BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Hak Menguasai Negara Konstitusi Negara Republik Indonesia telah menggariskan secara normatif kewenangan negara untuk mengatur bidang pertanahan dan sumberdaya alam, yakni dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945, dalam penjelasan Pasal 33 dijelaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”(Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:107). Makna Pasal 33 ayat (3) tersebut kemudian diperkuat dengan lahirnya UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa ”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Hak menguasai negara menurut UUPA dimaknai bahwa negara diberi wewenang sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa Indonesia untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:67). Hak menguasai negara terwujud ke dalam perumusan kebijakan, tindakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap tanah dan kekayaan alam. Tujuan hak menguasai negara adalah untuk mecapai sebesar- 16 17 besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur (Urip Santoso, 2013: 81). Terwujudnya empat indikator kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan hak rakyat sehingga mencapai tiga tujuan utama negara untuk melindungi kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Sebagai suatu perkembangan baru dalam memberikan tafsir terhadap makna dikuasai oleh negara, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Putusan Perkara 001-021-022/PUU-1/2003) bahwa negara mempunyai beherensdaad wewenang dan yang disebut teozichthoudensdaad regelendaad, yakni bestuursdaad, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi. Fungsi pengaturan lewat ketentuan yang dibuat oleh legislatif dan regulasi oleh eksekutif, fungsi pengurusan dengan mengeluarkan atau mencabut ijin, fungsi pengelolaan dilakukan oleh eksekutif dengan cara mendayagunakan penguasaan atas sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan fungsi pengawasan adalah mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaannya benar sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Achmad Sodiki, 2013: 253-254). Hak menguasai negara atas tanah bersumber dari hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan Bangsa Indonesia yang mengandung unsur hukum publik (Urip Santoso, 2013:117). Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendirian oleh Bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Urip Santoso, 2013:118). Hak menguasai negara bukan berarti negara sebagai pemilik tanah, hal tersebut telah dijelaskan di dalam UUPA, yaitu: 18 UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan dikuasai dalam pasal ini bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu untuk pada tingkatan tertinggi: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persedian dan pemeliharaannya. b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Hak menguasai negara ini meliputi seluruh tanah-tanah di Indonesia, baik yang bertuan maupun yang tidak bertuan (tanah yang dikuasai langsung oleh negara), baik yang telah dihaki maupun yang belum dihaki dengan hak perorangan. Tanah-tanah yang dikuasai langsung inilah yang kemudian dikelola oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Hak menguasai negara ini idealnya tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, tetapi untuk pengelolaannya dapat dilimpahkan kepada daerah maupun kepada pihak ketiga dengan memberikan penguasaan tanah tertentu (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:109). Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh orang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 108). Konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum, maka negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, sehingga setiap 19 orang atau badan hukum yang memiliki hak tersebut dapat mempertahankan haknya (Indra Ardiansyah, 2010: 5). Pelaksanaan hak menguasai negara ini dapat dikuasakan kepada daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan peraturan pemerintah (Urip Santoso, 2013:81). Wewenang yang diberikan kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan kewenangan yang sangat penting. Adanya wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tindakan pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat haruslah dapat memberikan keadilan, tidak hanya menguntungkan kepentingan perseorangan maupun golongan-golongan tertentu saja. Peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi, pada mana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya (Apeldoorn, 2001:11). Konsep keadilan yang berkaitan dengan tanah, mengenai transfer power atau kekuasaan atau transfer kesejahteraan di dunia terdapat empat macam, yaitu yang pertama redistribusi, jadi tanah-tanah yang dikuasai akan ditata kembali sisanya diredistribusikan kepada yang memerlukan melalui sistem hukum. Kedua distribusi, yaitu tanah yang dikuasai oleh Negara seperti tanah Hak Pengelolaan. Ketiga stand stillI yang tidak termasuk ke dalam distribusi dan redistribusi. Keempat konsentrasi, yaitu adanya penumpukan, contoh ini properti atau pengembang, pengembang biasanya di kota atau dipinggir-pinggir kota untuk menguasai tanah yang dibeli, pembelian bisa dari 20 masyarakat setelah itu terkonsentrasi di titik-titik pusat tetapi khusus untuk pengembang melalui mekanisme pasar terdistribusikan (Fauzie Kamal Ismail, 2013: 123-124). Cakrawala politik dalam gambaran tradisional terbagi atas dua kubu, yaitu liberalisme dan sosialisme. Liberalisme menonjolkan ide kebebasan (liberty) dan sosialisme dengan ide kesamaan (equality). Sesuai dengan perkembangan, aliran filsafat politik saat ini tidak dapat direduksi sebatas dua ide pokok tersebut. Masing-masing aliran memiliki dan mengemukakan ideide tersendiri seperti kesepakatan kontrak (John Rawls), kebaikan umum (komunitarianisme), kemanfaatan (utilitarianisme), hak (Dworkin) dan androgini (feminisme) (Ridha Aida, 