Menelisik Asas Keadilan|Ikhwanuddin Harahap MENELISIK ASAS KEADILAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF ISLAM Oleh Ikhwanuddin Harahap Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan e-mail: [email protected] Abstract Ideally, family should be be “ the safetyhome” for all members of the family. But in fact, there are many violence cases happened in Indonesia families. So that is why the Government respons the cases by Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. There are many kinds of violence in family, namely physical violence such as beating, slaping, kick, biting, marital rape, etc., and non- physical violence such as intimidation, threat, terror, etc. This article tries to analysis one of the principles in the Undang-Undang namely justice and gender equalities on Islam perspective. Kata Kunci : Keadilan, Kesetaraan Gender kenyatannya kaum perempuan lebih sering A. Pendahuluan Budaya patriarkhi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat menjadi korban. Sebab pelaku kekerasan Indonesia dalam rumah tangga didominasi oleh suami; menempatkan laki-laki/suami sebagai sosok suami terhadap isteri maupun ayah terhadap “the superbody” yang memiliki kekuasaan dan anak-anaknya. 1 kewenangan penuh dalam mengatur rumah Kondisi ini disebabkan karena adanya tangga. Di sisi lain perempuan/isteri sering ketimpangan dalam struktur sosial budaya yang diposisikan sebagai “the second class” dalam tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kehidupan masyarakat. Struktur sosial budaya patriarkis keluarga masyarakat yang kewenangan serta memiliki yang jauh kehidupan kekuasaan bawah yang bersifat dominatif dan hegemonik laki- cenderung menempatkan perempuan selalu laki/suami, bahkan dengan posisi ini mereka berada dalam posisi subordinatif, berada di rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. bawah bayang-bayang kaum laki-laki. Sesungguhnya, di dan masalah kekerasan Superioritas ini cenderung melahirkan dalam kehidupan umat manusia merupakan hal sikap yang universal. Ia bisa terjadi di mana-mana melahirkan kekerasan dalam berbagai bentuk dan dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, dalam arogan dan tidak mustahil pula 1 Hadijah dan La Jamaa, Hukum Islam dan UndangUndang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Banten : STAIN Ambon Press, 2007), hlm. 1. 40 Yurisprudentia Volume 2 Nomor 1 Juni 2016 baik kekerasan fisik, non-fisik, atau verbal dan tangga adalah asas keadilan dan kesetaraan kekerasan seksual, atau sejenisnya seperti gender. perkosaan, penganiayaan, pembunuhan atau Seiring berjalannya waktu, tepatnya 11 kombinasi dari ketiganya, ataupun seperti (sebelas) tahun setelah lahirnya undang-undang pelakunya dengan ini, kita masih sering mendengar dan membaca hubungan dekat atau orang asing, ataupun informasi mengenai kasus-kasus kekerasan tempat terjadinya seperti di tempat umum dan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh salah di dalam rumah tangga.2 Peristiwa kekerasan seorang dari anggota keluarga terhadap anggota yang dilakukan oleh kaum laki-laki/suami ini keluarga lainnya, terutama oleh laki-laki/suami sering menghiasi kolom-kolom pada media terhadap isteri dan atau anak-anak.3 Bahkan cetak dan bahkan menjadi salah satu faktor keadilan dan keseteraan gender yang mendasari penyebab perceraian di pengadilan. semangat undang-undang tersebut seolah masih seperti Melihat pemerintah positif orang-orang fenomena Indonesia terhadap yang terjadi, memberikan respon mendapatkan keadilan dalam rumah tangga kehidupan sebagaimana diinginkan oleh undang-undang keluarga. Hal ini didasarkan pada kesadaran ini dan semestinya pula kaum perempuan tidak bahwa keluarga adalah unit terkecil dari sebuah mengalami ketidak adilan gender dalam rumah negara. Jika keluarga hidup dengan rukun dan tangga sebagainana sejalan dengan tujuan damai, maka negara akan rukun dan damai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pula, yaitu: yang tetapi kejadian Seyogyanya, semua anggota keluarga dan peristiwa berbagai “jauh panggang dari api”. menyangkut sebaliknya apabila keluarga “broken” maka negara juga akan hancur. Dengan