16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Hak Menguasai Negara
Konstitusi Negara Republik Indonesia telah menggariskan secara
normatif kewenangan negara untuk mengatur bidang pertanahan dan
sumberdaya alam, yakni dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 yang mengatur bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. Sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945, dalam
penjelasan Pasal 33 dijelaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab
itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”(Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:107).
Makna Pasal 33 ayat (3) tersebut kemudian diperkuat dengan lahirnya
UUPA.
Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa ”Atas dasar
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Hak
menguasai negara menurut UUPA dimaknai bahwa negara diberi wewenang
sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa Indonesia untuk mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan,
dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air,
dan ruang angkasa untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:67).
Hak menguasai negara terwujud ke dalam perumusan kebijakan,
tindakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap tanah dan
kekayaan alam. Tujuan hak menguasai negara adalah untuk mecapai sebesar-
16
17
besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum yang merdeka, berdaulat,
adil, dan makmur (Urip Santoso, 2013: 81). Terwujudnya empat indikator
kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan
hak rakyat sehingga mencapai tiga tujuan utama negara untuk melindungi
kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan
sosial.
Sebagai suatu perkembangan baru dalam memberikan tafsir terhadap
makna dikuasai oleh negara, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan (Putusan Perkara 001-021-022/PUU-1/2003) bahwa negara
mempunyai
beherensdaad
wewenang
dan
yang
disebut
teozichthoudensdaad
regelendaad,
yakni
bestuursdaad,
mengatur,
mengurus,
mengelola, dan mengawasi. Fungsi pengaturan lewat ketentuan yang dibuat
oleh legislatif dan regulasi oleh eksekutif, fungsi pengurusan dengan
mengeluarkan atau mencabut ijin, fungsi pengelolaan dilakukan oleh eksekutif
dengan cara mendayagunakan penguasaan atas sumberdaya alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan fungsi pengawasan adalah
mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaannya benar sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat (Achmad Sodiki, 2013: 253-254).
Hak menguasai negara atas tanah bersumber dari hak Bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan
tugas kewenangan Bangsa Indonesia yang mengandung unsur hukum publik
(Urip Santoso, 2013:117). Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak
mungkin dilaksanakan sendirian oleh Bangsa Indonesia, maka dalam
penyelenggaraannya bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban
amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik
Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Urip Santoso,
2013:118). Hak menguasai negara bukan berarti negara sebagai pemilik tanah,
hal tersebut telah dijelaskan di dalam UUPA, yaitu:
18
UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang
ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD tidak perlu dan tidaklah pula
pada tempatnya, bahwa Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak
sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai
organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku
Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat bahwa bumi, air, dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Sesuai dengan pangkal
pendirian tersebut diatas perkataan dikuasai dalam pasal ini bukanlah
berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa
Indonesia itu untuk pada tingkatan tertinggi:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan,
persedian dan pemeliharaannya.
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
(bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa.
Hak menguasai negara ini meliputi seluruh tanah-tanah di Indonesia,
baik yang bertuan maupun yang tidak bertuan (tanah yang dikuasai langsung
oleh negara), baik yang telah dihaki maupun yang belum dihaki dengan hak
perorangan. Tanah-tanah yang dikuasai langsung inilah yang kemudian
dikelola oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk kesejahteraan
rakyat secara menyeluruh. Hak menguasai negara ini idealnya tidak dapat
dipindahkan kepada pihak lain, tetapi untuk pengelolaannya dapat
dilimpahkan kepada daerah maupun kepada pihak ketiga dengan memberikan
penguasaan tanah tertentu (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:109).
Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu
hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi
kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai
disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang
tidak dipunyai dengan suatu hak oleh orang atau pihak lainnya adalah lebih
luas dan penuh (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 108).
Konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki
oleh orang atau badan hukum, maka negara berkewajiban memberikan
jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, sehingga setiap
19
orang atau badan hukum yang memiliki hak tersebut dapat mempertahankan
haknya (Indra Ardiansyah, 2010: 5). Pelaksanaan hak menguasai negara ini
dapat dikuasakan kepada daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum
adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
menurut ketentuan peraturan pemerintah (Urip Santoso, 2013:81).
Wewenang yang diberikan kepada negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan kewenangan
yang sangat penting. Adanya wewenang tersebut akan memberikan keabsahan
bagi tindakan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan
urusan pemerintahannya haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sehingga tindakan pemerintah sah adanya dan mempunyai
kekuatan hukum. Oleh karena itu, setiap peraturan perundang-undangan yang
dibuat haruslah dapat memberikan keadilan, tidak hanya menguntungkan
kepentingan perseorangan maupun golongan-golongan tertentu saja. Peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum hanya dapat mencapai tujuan
(mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil,
artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi, pada mana setiap orang memperoleh sebanyak
mungkin yang menjadi bagiannya (Apeldoorn, 2001:11).
Konsep keadilan yang berkaitan dengan tanah, mengenai transfer
power atau kekuasaan atau transfer kesejahteraan di dunia terdapat empat
macam, yaitu yang pertama redistribusi, jadi tanah-tanah yang dikuasai akan
ditata kembali sisanya diredistribusikan kepada yang memerlukan melalui
sistem hukum. Kedua distribusi, yaitu tanah yang dikuasai oleh Negara seperti
tanah Hak Pengelolaan. Ketiga stand stillI yang tidak termasuk ke dalam
distribusi dan redistribusi. Keempat konsentrasi, yaitu adanya penumpukan,
contoh ini properti atau pengembang, pengembang biasanya di kota atau
dipinggir-pinggir kota untuk menguasai tanah yang dibeli, pembelian bisa dari
20
masyarakat setelah itu terkonsentrasi di titik-titik pusat tetapi khusus untuk
pengembang melalui mekanisme pasar terdistribusikan (Fauzie Kamal Ismail,
2013: 123-124).
Cakrawala politik dalam gambaran tradisional terbagi atas dua kubu,
yaitu liberalisme dan sosialisme. Liberalisme menonjolkan ide kebebasan
(liberty) dan sosialisme dengan ide kesamaan (equality). Sesuai dengan
perkembangan, aliran filsafat politik saat ini tidak dapat direduksi sebatas dua
ide pokok tersebut. Masing-masing aliran memiliki dan mengemukakan ideide tersendiri seperti kesepakatan kontrak (John Rawls), kebaikan umum
(komunitarianisme), kemanfaatan (utilitarianisme), hak (Dworkin) dan
androgini (feminisme) (Ridha Aida, 2005: 95).
