Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove

advertisement
54
BAB VII
PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK
MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT
Bab ini akan mengemukakan deskripsi variabel partisipasi responden dalam
pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Partisipasi
responden dalam penelitian ini adalah tingkat keteribatan pesanggem dalam
pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Partisipasi
yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan (1)
perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) monitoring/evaluasi; dan (4) menikmati hasil.
Pada tiap tahapan terdiri dari beberapa indikator ya ng dapat digunakan untuk
mengukur variabel partisipasi tersebut dimana indikator ini diambil dari butirbutir hak dan kewajiban pesanggem dalam naskah perjanjian PHBM Plus antara
Perum Perhutani dan pesanggem yang tergabung dalam LMDH “Mina Wana
Lestari”.
7.1
Deskripsi Tahap Perencanaan Partisipasi Responden dalam
Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit
Tingkat keterlibatan responden dalam tahap perencanaan pengelolaan
tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit perlu diketahui untuk
mengukur tingkat partisipasi responden secara keseluruhan. Hal ini karena
partisipasi tidak hanya diartikan ikut serta dalam pelaksanaan, tetapi juga dalam
seluruh tahapan suatu kegiatan, salah satunya adalah tahap perencanaan. Dengan
ikut serta dalam tahap perencanaan, responden dapat mengetahui gambaran
umum, tujuan, visi, misi, dan urgensi kegiatan pengelolaan tambak mangrove
ramah lingkungan model empang-parit sehingga diharapkan responden mengikuti
kegiatan tersebut secara sukarela karena kesadaran sendiri dan mengetahui
keuntungan yang didapat. Apabila responden tidak diikutsertakan dalam proses
perencanaan tentunya mereka tidak mengetahui garis besar kegiatan pengelolaan
tambak dan merasa tidak dianggap penting sehingga dalam proses pelaksanaannya
akan mengalami hambatan.
55
Tabel 15. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Perencanaan Pengelolaan
Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit
Kategori Partisipasi
Jumlah (orang)
Presentase (%)
Rendah
37
52,85
Tinggi
33
47,15
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 15 bahwa sebagian besar responden (52,85 persen)
tergolong ke dalam kategori partisipasi rendah dalam tahap perencanaan
pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Sementara
itu, responden yang tergolong kategori partisipasi tinggi dalam tahap perencanaan
tidak jauh berbeda jumlahnya (sebesar 47,15 persen). Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki partisipasi
rendah dalam tahap perencanaan pengelolaan tambak
mangrove ramah
lingkungan model empang-parit. Hal ini terjadi karena memang dalam tahap
perencanaan, sebagian responden tidak ikut langsung. Mereka merasa suaranya
sudah cukup terwakili dengan adanya pesanggem lain yang ikut. Selain itu,
memang ada beberapa indikator partisipasi dalam tahap perencanaan yang sudah
ditentukan langsung dari Perum Perhutani tanpa adanya negosiasi dengan para
pesanggem sehingga pesanggem tidak memiliki pilihan lain selain dari menerima
peraturan yang tertulis tersebut.
Dapat dilihat pada Tabel 16 bahwa indikator partisipasi dalam tahap
perencanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empangparit yang tergolong rendah adalah keikutsertaan dalam setiap pertemuan,
penentuan luas rabak, penentuan spesies tanaman payau yang ditanam, penentuan
waktu pelaksanaan kegiatan, dan penentuan sanksi. Sementara itu, indikator
partisipasi dalam tahap perencanaan yang tergolong tinggi adalah penentuan
pengurus LMDH Mina Wana Lestari, penentuan luas tambak, penentuan luas parit
(wilayah memelihara ikan di empang), penentuan jenis ikan yang dibudidayakan,
dan penentuan sistem bagi hasil (sharing).
56
Tabel 16. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap
Perencanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan
Model Empang-Parit
Indikator Partisipasi
Rataan Skor
Penentuan pengurus LMDH Mina Wana Lestari
2,83
Keikutsertaan dalam setiap pertemuan
2,49
Penentuan luas tambak
2,81
Penentuan letak parit
3,07
Penentuan luas rabak
2,13
Penentuan jenis ikan yang dibudidayakan
3,76
Penentuan spesies tanaman payau yang ditanam
2,01
Penentuan waktu pelaksanaan kegiatan
1,97
Penentuan sanksi
1,76
Penentuan sistem bagi hasil (sharing)
2,71
Sumber: Data primer diolah
Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah;
Nilai rataan skor 2,50 – 4,00 tergolong tinggi.
Partisipasi responden untuk ikut serta dalam setiap pertemuan tergolong
rendah karena memang sebagian besar responden merasa suaranya cukup
terwakili apabila ada teman atau tetangganya yang telah hadir dalam pertemuan.