ungkapan lain, keluarga adalah cerminan sebuah negara. Respon tersebut diejawantahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yaitu diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga, di mana salah satu asas dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah 2 Sulistywati Irianto, “Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu Tinjauan Hukum Berspektif Feminis)”, dalam Jurnal Perempuan, Edisi 10 Februari-April, 1999, hlm. 8 3 Sebagaimana disebutkan dalam bagian Pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada poin c, yaitu bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan 41 Menelisik Asas Keadilan|Ikhwanuddin Harahap d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.4 Dengan demikian, kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja dan terhadap siapa Tentu dibutuhkan peran serta seluruh saja sebagai akibat dari adanya superioritas dan elemen bangsa ini dalam mewujudkan cita-cita inferioritas dalam pola hubungan dan struktur undang-undang tersebut, sebab jika semuanya sosial masyarakat. Pada umumnya, kekerasan harus dilakukan oleh pemerintah saja maka yang bersifat fisik bisa berbentuk pemerkosaan hasilnya barangkali tidak akan maksimal. terhadap perempuan baik di luar mapun di Tulisan ini mencoba melihat dan mengurai salah satu asas dalam upaya dalam rumah (marital rape), pemukulan yang terarjadi di dalam rumah tangga (domestic penghapusan kekerasan dalam rumah tangga violence), penyiksaan terhadap anak-anak yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 23 (child abuse), penyiksaan yang mengarah pada Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan organ alat kelamin (genital mutilation) dan Dalam Rumah Tangga, yaitu asas keadilan dan sebagainya. Sedangkan kekerasan yang besifat kesetaraan gender. non-fisik atau mental psikologis bisa berbentuk prostitusi, pornografi, eksploitasi wanita dan B. Trend Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Perspektif Undang-Undang. Apabila ditinjau secara terminologi, kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lemah), bersaranakan kekuatannya-baik fisik maupun non fisik yang superior, dengan kesengajaan untuk dapat menimbulkan rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan tersebut.5 lain-lain. Dalam perspektif Mansour Fakih, kekerasan adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.6 Dengan kata lain, sasaran kekerasan tidak hanya fisik atau biologis semata namun mental psikologis juga menjadi sasarannya. Paradigma tentang kekerasan sebagaimana dikonsepsikan tersebut ternyata dialami oleh banyak orang dalam institusi yang bernama keluarga. Tentu hal ini adalah sebuah ironi, di mana keluarga yang seharusnya sebagai safetyhome (tempat aman) bagi seluruh 4 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 5 Soetandyo Wignjosoebroto, “Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan” Makalah dalam Seminar Nasional “Islam, Seksualitas dan kekerasan terhadap Perempuan” Yogyakarta, 27-29 Juli 2000, tt. hlm. 1. anggota keluarga tiba-tiba berubah menjadi 6 Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Jender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 12. 42 Yurisprudentia Volume 2 Nomor 1 Juni 2016 ”neraka” yang menakutkan. Bahkan, sebagian Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kalangan menyebutkan bahwa laki-laki yang kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang memukul isteri dan atau anak-anak ternyata dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : dianggap sesuatu yang wajar.7 Bahkan dalam 1. Kekerasan fisik; banyak kasus, menempleng atau menampar 2. Kekerasan psikis; isteri tentulah bukan berita yang mengejutkan 3. Kekerasan seksual; atau dalam masyarakat. Perlakuan tindak kekerasan 4. Penelantaran rumah tangga. seperti ini masih dipandang wajar dan biasa terjadi. Masyarakat kita telah Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana terbiasa dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah menyaksikan penganiayaan suami terhadap perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh isteri, baik secara langsung maupun melalui sakit, atau luka berat. pemberitaan