Sebagai lembaga pengawas dan pengontrol di bidang kegiatan

advertisement
BAB II
KARAKTERISTIK YANG MEMBEDAKAN ANTARA PERBUATAN
WANPRESTASI DENGAN DELIK PENIPUAN DALAM
SUATU PERJANJIAN
A. Perbedaan Antara Hukum Publik dan Hukum Privat
Pada prinsipnya hukum dibagi dua yaitu hukum publik (publickrecht) dan
hukum privat (privatrecht). Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum
privat mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat
keperdataan atau kepentingan pribadi (orang perseorangan atau badan hukum). 67
Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya
kebebasan setiap individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan,
masalah harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain.
Menurut KUH Perdata dibagi dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II
tentang benda, buku III tentang perikatan, dan buku IV tentang bukti dan
kadaluarsa. 68
Sedangkan dalam hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan
hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau
negara atau melindungi kepentingan umum. 69 Sebagaimana dalam Kitab Undang-
67
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2008), hal. 9.
68
J. Satrio (II), Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1.
69
R. Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011),
hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) aspek tersebut diatur dalam tiga buku yaitu
buku I tentang peraturan umum, buku II tentang, kejahatan dan buku III tentang
pelanggaran. 70 Hukum publik misalnya hukum pidana, hukum tata negara, hukum
internasional publik, dan lain-lain. 71
Handri Raharjo membuat pemetaan untuk membedakan antara hukum publik
dan hukum privat, dalam tabel 1 berikut: 72
Tabel 1
Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat
No
Perbedaan
1. Dilihat dari subjeknya
2.
3.
4.
5.
Hukum Publik
Salah satu pihaknya
adalah penguasa
Dilihat dari kedudukan dari Kedudukan
tidak
pihak
sejajar
Dilihat dari sifatnya
Umumnya memaksa
(dwigenrecht)
Dilihat dari akibatnya
Aturannya
tidak
dapat disimpangi
Dilihat dari aspek perlindungan Melindungi
kepentingan
kepentingan umum
Hukum Privat
Kedua belah pihak
adalah perorangan
Kedudukan sejajar
Umumnya pelengkap
(aanfulenrecht)
Dapat disimpangi
Melindungi
perorangan
Dari tabel 1 tersebut jelas sekali tampak perbedaan antara lingkup yang diatur
secara esensial di dalam hukum publik dan hukum privat. Jika dilihat dari sisi subjek
hukum, maka para pihak dalam hukum publik terdiri dari syarat minimal dua orang
atau lebih dan yang lainnya adalah negara. Dari dua orang tersebut, yang satu adalah
pelaku dan yang lain adalah korban, sementara negara adalah sebagai penuntut.
70
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1994), hal. 7-
71
Handri Raharjo, Op. cit, hal. 21.
Ibid., hal. 22.
9.
72
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan subjek hukum dalam hukum privat hanya orang perseorangan yang
setidak-tidaknya harus memenuhi syarat minimal harus ada dua orang yang disebut
dengan kedua belah pihak atau para pihak.
Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan
dengan bangunan negara atau badan-badan negara, bagaimana badan-badan negara
melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan
perbandingan atau hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan
sebaliknya. Bangunan negara yang dimaksud adalah pemerintahan termasuk susunan
dan kewenangan-kewenangan pemerintahan tersebut. 73
Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur
tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan atau diancamkan kepada
pelanggarnya dengan pidana, jenis dan macam-macam pidana, cara-cara menyidik,
menuntut,
pemeriksaan
dan
penjatuhan
pidana
dalam
persidangan,
serta
melaksanakan pidana. 74
Hukum perdata (privat) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan
hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan
penguasa sebagai pribadi (perseorangan), bukan dalam fungsinya sebagai pejabat,
yang berarti penguasa atau pejabat tersebut dalam hal ini tunduk pada peradilan
perdata. 75
73
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 7.
Ibid., hal. 8.
75
Ibid.
74
Universitas Sumatera Utara
Hukum perdata dalam arti sempit hanya meliputi ketentuan-ketentuan tentang
orang, tentang kebendaan, tentang perikatan, dan tentang pembuktian dan daluarsa
seperti yang di diatur dalam KUH Perdata (BW). Sedangkan hukum perdata dalam
arti luas meliputi selain termasuk dalam arti sempit, juga termasuk ketentuanketentuan mengenai perdagangan sebagaimana diatur dalam KUHD dan kegiatan
bisnis. 76
Kadang-kadang hukum perdata dalam arti luas dinamakan oleh orang sebagai
hukum sipil, sedangkan hukum perdata dalam arti sempit sebagai hukum perdata.
Karenanya jika membicarakan mengenai hukum perdata, maka harus disepakati
terlebih dahulu istilah mana yang sedang digunakan.
Sehingga dengan demikian perbedaan antara hukum publik dan hukum privat
semakin jelas. Ditinjau dari sudut kepentingan, maka hukum perdata mengatur
kepentingan perseorangan (particuliere belangen), sedangkan hukum publik
mengatur kepentingan umum (algemene belangen).
Ditinjau dari kedudukan subjek hukumnya, maka dalam hukum perdata
mengatur hubungan-hubungan subjek yang kedudukannya sederajat atau sedejarat
warga perseorangan, tanpa membeda-bedakan derajat kebangsawanan, derajat dalam
pekerjaan, kedudukan dalam beragama, dan sebagainya. Sedangkan dalam hukum
publik mengatur hubungan-hubungan subjek hukum yang kedudukannya tidak
76
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
sederajat. Sebab dalam hukum publik, yang satu adalah penegak hukum, yang
tentunya lebih tinggi kedudukannya daripada yang lain. 77
Ditinjau dari sudut menegakkan atau mempertahankan hukum, maka dalam
hukum perdata diserahkan kepada orang perseorangan yang berkepentingan, apakah
ia akan mempertahankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau
tidak. Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan
gugatannya ke pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur)
akan menuntut pembayaran kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui
peradilan perdata atau tidak, ataukah piutang itu dianggap saja sudah lunas atau
dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si kreditur. 78
Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum,
walaupun mungkin orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap
subjek yang merugikannya. Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lian
apabila yang terjadi itu adalah kejahatan penghinaan, perzinahan, pencurian dalam
keluarga dan sebagainya. 79
Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum
perdata berlaku secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah
maupun untuk rakyat berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan.
Sedangkan hukum publik merupakan hukum khusus (ius speciale) karena
memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan
77
Handri Raharjo, Loc. Cit.
Ibid.
79
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 10.
78
Universitas Sumatera Utara
kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik perseorangan
atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte). 80
Hukum perdata pada hakikatnya merupakan hukum yang mengatur
kepentingan antar warga perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang
lainnya. Van Dunne mengatakan yang esensial dalam hukum perdata mengatur
individu dalam hubungannya dengan keluarganya, hak miliknya, hartanya, perikatan,
dan lain-lain. Sekaligus membedakannya dari hukum publik yang pengaturannya
memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi. Dikatakan jaminan yang
minimal karena dijamin dalam perundang-undangan. 81
Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan di atas, intinya
dari hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan
kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan
kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan
kepada masing-masing pihak.
Inti dari perbedaan ini adalah hukum publik merupakan hukum yang
mengatur tentang kepentingan publik (masyarakat umum), sedangkan hukum perdata
mengatur kepentingan privat atau pribadi atau perdata, perseorangan atau partikulir.
Singkatnya dari hukum pidana apakah ia merupakan hukum publik atau tidak, maka
pada satu sisi hukum pidana adalah hukum publik, tetapi di sisi lain ada pengecualian
80
81
Ibid.
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
bahwa hukum pidana belum tentu sebagai hukum publik. Oleh karena itu, ciri-ciri
haukum publik harus diketahui terlebih dahulu, yaitu: 82
1. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang
perseorangan.