Pertemuan dalam konteks ini adalah pertemuan para anggota LMDH pada awal
tahun membahas naskah perjanjian yang umumnya tentang perpanjangan nama
pesanggem atau perpindahan nama para pesanggem. Sebagian besar yang datang
pada pertemuan ini hanyalah yang berkepentingan untuk oper-alih garapan.
Partisipasi responden dalam penentuan waktu pelaksanaan kegiatan juga
tergolong rendah. Kegiatan dalam konteks ini adalah kegiatan rutin dari LMDH
Mina Wana Lestari seperti menanam tanaman payau, ganti rugi garapan (sharing),
dan penyulaman tanaman payau yang mati. Hal ini seperti yang telah
dikemukakan oleh salah satu narasumber (Krj, 60).
“Kegiatan rutin yang biasa dilakukan LMDH itu ada tanam bako,
ganti rugi garapan, dan penyulaman tanaman bako.”
57
Sebagian besar responden tidak diikutsertakan dalam penentuan waktu
pelaksanaan kegiatan karena memang kegiatan-kegiatan tersebut bersifat
situasional (sesuai kondisi). Hal ini menyebabkan pengurus LMDH bergerak
melakukan kegiatan tersebut tanpa terlebih dahulu mengumpulkan para
pesanggem untuk menentukan waktu pelaksanaannya. Terutama untuk kegiatan
penanaman memang biasanya hanya petugas Perum Perhutani dan perwakilan
LMDH karena memang penanaman tanaman payau di empang bertahap di petakpetak yang telah ditentukan sesuai dengan stok anakan tanaman payau yang ada.
Partisipasi responden dalam penentuan luas rabak (wilayah di empang
tempat menanam tanaman payau) dan penentuan spesies tanaman payau yang
ditanam juga tergolong rendah. Hal ini karena memang dari Perum Perhutani
sudah ditentukan letak menanam tanaman payau (yaitu di tengah-tengah empang)
dan spesies tanaman payau yang ditanam (yaitu Rhizopora spp. atau sering
disebut pohon bakau dan Avicennia spp. atau sering disebut api-api). Hal ini
seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn, 38).
“Wah kalo masyarakat kebanyakan mah taunya melak ikan de,
kalo masalah nanem mah urusan kehutanan.”
Sebagian besar responden memang hanya mengetahui tentang pemeliharaan ikan
di tambaknya, sementara itu masalah letak menanam tanaman payau dan jenis
tanaman payau yang ditanam diserahkan kepada pihak Perum Perhutani.
Partisipasi responden dalam penentuan sanksi juga tergolong rendah. Tidak
berbeda halnya dengan penentuan luas rabak dan penentuan spesies tanaman
payau yang ditanam, penentuan sanksi yang diberikan kepada pesanggem yang
melakukan pelanggaran (misalnya menebang pohon bakau) juga dilakukan oleh
Perum Perhutani. Sanksi tersebut telah tercantum pada naskah perjanjian
kerjasama antara Perum Perhutani dan LMDH Mina Wana Lestari.
58
7.2
Deskripsi Tahap Pelaksanaan Partisipasi Responden dalam
Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit
Tahap pelaksanaan dalam partisipasi adalah tahap terpenting dalam suatu
proses pembangunan (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Makmur, 2005). Dengan
kata lain, tahap pelaksanaan ini menjadi ujung tombak proses partisipasi. Oleh
karena itu, tahap pelaksanaan ini sangat perlu diukur untuk menjelaskan
partisipasi responden secara keseluruhan.
Tabel 17. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Pelaksanaan Pengelolaan
Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit
Kategori Partisipasi
Jumlah (orang)
Presentase (%)
Rendah
24
34,29
Tinggi
46
65,71
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 17 bahwa partisipasi sebagian besar responden
(65,71 persen) dalam tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove ramah
lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Sementara itu, hanya sebagian
kecil responden (34,29 persen) saja yang partisipasinya tergolong rendah. Hal ini
menunjukkan sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki
partisipasi yang tinggi dalam tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove
ramah lingkungan model empang-parit.
Hasil ini faktanya bertolak belakang dengan pernyataan yang disampaikan
oleh beberapa narasumber. Menurut mereka, partisipasi para pesanggem di
LMDH Mina Wana Lestari dapat dikatakan rendah terutama pada saat
pelaksanaan. Berikut ini pernyataan yang dikemukakan oleh narasumber (Why,
26) dan (Wjn, 38).
“Umumnya masyarakat sekarang hanya mementingkan hasil
tambak, tanpa peduli dengan tanaman bakau.”
“Biasanya mah de, yang kerja orangnya cuma itu-itu aja di LMDH.
Biarpun di pengurus ada sepuluh orang lebih, paling yang kerja
cuma lima orang. Apalagi yang bukan pengurus LMDH.”
