KATA PENGANTAR Prosiding ini terdiri dari 24 artikel yang dikirimkan kepada Panitia Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke-70, Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya. Artikel ini diseminarkan pada Senin, 18 Januari 2016 dengan tema “Peran Pendidikan dalam Revolusi Mental”. Isi artikel memandang peran pendidikan dalam revolusi mental dari berbagai segi, diantaranya guru, kurikulum, karakter siswa, pendidikan formal dan informal, serta nilai-nilai Buddhis. Revolusi mental yang digagas oleh Presiden Joko Widodo menekankan perlunya perubahan paradigma batin dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Oleh karenanya, gagasan ini perlu disosialisasikan khususnya masyarakat akademik. Karakter masyarakat dan kehidupan akademis yang cendekia, dinamis, dan kritis merupakan potensi strategis untuk mengenalkan, meninjau kritis, memunculkan ide, dan menyebarluaskan gagasan besar Revolusi Mental. Pendidikan dianggap sebagai wahana yang tepat dalam memulai gagasan Revolusi Mental, mengingat perannya yang sangat krusial dalam pengembangan kebudayaan dan membentuk mental anak bangsa. Dalam bidang pendidikan formal, informal maupun nonformal, Revolusi Mental harus mampu menumbuhkankan nilai-nilai yang optimal kepada peserta didik sehingga tercipta generasi emas penerus bangsa. Pendidik didorong untuk menginternalisasikan nilai Revolusi Mental dalam setiap implementasi kegiatan pembelajaran. Revolusi Mental hanya sekadar menjadi branding sebuah ide, wacana politik, dan mimpi di siang bolong jika tidak didukung oleh komitmen bersama seluruh rakyat Indonesia. Peran lembaga pendidikan, sosial, agama, dan keluarga dan sangat dibutuhkan dalam melaksanakan gerakan Revolusi Mental menuju “Indonesia Hebat”. Revolusi Mental dalam dunia pendidikan selayaknya bukan sekadar gagasan utopis, melainkan sebuah spirit, gerak, nafas, dan kinerja. Revolusi Mental memegang peran penting dalam menumbuhkan dasar yang kuat sebagai fondasi keseluruhan sendi kehidupan. Upaya ini memerlukan peran serta seluruh komponen bangsa dalam mewujudkannya. Berbagai forum, baik formal maupun informal digagas untuk membahas Revolusi Mental dari segala perspektif. Panitia Hari Amal Bakti Kementerian Agama STABN Sriwijaya mengadakan Seminar Ilmiah dengan tema “Peran Pendidikan dalam Revolusi Mental”. Terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu pelaksanaan seminar ilmiah dan atas terbitnya prosiding ini. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tangerang, 18 Januari 2016 iii DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi 1. Membangun Kepribadian Sosial dan Budaya Indonesia Baru: Sebuah Telaah Referensi Pendidikan Karakter sebagai Solusi Revolusi Mental Anwar Aman 2. Peran Pendidikan dalam Revolusi Mental: Pendidikan Seperti Apa? Edi Ramawijaya Putra 3. Guru Hebat – Tantangan Abad 21 Effendie Tanumihardja 4. Knowledge Management sebagai Strategi Revolusi Pengetahuan Profesi Dhammaduta Heriyanto 5. Mengikis Pandangan Materialisme dengan Menerapkan Pathakamma Sutta sebagai Salah Satu Upaya Revolusi Mental pada Pendidikan Buddhis Iin Suwarni 6. Unitas dalam Diversitas (Revolusi Mental Melalui Pendidikan Agama Buddha Menuju Kerukunan Umat Beragama) Kemanya Karbono 7. Strategi Perubahan Karakter Sivitas Akademika STABN Sriwijaya dalam Menghadapi Era Globalisasi Perdagangan Bebas (Masyarakat Ekonomi ASEAN) Lalita Vistari Satyananda Wiryana Dharma 8. Reorientasi Peran Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha dalam Membentuk Lulusan yang Kompeten dan Berkarakter Madiyono 9. Pendidikan Karakter sebagai Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Muawanah 10. Implementasi Revolusi Mental Melalui Metode Pembiasaan Mulyana 11. Upaya Kausalya sebagai Metode Revolusi Mental dalam Mengubah Paradigma Simbol Keagamaan Buddha Nyoto 12. Menyikapi Kuantitas dan Kualitas Penerimaan Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Agama Buddha dalam Perspektif Revolusi Mental Puja Subekti 13. Strategi Mewujudkan Revolusi Mental Melalui Pendidikan Agama Buddha Puji Sulani v 14. Revolusi Mental yang Sukses dengan Jurus Kepemimpinan Buddha Puriati 15. Optimalisasi Peran Guru dalam Pembentukan Karakter Siswa Melalui Implementasi Kurikulum 2013 Sabar Sukarno 16. Meningkatkan Peran Dharmaduta melalui Revolusi Mental dalam Menghadapi Tantangan Masyarakat ASEAN Santi 17. Konstruksi Konsep Perekonomian Keluarga dalam Ajaran Buddha Sebuah Tinjauan Pendidikan dalam Membangun Revolusi Mental (Suatu Telaah Hermeneutika) Sapardi 18. Revolusi Mental Sivitas Akademika STABN Sriwijaya Tangerang Banten Mewujudkan Kampus Green, Smart, dan Secure (Tinjauan Telaah Kasus) Setia Darma 19. Penguatan Integritas Akademik Mahasiswa Melalui Internalisasi Nilai-Nilai Moral Buddhis Sugianto 20. Menggumuli Sastra: Membangun Jiwa dan Karakter Anak Bangsa Suntoro 21. Revolusi Mental: Tantangan dan Peluang Bagi Perguruan Tinggi Agama Buddha Sutrisno & Willie Japaries 22. Pendidikan Karakter sebagai Fondasi Utama Revolusi Mental Tri Amiro 23. Revolusi Mental: Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosional Wahyuningsih Julia Wijaya 24. Sinkronisasi Dasa Dharma Pramuka dan Nilai-Nilai Mettā Sutta dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental Waluyo 25. Penanaman Nilai-Nilai Semangat Kebangsaan dalam Menumbuhkan Semangat Revolusi Mental Mahasiswa Warsito 26. Memahami Falsafah Pendidikan Tiongkok Kuno Mengenai Ajaran Sān Zì Jīng (三 字 经) dan Dì Zĭ Guī (弟 子 規 ) bagi Pendidikan Budi Pekerti pada Anak Usia Dini sebagai Basis Pembentukan Karakter dalam Rangka Revolusi Mental Bangsa Yuriani vi MEMBANGUN KEPRIBADIAN SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA BARU: SEBUAH TELAAH REFERENSI PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI SOLUSI REVOLUSI MENTAL 12T Anwar Aman STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract The authors presents this article related to the national problems that are increasingly complex, in terms of bad behavior attitude that is incompatible with the culture and values of Pancasila from various of society, starts from officials and officers, educators and students, leaders and community even parents and children. This condition is already known since the beginning of the independence of Indonesia and proclaimed the mental revolution, but it seems not or never made. the President of Indonesia, Joko Widodo, recalls the importance of implementing mental revolution in order to establish social identity and culture of New Indonesia. In order to establish the New Indonesia, various meetings and seminars have been done to declare and motivate all citizens to revolutionized himself, his family, his people and his party for the New Indonesia. The focus of this article is to read various writings on how the mental revolution carried out in accordance with the objectives of national mental revolution. Based on the review of some writings, the author concludes that mental revolution should start from the education because through education the nation's character is build based on the culture and the values of Pancasila, which is not only taught in the learning or socialized sheer but its application in daily habits in order to become a social identity and the culture of Indonesia. Key words: mental revolution, character education Pendahuluan Persoalan bangsa di Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan negara-negara lain, yang tidak pernah selesai. Bukan permasalahan yang satu baru selesai muncul lagi permasalahan baru, melainkan permasalahan yang satu belum selesai permasalahan lain muncul lagi dan kalaupun dikatakan selesai tidaklah terselesaikan dengan baik, yang terselesaikan adalah programnya dengan dana terserap habis bahkan kurang. Namun persoalan utama dari semua persoalan tersebut yang sepertinya tak pernah selesainya adalah persoalan mental manusia Indonesia. Karena itu menurut para ahli dan negarawan, tidak ada jalan lain perlu 1 adanya Revolusi Mental. Kalau memang demikian, dengan cara bagaimana revolusi mental itu dapat diwujudkan jawabnya tentu dengan pendidikan. Hanya saja pertanyaan yang perlu dijawab lebih lanjut adalah apa yang harus dilakukan dengan pendidikan tersebut? Konon kabarnya gagasan mengenai Revolusi Mental bermula dari kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul dan berkarakter. Mochtar Lubis melihat kenyataan di Indonesia bahwa ada sejumlah kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga pascakolonial masih berlangsung hingga kini, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri, cenderung menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, melecehkan hukum, dan sifat oportunis, sehingga beliau kemudian menyimpulkan bahwa manusia Indonesia umumnya bermental munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, suka sombong, dan tukang tiru. Selain Mochtar Lubis, Koentjaraningrat juga melihat ada kecenderungan manusia Indonesia yang memiliki sifat meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan suka mengabaikan tanggung jawab (Karlina Suppeli, 2015). Mengapa hal ini terjadi? Sementara dikatakan karena negara ada tapi tidak hadir, toleransi terus didengungkan tapi yang terjadi adalah intoleransi, pelajaran dan pendidikan agama waktunya ditingkatkan tapi krisis nilai terus mendera. Apanya yang salah? Mengapa negara tidak hadir? Mengapa terjadi intoleransi? Mengapa terjadi krisis nilai? Tentu banyak yang salah. Kalau kita hanya mencari apa atau siapa yang salah tanpa mencari penyebab sejatinya dan menyelesaikannya hanyalah sebuah kesia-siaan. Oleh karena itu ada baiknya mempelajari kembali makna yang diajarkan Buddha, bahwa sumber penderitaan tidak lain adalah karena adanya nafsu keinginan. Nafsu keinginan yang tidak mampu dikendalikan manusia dapat menyebabkan mental menjadi rusak. Permasalahan tersebut merupakan tantangan yang sekarang telah berimbas menjadikan semakin terkikisnya anak bangsa akan nilai-nilai integritas, kerja 2 keras dan semangat gotong royong. Dengan kata lain dapat dikatakan tipisnya nilai-nilai persatuan dan jati diri keIndonesiaannya yang memiliki nilai-nilai luhur Pancasila, kepribadian sosial, dan budaya Indonesia. Secara umum tujuan revolusi mental, menurut Goverment Public Relation Report Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Edisi 5 Juli 2015, adalah: 1. Mengubah cara pandang, pikir, sikap, perilaku dan cara kerja yang berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetensi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. 2. Membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistik dalam menatap masa depan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan besar untuk berprestasi tinggi, produktif dan berpotensi menjadi bangsa maju dan modern dengan fondasi tiga pilar Trisakti. 3. Mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian yang kuat melalui pembentukan Indonesia baru yang unggul mengedepankan nilai-nilai integritas, kerja keras dan semangat gotong royong. Dari tujuan tersebut dipahami bahwa revolusi mental merupakan gerakan hidup baru yakni membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia Baru dengan mengubah cara pandang, cara berpikir dan cara bekerja yang selama ini sebagaimana yang dikatakan Mochtar Lubis maupun Koentjaraningrat dalam uraian terdahulu memiliki keterpurukan. Di sinilah pendidikan akan berperan mewujudkan maksud tujuan dari revolusi mental tersebut dengan mengedepankan, pendidikan yang mampu merubah mental manusia Indonesia, menjadi berkarakter Indonesia, berkepribadian sosial dan berbudaya Indonesia, demi terwujudnya Kepribadian Sosial dan Budaya Indonesia, yang berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetensi dengan bangsa-bangsa lain di dunia dan yang memiliki cara pandang menatap masa depan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan besar untuk berprestasi tinggi, 3 produktif dan berpotensi menjadi bangsa maju dan modern, serta memiliki kedaulatan secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian yang kuat. Pendidikan sangat berperan dalam mewujudkan tujuan revolusi mental tersebut, karena itu pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh negara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Pembahasan Dalam penulisan artikel ini penulis melakukan telaah pustaka pada beberapa media resmi dan formal, untuk mempelajari, memahami mengenai revolusi mental sebagai sebuah gagasan solusi membangun mental manusia Indonesia yang mulai terpuruk, bagaimana menjadi unggul dan berkarakter yang membentuk kepribadian sosial dan budaya Indonesia yang pada saatnya dalam waktu relatif tidak terlalu lama mampu mewujudkan Indonesia modern, bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa lainnya. Revolusi mental menyangkut keadaan batin, spiritual dan nilai-nilai (vested interest) yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, baik dalam sebuah ruang lingkup kecil atau maupun dalam sebuah Negara. Sebagai sebuah konsep dan strategi, Revolusi Mental sudah diakui sebagai hal yang mutlak dilakukan untuk keluar dari masalah krisis karakter bangsa. Apa sebenarnya maksud dari revolusi mental. Secara istilah, ada dua kata yang membutuhkan penjelasan, yaitu revolusi dan mental. Saat kampanye pemilihan Presiden Republik Indonesia, kita mungkin pernah mendengar jargon yang disampaikan Bapak Jokowi, namun masih dalam tanda tanya, karena dalam kesempatan itu barangkali cukup hanya disebutkan tanpa perlu dirinci lebih lanjut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang, sedangkan mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan dan tenaga. 4 Dengan demikian dapat disimpulkan dari istilah ini bahwa revolusi mental menyangkut keadaan batin, spiritual dan nilai-nilai (vested interest) yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang. Hanya saja sekali lagi, timbul sebuah pertanyaan, bagaimana cara atau strategi melakukan revolusi itu dan dan dimulai dari mana dan apa saja yang harus diubah. Menjawab pertanyaan tersebut dalam sebuah kalimat atau kata-kata lebih mudah daripada menemukan solusinya. Mencermati beberapa masukan dari berbagai media atau referensi, penulis berpendapat bahwa salah satu solusi adalah pada proses pendidikan sebagai kebudayaan. Cara melakukan revolusi itu melalui pendidikan yang harus dilihat sebagai proses kebudayaan. Perombakan secara lambat-laun maupun radikal dapat dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bagi mahasiswa yang saat ini sudah di perguruan tinggi. Dalam perspektif ini kita sebelum memasuki ranah yang lebih teknis, perlu terlebih dahulu memulainya dari pemahaman filosofi pendidikan. Apa sesungguhnya filosofi pendidikan kita? Dari mana sejumlah karakter positif seperti tidak korupsi, tidak nepotisme, tidak kolusi, mandiri, berinisiatif, inovatif, toleran, dan sebagainya kita mulai bangun? Dengan demikian hanya proses pendidikan yang mampu menjawab dan menggarap semua itu. Sekarang semua itu kita bangun mulai dari pendidikan, hanya saja perlu diperhatikan pendidikan di sini dalam artian luas dan bukan dimaknai sekadar teknis seperti susunan kurikulum, menambah atau mengurangi jumlah mata pelajaran, nilai kredit setiap mata pelajaran, atau membangun gedung dan fasilitas lainnya, melainkan membangun suatu pemahaman filosofis mengenai membangun manusia Indonesia baru dengan karakter-karakter positif sebagai karakter bangsa, yang dibangun mulai dari rumah tangga, keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan. Bagi umat Buddha yang hidup dan berpenghidupan di Indonesia tentu selain membangun karakter Buddhis yang berlandaskan hiri dan otappa, sangat wajib membangun karakter bangsa Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. 5 Karena itu menurut saya dan saya setuju bahwa esensi dari Revolusi Mental untuk keluar dari masalah krisis karakter bangsa adalah pendidikan membangun karakter bangsa. Dengan kata lain, Revolusi Mental tak lain adalah revolusi pendidikan, karena itu pula pendidikan sebagai kebudayaan harus menjadi konsep terdepan. Kebiasaan buruk yang harus di ubah adalah semua hal sebagaimana telah disebutkan terdahulu, seperti bermental munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, suka sombong, dan tukang tiru. Semua itu harus diubah, sehingga kita semua dan terutama anak bangsa memiliki cara pandang, pikir, sikap, perilaku dan cara kerja yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetensi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pendidikan yang dapat merubah sikap mental kebiasaan buruk tersebut adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter (Kalyana Dhamma) sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Perubahan mental yang dapat dilakukan guna membangun Kepribadian Sosial dan Budaya Indonesia melalui pendidikan minimal menurut penulis melalui pembiasaan aktivitas positif setiap hari, dengan melatih diri peserta didik dengan contoh teladan pendidik yang memiliki karakter teruji baik. Untuk membentuk karakter menjadi jati diri yang berkepribadian sosial dan berkebudayaan Indonesia, melalui pendidikan dengan pembiasaan sehari-hari, yang harus dilatih dan dimiliki, antara lain: 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 6 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 7 13. Bersahabat/Komunikatif Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Contoh strategi membentuk karakter menjadi jati diri yang berkepribadian sosial dan berkebudayaan Indonesia dapat dilihat pada bagan berikut. 8 Dengan penerapan revolusi mental, negara menjadi hadir, toleransi berjalan dengan harmonis dan dinamis serta nilai-nilai Pancasila mampu menjadi pedoman hidup bersama, yang mengubah cara pandang, cara berpikir dan cara kerja yang positif, energik dan mengedepankan nilai-nilai integritas, kerja keras serta semangat gotong royong, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan besar untuk berprestasi tinggi, produktif dan berpotensi menjadi bangsa maju dan modern. Dari perspektif agama Buddha, dalam revolusi mental pembentukan karakter sangatlah penting karena merupakan faktor utama di dalam perjalanan hidup kita. Ini memengaruhi bagaimana kita melihat diri kita, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain dan oleh sebab itu bagaimana mereka berhubungan dengan kita, cara kita berurusan dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan dan bagaimana kita memandang dunia. Bagian terpenting dalam menjadi seorang Buddhis adalah pembentukan karakter atau mengembangkan apa yang Buddha sebut ‘sifat dasar yang indah’ (Kalyana Dhamma, A.I, 248; II, 109). Secara umum, ada tiga cara atau strategi dalam proses pembentukan karakter atau mengembangkan Kalyana Dhamma; (1) Melihat perlunya transformasi/perubahan karakter, (2) memiliki model atau karakter ideal untuk diterapkan (3) memiliki dan menerapkan cara-cara untuk memodifikasi karakter itu. Shravasti Dhammika, menyebutkan ada banyak kalyana dhamma yang dapat dibentuk dan dikembangkan, antara lain seperti: menerima petualang ambisius tegas hati-hati ceria percaya diri berhati-hati penuh perhatian kooperatif sopan kreatif tegas efisien energik Giat antusias fokus ramah lembut ikhlas baik hati suka berteman bahagia pekerja keras Suka membantu berwawasan luas intuitif bijaksana logis setia dewasa teliti berpikiran terbuka optimis terorganisir ramah tamah sabar cerdik produktif profesional tepat waktu pendiam rasional realistis Menenteramkan relasional dapat diandalkan banyak akal responsif mengendalikan diri egois 9 diandalkan setia disiplin tekun Jujur Lucu imajinatif mandiri gigih menarik tenang sopan sensitif Tulus hati Cermat, teliti jujur Penutup Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan beberapa informasi bahwa: 1. Membangun Kepribadian Sosial dan Budaya Indonesia Baru harus dilakukan dengan revolusi mental. 2. Revolusi mental merupakan gerakan hidup baru bangsa Indonesia dalam upaya mengubah cara pandang, cara berpikir dan bekerja yang selama ini buruk. 3. Revolusi mental tersebut dapat dilakukan tidak lagi hanya dengan sosialisasi melainkan melalui proses pendidikan baik melalui pembelajaran maupun penerapan karakter yang merupakan kepribadian dan budaya Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila. 4. Dengan dilaksanakannya revolusi mental melalui proses pendidikan tujuan revolusi mental dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Lakukanlah revolusi mental mulai dari pribadi, rumah tangga, keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan, melalui pembiasaan setiap hari dengan pendidikan karakter bangsa Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Daftar Pustaka Ditjen Inkompub Kementerian Komunikasi dan Informatika . 2015.Goverment Public Relation Report. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. 1T 1T 1T 10 Karlina Supelli. 2015 dkk. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan NilaiNilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas. Kemendiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pukur dan Perbukuan Balitbang Kemendiknas. Shravasti Dhammika.2010. Karakter dan Htttp://sdhammika.blogspot.com 07/01/2016 Pembentukan Karakter. U 11 PERAN PENDIDIKAN DALAM REVOLUSI MENTAL: PENDIDIKAN SEPERTI APA? 12T Edi Ramawijaya Putra STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract Mental revlolution is an act to change from what we used to have in the past. This value become floursh in the era of Jokowi-JK precidency. During the launching of this tagline there has been many issues related to contribution of many aspects including education. Education is the key to generate people who has capability to do quick transformation to whole aspects of life including the way to resolve three main problem such as nationality, economy and intolerance as well as personality crisis. In order to support the application mental revulotion education must be transformed from its conventional paradigm into new way of reformualting well-educated citizenship. The emergence globalization such as Economic Community of Asean, Free Trade are the forms of global competitiveness that signaled education muct be able to provide people in order to compete in single market orientation. This paper is aimed at addressing the significance of education sector and its roles to support the mission and objectives of mental revolution. Keywords: mental revolution, new paradigm on education. Pendahuluan Indonesia adalah negara demokrasi terbesar khususnya di kawasan regional Asia Tenggara. Demokrasi yang sudah lama lahir seakan membawa pesan bahwa tujuan bernegara adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1945 telah mentransformasi berbagai bentuk kepemimpinan bangsa diantaranya orde lama, orde baru dan reformasi. Konsep-konsep kebangsaan yang secara tekstual sangat mulia hingga saat ini belum menemukan sebuah tatanan yang layak sebagai bangsa yang memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan dalam bernegara mulai dari bentuk yang kecil hingga besar. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah masih tingginya angka korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan pemangku kepentingan lain. Kejahatan yang luar biasa semacam ini tentu jauh dari esensi berdemokrasi yaitu “oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat”. 13 Pada era reformasi dilakukan gerakan reformasi birokrasi sebagai ujung tombak pembentukan prinsip pelayanan publik dan untuk mencapai produktifitas kerja namun dirusak oleh kepentingan pribadi atau golongan yang tidak mengatasnamakan kepentingan rakyat. Pada era pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah melihat bahwa kesenjangan antara konsep yang dibangun dengan semangat serta fungsi pengawasan tidak berjalan dengan sinkron oleh karena itu slogan pemerintah adalah tidak lagi membentuk konsep melainkan sebuah gerakan perubahan yang berorientasi pada pembentukan karakter manusia (character buliding) dengan melakukan revolusi mental. Dalam perspektif historis, terminologi revolusi dalam konteks geopolitik dan sosial ekonomi kali pertama diperkenalkan oleh Karl Marx pada tahun 1983 seratus tahun setelah kematian dari tokoh pemikir marxsim muncul sebuah buku yang berjudul “The Revulotionary Ideas of Karl Marx”(Callinicos, 1983). Pemikiran revolusioner Marx ini adalah bentuk jawaban dari runtunya paham kapitalis yang sebagian besar dianut oleh negara Eropa Timur dan menjadi simbol transformasi dunia untuk melawan kekuatan adidaya negara blok barat dan blok timur. Pemikiran revolusioner Marx adalah bentuk kritik akademis untuk membuka tabir kapitalis yang telah lama menyesengrakan manusia dalam bentuk ketidakadilan, kemiskinan, eksploitasi dan kelambanan berpikir. Dalam konteks Indonesia, istilah revolusi secara nasionalmemang tidak bisa dipisahkan dari sosok Bung Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional Indonesia (Cholish, 2015). Jika konsep revolusi mental yang kekinian tidak dikaitkan dengan sosial-historisnya akan terjadi bias untuk menangkap esensi dan tujuan dari gagasan tersebut. Mengapa demikian, secara politis pencalonan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla diusung oleh PDIP yang dipimpin oleh trah Soekarno yaitu Megawati. Meski norma penyusunan dari gagasan revolusi mental tidak meyebutkan landasan literaturnya secara ekplisit namun sangat jelas revolusi mental ini sangat berkaitan dengan jiwa marhaenis dan wong cilik. 14 Nilai-nilai kebangsaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang ‘stagnasi’. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Pada masa perang pembebasan (liberation)terutama dari kaum kolonialis, semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun. Mengingat pergeseran nilai tersebut makan revolusi mental dipandang relevan dalam menjawab terhadap tiga permasalahan bangsa yaitu: (1) merosotnya wibawa bangsa, (2) lemahnya sendi perekonomian bangsa, dan (3) intoleransi dan krisis kepribadian bangsa(www.revolusimental.go.id). Tiga permasalahan pokok yang tengah dihadapi bangsa indonesia ini harus segera diatasi bukan dengan cara yang lambat dan konvensional melainkan dalam bentuk gerakan yang efisien dan terukur. Revolusi Mental (disingkat RM) yang digagas dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo bukanlah sebuah slogan atau jargon politik yang menjadi tagline afiliasi politik tertentu melainkan sebuah kontribusi nyata yang masif dilakukan secara bersama-sama.Gema revolusi mental yang menjadi isu strategis di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sangat ditentukan oleh kualitas manusia. Kualitas manusia yang berbeda dari sebelumnya. Sebagaimana tercantum dalam Sembilan Program Prioritas (Nawa Cita) poin delapan yaitu “melakukan revolusi karakter bangsa”. Esensi dari sebuuah revolusi adalah perubahan yang nyata secara cepat dan terukur menghasilkan sebuah kinerja baru sebagai antitesis dari kinerja-kinerja sebelumnya. Jika pendidikan menjadi salah satu “key of success” dari implementasi revolusi mental ini maka tentu pendidikan harus dapat mengimbangi program yang revolusioner ini. Pendidikan untuk menghasilkan manusia-manusia yang siap untuk melakukan perubahan yang cepat, signifikan dan beradab demi tercapainya visi kebangsaan. 15 Pembangunan dan pengembangan karakter secara potensial diemban oleh sektor pendidikan. Edukasi yang baik berupa pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending process). Selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis, pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Pendidikan seperti apa yang tepat untuk melaksanakan revolusi mental yang begitu cepat dan memilki hasil yang terukur. Pendidikan yang sedang berlangsung saat ini masih mengacu pada pencapaian standar-standar tertentu bukan untuk membangun karakter dan kepribadian generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk membahas kondisi pendidikan yang ada dan hal-hal apa yang perlu untuk dilakukan perbaikan demi tercapainya tujuan dari revolusi mental. Metode Metode pembahasan yang digunakan dalam paper ini adalah deskriptif kualitatif menggunakan bahan-bahan bacaan baik dalam bentuk hardcopy maupun online. Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang permasalahan yang dikemukakan pada latar belakang lebih rinci dan spesifik tentang pendidikan seperti apa yang diharapkan dapat berperan dalam revolusi mental. Pembahasan Pendidikan Indonesia di Tahun 2016 Pembangunan karakter manusia(character buliding) yang menjadi prasyarat implementasi revolusi mental menempatkan posisi sektor pendidikan menjadi paling strategis dengan sektor-sektor lain. Hal ini disebabkan oleh esensi dari sebuah perubahan yang cepat dan efisien membutuhkan sumber daya manusia yang setara minimal dapat menyeimbangi (balancing). Jika output dari pendidikan dalam sebuah negara tidak dapat memberikan hasil yang menjadi hardware sebuah revolusi mental maka revolusi apapun tujuannya hanya akan menjadi slogan semata. Berdasarkan kebutuhan ini pendidikan di Indonesia harus mampu memberikan kontribusi nyata dan konkret dalam hal penyediaan manusia-manusia 16 yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi tidak dapat dihasilkan dalam waktu yang singkat dan instan melainkan harus melalui tahapan-tahapan yang panjang sebagai sebuah investasi. Kondisi pendidikan di Indonesia baik secara kuantitatif dan kualitatif memang masih tertinggal dibandingkan negara-negara yang maju atau yang sudah memiliki sistem pendidikan yang maju. Berdasarkan data tahun 2015 dari (Organization on Economic and Cooperation Development)OECD dan PISA 2012 menempatkan ranking kualitas pendidikan di Indonesia pada urutan ke-69 dari 76 negara. Penilaian ini didasarkan pada indikator kunci pembangunan suatu bangsa meliputi kemampuan literasi, sains dan matematika. Secara kuantitatif, pemasalahan penghargaan gaji pendidik, alokasi anggaran pendidikan yang belum terdistribusi dengan baik, rasio guru-siswa dan fasilitas pendidikan menjadi isu penting untuk diperhatikan oleh stakeholder pendidikan demi menopang revolusi mental. Salah satu hal penting adalah persoalan tata kelola pendidikan dan komunikasi lintas sektoral yang berdampak pada belum terciptanya blueprint pendidikan di Indonesia. Menurut Ramawijaya.P (2015) dikutip dalam laman U www.kompasiana.com mengungkapkan bahwa meskipun UU Nomor 20 tahun U 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah berlaku dan menjadi pedoman normatif pendidikan di Indonesia namun pelaksanaannya masih banyak mengalami penyimpangan. Mekanisme penyaluran anggaran pendidikan yang dinilai tidak tepat sasaran, tingginya angka kriminalitas di sekolah, rendahnya mutu pendidikan dan persebaran kesempatan belajar yang tidak merata masih noda hitam pendidikan. Permasalahan ini mengindikasikan bahwa sistem tata kelola pendidikan masih belum terkoordinasi dengan baik. Diperlukan koordinasi yang baik dan merata antara pemerintah pusat, kementerian terkait dan pemerintah derah sebagai penanggungjawab pendidikan di daerah masing-masing. Jika koordinasi ini tidak dilakukan akan terjadi kesenjangan informasi yang diakibatkan karena intensitas koordinasi. Untuk merealisasikan tujuan pendidikan elemen kementerian-kementerian terkait yang menaungi pendidikan dan pemerintah daerah perlu memiliki kerangka acuan dan target jelas yang ingin 17 dicapai. Kerangka ini tidak hanya berupa kurikulum tentang isi apa yang harus diajarkan namun lebih seperti kerangka kerja, kerangka tata kelola, kerangka koordinasi yang memungkinkan tiap-tiap elemen pemerintahan memiliki koridor kerja dan standard operating procedure yang dipatuhi bersama. Pendidikan Indonesia pada Peta Persaingan Global dan Regional Konsep revolusi mental memiliki pesan tersembunyi dalam hal pembangunan kewibawaan bangsa. Maraknya diorientasi kebangsaan, klaim kebudayaan dalam negeri, pengaruh budaya asing, upaya perlawanan terhadap ideologi bangsa adalah hal-hal yang dapat berdampak pada merosotnya wibawa bangsa di mata negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, revolusi mental harus memiliki dampak bagi setiap warga negara baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, adalah aspek batin dan kontemplatif yang muncul spontan melihat diri menjadi bagian dari anak bangsa sehingga muncul rasa kecintaan yang luar biasa dan bangkit dari kondisi-kondisi yang tidak baik. Sedangkan ke dalam, bermakna bahwa setiap unsur harus mengaktualisasikan dirinya kepada kontribusi yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Salah satu upaya aktualisasi dari pesan revolusi mental baik ke dalam maupun ke laur adalah meningkatkan daya saing diri dalam kancah persaingan global dan regional. Poin penting dalam menjaga keutuhan bangsa sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dari segi ekonomi dan politik menjadi priorotas penting yang wajib dilaksanakan. UU RPJMN 2005-2025 yang berbunyi “Karakter Yang diharapkan tangguh, kompetitip, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriot, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Iptek berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dokumen pembangunan berkelanjutan ini hendaknya menjadi garis besar setiap implementasi Nawa Cita pemerintahan Jokowi-JK. Dalam konteks persaingan yang nyata dan terbuka sebagi bagian dari negara-negara di dunia Indonesia harus mengikuti interaksi dan kerjasama dengan berbagai negara di dunia untuk melaksanakan kesepakatan bersama diantaranya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan AFTA (Asian Free Trade Association). 18 Merujuk pada poin pertama permasalahan pokok bangsa yaitu menurunya wibawa bangsa, maka sangat penting untuk memilki warganegara yang mampu bersaing dalam era “single market” dan pasar bebas. Fungsi ini tidak bisa dijalankan secara parsial dan sendiri-sendiri apalagi atas ego-sektoral dan berbasis kepentingan. Sebagimana konseptor dari revolusi mental bahwa gerakan ini merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat (pemerintah & rakyat) dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai‐nilai strategis yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Pendidikan Seperti Apa? Penulis sangat tergelitik oleh tulisan Hardono (2015) yang dimuat pada laman U kompas.com U 20 Mei 2015 yang bertajuk “Pendidikan Yang Memerdekakan, Yang Membangkitkan Bukan Yang Cupu”. Intisari dari artikel ini adalah orientasi berpikir dari proses pendidikan di Indonesia masih pada level pekerja dan mengadahkan tangan ke atas. Salah satu yang dicontohkan menjadi PNS masih dianggap lebih bergengsi dibandingkan memiliki gerai ayam goreng yang dikelola sendiri. Jika pijakan memasuki jenjang pendidikan hanya untuk menjadi pegawai pemerintah maka sehebat apapun ide sebuah revolusi tidak akan berhasil jika diisi oleh generasi yang minim kreatifitas dan terpuruk dalam keinginan menjadi pegawai bukan menjadi leader. Belajar dari hal ini, pendidikan harus mampu memberikan kemerdekaan berpikir dan kesadaran untuk bangkit melakukan hal-hal yang inovatif. Jika merujuk kepada Nawa Cita (9 Program Priorotas Pembangunan) poin 8 yaitu “revolusi karakter bangsa” dan dokumen Bappenas tentang Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) terdapat tiga tujuan utama revolusi mental yaitu (1) perombakan cara berpikir, (2) perombakan cara kerja dan (3) perombakan cara hidup. Ketiga tujuan pokok ini bukan bermuara pada produk dan infrastruktur melainkan pada pembangunan watak, karakter dan mental pada masing-masing manusia. Tujuan yang pertama dalah perombakan cara pikir. Cara pikir erat kaitan dengan cara memecahkan sautu masalah yang dihadapi. Pola 19 pikir adalah output dari pendidikan yang konstruktif dan inovatif. Selama ini pendidikan di Indonesia cenderung mengabaikan interrelasi antara persoalan kebutuhan dan sistem pendidikan itu sendiri. Pendidikan harusnya menlakukan kajian yang komprehensif tentang bentuk baku dari output pendidikan dalam era revolusi mental. Paradigma pergantian kebijakan pendidikan terutama kurilum sering dituding sebagai salah satu penyebab tidak adanya program keberlanjutan dan sinergi difusi dan transisi pendidikan. Misalkan saja kurikulum, tahun 2015 merupakan puncak karut marut sistem tata kelola pendidikan yang berdampak pada rancangan kurikulum. Pendidikan tinggi telah berada pada cluster riset dan teknologi yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang mampu bersaing dalam ranah research-based university. Pemisahan tegas tata kelola pendidikan tinggi ini disisi lain dapat memberikan peluang yang besar bagi peneliti dan mahasiswa untuk melakukan kajian dan penelitian yang dapat berdayaguna dan berhasil guna. Disiisi lain, pengelolaan pendidikan di suatu negara yang seharusnya holistik dan kolaboratif belum menemukan format komunikasi dan kerjasama lintas sektoral yang mantap. Melihat persoal tata kelola pendidikan, perlu dirancan sebuah pendekatan pendidikan yang konstruktif dan inovatif di semua jenjang. Pendidikan seharusnya memberikan inspirasi dan motivasi untuk berbuat sesuatu terlepas dari pola pikir feodalis dan konservatif. Jika pendekatan ini berhasil maka output pendidikan akan menciptakan penemu (inventor) dalam semua aspek kehidupan bangsa dan memecahkan persoalan bangsa dengan efektif dan efisien. Tujuan yang kedua adalah perombakan cara kerja. Cara kerja yang berkualitas dan memiliki hasil yang jelas terukur. Cara kerja yang perlu menjadi perhatian khusus dalam hal pembangunan karakte ini adalah perombakan dari pole kerja yang individulastik-statis menjadi kolaboratif-kreatif. Iklim kerja, terutama dalam institusi birokrasi masih berorientasi pada kinerja personal bukan kolektif-kolegial. Hal ini yang membuat persoalan yang paling mendasar dalam sistem pengembangan manusia untuk mengimplementasikan semangat gotongroyong. Sedangkan tujuan ketiga adalah perubahan cara hidup bangsa yang 20 bermakna bahwa cara hidup harus mencerminkan budaya saling menghargai, menghormati perbedaan dan gotong-royong. Prinsip-prinsip dalam revolusi mental ini sebenarnya telah ada dalam dokumen kurikulum pendidikan kita namun tidak diimplementasikan dengan serius dan komprehensif. Top Ten Trends Extreme Future Berhasilnya sebuah negara dalam menjalankan misi pemerintahan dapat dilihat dari strategi dan nilai pembangunan yang digunakan baik untuk mengatasi persoalan hari ini dan masa depan. Berkaitan dengan masa depan bangsa sangat penting untuk mengidentifikasi isu-isu penting yang menjadi trend global untuk dapat mempersiapkan diri menghadapai perubahan dan kemajuan jaman. Seorang peneliti bernama James Canton memprediksi 10 isu penting yang akan terjadi di masa yang akan datang yaitu (1) penemuan/sains yang aneh, (2) perubahan iklim yang drastis, (3) tingkat individualisme tinggi, (4) inovasi ekonomi, (5) persaingan tenaga kerja, (6) era Amerika-China, (7) globalisasi, (8) sumber minyak baru, (9) usia hidup yang relatif panjang dan (10) upaya keselamatan di masa yang akan datang. Isu-isu penting ini akan menjadi dimensi masa depan yang harus diantisipasi dari sejak dini. Jika melihat dari aspek probabilitas mungkin beberapa isu tersebdut sudah mulai terjadi sekarang namun eskalasi dan peningkatannya akan makin nampak pada tahaun 2025-2050. Ada dua hal menurut penelitian Canton (2007) yang sangat relevan dengan revolusi mental yang sedang dilakukan yaitu persaingan tenaga kerja dan tingkat individualistik yang tinggi. Permasalahan pokok yang ketiga menjadi hal yang sangat krusial karena poin ini merupakan prasyarat penting dalam penguatan perekonomian bangsa dan wibawa bangsa. Sebaliknya jika kondidi bangsa tidak stabil, kondosifitas sangat rentan akan sangat sulit untuk mengatas dua permasalahan pokok sebelumnya. Intoleransi, krisi kepribadian ini akan terus menjadi teror dalam bentuk peristiwa-persitiwa yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan keamanan. Tragedi Bom Sarinah pada januari 2016, radikalisasi, gerakan separatis dan upaya-upaya lain baik yang berasal dari dalam 21 maupun dari luar menjadi perhatian serius dunia pendidikan dalam melakukan revolusi mental. Rekomendasi Mengingat esensi dari revolusi mental adalah sebuah gerakan yang dilakukan secara bersama-sama baik pemerintah dan masyarakat sipil (government and civil society) maka peran setiap individu yang terlibat dalam stakeholder pendidikan sangat diperlukan. Salah satu bentuk yang paling dini adalah dengan melakukan internalisasi proses dan penanaman nilai revolusi mental melalui program-program pendidikan. Agenda utama dalam gerakan ini yaitu menciptakan manusia yang memiliki etos, integritas dan semangat gotong royong. Ketiga nilai ini merupakan aspek mental yang sudah ditanamkan dulu oleh founding father bangsa ini namun terkikis oleh jaman dan masuknya doktrin dan idologi lain. Oleh karena itu setiap satuan pendidikan dapat membentuk ekstrakurikuler revolusi mental yang diharapkan dapat menjadi sarana untuk melatih sejak dini prinsip-prinsip kebangsaan sebagaimana tertuang dalam nilainilai revolusi mental yaitu perubahan yang cepat terhadap cara pendang, sikap dan cara berpikir. Kesimpulan Perombakan mendasar yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK dengan mengusung gerakan revolusi mental tidak akan pernah bisa berhasil jika tidak diimbangi oleh sistem pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang baik di Indonesia bisa terwujud apabila persoalan utama pendidikan seperti tata kelola, mutu dan pengembangan dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat dan efisien. Pendidikan menjadi prasyarat untuk melaksanakan revolusi bersifat mental. Lahan garapan dari sektor pendidikan adalah manusia, oleh karena itu peran pendidikan menjadi perhatian penting untuk menjadi modal utama pembentukan karakter yang memiliki etos kerja, integritas dan gotong-royong. Internalisasi program revolusi mental dalam pendidikan dapat dilakukan pada semua jenjang pendidikan melalui aktifitas 22 yang mendorong untuk berpikir inovatif, kolaboratif, konstruktifis dan kritis. Keempat penciri pendidikan ini hendaknya terintegrasi dalam keseluruhan proses pendidikan. Di era persaingan global dengan segala dimensinya termasuk yang sudah berlangsung seperti MEA, investasi generasi muda lewat jalur pendidikan sepertinya menjadi satu-satunya cara agar dapat mengatkan wibawa bangsa. Daftar Pustaka Callinicos, R. 1983. The Revolutionary Ideas of Karl Marx: Literature Review. London: Roudledge. Canton, J. 2007. Do You Know What Coming Next? The Extreme Future. USA: Amazon Publisher. Cholish. A. 2015. Konsep dan Implementasi Revolusi Mental dalam Perspektif Kebangsaan. Jakarta: Ganggas Media. Indy, H. 2015. Pendidikan Yang Memerdekakan dan Membangkitkan. www.kompas.com . Diakses pada Jumat 15 Januari 2015. 12TU U12T Ramawijaya, P. E. 2015. http://www.kompasiana.com/edi_ramawijayaputra/ pendidikan-di-indonesia-siapa-yang-sebenarnya-in-charge . Diakses tanggal 11 Januari 2016. 12TU U12T UU RPJMN 2005-2015. www.setkab.go.if . Diakses Jumat 15 Januari 2016. 12TU U U1 2T Musrenbangnas.http://musrenbangnas.bappenas.go.id/files/pramus/revolusimental /revolusi%20mental.pdf . Diakses tanggal 10 Januari 2016. U Nawa Cita. PMK. www.pmk.go.id diakses tanggal 18 Januari 2016. 12TU U12T 23 GURU HEBAT-TANTANGAN ABAD 21 Effendie Tanumihardja STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract The 21st century has been running for fifteen years, and during those years, various inventions arise in the field of science and technology. Educational Testing Services (ETS) defines the 21st century as the century of learning the ability to: a. gather information; b. manage and organize information; c. evaluate the quality, relevance, and usefulness of information; d. utilize accurate information to improve resources. North Central Regional Education Laboratory (NCREL) identified as the 21st century digital age, broad thinking, effective communication, and has high productivity. Discovery and thought it would not be separated from the problem of education. The world of education is not free from three things: students or college students, educators (teacher or lecturer), infrastructure, educational atmosphere, and so on. Education in Indonesia is unlikely to come out of the atmosphere of international education. There are several things that can be categorized as a mean to cope with the 21st century skills, as follows: the skills of communication and collaboration; critical thinking skills and problem solving; creative and innovative; leadership and responsibility; productivity and accountability; social and cross-cultural skills; control the media; control of information; mastering the technology; mastering the support systems and so on. Skilled teachers are needed in order to answer the market demand in the 21st century. It can be concluded that a great teacher is a teacher who can keep pace with the rapid development in the 21st century. A great teacher should be able to communicate and collaborate well, able to think critically, able to solve the problem, creative, innovative, able to lead well, should be responsible, able to get along with all levels of social and cross-cultural, high productivity, control the information and technology, etc. Keywords: great teachers, skills, the 21st century “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” Nelson Mandela Pendahuluan Abad 21 ditandai dengan sinergi yang begitu cepat antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekarang bagi dunia pendidikan ruang dan waktu sudah tidak menjadi masalah lagi. Padahal sebelumnya hal ini menjadi penentu kecepatan dan keberhasilan penguasaan manusia terhadap ilmu dan teknologi. Dalam dekade ke 25 dua abad 21 dunia makin kompleks dan saling terkait satu sama lain, karena dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat jarak bukan merupakan masalah lagi. Apapun yang ingin lihat atau apapun yang terjadi di belahan dunia manapun pada saat bersamaan dapat kita saksikan sesuai apa adanya. Menghadapi abad 21, dunia pendidikan ditantang mampu menciptakan tata kelola pendidikan yang dapat menghasilkan sumber daya manusia sebagai pemikir handal. Pemikir yang mampu memberikan kontribusi pada tatanan sosial dan ekonomi, sadar pengetahuan sejajar dengan warga dunia lain. Pandangan ke depan untuk merancang dunia pendidikan yang diharapkan mampu menghadapi kemajuan di abad 21, tentu kita harus melihat realita yang ada di negara kita (BNSP, 2010). Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui perbaikan sistem, kurikulum, sumber daya manusia, sarana prasarana dan sebagainya yang disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi serta zaman. Kondisi pendidikan memasuki tahun ke 16 di abad 21 dapat dipandang sebagai peluang dan tantangan bagi kelompok optimistis, tetapi dapat juga dipandang sebagai hambatan pendidikan bagi kelompok pesimistis. Tetapi dapat juga dipandang sebagai peluang dan tantangan sekaligus hambatan bagi kelompok realistis, karena setiap masalah pasti bisa dijadikan sebagai peluang yang menantang yang tidak akan lepas dari adanya hambatan. Peluang dan tantangan yang ada akan membangkitkan motivasi kita untuk maju. Sedangkan hambatan yang ada akan memunculkan inovasi dan kreativitas untuk menyelesaikannya. Hasil penelusuran sejumlah pakar pendidikan dunia, ada 4 hal yang dikategorikan sebagai cara untuk menghadapi kemajuan dan suasana di abad 21. Ke empat hal itu yaitu cara berpikir, cara bekerja, sarana untuk bekerja dan terampil untuk hidup di dunia. Dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan guru harus dilakukan redesign untuk menyesuaikan gerak dan nafas dari ke empat hal di atas, sehingga pendidikan guru akan mampu menghasilkan tamatan yang siap menghadapi arus abad ke 21. Makalah sederhana ini mencoba menguak sebagian cara redesign pendidikan guru menghadapi derasnya kemajuan di abad ke-21. 26 Tantangan Pendidikan Abad 21 Abad 21 membawa serta berbagai tantangan atas alam, nilai dan pengendalian pada pendidikan guru. Harapan masyarakat yang terlalu tinggi, sumber daya manusia pada pendidikan guru yang belum memadai dan etos belajar yang masih belum maksimal menjadi tantangan bagi kita bersama. Globalisasi muncul dari negara-negara industri untuk menciptakan produk-produk bermuatan teknologi tinggi. Negara maju berupaya mengambil pangsa pasar melalui keunggulan teknologi mereka. Mereka juga berupaya memindahkan industri padat investasi ke negara lain terutama negara berkembang dengan dalih transfer teknologi, walaupun pada kenyataannya bagi negara kita, hal itu jarang terjadi. Puluhan tahun industri otomotif sudah berjalan, tetapi mesin otomotif dengan komponen intinya masih selalu di impor. Berbeda dengan India yang menerapkan sistem kalau ada industri yang ingin mendirikan industri di India maka mereka harus menjual teknologinya dan mendapat royalti dari penjualan produknya. Sebagai contoh industri otomotif Mercy didirikan di India, semua produknya menggunakan merk dagang Tata. Industri yang tidak mau menjual teknologi atau resep produknya tidak bisa menenamkan modalnya di India. Sebagai contoh pabrik minuman ringan Cocacola tidak bisa didirikan di India karena mereka menolak untuk menjual resepnya. Demikian pula dengan industri tambang tembaga, emas dan lain-lain Freeport, sampai saat ini tidak satupun teknologi penambangan atau teknologi smelter yang ditransferkan kepada tenaga-tenaga kita. Globalisasi juga dapat dimaknai sebagai kompetisi dengan basis ilmu dan teknologi. Sebagai implikasi dari globalisasi muncul ekonomi pengetahuan. Yang dimaksud ekonomi pengetahuan (knowledge economic) adalah pergerakan atau perputaran bisnis yang produknya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Produk berbasis iptek ini umumnya melibatkan perguruan tinggi melalui hasil penelitian dari lembaga atau pusat penelitiannya. Disamping perguruan tinggi akan terlibat juga lembaga penelitian baik milik pemerintah seperti LIPI dan lainlain maupun lembaga penelitian (BNSP, 2010). 27 Sebagai dampak globalisasi maka akan dirasakan munculnya keteganganketegangan antara dua kutub seperti: a. global dengan lokal; b. universal dengan individual; c. pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan jangka pendek; d. kompetisi dengan kesempatan yang sama; e. pesatnya kemajuan pengetahuan dengan kemampuan sumber daya manusia; dan f. melalapnya tradisi dengan modernisasi spiritual dengan material. Globalisasi bagaimanapun tidak mungkin dihindari, oleh karena itu yang perlu dipikirkan adalah persiapan mental spiritual untuk berubah. Perkembangan teknologi informasi sudah sedemikian pesatnya sehingga siapapun bisa belajar untuk meningkatkan kemampuan keterampilan lebih-lebih pengetahuan melalui dunia maya tanpa memerlukan pembimbing fisik. Begitu mudahnya orang bisa mengakses pengetahuan apapun melalui benda yang kecil dan ringan bernama IPad dan lain-lain sepanjang terkoneksi dengan internet yang juga bisa diperoleh dengan beberapa lembar uang puluhan ribu saja. Dampak dari berbagai kemudahan ini bisa positif bisa negatif. Internet sudah mengubah sistem dan nilai budaya serta dimensi spiritual, bahkan menggantikan model komunikasi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Kalau dulu orang menyatakan penyesalan dengan datang dan meminta maaf secara fisik, sekarang cukup dengan uang seratus rupiah saja (melalui sms “maafkan aku bro”, bahkan gratis melalui WA, BB, FB dan lain-lain program dengan mengirim gambar rangkap tangan dan sebagainya). Pasar tradisional yang sarat dengan hangatnya komunikasi dan sentuhan-sentuhan persaudaraan digantikan dengan pesan antar (delivery) dan lain jenis yang sangat kering nuansa komunikasi. Masih banyak dampak negatif lain, disamping tentunya juga dampak positif yang dapat diperoleh pengguna internet. Kesadaran internal pengguna dan proteksi eksternal pembuat kebijakan yang akan mampu menangkal dampak-dampak negatif. Sebagai seorang Buddhis maka kesadaran internal bisa kita peroleh dan kita kembangkan melalui pemahaman dan pendalaman Dhamma tentang Sila, Hiri dan Ottapa serta latihan terus menerus 28 Sila dan Bhavana. Kesadaran internal jauh lebih ampuh menangkal dampak negatif dibandingkan dengan proteksi eksternal. Berbicara tentang pendidikan terutama pendidikan guru tidak lepas dari undang-undang peraturan tentang pendidikan. Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 merumuskan tujuan pendidikan nasional adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab.” Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional ini maka harus dijabarkan ke dalam konsep yang lebih jelas dan dapat diukur tingkat ketercapaiannya secara rinci ke dalam kurikulum. Keterkaitan antara tujuan dan cara pencapaiannya harus tergambar jelas. Guru merupakan faktor penting sebagai katalisator antara subyek didik awal yang masih murni dengan skill dan knowledge minimal untuk bereaksi secara optimal menjadi tamatan mumpuni dengan skill dan knowledge yang memenuhi persyaratan, minimal lebih besar sama dengan nilai ketuntasan. Sebagai katalisator maka guru harus aktif dan mudah diaktifkan kembali. Aktif sendiri tanpa tekanan untuk mempercepat reaksi tercapainya tujuan proses pembelajaran pada subyek didik menghasilkan tamatan yang diharapkan. Mudah diaktifkan kembali manakala sebagai katalisator mulai kehilangan kemampuan katalisasinya. Banyak cara reaktivasi guru sebagai katalisator, mulai dari otodidak sampai mengikuti pendidikan terstruktur. Karena guru diharapkan mampu menjadi katalisator yang mumpuni dalam proses belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas, maka beban berat ini menjadi tanggungan dan tantangan tersendiri di dalam program pendidikan guru. Program pendidikan guru harus lebih fokus pada peningkatan kemampuan guru sebagai katalisator. Agar mampu menjadi katalisator yang baik maka kemampuan skill dan knowledge harus diimbangi dengan kemampuan penyampaian. 29 Guru Hebat Menghadapai Abad 21 Sebelum kita memuncak sampai pada guru hebat, kita gali dulu apa yang dimaksud dengan guru efektif. Lalu kita definisikan guru hebat sebagai guru efektif yang mampu mengantisipasi kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad 21 ini. Atau bisa diungkapkan sebagai guru efektif plus plus. Guru efektif adalah: Pertama guru yang memiliki skill menguasai kelas. Skill menguasasi kelas ditunjukkan oleh kemampuan interpersonal memberikan empati kepada siswa secara tulus; memiliki hubungan baik dengan siswa; tulus memperhatikan siswa; menunjukkan minat tinggi dalam mengajar; kemampuan menciptakan atmosfer untuk bekerja sama; meminimalkan friksi-friksi di kelas; kemampuan mendengarkan siswa berbicara dalam setiap diskusi. Kedua guru yang memiliki skill manajemen strategi. Skill manajemen strategi ditunjukkan oleh kemampuan memberikan tugas untuk tingkatan berfikir yang berbeda; kemampuan menghadapi siswa yang tidak memiliki perhatian; kemampuan memberikan variasi saat mengajar. Ketiga guru yang memiliki skill memberi umpan balik dan penguatan. Skill memberi umpan balik dan penguatan ditunjukkan oleh kemampuan memberikan bantuan kepada siswa yang memerlukan; kemampuan memberikan feedback positif kepada siswa; kemampuan memberikan bantuan kepada siswa yang lamban belajar; kemampuan menindaklanjuti untuk jawaban yang kurang memuaskan. Kempat guru yang memiliki skill terkait dengan peningkatan diri. Skill terkait dengan peningkatan diri ditunjukkan oleh kemampuan menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; kemampuan menambah pengetahuan metode mengajar; kemampuan memanfaatkan kelompok guru untuk menciptakan metode mengajar. Guru hebat harus memiliki sejumlah keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat di abad 21. Guru hebat selain harus pandai tentang hal-hal terkait dengan kewarganegaraan, memiliki kepekaan global, pandai mengelola keuangan, memahami berbagai hal seputar dunia kesehatan dan lingkungan hidup, memiliki visi kedepan yang jelas juga harus terampil dalam komunikasi dan kolaborasi. Skill komunikasi dan kolaborasi merujuk kepada kemampuan individu untuk berkomunikasi secara jelas, menggunakan oral, bentuk tulisan, dan bahasa 30 non verbal, kemampuan berkolaborasi secara efektif dan bertanggungjawab dengan orang-orang yang berbeda. Komunikasi yang jelas artinya menggambarkan ide secara melalui oral, tulisan dan non verbal dalam berbagai bentuk dan konteks; mendengar dengan cermat dan efektif sehingga memahami arti dengan benar; dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti menginformasikan, memberi perintah, memotivasi dan meyakinkan ataupun membujuk. Komunikasi harus efektif dalam berbagai lingkungan misalnya komunikasi dalam berbagai bahasa. Harus mau membagi tanggungjawab untuk kolaborasi kerja, dan nilai kontribusi individu dibuat oleh masing-masing anggota tim (Trilling & Fadel, 2009). Skill komunikasi dan kolaborasi dapat dipelajari melalui berbagai metode seperti melalui Project Based Learning, Problem Based Learning, Design Based Learning atau Performance Based Learning (Partnership for 21 st Century Learning, 2009). 2T 2T Skill berfikir kritis dan kemampuan menyelesaikan masalah itu termasuk kemampuan individu untuk beralasan secara efektif, bertanya tepat sasaran dan menyelesaikan masalah, menganalisis dan mengevaluasi beberapa alternative, dan merefleksikannya secara kritis pada keputusan dan prosesnya. Trilling & Fadel (2009) mendefinisikan berfikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis, menginterpretasikan, informasi. mengevaluasi, menyimpulkan dan mengsintesakan Dapat disimpulkan bahwa skill berfikir kritis di abad 21 adalah menggunakan teknologi canggih untuk mengakses, memanipulasi, menciptakan, menganalisis, mengendalikan, menyimpan dan mengkomunikasikan informasi (Trilling & Fadel, 2009). Kreativitas sering dijelaskan sebagai skill inti yang dapat dan harus dipelihara. Kreativitas dan inovasi bisa dikembangkan, seperti skill yang lain melalui latihan yang terus menerus. Skill kepemimpinan dan bertanggungjawab itu termasuk kemampuan individu juga untuk bekerja dengan minat yang besar dengan orang banyak untuk menginspirasi orang lain dengan contoh, untuk meningkatkan kekuatan orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kategori skill produktivitas dan akuntabilitas itu termasuk menetapkan dan mencapai tujuan, memprioritaskan kebutuhan, mengelola waktu, bekerja secara 31 etis, bekerja sama dan berkolaborasi dengan kolega dan klien. Skill lintas budaya dan sikap sosial mendasarkan kepada kemampuan bekerja sama dan berinteraktif dengan kolega secara professional, memiliki rasa hormat dan toleran terhadap perbedaan sosial dan budaya. Mengerti dan memahami perbedaan budaya serta mampu menggunakan perbedaan itu untuk mengembangkan ide-ide baru dan pemecahan baru terhadap berbagai masalah. Skill memahami masalah media merupakan hal penting bagi guru hebat. Ini berarti skill untuk bisa mengakses, mengerti, dan mampu menganalisis pesanpesan yang disampaikan oleh media. Skill ini juga menyangkut kemampuan untuk mengerti biasnya media dan cara media mempengaruhi keyakinan dan perilaku pembacanya. Skill tentang informasi berarti kemampuan untuk mengakses informasi secara efisien, mengenal kapan informasi itu dibutuhkan dan mampu untuk meletakkan, mengevaluasi informasi secara kritis dan menggunakan secara efektif, akurat dan kreatif informasi yang dibutuhkan (Andretta, 2005). Kemahiran teknologi bagi guru hebat antara lain adalah pemanfaatan e-learning. E-learning didefinisikan sebagai pengaksesan informasi, instruksi, interaksi melalui internet atau intranet penggunaan materi instruksional seperti bahan berbasis web dan menggunakan tools seperti email, discussion boards, blogs, chat atau video misal teleconference. Downes (2005), Anderson (2007) dan Walton et.al. (2007) berpendapat bahwa guru sekarang sudah (harus?) familier dengan teknologi web 2.0 untuk membuka jenis pembelajaran. E-learning ini lebih focus pada membangun pengetahuan kolaboratif, membagi asset pengetahuan, solusi masalah, dan pemecahan secara tenang antara pengetahuan dan komunikasi, seperti produksi blogs, video dan interaktif tutorial. Penutup Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal. Bahwa abad 21 merupakan satu keadaan yang sedang kita jalani dengan sejumlah kondisi kemajuan pesat di berbagai bidang. Perubahan yang begitu mencengangkan dari detik ke detik terjadi di bidang teknologi informasi. Skill kemarin tidak bisa lagi memenuhi untuk kondisi hari ini (NCREL, 2003). Sebagai dampaknya maka 32 capaian menjadi guru efektif sudah kurang memadai. Perlu peningkatan istilah dari guru efektif menjadi guru hebat. Guru hebat memerlukan skill yang juga hebat untuk menghadapi abad 21. Skill guru hebat adalah skill guru efektif yang masih harus memperhatikan ketepatan waktu, etika kerja, skill memecahkan masalah, kemampuan untuk berkolaborasi, skill membaca, menulis dan berkomunikasi, harus memiliki inovasi dan kreativitas tinggi. Guru hebat harus memiliki leadership yang kuat dan sikap bertanggungjawab. Guru hebat harus mampu menjembatani berbagai perbedaan budaya maupun strata sosial sedemikian sehingga hasil kolaborasi itu akan menghasilkan dampak optimal. Guru hebat harus mampu mengolah informasi dari manapun (suara burung, media cetak maupun elektronik dan lain-lain) menjadi hal positif dan membangun. Guru hebat harus mengembagkan dan menggunakan sarana elektronik dan dunia maya untuk membagi ilmu melalui pemanfaatan metode e-learning, menggunakan tools seperti web, blogs, chat dan sebagainya untuk menghasilkan hasil pembelajaran yang maksimal dan bermanfaat bagi pembelajar. Daftar Pustaka Anderson, P. (2007) What is Web 2.0? Ideas, technologies and implications for education. JISC Technology & Standards Watch: available at http://www.jisc.org.uk/media/documents/ techwatch/tsw0701b.pdf U Andretta, S. (2005). Information literacy: A practitioner’s guide. Oxford, UK: Chandos Publishing, Ltd. Badan Standar Nasional Pendidikan (2010). Paradigma Pendidikan Nasional Di Abad-21. Jakarta: BSNP. Davis, G.A. & Thomas, M.A. (1989). Effective Schools and Effective Teachers. Boston: Allyn Bacon. Downes, S. (2005). E-learning 2.0, eLearn Magazine, 17 October: Accessed on May 14, 2010 from: http://www.elearnmag.org/subpage.cfm?section =articles &article=29-1 . 12TU U12TU U Mukminan. (2014). Tantangan pendidikan di abad 21. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pendidikan 2014 di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 29 November 2014. 33 NCREL & Metiri Group. (2003). enGauge 21st century skills: literacy in the digital age. National Institute of Education Singapore. (2009). A Teacher Education Model for the 21st Century. Singapore: NIES. Paige, J. (2009). The 21 st Century Skills Movement. Educational Leadership, 9(67). 2T 2T Partnership for 21 st Century Learning, (2008). 21 st Century skills education & competitiveness. http://www.21stcenturyskills.org/ 2T 2T P P 12 TU U12T Rotherham, A.J. & Willingham, D. (2009). 21 st century: the challenge ahead. Educational Leadership. Vol. 67. No 1. September 2009. pp. 16-21. P P Sawchuk S. (2009).21st century skills” focus shifts teachers’ role. Education Week. 2009 January 7. The National Center for Public Policy and Higher Education. (2008). Engaging higher education in societal challenges of the 21 st century. P P Trilling & Fadel. (2009). 21 st Century Learning Skill. San Fransisco: CA: Jhon Wiley & Sons. P P Walton, G., Barker, J, Hepworth, M. & Stephens, D. (2007). Using Online Collaborative Learning to Enhance Information Literacy Delivery in a Level 1 Module: An Evaluation, Journal of Information Literacy, 1 (1): 13-30: available at http://jil.lboro.ac.uk/ojs/index. php/JIL/article/view/RA-V1-I12007-2/3 U 34 KNOWLEDGE MANAGEMENT SEBAGAI STRATEGI REVOLUSI PENGETAHUAN PROFESI DHARMADUTA Heriyanto STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract The purpose of this article was to describe the knowledge management in dharmaduta profession. Data were collected through various resources such as books and other primary and secondary references. The analysis method that used was content analysis descriptive explanations and had been narratively discussed in depth. The result of this article in form and knowledge management pattern in dharmaduta profession, which can be used to support the assignment and its function. Here are patterns and knowledge management form that have to be implemented by a dharmaduta: Learning for an instructor/ a dharma preacher, knowledge sharing and knowledge transfer for a dharmaduta preacher, knowledge storage and externalization, organisation environment and the implementation of dharmaduta knowledge, explicit knowledge become tacit knowledge and other supportive factor, such as human factor and Information Communication and Technology (ICT). Keywords: knowledge, knowledge management, dharmaduta, buddhist religion Pendahuluan Perkembangan suatu agama tidak terlepas dari peran dan fungsi seseorang yang terus dan menyebarkan ajaran agama. Dalam Agama Buddha seseorang yang menyebarkan ajaran Agama Buddha (Dharma) disebut dengan dharmaduta. Dharmaduta merupakan utusan dharma yang menyebarkan dan membuat masyarakat khususnya Agama Buddha meyakini dharma. Dharmaduta mempunyai peran yang sangat penting dalam pembinaan umat Agama Buddha. Untuk menjalankan tugas dan fungsi profesi dharmaduta, seorang dharmaduta harus terus meningkatkan kemampuan serta memiliki pengetahuan dan pengalaman (knowledge) yang baik. Knowledge yang dimiliki akan mendukung tugas dan fungsi, serta akan memberikan hasil yang semakin efektif dalam melakukan pembinaan terhadap umat dengan berbagai kemampuan yang dimiliki. Knowledge harus mampu dikelola dengan baik sehingga akan memberikan manfaat maksimal baik untuk organisasi atau pribadi, pengelolan knowledge disebut dengan knowledge management (KM). 