Implikasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Bukan

advertisement
Implikasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Bukan Badan Hukum Dalam
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Oleh
Herlina Manullang
Abstract
Contamination and devastation of environment by incorporated bussines entities mostly done in
context of execising economic. It also pose ruler and companies act that inappropriate to their
obligation in maintaining environment. Law on Protection and Maintanance of Environment
attach criminal responsibility to incorporated bussines entitites in the case of any contamination
and devastation occurred. However, practically, it is hard to prove causal links between faults
and attitude or concrete action of those entities.
Keywords: Criminal responsibility, incorporated bussines entities, contamination and
devastation environment.
Pendahuluan
Peranan badan usaha atau korporasi1
dalam era globalisasi menuntut semakin
melebarnya ketergantungan antara satu negara
dengan negara lainnya, dan menjadi sarana
vital pemenuhan masyarakat luas. Sungguh
pun eksistensi badan usaha atau korporasi
menjadi salah satu tulang punggung ekonomi
dunia, akan tetapi dalam perjalanan
selanjutnya badan usaha atau korporasi
cenderung melakukan hal -hal yang tidak
sesuai dengan etika dan melanggar hukum
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar
besarnya. Motivasi pencarian keuntungan
inilah yang pada akhirnya mendorong badan
usaha untuk melakukan kegiatan kejahatan
pencemaran lingkungan, makanan dan obat
terlarang, keselamatan lingkungan and
worksplace conditions.2
1
Secara umum dalam sistem hukum Indonesia badan
usaha disebut juga dengan korporasi. badan usaha atau
korporasi dapat diklasifikasikan dengan badan usaha
yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak
berbadan hukum. Perbedaan prinsipil antara badan
usaha yang berbadan hukum dan badan hukum yang
tidak berbadan hukum terletak pada kemandirian badan
usaha dan pengakuan legal personality dari badan
usaha tersebut. Di dalam hukum pidana tidak terdapat
perbedaan badan usaha berbadan hukum danbadan
usaha bukan badan hukum, tetapi terjadi perluasan
pengertian yang disebut dengan badan usaha atau
korporasi.
2
See the instances highlighted in Hasani Mohd
Ali,”Corporate Killing for Malaysia:A Preliminary
Consideration’ (2009) 13 Journal of Law 144. In 2004,
there were more than 3.000 industrial accidents in
Singapore where 93 persons were permanently
incapacitated and 83 persons lost their lives, see
Singapore Parliamentary Debates, Official Report, 17
Januari 2006,col 2204. Of greaterscale was the tragedy
in Bhopal , India, when toxic gas was released during
the night from an American-owned Union Carbide
chemical factory in December 1984. Thousands of
people were killed,3,000 of them instantly, in the one
1
Dalam dekade terakhir ini telah muncul
klaim bahwa berbagai aktivitas badan usaha
atau korporasi telah memberikan dampak
yang merugikan kesejahteraan manusia dan
menyebabkan terjadi pelanggaran hak asasi
manusia, sebagaimana tercantum dalam
Prinsip pertama The United Nations Global
Compact3 adalah bisnis harus mendukung dan
menghormati perlindungan hak asasi manusia
internasional. Dengan perkataan lain, dapat
pula dikatakan bahwa dalam konteks
menjalankan
perusahaan,
menjalankan
aktivitas perusahaan, menjalankan bisnis dan
hubungan perusahaan dengan pihak lainnya
sudah tentu dapat menimbulkan resiko atau
berpotensi bahwa badan usaha atau korporasi
akan berdampak negatif bagi perlindungan
dan penghormatan hak asasi manusia. Namun
demikian, di sisi lain, tetap perlu disadari
bahwa keberadaan badan usaha atau korporasi
memberikan peluang atau dapat digunakan
sebagai alat untuk mendukung atau
mempromosikan konsep perlindungan dan
penghormatan hak asasi manusia di samping
memajukan bisnis dan pereknomian.
of the world’s worst industrial accidents. Stanley Yeo,
Neil Morgan, and Chan Wing Cheong, Criminal Law in
Malaysia and Singapore, LexisNexis , Singapore,
Malaysia, Hongkong, India, 2012, hlm 1015.
