kapitu) 8 (Kawolu) 9 (Kasonga) 10 (Kadasa) 11 (Desta) 12 (Sada) Indikator Tafsir Indicator Interpretation Sotya murca saka Dedaunan gugur embanan Bantala rengka Permukaan tanah retak Suta manut ing bapa Tanaman yang menjalar (ubi) tumbuh dan mengikuti penegaknya (lanjaran) Waspa kumembeng Sumber air banyak yang jroning kalbu kering Pancuran emas sumawur Mulai musim penghujan ing jagad Rasa mulyo kesucian Pohon buah-buahan berbuah Wisa kentar ing maruta Muncul banyak penyakit Anjrah jroning kayun Periode kawin beberapa macam hewan Wedaring wacana mulya Gareng (tenggoret) berbunyi Bintang Petunjuk Sign of the zodiac Sapi gumarang Tagih Lumbung Jaran dawuk Banyak angrem Gotongmayit Bimasakti Wulanjar ngirim Wuluh Gedong minep jroning Beberapa macam ternak Waluku kalbu bunting Sotya sinarawedi Telur burung menetas dan Lumbung induknya menyuapi anaknya (ngloloh) Tirta sah saking sasana Orang sukar berkeringat Tagih Sumber : Wisnubroto (1995) 1.5.6 Pola Tanam Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun waktu tertentu. Tanaman dalam satu areal dapat diatur menurut jenisnya. Ada pola tanam monokultur, yakni menaman tanaman sejenis pada satu areal tanam. Ada pola tanam campuran, yakni beragam tanaman ditanam pada satu areal. Ada pula pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis tanaman pada waktu berbeda di area yang sama. Pola tanam adalah gambaran rencana tanam berbagai jenis tanaman yang akan 13 dibudidayakan dalam suatu lahan beririgasi dalam satu tahun. Faktor yang mempengaruhi pola tanam : 1. Ketersediaan air dalam satu tahun 2. Prasarana yang tersedia dalam lahan tersebut 3. Jenis tanah setempat 4. Kondisi umum daerah tersebut, misal genangan 5. Kebiasaan dan kemampuan petani setempat. Penetapan pola tata tanam diperlukan untuk usaha peningkatan produksi pangan. Pola tata tanam adalah macam tanaman yang diusahakan dalam satu satuan luas pada satu musim tanam, sedang pola tanam adalah susunan tanaman yang diusahakan dalam satu satuan luas pada satu tahun. Pola tata tanam yang berlaku pada setiap daerah akan berbeda dengan daerah lain, karena karakteristik setiap daerah juga berbeda (Wiriadiwangsa, 2005). Dua hal pokok yang mendasari diperlukannya pola tata tanam: 1. Persediaan air irigasi di musim kemarau yang terbatas. 2. Air yang terbatas harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga tiap petak mendapatkan air sesuai dengan jumlah yang diperlukan. 1.6 Penelitian Sebelumnya Perubahan iklim mulai terasa secara masif dalam 2 dekade terakhir. Perubahan iklim mengindikasikan perubahan musim, perubahan musim erat kaitannya dengan perubahan aktivitas manusia dalam berbagai hal, terutama terkait aktivitas pertanian. Studi literatur yang terkait kondisi tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.6 Penelitian Sebelumnya, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Wisnubroto pada tahun 1995 yang mengkaji pengenalan waktu tradisional menurut jabaran meteorologis dan pemanfaatannya. Dua hal mendasar yang peneliti simpulkan dari penelitian ini adalah penanggalan kalender pranatamangsa diuraikan secara filosofis mendalam sebagai bentuk produk sebuah budaya, dan unsur-unsur meteorologis setelah dikaji memiliki hubungan erat dengan pola hasil “titen” pada tahun dilakukan penelitian. 