Untitled - AIFIS

advertisement
Vol. XIV, No. 2, Juli 2013
Penanggung Jawab
Saifan Nur
Ketua Penyunting
M. Alfatih Suryadilaga
Sekretaris Penyunting
Robby H Abror
Penyunting Pelaksana
M. Ali Imron
Saifuddin Zuhri
Roma Ulinnuha
Pelaksana Tata Usaha
Nur Aini
Suhartanto
Esensia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin adalah
jurnal independen yang memfokuskan kajiannya
pada ilmu-ilmu ke-ushuluddin-an. Jurnal
Esensia diterbitkan untuk mempublikasikan
karya tulis para intelektual yang menekuni
bidang ilmu-ilmu keushuluddin-an seperti,
Kalam, Tasawuf, Filsafat Islam, Tasir-Hadits,
Perbandingan Agama, Studi Agama-agama dan
Pemikiran Islam.
Esensia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin
diterbitkan pertama kali pada bulan Februari
tahun 2000 oleh Fakultas Ushuluddin, Studi
Agama, Dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan terbit dua kali dalam
satu tahun pada bulan Januari dan Juli.
Alamat Redaksi
Fakultas Ushuluddin, Studi Agama Dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda
Adisucipto Yogyakarta Telp. (0274) 512156,
e-mail: [email protected]
Daftar Isi
Dualisme Agama: Menilik Peranannya
Kesengsaraan
Haidi Hajar Widagdo | 145 – 160
atas
Kedamaian
dan
Teologi Sosial; Keniscayaan Keberagamaan yang Islami Berbasis
Kemanusiaan
Alwi Bani Rakhman | 161 – 182
Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban
Arif Nuh Safri | 183 – 202
Dialog Interreligius-kultural dan Civil Religion (Studi atas Paguyuban
Ngesti Tunggal (Pangestu)
Muryana | 203 – 216
Ayat-ayat Perdamaian: Dekonstruksi Tafsir ala Jane Dammen
McAuliffe
Fadhli Lukman | 217 – 238
Kontekstualisasi Zakat Dan Perubahan Sosial:Analisis Transformasi
Sosial dengan Pendekatan Wacana Keagamaan
Arif Widodo | 239 – 252
Umar Bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis
Saifuddin Zuhri Qudsy | 253 - 272
Editorial
A
gama diyakini sebagai petunjuk bagi para pemeluknya sebagai jalan
menuju kebahagiaan. Di dalam agama ada sebuah sistem dan
norma-norma yang berlaku bagi para pemeluknya yang harus
dijalaninya. Bahkan agama selalu dituntut untuk dapat memberikan andil
dalam penyelesaian problem-problem yang dihadapi oleh pemeluknya.
Bukan sebaliknya, agama justru menjadi sumber konflik seperti akhir-akhir
ini konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atas nama agama marak
berkembang. Agama seharusnya menjadi sumber inspirasi utama dalam
menyelesaikan konflik. Disisi lain, di masyarakat ada sebuah norma-norma
selain dari agama yang masih dijalankan oleh masyarakat, salah satunya
adalah seperti budaya kearifan lokal. Budaya Kerifan lokal biasanya dapat
dijumpai dalam bentuk kebiasan-kebiasan hidup asyarakat yang telah
berlangsung cukup lama. Kearifan lokal yang telah menjadi kebiasankebiasan hidup masyarakat tercermin dalam bentuk nilai-nilai atau normanorma yang berlaku di masyarakat atau kelompok tertentu. Kearifan lokal
dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan masyarakat kelompok setempat
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud
dengan kearifan lokal adalah suatu pandangan hidup dan ilmu pengetahuan
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka. Sedangkan agama, terutama di Indonesia nyaris mustahil
untuk dipisahkan dari budaya kerarifan lokal yang ada.
Esensia pada edisi kali ini hadir dengan tema Agama dan Kerifan Lokal.
Jika melihat sejarah, agama Islam ternyata memiliki warisan kearifan lokal
yang cukup kaya yang sampai hari ini masih dipelhara. Hal inilah yang
dikemukakan oleh Syaikhuddin dengan judul Kearifan Dialogis Nabi atas
Tradisi Kultural Arab Sebuah Tinjauan Hadis. Artikel ini menjelaskan
bahwa ternyata banyak sekali tradisi-tradisi lokal arab jahiliyah klasik yang
dipertahankan dan secara arif dilestarikan oleh Nabi. Seperti pelaksanaan
ibadah haji, aturan hukum pernikahan, kematian, penggubahan syair, dan
lain-lain. Semua ini bisa ditemukan dalam banyak hadisnya yang tersebar
dalam kitab-kitab hadis. Yang dilakukan Nabi ini adalah dalam rangka
melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal Arab,
hal tersebut dilakukan supaya budaya lokal Arab tidak hilang. Kemudian
mengenai hubungan antara agama dengan kearifan lokal dibahas oleh
Agung Setiyawan dengan judul Budaya Dalam Perspektif Agama Legitimasi
Hukum Adat (‘Urf) dalam Islam. Artikel ini berusaha untuk menjelaskan
mengenai definisi kearifan lokal serta meninjau hubungannya dengan agama
Islam. Islam dengan ajarannya yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan penuh
toleransi memandang tradisi yang belaku di masyarakat secara selektif.
Kearifan lokal bisa dipelihara dan dilestarikan selama sesuai dan tidak
bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan kearifan lokal atau yang juga bis
adisebut dengan istilah ‘urf dapat menjadi salah satu dasar pengambilan
hukum.
Selanjutnya Habib Shulton Asnawi membahas mengenai budaya
patriarkhisme sebagai kearifan budaya lokal yang cukup lama dan masih
dipertahankan sampai saat ini. Artikel dengan judul Membongkar
Patriarkhisme Islam Sebagai Kearifan Budaya Lokal: Sebuah Kritik
Terhadap UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini menyinggung
bahwa yang dimaksud dengan patriarkhisme Islam di sini bukan bentuk
tuduhan bahwa Islam itu agama yang patriarkhi. Patriarkhisme Islam disini
adalah sebuah cara pemaknaan oleh kalangan tertentu, karena akibat budaya,
politik, peran sosial dan sejarah tertentu, yang menghasilkan pernyataan
bahwa Islam itu agama yang memihak kepada ideologi patriarkhi. Ideologi
patriarkhi ini menganggap bahwa kaum perempuan sebagai makhluk yang
lebih rendah kedudukannya dari pada kaum laki-laki. Hal ini membentuk
dan mempengaruhi sebuah paradigma yang dapat meruginan kaum
perempaun dalam perumusan undang-undang khususnya adalah UU. No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat dari UUP tersebut, banyak kaum
perempuan di Indonesia, mengalami diskriminasi dan ketidak-adilan, hal ini
tentu sebuah pelanggaran HAM.
DUALISME AGAMA :
Menilik Peranannya atas Kedamaian dan Kesengsaraan
Haidi Hajar Widagdo
Abstract
Agama memainkan peran penting dalam kehidupan manusia, sebagai
sesuatu yang memiliki fungsi pengatur kehidupan manusia, agama
seharusnya membawa kepada perdamaian serta kasih sayang, namun dalam
kenyataan seringkali agama berubah fungsi. Layaknya dua sisi mata uang.
Agama yang awalnya menjadi sumber kedamaian dan kebahagiaan,
seringkali berubah menjadi sumber ketegangan, teror yang menakutkan.
Vandalisme dan tindakan kekerasan lainnya sering kali beratasnamakan
agama. Otoritas keagamaan disalahgunakan dan itu terjadi berulang-ulang,
dan akhirnya kesucian agama itu ternodai. Pemaknaan nilai agama sebagai
sebuah entitas yang membawa perdamaian harus disadari kembali, sehingga
agama dapat kembali ke fungsi awalnya sebagai pusat kedamaian.
Religion plays an important role in human life, as something that has a
regulatory function of human life, religion should lead to peace and love,
but in reality often religious change function. Like the two sides of the coin.
Religion is initially a source of peace and happiness, often turn out to be a
source of tension, terror scary. Vandalism and other acts of violence often
beratasnamakan religion. Religious authority abused and it happens over
and over again, and finally the sanctity of religion was tainted. Meaning of
religious values as an entity that brings peace have to realize again. Thus,
religion can be returned to the original function as a center of peace.
Kata kunci: Dualisme, Agama, Perdamaian, Kekerasan
146 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
A. Pendahuluan
A
gama apapun pada dasarnya punya maksud dan tujuan yang sama
yakni menciptakan perdamaian dan kebahagiaan pada makhluk
hidup di dunia.1 Terbukti tidak ada satupun dalam ajaran agama
manapun yang menekankan kepada pengikutnya untuk bertindak kasar,
keras bahkan kejam kepada sesama makhluk terutama kepada manusia.
Islam, sebagai salah satu diantara beberapa agama besar di dunia – bersama
kristen, yahudi, budha dan hindu – termasuk agama yang menekankan kasih
sayang kepada sesama manusia ataupun kepada makhluk Tuhan yang lain,
baik itu hewan ataupun tumbuhan. Bahkan, Islam sendiri melarang keras
menganiaya, ataupun menghilangkan jiwa makhluk lain tanpa sebab yang
jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.2
Sayangnya, dilapangan kenyataan berbeda sering kali ditemukan,
agama yang harusnya mencegah manusia dari permusuhan, pertikaian,
bahkan pembantaian, justru menjadi salah satu alasan pembenaran dalam
melakukan berbagai aksi radikal bahkan sampai ke tingkat ekstrem tersebut.
1
Mengenai apa yang dimaksud agama dalam hal ini, adalah dengan merujuk pada
pengertian yang terdapat dalam Encyclopedia Brittanica, yakni sesuatu yang berkaitan
dengan apa yang dianggap oleh manusia sebagai hal-hal suci, sakral, spiritual, atau ilahi.
Agama umumnya dianggap sebagai hubungan manusia dengan Tuhan atau dewa atau roh.
Elemen paling dasar dalam agama adalah ritual ibadah. Lihat selengkapnya pada DVD
Encyclopedia Brittanica Ultimate Reference Suite 2013, (Encyclopedia Brittanica Inc.
2013), h. Religions Article. Sedangkan, menurut salah satu tokoh islam Indonesia, Prof. Dr.
Harun Nasution, Agama dapat diartikan sebagai ikatan yang berasal dari satu kekuatan yang
lebih tinggi dari manusia yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera dan mempunyai
pengaruh besar dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 10
2
Lihat Q.S Al-An’am ayat 151,
ٰ‫ٱ‬ٰٰ ٰٰ‫ٱ‬ٔ‫ۦ‬
‫ۦ‬ٰٰ ‫ٱ‬‫ٱ‬‫ٱ‬‫ٱ‬
“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu
supaya kamu memahami(nya).” Ayat ini menerangkan bahwa Tuhan mengajarkan beberapa
hal yang diharamkan atas makhluknya untuk mereka lakukan, (1) Larangan
mempersekutukan Tuhan dengan apapun, (2) membunuh anak-anak, (3) melakukan
perbuatan keji apapun bentuknya, dan (4) larangan membunuh tanpa sebab.
Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama |
147
Mereka – para pelaku kejahatan – berdalih bahwa mereka bertindak untuk
agama dan Tuhan mereka. Jiwa manusia yang seharusnya haram
dihilangkan tanpa sebab yang jelas, dengan mudahnya hilang dan tercabut
begitu saja, hanya karena perbedaan-perbedaan yang semestinya masih bisa
dikompromikan
di
tolerir
keberadaanya.
Perbedaan-perbedaan
keberagamaan antara satu orang dengan yang lainnya, yang awalnya –
dalam islam – menjadi rahmat3 justru menjadi alat untuk melaknat orang
lain.
Perbedaan sebenarnya merupakan salah satu sisi keindahan dari
kehidupan di dunia, ketika seseorang mendapati perbedaan antara satu
dengan yang lainnya, baik itu dalam ranah pendapat, keadaan sosial, hingga
perbedaan tentang keyakinan seharushnya mereka menghormati perbedaan
tersebut. Ketika perbedaan tersebut disikapi dengan bijak maka rahmat
seperti yang terdapat dalam suatu riyawat yang dinisbatkan kepada nabi
saw akan terwujud, namun sebaliknya ketika perbedaan itu disikapi dengan
keonaran, dengan melakukan perbuatan makar, keji hingga melakukan
3
Terkait tentang pernyataan perbedaan adalah rahmat, terdapat riwayat populer yang
dinisbatkan ke rasulullah yang menyatakan bahwa perbedaan itu rahmat, redaksi hadisnya
adalah ‫ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﻣﱴ ﺭﲪﺔ‬menurut Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Hadis-Hadis Bermasalah,
dengan merujuk kepada pendapat al-Sakhawi (w. 902 H) yang kemudian diikuti oleh al‘Ajluni (w. 1162H) riwayat tersebut merupakan penggalan hadis yang cukup panjang, hadis
tersebut sebagai berikut : ‫ﺔﹲ ﻓﹶﺈﹺﻟﹶﻢ‬‫ﻴ‬‫ﻀ‬‫ﻰ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ﺔﹲ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﷲِ ﻓﹶﺴ‬‫ﺘ‬‫ﻰ ﻛ‬‫ﻜﹸﻦ ﻓ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻟﹶﻢ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ﺮﻛ‬‫ﻦ ﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺄﹶ ﺣ‬‫ﻟ‬‫ﺬﺭ‬‫ ﻻﹶ ﻋ‬‫ﻞﹸ ﺑﹺﻪ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﷲ ﻓﹶﺎﻟﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻦ ﻛ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ﻴﺘ‬‫ﺎ ﺃﹸﻭﺗ‬‫ﺤﻤ‬‫ﻣ‬
‫ﺔ‬‫ﲪ‬‫ﺎﺑﹺﻲ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺭ‬‫ﻠﹶﺎﻑ ﺃﹶﺻﺤ‬‫ﺧﺘ‬‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬‫ﻳﺘ‬‫ﺪ‬‫ ﺍﻫﺘ‬‫ﻢ ﺑﹺﻪ‬‫ﺬﺗ‬‫ﺎ ﺃﹶﺧ‬‫ﺎﺀ ﻓﹶﺄﹶﳝ‬‫ﻤ‬‫ﻰ ﺍﻟﺴ‬‫ﻮﻡﹺ ﻓ‬‫ﺠ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﱰﹺﻟﹶﺔ‬‫ﺎﺑﹺﻲ ﺑﹺﻤ‬‫ﺎﺑﹺﻰ ﺇﹺﻥﱠ ﺃﹶﺻﺤ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺻﺤ‬‫ﺔﹲ ﻓﹶﻤ‬‫ﻨ‬‫ﻜﹸﻦ ﺳ‬‫ ﺗ‬dan telah
mengalami sedikit perubahan redaksi yang semula ‫ ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﺻﺤﱯ ﻟﻜﻢ ﺭﲪﺔ‬menjadi ‫ ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﻣﱴ ﺭﲪﺔ‬.
Selain itu, Ali Mustafa Ya’qub juga memaparkan pendapat pakar hadis masa kini al-Albani
yang menyatakan bahwa kedua hadis tersebut tidak lah sama, melainkan masing-masing
berdiri sendiri. Dalam segi kualitas sanad dan rawinya, hadis tersebut bermasalah karena
pada penggalan hadis yang pertama yakni ‫ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﻣﱴ ﺭﲪﺔ‬tidak dapat disebut sebuah hadis
karena tidak memiliki sanad, sedangkan pada hadis yang kedua yakni ‫ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﺻﺤﱯ ﻟﻜﻢ ﺭﲪﺔ‬
meskipun memiliki sanad, namun berkualitas dha’if, karena ada perawi yang bermasalah
yaitu, Sulaiman ibn Karimah (dha’if hadisnya), Juwaibir atau Ibn Sa’id al-Azdi (tertuduh
matruk/pendusta), dan al-Dhahhak atau Ibn Muzahim al-Hillali (Munqati’/terputus,
dikarenakan tidak pernah bertemu dengan Ibn ‘Abbas). Sebab itulah menurut Ali Mustafa
Ya’qub hadis ini tidak mampu dijadikan dalil sama sekali, karena tidak memenuhi dua
kualifikasi hadis secara umum. Selengkapnya baca, Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis
Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 8-12. Baca juga Muhammad ibn Abd-alRahman, al-Sakhawi, Maqashid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979) h. 2627, dan Ismail ibn Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Illbas, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1983) I, 66-68. Baca juga Muhammad Nashir-al-Din al-Abani, Silsilah
al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1992), I. 141, 156
148 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
pembunuhan dengan dalil agama sebagai pembenarannya, maka kata rahmat
dalam riwayat diatas tersebut lebih tepat jika diartikan dengan laknat.
B.
Atas Nama Agama
Benjamin Franklin, seorang ilmuwan asal Amerika Serikat,4 pernah
mengatakan “if men are so wicked as we now see them with religion, what
would they be if without it”.5 Kutipan ini seperti berisikan kegelisahan
seorang Benjamin Franklin tentang fungsi agama, dimana agama
seharusnya dapat membantu manusia untuk memfilter dirinya untuk tidak
melakukan kejahatan. Agama pun semestinya menawarkan keselamatan
dalam arti pembebasan dari kejahatan dan akibat-akibat dari kejahatan
maupun dalam arti mencapai keadaan kebahagiaan sempurna yang
mengatasi warna, perubahan, dan kematian.6
Dalam konteks keduniaan, tentulah di dunia ini tidak hanya terdiri dari
satu atau dua agama saja, melainkan masih ada agama-agama lain, yang
menghiasi jalan kehidupan manusia, dan ketika berbicara masalah
keberagamaan, tentulah tidak bisa lepas dengan kata pluralisme.7
Keragaman dalam keberagamaan inilah yang sering kali memicu konflik
sosial di masyarakat, baik itu yang berpangkal dari satu kepentingan
4
Benjamin Franklin, seorang tokoh multi-talent dari Amerika Serikat lahir di Boston
pada 6 Januari 1706, merupakan anak bungsu dari 17 bersaudara, putus sekolah ketika
berusia 10 tahun, pernah bekerja sebagai penulis di perusahaan koran “New England
Courant”, dan sempat pula bekerja di penerbitan Almanack. Selain itu, dia juga merupakan
penemu alat penghantar petir. Beliau pun sempat menjadi anggota Komite Kongres
Kontinental dan pernah terlibat dalam Perjanjian Antara Paris dengan Amerika. Beliau
meninggal dunia pada tahun 1790 pada bulan April. Selengkapnya baca Charles W. Eliott,
The Autobiography of Benjamin Franklin, ( Pensylvania: The Pensylvania State University’s
Electronic Classics Series, 2007), baca juga James Campbell, Recovering Benjamin Franklin:
An Exploration of a Life Science and Service, (Illinois: Caruss Publishing Company, 1999),
h. 10-19
5
James Campbell, Recovering Benjamin Franklin:.., h. 133
6
Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religions, diterjemahkan oleh Kelompok
Studi Agama “Driyarkara”, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 294
7
Pluralisme merupakan kata serapan dari bahasa inggris pluralism, dimana kata plural
sendiri memiliki makna lebih dari satu. Dengan pengertian ini, kata pluralism jika
disandingkan dengan agama sebagai predikatnya, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan pluralisme agama yakni suatu gagasan bahwa agama di dunia merupakan persepsi
dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam
terhadap The Real atau The Ultimate dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi.
Lihat John Hick, An Interpretation of Religions: Human Responses to The Transcendent,
dalam catatan kaki, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta:
Perspektif, 2005), h. 15
Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama |
149
(vested-interest), pemahaman agama yang sempit, maupun dari supremasi
kultur budaya masyarakat. Pluralisme adalah suatu kewajaran dan
merupakan bagian dari sunnatullah,8 karena itulah pluralisme bukan harus
dihindari ataupun diabaikan. Agama adalah sesuatu yang sangat rentan akan
konflik, pada saat keragaman dalam keberagamaan itu “ditiadakan” maka,
konflik pun terjadi.
Berbagai contoh telah banyak terjadi dilapangan, dari kasus terorisme
yang menyatakan klaim kebenaran suatu agama hingga kasus perselisihan
hanya dikarenakan perbedaan pemikiran atas pemahaman dalil keagamaan.9
Agama seharusnya tidak dipilah menjadi segi peribadatan atau segi moral,
melainkan keduanya harus berjalan beriringan. Seseorang yang beragama
perlu membangun suatu pemahaman yang utuh serta mengembangkan sikap
bijaksana dalam menyikapi perbedaan, sehingga suatu perbedaan – baik
perbedaan agama maupun perbedaan pemahaman atas suatu dalil
keagamaan - yang terjadi di masyarakat akan menjadi kekuatan yang
sinergis, saling mengisi dan melengkapi dalam membangun peradaban masa
depan.
Agama : Peacemaker atau Troublemaker
Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa agama memiliki dua sisi
yang tidak bisa dipisahkan, satu sisi mengajarkan perdamaian dan
kebahagiaan, namun disisi lain, mampu menggerakkan teror, dan bahaya
laten bagi umat manusia. Islam yang notabenenya adalah agama rahmat dan
kasih sayang pun mampu berubah menjadi agama keji dan mengandung
teror apabila dipahami secara sempit dan tertutup.
C.
Agama sebagai Peacemaker
Agama pada intinya mengemban misi untuk mengajak pada
keselamatan, dan Islam, sebagai agama dengan penganut terbesar kedua
1.
8
Keragaman dalam bentuk apapun – baik itu yang berkaitan dengan SARA atau pun
lainnya sudah tercantum dalam Alquran, lihat surah al-Maidah ayat 48 dan surah al-Hujurat
ayat 13. Pada kedua surah tersebut dinyatakan bahwa Allah memang secara sengaja
menciptakan keragaman di dunia ini.
9
Kasus semacam ini hampir terjadi dipelosok dunia, tidak terkecuali di Indonesia,
suatu negara yang diklaim sebagai “pemilik” pengikut agama Islam terbesar di dunia. Kasus
teror di Bali, pemboman jamaah sholat jumat di Polres, hingga kasus penganiayaan dan
penghancuran masjid, jamaah Ahmadiyah dan Syi’ah.
150 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
setelah Nasrani10 pun mengajarkan tentang keselamatan dan kebahagiaan
bagi penganutnya. Bagi seorang muslim, Islam yang diajarkan melalui
Muhammad saw. adalah agama rahmat, yang cakupannya meliputi alam
raya.
ٰٰ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam”11
Islam juga mengajarkan untuk tidak membeda-bedakan kondisi
masyarakat, kesamaan derajat manusia adalah mutlak, dengan memakai
tauhid sebagai pondasi utama bangunannya. Tauhid dalam Islam tidak
hanya sekedar mengesakan Allah sebagai Tuhan alam semesta, melainkan
juga meyakini kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan
kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of
guidance), kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life), yang
kesemuanya ini merupakan derivasi kesatuan ketuhanan.12 Dengan kata
lain, doktrin tauhid menolak segenap varian diskriminasi baik bentuk ras,
kasta, maupun kelas.13 Konsep tauhid dengan ini dapat menjamin suatu
tatanan masyarakat yang adil sejahtera dapat dibangun dengan
membebaskan anggotanya dari penghisapan, feodalisme, dan penolakan
terhadap perbedaan ras, kelas dan lain-lain.14
Senada dengan Islam, agama Kristen pun melalui Yesus mencontohkan
kepada manusia untuk tidak melawan kejahatan dengan kejahatan, pada
satu ayat justru dianjurkan ketika seseorang menampar orang lain, maka
orang yang ditampar tersebut di anjurkan menyerahkan pula sisi pipi yang
10
Data berdasarkan sumber yang didapat dari http://www.pewforum.org/globalreligious-landscape-exec.aspx, dimana dikatakan Nasrani mempunyai penganut terbanyak di
dunia dengan persentasi 31,5%, diikuti oleh Islam diurutan kedua dengan persentase 23,2%,
sedangkan Yahudi berada di posisi terakhir dengan persentase hanya 0,2%. Sumber diakses
pada bulan Maret 2013 pukul 21.30 WIB
11
Q.S Al-Anbiya : 107
12
Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1995), h. 18, dalam catatan kaki,
Munir Che Anam, Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat tanpa kelas,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008) h. 159
13
Munir Che Anam, Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat tanpa kelas,
h. 159
14
Howard M. Federspiel, Muslim Intelectuals and National Development in Indonesia
(New York: Nova Science Publisher, 1991) h. 69, dalam catatan kaki, Munir Che Anam,
Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat tanpa kelas, h. 159
Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama |
151
lain.15 Meskipun dunia biasanya beranggapan bahwa kejahatan orang lain
harus dibayar dengan perlawanan sekuat tenaga dan dengan cara apapun.16
Yesus justru memberikan hal yang sebaliknya, dimana musuh-musuh yang
seharusnya menjadi lawan, malah diperlakukan sebagai kawan dan
mendoakan mereka agar mendapat kebaikan dan petunjuk.17 Konsep yang
tidak kalah serupa pun terdapat dalam agama Hindu. Terdapat suatu
riwayat yang menceritakan kisah hidup seorang yogi,18 yang ketika itu
sedak duduk bersemedi di pinggiran sungai gangga, sewaktu saat ia melihat
seekor kalajenking terjatuh ke dalam air di hadapannya. Ia memungut
kalajengking tersebut, akan tetapi kalajengking itu justru menyengat yogi
tersebut, dan kalajengking itu terjatuh kembali. Sekali lagi, yogi menolong
kalajengking dan kembali kalajengking itu menyengatnya kembali.
Kejadian itu berulang hingga dua kali, dan baru setelah itu ada seseorang
yang melihat kejadian tersebut, seraya bertanya kepada yogi itu, “mengapa
anda terus juga menolong kalajengking itu, padahal satu-satunya rasa
terimakasih yang ditunjukkan kalajengking itu adalah dengan menyengat
anda ?”. “Memang, sifat kalajengking adalah menyengat” demikian jawab
15
Al-Kitab, Injil Matius : 5:39, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu
melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi
kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”, dalam Al-Kitab Online, pada
http://www.jesoes.com, diakses pada Maret 2013
16
Huston Smith, The Religions of Man, (New York: Perrenial Library, ) diterjemah
oleh Bahar Saafroedin, dengan judul Agama-Agama Manusia, (Jakarta; Yayasan Obor
Indonesia, 2001), h. 360-361
17
Konsep ajaran semacam ini juga dipraktekkan dalam Islam, dimana sejarah mencatat
ketika Muhammad saw pada awal penyebaran Islam ke luar kota Mekkah diperlakukan oleh
penduduk Thaif dengan tidak wajar, dengan cara melempari beliau dengan batu, hingga
berdarah. Setelah kejadian itu, datanglah malaikat menawarkan bantuan untuk
membinasakan penduduk di wilayah tersebut. Muhammad saw dengan penuh kesadaran
menolak tawaran tersebut seraya berharap agar Tuhan memberikan petunjuk-Nya kepada
mereka. Baca selengkapnya, Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, ar-Rahiiq al-Makhtuum;
Biography of the prophet, diterjemah oleh Nayla Putri, Sirah Nabawiyah; Biography of the
Prophet, (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 173-182.
18
Yogi merupakan kata yang berasal dari bahasa sanskerta, yang berarti sebuah istilah
untuk pelaku (pria) berbagai bentuk pelatihan spiritual, atau dengan kata lain disebut sebagai
seorang pertapa atau pendeta dalam agama Hindu. Lihat Tim Penyusun Pusat Bahasa
Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1820, dan lihat juga,
Purwadi, dan Eko Priyo Purnomo, Kamus Sanskerta Indonesia, (Yogyakarta;
BudayaJawa.Com, 2008), h. 167
152 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
yogi, “sedangkan sifat para yogi adalah menolong yang lain jika mereka
mampu melakukannya.”19
Agama sebagai Troublemaker
Sebagaimana agama dapat menjadi peacemaker, agama pun dapat
menjadi troublemaker bagi umat manusia. Permasalahan-permasalahan
yang ditimbulkan oleh agama tidak jarang lebih impresif daripada
permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh faktor lain, salah
satunya adalah kasus radikalisme. Radikalisme dengan unsur-unsur agama
sudah banyak terjadi dimasyarakat. Memang, radikalisme tidak hanya
terjadi atas nama agama, namun, tidak bisa dinafikan, agama menjadi salah
satu faktor terbesar terjadinya radikalisme dan konflik-konflik sosial yang
terjadi di masyarakat. Berikut beberapa indikasi yang dapat menjadikan
agama sebagai troublemaker,20
2.
a)
Fanatisme
Indikasi yang dapat menimbulkan radikalisme berorientasi agama
adalah bersikap fanatik terhadap satu hal (baik itu pemahaman akan dalil
keagamaan, pendapat, aliran atau madzhab, ataupun fanatik terhadap satu
ajaran agama tertentu). Fanatisme merupakan satu dari sekian banyak
penyakit kronis yang mematikan akal sehat dan nurani manusia, sebagai
makhluk yang sempurna. Bersikap fanatik tanpa mau memberi ruang bagi
unsur lain yang mungkin mampu mendatangkan kemaslahatan kepada
manusia sesuai dengan maqashid syar’i, situasi dan kondisi zaman, tidak
berkeinginan membuka ruang dialog, serta tidak berniat bertukar atau
membandingkan dalil atau pendapat dengan pihak lain justru akan
menjadikan “agama” sebagai sesuatu hal yang mengerikan,21 sebab tidak
jarang sikap ini menimbulkan konflik sosial yang sebenarnya hanya
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat sederhana dan masih bisa di
kompromikan. Fanatisme juga akan memilah-milah struktur masyarakat
19
Huston Smith, The Religions of Man, h. 57
Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf, (Beirut:
Mu’assasah ar-Risalah), diterjemah oleh Hawin Mutadho, (Solo, Era Adicitra, 2009), h. 4058
21
Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 40
20
Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama |
153
sehingga persatuan dan kesatuan yang ingin dibentuk oleh ajaran agama
menjadi sirna.
b)
Pemaksaan
Indikasi lain yang mampu menjadikan agama sebagai permasalahan
sosial adalah adanya pemaksaan akan suatu keyakinan tertentu, serta
pemaksaan tersebut menjurus pada penganiayaan fisik. Seandainya
keyakinan seseorang akan suatu yang berdasarkan agama itu tidak
dipaksakan kepada orang lain, maka permasalahan tidak akan muncul,
namun ketika keyakinan tersebut didengung-dengungkan dalam setiap
keadaan dan itu ditujukan tidak hanya untuk dirinya melainkan kepada
pihak lain, maka konflik sosial akan menyeruak.22 Pemaksaan atas pendapat
sendiri (otoriter) sebenarnya dapat mengindikasikan bahwa sang pemilik
pendapat cenderung kepada ketakutan akan lemahnya lemahnya
argumentasi miliknya, kemudian hal inilah menyebabkan seseorang tidak
memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang menjadi dasar
kebersamaan karena adanya saling tukar pendapat. Sejarah telah mencatat,
seorang yang otoriter tidak akan bersedia mengadakan dialog dan
pertukaran pendapat.23
Negatif Thinking
Agama akan menjadi sebuah permasalahan yang cukup berat ketika
para penganut satu agama berprasangka buruk terhadap para penganut
agama lain. Hanya melihat bad sidenya tanpa mau berkompromi bahwa
mereka juga mempunya good side dalam hidupnya. Prinsip pokok seorang
radikalis adalah menuduh. Seorang radikalis selalu berprasangka secara
buruk, dan berusaha untuk tidak memperoleh alasan sebagai pembelaan dari
pihak tertuduh.24 Negatif Thinking adalah sesuatu perbuatan yang termasuk
tidak ber“moral”, secara tidak langsung, itu membunuh hak-hak manusia
untuk merasakan kedamaian di hidupnya. Padahal sangat mungkin, fakta
yang ada berkebalikan, sehingga kekeliruan terjadi ketika seseorang
berpikiran negatif atas orang lain.
c)
22
Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 51
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 125
24
Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 51
23
154 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
d)
Vonis
Titik terakhir keburukan yang dapat ditimbulkan dari agama adalah
menggugurkan hak pihak yang berbeda, baik hak hidup, hak memiliki
kesejahteraan dan kedamaian, agama yang disalah artikan dapat
menyebabkab penganutnya akan menafikan kehormatan dan ikatan sosial
apapun yang dimiliki oleh penganut agama lain. Ketika gelombang
pemvonisan ini mencapai puncaknya, maka tidak ada klaim pembenaran
dari pihak lain. Kebenaran mutlak adalah milik mereka dan agama mereka.
Sehingga, akhirnya ekstremisme dan radikalisme menjamur cukup cepat,
kemudian peradaban pun menjadi tidak lagi kondusif.
Sisi buruk agama tentu tidak akan muncul tanpa sebab apapun,
melainkan terdapat beberapa faktor yang mendorongnya muncul. Hukum
kausalitas sudah menjadi suatu ketetapan dunia yang diatur Tuhan
sedemikian rupa, tidak mungkin sesuatu terlahir tanpa adanya yang
melahirkan, sebagaimana mustahilnya asap tanpa terlebih dahulu ada api.
Pengindentifikasian sebab-akibat menjadi sangat penting dikarenakan
pencegahan tidak mampu dilakukan tanpa mengetahui terlebih dahulu apa
yang semestinya dicegah. Faktor yang menjadikan agama beralih fungsi
yang semula berfungsi unttuk menenteramkan makhluk hidup bergeser
menjadi sesuatu yang mengintimidasi hak-hak makhluk hidup, diantaranya
adalah
1.
Ketidaktahuan tentang agama secara menyeluruh
Ketidaktahuan tentang agama adalah salah satu faktor inti yang
menyebabkan pergeseran fungsi agama. Ketidaktahuan yang dimaksud
bukanlah mutlak tidak mengetahui tentang agama sedikitpun – meski
ketidaktahuan mutlak lebih berbahaya – melainkan sikap pengetahuan yang
tidak utuh, dan ketiadaan gairah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Beberapa golongan telah terjebak ke dalam permasalahan ini, ketika
golongan tersebut hanya mengetahui secuil pengetahuan dari suatu agama,
mereka berprasangka mereka telah berhak menafsirkan agama sekehendak
mereka, dan menjadikan Tuhan berada dipihak mereka.
Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama |
155
Pengetahuan akan agama yang hanya bersifat parsial ini digunakan
untuk menjustifikasi diri mereka sebagai “wakil Tuhan” yang sah.25 Ketika
seseorang telah berani memposisikan dirinya sebagai pemegang kebenaran
mutlak, tentulah dia sudah merasa keilmuan sangat cukup, bahkan bisa
dikatakan sempurna. Karena, menjadikan apa-apa yang berasal bukan dari
pengetahuan dia adalah sesuatu yang mutlak salah.
2.
Kesalahan menyikapi nash-nash keagamaan
Pemaknaan sumber-sumber keagamaan dengan hanya mengandalkan
teks-teks harfiah, adalah faktor inti yang lain yang mengubah tujuan suci
agama bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Beberapa golongan dari
madzhab keagamaan menganut teks-sentris, dimana mereka terkadang
mengabaikan faktor-faktor mengapa teks (dalil agama) tersebut diturunkan
dan sering menunjukkan ketidakpedulian terhadap tujuan dan kemaslahatan
dari teks (dalil) tersebut.26
Memang, dalam beberapa hal – khususnya dalam permasalahan ibadah
– nash keagamaan tersebut harus ditafsirkan secara tekstual, dan tidak
boleh dialihkan secara maknawi. Seperti dalam Islam contohnya,
permasalahan shalat atau permasalahan puasa ramadhan, keduanya dalam
25
Karenanya agama – Islam dalam hal ini – menekankan kepada penganutnya agar
senantiasa belajar tanpa henti. Perintah untuk belajar ini secara tidak langsung diungkapkan
Tuhan melalui “sindiran” Nya dalam surah Az-Zumar ayat 9 - ‫ﻗُﻞْ ھَﻞْ ﯾَﺴْﺘَﻮِى ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮنَ وَٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻟَﺎ‬
ِ‫“ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮنَ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺘَﺬَﻛﱠﺮُ أُو۟ﻟُﻮا۟ ٱﻟْﺄَﻟْﺒَٰﺐ‬Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang
dapat menerima pelajaran” Ayat lain yang berkaitan dengan “sindiran” Tuhan kepada orang
yang mengetahui dengan yang tidak dalam surah Ar-Ra’d ayat 16 - ُ‫ﻗُﻞْ ھَﻞْ ﯾَﺴْﺘَﻮِى ٱﻟْﺄَﻋْﻤَﻰٰ وَٱﻟْﺒَﺼِﯿﺮ‬
ُ‫“ أَمْ ھَﻞْ ﺗَﺴْﺘَﻮِى ٱﻟﻈﱡﻠُﻤَٰﺖُ وَٱﻟﻨﱡﻮر‬Katakanlah, "Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat?
Atau samakah yang gelap dengan yang terang ?”.
26
Dalam Islam terdapat madzhab yang berupaya menafikan kandungan dan maksud
dari teks-teks harfiah, madzhab ini salah satunya adalah madzhab Zhahiri. Mereka penganut
madzhab ini menolak untuk mencari ‘illat hukum dan karenanya pula menolak qiyas, mereka
beranggapan bahwa syariat Islam bisa saja membedakan antara dua hal yang serupa dan
memadukan antara dua hal yang berbeda. Aliran ini pun berkembang hingga muncul aliran
neo zhahiri, meskipun memiliki substansi pemahaman yang serupa, namun berbeda dengan
paham zhahiri klasik yang secara vulgar menampakkan aliran mereka, membela, dan
memegang teguh apa yang mereka yakini, paham neo zhahiriah bersikap lebih untuk tidak
mengakui kezhahirian mereka, selain itu, neo zhahiri juga hanya mengambil paham
zhahirinya dalam aspek negatifnya yakni dalam hal penolakan terhadap pencarian ‘ilat serta
menolak perhatian atas maqashid dan asrar penetapan hukum. Baca Yusuf Qardhawi, AshShahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 64
156 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Alquran telah ditentukan waktu pelaksanaannya,27 jadi pelaksanaan kedua
peribadatan tersebut tidak boleh di tafsirkan berbeda dengan waktu yang
telah ditetapkan. Akan tetapi, apabila nash tersebut menyatakan
permasalahan yang diluar ibadah (ritual), maka perlu dilihat faktor-faktor
lain, seperti kemaslahatannya kepada lingkungan. Bukankah hukum itu
terbagi ke dalam dua jenis, yakni hukum yang ketentuannya berdasarkan
sumber tertulis – dalam hal ini teks-teks agama – dan yang kedua, hukum
yang ketentuannya tidak berdasarkan hukum tertulis.28
Pada kenyataannya, benar perintah-perintah Tuhan (Divine intructions)
selalu bertumpu pada teks, dan teks itu sendiri bersandar penuh pada
mediasi yang dinamakan bahasa. Media inilah yang sering menyebabkan
terjadinya silang pendapat, itu dikarenakan alat media tersebut adalah
olahan manusia, berdasarkan kesepakatan dan budaya suatu komunitas
manusia.29 Ketika proses pemahaman atas suatu teks keagamaan yang
sebenarnya interpretatif (memiliki banyak pilihan akan makna dan
penafsiran) ditutup dan ditiadakan lagi, maka manusia akan memasuki
wilayah sewenang-wenang (despotic), yang kemudian akan menghasilkan
klaim-klaim kebenaran (akan penafsirannya) dan menyalahkan segala apa
yang berbeda dari hasil tafsirannya tersebut.
Dari beberapa indikasi dan faktor yang telah dipaparkan, kesemuanya
akan membentuk satu masalah baru dan utama dalam pemahaman agama,
yakni adanya pengklasifikasian kelas diantara masyarakat, yang seharusnya
klasifikasi-klasifikasi tersebut tidak dibenarkan. Bukankah, semua makhluk
itu berkedudukan sama di mata Tuhan, satu-satunya perbedaanya hanyalah
dari segi kualitas keberagamaannya semata.
27
Penetapan waktu shalat secara umum dapat dilihat pada Q.S An-Nisaa’ :103,
sedangkan penetapan waktu shalat secara khusus dapat dilihat pada Q.S Al-israa’ ayat 78,
dan Q.S Hud ayat 114. Sedangkan penetapan waktu berpuasa di bulan ramadhan, lihat pada
Q.S Al-Baqarah ayat 183-185.
28
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, h. 126
29
Amin Abdullah, pengantar “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa
Keagamaan”, dalam buku, Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqih Otoriter
ke Fiqih Otoritatif, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. VII-XVII
Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama |
157
D. Toleransi Terhadap Permasalahan Sosial
Sikap toleransi adalah salah satu diantara banyak cara untuk
menghindarkan manusia dari pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh
agama.30 Pada dasarnya konsep teologis yang ditawarkan agama pada
dasarnya hampir serupa, dimana tidak lepas dalam pokok masalah tentang
Tuhan, makhluk hidup, dan kesejahteraan atau kebahagiaan serta cinta
kasih. Islam pun demikian, pokok utama ajarannya berkisar pada hubungan
dengan Tuhan dan hubungan dengan makhluk hidup, yang kemudian kedua
hubungan tersebut apabila diterapkan secara benar akan membawa ke dalam
kebahagiaan baik sekarang ataupun kebahagiaan setelah kematian.
Prinsip toleransi ini perlu digiatkan kembali, karena hanya dengan
prinsip ini sebuah dialog untuk menyikapi sebuah perbedaan akan terbuka
dan terbuka, serta dapat dicapai “kebenaran” bersama yang diikuti dan
diterima orang yang berpikiran sehat dan wajar, yang kemudian akan
membawa kepada situasi masyarakat kondusif. Setidaknya, menurut Zuhairi
Misrawi, terdapat dua modal yang diperlukan dalam membangung sikap
toleransi, yakni pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui
percakapan dan pergaulan yang intensif, dan kedua, membangun
kepercayaan di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust).31
Toleransi tidaklah proses sekali jadi, melainkan kehadiran nilai (moral)
yang mengakar kuat ditengah masyarakat, khususnya melalui perjumpaan
dan dialog untuk membangun sikap saling percaya.
Tentunya berbagai agama memiliki landasan teologisnya sendirisendiri, dan dalam permasalahan ini tidak dapat dipersamakan secara total,
karena
mereka
mempunyai
kedudukan
sendiri
di
hati
30
Mengenai hal toleransi, menurut penulis ini dapat diartikan dengan adanya kemauan
membuka ruang dialog sehingga menjadikan adanya kemampuan untuk mendengarkan orang
lain dalam dunia sekarang, dan akhirnya menimbulkan suatu penghormatan atas hak-hak
orang lain seperti, hak berpendapat, dan hak beragama. Puncaknya akan timbul kecintaan
akan sesama makhluk Tuhan, yang ini akan membawa kepada kebahagiaan dan kedamaian
sejati. Menyangkut permasalahan toleransi, Islam pun mengakui dan membenarkan tindakan
toleransi tersebut, hal ini terlihat dari adanya sabda Rasulullah ( ‫) ﺃﺣﺐ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺇﱃ ﺍﷲ ﺍﳊﻨﻴﻔﺔ ﺍﻟﺴﻤﺤﺔ‬
yang menyatakan bahwa agama yang dicintai Allah adalah agama yang mudah dan toleran,
Lihat redaksi selengkapnya hadis pertama dalam, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn alMugirah al-Bukhari, Sahih Bukhari, bab ad-din yasir, DVD Program al-Maktabah alSyamilah. Ridwana Media, jilid I, h. 22
31
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010), h. 7
158 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
penganutnya.Demikian pula dengan penafsiran-penafsiran akan keyakinan
tersebut. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohanes
XXIII dari tahun 1962 hingga 1965, menyebutkan bahwa para uskup yang
menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun
tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka.
Jadi, keyakinan masing­masing tidak perlu diperbandingkan atau
dipertentangkan.
Dengan ini, menjadi jelaslah bahwa kerjasama antara berbagai sistem
keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat,
karena masing­masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir
(keadilan dan kebahagiaan) demi kehidupan bersama, walaupun bentuknya
berbeda­beda.32
Inilah, yang nantinya, akan membentuk persamaan antar agama,
bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat
capaian materi. Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti­bukti
kuantitatif, seperti tingkat penghasilan rata­rata warga masyarakat ataupun
jumlah kepemilikan misalnya, telpon atau kendaraan per­keluarga.
Sedangkan yang tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara
empirik dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.33
E.
Penutup
Agama sejatinya tidak membawa kepada tindak kekerasan dan sikap
vandalisme. Akan tetapi pemahaman akan makna agama yang seringkali
dipaksakan untuk sejumlah kepentingan baik kelompok maupun individu,
yang akhirnya berdampak negatif terhadap agama itu sendiri. Sejumlah
agama besar di dunia, beserta tokoh sentralnya, seperti Islam dengan
Muhammad, Kristen dengan Jesus, ataupun Budha dengan Sidharta
Gautamanya, telah mengajarkan prinsip-prinsip kedamaian dan sikap
toleransi kepada pihak yang berbeda dengannya serta memberikan teladan
bahwasanya agama bukan semata ritual vertikal, melainkan mencakup juga
32
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, h. 134
33
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, h. 135
Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama |
159
ritual horizontal.34 Sikap saling menghargai akan sebuah perbedaan inilah
yang kemudian akan menjadikan agama sebagai sebuah entitas yang
berisikan kedamaian dan kasih sayang.
Meskipun, peran penting agama dalam kehidupan manusia mungkin
telah terasa bagi sebagian pihak, namun bagi pihak yang tidak
merasakannya, mereka kecewa dengan perwujudan agama, yang dianggap
gagal dan akhirnya menjadikan agama sebagai sesuatu hal yang
mengganggu. Sehingga pada akhirnya, agama tetap seperti layaknya dua
sisi mata uang yang setiap sisinya mempunyai dampak sendiri-sendiri
terhadap alam dan makhluk hidup. Ketika agama dipahami secara total dan
sempurna,35 maka agama akan membawa kepada suatu kedamaian yang
bersifat universal, sebaliknya, ketika agama hanya dipahami sebagian – baik
ketika agama dipahami hanya sebagai sarana ritual semata terhadap Tuhan
– maka agama hanya akan menjadi sesuatu yang mengantarkan manusia
kepada keburukan semata.
Daftar Pustaka
Anam, Munir Che, Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat
tanpa kelas, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008
34
Dalam islam terdapat istilah hablu min Allah, (ibadah Vertikal), dan hablu min anNaas (ibadah Horizontal). Kedua hubungan ini harus berjalan berdampingan. Karena ketika
hanya salah satu yang berjalan, baik itu ibadah vertikal semata, maupun ibadah horizontal
semata, maka ketimpangan hidup manusia akan terjadi, dan menjadi salah satu penyebab
seringkalinya muncul tindak anarkis dengan mengatasnamakan agama.
35
Dalam Islam pun diajarkan demikian, dimana terdapat nash Alquran tepatnya
terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 208, yang menyerukan kepada sikap totalitas dalam
beragama,
‫ﻠﹾﻢﹺ‬‫ﻰ ٱﻟﺴ‬‫ﻠﹸﻮﺍ ﻓ‬‫ﺧ‬‫ﻮﺍ ٱﺩ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ٱﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺃﹶﻳ‬‫ﻱ‬
ٰ
‫ﺒﹺﲔ‬‫ ﻣ‬‫ﻭ‬‫ﺪ‬‫ ﻋ‬‫ۥ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻪ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻂﹶٰﻥ‬‫ﻴ‬‫ ٱﻟﺸ‬‫ٰﺕ‬‫ﻄﹸﻮ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﺒﹺﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻛﹶﺎﻓﱠﺔﹰ ﻭ‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”. Islam
secara keseluruhan sebagaimana telah digambarkan melalui Muhammad saw. berarti
melakukan sikap-sikap terpuji baik dalam ruang lingkup Tuhan (melalui ritual peribadatan,
seperti shalat, puasa, zakat, dan semacamnya), maupun dalam ruang lingkup manusia
(melalui akhlak dan penghormatan atas hak-hak manusia secara sempurna). Keseimbangan
antara sikap terhadap Tuhan dan sikap terhadap makhluk inilah yang dimaksudkan sebagai
Islam Kaaffah.
160 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
al-Abani, Muhammad Nashir-al-Din, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa alMaudhu’ah, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1992
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Sahih Bukhari, DVD Program alMaktabah al-Syamilah. Ridwana Media
al-Mubarakfury, Shafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah; Biography of the
Prophet, Bandung: Pustaka Islamika, 2008
Campbell, James, Recovering Benjamin Franklin: An Exploration of a Life
Science and Service, Illinois: Caruss Publishing Company, 1999
Dhavamony, Mariasusai, Phenomenology of Religions, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
el-Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih
Otoritatif, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004
Eliott, Charles W, The Autobiography of Benjamin Franklin, Pensylvania:
The Pensylvania State University’s Electronic Classics Series, 2007
Purwadi, Eko Priyo Purnomo, Kamus Sanskerta Indonesia, Yogyakarta;
BudayaJawa.Com, 2008
Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia,
2001
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta:
Perspektif, 2005
Qardhawi, Yusuf, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa alTatharuf, Solo, Era Adicitra, 2009
Ya’qub, Ali Mustafa, Hadis-Hadis Bermasalah, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003
Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006
TEOLOGI SOSIAL;
Keniscayaan Keberagamaan yang Islami Berbasis
Kemanusiaan
Alwi Bani Rakhman
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Islam yang sejatinya murni untuk mengEsakan Tuhan, Allah Swt, telah
mengalami berbagai tahap ke'bumi'an yang konsekuensinya tercampur
dengan berbagai persoalan kemanusiaan. Teologi dalam hal ini yang
notabene sebagai pelopor wacana ketuhanan dan menjadi salah satu terma
pokok dalam diskusi keagamaan Islam juga ikut mencuat pengaruhnya.
Fenomena historis mengenai perdebatan teologis yang cukup sengit dalam
diskursus agama Islam diantara Mutakallimi>n dalam diskusi kali ini
mendapat sorotan tajam bagi kalangan cerdik cendekia Muslim modernis
karena dipandang tidak mampu lagi menampung jawaban permasalahan
yang bersifat antroposentris. Alasannya konkret, teologi yang selama ini
dipelajari hanya berbicara mengenai masalah 'langit' (teosentris) dan hampir
–jikalau tidak mengatakan sama sekali- tidak pernah 'turun ke bumi'
(antroposentris). Karenanya, dimunculkan wacana baru yang menggagas
konsep teologi yang selain berpijak pada nilai-nilai ketuhanan, namun juga
mampu diaktualisasikan ke dalam ranah kemanusiaan, yaitu Teologi Sosial.
Sehingga diharapkan ia mampu menjadi solusi atas problem kemanusiaan
yang marak saat ini, semisal ketidakadilan, kekeraasan, terorisme dan
sebagainya, khususnya yang termasuk dalam pelanggaran hak-hak asasi
kemanusiaan.
Kata Kunci: Teologi Islam, Teologi Sosial, Antroposentrisitas Teologi
Islam
162 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
A. Pendahuluan
al yang tidak dapat disangkal adalah bahwa agama merupakan
bagian dari kehidupan yang dinikmati tidak hanya oleh pribadi
melainkan juga kelompok atau sosial. Perannya sebagai petunjuk
(Hudan) bagi setiap pemeluknya menjadi satu modal utama atas
eksistensinya yang dibutuhkan ini. Islam bagi pemeluknya dianggap telah
sempurna sejak turunya wahyu terakhir kepada Nabi Saw dan mengatur
berbagai macam aktivitas kehidupan, baik secara umum maupun detail,
supaya umat tidak salah menempuh jalan. Meski Islam telah sempurna,
namun bukan berarti perkembangan pemikiran keislaman berhenti pada saat
setelah wahyu itu turun. Ia berkembang seiring perkembangan zaman dan
selaras dengan fitrah keberakalan manusia. Berbagai diskusi dan wacana
keislaman, yang memang sejak masa Nabi telah ada, mencuat.
Puncaknya yang sekaligus menjadi salah satu pengalaman
keberislaman yang kelam bagi umat Muslim yaitu menggemanya konflik
bertema sentral ketuhanan (teologi) yang terangkum dalam frasa zama>n alfitan. Shahabat saling mengkafirkan, adu argumen mengenai hakikat sifat
dan atau dzat Tuhan dan sebagainya. Perdebatan ini yang kemudian
menggema dan menjadi persoalan yang pelik dalam sejarah pemikiran
Islam. Sehingga memunculkan berbagai macam sekte-sekte pemikiran yang
saling beradu argumen membela kayakinannya.
Memperhatikan sejarah dan perkembangan ilmu kalam sebagai pelopor
pengkajian terma-terma ketuhanan, maka tidak dapat disangkal bahwa hal
ini antara lain muncul pada masa saat menggemanya filsafat Yunani sebagai
salah satu manifestasi pengejahwantahan akal dan atau rasio nomor wahid.
Di satu sisi, meskipun pengaruh Yunani dalam memperkaya khazanah
budaya dan peradaban Islam cukup signifikan, namun di sisi yang lain, baik
secara implisit maupun eksplisit, telah menjauhkan umat dari semangat
membela dan mengaktualisasikan al-Qur'an secara utuh. Ironisnya, ia hanya
dijadikan tidak lebih dari sekedar alat legitimasi, pembelaan diri terhadap
kebenaran kelompok masing-masing.1
Jika generasi awal Islam telah mewariskan problema teologis yang
diangkat dari kehidupan praksis, kaum mutakallimun selanjutnya melulu
H
1
M. Amin Syakur dkk., Teologi Islam Terapan (Upaya Antisipatif terhadap
Hedonisme Kehidupan Modern) (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 15.
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
163
tertarik dengan tema-tema yang kurang memiliki implikasi-implikasi
praksis.2 Diskursus teologi Islam saat itu masih sangat kental dengan halhal yang bercorak 'melangit', bersifat teologis-filosofis, dan terlalu sibuk
dengan perdebatan dan wacana yang bersifat teosentris. Hal ini menjadi
sangat kurang bermanfaat dan atau bermaslahah sebab objek kajian Islam
tidak hanya terhenti pada amaliah bidang aqidah, tetapi bagaimana mereka
berperilaku dalam tatanan praktis. Hal ini berarti bahwa ilmu tentang
aqidah Islam juga menjangkau fakta empiris yang dimunculkan berdasarkan
kesadaran bertuhan dalam diri pengamalnya.
Lebih jauh lagi, Islam sebagai media pembebas dalam menentang
ketidakadilan sosial merupakan hal yang tidak ahistoris. Konsekuensi dari
konsep teologi model ini, Islam tidak semata pemahaman yang mengawang,
melainkan suatu suatu konsep praktis yang menyangkut seluruh institusiinstitusi yang dilahirkannya. Dari perspektif ini, memahami konsep Islam
sebagai agama monoteis serta fungsinya, seperti sosial, spiritual, moral,
politik menjadi membumi..
Pembacaan pemikiran teologis seperti yang telah tergambarkan
tersebut yang menjadi problem utama kita kali ini. Konsep penerapan
teologi tidak pernah termanifestasikan dalam tataran praksis. Persoalan
yang diangkat Mutakallimu>n hampir tidak menyentuh aspek kehidupan
nyata manusia sehari-hari, seperti masalah demokrasi, Hak-hak Asasi
Manusia, ketidakadilan, konflik agama dan pluralitas, teririsme dan
sebagainya. Menyadari kondisi objektif ini, sudah saatnya diskursus teologi
Islam beralih pada paradigma baru yang memaknai Tuhan dengan berbagai
atributnya dalam konteks ke'bumi'an.
2
Berbeda halnya dengan pemahaman Prof. DR. Harun Nasution dengan gagasan
Teologi Rasionalnya yang menyatakan bahwa ulama Islam zaman klasik bukan saja
mendudukkan akal pada tempat yang tinggi dari peradaban Yunani, melainkan juga
mengambil dan mengembangkan banyak teori sains, filsafat, dan lainnya untuk diterapkan
dalam kehidupan. Sehingga karenanya kondisi perekonomian dan perpolitikan saat itu
mengalami masa keemasannya, Namun sekali lagi, bagi penulis, kemajuan ini tidak
diimbangi dengan peningkatan moral dan keshalihan sosial yang antara lain banyak terjadi
tarik menarik kepentingan pribadi dan atau kelompok sehingga menyebabkan terjadinya
kesenjangan. Lihat Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung:
Mizan, 2000), hlm. 112-113.
164 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
B. Tauhid sebagai Rumusan Utama Pengamalan Keberagamaan
Secara keseluruhan prinsip Islam bertumpu pada tauhid. Hal inilah
yang merupakan inti atau ruh Islam. Dengan kata lain tauhid merupakan
konsep sentral dan sangat fundamental dalam Islam. Tauhid secara
kebahasaan berarti keesaan atau kesatuan, yaitu keesaan Tuhan. Ulama
menyebutkan bahwa pengertian tiada Tuhan selain Allah adalah tiada yang
layak disembah selain-Nya, ketundukan hanya tertuju pada-Nya. 3
Kepasrahan dan atau ketundukan secara essensial yang diharapkan untuk
diberikan oleh setiap Muslim kepada Allah adalah seseorang yang
menyerahkan segenap dirinya kepada Sang Pencipta Tunggal.4 Tak
diragukan lagi esensi ajaran Islam itu sendiri adalah tauhid -suatu afirmasi
atau pengakuan bahwa Allah adalah Maha Esa, Pencipta yang mutlak dan
transenden, serta Raja dan Penguasa alam semesta.5
Pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah” cukup singkat dan padat namun
memiliki makna yang sangat kaya dalam ajaran Islam sebagai suatu
keseluruhan sistem. Bahkan terkadang seluruh kebudayaan, peradaban atau
sejarah kehidupan termuat dalam kalimat tersebut. Rukun Islam, Syahadat,
yaitu pengakuan seorang Muslim bahwa “aku bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” bukanlah
sekedar penegasan atas eksistensi Tuhan melainkan juga persaksian bahwa
Allah merupakan satu-satunya realitas sejati, bentuk eksistensi sejati.
Semua wujud yang terlihat ada dan memiliki sifat-sifat seperti ini hanya
meminjam keberadaan dan sifat tersebut dari wujud essensial ini.
Mengucapkan penegasan ini menuntut kaum Muslim untuk
mengintegrasikan kehidupan mereka dengan menjadikan Allah sebagai
fokus dan prioritas tunggal mereka. Mengatakan bahwa Allah itu satu
bukan sekedar sebuah definisi numerik, melainkan seruan untuk menjadikan
seruan keesaan tersebut sebagai faktor pengendali kehidupan individu dan
3
Al-Ittihad Al-Islamiy li Ulama al-Muslimin, 25 Prinsip Islam Moderat terj. Bukhari
Yusuf dkk. (Jakarta: Al-Markaz Al-Istisyar li Al-Syari'ah, 2008), hlm. 7.
4
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orangorang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan
Pustaka, 2004), hlm. 199.
5
Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1988), hlm.
16.
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
165
masyarakat. Keesaan Tuhan dapat terpantul dalam diri yang benar-benar
terintergrasi dengan-Nya.6
Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapanpun.
Dalam pandangan Muslim yang benar, Tuhan bukanlah semata-mata
sebagai ‘sebab pertama’ sebagaimana dideskripsikan sementara teolog dan
ultimat yang tinggi. Melainkan lebih dari itu, yaitu bahwa Dia adalah inti
kenormativan. Tuhan sebagai inti kenormativan berarti bahwa Dia adalah
Dzat yang Mahamemerintah. Gerakan-gerakan-Nya, pemikiran-pemikiranNya, serta perbuatan-perbuatan-nya adalah realitas-realitas yang mustahil
untuk dipungkiri dan diragukan. Tiap-tiap dari hal ini, sepanjang manusia
memahaminya, merupakan suatu nilai baginya serta suatu keharusan.7
Pengalaman keagamaan Islam memang mempunyai konsekuensi besar
bagi sejarah Islam. Semangat wawasan Islam mendorong seorang Muslim
ke atas panggung sejarah, untuk mewujudkan di dalamnya pola Ilahi yang
telah diberikan Nabi kepadanya. Baginya tidak ada yang lebih berharga dari
tugas ini. Demi tugas ini, dia siap untuk mengorbankan apa saja, termasuk
nyawanya. Semuanya dikemukakan untuk menggaungkan, sebagaimana
dalam al-Qur’an, ‘menjadikan kalimat Ilahi menjadi yang terunggul’.8
Kita telah melihat bahwa manusia dibebani kewajiban untuk mengubah
dirinya, masyarakat dan lingkungannya agar sesuai dengan pola Ilahi. Dari
fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia memikul tanggung
jawab. Mematuhi Tuhan, yakni merealisasikan perintah-perintah-Nya dan
mengaktualisasikan sistem-sistem-Nya berarti menuju untuk memperoleh
keberuntungan (fala>h}) dan kebahagiaan. Sebaliknya, tidak berbuat
demikian, berarti mengundang untuk memperoleh hukuman, penderitaan,
dan kesengsaraan. Hak istimewa manusia adalah menjalani kehidupan yang
penuh dengan budaya kosmik dengan kemerdekaan yang dianugerahkan
Tuhan kepadanya, kemerdekaan untuk berkehendak, dan kemerdekaan
untuk memilih. Tentunya hal ini tidak melampaui kadar atau ukuran yang
ditetapkan oleh Tuhan.9
6
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan..., hlm. 209-210.
Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. 1-3.
8
Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. 8-9.
9
Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. 12-14. Lihat juga M. Quraish Shihab,
Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan,
2007), hlm. 78-83.
7
166 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
C. Melacak Antroposentrisitas dalam Teologi Islam
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas mengenai ajaran-ajaran
pokok suatu agama. Secara etimologis, ia berasal dari kata Theos (Tuhan)
dan Logos (ilmu), sehingga berarti ilmu tentang Tuhan. Sedangkan secara
terminologis, teologi berarti disiplin ilmu yang membahas tentang Tuhan
(atau realitas Tuhan) dan hubungan Tuhan dengan dunia. Teologi juga
kerap dimasukkan sebagai salah satu cabang dari filsafat, yaitu bidang
khusus yang mengkaji tentang Tuhan secara filosofis.10 Prof. DR. Harun
Nasution mengemukakan bahwa teologi dalam Islam disebut juga ‘ilm altauh}i>d. Kata tauhid mengandung arti mengesakan Tuhan, Allah Swt.
Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kala>m. Kalam, menurutnya
setidaknnya dapat dipandang melalui dua sisi. Jikalau yang dimaksud
‘kalam’ tersebut ialah firman Tuhan, maka ilmu kalam berarti perdebatan
yang terjadi diantara para ulama adalah mengenai al-Qur’an baik tentang
Tuhan, manusia, maupun al-Qur’an itu sendiri. Lain halnya jikalau ‘kalam’
diartikan kata-kata manusia, maka ilmu kalam berarti ilmu mengenai
perdebatan para kaum teolog (mutakallimu>n) untuk mempertahankan
pendirian masing-masing.11
Ilmu ini memang banyak sekali dpengaruhi oleh penggunaan akal atau
rasio dari filsafat Yunani, terutama setelah penerjemahan ke dalam bahasa
Arab besar-besaran dan pengadaan observatoriun guna penelaahan
mendalam terhadap karya-karya Yunani. Sesuai dengan perjalanan
sejarahnya, teologi menjadi populer melalui muja>dalah para ahli kalam yang
membahas permasalahan ketuhanan. Oleh karenanya dalam skala yang lebih
luas, teologi sangat berkaitan erat dengan diskusi tentang pemahaman
konsep keimanan seorang Muslim.
Perlu diketahui bahwa perilaku sosial sudah sejak lama dikaji oleh para
antropolog dan sosiolog. Kaum sosiolog memang mengesampingkan
orientasi subjektif sebagai salah satu faktor yang membentuk perilaku
manusia. Akan tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa perilaku
sosial juga dipengaruhi oleh arti, nilai dan norma. Iman sebagai salah
pondasi keberagamaan terpenting bagi umat Muslim dalam hal ini
10
Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipilner; Aplikasi Pendekatan Filsafat,
Sosiologi, dan Sejarah (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hlm. 104.
11
Harun Nasution, Teologi Islam (Yogyakarta: UI Press, 2002), hlm. ix.
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
167
merupakan suatu model susunan dari arti, nilai, dan simbol yang
dirumuskan dari ajaran aqidah Islam.12
Dalam konteks keislaman, pengalaman keagamaan menunjuk kepada
iman seseorang kerena merupakan tanggapan terhadap Tuhan yang
berisikan pembenaran dalam hati, pernyataan lisan dan perilaku praktis.
Perilaku keimanan seseorang merupakan suatu proses peralihan dari
konsepsi dan proposisi metafisik sebagaimana dalam al-Qur'an dan sunnah
menjadi proposisi empirik dalam kehidupan praktis di masyarakat. Bentuk
dan macam perilaku ini menjangkau semua segi kehidupannya, baik yang
bersifat individual maupun sosial.
Iman atau agama dan ilmu pengetahuan dibutuhkan umat manusia
karena menentukan arah yang dituju, sedang ilmu mempercepat manusia
sampai ke tujuan, dan Tuhan adalah tujuan utama dan terakhir, yakni di
mana semua perihal finalistik mengarah dan berhenti. Menjadi seorang
Muslim berarti menganggap Tuhan semata sebagai normatif, kehendak-Nya
semata sebagai perintah, sistem dan pola kehidupan semata sebagai
kebutuhan etis penciptaan. Kandungan wawasan Muslim adalah kebenaran,
keindahan dan kebaikan. 13
Kemudian ketika kita menilik sejarah, secara umum memang
disyariatkannya agama Islam adalah untuk menegakkan keadilan sosial
sebagai prasyarat terwujudnya kemaslahatan bagi umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat.14 Muhammad Saw sebagai pembawa risalah,
dilaporkan, merupakan sosok yang menentang penindasan. Muhammad saw,
sekaligus konteks kali pertama Islam diturunkan, hidup dalam keadaan
sosial kemanusiaan yang carut-marut. Tidak heran faktor inilah yang
menjadi salah satu agenda utama Muhammad saw atau Islam, yaitu untuk
memperbaiki akhlak manusia, antara ain dengan melawan penindasan dan
menentang ketidakadilan serta menciptakan tatanan masyarakat egalitarian.
Karena hanya ketakwaanlah yang membedakan derajatnya di hadapan Sang
Khaliq, Allah Swt.
12
M. Amin Syakur dkk., Teologi Islam Terapan…, hlm. 19.
M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena
(Tangerang: Lentera Hati, 2011), hlm. Xi.
14
Hamka Haq, Islam; Rahmah untuk Bangsa (Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2009),
hlm. 53.
13
168 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
D. Problem-problem Sosial Keagamaan
1. Kesalahpahaman terhadap Universalitas Islam
Universalitas Islam atau keberlakuan ajaran Islam bagi dan untuk
semua lapisan masyarakat dan bahkan untuk seluruh isi dunia dalam
berbagai sisi-sisi kehidupan, merupakan suatu ajaran yang diterima oleh
umat Islam sebagai aqidah atau keyakinan.15 Misi ajaran Islam dilihat dari
kedudukannya sebagai pandangan hidup dan sumber nilai, berperan sebagai
faktor kreatif yakni ajaran agama yang mendorong manusia melakukan
kerja produktif dan kreatif. Kemudian sebagai faktor motivatif yaitu ajaran
agama melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek
kehidupan. Selanjutnya faktor sublimatif yakni ajaran yang dapat
meningkatkan dan mengkuduskan fenomena kehidupan manusia bukan
hanya keagamaan saja tetapi juga bersifat keduniaan. Faktor integratif yaitu
ajaran yang mempersatukan sikap dan pandangan manusia secara individual
dan kolektif dalam menghadapi berbagai tantangan.16
Hamdi Zaqzuq menguraikan tentang Syumu>liyyah al-Isla>m,



