BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi dua samudera besar yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Oleh karena aktivitas tektonik masa lampau, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-australia, dan lempeng Pasifik yang menyebabkan Indonesia memiliki ragam topografi bawah laut. Lempeng Eurasia membelah benua Asia yang jalurnya berada di sepanjang pesisir barat Sumatera, pesisir selatan Jawa sampai Nusa Tenggara kemudian membelok ke Utara melalui Halmahera dan Maluku, menembus bagian tengah Sulawesi dan terus ke utara menuju Filipina dan Jepang. Pergerakan lempeng ini membentuk dasar dari Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa termasuk dasar dari Selat Malaka, Laut Cina Selatan bagian selatan, Teluk Thailand, dan Laut Jawa. Dangkalan ini ditandai dengan kedalaman laut yang paling dalam yaitu 200 meter pada dasar Pulau Kalimantan, Selat Bali, dan Pesisir Barat Pulau Sumatera yang kemudian dikenal sebagai Dangkalan Sunda. Selain dangkalan Sunda, lempeng Eurasia juga memisahkan perairan timur Indonesia yang terdiri atas laut-laut yang dalam (Laut Banda, Laut Flores, Selat Makassar,dll) dengan Dangkalan Sahul. Lempeng Indo-Australia membentuk Dangkalan Sahul yang menghubungkan Papua bagian Selatan, dimulai dari Pegunungan tengah Papua sampai Papua Nugini, dengan Benua Australia. Dan Lempeng Pasifik membentuk Papua bagian utara, dimulai dari Pegunungan tengah Papua ke arah Perairan utara Papua sehingga perairan utara Papua merupakan bagian dari cekungan Samudera Pasifik. Akibat pergerakan lempeng-lempeng ini, Perairan Indonesia memiliki topografi bawah laut yang berragam. Kondisi topografi bawah laut dan letak Indonesia yang diapit dua samudera besar menghasilkan dinamika oseanografi yang tidak dijumpai di benua lainnya. Perbedaan ketinggian antara Samudera Pasifik dengan Hindia menyebabkan tekanan air dari Pasifik menuju Hindia dan memicu aliran arus yang dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia atau Arlindo (Hasanudin,1998). 1 Arlindo memiliki dua jalur lintasan, Lintasan pertama dimana sebagian besar air ditransfer adalah melalui Laut Sulawesi dan Selat Makassar yang kemudian menuju selat Lombok, Laut Flores, dan Laut Banda dan berakhir di Samudera Hindia. Sedangkan lintasan kedua melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku ,kemudian menuju Laut Banda. Untuk sampai ke Samudera Hindia, arlindo dari Laut Banda pada lintasan kedua ini ada yang melewati Selat Lifamatola atau melewati Laut Timor. Arus Lintas Indonesia ini membuat perairan Indonesia terutama wilayah timur menjadi subur akibat adanya proses upwelling dan proses pencampuran serta interaksi air dengan udara yang menyebabkan kandungan nutrisi dan mineral menjadi kaya pada lapisan laut dalam. Posisi Indonesia yang berada di sepanjang garis ekuator dan diantara Benua Asia serta Australia turut mempengaruhi iklim dan cuaca yang terjadi yang dikenal sebagai iklim monsoon. Akibat dari Monsoon ini, Indonesia memiliki dua musim yaitu musim hujan atau musim baratan yang terjadi pada bulan Desember sampai April dan musim timur atau musim kemarau yang terjadi pada bulan Juni sampai September. Meskipun berlaku untuk semua wilayah Indonesia, namun pola iklimnya berbeda. Aldrian (2008) membagi Indonesia menjadi 3 wilayah berdasarkan pola iklimnya. Pola A atau pola monsunal meliputi daerah selatan Indonesia (Selatan Sumatera, selatan Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara) dicirikan dengan satu puncak hujan dan satu puncak kemarau. Pola B atau pola semi monsunal meliputi daerah utara dan tengah Indonesia (Sebagian besar Sumatera, Kalimantan Barat dan Timur) ditandai dengan tidak adanya perbedaan yang jelas antara puncak musim hujan dan puncak musim kemaraunya. Pola C atau pola anti monsunal meliputi daerah timur Indonesia (Maluku) dicirikan dengan pola yang bertolak belakang dengan pola monsunal, yaitu puncak musim hujan yang terjadi ditengah tahun dan bukan di akhir tahun. Pola yang berbeda ini disebabkan oleh pengaruh arus laut hangat yang terjadi di utara Pulau Papua sehingga mempengaruhi proses konveksi. Anomali iklim ini menunjukkan bahwa ada hubungan saling mempengaruhi antara proses di laut dengan di atmosfer. Koneksi yang terjadi antara proses di laut dan di atmosfer dipicu oleh adanya pemanasan matahari. Pemanasan oleh matahari ini menyebabkan 2 perbedaan energi radiasi matahari yang diserap oleh atmosfer sehingga menimbulkan perbedaan tekanan udara. Perbedaan tekanan udara ini memiu bertiupnya angin dari tekanan rendah ke tekanan tinggi. Sebagian energi yang dibawa oleh angin ini dipindahkan ke permukaan laut dan memicu mengalirnya air laut dalam bentuk arus laut. Selain melalui angin, radiasi matahari yang mengenai permukaan laut, diserap dan disimpan dalam bentuk suhu permukaan laut khususnya pada lapisan teratas air laut. Jika ada tekanan angin, maka air laut mulai berpindah yang kemudian disebut sebagai arus laut. Adanya arus laut ini memungkinkan terjadinya distribusi suhu laut baru secara horizontal dan vertikal sampai kedalaman termoklin (±200 meter). Ketika perpindahan air laut ini terjadi, proses Upwelling dan downwelling pun terjadi. Proses ini turut membawa plankton maupun klorofil ke berbagai lapisan air laut dan menyebabkan suburnya perairan tersebut. Dari penjelasan diatas, jelas bahwa inti dari semua proses interaksi antara laut dan atmosfer diakibatkan oleh lintang di bumi dan titik puncak penyinaran atau kulminasi matahari. Dengan kata lain, daerah khatulistiwa adalah wilayah dimana proses interaksi laut dan atmosfer terjadi paling intensif karena penyinaran matahari terjadi sepanjang tahun. Interaksi laut dan atmosfer ini menjadi lebih penting lagi karena mempengaruhi iklim dalam skala regional. Pola iklim yang terjadi di perairan utara Papua yang sangat berbeda dibandingkan wilayah Indonesia lainnya menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji. Terlebih lagi penyebab