2005: 95). Banyak teori keadilan yang dikemukakan oleh para ahli, seperti Utilitarianisme yang dikemukakan oleh John Stuart Mill dan Jeremy Bentham, Liberalisme, Teori Sosial Rawls, dan Komunitarianisme. Konsep dasar mengenai keadilan menurut John Stuart Mill adalah tentang prinsip Utilitarianisme. Definisi singkat prinsip utilitarian yang dikemukakan oleh John Stuart Mill, yaitu kemanfaatan atau prinsip kebahagiaan terbesar menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan, keliru jika cenderung menghasilkan berkurangnya kebahagiaan. Yang dimaksudkan kebahagiaan adalah kesenangan dan tidak adanya rasa sakit (Karen Lebacqz, 2015: 14). Menurut John Stuart Mill, kekuatan dari perasaan-perasaan yang dimiliki setiap orang mengenai keadilan, dan perasaan kecewa mereka jika terjadi ketidakadilan seperti pada kasus pemberian hukuman berlebih-lebihan terhadap orang yang tidak bersalah. Kuatnya perasaan ini membuat manusia sulit melihat keadilan sebagai bagian dari kemanfaatan. Karana itu, John Stuart Mill berusaha mengukur apakah keadilan bersifat sui generis ataukah sebagai bagian dari kemanfaatan (Karen Lebacqz, 2015: 18). Berdasarkan hal tersebut, John Stuart Mill menyimpulkan bahwa keadilan bukan prinsip terpisah yang muncul secara independen, melainkan merupakan bagian dari kemanfaatan itu sendiri. Keadilan adalah nama bagi persyaratan moral tertentu 21 yang secara kolektif berdiri lebih tinggi di dalam skala kemanfaatan sosial, karenanya menjadi kewajiban yang lebih dominan ketimbang persyaratan moral lainnya. John Stuart Mill mengadopsi konsep dasar Hume bahwa keadilan tidak muncul dari sekedar insting asal yang sederhana di dada manusia, melainkan dari kebutuhan akan dukungan masyarakat. Keadilan adalah nama bagi persyaratan moral tertentu yang secara kolektif berdiri lebih tinggi di dalam skala kemanfaatan sosial, oleh karena itu menjadi kewajiban yang lebih dominan ketimbang persyaratan moral lainnya (Karen Lebacqz, 2015: 19). Sedangkan teori utility menurut Jeremi Bentham (tahun 1748-1832) seorang ahli hukum dari Inggris dalam bukunya “Introduction to the morals an legislation” menyatakan bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Jeremy Bentham merupakan pemimpin aliran pemikiran “kemanfaatan”. (Utrecht, 1957 dalam Ridwan Syahrani, 1999: 21). Dengan begitu berarti teori ini mengijinkan kehilangan bagi sejumlah orang demi memenuhi pencapaian orang lain. Hal tersebut tentunya tidak adil, karena mengakibatkan beberapa orang akan mendapat sedikit agar orang lain mendapat banyak. Teori utility ini dikritik oleh John Rawls karena memiliki kekurangan. Kekurangan yang pertama yaitu karena teori utility mengidentikan keadilan sosial dengan keadilan individual, dan kedua karena teori utility bercorak teolologis. Menurut Rawls, utilitarianisme memahami keadilan sebagai “kebahagiaan terbesar bagi semua atau setidaknya bagi sebanyak mungkin orang” (the greatest hapiness of the greatest number), dengan begitu berarti utilitarianisme tidak mempedulikan, kecuali tidak langsung, bagaimana total kebahagiaan itu didistribusikan di antara individu, serta ia juga tidak peduli bagaimana satu orang mendistribusikan kebahagiannya pada setiap kurun waktu yang berbeda. Dengan kata lain, utilitarianisme gagal merumuskan keadilan karena telah mengorbankan kepentingan individu untuk kepentingan masyarakat. Selain itu, utilitarianisme juga gagal sebagai teori moral karena 22 bercorak teleologis, yakni: lebih memprioritaskan manfaat atau utility (the good) ketimbang kewajiban. Padahal, kata Rawls, konsep keadilan sosial tidak ada sangkut-pautnya dengan konsep kebaikan berupa rasa iba, belas kasihan dan sebagainya. Sebab keadilan sosial lebih terkait dengan masalah struktur dasar masyarakat dalam menetapkan beban dan kewajiban individu dalam suatu kerja sama sosial (John Rawls, 1971: 4-5). John Rawls lebih mengartikan keadilan sebagai kesetaraan. Menurut John Rawls, penegakan keadilan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yang pertama yaitu memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas-seluasnya yang sama bagi setiap orang. Yang kedua yaitu mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan bagi semua orang dan semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. (John Rawls, 1995: 72). Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsipprinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan posisi asali (original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan sebagainya. Sehingga orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang. Sedangkan konsep selubung ketidaktahuan bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakkan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang telah berkembang (Pan Mohamad Faiz, 2009: 140). Keadilan sebagai kesetaraan menyediakan pandangan yang jelas berbeda dari kaum utilitarian. Prinsip keadilan diperoleh bukan dengan megevaluasi kemanfaatan dari tindakan-tindakan (atau kecenderungan tindakan) melainkan dari pilihan rasional di dalam kondisi yang adil. Hal ini berbeda dengan pendekatan utilitarian Mill, yang mana menjadikan individu 23 rapuh terhadap tuntutan kebaikan terbesar orang lain, sedangkan prinsip Rawls jelas melindungi pihak-pihak yang paling kurang beruntung dalam masyarakat (Karen Lebacqz, 2015: 61). Prinsip pembedaan menjadi inti dari substansi teori keadilan menurut Rawls. Prnsip ini mengijinkan sejumlah ketidaksetaraan di dalam pendistribusian, namun jika hanya hal itu dapat melindungi bahkan memperbaiki posisi mereka yang kurang beruntung di masyarakat (Karen Lebacqz, 2015: 56). Teori keadilan sosial Rawls, mendapat banyak kritikan terutama adalah dari kaum komunitarian yang ajaranya disebut komunitarianisme. Komunitarianisme berbeda dengan sosialisme dan marxisme. Jika marxisme melihat masyarakat sebagai sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui suatu perubahan revolusioner pada masyarakat, dengan