15
Prof. DR. M. Quraish Shihab menguraikan bahwa ulama kontemporer
memperkenalkan istilah Iqlimiyyat al-Islam dalam arti terdapat ajaran-ajaran Islam yang
berbeda antara satu iklim (wilayah) dengan wilayah yang lain akibat perbedaan kondisi,
situasi, sejarah dan penalaran ulama setempat. Jika demikian halnya, maka kita tidak dapat
menghindar dari pengakuan tentang adanya ajaran Islam yang bersifat partikular,
sebagaimana ada juga yang universal. Kesepakatan umat dalam satu bidang tertentu juga
dapat menunjuk pada universalisme Islam. Sedangkan perbedaan interpretasi adalah bagian
dari partikularisme. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 213. Nampaknya apa
yang dipahami Quraish Shihab diamini oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Hanya saja
ia memiliki frasa khusus untuk mengungkapkan pemahaman ini. Islam yang universal, yang
mementingkan masa depan Islam secara umum serta membawa kepentingan bersama kaum
Muslimin, ia sebut sebagai "Islam Kita". Sedangkan Islam partikular yang hanya membawai
watak perorangan, berisi pengalaman pribadi, serta boleh diketahui oleh orang lain namun
tanpa meiliki kekuatan paksaan disebut dengan "Islamku" dan Islam Anda". Lihat
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama Masyarakat Negara
Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 66-69. Lihat juga Harun Nasution,
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 24.
16
J. Suyuthi Pulungan, Universalisme Islam (Jakarta:Moyo Segoro Agung, 2002), hlm.
145
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
169
“Al-Qur’an al-Kari>m dan Sunnah Nabawiyyah mengandung suatu
norma yang mengatur segara urusan manusia, baik yang terkait dengan
dirinya sendiri, dirinya dengan orang lain antar sesama manusia,
maupun dengan binatang, tanaman, dan bahkan benda mati sekalipun.
Dan yang paling penting di atas segalanya adalah keterkaitan antara
dirinya dengan Tuhan (Allah Swt.) Maha Pencipta dan Maha Pengatur
alam semesta.” 17
Dalam konteks keindonesiaan misalnya, realitas kebhinekaan yang
telah mengilhami semangat ideologi nasionalisme, yaitu Negara kebangsaan
yang telah diperjuangkan oleh para politisi, ulama, dan pejuang Muslim
angkatan 45 inilah yang antara lain sebagai pengamalan ajaran Islam yang
universal dalam konteks kehidupan bangsa yang plural.18 Namun ironisnya,
Islam yang selama ini kita alami kerap diperlihatkan hanya terbatas dalam
persoalan haram dan halal. Al-Quran dan Sunnah, sebagai sumber primer
normatif, jelas menyinggung dan menyentuh banyak aspek kehidupan. Ia
menyinggung berbagai aspek kehidupan manusia; sosial, ekonomi, politik,
pendidikan, moral, hukum, mistis, ritual, pemikiran, dan sebagainya.
Rangkaian ajaran yang melingkupi berbagai bidang, seperti hukum agama
(fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak) dan sikap hidup yang menampilkan
kepedulian teramat besar kepada unsur-unsur utama kemanusiaan seringkali
disempitkan maknanya oleh masyarakat.19
Sebagai sumber ajaran Islam, tentu saja al-Quran dan Sunnah memuat
banyak aspek. Namun demikian dalam sejarah dengan gamblang terlihat
bahwa keberagamaan, dalam hal ini Islam, merupakan agama melulu urusan
hukum, dalam hal ini ibadah mahdhah (ritual-ritual seperti shalat, puasa,
haji, dll.). Dalam pengertian lain, Islam hanya dipahami sebatas tataran
17
Muhammad Hamdi Zaqzuq, al-‘Aqi>dah al-Di>niyyah wa Ahammiyatuha fi> H{aya>h alInsa>n (Kairo: Majalliyyah al-Azhar al-Mahalliyyah, 2002 M/1415 H), hlm. 22-23.
18
Hamka Haq, Islam; Rahmah untuk Bangsa..., hlm. 29.
19
Dalam hal ini Muhammad Imarah mengemukakan bahwa umat manusia, khususnya
masyarakat Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah sepi dari permasalahan (musykilah).
Adapun Islam digambarkan sebagai solusi (al-H}all) karena di dalamnya mengandung aturanaturan dan norma-norma keagamaan yang dibutuhkan oleh setiap individu dalam
menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Muhammad ‘Imarah, Hal al-Isla>m Huwa alH{all? Lima>z\a> wa Kayfa? (Kairo: Dar al-Syuruq, 1968), hlm. 7-9. Lhat juga
170 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
eksoterik atau kulit saja. Sedangkan inti atau sisi esoteriknya kerap
diabaikan.
2. Pribumisasi Islam vis a vis Arabisasi
Pada dasarnya Islam tidak menghendaki pemeluknya untuk 'berberat
diri' dalam beragama (la d}arara wala> d}ira>ra), khususnya yang berkaitan
dengan keterbatasan manusia yang memang masih dalam koridor fitrah
basyariyah, yaitu sebagai makhluk lemah, senang berkeluh kesah, tempat
kesalahan dan sebagainya. Karenanya, meski syari'at berisikan tuntutantuntutan untuk dikerjakan dan ditinggalkan baik secara tegas maupun tidak,
namun pelaksanaannya disesuaikan dengan kapasitas kemampuan Muslim
itu sendiri (la tukallafu nafsun illa wus'aha>).
Prinsip-prinsip dinamitas dan fleksibilitas sebagaimana terdeskripsikan
dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi Saw tersebut yang dalam kaidah bahasa
Arab disebut al-muh}a>faz}ah 'ala> al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhz\u bi al-jadi>d alas}lah} oleh Hamka Haq setidaknya dapat diaktualisasikan sebagai berikut:
a. Formality (mentolerir formalitas sebuah tradisi yang telah
dibersihkan dari sifat-sifat politeisnya [syirik])
b. Innovative (memodifikasi tradisi sedemikian rupa sehingga
bentuknya berubah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
semakin bersih dari sifat-sifat politeistik)
c. Reformative (mencari tradisi baru yang bersifat alternatif positif
dan meninggalkan sama sekali tradisi lama yang negatif dalam
segala bentuk dan sifatnya)20
Agama dan budaya meski mempunyai independensi masing-masing,
namun keduanya juga memiliki wilayah yang 'tumpang-tindih'. Analoginya
adalah bahwa antara ilmu pengetahuan dan filsafat memiliki independensi
sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Seseorang tidak dapat berfilsafat
tanpa menggunakan ilmu pengetahuan, namun tidak dapat dikatakan bahwa
ilmu pengetahuan adalah filsafat. Jadi diantara keduanya terjadi tumpangtindih sekaligus perbedaan-perbedaan.21 Agama (Islam) bersumberkan
wahyu dan memiliki aturan-aturan tersendiri. Karena bersifat normatif,
maka ia cenderung bersifat permanen. Sedangkan kebalikannya, budaya
20
Hamka Haq, Islam;Rahmah Untuk Bangsa…, hlm. 122. Lihat juga Mushtofa dan
Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 49.
21
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan (Depok:
Desantara, 2001), hlm. 109.
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
171
adalah buatan manusia yang cenderung untuk selalu berubah berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman. Namun yang perlu dicatat adalah
bahwa perbedaan tersebut tidak menutup kemungkinan manifestasi
kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Percampuran antara agama dan
budaya akan terus menerus berkembang sebagai suatu proses yang akan
memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Upaya rekonsiliasi
antara budaya dan agama terjadi bukan karena kekhawatiran terjadinya
ketegangan antara keduanya. Sebab jikalau manusia dibiarkan pada fitrah
rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya.22 Dialog
Islam dengan kehidupan dengan kehidupan tersebut sejatinya merupakan
realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya.
Sejak awal kelahiranya, Islam tumbuh dalam suatu dunia yang tidak hampa
budaya. Relitas kehidupan ini, diakui atau tidak, memiliki peran cukup
signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangan aktual
sehingga dapat memunculkan peradaban yang diperhitungkan masyarakat
dunia.
Betapa pun, al-Quran dan Sunnah ketika diturunkan pada masa Nabi
Saw. bersentuhan dengan realitas sosial yang ada. Tidak heran bila konteks
ke-Arab-an tidak terelakkan dalam al-Quran dan Sunnah. Dan tentu saja ia
ketika menghadapi persoalan yang ada turut dipengaruhi waktu dan tempat.
Dengan kata lain Islam tidak jatuh dari langit begitu saja. Islam tidak hadir
dalam ruang vakum sosial dan kultural. Agaknya inilah yang luput dari
perhatian dari kaum Muslim. Islam adalah kontekstual, dalam pengertian,
nilai-nilainya harus diterjemahkan dalam konteks tertentu yang dipengaruhi
oleh zaman dan waktu. Islam diturunkan kali pertama 14 abad yang lalu.
Tentu keadaan sekarang dengan zaman Muhammad saw mempunyai
konteks berbeda. Faktanya masih banyak ditemukan pemahaman Islam
produk masa lalu yang berbeda keadaannya dengan zaman kekinian.
Kendati demikian tetap saja zaman kekinian diterjemahkan ke dalam zaman
masa lalu.
Aktualisasi Islam dalam sejarah itu menjadikan Islam tidak dapat
dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari Arab, Persia, Turki, India, sampai
Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus
mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu kesatuan yang menjadi
22
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan ..., hlm. 117.
172 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
benang merah yang mengikat satu dengan yang lannya.23 Dalam hal ini,
dengan mengutip Khurshid Ahmad, Alwi Shihab menyatakan bahwa “Islam
has been an absorbing religion rather than converting religion” (Islam lebih
merupakan agama yang menampung bukan yang mengkonversikannya).24
Saat ini kita dapat melihat, orang Islam Iran tetap dengan bahasa Persia,
Pakistan tetap Urdu, dan Nusantara tetap dalam rumpun bahasa melayu.
Tetapi masing-masing bahasa yang telah diIslamkan itu mampu
membahasakan ajaran Islam dengan baik. Kita juga bisa melihat bagaimana
varian bentuk busana muslim yang sangat beragam, mulai dari sarung dan
peci khas melayu, baju koko yang beraroma Tionghoa, jubah dan kafayeh
ala Timur Tengah, juga untuk busana muslimahnya. Meski demikian semua
mengerucut dalam satu konsepsi Islam tentang menutup aurat. Karenanya
gagasan penyeragaman norma-norma agama yang masih bersifat 'kulit' dan
sangat kental dengan budaya Arab secara massif bahkan totalitas ke
berbagai wilayah sosial-kemanusiaan (dalam istilah lain disebut 'arabisasi')
terkesan memaksa dan tidak patut untuk mendapatkan apresiasi secara
berlebihan. Sebab, membawa budaya Arab secara paksa sama halnya
dengan menghadirkan permasalahan sosial masrarakat Arab ke tanah negeri
yang kembali akan memutar banyak pemikiran dan memicu berbagai
perdebatan sehingga akan lebih berpeluang terjadinya konflik kemanusiaan.
3.
Kekerasan dalam rangka Membela Tuhan
Kita telah menyaksikan berbagai kejadian anarkis yang menimpa
sebagian warga Indonesia yang semestinya telah terjamin keamanan dan
keselamatannya atas dasar pembelaan Hak-hak Asasi Manusia.25 Hemat
kata, keberhakan untuk memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram
selama tidak melanggar ketentuan publik serta menjaga keharmonisan umat
secara eksplisit telah tertuang dalam Undang-undang 1945 sebagai salah
satu manifestasi bangsa yang layak untuk diberi gelar 'merdeka'.26
23
Abd A'la, Pembaruan Pesantren (Bantul: Pustaka Pesantren, 2006), hlm. 103
Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen” di Indonesia, (Mizan: Bandung,, 1998), hlm. 25.
25
Mirian Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1999), hlm. 133.
26
Sandang, pangan, papan, jaminan keamanan, kebebasan berfikir, berkeyakinan,
belajar dan mengajar, kerjasama dalam rangka membuat kebijakan untuk masyarakat,
berperadaban yang baik guna meminimalisasi kelemahan, keburukan, dan kerusakan aturan
24
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
173
Namun ironis, dengan tanpa alasan yang matang, sekelompok orang
telah dengan berani dan percaya diri merampas hak kelompok lain dengan
antara lain merusak asset dan inventaris milik mereka. Realita ini jelas tidak
dibenarkan, baik secara naluriah akal sehat manusia, konstitusi kenegaraan
dalam hal pembelaan dan pemeliharaan hak-hak sipil bangsa, serta agama
yang jelas tidak menganjurkan sedikitpun untuk mengadakan perusakan
karena termasuk dalam tindak kedzaliman. Karena dalam sejarah perjalanan
dakwah Nabi Saw pun, ketika melakukan Fathu Makkah menjamin
keamanan dan keselamatan jiwa setiap penduduk Makkah yang berlindung
di rumah Abu Sufyan, menutup pintu rumah mereka (tidak melawan Nabi
dan para sahabatnya), serta tidak merusak tempat ibadah.27
Ajaran keagamaan yang sekalipun telah disalahpahami oleh sebagian
muslim, kemudian disosialisasikandan dan dipraktekkan, sungguh tidak
menjadikan kelompok muslim yang lain memiliki hak untuk mengeksekusi
secara frontal pihak yang dianggap ‘salah’, menggunakan cara kekerasan.
Keduanya sama-sama telah keluar dan tidak taat terhadap prinsip moral
Islam itu sendiri, yaitu nilai-nilai kemurnian dan kebaikan ajaran Islam.
Memang tidak dapat dipungkiri fenomena historis tentang pengkufuran dan
pembunuhan sesama Muslim pada abad awal Islam yang tentunya tidak
murni bersifat agamis. Nuansa politis dan ego pribadi serta kelompok
menjadi salah satu alasan yang mewarnai salah satu sejarah kelam umat
Islam tersebut. Namun demikian, pantaskah bagi kita menghadirkan
kembali fenomena tersebut untuk dijadikan alasan pembelaan atau
pembenaran terhadap tindak anarkis dan perusakan yang terjadi pada masa
saat ini. Jikalau iya, kemanakah Islam yang rahmat, Islam yang membawa
misi keselamatan untuk umat manusia. Alih-alih menegakkan agama Tuhan
sebagaimana yang dipahami secara sepihak, namun justeru berbalik
merendahkannya. Layakkah kita membela Tuhan yang senantiasa kita sebut
yang telah ada sebelumnya, semua urusan ini dalam pandangan Islam, menurut Muhammad
‘Imarah, tidak hanya sebatas pada level “Hak” bagi tiap manusia, secara individual maupun
sosial, untuk memperolehnya dan mengusahakannya secara layak, melainkan sudah pada
level “Kewajiban” (D{aru>ra>t Wa>jibah). Muhammad ‘Imarah, al-Isla>m wa H{uqu>q al-Insa>n
D{aru>ra>t la> H{uqu>q (Kuwait: ‘Alam al-Mu’arrafah, 1985), hlm. 15.
27
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1414
H/1993 M), hlm. 292.
174 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
sebagai Mahalembut, Mahakasih, Mahabaik dengan ekspresi keras, kasar,
dan beringas.28
E. Teologi Sosial sebagai Solusi Permasalahan Sosial-Keagamaan
Teologi merupakan ilmu yang meperbincangkan tentang Tuhan dan
hubungannya dengan alam dan manusia. Teologi Islam, dengan demikian,
merupakan refleksi filosofis berkenaan dengan pokok-pokok keimanan umat
Islam. Diskusi teologi Islam, menilik sejarahnya, berfungsi secara teoritis
untuk memberikan gambaran mengenai perihal aspek filosofis pemikiran
ketuhanan dalam ajaran Islam, sebab pengaruh pemikiran dan metode
filsafat yang cukup signifikan di dalamnya. Oleh karena mula-mula
perbincangan yang berproses dalam diskusi ini adalah mengenai kalam atau
firman ketuhanan, sehingga ia lazim disebut sebagai ilmu kalam.29
Adapun teologi sosial merupakan diskusi pemikiran teologis yang
cukup kental keterkaitannya dengan realitas kehidupan manusia seiring
dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan masyarakat. Adalah sebuah
pemikiran kalam yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara
orientasinya, yaitu untuk memberikan solusi atas problem yang dihadapi
masyarakat semisal ketidakadilan, penindasan Hak Asasi Manusia,
pluralisme agama, terorisme dan lain-lain. Tuntutan sosiologis dari
aktualisasi teologi praksis adalah menciptakan suatu struktur masyarakat
yang berusaha agar terbebas dari kesenjangan, keterbelakangan,
28
Meski demikian pada dasarnya penulis, juga cukup apresiatif dengan wacana 'aksi
teror' yang ditanggapi dalam berbagai pandangan. Diantaranya adalah sebagaimana yang
digaungkan oleh Prof. DR H. Nur Syam, M. Si yang menyatakan bahwa pada dasarnya
munculnya gerakan-gerakan Islam model seperti ini adalah sebagai respon sosial atas
berbagai kebijakan Barat (AS) yang lebih bermuatan politis ketimbang persoalan
kemanusiaan. Hanya sayangnya tindakan tersebut ternyata berimplikasi lain. Stigma yang
lahir antara lain munculnya anggapan bahwa Islam memiliki relevansi dengan tindakan
terror. Sedangkan tindak kekerasan atau terorisme sejatinya tidak ada kaitannya dengan
ajaran Islam yang murni. Kenyataan bahwa hampir setiap agama memiliki tradisi 'kekerasan'
(perang dan sebagainya) namun apa yang terjadi di negeri ini tidaklah dapat dikatakan
mewakili arus utama tradisi agama-agama sebagaimana boleh diwakili oleh kelompok
Muslim moderat semisal NU, Muhamadiyah, Nahdhatul Wathan dan lain-lain. Selain itu,
semestinya media massa juga ikut terlibat dalam upaya stigmatisasi agama ini. Lihat Nur
Syam, Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-agama: Rekonstruksi Tafsir Sosial
Agama dalam "Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer" editor Ridlwan Nasir
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, Tt.),hlm. 247-254.
29
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam; Isu-isu Kontemporer (Malang: UIN Malang
Press, 2008), hlm. 12.
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
175
diskriminasi, ketidakadilan, serta mengedepankan etos egalitarianisme dan
toleransi antar sesama makhluk Tuhan.30
Teologi Islam berperan melalui keyakinan Islam sebagai pembangkit
dan penggugah kesadaran umat beraqidah akan realitas kehidupan mereka.
Bukan sekedar melumat aqidah tersebut dalam pikirannya kemudian
berhenti di dunia ‘langit’ melainkan juga harus ‘mendaratkannya’ ke bumi
dan mendialogkan aktivitas ketuhanan tersebut dengan realitas supaya
diperoleh kemaslahatan secara horizontal. Bukan tidak berfaedah
perbincangan mengenai apakah sifat-Nya adalah Dzat-Nya, apakah Tuhan
berkalam, atau apakah manusia memiliki af'a>l sedang adanya hal ini
mengisyaratkan kebesaran-Nya. Namun apakah ia masih pantas untuk
dihadirkan di hadapan kepungan berbagai persoalan kemanusiaan yang,
mohon maaf, tidak mampu terobati oleh puluhan bahkan ratusan diskusi
mengenai perbincangan tersebut.
Kita memiliki al-Qur'an yang secara tegas menyatakan agar mengenal
dan meminta kepada Allah Swt. dengan Asma-Nya dan selain itu kita juga
mempunyai Sunnah Nabi Saw yang menyerukan agar mampu berakhlak
dengan Asma' yang indah tersebut sesuai dengan kemampuan kita sebagai
makhluk. Maka tidak heran jikalau seorang ulama menasihati dengan
ungkapan "Berakhlaklah dengan akhlak Allah". Karena keberhasilan
meneladani Tuhan melalui Asma-Nya adalah cermin dari keberhasilan
keberagamaan seseorang, sebab hal ini sesuai dengan salah satu definisi
tertua dari agama/keberagamaan yaitu "upaya meneladani Tuhan dalam
sifat-sifat-Nya" tentunya selain sifat-sifat Ketuhanan/Ulu>hiyyah.31
Teologi sosial pada dasarnya mencoba untuk menciptakan paradigma
yang memposisikan dimensi transenden dan antroposentris, dimensi
kehambaan dan dimensi kekhalifahan manusia dalam proporsinya yang
saling terkait. Tugas kehambaan manusia secara niscaya tidak dapat
menafikan realita yang ada di sekitarnya. Sedang martabat kekhalifahannya
menuntut aktualisasi ide-ide ketuhanannya dalam praktek kehidupan seharihari.32 Upaya ini diharapkan akan dapat menjadikan manusia sebagai pusat
kesadaran di bawah sinar keilahian. Ia berusaha mentransformasikan
30
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam…, hlm. 12.
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asma' al-Husna dalam Perspektif alQur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. xxxix
32
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam…, hlm. 15.
31
176 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
dimensi ketuhanan sebagai upaya untuk mengukuhkan eksistensi manusia
dalam realita antroposentrisitasnya. Nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari
sifat-sifat Tuhan menuju kemampuan berfikir manusia, dari keabadian
Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa
depan kemanusiaan. Karena bagaimanapun pemahaman keagamanan umat
mengenai ketuhanan akan bermuara pada satu tujuan, yaitu membentuk
watak dan tabiat manusia yang memiliki sikap mental dan perilaku yang
baik (al-akhla>q al-kari>mah), manusia yang bermoral, dan memiliki etika
serta sopan santun, baik terhadap diri pribadi, orang lain, lingkungan, dan
tentu terhadap Tuhan.33
Sebenarnya, pembicaraan membumikan teologi merupakan wacana
yang cukup ramai diperbincangkan. Hassan Hanafi dalam perjalanan karir
akademiknya pernah menganggap teologi islam (Asy’ari) tidak ‘ilmiah’ dan
tidak pula ‘membumi’. Hanafi merekonstruksi teologi tidak hanya sebagai
dogma keagamaan yang berada pada ruang pemikiran dan tidak membawa
manfaat yang signifikan bagi dunia sosial, melainkan menjelma sebagai
ilmu yang menjadikan nilai-nilai keimanan, sebagai bahan utama diskusi,
berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi bagi setiap
tindakan manusia.34 Dalam rangkaian redaksi lain yang tidak jauh berbeda
namun memiliki urgensi yang sama, Isma’il Raji al-Faruqi mengusung
bendera pembumian tauhid, sebagai inti pengamalan agama, dalam setiap
aspek kehidupan manusia; ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi,
sosial-budaya, politik dan sebagainya. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk
kontribusi bagi ummat dalam membentuk pribadi Muslim yang pandai dan
cerdas menghadapi realita, tidak mundur atau melarikan diri dari berbagai
persoalam hidup, dan terpenting adalah menunjukkan, dalam setiap gerak
aktif dalam kehidupannya, suatu tindak kepasrahan kepada kehendak Ilahi
secara sadar dan bertanggung jawab.35 Namun demikian dalam rangka
sosialisasi dan ‘pencucian otak’ dari mainstream keberagamaan yang
fanatis, maka seruan ini menjadi salah satu upaya perwujudan nilai-nilai
keagamaan yang sangat penting.
33
Muhammad Amin Syukur, Tasawwuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 2
34
AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 4550.
35
Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. ix-x.
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
177
Atas dasar prinsip keterlibatan agama dengan realita sosial, maka
menjadi keniscayaan aktualisasi iman dan takwa seorang Muslim dalam arti
horizontal. Jelasnya bahwa sikap taat dan ketakutan kepada Tuhan mesti
dimanifestasikan dalam bentuk yang lebih relevan terhadap kebutuhan
masyarakat, “Kesadaran Ketuhanan” (God Conciousness), yaitu kesadaran
akan Tuhan Yang Mahahadir dalam kehidupan sehari-hari. KH. Ahmad
Dahlan menguraikan dengan indah dalam hal ini. Ia menyatakan bahwa
iman harus mampu membangkitkan emosi, pandangan, keinginan, sikap
baik, dan nilai-nilai luhur lainnya yang mendorong orang beriman untuk
senang berbuat kebajikan.36 Hal itu berarti keimanan kepada Allah Swt
harus termanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebajikan dalam kehidupan
sehari-hari, termasuk kepedulian terhadap keadilan sosial. Pada sisi lain,
konsep tauhid serta ibadah tidak akan bermakna bila tidak dipahami dalam
perspektif sosial. Karenanya merupakan suatu keniscayaan mengukur
kesalehan seseorang dalam perspektif sosial.
Fenomena kekerasan, fanatisme dan eksklusifisme dalam kehidupan
beragama tidaklah lahir dalam kondisi hampa sebab. Dimungkinkan
terjadinya hal tersebut akibat pemahaman teologi yang sempit, seakan
merasa perlu membela Tuhan. Namun disayangkan jikalau pembelaan
tersebut justeru berbalik melawan esesnsi Islam itu sendiri sebab cara yang
dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang menghendaki
agar tercipta ketenteraman, keharmonisan dan keselamatan.
Teologi Sosial yang Islami dengan berbagai perangkatnya
mengharuskan penganutnya untuk berpegang pada akhlak dan budi pekerti
ketuhanan. Kesadaran akan eksistensi Tuhan sebagai Pencipta, Pengatur,
sekaligus Penyeimbang kehidupan semestinya menjadi termanifestasikan
dalam perilaku hidup sehari-hari manusia. Ketimpangan-ketimpangan serta
kesalahpahaman sebagian kelompok dalam suatu agama semestinya tidak
memancing untuk berlaku beringas seakan keberhakan justifikasi kebenaran
hanya di tangan satu kelompok.
Prinsip dinamitas dan fleksibilitas keberagamaan dalam Islam
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt menjadi salah satu kunci
keterbukaan dan kelapangan pemahaman dan praktek keagamaan.
36
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan; Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia
Abad xx (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. 238
178 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Sebaliknya pendekatan sempit dan kaku terhadap agama yang
mengatasnamakan purifikasi al-Qur’an dan hadis dari berbagai khurafat dan
bid’ah nampaknya perlu ditinjau kembali sebab meski dibenarkan -menurut
versi pendukungnya- namun tampak dari karakter pembawaannya termasuk
dalam kategori pemaksaan yang berakibat pada munculnya kesenjangan
baru yang mungkin akan jauh lebih ekstrem. Teologi sosial, yang notabene
dekat dengan alam manusia, diupayakan mampu menjembatani kepayahan
tersebut dengan menghadirkan suasana keberagamaan yang ramah dan
harmonis tanpa harus meninggalkan nilai-nilai pokok ketauhidan.
F. Penutup
Berbagai kasus kemanusiaan yang sementara ini tampak di hadapan
kita merupakan salah satu fenomena gejala minimnya aktualisasi kesadaran
akan akhlak ketuhanan yang selama ini melulu diperbincangkan secara
panjang lebar di atas langit dan sangat sedikit sekali berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat antroposentris. Teologi sosial yang membawa misi
membumikan kalam sebagai manifestasi akhlak ketuhanan muncul sebagai
salah satu tawaran apik akan problematika tersebut.
Teologi sosial pada dasarnya adalah sebagai upaya untuk menciptakan
paradigma dalam paham keagamaan yang memposisikan dimensi
transenden sebagai seorang hamba dan antroposentris sebagai seorang
khali>fah Alla>h fi al-ard}. Tugas kehambaan manusia secara niscaya tidak
dapat menafikan realita yang ada di sekitarnya. Sedang martabat
kekhalifahannya menuntut aktualisasi ide-ide ketuhanannya dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Karena bagaimanapun pemahaman keagamanan
umat mengenai ketuhanan akan bermuara pada satu tujuan, yaitu
membentuk watak dan tabiat manusia yang memiliki sikap mental dan
perilaku yang baik (al-akhlaq al-karimah), manusia yang bermoral, dan
memiliki etika serta sopan santun, baik terhadap diri pribadi, orang lain,
lingkungan, dan tentunya terhadap Tuhan. Teologi sosial dalam realitasnya
akan mewarnai wajah kalam yang selama ini cenderung sibuk ‘membela
Tuhan’ dengan wajah barunya bergeser menjadi teologi yang ‘membela
manusia’ dalam kilauan sinar Ilahi.
Teologi sosial, yang dekat dengan alam kemanusiaan, diupayakan juga
mampu menjembatani kebuntuan pemikiran Islam yang kaku dan cenderung
fanatis sempit dengan menghadirkan suasana keberagamaan yang ramah
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
179
dan harmonis tanpa harus meninggalkan nilai-nilai pokok ketauhidan. Hal
ini tidak lain supaya keimanan kepada Allah Swt sebagai pondasi
keberagamaan termanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebajikan dalam
kehidupan sehari-hari; kepedulian terhadap keadilan sosial, penyelesaian
permasalahan dan konflik keagamaan, pemenuhan kebutuhan dan
kesejahteraan hidup umat manusia secara merata dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Al-Ittihad Al-Islamiy li Ulama al-Muslimin. Al-Misaq Al-Islamiy terj.
Bukhari Yusuf dkk., "25 Prinsip Islam Moderat". Jakarta: Al-Markaz
Al-Istisyar li Al-Syari'ah, 2008.
Amstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan
oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun
terjemah Zaimul Am. Bandung: Mizan Pustaka. 2004.
A'la, Abd. Pembaruan Pesantren.Bantul: Pustaka Pesantren. 2006.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains; Esai-esai tetang Sejarah dan Filsafat
Sains Islam terjemah Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah. 1995.
Budiardjo, Mirian. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 1999.
Esha, Muhammad In’am. Teologi Islam; Isu-isu Kontemporer (Malang: UIN
Malang Press. 2008.
Al-Faruqi, Isma’il Raji. Tauhid terjemah Rahmani Astuti. Bandung:
Pustaka, 1988.
Haq, Hamka. Islam; Rahmah untuk Bangsa. Jakarta: Rakyat Merdeka
Books. 2009.
‘Imarah, Muhammad. al-Isla>m wa H{uqu>q al-Insa>n D{aru>ra>t la> H{uqu>q.
Kuwait: ‘Alam al-Mu’arrafah. 1985.
‘Imarah, Muhammad. Hal al-Isla>m Huwa al-H{all? Lima>z\a> wa Kayfa?.
Kairo: Dar al-Syuruq. 1968.
Madjid, M. Nurcholis dkk. Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2007.
180 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
2000.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran
Perbandingan. Yogyakarta: UI Press. 2006.
Sejarah
Analisa
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press,
jilid I. 1985.
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan; Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2004.
Shihab, Alwi. Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen” di Indonesia. Mizan: Bandung, 1998.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1994.
Shihab, M. Quraish. Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asma' al-Husna dalam
Perspektif al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Shihab, M. Quraish. Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan di Balik Setiap
Fenomena. Tangerang: Lentera Hati. 2011.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Tematik Atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan. 2007.
Al-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad. Al-Milal
wa Al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr. 1425-1426 H/2005 M.
Syakur, M. Amin dkk., Teologi Islam Terapan (Upaya Antisipatif terhadap
Hedonisme Kehidupan Modern). Solo: Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri. 2003.
Syam, Nur. Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-agama:
Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama dalam "Dialektika Islam dengan
Problem Kontemporer" editor Ridlwan Nasir. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, Tt.
Syukur, Muhammad Amin. Tasawwuf Kontekstual; Solusi Problem
Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Syukur, Muhammad Amin. Tasawwuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipilner; Aplikasi Pendekatan
Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Yogyakarta: Qirtas. 2004.
Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial |
181
Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Depok:
Desantara, 2001.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat
Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute. 2006.
Wahid, Mushtofa dan Abdul. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar
Grafika. 2009.
Zaqzuq, Muhammad Hamdi. al-‘Aqi>dah al-Di>niyyah wa Ahammiyatuha fi>
H{aya>h al-Insa>n (Kairo: Majalliyyah al-Azhar al-Mahalliyyah. 2002
M/1415 H.
182 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
RADIKALISME AGAMA PENGHAMBAT
KEMAJUAN PERADABAN
Arif Nuh Safri
Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo
[email protected]
Abstrak
Exclusivism in religion is one factor that is closely related to the emergence
of religious radicalism or violence. Exclusivity is also of course a poor
indicator of human civilization caused by social empathy is still thin. Thus,
it is clear that such a religious pattern is built with an exclusive insight
anyway. Through this article, the author would like to express that violence
in any form is a major obstacle in achieving an advanced civilization, or at
least reach back civilization achieved by the Prophet as a carrier
Muhammmad treatise. In addition, this article also emphasizes that Islam is
not a religion that teaches violence exclusively.
Kata kunci: Exclusivism, Retarder, Civilization
A. Pendahuluan
adikalisme atau kekerasan sebenarnya muncul dari sikap eksklusif
pada agama sendiri. Oleh karena itu, kemampuan untuk
menghayati agama menjadi kurang dan apalagi untuk
menghidupkannya.1 Islam sebagai agama, dengan demikian harus dihayati
dan dihidupkan dalam diri penganutnya dengan cara memahami cita-cita
R
1
Menurut Hazrat Inayat Khan, banyak orang yang mengaku sebagai Muslim, Nasrani,
Yahudi serta meyakininya sebagai agama paling benar, namun lupa untuk menghidupkannya.
Menurutnya setiap orang harus memahami bahwa agama punya tubuh dan jiwa. Oleh sebab
itu, apapun agamanya, penganutnya harus mampu menyentuh seluruh agamanya baik tubuh
dan jiwanya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi antar pemeluk agama untuk saling
menyalahkan, karena semuanya tidak bisa dinilai dari luar individu. Sesungguhnya sikap
manusia terhadap Tuhan dan kebenaran sajalah yang bisa membawanya lebih dekat pada
Tuhan yang menjadi ideal setiap manusia. Lebih lanjut bisa dilihat dalam Hazrat Inayat
184 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Nabi Muhammad sebagai pembawanya, yaitu menebarkan kasih sayang dan
menyempurnakan akhlak. Banyak individu yang mengaku mengikuti Nabi
namun sangat sedikit yang paham dengan cita-citanya.
Sebelum menjelaskan masalah ini, perlu dikemukakan bahwa sikap
eksklusifisme dalam beragama adalah akibat dari pemahaman yang
dibangun secara eksklusif pula. Sehingga hal semacam inilah yang
menyebabkan adanya truth claim antaragama dan bahkan antarpaham
keagamaan. Oleh sebab itu, dalam memahami teks keagamaan harusnya
bisa lepas dari ideologi tertentu. Karena interpretasi pada teks keagamaan
akan campur aduk dengan kepentingan kelompok seperti kepentingan
politik jika telah dibangun dengan sebuah ideologi tertentu pula.2
Begitu banyak bertebaran ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan
bukti kasih sayang Tuhan dan Rasul-Nya terhadap makhluknya, seharusnya
menjadi acuan untuk mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan
dalam menyikapi problematika kehidupan yang penuh dengan keberagaman
ini. Bagi penulis sendiri, kasih sayang dan kelemah lembutan menjadi
sebuah kebutuhan primer yang harus tetap dijaga. Karena bagaimana pun
juga pluralitas dalam dunia sosial ini adalah sebagai sunnah dari Allah sang
Maha Pencipta alam. Oleh sebab itu, setiap individu khususnya manusia
memiliki beban moral dan beban teologis untuk mengemban amanah
sebagai khalifah dari Allah di muka bumi ini.
Jika keberagaman adalah sunnah Allah atau sebuah keniscayaan,
apakah hal ini akan dihadapi dengan sikap ego yang keras serta perasaan
yang selalu menjadi yang paling benar? Perlu disadari bahwa dengan
kerahmatan dan kasih sayang Nabi Muhammad yang universal, dalam
periode dua puluh tiga tahun, Nabi meraih kesuksesan tidak hanya
mempersatukan Arabia di bawah panji Islam, tetapi bahkan membangun
Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta: Putra Langit.
2003), hlm. 10-11.
2
Hilman Latief. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. (Jogjakarta: eLSAQ
press. 2003), hlm. 135. pendapat yang sama juga dilontarkan oleh M. Masyhur Amin. Ia
mengatakan bahwa posisi agama ditengah-tengah pergumulan ideolofi-ideologi besar sangat
tidak menguntungkan. Lihat M. Masyhur Amin. “Islam dan Transformasi Budaya (Tinjauan
Diskriptif Historis)” dalam M. Masyhur Amin, dkk. Dialog Pemikiran Islam dan Realitas
Empirik. (Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1993), hlm. 3.
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
185
komunitas religius berwawasan global, dimana beliau akan selalu tetap akan
menjadi contoh yang ideal bagi perilaku dan perbuatan manusia.3
Cita-cita yang dibangun oleh Rasul selama kurang lebih dua pulah tiga
tahun dengan kasih sayang, ternyata mendapat hambatan pada masa
sekarang ini khususnya, walaupun sebenarnya kekerasan dan sikap
fundamentalisme telah lama berlaku di dunia Islam itu sendiri. Sebut saja
misalnya bentuk kekerasan yang dilakukan untuk melawan hegemoni Barat
oleh Usamah bin Laden, Imam Samudra, Amrozi, Abu Dujana dan lainnya
dengan tegas mengatas namakan Islam dalam meledakkan simbol-simbol
“kekafiran”. Dalam skala nasional, kekerasan yang dialami oleh jama’ah
Ahmadiyah, peristiwa bom Bali, hotel JW. Mariot, serta berbagai bentuk
kekerasan ormas Islam seperti di setiap tahun, khususnya menjelang bulan
Ramadhan. Penolakan masyarakat atas ibadah Gereja di Jawa Barat hingga
penikaman terhadap seorang Pendeta ketika akan melaksanakan ibadah,
pembakaran Pesantren Syi’ah di Madura, pembubaran atas seminar dan
bedah buku Irshad Manji di Yogyakarta hinggga pengrusakan pada kantor
LKiS, adalah contoh segelintir kekerasan yang dilakukan oleh kelompokkelompok tertentu atas nama agama.4
3
Seyyed Hossein Nasr. Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Terj. Koes
Adiwidjajanto. (Surabaya: Risalah Gusti. 2003), 6. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang
tokoh Muslim Syi'ah moderat, seorang tokoh yang paling bertanggung jawab dalam
mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Lihat dalam artikel
yang ditulis oleh Anis Malik Toha, Phd. (Dosen Ilmu Perbandingan Agama pada
International Islamic University, Malaysia). “Melacak Pluralisme Agama”, dalam
http://hidayatullah.com/opini/opini/1322-melacak-pluralisme-agama. Diakses tanggal 20
Desember 2012.
4
Dalam Laporan The Conditon of Religious and Faith Freedom in Indonesia, Institut
Setara untuk Demokrasi dan perdamaian mencatat ada 265 kasus kekerasan yang mengatas
namakan agama pada periode Januari-Desember 2008. Artikel ini ditulis oleh Maria
Hartiningsih “Pluralisme: Tuntunan Etik yang Merangkul” dalam Kompas, Sabtu 08 Mei
2010, hlm. 35. Jajang Jahroni mencatat sebagaimana dikutipnya dari data Wahid Institue
dalam The Jakarta Post edisi 21 Agustus 2009, bahwa pada tahun 2008 terjadi kekerasan
atas nama agama sebanyak 197, kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 232 kasus.
Lihat Tragedi Kekerasan Atas Nama Agama, Kapankah Akan Berakhir? Dalam
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/100915120055/limit/0/TragediKekerasan-Atas-Nama-Agama-Kapankah-Akan-Berakhir.html.
Diakses
tanggal
24
Desember 2012. Kemudian data selanjutnya mencatat bahwa kekerasan atas nama agama
masih
terjadi
di
tahun
2010
sekitar
117
kasus.
Lihat
dalam
http://www.suarapembaruan.com/home/2010-terjadi-117-kasus-kekerasan-atas-namaagama/2504. diakses tanggal 24 Desember 2012.
186 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Keberagamaan yang fundamentalisme tersebut adalah model
keberagamaan tanpa bekal ilmu pengetahuan. Ahmad Wahib dalam tesisnya
memprediksikan bahwa kegagalan umat Islam selama ini disebabkan karena
mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran Islam. Ketidakpekaan
terhadap nilai-nilai ini menyebabkan umat Islam mengalami ketertinggalan
yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik.5 Di
samping itu, model keberagamaan yang lebih mengedepankan kekerasan
dalam menyikapi keberagamaan akan menjadi penyebab hilangnya citra
agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin dan semakin kehilangan
relevansinya. Model keberagamaan yang lebih mengedepankan niat baik
tanpa didukung oleh pengetahuan terhadap agama lebih sering
menimbulkan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Model keberagamaan
“orang baik” ini adalah model keberagaman yang hanya berjama’ah saat
beribadat, namun menjadi pesaing dan musuh dalam kehidupan sosiohistoris.
Bagi penulis sendiri, kekerasan dalam bentuk apapun akan menjadi
hawa panas yang menyebabkan orang yang berada disekitarnya merasa
gerah, waswas dan bahkan takut terserang oleh kekerasan tersebut. Pada
akhirnya orang disekitarnya juga lama kelamaan akan terbakar dan
kemudian akan berusaha menjauhi agama Islam. Resiko semacam ini
tentunya tidak pernah kita harapkan sebagai bagian dari agama Islam itu
sendiri. Oleh sebab itu, pluralisme dan kemanusiaan tetap harus menjadi
sikap yang dibangun oleh setiap individu dalam beragama, karena baik
pluralisme dan kemanusiaan adalah cita-cita yang dibangun oleh al-Qur’an
melalui asas rahmatan li al-‘alamin (kasih sayang bagi semesta alam).
B. Islam Bukan Agama Eksklusif
Ada banyak ayat al-Qur’an yang dianggap sebagai dalil atau hujjah
yang dijadikan sebagai legitimasi eksklusifitas beragama. Kondisi semacam
ini pada hakikatnya disebabkan oleh pembacaan terhadap teks al-Qur’an
yang ahistoris atau dengan kata lain tanpa memperhatikan konteks yang
melingkupi ayat-ayat tersebut.6
5
Moh. Shofan. Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme…, hlm. 103.
Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Press, 2002),
hlm. 11-13.
6
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
187
Kata al-silm yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 208 adalah salah
satu ayat legitimasi kebenaran tunggal agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw.
           