59
Pesanggem jarang yang ikut serta dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan tambak
mangrove model empang-parit seperti misalnya penyulaman tanaman payau yang
mati. Sebagian besar mereka hanya menyerahkan masalah tanaman payau di
empangnya kepada pengurus LMDH dan petugas Perhutani. Perhutani telah
merubah kebijakannnya berkali-kali agar para pesanggem merasa sadar dan
merawat tanaman payau di tambaknya, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil.
Berikut ini pernyataan yang dikemukakan oleh seorang narasumber (Why, 26).
“Jarak tanam tanaman payau di empang udah berkali-kali dirubah,
agar penggarap tidak keberatan merawat tanaman payau di
empangnya, yang pertama adalah 2x2 m, jarak tanam ini emang
terlalu rapat, jadi banyak burung dan ular yang makanin ikan dan
udang, lalu dirubah 3x3 m, sampai 5x5 meter, tapi tetap saja
penggarap tidak berubah.”
Namun, sepanjang pengamatan Peneliti di lapangan, memang pesanggem kurang
berpartisipasi pada tahap pelaksanaan ini. Hal ini salah satunya terbukti pada saat
penyulaman tanaman payau yang mati, seringkali yang turun ke tambak dan
menyulam adalah mandor penanaman dan persemaian dari Perum Perhutani serta
perwakilan dari LMDH. Sementara itu, pesanggem yang memiliki tambak tidak
ikut serta.
Dapat dilihat pada Tabel 18 bahwa indikator partisipasi responden pada
tahap pelaksanaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit yang
tergolong rendah adalah pemberantasan organisme pengganggu tanaman payau.
Sementara itu, indikator partisipasi responden pada tahap pelaksanaan yang
tergolong
tinggi
adalah
penyulaman
tanaman
payau
yang
mati,
pencegahan/pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau, dan
pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal.
60
Tabel 18. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap
Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model
Empang-Parit
Indikator Partisipasi
Rataan Skor
Pemberantasan organisme pengganggu tanaman payau
2,13
Penyulaman tanaman payau yang mati
2,73
Pencegahan/pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau
3,15
Pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal
3,84
Sumber: Data primer diolah
Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,59 tergolong rendah;
Nilai rataan skor 2,60 – 4,00 tergolong tinggi.
Organisme pengganggu tanaman payau di tambak para pesanggem dalam
penelitian ini terdiri dari gulma, hama, dan penyakit. Gulma pada tanaman payau
yang masih muda kebanyakan adalah ganggang. Hama berupa hewan besar
seperti kambing dan serangga seperti ulat dan laba-laba. Sementara itu, untuk
penyakit yang menyerang tanaman payau di tambak pesanggem memang ada,
namun para pesanggem dan pihak Perhutani pun belum tahu cara untuk
mengobati tanaman yang terserang penyakit tersebut. Berikut penuturan beberapa
narasumber tentang hama yang menyerang tanaman payau di tambak (Op, 27)
dan (Why, 26).
“Hama yang menyerang tanaman muda bakau adalah ulat dan
laba-laba. Ulat memakan daun tanaman, laba-laba membuat sarang
di tanaman yang menghambat pertumbuhan bakau.”
“Saya bingung, banyak hama pengganggu tanaman bakau di
tambak seperti ulat dan laba-laba, hama ini menghambat
pertumbuhan atau bahkan mematikan tanaman bakau. Namun,
hama tersebut tidak dapat diberantas menggunakan insektisida
karena akan berbahaya bagi ikan dan udang di tambak.”
Dapat dilihat pada pernyataan di atas bahwa memang tanaman bakau yang masih
muda (terutama daun dua dan daun empat) di empang sangat rentan terhadap
hama. Oleh karena itu, dukungan dari pesanggem sendiri untuk menjaga sangat
membantu agar tanaman payau di empang tetap tumbuh. Hal ini karena petugas
yang berkewajiban mengontrol tanaman payau di tambak sangat terbatas. Untuk
satu RPH Cibuaya, hanya lima orang yang diberikan tugas oleh Perum Perhutani
61
untuk memelihara dan mengontrol tanaman payau di tambak pesanggem. Hal ini
seperti penuturan salah satu narasumber (Why, 26).
“Untuk satu resort Cibuaya, biasanya hanya ada lima orang yang
bertugas melakukan penanaman, penyulaman dan pengontrolan
tanaman bakau di empang, yaitu dua orang mantri dan tiga orang
dari LMDH.”
Mantri adalah petugas dari Perum Perhutani yang berkewajiban untuk menanam,
menyulam, dan mengontrol tanaman payau di Desa Sedari. Dua orang mantri itu
terdiri dari mantri persemaian dan mantri penanaman. Sementara itu, tiga orang
LMDH yang biasanya ikut serta adalah Ketua LMDH, Wakil LMDH, dan seksi
keamanan.