penggulingan kapitalisme dan menggantinya dengan masyarakat tanpa kelas atau dalam bentuk masyarakat sosialis. Komunitarianisme justru menganggap bahwa masyarakat sudah ada, dalam bentuk tradisi-tradisi kultural, praktek-praktek dan pemahaman sosial bersama. Masyarakat tidak perlu didirikan lagi, tapi lebih butuh untuk diakui, dihargai dan dilindungi, dengan cara memperhatikan hakhak keanggotaan kelompok. Bagi komunitarianisme, masyarakat adalah satu masyarakat yang sama dan bebas (Ridha Aida, 2005: 99). Ada dua pandangan yang dikemukakan tentang komunitarianisme. Pertama, sebagai pandangan positif, komunitarianisme dinilai sebagai salah satu perspektif dalam filsafat politik yang menekankan nilai etis dan psikologis sosial dari anggota-anggota komunitas. Justifikasi dari pertimbangan etika ditentukan oleh fakta-fakta yang berada dalam konteks pemahaman kultural dan tradisi-tradisi komunitas. Kedua, sebagai pandangan negatif, komunitarianisme dinilai sebagai anti liberalisme. Komunitarianisme menekankan ketergantungan dan keterikatan individu pada komunitasnya. Karenanya, liberalisme dengan otonomi individunya dinilai menjadikan manusia transenden, terlepas dan terpisah dari keberadaan komunitasnya (Ridha Aida, 2005: 99). 24 Sedangkan liberalisme beranggapan bahwa individu adalah pencipta dan penentu tindakannya. Dengan konsep seperti ini, maka kesuksesan dan kegagalan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh tindakantindakannya dan pilihan-pilihan terhadap tindakan tersebut. Intinya, manusia memiliki kebebasan dalam hidupnya, manusia adalah pribadi yang otonom (Ridha Aida, 2005: 96). Dalam perkembangannya, ada dua corak liberalisme, liberalisme yang dipelopori oleh John Locke dan liberalisme yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau. John Locke berpendapat bahwa kebebasan yang menjadi nilai dasar liberalisme dipahami sebagai ketidakhadiran intervensi eksternal dalam aktivitas-aktivitas individu. Kebebasan adalah hak properti privat. Karenanya, pemerintah bersifat terbatas (minimal) terhadap kehidupan warganya. Untuk itu harus ada aturan hukum yang jelas dan lengkap dalam menjamin kebebasan sebagai hak properti privat ini. Di sisi lain Rousseau berpendapat bahwa pemerintah harus tetap berfungsi menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam masyarakat (Ridha Aida, 2005: 99). 2. Tinjauan Tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak ditetapkannya keputusan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang Hak atas bendabenda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan (Rendy Octavianus Dumais, 2014: 44). Apabila bekas Pemegang Hak tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka benda-benda di atasnya tidak lagi menjadi miliknya dan dikuasai langsung oleh Negara. Tanah negara bekas tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dikuasai langsung oleh negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, merupakan Tanah Cadangan Umum Negara yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar secara khusus diatur dalam Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar, yang kemudaian dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: “tanah yang sudah ditetapkan sebagai tanah terlantar, 25 dihapuskan haknya, diputus hubungan hukumnya, dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara merupakan Tanah Cadangan Umum Negara”. Pengalokasian Tanah Cadangan Umum Negara disesuaikan dengan ketersediaan tanah dan dilaksanakan apabila tanahnya tidak dalam keadaan sengketa fisik dan sengketa yuridis. Kepastian obyek tidak dalam sengketa diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan pendayagunaan Tanah Cadangan Umum Negara, hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa Tanah Cadangan Umum Negara tidak dalam sengketa fisik dan sengketa yuridis. (Fauzie Kamal Ismail, 2013: 130). Pendayagunaan tanah negara jika ditinjau dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 2 Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, maka Tanah Cadangan Umum Negara tersebut didayagunakan untuk masyarakat yang mana tujuannya adalah untuk memberikan kemakmuran bagi rakyat. Namun, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar juncto Pasal 4 ayat (2) Perkap BPN RI Nomor 5 tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar ada tiga kemungkinan cara dalam peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah telantar, yang mana ketiga cara tersebut adalah melalui: a. Reforma agraria Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah) (http://www.bpn.go.id/Program?Reforma-Agraria diakses pada hari Rabu, 13 April 2016 Pukul 13.22 WIB). Di dalam pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tahun 2007, menyatakan bahwa: Reforma Agraria adalah penataan kembali pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah dengan tujuan mengatasi kemiskinan, mengembangkan kesempatan kerja, secara sistematik megatasi sengketa dan konflik pertanahan, menata kembali pemanfaatan, 26 penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan menata ketidakadilan seperti adanya sebagian kelompok masyarakat memiliki tanah yang sangat luas namun tidak menguasai, tidak memanfaatkan dan tidak menggunakannya sedangkan disisi lain ada masyarakat yang tidak mempunyai tanah, membuka akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik, meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup” (Fauzie Kamal Ismail, 2013: 123). Sedangkan pengertian Reforma Agraria menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar adalah “kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat”. Maksud dari reforma agraria adalah untuk menciptakan sumbersumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria, menata kehidupan masyarakat yang lebih baik berkeadilan, meningkatkan keberlanjutan sistem kemasyarakatan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia serta penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainya secara optimal, penyelesaian sengketa tanah atau meningkatkan harmoni kemasyarakatan (Rendy Octavianus Dumais, 2014: 46). Sedangkan tujuaannya adalah untuk: 1) mengurangi kemiskinan, 2) menciptakan lapangan kerja, 3) memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, 4) menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria, 5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan, 6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, 7) meningkatkan ketahanan pangan dan energi masyarakat (http://www.bpn.go.id/Program?Reforma-Agraria diakses pada hari Rabu, 13 April 2016 Pukul 13.22 WIB). Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 menetapkan 12 (dua belas) prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yakni sebagai berikut: 27 1) Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusi; 3) Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 4) Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; 5) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat; 6) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria atau sumber daya alam; 7) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memerhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; 8) Melakukan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; 9) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; 10) Mengakui, menghormati, serta melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria atau sumber daya alam; 11) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat, dan individu; dan 12) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat. 28 Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Program reforma agraria pada dasarnya ditujkan untuk penduduk miskin di pedesaan, baik petani, nelayan, maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemunkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (pedesaan dan perkotaan) (http://www.bpn.go.id/Program?Reforma-Agraria diakses pada hari Rabu, 13 April 2016 Pukul 13.22 WIB). Sedangkan yang menjadi objek reforma agraria adalah tanah-tanah yang terkena landreform, antara lain tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah bekas swapraja, tanah negara yang ditegaskan sebagai landreform (Republika, 2016). Dalam tataran operasional, reforma agraria di Indonesia dilaksanakan melalui dua langkah yaitu: 1) Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UUPA; dan 2) Proses penyelenggaraan Landreform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan pentaan akses masyarakat terhadap sumbersumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam penyelenggaraan landreform plus diselenggarakan dua hal penting yaitu asset reform dan acces reform. Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk masyarakat melalui program Reforma Agraria berdasar Pasal 20 Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar, dimanfaatkan untuk pertanian dan non pertanian dengan memperhatikan hasil pertimbangan teknis Tim Nasional. Pertimbangan teknis Tim Nasional tersebut didasarkan pada kepentingan Strategis Nasional; Rencana Umum Tata Ruang; Luas Tanah Cadangan Umum Negara hasil pengukuran keliling; dan Kesesuaian tanah dan daya 29 dukung wilayah untuk masing-masing jenis peruntukannya (Fauzie Kamal Ismail, 2013:131-132). Konsep Reforma Agraria pada hakikatnya mencakup tiga hal sebagai berikut: 1) Konsep landreform atau asset reform, yakni penataan kembali struktur penguasaan kepemilikan tanah (Muhammad Ilham Arisaputra, 20015:21). Asset reform yang dimaksud oleh Joyo Winoto sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ilham Arisaputra merupakan penataan kembali pemilikan dan penguasaan tanah melalui legislasi aset yang terdiri atas 3 program, yakni dimulai dari penatagunaan tanah (land use planing) kemudian diikuti oleh konsolidasi tanah (land consolidation), dan yang terakhir adalah sertifikasi tanah nasional melalui program inventarisasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T), Larasita, prona, dan ajudikasi, serifikasi tanah usaha mikro kecil dan menengah, LMPDP dan pengelolaan wilayah pesisir. Ketiga jenis kegiatan tersebut dilaksanakan untuk melengkapi program landreform yang berupa redistribusi tanah. Jadi setelah tanah-tanah objek reforma agraria dibagikan, maka kemudian dilanjutkan oleh legislasi atas tanah tersebut. Ide dasar legislasi aset ini adalah untuk memberikan dan mempermudah akses masyarakat kepada permodalan karena bisa menggunakan asetnya secara formal dalam sistem ekonomi; 2) Konsep acces reform, yakni berkaitan dengan penataan penggunaan atau pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai penataan dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah pedesaan. Akses tersebut antara lain akses sarana dan prasarana pertanian, pengairan, jalan, usaha tani, pemasaran produksi, koperasi usaha tani, dan perbankan (kredit usaha rakyat) (Muhammad Ilham Arisaputra, 20015:21). Acces reform dibangun dengan rangkaian yang terkait dan berkesinambungan antara pemerintah atau pemerintah daerah, 30 penerima manfaat (subjek reforma agraria), badan usaha profesional, badan usaha patungan yang dibentuk oleh penerima manfaat, dan lembaga keuangan dalam rangka mengusahakan anah-tanah objek reforma agraria (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 161). Jadi untuk mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan dan mencapai kemakmuran, maka harus ada kerjasama yang baik antara ketiga pihak tersebut, yaitu pemerintah, masyarakat, dan pelaku ekonomi; 3) Konsep policy atau regulation reform, yakni berkenaan dengan pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak kepada rakyat banyak (Muhammad Ilham Arisaputra, 20015:21). Negara memiliki tanggungjawab untuk menyediakan akses-akses tersebut kepada masyarakat, khusunya petani miskin. Melalui penyediaan akses tersebut, diharakan dapat tercipta keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khusunya masyarakat petani. Jika