utama yang berasal dari interkoneksi arus laut antara daerah perairan utara Papua dengan perairan timur Chili/Peru. Sehingga dalam penelitian ini dilakukanlah kajian terhadap karakteristik-karaktieristik oseanografi pada wilayah perairan ini. Karakteristik oseanografi yang diamati yaitu suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a, dan kecepatan angin. Pengamatan terhadap karakteristik oseanografi diatas dapat dilakukan dengan memanfaatkan data oseanografi yang tersedia. Pengamatan dan pengambilan sampel langsung dilapangan menjadi metode yang umum digunakan tetapi membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Luasnya wilayah perairan Indonesia mengakibatkan observasi tidak dapat dilakukan diseluruh 3 wilayah karena jumlahnya masih terbatas. Hadirnya teknologi Penginderaan jauh menjembatani keterbatasan ini. Sistem penginderaan jauh saat ini sudah sangat berragam sehingga penggunaannya pun sudah sangat luas termasuk untuk pengamatan laut. Salah satu citra penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk pengamatan laut adalah Modis. Modis merupakan sensor yang dibawa oleh satelit Terra serta Aqua yang mengorbit dua kali dalam sehari.Penggunaannya dikhususkan pada pengamatan laut dan atmosfer, walaupun juga dapat dilakukan untuk pengamatan lahan. Jumlah salurannya yang mencapai 36 dengan rentang panjang gelombang 0.4-14.4 µm memungkinkan luasnya pemanfaatan sensor ini. Sebagian besar pengguna modis menggunakan data ini untuk mendapatkan data suhu permukaan laut dan klorofil-a. Sifat datanya yang gratis dan mudah proses pengunduhannya, membuat banyak orang yang melakukan penelitian di bidang kelautan memilih untuk memanfaatkan data ini. Selain itu, data pengamatan lapangan yang tersedia secara gratis diinternet memudahkan pengguna untuk mengetahui ketepatan data oseanografi yang didapatkan dari citra penginderaan jauh. Salah satunya adalah data yang dipublikasi oleh NOAA Amerika Serikat yaitu World Ocean Database (WOD). Data WOD menyediakan berbagai data pengamatan parameter fisik dan biologi laut seperti Suhu permukaan laut, salinitas, klorofil, oksigen, kedalaman laut, dan lain sebagainya. Data ini bersumber dari berbagai instrumen seperti moored buoy, CTD, OSD, profiling float data, mechanical bathythermograph (MBT), dan lain sebagainya. ECMWF merupakan organisasi internasional yang terdiri dari 31 negara di benua Eropa serta organisasi meteorologi dunia seperti ESA, WMO, EUMETSAT, ACMAD, JRC, CTBTO, CLRTAP. Organisasi ini menyediakan data hasil prediksi secara numerik jangka menengah sampai panjang untuk data atmosfer/cuaca. Dengan menggunakan model sirkulasi umum dan model gelombang umum, ECMWF menyediakan data seperti angin pada ketinggian 10 meter dalam komponen u dan v dengan satuan m/detik, suhu permukaan laut (K), data gelombang meliputi tinggi gelombang signifikan (meter); periode (detik); dan arah rata-rata (derajat), serta data-data atmosfer lainnya. Sifat datanya yang 4 gratis memungkinkan pengguna mendapatkannya secara mudah untuk kepentingan penelitian. Menariknya dinamika laut-atmosfer yang terjadi perairan utara Papua serta ketersediaan data yang mudah di akses, kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang mengambil judul “ Kajian Karakteristik Oseanografi di Perairan Utara Papua pada Tahun 2010-2012 Menggunakan Citra Modis”. 1.2 RUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang diatas, dapat diambil beberapa rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana kemampuan citra Modis dalam menyajikan karakteristik oseanografi khususnya suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a? 2. Bagaimana karakteristik oseanografi Perairan Utara Papua dilihat dari parameter suhu permukaan laut, klorofil-a, dan angin pada 4 musim selama tahun 2010 - 2012? 3. Bagaimana hubungan atau korelasi antara parameter suhu permukaan laut, klorofil-a, dan angin di Perairan Utara Papua selama tahun 2010-2012? 1.3 TUJUAN Dengan rumusan masalah seperti diatas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kemampuan data modis dalam menyajikan data suhu permukaan laut dan klorofil-a di Perairan Utara Papua. 2. Mengetahui karakteristik oseanografi pada dilihat dari parameter suhu permukaan laut, klorofil-a dan angin pada 4 musim selama tahun 20102012. 3. Mengetahui hubungan atau korelasi antara suhu permukaan laut, klorofila, dan angin di Perairan Utara Papua selama tahun 2010-2012? 1.4 KEGUNAAN Memberikan referensi tentang karakteristik oseanografi di Perairan Utara Papua khususnya yang berkaitan dengan parameter suhu permukaan laut, klorofil5 a, dan kecepatan angin serta mengkaitkannya dengan iklim regional dan fenomena ENSO. Selain itu, penelitian ini juga memberikan referensi tentang pemanfaatan citra modis dalam mengekstraksi parameter oseanografi yang dibantu pula dengan data oseanografi lain seperti moored buoys. 1.5 TINJAUAN PUSTAKA 1.5.1 Suhu Permukaan Laut Suhu merupakan salah satu sifat fisik air laut yang penting dan berbedabeda di seluruh dunia. Variasi proses yang terjadi pada permukaan dan dekat permukaan laut menentukan nilai suhu permukaan laut dan profil temperatur laut paling atas. Proses ini meliputi pemanasan matahari dan radiasi pada malam hari, evaporasi, serta pengadukan yang dilakukan oleh angin dan gelombang. Lapisan teratas laut mengalami pemanasan pada siang hari dan mangalami pendinginan pada malam hari. Gambar 1.1 menunjukkan ilustrasi dari sifat radiasi dan atmosfer yang berkaitan dengan proses radiasi permukaan laut dan berpengaruh pada pengambilan data suhu permukaan laut. atmosfer, menunjukkan suhu paling bawah menunjukkan suhu buoy atau bulk temperature yang terukur pada kedalaman 0,3-1 m, serta menunjukkan suhu teratas permukaan laut (surface skin temperature 1 ). Perbedaan antara dengan SST adalah mengacu pada suhu permukaan laut secara fisik sedangkan SST merupakan nilai estimasi yang bergantung pada teknik perekaman masing-masing sensor. 