POLA INTEGRASI SOSIAL KOMUNITAS

advertisement
POLA INTEGRASI SOSIAL KOMUNITAS BUDDHIS CINA BENTENG
DENGAN MUSLIM SUNDA
(STUDI KASUS DI KECAMATAN NEGLASARI KOTA TANGERANG)
Kemanya Karbono1
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Tangerang Banten, Kompleks Edu Town
BSD City, Tangerang 15339, Banten
[email protected]
081389972492
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan berkaitan dengan integrasi sosial komunitas
buddhis cina benteng dengan muslim sunda di kecamatan Neglasari Kota Tangerang, antara
lain (1) Mengetahui kaitan pemahaman dan pengamalan ajaran agama dengan perilaku
sosial (2) Mengetahui pola-pola integrasi sosial; (3) Mengetahui faktor dominan yang
mendorong terciptanya konflik (4) Mengetahui faktor dominan yang mendukung proses
integrasi sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Analisis
permasalahan dalam penelitian ini menggunakan orientasi pendekatan sociologic
phenomenologic.
Berdasarkan hasil penelitian, kaitan antara pemahaman dan pengamalan agama
dengan perilaku sosial komunitas Buddhis Cina Benteng lebih cenderung mengarah sebagai
perekat hubungan dengan komunitas muslim sunda. Polarisasi pemahaman dan pegamalan
ajaran agama tidak memiliki pengaruh signifikan dalam menciptakn konflik. Pola integrasi
sosial komunitas Buddhis Cina Benteng dengan muslim sunda antara lain terbentuk
melalui: (1) Hubungan kekerabatan, yang dalam hal ini terbentuk melalui perkawinan
silang dan gotong royong. (2) Partisispasi dan akulturasi. (3) Integrasi atas dasar general
agreements; yaitu integrasi berdasarkan kesepakatan bersama. Faktor dominan yang
mendukung terciptanya konflik antara lain: (1) Pemahaman ajaran agama yang kurang; (2)
Warisan masa lalu (Belanda: pecah belah); (3) Perkembangan dan komposisi penduduk dan
pemeluk agama; (4) Perkembangan ekonomi sosial; (5) Kegagalan meniru model peran.
Faktor dominan yang mendukung terciptanya integrasi sosial antara lain: (1) Kearifan lokal,
yakni silih asih, silih asah, silih asuh. Rukun jeung batur sa kasur, sa sumur, sa lembur, sa
kubur (Rukun dengan teman se kasur, se sumur, sekampung, dan se kubur; (2) kesadaran
dari tokoh agama dan tokoh masyarakat akan pentingnya kerukunan; (3) Perkawinan
pribumi (muslim sunda) dengan nonpribumi (buddhis cina benteng).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara yang multikultural, multiagama dan multi etnik, salah satu etnik
yang ada di Indonesia adalah Cina Benteng. Sebutan tersebut diperuntukan bagi etnik Cina
(Tionghoa) yang berdiam di wilayah Tangerang, karena mereka mendiami sepanjang daerah
bekas benteng Belanda yaitu Benteng Makassar.
Etnik Cina Benteng secara administratif mayoritas memeluk agama Buddha, walaupun
relaitasnya sebenarnya banyak dari mereka memegang kepercayaan kepada leluhur (Taoisme
dan Khong Hucu). Hal tersebut sebagi impilikasi dari Kebijakan pemerintah masa orde baru
dengan mengeluarkan Inpres No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina
yang melarang segala sesuatu yang berbau Cina, termasuk agama dan kepercayaan.
Dampak dikeluarkannya Inpres tersebut membuat banyak tempat ibadah Klenteng berubah
menjadi Vihara, konversi agama pun terjadi, sebagian besar komunitas cina benteng yang
semula memegang kepercayaan kepada leluhur (Taoisme dan Khong Hucu) beralih memeluk
agama Buddha. Pelaku konversi agama tersebut masih tetap memegang teguh kepercayaan
leleuhur, ketika melaksnakan ibadah ke vihara sebagian besar dari mereka sekedar membakar
dupa (hio) kemudian pulang, jarang yang mau belajar agama Buddha secara mendalam sehingga
pemahaman tentang agama Buddha kurang, kemudian komunitas Cina Benteng pemeluk
agama Buddha yang masih tetap memegang tradisi leluhur tersebut sering disebut sebagai
“Buddha Cung-Cung Cep”2.