    
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhan atau utuh, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Ada perbedaan pendapat mengenai sebab turun ayat ini, pertama,
diriwayatkan oleh Abu Salih, meyakini bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Ahli Kitab yang beriman pada Nabi Muhammad, namun masih
mengagungkan hari Sabtu dan berbagai hal yang dimuliakan dalam tradisi
Ahli Kitab, sehingga melalui ayat ini, mereka diperintahkan untuk meyakini
Islam secara utuh7. Kedua, diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas dan al-Dahhak
berkaitan dengan Ahl Kitab yang belum beriman dan diperintahkan untuk
masuk Islam. Ketiga, sebagaimana diriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah
yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada orang-orang muslim agar
meyakini Islam secara utuh dan melaksanakan segala syari’atnya secara
utuh.8
Dengan demikian turunlah ayat ini sebagi respon terhadap pola
keberagamaan mereka yang tidak utuh. Kata al-silm menurut sebagian ahli
tafsir adalah agama Islam. Namun demikian, sebagaimana kata salam, kata
al-silm juga sering diartikan damai dan pada hakikatnya Islam adalah agama
damai. Kemudian kata al-salm berarti perdamaian dan mencari selamat
(istislam).9
Bagi Ibn ‘Asyur sendiri, term al-silm dalam QS. al-Baqarah, 2: 208
lebih dimaknai dengan kesejahteraan (al-musalamah) perdamaian (al-sulh)
dan tanpa ada pembunuhan (dun al-qital). Dalam hal ini tidak perlu
7
Muhammad Yusuf Abu Hayyan al-Andalusi, Tasfir Bahr al-Muhit (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 1993), jilid 2, hlm. 129.
8
Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir. al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media, jilid 1, hlm.
200.
9
al-Baidawi. Tafsir al-Baidawi al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), jilid 3, hlm. 516.
188 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
diperdebatkan karena sangat sesuai dengan makna dasar kata yang dipakai.
Namun demikian, Ibn Asyur, juga mentolerir para mufassir yang memaknai
al-silm agama Islam, walaupun menurutnya sangat tidak memililiki dasar
atau hujjah yang kuat. Lebih jauh, Ibn ‘Asyur menambahkan bahwa ayat ini
selayaknya dibawa pada makna denotasi, bukan pada makna qiyas (agama
Islam).10
             