dijabarkan dalam bagan, konsep reforma agraria adalah sebagai berikut: Reforma Agraria Aspek Landreform: Penguasaan tanah Pemilikan tanah Akses ke tanah: Distribusi tanah Privatisasi tanah kolektivitas Aspek Acces reform Pemanfaatan tanah Penggunaan tanah Akses ke penunjang tanah Sarana dan prasarana pertanian Infrastruktur Pemasaran produksi Koperasi usaha tani Kredit Usaha Rakyat Teknologi pertanian Penyuluhan dan pelatihan Aspek Regulation Reform: Pengaturan kebijakan pro rakyat Pembuatan regulasi yang lebih menjamin keadilan Perangkat hukum yang memadai Sinkronasi aturan hukum (UU) Administrasi tanah Sertifikasi tanah Pendaftaran tanah Sumber: Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 22. Bagan 1. Konsep dan Cakupan Reforma Agraria 31 Reforma agraria adalah jalan yang perlu ditempuh untuk menjamin pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk ketahanan pangan. Pemenuhan hak-hak tersebut merupakan kewajiban negara untuk mengusahakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Reforma agraria merupakan strategi penting dalam menjamin hak atas tanah, karena dengan kepastian hak atas tanahnya, maka para petani kecil, petani yang menggarap lahan pertanian milik orang lain secara bagi hasil, dan buruh tani yang telah berubah menjadi pemilik tanah akan lebih terdorong untuk meningkatkan produksi pertaniaannya. Untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial memerlukan kerjasama yang baik dan kuat antara seluruh komponen Indonesia, khususnya tiga komponen utama, yakni masyarakat atau komunitas, pemerintah (sebagai representasi negara), dan pelaku ekonomi (khusunya swasta) ketiga komponen tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan dan pemilikan yang akan menimbulkan beberapa kepentingan sosial ekonomi masing-masing komponen berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 104). b. Program strategis negara Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk program strategis negara dimanfaatkan antara lain untuk pengembangan sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan dalam Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar, yang kemudian pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara diperuntukan bagi: 1) Masyarakat Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk masyarakat dilaksanakan melalui reforma agraria dengan kekhususan pengembangan sektor pangan, energi, dan perumahan rakyat. 32 2) Badan hukum Badan hukum calon penerima Tanah Cadangan Umum Negara melalui program strategis negara wajib memenuhi persyaratan: a) bukan bekas pemegang hak tanah terlantar; b) tidak memiliki hubungan hukum dengan bekas pemegang hak tanah terlantar. Hubungan hukum yang dimaksud di sini berupa: (1) hubungan antara 2 (dua) badan hukum, yang 1 (satu) atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris sama; (2) hubungan antara badan hukum dengan pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh badan hukum tersebut; (3) hubungan antara 2 (dua) badan hukum yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung oleh pihak yang sama; (4) hubungan antara badan hukum dengan pemegang saham utama. Apabila dikemudian hari terbukti penerima Tanah Cadangan Umum Negara ternyata memiliki hubungan-hubungan tersebut, maka dibatalkan sebagai penerima Tanah Cadangan Umum Negara dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai kembali oleh negara. 3) Kerjasama masyarakat dan badan hukum; c. Cadangan Negara lainnya Pelaksanaan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk cadangan negara lainnya, berdasarkan Pasal 27 Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar dengan mempertimbangkan ketersediaan tanah, kesesuaian tanah, dan kemampuan tanah bagi kepentingan nasional. Pelaksanaan Peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk cadangan negara lainnya, dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya 33 bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum. Berdasarkan Pasal 30 Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar, untuk mendukung kelancaran proses pengolahan data pendayagunaan Tanah Cadangan Umum Negara, dibangun basis data Tanah Cadangan Umum Negara yang meliputi data tekstual dan data spasial. Jadi setiap perubahan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah Cadangan Umum Negara harus dicatat dalam basis data. Sistem pengelolaan basis data Tanah Cadangan Umum Negara harus terintegrasi dengan sistem pendataan di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Pembangunan basis data tekstual dan data spasial dilakukan secara berjenjang dari Kantor Wilayah ke Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya dalam Pasal 31 menyatakan bahwa basis data Tanah Cadangan Umum Negara, meliputi: 1) Status hak atas tanah sebelum ditetapkan sebagai Tanah Cadangan Umum Negara; 2) Letak, batas, dan luas tanah; 3) Penggunaan dan penguasaan tanah; 4) Peta administrasi; 5) Rencana tata ruang wilayah; 6) Kemampuan tanah; 7) Peta pendaftaran tanah; 8) Penggarapan; dan 9) Data pertanahan lainnya. Basis data Tanah Cadangan Umum Negara tersebut dipergunakan untuk keperluan dalam mendukung hal-hal sebagai berikut: 1) Analisa peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara untuk kepentingan program reforma agraria, program strategis negara, dan peruntukan cadangan negara lainnya; 34 2) Analisa pemanfaatan Tanah Cadangan Umum Negara untuk masyarakat, pemerintah, dan badan hukum; 3) Penyusunan peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara; 4) Penentuan calon penerima Tanah Cadangan Umum Negara, letak dan luas bagian tanah yang akan diterima, serta letak dan luas fasilitas umum dan fasilitas sosial; 5) Pendistribusian Tanah Cadangan Umum Negara kepada calon penerima; 6) Sarana pengawasan, pengendalian, dan pelaporan Tanah Cadangan Umum Negara; dan/atau 7) Keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Tinjauan Tentang Pengaturan Redistribusi Tanah Obyek Landreform