BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan proses yang sangat penting dan berarti dalam
hubungan antar manusia. Pada profesi keperawatan, komunikasi menjadi lebih
bermakna karena merupakan metode utama dalam mengimplementasikan
proses keperawatan (Purba, 2012). Komunikasi merupakan suatu hal yang
tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari, tak terkecuali tenaga kesehatan
dengan pasien. Perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara
terapeutik tidak saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan
klien, mencegah terjadinya masalah ilegal, memberikan kepuasan profesional
dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra profesi keperawatan
serta citra rumah sakit (Hamid, 1986), tetapi yang paling penting adalah
mengamalkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama
manusia. Sebagian besar tenaga keperawatan yang bekerja di pelayanan
kesehatan di Indonesia saat ini didominasi oleh tenaga keperawatan yang
berpendidikan Diploma III Keperawatan.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Badan Sertifikasi
Profesi (BNSP) (2006) telah menetapkan bahwa kemampuan komunikasi
terapeutik merupakan suatu standar kompetensi yang harus dimiliki oleh
perawat dalam pemberian pelayanan asuhan keperawatan dan manajemen
keperawatan. Oleh karena itu, penggunaan komunikasi terapeutik merupakan
unsur yang penting dalam layanan asuhan keperawatan. Komunikasi juga
1
2
masuk dalam standar kompetensi di profesi lain seperti dokter dan nutrisionist,
khusus untuk dokter, komunikasi efektif merupakan salah satu dari tujuh area
kompetensi dokter (Emilia, 2008).
Dalam kurikulum Diploma III Keperawatan, mata kuliah komunikasi
keperawatan menguraikan tentang teori dan konsep komunikasi umum dan
komunikasi terapeutik dalam keperawatan serta penerapan komunikasi dalam
asuhan keperawatan pada berbagai kasus dan tingkat usia. Setelah
mendapatkan mata kuliah ini mahasiswa diharapkan memiliki wawasan, sikap
dan perilaku yang mampu mengimplementasikan teori, konsep dan prinsipprinsip komunikasi dalam keperawatan, menggunakan teknik komunikasi
terapeutik pada berbagai kasus dan tingkat usia. Dalam proses pembelajaran di
program Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bethesda
(Stikes Bethesda), mata kuliah komunikasi keperawatan diajarkan pada
semester II.
Pedoman komunikasi terstruktur yang telah lama dipelajari oleh
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan terbagi dalam beberapa fase,
meliputi tahap preinteraksi, tahap orientasi/perkenalan/pendahuluan, tahap
kerja, dan tahap terminasi (Nurjannah, 2004; Potter & Perry, 1999).
Di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Nepal dikenal sebuah pola
komunikasi bagi tenaga kesehatan baik bagi perawat (Thailand)
maupun
dokter (Nepal) yang dipengaruhi oleh nilai-nilai kepercayaan yang merupakan
kepercayaan sebagaian besar penduduk, pola komunikasi yang berhubungan
dengan sifat dari tokoh religi dan juga pengaruh kerajaan serta raja sangat
penting khususnya di Thailand (Burnard & Naiyapatana, 2004;Moore 2008),
tentu saja pedoman komunikasi tersebut belum dapat langsung diterapkan di
3
Indonesia, mengingat terdapat perbedaan yang fundamental dengan sumber
pedoman tersebut.
Sejak tahun 2011 di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
(FK UGM) telah tersusun pedoman komunikasi dokter pasien yang tidak
meninggalkan ciri khas budaya bangsa Indonesia, yaitu pedoman komunikasi
dokter-pasien UGM : Sapa-Ajak Bicara-Diskusikan. Pedoman komunikasi
dokter-pasien UGM ini disusun untuk menjembatani kesenjangan komunikasi
antara dokter dan pasien, karena pedoman komunikasi yang mengacu pada
standar komunikasi dari barat dirasa kurang tepat apabila digunakan dalam
konteks budaya Indonesia yang sangat khas, yaitu dokter memiliki
keterbatasan waktu dalam berinteraksi disebabkan oleh pasien yang banyak
berhubungan dengan sistem pelayanan kesehatan yang tidak efektif,
kesenjangan tingkat pengetahuan pasien dan dokter serta pola komunikasi
yang lebih bersifat paternalistik sehingga terjadi kesenjangan dalam
komunikasi. Dalam pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan,
keluarga dan lingkungan sekitar sangat dominan melebihi pasien sendiri, juga
dalam hal penggunaan obat-obatan tradisional. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan budaya barat yang sangat menghargai sikap individualitas
seorang pasien. Pedoman komunikasi tersebut telah digunakan sebagai
pedoman komunikasi dokter – pasien dengan ciri khas tertentu. Ciri khas
tersebut meliputi hirarki sosial yang kental, kuatnya hubungan kekerabatan,
kuatnya gaya bicara non verbal, hubungan kekeluargaan, dan kebiasaan
penggunan obat tradisional (Claramita, et al., 2010).