1 Surface skin temperature : suhu pada permukaan paling atas dari kolom air. 6 Gambar 1.1 Ilustrasi Interaksi Radiasi Sinar Matahari di Atmosfer dan Permukaan Laut (Martin, 2006) Panjang gelombang yang digunakan untuk merekam informasi suhu permukaan laut yaitu pada rentang 3 – 13 m atau pada zona infra merah termal. Pemilihan panjang gelombang ini didasarkan pada sifat iradiansi spektralnya, seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Gambar 1.2 memperlihatkan perbandingan iradiansi benda hitam pada suhu 288 K dengan iradiansi emisi laut. Gambar tersebut menunjukkan bahwa iradiansi pada lapisan atmosfer teratas (TOA, garis solid bawah) nilai yang hampir sama dengan iradiansi benda hitam pada suhu 288 K (garis solid atas) pada tiga rentang panjang gelombang (l). Yaitu pada l=3-4 m, l=8-9 m, dan l=10-12 m. Sedangkan pada l<2-3 m, emisi permukaan laut dapat diabaikan karena reflektansi matahari dan hamburan atmosfer lebih dominan. Pada MODIS, rentang panjang gelombang 3-4 m dan 10-12 m yang digunakan untuk mendapatkan informasi SPL yaitu pada band 20,22,23,31,dan 32. Rentang panjang gelombang (l) ini juga memiliki kemampuan untuk menembus permukaan laut yang berbeda-beda. Gambar 1.3 merupakan grafik yang menunjukkan bahwa pada l=2-6 m, jarak tembusnya antara 10-100 m dan pada l=10-12 m, jarak tembusnya 1-10 m. Sehingga, radiansi panjang gelombang infra merah pada permukaan laut merupakan hasil emisi dari 1-100 m pada kolom air teratas. 7 Gambar 1.2 Iradiansi Spektral Benda Hitam pada Suhu 288 K (Garis Tebal Atas), Iradiansi Gas O3 (Garis Tebal Bawah), dan Iradiansi Gas CO2 (Garis Putus-Putus). (Martin, 2006) Gambar 1.3 Grafik Kedalaman Absorpsi Sinar Matahari Pada Permukaan Laut. (Martin, 2006) Radiasi panjang gelombang yang sampai pada lapisan atmosfer teratas, tidak hanya berkurang akibat absorpsi atmosfer tetapi juga bertambah akibat emisi atmosfer. Jika dirumuskan pada suatu formula, radiansi SPL didapatkan dari: (l , )= (l ) + ( ,l ) 1 − (1.1) 8 Pada formula Schwarzschild tersebut, i menunjukkan band, bagian paling kiri menunjukkan radiansi yang diterima oleh satelit, bagian tengah menunjukkan pelemahan radiansi permukaan, dan bagian terakhir menunjukkan emisivitas atmosfer. Proses penerimaan informasi suhu oleh sensor sangat dipengaruhi oleh transmisi suhu dari permukaan laut yang melewati lapisan atmosfer. Oleh karena itu, proses yang terjadi di lingkungan, dimana suhu tersebut bertransmisi, juga mempengaruhi informasi suhu yang direkam oleh sensor. Nilai radiansi yang diterima sensor merupakan gabungan dari nilai radiansi pancaran permukaan dan radiansi atmosfer, dimana besaran nilainya tergantung dari panjang gelombang yang dipakai, kelembapan atmosfer, dan kandungan aerosol. Selain itu, faktor lingkungan juga dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan informasi suhu permukaan laut seperti gugusan awan khususnya awan sirus tinggi, pemanasan matahari di siang hari, ketidaksesuaian antara suhu permukaan dan suhu di dalam laut serta debu vulkanik (Martin,2004). Karena sangat memungkinkan adanya ketidaktepatan nilai suhu permukaan laut yang didapat dari data citra akibat faktor pengganggu diatas, maka dilakukan beberapa penyesuaian agar validitas data suhu permukaan laut dapat dipertanggungjawabkan. Diantara langkah yang dilakukan yaitu melakukan koreksi atmosferik sebelum dilakukan perhitungan nilai suhu serta melakukan pencocokan menggunakan data observasi lapangan seperti moored buoys dan argo float. Data observasi lapangan ini menunjukkan nilai perekaman citra satelit menunjukkan nilai sedangkan data . 1.5.2 Ocean Color Ocean color merupakan istilah yang digunakan dalam observasi laut yang berkaitan dengan proses biologi dan kimiawi yang terjadi di dalam laut dengan memanfaatkan penginderaan jauh. Proses-proses fisika, biologi dan kimiawi yang terjadi, akan menunjukkan ciri yang berbeda ketika berinteraksi dengan cahaya matahari. Karena sensor penginderaan jauh mampu untuk menangkap warnawarna yang dipantulkan objek di lautan, kemudian penginderaan jauh banyak 9 digunakan sebagai cara untuk mengetahui proses dan dinamika yang terjadi di lautan melengkapi observasi laut dengan menggunakan alat-alat lapangan seperti moored dan drifting buoy, XBT, ACDP, dan lain sebagainya. Ocean color utamanya digunakan untuk studi fitoplankton, tetapi juga digunakan untuk suhu permukaan laut, produktivitas perairan, dan partikel kimia organik terlarut. Fitoplankton adalah tumbuhan yang banyak terdapat dilautan dan merupakan produsen dari rantai makanan di lautan. Sama seperti tumbuhan yang ada didaratan, fitoplankton ini juga memiliki bagian terpenting yaitu klorofil-a. Klorofil-a inilah yang kemudian dijadikan awal pengamatan dalam observasi kelautan menggunakan penginderaan jauh dan digunakan untuk mengetahui dinamika yang terjadi dilautan seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Sensor penginderaan jauh memanfaatkan panjang gelombang tampak dan inframerah dalam pengamatan klorofil-a yaitu pada rentang 400-700 nm. Gambar 1.4 menunjukkan reflektansi pada panjang gelombang 400-700 nm dan nilai konsentrasi klorofil-a. Gambar tersebut menunjukkan ada dua keadaan yang berbeda pada 550 nm <l>550 nm. Pada l< 550 nm, nilai reflektan (R) semakin kecil dan konsentrasi klorofil-a (Ca) semakin tinggi. Pada l> 550 nm, nilai R semakin tinggi dan nilai Ca semakin kecil. Dan pada l=550 nm merupakan titik balik antara nilai R dan Ca. Pada panjang gelombang 443 nm, terjadi puncak serapan cahaya matahari yang datang dan untuk nilai Ca <<1 atau mendekati air jernih, nilai pantulan 443 nm atau R(443) 0,08. Garis pada grafik menunjukkan variasi nilai Ca. Semakin tinggi nilai Ca, nilai pantulan R(443) semakin kecil. Untuk nilai Ca > 1-2 mg/m3, nilai pantulan R(443) menjadi sangat kecil. Sedangkan pada 490 dan 530 nm menunjukkan nilai pantulan yang semakin menurun dengan nilai Ca yang semakin meningkat karena adanya pengaruh lemahnya serapan cahaya matahari oleh