Landreform adalah upaya penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang lainnya atau yang menyertainya ditujukan untuk mencapai keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber penghidupannya tergantung pada produksi pertanian dan/atau sumber daya alam tersebut (Gunawan Wiradi, 2001: 127). Ketentuan landreform dalam UUPA bermaksud mengadakan perombakan struktur pemilikan tanah sehingga mencerminkan pemerataan pemilikan tanah terutama bagi kesejahteraan petani dan buruh tani pada umumnya (Gunawan Wiradi, 2001:80). Roy L. Prosterman dan Tim Hanstad dalam jurnalnya yang berjudul Land Reform in the Twenty-First Century: New Challenges, New Responses (2006:763) mendenifisikan landreform sebagai berikut: Land reform broadly to include reforms that increase the ability of the rural poor and other socially excluded groups to gain access and secure rights to land. Land reform has often been understood to include only redistributing land or landownership. We also include reforms that provide greater tenure security and rights to existing possessors of land. Landreform menurut Roy L. Prosterman dan Tim Hanstad dapat diartikan bahwa Landreform secara luas mencakup pembaruan yang dapat 35 meningkatkan kemampuan masyarakat miskin di pedesaan dan kelompok sosial yang diabaikan untuk mendapatkan akses yang aman untuk mendapat hak atas tanah. Landreform seringkali dipahami hanya mencakup redistribusi tanah atau kepemilikan tanah. Tetapi juga mencakup reformasi yang memberikan jaminan kepemilikan yang lebih besar dan hak bagi tanah yang sudah ada pemiliknya. Menurut landasan konstitusional sehubungan dengan pengaturan landreform di Indonesia dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) Agraria dituangkan dalam peraturan hukum dan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari makna yang terkandung dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Di sini Negara menjadikan dasar kebijakan untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) berupa tanah, dimana Negara berkewajiban untuk (Sapriadi, 2015: 373): a. Bahwa segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta hasil yang didapat didalamnya (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi dan air yang dapat dihasilkan secara langsung oleh rakyat; c. Mencegah agar rakyat tidak kehilangan atau kesempatan hak atas bumi, air dan isinya; dan d. Berhak untuk menguasai dan mengelola tanah. Landreform merupakan perubahan secara mendasar mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Program-program landreform meliputi (Urip Santoso, 2013:219): a. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas; b. Larangan pemilikan tanah secara absente; 36 c. Redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan absente, tanah bekas swapraja, dan tanah negara lainnya; d. Pengaturan soal pengambilan dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan f. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah yang terlampau kecil. Salah satu program landreform adalah larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, ditentukan bahwa batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang diperbolehkan adalah sebagai berikut: Tabel: 1 Batas Maksimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah No Di daerah-daerah yang Sawah (Hektar) 1 Tidak Padat 2 Padat: Tanah Kering (hektar) 15 20 a. Kurang padat 10 12 b. Cukup padat 7,5 9 c. Sangat padat 5 6 Sumber: Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Berkenaan dengan larangan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas ini, maka bagi orang-orang atau keluarga yang menguasai tanah pertanian yang melampaui batas diwajibkan melaporkan ke Kantor Agraria setempat. Segala perbuatan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah agar tidak terkena atau terhindar dari ketentuan 37 wajib lapor tidak diperkenankan, kecuali telah ada ijin dari Kepala Kantor Agraria setempat (Sapriadi, 2015: 379). Selain ketentuan batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian juga ditentukan mengenai batas minimum pemilikan tanah pertanian diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUPA, yaitu: “Dengan mengingat ketentuan Pasal 7, maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum”. Selanjutnya dalam Pasal 17 ayat (4) UUPA dinyatakan bahwa: “Tercapainya batas minimum termasuk dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur”. Peraturan prundang-undangan yang melaksanakan ketentuan Pasal 17 UUPA adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Maksud ditetapkannya batas minimum pemilikan tanah pertanian adalah agar petani yang bersangkutan mendapatkan penghasilan yang cukup/layak untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Batas minimum pemilikan tanah pertanian oleh petani sekeluarga menurut Pasal 8 UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian adalah seluas 2 hektar, tanpa mempersoalkan apakah tanah pertanian tersebut berupa tanah sawah atau tanah kering, atau tanah sawah dan tanah kering (Urip Santoso, 2013: 234). Berkaitan dengan ketentuan batas maksimum dan minimum pemilikan tanah, maka dilakukan redistribusi tanah. Redistribusi tanah adalah pembagian tanah yang dikuasi oleh negara yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Kerugian yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata (Sapriadi, 2015:372). Hal tersebut merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 17 ayat (3) UUPA, yaitu: 38 “Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan menurut ketentuan dalam peraturan pemerintah”. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, menetapkan tanah-tanah yang akan dibagikan (diredistribusikan) dalam rangka pelaksanaan landreform adalah: a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Tanah-Tanah yang Jatuh Pada Negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut; b. Tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah atau terkena larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara; dan d. Tanah-tanah yang dikuasi langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selain tanah-tanah tersebut di atas, tanah-tanah yang akan dibagikan oleh negara kepada rakyat yang membutuhkan adalah tanah-tanah bekas perkebunan besar dan tanah-tanah bekas tanah partikelir (Urip Santoso. 