Berdasarkan pedoman komunikasi tersebut telah diadaptasi untuk
menyusun pedoman komunikasi perawat – pasien yang yang disusun
4
berdasarkan persepektif budaya yang sama dengan mengambil pedoman
dari pedoman komunikasi yang dikenal luas di kalangan perawat yang
bersumber dari luar, pedoman komunikasi untuk perawat yang baru ini
telah memasukan ciri khas budaya bangsa Asia Tenggara termasuk bangsa
Indonesia sendiri. pedoman tersebut disusun dengan formula : Siap – Sapa Ajak bicara - Diskusikan.
Pedoman komunikasi perawat-pasien ini memungkinkan terjadinya
pola komunikasi dua arah, sehingga peran perawat tergambar jelas baik
sebagai edukator, motivator maupun advokator dalam memberikan layanan
asuhan keperawatan (Riskione, et al., 2012). Pedoman komunikasi perawat –
pasien yang telah tersusun diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi pada perawat dalam memberikan layanan asuhan keperawatan.
Namun, sampai saat ini belum dilakukan uji coba, baik terhadap mahasiswa
maupun perawat pelaksana yang bekerja di pelayanan, sehingga paparannya
terhadap tenaga perawat masih belum ada. Dari studi pendahuluan yang
dilakukan dengan bertanya kepada beberapa mahasiswa keperawatan, baik di
UGM maupun di Stikes Bethesda, didapatkan bahwa mereka hanya
mempelajari pola komunikasi yang sebelumnya dan belum terpapar pedoman
komunikasi perawat-pasien dengan formula : Siap – Sapa - Ajak bicara –
Diskusikan. Di sisi lain, mahasiswa DIII Keperawatan di tahun ke-3 telah
mejalani proses pembelajaran klinik di pelayanan kesehatan. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk melakukan uji coba pedoman tersebut dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi pada mahasiswa keperawatan.
5
I.2. Perumusan Masalah
Bagaimana kemampuan komunikasi terapeutik mahasiswa Stikes
Bethesda yang telah mendapatkan pelatihan dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan pelatihan menggunakan pedoman komunikasi Siap – Sapa –
Ajak bicara - Diskusikan?
I.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengujicoba
pedoman komunikasi
perawat-pasien Siap – Sapa – Ajak bicara - Diskusikan yang mengacu pada
pedoman komunikasi perawat-pasien : Siap-Sapa-Ajak Bicara-Diskusikan
dalam meningkatkan kemampuan komunikasi terapeutik mahasiswa DIII
Keperawatan Stikes Bethesda Yogyakarta.
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah khasanah pengetahuan di
bidang pendidikan keperawatan mengenai pelaksanaan komunikasi
terapeutik dalam pemberian asuhan keperawatan.
I.4.2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Mahasiswa, untuk menambah pemahaman tentang penerapan komunikasi
terapeutik yang benar sesuai dengan perspektif budaya Asia Tenggara.
b. Bagi institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan
Pedoman komunikasi baru yang telah ditemukan dapat menjadi acuan
yang dapat digunakan atau diterapkan bagi mahasiswa ilmu keperawatan
dalam proses pembelajaran mengenai komunikasi. Dari segi efektivitas,
sebagai pertimbangan pedoman komunikasi perawat-pasien yang dapat
diterapkan dalam pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien.
6
c.
Bagi profesi perawat
Meningkatkan pemahaman komunikasi baru yang sudah ditemukan dapat
digunakan untu mempermudah menjalin kerja sama interprofesi dengan
tenaga kesehatan lain dalam melakukan asuhan keperawatan.
I.5. Keaslian Penelitian
Sejauh pengamatan peneliti, penelitian tentang efektivitas pedoman
komunikasi baru perawat-pasien yang mengacu pada pedoman komunikasi
perawat-pasien yang mengacu Siap - Sapa - Ajak Bicara - Diskusikan belum
pernah dilakukan oleh peneliti lain. Namun, ada penelitian yang pernah
dilakukan yang berkaitan dengan komunikasi yaitu, antara lain:
1. Penelitian Olfah (1999) dengan judul “Persepsi pasien terhadap pelaksanaan
komunikasi terapeutik dalam proses keperawatan di IRNA I Bangsal CDS
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”.
Penelitian tersebut menggunakan metode non eksperimental dan rancangan
cross sectional deskriptif. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa
persepsi penilaian pasien terhadap komunikasi teraupeutik dalam proses
keperawatan memiliki kriteria cukup. Persamaan dengan penelitian yang
dilakukan ini adalah subjek yang digunakan adalah profesi perawat. Adapun
perbedaannya adalah metode yang digunakan adalah penelitian kuantitatif
metode eksperimental, sedangkan Olfah menggunakan kuantitatif metode non
eksperimental dengan rancangan cross sectional dekriptif. Perbedaan lainnya
terletak pada waktu dan tempat penelitian. Pada penelitian Olfah, topik
penelitian difokuskan pada pelaksanaan komunikasi terapeutik itu sendiri,
sedangkan pada penelitian ini lebih pada penilaian efektivitas instrumen
7
komunikasi yang ada terhadap kemampuan komunikasi terapeutik mahasiswa
keperawatan terhadap pasien.