Suparlan seperti yang dijelaskan Erika Revida, etnik cina adalah golongan yang memiliki
kedudukan paling sulit dalam masyarakat Indonesia, hal tersebut dikarenakan mereka memiliki
kebudayaan yang berbeda, khususnya memiliki agama dan keyakinan yang sama sekali lain
dengan mayoritas penduduk Indoensia sehingga proses integrasi cukup mengalami kendala3.
Pembauran masyarakat Buddhis Cina Benteng di wilayah Tangerang dengan penduduk asli
(suku Sunda) yang nota bene mayoritas beragama Islam sehingga menarik untuk dikaji. Apalagi
masyarakat Sunda pada umumnya dikenal sebagai penganut Islam yang fanatik, Christian
Pelras seperti yang dijelaskan Nurman Said, beberapa suku yang dikenal sebagai penganut Islam
yang taat seperti suku Sunda, Minang, dan Banjar4.
Realitas kehidupan sosial keagamaan masyarakat Buddhis Cina Benteng dan masyarakat
Muslim Sunda menjadi menarik untuk dikaji guna mendapatkan gambaran yang jelas,
khususnya menyangkut kaitan antara tingkat pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang
mereka anut dengan pola interaksi dan integrasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Analisis sosiologis terhadap realitas sosial yang terjadi dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam upaya merumuskan serta mengimplementasikan kebijakan yang berkaiatan dengan
kehidupan masyarakat yang multi budaya, multi etnik dan multi agama menjadi penting
dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik yang mengancam integrasi bangsa.
B. Kerangka Teori
1. Sikap Keagamaan
Sikap keagamaan merupakan hal yang mempengaruhi terhadap perilaku keagamaan
seseorang, dan perilaku tersebut berpengaruh terhadap interaksi sosial. Di Indonsia yang
heterogen, sikap keagamaan yang terlalu fanatik akan menghambat terjadinya proses integrasi
sosial. Raimundo Panikkar (1994), sosiolog-teolog asal India, menggolongkan tiga macam sikap
keberagamaan,5 yaitu: (1) Eksklusifisme. Sikap ini cenderung memutlakkan kebenaran pendapatnya (dalam hal ini agamanya) dan meniadakan kebenaran di luar agamanya itu..(2)
Inklusifisme. Sikap ini cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara
sedemikian rupa, sehingga hal-hal tersebut tidak hanya cocok tetapi juga dapat diterima.
Tegasnya, ia meyakini agamanya yang paling benar, dalam waktu bersamaan ia juga mengakui
agama-agama lain, boleh jadi benar, dan ia tidak mempermasalahkan adanya agama-agama lain
tersebut. (3) Paralelisme/pluralisme. Sikap ini memandang agama sebagai sesuatu yang jauh dari
sempurna, namun juga agama dipahami sebagai simbol dari jalan yang benar. Tegasnya, sikap
ini memandang agama yang dipeluknya adalah benar dan agama lainnya juga memiliki
kebenarannya masing-masing.
2. Syarat terjadinya Integrasi
Terjadinya integrasi sosial berawal dari munculnya kesepakatan untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain yang kemudian melahirkan komunikasi dalam bentuk kontak sosial
antar individu maupun antar kelompok dalam lingkunagn sosial. Jika interaksi tersebut terjadi
secara kontinu maka akan terbentuk konsensus yang muncul karena kebutuhan untuk hidup
rukun, oleh karenanya diperlukan komitmen kuat untuk menjunjung norma-norma yang telah
disepakati.
Menurut William F. Ogburn dan Meyer Nimkoff, dalam Teori Dasar Sosial,
syarat
terjadinya integrasi sosial adalah6: (a) Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling
mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka. (b) Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan
(konsensus) bersama mengenai nilai dan norma. (c) Nilai dan norma sosial itu berlaku cukup
lama dan dijalankan secara konsisten.
Soerjono Sokamto menyatakan bahwa sebuah integrasi sosial diawali adanya interaksi
sosial. Yang berfungsi sebagai awal terjadinya integrasi sosial dan menjadi kunci dari semua
kehidupan sosial. Ada dua syarat yang harus terpenuhi untuk terjadinya interaksi sosial,7 yakni,
Adanya kontak sosial (sosial contact)dan adanya komunikasi.
