1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada dua pilar dalam membangun masyarakat. Pertama, melalui sistem keyakinan. Sistem keyakinan ini adalah agama beserta sistem pendukungnya. Dalam konteks Islam, aqidah beserta syariatnya. Secara umum, ideologi beserta perangkatperangkat struktural dan infrastruktural. Kedua melalui sistem keluarga. Sebuah unit kemanusiaan bukanlah seorang laki-laki atau seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersatu membentuk sebuah keluarga.1 Layaknya air, bagian terkecil dari air bukanlah oksigen atau hidrogen, melainkan persatuan keduanya. Dalam Islam pembentukan sebuah keluarga dengan menyatukan seorang lakilaki dan seorang perempuan diawali dengan suatu ikatan suci, yakni kontrak perkawinan atau ikatan perkawinan. Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari masingmasing pasangan serta perwujudan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bersama. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”2 Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan 1 Mohammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau dengan Hamdalah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal.5 2 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), hal. 117 1 Universitas Sumatera Utara 2 perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan soaial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta bersama maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.3 Allah memerintahkan kaum muslimin agar menikah, seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 32: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lakilaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”4 Ini berarti bahwa pernikahan adalah suatu lembaga yang diperlukan dan suatu keharusan. Al-Qur’an mengutuk pembujangan sebagai hasil perbuatan setan, dan begitu juga Nabi saw. Menikah berarti memenuhi sunnah Nabi yang dianggap penting.5 Bagi orang yang sudah sangat berkeinginan untuk menikah dan mempunyai persiapan mustahab untuk melaksanakan nikah. Demikian menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i, Imam Hambali berpendapat orang yang sangat berkeinginan untuk menikah dan khawatir berbuat zina wajib menikah. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa dalam keadaan apapun nikah adalah mustahab, dan menikah lebih utama dari pada tidak menikah untuk beribadah.6 3 Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hal. 19 4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004), hal.494 Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 51 5 6 Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, Cetakan 13, 2010), hal.338 Universitas Sumatera Utara 3 Dalam Islam, perkawinan memiliki dua fungsi, dan hanya perkawinanlah sarana yang halal dalam mecapai tujuan-tujuan itu.7 Yang pertama adalah yang memenuhi hasrat pasangan, baik yang bersifat fisikal maupun spiritual. Allah SWT berfirman dalam surat ar-Ruum ayat 21: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.8 Kedua adalah untuk prokreasi atau berketurunan. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nahl ayat 72: “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”9 Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.10 Oleh karena itu, pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua belah pihak 7 Hassan Hathout, Panduan Seks Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), hal. 2 Departemen Agama RI, Op.Cit., hal. 572. 9 Ibid., hal.374. 10 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yokyakarta: Andi, 2002), hal. 6 8 Universitas Sumatera Utara 4 agar dapat mencapai tujuan dari pernikahan tersebut. Dengan demikian, perlu adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak baik secara mental maupun material. Untuk menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan pencapaian esensi dari suatu perkawinan, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Salah satu di antaranya adalah ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”11 Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam pelaksanaannya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Sebenarnya untuk mendorong agar orang melangsungkan pernikahan di atas batas umur terendah, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2) telah mengaturnya dengan bunyi: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.”12 Dalam Undang-Undang Perkawinan ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Salah satu asas atau prinsip yang tercantum adalah bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu 11 12 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Op.Cit., hal.119 Ibid., hal.118 Universitas Sumatera Utara 5 harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.13 Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.14 Adapun dalam Islam memang tidak pernah secara sepesifik membahas tentang usia perkawinan. Begitu seseorang memasuki masa baligh, maka sebenarnya ia sudah siap untuk menikah. Usia baligh ini berhubungan dengan penunaian tugastugas biologis seorang suami maupun seorang isteri. Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan pernikahan. Biasanya kedewasaan seseorang dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak wanita sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol berarti ia sudah dewasa. Bagi laki-laki ukurannya dilihat dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks.15 Dalam Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang 13 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 7 Ibid., hal. 8 15 Hilman Hadikusuman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 53 14 Universitas Sumatera Utara 6 No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut oleh Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia yaitu kematangan calon mempelai, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Apabila dalam keadaan yang sangat memaksa perkawinan di bawah umur dapat dilakukan dengan mengajukan dispensasi ke pengadilan agama yang telah ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak laki-laki atau perempuan, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (2). Apabila penetapan izin pernikahan sudah dikeluarkan oleh pengadilan agama, maka kedua mempelai bisa melaksanakan perkawinan. Dalam perkembangannya tidak ada sinkronisasi antara idealitas dan realitas, pada kenyataannya peraturan tersebut memberikan peluang bagi masyarakat untuk tidak mengikuti aturan tersebut dengan catatan adanya suatu alasan yang sangat kuat untuk tidak mengikuti peraturan tersebut seperti terjadinya kehamilan sebelum pernikahan. Islam tidak mengenal dispensasi nikah, akan tetapi dalam mencapai tujuan dilangsungkannya suatu perkawinan, ketentuan batas usia perkawinan dalam Undangundang perkawinan sejalan dengan ketentuan Maqasid asy-Syari’ah yaitu bertujuan mendatangkan maslahah bagi calon suami isteri, dalam rangka memelihara agama, jiwa dan keturunan. Dewasa ini ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi Universitas Sumatera Utara 7 terhadap perkawinan yang berlaku sejak disahkannya UU Perkawinan secara lengkap diatur di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975, yaitu: 1. Pasal 12 menitikberatkan kepada dispensasi bagi anak yang belum mencapai umur minimum, yakni: a. Pernikahan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai. b. Seorang calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5 undang-undang nomor 1 tahun 1974. 2. Pasal 13 mengatur prosedur pemahaman dispensasi bagi anak yang belum mencapai usia minimum, yaitu: a. Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai umur 16 tahun hendak melansungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama. b. Pemohonan dispensasi nikah bagi mereka tersebut pada ayat (1) pasal ini, diajukan oleh kedua orang tua pria ataupun wanita kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya. c. Pengadilan agama setelah memeriksa dalam pesidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan d. Salinan penetapan itu dibuat dan diberikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan melangsungkan pernikahan. Universitas Sumatera Utara 8 3. Demikian pula halnya dispensasi bagi anak yang belum mencapai umur minimum, pasal 14 mengatur pula dispensasi yang berlaku bagi suami yang ingin beristri lebih dari satu. Ketentuan tersebut sebagai berikut: a. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mangajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-alasannya kepada pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan membawa Kutipan Akta Nikah yang terdahulu dan surat-surat lain yang diperlukan. b. Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana yang diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemeritah No. 9 tahun 1975. c. Pengadilan agama dalam melakukan pemeriksaan harus memanggil dan mendengar keterangan istri yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. d. Apabila pengadilan agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang kepada yang bersangkutan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, kajian dalam bentuk tesis mengambil judul “Dispensasi Nikah Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor: 110/Pdt.P/2011/PA-Mdn)”. B. Perumusan Masalah Dari uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas Universitas Sumatera Utara 9 secara lebih mendalam adalah sebagai berikut: 1. Alasan apa yang membenarkan dispensasi nikah dapat dilakukan bagi anak yang masih dibawah umur? 2. Bagaimana prosedur pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama? 3. Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penetapan Pengadilan Agama Nomor: 110/Pdt.P/2011/PA-Mdn tentang dispensasi nikah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan yang membenarkan dispensasi nikah dapat dilakukan bagi anak yang masih dibawah umur. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama 3. Untuk mengetahui dan menganalisis Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penetapan Pengadilan Agama Nomor: 110/Pdt.P/2011/PA-Mdn tentang dispensasi nikah. D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini, akan menguatkan teori bahwa suatu norma hukum wajib ditaati karena norma hukum itu sendiri dibentuk untuk kepentingan manusia. Universitas Sumatera Utara 10 Namun norma hukum itu akan menjadi bermanfaat apabila benar-benar diterapkan atau dilaksanakan. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan kepada masyarakat, para praktisi hukum, dan pemerintah dalam mengembangkan pengetahuan Hukum Perkawinan, khususnya tentang pemberian dispensasi nikah akibat hubungan di luar nikah menurut Hukum Islam. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan pemeriksaan yang telah dilakukan, baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, maka tidak ditemukan penelitian tesis yang berjudul “Dispensasi Nikah Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor: 110/Pdt.P/2011/PA-Mdn)”. Adapun penelitian terkait dengan dispensasi nikah/perkawinan antara lain: 1. Fitri Zakiyah, Nim 087011044, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Nikah Antara Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Perdata BW)”. 2. Ayu Yulia Sari, Nim 097011052, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Universitas Sumatera Utara 11 Hukum Islam dan KUHPerdata)”. 3. Netti, Nim 097011068, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam)”. 4. Panji Aulia Ramadhan, Nim 107011066, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Isteri Atas Harta Bersama Bagi Isteri yang Dicerai dari Pernikahan Siri Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam)”. 5. Syafitri Yanti, Nim 087011120, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Itsbat Nikah dan Kaitannya dengan Status Anak yang Lahir Sebelumnya (Studi pada Pengadilan Agama Kelas IA Medan))”. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,16 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan 16 J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: FEUI, Jakarta, 1996), hal. 203. 17 Ibid., hal. 16. Universitas Sumatera Utara 12 teoritis.18 Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukkan kebenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.19 Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, adapun teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi 18 19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 35. Universitas Sumatera Utara 13 daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam UndangUndang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.20 Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum. 21 Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid)22. Dalam hal mewujudkan keadilan, menurut W. Friedman, suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaanperbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut.23 Roscoe Pond dalam bukunya Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence,24 menyebutkan ada beberapa kepentingan yang harus mendapat perlindungan atau dilindungi oleh hukum, yaitu Pertama, kepentingan terhadap negara sebagai suatu badan yuridis; Kedua, kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan sosial; Ketiga, kepentingan terhadap perseorangan terdiri dari pribadi, hubungan-hubungan domestik, kepentingan substansi. Dari pendapat Roscoe Pond tersebut, dapat dilihat bahwa sangat 20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal. 158. 21 J.B. Daiyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Prennahlindo, 2001), hal. 120. 22 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85. 23 W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7. 24 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hal.298. Universitas Sumatera Utara 14 diperlukannya suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan perseorangan, karena dengan adanya perlindungan hukum akan tercipta suatu keadilan. Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menghendaki setiap perkawinan dicatat oleh petugas yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan dibawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat. Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas bagi yang bersangkutan, keluarga maupun bagi masyarakat, misalnya kapan pihak yang satu menjadi ahli waris pihak yang lain, kapan harta bersama dianggap mulai ada yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hubungan perjanjian yang diadakan oleh mereka atau salah satu dari mereka.25 Adapun akibat hukum dari tidak dicatatnya perkawinan adalah : a. Perkawinan Dianggap tidak Sah menurut dan Undang-Undang No. 1 Tahun 25 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1976), hal. 27. Universitas Sumatera Utara 15 1974. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata antara si anak dengan ayahnya tidak ada. c. Anak dan Ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Berhubungan dengan akibat yang sangat penting dari perkawinan inilah, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu: syaratsyarat perkawinan, pencatatan perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan. Suatu hal yang dapat dimaklumi dalam kaitannya dengan dispensasi nikah akibat hubungan di Luar Nikah dalam kajian ini adalah dengan adanya dispensasi maka perkawinan tersebut dapat dilangsungkan sesuai dengan ketentuan hukum, dan para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut meskipun didahului adanya Universitas Sumatera Utara 16 hubungan di luar nikah memiliki kepastian hukum. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya” berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. Undang-undang secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya. Adapun syarat-syarat yang lebih dititikberatkan kepada orangnya diatur dalam undang-undang sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. 3. Dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang Universitas Sumatera Utara 17 memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Dalam hukum Islam syarat sahnya suatu pernikahan adalah dengan adanya wali dan dua orang saksi, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang “Artinya, tidak sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil”.26 Untuk melaksanakan suatu pernikahan maka harus dipenuhi rukun nikah yang terdiri dari : 1. Sighat (akad) ijab-qabul 2. Wali 3. Dua orang saksi27 Pernikahan atau perkawinan diawali dengan adanya ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diwakili oleh wali yaitu suatu pernyataan dari perempuan sebagai kehendak untuk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Sedangkan qabul adalah penyataan penerimaan dari calon pengantin laki-laki. Pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah disebut wali. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak perempuan. Adapun syarat menjadi wali adalah sebagai berikut: 26 27 Ibid., hal. 31. Sudarsono, Op.Cit, hal. 49 Universitas Sumatera Utara 18 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Islam Baligh Berakal Merdeka Laki-laki Adil Tidak sedang ihram/umrah28 Ketentuan saksi dalam pernikahan harus ada dua orang dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi secara kumulatif, yaitu: 29 1. Baligh 2. Berakal 3. Merdeka 4. Laki-laki 5. Islam 6. Adil 7. Medengar dan melihat 8. Mengerti maksud ijab qabul 9. Kuat ingatannya 10. Berakhlak baik 11. Tidak sedang menjadi wali. Menurut Syekh Jaad Al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, membagi ketentuan yang mengatur pernikahan pada 2 (dua) kategori yaitu: 30 1. Peraturan Syara’, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syari’at Islam yaitu adanya ijab kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecapakan untuk melakukan akad menurut hukum syara’, serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baliq. 2. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi 28 Ibid, hal. 50 29 Ibid, hal. 51. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer : Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN dan Balitbang DEPAG RI, 2002), hal. 33-34 30 Universitas Sumatera Utara 19 tercatat dengan memakai surat akad nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Secara administratif ada peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perkawinan yang telah melalui pencatatan adanya kemaslahatan bagi umum, artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan. Sebab menurut hukum positif Indonesia, perkawinan dibawah tangan itu tidak diakui sama sekali. Ikatan perkawinan diakui secara hukum hanya jika dicatat oleh petugas yang ditunjuk oleh kantor urusan agama (KUA). Dari penjelasan-penjelasan tersebut jelaslah bahwa sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah "perkawinan yang tidak dicatatkan atau kawin di bawah tangan" dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-undang perkawinan Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Istilah perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja perkawinan yang tidak dicatatkan yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan perkawinan yang tidak dicatatkan pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun perkawinan yang tidak dicatatkan yang dikenal oleh Universitas Sumatera Utara 20 masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.31 Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah satu bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia jadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, 31 Devita, “Akibat Perkawinan yang tidak dicatatkan”, http://irmadevita.com/2009/akibathukum-dari-nikah-siri, dikutip tanggal 27 Februari 2013. Universitas Sumatera Utara 21 sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan maka orang yang meperkawinan yang tidak dicatatkan tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan yang tidak dicatatkan tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan tersebut. Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, meski secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukurn yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum negara. Akibat hukum perkawinan tersebut berdampak sangat merugikan bagi isteri dan perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diperoleh oleh suami atau istri sangat berbeda cenderung banyak merugikan pihak si istri, terutama jika terjadi perceraian. Apabila dibandingkan dengan perkawinan yang tercatat, maka jika terjadi perceraian kedua belah pihak memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Perbedaan utama dalam kedua macam perkawinan ini adalah soal pencatatan. Pada perkawinan yang tidak dicatatkan karena perkawinan itu tidak tercatat, maka kalau terjadi perceraian pun hanya dilakukan menurut tata cara agama, yaitu pengucapan talak yang disaksikan oleh dua saksi. Jadi tidak perlu melalui proses pengadilan sebagaimana perkawinan yang tercatat.32 32 http://www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/perkawinan/perk_dibawahtangan.htm, “Perkawinan di Bawah Tangan”, dikutip tanggal 21 Pebruari 2013. Universitas Sumatera Utara 22 Namun tidak demikian halnya dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Jika terjadi perceraian maka akan sangat merugikan pihak isteri. Oleh karena perkawinan yang tidak dicatatkan, maka dari perceraian itu si istri tidak akan mendapatkan hak apapun. Menurut pasal 6 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang tidak tercatat atau yang tidak dapat dibuktikan dengan surat nikah, tidak mempunyai akibat hukum apapun. Artinya jika suami atau istri tidak memenuhi kewajibanya, maka salah satu pihak tidak dapat menuntut apapun ke pengadilan, baik mengenai nafkah termasuk anak yang lahir atau harta bersama yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung. Bahkan jika salah satu pihak meninggal dunia (suami/istri) maka ia tidak dapat mewaris dari si istri atau suaminya itu. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini risiko hukumnya sangat tinggi dan sangat merugikan kaum perempuan terutama pada anak-anak yang telah dilahirkan. Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal. Anak dalam bahasa Arab disebut “walad” yang merupakan satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah SWT yang sedang menempuh perkembangan ke arah abdi Allah yang saleh.33 2. Konsepsi Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diartikan sebagai “kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional”.34 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.35 Dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau 33 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta: Pustaka Bangsa, 2003), hal. 81. 34 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 34 35 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Medan: PPs-USU, 2002), hal.35. Universitas Sumatera Utara 23 definisi operasional sebagai berikut : 1. Hukum yaitu norma atau kaedah, yaitu tolak ukur, patokan pedoman yang digunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. 2. Dispensasi pernikahan adalah penyimpangan atau pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.36 3. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.37 4. Pencatatan Perkawinan adalah suatu tindakan dari instansi yang diberikan tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian dalam buku register dan dilakukan menurut ketentuan yang berlaku.38 5. Hubungan Luar Nikah adalah suatu hubungan antara perempuan dan laki-laki yang dilakukan tanpa ada perkawinan yang mengikatnya. 6. Hukum Islam yaitu kaidah yang dijadikan patokan perbuatan manusia, baik beribadah dan bermuamalah. Dalam hukum Islam dibagi kedalam lima kaidah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.39 7. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah undang-undang yang mengatur perihal perkawinan secara nasional. 36 Sudarsono, Op. Cit., hal.26. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 38 Arso Sastroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 31. 39 Muchsin, Masa depan hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: BP Iblam, 2004). Hal. 11. 37 Universitas Sumatera Utara 24 G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yang dalam hal ini mengkaji kaedah hukum yang berlaku. Hasil dari kajian ini bersifat deskriptif analisis. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.40 Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis). Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui 40 Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal 3. Universitas Sumatera Utara 25 penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya. 3. Sumber Data Data dalam yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari sumber data sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perkawinan, Hukum Perkawinan, Pencatatan Perkawinan dan sebagainya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain berupa buku atau literatur, tulisan atau pendapat para pakar yang dituangkan dalam makalah-makalah (artikel) tentang Hukum Perkawinan, Penetapan Pengadilan Pengesahan Perkawinan Adat, dan dokumendokumen lain yang terkait dengan pembahasan yang akan ditulis, yang diperoleh dari instansi-instansi atau lembaga-lembaga terkait baik secara langsung ke instansi atau lembaga tersebut, maupun melalui website atau internet. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum. 4. Alat Pengumpulan Data Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data Universitas Sumatera Utara 26 yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi segala jenis peraturan perundang-undangan (hukum normatif) yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti. Bahan hukum sekunder meliputi pendapat para pakar hukum yang bersumber pada buku-buku berisi teori yang ditulis oleh pakar hukum. b. Wawancara (interview), yang dibantu dengan pedoman wawancara, yaitu dengan mengadakan wawancara dengan narasumber atau informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini, seperti Pejabat/Staff Pengadilan, dan lain sebagainya untuk mengetahui lebih mendalam dan rinci tentang hal-hal yang tidak mungkin dijelaskan dan ditemukan jawaban nantinya. Sehingga dengan adanya wawancara diharapkan diperoleh dapat mendukung data sekunder. 5. Analisis Data Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.41 Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif. Kegiatan analisis 41 Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal. 101. Universitas Sumatera Utara 27 dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundangundangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporanlaporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Universitas Sumatera Utara