Implikasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Bukan Badan Hukum Dalam Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Oleh Herlina Manullang Abstract Contamination and devastation of environment by incorporated bussines entities mostly done in context of execising economic. It also pose ruler and companies act that inappropriate to their obligation in maintaining environment. Law on Protection and Maintanance of Environment attach criminal responsibility to incorporated bussines entitites in the case of any contamination and devastation occurred. However, practically, it is hard to prove causal links between faults and attitude or concrete action of those entities. Keywords: Criminal responsibility, incorporated bussines entities, contamination and devastation environment. Pendahuluan Peranan badan usaha atau korporasi1 dalam era globalisasi menuntut semakin melebarnya ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya, dan menjadi sarana vital pemenuhan masyarakat luas. Sungguh pun eksistensi badan usaha atau korporasi menjadi salah satu tulang punggung ekonomi dunia, akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya badan usaha atau korporasi cenderung melakukan hal -hal yang tidak sesuai dengan etika dan melanggar hukum untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya. Motivasi pencarian keuntungan inilah yang pada akhirnya mendorong badan usaha untuk melakukan kegiatan kejahatan pencemaran lingkungan, makanan dan obat terlarang, keselamatan lingkungan and worksplace conditions.2 1 Secara umum dalam sistem hukum Indonesia badan usaha disebut juga dengan korporasi. badan usaha atau korporasi dapat diklasifikasikan dengan badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perbedaan prinsipil antara badan usaha yang berbadan hukum dan badan hukum yang tidak berbadan hukum terletak pada kemandirian badan usaha dan pengakuan legal personality dari badan usaha tersebut. Di dalam hukum pidana tidak terdapat perbedaan badan usaha berbadan hukum danbadan usaha bukan badan hukum, tetapi terjadi perluasan pengertian yang disebut dengan badan usaha atau korporasi. 2 See the instances highlighted in Hasani Mohd Ali,”Corporate Killing for Malaysia:A Preliminary Consideration’ (2009) 13 Journal of Law 144. In 2004, there were more than 3.000 industrial accidents in Singapore where 93 persons were permanently incapacitated and 83 persons lost their lives, see Singapore Parliamentary Debates, Official Report, 17 Januari 2006,col 2204. Of greaterscale was the tragedy in Bhopal , India, when toxic gas was released during the night from an American-owned Union Carbide chemical factory in December 1984. Thousands of people were killed,3,000 of them instantly, in the one 1 Dalam dekade terakhir ini telah muncul klaim bahwa berbagai aktivitas badan usaha atau korporasi telah memberikan dampak yang merugikan kesejahteraan manusia dan menyebabkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Prinsip pertama The United Nations Global Compact3 adalah bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia internasional. Dengan perkataan lain, dapat pula dikatakan bahwa dalam konteks menjalankan perusahaan, menjalankan aktivitas perusahaan, menjalankan bisnis dan hubungan perusahaan dengan pihak lainnya sudah tentu dapat menimbulkan resiko atau berpotensi bahwa badan usaha atau korporasi akan berdampak negatif bagi perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia. Namun demikian, di sisi lain, tetap perlu disadari bahwa keberadaan badan usaha atau korporasi memberikan peluang atau dapat digunakan sebagai alat untuk mendukung atau mempromosikan konsep perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di samping memajukan bisnis dan pereknomian. of the world’s worst industrial accidents. Stanley Yeo, Neil Morgan, and Chan Wing Cheong, Criminal Law in Malaysia and Singapore, LexisNexis , Singapore, Malaysia, Hongkong, India, 2012, hlm 1015. 3 The United Nations Global adalah sebuah platform untuk entitas bisnis dan non bisnis untuk secara proaktif terlibat dalam bidang hak asasi manusia, perburuhan, lingkungan, antikorupsi dan memberikan kontribusi bagi tujuan –tujuan Perserikatan BangsaBangsa dalam rangka mencapai tujuan bersama yakni membangun ekonomi global yang inklusif dan berkelanjutan dan berkelanjutan. Dengan lebih dari 10.000 peserta yang tersebar di 145 negara. Global Compact terus memerluas jangkauan dan meningkatkan peluang bagi keterlibatan negara negara di dunia. Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan badan usaha atau korporasi adalah Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH). Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 116,4yang mengadopsi doktrin vicarious liability.5 Meskipun tidak digariskan secara jelas dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan badan usaha berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dengan membebankan pada badan usaha itu sendiri seperti yang ditetapkan dalam beberapa perundang-undang di luar KUHP seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UU No.31/tentang Tindak Pidana dan UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan kepada pengurus badan usaha 4 Pasal 116 UUPPLH menyebutkan; (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, atau untuk atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada; a.Badan usaha; dan/atau b.Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang , yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. 5 Vicarious Liability adalah pembebenan pertanggungjawaban pada seseorang atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain, semata mata berdasarkan hubungan antara kedua orang tersebut. 2 sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada badan usaha. Teori Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Yang Bukan Badan Hukum Pada awal perkembangan mengenai subyek hukum pidana dan pertanggungjawaban pidana, secara universal diakui bahwa subyek hukum pidana adalah pribadi (natural person). Bahkan dalam ilmu hukum dikenal doktrin yang juga diterima umum pada waktu itu yaitu universitas delinquire non potest yang mengandung makna korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana. Hal ini dipengaruhi pandangan Von Savigny bahwa badan usaha atau korporasi sebagai subyek hukum merupakan suatu fiksi hukum yang diterima dalam hukum keperdataan yang tidak cocok untuk diambil alih begitu saja dalam hukum pidana.6 Sedangkan dalam hukum pidana untuk adanya suatu tindak pidana harus memenuhi syarat, yaitu adanya actus reus dan mens rea dan berlaku prinsip actus non facit reum, nisi mens sit rea. Oleh karena itu hanya manusia yang dapat melakukan suatu tindak pidana mengingat hanya manusia yang mempunyai kesalahan/mens rea atau evil mind atau evil will (sikap batin). Walaupun pada saat itu belum ada pengakuan badan usaha atau korporasi sebagai subyek hukum pidana namun tidak berarti kejahatan badan usaha tidak pernah terjadi, Menurut J.E Sahetapy kejahatan badan usaha atau korporasi bukan barang baru, tetapi hanya kemasan, bentuk dan perwujudannya yang baru. Kejahatan badan usaha atau korporasi telah ada sejak lebih dari tiga ribu tahun yang lalu atau pada abad 14 SM di Mesir. Pada masa lampau di Yunani kejahatan badan usaha (korporasi juga terjadi misalnya Alcmaendos yang diberi kepercayaan untuk membangun rumah ibadah dengan batu pualam diganti semen yang dilapisi batu pualam.7Kejahatan-kejahatan badan usaha atau korporasi seperti itu dari waktu ke waktu terus terjadi sampai masa kin. Kasus kasus kejahatan badan usaha atau korporasi seperti pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia, misalnya kasus”pencemaran lingkungan di Teluk Buyat” yang diduga dilakukan PT Newmont Minahasa Raya, PT. Dongwoo Environmental Indonesia di Bekasi, kasus kebakaran hutan oleh PT Adei Plantation & Industri yang diduga dilakukan oleh General Manager secara bersamabersama, kasus Exxon Mobil Oil di Indonesia. Konvensi internasional yang mengatur badan usaha atau korporasi person) sebagai subyek hukum pidana antara lain; United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Palermo Convention 2000), yang diatur dalam Article 10 tentang Liability of Legal Person, United Nations Convention Against Corruption 2003, yang diatur dalam Article 26 tentang Liability of Legal Persons, dan International Convention for the Suppersion of the Financing of Terrorism 6 Jan Remmelik, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.99; Lihat juga, M. Arief Amerullah, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia, 2006, hlm.208. 7 J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Eresco, 1994, hlm.4. 