Sunyoto Usman menyatakan dalam proses integrasi sosial ada tiga alasan yang menjadi
dasar, yakni:
a. Adanya nilai sosial fundamental yang disepakati sebagai acuan normative dan praktis
dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat
b. Kesadaran untuk memelihara kesetiaan ganda kepada masing-masing unit sosial sebagai
wadah menjalin hubungan sosial dan tetap menjaga kesetiaan kepada unit-unit sosial
c. Tuntutan bekerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutahan sebagai
konsekuensi sebagai makhluk sosial.8
3. Faktor yang Mempengaruhi Proses Integrasi
Sejak tahun 1945 masalah pembauran sudah menggariskan bahwa orang tionghoa di
Indoensia harus menyatu antara dua golongan, yakni pribumi dan non pribumi. Dalam GBHN
tahun 1978, 1983, dan 1988, yang dipertegas dengan kebijakan pembauran (asimilasi) orang
tionghoa ke dalam bangsa Indonesia yang kokoh dan utuh. Namun demikian proses
pembauran memerlukan waktu yang panjang, karena konflik-konflik tetapsaja terjadi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses integrasi yaitu: (1) Homogenitas kelompok
dan besar kecilnya kelompok. (2)Mobilitas geografis. (3) Efektifitas komunikasi.9
4. Bentuk-Bentuk Integrasi Sosial
Integrasi adalah proses sosial yang cenderung kepada harmonisasi dan penyatuan berbagai
kesatuan yang berbeda yang terdiri dari indvidu atau kesatuan sosial yang lebih besar.
Landecker dalam Lazarfield & Rosenberg menyatakan konsep integrasi dibedakan atas empat
tipe: integrasi kebudayaan, integrasi normatif, integrasi fungsional, dan integrasi komunikasi.
James S Coleman menyatakan bahwa bentuk integrasi sosial terdiri dari (a) Integrasi Normatif
adalah integrasi yang terjadi akibat adanya norma-norma yang berlaku dimasyarakat. (b)
Integrasi Fungsional, integrasi yang terbentuk sebagai akibat adanya fungsi-fungsi tertentu
dalam masyrakat. (c) Integrasi Koersif, integrasi yang terbentuk berdasarkan kekuasaan yang
dimiliki penguasa. Dalam hal ini penguasa menggunakan cara koersif.10
Menurut Kaufman dalam Soerjono Soekanto menyatakan ada tiga model unsur interaksi
sosial dalam komunitas yakni: partisipasi, kelompok, dan asosiasi. Partisipasi mempunyai
pengertian yang luas yang dapat dipandang sebagai suatu proses yang dinamis. Menurut
Bertrand (1958) dalam James S Coleman, tipe-tipe partisipasi sosial dalam masyarakat antara
lain: (1) partisipasi sosial formal, yaitu partisipasi sebagai anggota dalam institusi formal (2)
partisipasi sosial sem formal, yaitu partisipasi dalam organisasi yang tida terorganisisr dan (3)
partisipasi sosial informal, yaitu partisipasi dalam hubungan sosial informal atau kelompok
yang tidak terorganisir.11
Gillin dan Gillin menyatakan, mengadakan pengolongan bentuk interaksi dan integrasi
sosial yang lebih luas. Bentuk inetraksi dan integrasi sosial pada dasarnya dapat dikelompokan
menjadi dua, yakni:12
a. Proses Asosiasif terdiri dari: kerjasama (corporation), akomodasi (accomodation)
b. Proses Disosiatif terdiri dari: persaingan (competition) dan kontravensi (contravention).
5. Proses Integrasi
Proses integrasi dapat dilihat melalui proses-proses berikut:
a. Asimilasi : berhadapannya dua kebudayaan atau lebih yang saling mempengaruhi
sehingga memunculkan kebudayaan baru dengan meninggalkan sifat asli.
b. Akulturasi : proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan pada kebudayaan asing (baru), sehingga kebudayaan asing (baru)
diserap/diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri, tanpa meninggalkan sifat
aslinya.13
6. Faktor-faktor Pendorong Integrasi Sosial
Proses integrasi sosial suatu komunitas atau masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: (a) Adanya tolerasnsi terhadap kebudayaan yang berbeda, (b) Kesempatan yang
seimbang dalam bidang ekonomi, (c) Mengembangkan sikap saling menghargai orang lain
dengan kebudayaannya, (d) Adanya sikap yang terbuka dengan golongan yang berkuasa, (e)
Adanya persamaan dalam unsur unsur kebudayaan, (f) Adanya perkawinan campur
(amalgamasi), (g) Adanya musuh bersama dari luar.14
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative research) yang berusaha
mengungkap dan menggambarkan tentang pola integrasi sosial komunitas Buddhis Cina
Benteng dengan komunitas Muslim Sunda di Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang.
