BAB II KARAKTERISTIK YANG MEMBEDAKAN ANTARA PERBUATAN WANPRESTASI DENGAN DELIK PENIPUAN DALAM SUATU PERJANJIAN A. Perbedaan Antara Hukum Publik dan Hukum Privat Pada prinsipnya hukum dibagi dua yaitu hukum publik (publickrecht) dan hukum privat (privatrecht). Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat keperdataan atau kepentingan pribadi (orang perseorangan atau badan hukum). 67 Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya kebebasan setiap individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan, masalah harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Menurut KUH Perdata dibagi dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II tentang benda, buku III tentang perikatan, dan buku IV tentang bukti dan kadaluarsa. 68 Sedangkan dalam hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau negara atau melindungi kepentingan umum. 69 Sebagaimana dalam Kitab Undang- 67 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 9. 68 J. Satrio (II), Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1. 69 R. Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 2. Universitas Sumatera Utara Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) aspek tersebut diatur dalam tiga buku yaitu buku I tentang peraturan umum, buku II tentang, kejahatan dan buku III tentang pelanggaran. 70 Hukum publik misalnya hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional publik, dan lain-lain. 71 Handri Raharjo membuat pemetaan untuk membedakan antara hukum publik dan hukum privat, dalam tabel 1 berikut: 72 Tabel 1 Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat No Perbedaan 1. Dilihat dari subjeknya 2. 3. 4. 5. Hukum Publik Salah satu pihaknya adalah penguasa Dilihat dari kedudukan dari Kedudukan tidak pihak sejajar Dilihat dari sifatnya Umumnya memaksa (dwigenrecht) Dilihat dari akibatnya Aturannya tidak dapat disimpangi Dilihat dari aspek perlindungan Melindungi kepentingan kepentingan umum Hukum Privat Kedua belah pihak adalah perorangan Kedudukan sejajar Umumnya pelengkap (aanfulenrecht) Dapat disimpangi Melindungi perorangan Dari tabel 1 tersebut jelas sekali tampak perbedaan antara lingkup yang diatur secara esensial di dalam hukum publik dan hukum privat. Jika dilihat dari sisi subjek hukum, maka para pihak dalam hukum publik terdiri dari syarat minimal dua orang atau lebih dan yang lainnya adalah negara. Dari dua orang tersebut, yang satu adalah pelaku dan yang lain adalah korban, sementara negara adalah sebagai penuntut. 70 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1994), hal. 7- 71 Handri Raharjo, Op. cit, hal. 21. Ibid., hal. 22. 9. 72 Universitas Sumatera Utara Sedangkan subjek hukum dalam hukum privat hanya orang perseorangan yang setidak-tidaknya harus memenuhi syarat minimal harus ada dua orang yang disebut dengan kedua belah pihak atau para pihak. Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan dengan bangunan negara atau badan-badan negara, bagaimana badan-badan negara melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan perbandingan atau hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan sebaliknya. Bangunan negara yang dimaksud adalah pemerintahan termasuk susunan dan kewenangan-kewenangan pemerintahan tersebut. 73 Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan atau diancamkan kepada pelanggarnya dengan pidana, jenis dan macam-macam pidana, cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan dan penjatuhan pidana dalam persidangan, serta melaksanakan pidana. 74 Hukum perdata (privat) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan penguasa sebagai pribadi (perseorangan), bukan dalam fungsinya sebagai pejabat, yang berarti penguasa atau pejabat tersebut dalam hal ini tunduk pada peradilan perdata. 75 73 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 7. Ibid., hal. 8. 75 Ibid. 74 Universitas Sumatera Utara Hukum perdata dalam arti sempit hanya meliputi ketentuan-ketentuan tentang orang, tentang kebendaan, tentang perikatan, dan tentang pembuktian dan daluarsa seperti yang di diatur dalam KUH Perdata (BW). Sedangkan hukum perdata dalam arti luas meliputi selain termasuk dalam arti sempit, juga termasuk ketentuanketentuan mengenai perdagangan sebagaimana diatur dalam KUHD dan kegiatan bisnis. 76 Kadang-kadang hukum perdata dalam arti luas dinamakan oleh orang sebagai hukum sipil, sedangkan hukum perdata dalam arti sempit sebagai hukum perdata. Karenanya jika membicarakan mengenai hukum perdata, maka harus disepakati terlebih dahulu istilah mana yang sedang digunakan. Sehingga dengan demikian perbedaan antara hukum publik dan hukum privat semakin jelas. Ditinjau dari sudut kepentingan, maka hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan (particuliere belangen), sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum (algemene belangen). Ditinjau dari kedudukan subjek hukumnya, maka dalam hukum perdata mengatur hubungan-hubungan subjek yang kedudukannya sederajat atau sedejarat warga perseorangan, tanpa membeda-bedakan derajat kebangsawanan, derajat dalam pekerjaan, kedudukan dalam beragama, dan sebagainya. Sedangkan dalam hukum publik mengatur hubungan-hubungan subjek hukum yang kedudukannya tidak 76 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 10. Universitas Sumatera Utara sederajat. Sebab dalam hukum publik, yang satu adalah penegak hukum, yang tentunya lebih tinggi kedudukannya daripada yang lain. 77 Ditinjau dari sudut menegakkan atau mempertahankan hukum, maka dalam hukum perdata diserahkan kepada orang perseorangan yang berkepentingan, apakah ia akan mempertahankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan gugatannya ke pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur) akan menuntut pembayaran kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui peradilan perdata atau tidak, ataukah piutang itu dianggap saja sudah lunas atau dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si kreditur. 78 Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum, walaupun mungkin orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap subjek yang merugikannya. Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lian apabila yang terjadi itu adalah kejahatan penghinaan, perzinahan, pencurian dalam keluarga dan sebagainya. 79 Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum perdata berlaku secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah maupun untuk rakyat berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan. Sedangkan hukum publik merupakan hukum khusus (ius speciale) karena memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan 77 Handri Raharjo, Loc. Cit. Ibid. 79 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 10. 78 Universitas Sumatera Utara kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik perseorangan atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte). 80 Hukum perdata pada hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antar warga perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lainnya. Van Dunne mengatakan yang esensial dalam hukum perdata mengatur individu dalam hubungannya dengan keluarganya, hak miliknya, hartanya, perikatan, dan lain-lain. Sekaligus membedakannya dari hukum publik yang pengaturannya memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi. Dikatakan jaminan yang minimal karena dijamin dalam perundang-undangan. 81 Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan di atas, intinya dari hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak. Inti dari perbedaan ini adalah hukum publik merupakan hukum yang mengatur tentang kepentingan publik (masyarakat umum), sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan privat atau pribadi atau perdata, perseorangan atau partikulir. Singkatnya dari hukum pidana apakah ia merupakan hukum publik atau tidak, maka pada satu sisi hukum pidana adalah hukum publik, tetapi di sisi lain ada pengecualian 80 81 Ibid. Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 10. Universitas Sumatera Utara bahwa hukum pidana belum tentu sebagai hukum publik. Oleh karena itu, ciri-ciri haukum publik harus diketahui terlebih dahulu, yaitu: 82 1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan. 2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan perkataan lain, orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa. 3. Penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya, negara atau penguasa wajib menuntut orang orang tersebut. 4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana positif. Apakah pada hukum pidana itu terdapat ciri-ciri seperti yang terdapat pada ciri-ciri hukum publik, atau apakah hukum pidana bersifat hukum publik? Menurut pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, dewasa ini pada umumnya hukum pidana adalah bersifat hukum publik. Karena dalam hukum pidana juga terdapat ciri-ciri yang terdapat pada hukum publik. 83 Jika dianalogikan misalnya A membunuh si B atas permintaan si B sendiri dengan sungguh-sungguh, namun penguasa tetap berkewajiban menuntut si A (Pasal 344 KUH Pidana). Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan keiinginan keluarga atau pihak dari si B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena mereka mengetahui bahwa pembunuhan itu terjadi karena permintaan B. Tetapi dalam hal ini yang harus diutamakan adalah kepentingan umum, karena bagaimanapun juga, pembunuhan adalah perbuatan tercela, harus dicegah dan layak dipidana bagi pelakunya. 82 83 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 23. Ibid., hal. 24. Universitas Sumatera Utara Mengapa alasannya pada kepentingan umum dalam kasus pembunuhan di atas, karena jika permintaan si B tadi dibiarkan agar si A membunuhnya atau tidak diproses secara hukum, maka dalam hal ini kepentingan umum akan tertarik atau dirugikan dengan alasan, pertama, jika hal itu terjadi dan tidak diproses oleh aparat penegak hukum, maka masyarakat yang lainnya bisa suatu waktu mencontoh sehingga terjadi hal serupa, kedua, karena undang-undang sudah menjamin untuk melindungi seluruh warga negara dari segala ancaman, gangguan, atas kenyamanan dan kelangsungan hidup warga masyarakat. Tetapi dalam beberapa hal, terdapat pengecualian, tidak selalu penuntutan wajar dilakukan oleh penguasa tanpa memperhatikan kehendak dari pihak-pihak yang dirugikan. Pengecualian ini muncul sebagai reaksi dari doktrin-doktrin yang berprinsip pada “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” (there is no rule without exeption). Tentunya ini berlaku tidak bersifat umum, melainkan hanya untuk kasuskasus tertentu yang sudah ditegaskan baik dalam tataran norma yang abstrak maupun yang sudah normatif di dalam undang-undang. 84 Prinsip tiada suatu peraturan tanpa kekecualian, ini berlaku misalnya untuk kasus-kasus delik aduan, seperti delik penghinaan dan delik perzinahan (KUH Pidana), ada pula dalam delik merek (UU No.15 Tahun 2001), dan lain-lain. Untuk 84 Ibid. Universitas Sumatera Utara delik aduan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut oleh negara karena adanya aduan dari korban. 85 Pertimbangan dengan menggunakan prinsip di atas didasarkan bahwa terhadap orang yang dirugikan atas terjadinya suatu kasus jangan hendaknya semakin dirugikan lagi terutama bagi masyarakat awam yang tidak banyak mengetahui arti peradilan yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan mental. Bila terjadi dalam lingkungan keluarga misalnya atas pencurian yang dilakukan anak terhadap uang orang tuanya sendiri, proses hukum tidak akan berjalan jika orang tuanya memaafkan, tetapi negara akan bertindak jika ada pengaduan dari orang tuanya tersebut. Hukum pidana bersifat hukum publik, walaupun ada alasan pengecualian yang mengatakan hukum pidana bukan hukum publik. Artinya bahwa sifat pemaksa (dwigen recht) dari hukum pidana tidak selamanya harus dijalankan oleh penguasa atau negara, melainkan harus pula memperhatikan prinsip “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” yang kira-kira prinsip ini melihat dan mendasarkan kajiannya pada asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran. Oleh karena negara tidak selalu wajib menuntut terhadap suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada pengaduan dari yang dirugikan atau korban tindak pidana , menunjukkan 85 Ibid., hal. 241. Berbeda dengan delik biasa seperti contoh dalam delik tindak pidana pencurian atau delik jabatan dan lain-lain. Dalam delik biasa petindaknya dituntut oleh petugas tanpa harus menunggu aduan dari pihak tertentu dengan perkataan lain tidak perlu ada aduan langsung aparat Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan. Universitas Sumatera Utara karakter hukum pidana tidak bersifat hukum publik dalam kondisi tertentu, yaitu untuk delik-delik pengaduan saja. 86 Norma hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) menurut Nur Rahman adalah suatu suatu norma hukum yang secara apriori harus ditaati atau norma hukum dalam hal konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. 87 Walaupun dalan tabel 1 tersebut di atas, sifat hukum publik umumnya memaksa (dwingen recht) dan sifat hukum privat umumnya pelengkap (aanvullend recht), namun dalam hukum perdata (dalam pasal-pasal KUH Perdata) tentang perjanjian ada juga yang bersifat memaksa (dwingen recht). Misalnya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan wajib dipenuhi adalah: 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif. Menurut Yahman, jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. 88 Berarti ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ini bersifat memaksa artinya keempat syarat tersebut wajib ada dalam 86 Ibid., hal. 25. http://asepnurrahman.files.wordpress.com/2011/09/pengantar-ilmu-hukum.pdf, diakses tanggal 19 Juli 2014, artikel yang ditulis oleh Nur Rahman, berjudul “Pengantar Ilmu Hukum”, dipublikasikan di website pribadi bernama Asepnurahman, bulan September 2011. 88 Yahman, Op. cit., hal. 32. 87 Universitas Sumatera Utara perjanjian, jika tidak, maka konsekeunsi hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Jadi pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata juga mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingen, mandatory) dan juga bersifat opsional atau pelengkap (aanvullend, optional). Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syaratsyarat dan ketentuan-etentuan lain dalam perjanjian dibuat para pihak. Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat melengkapi, para pihak bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuanketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuanketentuan yang melengkapi itu adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud. 89 Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum dalam perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak. Apa yang di atur dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht aanvullendrecht). Tetapi Buku III KUH Perdata tersebut juga menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang 89 http://strategihukum.net/pro-kontra-eksistensi-surat-kuasa-mutlak, diakses tanggal 19 Juli 2014, artikel yang ditulis oleh Bimo Prasetio dan Niken Nydia Nathania, berjudul, “Pro-Kontra Eksistensi Surat Kuasa Mutlak”, dipublikasikan di wensite Strategi Hukum, tanggal 22 April 2013. Universitas Sumatera Utara menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut. Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat. B. Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata (hukum privat). 90 Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif (turunan) dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata. Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di dalam mulai dari Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau 90 R. Wijono Prodjodikoro, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian. 91 Gunawan Widjaja dalam bukunya berjudul, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, mengkaji hukum perjanjian dan hukum perikatan dalam bab-babnya secara terpisah. 92 Namun itu tidak berarti konsepnya harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian, 93 walaupun sedikit terdapat perbedaan. Perjanjian dan perikatan menurut Handri Raharjo merupakan dua hal yang berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Handri Raharjo mengutip dari R. Subekti dan J. Satrio untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini: 94 Tabel 2 Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan No Perjanjian 1. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan. 2. Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar. 3. Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perikatan Perikatan adalah isi dari perjanjian. Perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam alam pikiran saja). Perikatan bersegi satu, artinya: belum tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan 91 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 247. 92 Ibid., hal. 247 dan hal. 309. 93 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 39. 94 Ibid., hal. 43. Universitas Sumatera Utara Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksankan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan dua pihak sehingga bukan pernyataan sepihak, dan pernyataan itu merupakan perbuatan hukum. (hutang karena judi) karena pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah satu sehingga ia disebut bersegi satu dan pernyataannya merupakan pernyataan sepihak serta merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum). Menurut J. Satrio, perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan. 95 Jadi sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata. 96 Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undangundang. Selain itu Abdulkadir Muhammad menambahkan pula di samping berasal 95 96 J. Satrio (II), Op. cit., hal. 38. Ibid., hal. 40. Universitas Sumatera Utara dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari kesusilaan. 97 Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undangundang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V s/d XVIII Buku III KUH Perdata. 98 Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusilaan. 99 Menurut Gunawan Widjaja, hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya. 100 Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni 97 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 221. Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-Hambatannya Dalam Praktek, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 40. 99 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 77. 100 Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 247-248. 98 Universitas Sumatera Utara sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetaplah sama. Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi. Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan yang tentunya mudah ditemukan banyak persoalan dagang, maka perjanjian umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Agus Yudha Hernoko dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama. 101 Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian (overeenkomst) dalam Buku III KUH Perdata (BW), padahal sebenarnya hukum kontrak (contract law) merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Menurut Subekti menyebutkan hukum kontrak memiliki 101 Agus Yudha Hernoko, Op. cit, hal. 13 dan hal. 15. Universitas Sumatera Utara pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. 102 Sedangkan Agus Yudha Hernoko tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak. 103 Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis, Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama. 104 Sedangkan Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi kritis Peter Mahmud Marzuki ia menyebutkan untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja. 105 Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat dipenuhi. 106 102 R. Subekti, Op. cit, hal. 1. Ibid., hal. 13. 104 Ibid., hal. 13-14. 105 Ibid. Lihat juga: Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Jurnal Yuridika, Volume 18 Nomor 3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196. 106 Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, (Surabaya: Kantor Hukum Wins & Partners dan Laksbang Justitia Surabaya, 2013), hal. 2325. 103 Universitas Sumatera Utara Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis di dalam buku karangan Muhammad Syaifuddin berjudul, “Hukum Kontrak”, ia mengatakan pelaku bisnis banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Perjanjian”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit Contract of Overeenkomst Geboren Worden”. 107 Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, bahwa istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk, 108 sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan. 109 Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract (kontrak) sudah menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan 107 Agus Yudha Hernoko, Loc. cit. Lihat juga: Muhammad Syaifuddin, hukum Kontrak, Memahami Kontral Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 15. 108 Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hal. 195. 109 R. Subekti, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan istilah kontrak tersebut di Eropa Barat. 110 Sehingga dengan demikian, antara istilah kontrak dan perjanjian sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma, serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata. Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi berbeda karena faktor kebiasaan (tradisi) penggunaannya di Indonesia. Warga negara Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian. Sedangkan istilah perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia. Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan daripada perjanjian. Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana 110 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 17-25. Universitas Sumatera Utara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah ini digunakan. Namun pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Handri Raharjo memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus diperbaiki. Beliau mengatakan kelemahan itu terdapat pada beberapa hal sebagaimana tabel 3 berikut ini. 111 Tabel 3 Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata No Kelemahan Seharusnya 1. Merupakan perbuatan (hal ini Perbuatan hukum bermakna terlalu luas). 2. Yang mengikatkan dirinya hanya Saling mengikatkan diri atau syarat satu pihak (kurang lengkap) minimal pihaknya harus dua orang sehingga bisa disebut perjanjian saja. sepihak. 3. Tujuannya tidak jelas. Harus dijelaskan tujuannya untuk apa. Sementara kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Taryana Soenandar, ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu: 112 1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja; 2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum; 111 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 41. Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit, Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 105. 112 Universitas Sumatera Utara 3. Pengertiannya terlalu luas (bisa termasuk perjanjian kawin); 4. Tanpa menyebutkan tujuannya. Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki banyak kelemahan. Menurut J. Satrio kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak. 113 Oleh karena kelemahan tersebut, Handri Raharjo mencoba memberikan penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini: 114 Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum. Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud, tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat hukumnya. 113 114 Ibid., hal. 104. Handri Raharjo, Op. cit., hal. 42. Universitas Sumatera Utara Menurut Titik Triwulan Tutik, unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi yaitu: 115 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak; Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap; Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak; Ada prestasi yang akan dilaksanakan; Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan; Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian sebagaimana yang disebutkan oleh Titik Triwulan Tutik tersebut di atas. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang, maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif. 116 Suatu perjanjian maupun kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat 115 116 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222. Yahman, Op. cit., hal. 31. Universitas Sumatera Utara mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal). 117 Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. 118 Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum. 119 Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut objek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan. Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu: para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak ketiga. 120 Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek 117 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 111. Ibid., hal. 32. 119 Subekti, Op. cit., hal. 17. 120 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222. 118 Universitas Sumatera Utara hukum. 121 Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang hukum misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lainlain. 122 Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan, demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak (subjek perjanjian) untuk memenuhi prestasi masing-masing. 123 Itu sebabnya objek perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan. Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu harus ada persetujuan (kesepakatan) antara para pihak, untuk melakukan tujuan perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan. 124 Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. 125 Hakikat dari perjanjian sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya 121 R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 7. M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 4-5. 123 R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 223. 124 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 223. 125 Ibid. 122 Universitas Sumatera Utara untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja, sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut. 126 Pentingnya prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya perbuatan wanprestasi. Bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan, karena ada ketentuan undangundang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak menghendaki harus dalam bentuk tertulis. 127 C. Perbedaan Antara Perbuatan Wanprestasi Dengan Delik Penipuan Dalam Suatu Perjanjian 1. Karakteristik Perbuatan Wanprestasi Ketika membicarakan tentang wanprestasi, maka sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konsep hukum perjanjian, karena wanprestasi masuk dalam satu bahasan ketika membicarakan tentang hukum perjanjian, sehingga pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian lebih tepatnya disebut melakukan wanprestasi, sebagai bentuk pengingkaran terhadap isi perjanjian. 126 127 Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 248-249. Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 224. Universitas Sumatera Utara Wanprestasi merupakan suatu istilah yang menunjuk pada suatu keadaan atau peristiwa tidak terlaksananya prestasi oleh debitor. Wanprestasi dapat berwujud dalam beberapa bentuk menurut Gunawan Widjaja seperti: 128 a. Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya. b. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya atau melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya. c. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya. d. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya. 129 Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Handri Raharjo adalah: 130 a. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tetapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki. b. Terlambat memenuhi prestasi. c. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. d. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Kemudian Muhammad Syaifuddin, juga menyebut bentuk-bentuk wanprestasi yang mirip dengan di atas, beliau menyebutkan dalam wanprestasi ada empat macam wujudnya, yaitu: 131 a. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali. b. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya. c. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. d. Melaksanakan perbuatan yang dilarang di dalam perjanjian. 128 Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 356. Ibid., hal. 357. 130 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 80. 131 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 338. 129 Universitas Sumatera Utara Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian dapat dilihat dari kesalahan debitor disangkutkan dengan kelalaiannya melakukan prestasi dan karena keadaan memaksa. 132 Dalam kamus hukum, wanprestasi diartikan sebagai “keadaan di mana debitor tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, tidak memenuhi janji dalam suatu perikatan, kealpaan, kelalaian”. 133 Wanprestasi menunjukkan keadaan atau kondisi di mana debitor (si berutang) tidak melaksanakan prestasinya yang telah diwajibkan di dalam perjanjian/kontrak, yang dapat timbul karena kelalaian debitor itu sendiri dan karena adanya keadaan memaksa. 134 Sehingga harus dipersyaratkan ada dua aspek penting dalam wanprestasi sekaligus harus dibuktikan oleh debitor yaitu pertama, disebabkan karena kesalahan (lalai), kedua disebabkan karena kondisi yang memaksa. Munir Fuady menggunakan istilah default, nonfulfillment, breach of contract, atau cidera janji untuk menjelaskan padanan kata dari wanprestasi. Menurutnya wanprestasi merupakan kondisi tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan dalam perjanjian, yang merupakan pembelokan dari pelaksanaan perjanjian, sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dari salah satu atau dari kedua belah pihak. 135 132 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 81. M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 643. 134 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007), 133 hal. 340. 135 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua, (Bandung: Citra Adtya Baktu, 2001), hal. 87. Universitas Sumatera Utara Apakah wanprestasi merupakan salah satu bentuk perbuatan melawan hukum dalam konsep onrechtmatig daad atau perbuatan melawan hukum dalam konsep wederrechtelijkheid? Untuk itu harus pula diketahui apa yang menjadi syarat perbuatan melawan hukum dalam konsep onrechtmatig daad. Perbuatan melawan hukum dalam konsep onrechtmatig daad adalah: 136 a. Perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain. b. Melanggar kewajiban hukumnya sendiri (kedua-duanya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undanga). c. Melanggar etika pergaulan hidup (goede zeden), dan d. Melanggar kewajibannya sebagai anggota masyarakat dalam pergaulan hidup. J. Satrio mengatakan dengan tegas bahwa wanprestasi merupakan perbuatan melawan hukum, antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Wanprestasi adalah sama dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak dalam kedudukannya sebagai debitor. 