3
The United Nations Global adalah sebuah platform
untuk entitas bisnis dan non bisnis untuk secara
proaktif terlibat dalam bidang hak asasi manusia,
perburuhan, lingkungan, antikorupsi dan memberikan
kontribusi bagi tujuan –tujuan Perserikatan BangsaBangsa dalam rangka mencapai tujuan bersama yakni
membangun ekonomi global yang inklusif dan
berkelanjutan dan berkelanjutan. Dengan lebih dari
10.000 peserta yang tersebar di 145 negara. Global
Compact terus memerluas jangkauan dan meningkatkan
peluang bagi keterlibatan negara negara di dunia.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang
mempidanakan kejahatan badan usaha atau
korporasi adalah Undang-Undang No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disebut UUPPLH). Hal ini dapat dilihat dari
isi Pasal 116,4yang mengadopsi doktrin
vicarious liability.5 Meskipun tidak digariskan
secara jelas dalam KUHP Belanda,
berdasarkan sistem hukum di Indonesia pada
saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban
pidana dalam kejahatan badan usaha
berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu
dengan membebankan pada badan usaha itu
sendiri seperti yang ditetapkan dalam
beberapa perundang-undang di luar KUHP
seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UU
No.31/tentang Tindak Pidana dan UU No.31
Tahun 2004 tentang Perikanan. Kemudian
kemungkinan berikutnya adalah dapat
dibebankan kepada pengurus badan usaha
4
Pasal 116 UUPPLH menyebutkan;
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan
oleh, atau untuk atas nama badan usaha, tuntutan
pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada;
a.Badan usaha; dan/atau
b.Orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh orang , yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan
terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak
pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama.
5
Vicarious
Liability
adalah
pembebenan
pertanggungjawaban pada seseorang atas tindakan yang
dilakukan oleh orang lain, semata mata berdasarkan
hubungan antara kedua orang tersebut.
2
sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan
juga dibebankan kepada badan usaha.
Teori Pertanggungjawaban Pidana Badan
Usaha Yang Bukan Badan Hukum
Pada awal perkembangan mengenai
subyek
hukum
pidana
dan
pertanggungjawaban pidana, secara universal
diakui bahwa subyek hukum pidana adalah
pribadi (natural person). Bahkan dalam ilmu
hukum dikenal doktrin yang juga diterima
umum pada waktu itu yaitu universitas
delinquire non potest yang mengandung
makna korporasi tidak mungkin melakukan
tindak pidana. Hal ini dipengaruhi pandangan
Von Savigny bahwa badan usaha atau
korporasi sebagai subyek hukum merupakan
suatu fiksi hukum yang diterima dalam hukum
keperdataan yang tidak cocok untuk diambil
alih begitu saja dalam hukum pidana.6
Sedangkan dalam hukum pidana untuk adanya
suatu tindak pidana harus memenuhi syarat,
yaitu adanya actus reus dan mens rea dan
berlaku prinsip actus non facit reum, nisi
mens sit rea. Oleh karena itu hanya manusia
yang dapat melakukan suatu tindak pidana
mengingat hanya manusia yang mempunyai
kesalahan/mens rea atau evil mind atau evil
will (sikap batin).
Walaupun pada saat itu belum ada
pengakuan badan usaha atau korporasi sebagai
subyek hukum pidana namun tidak berarti
kejahatan badan usaha tidak pernah terjadi,
Menurut J.E Sahetapy kejahatan badan usaha
atau korporasi bukan barang baru, tetapi
hanya kemasan, bentuk dan perwujudannya
yang baru. Kejahatan badan usaha atau
korporasi telah ada sejak lebih dari tiga ribu
tahun yang lalu atau pada abad 14 SM di
Mesir. Pada masa lampau di Yunani kejahatan
badan usaha (korporasi juga terjadi misalnya
Alcmaendos yang diberi kepercayaan untuk
membangun rumah ibadah dengan batu
pualam diganti semen yang dilapisi batu
pualam.7Kejahatan-kejahatan badan usaha
atau korporasi seperti itu dari waktu ke waktu
terus terjadi sampai masa kin. Kasus kasus
kejahatan badan usaha atau korporasi seperti
pencemaran lingkungan yang terjadi di
Indonesia,
misalnya
kasus”pencemaran
lingkungan di Teluk Buyat” yang diduga
dilakukan PT Newmont Minahasa Raya, PT.
Dongwoo Environmental Indonesia di Bekasi,
kasus kebakaran hutan oleh PT Adei
Plantation & Industri yang diduga dilakukan
oleh General Manager secara bersamabersama, kasus Exxon Mobil Oil di Indonesia.
Konvensi internasional yang mengatur
badan usaha atau korporasi person) sebagai
subyek hukum pidana antara lain; United
Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (Palermo Convention 2000),
yang diatur dalam Article 10 tentang Liability
of Legal Person, United Nations Convention
Against Corruption 2003, yang diatur dalam
Article 26 tentang Liability of Legal Persons,
dan International Convention for the
Suppersion of the Financing of Terrorism
6
Jan Remmelik, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003, hlm.99; Lihat juga, M. Arief
Amerullah, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia,
2006, hlm.208.