Rataan skor indikator penyulaman tanaman payau yang mati tergolong
tinggi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hal ini berbeda dengan fakta
berdasarkan penuturan narasumber. Mungkin memang ada beberapa pesanggem
yang ikut serta dengan LMDH dan Petugas Perhutani untuk menyulam tanaman
payau yang mati di tambaknya, namun hal itu cukup jarang terjadi. Sebagian besar
pesanggem hanya menyerahkan penyulaman tanaman payau yang mati ke
pengurus LMDH dan Petugas Perhutani. Berikut ini penuturan salah satu
narasumber (Why, 26).
“Yang punya empang biasanya tidak pernah ikut nyulam tanaman
bakau di empangnya sendiri, yang melakukannya mantri dan
pengurus LMDH.”
Rataan skor indikator pencegahan dan pelarangan perlakuan yang
merusak/mematikan tanaman payau di empang tergolong tinggi. Hal ini memang
sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Para pesanggem memiliki kesadaran
tinggi untuk tidak merusak atau menebang tanaman payau baik yang ada di
empangnya maupun di lingkungan sekitar. Hal ini terutama semenjak
terbentuknya LMDH Mina Wana Lestari dan juga sanksi yang tegas dari
pemerintah kepada pelaku perusakan tanaman payau. LMDH sebagai lembaga
kontrol tingkat desa sementara pemerintah melalui Perum Perhutani sebagai
62
lembaga kontrol tingkat pusat. Hal ini seperti penuturan salah satu narasumber
(Ags, 40).
“Sebelum dibentuk LMDH Mina Wana Lestari, penebangan liar
cukup banyak terjadi.”
Sebelum terbentuknya LMDH Mina Wana Lestari, penebangan liar cukup sering
terjadi dan biasanya dilakukan oleh masyarakat luar Desa Sedari. Hal ini pernah
terjadi, yaitu dimana hutan mangrove ditebang secara liar dan LMDH sebagai
lembaga kontrol di tingkat desa menangani masalah ini. Berikut ini pernyataan
salah satu narasumber (Ags, 40).
“Pernah kejadian ada masyarakat luar Desa Sedari menebang
pohon bakau. LMDH menangani, barang bukti dikumpulkan (seperti
gergaji) dan dengan musyawarah akhirnya diputuskan bahwa orang
tersebut harus menanam kembali tanaman bakau di tempat yang ia
tebang”
Kejadian ini menggambarkan bagaimana LMDH Mina Wana Lestari sebagai
lembaga kontrol tingkat desa dalam memelihara tanaman payau di Desa Sedari.
Selain itu, apabila ada masyarakat yang melakukan perusakan tanaman payau,
memang secara alur koordinasi LMDH mengetahui, kemudian dilaporkan ke
mandor/RPH, selanjutnya ditanyakan ke orang tersebut mengapa melakukan
pelanggaran. Apabila memang terbukti bersalah, maka dilaporkan ke KPH dan
mendapat sanksi hukum. Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu narasumber
(Krj, 60).
“Apabila ada masyarakat atau anggota LMDH yang melakukan
pelanggaran, pertama LMDH harus tau, lalu lapor ke mandor atau
RPH, lalu tanya kenapa melakukan pelanggaran, terus kalo emang
salah, lapor ke KPH.”
Rataan skor indikator pembayaran bagi hasil (sharing) dari pesanggem
kepada Perum Perhutani per tahunnya juga tergolong tinggi. Hal ini memang
sesuai dengan fakta yang terjadi. Para pesanggem selalu membayar uang sharing
kepada Perum Perhutani sesuai jumlah yang ditentukan walaupun jumlah tersebut
63
penentuannya hanya sepihak, yaitu dari Perum Perhutani. Pesanggem biasanya
mencicil uang sharing tersebut dalam setahun kepada Perum Perhutani melalui
mandor tagih. Para pesanggem memiliki kesadaran tinggi untuk membayar karena
memang mereka tahu bahwa status tambak yang mereka kelola adalah tanah milik
negara sehingga mereka harus membayar sesuai dengan ketentuan. Berikut ini
merupakan penuturan dari salah satu narasumber (Wjn, 38).
“Kalo bayar mah de, ya pasti, kan tanah ini punya pemerintah.
Semua pesanggem mah ga pernah kurang bayarnya, paling kadang
ada yang nunggak ke tahun berikutnya, tapi pasti bayar ... Kalo
besarnya mah dari Perhutani, kalo naik ya naik, kalo turun ya
turun, kita mah ngikut aja.”
7.3
Deskripsi Tahap Monitoring/Evaluasi Partisipasi Responden dalam
Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit
Tahap monitoring/evaluasi pada partisipasi dianggap penting karena
partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat
memberi masukan demi perbaikan program selanjutnya (Cohen dan Uphoff, 1977
dalam Makmur, 2005). Oleh karena itu, tahap monitoring/evaluasi pada penelitian
ini juga diukur untuk mengukur proses partisipasi responden secara keseluruhan
dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.