35 Kegiatan dharmaduta meliputi peyuluhan, perbincangan dharma (dharmadesana), dan mendengarkan dharma (dharmasavana). Knowledge Sharing (KS) sebagai tahapan dari KM merupakan alat untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman yang didapat dalam keseharian. KS memungkinkan untuk saling berbagi (share) knowledge dan untuk selanjutnya knowledge dapat digunakan dalam peningkatan dan efektivitas kinerja seorang dharmaduta. Sesuatu yang penting adalah mendokumentasikan knowledge yang tidak tertulis (tacit) untuk terimplementasi dan terdokumentasi dengan baik sehingga dapat digunakan secara bersama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kenyataan dimasyarakat, seorang dharmaduta satu dengan lainnya tidak saling berbagi knowledge. Knowledge tidak di transfer dari satu dharmaduta kepada dharmaduta lain. Knowledge yang dapat digunakan secara bersama dan terdokumentasi adalah explicit knowledge. Permasalahan lain, tacit knowledge tidak terimplementasi dalam bentuk explicit knowledge, sehingga knowledge tidak dapat di share kepada dharmaduta lain. Hasilnya, ketika seorang dharmaduta tidak lagi menjalankan profesi untuk pembinaan, penyuluhan, dharmadesana, dan dharmasavana, maka informasi dan knowledge yang dimiliki akan hilang dan tidak dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Berangkat dari permasalahan belum diterapkannya KM oleh seorang dharmaduta, kajian ini membahas bagaimana KM dalam profesi dharmaduta. Tujuan kajian adalah mendeskripsikan bagaimana KM untuk profesi dharmaduta dan dapat digunakan dalam menjalankan tugas dan fungsi seorang dharmaduta. Manfaat praktis hasil kajian dapat digunakan sebagai bahan masukan dan arah kebijakan serta perubahan teknis dalam menggunakan, menyimpan, dan berbagi pengetauan. Manfaat lain adalah bagaimana KM dapat diterapkan dan digunakan untuk menjalankan tugas dan fungsi profesi dharmaduta. Dharmaduta mempunyai pengertian sebagai duta dharma atau utusan dharma. Darma merupakan ajaran Sang Buddha (Buddha Gotama). Dharmaduta dapat di nyatakan sebagai seseorang yang menyebarkan dharma sehingga orang lain ikut meyakini dan menjalankan dharma (Jo Priastana, 2005). Dalam 36 masyarakat sekarang ini, pengertian dharmaduta semakin meluas meliputi pembabar dharma, penyiaran, penyuluhan, serta penceramah dharma. Penerapan pembabaran dan ceramah dharma membentuk berbagai pola yang diturunkan menjadi berbagai bentuk profesi dan kegiatan. Pola kegiatan pembabaran dan penyebaran dharma yaitu seperti berbincang dharma (dharmadesana), dan mendengarkan dharma (dharmasavana). Sedangkan dalam bentuk profesi meliputi kepenyuluhan Agama Buddha dan kepanditaan Agama Buddha. Kegiatan dharmaduta mempunyai tujuan yang bersifat komunikatif dan sosial. Kegiatan dharmaduta kegiatan bertujuan untuk mempengaruhi, mengubah, dan membentuk sikap serta tingkah laku seseorang atau masyarakat untuk memahami dan menjalankan dharma. Dharmaduta memiliki tugas untuk menyebarkan dharma kepada masyarakat agar mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dengan menjalankan ajaran Agama Buddha. Biksu, Penyuluh, Pandita (romo dan ramani), dan Penceramah darma merupakan seseorang yang menjalankan profesi dan dapat melakukan penyebaran dharma ajaran sang Buddha. Dengan kata lain, Biksu, Penyuluh, Pandita, dan penceramah dharma merupakan orang yang disebut sebagai dharmaduta. Knowledge Knowledge terkait dengan rutinitas operasional, praktik, proses, dan nilai. 7T Knowledge diawali dengan adanya perbedaan makna dan adanya transisi dari 7T data, informasi, hingga informasi menjadi knowledge (Wallace, 2007) . Pengertian 7T 7T knowledge secara umum hanya pada pengetahuan yang ditambahkan dengan pengalaman, tetapi tidak hanya itu, knowledge adalah informasi yang kontekstual, relevan, dan actionable (Turban, 2008), sehingga knowledge merupakan sekumpulan informasi yang memiliki pola dan implikasi tertentu, serta memiliki kemampuan untuk memprediksi dan bertindak. Knowledge juga merupakan penggabungan antara pengalaman, nilai, informasi kontekstual, pandangan, dan intuisi para pakar yang membangun lingkungan, kerangka evaluasi, serta gabungan pengalaman dan informasi baru. Knowledge diaplikasikan dalam pemahaman pemikiran setiap orang dan melekat 37 dalam diri setiap individu. Berkaitan dengan profesi, knowledge akan digunakan dalam menjalankan tugas dan fungsi, sehingga tujuan organisasi dan secara umum tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Tacit Knowledge Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman seseorang, kegiatan yang dilakukan, dan sulit didefinisikan, dimana umumnya dibagikan melalui diskusi dan bercerita. Tacit knowledge meliputi knowledge yang tidak dapat dituliskan dan dijabarkan yang terdapat dalam diri setiap individu. Tacit knowledge dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang personal, spesifik, dan umumnya sulit diformulasi dan dikomunikasikan kepada pihak lain (Nonaka & Takeuchi, 1995). Tacit Knowledge diperoleh melalui 11T 11T 11T " learning by doing", knowledge yang diinternalisasikan melalui praktik yang 1 1T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T terdiri dari proses transfer pengetahuan (knowledge transfer) dari pemilik dan penerima knowledge (Carayannis, Pirzadeh, & Popescu, 2014). Explicit Knowledge Explicit Knowledge adalah knowledge yang sudah dapat dikemukakan dalam bentuk data, formula, spesifikasi produk, manual, dan prinsip-prinsip umum. Explicit knowledge dapat diidentifikasi , terbentuk , dan disajikan lebih 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T mudah. Explicit knowledge dapat dituangkan dan digunakan dalam bentuk 11T 11T 11T 11 T database dan ditransfer antar individu tanpa perlu berinteraksi langsung . 1 1T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T Explicit knowledge yang telah diformulasikan, biasanya disajikan dalam bentuk tulisan, terdokumentasi, dan mudah di transfer kepada orang lain. Explicit knowledge sebagai pengetahuan yang dapat ditransformasikan dalam bentuk formal dan bahasa yang sistematis. Dokumen, buku panduan, peraturan, dan literatur merupakan beberapa contoh explicit knowledge. Knowledge Management (KM) KM adalah pendekatan sistemik yang membantu muncul dan mengalirnya informasi dan pengetahuan kepada orang yang tepat pada saat yang tepat untuk 38 menciptakan nilai. KM memungkinkan individu, tim , dan seluruh anggota 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T organisasi untuk kolektif dan sistematis membuat, berbagi , dan menerapkan 11T knowledge 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T untuk mencapai 11 T 11T 11T 11T 11T 1 1T tujuan . KM 11T 11T 11T 11 T 11T memberikan kontribusi untuk 11T meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional , berinovasi , dan mengubah 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T kualitas (North & Kumta, (2014). KM merupakan serangkaian proses yang dikembangkan untuk menciptakan, mengumpulkan, memelihara, dan mendiseminasikan knowledge. KM juga didefinisikan sebagai akuisisi , penyimpanan , pengambilan , aplikasi , generasi , 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11 T 11T dan rangkuman dari seluruh aset knowledge organisasi dengan cara yang 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T terkontrol . KM membutuhkan pertalian informasi dengan informasi, informasi 11T dengan aktivitas, dan informasi dengan manusia untuk mewujudkan Knowledge sharing (Tang, 2000). Kebutuhan akan knowledge sharing menjadikan seluruh anggota organisasi mengedepankan kepentingan berbagi knowledge, khusunya tacit knowledge. Dengan adanya KM, aset informasi, keahlian, dan pengalaman akan tergabung menjadi sebuah knowledge yang explicit dengan manajemen untuk digunakan mencapai tujuan. Proses Knowledge Management Alavi dan Leidner (2001), KM terdiri dari empat proses, yaitu: a. Knowledge Creation, merupakan penciptaan knowledge berhubungan dengan pengembangan knowledge baru atau menggantikan knowledge yang telah tersedia baik tacit knowledge maupun explicit knowledge. b. Knowledge Storage, merupakan kegiatan penyimpanan dan pengambilan kembali knowledge yang berada dalam berbagai bentuk struktur komponen, pengetahuan, kodifikasi pengetahuan, dan menyimpan knowledge untuk memori organisasi (organizational memory). Penyimpanan knowledge merupakan bentuk explicit dari knowledge yang setiap saat dapat digunakan untuk dukungan terhadap kegiatan dan pekerjaan, menjadi aset penting untuk mencapai tujuan. c. Knowledge Transfer, merupakan tahapan bagaimana knowledge ditransfer dan terjadi proses berbagi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok 39 pada kelompok dalam organisasi. Dalam proses ini dapat terjadi kegiatan berdiskusi, seminar, belajar dan pembelajaran, serta bekerja kelompok untuk saling berbagi pengetahuan. Knowledge transefer merupakan proses dalam knowledge sharing. d. Knowledge Application, mengaplikasikan pengetahuan merupakan integrasi knowledge ke dalam proses dan aktivitas, operasional, tugas dan fungsi dalam organisasi secara mandiri yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi. Knowledge yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi digunakan untuk menjalankan tugas dan fungsi, untuk selanjutnya memberikan kontribusi besar terhadap keberhasilan organisasi. Komponen Pendukung Proses Knowledge Management KM berorientasi untuk menghasilkan knowledge dari informasi dan 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 1 1T mengubahnya menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan . Proses dan 11T 11T 11T 11 T 11 T implementasi KM secara garis besar membutuhkan 3 komponen yaitu proses 11T 11T bisnis (business processes), infrastruktur ( infrastructure), dan l ingkungan 11T 1 1T 11T (environment). Metode Kajian Kajian Knowledge Managament sebagai Strategi Revolusi Pengetahuan Profesi Dharmaduta menggunakan metode content analysis. Dilakukan analisis mendalam dari sumber-sumber relevan yang kemudian dideskripsikan dan dinarasikan dalam bentuk hasil kajian. Wawancara dan observasi lapangan juga dilakukan pada beberapa subjek dan objek yang menjadi kajian untuk memperkuat data dan analisis. Pembahasan Knowledge management sangat penting bagi seorang dharmaduta. Knowledge yang dimiliki seorang dharmaduta baik tacit dan explicit dapat di share kepada dharmaduta lain, pada akhirnya knowledge yang ada akan digunakan untuk mencapai tujuan dalam pelayanan, pengabdian, pembinaan, dan secara 40 khusus menyebarkan dan membabarkan dharma. Bentuk dan pola knowledge management dapat diterapkan dan diimplementasikan untuk mendukung tugas dan fungsi sebagai seorang dharmaduta. Adapaun bentuk dan pola knowledge management dharmaduta sebagai berikut: 1. Pembelajaran untuk Dharmaduta Perubahan permanen pada perilaku sebagai akibat dari pengalaman dapat diperoleh melalui pembelajaran. Pembelajaran untuk dharmaduta dapat dilakukan secara kolektif, baik yang terjadi secara alami maupun melalui program yang terencana dalam organisasi. Pembelajaran merupakan aspek yang krusial untuk membuka dan membentuk knowledge baru. Pendidikan merupakan penciptaan knowledge (knowledge creation) bagi dharmaduta, dapat dilakukan melalui pelatihan, kursus, sekolah, dan kuliah. Perkuliahan jurusan dharmaduta telah tersedia dibeberapa Sekolah Tinggi Agama Buddha baik yang dibiayai pemerintah (Negeri) seperti Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Negeri Sriwijaya Tangerang Banten dan STAB Raden Wijaya maupun sekolah tinggi swasta. Beberapa organisasi keagamaan buddhis seperti MAGABUDHI juga telah membuka kursus dharmaduta. Tidak dipungkiri, hasil observasi menunjukkan para dharmaduta yang kurang menguasai pengetahuan Agama Buddha secara mendalam. Knowledge yang dimiliki lebih banyak terbatas pada hasil dari pengalaman dimasyarakat tidak melalui formal melalui perguruan tinggi. Pengetahuan Abhidhamma, Sutta, dan vinaya dalam Agama Buddha dirasa masih sangat kurang, hasilnya seorang dharmaduta kurang efektif dalam berceramah, pembabaran, dan pengembangan Agama Buddha. Oleh karena itu pembelajaran bagi seorang dharmaduta harus segera diimplementasikan. Dharmaduta harus dituntut untuk peningkatan knowledge melalui kuliah dan kursus bidang Agama Buddha sehingga memungkinkan terjadinya penciptaan pengetauan. Dengan pembelajaran dan pendidikan, penciptaan pengetahuan akan meningkat, setiap dharmaduta dapat meningkatkan efektivitas dalam menjalankan tugas dan fungsi. Melalui pendidikan dalam bentuk kursus, sekolah, dan perkuliahan, seorang dharmaduta dibekali kompetensi yang kuat 41 dalam melakukan tugas dan fungsi sebagai penyebar dan pembababar dharma. Kemampuan dan penguasaan pengetahuan Agama Buddha akan semakin meningkat. Kemampuan dan pemahaman ajaran Agama Buddha juga akan didukung dengan legalitas seperti ijazah dan bentuk-bentuk sertifikat lainnya yang memberikan nilai positif terhadap profesi seorang dharmaduta. 2. Knowledge Sharing dan Knowledge Transfer Dharmaduta Knowledge yang didapatkan hasil pembelajaran dan pengalaman harus berguna bagi para dharmaduta lainnya dan bagi masyarkat yang membutuhkan. Knowledge sharing (KS) merupakan tahapan dalam KM, dimana dengan KS seorang dharmaduta dapat membagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman (knowledge) yang didapat dalam keseharian. KS dharmaduta dapat dilakukan dalam bentuk seminar dharmaduta, pelatihan, workshop, dan kursus yang dapat diadakan oleh organisasi seperti majelis, baik majelis cabang, daerah, dan majelis pusat. Pertemuan dan diskusi kecil antara kelompok dharmaduta juga dapat dilakukan, dengan demikian akan menciptakan knowledge baru dan merevolusi pengetahuan bagi dharmaduta yang tergabung dalam kelompok diskusi. Sharing membentuk adanya knowledge transfer (KT), bagaimana knowledge ditransfer antar dharmaduta, dharmaduta dengan kelompok, dan kelompok pada kelompok dalam organisasi. Kaitannya dengan profesi juga bagaimana pengetahuan dharma dari seorang dharmaduta ditransfer kepada masyarakat, dalam hal ini umat Agama Buddha. KT dapat terjadi pada kegiatan berdiskusi, seminar, belajar dan pembelajaran, serta bekerja kelompok untuk saling berbagi knowledge. Ceramah yang diberikan dharmaduta juga merupakan implementasi KS seorang dharmaduta kepada masyarakat dan kelompok umat beragama. 3. Knowledge Storage dan E xternalization 7T Bagaimana seorang dharmaduta menjadikan knowledge yang tidak tertulis (tacit) menjadi knowledge yang tertuang dalam bentuk siap pakai oleh orang lain (explicit). Untuk mewujudkan tacit menjadi explicit proses eksternalisasi harus segera dilakukan. Kemampuan mendokumentasikan dan mewujudkan 42 knowledge dalam bentuk dokumen dan tulisan menjadi sangat penting dan segera dilakukan. Menulis buku, jurnal, artikel, dan penelitian harus dilakukan oleh seorang dharmaduta, khususnya oleh para dharmaduta yang telah banyak pengalaman dalam melakukan pembinaan, menyebaran, dan pembabaran dharma kepada masyarakat. Penyimpanan explicit knowledge juga membutuhkan manajemen yang baik. Komputer yang tersedia pada organisasi, yayasan, vihara, cetiya, dan pada lembaga-lembaga lain tempat para dharmaduta berada dapat digunakan sebagai alat penyimpanan knowledge. Melalui pendanaan yang baik juga dapat diciptakan sebuah Knowledge Management System (KMS), sehingga pengetahuan dapat digunakan dengan baik dan cepat ketika dibutuhkan, membawa nilai tambah bagi organisasin dan dharmaduta untuk mencapai tujuan. 4. Lingkungan Organisasi dan Implementasi Knowledge Dharmaduta 11T Lingkungan yang memfasilitasi budaya KS merupakan komponen penting 11T 11 T 11T implementasi KM. Selain lingkungan internal, lingkungan external juga berpengaruh terhadap proses KM. Kebijakan pemerintah, sumber pendanaan, trend dan kemajuan masyarakat yang semakin berkembang akan berpengaruh terhadap proses implementasi KM. Untuk itu setiap organisasi, yayasan, dan berbagai institusi yang bergerak dalam bidang Agama Buddha harus segera menciptakan lingkungan dengan budaya KS. Melakukan berbagai manajemen dan kebijakan guna terciptanya budaya sharing dan KM yang baik. Dengan demikian setiap dharmaduta tentunya akan menjadi bagian dari organisasi yang melakukan penerapan dan implementasi KM. Knowledge Application (KA), mengaplikasikan knowledge merupakan integrasi knowledge kedalam proses dan aktivitas, operasional, serta tugas dharmaduta. Dharmaduta secara fungsi dalam organisasi secara mandiri menggunakan KM untuk digunakan mencapai tujuan individu dan organisasi. Knowledge yang dimiliki oleh setiap dharmaduta digunakan untuk menjalankan tugas dan fungsi, untuk selanjutnya memberikan kontribusi besar 43 terhadap keberhasilan seorang dharmaduta dalam pembabaran dharma, pembinaan, dan pengembangan Agama Buddha. 5. Explicit Knowledge menjadi Tacit Knowledge Tahapan ini merupakan internalisasi explicit knowledge menjadi tacit knowledge. Bagaimana hasil pemikiran dalam bentuk buku, jurnal, artikel, dan penelitian oleh seorang dharmaduta akan memberikan pengetahuan dan pengalaman baru bagi seorang dharmaduta. Organisasi hendaknya membentuk budaya membaca, dan seorang dharmaduta harus memiliki kemampuan akses informasi untuk mencari sumber-sumber pengetahuan bagi pengembangan dan peningkatan knowledge. Buku-buku referensi buddhis dan internet dapat dijadikan sebagai sumber belajar dan pembelajaran bagi seorang dharmaduta. 6. Human Factor Knowledge Management Salah satu faktor pendukung implementasi KM dharmaduta adalah faktor manusia (human factor) dan faktor teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Human factor adalah bagaimana semua dharmaduta mempunyai pengetahuan yang dapat menjadi aset yang digunakan bersama untuk mencapai tujuan profesi dharmaduta dan pembabaran dharma secara efektif. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini seorang dharmaduta dengan segala knowledge yang dimiliki menjadi aset penting dalam mencapai tujuan profesi dharmaduta dan organisasi. TIK dapat menjadi alat dalam mencari, menciptakan, dan menyimpan knowledge yang dimiliki dharmaduta. Dengan kemanjuan TIK akan memudahkan seorang dharmaduta dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Mencari sumber-sumber pengetahuan melalui internet, melakukan sharing dan knowledge transfer antar sesama dharmaduta juga dapat didukung dengan dukungan TIK. Sistem komputer juga menjadi solusi dalam melakukan penyimpanan knowledge sehingga dapat digunakan kapan saja secara bersama seperti Knowledge Management System (KMS). 44 Kesimpulan KM penting untuk segera diimplementasikan dalam profesi dharmaduta. KM menjadikan knowledge yang dimiliki oleh seorang dharmaduta dapat di share dan di transfer kepada dharmaduta lain. Tacit knowledge yang dimiliki oleh seorang dharmaduta dapat diwujudkan secara explicit yang selanjutnya dapat digunakan secara bersama untuk mencapai tujuan profesi dharmaduta dan juga tujuan organisasi. Implementasi KM oleh seorang dharmaduta akan menghasilkan berbagai knowledge yang terdokumentasi dan tersimpan dengan baik. Selanjutnya dokumentasi dan wujud explicit knowledge akan digunakan secara bersama dan akan berguna untuk generasi dharmaduta selanjutnya. Implementasi KM menjadi strategi dalam revolusi pengetahuan dharmaduta. Dengan KM seluruh proses dan manajemen pengetahuan dharmaduta akan tertata dengan baik, hasilnya terjadi efektivitas tugas, dan fungsi profesi seorang dharmaduta. Daftar Pustaka Anantatmula, V & Kanungo, S. 2010. Modeling Enablers for Successful KM Implementation. Journal of Knowledge Management, 14 (1): 100 – 113. Bellinger, Castro & Mills. 2004. Data, Information, Knowledge, and Wisdom. Systems Thinking "A journey in the realm of systems” http://systemsthinking.org/dikw/dikw.htm (Diakses 27 Mei 2015). 12TU U12T Chen, Chen, & Kinshuk. 2009. Examining the Factors Influencing Participants’ Knowledge Sharing Behavior in Virtual Learning Communities. Educational Technology & Society, 12 (1), 134–148. Cheng & Lau. 2009. Knowledge Sharing in Academic Institutions: a Study of Multimedia University Malaysia. (G. Turner, Penyunt.) Electronic Journal of Knowledge Management, 7 (3), (pp 313 - 324). Elias G. Carayannis, Ali Pirzadeh, Denisa Popescu. 2014. Institutional Learning and Knowledge Transfer Across Epistemic Communities New Tools of Global Governance. Springer. Jo Priastana. 2005. Komunikasi dan Dharmaduta. Jakarta: Yasodhara Puteri. 45 Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Barat. 2014. Pendidikan Dharmaduta Kemenag Sekadau. http://kalbar.kemenag.go.id/index.php? a=berita&id = 199461 (Diakses 28 Agustus 2015). 12TU U12TU U Kearns & Papadopoulos. 2000. Building a learning and training culture: The experience of five OECD countries. Adelaide: National Centre for Vocational Education Research. Klaus North, Gita Kumta. 2014. Knowledge Management Value Creation Through Organizational Learning: (Tanpa kota): Springer. Lam, Alice. 2000. Tacit Knowledge, Organizational Learning and Societal Institutions: An Integrated Framework. European Group for Organizational Studies: Sage Publications. Nonaka, I. & Takeuchi, H. 1995. The knowledge-creating company. New York: Oxford University Press. Tang, Shanhong. 2000. Knowledge Management in Libraries in the 21st Century. 66th IFLA Council and General Conference. Tobing, Paul L. 2007. Knowledge Management: Konsep, Arsitektur dan Implementasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Turban. 2008. Information Technology for Management - Transforming Organizations in the Digital Economy (6th Edition ed.). Hoboken: John Wiley & Sons. Wallace, Danny. 2007. Knowledge Management. Historical and Cross Disciplinary Themes: Greenwood Publish. 46 MENGIKIS PANDANGAN MATERIALISME DENGAN MENERAPKAN PATHAKAMMA SUTTA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA REVOLUSI MENTAL PADA PENDIDIKAN BUDDHIS 12T Iin Suwarni STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract It is time of condition where Buddhists who declined virtues , selfishness , declining nature of Hiri and Otappa , lack of compassion , commit crimes , and the ambitious nature of collecting treasures become problem , which is one contributing factor of low understanding of Pattakamma Sutta . It requires a mental revolution by applying the contents of Pattakamma Sutta . This article aims to determine the extent role of Pattakamma Sutta to erode the view of materialism, which is applied in carrying out measures right livelihood and do not harm any party and shows the success of efforts mental revolution. T he results of this analysis indicate that the role of Pattakamma Sutta to erode strongly supports the view of materialism . The application of Pattakamma Sutta increases, the view of materialism will decline and did not reappear , and not much crime occurs to acquire wealth . In contrary, the view of materialism and a growing number of crimes will increase if there is no attempt to increase the role of Pattakamma Sutta . It can be concluded that the attempts to erode the view of materialism requires the role of Patakamma Sutta by applying a variety of ways according to the B uddha D harma . If efforts to improve the mental revolution on Patakamma Sutta r ole can actually be implemented to the maximum , it will be very supportive to erode the view of materialism and will create a disciplined Buddhists precepts precepts , especially for the world of Buddhist education . 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1T 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T Keywords: erode, materialism, Pattakamma Sutta 11T Pendahuluan Di era globalisasi sekarang ini, telah banyak mempengaruhi segala sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Era ini membawa perubahan modernisai, liberalisasi dan kapitalisasi. Dimana perubahan tersebut, memberikan pengaruh positif dan negatif. Hal ini telah diantisipasi oleh pihak pemerintah diantaranya dengan mewajibkan seluruh warga negara Indonesia untuk menganut agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Diharapkan seseorang yang menganut agama sebagai pedoman hidupnya, akan mengurangi perilaku yang 47 tidak sesuai dengan norma agama. Sebagai pelaku pendidikan Buddhis saat ini penting sekali untuk mencanangkan revolusi mental sejak dini yang diharapkan memahami dhamma yang terdapat dalam Pattakamma Sutta sehingga tidak muncul pandangan materialisme. Tidak sedikit dijumpai orang yang telah dapat memenuhi kebutuhannya dan hidup dengan mewah, tetapi masih dapat melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, untuk terus menambah materi yang dimiliki. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya seperti para kaum carvaka memperbanyak harta kekayaan tanpa memiliki pengertian yang benar dan melakukan pemuasan jasmani dimasa kehidupannya. Ia melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan sila, diantaranya mereka pergi ke tempat hiburan dan dalam kesehariannya hanya digunakan untuk bersenang-senang. Di kehidupan sekarang pun tidak sedikit umat Buddha yang melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh kaum carvaka yaitu memuaskan keinginannya. Bahkan untuk memenuhi keinginan yang tidak ada habisnya, mereka melakukan berbagai cara untuk memperbanyak kekayaan tanpa mempedulikan pihak lain. Dengan memiliki pandangan demikian maka menimbulkan munculnya pandangan materialisme dalam diri seseorang yang mengakibatkan banyak dilakukannya tindakan yang merugikan dirinya dan orang lain. Namun, hal tersebut kurang disadarinya karena hanya memikirkan cara untuk memuaskan diri. Pandangan materialisme juga dimiliki oleh Brahma Baka bahwa keadaan ini permanen, keadaaan ini tetap, keadaan ini abadi, tidak dilahirkan, tidak bisa menjadi tua, tidak mati, sehingga yang terpikirkan untuk menikmati kehidupan yang ada. Dalam pikirannya tidak pernah terpuaskan pada segala sesuatu yang dimilikinya termasuk pada harta kekayaan, sehingga akan terus mengejar materi. Dengan adanya rasa keakuan dalam diri seseorang juga menyebabkan munculnya pandangan materialisme yang memberikan dampak negatif dan perlu untuk ditindaklanjuti sejak masih mengenyam pendidikan melalui revolusi mental dengan menerapkan Pattakamma Sutta. 48 Pembahasan Hakikat Pandangan Materialisme Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke tiga, Pandangan dijelaskan sebagai gagasan; pendapat (821). Sedangkan, materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia didalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra (723). Dengan pandangan akan materi tersebut, maka menyebabkan seseorang akan melakukan segala sesuatu untuk memenuhi keinginannya yang berhubungan dengan materi. Hal inilah yang menjadi dasar seseorang memiliki pandangan materialisme yang beranggapan bahwa materi yang diatas segalanya. Dijelaskan pula oleh Hsing Yun (2004: 50) dalam karyanya yang berjudul “Menjadi Baik” bahwa pengertian pandangan materialisme sebagaimana terdapat dalam Shastra Mahaprajnaparamitta dijelaskan bahwa : “pandangan materialisme merupakan suatu pandangan yang mengarah pada keinginan memicu rasa ketidakpuasan dari awal hingga akhir ketika memiliki suatu benda atau materi”. Merupakan hal yang wajar ketika seseorang menginginkan untuk memiliki sesuatu ia akan merasa tidak puas karena keinginannya belum terpenuhi. Namun, ketika seseorang telah mencapai keinginan tersebut tetap saja ia merasa tidak puas karena ia akan merasa takut kehilangan atas sesuatu yang dimilikinya dan ingin terus menambah tanpa ada rasa cukup. Sehingga dapat dikatakan seorang yang memiliki pandangan materialisme ini tidak ada sedikitpun rasa puas dengan apa yang telah dimiliki dan akan terus memenuhi keinginannya, tanpa diiringi pandangan benar. Sifat seperti ini yang memicu seeorang melakukan kejahatan untuk memenuhi keinginannya. Dijelaskan juga dalam Avadana (2004: 51) bahwa seorang yang memiliki pandangan materialisme seperti berikut: “Bahkan jika tujuh harta karun dicurahkan dari langit, mereka tetap tidak akan dapat memuaskan nafsu keinginan membawa sedikit kesenangan dan mendatangkan banyak masalah. Hanya orang bijak yang dapat memahami kebenaran ini ”. 49 Dari kutipan diatas dapat dianalisis bahwa seseorang yang memiliki pandangan materialisme meskipun telah memiliki limpahan materi tetap tidak akan merasa puas. Bahkan dapat diumpamakan jika tujuh harta karun dicurahkan dari langit sekalipun tidak akan dapat memuaskan nafsu keinginannya. Pandangan semacam ini akan mendatangkan banyak masalah dan ia sendiri tidak menyadarinya bahwa nafsu keinginan akan membawa sedikit kesenangan dan bersifat sementara saja. Karena dengan tidak adanya rasa puas itu akan membuat batin seseorang tidak tenang selalu diliputi keinginan yang tidak ada habisnya. Manusia yang memiliki pandangan ini selalu mencari keuntungan untuk dirinya sendiri pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Apabila seseorang menginginkan sesuatu hanya untuk pemenuhan kebutuhan tidak akan membuat seseorang menjadi terikat. Namun, apabila seseorang menginginkan sesuatu lebih dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan bahkan dirinya menikmati, inilah yang menimbulkan keterikatan dan kemelekatan pada sesuatu yang dinikmati. Jadi, pandangan materialisme merupakan keinginan yang dilandasi oleh keinginan yang tak terhingga. Meskipun keinginannya telah terpenuhi namun ingin terus mengejar. Dalam pencapaian keinginannya tidak ada sedikitpun perasaan puas sehingga selalu menginginkan hal yang sama meskipun telah dimiliki. Suhubungan dengan pandangan materialisme dan akibatnya terdapat penjelasan juga dalam Dhammapada XXI, 291 seperti berikut ini : paradukkhūpadhānena Attano sukhamiccati Verasamsaggasamsaţţho Verā so na parimuccati Artinya: Barangsiapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menimbulkan penderitaan pada orang lain, maka ia tidak akan terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam kebencian” (Anonim, 2005: 126-127) 50 Dalam syair Dhammapada tersebut tersirat watak seseorang yang memiliki pandangan materialisme. Jelas sekali bahwa seseorang tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri dalam hal apapun termasuk dalam hal materi akan melakukan cara apapun sekalipun menimbulkan penderitaan pada orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat sifat demikian akan menimbulkan kebencian yang tiada akhirnya dan menciptakan kondisi yang tidak nyaman dalam pergaulan. Keadaan demikian yang memicu banyak munculnya tindak kejahatan dimana-mana. Setiap individu hendaknya memiliki rasa tanggung jawab masingmasing agar kondisi tersebut tidak terjadi karena tidak ada seorang pun yang benar-benar mampu menaklukkan orang lain tetapi dengan upaya diri sendiri yang dapat merubah segala sesuatu. Dengan demikian inilah perlunya dunia pendidikan Buddhis untuk melakukan penanaman Pattakamma Sutta sebagai upaya revolusi mental agar tidak muncul pandangan materialisme sejak usia dini, sehingga akan mencetak umat Buddha yang berwelas asih dan tidak lobha. Menurut Widya. K (1989: 23) dijelaskan bahwa “seseorang yang memiliki pandangan materialisme termasuk menerapkan salah satu dari jalan ekstrim yaitu mencari kesenangan melalui materi yang dimiliki dan tiada puasnya”. Mencari kesenangan melalui materi yang dimiliki dan tidak adanya kepuasan batin akan sangat membelenggu perasaan seseorang. Ia yang tidak memiliki rasa puas berarti batinnya diliputi penderitaan. Dengan demikian, bagi umat Buddha sudah jelas bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik dan tidak membawa kebahagiaan. Bagi siapapun yang menuruti keinginannya untuk memuaskan diri dalam kenikmatan indriya dan nafsu duniawi akan terlibat dalam suatu lingkaran yang tidak ada ujungnya. Memiliki rasa berkecukupan dalam kehidupan ini memiliki kadar yang berbeda-beda antara individu. Apabila dilihat sepertinya tak seorang pun dapat mencapai kebahagiaan sempurna dalam materi. Apabila seseorang tidak mengendalikan hati dan pikiran dengan baik maka yang akan muncul adalah rasa tamak. Kaitannya dengan pandangan materialisme Dhammananda (2004: 265) memberikan penjelasan bahwa pandangan materialisme “mengejar kebahagiaan dalam pemuasan nafsu perolehan materi”. Padahal apabila dikaji lebih jauh bahwa 51 dengan materi manusia tidak akan pernah menemukan pemuasan, hal itu hanya seperti mimpi indah saja. Secara logika tidak mungkin dapat memperoleh segala sesuatu yang dinginkan, karena ketidakpuasan merupakan sifat setiap kemelekatan. Dari berbagai pendapat mengenai pandangan materialisme diatas dapat disimpulkan bahwa pandangan materialisme adalah pandangan hidup ekstrim yang mengarah pada keinginan memicu rasa ketidakpuasan dari awal hingga akhir ketika memiliki suatu benda atau materi. Meskipun telah memiliki berlimpahan materi tetap tidak akan merasa puas dan hanya mementingkan dirinya sendiri bahkan sampai menimbulkan penderitaan bagi orang lain pun tidak dipedulikan karena batinnya diliputi kemelekatan. Banyak orang yang mengidentikkan bahwa kebahagiaan duniawi itu jika memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Padahal apabila dikaji tidak sedikit orang yang berlimpah harta tetapi tidak merasa bahagia, gelisah dan menderita karena mereka gagal memahami bahwa uang bisa saja membeli kesenangan duniawi tetapi tidak bisa membeli kebahagiaan batin. Kebahagiaan tidak hanya dapat dinilai dengan harta kekayaan yang dimiliki, tetapi dengan pemahaman yang benar tentang kehidupan inilah yang dapat membawa ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup tanpa diliputi keinginan yang tidak ada habisnya. Ciri-Ciri Materialisme a. Diskriminatif adalah sikap seseorang yang membeda-bedakan atau meninggi rendahkan orang lain berdasarkan keadaan ekonomi, suku, dan biologis. b. Pelit atau kikir adalah sikap seseorang yang tidak mau rugi atau sulit untuk mengeluarkan atau memberi sesuatu kepada sesamanya yang membutuhkan tanpa alasan yang jelas. c. Mudah merendahkan atau meremehkan segala yang bersifat keagamaan atau moralitas dalam ucapan dan tindakan nyata. d. Mengukur relasi atau pergaulan hanya dari sisi untung dan rugi, tanpa mau berkorban bagi orang lain. Menjadi hal yang wajar jika setiap manusia memiliki keinginan untuk menjadi kaya tetapi kekayaannya diperoleh dengan cara yang benar. Karena 52 dengan kekayaan yang dimiliki akan dapat membawa kesejahteraan hidupnya dan juga dapat berbuat baik dengan menolong sesama. Sehingga dengan kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar ini, batinnya akan merasa tenang tidak resah memikirkan akibat yang telah dilakukan dari usahanya dalam memperoleh harta. Manusia juga memiliki suatu keinginan agar dikenal dalam masyarakat dalam hal kedudukannya, yang dihormati oleh masyarakat lainnya. Seseorang akan mendapat nama terpandang apabila memiliki penghidupan dan jalan hidup yang baik. Termasuk dalam hal memperoleh kekayaan dengan cara-cara yang benar akan membawa kemasyuran atau terpandang dalam masyarakat, sehingga karakter yang merupakan ciri dari materialisme dapat dihilangkan. Pattakamma Sutta Pattakamma Sutta merupakan bagian dari Samyutta Nikaya. Sutta ini ditujukan untuk umat awam dalam memperoleh kekayaan dengan cara yang benar. Sutta ini dilatarbelakangi ketika Buddha didekati oleh seorang umat awam yang bernama Dighajanu yang meminta nasehat. Dighajanu berkata bahwa sebagai orang biasa yang beristri dan beranak, ia dan keluarganya menikmati kesenangan duniawi seperti pakaian bagus, wangi‐wangian, dan perhiasan emas dan perak yang mahal. Ia meminta Buddha untuk mengajarinya cara bagaimana ia dapat menjamin keberlangsungan kesejahteraan dan kebahagiaannya dalam kehidupan saat ini dan dalam kehidupannya yang akan datang. Buddha kemudian melanjutkan dengan memberikan kotbah ini kepada Dighajanu dan dalam menjelaskannya menggunakan perumpamaan dari tangki air yang besar dalam mengumpulkan air hujan. Beliau menunjukkan bagaimana harta kekayaan, duniawi dan spiritual, dapat dikumpulkan secara bersamaan oleh siapapun dengan kualitas‐kualitas yang tepat. Dalam Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya, disebutkan bahwa ada empat hal agung di dunia ini yang diharapkan oleh setiap orang. Empat hal tersebut adalah harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma, harapan agar menjadi orang terhormat di masyarakat, harapan agar menjalani kehidupan dengan damai dan sehat, serta harapan agar dapat terlahir kembali di alam-alam 53 bahagia. Di sutta ini diterangkan pula agar dalam usaha mencapai keberhasilan, sebaiknya seseorang berusaha dengan semangat yang tinggi (utthanaviriyadhigatehi), dengan daya-upaya sendiri (sedavakkhitehi), dan dengan cara-cara benar yang sesuai dengan Dhamma (dhammikehidhammaladdhehi). Ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para perumahtangga dalam menggunakan kekayaannya yang telah diperoleh secara benar sebagaimana dijelaskan Sang Buddha dalam Pattakamma Sutta seperti yaitu : a) Ia sebaiknya menggunakan kekayaan untuk kepentingan sendiri dan keluarga; b) Ia mempunyai kewajiban menjaga kekayaannya; c) Ia mempunyai kewajiban lain seperti membayar pajak; d) Ia selayaknya menyokong kebutuhan para Samana dan Brahmana (Karunaviro, 2005: 22). Seseorang yang telah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar secara luas ia sebaiknya menggunakannya untuk dinikmati sendiri sebagai hasil jerih payahnya, merawat orang tua, merawat putra putrinya, pembantu, para pekerja dan menjamu teman serta pendatang secara benar. Ia juga wajib menjaga hartanya dari bahaya seperti kebakaran, banjir, pencuri dan pewaris yang tidak diinginkan serta penjahat. Kewajiban lainnya dengan harta yang dimiliki adalah membayar pajak kepada pemerintah dan menghormati leluhur. Dan juga tidak meninggalkan berbuat baik kapada para Samana dan Brahmana baik yang telah mencapai kesucian maupun yang belum mencapai tingkat kesucian. Diharapkan dengan keempat langkah diatas akan menemukan jalan penyelesaian dalam meningkatkan kesejahteraan sosial sehingga memperoleh kemakmuran dan kebahagiaan yang merupakan harapan setiap orang. Setelah memperoleh kebahagiaan dari memiliki materi, hendaknya menyadari bahwa kenyataan sehari-hari yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yang berhubungan dengan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena hubungan antara segi materi dan segi moral spiritual sangat ditekankan dan erat sekali dalam evolusi masyarakat. Sehingga setelah sukses secara materi hendaknya menjadi sarana untuk mengembangkan kesuksesan mental spiritual. Buddha kemudian melanjutkan dengan memberikan kotbah ini kepada Dighajanu dan dalam 54 melakukannya, menggunakan perumpamaan dari tangki air yang besar dalam mengumpulkan air hujan. Beliau menunjukkan bagaimana harta kekayaan, duniawi dan spiritual, dapat dikumpulkan secara bersamaan oleh siapapun dengan kualitas‐kualitas yang tepat, yaitu: “Empat kualitas yang menumbuhkan kekayaan duniawi dan kemajuan: usaha terus menerus, kewaspadaan yang sepenuhnya, persahabatan yang baik, dan penghidupan yang seimbang” (Dhammasiri, 2005: 97). Dengan cara apapun seseorang melibatkan diri dalam memperoleh penghidupan, ia harus bekerja keras dan tidak malas. Ia harus memahami apa yang perlu untuk dilakukan, belajar untuk melakukannya dengan baik, menyelesaikannya dengan baik, dan juga mendelegasikan pekerjaan pada orang lain apabila diperlukan. Harta kekayaan apapun yang telah dikumpulkan dengan sah dan benar harus dijaga dengan sebaikbaiknya. Aset harus dilindungi dari penipuan atau penyalah‐gunaan dan diurus dengan baik untuk menghindari pajak yang tidak penting atau penyitaan yang tidak tepat oleh Negara. Harta milik harus dilindungi dengan baik dari pencurian atau kehilangan. Harta milik tidak seharusnya diijinkan untuk dihambur‐hamburkan oleh anggota keluarga yang tidak bertanggung‐jawab. Seseorang harus bergaul dengan teman yang tepat. Tidak penting yang muda atau tua sepanjang mereka bermoral baik, dermawan dan memiliki kebijaksanaan dan bersifat spiritual. Dengan cara seperti ini, ia akan dipengaruhi secara positif, dan hidup di jalan yang benar. Seseorang harus waspada dengan pendapatan dan pengeluarannya dan hidup dalam batas kemampuan dirinya. Seseorang hendaknya tidak terlalu boros atau kikir, dan meyakinkan bahwa pendapatannya lebih dari pengeluarannya dan bukan sebaliknya. Siapapun yang hidup melampaui kemampuan dirinya akan memiliki banyak masalah dan segera menuju keruntuhan. Yang paling ekstrimnya, si kikir yang menimbun harta kekayaannya akan memiliki hidup yang tidak bahagia dan sampai pada akhir yang menyedihkan. 55 Penutup Faktor yang dapat mengikis pandangan materialisme terdiri dari banyak hal. Tetapi setelah melalui pengamatan ternyata upaya yang efektif untuk mengikis pandangan materialisme adalah dengan salah satu upaya revolusi mental melalui penerapan Pattakamma Sutta. Karena Pattakamma Sutta dan pandangan materialisme memiliki hubungan yang sangat erat sehingga saling berkaitan satu dengan yang lain. Di Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya, disebutkan bahwa ada empat hal agung di dunia ini yang diharapkan oleh setiap orang. Empat hal tersebut adalah harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma, harapan agar menjadi orang terhormat di masyarakat, harapan agar menjalani kehidupan dengan damai dan sehat, serta harapan agar dapat terlahir kembali di alam-alam bahagia. Di sutta ini diterangkan pula agar dalam usaha mencapai keberhasilan, sebaiknya seseorang berusaha dengan semangat yang tinggi (utthanaviriyadhigatehi), dengan daya-upaya sendiri (sedavakkhitehi), dan dengan cara-cara benar yang sesuai dengan Dhamma (dhammikehidhammaladdhehi). Akan lebih baik materi yang kita dapatkan, dikelola dengan bijaksana dengan memberikan kelebihan harta yang kita miliki untuk menolong orang lain yang masih kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil analisa penulisan artikel ini, maka penulis memberikan saran kepada seluruh umat Buddha khususnya lembaga pendidikan Buddhis dan seluruh umat Buddha pada umumnya untuk dapat menyelenggarakan kegiatan untuk memperdalam dhamma.. Untuk dapat mengikis pandangan materialisme umat Buddha seperti yang diharapkan penulis dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu: (a) melaksanakan kegiatan Pekan Pendalaman Dhamma, (b) melaksanakan seminar materi Dhamma dalam rangka revolusi mental, (c) mengadakan pelatihan meditasi Daftar Pustaka Anonim. 2006. 30 Tahun Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia. Jakarta: Wisma Sangha Theravada Indonesia. ___________. 2007. Lima Sifat Seorang. Jakarta: Penerbit Mizan. 56 Dhammasiri, S. 2005. Relevansi Agama Buddha Dalam Kehidupan Sosial. Jakarta: Graha Metta Sejahtera. ____________. 2005. Keyakinan Umat Buddha. Bandung: Karaniya. Dhammananda. 2004. Be Happy. Bandung: Karaniya. Yun Hsing Master. 2004. Menjadi Baik. Bandung: Karaniya. Jotidhammo, Limiadi, R.A. 2000. Panduan Tipitaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa. Karunaviro. 2005. Aspek Ekonomi dan Pengembangan Mental Spiritual. Jakarta: Dhammacakka. Mukti, W. K. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan. Piyadasi, M. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta Barat: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna. _______. 2005. Tipitaka, Dhammapada. (Terjemahan). Jakarta: Dewi Kalyana. Tim Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitamedia Press. Wardhana Krishna. 2005. Jalan Spiritual. Yogyakarta: Penerbit Delphi. Wijanarko, J. 2006. Anak Cerdas Ceria Berakhlak. Tangerang: The Happy Holy Kids. 57 UNITAS DALAM DIVERSITAS (REVOLUSI MENTAL MELALUI PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA MENUJU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) Kemanya Karbono STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T 1 2T Abstract This article aims to describe on how Buddhist education contribute positively in maintaining pluralism and multiculturalism towards unity in diversity and try to offer a religious conflict resolution in a Buddhist perspective. The initial step in mental revolution through religious education is to change the paradigm of religious education. Buddhist education model that can be adopted in Indonesia is a model of religious education at the wall and beyond the wall. This model is able to produce private tolerant, inclusive, affirming the spirit of pluralism and multiculturalism. Revolution on Buddhist education teacher's personality is also important in terms of creating intra and inter religious harmony. A Buddhist religious education teachers should have Dhammakatika (five nature a Buddhist teacher) as set out in Udayi Sutta. The Buddha offers a conflict resolution that are consisted of two phases, namely preventive and curative. In the preventive stage Buddhists must develop six things that create harmony and unity like water and milk as described in Saraniyadhamma Sutta the Buddha and Kosambiya Sutta. At this stage of the Buddha offers seven curative methods of conflict resolution (Adhikaranasamatha). Keywords: revolution, buddhism education Pendahuluan Bangsa Indonesia memiliki nuansa kemajemukan, salah satunya terwujud dalam berbagai agama yang dianut oleh masyarakatnya. Keragaman tersebut adalah kekayaan tak terhingga jika dikelola dengan baik dapat menjadi sesuatu yang berharga, bermanfaat, dan menguntungkan bangsa. Kemajemukan agama seyogyanya diterima oleh semua kalangan masyarakat dan menjadikan hal tersbut sebagai pilar dan alat perekat umat beragama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indoensia. Pada kondisi masyarakat yang memeluk agama homogen, agama berperan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan. Namun ia 59 dapat menjadi kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah belah, bahkan menghancurkn jika tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat. Kemajemukan pada tingkat agama ditambah dengan keragaman pada wilayah tafsir menambah banyaknya perbedaan. Setiap pemeluk agama memiliki kapasitas dan kemampuan berpikir yang berbeda dalam menginterpretasikan ajaran sehingga menimbulkan beragamanya pemahaman yang pada akhirnya melahirkan sekte, mazhab, atau aliran baru. Keragaman agama tersebut dapat menjadi pemicu konflik, baik horizontal (antar pemeluk agama) maupun vertikal (antar pemeluk agama dengan pemerintah) yang dapat memicu disintegrasi bangsa. Banyak perselisihan antar umat manusia yang bersumber dari keagamaan, perpecahan yang membawa lebel agama biasanyaa lebih tajam, hal tersebut terjadi karena agama atau sekte tertentu dipercayai dan dipegang secara fanatik. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang berkaitan dengan konflik bernuansa agama, sejak era reformasi tercatat banyak konflik bernuansa agama, seperti penyeranagn rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok tahun 2002, konflik Poso pada Desember 2003, hingga yang terbaru adalah kasus pembakaran gereja di Singkil, Aceh dan pembakaran tempat ibadah di Tolikara, Papua. Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, konflik yang bersumber dari permasalahan agama baik intra maupun inter bukan hanya terjadi sekarang, bahkan pada jaman kehidupan Sang Buddha pun hal tersebut banyak terjadi konflik meskipun hanya pada tataran kognitif evaluatif. Kemunculan Buddha Gautama sebagai guru spiritual yang mendapat sambutan baik dari masyarakat dianggap sebagai sebuah ancaman bagi eksistensi guru spiritual yang sudah mapan seperti misalnya Niganta Nataputta, sehingga banyak usaha yang dilakukan untuk menjatuhkan Sang Buddha. Contoh nyata adalah dalam Upali sutta, dimana Upali dikirim oleh Niganta Nataputta untuk menjatuhkan Sang Buddha walaupun akhirnya justru ia ingin menjadi murid Buddha. Konflik bernuansa agama selalu mengusik keharmonisan dan menjadi momok bagi keutuhan bangsa harus segera mendapat penangan segera. Perubahan-perubahan baik secra revolusi maupun secara gradasi harus segera 60 dilakukan. Perubahan menuju harmonisasi adalah dengan menciptakan pribadi yang mengedepankan sisi kemanusiaan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendidikan merupakan sarana bagi orang agar lebih manusiawi. Pada zaman globalisasi makna dari pendiidkan tidak boleh dipersemoit sebagai sarana praktis yang mempersiapkan manusia yang siap kerja. Penddikn harus dimaknai sebagai proses membentuk manuia yang manussa, mempersiapkan orang-orang yang tinggal di dan dengan dunia, dan membentu peserta didik menjadi agen kemanusiaan. Pendidikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan kelompoknya. Konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia menunjukan lemahnya pendidikan dalam membangun fondasi mental masyarakat, terutama adalah pendidikan agama. Seharusya pendidikan agama menjadi garda paling depan dalam membangun karakter masyarakat indoensia yang inklusif, toleran, humanis, yang meneguhkan spirit pluralisme dan multikulturalisme. Guru agama (baik formal, nonformal, maupun informal) memiliki peranan yang sangat besar dalam menciptkan pribadi yang toleran yang memandang pluralisme sebagai suatu fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri dan diingkari oleh siapapun. Pendidikan agama seharusnya mampu melahirkan peserta didik yang inklusif yang menganggap mereka yang berbeda sebagai mitra yang harus dihormati dan dihargai bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan. Pendidikan mampu menghasilkan dua jenis inividu yang berbeda, yakni individu yang mempromosikan dan menghormati pluralitas, keberagaman, dan multikulturalisme atau individu yang tidak toleran terhadap pluralitas, keberagaman, dan multikulturalisme. Dalam kondisi tersebut, pendidikan agama Buddha memiliki kontribusi mempertahankan atau mengancam pluralitas, kefragaman agama, dan kebudayaan Indonesia. Realitas yag terjadi masih ada guru agama yang melakuakn proses pendidikan agama secara doktriner sehingga melahirkan memunculkan klaim kemutlakan, fanatik, dan ekslusif, sehingga agama menjadi anti realitas. Hal penting yang harus segera dipecahkan adalah bagaiaman membangun pendidikan agama Buddha yang mungkin memberika kontribusi positif untuk memperkuat pluralism dan multikulturalisme di 61 Indoensia? Bagaimana karakter guru pendidikan agama Buddha ideal yang mampu menghasilkan peserta didik yang toleran, inklusif, dan mengedepankan harmonisasi? Pembahasan Penyebab Konflik Keagamaan Salah satu peranan agama yang signifikan adalah membentuk kesatuan atau integrasi sosial. Dengan menganut suatu agama, melakukan ritual dan memeprcayai hal-hal sakral yang sama akan menyatukan umat dikalangan penganut agama tersebut, namun fungsi agama sebagai pemersatu biasanya efektif apabila agama tersebut dianut oleh masyarakat yang tertutup (eksklusif). Dalam masyarakat yang multi agama dan multiras peran agama sebagai pemersatu diragukan, justru ada kecenderungan sebagai sumber konflik dan menciptakan kelas sosial dalam bentuk strata. Banyak perselisihan antar umat manusia yang bersumber dari keagamaan, perpecahan yang membawa lebel agama biasanyaa lebih tajam, hal tersebut terjadi karena agama atau sekte tertentu dipercayai dan dipegang secara fanatik. Beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama diantaranya adalah: perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras umat beragama, perbedaan tingkat kebudyan, dan masalah mayoritas dan minoritas pemeluk agama. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental Konflik merupakan hasil dari proses disosiatif yaitu proses yang sifatnya menceraikan atau memecah, perbedaan doktrin adalah salah satu factor yang menimbulkan konflik, apalagi ditambah sikap fanatik dari penganut suatu aka memambah tajam. Disadari atau tidak seiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dan memberikan penilaian terhadap agama sendiri dengan agama lain. Penilaian tersebut biasanya bersifat subyektif, penilaian tertinggi selalu diberikan kepada agama sendiri dan sering kali melahirkan kesombongan religius. Penilaian terhadap agama lain lokasinya berada pada alam pikiran, namun terkadang terungkap dalam kata-kata dan 62 tulisan. Ketika penilaian tersebut terlontar keluar maka agama lain yang dinilai akan memberikan reaksi atau tanggapan atas penilaian sebelumnya sehingga sering kali memicu konflik yang disebut apologetika. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama Indonesia adalah Negara yang kaya dengan perbedaan, diantaranya adalah perbedaan suku, budaya, adat dan agama. Perbedaan tersebut tidaklah menjadi suatu penghalang bagi teciptanya kerukunan hidup, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan adanya perbedaan suku, dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk perpecahan antar uamat manusia. Banyak kesombongan rasial yang menjadi pemicu konflik, misalnya adalah anggapan bahwa kulit putih lebih baik disbanding kulit lainnya, kulit putih ditakdirkan untuk membawa obor kemajuan bagi dunia. Kesombongan rasial mencapai puncaknya pada bangsa Jerman zaman rezim Hitler yang mempunyai prnsip kulit putih adalah amnuisa super yang mendapat tugas untuk menghancuran ras lain yang lebih rendah. Potensi terjadinya konflik berdasarkan rasial sudah ada sejak dulu ditambah dengan adanya perbedaan agama maka konflik tersebut semakin meluas. Masalah Mayoritas dan Minorits Golongan Agama. Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab, namun dalam masyarakat agama pluralistis penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Secara umum sudah diketahui bahwa agama-agama besar di dunia tidak mempunyai penganut yang sama besarnya disetiap negara. Negara-negara Eropa barat dan Amerika mayoritas adalah penganut agama Kristen. Sedangkan Indonesia, Malaysia, Afganisthan mayoritas adalah penganut Islam. Dampak hubungan mayoritas dan minoritas pada tingkat internasional juga terasa meskipun tidak sehebat pengaruhnya dalam skala nasional. Dalam masalah konflik mayoritas dan minoritas ada bebarapa hal yang perlu mendapat perhatian, diantaranya yaitu: agama diubah menjadi idiologi, 63 prasangka mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, mitos dari mayoritas. Dalam mayoritas keagamaan yang mengembangkan suatu ideology yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi, dimana kepentingan keagamaan dan kepentingan politik luluh dalam satu kesatuan, hal ini akan menubuhkan keyakinan bahwa kaum mayoritas ini dianggap berkuasa yang berhak menentukan dan menjaga jalannya masayrakat. Usaha yang bersangkutan dengan kepentingan kaum minoritas harus meminta dan mendapat persetujuan dari mayoritas, sedangkan mayoritas boleh bertindak semaunya tanpa perlu meminta ijin terhadap minoritas, misalnya dalam hal pengadaan sarana dasar seperti rumah ibadah, rumah sakit, gedung sekolah dan lain-lain. Bahkan ada pemikiran yang merupakan cerminan dari sikap intoleransi seperti: “ Kalau anda berkuasa adalah kewajiban anda mentolelir saya karena saya benar, tetapi jika saya berkuasa adalah kewajiban saya untuk mengejar saudara karena anda bersalah”. Sasaran Revolusi Mental dalam Pendidikan Agama Buddha Mengubah Paradigma Pendidikan Agama Bangsa Indoenesia yang multiras, multietnik, multiagama, dan multi budaya memiliki potensi besar terjadi konflik. Perbedaan suku, ras, dan budaya ditambah dengan perbedaan agama dimana banyak manifestasi dan ekspresi keagamaan semakin memperbesar potensi tersebut. Pertanyaan mendasar yang harus segera dijawab adalah bentuk/model pendidikan agama Buddha seperti apa yang ideal dalam konteks tersebut? Untuk dapat menjawab pertnyaan tersebut maka menjadi penting untuk mempertimbangkan model pendidikan agama yang diusulkan oleh Jack Seymour dan Tabita Kartika Cristiani. Mereka mengusulkan tiga model pendidikan agama, yakni: in the wall, at the wall, dan beyond the wall. Secara terperinci tiga model agama tersebut adalah sebagai berikut: Model In the wall. Model ini lebih menekankan pada fase pembentukan keyakinan (iman) yang hanya mempelajari tradisi sendiri tanpa menghubungkan dengan tradisin lain. Implikasi dari hal tersebut, siswa menjadi terisolir dalam tradisi sendiri dan cenderung memiliki kesalah pahaman dan prasangka terhadap tradisi agama lain. Model ini berorientasi mengajarkan agamanya sesuai agama 64 tersebut tanpa berdialog dengan agama lain, sehingga cenderung membentuk pribadi intoleran. Model ini sejajar dengan model pendidikan agama ekslusif yang mempertegas garis demarkasi antara pemeluk agama satu dengan lainnya, dampaknya melahirkan claim truth (klaim kebenaran), monopoli Tuhan, dan superioritas satu agama terhadap agama lain. Model pendidikan agama At the wall. Paradigma pendidikan agam at the wall tidak hanya mengajarkan agamanya sendiri, melainkan sudah mendiskusikannya dengan agama yang lain. Sudah terjadi transformasi keyakinan dengan belajar mengakui perbedaan dan terlibat dialog antar agama. Dialog ini dilihat sebgai pencarian arti yang lebih luas dari nilai-nilai umum. Model ini membantu mereka melihat diri sendiri sebagai orang lain, dengan demikian mengurangi rasa superiritas atas agama lain. Kesediaan untuk mengetahui orang lain akan memperluas perspektif dan pengetahuan sehingga menghindari kesalahpahaman dan prasangka serta emnumbuhkan perasaan hormat terhadap agama lain. Model ini digambarkan dengan ungkapan “melewati dan datang kembali” yaitu meningglakan tradisi sendiri untuk masuk dan mepelajari tradisi lain kemudian kembali pada taradisinya. Model ini meperkaya keyakinan peserta didik dan menghargai keberadaan agama lain dan mengakui nilai-nilai universal. Model pendidikan agama Beyond the wall. Paradigama pendidkan agama ini tidak sekedar berorientasi untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama, namun lebih dari itu mengajak peserta didik untuk menciptakan perdamaian, keadilan, harmonisasi, dan melibatkan mereka dalam kerja sama kegiatan kemanusiaan. Berbeda keyakainan bukanlah penghalang untuk bekerja sama dalam kepentingan kemanusiaan. Fase ini sering disebut fase keyakinan (iman) praktis, musuh agama bukan penganut agama lain, melainkan kekerasan, ketidak adlian dan lain-lain (Cristina, 2014). Model pendidikan agama Beyond the wall membantu siswa menghubungkan antara teori, praktik, pengetahuan, dan perbuatan. Model ini dirasa tepat untuk pendidikan agama Buddha di Indoensia. Agus Nuryanto memberikan penilaian bahwa model pendidikan agama di Indoensia (terutama Islam) didominasi oleh model in the wall. Dalam pendidikan buddhis model ini 65 bukan berarti sama sekali tidak diadopsi oleh guru pendidikan agama Buddha, meskipun kecil model ini jiga dianut oleh sebagaian guru. Oleh karenanya menjadi penting untuk menggeser dari model pendidikan agama in the wall menuju at the wall, dan pada akhirnya penerapan model pendidikan agama yang paling ideal yaitu model beyond the wall. Pengetahuan akan tradisi agama lain merupakan modal berharga bagi pengembangan budaya toleransi dan membantu menemukan nilai-nilai universal dari setiap agama. Toleransi bukanlah bernegoisasi dengan filosofis agama lain, melainkan bahwa kita memiliki keyakainan mendasar yang berbeda dengan keyakinan orang lain dan kita mentolerir hal tersebut. Dengan mengetahui tradisi agama lain maka seseorang akan mengetahui nilai-nilai universal yang terdapat dalam agamanya dengan agama lain. Hal tersebut akan menumbuhkan budaya toleran dan kemauan bekerja sama dengan pemeluk agama lain sehingga terbina kehidupan yang harmonis. Kemauan mengetahui tradisi agama lain tidak lahir dari model pendidikan agama in the wall karena model ini justru melahirkan pribadi yang intoleran. Pendidikan agama Buddha baik formal, nonformal, maupun informal perlu mengadopsi model pendidikan agama at dan beyond the wall. Sehingga tercipta generasi buddhis yang mengedepankan toleransi sesuai dengan ajaran Buddha yang penuh cinta kasih. Sifat Ideal Guru Pendidikan Agama Buddha Salah satu faktor pentingnya revolusi mental dlam pendidikan adalah karena kesalaahan yang dilakukan guru. Mulyasa menyatakan “Keslaahan utama guru adalah belum memberikan bekal dasar yang optimal kepada peserta didik diantaranya yaitu sikap spiritual dan sikap sosial. Pendidik seakan lupa bahwa makna pendidikan seperti tertuang dalam undang-undang adalah mewujudkan pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalaian diri, kepribadin, lecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, msyarakat, bangsa, dan negara. Dalam rangka menciptaka masyarakat harmonis yang jauh dari konflik maka revolusi mental harus diawali dari guru. Seorang guru 66 pendidikan agama harus memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Buddha sebagai guru dewa dan manusia banyak memberikan kriteria guru yang ideal yang mampu mendidik dengan baik. Dalam Lohicca Sutta, Digha Nikaya 12 mndeskripsikan kriteria guru yang tidk layak dicela, bahwa seoarng guru selayaknya memiliki kemmpuan Desananana, guru harus menguasai apa yang akan ia ajarkan dan ia telah mencapai apa yang ia ajarkan, dan dengan kemampuan mengajarnya ia membuat muridnya mencapai apa yang telah ia capai. Sedangkan dalam Udayi Sutta, Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata, Sang Buddha menganjurkan agar dalam mengajarkan dhamma seseorang harus membangun lima standar atau lima sifat yang harus dimiliki, yakni: (1) Saya akan memberikan kotnah yang bertingkat; Memberikan kotbah yang bertingkat dimaksudkan bahwa seorang guru pendidikan agama Buddha harus memberikan materi dari yang sederhana menuju taapan yang lebih dalam. Guru mengajar dengan cara yang menuju pada topiktopik yang makin mendalam dan makin tinggi, atau orang harus mengajar Dhamma dengan cara yang sesuai dengan kecenderungan mental dari para pendengarnya; (2) Saya akan memberikan kotbahnyang masuk akal. Memberikan ajaran yang masuk akal dimaksudkan bahwa materi yang disampaiakn tidak bertentangan dengan akal sehat dan logika; (3) Saya berbicara karena tergerak simpati, dimaksudkan bahwa seorang pendidik mengajar apa yang dikuasai terhadap siswa demi kesejhteraannya; (4) Saya akan berbicara bukan demi keuntungan duniawi, artinya bahwa dalam mengajar seorang guru harus ikhlas tanpa mengharapka imbalan, denagn demiakan ia akan mengajar denagn tekun dan membimbing peserta didik hingga mampu. (5) Saya akan berbicara tanpa menyindir diri sendiri atau orang lain. Hal ini dimaksudkan guru agama harus mengajarar dengan tanpa memuji dirinya sendiri atau agamanya sendiri dengan merendahkan orang atau agama lain. Resolusi Konflik Perspektif Buddhis 1. Tahap Preventif Dalam kehidupan tentunya konflik adalah hal yang tidak dapat terhindar. Pada kondisi tertentu konflik membawa suatu hal yang positif, namun konflik yng 67 tidak terkendali akan membawa dampak yang destruktif. Untuk mencegah terjadinya konflik dalam kehidupan beragama Sang Buddha menawarkan resolusi konflik pada tahap prefentiv dan kuratif. Pada tahap preventif, Sang Buddha menganjurkan dalam Cula Ghosinga Sutta, Kosambiya Sutta, dan Saraniyadhamma Sutta, ada ennam hal yang harus dikembangkan agar hidup rukun damai, bersatu bagaikan air dan susu, yakni: (1) berbuat dengan penuh metta melalui pikiran baik di depan atau di belakang; (2) berbuat dengan penuh metta melalui ucapan baik di depan atau di belakang; (3) berbuat dengan penuh metta melalui perbuatan badan jasmani baik di depan atau di belakang; (4) berdana; (5) bersama-sama mematuhi norma dan menjalankan moralitas (sila); (6) memiliki pandangan yang benar. 2. Kuratif Dalam Samagama Sutta Sang Buddha menawarkan prinsip dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Sebenarnya metode tersebut adalah untuk menyelesaiakn konflik internal kehidupan Sangha, namun demikain prinsipprinsipnya dapat diterapkan untukm menyelesaiakn konflik antar umat Bergama. Terdapat tujuh metode penyelesain konflik (Adhikaranasamatha) yakni: (1) penghapusan perkara melalui konfrontasi (samukha-vianyo). Model penyelesaian ini dilakukan oleh dua pihak yang bertikai dengan mengikuti pedoman yang telah mereka sepakati; (2) penyelesaian konflik oleh opini mayoritas (yebhuyyasika). Penyelesaian konflik dilakukan oleh pihak yang bertikai dengan bantuan pihak ketiga yang menyelesaikan konflik berdasar pedoaman yang telah tetapkan; (3) penghapusan perkara karena ingatan (sati-vinayo). Perkara diselesaikan karena yang melanggar tidak ingat ia telah melakukan pelanggran; (4) penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu (amulhavinayo); penyelesaian konflik karena pelaku tidak ingat apa yang ia perbuat di masa lalu karena kehilangan ingatan; (5) pengakuan atas suatu pelanggaran (patinnata-karanam); penyelesaian konflik dengan pengakaun keslahan melalui bantuan mediator; (6) pernyataan karakter buruk atas seseorang (papiyyasika), dan (7) menutup dengan rumput (tina-vattharaka); penyelesaian konflik melalui memafkn dengan bantuan mediator. 68 Somaratne menyatakan bahwa dalam konteks modern, metode resolusi konflik meliputi: negoisasi (resolusi diri), mediasi (bantuan pihak ketiga), atribase (pengambilan keputusan pihak ketiga), konsiliasi (pihak ketiga mengusulkan solusi yang tidak mengikat), dan diplomasi. Buddhisme mengadopsi metode mediasi, konsiliasi, dan atribase ketika Sang Buddha menyelesaikan konflik dalam komunitas sangha, Buddha dianggap mediator, fasilitator, dan konsiliator yang baik. Penutup 11T Pluralitas dan multikulturalisme yang ada pada bangsa Indoensia memiliki implikasi negatif dan positif. Pendidikan agama harus mampu meminimalisir dampak negatif yaitu ketegangan, konflik, kekersan dan kekejaman atas anama agama. Agama Buddha sebagai salah satu bagian dari hal tersebut harus memiliki kontribusi positif dalam meneguhkan toleransi. Hal yang perlu dilakukan adalah dengan mengubah paradigma pendidikan agama. Model pendidikan agama Buddah yang dapat diadopsi di Indoensia adalah model pendidikan agama at the wall dan beyond the wall. Model ini mampu menghasilakn pribadi toleran, inklusif yang meneguhkan semanagat pluralism dn multikulturalisme. Model pendidikan agama doktriner seperti in the wall sudah saat ditinggalkan oleh para guru agama, karena model ini akan mengahsilkan individu yang intoleran dan fanatik yang memicu potensi konflik dan menyebabkan disintegrasi bangsa. 11T Revolusi kepribadian guru pendidika agama Buddha juga penting dilakukan. Seorang guru pendidikan agama Buddha seyogyanya memiliki Dhammakatika (5 sifat dasar seorang guru agana Buddha) seperti tertuang dalam Udayi Sutta. Ketika konflik sudah terjadi dan tidak dapat dihindarkan maka Sang Buddha menawarkan resolusi konflik yang terdiri dari dua tahap yaitu prefentiv dan kuratif. Dalam tahap prefentif umat Buddha harus mengembangkan enam hal yang menciptakan kerukunan dan persatauan bagaiakan air dengan susu seperti yang dijelaskn Sang Buddha dalam Saraniyadhamma Sutta dan Kosambiya Sutta. Pada tahap kuratif Sang Buddha menawarkan 7 metode penyelesaian konflik ( Adhikaranasamatha). 11T 69 Daftar Pustaka Agus Bustanudin. 2010. Agama dan Fenomena Sosial Buku Ajar Sosiologi Agama. Jakarta: UI Press. Hendropuspito. 2006. Sosiologi Agama. Jakarta: Kanisius. Kawaaon, Selviyanti. “Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Perilaku Toleran pada Warga Sekolah”. Jurnal Tadbir, Vol. 2 No. 1, 2014, IAIN Gorontalo. Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Rosdakarya. Nottingham, Elizabeth. K. 2002. Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nuryanto, Agus. 2011. “Islamic Education in Pluralistic Society”. Al-Jamiah. Vol. 49, No. 2. Nyanaponika & Bodhi. 2003. Numerical Discourses of The Buddha. Terjemahan oleh Wena Cintiawati dan Lanny Anggawati. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna. Somaratne. 2012. “Modernity in the Ancient Method of Resolving Monastic Conflict: Study of the Samagama Sutta”. SIJBS, Vol. 2, Sri Lanka International Buddhist Academy. Cristiani, Tabita K. dalam Selviyanti Kawaaon “ Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Perilaku Toleran pada Warga Sekolah”. Jurnal Tadbir, Vol. 2 No. 1, 2014, IAIN Gorontalo), h.67. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 70 STRATEGI PERUBAHAN KARAKTER SIVITAS AKADEMIKA STABN SRIWIJAYA TANGERANG BANTEN DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI PERDAGANGAN BEBAS (MASYARAKAT EKONOMI ASEAN/MEA) Lalita Vistari Satyananda Wiryana Dharma STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T 12T Abstract The inclusion era of free trade globalization, namely Asean Economic Community (AEC) in Indonesia is likely two sides of a coin, which has positive and negative effects. The positive impact AEC imposed earlier, namely ASEAN increased competitiveness and to attract foreign investors, as well as create new job opportunities in Indonesia and could improve national welfare of the nation. The negative impact of the inclusion of the era of free trade in Southeast Asia, namely unpreparedness in various fields, such as economics, education, and human resources including the academic society STABN Sriwijaya Tangerang of Banten. Revolution or character changes of the entire human resources academicians of STABN Sriwijaya needs to be done and improved in order to graduate STABN Sriwijaya become qualified, professional, and competitive. The character changes of the student needs to be done, which can be started from the students themselves, as studious, punctual, disciplined in collecting duties, and also to equip themselves with new skills needed work world today, such as mastery of foreign languages, Leadership, Digital Literacy, Communication, Emotional intelligency, Entrepreneurship, Global Citizenship, Problem Solving, and Team-Working. The character changes of the entire academic community are mentally prepared to work hard, be responsible, work together in teams, tough (resilient), tolerant, and skilled (expert) in their respective fields is authorized for the entire academic community to be able to work in global, advanced, modern and competitive world. In contrary to the academicians who do not want to make changes will be left behind. Keywords: revolution, character changes, AEC, competitive Pendahuluan Revolusi mental merupakan program unggulan yang diwacanakan oleh Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan bermartabat. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan bermartabat dibutuhkan 71 perubahan mental (revolusi mental) dalam diri warga negara Indonesia. Hal ini merupakan suatu tantangan besar bagi warga negara Indonesia yang majemuk, yang pendapatan nasional negara masih jauh bila dibandingkan dengan negaranegara lain seperti Singapura dan Malaysia. Revolusi mental merupakan suatu perubahan sikap positif yang merupakan suatu aksi (action) dan bukan merupakan jargon (slogan) saja. Perubahan ini harus diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia, tak terkecuali sivitas akademika STABN Sriwijaya. Kampus STABN SriwijayaTangerang Banten mempunyai visi dan misi sebagai berikut: Visi: menjadi lembaga pendidikan terkemuka tahun 2020 dengan mengedepankan kearifan lokal. Misi: mewujudkan SDM yang unggul, terkemuka dan berkepribadian Buddhis, memperluas jaringan kerjasama dalam bidang tri darma perguruan tinggi, memenuhi sarana dan prasarana, dan mewujudkan sistem administrasi yang akuntabel. Revolusi mental dalam semua segi kehidupan diharapkan terjadi di semua bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi, pendidikan, Perguruan Tinggi, sumber daya manusia, dll. Hal ini dapat dimulai dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni diawali dengan adanya perubahan karakter, seperti berdisiplin, taat pada aturan, membuang sampah pada tempatnya, taat berlalu lintas, dan rajin bekerja. Perubahan karakter merupakan tonggak awal untuk memulai revolusi mental, dan hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dalam dunia pendidikan untuk mengubah generasi bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, terlebih lagi dalam menjawab berbagai perubahan global yang terjadi begitu cepat dalam era perdagangan bebas (free trade/MEA), tenaga kerja bebas, perkembangan informasi, teknologi, budaya, seni, dan ilmu pengetahuan. Indonesia ditantang untuk dapat melakukan revolusi mental di setiap aspek kehidupan, termasuk seluruh sivitas akademika Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Sriwijaya Tangerang Banten. Hal ini dapat diawali dengan melakukan perubahan karakter pada hal-hal kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, mematuhi peraturan lalu lintas meskipun tidak ada polisi lalu lintas yang mengawasi, memulai dan mengakhiri perkuliahan tepat waktu, belajar dengan tekun, bekerja keras, bertanggung jawab, disiplin, melayani mahasiswa 72 dengan baik, profesional dalam bekerja maupun belajar. Bahkan dengan adanya era globalisasi perdagangan bebas Asean (MEA), diharapkan nilai-nilai profesionalitas sumber daya manusia menjadi lebih baik lagi, seperti berkarakter, rajin, tangguh, mampu beradaptasi, mampu bekerja di bawah tekanan dan dapat menyelesaikan tugas tepat waktu. Pendidikan karakter berasal dari dua suku kata, yakni pendidikan dan karakter. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (2008) definisi karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, ahlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Muchlas Samani dan Hariyanto (2012: 45) mengungkapkan “pendidikan karakter sebagai proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.” Menurut Dharma Kesuma (2012:5) “pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Jadi dapat disimpulkan pendidikan karakter adalah tuntunan atau proses pendidikan yang bertujuan untuk membina siswa agar memiliki nilai-nilai dan perilaku yang baik, terpatri di dalam jiwa, sehingga siswa dapat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Pendidikan Karakter Gunawan (2012) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk kepribadian peserta didik supaya menjadi anak, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter di Indonesia dimulai dari nilai moral agama, sedangkan secara psikologis dan sosial budaya pembentukan karakter dalam diri siswa meliputi olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik, atau yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik). 73 Pendidikan karakter menurut Muslih (2011: 80) bertujuan untuk “meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang.” Melalui pendidikan karakter peserta didik tidak hanya memiliki pengetahuan kognitif (IQ), afektif dan psikomotorik, namun juga memiliki kecerdasan emosi/EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) yang merupakan isi pendidikan karakter. Dengan memiliki kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang dapat menghadapi segala macam tantangan dengan bijak, mampu memilah hal yang baik dan yang buruk, dapat beradaptasi (bersikap toleran), tangguh (tahan uji), bertanggung jawab, dan kompetitif. Intinya, pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk peserta didik yang kompetitif, berakhlak, bermoral, bertoleran, tangguh (tahan uji), bergotong royong, berjiwa patriotik, bersifat dinamis, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa (IMTAK), dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Revolusi Perguruan Tinggi dalam Menghadapi MEA Tenaga kerja terampil Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti kutip dalam data ASEAN Productivity Organization (APO) menunjukkan bahwa dari 1000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina 8,3%, dan Singapura 34,7%. Data ini sungguh menyedihkan, mengingat era perdagangan dan persaingan bebas sudah terjadi di Indonesia. Beberapa pembenahan perlu dilakukan dalam dunia pendidikan, seperti diungkapkan Wisnu Anang Jaya (2015) menyatakan bahwa dalam menghadapi MEA, pemerintah Indonesia perlu melakukan persiapan, mulai dari persiapan infrastuktur sampai kepada persiapan dalam menciptakan SDM Indonesia yang terampil, mumpini dan professional, yang dalam hal ini difokuskan pada pendidikan yang berkualitas. Pemerintah perlu melakukan pembenahan diri dalam mempersiapkan SDM yang terdidik, terampil dan terlatih, seperti di Singapura, setiap pekerja 74 professional mempunyai licence atau surat izin dari pemerintah (Departemen Tenaga Kerja) dalam melakukan bidang profesionalitasnya masing-masing, tak terkecuali guru, dosen ataupun supir bus. Hal ini dinilai perlu karena ini adalah modal dasar seorang pekerja yang menyatakan bahwa diriya menguasai suatu keahlian (skill) di bidangnya, selain juga sebagai nilai tambah (plus) bagi individu itu sendiri. Untuk menyingkapi hal ini, perguruan tinggi memegang peranan penting dalam melakukan percepatan pembenahan baik dalam segi kurikulum dan kualitas (akreditasi dan penjaminan mutu Perguruan Tinggi) supaya dapat menghasilkan lulusan yang berkarakter, memiliki motivasi tinggi, disiplin, teguh pada tujuan, berorientasi mengerjakan tugas, menguasai keterampilan kognitif sebagai keterampilan dasar (hard skills) dan pendidikan karakter sebagai keterampilan tambahan (soft skills), sehingga mahasiswa mampu mengembangkan nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotorik, maupun nilai-nilai karakter positif lainnya, seperti rajin, bekerja keras, dapat beradaptasi di lingkungan kerja (toleran), mampu bekerja di bawah tekanan (tahan uji) dan mampu bersaing dengan tenaga kerja lainnya di lingkungan pasar bebas (ASEAN). Revolusi pada perguruan tinggi mencakup tri darma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Pertama, dengan pendidikan diharapkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia meningkat dan bangsa Indonesia menjadi bermartabat. Hal ini sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan dunia digital yang merambah seluruh dunia, maka diperlukan revolusi dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu perguruan tinggi perlu melengkapi mahasiswanya dengan 75 keterampilan-keterampilan karakter (life skill) yang dibutuhkan dalam dunia kerja sekarang ini. Pearson (2014) seperti dikutip dalam tribunnews.com, mengungkapkan bahwa pendidikan zaman sekarang tidak lagi didominasi 3Rs (Reading, wRiting, and aRithmetic), tetapi juga menyangkut keterampilan soft skills yang dibutuhkan dunia kerja sekarang, seperti kepemimpinan, Pengetahuan Digital, komunikasi, kecerdasan emosi, mampu beradaptasi (toleran), dapat menyelesaikan masalah, dan bekerjasama dalam tim. Ketujuh hal ini terangkum dalam keterampilan soft skills. Elfindri (2011:10) mendefinisikan soft skills sebagai keterampilan hidup sangat menentukan keberhasilan seseorang, seperti kerja keras, jujur, visioner, eksekutor, dan disiplin. Soft skills merupakan keterampilan dan kecakapan hidup yang wajib dimiliki bagi diri sendiri, kelompok ataupun masyarakat, dan hubungannya dengan Tuhan. Sedangkan menurut Kaipa dan Milus (2005: 3-6) soft skills adalah kunci untuk meraih kesuksesan, termasuk di dalamnya kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi, kreativitas, penyelesaian masalah, kemampuan presentasi, kerendahan hati, kepercayaan diri, komitmen, kecerdasan emosional, integritas dan kerja keras. Keterampilan dasar hard skill (kognitif) merupakan keterampilan dasar akan suatu keahlian yang dimiliki, seperti keterampilan lulusan Dharmacarya untuk dapat mengajar pendidikan agama Buddha di tingkat SD, SMP maupun SMU, sedangkan keterampilan soft skills (afektif, psikomotorik, dll) merupakan keterampilan penunjang atau nilai-nilai karakter yang berperan penting dalam kehidupan seseorang. Penelitian di Amerika membuktikan bahwa kesuksesan seseorang di dunia kerja didominasi dengan keterampilan soft skills (karakter) sebanyak 80%, sedangkan keterampilan hard skill (kognitif/pengetahuan/IQ ) hanya berperan 20%, sedangkan pendidikan di Indonesia berbanding terbalik, seperti diungkapkan oleh Illah Sailah (2007) bahwa pendidikan di Indonesia muatan soft skills hanya 10% sedangkan hard skills 90%. Keterampilan baru yang disebutkan oleh beberapa ahli diatas merupakan gabungan antara keterampilan dasar (hard-skills) dan keterampilan penunjang (soft-skills) yang tidak dapat dielakan wajib dikuasai oleh lulusan STABN 76 Sriwijaya supaya dapat sukses di dunia kerja sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan kompetitif. Kedua, bidang penelitian. Penelitian mempunyai peranan penting bagi kemajuan perguruan tinggi, kesejahteraan sivitas akademika, serta kemajuan bangsa dan negara. Dari penelitian, mahasiswa dan dosen mampu mengembangkan ilmunya dalam penelitian, menyampaikan aspirasi, ide, gagasan dan juga berpikir kritis. Penelitian merupakan suatu proses pembelajaran yang akan membawa perubahan bagi Indonesia kearah yang lebih maju dan terdepan. Seperti diamanatkan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang berorientasi budaya tulis. Hal ini dapat kita mulai sebagai orang tua ataupun pendidik dengan memberikan hadiah buku kepada anak, karena bangsa yang maju adalah bangsa yang berorentasi pada budaya tulis dibandingkan budaya tutur dan lisan (newsbisnis.com). Dalam era globalisasi seperti sekarang ini mahasiswa ditantang untuk menyuarakan aspirasinya dalam bahasa tulisan, tidak seperti zaman orde baru yang melakukan demonstrasi di jalan ataupun berakhir dengan tindakan anarkis. Pola pikir mahasiswa dan dosen dalam melakukan penelitian memegang peranan yang sangat penting, karena mahasiswa mempunyai tujuan mengenai hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitiannya, baik berupa menyampaikan ide, pendapat, ataupun aspirasi suara mahasiswa, yang diharapkan dapat membawa manfaat bagi seluruh sivitas akademika dan orang lain di luar perguruan tinggi yang diteliti. Ketiga, bidang pengabdian pada masyarakat. Pengabdian pada masyarakat adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sivitas akademika, baik oleh dosen bersama-sama dengan mahasiswa untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, dosen bersama-sama dengan mahasiswa dapat melakukan berbagai kegiatan positif dengan melakukan sosialisasi dengan masyarakat dalam kontribusi nyata, seperti melakukan sosialisasi pentingnya menjaga kebersihan tangan bagi anak Tk atau SD, mengadakan bimbingan belajar gratis bagi anak jalanan, memanfaatkan berbagai aplikasi sosial media, seperti 77 membuat blog untuk menyampaikan aspirasi, membuat poster yang meyuarakan hati dosen ataupun mahasiswa, membuat film pendek, dan sebagainya. Hasil dan Pembahasan Revolusi mental dalam dunia pendidikan di mulai dari lini masing-masing pribadi. Sebagai pendidik dengan tugas mendidik mahasiswa menjadi pribadi yang berkarakter, disiplin, tepat waktu, professional dalam mengerjakan tugasnya sendiri, dapat beradaptasi mengikuti teknologi informasi yang ada, mampu berbahasa asing, memiliki keterampilan (skill) tambahan lainnya, dan mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. Sesuai dengan permintaan pasar di lapangan yang memerlukan lulusan atau tenaga kerja yang terdidik dan terampil dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, berarti mahasiswa diharapkan mampu mengetik dan menguasai microsoft word, excel, power-point, penggunaan internet, dll, seperti juga halnya berkarakter (jujur, disiplin, tepat waktu), mampu berceramah atau membabarkan Dharma (sebagai lulusan Dharmaduta) dan mampu mengajar dengan baik sesuai perkembangan zaman (sebagai lulusan Dharmacarya). Secara garis besar, masih perlu dilakukan pembenahan dalam melakukan revolusi mental di STABN Sriwijaya secara menyeluruh supaya lulusan STABN Sriwijaya siap menghadapi MEA. Sebagai contoh, pendidik atau para dosen di STABN Sriwijaya dapat konsisten dalam menerapkan aturan bagi mahasiswanya sesuai dengan peraturan yang tertulis pada kontrak perkuliahan, seperti mahasiswa dan dosen wajib datang tepat waktu, mahasiswa wajib mengumpulkan tugas tepat, dan adanya pemberian sanksi bagi mahasiswa yang tidak hadir melebihi 4 kali kehadiran dengan tidak memperbolehkannya mengikuti UTS ataupun UAS. Apabila sivitas akademika STABN Sriwijaya ingin berubah ke arah yang lebih baik, terlebih lagi ingin menghasilkan lulusan yang berkualitas dan lulusannya mampu bersaing dengan universitas dari negara-negara ASEAN, maka dibutuhkan kerjasama dari semua pihak untuk dapat mewujudkannya. Dalam beberapa hal perlu dilakukan pembenahan, seperti pembenahan hal-hal yang bersifat teknis dan administratif kemahasiswaan, dan konsekuen dalam 78 melaksanakan aturan akademik. Sebagai contoh, ketidakkonsistenan aturan yang ada dikarenakan beberapa dosen merasa kasihan pada mahasiswa yang bersangkutan, namun hal ini sebenarnya merupakan bumerang bagi mahasiswa dan dosen yang bersangkutan sendiri. sebagai contoh, apabila ada dua orang mahasiswa yang presensi kehadirannya kurang dari 65% total kehadiran dikarenakan sulit bangun pagi dan sering sakit, dan dosen memaklumi hal ini, maka hal ini akan berdampak pada kualitas lulusan STABN Sriwijaya yang minim disiplin, tidak tepat waktu, dan tidak mampu bersaing di dunia kerja. Mahasiswa tidak dapat disalahkan, karena ini seperti buah simalakama yang saling berhubungan. Citra lulusan STABN Sriwijaya dipertaruhkan, karena itulah dibutuhkan konsistensi dan aturan yang jelas bagi mahasiswa dan dosen untuk membentuk karakter bangsa yang baik dan berkualitas sesuai dengan permintaan pasar, terlebih lagi dalam mendidik mahasiswa supaya berkualitas, unggul dan berkarakter dalam menghadapi MEA. Aspek kognitif (hard skill) bukanlah syarat utama bagi mahasiswa agar dapat berhasil di dunia kerja namun mempunyai karakter dan keterampilan yang dibutuhkan dalam hidup (soft skills) adalah hal yang utama, seperti kepemimpinan, pengambilan keputusan, memiliki pengetahuan digital, komunikasi, kreativitas, mampu menyelesaikan masalah, kemampuan presentasi, memiliki kerendahan hati, kepercayaan diri, komitmen, kecerdasan emosional, integritas, bekerja keras, mampu beradaptasi (toleran), mampu bekerja di bawah tekanan (tangguh/tahan uji), dan bekerja sama dalam tim merupakan modal utama agar dapat sukses bersaing dengan tenaga kerja lainnya di lingkungan pasar bebas se-Asia Tenggara (ASEAN). Penutup Masuknya era globalisasi perdagangan bebas MEA di Indonesia seperti dua sisi mata uang, yang mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Hal ini tergantung dari tiap-tiap individu untuk menyingkapi dan menggunakannya sebaik mungkin. Bagi mahasiswa yang siap mental untuk bekerja keras, siap bekerja di bawah tekanan, mampu berbahasa asing, dan memiliki keterampilan (skill) di 79 bidangnya masing-masing adalah modal dasar bagi setiap mahasiswa untuk dapat berkarya di dunia kerja yang semakin maju, modern dan kompetitif, sebaliknya bagi mahasiswa yang tidak mau melakukan perubahan akan tertinggal jauh. Mahasiswa juga perlu membekali diri dengan keterampilan soft skills yang dibutuhkan dunia kerja sekarang, seperti kepemimpinan, pengambilan keputusan, memiliki pengetahuan digital, komunikasi, kreativitas, penyelesaian masalah, kemampuan presentasi, kerendahan hati, kepercayaan diri, komitmen, kecerdasan emosional, integritas, bekerja keras, mampu beradaptasi (toleran), mampu bekerja di bawah tekanan (tangguh/tahan uji), dan bekerjasama dalam tim merupakan modal utama agar dapat sukses bersaing dengan tenaga kerja lainnya di lingkungan pasar bebas se-Asia Tenggara (ASEAN). Peran STABN Sriwijaya dalam menghadapi MEA adalah agar seluruh sivitas akademika dapat bersama-sama melakukan perubahan karakter, baik bagi staf atau karyawan STABN Sriwijaya dalam mewujudkan sistem adminstrasi yang akuntabel dan memberikan pelayanan prima bagi dosen dan mahasiswa. Bagi dosen dan mahasiswa agar dapat melaksanakan tri darma perguruan tinggi, secara bersama-sama berperan aktif dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat agar dapat mempersiapkan SDM yang unggul, tangguh dan berkarakter. Daftar Pustaka Dharma Kesuma. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Elfindri, dkk. 2011. Soft Skills untuk Pendidik. Praninta Offser. Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta. Hamonangan, Salomo Harvard. 2014. Peran Perguruan Tinggi Mempersiapkan Mahasiswa Menghadapi AEC 2015. http://suaramahasiswa.com/peranperguruan-tinggi-mempersiapkan-mahasiswa-menghadapi-aec-2015/ . Diakses tanggal 6 Januari 2016. 12TU U1 2T Illah Sailah. 2007. Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi, Sosialisasi Pengembangan Soft Skills di Kopertis VII. Surabaya. 80 Jaya, Wisnu Andang. 2015. “MEA dan Pendidikan yang Berkualitas”. Kompas. 10 Mei 2015. http://www.kompasiana.com/wisnuandangjaya/mea-danpendidikan-yang-berkualitas_55530d2db67e611308130970 . Diakses tanggal 6 Januari 2016. 12TU U12T Kaipa P & Milus T. 2005. Soft Skills are Smart Skills. Diakses dari http://www.kaipagroup.com tanggal 8 Januari 2015. 12TU U12T Masnur, Muslih. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Muchlas Samani dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suroso. 2015. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia. Tarigan, Agita. 2015. Pemerintah harus Matangkan Pendidikan hadapi MEA. http://www.antaranews.com/berita/481322/pemerintah-harus-matangkanpendidikan-hadapi-mea . Diakses tanggal 6 Januari 2015. 12TU U12 T Yuniati, Mita. 2015. Dampak MEA Terhadap Dunia Pendidikan. https://www.islampos.com/dampak-mea-terhadap-dunia-pendidikan222676/ . Diakses tanggal 6 Januari 2015. 12TU U12T 12TU http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140826_pasar_tenaga_k erja_aec U12T 12TU http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuanganumum/20545-masyarakat-ekonomi-asean-mea-dan-perekonomianindonesia . Diakses tanggal 6 Januari 2016. U12T 12TU http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomiasean-mea-2015 U1 2T 12TU 12TU https://www.facebook.com/RakyatDemokratik/posts/844441238922499 U12T http://www.berdikarionline.com/lmnd-mea-2015-ancam-sektor-pendidikannasional/ U12T 81 REORIENTASI PERAN DOSEN SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA DALAM MEMBENTUK LULUSAN YANG KOMPETEN DAN BERKARAKTER 12T Madiyono STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract Low quality of human resources turns into the decline of education in Indonesia. Education in Indonesia marred by the behavior is not commendable the learners and any other components, so it is appropriate if the current improvement efforts through Buddhist mental revolutionary movement also suffered College students and graduated from Buddhist College partly judged less competent and does not reflect the noble values of Buddhism. One matter that can improve the quality of graduates to be more competent and character is a lecturer. Therefore, there must be a paradigm shift within the Buddhist College ongoing effort to improve the quality of heself/himself. In order to form graduates who are competent and has characters, some things need to do by lecturers, as follow: lecturers need to optimizing its role, forming personal branding, eliminating a variety of mental illnesses, changing the paradigm of the learners and learning strategy, implement the five working culture ministry of religion, as well as to collaborate and establish good communication with various components in a high school in realizing the vision and mission that has been set. Keywords: lecturers, graduates who are competent and have character Pendahuluan Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui perubahan kurikulum dan penyediaan sarana prasarana serta faktor pendukung lainnya.Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan ternyata masih belum mampu mewujudkan tujuan yang diharapkan. Indikator yang dapat dicermati, antara lain dari rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang merupakan produk dari proses pendidikan yang telah diterapkan selama ini. Berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 2014 menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 108 dunia dalam hal pembangunan sumber daya manusia (SDM). Dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, SDM 83 Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunai Darusalam, Malaysia, dan Thailand. Peringkat Indonesia dalam pembangunan SDM sedikit di atas Filipina. Data tersebut tentu harus menjadi perhatian seluruh stakeholder pendidikan, karena 31 Desember 2015 telah resmi diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal utama yang perlu diperhatikan berkaitan dengan MEA yaitu kesiapan SDM Indonesia dalam bersaing dengan SDM dari negara ASEAN lainnya.Ketika MEA diberlakukan, persaingan bebas dalam bidang perdagangan (free trade) dan persaingan tenaga kerja (free labour)di wilayah regional ASEAN tak dapat dihindari. Jika kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan kualitasnya maka akan kalah saing dengan SDM dari negara lain. Sangat ironis jika ketika MEA diberlakukan ternyata tenaga kerja Indonesia tak mampu bersaing di negara ASEAN lainnya dan bahkan hanya menjadi kuli di negeri sendiri karena posisiposisi strategis telah diisi oleh tenaga kerja dari luar Indonesia. Masalah sumber daya manusia terkait erat dengan bidang pendidikan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan produk pendidikan yang selama ini diterapkan.Hal tersebut berarti ada sesuatu yang harus dibenahi dalam sistem pendidikan.Ternyatadalam bidang pendidikan, Indonesia juga sedang berada dalam keadaan gawat darurat. Menurut Bawesdan (2014) pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke 64 dari 65 negara berdasarkan lembaga Programme For International Study Assessment (PISA). Dari tahun 2000 hingga 2012 tren kinerja pendidikan Indonesia cenderung stagnan.Indonesia juga berada pada peringkat 103 dunia dari negara yang sistem pendidikannya diwarnai aksi suap menyuap dan pungutan liar. Dalam hal kekerasan yang melibatkan peserta didik juga sangat memprihatinkan. Hanya dalam dua bulan yaitu Oktober dan November 2014 telah terjadi 230 kasus kekerasan yang melibatkan peserta didik(Mulyasa (2014: 3). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi banyak perubahan nilai di masyarakat. Nilai-nilai luhur yang sejak dulu menjadi kebanggaan Indonesia seperti gotong royong, toleransi, keramahtamahan, dan relijius mulai terkikis oleh pengaruh negatif dari globalisasi dan modernisasi.Meskipun dalam system pendidikan Indonesia mewajibkan peserta didik untuk belajar pendidikan agama, ternyata pada praktiknya, produk 84 pendidikan tersebut ketika sudah bekerja justru banyak yang melanggar prinsipprinsip agama. Sebagai contoh, para koruptor yang menjarah uang negara sebagian merupakan para pejabat yang mengerti dengan baik ajaran agama.Ironisnya, para pejabat yang merupakan produk pendidikan Indonesia, yang bekerja di kementerian agama justru banyak yang terjerat kasus korupsi.Jika tidak ada penanganan yang tepat maka Indonesia akan makin terpuruk dan sangat mungkin mengalami keadaan yang jauh lebih parah daripada saat ini. Oleh karena itu, sangat tepat jika saat ini pemerintah mencanangkan program revolusi mental bagi seluruh warga bangsa, tak terkecuali bagi para pejabat dan para pendidik. Tak jauh berbeda dengan produk pendidikan pada umumnya, para lulusan dari sekolah tinggi agama Buddha juga masih sangat perlu ditingkatkan kualitasnya, baik kompetensi maupun karakternya. Para mahasiswa dan lulusan dari sekolah tinggi agama Buddha belum menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan lulusan dari perguruan tinggi umum. Seharusnya, lulusan dari sekolah tinggi agama Buddha paling tidak memiliki keunggulan dalam berperilaku baik. Seharusnya mahasiswa dan lulusan dari sekolah tinggi agama Buddha lebih unggul dalam mempraktikkan ajaran agama, lebih beretika, lebih tertata tindak tanduknya, dan lebih terjaga moralitasnya. Faktanya tak seideal yang diharapkan. Dari tahun ke tahun selalu ada saja kasus asusila yang berakibat fatal bagi mahasiswa dan berimbas ke nama baik kampus. Masyarakat juga merasakan bahwa ada beberapa lulusan sekolah tinggi agama Buddha yang kurang memberikan manfaat. Sebagai contoh, pada waktu kunjungan ke Kulon Progo Yogyakarta di tahun 2011, ada keluhan bahwa sarjana lulusan sekolah tinggi agama Buddha jarang membantu vihara, tidak aktif di sekolah minggu, meskipun sekarang ini sudah menjadi guru pendidikan agama Buddha di daerahnya. Bahkan ada pula lulusan yang telah berganti agama karena menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Hal itu merupakan contoh bahwa nilainilai agama Buddha belum meresap ke batin sehingga pembelajaran agama Buddha yang diperolehnya selama kuliah baru sebatas pengetahuan. Oleh karena itu, sudah saatnya budaya kampus, kepedulian sivitas akademika terhadap kehidupan mahasiswa di luar kampus ditingkatkan. Review dan perbaikan 85 kurikulum sekolah tinggi agama Buddha perlu terus disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman agar kualitas lulusan semakin baik, lebih kompeten dan berkarakter. Banyak faktor yang turut menentukan kualitas pendidikan dan lulusan sekolah tinggi agama Buddha. Selain kurikulum yang seharusnya disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan stakeholder, masih terdapat faktor lain yang turut berpengaruh terhadap kualitas lulusan, yaitu: sarana prasarana, pola kepemimpinan kampus, budaya di dalam dan di luar lingkungan kampus, sinergitas antara warga kampus dalam mewujudkan visi misi, kualitas dosen dan cara pengajarannya, serta kualitas input mahasiswa. Dalam artikel ini penulis hanya akan menguraikan peran dosen dalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter. Dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang dibahas dalam artikel ini yaitu apa saja peran dan upayayang dilakukandosen agar pendidikan di sekolah tinggi agama Buddha dapat membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter? Kajian ini diharapkan memberi manfaat bagi penulis, para dosen, dan pimpinan terutama dalam memahami peran dosen dalam membentuk lulusan sekolah tinggi agama Buddha yang kompeten dan berkarakter. Bagi penulis, artikel ini diharapkan mampu menjadi bahan refleksi terhadap hal yang sudah dilakukan selama menjalani profesi sebagai dosen dan sebagai referensi perencanaan dalam upaya meningkatkan kinerja di masa yang akan datang. Bagi para dosen, artikel ini diharapkan dapat menyegarkan kembali pemahaman tentang tugas dan fungsi sebagai dosen dan mengubah paradigma lama dengan paradigma baru. Bagi pimpinan, artikel ini diharapkan dapat menambah bahan analisis terhadap kinerja dosen di sekolah tinggi yang dipimpinnya serta menjadi sarana berbagi gagasan tentang peran dosen dalam pembentukan lulusan yang kompeten dan berkarakter. Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, dosen adalah pendidik professional dan ilmuwan dengan tugas utama mentrasformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melaui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kata 86 professional mengandung makna bahwa pekerjaan sebagai dosen merupakan pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.Hal utama yang membedakan dosen dengan guru adalah kata ilmuwan.Dosen adalah ilmuwan, bukan hanya sekedar pengajar. Konsekuensinya, dosen wajib melakukan penelitian dan menyebarkan hasil penelitiannya melalui pengajaran dan juga pengabdian kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dosen berkewajiban melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hokum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Dosen memiliki hak untuk memperolah penghasilan dan jaminan kesejahteraan social; mendapatkan promosi dan penghargaan; memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; memiliki kebebasan berserikat dalam organisasi profesi. Berdasarkan Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT), kompetensi lulusan dilih at dari capaian pembelajaran. Menurut SNPT program sarjana, capaian pembelajaranmencakup ranah sikap dan tata nilai, penguasaan pengetahuan/keilmuan, keterampilan umum dan keterampilan khusus.Ranah sikap merupakan penghayatan tentang nilai, norma, dan aspek kehidupan yang 87 terbentuk dari proses pendidikan, lingkungan kampus, lingkungan kehidupan keluarga, msyarakat, atau pengalaman kerja mahasiswa. Ranah pengetahuan meliputi penguasan teori dalam bidang ilmu dan keahlian tertentu, atau penguasaan konsep, fakta, informasi, dan metode dalam bidang tertentu.Ranah keterampilan merupakan kemampuan psikomotorik dan kemampuan menggunakan metode, bahan, dan instrument, yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, atau pengalaman kerja mahasiswa. Berkaitan dengan karakter ada beberapa istilah yang dikemukakan para penulis. Karakter berarti tabiat atau kepribadian seseorang. Coon mendefinisikan karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima masyarakat. Menurut Zainal dan Sujak (2011: 2), karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviours), motivasi (motivation), dan keterampilan (skills).Dalam artikel ini yang dimaksud dengan lulusan yang berkarakter yaitu sarjana dari sekolah tinggi agama Buddha yang memiliki motivasi, sikap, perilaku yang terpuji sesuai nilai-nilai luhur Buddhisme. Pembahasan Pendidikan merupakan solusi utama untuk mengatasi masalah SDM. Dari uraian sebelumnya jelas terlihat hubungan nyata antara SDM dan pendidikan. Ketika SDM Indonesia diperingkat rendah, ternyata begitu pula dengan peringkat kualitas pendidikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketika ingin memperbaiki kualitas SDM maka yang harus pertama kali dibenahi adalah system pendidikannya. Jika sistem pendidikan sudah maju maka kompetensi lulusan (SDM) yang lebih berkualitas dapat direalisasikan. Dosen merupakan salah satu komponen perguruan tinggi yang sangat mempengaruhi lulusan yang dihasilkan. Hal ini karena dosen merupakan ujung tombak pendidikan yang secara langsung berhadapan dengan mahasiswa. Kurikulum dapat saja berganti secara periodik dan dirancang secara ideal, tetapi jika tidak ada upaya serius dari dosen untuk mengaplikasikannya dan dosen juga tidak meningkatkan kualitas diri dan kualitas pembelajarannya niscaya tidak akan 88 mempengaruhi kompetensi lulusan secara signifikan. Oleh karena itu, seorang yang telah memilih profesi sebagai dosen maka harus menyadari sepenuhnya tentang hak, kewajiban, dan tanggungjawabnya sehingga akan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi sekolah tinggi tempatnya bekerja, bagi mahasiswa dan lulusannya. Jika dosen sudah memiliki kesadaran mengenai dirinya maka ada harapan peningkatan kualitas lulusan yang kompeten, dan berkarakter. Oleh karena itu, dalam rangka membentuk lulusan yang kompeten dan berkarater maka dosen di sekolah tinggi agama Buddha juga harus siap mengubah diri, meningkatkan kinerja, mereformasi kebiasaan, dan merevolusi mentalnya. Berikut ini adalah beberapaupaya yang dapat dilakukan, yang dapat menjadi bahan refleksi untuk merevolusi mental diri dosen dalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter. Mengoptimalkan Peran Dosen Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentrasformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melaui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga peran utama dosen yaitu sebagai pendidik, peneliti, dan pelayan masyarakat. Sebagai pengajar, dosen harus mampu merencanakan perkuliahan, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan mengevaluasi hasilnya. Di samping harus mampu melakukan tugas nya sebagai pengajar, dosen di sekolah tinggi agama Buddha juga merupakan pendidik yang menjadi teladan bagi mahasiswanya. Pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah tinggi agama sepatutnya mampu tercerap hingga ke batin. Oleh karena itu, jika dalam kegiatan pembelajaran mahasiswa tidak melihat adanya teladan dari dosen yang mengajar maka pada akhirnya pembelajaran yang dilakukan akan tak bermakna. Mahasiswa dapat meraih skor yang tinggi tetapi ilmu (agama) yang dipelajari hanya sebatas pengetahuan, serupa dengan pengetahuan sekuler pada umumnya. Oleh karena itu, dosen sekolah tinggi agama Buddha tidak cukup jika hanya 89 sebagai pengajar.Dosen sekolah tinggi agama Buddha juga berperan sebagai fasilitator, motivator, inspirator, evaluator, pembimbing dan sekaligus teladan bagi mahasiswa. Peran lainnya seorang dosen adalah sebagai peneliti. Inilah yang membedakan dengan profesi guru.Jika guru tidak wajib melakukan penelitian maka untuk mengembangkan keilmuannya dosen wajib melakukan penelitian. Meskipun tanpa bantuan biaya dari negara maupun sumber lainnya, penelitian harus dilaksanakan oleh seorang dosen. Penelitian yang dilakukan oleh dosen sekolah tinggi agama seharusnya hasilnya dapat dijadikan referensi bagi banyak pihak dan menjadi informasi yang berharga bagi pengembangan ilmu agama Buddha maupun bidang social keagamaan Buddha. Hasil penelitiannya pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan Dharma, dan pengayaan materi perkuliahan di kelas. Selain sebagai pendidik dan peneliti, dosen juga sebagai pelayan masyarakat.Sebagai abdi atau pelayan masyarakat maka dosen tidak cukup hanya berada di kampus setiap hari. Dosen memiliki tanggung jawab menerapkan ilmu dan keahliannya dimasyarakat demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan orang banyak. Oleh karena itu, dosen juga harus turut aktif di masyarakat. Interaksi dengan masyarakat memungkinkan munculnya banyak ide penelitian yang hasilnya juga akan dikembalikan ke masyarakat. Peran sebagai pembimbing mahasiswa, motivator, dan inspirator merupakan hal yang dapat secara langsung mempengaruhi lulusan karena dari komunikasi inten secara individu agar terlihat hal-hal yang patut diteladani oleh mahasiswa. Oleh karena itu, agar lulusan yang terbentuk disamping memiliki kompetensi dan berkarakter baik maka peran dosen harus dioptimalkan, tetapi tetap alami. Membentuk Citra Diri (Personal Branding) Personal branding berkaitan dengan citra diri yang dibentuk oleh dosen tentang keahlian dalam keilmuan, perilaku dan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupannya. Setiap orang memiliki branding yang berbeda, yang pada akhirnya memberikan penilaian yang berbeda. Citra diri 90 dosen memiliki arti penting bagi dosen, mahasiswa dan bahkan pimpinan. Seorang yang sudah memiliki citra diri yang kuat maka akan memiliki pengaruh bagi lingkungannya. Upaya dosen dalam membentuk citra dirinya dapat teramati dari bagaimana cara berpikir, bicara, berperilaku, dan menunjukkan keahliannya kepada orang di sekitarnya. Citra diri dosen juga menjadi hal yang memiliki peran dalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter. Citra diri positif terhadap dosen dapat menginspirasi mahasiswanya. Citra diri dosen dapat menjadi teladan mahasiswa dalam banyak aspek. Jika ada nilai-nilai keteladanan yang dimiliki dosen maka juga akan berimbas positif bagi pembentukan karakter lulusan dan pada akhirnya berdampak pada budaya kampus dan citra kampus. Beberapa aspek yang dapat menjadi teladan mahasiswa antara lain: sikap dasar (postur psikologis), cara dan gaya bicara, kebiasaan bekerja, pakaian, interaksi, proses berpikir, selera, cara mengambil keputusan, dan gaya hidup secara umum (Mulyasa, 2009: 46-47). Memang tidak mudah untuk menjadi teladan kebaikan bagi mahasiswa, tetapi hal tersebut harus diupayakan. Pengkondisian oleh sistem kerja yang demokratis, jelas dan adil, gaya kepemimpinan yang tepat, budaya kampus, dan upaya-upaya yang kontinyu dari seluruh sivitas akademika dapat membentuk personal branding dosen dan mahasiswa. Jika citra diri terbentuk oleh karena kesadaran dari dalam diri dosen dan mahasiswa, yang ditunjang oleh sistem yang jelas maka akan berdampak pada kualitas lulusan dari sekolah tinggi agama Buddha. Menghilangkan Berbagai ‘Penyakit Mental’ Dosen adalah profesi yang mulia, tetapi pada kenyataanya cukup sulit bagi beberapa dosen untuk menjalankan profesinya dengan ideal. Hal itu karena sebagian dosen mengalami ‘penyakit mental’yang relatif sering kambuh. Jika tidak di atasi, maka seperti halnya penyakit pada umumnya, akan mengganggu kinerja dan produktifitas dosen. Beberapa penyakit yang umumnya dialami dosen yaitu kudis (kurang disiplin), kurap (kurang aplikatif), asma (asal masuk), lesu 91 (lemah sumber), mual (mutu ujian amat lemah), gatal (galau tanpa alasan), tipus (tidak punya selera). Sebagian penyakit tersebut dapat menular ke mahasiswa sehingga jika tidak dikendalikan akan berdampak pada kualitas lulusan. Kudis dan lesu dengan mudah menular ke mahasiswa. Asma juga bisa menjadi penyakit menurun. Sebagai contoh, ketika dosen terlambat masuk ke ruang kelas maka mahasiswanya pun akan meniru hal yang sama. Jika terus dibiarkan maka yang terjadi mahasiswa akan terlambat terus untuk memasuki ruang kuliah dan akan mempengaruhi lainnya. Untuk mengatasi hal ini maka yang diperlukan adalah ketegasan dosen dan kekompakan dalam menegakkan aturan. Jika aturan hanya ditegakkan secara parsial hanya oleh beberapa dosen maka yang terjadi adalah adanya sentimen mahasiswa terhadap dosen tertentu. Penyakit lesu juga berbahaya dan sudah biasa dialami. Ketika membuat tugas, kebanyakan mahasiswa saat ini malas membuka buku, membaca referensi langsung dari buku.Sebagian beralasan bukunya sulit dicari, dan sebagainya. Mahasiswa lebih memilih menggunakan internet untuk mencari sumber referensi dalam mengerjakan tugas.Memanfaatkan internet sebagai sumber belajar tentu tidak menjadi soal, jika sesuai ketentuan. Masalahnya sebagian mahasiswa hanya copy-paste artikel punya orang lain tanpa mengubah atau mengeditnya sama sekali dan tidak menuliskan sumbernya. Penyakit ini juga dapat dialami dosen. Oleh karena itu, agar tidak menular ke mahasiswa maka perlu dicarikan obat penawar yang menyembuhkan. Penawar tersebut dapat berupa reward and punishment atau penyadaran hukum perbuatan dan konsekuensi. Niscaya, jika penyakit ini tidak dialami dosen maka mahasiswa juga akan terkondisi untuk mengikuti aturan sehingga akan menjadi kebiasaan, yang secara tidak langsung merevolusi mentalnya untuk menjadi lebih baik. Pada akhirnya maka lulusan yang terbentuk juga akan memiliki karakter yang terpuji dan bebas dari penyakit mental. 92 Mengubah Paradigma tentang Peserta Didik dan Strategi Pembelajaran Pendekatan pembelajaran yang biasa diterapkan pada kebanyakan perkuliahan adalah pembelajaran yang berpusat pada dosen, dengan metode utamanya yaitu ceramah.Pada pendekatan tipe tersebut maka dosen menjadi sumber pengetahuan utama dan paling mendominasi selama kegiatan kuliah berlangsung. Mahasiswa hanya sedikit bicara, hanya sebagai pendengar pasifyang mencatat apa yang disampaikan dosen. Akibatnya, kemampuan mahasiswa dalam berargumen dan mengemukakan pendapat akansangat kurang. Dampaknya dapat dilihat pada lulusan: nilai ujiannya bagus tetapi seringkali tidak memahami apa yang telah dipelajari. Pendekatan yang memposisikan mahasiswa sebagai objek pengetahuan tidak banyak membawa manfaat bagi kemampuan mahasiswa secara nyata. Oleh karena itu, paradigma dosen dalam memperlakukan mahasiswa selama kegiatan perkualiahan perlu diubah. Dengan menyadari bahwa hakikatnya setiap individu memiliki kemampuan dan menyadari bahwa yang sedang dalam proses belajar adalah mahasiswa maka yang perlu diterapkan yaitu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Dalam pembelajaran yang memposisikan mahasiswa menjadi subjek belajar, maka yang aktif selama kegiatan perkuliahan adalah mahasiswa.Mahasiswa yang mencari informasi, dan mengkonstruk pengetahuannya sendiri dengan difasilitasi oleh dosen.Pendekatan konstrktivisme ini dijabarkan dalam berbagai strategi pembelajaran, seperti discovery learning, problem based learning, project based learning, dan lainnya. Jika strategi tersebut sering dipraktikkan maka kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi, bekerjasama, dan memecahkan masalah akan semakin meningkat. Kemampuan seperti itulah yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja. Mengimplementasikan 5 Budaya Kerja Kementerian Agama Lima budaya kerja kementerian agama merupakan kristalisasi ide dalam menerjemahkan gerakan revolusi mental dari presiden Joko Widodo. Budaya 93 kerja kementerian agama terdiri atas 5 poin utama yaitu integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan. Gerakan merevolusi mental memang harus dilakukan secara masif oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk para pegawaidi kementerian agama. Sebagai bagian dari kementerian agama, dosen dan tenaga kependidikan di sekolah tinggi agama Buddha juga harus menerapkan budaya kerja tersebut dalam keseharian di kampus. Dalam hal upaya merevolusi mental, kementerian agama memposisikan integritas pada posisi pertama. Integritas merupakan keselarasan antara hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Hal ini merupakan dasar perilaku yang menentukan kualitas yang lainnya. Seorang yang cerdas dapat menjadi professional, dan dapat melakukan banyak inovasi tetapi sangat berbahaya jika tidak memiliki integritas. Dengan menerapkan lima budaya kerja di sekolah tinggi agama Buddha niscaya dapat mengubah sikap mental seluruh sivitas akademika, selama upaya yang dilakukan konsisten dan sistem evaluasi dan pengawasannya jelas, adil dan terbuka. Jika diimplementasikan secara konsisten maka akan berpengaruh terhadap kualitas lulusan sehingga memiliki kompetensi dan karakter sesuai yang menjadi tujuan pendidikan di sekolah tinggi agama Buddha. Berkolaborasi dan Menjalin Komunikasi yang Baik dengan Teman Sejawat dan Seluruh Civitas Akademika Jika semua potensi yang dimiliki sivitas akademika mengarah kepada visi misi sekolah tinggi agama Buddha maka realisasi visi misi tersebut sangat mungkin terjadi. Visi misi tidak lagi sekedar hiasan dinding yang terkungkung dalam frame yang kaku. Alangkah baiknya jika visi misi terpatri dalam diri setiap sivitas akademika sekolah tinggi agama Buddha dan kemudian diupayakan diwujudkan melalui optimalisasi seluruh kekuatan yang ada di kampus. Hal itu sangat mungkin terjadi jika setiap komponen sivitas akademika, terutama dosen dan tenaga kependidikan menjalankan tugasnya dengan efektif dan komunikasi yang baik dapat diciptakan 94 secara dinamis.Jika seluruh potensi terarah pada satu arah yang jelas maka upaya membentuk kualitas lulusan yang kompeten dan berkarakter tidak lagi menjadi hal yang mustahil. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan: 1. Berbagai masalah yang berkaitan dengan SDM dapat diminimalisasi dengan meningkatkan kualitas sistem pendidikan karakter dan gerakan revolusi mental sebagai upaya masif yang dilakukan oleh seluruh rakyat dalam rangka mengembangkan kembali nilai budaya luhur bangsa. 2. Upaya yang dapat dilakukan dilakukan oleh dosen sekolah tinggi agama Buddhadalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter, antara lain dengan cara mengoptimalkan peran sebagai dosen, membentuk personal branding, menghilangkan berbagai penyakit mental, mengubah paradigma mengenai peserta didik dan strategi pembelajaran, mengimplementasikan 5 budaya kerja kementerian agama, serta dengan berkolaborasi dan menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai komponen di sekolah tinggi dalam mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan. Saran Agar tujuan dalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter dapat tercapai, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Upaya dosen dalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter seharusnya didukung karena pada hakikatnya tujuan tersebut bukanlah hanya tanggung jawab dosen, melainkan tanggung jawab seluruh sivitas akademika. Oleh karena itu, sinergitas antar komponen pendidikan di sekolah tinggi agama Buddha perlu terus ditingkatkan. 2. Untuk meningkatkan kualitas diri dosen, maka perlu dirancang suatu sistem yang mengkondisikan dosen dapat mengubah kebiasaan yag tidak efektif dan produktif serta agar termotivasi secara terus menerus untuk mengembangkan 95 diri, misalnya melalui forum diskusi ilmiah, seminar, pelatihan, dan studi lanjut. 3. Pencapaian visi dan misi sekolah tinggi antara lain dipengaruhi oleh sinergitas pendidik dan tenaga kependidikan, dan juga civitas akademika lainnya. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pimpinan sekolah tinggi melakukan evaluasi kinerja nyata dan memastikan seluruh sivitas akademika benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Daftar Pustaka Mulyasa. 2014. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Mulyasa. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Saroni, Mohammad. 2011. Personal Branding Guru. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Zainal dan Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Jakarta: Gaung Persada Press. Undang-Undang No 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Peraturan Pemerintah RI No 37 Tahun 2009 tentang Dosen. 96 PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL 12T Muawanah STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract Mental revolution starts from the education. Education is very important, as the strategic role of educations is to form children's mental nation. Development of culture and national character is realized through the area of education. Character development education is a continuous process and never ends (never ending process). As long as a nation exist, a character education must be an integral part of education over the generations. Implementation of character education should not be linked to the budget. It takes commitment and integrity of the stakeholders in the education sector to seriously implement the values of life in every lesson. Character education does not just teach what is right and what is wrong, but also inculcate the habit (habituation) of which one is a good thing. By doing so, students become acquainted (cognitive) about which one is good and bad, able to feel (affective) good value (loving the good/moral feeling), and behavior (moral action), and used to do (psychomotor). Thus, character education is closely related to the habit (custom) practiced and performed. Children do not need a curriculum, but a real life that support them. They learn from real life. What happens now, a lot of value or an existing teachings that are obscured, covered up with a lie that is packaged in an iconic form of advertising that is actually misleading. Keywords: character, education, mental revolution Pendahuluan Pada dasawarsa terakhir ini, krisis kepercayaan diri bangsa Indonesia sudah cukup memprihatinkan. Berbagai tindakan negatif banyak terjadi di berbagai daerah, mulai dari perilaku seks bebas, tawuran pelajar dan mahasiswa, hingga maraknya kasus bunuh diri. Dunia pendidikan telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan tujuan utama pendidikan, yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Terpuruknya bangsa Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi, melainkan juga oleh krisis akhlak yang berakar dari kurangnya penanaman pendidikan karakter. 97 Pendidikan adalah gerbang menuju kehidupan yang lebih baik dengan memperjuangkan hal-hal terkecil hingga hal-hal terbesar yang normalnya akan dilewati oleh setiap manusia. Pendidikan adalah bekal untuk mengejar semua yang ditargetkan oleh seseorang dalam kehidupannya sehingga tanpa pendidikan, maka logikanya semua yang diimpikannya akan menjadi sangat sulit untuk dapat diwujudkan. Faktanya, memang tidak semua orang yang berpendidikan sukses dalam perjalanan hidupnya, tetapi jika dilakukan perbandingan maka orang yang berpendidikan tetap jauh lebih banyak yang bisa mengecap kesuksesan daripada orang yang tidak pernah mengecap pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan adalah alat untuk mengembangkan diri, mental, pola pikir dan juga kualitas diri seseorang. Jika orang yang sudah dibekali ilmu saja terbukti masih ada atau bahkan banyak yang mengalami kegagalan, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak dibekali ilmu sama sekali? Logikanya sudah pasti mereka akan lebih kesulitan dalam mengembangkan hal-hal yang diminatinya dengan tujuan untuk mendapatkan level kehidupan yang lebih baik. Proses hidup membutuhkan teori, dan dengan pendidikan lah teori tersebut bisa didapatkan. Jangan meyakini opini sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Apa pun alasannya, setiap orang tetap membutuhkan pendidikan. Meskipun pendidikan tidak menjamin kesuksesan seseorang, namun pendidikan akan membekali kualitas diri yang lebih baik sehingga akan lebih berpeluang untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan alat terpenting untuk merealisasikan semua impian.Pendidikan adalah prioritas untuk menuju ke arah yang lebih baik dan masa depan yang lebih layak. Oleh karena itu, untuk pendidikan yang lebih baik perlu adanya revolusi mental dalam pendidikan. Dalam bidang pendidikan, revolusi mental harus mampu menanamkan nilai-nilai yang berharga bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas, sebagai bekal bagi mereka untuk memberikan layanan yang optimal kepada peserta didik, sehingga mampu melahirkan generasi emas. Mengubah 98 mental guru, kepala sekolah, dan pengawas tidak bisa dilakukan secara serta merta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mengingat peran pendidikan sangat strategis dalam membentuk mental anak bangsa. Pengembangan kebudayaan maupun karakter bangsa diwujudkan melalui ranah pendidikan. Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending process). Selama sebuah 3T 3T7T 3T7T 3T bangsa ada dan ingin tetap eksis, pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Sejatinya, pendidikan merupakan sarana pembentuk karakter bangsa. Mengapa? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan, Karakter artinya cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Jadi, pendidikan berkarakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sarana yang penting dalam pembentukan karakter setiap warga dalam suatu bangsa. Peranan pendidikan akan dapat mempengaruhi kokohnya keimanan dan secara tidak langsung juga moralitas dan karakter bangsa. Fakta historis telah menunjukkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai secara nyata dari adanya kecerdasan. Kecerdasan dapat berfungsi setelah disentuh oleh pendidikan dan para penyentuhnya adalah para guru di sekolah. Kecerdasan adalah asset utama untuk melestarikan bangsa itu sendiri. Apapun yang dimiliki oleh suatu bangsa tak akan berarti bila pengelolaannya tidak dilandasi oleh kecerdasan. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan 99 keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah yang ada di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya. Implementasi pendidikan karakter tidak harus dikaitkan dengan anggaran. Dibutuhkan komitmen dan integritas para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk secara sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai kehidupan di setiap pembelajaran. Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi juga menanamkan kebiasaan ( habituation) tentang hal mana yang baik. Dengan begitu, peserta didik menjadi 7T 3T7 T 3T paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik ( loving the good/moral feeling), dan perilaku yang baik ( moral 7T 3T 7T 3T 7T action), dan biasa melakukan (psikomotor). Jadi, pendidikan karakter erat 3 T7T 3T berkaitan dengan habit (kebiasaan) yang dipraktikkan dan dilakukan. 3T 3T 7T 7T Thomas Lickona, dalam bukunya, Education for Character, menawarkan 3T 3T 7T 3T7T 3T dua nilai utama pendidikan karakter yang berdasar atas hukum moral, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Nilai-nilai tersebut mewakili dasar moralitas utama yang berlaku secara universal. Sebab, itu memiliki tujuan dan merupakan nilai yang nyata bahwa terkandung nilai-nilai baik bagi semua orang, baik secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Ada tiga hal pokok untuk memahami konsep rasa hormat. Pertama, 3T 7T 3T7T penghormatan terhadap diri sendiri. Maksudnya, mengharuskan kita untuk memperlakukan apa yang ada pada hidup kita sebagai manusia yang memiliki nilai secara alami. Kedua , penghormatan terhadap orang lain, mengharuskan kita 3T 3T7 T 7T untuk memperlakukan semua orang, bahkan orang-orang yang kita benci, sebagai manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama dengan kita 100 sebagai individu. Ketiga, hormat terhadap lingkungan, sebuah kewajiban untuk 3T 3T7T 3T7T 3T melindungi alam dan lingkungan ketika kita hidup dari rapuhnya ekosistem dan segala kehidupan yang bergantung di dalamnya. Sedangkan tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari rasa hormat. Jika menghormati orang lain, itu berarti kita menghargai mereka. Jika menghargai mereka, kita merasakan sebuah ukuran dari rasa tanggung jawab kita untuk menghormati kesejahteraan hidup mereka. Tanggung jawab secara literal ’’kemampuan untuk merespons atau menjawab’’. Artinya, tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain, memberikan bentuk perhatian, dan secara aktif memberikan respons terhadap apa yang mereka inginkan. Tanggung jawab menekankan kepada kewajiban positif untuk saling melindungi. Sikap hormat dan tanggung jawab adalah dua nilai moral dasar dalam membentuk mental anak yang harus diajarkan di sekolah. Tentunya masih banyak nilai lain, misalnya kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong-menolong, peduli terhadap sesama, keberanian, dan sikap demokratis. Namun, nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan tanggung jawab atau sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan bertanggung jawab. Bagaimana strategi pengajaran tentang rasa hormat dan tanggung jawab? Bergantung kepada kebijaksanaan masing-masing sekolah. Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena tiga hal: (1) secara makro, telah terjadi kemerosotan karakter bangsa ditandai oleh tingginya indeks korupsi, premanisme dan kekerasan; (2) secara mikro dalam dunia pendidikan juga banyak kasus bullying , tawuran-antar pelajar, kelemahan sistem kurikulum 3T 3T7T 7T dan proses pembelajaran yang tidak kondusif bagi pembentukan karakter bangsa; (3) Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih sejak kampanye sudah menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga hal utama kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya. Pentingnya pendidikan karakter ini juga seperti kutipan dari Presiden Soekarno bahwa tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa. Mahatma Gandhi juga mengatakan bahwa pendidikan tanpa karakter 101 adalah satu dari tujuh ”dosa-dosa berat” dari sebuah masyarakat ( seven deadly 7T sins of society). 7T Istilah pendidikan karakter mulai dicetuskan akhir abad ke-18 oleh seorang pakar pendidikan dari Jerman yakni Friedrich Foerster (1869-1966) yang menandai pendidikan karakter dengan 4 ciri yakni: (1) anak didik menghormati nilai dan normatif yang ada, (2) membangun rasa percaya diri sehingga anak didik tidak takut suasana baru, (3) adanya otonomi diri dimana anak didik menghayati dan mengamalkan aturan sampai kemudian terinternalisasi dalam dirinya, dan (4) keteguhan anak dalam mewujudkan apa yang dianggap baik dan penghormatan pada komitmen yang dipilihnya. Dalam konteks Indonesia, Presiden pertama Soekarno merumuskan UU No. 4/1950 bahwa pendidikan harus sesuai dengan tujuan negara dan perlunya nation 3T 3T7T and character building karena masyarakat Indonesia mengalami kerusakan 3T 7T 3T mental yang parah akibat penjajahan. Tahun 1965 Soekarno memutuskan Pancasila sebagai dasar Sistim Pendidikan Nasional dan menjadi pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai Pergurutan Tinggai. Keputusan ini lalu dipertegas Presiden Soeharto di tahun 1967. Tahun 1976 Pelajaran pancasila di ganti menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan tahun 1979 Presiden Soeharto menjadikan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai program nasional. Tahun 1994 PMP diganti menjadi PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Tahun 2001, di tengah tuntutan reformasi untuk mereformasi Pancasila versi Orde Baru, PPKN di ganti hanya PKN (Pendidikan Kewarganegaraan). Di dunia Pendidikan sejak reformasi Pancasila justru terkesan di pinggirkan. Persepsi peserta didik terhadap pelajaran Pancasila dari SD sampai perguruan tinggi juga sangat tidak menggembirakan. Sejak terpilih beberapa bulan lalu Jokowi-JK sudah menegaskan perlunya revolusi mental. Di bidang pendidikan, hal ini sinkron dengan Pendidikan Karakter yang belum lama digodok kemendikbud terkait pelaksanaan kurikulum 2013 (K-2013). K-2013 yang relatif pelaksanaannya kacau balau, tapi secara konseptual mengandung menekanan pada aspek tidak hanya kognitif, tapi juga 102 afektif, motorik dan social-skill sehingga bila dilaksanakan dengan baik dan benar bisa mendorong pembentukan karakter di sekolah. Pusat Kurikulum Kemendikbud telah menyusun strategi pendidikan karekter ini, yang melalui empat hal yakni pembelajaran ( teaching ), keteladanan 7T 7T ( modelling ), penguatan ( reinforcing ) dan pembiasaan ( habituating ). Nilai-nilai 7T 7T 7T 7T 7T 7T dalam pendidikan karakter diambil dari empat sumber utama yakni: agama, budaya, Pancasila dan tujuan pendidikan. Kemendikbud juga telah menetapkan 18 nilai utama dalam pendidikan karakter yakni relijius, jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, mandiri, demokratis, ingin-tahu, semangat-kebangsaan, cinta-tanah-air, menghargai-prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta-damai, gemar-membaca, peduli-lingkungan, pedulisosial, dan tanggung-jawab . 16T Di level sekolah guru akan menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan karakter karena mereka yang langsung berinteraksi dengan anak didik. Guru sesuai asal katanya di gugu (dipercaya) dan di tiru (menjadi tauladan) memegang peranan penting. Sayangnya profil guru baik dari profesionalitas, kompetensi, kesejahteraan dan pemerataan guru antara kota dan desa masih belum baik. Hal ini harus segera di perbaiki kemendikbud di bawah menteri baru Anies Baswedan. Selain itu disadari bahwa bagaimanapun pendidikan karakter ini harus dalam koridor revolusi mental. Oleh karena itu, pendidikan karakter akan saling terkait dengan aspek lainnya dalam kehidupan bernegara seperti agama, budaya, sosial, politik dan sebagainya. Oleh karena itu pendidikan karakter di sekolah saja tidak cukup. Porsi yang besar justru dari keluarga dan masyarakat. Pembentukan karakter mensyaratkan sistim politik yang sehat, penegakkan hukum yang adil, kesejahteraan masyarakat yang makin merata dan penghargaan masyarakat atas nilai, norma dan konsititusi yang sudah disepakati bersama. Istilah "Revolusi Mental" berasal dari dua suku kata, yakni 'revolusi' dan 'mental'. Arti dari 'Revolusi' adalah sebuah perubahan yang dilakukan dengan 3T 3T cepat dan biasanya menuju kearah lebih baik. Beda dengan evolusi, yang mana perubahannya berlangsung lambat. 'Mental' memiliki arti yang berhubungan dengan watak dan batin manusia. Adapun istilah mentalitas menurut KBBI 103 (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bermakna aktivitas jiwa, cara berpikir, dan berperasaan. Maka, istilah "Revolusi Mental" dapat ditafsirkan sebagai aktivitas mengubah kualitas manusia kearah yang lebih bermutu dan bermental kuat dalam berbagai aspek dengan jangka waktu yang cepat. Soekarno, di pidatonya mengatakan "Dalam kehidupan sehari-hari, praktek 3T 3T7T revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong." “Revolusi Mental adalah suatu gerakan 7T untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyalanyala.” Itulah adalah gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek, padahal tujuan revolusi untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai. Kita tahu, negeri ini telah mengalami penjajahan selama 350 tahun. Selama itu pula bangsa kita mendapat penindasan, diperbudak, diperas setiap tetes sumber daya manusia maupun alamnya. Karena itu setelah merdeka, pekerjaan paling besar yang harus dilakukan oleh para pemimpin bangsa adalah membangun mental manusia Indonesia. Caranya, dengan gerakan revolusi mental itu. Revolusi di jaman kemerdekaan adalah sebuah perjuangan fisik, perang melawan penjajah dan sekutunya, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, 70 tahun setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum, dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda. Bukan lagi mengangkat senjata, tapi membangun jiwa bangsa. Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsabangsa lain di dunia. Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Membangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga penting. Namun 104 seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa. Bahkan masa depan suatu bangsa amat tergantung dengan kemampuan mereka menjaga kebersihan dan kekuatan jiwanya. Dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa. Tentu saja diperlukan keahlian, atau menguasai keilmuan, namun tanpa dilandasi jiwa yang merdeka, pembangunan tidak akan mencapai tujuannya. Inilah ide dasar dari digaungkannya kembali gerakan revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Jiwa merdeka disebut Presiden Jokowi sebagai positivisme. Sedangkan jiwa budak, jiwa tidak merdeka, atau jiwa yang tidak ingin maju adalah negativisme. Revolusi mental menurut Presiden Joko Wododo adalah revolusi jiwa bangsa dari jiwa budak yang negativisme ke jiwa merdeka yang penuh dengan keunggulan atau positivisme. Gerakan revolusi mental semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tiga problem pokok bangsa yaitu; merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, dan terakhir melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Lewat gerakan revolusi mental, Presiden Jokowi bertekad membawa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat secara politik, berdiri di kaki sendiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Pemerintahan Presiden Jokowi berkomitmen untuk jadi pelopor gerakan revolusi mental kepada masyarakat agar menjadi gerakan sosial, karena pelaku revolusi mental adalah seluruh rakyat Indonesia.Para pemimpin dan aparat negara akan jadi pelopor untuk menggerakkan revolusi mental, dimulai dari masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L). Sebagai pelopor gerakan revolusi mental, pemerintah lewat K/L harus melakukan tiga hal utama yaitu: bersinergi, membangun manajemen isu, dan terakhir penguatan kapasitas aparat negara. Setelah pembenahan ke dalam, dilakukan juga pembenahan ke luar lewat edukasi dan keterlibatan 105 masyarakat. Gerakan revolusi mental terbukti berdampak positif terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ada banyak prestasi yang diraih berkat semangat integritas, kerja keras, dan gotong royong dari aparat negara dan juga masyarakat. Pembahasan Revolusi mental merupakan jawaban atas perubahan karakter yang terjadi di tengah bangsa Indonesia. Karakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong merupakan karakter orisinal bangsa Indonesia yang belakangan ini mulai hilang dari karakter masyarakat. Perubahan karakter yang merusak mental ini menjadi salah satu penyebab maraknya terjadi korupsi, nepotisme, intoleransi, ketimpangan pembangunan, dan berbagai permasalahan lain di tengah masyarakat. Revolusi mental adalah upaya untuk mengembalikan bangsa Indonesia kepada karakter aslinya. Namun revolusi ini tidak dapat dilakukan secara sporadik tanpa tujuan dan pendekatan yang tepat. Perubahan mental bangsa yang sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun harus diperbaiki lewat revolusi yang terencana, efektif, dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Revolusi mental merupakan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sesuai amanat Pembukaan Undang-undang 1945, pemerintah sangat berkewajiban menjalankan tugas konstitusional ini. Pemerintah harus dapat merancang skema yang tepat dalam mengupayakan terjadinya revolusi mental. Revolusi mental tidak dapat dilakukan secara sektoral atau per bagian-bagian. Revolusi mental harus dilakukan secara holistik sehingga kembalinya karakter hakiki bangsa Indonesia dapat terjadi secara menyeluruh. Menjawab itu, pendidikan, baik di tengah keluarga, sekolah, pesantren, organisasi, institusi, dan lain sebagainya, bisa dikatakan adalah satu-satunya jalan untuk bisa mengembalikan bangsa Indonesia kepada karakter hakikinya. Pada hakekatnya, pendidikan adalah usaha membentuk insan-insan akademis yang berpikir mandiri dan dapat bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuatnya. Pendidikan sudah dialami manusia sejak berusia muda hingga dewasa. Melalui 106 pendidikan diharapkan dapat tercipta kehidupan yang lebih baik bagi diri insan tersebut, juga keluarga, masyarakat, bangsa, dan peradaban manusia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah memberikan definisi tentang pendidikan. Menurut UU ini, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan berkualitas akan menghasilkan bangsa berkualitas. Bangsa berkualitas akan menampilkan karakter bangsa yang orisinal dan bermutu. Karakter bangsa yang bermutu ini akan memberantas berbagai keburukan mental seperti korupsi, nepotisme, dan intoleransi. Pembangunan nasional hanya dapat terwujud jika karakter dan pengetahuan masyarakat dikembangkan melalui pendidikan. Komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran setiap warga negara akan dapat memampukan mengerjakan revolusi mental. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas bersama. Revolusi mental melalui pendidikan karakter harus terus diupayakan sehingga dapat dibentuk manusia Indonesia yang mampu memanusiakan manusia Indonesia lainnya. Penutup Revolusi mental merupakan bentuk transformasi pembentukan karakter bangsa melalui pembangunan keluarga. Di dalam revolusi mental ditegaskan bahwa karakter dan kesejahteraan bangsa dapat tercipta di awali dari lingkup masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga memiliki peran besar dalam proses pembentukan karakter setiap individu yang nantinya merupakan cikal bakal bagian dari bangsa Indonesia. Di sinilah tugas dan peran orang tua mendominasi keberhasilan pembentukan karakter tersebut. Orangtua yang berhasil adalah orangtua yang mampu menciptakan karakter positif yang kuat pada diri anak. 107 Revolusi mental diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap nilainilai luhur budaya bangsa. Nilai-nilai luhur ini diharapkan menjadi karakter yang menjadi landasan untuk memperkuat kebersamaan dan persatuan, toleransi, tenggang rasa, gotong royong, etos kerja dan menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis. Keluarga memegang peranan penting dalam membangun perubahan mental yang dibutuhkan oleh Indonesia melalui 8 (delapan) fungsinya yang dimilikinya yaitu fungsi agama, pendidikan, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, social dan budaya, ekonomi, dan lingkungan. Peran inilah sebagai upaya implementasi gerakan revolusi mental. Lantas apa yang diharapkan dari pendidikan zaman ini? Dunia berkembang sangat kompleks. Teknologi menjadi pemacu utama yang membuat orang kaget setiap waktu. Situasi dan suasana yang serba baru selalu bermunculan setiap saat. Maka pengaruh kemajuan teknologi membuat manusia kewalahan dalam mempertahaankan hal-hal yang baik. Dalam situasi demikian, kemajuan zaman yang begitu cepat menantang sekaligus menuntut tanggung jawab atas dunia pendidikan kita. Tantangan kemajuan zaman akhirnya menghadirkan sikap mental instant dan jalan pintas untuk mencapai kualitas atau kesuksesan tanpa proses. Prinsip klasik: ”berjuang sekuat tenaga dulu baru dapatkan hasil yang baik” gugur. Orang harap gampang tanpa proses, serba instant itu yang bertumbuh subur, wajah pendidikan makin suram. Maka yang menjadi harapan kita adalah penataan dunia pendidikan yang lebih baik karena dunia pendidikanlah yang menjadi oven pemanusiaan manusia. Tugas dan tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan adalah janganlah mereduksi misi pemanusiaan manusia hanya sebatas penataan intelek/otak saja, tetapi perlu pendidikan budi pekerti, pembentukan mental, pembinaan iman serta pendidikan watak yang sejalan sehingga out put dari dunia pendidikan tetap menghasilkan insan-insan pecinta kebenaran yang berkepribadian utuh tanpa pincang. Revolusi mental adalah solusi yang terbaik untuk Indonesia. 108 Daftar Pustaka Fizha, Fit. 2015. Revolusi Mental Membangun Jiwa Merdeka Menuju Bangsa Besar. Kominfo.go.id. Diakses tanggal 31 Desember 2015 U U Koesoema, Doni. 2015. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Mulyasa. 2015. Revolusi Mental Dalam Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muslich, Masnur. 2014. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Sinarat, Sahat Martin. 2015. Revolusi Mental dan Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Satuharapan.com. Diakses tanggal 31 Desember 2015. U U Suprapto, B. 2014. “Revolusi Mental di Mulai dari Pendidikan”. Jawa Pos. 05 September 2014. 109 IMPLEMENTASI REVOLUSI MENTAL MELALUI METODE PEMBIASAAN 12T Mulyana STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract The beginning of ASEAN free trade increase competition between countries, especially in Southeast Asia. The competition will increase when the free markets of Asia and the world begins. It takes the readiness of all Indonesia citizens to face competition. Seeing the ability of Indonesia at this time, it takes effort to change the mindset and competitiveness. Mental revolution is one of the breakthrough that re-echoed by Joko Widodo since presidential election campaign in the 2014. It takes the right method in the implementation of the mental revolution thus providing a quick and significant results, but it is effective and efficient. In the concrete phase, the method of habituation as a road or a way to apply a deliberate, repeated, continuous, sustainable, so that an act becomes a habit that is internalized in a person is the right way in the implementation of a mental revolution. Keywords: revolution, mental, habituation Pendahuluan Di era globalisasi, persaingan semakin ketat di segala bidang. Persaingan terjadi bukan hanya terjadi antar individu dalam suatu komunitas tetapi dapat mencapai lingkup negara, bahkan antar negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk peringkat 4 besar di dunia, memiliki posisi strategis dalam persaingan global tersebut. Harus diakui bahwa jumlah penduduk yang sangat besar dan sumber daya yang melimpah merupakan daya tarik tersendiri bagi negara-negara lain. Dalam waktu dekat, Indonesia harus menghadapi persaingan global untuk lingkup Asia Tenggara. Dibutuhkan kesiapan seluruh komponen bangsa untuk menghadapi persaingan tersebut, yang akan berlanjut ke persaingan yang lebih luas. Persaingan global merupakan sesuatu yang pasti terjadi sehingga harus ditanggapi secara positif. 111 Indonesia dihadapkan pada fenomena yang sangat dramatis, yakni rendahnya peringkat daya saing sebagai indikator bahwa pendidikan nasional belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas (Mulyasa, 2015: 2). Jika membandingkan kemampuan dalam bersaing dengan negara lain di wilayah Asia Tenggara, Indonesia masih berada di level menengah. Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP tahun 2014 melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat 108, masih kalah dengan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (Mulyasa, 2015: 2). Posisi ini akan semakin melorot jika tidak direspon secara positif dan segera. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kala, bahwa ke depan Indonesia semakin berat dalam menghadapi persaingan di antara negara-negara Asia Tenggara seperti di bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan ( http://news.okezone.com/read/2015/02/2612 TU /340/1110989/jk-indonesia-berat-hadapi-persaingan-di-asia-tenggara ). Tantangan U 12T akan semakin berat ketika pasar bebas Asia dan dunia mulai diberlakukan. Berkaca pada kemampuan Indonesia saat ini, harus diupayakan trobosan yang mampu meningkatkan daya saing secara cepat dan signifikan. Dibutuhkan aksi gebrakan yang mampu menggenjot perubahan mindset seluruh komponen bangsa dalam menghadapi tantangan persaingan global tersebut. Revolusi mental merupakan salah satu upaya komponen bangsa. mempercepat perubahan sikap mental seluruh Gagasan revolusi mental kembali digaungkan oleh Joko Widodo ketika menjadi kontestan dalam memperebutkan kursi kepresidenan pada pemilihan umum tahun 2014. Konsep revolusi mental atau revolusi karakter bangsa merupakan salah satu poin dari nawacita, yang merupakan 9 agenda unggulan calon Jokowi-Jusuf Kala. Nilai-nilai yang diusung dalam nawacita merupakan adopsi dari cita-cita perjuangan Sukarno yang dikenal dengan Trisakti. Kunci sukses revolusi mental adalah pendidikan karakter. Keberhasilan pendidikan karakter akan mampu menciptakan karakter atau mentalitas yang baik. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam menggaungkan kembali program revolusi mental yang dicanangkan pemerintah. Melalui metode yang tepat, implementasi revolusi mental dapat mencapai hasil yang maksimal, 112 efektif, dan efisien, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing dalam menghadapi persaingan global. Pembahasan Pengertian Revolusi Mental Di Indonesia, revolusi mental dicetuskan oleh Presiden Sukarno untuk memompa semangat bangsa Indonesia. 2T Gerakan itu ditujukan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala (GPR Report, 2015: 3). Konsep revolusi mental kembali digaungkan oleh 2T pasangan Jokowi-JK dalam pemilu 2014 sebagai salah satu program unggulan jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Jokowi menyebut Reformasi belum mengubah tradisi atau budaya lama, seperti korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat kerakusan, keinginan menang sendiri, pelecehan hukum, dan oportunisme (Bahtiar Rifai, dkk., 2015: 59). Revolusi mental diyakini mampu menciptakan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian dalam budaya yang dilandasi gotong rotong. Secara harfiah, revolusi mental berasal dari dua kata, yaitu revolusi dan mental. Revolusi berarti perubahan yang sangat mendasar dalam suatu bidang dan mental merupakan hal yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat benda atau tenaga ( http://kbbi.web.id ). Mental adalah nama bagi U U genangan segala sesuatu yang menyangkut cara hidup, dimana hal-hal yang bersifat mental (berpikir, bernalar, menimbang-nimbang, memutuskan, dan lainlain), mekipun tidak bersifat fisik tetapi tetap berkaitan dengan fisik keragawian (Karlina Supelli, 2015: 3). Aktivitas mental akan tercermin dalam sikap dan tindakan seseorang. Istilah revolusi digunakan untuk menunjuk kea rah perubahan social-politik yang berlangsung cepat dan radikal, serta tidak jarang disertai kekerasan (Karlina Supelli, 2015: 4). Dengan demikian, revolusi mental merupakan perubahan cara pandang (paradigma) dalam berpikir yang terjadi secara cepat, serentak, masal, dan hasilnya akan tercermin dalam sikap dan perilaku. Revolusi mental dapat dimaknai sebagai pergeseran paradigma dalam 113 berpikir bangsa Indonesia. A “mental revolution” – a paradigm shift in thinking that the Indonesian people and government would need to make in order to achieve “free, fair, and prosperous” (David N. Merrill dan Bernard A. Burrola, 2015: 20). Revolusi mental merujuk pada adanya revolusi kesadaran, yaitu perubahan yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa, dari sesuatu yang negatif menuju positif (Benny Susetyo, 2015: 12). Mengacu pada pernyataan tersebut, makna dari revolusi mental adalah mengembalikan atau mengubah sifat negatif yang dimiliki menjadi sifat atau karakter positif. Revolusi mental harus menyasar setiap komponen bangsa Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan revolusi mental diperlukan strategi dan metode yang tepat dalam implementasinya. Dunia mental tidak hanya tersusun dari kemampuan kognisi, tetapi juga endapan sistem kepercayaan da sistem nilai, hasrat, emosi, kehendak, motivasi, dan sebagainya yang semua tumbuh dari praktik kebiasaan sehari-hari dan/atau dari tardisi (Karlina Supelli, 2015: 6). Artinya, revolusi mental harus terjadi dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan merupakan satusatunya cara yang dapat dilakukan dalam upaya mewujudkan cita-cita dari revolusi mental. Secara umum, pendidikan dimaknai sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap orang yang belum dewasa sehingga menjadi dewasa, baik fisik maupun psikologis. Hal ini sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Merujuk dari fungsi dan tujuan pendidikan tersebut, maka revolusi mental merupakan upaya membangun dan mengembalikan karakter positif bangsa Indonesia secara cepat, massif, dan tepat. Gede Raka, dkk. menyebutkan 8 karakter positif yang harus 114 dimiliki seseorang agar lebih berhasil dalam hidupnya, yaitu kejujuran, tanggung jawab, semangat, disiplin diri, kegigihan, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat berkontribusi, dan optimisme (2011: 107-119). Nurla Isna Aunillah (2011: 47-96) mengidentifikasi 10 karakter positif, antara lain: jujur, disiplin, percaya diri, peduli, mandiri, gigih, tegas, bertanggung jawab, kreatif, dan bersikap kritis. Upaya revolusi mental akan berhasil jika seluruh komponen bangsa bersedia merefleksikan apa yang telah dilaksanakan. Revolusi mental hanya bermakna apabila dilandasi oleh keinginan untuk mengoreksi cara kebiasaan dalam semua bidang kehidupan yang diarahkan untuk mencapai kebaikan bersama (Karlina Supelli, 2014: 6). Hasil koreksi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya ini, pendidikan harus menyeimbangkan aspek kognitif tingkat tinggi (kemampuan analitik, logika, daya-daya reflektif, kritis, imajinatif, dan kreatif), kemampuan afektif, dan komitmen untuk bertindak (aspek ragawi). Pendidikan tidak lagi hanya menekankan pada aspek kognitif dengan mengabaikan aspek afektif dan psikolotorik. Perpaduan antara ketiga aspek tersebut justru akan menghasilkan manusia cerdas dan memiliki perilaku terpuji. Metode Pembiasaan Pada taraf lebih konkret, dibutuhkan strategi dan metode yang tepat agar penanaman karakter positif tersebut terwujud dalam bersikap dan berperilaku. Saat ini, dapat dijumpai banyak orang cerdas dan berpengetahuan luas tetapi pengetahuan tersebut tidak mengilhami sikap dan perilakunya. Bahkan pengetahuan dan kecerdasannya digunakan untuk hal-hal yang tidak terpuji. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah malas merupakan sikap yang tidak baik tetapi tetap saja ada orang yang menunda-nunda pekerjaan. Korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji, tetapi korupsi tetap merajalela. Jika hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan dan dalan lingkup yang luas akan menjadi budaya. Kebiasaan merupakan suatu cara bertindak yang telah dikuasai, tahan uji, dan bersifat seragam (Purwa Atmaja Prawira, 2014: 234). Jika suatu perbuatan 115 atau tindakan telah menjadi kebiasaan maka akan tampak seperti kegiatan yang bersifat otomatis. Kebiasaan yang dikembangkan secara bertahun-tahun menjadi berakar dalam perilaku seseorang (Wibowo, 2012: 511). Metode merupakan suatu cara, jalan, pengaturan, atau pemeriksaan sesuatu secara benar (Husein Umar, 2010: 86). Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu tersebut menjadi kebiasaan, yang berintikan pengalaman, dan akhirnya diamalkan (Mulyasa, 2013: 166). Pengertian pembiasaan yang mirip juga dikemukakan oleh Ahmad Rahman dalam Amirulloh Syarbini (2012: 45), yaitu kecenderungan yang dapat diusahakan, yang mendorongseseorang mengulang-ulang suatu perbuatan fisik atau akal dengan segera dan yakin tanpa berpikir terlebih dahulu pada saat keaadaan mengkondisikan, dimana kebiasaan diperoleh dari pengalaman dan latihan. Purwa Atmaja Prawira (2014: 234-235) menjelaskan 2 cara kebiasaan dapat dilakukan dalam pembentukan kebiasaan. Pertama, perbuatan yang diulang-ulang sehingga semakin lama akan semakin tertanam sehingga akan menjadi perbuatan yang biasa dilakukan. Kedua, ada unsur kesengajaan supaya dapat terbentuk semacam pola smbutan yang otomatis, dimana cara ini dapat digunakan untuk membentuk suatu kebiasaan baru guna menggantikan cara-cara atau kebiasaan lama. Pembiasaan juga meliputi penyusutan atau pengurangan perilaku yang tidak diperlukan sehingga proses penyusutan atau pengurangan memunculkan pola bertingkah laku yang baru yang relatif menentap dan otomatis (Muhibbin Syah, 2012: 121). Pembiasaan menempatkan manusia pada sebagai sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, sehingga kekuatan itu dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dalam setiap pekerjaan, dan aktivitas lainnya (Mulyasa, 2013: 166). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode pembiasan dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara yang terapkan secara sengaja, berulang-ulang, kontinu, berkelanjutan, sehingga suatu perbuatan menjadi kebiasaan yang terinternalisasi dalam diri seseorang. Keberhasilan metode pembiasaan ini harus sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Binti Maunah (2009: 98) 116 menjelaskan 4 syarat berhasilnya implementasi metode pembiasaan, yaitu: (a) memulai pembiasaan sebelum terlambat; (b) pembiasaan hendaknya dilakukan secara kontinu, teratur dan terprogram, yang akhirnya membentuk kebiasaan yang utuh, permanen, dan konsisten; (c) pembiasaan harus diawasi secara ketat, konsisten, dan tegas; dan (d) pembiasaan yang pada awalnya bersifat mekanistis, haruslah secara berangsur diubah menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata hati. Dari pendapat di atas, dapat dimaknai beberapa hal, antara lain: (a) pembiasaan harus dimulai sejak dini, sejak dari kanak-kanak, dan ketika seseorang belum memiliki kebiasaan-kebiasaan negatif. Jika seseorang telah memiliki kebiasaan buruk, maka akan lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menggantikannya dengan kebiasaan yang bermanfaat. (b) pembiasaan harus dilakukan secara teratur dan terprogram sehingga proses memorisasi dan otomatisasi pada individu lebih intensif. (c) pengawasan terhadap pola pembiasaan harus dilakukan secara ketat sehingga penyimpanganpenyimpangan dapat diminimalkan. Pelaksanaan metode pembiasaan dapat awali dengan penerapan penguatan dan hukuman sampai terjadi internalisasi pada diri individu. Ketika seseorang melakukan kebiasaan positif berarti perlu diberikan penghargaan, sedangkan kebiasan buruk harus mendapat hukuman dan diberikan pembinaan. (d) Tujuan akhir dari metode pembiasaan adalah internalisasi pada diri setiap individu. Kebiasaan yang dilandasi dengan pemahaman menjadikan seseorang bersedia melaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Bagaimanapun juga, metode pembiasaan memiliki kelebihan dan kelemahan. Binti Maunah (2009: 98) mengemukakan 3 kelebihan dari metode pembiasaan, yaitu: (a) dapat menghemat waktu dan tenaga dengan baik; (b) pembiasaan dapat mencakup aspek jasmani maupun mental; dan (c) metode pembiasaan merupakan metode paling berhasil dalam pembentukan keperibadian. Penutup Persaingan yang semakin ketat di era gloalisasi menuntut kesiapan dan kerjasama seluruh komponen bangsa Indonesia dalam menghadapinya, sehingga dapat beran sebagai pemain bukan menjadi penonton dalam persaingan tersebut. 117 Revolusi mental merupakan salah satu upaya trobosan yang diharapkan mampu mengubah paradigma kea rah yang lebih positif dan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia secara cepat, tepat, dan signifikan. Keberhasilan program revolusi mental sangat ditentukan oleh metode atau cara pencapaian pada tahap yang lebih operasional, sehingga keberhasilannya dapat diukur. Metode pembiasaan merupakan sebagai jalan atau cara dapat diterapkan dalam mensukseskan program revolusi mental tersebut. Keberhasilan yang diharapkan dakan dapat dicapai dan hambatan-hambatan yang muncul dalam implementasinya dapat diatasi apabila setiap komponen bangsa memiliki kemauan dan komitmen dalam mendukung revolusi mental. Tanpa adanya kemauan dan komitmen dari setiap komponen bangsa, revolusi mental hanya akan menjadi konsep yang menjanjikan tetapi tidak akan terwujud. Daftar Pustaka Aunillah, Nurla Isna. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana. Gede Raka, dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah: Dari Gagasan ke Tindakan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Maunah, Binti. 2009. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Yogyakarta: Teras. Merrill, David N. dan Bernard A. Burrola. 2015. International Education’s Role in Indonesia’s “Mental Revolution”. The Indonesian Journal of Leadership, Policy, and World Affairs: Strategic Review. January-March 2015, Vol. 5, No. 1. Mulyasa, H. E. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. ___________. 2013. Manajemen pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Prawira, Purwa Atmaja. 2014. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Rifai, Bahtiar. dkk. 2015. Setahun Revolusi Mental Tanpa Panglima. Majalah Detik. Edisi 19 – 25 Oktober 2015. 118 Supelli, Karlina. 2015. Revolusi Mental sebagai Paradigma Strategi Kebudayaan (Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Susetyo, Benny. 2015. Implementasi Revolusi Mental dalam Konteks Kehidupan Berbangsa sebagai Manusia Merdeka. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta:. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Syah, Muhibbin. 2012. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Syarbini, Amirulloh. 2012. Buku Pintar Pendidikan Karakter. Jakarta: Prima Pustaka. Umar, Husein. 2010. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wibowo. 2012. Manajemen Perubahan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. GPR Report Edisi 5, Juli 2015. Revolusi Mental. Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. U http://kbbi.web.id. 12TU http://news.okezone.com/read/2015/02/26/340/1110989/jk-indonesia-berat-hadapi-persaingan-di-asia-tenggara . U12 T 119 UPAYA KAUSALYA SEBAGAI METODE REVOLUSI MENTAL DALAM MENGUBAH PARADIGMA SIMBOL KEAGAMAAN BUDDHA Nyoto STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract Lately, lots of problems that arise in Indonesia and global world regarding to the problem of religious life, for example the bombing of Buddha statues in Bamiyan - Taliban and other bombing symbols of Buddhism in Indonesia. This problem arises because people do not understand the true meaning of symbols in Buddhism. In order to make people and Buddhists easily understand the true meaning of the symbol in Buddhism, it is necessary to convey the right method to explanin the meaning of Buddhism symbols. The easy method to convey the meaning of Buddhism symbols is called the Kausalya effort. Through Kausalya efforts, people could easily understand the meaning of Buddhism symbols. By knowing the true meaning of the symbol in Buddhism, it is expected to emerge a sense of belonging and respect among religions people. Keywords: upaya kausalya, mental revolution, buddhist symbol Pendahuluan Dengan adanya pemerintahan dan tatanan kenegaraan yang baru, maka akan muncul tujuan dan slogan yang baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo beserta jajaran kabinetnya mengambil slogan revolusi mental, Begitu juga dengan pemerintahan Bung Karno Beliau mengedepankan perombakan cara berpikir, cara kerja, berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. Lalu bagaimana dengan revolusi mental, revolusi mental yang saat ini di gaungkan oleh Presiden Joko Widodo dan jajaran Kabinet Kerja, menurut Ilyas Ismail (2014) bahwa gagasan revolusi mental menggoda banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalitas, mindset, dan segala bentuk praktik buruk yang sudah mendarah daging sejak zaman Orde Baru hingga sekarang. Dengan dikumandangkannya slogan revolusi mental, maka muncul harapan agar masyaraka Indonesia berubah dalam berpikir, bertindak dan berucap. Apabila masyarakat Indonesia berhasil merevolusi mental kearah yang lebih baik, maka 121 akan tercipta suasana yang damai dan sejahtera. Rakyat Indonesia akan memiliki kebiasaaan yang positif misalnya terhindar dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), menjaga kelestarian hutan, memiliki sikap saling menghormati dan membantu yang lain. Slogan revolusi mental muncul karena mental rakyat Indonesia yang perlu dibaiki. Karena memiliki mental yang kurang baik, maka perlu dibuat suatu cara untuk menanggulangi permasalahan mental tersebut. Bekerjasama dengan jajarannya pemerintah membuat berbagai program untuk merubah pola pandang dan kebiasaan masyarakat kearah yang lebih baik. Sebab apabila tidak segera diperbaiki cara pandang dan kebiasaan masyarakat maka akan berakibat buruk terhadap kestabilan negara dan alam, sebagai contoh misalnya masyarakat yang suka membuang sampah sembarangan, kebiasaan ini mencerminkan kebiasaan buruk yang akan berakibat banjir, penyakit dan polusi udara. Selain itu baru-baru ini ada bencana kabut asap yang melanda Indonesia, selain merugikan negara bencana kabut asap juga menyebabkan kematian penyakit dan mengganggu kelestarian lingkungan. Adat, budaya dan kebiasaan merupakan suatu fenomena dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan ini memengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat. Dalam mempertahankan tradisi sekelompok masyarakat akan mentaati dan melaksanakan ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyang, sebagai contoh misalnya membakar hutan untuk bercocok tanam. Selain hal-hal yang bersifat duniawi adapula kebiasaan sipiritual yang dilakukan oleh masyarakat karena warisan dari nenek moyang. Di Indonesia banyak peninggalan nenek moyang yang masih dijaga dan lestarikan hingga saat ini karena dianggap memiliki nilai sejarah dan budaya. Setiap agama dan tradisi memiliki simbol atau suatu benda yang dianggap sakral dan dihormati oleh penganutnya. Agama Hindu ada Rupang Trimurti (Siwa, Brahma dan Wisnu), agama Islam ada Kaqbah, agama Katholik ada Salib, agama Kristen ada Rupang Yesus, agama Konghu Chu ada Rupang Nabi Konghu Chu dan agama Buddha ada Rupang Buddha. 122 Simbol dibuat oleh agama tertentu sebagai sarana pembeda dangan ajaran yang lain agar mudah dikenali oleh pengikutnya dan masyarakat umum. Tetapi ada sebagian pengikut agama tersebut justru mengartikan lain keberadaan simbolsimbol tersebut, ada yang menganggapnya dewa pelindung, jimat bahkan Tuhan. Begitu juga dengan umat Buddha yang menggunakanRupang Buddha sebagai saran dalam melaksanakan puja bakti. Ada sebagian Umat Buddha memiliki keyakinan bahwa Rupang Buddha memiliki kekuatan tertentu yang bisa memberikan pertolongan apabila umatnya mengalami musibah. Apabila umat Buddha memiliki pandangan seperti ini, maka umat Buddha belum mengetahui makna simbol Rupang Buddha. Dengan memiliki pandangan ini, maka umat memiliki pandangan salah terhadap kegunaan Rupang Buddha dan akan memengaruhi perilaku, dan pemahaman terhadap ajaran Buddha. Umat Buddha yang memiliki anggapan bahwa Rupang Buddha memiliki kekuatan tertentu mencerminkan bahwa umat Buddha tersebut belum sepenuhnya mempelajari ajaran Buddha. Hal ini terjadi karena kurangnya informasi yang didapatkan atau kepercayaan yang dianut oleh orangtua. Apabila pandangan ini tidak diluruskan, maka akan muncul pandangan salah terhadap kegunaan Rupang Buddha dan untuk meluruskan pandangan ini diperlukan cara untuk memudahkan mempelajari ajaran Buddha agar mengerti kegunaan Rupang Buddha. Dalam Buddha Dhamma teknik mempelajari ajaran Buddha agar mudah dipahamidan dilaksanakan teknik ini disebut dengan Upaya Kausalya. Metode ini menjelaskan tentang segala jenis karakter dan permasalahan dalam kehidupan sangat memengaruhi keberhasilan dalam penyampaian Dhamma. Salah satu metode yang terkenal adalah dibuatnya simbol-simbol dalam agama Buddha. Dengan mengerti dan memahami kegunaan Rupang Buddha maka akan merubah pola pikir dan pemahama umat Buddha. Upaya ini merupakan revolusi mental umat Buddha dalam memahami simbol keagaamaan Buddha. Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalah penelitian yang penulis laksanakan ini adalah adanya paradigma yang salah terhadap simbol-simbol keagaam Buddha. 123 Pengertian revolusi mental adalah gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik ( http://revolusimental.go.id ). 12TU U12T Simbol keagamaan Buddha melambangkan dan mengingatkan akan ajaranajaran Sang Buddha. Selain sebagai pelambangan atas ajaran Sang Buddha simbol tersebut juga digunakan untuk mepresentasikan Sang Buddha sendiri. ( http://KMBUI.ui.ac.id/2015 ). 12TU U12T Dalam buku Buddha Dhamma Mahayana dijelaskan bahwa yang dimaksud upaya kausalyadimaksudkan untuk umat Buddha yang awam guna dapat mengerti dan memahami ajaran Buddha Sakyamuni dan menguatkan keyakinan dengan cara mudah dan mudah menghayati ajaran Buddha (Suwarto, 1995: 624). Pembahasan Upaya kausalya merupakan metode-metode dalam menyampaikan ajaran Buddha agar mudah dipahami dan dipraktekan oleh umat Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Metode-metode penyampaian Dhamma (upaya kausalya) antara lain: Puja Bakti Kegiatan spiritual umat Buddha yang paling sering dilaksanakan umat Buddha adalah puja bhakti. Setiap minggu sekali atau lebih umat Buddha melaksanakan pembacaan Parita di Vihara. Puja bhakti dilaksanakan di Dhammasala dan terdapat altar Rupang Buddha beserta perlengkapan puja bhakti lainnya misalnya dupa, lilin, bunga dan air. Dengan adanya perlengkapan puja bhakti ini umat mengetahui makna perlengkapan puja bhakti. Adapun makna perlengkapan puja bhakti adalah: a. Rupang Buddha Rupang Buddha merupakan simbol bahwa Sang Buddha pernah hidup dan membabarkan Dharma untuk melepaskan penderitaan semua makhluk. Selain itu, Rupang Buddha digunakan sebagai simbol ungkapan terimakasih dan hormat kepada yang patut dihormati. 124 b. Dupa Dupa merupakan simbol keharuman ajaran Buddha yang dibabarkan dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang. c. Lilin Merupakan simbol pencapaian penerangan sempurna Sang Buddha dan terbebas dari penderitaan untuk mencapai Nibbana. d. Bunga Bunga melambangkan ketidak kekalan semua bentuk yang terbuat dari perpaduan unsur-unsur. e. Air Air melambangkan kerendahan hati Sang Buddha dalam membabarkan Dhamma dan menghormati semua makhluk. Simbol-simbol yang terdapat pada proses puja bhakti yang dilaksanakan umat Buddha merupakan ungkapan terimakasih dan hormat kepada Sang Buddha dan tidak dijadikan sebagai dewa penolong yang bisa membebaskan masalah dan mengabulkan permohonan-permohonan. Ceramah Ceramah atau diskusi Dhamma dilaksanakan setelah umat Buddha melaksanakan puja bhakti tepatnya setelah meditasi biasa diselingi dengan diskusi Dhamma. Melalui diskusi Dhamma penceramah akan menyampaikan penjelasan tentang makna simbol-simbol dalam agama Buddha sehingga umat akan memahami dengan benar tentang makna sebenarnya simbol dalam agama Buddha. Melalui kegiatan ceramah yang disampaikan oleh para Bhikkhu atau Pandita maka umat memahami makna dari simbol-simbol dalam agama Buddha. Setelah memahami makna simbol dalam agama Buddha, maka umat Buddha akan terhindar dari pandangan salah dan mampu mengimformasikan kepada umat lainnya tentang makna simbol agama Buddha. 125 Lagu-lagu Buddhis Lagu Buddhis merupakan salah satu metode penyampaian Dhamma yang menarik. Melalui lagu umat akan tertarik untuk mendengarkan dan memahami makna dari lagu Buddhis. Melalui lagu-lagu Buddhis para pencipta lagu berusaha menyampaikan makna simbol-simbol dalam agama Buddha dan umat akan mudah menerimanya. Meditasi Meditasi merupakan ajaran Buddha yang paling dikenal oleh masyarakat baik umat Buddha dan masyarakat umum. Dari berbagai metode dan objek meditasi yang dilaksanakan oleh umat Buddha, maka terdapat satu praktik meditasi yang menggunakan objek rupang Buddha. Dengan memilih objek Patung Buddha maka umat Buddha berusaha mengingat kembali ajaran dan kemuliaan Sang Buddha. Gambar dan Rupang Salah satu cara penyampaian penjelasan tentang simbol agama Buddha adalah dengan membuat gambar yang menarik tentang simbol agama Buddha beserta penjelasannya dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh umat yang membacanya. Selain itu juga bisa dengan membuat Rupang Buddha dan memberikan penjelasan arti dari Rupang yang dibuat tersebut. Dengan demikian umat akan memahami makna dari gambar atau patung tersebut. Majalah Dengan menggunakan majalah sebagai sarana untuk menyampaikan informasi mengenai maka akan mempermudah penyampaian tentang penjelasan tentang simbol-simbol keagamaan Buddha. Penjelasan simbol agama Buddha melalui artikel yang dimuat di majalah tertentu akan menarik pembaca baik umat Buddha atau masyarakat umum. Dengan demikian masyarakat akan memahami maknasimbol agama Buddha. 126 Dhammaclass Kelas Dhamma atau kegiatan yang terstruktur yang dilaksanakan di vihara untuk menyampaikan ajaran Buddha. Melalui kegiatan ini dapat disampaikan pula tentang makna simbol-simbol agama Buddha sehingga umat Buddha mengetahui tentang makna sebenarnya dari simbol agama Buddha. Dengan demikian maka umat Buddha akan terhindar dari pandangan salah tentang simbol agama Buddha. Internet Satu-satunya sarana yang dapat menginformasikan sebuah berita yang akurat dan cepat keseluruh dunia adalah internet. Melalui internet dapat diinformasikan tentang simbol-simbol agama Buddha beserta penjelasannya, sehingga masyarakat dapat mengetahui berbagai simbol agama Buddha dan maknanya. Dengan demikian akan mengubah paradigma masyarakat tentang simbol-simbol dalam agama Buddha. Upaya Kausalya sebagai Metode Revolusi Mental dalam Mengubah Paradigma Simbol Keagamaan Buddha Melalui berbagai metode yang dilakukan untuk menyampaikan penjelasan tentang bentuk simbol-simbol keagamman Buddha diharapkan umat Buddha dan masyarakat umum dapat mengetahui makna yang terkandung dalam simbolsimbol agama Buddha. Dengan memahami makna simbol-simbol tersebut makan masyarakat tidak akan memiliki pandangan salah dan tercipta toleransi antar umat beragama. Bagi umat Buddha dengan upaya kausalya akan merubah pandangan salah terhadap simbol-simbol agama Buddha dan dapat melaksanakan ajaran Buddha dengan benar. Dengan demikian maka akan merubah pola pikir dan pemahaman terhadap suatu simbol keagamaan. Penutup Upaya kausalya merupakan metode dalam menyampaikan ajaran Buddha agar mudah dipahami dan dilaksanakan. Dengan metode yang sederhana dan tepat sasaran akan memberikan pandangan benar terhadap suatu ajaran yang belum 127 dipahami. Melalui upaya kausalya Buddha mengajarkan Dhamma sesuai dengan karakter, kebiasaan, adat, dan strata sosial. Metode yang dipakai oleh Buddha bertujuan untuk mempermudah penyampaian Dhamma. Berbagai macam upaya kausalya yang digunakan Buddha saat itu masih digunakan hingga sekarang misalnya ceramah, tanya jawab dan meditasi. Seiring berkembangnya zaman maka muncul berbagai metode baru dalam penyampaian Dhamma misalnya melalui internet, majalah dan lain sebagainya. Peran upaya kausalya dalam merubah pola pikir dan pemahaman masyarakat terhadap simbol-simbol agama Buddha. Dengan penyampaian informasi yang benar tentang simbol agama Buddha akan mempermudah pemahaman masyarakat terhdap simbol agama Buddha dan akan menciptakan rasa saling menghormati antar umat beragama sehingga mampu menciptakan suasana damai di Negara Indonesia. Daftar Pustaka Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Dhammananda, Sri. 2002. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Karaniya. 12TU U http://revolusimental.go.id/ U12T http://KMBUI.ui.ac.id/2015 128 MENYIKAPI KUANTITAS DAN KUALITAS PENERIMAAN MAHASISWA PADA SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA DALAM PERSPEKTIF REVOLUSI MENTAL Puja Subekti STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract Quantity and quality of student admission became the problems faced by the Buddhist Colleges in Indonesia. This matter happens because the logical consequence of the population are Buddhists, the relevance of the study program with the world of work and the large number of Buddhist Colleges. In order to solve the problems is to do mental revolution. Coinciding with a moment of mental revolution then all Buddhist Colleges administrators must respond with the perspective that it does not matter quantity of the college students, but great quality graduates is the main thing. Keywords: quantity , quality , students , the perspective of mental revolution Pendahuluan Pendidikan merupakan jalan bagi segala kemajuan, segala kemajuan yang telah terjadi di dunia ini adalah hasil dari pendidikan. Di era pemerintahan presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusup Kala, Indonesia mengangkat gerakan Revolusi mental untuk menggerakan perubahan menuju kemajuan bangsa. Revolusi mental yang dijalankan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat, terutama adalah Revolusi Mental di bidang pendidikan. Menyadari pentingnya revolusi mental dalam bidang pendidikan maka hal tersebut secara tersurat telah dicamtumkan dalam Nawa Citta yang merupakan agenda prioritas pemerintahan saat ini, dalam Nawa Citta butir ke-5 tertulis “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan...”. Perkembangan agama Buddha juga telah ditopang oleh kegiatan pendidikan, salah satu bukti nyata kekuatan sistem pendidikan yang dibangun oleh agama Buddha adalah dibangunnya Universitas Nalanda pada abad ke-5 Masehi. Universitas Nalanda merupakan pusat pendidikan yang sangat maju dan berkualitas pada jamanya sehingga menjadi pusat tujuan para pemikir dunia yang ingin menimba berbagai Ilmu pengetahuan. Pada zaman sekarang pun di negara129 negara yang memiliki penduduk beragama Buddha juga telah mendirikan pusatpusat pendidikan yang berkarakter atau berbasis ajaran Buddha. Nilai-nilai kebajikan ajaran agama haruslah dapat dijadikan pedoman menjalani kehidupan sehari-hari untuk mencapai kebaikan dan kemajuan. Agar nialai-nilai ajaran agama dapat menjiwai setiap segi kehidupan yang dijalankan oleh masyarakatnya maka ajaran agama itu harus dipahami dan diresapi oleh penganutnya. Salah satu cara yang baik untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama adalah melalui pendidikan. Agama-agama besar di dunia ini telah maju karena memiliki institusi-institusi pendidikan yang dibagun untuk menanamkan nilai-nilai ajaranya kepada masyarakat luas. Kegiatan pendidikan terbukti efektif untuk mempertahankan dan mengembangkan ajaran agama. Agama Buddha di Indonesia juga telah memulai dan mengembangkan eksistensinya melalui pendidikan. Telah banyak didirikan sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang bercirikan Agama Buddha. Walaupun pada kenyataanya sekolah-sekolah tersebut belum menjadi sekolah yang paling unggul jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang bercirikan agama Islam dan Agama Kristen namun langkah nyata tersebut sangatlah bermanfaat sekali bagi perkembangan agama Buddha. Dewasa ini dalam jenjang pendidikan tinggi, agama Buddha juga telah membangun sekolah tinggi baik yang negeri maupun swasta. Berdirinya Sekolah Tinggi Agama Buddha telah memberikan kesempatan yang sangat baik sekali bagi putra-putri umat Buddha yang memiliki minat untuk mendalami ajaran Buddha. Pendirian Sekolah Tinggi Agama Buddha juga sangat membantu perkembangan pendidikan pada umumnya, sarjana-sarjana lulusan Sekolah Tinggi Agama Buddha telah mengisi kekurangan-kekurangan guru pendidikan Agama Buddha. Dalam proses perjuangannya menuju cita-cita luhur menjadi penyelenggara pendidikan berkualitas dunia maka tantangan yang dihadapi juga sangat besar. Tantangan pertama berkaitan dengan keterbatasan sumber daya manusia terutama para pendidik untuk perguruan tinggi, jika dibandingkan dengan syarat ideal bagi perguruan tinggi. Diawal-awal perkembangan sekolah tinggi agama Buddha 130 masih banya pengajarnya yang hanya memiliki ijazah S1, namun seiring perkembanganya dan juga tuntutan aturan pemerintah maka pendidik agama Buddha telah berusaha untuk meningkatkan diri hingga ke jenjang S2, namun hal itu belum cukup karena idealnya sekolah tinggi haruslah memiliki tenaka pendidik yang bergelar doktor hingga profesor. Keadaan ini hingga kini masih menjadi tantangan sekolah tinggi agama Buddha, dapat dilihat di Indonesia bahwa untuk dosen agama Buddha yang telah memiliki gelar doktor Agama Buddha saja sangat jarang apalagi yang sudah profesor. Tantangan yang kedua adalah sedikitnya minat para siswa untuk melanjutkan pendidikanya ke sekolah tinggi agama Buddha, hal ini dapat dilihat pada tiap-tiap sekolah tinggi agama Buddha yang selalu mendapatkan mahasiwa baru dengan jumlah yang minim. Penerimaan mahasiswa yang minim di sekolah tinggi agama Buddha merupakan permasalahan yang merata dihadapi oleh setiap sekolah tinggi agama Buddha di Indonesia, hal ini sebenarnya adalah hal yang wajar jika dikaikan dengan persentase jumlah penduduk Indonesia yang beragama Buddha. Bukan hanya dalam hal kuantitas mahasiswanya saja tetapi terkadang permasalah dan tantangan bagi Sekolah Tinggi Agama Buddha juga ditambah dengan kualitas input mahasiswanya yang juga tergolong rendah. Permasalahan-permasalahan ini tentunya tidak bisa dianggap remeh karena untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas selain prosen yang baik maka inputnya juga harus baik. Dengan adanya masalah klasik inilah maka penulis bermaksud membahasnya dalam artikel ini dalam judul: “Mensikapi Kuantitas dan Kualitas Penerimaan Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Agama Buddha dalam Perspektif Revolusi Mental”. Pembahasan Revolusi Mental dapat dikatakan berasal dari kata revolusi dan mental. Menurut kamus umum bahasa indonesia kata revolusi berarti perubahan yang sangat cepat. Kata revolusi sendiri memiliki antonim yaitu evolusi yang berarti perubahan yang lambat. Sedangkan kata mental menurut kamus umum bahasa indonesia berarti batin atau watak. Jadi kata revolusi mental berarti perubahan 131 batin, watak, psikologi dan kejiwaan manusia secara cepat. Lebih lanjut menurut Joko Widodo yang mengankat jargon revolusi mental memberikan pengertian sebagai berikut: Jokowi juga mengungkapkan jargon revolusi mental yang diusungnya. “Revolusi mental itu artinya membangun manusianya dulu, membangun jiwanya. Pendidikan mulai dari SD persentasenya 70-30 persen pembangunan karakter, sikap, perilaku dan budi pekerti. Menginjak ke tingkatan SMP, 60-40 karakter juga masih ada. SMA/SMK 80-20 persen, karakter. Tanpa pembangunan manusia yang kita dahulukan, sekaya apapun sebuah negara, provinsi, ya, percuma. Kuncinya di pembangunan manusia,” tandasnya ( http://surabaya.bisnis.com/read/20140516/25/71407/jokowijelaskan-apa-itu-yang-dimaksud-revolusi-mental ). U U Joko Widodo juga mengungkapkan; “Indonesia, sebut Jokowi, merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuatrakyat sejahtera ( http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/ 12TU Jokowi. dan.Arti.Revolusi.Mental ). Dari pernyataan yang telah disampaikan oleh Joko U12T Widodo maka dapat disimpulkan bahwa beliau sangat berharap bahwa revolusi mental yang beliau canangkan mengutamakan revolusi kearah pembentukan karakter bangsa, dan Joko Widodo sangat yakin bahwa revolusi mental yang berkelanjutan haruslah dibangun melalui dunia pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi. Lebih lanjut menurut Albert WS Kusen dosen di Universitas Samratulangi mengatakan; “Revolusi Mental itu merujuk dari konsep revolusi, yakni suatu perubahan drastis yang bersifat progres. Lawannya Evolusi (perubahan yang sifatnya lambat) ( https://www.facebook.com/notes/albert-kusen/revolusi-mental12TU sebuah-wacana-perlu-sabuk-pengaman-praksis-antropologi/101523459585334 49/ ). Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan revolusi adalah perubahan sosial dan U12T kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokokpokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya 132 relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama ( https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi ). 12TU U12T Konsep revolusi mental sebenarnya mengangkat apa yang telah dikobarkan oleh Presiden RI yang pertama yaitu Presiden Sukarno, beliau merumuskan pernyataanya tentang revolusi mental; “Revolusi mental merupakan satu gerakan untuk mengggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”. Dari peryataan tersebut terlihat jelas bahwa inti dari revolusi mental adalah usaha yang kuat untuk membentuk karakter bangsa. Tentang pembentukan karakter bangsa lebih jelas dari apa yang diungkapkan oleh Yudi Latief, beliau menyatakan; “Menurut cendekiawan muda ini, revolusi mental berangkat dari asumsi bahwa dengan mengubah mentalitas akan menimbulkan perubahan perilaku. Perilaku yang terus diulang akan menjadi kebiasaan, adat istiadat yang merupakan moralitas. Kebiasaan yang dipertahakan akan membentuk karakter. Dengan demikian, yang dikehendaki dari gerakan revolusi mental tidak berhenti pada perubahan pola pikir dan sikap kejiwaan saja, tetapi juga perubahan kebiasaan, dan pembentukan karakter yang menyatukan antara pikiran, sikap, dan tindakan sebagai suatu integritas” ( http://www.men 12TU pan.go.id/berita-terkini/3689-yudi-latief-seminar-revolusi-mental ). Dari berbagai U12T pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa revolusi mental adalah usaha sungguh-sungguh untuk membuat perubahan kearah yang lebih baik dengan mengutamakan pembentukan karakter bangsa. Perubahan dilakukan dalam segala bidang kehidupan dan pembentukan karakter terutama melalui dunia pendidikan mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Kuantitas dan Kualitas Penerimaan Mahasiswa Baru Kuantitas penerimaan mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha adalah jumlah mahasiswa yang diterima oleh sekolah tinggi agama Buddha. Pada umumnya jumlah mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha di Indonesia relatif minim, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Kualitas penerimaan mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha adalah tingkat kemampuan 133 mahasiswa yang diterima pada sekolah tinggi agama Buddha. Selain minimnya mahasiswa yang diterima pada sekolah tinggi agama Buddha juga terkadang kualitas dari mahasiswa yang mendaftar di sekolah tinggi agama Buddha juga tergolong paspasan. Berikut ditampilkan data jumlah mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha se-Indonesia. No. Kode PT 1. 283001 2. 283002 Nama PT Jml. Dosen Tetap Jml. Mhs Aktif 22 152 Rasio Dosen Tetap/ Jumlah Mahasiswa 1 : 6.9 Aktif 17 69 1 : 4.1 Aktif 7 3 1 : 0.4 Aktif 6 8 1 : 1.3 Aktif 2 0 1:0 Aktif 6 47 1 : 7.8 Aktif 7 0 1:0 Aktif 7 26 1 : 3.7 Aktif 6 32 1 : 5.3 Status STAB Negeri Sriwijaya Tangerang STAB Negeri Raden Wijaya Sekolah Tinggi Agama Buddha Dutavira Sekolah Tinggi Agama Buddha Dharma Widya STAB Samantabadra NSI Sekolah Tinggi Agama Buddha Bodhi Dharma STIAB Jinarakkhita STAB Maha Prajna Jakarta Sekolah Tinggi 12T 12T 12T 12T 3. 293001 12T 12T 4. 293002 12T 12T 5. 293003 6. 293004 7. 293005 8. 293006 12T 12 T 12T 12 T 12T 12T 12T 12T 9. 134 293007 12T Agama Buddha Maitreyawira Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra STAB Dharmaduta Mahayana Tanah Suci Indonesia STIAB Smaratungga Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa 12T 10. 293008 12T Aktif 15 73 1 : 4.9 Aktif 7 1 1 : 0.1 Tutup 0 0 1:0 Aktif 7 64 1 : 9.1 Aktif 5 95 1 : 19 1 2T 11. 293009 12T 12T 12. 293010 13. 293011 14. 293012 12T 12T 12T 12T 12T 1 2T Menyikapi Kuantitas dan Kualitas Penerimaan Mahasiswa dalam Perspektif Revolusi Mental Kesuksesan mencapai target penerimaan mahasiswa pada suatu perguruan tinggi pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang utama adalah kualitas pendidikan yang ditawarkan dan relevansi bidang ilmu dengan dunia kerja. Sedangkan faktor luar terutama pepulasi peminat yang mungkin meminati program studi yang ditawarkan dan juga faktor informasi masyarakat. Pada sekolah tinggi agama Buddha tantangan yang dihadapi dalam proses penerimaan mahasiswa menjadi lengkap karena faktor dari dalam yaitu kualitas pendidikan dan relevansi bidang ilmu dengan dunia kerja dapat dikatakan rendah. Tantangan faktor luar juga menjadi lengkap karena populasi yang memungkinkan berminat terhadap pendidikan di sekolah tinggi agama Buddha juga rendah. Masalah dalam penerimaan mahasiswa baru 135 juga tidak hanya dalam kuantitas tapi masalah kualitas mahasiswa yang terjaring menjadi mahasiswa baru juga terkadang rendah. Menyadari kenyataan bahwa faktor-faktor penyebab minimnya kuantitas dan kualitas penerimaan mahasiswa tidak bisa dihindari maka para pimpinan dalam sekolah tinggi agama Buddha harus dapat membuat kebijakan yang benarbenar tepat untuk menyikapi masalah tersebut. Selama ini umumnya sekolah tinggi agama Buddha hanya mengandalkan penawaran-penawaran kemudahan dalam menjaring mahasiswa maka hal itu tidaklah efektif untuk jangka panjang. Demikian juga inisiatif memberikan bonus uang kepada karyawan sekolah tinggi agama Buddha yang dapat membawa mahasiswa baru juga tidak akan efektif untuk jangka panjang. Saat ini bertepatan dengan program pemerintahan yang mengusung jargon Revolusi Mental maka tidaklah salah jika sekolah tinggi agama Buddha menggunakan semangat dan nilai revolusi mental dalam menyikapi kenyataan permasalahan kuantitas dan kualitas penerimaan mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha. Hal utama yang segera harus dilakukan adalah membuang kebiasaan mental mengeluhkan hal yang tidak ada, tetapi saat ini waktunya menyadari dan menghargai yang sudah ada. Jangan mengeluhkan berapa mahasiswanya dan siapa mahasiswanya, tetapi harus bertanya bagaimana menjadikan yang ada ini menjadi permata. Dalam semangat revolusi mental maka saat ini seharusnya seluruh pimpinan sekolah tinggi agama Buddha berfokus pada upaya memberikan pendidikan terbaik bagi mahasiswa yang sudah terjaring menjadi mahasiswa. Manajemen kampuas harus berfokus pada penggunaan segala strategi yang benar-benar dapat menjadikan mahasiswa yang ada menjadi lulusan yang berkualitas berlian. Tidak terlalu penting seberapa banyak lulusan yang dapat dihasilkan, tetapi yang terutama adalah bagaimana kualitas lulusan yang dapat dihasilkan. Seperti pepatah bahwa segemgam permata lebih berguna daripada segunung batu. Demikian juga seharusnya cara berpikir para pimpinan sekolah tinggi lebih fokus terhadap penerapan cara-cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mengkondisikan agar seberapapun mahasiswa yang terjaring dapat menjadi lulusan terbaik dengan 136 kualitas berlian sehingga lulusan akan benar-benar berguna bagi masyarakat Buddhis dan masyarakat luas. Selama ini yang terjadi bahwa kepengurusan sekolah tinggi lebih cenderung berkutat pada kebingungan menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya namun mengabaikan memberikan pendidikan terbaik bagi mahasiswa yang sudah ada. Sekolah tinggi agama Buddha mesti menjadi tempat studi yang unggul dalam hal pembentukan karakter, namun pada kenyataanya tidaklah seperti yang diharapkan. Sekolah tinggi agama Buddha negeri sriwijaya yang merupakan salah satu sekolah tinggi agama Buddha negeri haruslah menjadi pelopor sebagai sekolah tinggi yang mengutamakan pembentukan karakter atau harus menjadi sekolah tinggi yang unggul dalam pembentukan karakter mahasiswanya. Para pimpinan sekolah tinggi agama Buddha haruslah cermat dalam memahami pola pergaulan mahasiswanya jangan sampai mahasiswa sekolah tinggi agama Buddha malah memiliki kebiasan pergaulan yang lebih buruk dari mahasiswa pada umumnya. Untuk sekolah tinggi agama Buddha negeri sriwijaya hal yang harus dilakukan pada saat ini mengenai pola pergaulan mahasiswa adalah menciptakan sistem asrama yang baik dan benar yang dapat mengkondisikan mahasiswa benarbenar terbentuk karakternya. Yang kedua juga harus dilakukan kerjasama dengan lingkungan masyarakat agar mahasiswa yang tinggal di kos atau dikontrakan dapat menjalani kehidupan yang lebih berkarakter. Sudah menjadi rahasia yang umum bahwa ada beberapa mahasiswa sekolah tinggi agama Buddha negeri sriwijaya yang terlalu bebas hidup di kontrakan bersama mahasiswi. Hal ini tentunya akan menjadi awal yang buruk bagi perkembangan karakter mereka sebagai mahasiswa di sekolah tinggi agama Buddha. Dengan semangat revolusi mental maka sekolah tinggi agama Buddha harus mengutamakan pembentukan karakter mahasiswanya, hal ini akan benar-benar terwujud apabila para pimpinanya memiliki visi dan misi yang jelas tentang pengutamaan pembentukan karakter mahasiswa. Jika para pimpinanya telah memiliki visi dan misi yang jelas kemudian konsisten dengan apa yang telah ditetapkan maka bisa diharapkan seluruh civitas akademikanya akan bersemangat dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Dengan 137 pimpinan yang memiliki visi dan misi yang jelas, konsistensi dalam pelaksanaanya dan dukungan penuh dari seluruh masyarakat kampus maka tujuan dari revolusi mental yaitu pembentukan masyarakat yang berkarakter dapat terwujud di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya. Penutup Kesimpulannya bahwa penerimaan mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Buddha Sriwijaya relatif rendah/minim, hal ini merupakan konsekuensi logis dari jumlah penduduk yang beragama Buddha, relevansi program studi dengan dunia kerja dan banyaknya sekolah tinggi agama Buddha yang sudah didirikan. Dalam masa revolusi mental ini maka para pimpinan sekolah tinggi agama Buddha Sriwijaya harus menyadari realitas bahwa jumlah mahasiswa yang dapat dijaring kuantitasnya sedikit, tetapi ada hal yang mesti menjadi perhatian utama yaitu tekad untuk mendidik mahasiswa yang sedikit ini dengan cara yang terbaik agar menjadi lulusan yang berkualitas berlian. Walau sedikit jika menjadi lulusan yang berkualitas maka akan memberikan pengaruh yang baik bagi kampus dan masyarakat. Sarannya, Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya harus segera berupaya untuk mengambil langkah-langkah strategis yang dapat memberikan pendidikan yang terbaik kepada mahasiswa. Langkah-langkah nya yang harus segera diambil adalah menciptakan suasana yang baik di asrama dan memberikan perhatian khusus terhadap para mahasiswa yang tinggal di kontrakan dengan menjalin kerjasama dengan masyarakat di lingkungan kampus. Daftar Pustaka Albert Kusen: https://www.facebook.com/notes/albert-kusen/revolusi-mentalsebuah-wacana-perlu-sabuk-pengaman-praksis antropologi/10152345958533449/ . Diakses pada Rabu, 6 Januari 2016. 12TU U12T Indra Kuntono: http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi . danArti.Revolusi.Mental. Diakses pada Rabu, 6 Januari 2016. 12TU U12TU U 138 Mariyana Ricky: http://surabaya.bisnis.com/read/20140516/25/71407/jokowijelaskan-apa-itu-yang-dimaksud-revolusi-mental . Diakses pada Rabu, 6 Januari 2016. U U Humas Menpan RB: http://www.menpan.go.id/berita-terkini/3689-yudi-latiefseminar-revolusi-mental . Diakses pada 5 Januari 2016. 12TU U12T U https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi . Diakses pada Rabu, 6 Januari 2016. U 139 STRATEGI MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL MELALUI PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA 12T Puji Sulani STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract This study aims to describe the strategy to realize the mental revolution through Buddhist education. This study was conducted by conducting a SWOT analysis in Buddhist education as a basis for planning strategies mental revolution. Based on this analysis, the strategy pursued to realize the mental revolution conducted with socialization mental revolution and internalization of values in Buddhism as well as the value of mental revolution by utilizing educational institutions and educators; take advantage of the government’s attention, science and technology, and optimize cooperation with government institutions engaged in education to change curriculum so oriented on cognitive aspects are integrated in affective and psychomotor abilities; service changes learners and Buddhists to provide quality service. Keywords: strategy, mental revolution, Buddhist education Pendahuluan Merosotnya karakter dan mentalitas bangsa Indonesia yang kurang baik diatasi melalui gerakan bersama oleh komponen bangsa dari lapisan terendah hingga yang tertinggi. Gerakan tersebut dinamakan dengan revolusi mental. Gaung revolusi mental digerakkan oleh Presiden Jokowi mencakup semua aspek dan sendi kehidupan bangsa Indonesia. Revolusi mental merupakan transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, semangat dan moralitas yang menjelma ke dalam perilaku dan tindakan sehari-hari (Supelli, 2015: 6); yang berhubungan dengan kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar (Susetyo, 2015: 12). Gerakan revolusi mental diawali dari diri, kemudian dilakukan di lingkungan keluarga, lingkungan tempat tingggal, lingkungan kerja dan meluas menjadi U lingkungan kota dan lingkungan negara (Jokowi, http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/1603015/revolusi.mental ). Revolusi U mental dapat dilakukan oleh diri sendiri sesuai konteks dalam berbagai aspek kehidupan. Artinya, pola pikir yang menghambat dari perubahan terkecil hingga 141 perubahan terbesar berupa perubahan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian sebagaimana harapan Jokowi, dapat diubah saat ini juga, dengan diawali dari diri sendiri. Revolusi mental telah dilakukan oleh Siddharta Gotama dalam perjalanan hidupnya mencari kebahagiaan sejati. Ia mengubah jalan salah menjadi benar, dari jalan ektrim menjadi Jalan Tengah, dari menempuh cara bertapa dengan menyiksa diri hingga menjalani pertapaan yang benar. Revolusi mental yang dilakukan memberi hasil terealisasinya kebahagiaan akhir, nibbāna dan tercapainya kebuddhaan oleh Petapa Siddharta. Buah manis dari revolusi mental Petapa Siddharta hingga menjadi Buddha diawali dari diri sendiri dan membawa pengaruh bagi lingkungan dan masyarakat di masa itu. Siswa utama Buddha yang memiliki latar belakang mentalitas yang rapuh, anak yang terlalu patuh pada guru tetapi hampir durhaka kepada ibunya sendiri berhasil merevolusi mentalnya karena Buddha Gotama. Angulimala, menjadi pembunuh karena kepatuhan terhadap gurunya kemudian berhasil melakukan revolusi mental setelah ditaklukkan oleh Buddha dengan menjalani kehidupan sebagai samaṇa. Kesuksesan gerakan revolusi mental secara nasional tergantung pada strategi dan keterlibatan seluruh aspek serta komponen bangsa. Pendidikan turut berperan terhadap kesuksesan gerakan ini dengan mengarahkan sistem pendidikan agar generasi bangsa memiliki mentalitas yang lebih baik. Sesungguhnya, kebijakan sistem pendidikan yang mengarah pada revolusi mental telah dilakukan pemerintah sebelumnya melalui pendidikan karakter. Antara pendidikan karakter dengan revolusi mental memiliki satu tujuan yaitu membentuk karakter bangsa yang lebih baik, sebagaimana konsep Trisakti ketiga sebagai salah satu akar revolusi mental yakni Indonesia yang berkepriadian secara sosial budaya. Prinsip pengembangan pendidikan karakter dilakukan secara berkelanjutan; melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan; serta nilai yang tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar (Direktur Ketenagaan, 2010: 11-12). Pendidikan Agama Buddha menjadi salah satu bagian dalam revolusi mental, baik dari segi mata pelajaran maupun komponen Pendidikan Agama 142 Buddha itu sendiri. Masalah yang muncul adalah sejauhmana pengetahuan, pemahaman, kesiapan dan strategi yang telah disiapkan dalam membantu mewujudkan revolusi mental oleh pemangku kepentingan Pendidikan Agama Buddha. Gaung revolusi mental yang disosialisasikan di kalangan pemangku kepentingan Pendidikan Agama Buddha sampai saat ini belum terdengar, hanya baru akan dilakukan oleh salah satu Lembaga Pendidikan Keagamaan Buddha (LPKB) atau Pendidikan Tinggi Keagamaan Buddha (PTKB) yaitu STABN Sriwijaya melalui seminar bertema revolusi mental dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, kajian ini difokuskan pada strategi mewujudkan revolusi mental melalui Pendidikan Agama Buddha. Tujuan kajian ini adalah untuk menawarkan kepada pemangku kepentingan seperti LPKB, pemerintah, guru, sekolah bercirikan Buddhis pada khususnya, serta praktisi dan pemerhati Pendidikan Agama Buddha dalam membantu gerakan revolusi mental. Mewujudkan Revolusi Mental Melalui Pendidikan Agama Buddha Pendidikan Agama Buddha merupakan usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Buddha (BSNP, 2006: 89). Pendidikan Agama Buddha memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama Buddha. Gerakan revolusi mental yang diprakarsi oleh Presiden Jokowi, menuntut peran Pendidikan Agama Buddha dalam mewujudkannya. Peran Pendidikan Agama Buddha adalah sebagai media dalam merevolusi mental peserta didik dan umat Buddha pada umumnya, agar memiliki mental yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama Buddha. Peran tersebut dilakukan dengan usaha sadar dan terencana dengan mengembangkan kemampuan peserta didik dan umat Buddha untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Buddha melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Dengan 143 demikian Pendidikan Agama Buddha memiliki posisi strategis sebagai media revolusi mental umat Buddha yang tidak hanya dilakukan pada pendidikan agama di sekolah formal, tetapi juga pada sekolah atau lembaga pendidikan nonformal bahkan pada jalur pendidikan informal yakni keluarga dan lingkungan atau masyarakat. Peran tersebut berimbas pada kesiapan pemangku kepentingan Pendidikan Agama Buddha untuk memikul tanggung jawab dalam mewujudkan revolusi mental baik bagi dirinya sendiri sebagai pelaku ataupun objek pendidikan. Tanggung jawab tersebut membutuhkan persiapan matang yang melibatkan berbagai komponen Pendidikan Agama Buddha. Komponen pendidikan terdiri dari komponen dasar dan pendukung. Komponen dasar meliputi peserta didik, proses pembelajaran, lulusan sesuai dengan kompetensi, pendidik, kurikulum dan bahan pembelajaran. Komponen pendukung terdiri dari peralatan, perpustakaan, laboratorium, ruang pembelajaran, tempat ibadah, tenaga kependidikan, dan manajemen satuan pendidikan (Suparman, 2012: 38). Berdasarkan pada acuan normatif, komponen pendidikan merupakan bagian dari Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan (Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 35 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional). Analisis SWOT Pendidikan Agama Buddha Upaya mewujudkan revolusi mental melalui Pendidikan Agama Buddha diperlukan rencana strategis melalui sistem yang melibatkan komponen Pendidikan Agama Buddha baik formal, nonformal maupun informal. Perumusan strategi revolusi mental dalam Pendidikan Agama Buddha perlu dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan kajian mendalam melalui analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan akronim dari kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses) internal serta peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) eksternal Pendidikan Agama Buddha. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa strategi yang efektif diturunkan dari kesesuaian yang baik antara sumber 144 daya internal yaitu kekuatan dan kelemahan dengan situasi eksternal berupa peluang dan ancaman. Apabila asumsi tersebut diterapkan akan berimplikasi pada keberhasilan dari strategi yang dilakukan (Pearce & Robinson, 2008: 200). Pendidikan Agama Buddha memiliki kekuatan dan kelemahan, tetapi juga memiliki peluang dan tantangan dalam rangka mewujudkan revolusi mental. Kekuatan yang dimiliki oleh Pendidikan Agama Buddha berdasarkan komponen pendidikan yaitu memiliki lembaga pendidikan dan institusi pemerintah yang strategis dari lokasi maupun posisi dalam masyarakat dan pemerintahan, peserta didik dan umat tersebar di hampir seluruh provinsi dan cenderung berkelompok, pembelajaran dilakukan pada jalur pendidikan formal dan nonformal, memiliki pendidik pada lembaga pendidikan formal dan nonformal, sarana prasarana pada beberapa wilayah terutama perkotaan cukup memadai dan memiliki nilai-nilai sebagai sumber revolusi mental. Kelemahan yang dimiliki oleh Pendidikan Agama Buddha berdasarkan komponennya yaitu pemahaman pemangku kepentingan terhadap revolusi mental minim, kompetensi lulusan belum sesuai dengan tujuan pendidikan agama Buddha, pendidik tidak tersebar merata dan pendidik pada jalur pendidikan nonformal belum memenuhi kualifikasi, ketersediaan media dan alat komunikasi yang mendukung di desa terbatas, kurikulum cenderung berorientasi pada aspek kognitif yang rendah, kurang mampu secara ekonomi, komitmen yang rendah, sistem yang belum tertata. Pendidikan Agama Buddha dari segi internal teridentifikasi memiliki kekuatan tetapi juga memiliki kelemahan. Dari segi eksternal, Pendidikan Agama Buddha memiliki peluang yang dapat dimanfaatkan selain memiliki ancaman yang harus dihadapi. Peluang tersebut yaitu perhatian pemerintah terhadap pengembangan Pendidikan Agama Buddha semakin baik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan akses untuk mengembangkan sistem Pendidikan Agama Buddha dan kerjasama dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan mulai terbuka. Ancaman yang menghalangi Pendidikan Agama Buddha untuk mewujudkan revolusi mental diantaranya adalah adanya pengaruh lingkungan peserta didik atau umat Buddha, dukungan 145 masyarakat luas yang kurang dan sikap intoleransi terhadap peribadatan dan pemahaman ajaran agama Buddha. Salah satu dari empat elemen SWOT yang paling banyak dimiliki yaitu kelemahan, sedangkan yang paling sedikit adalah ancaman. Berdasarkan uraian tersebut maka diidentifikasikan kelemahan dan ancaman yang paling cepat harus diatasi. Kelemahan yang harus segera diatasi adalah pemahaman pemangku kepentingan terhadap revolusi mental minim serta kurikulum cenderung berorientasi pada aspek kognitif yang rendah. Ancaman yang harus segera diatasi adalah adanya pengaruh lingkungan peserta didik atau umat Buddha. Kelemahan dan ancaman tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang yang dimiliki. Kekuatan yang dimiliki dan sesuai untuk mengatasi kelemahan dan ancaman adalah memiliki lembaga pendidikan dan institusi pemerintah yang strategis, peserta didik dan umat tersebar di hampir seluruh provinsi dan cenderung berkelompok, pembelajaran dilakukan pada jalur pendidikan formal dan nonformal, memiliki pendidik pada lembaga pendidikan formal dan nonformal dan memiliki nilai-nilai sebagai sumber revolusi mental. Peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kelemahan dan ancaman adalah perhatian pemerintah terhadap pengembangan Pendidikan Agama Buddha semakin baik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan akses untuk mengembangkan sistem Pendidikan Agama Buddha dan kerjasama dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan mulai terbuka. Strategi Mewujudkan Revolusi Mental Berdasarkan analisis SWOT tersebut, maka dapat ditentukan strategi mewujudkan revolusi mental melalui Pendidikan Agama Buddha. Strategi pertama adalah dengan menggunakan kekuatan dan peluang dengan cara memanfaatkan lembaga pendidikan untuk melakukan sosialisasi revolusi mental; mengoptimalkan institusi pemerintah dalam menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk mengembangkan peran Pendidikan Agama Buddha dalam revolusi mental, memanfaatkan kemajuan ilmu 146 pengetahuan dan teknologi untuk sosialisasi revolusi mental bagi semua jalur, memberikan sosialisasi revolusi mental bagi pendidik agar menjadi agen perubahan mental melalui pembelajaran, memanfaatkan lembaga pendidikan serta pendidik dalam melakukan internalisasi nilai-nilai dalam agama Buddha sebagai sumber revolusi mental bagi peserta didik dan umat Buddha. Strategi kedua adalah dengan menggunakan kelemahan dan peluang. Kelemahan yang dimiliki Pendidikan Agama Buddha dan harus segera diatasi adalah kompetensi lulusan belum sesuai dengan tujuan pendidikan agama Buddha, pemahaman pendidik dan pemangku kepentingan terhadap revolusi mental minim, kurikulum cenderung berorientasi pada aspek kognitif yang rendah dan sistem yang belum tertata. Kelemahan tersebut diatasi dengan memanfaatkan peluang yakni dengan memanfaatkan sebaik mungkin perhatian pemerintah dan mengoptimalkan kerjasama dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan dalam rangka mewujudkan kompetensi lulusan sesuai tujuan Pendidikan Agama Buddha, sosialisasi revolusi mental dan pembenahan kurikulum agar lebih baik. Strategi ketiga dilakukan dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Kekuatan yang diprioritaskan untuk mengatasi ancaman adalah memanfaatkan lembaga pendidikan serta pendidik dalam melakukan internalisasi nilai-nilai dalam agama Buddha sebagai sumber revolusi mental maupun nilai revolusi mental sendiri dalam menghadapi pengaruh lingkungan yang dapat menurunkan mentalitas peserta didik dan umat Buddha serta untuk memperkokoh saddha dan khanti dalam menghadapi kurangnya dukungan maupun sikap intoleransi sebagian masyarakat. Strategi keempat adalah dengan mengatasi kelemahan dan ancaman. Kelemahan yang diprioritaskan untuk diatasi adalah pemahaman pendidik dan pemangku kepentingan terhadap revolusi mental minim yang diatasi dengan sosialisasi, serta kurikulum yang cenderung berorientasi pada aspek kognitif rendah yang diatasi dengan evaluasi dan perubahan kurikulum sebagaimana saran Supelli (2015: 9) agar model pendidikan berorientasi pada aspek kognitif secara lebih utuh yang terintegrasi ke kemampuan afektif dan komitmen untuk bertindak 147 atau psikomotor. Ancaman adanya pengaruh lingkungan yang dapat menurunkan mentalitas peserta didik dan umat Buddha diatasi dengan perubahan pelayanan peserta didik dan umat Buddha, oleh pendidik dan pengelola atau pembina dari lembaga pendidikan nonformal dan lembaga keagamaan sebagaimana harapan Haryatmoko (2015: 22) akan adanya perubahan dalam pelayanan publik dengan memberikan pelayanan yang berkualitas. Strategi-strategi tersebut dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan dengan telah mempertimbangkan dan menganalisis permasalahan yang ada dalam Pendidikan Agama Buddha. Melalui strategi tersebut, maka secara tidak langsung sumber daya manusia sebagai komponen Pendidikan Agama Buddha melakukan revolusi mental terhadap dirinya sendiri. Revolusi mental terhadap diri sendiri dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, vihara dan masyarakat sehingga menjadi membudaya dan mempengaruhi mental orang-orang sekitar. Simpulan Gerakan revolusi mental berimbas pada kesiapan pemangku kepentingan Pendidikan Agama Buddha untuk mewujudkan revolusi mental baik bagi dirinya sendiri sebagai pelaku ataupun objek pendidikan. Dalam rangka mewujudkan gerakan tersebut, perlu dilakukan rencana strategis dengan terlebih dahulu melakukan analisis SWOT untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal Pendidikan Agama Buddha. Strategi yang direncanakan untuk melakukan gerakan revolusi mental melalui Pendidikan Agama Buddha dilakukan dengan sosialisasi revolusi mental dan internalisasi nilai-nilai dalam agama Buddha serta nilai revolusi mental dengan memanfaatkan lembaga pendidikan serta pendidik; memanfaatkan perhatian pemerintah, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengoptimalkan kerjasama dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan; melakukan perubahan kurikulum agar berorientasi pada aspek kognitif secara lebih utuh yang terintegrasi ke kemampuan afektif dan psikomotor; dan perubahan pelayanan peserta didik dan umat Buddha dengan memberikan pelayanan yang berkualitas. 