di media massa seperti koran, Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana majalah dan televisi. Kita baru akan terkejut dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah bila ada suami yang tega menyerang isterinya perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, dengan senjata tajam yang mematikan atau ada hilangnya rasa suami yang memaksa isterinya untuk menjadi kemampuan pekerja seks. berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat Dalam perspektif Undang-Undang, Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap perempuan, yang seseorang terutama berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, rumah psikologis, tangga melakukan dan/atau termasuk perbuatan, penelantaran ancaman pemaksaan, rasa tidak pada seseorang. Pasal 8 Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup b. Rumah tangganya dengan orang lain untuk tersebut sebagaimana dituangkan dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: 7 bertindak, hilangnya dalam lingkup rumah tangga tersebut; hukum dalam lingkup rumah tangga.8 kekerasan untuk diri, untuk perampasan kemerdekaan secara melawan Bentuk-bentuk percaya Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta, tnp, 1999), hl. 28. 8 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Pasal 9 ayat 1 Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau 43 Menelisik Asas Keadilan|Ikhwanuddin Harahap perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, mengecilkan hati isteri, membatasi ruang gerak perawatan, atau pemeliharaan kepada orang isteri, suami menikah lagi tanpa sepengetahuan tersebut. isteri, suami mempunyai wanita idaman lain Ayat 2 Penelantaran sebagaimana (WIL), meninggalkan isteri tanpa izin, otoriter, dimaksud pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap berjudi dan mabuk-mabukan, ancaman dengan orang yang mengakibatkan ketergantungan benda atau senjata ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melakukan teror; melarang untuk bekerja yang layak di dalam finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan atau di luar rumah sehingga korban berada di uang belanja secara paksa dari suami; dan 4. bawah kendali orang tersebut. Penganiayaan seksual, dibagi kepada dua Memang kekerasan dalam rumah api, keluarga suami 3. Penganiayaan bentuk, pertama kekerasan seksual berat tangga bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, berupa : bapak, suami, isteri, anak atau pembantu rumah 1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, tangga. Namun secara umum pengertian seperti meraba, menyentuh organ seksual, kekerasan dalam rumah tangga mengalami mencium secara paksa, merangkul serta penyempitan makna yaitu penganiayaan suami perbuatan lain yang menimbulkan rasa terhadap isteri. Hal ini bisa dimengerti karena muak/jijik, terteror, terhina dan merasa kebanyakan korban kekerasan dalam rumah dikendalikan, tangga adalah isteri dan pelakunnya tidak lain adalah suami ”tercinta” The loved husband.9 1. Penganiayaan fisik hubungan seksual tanpa persetujuan isteri atau pada saat isteri tidak Kekerasan dalam rumah tangga dapat berbentuk 2. Pemaksaan (seperti menghendaki, 3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara menampar, pukulan, tendangan, melempar, tidak membenturkan tembok, menyakitkan. Pemaksaan hubungan seksual sundutan rokok, penyiraman dengan cairan dengan orang lain untuk tujuan pelacuran seperti air keras, air cucian dan lain-lain, dan atau tujuan tertentu, cambukan, kepala isteri diinjak-injak, ke dibakar, dicubiti, dicekik, diseret); ancaman, hinaan, merendahkan atau diiris, 4. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik 2. dengan atau tanpa bantuan alat yang Penganiayaan psikis atau emosional seperti intimidasi, disukai, cemoohan, menimbulkan sakit, luka atau cedera, 5. Memaksa isteri melakukan anal seks (memasukkan penis ke dalam anus), oral 9 Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : The Asia Foundation, 1999), hl. 2122 seks (memasukkan penis ke dalam mulut), 44 Yurisprudentia Volume 2 Nomor 1 Juni 2016 6. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali religius, yang membuat hubungan semacam dalam satu waktu yang sama sementara itu tampak alamiah, adil secara moral, dan isteri tidak menyanggupinya, suci. 7. Penggunaan obat memperpanjang perangsang hubungan intim perempuan merupakan konsekuensi dari adanya nilai- tanpa nilai patriarki yang dilestarikan melalui proses sosialisasi dan reproduksi dalam 8. Pemaksaan hubungan seksual pada saat isteri sedang haid/menstruasi; untuk mempertahankan diri. Perempuan di komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dalam kebudayaan patriarkal dihantui oleh (pemaksaan hubungan seksual ketika isteri pesan-pesan tidak pemaksaan meremehkan keberadaan mereka. Budaya hubungan seksual dengan cara yang tidak patriarkhi telah menempatkan isteri sebagai dikehendaki isteri).10 milik suami sehingga senantiasa harus penyiksaan verbal laki memiliki kekuasaan dan kemampuan seperti siap, secara berbagai bentuk oleh masyarakat maupun negara. Nilai-nilai yang membenarkan laki- Kedua kekerasan seksual ringan berupa seksual posisi untuk persetujuan isteri, pelecehan Lemahnya atau yang menegatifkan atau berada dalam pengawasan suami. Jika isteri keliru/salah menurut cara pandang suami, C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut perspektif maka mereka bisa berbuat apa saja agar Farha Ciciek, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan beberapa faktor : bahwa laki-laki dan perempuan tidak setara Munculnya anggapan dalam masyarakat. bahwa posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki atau berada di bawah otoritas dan kendali laki-laki. Hubungan perempuan dan lakilaki seperti ini telah dilembagakan di dalam struktur keluarga patriarkhal dan didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi dan politik dan oleh sistem keyakinan, termasuk sistem 10 termasuk di dalamnya melakukan tindakan kekerasan. 1. Nilai-nilai budaya. Fakta menunjukkan diposisikan sang isteri ”kembali ke jalan yang benar”, 2. Tatanan hukum yang belum memadai. Aspek-aspek hukum, berupa substansi hukum (content of law), aparat penegak hukum (structure of law), maupun budaya hukum dalam masyarakat (culture of law) ternyata tidak memihak terhadap kepentingan perempuan, terutama dalam masalah kekerasan. KUHP yang menjadi acuan pengambilan keputusan hukum dirasakan sudah tidak memadai lagi untuk mencover berbagai realitas kekerasan yang Hadijah dan La Jamaa, Op. Cit. hlm. 54-55. 45 Menelisik Asas Keadilan|Ikhwanuddin Harahap terjadi di masyarakat. Nilai-nilai budaya yang membenarkan perempuan malah posisi subordinat dikukuhkan 4. Persepsi yang keliru. Masyarakat tidak memandang kekerasan dalam rumah tangga dalam sebagai masalah sosial, tetapi persoalan berbagai perundang-undangan, misalnya pribadi suami isteri. Kekerasan dalam dalam UU Perkawinan tahun 1974 yang rumah tangga adalah aib keluarga yang membedakan dengan tegas peran dan harus dibungkus rapi. Isteri tidak memiliki kedudukan antara suami dan isteri. Pasal 31 keberanian untuk menceritakan/melaporkan ayat 3 UU: "Suami adalah kepala keluarga tindak kekerasan suaminya kepada pihak dan isteri adalah ibu rumah tangga". Pasal berwenang karena berbagai alasan dan 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: "Suami wajib pertimbangan. melindungi pembalasan isterinya dan memberikan Seperti suami, tidak isteri takut ada tempat segala sesuatu keperluan hidup rumah berlindung, takut dicemooh masyarakat, tangga sesuai dengan kemampuannya" dan rasa percaya diri yang rendah, kepentingan "Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga anak, dan karena alasan mempertahankan dengan sebaik-baiknya". Terlihat secara lembaga perkawinan. jelas bahwa menempatkan undang-undang isteri secara tersebut 5. Mitos. Persoalan kekerasan dalam rumah ekonomi tangga menjadi semakin parah karena menjadi sangat tergantung kepada suami. 