7
J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Eresco,
1994, hlm.4.
3
1999 dalam Article 5 mengatur tentang
Liability of legal entity.8
Saat ini pengakuan badan usaha atau
korporasi sebagai subyek hukum pidana dan
pertanggungjawaban pidana terhadap badan
usaha atau korporasi dalam ketentuan hukum
pidana di Indonesia sudah tidak diragukan
lagi. Dalam hukum pidana Indonesia,
walaupun KUHP yang berlaku saat ini berasal
dari Wetboek van Strafrecht Belanda pada
tahun 1886 berdasarkan asas konkordansi dan
oleh karennya ditujukan hanya untuk orang
pribadi (natural person),9 sedangkan badan
usaha atau korporasi belum termasuk sebagai
subyek hukum pidana, namun dalam
perundang-undangan pidana di luar KUHP,
badan usaha atau korporasi sudah diakui
sebagai subyek hukum pidana dan badan
usaha
atau
korporasi
dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum
pidana, misalnya terdapat dalam UndangUndang No.7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak
Pidana Ekonomi, Undang-Undang No.5
Tahun 1997 tentang Psikotropika, UndangUndang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Korupsi dan UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009, dan
Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit. Dalam Rancangan KUHP yang
saat ini sedang dibahas Pemerintah dan DPR
juga menentukan bahwa subyek hukum
pidana terdiri dari orang pribadi (natural
person) dan badan usaha atau korporasi (legal
person).
Dilihat dari bentuk hukumnya, hukum
pidana Indonesia memberikan pengertian
badan usaha atau korporasi dalam arti yang
luas. Menurut hukum pidana Indonesia,
pengertian badan usaha atau korporasi tidak
sama dengan pengertian badan usaha atau
korporasi dalam hukum perdata. Pengertian
korporasi menurut hukum pidana lebih luas
daripada pengertiannya menurut hukum
perdata. Menurut hukum perdata, subyek
hukum, yaitu yang dapat atau berwenang
melakukan perbuatan hukum dalam bidang
hukum perdata, misalnya membuat perjanjian,
terdiri atas dua jenis yaitu orang persorangan
(manusia atau natural person) dan badan
hukum (legal person), dengan demikian yang
dimaksud dengan badan usaha atau korporasi
adalah badan hukum (legal person). Namun
dalam hukum pidana, badan usaha atau
korporasi meliputi badan usaha yang berbadan
hukum meliputi perseroan terbatas, yayasan,
koperasi atau perkumpulan yang telah
disahkan sebagai badan hukum dan badan
usaha yang bukan badan hukum meliputi
firma, perseroan komanditer atau CV dan
persekutuan atau maatschaap.10 Sedangkan
pengertian “setiap orang” dalam Pasal 1 angka
(32) UUPPLH, adalah orang perseorangan
atau badan usaha baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum. Badan
8
Sigid Suseno, Hukum Pidana Indonesia
Perkembangan dan Pembaharuan, Yogyakarta: Rosda,
2013, hlm 2009.
9
Jan Remmelik, Op.Cit, hlm.97-99
10
Sutan Remy Sjahdeni,, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, Jakarta, hlm 42-43.
Lihat juga Remmelink op.cit hlm. 10
4
usaha yang dijumpai dalam KUHPerdata dan
KUHDagang, diantaranya Persekutuan (Pasal
1618
KUHPerdata-1652
KUHPerdata),
Perkumpulan (Pasal 16533 KUHPerdata-Pasal
1665 KUHPerdata), Firma (Pasal 16
KUHDagang-Pasal 35 KUHDagang), dan
Komanditer (Pasal 16 KUHDagang-Pasal 35
KUHDagang).11
Pertanggungjawaban badan usaha atau
korporasi dalam hukum pidana tidak melalui
penelitian yang mendalam para ahli, tapi
sebagai akibat dari kecenderungan dari
formalism hukum (legal formalism). Doktrin
pertanggungjawaban pidana badan usaha atau
korporasi telah berkembang melalui peran
pengadilan tanpa adanya teori yang
membenarkannya. Hakim di dalam sistem
common law melakukan suatu anologi atas
subyek hukum manusia, sehingga badan usaha
atau korporasi juga memiliki identitas hukum
dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang
menciptakannya.12
Pertanggungjawaban badan usaha atau
korporasi didasarkan pada doktrin respondeat
superior, suatu doktrin yang menyatakan
bahwa badan usaha atau korporasi sendiri
tidak bisa melakukan kesalahan. Hanya agenagen yang bertindak untuk dan atas nama
badan usaha atau korporasi saja yang dapat
melakukan kesalahan. Oleh karenanya,
11
Alvi Syahrin, Pertanggungjawbaan Pidana dalam
Undang-Undang No.32 tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH).
http://Alviprofdr.blogspot.com/2010/11/pertanggungja
waban-pidana-dalam -undang.html, diakses 4 Maret
2013, pukul 20.20 wib.