2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan.
Dengan perkataan lain, orang perseorangan disubordinasikan kepada
penguasa.
3. Penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang
terlarang tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan
pada umumnya, negara atau penguasa wajib menuntut orang orang tersebut.
4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana
positif.
Apakah pada hukum pidana itu terdapat ciri-ciri seperti yang terdapat pada
ciri-ciri hukum publik, atau apakah hukum pidana bersifat hukum publik? Menurut
pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, dewasa ini pada umumnya hukum pidana
adalah bersifat hukum publik. Karena dalam hukum pidana juga terdapat ciri-ciri
yang terdapat pada hukum publik. 83
Jika dianalogikan misalnya A membunuh si B atas permintaan si B sendiri
dengan sungguh-sungguh, namun penguasa tetap berkewajiban menuntut si A (Pasal
344 KUH Pidana). Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan keiinginan keluarga atau
pihak dari si B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena mereka mengetahui bahwa
pembunuhan itu terjadi karena permintaan B. Tetapi dalam hal ini yang harus
diutamakan adalah kepentingan umum, karena bagaimanapun juga, pembunuhan
adalah perbuatan tercela, harus dicegah dan layak dipidana bagi pelakunya.
82
83
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 23.
Ibid., hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
Mengapa alasannya pada kepentingan umum dalam kasus pembunuhan di
atas, karena jika permintaan si B tadi dibiarkan agar si A membunuhnya atau tidak
diproses secara hukum, maka dalam hal ini kepentingan umum akan tertarik atau
dirugikan dengan alasan, pertama, jika hal itu terjadi dan tidak diproses oleh aparat
penegak hukum, maka masyarakat yang lainnya bisa suatu waktu mencontoh
sehingga terjadi hal serupa, kedua, karena undang-undang sudah menjamin untuk
melindungi seluruh warga negara dari segala ancaman, gangguan, atas kenyamanan
dan kelangsungan hidup warga masyarakat.
Tetapi dalam beberapa hal, terdapat pengecualian, tidak selalu penuntutan
wajar dilakukan oleh penguasa tanpa memperhatikan kehendak dari pihak-pihak yang
dirugikan. Pengecualian ini muncul sebagai reaksi dari doktrin-doktrin yang
berprinsip pada “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” (there is no rule without
exeption). Tentunya ini berlaku tidak bersifat umum, melainkan hanya untuk kasuskasus tertentu yang sudah ditegaskan baik dalam tataran norma yang abstrak maupun
yang sudah normatif di dalam undang-undang. 84
Prinsip tiada suatu peraturan tanpa kekecualian, ini berlaku misalnya untuk
kasus-kasus delik aduan, seperti delik penghinaan dan delik perzinahan (KUH
Pidana), ada pula dalam delik merek (UU No.15 Tahun 2001), dan lain-lain. Untuk
84
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
delik aduan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut oleh negara karena adanya
aduan dari korban. 85
Pertimbangan dengan menggunakan prinsip di atas didasarkan bahwa
terhadap orang yang dirugikan atas terjadinya suatu kasus jangan hendaknya semakin
dirugikan lagi terutama bagi masyarakat awam yang tidak banyak mengetahui arti
peradilan yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan mental. Bila
terjadi dalam lingkungan keluarga misalnya atas pencurian yang dilakukan anak
terhadap uang orang tuanya sendiri, proses hukum tidak akan berjalan jika orang
tuanya memaafkan, tetapi negara akan bertindak jika ada pengaduan dari orang
tuanya tersebut.
Hukum pidana bersifat hukum publik, walaupun ada alasan pengecualian
yang mengatakan hukum pidana bukan hukum publik. Artinya bahwa sifat pemaksa
(dwigen recht) dari hukum pidana tidak selamanya harus dijalankan oleh penguasa
atau negara, melainkan harus pula memperhatikan prinsip “tiada suatu peraturan
tanpa kekecualian” yang kira-kira prinsip ini melihat dan mendasarkan kajiannya
pada asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran. Oleh karena negara tidak selalu
wajib menuntut terhadap suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada
pengaduan dari
yang dirugikan
atau korban tindak pidana , menunjukkan
85
Ibid., hal. 241. Berbeda dengan delik biasa seperti contoh dalam delik tindak pidana
pencurian atau delik jabatan dan lain-lain. Dalam delik biasa petindaknya dituntut oleh petugas tanpa
harus menunggu aduan dari pihak tertentu dengan perkataan lain tidak perlu ada aduan langsung aparat
Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Universitas Sumatera Utara
karakter hukum pidana tidak bersifat hukum publik dalam kondisi tertentu, yaitu
untuk delik-delik pengaduan saja. 86
Norma hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) menurut Nur Rahman
adalah suatu suatu norma hukum yang secara apriori harus ditaati atau norma hukum
dalam hal konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. 87 Walaupun dalan tabel 1 tersebut di atas, sifat hukum publik umumnya
memaksa (dwingen recht) dan sifat hukum privat umumnya pelengkap (aanvullend
recht), namun dalam hukum perdata (dalam pasal-pasal KUH Perdata) tentang
perjanjian ada juga yang bersifat memaksa (dwingen recht).
Misalnya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang
mensyaratkan wajib dipenuhi adalah: 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan
diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu
sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat
subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Menurut Yahman, jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka
perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka
perjanjian itu terancam batal demi hukum. 88 Berarti ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata ini bersifat memaksa artinya keempat syarat tersebut wajib ada dalam
86
Ibid., hal. 25.
http://asepnurrahman.files.wordpress.com/2011/09/pengantar-ilmu-hukum.pdf,
diakses
tanggal 19 Juli 2014, artikel yang ditulis oleh Nur Rahman, berjudul “Pengantar Ilmu Hukum”,
dipublikasikan di website pribadi bernama Asepnurahman, bulan September 2011.
88
Yahman, Op. cit., hal. 32.
87
Universitas Sumatera Utara
perjanjian, jika tidak, maka konsekeunsi hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi
hukum.
Jadi pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata juga
mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingen, mandatory) dan juga
bersifat opsional atau pelengkap (aanvullend, optional). Untuk ketentuan-ketentuan
yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syaratsyarat dan ketentuan-etentuan lain dalam perjanjian dibuat para pihak. Namun
terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat melengkapi, para pihak
bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuanketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuanketentuan yang melengkapi itu adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku
bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur
atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan
mengenai hal atau materi yang dimaksud. 89
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi
keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum dalam
perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak. Apa yang di atur dalam Buku III KUH
Perdata tersebut hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht
aanvullendrecht). Tetapi Buku III KUH Perdata tersebut juga menganut sistem
tertutup atau bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang
89
http://strategihukum.net/pro-kontra-eksistensi-surat-kuasa-mutlak, diakses tanggal 19 Juli
2014, artikel yang ditulis oleh Bimo Prasetio dan Niken Nydia Nathania, berjudul, “Pro-Kontra
Eksistensi Surat Kuasa Mutlak”, dipublikasikan di wensite Strategi Hukum, tanggal 22 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut.
Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum
yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada
pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat.
B. Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata
Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada
dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum
perdata (hukum privat). 90 Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif (turunan) dari
hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan
dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan
adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada
tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan
dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan
dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di
dalam mulai dari Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul
besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau
90
R. Wijono Prodjodikoro, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum
perjanjian. 91
Gunawan Widjaja dalam bukunya berjudul, Seri Hukum Bisnis Memahami
Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, mengkaji hukum perjanjian dan hukum
perikatan dalam bab-babnya secara terpisah. 92 Namun itu tidak berarti konsepnya
harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli
hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian, 93 walaupun sedikit
terdapat perbedaan.