2. Penelitian Palupi (2006) dengan judul “Hubungan pelaksanaan dengan
kepuasan pasien tentang komunikasi terapeutik di ruang rawat inap RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek Propinsi Lampung”.
Penelitian tersebut menggunakan metode non eksperimental dan rancangan
cross sectional deskriptif korelatif. Hasil penelitian menyebutkan bahwa ada
hubungan yang positif dan kuat antara pelaksanaan dengan kepuasan pasien
tentang komunikasi terapeutik, yaitu pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh
sebagian besar perawat di ruang Rawat Inap RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung sudah baik, dan sebagian besar pasien merasa puas dengan
komunikasi terapeutik yang telah dilakukan oleh para perawat di ruangan
tersebut. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah subjek
penelitian berasal dari profesi perawat, perbedaannya terletak pada kelompok
perawatnya. Penelitian Palupi (2006) menggunakan subjek perawat klinis,
sedangkan peneliti menggunakan perawat yang masih menempuh pendidikan.
Perbedaan lain terletak pada metode pelaksanaan, penelitian Palupi (2006)
menggunakan penelitian kuantitatif dengan metode non eksperimental
rancangan cross sectional deskriptif sedangkan peneliti menggunakan
penelitian kuantitatif dengan eksperimental. Perbedaan lain terdapat pada
waktu dan tempat penelitian. Pada penelitian Palupi (2006), topik penelitian
difokuskan pada pelaksanaan komunikasi terapeutiknya sedangkan pada
penelitian ini lebih pada penilaian efektivitas instrumen yang telah disusun
sebelumnya pada kemampuan komunikasi mahasiswa keperawatan.
8
3. Penelitian Riskione (2012), dengan judul “ Pembuatan pedoman komunikasi
perawat-pasien mengacu pada pedoman komunikasi dokter-pasien UGM
“Sapa-Ajak bicara-Diskusikan” Penelitian tersebut merupakan penelitian
kualitatif yang menghasilkan pedoman komunikasi perawat – pasien „SiapSapa – Ajak bicara-Diskusikan” pada penelitian yang dilakukan ini dilakukan
uji coba instrumen komunikasi tersebut terhadap kemampuan komunikasi
terapeutik mahasiswa keperawatan dengan metode kuantitatif eksperimental.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah subjek penelitian
berasal dari profesi perawat, perbedaannya terletak pada kelompok perawatnya.
Pada penelitian Riskione (2012), melibatkan perawat pendidik dan perawat
ahli, sehingga menghasilkan sebuah pedoman, sedangkan penelitian yang
dilakukan ini adalah untuk melakukan uji coba instrumen tersebut kepada
mahasiswa DIII Keperawatan yang bertujuan untuk menilai peningkatan
kemapuan komunikasi mahasiswa kepada pasien dengan pedoman komunikasi
yang telah tersusun tersebut.
4. Penelitian Jianfei Xie, dkk (2012) dengan judul : “An evaluation of nursing
students’communication
ability
during
practical
training”.
Penelitian tersebut menilai kemampuan komunikasi dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi komunikasi mahasiswa di awal praktik klinik, melibatkan 312
mahasiswa keperawatan dari 22 institusi pendidikan keperawatan yang
diikutsertakan dalam penelitian. Kesimpulannya hampir semua mahasiswa
memerlukan
pelatihan
untuk
meningkatkan
kemampuan
komunikasi.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada subjek yang diteliti,
sedangkan perbedaannya, penelitian tersebut hanya menilai kemampuan
9
komunikasi mahasiswa perawat serta faktor yang mempengaruhinya, penelitian
yang dilakukan melakukan uji coba pada instrumen komunikasi yang ada.
5. Penelitian Mullan & Kothe (2010), dengan judul : Evaluating a nursing
communication skill training course : The relationships between self-rated
ability, satisfaction, and actual performance. Penelitian tersebut bertujuan
untuk mengevaluasi hubungan antara penilain kemampuan pribadi dan
kepuasaan terhadap pelatihan komunikasi dibandingkan dengan penilaian hasil
kemampuan komunikasi. Penelitian tersebut melibatkan 209 mahasiswa
keperawatan tahun pertama yang telah menyelesaikan mata kuliah komunikasi.
Hasilnya sebagian besar mahasiswa merasa puas terhadap peningkatan
kemampuan komunikasi atas hasil pembelajaran baik secara kuantitas maupun
kualitas dan berhubungan erat dengan kemampuan pribadi. Persamaan dengan
penelitian tersebut adalah subjek yang diteliti, perbedaannya pada penelitian
yang dilakukan respondennya adalah mahasiswa keperawatan tahun ketiga dan
jenis kegiatan penelitian yang dilakukan adalah mengujicoba instrumen
komunikasi perawat-pasien yang telah ada.
Download