3 1999 dalam Article 5 mengatur tentang Liability of legal entity.8 Saat ini pengakuan badan usaha atau korporasi sebagai subyek hukum pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap badan usaha atau korporasi dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Dalam hukum pidana Indonesia, walaupun KUHP yang berlaku saat ini berasal dari Wetboek van Strafrecht Belanda pada tahun 1886 berdasarkan asas konkordansi dan oleh karennya ditujukan hanya untuk orang pribadi (natural person),9 sedangkan badan usaha atau korporasi belum termasuk sebagai subyek hukum pidana, namun dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP, badan usaha atau korporasi sudah diakui sebagai subyek hukum pidana dan badan usaha atau korporasi dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana, misalnya terdapat dalam UndangUndang No.7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UndangUndang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009, dan Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam Rancangan KUHP yang saat ini sedang dibahas Pemerintah dan DPR juga menentukan bahwa subyek hukum pidana terdiri dari orang pribadi (natural person) dan badan usaha atau korporasi (legal person). Dilihat dari bentuk hukumnya, hukum pidana Indonesia memberikan pengertian badan usaha atau korporasi dalam arti yang luas. Menurut hukum pidana Indonesia, pengertian badan usaha atau korporasi tidak sama dengan pengertian badan usaha atau korporasi dalam hukum perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertiannya menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subyek hukum, yaitu yang dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, terdiri atas dua jenis yaitu orang persorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person), dengan demikian yang dimaksud dengan badan usaha atau korporasi adalah badan hukum (legal person). Namun dalam hukum pidana, badan usaha atau korporasi meliputi badan usaha yang berbadan hukum meliputi perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum dan badan usaha yang bukan badan hukum meliputi firma, perseroan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschaap.10 Sedangkan pengertian “setiap orang” dalam Pasal 1 angka (32) UUPPLH, adalah orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Badan 8 Sigid Suseno, Hukum Pidana Indonesia Perkembangan dan Pembaharuan, Yogyakarta: Rosda, 2013, hlm 2009. 9 Jan Remmelik, Op.Cit, hlm.97-99 10 Sutan Remy Sjahdeni,, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, Jakarta, hlm 42-43. Lihat juga Remmelink op.cit hlm. 10 4 usaha yang dijumpai dalam KUHPerdata dan KUHDagang, diantaranya Persekutuan (Pasal 1618 KUHPerdata-1652 KUHPerdata), Perkumpulan (Pasal 16533 KUHPerdata-Pasal 1665 KUHPerdata), Firma (Pasal 16 KUHDagang-Pasal 35 KUHDagang), dan Komanditer (Pasal 16 KUHDagang-Pasal 35 KUHDagang).11 Pertanggungjawaban badan usaha atau korporasi dalam hukum pidana tidak melalui penelitian yang mendalam para ahli, tapi sebagai akibat dari kecenderungan dari formalism hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban pidana badan usaha atau korporasi telah berkembang melalui peran pengadilan tanpa adanya teori yang membenarkannya. Hakim di dalam sistem common law melakukan suatu anologi atas subyek hukum manusia, sehingga badan usaha atau korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya.12 Pertanggungjawaban badan usaha atau korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior, suatu doktrin yang menyatakan bahwa badan usaha atau korporasi sendiri tidak bisa melakukan kesalahan. Hanya agenagen yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha atau korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Oleh karenanya, 11 Alvi Syahrin, Pertanggungjawbaan Pidana dalam Undang-Undang No.32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). http://Alviprofdr.blogspot.com/2010/11/pertanggungja waban-pidana-dalam -undang.html, diakses 4 Maret 2013, pukul 20.20 wib. 12 Andrew Weissmaan dan David Newman, “Renthinking Criminal Liability”, Indiana Law Journal, Vol.82, No.411, hlm 418-419 pertanggungjawaban badan usaha atau korporasi maerupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan orang lain/agen (vicarious liability), di mana ia bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh para agen. Doktrin ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan respondeat superior. 13Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya pertanggungjawaban badan usaha atau korporasi, yaitu; agen melakukan suatu kejahatan; kejahatan yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya; dan dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan badan usaha atau korporasi.14 Doktrin respondeat superior menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana badan usaha atau korporasi, yaitu direct corporate liability, strict liability, dan vicarious liability. Dalam Direct corporate criminal liability (pertanggungjawaban badan usaha atau korporasi), korporasi dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan badan usaha atau korporasi, bertindak untuk dan atau atas nama badan usaha atau korporasi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana badan usaha atau korporasi secara langsung adalah tindakan – tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan badan usaha atau 13 Sutan Remy Sjahdeni, Op cit, hlm .84. V.S Khana, “Corporate Liability Standars; When Should Corporation Be Criminality Liabel”, American Law Review, 2000, hlm 1242-1243. 