Perjanjian dan perikatan menurut Handri Raharjo merupakan dua hal yang
berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Handri Raharjo
mengutip dari R. Subekti dan J. Satrio untuk membedakan antara perjanjian dan
perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini: 94
Tabel 2
Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan
No
Perjanjian
1.
Perjanjian
menimbulkan
atau
melahirkan perikatan.
2.
Perjanjian lebih konkrit daripada
perikatan, artinya perjanjian itu
dapat dilihat dan didengar.
3.
Pada
umumnya
perjanjian
merupakan hubungan hukum bersegi
dua, artinya akibat hukumnya
dikehendaki oleh kedua belah pihak.
Perikatan
Perikatan adalah isi dari perjanjian.
Perikatan merupakan pengertian yang
abstrak (hanya dalam alam pikiran
saja).
Perikatan bersegi satu, artinya: belum
tentu menimbulkan akibat hukum,
sebagai contoh, perikatan alami tidak
dapat dituntut di sidang pengadilan
91
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum
Perdata, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 247.
92
Ibid., hal. 247 dan hal. 309.
93
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 39.
94
Ibid., hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini bermakna bahwa hak dan
kewajiban
dapat
dipaksankan.
Pihak-pihak berjumlah lebih dari
atau sama dengan dua pihak
sehingga bukan pernyataan sepihak,
dan pernyataan itu merupakan
perbuatan hukum.
(hutang
karena
judi)
karena
pemenuhannya
tidak
dapat
dipaksakan.
Pihaknya
hanya
berjumlah satu sehingga ia disebut
bersegi satu dan pernyataannya
merupakan pernyataan sepihak serta
merupakan perbuatan biasa (bukan
perbuatan hukum).
Menurut J. Satrio, perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya
adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan,
baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut
disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang.
Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali
(bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan. 95
Jadi sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian
sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang
berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada
kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak
melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada
dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata. 96
Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata
tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undangundang. Selain itu Abdulkadir Muhammad menambahkan pula di samping berasal
95
96
J. Satrio (II), Op. cit., hal. 38.
Ibid., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari
kesusilaan. 97
Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak
bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undangundang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V s/d XVIII Buku III KUH
Perdata. 98 Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak
ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan
berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusilaan. 99
Menurut Gunawan Widjaja, hukum perjanjian adalah seperangkat aturan
hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah
perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut,
penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian
merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum
perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas
cakupannya. 100
Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak.
Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan
membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni
97
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 221.
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Beberapa Masalah Hukum Dalam
Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-Hambatannya Dalam Praktek,
(Bandung: Alumni, 1983), hal. 40.
99
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 77.
100
Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 247-248.
98
Universitas Sumatera Utara
sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan
istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum
perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak
merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetaplah sama.
Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu
perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah
ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak
yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis
dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam
melaksanakan prestasi.
Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan yang tentunya
mudah ditemukan banyak persoalan dagang, maka perjanjian umumnya dibuat dalam
bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering
diidentikkan dengan kontrak. Agus Yudha Hernoko dengan tegas menentang para
pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya
sama. 101
Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan
perjanjian (overeenkomst) dalam Buku III KUH Perdata (BW), padahal sebenarnya
hukum kontrak (contract law) merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau
kegiatan perdagangan. Menurut Subekti menyebutkan hukum kontrak memiliki
101
Agus Yudha Hernoko, Op. cit, hal. 13 dan hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. 102 Sedangkan Agus Yudha
Hernoko tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan
pengertian antara perjanjian dan kontrak. 103
Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis,
Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus
Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat
dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama. 104
Sedangkan Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi
kritis Peter Mahmud Marzuki ia menyebutkan untuk agreement yang berkaitan
dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan
bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja. 105
Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada
dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang
melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik
domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh
harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat
dipenuhi. 106
102
R. Subekti, Op. cit, hal. 1.
Ibid., hal. 13.
104
Ibid., hal. 13-14.
105
Ibid. Lihat juga: Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Jurnal
Yuridika, Volume 18 Nomor 3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196.
106
Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di
Indonesia, (Surabaya: Kantor Hukum Wins & Partners dan Laksbang Justitia Surabaya, 2013), hal. 2325.
103
Universitas Sumatera Utara
Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis di dalam buku karangan
Muhammad Syaifuddin berjudul, “Hukum Kontrak”, ia mengatakan pelaku bisnis
banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal
menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan
istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul
tentang
“Perikatan-Perikatan
yang
Lahir
Dari
Kontrak
Atau
Perjanjian”,
diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit
Contract of Overeenkomst Geboren Worden”. 107
Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, bahwa istilah kontrak lebih
menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk, 108
sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan
kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai
perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan. 109
Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya
memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di
dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam
kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract (kontrak) sudah
menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan
107
Agus Yudha Hernoko, Loc. cit. Lihat juga: Muhammad Syaifuddin, hukum Kontrak,
Memahami Kontral Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan
Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 15.
108
Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hal. 195.
109
R. Subekti, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan
istilah kontrak tersebut di Eropa Barat. 110
Sehingga
dengan
demikian,
antara
istilah
kontrak
dan
perjanjian
sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma,
serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering
dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama
sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya
tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata.
Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua
istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi
berbeda karena faktor kebiasaan (tradisi) penggunaannya di Indonesia. Warga negara
Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan
istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian. Sedangkan istilah
perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan
bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis.
Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia.
Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari
dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan
daripada perjanjian.
Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH
Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana
110
Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 17-25.
Universitas Sumatera Utara
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah
perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa
Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan
dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah
ini digunakan.
Namun pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata
menurut Handri Raharjo memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus
diperbaiki. Beliau mengatakan kelemahan itu terdapat pada beberapa hal
sebagaimana tabel 3 berikut ini. 111
Tabel 3
Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata
No
Kelemahan
Seharusnya
1.
Merupakan perbuatan (hal ini Perbuatan hukum
bermakna terlalu luas).
2.
Yang mengikatkan dirinya hanya Saling mengikatkan diri atau syarat
satu pihak (kurang lengkap) minimal pihaknya harus dua orang
sehingga bisa disebut perjanjian saja.
sepihak.
3.
Tujuannya tidak jelas.
Harus dijelaskan tujuannya untuk apa.
Sementara kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Taryana Soenandar,
ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu: 112
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk
mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum;
111
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 41.
Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit, Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 105.
112
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertiannya terlalu luas (bisa termasuk perjanjian kawin);
4. Tanpa menyebutkan tujuannya.
Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki
banyak kelemahan. Menurut J. Satrio kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa
perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan
melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau
lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak. 113
Oleh karena kelemahan tersebut, Handri Raharjo mencoba memberikan
penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata
tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini: 114
Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat
antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para
pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain
berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam
membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus
diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal
jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud,
tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat
hukumnya.
113
114
Ibid., hal. 104.
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Titik Triwulan Tutik, unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi
yaitu: 115
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak;
Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap;
Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak;
Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;
Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH
Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian sebagaimana yang disebutkan oleh Titik
Triwulan Tutik tersebut di atas. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan
sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang,
maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa
sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang
mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu,
dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua
merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat
objektif. 116
Suatu perjanjian maupun kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang
disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian/kontrak
tersebut dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat
115
116
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222.
Yahman, Op. cit., hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu
perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif
yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal). 117
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu
terancam batal demi hukum. 118 Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya
perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang
cakap menurut hukum. 119 Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut objek tertentu
dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik
bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek
perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau
badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang
melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu:
para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak
ketiga. 120
Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula
suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata
hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek
117
Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 111.
Ibid., hal. 32.
119
Subekti, Op. cit., hal. 17.
120
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222.
118
Universitas Sumatera Utara
hukum. 121 Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang
hukum misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lainlain. 122
Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan,
demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai
suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus
terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak (subjek perjanjian)
untuk memenuhi prestasi masing-masing. 123 Itu sebabnya objek perjanjian dalam
Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu
suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan.
Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu
harus ada persetujuan (kesepakatan) antara para pihak, untuk melakukan tujuan
perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para
pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan. 124
Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai
dengan
kesepakatan
yang
telah
diperjanjikan. 125
Hakikat
dari
perjanjian
sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana
dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya
121
R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 7.
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 4-5.
123
R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 223.
124
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 223.
125
Ibid.
122
Universitas Sumatera Utara
untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada
umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja,
sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut. 126 Pentingnya
prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain
tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya
perbuatan wanprestasi.
Bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan, karena ada ketentuan undangundang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu
perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu
dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak
menghendaki harus dalam bentuk tertulis. 127
C. Perbedaan Antara Perbuatan Wanprestasi Dengan Delik Penipuan Dalam
Suatu Perjanjian
1. Karakteristik Perbuatan Wanprestasi
Ketika membicarakan tentang wanprestasi, maka sesungguhnya tidak bisa
dilepaskan dari konsep hukum perjanjian, karena wanprestasi masuk dalam satu
bahasan ketika membicarakan tentang hukum perjanjian, sehingga pihak yang tidak
melaksanakan isi perjanjian lebih tepatnya disebut melakukan wanprestasi, sebagai
bentuk pengingkaran terhadap isi perjanjian.
126
127
Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 248-249.
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 224.
Universitas Sumatera Utara
Wanprestasi merupakan suatu istilah yang menunjuk pada suatu keadaan atau
peristiwa tidak terlaksananya prestasi oleh debitor. Wanprestasi dapat berwujud
dalam beberapa bentuk menurut Gunawan Widjaja seperti: 128
a. Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya.
b. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya atau
melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya.
c. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya.
d. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.
Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor tidak mau
melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya. 129
Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Handri Raharjo adalah: 130
a. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tetapi tidak bermanfaat lagi atau
tidak dapat diperbaiki.
b. Terlambat memenuhi prestasi.
c. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya.
d. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Kemudian Muhammad Syaifuddin, juga menyebut bentuk-bentuk wanprestasi
yang mirip dengan di atas, beliau menyebutkan dalam wanprestasi ada empat macam
wujudnya, yaitu: 131
a. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali.
b. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya.
c. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya.
d. Melaksanakan perbuatan yang dilarang di dalam perjanjian.
128
Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 356.
Ibid., hal. 357.
130
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 80.
131
Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 338.
129
Universitas Sumatera Utara
Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian dapat dilihat dari kesalahan
debitor disangkutkan dengan kelalaiannya melakukan prestasi dan karena keadaan
memaksa. 132 Dalam kamus hukum, wanprestasi diartikan sebagai “keadaan di mana
debitor tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, tidak memenuhi janji dalam suatu
perikatan, kealpaan, kelalaian”. 133
Wanprestasi menunjukkan keadaan atau kondisi di mana debitor (si berutang)
tidak melaksanakan prestasinya yang telah diwajibkan di dalam perjanjian/kontrak,
yang dapat timbul karena kelalaian debitor itu sendiri dan karena adanya keadaan
memaksa. 134 Sehingga harus dipersyaratkan ada dua aspek penting dalam wanprestasi
sekaligus harus dibuktikan oleh debitor yaitu pertama, disebabkan karena kesalahan
(lalai), kedua disebabkan karena kondisi yang memaksa.
Munir Fuady menggunakan istilah default, nonfulfillment, breach of contract,
atau cidera janji untuk menjelaskan padanan kata dari wanprestasi. Menurutnya
wanprestasi merupakan kondisi tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan dalam perjanjian, yang merupakan
pembelokan dari pelaksanaan perjanjian, sehingga menimbulkan kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan dari salah satu atau dari kedua belah pihak. 135
132
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 81.
M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 643.
134
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007),
133
hal. 340.
135
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua,
(Bandung: Citra Adtya Baktu, 2001), hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
Apakah wanprestasi merupakan salah satu bentuk perbuatan melawan hukum
dalam konsep onrechtmatig daad atau perbuatan melawan hukum dalam konsep
wederrechtelijkheid? Untuk itu harus pula diketahui apa yang menjadi syarat
perbuatan melawan hukum dalam konsep onrechtmatig daad. Perbuatan melawan
hukum dalam konsep onrechtmatig daad adalah: 136
a. Perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain.
b. Melanggar kewajiban hukumnya sendiri (kedua-duanya sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undanga).
c. Melanggar etika pergaulan hidup (goede zeden), dan
d. Melanggar kewajibannya sebagai anggota masyarakat dalam pergaulan hidup.
J. Satrio mengatakan dengan tegas bahwa wanprestasi merupakan perbuatan
melawan hukum, antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sebenarnya tidak
ada perbedaan yang prinsipil. Wanprestasi adalah sama dengan perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pihak dalam kedudukannya sebagai debitor. 137 Sehingga
dengan demikian pemaknaan ini sesungguhnya didasarkan pada perkembangan yang
memperluas makna perbuatan melawan hukum dari arti sempit (dalan undangundang) menjadi arti lebih luas (di luar undang-undang yang menyangkut asas-asas).
Sehingga dengan diperluasnya makna perbuatan melawan hukum dari arti
sempit (dalan undang-undang) menjadi arti lebih luas (di luar undang-undang yang
menyangkut asas-asas), berimplikasi pada terkategorinya perbuatan seseorang yang
tidak saja hanya melanggar isi perjanjian tetapi juga melanggar asas kepatutan, asas
136
J. Satrio (III), Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, (Bandung:
Citra Adtya Bakti, 2012), hal. 4. Perbuatan melawan hukum tersebut di atas telah dianut dalam doktrin
maupun dalam yurisprudensi setelah peristiwa perkara Lindenbaum melawan Cohen (HR 31 Januari
1919, N.J. 1919, 161).
137
Ibid., hal. 4-5.
Universitas Sumatera Utara
kehati-hatian, dan asas kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat
dalam kehidupan. Tepatlah kiranya terhadap perbuatan salah satu pihak dikatakan
melawan hukum berdasarkan asas kepatutan dan kewajaran karena ia tidak mau
menyerahkan suatu barang jaminan padahal masa waktu perjanjian telah selesai
dilaksanakan oleh masing-masing pihak tersebut, karena hal itu bertentangan dengan
asas kepatutan dan asas kewajaran. Jika semua ketentuan dalam perjanjian sudah
selesai dilaksanakan, maka tidak patut dan tidak wajar jika ada salah satu pihak yang
tidak menyerahkan misalnya tidak menyerahkan suatu barang jaminan atas perjanjian
tersebut.