Banyak teori keadilan yang dikemukakan oleh para ahli, seperti
Utilitarianisme yang dikemukakan oleh John Stuart Mill dan Jeremy Bentham,
Liberalisme, Teori Sosial Rawls, dan Komunitarianisme. Konsep dasar
mengenai keadilan menurut John Stuart Mill adalah tentang prinsip
Utilitarianisme. Definisi singkat prinsip utilitarian yang dikemukakan oleh
John Stuart Mill, yaitu kemanfaatan atau prinsip kebahagiaan terbesar
menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar
kebahagiaan, keliru jika cenderung menghasilkan berkurangnya kebahagiaan.
Yang dimaksudkan kebahagiaan adalah kesenangan dan tidak adanya rasa
sakit (Karen Lebacqz, 2015: 14).
Menurut John Stuart Mill, kekuatan dari perasaan-perasaan yang
dimiliki setiap orang mengenai keadilan, dan perasaan kecewa mereka jika
terjadi ketidakadilan seperti pada kasus pemberian hukuman berlebih-lebihan
terhadap orang yang tidak bersalah. Kuatnya perasaan ini membuat manusia
sulit melihat keadilan sebagai bagian dari kemanfaatan. Karana itu, John
Stuart Mill berusaha mengukur apakah keadilan bersifat sui generis ataukah
sebagai bagian dari kemanfaatan (Karen Lebacqz, 2015: 18). Berdasarkan hal
tersebut, John Stuart Mill menyimpulkan bahwa keadilan bukan prinsip
terpisah yang muncul secara independen, melainkan merupakan bagian dari
kemanfaatan itu sendiri. Keadilan adalah nama bagi persyaratan moral tertentu
21
yang secara kolektif berdiri lebih tinggi di dalam skala kemanfaatan sosial,
karenanya menjadi kewajiban yang lebih dominan ketimbang persyaratan
moral lainnya.
John Stuart Mill mengadopsi konsep dasar Hume bahwa keadilan tidak
muncul dari sekedar insting asal yang sederhana di dada manusia, melainkan
dari kebutuhan akan dukungan masyarakat. Keadilan adalah nama bagi
persyaratan moral tertentu yang secara kolektif berdiri lebih tinggi di dalam
skala kemanfaatan sosial, oleh karena itu menjadi kewajiban yang lebih
dominan ketimbang persyaratan moral lainnya (Karen Lebacqz, 2015: 19).
Sedangkan teori utility menurut Jeremi Bentham (tahun 1748-1832) seorang
ahli hukum dari Inggris dalam bukunya “Introduction to the morals an
legislation” menyatakan bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata
apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan
sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Jeremy Bentham
merupakan pemimpin aliran pemikiran “kemanfaatan”. (Utrecht, 1957 dalam
Ridwan Syahrani, 1999: 21). Dengan begitu berarti teori ini mengijinkan
kehilangan bagi sejumlah orang demi memenuhi pencapaian orang lain. Hal
tersebut tentunya tidak adil, karena mengakibatkan beberapa orang akan
mendapat sedikit agar orang lain mendapat banyak.
Teori utility ini dikritik oleh John Rawls karena memiliki kekurangan.
Kekurangan yang pertama yaitu karena teori utility mengidentikan keadilan
sosial dengan keadilan individual, dan kedua karena teori utility bercorak
teolologis. Menurut Rawls, utilitarianisme memahami keadilan sebagai
“kebahagiaan terbesar bagi semua atau setidaknya bagi sebanyak mungkin
orang” (the greatest hapiness of the greatest number), dengan begitu berarti
utilitarianisme tidak mempedulikan, kecuali tidak langsung, bagaimana total
kebahagiaan itu didistribusikan di antara individu, serta ia juga tidak peduli
bagaimana satu orang mendistribusikan kebahagiannya pada setiap kurun
waktu yang berbeda. Dengan kata lain, utilitarianisme gagal merumuskan
keadilan karena telah mengorbankan kepentingan individu untuk kepentingan
masyarakat. Selain itu, utilitarianisme juga gagal sebagai teori moral karena
22
bercorak teleologis, yakni: lebih memprioritaskan manfaat atau utility (the
good) ketimbang kewajiban. Padahal, kata Rawls, konsep keadilan sosial tidak
ada sangkut-pautnya dengan konsep kebaikan berupa rasa iba, belas kasihan
dan sebagainya. Sebab keadilan sosial lebih terkait dengan masalah struktur
dasar masyarakat dalam menetapkan beban dan kewajiban individu dalam
suatu kerja sama sosial (John Rawls, 1971: 4-5).
John Rawls lebih mengartikan keadilan sebagai kesetaraan. Menurut
John Rawls, penegakan keadilan haruslah memperhatikan dua prinsip
keadilan, yang pertama yaitu memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas-seluasnya yang sama bagi setiap orang.
Yang kedua yaitu mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan bagi semua orang dan semua
posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. (John Rawls, 1995: 72).
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsipprinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang
dikenal dengan posisi asali (original position) dan selubung ketidaktahuan
(veil of ignorance). Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan setara
antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, misalnya
kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan
sebagainya. Sehingga orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan
dengan pihak lainnya secara seimbang. Sedangkan konsep selubung
ketidaktahuan bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta
dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan
doktrin tertentu, sehingga membutakkan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang telah berkembang (Pan Mohamad Faiz, 2009: 140).
Keadilan sebagai kesetaraan menyediakan pandangan yang jelas
berbeda dari kaum utilitarian. Prinsip keadilan diperoleh bukan dengan
megevaluasi kemanfaatan dari tindakan-tindakan (atau kecenderungan
tindakan) melainkan dari pilihan rasional di dalam kondisi yang adil. Hal ini
berbeda dengan pendekatan utilitarian Mill, yang mana menjadikan individu
23
rapuh terhadap tuntutan kebaikan terbesar orang lain, sedangkan prinsip
Rawls jelas melindungi pihak-pihak yang paling kurang beruntung dalam
masyarakat (Karen Lebacqz, 2015: 61). Prinsip pembedaan menjadi inti dari
substansi teori keadilan menurut Rawls. Prnsip ini mengijinkan sejumlah
ketidaksetaraan di dalam pendistribusian, namun jika hanya hal itu dapat
melindungi bahkan memperbaiki posisi mereka yang kurang beruntung di
masyarakat (Karen Lebacqz, 2015: 56).
