Vol. XIV, No. 2, Juli 2013 Penanggung Jawab Saifan Nur Ketua Penyunting M. Alfatih Suryadilaga Sekretaris Penyunting Robby H Abror Penyunting Pelaksana M. Ali Imron Saifuddin Zuhri Roma Ulinnuha Pelaksana Tata Usaha Nur Aini Suhartanto Esensia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin adalah jurnal independen yang memfokuskan kajiannya pada ilmu-ilmu ke-ushuluddin-an. Jurnal Esensia diterbitkan untuk mempublikasikan karya tulis para intelektual yang menekuni bidang ilmu-ilmu keushuluddin-an seperti, Kalam, Tasawuf, Filsafat Islam, Tasir-Hadits, Perbandingan Agama, Studi Agama-agama dan Pemikiran Islam. Esensia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin diterbitkan pertama kali pada bulan Februari tahun 2000 oleh Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, Dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan terbit dua kali dalam satu tahun pada bulan Januari dan Juli. Alamat Redaksi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama Dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta Telp. (0274) 512156, e-mail: [email protected] Daftar Isi Dualisme Agama: Menilik Peranannya Kesengsaraan Haidi Hajar Widagdo | 145 – 160 atas Kedamaian dan Teologi Sosial; Keniscayaan Keberagamaan yang Islami Berbasis Kemanusiaan Alwi Bani Rakhman | 161 – 182 Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban Arif Nuh Safri | 183 – 202 Dialog Interreligius-kultural dan Civil Religion (Studi atas Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) Muryana | 203 – 216 Ayat-ayat Perdamaian: Dekonstruksi Tafsir ala Jane Dammen McAuliffe Fadhli Lukman | 217 – 238 Kontekstualisasi Zakat Dan Perubahan Sosial:Analisis Transformasi Sosial dengan Pendekatan Wacana Keagamaan Arif Widodo | 239 – 252 Umar Bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis Saifuddin Zuhri Qudsy | 253 - 272 Editorial A gama diyakini sebagai petunjuk bagi para pemeluknya sebagai jalan menuju kebahagiaan. Di dalam agama ada sebuah sistem dan norma-norma yang berlaku bagi para pemeluknya yang harus dijalaninya. Bahkan agama selalu dituntut untuk dapat memberikan andil dalam penyelesaian problem-problem yang dihadapi oleh pemeluknya. Bukan sebaliknya, agama justru menjadi sumber konflik seperti akhir-akhir ini konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atas nama agama marak berkembang. Agama seharusnya menjadi sumber inspirasi utama dalam menyelesaikan konflik. Disisi lain, di masyarakat ada sebuah norma-norma selain dari agama yang masih dijalankan oleh masyarakat, salah satunya adalah seperti budaya kearifan lokal. Budaya Kerifan lokal biasanya dapat dijumpai dalam bentuk kebiasan-kebiasan hidup asyarakat yang telah berlangsung cukup lama. Kearifan lokal yang telah menjadi kebiasankebiasan hidup masyarakat tercermin dalam bentuk nilai-nilai atau normanorma yang berlaku di masyarakat atau kelompok tertentu. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan masyarakat kelompok setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah suatu pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sedangkan agama, terutama di Indonesia nyaris mustahil untuk dipisahkan dari budaya kerarifan lokal yang ada. Esensia pada edisi kali ini hadir dengan tema Agama dan Kerifan Lokal. Jika melihat sejarah, agama Islam ternyata memiliki warisan kearifan lokal yang cukup kaya yang sampai hari ini masih dipelhara. Hal inilah yang dikemukakan oleh Syaikhuddin dengan judul Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab Sebuah Tinjauan Hadis. Artikel ini menjelaskan bahwa ternyata banyak sekali tradisi-tradisi lokal arab jahiliyah klasik yang dipertahankan dan secara arif dilestarikan oleh Nabi. Seperti pelaksanaan ibadah haji, aturan hukum pernikahan, kematian, penggubahan syair, dan lain-lain. Semua ini bisa ditemukan dalam banyak hadisnya yang tersebar dalam kitab-kitab hadis. Yang dilakukan Nabi ini adalah dalam rangka melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal Arab, hal tersebut dilakukan supaya budaya lokal Arab tidak hilang. Kemudian mengenai hubungan antara agama dengan kearifan lokal dibahas oleh Agung Setiyawan dengan judul Budaya Dalam Perspektif Agama Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) dalam Islam. Artikel ini berusaha untuk menjelaskan mengenai definisi kearifan lokal serta meninjau hubungannya dengan agama Islam. Islam dengan ajarannya yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan penuh toleransi memandang tradisi yang belaku di masyarakat secara selektif. Kearifan lokal bisa dipelihara dan dilestarikan selama sesuai dan tidak bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan kearifan lokal atau yang juga bis adisebut dengan istilah ‘urf dapat menjadi salah satu dasar pengambilan hukum. Selanjutnya Habib Shulton Asnawi membahas mengenai budaya patriarkhisme sebagai kearifan budaya lokal yang cukup lama dan masih dipertahankan sampai saat ini. Artikel dengan judul Membongkar Patriarkhisme Islam Sebagai Kearifan Budaya Lokal: Sebuah Kritik Terhadap UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini menyinggung bahwa yang dimaksud dengan patriarkhisme Islam di sini bukan bentuk tuduhan bahwa Islam itu agama yang patriarkhi. Patriarkhisme Islam disini adalah sebuah cara pemaknaan oleh kalangan tertentu, karena akibat budaya, politik, peran sosial dan sejarah tertentu, yang menghasilkan pernyataan bahwa Islam itu agama yang memihak kepada ideologi patriarkhi. Ideologi patriarkhi ini menganggap bahwa kaum perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah kedudukannya dari pada kaum laki-laki. Hal ini membentuk dan mempengaruhi sebuah paradigma yang dapat meruginan kaum perempaun dalam perumusan undang-undang khususnya adalah UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat dari UUP tersebut, banyak kaum perempuan di Indonesia, mengalami diskriminasi dan ketidak-adilan, hal ini tentu sebuah pelanggaran HAM. DUALISME AGAMA : Menilik Peranannya atas Kedamaian dan Kesengsaraan Haidi Hajar Widagdo Abstract Agama memainkan peran penting dalam kehidupan manusia, sebagai sesuatu yang memiliki fungsi pengatur kehidupan manusia, agama seharusnya membawa kepada perdamaian serta kasih sayang, namun dalam kenyataan seringkali agama berubah fungsi. Layaknya dua sisi mata uang. Agama yang awalnya menjadi sumber kedamaian dan kebahagiaan, seringkali berubah menjadi sumber ketegangan, teror yang menakutkan. Vandalisme dan tindakan kekerasan lainnya sering kali beratasnamakan agama. Otoritas keagamaan disalahgunakan dan itu terjadi berulang-ulang, dan akhirnya kesucian agama itu ternodai. Pemaknaan nilai agama sebagai sebuah entitas yang membawa perdamaian harus disadari kembali, sehingga agama dapat kembali ke fungsi awalnya sebagai pusat kedamaian. Religion plays an important role in human life, as something that has a regulatory function of human life, religion should lead to peace and love, but in reality often religious change function. Like the two sides of the coin. Religion is initially a source of peace and happiness, often turn out to be a source of tension, terror scary. Vandalism and other acts of violence often beratasnamakan religion. Religious authority abused and it happens over and over again, and finally the sanctity of religion was tainted. Meaning of religious values as an entity that brings peace have to realize again. Thus, religion can be returned to the original function as a center of peace. Kata kunci: Dualisme, Agama, Perdamaian, Kekerasan 146 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 A. Pendahuluan A gama apapun pada dasarnya punya maksud dan tujuan yang sama yakni menciptakan perdamaian dan kebahagiaan pada makhluk hidup di dunia.1 Terbukti tidak ada satupun dalam ajaran agama manapun yang menekankan kepada pengikutnya untuk bertindak kasar, keras bahkan kejam kepada sesama makhluk terutama kepada manusia. Islam, sebagai salah satu diantara beberapa agama besar di dunia – bersama kristen, yahudi, budha dan hindu – termasuk agama yang menekankan kasih sayang kepada sesama manusia ataupun kepada makhluk Tuhan yang lain, baik itu hewan ataupun tumbuhan. Bahkan, Islam sendiri melarang keras menganiaya, ataupun menghilangkan jiwa makhluk lain tanpa sebab yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.2 Sayangnya, dilapangan kenyataan berbeda sering kali ditemukan, agama yang harusnya mencegah manusia dari permusuhan, pertikaian, bahkan pembantaian, justru menjadi salah satu alasan pembenaran dalam melakukan berbagai aksi radikal bahkan sampai ke tingkat ekstrem tersebut. 1 Mengenai apa yang dimaksud agama dalam hal ini, adalah dengan merujuk pada pengertian yang terdapat dalam Encyclopedia Brittanica, yakni sesuatu yang berkaitan dengan apa yang dianggap oleh manusia sebagai hal-hal suci, sakral, spiritual, atau ilahi. Agama umumnya dianggap sebagai hubungan manusia dengan Tuhan atau dewa atau roh. Elemen paling dasar dalam agama adalah ritual ibadah. Lihat selengkapnya pada DVD Encyclopedia Brittanica Ultimate Reference Suite 2013, (Encyclopedia Brittanica Inc. 2013), h. Religions Article. Sedangkan, menurut salah satu tokoh islam Indonesia, Prof. Dr. Harun Nasution, Agama dapat diartikan sebagai ikatan yang berasal dari satu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera dan mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 10 2 Lihat Q.S Al-An’am ayat 151, ٰٱٰٰ ٰٰٱٔۦ ۦٰٰ ٱٱٱٱ “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” Ayat ini menerangkan bahwa Tuhan mengajarkan beberapa hal yang diharamkan atas makhluknya untuk mereka lakukan, (1) Larangan mempersekutukan Tuhan dengan apapun, (2) membunuh anak-anak, (3) melakukan perbuatan keji apapun bentuknya, dan (4) larangan membunuh tanpa sebab. Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama | 147 Mereka – para pelaku kejahatan – berdalih bahwa mereka bertindak untuk agama dan Tuhan mereka. Jiwa manusia yang seharusnya haram dihilangkan tanpa sebab yang jelas, dengan mudahnya hilang dan tercabut begitu saja, hanya karena perbedaan-perbedaan yang semestinya masih bisa dikompromikan di tolerir keberadaanya. Perbedaan-perbedaan keberagamaan antara satu orang dengan yang lainnya, yang awalnya – dalam islam – menjadi rahmat3 justru menjadi alat untuk melaknat orang lain. Perbedaan sebenarnya merupakan salah satu sisi keindahan dari kehidupan di dunia, ketika seseorang mendapati perbedaan antara satu dengan yang lainnya, baik itu dalam ranah pendapat, keadaan sosial, hingga perbedaan tentang keyakinan seharushnya mereka menghormati perbedaan tersebut. Ketika perbedaan tersebut disikapi dengan bijak maka rahmat seperti yang terdapat dalam suatu riyawat yang dinisbatkan kepada nabi saw akan terwujud, namun sebaliknya ketika perbedaan itu disikapi dengan keonaran, dengan melakukan perbuatan makar, keji hingga melakukan 3 Terkait tentang pernyataan perbedaan adalah rahmat, terdapat riwayat populer yang dinisbatkan ke rasulullah yang menyatakan bahwa perbedaan itu rahmat, redaksi hadisnya adalah ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﻣﱴ ﺭﲪﺔmenurut Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Hadis-Hadis Bermasalah, dengan merujuk kepada pendapat al-Sakhawi (w. 902 H) yang kemudian diikuti oleh al‘Ajluni (w. 1162H) riwayat tersebut merupakan penggalan hadis yang cukup panjang, hadis tersebut sebagai berikut : ﺔﹲ ﻓﹶﺈﹺﻟﹶﻢﻴﻀﻰ ﻣﻨﺔﹲ ﻣﻨﺎﺏﹺ ﺍﷲِ ﻓﹶﺴﺘﻰ ﻛﻜﹸﻦ ﻓ ﻓﹶﺈﹺﻟﹶﻢ ﻳﻪﺮﻛﻦ ﺗ ﻣﺪﺄﹶ ﺣﻟﺬﺭ ﻻﹶ ﻋﻞﹸ ﺑﹺﻪﻤﺎﺏﹺ ﺍﷲ ﻓﹶﺎﻟﻌﺘﻦ ﻛﻢ ﻣﻴﺘﺎ ﺃﹸﻭﺗﺤﻤﻣ ﺔﲪﺎﺑﹺﻲ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺭﻠﹶﺎﻑ ﺃﹶﺻﺤﺧﺘﺍﻢ ﻭﻳﺘﺪ ﺍﻫﺘﻢ ﺑﹺﻪﺬﺗﺎ ﺃﹶﺧﺎﺀ ﻓﹶﺄﹶﳝﻤﻰ ﺍﻟﺴﻮﻡﹺ ﻓﺠ ﺍﻟﻨﱰﹺﻟﹶﺔﺎﺑﹺﻲ ﺑﹺﻤﺎﺑﹺﻰ ﺇﹺﻥﱠ ﺃﹶﺻﺤﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺻﺤﺔﹲ ﻓﹶﻤﻨﻜﹸﻦ ﺳ ﺗdan telah mengalami sedikit perubahan redaksi yang semula ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﺻﺤﱯ ﻟﻜﻢ ﺭﲪﺔmenjadi ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﻣﱴ ﺭﲪﺔ. Selain itu, Ali Mustafa Ya’qub juga memaparkan pendapat pakar hadis masa kini al-Albani yang menyatakan bahwa kedua hadis tersebut tidak lah sama, melainkan masing-masing berdiri sendiri. Dalam segi kualitas sanad dan rawinya, hadis tersebut bermasalah karena pada penggalan hadis yang pertama yakni ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﻣﱴ ﺭﲪﺔtidak dapat disebut sebuah hadis karena tidak memiliki sanad, sedangkan pada hadis yang kedua yakni ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﺻﺤﱯ ﻟﻜﻢ ﺭﲪﺔ meskipun memiliki sanad, namun berkualitas dha’if, karena ada perawi yang bermasalah yaitu, Sulaiman ibn Karimah (dha’if hadisnya), Juwaibir atau Ibn Sa’id al-Azdi (tertuduh matruk/pendusta), dan al-Dhahhak atau Ibn Muzahim al-Hillali (Munqati’/terputus, dikarenakan tidak pernah bertemu dengan Ibn ‘Abbas). Sebab itulah menurut Ali Mustafa Ya’qub hadis ini tidak mampu dijadikan dalil sama sekali, karena tidak memenuhi dua kualifikasi hadis secara umum. Selengkapnya baca, Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 8-12. Baca juga Muhammad ibn Abd-alRahman, al-Sakhawi, Maqashid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979) h. 2627, dan Ismail ibn Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Illbas, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983) I, 66-68. Baca juga Muhammad Nashir-al-Din al-Abani, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1992), I. 141, 156 148 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 pembunuhan dengan dalil agama sebagai pembenarannya, maka kata rahmat dalam riwayat diatas tersebut lebih tepat jika diartikan dengan laknat. B. Atas Nama Agama Benjamin Franklin, seorang ilmuwan asal Amerika Serikat,4 pernah mengatakan “if men are so wicked as we now see them with religion, what would they be if without it”.5 Kutipan ini seperti berisikan kegelisahan seorang Benjamin Franklin tentang fungsi agama, dimana agama seharusnya dapat membantu manusia untuk memfilter dirinya untuk tidak melakukan kejahatan. Agama pun semestinya menawarkan keselamatan dalam arti pembebasan dari kejahatan dan akibat-akibat dari kejahatan maupun dalam arti mencapai keadaan kebahagiaan sempurna yang mengatasi warna, perubahan, dan kematian.6 Dalam konteks keduniaan, tentulah di dunia ini tidak hanya terdiri dari satu atau dua agama saja, melainkan masih ada agama-agama lain, yang menghiasi jalan kehidupan manusia, dan ketika berbicara masalah keberagamaan, tentulah tidak bisa lepas dengan kata pluralisme.7 Keragaman dalam keberagamaan inilah yang sering kali memicu konflik sosial di masyarakat, baik itu yang berpangkal dari satu kepentingan 4 Benjamin Franklin, seorang tokoh multi-talent dari Amerika Serikat lahir di Boston pada 6 Januari 1706, merupakan anak bungsu dari 17 bersaudara, putus sekolah ketika berusia 10 tahun, pernah bekerja sebagai penulis di perusahaan koran “New England Courant”, dan sempat pula bekerja di penerbitan Almanack. Selain itu, dia juga merupakan penemu alat penghantar petir. Beliau pun sempat menjadi anggota Komite Kongres Kontinental dan pernah terlibat dalam Perjanjian Antara Paris dengan Amerika. Beliau meninggal dunia pada tahun 1790 pada bulan April. Selengkapnya baca Charles W. Eliott, The Autobiography of Benjamin Franklin, ( Pensylvania: The Pensylvania State University’s Electronic Classics Series, 2007), baca juga James Campbell, Recovering Benjamin Franklin: An Exploration of a Life Science and Service, (Illinois: Caruss Publishing Company, 1999), h. 10-19 5 James Campbell, Recovering Benjamin Franklin:.., h. 133 6 Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religions, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Agama “Driyarkara”, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 294 7 Pluralisme merupakan kata serapan dari bahasa inggris pluralism, dimana kata plural sendiri memiliki makna lebih dari satu. Dengan pengertian ini, kata pluralism jika disandingkan dengan agama sebagai predikatnya, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pluralisme agama yakni suatu gagasan bahwa agama di dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap The Real atau The Ultimate dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi. Lihat John Hick, An Interpretation of Religions: Human Responses to The Transcendent, dalam catatan kaki, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 15 Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama | 149 (vested-interest), pemahaman agama yang sempit, maupun dari supremasi kultur budaya masyarakat. Pluralisme adalah suatu kewajaran dan merupakan bagian dari sunnatullah,8 karena itulah pluralisme bukan harus dihindari ataupun diabaikan. Agama adalah sesuatu yang sangat rentan akan konflik, pada saat keragaman dalam keberagamaan itu “ditiadakan” maka, konflik pun terjadi. Berbagai contoh telah banyak terjadi dilapangan, dari kasus terorisme yang menyatakan klaim kebenaran suatu agama hingga kasus perselisihan hanya dikarenakan perbedaan pemikiran atas pemahaman dalil keagamaan.9 Agama seharusnya tidak dipilah menjadi segi peribadatan atau segi moral, melainkan keduanya harus berjalan beriringan. Seseorang yang beragama perlu membangun suatu pemahaman yang utuh serta mengembangkan sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan, sehingga suatu perbedaan – baik perbedaan agama maupun perbedaan pemahaman atas suatu dalil keagamaan - yang terjadi di masyarakat akan menjadi kekuatan yang sinergis, saling mengisi dan melengkapi dalam membangun peradaban masa depan. Agama : Peacemaker atau Troublemaker Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa agama memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, satu sisi mengajarkan perdamaian dan kebahagiaan, namun disisi lain, mampu menggerakkan teror, dan bahaya laten bagi umat manusia. Islam yang notabenenya adalah agama rahmat dan kasih sayang pun mampu berubah menjadi agama keji dan mengandung teror apabila dipahami secara sempit dan tertutup. C. Agama sebagai Peacemaker Agama pada intinya mengemban misi untuk mengajak pada keselamatan, dan Islam, sebagai agama dengan penganut terbesar kedua 1. 8 Keragaman dalam bentuk apapun – baik itu yang berkaitan dengan SARA atau pun lainnya sudah tercantum dalam Alquran, lihat surah al-Maidah ayat 48 dan surah al-Hujurat ayat 13. Pada kedua surah tersebut dinyatakan bahwa Allah memang secara sengaja menciptakan keragaman di dunia ini. 9 Kasus semacam ini hampir terjadi dipelosok dunia, tidak terkecuali di Indonesia, suatu negara yang diklaim sebagai “pemilik” pengikut agama Islam terbesar di dunia. Kasus teror di Bali, pemboman jamaah sholat jumat di Polres, hingga kasus penganiayaan dan penghancuran masjid, jamaah Ahmadiyah dan Syi’ah. 150 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 setelah Nasrani10 pun mengajarkan tentang keselamatan dan kebahagiaan bagi penganutnya. Bagi seorang muslim, Islam yang diajarkan melalui Muhammad saw. adalah agama rahmat, yang cakupannya meliputi alam raya. ٰٰ “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”11 Islam juga mengajarkan untuk tidak membeda-bedakan kondisi masyarakat, kesamaan derajat manusia adalah mutlak, dengan memakai tauhid sebagai pondasi utama bangunannya. Tauhid dalam Islam tidak hanya sekedar mengesakan Allah sebagai Tuhan alam semesta, melainkan juga meyakini kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life), yang kesemuanya ini merupakan derivasi kesatuan ketuhanan.12 Dengan kata lain, doktrin tauhid menolak segenap varian diskriminasi baik bentuk ras, kasta, maupun kelas.13 Konsep tauhid dengan ini dapat menjamin suatu tatanan masyarakat yang adil sejahtera dapat dibangun dengan membebaskan anggotanya dari penghisapan, feodalisme, dan penolakan terhadap perbedaan ras, kelas dan lain-lain.14 Senada dengan Islam, agama Kristen pun melalui Yesus mencontohkan kepada manusia untuk tidak melawan kejahatan dengan kejahatan, pada satu ayat justru dianjurkan ketika seseorang menampar orang lain, maka orang yang ditampar tersebut di anjurkan menyerahkan pula sisi pipi yang 10 Data berdasarkan sumber yang didapat dari http://www.pewforum.org/globalreligious-landscape-exec.aspx, dimana dikatakan Nasrani mempunyai penganut terbanyak di dunia dengan persentasi 31,5%, diikuti oleh Islam diurutan kedua dengan persentase 23,2%, sedangkan Yahudi berada di posisi terakhir dengan persentase hanya 0,2%. Sumber diakses pada bulan Maret 2013 pukul 21.30 WIB 11 Q.S Al-Anbiya : 107 12 Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1995), h. 18, dalam catatan kaki, Munir Che Anam, Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat tanpa kelas, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008) h. 159 13 Munir Che Anam, Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat tanpa kelas, h. 159 14 Howard M. Federspiel, Muslim Intelectuals and National Development in Indonesia (New York: Nova Science Publisher, 1991) h. 69, dalam catatan kaki, Munir Che Anam, Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat tanpa kelas, h. 159 Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama | 151 lain.15 Meskipun dunia biasanya beranggapan bahwa kejahatan orang lain harus dibayar dengan perlawanan sekuat tenaga dan dengan cara apapun.16 Yesus justru memberikan hal yang sebaliknya, dimana musuh-musuh yang seharusnya menjadi lawan, malah diperlakukan sebagai kawan dan mendoakan mereka agar mendapat kebaikan dan petunjuk.17 Konsep yang tidak kalah serupa pun terdapat dalam agama Hindu. Terdapat suatu riwayat yang menceritakan kisah hidup seorang yogi,18 yang ketika itu sedak duduk bersemedi di pinggiran sungai gangga, sewaktu saat ia melihat seekor kalajenking terjatuh ke dalam air di hadapannya. Ia memungut kalajengking tersebut, akan tetapi kalajengking itu justru menyengat yogi tersebut, dan kalajengking itu terjatuh kembali. Sekali lagi, yogi menolong kalajengking dan kembali kalajengking itu menyengatnya kembali. Kejadian itu berulang hingga dua kali, dan baru setelah itu ada seseorang yang melihat kejadian tersebut, seraya bertanya kepada yogi itu, “mengapa anda terus juga menolong kalajengking itu, padahal satu-satunya rasa terimakasih yang ditunjukkan kalajengking itu adalah dengan menyengat anda ?”. “Memang, sifat kalajengking adalah menyengat” demikian jawab 15 Al-Kitab, Injil Matius : 5:39, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”, dalam Al-Kitab Online, pada http://www.jesoes.com, diakses pada Maret 2013 16 Huston Smith, The Religions of Man, (New York: Perrenial Library, ) diterjemah oleh Bahar Saafroedin, dengan judul Agama-Agama Manusia, (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 360-361 17 Konsep ajaran semacam ini juga dipraktekkan dalam Islam, dimana sejarah mencatat ketika Muhammad saw pada awal penyebaran Islam ke luar kota Mekkah diperlakukan oleh penduduk Thaif dengan tidak wajar, dengan cara melempari beliau dengan batu, hingga berdarah. Setelah kejadian itu, datanglah malaikat menawarkan bantuan untuk membinasakan penduduk di wilayah tersebut. Muhammad saw dengan penuh kesadaran menolak tawaran tersebut seraya berharap agar Tuhan memberikan petunjuk-Nya kepada mereka. Baca selengkapnya, Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, ar-Rahiiq al-Makhtuum; Biography of the prophet, diterjemah oleh Nayla Putri, Sirah Nabawiyah; Biography of the Prophet, (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 173-182. 18 Yogi merupakan kata yang berasal dari bahasa sanskerta, yang berarti sebuah istilah untuk pelaku (pria) berbagai bentuk pelatihan spiritual, atau dengan kata lain disebut sebagai seorang pertapa atau pendeta dalam agama Hindu. Lihat Tim Penyusun Pusat Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1820, dan lihat juga, Purwadi, dan Eko Priyo Purnomo, Kamus Sanskerta Indonesia, (Yogyakarta; BudayaJawa.Com, 2008), h. 167 152 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 yogi, “sedangkan sifat para yogi adalah menolong yang lain jika mereka mampu melakukannya.”19 Agama sebagai Troublemaker Sebagaimana agama dapat menjadi peacemaker, agama pun dapat menjadi troublemaker bagi umat manusia. Permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh agama tidak jarang lebih impresif daripada permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh faktor lain, salah satunya adalah kasus radikalisme. Radikalisme dengan unsur-unsur agama sudah banyak terjadi dimasyarakat. Memang, radikalisme tidak hanya terjadi atas nama agama, namun, tidak bisa dinafikan, agama menjadi salah satu faktor terbesar terjadinya radikalisme dan konflik-konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Berikut beberapa indikasi yang dapat menjadikan agama sebagai troublemaker,20 2. a) Fanatisme Indikasi yang dapat menimbulkan radikalisme berorientasi agama adalah bersikap fanatik terhadap satu hal (baik itu pemahaman akan dalil keagamaan, pendapat, aliran atau madzhab, ataupun fanatik terhadap satu ajaran agama tertentu). Fanatisme merupakan satu dari sekian banyak penyakit kronis yang mematikan akal sehat dan nurani manusia, sebagai makhluk yang sempurna. Bersikap fanatik tanpa mau memberi ruang bagi unsur lain yang mungkin mampu mendatangkan kemaslahatan kepada manusia sesuai dengan maqashid syar’i, situasi dan kondisi zaman, tidak berkeinginan membuka ruang dialog, serta tidak berniat bertukar atau membandingkan dalil atau pendapat dengan pihak lain justru akan menjadikan “agama” sebagai sesuatu hal yang mengerikan,21 sebab tidak jarang sikap ini menimbulkan konflik sosial yang sebenarnya hanya disebabkan oleh hal-hal yang bersifat sederhana dan masih bisa di kompromikan. Fanatisme juga akan memilah-milah struktur masyarakat 19 Huston Smith, The Religions of Man, h. 57 Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah), diterjemah oleh Hawin Mutadho, (Solo, Era Adicitra, 2009), h. 4058 21 Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 40 20 Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama | 153 sehingga persatuan dan kesatuan yang ingin dibentuk oleh ajaran agama menjadi sirna. b) Pemaksaan Indikasi lain yang mampu menjadikan agama sebagai permasalahan sosial adalah adanya pemaksaan akan suatu keyakinan tertentu, serta pemaksaan tersebut menjurus pada penganiayaan fisik. Seandainya keyakinan seseorang akan suatu yang berdasarkan agama itu tidak dipaksakan kepada orang lain, maka permasalahan tidak akan muncul, namun ketika keyakinan tersebut didengung-dengungkan dalam setiap keadaan dan itu ditujukan tidak hanya untuk dirinya melainkan kepada pihak lain, maka konflik sosial akan menyeruak.22 Pemaksaan atas pendapat sendiri (otoriter) sebenarnya dapat mengindikasikan bahwa sang pemilik pendapat cenderung kepada ketakutan akan lemahnya lemahnya argumentasi miliknya, kemudian hal inilah menyebabkan seseorang tidak memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang menjadi dasar kebersamaan karena adanya saling tukar pendapat. Sejarah telah mencatat, seorang yang otoriter tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat.23 Negatif Thinking Agama akan menjadi sebuah permasalahan yang cukup berat ketika para penganut satu agama berprasangka buruk terhadap para penganut agama lain. Hanya melihat bad sidenya tanpa mau berkompromi bahwa mereka juga mempunya good side dalam hidupnya. Prinsip pokok seorang radikalis adalah menuduh. Seorang radikalis selalu berprasangka secara buruk, dan berusaha untuk tidak memperoleh alasan sebagai pembelaan dari pihak tertuduh.24 Negatif Thinking adalah sesuatu perbuatan yang termasuk tidak ber“moral”, secara tidak langsung, itu membunuh hak-hak manusia untuk merasakan kedamaian di hidupnya. Padahal sangat mungkin, fakta yang ada berkebalikan, sehingga kekeliruan terjadi ketika seseorang berpikiran negatif atas orang lain. c) 22 Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 51 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 125 24 Yusuf Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 51 23 154 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 d) Vonis Titik terakhir keburukan yang dapat ditimbulkan dari agama adalah menggugurkan hak pihak yang berbeda, baik hak hidup, hak memiliki kesejahteraan dan kedamaian, agama yang disalah artikan dapat menyebabkab penganutnya akan menafikan kehormatan dan ikatan sosial apapun yang dimiliki oleh penganut agama lain. Ketika gelombang pemvonisan ini mencapai puncaknya, maka tidak ada klaim pembenaran dari pihak lain. Kebenaran mutlak adalah milik mereka dan agama mereka. Sehingga, akhirnya ekstremisme dan radikalisme menjamur cukup cepat, kemudian peradaban pun menjadi tidak lagi kondusif. Sisi buruk agama tentu tidak akan muncul tanpa sebab apapun, melainkan terdapat beberapa faktor yang mendorongnya muncul. Hukum kausalitas sudah menjadi suatu ketetapan dunia yang diatur Tuhan sedemikian rupa, tidak mungkin sesuatu terlahir tanpa adanya yang melahirkan, sebagaimana mustahilnya asap tanpa terlebih dahulu ada api. Pengindentifikasian sebab-akibat menjadi sangat penting dikarenakan pencegahan tidak mampu dilakukan tanpa mengetahui terlebih dahulu apa yang semestinya dicegah. Faktor yang menjadikan agama beralih fungsi yang semula berfungsi unttuk menenteramkan makhluk hidup bergeser menjadi sesuatu yang mengintimidasi hak-hak makhluk hidup, diantaranya adalah 1. Ketidaktahuan tentang agama secara menyeluruh Ketidaktahuan tentang agama adalah salah satu faktor inti yang menyebabkan pergeseran fungsi agama. Ketidaktahuan yang dimaksud bukanlah mutlak tidak mengetahui tentang agama sedikitpun – meski ketidaktahuan mutlak lebih berbahaya – melainkan sikap pengetahuan yang tidak utuh, dan ketiadaan gairah untuk memperdalam pengetahuan agama. Beberapa golongan telah terjebak ke dalam permasalahan ini, ketika golongan tersebut hanya mengetahui secuil pengetahuan dari suatu agama, mereka berprasangka mereka telah berhak menafsirkan agama sekehendak mereka, dan menjadikan Tuhan berada dipihak mereka. Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama | 155 Pengetahuan akan agama yang hanya bersifat parsial ini digunakan untuk menjustifikasi diri mereka sebagai “wakil Tuhan” yang sah.25 Ketika seseorang telah berani memposisikan dirinya sebagai pemegang kebenaran mutlak, tentulah dia sudah merasa keilmuan sangat cukup, bahkan bisa dikatakan sempurna. Karena, menjadikan apa-apa yang berasal bukan dari pengetahuan dia adalah sesuatu yang mutlak salah. 2. Kesalahan menyikapi nash-nash keagamaan Pemaknaan sumber-sumber keagamaan dengan hanya mengandalkan teks-teks harfiah, adalah faktor inti yang lain yang mengubah tujuan suci agama bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Beberapa golongan dari madzhab keagamaan menganut teks-sentris, dimana mereka terkadang mengabaikan faktor-faktor mengapa teks (dalil agama) tersebut diturunkan dan sering menunjukkan ketidakpedulian terhadap tujuan dan kemaslahatan dari teks (dalil) tersebut.26 Memang, dalam beberapa hal – khususnya dalam permasalahan ibadah – nash keagamaan tersebut harus ditafsirkan secara tekstual, dan tidak boleh dialihkan secara maknawi. Seperti dalam Islam contohnya, permasalahan shalat atau permasalahan puasa ramadhan, keduanya dalam 25 Karenanya agama – Islam dalam hal ini – menekankan kepada penganutnya agar senantiasa belajar tanpa henti. Perintah untuk belajar ini secara tidak langsung diungkapkan Tuhan melalui “sindiran” Nya dalam surah Az-Zumar ayat 9 - ﻗُﻞْ ھَﻞْ ﯾَﺴْﺘَﻮِى ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮنَ وَٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻟَﺎ ِ“ ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮنَ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺘَﺬَﻛﱠﺮُ أُو۟ﻟُﻮا۟ ٱﻟْﺄَﻟْﺒَٰﺐKatakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran” Ayat lain yang berkaitan dengan “sindiran” Tuhan kepada orang yang mengetahui dengan yang tidak dalam surah Ar-Ra’d ayat 16 - ُﻗُﻞْ ھَﻞْ ﯾَﺴْﺘَﻮِى ٱﻟْﺄَﻋْﻤَﻰٰ وَٱﻟْﺒَﺼِﯿﺮ ُ“ أَمْ ھَﻞْ ﺗَﺴْﺘَﻮِى ٱﻟﻈﱡﻠُﻤَٰﺖُ وَٱﻟﻨﱡﻮرKatakanlah, "Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat? Atau samakah yang gelap dengan yang terang ?”. 26 Dalam Islam terdapat madzhab yang berupaya menafikan kandungan dan maksud dari teks-teks harfiah, madzhab ini salah satunya adalah madzhab Zhahiri. Mereka penganut madzhab ini menolak untuk mencari ‘illat hukum dan karenanya pula menolak qiyas, mereka beranggapan bahwa syariat Islam bisa saja membedakan antara dua hal yang serupa dan memadukan antara dua hal yang berbeda. Aliran ini pun berkembang hingga muncul aliran neo zhahiri, meskipun memiliki substansi pemahaman yang serupa, namun berbeda dengan paham zhahiri klasik yang secara vulgar menampakkan aliran mereka, membela, dan memegang teguh apa yang mereka yakini, paham neo zhahiriah bersikap lebih untuk tidak mengakui kezhahirian mereka, selain itu, neo zhahiri juga hanya mengambil paham zhahirinya dalam aspek negatifnya yakni dalam hal penolakan terhadap pencarian ‘ilat serta menolak perhatian atas maqashid dan asrar penetapan hukum. Baca Yusuf Qardhawi, AshShahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharuf… h. 64 156 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Alquran telah ditentukan waktu pelaksanaannya,27 jadi pelaksanaan kedua peribadatan tersebut tidak boleh di tafsirkan berbeda dengan waktu yang telah ditetapkan. Akan tetapi, apabila nash tersebut menyatakan permasalahan yang diluar ibadah (ritual), maka perlu dilihat faktor-faktor lain, seperti kemaslahatannya kepada lingkungan. Bukankah hukum itu terbagi ke dalam dua jenis, yakni hukum yang ketentuannya berdasarkan sumber tertulis – dalam hal ini teks-teks agama – dan yang kedua, hukum yang ketentuannya tidak berdasarkan hukum tertulis.28 Pada kenyataannya, benar perintah-perintah Tuhan (Divine intructions) selalu bertumpu pada teks, dan teks itu sendiri bersandar penuh pada mediasi yang dinamakan bahasa. Media inilah yang sering menyebabkan terjadinya silang pendapat, itu dikarenakan alat media tersebut adalah olahan manusia, berdasarkan kesepakatan dan budaya suatu komunitas manusia.29 Ketika proses pemahaman atas suatu teks keagamaan yang sebenarnya interpretatif (memiliki banyak pilihan akan makna dan penafsiran) ditutup dan ditiadakan lagi, maka manusia akan memasuki wilayah sewenang-wenang (despotic), yang kemudian akan menghasilkan klaim-klaim kebenaran (akan penafsirannya) dan menyalahkan segala apa yang berbeda dari hasil tafsirannya tersebut. Dari beberapa indikasi dan faktor yang telah dipaparkan, kesemuanya akan membentuk satu masalah baru dan utama dalam pemahaman agama, yakni adanya pengklasifikasian kelas diantara masyarakat, yang seharusnya klasifikasi-klasifikasi tersebut tidak dibenarkan. Bukankah, semua makhluk itu berkedudukan sama di mata Tuhan, satu-satunya perbedaanya hanyalah dari segi kualitas keberagamaannya semata. 27 Penetapan waktu shalat secara umum dapat dilihat pada Q.S An-Nisaa’ :103, sedangkan penetapan waktu shalat secara khusus dapat dilihat pada Q.S Al-israa’ ayat 78, dan Q.S Hud ayat 114. Sedangkan penetapan waktu berpuasa di bulan ramadhan, lihat pada Q.S Al-Baqarah ayat 183-185. 