137 Sehingga dengan demikian pemaknaan ini sesungguhnya didasarkan pada perkembangan yang memperluas makna perbuatan melawan hukum dari arti sempit (dalan undangundang) menjadi arti lebih luas (di luar undang-undang yang menyangkut asas-asas). Sehingga dengan diperluasnya makna perbuatan melawan hukum dari arti sempit (dalan undang-undang) menjadi arti lebih luas (di luar undang-undang yang menyangkut asas-asas), berimplikasi pada terkategorinya perbuatan seseorang yang tidak saja hanya melanggar isi perjanjian tetapi juga melanggar asas kepatutan, asas 136 J. Satrio (III), Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2012), hal. 4. Perbuatan melawan hukum tersebut di atas telah dianut dalam doktrin maupun dalam yurisprudensi setelah peristiwa perkara Lindenbaum melawan Cohen (HR 31 Januari 1919, N.J. 1919, 161). 137 Ibid., hal. 4-5. Universitas Sumatera Utara kehati-hatian, dan asas kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dalam kehidupan. Tepatlah kiranya terhadap perbuatan salah satu pihak dikatakan melawan hukum berdasarkan asas kepatutan dan kewajaran karena ia tidak mau menyerahkan suatu barang jaminan padahal masa waktu perjanjian telah selesai dilaksanakan oleh masing-masing pihak tersebut, karena hal itu bertentangan dengan asas kepatutan dan asas kewajaran. Jika semua ketentuan dalam perjanjian sudah selesai dilaksanakan, maka tidak patut dan tidak wajar jika ada salah satu pihak yang tidak menyerahkan misalnya tidak menyerahkan suatu barang jaminan atas perjanjian tersebut. Demikian pula Suharnoko dalam kajian yang sama, mengatakan semula pengertian perbuatan melawan hukum diartikan secara sempit sebagaimana dalam Pasal 1365 KUH Perdata, namun setelah Hoge Raad dalam kasus yang terkenal yaitu Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan saja hanya dalam Pasal 1365 KUH Perdata (dalam undang-undang), tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar asas kepatutan, asas kehati-hatian, dan asas kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda milik orang lain. 138 Namun jika bersandarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, sebenarnya tidak bisa digunakan istilah perbuatan melawan hukum untuk wanprestasi karena hal demikian akan membingungkan. Memang kadang-kadang bisa ada situasi yang membingungkan, apakah perbuatan itu wanprestasi atau merupakan perbuatan 138 Suharnoko, Op. cit., hal. 121. Universitas Sumatera Utara melawan hukum, misalnya dalam pengakhiran perjanjian sewa-menyewa, jika si penyewa tidak mengembalikan objek sewaannya dan tetap memakainya walaupun perjanjian sewa-menyewa telah berakhir, maka apa yang seharusnya dikenakan kepada si penyewa itu, apakah masih tetap wanprestasi atau melawan hukum. 139 Timbul pula pertanyaan-pertanyaan lainnya, bukankah sesudah masa perjanjian sewa-menyewa berakhir berarti sudah tidak ada hubungan sewa-menyewa lagi? Bukankah kalau tidak ada hubungan perjanjian (hubungan kontraktual) mestinya dasar gugatannya adalah perbuatan melawan hukum? Bukankah si penyewa tadi telah memenuhi prestasinya berdasarkan hubungan dalam perjanjian sewamenyewa? Tidak mengosongkan rumah sewa setelah perjanjian sewa-menyewa berakhir menurut J. Satrio adalah wanprestasi. 140 Lalu kemudian masalahnya adalah apakah orang boleh menggugat ganti rugi atas dasar wanprestasi dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata? Ternyata sekalipun diterima sebagai suatu bentuk perbuatan melawan hukum, namun karena doktrin dan yurisprudensi berpendapat bahwa karena wanprestasi sudah mendapatkan pengaturannya dalam Bab I Buku III KUH Perdata dan perbuatan melawan hukum sudah mendapatkan pengaturannya dalam Bab III Buku III KUH Perdata, maka orang tidak dibenarkan untuk menuntut wanprestasi dengan mendasarkan pada ketentuanketentuan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 139 140 J. Satrio (III), Op. cit., hal. 6. Lihat juga: Suharnoko, Op. cit., hal. 73. Ibid. Universitas Sumatera Utara 1365 KUH Perdata. 141 Secara praktik dan perkembangan hukum serta yurisprudensi, wanprestasi sebenarnya sama dengan perbuatan melawan hukum, tetapi secara normatif dalam KUH Perdata keduanya adalah berbeda. Wanprestasi memiliki akibat hukum, ada beberapa akibat yang ditimbulkan dari perbuatan wanprestasi, antara lain: 142 a. Bagi debitor: 1) Mengganti kerugian. 2) Objek perjanjian menjadi tanggung jawab debitor. b. Bagi kreditor (Pasal 1267 KUH Perdata), yaitu kreditor dapat menuntut: 1) Pemenuhan perjanjian yang telah disepakati. 2) Menerima ganti kerugian (Pasal 1243-1252 KUH Perdata) atas segala biaya-biaya termasuk bunga, dan lain-lain. 3) Meminta pembatalan perjanjian. 4) Peralihan risiko. Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak dalam perjanjian (hak kontraktual) menimbulkan akibat hukum yang paling utama adalah ganti kerugian (sebagaimana Pasal 1236 KUH Perdata untuk prestasi memberikan sesuatu dan Pasal 1243 KUH Perdata untuk prestasi berbuat sesuatu). Penggantian biaya atau bunga karena tidak dipenuhinya ketentuan dalam perjanjian, akan mewajibkan bagi debitor (si berutang) untuk mengganti kerugian tersebut kepada kreditor setelah dibuktikan bahwa debitor tersebut melakukan kesalahan yaitu karena kelalaian. 143 Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada dua hal yang harus dibuktikan dalam perbuatan wanprestasi pertama, kelalainnya, dan kedua, kondisi yang memaksa (force majeure), berlaku dalam konsep hukum perdata. Tetapi aspek 141 Ibid., hal. 6-7. Handri Raharjo, Op. cit., hal. 81. 143 Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 261. 142 Universitas Sumatera Utara ini berbeda dalam konsep hukum pidana yaitu kesalahan (terdiri dari kesengajaan atau kelalaian) dan keadaan memaksa (overmacht). Kesengajaan dalam hukum pidana dikenal dengan istilah dolus, sedangkan kelalaian adalah culpa. 144 Kesalahan dalam wanprestasi hanya mengenal keselahan karena kelalaian dan tidak mengenal kesalahan karena kesengajaan. Argumentasi itu berdasarkan referensi yang ditemukan, pada umumnya ketentuan Buku III KUH Perdata tentang perikatan diterjemahkan oleh para ahli hukum bahwa kesalahan dalam melaksanakan perjanjian adalah kelalaian bukan kesengajaan. 145 Secara tegas hal itu dikatakan oleh Agus Yudha Hernoko, bahwa debitor dinyatakan lalai, jika: 146 a. Tidak memenuhi prestasi, b. Terlambat memenuhi prestasi, c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya. Pada umumnya wanprestasi terjadi atau dikatakan debitor telah melakukan wanprestasi jika setelah adanya pernyataan lalai (in mora stelling, ingebereke stelling) dari pihak kreditor kepada debitor, bukan pernyataan sengaja. Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan untuk menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitor untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditor. Menurut KUH Perdata peringatan (somatie) dari 144 EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Op. Cit., hal. 170. Agus Yudha Hernoko, Loc. cit. Lihat juga: J. Satrio (III), Op. cit., hal. 26-35. 146 Agus Yudha Hernoko, Ibid., hal. 261. 145 Universitas Sumatera Utara kreditor kepada debitor mengenai kelalaian debitor harus dituangkan dalam bentuk tertulis (vide: Pasal 1238 KUH Perdata). 147 Mengenai wanprestasi dilihat dari karena kelalaian ditentukan dalam Pasal 1238 KUH Perdata. Menurut pasal ini debitor dikatakan lalai jika setelah lewat tenggang waktu yang ditentukan dalam perjanjian untuk melaksanakan isi perjanjian tidak tercapai target sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian. Namun ketentuan ini bukanlah bersifat absolut, melainkan harus pula dikaitkan dengan Pasal 1243 KUH Perdata. 