148 Saran Kesuksesan gerakan revolusi mental melalui Pendiidkan Agama Buddha membutuhkan uluran tangan seluruh komponen pendidikan. Berdasarkan hal tersebut hasil pembahasan di atas, penulis memberikan saran agar PTKB memberikan dukungan melalui sosialiasai dan mengembangkan model pendidikan dan pembelajaran; pendidik menyiapkan diri untuk merevolusi mental diri dan peserta didik; lembaga pendidikan nonformal turut andil melakukan gerakan revolusi mental; dan pemerintah melalui Ditjen Bimas Buddha mendukung sepenuhnya gerakan tersebut melalui internalisasi sumber daya manusianyan. Daftar Pustaka Supelli, Karlina. 2015. “Revolusi Mental sebagai Paradigma Strategi Kebudayaan”. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Semiarto Aji Purwanto (ed). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Susetyo, A. Benny. 2015. “Implementasi Revolusi Mental dalam Konteks Kehidupan Berbangsa sebagai Manusia Merdeka”. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Semiarto Aji Purwanto (ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Haryatmoko. 2015. “Revolusi Mental di Ranah politik: Orientasi Pelayanan Publik dan Pola Baru Seleksi Pejabat Publik”. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Semiarto Aji Purwanto (ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Kerangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010. Jakarta: Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendiknas. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SD/MI. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Joko Widodo. 2014. “Revolusi Mental”. http://nasional.kompas.com/read/ 2014/05/10/1603015/revolusi.mental . Diakses tanggal 8 Januari 2016. 12TU U12TU U 149 Suparman, Atwi. 2012. Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar dan Inovator Pendidikan. Jakarta: Erlangga. Pearce II, John A., Robinson, Jr., Richard B. 2008. Manajemen StrategisFormulasi, Implementasi, dan Pengendalian. terj. Yanivi Bachtiar dan Christine. Jakarta: Salemba Empat. 150 REVOLUSI MENTAL YANG SUKSES DENGAN JURUS KEPEMIMPINAN BUDDHA Puriati STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T 12T Abstract It is time for educators to implement the mental revolution plunged the nation, especially to the students that we nurture. As a lecturer means to synchronized a way of life, especially dealing with thoughts, words and deeds/ actions. "Every state is a result of what we have thought and shaped by our thoughts ..." From thinking, someone would deliver the speech, from what was said someone would do through deeds. If the major role the leaders did not realize what s/he was thinking, spoken and action. Errors that have repeatedly performed together in public life gradually become a national disaster such as experienced at present. Characteristics of society and the life of academic scholars, dynamic, and being critical has a strategic potential to do critical review, and disseminate a great idea of Mental Revolution. It is appropriate if the Mental Revolution starts from education, considering education as a strategic role to fom children's mental nation. In addition, the development of culture and national character are realized through the area of education. "The leader of Sriwijaya rightly STAB succession participate directly in the “mental revolution in education”, not just the idea alone, but an aspiration and advertisement to be realized in greeting for educational purposes. Keywords:buddhist leadership, mental revolution Pendahuluan Seorang Pemimpin seharusnya mau menerima nasihat atau kritik dari orang lain. Nasehat atau masukan orang yang tulus dan murni akan membantu dirinya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab/kekuasaan yang sedang dijalankan. Lembaga pendidikan Buddha pada umumnya masih tertinggal dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya, meskipun sudah ada beberapa yang sudah dapat menjadi percontohan. Seorang Pemimpin dapat menunjukkan loyalitas pada partner kerja dan masyarakat, Buddha memberikan rumus untuk para pemimpin/raja dengan; Dasa Raja-Dhamma yaitu; berdana (dana), kemoralan (sila), berkorban (pariccaga), ketulusan hati (ajjava), ramah tamah (maddava), kesederhanaan (tapa), tidak 151 marah (akkodha), tidak melakukan kekerasan (avihimsa), kesabaran (khanti), tidak bertentangan dengan kebenaran (avirodhana) (Kaharuddin, 2004). Jika ada pemimpin yang melaksanakan Dasa Raja-Dhamma ini, maka pemimpin tersebut sangat luar biasa. Para pemimpin yang sangguh berbuat sesuai Dasa Raja- Dhamma akan disenangi oleh masyarakat yang di pimpinnya. Kepemimpinan organisasi pendidikan STAB Negeri Agama Buddha memfokuskan pada kepemimpinan yang memperjuangkan lulusan yang berkualitas Buddhisme di bumi Nusantara. STAB Negeri Sriwijaya berkomitmen bersama para pengelola STAB dapat membina dan mencetak kader-kader umat Buddha yang siap bertugas di masyarakat wilayah Indonesia. Pembahasan Menginplemtasikan Kepemimpinan Organisasi Pendidikan merupakan salah satu unsur Manajemen Pendidikan ( https://closetonatura.wordpress.com/ 1 2TU manajemen-plh/unsur-manajemen/ ) antara lain: man (manusia), money (uang), U12T material (bahan baku), machine (mesin), method (metode), market (pasar). Sedangkan 12T 11T unsur-unsur yang ada pada Manajemen Pendidikan yaitu; Planning/ perencanaan , organising/ pengorganisasian , actuating/controlling / 11T12T 11T12T 11T12T 11T12T 12T mengendalikan. Maka untuk berjalannya suatu organisasi, kepemimpinan memegang peran yang sangat penting. Rumusan masalah pada penulisan ini adalah bagaimana peran para pemimpin organisasi pendidikan agama Buddha di Kampus STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten mengimplementasikan kepemimpinan sesuai yang ditunjukkan oleh Buddha? Kegunaan Teoritik, Kepemimpinan Organisasi Pendidikan STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, diharapkan dapat mengetahui perjuangan para Pemimpin khususnya sebagai Ketuanya, agar masyarakat sekitar dan berbagai wilayah tanah air dapat berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, hal ini sangat bermanfaat bagi para tokoh Buddhis dan umat Buddha di daerah yang sangat membutuhkan bimbingan khususnya untuk generasi mudanya. Jumlah umat Buddha tergolong kecil dicatatan stastitik, namun keberadaan umat 152 Buddha meyebar di wilayah Tanah Air. Pembinaan umat Buddha yang menyebar di wilayah tanah air ini memerlukan para pendidik Dhamma/, pengetahuan, kesejahteraan dan strategi yang tepat. Hak pendidikan bangsa telah dijamin oleh undang-undang khususnya alinea 4 UUD 1945, yang dijabarkan pada bab XIII pasal 31 ayat 1 dan ayat 2. Adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, khususnya pasal 13 Ayat 1 dan pasal 54 ayat 1 dan 2, memiliki prospek dan strategis bagi lembaga-lembaga agama, khususnya Agama Buddha untuk dapat “kontributif dan kontekstual”, akan menjadi panduan operasionl-fungsional yang dapat dirasakan bagi kebutuhan masyarakat. Maka para tokoh Agama Buddha, para Pendidik dan Bhikkhu Sangha serta penyadang Dana/Donatur, mengunakan Alat penyampaian ajaran agama, salah satunya yaitu melalui Kepemimpinan Organisasi Pendidikan, Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, untuk lulusan buddhis yang berkualitas di Indonesia. Kegunaan praktik, melalui kepemimpinan organisasi pendidikan STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, ajaran Sang Buddha dapat dilestarikan secara profesional, bagi orang bijaksana menemukan ajaran/Dhamma/Dharma merupakan berkah termulia di Dunia ini. Mereka yang memahami dari luar dan dalam batinnya akan berjuang lebih keras lagi agar dapat terbebas dari Dukkha. Perjuangan dalam Dhamma semata-mata dilakukan karena kendaraan untuk mencapai cita-cita luhur (Nibbana) adalah kebajikan termulia. Praktik langsung untuk menyadari keadaan Sifat Tilakhana (tiga corak umum) yaitu Anica (ketidak kekalan), Dukkha (derita akibat perubahan terus menerus) dan Anattha (tanpa inti atau diri yang kekal) menyadarkan makluk untuk segera menyelesaikan tugas di dunia ini, jalan yang harus ditempuh antara lain adalah melakukan sila (moral), samadhi (konsentrasi/ pikiran baik yang terpusat) dan panna (kebijaksanaan). semua makhluk tanpa kecuali, harus berjuang sesuai dengan kemampuan masing-masing, untuk mencapai sukses hingga tujuan akhir kebahagiaan sempurna (nibbana). Praktik dari revolusi mental yang diungkapkan jokowi, sikap integritas, etos kerja yang baik dan gotong royong adalah nilai revolusi mental yang dibutuhkan 153 mahasiswa STABN Sriwijaya. Mental masyarakat yang apatis terhadap perbedaan, serakah ingin menang sendiri, kecendungan kekerasan untuk menyelesaikan masalah dan berbagai penyakit masyarakat lainnya, dapat kita ubah dengan menerapkan prinsip-prinsip dhamma dan merubah / merevolusi mental masyarakat khususnya mahasiswa STABN Sriwijaya agar terciptanya lulusan yang berkualitas dan berguna untuk bangsa. Dasar kepemimpinan organisasi pendidikan STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, agar para pemimpin beserta umat Buddha dapat berpartisifasi terhadap lulusan yang berkualitas Agama Buddha di Indonesia, adalah karena Ajaran/Dhamma itu menekankan pada etika dan moral dalam hidup seseorang dapat dipertahankan melalui Pendidikan Tinggi yang nantinya generasi mendatang dapat mengenalnya kembali serta mempraktekkannya di manapun mereka berada. Dhamma/ajaran Buddha tersebut antara lain adalah: Kebijaksanaan/panna (Pandangan Benar, Pikiran Benar), moral/sila (Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar), Konsentrasi/Samadhi (Perhatian Benar, Konsentrasi Benar). Pelatihan kebijaksanaan, moral dan konsentrasi, dapat merealisasikan kebenaran anatta (ketidak kekalan) dan Paticca-samuppada (hukum sebab musabab yang saling bergantungan). Praktik ajaran Buddha dilaksanakan agar umat Buddha mencapai cita-cita Nibbana/Nirvana (Kebebasan mutlak). Sang Buddha adalah seorang Pemimpin dan guru/teladan yang luar biasa tentang kebajikannya, hal ini tampak pada kutipan berikut ini: Para Bhikkhu, dalam kehidupan lampau yang mana pun juga, Sang Tathagata ... menjadi yang terdepan dalam hal perilaku yang bermanfaat, seorang pemimpin dalam hal perbuatan benar dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dalam kedermawanan, perbuatan bermoral, pelaksanaan Uposatha, dalam menghormati ayah dan ibu, para petapa dan Brahmana, dan pemimpin suku dan dalam berbagai aktivitas yang pantas, ... (Digha Nikaya. Inti dari khotbah awal Buddha dikatakan empat Kebenaran Mulia (1) dukkha, (2) sebab dukkha, (3) terhentinya dukkha, (4) cara untuk menghentikan dukkha. Delapan Jalan Mulia antara lain; Pengertian Benar (sammâ-ditthi), Pikiran Benar (sammâ-sankappa), Ucapan Benar (sammâ-vâcâ), Perbuatan Benar 154 (sammâ-kammanta), Penghidupan Benar (sammâ-âjîva), Usaha Benar (sammâvâyâma), Perhatian Benar (sammâ-sati), Konsentrasi Benar (sammâ-samâdhi). Realisasi kebenaran anatta (tidak ada diri yang kekal) dan Paticca-samuppada (hukum sebab musabab yang saling bergantungan) diajarkan sebagai cara untuk mencapai Nibbana Nirvana (Kebebasan mutlak). Model Kepemimpinan Organisasi Pendidikan Berdasarkan Buddha Sang Buddha sebagai Pemimpin Sangha mengamanatkan pembabaran agama Buddha sebagaimana disampaikan kepada para siswanya 60 (enam puluh) arahat, dengan tujuan mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan semua orang. Seorang pemimpin yang baik mampu memimpin dirinya sebelum memimpin rakyatnya. Hal tersebut sesuai dengan ajaran Sang Buddha sebagai berikut: Atta have jitam seyoo, Ya cayam itara paja, Attadantassa posassa, Niccam sannatacarino. Artinya; lebih baik mengalahkan diri sendiri daripada menaklukkan makhluk lain; karena siapapun dapat mengendalikan pikiran dengan baik akan dapat mengendalikan perbuatannya dengan baik pula. Hal ini sangat sesuai dengan materi revolusi mental, bangsa saat ini. Revolusi Mental dipelopori oleh Presiden Joko Widodo (Kompas, Sabtu 10 Mei 2014) (BKPB, Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis) yaitu gerakan hidup baru berupa perubahan cara pandang, pikir dan kerja. Nilai-nilai dalam revolusi mental tersebut antara lain: (1) integritas (jujur, dipercaya, berkarakter, dan tanggung jawab); (2) etos kerja (berdaya saing, optimistik, inovatif dan produktif; (3) gotong royong (kerja sama, solidaritas, komunal, berorientasi kemaslahatan). Bangsa Indonesia saat ini mengalami terpuruk akibat dari mental korupsi, serakah, ingin menang sendiri, kecenderungan kekerasan dalam mengatasi masalah, pelecehan hukum dan sifat oportunis. Keadaan demikian dapat teratasi oleh Pemimpin berjiwa nasional khususnya para pemimpin yang dapat mengimplementasikan sepuluh macam Dhamma menjadi Revolusi Mental wajib 155 dilaksanakan oleh seorang Pemimpin (Dasa Raja Dhamma) (Kaharuddin, 2004) sebagai berikut: Nilai Integritas antara lain diwujudkan dengan; (1) berdana/beramal (dana), (2) kemoralan (sila), Nilai Etos Kerja diwujudkan dengan; (3) berkorban (pariccaga), (4) ketulusan hati (ajjava), Nilai Gotong Royong diwujudkan dengan; (5) ramah tamah (maddava), (6) kesederhanaan (tapa), (7) tidak marah (akkodha), (8) tidak melakukan kekerasan (avihimsa), (9) kesabaran (khanti), (10) tidak bertentangan dengan kebenaran (avirodhana). Teori Dasa Raja Dhamma sudah dipraktikkan oleh Sri Baginda Raja Asoka di India, terbukti dapat mengatasi segala gejolak yang muncul saat itu, serta menciptakan perdamaian dan kesejahteraan rakyat. Pembahasan Dasa Raja Dhamma dapat dijelaskan sebagai berikut (Pandita S.Widyadharma): 1) Berdana/beramal (dana), suka menolong orang, pemimpin yang sukses tidak terikat dengan kekayaannya, berani mengorbankan hartanya demi kepentingan rakyat. 2) Kemoralan (sila), memiliki moralitas tinggi, (menghindari; pembunuhan, pencurian, korupsi, asusila, berbohong dan segala yang membuat mabuk/lemah kesadaran) 3) Berkorban (pariccaga), kepentingan rakyat dibela dan diperjuangkan demi tercapai kesejahteraan. 156 4) Ketulusan hati (ajjava), jujur dan bersih, tidak mempunyai kepentingan pribadi di dalam menjalankan tugas. 5) Ramah tamah (maddava), selalu simpatik dan ramah-tamah terhadap siapapun. 6) Kesederhanaan (tapa), membiasakan diri hidup sederhana. 7) Tidak marah (akkodha), terbebas dari; keinginan jahat, sikap bermusuhan dan terbebas dari rasa dendam dengan siapapun. 8) Tidak melakukan kekerasan (avihimsa), memelihara perdamaian, menghindari peperangan dan segala unsur kekerasan. 9) Kesabaran (khanti), dapat menghadapi halangan, kesulitan, ejekan, memaafkan perbuatan orang lain yang tidak berkenan. 10) Tidak bertentangan dengan kebenaran (avirodhana), mendukung kesejahteraan rakyat, hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan hati nurani rakyat. Demikian pemimpin yang sukses seharusnya menerapkan langkah-langkah yang sudah ditunjukkan Sang Buddha, agar dapat mencapai tujuan untuk terciptanya kesejahteraan bangsa/komunitas yang dipimpinnya. Kesimpulan Menginplemtasikan Kepemimpinan Organisasi Pendidikan dengan praktik Dhamma dan revolusi mental dapat menghasilkan hasil kerja yang sempurna. sikap integritas, etos kerja yang baik dan gotong royong adalah nilai revolusi mental yang dibutuhkan mahasiswa STABN Sriwijaya dalam mempraktikan nilainilai dhamma. Untuk itu memerlukan sikap kepemimpinan yang baik berdasar pada nilai-nilai revolusi mental yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Dengan pemimpin yang memiliki nilai revolusi mental dapat menjadi contoh nyata dan menanamkan nilai tersebut kepada anak buah, anak didik, dan lingkungan tempatnya bekerja. Sehingga tercipta lingkungan yang sempurna di STABN Sriwijaya. 157 Daftar Pustaka Aggabalo, Bhikkhu. 2007. Dhammapada Atthakatha. Jakarta: Perpustakaan Narada Kaharuddin. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre. 4T K.H. Dewantara. 2004. Bagian pertama Pendidikan. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa: Yogyakarta. Kenneth Bhanchard, dkk. 1997. Leadership and The One Minute Manager: Kepemimpinan dan Manajer Satu Menit. Terjemahan oleh Anton Adiwiyoto. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 11T Robert S. Kaplan & David P. Norton. 2004. Strategy Maps (Converting Intangible Assets Into Tangible Autcomes. Harvard Business School Publishing Corporation. Saddatisa. (Tanpa tahun). Sutta-Nipata: Kitab Suci Agama Buddha. Diterjemahkan oleh Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. Klaten: Vihara Boddhivamsa. Walshe Maurice. 2009. Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha Dĩgha Nikãya. Jakarta: Dhamma Citta. Wahyu Kasih, Eka. (Tanpa Tahun). Membangun SDM Unggul dan Branding Sekolah Melalui Integrasi Pendidikkan Karakter dan IPTEK. Jakarta: Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3. 158 OPTIMALISASI PERAN GURU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA MELALUI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 Sabar Sukarno STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract Complex problems facing Indonesia today occur among others due to prolonged mental crisis. To overcome this problem, Indonesia advanced to the required mental revolution. Education is mentioned as one of the seven points in a mental revolution. Direction of education of a country governed in the curriculum. At this time the curriculum applied in Indonesia is Curriculum 2013. The curriculum 2013 is designed to develop aspects of knowledge, attitudes, and skills in a balanced manner. Thus mental development or the character of the nation is expected to be implemented better. To carry out these tasks, the teacher becomes the foundation for the main have a great responsibility for mental development the nation's children. The successful development of the character of the nation is determined by teaching of teachers at school. Keywords: mental revolution, teachers, curriculum Pendahuluan Negara Indonesia dalam usia yang sudah mencapai 70 tahun, siapapun setuju bila dikatakan bahwa tujuan kemerdekaan belum tercapai. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat belum tercapai secara merata, krisis moral yang semakin mengkhawatirkan, ancaman disintegrasi bangsa, ketertinggalan dalam persaingan global, dan sebagainya adalah masalah besar yang kini dihadapi bangsa Indonesia. Dunia pendidikan sering dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kondisi seperti ini. Memang dapat dilihat dengan jelas bahwa di dunia pendidikan yang seharusnya bertujuan membangun manusia Indonesia baik secara materiil maupun moral, tetapi pada kenyataannya di dunia pendidikan itu juga banyak terjadi praktik-praktik yang justru bersifat merusak karakter bangsa. Untuk mengembalikan karakter bangsa diperlukan revolusi mental. Revolusi mental dimulai dari pendidikan, mengingat peran pendidikan sangat strategis dalam membentuk mental anak bangsa. Pengembangan karakter bangsa diwujudkan melalui ranah pendidikan. 159 2T Revolusi mental pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soekarno tahun 1957 ketika revolusi nasional sedang berhenti. Gerakan itu ditujukan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berkualitas. Presiden RI saat ini yaitu Joko Widodo mencanangkan kembali semangat tersebut dengan tujuan lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa. Nilai-nilai esensial itu meliputi etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif-inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, dan berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2015: 3). Ide mengenai gerakan revolusi mental adalah sangat penting untuk bangsa Indonesia saat ini. Kata revolusi berarti sebuah perubahan cepat dan mendasar. Mental adalah segala sesuatu menyangkut cara hidup cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, cara mempercayai/ meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Mental berkaitan erat dengan karakter dan budaya. Dalam revolusi mental yang akan diubah adalah mental, jiwa, mindset, atau pikiran bangsa Indonesia ini. Untuk melakukan perubahan ini apalagi dalam waktu yang singkat adalah tidak mudah, diperlukan konsep, strategi atau pendekatan, dan juga kekuatan yang besar. Bagaimanapun tidak sepenuhnya benar bila dikatakan bahwa revolusi mental adalah proses mengubah, namun lebih tepat dikatakan sebagai membangun kembali. Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, sopan, toleransi, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Revolusi mental sebagai upaya merekonstruksi jatidiri dan karakter bangsa Indonesia dengan berdasarkan kepada nilai-nilai agama, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan budaya lokal. Tugas stakeholder pendidikan, khususnya guru untuk mengembalikan karakter tersebut ke keaslian, orisinalitas, identitas bangsa Indonesia. Dengan komitmen semua pihak disertai kesadaran seluruh warga negara, niscaya karakter ini akan kembali menjadi jati diri bangsa Indonesia. Salah satu faktor pendukung yang memiliki peran strategis dalam revolusi mental adalah bidang pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan 7 (tujuh) butir revolusi mental yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi, dimana dalam butir 160 keempat berbunyi “Indonesia harus bisa menggenggam dunia, pendidikan yang baik menjadi kuncinya. Dan itu harus menjadi tanggung jawab bersama.” Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menggariskan 7 (tujuh) ikhtiar revolusi mental bidang pendidikan yaitu: (a) mengubah paradigma pendidikan berdaya saing menjadi pendidikan mandiri dan berkepribadian; (b) merancang kurikulum berbasis karakter dari kearifan lokal serta vokasi yang beragam berdasarkan kebutuhan geografis daerah dan bakat anak; (c) menciptakan proses belajar yang menumbuhkan kemauan belajar dari dalam diri anak; (d) memberi kepercayaan penuh pada guru untuk mengelola suasana dan proses belajar pada anak; (e) memberdayakan orangtua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak; (f) membantu kepala sekolah untuk menjadi pemimpin yang melayani warga sekolah; dan (g) menyederhanakan birokrasi dan regulasi pendidikan diimbangi pendampingan dan pengawasan ( http://www.paudni.kemdikbud.go.id/bindikmas/berita/pidato12TU mendikbud-pada-upacara-pencana ngan-gerakan-nasional-revolusi-mental ). U12TU U Masalah mentalitas bangsa adalah bagian dari masalah kultural (budaya), oleh karena itu salah satu cara mengubahnya harus melalui cara kultural juga, yakni melalui pendidikan. Dengan kata lain revolusi mental harus dimulai dari sekolah. Gurulah yang harus bekerja keras untuk melaksanakan tugas ini. Guru harus melaksanakan pembelajaran yang dapat membentuk karakter siswa. Sejak beberapa tahun terakhir di sekolah sudah dicanangkan pendidikan karakter bangsa dimana pemerintah menetapkan terdapat 18 karakter yang harus dikembangkan. Setiap karakter diintegrasikan dalam setiap pembelajaran. Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Arief Rahman mengemukakan bahwa program revolusi mental yang digagas Jokowi-Jusuf Kalla dapat terlaksana jika menerapkan kurikulum 2013. Ada nilai-nilai pengetahuan yang terstruktur yang terkandung dalam nilai-nilai kurikulum 2013. Value (nilai) pendidikan harus terstruktur pengetahuannya, sikapnya dan pengetahuannya ( http://news.liputan6.com/read/2107050/kurikulum-2013-dinilai-bisa-lahirkan12TU revolusi-mental-jokowi-jk ). Semiarto Aji Purwanto (2015: xviii) mengemukakan U12T 161 cara untuk mewujudkan revolusi mental dalam perspektif strategi kebudayaan juga merujuk pada orientasi dan mekanisme yang harus dilalui. Dua cara yang mengemuka adalah melalui pendidikan dan upaya rekonstruksi sosial yang lain. Pembenahan pendidikan dasar, terutama dalam hal penyediaan guru yang berkualitas dan isi kurikulum yang memadai. Kurikulum 2013 (K-13) dapat dipandang sebagai respon terhadap kurikulum sebelumnya yang menurut para pengamat pendidikan lebih mengedepankan pada aspek kognitif. Tema perubahan pada K-13 yaitu menciptakan manusia Indonesia yang kreatif, inovatif, proaktif, dan afektif melalui pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara integratif. Dalam Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum tercantum karakteristik kurikulum 2013, yaitu dirancang diantaranya untuk mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus mampu mengintegrasikan ketiga aspek tersebut agar dapat seiring sejalan tanpa ada aspek yang lebih dominan terhadap aspek yang lain. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam dokumen Implementasi Kurikulum 2013 menguraikan esensi perubahan dari kurukulum sebelumnya ke kurikulum 2013. Pada kurikulum sebelumnya mempunyai karakteristik sebagai berikut: (a) kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan belum secara jelas diurai, bahkan cenderung dipersepsi menjadi kognitif, afektif, dan psikomotorik saja, tidak digunakan memandu materi ajar; (b) dominan pada pengetahuan; (c) aktivitas pembelajaran hanya domain pengetahuan; (d) penilaian dominan menggunakan tes; (e) rapor cenderung hanya melaporkan kompetensi bidang pengetahuan. Pada kurikulum 2013 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (a) kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan diurai menjadi Kompetensi Inti KI-1 (sikap spiritual), KI-2 (sikap sosial), KI-3 (pengetahuan) dan KI-4 (keterampilan), yang memandu penetapan materi; (b) perpaduan sikap, pengetahuan, dan keterampilan; (c) aktivitas pembelajaran didesain pada tiga 162 ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan; (d) penilain menggunakan tes, obervasi, portofolio dan penilaian sikap; (e) Rapor berisi komponen sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilengkapi dengan deskripsi kualitiatif. Dalam K-13 aspek sikap untuk jenjang pendidikan dasar mendapat porsi yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan agar peserta didik menjadi anak yang berkarakter baik (aspek afektif) lebih menonjol. K-13 menempatkan kompetensi inti sikap religius dan sikap sosial menjadi yang utama. Semua muatan pelajaran bermuara ke arah sikap religius dan sikap sosial yang baik. Sikap ini bukan sekedar menjadikan religiusitas sebagai pengetahuan, lebih dari itu harus ada transformasi nilai, menjadikannya sebagai habituasi (kebiasaan) anak dalam kehidupan nyata sehari-hari, diinternalisasikan pada pribadi yang pada akhirnya menjadi jati diri anak. Dalam implementasi K-13, guru harus merubah paradigma mengajar dari teacher oriented (berorientasi pada guru) ke student oriented (berorentasi pada siswa). Terdapat perbedaan yang cukup besar dari kedua pendekatan tersebut. Sanjaya (2012: 96) menguraikan mengenai pembelajaran dengan pendekatan teacher oriented dan student oriented. Dalam pembelajaran dengan pendekatan teacher oriented, guru memegang peranan yang sangat penting. Sebagai penyampai informasi, sering guru menggunakan metode ceramah sebagai metode utama. Sebagai evaluator, guru juga berperan dalam menentukan keberhasilan proses pengajaran diukur dari sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi menempatkan siswa sebagai obyek belajar yang harus menguasai materi pelajaran. Siswa dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran siswa dituntut memahami segala sesuatu yang disampaikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari kadangkadang tidak berpijak pada kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat maupun minat siswa, akan tetapi berangkat dari pandangan apa yang menurut guru dianggap baik dan bermanfaat. Tujuan utama pengajaran adalah penguasaan materi pelajaran. Kriteria keberhasilan ditentukan oleh penguasaan materi 163 pelajaran. Maka alat evaluasi yang digunakan biasanya adalah tes hasil belajar tertulis yang dilaksanakan secara periodik. Dalam pembelajaran dengan pendekatan student oriented, mengajar tidak ditentukan oleh guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri. Kriteria keberhasilan siswa tidak diukur dari sejauh mana siswa telah menguasai materi pelajaran, tetapi diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar. Guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar, tetapi berperan sebagai orang yang membimbing dan memfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar. Siswa tidak dianggap sebagai obyek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subyek belajar yang belajar sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimilikinya. Siswa sebagai organisme aktif yang memiliki potensi untuk berkembang. Guru bukan satu-satunya sumber belajar, harus mampu menggali berbagai sumber belajar. Dalam pembelajaran modern, guru harus dapat memanfaatkan sumber-sumber lain, yang dapat berupa manusia, alat dan bahan pengajaran, berbagai aktifitas dan kegiatan, dan lingkungan. Hal yang baru dalam K-13 adalah adanya Kompetensi Inti (KI), yang terdiri dari K-1 (sikap spiritual), KI-2 (sikap sosial), KI-3 (pengetahuan) dan KI-4 (keterampilan). Keempat kompetensi tersebut merupakan perwujudan dari kompetensi sikap, pengetahun dan keterampilan, yang berfungsi untuk memandu penetapan materi. Kompetensi inti adalah tingkat kemampuan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang harus dimiliki oleh peserta didik. Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran yang relevan. Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar. Uraian kompetensi dasar untuk memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, tetapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya. 164 Pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan. Tujuan pembelajaran bukanlah penguasaan materi pelajaran, tetapi proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Penguasaan materi pelajaran bukanlah akhir dari proses pengajaran, akan tetapi hanya sebagai tujuan antara untuk pembentukan tingkah laku yang lebih luas. Sejauh mana materi pelajaran yang dikuasai siswa dapat membentuk pola perilaku siswa. Untuk itu metode dan strategi yang digunakan tidak hanya sekedar metode ceramah, tetapi menggunakan berbagai metode seperti diskusi, penugasan, kunjungan ke obyekobjek tertentu dan sebagainya. Dalam K-13 digunakan konsep pembelajaran baru yaitu menggunakan pendekatan saintifik. Dalam pedoman umum pembelajaran diuraikan implementasi kurikulum dalam proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu (a) mengamati, (b) menanya, (c) mengumpulkan informasi, (d) mengasosiasi, (e) mengkomunikasikan. Proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik diharapkan mewujudkan integrasi sikap, keterampilan, dan pengetahuan dapat berjalan seiring tanpa ada mengedepankan aspek tertentu. Proses penilaian harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari pelajaran. Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan sensomotorik). Pelaporan penilaian pembelajaran bersifat deskriptif dan kualitatif mencakup aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pembahasan Kurikulum adalah sebuah sistem yang diciptakan untuk pedoman bagi implementator untuk melaksanakan pendidikan. Sebaik apapun kurikulum itu akan menjadi tidak efektif jika para implementatornya tidak mempunyai kompetensi yang cukup baik untuk melaksanakannya. Guru sebagai implementator di tingkat lapangan sangat menentukukan efektifitas implementasi kurikulum. Kurikulum 2013 sudah disusun dengan konsep yang didasarkan pada kebutuhan jaman ini, dan dengan melihat kelemahan yang ada dalam kurikulum 165 sebelumnya. Salah satu tema penting dalam K-13 adalah penekanan pada pengembangan secara seimbang antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Konsep ini menjadi harapan baik bagi semua pihak, tetapi di pihak lain adalah menjadi tantangan berat bagi para guru. Seperti diketahui bahwa pada saat ini masih banyak guru yang menganut paradigma lama, mempraktikkan cara-cara lama dalam pembelajaran, dan belum memiliki kompetensi yang cukup baik untuk melaksanakan pendidikan yang berkualitas. Terlepas dari berbagai faktor pendukung lain yang sangat berpengaruh, harus diakui bahwa guru memang menjadi faktor penentu utama dalam implementasi K-13 khususnya dalam melaksanakan pendidikan karakter. Guru harus mampu melaksanakan pembelajaran seperti yang diamanatkan pemerintah melalui kurikulum. Pemerintah menetapkan bahwa proses pembelajaran harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. Pendidikan formal melalui sekolah adalah tempat penting untuk memulai revolusi mental ini. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan kognitif ke pengetahuan praktis. Artinya, membentuk mental bukanlah pembicaraan teoriteori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut mempengaruhi tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan. Pendidikan mengajarkan nilai (virtue) yang merupakan pengetahuan praktis. Dalam kurikulum 2013 sudah dirancang agar dalam pembelajaran dikembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang. Standar untuk itu meliputi seluruh proses pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian pembelajaran, pemanfaatan sumber belajar dan materi pembelajaran, dan sebagainya. Dengan standar demikian akan dipastikan bahwa seluruh proses dalam pembelajaran tersebut bertujuan mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang. Tujuan dari semua 166 itu agar tidak akan terjadi dominasi aspek kognitif yang terjadi selama ini ketika guru mengimplementasikan kurikulum sebelumnya. Untuk melaksanakan pendidikan seperti di atas guru harus meninggalkan cara lama yaitu pendekatan teacher oriented. Pembelajaran dengan pendekatan student oriented akan menekankan bahwa siswalah yang melakukan pembelajaran, bukan guru yang mengajar. Dengan cara ini semua aspek baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap akan dikembangkan oleh siswa melalui aktualisasinya. Siswa akan mendapatkan pengalaman belajar secara langsung. Dalam abad teknologi dan informasi ini, guru mempunyai berbagai peran. Guru tidak relevan lagi disebut sebagai satu-satunya sumber belajar. Guru dapat berperan sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator, dan evaluator. Guru sebagai sumber belajar harus dapat menunjukkan sumber belajar pada siswa. Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran, memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut. Guru sebagai pengelola pembelajaran berperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Hakikat pembelajaran adalah belajarnya siswa bukan mengajarnya guru. Guru harus membimbing siswa agar dapat menemukan potensi yang dimilikinya, dan membimbingnya agar dapat melaksanakan tugas. Guru sebagai motivator harus mampu memberikan motivasi belajar kepada siswa. Dengan pembelajaran yang mengintegrasikan ketiga ranah pengetahuan, ketrampilan, dan sikap secara seimbang maka diharapkan akan membentuk manusia yang seimbang pula, yaitu orang yang pandai dan mempunyai pengetahuan baik, mempunyai keterampilan, dan memiliki sikap dan karakter yang baik. Hal ini akan meminimalisir adanya orang yang pandai tetapi sikapnya tidak baik, atau tidak mempunyai keterampilan yang diperlukan dalam hidupnya. Demikian juga diharapkan tidak akan terjadi orang yang sikapnya baik tetapi tidak cakap dan berpengetahuan. Orang yang pandai, mempunyai keterampilan baik, serta sikap dan karakter yang baik adalah ciri manusia yang berkualitas baik. 167 Penutup Revolusi mental harus dilaksanakan dengan berbagai strategi dari berbagai sektor. Dunia pendidikan adalah sektor yang sangat strategis untuk memulai revolusi mental. Memang revolusi mental yang dilakukan dalam sektor pendidikan tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat karena melibatkan proses pendidikan untuk membentuk mental anak bangsa. Tetapi pendidikan karakter yang baik akan membentuk mental bangsa yang kuat. Revolusi mental melalui pendidikan sangat tergantung kepada peran guru sebagai pelaku utama atau ujung tombak dalam proses pendidikan di lapangan yaitu di kelas. Untuk menciptakan guru yang mampu melaksanakan tugas tersebut, guru sendiri harus meningkatkan kompetensinya, pemerintah harus selalu melakukan pembinaan, dan masyarakat harus mendukung tugas guru. Pada saat ini, kurikulum 2013 dicanangkan untuk menjadi panduan bagi pelaksanaan pendidikan yang mengembangkan sikap, mental, dan karakter peserta didik. Daftar Pustaka Sanjaya, Wina. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Semiarto Aji Purwanto. 2015. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 2013. 12TU http://news.liputan6.com/read/2107050/kurikulum-2013-dinilai-bisa-lahirkanrevolusi-mental-jokowi-jk . Diakses 5 Januari 2015. U12T 12TU http://www.paudni.kemdikbud.go.id /bindikmas/berita/pidato-mendikbud-padaupacara-pencana ngan-gerakan-nasional-revolusi-mental. Diakses 5 Januari 2015. U12TU 168 U MENINGKATKAN PERAN DHARMADUTA MELALUI REVOLUSI MENTAL DALAM MENGHADAPI TANTANGAN MASYARAKAT ASEAN Santi STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12TU U12T Abstract Facing the challenge of the ASEAN community required Human Resources that are highly competitive. The process of economic integration of ASEAN community in positive action for the progress and prosperity of the country, but also have side effects such as shifting challenges due culture aculturation that can erode the value of religion and national character. To maintain and preserve the value of religion, the religion as a major milestone extension should come out to face this challenge. Dharmaduta in the face of these challenges need to boost its role in education. Certainly related to mental improvement as a professional instructor who must cultivate and inculcate three values mental revolution in his/herself. Increasing the role of Dharmaduta through a mental revolution in facing the challenges of the ASEAN community aims to broaden the reader and raise awareness to improve the professionalism of Dharmaduta. The efforts to enhance the role of Dharmaduta through a mental revolution is by taking into account the competence and expertise that are required as a Dharmaduta, as well as the selection process as prequisite for Dharmaduta candidate. Keywords: enhancing the role of dharmaduta, mental revolution, ASEAN community challenge Pendahuluan Indonesia sejak 31 Desember 2015 lalu telah mulai menghadapi era pasal tunggal ASEAN yaitu ASEAN Economic Community (AEC) yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di kalangan masyarakat Indonesia. Persaingan pasar tunggal ASEAN dapat memotivasi Indonesia untuk maju dan meningkatkan perekonomian serta kemakmuran masyarakat. Namun, pelaksanaannya tidak mudah terkait persaingan yang ketat karena daya saing Indonesia yang lemah. Fakta dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) melaporkan daya saing global negara ASEAN tahun 2012-2013 terdapat kesenjangan signifikan bahwa Singapura memiliki daya saing terbaik pada urutan ke-2, sementara Indonesia urutan ke-50 di bawah Malaysia, Brunei, dan Thailand. Sementara 169 Kamboja memiliki daya saing rendah pada urutan ke 85. Berdasarkan pembangunan manusia di ASEAN dari Human Development Index ASEAN Tahun 2010-2012 diketahui bahwa Singapura menempati rangking tertinggi dengan 0,892-0,895. Namun, Myanmar justru terendah dengan 0,490-0,498. Indonesia diposisi tengah dengan 0,620-0,690 (Jurnal Lemhanas, 2013: 57-59). Lemahnya daya saing Indonesia bukan satu-satunya krisis yang dihadapi Indonesia, karena masih banyak krisis lainnya yang melilit Indonesia seperti krisis kepercayaan diri, krisis kepercayaan sosial, kemiskinan, pengangguran serta kebodohan. Belum lagi dampak dari globalisasi seperti individualism, materialism, hedonism, liberalism yang semakin memudarkan karakter bangsa. Sesuai dengan Hakim (2013: 80-84) ada empat dampak integrasi ekonomi yaitu: 1. Berkembangnya mass cultur karena alkulturasi budaya dan kemajuan ICT, sehingga cultur lebih bersifat regional/global dari pada lokal. 2. Integrasi ekonomi MEA yang dibangun dengan proses rasional dan empirik, akan menggeser paham keagamaan/kepercayaan yang tidak dapat diterima akal dan rasio. 3. Semakin tinggi sikap hidup materialistik masyarakat di komunitas ASEAN. 4. Maraknya aktivitas integrasi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pergerakan transnasional jasa/barang mengakibatkan konsekuensi perubahan nilai agama dan masyarakat yang ada. Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa pelaksanaan AEC dapat menggeser paham keagamaan serta merubah nilai agama dan masyarakat yang ada. Ini merupakan tantangan berat bagi Indonesia karena harus menghadapi krisis jati diri akibat lemahnya mental manusia Indonesia. Hal ini juga ditekankan oleh Koentjaraningrat (1974) bahwa manusia Indonesia memiliki sifat yang meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Mentalitas yang lemah ini memperburuk karakter bangsa. Sesuai dengan ungkapan bijak bahwa “When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost something is lost; when character is lost, everything is lost”. Ungkapan ini mengisyaratkan pentingnya karakter, karena jika karakter hilang, maka semuanya juga hilang. Ungkapan lain yang senada yaitu “Knowledge is power, but character is more” menekankan bahwa pengetahuan adalah kekuatan 170 tetapi karakter memiliki nilai lebih daripada itu. Character building is a never ending process, bermakna pembangunan karakter manusia merupakan proses yang tidak pernah berhenti (Supellini,dkk., 2015: 182). Berdasarkan ungkapan bijak di atas, maka mentalitas yang lemah harus terus dibangun dan diperbaiki menjadi mentalitas positif. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menamakan usaha ini dengan istilah “Revolusi Mental”. Revolusi mental merupakan suatu gerakan menyeluruh secara cepat untuk mengangkat kembali nilai strategis yang dibutuhkan bangsa dan negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Revolusi mental harus menyeluruh dari pihak pemerintah hingga rakyat. Terutama salah satu elemen terkait yang memikul tanggung jawab besar dari dampak globalisasi yang dapat menggeser nilai agama adalah tokoh agama atau penyuluh agama. Penyuluh agama harus menjaga dan melestarikan nilai agama agar tidak tergerus oleh arus globalisasi. Oleh karena itu penyuluh agama Buddha (Dharmaduta) harus meningkatkan peranannya. Dalam upaya meningkatkan peranannya, Dharmaduta sendiri harus memperbaiki dan memperkuat mentalitasnya terlebih dahulu melalui revolusi mental, baru kemudian melakukan penyuluhan yang professional. Hal ini dilakukan agar Dharmaduta dapat lebih mempersiapkan diri menjadi sumber daya manusia (SDM) yang terampil dalam menyuluh, peka terhadap permasalahan dan kritis dalam berperan di masyarakat untuk menghadapi tantangan masyarakat ASEAN. Melalui keseluruhan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu: pentingnya meningkatkan peran Dharmaduta melalui revolusi mental dalam menghadapi tantangan masyarakat ASEAN. Artikel ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dalam meningkatkan wawasan, khususnya bagi para Dharmaduta agar dapat membangkitkan kesadaran, merevolusi mental negatif ke arah positif sehingga mampu meningkatkan perannya secara efektif untuk melestarikan Dhamma dalam menghadapi tantangan masyarakat ASEAN. Untuk itu perlu adanya pemahaman 171 benar mengenai tantangan masyarakat ASEAN, Peran Dharmaduta, dan Revolusi Mental. Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) terbentuk pada tahun 2003 di Bali dengan kesepakatan dari sepuluh negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Dalam kesepakatan ini terdapat tiga pilar masyarakat ASEAN yaitu ASEAN Political Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio Culture Community (ASCC) yang dicanangkan dalam Visi ASEAN 2020. Namun karena kondisi kemajuan China dan India dalam satu kawasan Asia Pasifik maka Visi ASEAN 2020 dipercepat lima tahun sehingga dilaksanakan ditahun 2015 (Hakim, 2013: 4). Pelaksanaan AEC yang ditetapkan tanggal 31 Desember 2015 lalu merupakan bentuk integrasi ekonomi regional yang melibatkan lima elemen pasar tunggal yaitu arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota ASEAN sehingga mampu menghadapi persaingan pada lingkup regional dan global (Bakhri, 2015: 25). Efek samping dari integrasi ekonomi regional yang melibatkan sepuluh negara ASEAN ini adalah akulturasi budaya dan pergeseran nilai dalam masyarakat seperti halnya yang diungkapkan di atas mengenai empat dampak dari integrasi ekonomi. Inilah tantangan masyarakat ASEAN. Berhasil tidaknya Indonesia menghadapi tantangan ini bergantung dari kuatnya masyarakat memegang nilai agama (keyakinan pada ajaran agama) dan seberapa besar aplikatif nilai agama dalam kehidupan untuk menumbuhkan mentalitas positif sebagai karakter bangsa. Peran Dharmaduta terdiri dari dua kata yaitu peran dan Dharmaduta. Peran atau peranan diartikan sebagai pelaku dalam sandiwara (Suharto & Iryanto 1989: 161). Sementara dari tinjauan sosiologi peranan terkait dengan kedudukan atau status (Soekanto, 2001: 268). Dharmaduta adalah istilah penyuluh agama Buddha. Jadi peran Dharmaduta adalah peran yang dilaksanakan oleh penyuluh agama Buddha. Penyuluh Agama adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan/penyuluhan agama dan pembangunan, berlandaskan 172 dasar hukum: (1) Keppres No.87 Th.1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional; (2) Kep Menkowasbangpan No. 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya; (3) Keputusan Bersma Menteri Agama RI dan Kepala BKN No. 574 Tahun 1999 dan No. 178 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya. Walaupun penyuluh agama adalah PNS namun dalam memenuhi kebutuhan masyarakat juga disediakan penyuluh agama non PNS. Seperti dinyatakan dalam lampiran I/KMA/RI/no 39/2015 tentang renstra MA tahun 2015-2019 bagian penyediaan penyuluh agama dinyatakan bahwa penyuluh agama merupakan salah satu unsur penting dalam upaya peningkatan pemahaman ajaran agama kepada masyarakat. Sampai tahun 2014 terdapat 60 orang penyuluh agama Buddha PNS dan 1722 orang non PNS didukung oleh 1981 Pandita dan 1372 Dharmaduta. Berdasarkan keputusan Mentri Agama (KMA) No 79 tahun 1985 “penyuluh agama mempunyai peranan sebagai pembimbing masyarakat, panutan dan penyambung tugas pemerintah”. Dalam melaksanakan peranannya, penyuluh agama melaksanakan fungsi informatif dan edukatif dalam menyampaikan penerangan agama dan mendidik masyarakat. Fungsi konsultatif, dalam membantu memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, baik secara pribadi, keluarga maupun sebagai anggota masyarakat umum. Fungsi Advokatif, dalam melaksanakan pembelaan terhadap umat/masyarakat dari berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang merugikan nilai agama. Adapun siklus pekerjaan penyuluh agama adalah: menyusun dan menyiapkan rencana dan program penyuluhan, melaksanakan penyuluhan, melaporkan pelaksanaan penyuluhan serta mengevaluasi hasil pelaksanaan penyuluhan. Hal ini senada dengan definisi bimbingan dan penyuluhan agama sebagai konselor (Arifin, 1976: 11). Idealisme akan peran penyuluh ini belum sesuai dengan realita penyuluh agama Buddha yang ada di lapangan saat ini, menurut penelitian Sendri (2012) dan Iin Suwarni (2008) mengenai peran Dharmaduta ditemukan fakta bahwa profesionalitas Dharmaduta masih kurang dalam hal penguasaan materi, teknik 173 komunikasi, juga pada rasa percaya diri. Untuk meningkatkan profesionalitas peran Dharmaduta ini dibutuhkan revolusi mental Dharmaduta. Istilah revolusi pada abad ke-13 digunakan untuk menggambarkan gerak benda langit dengan bahasa latin revolver. Berawal pada sejarah raja Inggris 1688, istilah revolusi mulai digunakan untuk menunjuk perubahan sosial politik yang berlangsung cepat dan radikal. Kemudian melalui rangkaian kuliah sejarawan pendidikan Herbert Butterfield yang diterbitkan dalam The Origins of Modern Science tahun 1949, mulai dikenal revolusi keilmuan yang menandai episode keilmuan dengan munculnya paradigma baru. Sejak saat itu istilah revolusi tidak lagi menimbulkan makna negatif seperti radikalisme, dan mulai popular digunakan sejak Thomas Kuhn menerbitkan The Structure of Scientific Revolutions pada tahun 1962 (Supelli, dkk., 2015: 4). Presiden pertama Indonesia, Soekarno menggunakan istilah ini dengan sebutan revolusi mental yang digagas pada tahun 1957. Gagasan ini kemudian diangkat kembali oleh calon presiden Jokowi dalam artikelnya “Revolusi Mental” di Harian Kompas tanggal 10 Mei 2014 yang menekankan perubahan ke arah yang lebih baik, meliputi institusi dan masyarakat (Indriyanto, 2014: 554), dan pada saat kampanye tanggal 24 Mei 2014, Jokowi mengusulkan perlunya revolusi mental sebagai solusi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, dengan mentransformasi masyarakat dari mental negativisme menuju positivisme. Berdasarkan hal tersebut, visi pemerintahan Jokowi saat ini adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” (Supelli, dkk., 2015: ix). Visi pemerintahan Jokowi ini disosialisasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada tanggal 21 Agustus 2015 dalam sosialisasi gerakan nasional revolusi mental. Pada sosialisasi tersebut dinyatakan bahwa visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” itu, memiliki sembilan agenda prioritas yang dikenal dengan sebutan nawa cita. Adapun nawa cita kedelapan adalah revolusi karakter bangsa Indonesia. Untuk merevolusi karakter bangsa pertama perlu dilakukan revolusi mental. Karakter dan mental dalam ilmu psikologi merupakan dua konsep dari 174 entitas kepribadian. Mental terkait dengan kondisi kejiwaan, sedangkan karaker mencerminkan perilaku atau penampilan fisik dari individu. Karakter bergantung pada mental yaitu kemampuan mempersepsikan nilai budaya yang berlaku pada satu kesatuan masyarakat (Strickland, 2001; Farenga & Ness, 2005). Revolusi mental menurut Bagir (2014) adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan perubahan sistem nilai masyarakat dalam panutan perilaku. Pernyataan ini didukung oleh Abduhzein (2014) bahwa revolusi mental terkait karakteristik kepribadian manusia yang direfleksikan dalam perilaku dan perubahan perilaku berdasarkan suatu sistem nilai, dalam hal ini ditekankan pada pendidikan karakter. Kemudian Massardi (2014) juga mengemukakan revolusi mental dalam orientasi nilai budaya terjadi secara cepat dan fundamental. Demikian pula dalam makalah “Revolusi Mental dalam Perspektif Pendidikan Islam” menekankan bahwa revolusi mental merupakan perubahan yang harus di lakukan oleh perorangan ataupun sekelompok masyarakat menuju suasana yang bebas dari pertentangan batin. Dengan memperbaiki mental negatif masyarakat, mencegah agar masyarakat tidak jatuh ke mental negatif, menjaga kesehatan mental masyarakat, agar pemerintah tidak menghadapi sandungan ketika melaksanakan program yang telah dicanangkan. Bebas dari mental negatif yang dimaksud adalah mental positif atau kesehatan mental dengan motivasi sebagai konsep dasarnya (Tamin: 3-6). Muhlizi (2014: 453-460) juga menyatakan bahwa perubahan mental yang baik meliputi transformasi budaya nusantara ke dalam format pembangunan hukum terkait pemberantasan korupsi bersumber dari dua elemen yakni nilai agama dan adat. Hal ini karena korupsi membahayakan standar moral dan intelektual masyarakat. Seperti halnya pendapat Theobald (1990) bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinism. Tujuan revolusi mental yaitu: (1) mengubah cara pandang, pikir dan sikap, perilaku dan cara kerja; (2) membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistik; (3) mewujudkan Indonesia berdaulat, berdikari dan berkepribadian. Terkait tujuan maka ada ditetapkan pula delapan disiplin revolusi mental, dimana 175 pada disiplin ketujuh terdapat penekanan pada nilai yang dikembangkan bertujuan mengatur kehidupan sosial (moralitas publik). Ada tiga nilai yang ditekankan dalam revolusi mental yaitu: (1) integritas bermakna jujur, dapat dipercaya, berkarakter dan bertanggung jawab; (2) Etos kerja bermakna daya saing, optimis, inovatif dan produktif; (3) gotong royong bermakna kerjasama, solidaritas, dan berorientasi pada kemaslahatan. Tiga nilai ini perlu dipraktikkan dalam kehidupan. Oleh karenanya salah satu strategi internalisasi nilai ini adalah melalui pendidikan formal maupun non formal seperti ceramah, atau keteladanan tokoh dalam masyarakat. Pembahasan Integrasi globalisasi saat ini yang menuntut kualitas SDM berdaya saing tinggi serta tantangan akan tergesernya nilai agama akibat alkulturasi budaya dari sepuluh Negara ASEAN, maka peran Dharmaduta yang selama ini belum sesuai dengan idealisme empat fungsi Dharmaduta harus segera ditingkatkan. Peningkatan ini dilakukan melalui revolusi mental yang menekankan pada tiga nilai yaitu integritas, etos kerja dan gotong royong. Kalimat ini bermakna, pertama seorang Dharmaduta harus menumbuhkan nilai integritas dalam dirinya agar dapat bertanggung jawab dalam pekerjaannya dan dipercaya oleh umat Buddha. Kedua, Dharmaduta wajib memiliki etos kerja yang tinggi, dimana Dharmaduta harus berupaya meningkatkan potensi dirinya, selalu inovatif dan kreatif agar dapat menarik minat umat. Ketiga Dharmaduta dalam menjalankan fungsinya harus membina kerjasama yang baik, menjalin solidaritas sesuai dengan Trilogi Umat Beragama. Revolusi mental Dharmaduta dalam tiga nilai harus dilaksanakan dengan praktik Dhamma dalam kehidupan agar nilai luhur Dhamma mengakar dalam diri Dharmaduta dapat menjadi karakter khas umat Buddha sebagai masyarakat bangsa Indonesia dan tidak mudah tergerus oleh nilai asing dalam tantangan masyarakat ASEAN. Berdasarkan urairan peran Dharmaduta pada bagian pendahuluan diketahui bahwa Dharmaduta melaksanakan fungsi informatif dan edukatif, konsultatif dan 176 advokatif. Keempat fungsi ini bertujuan membimbing umat Buddha agar memiliki pemahaman Dhamma dan kualitas kehidupan yang baik. Dalam rangka peningkatan peran Dharmaduta maka perlu diperhatikan kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan. Oleh karena itu sebelum calon Dharmaduta terjun mengabdi di masyarakat perlu bekal kompetensi yang mantap mulai dari penguasaan Dhamma, kemampuan komunikasi efektif, pemahaman karakter umat yang disuluh. Bekal kompetensi ini harus bersifat link and match yang menekankan pada aspek pengetahuan dan praktik yang sesuai di kebutuhan lapangan. Bukan penjejalan ilmu tanpa kesempatan praktik. Selain itu upaya peningkatan peran Dharmaduta juga harus dimulai dengan proses penyeleksian calon Dharmaduta, bahwa syarat minimal yang harus dimiliki seorang Dharmaduta penyuluh agama adalah: pribadi yang menarik, berdedikasi tinggi dalam tugas, kemampuan komunikasi efektif, serta peduli terhadap nilai kemanusiaan. Persyaratan ini difokuskan agar seorang Dharmaduta tidak hanya menjadi pembawa obor yang tidak dapat memanfaatkan obor, dengan kata lain penyuluh yang memiliki inteligensi tinggi namun lemah dalam emosional dan spiritual. Oleh karenanya seorang penyuluh yang profesional juga harus menumbuhkan keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ, agar menjadi contoh panutan bagi umat Buddha sekaligus sebagai alat revolusi mental bagi umat Buddha. Hal ini berdasarkan strategi internalisasi nilai yang dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa melakukan revolusi mental masyarakat juga dapat melalui peran ceramah dan menjadi tokoh panutan masyarakat. Dharmaduta profesional yang memiliki bekal kompetensi mantap dan daya saing tinggi diharapkan dapat melakukan ke empat fungsi penyuluhan dengan baik dan benar, menggunakan metode penyuluhan yang tepat sesuai kebutuhan masyarakat. Beberapa metode bimbingan dan penyuluhan dalam Agama Islam menurut (Amin, 2010: 69-74) yaitu: interview, group guidance, client centered method, directing counseling, dan educational method. Metode ini sudah sesuai dengan empat fungsi penyuluh agama. Oleh karenanya Dharmaduta juga harus dapat mempelajari ke empat metode ini dan berupaya menerapkannya secara maksimal sesuai karakter dan kebutuhan umat Buddha. 177 Simpulan dan Saran Salah satu tantangan masyarakat ASEAN dalam integrasi ekonomi adalah pergeseran nilai akibat alkuturasi budaya asing yang dapat menggerus nilai agama. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia yang sedang dilanda krisis karakter bangsa akibat mentalitas yang bobrok. Salah satu elemen yang berperan penting dalam menjaga dan melestarikan nilai agama adalah penyuluh agama. Oleh karenanya Dharmaduta harus meningkatkan perannya dalam melaksanakan empat fungsi Dharmaduta demi melestarikan Dhamma. Adapun upaya meningkatkan peran Dharmaduta melalui penanaman tiga nilai revolusi mental yaitu integritas, etos kerja dan gotong royong. Dalam proses revolusi mental dengan tiga nilai tersebut, juga di perhatikan kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan Dharmaduta sesuai prinsip link and match. Kemudian penyeleksian calon Dharmaduta dengan persyaratan yang harus dimiliki seorang Dharmaduta agar menjadi Dharmaduta yang profesional dan dapat menjadi tokoh masyarakat dalam merevolusi mental masyarakat demi memperkokoh karakter bangsa Indonesia agar dapat menghadapi tantangan masyarakat ASEAN. Melalui artikel ini penulis menyarankan pada pembaca khususnya penyuluh agama lain maupun Dharmaduta agar berupaya dengan penuh semangat dalam melakukan revolusi mental pribadi sebelum merevolusi mental masyarakat. Tanpa upaya dan semangat kuat meningkatkan profesionalitas diri maka diri sendirilah yang akan tereliminasi dan dengan revolusi mental menjadi mental pribadi yang kokoh terdapat nilai tambah di mata masyakat yang mampu menjadi panutan bagi masyarakat. Daftar Pustaka Abduhzein, M. 28 Juni 2014. Revolusi Mental, Mulai dari Mana. Kompas. hlm. 6. Arifin, M. Pokok-Pokok Pikiran tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Bagir, H. 2 Oktober 2014. Strategi Kebudayaan dan Revolusi Mental. Kompas. hlm. 7. 178 Bakhri, B.S. 2015. Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dari Perspektif Daya Saing. Jurnal Economica. Volume 1 No.1. Farenga, S. J. & Ness, D. (editor). 2005. Encyclopedia of Education and Human Development . New York:M.E. Sharpe, Inc. Hakim, M.F. 2013. ASEAN Community 2015 dan Tantangannya pada Pendidikan Islam di Indonesia. Lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat IAIN. Sunan Ampel. Indriyanto, Bambang. 2014. Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan (Mental Revolution Within Educational Contexts). Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemdikbud. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan.Jakarta: Gramedia. Massardi, Y.A. 2 Desember 2014. Revolusi kebudayaan. Kompas hlm. 6. Muhzili, Arfan Faiz. 2014. “Revolusi Mental untuk Membentuk Budaya Hukum Anti Korupsi”. Jurnal Rechtsvinding. 2014 (Volume 3. No 4). Strickland, B. R. (editor). 2001. Gale Encyclopedia of Psychology (2nd edition). Farmington Hills: GaleGroup. Suharto & Iryanto, Tata, 1989, Kamus Bahasa Indonesia Terbaru , Penerbit Indah, Surabaya. 7T 7T Supelli, Karlina dkk. 2015. Revolusi Mental Sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Tamin, Sudirman. Tanpa tahun. Revolusi Mental dalam Perspektif Pendidikan Islam. Theobald, Robin. 1990. Corruption,development and underdevelopment. London: he mcmillanpress ltd. Widodo, Joko. “Revolusi Mental”, opini dalam harian Kompas, 10 Mei 2014. Dokumen: KMA No 79 tahun 1985 dan KMA RI No 39 tahun 2015 ASEAN Vision 2020. 2000. Tantangan dan Inisiatif. Ganewati Wuryandari (Editor). Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI. 179 KONSTRUKSI KONSEP PEREKONOMIAN KELUARGA DALAM AJARAN BUDDHA: SEBUAH TINJAUAN PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUN REVOLUSI MENTAL (SUATU TELAAH HERMENEUTIKA) Sapardi STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12TU U12T Abstract Living in harmony with the family in accordance with D hamma is the ideal condition to make us happy . A ppreciate the universe without destroying it is a necessity that must be built together . U tilizing the universe by using enough resources for survival is a noble task that we must build. Buddha Dharma has taught us to be able to live a balanced, harmonious, tolerance, and able to understand the essence of life. Understanding the Buddha Dharma will better equip us to see the potential and responsibility which hasto be done in this world. This current business processes thus become a moral benchmark of every human being in order to achieve peace. The Holy Great teacher, Buddha has overcome three problems of life, as follows: greed , hatred and ignorance . to understand the meaning of life right at once practiced in the end can be enlightened and become Buddha . This modern era as a result of globalization has occurred rivalries are very strong in all aspects of life community and made human beings to hedonism . T he decline in the quality of human being becomes a very serious problem , which must be resolved by the readiness of the increase in the mentality and morality . A ssociated with the crucial condition that the author intends to give thought to overcome this, starting from the family circle . B uild main ideas is about the economy of the family according to the teachings of Buddha. I t is based on the study and interpretation of the texts contains in the Tripitaka scripture. The Buddha was a teacher who taught completely, finishing toward the supernatural earthly problems. Giving choice to man’s life into homelessness. Freedom of choice is at our hand, by choosing the option of family life, the consequences is the need to build a harmonious family, which will never be separated from the problems of life. One of them is the problem of setting the economy well. 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11 T 11T 11T 1 1T 11T 1 1T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11 T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 1 1T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T 11T Keywords: household economy, buddha’s teaching, mental revolution Pendahuluan Hidup harmonis sesuai dengan alam adalah kondisi ideal. Kondisi ideal dapat diwujudkan dari keinginan yang tidak terlalu muluk-muluk dan dapat membuat kita untuk bahagia. Hidup menghargai alam semesta tanpa dengan 181 merusaknya adalah suatu keniscayaan. Berkembangnya kehidupan modern dengan proses bisnis perekonomian yang modern tidak mengabaikan terjadinya kerusakan alam. Manfaat didapat dan alam semesta dirawat untuk terus menerus memberikan manfaat. Memanfaatkan alam semesta dengan secukupnya untuk kelangsungan kehidupan adalah tugas mulia yang harus kita bangun. Buddha Dharma telah mengajarkan kepada kita untuk dapat hidup seimbang, serasi dan dapat memahami hakekat kehidupan. Memahami Buddha Dharma dengan baik akan membekali kita untuk melihat potensi dan tanggung jawab yang harus dilakukan dalam dunia ini. Proses bisnis yang demikian menjadi tolok ukur moral setiap insan demi tercapainya kedamaian. Buddha Gotama telah mengatasi 3 (tiga) permasalahan hidup uang menjadi momok, yaitu keserakahan, kebencian dan kebodohan. Memahami makna kehidupan dengan benar, makna material yang menjadi sarana kehidupan yang baik dan lebih baik lagi. Tidak hanya semata-mata dalam satu kehidupan sekarang, tapi juga tabungan dari perbuatan untuk kehidupan selanjutnya. Melalui pemahaman tersebut dan sekaligus mempraktikkannya, pada akhirnya dapat tercerahkan dan menjadi Buddha. Era modern sekarang ini telah terjadi persaingan-persaingan yang sangat kuat dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Berlomba-lomba untuk menguasai berbagai bidang kehidupan dan saling adu strategi segi dalam berbagai kepentingan meluas dan terus berkembang diberbagai belahan dunia. Keserakahan demi keserakahan terus dikembangkan dengan mengabaikan persoalan etis dan moral. Berkembangnya paham ermo ergo sum (berbelanja maka aku ada) menjadikan manusia mengarah kepada hedonisme. Akibat era globalisasi dan berkembangnya kapitalisme, liberalisme dan berujung pengingkaran diri serta bergembangnya hedonism, maka struktur social yang sebenarnya selama ini cukup mapan, tergerus dengan globalisasi tersebut. Kita tidak sadar dengan kondisi yang berkembang. Peningkatan kualitas intelektual dikembangkan, namun kurang dibarengi dengan kesiapan mentalitas dan moralitas. Kepandaian yang dimiliki menjadi penyebab korupsi, kolusi dan nepotisme untuk kepentingan parsial. 