Tabel 19. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Monitoring/ Evaluasi
Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model EmpangParit
Kategori Partisipasi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Rendah
50
71,43
Tinggi
20
28,57
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 19 bahwa partisipasi sebagian besar responden
(71,43 persen) dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan tambak ramah
lingkungan model empang-parit tergolong rendah. Sementara itu, hanya sebagian
kecil (28,57 persen) saja yang partisipasinya tergolong tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari
64
memiliki partisipasi yang rendah dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan
tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit. Hal ini karena memang
masih terdapatnya jarak antara pesanggem dengan Perum Perhutani. Pesanggem
cenderung takut apabila memberikan laporan kepada Perum Perhutani berkaitan
dengan masalah dalam pengelolaan tambak dan mereka berpikir bahwa kegiatan
pengelolaan tambak mangrove ini lebih merupakan tanggung jawab Perum
Perhutani dibandingkan mereka.
Tabel 20. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap
Monitoring/Evaluasi Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah
Lingkungan Model Empang-Parit
Indikator Partisipasi
Rataan Skor
Pemantauan terhadap jalannya kegiatan tambak
2,83
Pelaporan masalah yang terjadi dalam pengelolaan tambak kepada LMDH
2,59
Pelaporan masalah yang terjadi dalam pengelolaan tambak kepada Perhutani
2,41
Pemberian saran kepada LMDH
2,12
Pemberian saran kepada Perhutani
2,13
Pemberian kritik kepada LMDH
1,74
Pemberian kritik kepada Perhutani
1,73
Sumber: Data primer diolah
Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,49 tergolong rendah;
Nilai rataan skor 2,50 – 4,00 tergolong tinggi.
Dapat dilihat pada Tabel 20 bahwa hampir semua nilai rataan indikator
partisipasi responden dalam tahap monitoring/evaluasi pengelolaan tambak
mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong rendah. Hanya
pemantauan terhadap jalannya kegiatan tambak dan pelaporan masalah yang
terjadi dalam pengelolaan tambak kepada LMDH saja yang nilai rataannya
tergolong tinggi. Responden pada umumnya melaporkan ke pengurus LMDH
Mina Wana Lestari seperti Ketua LMDH, Wakil Ketua LMDH, Sekretaris
LMDH, dan Seksi Keamanan apabila terjadi masalah- masalah mengenai
pengelolaan tambak mangrove. Umumnya mereka melapor apabila ada tanaman
payau yang mati di tambak mereka. Itu pun jarang dan hanya kepada pengurus
LMDH. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu narasumber (Wjn).
65
“Biasanya mah warga ngelapor ke LMDH kalo ada bako yang mati,
itu juga jarang ... Kalo warga ngasih saran sih kadang-kadang ke
LMDH ... Boro-boro ngekritik Perhutani, ngasih saran aja hampir
ga pernah, pada takut soalnya. Paling juga kalo ngasih saran lewat
LMDH.”
7.4
Deskripsi Tahap Menikmati Hasil Partisipasi Responden dalam
Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit
Tahap menikmati hasil dianggap penting karena dengan melihat posisi
masyarakat sebagai subyek pembangunan, semakin besar pula manfaat proyek
dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Tahap menikmati
hasil dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada
tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam
Makmur, 2005). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, tahap menikmati hasil
diukur sebagai salah satu indikator dari partisipasi responden dalam pengelolaan
tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit secara keseluruhan.
Tabel 21. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Menikmati Hasil
Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model EmpangParit
Kategori Partisipasi
Jumlah Responden (orang)
Presentase (%)
Rendah
17
24,29
Tinggi
53
75,71
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
Dapat dilihat pada Tabel 21 bahwa partisipasi sebagian besar responden
(75,71 persen) dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah
lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Sementara itu, hanya sebagian
kecil saja (24,29 persen) partisipasinya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki partisipasi
tinggi dalam tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove ramah
lingkungan model empang-parit.
66
Tabel 22. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap
Menikmati Hasil Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan
Model Empang-Parit
Indikator
Penerimaan andil garapan
Penerimaan hasil panen tambak
Rataan Skor
3,49
3
Sumber: Data primer diolah
Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,59 tergolong rendah;
Nilai rataan skor 2,60 – 4,00 tergolong tinggi.
Dapat dilihat pada Tabel 22 bahwa semua nilai rataan skor indikator
partisipasi sebagian besar responden dalam tahap menikmati hasil pengelolaan
tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki
partisipasi yang tinggi dalam tahap menikmati hasil ini.