14 Acuan pustaka selanjutnya yakni penelitian Mollah dan Cook (1999) terkait variabilitas hujan musiman pada 103 kali pergantian musim antara tahun 1888-1991. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perubahan hujan musiman terkait pola permulaan awal musim dan intensitas hujan musimannya. Kecenderungan perubahan keduanya berpengaruh terhadap sektor pertanian di Australia. Pustaka selanjutnya Wiriadiwangsa (2005) yang mengkaji masih pentingnya pranatamangsa di kalangan petani Provinsi Jawa Tengah, dimana hasil penelitian ini menyebutkan masih banyaknya petani yang mengaplikasikan pengetahuan turun temurun tentang pranatamangsa dalam kegiatan pertanian, umumnya oleh petani dengan usia di atas 50 tahun. Pergeseran musim di Kabupaten Magelang diteliti Widiyastuti Murchayati pada tahun 2010. Hasi penelitian yang diperoleh; adanya pergeseran musim di Kabupaten Magelang ditinjau dari karakteristik data hujan tahun 1980-2009. Peneliti merasa kajian tersebut masih bersifat empiris sehingga memutuskan mengkaji lebih detail dampak yang ditimbulkan dari pergeseran musim yang terjadi, khususnya terkait dengan aktivitas pertanian pangan di Kabupaten Magelang. Diharapkan dari penelitian lanjutan ini dapat menjadi alternatif arahan peningkatan produktivitas pertanian untuk mendukung tercapainya swasembada pangan di Kabupaten Magelang. 15 Tabel 1.4 Penelitian Sebelumnya NO 1 Nama Peneliti (Tahun) Wisnubroto, S (1995) Judul Penelitian Pengenalan waktu Tradisional Menurut Jabaran Meteorologi dan Pemanfaatannya Metode Penelitian Studi literatur mendalam, Statistik, kuesioner, pemodelan 2 W.S Mollah dan LM Cook (1996) Rainfall variability and agriculture Statistika variabilitas, in semi-arid tropics the Nothern frekuensi, trend Territory, Australia 3 Wiriadiwangsa, 2005 Kajian Masih Pentingnya Pengetahuan Pranata Mangsa untuk Pertanian Jawa Tengah Studi literature, Kuesioner, analisis statistic 4. Nurchayati, W 2010 Kajian Pola Penyimpangan Musim di Kabupaten Magelang Provinsi Jawa tengah 5 Widoretno, RA 2013 Dampak Perubahan Zona Agroklimat Terhadap Perubahan Pola Tanam di Provinsi Jawa Statistik, variabilitas, intensitas, frekuensi, korelasi, dan pemodelan sederhana statistik, intensitas, frekuensi, korelasi, kuesioner dan pemodelan Hasil Penenlitian 1. Masyaratakat di daerah penelitian masih mengenal penanggalan tradisonal, dan digunakan dalam berbagai aspek kehidupan 2. Pranatamangsa terkait kalender Gregorian kolonial 3. Ada kesamaaan pranata mangsa dengan agihan unsur meteorologis sesuai umur mangsanya 1. Periode analisis data tahun 1888-1991, pada 1960 mulai terjadi perubahan hujan musiman. 2. Perubahan hujan musiman berakibat pada hasil pertanian, dimana perubahan hujan terkait pula jarak geografis terhadap laut. 1. Pranatamangsa masih digunakan petani sebagai pedoman mulai tanam. 2. Pengetahuan pranatamangsa bersumber turun temurun, dan dipengaruhi faktor usia petani dalam kedetailan pemahamannya 1. Adanya pergeseran awal musim di Kabupaten Magelang 2. Variasi hujan musim kemarau > musim hujan 3. Kecenderungan hujan musim kemarau menurun dan musim hujan meningkat. 