Teori keadilan sosial Rawls, mendapat banyak kritikan terutama
adalah dari kaum komunitarian yang ajaranya disebut komunitarianisme.
Komunitarianisme berbeda dengan sosialisme dan marxisme. Jika marxisme
melihat masyarakat sebagai sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui suatu
perubahan revolusioner pada masyarakat, dengan penggulingan kapitalisme
dan menggantinya dengan masyarakat tanpa kelas atau dalam bentuk
masyarakat sosialis. Komunitarianisme justru menganggap bahwa masyarakat
sudah ada, dalam bentuk tradisi-tradisi kultural, praktek-praktek dan
pemahaman sosial bersama. Masyarakat tidak perlu didirikan lagi, tapi lebih
butuh untuk diakui, dihargai dan dilindungi, dengan cara memperhatikan hakhak keanggotaan kelompok. Bagi komunitarianisme, masyarakat adalah satu
masyarakat yang sama dan bebas (Ridha Aida, 2005: 99).
Ada dua pandangan yang dikemukakan tentang komunitarianisme.
Pertama, sebagai pandangan positif, komunitarianisme dinilai sebagai salah
satu perspektif dalam filsafat politik yang menekankan nilai etis dan
psikologis
sosial
dari
anggota-anggota
komunitas.
Justifikasi
dari
pertimbangan etika ditentukan oleh fakta-fakta yang berada dalam konteks
pemahaman kultural dan tradisi-tradisi komunitas. Kedua, sebagai pandangan
negatif, komunitarianisme dinilai sebagai anti liberalisme. Komunitarianisme
menekankan ketergantungan dan keterikatan individu pada komunitasnya.
Karenanya, liberalisme dengan otonomi individunya
dinilai menjadikan
manusia transenden, terlepas dan terpisah dari keberadaan komunitasnya
(Ridha Aida, 2005: 99).
24
Sedangkan liberalisme beranggapan bahwa individu adalah pencipta
dan penentu tindakannya. Dengan konsep seperti ini, maka kesuksesan dan
kegagalan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh tindakantindakannya dan pilihan-pilihan terhadap tindakan tersebut. Intinya, manusia
memiliki kebebasan dalam hidupnya, manusia adalah pribadi yang otonom
(Ridha Aida, 2005: 96). Dalam perkembangannya, ada dua corak liberalisme,
liberalisme yang dipelopori oleh John Locke dan liberalisme yang dipelopori
oleh Jean Jacques Rousseau. John Locke berpendapat bahwa kebebasan yang
menjadi nilai dasar liberalisme dipahami sebagai ketidakhadiran intervensi
eksternal dalam aktivitas-aktivitas individu. Kebebasan adalah hak properti
privat. Karenanya, pemerintah bersifat terbatas (minimal) terhadap kehidupan
warganya. Untuk itu harus ada aturan hukum yang jelas dan lengkap dalam
menjamin kebebasan sebagai hak properti privat ini. Di sisi lain Rousseau
berpendapat bahwa pemerintah harus tetap berfungsi menjamin terlaksananya
kebebasan individu dalam masyarakat (Ridha Aida, 2005: 99).
2. Tinjauan Tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar
Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak ditetapkannya keputusan penetapan
tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang Hak atas bendabenda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan (Rendy Octavianus
Dumais, 2014: 44). Apabila bekas Pemegang Hak tidak memenuhi kewajiban
tersebut, maka benda-benda di atasnya tidak lagi menjadi miliknya dan
dikuasai langsung oleh Negara. Tanah negara bekas tanah terlantar yang
ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
dikuasai langsung oleh negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, merupakan Tanah Cadangan Umum Negara yang
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar secara khusus diatur
dalam Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah
Negara Bekas Tanah Terlantar, yang kemudaian dalam Pasal 1 ayat (1)
menyatakan bahwa: “tanah yang sudah ditetapkan sebagai tanah terlantar,
25
dihapuskan haknya, diputus hubungan hukumnya, dan ditegaskan menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara merupakan Tanah Cadangan
Umum Negara”. Pengalokasian Tanah Cadangan Umum Negara disesuaikan
dengan ketersediaan tanah dan dilaksanakan apabila tanahnya tidak dalam
keadaan sengketa fisik dan sengketa yuridis. Kepastian obyek tidak dalam
sengketa diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan pendayagunaan Tanah
Cadangan Umum Negara, hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa
Tanah Cadangan Umum Negara tidak dalam sengketa fisik dan sengketa
yuridis. (Fauzie Kamal Ismail, 2013: 130).
Pendayagunaan tanah negara jika ditinjau dari Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945 juncto Pasal 2 Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, maka Tanah
Cadangan Umum Negara tersebut didayagunakan untuk masyarakat yang
mana tujuannya adalah untuk memberikan kemakmuran bagi rakyat. Namun,
berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar juncto Pasal 4 ayat (2)
Perkap BPN RI Nomor 5 tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara
Bekas Tanah Terlantar ada tiga kemungkinan cara dalam peruntukan
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah Negara bekas
tanah telantar, yang mana ketiga cara tersebut adalah melalui:
a. Reforma agraria
Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan
Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan)
kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian
(khususnya
tanah)
(http://www.bpn.go.id/Program?Reforma-Agraria
diakses pada hari Rabu, 13 April 2016 Pukul 13.22 WIB). Di dalam pidato
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tahun 2007,
menyatakan bahwa:
Reforma Agraria adalah penataan kembali pemilikan, penguasaan
dan penggunaan tanah dengan tujuan mengatasi kemiskinan,
mengembangkan kesempatan kerja, secara sistematik megatasi
sengketa dan konflik pertanahan, menata kembali pemanfaatan,
26
penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan menata
ketidakadilan seperti adanya sebagian kelompok masyarakat
memiliki tanah yang sangat luas namun tidak menguasai, tidak
memanfaatkan dan tidak menggunakannya sedangkan disisi lain ada
masyarakat yang tidak mempunyai tanah, membuka akses
masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber
politik, meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga dan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup” (Fauzie Kamal Ismail,
2013: 123).