3. Kebudayaan mendorong supaya berkembang di masyarakat bahwa suami bergantung kepada suami secara ekonomi. memukul isteri hanya karena kekhilafan Kondisi sesaat lantaran isterinya itu dianggap terlalu ini membuat isteri hadirnya mitos. Di antara mitos yang isteri hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa isteri. rewel, Termasuk ketimpangan membangkang. Padahal, isteri yang datang ekonomi antara suami dan isteri turut melapor pada umumnya telah mengalami menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam kekerasan dalam kurun waktu yang cukup rumah tangga, di mana lebih banyak para lama. suami isteri, isteri yang melapor karena baru sekali menyelesaikan mengalami perlakuan kekerasan. Mitos konflik/pertengkaran rumah tangga dengan lainnya, selama ini diyakini bahwa isteri cara kekerasan, dan budaya otoritas atau yang disiksa adalah tipe isteri yang pengambil keputusan di tangan suami. pembangkang. Demikian juga korban dan di yang kebudayaan dalamnya bekerja dibanding tidak setia, dan berani Hampir-hampir tidak ditemukan pelaku kekerasan dalam rumah tangga 46 Yurisprudentia Volume 2 Nomor 1 Juni 2016 Artinya ” Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.12 adalah kelompok masyarakat yang tidak terdidik. Faktanya, baik korban maupun pelakunya ternyata berasal dari berbagai kalangan; status sosial, tingkat pendidikan, dan jenis profesi, bahkan tidak jarang pelaku kekerasan justru dari kalangan tokoh masyarakat dan pemuka agama yang terdidik.11 D. Asas Keadilan dan Kesetaraan Gender; Perspektif Islam Namun kalangan fundamentalis, dengan Asas keadilan dan kesetaraan gender adalah merupakan asas kedua dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Asas ini akan ditinjau dari perspektif Islam. mengabaikan konteks sosial ayat-ayat AlQur’an, menggambarkan makhluk superior adalah ide tentang keadilan, ide kesetaraan dan sebagai perempuan-suatu pandangan yang kemudian telah menimbulkan begitu banyak perempuan Diantara core yang dibawa oleh Islam atas laki-laki penderitaan muslim.13 di kalangan Malahan ironisnya superioritas ini lantas dikristalkan dalam kitabkitab fiqih yang menjadi sandaran bagi umat persamaan di antara semua manusia. Islam juga islam.14 Hal senada juga dikemukakan oleh menempatkan Masdar F. Mas’udi bahwa dalam kitab-kitab perempuan pada posisi terhormat, di mana dalam masyarakat jahiliyah posisi kaum perempuan sangat rendah. banyak ayat Al-Qur’an dan hadis nabi yang menunjukkan kesamaan dan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan. Salah satu di kuning pada umumnya menempatkan laki-laki di atas kaum perempuan.15 Dalam shalat misalnya, laki-laki hanya menutup aurat antara pusar dan lutut sementara perempuan menutup seluruhnya kecuali muka dan tangan, laki-laki antaranya adalah firman Allah swt: 12 Q.S. Al-Hujarat: 13 Huzaemah Tahido Yanggo, “Pandangan Islam Tentang Jender”, dalam Mansour Faqih (et al.), Membincang Feminisme : Diskursus Jender Perspektif Islam,: Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hlm. 151-152. 14 Mai Yamani (ed.), Feminisme dan Islam, terj. Purwanto, (Jakarta : IKAPI, 2000), hlm. 37. 15 Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di antara Kitab Kuning”, dalam Mansour Faqih (et all.), Op. Cit., hlm. 167180. 13 11 Farha Ciciek, Op.Cit. hlm. 25-28. 47 Menelisik Asas Keadilan|Ikhwanuddin Harahap sebaiknya shalat di masjid sementara yang lain.17 perempuan sebaiknya di rumah saja. Riffat Hasan menguntungkan satu pihak dan merugikan menyebutkan bahwa Lebih jauh, Elaine Showalter agama telah digunakan sebagai alat penindasan sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Umar ketimbang menyebutkan sebagai sarana pembebasan. bahwa gender tidak hanya gender, yang merupakan sifat yang melekat sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan pada kaum laki-laki dan perempuan yang dari konstruksi sosial-budaya akan tetapi dikonstruksi secara sosial maupun kultural gender merupakan konsep analisis (an analytic seperti laki-laki dikenal kuat dan rasional concept) yang dapat menjelaskan sesuatu.18 sementara perempuan dikenal lemah dan Mainstream gender sesungguhnya irrasional, sebenarnya tidak mempersoalkan secara empiris bergaung pada abad ke-18, jenis kelamin (sex) yang merupakan pensifatan bersamaan dengan semakin populernya arus atau pembagian dua jenis kelamin yang pemikiran ditentukan secara biologis yang melekat pada (enlighment).19 Di mata kaum pemerhati jenis laki-laki gender salah satu penyebab munculnya ketidak perempuan adilan terhadap perempuan adalah