182 Dengan memaknai berbagai permasalahan dewasa ini yang terjadi khususnya yang dialami oleh masyarakat Indonesia, penulis menyadari bahwa terdapat satu permasalahan yang krusial dalam mengatasi kebutuhan minimal manusia yaitu kecukupan bidang ekonomi. Bila kebutuhan minimal saja tidak tercukupi, ini akan menjadi beban dasar setiap individu manusia dalam keluarga. Terkait dengan sistem perekonomian dalam keluarga menurut ajaran Buddha terdapat berbagai permasalahan, diantaranya (a) buku-buku maupun artikel terkait dengan system perekonomian menurt ajaran Buddha kurang; (b) pemahaman umat Buddha tentang konsep perekonomian Buddhis kurang; (c) sumberdaya manusia Buddhis yang memahami konsep ekonomi berdasarkan dharma kurang; (d) pemahaman dan perhatian umat Buddha terhadap konsep ekonomi lemah; (e) pendidikan-pendidikan Buddhis kurang berkembang; (f) lembaga keagamaan Buddha kurang memperhatikan kemajuan umat pada bidang ekonomi; (g) lembaga pendidikan tingggi keagamaan Buddha tidak atau belum peduli terhadap pendidikan ekonomi Buddhis; (h) kebijakan Pembina umat Buddha belum berjalan sebagaimana mestinya; (i) riset tentang sistem perekonomian berdasarkan pada perguruan tinggi keagamaan Buddha menurut ajaran Buddha kurang; (j) kerja sama lembaga-lembaga keagamaan Buddha masih lemah; (k) kerja sama lembaga pendidikan Buddhis dengan para pengusaha Buddhis kurang; (l) kerja sama lembaga pendidikan tinggi Buddhis dengan lembaga pendidikan tinggi Buddhis luar negeri kurang; (m) belum terbentuk konstruksi konsep-konsep perekonomian dalam keluarga menurut ajaran Buddha; (n) sistem kemasyarakatan menurut ajaran Buddha. Melihat permasalahan yang terjadi dan membelenggu menjadi permasalahan krusial, khususnya pada proses perekonomian keluarga Buddhis yang terjadi serta berkeinginan untuk memberikan pemikiran dalam mengatasi hal tersebut, maka penulis ingin memberikan sumbangsih pemikiran untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui research terhadap teks-teks Kitab Suci Sutta Pitaka dan teks-teks serta buku-buku lainnya. Oleh karena itu, menjadi menarik sehingga peneliti ingin melakukan research tentang kontruksi konsep perekonomian Buddhis dalam kehidupan 183 keluarga. Harapan peneliti ke depan yang ideal bahwa dengan memahami teksteks yang berada dalam Kitab Suci Sutta Pitaka yang terkait dengan konsep perekonomian akan memberikan menjadi sumber atau acuan untuk menjadi landasan dalam kehidupan dalam keluarga. Reserch ini didasarkan karena melihat kondisi sekarang ini banyaknya permasalahan hidup yang dialami seseorang sebagai bagian dalam keluarga. Melalui kajian ini, penulis berharap dapat menyajikan teori-teori Buddha terkait dengan bidang ekonomi, khususnya dalam pembangunan keluarga yang harmonis dan sejahtera. Hal ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang sekaligus sumbangsih pemecahan dalam konsep tataran berpikir terkait dengan permasalahan hidup. Pada sisi lain bagaimana konsep pemikiran manajemen ekonomi keluarga yang berlandaskan ajaran Buddha. Sebagaimana kita ketahui bahwa Buddha adalah guru yang mengajarkan tuntas, menyelesaikan permasalahan duniawi menuju adiduniawi. Memberikan pilihan hidup kepada manusia untuk hidup berkeluarga atau hidup menjadi petapa. Dalam mengambil pilihan tersebut mengandung konsekwensi masing-masing jika tidak sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan. Dan dalam keduanya akan membawa kebahagiaan bila sesuai dengan norma-norma yang ada. Untuk mencapai hal tersebut tidak akan pernah terlepas dari dunia material sebelum manusia bebas yang sebenarnya (Nibbana). Sehingga memahami dan memaknai dengan benar akan dunia material menjadi keniscayaan. Permasalahan bahwa konsep manajemen perekonomian keluarga menurut ajaran Buddha belum dipahami dengan baik. Hal ini menyebabkan tidak dapat berkembangnya perekonomian menurut ajaran Buddha. Oleh karenanya bahwa dengan pemahaman yang benar terhadap hal tersebut, diharapkan akan menjadi pedoman maupun panduan khususnya bagi umat Buddha dalam kehidupan seharihari. Untuk dapat menciptakan kondisi tersebut harus ada kesatuan untuk bersama-sama bergerak dan berkiprah dari berbagai pihak khususnya dari umat Buddha itu sendiri untuk mengembangkan konsep perekonomian menurut ajaran Buddha. Ini menjadi pemikiran yang sangat penting. Kajian ini bertujuan untuk: 184 (a) memahami perlunya konstruksi konsep perekonomian keluarga menurut ajaran Buddha; (b) mendeskripsikan bangunan konsep-konsep perekonomian dalam keluarga menurut ajaran Buddha; (c) mengetahui manfaat-manfaat konstruksi konsep perekonomian menurut ajaran Buddha. Ruang lingkup penelitian ini berada pada kajian pustaka /libary research untuk mengkonstruksi konsep perekonomi keluarga dengan berfokus pada teks ajaran Buddha yang tertulis dalam Kitab Suci Sutta Pitaka (Pali Text Society/PTS) yang dianalisis dengan pendekatan filosofis hermeneutika. Hal ini bertujuan untuk mengetahui hakikat mendalam mengenai ajaran Buddha pada bidang kehidupan bermasyarakat sebagai satu pilihan (diluar kehidupan sebagai petapa), yang dimulai dari kehidupan sebagai individu/pribadi, bermasyarakat serta berkehidupan bangsa dan negara, yang pada dasarnya dalam proses tersebut tidak akan pernah terlepas dari segi ekonomi. Terkait dengan pengaturan keluarga, yang harus dipahami terlebih dulu adalah makna perkawinan, baik berlandaskan hukum agama maupun hukum Negara. Seorang wanita yang menginginkan berjodoh satu dengan yang lainnya dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang, maka keduanya harus memiliki kehidupan yang sebanding dalam hal saddha, sila, caga, dan panna. (Anguttara Nikaya II, 61). Dalam Pattakammaragga dari Anguttara Nikaya II, Sang Buddha menjelaskan tentang empat jenis kebahagiaan yang dapat dicapai oleh umat awam, yaitu: kebahagiaan memiliki kekayaan, kebahagiaan karena menikmati kekayaan, kebahagiaan tidak memiliki hutang dan kebebasan hidup tanpa cela. Demikian pula dalam Upali Sutta, Majjhima Nikaya, bahwa untuk menunjang kehidupan maka seseorang harus memiliki pekerjaan. Dalam menempuh hidup berkeluarga sebagai pilihan, dan sekaligus juga harus memiliki penghidupan yang benar sebagaimana dalam Ariya Atthangika Magga, yang terdapat dalam Dhammacaka-pavatthana Sutta, Majjhima Nikaya. Demikian juga hidup ditempat yang sesuai sebagaimana dijelaskan dalam Mangala Sutta. Sang Buddha juga mengajarkan bahwa setiap anggota dalam kehidupan perumah tangga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dalam 185 Sigalovada Sutta. Setiap anggota dalam keluarga memiliki dan mengembangkan cinta kasih dan kasih saying sebagaimana dalam Metta Sutta. Agar dalam kehidupan yang akan dating juga dapat berbahagia maka setiap anggota keluarga juga menimbun harta yang sejati sebagaimana dijelaskan dalam Niddhikhanda Sutta. Hal-hal yang harus dihindari oleh para perumah tangga adalah hal-hal yang menyebabkan kemerosotan, sebagaimana dijelaskan dalam Parabhava Sutta. Tiba waktunya yang tepat, orang tua mempunyai tugas untuk memberikan warisan yang tepat, sebagaimana contoh dalam Rahulovada Sutta. Dalam Vyagghapajja Sutta, sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi diperlukan untuk mendapatkan kehidupan duniawai, tanpa mengabaikan dasar moral dan spirituan. Juga dalam menempuh kehidupan keluarga, Perumah tangga, mendapatkan bekal yang baik dengan melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari hari. Landasan teoritis dalam penelitian ini hermeneutika. Hermeneutika adalah interpretasi atau tafsir yang akan digunakan untuk mengkaji teks-teks dalam Kitab Suci Tipitaka sebagai sumber utama (primer) dan buku-buku yang lain sebagai sumber sekunder (penunjang). Teori hermeneutika yang akan dipergunakan akan disesuaikan dengan kepentingan pemaknaan terhadap teks-teks, antara lain teori dari Dhiltey, Ricoeur, Gadamer dll. Dengan menggunakan kajian interpretasi hermeneutika diharapkan akan diperoleh makna yang terkadung dari teks-teks Kitab Suci Tipitaka dimaksud dan sekaligus sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Pembahasan Keluarga yang harmonis adalah cita-cita setiap perumah tangga, apapun agama yang dianutnya. Permasalahannya adalah bahwa dalam membentuk keluarga yang harmonis banyak halangan dan rintangan, yang tidak semua perumah tangga mampu mengatasinya. Dalam kotbah-Nya yang pertama kepada 5 (lima) petapa, Sang Buddha menguraikan dengan jelas perihal kehidupan. Hidup adalah dukkha. Dukkha ada sebabnya. Sebab dukkha dapat dilenyapkan dan Jalan untuk melenyapkan dukkha. 186 Satu pilihan untuk hidup berkeluarga, tidak akan pernah lepas dari permasalahan perekonomian. Dalam membentuk keluarga sebagaimana ajaran Buddha terdapat syarat yang sebaiknya dimiliki oleh pasangan yaitu sebanding dalam keyakinan, sebanding dalam moralitas, sebanding dalam kedermawanan dan sebanding dalam kebijaksanaan. Empat hal tersebut sebagai dasar untuk dapat terciptanya kehidupan yang harmonis dalam keluarga Buddhis. Agar terciptanya keluarga yang harmonis maka setiap anggota keluarga haruslah berpenghidupan benar. Ini adalah sumber utama untuk dapat hidup harmonis dan bahagia, baik bagi para petapa maupun bagi kehidupan berkeluarga. Karena kemiskinan adalah sebagai sumber malapetaka, maka dalam kehidupan keluarga maka haruslah kecukupan terkait dengan sandang, pangan dan papan. Setiap anggota dalam keluarga tentu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Hak dan kewajiban haruslah seimbang dan tidak sepihak. Bila hal-hal yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan dan sebaliknya yang harus tidak dilakukan tetapi dilakukan maka akan menjadi awal kemerosotan dalam kehidupan. Oleh karena itu setiap anggota keluarga memiliki kewajiban untuk menghindarinya. Untuk mendapatkan materi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan perekonomian dalam keluarga maka setiap anggota keluarga harus bekerja keras dengan baik dan jujur. Demikian pula bahwa setiap anggota keluarga harus mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang untuk dapat terciptanya suasana keluarga yang harmonis. Pada waktunya yang tepat, orang tua tentu akan memberikan warisan kepada anak-anaknya. Agar terciptanya kehidupan yang harmonis, setiap anggota keluarga mampu memilih antara kebutuhan dan keinginan. Mana yang harus didahulukan dan dipentingkan. Dan juga yang tidak kalah pentingnya bahwa dalam kehidupan sehari-hari sebagai perumah tangga harus melaksanakan pancasila Buddhis dengan baik. Penutup Mengacu kepada hasil pembahasan tersebut di atas bahwa terdapat kearifan konsep-konsep menurut ajaran Buddha dalam membangun keluarga yang 187 harmonis. Konstruksi konsep-konsep perekonomian dalam membangun keluarga sangat dibutuhkan. Sehingga umat Buddha dapat memahami dengan baik ajaran Sang Buddha terkait dengan system perekonomian. Dalam membangun perekonomian keluarga menurut ajaran Buddha yang terdapat dalam kitab Tipitaka. Konsep-konsep Berbagai aspek yang harus dipahami dan sekaligus dilaksanakan oleh perumah tangga. Hal-hal yang harus dimiliki dalam membentuk keluarga yang harmonis diawali dengan sebanding dalam keyakinan, sebanding dalam moralitas, sebanding dalam kedermawanan dan sebanding dalam kebijaksanaan. Empat hal tersebut menjadi dasar dan landasan, sehingga perjalanan dalam membangun keluarga yang harmonis akan kuat. Dengan berpatokan pada penghidupan benar, memahami akar permasalahan, memahami sebab-sebab kemerosotan, mampu menciptakan berkah utama, dapat melaksanakan kewajiban dengan baik, bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan, mengembangkan cinta kasih kepada semua mahluk hidup, memberikan jamuan terhadap tamu, memberikan warisan yang tepat, hidup sesuai dengan kebutuhan dan bukan keinginan, memiliki sarana dan prasarana yang cukup, dan lain sebagainya. Dengan melaksanakan hal-hal demikian maka manfaat akan dapat diperoleh yaitu hidup berbahagia dalam kehidupan perumah tangga. Terkait dengan konsep-konsep perekonomian menurut ajaran Buddha, kiranya dapat lebih banyak lagi yang meneliti. Para dosen dapat mengembangkan lagi penelitian yang lebih luas. Perguruan tinggi hendaknya lebih apresiasif untuk mampu memberikan warna yang lebih baik, sehingga mampu memberikan perubahan-perubahan dalam proses perkembangan. Daftar Pustaka Bodhi, Bhikkhu. 1995. The Middle Length Discourse of the Buddha, A Translation of the Majjhima Nikaya. Boston: Wisdom Publications. ______________. 2006. The Miror Readings (Khuddakapatha). Terjemahan Cintiawati dan Lena Anggawati. Klaten: Wisma Sambodhi. 188 ______________. 2010. Khotbah khotbah Berkelompok Sang Buddha, Samyutta Nikaya. Terjemahan Indra Anggara. Jakarta: Dhammacittapress. Bleicher, Josef. 2013. Hermeneutika Kontemporer (Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat dan Kritik. Yogyakarta: Fajar Pustaka. Jutanago (ed.). 1985. Kitab Suci Dhammapada. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. Lay, U Ko. 2000. Guide To Tipitaka (Panduan Tipitaka Kitab Suci Agama Buddha).Terjemahan Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. Klaten: Vihara Bodhiwamsa. Mulyono, Edi. 2012. Belajar Hermeneutika. Yogyakarta: IRCiSoD. Narada. 1988. The Buddha and His Teaching. Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society. Ñānamoli, Bhikkhu. 1998. The Life of the Buddha. Kandy: Buddhist Publication Society. ______________. 2013. Khotbah-Khotbah Menengah Sang Buddha, Majjhima Nikaya. Terjemahan Edi Wijaya dan Indra Anggara. Jakarta: Dhammacittapress. Nyanatiloka. 1970. Buddhist Dictionary: Manual of Buddhist Terms and Doctrines. Singapore: Singapore Buddhist Meditation Centre. Palmer, Richard E (2005) Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Riceour. Paul (2014). Teori Interpretasi Membelah Makna dalam Anatomo Teks. Yogyakarta: IRCiSod. Saddatissa. 2003. Sutta Nipata Kitab Suci Agama Buddha, terjemahan Lenny Anggawati dan Wena Cintiawati (Klaten: Vihara Bodhivamsa). Sumaryono.E (1993). Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Walse. Maurice (2009) Digha Nikaya (Kotbah-kotbah Panjang Sang Buddha) Jakarta: Dhamma Citta Press. Widjaya. Hendra (Penerjemah) (2013) Dhammapada Syair Kebenaran. Tanpa Kota: Ehipassiko Foundation. 189 REVOLUSI MENTAL SIVITAS AKADEMIKA STAB NEGERI SRIWIJAYA TANGERANG BANTEN: MEWUJUDKAN KAMPUS GREEN, SMART, DAN SECURE (TINJAUAN TELAAH KASUS) 12T Setia Darma STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract Academician means the academic community consists of rector (leadership element), lecturers, students, and employees of the university (college) has a big hand in laying the groundwork action Revolution Mental to realize the campus Green (environmentally conscious), Smart (intelligent, superior) and Secure (safe and comfortable). Sriwijaya Buddhist College, Tangerang, Banten during its slogan is Buddhistic, Winning, Character. National Movement for Mental Revolution stems from the invitation of President Jokowi as leaders of Indonesia to reform the character of the nation that has been degraded in depth (revolusinisasi). Backed by a consortium of national leaders (government bureaucracy, the business community, religious leaders, academics, artists, and much more)by its strategic values: integrity, work ethic, and mutual cooperation; The National Movement has three pillars aims to politically sovereign, independent economic and socio-cultural personality, holds eight basic principles of Mental Revolution as follows: Mental Revolution is a social movement to work together towards a better Indonesia; It must be supported by the government commitment (political will); Must be cross-sectoral; Collaboration society, private sector, academia, and government; Do the programs onslaught of values (value attack) to constantly remind the public of the strategic value in every public space; The design should be easy to implement the program (user friendly), fun (popular) for all segments of society;The values were developed primarily intended to regulate public morality (social) is not the morality of private (individual); Can be measured the impact and benefit of the community. With the National Movement's in Sriwijaya Buddhist State College, Tangerang, Banten realize the Green campus, Smart and Secure in the discussion of the problems that exist at the level of these three things, already and have not owned and must improve, equip and continuously improve themselves to meet the era of the ASEAN economic community to be ready to compete and become a World Class University in the future. Keywords: mental revolution, civitas academic, cultural work, integrity 191 Pendahuluan Era Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK) yang terus berkembang dan membawa dampak perkembangan sosial budaya pada masyarakat dan individu perlu diantisipasi oleh Pemerintah, Pimpinan Nasional, Tokoh Agama, Keluarga dan lain-lain. Kasus-kasus narkoba, teroris, korupsi, pelanggaran HAM, tindak kekerasan dalam keluarga masyarakat/lingkungan, tidak taat hukum, tidak berdisiplin merupakan perilaku sehari-hari yang terjadi di masyarakat yang mudah kita temui/ketahui melalui media sosial. Tindakan tidak mau antri, menyerobot di jalan, melawan arus lalu lintas, kurang peduli terhadap hak orang lain merupakan hal-hal biasa yang terjadi di sekitar kita. Perilaku bisa diubah, mental dan karakter bisa dibangun, karena itu perlu Revolusi Mental, perubahan secara cepat perilaku bukanlah pilihan, tetapi suatu keharusan agar kita bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik dengan memulai Revolusi Mental dari diri sendiri sejak saat ini. Revolusi Mental sudah hampir dua tahun lalu dicetuskan, perlu Revolusi Mental keluar dari rawa mediokritas, kemalasan intelektual, kecengengan emosional, kedangkalan spiritual, kebrutalan dogmatisme, dan dari belenggubelenggu prasangka dan kecurigaan yang menyandera bangsa. Sulit disangkal namun diantara tantangan-tantangan yang kita hadapi seperti budaya kekerasan, bebas dari rasa takut, korupsi, dan lain-lain dapat terjadi di masyarakat (F. Magnis Suseno). Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten sebagai institusi dibawah Kementerian Agama Republik Indonesia c.q. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha adalah Kampus Negeri yang mencetak calon sarjana-sarjana Agama Buddha yang belajar berusaha untuk bekerja berkarya tentang pendidikan, penyuluhan Agama Buddha, dan lain-lain di kampus Green, Smart, dan Secure, dengan slogannya Buddhistik, Unggul dan Berkarakter. Sebagaimana yang diharapkan manusia yaitu ingin bahagia, maju, dan sejahtera; terdapat dalam Manggala Sutta, Guru Agung Hyang Buddha menyarankan agar kita terus-menerus belajar dan bergaul dengan para bijaksanawan, berada di tempat yang sesuai, berpengetahuan luas, memiliki 192 keterampilan, melaksanakan sila, tidak melakukan perbuatan tercela, sering berdana, menghindari perbuatan buruk, bersemangat untuk mencapai cita-cita, dan selalu menghormat kepada yang patut untuk dihormati, menjadi berkah bagi kita di manapun kita berada. Revolusi Mental merupakan Gerakan Nasional yang dihimbau oleh pemerintahan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat Indonesia untuk maju dan berubah, perubahan sikap mental untuk bertindak arif, positif, merubah semua mindset, merubah yang jelek menjadi baik, bagus, yang malas jadi rajin, produktif, yang lambat jadi cepat, yang boros jadi hemat, yang bergantungan jadi mandiri, bekerja buruk atau asal jadi berubah profesional, yang tertutup jadi transparan, bermewah-mewahan menjadi sederhana atau bersahaja sebagaimana delapan dasar perilaku kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha. Ajakan dalam Gerakan Nasional ini dalam lingkup Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan bagi Sivitas Akademika, bagi keluarga besar Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang yang merupakan tanggung jawab kedepan bagi perkembangan pendidikan tinggi Agama Buddha di Nusantara. Permasalahan yang penulis bahas dalam artikel ini bagi keluarga besar Sivitas Akademika berkaitan dengan Revolusi Mental untuk mewujudkan kampus Green, Smart dan Secure. Penulis mendapatkan manfaat dari penulisan artikel “Revolusi Mental Civitas Akademika STABN Sriwijaya Tangerang Banten Mewujudkan Kampus Green, Smart, dan Secure”, yaitu: (a) mendeskripsikan tentang revolusi mental yang harus dilaksanakan oleh keluarga besar Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten; (b) mengkaji bagaimana kampus yang ideal bagi perkembangan pendidikan tinggi Agama Buddha kedepan yang siap menghadapi tantangan global; (c) apa saja permasalahan pokok yang menjadi hambatan dan tantangan untuk menjadi kampus yang dapat kompetitif; (d) kekuatan dan kelemahan apa yang menjadi kendala bagi institusi Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten; (e) mengenali permasalahan yang ada pada kampus untuk menjadi green, smart, dan secure; 193 serta hal-hal apa yang perlu menjadi pijakan untuk perbaikan ke depan; (f) memberikan sumbangsih pemikiran untuk kemajuan kampus Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten; (g) menjadi referensi bahan kajian untuk dituangkan pada program kerja jangka pendek dan menengah. Artikel kajian opini penulis ini disusun dalam rangka seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, bahan-bahan tulisan diperoleh sebagaimana penulis muat pada daftar pustaka, terdiri dari majalah, surat kabar, buku Paritta, internet dan pengamatan penulis menjadi Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. Adapun kerangka pemikiran dari penulisan artikel ini adalah seperti yang digambarkan berikut: Aksi Revolusi Mental Kampus Green Smart Secure World Class University Mengikat kinerja dengan lima nilai budaya kerja (integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab, keteladanan) Pembahasan Delapan dasar perilaku kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha (integritas, profesional, kemandirian, akuntabilitas, keteladanan, transparansi, religiusitas, bersahaja) hampir sama dengan lima nilai budaya kerja Kementerian Agama Republik Indonesia, yang telah muncul lebih dahulu (integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab, keteladanan). Perubahan yang signifikan dan menjadi nilai tambah bagi institusi Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten adalah agar Sumber Daya Manusia para dosen harus terus-menerus melakukan Tridharma Perguruan 194 Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, khususnya Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang penelitian. Para dosen dituntut untuk dapat mengangkat dan membuat prestasi bersama mahasiswa-mahasiswi menjadi terkenal di tingkat nasional dan internasional. Dengan adanya keterbatasan-keterbatasan, halangan-halangan yang ada, harus diterobos dengan kebijakan-kebijakan yang revolusioner, merevolusi mental Sumber Daya Manusia, mengikat kinerja seluruh Civitas Akademika dengan lima nilai budaya kerja (integritas, profesional/kompetensi, inovatif, tanggungjawab, dan keteladanan), menjadi landasan agar Sriwijaya Green, Smart, Secure dapat menuju World Class University. Usaha sadar lingkungan hidup (Green) yaitu dengan lingkungan bersih, menambah penghijauan, keasrian, daur ulang (re-cycle), memakai kembali (reuse), mematuhi tata-tertib disiplin, mematuhi instruksi bervegetarian, dan tidak memberikan contoh perilaku merokok di manapun berada. Cerdas dan unggul (Smart) yaitu dengan multi pilihan peminatan (jenjang tingkatan, jurusan, fakultas, program studi, konsentrasi, dan lain-lain), multi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bervariasi baik fisik maupun mental, multi kegiatan (seminar, pelatihan, pembinaan, dan lain-lain), multi kemampuan keterampilan (budaya, intelektual, kewirausahaan, dan lain-lain), serta meningkatkan kompetisi baik dalam negeri maupun internasional (perlombaan, kontes, dan lain-lain). Aman dan nyaman (Secure) yaitu dengan meningkatkan fasilitas yang lengkap dan terkini (multi laboratorium, sarana prasarana, perpustakaan, dan lainlain), penjaminan keamanan dan kesehatan seluruh Civitas Akademika, penjaminan bekerja kepada mahasiswa yang telah lulus, serta perlunya meningkatkan kesejahteraan pegawai (koperasi) dan menurunkan biaya-biaya yang dibebankan kepada mahasiswa. Penutup Dengan bersinergi seluruh Sivitas Akademika dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Stakeholder atau Mitra, Dewan Penyantun, 195 Majelis-majelis Lembaga Keagamaan Buddha, Umat Buddha, Sangha, baik dukungan moril materiil, saling mendukung, kerja sama yang baik di dalam dan di luar negeri upaya mewujudkan kampus yang asri, nyaman, aman, dan melahirkan cendikiawan-cendikiawan Buddhis yang unggul, inovatif, kreatif, produktif, dan kompetitif dapat diwujudkan hingga menjadi World Class University. Kesimpulan 1. Revolusi Mental merupakan gerakan aksi bersama seluruh masyarakat Indonesia perlu dilaksanakan segera; 2. Keluarga besar Civitas Akademika harus berintegritas menunjang perbaikan, meningkatkan kinerja sesuai lima nilai budaya kerja dan delapan dasar perilaku kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia; 3. Perbaikan, peningkatan, penambahan kerjasama dari pelbagai pihak dalam mewujudkan kampus Green, Smart, dan Secure perlu dilakukan segera agar dapat kompetitif menjadikan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten menuju World Class University. Saran 1. Gerakan Nasional Revolusi Mental ditambah dengan jorgan/slogan tersebut agar dapat diaplikasikan oleh Keluarga besar Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten; 2. Program lima nilai budaya kerja dan delapan dasar perilaku kerja Bimas Buddha Kemenag RI tidak dapat ditunda dalam dunia kompetitif, secepatnya merealisasikan kampus Green, Smart dan Secure; 3. Sosialisasi tiga pilar Revolusi Mental berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya agar menjadi cita-cita bangsa melalui dunia pendidikan tinggi yang terus menerus bersinambungan dilakukan. 196 Daftar Pustaka Magnis-suseno, Franz. 2015. “Revolusi Mental”. Harian Kompas. 31 Desember 2015. Mas’ud, Abdurrahman. 2014. “Revolusi Mental dengan Keteladanan”. Ikhlas Beramal. Jakarta Pusat: Kementerian Agama RI. Salman, H. 2015. “Revolusi Mental ASN Kemenag Melalui 5 Nilai BK dan B2K”. Penuntun Amal Bhakti. Padang: Kanwil Kemenag Sumbar. 197 PENGUATAN INTEGRITAS AKADEMIK MAHASISWA MELALUI INTERNALISASI NILAI-NILAI MORAL BUDDHIS 12T Sugianto STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract Mental revolution became the government program of the Indonesian Republic, a way to improve the mindset, thought patterns, and work patterns of the Indonesian nation. Campus as a place of higher education providers to do mental revolution for the academic community in order to improve the quality of education. Strengthening academic integrity through the internalization of Buddhist moral value. An attempt to overcome problems such as students' academic integrity, like absent, cheating, plagiarism, collusion, ghosting, and others. Moral according to Buddhism is an inner quality that is able to recognize good and evil which is then followed by behaving in a moral way, such as right speech, right action and right livelihood. Internalization of moral values is done by applying the model of Buddhist learning value performed by a variety of approaches, such as cultivation approach, cognitive moral development approach, analysis approach value, values clarification approach, and the approach of learning to do. Students are conditioned to get used to apply honesty, fairness, respect, responsible, humble on the basis of understanding and selfawareness in academic activities. Keywords: academic integrity, moral value, buddhist internalization Pendahuluan Revolusi mental adalah program yang digaungkan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk mempebaiki kualitas mental bangsa. Berbagai persoalan mental bangsa menimbulkan keprihatinan sehingga perlu segera atasi. Bangsa Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa besar, perlahan-lahan mengalami pergeresaran. Kasus korupsi yang melanda pejabat Negara, tindak kriminal yang marak terjadi, merusak nama baik bangsa Indonesia. Revolusi mental dilakukan dengan mengubah cara pandang, cara pikir, dan cara kerja ke arah yang benar dengan cepat. Revolusi mental menjadi tanggung jawab semua warga negara. Kampus sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab merevolusi mental civitas akademi. Penguatan integritas akademik mahasiswa merupakan bagian dari revolusi mental di bidang 199 pendidikan di kampus. Mahasiswa seyogyanya mengerti dan melaksanakan peran dan tanggung jawab dengan benar. Sebagai intelektual muda yang bersemangat mempelajari ilmu pengetahuan sesuai dengan keilmuwan agar menjadi ahli, aktif berbagai pengembangan diri untuk memperluas pergaulan yang positif, mematuhi tata tertib kampus. Pendidikan yang tinggi tidak menjamin mahasiswa mampu melaksanakan peran dan tanggungjawab akademik di kampus. Disintegritas akademik menjadi masalah yang masih ditemui di kalangan mahasiswa. Permasalahan akademik mahasiswa diantaranya sering absen atau masuk kuliah sesuka hati, curang dalam mengerjakan tugas atau ulangan, solusi untuk menyelesaikan tugas individu, melakukan plagiat dalam upaya mengerjakan tugas dari dosen, memanipulasi data penelitian, meminta bantuan orang lain untuk mengerjakan tugas kampus, terlambat mengumpulkan tugas. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang rendah merupakan beberapa penyebab disintegritas akademik dari aspek mental mahasiswa. Tingkat kecerdasan intelekual yang rendah membuat mahasiswa tidak mampu mencapai level standar kelulusan. Emosi yang tidak terkontrol membuat mahasiswa melampiaskan dengan cara yang salah; tidak tahan dalam menyikapi situai kondisi yang tidak sesuai. Kecerdasan spiritual yang rendah membuat mahasiwa berbuat dengan tidak berpedoman pada ajaran agama; melakukan berbagai upaya, baik atau buruk untuk mencapai tujuan akademik. Berdasarkan aspek fisik, kondisi tubuh mahasiswa yang lemah, mudah sakit menjadi penghalang mahasiswa aktif dalam kegiatan akademik. Mudah sakit membuat mahasiswa sering tidak masuk kuliah. Jumlah tatap muka yang menjadi dasar prasyarat mengikuti ujian tidak terpenuhi. Tugas kuliah yang banyak membuat badan menjadi sakit. Badan tidak tahan dalam melakukan berbagai aktivitas akademik. Jumlah tatap muka yang kurang juga bisa menjadi faktor yang mempengaruhi prestasi mahasiswa di bidang akademik. Disintegritas akademik mahasiswa menimbulkan berbagai permasalahan. Mahasiswa bermasalah dengan nilai. Indeks prestasi rendah. Banyak nilai yang kurang atau bahkan tidak lulus. Harus mengulang perkuliahan sehingga terlambat 200 lulus. Mahasiswa juga dianggap sebagai pribadi yang negatif. Belum dewasa, emosional, pesimis, tidak taat aturan sehingga kehilangan rasa untuk dipercaya. Pada umumnya setiap kampus memiliki upaya untuk menjaga atau memperbaiki integritas akademik mahasiswa. Ada kode etik mahasiswa sebagai seperangkat peraturan untuk menjaga mahasiswa dari hal-hal negatif. Dosen pembimbing akademik berkewajiban membimbing dan mengarahkan mahasiswa dalam bidang akademik. Pada kegiatan pembelajaran dosen biasanya menyisipkan nilai-nilai yang akan membangun integritas akademik mahasiswa. Badan Eksekutif Mahasiswwa sebagai wadah berorganisasi mahasiswa juga bisa mengambil peran dalam penguatan integritas akademik. Penguatan integritas khususnya dalam bidang pembelajaran dilakukan melalui penerapan pembelajaran nilai. Model pembelajaran yang mengarah pada pengembangan kemampuan mahasiswa dalam memahami, mengetahui tingkat perkembangan moral kognitif, menganalisis permasalahan nilai, mengklarifikasi nilai, dan menerapkan perilaku yang bernilai. Ada banyak nilai yang dapat diinternalisasikan dalam pembelajaran. Fokus pembahasan pada makalah ini adalah internalisasi nilai-nilai moral Buddhis, karena melihat fakta yang terjadi di perguruan tinggi keagamaan Buddha, ada sebagian mahasiswa Sekolah Tinggi bermasalah dalam hal integritas akademik. Moralitas menjadi aspek penting untuk mencapai tujuan tertinggi yaitu pembebasan (Nibbana). Buddhisme juga mengajarkan bahwa pikiran adalah pelopor atau pemimpin dari segala seuatu. Pikiran yang bermoral atau yang berkualitas luhur menjadi landasan mahasiswa dalam membangun cara pandang, cara pikir, dan cara beraktivitas. Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk menjelaskan cara menginternalisasikan nilai-nilai moralitas buddhis untuk memperkuat integritas akademik mahasiswa. Manfaat dari pembahasan ini secara praktis dapat dirasakan oleh lembaga pendidikan, dosen, dan mahasiswa. Makalah ini ini disusun dengan menggunakan metode library research. 201 Pembahasan Menurut Richard De George dalam Brown (2005: 4-5) bertindak yang berintegritas sama dengan perbuatan yang etis atau bermoral. Acting with integrity is the same as acting ethically or morally. Integritas juga diartikan sebagai sikap mental yang menjunjung tinggi kesatuan, keutuhan (wholeness) dan kebersamaan yang terpadu. Integritas juga berarti kesatuan antara pikiran, ucapan, dan perbuatan (Goa, 2007: 22). Brown menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kesatuan adalah adanya keterkaitan atau hubungan antar bagian secara menyeluruh. Oleh karena itu, mengutip pernyataan Charles Watson dalam Brown (2005), integritas berarti konsistensi yang mengacu pada keselarasan antara apa yang dilakukan dengan yang dikatakan. Konsistensi dalam upaya mencapai tujuan meskipun ada gangguan atau godaan. Tetap teguh sesuai prinsip-prinsip kebenaran. Tidak gentar dalam mengutamakan pencapaian tujuan dengan mengesampingkan kebutuhan, kenyamanan, dan kepentingan pribadi. Menurut Cohen (2010:11) integritas adalah salah satu sifat universal yang paling berharga. Integrity is adherence to a set of values that incorporate honesty and freedom from deception. Integritas adalah kepatuhan terhadap nilai-nilai yang didasarkan pada kejujuran dan kebebasan dari penipuan. Cohen juga menyebutkan tiga cara untuk menjaga integritas yaitu: keep your word, choose the harder right over the easier wrong, guard your principles (2010: 24). Carter dalam Byron mengungkapkan bahwa integritas menyangkut tiga hal, yaitu: menyelidiki antara yang benar dan yang salah; bertindak atas hal-hal yang telah diselidiki; dan mengatakan secara terbuka bahwa yang dilakukan berdasarkan pemahaman terhadap yang benar dan yang salah (Byron, 2010: 70). Mahasiswa yang berintegritas selalu konsistensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab akademik dengan berpedoman pada cara yang baik dan benar. Menurut supriyadi, integritas akademik mahasiswa ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip moral di lingkungan akademik yang terkait dengan kebenaran, kejujuran dan, keadilan. Mahasiswa menjunjung tinggi nilai kejujuan, kepercayaan, keadilan, penghargaan, tanggung jawab, dan kerendahan hati. 202 Integritas akademik adalah prinsip-prinsip moral yang diterapkan dalam lingkungan akademik, terutama yang terkait dengan kebenaran, keadilan, kejujuran. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam integritas akademik mencakup enam aspek, yaitu: honesty (kejujuran), trust (kepercayaan), fairness (keadilan), respect (menghargai), responsibility (tanggung jawab), dan humble (rendah hati) ( http://mmr.ugm.ac.id/index.php/integritas-akademik ). 12TU U12T Disintergitas akademik adalah kebalikan dari intergitas akademik. Menurut Supriyadi ada beberapa bentuk disintergitas akademik, antara lain: tidak hadir pada kegiatan pembelajaran dengan ataupun tanpa alasan yang dapat dibuktikan; menggunakan pemikiran, proses, hasil ataupun tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumber referensinya secara lengkap; curang atau tidak jujur dalam proses pembelajaran ataupun penilaian; bekerja sama dengan mahasiswa lain untuk mempersiapkan atau mengerjakan penugasan individu yang akan dinilai; mengarang data atau hasil penelitian ataupun dalam mencatat atau melaporkan hasil penelitian; memanipulasi material, peralatan, atau proses penelitian, atau mengubah data penelitian sehingga tidak tercatat secara akurat; meminta jasa orang lain untuk menuliskan atau mengerjakan penugasan; membuat pernyataan palsu. Bertindak menyenangkan orang lain yang dapat memberikan keuntungan bagi mahasiswa. Moralitas dalam agama Buddha dikenal dengan istilah sila yang termasuk aspek penting untuk menuju pembebasan. Sila yang mendasar menurut Brahmajala Sutta diantaranya: menghindari pembunuhan, menghindari mengambil barang yang tidak diberikan, menghindari ketidak sucian, menghindari ucapan salah, menghindari fitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari gosip. Nyanatiloka (1988), menerjemahkan sila sebagai ‘morality’, ‘virtue’, kualitas batin dalam mengenali kebaikan dan keburukan dan dilanjutkan dengan tindakan bermoral. Sedangkan menurut Buddhaghosa sila sebagai cetusan pikiran yang hadir dalam diri seseorang untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan melaksanakan perbuatan yang baik (Ñanamoli, 2010: 11). Empat kategori sila menurut Buddhagosa yaitu, sikap batin atau kehendak yang harmoni dan selalu dalam kedamaian dan ketenteraman; penghindaran diri dari perbuatan203 perbuatan buruk; pengendalian diri mematuhi peraturan atau tata tertib, pengendalian indera-indera; pengendalian penghidupan atau mata pencaharian; dan pengendalian memakai barang-barang yang menunjang kehidupan; dan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. Sila meliputi unsur ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar sebagai bagian Jalan Tengah berunsur delapan untuk merealisasikan Nibbana (SN.V.Sacca Samyutta). Ucapan benar atau samma-vaca diartikan dengan “Abstaining from lying, from divisive speech, from abusive speech, & from idle chatter” SN 45.8 (Maggavibhanga Sutta: An Analysis of the Path). Ucapan yang tidak mengandung kebohongan, tidak memecah-belah, bebas dari cacian, dan tidak omong kosong. "Speaking of things seen as seen, of thins heard as heard, of things sensed as sensed, of things cognized as cognizes."(AN. The Worthy Man 150). Mengucapkan sesuatu yang terlihat sebagai yang dilihat, mengucapkan sesuatu yang didengar seperti yang didengar, mengucapkan sesuatu yang dirasakan seperti yang dirasakan, mengucapkan sesuatu yang diketahui seperti yang diketahui. Seseorang seharusnya mengucapkan kata-kata yang tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain, hanya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan, diterima orang lain. Orang yang berbicara tanpa menimbulkan penderitaan bagi orang lain adalah menyenangkan." One should speak only pleasant words, words which are acceptable (to others). What one speaks without bringing evils to others is pleasant" (Theragatha, Vangisa). Buddha memiliki beberapa pertimbangan sebelum mengucapkan suatu hal. "Such speech as the Tathagata knows to be true, correct and beneficial, and which is welcome and agreeable to other; the Tathagata knows the time to use such speech ” (MN. 58). Berkat rasa kasih sayang kepada semua makhluk, Buddha memilih mengucapkan kata-kata yang sesuai kenyataan, benar, bermanfaat, menawan, dan menyenangkan bagi orang lain. Hal yang perlu direnungkan sebelum berbicara. Bila ucapan itu akan menyakiti diri sendiri atau orang lain, sebaiknya jangan diucapkan. Namun ucapkan hal-hal bila menimbulkan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain (MN. 61 Ambalatthikarahulavada Sutta). 204 Perbuatan benar tidak menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain. Jika setelah direnungkan ternyata perilaku itu menimbulkan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain, memiliki konsekuensi dan hasil yang menyenangkan, maka perilaku itu layak untuk dilakukan (MN 61 Ambalatthikarahulavada Sutta). Penghidupan benar adalah cara hidup yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cara hidup yang bebas dari kejahatan, pencurian, penipuan. Hidup yang sesuai dengan tata tertib dan norma-norma hidup lainnya. Menurut Buddhahghosa sila dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, salah satunya mejadi tiga jenis yaitu attadipateyya sila, lokadipateyya sila, dan dhammadipateyya sila. Attadipateyya sila artinya sila yang dijalankan demi tujuan pribadi; lokadipateyya sila yang dilaksanakan atas dasar pertimbangan umum; dhammadipateyya sila yang dilakukan atas dasar penghormatan kepada Dhamma. Berdasarkan klasifikasi tersebut, kualitas sila didasarkan pada motivasi dalam melakukan suatu perbuatan. Sīla menimbulkan kesadaran bahwa ada persamaan diantara diri sendiri dengan orang lain. Keown menyatakan bahwa moralitas adalah praktik dari kasih sayang dan tanpa kekerasan, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan dilakukan pada diri sendiri . ....virtues such as non-violence and compassion, and the Buddhist version of the ‘Golden Rule’ counsels us not to do anything to others we would not like done to ourselves. Internalisasi nilai-nilai moral Buddhis sebagai dasar penguatan integritas akademik mahasiswa dilakukan secara terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran nilai. Pembelajaran pada perguruan tinggi lebih tepat dengan cara pembelajaran yang aktif. Mahasiswa aktif membangun pengetahuan, mengembangkan diri dan ketrampilan, serta membangun kesadaran diri tentang arti penting kehidupan bermoral. Dosen berperan sebagai fasilitator sekaligus pendidik dalam proses internalisasi nilai-nilai moral Buddhis. Menurut Superka (2013: 88) dalam Komalasari ada lima pendekatan pembelajaran nilai yaitu pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan 205 pendekatan pembelajaran berbuat. Pembelajaran agama cenderung menggunakan model penanaman nilai dengan asumsi ajaran agama mengandung nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Misalnya menanamkan nilai-nilai dari ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar. Sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif moral, pembelajaran dapat diarahkan pada isu-isu moral untuk mengetahui tingkat perkembangan berpikir berdasarkan aspek moral mahasiswa. Pembelajaran mengacu pada tahap perkembangan moral mahasiswa. Menurut Kohlberg ada enam tahap perkembangan moral yaitu: preconventioal, moralitas individu dan timbal balik, conventional, moralitas sistem social dan kata hati, postconventional, moralitas kesejahteraan social, dan moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Dosen dapat mengetahui tingkat pertimbangan moral mahasiswa dari cara mahasiswa dalam menanggapi isu-isu disintergitas akademik yang terjadi di kalangan mahasiswa. Pembelajaran dengan analisis nilai dilakukan untuk mengetahui kualitas moral mahasiswa dalam menanggapi isu-isu disintegritas akademik mahasiswa. Misalnya dosen mengangkat tema plagiat di kampus. Dosen dapat mengetahui hasil pemikiran mahasiswa yang rasional dan analistik dalam bentuk laporan hasil analisis. Pada pembelajaran ini, internalisasi nilai masih dalam tahap teoritis, cenderung menekankan pada aspek kognitif. Oleh karena itu, untuk memperkuat proses internalisasi nilai, dosen dapat melanjutkan dengan model pendekatan klarifikasi nilai yang menekankan pada kemampuan bepikir dan kesadaran emosional dalam memahami nilai yang ada dalam diri mahasiswa. Klarifikasi nilai bertujuan untuk menyadarkan mahasiswa dan mengidentifikasi nilai-nilai yang ada dalam diri dan nilai-nilai orang lain. Mahasiswa diajak jujur dan terbuka dalam membuat penilaian diri, lalu menyampaikannya kepada teman-teman di kelas. Dosen dapat mengharapkan agar mahasiswa benar-benar memahami perasaan, nilai-nilai dan perilaku sendiri.. Untuk memperkuat proses internalisasi nilai-nilai moral Buddhis, dosen dapat menggunakan pendekatan pembelajaran berbuat atau action learning approach. Tujuannya agar mahasiswa mampu melakukan perbuatan-perbuatan 206 bermoral dalam konteks akademik secara individu maupun bersama-sama. Pembelajaran dilakukan dengan cara membuat kegiatan yang bersifat individu maupun kelompok yang telah disepekati bersama antara dosen dan mahasiswa. Seperti yang dikemukakan oleh Djahiri dalam Komalasari, model pembelajaran yang dapat dilakukan adalah dengan value clarification technique melalui analisis nilai, daftar, dan game (2013: 99). Dosen dapat menugaskan mahasiswa membaca salah satu kisah hidup Buddha atau siswa Buddha yang menjelaskan berkah dari kehidupan bermoral dan kerugian dari perilaku tidak bermoral. Kemudian mahasiswa dianjurkan untuk memahami dan mengklarifikasi nilai-nilai moral apa saja terkandung dalam kisah tersebut; menganalisis permasalah yang terjadi; mengidentifikasi nilai-nilai moral apa saja yang bisa dijadikan sumber teladan. Terakhir adalah mahasiswa diminta membuat daftar perilaku yang tergolong dalam integritas akademis terinspirasi dari isi kitab suci yang mengandung nilai kejujuran, kepercayaan, keadilan, menghargai orang lain, tanggung jawab rendah hati. Berdasarkan daftar perilaku tersebut, mahasiswa diajak untuk konsisten mempraktikkannya selama perkuliahan berlangsung sehingga akan mengurangi kebiasan buruk mahasiswa seperti absen, curang, kolusi, plagiat dan lain-lain. Pada pertemuan terakhir, mahasiswa diminta memberikan penilaian diri terhadap pencapaian dalam menerapkan perilaku-perilaku. Melalui pembiasaan yang didasarkan pada pemahaman dan kesadaran diri akan manfaat dari perilaku akademik yang dipilih, mahasiswa mengkondisikan diri memperkuat integritas akademik. Penutup Penguatan pembelajaran. intergitas Dosen akademik menggunakan mahasiswa pembelajaran dilakukan nilai pada saat dengan cara menggabungkan lima pendekatan yang ada dalam pembelajaran nilai yaitu: pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat. Nilai-nilai moral Buddhis berupa kualitas batin luhur yang 207 tercermin dalam ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar digunakan sebagai landasan dalam membangun integritas akademik mahasiswa yang meliputi kejujuran, kepatuhan, kedisplinan, kesetiaan, penghargaan, dan kerendahan hati. Penguatan integritas akademika mahasiswa sebagai bagian dari revolusi mental dalam bidang pendidikan berguna untuk memperbaiki mutu akademik kampus. Lembaga pendidikan tinggi dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada progam internalisasi nilai-nilai sebagai upaya menciptakan suasana akademik kampus yang kondusif. Dosen sebagai tenaga pendidik diperguruan tinggi berkewajiban untuk membantu mahasiswa membangun pengetahuan diri, identitas diri yang utuh berlandaskan nilai-nilai moral Buddhis. Mahasiswa sebagai intelektual muda harus menyadari peran dan tanggung jawab dalam bidang akademik, dengan cara mempersiapkan diri menjadi pribadi yang positif, dewasa, stabil, disiplin, patuh, dan optimis menyongsong masa depan. Daftar Pustaka Bodhi, Bhikkhu. 2010. Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha Buku Tiga Khandhavagga Samyutta Nikaya. Jakarta: Dhammacitta Press. Bodhi, Bhikkhu. 2010. Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha Buku Tiga Sagathavagga Samyutta Nikaya. Jakarta: Dhammacitta Press. Brown, Marvin T. 2005. Corporate Integrity: Rethinking Organizational Ethics and Leadership. Cambridge University Press. Buddhaghosa. The Path of Purification: Visuddhimaga. tr. Ñanamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010. Byron, William J. 2010. The Power of Principless. Yogyakarta: Kanisius. Cohen, William A.. 2010. Heroic Leadership: Leading With Integrity and Honor. San Fransisco: Jossey Bass A Wiley Imprint. Djalimin, Judirman. 2010. The Secret Change of Success. Jakarta: Elex Media Komputindo. 208 Goa, Hillon I. 2007. Semua Orang Bisa Hebat: Panduan Membangun Tim Berkinerja Tinggi. Jakarta: Gramedia Wikasarana Indonesia. Keown, Damien. Buddhist Ethics a Very Short Introduction. England: Oxford University, (tanpa tahun). Majjhima Nikaya: The Middle Length Discourses of the Buddha. 2001. Tr. Bhikkhu Nanamoli and Bhikkhu Bodhi. Oxford: The Pali Text Society. Norman, K.R. 2007. Theragatha: The Elders’ Verses 1.2 nd Edition. Lancaster: The Pali Text Society. P P Nyanatiloka, Ven. Buddhist Dictionary Manual of Buddhist Terms & Doctrines (4th Edition). Kandy / Sri Lanka: Buddhist Publication Society, 1988. Supriyadi, Didik. Tanpa Tahun. Integritas Akademik. Sumber online: http://mmr.ugm.ac.id/index.php/integritas-akademik diakses pada tanggal 11 Januari 2016. 12TU U12T Walshe, Maurice. 2009. Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Diterjemahkan oleh Team Giri Manggala Publication Team Dhammacitta Press. Jakarta; DhammaCitta. Woodward, F.L. 2008. Anguttara Nikaya: The Book of The Gradual Sayings. Oxford: The Pali Text Society. 209 MENGGUMULI SASTRA: MEMBANGUN JIWA DAN KARAKTER ANAK BANGSA Suntoro STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T 12T Abstract The number of negative cases committed by young people make the government feel the need to initiate the importance of character education. Orientation of educational goals that have been emphasizing the realm of knowledge and skills that must be balanced with a good attitude. As a result, some subjects such as literature gets a special attention related to the formation of the spirit and character of the nation. Literary contains high moral values, therefore it can be used effectively to shape human character and morals. Literature can foster human beings to know life is multidimensional. Meanwhile, the function of literature is to teach students to sharpen the sensitivity of the values with open heart and mind as well as the forging of character as a literary exercise presents field experiences are endless. Literature also familiarizing us with a large number of possibilities in human life. Therefore it is essential to promote the relationship between author, text, teachers, and students for language learning to be more fun and meaningful. The results are expected to form a human being who knows on how respect others, know about his limits, and those who do not trouble others. Keywords: teaching literature, characters Pendahuluan Industrialisasi telah menenggelamkan berbagai upaya untuk menegakkan kembali pilar pendidikan yang murni di Indonesia. Kurikulum pendidikan berubah-berubah seperti tak mempunyai arah, tiap-tiap tingkatan pendidikan semakin sarat mata pelajaran titipan, bidang-bidang baru bermunculan seriring kembalinya para cerdik-cendekia dari menimba ilmu di luar negeri. Sejumlah mata pelajaran baru diwajibkan berdasarkan alasan yang bermuatan politis daripada akademis. Tuntutan menuju masyarakat industri jelas telah menciptakan kesenjangan dalam hal pemberian porsi pengajaran pada siswa di sekolah. Mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap memiliki urgensi lebih dibanding mata pelajaran kemanusiaan (humaniora). Indikator konkritnya adalah ketiadaan sanggar seni, keterbatasan buku kesastraan, dan media untuk menyalurkan kreativitas siswa -yang berkaitan dengan budaya khususnya- sangat 211 miskin. Sementara itu fasilitas pendukung pembelajaran sains seperti laboratorium semakin lengkap, alat peraga sains diperbanyak, dan kelas-kelas sains penuh peminatnya. Kesenjangan dalam pengembangan tiga domain kecerdasan –kognitif, psikomotorik, dan afektif- ibarat bom waktu yang tinggal menunggu saat untuk meledak. Domain kognitif yang berhubungan dengan rasio berpikir sangat didewakan dalam setiap pembelajaran di kelas. Domain psikomotor yang mengembangkan kecakapan hidup juga sedikit banyak tersentuh. Namun, domain afektif sebagai ukuran mutu sikap manusia seperti dianaktirikan. Hal itu tentu kurang sesuai dengan tuntutan pendidikan nasional yang bertujuan mencerdasakan bangsa yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Secerca harapan mulai muncul ketika di tahun 2011 Dinas Pendidikan menggagas mengenai pentingnya pengembangan budaya dan karakter berwawasan keindonesiaan. Setiap mata pelajaran harus memuat unsur karakter dan harus terinternalisasi dalam pembelajaran di kelas. Setiap langkah pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas harus bermakna bagi pengembangan kepribadian siswa dalam rangka menumbuhkan karakter yang tangguh. Seperti yang disampaikan Covey, sukses bukan ditentukan oleh kepribadian melainkan oleh karakter. Kepribadian merupakan aspek yang Nampak pada seseorang seperti berpenampilan rapi, ramah, bersih, dan sebagainya. Sementara itu, sifat tersembunyi dalam diri seseorang seperti kerja keras, kesederhanaan, pantang menyerah, tanggung jawab, dan ulet itulah karakter. Pengembangan budaya dan karakter berwawasan keindonesiaan tentu tak lepas dari banyaknya kasus negatif yang dilakukan para generasi muda, khususnya pelajar. Badan Pusat Statistik Indonesia (2010) mencatat dari tahun 2007 tercatat sekitar 3100 orang remaja terlibat dalam kasus kriminalitas, tahun 2008 dan 2009 yang meningkat menjadi 3.300 dan sekitar 4.200 remaja. Tidak hanya dari segi kuantitas, laporan badan pusat statistik juga menjelaskan bahwa tindak kriminalitas yang dilakukan oleh remaja juga meningkat dari segi kualitas. Kenakalan remaja yang pada awalnya hanya berupa perilaku tawuran atau 212 perkelahian antarpelajar, sekarang berkembang sebagai tindak kriminalitas seperti pencurian, pemerkosaan, penggunaan narkoba hingga pembunuhan. Terkait dengan gagasan pembentukan karakter peserta didik, beberapa mata pelajaran mengalami pergeseran kedudukan. Mata pelajaran yang dulu tidak begitu tersentuh mulai mendapat perhatian karena relevan dengan visi pembentukan karakter. Salah satunya sastra, dalam struktur kurikulum juga bergeser menjadi salah satu elemen penting sehingga mendapat perhatian khusus. Sastra merupakan karya seni hasil pergulatan batin pengarang terhadap masalahmasalah kehidupan mengandung moral yang tinggi, karena itu ia dapat difungsikan secara efektif untuk membentuk watak dan moral manusia (Sujarwanto dalam Sujarwanto, Jabrohim, 2001: 508). Sastra dapat membina manusia untuk mengenal kehidupan yang bersifat multidimensi. Sastra juga dapat membina kesanggupan rohani manusia untuk dapat menegendalikan segala segi kehidupan dan tata nilainya (Suyitno, 1986: 11). Sastra juga mampu menanamkan kesadaran yang tumbuh tanpa paksaan tentang pentingnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan tuntutan nilai-nilai luhur bangsa. Sastra tidak hanya sekadar berfungsi rekreatif tetapi juga memberi pencerahan hakikat kehidupan yang bernilai (Sugiarti, 2011). Oleh karena itu, penting kiranya bagi guru untuk mengajak siswa “menggumuli” atau “menyetubuhi” sastra dalam bangunan pengajaran yang bermakna. Artinya prinsip apresiatif pengajaran bahasa mutlak dilakukan untuk sampai pada ranah “menggumuli” atau “menyetubuhi”. Apresiasi secara umum diartikan sebagai “penghargaan”, sedangkan dalam konteks pembelajaran bahasa akan lebih tepat jika diberi pengertian “menyenangkan”. Jadi, pengajaran sastra di sekolah tidak boleh berhenti pada tataran teoretis saja tetapi yang lebih penting mengajak siswa untuk menyenangi sastra tersebut. Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi afektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhir menyenangi sastra ialah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalahmasalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap nilai, baik dalam 213 konteks individual maupun sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, peran sastra dalam mencerdaskan dan pengembangan kepribadian siswa sangatlah besar. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui pengajaran sastra yang kreatif dalam rangka pembentukan karakter positif bagi siswa serta bagaimana memberdayakan sastra untuk pembentukan karakter siswa. Sastra dan Pembinaan Karakter Sastra memiliki potensi besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter (Herfanda, 2008: 131). Sastra tidak sekadar memberikan kesenangan, hiburan, dan keindahan tetapi juga mampu memberikan pencerahan mental dan spiritual. Sastra juga harus dilepaskan dari penilaian benar dan salah, baik dan buruk, populer dan tidak karena dari segi mana pun sastra hendak dipandang, dengan cara mana pun sastra hendak dipelajari, hakikat sastra tetap merupakan suatu dikotomi. Dalam hal pembinaan karakter, Oemarjati (2012: 49) sekurang-kurangnya sastra akan memberikan dua sumbangan yakni mengasah kepekaan siswa terhadap nilai-nilai jika ia mengakrabi sastra dengan keterbukaan hati dan pikiran serta latihan penempaan watak karena sastra menyajikan medan pengalaman yang tidak terbatas. Sastra mengakrabkan kita dengan sejumlah besar kemungkinan dalam kehidupan manusia: kebahagiaan, kebebasan, harga diri, cinta, kasih sayang, kebencian, kemunafikan, keputusasaan, kematian, dan sebagainya. Pertemuan siswa dengan kondisi seperti itu akan membuat dirinya lebih mengenal kehidupan yang dipenuhi dengan nilai-nilai pantas dan kurang pantas. Pada akhirnya nanti, siswa akan mengerti betapa kehidupan sangat kompleks dan mereka akan sadar dan siap jika tiba saatnya harus memilih. Keragaman sastra senantiasa menghadapkan siswa pada kesempatan mengolah arus pengalaman yang segar dan tidak ada henti-hentinya. Mengkaji sastra berarti melatih imaji, kreativitas, dan reaksi terhadap masalah yang disajikan pengarang. Menggumuli sastra juga memberikan kesiapan yang lebih “awas” untuk menghadapi kehidupan nyata di kemudian hari. Sastra jelas akan memberikan pengetahuan tentang budaya suatu masyarakat atau ciri khas suatu 214 masyarakat tertentu. Contoh ketika membaca Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli, sebagian orang pasti akan setuju jika tema dasar novel tersebut adalah kawin paksa, yang berlaku di Minangkabau. Terlepas dari persepsi umum tersebut, kalau kita simak secara mendalam justru terdapat nilai luhur yang mendasari alur roman tersebut. Pertama, keputusan Sitti Nurbaja menikahi Datuh Meringgih demi menjaga kehormatan ayahnya yang terlilit utang pada Datuk Meringgih. Kedua, ketika Baginda Sulaiman wafat, Sitti Nurbaja secara fisik melemparkan suaminya keluar rumah, yang sesuai dengan hukum adat setempat adalah milik istri. Keputusan Sitti Nurbaja untuk mengorbankan kepentingan pribadinya demi membela nama baik keluarga, tetapi pun melaksanakan dengan tegas apa yang menjadi haknya bilamana saatnya tiba. Ia bukanlah tokoh yang lemah dan penurut yang harus ditangisi sepanjang membaca roman tersebut, melainkan tokoh yang tahu kemampuan diri dan harga dirinya, serta tahu kapan ia mendahulukan kepentingan orang lain dan kapan menuntut haknya. Akan tetapi, sekali lagi pembelajaran sastra tidak berujung pada penilaian, tetapi mengedepankan nilai apresiasi, yaitu menghargai apa adanya konteks yang tersedia secara utuh dan padu sebagai karya seni. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sastra penting untuk mengedepankan hubungan antara pengarang, teks, guru, dan siswa agar pembelajaran lebih menyenangkan dan bermakna. Sastra tidak menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi seperti halnya matematika. Sastra menyajikan suatu kemungkinan dalam menanggapi permasalahan yang jalinannya sudah digariskan oleh pengarang. “Kenyataan” yang ada dalam sastra bukanlah untuk diperiksa kebenarannya dalam terhadap alam nyata, melainkan bersifat mengimbau untuk menyelami –dan bila perlu- menggali untuk menemukan suatu nilai dari alur tersebut. Sebagai seorang pembaca dan juga pendidik, tugas guru dalam pengajaran sastra lebih mirip sebagai pelatih, hanya kadang-kadang saja guru dituntut menjadi wasit sekaligus. 215 PENGARANG GURU SISWA TEKS Keterpaduan unsur-unsur tersebut menjadikan kegiatan mengakrabi teks sebagai suatu upaya menciptakan kembali dunia nyata yang baru. Siswa tidak akan berhenti pada pertanyaan “Siapa si A?”, tetapi melanjutkan dengan mempertanyakan “Bagaimana si A?”, bahkan “Mengapa si A berbuat demikian?” (Oemarjati, 2012: 68-69). Seorang guru yang baik akan mereaksi pertanyaan semacam itu dengan tanggapan yang positif. Justru pada posisi inilah guru dapat memberikan masukan yang berharga pada siswa baik sifatnya untuk pengembangan kognitif maupun afektif. Inilah justru yang membedakan pengajaran bahasa dengan pengajaran studi lainnya dan telah menjadi ciri yang membanggakan juga menggembirakan jika dilaksanakan sebagaimana mestinya. Contoh Pengajaran Sastra untuk Pembinaan Watak Sebagai contoh mengenai peran sastra dalam pembinaan watak akan diberikan cuplikan-cuplikan dari cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma yang merupakan cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 1993. Cerpen berkisah mengenai kesulitan seorang anak untuk mengarang karena tema yang diberikan oleh guru tidak disukai anak tersebut. Cerpen ini juga menyentuh aspek-aspek sosial, psikologis, dan edukatif sehingga diharapkan di akhir pembelajaran siswa dan guru akan menemukan pengajaran yang kaya dari cerpen tersebut. Cerpen diawali dengan deskripsi berikut. Pelajaran mengarang sudah dimulai. “Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”. 216 Dalam cuplikan di atas, pembaca akan menangkap pola umum dalam pengajaran mengarang di kelas, yaitu pemberian judul kepada siswa. Guru dapat memancing siswa untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang dilakukan Ibu Guru Tati. Bahkan, guru juga dapat mengembangkan pembicaraan lebih lanjut soal pengajaran di kelas rendah, misalnya keseriusan anak-anak menerima tugas dari guru. Guru dapat bertanya kepada siswa, sudahkan kalian dengan sepenuh hati menerima tugas dari guru sebagai sebuah amanah? Dari situ dapat juga dikembangkan pembicaraan lebih lanjut mengenai tanggung jawab, keikhlasan, kepatuhan yang seharusnya dimiliki oleh seorang siswa. Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci. Pemilihan judul yang kaku dalam pengajaran menulis ternyata dapat menjadi bumerang bagi proses menulis itu sendiri. Dampaknya beragam, salah satunya seperti yang tertulis dalam cuplikan di atas, yaitu menimbulkan kebencian pada diri siswa. Siswa akan merasa tertekan jika disuruh menulis berkaitan dengan hal-hal yang tidak disenangi atau bahkan tidak dikehendaki untuk diceritakan. Sampai pada tahap ini guru dapat memancing diskusi mengenai sikap Sandra kepada Ibu Guru Tati. Jika setuju dianjurkan untuk memberi alasan, jika tidak setuju pun diberi kesempatan menguraikan alasannya. Tentu pembicaraan ini akan sampai pada tataran norma, nilai, etika, dan etiket karena menyangkut hubungan guru dan siswa. Suasana belajar juga akan semakin hidup jika setiap pendapat siswa disertai analogi peristiwa dari pengalaman sehari-hari atau dari pengalaman membaca referensi. Agar siswa dapat mengekspresikan pendapatnya secara bebas, guru seyogianya tidak menebarkan berbagai rambu normatif (akan sangat membantu jika guru berbekal bacaan yang luas). Guru dapat melanjutkan kegiatan membaca cerpen dengan menampung respon peserta didik terhadap cuplikan berikut. 217 Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah. Cuplikan di atas dapat mengajarkan siswa bahwa dalam kehidupan, realitas seperti itu ada. Guru dapat memberikan pemahaman kepada siswa mengenai nilai bersyukur atas apa yang dimiliki. Bagaimanapun juga banyak anak-anak di negeri ini yang harus mengalami nasib seperti Sandra. Guru juga dapat berdiskusi dengan siswa mengenai kondisi psikologis anak usia dini yang berada pada kondisi seperti itu. Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk ke dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra. Sampai cuplikan ini pun siswa akan mempunyai persepsi bahwa Sandra masih belum dapat menulis. Apa yang ingin ditulis Sandra ternyata sebuah fakta yang tidak menyenangkan, tabu, dan tidak pantas diceritakan. Demikian pun ketika Sandra berpikir tentang sosok ibu pada cuplikan berikut. Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi. Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. “Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.” 218 Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager. Empat cuplikan di atas dapat memberikan pengajaran kepada peserta didik mengenai cinta, kasih sayang, pengorbanan, dan harapan seorang ibu kepada anaknya. Bagaimana tokoh ibu dalam cuplikan cerpen di atas memainkan peran ganda, sebagai sosok dengan perangai negatif dan penyayang. Ibu yang bekerja dengan gigih untuk masa depan anaknya dan berusaha sekuat tenaga agar anaknya tidak mengalami nasib seperti dirinya. Tentu penggambaran seperti ini akan memancing reaksi yang beragam dari peserta didik. Deskripsi konteks cerita sangat menarik sehingga berpotensi menciptakan reaksi yang tak terduga. Di sinilah peran guru untuk mengarahkan sehingga siswa sampai tataran apresiasi yang benar, tidak menghakimi, dan menangkap segala kemungkinan- kemungkinan dari konteks yang disediakan. “Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati. Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah. Kegiatan pengajaran dapat diakhiri dengan menebak akhir dari sebuah cerita. Namun, sebelum sampai pada tahap itu guru juga dapat membahas konteks ketika Sandra menyelipkan kertas di tengah. Hal itu seakan menjadi kebiasaan siswa di Indonesia, siswa merasa kurang percaya diri terhadap apa yang sudah dikerjakan. Tak sedikit pula yang beralasan takut jika dibaca guru sehingga perlu diletakkan di posisi yang aman. Sampai di sini guru dapat memberikan motivasi kepada peserta didik mengenai pentingnya sikap percaya diri. Guru dapat menggunakan sebuah analogi, ilustrasi, dan semacamnya untuk meyakinkan peserta didik bahwa percaya diri harus dimiliki sebagai jembatan kesuksesan. Tentu banyak hal lagi yang dapat digali dan dijadikan pembelajaran dari tahapan alur cerpen tersebut. Pada tahap menebak akhir cerita, tentu peserta didik akan memiliki pendapat yang beragam. Semakin beragam pendapat siswa tentu semakin bagus 219 karena pendapat tersebut berdasar pada penafsiran sekuen-sekuen sebelumnya. Tujuan menebak akhir cerita jelas bukan untuk mencari mana yang benar. Lebih dari itu, justru ingin menggali kegairahan siswa dalam memberikan makna atas konteks yang disajikan pengarang melalui karya sastra. Setidaknya melalui kegiatan pengajaran seperti itu ada beberapa manfaat yang diperoleh antara lain: (1) memberi kesempatan peserta didik untuk “mengalami” teks, yaitu membaca, menanggapi, menangkap kemungkinan-kemungkinan yang muncul melalui analogi, dan memahami nuansanya; (2) memperkenalkan ukuran kesahihan tafsir berdasarkan karya sastra yang multitafsir. Sahnya sebuah tafsiran bergantung pada argumentasi yang dibangun berdasarkan teks yang ada, bukan rujukan normatif di luar itu, bukan teori sastra ataupun pendapat pakar. Penutup Mengajar merupakan seni. Pembelajaran merupakan proses organik, konstruktif, dan dinamis yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk menggali makna melalui proses mengalami, mengandaikan, menjelajahi, dan menyitesis. Ketika mempelajari sastra, fokus pengajaran tertuju pada peserta didik, yang tengah membaca, menikmati, dan merespon peristiwa-peristiwa yang terpapar melalui sastra. Guru berfungsi menumbuhkembangkan jiwa merdeka peserta didik dalam suasana yang bebas dari tekanan, ketakutan, dan keharusankeharusan. Pembelajaran sastra yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, kejujuran, dan saling menghargai antara guru dan peserta didik akan mewujudkan proses tersebut. Buah pengajaran yang baik adalah orang yang tahu menghormati orang lain, tahu mengenai batas kemampuannya, dan orang yang tidak menyusahkan orang lain. Daftar Pustaka Herfanda, A.Y. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya dalam Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif. Anwar Effendi (Ed.). Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana. Oemarjati, Boen S. 2012. Mengakrabkan Sastra. Jakarta: UI Press. 220 Sugiarti. 2011. “Kontribusi Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa”. Didaktik. Majalah Mahasiswa FKIP UMM. Sujarwanto dan Jabrohim, 2001. Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Tranformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Suyitno. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: PT Hanindita. 221 REVOLUSI MENTAL: TANTANGAN DAN PELUANG BAGI PERGURUAN TINGGI AGAMA BUDDHA STAB Nalanda Sutrisno & Willie Japaries Abstract Mental revolution of the nation is based on the reality that occurs in the Buddhist College. The Buddhist College had various challenges, starts from the curriculum, lecturers and lack number of students who wanted to study at Buddhist College. It needs to be elaborated on the challenges and opportunities in mental revolution movement. Mental revolution is not only designed to promote education, but also need to strengthen the character of the students. The Students' character is needed in order to develop human resources in education. The low number of Buddhist College students were a major problem to be of great concern in order to find solution to improve the quality to be better in building a man who has a personality and character. The idea of mental revolution is expected to restore the value of culturebased education. Development of cultural values intended to lift-up the nation so that the people of Indonesia may be able to have a national character who are ableto face the globalization era. Keywords: mental revolution, challenges, opportunities, buddhist college Pendidikan perlu mendekatkan peserta didik dengan keutamaan dan kepekaan etis, sehingga memiliki karakter yang menerangi kebijaksanaan (apadana sobhini pañña). Pendahuluan Istilah “revolusi mental”, seperti kita ketahui, baru dilontarkan Presiden Jokowi sekitar satu tahun silam. Istilah tersebut kini menjadi kata kunci untuk membuka peluang berbagai program kegiatan khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Suatu program pendidikan yang tidak menyinggung sama sekali slogan nasional ini, tentulah sulit mendapatkan lampu hijau. Perlunya merevolusi mental bangsa ini tentunya didasarkan pada situasi realita yang di masyarakat dari lapisan atas para pejabat tinggi hingga rakyat jelata. Dalam artikel ini akan diuraikan mengenai tantangan dan peluang yang harus kita hadapi dengan serius dan tekun (appamāda) melalui visi dan misi PTAB kita masing-masing. Memang harus tekun, karena di satu sisi “tekun 223 melaksanakan Dhamma” (Appamādo ca Dhammesu) merupakan Berkah Utama, di sisi lain karena tantangan yang kita hadapi sungguh dahsyat ibarat Mara yang sering mengganggu Sang Buddha. Untuk menghadapinya, agaknya kita perlu mengubah penekanan pada beberapa kurikulum inti khususnya untuk Prodi Dharma Acariya. Secara terinci akan diuraikan di bawah ini. Di samping tantangan dari Mara, kita juga melihat cahaya terang untuk mengembangkan Dharma sesuai ajaran Guru Agung. Guru Agung bersabda pada 60 siswa pertama Beliau untuk mengajarkan Dharma ke orang banyak (bukan untuk umat Buddha semata), Dharma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Mengenai hal ini juga akan dielaborasi dalam uraian tentang peluang dalam gerakan Revolusi Mental. Sebelum mengelaborasi tentang tantangan dan peluang, berikut ini kita simak sejenak mengenai konteks Revolusi Mental itu sendiri. Meningkatnya perilaku buruk warga negara, termasuk perilaku buruk generasi muda, mencerminkan adanya kegagalan dalam tranformasi nilai. Kegagalan transformasi niai itu terlihat dengan meningkatnya kekerasan, seks bebas, penggunaan katakata kasar, perilaku merusak diri, berbohong, mengabaikan tugas, tidak hormat pada orang tua, dan adanya rasa saling curiga (Mursidin, 2011: 15–16). Kita semua merasakan hal-hal itu di masyarakat kita dewasa ini, bukan? Apabila kondisi ini terus berlanjut, Indonesia akan sulit tampil sebagai bangsa yang jaya, bahkan sangat mungkin mengalami ancaman terbesar abad ini. Seorang futuris, Francis Fukuyama, mengemukakan bahwa ancaman terbesar abad ke-21 adalah fenomena munculnya negara gagal. Penyebab negara gagal adalah ketidakmampuan negara dalam menegakkan hukum dan ketergantungan yang tinggi pada pihak asing (Soedarsono, 2009: 35). Sementara itu, Dalai Lama menyebut abad ini terancam oleh krisis kemanusiaan (humanity) (Asiaweek, 1999). Pendidikan nilai menjadi kunci untuk mengatasi persoalan ini. Saat ini adalah momentum yang paling tepat, bila pemerintahan Jokowi-JK ingin mengimplementasikan gagasan Revolusi Mental yang diusungnya sejak masa kampanye. 224 Menurut Hasto Kristiyanto-Juru Bicara Tim Pemenangan Jokowi-JK, Revolusi Mental merupakan cara yang paling efektif bagi Indonesia untuk menyalip kemajuan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Revolusi mental bukan hanya dirancang demi memajukan pendidikan, tetapi juga memperkuat karakter anak didik. Menurutnya, Revolusi Mental adalah solusi mengakar atas rendahnya SDM Indonesia sehingga dengan mudah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dan Singapura. Revolusi Mental ala Jokowi adalah membangun manusia yang berkepribadian Indonesia: Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berperikemanusiaan; memilliki tradisi musyawarah mufakat; bergotong royong dan selalu memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial (Kompas.com, 2/7/2014). Secara substansi, ide revolusi mental ini sudah tepat, sebab mencoba mengembalikan pendidikan nilai berbasis pada pengembangan budaya. Hal ini menjadi kelebihan yang menutup kelemahan praksis pendidikan nilai selama ini. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis hidup bangsanya (kultural-nasional) dan ditujukan untuk perikehidupan (mattschappelijk), yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukannya dan pantas bekerja sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia seluruh dunia (Wiyono, 2010: 151-152). Dengan demikian, bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan harus berbasis pada pandangan hidup bangsa (kultural-nasional). Dengan kata lain, filsafat pendidikan nasional adalah filsafat bangsa. Jadi, Revolusi Mental jelas berkaitan erat dengan bidang pendidikan, karena menyangkut transformasi nilai, kesinambungan dan kedaulatan nilai budaya suatu bangsa khususnya dalam menghadapi era MEA (masyarakat ekonomi ASEAN) dan globalisasi. Selanjutnya berikut ini akan kita berbagi tentang tantangan dan peluang berkaitan dengan gerakan Revolusi Mental, khususnya dari kaca mata pemangku kepentingan PTAB. 225 Pembahasan Tantangan: Revolusi Isi Kurikulum PTAB Belum lama ini kita disuguhkan pada fakta yang mencengangkan. Ranggo Khadafi, siswa kelas IV SD di Makasar, Jakarta Timur, meninggal pada Minggu (4/5/2014) pagi di Rumah Sakit Polri Bhayangkara. Sebelum mengembuskan nafas terakhir, bocah itu dikabarkan mendapat penganiayaan dari kakak kelasnya sendiri. Alasannya sepele, Ranggo menyenggol makanan ringan yang dibawa oleh kakak kelasnya di sekolah. Insiden itu berbuntut panjang. Padahal, Ranggo telah meminta maaf dan mengganti makanan yang jatuh tersebut (Kompas.com, 04/05/2014). Kejadian serupa terjadi di Bukitinggi, DAN (12), pelajar Sekolah Dasar Swasta Trisula Perwari Bukittinggi, dianiaya oleh rekan-rekannya saat jam pelajaran berlangsung. Kejadian ini kemudian menggemparkan dunia pendidikan Indonesia sebab video kasus itu beredar luas di dunia maya. Dalam waktu singkat, video itu menjadi pembicaraan di berbagai jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Saat ini video itu sudah dihapus pengunggahnya dari YouTube, tetapi diunggah kembali oleh akun lain Dalam video berdurasi 1 menit 52 detik itu, sedikitnya ada empat siswa laki-laki dan seorang siswa perempuan memukuli dan menendang DAN berkali-kali. Mendapat perlakuan itu, DAN tidak bisa melawan dan hanya bisa menangis. Alih-alih melerai, siswa lainnya justru menertawakan dan menyemangati rekannya untuk terus menyerang korban (Kompas.com, 13/10/2014). Belum tuntas kasus kekerasan oleh anak-anak sekolah dasar (SD) yang terekam video di Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian beredar lagi video serupa yang dilakukan oleh anak-anak SD di Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Meski belum sempat terunggah di jejaring sosial YouTube, video berdurasi 2 menit 29 detik itu sudah beredar dari ponsel ke ponsel di masyarakat. Tak ayal, video tersebut membuat resah warga Temanggung dan sekitarnya. Dalam video itu terekam aksi brutal anak-anak SD yang diduga direkam dengan menggunakan perangkat ponsel. Dalam video itu, terekam jelas aksi kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anak laki-laki 226 berseragam coklat khas Pramuka, yang tengah memukuli seorang anak laki-laki di sebuah ruang kelas. Selain kepalanya dipukuli, korban yang diketahui berinisial JCS (10) itu juga dijambak rambutnya, ditendang, dan diseret ke luar kelas. Korban terlihat tidak berdaya. Ia menjerit dan menangis. Bocah itu sempat hendak menyelamatkan diri keluar kelas, tetapi oleh para pelaku dikejar dan diseret kembali masuk ke kelas (Kompas.com, 15/10/2014). Kejadian bertubi-tubi di atas jelas tidak bisa dianggap kasus biasa. Mungkin di tempat lain masih banyak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak, tetapi belum terungkap ke permukaan. Sungguh membuat hati miris. Anak-anak yang seharusnya masih polos dan menyenangi belajar, bisa berubah menjadi ‘srigala’ bagi anak lainnya. Kalaulah disebut kenakalan, tindakan tersebut telah melampaui batas toleransi usia pelakunya. Perilaku agresif dan brutal tersebut dalam kondisi normal hanya mungkin dilakukan penjahat untuk kategori orang dewasa. Perilaku buruk anak-anak yang melampui kewajaran ini merupakan suatu anomali. Ada apa dengan anak-anak Indonesia? Kejadian ini pastilah mengundang keprihatinan dan mengusik kesadaran etis orang tua, pendidik, pemerintah dan para pihak lainnya. Sekalipun demikian kita tidak bisa secara reaktif menyalahkan sepenuhnya kepada anak. Terdapat sejumlah alasan untuk tidak menumpahkan kesalahan sepenuhnya kepada anak. Pertama, perkembangan anak di usia tersebut berada pada fase play stage (meniru). Pada fase ini interaksi anak ditandai dengan kuatnya faktor imitasi dan identifikasi terhadap orang dewasa dan lembaga sosial lainnya. Oleh karena itu keterlibatan agen-agen sosialisasi seperti keluarga, lembaga keagamaan, media massa, lembaga pendidikan, lembaga politik dan lingkungan sosial sangat menentukan. Pada tataran ideal, lembaga-lembaga ini berperan menanamkan nilai dan norma sosial. Kedua, perkembangan globalisasi yang didukung akses informasi yang luas telah menantang efektivitas kontrol sosial masyarakat. Tantangan efektivitas itu antara lain: (1) tidak menarikknya lembaga sosial konvensioanal, seperti keluarga. Anak lebih tertarik pada informasi dan hiburan yang disuguhkan TV atau internet; (2) globalisasi menghadirkan pola interaksi yang berbentuk jaringan luas, 227 sehingga lembaga sosial sulit menjalankan kontrolnya secara otonom; (3) globalisasi menghadirkan nilai dan norma yang bervariasi, sehingga sangat mungkin membuat anak mengalami disorientasi etis; (4) globalisasi memperbesar jangkauan konsep masyarakat, sehingga pengidentifikasian dan kedekatan interpersonal yang intim sulit terbangun; dan (5) perubahan tatatanan akibat globalisasi juga membuat masyarakat permisif atas sejumlah penyimpangan. Ketiga, secara makro konsep dan praktik pendidikan karakter yang digagas pemerintah bergerak melaju di jalur etika kewajiban dengan menyisihkan etika keutamaan (virtue). Sekolah dan guru mungkin sangat fasih mengajarkan prinsipprinsip dan aturan moral untuk menilai perbuatan siswanya, tetapi sulit mengenali kepribadian peserta-didiknya. Prinsip pembelajaran ini bergerak pada penekanan pertanyaan pokok, what should I do (saya harus melakukan apa)? Bukan what kind of person should I be (saya harus menjadi orang yang bagaimana)? Oleh karena itu terjadilah ketidakseimbangan etis. Padahal keduanya tidak harus menjadi dilema, tetapi dapat berjalan harmonis bersamaan. Di samping itu, dengan berkuasanya teknologi informasi dan komunikasi, maka media massa memiliki pengaruh yang besar atas perilaku anak. Sebab apa yang dilihat dan didengar melalui media tersebut dapat menjadi referensi bertindak bagi anak-anak. Masalah yang paling sering muncul adalah ekses tayangan pornografi, pornoaksi dan kekerasan. Bagaimana ini dapat terjadi? Sebagai contoh, penyedia jasa layanan game online yang menyajikan banyak adegan kekerasan bahkan pembunuhan, tanpa sadar telah membentuk gaya penyelesaian masalah di benak anak. Dalam dunia game ini berlaku aturan zero sum game. Artinya, jika ada dua pihak yang berkompetisi atau bertikai, maka yang menang mendapatkan nilai +1 dan yang kalah mendapatkan nilai -1 [(+1) (1) = 0]. Dalam pola ini tidak dikenal istilah damai, tidak ada penyelesaian masalah melalui diskusi atau negosiasi, sebab cara-cara itu dianggap tidak menguntungkan dan tidak memuaskan. Bukankah kebrutalan dan vandalisme yang dilakukan oleh anak-anak di atas menyerupai pola ini. Oleh karena itu media harus memiliki kepekaan etis dalam menyajikan informasi dan tontonan. 228 Jadi, itulah sesungguhnya gambaran tantangan yang harus kita hadapi. Kita dalam hal ini adalah para petinggi PTAB. Karena tugas kita mencetak guru-guru yang dapat menanamkan benih-benih Buddha-Dharma kepada anak didiknya yang notabene terpapar pada pengaruh-pengaruh kontra-Dharma tersebut di atas. Selain itu, alumni PTAB harus mampu menyebarkan nilai-nilai Dharma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahan, dan mulia pada akhirnya kepada semua anak didiknya yang sangat mungkin bukan seluruhnya beragama Buddha. Mengenai nilai-nilai Buddhis yang mana yang patut dikembangkan secara umum dan bagaimana caranya, hal itu pernah dibahas dalam rapat BKPB (Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis) di Tzu Chi Center belum lama yang lalu. Dalam kaitan ini, beberapa postulat berikut patut kita pikirkan bersama: 1) Mata kuliah pedagogi dan bimbingan konseling perlu diperkaya dengan metode-metode konseling psikiatrik atau metode untuk mengoreksi mental yang “sakit”. Karena tampaknya fenomena peserta didik yang kita hadapi seperti diuraikan di atas tadi adalah jenis psikopatik yang perlu di”terapi” melalui proses reedukasi. 2) Perlunya kurikulum membabarkan Dharma dengan pola dan terminologi universal sehingga dapat diterima dengan “mulia” sejak awal hingga akhir oleh peserta didik atau pendengar beragama lain. Analog dengan kemuliaan Borobudur yang dapat dinikmati dan dipelajari oleh semua orang, atau televisi DAAI yang sering memunculkan wejangan Dharma yang terasa mulia bagi umat Buddhis maupun non-Buddhis. 3) Perlunya forum bersama, mungkin melalui BKPB yang sekarang sudah memulainya, untuk merumuskan silabus “cara menyampaikan Dharmauniversal kepada seluruh umat”, atau mungkin diberi nama kurikulum “Revolusi Mental”. Cara kita bukanlah cara “kreatif” menarik umat lain, tapi sepenuhnya cara menyebarkan Dharma yang bernilai keutamaan universal (virtue) tanpa pamrih sesuai titah Guru Agung. 4) Selaras dengan pernyataan Dirjen Buddha, bahwa “umat Buddha tidak ingin eksklusif, tapi inklusif” (Front Roll, edisi Oktober 2015), bilamana memungkinkan berdasarkan aturan yang ada, dapat membuka pintu Sekolah 229 Minggu, Dharmasekha bagi anak-anak non-Buddhis dengan kuota tertentu, sehingga terjalin silaturahim kebhinnekaan. 5) Peserta didik perlu diberikan pula pengetahuan terkini tentang perkembangan iptek yang dapat mempengaruhi karakter moral dan keutamaan anak didik. Dengan demikian ia dapat mengenal dengan jelas unsur Mara dan dapat mengatasinya dengan metode yang tepat, misalnya dengan metode meditasi yang kreatif sesuai daya cerap peserta didik. 6) Revolusi kurikulum menghadapi era Revolusi Mental membutuhkan pula metode praktik eksperiensial yang tidak hanya praktik mengajar, tapi juga mungkin mencakup praktik lapangan observasi di tempat praktik psikolog atau psikiater, bekerja sama dengan RS Jiwa atau panti rehabilitasi jiwa. Peluang: Pengembangan Pendidikan Dharma Menurut filosofi Tiongkok, dalam suatu krisis (weiji危机) selalu terdapat dua aspek, yaitu ancaman bahaya (wei危) dan peluang berkembang (ji机). Di atas kita sudah berbagi mengenai sudut pandang tantangan, yang di dalamnya sesungguhnya juga terdapat peluang untuk kita melakukan renovasi, inovasi dan restrukturisasi kurikulum PTAB agar lulusannya kelak lebih cakap menghadapi dan “mengobati” masyarakat yang sedang “sakit”. Karena waktu kurikulum PTAB sekarang dibuat dan disahkan, situasi nasional dan internasional belum memasuki era reformasi apalagi era revolusi mental dan MEA. Maka merupakan konsekuensi logis untuk sekarang kita bersama-sama memikirkan revolusi kurikulum PTAB yang ada. Sesungguhnya Revolusi Mental bukan hanya tugas dari lulusan dari program studi Dharma Acariya, tapi juga merupakan tugas mulia dari prodi lain, termasuk Dharma Duta, Dharma Filsafat dan Dharma Usada. Karena pada dasarnya fenomena masyarakat yang perlu diubah mentalnya terdapat di setiap jenjang dan segala usia, yang kesemuanya merupakan klien atau sasaran dari lulusan kesemua program studi yang ada dalam PTAB. Selain itu, program studi PTAB, selain yang sudah ada saat ini, yaitu Dharma Acariya, Dharma Duta, Dharma Filsafat dan Dharma Usada, dapat juga 230 dikembangkan, bila memungkinkan, ke ranah lain yang sesungguhnya sudah diajarkan Guru Agung, seperti ekonomi, sosial, dan lainnya. Hal ini sesuai dengan wejangan dalam Berkah Utama, yaitu “Bahusaccan ca” (pengetahuan luas) dan “Sippan ca” (memiliki ketrampilan). Pembukaan prodi Dharma universal tersebut harus sesuai kebutuhan warga masyarakat yang pluralis, membuka “eksklusivitas” dan menerima “inklusivitas” sehingga dapat menarik peserta didik dari berbagai kalangan. Fenomena ini tampak terjadi pada prodi Dharma Usada di STAB Nalanda dengan peserta didik yang mayoritas non-Buddhis. Hal ini menunjukkan, aktualisasi atau elaborasi Dharma yang universal sungguh dapat dirasakan kemuliaannya oleh semua orang, seperti juga televise DAAI yang banyak dinikmati kemuliaannya oleh mayoritas non-Buddhis. Sesungguhnya kata kunci revolusi mental bukan saja perlu kita sikapi sebagai respons reaktif, tapi terlebih lagi memerlukan revolusi mental proaktif dari kita sendiri, dengan menggali potensi dari Tipitaka seluas-luasnya bagi perkembangan Dharma, Nusa dan Bangsa dalam kerangka Revolusi Mental. Tujuan Revolusi Pendidikan PTAB Dapat kita simpulkan, jika tujuannya adalah revolusi mental, maka harus ada juga revolusi kurikulum untuk mencapainya. Kalau masih “business as usual” tentunya tak akan menghasilkan produk yang dapat sintas dalam era yang membutuhkan revolusi mental. Pendidikan Revolusi Mental harus diterapkan sedini mungkin, yaitu pada anak didik di kelompok bermain, di PAUD, hingga sekolah dasar dan menengah. Semakin lanjut usia semakin sulit untuk mengubah mental anak didik. Dengan kata lain, tujuan pendidikan akan tercapai bila lembaga pendidikan menjalankan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang diintegrasikan dengan berbagai lingkup kehidupan nyata. Suasana pembelajaran yang dibutuhkan adalah nuansa belajar yang diliputi kasih sayang, saling menghormati dan penerimaan keberagaman, atau Metta Karuna. Dalam konteks ini, martabat manusia (dignity) ditempatkan sebagai norma dasar terpenting. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitas personalnya, dengan keyakinan231 keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya (Budiningsih, 2010: 4). Di dalam Ajaran Buddha, penghormatan terhadap martabat manusia bukanlah hal yang baru. Terobosan yang dilakukan oleh Buddha dengan membentuk struktur Sangha yang monastik, membuktikan penghormatan agama Buddha terhadap martabat manusia. Masalah kasta yang menjadi ciri penting masyarakat India, secara revolusioner diubah oleh Buddha. Dengan tegas, Buddha mencela sistem kasta yang merendahkan martabat. Dalam Sangha seluruh kasta bersatu seperti sungai yang menuju air laut. Mereka meninggalkan nama mereka sebelumnya, kasta dan suku mereka, dan dikenal sebagai anggota dari satu kesatuan-Sangha (Piyadassi, 2003: 31). Tujuan dari pendidikan humanis adalah melahirkan pribadi-pribadi berkarakter. Menurut Magnis-Suseno (2001), pribadi yang humanis adalah pribadi yang memiliki sikap-sikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan. Bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak menyetujuinya, dan mampu melihat yang positif di balik perbedaan (dalam Budiningsih, 2010: 5). Salah satu strategi pembelajaran humanis adalah belajar bermakna atau “meaningful learning”. Pandangan ini mengasumsikan bahwa belajar merupakan asimilasi nilai-nilai kehidupan yang bermakna. Nilai-nilai kehidupan yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan dan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya. Namun pada praktiknya pembelajaran seperti ini masih menghadapi sejumlah kendala. Menurut Hardiman (1991), masyarakat dan keluarga telah memiliki nilai-nilai yang harus diikuti oleh generasi muda. Dalam menanamkan nilai-nilai tersebut digunakan cara instruktif, ceramah, nasehat, hukuman edukatif dan kadang-kadang diskusi. Cara transmisi kultural demikian hanya memberikan “paket nilai-nilai” seperti jadilah warga negara yang baik, belajarlah dengan rajin, bersikaplah tenggang rasa, berbuatlah sopan, dan lain232 lain. Cara demikian bukan hanya dapat dipertanyakan “isi” kebenarannya, tetapi juga sangat jarang ada guru atau orang dewasa yang dapat mengajarkannya secara tepat dengan menghadapi anak dan remaja sebagai subyek nilai yang rasional (Budiningsih, 2010: 8). Kiranya tepat pesan Margaret Mead di atas, “children 12T 12 T must be taught how to think, not what to think.” Pengajaran paket-paket nilai seperti di atas, menempatkan seolah-seolah etika kewajiban tidak membutuhkan etika keutamaan. Sebagai contoh, akan menjadi tidak praktis bila seorang guru (acariya) dalam menjalankan tugasnya sepanjang hari hanya diukur berdasarkan prinsip moral. Jauh lebih efesien, jika tingkah lakunya diarahkan pada keutamaan yang melekat pada batinnya, misalnya kesetiaan, ketekunan dan kerja keras. Dalam kehidupan moral yang rutin, semacam tugas harian mengajar, keutamaan sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam keseharian moral sebaiknya dituntun keutamaan (Bertens, 2011: 226). Artinya, penilaian etis terhadap siswa dalam keseharian juga harus difokuskan pada keutamaan. Berpegang pada norma moral merupakan syarat bagi perilaku yang baik, tetapi kita belum layak disebut manusia baik dalam arti sepenuhnya. Sebagai contoh, seorang terapis atau pengusada (usada = obat atau pengobatan) yang belum pernah melakukan malpraktik, karena taat pada aturan (hukum maupun moral), belum tentu merupakan seorang praktisi yang sungguh baik dari sudut pandang moral. Supaya menjadi pengusada yang baik, dia perlu memiliki juga sikap rela melayani pasien, mengutamakan kesehatan pasien, atau melayani pasien dengan penuh kasih sayang. Dengan kata lain, ia perlu memiliki keutamaan (Bertens, 2011: 227). Dalam konteks pembelajaran, guru perlu mengenal secara personal perilaku peserta didiknya, sehingga dapat menumbuhkan sisi baik sambil mengikis sisi buruknya. Pada akhirnya, harus digarisbawahi bahwa setiap usaha transfer nilai haruslah rasional-instrumental dan mampu menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang cerdas atau bangsa yang berkarakter. Secara lebih operasional, Tilaar menyebut manusia indonesia cerdas adalah manusia indonesia yang bermoral Pancasila dengan penjabaran: (1) manusia Indonesia cerdas adalah anggota 233 masyarakat yang berbudaya; (2) manusia Indonesia cerdas adalah manusia yang memiliki identitas Indonesia; (3) warga negara indonesia menyadari akan hakhaknya dan kewajibannya di dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; (4) mempunyai orientasi terhadap perubahan global; (5) manusia yang mandiri; dan (6) manusia Indonesia cerdas adalah bukan hanya memiliki intelgensia yang tinggi karena dikembangkan, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan moral Pancasila (Tilaar, 2006:149-151). Dalam praktiknya, hal ini membutuhkan keteladan dan dukungan banyak pihak. Dalam dunia pendidikan, perlu strategi pembelajaran yang empatik dan tepat sasaran. Praktik pendidikan perlu mendekatkan peserta didik dengan praktikpraktik keutamaan dan kepekaan etis, sehingga peserta didik memiliki karakter yang menerangi kebijaksanaan (apadana sobhini pañña). Bersama, kita mampu! . Daftar Pustaka Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Budiningsih, C. Asri. 2010. “Stategi Pembelajaran Nilai yang Humanis”, dalam Dinamika Pendidikan, Majalah Ilmu Pendidikan, No.02/Th.XVII/Oktober 2010. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan– Universitas Negeri Yogyakarta. Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif). Alih bahasa: Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara. “Dianiaya Kakak Kelas, Bocah Kelas IV SD di Jakarta Tewas”, diakses dari http://megapolitan.kompas.com.. . Akses terakhir, 28 Oktober 2014. 12TU U12T “Di Mana Guru Saat Pemukulan Siswi SD di Bukittinggi Terjadi?” diakses dari http://regional.kompas.com ... Akses terakhir, 28 Oktober 2014. 12TU U 12T Mursidin. (2011). Moral Sumber Pendidikan: Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. Bogor: Ghalia Indonesia. Narvaez, Darcia dan Daniel K. Lapsley. (2012). Teaching Moral Character: Two Strategies for Teacher Education. Diakses 19 April 2012 dari http://www.nd.edu/~dnarvaez/documents/NarvaezLapsleyTeacherEduc ator.pdf . 12TU U12T 234 Piyadassi, Mahathera. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna. “Revolusi Mental Jadi Modal Salip Kemajuan Malaysia-Singapura”, diakses dari http://nasional.kompas.com.. . Akses terakhir, 28 Oktober 2014. 12TU U 12T Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2010. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soedarsono, Soemarno. 2009. Karakter Mengantar bangsa Dari Gelap Menuju Terang. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sukhemo, Widya DK, 2012. Dharma Ajaran Mulia Sang Buddha. Dharma The Sacred Teaching of Buddha. Dwibahasa/bilingual. PP MAGABUDHI, Jakarta. Sukhemo, Suryanti (editor terjemahan), 1997. Maha Mangala Sutta: Berkah Utama. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Tilaar, Ha.A.R. 2010. Paradigma baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. ------------------. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjaun Kritis. Jakarta: Rineka Cipta. “Video Pengeroyokan Siswa SD Beredar di Temanggung. Diakses dari http://regional.kompas.com... Akses terakhir, 28 Oktober 2014. 12T 12T Wiyono, Teguh. 2010. Rekonstruksi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta Kencana Prenada Media Group. 235 PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI FONDASI UTAMA REVOLUSI MENTAL Tri Amiro STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract The purpose of this article to describe that education is the foundation to Realize the mental revolution. The method used in this article is a library research by using qualitative descriptive approach, namely by collecting the data from sources such as books, magazines, journals and others related to character education and mental revolution. In conclusion, education is the most fundamental factor in efforts to achieve a mental revolution. Education is a field in direct contact with all levels of society. The Government must implement effective policies in education to achieve education quality that produces quality and competitive outputs in the globalization era. Keywords : mental revolution, character education Pendahuluan Revolusi mental adalah satu gerakan yang ditujukan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali berjiwa api yang menyala. Pernyataan ini pertama kali dinyalakan oleh Presiden Soekarno yang kemudian digelorakan kembali oleh Joko Widodo pada masa kampanye pemilihan calon presiden tahun 2014.Revolusi mental dicetuskan sebagai suatu langkah yang memerlukan langkah dan gerakan secara menyeluruh.Revolusi mental lahir dilatarbelakangi oleh kondisi mental bangsa yang rapuh. Terjadi banyak masalah-masalah soasial yang acap kali tidak terselesaikan, tindak pidana korupsi yang meraja lela yang melibatkan pejabat publik, pejabat negara, dan aparatur negara. Hal ini menimbulkan akibat bukan hanya kerugian keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.Revolusi mental muncul karena adanay tiga masalah pokok bangsa yang sangat memprihatinkan dan harus mendapatkan perhatian yang sangat serius.Adapun tiga masalah tersebut adalah merosotnya wibawa negara, lemahnya sendi perekonomian bangsa, dan intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.Revolusi mental dapat 237 mewujudkan satu perubahan yang fundamental jika penerapannya mampu diaplikasikan dengan baik maka bukan tidak mungkin negara akan maju. Undang-undang Dasar 1945 mengamatkan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa.Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas adalah dengan mendidik anak-anak bangsa.Pendidikan merupakan suatu langkah yang tepat untuk menyiapkan generasi penerus bangsa.Apabila pendidikan semakin maju maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang diperhitungkan dalam era persaingan global. Bangsa Indoensia terus berbenah untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada.Pemerintah bersamasama dengan masyarakat terus berusaha untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas.Tuntutan terhadanusia yang berkualitas tersebut mampu dihasilkan dengan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan profesiaonal. Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, namun belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan masih banyak kegagalan dalam pelaksanaannya. Kegagalan demi kegagalan antara lain disebabkan oleh masalah manajemen yang kurang tepat, penempatan tenaga yang tidak sesuai dengan bidang keahlian, penanganan yang bukan oleh ahlinya sampai pada system kurikulum yang selalu berganti-ganti. Sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan mutu pada setiap jenjang pendidikan belum dapat terwujud secara merata. Kemanakah arah pendidikan nasional Indonesia? Tidak jelas yang dituju. Kebijakan dalam bidang pendidikan selalu berubah dalam waktu yang sangat cepat. Pengambil kebijakan kurang mempertimbangkan faktor pelaksana di lapangan. Perubahan kurikulum dalam satu dasawrasa terjadi sebanyak tiga kali. Perubahan yang terlalu cepat. Bahkan terjadi dualism pelaksanaan kurikulum, terutama bagi pendidikan tingkat dasar dan menengah.Dalam satu kurun waktu tahun pelajaran, dilaksanakan dua kurikulum yang berbeda.Sebagaiamana dapat dilihat pada tahun pelajaran 2014/2015 diberlakukan kurikulum tahun 2006 yaitu KTSP dan kurikulum 2013. Dimana pada semester gasal pendidikan dilaksanakan 238 berdasar kurikulum tahun 2013, namun pada semester genap diberlakukan kurikulum KTSP. Bukan hanya guru saja yang mengalami kebingungan, akan tetapi juga para orangtua peserta didik juga mengalami kesusahan dalam ikut membimbing anak-anaknya. Kurikulum yang diberlakukan di Indonesia cenderung ikut-ikutan negara lain yang sudah maju tanpa memperhatikan faktor karakteristik dan topografi serta geografi negara Indonesia yang sangat heterogen dibandingkan dengan negara maju lainnya. Apabila kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah saja kurang jelas, bagaimana dapat mencapai tujuan dari pendidikan nasional itu sendiri. Memang perlu disadari bahwa mengambil kebijakan dalam bidang pendidikan memang sangat susah. Adalah hal yang paling mudah menghakimi pendidikan apabila peserta didik berperilaku di luar harapan. Banyak orangtua yang hanya menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah saja tanpa memberikan perhtian dan dukungan kepada pihak sekolah, tetapi hanya bisa menyalahkan saja ketika terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap anaknya. Seluruh elemen masyarakat harus menyadari bahwa pendidikan bukan merupakan tanggung jawab sekolah saja.Akan tetapi masyarakat harus memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemajuan pendidikan.Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus benar-benar dapat memberikan bekal kepada generasi muda untuk menghadapi tuntutan perkembangan zaman yang kompleks.Sekolah merupakan lembaga dari masyarakat, oleh masyarakat untuk masyarakat, dan sekolah menghasilkan kemajuan bagi masyarakat.Hendaknya masyarakat memahami bahwa sekolah bukan hanya sekedar menghasilkan produk dalam hal ini lulusan yang memuaskan pengguna jasa sekolah saja. Akan tetapi bagaimana penekanan mutu sekolah sekolah itu harus merujuk pada konsep mutu pelayanan proses pendidikan di sekolah yang terus menerus dan berkelanjutan. Hal ini tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah tentang sistem kurikulum dan kebijakan lain tentang pendidikan. Oleh karena itu revolusi mental di Indonesia memanga sangat diperlukan untuk mengatasi keadaan yang berlangsung selama ini.Berbicara tentang revolusi mental tidak bbisa jauh dari pendidikan. Karena revolusi mental pada dasarnya 239 dalah pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan tentang karakter diri seseorang. Karakter adalah watak, merupakan aspek kepribadian manusia.Pada dasarnya karakter dapat diubahatau dikembangkan. Demikian pula dengan mental, dapat diubah dan kenbangkan. Dimana revolusi adalah proses perubahan secara besarbesaran. Jadi, dalam hal ini pendidikn memegang pernan yang sangat penting atau sebagai faktor yang fundamental untuk mewujudkan terlaksananya gerakan revolusi mental. Metode Kajian Metode yang digunakan pada kajian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan dengan sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara dilakukan melalui studi pustaka (library research) dengan cara membaca buku-buku, jurnal, majalah, artikel, dan sebagainya yang ada kaitanya dengan revolusi mental terutama dalam bidang pendidikan. Pembahasan Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat (pemerintah dan rakyat) dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh bangsa dan negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa revolusi mental sangat berkaitan erat dengan mind, yaitu kesadaran, persepsi dan pikiran itu adalah mind. Perubahan fundamental dan total atas alam pikiran seseorang agar Indonesia menjadi negara yang ( http://news.okezone.com/read/2015/04/25/337/ 12TU maju dan sukses 1139898/sby-revolusi-mental- jokowi-dan-marx-berbeda ). Apabila revolusi mental dapat diterpkan dengan baik U maka negara akan maju. Revolusi mental berangkat dari diri sendiri. Dimana seseorang harus mulai merevolusi diri sendiri dengan mengubah sikap dan perilaku yang apabila selama ini belum sesuai dengan tatanan sosial, peraturan, 240 norma dan etika. Apabila setiap manusia Indonesia mampu memiliki mind set untuk selalu mentaati semua peraturan yang berlaku. 12T Revolusi mental yang merupakan bagian dari sembilan agenda prioritas (nawa cita) pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah sebagai agenda strategis pembangunan. Apabila mental setiap warga negara Indonesia mengalami perubahan menuju kea rah yang lebih baik, maka bukan mustahil bahwa impian Indonesia menjadi bangsa yang maju dan besar akan terwujud. Pokok permasalahannya sekarang adalah bagaimana mengupayakan agar mental setiap warga negara bisa berubah. 12T Perubahan mental pasti dilandasi dengan adanya perubahan karakter. Dimana karakter dapat dibentuk dalam setiap diri seseorang mulai pada usia dini. Hal inilah yang menjadikan bidang pendidikan harus mendapatkan perhatian dan porsi besar dalam mewujudkan revolusi mental. Selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan sudah menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini dapat dilihat bahwa selama periode 2009-2014 bidang pendidikan mendapatkan anggaran yang paling besar, hamper 30% dari seluruh anggaran nasional. Pembangunan sarana dan prasarana, infrastruktur sampai ke pelosok negeri.Pemberian tunjangan profesional kepada guru dan dosen yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, yang merupakan bagian terpenting dari pendidikan, dan masih banyak lagi upaya yang telah dilakukan.Akan tetapi ada bagian yang harus menjadi perhatian bahwa bukan hanya anggaran saja yang ditingkatkan, melainkan kebijakan dalam hal system pendidikan dalam hal ini kurikulum yang bagus dan handal yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang harus disiapkan. 12T Pendidikan merupakan faktor yang memiliki kedudukan strategis untuk mewujudkan suskesnya revolusi mental. Pendidikan menjadi penting karena bidang pendidikan yang bersentuhan langsung dengan elemen masyarakat dari paling bawah sampai kalangan paling atas. Pendidikan merupakan proses pendewasaan manusia. Kondisi ideal perkembangan manusia Indoensia yang diharapkan adalah tumbuhnya pribadi yang dewasa yang memiliki kekuatan kompetensi internal diri untuk memenuhi standar keunggulan prestasi atau kinerja 241 yang menjadi target capaiannya. Pada waktu yang sudah berlalu dan yang sedangberjalan sekarang ini, pendidikan memiliki kencenderungan berorientasi pada hasil bukan pada proses, sehingga menimbulkan perilaku instan yang salah. Pendidikan harus berbasis pada kebutuhan anak dan tidak dijadikan kepentingan orang tua yang bisa mengeksploitasi anak. Karena proses pendidikan yang selama ini terjadi adalah sebuah proses pendidikan yang belum merdeka, masih merampas kemerdekaaan peserta didik. Pendidikan yang berlangsung adalah pendidikan yang membunuh kreatifitas anak. Meski dalam beberapa kasus siswa atau anak sudah diberikan kebebasan untuk berkreasi. Namun secara mayoritas bahwa yang terjadi dalam proses pendidikan adalah transformasi ilmu bukan transformasi nilai (value). Menurut Kartadinata dalam Purwanto menyatakan bahwa ada tanggung jawab unik pendidikan dan pendidikan guru, tanggung jawab unik tersebut adalah menuntun bangsa ke jalan nilai-nilai moral dan spiritual, mendidik warga negara atas kemalsahatan masyarakat, dunia dan lingkungan alamnya. Pendidikan guru mengembang misi penting dalam meujudkan warisan nilai-nilai keadilan demokrasi, keharmonisan, kesehatan lingkungan dan pewarisan nilai-nilai budaya yang akan menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kesusksesan bagi pembangunan dan saing bangsa (2015: 102). Seorang guru dalam mendidik siswanya harus dengan hati menyentuh penuh empati, hal ini merupakan perekat antara guru dan siswa. Tujuannya dalah membangun kepercayaan, iklim salim percaya dimana satu sama lainnya dapat membangun komitmen emosional. Seorang guru harus bisa menjadi sumber inspirasi dan dan mengarahkan siswa untuk mencapai harapannya. Guru dan sekolah berperan sebagai fasilitator pendidikan dan pembelajaran. Hal ini penting karena kualitas sekolah sangat bergantung pada kualitas guru dan lingkungannya. Oleh karena itu revolusi mental di sekolah jharus menyentuh persoalan bagaimana membangun manusia yang berkarakter dan berkualitas, sehingga pendidikan tidak hanya menjadi ajang pengembangan intelektualitas saja tetapi membangun karakter manusia, jiwa dan batinnya (Mulyasa, 2015: 19). Permasalahannya di Indonesia bahwa sebagian besar guru kurang memiliki 242 wawasan praktis serta terlalu teoretis dalam membahas pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Banyak guru yang kurang memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Revolusi mental akan menjadi penghambat pembangunan jika masyarakat tidak percaya diri dan yakin akan sebuah perubahan. Revolusi mental diawali dengan adanya pendidikan karakter yang merupakan implementasi dari kurikulum pendidikan tahun 2013. Pendidikan karakter bangsa dapat dijadikan sebagai strategi nasional untuk menjalankan revolusi mental. Dengan pendidikan karakter yang tepat maka revolusi mental dapat dijalankan dengan baik. Karakter bangsa bukan menjadi hal yang baru bagi Indonesia.Jauh hari ketika negara Indoensia didirikan, para pendiri bangsa sudah memikirkan pentingnya karakter untuk menjadikan bangsa ini besar dan terhormat. Karakter adalah watak, yaitu pengembangan jati diri manusia. Sikap santun pada orang lain menunjukkan karakter seseorang daripada penampilan fisik. Pada dasarnya karakter seseorang dapat diubah. Orang yang karakternya kurang baik, bisa dikembangkan menjadi baik. Orang yang selalu tidak responsif terhadap sesama dan lingkungan dapat dikembangkan menjadi orang yang sensitif dan peduli. Pendidikan karakter yang demikian harus diterapkan pada seluruh jenjang pendidikan, baik yang formal maupun nonformal dan informal. Mulai dari tingkat TK sampai dengan jenjang perguruan tinggi.Ini merupakan salah satu langkah mewujudkan revolusi mental melalu jalur pendidikan. Karakter bangsa dapat diwariskan kepada generasi penerus melalui proses pendidikan secara utuh, dan menjadi kekuatan bagi pengembangan dan keberhasilan bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa. Revolusi mental dimulai dari dalam diri seseorang. Setiap orang merevolusi dirinya sendiri terlebih dahulu. Banyak tindakan-tindakan nyata yang pada dasarnya dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap orang untuk mewujudkan revolusi mental. Tidak perlu melakukan hal-hal yang besar, tetapi dapat dimulai dengan melakukan hal kecil yang terlihat sepele namun penting. Sebagai contoh antara lain mencintai produk lokal, budaya antri, saling menolong sesama, saling menghargai dan menghormati, bersikap jujur dan masih banyak lagi yang lain. 243 Dalam hal revolusi mental khususnya melalui pendidikan pada jenjang sekolah, faktor yang paling berperan adalah guru dan kepala sekolah. Revolusi mental dapat berjalan dengan baik apabila kepala sekolah dapat berperan sebagai pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas, berkaitan dengan gambaran sekolah yang dicita-citakan (Mulyasa, 2015: 44). Seorang kepala sekolah harus dapat memhami tugas dan fungsinya dengan baik. Kebijakan pemerintah harus ditafsirkan sebagai kebijakan umum, sedangkan bagaimana melaksanakan kebijakan tersebut dituangkan dalam standar operasional prosedur. Lebih lanjut Mulyasa olusimenjelaskan bahwa revolusi mental di sekolah tentu saja tidak terjadi secara otomatis, tetapi sedikitnya didukung oleh dua syarat dasar, yaitu sikap positif terhadap pembaruan bagi semua warga sekolah dan adanya dukungan berupa sumber-sumber untuk mengadakan perubahan (2015: 28). Revolusi mental dapat diawali dengan melakukan hal-hal kecil yang dilakukan untuk mengubah perilaku peserta didik, seperti dari yang penakut menjadi pemberani, dari yang kurang percaya diri menjadi percaya diri, dari sikap hidup boros menjadi hemat, dari pribadi yang lemah menuju yang kuat, memerangi budaya menyontek. Dalam hal kondisi bangsa yang rapuh dan memprihatinkan, kata kunci yang harus ditanamkan dan ditumbuhkan dalam setiap pikiran dan hati orang Indonesia adalah mutu dan kejujuran. Dengan demikian diperlukan adanya gerakan secara menyeluruh untuk membangun pola piker dengan semangat mewujudkan pendidikan yang bermutu dan dan jujur.Langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka peningkatan hasil pendidikan harus diarahkan pada mutu dan kejujuran. Kartadinata dalam Purwanto (2015: 105) menyatakan bahwa sekecil apapun orang berpikir tentang pendidikan akan dirasakan berkontribusi signifikan karena berbicara dalam ranah dan pemikiran yang sama. Pola pikir yang demikian sebagai perekat yang akan mengantarkan berbagai pemikiran yang besar maupun yang kecil menuju kea rah yang sama yaitu pendidikan kejujuran dan bermutu. 244 Penutup Revolusi mental sebagai sebuah keharusan yang sudah tidak bisa ditawartawar lagi harus dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat. Apabila semua bagian dari bangsa Indoensia mampu melakasanakan revolusi mental dirinya sendiri, maka gerakan revolusi mental sebagai sebuah gerakan nasional akan dengan mudah diwujudkan. Pendidikan merupakan faktor yang terpenting dan fundamental dalam upaya mewujudkan revolusi mental.Karena pendidikan merupakan bidang yang bersentuhan langsung dengan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang jelas dan terarah dalam bidang pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu yang menghasilkan keluaran yang berkualitas dan berdaya saing dalam era globalisasi. Kurikulum yang ditetapkan sebagai penunjang utama pendidikan harus merupakan kurikulum yang benarbenar sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indoensia. Kurikulum yang baik dan memberikan hasil yang maksimal di negara lain belum tentu cocok diterapkan di Indoensia dengan segala kondisi yang serba heterogen. Pendidikan anti korupsi sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa yang melandasi pelaksanaaan revolusi mental harus diterapkan pada semua jenjang pendidikan, baik berdiri sendiri dalam satu mata pelajaran atau mata kuliah maupun terintitegrasi dengan mata pelajaran atau mata kuliah yang lain. Daftar Pustaka Merril, David N. and Burrola, Bernard A. 2015. Indonesia’s Mental Revolution. The Indonesian Journal oof Leadership, Policy and World Affair: Strategic Review.Jakarta. Mulyasa, E. 2015. Revolusi Mental dalam Bidang Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Purwanto, Semiarto Aji. 2014. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014: Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sulistiyowati, Lily S. 2014. Prototipe Media Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 245 Okezone.com. 2015. Revolusi mental Jokowi dan Marx Berbeda. http://news.okezone.com/ read/2015 /04/25/337/1139898/sby-revolusimental-jokowi-dan-marx-berbeda ; diakses tanggal 6 Januari 2016). 12TU U 246 REVOLUSI MENTAL: PERANAN PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL Wahyuningsih Julia Wijaya STAB Negeri Sriwijaya [email protected] Abstract This article is a short essay about the importance of emotional Intelligence in managing the diminishing traditional moral values in society. The solution offered in this article is based on both reason and religion, with the purpose to give readers the perspective of choices to manage the issue. Library Reaserch is used as a method in viewing the issue. Although the sources (books and internet) referred to in the text are varied, all are interconnected, and put in certain order before drawing the final conclusion. The view that emotional intelligence are very important in managing the diminishing traditional moral values in society can lead to some directions. Firstly: to adapt the current education system to accomodate more in enhanching emotional intelligence programs, and secondly, to ensure that the system will have an adaptive characyeristic, (able to be put into practice in a relatively practical way). The main purpose of the adapted education system is to create and maintain the virtues of generosity, passion and diligence in learning process. As a final conclusion, teachers will play a very important role in completing this difficult task. Keywords:emotional intelligence, education, mental revolution Pendahuluan Dalam sejarahnya, budaya kuno masyarakat Indonesia telah menempatkan pemurnian karakter sebagai esensi utama dalam pencapaian tujuan kehidupan, Irama kehidupan yang berjalan relatif lambat dan menyediakan cukup waktu untuk merenung/mengintropeksi diri menjadi faktor pendukung utama dalam terciptanya keadaan ini. Tidak mengherankan jika sejarah bangsa di masa lampau selalu dipenuhi dengan keindahan nilai-nilai luhur, seperti: kejujuran, kesederhanaan, keuletan, dan kesabaran. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kecepatan alur kehidupan meningkat secara drastis. Sudah tidak bisa ditemukan lagi ketentraman dan kenyamanan spiritual yang biasanya terkandung dalam kegiatan masyarakat sehari-hari. Kemajuan tehnologi serta tuntutan ekonomi telah mengalihkan 247 preferensi dan tujuan hidup ke hal-hal yang lebih bersifat material. Nilai-nilai luhur ini pun sudah tidak mendapatkan tempat yang penting di hati masyarakat. Banyak hal esensial yang menandai karakter suatu bangsa besar pun ikut terancam pudar. Jelas bahwa ini adalah masalah yang serius. Untuk menanggulanginya juga merupakan tantangan yang sangat sulit, karena memerlukan perubahan fundamental secara serentak dari seluruh elemen masyarakat. Gerakan bersama untuk untuk mengembalikan nilai-nilai luhur bangsa ini bisa diartikan sebagai gerakan revolusi mental. Pendidikan akan menjadi alat utama dalam tercapainya tujuan revolusi mental. Ini dimungkinkan oleh dua nature pendidikan yaitu: (1) cakupannya yang menyeluruh (diwajibkan untuk semua warga negara usia sekolah) dan (2) rentang waktunya yang panjang (cukup untuk berperan dalam pembentukkan watak). Rancangan pendidikan nasional harus mampu membentuk karakter anak didik yang tidak hanya memiliki kompetensi/keterampilan yang kompetitif tetapi juga memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Kecerdasan emosional menjadi sangat esensial karena merupakan sumber dari terbentuknya nilai-nilai positif. Nilai-nilai seperti: kesederhanaan/tahu bersyukur, kesabaran/toleransi dan kerajinan/keuletan adalah bentuk-bentuk karakter yang dihasilkan dari kecerdasan emosi yang ditanamkan sejak dini. Di masa lalu, banyak orang yang berasumsi bahwa peran kecerdasan emosional tidaklah sepenting peran kompetensi/keterampilan. Pandangan ini sekarang sudah banyak berubah. Menurut Daniel Goldman (2000), berdasarkan beberapa penelitian yang diadakannya, ditemukan bahwa keberhasilan seseorang lebih dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosionalnya daripada kompetensi/ kecerdasan akademiknya. Penekanan utama hanya pada kompetensi anak dalam rancangan pendidikan akan berpotensi untuk menciptakan masyarakat yang penuh pemujaaan pada nilai-nilai negatif. Masalah mental yang umum seperti: kemelekatan /ketamakan, kemarahan/kebencian dan kebodohan/kemalasan adalah lawan balik dari nilainilai positif yang diinginkan, sehingga peran pendidikan dalam meningkatkan kecerdasan mental menjadi topik utama dalam artikel pendek ini. Masalah yang 248 dibahas dalam penelitian ini adalah: (a) memudarnya nilai-nilai luhur warisan leluhur yang disebabkan oleh beralihnya preferensi dan tujuan hidup masyarakat, (b) peranan Pendidikan dalam membentuk kecerdasan emosional dalam rangka menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur bangsa. Pembahasan Peran Pendidikan dalam Mengatasi Ketamakan/Kemelekatan Penyebab Ketamakan Hal-hal vital bagi kehidupan yang ditawarkan dengan cuma-cuma oleh kehidupan seperti udara, air, sinar matahari, kesehatan, kedamaian batin dan lainlain tidak berharga dimata sebagian orang. Tetapi ironinya: material, reputasi dan gengsi yang sering menyebabkan erosi kebahagiaan, menempati ranking pertama dalam perolehan piala pengorbanan energi dan waktu. Bahkan kadang anugerah kesehatan pun ikut dikorbankan dalam program pencapaiannya. Kurangnya perenungan dan kesadaran bahwa tehnologi dan materi hanyalah alat yang bisa digunakan untuk membantu pencapaian tujuan, tetapi sangat dangkal dan riskan untuk dijadikan sebagai tujuan itu sendiri menyebabkan panggung politik negeri dipenuhi oleh pejabat yang berlomba-lomba meningkatkan kepemilikan jasmani meskipun harus mengorbankan integritas dan kedamaian batinnya. Menurut master Yin Shun dalam “The Way to Buddhahood” ketamakan ini dalam pandangan Buddhisme disebabkan oleh salah satu kegelapan batin yaitu kemelekatan (Ven Yin Shun, 2000). Kemelekatan mengandung pandangan yang obsesif dalam mengejar suatu keinginan. Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosional untuk Mengatasi Ketamakan Pendidikan mampu merubah nilai sosial di masyarakat (menumbuhkan nilai kesederhanaan dan integritas). Ketamakan/kemelekatan terbentuk karena pengaruh dari pandangan sosial yang menempatkan materi/reputasi sebagai hal yang paling utama dalam kehidupan. Ini diperparah dengan adanya kemajuan tehnologi yang menyebabkan arus informasi meluap dan tak terbendung, iklan249 iklan di televisi terus mempengaruhi dunia mental dengan menganjurkan kepemilikan segala lambang kemewahan seperti pakaian, perhiasan, mobil, apartemen, dll. Dalam iklan digambarkan bahwa kehidupan fantastis dan glamor akan segera didapatkan seseorang yang mempunyai penampilan indah/ kemampuan finansial/kekuasaan. Karena terjadi terus menerus dalam jangka waktu yang panjang, maka tanpa disadari image ini akan mempengaruhi emosi dan mental seseorang secara perlahan-lahan. Terlebih jika individu yang bersangkutan jarang mengisi kembali mentalnya dengan hal-hal spiritual yang sederhana, murni dan menyegarkan. Pendidikan merubah pandangan salah di masyarakat dengan cara meningkatkan kecerdasan emosional pesertanya dalam mengembangkan nilai kederhanaan. Kecerdasan emosional yang harus dibentuk untuk mengatasi ketamakan adalah: tahu bersyukur, mampu berkompetisi secara sehat dan ikut berbahagia dengan keberhasilan orang lain. Pendidikan harus mampu memberikan informasi tentang situasi riil dunia sehingga membuat seseorang mengerti dan belajar mensyukuri dan menghargai kehidupan, Sebagai contoh sederhana, para murid belajar bahwa orang-orang yang hidup di Negara yang aman dan berkecukupan hanya mencakup 10 persen penduduk dunia. 60 juta pengungsi sedang mencari tempat hidup, dengan menyertakan anak-anak mereka dan tidak membawa uang/barang berharga apapun, sungguh suatu keadaan yang mengerikan. Juga diantara berjangkitnya virus-virus ganas dari berbagai penyakit berbahaya (AIDS, Ebola, MERS, SARS) yang sangat mematikan, kehidupan masih bisa berlangsung hingga sekarang. Sungguh hal ini sangatlah patut untuk disyukuri. Dengan mengerti keadaan dunia secara riil. Maka seseorang akan terdorong untuk mempunyai rasa berterima kasih terhadap kehidupan. Informasi dan pemahaman yang ditawarkan oleh pendidikan, mendorong para murid untuk mulai memiliki kesadaran bahwa dalam kehidupan yang normal dan biasa saja sebenarnya sudah mengandung berkah yang luar biasa. Untuk memungkinkan pembahasan singkat, maka akan diberikan suatu ilustrasi kasus yang diberikan oleh Ajahn Brahm dalam salah satu seminarnya. Di suatu sekolah di Inggris, telah dibentuk dua kelas untuk bahan penelitian. Murid250 murid yang menjadi objek tidak tahu menahu mengenai penelitian ini. Kelas pertama dinamakan kelas A dan yang lainnya Kelas B Setelah berjalan satu semester, ternyata hasil ujian anak-anak kelas A jauh lebih bagus daripada anakanak kelas B. Ini sangat mengherankan karena kedua kelas adalah benar-benar serupa (terdiri dari murid-murid dengan umur, tingkat kecerdasan dan kemauan seimbang, mendapatkan guru dan bahan pelajaran yang sama). Setelah diselidiki ternyata murid-murid dari kelas yang diberi nama B, merasa bahwa mereka kurang cerdas daripada Kelas A (di Inggris anak-anak terpandai dalam bidang akademik biasanya masuk ke kelas A). Bahkan guru-guru dan para orang tua murid anak kelas B pun merasa bahwa anak mereka kurang berprestasi dibanding anak kelas A. Dengan kepercayaan diri yang begitu rendah maka prestasi kelas B di semester itu berada jauh dibawah kelas A, Perbedaan prestasi kelas A dan B tidak sesuai dengan perbandingan seimbang kecerdasan murid kedua kelas. Hasil penelitian ini benar-benar di luar dugaan dan menunjukkan bahwa kepercayaan diri akan membentuk prestasi seseorang. Pendidikan melalui para pendidiknya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kepercayaan diri yang sehat dari para anak didiknya. Murid dengan kemampuan yang lebih rendah sudah seharusnya mendapatkan perhatian lebih untuk meningkatkan kemampuan dan rasa kepercayaan dirinya. Para murid juga harus diajarkan untuk berkompetisi secara sehat dan penuh empati. Peran pendidik dalam hal ini sangtlah penting dengan menunjukkan penghargaan tulus kepada sikap sportif . Konseling kepada murid-murid yang selalu bersaing secara agresif harus diberikan untuk menemuka akar masalah yang mungkin bersumber dari pendidikan orang tua di rumah. Peran Pendidikan dalam Mengatasi kebencian/Kemarahan Penyebab Kebencian/kemarahan Dalam kehidupan modern, sangat dimungkinkan bahwa tuntutan ekonomi telah merampas nilai-nilai kesabaran, Ini terjadi karena tingginya tuntutan ekonomi menyebabkan naiknya tingkat stres secara signifikan. Hal ini dengan mudah bisa diamati dari segala segi kehidupan masyarakat sehari-hari, sebagai 251 contoh umum adalah situasi lalu-lintas. Lalu lintas perkotaan dipenuhi oleh pengemudi-pengemudi egois yang membahayakan sesama pemakai jalan. Pedoman hidup lampau seperti “ Jika ada jalan sempit, berikanlah pada orang lain untuk berjalan dahulu” sudah tidak berlaku lagi di masyarakat. Kemarahan/kurangnya kesabaran berdampak sangat negatif terhadap kesehatan seseorang. Ilustrasi tentang dua tokoh imajiner (X dan Y) dengan latar belakang serta situasi kehidupan serupa tetapi dengan kebiasaan hidup yang sangat berbeda akan menggambarkan dampak ini. X adalah seorang pekerja keras yang sangat berhasil di bidangnya. Setiap hari dia akan bangun pagi karena sangat termotivasi untuk menyelesaikan proyeknya, ketika sedang mandi, berganti baju dan sarapan pagi, pikirannya terus dipenuhi dengan proyek dan segala permasalahannya. Dia mengendarai mobilnya dalam keadaan tergesa-gesa sehingga menaikkan emosinya. Setiap kendaraan yang ada di depannya membuatnya mengernyitkan alis karena terasa baginya seolah-olah sengaja untuk berlambat-lambat. Bahkan lampu merah pun tidak luput dari makiannya karena ketika mobilnya lewat lampu itu sepertinya sengaja berubah warna sehingga X kehilangan 5 menit lagi waktu yang sangat berharga. Hari itu, seperti hari-hari yang lainnya, X dengan tanpa disadarinya menjadi bulan-bulanan dari emosi dan pikirannya sendiri. Pegawai-pegawai di kantornya pun akan memasuki area berbahaya ”Ranjau Kemarahan” sesuai dengan kadar emosi X. Tokoh yang kedua adalah Y, juga seorang pekerja keras , memiliki umur, latar belakang pendidikan dan sosial yang hampir serupa dengan Y, tetapi pendapatan dan kekuasaan Y kurang dari pencapaian X. Setiap pagi dia akan bangun dan dipenuhi dengan pikiran bersyukur atas rejeki, kesehatan dan berkah yang telah dilimpahkan kepada dirinya dan keluarganya. Dia mandi, berganti baju dan sarapan pagi dengan perasaan bersyukur atas hari yang indah dan roti yang enak. Ketika mengendarai mobilnya, Y melihat semua orang di jalan sebagai teman/saudaranya yang mempunyai problem dan kekhawatiran yang sama dengan dirinya sehingga meninbulkan perasaan belas kasih dan toleransi. Bahkan Metromini dan Kopajja yang berjalan dengan sangat semena-mena pun membuatnya merasa sangat bersimpati pada jantung dan kadar gula darah sang 252 sopir. Di kantornya, para pegawai pun menerima berkah dari “payung emosi” Y. Masalah-masalah yang paling menjengkelkan pun sangat jarang untuk bisa melumpuhkan kesabaran Y. Dari dua ilustrasi di atas, bisa dibayangkan penderitaan mental yang dialami X bahkan hanya dalam menjalankan aktivitas normalnya sehari-hari. Penderitaan ini disebabkan karena lemahnya tingkat kesabaran X. Pada 10 tahun pertama, mungkin banyak orang yang berpendapat bahwa kualitas kehidupan X adalah lebih baik dari Y karena adanya pendapatan dan kekuasaan yang lebih besar. Tetapi dengan berlalunya waktu, maka lebih tinggi kemungkinan bahwa X akan mengalami gangguan penyakit degeneratif akibar stress seperti jantung dan diabetes. Pada akhirnya, ketika uang tidak mampu lagi membeli kesehatan, maka keunggulan kualitas hidup Y adalah jauh melebihi imbalan material dan kekuasaan yang diperoleh X. Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosional untuk Mengatasi Kemarahan Dengan berlatih untuk bekerja dalam satu kelompok, murid-murid belajar untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam membentuk jejaring kerja, mendapatkan dukungan dan berkolaborasi. Adam Grant dalam bukunya “ Give And Take” menyatakan bahwa pengalaman kesuksesan dan kegagalan dalam kerja kelompok akan memberikan pengetahuan nyata tentang kebutuhan memberi, berbagi dan bertoleransi dengan konsekuensi positif bagi seorang yang berkarakteristik “pemberi” dan konsekuensi negatif bagi seorang yang berkarakteristik“ penerima (Grant, 2001). Pemberi di sini dimaksudkan sebagai individu dengan sifat yang ringan tangan, suka membantu, dan tulus. Sedang penerima mewakili karakteristik individu yang kurang toleran karena selalu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Pengalaman ini terutama dibutuhkan karena beralihnya karakteristik sebagian besar jenis pekerjaan di dunia menjadi jenis pekerjaan yang bercorak team-work sehingga tingkat kesuksesan seseorang akan sangat bergantung pada dukungan dari pihak lain. 253 Program bimbingan/konseling bisa diadakan untuk membantu murid-murid yang mempunyai kesulitan dalam mengatasi emosinya. Sesuai dengan pandangan Buddhisme, kemarahan juga bisa diatasi dengan program meditasi (mindfulness) (diadakan di sekolah jika memungkinkan). Disini para peserta diajarkan untuk mengenali saat-saat dan gejala fisik ketika iritasi kecil mulai timbul. Banyak kemarahan hanya dimulai dengan kejengkelan kecil. Dengan mengenali saat-saat ini (sebagai hasil dari latihan meditasi), maka kemarahan akan bisa dicegah dari saat awal terbentuknya dan diatasi agar tidak berlanjut menjadi besar. Peran Pendidikan dalam Mengatasi Kemalasan. Kemajuan tehnologi adalah prestasi yang mengesankan dari pandangan ilmu pengetahuan. Suatu pencapaian yang sangat memukau dari hasrat manusia untuk sesuatu yang hebat/dahsyat. Tehnologi juga telah mencapai suatu titik dimana informasi ada di ujung jari tangan. Dengan menggunakan mesin pencari dalam internet, maka seseorang akan segera terhubung dengan dunia maya. Setelah mengetikkan alamat maya maka dengan menekan tombol “enter” di keyboard komputer, maka terbukalah pintu perpustakaan semesta dunia informasi. Dalam bidang transportasi, tingkat kecepatan alat transportasi menciptakan “dunia yang makin kecil” dengan drastisnya pengurangan jarak tempuh antar berbagai tempat di belahan dunia yang berbeda. Dalam bidang kedokteran, penyakit-penyakit deneneratif yang kronis dan amat sulit penanganannya, mungkin akan menemukan jalan pemecahan dengan tehnologi kloning (penciptaan organ-organ tubuh baru untuk menggantikan organ-organ tubuh yang sudah rusak). Ini sangat mudah ,seperti yang terjadi jika mobil/sepeda motor rusak dan digantikan sparepartnya. Proses pengobatan yang sulit dan panjang akan menjadi jauh lebih cepat dan sederhana dengan teknologi kloning. Apa yang sebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari keajaiban teknologi dunia modern. Semua kemajuan ini mungkin dipandang sebagai hal yang sangat positif karena membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah. Namun sebenarnya, jika ditelusuri, kemudahan ini menimbulkan banyak efek negatif bagi mental seseorang. Yang menakutkan adalah, ketika disadari maka kebiasaan ini 254 sudah mengakar kuat dalam diri. Seperti halnnya kebiasaan makan makanan enak berkolestrol tinggi secara berlebihan akan membuat seseorang terlena dan lupa pada bahayanya, sehingga ketika kesadaran timbul maka biasanya penyakit sudah mulai menderanya. Menariknya, bahwa dalam kebanyakan kasus bukannya seseorang tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai gaya hidup salah tersebut, tetapi karena kekuatan dari kebiasaan telah mengalahkan segala akal sehatnya. Makanan enak berkolestrol tinggi dari kemajuan tehnologi adalah bahwa manusia moderen telah terbiasa mendapatkan sesuatu secara instan (kadar kemalasan manusia moderen sangatlah tinggi). Kerja keras dalam jangka panjang bukan lagi dipandang sebagai suatu karakter yang luhur, tetapi lebih sebagai suatu beban yang harus dihindari. Kemalasan adalah penyebab utama dari kebodohan. Harga yang harus dibayar untuk kemalasan sangat mahal. Tanpa kerja keras maka cita-cita untuk menciptakan Negara dan bangsa yang kuat hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosionla untuk Mengatasi Kemalasan Pendidikan membuat seseorang menghargai proses diantaranya: a) Pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran bahwa keindahan pencapaian suatu tujuan lebih tergantung pada proses dan bukan pada hasil. b) Di masa lampau, manusia memerlukan waktu yang relatif panjang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau menempuh perjalanan, Dengan berkembangnya tehnologi, maka waktu untuk menyelesaikan suatu proyek dipotong secara signifikan. Manusia modern sudah tidak terbiasa lagi dengan proses karena banyak pekerjaan yang sudah dimekanisasi. Keindahan pencapaian suatu tujuan telah digantikan oleh kepraktisan dan kenyamanan (atau ketidaknyamanan?) Kemajuan tehnologi telah menyebabkan hilangnya kadar keuletan untuk menikmati proses karena sangat berorientasi pada hasil. Pendidikan harus 255 mengembangkan program yang mengembalikan nilai kerajinan/keuletan tersebut dengan memberikan penilaian lebih kepada proses dan bukan kepada hasil. Hasil evaluasi prestasi murid bisa didasarkan secara seimbang kepada nilai kehadiran, partisipasi dan ujian. Dengan memberikan nilai kepada kehadiran dan partisipasi, maka para murid belajar untuk menikmati pelajaran dan tidak hanya berorientasi pada hasil ujuan akhir. Ini memungkinkan murid dengan prestasi akademik yang kurang dalam suatu bidang tetapi rajin/ulet berkesempatan mendapatkan penghargaan dari kecerdasan emosinya. Peserta yang lain juga bisa merasakan bahwa kerajinan/keuletan merupaka suatu hal yang sangat dihargai baik di dunia akademik/professional dan masyarakat sehingga layak untuk dimiliki/ dikembangkan. Kesimpulan Kemajuan tehnologi telah banyak merubah nilai-nlai luhur yang dianut oleh masyarakat di masa lampau. Di jaman modern, bukanlah prestasi yang membanggakan lagi jika seseorang hanya mempunyai karakter yang baik tanpa disertai dengan kepemilikan materi/kekuasaan yang tinggi. Nilai-nilai warisan leluhur seperti kesederhanaan, kesabaran dan keuletan telah terancam untuk pudar Sangat dimungkinkan bahwa program pendidikan yang selama ini kurang menekankan pada terbentuknya kecerdasan emosional telah berakibat pada merosotnya nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Seperti telah diketahui bahwa kompetensi yang tidak disertai dengan dianutnya nilai kehidupan yang positif beresiko untuk menghasilkan karakter-karakter yang kurang berintegritas. Oleh karenanya pendidikan sudah seharusnya memegang peranan penting dalam revolusi mental untuk mengembalikan nilai-nilai luhur tersebut. Nature pendidikan yang bersifat wajib dan meliputi jangka waktu yang cukup panjang juga sangat membantu dalam keberhasilan perannya. Sesuai dengan tujuan dan misinya, maka rencana pendidikan harus mampu mengakomodir program-program untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak. Anak didik wajib mendapatkan pengalaman belajar yang kondusif secara mental sehingga mampu mengenali dan menumbuhkan sifat-sifat positif dalam dirinya 256 masing-,masing. Contoh yang diambil dalam penelitian ini untuk dibahas secara singkat adalah: menanamkan rasa selalu bersyukur untuk menumbuhkan nilai kesedehanaan, menghargai proses untuk menumbuhkan nilai keuletan, serta toleransi/kerja sama untuk membentuk kesabaran. Dalam implementasinya, maka perlu dirancang program-program yang menekankan pada praktek seperti: bakti sosial, kerja kelompok (team work) serta belajar dengan proses (learning with process). Revolusi mental melalui menghilangkan nilai sosial negatif sistim pendidikan yang berhasil akan dan melahirkan anak-anak bangsa yang anti korupsi, sabar/toleransi serta rajin/ulet bekerja. Ini semua adalah bahan-baku utama dalam membentuk negara Indonesia yang kuat, adil makmur, dan sejahtera sesuai dengan cita-cita kita semua. Saran Karena misi utama pendidikan adalah pembentukan karakter, maka pendidik mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan emosional anak didik. Untuk melaksanakan perannya, pendidik memerlukan bekal keterampilan mental yang cukup. Tantangan terbesar yang mungkin dihadapi oleh para pendidik adalah: pendidikan yang diberikan oleh orang tua murid di rumah. Jika pengaruh pendidikan orang tua buruk dan pendidik kurang mempunyai peranan dalam mempengaruhi mental anak didik, maka hasil yang dicapai dari pendidikan tidak akan optimal. Karena beratnya tanggung-jawab pendidik, adalah vital bahwa seorang pendidik selain memenuhi persyaratan akademis, juga harus melewati tes psikologi untuk menentukan apakah kepribadiaannya sesuai untuk memenuhi tuntutan dalam menjalankan proses belajar mengajar di sekolah. Daftar Pustaka Adam Grant. 