14 5 korporasi.15 Direct corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa pada dasarnya mengakui bahwa tindakan agen tertentu dari badan usaha atau korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan badan usaha atau korporasi, dianggap sebagai tindakan dari badan usaha atau korporasi itu sendiri. 16 Strict Liability diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.17 Strict Liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Dapat ditegaskan bahwa dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari pdadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).18 Vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti) diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, Prentice Hall, New Jersey, 1995, hlm53; Wayne R La Fave & Austin W Scott, “Criminal Law”, West Publishing co, 1982, hlm.288. 16 Eric Colvin, “Corporate Personality and criminal Liability”, Criminal Law Forum, 1995, hlm 8-9. 17 Russel Heaton, “Criminal Law” Texbook, Oxford University Press, London, 2006, hlm.403. 18 Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana”, Lembaga Penelittian, Universitas Islam Indonesia, Yokyakarta, 1997, hlm 63-64. oleh orang lain.19 Teori ini juga hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (badan usaha atau korporasi) hanya bertanggungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam lingkup pekerjaannya.20 Rasionalitas penerapan teori ini adalah karena majikan (badan usaha atau korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki majikan (badan usaha atau korporasi).21 Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liability disebut dengan prinsip delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk mengelola suatu usaha. Pemegang izin menjalankan langsung usaha tersebut, akan tetapi ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh kepada seseorang manager untuk mengelola badan usaha atau korporasi tersebur. Jika manager itu melakukan perbuatan melawan hukum, maka pemegang izin (pemberi delegasi) bertanggungjawab atas perbuatan manager itu. Ketika korporasi dinyatakan bertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana di Indonesia, maka menurut Mardjono Reksodiputro22 ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana Badan usaha atau 15 19 Sue Titur Reid, Op.cit, hlm 53. C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, Second Edition, Sweet & Maxwell, London, 1998, hlm. 44. 21 Ibid, hlm.45. 22 Mardjono Reksodiputro,”Dampak Kejahatan Korporasi Untuk Pembangunan”, dalam Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan , Kumpulan Karangan, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1984, hlm.72. 20 6 korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana, yakni sebagai berikut; a. Pengurus badan usaha sebagai pembuat dan penguruslah badan usahalah yang bertanggungjawab; b. Badan usaha atau korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; c. Badan usaha atau korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Dengan demikian pertanggungjawaban badan usaha atau korporasi tetap membuka kemungkinan untuk menuntut dan mempidana individu-individu, termasuk para pengurus atau manejer, disamping badan usaha atau korporasi itu sendiri. Bagaimanapun peran manusia atau individu-individu tetap penting dan oleh karena itu mereka tetap perlu menjadi sasaran penuntutan dengan pandangan berikut ini; “How do make corporations and other organizations comply? They have no arms, no legs, no conscienceif you cut them, they don’t bleed, you can’t fine them enough to get their attention…. Individuals make a difference in corporations. They are not nameless and faceless. They can go to jail.we can go to get their attention.”23 Pengurus adalah individu-individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial, 23 J.G Arbuckle, Liabilities and Enforcement dalam J.G Arbulk, 1993, Environmental Law Handbook, Government Institute Mc Rockfille, 1993, hlm 56 setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Oleh sebab itu, selain menikmati kedudukan sosial, perlu pula