pigmen klorofil. Oleh karena perbedaanperbedaan serapan dan pantulan cahaya matahari pada panjang gelombang yang sudah dijelaskan diatas, l=443, 490, 530, dan 550 nm mempengaruhi logaritma yang digunakan untuk mendapatkan nilai Ca. 10 Gambar 1.4 Grafik Pantulan Klorofil-a pada Beberapa Nilai Konsentrasi. Garis Horizontal Bawah Menunjukkan Band pada Citra Modis dan Garis Horizontal Paling Atas Menunjukkan Band pada Citra Seawifs. (Martin,2006) Untuk citra modis, logaritma yang digunakan untuk mendapatkan nilai Ca menggunakan logaritma yang diformulasikan oleh O’Reilly et al.2000. Logaritma Ca merupakan bentuk persamaan polynomial yang menghubungan antara variable geofisik dan rasio pantulan panjang gelombang. Persamaan tersebut yaitu : = 10 dimana, = log 10 ∗ ∗ ∗ = log 10 ( a0 = 0.2830 a3 = 0.6590 a1 = -2.7530 a4 = -1.4030 ∗ (1.2) ) dan a2 = 1.4570 1.5.3 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,2000). Pengertian lain dari penginderaan jauh adalah ilmu yang mempelajari perolehan, pemrosesan dan interpretasi citra yang merekam interaksi antara gelombang elektromagnetik dan obyek (Kramer, 1996 11 dalam bakker et al.,2000 dan Wibowo, 2010). Dari definisi tersebut dapat diuraikan komponen dasar penginderaan jauh, yaitu (a) sumber tenaga, (b) sensor perekam, (c) obyek yang direkam, dan (d) atmosfer. Sistem penginderaan jauh dimulai dari perekaman obyek permukaan bumi. Tenaga dalam penginderaan jauh merupakan tenaga penghubung yang membawa data tentang obyek ke sensor dapat berupa bunyi, daya magnetik, gaya berat, dan tenaga elektromagnetik, namun tenaga yang digunakan dalam penginderaan jauh untuk mengindera bumi adalah tenaga elektromagnetik. Tenaga elektromagnetik bagi sistem pasif berasal dari matahari, perjalanan tenaga matahari melalui atmosfer, dan berinteraksi dengan obyek di permukaan bumi. Tenaga radiasi matahari tidak semua sampai di permukaan bumi karena sebagian diserap, dihamburkan di atmosfer. Tenaga yang sampai ke permukaan bumi sebagian dipantulkan dan atau dipancarkan oleh permukaan bumi, dan direkam oleh sensor penginderaan jauh. Sensor, untuk dapat melakukan perekaman data, memerlukan tenaga sebagai medianya. Sensor tersebut dipasang dalam wahana pesawat terbagn maupun satelit. Sensor satelit merekam permukaan bumi, dikirmkan ke stasiun penerima data di bumi. Stasiun bumi menerima data permukaan bumi dari satelit dan direkam dalam pita magnetik dalam bentuk digital. Rekaman data diproses hingga berbentuk citra penginderaan jauh. (Purwadhi et al.,2009) Tidak dipungkiri lagi bahwa pengetahuan meteorologi dan kelautan saat ini tidak terlepas dari kemajuan teknologi penginderaan jauh satelit dalam melakukan observasi atmosfer bumi. Observasi satelit dilakukan dengan memakai prinsip Penginderaan jauh pasif dan aktif. Pada sistem aktif seperti halnya pada teknologi radar, instrumen penginderaan jauh selain mendeteksi sinyal yang datang juga mengeluarkan sinyal. Pada sistem pasif, instrumen inderaja hanya menerima sinyal elektromagnetis berupa radiasi yang dipancarkan oleh bendabenda angkasa. Berdasarkan panjang gelombangnya, daerah operasi satelit inderaja dibagi dalam batasan berikut: Gelombang tampak (visible) yang memanfaatkan hampir keseluruhan radiasi terpantul dari matahari pada panjang gelombang tampak dan infra merah dekat (0,4 – 1,1 m). 12 Gelombang inframerah yang memanfaatkan radiasi gelombang panjang bumi dan atmosfer yang melingkupinya pada panjang gelombang termal inframerah (10 – 12 m). Gelombang uap air yang memanfaatkan emisi radiasi dari uap air di atmosfer (6 – 7 m). Gelombang 3,7 m yang merupakan panjang gelombang mencakup kedua region antara radiasi matahari dan bumi yang sering dikenal sebagai gelombang inframerah dekat. 1.5.3.1 Citra MODIS MODIS atau Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer merupakan sensor yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Sensor Modis diperuntukan sebagai penyedia data darat, laut, dan udara. Modis termasuk dalam tipe hybrid cross-track scanner atau kombinasi pushbroom dengan whiskbroom scanner, dengan lebar cakupan 2300 km, dengan sudut 55 dengan ketinggian 705 km diatas permukaan bumi. Dibawanya sensor modis pada dua satelit, memungkinkan melakukan perekaman dua kali yaitu pagi dan sore hari. Modis memiliki 36 saluran dengan rentang panjang gelombang 0.4 – 14.4 µm. Sensor ini memiliki 3 resolusi spasial yaitu 250 m untuk saluran 1 dan 2, 500 m untuk saluran 3-7, dan 1 km untuk saluran 8-36. Namun, citra ini memiliki satu kekurangan yaitu adanya efek bow-tie yang menjadikan pixel yang tadinya meiliki resolusi spasial 1 km menjadi 6 km pada area yang terrekam secara pushbroom dan 2 km pada area yang terrekam secara whiskbroom. Namun, efek ini dapat dihilangkan dengan melakukan koreksi bow-tie. Dibawah ini tabel saluran yang digunakan pada sensor modis. Selain aplikasi penggunaan untuk mengetahui suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil, sensor modis ini juga dapat digunakan untuk mengetahui indeks vegetasi, kelembapan tanah, kadar aerosol di atmosfer, dan sebagainya. Lebih dari 40 produk data modis yang dihasilkan dari pengolahan raw data modis dan didistribusikan secara gratis melalui website NASA. Berdasarkan evolusi pengolahan data, modis dapat dibedakan menjadi 6 level pengolahan. 13 Selain itu, data modis ini juga tersedia berdasarkan parameter-parameter geofisik kelautan, atmosfer, maupun lahan. Semua data modis disimpan dalam format HDF (Hierarchical Data Format) dan dalam ukuran yang berbeda. Semakin tinggi level pengolahannya, ukuran data modis semakin kecil karena datanya sudah diolah. Level 0 merupakan data asli perekaman sensor atau disebut dengan raw data. Level 0 ini kemudian di format kembali dengan data posisi koordinat, kalibrasi data dan data tambahan lain menghasilkan data modis level 1A. Data level 1B merupakan data level 1A dimana sudah diaplikasikan logaritma kalibrasi radiometrik dan menghasilkan nilai radian atau iradian serta sudah memiliki informasi koordinat. Level 2 merupakan hasil pengolahan data level 1B dimana nilai pixelnya sudah menunjukkan nilai parameter geofisik seperti SPL. Level 3 berupa data parameter geofisik yang sudah mengalami georeferensi dan sudah dirata-ratakan atau dikompositkan berdasarkan waktu dan area. Dan level 4 merupakan data level 3 yang sudah dimodelkan berdasarkan model geofisik tertentu. 