Sedangkan pengertian Reforma Agraria menurut Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar adalah “kebijakan pertanahan yang
mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan
aset masyarakat dan penataan akses masyarakat”.
Maksud dari reforma agraria adalah untuk menciptakan sumbersumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria, menata kehidupan
masyarakat yang lebih baik berkeadilan, meningkatkan keberlanjutan
sistem kemasyarakatan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia serta
penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainya secara
optimal, penyelesaian sengketa tanah atau meningkatkan harmoni
kemasyarakatan (Rendy Octavianus Dumais, 2014: 46). Sedangkan
tujuaannya adalah untuk: 1) mengurangi kemiskinan, 2) menciptakan
lapangan kerja, 3) memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber
ekonomi terutama tanah, 4) menata ulang ketimpangan penguasaan
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber
agraria, 5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan,
6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, 7) meningkatkan
ketahanan
pangan
dan
energi
masyarakat
(http://www.bpn.go.id/Program?Reforma-Agraria diakses pada hari Rabu,
13 April 2016 Pukul 13.22 WIB).
Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 menetapkan 12 (dua
belas) prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam, yakni sebagai berikut:
27
1) Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusi;
3) Menghormati
supremasi
hukum
dengan
mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
4) Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia;
5) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
6) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria atau sumber daya alam;
7) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal,
baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan
tetap memerhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
8) Melakukan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat;
9) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan
dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam;
10) Mengakui, menghormati, serta melindungi hak masyarakat hukum adat
dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria atau sumber
daya alam;
11) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah
(pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat),
masyarakat, dan individu; dan
12) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat
nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang
setingkat.
28
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Program reforma agraria pada dasarnya ditujkan untuk penduduk
miskin di pedesaan, baik petani, nelayan, maupun non-petani/nelayan.
Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam
lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemunkinan untuk
melibatkan kaum miskin dari daerah lain (pedesaan dan perkotaan)
(http://www.bpn.go.id/Program?Reforma-Agraria diakses pada hari Rabu,
13 April 2016 Pukul 13.22 WIB). Sedangkan yang menjadi objek reforma
agraria adalah tanah-tanah yang terkena landreform, antara lain tanah
kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah bekas
swapraja, tanah negara yang ditegaskan sebagai landreform (Republika,
2016). Dalam tataran operasional, reforma agraria di Indonesia
dilaksanakan melalui dua langkah yaitu:
1) Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan
Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UUPA; dan
2) Proses penyelenggaraan Landreform Plus, yaitu penataan aset tanah
bagi masyarakat dan pentaan akses masyarakat terhadap sumbersumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat untuk
memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam penyelenggaraan
landreform plus diselenggarakan dua hal penting yaitu asset reform
dan acces reform.
Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk
masyarakat melalui program Reforma Agraria berdasar Pasal 20 Perkap
BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara
Bekas Tanah Terlantar, dimanfaatkan untuk pertanian dan non pertanian
dengan memperhatikan hasil pertimbangan teknis Tim Nasional.
Pertimbangan teknis Tim Nasional tersebut didasarkan pada kepentingan
Strategis Nasional; Rencana Umum Tata Ruang; Luas Tanah Cadangan
Umum Negara hasil pengukuran keliling; dan Kesesuaian tanah dan daya
29
dukung wilayah untuk masing-masing jenis peruntukannya (Fauzie Kamal
Ismail, 2013:131-132).
Konsep Reforma Agraria pada hakikatnya mencakup tiga hal
sebagai berikut:
1) Konsep landreform atau asset reform, yakni penataan kembali struktur
penguasaan kepemilikan tanah (Muhammad Ilham Arisaputra,
20015:21). Asset reform yang dimaksud oleh Joyo Winoto
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ilham Arisaputra merupakan
penataan kembali pemilikan dan penguasaan tanah melalui legislasi
aset yang terdiri atas 3 program, yakni dimulai dari penatagunaan
tanah (land use planing) kemudian diikuti oleh konsolidasi tanah
(land consolidation), dan yang terakhir adalah sertifikasi tanah
nasional melalui program inventarisasi pemilikan, penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T), Larasita, prona, dan
ajudikasi, serifikasi tanah usaha mikro kecil dan menengah, LMPDP
dan pengelolaan wilayah pesisir. Ketiga jenis kegiatan tersebut
dilaksanakan untuk melengkapi program landreform yang berupa
redistribusi tanah. Jadi setelah tanah-tanah objek reforma agraria
dibagikan, maka kemudian dilanjutkan oleh legislasi atas tanah
tersebut. Ide dasar legislasi aset ini adalah untuk memberikan dan
mempermudah akses masyarakat kepada permodalan karena bisa
menggunakan asetnya secara formal dalam sistem ekonomi;
2) Konsep acces reform, yakni berkaitan dengan penataan penggunaan
atau pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai penataan
dukungan sarana dan prasarana
yang
memungkinkan petani
memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah pedesaan. Akses
tersebut antara lain akses sarana dan prasarana pertanian, pengairan,
jalan, usaha tani, pemasaran produksi, koperasi usaha tani, dan
perbankan (kredit usaha rakyat) (Muhammad Ilham Arisaputra,
20015:21). Acces reform dibangun dengan rangkaian yang terkait dan
berkesinambungan antara pemerintah atau pemerintah daerah,
30
penerima manfaat (subjek reforma agraria), badan usaha profesional,
badan usaha patungan yang dibentuk oleh penerima manfaat, dan
lembaga keuangan dalam rangka mengusahakan anah-tanah objek
reforma agraria (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 161). Jadi untuk
mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan dan mencapai
kemakmuran, maka
harus ada kerjasama yang baik antara ketiga
pihak tersebut, yaitu pemerintah, masyarakat, dan pelaku ekonomi;
3) Konsep policy atau regulation reform, yakni berkenaan dengan
pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak kepada rakyat banyak
(Muhammad Ilham Arisaputra, 20015:21).