diiringi dengan tanggungjawab sebagaimana tercermin dalam ungkapan: ”where social power exists, so does responsibility.”24 Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Bukan Badan Hukum Dalam Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) No.32 Tahun 2009. Untuk menerapkan pertanggungjawaban pidana badan usaha yang berbadan hukum dan bukan berbadan hukum atau korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, menurut Muladi perlu diperhatikan hal- hal berikut ini;25 1. Badan Usaha atau korporasi mencakup, baik badan hukum (legal entity) maupun bukan badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; 2. Badan Usaha dapat bersifat privat (privat juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity); 3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agent, employess) dan korporasi dapat dipidana, baik sendiri-sendiri maupun Gunter Heine, “Summary” dalam die Strafrechtliche Verantwortlichkeit van Unternehmen, Nomas verlagsgesellschaft, 1994, hlm. 320. 25 Muladi, “Prinsip-Prinsip Dasar hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997”, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologie, Vol.1 no.1/1998.hlm.8-9. 24 7 4. 5. 6. 7. 8. bersama-sama (bipunishment provision); Terdapat kesalahan manajeman dalam badan usaha atau korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of statutory or regulatory provision; Pertanggungjawaban badan usaha dilakukan terlepas dari apakah orangorang yang bertanggungjawab dalam badan usaha tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana; Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada badan usaha atau korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjaar. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa di Amerika serikat mulai dikenal apa yang dinamakan “corporate death penalty” atau “corporate imprisonment”, yang mengandung pengertian larangan suatu badan usaha atau korporasi untuk berusaha di bidang- bidang usaha tertentu dan pembatasanpembatasan lain terhadap langkah langkah badan usaha atau korporasi dalam berusaha; Penerapan sanksi pidana terhadap badan usaha atau korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan; Pemidanaan terhadap badan usaha atau korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan badan usaha atau korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutusakan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh badan usaha atau korporasi. Konsep pertanggungjawaban pidana badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang bukan berbadan hukum telah dirumuskan dalam norma- norma hukum lingkungan di Indonesia, khususnya dalam UUPPLH. Dalam UUPPLH pertanggungjawaban pidana badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119 UUPPLH. Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa siapa yang harus bertanggungjawab. Jika diperhatikan rumusan Pasal 116 UUPPLH, pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam salah satu kondisi berikut, yaitu; (1) tindak pidana dilakukan atau atas nama badan usaha atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana, (2) oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja, misalkan karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan kerja. Penjelasan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH memerlukan penafsiran untuk mengetahui maksud dari frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin”, 8 maka “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” diartikan sebagai orang yang bertugas menjalankan dan melaksanakan “pengurusan” badan usaha. Dengan kata lain, frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan” atau “orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” dalam pertanggungjawaban pidana badan usaha atau korporasi adalah untuk mengungkapkan tanggungjawab pengurus atau fungsionaris dari badan usaha. Artinya frasa” orang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana”, sebagaimana dalam Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, menunjuk kepada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual. Pengurus badan usaha atau korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara individual, apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha atau korporasi. Ketentuan Pasal 116 UUPPLH membuka kemungkinan apabila suatu badan usaha yang bukan badan hukum atau korporasi melakukan perbuatan pidana, tidak hanya yang dituntut badan usaha atau korporasi saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya, pengurus sebagai pemberi perintah dan/atau pemimpin tindakan nyata dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi. Pengurus badan usaha atau korporasi dapat dalam keadaan “ sebagai orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana”, atau pengurus badan usaha dapat dalam keadaan “sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana “, artinya, keadaan seorang pengurus badan usaha atau pengurus korporasi yang bisa dalam keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana. Keadaan seorang pengurus “sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” akan menyebabkan pengurus tersebut dapat dituntut dua kali. Menuntut pengurus sebagai pemberi printah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana, akan bertentangan dengan rasa keadilan dan juga asas ne bis in idem akan menjadi penghalang untuk menuntut dua kali orang (pengurus) yang sama dalam keadaan yang berbeda beda (“sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana dan juga bisa sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana), artinya terhadap pengurus tersebut cukup di pilih keadaan sebagai pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau keadaan sebagai orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana). Seseorang yang dalam fungsinya sebagai dalam organisasi badan usaha bukan badan hukum atau korporasi harus melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya tindakan terlarang, namun ia tidak melakukannya, ia tidak kehilangan posisi kepemimpinannya dalam konteks memberi arahan bagi tindakan 9 badan usaha atau korporasi (yang secara faktual perbuatan itu dilakukan oleh pegawai lain). Dalam kondisi ini orang tersebut dapat juga dikatakan sebagai orang memimpin. Seseorang juga dapat dikatakan sebagai secara faktual memimpin dalam tindak pidana badan usaha atau korporasi, jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, namun ia tidak mengambil langkah langkah untuk mencegah perbuatan yang terlarang dan secara faktual menerima keadaan terjadinya perbuatan yang dilarang tersebut. Rumusan Pasal 116 ayat (1) sub a UUPPLH menggunakan kata atau frasa “atau” diantara frasa “orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana” dengan frasa “orang yang bertindak sebagi pemimpin kegiatan dalam tindak pidana” merupakan penegasan untuk mencegah dituntutnya dua kali seorang pengurus badan usaha bukan badan hukum atau korporasi atas suatu tindak pidana lingkungan yang terjadi. Menurut Remmelink,26 di dalam praktek yang dimaksud sebagai “yang memberi printah”atau “yang memimpin” adalah para pengurus. Seseorang dapat dikatakan secara faktual memimpin dilakukannya tindak pidana badan usaha atau korporasi jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana tersebut, atau secara faktual dikatakan ada perbuatan memimpin tindak pidana yang terjadi apabila pejabat yang bersangkutan tidak mengambil langkahlangkah apaun untuk mencegah dilakukannya perbuatan terlarang oleh para pegawainya, sekalipun ia berwenang untuk melakukan hal itu dan secara dapat melakukan pencegahan yang dimaksud, dan bahkan secara sadar ia 26 membiarkan perbuatan terlarang itu terlaksana sekalipun ada kesempatan untuk melakukan pencegahan terlaksananya perbuatan terlarang itu tersebut. Pengurus badan usaha atau korporasi merupakan individu individu yang memiliki kedudukan atau kekuasaan sosial, setidaknya dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka- mereka yang dapat dikategorikan sebagai pengurus badan usaha yaitu; a. Mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan pengurusan badan usaha ; b. Mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar badan usaha bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat badan usaha secara hukum berdasarkan; 1. Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk dapat melakukan perbuatan hukum mengikat badan usaha, atau; 2. Pemberian kuasa oleh pengurus atau mereka sebagaimana dimaksud ayat (1), untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat badan usaha. Remmelink, Op Cit hlm 110 10 c. Oleh orang lain yang diperintahkan oleh mereka yang disebut dalam huruf a dan b, untuk melakukan atau menjalankan pengurusan badan usaha. Pengurus merupakan organ badan usaha atau korporasi yang menjalankan pengurusan badan usaha atau korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan badan usaha yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap individu yang ditunjuk sebagai memiliki tanggung jawab organisasi atau operasional untuk spesifik perilaku atau yang memiliki kewajiban untuk mencegah, suatu pelanggaran oleh badan usaha dalam hal ini