Barang siapa mencari agama selain agama al-islam (agama tauhid,
tunduk dan patuh pada Allah), maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi. (QS. Ali ‘Imran, 3: 85)
Ayat yang menjadi pemicu eksklusifitas keberagamaan Islam (pengikut
Muhammad) selanjutnya adalah pengakuan al-Qur’an terhadap kebenaran
tunggal agama Islam sebagai jalan yang diterima oleh Allah. Dengan ayat
ini, para garis keras berargumen bahwa teologi dan ritual Islam adalah yang
paling benar. Dalam waktu yang sama pula, para pengikut garis keras tidak
menaruh kompromi serta menolak secara mentah-mentah segala bentuk
agama dan kepercayaan serta berbagai ritual lainnnya karena dianggap salah
atau tidak benar di sisi Allah swt.11
Islam sebagai agama, seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah
ajaran yang berupa dogma semata yang sudah bersifat formal. Karena
ketika Islam dianggap sebagai agama formal yang bersifat dogmatif, maka
dikhawatirkan ajaran Islam akan menjadi sangat kaku. Islam adalah agama12
10
Muhammad al-Tahir Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisis: al-Dar alTunisiyah li al-Nasyr, 1984), jilid 2, hlm. 274.
11
Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Press, 2002),
hlm. 12.
12
Konotasi penyebutan “agama” dapat berarti macam-macam. Sering kali agama
dianggap sekedar kelembagaan, ritus-sritus agama, dogma agama, tradisi agama dan lainlain. Adapun M. Amin Abdullah memaknainya sebagai nilai-nilai spiritualitas,
intelektualitas, moralitas, dan etika yang dibangun oleh agama-agama dunia, khususnya
Islam. Dalam M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 92. Tidak jauh berbeda
dengan apa yang dikemukakan oleh Komarudin Hidayat, agama adalah sebuah kata kerja
yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai
ketuhanan sehingga agama tersebut adalah sebuah sistem yang sempurna yang telah
diwahyukan dan kemudian dijadikan sebagai wujud ketaatan dan kepasrahan terhadap Tuhan
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
189
yang diembankan oleh Tuhan kepada Muhammad saw., untuk diajarkan dan
ditebarkan bagi seluruh semesta alam, sebagaimana tertuang dalam Firman
Allah dalam QS. al-Anbiya’: 21-107.13 Dengan demikian ajaran Islam yang
bersifat eksklusif tidak memiliki dalih yang bisa dibangun oleh penganutnya
yang fundamentalis, dan radikalis. Ajaran Islam bersifat universal yang
menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui
adanya pluralisme agama, karena bagaimanapun, pluralisme adalah sebuah
aturan Tuhan yang tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini
menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam
adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain
untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh
kesungguhan.14
Secara semiotik sendiri, term Islam berasal dari kata salima-yaslamusalamatan wa salaman yang artinya adalah bebas dari kerusakan zahir dan
batin.15 Kemudian menjadi aslama-yuslimu menjadi bentuk kata kerja yang
membutuhkan objek. Dari term salima juga didapatkan kata sullam yang
artinya wasilah atau tangga untuk menuju tempat tinggi sehingga
mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, kedamaian.16 Jika Islam dimaknai
seperti ini, maka seorang muslim selayaknya harus mampu memberikan
kedamaian dan keselamatan bagi dirinya sendiri, kemudian untuk
menyempurnakan keislamannya, dituntut pula untuk memberikan
kedamaian dan keselamatan bagi orang lain.
…      
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
Menurut ‘Abdul Mustaqim, ayat ini dalam beberapa penafsiran klasik
juga sudah bisa memunculkan akar-akar kekerasan. Dalam hal ini beberapa
untuk memperbaiki hubungan kegiatan intelektual yang membangun pemahaman filosofis,
kesadaran lingkungan, dan yang terpenting, merupakan seorang yang realis. Lihat dalam
Quraisy Shihab dkk. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 45.
13
QS. al-Anbiya: 21-107. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.
14
Ajaran ini sesuai dengan QS. al-Kafirun: 109:6. “Untukmu agamamu dan untukku
agamaku”
15
al-Ragib al-Asfahani. Mu’jam Mufradat..., hlm. 268.
16
Ibid..., hlm. 280.
190 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
literatur kitab tafsir klasik, seperti tafsir Ibn Kasir dan al-Qurtubi
menjelaskan bahwa ayat ini sebagai legitimasi dari Allah yang menekankan
bahwa satu-satunya agama yang benar dan diterima oleh Allah adalah
Islam. Bahkan lebih dari itu, kedua penafsir ini justru memahami bahwa
ayat ini juga sebagai sebuah legitimasi untuk menafikan eksistensi agama
lain. Yahudi dan Nasrani dinilai sebagai agama yang harus dihapuskan oleh
Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. Penafsiran seperti itu menurut
hemat penulis bisa berpotensi terhadap upaya pemaksaan kepada seseorang
untuk menganut memeluk Islam, dan jelas bertentangan dengan sarih al-nas
(teks al-Qur’an secara tegas).17
Penafsiran yang hampir mirip bisa ditemukan dalam karya al-Mawardi,
yang dimaksud dengan inna al-dina ‘inda Allah al-islam adalah yang
meyakini agama Islam harus bebas dari segala yang dilarang-Nya. Atau juga
sesungguhnya ketaataan yang diterima Allah adalah al-islam. Sementara
makna al-islam mencakup keselamatan dan penyerahan jiwa secara total
dan mutlak pada Allah. Oleh sebab itulah Allah menegaskan kembali bahwa
hanya Islam agama yang diterima oleh Allah swt. Karena hanya Islamlah
satu-satunya agama yang mengakui ketauhidan-Nya, jauh dari kesyirikan
dan jauh dari prilaku pengakuan terhadap bentuk tuhan-tuhan yang
lainnya.18
Namun dari beberapa penafsir di atas, menarik untuk dicermati tafsir
al-Manar yang menjelaskan bahwa al-din secara bahasa adalah al-jaza’ atau
balasan, ketaatan, ketundukan, atau segala penyebab adanya balasan. Selain
itu, din dimaknai juga dengan segala bentuk taklif yang dibebankan kepada
hamba-hamba Allah, sehingga maknanya hampir mirip dengan millah atau
syari’at. Sementara al-islam berakar dari kata aslama yang artinya adalah
khada’a atau istaslama (menundukkan diri dan menyerahkannya). Bisa juga
al-islam dimaknai dari kata salima atau salama yang dimaknai sama dengan
al-sulh (perdamaian) atau al-salamah (keselamatan dan kesejahteraan).
Namun demikian, ketika bentuk salama atau salima menjadi sallama, maka
maknaya tidak bisa lepas dari unsur ketulusan dan keikhlasan. Dengan
berbagai macam pemaknaan bahasa semacam ini, al-islam dimaknai sebagai
din yang hak. Nabi Ibrahim dan beberapa nabi terdahulu juga disebut
17
Abdul
Mustaqim,
“Akar-akar
Radikalisme
dalam
http://basthon.multiply.com/journal, diakses tanggal 18 Juli 2011.
18
al-Mawardi, al-Nakt wa al-‘Uyun..., jilid 1, hlm. 222.
Tafsir”
dalam
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
191
membawa ajaran al-islam, yaitu ajaran yang mengajarkan ketulusan dan
keikhlasan serta kemurnian ajaran tauhid sebagai ruh segala perbuatan dan
amal. Dalam pada itu, seorang muslim hakiki dalam al-Qur’an adalah
seseorang yang suci dan murni dari segala bentuk kesyirikan pada Yang
Maha Pengasih, selain itu juga tulus dalam amal perbuatan yang didasari
keimanan pada saat kapan pun dan dimana pun berada. Intinya, al-islam
berfungsi dua hal, yaitu: pertama, pensucian ruh dan pemurnian akal.
Kedua, memperbaiki hati dalam menciptakan niat yang tulus dalam segala
perbuatan baik perbuatan pada Allah maupun perbuatan pada manusia.
Sehingga dengan kedua fungsi ini pulalah seseorang akan mencapai fitrah
dan ruh dari kata al-islam.19 Jadi dalam hal ini, Islam tidak dimaknai
sebagai eksklusifitas keagamaan, namun dimaknai sebagai bentuk
ketauhidan yang murni. Bahkan menurut Muhammad Abduh, makna alislam ini telah banyak dilupakan oleh orang-orang muslim sehingga sangat
bersifat ekslusif dan menjadikannya bermakna golongan tertentu. Padahal
al-islam tidak bisa disandarkan kepada ajaran Nabi Muhammad semata.
Demikian juga tidak bisa disandarkan kepada kedua agama sebelumnya,
yaitu Yahudi dan Nasrani.20
Melanjutkan argumen Abou El Fadl, orang-orang yang beraliran keras
memahami al-Qur’an secara literal dan ahistoris, sehingga kekufuran harus
dilawan dengan perang. Itulah logika yang disimpulkan dari pemahaman
ayat secara tekstual dan literal. Wajar jika cara berpikir seperti itu
kemudian melahirkan produk-produk tafsir yang mengarah kepada
radikalisme Islam.
Bila Islam diterjemahkan dengan kedamaian, dan keselamatan maka
terjemahan ayat tersebut adalah “sesungguhnya agama yang diridhai oleh
Allah adalah agama kedamaian dan keselamatan.” Dengan demikian,
seorang muslim adalah orang yang menganut agama yang mengedepankan
kedamaian dan perdamaian dengan seluruh umat manusia bahkan dengan
alam sekalipun.
Sesungguhnya, fenomena agama dan beragama telah ada bersamaan
dengan keberadaan manusia dan akan terus berlanjut sampai akhir
19
Muhammad Rasyid Rida’, Tafsir al-Manar (Mesir: Dar al-Manar, 1367 H), jilid 3,
hlm. 257-258.
20
Ibid..., jilid 3, hlm. 330.
192 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam tentang
puluralisme, kita harus menelaahnya dari Muhammad saw., dan Islam dalam
kehidupan umat manusia. Sejarah mencatat bahwa Muhammad saw., diutus
oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dengan membawa risalah
Islamiyah, dengan misi universal.
Agama Islam adalah agama damai yang sangat menghargai, toleran dan
membuka diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme
agama sangat banyak ditemukan di dalam al-Qur’an antara lain Firman
Allah “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.21 Selain Allah juga
menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal
tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih
agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari
Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”.22
Pluralisme agama mengajak keterlibatan aktif dengan orang yang berbeda
agama tidak sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu memahami akan
substansi ajaran agama orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi
sebagai paradigma yang efektif bagi pluralisme sosial demokratis di mana
kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang yang berbeda bersedia
membangun sebuah komunitas global. Secara khusus Islam, al-Qur’an
menganut prinsip adanya realitas tentang pluralitas agama, seperti QS. alBaqarah: 2: 62.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Kembali lagi Allah melalui ayat ini, menekankan bahwa yang
mendapatkan ketenangan adalah yang melakukan aktualisasi diri atau amal
saleh. Tentunya harus dilandasi kasih sayang dan kemuliaan akhlak. Malah
secara tegas pula Allah menganjurkan setiap penganut agama untuk saling
berlomba dalam kebajikan. Sebagaimana dalam QS. al-Mai’dah: 5: 48,
21
22
QS. al-Kafirun: 109: 6.
QS. al-Baqarah: 2: 256.
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
193
“… untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
C.
Sinkronisasi Iman dan Amal Saleh: Manifestasi Makhluk Sempurna
Sebelum lebih jauh membahas nilai universalitas Iman, penulis merasa
perlu untuk melampirkan ungkapan Yusuf al-Qaradawi mengenai
pemaknaan substansial Iman itu sendiri sebagaimana dalam bukunya yang
berjudul The Impact of Iman in the Life of Individual.
“Iman is the power of morals and morals of power, the soul of life and
life of the soul, beauty of the world and the world of beauty, the light
of the way and the way of light. It short, it is necessity of human life:
for the individual to be secure and happy and to develop himself, and
the society to be stable, coherent, and able to continue succesfully and
effectively ”23
“Iman merupakan kekuatan moral dan moral dari kekuatan, jiwa
kehidupan dan kehidupan jiwa, keindahan dunia dan dunia dari
keindahan, cahaya penerangan jalan dan jalan untung penerangan.
Singkatnya, iman adalah kebutuhan mutlak dalam kehidupan manusia:
baik untuk individu dalam mencapai kenyamanan dan kebahagiaan
serta untuk mengembangkan diri, dan menjaga stabilitas sosial yang
saling terkait, dan pada akhirnya mencapai kesuksesan dan efektifitas.”
Term iman berakar dari term amana, atau alif-mim-nun. Dari term ini
tercipta berbagai macam derivasinya dalam al-Qur’an, sehingga terulang
sebanyak 763 kali, di antara sasaran term ini, setidaknya seruan terhadap
23
Sheikh Yusuf al-Qaradawi, The Impact of Iman in the Life of the Individual, (Kairo:
Al-Falah Foundation, 2002), hlm. 207.
194 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
orang beriman untuk beramal saleh dalam al-Qur’an terulang sebanyak 89
kali.24
Melalui ayat-ayat tentang iman di dalam al-Qur’an, terbukti
menetapkan hak-hak dasar kemanusiaan universal yang harus diperhatikan
dan dihormati dalam semua keadaan. Sehingga hak-hak ini dapat
diwujudkan dalam kehidupan seseorang sehari-hari dan kehidupan sosial.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan keimanan memberikan perlindungan
hukum dan sistem moral yang sangat efektif dalam berbagai hal. Segala
sesuatu yang meningkatkan kesejahteraan secara individu maupun
masyarakat secara moral akan dianggap baik, sebaliknya dan apa pun yang
merugikan kesejahteraan secara moral akan dipandang buruk.
Dalam ayat-ayat iman, diberi gambaran yang indah, dimana agama
yang dilakukan mematuhi peraturan yang bermanfaat dengan cara
memperbaiki pandangannya pada kasih Tuhan dan mengasihi kemanusiaan.
Iman seorang individu harus benar dan tulus serta harus siap untuk
menunjukkan dalam perbuatan amal untuk orang lain dan dengan hidup
sebagai warga yang baik serta bertindak sebagai pendukung organisasi
sosial.
Akhirnya, iman individual kita sendiri harus tetap teguh dan tak
tergoyahkan dalam semua keadaan. Hal ini juga memberikan inti ajaran
agar seseorang mengerti dan faham pada sekitar mana seorang individu dan
juga sebagai kode moral masyarakat harus berputar. Sebelum meletakkan
segala perintah moral, Islam atau keimanan berusaha untuk menanamkan
kuat dalam hati manusia berupa keyakinan bahwa urusannya adalah dengan
Allah, yang Maha Melihat di setiap saat dan di segala tempat. Keimanan
mengajarkan bahwa tujuan dari hidup seseorang adalah untuk hidup yang
berkenan kepada Allah.
Keimanan dalam ayat-ayat tentang iman telah mengajarkan umat
manusia standar tertinggi kode moralitas, menyediakan individu dengan
cara yang tak terhitung banyaknya untuk memulai atas dan kemudian
melanjutkan jalan evolusi moral. Manfaat lain dari keimanan bertahap
internalisasi dari standar moral, untuk kemudian berusaha mematuhi Allah
secara sukarela. Sebuah keyakinan individu dalam Tuhan, ketika
24
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an, (tt: Dar alFikr, 1981), hlm. 81-93.
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
195
ditambahkan dengan kepercayaan pada hari kiamat, adalah faktor
pendorong yang kuat untuk hidup bermoral tinggi.
Pada al-Qur’an surat al-Tin jelas sekali penegasan dari Allah swt,
bahwa singkronisasi iman dan amal saleh merupakan syarat kesempurnaan
manusia sebagai makhluk Tuhan yang disebut sempurna pula.
            
        
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putusputusnya.
Menyikapi ayat ini, seorang mufassir, al-Razi berkata bahwa makna
kesempurnaan manusia dalam ayat ini adalah dari segi penciptaan. Sebut
saja contohnya bisa makan pakai tangan. Dan kesempurnaan lainnya yang
penting adalah memiliki akal yang sehat, pemahaman yang kuat, adab,
ilmu. Kesempurnaan selanjutnya adalah kebaikan batin. Singkatnya bahwa
al-Razi menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan
pada bentuk ciptaan, akal serta kemurnian batin. Dengan kata lain
kesempurnaan akan dicapai dengan tiga aspek, yaitu fisik, akal dan batin.25
Sementara itu, Ibn ‘Asyur, dalam tafsirnya, bahwa amal saleh
merupakan bagian dari sebaik-baik ciptaan setelah datangnya syari’at,
karena amal saleh mampu menambah kualitas fitrah ketuhanan manusia
yang meneduhi iman dengan akhlak yang mulia.26 Dengan demikian, yang
paling mendasar dari orang beriman itu bukanlah percaya atu tidaknya
seseorang pada Allah, namun bagaimana ia merepresentasikan keimanan
tersebut, sehingga dengan keimanan pada Allah ia mampu membebaskan
diri dari segala yang mengotori kemurnian nilai keimanan tersebut. Bagi
Nurcholis Madjid, keimanan yang murni selayaknya menciptakan
kebebasan diri dari berbagai tirani yang ada, sekaligus dengan keimanan
25
Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Gaib..., jilid 33, hlm. 11.
Muhammad al-Tahir Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisis: al-Dar alTunisiyah li al-Nasyr, 1984), jilid 30, hlm. 428.
26
196 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
tersebut mampu menciptakan pembebasan pada aspek sosial, karena dengan
keimanan ini menciptakan tauhid uluhiyah (penegasan bahwa yang boleh
disembah hanyalah Allah), dan tauhid rububiyah (penegasan bahwa Allah
adalah Tuhan Yang maha Esa, yang mutlak secara transendental).27
D. Peradaban “Iqra’” Sebagai Empati Sosial Allah Pada Makhluk-Nya
            
           
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia
telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Surat al-‘Alaq ayat 1-5 diyakini dalam sejarah Islam sebagai wahyu
yang pertama kali diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw
melalui malaikat Jibril.28 Ini merupakan indikasi yang sangat fundamental
bahwa untuk membangun sebuah peradaban baru di tengah-tengah
bobroknya kehidupan masyarakat yang penuh dengan kejahiliyahan adalah
dengan menumbuhkan peradaban “iqra” atau membaca. Namun demikian,
hal penting yang harus digaris bawahi adalah, Jibril tidak mungkin turun
pada saat membawa wahyu al-Qur’an dengan membawa teks atau pesan
dari Allah yang tertulis di atas lembaran kertas, atau kain seperti yang ada
pada saat ini, sehingga tentunya Nabi Muhammad ketika itu diperintahkan
oleh Allah melalui malaikat Jibril untuk membaca fenomena sosial yang
terjadi pada saat itu yang penuh dengan kejahiliyahan29, serta fenomena
27
Nur Kholis Madjid, Islam: Agama dan Peradaban,(Jakarta Timur: Paramadina, 2005)
hlm. 80-85.
28
‘A’isyah bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt ),
jilid 2, hlm. 13. Lihat juga dalam Ahmad bin Mustafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi’i,
(Riyadh, Dar Tadmuriyyah, 2006), hlm. 1448, jilid 3
29
Berbagai bentuk kejahiliyahan yang terjadi pada masa itu adalah, perbudakan,
menguburkan anak perempuan hidup-hidup, posisi perempuan yang disubordinasikan di
bawah laki-laki, dan bahkan bisa jadi sebagai harta warisan ketika ditinggal meninggal oleh
suaminya, bentrok atau perang antarkafilah, kecurangan dalam perniagaan, penindasan
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
197
alam yang ada di sekitar beliau. Oleh sebab itulah, tentu tidak salah ketika
M. Quraish Shihab memaknai “iqra’” bukan sekedar membaca, namun harus
dimaknai dengan menelaah.30
Allah mengajarkan makhluk-Nya untuk menolak perlakuan atau
prilaku hidup orang-orang Jahiliyah PraIslam yang memandang anak
perempuan sebagai aib dan harus dibunuh atau dikubur hidup-hidup.31
Selain itu, perempuan juga seringkali dianggap sebagai makhluk hina dan
sama kedudukannya dengan barang mati yang bisa diwariskan. Namun,
Islam melalui wahyu al-Qur’an menentang keras praktek semacam ini dan
menjamin hidup dan perlakuan yang baik.32 Lebih dari itu, Allah juga
menjamin bahwa laki-laki dan perempuan yang melakukan amal baik akan
mendapat ganjaran yang sama.33
Dalam pandangan Fakhr al-Din al-Razi ketika menyikapi dan
menafsirkan kelima ayat ini sangat penting untuk direnungkan. Bagi alRazi, ayat ini merupakan indikasi bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Allah yang unik serta istimewa dibandingkan dengan makhluk Allah
lainnya. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia
memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Manusia adalah
terhadap golongan miskin, dan lain-lain. Ketika itu, wanita diperjualbelikan seperti hewan
dan barang. Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak
mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk
menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak
untuk mempergunakan harta istri tanpa persetujuannya. Baca Yusuf Qardhawi, Berinteraksi
dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al- Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 151.
30
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an
31
QS. al-Nahl, 16: 58-59. Untuk menggambarkan kondisi ini, Hamka menjelaskan
bagaimana tradisi penguburan hidup-hidup bayi perempuan itu berlangsung: “Pada masa itu,
ketika perempuan hamil telah merasakan sakit karena akan melahirkan, keluarganya
menggalikan lubang dan ia disuruh mengerjakan di muka lubang itu. Setelah bayi terlihat,
maka akan dicek apakah ia perempuan ataukah laki-laki. Kalau ternyata perempuan, maka
dibiarkan bayi itu lahir dan langsung masuk ke dalam lubang, dan lubang itu pun langsung
pula ditimbun dengan tanah. Sebaliknya jika ternyata bayi itu laki-laki, barulah disambut
dengan gembira. Lihat dan baca dalam, Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam,
(Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm. 22-23.
32
QS. al-Nisa’, 4: 19. Ketika itu, wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang.
Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi,
dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk
menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak
untuk mempergunakan harta istri tanpa persetujuannya. Baca Yusuf Qardhawi, Berinteraksi
dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al- Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 151.
33
Lihat QS. al-Ahzab, 33: 35, QS. Ali ‘Imran, 3: 195, QS. al-Nahl, 16: 97, QS. Gafir,
40: 40, QS. al-Taubah, 9: 71, QS. QS. al-An’am, 6: 165, QS. al-Hujrat, 49: 13.
198 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Inilah yang
membedakan manusia bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi
juga dengan Malaikat.34