12
Andrew Weissmaan dan David Newman,
“Renthinking Criminal Liability”, Indiana Law Journal,
Vol.82, No.411, hlm 418-419
pertanggungjawaban badan usaha atau
korporasi
maerupakan
suatu
bentuk
pertanggungjawaban atas tindakan orang
lain/agen (vicarious liability), di mana ia
bertanggungjawab atas kesalahan yang
dilakukan oleh para agen. Doktrin ini diambil
dari hukum perdata yang diterapkan pada
hukum pidana. Vicarious liability biasanya
berlaku dalam hukum perdata tentang
perbuatan melawan hukum berdasarkan
respondeat superior. 13Ada tiga syarat yang
harus
dipenuhi
untuk
adanya
pertanggungjawaban badan usaha atau
korporasi, yaitu; agen melakukan suatu
kejahatan; kejahatan yang dilakukan itu masih
dalam ruang lingkup pekerjaannya; dan
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
menguntungkan badan usaha atau korporasi.14
Doktrin
respondeat
superior
menghasilkan tiga model pertanggungjawaban
pidana badan usaha atau korporasi, yaitu
direct corporate liability, strict liability, dan
vicarious liability. Dalam Direct corporate
criminal liability (pertanggungjawaban badan
usaha atau korporasi), korporasi dapat
melakukan sejumlah delik secara langsung
melalui para agen yang sangat berhubungan
erat dengan badan usaha atau korporasi,
bertindak untuk dan atau atas nama badan
usaha atau korporasi. Syarat adanya
pertanggungjawaban pidana badan usaha atau
korporasi secara langsung adalah tindakan –
tindakan para agen tersebut masih dalam
ruang lingkup pekerjaan badan usaha atau
13
Sutan Remy Sjahdeni, Op cit, hlm .84.
V.S Khana, “Corporate Liability Standars; When
Should Corporation Be Criminality Liabel”, American
Law Review, 2000, hlm 1242-1243.
14
5
korporasi.15 Direct corporate criminal
liability berhubungan erat dengan doktrin
identifikasi, yang menyatakan bahwa pada
dasarnya mengakui bahwa tindakan agen
tertentu dari badan usaha atau korporasi,
selama tindakan itu berkaitan dengan badan
usaha atau korporasi, dianggap sebagai
tindakan dari badan usaha atau korporasi itu
sendiri. 16
Strict Liability diartikan sebagai suatu
perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan
adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap
satu atau lebih dari actus reus.17 Strict
Liability ini merupakan pertanggungjawaban
tanpa kesalahan (liability without fault). Dapat
ditegaskan bahwa dalam perbuatan pidana
yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan
dugaan atau pengetahuan dari pelaku
(terdakwa),
sudah
cukup
menuntut
pertanggungjawaban pidana dari pdadanya.
Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea
karena unsur pokok strict liability adalah
actus reus (perbuatan) sehingga yang harus
dibuktikan adalah actus reus (perbuatan),
bukan mens rea (kesalahan).18
Vicarious liability (pertanggungjawaban
pengganti)
diartikan
sebagai
pertanggungjawaban
menurut
hukum
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan
Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition,
Prentice Hall, New Jersey, 1995, hlm53; Wayne R La
Fave & Austin W Scott, “Criminal Law”, West
Publishing co, 1982, hlm.288.
16
Eric Colvin, “Corporate Personality and criminal
Liability”, Criminal Law Forum, 1995, hlm 8-9.
17
Russel Heaton, “Criminal Law” Texbook, Oxford
University Press, London, 2006, hlm.403.
18
Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability
dalam Hukum Pidana”, Lembaga Penelittian,
Universitas Islam Indonesia, Yokyakarta, 1997, hlm
63-64.
oleh orang lain.19 Teori ini juga hanya dibatasi
pada keadaan tertentu di mana majikan (badan
usaha
atau
korporasi)
hanya
bertanggungjawab atas perbuatan salah
pekerja yang masih dalam lingkup
pekerjaannya.20 Rasionalitas penerapan teori
ini adalah karena majikan (badan usaha atau
korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan
atas mereka dan keuntungan yang mereka
peroleh secara langsung dimiliki majikan
(badan usaha atau korporasi).21
Prinsip hubungan kerja dalam vicarious
liability disebut dengan prinsip delegasi, yakni
berkaitan dengan pemberian izin kepada
seseorang untuk mengelola suatu usaha.