148 Pasal 1243 KUH Perdata menentukan syarat kelalaian mengakibatkan terjadinya wanprestasi bagi debitor dan debitor tersebut harus mengganti kerugian kepada kreditor. Pasal ini juga mengandung makna adanya tenggang waktu diberikan kepada debitor, jika dalam tenggang waktu tersebut tidak juga dilaksanakan setelah kreditor memberikan beberapa kali somasi kepada debitor, maka kreditor berhak menuntut ganti kerugian dengan mengajukan gugatannya (perdata) ke pengadilan. 149 Kelalaian melakukan prestasi (wanprestasi) sebagaimana telah dijelaskan di atas menimbulkan akibat hukum bagi debitor setelah diberikan tenggang waktu, yaitu debitor harus membayar ganti kerugian kepada kreditor jika tenggang waktu yang diberikan oleh kreditor tersebut tidak juga dapat dicapai oleh debitor untuk melaksanakan prestasinya. 147 Ibid. Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 340. 149 Ibid., hal. 341-344. 148 Universitas Sumatera Utara Sebagaimana tadi kelalaian melakukan prestasi menimbulkan akibat hukum yaitu ganti rugi, tetapi berbeda dengan keadaan mamaksa (force majeure atau overmacht) dan keadaan sulit (hardship), wanprestasi karena keadaan memaksa dan keadaan sulit, tidak menimbulkan akibat hukum kepada debitor untuk melakukan ganti kerugian kepada kreditor jika debitor dapat membuktikan bahwa kondisi force majeure atau kondisi hardship tersebut benar-benar adanya dan benar terjadi saat pelaksanaan perjanjian sedang berlangsung. 150 Keadaan memaksa (force majeure atau overmacht) telah diatur dalam Buku III KUH Perdata yang pengaturannya bersifat fragmentaris (tersebar) dalam beberapa pasal, yaitu Bagian IV tentang Pembagian Biaya, Rugi dan Bunga karena tidak terpenuhinya perikatan (Pasal 1244-1245 KUH Perdata) dan Bagian VII tentang Musnahnya Barang yang Terutang (Pasal 1444-1445 KUH Perdata). Dalam ketentuan-ketentuan tersebut, terdapat norma pelepasan hak menuntut terhadap debitor yang wanprestasi jika terjadi force majeure atau overmacht. 151 Untuk keadaan sulit (hardship), belum ada diatur dalam KUH Perdata maupun dalam perundang-undangan. Menurut Agus Yudha Hernoko, jika terjadi kasus-kasus yang dikaitkan dengan keadaan sulit (hardship) oleh debitor, umumnya hakim pengadilan menyamakannya dengan overmacht. Keadaan sulit sering dialasankan oleh debitor dalam praktik, misalnya karena kondisi perekonomian yang 150 151 Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 270. Ibid. Universitas Sumatera Utara krisis sehingga mengakibatkan kesulitan dalam melakukan isi perjanjian, dan lainlain. 152 Oleh sebab wanprestasi domainnya adalah hukum perdata (hukum privat) maka konsep wanprestasi dalam kondisi yang memaksa lebih sepakat disetujui dengan menggunakan istilah force majeure dan overmacht, yang telah berlaku dan menjadi asas dalam konsep hukum perdata. Sedangkan dalam konsep hukum pidana, keadaan memaksa hanya menggunakan istilah overmacht saja, dalam hukum pidana tidak dikenal istilah force majeure, melainkan overmacht. Pengertian hardship di Indonesia diterjemahkan dengan “keadaan sulit” atau “kesulitan” atau “beban” dan sama sekali belum ada pengaturannya di dalam KUH Perdata. Menurut Agus Yudha Hernoko, hardship menunjukkan kondisi kesulitan dalam melaksanakan perjanjian/kontrak. 153 Berdasarkan asasnya apakah karena alasan hardship lalu pihak yang dirugikan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi di pihak lain? Masing-masing doktrin masih berbeda dalam memberikan jawaban ini. Namun jika mempedomani pada ketentuan The International Institute for the Unification of Private Law (Unidroit) 154, kondisi hardship tersebut diperlukan pembuktian yang benar-benar menunjukkan kesulitan setelah dilakukan upayA upaYA Pencegahan namun kesulitan itu tetap terjadi. Prinrip-prinsip kontrak 152 Ibid., hal. 281. Ibid. 154 Sanwani Nasution dan Mahmul Siregar, Hukum Perdagangan Internasional, Modul (Medan: Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanpa tahun), hal. 41. Unidroit adalah sebuah lembaga atau organisasi antara Pemerintah negara-negara di dunia yang sifatnya independen. 153 Universitas Sumatera Utara perdagangan internasional dalam Pasal 6.2.1. Unidroit seb!gai lembaga internasio.al yang bertugas untuk penyeragaman untang-uNdang perdata, menentukan pada Pasal 6.2.1 “apabila pelaksanaan sebuah +ontr!k terjadi lebih memberatkan salah satu pihak, pihak tersebut tetap terikat!untuk melaksanakan kewajibannya dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang kesulitan tersebut’. 155 Kemudian dalam Pasal 6.2.2. Unidroit tersebut ditentukan pengertian lebih jelas tentang hardship yaitu kesulitan itu terjadi apabila suatu peristiwa yang berubah secara mendasar keseimbangan kontrak baik karena biaya pelaksanaan dari salah satu pihak yang mengikat atau karena nilai pelaksanaan yang diterima oleh salah satu pihak menurun, dengan kriteria dalam Pasal 6.2.2. Unidroit sebagai berikut: a. Peristiwa tersebut terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah kontrak disepakati; b. Peritiwa tersebut tidak mungkin secara wajar dapat dapat dipertimbangkan oleh pihak yang dirugikan pada saat kontrak disepakati; c. Peristiwa tersebut berada di luar kendali dari pihak yang dirugikan; dan d. Risiko dari peristiwa tersebut tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan. Berdasarkan pengaturan tentang keadaan sulit (hardship) dalam Unidroit, upaya penyelesaian apakah kondisi hardship lalu pihak yang dirugikan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi di pihak lain? Maka berdasarkan Pasal 6.2.3. Unidroit, dalam hal terjadi kesulitan, maka pihak yang dirugikan berhak mengajukan negosiasi ulang, tanpa penundaan yang terlalu lama, dan harus menunjukkan alasan yang mendasarinya. 155 Ningrum Natasya Sirait, Transaksi Bisnis Internasional, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, 2005). Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 6.2.3. Unidroit ini, permintaan untuk melaksanakan negosiasi ulang tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menunda pelaksanaan. Jika usulan untuk melakukan negosiasi tersebut tidak tercapai atau gagal, masing-masing pihak berhak mengajukan upaya melalui pengadilan. Jika pengadilan menemukan adanya kondisi hardship tersebut, maka pengadilan dapat memutuskan kontrak tersebut untuk tidak dilaksanakan pada masa tertentu dan akan ditentukan kemudian jika telah disesuaikan isi kontrak dengan mengembalikan keseimbangan kedua belah pihak. 2. Karakteristik Delik Penipuan Penipuan merupakan tindak pidana sehingga perbuatan ini disebut delik penipuan. Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika rumusan tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Delik adalah tindak pidana (strafbaar feit) yaitu tindakan yang dilarang dalam hukum pidana semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum. 156 Agar dapat dikatakan terpenuhinya delik penipuan, maka unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan itu adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif. 157 156 157 P.A.F. Lamintang, Op. cit., hal. 175. Moeljatno (II), Op. Cit., hal. 63. Universitas Sumatera Utara Sifat melawan hukum terdiri dari melawan hukum subjektif dan melawan hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung pada bagaimana sikap batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif bergantung pada pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum. 158 Penipuan dilakukan secara melawan hukum subjektif berarti perbuatan hendak menipu itu memang diniatkannya ketika dalam membuat perjanjian. Sedangkan secara objektif yang diwujudkan dari pelaksanaan perjanjian mengandung unsur penipuan. Dikatakan sebagai sikap melawan hukum materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, secara materil perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum. 159 Di samping penipuan sudah ditentukan sebagai hal yang dilarang dalam undang-undang, perbuatan penipuan juga dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang tidak patut atau tercela. Oleh sebab itu, delik penipuan mengandung syarat materil dan formil. Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) 160 ada dua yaitu bersifat melawan hukum formil dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum formil, sedangkan sifat melawan hukum materil harus dilihat dari sikap batin pelaku. 161 Pada delik penipuan 158 Moeljatno (III), Op. cit, hal. 69. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 125. 160 Ibid., hal. 143-144. 161 Ibid., hal. 147-148. 159 Universitas Sumatera Utara dianggap telah mengandung unsur sifat melawan hukum, jika dapat dibuktikan pemenuhan unsur-unsur subjektif dan objektif serta perbuatan itu harus memenuhi sifat melawan hukum formil maupun materil. Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik di dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Bagaimana undang-undang mengatur tentang karakteristik delik penipuan? Untuk mengetahui karakteristik delik penipuan secara normatif, telah cukup jelas ditentukan di dalam KUH Pidana, yang diatur tepatnya pada Bab XXV mulai dari Pasal 378 KUH Pidana s/d Pasal 395 KUH Pidana. Pasal 378 KUH Pidana, mengandung ketentuan berikut ini: Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. Berdasarkan judul bab ini, diketahui bahwa perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 378 KUH Pidana tersebut merupakan kejahatan dan kejahatan ini dinamakan dengan penipuan. Ada beberapa karakteristik normatif delik penipuan sesuai dengan ketentuan Pasal 378 KUH Pidana tersebut di atas, yaitu: 1) Barang siapa. Universitas Sumatera Utara 2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. 3) Dengan melawan hak. 4) Dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu. 5) Dengan akal dan tipu muslihat. 6) Dengan karangan perkataan-perkataan bohong. 7) Dengan membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang. 8) Membuat utang atau menghapuskan piutang. Dalam Pasal 378 KUH Pidana tersebut, penipuan (bedrog) mengandung dua unsur pokok yaitu, unsur subjektif dan unsur objektif. Subjek hukumnya harus jelas lebih dulu. Hal itu terkandung di dalam kata “barang siapa” yang berarti subjek hukum yang dapat berupa orang atau individu, badan hukum 162, maupun korporasi. Pada prinsipnya korporasi digolongkan dalam dua bentuk yaitu berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. 163 Tetapi KUH Pidana belum menganut korporasi sebagai subjek hukum, melainkan hal itu diatur dalam beberapa undang-undang khusus, seperti dalam lingkungan hidup, dan lain-lain. Selain orang secara individu, berarti suatu badan hukum atau korporasi sekalipun bisa melakukan tindakan kejahatan penipuan sebagaimana yang terkandung di dalam Pasal 378 KUH Pidana ini. Menurut Riduan Syahrani, orang yang terhimpunn di dalam badan hukum atau korporasi tersebut adalah subjek hukum 162 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 56. 163 Muladi, “Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan UU No.23 Tahun 1997”, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No.23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang, hal. 17. Universitas Sumatera Utara karena akibat tindakan orang-orang yang terhimpun di dalam badan tersebut, sehingga menimbulkan akibat pertanggungjawaban pidana kepada badan atau korporasi itu sebagai wakilnya. 164 Subjek hukum itu melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Tidak saja hanya menguntungkan kedua-duanya, tetapi cukup hanya menguntungkan diri sendiri sudah terpenuhi syarat ini, atau hanya menguntungkan bagi orang lain saja. Agar pelaku atau orang lain diuntungkan, maka ada beberapa delik yang dilakukan, walaupun semua delik itu tidak mesti harus terpenuhi secara keseluruhan. Pelaku (subjek hukum) dalam hukum pidana dapat dijatuhkan pidana jika memiliki unsur kesalahan yaitu kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Sedangkan unsur kesalahan dalam delik penipuan, hanya dilihat dari unsur sengaja (dolus) saja, bukan unsur lalai (culpa). Jika dilihat dari unsur lalai, maka perbuatan itu dikatakan sebagai wanprestasi, jika dilihat dari unsur sengaja, maka perbuatan itu masuk sebagai delik penipuan. Unsur objektifnya yang terdapat di dalam Pasal 378 KUH Pidana tersebut adalah membujuk atau menggerakkan orang lain dengan cara-cara menggunakan, nama palsu, keadaan palsu, rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat, menyerahkan sesuatu barang, membuat hutang, dan menghapuskan piutang. Dari kata “secara melawan hak” berarti melawan undang-undang, sebab undang-undang telah menjamin setiap warga negara atau masyarakat merasa nyaman, 164 Riduan Syahrani, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara aman, perlindungan hukum dari setiap perbuatan kriminal. Sehingga perbuatan yang mengambil hak orang lain berdasarkan penafsiran terhadap Pasal 378 KUH Pidana ini adalah perbuatan penipuan yang berarti dilarang. Nama palsu yaitu nama yang digunakan bukan nama asli sebagaimana mestinya, keadaan palsu yaitu tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Tipu muslihat yaitu sesuatu dilakukan dengan akal licik dan tipu daya untuk memperalat orang lain sehingga orang lain itu tergerak hatinya untuk mengikuti kehendak seseorang menjadi percaya atau yakin atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain atas suatu tindakan pembujukan. 165 Perbuatan itu dilakukan dengan suatu delik (perbuatan pidana) yaitu: dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, dengan akal dan tipu muslihat, dengan karangan perkataan-perkataan bohong, atau dengan membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang. Rumusan dari beberapa delik ini, biasanya berada dalam satu rangkaian dalam perbuatan tindak pidana penipuan dan pada kasus lain bisa pula terpisah satu sama lain. Dikatakan demikian sebab, dalam tindak pidana penipuan atas suatu dokumen tertentu misalnya dalam memperoleh izin tertulis, pelaku menggunakan tipu muslihat, menggunakan nama palsu, menggunakan akal kebohongan, yang intinya perbuatan bohong itu dilakukan untuk membujuk agar tujuannya tercapai. Membujuk dilakukan dengan cara-cara yang licik, menggunakan nama palsu atau keadaan yang tidak sebenarnya (keadaan palsu), akal tipu mislihat, dan serangkaian kata-kata bohong. 165 Yahman, Op. cit., hal. 110. Universitas Sumatera Utara Namun menurut R. Soesilo, karena rumusannya menentukan, “karangan perkataanperkataan bohong”, maka satu kata bohong tidak cukup, harus pula pelaku itu menggunakan banyak kata-kata yang mengandung kebohongan, sehingga satu rankaian kebohongan itu seolah-olah merupakan cerita yang benar. 166 Dalam Pasal 378 KUH Pidana ini diterjemahkan oleh R. Soesilo, bahwa tentang barang yang menjadi objek penipuan tidak disebutkan dalam pasal ini, berarti tidak ada suatu pembatasan terhadap barang apa saja atau objek apa saja yang ditipu pelaku, yang jelas barang itu harus milik orang lain yang menjadi korban penipuan agar menyerahkan barang tersebut, atau melakukan sesuatu perbuatan untuk memenuhi pembujukan dari si penipu. 167 Berarti lingkupnya, bisa dalam bentuk dan bidang apapun, misalnya dalam hal penyerahan suatu barang milik pribadi orang lain seperti kendaraan bermotor, jam tangan, izin sesuatu hal, dalam bentuk uang, maupun dalam bentuk maksud-maksud tertentu dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak. Jadi berlaku dalam lapangan apa saja, Pasal 378 KUH Pidana ini dapat diterapkan untuk delik penipuan, walaupun sebenarnya selain Pasal 378 KUH Pidana untuk delik penipuan masih ada pasal-pasal yang lain yaitu Pasal 379 KUH Pidana s/d Pasal 395 KUH Pidana, namun Pasal 378 KUH Pidana ini sebagai pasal yang paling utama dan pokok untuk delik-delik penipuan. 