Demikian pula Suharnoko dalam kajian yang sama, mengatakan semula
pengertian perbuatan melawan hukum diartikan secara sempit sebagaimana dalam
Pasal 1365 KUH Perdata, namun setelah Hoge Raad dalam kasus yang terkenal yaitu
Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan saja
hanya dalam Pasal 1365 KUH Perdata (dalam undang-undang), tetapi juga setiap
perbuatan yang melanggar asas kepatutan, asas kehati-hatian, dan asas kesusilaan
dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda milik orang
lain. 138
Namun jika bersandarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, sebenarnya tidak
bisa digunakan istilah perbuatan melawan hukum untuk wanprestasi karena hal
demikian akan membingungkan. Memang kadang-kadang bisa ada situasi yang
membingungkan, apakah perbuatan itu wanprestasi atau merupakan perbuatan
138
Suharnoko, Op. cit., hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
melawan hukum, misalnya dalam pengakhiran perjanjian sewa-menyewa, jika si
penyewa tidak mengembalikan objek sewaannya dan tetap memakainya walaupun
perjanjian sewa-menyewa telah berakhir, maka apa yang seharusnya dikenakan
kepada si penyewa itu, apakah masih tetap wanprestasi atau melawan hukum. 139
Timbul pula pertanyaan-pertanyaan lainnya, bukankah sesudah masa
perjanjian sewa-menyewa berakhir berarti sudah tidak ada hubungan sewa-menyewa
lagi? Bukankah kalau tidak ada hubungan perjanjian (hubungan kontraktual)
mestinya dasar gugatannya adalah perbuatan melawan hukum? Bukankah si penyewa
tadi telah memenuhi prestasinya berdasarkan hubungan dalam perjanjian sewamenyewa? Tidak mengosongkan rumah sewa setelah perjanjian sewa-menyewa
berakhir menurut J. Satrio adalah wanprestasi. 140
Lalu kemudian masalahnya adalah apakah orang boleh menggugat ganti rugi
atas dasar wanprestasi dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata? Ternyata
sekalipun diterima sebagai suatu bentuk perbuatan melawan hukum, namun karena
doktrin dan yurisprudensi berpendapat bahwa karena wanprestasi sudah mendapatkan
pengaturannya dalam Bab I Buku III KUH Perdata dan perbuatan melawan hukum
sudah mendapatkan pengaturannya dalam Bab III Buku III KUH Perdata, maka orang
tidak dibenarkan untuk menuntut wanprestasi dengan mendasarkan pada ketentuanketentuan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal
139
140
J. Satrio (III), Op. cit., hal. 6. Lihat juga: Suharnoko, Op. cit., hal. 73.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1365 KUH Perdata. 141 Secara praktik dan perkembangan hukum serta yurisprudensi,
wanprestasi sebenarnya sama dengan perbuatan melawan hukum, tetapi secara
normatif dalam KUH Perdata keduanya adalah berbeda.
Wanprestasi memiliki akibat hukum, ada beberapa akibat yang ditimbulkan
dari perbuatan wanprestasi, antara lain: 142
a. Bagi debitor:
1) Mengganti kerugian.
2) Objek perjanjian menjadi tanggung jawab debitor.
b. Bagi kreditor (Pasal 1267 KUH Perdata), yaitu kreditor dapat menuntut:
1) Pemenuhan perjanjian yang telah disepakati.
2) Menerima ganti kerugian (Pasal 1243-1252 KUH Perdata) atas segala
biaya-biaya termasuk bunga, dan lain-lain.
3) Meminta pembatalan perjanjian.
4) Peralihan risiko.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak dalam perjanjian (hak kontraktual)
menimbulkan akibat hukum yang paling utama adalah ganti kerugian (sebagaimana
Pasal 1236 KUH Perdata untuk prestasi memberikan sesuatu dan Pasal 1243 KUH
Perdata untuk prestasi berbuat sesuatu). Penggantian biaya atau bunga karena tidak
dipenuhinya ketentuan dalam perjanjian, akan mewajibkan bagi debitor (si berutang)
untuk mengganti kerugian tersebut kepada kreditor setelah dibuktikan bahwa debitor
tersebut melakukan kesalahan yaitu karena kelalaian. 143
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ada dua hal yang harus
dibuktikan dalam perbuatan wanprestasi pertama, kelalainnya, dan kedua, kondisi
yang memaksa (force majeure), berlaku dalam konsep hukum perdata. Tetapi aspek
141
Ibid., hal. 6-7.
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 81.
143
Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 261.
142
Universitas Sumatera Utara
ini berbeda dalam konsep hukum pidana yaitu kesalahan (terdiri dari kesengajaan
atau kelalaian) dan keadaan memaksa (overmacht). Kesengajaan dalam hukum
pidana dikenal dengan istilah dolus, sedangkan kelalaian adalah culpa. 144
Kesalahan dalam wanprestasi hanya mengenal keselahan karena kelalaian dan
tidak mengenal kesalahan karena kesengajaan. Argumentasi itu berdasarkan referensi
yang ditemukan, pada umumnya ketentuan Buku III KUH Perdata tentang perikatan
diterjemahkan oleh para ahli hukum bahwa kesalahan dalam melaksanakan perjanjian
adalah kelalaian bukan kesengajaan. 145
Secara tegas hal itu dikatakan oleh Agus Yudha Hernoko, bahwa debitor
dinyatakan lalai, jika: 146
a. Tidak memenuhi prestasi,
b. Terlambat memenuhi prestasi,
c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Pada umumnya wanprestasi terjadi atau dikatakan debitor telah melakukan
wanprestasi jika setelah adanya pernyataan lalai (in mora stelling, ingebereke
stelling) dari pihak kreditor kepada debitor, bukan pernyataan sengaja. Pernyataan
lalai ini pada dasarnya bertujuan untuk menetapkan tenggang waktu (yang wajar)
kepada debitor untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas
kerugian yang dialami kreditor. Menurut KUH Perdata peringatan (somatie) dari
144
EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Op. Cit., hal. 170.
Agus Yudha Hernoko, Loc. cit. Lihat juga: J. Satrio (III), Op. cit., hal. 26-35.
146
Agus Yudha Hernoko, Ibid., hal. 261.
145
Universitas Sumatera Utara
kreditor kepada debitor mengenai kelalaian debitor harus dituangkan dalam bentuk
tertulis (vide: Pasal 1238 KUH Perdata). 147
Mengenai wanprestasi dilihat dari karena kelalaian ditentukan dalam Pasal
1238 KUH Perdata. Menurut pasal ini debitor dikatakan lalai jika setelah lewat
tenggang waktu yang ditentukan dalam perjanjian untuk melaksanakan isi perjanjian
tidak tercapai target sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian. Namun
ketentuan ini bukanlah bersifat absolut, melainkan harus pula dikaitkan dengan Pasal
1243 KUH Perdata. 148
Pasal 1243 KUH Perdata menentukan syarat kelalaian mengakibatkan
terjadinya wanprestasi bagi debitor dan debitor tersebut harus mengganti kerugian
kepada kreditor. Pasal ini juga mengandung makna adanya tenggang waktu diberikan
kepada debitor, jika dalam tenggang waktu tersebut tidak juga dilaksanakan setelah
kreditor memberikan beberapa kali somasi kepada debitor, maka kreditor berhak
menuntut ganti kerugian dengan mengajukan gugatannya (perdata) ke pengadilan. 149
Kelalaian melakukan prestasi (wanprestasi) sebagaimana telah dijelaskan di
atas menimbulkan akibat hukum bagi debitor setelah diberikan tenggang waktu, yaitu
debitor harus membayar ganti kerugian kepada kreditor jika tenggang waktu yang
diberikan oleh kreditor tersebut tidak juga dapat dicapai oleh debitor untuk
melaksanakan prestasinya.
147
Ibid.
Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 340.
149
Ibid., hal. 341-344.