2013:222). Pasal 8 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Kerugian menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh petani yang menerima redistribusi tanah, yaitu (Urip Santoso, 2013: 223): a. Petani penggarap atau buruh tani tetap berkewarganegaraan Indonesia; dan b. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah pertanian yang bersangkutan atau bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan letak tanah yang bersangkutan. 39 Terhadap luas tanah yang akan diredistribusikan sangat sedikit yang tidak sebanding dengan jumlah petani yang memerlukan tanah pertanian, maka menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Kerugian diadakan pembagian tanah dengan hak milik, yaitu kepada: a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; b. Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan; d. Penggarap yang belum sampai 3 (tiga) tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e. Penggarap yang mengerjakan tanah hak milik; f. Penggarap tanah yang-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan lain; g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar; h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar; dan i. Petani atau buruh tani lainnya. 4. Tinjauan Tentang Rechtsverwerking Sistem pendaftaran tanah yang digunakan UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan negatif murni, hal ini mengandung konsekuensi, bahwa Pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran. Tetapi biarpun demikian sistemnya juga bukan positif. Dalam sistem positif, data yang disajikan dijamin kebenarannya, bukan hanya berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (Boedi Harsono, 1999:83). Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa kelemahan sistem publikasi negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi 40 dengan menggunakan lembaga acquisideve verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Rechtsverwerking merupakan asas berkaitan dengan proses terjadinya dan diperolehnya hak atas tanah oleh masyarakat. Setiap warga yang membuka tanah dan membangun hubungan hukum dengan tanah tidak secara otomatis dan langsung memperoleh hak atas tanah, namun ada tahapantahapan yang harus dilalui sebagai wujud keseriusan dalam membangun hubungan hukum dengan tanah tersebut. Keseriusan ini ditunjukkan dengan adanya penguasaan dan pemanfaatan tanah secara terus menerus sehingga terbangun hubungan hukum yang semakin menguat (Nurhasan Ismail, 2007: 185). Penguasaan dan pemanfaatan tanah yang berlanjut secara terus berlanjut dan tidak pernah terputus, maka hubungan hukum antara warga yang bersangkutan dengan tanah akan berubah menjadi Hak Mlik (Nurhasan Ismail, 2007: 186). Intensitas penguasaan dan pemanfaatan tanah tersebutlah yang menjadi dasar apakah masyarakat dapat memperoleh hak atas suatu tanah. Meskipun demikian, terdapat ketentuan batasan waktu tertentu sebagai dasar menentukan hilangnya hak seseorang atas tanah, setelah jangka waktu tertentu orang yang mempunyai tanah tidak lagi menggunakan atau mengusahakannya, maka yang bersangkutan akan kehilangan hak atas tanahnya atau hak atas tanahnya menjadi hapus (Nurhasan Ismail, 2007: 187). Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa: Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara 41 tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut merupakan penerapan dari lembaga hukum rechtsverwrking, yaitu lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik (Boedi Harsono. 2005:67). Maksudnya yaitu apabila seseorang mempunyai tanah tetapi selama jangka waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak terurus, dan tanah itu dipergunakan oleh orang lain dengan itikad baik, dia tidak dapat menuntut lagi pengembalian tanah dari orang yang menguasainya tersebut (Nuryani, 2011:46). Atau dengan kata lain bahwa rechtsverwerking ini adalah lembaga yang dengan lampaunya waktu, di mana: a. Orang yang telah memegang hak atas tanahnya menjadi kehilangan haknya karena selama waktu tertentu tidak mengusahakan hak atas tanah tersebut; dan b. Orang yang dengan itikad baik telah menguasai dan memanfaatkan bidang tanah tersebut, berhak untuk memperoleh hak atas tanah yang telah dimanfaaatkan olehnya tersebut (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004: 83-84). Selain berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, adanaya lembaga Rechtsverwerking juga didasarkan pada Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa: “Untuk memperoleh Hak Milik atas sesuatu diperlukan bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, di muka umum dan secara tegas sebagai pemilik”. Selanjutnya dalam Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa: Siapa yang dengan itikad baik,dan berdasarkan suatu alasan hak yang sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun. 42 Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alasan haknya. Rechtsverwerking dapat diartikan sebagai akibat yang timbul dari suatu pelepasan hak atau akibat yang timbul karena tidak melakukan suatu perbuatan hukum yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan seseorang oleh hukum, sehingga sesuatu hak menjadi hilang. Prinsip Rechtsverwerking tersebut sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mendapat pengukuhan dan penerapan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut (Erpinka Aprini, 2007: 26-28): a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 210/K/Sip/1955. Kasus ini terjadi di Kabupaten Pangdeglang, Jawa Barat. Gugatan dinyatakan tidak diterima, oleh karena para penggugat dengan mendiamkan soalnya sampai 25 tahun, harus dianggap menghilangkan haknya (rechtsverwerking). Mahkamah Agung berpendapat, bahwa pembeli sawah kini patut dilindungi, oleh karena dapat dianggap, bahwa ia adalah beritikad baik dalam membeli sawah itu dari seseorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah. b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 329 K/Sip/1957. Bahwa berdasarkan kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah yang ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali menjadi tanah kosong, sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsungnya masa 5 tahun adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak memberikannya. c. Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 September 1958 Nomor 239/K/Sip/1957 Kasus terjadi di Tapanuli Selatan, bahwa walaupun si penggugat asli yang masih dibawah umur, adalah yang berhak atas sawah itu, tapi ibunya yang berkewajiban sebagai wali untuk memelihara hak si penggugat asli sampai ia menjadi dewasa, dan dalam perkara ini tampak kelalaian ibu penggugat asli dengan tidak bertindak sama sekali sehingga tanah tersebut dapat dikuasai oleh tergugat asli selama lebih kurang 18 43 tahun, dan karena kelalaian itu atas dasar penganggapan melepaskan hak (rechtsverwerking) penggugat asli dianggap telah melepaskanhak atas tanah sengketa d. Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Nopember 1958 Nomor 361/K.Sip/1958. Pengadilan Tinggi yang mempergunakan alat hukum pelepasan hak (rechtsverwerking) tanpa semau dari pihak tergugat adalah melanggar tata tertib dari hukum acara, maka putusannya yang berdasar pada pelepasan hak itu harus dibatalkan. e. Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Maret 1975 Nomor 1192 K/Sip/1973. Kasus terjadi di Padang Sidempuan, bahwa menurut peraturan adat setempat hak seseorang atas tanah usahanya menjadi gugur apabila ia cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung/Kepala kampung untuk mengerjakannya tetapi teguran itu dihiraukan, dalam hal ini bolehlah tanah tersebut oleh Kepala Persekutuan Kampung.Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya. f. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 1976 Nomor 783 K/Sip/1973. Bahwa penggugat terbanding telah menduduki tanah tersebut secara terus-menerus selama 27 tahun tanpa digugat. Bahwa benar hukum adat yang berlaku bagi kedua belah pihak tidak mengenal lembaga “verjaring” tetapi hukum adat mengenal lembaga “pengaruh lampau waktu”. Bahwa seandainya memang penggugat terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa tergugat sampai sekian lama menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut minimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking). Bahwa Penggugat terbanding yang telah menduduki tanah tersebut untuk waktu yang lama tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur harus dilindungi oleh hukum. 44 B. Kerangka Pemikiran Premis Mayor Dasar Pendayagunaan TCUN bekas Perkebunan Tratak: a. Rechtsverwerking. b. Peraturan Perundang-undangan: (Pasal 33 UUD Interpretasi NRI 1945, Tap MPR No. IX Tahun 2001, UUPA, PP No. 11 Tahun 2010, PP No. 224 Tahun 1961, Perkab BPN RI No. 5 Tahun 2011, UU No 56 Prp Tahun 1960, Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Nomor 424/KEP-23.3/XI/2015. Fakta Hukum Pendayagunaan Premis Minor TCUN Pendayagunaan TCUN bekas Perkebunan Tratak bekas Perkebunan Tratak untuk Reforma Agraria -Peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak -Peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak dalam mewujudkan untuk Reforma Agraria Reforma dalam mewujudkan Reforma Agraria. -Proses Redistribusi TCUN bekas Perkebunan Tratak berdasarkan peraturan perundang- undangan. Agraria. -Proses Redistribusi TCUN bekas Perkebunan Tratak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kesimpulan -Dapat/tidak dapat mewujudkan reforma agraria dalam peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak. -Sesuai/tidak sesuai proses redistribusi TCUN bekas Perkebunan Tratak dengan Peraturan perundang-undangan. Bagan 2. Kerangka Pemikiran 45 Keterangan bagan kerangka pemikiran: Tanah bekas HGU Nomor 1/Batang merupakan tanah yang ditetapkan sebagai tanah negara yang langsung dikuasai oleh Negara dan merupakan TCUN yang kemudian menjadi objek reforma agraria. Pendayagunaan TCUN dapat berikan kepada masyarakat, pemerintah, maupun badan hukum, melalui program reforma agraria, program strategis negara, dan cadangan negara lainnya. Peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 424/KEP23.3/XI/2015 tentang Penetapan Peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara Terletak di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah adalah untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui Program Reforma Agraria seluas kurang lebih 79,8410 hektar dan Cadangan Negara Lainnya seluas kurang lebih 10 hektar. Pendayagunaan TCUN bekas Perkebunan Tratak untuk reforma agraria pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat sebagaimana telah diamantkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001, yang mana intinya adalah untuk memberikan prioritas kepada penduduk miskin untuk memiliki tanah, namun TCUN bekas Perkebunan Tratak peruntukannya adalah untuk reforma agraria dan cadangan negara lain. Apakah dengan peruntukkan TCUN bekas Perkebunan Tratak untuk cadangan negara lain mampu mencukupi kebutuhan tanah untuk masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan meninjau konsep rechtsverwerking, ketentuan peraturan perundang-undangan seperti UUD NRI Tahun 1945, Tap MPR Nomor IX/MPR/2001, Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, Perkap BPN RI Nomor 5 Tahun 2011. Dari ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan apakah peruntukan TCUN bekas Perkbunan Tratak sudah mewujudkan reforma agraria atau belum dan apakah pelaksanaan redistribusi tanah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.