Para pesanggem memang merasa bagian garapan yang mereka kelola cukup
adil karena Perhutani tidak membatasi pesanggem untuk mengelola tambak.
Sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar sharing yang telah
ditetapkan Perum Perhutani per hektar per tahunnya. Berikut ini penuturan salah
satu narasumber (Wjn).
“Kalo adil mah de ya adil, orang kita mampu bayar sharing cuma
segitu, kalo yang punya uang mah empangnya lega berhektarhektar. Perhutani ga pernah batesin.”
Rataan skor indikator penerimaan hasil panen tambak juga tergolong tinggi.
Hal ini berarti pesanggem menerima seluruh hasil panen dari tambaknya tanpa
ada lagi pungutan lain selain uang sharing.Walaupun begitu, pesanggem memang
cenderung tidak mendapatkan hasil dari panen tambak terutama satu tahun
terakhir ini karena sering terjadi banjir dan kualitas air tambak yang kurang baik.
Tambak mereka sering terkena banjir karena sering terjadi hujan. Selain itu,
pasang air laut juga sering terjadi sehingga menyebabkan tinggi permukaan air
laut meningkat dan menggenang tambak mereka. Berikut ini merupakan
penuturan salah satu narasumber (Krj).
67
“Ya kalo hasil mah seadanya, biarpun cuma dikit tapi tetep untung.
Cuma akhir-akhir ini sering banjir, jadi ga hasil, nih kemaren
empang Saya kena banjir. Ya ikan dan udangnya pada lari.”
Selain itu kualitas air yang buruk juga dialami empang para pesanggem terutama
yang berdekatan dengan Pabrik Pertamina. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, di Desa Sedari ada dua perusahaan pengilangan minyak milik PT.
Pertamina. Perusahaan yang satu terletak di lepas pantai sementara yang satu lagi
terletak di dataran Desa Sedari. Beberapa pesanggem mengaku bahwa ikan dan
udang mereka pertumbuhannya kurang baik karena limbah dari perusahaan
pengilangan tersebut yang mencemari air di empang mereka.
7.5
Deskripsi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove
Ramah Lingkungan Model Empang-Parit Secara Keseluruhan
Sub-bab ini membahas partisipasi responden dalam pengelolaan tambak
mangrove ramah lingkungan model empang-parit secara keseluruhan. Frekuensi
partisipasi responden dalam pengelolaan tambak ini disajikan pada Tabel 23.
Dapat dilihat pada Tabel 23 bahwa sebagian besar responden (51,43 persen)
memiliki partisipasi rendah dalam pengelolaan tambak mangrove ramah
lingkungan model empang-parit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
pesanggem memiliki partisipasi rendah dalam pengelolaan tambak mangrove
ramah lingkungan model empang-parit. Sementara itu, sebagian kecil responden
(48,57 persen) memiliki partisipasi tinggi dalam pengelolaan tambak mangrove
ramah lingkungan model empang-parit, walaupun presentase jumlah tersebut
tidak jauh berbeda dengan presentase jumlah responden yang tergolong ke dalam
partisipasi tinggi.
Tabel 23. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Tambak Mangrove
Ramah Lingkungan Model Empang-Parit
Kategori Persepsi
Jumlah (orang)
Presentase (%)
Rendah
36
51,43
Tinggi
34
48,57
Total
70
100
Sumber: Data primer diolah
68
Hasil pada Tabel 23 sesuai dengan pendapat narasumber yang mengatakan
bahwa sebagian besar pesanggem memiliki partisipasi rendah dalam pengelolaan
tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit, hanya beberapa
pengurus LMDH saja yang aktif. Berikut ini pernyataan narasumber tentang
partisipasi pesanggem (Wjn).
“Kebanyakan pesanggem mah ga ikut serta ngerawat bako,
kebanyakan cuma mentingin hasil. Ya bisa dibilang partisipasinya
rendah.”
Jika dibandingkan antara responden yang tergolong ke dalam partisipasi rendah
dengan responden yang tergolong ke dalam partisipasi tinggi, maka jumlahnya
tidak jauh berbeda. Hal ini sedikit berbeda dengan pernyataan narasumber yang
mengatakan bahwa kebanyakan pesanggem
memiliki partisipasi rendah.
Kekurangsesuaian antara hasil jawaban responden dengan pernyataan narasumber
dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, Peneliti tidak memasukkan beberapa
aspek tertentu yang menjadi penilaian narasumber dalam mengukur partisipasi
pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model
empang parit. Kedua, keterbatasan pesanggem dalam menjawab pertanyaan
kuesioner. Mereka kurang mengerti pertanyaan pada kuesioner sehingga
menjawab seadanya. Atau mereka khawatir dengan jawaban yang salah sehingga
menjawab pertanyaan kuesioner tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Ketiga,
sudut pandang narasumber yang tidak netral sehingga pernyataannya dipengaruhi
oleh hal- hal lain. Keempat, sebagian pesanggem yang diambil Peneliti untuk
dijadikan responden kebetulan adalah pesanggem yang aktif ikut serta dalam
pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.