Negara memiliki tanggungjawab untuk menyediakan akses-akses
tersebut kepada masyarakat, khusunya petani miskin. Melalui penyediaan
akses tersebut, diharakan dapat tercipta keadilan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, khusunya masyarakat petani. Jika
dijabarkan dalam bagan, konsep reforma agraria adalah sebagai berikut:
Reforma
Agraria
Aspek Landreform:
Penguasaan tanah
Pemilikan tanah
Akses ke tanah:
Distribusi tanah
Privatisasi tanah
kolektivitas
Aspek Acces reform
Pemanfaatan
tanah
Penggunaan tanah
Akses ke penunjang tanah
Sarana dan prasarana
pertanian
Infrastruktur
Pemasaran produksi
Koperasi usaha tani
Kredit Usaha Rakyat
Teknologi pertanian
Penyuluhan dan pelatihan
Aspek Regulation
Reform:
Pengaturan
kebijakan pro
rakyat
Pembuatan
regulasi yang
lebih menjamin
keadilan
Perangkat hukum yang
memadai
Sinkronasi aturan hukum
(UU)
Administrasi tanah
Sertifikasi tanah
Pendaftaran tanah
Sumber: Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 22.
Bagan 1. Konsep dan Cakupan Reforma Agraria
31
Reforma agraria adalah jalan yang perlu ditempuh untuk menjamin
pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk ketahanan
pangan. Pemenuhan hak-hak tersebut merupakan kewajiban negara untuk
mengusahakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Reforma agraria
merupakan strategi penting dalam menjamin hak atas tanah, karena dengan
kepastian hak atas tanahnya, maka para petani kecil, petani yang
menggarap lahan pertanian milik orang lain secara bagi hasil, dan buruh
tani yang telah berubah menjadi pemilik tanah akan lebih terdorong untuk
meningkatkan produksi pertaniaannya. Untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan sosial memerlukan kerjasama yang baik dan kuat antara
seluruh komponen Indonesia, khususnya tiga komponen utama, yakni
masyarakat atau komunitas, pemerintah (sebagai representasi negara), dan
pelaku ekonomi (khusunya swasta) ketiga komponen tersebut memiliki
ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan dan
pemilikan yang akan menimbulkan beberapa kepentingan sosial ekonomi
masing-masing komponen berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, dan
pemanfaatan
sumber-sumber
agraria
tersebut
(Muhammad
Ilham
Arisaputra, 2015: 104).
b. Program strategis negara
Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk
program strategis negara dimanfaatkan antara lain untuk pengembangan
sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan dalam
Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah
Negara Bekas Tanah Terlantar, yang kemudian pelaksanaan peruntukan
Tanah Cadangan Umum Negara diperuntukan bagi:
1) Masyarakat
Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara
untuk masyarakat dilaksanakan melalui reforma agraria dengan
kekhususan pengembangan sektor pangan, energi, dan perumahan
rakyat.
32
2) Badan hukum
Badan hukum calon penerima Tanah Cadangan Umum Negara
melalui program strategis negara wajib memenuhi persyaratan:
a) bukan bekas pemegang hak tanah terlantar;
b) tidak memiliki hubungan hukum dengan bekas pemegang hak
tanah terlantar. Hubungan hukum yang dimaksud di sini berupa:
(1) hubungan antara 2 (dua) badan hukum, yang 1 (satu) atau
lebih anggota direksi atau dewan komisaris sama;
(2) hubungan antara badan hukum dengan pihak lain, baik
langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau
dikendalikan oleh badan hukum tersebut;
(3) hubungan antara 2 (dua) badan hukum yang dikendalikan,
baik langsung maupun tidak langsung oleh pihak yang sama;
(4) hubungan antara badan hukum dengan pemegang saham
utama.
Apabila dikemudian hari terbukti penerima Tanah
Cadangan Umum Negara ternyata memiliki hubungan-hubungan
tersebut, maka dibatalkan sebagai penerima Tanah Cadangan
Umum Negara dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai
kembali oleh negara.
3) Kerjasama masyarakat dan badan hukum;
c. Cadangan Negara lainnya
Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk
cadangan negara lainnya, berdasarkan Pasal 27 Perkap BPN RI Nomor 5
Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar
dengan mempertimbangkan ketersediaan tanah, kesesuaian tanah, dan
kemampuan tanah bagi kepentingan nasional. Pelaksanaan Peruntukan
Tanah Cadangan Umum Negara untuk cadangan negara lainnya,
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan
pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya
33
bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena
pembangunan untuk kepentingan umum.
Berdasarkan Pasal 30 Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011
tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar, untuk
mendukung kelancaran proses pengolahan data pendayagunaan Tanah
Cadangan Umum Negara, dibangun basis data Tanah Cadangan Umum
Negara yang meliputi data tekstual dan data spasial. Jadi setiap perubahan
peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah
Cadangan Umum Negara harus dicatat dalam basis data. Sistem
pengelolaan basis data Tanah Cadangan Umum Negara harus terintegrasi
dengan sistem pendataan di Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia. Pembangunan basis data tekstual dan data spasial dilakukan
secara berjenjang dari Kantor Wilayah ke Badan Pertanahan Nasional.
Selanjutnya dalam Pasal 31 menyatakan bahwa basis data Tanah
Cadangan Umum Negara, meliputi:
1) Status hak atas tanah sebelum ditetapkan sebagai Tanah Cadangan
Umum Negara;
2) Letak, batas, dan luas tanah;
3) Penggunaan dan penguasaan tanah;
4) Peta administrasi;
5) Rencana tata ruang wilayah;
6) Kemampuan tanah;
7) Peta pendaftaran tanah;
8) Penggarapan; dan
9) Data pertanahan lainnya.