Pemegang izin menjalankan langsung usaha
tersebut, akan tetapi ia memberikan
kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh
kepada seseorang manager untuk mengelola
badan usaha atau korporasi tersebur. Jika
manager itu melakukan perbuatan melawan
hukum, maka pemegang izin (pemberi
delegasi) bertanggungjawab atas perbuatan
manager itu.
Ketika
korporasi
dinyatakan
bertanggungjawaban secara pidana atas tindak
pidana di Indonesia, maka menurut Mardjono
Reksodiputro22
ada
tiga
sistem
pertanggungjawaban pidana Badan usaha atau
15
19
Sue Titur Reid, Op.cit, hlm 53.
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law,
Second Edition, Sweet & Maxwell, London, 1998, hlm.
44.
21
Ibid, hlm.45.
22
Mardjono Reksodiputro,”Dampak Kejahatan
Korporasi Untuk Pembangunan”, dalam Kemajuan
Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan , Kumpulan
Karangan, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1984,
hlm.72.
20
6
korporasi sebagai subyek hukum tindak
pidana, yakni sebagai berikut;
a. Pengurus badan usaha sebagai
pembuat dan penguruslah badan
usahalah yang bertanggungjawab;
b. Badan usaha atau korporasi sebagai
pembuat
dan
pengurus
bertanggungjawab;
c. Badan usaha atau korporasi sebagai
pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
Dengan demikian pertanggungjawaban
badan usaha atau korporasi tetap membuka
kemungkinan untuk menuntut dan mempidana
individu-individu, termasuk para pengurus
atau manejer, disamping badan usaha atau
korporasi itu sendiri. Bagaimanapun peran
manusia atau individu-individu tetap penting
dan oleh karena itu mereka tetap perlu
menjadi
sasaran
penuntutan
dengan
pandangan berikut ini;
“How do make corporations and
other organizations comply? They
have no arms, no legs, no conscienceif you cut them, they don’t bleed, you
can’t fine them enough to get their
attention…. Individuals make a
difference in corporations. They are
not nameless and faceless. They can
go to jail.we can go to get their
attention.”23
Pengurus adalah individu-individu yang
mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial,
23
J.G Arbuckle, Liabilities and Enforcement dalam J.G
Arbulk, 1993, Environmental Law Handbook,
Government Institute Mc Rockfille, 1993, hlm 56
setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat
mereka bekerja. Oleh sebab itu, selain
menikmati kedudukan sosial, perlu pula
diiringi dengan tanggungjawab sebagaimana
tercermin dalam ungkapan: ”where social
power exists, so does responsibility.”24
Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha
Bukan Badan Hukum Dalam Undang
Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) No.32
Tahun 2009.
Untuk menerapkan pertanggungjawaban
pidana badan usaha yang berbadan hukum dan
bukan berbadan hukum atau korporasi dalam
tindak pidana lingkungan hidup, menurut
Muladi perlu diperhatikan hal- hal berikut
ini;25
1. Badan
Usaha
atau
korporasi
mencakup, baik badan hukum (legal
entity) maupun bukan badan hukum
seperti organisasi dan sebagainya;
2. Badan Usaha dapat bersifat privat
(privat juridical entity) dan dapat pula
bersifat publik (public entity);
3. Apabila
diidentifikasikan
bahwa
tindak pidana lingkungan dilakukan
dalam bentuk organisasional, maka
orang alamiah (managers, agent,
employess) dan korporasi dapat
dipidana, baik sendiri-sendiri maupun
Gunter Heine, “Summary” dalam die Strafrechtliche
Verantwortlichkeit
van
Unternehmen,
Nomas
verlagsgesellschaft, 1994, hlm. 320.
25
Muladi, “Prinsip-Prinsip Dasar hukum Pidana
Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Undang-Undang
No.23 Tahun 1997”, Jurnal Hukum Pidana dan
Kriminologie, Vol.1 no.1/1998.hlm.8-9.
24
7
4.
5.
6.
7.