Penelitian dilaksanakan sekitar empat bulan dari bulan September-Desember 2013 di
Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Subjek penelitian ini akan ditentukan berdasarkan
teknik purposive sampling, yakni suatu teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu dari pihak peneliti sendiri
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Metode kredibilitas data menggunkan triangulasi, yakni antar sumber, antar
metode, dan antar waktu. Analisis data kualitatif bersifat iteratif (berkelanjutan) dilakukan sejak
awal kegiatan penelitian sampai akhir kegiatan penelitian. Dalam penelitian ini data yang
diperoleh dianalisis menggunakan alur kegiatan seperti yang dikemukakan oleh Miles &
Huberman (1984: 21) yakni: data reduction, data display, and conclusion (drawing/verifying.15
PEMBAHASAN
1. Letak Geografis dan Kehidupan Keagamaan.
Kecamatan Neglasari terdiri dari tujuh kelurahan/desa, yakni: Karang Anyar, Karang Sari,
Selapajang Jaya, Kedaung Baru, Kedaung Wetan, Mekar Sari, dan Neglasari. Data monografi
dan kondisi geografis dari kecamatan Neglasari yakni:
Tabel 4.1 Data monografi dan georafis Kecamatan Neglasari
Luas Wilayah
16,03 km2
Jumlah Penduduk
130.585
Jumlah RW
50
Jumlah RT
240
Ketinggian tanah
1,5 m dpl
Curah hujan
0,5 mm/tahun
Luas Wilayah
16,08 km2
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statisti Kota Tangerang, komposisi pemeluk agama di
kecamatan Neglasari adalah sebagai berikut: Islam (8642), Katolik (3.577), Protestasn (3.036),
Hindu (596), Budha (13.950), Khong Hucu (5.962).
Jumlah tempat ibadah yang ada di adalah sebagai kecamatan Neglasari berikut: Masjid
sebanyak: 21, surau 111, langgar 18, Gereja sebanyak: 18, Vihara sebanyak: 19, dan Pura
sebanyak: 2 pura.16
2. Varian Keagamaan dan Polarisasi Pemahaman serta Pengamalan ajaran Agama
Masyarakat Neglasari
Seluruh kehidupan masyarakat Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh agama dan nilainilai kearifan lokal, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious. Agama dijadikan
sebagai sumber etika, moral dan spiritual bagi para pemeluknya, oleh karena itu selayaknya
agama sebagai faktor integratif, yang mempersatu-padukan setiap kegiatan manusia sebagai
orang-seorang, sebagai anggota masyarakat, sebagai warganegara yang baik dan sebagai umat
beragama yang memiliki kepribadian yang utuh, seimbang lahir dan batin. Selain menjadikan
agama dan kearifan sebagi panduan dalam membina kerukunan, diperlukan juga usaha yang
kuat dari selurh umat beragama, seluruh komunitas untuk tetap menjaga keutuhan NKRI
dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Untuk memelihara kerukunan yang sudah terjalin antar
umat beragama diperlukan peranan dari setiap pemeluk agama tak terkecuali komunitas
buddhis cina benteng (umat Buddha) sebagai salah satu bagian dari kemajemukan. Polarisasi
pemahaman dan pengamalan ajaran agama seharusnya tidak menjadi faktor pemicu konflik,
justru seharusnya dijadikan sebagai suatu kekuatan yang akan mempersatukan kehidupan,
karena pada dasaranya setiap agama pasti mengajarkan kedamaian, mengajarkan bagaimana
umanya menjaga kerukunan.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dalam penelitian pola integrasi komunitas cina
benteng dan muslim sunda di kecamatan Neglasari Kota Tangerang, peneliti melihat
bahwasannya polarisasi pemahaman dan pengamalan ajaran agama antara komunitas buddhis
cina benteng dan muslim sunda tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap munculnya
konflik diantara kedua komunitas tersebut. Justru hal tersebut menjadi sebuah kekuatan yang
mendorong terjadinya integrasi sosial. Hal tersebut didasarakan pada sikap kekerabatan yang
kuat dari komunitas buddhis cina benteng yang mendasari sikap mereka dalam beriteraksi
sosial. Sementara komunitas muslim sunda meskipun terkenal sebagai muslim yang kuat
(fanatik) namun mereka menganggap bahwa urusan keagamaan tidak dapat dipaksakan kepada
orang lain sebab hal tersebut berhubungan dengan kesadaran individu. Umat muslim hanya
perlu berusaha mengingatkan sesama muslim untuk melaksnakan perintah Allah. Asumsi
dijadikan landasan dalam berinteraksi dengan komunitas buddhis cina benteng sehingga
tercipta interaksi dan integrasi sosial yang harmonis.