Al-Razi menjelaskan bahwa penyebutan al-insan pada ayat ini adalah
membuktikan adanya kekhususan manusia dibanding makhluk lainnya.
Padahal ayat sebelumnya, dijelaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha
Pencipta. Dengan demikian, manusia adalah makhluk paling sempurna
sehingga dijadikan sebagai contoh. Menurut al-Razi ada dua kemungkinan
yang meyebabkan manusia dalam surat ini disebut secara khusus.
Kemungkinan pertama, pengkhususan ini disebabkan karena memang alQur’an diturunkan untuk manusia, atau kemungkinan kedua adalah karena
penciptaan paling sempurna yang punya fitrah luar biasa.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa Allah mengaitkan antara
‘alaqah (segumpal darah) dengan al-qalam (pena). Lebih jelas al-Razi
menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah yang diangap
kotor dan rendah, kemudian akan menjadi mulia dengan al-qalam (pena).
Oleh sebab itu, manusia yang mulia adalah manusia yang mampu
mengangkat derajatnya dengan ilmu. Al-Razi juga menyatakan bahwa ayat
ini menjadi peringatan besar bagi manusia bahwa ilmu adalah sifat manusia
yang paling mulia.35
Untuk mempertajam pemahaman atas surat al-‘Alaq ayat 1-5 ini,
menarik untuk memahami Tafsir bint al-Syati’. Menurut Bin al-Syati’,
sebuah keanehan yang luar biasa, surat pertama yang diturunkan kepada
Muhammad adalah perintah “iqra’” atau membaca, sementara Muhammad
adalah seorang yang ummi dan hidup di tengah-tengah umat yang ummi
juga. Kitab ini diturunkan sebagai mukjizat sejak 14 abad dimana sudah
tidak ada lagi kitab diturunkan. Wahyu Nabi Muhammad diturunkan di
tengah-tengah umat yang penuh dengan kebodohan (baduwi), lingkungan
yang dipenuhi dengan penyembahan berhala, kering dari tradisi peradaban
34
Jiwa
Manusia
Menurut
Fakhruddin
Al-Razi,
dalam
http://www.insistnet.com/index.php/option=com_content&view=article&id=94:jiwamanusia-menurut-fakhruddin-al-razi&catid=20:psikologi-islam&itemid=18. Diakses tanggal
28 Desember 2012.
35
Fakhr al-Din al-Razi. Mafatih al-Gaib. Al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media.
Jilid 17, hlm. 105.
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
199
pemikiran.36 Oleh sebab itulah, menurutnya penting sekali untuk
mengkomparasikan isi ayat ini dengan konteks turun tersebut. Setelah
melihat dan mengkomparasikan ayat tersebut dengan konteks yang
melingkupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat ini sebagai perintah
bagi Muhammad untuk membaca kondisi Arab pra-islam yang penuh
dengan kebodohan, dan kesesatan, mereka mengingkari ibadah kepada
Tuhan yang hakiki serta beribadah kepada tuhan-tuhan yang mereka buat
sendiri dari kayu, batu, dan tanah. Dalam sejarahnya juga kaum Yahudi di
daerah selatan Hijaz yang tanahnya subur dan gemahripah melupakan
Tuhan yang diajarkan oleh Nabi Musa a.s. serta menyembah tuhan mereka
yang terbuat dari emas. Sementara itu, kaum Nasrani di daerah Syam dan
Najran penuh dengan perpecahan dan konflik antar faham tanpa ujung dan
henti, hingga antara golongan satu dengan golongan yang lain saling
mengklaim kafir dan sesat. Sementara itu, di tempat lain kaum Majusi
beribadah kepada Api. Kondisi dan realita semacam ini semualah yang
membuat Muhammad merenung dan berfikir, sehingga beliau sering bertahannus ke gua Hira, hingga pada akhirnya Allah menurunkan wahyu
kepadanya.37
E. Simpulan
Dari pembahasan singkat di atas memperlihatkan bahwa keberhasilan
Rasul dalam mengemban amanah dari Allah adalah sifat dan sikap rahmat
dan kasih sayang dari Rasul. Dengan rahmat dan kasih sayang ini, Rasul
telah berhasil menciptakan peradaban baru untuk menuju pencerahan di
dunia Islam secara khusus dan di dunia secara universal. Dalam hal ini,
rahmat yang ditawarkan oleh Rasul adalah ranah praksis, sehingga rahmat
dan kasih sayang tersebut menjadi pijakan dalam hidup berdampingan
penganut sesama agama, penganut antar agama, antar ras, suku dan
pemahaman keagamaan.
Tidak ada alasan dan dalih apapun yang mampu untuk dijadikan
pegangan untuk menlegitimasi kekerasan dalam bentuk apapun juga,
termasuk dalih agama. Islam adalah agama yang universal menjamin
36
‘A’isyah bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt ),
jilid 2, hlm. 15-16
37
Ibid, ..., hlm. 15-16.
200 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
kedamaian, kemanusiaan dan inklusifisme. Allah Yang Maha Kuasa
sekalipun selalu mengedepankan sifat rahmat dan kasih saying dalam
menghargai hamba-Nya, dan dengan alas an kemanusiaan pulalah Allah
menurunkan wahyu untuk diemban oleh setiap Nabi yang diutus ke ummatNya.
Prinsip moral yang bersifat universal semacam inilah yang harus
ditanamkan dalam setiap individu sehingga mampu mengubah orientasi
dalam hidup, mengubah mentalitas dan hati, serta menggerakkan setiap
individu untuk menuju orientasi hidup yang baru yang penuh kedamaian
dan kasih sayang. Pertanyaan selanjutnya adalah mana yang termasuk
kategori primer atau skunder, kasih sayang atau kekerasan?
Daftar Pustaka
Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. terj. Yulian Aris Fauzi.
(Yogyakarta: Putra Langit. 2003)
Hilman Latief. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. (Jogjakarta:
eLSAQ press. 2003)
Nur Kholis Madjid, Islam: Agama dan Peradaban. Jakarta Timur:
Paramadina, 2005.
M. Masyhur Amin, dkk. Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik.
(Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1993)
Seyyed Hossein Nasr. Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Terj. Koes
Adiwidjajanto. (Surabaya: Risalah Gusti. 2003)
Anis
Malik
Toha,
“Melacak
Pluralisme
Agama”,
dalam
http://hidayatullah.com/opini/opini/1322-melacak-pluralisme-agama.
Maria Hartiningsih “Pluralisme: Tuntunan Etik yang Merangkul” dalam
Kompas, Sabtu 08 Mei 2010.
Tragedi Kekerasan Atas Nama Agama, Kapankah Akan Berakhir? Dalam
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/100915120
055/limit/0/Tragedi-Kekerasan-Atas-Nama-Agama-Kapankah-AkanBerakhir.html.
http://www.suarapembaruan.com/home/2010-terjadi-117-kasus-kekerasanatas-nama-agama/2504.
Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban |
201
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana
Media.
Imam Malik. Muwata’ Malik. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media.
Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media
al-Ragib al-Asfahani. Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an. (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah. 2004)
al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab’i al-Masani.
al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media.
Zuhairi Misrawi. al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah. 2007)
Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah.
(Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa. 2007)
al-Bagawi. Ma’alim al-Tanzil. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media.
al-Zamakhsyari. al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi
Wujuh al-Ta’wil. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media.
al-Khazin. Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil. al-Maktabah al-Syamilah.
Ridwana Media.
‘A’isyah bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, (Kairo: Dar alMa’arif, tt)
Ahmad bin Mustafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, (Riyadh, Dar
Tadmuriyyah, 2006)
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie alKattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999).
Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1996)
Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon
Press, 2002)
Muhammad Yusuf Abu Hayyan al-Andalusi, Tasfir Bahr al-Muhit (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993)
Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir. al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media
al-Baidawi. Tafsir al-Baidawi al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar alTa’wil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)
202 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Muhammad al-Tahit Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisis: alDar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984)
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Quraisy Shihab dkk. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog
“Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)
Abdul Mustaqim, “Akar-akar Radikalisme
http://basthon.multiply.com/journal,
dalam
Tafsir”
dalam
Muhammad Rasyid Rida’, Tafsir al-Manar (Mesir: Dar al-Manar, 1367 H)
DIALOG INTERRELIGIUS-KULTURAL DAN CIVIL
RELIGION
(Studi atas Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu)
Muryana
Fak Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected]
Abstrac
The disaster is not only a mere natural occurrence, but also due to the lack
of awareness and understanding of one's environmental problems. This
paper will review the ecological values contained in the Qur'an. In fact, the
Qur'an has given a stern warning of not doing mischief on earth. In this
regard, within the certain limits, the query is how religion (Islam) providing
ecological value to the whole community through the Koran? Applying
semantic-hermeneutical approach, the research results the concept that has
been introduced by the Qur'an with various forms and models of word. With
some verses that describe the ecological problems, the formulation can be
used as 'green religion', namely religion that requires people to practice
Islam stressing the integral relationship between faith and the environment
(all natural). Moral-ethical action is not only related to human relations, but
also with nature.
Kata Kunci: al-Qur’an, Ekologis, Lingkungan, Bencana
A. Pendahuluan
ialog merupakan metode yang efektif dan tetap aktual untuk
dikembangkan saat ini, terutama dalam hubungan antar agama.
Hal ini ditunjukkan dengan muatan dialog yang selalu ada di
dalam studi agama, baik pada level akademis maupun praktis. Dialog
berperan mulai dari menyikapi suatu perbedaan hingga sebagai resolusi
dalam konflik. Meskipun demikian, dialog tidak hanya pada lingkup
hubungan antar agama semata, tetapi juga pada bidang kehidupan yang lain,
seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Signifikasi dialog ini juga
D
204 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
diakui oleh Demmy Antoh sebagai bagian dari manajemen konflik di
Papua,1 Mashood A. Baderin untuk mempertemukan HAM dan hukum
Islam dengan complementary approachnya,2 dan sebagainya.
Pengakuan terhadap signifikasi dialog tersebut menunjukkan bahwa
lingkup dialog tidak hanya pada satu bidang kehidupan saja, tetapi juga
berlaku lintas bidang kehidupan bahkan menjadi sangat penting.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Pangestu dengan dialognya yang
mempertemukan antara budaya (Jawa) dan agama (Islam dan Kristen).
Dialog tersebut bermula dari kegelisahan pakde Narto yang menjadi kritik
bagi keringnya agama dalam kepuasan “rasa”. Kemudian proses tersebut
menjadi embrio berdirinya Pangestu.
Berdasar pada uraian tersebut maka makalah ini mencoba untuk
mengetahui relasi antara dialog interkultural-religius Pangestu terhadap
kemunculan gerakan kebathinan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk mengetahui fungsi dialog yang dilakukan oleh Pangestu dan implikasi
yang ditimbulkannya.
Pangestu dan Gerakan Kebathinan
Kebathinan telah muncul di Jawa sejak tahun 1945. Kemunculannya
sangat yang didukung dengan kondisi lingkungan keagamaan masyarakat di
Jawa. Hingga pertengahan abad ke-20, kebathinan tersusun dan tumbuh
subur menjadi berbagai macam aliran. Perkembangannya pernah dilarang
oleh pemerintah Belanda karena dianggap dapat menimbulkan akibat-akibat
buruk bagi kelanggengan kekuasaan mereka. Akan tetapi, kebebasan
tumbuh dan bergeraknya aliran kebathinan menjadi lebih besar setelah
pemerintah kolonial ditumbangkan. Aliran-aliran tersebut berkembang
dengan versi mutakhir dengan jumlah kecil dan dengan organisasi yang
lebih baik. Di mana coraknya menampilkan aspirasi para pemimpinnya.
Aliran-aliran tersebut sedikit banyaknya mempunyai hubungan dengan
Pangestu yang lahir pada zaman kemerdekaan di Surakarta, salah satu pusat
kebudayaan di Jawa Tengah.3
1
Demmy Antoh, Menggugat Implementasi Otsus Papua (Sorong: Pusat Pengkajian
Pembangunan Papua (P4), 2008)
2
Baderin, Mashood A, International Human Rights and Islamic Law (New York:
Oxford University Press, 2003)
3
Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok …, hlm. 9-13.
Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion |
205
Pangestu merupakan sebuah organisasi yang lahir di Surakarta sekitar
tahun 1932. Kelahirannya diawali dengan pepadhang4 yang diterima oleh
Raden Soenarto Mertowardoyo atau yang lebih dikenal dengan pakde
Narto. Pepadhang tersebut dijadikan semacam kitab suci yang diberi nama
Sasangka Jati. Tafsirannya ditulis oleh pakde Narto dalam buku Olah Rasa
di Dalam Rasa dan Serat Sabda Khusus atau yang ditulis oleh Raden
Soemantri Hardjoprakosa yang berjudul Sarjana Budi Santosa.5 Kemudian
pada tahun 1949, Pangestu secara formal berdiri sebagai organisasi. Oleh
karena itu, kemunculan Pangestu tidak bisa terlepas dari pengalaman
pribadi pakde Narto.
Pakde Narto yang lahir pada tanggal 21 April 1899 merupakan anak
keenam dari delapan bersaudara. Ayahnya adalah Raden Soemowardojo
yang bekerja sebagai juru tulis kawedanan. Kehidupan ekonomi keluarga
yang serba kekurangan menyebabkan pakde Narto harus hidup berpindahpindah, dari keluarga satu ke keluarga yang lain.6
Pakde Narto merupakan seorang yang mempunyai dasar kepercayaan
terhadap Tuhan yang sangat kuat. Sejak kecil pakde Narto telah belajar
mengaji kepada guru ngajinya dengan sistem hafalan ayat-ayat al-Qur’an.7
Begitu juga ketika pakde Narto dewasa. Akan tetapi, dia tidak tahu
bagaimana cara dan syarat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini
disebabkan, selama mengaji dia tidak mengetahui arti ayat-ayat tersebut
karena gurunya tidak memberikan penjelasan.8
Berdasarkan pengalaman tersebut, akhirnya pakde Narto dengan
kebulatan hati membuang semua ilmu pemberian gurunya yang ada dalam
pikiran dan tindakannya, setelah petualangannya mencari makna agama
4
Pepadhang berarti wahyu. Pepadhang turun secara bertahap selama tujuh bulan dan
pertama kali diterima pada sekitar jam 6 sore Ahad pon tanggal 6 Syawal 1862 tahun Jawa
atau 14 Februari 1932 tahun masehi. Pepadhang-pepadhang tersebut ditulis oleh Raden
Tumenggung Hardjoprakoso dan Raden Tumenggung Trihardono Soemodihardjo. Romdon,
Ajaran Ontologi Aliran Kebathinan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 128-129.
5
Romdon, Ajaran Ontologi …, hlm. 128-129.
6
M. Soehadha, Orang Jawa Memaknai Agama (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008),
hlm. 54.
7
Sistem hafalan merupakan salah satu bagian yang dikritik dalam pendidikan di
Indonesia, terutama pendidikan Islam. Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan
Manajemen Keuangan untuk Organisasi Pengelola Zakat (Jakarta: Institut Manajemen Zakat,
2001) Sistem ini menyebabkan pemahaman terhadap teks yang dipelajari tidak berkembang
dan cenderung statis.
8
M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 56-57.
206 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
dengan guru dari agama-agama yang berbeda. Kemudian dia berkeyakinan
bahwa cara mendekatkan diri kepada Tuhan dapat dilakukan sendiri, dengan
cara memohon kepada Tuhan dengan niat yang baik dan ikhlas. Sehingga
turunlah pepadhang pada sekitar jam 6 sore Ahad pon tanggal 6 Syawal
1862 tahun Jawa atau 14 Februari 1932 tahun masehi.9
Prilaku pakde Narto hingga tahap pepadhang tersebut merupakan suatu
usaha untuk mencari bentuk baru cara beragama yang memberikan dampak
bagi kehidupan. Hal tersebut dilakukan pakde Narto karena ketidakpuasan
terhadap cara beragama yang ada dan dianutnya, seperti sistem hafalan
yang diterapkan oleh guru ngajinya dalam pemahaman agama. Sistem
tersebut menurut pakde Narto tidak memberikan solusi bagi permasalahan
krisis spiritual dan persoalan kehidupan yang dialaminya. Usaha inilah yang
menurut Blumer disebut sebagai gerakan.
“Social movements can be viewed as collective enterprises
seeking to establish a new order of life. They have their inception
in a condition of unrest, and derive their motive power on one
hand from dissatisfaction with the current form of life, and on the
other hand, from wishes and hopes for a new system of living. The
career of a social movement depicts the emergence of a new order
of life.” (Blumer 1969: 99)10
Gerakan tersebut terletak pada pengolahan jiwa sebagai sebuah bentuk
dari mistisisme. Menurut sejarah, praktik mistisisme berkembang di
Indonesia sejak abad ke-20 dan berkembang pesat semenjak kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945 (Woodward, 1999: 347). Mistisisme merupakan
satu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukkan oleh adanya kondisi
psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu, di mana simbolsimbol indrawi dan pengertian-pengertian dari pemikiran abstrak seolaholah terhapuskan. Masyarakat Jawa lazim menyebutnya sebagai laku
bathin.11
Laku bathin, yaitu tindakan yang ditumpukan pada wilayah bathin
manusia melalui sistem ritual (praktik) mistisisme yang dilakukan oleh para
9
M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 60.
Nick Crossley, Making Sense of Social Movements (Buckingham&Philadelphia:
Open University Press, 2002), p. 3.
11
M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 3.
10
Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion |
207
pengikutnya. Oleh karena itu, Pangestu tidak begitu mempersoalkan
syari’at atau gerak panembah,12 tetapi lebih pada rasa. Dengan demikian,
Pangestu adalah gerakan kebathinan. Meskipun Pangestu lebih senang
disebut sebagai “Fakultas Psikologis” oleh pakde Narto dan tidak seperti
aliran-aliran kepercayaan lainnya. Menurut Romdon, penyebutan semacam
“Fakultas Psikologi”, seperti Kerohanian, Kejiwaan, Latihan Kejiwaan,
Paguyuban, Kawahyon adalah nama lain dari aliran kebathinan atau aliran
kepercayaan atau penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.13 Menurut
Leuba, laku bathin tersebut merupakan bentuk dari pseudo-resepsi sebagai
penjelasan kausal plus keinginan untuk mendapatkan bantuan dalam
menghadapi keadaan-keadaan sulit, persoalan kehidupan.14
Dialog Interreligius-kultural Pangestu dan Implikasinya
Menurut Leonard Swidler, ada sepuluh prinsip dasar dialog
interreligius untuk menghasilkan hubungan yang inklusif antaragama.
Prinsip yang disebut dengan The Dialogue Decalogue tersebut, antara lain:
1. Dialog bertujuan untuk merubah persepsi dan pemahaman tentang
realitas yang ditindaklanjuti dalam tindakan yang diyakini. “The
primary purpose of dialogue is to change and grow in the perception
and understanding of reality and then act accordingly.”
2. Dialog antaragama dilakukan oleh dua pihak, antar umat dalam satu
agama dan antar komunitas agama. “Interreligious dialogue must be a
two-sided project-within each religious community and between
religious communities.”
3. Dialog dilakukan dengan kejujuran dan ketulusan. “Each participant
must come to dialogue with complete honesty and sincerity.”
4. Dialog dilakukan dengan keyakinan bahwa mitra dialog juga jujur dan
tulus. “Each participant must assume a similar complete honesty and
sincerity in other partners.”
12
Panembah adalah sembahyang, pemujaan terhadap Tripurusa (Tuhan) yang
dilaksanakan berdasarkan doktrin Pangestu. M. Soehadha, Orang Jawa…, hlm. 155.
13
Romdon, Ajaran Ontologi …, hlm. 115.
14
Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama dan Sejarah Pemikiran (Yogyakarta:
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002), hlm. 50.
208 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Peserta dialog harus mendifinisikan dirinya sendiri. “Each participant
must difine him/herself. Conversely –the one interpreted must be able
to recognize him/herself in the interpretation.”
6. Dialog tidak dilakukan dengan asumsi-asumsi yang kukuh dan tergesagesa terhadap perbedaan. “Each participant must come to the dialogue
with no hard –and- fast assumptions as to where the points of
disagreement are.”
7. Dialog dilakukan oleh pihak yang setara. “Dialogue can take place only
between equals, or par cum pari.”
8. Dialog harus berdasar pada rasa saling percaya. “Dialogue can take
place only on the basis of mutual trust.”
9. Dialog memberikan dampak kritis pada agama yang dianut dan agama
lain. “Persons entering into interreligious dialogue must be at least
minimally self-critical of both themselves and their own religious
traditions.”
10. Dialog membawa pada pengalaman mitra dialognya dari dalam. “Each
participant eventually must attempt to experience the partner’s
religion “from within”.”15
Berdasar pada prinsip tersebut, dialog dalam Pangestu terjadi pada
pengalaman keagamaan panpara, pakde Narto. Dialog yang dilakukan
olehnya adalah dialog interteks terhadap agama dan budaya yang
melingkupi dirinya. Agama yang dimaksud adalah agama Islam dan
Katolik. Sebagaimana bunyi dari salah satu ayat dalam Kitab Sasangka jati
berikut:
5.
“Adapun mereka yang tetap percaya pada kepercayaannya
(imannya) yang benar, yaitu mereka yang memegang teguh akan
syahadat agama Islam atau agama Kristen; yang tetap bhaktinya
kepada Allah menurut syarat-syarat yang ditentukan, serta mereka
yang menaati perintah dan menjauhi larangan Allah, yang tersebut
dalam kitab-kitab suni, itu tidak berarti rusak, oleh karena itu tidak
perlu diperbaiki. Dengarkanlah wahai siswaku. Pelajarilah petunjuk-
15
Leonard Swidler, “The Dialogue Decalogue: Ground Reules for Interreligious
Dialogue,” Bulletin 21, Oktober 1984 http://www.monasticdialog.com/a.php?id=701.
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan
Antaragama (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 67-68.
Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion |
209
Ku ini dengan kemursidanmu, atau carilah saringan atau tangga
tadi, di dalam Kitab Suci, yaitu yang disebut Injil dan “Qur’an”,
mana yang kamu pilih, kedua-duanya sama saja, asal kamu rasakan
dengan hati yang suci.” (Kitab Sasangka Jati)16
Sedangkan budaya yang terlibat dalam proses dialog tersebut adalah
Jawa. Dialog tersebut digambarkan dalam bagan berikut:
Agama
(Religions)
Pangestu
Budaya
(Culture)
Pengetahuan Islam telah diperoleh oleh pakde Narto sejak kecil,
dengan mengaji di masjid di bawah bimbingan seorang naib. Hal ini
menunjukkan secara jelas hubungan antara pakde Narto dengan agama
Islam.17 Akan tetapi, sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa sistem
hafalan yang digunakan dalam pendidikan Islam tersebut, menjadi awal
kegelisahan pakde Narto karena berpengaruh pada proses pemahaman
terhadap agama Islam kurang menyentuh pada aspek rasa.18
Sedangkan, pengetahuan tentang Kristen merupakan agama yang
dipahami dalam pandangan Teosofi. Pandangan tersebut merupakan hasil
perjumpaan kedua pembantu pakde Narto, yaitu R. Tumenggung
Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemodihardjo dengan golongan teosofi
16
Dikutip dari De Jong, 1976: 72) dalam M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 24.
Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Pengestu (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987), hlm. 23.
18
M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 18-26. Mohammad Damami, Orang Jawa
Memaknai Agama (Sebuah Tanggapan), Hand-out Seminar dan Bedah Buku Laboratorium
Religi dan Budaya Lokal (Label) “Orang Jawa Memaknai Agama” pada hari Kamis, 11
Desember 2008 pukul 09.00-12.00 WIB di Ruang Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 2.
17
210 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
di Surakarta dan utusan-utusan Injil Kristen berkebangsaan Belanda. R.
Tumenggung Hardjoprakoso berjumpa dengan Dr.H.A. van Andel dalam
diskusi Philosophische Kring bersama dengan K.G.P.A.A Mangkunegara
VII sekitar tahun 1921. Sedangkan R. Trihardono Soemodihardjo berjumpa
dengan Dr.J.H. Bavinck pada tahun 1930-1932 di Bale Sudho Sadono.
Mereka lebih tertarik pada pandangan teosofi karena lebih dekat dengan
alam pikiran kebathinan Jawa.19
Sedangkan budaya yang mempengaruhi pakde Narto dalam proses
dialognya adalah Jawa. Pakde Narto merupakan seorang Jawa dalam
lingkungan Surakarta Hadiningrat, kota Sala sebagai pusat kebudayaan
Jawa. Selain itu, ia juga telah yang banyak berinteraksi dengan Pustaka
Kebathinan Jawa yang terkenal, termasuk masalah kebathinan. Sebagai
hasilnya, pengaruh tersebut tertuang dalam gaya mengarang pakde Narto,
yang berbentuk prosa dan dialogis antara guru dan murid.20
Berdasarkan pada pengalaman tersebut, maka dialog yang terjadi
adalah dialog interreligius-kultural. Dialog ini dimulai dari dialog interteks
oleh pakde Narto dengan guru-gurunya, refleksi dengan solat dhaim21
hingga dialog dengan kedua pembantunya dalam kodifikasi sabda-sabdanya
menjadi kitab suci Sasangka Jati22. Berdasar pada prinsip dialog
interreligius Leonard Swidler, dialog tersebut bertujuan untuk merubah
persepsi dan pemahaman tentang realitas keberagamaan yang ada. Dialog
tersebut dilakukan pakde Narto dengan guru-gurunya dan kedua
pembantunya, baik yang seagama-budaya maupun yang berbeda agama.
Sehingga memberikan dampak kritis pada agamanya, yaitu kritik pada
sistem pendidikan agama Islam yang tidak menyentuh pada aspek rasa,
begitu juga bagi agama-agama lain yang berkutat pada ritual semata. Dialog
tersebut juga berangkat dari pengalaman-pengalaman religius.
19
Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok …, hlm. 24.
Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok …, hlm. 22.
21
Solat Dhaim adalah sembahyang yang terus-menerus, lazim di kalangan kebathinan,
untuk memudahkan mencapai tingkat makrifat. Dalam Kitab Wirid dan Suluk-suluk
diartikan:”…sejak bangun pagi sampai tidur di malam hari, mengikuti keluar masuknya
napas, orang mengucapkan di dalam batinnya: ‘Allah-Hu, Allah-Hu…’, atau juga ‘Hu-Allah,
Hu-Allah…’ mengikuti masuk-keluarnya nafas. Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok…
hlm. 39 Endnote No. 73.
22
Kitab ini merupakan kumpulan dari tujuh buah buku kecil, yaitu Hasta Sila,
Paliwara, Gumelaring Dumadi, Tunggal Sabda, Dalem Rahayu, Sangkan Paran dan
Panembah.
20
Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion |
211
Dengan demikian maka proses pakde Narto sejak kecil hingga adanya
kitab suci Sasangka Jati merupakan hasil dari dialog interreligius. Bahkan
tidak bisa dikatakan sebagai dialog interreligius-kultural karena ada
pengaruh budaya Jawa, melalui interaksi pakde Narto dengan Pustaka
Kebathinan Jawa dan lingkungannya. Dialog interreligius-kultural Pangestu
ini berimplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan sinkretisme23
kemudian.
Secara teologis, sinkretisme adalah suatu pandangan yang mengakui
tidak adanya garis-garis pembatas antara Tuhan Pencipta dengan makhluk
ciptaannya. Aliran ini sering juga disebut sebagai panteisme, universalisme,
teo-panisme dan lain-lain.24 Sularso Sopater telah mengidentifikasi adanya
asas monisme panteistis di dalam ajaran Pangestu. Asas tersebut mendasari
banyak segi dari sikap susila25 yang dikembangkan, yaitu ajaran bahwa
23
Syncretism refers to the coming together of element from two or more religions,
resulting in the creation of an independent and new religious tradition. Post-colonial studies of
religion use the term in a slightly less prescriptive sense to explain the negotiation of multiple
identities that arise from displacement, immigration dan exile, where borders become less
policed. In such cases, religious identities may creatively borrow and innovate without
necesserily developing discrete new religions. Ron Geaves, Key Words in Religious Studies
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2006), hlm. 63. Menurut Mark Woodward
term sinkretis menunjukkan kecenderungan negatif, karena terjadi pengurangan pada unsurunsur yang dipercampurkan. Oleh karena itu, ia lebih cenderung menggunakan term hibridity
untuk gerakan kebathinan. Pendapat ini diutarakan pada diskusi ilmiah dosen Jum’at, 19
Desember 2008 pukul 19.30-22.00 WIB di Teaterikal Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
24
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Mereda Dialektika Idealita dan Realita
Hubungan Antaragama (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 67-68.
25
Sikap susila terdiri dari ajaran-ajaran moral yang saling berhubungan dan
menentukan, antara lain:
1. Tri-Sila, yaitu sadar, percaya, taat kepada Tuhan YME serta utusan-Nya. Ajaran ini
disebut tiga tiang kebaktian manusia kepada Tuhan.
2. Panca-Watak utama, yaitu rela, nrima (tawakal), jujur, sabar, budiluhur. Ajaran
moral ini disebut pancasila sebagai pembentuk watak untuk dasar pelaksanaan trisila.
3. Panca-Pantangan, yaitu jangan menyembah selain kepada Tuhan YME, jangan
melampiaskan nafsu syahwat, jangan makan dan mempergunakan makanan yang
memudahkan rusaknya jasmani, jangan melanggar hukum dan perundang-undangan negara,
jangan bertengkar. Ajaran ini disebut juga paliwara atau lima larangan.
4. Panca-Darma Bakti, antara lain: Pahugeran Tuhan kepada hamba (intisari
syahadat), panembah kepada Tuhan YME, budidarma kepada sesama hidup, pengendalian
hawa nafsu, mencapai dan menduduki derajat budi luhur. Ajaran yang disebut sebagai jalan
rahayu atau jalan selamat ini merupakan pedoman pelaksanaan dan latihan pembentukan
kepribadian dan kebaktian kepada Tuhan.
5. Dasa-Sila, antara lain: berbakti kepada Tuhan YME, berbakti kepada Utusan Tuhan,
setia kepada Khalifatullah (kepada negara, hukum dan undang-undang negara), berbakti
212 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
semua manusia pada hakikatnya adalah sama. Ajaran ini didasarkan pada
ajaran bahwa jiwa manusia yang sejati adalah Roh Suci, yang bersumber
dari Tuhan Yang Maha Esa.26 Sinkretisme atau asas monisme panteistis di
dalam Pengestu inilah yang disebut sebagai ambiguitas orang Jawa dalam
beragama oleh Soehadha.27
Sinkretisme tersebut menimbulkan adanya dua implikasi, yaitu
harmonisasi dan penyimpangan. Harmonisasi terjadi karena Pangestu dapat
menjembatani perbedaan (pluralitas) agama dan budaya, melalui organisasi
sebagai “fakultas Psikologi”. Pangestu dapat menyentuh aspek rasa para
pengikutnya dalam beragama dengan pendekatan budaya melalui
penggunaan bahasa Jawa dalam ekspresi keagamaan. Sehingga kebudayaan
Jawa menjadi aspek yang perlu dipertimbangkan dalam proses beragama
orang Jawa yang bergabung dalam Pangestu. Pangestu dengan pendekatan
budaya Jawa membantu dalam pemahaman agama, sehingga menjadikan
pengikutnya semakin yakin pada agama yang dianut. Sedangkan implikasi
yang kedua adalah penyimpangan. Dampak ini terjadi jika Pangestu tidak
lagi dimaknai sebagai “fakultas Psikologi”, tetapi lebih sebagai agama baru.
Asumsi ini muncul dengan adanya beberapa golongan dalam Pangestu
menurut Soehadha, antara lain:
1. Siswa aktif, yaitu pertama, siswa yang saleh beragama Islam atau
Kristen. Kedua adalah siswa yang menganggap bahwa Pangestu adalah
yang utama.
2. Siswa tidak aktif (miyur)
3. Ragam Panembah ‘umat agama’, yaitu siswa yang shalat dan
manembah, siswa yang sembahyang Kristen dan juga manembah, siswa
yang hanya shalat atau sembahyang saja.28
kepada tanah tumpah darah, berbakti kepada orang tua, berbakti kepada saudara tua, berbakti
kepada guru, berbakti kepada ajaran keutamaan, kasih sayang kepada semua hidup dan
menghargai semua agama.
Konsepsi Moral Pancasila (untuk pembentukan manusia Pancasila dan penerapan
Pancasila dalam praktek kehidupan sehari-hari) (t.t.: Pangestu, t.t.), hlm. 14, 15, 17, 20, 23
dalam Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok…hlm. 131.
26
Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok…hlm. 144.
27
M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 19.
28
Moh. Soehadha, Wong Jawa Negesi Agama, Hand-out Seminar dan Bedah Buku
Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) “Orang Jawa Memaknai Agama” pada hari
Kamis, 11 Desember 2008 pukul 09.00-12.00 WIB di Ruang Smart Room Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 3.
Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion |
213
Dengan adanya siswa yang menganggap bahwa Pangestu adalah yang
utama, itu berarti bahwa posisi agama Islam dan Kristen serta agama-agama
besar lainnya, telah tergantikan oleh Pangestu. Dengan demikian, fungsi
Pangestu tidak hanya sebagai fakultas Psikologi. Pangestu telah menjadi
alternatif bagi umat beragama yang tidak puas dengan realitas
keberagamaan mereka. Inilah yang menjadi kondisi awal terbentuknya civil
religion menurut Robert N. Bellah.
Gerakan Kebathinan Pangestu dan Civil Religion
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan timbulnya civil religion29,
antara lain:
1. Kondisi pluralisme keagamaan yang tidak memungkinkan bagi salah
satu agama untuk digunakan oleh seluruh masyarakat sebagai sumber
makna general.
2. Masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah
makna dalam aktivitasnya, khususnya ketika aktivitas itu berkaitan
dengan individu dari beragam latar belakang keagamaan.
3. Diperlukan sebuah sistem makna pengganti dan jika telah ditemukan,
mereka yang aktivitasnya difasilitasi oleh sistem tersebut akan
cenderung memujanya.
Ketiga kondisi tersebut dapat diidentifikasi dalam Pangestu melalui
1
2
diagram berikut ini.
Kondisi
8
Pangestu
sebagai
Fakultas
Psikologi
dan
Gerakan
Kebthinan
SosialEkonomi
Pakde Narto
yang
memprihati
nkan
Kesadaran
untuk
memenuhui
kekosongan
hati
7
Ada
masyarakat
yang
mengikuti
ajarannya
(memuja)
4
Dialog
interreligius
-kultural
oleh pakde
Narto
6
Pepadhang
(Pangestu)
29
3
Pluralitas
yang
menimbulka
n pluralisme
(Islam,
Kristen dan
Kejawen)
5
Solat
Dha'im
Phillip E. Hammond, “Bentuk-bentuk Elementer Agama Sipil” dalam Robert N.
Bellah dan Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (terj.) Imam Khoiri, dkk.
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 185-192.
214 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Bersadarkan diagram tersebut faktor 1 sampai 4 menunjukkan kondisi
pertama, bahwa kehidupan pakde Narto yang memprihatinkan
membawanya untuk mencari “ilmu sejati”.30 Pencarian tersebut
menghadapkannya pada pluralitas sistem makna pada ilmu yang
dipelajarinya, karena ia mempelajari berbagai ilmu dan berpindah-pindah
dari guru yang satu ke guru yang lain. Sehingga dialog interreligius-kultural
pun terjadi. Kemudian pakde Narto memasuki kondisi kedua, yaitu
melekatkan makna pada aktivitas yang dilakukan. Kondisi ini ditunjukkan
oleh faktor 5, yaitu pakde Narto melakukan solat dhaim untuk mencari
makna dalam persoalan kehidupannya. Setelah melalui kondisi yang kedua,
akhirnya pakde Narto mendapatkan sistem makna pengganti pada faktor ke
6, 7 dan 8. Pepadhang yang diperoleh pakde Narto diikuti oleh banyak
orang, bahkan ada yang memujanya. Pada kondisi inilah Pangestu sebagai
“Fakultas Psikologi” menjadi sistem makna baru yang mempertemukan
para siswanya yang plural. Kondisi ini tidak hanya menjembatani perbedaan
tetapi juga menjustifikasi resolusi yang ditawarkan pakde Narto terhadap
persoalan kehidupan dengan keterlibatan unsur-unsur agama dan budaya.
Kondisi ini ditindaklanjuti dengan kodifikasi sabda menjadi kitab suci,
ajaran-ajaran moral sebagai aturan prilaku, penyebaran pepadhang, bawa
raos dan panembah, organisasi. Dengan demikian, menurut Robert N.
Bellah kondisi ini yang diidentifikasi sebagai civil religion dalam Pangestu.
Kesimpulan
Pangestu merupakan hasil dialog interreligius-kultural yang dilakukan
oleh pakde Narto dengan guru-guru dan kedua pembantunya. Dialog
tersebut tidak hanya berfungsi untuk menjembatani suatu perbedaan agama
tetapi juga menjadi resolusi bagi konflik yang dialami oleh individu pakde
Narto, juga para siswanya kemudian. Bahkan dialog tersebut juga
menimbulkan dua dampak, yaitu harmonisasi dan penyimpangan.
Harmonisasi terjadi pada proses dialog agama dan budaya Jawa. Sedangkan,
penyimpangan terjadi pada pemaknaan yang berbeda terhadap Pangestu
oleh siswanya. Pangestu tidak lagi “Fakultas Psikologi” yang membantu
dalam memahami dan menguatkan keyakinan pada umat beragama yang
menjadi siswanya, tetapi telah menjadi “Fakultas Psikologi” yang berarti
30
Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok…hlm. 21.
Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion |
215
sebagai civil religion sebagai sistem makna yang menggantikan agamaagama yang telah dianut oleh siswanya.
Dengan demikian, maka dialog tidak hanya menjembatani suatu
perbedaan agama dan budaya, tetapi dialog juga dapat menyebabkan
lahirnya sinkretisme. Sinkretisme yang mengarah pada lahirnya civil
religion. Adapun hal yang menjadi point penting dalam studi ini adalah
pemahaman mendasar terhadap agama dan budaya sangat diperlukan dalam
dialog interreligius-kultural. Selain itu, dialog merupakan sesuatu yang
signifikan sebagai suatu kritik yang membangun bagi perkembangan
wacana keberagamaan. Dengan demikian, sebagai lesson learned dari
Pangestu bahwa kekurangan pada agama yang dianut hendaknya dipelajari
terlebih dahulu dan dikomunikasikan secara internal. Sehingga fungsi kritik
terhadap agama yang dianut tepat sasaran dan memberikan solusi bagi
perkembangan agama selanjutnya. Selain itu, pendekatan budaya dalam
beragama menjadi signifikan dalam upaya memahami agama secara
mendalam dan menyentuh pada aspek “rasa”. Hal ini sangat
direkomendasikan kepada para pemuka agama, intelektual dan aktivisaktivis dialog lintas agama dan budaya. Meskipun demikian, terciptanya
kondisi-kondisi tersebut sangat bergantung dan dipengaruhi oleh penguasa.
Hegemoni penguasa memungkinkan dialog interreligius-kultural terhambat,
sehingga masyarakat inklusif pun tidak terwujud. Sehingga tidak menutup
kemungkinan, tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan kebathinan
dianggap sebagai agama yang sesat. Agama yang ilegal karena tidak diakui
oleh pemerintah dan dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap
negara.
Daftar Pustaka
Baderin, Mashood A. International Human Rights and Islamic Law. New
York: Oxford University Press, 2003
Bellah, Robert N. dan Hammond, Phillip E. Varieties of Civil Religion
(terj.) Imam Khoiri, dkk. Jogjakarta: IRCiSoD, 2003
Burhanuddin Daya. Agama Dialogis: Mereda Dialektika Idealita dan
Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta: LKiS, 2004
216 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Crossley,
Nick.
Making
Sense
of
Social
Movements.Buckingham&Philadelphia: Open University Press, 2002
Demmy Antoh. Menggugat Implementasi Otsus Papua. Sorong: Pusat
Pengkajian Pembangunan Papua (P4), 2008
Djam’annuri. Ilmu Perbandingan Agama dan Sejarah Pemikiran.
Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002
Geaves, Ron. Key Words in Religious Studies. Washington, D.C.:
Georgetown University Press, 2006
Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan. Akuntansi dan Manajemen
Keunagan untuk Organisasi Pengelola Zakat. Jakarta: Institut
Manajemen Zakat, 2001
M. Soehadha. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2008
Moh. Soehadha, Wong Jawa Negesi Agama, Hand-out Seminar dan Bedah
Buku Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) “Orang Jawa
Memaknai Agama” pada hari Kamis, 11 Desember 2008 pukul 09.0012.00 WIB di Ruang Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, hlm. 3.
Mohammad Damami, Orang Jawa Memaknai Agama (Sebuah Tanggapan),
Hand-out Seminar dan Bedah Buku Laboratorium Religi dan Budaya
Lokal (Label) “Orang Jawa Memaknai Agama” pada hari Kamis, 11
Desember 2008 pukul 09.00-12.00 WIB di Ruang Smart Room
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 2.
Romdon. Ajaran Ontologi Aliran Kebathinan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996
Sularso Sopater. Mengenal Pokok-pokok Ajaran Pengestu. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1987
Swidler, Leonard. “The Dialogue Decalogue: Ground Reules for
Interreligious
Dialogue,”
Bulletin
21,
Oktober
1984
http://www.monasticdialog.com/a.php?id=701.
Woodward, Mark. Toward Post-Orientalism and Post-Occidentalism;
KooperasiTimur-Barat dalam Pelajaran Islam, Hand-out Diskusi ilmiah
dosen Jum’at, 19 Desember 2008 pukul 19.30-22.00 WIB di Teaterikal
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
AYAT-AYAT PERDAMAIAN:
Dekonstruksi Tafsir ala Jane Dammen McAuliffe
Fadhli Lukman
Alumnus Ponpes Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi.
Abstrak
Its is the matter of fact that Muslims way to behave, including to behave
before other communities, such as Christians, comes from the Qur’an. To
understand how Muslims do something on their religiousity is then to come
analyzing the Qur’an. This is what Jane Dammen McAulife fully aware of;
She is curious of how the Qur’an presents the Christians. However, since
the Qur’an further controlled by exegesis, it become an integral aspect in
her way to study Qura’nic Christians. This paper will descriptively explore
Jane Dammen McAuliffe’s though on Qur’anic presentation to Christians.
Her dissertation will be the basis of analysis. However, we previously
present the mapping of her whole thought to gain the comprehensive
understanding on her complete thought. In context of Qur’anic Christians,
she concludes that since the exegesis controls the Qur’an, Qur’anic
Christians refer to nor historical Christians nor the living community call
themselves as Christians.
Kata Kunci: Jane Dammen McAuliffe, Qur’anic Christians, interreligious
understanding, tafsir.
A. Pendahuluan
asus anarkisme dengan mengatasnamakan agama akhir-akhir ini
marak terjadi. Untuk Indonesia, kasus Poso dan Bom Bali layak
dijadikan contoh yang paling utama. Tindakan bom bunuh diri
yang terjadi berulang kali memperlihatkan sentimen keberagamaan yang
tinggi. Jika ditelisik lebih dalam, kejadian-kejadian semacam ini bersumber
dari pemahaman para pelaku mengenai ajaran agama mereka.
K
218 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Berbicara mengenai ajaran beragama, maka rujukan utamanya tentu
saja adalah kitab suci. Tidak dipungkiri, kitab suci membentuk pola
berideologi, berpikir, dan bertingkah laku bagi umatnya. Dalam konteks
Alquran,
semasa
pembentukannya,
Rasulullah
hidup
dalam
multikulturalisme tribal bangsa Arab. Bukan hanya itu, selepas Hijrah
Rasulullah juga menghadapi komunitas beragama lainnya, yaitu Yahudi dan
Nashrani. Oleh sebab itu, wahyu yang turun menyinggung dan
menyebutkan keberadaan mereka, serta bagaimana posisi dan pandangan
Islam terhadap mereka. Hal ini adalah fakta yang tidak terbantahkan ketika
kita melihat ayat-ayat Alquran, sebagiannya menyebutkan identitasidentitas keberagamaan yang lain.
Salah satu sarjana yang memiliki kegelisahan ini adalah Jane Dammen
McAuliffe. Untuk mengkaji pemikirannya lebih jauh adalah hal yang urgen
dengan beberapa pertimbangan. Pertama, ia adalah sarjana non-Muslim,
yang biasa disebut orientalis. Posisinya sebagai orientalis menjadi layak
untuk dibicarakan dengan pertimbangan perkembangan dan perubahan
paradigma kajian orientalis terhadap Alquran beberapa waktu terakhir ini.1
Kedua, fokus kajiannya beredar dalam isu-isu interreligious understanding
antara Islam dan Kristen. Ia merupakan aktifis dalam bidang dialog antar
agama, Islam dan Kristen. Sejumlah tulisannya concern dalam kajian
mengenai interreligiusitas Alquran.
Salah satu karya terpenting Jane Dammen McAuliffe adalah
disertasinya yang berjudul The Qur’anic Christians: An Analysis of
Classical and Modern Exegesis. Disertasi yang kemudian dicetak dalam
bentuk buku dengan judul yang sama tersebut membahas ayat-ayat Alquran
yang memberikan pujian kepada Kristen dalam konteks komunitas
beragama. Penulis tidak meriview setiap tema yang dibahas oleh McAuliffe,
dimana masing-masing tema mewakili satu ayat yang ia bahas. Akan tetapi,
penulis hanya mengemukakan beberapa sample yang menjadi titik krusial
dalam kesimpulan akhir McAuliffe dalam disertasinya. Penulis lebih
memilih untuk memilih sample karena inti pemikiran Jane Dammen
McAuliffe tidak terletak pada review dia terhadap tujuh ayat tersebut dalam
1
Lihat Fazlur Rahman, “Pendahuluan” dalam Fazlur Rahman, Major Themes of the
Qur’an terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996); Fazlur Rahman, “Some Recent
Books on the Qur’an by Western Authors”, The Journal of Religion, LXIV, 1984, hal. 73-95.
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
219
sepuluh tafsir, melainkan pada bagian kesimpulan dari bukunya tersebut. Di
bagian inilah penulis akan eksplorasi lebih banyak.
B. Biografi Singkat Jane Dammen McAuliffe
Jane Dammen McAuliffe adalah sarjana Islamic Studies yang telah
dikenal secara luas. Kepakarannya adalah dalam bidang Qur’anic Studies,
Islamic History, dan perbandingan agama. Sejumlah karya dalam bidang ini
cukup menjadi bukti kepakaran tersebut, terutama perhatian besarnya
terhadap Ta>rikh al-Muluk karya al-T{abari dan disertasinya yang berjudul
Qur’anic Christians: an Analysis of Classical and Modern Exegesis. Yang
pertama merupakan kajian dalam bentuk penerjemahan, yang kemudian ia
respon dan kutip dalam sejumlah artikelnya. Ia menggapai BA dalam
bidang Philosophy and Classic Studies di Trinity Collage Washington,
D.C.,gelar MA dalam bidang religious studies dan Ph.D dalam Islamic
Studies di University of Toronto.2 Dia dinikahi oleh Dr. Dennis McAuliffe,
seorang ahli dalam bidang literature Italia abad pertengahan di Georgetown
University, yang kemudian diberkahi empat orang anak.3
Semenjak Juli 2008, Jane Dammen McAuliffe memegang jabatan baru
sebagai President of Bryn Mawr University, sekaligus sebagai guru besar di
Departement of History di universitas yang sama. Sebelumnya, ia
merupakan Dekan di Georgetown University semenjak tahun 1999. Selama
di Georgetown, ia juga menjadi guru besar di Department of Arabic and
Islamic Studies.4 Ia berhasil berkontribusi positif selama kepemimpinannya
sebagai Dekan di Georgetown. Ia menggiatkan gaya belajar yang lebih
efektif dan pola supervisi terhadap mahasiswa. Ia juga berhasil membuka
beberapa jurusan baru untuk tingkat undergraduate dan merintis beberapa
program graduate termasuk dua program tingkat Ph.D.
Sebelum memiliki karir akademis di dua universitas di atas, Jane
Dammen McAuliffe sebelumnya memegang beberapa posisi. Ia merupakan
guru besar di Department of Near and Middle Eastern Civilizations dan
2
Wikimedia
Foundation,
“Jane
Dammen
McAuliffe”
dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/ Jane_Dammen_McAuliffe
3
Claudia Gianni, “Bryn Mawr Names Dean of Georgetown University's College of
Arts and Sciences President-Elect” dalam http://www.brynmawr.edu/news/2008-0207/mcauliffe.shtml.
4
McAuliffe’s Curriculum vitae.
220 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Department for the Study of Religion di Toronto University. Sebelumnya,
pada tahun 1990-1992, ia merupakan Dekan di Candler School of Theology
di Emory University. Di samping itu, ia juga aktif dalam beberapa dorum
dialog Muslim-Kristen, baik untuk tingkat Nasional maupun International.
Ia juga menjabat sebagai Commisi Relasi beragama antar Islam-Kristen di
Vatikan selama sepuluh tahun.
Jane Dammen McAuliffe telah menerbitkan lima buku, termasuk rnam
volume Encyclopaediae of the Qur’an,dimana ia menjadi general editornya.5 Buku-buku lainnya adalah (1) Cambridge Companion to the Qur’an;
(2) With Reverence for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism,
Christianity and Islam. Co-editor with J. Goering and B. Walfish; (3)
Abbasid Authority Affirmed: The Early Years of al-Mansur. Translation,
introduction and annotation of vol. 28 Ta’rikh al-Rusul wa al-Muluk; and
(4) Qur’anic Christians: An Analysis of Classical and Modern Exegesis; (5)
Norton Anthology of World Religions; (6) The Qur’an: A Norton Critical
Edition. Dari semua buku tersebut, buku yang ia tulis secara independen
hanyalah Qur’anic Christians, yang kebetulan juga disertasinya. Beberapa
karya lainnya merupakan kumpulan artikel, dimana ia menjadi editor, dan
terjemahan.
Jika tulisannya dalam bentuk buku terkesan minim, tidak demikian
untuk artikel; ia telah menerbitkan 37 artikel dan 38 reviews, serta telah
menghadiri 42 kelas sebagai dosen undangan di berbagai universitas. Jika
diklasifikasi, karya terbanyaknya berada pada bidang Qur’anic Studies dan
tafsirnya, dengan jumlah 33 judul, termasuk Encyclopaedia of the Qur’an.
Kategori Islamic Early History hanya ada lima judul, sementara sisanya
berkaitan dengan interrelations antara Kristen dan Islam.
Teks sebagai Basis Interreligious Understanding
Alquran merupakan sumber inspirasi untuk bertindak bagi seluruh
Muslim, termasuk mengenai kecerdasan keragaman beragama
(interreligious understanding). Oleh sebab itu, untuk memahami bagaimana,
begitu juga untuk membentuk pola tindak yang berbeda yang lebih sehat
dan terbuka, harus mulai dari Alquran. McAuliffe sepertinya sangat
C.
5
2001).
Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden: Brill,
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
221
menyadari hal itu, sehingga pertama kali ia menggali bagaimana
interreligious understading Alquran itu sendiri.
Hanya saja, sebelum masuk kepada ranah tersebut, makalah ini
pertama kali akan mendiskusikan bagaimana pandangan ontologis Jane
Dammen McAuliffe mengenai Alquran. Satu kata kunci yang tidak bisa
dilepaskan mengenai pandangannya terhadap Alquran adalah relation.
McAuliffe memberi penekanan yang besar terhadap keterhubungan antara
kitab suci dengan manusia pengikut kitab suci tersebut. Pola keterhubungan
ini kemudian ia kemas dalam konsep Alquran sebagai scripture. Dengan
paradigma ini, Jane Dammen McAuliffe melandaskan kajiannya pada
bagaimana Muslim percaya dan bertingkah laku dari Alquran.6 Paling tidak,
itulah yang ia sebutkan pada beberapa tempat dalam sejumlah tulisannya.
Dia mengakui bahwa Alquran merupakan wahyu Tuhan yang terakhir
kepada rasulnya,7 Muhammad adalah penutup para Rasul, dan wahyu yang
ia terima menghapus kitab suci lainnya.8 Ia bahkan mengakui bahwa
Muslim mempercayai bahwa Alquran bukan sekedar kelanjutan dari kitab
suci sebelumnya, melainkan ia benar-benar firman Tuhan, dimana Ia
mewahyukan kebenaran yang sama kepada Muhammad sebagaimana Ia
wahyukan kepada rasul-rasul sebelumnya. Sebagaimana Tuhan
mewahyukan firmannya kepada Isa, Ia mewahyukan hal yang sama kepada
Muhammad, sehingga teori penjiplakan atau keterpengaruhan (theory of
influences and borrowings sangat tidak relevan dengan Alquran.
Sebagaimana Alquran bukanlah jiplakan dari kitab sebelumnya,
6
Berbeda dengan sebelumnya, studi Qur’an di Barat cenderung mempermasalahkan
otentisitas Alquran sebagai wahyu Tuhan. Abraham Geiger dan Hartwig Hirschfeld,
misalnya, merekonstruksi biografi Muhammad dan menyatakan bahwa Muhammad adalah
murid dari seorang Yahudi; John Wansbroug menekankan bahwa Alquran merupakan
creation of Muhammad. Secara garis besar, mereka meyakini adanya theory of influences
and borrowings pada Alquran dari tradisi-tradisi Yahudi dan Nashrani. Lihat Fazlurrahman,
“Some Recents Books on the Qur’an by Western Authors,” The Journal of Religion, LXIV,
1984. hal. 73-95
7
Jane Dammen McAuliffe, “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection”
dalam Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an (Surrey:
Curzon, 2000). hal. 64.
8
Jane Dammen McAuliffe, “The Abrogation of Judaism and Christianity in Islam: A
Christian Perspective” dalam Hans Kung dan Jurgen Moltmann, Islam: A Challenge for
Christianity (London: SCM Press, 1994), hal. 116.
222 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
pembentukannya juga tidak memiliki unsur keterpengaruhan dari kitabkitab tersebut; Alquran adalah wahyu.9
McAuliffe mengakui bahwa tema mengenai scripture merupakan tema
yang sangat menarik sehingga ia menghabiskan sejumlah besar usaha
kesarjanaannya dalam tema ini.10 Ia menyatakan bahwa paradigma yang
menganggap Alquran sebagai scripture menekankan konsep keterhubungan
antara Alquran sebagai kitab suci dan Muslim sebagai komunitas yang
meyakini Alquran. Artinya, dalam konteks ini, Jane Dammen McAuliffe
tidak membawa kitab suci sebagai satu-satunya poin yang dipermasalahkan
secara unilateral. Ia juga membawa unsur ‘manusia’ sebagai aspek yang
penting; dia menganggap bahwa keyakinan manusia adalah hal integral
dalam teori scripture.
Apakah scripture? McAuliffe mendefinisikannya sebagai suatu konsep
mengenai sekelompok komunitas yang hidup berdampingan dengan suatu
text tertentu yang dianggap suci; oleh sebab itu, ia bukanlah sifat yang
immanent bagi text tersebut, melainkan dibentuk melalui konstruksi
manusia yang memiliki kepercayaan dan tingkah pola special terhadap teks
tersebut.11
Sayangnya, McAuliffe tidak menjelaskan secara detil bagaimana
teorinya mengenai scripture, sehingga ada kepentingan untuk melacak
bagaimana penjelasan yang lebih gamblang mengenai terminology ini.
Dalam buku Metodologi Studi Alquran, Ulil Absar Abdalla menyatakan
bahwa untuk memahami teori scripture tidak bisa dipisahkan dengan
sejarah tulisan (script). Oleh sebab itu, ia melacak sangat jauh ke belakang
hingga tahun 2900 BC ketika script atau tulisan pertamakali ditemukan
hingga kemudian digunakan dalam sejarah, termasuk oleh Bible.12 Hanya
saja, penjelasan panjang dari Ulil tersebut gagal mengungkap makna
genuine dari scripture itu sendiri. Penjelasan yang lebih baik bisa ditemukan
dalam tulisan Wilfred Cantwell Smith yang menyatakan bahwa pada abad
XIX, terminology scripture identik dengan Bible yang dipahami sebagai
9
Jane Dammen McAuliffe, “The Qur’anic Context of Muslim Biblical Scholarship”
dalam Islam and Christian—Muslim Relations, VII, 1996, hal. 141-154.
10
Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection between the Bible and the
Qur’an?” dalam Theology Digest, volume XLIX, Number 1, Spring 2002. hal. 303.
11
Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection … hal. 303; Ulil Abshar Abdallah,
Metodologi Studi Al-Qur’an (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), hal. 20-30.
12
Ulil Abshar Abdallah, Metodologi Studi Al-Qur’an …, hal. 6.
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
223
wahyu Tuhan (Devine Revelation). Terminology ini digunakan secara
eksklusif sehingga tidak ada teks lainnya yang layak disebut scripture selain
Bible. Terminologi ini mengandung nilai transenden yang absolute. Akan
tetapi, sebenarnya Kitab Suci di dunia ini ada dalam jumlah yang sangat
besar, sebanyak keragaman manusia yang memegangnya. Oleh sebab itu,
kata Smith, teori tentang scripture dan teori-teori lainnya tidak pernah
berhasil untuk melingkupi setiap kitab suci dengan keragaman bentuk dan
konten di dalamnya, sementara permasalahan mengenai ‘scripture’
sebenarnya lebih rumit dari yang dibayangkan setiap orang dan
keragamannya lebih luas dari yang semua orang pikirkan.
Sebuah konsep mengenai scripture yang mampu melingkupi seluruh
kitab suci dengan segala keragamannya menjadi penting. Ada sesuatu yang
hilang dalam setiap konsepsi mengenai scripture, sesuatu yang bisa
mengumpulkan seluruh kitab suci dengan keragamannya dalam satu teori.
Yaitu sebuah konsepsi bahwa terminology scripture secara inheren memiliki
makna relasi antara teks dan pengikutnya. Tidak ada teks yang suci dengan
sendirinya. Kualitas ini muncul dari appresiasi, tindakan, dan penghormatan
dari manusia yang menganggapnya suci. Sebuah kitab suci, yang diyakini
berasal dari Tuhan, jika tidak mendapatkan respon khas dari pemeluknya,
maka posisinya sebagai scripture pun tidak efektif.13
Kemudian, ada dua dimensi yang saling berkaitan dalam penjelasan
mengenai scripture di atas. Karakter dasar scripture yang mempersyaratkan
adanya hubungan antara manusia dan teks suci merupakan dimensi yang
pertama, yaitu dimensi keimanan. Ada banyak penjelasan dalam tradisi
Islam untuk dimensi ini; setiap Muslim harus mempercayai bahwa Alquran
adalah wahyu Tuhan yang Ia wahyukan kepada rasul-Nya.14 Karena Tuhan
itu suci, maka konsekuensinya firman-Nya juga suci. Pola komunikasi
semacam ini disebut oleh Vincent J. Cornell sebagai unique communication.
15
Kemudian, keimanan ini menjadikan manusia bertindak khas dan
special terhadap teks, yang kemudian disebut sebagai dimensi praktikal.
13
Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-agama terj. Dede Iswadi (Jakarta:
Teraju, 2005), hal. 12-23
14
Q.S. al-Najm [53]: 4
15
Vincent J. Cornell, Qur’an as Scripture In John L. Esposito (ed.), The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford, 1995), hal. 387-389.
224 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Muslim dianjurkan untuk membersihkan diri sebelum menyentuh dan
membaca Alquran, menempatkannya di tempat yang tinggi; tidak ada yang
boleh diletakkan di atasnya. Siapa yang membaca Alquran harus mengikuti
beberapa aturan etis, baik dari segi kebenaran pembacaan yang dikenal
dalam ilmu tajwid, atau dari segi pakaian dan hal-hal eksternal lainnya. Di
samping itu, seorang yang mempu membaca Alquran dengan keindahan dan
artistic tersendiri mendapatkan prestige tertentu dalam komunitasnya.
Singkat cerita, kepecayaan terhadap Alquran membentuk bagaimana
Muslim untuk bertindak terhadap kitab tersebut.
Sekarang, apakah implikasi dari pandangan Alquran sebagai scripture?
Ada dua alasan untuk itu. Pertama, konsepsi ini membawa Alquran keluar
dari segi teologisnya. Berbicara mengenai Alquran tidak hanya terbatas
membicarakan Alquran itu sendiri, melainkan juga manusia yang hidup di
sekelilingnya. Kedua, kitab suci, dengan segala keragamannya, dipandang
sejajar. Ukuran yang dipertimbangkan hanyalah keberadaan teks suci dan
manusia yang meyakininya. Keberadaan kitab suci yang menentang kitab
suci lainnya tidak lantas membuat kitab suci yang ditentang menjadi
inferior. Apa yang disampaikan suatu kitab suci mengenai kitab suci
lainnya, harus dipahami dalam konteks keimanan untuk internal
pemeluknya sendiri, tanpa harus digunakan untuk tindakan-tindakan
offensive terhadap pemeluk kitab suci lainnya.
D. Interreligious Understanding Alquran
Setelah mengkaji pandangan ontologis Jane Dammen McAuliffe
mengenai Alquran, pada sub tema ini akan dibahas bagaimana
pandangannya mengenai kecerdasan interreligious Alquran. Menurut
McAuliffe, tema kecerdasan interreligious beredar pada dua konsep:
Qur’anic self-coinsciousness16 dan Qur’anic interreligious understanding itu
sendiri.17 Baginya, Alquran merupakan kitab suci yang memperlihatkan
16
Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection…, hal. 304; Jane Dammen
McAuliffe, “The Prediction and Prefiguration of Muh}ammad” dalam Bible and Qur’an:
Essays in Scriptural Intertexuality, edited by J. Reeves. Atlanta: Society of Biblical
Literature, 2003. hal. 107; Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians: an Analysis of
Classical and Modern Exegesis (New York: Cambridge University Press, 1991), hal. 1.
17
McAuliffe memberikan dua model pemetaan yang berbeda. Dalam disertasinya, ia
menjelaskan pemetaan dengan dua kategori, yaitu (1) self-definition dan (2) interreligious
understanding, akan tetapi, dalam “Is There a Connection between the Bible and the
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
225
kesadaran tinggi mengenai statusnya sebagai sebuah kitab suci, yang
menggambarkan bagaimana agama tertentu, atau kitab suci tertentu,
mendefinisikan dirinya dalam sejarah. Sementara yang kedua mengenai
bagaimana suatu agama merespon agama lainnya.18
Bagi McAuliffe, konstruksi utama dari Qur’anic self-consciousness19
adalah untuk mempertegas otoritas dan keunggulannya dari kitab lainnya.20
Alquran menempatkan dirinya dengan cara yang khas di antara kitab-kitab
lainnya. Ia mengklaim bahwa kitab lainnya telah mengalami penyimpangan
dari manusia. Alquran menyatakan bahwa dirinya merupakan kitab terakhir
dari Tuhan kepada Rasulullah dalam bentuk yang verbatim,21 yang lebih
diyakini sebagai pendiktean daripada inspirasi. Sebagai hasil dari dikte,
kata per kata, kalimat per kalimat, dan setiap satu ajaran di dalamnya
diyakini suci. Campur tangan manusia tidak diakui daam konteks ini.
Untuk Qur’anic interreligious understanding sendiri, McAuliffe
kembali membagi menjadi dua kategori: penggambaran Alquran mengenai
figur-figur individual tertentu dalam Bible dan penggambaran Alquran
Qur'a>n,” ia menjelaskan pemetaan dengan tiga kategori; (1) self-referentiality, (2)
debate/disputation, dan (3) category creation. Tanpa penelitian yang lebih serius, terlihat
jelas bahwa kategori pertama dari kedua pemetaan di atas adalah sama. Menurut McAuliffe,
Alquran menciptakan identitasnya dalam keterkaitan dan perbedaan dengan kitab lainnya.
Selain itu, Alquran juga menjelaskan fenomena keberagamaan manusia dengan beberapa
penanda seperti Nas}a>ra>, al-Yahu>d, Maju>s, dan S|a>bi’u>n. Inilah yang ia sebut sebagai ‘categori
creation,’ kategori ketiga dalam pemetaan kedua. Selain itu, Alquran juga menempatkan
kategori-kategori yang bertentangan secarai biner, seperti antara mu’min dan ka>fir, yang
kemudian ia sebut sebagai ‘debate and disputation.’ Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa
kategori kedua dan ketiga dalam pemetaan yang kedua—dalam “Is There a Connection…”—
sama dengan kategori kedua (interreligious understanding) dalam pemetaan pertama—dalam
disertasinya. Lihat Jane Damman McAuliffe, Qur'a>nic Christians: an Analysis of Classical
and Modern Exegesis (New York: Cambridge University Press, 1991), hal. 1; dan Jane
Dammen McAuliffe, “Is there a Connection…hal. 304.
18
Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection…; Jane Dammen McAuliffe, “The
Prediction and Prefiguration… hal. 107; Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…,
hal. 1.
19
Ia menyebut konsep ini dalam beragam terminology. Penulis telah membahas tema
ini secara lebih detil dalam artikel lainnya yang berjudul Konsep Self Referentiality of the
Quran dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis vol. 12, no. 2, Juli 2011.
20
Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection …, hal. 304.
21
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd, wahyu diturunkan dalam dua cara. Pertama,
dengan cara simbolis menggunakan lonceng atau di belakang hijab. Cara ini merupakan cara
penurunan wahyu dalam bentuk sunnah. Sementara wahyu dalam konteks Alquran,
diturunkan secara verbal, yang mana ini merupakan bentuk kedua. Lihat Nashr Hamid Abu
Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khairun Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 4856.
226 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
terhadap umat agama lain dalam bentuk komunitas. Alquran memang
memiliki sejumlah ayat yang menyebutkan beberapa vigur dalam Bible,
seperti Adam, Musa, Yusuf, Isa, Maryam, dan sebagainya. Alquran juga
dalam beberapa tempat menyebut komunitas beragama lainnya seperti
allazina hadu, al-nashara, dan sebagainya. Inilah yang dimaksudkan oleh
Jane Dammen McAuliffe melalui kategorinya.
Telah banyak kajian kesarjanaan dalam kategori pertama ini. Dalam
salah satu footnote-nya, McAuliffe menyebutkan paling tidak sepuluh
tulisan yang telah membahas Jesus dan tiga mengenai Mary; beberapa
dalam bahasa Inggris dan yang lainnya berbahasa Jerman. Beberapa
diantaranya yang bisa penulis temukan adalah tulisan Geoffery Parrinder
yang berjudul Jesus in the Qur’an,22 Gustav Weil dengan The Bible, the
Koran, and the Talmud.23 Hanya saja, tulisan McAuliffe sendiri dalam
konteks ini cukup sedikit; Ia lebih banyak menulis untuk kategori kedua. Ia
hanya menulis tiga artikel untuk kategori pertama ini: "Chosen of All
Women: Mary and Fatima in Qur’anic Exegesis,"24 “The Prediction and
Prefiguration of Muh}ammad,”25 dan Qur’anic Context of Muslim Biblical
Scholarship.”26 Pada kesimpulannya, mengenai kategori ini, McAuliffe
menjelaskan bahwa penggambaran Alquran mengenai figur-figur personal
tertentu yang ada dalam Bible adalah dalam rangka menjelaskan ramalan
kedatangan Nabi berikutnya, yaitu Muhammad.27
Sementara untuk kategori kedua, penggambaran Alquran mengenai
umat beragama tertentu, dalam konteks ini adalah Kristen, sebagai sebuah
komunitas, yang menjadi pokok kajian dalam artikel ini, ia tulis secara
panjang lebar dalam disertasinya yang berjudul Qur’anic Christians.
22
Geoffery Parrinder menggunakan pendekatan teologis. Dalam halaman demi
halaman, ia mengeksplorasi bagaimana Alquran berbicara tentang Isa/Yesus, lalu kemudian
dibandingkan dengan teks parallel dari Bible. Lihat Geoffrey Parrinder, Jesus in the Qur’an
(England: One World Oxford, 1996).
23
Gustav Weil melakukan riset kritis yang serius terhadap literatur-literatur Arab,
termasuk Aquran dan Tafsir, untuk melihat legenda-legenda Biblical. Ia kemudian
membandingkannya dengan tradisi Yahudi. Lihat Gustav Weil, The Bible, the Koran, and
the Talmud (London: Longman, 1846).
24
Jane Dammen McAuliffe, "Chosen of All Women: Mary and Fatima in Qur’anic
Exegesis." Islamochristiana 7 (1981), hal. 19-28.
25
Jane Dammen McAuliffe, “The Prediction and Prefiguration …, hal. 107-131.
26
Jane Dammen McAuliffe, “The Qur’anic Context of Muslim …, hal. 141-153.
27
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 289
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
227
E.
Ayat-ayat Perdamaian
Dalam disertasi tersebut, McAuliffe melakukan penelitian terhadap
tujuh ayat yang menggambarkan Kristen dalam bentuk appresiasi. Sebagai
pengaruh dari pandangan ontologisnya mengenai Alquran sebagai scripture,
kajiannya mengenai ayat ini tidak pernah dilepaskan dari kata kunci
keterhubungan antara kitab suci dan penganutnya. Oleh sebab itu, dalam
setiap research question, dia selalu memasukkan unsur penganut Alquran,
yang dalam hal ini adalah tafsir:
“These verses prompt several central question: How have Muslims
understood this apparent divine praise of Christians? What have these
verses meant to Muslims in both the classical and modern periods if
Islami history? Do these verses justify the assertions and claims made
on their behalf? The most comprehensive answer to such queries lies in
a close examination of that body of Islamic literature to which allusion
has already been made, Qur’anic commentary (tafsir).”28
Terlihat bagaimana tafsir menjadi unsur yang integral dalam
memahami konsep interreligious Alquran bagi McAuliffe. Sebagai tindak
lanjutnya, ia melakukan review terhadap sepuluh tafsir dari masa ke masa.
Pemilihan dan pemaparan tafsir-tafsir tersebut ia lakukan dengan beberapa
pertimbangan. Pertama, ia menyusun tafsir-tafsir tersebut secara
kronologis, semenjak akhir abad ke IX M hingga akhir abad XX; ia
menyusun tafsir secara berurutan dari tafsir Abu Ja’far bin Jari>r al-Thabari
hingga tafsir Muhammad Husayn T{abat{aba’i>. Kedua, ia juga
mempertimbangkan sectarian inclusiveness dengan memilih empat tafsir
syi’ah dan enam lainnya dari sunni. Ketiga, ia juga mempertimbangkan
aspek perspektif yang digunakan tafsir. Untuk perspective teologis,
Mu’tazilah diwakili oleh al-Zamakhsyari, dan Asy’ariah diwakili oleh Fakhr
al-Di>n al-Ra>zi>, perspektif hukum diwakili oleh Ibn Jawzi dan Ibn Katsir,
dan untuk agenda modernis ia menggunakan tafsir Rasyid Ridha dan
Husayn T{abat}aba’i. Sederhananya, sepuluh tafsir yang ia gunakan adalah
tafsir T{abari, Ali> Abu> Ja’far al-T{u>si>, al-Zamakhsyari, Abu> al-Futu>h al-Ra>zi>,
28
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians, hal. 7.
228 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Ibn al-Jawzi>, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Ibn Kas\i>r, Fath{ulla>h al-Kas}a>ni>, Rasyid
Ridha, dan Husayn T{abat}aba’i>.29
Tujuh ayat tersebut adalah:

]62

               
55
                
199

66
             
.
               
83-82
52 
        53      
54 
5552
              
            
27
Apakah yang dimaksudkan oleh Jane Dammen McAuliffe dengan
Qur’anic Christians? Selain itu, dalam beberapa tempat ia juga
29
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians, hal. 37.
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
229
menggunakan istilah Biblical Christians dan Sociological atau Historical
Christians. Lantas, apakah yang ia maksudkan dengan Qur’anic Christians?
McAuliffe memang tidak menjelaskan secara jelas apa yang ia maksud
dengan terma ini. Akan tetapi, dalam halaman demi halaman dari
tulisannya, dapat disimpulkan bahwa yang ia maksud dengan Qur’anic
Christians adalah Kristen versi Alquran; bagaimana Alquran
menggambarkan atau mendefinisikan Kristen. Jika demikian, maka Biblical
Christians adalah Kristen versi Bible; bagaimana Bible mendefinisikan
Kristen. Adapun Sosiological atau Historical Christians adalah Kristen yang
empiris secara sosiologis dan historis. Dua pertama merupakan Kristen versi
normative dari kitab suci, Alquran dan Bible, dan yang terakhir adalah
Kristen versi empiris.
Bagaimanakah Kristen versi Alquran, The Qur’anic Christians? Ia
menjelaskan bahwa melalui tujuh ayat tersebut, Alquran telah memberikan
sanjungan terhadap Kristen. Jika disimpulkan, tujuh ayat tersebut
melakukan klasifikasi dan kategorisasi terhadap Kristen sebagai komunitas
beragama, dengan terma dan tipologi yang samar dan overlap. Beberapa
ayat melakukan kategorisasi dengan menyebut agama sebagai nama formal
seperti Yahudi, Kristen (Nas}a>ra>), S}a>bi’u>n, dan Maju>s; sementara pada
beberapa tempat menyebutkan bagian-bagian kecil dari agama tersebut,
seperti pendeta. Selain menyebutkan agama dengan nama yang formal dan
jelas, sebagian lainnya menyebutnya dengan istilah-istilah yang kurang
definitive dan lebih memilih cara descriptive seperti allaz\i>na ittaba’u>ka dan
allaz\i>na a>taina>hum al-kita>b. Akan tetapi, di atas semua itu, klasifikasi yang
paling jelas adalah pembagian antaran allaz\i>na a>manu> atau man a>mana
billa>hi dengan allaz\i>na la yu’minu>na. Ayat-ayat tersebut membagi manusia
berdasarkan aspek-aspek dogmatis, moral, dan social-religious.
Selain melakukan klasifikasi, ayat-ayat tersebut menyelibkan pujianpujian. Beberapa karakter baik disebutkan, seperti tunduk kepada Tuhan
(a>mana billahi), menghormati wahyu Tuhan (la yasytaru>na bi a>ya>tilla>hi
s\amanan qali<la), dan sebagainya. Kedua pola ini, klasifikasi dan
karakterisasi, menjadi satu elemen yang dramatis dari sudut pandang
kesusastraan, menurut Jane Dammen McAuliffe.
Menurut McAuliffe, seorang Kristen tidak akan kesulitan menemukan
dirinya dalam karakter-karakter yang dijelaskan oleh Alquran sebagaimana
ayat di atas. Alquran menyebut umat Kristen sebagai umat yang tunduk
230 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
kepada Tuhan dan menghormati wahyu Tuhan (Q.S. Ali Imra>n [3]: 199);
orang yang beriman (Q.S. al-Qas}as} [28]: 52); orang yang penyantun dan
penyayang, bukan yang arogan (Q.S. al-Ma>idah [5]: 82); berpaling dari
penyembah berhala (Q.S. al-Qas}as} [28]: 55); menerima kebenaran (Q.S. alMa>idah [5]: 83) dan sebagainya. Seorang Kristen tidak akan keberatan
menerima pujian-pujian tersebut. Ia menjelaskan bahwa, Qur’anic
Christians, Kristen versi Alquran, bisa diterima meskipun oleh orang
Kristen sendiri.30
Akan tetapi, pada perkembangannya, McAuliffe katakan, Qur’anic
Christians ini dikendalikan oleh tafsir. Bagi McAuliffe, tafsir Alquran telah
mengendalikan dan membentuk konfigurasi hermeneutikal tersendiri,
sehingga menghasilkan cara pandang yang berbeda tentang Kristen.31
Sebagai akibatnya, umat Kristen tidak lagi bisa menemukan dirinya dalam
penjelasan-penjelasan tafsir tersebut. Tafsir-tafsir telah membatasi dan
mempersempit kategori ‘Kristen,’ bahwa hanya sebagian kecil dari mereka
yang bisa dianggap orang yang beriman secara benar. Sebagai contoh, bisa
ditemukan pada review McAuliffe terhadap bagaimana para penafsir
menanggapi verbal repetition antara inna al-laz\i>na a>manu … and man
a>mana… pada Q.S. al-Baqarah [2]: 62. Al-T{abari menyematkan konotasi
minhum dalam ayat tersebut.
 

32

Penempatan kata minhum ini menjadi sangat penting dan memberikan
signifikansi yang besar dalam penafsiran ayat ini. Kata ini bahkan dijadikan
kata kunci utama, dimana al-T{abari mengidentifikasi setiap kategori
Alquran, al-laz\i>na a>manu; allaz\i>na ha>du>; al-nas{a>ra>; dan al-s}a>bi’i>na. Dengan
kata ini, ia membedakan makna man a>mana atau mu’min untuk tiap-tiap
kategori Qur’an ini. mu’min untuk al-laz\i>na a>manu bermakna tetap dan
teguh pada keimanan tersebut, sementara mu’min untuk allaz\i>na ha>du>; alnas{a>ra>; dan al-s}a>bi’i>na bermakna berpindah dari keyakinan lama kepada
30
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 286.
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 290.
32
148 ‫ ص‬/ 2 ‫ )ج‬- ‫ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻄﺒﺮي‬
31
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
231
keyakinan baru, dari keyakinan tarhadap Isa/Yesus kepada ajaran yang
dibawa oleh Muhammad.33
Penafsiran al-T{abari ini kemudian dilanjutkan oleh penafsir-penafsir
lainnya tanpa perbedaan yang signifikan. Menurut McAuliffe, tafsir telah
membagi Kristen kepada kelompok yang tidak seimbang. Para penafsir
memahami bahwa Alquran membuat perbedaan yang definitive antara umat
Kristen yang sebenarnya, dengan umat Kristen yang telah dipengaruhi oleh
kitab suci yang telah terdistorsi.34
Begitu juga untuk kasus pengikut Isa/Yesus dalam Q.S. Ali Imra>n [3]:
55; “… wa ja>’il allaz\i>na ittaba’u>ka fawqa allaz\i>na kafaru>…” Ada dua
permasalahan yang dibicarakan tafsir dari potongan ayat tersebut, yaitu
siapakah yang dimaksud dengan allaz\i>na ittaba’u>ka (kata ganti ‘ka’ merujuk
kepada ‘I<sa) dan apa makna fawqa? Al-T{abari menyebutkan bahwa allaz\i>na
ittaba’u>ka adalah orang-orang yang beriman (mu’min). Pertanyaan
berikutnya, siapakah mu’min yang dimaksud? Sebagaimana karakternya, alT{abari menuliskan riwayat-riwayat yang menyatkan bahwa mu’min berada
di atas (fawqa) orang-orang kafir. Salah satu riwayat yang ia kutip berasal
dari al-Suddi yang menyatakan bahwa mu’min dalam konteks ini bermakna
pengikut Isa. Pendapat serupa diikuti oleh al-T{usi dan al-Zamakhsyari.
Perbedaan mereka dari al-T{abari adalah mengenai makna fawqa¸dimana
mereka memperdebatkan apakah superioritas tersebut bermakna moral atau
social-politikal. Akan tetapi, ada perbedaan di tangan Ibn Jawzi, yang
menafsirkan allaz\i>na ittaba’u>ka secara jelas sebagai pengikut nabi
Muhammad, karena mereka mengakui otoritas Isa sebagai rasul. Begitu
juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, menafsirkan allaz\i>na ittaba’u>ka sebagai orang
yang percaya bahwa Isa adalah ‘abd Alla>h dan rasul-Nya. Hanya saja, masih
menurut al-Ra>zi, setelah kedatangan Islam, frase ini bermakna Muslim.35
Perhatian yang lebih serius diberikan oleh McAuliffe terhadap penafsiran
Ibn Kas\i>r. Ia bahkan tidak melakukan paraphrase terhadap Ibn Kas|i>r
melainkan mengutip secara langsung. Hal ini, menurut McAuliffe, karena
Ibn Kas\i>r secara vokal melakukan penyimpangan makna allaz\i>na ittaba’u>ka
33
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 98-105.
Tema Distorsi dibahas oleh Jane Dammen McAuliffe dalam beberapa artikel dia
lainnya diantaranya The Qur’anic Context of Muslim Biblical Scholarship. Lihat Jane
Dammen McAuliffe, “The Qur’anic Context… hlm. 145-147.
35
228 ‫ ص‬/ 4 ‫ )ج‬- ‫)ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﺮازي‬
34
232 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
menjadi Muslim pengikut Muhammad, dan dengan menggunakan data
historis memperlihatkan bahwa Muslim lebih mulia daripada umat
lainnya.36
Contoh di atas, berdasarkan logika McAuliffe, telah memperlihatkan
bagaimana tafsir mengendalikan makna ayat. Menurut para penafsir, the
Qur’anic Christians adalah mereka yang mengikuti Isa dimana dalam
ajarannya disebutkan prediksi kedatangan nabi terakhir, Muhammad.
Karena Kristen versi Alquran ini percaya kepada Injil yang masih murni,
mereka tidak akan merasa keberatan untuk menerima Muhammad sebagai
Rasul baru setelah Isa. Merekalah Kristen yang sebenarnya, sementara yang
menolak kedatangan Muhammad telah dipengaruhi oleh Injil yang
corrupted. 37
Terlihat bahwa McAuliffe menitikberatkan analisisnya pada
bagaimana penafsir mengomentari ayat-ayat tersebut. Ia kemudian
membedakan dua aspek, antara Alquran itu sendiri dan penafsirannya. Teks
Alquran adalah apa yang secara jelas disebutkannya, sementara tafsir adalah
penjelasan hermeneutis yang dilakukan para ahli untuk mengungkap makna
dari teks.
Terma Qur’anic Christians secara sepintas memperlihatkan bagaimana
pandangan Alquran mengenai Kristen. Akan tetapi, sebagai pengaruh dari
pandangan ontologisnya mengenai Alquran yang mementingkan unsure
relation, tafsir menjadi unsure yang integral dalam konteks ini. Hanya saja,
penulis menemukan satu titik inkonsistensi McAuliffe dalam bangunan
teorinya dalam hal ini. Ia menyatakan bahwa ayat Alquran pada
perkembangannya dikendalikan oleh Tafsir. Umat Kristen yang awalnya
tidak merasa kesulitan untuk mengidentifikasi diri mereka dalam satu atau
sejumlah sifat yang dipujikan oleh Alquran, ketika membaca Tafsir tidak
lagi menemukan tempat untuk diri mereka. Setelah dikendalikan oleh tafsir,
Qur’anic Christians tidak merepresentasikan historical Christians atau
komunitas hidup yang menyebut dirinya sebagai umat Kristen.38 Lebih
lanjut, menurut McAuliffe, sejauh ini belum ada usaha yang dilakukan
36
48 ‫ ص‬/ 2 ‫ )ج‬- ‫ ; )ﺗﻔﺴﯿﺮ اﺑﻦ ﻛﺜﯿﺮ‬Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal.
151.
37
38
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 285-289.
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, p. 285-289.
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
233
untuk memisahkan makna ayat dari subjektifitas penafsirnya,39 dan itulah
yang ia lakukan pada disertasinya. Inilah yang menjadi permasalahan,
ketika ia berharap menemukan makna Alquran yang independen dari tafsir,
maka ia tidak lagi menggunakan kata kunci relation dalam pandangannya
terhadap Alquran.
Disamping itu, McAuliffe tampaknya juga tidak menyadari, bahwa
usahanya melakukan isolasi terhadap Alquran dari investigasi tafsir pada
hakikatnya akan menghasilkan tafsir jenis baru. Kembali, ini akan
mengungkap subjektifitas penafsir itu sendiri. Sebagai akibatnya,
McAuliffe seperti terjebak dalam angan-angan utopis untuk menemukan
makna objektif dari Alquran tanpa melibatkan subjektifitas penafsir.
Meskipun begitu, penulis memahami apa yang dilakukan McAuliffe sebagai
usaha untuk membuka alternatif baru dalam tafsir, tafsir yang lebih sehat
secara interreligious, yang lebih menghargai keberadaan agama lainnya,
yang dalam konteks ini adalah Kristen.
F.
Simpulan
Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Jane
Dammen McAuliffe memandang Alquran sebagai scripture, dimana
komunitas pemegang Alquran merupakan aspek penting dalam memahami
Alquran; dimana sakralitas Alquran dibangun oleh komunitas tersebut.
Kedua, sebagai pengaruh dari pandangan ini, McAuliffe selalu membawa
tafsir, sebagai salah satu bentuk resepsi penganut kitab suci, dalam
memahami Alquran. Ketiga, McAuliffe mengkritisi tafsir-tafsir dengan
menyatakan bahwa Tafsir telah mengendalikan pandangan Alquran tentang
Kristen, sehingga gambaran Alquran mengenai Kristen tidak bisa dianggap
merepresentasikan historical Christians maupun komunitas hidup yang
menyebut diri mereka Kristen.
39
Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, p. 286.
234 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Daftar Pustaka
Al-Qur’a>n al-Kari>m
Abdallah, Ulil Abshar. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Kompas
Gramedia. 2009.
Boullata, Issa J.. Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an.
Surrey: Curzon. 2000.
__________. I’ja>z al-Qur’a>n al-Kari>m ‘Abra al-Ta>ri>kh trans. Bachrum
(dkk.). Jakarta: Lentera Hati. 2008.
Bucaille, Maurice. La Bible le Coran et la Science trans. M. Rasyidi.
Jakarta: Bulan Bintang. 1984.
Burton, John. The Collection of the Qur’an. London: Cambridge University
Press. 1977.
Cornell, Vincent J. “Qur’an as Scripture” In John L. Esposito (ed.), The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York:
Oxford. 1995.
Firestone, Reuven. “The Qur’an and the Bible: Some Modern Studies of
Their Relationship” In John C. Reeves (ed.). Bible and Qur’an: Essays
in Scriptural Intertextuality. Atlanta: Society of Biblical Literature.
2003.
Ghazali, Abd Moqsith (dkk.). Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2009.
Geiger, Abraham. Judaism and Islam. New York: Ktav Publishing House.
1970.
Goldziher, Ignaz. Muslim Studies translated by Barber dan Stern. London:
Ruskin House Musuem Street. 1971.
Jeffery, Arthur. “Textual Criticism” In Jane Dammen McAuliffe (ed.). The
Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill.2004.
__________. The Foreign Vocabulary of the Qur’an. Leiden: Brill. 2007.
Kas\i>r, Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m edited by Musthafa Sayyid
Muhammad. Cairo: Mu’assasah al-Qurt}ubah. 2000.
Lawrence, Bruce. Biographi Al-Qur’an translated by Ahmad Asnawi.
Yogyakarta: Diglossia Media. 2006.
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
235
Luxemberg, Christoph. The Syiro-Aramaic Reading of the Qur’an. Berlin:
Verlag Hans Schiler. 2007.
Martin, Richard C. (ed.). Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson:
The University Arzona Press. 1985.
McAuliffe, Jane Dammen. "Chosen of All Women: Mary and Fatima in
Qur’anic Exegesis." Islamochristiana 7. 1981.
__________. “Exegetical Identification of the S}a>bi’u>n” In Willem A.
Bijlefeld (ed.). The Muslim World Vol LXXII. The Duncan Black
MacDonald Center Hartford Seminary. 1982.
__________. Qur’anic Christians: an Analysis of Classical and Modern
Exegesis. New York: Cambridge University Press. 1991.
__________. “The Abrogation of Judaism and Christianity in Islam: A
Christian Perspective” within Hans Kung and Jurgen Moltmann. Islam:
A Challenge for Christianity. London: SCM Press. 1994.
__________. “Islam (authoritative text and their interpretation)” within
J.Z. Smith dan W.S. Green (ed.). The Harper Collins Dictionary of
Religion. San Fransisco: Harper San Fransisco. 1995.
__________. Abbasid Authority Affirmed: The Early Years of al-Mansur.
Translation, introduction and annotation of vol. 28, Ta’rikh al-rusul wa
al-muluk. Albany: State University of New York Press. 1995.
__________. The Qur’anic Context of Muslim Biblical Scholarship, Islam
and Christian—Muslim Relations. Volume VII. 1996.
__________. “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection” within
Issa J.Boullata. Literary Structures of Religious Meaning in the
Qur’an. Surrey: Curzon. 2000.
__________ (ed.), The Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden: Brill, 2001).
__________.“Is There a Connection between the Bible and the Qur’an”.
Theology Digest volume XLIX. Number I. Spring 2002.
__________. “The Prediction and Prefiguration of Muhammed” within John
C. Reeves (ed.). Bible and Qur’an: Essays in Scriptural Intertextuality.
Atalanta: Society of Biblical Literature. 2003.
__________. With the Reference for the Word: Medieval Scriptural
Exegesis in Judaism, Christianity, and Islam. Oxford: Oxford
University Press. 2003.
236 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
__________. “Debate and Disputation” within Jane Dammen McAuliffe
(ed.). The Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill. 2004. Volume I.
__________. “Religious Pluralisme and the Qur’an” within Jane Dammen
McAuliffe (ed.). The Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill. 2004.
Volume IV.
__________. “Connecting Moses and Muhammad” In Paul Magdalino and
Robert Nelson (ed.) The Old Testament in Byzantium. Washington
DC: Dumbarton Oaks Research Library. 2010.
Mourad, Suleiman A.. “Mary in the Qur’an: a Reexamination of Her
Presentation” within Gabriel Said Reynolds (ed.). The Qur’an in Its
Historical Context. New York: Routledge. 2008.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS,
2010.
Neuwirth, Angelika (ed.). The Qur’an in Context: Historical and Literary
Investigation into the Qur’anic Mileu. London: Brill. 2010.
__________. “Qur’anic Reading of the Psalms” within Angelika Neuwirth
(ed.). The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigation into
the Qur’anic Mileu. London: Brill. 2010.
Parrinder, Geoffrey. Jesus in the Qur’an. England: One World Oxford. 1996.
Rahman, Fazlur. Islam London: The University of Chicago Press. 1979.
__________. “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors”,
The Journal of Religion, LXIV, 1984.
__________. Major Themes of the Qur’an trans. Anas Mahyuddin.
Bandung: Pustaka. 1996.
Ridha, Rasyid. Tafsi>r al-Mana>r. Cairo: Dar al-Manar.1947.
Setiawan, Nur Khalis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta:
eLSAQ. 2006.
__________, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika
Nashr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Teraju, 2003.
Smith, Wilfred Cantwell. Kitab Suci Agama-agama trans. Dede Iswadi.
Jakarta: Teraju. 2005.
al-S}uyu>ti. al-Itsqa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r el-Fikr. 2008.
Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian |
237
Syamsuddin, Sahiron. “Studi al-Qur’an di Jerman”. Republika. Jumat 17
September 2010.
Wansbrough, John. Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation. London: Oxford University Press, 1977.
Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi Al-Qur’an: Penyempurnaan atas
Karya Richard Bell translated by Taufik Adnan Amal. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 1995.
Weil, Gustav. The Bible, the Koran, and the Talmud. London: Longman.
1846.
Wild, Stefan (ed.). The Qur’an as Text. Leiden: Brill. 1996.
__________. “The Self-Referentiality of the Qur’an: Su>rah 3:7 as an
Exegetical Challenge” in Jane Dammen McAuliffe (ed.), With the
Reference for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism,
Christianity, and Islam. Oxford: Oxford University Press. 2003.
Wright, Lawrence. Sejarah Teror: Sejarah Panjang menuju 11/9 translated
by Hendra. Yogyakarta: Kanisius. 2011.
al-Z|ahabi, Muhammad Husain. al-Isra>iliyya>t fi al-Tafsi>r wa al-Hadi>s\. Kairo:
Maktabah Wahbah. 1990.
__________. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Maktabah Wahbah. 2000.
Al-Zamakhsyari, al-Kasysya>f ‘an Gawa>mid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi
Wuju>h al-Ta’wi>l edited by ‘Adil Ahmad Abdul Mawjud. Riyah:
Maktabah al-‘Ubaikan.1998.
Zayd, Nas\r H{ami>d Abu.> “Everyday life, Qur’an in” in Jane Dammen
McAuliffe (ed.). Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill. 2002.
McAuliffe’s Curriculum Vitae that she updated in Januari 2011.
238 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
KONTEKSTUALISASI ZAKAT
DAN PERUBAHAN SOSIAL
(Analisis Transformasi Sosial dengan Pendekatan Wacana
Keagamaan)
Arif Widodo
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan Universitas Wahid Hasyim Semarang
[email protected]
Abstrak
Generally, the objectives of this research are to know the contextualization
of zakat and social change in the modern era. In addition, specifically, it is
to know 1) what is the basic meaning of zakat?, 2) What kind of
contextualization of the material aspects of zakat zakat?. The data are
analyzed by descriptive and content analysis.
The results of the research show that 1) Seen from zakat object, something
that is given not just limited to material goods but also the nature is merit,
and expenses in accordance with the level and size of each., 2) Zakta is
realized with good impact on the culture of justice, social solidarity,
individuals and groups, and the usefulness for the local economy, 3) in
general, The greater the scope of the goods and services that must be paid
and supported by the public's understanding of the aims and objectives of
zakat, the charity receiving the wider opportunities which in turn leads to
economic terentasnya macro.
Kata kunci : Zakat, Perubahan Sosial.
A. Pendahuluan
alah satu rukun Islam yang hubungannya tidak hanya bersifat
vertikal (hablun minallah) tetapi juga berifat horizontal (hablun
minannas) adalah zakat. Makna yang ada di dalamnya bernuansa
individual dan sosial. Individual karena ada misi pribadi dan kepentingan
S
240 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
serta manfaat atau keuntungan yang diterima juga bersifat pribadi sebagai
hasil dari berzakat, dan tidak bisa digantikan oleh orang lain sebagai
penerima pahala dari zakatnya. Sedangkan aspek sosialnya nampak pada
distribusi zakat yang nantinya dinikmati oleh orang lain sebagai penerima
zakat, dan bisa jadi terjalin hubungan lebih luas lagi antara pemberi dan
penerima, tidak hanya sebatas kontrak zakat. Artinya, akan muncul budaya
sosial yang dihasilkan dari kontak sosial dengan media penyaluran zakat itu
sendiri, seperti menjalin silaturahmi, kekerabatan, dan selanjutnya akan
mungkin terjadi hubungan timbal balik, saling menolong satu sama lain.
Dari keadaan seperti itulah dampak zakat nampak dan benar-benar fact
impact.
Namun demikian, yang perlu dicermati saat ini adalah masih
terbatasnya manfaat zakat yang selama ini tersalurkan, dan itu disebabkan
beberapa hal. Pertama, kurangnya perhatian sesama muslim terhadap
muslim lain. Kedua, minimnya jiwa dermawan dan kuatnya jiwa kikir yang
dimiliki oleh sebagian besar orang muslim yang notabene termasuk
golongan kaya (aghniya’). Ketiga, pandangan masyarakat yang masih
menganggap bahwa zakat terbatas pada barang-barang hasil agraria maupun
perdagangan sehingga mempersempit ruang zakat, khususnya bagi sebagian
kalangan yang mata pencahariannya di luar konteks dua hal ini, seperti para
pegawai, advokat, konsultan, pakar dan sebagainya.
Ketiga hal di atas akan berdampak besar terhadap laju perkembangan
zakat manakala tidak segera diupayakan untuk meminimalisir ketiganya
dengan berbagai cara. Karena, tidak menutup kemungkinan jika laju zakat
membaik akan berimbas pada terangkatnya sosio-ekonomi masyarakat kelas
bawah, minimal menjadi penyeimbang rata-rata pendapatan Nasional. Hal
ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad:
“Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau
tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. ”
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, satu masalah yang perlu dikaji
dalam kesempatan ini dan didiskusikan bersama menuju solusi ke depan
adalah merubah mandsite masyarakat tentang makna zakat secara luas dan
proporsional. Ini perlu dicermati untuk meminimalisir dampak dari masalah
ke-tiga di atas, yaitu; “pandangan masyarakat yang masih menganggap
bahwa zakat terbatas pada barang-barang hasil agraria maupun perdagangan
sehingga mempersempit ruang zakat.” Oleh karenanya, pertanya subtansi
Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial |
241
yang perlu dijawab dalam makalah ini adalah 1) apa makna dasar dari
zakat?, 2) seperti apa kontekstualisasi zakat dari aspek material zakat?.
Dalam artikel ini, penulis ingin melihat subtansi dari zakat secara
proporsional dan sesuai konteks sosial dan kultural di tengah masyarakat
saat ini dan peranannya yang siginifikan dan strategis sebagaimana yang
diamanatkan oleh agama Islam yang tentunya berdampak pada perubahan
sosial masyarakat dari sisi ekonomi dan kultur bermasyarakat jika dapat
memosisikan zakat sebagaimana mestinya.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
tentang pentingnya mengefektifkan peran Zakat di tengah-tengah
masyarakat yang haus akan ekonomi, kefakiran dan kemiskinan yang
menjadi penyakit utama bangsa dan pentingnya agama sebagai solusi akan
semua keluhan umat, khususnya dalam kesejahateraan sosial, karena Islam
memberikan jaminan kebutuhan hidup dunia hingga akhirat manakala etika
Islam dan berbagai aturan main-nya dijalankan sebagaimana mestinya.
B. Landasan Teori
Untuk mempermudah arah kajian makalah pada kesempatan kali ini,
berikut beberapa konsep sederhana yang dijadikan landasan konseptual
penulis dalam memaparkan makalah tentang kontekstualisasi zakat dan
perubahan sosial:
Zakat :
Pengertian Zakat
Dilihat dari perspektif bahasa, zakat berarti suci dan subur. Sedangkan
menurut istilah syara’, zakat adalah kadar harta yang diberikan kepada para
mustahiq zakat sesuai dengan syarat dan ketentuannya.1
Landasan Kewajiban Membayar Zakat
Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada
bulan Syawal tahun kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan
dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di
Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan
metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi
yang meninggalkannya.
Landasan kewajiban mewmbayar zakat:
1
Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), Hlm. 729.
242 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Al-Qur’an
:
- Al-Baqarah: 43: Artinya:
"Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama
orang-orang yang ruku'".
- At-Taubah :103: Artinya:
"Ambilah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka
karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi
mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
- Al An'aam :141: Artinya:
"Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya
(kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dikeluarkan zakatnya)".
Al-Hadis
:
- Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar:
Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa di
bulan Ramadhan".
- Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya:
"Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya
dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai
kecukupanorang-orang fakir diantara mereka. Orang-orang fakir
tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju
kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah
bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab
mereka dengan pedih".
Perubahan Sosial
:
Perubahan sosial adalah cara hidup dan berfikir, pergaulan, seni,
agaman, rekreasi dan hiburan yang disebabkan oleh ekspresi jiwa
seseorang.2 Perubahan semacam ini bisa meliputi perubahan dalam unsur
geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Lebih lanjut, selo berpendapat bahwa Perubahan-perubahan social
adalah perubahan demi perubahan pada tataran masyarakat yang berdampak
2
272.
Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart, Newyork 1937 pp
Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial |
243
pada sistem sosial, seperti nilai-nilai, sikap dan pola perilaku kelompok
masyarakat.3
Adapun sebab terjadinya perubahan sosial menurut Soekarno (1990)
dibedakanmenjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah penyebab yang berasal dari dalam masyarakat itu
sendiri, seperti bertambah maupun berkurangnya jumlah penduduk,
munculnya suatu yang baru, adanya konflik, pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan faktor eksternal adalah dari luar masyarakat, seperti keadaan
lingkungan fisik, peperangan dan bisa jadi adanya pengaruh budaya
masyarakat luar.
C. Metodologi Penelitian
Untuk melakukan penelitian yang bersifat kualitatif ini, metode yang
dipakai adalah metode deskriptif analitis dengan model kajian pustaka.
Metode ini dipakai untuk menelaah secara konseptual dan literal dari teoriteori yang terpustaka dan memenuhi standar ilmiah.
D. Pemaparan
Paradigma Zakat dan Perannya dalam Perubahan Sosial
Dilihat dari aspek bahasa (lughah), zakat dapat berarti tumbuh,
berkembang, subur dan bertambah (HR.At-Tirmidzi), atau dapat dimaknai
membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah :10). Secara bahasa sudah
mengisaratkan bahwa zakat mempunyai manfaat yang besar, dari yang
sempit menjadi luas, dari yang miskin menjadi tercukupi, dari yang kotor
menjadi suci. Ini berarti dampak yang ditimbulkan sesuai dengan makna
yang dimiliki oleh zakat; yaitu berkembang dan bertambah baik. Sehingga,
secara tidak langsung bisa dipastikan bahwa zakat berperan mengangkat
derajat ekonomi masyarakat manakala tersalurkan dengan baik, karena
proses zakat adalah penyetaraan status sosio-ekonomi, paling tidak tidak
ada kesenjengan signifikan antara yang mampu dan kurang mampu, dan
tidak seperti keadaan kebanyakan, yang miskin tambah miskin dan yang
kaya tambah kaya.
3
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama
Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Jakarta:1964), hlm.
486,497
244 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Aspek Syara’:
Zakat dijadikan sebagai salah satu pondasi agama Islam dan bahkan
sebagai rukun Islam yang ketiga.4 Posisi tersebut mengisaratkan betapa
pentingnya zakat untuk mengangkat derajat dan kepercayaan manusia akan
Islam, bahwa Islam juga memperhatikan aspek kehidupan manusia yang
paling krusial yaitu harta benda. Artinya, dengan zakat, kesejarteraan
manusia akan kebutuhan ekonomi tercukupi secara normal. Orang yang
miskin akan secara tidak langsung akan terangkat ekonominya dengan
peran orang yang lebih kaya dan mempunyai harta yang lebih dari cukup
untuk disalurkan kepada yang membutuhkan.
Aspek Perubahan Sosio-Ekonomi
Zakat jika diaplikasikan secara nyata akan berdampak pada berbagai
dimensi manusia, di antaranya adalah:5
- Perwujudan solidaritas sosial
Adanya proses penyaluran zakat memunculkan keadaan hubungan
antara individu maupun kelompok yang didasarkan pada kesamaan perasaan
moral dan kepercayaan yang dipegang bersama.
- Pemerataan Ekonomi masyarakat
Dengan zakat, sistem ekonomi dapat digerakkan, yaitu dengan pola
atau konsep mu’amalat. Dengan pola tersebut, pendapatan individu maupun
kelompok masyarakat dapat terangkat, dan tentunya adalah berawal dari
kemauaan dan kemampuan masyarakat yang menyalurkan zakatnya.
Karena, bagaimanapun juga, zakat adalah bentuk komitmen hukum Islam
dalam hal sosio-ekonomi untuk memenuhi kebutuhan primer bagia semua
orang, tanpa mengandalkan BLT pada kas negara seperti pada sistem
sosialis.
Barang Zakat yang Telah Disepakati Syara’:
Dilihat dari dimensi fiqih, zakat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
zakat harta benda dan zakat badan. Untuk harta benda diambilkan dari harta
orang-orang kaya, seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an (Al-Dazarriyat:
19)
4
Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ ulumuddin, imam ghazali, pen. Fadlurrahman dan Aida
Humaira (Jakrata: SAHARA Publisher, 2012), cet. 12,hlm. 106.
5
http://forum.kompas.com, fungsi zakat dalam kehidupan sosial-ekonomi, diakses
pada tanggal 10 Oktober 2013.
Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial |
245
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang fakir miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Ayat yang terkandung mengilustrasikan akan berbagai harta tanpa
pembedaan jenis harta. Bisa harta pertanian, industri (pabrik dan buruhnya),
dan harta niaga atau perdaganga. Dengan demikian, apapun barangnya bisa
dialokasikan zakatnya sebagaimana pendapat para ulama’ madzab yang
menggaris bawahi contoh kekayaan yang dimiliki masyarakat, seperti
binatang ternak, biji-bijian, buah-buahan, barang tambang dan bahkan uang.
Sebagai contoh, untuk binatang ternak, ulama sepakat bahwa yang
nantinya dizakati adalah: unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan kibas
kecuali kuda, keledai dan baghol (pencampuran keduanya). Namun
demikian, kuda merupakan hewan yang masih dalam perselisihan beberapa
tokoh, seperti imam Abu Hanifah yang berpendapat wajib dizakati
manakala untuk peternakan meskipun jumhur mengatakan tidak wajib.
Perbedaan tentang wajibnya hewan kuda tersebut dinilai oleh ulama
mutaakhirin Ibnu Rusd sebagai perbedaan pendapat yang disebabkan
adanya perbedaan cara pandang qiyas pada sebuah hadis, dan diduga juga
sebagai hasil dari pertentangan bunyi hadis yang satu dengan yang lain.6
Untuk redaksi hadis yang disinyalir mengarah pada tidak wajibnya zakat
pada hewan kuda adalah:
 