karena memiliki rahim, melahirkan dan lain-lain. masyarakat tidak membedakan antara seks dan Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah gender. akibat penyamaan ini, sebagaimana sepanjang tidak melahirkan ketidak adilan telah disebutkan di awal, maka perbedaan gender (gender inequalities). Namun yang gender (gender differentiation) dan peran menjadi persoalan ternyata perbedaan gender gender (gender role) pun sering dianggap telah melahirkan berbagai ketidak adilan, baik sebagai sesuatu yang kodrat dan tidak bisa bagi laki-laki dan terutama kepada kaum dirubah. Padahal, perbedaan dan peran gender perempuan.16 tersebut, sebagai hasil konstruksi sosial dan kelamin memiliki tertentu, sperma Dalam sebenarnya seperti sementara bahasa Al-Qur’an Nasaruddin Umar, mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan baru jaman pencerahan kultural, sering menimbulkan ketidak adilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi dalam bentuk marginalisasi, perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan 16 (discrimination) Mansour Faqih, Op. Cit., hlm. 12. yang 17 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur`an, (Jakarta : Paramadina, 1999), 33-35. 18 Nasaruddin Umar, op.cit hlm. 18-19. 19 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Relasi Jender, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 118. 48 Yurisprudentia Volume 2 Nomor 1 Juni 2016 subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk kerja ganda terhadap perempuan.20 penjatahan uang belanja secara paksa dari Dengan gender, mengacu ketidak pada Kedua, terjadi subordinasi (anggapan diidentifikasi melalui berbagai manifestasi tidak penting). Subordinasi pada dasarnya ketidak adilan, yakni: marjinalisasi (proses adalah keyakinan bahwa salah satu jenis pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan kelamin dianggap lebih penting atau lebih tidak penting), pelabelan negatif (stereotype), utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah kekerasan (violence), dan beban kerja ganda sejak (double burden). Inilah kriteria yang menjadi menempatkan kedudukan dan peran perempuan acuan kaum feminis dalam melihat secara kritis lebih rendah dari laki-laki. Atau adanya setiap aturan sosial tentang relasi laki-laki anggapan bahwa isteri sering diidentikkan dengan perempuan, termasuk yang lahir dari dengan konco wingking atau pelengkap dari doktrin agama. kepentingan laik-laki.22. terjadi (peminggiran/proses gender suami,21. bisa Pertama, adilan paradigma marginalisasi ada pandangan yang Ketiga, pelabelan negatif (stereotype). ekonomi) Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang terhadap kaum perempuan. Dalam banyak individu atau kelompok yang tidak sesuai kasus rumah tangga, bentuk kekerasan yang dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan dialami oleh kaum perempuan atau isteri negatif secara umum selalu melahirkan ketidak adalah membatasi pemiskinan dahulu gerak isteri, adilan. Salah satu stereotipe yang berkembang mengecilkan peran berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi isteri dan sebagainya. Bentuk marginalisasi terhadap salah satu jenis kelamin, yaitu kaum lainnya adalah adanya suami yang melarang perempuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya isterinya untuk membantu beban keluarga diskriminasi dan berbagai ketidak adilan yang dengan bekerja di luar rumah padahal isteri merugikan memiliki kapasitas dan potensi untuk itu, baik pandangan terhadap perempuan yang tugas dan dari segi skill maupun pendidikannya. Atau fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang suami melakukan penjatahan biaya atau belanja berkaitan dengan pekerjaan domestik. menghina/mencemooh, ruang keluarga secara ketat. Hal seperti ini termasuk kaum Keempat, perempuan. kekerasan Misalnya (violence). Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap 20 Mansour Faqih, Op. Cit, hlm. 13-21. Syamsiah Ahmad, “Keperluan Untuk Mengadakan Analisa Secara Spesifik Menurut Jender” dalam T. O. Ihrami, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 171. 21 Farha Ciciek, Op.cit.. hlm. 23-24. Siti Mufidah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta : Kibar Press, 2007), hlm. 58. 