148
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana tadi kelalaian melakukan prestasi menimbulkan akibat hukum
yaitu ganti rugi, tetapi berbeda dengan keadaan mamaksa (force majeure atau
overmacht) dan keadaan sulit (hardship), wanprestasi karena keadaan memaksa dan
keadaan sulit, tidak menimbulkan akibat hukum kepada debitor untuk melakukan
ganti kerugian kepada kreditor jika debitor dapat membuktikan bahwa kondisi force
majeure atau kondisi hardship tersebut benar-benar adanya dan benar terjadi saat
pelaksanaan perjanjian sedang berlangsung. 150
Keadaan memaksa (force majeure atau overmacht) telah diatur dalam Buku
III KUH Perdata yang pengaturannya bersifat fragmentaris (tersebar) dalam beberapa
pasal, yaitu Bagian IV tentang Pembagian Biaya, Rugi dan Bunga karena tidak
terpenuhinya perikatan (Pasal 1244-1245 KUH Perdata) dan Bagian VII tentang
Musnahnya Barang yang Terutang (Pasal 1444-1445 KUH Perdata). Dalam
ketentuan-ketentuan tersebut, terdapat norma pelepasan hak menuntut terhadap
debitor yang wanprestasi jika terjadi force majeure atau overmacht. 151
Untuk keadaan sulit (hardship), belum ada diatur dalam KUH Perdata
maupun dalam perundang-undangan. Menurut Agus Yudha Hernoko, jika terjadi
kasus-kasus yang dikaitkan dengan keadaan sulit (hardship) oleh debitor, umumnya
hakim pengadilan menyamakannya dengan overmacht. Keadaan sulit sering
dialasankan oleh debitor dalam praktik, misalnya karena kondisi perekonomian yang
150
151
Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 270.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
krisis sehingga mengakibatkan kesulitan dalam melakukan isi perjanjian, dan lainlain. 152
Oleh sebab wanprestasi domainnya adalah hukum perdata (hukum privat)
maka konsep wanprestasi dalam kondisi yang memaksa lebih sepakat disetujui
dengan menggunakan istilah force majeure dan overmacht, yang telah berlaku dan
menjadi asas dalam konsep hukum perdata. Sedangkan dalam konsep hukum pidana,
keadaan memaksa hanya menggunakan istilah overmacht saja, dalam hukum pidana
tidak dikenal istilah force majeure, melainkan overmacht.
Pengertian hardship di Indonesia diterjemahkan dengan “keadaan sulit” atau
“kesulitan” atau “beban” dan sama sekali belum ada pengaturannya di dalam KUH
Perdata. Menurut Agus Yudha Hernoko, hardship menunjukkan kondisi kesulitan
dalam melaksanakan perjanjian/kontrak. 153 Berdasarkan asasnya apakah karena
alasan hardship lalu pihak yang dirugikan tidak bertanggung jawab atas kerugian
yang terjadi di pihak lain? Masing-masing doktrin masih berbeda dalam memberikan
jawaban ini.
Namun jika mempedomani pada ketentuan The International Institute for the
Unification of Private Law (Unidroit) 154, kondisi hardship tersebut diperlukan
pembuktian yang benar-benar menunjukkan kesulitan setelah dilakukan upayA
upaYA Pencegahan namun kesulitan itu tetap terjadi. Prinrip-prinsip kontrak
152
Ibid., hal. 281.
Ibid.
154
Sanwani Nasution dan Mahmul Siregar, Hukum Perdagangan Internasional, Modul
(Medan: Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanpa tahun),
hal. 41. Unidroit adalah sebuah lembaga atau organisasi antara Pemerintah negara-negara di dunia
yang sifatnya independen.
153
Universitas Sumatera Utara
perdagangan internasional dalam Pasal 6.2.1. Unidroit seb!gai lembaga internasio.al
yang bertugas untuk penyeragaman untang-uNdang perdata, menentukan pada Pasal
6.2.1 “apabila pelaksanaan sebuah +ontr!k terjadi lebih memberatkan salah satu
pihak, pihak tersebut tetap terikat!untuk melaksanakan kewajibannya dengan tunduk
pada ketentuan-ketentuan tentang kesulitan tersebut’. 155
Kemudian dalam Pasal 6.2.2. Unidroit tersebut ditentukan pengertian lebih
jelas tentang hardship yaitu kesulitan itu terjadi apabila suatu peristiwa yang berubah
secara mendasar keseimbangan kontrak baik karena biaya pelaksanaan dari salah satu
pihak yang mengikat atau karena nilai pelaksanaan yang diterima oleh salah satu
pihak menurun, dengan kriteria dalam Pasal 6.2.2. Unidroit sebagai berikut:
a. Peristiwa tersebut terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah
kontrak disepakati;
b. Peritiwa tersebut tidak mungkin secara wajar dapat dapat dipertimbangkan
oleh pihak yang dirugikan pada saat kontrak disepakati;
c. Peristiwa tersebut berada di luar kendali dari pihak yang dirugikan; dan
d. Risiko dari peristiwa tersebut tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
Berdasarkan pengaturan tentang keadaan sulit (hardship) dalam Unidroit,
upaya penyelesaian apakah kondisi hardship lalu pihak yang dirugikan tidak
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi di pihak lain? Maka berdasarkan Pasal
6.2.3. Unidroit, dalam hal terjadi kesulitan, maka pihak yang dirugikan berhak
mengajukan negosiasi ulang, tanpa penundaan yang terlalu lama, dan harus
menunjukkan alasan yang mendasarinya.
155
Ningrum Natasya Sirait, Transaksi Bisnis Internasional, (Medan: Program Studi Magister
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 6.2.3. Unidroit ini, permintaan untuk melaksanakan
negosiasi ulang tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang
dirugikan untuk menunda pelaksanaan. Jika usulan untuk melakukan negosiasi
tersebut tidak tercapai atau gagal, masing-masing pihak berhak mengajukan upaya
melalui pengadilan. Jika pengadilan menemukan adanya kondisi hardship tersebut,
maka pengadilan dapat memutuskan kontrak tersebut untuk tidak dilaksanakan pada
masa tertentu dan akan ditentukan kemudian jika telah disesuaikan isi kontrak dengan
mengembalikan keseimbangan kedua belah pihak.
2. Karakteristik Delik Penipuan
Penipuan merupakan tindak pidana sehingga perbuatan ini disebut delik
penipuan. Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika
rumusan tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Delik adalah tindak
pidana (strafbaar feit) yaitu tindakan yang dilarang dalam hukum pidana semacam itu
membuat seseorang menjadi dapat dihukum. 156
Agar dapat dikatakan terpenuhinya delik penipuan, maka unsur-unsur atau
elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan itu adalah: terdapat kelakuan
dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan,
keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif,
dan unsur melawan hukum yang subjektif. 157
156
157
P.A.F. Lamintang, Op. cit., hal. 175.
Moeljatno (II), Op. Cit., hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Sifat melawan hukum terdiri dari melawan hukum subjektif dan melawan
hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung pada bagaimana sikap
batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif bergantung pada
pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum. 158 Penipuan dilakukan secara
melawan hukum subjektif berarti perbuatan hendak menipu itu memang diniatkannya
ketika dalam membuat perjanjian. Sedangkan secara objektif yang diwujudkan dari
pelaksanaan perjanjian mengandung unsur penipuan.
Dikatakan sebagai sikap melawan hukum materil disamping memenuhi
syarat-syarat formil, secara materil perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan
oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang
oleh hukum. 159 Di samping penipuan sudah ditentukan sebagai hal yang dilarang
dalam undang-undang, perbuatan penipuan juga dipandang masyarakat sebagai
sesuatu yang tidak patut atau tercela. Oleh sebab itu, delik penipuan mengandung
syarat materil dan formil.
Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) 160 ada dua yaitu bersifat melawan
hukum formil dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil
dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik
sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum formil, sedangkan sifat
melawan hukum materil harus dilihat dari sikap batin pelaku. 161 Pada delik penipuan
158
Moeljatno (III), Op. cit, hal. 69.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 125.
160
Ibid., hal. 143-144.
161
Ibid., hal. 147-148.
159
Universitas Sumatera Utara
dianggap telah mengandung unsur sifat melawan hukum, jika dapat dibuktikan
pemenuhan unsur-unsur subjektif dan objektif serta perbuatan itu harus memenuhi
sifat melawan hukum formil maupun materil.
Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan
bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan telah memenuhi unsur melawan
hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang
termuat dalam rumusan delik di dalam undang-undang. Melawan hukum sama
dengan melawan undang-undang (hukum tertulis).
Bagaimana undang-undang mengatur tentang karakteristik delik penipuan?
Untuk mengetahui karakteristik delik penipuan secara normatif, telah cukup jelas
ditentukan di dalam KUH Pidana, yang diatur tepatnya pada Bab XXV mulai dari
Pasal 378 KUH Pidana s/d Pasal 395 KUH Pidana.