28 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, h. 126 29 Amin Abdullah, pengantar “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan”, dalam buku, Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. VII-XVII Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama | 157 D. Toleransi Terhadap Permasalahan Sosial Sikap toleransi adalah salah satu diantara banyak cara untuk menghindarkan manusia dari pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh agama.30 Pada dasarnya konsep teologis yang ditawarkan agama pada dasarnya hampir serupa, dimana tidak lepas dalam pokok masalah tentang Tuhan, makhluk hidup, dan kesejahteraan atau kebahagiaan serta cinta kasih. Islam pun demikian, pokok utama ajarannya berkisar pada hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan makhluk hidup, yang kemudian kedua hubungan tersebut apabila diterapkan secara benar akan membawa ke dalam kebahagiaan baik sekarang ataupun kebahagiaan setelah kematian. Prinsip toleransi ini perlu digiatkan kembali, karena hanya dengan prinsip ini sebuah dialog untuk menyikapi sebuah perbedaan akan terbuka dan terbuka, serta dapat dicapai “kebenaran” bersama yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan wajar, yang kemudian akan membawa kepada situasi masyarakat kondusif. Setidaknya, menurut Zuhairi Misrawi, terdapat dua modal yang diperlukan dalam membangung sikap toleransi, yakni pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif, dan kedua, membangun kepercayaan di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust).31 Toleransi tidaklah proses sekali jadi, melainkan kehadiran nilai (moral) yang mengakar kuat ditengah masyarakat, khususnya melalui perjumpaan dan dialog untuk membangun sikap saling percaya. Tentunya berbagai agama memiliki landasan teologisnya sendirisendiri, dan dalam permasalahan ini tidak dapat dipersamakan secara total, karena mereka mempunyai kedudukan sendiri di hati 30 Mengenai hal toleransi, menurut penulis ini dapat diartikan dengan adanya kemauan membuka ruang dialog sehingga menjadikan adanya kemampuan untuk mendengarkan orang lain dalam dunia sekarang, dan akhirnya menimbulkan suatu penghormatan atas hak-hak orang lain seperti, hak berpendapat, dan hak beragama. Puncaknya akan timbul kecintaan akan sesama makhluk Tuhan, yang ini akan membawa kepada kebahagiaan dan kedamaian sejati. Menyangkut permasalahan toleransi, Islam pun mengakui dan membenarkan tindakan toleransi tersebut, hal ini terlihat dari adanya sabda Rasulullah ( ) ﺃﺣﺐ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺇﱃ ﺍﷲ ﺍﳊﻨﻴﻔﺔ ﺍﻟﺴﻤﺤﺔ yang menyatakan bahwa agama yang dicintai Allah adalah agama yang mudah dan toleran, Lihat redaksi selengkapnya hadis pertama dalam, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn alMugirah al-Bukhari, Sahih Bukhari, bab ad-din yasir, DVD Program al-Maktabah alSyamilah. Ridwana Media, jilid I, h. 22 31 Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 7 158 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 penganutnya.Demikian pula dengan penafsiran-penafsiran akan keyakinan tersebut. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965, menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. Jadi, keyakinan masing­masing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan. Dengan ini, menjadi jelaslah bahwa kerjasama antara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat, karena masing­masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kebahagiaan) demi kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda­beda.32 Inilah, yang nantinya, akan membentuk persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti­bukti kuantitatif, seperti tingkat penghasilan rata­rata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan misalnya, telpon atau kendaraan per­keluarga. Sedangkan yang tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara empirik dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.33 E. Penutup Agama sejatinya tidak membawa kepada tindak kekerasan dan sikap vandalisme. Akan tetapi pemahaman akan makna agama yang seringkali dipaksakan untuk sejumlah kepentingan baik kelompok maupun individu, yang akhirnya berdampak negatif terhadap agama itu sendiri. Sejumlah agama besar di dunia, beserta tokoh sentralnya, seperti Islam dengan Muhammad, Kristen dengan Jesus, ataupun Budha dengan Sidharta Gautamanya, telah mengajarkan prinsip-prinsip kedamaian dan sikap toleransi kepada pihak yang berbeda dengannya serta memberikan teladan bahwasanya agama bukan semata ritual vertikal, melainkan mencakup juga 32 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, h. 134 33 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, h. 135 Haidi Hajar Widagdo , Dualisme Agama | 159 ritual horizontal.34 Sikap saling menghargai akan sebuah perbedaan inilah yang kemudian akan menjadikan agama sebagai sebuah entitas yang berisikan kedamaian dan kasih sayang. Meskipun, peran penting agama dalam kehidupan manusia mungkin telah terasa bagi sebagian pihak, namun bagi pihak yang tidak merasakannya, mereka kecewa dengan perwujudan agama, yang dianggap gagal dan akhirnya menjadikan agama sebagai sesuatu hal yang mengganggu. Sehingga pada akhirnya, agama tetap seperti layaknya dua sisi mata uang yang setiap sisinya mempunyai dampak sendiri-sendiri terhadap alam dan makhluk hidup. Ketika agama dipahami secara total dan sempurna,35 maka agama akan membawa kepada suatu kedamaian yang bersifat universal, sebaliknya, ketika agama hanya dipahami sebagian – baik ketika agama dipahami hanya sebagai sarana ritual semata terhadap Tuhan – maka agama hanya akan menjadi sesuatu yang mengantarkan manusia kepada keburukan semata. Daftar Pustaka Anam, Munir Che, Muhammad saw & Karl Marx: Tentang masyarakat tanpa kelas, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008 34 Dalam islam terdapat istilah hablu min Allah, (ibadah Vertikal), dan hablu min anNaas (ibadah Horizontal). Kedua hubungan ini harus berjalan berdampingan. Karena ketika hanya salah satu yang berjalan, baik itu ibadah vertikal semata, maupun ibadah horizontal semata, maka ketimpangan hidup manusia akan terjadi, dan menjadi salah satu penyebab seringkalinya muncul tindak anarkis dengan mengatasnamakan agama. 35 Dalam Islam pun diajarkan demikian, dimana terdapat nash Alquran tepatnya terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 208, yang menyerukan kepada sikap totalitas dalam beragama, ﻠﹾﻢﹺﻰ ٱﻟﺴﻠﹸﻮﺍ ﻓﺧﻮﺍ ٱﺩﻨ ﺀَﺍﻣﻳﻦﺎ ٱﻟﱠﺬﻬﺃﹶﻳﻱ ٰ ﺒﹺﲔ ﻣﻭﺪ ﻋۥ ﻟﹶﻜﹸﻢﻪ ﺇﹺﻧﻂﹶٰﻥﻴ ٱﻟﺸٰﺕﻄﹸﻮﻮﺍ ﺧﺒﹺﻌﺘﻟﹶﺎ ﺗﻛﹶﺎﻓﱠﺔﹰ ﻭ “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”. Islam secara keseluruhan sebagaimana telah digambarkan melalui Muhammad saw. berarti melakukan sikap-sikap terpuji baik dalam ruang lingkup Tuhan (melalui ritual peribadatan, seperti shalat, puasa, zakat, dan semacamnya), maupun dalam ruang lingkup manusia (melalui akhlak dan penghormatan atas hak-hak manusia secara sempurna). Keseimbangan antara sikap terhadap Tuhan dan sikap terhadap makhluk inilah yang dimaksudkan sebagai Islam Kaaffah. 160 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 al-Abani, Muhammad Nashir-al-Din, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa alMaudhu’ah, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1992 al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Sahih Bukhari, DVD Program alMaktabah al-Syamilah. Ridwana Media al-Mubarakfury, Shafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah; Biography of the Prophet, Bandung: Pustaka Islamika, 2008 Campbell, James, Recovering Benjamin Franklin: An Exploration of a Life Science and Service, Illinois: Caruss Publishing Company, 1999 Dhavamony, Mariasusai, Phenomenology of Religions, Yogyakarta: Kanisius, 1995 el-Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004 Eliott, Charles W, The Autobiography of Benjamin Franklin, Pensylvania: The Pensylvania State University’s Electronic Classics Series, 2007 Purwadi, Eko Priyo Purnomo, Kamus Sanskerta Indonesia, Yogyakarta; BudayaJawa.Com, 2008 Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 2001 Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005 Qardhawi, Yusuf, Ash-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa alTatharuf, Solo, Era Adicitra, 2009 Ya’qub, Ali Mustafa, Hadis-Hadis Bermasalah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006 TEOLOGI SOSIAL; Keniscayaan Keberagamaan yang Islami Berbasis Kemanusiaan Alwi Bani Rakhman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected] Abstrak Islam yang sejatinya murni untuk mengEsakan Tuhan, Allah Swt, telah mengalami berbagai tahap ke'bumi'an yang konsekuensinya tercampur dengan berbagai persoalan kemanusiaan. Teologi dalam hal ini yang notabene sebagai pelopor wacana ketuhanan dan menjadi salah satu terma pokok dalam diskusi keagamaan Islam juga ikut mencuat pengaruhnya. Fenomena historis mengenai perdebatan teologis yang cukup sengit dalam diskursus agama Islam diantara Mutakallimi>n dalam diskusi kali ini mendapat sorotan tajam bagi kalangan cerdik cendekia Muslim modernis karena dipandang tidak mampu lagi menampung jawaban permasalahan yang bersifat antroposentris. Alasannya konkret, teologi yang selama ini dipelajari hanya berbicara mengenai masalah 'langit' (teosentris) dan hampir –jikalau tidak mengatakan sama sekali- tidak pernah 'turun ke bumi' (antroposentris). Karenanya, dimunculkan wacana baru yang menggagas konsep teologi yang selain berpijak pada nilai-nilai ketuhanan, namun juga mampu diaktualisasikan ke dalam ranah kemanusiaan, yaitu Teologi Sosial. Sehingga diharapkan ia mampu menjadi solusi atas problem kemanusiaan yang marak saat ini, semisal ketidakadilan, kekeraasan, terorisme dan sebagainya, khususnya yang termasuk dalam pelanggaran hak-hak asasi kemanusiaan. Kata Kunci: Teologi Islam, Teologi Sosial, Antroposentrisitas Teologi Islam 162 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 A. Pendahuluan al yang tidak dapat disangkal adalah bahwa agama merupakan bagian dari kehidupan yang dinikmati tidak hanya oleh pribadi melainkan juga kelompok atau sosial. Perannya sebagai petunjuk (Hudan) bagi setiap pemeluknya menjadi satu modal utama atas eksistensinya yang dibutuhkan ini. Islam bagi pemeluknya dianggap telah sempurna sejak turunya wahyu terakhir kepada Nabi Saw dan mengatur berbagai macam aktivitas kehidupan, baik secara umum maupun detail, supaya umat tidak salah menempuh jalan. Meski Islam telah sempurna, namun bukan berarti perkembangan pemikiran keislaman berhenti pada saat setelah wahyu itu turun. Ia berkembang seiring perkembangan zaman dan selaras dengan fitrah keberakalan manusia. Berbagai diskusi dan wacana keislaman, yang memang sejak masa Nabi telah ada, mencuat. Puncaknya yang sekaligus menjadi salah satu pengalaman keberislaman yang kelam bagi umat Muslim yaitu menggemanya konflik bertema sentral ketuhanan (teologi) yang terangkum dalam frasa zama>n alfitan. Shahabat saling mengkafirkan, adu argumen mengenai hakikat sifat dan atau dzat Tuhan dan sebagainya. Perdebatan ini yang kemudian menggema dan menjadi persoalan yang pelik dalam sejarah pemikiran Islam. Sehingga memunculkan berbagai macam sekte-sekte pemikiran yang saling beradu argumen membela kayakinannya. Memperhatikan sejarah dan perkembangan ilmu kalam sebagai pelopor pengkajian terma-terma ketuhanan, maka tidak dapat disangkal bahwa hal ini antara lain muncul pada masa saat menggemanya filsafat Yunani sebagai salah satu manifestasi pengejahwantahan akal dan atau rasio nomor wahid. Di satu sisi, meskipun pengaruh Yunani dalam memperkaya khazanah budaya dan peradaban Islam cukup signifikan, namun di sisi yang lain, baik secara implisit maupun eksplisit, telah menjauhkan umat dari semangat membela dan mengaktualisasikan al-Qur'an secara utuh. Ironisnya, ia hanya dijadikan tidak lebih dari sekedar alat legitimasi, pembelaan diri terhadap kebenaran kelompok masing-masing.1 Jika generasi awal Islam telah mewariskan problema teologis yang diangkat dari kehidupan praksis, kaum mutakallimun selanjutnya melulu H 1 M. Amin Syakur dkk., Teologi Islam Terapan (Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme Kehidupan Modern) (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 15. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 163 tertarik dengan tema-tema yang kurang memiliki implikasi-implikasi praksis.2 Diskursus teologi Islam saat itu masih sangat kental dengan halhal yang bercorak 'melangit', bersifat teologis-filosofis, dan terlalu sibuk dengan perdebatan dan wacana yang bersifat teosentris. Hal ini menjadi sangat kurang bermanfaat dan atau bermaslahah sebab objek kajian Islam tidak hanya terhenti pada amaliah bidang aqidah, tetapi bagaimana mereka berperilaku dalam tatanan praktis. Hal ini berarti bahwa ilmu tentang aqidah Islam juga menjangkau fakta empiris yang dimunculkan berdasarkan kesadaran bertuhan dalam diri pengamalnya. Lebih jauh lagi, Islam sebagai media pembebas dalam menentang ketidakadilan sosial merupakan hal yang tidak ahistoris. Konsekuensi dari konsep teologi model ini, Islam tidak semata pemahaman yang mengawang, melainkan suatu suatu konsep praktis yang menyangkut seluruh institusiinstitusi yang dilahirkannya. Dari perspektif ini, memahami konsep Islam sebagai agama monoteis serta fungsinya, seperti sosial, spiritual, moral, politik menjadi membumi.. Pembacaan pemikiran teologis seperti yang telah tergambarkan tersebut yang menjadi problem utama kita kali ini. Konsep penerapan teologi tidak pernah termanifestasikan dalam tataran praksis. Persoalan yang diangkat Mutakallimu>n hampir tidak menyentuh aspek kehidupan nyata manusia sehari-hari, seperti masalah demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia, ketidakadilan, konflik agama dan pluralitas, teririsme dan sebagainya. Menyadari kondisi objektif ini, sudah saatnya diskursus teologi Islam beralih pada paradigma baru yang memaknai Tuhan dengan berbagai atributnya dalam konteks ke'bumi'an. 2 Berbeda halnya dengan pemahaman Prof. DR. Harun Nasution dengan gagasan Teologi Rasionalnya yang menyatakan bahwa ulama Islam zaman klasik bukan saja mendudukkan akal pada tempat yang tinggi dari peradaban Yunani, melainkan juga mengambil dan mengembangkan banyak teori sains, filsafat, dan lainnya untuk diterapkan dalam kehidupan. Sehingga karenanya kondisi perekonomian dan perpolitikan saat itu mengalami masa keemasannya, Namun sekali lagi, bagi penulis, kemajuan ini tidak diimbangi dengan peningkatan moral dan keshalihan sosial yang antara lain banyak terjadi tarik menarik kepentingan pribadi dan atau kelompok sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan. Lihat Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 112-113. 164 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 B. Tauhid sebagai Rumusan Utama Pengamalan Keberagamaan Secara keseluruhan prinsip Islam bertumpu pada tauhid. Hal inilah yang merupakan inti atau ruh Islam. Dengan kata lain tauhid merupakan konsep sentral dan sangat fundamental dalam Islam. Tauhid secara kebahasaan berarti keesaan atau kesatuan, yaitu keesaan Tuhan. Ulama menyebutkan bahwa pengertian tiada Tuhan selain Allah adalah tiada yang layak disembah selain-Nya, ketundukan hanya tertuju pada-Nya. 3 Kepasrahan dan atau ketundukan secara essensial yang diharapkan untuk diberikan oleh setiap Muslim kepada Allah adalah seseorang yang menyerahkan segenap dirinya kepada Sang Pencipta Tunggal.4 Tak diragukan lagi esensi ajaran Islam itu sendiri adalah tauhid -suatu afirmasi atau pengakuan bahwa Allah adalah Maha Esa, Pencipta yang mutlak dan transenden, serta Raja dan Penguasa alam semesta.5 Pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah” cukup singkat dan padat namun memiliki makna yang sangat kaya dalam ajaran Islam sebagai suatu keseluruhan sistem. Bahkan terkadang seluruh kebudayaan, peradaban atau sejarah kehidupan termuat dalam kalimat tersebut. Rukun Islam, Syahadat, yaitu pengakuan seorang Muslim bahwa “aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” bukanlah sekedar penegasan atas eksistensi Tuhan melainkan juga persaksian bahwa Allah merupakan satu-satunya realitas sejati, bentuk eksistensi sejati. Semua wujud yang terlihat ada dan memiliki sifat-sifat seperti ini hanya meminjam keberadaan dan sifat tersebut dari wujud essensial ini. Mengucapkan penegasan ini menuntut kaum Muslim untuk mengintegrasikan kehidupan mereka dengan menjadikan Allah sebagai fokus dan prioritas tunggal mereka. Mengatakan bahwa Allah itu satu bukan sekedar sebuah definisi numerik, melainkan seruan untuk menjadikan seruan keesaan tersebut sebagai faktor pengendali kehidupan individu dan 3 Al-Ittihad Al-Islamiy li Ulama al-Muslimin, 25 Prinsip Islam Moderat terj. Bukhari Yusuf dkk. (Jakarta: Al-Markaz Al-Istisyar li Al-Syari'ah, 2008), hlm. 7. 4 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orangorang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), hlm. 199. 5 Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 16. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 165 masyarakat. Keesaan Tuhan dapat terpantul dalam diri yang benar-benar terintergrasi dengan-Nya.6 Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapanpun. Dalam pandangan Muslim yang benar, Tuhan bukanlah semata-mata sebagai ‘sebab pertama’ sebagaimana dideskripsikan sementara teolog dan ultimat yang tinggi. Melainkan lebih dari itu, yaitu bahwa Dia adalah inti kenormativan. Tuhan sebagai inti kenormativan berarti bahwa Dia adalah Dzat yang Mahamemerintah. Gerakan-gerakan-Nya, pemikiran-pemikiranNya, serta perbuatan-perbuatan-nya adalah realitas-realitas yang mustahil untuk dipungkiri dan diragukan. Tiap-tiap dari hal ini, sepanjang manusia memahaminya, merupakan suatu nilai baginya serta suatu keharusan.7 Pengalaman keagamaan Islam memang mempunyai konsekuensi besar bagi sejarah Islam. Semangat wawasan Islam mendorong seorang Muslim ke atas panggung sejarah, untuk mewujudkan di dalamnya pola Ilahi yang telah diberikan Nabi kepadanya. Baginya tidak ada yang lebih berharga dari tugas ini. Demi tugas ini, dia siap untuk mengorbankan apa saja, termasuk nyawanya. Semuanya dikemukakan untuk menggaungkan, sebagaimana dalam al-Qur’an, ‘menjadikan kalimat Ilahi menjadi yang terunggul’.8 Kita telah melihat bahwa manusia dibebani kewajiban untuk mengubah dirinya, masyarakat dan lingkungannya agar sesuai dengan pola Ilahi. Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia memikul tanggung jawab. Mematuhi Tuhan, yakni merealisasikan perintah-perintah-Nya dan mengaktualisasikan sistem-sistem-Nya berarti menuju untuk memperoleh keberuntungan (fala>h}) dan kebahagiaan. Sebaliknya, tidak berbuat demikian, berarti mengundang untuk memperoleh hukuman, penderitaan, dan kesengsaraan. Hak istimewa manusia adalah menjalani kehidupan yang penuh dengan budaya kosmik dengan kemerdekaan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, kemerdekaan untuk berkehendak, dan kemerdekaan untuk memilih. Tentunya hal ini tidak melampaui kadar atau ukuran yang ditetapkan oleh Tuhan.9 6 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan..., hlm. 209-210. Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. 1-3. 8 Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. 8-9. 9 Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. 12-14. Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 78-83. 7 166 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 C. Melacak Antroposentrisitas dalam Teologi Islam Teologi, sebagaimana diketahui, membahas mengenai ajaran-ajaran pokok suatu agama. Secara etimologis, ia berasal dari kata Theos (Tuhan) dan Logos (ilmu), sehingga berarti ilmu tentang Tuhan. Sedangkan secara terminologis, teologi berarti disiplin ilmu yang membahas tentang Tuhan (atau realitas Tuhan) dan hubungan Tuhan dengan dunia. Teologi juga kerap dimasukkan sebagai salah satu cabang dari filsafat, yaitu bidang khusus yang mengkaji tentang Tuhan secara filosofis.10 Prof. DR. Harun Nasution mengemukakan bahwa teologi dalam Islam disebut juga ‘ilm altauh}i>d. Kata tauhid mengandung arti mengesakan Tuhan, Allah Swt. Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kala>m. Kalam, menurutnya setidaknnya dapat dipandang melalui dua sisi. Jikalau yang dimaksud ‘kalam’ tersebut ialah firman Tuhan, maka ilmu kalam berarti perdebatan yang terjadi diantara para ulama adalah mengenai al-Qur’an baik tentang Tuhan, manusia, maupun al-Qur’an itu sendiri. Lain halnya jikalau ‘kalam’ diartikan kata-kata manusia, maka ilmu kalam berarti ilmu mengenai perdebatan para kaum teolog (mutakallimu>n) untuk mempertahankan pendirian masing-masing.11 Ilmu ini memang banyak sekali dpengaruhi oleh penggunaan akal atau rasio dari filsafat Yunani, terutama setelah penerjemahan ke dalam bahasa Arab besar-besaran dan pengadaan observatoriun guna penelaahan mendalam terhadap karya-karya Yunani. Sesuai dengan perjalanan sejarahnya, teologi menjadi populer melalui muja>dalah para ahli kalam yang membahas permasalahan ketuhanan. Oleh karenanya dalam skala yang lebih luas, teologi sangat berkaitan erat dengan diskusi tentang pemahaman konsep keimanan seorang Muslim. Perlu diketahui bahwa perilaku sosial sudah sejak lama dikaji oleh para antropolog dan sosiolog. Kaum sosiolog memang mengesampingkan orientasi subjektif sebagai salah satu faktor yang membentuk perilaku manusia. Akan tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa perilaku sosial juga dipengaruhi oleh arti, nilai dan norma. Iman sebagai salah pondasi keberagamaan terpenting bagi umat Muslim dalam hal ini 10 Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipilner; Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hlm. 104. 11 Harun Nasution, Teologi Islam (Yogyakarta: UI Press, 2002), hlm. ix. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 167 merupakan suatu model susunan dari arti, nilai, dan simbol yang dirumuskan dari ajaran aqidah Islam.12 Dalam konteks keislaman, pengalaman keagamaan menunjuk kepada iman seseorang kerena merupakan tanggapan terhadap Tuhan yang berisikan pembenaran dalam hati, pernyataan lisan dan perilaku praktis. Perilaku keimanan seseorang merupakan suatu proses peralihan dari konsepsi dan proposisi metafisik sebagaimana dalam al-Qur'an dan sunnah menjadi proposisi empirik dalam kehidupan praktis di masyarakat. Bentuk dan macam perilaku ini menjangkau semua segi kehidupannya, baik yang bersifat individual maupun sosial. Iman atau agama dan ilmu pengetahuan dibutuhkan umat manusia karena menentukan arah yang dituju, sedang ilmu mempercepat manusia sampai ke tujuan, dan Tuhan adalah tujuan utama dan terakhir, yakni di mana semua perihal finalistik mengarah dan berhenti. Menjadi seorang Muslim berarti menganggap Tuhan semata sebagai normatif, kehendak-Nya semata sebagai perintah, sistem dan pola kehidupan semata sebagai kebutuhan etis penciptaan. Kandungan wawasan Muslim adalah kebenaran, keindahan dan kebaikan. 13 Kemudian ketika kita menilik sejarah, secara umum memang disyariatkannya agama Islam adalah untuk menegakkan keadilan sosial sebagai prasyarat terwujudnya kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.14 Muhammad Saw sebagai pembawa risalah, dilaporkan, merupakan sosok yang menentang penindasan. Muhammad saw, sekaligus konteks kali pertama Islam diturunkan, hidup dalam keadaan sosial kemanusiaan yang carut-marut. Tidak heran faktor inilah yang menjadi salah satu agenda utama Muhammad saw atau Islam, yaitu untuk memperbaiki akhlak manusia, antara ain dengan melawan penindasan dan menentang ketidakadilan serta menciptakan tatanan masyarakat egalitarian. Karena hanya ketakwaanlah yang membedakan derajatnya di hadapan Sang Khaliq, Allah Swt. 12 M. Amin Syakur dkk., Teologi Islam Terapan…, hlm. 19. M. Quraish Shihab, Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Tangerang: Lentera Hati, 2011), hlm. Xi. 14 Hamka Haq, Islam; Rahmah untuk Bangsa (Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2009), hlm. 53. 13 168 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 D. Problem-problem Sosial Keagamaan 1. Kesalahpahaman terhadap Universalitas Islam Universalitas Islam atau keberlakuan ajaran Islam bagi dan untuk semua lapisan masyarakat dan bahkan untuk seluruh isi dunia dalam berbagai sisi-sisi kehidupan, merupakan suatu ajaran yang diterima oleh umat Islam sebagai aqidah atau keyakinan.15 Misi ajaran Islam dilihat dari kedudukannya sebagai pandangan hidup dan sumber nilai, berperan sebagai faktor kreatif yakni ajaran agama yang mendorong manusia melakukan kerja produktif dan kreatif. Kemudian sebagai faktor motivatif yaitu ajaran agama melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Selanjutnya faktor sublimatif yakni ajaran yang dapat meningkatkan dan mengkuduskan fenomena kehidupan manusia bukan hanya keagamaan saja tetapi juga bersifat keduniaan. Faktor integratif yaitu ajaran yang mempersatukan sikap dan pandangan manusia secara individual dan kolektif dalam menghadapi berbagai tantangan.16 Hamdi Zaqzuq menguraikan tentang Syumu>liyyah al-Isla>m, 15 Prof. DR. M. Quraish Shihab menguraikan bahwa ulama kontemporer memperkenalkan istilah Iqlimiyyat al-Islam dalam arti terdapat ajaran-ajaran Islam yang berbeda antara satu iklim (wilayah) dengan wilayah yang lain akibat perbedaan kondisi, situasi, sejarah dan penalaran ulama setempat. Jika demikian halnya, maka kita tidak dapat menghindar dari pengakuan tentang adanya ajaran Islam yang bersifat partikular, sebagaimana ada juga yang universal. Kesepakatan umat dalam satu bidang tertentu juga dapat menunjuk pada universalisme Islam. Sedangkan perbedaan interpretasi adalah bagian dari partikularisme. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 213. Nampaknya apa yang dipahami Quraish Shihab diamini oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Hanya saja ia memiliki frasa khusus untuk mengungkapkan pemahaman ini. Islam yang universal, yang mementingkan masa depan Islam secara umum serta membawa kepentingan bersama kaum Muslimin, ia sebut sebagai "Islam Kita". Sedangkan Islam partikular yang hanya membawai watak perorangan, berisi pengalaman pribadi, serta boleh diketahui oleh orang lain namun tanpa meiliki kekuatan paksaan disebut dengan "Islamku" dan Islam Anda". Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 66-69. Lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 24. 16 J. Suyuthi Pulungan, Universalisme Islam (Jakarta:Moyo Segoro Agung, 2002), hlm. 145 Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 169 “Al-Qur’an al-Kari>m dan Sunnah Nabawiyyah mengandung suatu norma yang mengatur segara urusan manusia, baik yang terkait dengan dirinya sendiri, dirinya dengan orang lain antar sesama manusia, maupun dengan binatang, tanaman, dan bahkan benda mati sekalipun. Dan yang paling penting di atas segalanya adalah keterkaitan antara dirinya dengan Tuhan (Allah Swt.) Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam semesta.” 17 Dalam konteks keindonesiaan misalnya, realitas kebhinekaan yang telah mengilhami semangat ideologi nasionalisme, yaitu Negara kebangsaan yang telah diperjuangkan oleh para politisi, ulama, dan pejuang Muslim angkatan 45 inilah yang antara lain sebagai pengamalan ajaran Islam yang universal dalam konteks kehidupan bangsa yang plural.18 Namun ironisnya, Islam yang selama ini kita alami kerap diperlihatkan hanya terbatas dalam persoalan haram dan halal. Al-Quran dan Sunnah, sebagai sumber primer normatif, jelas menyinggung dan menyentuh banyak aspek kehidupan. Ia menyinggung berbagai aspek kehidupan manusia; sosial, ekonomi, politik, pendidikan, moral, hukum, mistis, ritual, pemikiran, dan sebagainya. Rangkaian ajaran yang melingkupi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak) dan sikap hidup yang menampilkan kepedulian teramat besar kepada unsur-unsur utama kemanusiaan seringkali disempitkan maknanya oleh masyarakat.19 Sebagai sumber ajaran Islam, tentu saja al-Quran dan Sunnah memuat banyak aspek. Namun demikian dalam sejarah dengan gamblang terlihat bahwa keberagamaan, dalam hal ini Islam, merupakan agama melulu urusan hukum, dalam hal ini ibadah mahdhah (ritual-ritual seperti shalat, puasa, haji, dll.). Dalam pengertian lain, Islam hanya dipahami sebatas tataran 17 Muhammad Hamdi Zaqzuq, al-‘Aqi>dah al-Di>niyyah wa Ahammiyatuha fi> H{aya>h alInsa>n (Kairo: Majalliyyah al-Azhar al-Mahalliyyah, 2002 M/1415 H), hlm. 22-23. 18 Hamka Haq, Islam; Rahmah untuk Bangsa..., hlm. 29. 19 Dalam hal ini Muhammad Imarah mengemukakan bahwa umat manusia, khususnya masyarakat Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah sepi dari permasalahan (musykilah). Adapun Islam digambarkan sebagai solusi (al-H}all) karena di dalamnya mengandung aturanaturan dan norma-norma keagamaan yang dibutuhkan oleh setiap individu dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Muhammad ‘Imarah, Hal al-Isla>m Huwa alH{all? Lima>z\a> wa Kayfa? (Kairo: Dar al-Syuruq, 1968), hlm. 7-9. Lhat juga 170 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 eksoterik atau kulit saja. Sedangkan inti atau sisi esoteriknya kerap diabaikan. 2. Pribumisasi Islam vis a vis Arabisasi Pada dasarnya Islam tidak menghendaki pemeluknya untuk 'berberat diri' dalam beragama (la d}arara wala> d}ira>ra), khususnya yang berkaitan dengan keterbatasan manusia yang memang masih dalam koridor fitrah basyariyah, yaitu sebagai makhluk lemah, senang berkeluh kesah, tempat kesalahan dan sebagainya. Karenanya, meski syari'at berisikan tuntutantuntutan untuk dikerjakan dan ditinggalkan baik secara tegas maupun tidak, namun pelaksanaannya disesuaikan dengan kapasitas kemampuan Muslim itu sendiri (la tukallafu nafsun illa wus'aha>). Prinsip-prinsip dinamitas dan fleksibilitas sebagaimana terdeskripsikan dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi Saw tersebut yang dalam kaidah bahasa Arab disebut al-muh}a>faz}ah 'ala> al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhz\u bi al-jadi>d alas}lah} oleh Hamka Haq setidaknya dapat diaktualisasikan sebagai berikut: a. Formality (mentolerir formalitas sebuah tradisi yang telah dibersihkan dari sifat-sifat politeisnya [syirik]) b. Innovative (memodifikasi tradisi sedemikian rupa sehingga bentuknya berubah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan semakin bersih dari sifat-sifat politeistik) c. Reformative (mencari tradisi baru yang bersifat alternatif positif dan meninggalkan sama sekali tradisi lama yang negatif dalam segala bentuk dan sifatnya)20 Agama dan budaya meski mempunyai independensi masing-masing, namun keduanya juga memiliki wilayah yang 'tumpang-tindih'. Analoginya adalah bahwa antara ilmu pengetahuan dan filsafat memiliki independensi sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Seseorang tidak dapat berfilsafat tanpa menggunakan ilmu pengetahuan, namun tidak dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Jadi diantara keduanya terjadi tumpangtindih sekaligus perbedaan-perbedaan.21 Agama (Islam) bersumberkan wahyu dan memiliki aturan-aturan tersendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cenderung bersifat permanen. Sedangkan kebalikannya, budaya 20 Hamka Haq, Islam;Rahmah Untuk Bangsa…, hlm. 122. Lihat juga Mushtofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 49. 21 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), hlm. 109. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 171 adalah buatan manusia yang cenderung untuk selalu berubah berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa perbedaan tersebut tidak menutup kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Percampuran antara agama dan budaya akan terus menerus berkembang sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama terjadi bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya. Sebab jikalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya.22 Dialog Islam dengan kehidupan dengan kehidupan tersebut sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahiranya, Islam tumbuh dalam suatu dunia yang tidak hampa budaya. Relitas kehidupan ini, diakui atau tidak, memiliki peran cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangan aktual sehingga dapat memunculkan peradaban yang diperhitungkan masyarakat dunia. Betapa pun, al-Quran dan Sunnah ketika diturunkan pada masa Nabi Saw. bersentuhan dengan realitas sosial yang ada. Tidak heran bila konteks ke-Arab-an tidak terelakkan dalam al-Quran dan Sunnah. Dan tentu saja ia ketika menghadapi persoalan yang ada turut dipengaruhi waktu dan tempat. Dengan kata lain Islam tidak jatuh dari langit begitu saja. Islam tidak hadir dalam ruang vakum sosial dan kultural. Agaknya inilah yang luput dari perhatian dari kaum Muslim. Islam adalah kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya harus diterjemahkan dalam konteks tertentu yang dipengaruhi oleh zaman dan waktu. Islam diturunkan kali pertama 14 abad yang lalu. Tentu keadaan sekarang dengan zaman Muhammad saw mempunyai konteks berbeda. Faktanya masih banyak ditemukan pemahaman Islam produk masa lalu yang berbeda keadaannya dengan zaman kekinian. Kendati demikian tetap saja zaman kekinian diterjemahkan ke dalam zaman masa lalu. Aktualisasi Islam dalam sejarah itu menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari Arab, Persia, Turki, India, sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu kesatuan yang menjadi 22 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan ..., hlm. 117. 172 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 benang merah yang mengikat satu dengan yang lannya.23 Dalam hal ini, dengan mengutip Khurshid Ahmad, Alwi Shihab menyatakan bahwa “Islam has been an absorbing religion rather than converting religion” (Islam lebih merupakan agama yang menampung bukan yang mengkonversikannya).24 Saat ini kita dapat melihat, orang Islam Iran tetap dengan bahasa Persia, Pakistan tetap Urdu, dan Nusantara tetap dalam rumpun bahasa melayu. Tetapi masing-masing bahasa yang telah diIslamkan itu mampu membahasakan ajaran Islam dengan baik. Kita juga bisa melihat bagaimana varian bentuk busana muslim yang sangat beragam, mulai dari sarung dan peci khas melayu, baju koko yang beraroma Tionghoa, jubah dan kafayeh ala Timur Tengah, juga untuk busana muslimahnya. Meski demikian semua mengerucut dalam satu konsepsi Islam tentang menutup aurat. Karenanya gagasan penyeragaman norma-norma agama yang masih bersifat 'kulit' dan sangat kental dengan budaya Arab secara massif bahkan totalitas ke berbagai wilayah sosial-kemanusiaan (dalam istilah lain disebut 'arabisasi') terkesan memaksa dan tidak patut untuk mendapatkan apresiasi secara berlebihan. Sebab, membawa budaya Arab secara paksa sama halnya dengan menghadirkan permasalahan sosial masrarakat Arab ke tanah negeri yang kembali akan memutar banyak pemikiran dan memicu berbagai perdebatan sehingga akan lebih berpeluang terjadinya konflik kemanusiaan. 