Basis data Tanah Cadangan Umum Negara tersebut dipergunakan
untuk keperluan dalam mendukung hal-hal sebagai berikut:
1) Analisa
peruntukan
Tanah
Cadangan
Umum
Negara
untuk
kepentingan program reforma agraria, program strategis negara, dan
peruntukan cadangan negara lainnya;
34
2) Analisa pemanfaatan Tanah Cadangan Umum Negara untuk
masyarakat, pemerintah, dan badan hukum;
3) Penyusunan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara;
4) Penentuan calon penerima Tanah Cadangan Umum Negara, letak dan
luas bagian tanah yang akan diterima, serta letak dan luas fasilitas
umum dan fasilitas sosial;
5) Pendistribusian Tanah Cadangan Umum Negara kepada calon
penerima;
6) Sarana pengawasan, pengendalian, dan pelaporan Tanah Cadangan
Umum Negara; dan/atau
7) Keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3. Tinjauan Tentang Pengaturan Redistribusi Tanah Obyek Landreform
Landreform adalah upaya penataan kembali struktur pemilikan dan
penguasaan tanah dan sumber daya alam yang lainnya atau yang menyertainya
ditujukan untuk mencapai keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber
penghidupannya tergantung pada produksi pertanian dan/atau sumber daya
alam tersebut (Gunawan Wiradi, 2001: 127). Ketentuan landreform dalam
UUPA bermaksud mengadakan perombakan struktur pemilikan tanah
sehingga
mencerminkan pemerataan pemilikan tanah terutama
bagi
kesejahteraan petani dan buruh tani pada umumnya (Gunawan Wiradi,
2001:80). Roy L. Prosterman dan Tim Hanstad dalam jurnalnya yang berjudul
Land Reform in the Twenty-First Century: New Challenges, New Responses
(2006:763) mendenifisikan landreform sebagai berikut:
Land reform broadly to include reforms that increase the ability of the
rural poor and other socially excluded groups to gain access and
secure rights to land. Land reform has often been understood to
include only redistributing land or landownership. We also include
reforms that provide greater tenure security and rights to existing
possessors of land.
Landreform menurut Roy L. Prosterman dan Tim Hanstad dapat
diartikan bahwa Landreform secara luas mencakup pembaruan yang dapat
35
meningkatkan kemampuan masyarakat miskin di pedesaan dan kelompok
sosial yang diabaikan untuk mendapatkan akses yang aman untuk mendapat
hak atas tanah. Landreform seringkali dipahami hanya mencakup redistribusi
tanah atau kepemilikan tanah. Tetapi juga mencakup reformasi yang
memberikan jaminan kepemilikan yang lebih besar dan hak bagi tanah yang
sudah ada pemiliknya.
Menurut landasan konstitusional sehubungan dengan pengaturan
landreform di Indonesia dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA)
Agraria dituangkan dalam peraturan hukum dan perundang-undangan. Hal ini
dapat dilihat dari makna yang terkandung dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945. Di sini Negara menjadikan dasar kebijakan untuk mengatur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam
(SDA) berupa tanah, dimana Negara berkewajiban untuk (Sapriadi, 2015:
373):
a. Bahwa segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta hasil yang didapat
didalamnya
(kekayaan
alam),
harus
secara
nyata
meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam
atau di atas bumi dan air yang dapat dihasilkan secara langsung oleh
rakyat;
c. Mencegah agar rakyat tidak kehilangan atau kesempatan hak atas bumi, air
dan isinya; dan
d. Berhak untuk menguasai dan mengelola tanah.
Landreform merupakan perubahan secara
mendasar
mengenai
pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang
bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Program-program landreform
meliputi (Urip Santoso, 2013:219):
a. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas;
b. Larangan pemilikan tanah secara absente;
36
c. Redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta tanah-tanah
yang terkena larangan absente, tanah bekas swapraja, dan tanah negara
lainnya;
d. Pengaturan soal pengambilan dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan;
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan
f. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah-tanah yang terlampau kecil.
Salah satu program landreform adalah larangan untuk menguasai tanah
pertanian yang melampaui batas. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian,
ditentukan bahwa batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian
yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
Tabel: 1
Batas Maksimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah
No Di daerah-daerah yang Sawah (Hektar)
1
Tidak Padat
2
Padat:
Tanah Kering
(hektar)
15
20
a. Kurang padat
10
12
b. Cukup padat
7,5
9
c. Sangat padat
5
6
Sumber: Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Berkenaan dengan larangan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian
yang melampaui batas ini, maka bagi orang-orang atau keluarga yang
menguasai tanah pertanian yang melampaui batas diwajibkan melaporkan ke
Kantor Agraria setempat. Segala perbuatan yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak atas tanah agar tidak terkena atau terhindar dari ketentuan
37
wajib lapor tidak diperkenankan, kecuali telah ada ijin dari Kepala Kantor
Agraria setempat (Sapriadi, 2015: 379). Selain ketentuan batas maksimum
pemilikan dan penguasaan tanah pertanian juga ditentukan mengenai batas
minimum pemilikan tanah pertanian diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUPA,
yaitu: “Dengan mengingat ketentuan Pasal 7, maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal
16 oleh satu keluarga atau badan hukum”. Selanjutnya dalam Pasal 17 ayat (4)
UUPA dinyatakan bahwa: “Tercapainya batas minimum termasuk dalam ayat
(1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan,
dilaksanakan secara berangsur-angsur”. Peraturan prundang-undangan yang
melaksanakan ketentuan Pasal 17 UUPA adalah Undang-Undang Nomor 56
Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Maksud ditetapkannya batas minimum pemilikan tanah pertanian
adalah agar petani yang bersangkutan mendapatkan penghasilan yang
cukup/layak untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Batas minimum
pemilikan tanah pertanian oleh petani sekeluarga menurut Pasal 8 UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
adalah seluas 2 hektar, tanpa mempersoalkan apakah tanah pertanian tersebut
berupa tanah sawah atau tanah kering, atau tanah sawah dan tanah kering
(Urip Santoso, 2013: 234).
Berkaitan dengan ketentuan batas maksimum dan minimum pemilikan
tanah, maka dilakukan redistribusi tanah. Redistribusi tanah adalah pembagian
tanah yang dikuasi oleh negara yang diberikan kepada para petani penggarap
yang telah memenuhi syarat ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224
Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Kerugian
yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan
cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut
dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata (Sapriadi, 2015:372). Hal
tersebut merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 17 ayat (3) UUPA, yaitu:
38
“Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk
selanjutnya dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan menurut
ketentuan dalam peraturan pemerintah”.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, menetapkan
tanah-tanah
yang
akan
dibagikan
(diredistribusikan)
dalam
rangka
pelaksanaan landreform adalah:
a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian dan Tanah-Tanah yang Jatuh Pada Negara, karena
pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut;
b. Tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat
tinggal di luar daerah atau terkena larangan pemilikan tanah pertanian
secara absentee.
c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada
negara; dan
d. Tanah-tanah yang dikuasi langsung oleh negara yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia.