8.
bersama-sama
(bipunishment
provision);
Terdapat kesalahan manajeman dalam
badan usaha atau korporasi dan terjadi
apa yang dinamakan breach of
statutory or regulatory provision;
Pertanggungjawaban badan usaha
dilakukan terlepas dari apakah orangorang yang bertanggungjawab dalam
badan
usaha
tersebut
berhasil
diidentifikasikan,
dituntut
dan
dipidana;
Segala sanksi pidana dan tindakan
pada dasarnya dapat dikenakan pada
badan usaha atau korporasi, kecuali
pidana mati dan pidana penjaar. Dalam
hal ini perlu dicatat bahwa di Amerika
serikat mulai dikenal apa yang
dinamakan “corporate death penalty”
atau “corporate imprisonment”, yang
mengandung pengertian larangan
suatu badan usaha atau korporasi
untuk berusaha di bidang- bidang
usaha tertentu dan pembatasanpembatasan lain terhadap langkah
langkah badan usaha atau korporasi
dalam berusaha;
Penerapan sanksi pidana terhadap
badan usaha atau korporasi tidak
menghapuskan kesalahan perorangan;
Pemidanaan terhadap badan usaha atau
korporasi hendaknya memperhatikan
kedudukan badan usaha atau korporasi
untuk mengendalikan perusahaan,
melalui kebijakan pengurus atau para
pengurus
(corporate
executive
officers) yang memiliki kekuasaan
untuk memutusakan (power of
decision) dan keputusan tersebut telah
diterima (accepted) oleh badan usaha
atau korporasi.
Konsep
pertanggungjawaban
pidana
badan usaha yang berbadan hukum dan badan
usaha yang bukan berbadan hukum telah
dirumuskan dalam norma- norma hukum
lingkungan di Indonesia, khususnya dalam
UUPPLH.
Dalam UUPPLH pertanggungjawaban
pidana badan usaha dirumuskan dalam Pasal
116 hingga Pasal 119 UUPPLH. Pasal 116
UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya
pertanggungjawaban badan usaha dan siapa
siapa yang harus bertanggungjawab. Jika
diperhatikan rumusan Pasal 116 UUPPLH,
pertanggungjawaban badan usaha timbul
dalam salah satu kondisi berikut, yaitu; (1)
tindak pidana dilakukan atau atas nama badan
usaha atau orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana, (2) oleh orang
yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak
dalam lingkup kerja badan usaha. Karena
badan usaha tidak dapat bekerja tanpa
digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik
tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan
usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian
kerja, misalkan karyawan atau hubungan lain,
misalkan perjanjian pemborongan kerja.
Penjelasan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH
memerlukan penafsiran untuk mengetahui
maksud dari frasa “orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana” atau
“orang yang bertindak sebagai pemimpin”,
8
maka “orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana” diartikan sebagai
orang yang bertugas menjalankan dan
melaksanakan “pengurusan” badan usaha.
Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi
perintah untuk melakukan” atau “orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana” dalam pertanggungjawaban
pidana badan usaha atau korporasi adalah
untuk
mengungkapkan
tanggungjawab
pengurus atau fungsionaris dari badan usaha.
Artinya frasa” orang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana”, sebagaimana dalam Pasal 116
ayat (1) UUPPLH, menunjuk kepada
pertanggungjawaban pidana pengurus badan
usaha secara individual. Pengurus badan
usaha atau korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana secara individual,
apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan
usaha atau korporasi.
Ketentuan Pasal 116 UUPPLH membuka
kemungkinan apabila suatu badan usaha yang
bukan badan hukum
atau korporasi
melakukan perbuatan pidana, tidak hanya
yang dituntut badan usaha atau korporasi saja,
tetapi juga orang yang telah memerintahkan
kejadian tersebut dan orang yang memimpin
sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang.
Artinya, pengurus sebagai pemberi perintah
dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
dilakukan oleh badan usaha atau korporasi.
Pengurus badan usaha atau korporasi
dapat dalam keadaan “ sebagai orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana”, atau pengurus badan usaha dapat
dalam keadaan “sebagai orang yang bertindak
sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana “, artinya, keadaan seorang pengurus
badan usaha atau pengurus korporasi yang
bisa dalam keadaan sebagai orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana.
Keadaan seorang pengurus “sebagai
pemberi perintah untuk melakukan tindak
pidana dan juga bisa sebagai orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana” akan menyebabkan pengurus
tersebut dapat dituntut dua kali. Menuntut
pengurus sebagai pemberi printah untuk
melakukan tindak pidana dan juga bisa
sebagai orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana, akan
bertentangan dengan rasa keadilan dan juga
asas ne bis in idem akan menjadi penghalang
untuk menuntut dua kali orang (pengurus)
yang sama dalam keadaan yang berbeda beda
(“sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana dan juga bisa sebagai orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana), artinya terhadap
pengurus tersebut cukup di pilih keadaan
sebagai pemberi perintah untuk melakukan
tindak pidana atau keadaan sebagai orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana).