3. Kekerasan dalam rangka Membela Tuhan Kita telah menyaksikan berbagai kejadian anarkis yang menimpa sebagian warga Indonesia yang semestinya telah terjamin keamanan dan keselamatannya atas dasar pembelaan Hak-hak Asasi Manusia.25 Hemat kata, keberhakan untuk memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram selama tidak melanggar ketentuan publik serta menjaga keharmonisan umat secara eksplisit telah tertuang dalam Undang-undang 1945 sebagai salah satu manifestasi bangsa yang layak untuk diberi gelar 'merdeka'.26 23 Abd A'la, Pembaruan Pesantren (Bantul: Pustaka Pesantren, 2006), hlm. 103 Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen” di Indonesia, (Mizan: Bandung,, 1998), hlm. 25. 25 Mirian Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 133. 26 Sandang, pangan, papan, jaminan keamanan, kebebasan berfikir, berkeyakinan, belajar dan mengajar, kerjasama dalam rangka membuat kebijakan untuk masyarakat, berperadaban yang baik guna meminimalisasi kelemahan, keburukan, dan kerusakan aturan 24 Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 173 Namun ironis, dengan tanpa alasan yang matang, sekelompok orang telah dengan berani dan percaya diri merampas hak kelompok lain dengan antara lain merusak asset dan inventaris milik mereka. Realita ini jelas tidak dibenarkan, baik secara naluriah akal sehat manusia, konstitusi kenegaraan dalam hal pembelaan dan pemeliharaan hak-hak sipil bangsa, serta agama yang jelas tidak menganjurkan sedikitpun untuk mengadakan perusakan karena termasuk dalam tindak kedzaliman. Karena dalam sejarah perjalanan dakwah Nabi Saw pun, ketika melakukan Fathu Makkah menjamin keamanan dan keselamatan jiwa setiap penduduk Makkah yang berlindung di rumah Abu Sufyan, menutup pintu rumah mereka (tidak melawan Nabi dan para sahabatnya), serta tidak merusak tempat ibadah.27 Ajaran keagamaan yang sekalipun telah disalahpahami oleh sebagian muslim, kemudian disosialisasikandan dan dipraktekkan, sungguh tidak menjadikan kelompok muslim yang lain memiliki hak untuk mengeksekusi secara frontal pihak yang dianggap ‘salah’, menggunakan cara kekerasan. Keduanya sama-sama telah keluar dan tidak taat terhadap prinsip moral Islam itu sendiri, yaitu nilai-nilai kemurnian dan kebaikan ajaran Islam. Memang tidak dapat dipungkiri fenomena historis tentang pengkufuran dan pembunuhan sesama Muslim pada abad awal Islam yang tentunya tidak murni bersifat agamis. Nuansa politis dan ego pribadi serta kelompok menjadi salah satu alasan yang mewarnai salah satu sejarah kelam umat Islam tersebut. Namun demikian, pantaskah bagi kita menghadirkan kembali fenomena tersebut untuk dijadikan alasan pembelaan atau pembenaran terhadap tindak anarkis dan perusakan yang terjadi pada masa saat ini. Jikalau iya, kemanakah Islam yang rahmat, Islam yang membawa misi keselamatan untuk umat manusia. Alih-alih menegakkan agama Tuhan sebagaimana yang dipahami secara sepihak, namun justeru berbalik merendahkannya. Layakkah kita membela Tuhan yang senantiasa kita sebut yang telah ada sebelumnya, semua urusan ini dalam pandangan Islam, menurut Muhammad ‘Imarah, tidak hanya sebatas pada level “Hak” bagi tiap manusia, secara individual maupun sosial, untuk memperolehnya dan mengusahakannya secara layak, melainkan sudah pada level “Kewajiban” (D{aru>ra>t Wa>jibah). Muhammad ‘Imarah, al-Isla>m wa H{uqu>q al-Insa>n D{aru>ra>t la> H{uqu>q (Kuwait: ‘Alam al-Mu’arrafah, 1985), hlm. 15. 27 Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), hlm. 292. 174 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 sebagai Mahalembut, Mahakasih, Mahabaik dengan ekspresi keras, kasar, dan beringas.28 E. Teologi Sosial sebagai Solusi Permasalahan Sosial-Keagamaan Teologi merupakan ilmu yang meperbincangkan tentang Tuhan dan hubungannya dengan alam dan manusia. Teologi Islam, dengan demikian, merupakan refleksi filosofis berkenaan dengan pokok-pokok keimanan umat Islam. Diskusi teologi Islam, menilik sejarahnya, berfungsi secara teoritis untuk memberikan gambaran mengenai perihal aspek filosofis pemikiran ketuhanan dalam ajaran Islam, sebab pengaruh pemikiran dan metode filsafat yang cukup signifikan di dalamnya. Oleh karena mula-mula perbincangan yang berproses dalam diskusi ini adalah mengenai kalam atau firman ketuhanan, sehingga ia lazim disebut sebagai ilmu kalam.29 Adapun teologi sosial merupakan diskusi pemikiran teologis yang cukup kental keterkaitannya dengan realitas kehidupan manusia seiring dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan masyarakat. Adalah sebuah pemikiran kalam yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara orientasinya, yaitu untuk memberikan solusi atas problem yang dihadapi masyarakat semisal ketidakadilan, penindasan Hak Asasi Manusia, pluralisme agama, terorisme dan lain-lain. Tuntutan sosiologis dari aktualisasi teologi praksis adalah menciptakan suatu struktur masyarakat yang berusaha agar terbebas dari kesenjangan, keterbelakangan, 28 Meski demikian pada dasarnya penulis, juga cukup apresiatif dengan wacana 'aksi teror' yang ditanggapi dalam berbagai pandangan. Diantaranya adalah sebagaimana yang digaungkan oleh Prof. DR H. Nur Syam, M. Si yang menyatakan bahwa pada dasarnya munculnya gerakan-gerakan Islam model seperti ini adalah sebagai respon sosial atas berbagai kebijakan Barat (AS) yang lebih bermuatan politis ketimbang persoalan kemanusiaan. Hanya sayangnya tindakan tersebut ternyata berimplikasi lain. Stigma yang lahir antara lain munculnya anggapan bahwa Islam memiliki relevansi dengan tindakan terror. Sedangkan tindak kekerasan atau terorisme sejatinya tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam yang murni. Kenyataan bahwa hampir setiap agama memiliki tradisi 'kekerasan' (perang dan sebagainya) namun apa yang terjadi di negeri ini tidaklah dapat dikatakan mewakili arus utama tradisi agama-agama sebagaimana boleh diwakili oleh kelompok Muslim moderat semisal NU, Muhamadiyah, Nahdhatul Wathan dan lain-lain. Selain itu, semestinya media massa juga ikut terlibat dalam upaya stigmatisasi agama ini. Lihat Nur Syam, Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-agama: Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama dalam "Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer" editor Ridlwan Nasir (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, Tt.),hlm. 247-254. 29 Muhammad In’am Esha, Teologi Islam; Isu-isu Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 12. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 175 diskriminasi, ketidakadilan, serta mengedepankan etos egalitarianisme dan toleransi antar sesama makhluk Tuhan.30 Teologi Islam berperan melalui keyakinan Islam sebagai pembangkit dan penggugah kesadaran umat beraqidah akan realitas kehidupan mereka. Bukan sekedar melumat aqidah tersebut dalam pikirannya kemudian berhenti di dunia ‘langit’ melainkan juga harus ‘mendaratkannya’ ke bumi dan mendialogkan aktivitas ketuhanan tersebut dengan realitas supaya diperoleh kemaslahatan secara horizontal. Bukan tidak berfaedah perbincangan mengenai apakah sifat-Nya adalah Dzat-Nya, apakah Tuhan berkalam, atau apakah manusia memiliki af'a>l sedang adanya hal ini mengisyaratkan kebesaran-Nya. Namun apakah ia masih pantas untuk dihadirkan di hadapan kepungan berbagai persoalan kemanusiaan yang, mohon maaf, tidak mampu terobati oleh puluhan bahkan ratusan diskusi mengenai perbincangan tersebut. Kita memiliki al-Qur'an yang secara tegas menyatakan agar mengenal dan meminta kepada Allah Swt. dengan Asma-Nya dan selain itu kita juga mempunyai Sunnah Nabi Saw yang menyerukan agar mampu berakhlak dengan Asma' yang indah tersebut sesuai dengan kemampuan kita sebagai makhluk. Maka tidak heran jikalau seorang ulama menasihati dengan ungkapan "Berakhlaklah dengan akhlak Allah". Karena keberhasilan meneladani Tuhan melalui Asma-Nya adalah cermin dari keberhasilan keberagamaan seseorang, sebab hal ini sesuai dengan salah satu definisi tertua dari agama/keberagamaan yaitu "upaya meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya" tentunya selain sifat-sifat Ketuhanan/Ulu>hiyyah.31 Teologi sosial pada dasarnya mencoba untuk menciptakan paradigma yang memposisikan dimensi transenden dan antroposentris, dimensi kehambaan dan dimensi kekhalifahan manusia dalam proporsinya yang saling terkait. Tugas kehambaan manusia secara niscaya tidak dapat menafikan realita yang ada di sekitarnya. Sedang martabat kekhalifahannya menuntut aktualisasi ide-ide ketuhanannya dalam praktek kehidupan seharihari.32 Upaya ini diharapkan akan dapat menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran di bawah sinar keilahian. Ia berusaha mentransformasikan 30 Muhammad In’am Esha, Teologi Islam…, hlm. 12. M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asma' al-Husna dalam Perspektif alQur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. xxxix 32 Muhammad In’am Esha, Teologi Islam…, hlm. 15. 31 176 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 dimensi ketuhanan sebagai upaya untuk mengukuhkan eksistensi manusia dalam realita antroposentrisitasnya. Nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan menuju kemampuan berfikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan. Karena bagaimanapun pemahaman keagamanan umat mengenai ketuhanan akan bermuara pada satu tujuan, yaitu membentuk watak dan tabiat manusia yang memiliki sikap mental dan perilaku yang baik (al-akhla>q al-kari>mah), manusia yang bermoral, dan memiliki etika serta sopan santun, baik terhadap diri pribadi, orang lain, lingkungan, dan tentu terhadap Tuhan.33 Sebenarnya, pembicaraan membumikan teologi merupakan wacana yang cukup ramai diperbincangkan. Hassan Hanafi dalam perjalanan karir akademiknya pernah menganggap teologi islam (Asy’ari) tidak ‘ilmiah’ dan tidak pula ‘membumi’. Hanafi merekonstruksi teologi tidak hanya sebagai dogma keagamaan yang berada pada ruang pemikiran dan tidak membawa manfaat yang signifikan bagi dunia sosial, melainkan menjelma sebagai ilmu yang menjadikan nilai-nilai keimanan, sebagai bahan utama diskusi, berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi bagi setiap tindakan manusia.34 Dalam rangkaian redaksi lain yang tidak jauh berbeda namun memiliki urgensi yang sama, Isma’il Raji al-Faruqi mengusung bendera pembumian tauhid, sebagai inti pengamalan agama, dalam setiap aspek kehidupan manusia; ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, sosial-budaya, politik dan sebagainya. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk kontribusi bagi ummat dalam membentuk pribadi Muslim yang pandai dan cerdas menghadapi realita, tidak mundur atau melarikan diri dari berbagai persoalam hidup, dan terpenting adalah menunjukkan, dalam setiap gerak aktif dalam kehidupannya, suatu tindak kepasrahan kepada kehendak Ilahi secara sadar dan bertanggung jawab.35 Namun demikian dalam rangka sosialisasi dan ‘pencucian otak’ dari mainstream keberagamaan yang fanatis, maka seruan ini menjadi salah satu upaya perwujudan nilai-nilai keagamaan yang sangat penting. 33 Muhammad Amin Syukur, Tasawwuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 2 34 AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 4550. 35 Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid ..., hlm. ix-x. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 177 Atas dasar prinsip keterlibatan agama dengan realita sosial, maka menjadi keniscayaan aktualisasi iman dan takwa seorang Muslim dalam arti horizontal. Jelasnya bahwa sikap taat dan ketakutan kepada Tuhan mesti dimanifestasikan dalam bentuk yang lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat, “Kesadaran Ketuhanan” (God Conciousness), yaitu kesadaran akan Tuhan Yang Mahahadir dalam kehidupan sehari-hari. KH. Ahmad Dahlan menguraikan dengan indah dalam hal ini. Ia menyatakan bahwa iman harus mampu membangkitkan emosi, pandangan, keinginan, sikap baik, dan nilai-nilai luhur lainnya yang mendorong orang beriman untuk senang berbuat kebajikan.36 Hal itu berarti keimanan kepada Allah Swt harus termanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kepedulian terhadap keadilan sosial. Pada sisi lain, konsep tauhid serta ibadah tidak akan bermakna bila tidak dipahami dalam perspektif sosial. Karenanya merupakan suatu keniscayaan mengukur kesalehan seseorang dalam perspektif sosial. Fenomena kekerasan, fanatisme dan eksklusifisme dalam kehidupan beragama tidaklah lahir dalam kondisi hampa sebab. Dimungkinkan terjadinya hal tersebut akibat pemahaman teologi yang sempit, seakan merasa perlu membela Tuhan. Namun disayangkan jikalau pembelaan tersebut justeru berbalik melawan esesnsi Islam itu sendiri sebab cara yang dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang menghendaki agar tercipta ketenteraman, keharmonisan dan keselamatan. Teologi Sosial yang Islami dengan berbagai perangkatnya mengharuskan penganutnya untuk berpegang pada akhlak dan budi pekerti ketuhanan. Kesadaran akan eksistensi Tuhan sebagai Pencipta, Pengatur, sekaligus Penyeimbang kehidupan semestinya menjadi termanifestasikan dalam perilaku hidup sehari-hari manusia. Ketimpangan-ketimpangan serta kesalahpahaman sebagian kelompok dalam suatu agama semestinya tidak memancing untuk berlaku beringas seakan keberhakan justifikasi kebenaran hanya di tangan satu kelompok. Prinsip dinamitas dan fleksibilitas keberagamaan dalam Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt menjadi salah satu kunci keterbukaan dan kelapangan pemahaman dan praktek keagamaan. 36 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan; Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad xx (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. 238 178 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Sebaliknya pendekatan sempit dan kaku terhadap agama yang mengatasnamakan purifikasi al-Qur’an dan hadis dari berbagai khurafat dan bid’ah nampaknya perlu ditinjau kembali sebab meski dibenarkan -menurut versi pendukungnya- namun tampak dari karakter pembawaannya termasuk dalam kategori pemaksaan yang berakibat pada munculnya kesenjangan baru yang mungkin akan jauh lebih ekstrem. Teologi sosial, yang notabene dekat dengan alam manusia, diupayakan mampu menjembatani kepayahan tersebut dengan menghadirkan suasana keberagamaan yang ramah dan harmonis tanpa harus meninggalkan nilai-nilai pokok ketauhidan. F. Penutup Berbagai kasus kemanusiaan yang sementara ini tampak di hadapan kita merupakan salah satu fenomena gejala minimnya aktualisasi kesadaran akan akhlak ketuhanan yang selama ini melulu diperbincangkan secara panjang lebar di atas langit dan sangat sedikit sekali berhubungan dengan hal-hal yang bersifat antroposentris. Teologi sosial yang membawa misi membumikan kalam sebagai manifestasi akhlak ketuhanan muncul sebagai salah satu tawaran apik akan problematika tersebut. Teologi sosial pada dasarnya adalah sebagai upaya untuk menciptakan paradigma dalam paham keagamaan yang memposisikan dimensi transenden sebagai seorang hamba dan antroposentris sebagai seorang khali>fah Alla>h fi al-ard}. Tugas kehambaan manusia secara niscaya tidak dapat menafikan realita yang ada di sekitarnya. Sedang martabat kekhalifahannya menuntut aktualisasi ide-ide ketuhanannya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Karena bagaimanapun pemahaman keagamanan umat mengenai ketuhanan akan bermuara pada satu tujuan, yaitu membentuk watak dan tabiat manusia yang memiliki sikap mental dan perilaku yang baik (al-akhlaq al-karimah), manusia yang bermoral, dan memiliki etika serta sopan santun, baik terhadap diri pribadi, orang lain, lingkungan, dan tentunya terhadap Tuhan. Teologi sosial dalam realitasnya akan mewarnai wajah kalam yang selama ini cenderung sibuk ‘membela Tuhan’ dengan wajah barunya bergeser menjadi teologi yang ‘membela manusia’ dalam kilauan sinar Ilahi. Teologi sosial, yang dekat dengan alam kemanusiaan, diupayakan juga mampu menjembatani kebuntuan pemikiran Islam yang kaku dan cenderung fanatis sempit dengan menghadirkan suasana keberagamaan yang ramah Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 179 dan harmonis tanpa harus meninggalkan nilai-nilai pokok ketauhidan. Hal ini tidak lain supaya keimanan kepada Allah Swt sebagai pondasi keberagamaan termanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebajikan dalam kehidupan sehari-hari; kepedulian terhadap keadilan sosial, penyelesaian permasalahan dan konflik keagamaan, pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup umat manusia secara merata dan sebagainya. Daftar Pustaka Al-Ittihad Al-Islamiy li Ulama al-Muslimin. Al-Misaq Al-Islamiy terj. Bukhari Yusuf dkk., "25 Prinsip Islam Moderat". Jakarta: Al-Markaz Al-Istisyar li Al-Syari'ah, 2008. Amstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun terjemah Zaimul Am. Bandung: Mizan Pustaka. 2004. A'la, Abd. Pembaruan Pesantren.Bantul: Pustaka Pesantren. 2006. Bakar, Osman. Tauhid dan Sains; Esai-esai tetang Sejarah dan Filsafat Sains Islam terjemah Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah. 1995. Budiardjo, Mirian. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1999. Esha, Muhammad In’am. Teologi Islam; Isu-isu Kontemporer (Malang: UIN Malang Press. 2008. Al-Faruqi, Isma’il Raji. Tauhid terjemah Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka, 1988. Haq, Hamka. Islam; Rahmah untuk Bangsa. Jakarta: Rakyat Merdeka Books. 2009. ‘Imarah, Muhammad. al-Isla>m wa H{uqu>q al-Insa>n D{aru>ra>t la> H{uqu>q. Kuwait: ‘Alam al-Mu’arrafah. 1985. ‘Imarah, Muhammad. Hal al-Isla>m Huwa al-H{all? Lima>z\a> wa Kayfa?. Kairo: Dar al-Syuruq. 1968. Madjid, M. Nurcholis dkk. Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. 180 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan. 2000. Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Perbandingan. Yogyakarta: UI Press. 2006. Sejarah Analisa Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press, jilid I. 1985. Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan; Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2004. Shihab, Alwi. Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen” di Indonesia. Mizan: Bandung, 1998. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1994. Shihab, M. Quraish. Menyingkap Tabir Ilahi; Al-Asma' al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati, 2006. Shihab, M. Quraish. Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena. Tangerang: Lentera Hati. 2011. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. 2007. Al-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad. Al-Milal wa Al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr. 1425-1426 H/2005 M. Syakur, M. Amin dkk., Teologi Islam Terapan (Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme Kehidupan Modern). Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2003. Syam, Nur. Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-agama: Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama dalam "Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer" editor Ridlwan Nasir. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, Tt. Syukur, Muhammad Amin. Tasawwuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. Syukur, Muhammad Amin. Tasawwuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipilner; Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Yogyakarta: Qirtas. 2004. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial | 181 Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantara, 2001. Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute. 2006. Wahid, Mushtofa dan Abdul. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Zaqzuq, Muhammad Hamdi. al-‘Aqi>dah al-Di>niyyah wa Ahammiyatuha fi> H{aya>h al-Insa>n (Kairo: Majalliyyah al-Azhar al-Mahalliyyah. 2002 M/1415 H. 182 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 RADIKALISME AGAMA PENGHAMBAT KEMAJUAN PERADABAN Arif Nuh Safri Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo [email protected] Abstrak Exclusivism in religion is one factor that is closely related to the emergence of religious radicalism or violence. Exclusivity is also of course a poor indicator of human civilization caused by social empathy is still thin. Thus, it is clear that such a religious pattern is built with an exclusive insight anyway. Through this article, the author would like to express that violence in any form is a major obstacle in achieving an advanced civilization, or at least reach back civilization achieved by the Prophet as a carrier Muhammmad treatise. In addition, this article also emphasizes that Islam is not a religion that teaches violence exclusively. Kata kunci: Exclusivism, Retarder, Civilization A. Pendahuluan adikalisme atau kekerasan sebenarnya muncul dari sikap eksklusif pada agama sendiri. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghayati agama menjadi kurang dan apalagi untuk menghidupkannya.1 Islam sebagai agama, dengan demikian harus dihayati dan dihidupkan dalam diri penganutnya dengan cara memahami cita-cita R 1 Menurut Hazrat Inayat Khan, banyak orang yang mengaku sebagai Muslim, Nasrani, Yahudi serta meyakininya sebagai agama paling benar, namun lupa untuk menghidupkannya. Menurutnya setiap orang harus memahami bahwa agama punya tubuh dan jiwa. Oleh sebab itu, apapun agamanya, penganutnya harus mampu menyentuh seluruh agamanya baik tubuh dan jiwanya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi antar pemeluk agama untuk saling menyalahkan, karena semuanya tidak bisa dinilai dari luar individu. Sesungguhnya sikap manusia terhadap Tuhan dan kebenaran sajalah yang bisa membawanya lebih dekat pada Tuhan yang menjadi ideal setiap manusia. Lebih lanjut bisa dilihat dalam Hazrat Inayat 184 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Nabi Muhammad sebagai pembawanya, yaitu menebarkan kasih sayang dan menyempurnakan akhlak. Banyak individu yang mengaku mengikuti Nabi namun sangat sedikit yang paham dengan cita-citanya. Sebelum menjelaskan masalah ini, perlu dikemukakan bahwa sikap eksklusifisme dalam beragama adalah akibat dari pemahaman yang dibangun secara eksklusif pula. Sehingga hal semacam inilah yang menyebabkan adanya truth claim antaragama dan bahkan antarpaham keagamaan. Oleh sebab itu, dalam memahami teks keagamaan harusnya bisa lepas dari ideologi tertentu. Karena interpretasi pada teks keagamaan akan campur aduk dengan kepentingan kelompok seperti kepentingan politik jika telah dibangun dengan sebuah ideologi tertentu pula.2 Begitu banyak bertebaran ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bukti kasih sayang Tuhan dan Rasul-Nya terhadap makhluknya, seharusnya menjadi acuan untuk mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi problematika kehidupan yang penuh dengan keberagaman ini. Bagi penulis sendiri, kasih sayang dan kelemah lembutan menjadi sebuah kebutuhan primer yang harus tetap dijaga. Karena bagaimana pun juga pluralitas dalam dunia sosial ini adalah sebagai sunnah dari Allah sang Maha Pencipta alam. Oleh sebab itu, setiap individu khususnya manusia memiliki beban moral dan beban teologis untuk mengemban amanah sebagai khalifah dari Allah di muka bumi ini. Jika keberagaman adalah sunnah Allah atau sebuah keniscayaan, apakah hal ini akan dihadapi dengan sikap ego yang keras serta perasaan yang selalu menjadi yang paling benar? Perlu disadari bahwa dengan kerahmatan dan kasih sayang Nabi Muhammad yang universal, dalam periode dua puluh tiga tahun, Nabi meraih kesuksesan tidak hanya mempersatukan Arabia di bawah panji Islam, tetapi bahkan membangun Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta: Putra Langit. 2003), hlm. 10-11. 2 Hilman Latief. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. (Jogjakarta: eLSAQ press. 2003), hlm. 135. pendapat yang sama juga dilontarkan oleh M. Masyhur Amin. Ia mengatakan bahwa posisi agama ditengah-tengah pergumulan ideolofi-ideologi besar sangat tidak menguntungkan. Lihat M. Masyhur Amin. “Islam dan Transformasi Budaya (Tinjauan Diskriptif Historis)” dalam M. Masyhur Amin, dkk. Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik. (Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1993), hlm. 3. Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 185 komunitas religius berwawasan global, dimana beliau akan selalu tetap akan menjadi contoh yang ideal bagi perilaku dan perbuatan manusia.3 Cita-cita yang dibangun oleh Rasul selama kurang lebih dua pulah tiga tahun dengan kasih sayang, ternyata mendapat hambatan pada masa sekarang ini khususnya, walaupun sebenarnya kekerasan dan sikap fundamentalisme telah lama berlaku di dunia Islam itu sendiri. Sebut saja misalnya bentuk kekerasan yang dilakukan untuk melawan hegemoni Barat oleh Usamah bin Laden, Imam Samudra, Amrozi, Abu Dujana dan lainnya dengan tegas mengatas namakan Islam dalam meledakkan simbol-simbol “kekafiran”. Dalam skala nasional, kekerasan yang dialami oleh jama’ah Ahmadiyah, peristiwa bom Bali, hotel JW. Mariot, serta berbagai bentuk kekerasan ormas Islam seperti di setiap tahun, khususnya menjelang bulan Ramadhan. Penolakan masyarakat atas ibadah Gereja di Jawa Barat hingga penikaman terhadap seorang Pendeta ketika akan melaksanakan ibadah, pembakaran Pesantren Syi’ah di Madura, pembubaran atas seminar dan bedah buku Irshad Manji di Yogyakarta hinggga pengrusakan pada kantor LKiS, adalah contoh segelintir kekerasan yang dilakukan oleh kelompokkelompok tertentu atas nama agama.4 3 Seyyed Hossein Nasr. Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Terj. Koes Adiwidjajanto. (Surabaya: Risalah Gusti. 2003), 6. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh Muslim Syi'ah moderat, seorang tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Lihat dalam artikel yang ditulis oleh Anis Malik Toha, Phd. (Dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia). “Melacak Pluralisme Agama”, dalam http://hidayatullah.com/opini/opini/1322-melacak-pluralisme-agama. Diakses tanggal 20 Desember 2012. 4 Dalam Laporan The Conditon of Religious and Faith Freedom in Indonesia, Institut Setara untuk Demokrasi dan perdamaian mencatat ada 265 kasus kekerasan yang mengatas namakan agama pada periode Januari-Desember 2008. Artikel ini ditulis oleh Maria Hartiningsih “Pluralisme: Tuntunan Etik yang Merangkul” dalam Kompas, Sabtu 08 Mei 2010, hlm. 35. Jajang Jahroni mencatat sebagaimana dikutipnya dari data Wahid Institue dalam The Jakarta Post edisi 21 Agustus 2009, bahwa pada tahun 2008 terjadi kekerasan atas nama agama sebanyak 197, kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 232 kasus. Lihat Tragedi Kekerasan Atas Nama Agama, Kapankah Akan Berakhir? Dalam http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/100915120055/limit/0/TragediKekerasan-Atas-Nama-Agama-Kapankah-Akan-Berakhir.html. Diakses tanggal 24 Desember 2012. Kemudian data selanjutnya mencatat bahwa kekerasan atas nama agama masih terjadi di tahun 2010 sekitar 117 kasus. Lihat dalam http://www.suarapembaruan.com/home/2010-terjadi-117-kasus-kekerasan-atas-namaagama/2504. diakses tanggal 24 Desember 2012. 186 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Keberagamaan yang fundamentalisme tersebut adalah model keberagamaan tanpa bekal ilmu pengetahuan. Ahmad Wahib dalam tesisnya memprediksikan bahwa kegagalan umat Islam selama ini disebabkan karena mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran Islam. Ketidakpekaan terhadap nilai-nilai ini menyebabkan umat Islam mengalami ketertinggalan yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik.5 Di samping itu, model keberagamaan yang lebih mengedepankan kekerasan dalam menyikapi keberagamaan akan menjadi penyebab hilangnya citra agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin dan semakin kehilangan relevansinya. Model keberagamaan yang lebih mengedepankan niat baik tanpa didukung oleh pengetahuan terhadap agama lebih sering menimbulkan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Model keberagamaan “orang baik” ini adalah model keberagaman yang hanya berjama’ah saat beribadat, namun menjadi pesaing dan musuh dalam kehidupan sosiohistoris. Bagi penulis sendiri, kekerasan dalam bentuk apapun akan menjadi hawa panas yang menyebabkan orang yang berada disekitarnya merasa gerah, waswas dan bahkan takut terserang oleh kekerasan tersebut. Pada akhirnya orang disekitarnya juga lama kelamaan akan terbakar dan kemudian akan berusaha menjauhi agama Islam. Resiko semacam ini tentunya tidak pernah kita harapkan sebagai bagian dari agama Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pluralisme dan kemanusiaan tetap harus menjadi sikap yang dibangun oleh setiap individu dalam beragama, karena baik pluralisme dan kemanusiaan adalah cita-cita yang dibangun oleh al-Qur’an melalui asas rahmatan li al-‘alamin (kasih sayang bagi semesta alam). B. Islam Bukan Agama Eksklusif Ada banyak ayat al-Qur’an yang dianggap sebagai dalil atau hujjah yang dijadikan sebagai legitimasi eksklusifitas beragama. Kondisi semacam ini pada hakikatnya disebabkan oleh pembacaan terhadap teks al-Qur’an yang ahistoris atau dengan kata lain tanpa memperhatikan konteks yang melingkupi ayat-ayat tersebut.6 5 Moh. Shofan. Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme…, hlm. 103. Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Press, 2002), hlm. 11-13. 6 Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 187 Kata al-silm yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 208 adalah salah satu ayat legitimasi kebenaran tunggal agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan atau utuh, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Ada perbedaan pendapat mengenai sebab turun ayat ini, pertama, diriwayatkan oleh Abu Salih, meyakini bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ahli Kitab yang beriman pada Nabi Muhammad, namun masih mengagungkan hari Sabtu dan berbagai hal yang dimuliakan dalam tradisi Ahli Kitab, sehingga melalui ayat ini, mereka diperintahkan untuk meyakini Islam secara utuh7. Kedua, diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas dan al-Dahhak berkaitan dengan Ahl Kitab yang belum beriman dan diperintahkan untuk masuk Islam. Ketiga, sebagaimana diriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada orang-orang muslim agar meyakini Islam secara utuh dan melaksanakan segala syari’atnya secara utuh.8 Dengan demikian turunlah ayat ini sebagi respon terhadap pola keberagamaan mereka yang tidak utuh. Kata al-silm menurut sebagian ahli tafsir adalah agama Islam. Namun demikian, sebagaimana kata salam, kata al-silm juga sering diartikan damai dan pada hakikatnya Islam adalah agama damai. Kemudian kata al-salm berarti perdamaian dan mencari selamat (istislam).9 Bagi Ibn ‘Asyur sendiri, term al-silm dalam QS. al-Baqarah, 2: 208 lebih dimaknai dengan kesejahteraan (al-musalamah) perdamaian (al-sulh) dan tanpa ada pembunuhan (dun al-qital). Dalam hal ini tidak perlu 7 Muhammad Yusuf Abu Hayyan al-Andalusi, Tasfir Bahr al-Muhit (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 1993), jilid 2, hlm. 129. 8 Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir. al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media, jilid 1, hlm. 200. 9 al-Baidawi. Tafsir al-Baidawi al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), jilid 3, hlm. 516. 188 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 diperdebatkan karena sangat sesuai dengan makna dasar kata yang dipakai. Namun demikian, Ibn Asyur, juga mentolerir para mufassir yang memaknai al-silm agama Islam, walaupun menurutnya sangat tidak memililiki dasar atau hujjah yang kuat. Lebih jauh, Ibn ‘Asyur menambahkan bahwa ayat ini selayaknya dibawa pada makna denotasi, bukan pada makna qiyas (agama Islam).10 Barang siapa mencari agama selain agama al-islam (agama tauhid, tunduk dan patuh pada Allah), maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali ‘Imran, 3: 85) Ayat yang menjadi pemicu eksklusifitas keberagamaan Islam (pengikut Muhammad) selanjutnya adalah pengakuan al-Qur’an terhadap kebenaran tunggal agama Islam sebagai jalan yang diterima oleh Allah. Dengan ayat ini, para garis keras berargumen bahwa teologi dan ritual Islam adalah yang paling benar. Dalam waktu yang sama pula, para pengikut garis keras tidak menaruh kompromi serta menolak secara mentah-mentah segala bentuk agama dan kepercayaan serta berbagai ritual lainnnya karena dianggap salah atau tidak benar di sisi Allah swt.11 Islam sebagai agama, seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah ajaran yang berupa dogma semata yang sudah bersifat formal. Karena ketika Islam dianggap sebagai agama formal yang bersifat dogmatif, maka dikhawatirkan ajaran Islam akan menjadi sangat kaku. Islam adalah agama12 10 Muhammad al-Tahir Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisis: al-Dar alTunisiyah li al-Nasyr, 1984), jilid 2, hlm. 274. 11 Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Press, 2002), hlm. 12. 12 Konotasi penyebutan “agama” dapat berarti macam-macam. Sering kali agama dianggap sekedar kelembagaan, ritus-sritus agama, dogma agama, tradisi agama dan lainlain. Adapun M. Amin Abdullah memaknainya sebagai nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, moralitas, dan etika yang dibangun oleh agama-agama dunia, khususnya Islam. Dalam M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 92. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Komarudin Hidayat, agama adalah sebuah kata kerja yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan sehingga agama tersebut adalah sebuah sistem yang sempurna yang telah diwahyukan dan kemudian dijadikan sebagai wujud ketaatan dan kepasrahan terhadap Tuhan Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 189 yang diembankan oleh Tuhan kepada Muhammad saw., untuk diajarkan dan ditebarkan bagi seluruh semesta alam, sebagaimana tertuang dalam Firman Allah dalam QS. al-Anbiya’: 21-107.13 Dengan demikian ajaran Islam yang bersifat eksklusif tidak memiliki dalih yang bisa dibangun oleh penganutnya yang fundamentalis, dan radikalis. Ajaran Islam bersifat universal yang menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama, karena bagaimanapun, pluralisme adalah sebuah aturan Tuhan yang tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.14 Secara semiotik sendiri, term Islam berasal dari kata salima-yaslamusalamatan wa salaman yang artinya adalah bebas dari kerusakan zahir dan batin.15 Kemudian menjadi aslama-yuslimu menjadi bentuk kata kerja yang membutuhkan objek. Dari term salima juga didapatkan kata sullam yang artinya wasilah atau tangga untuk menuju tempat tinggi sehingga mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, kedamaian.16 Jika Islam dimaknai seperti ini, maka seorang muslim selayaknya harus mampu memberikan kedamaian dan keselamatan bagi dirinya sendiri, kemudian untuk menyempurnakan keislamannya, dituntut pula untuk memberikan kedamaian dan keselamatan bagi orang lain. … Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Menurut ‘Abdul Mustaqim, ayat ini dalam beberapa penafsiran klasik juga sudah bisa memunculkan akar-akar kekerasan. Dalam hal ini beberapa untuk memperbaiki hubungan kegiatan intelektual yang membangun pemahaman filosofis, kesadaran lingkungan, dan yang terpenting, merupakan seorang yang realis. Lihat dalam Quraisy Shihab dkk. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 45. 13 QS. al-Anbiya: 21-107. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. 14 Ajaran ini sesuai dengan QS. al-Kafirun: 109:6. “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” 15 al-Ragib al-Asfahani. Mu’jam Mufradat..., hlm. 268. 16 Ibid..., hlm. 280. 190 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 literatur kitab tafsir klasik, seperti tafsir Ibn Kasir dan al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini sebagai legitimasi dari Allah yang menekankan bahwa satu-satunya agama yang benar dan diterima oleh Allah adalah Islam. Bahkan lebih dari itu, kedua penafsir ini justru memahami bahwa ayat ini juga sebagai sebuah legitimasi untuk menafikan eksistensi agama lain. Yahudi dan Nasrani dinilai sebagai agama yang harus dihapuskan oleh Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. Penafsiran seperti itu menurut hemat penulis bisa berpotensi terhadap upaya pemaksaan kepada seseorang untuk menganut memeluk Islam, dan jelas bertentangan dengan sarih al-nas (teks al-Qur’an secara tegas).17 Penafsiran yang hampir mirip bisa ditemukan dalam karya al-Mawardi, yang dimaksud dengan inna al-dina ‘inda Allah al-islam adalah yang meyakini agama Islam harus bebas dari segala yang dilarang-Nya. Atau juga sesungguhnya ketaataan yang diterima Allah adalah al-islam. Sementara makna al-islam mencakup keselamatan dan penyerahan jiwa secara total dan mutlak pada Allah. Oleh sebab itulah Allah menegaskan kembali bahwa hanya Islam agama yang diterima oleh Allah swt. Karena hanya Islamlah satu-satunya agama yang mengakui ketauhidan-Nya, jauh dari kesyirikan dan jauh dari prilaku pengakuan terhadap bentuk tuhan-tuhan yang lainnya.18 Namun dari beberapa penafsir di atas, menarik untuk dicermati tafsir al-Manar yang menjelaskan bahwa al-din secara bahasa adalah al-jaza’ atau balasan, ketaatan, ketundukan, atau segala penyebab adanya balasan. Selain itu, din dimaknai juga dengan segala bentuk taklif yang dibebankan kepada hamba-hamba Allah, sehingga maknanya hampir mirip dengan millah atau syari’at. Sementara al-islam berakar dari kata aslama yang artinya adalah khada’a atau istaslama (menundukkan diri dan menyerahkannya). Bisa juga al-islam dimaknai dari kata salima atau salama yang dimaknai sama dengan al-sulh (perdamaian) atau al-salamah (keselamatan dan kesejahteraan). Namun demikian, ketika bentuk salama atau salima menjadi sallama, maka maknaya tidak bisa lepas dari unsur ketulusan dan keikhlasan. Dengan berbagai macam pemaknaan bahasa semacam ini, al-islam dimaknai sebagai din yang hak. Nabi Ibrahim dan beberapa nabi terdahulu juga disebut 17 Abdul Mustaqim, “Akar-akar Radikalisme dalam http://basthon.multiply.com/journal, diakses tanggal 18 Juli 2011. 18 al-Mawardi, al-Nakt wa al-‘Uyun..., jilid 1, hlm. 222. Tafsir” dalam Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 191 membawa ajaran al-islam, yaitu ajaran yang mengajarkan ketulusan dan keikhlasan serta kemurnian ajaran tauhid sebagai ruh segala perbuatan dan amal. Dalam pada itu, seorang muslim hakiki dalam al-Qur’an adalah seseorang yang suci dan murni dari segala bentuk kesyirikan pada Yang Maha Pengasih, selain itu juga tulus dalam amal perbuatan yang didasari keimanan pada saat kapan pun dan dimana pun berada. Intinya, al-islam berfungsi dua hal, yaitu: pertama, pensucian ruh dan pemurnian akal. Kedua, memperbaiki hati dalam menciptakan niat yang tulus dalam segala perbuatan baik perbuatan pada Allah maupun perbuatan pada manusia. Sehingga dengan kedua fungsi ini pulalah seseorang akan mencapai fitrah dan ruh dari kata al-islam.19 Jadi dalam hal ini, Islam tidak dimaknai sebagai eksklusifitas keagamaan, namun dimaknai sebagai bentuk ketauhidan yang murni. Bahkan menurut Muhammad Abduh, makna alislam ini telah banyak dilupakan oleh orang-orang muslim sehingga sangat bersifat ekslusif dan menjadikannya bermakna golongan tertentu. Padahal al-islam tidak bisa disandarkan kepada ajaran Nabi Muhammad semata. Demikian juga tidak bisa disandarkan kepada kedua agama sebelumnya, yaitu Yahudi dan Nasrani.20 Melanjutkan argumen Abou El Fadl, orang-orang yang beraliran keras memahami al-Qur’an secara literal dan ahistoris, sehingga kekufuran harus dilawan dengan perang. Itulah logika yang disimpulkan dari pemahaman ayat secara tekstual dan literal. Wajar jika cara berpikir seperti itu kemudian melahirkan produk-produk tafsir yang mengarah kepada radikalisme Islam. Bila Islam diterjemahkan dengan kedamaian, dan keselamatan maka terjemahan ayat tersebut adalah “sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah agama kedamaian dan keselamatan.” Dengan demikian, seorang muslim adalah orang yang menganut agama yang mengedepankan kedamaian dan perdamaian dengan seluruh umat manusia bahkan dengan alam sekalipun. Sesungguhnya, fenomena agama dan beragama telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia dan akan terus berlanjut sampai akhir 19 Muhammad Rasyid Rida’, Tafsir al-Manar (Mesir: Dar al-Manar, 1367 H), jilid 3, hlm. 257-258. 20 Ibid..., jilid 3, hlm. 330. 192 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam tentang puluralisme, kita harus menelaahnya dari Muhammad saw., dan Islam dalam kehidupan umat manusia. Sejarah mencatat bahwa Muhammad saw., diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dengan membawa risalah Islamiyah, dengan misi universal. Agama Islam adalah agama damai yang sangat menghargai, toleran dan membuka diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sangat banyak ditemukan di dalam al-Qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.21 Selain Allah juga menganugrahkan nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”.22 Pluralisme agama mengajak keterlibatan aktif dengan orang yang berbeda agama tidak sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu memahami akan substansi ajaran agama orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi sebagai paradigma yang efektif bagi pluralisme sosial demokratis di mana kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang yang berbeda bersedia membangun sebuah komunitas global. Secara khusus Islam, al-Qur’an menganut prinsip adanya realitas tentang pluralitas agama, seperti QS. alBaqarah: 2: 62. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Kembali lagi Allah melalui ayat ini, menekankan bahwa yang mendapatkan ketenangan adalah yang melakukan aktualisasi diri atau amal saleh. Tentunya harus dilandasi kasih sayang dan kemuliaan akhlak. Malah secara tegas pula Allah menganjurkan setiap penganut agama untuk saling berlomba dalam kebajikan. Sebagaimana dalam QS. al-Mai’dah: 5: 48, 21 22 QS. al-Kafirun: 109: 6. QS. al-Baqarah: 2: 256. Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 193 “… untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. C. Sinkronisasi Iman dan Amal Saleh: Manifestasi Makhluk Sempurna Sebelum lebih jauh membahas nilai universalitas Iman, penulis merasa perlu untuk melampirkan ungkapan Yusuf al-Qaradawi mengenai pemaknaan substansial Iman itu sendiri sebagaimana dalam bukunya yang berjudul The Impact of Iman in the Life of Individual. “Iman is the power of morals and morals of power, the soul of life and life of the soul, beauty of the world and the world of beauty, the light of the way and the way of light. It short, it is necessity of human life: for the individual to be secure and happy and to develop himself, and the society to be stable, coherent, and able to continue succesfully and effectively ”23 “Iman merupakan kekuatan moral dan moral dari kekuatan, jiwa kehidupan dan kehidupan jiwa, keindahan dunia dan dunia dari keindahan, cahaya penerangan jalan dan jalan untung penerangan. Singkatnya, iman adalah kebutuhan mutlak dalam kehidupan manusia: baik untuk individu dalam mencapai kenyamanan dan kebahagiaan serta untuk mengembangkan diri, dan menjaga stabilitas sosial yang saling terkait, dan pada akhirnya mencapai kesuksesan dan efektifitas.” Term iman berakar dari term amana, atau alif-mim-nun. Dari term ini tercipta berbagai macam derivasinya dalam al-Qur’an, sehingga terulang sebanyak 763 kali, di antara sasaran term ini, setidaknya seruan terhadap 23 Sheikh Yusuf al-Qaradawi, The Impact of Iman in the Life of the Individual, (Kairo: Al-Falah Foundation, 2002), hlm. 207. 194 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 orang beriman untuk beramal saleh dalam al-Qur’an terulang sebanyak 89 kali.24 Melalui ayat-ayat tentang iman di dalam al-Qur’an, terbukti menetapkan hak-hak dasar kemanusiaan universal yang harus diperhatikan dan dihormati dalam semua keadaan. Sehingga hak-hak ini dapat diwujudkan dalam kehidupan seseorang sehari-hari dan kehidupan sosial. Ayat-ayat yang berkaitan dengan keimanan memberikan perlindungan hukum dan sistem moral yang sangat efektif dalam berbagai hal. Segala sesuatu yang meningkatkan kesejahteraan secara individu maupun masyarakat secara moral akan dianggap baik, sebaliknya dan apa pun yang merugikan kesejahteraan secara moral akan dipandang buruk. Dalam ayat-ayat iman, diberi gambaran yang indah, dimana agama yang dilakukan mematuhi peraturan yang bermanfaat dengan cara memperbaiki pandangannya pada kasih Tuhan dan mengasihi kemanusiaan. Iman seorang individu harus benar dan tulus serta harus siap untuk menunjukkan dalam perbuatan amal untuk orang lain dan dengan hidup sebagai warga yang baik serta bertindak sebagai pendukung organisasi sosial. Akhirnya, iman individual kita sendiri harus tetap teguh dan tak tergoyahkan dalam semua keadaan. Hal ini juga memberikan inti ajaran agar seseorang mengerti dan faham pada sekitar mana seorang individu dan juga sebagai kode moral masyarakat harus berputar. Sebelum meletakkan segala perintah moral, Islam atau keimanan berusaha untuk menanamkan kuat dalam hati manusia berupa keyakinan bahwa urusannya adalah dengan Allah, yang Maha Melihat di setiap saat dan di segala tempat. Keimanan mengajarkan bahwa tujuan dari hidup seseorang adalah untuk hidup yang berkenan kepada Allah. Keimanan dalam ayat-ayat tentang iman telah mengajarkan umat manusia standar tertinggi kode moralitas, menyediakan individu dengan cara yang tak terhitung banyaknya untuk memulai atas dan kemudian melanjutkan jalan evolusi moral. Manfaat lain dari keimanan bertahap internalisasi dari standar moral, untuk kemudian berusaha mematuhi Allah secara sukarela. Sebuah keyakinan individu dalam Tuhan, ketika 24 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an, (tt: Dar alFikr, 1981), hlm. 81-93. Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 195 ditambahkan dengan kepercayaan pada hari kiamat, adalah faktor pendorong yang kuat untuk hidup bermoral tinggi. Pada al-Qur’an surat al-Tin jelas sekali penegasan dari Allah swt, bahwa singkronisasi iman dan amal saleh merupakan syarat kesempurnaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang disebut sempurna pula. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putusputusnya. Menyikapi ayat ini, seorang mufassir, al-Razi berkata bahwa makna kesempurnaan manusia dalam ayat ini adalah dari segi penciptaan. Sebut saja contohnya bisa makan pakai tangan. Dan kesempurnaan lainnya yang penting adalah memiliki akal yang sehat, pemahaman yang kuat, adab, ilmu. Kesempurnaan selanjutnya adalah kebaikan batin. Singkatnya bahwa al-Razi menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan pada bentuk ciptaan, akal serta kemurnian batin. Dengan kata lain kesempurnaan akan dicapai dengan tiga aspek, yaitu fisik, akal dan batin.25 Sementara itu, Ibn ‘Asyur, dalam tafsirnya, bahwa amal saleh merupakan bagian dari sebaik-baik ciptaan setelah datangnya syari’at, karena amal saleh mampu menambah kualitas fitrah ketuhanan manusia yang meneduhi iman dengan akhlak yang mulia.26 Dengan demikian, yang paling mendasar dari orang beriman itu bukanlah percaya atu tidaknya seseorang pada Allah, namun bagaimana ia merepresentasikan keimanan tersebut, sehingga dengan keimanan pada Allah ia mampu membebaskan diri dari segala yang mengotori kemurnian nilai keimanan tersebut. Bagi Nurcholis Madjid, keimanan yang murni selayaknya menciptakan kebebasan diri dari berbagai tirani yang ada, sekaligus dengan keimanan 25 Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Gaib..., jilid 33, hlm. 11. Muhammad al-Tahir Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisis: al-Dar alTunisiyah li al-Nasyr, 1984), jilid 30, hlm. 428. 26 196 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 tersebut mampu menciptakan pembebasan pada aspek sosial, karena dengan keimanan ini menciptakan tauhid uluhiyah (penegasan bahwa yang boleh disembah hanyalah Allah), dan tauhid rububiyah (penegasan bahwa Allah adalah Tuhan Yang maha Esa, yang mutlak secara transendental).27 D. Peradaban “Iqra’” Sebagai Empati Sosial Allah Pada Makhluk-Nya Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Surat al-‘Alaq ayat 1-5 diyakini dalam sejarah Islam sebagai wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril.28 Ini merupakan indikasi yang sangat fundamental bahwa untuk membangun sebuah peradaban baru di tengah-tengah bobroknya kehidupan masyarakat yang penuh dengan kejahiliyahan adalah dengan menumbuhkan peradaban “iqra” atau membaca. Namun demikian, hal penting yang harus digaris bawahi adalah, Jibril tidak mungkin turun pada saat membawa wahyu al-Qur’an dengan membawa teks atau pesan dari Allah yang tertulis di atas lembaran kertas, atau kain seperti yang ada pada saat ini, sehingga tentunya Nabi Muhammad ketika itu diperintahkan oleh Allah melalui malaikat Jibril untuk membaca fenomena sosial yang terjadi pada saat itu yang penuh dengan kejahiliyahan29, serta fenomena 27 Nur Kholis Madjid, Islam: Agama dan Peradaban,(Jakarta Timur: Paramadina, 2005) hlm. 80-85. 28 ‘A’isyah bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt ), jilid 2, hlm. 13. Lihat juga dalam Ahmad bin Mustafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, (Riyadh, Dar Tadmuriyyah, 2006), hlm. 1448, jilid 3 29 Berbagai bentuk kejahiliyahan yang terjadi pada masa itu adalah, perbudakan, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, posisi perempuan yang disubordinasikan di bawah laki-laki, dan bahkan bisa jadi sebagai harta warisan ketika ditinggal meninggal oleh suaminya, bentrok atau perang antarkafilah, kecurangan dalam perniagaan, penindasan Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 197 alam yang ada di sekitar beliau. Oleh sebab itulah, tentu tidak salah ketika M. Quraish Shihab memaknai “iqra’” bukan sekedar membaca, namun harus dimaknai dengan menelaah.30 Allah mengajarkan makhluk-Nya untuk menolak perlakuan atau prilaku hidup orang-orang Jahiliyah PraIslam yang memandang anak perempuan sebagai aib dan harus dibunuh atau dikubur hidup-hidup.31 Selain itu, perempuan juga seringkali dianggap sebagai makhluk hina dan sama kedudukannya dengan barang mati yang bisa diwariskan. Namun, Islam melalui wahyu al-Qur’an menentang keras praktek semacam ini dan menjamin hidup dan perlakuan yang baik.32 Lebih dari itu, Allah juga menjamin bahwa laki-laki dan perempuan yang melakukan amal baik akan mendapat ganjaran yang sama.33 Dalam pandangan Fakhr al-Din al-Razi ketika menyikapi dan menafsirkan kelima ayat ini sangat penting untuk direnungkan. Bagi alRazi, ayat ini merupakan indikasi bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang unik serta istimewa dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Manusia adalah terhadap golongan miskin, dan lain-lain. Ketika itu, wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak untuk mempergunakan harta istri tanpa persetujuannya. Baca Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al- Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 151. 30 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an 31 QS. al-Nahl, 16: 58-59. Untuk menggambarkan kondisi ini, Hamka menjelaskan bagaimana tradisi penguburan hidup-hidup bayi perempuan itu berlangsung: “Pada masa itu, ketika perempuan hamil telah merasakan sakit karena akan melahirkan, keluarganya menggalikan lubang dan ia disuruh mengerjakan di muka lubang itu. Setelah bayi terlihat, maka akan dicek apakah ia perempuan ataukah laki-laki. Kalau ternyata perempuan, maka dibiarkan bayi itu lahir dan langsung masuk ke dalam lubang, dan lubang itu pun langsung pula ditimbun dengan tanah. Sebaliknya jika ternyata bayi itu laki-laki, barulah disambut dengan gembira. Lihat dan baca dalam, Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm. 22-23. 32 QS. al-Nisa’, 4: 19. Ketika itu, wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak untuk mempergunakan harta istri tanpa persetujuannya. Baca Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al- Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 151. 33 Lihat QS. al-Ahzab, 33: 35, QS. Ali ‘Imran, 3: 195, QS. al-Nahl, 16: 97, QS. Gafir, 40: 40, QS. al-Taubah, 9: 71, QS. QS. al-An’am, 6: 165, QS. al-Hujrat, 49: 13. 198 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Inilah yang membedakan manusia bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan Malaikat.34 Al-Razi menjelaskan bahwa penyebutan al-insan pada ayat ini adalah membuktikan adanya kekhususan manusia dibanding makhluk lainnya. Padahal ayat sebelumnya, dijelaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pencipta. Dengan demikian, manusia adalah makhluk paling sempurna sehingga dijadikan sebagai contoh. Menurut al-Razi ada dua kemungkinan yang meyebabkan manusia dalam surat ini disebut secara khusus. Kemungkinan pertama, pengkhususan ini disebabkan karena memang alQur’an diturunkan untuk manusia, atau kemungkinan kedua adalah karena penciptaan paling sempurna yang punya fitrah luar biasa. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa Allah mengaitkan antara ‘alaqah (segumpal darah) dengan al-qalam (pena). Lebih jelas al-Razi menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah yang diangap kotor dan rendah, kemudian akan menjadi mulia dengan al-qalam (pena). Oleh sebab itu, manusia yang mulia adalah manusia yang mampu mengangkat derajatnya dengan ilmu. Al-Razi juga menyatakan bahwa ayat ini menjadi peringatan besar bagi manusia bahwa ilmu adalah sifat manusia yang paling mulia.35 Untuk mempertajam pemahaman atas surat al-‘Alaq ayat 1-5 ini, menarik untuk memahami Tafsir bint al-Syati’. Menurut Bin al-Syati’, sebuah keanehan yang luar biasa, surat pertama yang diturunkan kepada Muhammad adalah perintah “iqra’” atau membaca, sementara Muhammad adalah seorang yang ummi dan hidup di tengah-tengah umat yang ummi juga. Kitab ini diturunkan sebagai mukjizat sejak 14 abad dimana sudah tidak ada lagi kitab diturunkan. Wahyu Nabi Muhammad diturunkan di tengah-tengah umat yang penuh dengan kebodohan (baduwi), lingkungan yang dipenuhi dengan penyembahan berhala, kering dari tradisi peradaban 34 Jiwa Manusia Menurut Fakhruddin Al-Razi, dalam http://www.insistnet.com/index.php/option=com_content&view=article&id=94:jiwamanusia-menurut-fakhruddin-al-razi&catid=20:psikologi-islam&itemid=18. Diakses tanggal 28 Desember 2012. 35 Fakhr al-Din al-Razi. Mafatih al-Gaib. Al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media. Jilid 17, hlm. 105. Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 199 pemikiran.36 Oleh sebab itulah, menurutnya penting sekali untuk mengkomparasikan isi ayat ini dengan konteks turun tersebut. Setelah melihat dan mengkomparasikan ayat tersebut dengan konteks yang melingkupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat ini sebagai perintah bagi Muhammad untuk membaca kondisi Arab pra-islam yang penuh dengan kebodohan, dan kesesatan, mereka mengingkari ibadah kepada Tuhan yang hakiki serta beribadah kepada tuhan-tuhan yang mereka buat sendiri dari kayu, batu, dan tanah. Dalam sejarahnya juga kaum Yahudi di daerah selatan Hijaz yang tanahnya subur dan gemahripah melupakan Tuhan yang diajarkan oleh Nabi Musa a.s. serta menyembah tuhan mereka yang terbuat dari emas. Sementara itu, kaum Nasrani di daerah Syam dan Najran penuh dengan perpecahan dan konflik antar faham tanpa ujung dan henti, hingga antara golongan satu dengan golongan yang lain saling mengklaim kafir dan sesat. Sementara itu, di tempat lain kaum Majusi beribadah kepada Api. Kondisi dan realita semacam ini semualah yang membuat Muhammad merenung dan berfikir, sehingga beliau sering bertahannus ke gua Hira, hingga pada akhirnya Allah menurunkan wahyu kepadanya.37 E. Simpulan Dari pembahasan singkat di atas memperlihatkan bahwa keberhasilan Rasul dalam mengemban amanah dari Allah adalah sifat dan sikap rahmat dan kasih sayang dari Rasul. Dengan rahmat dan kasih sayang ini, Rasul telah berhasil menciptakan peradaban baru untuk menuju pencerahan di dunia Islam secara khusus dan di dunia secara universal. Dalam hal ini, rahmat yang ditawarkan oleh Rasul adalah ranah praksis, sehingga rahmat dan kasih sayang tersebut menjadi pijakan dalam hidup berdampingan penganut sesama agama, penganut antar agama, antar ras, suku dan pemahaman keagamaan. Tidak ada alasan dan dalih apapun yang mampu untuk dijadikan pegangan untuk menlegitimasi kekerasan dalam bentuk apapun juga, termasuk dalih agama. Islam adalah agama yang universal menjamin 36 ‘A’isyah bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt ), jilid 2, hlm. 15-16 37 Ibid, ..., hlm. 15-16. 200 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 kedamaian, kemanusiaan dan inklusifisme. Allah Yang Maha Kuasa sekalipun selalu mengedepankan sifat rahmat dan kasih saying dalam menghargai hamba-Nya, dan dengan alas an kemanusiaan pulalah Allah menurunkan wahyu untuk diemban oleh setiap Nabi yang diutus ke ummatNya. Prinsip moral yang bersifat universal semacam inilah yang harus ditanamkan dalam setiap individu sehingga mampu mengubah orientasi dalam hidup, mengubah mentalitas dan hati, serta menggerakkan setiap individu untuk menuju orientasi hidup yang baru yang penuh kedamaian dan kasih sayang. Pertanyaan selanjutnya adalah mana yang termasuk kategori primer atau skunder, kasih sayang atau kekerasan? Daftar Pustaka Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta: Putra Langit. 2003) Hilman Latief. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. (Jogjakarta: eLSAQ press. 2003) Nur Kholis Madjid, Islam: Agama dan Peradaban. Jakarta Timur: Paramadina, 2005. M. Masyhur Amin, dkk. Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik. (Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1993) Seyyed Hossein Nasr. Islam: Agama, Sejarah, dan Peradaban. Terj. Koes Adiwidjajanto. (Surabaya: Risalah Gusti. 2003) Anis Malik Toha, “Melacak Pluralisme Agama”, dalam http://hidayatullah.com/opini/opini/1322-melacak-pluralisme-agama. Maria Hartiningsih “Pluralisme: Tuntunan Etik yang Merangkul” dalam Kompas, Sabtu 08 Mei 2010. Tragedi Kekerasan Atas Nama Agama, Kapankah Akan Berakhir? Dalam http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/100915120 055/limit/0/Tragedi-Kekerasan-Atas-Nama-Agama-Kapankah-AkanBerakhir.html. http://www.suarapembaruan.com/home/2010-terjadi-117-kasus-kekerasanatas-nama-agama/2504. Arif Nuh Safri, Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban | 201 Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media. Imam Malik. Muwata’ Malik. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media. Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media al-Ragib al-Asfahani. Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an. (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah. 2004) al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab’i al-Masani. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media. Zuhairi Misrawi. al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah. 2007) Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah. (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa. 2007) al-Bagawi. Ma’alim al-Tanzil. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media. al-Zamakhsyari. al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media. al-Khazin. Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil. al-Maktabah al-Syamilah. Ridwana Media. ‘A’isyah bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, (Kairo: Dar alMa’arif, tt) Ahmad bin Mustafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, (Riyadh, Dar Tadmuriyyah, 2006) Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie alKattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996) Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Press, 2002) Muhammad Yusuf Abu Hayyan al-Andalusi, Tasfir Bahr al-Muhit (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993) Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir. al-Maktabah al-Syamilah, Ridwana Media al-Baidawi. Tafsir al-Baidawi al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar alTa’wil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996) 202 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Muhammad al-Tahit Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisis: alDar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984) M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) Quraisy Shihab dkk. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) Abdul Mustaqim, “Akar-akar Radikalisme http://basthon.multiply.com/journal, dalam Tafsir” dalam Muhammad Rasyid Rida’, Tafsir al-Manar (Mesir: Dar al-Manar, 1367 H) DIALOG INTERRELIGIUS-KULTURAL DAN CIVIL RELIGION (Studi atas Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) Muryana Fak Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected] Abstrac The disaster is not only a mere natural occurrence, but also due to the lack of awareness and understanding of one's environmental problems. This paper will review the ecological values contained in the Qur'an. In fact, the Qur'an has given a stern warning of not doing mischief on earth. In this regard, within the certain limits, the query is how religion (Islam) providing ecological value to the whole community through the Koran? Applying semantic-hermeneutical approach, the research results the concept that has been introduced by the Qur'an with various forms and models of word. With some verses that describe the ecological problems, the formulation can be used as 'green religion', namely religion that requires people to practice Islam stressing the integral relationship between faith and the environment (all natural). Moral-ethical action is not only related to human relations, but also with nature. Kata Kunci: al-Qur’an, Ekologis, Lingkungan, Bencana A. Pendahuluan ialog merupakan metode yang efektif dan tetap aktual untuk dikembangkan saat ini, terutama dalam hubungan antar agama. Hal ini ditunjukkan dengan muatan dialog yang selalu ada di dalam studi agama, baik pada level akademis maupun praktis. Dialog berperan mulai dari menyikapi suatu perbedaan hingga sebagai resolusi dalam konflik. Meskipun demikian, dialog tidak hanya pada lingkup hubungan antar agama semata, tetapi juga pada bidang kehidupan yang lain, seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Signifikasi dialog ini juga D 204 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 diakui oleh Demmy Antoh sebagai bagian dari manajemen konflik di Papua,1 Mashood A. Baderin untuk mempertemukan HAM dan hukum Islam dengan complementary approachnya,2 dan sebagainya. Pengakuan terhadap signifikasi dialog tersebut menunjukkan bahwa lingkup dialog tidak hanya pada satu bidang kehidupan saja, tetapi juga berlaku lintas bidang kehidupan bahkan menjadi sangat penting. Sebagaimana yang dilakukan oleh Pangestu dengan dialognya yang mempertemukan antara budaya (Jawa) dan agama (Islam dan Kristen). Dialog tersebut bermula dari kegelisahan pakde Narto yang menjadi kritik bagi keringnya agama dalam kepuasan “rasa”. Kemudian proses tersebut menjadi embrio berdirinya Pangestu. Berdasar pada uraian tersebut maka makalah ini mencoba untuk mengetahui relasi antara dialog interkultural-religius Pangestu terhadap kemunculan gerakan kebathinan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk mengetahui fungsi dialog yang dilakukan oleh Pangestu dan implikasi yang ditimbulkannya. Pangestu dan Gerakan Kebathinan Kebathinan telah muncul di Jawa sejak tahun 1945. Kemunculannya sangat yang didukung dengan kondisi lingkungan keagamaan masyarakat di Jawa. Hingga pertengahan abad ke-20, kebathinan tersusun dan tumbuh subur menjadi berbagai macam aliran. Perkembangannya pernah dilarang oleh pemerintah Belanda karena dianggap dapat menimbulkan akibat-akibat buruk bagi kelanggengan kekuasaan mereka. Akan tetapi, kebebasan tumbuh dan bergeraknya aliran kebathinan menjadi lebih besar setelah pemerintah kolonial ditumbangkan. Aliran-aliran tersebut berkembang dengan versi mutakhir dengan jumlah kecil dan dengan organisasi yang lebih baik. Di mana coraknya menampilkan aspirasi para pemimpinnya. Aliran-aliran tersebut sedikit banyaknya mempunyai hubungan dengan Pangestu yang lahir pada zaman kemerdekaan di Surakarta, salah satu pusat kebudayaan di Jawa Tengah.3 1 Demmy Antoh, Menggugat Implementasi Otsus Papua (Sorong: Pusat Pengkajian Pembangunan Papua (P4), 2008) 2 Baderin, Mashood A, International Human Rights and Islamic Law (New York: Oxford University Press, 2003) 3 Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok …, hlm. 9-13. Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion | 205 Pangestu merupakan sebuah organisasi yang lahir di Surakarta sekitar tahun 1932. Kelahirannya diawali dengan pepadhang4 yang diterima oleh Raden Soenarto Mertowardoyo atau yang lebih dikenal dengan pakde Narto. Pepadhang tersebut dijadikan semacam kitab suci yang diberi nama Sasangka Jati. Tafsirannya ditulis oleh pakde Narto dalam buku Olah Rasa di Dalam Rasa dan Serat Sabda Khusus atau yang ditulis oleh Raden Soemantri Hardjoprakosa yang berjudul Sarjana Budi Santosa.5 Kemudian pada tahun 1949, Pangestu secara formal berdiri sebagai organisasi. Oleh karena itu, kemunculan Pangestu tidak bisa terlepas dari pengalaman pribadi pakde Narto. Pakde Narto yang lahir pada tanggal 21 April 1899 merupakan anak keenam dari delapan bersaudara. Ayahnya adalah Raden Soemowardojo yang bekerja sebagai juru tulis kawedanan. Kehidupan ekonomi keluarga yang serba kekurangan menyebabkan pakde Narto harus hidup berpindahpindah, dari keluarga satu ke keluarga yang lain.6 Pakde Narto merupakan seorang yang mempunyai dasar kepercayaan terhadap Tuhan yang sangat kuat. Sejak kecil pakde Narto telah belajar mengaji kepada guru ngajinya dengan sistem hafalan ayat-ayat al-Qur’an.7 Begitu juga ketika pakde Narto dewasa. Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana cara dan syarat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini disebabkan, selama mengaji dia tidak mengetahui arti ayat-ayat tersebut karena gurunya tidak memberikan penjelasan.8 Berdasarkan pengalaman tersebut, akhirnya pakde Narto dengan kebulatan hati membuang semua ilmu pemberian gurunya yang ada dalam pikiran dan tindakannya, setelah petualangannya mencari makna agama 4 Pepadhang berarti wahyu. Pepadhang turun secara bertahap selama tujuh bulan dan pertama kali diterima pada sekitar jam 6 sore Ahad pon tanggal 6 Syawal 1862 tahun Jawa atau 14 Februari 1932 tahun masehi. Pepadhang-pepadhang tersebut ditulis oleh Raden Tumenggung Hardjoprakoso dan Raden Tumenggung Trihardono Soemodihardjo. Romdon, Ajaran Ontologi Aliran Kebathinan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 128-129. 5 Romdon, Ajaran Ontologi …, hlm. 128-129. 6 M. Soehadha, Orang Jawa Memaknai Agama (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm. 54. 7 Sistem hafalan merupakan salah satu bagian yang dikritik dalam pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan Islam. Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan untuk Organisasi Pengelola Zakat (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2001) Sistem ini menyebabkan pemahaman terhadap teks yang dipelajari tidak berkembang dan cenderung statis. 8 M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 56-57. 206 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 dengan guru dari agama-agama yang berbeda. Kemudian dia berkeyakinan bahwa cara mendekatkan diri kepada Tuhan dapat dilakukan sendiri, dengan cara memohon kepada Tuhan dengan niat yang baik dan ikhlas. Sehingga turunlah pepadhang pada sekitar jam 6 sore Ahad pon tanggal 6 Syawal 1862 tahun Jawa atau 14 Februari 1932 tahun masehi.9 Prilaku pakde Narto hingga tahap pepadhang tersebut merupakan suatu usaha untuk mencari bentuk baru cara beragama yang memberikan dampak bagi kehidupan. Hal tersebut dilakukan pakde Narto karena ketidakpuasan terhadap cara beragama yang ada dan dianutnya, seperti sistem hafalan yang diterapkan oleh guru ngajinya dalam pemahaman agama. Sistem tersebut menurut pakde Narto tidak memberikan solusi bagi permasalahan krisis spiritual dan persoalan kehidupan yang dialaminya. Usaha inilah yang menurut Blumer disebut sebagai gerakan. “Social movements can be viewed as collective enterprises seeking to establish a new order of life. They have their inception in a condition of unrest, and derive their motive power on one hand from dissatisfaction with the current form of life, and on the other hand, from wishes and hopes for a new system of living. The career of a social movement depicts the emergence of a new order of life.” (Blumer 1969: 99)10 Gerakan tersebut terletak pada pengolahan jiwa sebagai sebuah bentuk dari mistisisme. Menurut sejarah, praktik mistisisme berkembang di Indonesia sejak abad ke-20 dan berkembang pesat semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (Woodward, 1999: 347). Mistisisme merupakan satu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukkan oleh adanya kondisi psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu, di mana simbolsimbol indrawi dan pengertian-pengertian dari pemikiran abstrak seolaholah terhapuskan. Masyarakat Jawa lazim menyebutnya sebagai laku bathin.11 Laku bathin, yaitu tindakan yang ditumpukan pada wilayah bathin manusia melalui sistem ritual (praktik) mistisisme yang dilakukan oleh para 9 M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 60. Nick Crossley, Making Sense of Social Movements (Buckingham&Philadelphia: Open University Press, 2002), p. 3. 11 M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 3. 