“Seorang muslim tidak wajib menzakati budak dan kudanya”
Hadis tersebut menunjukkan tidak adanya zakat pada kuda meski
keumumannya ditentang oleh qiyas yang menghendaki tidak adanya
perbedaan antara kuda yang diternakkan dengan unta dan sapi, maka
hendaklah dizakati. Di sisi lain, ada hadis yang menghendaki hewan kuda
dikeluarkan zakatnya, yaitu hadis yang dikeluarkan oleh Bukhori Muslim:
 
“Dan ia tidak boleh lupa hak Allah pada pundak kuda itu dan bukan
pada kuda sebagai kendaraan”.
6
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid: Analisis Fiqih Para Mujtahid, pent. Imam Ghazali
Said dan Achmad Zaidin (Jakarta: Pustaka Amin, 2007), cet.III, hlm. 563.
246 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Contoh yang kedua adalah zakat hasil tanaman (biji-bijian dan buahbuahan). Masalah ini juga kompleks dari sisi jenis apa yang dipandang
syara’ wajib dizakati?, tentunya beberapa pendapat akan bermunculan
berdasarkan argumen masing-masing. Namun, menurut kesepakatan ulama,
kecuali Malik dan Syafi’i dan Hanifah, empat jenis tanaman yang wajib
dizakati adalah jagung, gandum,kurma, dan anggur. Sedangkan pihak Malik
dan Syafi’i menganggap bahwa segala hasil tanaman yang dapat disimpan
lama dan menjadi makanan pokok wajib dizakatai. Hal ini sedikit berbeda
dengan Abu Hanifah yang lebih luas lagi terhadapa semua tanaman, kecuali
rumput, kayu bakar, dan bambu.
Perbedaan mereka para ulama cukup sederhana, yaitu dari sisi
perbedaan apakah kewajiban zakat tersebut karena wujud bendanya (seperti
jelas-jelas ada nashnya), atau lebih dari itu, yaitu dari sisi kemanfaatan atau
nilai guna. Dengan demikian, segala makanan pokok bisa dizakati, seperti
beras dan jagung yang menjadi makanan pokok di jawa.
Contoh ketiga adalah menzakati barang jenis logam, yaitu emas dan
perak. Tentang logam ini, Malik dan Syafi’i , kecuali Abu Hanifah dan
pendukungnya, berpendapat wajib ada zakatnya selama tidak digunakan
sebagai perhiasan dan pakaian tetap. Pendapat mereka didasarkan pada
hadis yang menerangkan bahwa perhiasan tidak wajib zakat:

Akan tetapi, di era sekarang, timbul masalah lain yang sama-sama
punya nilai, yaitu uang kertas, apakah termasuk kateogori yang dizakati dan
setara dengan jenis logam di atas atau tidak?. Jika ditelusuri dari kaidah
awal yang hubungannya dengan nilai ekonomi yang tinggi, uang kertas juga
wajib ada zakatnya jika sampai nishab dan sudah berlalu waktu satu tahun.
Pendapat ini didukung penuh oleh Syafi’i, Maliki dan Hanafi, kecuali
Hambali yang secara tegas menolak zakatnya uang kertas sebelum ditukar
dulu dengan emas atau perak.7
Kontekstualisasi Zakat
Perkembangan zakat sejak mulai jaman Nabi Muhammad s.a.w, hingga
masa tabi’in yang selama ini dijadikan pegangan oleh seluruh warga muslim
7
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, pent. Masykur dkk (Jakarta: Lentera,
2010) cet. 26, hlm. 187.
Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial |
247
dunia adalah berdasarkan asas ijtihadiyyah. Ini berarti secara tidak langsung
memunngkinkan bagi generasi ke generasi selanjutnya sampai masa modern
ini untuk melakukan kajian mendalam tentang zakat sesuai dengan
perkembangan Islam yang semakin di Isi oleh pemeluk yang majemuk, dari
berbagai sosial budaya yang tidak sama dengan sosial budaya tempat
turunnya Al-qur’an.
Al-Sidiqqi (1988) secara pribadi dengan tegas mendukung akan muatan
ijtihad yang melandasi hukum zakat tersebut, bahkan Mufti Negeri
Selangor dengan terang-terangan beragumen bahwa para ilmuan Islam
perlulah kiranya membuka diri untuk menerima pembaharuan dan
pengalihan hukum Islam khususnya dalam masalah zakat.8 Pendapat
pendapat tersebut cukup beralasan karena memang pada masa
khulafaurrosidin sendiri telah terjadi gerakan reformasi zakat. Reformasi
tersebut secara garis besar berisi: 1) pemerintah mempunyai legitimasi
untuk menentukan zakat bagi semua masyarakat yang telah memenuhi
syarat. 2) pemerintah berwenang mengkaji pelaksanaan hukum-hukum
zakat yang telah ditetapkan sebelumnya dan melakukan perubahan konteks
zakat sesuai dengan kondisi yang ada. 3) pemerintah dapat memperluas
cakupan zakat dengan harta atau produk baru yang muncul di tengah-tengah
masyarakat.9
Berdasarkan keterangan tentang adanya reformasi tersebut, khususnya
pada urutan yang ketiga; “pemerintah dapat memperluas cakupan zakat
dengan harta atau produk baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat”,
nampak adanya kontekstualisasi bentuk zakat yang perlu dizakati dan tidak
hanya berupa barang yang identik dengan kebutuhan orang Arab
sebagaimana pada masa Nabi dan para sahabat. Bahkan ulama sekaliber
Muhammad al-Ghazali sendiri tidak membatasi zakat hanya pada barang,
tetapi juga pada jasa, yaitu pendapatan gaji, pendapatan seorang profesional
(sesuai bidang keahliannya) yang disamakan dengan zakat pertanian dan
zakat yang nantinya dikeluarkan juga disesuaikan dengan kesukaran yang
dihadapi. Jika kesukarannya tergolong tinggi, maka kadar 5% dapat
8
Mohd. Tamyes Abdul Wahid, 2002: 11(Muhammad Tamyes Abdul Wahid, 2002.
“Matlamat Seminar Fiqh Zakat Kontemporari, makalah pada Seminar Fiqh Zakat 2002, 31
Oktober.
9
Zahri Hamat, 2001a (Zahri Hamat, 2001a. “Pengurusan Zakat Perlukan Reformasi
dan Ijtihad”, Berita Harian Malaysia, Jumaat, 12 Januari.)
248 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
mewakilinya, akan tetapi jika kesukaran/resikonya kecil maka kadarnya
mencapai 7.5% sampai 10%.10
Zakat yang sifatnya dari hasil jasa, pendapatan dari gaji tersebut
sekarang mulai diadakan dengan berbagai pendapat yang berbeda-beda akan
nilai zakatnya. Di samping itu, masalah zakat profesi ini, ada yang
mengqiyaskannya dengan zakat emas dan perak, baik pendapatan bersih
maupun pendapatan kasar yang nantinya akan berbeda persentasi zakatnya.
Imam al-Qardawi sendiri menyebutkan bahwa pendapat mutakhir semisal
Abu Zahrah, Abd. Wahab Khalaf dan Abd. Rahman Hassan menentukan
nilai zakat dari hasil pendapatan gaji sebesar 5% dari pendapatan kasar,
atau 5% dari pendapatan bersih.11 Pendapat ini diikuti juga oleh Mujaini
Tarimi (1999), tokoh sentral di Malaysia yang menyatakan bahwa kadar
zakat cukup adil dan proporsional untuk pendapatan dari gaji adalah 5%.12
Begitu juga dengan Othman Al-Habsyi (2001) yang berpendapat perlu
adanya zakat profesi, yaitu zakat yang berasal dari menjual ilmu (jasa)
sesuai kepakarannya, dengan nilai zakat 5% atau 10% yang diqiyaskan
dengan zakat pertanian.13
Metodologi Kontekstualisasi Zakat: Qiyas
Untuk mengkontekstualisasi zakat sesuai dengan kondisi jaman yang
terus berkembang tidaklah mudah tanpa pengetahuan hukum-hukum syara’
yang matang. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk melakukan
kajian ini sehingga tidak banyak yang berani untuk melakukan reformasi
zakat. Meskipun demikian, tidak berarti berhentinya kesempatan untuk
mendiskusikan isu ini secara mendalam, tetapi dapat dicukupkan dengan
pandangan-pandangan ulama kontemporer tentang hal itu dan bagaimana
mereka menelorkan konsep tersebut sehingga nantinya menjadi landasan
10
Zahri Hamat, 2002, Perakaunan Zakat Pendapatan: Satu Kajian Semula, 2002, hlm.2
(makalah yang dimuat di Muzakarah Pakar Zakat, Kumpulan Kajian Zakat, Fakultas
Pengajian Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia pada 21 – 22 Disember 2002).
11
Yusuf al-Qaradawi, Hukum Zakat - Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat
Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis, Terj. Salman Harun, (Indonesia : Penerbit Litera
AntarNusa dan penerbit Mizan, 1999), hlm. 488.
12
Mujaimi Tarimin, Zakat Pendapatan : Hukum dan Persoalannya (Kuala Lumpur:
Kaisha Services, 1999). hal. 141.
13
Syed Othman Al Habshi, 2001. “Zakat Perniagaan : Potensi dan Cabaran Di Era
Ekonomi Baru”,hlm.5, makalah dipresentasikan di Konvensyen Zakat Kebangsaan pada 18 –
19 September. .
Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial |
249
bagi siapa saja untuk meneruskannya ke tingkap konvensi atau musyawarah
mufakat dalam rangka pengambilan hukum tanpa harus memulai dari awal
yang subtansi karena keterbatasan kompetensi.
Adapun trik atau salah satu cara yang biasa dilakukan oleh ulama’ dulu
hingga sekarang untuk menformulasikan hukum khususnya kasus yang
berhubungan dengan zakat adalah dengan metode qiyas. Metode ini mereka
gunakan untuk menentukan zakat dan kadarnya pada kondisi yang baru
seperti sekarang ini. Adapun penjabaran dari qiyas dan bagaimana
penggunaannya itu sendiri adalah sebagai berikut:
Makna dan Penggunaan Qiyas:
Definisi Qiyas dan Hukumnya:
Banyak tokoh besar yang memiliki pandangan tentang qiyas dan satu
sama lain sama-sama saling mengutarakan definisi qiyas. Di antara para
ulama tersebut adalah Al-Ghazali, Al-Baidlawi, Shadr as-Syari’ah, Ibnu alHajib dan Ibn al-Hammam. Adapun definisi yang mereka sampaikan adalah
sebagai berikut:14
1. Al-Ghazali :pemberian arti suatu hal yang dimaklumi atas sesuatu hal
yang juga dimaklumi adanya dalam menetapkan hukum atas
keduanya atau sebaliknya menyangkalnya dengan sesuatu hal yang
menyangkalnya pula.
2. Al-Baidlawi : Qiyas adalah penetapan kesamaan hukum yang
diketahui pada suatu hal lain yang dimaklumi karena adanya indikasi
kesamaan illah hukum menurut mujtahid yang membuat ketetapan.
3. Shadr as-Syari’ah : Qiyas adalah penyampaian hukum tertentu dari
asal ke furu’ dengan melihat illah yang sama dan tidak bisa hanya
diketahui dengan bahasa semata.
4. Ibnu al-Hajib : Qiyas adalah persamaan furu’ dengan asalanya dengan
pendekatan illah.
5. Ibn al-Hammam : Qiyas adalah persamaan antara suatu tempat
dengan yang lain dari aspek illah hukumnya berdasarkan syara’ dan
tidak bisa dipahami hanya dari sisi bahasa.
14
M. Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih, pen. Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), Hlm.641-642
250 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Dari sekian definisi, Daud menengahi berbagai pendapat dengan
pengertian yang menyerupai berbagai definisi, yaitu: proses mengembalikan
masalah yang tidak ada dasarnya dalam nash al-Qur’an atau Hadis kepada
masalah yang ada hukumnya dan secara jelas terdapat dalam al-Qur’an dan
hadis. Pengembalian dari satu ke yang lain tersebut didasarkan pada adanya
kesamaan illah.15 Illah yang dimaksudkan adalah:
Pertama: hikmah yang muncul di atas pembentukan sebuah hukum
tertentu, yaitu sebuah kemaslahatan yang dikehendaki dengan hukum yang
dibentuk sebagai penyempurna atau sekedar menghadirkannya.
Keduaa : Kerusakan yang diharapkan dapat tertolak atau
terkurangi.16
Lebih lanjut, Illah pada konteks zakat di sini memungkinkan
dipertemuakan illah pada suatu yang lain tanpa dibatasi waktu maupun
tempat sehingga baik sekarang ataupun yang akan datang akan terus
menghasilkan gagasan dan hukum baru tentang zakat.
Sedangkan illah yang menempel pada zakat tersebut cukup banyak,
meskipun masih diperselisihkan adanya. Ada yang berpendapat bahwa illah
zakat adalah dari maknanya, yaitu berkembang atau ada kemungkinan
berkembang. Adapula yang berpendapat bahwa illah dari kewajiban zakat
adalah kekayaan itu sendiri, sehingga tidak salah jika M. ‘Utsman Syibir
mengemukakan bahwa semua harta wajib dizakati apabila telah mencapai
nisabnya.17
E.
Simpulan
Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, isi makalah dapat
disimpulkan sebagaimana berikut :
1. Zecara subtansial, zakat dimaknai sebagai proses mentasarufkan harta
kekayaan sesuai dengan peran dan fungsinya karena di dalamnya ada
hak bagi orang lain yang tidak menjadi pemilik dari harta tersebut.
15
Ibid., hlm.11,
Ibid., hlm.659.
17
Mohd. Daud Bakar, The Malaysian Zakat System: Law and Policy Reform, dlm.
Jurnal Undang-undang IKIM, Vol. 2 No. 2, (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam
Malaysia (IKIM), 1998), Juli – Desember. Hal. 3-15.
16
Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial |
2.
3.
4.
5.
6.
251
Dilihat dari objek zakat, sesuatu yang dizakati bukan hanya terbatas
pada materi yang bersifat barang melainkan juga bersifat jasa, dan
pengeluarannya sesuai dengan kadar dan ukuran masing-masing.
Zakat prosfesi merupakan jenis zakat yang baru dan merupakan produk
kontekstualisasi zakat terbarukan.
Metode yang digunakan untuk melakukan pembaharuan dan
pengembangan zakat adalah metode qiyas dengen instrumen illah
sebagai dasar.
Zakta yang direalisasikan dengan baik berdampak pada budaya
keadilan, solidaritas sosial, individu dan kelompok, serta
kebermanfaatan bagi ekonomi masyarakat.
Semakin besar cakupan barang maupun jasa yang harus dikeluarkan
zakatnya yang didukung dengan pemahaman masyarakat akan arah dan
tujuan zakat, maka semakin lebar peluang penerimaan zakat yang
selanjutnya menuju pada terentasnya ekonomi masyarakat secara
makro.
Daftar Pustaka
Http://forum.kompas.com, fungsi zakat dalam kehidupan sosial-ekonomi,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart,
Newyork 1937.
Mohd. Daud Bakar, 1998. “The Malaysian Zakat System: Law and Policy
Reform”, dlm. Jurnal Undang-undang IKIM, Vol. 2 No. 2, Kuala
Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Julai – Disember
1998.
Muhammad Tamyes Abdul Wahid, Matlamat Seminar Fiqh Zakat
Kontemporari, makalah dipresentasikan di Seminar Fiqh Zakat 2002,
pada tanggal 31 Oktober 2002.
Mujaimi Tarimin, Zakat Pendapatan : Hukum dan Persoalannya, Kuala
Lumpur: Kaisha Services, 1999.
Rusd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid: Analisis Fiqih Para Mujtahid, pent. Imam
Ghazali Said dan Achmad Zaidin, Jakarta: Pustaka Amin, 2007.
252 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Syed Othman Al Habshi, Zakat Perniagaan : Potensi dan Cabaran Di Era
Ekonomi Baru, kertas dibentangkan di Konvensyen Zakat
Kebangsaan, 18 – 19 September 2001.
Yusuf al-Qaradawi, Hukum Zakat - Studi Komparatif Mengenai Status dan
Filsafat Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis, Terj. Salman Harun et
al, , Indonesia : Penerbit Litera AntarNusa dan penerbit Mizan, 1999.
Zahri Hamat, Pengurusan Zakat Perlukan Reformasi dan Ijtihad, Berita
Harian Malaysia, Jum’at, 12 Januari 2001a.
UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT
PENULISAN HADIS
Saifuddin Zuhri Qudsy
Email: [email protected]
Abstrak
Here I try to uncover various foundation of time and space underlying the
nature of caliph ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz’s thought who formally
commanded codifying hadith. I use Peter L. Berger theory of sociology of
knowledge to get an understanding of how the process ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz that has lived in the luxuriousness dynastic of Umayyah capable to
pay attention on hadith whereas formerly it was allowed running wild in the
arms individual thalib hadith and didn’t get attention from any Umayyad
caliphate.
Kata Kunci: periodesasi hadis, kodifikasi hadis, sosiologi pengetahuan
A. Pendahuluan
alam sejarah periodesasi hadis versi Hasbi Ash-Shiddiqiey,
terdapat tujuh periodesasi. Masa wahyu dan pembentukan
masyarakat (ashr wahy wa al-taqwim) (13 SH-11H); Periode
pembatasan dan penyelidikan hadis (ashr tatsbut wa al-iklal min al-riwayah)
(12H-40H); Periode Penyebaran hadis ke berbagai wilayah (ashr intisyar
riwayat ila al-amshar) (41H- akhir abad I H); Periode Penulisan dan
Pembukuan Hadis secara Resmi (ashr al-kitabat wa al-tadwin). (II H-akhir);
Periode Pemurnian, Penyehatan, dan penyempurnaan (ashr tajrid wa altashih wa al-tanqih) (awal IIIH-akhir); Periode pemeliharaan, penertiban,
dan penghimpunan (ashr Tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u)
D
254 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
(IV H-Jatuhnya Baghdad (656H); Periode pensyarahan, penghimpunan, dan
pentakhrijan (al-Syarh, wa al-jam’u wa takhrij) (656 H-Sekarang).1
Dari tujuh periodesasi yang disebutkan di atas, penulis tertarik untuk
membahas masa periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi,
dengan Umar bin Abdul Aziz sebagai pemrakarsanya. Semangat penulisan
hadis yang pada awalnya dilakukan orang-perorang mulai masa sahabat
hingga tabiin kemudian menarik perhatian salah seorang khalifah Umayyah
untuk melakukan penyelamatan hadis secara nasional dan dilakukan
serentak. Hal ini pula yang kemudian membuat kami tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai sejarah sosial terbentuknya gagasan
mengenai pengumpulan hadis secara resmi yang dilakukan pada masa
khalifah Umayyah ini.
Latar belakang historis mengenai hadis, yakni bagaimana umat Islam
pada waktu itu memperlakukannya, dan latar kehidupan Umar bin Abdul
Aziz yang sangat berbeda dengan khalifah-khalifah Umayyah lainnya
membuat kami tertarik untuk menelaahnya melalui analisis sosiologi
pengetahuan.2 Sosiologi pengetahuan mencoba untuk menganalisis dan
menghubungkan berbagai ide dengan realitas masyarakat serta menelaah
setting historis tempat ide-ide tersebut diproduksi dan diterima. Sehingga
dengan demikian kami akan mengkaji pertama-tama hadis sebagai salah
satu sumber pengetahuan Islam, kemudian Umar bin Abdul Aziz, sebagai
pencetus kodifikasi hadis, dengan mengkaji berbagai ide-ide dan sejumlah
faktor sosial yang membentuk dan mendorong dia melakukan kodifikasi
hadis.
B. Memahami Hadis dalam Sistem Pengetahuan Masyarakat Islam
Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada
masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum
banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat
karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan
1
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 30.
2
Terma sosiologi pengetahuan merupakan satu terma yang diperkenalkan pertama kali
oleh Marx Scheler yang kemudian diracik dan dikemas dengan sangat apik oleh Karl
Manheim dan Peter L. Berger. Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge (England: Penguin,
1991), hlm. 16.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
255
penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar
berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab
secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun
banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada
larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum
banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat
masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka.
Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak
kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah
sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari
Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas
pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa
Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang
menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam
yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan
meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah
Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai
hal yang terkait dengan kehidupan manusia.
Bahkan setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan,
kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhatihati dalam menerima hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu
pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin
Abu Sufyan.3 Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia, barang siapa
meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembela
Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok yang
berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakan
sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinasti
Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah
yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang
banyak memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakan
bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadis yang isinya
3
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar……, hlm. 46.
256 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua
Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.4
Pada periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il alamshar (penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat
kecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah
Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait
dengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya
baru sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan
pihak para khalifah Umayyah.
Di sisi lain, masa-masa ini sebenarnya merupakan masa-masa rawan
hadis palsu, karena khawarij, Syi’ah senantiasa merongrong kekuasaan bani
Umayyah, sedangkan kelompok bani Umayyah juga membutuhkan
legitimasi untuk kekuasaannya agar diakui sehingga hadis palsu di sini tidak
terelakkan. Dalam bahasa lain, pada dasarnya hadis palsu dipengaruhi oleh
situasi politik kekuasaan yang berlangsung pada itu.
C. Mengenal Sosok Umar bin Abdul Aziz
Nama lengkapnya adalah Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan
bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf
bin Qushai bin Kilab, al-Quraisy al-Madani. Dia lahir pada tahun 61 H dan
wafat pada 101 H. Ayahnya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan merupakan
seorang yang pernah menjabat pemimpin kota Mesir selama kurang lebih
20an tahun dan di sana pulalah Umar lahir. Ayahnya adalah orang yang
memiliki nasab yang bagus, pola kehidupan masa musa yang juga tidak
kalah bagus, Abdul Aziz adalah seorang yang cinta pada hadis-hadis
Rasulullah. Dia sering hadir di majlis Abu Hurairah dan para sahabat lain.5
Sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin
Khaththab. Umar bin Abdul Aziz biasa dikenal juga dengan sebutan Umar
II. Menurut sebagian sumber, pada masa ketika Umar bin Khaththab
menjadi khalifah, dia sering ronda pada malam hari. Khalifah Umar sangat
terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah
kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak
4
Abu Ya’la al-Kholil bin Abdillah, Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits, dalam CD
Maktabah Syamilah.
5
Ali Muhammad Muhammad al-Shallabi, Al-Khalifah al-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir
Umar bin Abdil Aziz, tp. tt. Hlm. 10.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
257
perempuan dan ibunya yang berasal dari bani Hilal, seorang penjual susu
yang miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini
supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari.”
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul
Mukminin melarang kita berbuat begini.”
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan
tahu.”
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul
Mukminin tahu.”
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak
gadis itu.6 Lalu Umar meminta pembantunya, Aslam untuk menandai
tempat dia mendengar percakapan antara ibu dan puterinya tersebut.
Kemudian keesokan harinya, perempuan dan putrinya itu dicari dan
ternyata sang ibu adalah seorang janda dan puterinya masih gadis. Melihat
hal ini, Umar bin Khattab kemudian mengumpulkan putera-puteranya dan
mengatakan, “siapa diantara kalian yang mau menikahi gadis tersebut?
Demi Allah, bila aku masih tertarik kepada perempuan maka tentu aku
tidak akan mengusulkannya pada orang lain” Lalu Asim berkata: “Nikahkan
dia denganku, karena hanya aku yang masih bujang. Kata Umar, “Semoga
lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang
akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam.” Asim segera menikahi gadis
miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila
yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu
Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin
Abdul-Aziz. jadi Umar bin Khattab adalah mbah buyutnya Umar bin Abdul
Aziz dari jalur ibunya.
Ciri-ciri Umar bin Abdul Aziz adalah kulitnya berkulit coklat sawo
matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung,
dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda. Hamzah bin Sa’id,
menceritakan peristiwa ini bahwa “Suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin
menemui bapaknya sedang pada waktu itu dia masih bocah, lalu seekor
kuda menanduknya sehingga melukainya, maka bapaknya sambil mengusap
6
Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil
Aziz, (Iskandariyah: Daar Ibnu Khaldun, 1996), hlm. 9.
258 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
darah yang mengalir seraya mengatakan, ‘Kalau engkau bisa menjadi orang
Bani Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.’”7
Sebenarnya garis nasab Umar II tidak berjalur darah kekhilafahan,
karena dia adalah putra dari Abdul Aziz bin Marwan sedangkan jalur
kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin Marwan. Pada masa
bujangnya Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu dari
menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan. Tak heran jika ia telah hafal alQur’an di masa kecilnya. Kemudian dia meminta kepada ayahnya agar
mengizinkannya untuk melakukan rihlah (perjalanan jauh) dalam thalabul
ilmi (menuntut ilmu) menuju Medinah. Di sana dia belajar agama menimba
ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Medinah. Di Medinah dia belajar
kepada Abdullah bin Umar bin Khattab dan Anas bin Malik, Dan di sanalah
pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Allah
menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih
dalam urusan agama. Bahkan di Medinah dia sering dipuji oleh Anas bin
Malik, misalnya perkataannya “Belum pernah aku dipimpin shalat yang
shalatnya mirip dengan shalat Rasulullah selain dari pemuda ini, yakni
Umar bin Abdul Aziz.”8
Dia dikenal pula dengan kezuhudannya, sebagaimana dikatakan dalam
sebuah kisah Ahmad bin Abi al-Hiwari, “Aku mendengar Abu Sulaiman adDaroni dan Abu Shofwan keduanya tengah memperbincangkan Umar bin
Abdul Aziz dan Uwais al-Qorni. Berkata Abu Sulaiman kepada Abu
Shofwan, ‘Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang lebih zuhud ketimbang
Uwais al-Qorni.’ Maka Abu Shofwan menimpali, ‘Mengapa?’ Beliau
menjawab, ‘Karena Umar bin Abdul Aziz telah memiliki dan menguasai
dunia namun ia tetap zuhud darinya.’ Maka Abu Shofwan membela seraya
mengatakan, ‘Seandainya Uwais diberi kekuasaan terhadap harta tentu ia
akan berbuat sebagaimana yang diperbuat Umar bin Abdul Aziz!’ Maka
berkata Abu Sulaiman, ‘Jangan samakan orang yang telah mencoba dengan
orang yang belum mencobanya, karena seorang yang tatkala dunia berada di
tangannya namun ia tetap tidak menoleh harapan darinya, itu lebih utama
daripada orang yang tidak pernah diuji dengan dunia sekalipun sama-sama
7
Abu Faiz al-Atsari, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan Penegak
Keadilan,” Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10, 1432 H.
8
Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, terj. Fachry, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 281.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
259
ia tidak menaruh harapan darinya.’”9 Hal senada diungkapkan oleh Malik
bin Dinar, dia berkata: “Orang-orang berkomentar mengenaiku, “Malik bin
Dinar adalah orang zuhud.” Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud
hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun
ditinggalkannya.”10 Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi khalifah memiliki
satu pakaian saja, dan dia tidak berpakaian jika pakaiannya dicuci.
Di Medinah, Umar bin Abdul Aziz juga belajar pada salah satu dari
tujuh ahli Fiqh Medinah, yakni Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin
Mas’ud. Dia belajar dari Shalih bin Kaisan, salah seorang tabiin senior,
yang memang ditugasi Abdul Aziz agar mengajari dan mendidik Umar.
Setelah ayahanda meninggal dunia Umar diminta untuk tinggal bersama
pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia dinikahkan dengan
putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan.11 Fathimah
memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara
perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin
Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana. Istrinya yang lain adalah Lamis
binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad.
Umar II dikarunia empat belas anak. Diantaranya adalah Umar bin
Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah
Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, AlWalid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan,
Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah. Ia memiliki tiga istri.12
Ketika dia menjadi khalifah, dia mengatakan sesuatu yang sangat ekstrim
kepada istrinya, Fathimah, “Wahai Fatimah, saat ini aku telah menjadi
khalifah, dan saya tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan
perempuan, oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu akan bersabar
bersamaku atau kamu boleh meninggalkanku jika kamu mau.” Dengan
menitikkan air mata, istrinya menjawab, “Saya akan bersabar.” Suatu hal
yang tentu sangat berat bagi perempuan yang telah bersuami. Ketika Umar
II meninggal, Fathimah berkata “Demi Allah, Umar tidak pernah mandi
9
Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil
Aziz……, hlm. 184.
10
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, tt.tp. hlm. 699.
11
Ibid.
12
Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa Manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil
Aziz……, hlm. 314-315.
260 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
besar karena berhubungan suami istri atau karena mimpi basah selama dia
menjadi khalifah hingga dia meninggal.13
D. Kiprah Politik Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi Khalifah
Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sempat menempati
posisi strategis. Diantaranya pada tahun 706 M ketika berumur 25 tahun dia
diangkat sebagai gubernur Medinah setelah ayah mertuanya meninggal. Dia
menjadi gubernur Medinah sekitar 7 tahun. Penampilannya sebagai
gubernur berbeda dari gubernur lainnya karena ia sangat adil dalam
memerintah. Di Medinah, dia membentuk satu ‘dewan penasihat’ yang
beranggotakan para ulama yang berpengaruh di kota itu. Dalam dewan itu,
ia bersama ulama mendiskusikan berbagai masalah penting yang berkaitan
dengan agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu, ia
berusaha mempersatukan pandangan antara umara (pemerintah) dan ulama
dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan
pemerintah.
Namun, kepiawaiannya dalam memimpin suatu daerah menyebabkan
kecemburuan dari gubernur daerah lain. Kemudian pada masa al-Walid I dia
diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur karena hasutan dari alHajjaj bin Yusuf, gubernur Irak pada waktu itu, kepada khalifah al-Walid.
Dalam literatur sejarah, Al-Hajjaj adalah sosok gubernur Iraq yang lalim,
sehingga banyak warga Iraq yang tidak kerasan tinggal di wilayah tersebut
dan hijrah ke Medinah. Umar bin Abdul Aziz tidak menyukai al-Hajjaj
karena sikapnya tersebut, sehingga ketika al-Hajjaj hendak melaksanakan
haji, Umar kemudian mengirim surat kepada khalifah al-Walid agar tidak
memperkenankan al-Hajjaj lewat Medinah. Lalu al-Walid menggaransi hal
ini dan memenuhi permintaan Umar II. Al-Walid menyurati Hajjaj bin
Yusuf, “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz meminta kepadaku agar kamu
tidak melewati daerahnya. Oleh karenanya jangan melewati daerah orang
yang membencimu.” Sehingga Hajjaj pun menghindari Madinah.14
Namun hal ini dibalas oleh al-Hajjaj dengan mengatakan kepada alWalid bahwa Medinah dan Makkah membutuhkan gubernur yang baru yang
13
Kuliah
Umum
Dr.
Mohammad
Musa
al-Shareef,
http://www.youtube.com/watch?v=Uwe0221d7VA, diunduh pada 20 Oktober 2012.
14
Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak Keadilan, terj.
Habiburrahman Syaerozi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 38-39.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
261
lebih baik dari Umar II. Al-Walid kemudian termakan provokasi al-Hajjaj
sehingga memberhentikan Umar II dari jabatan gubernur. Namun, hanya
saja beberapa tahun kemudian al-Hajjaj dicopot dari jabatannya dan dilucuti
pula orang-orang setianya, karena mereka tidak mau mengakui Sulaiman
sebagai khalifah. Dan ketika meninggalnya Hajjaj bin Yusuf, Umar bin
abdul Aziz berkata “sujudku untuk Allah karena berakhirnya masa hidup
Hajjaj.15 Menurut Imam al-Suyuti, ketika al-Walid berkuasa, al-Walid ingin
menghentikan Sulaiman sebagai putera mahkota dan penerus khalifah
dengan menggantikannya pada anaknya. Banyak orang dan kelompok yang
rela, baik secara sukarela maupun terpaksa, dengan upaya al-Walid ini.
Namun Umar bin Abdul Aziz menolaknya dengan mengatakan kepada
Sulaiman “di pundak kami ada baiat.” Dan dia terus menerus menyatakan
pendapatnya ini hingga al-Walid marah dan memasukkan dirinya ke dalam
kamar sempit dengan jendela yang tertutup rapat dengan harapan dia mati
karena sesak nafas dan kelaparan. Namun setelah empat hari, dia diberikan
ampunan. Para pengawal mendatangi Umar dan mendapati kepalanya telah
miring.16
Pada masa Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, Umar II diangkat
sebagai katib (sekretaris) bahkan wazir, disamping Roja’ bin Haiwah.
Dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa Roja’ bin Haiwah (Wazir khalifah
Sulaiman yang berasal dari Palestina) berkata, “Pada hari Jum’at, khalifah
kaum muslimin pada waktu itu, Sulaiman bin Abdul Malik, mengenakan
pakaian berwarna hijau lalu ia melihat ke arah cermin seraya berkata,
‘Sungguh demi Allah aku adalah seorang pemuda yang menjadi raja.’” Lalu
beliau berangkat sholat bersama kaum muslimin dan ia kembali ketika hari
hari telah menjadi sangat panas. Setelah usia beliau telah lanjut ia menulis
surat wasiat bahwa penggantinya kelak adalah putranya sendiri yaitu Ayub
bin Sulaiman namun ia masih kecil dan belum baligh, maka aku (Roja’ bin
Haiwah) mengatakan, ‘Apa yang telah engkau persiapkan wahai Amirul
Mukminin, sesungguhnya yang menjaga seorang khalifah kelak di alam
kuburnya adalah kebaikannya karena telah menunjuk penggantinya yang
shalih.’ Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku akan menulis surat
wasiat setelah beristikharah kepada Allah perihal penggantiku kelak.’
15
16
Ibid., hlm. 38.
Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’…….., hlm. 280-281.
262 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Namun, setelah berlalu satu atau dua hari tiba-tiba beliau membakar surat
wasiat yang telah ia tulis lalu memanggilku dan bertanya, ‘Menurutmu
bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?’ Aku katakan, ‘Beliau saat ini
sedang menghilang di kota Konstantinopel dan tidak ada kabar berita
apakah ia masih hidup atau telah meninggal sebagaimana engkau ketahui.’
Beliau melanjutkan, ‘Wahai Roja’, kalau begitu siapa orang yang pantas
menjadi penggantiku?’ Aku katakan, ‘Itu berada pada keputusanmu, aku
hanya ingin tahu siapa orang yang engkau pilih kelak.’ Khalifah
mengatakan, ‘Bagaimana menurutmu dengan Umar bin Abdul Aziz?’ Aku
katakan, Aku mengetahui siapa beliau, beliau adalah seorang yang jujur dan
memiliki keutamaan.’ Lalu beliau menandaskan, ‘Kalau begitu aku akan
tetapkan bahwa ia adalah penggantiku, tetapi bila aku tidak menetapkan
salah satu dari keturunan Abdul Malik pasti akan terjadi fitnah, dan mereka
tidak akan membiarkan kepemimpinan berpindah dari tangan mereka
kecuali bila aku tetapkan salah satu keturunan mereka adalah pengganti
setelah Umar bin Abdul Aziz.’ Maka aku katakan, ‘Kalau begitu, tetapkan
saja Yazid bin Abdul Malik —dan tatkala itu beliau sedang tidak di
tempat—sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz kalau memang hal itu
akan membawa kepada keridhaan mereka.’ Kemudian khalifah Sulaiman
bin Abdul Malik menuliskan surat wasiat penetapan Umar bin Abdul Aziz
sebagai penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik adalah pengganti setelah
Umar bin Abdul Aziz, dan tulisan ini ditutup dan disegel.’”17 Sebelum
Sulaiman wafat, Sulaiman mengatakan kepada para pembesar Umayyah,
dengarkan dan patuhi perintah-perintah orang yang namanya disebutkan
dalam surat ini, lalu mereka yang hadir menjawab, “baik kami akan
mendengar dan mentaatinya”. Ketika Sulaiman telah tiada, isi surat
tersebut dibacakan oleh Roja’: “Ini tulisan dari Abdullah Sulaiman, amirul
mukminin kepada Umar bin Abdul Aziz, bahwasanya aku memberikan
mandat kepadanya untuk menggantikanku sebagai khalifah, kemudian
setelah kepemimpinan dia penggantinya adalah Yazid bin Abdul Malik.
Maka dengarlah dan patuhlah kepada dirinya, bertakwalah kalian dan
jangan berselisih pendapat, niscaya dia akan memuaskan kalian.18 Namun
Hisyam yang mendengar nama Umar II langsung berkata; “Tidak, demi
17
Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil
Aziz……, hlm. 45. Cek pula Min A’lam al-Salaf, Biografi Umar bin Abdul Aziz, hlm. 62.
18
Ibid.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
263
Allah dia seharusnya tidak menjadi khalifah kita.” Roja menjawab: “Jadi
jika kamu tidak patuh maka kami akan memenggal lehermu.” “Berdirilah
dan baiatlah dia” tegas Roja’ kepada Hisyam bin Abdul Malik. Akhirnya
dengan raut muka marah terpaksa dia membaiat Umar bin Abdul Aziz.
dalam versi lain, ketika mendengar Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti
khalifah Sulaiman, Hisyam berkata, “Bah”, lalu seorang dari ahli Syam
langsung mencabut pedangnya dan mengatakan “Kau berani mengatakan
‘bah’ pada perkara yang telah diputuskan oleh amirul mukminin?! Lalu
Hisyam baru reda ketika disebutkan pengganti Umar bin Abdul Aziz adalah
Yazid bin Abdul Malik.19
Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ia bercerita, “Seusai Umar
bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik dan baru keluar
dari pekuburan ia mendengar suara hentakan kaki kendaraan (hewan
tunggangan), lalu ia bertanya, ‘Suara apa itu?’ Lalu dijawab, ‘Itu adalah
suara kendaraannya khalifah wahai Amirul Mukminin, aku mendekatkannya
agar engkau menaikinya.’ Ia menjawab, ‘Siapa aku ... aku tidak pantas
menaikinya ... jauhkan itu dariku, dekatkan saja keledaiku.’ Lalu aku
dekatkan keledainya lalu beliau menaikinya.20
Kemudian datang pengawal khalifah di depan beliau dengan membawa
tombak, lalu beliau mengatakan, ‘Menjauhlah kalian dariku, siapa aku ...
aku hanyalah salah satu di antara kaum muslimin.’ Lalu beliau berjalan dan
manusia mengikutinya hingga mereka sampai ke masjid, lalu beliau naik
mimbar dan manusia berkumpul kemudian beliau mengatakan, ‘Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini
(kepemimpinan), tiadanya kesepakatan dariku sebelumnya, tidak pula ada
permohonan atau musyawarah dari kaum muslimin, maka dengan ini aku
umumkan bahwa aku telah melepas kewajiban kalian untuk berbai’at
kepadaku. Maka silakan kalian memilih orang yang pantas menjadi
pemimpin kalian.’ Maka semua manusia bersuara dengan satu suara seraya
mengatakan, ‘Sungguh kami telah memilih engkau wahai Amirul
Mukminin, dan kami telah ridho denganmu, maka jalankan amanah ini
semoga Allah memberkahimu.’ Maka tatkala semua suara telah mereda dan
semua manusia telah ridho dengan kepemimpinan beliau lalu beliau memuji
19
20
Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz….., hlm. 47.
Ibid. hlm. 47.
264 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Nabi Saw, lalu dia
mengatakan, ‘Sesungguhnya aku berwasiat agar kalian senantiasa bertakwa
kepada Allah karena takwa kepada-Nya akan menjaga diri dari segala
sesuatu, beramallah untuk akhirat kalian, karena barang siapa yang beramal
untuk akhiratnya maka Allah akan mencukupkan urusan dunianya .... Wahai
sekalian manusia, kepada (pemimpin) yang taat kepada Allah maka kalian
wajib menaatinya dan kepada (pemimpin) yang bermaksiat kepada-Nya
maka kalian wajib tidak menaatinya, maka taatilah aku selama aku menaati
Allah dan bila aku bermaksiat kepada-Nya maka janganlah kalian
menaatiku.’”21
E. Kecintaan Umar Bin Abdul Aziz Kepada Hadis
Setelah Nabi wafat, berita-berita tentang penilaian, pendapat dan
praktiknya tentu saja memainkan peran yang penting dalam pembuatan
keputusan dalam komunitas muslim awal, setidaknya di wilayah-wilayah di
mana Nabi pernah mengekspresikan pandangan-pandangan yang diketahui
secara umum. Selama masa kehidupan Nabi, sebagian pengikutnya meminta
pendapatnya tentang berbagai macam masalah sebagai bentuk kepatuhan
terhadap perintah Al-Quran, ‘Wahai orang-orang beriman … patuhilah rasul
(Muhammad)’, dan ‘Kalian mempunyai contoh yang baik dalam diri
Rasulullah’. Setelah wafatnya, bisa dipahami jika para Sahabat
berkeinginan untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada
umat Islam yang baru meluas menjadi komunitas muslim. Namun tidak
semua sahabat nabi setuju dengan penulisan hadis ini, sebutlah Abu bakar
dan Umar bin Khattab yang cenderung sangat membatasi penulisan hadis
karena kuatir bercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena
pada dasarnya mereka hidup di zaman yang masih sangat dekat dengan nabi
dan masih belum terlalu membutuhkan penulisan hadis. Kendati demikian
ada beberapa sahabat yang memiliki shahifah dan menulis hadis rasulullah,
dan dalam berbagai literatur, tulisan pada masa sahabat dan masa tabiin
senior ini kemudian menjadi salah satu rujukan paling utama Namun ketika
Islam semakin meluas dan pada babakan berikutnya mulai banyak
pemalsuan hadis, maka penulisan hadis mulai dibutuhkan. Pada masa tabiin,
21
Ibid., hlm. 50-51.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
265
kebutuhan akan hadis semakin nyata seiring dengan semakin banyak
sahabat Rasulullah yang wafat.
Umar bin Abdul Aziz meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat dan
tabiin. Misalnya, ayahnya sendiri, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Ibnu Ja’far,
Said bin Musayyib, Ibnu Farizh, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin
Abdurrahman,22 Ibnu Abi Salamah, Ibnu Salam, dan Saib bin Uhkt Namr,
salah seorang sahabat yang diusap kepalanya dan melaksanakan haji wada’
bersama Rasulullah.23 Dalam hemat kami, pembentukan rasa cinta dan
keinginan untuk mengkodifikasi hadis pada masa Umar II menjadi khalifah
telah terbentuk ketika dia berada di Medinah, baik ketika belajar maupun
ketika menjadi gubernur Medinah. Latar belakang kehidupan Umar II di
Medinah kemudian inilah yang menurut kami membuat dirinya
menginstruksikan pengumpulan hadis di masa kekhalifahannya. Sedangkan
murid-muridnya antara lain, Ibrahim bin Abi Ublah Syamr bin Yaqzan bin
Umar bin Abdullah, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Ishaq bin
Rusyd, Ismail bin Abu Hakim, Ayyub bin Abu Tamimah Kaisan, Ja’far bin
Barqan, Hamid bin Abu Hamid, Daud bin Abi Hindun, Yahya bin Atiq,
Sahm bin Yazid, dan lain-lain.24
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada
tahun 99 H, Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis
nabi. Umar II sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang
mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena
meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan
dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadishadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka
tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para
penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul
Azis memerintahkah kepada gubernur Medinah, Abu Bakar bin Muhammad
bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada
para penghafal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin
Hazm yang berbunyi:
22
Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’……, hlm. 280.
Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil
Aziz……, hlm. 18-20.
24
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah.
23
266 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013