Aktifitas keagamaan komunitas budhis cina benteng berjalan secara rutin, masyarakat
sekitar yang beragama lain tidak merasa terganggu dengan aktifitas keagamaan. Toleransi
komunitas buddhis cina benteng yang besar terhadap umat lain dan sebaliknya, hal ini
ditengarai didasari oleh sikap inklusivisme. Sikap inklusivisme dapat terlihat dari sikap
komunitas buddhis cina benteng yang terbuka dengan agama lain, sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Raimundo Panikkar Sosiolog Teolog asal India yang dijelaskan dalam
landasan teori.
3. Pola Integrasi Sosial Bddhis Cina Benteng dengan Muslim Sunda
Pola integrasi sosial yang terjadi cenderung dalam proses yang bersifat asosiatif, bukan
disosiatif. Hal tersebut nampak pada pola-pola integrasi komunitas buddhis cina bneteng
dengan muslim sunda yaitu dalam bentuk:
(1) Pola hubungan kekerabatan yang berupa: pertama perkawinan silang yang terjadi antar
dua komunitas tersebut. Kedua adalah dalam bentuk gotong royong dalam melakukan kegiatankegiatan yang membutuhkan tenaga orang banyak, misalnya dalam kegiatan kerja bakti dan
pembangunan rumah kayu. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sunyoto
Usman bahwa paling tidak ada tiga hal yang dijadikan alasan dalam integrasi sosial, salah
satunya yaitu tuntutan bekerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sebagai
konsekuensi sebagai makhluk sosial.
(2) Partisipasi dan Akulturasi, partisipasi komunitas buddhis cina benteng yang diobservasi
dalam penelitian ini hanya terbatas pada partispasi sosial formal yakni keterlibatan mereka pada
organisasi formal yakni LKMD dan FKUB., dan partisipasi sosial informal yaitu keterlibatan
mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial infomal yang tidak terorganisasi seperti menghadiri acara
pernikahan, khitan, dan perayaan hari raya. Sementara partisipasi komunitas buddhis cina
benteng secara semi informal tidak dilakukan observasi, hal tersebut sesuai teori yang
dinyatakan oleh Bertrand yang menyatakan bahwa partisipasi sosial semi informal sulit untuk
diidentifikasi.
(3) Integrasi Atas Dasar General Agreements, dalam integrasi sosial komunitas buddhis cina
benteng dengan muslim sunda terbentuk atas dasar kesepakatan akan beberapa hal, antara lain:
pertama kesepakatan atas kejadian sejarah, bahwa dulu antara komunitas buddhis cina benteng
dan muslim sunda sama-sama dijajah oleh Belanda, akhirnya terjadi kesepakata bersama bahwa
mereka harus bersatu untuk melawan musuh, musuh sebenarnya adalah penjajah Belanda.
Kedua berdasarkan kesepakatan akan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diterima oleh kedua
komunitas, sehingga kedua komuitas merasa memiliki kearifan lokal tersebut. Dengan adanya
asumsi ini maka terjadi integrasi. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh paham
fungsionalisme struktural yang menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas
dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general
agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di
antara para anggota masyarakat. Faktor terpenting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu
sistem
sosial
adalah
konsensus
diantara
anggota
masyarakat
mengenai
nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu.
