1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.1 Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dilihat dari kompleksitas serta efek negatifnya yang menimbulkan kerusakan besar bagi negara, mengakibatkan bencana sosial seperti meningkatnya kemiskinan dalam masyarakat dan hancurnya perekonomian nasional.2 Permasalahan korupsi sudah bergeser dari permasalahan nasional di masing-masing negara menjadi persoalan lintas negara (transnational crime). Selain itu, Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) saat ini juga sedang membahas kemungkinan dimasukkannya korupsi dan kejahatan narkotika sebagai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jika hal tersebut 1 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2 disetujui, konsekuensi selanjutnya yang berlaku adalah asas universal yang berarti bahwa setiap negara berhak melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan internasional.3 Dewasa ini korupsi hampir terjadi di seluruh belahan bumi. Tak hanya terjadi di negara-negara berkembang, namun juga di negara-negara maju. Seperti dalam laporan berjudul Foreign Bribery Report yang dikeluarkan oleh The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan tahun 2014 menyebutkan perilaku korupsi berupa penyuapan (bribery) banyak dilakukan oleh kalangan pengusaha besar dari negara-negara maju.4 Laporan ini tegas membantah persepsi bahwa korupsi hanya menjadi masalah negara berkembang, melainkan sudah menjadi masalah pula di negara maju. Dalam konteks Indonesia, permasalahan korupsi sudah terjadi secara sistematis, terstruktur, dan masif.5 Korupsi telah memasuki segala lini kehidupan masyarakat, mulai dari lingkup terkecil di desa/kelurahan, hingga yang terjadi di lembaga-lembaga negara, baik lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparency International pada tahun 2014 masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup. Pada tahun tersebut Indonesia memperoleh skor 34 3 4 5 Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej, 2009, Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Editor), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 582. “Laporan OECD Sebut Perilaku Korupsi Melilit Negara Maju”, http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2014-12-03/laporan-oecd-sebut-perilakukorupsi-melilit-negara-maju/1395497, diakses tanggal 4 Februari 2015. Desca Lidya Natalia, “Ketua KPK: Korupsi Indonesia terstruktur dan masif”, http://www.antaranews.com/berita/467187/ketua-kpk-korupsi-indonesia-terstruktur-danmasif, diakses tanggal 21 Februari 2015. 3 poin dan menempati urutan ke-107 dunia, beda 50 poin dengan Singapura sebagai sesama negara ASEAN yang menempati urutan ke-7 dunia. Skor IPK milik Indonesia tersebut juga masih berada di bawah rata-rata skor IPK untuk kawasan ASEAN, Asia Pasifik, dan Komunitas G-20.6 Sebagaimana yang diuraikan oleh Suhartoyo, Centre for Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu organ PBB secara luas mendefinisikan korupsi sebagai “misuse of (public) power for private gain” yang diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Menurut CICP, korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap (bribery), penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat ilegal (exploiting a conflict interest, insider trading), nepotisme, komisi ilegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal commission) dan kontribusi uang secara ilegal untuk partai politik.7 Menurut Jeremy Pope, yang sejalan dengan Transparency International mengartikan korupsi juga sebagai perbuatan menyalahgunakan 6 7 Wahyudi, “Corruption Perception Index 2014”, http://www.ti.or.id/index.php/publication/2014/12/06/corruption-perceptions-index-2014, diakses tanggal 21 Februari 2014. Suhartoyo, 2014, “Implementasi Asas Equality Before The Law Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dapat Meningkatkan Kewaspadaan Nasional Guna Mempertangguh Ketahanan Nasional”, Revisi Esai Blok, Lembaga Ketahanan Nasional RI, Jakarta, hlm. 3-4. 4 kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi.8 Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu: 1. Menyalahgunakan kekuasaan; 2. Kekuasaan yang dipercayakan (baik di sektor publik maupun di sektor swasta) memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarga dan teman-temannya). Berdasarkan definisi korupsi dari CICP, Jeremy Pope, dan Transparency International tersebut terlihat bahwa korupsi erat kaitannya dengan kekuasaan. Hal ini senada dengan ungkapan dari Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung untuk korup, dan kekuasaan yang mutlak/absolut cenderung korup secara absolut).9 Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois, menyebutkan terdapat tiga kecenderungan bagi orang yang berkuasa, yaitu mempertahankan kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan, dan memperbesar kekuasaan. Korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan, dan sebaliknya kekuasaan merupakan „pintu masuk‟ bagi tindak pidana korupsi. Melihat fakta-fakta terkait korupsi tersebut di atas, khususnya yang terjadi dalam lingkup Indonesia, maka upaya pencegahan dan pemberantasan 8 9 Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm.6 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 67. 