Pasal 378 KUH Pidana, mengandung ketentuan berikut ini:
Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan
palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan
perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu
barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena
penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Berdasarkan judul bab ini, diketahui bahwa perbuatan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 378 KUH Pidana tersebut merupakan kejahatan dan
kejahatan ini dinamakan dengan penipuan. Ada beberapa karakteristik normatif delik
penipuan sesuai dengan ketentuan Pasal 378 KUH Pidana tersebut di atas, yaitu:
1) Barang siapa.
Universitas Sumatera Utara
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
3) Dengan melawan hak.
4) Dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu.
5) Dengan akal dan tipu muslihat.
6) Dengan karangan perkataan-perkataan bohong.
7) Dengan membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang.
8) Membuat utang atau menghapuskan piutang.
Dalam Pasal 378 KUH Pidana tersebut, penipuan (bedrog) mengandung dua
unsur pokok yaitu, unsur subjektif dan unsur objektif. Subjek hukumnya harus jelas
lebih dulu. Hal itu terkandung di dalam kata “barang siapa” yang berarti subjek
hukum yang dapat berupa orang atau individu, badan hukum 162, maupun korporasi.
Pada prinsipnya korporasi digolongkan dalam dua bentuk yaitu berbadan hukum dan
tidak berbadan hukum. 163 Tetapi KUH Pidana belum menganut korporasi sebagai
subjek hukum, melainkan hal itu diatur dalam beberapa undang-undang khusus,
seperti dalam lingkungan hidup, dan lain-lain.
Selain orang secara individu, berarti suatu badan hukum atau korporasi
sekalipun bisa melakukan tindakan kejahatan penipuan sebagaimana yang terkandung
di dalam Pasal 378 KUH Pidana ini. Menurut Riduan Syahrani, orang yang
terhimpunn di dalam badan hukum atau korporasi tersebut adalah subjek hukum
162
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2000),
hal. 56.
163
Muladi, “Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan UU
No.23 Tahun 1997”, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No.23 Tahun 1997, FH UNDIP,
Semarang, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
karena akibat tindakan orang-orang yang terhimpun di dalam badan tersebut,
sehingga menimbulkan akibat pertanggungjawaban pidana kepada badan atau
korporasi itu sebagai wakilnya. 164
Subjek hukum itu melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain. Tidak saja hanya menguntungkan kedua-duanya, tetapi cukup
hanya menguntungkan diri sendiri sudah terpenuhi syarat ini, atau hanya
menguntungkan bagi orang lain saja. Agar pelaku atau orang lain diuntungkan, maka
ada beberapa delik yang dilakukan, walaupun semua delik itu tidak mesti harus
terpenuhi secara keseluruhan.
Pelaku (subjek hukum) dalam hukum pidana dapat dijatuhkan pidana jika
memiliki unsur kesalahan yaitu kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).
Sedangkan unsur kesalahan dalam delik penipuan, hanya dilihat dari unsur sengaja
(dolus) saja, bukan unsur lalai (culpa). Jika dilihat dari unsur lalai, maka perbuatan
itu dikatakan sebagai wanprestasi, jika dilihat dari unsur sengaja, maka perbuatan itu
masuk sebagai delik penipuan.
Unsur objektifnya yang terdapat di dalam Pasal 378 KUH Pidana tersebut
adalah membujuk atau menggerakkan orang lain dengan cara-cara menggunakan,
nama palsu, keadaan palsu, rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat, menyerahkan
sesuatu barang, membuat hutang, dan menghapuskan piutang.
Dari kata “secara melawan hak” berarti melawan undang-undang, sebab
undang-undang telah menjamin setiap warga negara atau masyarakat merasa nyaman,
164
Riduan Syahrani, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
aman, perlindungan hukum dari setiap perbuatan kriminal. Sehingga perbuatan yang
mengambil hak orang lain berdasarkan penafsiran terhadap Pasal 378 KUH Pidana ini
adalah perbuatan penipuan yang berarti dilarang.
Nama palsu yaitu nama yang digunakan bukan nama asli sebagaimana
mestinya, keadaan palsu yaitu tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Tipu
muslihat yaitu sesuatu dilakukan dengan akal licik dan tipu daya untuk memperalat
orang lain sehingga orang lain itu tergerak hatinya untuk mengikuti kehendak
seseorang menjadi percaya atau yakin atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain
atas suatu tindakan pembujukan. 165
Perbuatan itu dilakukan dengan suatu delik (perbuatan pidana) yaitu: dengan
memakai nama palsu atau keadaan palsu, dengan akal dan tipu muslihat, dengan
karangan perkataan-perkataan bohong, atau dengan membujuk orang supaya
memberikan sesuatu barang. Rumusan dari beberapa delik ini, biasanya berada dalam
satu rangkaian dalam perbuatan tindak pidana penipuan dan pada kasus lain bisa pula
terpisah satu sama lain.
Dikatakan demikian sebab, dalam tindak pidana penipuan atas suatu dokumen
tertentu misalnya dalam memperoleh izin tertulis, pelaku menggunakan tipu muslihat,
menggunakan nama palsu, menggunakan akal kebohongan, yang intinya perbuatan
bohong itu dilakukan untuk membujuk agar tujuannya tercapai. Membujuk dilakukan
dengan cara-cara yang licik, menggunakan nama palsu atau keadaan yang tidak
sebenarnya (keadaan palsu), akal tipu mislihat, dan serangkaian kata-kata bohong.
165
Yahman, Op. cit., hal. 110.
Universitas Sumatera Utara
Namun menurut R. Soesilo, karena rumusannya menentukan, “karangan perkataanperkataan bohong”, maka satu kata bohong tidak cukup, harus pula pelaku itu
menggunakan banyak kata-kata yang mengandung kebohongan, sehingga satu
rankaian kebohongan itu seolah-olah merupakan cerita yang benar. 166
Dalam Pasal 378 KUH Pidana ini diterjemahkan oleh R. Soesilo, bahwa
tentang barang yang menjadi objek penipuan tidak disebutkan dalam pasal ini, berarti
tidak ada suatu pembatasan terhadap barang apa saja atau objek apa saja yang ditipu
pelaku, yang jelas barang itu harus milik orang lain yang menjadi korban penipuan
agar menyerahkan barang tersebut, atau melakukan sesuatu perbuatan untuk
memenuhi pembujukan dari si penipu. 167
Berarti lingkupnya, bisa dalam bentuk dan bidang apapun, misalnya dalam hal
penyerahan suatu barang milik pribadi orang lain seperti kendaraan bermotor, jam
tangan, izin sesuatu hal, dalam bentuk uang, maupun dalam bentuk maksud-maksud
tertentu dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak. Jadi berlaku dalam lapangan
apa saja, Pasal 378 KUH Pidana ini dapat diterapkan untuk delik penipuan, walaupun
sebenarnya selain Pasal 378 KUH Pidana untuk delik penipuan masih ada pasal-pasal
yang lain yaitu Pasal 379 KUH Pidana s/d Pasal 395 KUH Pidana, namun Pasal 378
KUH Pidana ini sebagai pasal yang paling utama dan pokok untuk delik-delik
penipuan.
166
167
R. Soesilo, Op. cit., hal. 261.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Menggerakkan orang lain yaitu perbuatan yang disamakan dengan membujuk
orang lain, yaitu mempengaruhi seseorang sedemikian rupa atau dengan cara tertentu
sehingga orang lain mau berbuat sesuai kehendak pelaku untuk menyerahkan barang
atau melakukan sesuatu. Sedangkan barang yaitu barang yang berwujud maupun yang
tidak berwujud. Membuat utang atau menghapuskan piutang yaitu perbuatan yang
menimbulkan kerugian secara materil bagi korban, yaitu seseorang yang digerakkan
dari pembujukan itu untuk mempengaruhi agar memberi utang atau menghapuskan
utang. 168
Berdasarkan pembahasan dalam uraian di atas, jika penipuan dikaitkan
dengan wanprestasi dalam perjanjian, maka unsur yang harus dipenuhi oleh pelaku
adalah unsur kesengajaan (dolus) yang diwujudkan dengan niat (means rea). Berarti
dalam perjanjian, pelaku karena dengan sengeja menipu, bukan karena lalai menipu.