Terlepas dari itu semua, berdasarkan hasil penelitian serta pernyataan dari
informan yang didukung pengamatan Peneliti di lapangan, proses partisipasi yang
terjadi pada pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari dalam pengelolaan tambak
mangrove ramah lingkungan model empang parit tergolong ke dalam partisipasi
rendah. Lebih lanjut dapat dikategorikan bahwa partisipasi pesanggem LMDH
Mina Wana Lestari dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan
model empang-parit adalah partisipasi semu. Partisipasi semu adalah suatu gejala
69
umum pada masyarakat pedesaan Indonesia dimana mereka hanya ikut
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mereka mengerti saja atau hanya
mengikuti kehendak atasan yang tidak sepenuhnya mereka mengerti kegunaannya
(Utomo, 1984).
Partisipasi semu ini terlihat jelas pada implementasi pengelolaan tamb ak
mangrove ramah lingkungan model empang-parit di LMDH Mina Wana Lestari.
Terdapat pengkutuban antara Perum Perhutani dan sebagian besar pesanggem
dimana pengelolaan tanaman payau seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab
Perum Perhutani sedangkan budidaya ikan/udang di tambak seolah-olah hanya
menjadi tanggung jawab pesanggem. Padahal seharusnya baik pengelolaan
tanaman payau, maupun budidaya ikan/udang menjadi tanggung jawab Perum
Perhutani dan pesanggem sebagai pemangku kepentingan utama dalam
pengelolaan tambak- mangrove ini. Hal ini karena pengelolaan tambak- mangrove
ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Faktanya, pesanggem
hanya berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang mereka mengerti saja
kegunaannya dan hanya mengikuti perintah dari Perum Perhutani sebagai
lembaga eksekusi dari pihak pemerintah dalam pengelolaan tambak- mangrove ini.
Fenomena partisipasi semu yang terjadi di sebagian besar masyarakat
pedesaan Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan masyarakat pedesaan
yang tidak terdedah dengan informasi. Berdasarkan beberapa penelitian partisipasi
yang telah dilakukan, terdapat dua faktor yang teridentifikasi mendukung
hadirnya
partisipasi semu
terutama
di proses
pengambilan
keputusan
(perencanaan) di bidang pembangunan, yaitu: 17
a) Tidak adanya komunikasi dua arah antara masyarakat dengan pemerintah.
Masyarakat seringkali hanya diinformasikan dan dikonsultasikan, lalu
dianggap sudah mengadopsi metode partisipatif. Atau melakukan isu dan
aspirasi, namun kemudian tidak ditanggapi dengan pertimbangan kondisi
nyata di lapangan, sehingga rencana yang telah disusun tersebut hanya
menjadi semacam wish list, dan tidak direalisasikan ke dalam rencana
17
Buku 2 Int isari “Seminar Nasional Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan” halaman 267-268. Ed itor: Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko, Gita Chandrika
Napitupulu, Wahuyu Mulyana, Frieda Fidi. Yogyakarta, 25-26 Ju li 2008.
70
pembangunan di tahap berikutnya karena terpangkas oleh adanya proses
politis. Kondisi ini dimungkinkan karena masyarakat dianggap tidak
memiliki kapasitas untuk memahami aspek teknokratis dari proses tersebut
(sedikit banyaknya).
b) Proses politis menghambat transparansi dalam penyusunan perencanaan
dan penganggaran. Memang terkadang proses politis ini tidak dapat
dihindari karena memang ada keterbatasan dan pertimbangan tertentu yang
mengharuskan perubahan rencana awal. Akan tetapi, harus disadari sejauh
mana proses politis memangkas akuntabilitas pemerintah dan agenda
pembangunannya.
Kedua faktor tersebut sebenarnya berdasarkan hasil penelitian-penelitian
mengenai partisipasi masyarakat dalam advokasi, perencanaan, dan penganggaran
di beberapa tempat di Indonesia. Namun secara kontekstual, menggambarkan
fenomena umum yang berlaku dalam kebanyakan perencanaan program-program
partisipasi yang diadakan pemerintah di Indonesia sehingga dapat dijadikan acuan
untuk melihat partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak- mangrove ramah
lingkungan model empang-parit pada LMDH Mina Wana Lestari.
Pesanggem yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari sangat minim
dilibatkan dalam proses perencanaan. Hal ini terbukti dengan dibentuknya naska h
perjanjian kerjasama antara LMDH Mina Wana Lestari dengan Perum Perhutani
yang sama sekali tidak melibatkan pesanggem dalam proses pembuatannya.