Seseorang yang dalam fungsinya sebagai
dalam organisasi badan usaha bukan badan
hukum atau korporasi harus melakukan
tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan
terlarang, namun ia tidak melakukannya, ia
tidak kehilangan posisi kepemimpinannya
dalam konteks memberi arahan bagi tindakan
9
badan usaha atau korporasi (yang secara
faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai
lain). Dalam kondisi ini orang tersebut dapat
juga dikatakan sebagai orang memimpin.
Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara
faktual memimpin dalam tindak pidana badan
usaha atau korporasi, jika ia mengetahui
terjadinya tindak pidana yang bersangkutan,
namun ia tidak mengambil langkah langkah
untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan
secara faktual menerima keadaan terjadinya
perbuatan yang dilarang tersebut.
Rumusan Pasal 116 ayat (1) sub a
UUPPLH menggunakan kata atau frasa “atau”
diantara frasa “orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana” dengan frasa
“orang yang bertindak sebagi pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana” merupakan
penegasan untuk mencegah dituntutnya dua
kali seorang pengurus badan usaha bukan
badan hukum atau korporasi atas suatu tindak
pidana lingkungan yang terjadi.
Menurut Remmelink,26 di dalam praktek
yang dimaksud sebagai “yang memberi
printah”atau “yang memimpin” adalah para
pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara
faktual memimpin dilakukannya tindak pidana
badan usaha atau korporasi jika ia mengetahui
terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara
faktual dikatakan ada perbuatan memimpin
tindak pidana yang terjadi apabila pejabat
yang bersangkutan tidak mengambil langkahlangkah apaun untuk mencegah dilakukannya
perbuatan terlarang oleh para pegawainya,
sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal
itu dan secara dapat melakukan pencegahan
yang dimaksud, dan bahkan secara sadar ia
26
membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana
sekalipun ada kesempatan untuk melakukan
pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang
itu tersebut.
Pengurus badan usaha atau korporasi
merupakan individu individu yang memiliki
kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya
dalam lingkup perusahaan tempat mereka
bekerja. Mereka- mereka yang dapat
dikategorikan sebagai pengurus badan usaha
yaitu;
a. Mereka yang menurut anggaran
dasarnya
secara
formal
menjalankan pengurusan badan
usaha ;
b. Mereka yang sekalipun menurut
anggaran dasar badan usaha bukan
pengurus, tetapi secara resmi
memiliki
kewenangan
untuk
melakukan
perbuatan
yang
mengikat badan usaha secara
hukum berdasarkan;
1. Pengangkatan oleh pengurus
untuk memangku suatu jabatan
dengan pemberian kewenangan
untuk mengambil keputusan
sendiri dalam batas ruang
lingkup tugas dan kewajiban
yang melekat pada jabatannya
itu untuk dapat melakukan
perbuatan hukum mengikat
badan usaha, atau;
2. Pemberian
kuasa
oleh
pengurus
atau
mereka
sebagaimana dimaksud ayat
(1), untuk dapat melakukan
perbuatan yang secara hukum
mengikat badan usaha.
Remmelink, Op Cit hlm 110
10
c. Oleh orang lain yang diperintahkan
oleh mereka yang disebut dalam
huruf a dan b, untuk melakukan
atau menjalankan pengurusan
badan usaha.
Pengurus merupakan organ badan usaha
atau korporasi yang menjalankan pengurusan
badan usaha atau korporasi yang bersangkutan
sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki
kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
badan usaha yang dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana. Dengan demikian,
setiap individu yang ditunjuk sebagai
memiliki tanggung jawab organisasi atau
operasional untuk spesifik perilaku atau yang
memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu
pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini
melaksanakan kewajiban untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, dappat dimintakan pertanggung
jawaban pidana.
Selanjutnya, mengenai frasa Pasal 116
ayat (2) “Apabila tindak pidana lingkungan
hidup…. Dilakukan oleh, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak
pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama sama”. Memperhatikan ketentuan
Pasal 116 ayat (2) UUPPLH berikut dengan
penjelasannya
tidak
menjelaskan
frasa”berdasarkan hubungan kerja” dan frasa
“berdasarkan hubungan lain”, sehingga
diperlukan penafsiran hukum terhadap frasa
tersebut.