5 korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan kepentingan masyarakat. Sebagai langkah preventif maupun represif terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menimbulkan korupsi, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan yang efektif dan dapat menimbulkan efek jera, baik pada pelaku maupun bagi masyarakat pada umumnya. Salah satu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang belakangan ini jamak10 dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah dengan menuntut penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Dalam tuntutan penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak politik sesungguhnya terdapat tujuan pemberian efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi, terutama yang dilakukan oleh pejabat publik. Pidana ini dimaksudkan agar terpidana korupsi tidak lagi memiliki akses untuk menduduki jabatan publik karena berpotensi melakukan korupsi serupa di kemudian hari.11 Artidjo Alkostar menyebutkan penjatuhan pidana pencabutan hak politik merupakan konsekuensi etis dan konsekuensi yuridis atas dilakukannya tindak pidana korupsi oleh pejabat publik. Konsekuensi etis berkaitan dengan pengkhianatan terhadap amanah rakyat, karena jabatan publik merupakan kekuasaan yang diperoleh dari rakyat untuk kepentingan 10 11 Terhitung sampai tanggal 31 Maret 2015, setidaknya terdapat 12 (dua belas) terdakwa korupsi yang kesemuanya merupakan pejabat publik, dituntut pidana pencabutan hak politik, dan 6 (enam) di antaranya dikabulkan oleh Pengadilan. Bilal Ramadhan, “Ini Pentingnya Pencabutan Hak Politik Koruptor Bagi KPK”, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/16/nbyyy2-ini-pentingnyapencabutan-hak-politik-koruptor-bagi-kpk, diakses tanggal 22 Februari 2015. 6 kemaslahatan rakyat. Sementara konsekuensi yuridis terkait dengan pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, penjatuhan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi mengacu pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Pasal 18 ayat (1) UU PTPK menyebutkan: Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Dalam UU PTPK tersebut tidak dijelaskan mengenai pengertian hakhak tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d. Untuk mengisi kekosongan pengertian tersebut, perlu memperhatikan ketentuan Pasal 103 KUHP yang berbunyi: “Ketentuan-ketentuan dalam Bab 7 I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Pasal 103 ini mengandung makna bahwa segala istilah/pengertian yang berada dalam Bab I sampai Bab VIII Buku Kesatu KUHP mengenai aturan umum dapat digunakan apabila tidak diatur lain dalam undang-undang atau aturan-aturan yang mengatur tentang hukum pidana di luar KUHP. Oleh karena ketentuan mengenai hak-hak tertentu tercantum dalam Bab II Buku Kesatu KUHP, maka pengertian hakhak tertentu dalam UU PTPK dikembalikan kepada pengertian yang diatur dalam KUHP. Pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu merupakan salah satu jenis pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 huruf b KUHP. Pasal tersebut menyebutkan mengenai 3 (tiga) jenis pidana tambahan, yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Ketentuan mengenai macam-macam hak yang dapat dicabut kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP, yaitu: 1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata; 3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) tertentu. 8 Pengertian hak politik sendiri tidak diatur secara jelas dalam aturan perundang-undangan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan kelompok hak-hak politik yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) meliputi hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat secara damai, hak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat, serta hak untuk dapat diangkat dalam kedudukan jabatan-jabatan publik.12 Apabila dikaitkan antara macam-macam hak yang dapat dicabut dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP dengan batasan kualifikasi hak politik dalam UUD NRI Tahun 1945, maka jenis hak yang termasuk lingkup hak politik terdiri dari 3 (tiga) hak, yaitu hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu, hak memasuki Angkatan Bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Namun dalam praktek, pencabutan hak politik difokuskan pada pencabutan hak untuk memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu dan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan. Salah satu perkara korupsi di mana terdakwa dijatuhi pidana pencabutan hak politik adalah kasus suap impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq. Terdakwa saat itu berkedudukan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2009-2014 yang merupakan pejabat publik dan juga selaku Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Penuntut Umum pada KPK selain menuntut untuk 12 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.90. 