166 167 R. Soesilo, Op. cit., hal. 261. Ibid. Universitas Sumatera Utara Menggerakkan orang lain yaitu perbuatan yang disamakan dengan membujuk orang lain, yaitu mempengaruhi seseorang sedemikian rupa atau dengan cara tertentu sehingga orang lain mau berbuat sesuai kehendak pelaku untuk menyerahkan barang atau melakukan sesuatu. Sedangkan barang yaitu barang yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Membuat utang atau menghapuskan piutang yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian secara materil bagi korban, yaitu seseorang yang digerakkan dari pembujukan itu untuk mempengaruhi agar memberi utang atau menghapuskan utang. 168 Berdasarkan pembahasan dalam uraian di atas, jika penipuan dikaitkan dengan wanprestasi dalam perjanjian, maka unsur yang harus dipenuhi oleh pelaku adalah unsur kesengajaan (dolus) yang diwujudkan dengan niat (means rea). Berarti dalam perjanjian, pelaku karena dengan sengeja menipu, bukan karena lalai menipu. Kalau pelaku memenuhi unsur kelalain, maka seharusnya konsep hukum yang diterapkan adalah hukum perdata yaitu wanprestasi. Tetapi kalau pelaku memenuhi unsur sengaja, maka seharusnya konsep hukum yang diterapkan kepada pelaku adalah konsep hukum pidana yakni penipuan. 169 Sengaja mengandung unsur subjektif yaitu “dengan maksud” berarti dikehendaki atau diniatkan (means rea) untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum. Menurut Lamintang baik kesengajaan 168 169 Yahman, Op. cit., hal. 112. Ibid., hal. 113. Universitas Sumatera Utara (dolus) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa) merupakan bentuk kesalahan yang berarti dalam konsep hukum pidana sama-sama dapat dipidana. 170 Kesengajaan melakukan penipuan harus memenuhi bentuk-bentuk dari kesengajaan berikut: yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengjaan sebagai kepastian (keharusan), dan kesengajaan dengan kemungkinan. Kesengajaan sebagai maksud dalam melakukan penipuan, diidentikkan dengan tujuan, yaitu benar-benar diinginkan oleh pelaku yaitu kerugian bagi korban. 171 Kesengjaan sebagai kepastian yaitu pelaku (penipu) menyadari secara pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi akibat-akibat yang lain. Si pelaku menyadari pasti bahwa dengan melakukan perbuatan penipuan itu pasti akan menimbulkan akibat atas perbuatannya. Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan dalam delik penipuan, yaitu pelaku menyadari kemungkinan akan timbul akibat dari perbuatan penipuan dan kemungkinan akibat itu juga bertentangan dengan undang-undang. 172 Pasal-pasal lain selain Pasal 378 KUH Pidana, merupakan penjabaran lebih lanjut sebagaimana Pasal 379 KUH Pidana mengandung delik penipuan untuk ringan, Pasal 379 huruf a KUH Pidana mengandung delik penipuan yang disebut dengan istilah flessentrekkerij yaitu kebiasaan sehari-hari (sebagai pencaharian) membeli 170 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 279. 171 Yahman, Op. cit., hal. 115. 172 Ibid., hal. 116. Universitas Sumatera Utara barang dengan menggunakan bon tetapi sebenarnya sudah bermaksud untuk tidak mau membayar lunas bon itu. Pasal 380 KUH Pidana mengandung delik penipuan di bidang ilmu pengetahuan atau delik penipuan terhadap hak cipta atau karya ilmiah seseorang. Pasal 381 KUH Pidana mengandung delik penipuan di bidang asuransi terutama tentang klausula-klausula dalam perjanjian hak tanggungan dalam asuransi. Pasal 382 KUH Pidana mengandung delik penipuan khusus untuk asuransi kapal. Pasal 382 bis KUH Pidana mengandung delik penipuan yang sengaja menyebarkan rangkaian perkataan kebohongan publik tentang suatu usaha perdagangan tertentu, padahal tidak sedemikian adanya. Pasal 383 KUH Pidana mengandung delik penipuan yang dilakukan oleh penjual barang terhadap pembeli. Kemudian Pasal 383 bis KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap suratsurat pengangkutan di laut dan termasuk dalam Pasal 384 KUH Pidana. Pasal 385 KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap penggunaan barang milik pemerintah atau milik rakyat untuk dijadikan agunan pribadi oleh si penipu. Pasal 386 KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap penjualan barang-barang obat-obatan dan makanan yang palsu. Pasal 387 KUH Pidana mengandung delik penipuan dalam pemborongan dan bahan-bahan bangunan, baik pemborong, penjual, pengawas bangunan dapat dikenakan pasal ini. Pasal 388 KUH Pidana mengandung delik penipuan dalam hal penggunaan barang-barang angkatan perang (militer) yang palsu yang bisa mendatangkan bahaya bagi keselamatan negara. Universitas Sumatera Utara Pasal 389 KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap batas-batas atau patok pekarangan rumah sehingga tidak jelas batas-batasnya lagi. Pasal 390 KUH Pidana mengandung delik penipuan dengan cara menaikkan atau menurunkan harga barang-barang dengan cara menyebarkan perkataan kebohongan ke publik. Pasal 391 KUH Pidana mengandung delik penipuan dengan cara memberikan pertolongan atas penjualan surat-surat berharga milik pemerintah atau milik umum (rakyat) dengan kebohongan agar orang membeli. Pasal 392 KUH Pidana mengandung delik penipuan yang dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah dengan sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang tidak benar ke publik. Pasal 393 KUH Pidana mengandung delik penipuan bagi perantara yang membawa masuk barang dari luar negera ke dalam negara padahal diketahuinya bahwa barang tersebut adalah palsu. Pasal 393 bis KUH Pidana mengandung delik penipuan yang dilakukan oleh pengacara (advokat) yang memberikan keterangan palsu atas alamat tempat kediaman orang yang tergugat karena hutang, atau dalam kasus perceraian, atau dalam kasus kepailitan. Semua ketentuan tersebut di atas mengandung delik penipuan yang pada intinya karakteristik delik penipuan itu secara garis besarnya dilakukan sebagaimana dalam Pasal 378 KUH Pidana. Pasal 378 KUH Pidana ini merupakan pasal yang sering terjadi diterapkan oleh majelis hakim pengadilan untuk perkara-perkara penipuan, termasuk untuk perkara penipuan dalam perjanjian. Sebagaimana telah disinggung dalam uraian-uraian di atas, tampak perbedaan antara wanprestasi dengan delik penipuan. Secara konsep hukum, wanprestasi Universitas Sumatera Utara domainnya adalah hukum perdata artinya murni merupakan bagian dari hukum perdata. Tidak akan pernah berubah sebutan untuk wanprestasi dalam hukum pidana. Tetapi dalam hukum pidana hanya disebut dengan perbuatan melawan hukum, bukan wanprestasi. Ini menunjukkan bahwa wanprestasi merupakan masalah privasi, yang berarti menyangkut hubungan antar individu dengan individu. Sedangkan hukum pidana sebagaimana telah disinggung dalam uraian di atas merupakan bagian dari hukum publik. Sebab, yang dilindungi dalam hukum pidana adalah kepentingan umum. Sebagai contoh masalah korupsi adalah masalah pidana, sebab harta yang diambil secara tidak sah dan melawan hukum dalam kejahatan ini adalah keuangan negara berarti harta negara. Keuangan negara atau harta negara merupakan hak dari seluruh masyarakat bangsa Indonesia (kepentingan umum). Dengan demikian, ketentuan tentang penipuan dalam KUH Pidana secara serta-merta merupakan ketentuan yang menyangkut perlindungan terhadap kepentingan umum, sebab masyarakat harus memperoleh jaminan atas rasa aman, nyaman yang telah dijamin dalam UUD 1945. Negara turut campur dalam hal urusan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan umum untuk memberikan rasa nyaman, aman, terhindar dari perbuatan-perbuatan kriminal oleh orang lain atau sekelompok orang tertentu. Universitas Sumatera Utara