14 Tabel 1.1 Tabel pesifikasi Saluran Sensor Modis Kegunaan Identifikasi awan (Resolusi 250 m) Resolusi 500 m. Bands 1-7 digunakan untuk membedakan daratan, awan dan aerosol Resolusi 1 km. Ocean color Uap air Awan Cirrus Awan Cirrus tinggi Suhu Permukaan Laut Kebakaran hutan Suhu permukaan laut Suhu permukaan laut Suhu atmosfer Cloud properties Ozone Suhu permukaan laut Ketinggian puncak awan Salurana 1c 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 26 20 21 22 23 24 25 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Panjang Gelombang (nm) 620-670 841-876 459-479 545-565 1230-1250 1628-1652 2105-2155 405-420 438-448 483-493 526-536 546-556 662-672 673-683 743-753 862-877 890-920 931-941 915-965 1360-1390 3.660-3.840 3.929-3.989 3.929-3.989 4.020-4.080 4.433-4.498 4.482-4.549 6.535-6.895 7.175-7.475 8.400-8.700 9.580-9.880 10.780-11.280 11.770-12.270 13.185-13.485 13.485-13.785 13.785-14.085 14.085-14.385 Sumber : Martin,2006 a Saluran 1-19 dan 26 dalam satuan nm; saluran 20-25 dan 27-36 dalam satuan µm. c Angka yang dicetak tebal digunakan untuk identifikasi awan. 1.5.4 ECMWF European Centre for Medium-Range Weather Forecast (ECMWF) merupakan organisasi internasional yang didukung oleh 31 negara benua Eropa serta beberapa organisasi meteorologi dunia seperti World Meteorological 15 Organization (WMO), European Organisation for the Exploitation of Meteorological Satellite (EUMETSAT), African Centre of Meteorological Applications for Development (ACMAD), Joint Research Centre (JRC), Preparatory Commicion dor the Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty Organisation (CTBTO), Executive Body of the Convention on Long-Range Transboundary Air Pollution (CLTRAP), dan European Space Agency (ESA). ECMWF menyediakan data prediksi jangka menengah-panjang untuk datadata atmosfer/cuaca untuk penelitian ilmiah dan bekerjasama secara keilmuan maupun teknis dengan agen satelit dan komisi Eropa. ECMWF juga merupakan hasil pengembangan meteorologi secara dinamis dan sinoptik lebih dari 100 tahun dan lebih dari 50 tahun pengembangan prediksi cuaca secara numeric. Sistem prediksi ECMWF terdiri dari model sirkulasi umum, model gelombang laut. Tahun 1998, sistem prediksi musiman mulai beroperasi dan pada tahun 2002 diperkenalkan sistem peramalan bulanan. Parameter data yang diprediksi meliputi (a) data angin pada ketinggian 10 meter dalam komponen U dan V dalam satuan m/detik, (b) Data suhu permukaan laut dalam satuan Kelvin, (c) Data gelombang berupan tinggi gelombang signifikan (meter), periode (detik), arah rata-rata (derajat), (d) Data lain mengenai atmosfer seperti albedo dan evaporasi serta masih banyak data lain. Data ECMWF berformat grib dan netcdf (Network Common Data Form). Resolusi spasialnya menggunakan sistem grid yaitu Full Resolution yang berukuran maksimal 0.75 x 0.75 dan Low Resolution yang berukuran maksimal 1.5 x 1.5 namun dengan cakupan area seluruh dunia. Tersedia dalam 3 resolusi temporal (1) harian yaitu pada pukul 00:00:00, 06:00:00, 12:00:00, dan 18:00:00; (2) rata-rata bulanan yang bersifat sinoptik; dan (3) Rata-rata bulanan yang berdasarkan rata-rata harian. Metode prediksi berdasarkan reanalysis, model dan asimilasi (numerical weather prediction) data satelit serta data insitu. Contohnya model Ocean Wave Forecast yang dibangun dari gabungan model atmosfer dan model gelombang yang digerakkan oleh angin pada laposan atmosfer rendah. Data hasil permodelan dan reanalysis ini didukung oleh data observasi lapangan seperti : 16 1. Observasi lautan : surface BUOY, surface BATHY, surface TESAC, dan SYNOP ship. 2. Observasi dari pesawat udara : AMDAR, AIREP, dan ACAR. 3. Sounding: PILOT (Land), PILOT (Ship), TEMP (Land), TEMP (Ship), TEMP (mobile), TEMP (Drop), ROCOB (Land), dan ROCOB (Ship). 4. Data Satelit : SATEM dan SATOBS. 1.5.5 World Ocean Database 2013 (WOD13) World Ocean Database 2013 merupakan kumpulan data oseanografi yang berasal dari pengukuran lapangan (in situ) baik di permukaan maupun bawah permukaan dan dilakukan oleh Ocean Climate Laboratory (OCL) National Oceanographic Data Center (NODC), Silver Spring, Maryland, Amerika Serikat.WOD13 ini melengkapi dan memperbarui WOD09 dimana terjadi penambahan nomer standar level dan kedalaman pengamatan menjadi 137 level kedalaman. WOD13 menyediakan data yang sudah terkontrol kualitasnya seperti data suhu, salinitas, kadar oksigen, silikat dan nitrat. Namun, tidak semua data sudah dilakukan quality control, seperti data kadar oksigen dan data klorofil dari instrumen CTD (Conductivity-Temperature-Depth) dan UOR (Undulating Oceanographic Recorder). Data-data oseanografi yang diterima oleh NODC merupakan hasil Oceanographic dai proyek-proyek Commision bersama (IOC)/MODC seperti Global Intergovernmental Oeanographic Data Archeology and Rescue Project (GODAR), NOD Global Ocean Database Project, IOC Wworld Oean Database Project, Global Temperature-Salinity Profile Program (GTSPP), World Oean Circulation Experiment (WOCE), Joint Global Ocean Flux Studies (JGOFS), Ocean Margin Experiment (OMEX), dan lain sebagainya. 17 Data-data dalam WOD13 terorganisasikan dalam sebelas dataset sebagai berikut : Tabel 1.2 Dataset dalam WOD13 DATASET OSD CTD MBT XBT SUR APB MRB PFL DRB UOR GLD LINGKUP DATASET Ocean Station Data, Low-resolution CTD/XCTD, Plankton data High-resolution Conductivity-Temperature-Depth/ XCTD data Mechanical/Digital/ Micro Bathythermograph data Expendable Bathyrhermograph data Surface-only data Autonomous Pinniped data Moored Buoy data Profiling Float data Drifting buoy data Undulating Oceanographic Recorder data Glider data Sumber : WOD13 User’s manual. 