22 49 Menelisik Asas Keadilan|Ikhwanuddin Harahap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul demikian dengan laki-laki. Sebab laki-laki pada dalam kekerasan umumnya tidak bekerja ganda, tidak dituntut merupakan terjemahkan dari violence, artinya menyelesaikan tugas-tugas di rumah tangga suatu serangan terhadap fisik maupun integritas sebagaimana perempuan.24 bebagai bentuk. Kata mental psikologis seseorang. Penganiayaan fisik seperti menampar, pukulan, tendangan, melempar, membenturkan ke E. Penutup Semangat tembok; keadilan dan kesetaraan penganiayaan psikis atau emosional seperti gender yang diusung oleh Undang-Undang intimidasi, Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan ancaman, hinaan, cemoohan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga seyogyanya mengecilkan hati isteri. Kelima, beban kerja ganda (double mampu menciptakan rumah tangga yang aman burden). Bentuk lain dari diskriminasi dan dan nyaman bagi semua anggota keluarga. ketidak adilan gender adalah beban ganda yang Keadilan dan kesetaraan gender bukan berarti harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin bahwa kaum perempuan/isteri berkeinginan tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah sama dan setara dalam fungsi, kekuasaan dan tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan kewenangannya dalam rumah tangga, namun dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan lebih kepada keinginan untuk menghapuskan oleh observasi segala bentuk kekerasan yang terjadi di dalam menunjukkan perempuan mengerjakan hampir rumah tangga tersebut. Namun dalam faktanya, 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. kekerasan masih sering terjadi dalam rumah Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain tangga yang berupa marjinalisasi, subordinasi, bekerja di tempat kerja juga masih harus pelabelan perempuan. Berbagai negatif (stereotype), kekerasan tangga.23 (violence), dan beban ganda (double burden). Perempuan pekerja selain dituntut untuk Islam menekankan kesetaraan dan kesamaan mampu fungsi mengerjakan pekerjaan menyelesaikan rumah pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang di masyarakat selalu dan peran antara laki-laki dan perempuan. dipersepsikan sebagai kewajiban isteri-mereka juga harus menunjukkan prestasi kerja yang baik di tempat kerja. Timbullah istilah ”beban ganda” bagi perempuan pekerja dan tidak 23 Mansour Fakih, Posisi kaum Perempuan Dlam Islam; Tinjauan dari Analisis Gender, dalam dalam Mansour Faqih (et al.), Op.Cit. hlm. 46 – 49. 24 Siti Mufidah Mulia, Op. Cit., hlm. 57. 50 Yurisprudentia Volume 2 Nomor 1 Juni 2016 Daftar Kepustakaan Ciciek, Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta : The Asia Foundation, 1999 Fakih, Mansour, Menggeser Konsepsi Jender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 Hadijah dan La Jamaa, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, STAIN Banten Ambon Press, 2007 Irianto, Sulistywati, “Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu Tinjauan Hukum Berspektif Feminis)”, dalam Jurnal Perempuan, Edisi 10 Februari-April, 1999 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Wignjosoebroto, Soetandyo, “Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan” Makalah dalam Seminar Nasional “Islam, Seksualitas dan kekerasan terhadap Perempuan” Yogyakarta, 2729 Juli 2000, tt. Yamani, Mai (ed.), Feminisme dan Islam, terj. Purwanto, Jakarta : IKAPI, 2000 Yanggo, Huzaemah Tahido, “Pandangan Islam Tentang Jender”, dalam Mansour Faqih (et al.), Membincang Feminisme Diskursus Jender Perspektif Islam,: Risalah Gusti, Surabaya, 1996 . Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, tnp, 1999 Mas’udi, Masdar F., “Perempuan di antara Kitab Kuning”, dalam Mansour Faqih (et al.), Membincang Feminisme : Diskursus Jender Perspektif Islam,: Risalah Gusti, Surabaya, 1996. Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Relasi Jender, Bandung : Mizan, 1999 Mulia, Siti Mufidah, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta ; Kibar Press, 2007 Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999 51