9 dijatuhkan pidana pokok berupa pidana penjara dan pidana denda, juga menuntut Terdakwa agar dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak Terdakwa untuk dipilih sebagai wakil rakyat dan hak untuk menjabat sebagai pengurus suatu partai politik. Judex Factie, baik Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun pada Pengadilan Tinggi Jakarta, keduanya tidak mengabulkan tuntutan pencabutan hak politik yang diajukan oleh Penuntut Umum tersebut. Baru kemudian di ranah Judex Juris, Majelis Hakim Agung yang dipimpin Hakim Artidjo Alkostar mengabulkan tuntutan Penuntut Umum dengan menjatuhkan pidana pencabutan hak politik kepada Terdakwa seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014 Atas Nama Luthfi Hasan Ishaaq. Hukum pidana yang domainnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana selalu menjadi sorotan di tengah masyarakat. Contoh kecil yang dapat dilihat ialah bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap pencabutan hak politik bagi koruptor. Terhadap penjatuhan pidana pencabutan hak politik tersebut juga muncul kritik dari beberapa kalangan. Siti Noor Laila, Anggota Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, berpendapat bahwa pidana pencabutan hak politik melanggar pelaksanaan prinsip-prinsip HAM.13 Sementara di pihak yang lain berpendapat bahwa penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak politik 13 Muhammad Agung Riyadi, “Komnas HAM Menentang Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi”,http://www.gresnews.com/berita/Hukum/12161-komnas-ham-menentangpencabutan-hak-politik-terpidana-korupsi/, diakses tanggal 1 Juni 2015. 10 adalah sesuatu yang berlebihan, seperti yang tercantum dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika menolak permohonan pencabutan hak politik terdakwa korupsi atas nama Djoko Susilo.14 Pendapat yang menyatakan bahwa pencabutan hak politik merupakan pelanggaran HAM tentu mudah terbantahkan. Mengingat setiap pidana itu pada dasarnya adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran itu diperbolehkan berdasarkan undang-undang. Ketentuan mengenai jaminan perlindungan hak politik setiap warga negara diatur dalam beberapa pasal di dalam UUD NRI Tahun 1945, antara lain Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28E ayat (2) dan (3). Pasal-pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan HAM di bidang politik yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Namun demikian, pelaksanaan hak-hak tersebut tidak berlangsung secara mutlak. Dalam konstitusi kita dikenal adanya pembatasan ketentuan HAM (human right limitation) yang tercantum dalam Pasal 28J ayat (2). Makna yang terkandung dalam pasal tersebut adalah dengan alasan tertentu yang diatur oleh undang-undang maka HAM setiap orang dapat dirampas atau dikurangi, termasuk pengurangan atau pembatasan hak melalui pidana pencabutan hak politik yang diatur dalam KUHP. 14 Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. atas nama Terdakwa Djoko Susilo, tanggal 3 September 2013. 11 Sementara terhadap pendapat yang menyebutkan pidana pencabutan hak politik merupakan tindakan berlebihan menjadi penting untuk diperhatikan. Pidana ini dikatakan berlebihan karena tanpa dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik pun setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhkan pidana secara otomatis akan tercabut hak politiknya untuk dipilih menjadi pejabat publik tanpa dicantumkan dalam vonis hakim. Sebagai misal, salah satu persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.15 Dengan dicantumkannya syarat tersebut, telah terjadi tumpang tindih aturan antara ketentuan mengenai pidana pencabutan hak politik dalam ranah hukum pidana dengan persyaratan pengisian jabatan publik dalam ranah hukum administrasi. Selain sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi Anggota DPR, DPD, dan DPRD, syarat tidak pernah dipidana dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih juga melekat sebagai persyaratan untuk menjadi pejabat publik lainnya seperti Presiden, 15 Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD 12 Hakim Konstitusi, Hakim