1.6 PENELITIAN SEBELUMNYA Bambang Sukresno (2008) melakukan analisis hubungan antara El Nino, Arus Lintas Indonesia dan monsun di perairan Banda. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dinamika Laut Banda seperti pola inter-annual anomaly permukaan laut dan suhu permukaan laut yang berkaitan dengan fenomena ENSO, pola inter-seasonal anomaly permukaan lau dan suhu permukaan laut yang berkaitan dengan monsun serta pola arus di Laut Banda yang berkaitan dengan monsun dan Arus Lintas Indonesia dengan menggunakan citra Penginderaan Jauh dan model barotropik yaitu Princeton Ocean Model. Lokasi penelitian berada di Laut Banda dengan periode data yang digunakan dari tahun 1996 – 2006. Analisis spasial digunakan untuk menganalisis pola annual dan seasonal dari anomali permukaan laut (SLA) dan suhu permukaan laut (SST). Data suhu permukaan laut diambil dari citra satelit NOAA AVHRR dengan menggunakan logaritma MCSST, sedangkan data anomaly permukaan laut diambil dari citra satelit altimetry TOPEX/Poseidon dan Jason-1 dengan menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW). Selain itu, analisis spasial juga dilakukan 18 dengan membandingkan antara data angin, jalur arus lintas Indonesia, dan model numerik dimana didapatkan dari model barotropik menggunakan Princeton Ocean Model. Dari penelitian ini diketahui bahwa SLA dan SST menunjukkan penurunan saat ENSO terjadi yaitu pada fenmena ENSO tahun 1997, 2002, dan 2004. Sedangkan SLA dan SST selalu berubah selama periode monsun. Yaitu mengalami titik maksimum saat monsun barat (northwest) selama bulan November sampai Maret dan mencapai titik minimum saat monsun timur (southeast) pada bulan Mei sampai September. Selain itu, diketahui pula bahwa terdapat korelasi yang kuat antara annual SLA dan SST yang ditunjukkan dengan index korelasi sebesar 0.817104. Sedangkan korelasi antara seasonal SLA dan SST ditunjukkan dengan index korelasi sebesar 0.576469. Dilain hal, jika dilihat dari pola arusnya, penelitian ini juga menunjukkan bahwa wilayah Laut Banda bagian barat dipengaruhi kuat oleh Arus Lintas Indonesia sedangkan wilayah laut banda bagian timur dipengaruhi kuat oleh fenomena monsun. Aji Putra Perdana (2006) mengkaji suhu permukaan laut berdasarkan analisis data penginderaan jauh dan data argo float di selatan pulau Jawa, pulau Bali, dan kepulauan Nusa Tenggara. Citra NOAA-AVHRR dan Aqua MODIS dimanfaatkan untuk menentukan suhu permukaan laut karena resolusi hariannya yang cukup baik dalam mengamati perubahan kondisi laut yang dinamis. Selain itu, adanya teknologi Argo Float (the Array for Real-time Geostophic Oceanography Float) yang mengkombinasikan metode pengukuran in situ dengan sistem satelit untuk mengirim data profil suhu dan salinitas hingga kedalaman 2000 meter secara near real-time. Penelitian ini bertujuan mengkaji suhu permukaan laut berdasarkan analisis citra NOAA-AVHRR dan Aqua MODIS serta menyajikan kondisi suhu permukaan laut berdasarkan analisis data penginderaan jauh dan data Argo Float. Citra NOAA-AVHRR level 1B diolah menjadi level 2 menggunakan software Seadas 4.8 untuk mendapatkan suhu permukaan laut. Data Argo Float diolah dengan software Ocean Data View versi 3.0.1 untuk mendapatkan profil suhunya dan suhu laisan teratas diasumsikan sebagai suhu permukaan laut dari Argo Float. 19 Hasil penelitian menunjukkan sebaran suhu permukaan laut NOAAAVHRR menunjukkan hasil yang relatif lebih rendah dibandingkan suhu permukaan laut Aqua MODIS. Berdasarkan perbandingan di 9 lokasi sampel diperoleh variasi beda suhu dari 2,47C hingga 7,48C. Perbandingan data pernginderaan jauh dengan data Argo Float yakni suhu permukaan laut Aqua MODIS relatif lebih tinggi dari data Argo Float dengan beda suhu 0,01C hingga 3,47C atas dasar perbandingan pada 9 lokasi sampel, sedangkan suhu permukaan laut NOAA-AVHRR lebih rendah dari data Argo Float sekitar 1,79C hingga 4,81C di 21 lokasi sampel. Kesimpulannya bahwa data penginderaan jauh hanya mampu mengukur suhu pada lapisan permukaan atas, sedangkan suhu permukaan laut Argo Float digunakan suhu pada lapisan teratas dan meruaan lapisan campuran yang relatif hangat. Oleh karena itu, terdapat perbedaan hasil pengukuran suhu permukaan laut dari keduanya. Daniel M. Palacios (2003) melakukan penelitian terhadap pola musiman suhu permukaan laut dan ocean color di Kepulauan Galapagos. Data bulanan SPL didapatkan dari pengolahan data NOAA AVHRR dan data ocean color dari pengolahan data SeaWifs. Selain untuk melihat pola musiman, Palacios juga melihat keterkaitan kedua parameter tersebut dengan sirkulasi air laut ekuator serta melihat pengaruh topografi kepulauan Galapagos terhadap arus laut di sekitar perairan tersebut. Pengamatan yang dilakukan untuk tahun 1985-1997 menghasilkan data klimatologis selama 13 tahun. Metode Harmonic Analysis digunakan untuk melihat kelayakan data SPL dan ocean color jika dilakukan komposit data musiman dalam satu tahun. Dari data tahunan ini dapat diketahui adanya pengaruh yang SPL dominan terhadap pemanasan dan pendinganan di wilayah Kepulauan Galapagos selama pergeseran letak ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone/ zona konvergensi antar tropik). Selain itu, pengamatan terhadap data tahunan ini juga menunjukkan adanya aliran air akibat upwelling dari Teluk Panama menuju timur laut dari Kepulauan Galapagos. Metode kedua yaitu Emphirical Orthogonal Function (EOF) digunakan untuk mengetahui pola spasial SPL dan ocean color. Hasilnya, terdapat dua pola 20 spasial yang terjadi selama kurun waktu pengamatan. Pola pertama yang paling dominan menunjukkan adanya penguatan front ekuator (Equatorial Front) dan aliran South Equatorial Current selama enam bulan pada akhir tahun. Dari pola yang pertama diketahui nilai variansi SPL sebesar 92,2% dan nilai variansi ocean color sebesar 82,9%. Pada pola kedua berkesesuaian dengan peristiwa