1. Terjadi perubahan zona agroklimat tipe iklim Oldeman menurut peta agroklimat tahun 1975 ke tahun 2008 16 Tengah dan D.I Yogyakarta 6 Nurchayati, W 2016 Relevansi Variabilitas Hujan Statistik; intensitas, dengan Penerapan Pranatamangsa frekuensi, korelasi, Oleh Petani di Kabupaten Magelang kuesioner dan pemodelan Provinsi Jawa Tengah 2. Daerah yang memiliki perubahan zona agroklimat memiliki kecenderungan perubahan pola tanam. 3. Daerah yang mengalami perubahan tipe iklim C2 ke C3 antaralain di Kabupaten Blora, Boyolali, Kulon Progo, Magelang dan Purworejo. 1. Kabupaten Magelang memiliki intensitas dan fluktuasi hujan pada mangsa Mareng dan Ketigo yang beragam daripada mangsa Labuh dan Rendeng. 2. Kecenderungan hujan mangsa Labuh Rendeng, dan Mareng Ketigo mengalami penurunan pada periode tahun 1980-2005, dan menggalami peningkatan (tren positif) pada periode 2006- 2015. Fenomena La Nina dan El Nino ditengarai berpengaruh terhadap kondisi hujan di Kabupaten Magelang. 3. Hasil penelitian menunjukkan petani yang masih mengetahui dan menggunakan pranatamangsa mencapai 63 responden atau 63%, 5% mengetahui pranatamangsa tapi tidak menerapkan, dan 32% menjawab tidak mengetahui tentang pranatamangsa. Pranatamangsa masih relevan diterapkan dalam pertanian saat ini meskipun adanya perubahan curah hujan baik kuantitas, durasi, dan temporalnya, karena dapat diadaptasi dengan metode pengolahan lahan, penyiapan lahan sambil menunggu turun hujan (pemberokan), penyemaian bibit padi dan memperbanyak informasi cuaca baik dari media ataupun penyuluh lapangan. 17 1.7 Kerangka Pemikiran Hubungan timbal balik ketiga komponen lingkungan (abiotic, biotic, culture) menjadi dasar utama penelitian. Fenomena atmosferik (dalam hal ini khususnya curah hujan) yang tergolong sumberdaya alam abiotik, komoditi pertanian yang tergolong sumberdaya alam hayati serta kegiatan pertanian yang dilakukan tergolong sumberdaya manusia dan kebudayaannya memiliki keterikatan antar komponen. Ketersediaan air di bumi bersumber pada air hujan yang turun sampai di permukaan bumi. Curah hujan yang turun di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti angin, radiasi hingga jarak dengan sumber/badan air. Kondisi tersebut menimbulkan variasi curah hujan yang berbeda pada setiap stasiun hujan yang terdata. Variasi curah hujan tidak hanya bersifat spasial tetapi juga temporal. Dalam satu tahun terdapat siklus hujan berupa musim hujan dan musim kemarau. Hujan yang bersifat temporal mempengaruhi aktifitas pertanian, yang merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat. Sejarah kemudian mencatat sistem paranatamangsa sebagai hasil budaya “titen” petani, khususnya di Jawa. Pranatamangsa yang berdasar pada fenomena alam seperti posisi matahari, rasi bintang serta aktivitas binatang penciri sampai saat ini masih diterapkan petani sebagai dasar penentuan masa tanam. Karakteristik hujan yang ditengarai berubah saat ini, menjadikan kajian tentang masih relevan atau tidak pranatamangsa menjadi acuan petani saat ini menjadi menarik untuk diteliti. 18 Cuaca & Iklim Pranatamangsa Curah Hujan Harian 4 Kelompok Mangsa (ketigo, labuh, rendheng, mareng) Pengetahuan Petani tentang Pranatamangsa Curah Hujan per Mangsa Variabilitas Hujan per Mangsa Pola Tanam Petani 1. Karakteristik hujan & relevansinya terhadap pembagian mangsa 2. Perubahan kecenderungan hujan dan sifat hujan setiap mangsa 3. Kesesuaian penerapan pranatamangsa oleh petani terkait variasi hujan Gambar 1.5 Kerangka Pemikiran 19