10 Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion | 207 pengikutnya. Oleh karena itu, Pangestu tidak begitu mempersoalkan syari’at atau gerak panembah,12 tetapi lebih pada rasa. Dengan demikian, Pangestu adalah gerakan kebathinan. Meskipun Pangestu lebih senang disebut sebagai “Fakultas Psikologis” oleh pakde Narto dan tidak seperti aliran-aliran kepercayaan lainnya. Menurut Romdon, penyebutan semacam “Fakultas Psikologi”, seperti Kerohanian, Kejiwaan, Latihan Kejiwaan, Paguyuban, Kawahyon adalah nama lain dari aliran kebathinan atau aliran kepercayaan atau penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.13 Menurut Leuba, laku bathin tersebut merupakan bentuk dari pseudo-resepsi sebagai penjelasan kausal plus keinginan untuk mendapatkan bantuan dalam menghadapi keadaan-keadaan sulit, persoalan kehidupan.14 Dialog Interreligius-kultural Pangestu dan Implikasinya Menurut Leonard Swidler, ada sepuluh prinsip dasar dialog interreligius untuk menghasilkan hubungan yang inklusif antaragama. Prinsip yang disebut dengan The Dialogue Decalogue tersebut, antara lain: 1. Dialog bertujuan untuk merubah persepsi dan pemahaman tentang realitas yang ditindaklanjuti dalam tindakan yang diyakini. “The primary purpose of dialogue is to change and grow in the perception and understanding of reality and then act accordingly.” 2. Dialog antaragama dilakukan oleh dua pihak, antar umat dalam satu agama dan antar komunitas agama. “Interreligious dialogue must be a two-sided project-within each religious community and between religious communities.” 3. Dialog dilakukan dengan kejujuran dan ketulusan. “Each participant must come to dialogue with complete honesty and sincerity.” 4. Dialog dilakukan dengan keyakinan bahwa mitra dialog juga jujur dan tulus. “Each participant must assume a similar complete honesty and sincerity in other partners.” 12 Panembah adalah sembahyang, pemujaan terhadap Tripurusa (Tuhan) yang dilaksanakan berdasarkan doktrin Pangestu. M. Soehadha, Orang Jawa…, hlm. 155. 13 Romdon, Ajaran Ontologi …, hlm. 115. 14 Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama dan Sejarah Pemikiran (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002), hlm. 50. 208 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Peserta dialog harus mendifinisikan dirinya sendiri. “Each participant must difine him/herself. Conversely –the one interpreted must be able to recognize him/herself in the interpretation.” 6. Dialog tidak dilakukan dengan asumsi-asumsi yang kukuh dan tergesagesa terhadap perbedaan. “Each participant must come to the dialogue with no hard –and- fast assumptions as to where the points of disagreement are.” 7. Dialog dilakukan oleh pihak yang setara. “Dialogue can take place only between equals, or par cum pari.” 8. Dialog harus berdasar pada rasa saling percaya. “Dialogue can take place only on the basis of mutual trust.” 9. Dialog memberikan dampak kritis pada agama yang dianut dan agama lain. “Persons entering into interreligious dialogue must be at least minimally self-critical of both themselves and their own religious traditions.” 10. Dialog membawa pada pengalaman mitra dialognya dari dalam. “Each participant eventually must attempt to experience the partner’s religion “from within”.”15 Berdasar pada prinsip tersebut, dialog dalam Pangestu terjadi pada pengalaman keagamaan panpara, pakde Narto. Dialog yang dilakukan olehnya adalah dialog interteks terhadap agama dan budaya yang melingkupi dirinya. Agama yang dimaksud adalah agama Islam dan Katolik. Sebagaimana bunyi dari salah satu ayat dalam Kitab Sasangka jati berikut: 5. “Adapun mereka yang tetap percaya pada kepercayaannya (imannya) yang benar, yaitu mereka yang memegang teguh akan syahadat agama Islam atau agama Kristen; yang tetap bhaktinya kepada Allah menurut syarat-syarat yang ditentukan, serta mereka yang menaati perintah dan menjauhi larangan Allah, yang tersebut dalam kitab-kitab suni, itu tidak berarti rusak, oleh karena itu tidak perlu diperbaiki. Dengarkanlah wahai siswaku. Pelajarilah petunjuk- 15 Leonard Swidler, “The Dialogue Decalogue: Ground Reules for Interreligious Dialogue,” Bulletin 21, Oktober 1984 http://www.monasticdialog.com/a.php?id=701. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 67-68. Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion | 209 Ku ini dengan kemursidanmu, atau carilah saringan atau tangga tadi, di dalam Kitab Suci, yaitu yang disebut Injil dan “Qur’an”, mana yang kamu pilih, kedua-duanya sama saja, asal kamu rasakan dengan hati yang suci.” (Kitab Sasangka Jati)16 Sedangkan budaya yang terlibat dalam proses dialog tersebut adalah Jawa. Dialog tersebut digambarkan dalam bagan berikut: Agama (Religions) Pangestu Budaya (Culture) Pengetahuan Islam telah diperoleh oleh pakde Narto sejak kecil, dengan mengaji di masjid di bawah bimbingan seorang naib. Hal ini menunjukkan secara jelas hubungan antara pakde Narto dengan agama Islam.17 Akan tetapi, sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa sistem hafalan yang digunakan dalam pendidikan Islam tersebut, menjadi awal kegelisahan pakde Narto karena berpengaruh pada proses pemahaman terhadap agama Islam kurang menyentuh pada aspek rasa.18 Sedangkan, pengetahuan tentang Kristen merupakan agama yang dipahami dalam pandangan Teosofi. Pandangan tersebut merupakan hasil perjumpaan kedua pembantu pakde Narto, yaitu R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemodihardjo dengan golongan teosofi 16 Dikutip dari De Jong, 1976: 72) dalam M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 24. Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Pengestu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 23. 18 M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 18-26. Mohammad Damami, Orang Jawa Memaknai Agama (Sebuah Tanggapan), Hand-out Seminar dan Bedah Buku Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) “Orang Jawa Memaknai Agama” pada hari Kamis, 11 Desember 2008 pukul 09.00-12.00 WIB di Ruang Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 2. 17 210 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 di Surakarta dan utusan-utusan Injil Kristen berkebangsaan Belanda. R. Tumenggung Hardjoprakoso berjumpa dengan Dr.H.A. van Andel dalam diskusi Philosophische Kring bersama dengan K.G.P.A.A Mangkunegara VII sekitar tahun 1921. Sedangkan R. Trihardono Soemodihardjo berjumpa dengan Dr.J.H. Bavinck pada tahun 1930-1932 di Bale Sudho Sadono. Mereka lebih tertarik pada pandangan teosofi karena lebih dekat dengan alam pikiran kebathinan Jawa.19 Sedangkan budaya yang mempengaruhi pakde Narto dalam proses dialognya adalah Jawa. Pakde Narto merupakan seorang Jawa dalam lingkungan Surakarta Hadiningrat, kota Sala sebagai pusat kebudayaan Jawa. Selain itu, ia juga telah yang banyak berinteraksi dengan Pustaka Kebathinan Jawa yang terkenal, termasuk masalah kebathinan. Sebagai hasilnya, pengaruh tersebut tertuang dalam gaya mengarang pakde Narto, yang berbentuk prosa dan dialogis antara guru dan murid.20 Berdasarkan pada pengalaman tersebut, maka dialog yang terjadi adalah dialog interreligius-kultural. Dialog ini dimulai dari dialog interteks oleh pakde Narto dengan guru-gurunya, refleksi dengan solat dhaim21 hingga dialog dengan kedua pembantunya dalam kodifikasi sabda-sabdanya menjadi kitab suci Sasangka Jati22. Berdasar pada prinsip dialog interreligius Leonard Swidler, dialog tersebut bertujuan untuk merubah persepsi dan pemahaman tentang realitas keberagamaan yang ada. Dialog tersebut dilakukan pakde Narto dengan guru-gurunya dan kedua pembantunya, baik yang seagama-budaya maupun yang berbeda agama. Sehingga memberikan dampak kritis pada agamanya, yaitu kritik pada sistem pendidikan agama Islam yang tidak menyentuh pada aspek rasa, begitu juga bagi agama-agama lain yang berkutat pada ritual semata. Dialog tersebut juga berangkat dari pengalaman-pengalaman religius. 19 Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok …, hlm. 24. Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok …, hlm. 22. 21 Solat Dhaim adalah sembahyang yang terus-menerus, lazim di kalangan kebathinan, untuk memudahkan mencapai tingkat makrifat. Dalam Kitab Wirid dan Suluk-suluk diartikan:”…sejak bangun pagi sampai tidur di malam hari, mengikuti keluar masuknya napas, orang mengucapkan di dalam batinnya: ‘Allah-Hu, Allah-Hu…’, atau juga ‘Hu-Allah, Hu-Allah…’ mengikuti masuk-keluarnya nafas. Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok… hlm. 39 Endnote No. 73. 22 Kitab ini merupakan kumpulan dari tujuh buah buku kecil, yaitu Hasta Sila, Paliwara, Gumelaring Dumadi, Tunggal Sabda, Dalem Rahayu, Sangkan Paran dan Panembah. 20 Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion | 211 Dengan demikian maka proses pakde Narto sejak kecil hingga adanya kitab suci Sasangka Jati merupakan hasil dari dialog interreligius. Bahkan tidak bisa dikatakan sebagai dialog interreligius-kultural karena ada pengaruh budaya Jawa, melalui interaksi pakde Narto dengan Pustaka Kebathinan Jawa dan lingkungannya. Dialog interreligius-kultural Pangestu ini berimplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan sinkretisme23 kemudian. Secara teologis, sinkretisme adalah suatu pandangan yang mengakui tidak adanya garis-garis pembatas antara Tuhan Pencipta dengan makhluk ciptaannya. Aliran ini sering juga disebut sebagai panteisme, universalisme, teo-panisme dan lain-lain.24 Sularso Sopater telah mengidentifikasi adanya asas monisme panteistis di dalam ajaran Pangestu. Asas tersebut mendasari banyak segi dari sikap susila25 yang dikembangkan, yaitu ajaran bahwa 23 Syncretism refers to the coming together of element from two or more religions, resulting in the creation of an independent and new religious tradition. Post-colonial studies of religion use the term in a slightly less prescriptive sense to explain the negotiation of multiple identities that arise from displacement, immigration dan exile, where borders become less policed. In such cases, religious identities may creatively borrow and innovate without necesserily developing discrete new religions. Ron Geaves, Key Words in Religious Studies (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2006), hlm. 63. Menurut Mark Woodward term sinkretis menunjukkan kecenderungan negatif, karena terjadi pengurangan pada unsurunsur yang dipercampurkan. Oleh karena itu, ia lebih cenderung menggunakan term hibridity untuk gerakan kebathinan. Pendapat ini diutarakan pada diskusi ilmiah dosen Jum’at, 19 Desember 2008 pukul 19.30-22.00 WIB di Teaterikal Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 24 Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 67-68. 25 Sikap susila terdiri dari ajaran-ajaran moral yang saling berhubungan dan menentukan, antara lain: 1. Tri-Sila, yaitu sadar, percaya, taat kepada Tuhan YME serta utusan-Nya. Ajaran ini disebut tiga tiang kebaktian manusia kepada Tuhan. 2. Panca-Watak utama, yaitu rela, nrima (tawakal), jujur, sabar, budiluhur. Ajaran moral ini disebut pancasila sebagai pembentuk watak untuk dasar pelaksanaan trisila. 3. Panca-Pantangan, yaitu jangan menyembah selain kepada Tuhan YME, jangan melampiaskan nafsu syahwat, jangan makan dan mempergunakan makanan yang memudahkan rusaknya jasmani, jangan melanggar hukum dan perundang-undangan negara, jangan bertengkar. Ajaran ini disebut juga paliwara atau lima larangan. 4. Panca-Darma Bakti, antara lain: Pahugeran Tuhan kepada hamba (intisari syahadat), panembah kepada Tuhan YME, budidarma kepada sesama hidup, pengendalian hawa nafsu, mencapai dan menduduki derajat budi luhur. Ajaran yang disebut sebagai jalan rahayu atau jalan selamat ini merupakan pedoman pelaksanaan dan latihan pembentukan kepribadian dan kebaktian kepada Tuhan. 5. Dasa-Sila, antara lain: berbakti kepada Tuhan YME, berbakti kepada Utusan Tuhan, setia kepada Khalifatullah (kepada negara, hukum dan undang-undang negara), berbakti 212 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 semua manusia pada hakikatnya adalah sama. Ajaran ini didasarkan pada ajaran bahwa jiwa manusia yang sejati adalah Roh Suci, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.26 Sinkretisme atau asas monisme panteistis di dalam Pengestu inilah yang disebut sebagai ambiguitas orang Jawa dalam beragama oleh Soehadha.27 Sinkretisme tersebut menimbulkan adanya dua implikasi, yaitu harmonisasi dan penyimpangan. Harmonisasi terjadi karena Pangestu dapat menjembatani perbedaan (pluralitas) agama dan budaya, melalui organisasi sebagai “fakultas Psikologi”. Pangestu dapat menyentuh aspek rasa para pengikutnya dalam beragama dengan pendekatan budaya melalui penggunaan bahasa Jawa dalam ekspresi keagamaan. Sehingga kebudayaan Jawa menjadi aspek yang perlu dipertimbangkan dalam proses beragama orang Jawa yang bergabung dalam Pangestu. Pangestu dengan pendekatan budaya Jawa membantu dalam pemahaman agama, sehingga menjadikan pengikutnya semakin yakin pada agama yang dianut. Sedangkan implikasi yang kedua adalah penyimpangan. Dampak ini terjadi jika Pangestu tidak lagi dimaknai sebagai “fakultas Psikologi”, tetapi lebih sebagai agama baru. Asumsi ini muncul dengan adanya beberapa golongan dalam Pangestu menurut Soehadha, antara lain: 1. Siswa aktif, yaitu pertama, siswa yang saleh beragama Islam atau Kristen. Kedua adalah siswa yang menganggap bahwa Pangestu adalah yang utama. 2. Siswa tidak aktif (miyur) 3. Ragam Panembah ‘umat agama’, yaitu siswa yang shalat dan manembah, siswa yang sembahyang Kristen dan juga manembah, siswa yang hanya shalat atau sembahyang saja.28 kepada tanah tumpah darah, berbakti kepada orang tua, berbakti kepada saudara tua, berbakti kepada guru, berbakti kepada ajaran keutamaan, kasih sayang kepada semua hidup dan menghargai semua agama. Konsepsi Moral Pancasila (untuk pembentukan manusia Pancasila dan penerapan Pancasila dalam praktek kehidupan sehari-hari) (t.t.: Pangestu, t.t.), hlm. 14, 15, 17, 20, 23 dalam Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok…hlm. 131. 26 Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok…hlm. 144. 27 M. Soehadha, Orang Jawa …, hlm. 19. 28 Moh. Soehadha, Wong Jawa Negesi Agama, Hand-out Seminar dan Bedah Buku Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) “Orang Jawa Memaknai Agama” pada hari Kamis, 11 Desember 2008 pukul 09.00-12.00 WIB di Ruang Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 3. Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion | 213 Dengan adanya siswa yang menganggap bahwa Pangestu adalah yang utama, itu berarti bahwa posisi agama Islam dan Kristen serta agama-agama besar lainnya, telah tergantikan oleh Pangestu. Dengan demikian, fungsi Pangestu tidak hanya sebagai fakultas Psikologi. Pangestu telah menjadi alternatif bagi umat beragama yang tidak puas dengan realitas keberagamaan mereka. Inilah yang menjadi kondisi awal terbentuknya civil religion menurut Robert N. Bellah. Gerakan Kebathinan Pangestu dan Civil Religion Ada beberapa kondisi yang menyebabkan timbulnya civil religion29, antara lain: 1. Kondisi pluralisme keagamaan yang tidak memungkinkan bagi salah satu agama untuk digunakan oleh seluruh masyarakat sebagai sumber makna general. 2. Masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna dalam aktivitasnya, khususnya ketika aktivitas itu berkaitan dengan individu dari beragam latar belakang keagamaan. 3. Diperlukan sebuah sistem makna pengganti dan jika telah ditemukan, mereka yang aktivitasnya difasilitasi oleh sistem tersebut akan cenderung memujanya. Ketiga kondisi tersebut dapat diidentifikasi dalam Pangestu melalui 1 2 diagram berikut ini. Kondisi 8 Pangestu sebagai Fakultas Psikologi dan Gerakan Kebthinan SosialEkonomi Pakde Narto yang memprihati nkan Kesadaran untuk memenuhui kekosongan hati 7 Ada masyarakat yang mengikuti ajarannya (memuja) 4 Dialog interreligius -kultural oleh pakde Narto 6 Pepadhang (Pangestu) 29 3 Pluralitas yang menimbulka n pluralisme (Islam, Kristen dan Kejawen) 5 Solat Dha'im Phillip E. Hammond, “Bentuk-bentuk Elementer Agama Sipil” dalam Robert N. Bellah dan Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (terj.) Imam Khoiri, dkk. (Jogjakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 185-192. 214 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Bersadarkan diagram tersebut faktor 1 sampai 4 menunjukkan kondisi pertama, bahwa kehidupan pakde Narto yang memprihatinkan membawanya untuk mencari “ilmu sejati”.30 Pencarian tersebut menghadapkannya pada pluralitas sistem makna pada ilmu yang dipelajarinya, karena ia mempelajari berbagai ilmu dan berpindah-pindah dari guru yang satu ke guru yang lain. Sehingga dialog interreligius-kultural pun terjadi. Kemudian pakde Narto memasuki kondisi kedua, yaitu melekatkan makna pada aktivitas yang dilakukan. Kondisi ini ditunjukkan oleh faktor 5, yaitu pakde Narto melakukan solat dhaim untuk mencari makna dalam persoalan kehidupannya. Setelah melalui kondisi yang kedua, akhirnya pakde Narto mendapatkan sistem makna pengganti pada faktor ke 6, 7 dan 8. Pepadhang yang diperoleh pakde Narto diikuti oleh banyak orang, bahkan ada yang memujanya. Pada kondisi inilah Pangestu sebagai “Fakultas Psikologi” menjadi sistem makna baru yang mempertemukan para siswanya yang plural. Kondisi ini tidak hanya menjembatani perbedaan tetapi juga menjustifikasi resolusi yang ditawarkan pakde Narto terhadap persoalan kehidupan dengan keterlibatan unsur-unsur agama dan budaya. Kondisi ini ditindaklanjuti dengan kodifikasi sabda menjadi kitab suci, ajaran-ajaran moral sebagai aturan prilaku, penyebaran pepadhang, bawa raos dan panembah, organisasi. Dengan demikian, menurut Robert N. Bellah kondisi ini yang diidentifikasi sebagai civil religion dalam Pangestu. Kesimpulan Pangestu merupakan hasil dialog interreligius-kultural yang dilakukan oleh pakde Narto dengan guru-guru dan kedua pembantunya. Dialog tersebut tidak hanya berfungsi untuk menjembatani suatu perbedaan agama tetapi juga menjadi resolusi bagi konflik yang dialami oleh individu pakde Narto, juga para siswanya kemudian. Bahkan dialog tersebut juga menimbulkan dua dampak, yaitu harmonisasi dan penyimpangan. Harmonisasi terjadi pada proses dialog agama dan budaya Jawa. Sedangkan, penyimpangan terjadi pada pemaknaan yang berbeda terhadap Pangestu oleh siswanya. Pangestu tidak lagi “Fakultas Psikologi” yang membantu dalam memahami dan menguatkan keyakinan pada umat beragama yang menjadi siswanya, tetapi telah menjadi “Fakultas Psikologi” yang berarti 30 Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok…hlm. 21. Muryana, Dialog Interreligius Kultural dan Civil Religion | 215 sebagai civil religion sebagai sistem makna yang menggantikan agamaagama yang telah dianut oleh siswanya. Dengan demikian, maka dialog tidak hanya menjembatani suatu perbedaan agama dan budaya, tetapi dialog juga dapat menyebabkan lahirnya sinkretisme. Sinkretisme yang mengarah pada lahirnya civil religion. Adapun hal yang menjadi point penting dalam studi ini adalah pemahaman mendasar terhadap agama dan budaya sangat diperlukan dalam dialog interreligius-kultural. Selain itu, dialog merupakan sesuatu yang signifikan sebagai suatu kritik yang membangun bagi perkembangan wacana keberagamaan. Dengan demikian, sebagai lesson learned dari Pangestu bahwa kekurangan pada agama yang dianut hendaknya dipelajari terlebih dahulu dan dikomunikasikan secara internal. Sehingga fungsi kritik terhadap agama yang dianut tepat sasaran dan memberikan solusi bagi perkembangan agama selanjutnya. Selain itu, pendekatan budaya dalam beragama menjadi signifikan dalam upaya memahami agama secara mendalam dan menyentuh pada aspek “rasa”. Hal ini sangat direkomendasikan kepada para pemuka agama, intelektual dan aktivisaktivis dialog lintas agama dan budaya. Meskipun demikian, terciptanya kondisi-kondisi tersebut sangat bergantung dan dipengaruhi oleh penguasa. Hegemoni penguasa memungkinkan dialog interreligius-kultural terhambat, sehingga masyarakat inklusif pun tidak terwujud. Sehingga tidak menutup kemungkinan, tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan kebathinan dianggap sebagai agama yang sesat. Agama yang ilegal karena tidak diakui oleh pemerintah dan dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap negara. Daftar Pustaka Baderin, Mashood A. International Human Rights and Islamic Law. New York: Oxford University Press, 2003 Bellah, Robert N. dan Hammond, Phillip E. Varieties of Civil Religion (terj.) Imam Khoiri, dkk. Jogjakarta: IRCiSoD, 2003 Burhanuddin Daya. Agama Dialogis: Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta: LKiS, 2004 216 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Crossley, Nick. Making Sense of Social Movements.Buckingham&Philadelphia: Open University Press, 2002 Demmy Antoh. Menggugat Implementasi Otsus Papua. Sorong: Pusat Pengkajian Pembangunan Papua (P4), 2008 Djam’annuri. Ilmu Perbandingan Agama dan Sejarah Pemikiran. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002 Geaves, Ron. Key Words in Religious Studies. Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2006 Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan. Akuntansi dan Manajemen Keunagan untuk Organisasi Pengelola Zakat. Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2001 M. Soehadha. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008 Moh. Soehadha, Wong Jawa Negesi Agama, Hand-out Seminar dan Bedah Buku Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) “Orang Jawa Memaknai Agama” pada hari Kamis, 11 Desember 2008 pukul 09.0012.00 WIB di Ruang Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 3. Mohammad Damami, Orang Jawa Memaknai Agama (Sebuah Tanggapan), Hand-out Seminar dan Bedah Buku Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) “Orang Jawa Memaknai Agama” pada hari Kamis, 11 Desember 2008 pukul 09.00-12.00 WIB di Ruang Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 2. Romdon. Ajaran Ontologi Aliran Kebathinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996 Sularso Sopater. Mengenal Pokok-pokok Ajaran Pengestu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987 Swidler, Leonard. “The Dialogue Decalogue: Ground Reules for Interreligious Dialogue,” Bulletin 21, Oktober 1984 http://www.monasticdialog.com/a.php?id=701. Woodward, Mark. Toward Post-Orientalism and Post-Occidentalism; KooperasiTimur-Barat dalam Pelajaran Islam, Hand-out Diskusi ilmiah dosen Jum’at, 19 Desember 2008 pukul 19.30-22.00 WIB di Teaterikal Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. AYAT-AYAT PERDAMAIAN: Dekonstruksi Tafsir ala Jane Dammen McAuliffe Fadhli Lukman Alumnus Ponpes Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi. Abstrak Its is the matter of fact that Muslims way to behave, including to behave before other communities, such as Christians, comes from the Qur’an. To understand how Muslims do something on their religiousity is then to come analyzing the Qur’an. This is what Jane Dammen McAulife fully aware of; She is curious of how the Qur’an presents the Christians. However, since the Qur’an further controlled by exegesis, it become an integral aspect in her way to study Qura’nic Christians. This paper will descriptively explore Jane Dammen McAuliffe’s though on Qur’anic presentation to Christians. Her dissertation will be the basis of analysis. However, we previously present the mapping of her whole thought to gain the comprehensive understanding on her complete thought. In context of Qur’anic Christians, she concludes that since the exegesis controls the Qur’an, Qur’anic Christians refer to nor historical Christians nor the living community call themselves as Christians. Kata Kunci: Jane Dammen McAuliffe, Qur’anic Christians, interreligious understanding, tafsir. A. Pendahuluan asus anarkisme dengan mengatasnamakan agama akhir-akhir ini marak terjadi. Untuk Indonesia, kasus Poso dan Bom Bali layak dijadikan contoh yang paling utama. Tindakan bom bunuh diri yang terjadi berulang kali memperlihatkan sentimen keberagamaan yang tinggi. Jika ditelisik lebih dalam, kejadian-kejadian semacam ini bersumber dari pemahaman para pelaku mengenai ajaran agama mereka. K 218 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Berbicara mengenai ajaran beragama, maka rujukan utamanya tentu saja adalah kitab suci. Tidak dipungkiri, kitab suci membentuk pola berideologi, berpikir, dan bertingkah laku bagi umatnya. Dalam konteks Alquran, semasa pembentukannya, Rasulullah hidup dalam multikulturalisme tribal bangsa Arab. Bukan hanya itu, selepas Hijrah Rasulullah juga menghadapi komunitas beragama lainnya, yaitu Yahudi dan Nashrani. Oleh sebab itu, wahyu yang turun menyinggung dan menyebutkan keberadaan mereka, serta bagaimana posisi dan pandangan Islam terhadap mereka. Hal ini adalah fakta yang tidak terbantahkan ketika kita melihat ayat-ayat Alquran, sebagiannya menyebutkan identitasidentitas keberagamaan yang lain. Salah satu sarjana yang memiliki kegelisahan ini adalah Jane Dammen McAuliffe. Untuk mengkaji pemikirannya lebih jauh adalah hal yang urgen dengan beberapa pertimbangan. Pertama, ia adalah sarjana non-Muslim, yang biasa disebut orientalis. Posisinya sebagai orientalis menjadi layak untuk dibicarakan dengan pertimbangan perkembangan dan perubahan paradigma kajian orientalis terhadap Alquran beberapa waktu terakhir ini.1 Kedua, fokus kajiannya beredar dalam isu-isu interreligious understanding antara Islam dan Kristen. Ia merupakan aktifis dalam bidang dialog antar agama, Islam dan Kristen. Sejumlah tulisannya concern dalam kajian mengenai interreligiusitas Alquran. Salah satu karya terpenting Jane Dammen McAuliffe adalah disertasinya yang berjudul The Qur’anic Christians: An Analysis of Classical and Modern Exegesis. Disertasi yang kemudian dicetak dalam bentuk buku dengan judul yang sama tersebut membahas ayat-ayat Alquran yang memberikan pujian kepada Kristen dalam konteks komunitas beragama. Penulis tidak meriview setiap tema yang dibahas oleh McAuliffe, dimana masing-masing tema mewakili satu ayat yang ia bahas. Akan tetapi, penulis hanya mengemukakan beberapa sample yang menjadi titik krusial dalam kesimpulan akhir McAuliffe dalam disertasinya. Penulis lebih memilih untuk memilih sample karena inti pemikiran Jane Dammen McAuliffe tidak terletak pada review dia terhadap tujuh ayat tersebut dalam 1 Lihat Fazlur Rahman, “Pendahuluan” dalam Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996); Fazlur Rahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors”, The Journal of Religion, LXIV, 1984, hal. 73-95. Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 219 sepuluh tafsir, melainkan pada bagian kesimpulan dari bukunya tersebut. Di bagian inilah penulis akan eksplorasi lebih banyak. B. Biografi Singkat Jane Dammen McAuliffe Jane Dammen McAuliffe adalah sarjana Islamic Studies yang telah dikenal secara luas. Kepakarannya adalah dalam bidang Qur’anic Studies, Islamic History, dan perbandingan agama. Sejumlah karya dalam bidang ini cukup menjadi bukti kepakaran tersebut, terutama perhatian besarnya terhadap Ta>rikh al-Muluk karya al-T{abari dan disertasinya yang berjudul Qur’anic Christians: an Analysis of Classical and Modern Exegesis. Yang pertama merupakan kajian dalam bentuk penerjemahan, yang kemudian ia respon dan kutip dalam sejumlah artikelnya. Ia menggapai BA dalam bidang Philosophy and Classic Studies di Trinity Collage Washington, D.C.,gelar MA dalam bidang religious studies dan Ph.D dalam Islamic Studies di University of Toronto.2 Dia dinikahi oleh Dr. Dennis McAuliffe, seorang ahli dalam bidang literature Italia abad pertengahan di Georgetown University, yang kemudian diberkahi empat orang anak.3 Semenjak Juli 2008, Jane Dammen McAuliffe memegang jabatan baru sebagai President of Bryn Mawr University, sekaligus sebagai guru besar di Departement of History di universitas yang sama. Sebelumnya, ia merupakan Dekan di Georgetown University semenjak tahun 1999. Selama di Georgetown, ia juga menjadi guru besar di Department of Arabic and Islamic Studies.4 Ia berhasil berkontribusi positif selama kepemimpinannya sebagai Dekan di Georgetown. Ia menggiatkan gaya belajar yang lebih efektif dan pola supervisi terhadap mahasiswa. Ia juga berhasil membuka beberapa jurusan baru untuk tingkat undergraduate dan merintis beberapa program graduate termasuk dua program tingkat Ph.D. Sebelum memiliki karir akademis di dua universitas di atas, Jane Dammen McAuliffe sebelumnya memegang beberapa posisi. Ia merupakan guru besar di Department of Near and Middle Eastern Civilizations dan 2 Wikimedia Foundation, “Jane Dammen McAuliffe” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ Jane_Dammen_McAuliffe 3 Claudia Gianni, “Bryn Mawr Names Dean of Georgetown University's College of Arts and Sciences President-Elect” dalam http://www.brynmawr.edu/news/2008-0207/mcauliffe.shtml. 4 McAuliffe’s Curriculum vitae. 220 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Department for the Study of Religion di Toronto University. Sebelumnya, pada tahun 1990-1992, ia merupakan Dekan di Candler School of Theology di Emory University. Di samping itu, ia juga aktif dalam beberapa dorum dialog Muslim-Kristen, baik untuk tingkat Nasional maupun International. Ia juga menjabat sebagai Commisi Relasi beragama antar Islam-Kristen di Vatikan selama sepuluh tahun. Jane Dammen McAuliffe telah menerbitkan lima buku, termasuk rnam volume Encyclopaediae of the Qur’an,dimana ia menjadi general editornya.5 Buku-buku lainnya adalah (1) Cambridge Companion to the Qur’an; (2) With Reverence for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Christianity and Islam. Co-editor with J. Goering and B. Walfish; (3) Abbasid Authority Affirmed: The Early Years of al-Mansur. Translation, introduction and annotation of vol. 28 Ta’rikh al-Rusul wa al-Muluk; and (4) Qur’anic Christians: An Analysis of Classical and Modern Exegesis; (5) Norton Anthology of World Religions; (6) The Qur’an: A Norton Critical Edition. Dari semua buku tersebut, buku yang ia tulis secara independen hanyalah Qur’anic Christians, yang kebetulan juga disertasinya. Beberapa karya lainnya merupakan kumpulan artikel, dimana ia menjadi editor, dan terjemahan. Jika tulisannya dalam bentuk buku terkesan minim, tidak demikian untuk artikel; ia telah menerbitkan 37 artikel dan 38 reviews, serta telah menghadiri 42 kelas sebagai dosen undangan di berbagai universitas. Jika diklasifikasi, karya terbanyaknya berada pada bidang Qur’anic Studies dan tafsirnya, dengan jumlah 33 judul, termasuk Encyclopaedia of the Qur’an. Kategori Islamic Early History hanya ada lima judul, sementara sisanya berkaitan dengan interrelations antara Kristen dan Islam. Teks sebagai Basis Interreligious Understanding Alquran merupakan sumber inspirasi untuk bertindak bagi seluruh Muslim, termasuk mengenai kecerdasan keragaman beragama (interreligious understanding). Oleh sebab itu, untuk memahami bagaimana, begitu juga untuk membentuk pola tindak yang berbeda yang lebih sehat dan terbuka, harus mulai dari Alquran. McAuliffe sepertinya sangat C. 5 2001). Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden: Brill, Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 221 menyadari hal itu, sehingga pertama kali ia menggali bagaimana interreligious understading Alquran itu sendiri. Hanya saja, sebelum masuk kepada ranah tersebut, makalah ini pertama kali akan mendiskusikan bagaimana pandangan ontologis Jane Dammen McAuliffe mengenai Alquran. Satu kata kunci yang tidak bisa dilepaskan mengenai pandangannya terhadap Alquran adalah relation. McAuliffe memberi penekanan yang besar terhadap keterhubungan antara kitab suci dengan manusia pengikut kitab suci tersebut. Pola keterhubungan ini kemudian ia kemas dalam konsep Alquran sebagai scripture. Dengan paradigma ini, Jane Dammen McAuliffe melandaskan kajiannya pada bagaimana Muslim percaya dan bertingkah laku dari Alquran.6 Paling tidak, itulah yang ia sebutkan pada beberapa tempat dalam sejumlah tulisannya. Dia mengakui bahwa Alquran merupakan wahyu Tuhan yang terakhir kepada rasulnya,7 Muhammad adalah penutup para Rasul, dan wahyu yang ia terima menghapus kitab suci lainnya.8 Ia bahkan mengakui bahwa Muslim mempercayai bahwa Alquran bukan sekedar kelanjutan dari kitab suci sebelumnya, melainkan ia benar-benar firman Tuhan, dimana Ia mewahyukan kebenaran yang sama kepada Muhammad sebagaimana Ia wahyukan kepada rasul-rasul sebelumnya. Sebagaimana Tuhan mewahyukan firmannya kepada Isa, Ia mewahyukan hal yang sama kepada Muhammad, sehingga teori penjiplakan atau keterpengaruhan (theory of influences and borrowings sangat tidak relevan dengan Alquran. Sebagaimana Alquran bukanlah jiplakan dari kitab sebelumnya, 6 Berbeda dengan sebelumnya, studi Qur’an di Barat cenderung mempermasalahkan otentisitas Alquran sebagai wahyu Tuhan. Abraham Geiger dan Hartwig Hirschfeld, misalnya, merekonstruksi biografi Muhammad dan menyatakan bahwa Muhammad adalah murid dari seorang Yahudi; John Wansbroug menekankan bahwa Alquran merupakan creation of Muhammad. Secara garis besar, mereka meyakini adanya theory of influences and borrowings pada Alquran dari tradisi-tradisi Yahudi dan Nashrani. Lihat Fazlurrahman, “Some Recents Books on the Qur’an by Western Authors,” The Journal of Religion, LXIV, 1984. hal. 73-95 7 Jane Dammen McAuliffe, “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection” dalam Issa J. Boullata, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an (Surrey: Curzon, 2000). hal. 64. 8 Jane Dammen McAuliffe, “The Abrogation of Judaism and Christianity in Islam: A Christian Perspective” dalam Hans Kung dan Jurgen Moltmann, Islam: A Challenge for Christianity (London: SCM Press, 1994), hal. 116. 222 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 pembentukannya juga tidak memiliki unsur keterpengaruhan dari kitabkitab tersebut; Alquran adalah wahyu.9 McAuliffe mengakui bahwa tema mengenai scripture merupakan tema yang sangat menarik sehingga ia menghabiskan sejumlah besar usaha kesarjanaannya dalam tema ini.10 Ia menyatakan bahwa paradigma yang menganggap Alquran sebagai scripture menekankan konsep keterhubungan antara Alquran sebagai kitab suci dan Muslim sebagai komunitas yang meyakini Alquran. Artinya, dalam konteks ini, Jane Dammen McAuliffe tidak membawa kitab suci sebagai satu-satunya poin yang dipermasalahkan secara unilateral. Ia juga membawa unsur ‘manusia’ sebagai aspek yang penting; dia menganggap bahwa keyakinan manusia adalah hal integral dalam teori scripture. Apakah scripture? McAuliffe mendefinisikannya sebagai suatu konsep mengenai sekelompok komunitas yang hidup berdampingan dengan suatu text tertentu yang dianggap suci; oleh sebab itu, ia bukanlah sifat yang immanent bagi text tersebut, melainkan dibentuk melalui konstruksi manusia yang memiliki kepercayaan dan tingkah pola special terhadap teks tersebut.11 Sayangnya, McAuliffe tidak menjelaskan secara detil bagaimana teorinya mengenai scripture, sehingga ada kepentingan untuk melacak bagaimana penjelasan yang lebih gamblang mengenai terminology ini. Dalam buku Metodologi Studi Alquran, Ulil Absar Abdalla menyatakan bahwa untuk memahami teori scripture tidak bisa dipisahkan dengan sejarah tulisan (script). Oleh sebab itu, ia melacak sangat jauh ke belakang hingga tahun 2900 BC ketika script atau tulisan pertamakali ditemukan hingga kemudian digunakan dalam sejarah, termasuk oleh Bible.12 Hanya saja, penjelasan panjang dari Ulil tersebut gagal mengungkap makna genuine dari scripture itu sendiri. Penjelasan yang lebih baik bisa ditemukan dalam tulisan Wilfred Cantwell Smith yang menyatakan bahwa pada abad XIX, terminology scripture identik dengan Bible yang dipahami sebagai 9 Jane Dammen McAuliffe, “The Qur’anic Context of Muslim Biblical Scholarship” dalam Islam and Christian—Muslim Relations, VII, 1996, hal. 141-154. 