Naskah yang berisi perjanjian kerjasama beserta rincian aturan pengelolaan
tambak mangrove tersebut memang telah ditentukan berdasarkan keputusan
direksi Perum Perhutani dan keputusan Kepala Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat dan Banten. Para pesanggem hanya diinformasikan dan dikonsultasikan
mengenai naskah perjanjian tersebut serta menjalankannya. Naskah perja njian
yang dibuat tersebut masih bersifat umum, padahal setiap wilayah berbeda baik
dalam potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Naskah
perjanjian yang dirumuskan semata- mata hanya dari satu pihak hanya akan
menjadi wish list yang pada tahap pelaksanaan program belum tentu
direalisasikan. Hal ini dimungkinkan karena pesanggem dianggap tidak memiliki
pengetahuan teknis dalam proses pembuatan naskah tersebut sehingga tidak
71
diikutsertakan pada saat perumusan naskah. Padahal hal ini dapat diatasi dengan
sosialisasi terlebih dahulu secara intensif kepada pesanggem, tentunya dengan
bekerjasama melalui vocal leader atau pemimpin masyarakat yang dipercaya
sehingga pada saat perumusan naskah perjanjian, diskusi berjalan lancar.
Kalaupun memang penentuan naskah perjanjian harus dilakukan terlebih
dahulu secara sepihak oleh pemerintah sebagai generalisasi untuk mempermudah
dalam penyusunan administrasi dan penganggaran, seharusnya tidak diadopsi
mentah- mentah peraturan tersebut, tetapi didiskusikan bersama pesanggem dan
direvisi sesuai dengan hasil diskusi sehingga pesanggem dilibatkan aktif dalam
proses perencanaan. Pada akhirnya, naskah perjanjian yang dibuat merupakan
hasil konsensus antara berbagai pemangku kepentingan yang ada seperti Perum
Perhutani, pesanggem yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari, dan
Pemerintah Desa Sedari.
Terbentuknya naskah perjanjian yang merupakan hasil konsensus antara
berbagai pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam pengelolaan tambak
mangrove ramah lingkungan model empang-parit akan menciptakan suatu kondisi
partisipasi tidak semu. Hal ini karena hasil perencanaan yang merupakan
kesepakatan setiap pihak akan membentuk suatu kondisi dimana masyarakat
melihat kebutuhan dan aspirasinya terwujudkan serta terlaksanakan sebagai
bagian dari rencana pembangunan daerah, maka hal ini akan meningkatkan rasa
kepercayaan terhadap metode partisipasi dan rasa kepemilikan akan agenda
pembangunan serta hak dan kewajibannya untuk berperan serta da lam
menjalankan agenda tersebut 18 . Dengan kata lain, pesanggem akan berfikir bahwa
pengelolaan tambak mangrove ini merupakan program bersama yang harus
dilaksanakan bersama secara sukarela untuk menciptakan pengelolaan tambak
yang dapat mengakomodir baik kepentingan ekologi maupun kepentingan
ekonomi masyarakat Desa Sedari.
Proses partisipasi dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan
model empang-parit memang membutuhkan kerelaan antara berbagai pihak yang
berkepentingan. Perum Perhutani sebagai lembaga pemerintah perwakilan tingkat
pusat yang dianggap posisinya lebih tinggi harus rela menyamakan kedudukannya
18
Ibid. Hlm. 269
72
dengan pesanggem LMDH Mina Wana Lestari untuk berkomunikasi dari hati ke
hati untuk mengetahui keinginan pesanggem dan permasalahan yang dihadapi
mereka. Tidak ada arogansi karena merasa lebih memiliki kapasitas baik dalam
hal kekuasaan maupun pengetahuan. Justru seharusnya Perum Perhutani
memberikan ilmu pengetahuan kepada pesanggem berkaitan pengelolaan tanaman
payau sekaligus mempelajari kearifan lokal masyarakat dalam melestarikan hutan
mangrove sehingga dihasilkan teknik pengelolaan yang menggabungkan kedua
pengetahuan. Pesanggem LMDH Mina Wana Lestari harus rela berkorban waktu
dan tenaga untuk bersama-sama ikut serta aktif dalam tiap tahapan kegiatan dan
mengesampingkan kepentingan jangka pendek (membuka hutan mangrove hanya
untuk tambak semata) untuk kepentingan jangka panjang yang berkelanjutan
(tambak- mangrove ramah lingkungan yang memberikan manfaat ekonomi dan
ekologi). Selain itu, pesanggem juga harus rela belajar dari Perum Perhutani
mengenai pengelolaan tambak- mangrove. Pemerintah Desa Sedari harus rela
menjembatani kepentingan antara pesanggem dan Perum Perhutani serta menjadi
pihak netral yang mengawasi kegiatan pengelolaan tambak mangrove ramah
lingkungan model empang-parit.
Download