4. Faktor Dominan yang Mendukung Potensi Konflik
a. Pemahaman ajaran agama yang kurang
Ketika wawancara dengan beberapa tokoh agama, salah satu faktor dominan yang
menimbulkan potensi konflik adalah pemahaman akan ajaran yang kurang dari pemeluk
agama, pada dasarnya setiapa agama memiliki perhatian yang besar terhadap kerukunan dan
banyak ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan kerukunan. Romo Kuatsun salah satu tokoh
agama Buddha mengatakan bahwasannya agama Buddha mengharapkan semua makhluk untuk
selalu berbahagia, salah satu caranya adalah dengan bersatu, dengan tidak ada perselisihan.
Bapak Uztad Saeful Bahri (Pengasuh Ponpes Al Hasyimiyyah) dalam wawancaranya juga
menegaskan salah satu faktor penyebab konflik adalah karena kurangnya pemahaman agama,
Baginda Muhamad SAW selalu mengajarkan dan memberikan contoh agar sikap toleransi
selalu dikembangkan, karena Islam adalah agama damai.17
b. Warisan masa lalu (Belanda: pecah belah)
Bapak Megiyana Hanafiah18 mengatakan salah satu hal yang bisa menimbulkan potensi
konflik antara umat Buddha dengan umat lain adalah sisa-sisa warisan dari Kolonial Belanda
yaitu politik pecah belah, mungkin saja hal tersebut masih tertanam dalam jiwa masyarakat di
Neglasari walaupun mungkin kadarnya sangat kecil. Ibarat air yang keruh sekarang sudah
mengendap, namun jika air tesebut digoyang maka endapan yang ada di bawah dapat naik ke
permukaan.
c. Perkembangan dan Komposisi Penduduk dan Pemeluk Agama
Komposisi penduduk dan pemeluk agama yang tidak seimbang, karena umat Buddha di
Kecamatan Neglasari hanya 10.68 % bisa saja menimbulkan gep antara kaum mayoritas dan
kaum minoritas. Uztad Saeful Bahri dalam wawancaranya juga mengatakan, umat Buddha
sebagai kaum minoritas di bisa saja mendapatkan perlakuan yang kurang baik oleh kaum
mayoritas jika umat Islam sebagai kelompok mayoritas mengeluarkan arogansinya. Namun
selama ini hal tersebut tidak pernah terjadi.
d. Perkembangan Ekonomi sosial
Ketika peneliti mewancarai Bapak Alen dan Romo Kuatsun19 bisakah perkembangan
ekonomi sosial dapat menjadi salah satu fakor penyebab konflik antar umat Buddha dengan
umat agama lain, mereka mengatakan sangat bisa, karena sebagian besar umat Buddha adalah
etnis Tionghoa yang dianggap menguasai perekonomian di bebrapa kawasan di wilayah
Tangerang. Kecemburuan sosial ini yang bisa menimbulkan potensi konflik, seperti yang
pernah terjadi di Jakarta pada tahun 1998, ketika kerusuhan masal yang dilatar belakangi
politik dan kecemburuan sosial banyak etnis Tionghoa yang menjadi korban.
e. Kegagalan Meniru Model Peran
Salah satu kegagalan pemeluk agama memainkan peranannya sesuai dengan harapan
agama, norma dan adat sekitar adalah kegagalan meniru model peran. Setiap pemeluk agama
tentu mengidolakan dan meneladani tokoh agamanya, contoh umat muslim tentu ingin meniru
dan meneladani Nabi Muhamad, umat Buddha tentu meneladani Sang Buddha, Kristen
meneladani Yesus. Menurut wawancara dengan bebrapa responden pemuka agama dari agama
Islam, Buddha dan Kristen tokoh tersebut selalu menganjurkan pentingnya memelihara
kerukunan. Dalam tindakan nyata pun mereka banyak mencotohkan sikap toleransi. Ketika
pemeluk agama gagal meniru model peran tersebut maka kerukunan akan sukar terpelihara.
selain itu sikap Exlusivisme pemeluk agama juga merupaka faktor yang mendukung potensi
konflik.
5. Faktor Dominan yang Mendukung Integrasi
a. Kearifan Lokal.
Salah satu hal yang menjdi perekat kerukunan antar umat beragama di Kecamatan
Neglasari, Kota Tangerang adalah adanya kearifan lokal yang berkaitan dengn kerukunan.
Kearifan lokal ini cukup menjiwai masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk umat
Buddha yang berasal dari etnis Tioghoa. Walaupun mereka adalah kaum urbanisasi namun
mereka sudah merasa menjadi penduduk asli Tangerang.