10 Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection between the Bible and the Qur’an?” dalam Theology Digest, volume XLIX, Number 1, Spring 2002. hal. 303. 11 Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection … hal. 303; Ulil Abshar Abdallah, Metodologi Studi Al-Qur’an (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), hal. 20-30. 12 Ulil Abshar Abdallah, Metodologi Studi Al-Qur’an …, hal. 6. Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 223 wahyu Tuhan (Devine Revelation). Terminology ini digunakan secara eksklusif sehingga tidak ada teks lainnya yang layak disebut scripture selain Bible. Terminologi ini mengandung nilai transenden yang absolute. Akan tetapi, sebenarnya Kitab Suci di dunia ini ada dalam jumlah yang sangat besar, sebanyak keragaman manusia yang memegangnya. Oleh sebab itu, kata Smith, teori tentang scripture dan teori-teori lainnya tidak pernah berhasil untuk melingkupi setiap kitab suci dengan keragaman bentuk dan konten di dalamnya, sementara permasalahan mengenai ‘scripture’ sebenarnya lebih rumit dari yang dibayangkan setiap orang dan keragamannya lebih luas dari yang semua orang pikirkan. Sebuah konsep mengenai scripture yang mampu melingkupi seluruh kitab suci dengan segala keragamannya menjadi penting. Ada sesuatu yang hilang dalam setiap konsepsi mengenai scripture, sesuatu yang bisa mengumpulkan seluruh kitab suci dengan keragamannya dalam satu teori. Yaitu sebuah konsepsi bahwa terminology scripture secara inheren memiliki makna relasi antara teks dan pengikutnya. Tidak ada teks yang suci dengan sendirinya. Kualitas ini muncul dari appresiasi, tindakan, dan penghormatan dari manusia yang menganggapnya suci. Sebuah kitab suci, yang diyakini berasal dari Tuhan, jika tidak mendapatkan respon khas dari pemeluknya, maka posisinya sebagai scripture pun tidak efektif.13 Kemudian, ada dua dimensi yang saling berkaitan dalam penjelasan mengenai scripture di atas. Karakter dasar scripture yang mempersyaratkan adanya hubungan antara manusia dan teks suci merupakan dimensi yang pertama, yaitu dimensi keimanan. Ada banyak penjelasan dalam tradisi Islam untuk dimensi ini; setiap Muslim harus mempercayai bahwa Alquran adalah wahyu Tuhan yang Ia wahyukan kepada rasul-Nya.14 Karena Tuhan itu suci, maka konsekuensinya firman-Nya juga suci. Pola komunikasi semacam ini disebut oleh Vincent J. Cornell sebagai unique communication. 15 Kemudian, keimanan ini menjadikan manusia bertindak khas dan special terhadap teks, yang kemudian disebut sebagai dimensi praktikal. 13 Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-agama terj. Dede Iswadi (Jakarta: Teraju, 2005), hal. 12-23 14 Q.S. al-Najm [53]: 4 15 Vincent J. Cornell, Qur’an as Scripture In John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford, 1995), hal. 387-389. 224 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Muslim dianjurkan untuk membersihkan diri sebelum menyentuh dan membaca Alquran, menempatkannya di tempat yang tinggi; tidak ada yang boleh diletakkan di atasnya. Siapa yang membaca Alquran harus mengikuti beberapa aturan etis, baik dari segi kebenaran pembacaan yang dikenal dalam ilmu tajwid, atau dari segi pakaian dan hal-hal eksternal lainnya. Di samping itu, seorang yang mempu membaca Alquran dengan keindahan dan artistic tersendiri mendapatkan prestige tertentu dalam komunitasnya. Singkat cerita, kepecayaan terhadap Alquran membentuk bagaimana Muslim untuk bertindak terhadap kitab tersebut. Sekarang, apakah implikasi dari pandangan Alquran sebagai scripture? Ada dua alasan untuk itu. Pertama, konsepsi ini membawa Alquran keluar dari segi teologisnya. Berbicara mengenai Alquran tidak hanya terbatas membicarakan Alquran itu sendiri, melainkan juga manusia yang hidup di sekelilingnya. Kedua, kitab suci, dengan segala keragamannya, dipandang sejajar. Ukuran yang dipertimbangkan hanyalah keberadaan teks suci dan manusia yang meyakininya. Keberadaan kitab suci yang menentang kitab suci lainnya tidak lantas membuat kitab suci yang ditentang menjadi inferior. Apa yang disampaikan suatu kitab suci mengenai kitab suci lainnya, harus dipahami dalam konteks keimanan untuk internal pemeluknya sendiri, tanpa harus digunakan untuk tindakan-tindakan offensive terhadap pemeluk kitab suci lainnya. D. Interreligious Understanding Alquran Setelah mengkaji pandangan ontologis Jane Dammen McAuliffe mengenai Alquran, pada sub tema ini akan dibahas bagaimana pandangannya mengenai kecerdasan interreligious Alquran. Menurut McAuliffe, tema kecerdasan interreligious beredar pada dua konsep: Qur’anic self-coinsciousness16 dan Qur’anic interreligious understanding itu sendiri.17 Baginya, Alquran merupakan kitab suci yang memperlihatkan 16 Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection…, hal. 304; Jane Dammen McAuliffe, “The Prediction and Prefiguration of Muh}ammad” dalam Bible and Qur’an: Essays in Scriptural Intertexuality, edited by J. Reeves. Atlanta: Society of Biblical Literature, 2003. hal. 107; Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians: an Analysis of Classical and Modern Exegesis (New York: Cambridge University Press, 1991), hal. 1. 17 McAuliffe memberikan dua model pemetaan yang berbeda. Dalam disertasinya, ia menjelaskan pemetaan dengan dua kategori, yaitu (1) self-definition dan (2) interreligious understanding, akan tetapi, dalam “Is There a Connection between the Bible and the Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 225 kesadaran tinggi mengenai statusnya sebagai sebuah kitab suci, yang menggambarkan bagaimana agama tertentu, atau kitab suci tertentu, mendefinisikan dirinya dalam sejarah. Sementara yang kedua mengenai bagaimana suatu agama merespon agama lainnya.18 Bagi McAuliffe, konstruksi utama dari Qur’anic self-consciousness19 adalah untuk mempertegas otoritas dan keunggulannya dari kitab lainnya.20 Alquran menempatkan dirinya dengan cara yang khas di antara kitab-kitab lainnya. Ia mengklaim bahwa kitab lainnya telah mengalami penyimpangan dari manusia. Alquran menyatakan bahwa dirinya merupakan kitab terakhir dari Tuhan kepada Rasulullah dalam bentuk yang verbatim,21 yang lebih diyakini sebagai pendiktean daripada inspirasi. Sebagai hasil dari dikte, kata per kata, kalimat per kalimat, dan setiap satu ajaran di dalamnya diyakini suci. Campur tangan manusia tidak diakui daam konteks ini. Untuk Qur’anic interreligious understanding sendiri, McAuliffe kembali membagi menjadi dua kategori: penggambaran Alquran mengenai figur-figur individual tertentu dalam Bible dan penggambaran Alquran Qur'a>n,” ia menjelaskan pemetaan dengan tiga kategori; (1) self-referentiality, (2) debate/disputation, dan (3) category creation. Tanpa penelitian yang lebih serius, terlihat jelas bahwa kategori pertama dari kedua pemetaan di atas adalah sama. Menurut McAuliffe, Alquran menciptakan identitasnya dalam keterkaitan dan perbedaan dengan kitab lainnya. Selain itu, Alquran juga menjelaskan fenomena keberagamaan manusia dengan beberapa penanda seperti Nas}a>ra>, al-Yahu>d, Maju>s, dan S|a>bi’u>n. Inilah yang ia sebut sebagai ‘categori creation,’ kategori ketiga dalam pemetaan kedua. Selain itu, Alquran juga menempatkan kategori-kategori yang bertentangan secarai biner, seperti antara mu’min dan ka>fir, yang kemudian ia sebut sebagai ‘debate and disputation.’ Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa kategori kedua dan ketiga dalam pemetaan yang kedua—dalam “Is There a Connection…”— sama dengan kategori kedua (interreligious understanding) dalam pemetaan pertama—dalam disertasinya. Lihat Jane Damman McAuliffe, Qur'a>nic Christians: an Analysis of Classical and Modern Exegesis (New York: Cambridge University Press, 1991), hal. 1; dan Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection…hal. 304. 18 Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection…; Jane Dammen McAuliffe, “The Prediction and Prefiguration… hal. 107; Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 1. 19 Ia menyebut konsep ini dalam beragam terminology. Penulis telah membahas tema ini secara lebih detil dalam artikel lainnya yang berjudul Konsep Self Referentiality of the Quran dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis vol. 12, no. 2, Juli 2011. 20 Jane Dammen McAuliffe, “Is there a Connection …, hal. 304. 21 Menurut Nashr Hamid Abu Zayd, wahyu diturunkan dalam dua cara. Pertama, dengan cara simbolis menggunakan lonceng atau di belakang hijab. Cara ini merupakan cara penurunan wahyu dalam bentuk sunnah. Sementara wahyu dalam konteks Alquran, diturunkan secara verbal, yang mana ini merupakan bentuk kedua. Lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khairun Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 4856. 226 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 terhadap umat agama lain dalam bentuk komunitas. Alquran memang memiliki sejumlah ayat yang menyebutkan beberapa vigur dalam Bible, seperti Adam, Musa, Yusuf, Isa, Maryam, dan sebagainya. Alquran juga dalam beberapa tempat menyebut komunitas beragama lainnya seperti allazina hadu, al-nashara, dan sebagainya. Inilah yang dimaksudkan oleh Jane Dammen McAuliffe melalui kategorinya. Telah banyak kajian kesarjanaan dalam kategori pertama ini. Dalam salah satu footnote-nya, McAuliffe menyebutkan paling tidak sepuluh tulisan yang telah membahas Jesus dan tiga mengenai Mary; beberapa dalam bahasa Inggris dan yang lainnya berbahasa Jerman. Beberapa diantaranya yang bisa penulis temukan adalah tulisan Geoffery Parrinder yang berjudul Jesus in the Qur’an,22 Gustav Weil dengan The Bible, the Koran, and the Talmud.23 Hanya saja, tulisan McAuliffe sendiri dalam konteks ini cukup sedikit; Ia lebih banyak menulis untuk kategori kedua. Ia hanya menulis tiga artikel untuk kategori pertama ini: "Chosen of All Women: Mary and Fatima in Qur’anic Exegesis,"24 “The Prediction and Prefiguration of Muh}ammad,”25 dan Qur’anic Context of Muslim Biblical Scholarship.”26 Pada kesimpulannya, mengenai kategori ini, McAuliffe menjelaskan bahwa penggambaran Alquran mengenai figur-figur personal tertentu yang ada dalam Bible adalah dalam rangka menjelaskan ramalan kedatangan Nabi berikutnya, yaitu Muhammad.27 Sementara untuk kategori kedua, penggambaran Alquran mengenai umat beragama tertentu, dalam konteks ini adalah Kristen, sebagai sebuah komunitas, yang menjadi pokok kajian dalam artikel ini, ia tulis secara panjang lebar dalam disertasinya yang berjudul Qur’anic Christians. 22 Geoffery Parrinder menggunakan pendekatan teologis. Dalam halaman demi halaman, ia mengeksplorasi bagaimana Alquran berbicara tentang Isa/Yesus, lalu kemudian dibandingkan dengan teks parallel dari Bible. Lihat Geoffrey Parrinder, Jesus in the Qur’an (England: One World Oxford, 1996). 23 Gustav Weil melakukan riset kritis yang serius terhadap literatur-literatur Arab, termasuk Aquran dan Tafsir, untuk melihat legenda-legenda Biblical. Ia kemudian membandingkannya dengan tradisi Yahudi. Lihat Gustav Weil, The Bible, the Koran, and the Talmud (London: Longman, 1846). 24 Jane Dammen McAuliffe, "Chosen of All Women: Mary and Fatima in Qur’anic Exegesis." Islamochristiana 7 (1981), hal. 19-28. 25 Jane Dammen McAuliffe, “The Prediction and Prefiguration …, hal. 107-131. 26 Jane Dammen McAuliffe, “The Qur’anic Context of Muslim …, hal. 141-153. 27 Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 289 Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 227 E. Ayat-ayat Perdamaian Dalam disertasi tersebut, McAuliffe melakukan penelitian terhadap tujuh ayat yang menggambarkan Kristen dalam bentuk appresiasi. Sebagai pengaruh dari pandangan ontologisnya mengenai Alquran sebagai scripture, kajiannya mengenai ayat ini tidak pernah dilepaskan dari kata kunci keterhubungan antara kitab suci dan penganutnya. Oleh sebab itu, dalam setiap research question, dia selalu memasukkan unsur penganut Alquran, yang dalam hal ini adalah tafsir: “These verses prompt several central question: How have Muslims understood this apparent divine praise of Christians? What have these verses meant to Muslims in both the classical and modern periods if Islami history? Do these verses justify the assertions and claims made on their behalf? The most comprehensive answer to such queries lies in a close examination of that body of Islamic literature to which allusion has already been made, Qur’anic commentary (tafsir).”28 Terlihat bagaimana tafsir menjadi unsur yang integral dalam memahami konsep interreligious Alquran bagi McAuliffe. Sebagai tindak lanjutnya, ia melakukan review terhadap sepuluh tafsir dari masa ke masa. Pemilihan dan pemaparan tafsir-tafsir tersebut ia lakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, ia menyusun tafsir-tafsir tersebut secara kronologis, semenjak akhir abad ke IX M hingga akhir abad XX; ia menyusun tafsir secara berurutan dari tafsir Abu Ja’far bin Jari>r al-Thabari hingga tafsir Muhammad Husayn T{abat{aba’i>. Kedua, ia juga mempertimbangkan sectarian inclusiveness dengan memilih empat tafsir syi’ah dan enam lainnya dari sunni. Ketiga, ia juga mempertimbangkan aspek perspektif yang digunakan tafsir. Untuk perspective teologis, Mu’tazilah diwakili oleh al-Zamakhsyari, dan Asy’ariah diwakili oleh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, perspektif hukum diwakili oleh Ibn Jawzi dan Ibn Katsir, dan untuk agenda modernis ia menggunakan tafsir Rasyid Ridha dan Husayn T{abat}aba’i. Sederhananya, sepuluh tafsir yang ia gunakan adalah tafsir T{abari, Ali> Abu> Ja’far al-T{u>si>, al-Zamakhsyari, Abu> al-Futu>h al-Ra>zi>, 28 Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians, hal. 7. 228 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Ibn al-Jawzi>, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Ibn Kas\i>r, Fath{ulla>h al-Kas}a>ni>, Rasyid Ridha, dan Husayn T{abat}aba’i>.29 Tujuh ayat tersebut adalah: ]62 55 199 66 . 83-82 52 53 54 5552 27 Apakah yang dimaksudkan oleh Jane Dammen McAuliffe dengan Qur’anic Christians? Selain itu, dalam beberapa tempat ia juga 29 Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians, hal. 37. Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 229 menggunakan istilah Biblical Christians dan Sociological atau Historical Christians. Lantas, apakah yang ia maksudkan dengan Qur’anic Christians? McAuliffe memang tidak menjelaskan secara jelas apa yang ia maksud dengan terma ini. Akan tetapi, dalam halaman demi halaman dari tulisannya, dapat disimpulkan bahwa yang ia maksud dengan Qur’anic Christians adalah Kristen versi Alquran; bagaimana Alquran menggambarkan atau mendefinisikan Kristen. Jika demikian, maka Biblical Christians adalah Kristen versi Bible; bagaimana Bible mendefinisikan Kristen. Adapun Sosiological atau Historical Christians adalah Kristen yang empiris secara sosiologis dan historis. Dua pertama merupakan Kristen versi normative dari kitab suci, Alquran dan Bible, dan yang terakhir adalah Kristen versi empiris. Bagaimanakah Kristen versi Alquran, The Qur’anic Christians? Ia menjelaskan bahwa melalui tujuh ayat tersebut, Alquran telah memberikan sanjungan terhadap Kristen. Jika disimpulkan, tujuh ayat tersebut melakukan klasifikasi dan kategorisasi terhadap Kristen sebagai komunitas beragama, dengan terma dan tipologi yang samar dan overlap. Beberapa ayat melakukan kategorisasi dengan menyebut agama sebagai nama formal seperti Yahudi, Kristen (Nas}a>ra>), S}a>bi’u>n, dan Maju>s; sementara pada beberapa tempat menyebutkan bagian-bagian kecil dari agama tersebut, seperti pendeta. Selain menyebutkan agama dengan nama yang formal dan jelas, sebagian lainnya menyebutnya dengan istilah-istilah yang kurang definitive dan lebih memilih cara descriptive seperti allaz\i>na ittaba’u>ka dan allaz\i>na a>taina>hum al-kita>b. Akan tetapi, di atas semua itu, klasifikasi yang paling jelas adalah pembagian antaran allaz\i>na a>manu> atau man a>mana billa>hi dengan allaz\i>na la yu’minu>na. Ayat-ayat tersebut membagi manusia berdasarkan aspek-aspek dogmatis, moral, dan social-religious. Selain melakukan klasifikasi, ayat-ayat tersebut menyelibkan pujianpujian. Beberapa karakter baik disebutkan, seperti tunduk kepada Tuhan (a>mana billahi), menghormati wahyu Tuhan (la yasytaru>na bi a>ya>tilla>hi s\amanan qali<la), dan sebagainya. Kedua pola ini, klasifikasi dan karakterisasi, menjadi satu elemen yang dramatis dari sudut pandang kesusastraan, menurut Jane Dammen McAuliffe. Menurut McAuliffe, seorang Kristen tidak akan kesulitan menemukan dirinya dalam karakter-karakter yang dijelaskan oleh Alquran sebagaimana ayat di atas. Alquran menyebut umat Kristen sebagai umat yang tunduk 230 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 kepada Tuhan dan menghormati wahyu Tuhan (Q.S. Ali Imra>n [3]: 199); orang yang beriman (Q.S. al-Qas}as} [28]: 52); orang yang penyantun dan penyayang, bukan yang arogan (Q.S. al-Ma>idah [5]: 82); berpaling dari penyembah berhala (Q.S. al-Qas}as} [28]: 55); menerima kebenaran (Q.S. alMa>idah [5]: 83) dan sebagainya. Seorang Kristen tidak akan keberatan menerima pujian-pujian tersebut. Ia menjelaskan bahwa, Qur’anic Christians, Kristen versi Alquran, bisa diterima meskipun oleh orang Kristen sendiri.30 Akan tetapi, pada perkembangannya, McAuliffe katakan, Qur’anic Christians ini dikendalikan oleh tafsir. Bagi McAuliffe, tafsir Alquran telah mengendalikan dan membentuk konfigurasi hermeneutikal tersendiri, sehingga menghasilkan cara pandang yang berbeda tentang Kristen.31 Sebagai akibatnya, umat Kristen tidak lagi bisa menemukan dirinya dalam penjelasan-penjelasan tafsir tersebut. Tafsir-tafsir telah membatasi dan mempersempit kategori ‘Kristen,’ bahwa hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa dianggap orang yang beriman secara benar. Sebagai contoh, bisa ditemukan pada review McAuliffe terhadap bagaimana para penafsir menanggapi verbal repetition antara inna al-laz\i>na a>manu … and man a>mana… pada Q.S. al-Baqarah [2]: 62. Al-T{abari menyematkan konotasi minhum dalam ayat tersebut. 32 Penempatan kata minhum ini menjadi sangat penting dan memberikan signifikansi yang besar dalam penafsiran ayat ini. Kata ini bahkan dijadikan kata kunci utama, dimana al-T{abari mengidentifikasi setiap kategori Alquran, al-laz\i>na a>manu; allaz\i>na ha>du>; al-nas{a>ra>; dan al-s}a>bi’i>na. Dengan kata ini, ia membedakan makna man a>mana atau mu’min untuk tiap-tiap kategori Qur’an ini. mu’min untuk al-laz\i>na a>manu bermakna tetap dan teguh pada keimanan tersebut, sementara mu’min untuk allaz\i>na ha>du>; alnas{a>ra>; dan al-s}a>bi’i>na bermakna berpindah dari keyakinan lama kepada 30 Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 286. Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 290. 32 148 ص/ 2 )ج- ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻄﺒﺮي 31 Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 231 keyakinan baru, dari keyakinan tarhadap Isa/Yesus kepada ajaran yang dibawa oleh Muhammad.33 Penafsiran al-T{abari ini kemudian dilanjutkan oleh penafsir-penafsir lainnya tanpa perbedaan yang signifikan. Menurut McAuliffe, tafsir telah membagi Kristen kepada kelompok yang tidak seimbang. Para penafsir memahami bahwa Alquran membuat perbedaan yang definitive antara umat Kristen yang sebenarnya, dengan umat Kristen yang telah dipengaruhi oleh kitab suci yang telah terdistorsi.34 Begitu juga untuk kasus pengikut Isa/Yesus dalam Q.S. Ali Imra>n [3]: 55; “… wa ja>’il allaz\i>na ittaba’u>ka fawqa allaz\i>na kafaru>…” Ada dua permasalahan yang dibicarakan tafsir dari potongan ayat tersebut, yaitu siapakah yang dimaksud dengan allaz\i>na ittaba’u>ka (kata ganti ‘ka’ merujuk kepada ‘I<sa) dan apa makna fawqa? Al-T{abari menyebutkan bahwa allaz\i>na ittaba’u>ka adalah orang-orang yang beriman (mu’min). Pertanyaan berikutnya, siapakah mu’min yang dimaksud? Sebagaimana karakternya, alT{abari menuliskan riwayat-riwayat yang menyatkan bahwa mu’min berada di atas (fawqa) orang-orang kafir. Salah satu riwayat yang ia kutip berasal dari al-Suddi yang menyatakan bahwa mu’min dalam konteks ini bermakna pengikut Isa. Pendapat serupa diikuti oleh al-T{usi dan al-Zamakhsyari. Perbedaan mereka dari al-T{abari adalah mengenai makna fawqa¸dimana mereka memperdebatkan apakah superioritas tersebut bermakna moral atau social-politikal. Akan tetapi, ada perbedaan di tangan Ibn Jawzi, yang menafsirkan allaz\i>na ittaba’u>ka secara jelas sebagai pengikut nabi Muhammad, karena mereka mengakui otoritas Isa sebagai rasul. Begitu juga Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, menafsirkan allaz\i>na ittaba’u>ka sebagai orang yang percaya bahwa Isa adalah ‘abd Alla>h dan rasul-Nya. Hanya saja, masih menurut al-Ra>zi, setelah kedatangan Islam, frase ini bermakna Muslim.35 Perhatian yang lebih serius diberikan oleh McAuliffe terhadap penafsiran Ibn Kas\i>r. Ia bahkan tidak melakukan paraphrase terhadap Ibn Kas|i>r melainkan mengutip secara langsung. Hal ini, menurut McAuliffe, karena Ibn Kas\i>r secara vokal melakukan penyimpangan makna allaz\i>na ittaba’u>ka 33 Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 98-105. Tema Distorsi dibahas oleh Jane Dammen McAuliffe dalam beberapa artikel dia lainnya diantaranya The Qur’anic Context of Muslim Biblical Scholarship. Lihat Jane Dammen McAuliffe, “The Qur’anic Context… hlm. 145-147. 35 228 ص/ 4 )ج- )ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﺮازي 34 232 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 menjadi Muslim pengikut Muhammad, dan dengan menggunakan data historis memperlihatkan bahwa Muslim lebih mulia daripada umat lainnya.36 Contoh di atas, berdasarkan logika McAuliffe, telah memperlihatkan bagaimana tafsir mengendalikan makna ayat. Menurut para penafsir, the Qur’anic Christians adalah mereka yang mengikuti Isa dimana dalam ajarannya disebutkan prediksi kedatangan nabi terakhir, Muhammad. Karena Kristen versi Alquran ini percaya kepada Injil yang masih murni, mereka tidak akan merasa keberatan untuk menerima Muhammad sebagai Rasul baru setelah Isa. Merekalah Kristen yang sebenarnya, sementara yang menolak kedatangan Muhammad telah dipengaruhi oleh Injil yang corrupted. 37 Terlihat bahwa McAuliffe menitikberatkan analisisnya pada bagaimana penafsir mengomentari ayat-ayat tersebut. Ia kemudian membedakan dua aspek, antara Alquran itu sendiri dan penafsirannya. Teks Alquran adalah apa yang secara jelas disebutkannya, sementara tafsir adalah penjelasan hermeneutis yang dilakukan para ahli untuk mengungkap makna dari teks. Terma Qur’anic Christians secara sepintas memperlihatkan bagaimana pandangan Alquran mengenai Kristen. Akan tetapi, sebagai pengaruh dari pandangan ontologisnya mengenai Alquran yang mementingkan unsure relation, tafsir menjadi unsure yang integral dalam konteks ini. Hanya saja, penulis menemukan satu titik inkonsistensi McAuliffe dalam bangunan teorinya dalam hal ini. Ia menyatakan bahwa ayat Alquran pada perkembangannya dikendalikan oleh Tafsir. Umat Kristen yang awalnya tidak merasa kesulitan untuk mengidentifikasi diri mereka dalam satu atau sejumlah sifat yang dipujikan oleh Alquran, ketika membaca Tafsir tidak lagi menemukan tempat untuk diri mereka. Setelah dikendalikan oleh tafsir, Qur’anic Christians tidak merepresentasikan historical Christians atau komunitas hidup yang menyebut dirinya sebagai umat Kristen.38 Lebih lanjut, menurut McAuliffe, sejauh ini belum ada usaha yang dilakukan 36 48 ص/ 2 )ج- ; )ﺗﻔﺴﯿﺮ اﺑﻦ ﻛﺜﯿﺮJane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 151. 37 38 Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, hal. 285-289. Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, p. 285-289. Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 233 untuk memisahkan makna ayat dari subjektifitas penafsirnya,39 dan itulah yang ia lakukan pada disertasinya. Inilah yang menjadi permasalahan, ketika ia berharap menemukan makna Alquran yang independen dari tafsir, maka ia tidak lagi menggunakan kata kunci relation dalam pandangannya terhadap Alquran. Disamping itu, McAuliffe tampaknya juga tidak menyadari, bahwa usahanya melakukan isolasi terhadap Alquran dari investigasi tafsir pada hakikatnya akan menghasilkan tafsir jenis baru. Kembali, ini akan mengungkap subjektifitas penafsir itu sendiri. Sebagai akibatnya, McAuliffe seperti terjebak dalam angan-angan utopis untuk menemukan makna objektif dari Alquran tanpa melibatkan subjektifitas penafsir. Meskipun begitu, penulis memahami apa yang dilakukan McAuliffe sebagai usaha untuk membuka alternatif baru dalam tafsir, tafsir yang lebih sehat secara interreligious, yang lebih menghargai keberadaan agama lainnya, yang dalam konteks ini adalah Kristen. F. Simpulan Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Jane Dammen McAuliffe memandang Alquran sebagai scripture, dimana komunitas pemegang Alquran merupakan aspek penting dalam memahami Alquran; dimana sakralitas Alquran dibangun oleh komunitas tersebut. Kedua, sebagai pengaruh dari pandangan ini, McAuliffe selalu membawa tafsir, sebagai salah satu bentuk resepsi penganut kitab suci, dalam memahami Alquran. Ketiga, McAuliffe mengkritisi tafsir-tafsir dengan menyatakan bahwa Tafsir telah mengendalikan pandangan Alquran tentang Kristen, sehingga gambaran Alquran mengenai Kristen tidak bisa dianggap merepresentasikan historical Christians maupun komunitas hidup yang menyebut diri mereka Kristen. 39 Jane Dammen McAulifee, Qur’anic Christians…, p. 286. 234 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Daftar Pustaka Al-Qur’a>n al-Kari>m Abdallah, Ulil Abshar. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Kompas Gramedia. 2009. Boullata, Issa J.. Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an. Surrey: Curzon. 2000. __________. I’ja>z al-Qur’a>n al-Kari>m ‘Abra al-Ta>ri>kh trans. Bachrum (dkk.). Jakarta: Lentera Hati. 2008. Bucaille, Maurice. La Bible le Coran et la Science trans. M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang. 1984. Burton, John. The Collection of the Qur’an. London: Cambridge University Press. 1977. Cornell, Vincent J. “Qur’an as Scripture” In John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford. 1995. Firestone, Reuven. “The Qur’an and the Bible: Some Modern Studies of Their Relationship” In John C. Reeves (ed.). Bible and Qur’an: Essays in Scriptural Intertextuality. Atlanta: Society of Biblical Literature. 2003. Ghazali, Abd Moqsith (dkk.). Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009. Geiger, Abraham. Judaism and Islam. New York: Ktav Publishing House. 1970. Goldziher, Ignaz. Muslim Studies translated by Barber dan Stern. London: Ruskin House Musuem Street. 1971. Jeffery, Arthur. “Textual Criticism” In Jane Dammen McAuliffe (ed.). The Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill.2004. __________. The Foreign Vocabulary of the Qur’an. Leiden: Brill. 2007. Kas\i>r, Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m edited by Musthafa Sayyid Muhammad. Cairo: Mu’assasah al-Qurt}ubah. 2000. Lawrence, Bruce. Biographi Al-Qur’an translated by Ahmad Asnawi. Yogyakarta: Diglossia Media. 2006. Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 235 Luxemberg, Christoph. The Syiro-Aramaic Reading of the Qur’an. Berlin: Verlag Hans Schiler. 2007. Martin, Richard C. (ed.). Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson: The University Arzona Press. 1985. McAuliffe, Jane Dammen. "Chosen of All Women: Mary and Fatima in Qur’anic Exegesis." Islamochristiana 7. 1981. __________. “Exegetical Identification of the S}a>bi’u>n” In Willem A. Bijlefeld (ed.). The Muslim World Vol LXXII. The Duncan Black MacDonald Center Hartford Seminary. 1982. __________. Qur’anic Christians: an Analysis of Classical and Modern Exegesis. New York: Cambridge University Press. 1991. __________. “The Abrogation of Judaism and Christianity in Islam: A Christian Perspective” within Hans Kung and Jurgen Moltmann. Islam: A Challenge for Christianity. London: SCM Press. 1994. __________. “Islam (authoritative text and their interpretation)” within J.Z. Smith dan W.S. Green (ed.). The Harper Collins Dictionary of Religion. San Fransisco: Harper San Fransisco. 1995. __________. Abbasid Authority Affirmed: The Early Years of al-Mansur. Translation, introduction and annotation of vol. 28, Ta’rikh al-rusul wa al-muluk. Albany: State University of New York Press. 1995. __________. The Qur’anic Context of Muslim Biblical Scholarship, Islam and Christian—Muslim Relations. Volume VII. 1996. __________. “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection” within Issa J.Boullata. Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an. Surrey: Curzon. 2000. __________ (ed.), The Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden: Brill, 2001). __________.“Is There a Connection between the Bible and the Qur’an”. Theology Digest volume XLIX. Number I. Spring 2002. __________. “The Prediction and Prefiguration of Muhammed” within John C. Reeves (ed.). Bible and Qur’an: Essays in Scriptural Intertextuality. Atalanta: Society of Biblical Literature. 2003. __________. With the Reference for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Christianity, and Islam. Oxford: Oxford University Press. 2003. 236 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 __________. “Debate and Disputation” within Jane Dammen McAuliffe (ed.). The Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill. 2004. Volume I. __________. “Religious Pluralisme and the Qur’an” within Jane Dammen McAuliffe (ed.). The Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill. 2004. Volume IV. __________. “Connecting Moses and Muhammad” In Paul Magdalino and Robert Nelson (ed.) The Old Testament in Byzantium. Washington DC: Dumbarton Oaks Research Library. 2010. Mourad, Suleiman A.. “Mary in the Qur’an: a Reexamination of Her Presentation” within Gabriel Said Reynolds (ed.). The Qur’an in Its Historical Context. New York: Routledge. 2008. Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010. Neuwirth, Angelika (ed.). The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigation into the Qur’anic Mileu. London: Brill. 2010. __________. “Qur’anic Reading of the Psalms” within Angelika Neuwirth (ed.). The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigation into the Qur’anic Mileu. London: Brill. 2010. Parrinder, Geoffrey. Jesus in the Qur’an. England: One World Oxford. 1996. Rahman, Fazlur. Islam London: The University of Chicago Press. 1979. __________. “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors”, The Journal of Religion, LXIV, 1984. __________. Major Themes of the Qur’an trans. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka. 1996. Ridha, Rasyid. Tafsi>r al-Mana>r. Cairo: Dar al-Manar.1947. Setiawan, Nur Khalis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ. 2006. __________, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Teraju, 2003. Smith, Wilfred Cantwell. Kitab Suci Agama-agama trans. Dede Iswadi. Jakarta: Teraju. 2005. al-S}uyu>ti. al-Itsqa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r el-Fikr. 2008. Fadhli Lukman, Ayat-Ayat Perdamaian | 237 Syamsuddin, Sahiron. “Studi al-Qur’an di Jerman”. Republika. Jumat 17 September 2010. Wansbrough, John. Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation. London: Oxford University Press, 1977. Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi Al-Qur’an: Penyempurnaan atas Karya Richard Bell translated by Taufik Adnan Amal. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1995. Weil, Gustav. The Bible, the Koran, and the Talmud. London: Longman. 1846. Wild, Stefan (ed.). The Qur’an as Text. Leiden: Brill. 1996. __________. “The Self-Referentiality of the Qur’an: Su>rah 3:7 as an Exegetical Challenge” in Jane Dammen McAuliffe (ed.), With the Reference for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Christianity, and Islam. Oxford: Oxford University Press. 2003. Wright, Lawrence. Sejarah Teror: Sejarah Panjang menuju 11/9 translated by Hendra. Yogyakarta: Kanisius. 2011. al-Z|ahabi, Muhammad Husain. al-Isra>iliyya>t fi al-Tafsi>r wa al-Hadi>s\. Kairo: Maktabah Wahbah. 1990. __________. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Maktabah Wahbah. 2000. Al-Zamakhsyari, al-Kasysya>f ‘an Gawa>mid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi Wuju>h al-Ta’wi>l edited by ‘Adil Ahmad Abdul Mawjud. Riyah: Maktabah al-‘Ubaikan.1998. Zayd, Nas\r H{ami>d Abu.> “Everyday life, Qur’an in” in Jane Dammen McAuliffe (ed.). Encyclopaedia of the Qur’an. Leiden: Brill. 2002. McAuliffe’s Curriculum Vitae that she updated in Januari 2011. 238 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 KONTEKSTUALISASI ZAKAT DAN PERUBAHAN SOSIAL (Analisis Transformasi Sosial dengan Pendekatan Wacana Keagamaan) Arif Widodo Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Wahid Hasyim Semarang [email protected] Abstrak Generally, the objectives of this research are to know the contextualization of zakat and social change in the modern era. In addition, specifically, it is to know 1) what is the basic meaning of zakat?, 2) What kind of contextualization of the material aspects of zakat zakat?. The data are analyzed by descriptive and content analysis. The results of the research show that 1) Seen from zakat object, something that is given not just limited to material goods but also the nature is merit, and expenses in accordance with the level and size of each., 2) Zakta is realized with good impact on the culture of justice, social solidarity, individuals and groups, and the usefulness for the local economy, 3) in general, The greater the scope of the goods and services that must be paid and supported by the public's understanding of the aims and objectives of zakat, the charity receiving the wider opportunities which in turn leads to economic terentasnya macro. Kata kunci : Zakat, Perubahan Sosial. A. Pendahuluan alah satu rukun Islam yang hubungannya tidak hanya bersifat vertikal (hablun minallah) tetapi juga berifat horizontal (hablun minannas) adalah zakat. Makna yang ada di dalamnya bernuansa individual dan sosial. Individual karena ada misi pribadi dan kepentingan S 240 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 serta manfaat atau keuntungan yang diterima juga bersifat pribadi sebagai hasil dari berzakat, dan tidak bisa digantikan oleh orang lain sebagai penerima pahala dari zakatnya. Sedangkan aspek sosialnya nampak pada distribusi zakat yang nantinya dinikmati oleh orang lain sebagai penerima zakat, dan bisa jadi terjalin hubungan lebih luas lagi antara pemberi dan penerima, tidak hanya sebatas kontrak zakat. Artinya, akan muncul budaya sosial yang dihasilkan dari kontak sosial dengan media penyaluran zakat itu sendiri, seperti menjalin silaturahmi, kekerabatan, dan selanjutnya akan mungkin terjadi hubungan timbal balik, saling menolong satu sama lain. Dari keadaan seperti itulah dampak zakat nampak dan benar-benar fact impact. Namun demikian, yang perlu dicermati saat ini adalah masih terbatasnya manfaat zakat yang selama ini tersalurkan, dan itu disebabkan beberapa hal. Pertama, kurangnya perhatian sesama muslim terhadap muslim lain. Kedua, minimnya jiwa dermawan dan kuatnya jiwa kikir yang dimiliki oleh sebagian besar orang muslim yang notabene termasuk golongan kaya (aghniya’). Ketiga, pandangan masyarakat yang masih menganggap bahwa zakat terbatas pada barang-barang hasil agraria maupun perdagangan sehingga mempersempit ruang zakat, khususnya bagi sebagian kalangan yang mata pencahariannya di luar konteks dua hal ini, seperti para pegawai, advokat, konsultan, pakar dan sebagainya. Ketiga hal di atas akan berdampak besar terhadap laju perkembangan zakat manakala tidak segera diupayakan untuk meminimalisir ketiganya dengan berbagai cara. Karena, tidak menutup kemungkinan jika laju zakat membaik akan berimbas pada terangkatnya sosio-ekonomi masyarakat kelas bawah, minimal menjadi penyeimbang rata-rata pendapatan Nasional. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad: “Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. ” Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, satu masalah yang perlu dikaji dalam kesempatan ini dan didiskusikan bersama menuju solusi ke depan adalah merubah mandsite masyarakat tentang makna zakat secara luas dan proporsional. Ini perlu dicermati untuk meminimalisir dampak dari masalah ke-tiga di atas, yaitu; “pandangan masyarakat yang masih menganggap bahwa zakat terbatas pada barang-barang hasil agraria maupun perdagangan sehingga mempersempit ruang zakat.” Oleh karenanya, pertanya subtansi Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial | 241 yang perlu dijawab dalam makalah ini adalah 1) apa makna dasar dari zakat?, 2) seperti apa kontekstualisasi zakat dari aspek material zakat?. Dalam artikel ini, penulis ingin melihat subtansi dari zakat secara proporsional dan sesuai konteks sosial dan kultural di tengah masyarakat saat ini dan peranannya yang siginifikan dan strategis sebagaimana yang diamanatkan oleh agama Islam yang tentunya berdampak pada perubahan sosial masyarakat dari sisi ekonomi dan kultur bermasyarakat jika dapat memosisikan zakat sebagaimana mestinya. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang pentingnya mengefektifkan peran Zakat di tengah-tengah masyarakat yang haus akan ekonomi, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi penyakit utama bangsa dan pentingnya agama sebagai solusi akan semua keluhan umat, khususnya dalam kesejahateraan sosial, karena Islam memberikan jaminan kebutuhan hidup dunia hingga akhirat manakala etika Islam dan berbagai aturan main-nya dijalankan sebagaimana mestinya. B. Landasan Teori Untuk mempermudah arah kajian makalah pada kesempatan kali ini, berikut beberapa konsep sederhana yang dijadikan landasan konseptual penulis dalam memaparkan makalah tentang kontekstualisasi zakat dan perubahan sosial: Zakat : Pengertian Zakat Dilihat dari perspektif bahasa, zakat berarti suci dan subur. Sedangkan menurut istilah syara’, zakat adalah kadar harta yang diberikan kepada para mustahiq zakat sesuai dengan syarat dan ketentuannya.1 Landasan Kewajiban Membayar Zakat Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya. Landasan kewajiban mewmbayar zakat: 1 Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), Hlm. 729. 242 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Al-Qur’an : - Al-Baqarah: 43: Artinya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'". - At-Taubah :103: Artinya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". - Al An'aam :141: Artinya: "Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dikeluarkan zakatnya)". Al-Hadis : - Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa di bulan Ramadhan". - Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupanorang-orang fakir diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih". Perubahan Sosial : Perubahan sosial adalah cara hidup dan berfikir, pergaulan, seni, agaman, rekreasi dan hiburan yang disebabkan oleh ekspresi jiwa seseorang.2 Perubahan semacam ini bisa meliputi perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Lebih lanjut, selo berpendapat bahwa Perubahan-perubahan social adalah perubahan demi perubahan pada tataran masyarakat yang berdampak 2 272. Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart, Newyork 1937 pp Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial | 243 pada sistem sosial, seperti nilai-nilai, sikap dan pola perilaku kelompok masyarakat.3 Adapun sebab terjadinya perubahan sosial menurut Soekarno (1990) dibedakanmenjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah penyebab yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, seperti bertambah maupun berkurangnya jumlah penduduk, munculnya suatu yang baru, adanya konflik, pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor eksternal adalah dari luar masyarakat, seperti keadaan lingkungan fisik, peperangan dan bisa jadi adanya pengaruh budaya masyarakat luar. C. Metodologi Penelitian Untuk melakukan penelitian yang bersifat kualitatif ini, metode yang dipakai adalah metode deskriptif analitis dengan model kajian pustaka. Metode ini dipakai untuk menelaah secara konseptual dan literal dari teoriteori yang terpustaka dan memenuhi standar ilmiah. D. Pemaparan Paradigma Zakat dan Perannya dalam Perubahan Sosial Dilihat dari aspek bahasa (lughah), zakat dapat berarti tumbuh, berkembang, subur dan bertambah (HR.At-Tirmidzi), atau dapat dimaknai membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah :10). Secara bahasa sudah mengisaratkan bahwa zakat mempunyai manfaat yang besar, dari yang sempit menjadi luas, dari yang miskin menjadi tercukupi, dari yang kotor menjadi suci. Ini berarti dampak yang ditimbulkan sesuai dengan makna yang dimiliki oleh zakat; yaitu berkembang dan bertambah baik. Sehingga, secara tidak langsung bisa dipastikan bahwa zakat berperan mengangkat derajat ekonomi masyarakat manakala tersalurkan dengan baik, karena proses zakat adalah penyetaraan status sosio-ekonomi, paling tidak tidak ada kesenjengan signifikan antara yang mampu dan kurang mampu, dan tidak seperti keadaan kebanyakan, yang miskin tambah miskin dan yang kaya tambah kaya. 3 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Jakarta:1964), hlm. 486,497 244 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Aspek Syara’: Zakat dijadikan sebagai salah satu pondasi agama Islam dan bahkan sebagai rukun Islam yang ketiga.4 Posisi tersebut mengisaratkan betapa pentingnya zakat untuk mengangkat derajat dan kepercayaan manusia akan Islam, bahwa Islam juga memperhatikan aspek kehidupan manusia yang paling krusial yaitu harta benda. Artinya, dengan zakat, kesejarteraan manusia akan kebutuhan ekonomi tercukupi secara normal. Orang yang miskin akan secara tidak langsung akan terangkat ekonominya dengan peran orang yang lebih kaya dan mempunyai harta yang lebih dari cukup untuk disalurkan kepada yang membutuhkan. Aspek Perubahan Sosio-Ekonomi Zakat jika diaplikasikan secara nyata akan berdampak pada berbagai dimensi manusia, di antaranya adalah:5 - Perwujudan solidaritas sosial Adanya proses penyaluran zakat memunculkan keadaan hubungan antara individu maupun kelompok yang didasarkan pada kesamaan perasaan moral dan kepercayaan yang dipegang bersama. - Pemerataan Ekonomi masyarakat Dengan zakat, sistem ekonomi dapat digerakkan, yaitu dengan pola atau konsep mu’amalat. Dengan pola tersebut, pendapatan individu maupun kelompok masyarakat dapat terangkat, dan tentunya adalah berawal dari kemauaan dan kemampuan masyarakat yang menyalurkan zakatnya. Karena, bagaimanapun juga, zakat adalah bentuk komitmen hukum Islam dalam hal sosio-ekonomi untuk memenuhi kebutuhan primer bagia semua orang, tanpa mengandalkan BLT pada kas negara seperti pada sistem sosialis. Barang Zakat yang Telah Disepakati Syara’: Dilihat dari dimensi fiqih, zakat terbagi menjadi dua bagian, yaitu: zakat harta benda dan zakat badan. Untuk harta benda diambilkan dari harta orang-orang kaya, seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an (Al-Dazarriyat: 19) 4 Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ ulumuddin, imam ghazali, pen. Fadlurrahman dan Aida Humaira (Jakrata: SAHARA Publisher, 2012), cet. 12,hlm. 106. 5 http://forum.kompas.com, fungsi zakat dalam kehidupan sosial-ekonomi, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013. Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial | 245 “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang fakir miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. Ayat yang terkandung mengilustrasikan akan berbagai harta tanpa pembedaan jenis harta. Bisa harta pertanian, industri (pabrik dan buruhnya), dan harta niaga atau perdaganga. Dengan demikian, apapun barangnya bisa dialokasikan zakatnya sebagaimana pendapat para ulama’ madzab yang menggaris bawahi contoh kekayaan yang dimiliki masyarakat, seperti binatang ternak, biji-bijian, buah-buahan, barang tambang dan bahkan uang. Sebagai contoh, untuk binatang ternak, ulama sepakat bahwa yang nantinya dizakati adalah: unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan kibas kecuali kuda, keledai dan baghol (pencampuran keduanya). Namun demikian, kuda merupakan hewan yang masih dalam perselisihan beberapa tokoh, seperti imam Abu Hanifah yang berpendapat wajib dizakati manakala untuk peternakan meskipun jumhur mengatakan tidak wajib. Perbedaan tentang wajibnya hewan kuda tersebut dinilai oleh ulama mutaakhirin Ibnu Rusd sebagai perbedaan pendapat yang disebabkan adanya perbedaan cara pandang qiyas pada sebuah hadis, dan diduga juga sebagai hasil dari pertentangan bunyi hadis yang satu dengan yang lain.6 Untuk redaksi hadis yang disinyalir mengarah pada tidak wajibnya zakat pada hewan kuda adalah: “Seorang muslim tidak wajib menzakati budak dan kudanya” Hadis tersebut menunjukkan tidak adanya zakat pada kuda meski keumumannya ditentang oleh qiyas yang menghendaki tidak adanya perbedaan antara kuda yang diternakkan dengan unta dan sapi, maka hendaklah dizakati. Di sisi lain, ada hadis yang menghendaki hewan kuda dikeluarkan zakatnya, yaitu hadis yang dikeluarkan oleh Bukhori Muslim: “Dan ia tidak boleh lupa hak Allah pada pundak kuda itu dan bukan pada kuda sebagai kendaraan”. 6 Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid: Analisis Fiqih Para Mujtahid, pent. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidin (Jakarta: Pustaka Amin, 2007), cet.III, hlm. 563. 246 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Contoh yang kedua adalah zakat hasil tanaman (biji-bijian dan buahbuahan). Masalah ini juga kompleks dari sisi jenis apa yang dipandang syara’ wajib dizakati?, tentunya beberapa pendapat akan bermunculan berdasarkan argumen masing-masing. Namun, menurut kesepakatan ulama, kecuali Malik dan Syafi’i dan Hanifah, empat jenis tanaman yang wajib dizakati adalah jagung, gandum,kurma, dan anggur. Sedangkan pihak Malik dan Syafi’i menganggap bahwa segala hasil tanaman yang dapat disimpan lama dan menjadi makanan pokok wajib dizakatai. Hal ini sedikit berbeda dengan Abu Hanifah yang lebih luas lagi terhadapa semua tanaman, kecuali rumput, kayu bakar, dan bambu. Perbedaan mereka para ulama cukup sederhana, yaitu dari sisi perbedaan apakah kewajiban zakat tersebut karena wujud bendanya (seperti jelas-jelas ada nashnya), atau lebih dari itu, yaitu dari sisi kemanfaatan atau nilai guna. Dengan demikian, segala makanan pokok bisa dizakati, seperti beras dan jagung yang menjadi makanan pokok di jawa. Contoh ketiga adalah menzakati barang jenis logam, yaitu emas dan perak. Tentang logam ini, Malik dan Syafi’i , kecuali Abu Hanifah dan pendukungnya, berpendapat wajib ada zakatnya selama tidak digunakan sebagai perhiasan dan pakaian tetap. Pendapat mereka didasarkan pada hadis yang menerangkan bahwa perhiasan tidak wajib zakat: Akan tetapi, di era sekarang, timbul masalah lain yang sama-sama punya nilai, yaitu uang kertas, apakah termasuk kateogori yang dizakati dan setara dengan jenis logam di atas atau tidak?. Jika ditelusuri dari kaidah awal yang hubungannya dengan nilai ekonomi yang tinggi, uang kertas juga wajib ada zakatnya jika sampai nishab dan sudah berlalu waktu satu tahun. Pendapat ini didukung penuh oleh Syafi’i, Maliki dan Hanafi, kecuali Hambali yang secara tegas menolak zakatnya uang kertas sebelum ditukar dulu dengan emas atau perak.7 Kontekstualisasi Zakat Perkembangan zakat sejak mulai jaman Nabi Muhammad s.a.w, hingga masa tabi’in yang selama ini dijadikan pegangan oleh seluruh warga muslim 7 M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, pent. Masykur dkk (Jakarta: Lentera, 2010) cet. 26, hlm. 187. Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial | 247 dunia adalah berdasarkan asas ijtihadiyyah. Ini berarti secara tidak langsung memunngkinkan bagi generasi ke generasi selanjutnya sampai masa modern ini untuk melakukan kajian mendalam tentang zakat sesuai dengan perkembangan Islam yang semakin di Isi oleh pemeluk yang majemuk, dari berbagai sosial budaya yang tidak sama dengan sosial budaya tempat turunnya Al-qur’an. Al-Sidiqqi (1988) secara pribadi dengan tegas mendukung akan muatan ijtihad yang melandasi hukum zakat tersebut, bahkan Mufti Negeri Selangor dengan terang-terangan beragumen bahwa para ilmuan Islam perlulah kiranya membuka diri untuk menerima pembaharuan dan pengalihan hukum Islam khususnya dalam masalah zakat.8 Pendapat pendapat tersebut cukup beralasan karena memang pada masa khulafaurrosidin sendiri telah terjadi gerakan reformasi zakat. Reformasi tersebut secara garis besar berisi: 1) pemerintah mempunyai legitimasi untuk menentukan zakat bagi semua masyarakat yang telah memenuhi syarat. 2) pemerintah berwenang mengkaji pelaksanaan hukum-hukum zakat yang telah ditetapkan sebelumnya dan melakukan perubahan konteks zakat sesuai dengan kondisi yang ada. 3) pemerintah dapat memperluas cakupan zakat dengan harta atau produk baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat.9 Berdasarkan keterangan tentang adanya reformasi tersebut, khususnya pada urutan yang ketiga; “pemerintah dapat memperluas cakupan zakat dengan harta atau produk baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat”, nampak adanya kontekstualisasi bentuk zakat yang perlu dizakati dan tidak hanya berupa barang yang identik dengan kebutuhan orang Arab sebagaimana pada masa Nabi dan para sahabat. Bahkan ulama sekaliber Muhammad al-Ghazali sendiri tidak membatasi zakat hanya pada barang, tetapi juga pada jasa, yaitu pendapatan gaji, pendapatan seorang profesional (sesuai bidang keahliannya) yang disamakan dengan zakat pertanian dan zakat yang nantinya dikeluarkan juga disesuaikan dengan kesukaran yang dihadapi. Jika kesukarannya tergolong tinggi, maka kadar 5% dapat 8 Mohd. Tamyes Abdul Wahid, 2002: 11(Muhammad Tamyes Abdul Wahid, 2002. “Matlamat Seminar Fiqh Zakat Kontemporari, makalah pada Seminar Fiqh Zakat 2002, 31 Oktober. 9 Zahri Hamat, 2001a (Zahri Hamat, 2001a. “Pengurusan Zakat Perlukan Reformasi dan Ijtihad”, Berita Harian Malaysia, Jumaat, 12 Januari.) 248 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 mewakilinya, akan tetapi jika kesukaran/resikonya kecil maka kadarnya mencapai 7.5% sampai 10%.10 Zakat yang sifatnya dari hasil jasa, pendapatan dari gaji tersebut sekarang mulai diadakan dengan berbagai pendapat yang berbeda-beda akan nilai zakatnya. Di samping itu, masalah zakat profesi ini, ada yang mengqiyaskannya dengan zakat emas dan perak, baik pendapatan bersih maupun pendapatan kasar yang nantinya akan berbeda persentasi zakatnya. Imam al-Qardawi sendiri menyebutkan bahwa pendapat mutakhir semisal Abu Zahrah, Abd. Wahab Khalaf dan Abd. Rahman Hassan menentukan nilai zakat dari hasil pendapatan gaji sebesar 5% dari pendapatan kasar, atau 5% dari pendapatan bersih.11 Pendapat ini diikuti juga oleh Mujaini Tarimi (1999), tokoh sentral di Malaysia yang menyatakan bahwa kadar zakat cukup adil dan proporsional untuk pendapatan dari gaji adalah 5%.12 Begitu juga dengan Othman Al-Habsyi (2001) yang berpendapat perlu adanya zakat profesi, yaitu zakat yang berasal dari menjual ilmu (jasa) sesuai kepakarannya, dengan nilai zakat 5% atau 10% yang diqiyaskan dengan zakat pertanian.13 Metodologi Kontekstualisasi Zakat: Qiyas Untuk mengkontekstualisasi zakat sesuai dengan kondisi jaman yang terus berkembang tidaklah mudah tanpa pengetahuan hukum-hukum syara’ yang matang. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk melakukan kajian ini sehingga tidak banyak yang berani untuk melakukan reformasi zakat. Meskipun demikian, tidak berarti berhentinya kesempatan untuk mendiskusikan isu ini secara mendalam, tetapi dapat dicukupkan dengan pandangan-pandangan ulama kontemporer tentang hal itu dan bagaimana mereka menelorkan konsep tersebut sehingga nantinya menjadi landasan 10 Zahri Hamat, 2002, Perakaunan Zakat Pendapatan: Satu Kajian Semula, 2002, hlm.2 (makalah yang dimuat di Muzakarah Pakar Zakat, Kumpulan Kajian Zakat, Fakultas Pengajian Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia pada 21 – 22 Disember 2002). 11 Yusuf al-Qaradawi, Hukum Zakat - Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis, Terj. Salman Harun, (Indonesia : Penerbit Litera AntarNusa dan penerbit Mizan, 1999), hlm. 488. 12 Mujaimi Tarimin, Zakat Pendapatan : Hukum dan Persoalannya (Kuala Lumpur: Kaisha Services, 1999). hal. 141. 13 Syed Othman Al Habshi, 2001. “Zakat Perniagaan : Potensi dan Cabaran Di Era Ekonomi Baru”,hlm.5, makalah dipresentasikan di Konvensyen Zakat Kebangsaan pada 18 – 19 September. . Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial | 249 bagi siapa saja untuk meneruskannya ke tingkap konvensi atau musyawarah mufakat dalam rangka pengambilan hukum tanpa harus memulai dari awal yang subtansi karena keterbatasan kompetensi. Adapun trik atau salah satu cara yang biasa dilakukan oleh ulama’ dulu hingga sekarang untuk menformulasikan hukum khususnya kasus yang berhubungan dengan zakat adalah dengan metode qiyas. Metode ini mereka gunakan untuk menentukan zakat dan kadarnya pada kondisi yang baru seperti sekarang ini. Adapun penjabaran dari qiyas dan bagaimana penggunaannya itu sendiri adalah sebagai berikut: Makna dan Penggunaan Qiyas: Definisi Qiyas dan Hukumnya: Banyak tokoh besar yang memiliki pandangan tentang qiyas dan satu sama lain sama-sama saling mengutarakan definisi qiyas. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Ghazali, Al-Baidlawi, Shadr as-Syari’ah, Ibnu alHajib dan Ibn al-Hammam. Adapun definisi yang mereka sampaikan adalah sebagai berikut:14 1. Al-Ghazali :pemberian arti suatu hal yang dimaklumi atas sesuatu hal yang juga dimaklumi adanya dalam menetapkan hukum atas keduanya atau sebaliknya menyangkalnya dengan sesuatu hal yang menyangkalnya pula. 2. Al-Baidlawi : Qiyas adalah penetapan kesamaan hukum yang diketahui pada suatu hal lain yang dimaklumi karena adanya indikasi kesamaan illah hukum menurut mujtahid yang membuat ketetapan. 3. Shadr as-Syari’ah : Qiyas adalah penyampaian hukum tertentu dari asal ke furu’ dengan melihat illah yang sama dan tidak bisa hanya diketahui dengan bahasa semata. 4. Ibnu al-Hajib : Qiyas adalah persamaan furu’ dengan asalanya dengan pendekatan illah. 5. Ibn al-Hammam : Qiyas adalah persamaan antara suatu tempat dengan yang lain dari aspek illah hukumnya berdasarkan syara’ dan tidak bisa dipahami hanya dari sisi bahasa. 14 M. Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih, pen. Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Hlm.641-642 250 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Dari sekian definisi, Daud menengahi berbagai pendapat dengan pengertian yang menyerupai berbagai definisi, yaitu: proses mengembalikan masalah yang tidak ada dasarnya dalam nash al-Qur’an atau Hadis kepada masalah yang ada hukumnya dan secara jelas terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Pengembalian dari satu ke yang lain tersebut didasarkan pada adanya kesamaan illah.15 Illah yang dimaksudkan adalah: Pertama: hikmah yang muncul di atas pembentukan sebuah hukum tertentu, yaitu sebuah kemaslahatan yang dikehendaki dengan hukum yang dibentuk sebagai penyempurna atau sekedar menghadirkannya. Keduaa : Kerusakan yang diharapkan dapat tertolak atau terkurangi.16 Lebih lanjut, Illah pada konteks zakat di sini memungkinkan dipertemuakan illah pada suatu yang lain tanpa dibatasi waktu maupun tempat sehingga baik sekarang ataupun yang akan datang akan terus menghasilkan gagasan dan hukum baru tentang zakat. Sedangkan illah yang menempel pada zakat tersebut cukup banyak, meskipun masih diperselisihkan adanya. Ada yang berpendapat bahwa illah zakat adalah dari maknanya, yaitu berkembang atau ada kemungkinan berkembang. Adapula yang berpendapat bahwa illah dari kewajiban zakat adalah kekayaan itu sendiri, sehingga tidak salah jika M. ‘Utsman Syibir mengemukakan bahwa semua harta wajib dizakati apabila telah mencapai nisabnya.17 E. Simpulan Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, isi makalah dapat disimpulkan sebagaimana berikut : 1. Zecara subtansial, zakat dimaknai sebagai proses mentasarufkan harta kekayaan sesuai dengan peran dan fungsinya karena di dalamnya ada hak bagi orang lain yang tidak menjadi pemilik dari harta tersebut. 15 Ibid., hlm.11, Ibid., hlm.659. 17 Mohd. Daud Bakar, The Malaysian Zakat System: Law and Policy Reform, dlm. Jurnal Undang-undang IKIM, Vol. 2 No. 2, (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 1998), Juli – Desember. Hal. 3-15. 16 Arif Widodo, Kontekstualisasi Zakat dan Perubahan Sosial | 2. 3. 4. 5. 6. 251 Dilihat dari objek zakat, sesuatu yang dizakati bukan hanya terbatas pada materi yang bersifat barang melainkan juga bersifat jasa, dan pengeluarannya sesuai dengan kadar dan ukuran masing-masing. Zakat prosfesi merupakan jenis zakat yang baru dan merupakan produk kontekstualisasi zakat terbarukan. Metode yang digunakan untuk melakukan pembaharuan dan pengembangan zakat adalah metode qiyas dengen instrumen illah sebagai dasar. Zakta yang direalisasikan dengan baik berdampak pada budaya keadilan, solidaritas sosial, individu dan kelompok, serta kebermanfaatan bagi ekonomi masyarakat. Semakin besar cakupan barang maupun jasa yang harus dikeluarkan zakatnya yang didukung dengan pemahaman masyarakat akan arah dan tujuan zakat, maka semakin lebar peluang penerimaan zakat yang selanjutnya menuju pada terentasnya ekonomi masyarakat secara makro. Daftar Pustaka Http://forum.kompas.com, fungsi zakat dalam kehidupan sosial-ekonomi, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013. Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart, Newyork 1937. Mohd. Daud Bakar, 1998. “The Malaysian Zakat System: Law and Policy Reform”, dlm. Jurnal Undang-undang IKIM, Vol. 2 No. 2, Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Julai – Disember 1998. Muhammad Tamyes Abdul Wahid, Matlamat Seminar Fiqh Zakat Kontemporari, makalah dipresentasikan di Seminar Fiqh Zakat 2002, pada tanggal 31 Oktober 2002. Mujaimi Tarimin, Zakat Pendapatan : Hukum dan Persoalannya, Kuala Lumpur: Kaisha Services, 1999. Rusd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid: Analisis Fiqih Para Mujtahid, pent. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidin, Jakarta: Pustaka Amin, 2007. 252 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Syed Othman Al Habshi, Zakat Perniagaan : Potensi dan Cabaran Di Era Ekonomi Baru, kertas dibentangkan di Konvensyen Zakat Kebangsaan, 18 – 19 September 2001. Yusuf al-Qaradawi, Hukum Zakat - Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis, Terj. Salman Harun et al, , Indonesia : Penerbit Litera AntarNusa dan penerbit Mizan, 1999. Zahri Hamat, Pengurusan Zakat Perlukan Reformasi dan Ijtihad, Berita Harian Malaysia, Jum’at, 12 Januari 2001a. UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT PENULISAN HADIS Saifuddin Zuhri Qudsy Email: [email protected] Abstrak Here I try to uncover various foundation of time and space underlying the nature of caliph ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz’s thought who formally commanded codifying hadith. I use Peter L. Berger theory of sociology of knowledge to get an understanding of how the process ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz that has lived in the luxuriousness dynastic of Umayyah capable to pay attention on hadith whereas formerly it was allowed running wild in the arms individual thalib hadith and didn’t get attention from any Umayyad caliphate. Kata Kunci: periodesasi hadis, kodifikasi hadis, sosiologi pengetahuan A. Pendahuluan alam sejarah periodesasi hadis versi Hasbi Ash-Shiddiqiey, terdapat tujuh periodesasi. Masa wahyu dan pembentukan masyarakat (ashr wahy wa al-taqwim) (13 SH-11H); Periode pembatasan dan penyelidikan hadis (ashr tatsbut wa al-iklal min al-riwayah) (12H-40H); Periode Penyebaran hadis ke berbagai wilayah (ashr intisyar riwayat ila al-amshar) (41H- akhir abad I H); Periode Penulisan dan Pembukuan Hadis secara Resmi (ashr al-kitabat wa al-tadwin). (II H-akhir); Periode Pemurnian, Penyehatan, dan penyempurnaan (ashr tajrid wa altashih wa al-tanqih) (awal IIIH-akhir); Periode pemeliharaan, penertiban, dan penghimpunan (ashr Tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u) D 254 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 (IV H-Jatuhnya Baghdad (656H); Periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (al-Syarh, wa al-jam’u wa takhrij) (656 H-Sekarang).1 Dari tujuh periodesasi yang disebutkan di atas, penulis tertarik untuk membahas masa periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi, dengan Umar bin Abdul Aziz sebagai pemrakarsanya. Semangat penulisan hadis yang pada awalnya dilakukan orang-perorang mulai masa sahabat hingga tabiin kemudian menarik perhatian salah seorang khalifah Umayyah untuk melakukan penyelamatan hadis secara nasional dan dilakukan serentak. Hal ini pula yang kemudian membuat kami tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sejarah sosial terbentuknya gagasan mengenai pengumpulan hadis secara resmi yang dilakukan pada masa khalifah Umayyah ini. Latar belakang historis mengenai hadis, yakni bagaimana umat Islam pada waktu itu memperlakukannya, dan latar kehidupan Umar bin Abdul Aziz yang sangat berbeda dengan khalifah-khalifah Umayyah lainnya membuat kami tertarik untuk menelaahnya melalui analisis sosiologi pengetahuan.2 Sosiologi pengetahuan mencoba untuk menganalisis dan menghubungkan berbagai ide dengan realitas masyarakat serta menelaah setting historis tempat ide-ide tersebut diproduksi dan diterima. Sehingga dengan demikian kami akan mengkaji pertama-tama hadis sebagai salah satu sumber pengetahuan Islam, kemudian Umar bin Abdul Aziz, sebagai pencetus kodifikasi hadis, dengan mengkaji berbagai ide-ide dan sejumlah faktor sosial yang membentuk dan mendorong dia melakukan kodifikasi hadis. B. Memahami Hadis dalam Sistem Pengetahuan Masyarakat Islam Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan 1 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 30. 2 Terma sosiologi pengetahuan merupakan satu terma yang diperkenalkan pertama kali oleh Marx Scheler yang kemudian diracik dan dikemas dengan sangat apik oleh Karl Manheim dan Peter L. Berger. Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge (England: Penguin, 1991), hlm. 16. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 255 penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka. Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan kehidupan manusia. Bahkan setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhatihati dalam menerima hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan.3 Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembela Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakan bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadis yang isinya 3 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar……, hlm. 46. 256 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.4 Pada periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il alamshar (penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat kecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait dengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para khalifah Umayyah. Di sisi lain, masa-masa ini sebenarnya merupakan masa-masa rawan hadis palsu, karena khawarij, Syi’ah senantiasa merongrong kekuasaan bani Umayyah, sedangkan kelompok bani Umayyah juga membutuhkan legitimasi untuk kekuasaannya agar diakui sehingga hadis palsu di sini tidak terelakkan. Dalam bahasa lain, pada dasarnya hadis palsu dipengaruhi oleh situasi politik kekuasaan yang berlangsung pada itu. C. Mengenal Sosok Umar bin Abdul Aziz Nama lengkapnya adalah Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab, al-Quraisy al-Madani. Dia lahir pada tahun 61 H dan wafat pada 101 H. Ayahnya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan merupakan seorang yang pernah menjabat pemimpin kota Mesir selama kurang lebih 20an tahun dan di sana pulalah Umar lahir. Ayahnya adalah orang yang memiliki nasab yang bagus, pola kehidupan masa musa yang juga tidak kalah bagus, Abdul Aziz adalah seorang yang cinta pada hadis-hadis Rasulullah. Dia sering hadir di majlis Abu Hurairah dan para sahabat lain.5 Sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khaththab. Umar bin Abdul Aziz biasa dikenal juga dengan sebutan Umar II. Menurut sebagian sumber, pada masa ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, dia sering ronda pada malam hari. Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak 4 Abu Ya’la al-Kholil bin Abdillah, Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits, dalam CD Maktabah Syamilah. 5 Ali Muhammad Muhammad al-Shallabi, Al-Khalifah al-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz, tp. tt. Hlm. 10. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 257 perempuan dan ibunya yang berasal dari bani Hilal, seorang penjual susu yang miskin. Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari.” Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini.” Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu.” Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu.” Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.6 Lalu Umar meminta pembantunya, Aslam untuk menandai tempat dia mendengar percakapan antara ibu dan puterinya tersebut. Kemudian keesokan harinya, perempuan dan putrinya itu dicari dan ternyata sang ibu adalah seorang janda dan puterinya masih gadis. Melihat hal ini, Umar bin Khattab kemudian mengumpulkan putera-puteranya dan mengatakan, “siapa diantara kalian yang mau menikahi gadis tersebut? Demi Allah, bila aku masih tertarik kepada perempuan maka tentu aku tidak akan mengusulkannya pada orang lain” Lalu Asim berkata: “Nikahkan dia denganku, karena hanya aku yang masih bujang. Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam.” Asim segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz. jadi Umar bin Khattab adalah mbah buyutnya Umar bin Abdul Aziz dari jalur ibunya. Ciri-ciri Umar bin Abdul Aziz adalah kulitnya berkulit coklat sawo matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung, dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda. Hamzah bin Sa’id, menceritakan peristiwa ini bahwa “Suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin menemui bapaknya sedang pada waktu itu dia masih bocah, lalu seekor kuda menanduknya sehingga melukainya, maka bapaknya sambil mengusap 6 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil Aziz, (Iskandariyah: Daar Ibnu Khaldun, 1996), hlm. 9. 258 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 darah yang mengalir seraya mengatakan, ‘Kalau engkau bisa menjadi orang Bani Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.’”7 Sebenarnya garis nasab Umar II tidak berjalur darah kekhilafahan, karena dia adalah putra dari Abdul Aziz bin Marwan sedangkan jalur kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin Marwan. Pada masa bujangnya Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan. Tak heran jika ia telah hafal alQur’an di masa kecilnya. Kemudian dia meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya untuk melakukan rihlah (perjalanan jauh) dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu) menuju Medinah. Di sana dia belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Medinah. Di Medinah dia belajar kepada Abdullah bin Umar bin Khattab dan Anas bin Malik, Dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Allah menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih dalam urusan agama. Bahkan di Medinah dia sering dipuji oleh Anas bin Malik, misalnya perkataannya “Belum pernah aku dipimpin shalat yang shalatnya mirip dengan shalat Rasulullah selain dari pemuda ini, yakni Umar bin Abdul Aziz.”8 Dia dikenal pula dengan kezuhudannya, sebagaimana dikatakan dalam sebuah kisah Ahmad bin Abi al-Hiwari, “Aku mendengar Abu Sulaiman adDaroni dan Abu Shofwan keduanya tengah memperbincangkan Umar bin Abdul Aziz dan Uwais al-Qorni. Berkata Abu Sulaiman kepada Abu Shofwan, ‘Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang lebih zuhud ketimbang Uwais al-Qorni.’ Maka Abu Shofwan menimpali, ‘Mengapa?’ Beliau menjawab, ‘Karena Umar bin Abdul Aziz telah memiliki dan menguasai dunia namun ia tetap zuhud darinya.’ Maka Abu Shofwan membela seraya mengatakan, ‘Seandainya Uwais diberi kekuasaan terhadap harta tentu ia akan berbuat sebagaimana yang diperbuat Umar bin Abdul Aziz!’ Maka berkata Abu Sulaiman, ‘Jangan samakan orang yang telah mencoba dengan orang yang belum mencobanya, karena seorang yang tatkala dunia berada di tangannya namun ia tetap tidak menoleh harapan darinya, itu lebih utama daripada orang yang tidak pernah diuji dengan dunia sekalipun sama-sama 7 Abu Faiz al-Atsari, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan Penegak Keadilan,” Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10, 1432 H. 8 Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, terj. Fachry, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 281. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 259 ia tidak menaruh harapan darinya.’”9 Hal senada diungkapkan oleh Malik bin Dinar, dia berkata: “Orang-orang berkomentar mengenaiku, “Malik bin Dinar adalah orang zuhud.” Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun ditinggalkannya.”10 Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi khalifah memiliki satu pakaian saja, dan dia tidak berpakaian jika pakaiannya dicuci. Di Medinah, Umar bin Abdul Aziz juga belajar pada salah satu dari tujuh ahli Fiqh Medinah, yakni Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Dia belajar dari Shalih bin Kaisan, salah seorang tabiin senior, yang memang ditugasi Abdul Aziz agar mengajari dan mendidik Umar. Setelah ayahanda meninggal dunia Umar diminta untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan.11 Fathimah memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana. Istrinya yang lain adalah Lamis binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad. Umar II dikarunia empat belas anak. Diantaranya adalah Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, AlWalid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah. Ia memiliki tiga istri.12 Ketika dia menjadi khalifah, dia mengatakan sesuatu yang sangat ekstrim kepada istrinya, Fathimah, “Wahai Fatimah, saat ini aku telah menjadi khalifah, dan saya tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan perempuan, oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu akan bersabar bersamaku atau kamu boleh meninggalkanku jika kamu mau.” Dengan menitikkan air mata, istrinya menjawab, “Saya akan bersabar.” Suatu hal yang tentu sangat berat bagi perempuan yang telah bersuami. Ketika Umar II meninggal, Fathimah berkata “Demi Allah, Umar tidak pernah mandi 9 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil Aziz……, hlm. 184. 10 Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, tt.tp. hlm. 699. 11 Ibid. 12 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa Manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil Aziz……, hlm. 314-315. 260 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 besar karena berhubungan suami istri atau karena mimpi basah selama dia menjadi khalifah hingga dia meninggal.13 D. Kiprah Politik Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi Khalifah Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sempat menempati posisi strategis. Diantaranya pada tahun 706 M ketika berumur 25 tahun dia diangkat sebagai gubernur Medinah setelah ayah mertuanya meninggal. Dia menjadi gubernur Medinah sekitar 7 tahun. Penampilannya sebagai gubernur berbeda dari gubernur lainnya karena ia sangat adil dalam memerintah. Di Medinah, dia membentuk satu ‘dewan penasihat’ yang beranggotakan para ulama yang berpengaruh di kota itu. Dalam dewan itu, ia bersama ulama mendiskusikan berbagai masalah penting yang berkaitan dengan agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu, ia berusaha mempersatukan pandangan antara umara (pemerintah) dan ulama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan pemerintah. Namun, kepiawaiannya dalam memimpin suatu daerah menyebabkan kecemburuan dari gubernur daerah lain. Kemudian pada masa al-Walid I dia diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur karena hasutan dari alHajjaj bin Yusuf, gubernur Irak pada waktu itu, kepada khalifah al-Walid. Dalam literatur sejarah, Al-Hajjaj adalah sosok gubernur Iraq yang lalim, sehingga banyak warga Iraq yang tidak kerasan tinggal di wilayah tersebut dan hijrah ke Medinah. Umar bin Abdul Aziz tidak menyukai al-Hajjaj karena sikapnya tersebut, sehingga ketika al-Hajjaj hendak melaksanakan haji, Umar kemudian mengirim surat kepada khalifah al-Walid agar tidak memperkenankan al-Hajjaj lewat Medinah. Lalu al-Walid menggaransi hal ini dan memenuhi permintaan Umar II. Al-Walid menyurati Hajjaj bin Yusuf, “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz meminta kepadaku agar kamu tidak melewati daerahnya. Oleh karenanya jangan melewati daerah orang yang membencimu.” Sehingga Hajjaj pun menghindari Madinah.14 Namun hal ini dibalas oleh al-Hajjaj dengan mengatakan kepada alWalid bahwa Medinah dan Makkah membutuhkan gubernur yang baru yang 13 Kuliah Umum Dr. Mohammad Musa al-Shareef, http://www.youtube.com/watch?v=Uwe0221d7VA, diunduh pada 20 Oktober 2012. 14 Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak Keadilan, terj. Habiburrahman Syaerozi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 38-39. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 261 lebih baik dari Umar II. Al-Walid kemudian termakan provokasi al-Hajjaj sehingga memberhentikan Umar II dari jabatan gubernur. Namun, hanya saja beberapa tahun kemudian al-Hajjaj dicopot dari jabatannya dan dilucuti pula orang-orang setianya, karena mereka tidak mau mengakui Sulaiman sebagai khalifah. Dan ketika meninggalnya Hajjaj bin Yusuf, Umar bin abdul Aziz berkata “sujudku untuk Allah karena berakhirnya masa hidup Hajjaj.15 Menurut Imam al-Suyuti, ketika al-Walid berkuasa, al-Walid ingin menghentikan Sulaiman sebagai putera mahkota dan penerus khalifah dengan menggantikannya pada anaknya. Banyak orang dan kelompok yang rela, baik secara sukarela maupun terpaksa, dengan upaya al-Walid ini. Namun Umar bin Abdul Aziz menolaknya dengan mengatakan kepada Sulaiman “di pundak kami ada baiat.” Dan dia terus menerus menyatakan pendapatnya ini hingga al-Walid marah dan memasukkan dirinya ke dalam kamar sempit dengan jendela yang tertutup rapat dengan harapan dia mati karena sesak nafas dan kelaparan. Namun setelah empat hari, dia diberikan ampunan. Para pengawal mendatangi Umar dan mendapati kepalanya telah miring.16 Pada masa Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, Umar II diangkat sebagai katib (sekretaris) bahkan wazir, disamping Roja’ bin Haiwah. Dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa Roja’ bin Haiwah (Wazir khalifah Sulaiman yang berasal dari Palestina) berkata, “Pada hari Jum’at, khalifah kaum muslimin pada waktu itu, Sulaiman bin Abdul Malik, mengenakan pakaian berwarna hijau lalu ia melihat ke arah cermin seraya berkata, ‘Sungguh demi Allah aku adalah seorang pemuda yang menjadi raja.’” Lalu beliau berangkat sholat bersama kaum muslimin dan ia kembali ketika hari hari telah menjadi sangat panas. Setelah usia beliau telah lanjut ia menulis surat wasiat bahwa penggantinya kelak adalah putranya sendiri yaitu Ayub bin Sulaiman namun ia masih kecil dan belum baligh, maka aku (Roja’ bin Haiwah) mengatakan, ‘Apa yang telah engkau persiapkan wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya yang menjaga seorang khalifah kelak di alam kuburnya adalah kebaikannya karena telah menunjuk penggantinya yang shalih.’ Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku akan menulis surat wasiat setelah beristikharah kepada Allah perihal penggantiku kelak.’ 15 16 Ibid., hlm. 38. Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’…….., hlm. 280-281. 262 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Namun, setelah berlalu satu atau dua hari tiba-tiba beliau membakar surat wasiat yang telah ia tulis lalu memanggilku dan bertanya, ‘Menurutmu bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?’ Aku katakan, ‘Beliau saat ini sedang menghilang di kota Konstantinopel dan tidak ada kabar berita apakah ia masih hidup atau telah meninggal sebagaimana engkau ketahui.’ Beliau melanjutkan, ‘Wahai Roja’, kalau begitu siapa orang yang pantas menjadi penggantiku?’ Aku katakan, ‘Itu berada pada keputusanmu, aku hanya ingin tahu siapa orang yang engkau pilih kelak.’ Khalifah mengatakan, ‘Bagaimana menurutmu dengan Umar bin Abdul Aziz?’ Aku katakan, Aku mengetahui siapa beliau, beliau adalah seorang yang jujur dan memiliki keutamaan.’ Lalu beliau menandaskan, ‘Kalau begitu aku akan tetapkan bahwa ia adalah penggantiku, tetapi bila aku tidak menetapkan salah satu dari keturunan Abdul Malik pasti akan terjadi fitnah, dan mereka tidak akan membiarkan kepemimpinan berpindah dari tangan mereka kecuali bila aku tetapkan salah satu keturunan mereka adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz.’ Maka aku katakan, ‘Kalau begitu, tetapkan saja Yazid bin Abdul Malik —dan tatkala itu beliau sedang tidak di tempat—sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz kalau memang hal itu akan membawa kepada keridhaan mereka.’ Kemudian khalifah Sulaiman bin Abdul Malik menuliskan surat wasiat penetapan Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz, dan tulisan ini ditutup dan disegel.’”17 Sebelum Sulaiman wafat, Sulaiman mengatakan kepada para pembesar Umayyah, dengarkan dan patuhi perintah-perintah orang yang namanya disebutkan dalam surat ini, lalu mereka yang hadir menjawab, “baik kami akan mendengar dan mentaatinya”. Ketika Sulaiman telah tiada, isi surat tersebut dibacakan oleh Roja’: “Ini tulisan dari Abdullah Sulaiman, amirul mukminin kepada Umar bin Abdul Aziz, bahwasanya aku memberikan mandat kepadanya untuk menggantikanku sebagai khalifah, kemudian setelah kepemimpinan dia penggantinya adalah Yazid bin Abdul Malik. Maka dengarlah dan patuhlah kepada dirinya, bertakwalah kalian dan jangan berselisih pendapat, niscaya dia akan memuaskan kalian.18 Namun Hisyam yang mendengar nama Umar II langsung berkata; “Tidak, demi 17 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil Aziz……, hlm. 45. Cek pula Min A’lam al-Salaf, Biografi Umar bin Abdul Aziz, hlm. 62. 18 Ibid. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 263 Allah dia seharusnya tidak menjadi khalifah kita.” Roja menjawab: “Jadi jika kamu tidak patuh maka kami akan memenggal lehermu.” “Berdirilah dan baiatlah dia” tegas Roja’ kepada Hisyam bin Abdul Malik. Akhirnya dengan raut muka marah terpaksa dia membaiat Umar bin Abdul Aziz. dalam versi lain, ketika mendengar Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti khalifah Sulaiman, Hisyam berkata, “Bah”, lalu seorang dari ahli Syam langsung mencabut pedangnya dan mengatakan “Kau berani mengatakan ‘bah’ pada perkara yang telah diputuskan oleh amirul mukminin?! Lalu Hisyam baru reda ketika disebutkan pengganti Umar bin Abdul Aziz adalah Yazid bin Abdul Malik.19 Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ia bercerita, “Seusai Umar bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik dan baru keluar dari pekuburan ia mendengar suara hentakan kaki kendaraan (hewan tunggangan), lalu ia bertanya, ‘Suara apa itu?’ Lalu dijawab, ‘Itu adalah suara kendaraannya khalifah wahai Amirul Mukminin, aku mendekatkannya agar engkau menaikinya.’ Ia menjawab, ‘Siapa aku ... aku tidak pantas menaikinya ... jauhkan itu dariku, dekatkan saja keledaiku.’ Lalu aku dekatkan keledainya lalu beliau menaikinya.20 Kemudian datang pengawal khalifah di depan beliau dengan membawa tombak, lalu beliau mengatakan, ‘Menjauhlah kalian dariku, siapa aku ... aku hanyalah salah satu di antara kaum muslimin.’ Lalu beliau berjalan dan manusia mengikutinya hingga mereka sampai ke masjid, lalu beliau naik mimbar dan manusia berkumpul kemudian beliau mengatakan, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini (kepemimpinan), tiadanya kesepakatan dariku sebelumnya, tidak pula ada permohonan atau musyawarah dari kaum muslimin, maka dengan ini aku umumkan bahwa aku telah melepas kewajiban kalian untuk berbai’at kepadaku. Maka silakan kalian memilih orang yang pantas menjadi pemimpin kalian.’ Maka semua manusia bersuara dengan satu suara seraya mengatakan, ‘Sungguh kami telah memilih engkau wahai Amirul Mukminin, dan kami telah ridho denganmu, maka jalankan amanah ini semoga Allah memberkahimu.’ Maka tatkala semua suara telah mereda dan semua manusia telah ridho dengan kepemimpinan beliau lalu beliau memuji 19 20 Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz….., hlm. 47. Ibid. hlm. 47. 264 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Nabi Saw, lalu dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku berwasiat agar kalian senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa kepada-Nya akan menjaga diri dari segala sesuatu, beramallah untuk akhirat kalian, karena barang siapa yang beramal untuk akhiratnya maka Allah akan mencukupkan urusan dunianya .... Wahai sekalian manusia, kepada (pemimpin) yang taat kepada Allah maka kalian wajib menaatinya dan kepada (pemimpin) yang bermaksiat kepada-Nya maka kalian wajib tidak menaatinya, maka taatilah aku selama aku menaati Allah dan bila aku bermaksiat kepada-Nya maka janganlah kalian menaatiku.’”21 E. Kecintaan Umar Bin Abdul Aziz Kepada Hadis Setelah Nabi wafat, berita-berita tentang penilaian, pendapat dan praktiknya tentu saja memainkan peran yang penting dalam pembuatan keputusan dalam komunitas muslim awal, setidaknya di wilayah-wilayah di mana Nabi pernah mengekspresikan pandangan-pandangan yang diketahui secara umum. Selama masa kehidupan Nabi, sebagian pengikutnya meminta pendapatnya tentang berbagai macam masalah sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Al-Quran, ‘Wahai orang-orang beriman … patuhilah rasul (Muhammad)’, dan ‘Kalian mempunyai contoh yang baik dalam diri Rasulullah’. Setelah wafatnya, bisa dipahami jika para Sahabat berkeinginan untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada umat Islam yang baru meluas menjadi komunitas muslim. Namun tidak semua sahabat nabi setuju dengan penulisan hadis ini, sebutlah Abu bakar dan Umar bin Khattab yang cenderung sangat membatasi penulisan hadis karena kuatir bercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena pada dasarnya mereka hidup di zaman yang masih sangat dekat dengan nabi dan masih belum terlalu membutuhkan penulisan hadis. Kendati demikian ada beberapa sahabat yang memiliki shahifah dan menulis hadis rasulullah, dan dalam berbagai literatur, tulisan pada masa sahabat dan masa tabiin senior ini kemudian menjadi salah satu rujukan paling utama Namun ketika Islam semakin meluas dan pada babakan berikutnya mulai banyak pemalsuan hadis, maka penulisan hadis mulai dibutuhkan. Pada masa tabiin, 21 Ibid., hlm. 50-51. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 265 kebutuhan akan hadis semakin nyata seiring dengan semakin banyak sahabat Rasulullah yang wafat. Umar bin Abdul Aziz meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat dan tabiin. Misalnya, ayahnya sendiri, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Ibnu Ja’far, Said bin Musayyib, Ibnu Farizh, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman,22 Ibnu Abi Salamah, Ibnu Salam, dan Saib bin Uhkt Namr, salah seorang sahabat yang diusap kepalanya dan melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah.23 Dalam hemat kami, pembentukan rasa cinta dan keinginan untuk mengkodifikasi hadis pada masa Umar II menjadi khalifah telah terbentuk ketika dia berada di Medinah, baik ketika belajar maupun ketika menjadi gubernur Medinah. Latar belakang kehidupan Umar II di Medinah kemudian inilah yang menurut kami membuat dirinya menginstruksikan pengumpulan hadis di masa kekhalifahannya. Sedangkan murid-muridnya antara lain, Ibrahim bin Abi Ublah Syamr bin Yaqzan bin Umar bin Abdullah, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Ishaq bin Rusyd, Ismail bin Abu Hakim, Ayyub bin Abu Tamimah Kaisan, Ja’far bin Barqan, Hamid bin Abu Hamid, Daud bin Abi Hindun, Yahya bin Atiq, Sahm bin Yazid, dan lain-lain.24 Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H, Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis nabi. Umar II sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadishadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Medinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi: 22 Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’……, hlm. 280. Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil Aziz……, hlm. 18-20. 24 Al-Bukhari, Shahih Bukhari, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah. 23 266 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Artinya: “Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu Bakr bin Hazm: Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”25 Di samping kepada gubernur Medinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri. Kemudian Al-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Dalam berbagai literatur, al-Zuhri merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis. Al-Zuhri pernah mengatakan, “Kami diperintahkan Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun hadis. Kami pun menuliskannya pada daftar demi daftar, lalu dikirim ke seluruh wilayah kekuasaan Islam masing-masing satu daftar.” Kata daftar di sini berarti kumpulan besar hadis. pada dasarnya naskah hadis yang telah ditulis oleh Al-Zuhri jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak. Di antaranya adalah: (a) Juz’ yang disampaikan secara munawalah kepada Ibn Juraij; (b) Shahifah yang diberikan kepada ‘Abd alRahman ibn ‘Amr al-Auza’i; (c) Nuskhah yang disimpan oleh ‘Abd alRahman ibn Namirah al-Yahsubiy; (d) Kitab besar yang disimpan oleh ‘Abd al-Rahman ibn Yazid; (e) Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang ditulis oleh Hasyim ibn Basyir dari Al-Zuhri; (f) Shahifah yang dimiliki oleh Sulaiman ibn Katsir; (g) Shahifah yang diserahkan kepada ‘Ubaidullah ibn ‘Amr untuk disalin dan diriwayatkan; (h) Nuskhah yang dimiliki oleh Zakariya ibn ‘Isa; (i) Shahifah berisi sekitar tiga ratus hadis yang khusus 25 Nabia Abbots, Studies in Arabic Literary Papyri 11, Chicago, 1967, hlm. 64. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 267 untuk Al-Zuhri sendiri; dan (j) Kitab yang disimpan oleh Ibrahim ibn alWalid.26 Dalam versi yang lain, memang dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah, Umar bin Abdul al-Aziz pernah mengeluarkan surat perintah secara resmi yang ditujukan kepada seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah agar seluruh hadis yang tersebar di masing-masing daerah segera dihimpun. Surat itu antara lain dikirim kepada gubernur Medinah, Ibn Hazm Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr (w. 117 H). Isi dari surat itu adalah: (1) khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis karena kepergian para ulama; dan (2) khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman segera dihimpun.27 Namun sayangnya, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia. Kemudian, penggantinya, Yazid II (Yazid bin Abdul Malik) membebastugaskan Ibn Hazm sebagai gubernur Medinah, sehingga dia menghentikan tugasnya, berikut orang-orang yang membantunya dalam penulisan hadis juga turut berhenti. Penulisan hadis baru dimulai lagi secara aktif ketika Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah, dan itu diteruskan oleh Al-Zuhri. Sebenarnya Ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, juga mendapatkan surat serupa dari Umar bin Abdul Aziz. Al-Zuhri berhasil melaksanakan tugas penghimpunan hadis sebelum khalifah Umar II meninggal dunia. Kompilasi hadis dari Al-Zuhri ini bagian-bagiannya segera dikirim ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya.28 Kemudian sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, Al-Zuhri masih terus melakukan tugas penulisan atau penghimpunan hadis dan mendapat dukungan baru dari khalifah Yazid II yang 26 Ahmad, Dala’il Tautsiq, hlm. 493. Lihat pula, Saifuddin, Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. 27 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz I, hlm. 71; al-Darimiy, Sunan al-Darimiy, jilid I, hlm. 126; Ibn Sa‘ad, Thabaqat al-Kubra, jilid II, hlm. 387; al-Baghdadiy, Taqyid al-‘Ilm, hlm. 105-106. 28 Ibn ‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I, hlm. 76. Sebagian sumber menyebutkan bahwa proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis yang dilakukan oleh Al-Zuhri adalah dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berkisar pada satu tema dan masing-masing tema disusun dalam satu karya (kitab) tersendiri. Sebut saja sebagai contoh, kitab tentang salat, kitab tentang zakat, kitab tentang puasa, dan kitab tentang talak. Lihat Abu Zahwu, alHadits wa al-Muhadditsun, hlm. 128-129; Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawa‘id Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 241. Dari sini, tidak mengherankan jika Al-Zuhri juga dilaporkan memiliki kitab khusus yang menghimpun hadis-hadis tentang sirah dan maghaziy. 268 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 mengangkatnya sebagai hakim, lalu dari khalifah Hisyam ibn ‘Abd alMalik. Bahkan, khalifah Hisyamlah yang telah mendorongnya agar serius menuliskan hadis untuk kepentingan pangeran muda, para sekretaris peradilan, dan untuk memperkaya perpustakaan khalifah.29 F. Hadis dan Umar bin Abdul Aziz: Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi Perjalanan hadis dari masa periode wahyu hingga pra kodifikasi mengalami proses-proses yang luar biasa. Pada masa khulafaur rasyidin pertama hingga ketiga, hadis masih terjaga dan belum banyak perjalanan lawatan pencarian karena sangat banyak sahabat yang masih hidup. Agak berbeda ketika pada masa setelah Utsman, para sahabatpun mulai berhatihati dalam menerima hadis yang diterima dan belum pernah didengarnya karena peristiwa pembunuhan Utsman. Pada masa Ali lebih parah lagi, Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok, dan mulai ada pemalsuan hadis. Hal semakin diperparah pada masa Muawiyah, pemalsuan semakin kentara dan bahkan mulai abad 41 H adalah masa-masa permulaan pemalsuan hadis. Sehingga hadis sebagai sumber pengetahuan Islam mulai tercemari. Sementara itu, Umar bin Abdul Aziz adalah laki-laki yang hidup dalam rahim zaman yang seperti itu. Hanya saja masa remaja Umar ada di Madinah yang tidak terlalu dicekoki oleh hiruk pikuk dunia perpolitikan seperti di Damaskus dan Kufah. Miliu Madinah nampaknya berpengaruh betul dan melandasi latar belakang intelektualnya sebagai seorang khalifah sekaligus ilmuan. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat Rasul yang menjadi kiblat bagi-orang-orang yang ingin mempelajari hadis rasul pada masa itu. Hal ini setidaknya bisa dibuktikan bahwa, tokoh-tokoh hadis sekaliber pengarang Kutubut Tis’ah, menunjukkan bahwa Madinah merupakan daerah yang sama sekali tidak pernah dilewatkan oleh para pencari hadis ini.30 Sementara itu, disamping lahir di Madinah,31 Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah selama kurang lebih 7 tahun, 29 Abbot, Arabic Literary Papyri, hlm. 33. Syauqi Abu Khalil, Athlas Hadis Nabawi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 9-16. 31 Firdaus A.N., Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, (Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1988) hlm. 54. 30 Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 269 sehingga dia sangat paham dengan pengetahuan masyarakat Madinah pada waktu itu, lebih-lebih tentang hadis. Dalam pandangan Berger dan Luckhmann, masyarakat merupakan sebuah kenyataan objektif yang di dalamnya ada proses pelembagaan yang dibangun atas pembiasaan (habituation). Pembelajaran hadis di Madinah sangat mungkin terekam kuat di benak Umar bin Abdul Aziz sehingga menjadi pengalaman empirik yang mengendap dan tersimpan dalam kesadaran yang kemudian diwariskan dan diinstruksikan ketika dia menjadi khalifah. Di Madinah, saat menjadi Gubernur, dia melakukan apa yang disebut Berger sebagai Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product). Kehidupan pada Dinasti Umayyah yang serba mewah dan tak kurang suatu apa serta munculnya berbagai bentuk hadis palsu yang disebabkan oleh politik aliran menyebabkan dia berpikir mengenai bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh para pencari hadis pada waktu itu yang masih bergantung pada individu-individu dan belum bergantung pada negara. Tampaknya masamasa Madinah merupakan proses refleksi dan perenungan Umar bin Abdul Aziz mengenai bagaimana pencarian hadis seharusnya dilakukan. Sehingga ketika dia diangkat sebagai sebagai khalifah, salah satu gebrakan yang muncul adalah melakukan tadwin hadis resmi dari negara. Pada tahap ini ia melakukan proses institusionalisasi tadwin hadis melalui negara (khalifah). Di sini penulis berpendapat bahwa bagi Umar, hanya melalui institusi negaralah Hadis bisa diselamatkan. Hal ini terbukti dengan ucapannya: “Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.” 270 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Pada tahap ini jika meminjam Berger, Umar bin Abdul Aziz melakukan Objektivikasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan dan proses eksternalisasi manusia tersebut. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective reality), atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Para pencari hadis, sebagai bagian dari masyarakat, terutama para tokoh yang diberikan tugas melakukan pencarian terhadap hadis lalu membukukannya menjadi satu bendel. Salah satu yang berhasil melakukannya adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Kemudian dalam perjalanannya, kodifikasi/tadwin hadis yang diperintahkan oleh Umar bin Abdul Aziz menjadi kenyataan, terutama setelah Ibnu Syihab al-Zuhri merampungkan perintah tersebut. Kitab ini kemudian menjadi pegangan dan dipelajari oleh para pencari hadis setelahnya yang kemudian menjadi satu sumber kekuatan baru dan menginspirasi para pencari hadis setelahnya, atau dalam bahasa Pierre Bourdie, hasil kodifikasi hadis tersebut melahirkan berbagai bentuk struktur baru (Structuring structure) dari tangan-tangan muhaddis setelahnya, misalnya munculnya berbagai bentuk kitab hadis dan mengalami titik kemajuannya ketika lahir kutubut sittah. G. Simpulan Dari tulisan ini dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah sosok manusia yang lahir dari rahim zamannya, yakni zaman Dinasti Umayyah yang dipenuhi oleh keserbamewahan, banyak hadis palsu yang dibuat untuk memperkuat golongan atau kelompok tertentu. Namun miliu Madinah banyak berpengaruh pada khalifah yang satu ini sehingga ketika kembali ke Damaskus ia memerintahkan agar hadis-hadis Rasulullah ditulis dan dikumpulkan. Kedua, proses kodifikasi hadis yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tidak berangkat dari ruang hampa. Proses eksternalisasinya dimulai semenjak hidup di lingkungan istana Umayyah yang serba mewah lalu ia menghirup suasana segar Madinah dengan belajar dan berguru pada tokoh-tokoh hadis dan fiqih terkemuka lalu ia diangkat menjadi Gubernur Madinah hingga akhirnya ia menjadi khalifah. Kemudian proses objektivikasi terjadi ketika ia menjadi khalifah dan memerintahkan secara resmi agar hadis dibukukan setelah sebelumnya hadis berada di tangan-tangan individu para ahli hadis. Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 271 Sehingga ketika terkumpul, maka kumpulan hadis tersebut mengalami proses internalisasi yang menumbuhkan minat para pencari hadis semakin bergairah dalam menulis dan mengumpulkannya dalam berbagai bentuk yang lain yang berbeda dengan yang sebelumnya. Proses ini kemudian mengalami kemajuan pesatnya ketika muncul kutubut sittah yang menjadi rujukan umat Islam hingga saat ini. Wallahu a’lam. Daftar Pustaka Abbots, Nabia, Studies in Arabic Literary Papyri 11, Chicago, 1967. Abdillah, Abu Ya’la al-Kholil bin, Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits, dalam CD Maktabah Syamilah. al-Atsari, Abu Faiz, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan Penegak Keadilan,” Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10, 1432 H. al-Barr, Ibn ‘Abd, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I, Al-Bukhari, Shahih Bukhari, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah. al-Shallabi, Ali Muhammad Muhammad, Al-Khalifah al-Rasyid wa alMuslih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz, tp. tt. al-Shareef, Mohammad Musa, http://www.youtube.com/watch?v=Uwe0221d7VA, diunduh pada 20 Oktober 2012. Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, terj. Fachry, Jakarta: Hikmah, 2010. Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009 Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge, England: Penguin, 1991. Firdaus A.N., Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 1988. Hakam, Abdullah bin Abdul, Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak Keadilan, terj. Habiburrahman Syaerozi, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. 272 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Ibn al-Jauzi, Abu al-Farah Abdul Rahman, Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil Aziz, Iskandariyah: Daar Ibnu Khaldun, 1996. Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, tt.tp. Khalil, Syauqi Abu, Athlas Hadis Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005. Saifuddin, Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. INDEKS AUTHOR No Penulis Judul Revitalisasi Keharmonisan Dunia (Menilik Relevansi antara Moral, Agama, dan Bencana) Gempa Bumi dalam Al-Qur’an (Tafsir Tematik) Halaman 1. Enriko Tedja Sukmana 2. Muhammad Makmun-Abha 3. Khafidah Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab 37 – 60 4. Ahmad Suhendra Menilik Ekologis dalam Al-Qur'an 61 – 82 5. Muhammad Alfatih Suryadilaga Pemahaman Hadis tentang Bencana (Sebuah Kajian Teologis terhadap Hadis-hadis tentang Bencana) 83 – 102 6. Kekuatan Agama dan Kearifan Ali Imron dan Aat Lokal dalam Proses Kebangkitan Hidayat Masyarakat Yogyakarta PascaGempa 103 – 130 7. Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi Keagamaan dan Budaya dalam Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBK) 131 – 144 145 – 160 Abdul Jalil 8. Haidi Hajar Widagdo Dualisme Agama : Menilik Peranannya atas Kedamaian dan Kesengsaraan 9. Alwi Bani Rakhman Teologi Sosial; Keniscayaan Keberagamaan yang Islami Berbasis Kemanusiaan Radikalisme Agama Penghambat Kemajuan Peradaban Arif Nuh Safri 10. Muryana 11. 12. Fadhli Lukman Dialog Interreligius-kultural dan Civil Religion (Studi atas Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu)) Ayat-ayat Perdamaian: 1 – 18 19 – 36 161 – 182 183 – 202 203 – 216 217 – 238 274 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 Dekonstruksi Tafsir ala Jane Dammen McAuliffe Arif Widodo 13. 14. Saifuddin Zuhri Qudsy Kontekstualisasi Zakat Dan Perubahan Sosial:Analisis Transformasi Sosial dengan Pendekatan Wacana Keagamaan Umar Bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis 239 – 252 253 - 272 Disampaikan ucapan terima kasih kepada: Sahiron Samsuddin (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Makwoodwad (Arizona State University) Ikhsan Tagok (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Selaku mitra bestari yang telah mereview artikel Esensia pada Vol. XIV, No. 2, Juli 2013 276 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Juli 2013 9. Prangko Contoh untuk Footnotes dari jurnal untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, (2009), hlm. 5. Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”?, hlm. 9. 10. Contoh untuk Footnotes dari ensiklopedia untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito (ed.), The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 66. Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies”, hlm.68. 11. Contoh untuk footnotes dari internet: www.uinsuka.go.id. diakses pada tanggal 12 April 2001 12. Contoh untuk Footnotes dari al-Qur’an: QS. 13: 1-5. 13. Contoh untuk daftar pustaka: Kepada Yth: Redaksi Jurnal Esensia d/a. Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam (FUSAP) UIN Sunan Kalijaga Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta FORMULIR BERLANGGANAN Harap dicatat pada Redaksi Jurnal Esensia: Nama : …………………………………………………. Alamat : …………………………………………………. Telp/Hp. : …………………………………………………. Untuk* a. Langganan 1 tahun (2 edisi) b. Pembelian langsung untuk Vol. …. No. .... Uang langganan setahun Rp. 60.000,-** (2 edisi) akan kami kirim melalui Nomor Rekening 1677019115 BSM KCP Ambarukmo Yogyakarta a/n. Muhammad Alfatih. Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, Yogyakarata: Suka Press, 2006. Pelanggan, Martin, Richard C. “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito (ed.), The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I, Oxford: Oxford University Press, 2004. ………………………. Noor, Farish A. “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, 2009. * Lingkari yang dimaksud ** Harga sudah termasuk ongkos kirim *** Formulir ini bisa dikirim melalui fax 0274-512156 Catatan Untuk Para Penulis Esensia menerima tulisan dalam bentuk artikel/makalah ilmiah dan resensi buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Artikel/makalah ilmiah belum pernah dipublikasikan/diterbitkan dalam jurnal atau buku 2. Artikel/makalah ilmiah dalam tema ilmu-ilmu keusuluddinan yang meliputi Filsafat (Islam), Teologi/Kalam, Tafsir-Hadits, Pemikiran Islam, Studi Agama (Sosiologi dan Perbandingan Agama). 3. Jumlah halaman artikel/makalah tidak lebih dari duapuluh halaman dalam kertas A4 dan ditulis dalam MS word dalam bentuk soft copy dan hard copy. 4. Artikel/makalah ilmiah disertai dengan abstrak, dan nama lengkap penulis berikut institusinya. 5. Kutipan lebih dari lima baris ditulis dalam format satu spasi, tidak perlu diberi tanda kutip atau cetak miring. Kutipan kurang dari lima baris diberi tanda apostrof (“) atau ditulis miring. 6. Kutipan nama, kosa kata Arab yang belum terserap menjadi bahasa Indonesia harus ditranslitrasikan sesuai dengan kekhasan jurnal Esensia. 7. Rujukan bibliografis makalah disusun dalam bentuk footnotes dan daftar pustaka sesuai dengan kekhasan jurnal Esensia. Di dalam menulis footnotes untuk pertama kalinya hendaknya disusun dengan informasi yang jelas dan utuh seperti nama lengkap penulis, nama buku lengkap dengan ditulis miring, nama kota penerbit, nama penerbit, serta tahun penerbitan dalam tanda kurung, dan nomor halaman. Sedangkan untuk perujukan berikutnya atas rujukan yang sama cukup nama, judul utama buku/artikel, dan nomor halaman. Jurnal Esensia tidak menggunakan pola rujukan yang menggunakan op-cit atau loc-c it, tetap boleh menggunakan ibid. 8. Contoh untuk footnotes dari buku untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, (Yogyakarata: Suka Press, 2006), hlm. 45. Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat, hlm. 45. 9. Contoh untuk Footnotes dari jurnal untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, 2009, hlm. 5. Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”?, hlm. 9. 10. Contoh untuk Footnotes dari ensiklopedia untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito ed., The Encyclopedia of Modern Islamic World , vol. I, Oxford: Oxford University Press, 2004, hlm. 66. Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies”, hlm.68. 11. Contoh untuk footnotes dari internet: www.uinsuka.go.id. diakses pada tanggal 12 April 2001 12. Contoh untuk Footnotes dari al-Qur’an: QS. 13: 1-5. 13. Contoh untuk daftar pustaka: Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, Yogyakarata: Suka Press, 2006. Martin, Richard C. “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito ed., The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I, Oxford: Oxford University Press, 2004. Noor, Farish A. “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, 2009 14. Transliterasi Bahasa Arab A. Transliterasi Huruf א a ز z ق q b س s k t ش sy ل l s\ ص s} م m ج j ض d} ن n h} ط t} h kh z} و w د d ع ‘ y ذ z\ غ gh r f B. Ta> marbu>tah di akhir kata, bila dimatikan, ditulis h, dan bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t. C. Translitrasi bacaaan: 1. Pendek : fathah ditulis a, kasrah ditulis i,dan dammah ditulis u 2. panjang : fathah a>, kasrah ditulis i>, dan dammah ditulis u> 3. tasydid : huruf yang bertasydid ditulis rangkap D. Ayat Al-Qur’an, Hadis, atau teks berbahasa Arab yang ditulis sesuai dengan prononsiasinya dalam tulisan Latin harus dicetak miring dan ditranslitrasikan sesuai aturan di atas.