Selain tanah-tanah tersebut di atas, tanah-tanah yang akan dibagikan
oleh negara kepada rakyat yang membutuhkan adalah tanah-tanah bekas
perkebunan besar dan tanah-tanah bekas tanah partikelir (Urip Santoso.
2013:222). Pasal 8 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Kerugian menetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh petani yang menerima redistribusi
tanah, yaitu (Urip Santoso, 2013: 223):
a. Petani penggarap atau buruh tani tetap berkewarganegaraan Indonesia; dan
b. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah pertanian yang
bersangkutan atau bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan
letak tanah yang bersangkutan.
39
Terhadap luas tanah yang akan diredistribusikan sangat sedikit yang
tidak sebanding dengan jumlah petani yang memerlukan tanah pertanian,
maka menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Kerugian diadakan
pembagian tanah dengan hak milik, yaitu kepada:
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
b. Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang
bersangkutan;
c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
d. Penggarap yang belum sampai 3 (tiga) tahun mengerjakan tanah yang
bersangkutan;
e. Penggarap yang mengerjakan tanah hak milik;
f. Penggarap tanah yang-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan lain;
g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar;
h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar; dan
i. Petani atau buruh tani lainnya.
4. Tinjauan Tentang Rechtsverwerking
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan UUPA dan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah sistem
negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan negatif murni, hal
ini mengandung konsekuensi, bahwa Pemerintah sebagai penyelenggara
pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin dapat disajikan data
yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran. Tetapi biarpun demikian
sistemnya juga bukan positif. Dalam sistem positif, data yang disajikan
dijamin kebenarannya, bukan hanya berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat (Boedi Harsono, 1999:83).
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa kelemahan sistem publikasi negatif
adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam
buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak
lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi
40
dengan menggunakan lembaga acquisideve verjaring atau adverse possession.
Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan
lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum
adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan
sistem
publikasi
negatif
dalam
pendaftaran
tanah,
yaitu
lembaga
rechtsverwerking.
Rechtsverwerking merupakan asas berkaitan dengan proses terjadinya
dan diperolehnya hak atas tanah oleh masyarakat. Setiap warga yang
membuka tanah dan membangun hubungan hukum dengan tanah tidak secara
otomatis dan langsung memperoleh hak atas tanah, namun ada tahapantahapan yang harus dilalui sebagai wujud keseriusan dalam membangun
hubungan hukum dengan tanah tersebut. Keseriusan ini ditunjukkan dengan
adanya penguasaan dan pemanfaatan tanah secara terus menerus sehingga
terbangun hubungan hukum yang semakin menguat (Nurhasan Ismail, 2007:
185).
Penguasaan dan pemanfaatan tanah yang berlanjut secara terus
berlanjut dan tidak pernah terputus, maka hubungan hukum antara warga yang
bersangkutan dengan tanah akan berubah menjadi Hak Mlik (Nurhasan Ismail,
2007: 186). Intensitas penguasaan dan pemanfaatan tanah tersebutlah yang
menjadi dasar apakah masyarakat dapat memperoleh hak atas suatu tanah.
Meskipun demikian, terdapat ketentuan batasan waktu tertentu sebagai dasar
menentukan hilangnya hak seseorang atas tanah, setelah jangka waktu tertentu
orang yang mempunyai tanah tidak lagi menggunakan atau mengusahakannya,
maka yang bersangkutan akan kehilangan hak atas tanahnya atau hak atas
tanahnya menjadi hapus (Nurhasan Ismail, 2007: 187). Pasal 32 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
menyebutkan bahwa:
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah
tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara
41
tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut merupakan penerapan dari
lembaga hukum rechtsverwrking, yaitu lampaunya waktu sebagai sebab
kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama waktu yang
lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui
perolehan hak dengan itikad baik (Boedi Harsono. 2005:67). Maksudnya yaitu
apabila seseorang mempunyai tanah tetapi selama jangka waktu tertentu
membiarkan tanahnya tidak terurus, dan tanah itu dipergunakan oleh orang
lain dengan itikad baik, dia tidak dapat menuntut lagi pengembalian tanah dari
orang yang menguasainya tersebut (Nuryani, 2011:46). Atau dengan kata lain
bahwa rechtsverwerking ini adalah lembaga yang dengan lampaunya waktu,
di mana:
a. Orang yang telah memegang hak atas tanahnya menjadi kehilangan
haknya karena selama waktu tertentu tidak mengusahakan hak atas tanah
tersebut; dan
b. Orang yang dengan itikad baik telah menguasai dan memanfaatkan bidang
tanah tersebut, berhak untuk memperoleh hak atas tanah yang telah
dimanfaaatkan olehnya tersebut (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,
2004: 83-84).
Selain berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, adanaya lembaga Rechtsverwerking
juga didasarkan pada Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan bahwa: “Untuk memperoleh Hak Milik atas sesuatu diperlukan
bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu,
di muka umum dan secara tegas sebagai pemilik”. Selanjutnya dalam Pasal
1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa:
Siapa yang dengan itikad baik,dan berdasarkan suatu alasan hak yang
sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain
yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya
dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun.
42
Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun,
memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk
mempertunjukkan alasan haknya.
Rechtsverwerking dapat diartikan sebagai akibat yang timbul dari
suatu pelepasan hak atau akibat yang timbul karena tidak melakukan suatu
perbuatan hukum yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan seseorang
oleh hukum, sehingga sesuatu hak menjadi hilang. Prinsip Rechtsverwerking
tersebut sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mendapat pengukuhan dan penerapan
dalam yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut (Erpinka
Aprini, 2007: 26-28):
a. Putusan
Mahkamah
Agung
tanggal
10
Januari
1957
Nomor
210/K/Sip/1955. Kasus ini terjadi di Kabupaten Pangdeglang, Jawa Barat.