upwelling aliran Equatorial Under Current di sebelah barat pulan karena adanya pengaruh topografi pulau. Pola kedua ini juga berkesesuaian dengan adanya penjalaran arus air dari Teluk Panama menuju sebelah timur Kepulauan Galapagos. Dari pola kedua ini menghasilkan nilai variasi SPL sebesar 6% dan ocean color sebesar 7,7%. R.K. Sarangi (2012) melakukan observasi terhadap arus eddy di wilayah timur laut Laut Arab menggunakan penginderaan jauh multisensor. Penelitian ini menggunakan tiga data penginderaan jauh, yaitu data IRS-P4 OCM, data NOAA AVHRR, dan data Quikscat. Penelitian ini tertuju pada tiga tujuan, yaitu (1) Menganalisis data IRS-P4 OCM untuk daerah timur laut Lautan Arab selama bulan Februari sampai Maret 2002 dan mendeteksi arus eddy menggunakan citra klorofil dan memonitor fase-fase eddy tersebut; (2) Menganalisis data NOAA AVHRR untuk mendapatkan data suhu permukaan laut dan mengkorelasikannya dengan citra klorofil hasil turunan data OCM; dan (3) Menganalisis data Quikscat scatterometer sehingga diperoleh data kecepatan angin dan vektor angin serta merepresentasikan arah dan magnitude dari arus eddy. Dari tujuan diatas dapat dilihat bahwa parameter yang diteliti yaitu sebaran klorofil, suhu permukaan laut, dan kecepatan serta vektor angin. Data sebaran klorofil diekstraksi dari citra IRS-P4 OCM menggunakan algoritma OC2 (Ocean Chlorophyl 2) dari O’Reilly dan Maritorena. Data suhu permukaan laut diekstraksi dari citra NOAA menggunakan algoritma Mc Clain serta data kecepatan angin dan vektornya diekstraksi dari citra Quickscat scatterometer. Dari pengolahan data serta analisa, diketahui bahwa tipe eddy yang terjadi termasuk dalam eddy dengan inti pusat yang bersuhu dingin, dilihat dari citra IRS-P4 OCM yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi klorofil dan dengan dibantu data SPL dari NOAA AVHRR. Pergerakan rotasi dari eddy ini terlihat searah jarum 21 jam jika dilihat dari citra klorofil, dimana hal ini juga dibuktikan dari vektor angin yang mengarah searah jarum jam. Pada inti eddy, terjadi pengingkatan konsentrasi klorofil. Hal ini terlihat jelas dimana suhunya dingin dan kecepatan anginnya tinggi. Selain itu, juga terdapat hubungan antara konsentrasi klorofil, suhu permukaan laut, dan angin dengan meningkatnya produktifitas biologi dimana hal ini merupakan efek hasil dari eddy yang intinya bersuhu dingin dan terjadi pengadukan permukaan laut. Dari keseluruhan penjelasan diatas sehingga dapat diketahui pula bahwa satelit multisensor yaitu IRM-P4 OCM, NOAA AVHRR, dan Quikcscat scatterometer dapat digunakan untuk memonitoring dan menginterpretasi adanya eddy. 22 Tabel 1.3 Perbandingan Penelitian No Peneliti 1 Bambang Sukresno (2008) 2 Aji Putra Perdana (2006) Tujuan Mempelajari dinamika Laut Banda, dengan melihat anomali permukaan laut (SLA) dan SPL pada interannual (kaitannya engan ENSO), dan pada inter-seasonal (kaitannya dengan monsun dan Arus Lintas Indonesia. Analisis Menggunakan data NOAA AVHRR untuk mendapatkan data SPL dan data Jason-1 untuk menapatkan data anomali permukaan laut (SLA). Selain itu juga dilakukan pembandingan dengan data angin, jalur arus lintas Indonesia, serta model numerik. Model numerik didapatkan dari model barotropik dengan menggunakan metode Princeton Ocean Model. Mengkaji SPL berdasarkan analisis data penginderaan jauh dan data argo float di selatan Pulau Jawa, Pulau Bali, dan kepulaluan Nsa Tenggara. Data citra NOAA AVHRR dan citra Modis digunakan untuk mendapatkan nilai SPL. Data Argo float juga digunakan sebagai data SPL pembanding serta untuk mendapatkan profil suhu di lapisan atas permukaan laut. Hasil SLA dan SPL selalu berubah selama periode monsun, yaitu mencapai nilai maksimum saat monsun barat (Nov-Mar) dan mencapai minimum pada monsun timur (Mei-Sep). Sedangkan pada periode ENSO (th 1997,2002,2004) menunjukkan nilai yang menurun. Dari nilai korelasi, terdapat korelasi kuat antara SLA dan SPL selama periode tahunan dan musiman Dari arus lautnya, wilayah Laut Banda sebelah barat dipengaruhi kuat oleh Aru Lintas Indonesia, sedangkan pada Laut Banda sebelah timur dipengaruhi oleh fenomena monsun. Data SPL hasil pengolahan NOAA AVHRR menunjukkan hasil yang relatif rendah dibandingkan SPL hasil pengolahan Modis, perbedaannya antara 2,47°-7,48°C. Sedangkan terhadap data argo float, SPL dari 23 3 Daniel M. Palacios (2003) Mengetahui pola musiman SPL dan Dalam menganalisa data SPL dan Ocean color di Kepulauan ocean color, digunakan dua metode Galapagos. yaitu metode harmonic analysisdan metode Emphirical Orthogonal Function (EOF). citra NOAA menghasilkan nilai lebih rendah antara 1,79°-4,81°C. Data SPL Modiss terhadap SPL argo float menghasilkan suhu yang lebih tinggi dengan beda suhu antara 0,01°-3,47°C. Dari metode Harmonic Analysis diketahui adanya pengaruh yang SPL dominan terhadap pemanasan dan pendinganan di wilayah Kepulauan Galapagos selama pergeseran letak ITCZ. Kedua menunjukkan adanya aliran air akibat upwelling dari Teluk Panama menuju timur laut dari Kepulauan Galapagos. Dari metode EOF, diketahui ada dua pola spasial. Pola pertama yang paling dominan menunjukkan adanya penguatan front ekuator (Equatorial Front) dan aliran South Equatorial Current selama enam bulan pada akhir tahun yang didukung dengan nilai variansi SPL 92,2% dan variansi ocean color sebesar 82,9%. Pola kedua berkesesuaian dengan peristiwa upwelling aliran Equatorial Under Current di sebelah barat pulan 24 4 R.K Sarangi (2012) Melakukan observasi terhadap arus eddy di wilayah timur Laut Arab menggunakan penginderaan jauh multisensor dengan parameter klorofil, SPL dan angin. Data IRS-P4 OCM untuk meneteksi arus eddy dengan mengobservasi pergerakan klorofil-a serta fase-fase eddy. Data NOAA AVHRR untuk mendapatkan data SPL dan mengkorelasikannya dengan data klorofil hasil pengolahan citra OCM. Data Quickscat digunakan untuk memperoleh data kecepatan serta vektor angin. 