Artinya:
“Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu Bakr bin Hazm: Perhatikanlah
apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut
akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima
selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan
majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat
mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”25
Di samping kepada gubernur Medinah, khalifah juga menulis surat
kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga
secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin
Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri. Kemudian Al-Zuhri mulai melaksanakan
perintah khalifah tersebut. Dalam berbagai literatur, al-Zuhri merupakan
salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Al-Zuhri pernah mengatakan, “Kami diperintahkan Umar bin Abdul
Aziz untuk menghimpun hadis. Kami pun menuliskannya pada daftar demi
daftar, lalu dikirim ke seluruh wilayah kekuasaan Islam masing-masing satu
daftar.” Kata daftar di sini berarti kumpulan besar hadis. pada dasarnya
naskah hadis yang telah ditulis oleh Al-Zuhri jumlahnya bukan hanya satu,
tetapi cukup banyak. Di antaranya adalah: (a) Juz’ yang disampaikan secara
munawalah kepada Ibn Juraij; (b) Shahifah yang diberikan kepada ‘Abd alRahman ibn ‘Amr al-Auza’i; (c) Nuskhah yang disimpan oleh ‘Abd alRahman ibn Namirah al-Yahsubiy; (d) Kitab besar yang disimpan oleh ‘Abd
al-Rahman ibn Yazid; (e) Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang
ditulis oleh Hasyim ibn Basyir dari Al-Zuhri; (f) Shahifah yang dimiliki
oleh Sulaiman ibn Katsir; (g) Shahifah yang diserahkan kepada ‘Ubaidullah
ibn ‘Amr untuk disalin dan diriwayatkan; (h) Nuskhah yang dimiliki oleh
Zakariya ibn ‘Isa; (i) Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang khusus
25
Nabia Abbots, Studies in Arabic Literary Papyri 11, Chicago, 1967, hlm. 64.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
267
untuk Al-Zuhri sendiri; dan (j) Kitab yang disimpan oleh Ibrahim ibn alWalid.26
Dalam versi yang lain, memang dalam kapasitasnya sebagai seorang
khalifah, Umar bin Abdul al-Aziz pernah mengeluarkan surat perintah
secara resmi yang ditujukan kepada seluruh pejabat dan ulama di berbagai
daerah agar seluruh hadis yang tersebar di masing-masing daerah segera
dihimpun. Surat itu antara lain dikirim kepada gubernur Medinah, Ibn
Hazm Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr (w. 117 H). Isi dari surat itu
adalah: (1) khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis
karena kepergian para ulama; dan (2) khalifah memerintahkan agar hadis
yang ada di tangan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman segera dihimpun.27 Namun
sayangnya, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah
telah meninggal dunia. Kemudian, penggantinya, Yazid II (Yazid bin Abdul
Malik) membebastugaskan Ibn Hazm sebagai gubernur Medinah, sehingga
dia menghentikan tugasnya, berikut orang-orang yang membantunya dalam
penulisan hadis juga turut berhenti. Penulisan hadis baru dimulai lagi secara
aktif ketika Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah, dan itu diteruskan
oleh Al-Zuhri. Sebenarnya Ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama
besar di negeri Hijaz dan Syam, juga mendapatkan surat serupa dari Umar
bin Abdul Aziz. Al-Zuhri berhasil melaksanakan tugas penghimpunan hadis
sebelum khalifah Umar II meninggal dunia. Kompilasi hadis dari Al-Zuhri
ini bagian-bagiannya segera dikirim ke berbagai daerah untuk bahan
penghimpunan hadis selanjutnya.28 Kemudian sepeninggal Umar bin Abdul
Aziz, Al-Zuhri masih terus melakukan tugas penulisan atau penghimpunan
hadis dan mendapat dukungan baru dari khalifah Yazid II yang
26
Ahmad, Dala’il Tautsiq, hlm. 493. Lihat pula, Saifuddin, Arus Tadwin Hadis dan
Historiografi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
27
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz I, hlm. 71; al-Darimiy, Sunan al-Darimiy, jilid I,
hlm. 126; Ibn Sa‘ad, Thabaqat al-Kubra, jilid II, hlm. 387; al-Baghdadiy, Taqyid al-‘Ilm,
hlm. 105-106.
28
Ibn ‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I, hlm. 76. Sebagian sumber menyebutkan
bahwa proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis yang dilakukan oleh Al-Zuhri adalah
dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berkisar pada satu tema dan masing-masing tema
disusun dalam satu karya (kitab) tersendiri. Sebut saja sebagai contoh, kitab tentang salat,
kitab tentang zakat, kitab tentang puasa, dan kitab tentang talak. Lihat Abu Zahwu, alHadits wa al-Muhadditsun, hlm. 128-129; Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawa‘id Ushul al-Hadits,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 241. Dari sini, tidak mengherankan jika Al-Zuhri juga
dilaporkan memiliki kitab khusus yang menghimpun hadis-hadis tentang sirah dan maghaziy.
268 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
mengangkatnya sebagai hakim, lalu dari khalifah Hisyam ibn ‘Abd alMalik. Bahkan, khalifah Hisyamlah yang telah mendorongnya agar serius
menuliskan hadis untuk kepentingan pangeran muda, para sekretaris
peradilan, dan untuk memperkaya perpustakaan khalifah.29
F. Hadis dan Umar bin Abdul Aziz: Eksternalisasi, Objektivasi, dan
Internalisasi
Perjalanan hadis dari masa periode wahyu hingga pra kodifikasi
mengalami proses-proses yang luar biasa. Pada masa khulafaur rasyidin
pertama hingga ketiga, hadis masih terjaga dan belum banyak perjalanan
lawatan pencarian karena sangat banyak sahabat yang masih hidup. Agak
berbeda ketika pada masa setelah Utsman, para sahabatpun mulai berhatihati dalam menerima hadis yang diterima dan belum pernah didengarnya
karena peristiwa pembunuhan Utsman. Pada masa Ali lebih parah lagi,
Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok, dan mulai ada pemalsuan
hadis. Hal semakin diperparah pada masa Muawiyah, pemalsuan semakin
kentara dan bahkan mulai abad 41 H adalah masa-masa permulaan
pemalsuan hadis. Sehingga hadis sebagai sumber pengetahuan Islam mulai
tercemari.
Sementara itu, Umar bin Abdul Aziz adalah laki-laki yang hidup dalam
rahim zaman yang seperti itu. Hanya saja masa remaja Umar ada di
Madinah yang tidak terlalu dicekoki oleh hiruk pikuk dunia perpolitikan
seperti di Damaskus dan Kufah. Miliu Madinah nampaknya berpengaruh
betul dan melandasi latar belakang intelektualnya sebagai seorang khalifah
sekaligus ilmuan. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat Rasul yang
menjadi kiblat bagi-orang-orang yang ingin mempelajari hadis rasul pada
masa itu. Hal ini setidaknya bisa dibuktikan bahwa, tokoh-tokoh hadis
sekaliber pengarang Kutubut Tis’ah, menunjukkan bahwa Madinah
merupakan daerah yang sama sekali tidak pernah dilewatkan oleh para
pencari hadis ini.30 Sementara itu, disamping lahir di Madinah,31 Umar bin
Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah selama kurang lebih 7 tahun,
29
Abbot, Arabic Literary Papyri, hlm. 33.
Syauqi Abu Khalil, Athlas Hadis Nabawi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 9-16.
31
Firdaus A.N., Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, (Jakarta: Pedoman
Ilmu jaya, 1988) hlm. 54.
30
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
269
sehingga dia sangat paham dengan pengetahuan masyarakat Madinah pada
waktu itu, lebih-lebih tentang hadis.
Dalam pandangan Berger dan Luckhmann, masyarakat merupakan
sebuah kenyataan objektif yang di dalamnya ada proses pelembagaan yang
dibangun atas pembiasaan (habituation). Pembelajaran hadis di Madinah
sangat mungkin terekam kuat di benak Umar bin Abdul Aziz sehingga
menjadi pengalaman empirik yang mengendap dan tersimpan dalam
kesadaran yang kemudian diwariskan dan diinstruksikan ketika dia menjadi
khalifah. Di Madinah, saat menjadi Gubernur, dia melakukan apa yang
disebut Berger sebagai Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi
diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik.
Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi
individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai
produk manusia (Society is a human product). Kehidupan pada Dinasti
Umayyah yang serba mewah dan tak kurang suatu apa serta munculnya
berbagai bentuk hadis palsu yang disebabkan oleh politik aliran
menyebabkan dia berpikir mengenai bagaimana seharusnya yang dilakukan
oleh para pencari hadis pada waktu itu yang masih bergantung pada
individu-individu dan belum bergantung pada negara. Tampaknya masamasa Madinah merupakan proses refleksi dan perenungan Umar bin Abdul
Aziz mengenai bagaimana pencarian hadis seharusnya dilakukan. Sehingga
ketika dia diangkat sebagai sebagai khalifah, salah satu gebrakan yang
muncul adalah melakukan tadwin hadis resmi dari negara. Pada tahap ini ia
melakukan proses institusionalisasi tadwin hadis melalui negara (khalifah).
Di sini penulis berpendapat bahwa bagi Umar, hanya melalui institusi
negaralah Hadis bisa diselamatkan. Hal ini terbukti dengan ucapannya:
“Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku
mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli”
“Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu
tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan
meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW
dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis
ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat
mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”
270 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Pada tahap ini jika meminjam Berger, Umar bin Abdul Aziz melakukan
Objektivikasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari
kegiatan dan proses eksternalisasi manusia tersebut. Pada tahap ini
masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective
reality), atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Para pencari hadis,
sebagai bagian dari masyarakat, terutama para tokoh yang diberikan tugas
melakukan pencarian terhadap hadis lalu membukukannya menjadi satu
bendel. Salah satu yang berhasil melakukannya adalah Ibnu Syihab al-Zuhri.
Kemudian dalam perjalanannya, kodifikasi/tadwin hadis yang
diperintahkan oleh Umar bin Abdul Aziz menjadi kenyataan, terutama
setelah Ibnu Syihab al-Zuhri merampungkan perintah tersebut. Kitab ini
kemudian menjadi pegangan dan dipelajari oleh para pencari hadis
setelahnya yang kemudian menjadi satu sumber kekuatan baru dan
menginspirasi para pencari hadis setelahnya, atau dalam bahasa Pierre
Bourdie, hasil kodifikasi hadis tersebut melahirkan berbagai bentuk struktur
baru (Structuring structure) dari tangan-tangan muhaddis setelahnya,
misalnya munculnya berbagai bentuk kitab hadis dan mengalami titik
kemajuannya ketika lahir kutubut sittah.
G. Simpulan
Dari tulisan ini dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, bahwa Umar
bin Abdul Aziz adalah sosok manusia yang lahir dari rahim zamannya,
yakni zaman Dinasti Umayyah yang dipenuhi oleh keserbamewahan,
banyak hadis palsu yang dibuat untuk memperkuat golongan atau kelompok
tertentu. Namun miliu Madinah banyak berpengaruh pada khalifah yang
satu ini sehingga ketika kembali ke Damaskus ia memerintahkan agar
hadis-hadis Rasulullah ditulis dan dikumpulkan. Kedua, proses kodifikasi
hadis yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tidak berangkat dari ruang
hampa. Proses eksternalisasinya dimulai semenjak hidup di lingkungan
istana Umayyah yang serba mewah lalu ia menghirup suasana segar
Madinah dengan belajar dan berguru pada tokoh-tokoh hadis dan fiqih
terkemuka lalu ia diangkat menjadi Gubernur Madinah hingga akhirnya ia
menjadi khalifah. Kemudian proses objektivikasi terjadi ketika ia menjadi
khalifah dan memerintahkan secara resmi agar hadis dibukukan setelah
sebelumnya hadis berada di tangan-tangan individu para ahli hadis.
Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis |
271
Sehingga ketika terkumpul, maka kumpulan hadis tersebut mengalami
proses internalisasi yang menumbuhkan minat para pencari hadis semakin
bergairah dalam menulis dan mengumpulkannya dalam berbagai bentuk
yang lain yang berbeda dengan yang sebelumnya. Proses ini kemudian
mengalami kemajuan pesatnya ketika muncul kutubut sittah yang menjadi
rujukan umat Islam hingga saat ini. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Abbots, Nabia, Studies in Arabic Literary Papyri 11, Chicago, 1967.
Abdillah, Abu Ya’la al-Kholil bin, Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits,
dalam CD Maktabah Syamilah.
al-Atsari, Abu Faiz, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan
Penegak Keadilan,” Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10, 1432
H.
al-Barr, Ibn ‘Abd, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I,
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah.
al-Shallabi, Ali Muhammad Muhammad, Al-Khalifah al-Rasyid wa alMuslih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz, tp. tt.
al-Shareef, Mohammad Musa,
http://www.youtube.com/watch?v=Uwe0221d7VA, diunduh pada 20
Oktober 2012.
Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, terj. Fachry, Jakarta: Hikmah, 2010.
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, The Social Construction of
Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge, England: Penguin,
1991.
Firdaus A.N., Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Jakarta:
Pedoman Ilmu jaya, 1988.
Hakam, Abdullah bin Abdul, Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak
Keadilan, terj. Habiburrahman Syaerozi, Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
272 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Ibn al-Jauzi, Abu al-Farah Abdul Rahman, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin
‘Abdil Aziz, Iskandariyah: Daar Ibnu Khaldun, 1996.
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, tt.tp.
Khalil, Syauqi Abu, Athlas Hadis Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.
Saifuddin, Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
INDEKS AUTHOR
No
Penulis
Judul
Revitalisasi Keharmonisan Dunia
(Menilik Relevansi antara Moral,
Agama, dan Bencana)
Gempa Bumi dalam Al-Qur’an
(Tafsir Tematik)
Halaman
1.
Enriko Tedja
Sukmana
2.
Muhammad
Makmun-Abha
3.
Khafidah
Teologi Bencana dalam Perspektif
M. Quraish Shihab
37 – 60
4.
Ahmad Suhendra
Menilik Ekologis dalam Al-Qur'an
61 – 82
5.
Muhammad
Alfatih
Suryadilaga
Pemahaman Hadis tentang
Bencana (Sebuah Kajian Teologis
terhadap Hadis-hadis tentang
Bencana)
83 – 102
6.
Kekuatan Agama dan Kearifan
Ali Imron dan Aat Lokal dalam Proses Kebangkitan
Hidayat
Masyarakat Yogyakarta PascaGempa
103 – 130
7.
Deliberalisasi bagi Pembentukan
Identitas Organisasi Keagamaan
dan Budaya dalam Pengurangan
Risiko Bencana Berbasis
Komunitas (PRBK)
131 – 144
145 – 160
Abdul Jalil
8.
Haidi Hajar
Widagdo
Dualisme Agama : Menilik
Peranannya atas Kedamaian dan
Kesengsaraan
9.
Alwi Bani
Rakhman
Teologi Sosial; Keniscayaan
Keberagamaan yang Islami
Berbasis Kemanusiaan
Radikalisme Agama Penghambat
Kemajuan Peradaban
Arif Nuh Safri
10.
Muryana
11.
12.
Fadhli Lukman
Dialog Interreligius-kultural dan
Civil Religion (Studi atas
Paguyuban Ngesti Tunggal
(Pangestu))
Ayat-ayat Perdamaian:
1 – 18
19 – 36
161 – 182
183 – 202
203 – 216
217 – 238
274 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
Dekonstruksi Tafsir ala Jane
Dammen McAuliffe
Arif Widodo
13.
14.
Saifuddin Zuhri
Qudsy
Kontekstualisasi Zakat Dan
Perubahan Sosial:Analisis
Transformasi Sosial dengan
Pendekatan Wacana Keagamaan
Umar Bin Abdul Aziz dan
Semangat Penulisan Hadis
239 – 252
253 - 272
Disampaikan ucapan terima kasih kepada:
Sahiron Samsuddin
(UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Makwoodwad
(Arizona State University)
Ikhsan Tagok
(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Selaku mitra bestari yang telah mereview artikel Esensia pada
Vol. XIV, No. 2, Juli 2013
276 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013
9.
Prangko
Contoh untuk Footnotes dari jurnal untuk rujukan pertama kali dan
perujukan berikutnya;
Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the
Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from
the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, (2009), hlm. 5.
Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”?, hlm. 9.
10. Contoh untuk Footnotes dari ensiklopedia untuk rujukan pertama kali dan
perujukan berikutnya;
Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L.
Esposito (ed.), The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I, (Oxford:
Oxford University Press, 2004), hlm. 66.
Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies”, hlm.68.
11. Contoh untuk footnotes dari internet:
www.uinsuka.go.id. diakses pada tanggal 12 April 2001
12. Contoh untuk Footnotes dari al-Qur’an:
QS. 13: 1-5.
13. Contoh untuk daftar pustaka:
Kepada Yth:
Redaksi Jurnal Esensia
d/a. Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam (FUSAP)
UIN Sunan Kalijaga
Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta
FORMULIR BERLANGGANAN
Harap dicatat pada Redaksi Jurnal Esensia:
Nama
: ………………………………………………….
Alamat
: ………………………………………………….
Telp/Hp.
: ………………………………………………….
Untuk*
a. Langganan 1 tahun (2 edisi)
b. Pembelian langsung untuk Vol. …. No. ....
Uang langganan setahun Rp. 60.000,-** (2 edisi) akan kami kirim
melalui Nomor Rekening 1677019115 BSM KCP Ambarukmo
Yogyakarta a/n. Muhammad Alfatih.
Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar
Oksidentalisme, Yogyakarata: Suka Press, 2006.
Pelanggan,
Martin, Richard C. “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John
L. Esposito (ed.), The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I,
Oxford: Oxford University Press, 2004.
……………………….
Noor, Farish A. “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the
Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student
from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1,
2009.
* Lingkari yang dimaksud
** Harga sudah termasuk ongkos kirim
*** Formulir ini bisa dikirim melalui fax 0274-512156
Catatan Untuk Para Penulis
Esensia menerima tulisan dalam bentuk artikel/makalah ilmiah dan
resensi buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dengan
ketentuan sebagai berikut.
1. Artikel/makalah ilmiah belum pernah dipublikasikan/diterbitkan dalam
jurnal atau buku
2. Artikel/makalah ilmiah dalam tema ilmu-ilmu keusuluddinan yang
meliputi Filsafat (Islam), Teologi/Kalam, Tafsir-Hadits, Pemikiran
Islam, Studi Agama (Sosiologi dan Perbandingan Agama).
3. Jumlah halaman artikel/makalah tidak lebih dari duapuluh halaman
dalam kertas A4 dan ditulis dalam MS word dalam bentuk soft copy dan
hard copy.
4. Artikel/makalah ilmiah disertai dengan abstrak, dan nama lengkap
penulis berikut institusinya.
5. Kutipan lebih dari lima baris ditulis dalam format satu spasi, tidak perlu
diberi tanda kutip atau cetak miring. Kutipan kurang dari lima baris
diberi tanda apostrof (“) atau ditulis miring.
6. Kutipan nama, kosa kata Arab yang belum terserap menjadi bahasa
Indonesia harus ditranslitrasikan sesuai dengan kekhasan jurnal Esensia.
7. Rujukan bibliografis makalah disusun dalam bentuk footnotes dan
daftar pustaka sesuai dengan kekhasan jurnal Esensia. Di dalam menulis
footnotes untuk pertama kalinya hendaknya disusun dengan informasi
yang jelas dan utuh seperti nama lengkap penulis, nama buku lengkap
dengan ditulis miring, nama kota penerbit, nama penerbit, serta tahun
penerbitan dalam tanda kurung, dan nomor halaman. Sedangkan untuk
perujukan berikutnya atas rujukan yang sama cukup nama, judul utama
buku/artikel, dan nomor halaman. Jurnal Esensia tidak menggunakan
pola rujukan yang menggunakan op-cit atau loc-c it, tetap boleh
menggunakan ibid.
8. Contoh untuk footnotes dari buku untuk rujukan pertama kali dan
perujukan berikutnya;
Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar
Oksidentalisme, (Yogyakarata: Suka Press, 2006), hlm. 45.
Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat, hlm. 45.
9. Contoh untuk Footnotes dari jurnal untuk rujukan pertama kali dan
perujukan berikutnya;
Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on
the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student
from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, 2009,
hlm. 5.
Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”?, hlm. 9.
10. Contoh untuk Footnotes dari ensiklopedia untuk rujukan pertama kali dan
perujukan berikutnya;
Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John
L. Esposito ed., The Encyclopedia of Modern Islamic World , vol. I,
Oxford: Oxford University Press, 2004, hlm. 66.
Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies”, hlm.68.
11. Contoh untuk footnotes dari internet:
www.uinsuka.go.id. diakses pada tanggal 12 April 2001
12. Contoh untuk Footnotes dari al-Qur’an:
QS. 13: 1-5.
13. Contoh untuk daftar pustaka:
Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar
Oksidentalisme, Yogyakarata: Suka Press, 2006.
Martin, Richard C. “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John
L. Esposito ed., The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I,
Oxford: Oxford University Press, 2004.
Noor, Farish A. “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on
the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and
Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47,
No. 1, 2009
14. Transliterasi Bahasa Arab
A. Transliterasi Huruf
‫א‬
a
‫ز‬
z
‫ق‬
q
b
‫س‬
s
k
t
‫ش‬
sy
‫ل‬
l
s\
‫ص‬
s}
‫م‬
m
‫ج‬
j
‫ض‬
d}
‫ن‬
n
h}
‫ط‬
t}
h
kh
z}
‫و‬
w
‫د‬
d
‫ع‬
‘
y
‫ذ‬
z\
‫غ‬
gh
r
f
B. Ta> marbu>tah di akhir kata, bila dimatikan, ditulis h, dan bila
dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t.
C. Translitrasi bacaaan:
1. Pendek : fathah ditulis a, kasrah ditulis i,dan dammah ditulis u
2. panjang : fathah a>, kasrah ditulis i>, dan dammah ditulis u>
3. tasydid : huruf yang bertasydid ditulis rangkap
D. Ayat Al-Qur’an, Hadis, atau teks berbahasa Arab yang ditulis sesuai
dengan prononsiasinya dalam tulisan Latin harus dicetak miring dan
ditranslitrasikan sesuai aturan di atas.
Download