Gugatan dinyatakan tidak diterima, oleh karena para penggugat dengan
mendiamkan soalnya sampai 25 tahun, harus dianggap menghilangkan
haknya (rechtsverwerking). Mahkamah Agung berpendapat, bahwa
pembeli sawah kini patut dilindungi, oleh karena dapat dianggap, bahwa ia
adalah beritikad baik dalam membeli sawah itu dari seseorang ahli waris
dari almarhum pemilik sawah.
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 329 K/Sip/1957. Bahwa berdasarkan
kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah yang
ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali menjadi tanah
kosong, sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsungnya
masa 5 tahun adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak
memberikannya.
c. Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 September 1958 Nomor
239/K/Sip/1957 Kasus terjadi di Tapanuli Selatan, bahwa walaupun si
penggugat asli yang masih dibawah umur, adalah yang berhak atas sawah
itu, tapi ibunya yang berkewajiban sebagai wali untuk memelihara hak si
penggugat asli sampai ia menjadi dewasa, dan dalam perkara ini tampak
kelalaian ibu penggugat asli dengan tidak bertindak sama sekali sehingga
tanah tersebut dapat dikuasai oleh tergugat asli selama lebih kurang 18
43
tahun, dan karena kelalaian itu atas dasar penganggapan melepaskan hak
(rechtsverwerking) penggugat asli dianggap telah melepaskanhak atas
tanah sengketa
d. Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Nopember
1958 Nomor
361/K.Sip/1958. Pengadilan Tinggi yang mempergunakan alat hukum
pelepasan hak (rechtsverwerking) tanpa semau dari pihak tergugat adalah
melanggar tata tertib dari hukum acara, maka putusannya yang berdasar
pada pelepasan hak itu harus dibatalkan.
e. Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Maret 1975 Nomor 1192
K/Sip/1973. Kasus terjadi di Padang Sidempuan, bahwa menurut
peraturan adat setempat hak seseorang atas tanah usahanya menjadi gugur
apabila ia cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian
ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung/Kepala kampung
untuk mengerjakannya tetapi teguran itu dihiraukan, dalam hal ini
bolehlah tanah tersebut oleh Kepala Persekutuan Kampung.Kepala
Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.
f. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 1976 Nomor 783
K/Sip/1973. Bahwa penggugat terbanding telah menduduki tanah tersebut
secara terus-menerus selama 27 tahun tanpa digugat. Bahwa benar hukum
adat yang berlaku bagi kedua belah pihak tidak mengenal lembaga
“verjaring” tetapi hukum adat mengenal lembaga “pengaruh lampau
waktu”. Bahwa seandainya memang penggugat terbanding tidak berhak
atas tanah tersebut, kenyataan bahwa tergugat sampai sekian lama
menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut minimbulkan
anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka
(rechtsverwerking). Bahwa Penggugat terbanding yang telah menduduki
tanah tersebut untuk waktu yang lama tanpa gangguan dan bertindak
sebagai pemilik yang jujur harus dilindungi oleh hukum.
44
B. Kerangka Pemikiran
Premis Mayor
Dasar Pendayagunaan TCUN bekas Perkebunan
Tratak:
a. Rechtsverwerking.
b. Peraturan Perundang-undangan: (Pasal 33 UUD
Interpretasi
NRI 1945, Tap MPR
No. IX Tahun 2001,
UUPA, PP No. 11 Tahun 2010, PP No. 224
Tahun 1961, Perkab BPN RI No. 5 Tahun 2011,
UU No 56 Prp Tahun 1960, Keputusan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Nomor
424/KEP-23.3/XI/2015.
Fakta Hukum
Pendayagunaan
Premis Minor
TCUN
Pendayagunaan TCUN bekas Perkebunan Tratak
bekas Perkebunan Tratak
untuk Reforma Agraria
-Peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak
-Peruntukan TCUN bekas
Perkebunan Tratak dalam
mewujudkan
untuk Reforma Agraria
Reforma
dalam mewujudkan Reforma Agraria.
-Proses Redistribusi TCUN bekas Perkebunan
Tratak
berdasarkan
peraturan
perundang-
undangan.
Agraria.
-Proses Redistribusi TCUN
bekas Perkebunan Tratak
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan.
Kesimpulan
-Dapat/tidak dapat mewujudkan reforma agraria
dalam peruntukan TCUN bekas Perkebunan
Tratak.
-Sesuai/tidak sesuai proses redistribusi TCUN
bekas Perkebunan Tratak dengan Peraturan
perundang-undangan.
Bagan 2. Kerangka Pemikiran
45
Keterangan bagan kerangka pemikiran:
Tanah bekas HGU Nomor 1/Batang merupakan tanah yang ditetapkan
sebagai tanah negara yang langsung dikuasai oleh Negara dan merupakan TCUN
yang kemudian menjadi objek reforma agraria. Pendayagunaan TCUN dapat
berikan kepada masyarakat, pemerintah, maupun badan hukum, melalui program
reforma agraria, program strategis negara, dan cadangan negara lainnya.
Peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak berdasarkan Keputusan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 424/KEP23.3/XI/2015 tentang Penetapan Peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara
Terletak di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa
Tengah adalah untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui Program
Reforma Agraria seluas kurang lebih 79,8410 hektar dan Cadangan Negara
Lainnya seluas kurang lebih 10 hektar.
Pendayagunaan TCUN bekas Perkebunan Tratak untuk reforma agraria
pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi
masyarakat sebagaimana telah diamantkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 dan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001, yang mana intinya adalah untuk
memberikan prioritas kepada penduduk miskin untuk memiliki tanah, namun
TCUN bekas Perkebunan Tratak peruntukannya adalah untuk reforma agraria dan
cadangan negara lain. Apakah dengan peruntukkan TCUN bekas Perkebunan
Tratak untuk cadangan negara lain mampu mencukupi kebutuhan tanah untuk
masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan meninjau konsep rechtsverwerking,
ketentuan peraturan perundang-undangan seperti UUD NRI Tahun 1945, Tap
MPR Nomor IX/MPR/2001, Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun
1961, Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011. Dari ketentuan tersebut maka dapat
disimpulkan apakah peruntukan TCUN bekas Perkbunan Tratak sudah
mewujudkan reforma agraria atau belum dan apakah pelaksanaan redistribusi
tanah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Download