5 Amalia Hadiyanti (2014) a. Mengetahui kemampuan data modis dalam menyajikan data SPL dan klorofil-a. b. Mengetahui karakteristik oseanograi dilihat dari SPL, klorofil-a, dan angin pada 4 musim selama tahun 2010-2012. Data modis digunakan untuk mendapatkan data SPL dan klorofil-a. Data ECMWF digunakan untuk mendapatkan data keepatan angin dan vektor angin. Uji t-test dan standard error of estimation digunakan untuk mengetahui akurasi hasil pengolahan citra modis. Korelasi juga dipakai untuk melihat keterkaitan antara parameter SPL, klorofil-a, dan angin. karena adanya pengaruh topografi pulau dengan nilai variansi SPL sebesar 6% dan ocean color sebesar 7,7%. Peningkatan konsentrasi klorofil menunjukkan tipe edddy yang terjadi yaitu memiliki inti pusat yang bersuhu dingin. Pergerakan eddy terlihat searah jarum jam jika dilihat dari citra klorofil dan vektor angin yang searah dengan jarum jam. Pada inti eddy terjadi peningkatan konsentrasi klorofil dilihat dari suhunya yang dingin dan keepatan anginnya yang tinggi. Terdapat hubungan antara SPL, klorofil dan angin dditandai dengan meningkatnya produktivitas biologi . a. Peta SPL, klorofil-a, dan angin pada 4 musim tahun 2010-2012. b. Nilai akurasi pengolahan citra modis c. Analisis karakteristik SPL, klorofil-a, dan angin. d. Analisis korelasi antara SPL, klorofil-a, dan angin. 25 1.7 KERANGKA PEMIKIRAN Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak laut dengan karakteristik oseanografi yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi meteorologi, kondisi batimetri, dan arus laut dunia yang melewati indonesia. Dalam hal ini, faktor meteorologi ternyata sangat berperan penting terhadap proses yang terjadi di perairan. Adanya interaksi laut dan atmosfer dan efeknya terhadap lautan dapat dilihat dengan mengamati beberapa parameter seperti suhu permukaan laut (SPL), konsentrasi klorofil-a, dan kecepatan angin. Iklim Indonesia yang dipengaruhi oleh angin monsun ternyata juga mempengaruhi interaksi yang terjadi antara laut dan atmosfer, sehingga efeknya terhadap laut pun berbeda setiap musimnya, yaitu musim barat (hujan), musim peralihan barat-timur, musim timur (kemarau), dan musim peralihan timur-barat. Teknologi penginderaan jauh dengan berbagai spesifikasi dan peruntukan memungkinkan pengguna melakukan observasi terhadap parameter-parameter oseanografi diatas. Dalam hal ini, satelit yang memiliki peruntukan untuk mengamati kondisi kelautan yaitu Satelit Terra dengan sensornya Modis dan Aqua. Modis banyak digunakan dalam pengamatan cuaca dan kelautan karena terdiri atas 36 saluran, dimana masing-masing saluran memiliki keunggulan dalam mendeteksi kenampakan yang berbeda-beda. Fenomena yang lazim diamati menggunakan citra ini yaitu suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a. Data lapangan yang disediakan secara gratis oleh lembaga oseanografi Amerika Serikat (NOAA) pun digunakan sebagai penguji keakuratan hasil pengolahan citra modis tersebut. Selain data penginderaan jauh, lembaga gabungan beberapa negara seperti ECMWF, menghasilkan data meteorologi hasil permodelan yang pemakaiannya sudah luas dilakukan beberapa negara termasuk Indonesia. Data meteorologi yang digunakan yaitu data angin pada permukaan 10 meter diatas permukaan laut. Setelah dilakukan pengolahan terhadap data-data tersebut, peta dan grafik pun digunakan untuk menjelaskan parameter-parameter oseanografi diatas. Korelasi 26 juga dilakukan untuk menjelaskan keterkaitan antar parameter oseanografi tersebut. Kondisi Oseanografi Perairan Utara Papua Musim Barat Musim Peralihan Barat-Timur Suhu Permukaan Laut Musim Timur Klorofil-a Kecepatan & Arah angin Data ECMWF Pengolahan citra MODIS Peta Suhu Permukaan Laut (SPL) Musim Peralihan Timur-Barat Peta Konsentrasi Klorofil-a Peta SPL dan Angin Peta Arah dan Kecepatan Angin Peta Konsentrasi klorofil-a dan Angin Analisis deskriptif kondisi oseanografi di Perairan Utara Papua Gambar 1.5 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 27 1.8 BATASAN ISTILAH MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectoradiometer) merupakan sensor keluaran NASA yang dibawa oleh satelit Terra dan Aqua. Sensor Modis diperuntukkan guna menyediakan data darat, laut, dan udara (Purwadhi,2009). ECMWF (European Centre for Medium-Range Weather Forecast) merupakan organisasi internasional yang didukung oleh 31 negara benua Eropa serta beberapa organisasi meteorologi dunia. Menyediakan data prediksi jangka menengah-panjang untuk data-data atmosfer/cuaca dan bekerjasama secara keilmuan maupun teknis dengan agen satelit dan komisi Eropa (Rahmawan,2013) WOD13 (World Ocean Database 2013) merupakan kumpulan data oseanografi yang berasal dari pengukuran lapangan (in situ) baik di permukaan maupun bawah permukaan dan dilakukan oleh Ocean Climate Laboratory (OCL) National Oceanographic Data Center (NODC), Silver Spring, Maryland, Amerika Serikat (Johnson et al, 2013) Moored buoy yaitu instrumen observasi suhu pemukaan laut dan salintas yang diletakkan di wilayah tropis Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik, Laut Baltik, Perairan utara, dan Perairan sekitar Jepang. Dioperasikan oleh NOAA melalui sejumlah proyek seperti TAO/TRITON, PIRATA, dan RAMA (Johnson et al,2013) Angin adalah pergerakan udara dari tempat yang memiliki tekanan udara tinggi ke tekanan udara rendah (Gemmell,2004). Pada permukaan laut, angin diukur pada ketinggian 10 meter iatas permukaan laut. Suhu permukaan laut adalah energi radiasi matahari yang tersimpan dalam bentuk panas di permukaan laut. Permukaan laut ini akan mengalami pemanasan pada siang hari dan pendinginan pada malam hari (Martin, 2006). Ocean color adalah istilah yang digunakan dalam observasi laut yang berkaitan dengan proses biologi dan kimiawi yang terjadi di dalam laut dengan memanfaatkan penginderaan jauh (Martin, 2006). 28 Klorofil-a adalah pigmen aktif dalam sel tumbuhan yang berperan penting dalam proses fotosintesis di perairan (Prezelin,1981 dalam Sediadi dan Edward, 2000). 29