Agung, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Notaris serta Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengangkat serta menganalisis lebih lanjut permasalahan terkait penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana korupsi melalui sebuah penelitian hukum yang berjudul “Pencabutan Hak Politik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Terpidana Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014 Atas Nama Terdakwa LHI)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang akan menjadi fokus permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah: 1. Bagaimana penerapan pidana pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana pertimbangan Hakim terkait penjatuhan pidana pencabutan hak politik dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014 atas nama Terdakwa LHI? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: 13 1. Tujuan Subjektif Sebagai tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Objektif Berangkat dari permasalahan yang diteliti maka tujuan objektif dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan pidana pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi. b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Hakim terkait penjatuhan pidana pencabutan hak politik dalam Putusan Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014 atas nama Terdakwa LHI. D. Keaslian Penelitian Penulisan hukum dengan judul “Pencabutan Hak Politik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Terpidana Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014 Atas Nama Terdakwa LHI)”, sepanjang penelusuran penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun penelusuran lewat internet, ternyata belum pernah dilakukan. Namun demikian, penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang mirip dan memiliki relevansi dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini. 14 Pertama, dalam penulisan hukum yang berjudul “Pelaksanaan Eksekusi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi bagi Terpidana yang Menyatakan Tidak Mampu Membayar di Kejaksaan Negeri Wonosari” oleh Hilda Prabayani Putri. Permasalahan yang dikaji dalam penulisan hukum tersebut adalah terkait dengan prosedur pelaksanaan eksekusi putusan pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi, serta upaya yang dilakukan Jaksa selaku eksekutor dalam hal terpidana menyatakan tidak mampu membayar uang pengganti.16 Hasil penelitian tersebut pada intinya menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pelaksanaan eksekusi pidana pembayaran uang pengganti berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya yang dilakukan oleh Jaksa dalam mengeksekusi pidana pembayaran uang pengganti bagi terpidana yang diputus menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 di antaranya dengan menggunakan jalur non-litigasi (terpidana mengangsur setiap bulan), mengajukan gugatan perdata, dan meminta penghapusan piutang negara. Sementara bagi terpidana yang diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, akan dilakukan penyitaan harta benda atau dilakukan hukuman badan kepada terpidana. Penelitian tersebut memiliki kemiripian dengan penelitian yang 16 Hilda Prabayani Putri, 2012, “Pelaksanaan Eksekusi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi bagi Terpidana yang Menyatakan Tidak Mampu Membayar di Kejaksaan Negeri Wonosari”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 15 penulis lakukan, karena sama-sama mengkaji pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi. Namun demikian, terdapat perbedaan mendasar terkait jenis pidana tambahan yang dikaji. Dalam penelitian tersebut jenis pidana tambahan yang dikaji adalah pidana pembayaran uang pengganti, sementara dalam penelitian yang penulis lakukan berupa pidana tambahan pencabutan hak politik. Selain itu juga terdapat perbedaan sudut pandang penelitian. Sudut pandang dalam penelitian tersebut adalah melihat pidana tambahan pembayaran uang pengganti hanya dari sisi pelaksanaannya atau eksekusi oleh Jaksa selaku eksekutor, sementara penelitian yang penulis lakukan memiliki sudut pandang yang lebih luas, yaitu melihat pidana tambahan pencabutan hak politik dari sisi norma, implementasi dalam kasus, serta pelaksanaan pidana tersebut. Kedua, dalam penulisan hukum yang berjudul “Penerapan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi” oleh Zukruf Irfan I. Adapun permasalahan yang dikaji adalah mengenai penerapan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam praktek peradilan, khususnya di Pengadilan Negeri Sleman dan Pengadilan Negeri Yogyakarta dan dasar pertimbangan yang digunakan hakim dalam penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti. Hasil yang diperoleh pada pokoknya menyatakan bahwa terdapat perbedaan