Beberapa kearifan lokal yang menjiwai kerukunan yang terdapat di Tangerang menurut
hasil wawancara dengan Haji Abdul Halim20 dan Bapak Nurwandi Wanvi diantaranya adalah:
(1) Silih asih, silih asah, silih asuh. Hal ini mengajarkan kepada masyarakat Tangerang agar
saling mengasihi, saling mengasuh dan saling belajar dengan orang lain tanpa melihat
perbedaan agama, etnis. (2) Rukun jeung batur sa kasur, sa sumur, sa lembur, sa kubur (Rukun
dengan teman se kasur, se sumur, sekampung, dan se kubur) makna filosofi yang terkandung
dalam kearifan lokal tersebut adalah mengajarkan agar masyarakat selalu rukun dengan orang
di dalam rumah, dengan orang sekitar, dengan orang sekampung, dan dengan orang yang
mungkin suatu saat nanti satu kuburan
b. Kesadaran dari Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat akan Pentingnya Kerukunan.
Tokoh agama sebagai seorang yang disegani dan dijadikan teladan oleh umatnya
mempunyai pengaruh besar dalam membina kerukunan. Dalam pembinaan di agama masingmasing para tokoh agama di Neglasari selalu menekankan pentingnya memelihara dan
meningkatkan kerukunan. Para tokoh masyarakat dan tokoh pemuda memegang peranan
penting dalam menciptakan kerukunan antar pemeluk agama dan antar etnis di kota
Tangerang, karena mereka menjadi panutan bagi masyarakat, jika mereka peduli dan konsen
terhadap pembinan kerukunan maka terciptanya kedamaian dalam kehidupa masyarakat
adalah sebuah keniscayaan.
c. Perkawinan masyarakat asli dengan umat Buddha pendatang
Umat Buddha etnis Tionghoa mereka adalah pendatang di Tangerang, terjadinya
perkawinan antara pendatang dengan masyarakat asli yang beragama islam menambah
kerukunan diantara mereka. Ketika lebaran maka saudara saudara dari keluarga kawin silang
saling berkunjung bersilaturahmi bukan hanya dengan keluarga besan tetapi juga dengan
tetangga yang ada di sekitarnya. Hal tersebut menambah rasa persaudaraan diantara umat
Buddha dengan umat Islam sekaligus etnis Tionghoa dengan etnis Sunda walaupun hanya
dalam skala kecil.
KESIMPULAN
Kehidupan masyarakat Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh agama dan nilai-nilai
kearifan lokal, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious. Agama dijadikan sebagai
sumber etika, moral dan spiritual bagi para pemeluknya, oleh karena itu selayaknya agama
sebagai faktor integratif, yang mempersatu-padukan setiap kegiatan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat.
Untuk memelihara kerukunan yang sudah terjalin antar umat beragama diperlukan
peranan dari setiap pemeluk agama tak terkecuali komunitas buddhis cina benteng (umat
Buddha) sebagai salah satu bagian dari kemajemukan.
Polarisasi pemahaman dan pengamalan ajaran agama seharusnya tidak menjadi faktor
pemicu konflik, justrus seharusnya dijadikan sebagaisuatu kekuatan yang akan mempersatukan
kehidupan.
Untuk terciptanya integrasi sosial yang mengarah terciptaya kerukunan dan kedamaian
maka masing-masig komunitas harus secara aktif ikut serta dalam menjaga kerukunan, bukan
hanya pasif sekedar menghormati dan menghargai agama dan etnis lain.
Untuk menghindari disintegrasi yang dapat mengancam stabilitas nasional maka kedua
komunitas harus mengeliminir potensi konflik yang ada dan menumbuhkan potensi integrasi.
Meskipun selama ini belum pernah terjadi konflik fisik antara komunitas buddhis cina benteng
dengan mulim sunda, namun bukan berarti sama sekali tidak ada konflik. Konflik dalam
tataran kognitif evaluatif terjadi yaitu mempertahankan kebenaran agama dan nilai-nilai dari
masing-masing komunitas yang diyakini terhadap serangan yang datang dari luar atau pun dari
dalam.
Catatan Akhir
1
Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Wawancara awal, oktober 2013 dengan ketua Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia
(IPTI) Banten, Hendra (Acong).
3
Erika Revida. Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina Dengan Pribumi di Kota Medan.