2013. Give And Take. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ajahn Brahm, Youtube, Changing Our Attitudes to Who We Think We Are. 257 Daniel Goldman. 2000. Emotional Intelligen. US. Ven. Yin Shun, 1998. The Way to Buddhahood. Massachusetts: Wisdom Publication. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 258 SINKRONISASI DASA DHARMA PRAMUKA DAN NILAI-NILAI METTĀ SUTTA DALAM GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL 12T Waluyo STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract The purpose of this study to determine the synchronization Dasa Dharma Pramuka and values of Mettā Suttain revolutionizing mental to character building as the basis for realizing the human quality of Indonesia in various aspects of life. The study was motivated by the low levels of a sense of the development is often seen as merely the physical and economic aspects without seeing the inner quality comprehensively. Method of the study using synthesis checklist, which consists of a preliminary synthesis, advanced, and final by discussing in depth the content of written information regarding the DasaDharma Pramuka, Mettā Sutta, and mental revolution. Content on three things are analyzed in a systematic and given the interpretation that led to the answered of formulation of the problem. The results showed that the strategic value of DasaDharma Pramuka, and Mettā Sutta in support of the National Movement for Mental Revolution, is (1) through the perspective and way of thinking, that piety to God Almighty; willing to help and steadfast; thrifty, careful, and unpretentious; disciplined, courageous, and faithful; chaste in thought, word, and deed; clever; humble; not arrogant; satisfied; not busy; calm senses; alert; shameless; not attached to the family; do not make a mistake; always thinking may all beings be happy; do not expect others harm; do not stick to the wrong view; and has wisdom; and (2) through the workings of the words and deeds of physical entities, i.e. obedient and likes deliberation; responsible and trustworthy; chaste in thought, word, and deed; honest; gentle; do not make a mistake; do not cheat; not insulting; love of nature and human affection; patriot polite and knights; obedient and likes deliberation; diligent, skilled, and happy; disciplined, courageous, and faithful; chaste in thought, word, and deed; gentle; easy to maintain; not busy; do not make a mistake; and persevering in the precepts. Keywords: mental revolution, dasa dharma pramuka, mettā sutta Pendahuluan Orientasi pemimpin besar dunia dalam memandang bangsanya dimulai dari kemajuan berbagai aspek, terutama infrastruktur, sarana prasarana, ekonomi, industri, dan teknologi. Di samping itu, para pemimpin tidak melupakan pembangunan sumber daya manusia yang mengarah pada kualitas mental 259 warganya. Indonesia sebagai bangsa besar dan majemuk mempunyai tanggung jawab dalam menyiapkan mentalitas bangsa dalam menghadapi perubahan zaman di era global. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 April 2014 yang menjadi momentum bagi Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah bahwa yang menjadi pembicaraan dan fokus kita sekadar tentang pembangunan fisik dan ekonomi, padahal kekurangan terbesar ada pada character building, yang juga disebut sebagai revolusi mental.Pernyataan tersebut bersifat reflektif dalam melihat pembangunan secara fisik dan ekonomi yang mengabaikan rasa. Perencanaan pembangunan yang mengarah pada perangkat hardware menghasilkan manusiamanusia mekanis yang berkarakter kuat, namun lalai akan kemanusiaannya. Wujud dekadensi moral atas rendahnya kualitas manusia terlihat pada banyaknya permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi, kriminalitas, penindasan atas kelompok minoritas, kerusakan alam, sikap acuh, perilaku konsumtif, culas, dan rendahnya integritas merupakan beberapa contoh perbuatan yang semakin meningkat. Perangai yang demikian akan berdampak pada semakin merosotnya kualitas warga bangsa. Hancurnya suatu bangsa dapat dilihat dari perilaku dan tindakan warganya. Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada segi kehidupan yang lebih luas, bahkan bisa jadi pada musnahnya peradaban bangsa. Hasil beberapa survei internasional menunjukkan peringkat Indonesia pada tingkat tertinggi untuk hal-hal yang buruk dan tingkat rendah untuk hal-hal yang baik. Sejumlah focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh budayawan, seniman, perempuan, kaum muda, pengusaha, birokrat, tokoh agama dan adat, akademisi, maupun penggiat lembaga swadaya masyarakat menyimpulkan bahwa kita memang perlu mengubah mentalitas secara revolusioner karena adanya gejala: krisis nilai dan karakter, krisis pemerintahan, serta krisis relasi sosial ( http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/mengapa12TU perlu-revolusi-mental .html ). U12TU U Pada FGD tersebut mengemuka sejumlah pernyataan yang mengindikasikan rendahnya mentalitas masyarakat Indonesia, diantaranya nilai luhur bangsa yang terlupakan; orang yang berperilaku baik, 260 jujur, dan bersih tidak populer, bahkan menjadi musuh bersama; peradaban Indonesia sedang terhenti, birokrasi yang gendut, berbelit, dan rapuh; penegakan hukum yang tidak jelas arahnya; respon pemerintah lambat; dan masalah toleransi mengalami kemunduran disbanding 15 tahun yang lalu. Dengan demikian, upaya mengantisipasi dampak buruk yang ditimbulkannya sangat diperlukan segera. Upaya membentuk character building merupakan proses perjalanan panjang dan tanggung jawab semua komponen, baik pemerintah maupun swasta, lembaga pendidikan formal, informal maupun nonformal, serta bidang agama maupun sosial. Proses panjang ini disadari sebagai penguatan karakter baik sebagai upaya merevolusi mental agar menghasilkan kepribadian manusia yang berkualitas. Salah satu cara membentuk mental yang berkualitas adalah dengan Gerakan Pramuka yang menjunjung tinggi Dasa Dharma Pramuka. Dasa Dharma Pramuka menjadi Kode Kehormatan anggota dalam membentuk watak luhur. Dasa Dharma Pramuka merupakan alat proses pendidikan diri yang progesif untuk mengembangkan budi pekerti luhur (Kasan, dkk., 2008: 25).Dasa Dharma Pramuka dimaknai sebagai bentuk konkret pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Buddhisme, salah satu nilai-nilai Buddhisme yang dapat dijadikan sebagai upaya pembentukan mental yang baik adalah Mettā Sutta yang terdapat pada Kitab Suttanipāta. Mettā Suttamerupakan khotbah Buddha yang berisi sepuluh syair nilai-nilai kebaikan sebagai manifestasi cinta kasih yang dimiliki setiap oranguntuk dipancarkan kepada orang (makhluk) lain. Sinergitas antara Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta memberikan manfaat sebagai kekuatan dalam mendukung Gerakan Revolusi Mental yang digagas oleh Pemerintah. Revolusi Mental merupakan perubahan cara kita berpikir dalam bertindak dan bekerja menghadapi keadaan tertentu ( http://revolusimental.go.id U /#lg=1&slide=2 ). Cara berpikir, bertindak, dan bekerja ini memerlukan dasar U operasional yang mengakar kuat agar menghasilkan perubahan yang signifikan. Dasa Dharma Pramuka terdiri atas sepuluh dharma sebagai watak luhur yang harus dimiliki anggotanya, yaitu (a) takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) cinta alam dan kasih sayang sesama manusia; (c) patriot yang sopan dan ksatria; (d) patuh dan suka bermusyawarah; (e) rela menolong dan tabah; (f) rajin, 261 terampil, dan gembira; (g) hemat, cermat, dan bersahaja; (h) disiplin, berani, dan setia; (i) bertanggung jawab dan dapat dipercaya; (j) suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan (Anggadiredja, dkk.,2011: 36; Suherman, 2011: 56). Kesepuluh dharma ini merupakan cerminan watak luhur yang harus dimiliki oleh anggota Pramuka, bahkan nilai-nilainya dapat dipraktikkan oleh seluruh warga masyarakat. Dharma Pramuka dapat pula dipandang sebagai tuntunan perilaku dalam membangun hubungan vertikal-horisontal maupun pribadi-sosial. Nilai-nilai Mettā Suttamengandung kualitas perilaku luhur manusia yang tekun dalam kebaikan dan mencapai ketenangan batin, yaitu (a) pandai, (b) jujur, (c) rendah hati, (d) lemah lembut, (e) tidak sombong, (f) merasa puas, (g) mudah dirawat, (h) tidak sibuk, (i) sederhana, (j) tenang inderanya, (k) waspada, (l) tahu malu, (m) tidak melekat pada keluarga, (n) tidak melakukan kesalahan walaupun kecil, (o) selalu berpikir semoga semua makhluk berbahagia, (p) tidak menipu, (q) tidak menghina, (r) tidak mengharap orang lain celaka, (s) tidak berpegang pada pandangan salah, (t) tekun dalam sīla, (u) memiliki kebijaksanaan ( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.1.08.amar.html ). 12TU U12T Gerakan Nasional Revolusi Mental merupakan gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik melalui cara pandang, cara pikir, dan cara kerja agar berdaulat, berdikari, dan berkepribadian ( http://revolusimental.go.id/ ; 12TU U12T Government Public Relations: Topik Revolusi Mental, Edisi 5 Juli 2015). Cara hidup baru bangsa Indonesia mengarah pada perbaikan karakter untuk menjadi Indonesia yang kuat, baik dari segi fisik maupun mental. Prinsip dasar dalam melakukan revolusi mental adalah (a) gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik, (b) didukung oleh political will Pemerintah, (c) bersifat lintas sektoral, (d) kolaborasi masyarakat, privat, akademisi, dan Pemerintah, (e) dilakukan dengan program value attack untuk senantiasa mengingatkan masyarakat terhadap nilai-nilai strategis dalam setiap ruang publik, (f) desain program harus user friendly dan menyenangkan, (g) nilai-nilai yang dikembangkan terutama untuk mengatur moralitas publik (sosial), (h) dapat diukur 262 dampaknya dan dirasakan manfaatnya oleh warga masyarakat ( http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/8-prinsip-revolusi-mental.html ). 12TU U12T Prinsip ini menjadi dasar pelaksanaan setiap program yang dilaksanakan untuk mendukung Gerakan Nasional Revolusi Mental. Kesatuan antara Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta sebagai alternatif dalam mensintesis konsep baru untuk membentuk karakter atau mental bangsa Indonesia yang lebih baik agar berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Kedua konsep secara sinergis akan menjadi dasar upaya merevolusi mental individu yang tecermin pada perilaku diri dan sosialnya. Metode Kajian Analisis pembahasan kajian ini menggunakan syntesize checklist yang terdiri dari sistesis pendahuluan, lanjutan, dan akhir; dengan mempertimbangkan unsur teks, konteks, dan wacana (Zed, 2008: 71, 76-77). Unsur teks tidak sekadar merujuk pada kata-kata yang tercetak atau tertulis, tetapi semua jenis komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya mengenai objek kajian yaitu Dasa Dharma Pramuka, nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental. Konteks di sini dimaknai sebagai relasi antarteks dengan memasukkan semua situasi yang terkait dengan hal-hal di luar teks, namun mempengaruhi pemakaian bahasa. Konteks kajian ini meliputi penyusun teks, situasi teks dibuat, fungsi teks dalam kerangka tujuan tertentu tentang materi Dasa Dharma Pramuka, nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental. Wacana (discourse) pada kajian ini bermaksud mensintesis atau mengungkap pemahaman teks dan konteks, baik yang tersembunyi maupun jelas tergambar dari materi Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta dalam upaya merevolusi mental setiap individu. Sintesis pendahuluan mencakup upaya penggabungan secara konsisten antara temuan analisis dan sintesis, yang meliputi fakta, gagasan, konsep, pandangan, teori atau metode sebagai cara kerja dan simpulan-simpulan. Tahap ini pengkaji berupaya menata kembali hasil analisis dalam rangka menjelaskan pengertian makna harfiah dan real meaning materi Dasa Dharma Pramuka, nilainilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental; serta unsur 263 subjektif atau bias yang terkandung dalam materi tersebut. Sintesis tahap lanjutan berkenaan dengan upaya penggabungan hasil pembandingan teks dengan pasti dan rinci, serta pembuktian hubungan sebab-akibat tentang materi Dasa Dharma Pramuka, nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental. Tahap sintesis akhir (final synthesis) kajian ini menggunakan teknik koligasi (interpretasi) yang mencakup usaha penggabungan bagian-bagian secara keseluruhan objek materi Dasa Dharma Pramuka, nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental yang telah dianalisis. Hasil dan Pembahasan Isi konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Suttadapat disejajarkan pada tabel berikut. Tabel 1 Konsep Dasa Dharma Pramuka dan Nilai-nilai Mettā Sutta Dasa Dharma Pramuka Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia Patriot yang sopan dan ksatria Patuh dan suka bermusyawarah Rela menolong dan tabah Rajin, terampil, dan gembira Hemat, cermat, dan bersahaja Disiplin, berani, dan setia Bertanggung jawab dan dapat dipercaya Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan 264 Nilai-Nilai Mettā Sutta Pandai Jujur Rendah hati Lemah lembut Tidak sombong Merasa puas Mudah dirawat Tidak sibuk Sederhana Tenang inderanya Waspada Tahu malu Tidak melekat pada keluarga Tidak berbuat kesalahan Selalu berpikit semoga semua makhluk berbahagia Tidak menipu Tidak menghina Tidak mengharap orang lain celaka Tidak berpegang pada pandangan salah Tekun dalam sīla Memiliki kebijaksanaan Komponen analisis kajian ini menghasilkan poin-poin penting yang dapat dikelompokkan menjadi tiga unsur (teks, konteks, dan wacana) sebagaimana dilihat pada tabel berikut. Tabel 2 Teks, Konteks, dan Wacana Konsep Teks Konteks Wacana - Konsep Dasa Dharma Pramuka (DDP), Nilai-Nilai Mettā Sutta(MS), dan Revolusi Mental (RM) - Citra konsep DDP, MS, dan RM - Situasi di luar konsep DDP, MS, dan RM - Penyusun konsep DDP, MS, dan RM - Situasi saat DDP, MS, dan RM dibuat - Fungsi DDP, MS, dan RM - Sintesis teks dan konteks - Pemahaman teks dan konteks Hasil kajian berdasarkan proses analisis dengan menggunakan synthesis checklist dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3 Proses Synthesis Checklist Pendahuluan Lanjutan Akhir - Penggabungan konsep DDP, MS, dan RM Penataan kembali hasil analisis Menjelaskan makna harfiah dan real meaning Subjektivitas/bias konsep DDP, MS, dan RM Upaya penggabungan hasil pembandingan dengan pasti dan rinci tentang konsep DDP, MS, dan RM - Pembuktian hubungan sebab-akibat antarkonsep DDP, MS, dan RM - Interpretasi (koligasi) - Usaha penggabungan hasil analisis bagian-bagian antarkonsep DDP, MS, dan RM secara keseluruhan Penggabungan konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta yang mengarah pada upaya revolusi mental dikategorikan ke dalam tiga kelompok jenis bentuk-bentuk perbuatan, yaitu pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Hasil penggabungan konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta dapat dilihat pada tabel berikut. 265 Tabel 4 Penggabungan Konsep dalam Bentuk Perbuatan untuk Revolusi Mental Pikiran Ucapan Badan Jasmani (Kerja Perbuatan) - Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Rela menolong dan tabah Hemat, cermat, dan bersahaja Disiplin, berani, dan setia Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan Pandai Rendah hati Tidak sombong Merasa puas Tidak sibuk Tenang inderanya Waspada Tahu malu Tidak melekat pada keluarga Tidak berbuat kesalahan Selalu berpikir semoga semua makhluk hidup berbahagia Tidak mengharap orang lain celaka Tidak berpegang pada pandangan salah Memiliki kebijaksanaan Patuh dan suka bermusyawarah Bertanggung jawab dan dapat dipercaya Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan Jujur Lemah lembut Tidak berbuat kesalahan Tidak menipu Tidak menghina Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia Patriot yang sopan dan ksatria Patuh dan suka bermusyawarah Rajin, terampil, dan gembira Disiplin, berani, dan setia Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan Lemah lembut Mudah dirawat Tidak sibuk Tidak berbuat kesalahan Tekun dalam sīla Revolusi mental menjadi pedoman dalam bekerja yang didahului dengan cara pandang dan cara pikir dalam diri seseorang. Pada konteks kewargaan, mental tiap anggota masyarakat hendaknya memiliki dasar pandang dan pikir dalam segala aktivitasnya. Pada lingkup pikiran yang menghasilkan cara pandang setiap orang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; rela menolong 266 dan tabah; hemat, cermat, dan bersahaja; disiplin, berani, dan setia; suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan; pandai; rendah hati; tidak sombong; merasa puas; tidak sibuk; tenang inderanya; waspada; tahu malu; tidak melekat pada keluarga; tidak berbuat kesalahan; selalu berpikir semoga semua makhluk hidup berbahagia; tidak mengharap orang lain celaka; tidak berpegang pada pandangan salah; dan memiliki kebijaksanaan. Merevolusi mental berarti mengubah cara pandang dan cara pikir yang berorientasi pada pelaksanaan ajaran agama yang tampak pada ibadah formal dan sosial. Ibadah formal mewujud pada ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pelaksanaan Dharma, suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan serta hemat, cermat, dan bersahaja, tenang inderanya, waspada, tidak berbuat kesalahan, tidak berpegang pada pandangan salah, dan memiliki kebijaksanaan. Ibadah sosial individu tampak dalam bentuk sikap peduli pada sesama, diantaranya rela menolong, tidak sibuk terutama jika dimintai bantuan orang lain, tidak menunjukkan sikap sombong pada orang lain, selalu berpikir semoga semua makhluk berbahagia, dan tidak mengharapkan orang lain celaka. Karakter ibadah yang menuju pada pencapaian mentalitas yang luhur ditandai dengan perubahan diri secara signifikan, dan juga sikap peduli pada sesama. Mental diri yang baik akan berimbas pada lingkungannya, misalnya, sikap disiplin pada diri sendiri akan memberi dampak bagi sekitarnya untuk mengikutinya. Kualitas diri yang baik dapat dilihat pada koneksi individu dengan lingkungan yang dikenali dari ucapan dan perbuatan saat menjalin hubungan dan kerja sama dengan manusia lain dan alam sekitar. Hal-hal bernilai strategis melalui ucapan yang dapat dilakukan oleh setiap individu dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya yaitu jujur, lemah lembut dalam bertutur kata, dapat dipercaya, tidak menipu, dan tidak menghina orang lain. Karakter ini akan berdaya guna dalam membentuk kepribadian manusia Indonesia yang menghargai manusia lain. Perilaku jujur dan dapat dipercaya diperlukan dalam pelayanan kepada masyarakat. Pejabat yang jujur dan dapat dipercaya akan menjadi teladan bagi warganya. Hal-hal bernilai strategis melalui perbuatan badan jasmani dalam merevolusi mental setiap individu, diantaranya mencintai alam dan sesama 267 manusia, suka bermusyawarah, rajin, terampil, dan tekun dalam latihan kemoralan (sīla). Cara mengubah mental dalam bentuk nyata dilihat dari hubungan manusia dengan alamnya. Pengelolaan alam secara berkelanjutan memberikan kelangsungan hidup bagi generasi berikutnya. Generasi yang dididik dengan mental baik akan berdampak pada kemajuan suatu bangsa di kemudian hari. Generasi yang rajin dan terampil dalam mengelola alam, mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya serta tekun dalam latihan kemoralan akan memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi tantangan di masa mendatang. Kesimpulan dan Saran Sinkronisasi Dasa Dharma Pramuka dan Mettā Suttamenghasilkan nilainilai strategis yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan Gerakan Nasional Revolusi Mental melalui cara pandang, cara pikir, dan cara kerja dalam membentuk manusia Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Nilai strategis Dasa Dharma Pramuka dan Mettā Sutta melalui cara pandang dan cara pikir, yaitu takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; rela menolong dan tabah; hemat, cermat, dan bersahaja; disiplin, berani, dan setia; suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan; pandai; rendah hati; tidak sombong; merasa puas; tidak sibuk; tenang inderanya; waspada; tahu malu; tidak melekat pada keluarga; tidak berbuat kesalahan; selalu berpikir semoga semua makhluk hidup berbahagia; tidak mengharap orang lain celaka; tidak berpegang pada pandangan salah; dan memiliki kebijaksanaan. Nilai strategis Dasa Dharma Pramuka dan Mettā Sutta melalui cara kerja ucapan dan perbuatan badan jasmani, yaitu patuh dan suka bermusyawarah; bertanggung jawab dan dapat dipercaya; suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan; jujur; lemah lembut; tidak berbuat kesalahan; tidak menipu; tidak menghina; cinta alam dan kasih sayang sesama manusia; patriot yang sopan dan ksatria; patuh dan suka bermusyawarah; rajin, terampil, dan gembira; disiplin, berani, dan setia; suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan; lemah lembut; mudah dirawat; tidak sibuk; tidak berbuat kesalahan; dan tekun dalam sīla. 268 Hasil sintesis konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta dalam merevolusi mental dapat digunakan untuk memantabkan gerakan ini melalui berbagai sektor dan media. Pembentukan nilai-nilai strategis yang dihasilkan dapat melalui lembaga pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal. Daftar Pustaka Anggadiredja, J.T. dkk. 2011. Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar. Jakarta: Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Government Public Relations Report: Topik Revolusi Mental. Edisi 5 Juli 2015. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Diakses dari http://revolusimental.go.id/, tanggal 8 Januari 2016. 12T Kasan, dkk. 2008. Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Suherman, E. 2011. Pramuka Membangun Ekonomi Bangsa: Menggagas Pembangunan Ekonomi Masyarakat Melalui Kegiatan Pelatihan Entrepreneurship di Lingkungan Gerakan Pramuka. Bandung: Alfabeta. Zed, M. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 12TU 12TU 12TU 12TU 12TU http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/mengapa-perlu-revolusi-mental.html . Diakses tanggal 6 Januari 2016. U12T http://revolusimental.go.id/#lg=1&slide=2 . Diakses tanggal 6 Januari 2016. U12T http://revolusimental.go.id/ . Diakses tanggal 8 Januari 2016. U12T http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.1.08.amar.html ). tang-gal 8 Januari 2016. U12TU U Diakses http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/8-prinsip-revolusi-mental.html . Diakses tanggal 8 Januari 2016. U12T 269 PENANAMAN NILAI-NILAI SEMANGAT KEBANGSAAN DALAM MENUMBUHKAN SEMANGAT REVOLUSI MENTAL MAHASISWA 12T Warsito STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract This article discusses the cultivation of the values of the national spirit in the midst of a crisis of ideology and culture. The author uses descriptive research approach by using literature data as the main source of this study. The author uses the study in the context of nation value cultivation to foster the spirit of student to do mental revolution as to form the character of the young generation in the spirit of upholding the values of culture and morality. In preparing this article, the author uses students as the main object of value cultivation concept of national awareness. Therefore, in writing this article the author used the approach of value of cultivation strategiesof mental revolution through civic education courses. Through civic education students are expected to foster civic spirit and awareness in upholding and developing excellent human character and morality as well as maintaining the cultural values towards changes in a sovereign nation, independent and sovereign. Things that need to be prepared for planting the values of mental revolution to students are as follows 1) readiness instrumental, in this connection, it takes the legal umbrella, the juridical basis and the rule of law are clear, concrete and strong in the overarching process of planting mental revolution to students , 2) structural readiness, in this connection, it takes a permanent institutional, legitimate in the central and local levels in the form of the National Cultivation Agency and the State Defense. 3) cultural readiness, in this connection, it takes perceptions, views and attitudes of society, community groups, community organizations, non-governmental organizations and all positive components in a nation, supportive and helpful ideas, and value cultivation of mental revolution program among students Keywords: cultivation, values, national awareness, mental revolution, student Pendahuluan Revolusi mental merupakan agenda prioritas pemerintahan Indonesia saat ini. Revolusi mental merupakan revolusi karakter bangsa yang dilakukan melalui proses pendidikan. Revolusi mental adalah gerakan seluruh rakyat Indonsia bersama pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi yang lebih baik ( revolusi mental.go.id ). U U Hal ini dapat dilihat dari point 8 Nawacita yang berbunyi: “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan 271 kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia”. Revolusi mental sendiri telah digelorakan oleh Bung Karno sejak tahun 1957 dan kemudian dihidupkan kembali oleh pemerintahan Jokowi-JK dalam bingkai konsepsi trisakti (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan). Revolusi mental memfokuskan pada perubahan karakter, moralitas, pola pikir, bangsa Indonesia untuk kembali ke jati diri bangsa yang berdaulat, berdikari dan berkeperibadian, di tengah arus globalisasi. Revolusi mental dalam pembelajaran (Mulyasa, 2015) revolusi mental harus dijadikan landasan pembangunan pendidikan agar dapat menimbulkan kesadaran dan mengikat para pejabat dalam sistem pendidikan pada tingkat nasional dan daerah sehingga menghasilkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan secara berkesinambungan. Ada beberapa aspek yang melatarbelakangi mengapa mahasiswa memerlukan revolusi mental yakni aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya. Mahasiswa Indonesia sekarang ini banyak yang telah teracuni oleh nilainilai ideologi asing, baik ideologi liberalisme-kapitalisme, sosialisme-komunisme, dan aliran keagamaan yang fanatis, militan dan radikal. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa yang memiliki pola pikir dan pola tindak liberalis, kebarat-baratan, kekiri-kirian, dan bahkan mudah terprovokasi oleh paham radikal keagamaan, seperti paham terorisme, fundamentalisme dan gerakan ISIS. Mahasiswa Indonesia tidak sedikit yang terkotak-kotak oleh kepentingan politik praktis dari elit politik tertentu. Aspirasi yang digelorakan sekarang ini tidak semuanya murni untuk kepentingan rakyat, namun telah banyak yang ditunggangi oleh kepentingan politik yang justru telah merugikan eksistensi pergerakan mahasiswa yang luhur, murni, obyektif seperti pada masa lalu. Mahasiswa Indonesia tidak jarang yang kurang memiliki daya saing, etos kerja, dan jiwa kewirausahaan. Mahasiswa Indonesia saat ini belum semuanya siap menghadapi 272 kompetisi global, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Tidak semua mahasiswa memiliki inovasi, kreasi, terobosan kreatif dalam menghadapi pasar global terutama menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara). Mahasiswa Indonesia tidak sedikit yang berorientasi pada nilai-nilai individualisme, konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Nilai-nilai toleransi, musyawarah mufakat, tenggang rasa, sopan, santun dan ramah telah hilang berganti dengan kekerasan, anarkisme dan kebrutalan yang kadangkala melanggar hukum, seperti tawuran antar pelajar/mahasiswa, penganiayaan, pengrusakan, terlibat narkoba, miras, dan prostitusi. Mahasiswa telah mengalami krisis karakter dan krisis jati diri sehingga perlu dilakukan revolusi mental. Pembahasan Nilai-Nilai Revolusi Mental Nilai-nilai revolusi mental yang harus ditanamkan kepada mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa sebenarnya harus didasarkan pada konsepsi trisaksi yang telah dicetuskan oleh Soekarno dan digelorakan kembali oleh pemerintahan Jokowi-JK. Visi trisakti yang memfokuskan pada tiga pilar harus dihidupkan kembali, dijabarkan kembali, diaplikasikan kembali, dan dioperasionalkan kembali sesuai dengan konteks kekinian, khususnya sesuai dengan konteks kemahasiswaan: Mahasiswa Berdaulat Secara Politik Diperlukan nilai-nilai kejuangan, kebangsaan, nasionalisme, patriotisme, dan bela negara yang harus ditanamkan kepada semua mahasiswa Indonesia agar supaya menjadi benteng dan filter dalam menghadapi nilai-nilai global yang berasal dari nilai-nilai asing, seperti liberalisme-kapitalisme, sosialismekomunisme, dan nilai-nilai fanatisme-radikalisme-fundamentalisme agama. Melalui bingkai persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa, maka mahasiswa tidak akan mudah terkotak-kotak oleh kepentingan politik elit dalam politik praktis. Hal ini dilakukan untuk menjaga, memelihara, dan mengamankan keyakinan mahasiswa yang berdaulat dengan memegang teguh empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI). 273 Mahasiswa Berdikari Secara Ekonomi Maknanya, diperlukan nilai-nilai inovasi, kreasi, dan invensi (penemuan baru) yang harus ditanamkan kepada semua mahasiswa Indonesia agar supaya memiliki daya saing, etos kerja, dan jiwa kewirausahaan bangsa untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan unggul sehingga akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan nasional di tengah tantangan pasar bebas dan perdagangan bebas. Penyiapan sumber daya manusia yang inovatif, kreatif dan enterprenuership akan menciptakan mahasiswa yang berdikari. Mahasiswa Berkeperibadian Secara Budaya. Diperlukan nilai-nilai toleransi, gotong royong, tenggang rasa, humanis, protagonis, sopan, santun, dan simpatik yang harus ditanamkan kepada semua mahasiswa Indonesia agar supaya memiliki jiwa, hati, mental, karakter, dan moral yang baik, benar, unggul, manusiawi, beradab dan bermartabat sehingga akan mampu membentengi jati diri dan identitas bangsa dari ancaman invidualisme, liberalisme, materialisme, hedonisme, dan konsumerisme. Penyiapan pola pikir, dan cara pandang yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal yang dibingkai dalam semangat, rasa dan paham kebangsaan akan mampu membentuk mahasiswa yang berkepribadian. Strategi Menanamkan Revolusi Mental Kepada Mahasiswa Dalam makalah Focus Group Discusion berkaitan dengan revolusi mental dijelaskan bahwa: Strategi menanamkan nilai-nilai revolusi mental kepada mahasiswa harus dilakukan secara sistematis, logis, dialogis, dan interaktif, dimulai dari calon mahasiswa, mahasiswa, saat menjadi mahasiswa, dan setelah menjadi mahasiswa. Penanaman nilai-nilai revolusi mental pada mahasiswa yakni saat mengikuti Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek), (Subagyo, 2015). Calon mahasiswa telah berada di perguruan tinggi, diberikan semacam penataran wawasan kebangsaan dan bela negara yang waktunya cukup memadai, misalnya dua hari untuk melakukan pemahaman/penghayatan/penjiwaan wawasan kebangsaan. Penanaman nilai-nilai revolusi mental saat mahasiswa mengikuti 274 mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Dalam mata kuliah dasar umum ini, setiap mahasiswa harus dibekali dengan nilai-nilai wawasan kebangsaan yang disesuaikan dengan menyusun Silabus dan dan Satuan acara perkuliahan Pendidikan kewarganegaraan yang mengarahkan nilai-nilai revolusi mental untuk meningkatkan wawasan kebangsaan. Para dosen di kampus memegang peran penting dalam menanamkan nilai-nilai revolusi mental secara nyata, kongkret, operasional, dengan bahasa lugas, dan mudah dicerna oleh mahasiswa sehingga tidak membosankan, karena selama ini mahasiswa bosan dengan dengan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan oleh dosen secara monoton, dan berisfat satu arah. Penanaman nilai-nilai revolusi mental setelah mahasiswa selesai melaksanakan perkuliahan dan ujian skripsi sehingga tinggal menunggu wisuda. Sebelum mahasiswa melaksanakan prosesi wisuda maka diperlukan waktu satu hari untuk menanamkan nilai-nilai revolusi mental yang berbasis pada wawasan kebangsaan berupa pembekalan, sosialisasi maupun pelatihan wawasan kebangsaan, sehingga akan menjadi bekal bagi para mahasiswa/calon wisudawan untuk terjun ke tengah masyarakat dan di dunia kerjanya masing-masing. Harapannya, para mahasiswa mampu menerapkan nilai-nilai revolusi mental dapat diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan kerjanya masing-masing ke depannya nanti. Terdapat beberapa kesiapan yang dibutuhkan untuk melakukan penanaman nilai-nilai revolusi mental kepada mahasiswa yang harus terpenuhi agar supaya program ini berjalan dengan lancar, antara lain: a. Kesiapan Instrumental. Dalam kaitan ini, dibutuhkan payung hukum, landasan yuridis dan aturan hukum yang jelas, kongkret dan kuat dalam memayungi proses penanaman revolusi mental kepada para mahasiswa berupa penyusunan, pembahasan dan pengesahan UU Komponen Cadangan, UU Komponen Pendukung, UU Bela Negara, UU Wawasan Nusantara, maupun berbagai aturan perundang-undangan lain yang terkait. Hal ini penting dibuat agar supaya terdapat pedoman, pegangan, dan koridor dalam melakukan sosialisasi, internalisasi, dan pelatihan nilai-nilai revolusi mental mahasiswa. 275 b. Kesiapan Struktural. Dalam kaitan ini, dibutuhkan kelembagaan yang permanen, absah, dan ada di tingkat pusat dan daerah berupa Badan Penanaman Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara (BPWKBN) di pusat maupun di daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) yang memiliki tugas, fungsi dan kewenangan menyelenggarakan pembinaan, sosialisasi, koordinasi, supervisi, evaluasi, pengawasan, dan pengendalian penanaman nilai-nilai revolusi mental guna membentuk karakter mahasiswa yang berwawasan kebangsaan dan berkesadaran bela negara. Badan ini merupakan badan negara yang bersifat nasional dan bersumber anggaran pemerintah yakni dari APBN. c. Kesiapan Kultural. Dalam kaitan ini, dibutuhkan persepsi, pandangan, dan sikap masyarakat, kelompok masyarakat, ormas, LSM dan semua komponen bangsa yang positif, mendukung dan membantu ide, gagasan, dan program penanaman nilai-nilai revolusi mental di kalangan mahasiswa. Semua pihak, khususnya dunia pendidikan di kampus dan di kalangan mahasiswa harus menilai bahwa program ini sangat baik dan bermanfaat bagi pengembangan sumber daya manusia Indonesia mengingat mahasisw merupakan generasi penerus bangsa dan aset insani bangsa yang tidak ternilai dengan apapun sehingga harus digodok, digembleng, dididik, dilatih dan dibina melalui revolusi mental sehingga berwawasan kebangsaan dan berkesadaran bela negara. Cara pandang lama yang menyatakan bahwa penanaman wawasan kebangsaan dan bela negara sebagai upaya untuk militer masuk politik harus dikikis dan dibuang jauh-jauh karena jaman telah berubah dan terdapat keharmonisan yang erat, solid, dan kokoh antara sipil dan militer. Program ini merupakan murni untuk kepentingan bangsa dan negara, tanpa ada pretensi politik praktis. Terbentuknya Resimen Mahasiswa (Menwa) Untuk merealisasikan UU Nomor 29 Tahun 1954, diselenggarakan Wajib Latih di kalangan mahasiswa dengan pilot proyek di Bandung pada tanggal 13 Juni 1959-14 September 1959, yang kemudian dikenal dengan WALA 59 (Wajib Latih tahun 1959). WALA 59 merupakan batalyon inti mahasiswa yang 276 merupakan cikal bakal Resimen Mahasiswa sekarang ini. Kemudian disusul Batalyon 17 Mei di Kalimantan Selatan. Mahasiswa yang memperoleh latihan ini siap mempertahankan home-front dan bila perlu ikut memanggul senapan medan laga. Mahasiswa Wajib Latih ini dididik di Kodam VI/Siliwangi dan para mahasiswa ini diberi hak untuk mengenakan lambang Siliwangi. Bermula dari itulah, pada masa demokrasi terpimpin dengan politik konfrontasi dalam hubungan luar negeri, telah menggugah semangat patriotisme dan kebangsaan mahasiswa untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa sebagai sukarelawan. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kemiliteran selanjutnya dilaksanakan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai potensi pertahanan dan keamanan negara melalui Rinwa (Resimen Induk Mahasiswa), yang selanjutnya namanya berubah menjadi Menwa (Resimen Mahasiswa). Tujuan dan Tugas Pokok Resimen Mahasiswa adalah sebagai berikut. Tujuan Resimen Mahasiswa Indonesia adalah: 1. Mempersiapkan mahasiswa yang memiliki pengetahuan, sikap disiplin, fisik dan mental serta berwawasan kebangsaan agar mampu melaksanakan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi dan menanamkan dasar-dasar kepemimpinan dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional. 2. Sebagai wadah penyaluran potensi mahasiswa dalam rangka mewujudkan hak dan kewajiban warga Negara dalam Bela Negara. 3. Mempersiapkan potensi mahasiswa sebagai bagian dari potensi rakyat dalam Sistem Pertahanan Rakyat Semesta. Tugas pokok Resimen Mahasiswa Indonesia meliputi: a. Merencanakan, mempersiapkan dan menyusun seluruh potensi mahasiswa untuk memantapkan ketahanan nasional, dengan melaksanakan usaha dan atau kegiatan bela negara. b. Membantu terwujudnya penyelenggaraan fungsi perlindungan masyarakat (LINMAS), khususnya Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) c. Membantu terlaksananya kesadaran bela negara dan wawasan kebangsaan dalam organisasi kepemudaan. 277 Kesimpulan Penanaman sikap revolusi mental melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan menjadi titik acuan terbentuknya keberhasilan pembangunan bangsa menuju bangsa yang berkarakter, bermoral, dan berbudaya. Oleh sebab itu, untuk merealisasikan program yang dijadikan konsep baru pemerintahan diperlukan berbagai sektor antara lain sektor pendidikan, agama dan humanisme, sosial, dan ekonomi. Keempat sektor tersebut, memiliki penguatan strategi yang mana sektor pendidikan sangat mendukung terbentuknya mahasiswa Indonesia dalam menamkan karakter dan moralitas yang tinggi dalam menjunjung nilai-nilai kebudayaan. Sektor agama dan humanisme sebagai penyeimbang dan pengendali, maka segala hal yang bersifat tidak baik dapat terluruskan kembali. Sektor sosial menjadi pokok utama yang mana dalam proses kehidupan pasti akan bergantung dengan yang lain sebagai rasa kesosialan dengan saling gotong royong, dan kepedulian antara sesama. Ekonomi dijadikan penentu bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu penanaman revolusi mental akan memberi kesadaran pada masyarakat akan besarnya harapan menuju bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian dengan menanamkan nilai kesadar masyarakat akan pentingnya kejayaan bangsa dalam menopang kemerosotan karakter bangsa. Daftar Pustaka Busroh, Abu Daud & Abubakar Busro. 1993. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Effendi, Taufiq. 2008. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada Seminar Pembangunan Sumber Daya Manusia Aparatur Negara. Makalah. Semarang: Universitas Diponegoro. Erwin, Muhamad, 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta. Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Setio Budi. 1997. Jurnal Perencanaan Pembangunan. Nomor 17 Oktober. 278 Sugiyono. 2006. Metode Bandung: Alfabeta. Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Sumarsono, dkk. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2015. Sosialisasi Gerakan Revolusi Mental. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Subagyo, Agus, 2015. Makalah FGD: Penanaman nilai-nilai revolusi mental bagi generasi muda khususnya calon mahasiswa untuk membentuk generasi muda yang berwawasan kebangsaan dan berkesadaran bela negara. U revolusimental.go.id 12TU http://nasional.sindonews.com U12T pemerintah.net/uu-asn-aparatur-sipil-negara 12TU http://www.rayakultura.net/pendidikan-dalam-strategi-kebudayaan U 12T 279 MEMAHAMI FALSAFAH PENDIDIKAN TIONGKOK KUNO MENGENAI AJARAN SĀN ZÌ JĪNG (三 字 经) DAN DÌ ZĬ GUĪ (弟 子 規) BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERT I PADA ANAK USIA DINI SEBAGAI BASIS PEMBENTUKAN KARAKTER DALAM RANGKA REVOLUSI MENTAL BANGSA 12T Yuriani STAB Negeri Sriwijaya [email protected] 12T Abstract Indonesian moral crisis demonstrated by various phenomena of crime, disorder and disaster. It is a fact that requires mental revolution movement. Mental revolution refers to the process of change in thinking, social interaction, emotional intelligence as well as the cultivation of the noble values of life in a whole. The starting point for mental revolutionize society and Indonesian nation is on the roles and responsibilities of education that leads to moral education as the basis of character formation. Referring to the educational philosophy of Ancient Chinese are known for teaching San Zi Jing (三 字 经) and Di Zi Gui (弟 子 規) that must be taught as a moral education for early childhood and in its development as a basis of curriculum schools in Taiwan, Singapore and Malaysia .The discussion in this article is intended to provide an understanding of the philosophy of ancient China regarding to the teaching San Zi Jing (三 字 经) and Di Zi Gui (弟 子 規). This understanding provides the foundation for its application on moral education in early childhood as the basis of character formation in the framework of the nation mental revolution. Keywords: mental revolution, the formation of character, character education, teaching San Zi Jing (三 字 经) and Di Zi Gui (弟 子 規) Pendahuluan 16T Tuntutan adanya revolusi mental menggambarkan bahwa kondisi mental 16T bangsa yang terjadi sekarang ini sudah sangat buruk. Krisis moral yang menunjuk pada fenomena banyaknya kejahatan, kekacauan dan bencana sekarang ini terjadi, melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Revolusi mental membidik upaya transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas yang meliputi: cara berpikir, cara merasa, cara mempercayai yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Oleh karenanya, revolusi mental mengacu pada proses perubahan daya pikir, interaksi sosial, emosional intelegensi serta penanaman karakter nilai luhur 281 budaya bangsa secara cepat dan menyeluruh. Titik awal untuk merevolusi mental masyarakat dan bangsa Indonesia adalah pada dunia pendidikan. Pendidikan menjadi fokus untuk memulai revolusi mental ini. Pendidikan diarahkan pada pembentukan etos warganegara ( citizenship ). Proses pedagogis 7T 7T membuat etos warganegara ini tumbuh, berkembang dan terwujud dalam tindakan sehari-hari. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif ( discursive 7T knowlegde ) ke pengetahuan praktis ( practical knowledge ). Artinya, membentuk 7T 7T 7T etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi membuat teoriteori tersebut berpengaruh terhadap tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan pada transformasi yang dimulai dari pembiasaan sampai merujuk pada upaya pembentukan karakter (character building). Pendidikan karakter memuat nilai-nilai luhur, interaksi sosial, kreativitas, daya juang, melakukan percobaan, inovasi dan melahirkan penemuan-penemuan merupakan dasar revolusi mental sebuah generasi baru. Pendidikan berbasis karakter, bukan sekedar melatih anak untuk berpikir nalar atau menghafal, tapi memasukkan pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti menjadi hal yang sangat efektif bila dimulai pada anak usia dini, karena perlakuan pendidikan pada usia ini memiliki dasar yang fundamental bagi peletakkan dasar perkembangan perilaku baik anak di masa mendatang. Pembangunan karakter melalui pendidikan budi pekerti pada anak usia dini sangat menentukan karakter bangsa ke masa depan. Mengacu pada satu Hadist dalam agama Islam yang berbunyi “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Tiongkok,” mengisyaratkan adanya suatu hal yang dapat dijadikan panutan dan ketauladanan dari negeri Tiongkok. Di Tiongkok, pendidikan mendapat peranan yang penting sekali dalam penghidupan masyarakatnya. Pentingnya pendidikan di dalam kehidupan masyarakat Tiongkok melahirkan pandangan filofis orang Tionghoa mengenai pendidikan yang berhasil menjaga kekuasaan bangsa Tiongkok dalam sampai saat ini. Masyarakat Tiongkok yang menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat yang mengutamakan etika. Paham Konfucianis menjadi pedoman dalam 282 pendidikan yang kemudian berimplementasi dalam penghidupan masyarakat Tiongkok. Adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa popularitas paham Konfucianis masih bertahan dan bahkan memberi pengaruh pada perabadan dunia sampai saat ini. Dalam falsafah pendidikan Tiongkok Kuno dikenal ajaran sān zì jīng (三 字 15T 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) yang wajib diajarkan sebagai pendidikan dasar anak15T 17T anak Tionghoa sejak jaman dahulu hingga abad ini. Sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì 17T 15T 15T zĭ guī (弟 子 規) diajarkan sebelum anak-anak bisa membaca dan menulis, dalam 17T bentuk hapalan pantun ataupun nyanyian. Sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 17T 15T 15T 子 規) merangkum dasar-dasar budaya, pengetahuan umum, pendidikan dan 17 T sejarah. 17T Pada medio tahun 1980 sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) 17T 15T 15T 1 7T dijadikan dasar kurikulum persekolahan di Taiwan, Singapura dan Malaysia. Di Indonesia, ajaran sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì zĭ guī (弟 子 規) telah diterapkan 17T 17T 15T 15T sekolah yang berbasis pendidikan terpadu, sekolah berbasis trilingual (Indonesia, Inggris dan Mandarin), sekolah berbasis agama Buddha dan sekolah berbasis agama Konghucu. Pemahaman falsafah Tiongkok kuno mengenai ajaran sān zì jīng (三 字 经) 15T 15T dan dì zĭ guī (弟 子 規) menjadi penting bagi pendidikan budi pekerti pada anak 17T 1 5 T17T usia dini sebagai basis pembentukan karakter dan revolusi mental bangsa. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran sebagai manusia seutuhnya yang menjunjung tinggi moralitas dan mengerti hukum sebab akibat yang akhirnya berwujud dalam perilaku luhur sebagai individu dan warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 15T Permasalahan dalam kajian ini adalah (a) b agaimana falsafah pendidikan 15T Tiongkok kuno mengenai ajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規), 15T 15T (b) bagaimana metode pembelajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 15T 15T 規) diterapkan bagi pendidikan budi pekerti pada anak usia dini, (c) bagaimana implikasi pembelajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) pada 15T 15T 283 pendidikan budi pekerti pada anak usia dini sebagai basis membentuk karakter positif anak dalam rangka revolusi mental bangsa? Penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman mengenai falsafah pendidikan Tiongkok kuno berkenaan dengan ajaran sān zì jīng 15T (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規). Pemahaman ini memberikan landasan bagi 15T penerapannya pada pendidikan budi pekerti pada anak usia dini untuk membentuk karakter positif anak dalam rangka revolusi mental bangsa. Revolusi Mental Istilah ‘Revolusi Mental’ telah banyak dipakai dalam sejarah filsafat dan politik baik di peradaban Barat maupun Timur. Dengan mendefinisikan ‘mental’ sebagai ‘segala sesuatu yang berkaitan dengan cara berpikir’, revolusi mental dapat diartikan secara umum sebagai suatu perubahan besar terhadap pemikiranpemikiran dasar manusia yang terjadi dengan cepat. Revolusi mental menunjuk pada keadaan kejiwaaan, roh, spiritual dan nilainilai (vested interest) yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah ruang lingkup kecil atau bahkan dalam sebuah Negara. (Indra K. Muhtadi 2015: 3) Hakikat dasar revolusi mental adalah “mengembangkan nilai-nilai luhur kehidupan.” (Paulus Wirutomo, Kompas: Edisi Rabu (29 April 2015). Nilainilai luhur kehidupan dikembangkan menuju pada transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Pembentukan Karakter Pembentukan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai luhur karakter yang menyentakan kesadaran berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan kemauan serta tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut (Akhmad Sudrajat, 2010: 17). Pembentukan karakter merupakan alternatif jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di dalam masyarakat. Muatan nilai-nilai luhur perilaku manusia dalam pembentukan karakter berhubungan dengan diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam 284 pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,budaya dan adat istiadat yang berlaku. Titik awal untuk merevolusi mental masyarakat Indonesia ada pada pembentukan karakter pada anak usia dini. (Basilius, dalam Indra K. Muhtadi 2015:2). Sorotan pada anak usia dini karena rentang waktu ini merupakan masa peka untuk meletakkan dasar pendidikan budi pekerti dalam mengembangkan karakter positif anak. Pendidikan Budi Pekerti Upaya revolusi mental merujuk pada peran dan tanggung jawab pendidikan yang mengarah pada pendidikan budi pekerti. (Aflian Salim, Harian Bisnis Indonesia, Edisi 8 September 2015). Pendidikan budi pekerti memberi pandangan dan penanaman berbagai nilai-nilai luhur kehidupan, seperti: sopan santun, kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, budaya malu dan taat hukum. Semua ini bertujuan untuk membentuk karakter yang perlu dikembangkan dan dibina sejak anak usia dini. Pendidikan budi pekerti dapat mengacu pada falsafah pendidikan Tiongkok Kuno yang telah diakui dan dijadikan panutan bagi bangsa lain di dunia ini. Muhammad Said dan Junimar Affan (1987: 119) dalam bukunya yang berjudul “Mendidik Dari Zaman ke Zaman” dikatakan bahwa Negeri Tiongkok, menempatkan pendidikan sebagai hal yang penting sekali dalam penghidupan masyarakat. Dengan mendapatkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, membuat sistem pendidikan di Tiongkok sangat berkembang dan maju serta berfungsi dalam menjaga kewibawaan dan kekuasaan Tiongkok sampai saat ini. Falsafah pendidikan Tiongkok Kuno mengenai budi pekerti dilandasi ajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) (Li, yi'an / 李逸 安, 2009: 22): 1) Sān zì jīng (三 字 经) 15T 15T Sān zì jīng (三 字 经) adalah sebuah kitab yang berisikan ajaran luhur yang 15T 15T sudah berumur ratusan tahun. Dalam bahasa Inggris, disebut dengan “Three 285 Character Scripture.” Ditulis abad ke-13 C.E. pada jaman dinasti Sòng宋 17T (960 - 1279 C.E) oleh Ou Shi Zi 區適子(1234–1324 CE). Seiring dengan berlalunya waktu, isi sān zì Jīng ditambah dan direvisi, terutama di bagian sejarah oleh Wang Ying Lin / 王 應 麟 (1223-1296 C.E). 17T Sān zì jīng (三 字 经) terdiri dari 5 bagian. Bagian pertama menyatakan 15T 15T 17T kepercayaan dasar akan kebaikan umat manusia, pentingnya pendidikan, bakti terhadap orang tua, hubungan keluarga, hubungan sosial, dan pengetahuan umum. Bagian kedua adalah pengetahuan mengenai karya 17T 17T klasik Confusius dan para filsuf serta pedoman mempelajarinya. Bagian 17 T 17T ketiga berisikan rangkuman sejarah, buku-buku sejarah dan bagaimana belajar dari sejarah. Bagian keempat adalah contoh-contoh keteladanan 1 7T 17T orang-orang jaman dahulu dalam hal rendah hati, ketekunan dan tekad belajar baik itu orang tua, anak kecil, lelaki maupun perempuan. Bagian kelima berisikan seruan untuk belajar; dan bagian penutup. Syair sān zì jīng (三 字 经) dibagi menjadi 44 unit dengan 4 bait per-unit. 15T 15T Setiap unit berisi bagian: teks, kosakata, uraian teks, pertanyaan diskusi, cerita, menulis dan pemahaman. Sān zì jīng (三 字 经) mengandung sekitar 15T 15T 300 karakter (huruf) Mandarin. Untuk memberikan gambaran mengenai isi sān zì jīng (三 字 经) dikutip 15T beberapa syair berikut ini yang menjelaskan hakikat dasar manusia dan pentingnya belajar pada manusia: rén zhī chū xìng běn shàn xìng xiāng jìn xí xiāng yuǎn 人 之 初, 性 本 善。 性 相 近 , 习 相 远。 Pada dasarnya sejak lahir nurani semua manusia itu baik dan sama adanya, namun seiring dengan waktu, kebiasaan, lingkungan dan pendidikan yang diterima membuat nurani masing-masing manusia menjadi berbeda. 6T gǒu bú jiào xìng nǎi qiān jiào zhī dào guì yǐ zhuān 苟 不 教, 性 乃 迁。 教 之 道 , 贵 以 专。 Jikalau nurani dasar manusia yang baik itu tidak dididik dengan baik, maka seiring dengan waktu, akan terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik dan menjadi buruk. Cara mendidik yang benar adalah dengan disiplin, serius, konsisten, terkonsentrasi dan tegas. 6T 286 xī mèng mǔ zé lín chǔ zǐ bù xué duàn jī zhù 昔 孟 母 , 择 邻 处。 子 不 学 , 断 机 杼。 Dahulu ibunda Mèngzǐ, berpindah-pindah untuk mencari tempat tinggal yang sesuai (bagi pendidikan anaknya); Ketika anaknya tidak mau belajar, dia mengunting kain tenunannya. 6T dòu yān shān yǒu yì fāng jiào wǔ zǐ míng jù yáng 窦 燕 山, 有 义 方。 教 五 子 , 名 俱 扬。 Dòu Yānshān mempunyai cara yang benar untuk mendidik anaknya; Ia mendidik 5 orang anaknya dan semuanya kemudian berhasil dan sukses dalam kehidupan. 6T yǎng bú jiào fù zhī guò jiào bù yán shī zhī duò 养 不 教, 父 之 过。 教 不 严 , 师 之 惰。 Membesarkan anak tanpa mendidiknya dengan benar adalah kesalahan orang tua; Mengajar tanpa displin/tidak tegas adalah kemalasan guru. 6T zǐ bù xué fēi suǒ yí yòu bù xué lǎo hé wéi 子 不 学, 非 所 宜。 幼 不 学 , 老 何 为。 Seorang anak yang tidak belajar adalah hal yang tidak pantas; Jika tidak belajar saat muda, apa yang hendak diperbuat kala tua/dewasa ? 6T yù bù zhuó bù chéng qì rén bù xué bù zhī yì 玉 不 琢 , 不 成 器。 人 不 学, 不 知 义 Giok yang tidak diasah tidak akan berguna; Orang yang tidak belajar tidak akan mengenal kebenaran. 6T wèi rén zǐ fāng shào shí qīn shī yǒu xí lǐ yí 为 人 子, 方 少 时。 亲 师 友 , 习 礼 仪。 Sebagai anak manusia, sejak dari usia dini seharusnya belajar dari berhubungan dekat dengan guru yang tepat dan teman yang benar. Dari mereka pelajari norma-norma kehidupan dan praktekkan tata susila. 6T Dalam perkembangannya, sān zì jīng (三 字 经) dijadikan adalah standar 15T 15T kurikulum sekolah di Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Singapore. Saat ini di Indonesia sān zì jīng (三 字 经) 15T 1 5T dijadikan sumber bagi penyusunan kurikulum pendidikan budi pekerti pada sekolah berbasis terpadu, sekolah berbasis trilingual, sekolah berbasis agama Buddha dan sekolah berbasis agama Konghucu. Pada tahun 1980, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui bahwa sān zì jīng (三 字 经) merupakan buku panduan ajar budi 15T 15T pekerti tingkat Internasional. 287 2) Dì zĭ guī ( 弟 子 規 ) Dì zĭ guī (弟 子 規) berawal dari buku berjudul “Xün Meng Wen ( 训蒙文 /Naskah Pencerah Batin)” karya Li Yü Xiu dari Dinasti Qing . Buku 1 5T 15T 12T 1 2T tersebut mengutip makna ayat dari buku berjudul “ Lun Yü ” yang 12T 12T membahasa inti ajaran Confusianis , Bab IV tentang “pelajaran”). Seorang 12T 12T cendekiawan bernama Jia Chun Ren dari Dinasti Qing menyusun ulang “Xün 12T 12T Meng Wen ( 训 蒙文) ke dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah 1 5T 15T dimengerti, yang kemudian diberi judul “dì zĭ guī ( 弟 子 規 )” ( Feng Xin P P13T Ming, 2013:9) Pada zaman Tiongkok kuno, buku ini adalah sebuah buku pegangan yang harus diajarkan oleh semua orangtua dan guru kepada anak atau muridnya. Semua anak atau murid bukan hanya mempelajarinya saja, tetapi semua arahan buku ini harus diterapkan dan benar-benar melekat pada diri anak, sehingga pada zaman Tiongkok kuno banyak menumbuhkan orang berbudi dan bersusila yang terkenal di dunia sampai saat ini Secara garis besarnya, ajaran dì zĭ guī (弟 子 規 ), mencakup: 1) Pendahuluan: 子 规 - 总 叙/dì zǐ guī - zǒng xù (berkumpul untuk membacakan dì zǐ guī) 2) Bab I: Bakti 入 则 孝/Rù zé xiào (berbakti pada orangtua) 3) Bab II: Hubungan saudara sedarah 出 则 弟/ chū zé tì (persaudaraan dan persahabatan di luar rumah) 4) Bab III: Kewaspadaan 谨/ jǐn (kewaspadaan diri) 5) Bab IV: Bisa diandalkan 信/ xìn (kepercayaan/ bisa dipercaya) 6) Bab V: Cinta sesama 泛 爱 众/ fàn ài zhòng (cinta kasih terhadap sesama) 7) Bab VI: Belajar dari orang bijak 亲 仁/ qīn rén (Mendekati orang bijak) 8) Bab VII: Bila kewajiban utama telah dilaksanakan dengan baik, barulah belajar ilmu 288 余 力 学 文/ yú lì xué wén (Belajar keahlian jika mampu) 9) Penutup: 弟子规终/ dì zǐ guī zhōng (Pedoman menjadi murid dan anak yang baik selesai) Pentingnya pendidikan budi pekerti diberikan pada anak usia ini, ditegaskan dalam filosofi berikut ini 由 于 小 女 孩 和 未 受 污 染 的 性 质,因 此 很 容 易 受 到 赠 言;它 会 直 接 附 加 到 大 脑,到 成 年 不 易 改 变; 因 此,善 良自 信,必 须 从 小 加 以 培 养。 当 孩 子 小 的 时 候,父 母 要 教 育他 们 的 直 接 读 取 和 圣 人 /古 代 智 慧 教 学 智 慧 和 决 心 打 造 精 神 的 经 典 作 品 背 诵 诗 歌。此 外,家 长 应 教 导 因 果 关 系,这 是 做 好 事 也 将 奖 励 良 好 的 法 律,真 践 诚 信 执着 于 道 德。 如 果 从 小 没 有 受 过 训 练,那 么 作 为 成 年 人, 已 经 连 接 不 良 的 生 活 习 惯,这 是 不 可 能 不 可 逆 的,就 像 俗 话 说 “ 早一粥一饭 ” 。 14T 14T 5T 5T 5T 5T ( Yóuyú xiǎo nǚhái hé wèi shòu wūrǎn dì xìngzhì, yīncǐ hěn róngyì shòudào zèngyán; tā huì zhíjiē fùjiā dào dànǎo, dào chéngnián bùyì gǎibiàn; yīncǐ, shànliáng, zìxìn, bìxū cóngxiǎo jiāyǐ péiyǎng.Dāng háizi xiǎo de shíhòu, fùmǔ yào jiàoyù tāmen de zhíjiē dòu qǔ hé shèngrén/gǔdài zhìhuì jiàoxué zhìhuì hé juéxīn dǎzào jīngshén de jīngdiǎn zuòpǐn bèisòng shīgē. cǐwài, jiāzhǎng yīng jiàodǎo yīnguǒ guānxì, zhè shì zuò hǎoshì yě jiāng jiǎnglì liánghǎo de fǎlǜ, zhēn jiàn chéngxìn zhízhuó yú dàodé.Rúguǒ cóngxiǎo méiyǒu shòuguò xùnliàn, nàme zuòwéi chéngnián rén, yǐjīng liánjiē bùliáng de shēnghuó xíguàn, zhè shì bù kěnéng bùkěnì de, jiù xiàng súhuà shuō “zǎo yī zhōu yī fàn”). 14T 14T “Saat anak kecil dan belum tercemar sifatnya, sangat mudah menerima kata-kata nasihat; dan itu akan langsung melekat di otaknya, sampai dewasa tidak mudah berubah; oleh karena itu, kebaikan hati, keyakinan diri harus dipupuk sejak kecil. Saat anak masih kecil, para orang tua harus segera mendidik mereka membaca dan menghafal syair-syair klasik hasil karya orang-orang suci/bijaksana kuno yang bersifat mendidik untuk membangun kebijaksanaan dan keteguhan mental. Terlebih lagi, orangtua harus mengajarkan hukum sebab akibat, yaitu berbuat yang baik akan mendapat balasan yang baik pula, benar-benar mempraktikan kejujuran dan berpegang teguh pada moralitas. Bila tidak dididik sejak kecil, maka setelah dewasa, kebiasaan buruk sudah melekat, sudah tidak mungkin diubah lagi, ibarat kata pepatah “Nasi Sudah Menjadi Bubur” (Lun Yu I. 6. (6) dalam Waley, Arthur, 1983: 6). 289 Hipotesis Pemahaman falsafah pendidikan Tiongkok Kuno mengenai sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) pada pendidikan anak usia dini dapat dijadikan basis pembentukan karakter dalam rangka revolusi mental bangsa. Metode Kajian Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggambarkan secara kualitatif fakta, data atau objek material yang bukan berupa ungkapan bahasa atau wacana (apapun itu bentuknya) melalui interpretasi yang rinci, tepat dan sistematis. Hasil Kajian dan Pembahasan Falsafah Tiongkok Kuno memandang bahwa meniadakan pendidikan budi pekerti dan moralitas, adalah sumber terjadinya segala kejahatan dan bencana alam, gejala kehancuran suatu negara. Kerakusan, kedendaman, kedunguan (tidak bijakasana), kesombongan adalah sumber runtuhnya hati nurani. Untuk membasmi kejahatan, hanya dapat ditempuh dengan jalan mengajarkan etika, moralitas dan bakti sebagai fondasi sejak anak masih kecil. 17T Ajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) sebagai falsafah 17T 15T 15T pendidikan Tiongkok Kuno dapat diberikan sebelum anak-anak bisa membaca 17T dan menulis. Di beberapa negara, seperti Tiongkok, Taiwan, Singapura dan Malaysia, sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì zĭ guī (弟 子 規 ) diberikan sebelum anak 17T 15T 15T mempelajari ilmu pengetahuan lain. Jadi perilaku bermoral, bersusila dan beretika dimantapkan terlebih dahulu sebelum anak belajar bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lainnya. Sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) merangkum dasar-dasar 15T 15T pendidikan, sejarah, budaya dan pengetahuan umum yang dijadikan standar bagi perilaku, tata krama dan budi pekerti kehidupan sehari sehari. Sān zì jīng (三 字 15T 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) berisikan rangkaian syair-syair yang ditulis pada 15T 290 khisaran antara 1200 sampai dengan 1600 karakter Mandarin. Tiap bagian teks syair diberikan penjelasan untuk memberikan kemudahan memahami maknanya. Kemudian diberikan pertanyaan diskusi yang memandu anak untuk berpikir lebih dalam tentang bacaan dan memperkuat pemahaman mereka terhadap tema dari unit tersebut. Satu atau dua cerita yang relevan disajikan pada bagian cerita untuk memperkenalkan latar belakang tokoh dan peristiwa sejarah tertentu, mendorong pikiran kritis, dan menginternalisasi nilai-nilai pendidikan moral. Bagian menulis dan pemahaman berupa pertanyaan yang memandu anak untuk mengungkapkan pemikiran atau opini secara tertulis. Dengan demikian secara garis besarnya, ajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規), disampaikan dengan: (1) 15T 15T penghapalan sebagai lagu dan puisi sambil bermain; (2) penyalinan sebagai sarana belajar bahasa; dan (3) cerita sebagai penanaman moralitas dan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti menjadi fondasi bagi terinteralisasinya nilai-nilai kemoralan dan keluhuran hidup sehingga terwujud dalam perilaku yang senantiasa mengarah pada kebajikan. Pembiasaan dan adanya ketauladan yang terus-menerus akan membentuk karakter baik, mulai dari individu, keluarga dan membawa dampak bagi lingkungan sosial yang lebih besar, yaitu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses inilah yang pada hakikatnya inti dari revolusi mental bangsa. Penutup: Kesimpulan dan Saran Maraknya tindak kejahatan dan melawan aturan, norma dan hukum sebagai fenomena degradasi moral yang dapat menghancurkan kehidupan bangsa dan negara, menyentakan kesadaran akan pentingnya gerakan revolusi mental. Revolusi mental pada prinsipnya membidik upaya pembentukan karakter melalui pendidikan kemoralan/budi pekerti yang harus dimulai sejak anak usia dini. Sebelum mempelajari ilmu pengetahuan, seorang anak haruslah terlebih dahulu mendapatkan pendidikan kemoralan sebagai fondasi kuat agar dapat memelihara perilaku luhur. Sudah ribuan tahun, sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ 15T 15T guī (弟 子 規) sebagai ajaran Tiongkok kuno adalah standar yang harus diterapkan oleh seorang anak agar memiliki disiplin yang tinggi serta perilaku dan 291 moralitas yang baik. Ajaran sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì zĭ guī (弟 子 規 ) dapat 15T 15T 1 5T memberikan penyadaran anak akan hakikatnya sebagai manusia yang menjunjung tinggi moralitas, mengerti hukum sebab akibat yang pada akhirnya berwujud dalam perilaku luhur sebagai individu dan warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Daftar Pustaka _______________. A Short History of Chinese Philosophy. Fifth Printing.(1988). New York: The Macmillan Company. _______________. Dì zĭ guī (弟 子 規)- Standards for Being a Good Student/ Child with simple explanation (animated). _______________. Guide to A Happy Life (幸 福 人 生 指 歸 ) _______________. Learn to Perform Our Fundamental Duties (學 習 做 人 的 根 本) _______________. 2003. Sejarah Peradaban Cina: Analisis Filosofis Historis dan Sosio Antropologis. Bandung: Humaniora Aflian Salim. 2015. Revolusi Mental Lewat Pendidikan Keluarga. Harian Bisnis Indonesia, Edisi 8 September 2015. Akhmad Sudrajat. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: Kemendiknas Chen, W.H. & Ren, Ch. H. 2004. Khong Hu Cu: Kehidupan Humanis Besar. Alih Bahasa oleh Arvin Saputra. Editor oleh Lyndon Saputra. Batam: Lucky Publishers. Confucianism. Available Confucianism.htm. at: (On Line) 12 TU http://staff.bcc.edu/philosophy/ U12TU Fu, Ch. J. 2003. Gateway to Chinese Culture. Singapore: Asiapac Books. Fung, Y.L . H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak. 1995. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I: India Tiongkok dan Djepang Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters – Groningen 292 Hsiung, D.N., Crook, D. (Ed.) 1998. A Chinese-English Dictionary (Revised Edition). Hàn Yīng Cí Diǎn (Xīu Dìng Bǎn Suō Yìn Běn). Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press. Indra K. Muhtadi, 2015. Menggulirkan Revolusi Mental di Berbagai Bidang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kusumohamidjojo, B. 2010. Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Leman. 2009. The Best of Chinese Life Philosophies. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Li, E. & Chan, Y. K. 2014. Chinese Literature: Menelusuri Perkembangan Sastra Abadi China, Terj.: Clara. Jakarta: PT Elex Media Computindo. Kelompok Gramedia. Li, E., Wong, H.K., & Fu, Ch.J. 2013. Modern Chinese History: Sejarah China Modern 1840-1949. Terj.: Irianto Kurniawan. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Li, X.X. & Fu, Ch, J. 2001. Origins of Chinese People and Customs: Asal Mula Budaya dan Bangsa Tionghoa. Alih Bahasa: Clara H.K. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Li, Yi'an ( 李逸安 ), San zi jing, Bai jia xing, Qian zi wen, Di zi gui ( 三字经 · 百家姓 · 千字文 · 弟子规), Beijing di 1 ban.(北京第1版), Beijing Shi : Zhonghua Zhu Ju, 2009. (北京市 : 中华书局, 2009) . Lip, E. 1988. Notes on Things Chinese. Singapore: Graham Brash. Manser, M. H. (Ed.)1999. Concise English-Chinese/Chinese-English Dictionary (New Edition). Jīng xuǎn Yīng-Hàn/Hàn-Yīng Cídiǎn (Xīnbǎn).Beijing & Hongkong: The Commercial Press & Oxford University Press. Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik Dari Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars. 16T Paulus Wirutomo, “ Retorika Revolusi Mental”, Kompas: Edisi Rabu (29 April 2015) . 16T 7T 7T12T 12T Raymond Dawson. 1999. Kong Hu Cu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Rochiati Wiriaatmadja. 2000. Diktat C Sejarah Asia Timur. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI. 293 Tang, M.C. 2014. Kisah-kisah Kebijaksanaan China Klasik: Inspirasi bagi Para Pemimpin. Cetakan ke-9. (2000). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lau, D. C. 2009. Confucius: The Analects. Harmondsworth: Penguin Books. _______________.2006 A Concordance to the Analects of Confucius/ 論語引得. Harvard-Yenching Institute Sinological Index Series, Supplement 16. Waley, Arthur. 1988. The Analects of Confucius. London: Allen and Unwin. 294