penerapan pidana tambahan pembayaran uang pengganti antara Hakim di Pengadilan Negeri Sleman dengan Hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Selanjutnya dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pembayaran uang pengganti 16 dengan melihat adanya unsur merugikan keuangan negara dari perbuatan yang dilakukan terdakwa. Atas dasar unsur tersebut, seorang terdakwa korupsi yang dinyatakan bersalah dan menikmati harta benda yang diperoleh dari korupsi dapat dijatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti.17 Penelitian hukum ini pada dasarnya juga sama-sama mengkaji pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi. Namun terdapat perbedaan dalam hal jenis pidana tambahan yang dikaji. Dalam penelitian ini jenis pidana tambahan yang dikaji adalah pidana pembayaran uang pengganti, sementara dalam penelitian yang penulis lakukan berupa pidana tambahan pencabutan hak politik. Selain itu, dalam penelitian ini difokuskan pada penerapan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dilihat dalam suatu putusan pengadilan. Sementara dalam penelitian yang penulis lakukan tidak hanya berfokus pada penerapan pidana pencabutan hak politik dalam suatu putusan pengadilan, tetapi juga mengkaji dasar pemidanaan penjatuhan pidana pencabutan hak politik dari berbagi aspek. Terakhir, dalam penulisan hukum yang berjudul “Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” oleh Rizki Ridha Damayanti. Penulisan hukum tersebut pada pokoknya membahas hak politik yang ditinjau dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia, serta deskripsi tentang pencabutan hak politik pelaku tindak pidana korupsi dalam sistem hukum Indonesia.18 Hasil penelitian dan pembahasan 17 18 Zukruf Irfan I., 2008, “Penerapan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rizki Ridha Damayanti, 2015, “Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam 17 dalam penelitian tersebut menunjukan bahwa hak politik dari sudut pandang hak asasi manusia merupakan kategori hak yang boleh dikurangi atau dibatasi (derogable right). Implikasi selanjutnya, pencabutan hak politik pelaku tindak pidana korupsi bukan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia sepanjang dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang. Penelitian ini merupakan penelitian yang paling memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan, karena sama-sama mengkaji pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana korupsi. Namun demikian, penulis menemukan beberapa perbedaan mendasar dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu sudut pandang penelitian dan pendekatan penelitian. Dalam hal sudut pandang, penelitian ini hanya melihat pencabutan hak politik dalam sudut pandang hak asasi manusia, sementara yang penulis lakukan adalah mengkaji pencabutan hak politik lebih luas dari sekedar aspek hak asasi manusia, tetapi juga dari aspek pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi. Selanjutnya dalam hal pendekatan penelitian. Selain menggunakan pendekatan undang-undang, penulis juga menggunakan pendekatan kasus. Dalam penelitian yang penulis lakukan lebih melihat pada dasar pemidanaan penjatuhan pidana pencabutan hak politik dalam perkara tindak pidana korupsi yang selanjutnya akan dikaitkan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014 Atas Nama Luthfi Hasan Ishaaq. Jadi, di sini penulis akan menjelaskan secara komprehensif karakteristik dari pidana pencabutan hak politik, dan kemudian akan dibandingkan dengan Perspektif Hak Asasi Manusia”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. 18 pertimbangan hakim dalam putusan terkait penjatuhan pidana pencabutan hak politik tersebut. Sementara dalam penelitian oleh Rizki Ridha Damayanti tidak menggunakan pendekatan kasus dan hanya mengkaji secara normatif terhadap hak politik dan pencabutan hak politik dilihat dari peraturan perundang-undangan, baik secara nasional maupun internasional. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditemukan letak perbedaan yang signifikan antara penulisan hukum ini dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa keaslian penulisan hukum ini dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asasasas keilmuan yang harus dijunjung tinggi, yaitu asas kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi dunia hukum, khususnya di Indonesia, dalam kaitannya dengan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana korupsi. 2. Manfaat Praktis Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana korupsi. 19 Diharapkan pula penelitian ini dapat memberikan jawaban terkait relevansi antara pidana pencabutan hak politik dan tindak pidana korupsi, sehingga dapat menjadi langkah progresif bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.