4
Christian Pelras, The Bugis (Oxford: Blackwell Publisher’s, 1996), hlm.4. dalam
Nurman Said, Masyarakat Muslim Makasar. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia, hlm,1.
5
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Relegius, Yogyakarta, Kanisius, 1994, dalam Lucia
Ratih Kusumadewi, Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan
Tinggi di Jakarta, Skripsi, FISIP UI, 1999, hal 25.
6
James S Coleman. Dasar-Dasar Teori Sosial (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 738.
7
Soerjono Soekanto. “ Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), hlm. 58.
8
Sunyoto Usman, pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2009), hlm. 75-78).
9
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 283.
10
James S Coleman, op.cit., hlm. 330.
11
Ibid, hlm. 356
12
Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto. Cultural Sociologi, a Revision of an
Introduction to Sociology (New York: The Macmillan Company, 1954), hlm 489
13
James S Coleman, op.cit., hlm 397
14
Maryati, Kun,dkk, op.cit., hlm 25.
15
Suprayogo, Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama (bandung: PT Rosdakarya,
2003), hlm. 192
16
http://litbang.tangerangkota.go.id/uploads/publikasi_statistik. diakses November
2013.
17
Bapak Uztad Saeful Bahri pegasuh Ponpes Ponpes Al Hasyimiyyah. Wawancara pada
12 november 2013 di Ponpes Al Hasyimiyyah, Kelurahan Karangsari Kecamatan Neglasari Kota
Tangerang Banten.
18
Bapak Megiyana Hanafiah (58 taun) Tokoh masyarakat Desa Neglasari Kecamatan
Neglasari, beliau juga seorang pendeta agama Kristen. wawancara dilakukan pada 3 desember
2013 dikediaman beliau.
19
Bapak Alen adalah sekrearis Vihara Darmaratna sekaligus pemilik toko yang cukup
besar yaitu toko mas Eropa di pasar anyar tangerang, Romo Kuatsun orang adalah Ketua Vihara
Dharmaratna, beliau juga pengusaha. Wawancara pada tanggal 16 desember 2013, di Sewan
Rawa Kucing.
20
Bapak Haji Abdul Halim (50 tahun) tokoh agama Sewan, Rawa Kucing, Neglasari.
Wawancara pada tanggal 22 desember 2013 di Sewan. Nurwandi Wanvi (48 taun) aktifis
Vihara Darmaratna, Sewan Rawa Kucing, Neglasari. Wawancara pada 24 dewsember 2014 di
kediaman beliau Sewan, Rawa Kucing.
2
DAFTAR PUSTAKA
Andi Rasdiyah” Integrasi Sistem Pengaderreng (adat) dengan Sistem Syariat Islam sebagai
Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontara Latoa. (Yogyakarta: Jurnal Digilib UIN
Sunan Kalijaga, 2009).
Erika Revida. Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina Dengan Pribumi di Kota Medan.
Hermawan Kertajaya. Arti Komunitas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda. diakses tanggal 20 september 2013.
James S Coleman. Dasar-Dasar Teori Sosial (Bandung: Nusa Media, 2008)
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. (Jakarta: Kompas, 2010).
Maryati, Kun,dkk, Sosiologi untuk SMA Kelas XI. (Jakarta : Erlangga, 2010)
Moleong. Metodologi penelitian Kualitatif (edisi revisi) (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2006)
Nurman Said “Masyarakat Muslim Makassar: Studi Pola-pola Integrasi Sosial antara Muslim
Pagama dengan Muslim Sossorang” (Balitbang dan Diklat Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2009).
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Relegius, Yogyakarta, Kanisius, 1994, dalam Lucia Ratih
Kusumadewi, Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan
Tinggi di Jakarta, Skripsi, FISIP UI, 1999.
Soenanrno. Kekuatan Komunitas Sebagai Pilar Pembangunan Nasional (Jakarta: Universitas
Muhamadiyah press, 2002)
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Sunyoto Usman. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009).
Suprayogo, Tobroni.Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Rosdakarya, 2003).
Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Kompas, 2010)
Tesis Agnessia Lokollo. Integrasi Sosial dalam Masyarakat Pluralitas Agama (Tinjauan Kritis dari
Perspektif Sosiologi Agama di Dusun Yalahatan Negeri Tamilouw. Fakultas Teologi, Universitas
Satya Wacana, 2012.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indoensia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2010)
Download