Menurut Sutan Remy Sjahdeni,27yang
dimaksud orang” yang berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain”
menunjukkan adanya dua kelompok orang,
yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan
hubungan kerja” dan yang kedua”orang orang berdasarkan hubungan lain”. Hubungan
yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut
harus ditafsirkan sebagai “ hubungan dengan
badan
usaha
atau
korporasi
yang
bersangkutan”.
Lebih lanjut, Sutan Remi Sjahdeni28
mengemukakan,”orang- orang berdasarkan
hubungan kerja” adalah orang-orang yang
memiliki hubungan kerja sebagai pengurus
atau pegawai, yaitu;
a. Berdasarkan anggaran dasar dan
perubahannya;
b. Berdasarkan pengangkatan sebagai
pegawai dan perjanjian kerja dengan
badan usaha atau korporasi;
c. Berdasarkan
“perjanjian
sebagai
pegawai”.
Sedangkan “orang orang berdasarkan
hubungan lain” adalah orang- orang yang
memiliki hubungan lain selain hubungan kerja
dengan badan usaha atau korporasi. mereka
antara lain yang mewakili badan usaha atau
korporasi. Mereka antara lain yang mewakili
badan usaha atau korporasi untuk melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas nama badan
usaha atau korporasi berdasarkan;
a. Pemberian kuasa;
27
28
Sutan Remy Syahdeni, Op cit, hlm 152-153
Ibid
11
b. Berdasarkan
perjanjian
dengan
pemberian kuasa (pemberian kuasa
bukan diberikan
c. Berdasarkan pendelegasian wewenang.
Rumusan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH
mengisyaratkan bahwa dalam penentuan
kesalahan undang-undang ini menganut ajaran
identifikasi dengan menetapkan orang orang
yang memiliki hubungan kerja atau hubungan
lain selain hubungan kerja dengan badan
usaha adalah directing mind dari badan usaha
atau korporasi yang bersangkutan.
KESIMPULAN
Ketentuan Psl 116 UUPPLH memberikan
beberapa implikasi hukum, pertamaBadan
usaha bukan badan hukum tidak dapat lepas
dari pertanggung jawab pidana jika
melakukan perbuatan atau akibat yang
memenuhi kualifikasi pidana lingkungan.
Kedua berdasarkan prinsip vicarious liability,
pimpinan badan usaha atau korporasi atau
siapa saja yang memberi tugas atau perintah
bertanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh bawahan atau karyawan.
Pertanggungjawaban pidana pun diperluas
hingga mencakup perbuatan –perbuatan yang
dilakukan orang orang yang berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arbuckle J.G, Environmental Law Handbook,
Government Institute Mc Rockfille,
1993
Amerullah , Arief, M., Kejahatan Korporasi,
Malang: Bayumedia, 2006
Andrew Weissmaan dan Newman David,
“Renthinking Criminal Liability”,
Indiana Law Journal, Vol.82, No.411,
2007
Clarkson, C.M.V., Understanding Criminal
Law, Second Edition, London: Sweet
& Maxwell, 1998
Eric Colvin., Corporate Personality and
criminal Liability”, Criminal Law
Forum, 1995.
Hanafi., Strict Liability dan Vicarious
Liability dalam Hukum Pidana,
Lembaga Penelittian, Universitas
Islam Indonesia, Yokyakarta, 1997
Heine Gunter, “Summary” dalam die
Strafrechtliche Verantwortlichkeit van
Unternehmen,
Nomas
verlagsgesellschaft, 1994
Heaton Russel., Criminal Law Texbook,
London: Oxford University Press,
2006
Jan Remmelik., Hukum Pidana, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003
J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung:
Eresco, 1994
Sjahden Sutan Remy., Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti,
2007
Sigid Suseno., Hukum Pidana Indonesia
Perkembangan dan Pembaharuan,
Yogyakarta: Rosda, 2013
Muladi, (1998) , “Prinsip-Prinsip Dasar
hukum Pidana Lingkungan Dalam
Kaitannya dengan Undang-Undang
No.23 Tahun 1997”, Jurnal Hukum
Pidana dan Kriminologie, Vol.1
No.1/1998
Newman
David
dan
Andrew
Weissmaan.(2007)
“Renthinking
Criminal Liability”, Indiana Law
Journal, Vol.82, No.411.
Reksodiputro Mardjono, (1984) ”Dampak
Kejahatan
Korporasi
Untuk
Pembangunan”, dalam Kemajuan
12
Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan
, Kumpulan Karangan, Jakarta, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia.
R La Fave Wayne & Austin W Scott, 1982,
Criminal Law, West Publishing co.
V.S Khana VS , (2000) “Corporate
Liability Standars; When Should
Corporation Be Criminality Liabel”,
American Law Review
13
Download