Kalau pelaku memenuhi unsur kelalain, maka seharusnya konsep hukum yang
diterapkan adalah hukum perdata yaitu wanprestasi. Tetapi kalau pelaku memenuhi
unsur sengaja, maka seharusnya konsep hukum yang diterapkan kepada pelaku adalah
konsep hukum pidana yakni penipuan. 169
Sengaja mengandung unsur subjektif yaitu “dengan maksud” berarti
dikehendaki atau diniatkan (means rea) untuk menguntungkan dirinya sendiri atau
orang lain dengan cara melawan hukum. Menurut Lamintang baik kesengajaan
168
169
Yahman, Op. cit., hal. 112.
Ibid., hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
(dolus) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa) merupakan bentuk kesalahan yang
berarti dalam konsep hukum pidana sama-sama dapat dipidana. 170
Kesengajaan melakukan penipuan harus memenuhi bentuk-bentuk dari
kesengajaan berikut: yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengjaan sebagai kepastian
(keharusan), dan kesengajaan dengan kemungkinan. Kesengajaan sebagai maksud
dalam melakukan penipuan, diidentikkan dengan tujuan, yaitu benar-benar diinginkan
oleh pelaku yaitu kerugian bagi korban. 171
Kesengjaan sebagai kepastian yaitu pelaku (penipu) menyadari secara pasti
atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi akibat-akibat yang lain.
Si pelaku menyadari pasti bahwa dengan melakukan perbuatan penipuan itu pasti
akan menimbulkan akibat atas perbuatannya. Sedangkan kesengajaan sebagai
kemungkinan dalam delik penipuan, yaitu pelaku menyadari kemungkinan akan
timbul akibat dari perbuatan penipuan dan kemungkinan akibat itu juga bertentangan
dengan undang-undang. 172
Pasal-pasal lain selain Pasal 378 KUH Pidana, merupakan penjabaran lebih
lanjut sebagaimana Pasal 379 KUH Pidana mengandung delik penipuan untuk ringan,
Pasal 379 huruf a KUH Pidana mengandung delik penipuan yang disebut dengan
istilah flessentrekkerij yaitu kebiasaan sehari-hari (sebagai pencaharian) membeli
170
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 279.
171
Yahman, Op. cit., hal. 115.
172
Ibid., hal. 116.
Universitas Sumatera Utara
barang dengan menggunakan bon tetapi sebenarnya sudah bermaksud untuk tidak
mau membayar lunas bon itu.
Pasal 380 KUH Pidana mengandung delik penipuan di bidang ilmu
pengetahuan atau delik penipuan terhadap hak cipta atau karya ilmiah seseorang.
Pasal 381 KUH Pidana mengandung delik penipuan di bidang asuransi terutama
tentang klausula-klausula dalam perjanjian hak tanggungan dalam asuransi. Pasal 382
KUH Pidana mengandung delik penipuan khusus untuk asuransi kapal.
Pasal 382 bis KUH Pidana mengandung delik penipuan yang sengaja
menyebarkan rangkaian perkataan kebohongan publik tentang suatu usaha
perdagangan tertentu, padahal tidak sedemikian adanya. Pasal 383 KUH Pidana
mengandung delik penipuan yang dilakukan oleh penjual barang terhadap pembeli.
Kemudian Pasal 383 bis KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap suratsurat pengangkutan di laut dan termasuk dalam Pasal 384 KUH Pidana.
Pasal 385 KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap penggunaan
barang milik pemerintah atau milik rakyat untuk dijadikan agunan pribadi oleh si
penipu. Pasal 386 KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap penjualan
barang-barang obat-obatan dan makanan yang palsu.
Pasal 387 KUH Pidana mengandung delik penipuan dalam pemborongan dan
bahan-bahan bangunan, baik pemborong, penjual, pengawas bangunan dapat
dikenakan pasal ini. Pasal 388 KUH Pidana mengandung delik penipuan dalam hal
penggunaan barang-barang angkatan perang (militer) yang palsu yang bisa
mendatangkan bahaya bagi keselamatan negara.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 389 KUH Pidana mengandung delik penipuan terhadap batas-batas atau
patok pekarangan rumah sehingga tidak jelas batas-batasnya lagi. Pasal 390 KUH
Pidana mengandung delik penipuan dengan cara menaikkan atau menurunkan harga
barang-barang dengan cara menyebarkan perkataan kebohongan ke publik.
Pasal 391 KUH Pidana mengandung delik penipuan dengan cara memberikan
pertolongan atas penjualan surat-surat berharga milik pemerintah atau milik umum
(rakyat) dengan kebohongan agar orang membeli. Pasal 392 KUH Pidana
mengandung delik penipuan yang dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah
dengan sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang tidak benar ke publik.
Pasal 393 KUH Pidana mengandung delik penipuan bagi perantara yang
membawa masuk barang dari luar negera ke dalam negara padahal diketahuinya
bahwa barang tersebut adalah palsu. Pasal 393 bis KUH Pidana mengandung delik
penipuan yang dilakukan oleh pengacara (advokat) yang memberikan keterangan
palsu atas alamat tempat kediaman orang yang tergugat karena hutang, atau dalam
kasus perceraian, atau dalam kasus kepailitan.
Semua ketentuan tersebut di atas mengandung delik penipuan yang pada
intinya karakteristik delik penipuan itu secara garis besarnya dilakukan sebagaimana
dalam Pasal 378 KUH Pidana. Pasal 378 KUH Pidana ini merupakan pasal yang
sering terjadi diterapkan oleh majelis hakim pengadilan untuk perkara-perkara
penipuan, termasuk untuk perkara penipuan dalam perjanjian.
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian-uraian di atas, tampak perbedaan
antara wanprestasi dengan delik penipuan. Secara konsep hukum, wanprestasi
Universitas Sumatera Utara
domainnya adalah hukum perdata artinya murni merupakan bagian dari hukum
perdata. Tidak akan pernah berubah sebutan untuk wanprestasi dalam hukum pidana.
Tetapi dalam hukum pidana hanya disebut dengan perbuatan melawan hukum, bukan
wanprestasi.
Ini menunjukkan bahwa wanprestasi merupakan masalah privasi, yang berarti
menyangkut hubungan antar individu dengan individu. Sedangkan hukum pidana
sebagaimana telah disinggung dalam uraian di atas merupakan bagian dari hukum
publik. Sebab, yang dilindungi dalam hukum pidana adalah kepentingan umum.
Sebagai contoh masalah korupsi adalah masalah pidana, sebab harta yang diambil
secara tidak sah dan melawan hukum dalam kejahatan ini adalah keuangan negara
berarti harta negara. Keuangan negara atau harta negara merupakan hak dari seluruh
masyarakat bangsa Indonesia (kepentingan umum).
Dengan demikian, ketentuan tentang penipuan dalam KUH Pidana secara
serta-merta
merupakan
ketentuan
yang
menyangkut
perlindungan
terhadap
kepentingan umum, sebab masyarakat harus memperoleh jaminan atas rasa aman,
nyaman yang telah dijamin dalam UUD 1945. Negara turut campur dalam hal urusan
memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan umum untuk memberikan
rasa nyaman, aman, terhindar dari perbuatan-perbuatan kriminal oleh orang lain atau
sekelompok orang tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Download