melaksanakan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dappat dimintakan pertanggung jawaban pidana. Selanjutnya, mengenai frasa Pasal 116 ayat (2) “Apabila tindak pidana lingkungan hidup…. Dilakukan oleh, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama sama”. Memperhatikan ketentuan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH berikut dengan penjelasannya tidak menjelaskan frasa”berdasarkan hubungan kerja” dan frasa “berdasarkan hubungan lain”, sehingga diperlukan penafsiran hukum terhadap frasa tersebut. Menurut Sutan Remy Sjahdeni,27yang dimaksud orang” yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” menunjukkan adanya dua kelompok orang, yaitu pertama: “orang-orang berdasarkan hubungan kerja” dan yang kedua”orang orang berdasarkan hubungan lain”. Hubungan yang dimaksud dalam kedua frasa tersebut harus ditafsirkan sebagai “ hubungan dengan badan usaha atau korporasi yang bersangkutan”. Lebih lanjut, Sutan Remi Sjahdeni28 mengemukakan,”orang- orang berdasarkan hubungan kerja” adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja sebagai pengurus atau pegawai, yaitu; a. Berdasarkan anggaran dasar dan perubahannya; b. Berdasarkan pengangkatan sebagai pegawai dan perjanjian kerja dengan badan usaha atau korporasi; c. Berdasarkan “perjanjian sebagai pegawai”. Sedangkan “orang orang berdasarkan hubungan lain” adalah orang- orang yang memiliki hubungan lain selain hubungan kerja dengan badan usaha atau korporasi. mereka antara lain yang mewakili badan usaha atau korporasi. Mereka antara lain yang mewakili badan usaha atau korporasi untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama badan usaha atau korporasi berdasarkan; a. Pemberian kuasa; 27 28 Sutan Remy Syahdeni, Op cit, hlm 152-153 Ibid 11 b. Berdasarkan perjanjian dengan pemberian kuasa (pemberian kuasa bukan diberikan c. Berdasarkan pendelegasian wewenang. Rumusan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH mengisyaratkan bahwa dalam penentuan kesalahan undang-undang ini menganut ajaran identifikasi dengan menetapkan orang orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain selain hubungan kerja dengan badan usaha adalah directing mind dari badan usaha atau korporasi yang bersangkutan. KESIMPULAN Ketentuan Psl 116 UUPPLH memberikan beberapa implikasi hukum, pertamaBadan usaha bukan badan hukum tidak dapat lepas dari pertanggung jawab pidana jika melakukan perbuatan atau akibat yang memenuhi kualifikasi pidana lingkungan. Kedua berdasarkan prinsip vicarious liability, pimpinan badan usaha atau korporasi atau siapa saja yang memberi tugas atau perintah bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawan. Pertanggungjawaban pidana pun diperluas hingga mencakup perbuatan –perbuatan yang dilakukan orang orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. DAFTAR PUSTAKA Arbuckle J.G, Environmental Law Handbook, Government Institute Mc Rockfille, 1993 Amerullah , Arief, M., Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia, 2006 Andrew Weissmaan dan Newman David, “Renthinking Criminal Liability”, Indiana Law Journal, Vol.82, No.411, 2007 Clarkson, C.M.V., Understanding Criminal Law, Second Edition, London: Sweet & Maxwell, 1998 Eric Colvin., Corporate Personality and criminal Liability”, Criminal Law Forum, 1995. Hanafi., Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, Lembaga Penelittian, Universitas Islam Indonesia, Yokyakarta, 1997 Heine Gunter, “Summary” dalam die Strafrechtliche Verantwortlichkeit van Unternehmen, Nomas verlagsgesellschaft, 1994 Heaton Russel., Criminal Law Texbook, London: Oxford University Press, 2006 Jan Remmelik., Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Eresco, 1994 Sjahden Sutan Remy., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti, 2007 Sigid Suseno., Hukum Pidana Indonesia Perkembangan dan Pembaharuan, Yogyakarta: Rosda, 2013 Muladi, (1998) , “Prinsip-Prinsip Dasar hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997”, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologie, Vol.1 No.1/1998 Newman David dan Andrew Weissmaan.(2007) “Renthinking Criminal Liability”, Indiana Law Journal, Vol.82, No.411. Reksodiputro Mardjono, (1984) ”Dampak Kejahatan Korporasi Untuk Pembangunan”, dalam Kemajuan 12 Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan , Kumpulan Karangan, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. R La Fave Wayne & Austin W Scott, 1982, Criminal Law, West Publishing co. V.S Khana VS , (2000) “Corporate Liability Standars; When Should Corporation Be Criminality Liabel”, American Law Review 13