Prosiding Seminar Ilmiah 18 Januari 2016: Peran

advertisement
KATA PENGANTAR
Prosiding ini terdiri dari 24 artikel yang dikirimkan kepada Panitia Hari Amal
Bakti Kementerian Agama ke-70, Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri
Sriwijaya. Artikel ini diseminarkan pada Senin, 18 Januari 2016 dengan tema
“Peran Pendidikan dalam Revolusi Mental”. Isi artikel memandang peran
pendidikan dalam revolusi mental dari berbagai segi, diantaranya guru,
kurikulum, karakter siswa, pendidikan formal dan informal, serta nilai-nilai
Buddhis.
Revolusi mental yang digagas oleh Presiden Joko Widodo menekankan perlunya
perubahan paradigma batin dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
pendidikan. Oleh karenanya, gagasan ini perlu disosialisasikan khususnya
masyarakat akademik. Karakter masyarakat dan kehidupan akademis yang
cendekia, dinamis, dan kritis merupakan potensi strategis untuk mengenalkan,
meninjau kritis, memunculkan ide, dan menyebarluaskan gagasan besar Revolusi
Mental.
Pendidikan dianggap sebagai wahana yang tepat dalam memulai gagasan
Revolusi Mental, mengingat perannya yang sangat krusial dalam pengembangan
kebudayaan dan membentuk mental anak bangsa. Dalam bidang pendidikan
formal, informal maupun nonformal, Revolusi Mental harus mampu
menumbuhkankan nilai-nilai yang optimal kepada peserta didik sehingga tercipta
generasi emas penerus bangsa. Pendidik didorong untuk menginternalisasikan
nilai Revolusi Mental dalam setiap implementasi kegiatan pembelajaran.
Revolusi Mental hanya sekadar menjadi branding sebuah ide, wacana politik, dan
mimpi di siang bolong jika tidak didukung oleh komitmen bersama seluruh rakyat
Indonesia. Peran lembaga pendidikan, sosial, agama, dan keluarga dan sangat
dibutuhkan dalam melaksanakan gerakan Revolusi Mental menuju “Indonesia
Hebat”. Revolusi Mental dalam dunia pendidikan selayaknya bukan sekadar
gagasan utopis, melainkan sebuah spirit, gerak, nafas, dan kinerja.
Revolusi Mental memegang peran penting dalam menumbuhkan dasar yang kuat
sebagai fondasi keseluruhan sendi kehidupan. Upaya ini memerlukan peran serta
seluruh komponen bangsa dalam mewujudkannya. Berbagai forum, baik formal
maupun informal digagas untuk membahas Revolusi Mental dari segala
perspektif. Panitia Hari Amal Bakti Kementerian Agama STABN Sriwijaya
mengadakan Seminar Ilmiah dengan tema “Peran Pendidikan dalam Revolusi
Mental”.
Terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu pelaksanaan seminar ilmiah
dan atas terbitnya prosiding ini. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Tangerang, 18 Januari 2016
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
1. Membangun Kepribadian Sosial dan Budaya Indonesia Baru: Sebuah Telaah
Referensi Pendidikan Karakter sebagai Solusi Revolusi Mental
Anwar Aman
2. Peran Pendidikan dalam Revolusi Mental: Pendidikan Seperti Apa?
Edi Ramawijaya Putra
3. Guru Hebat – Tantangan Abad 21
Effendie Tanumihardja
4. Knowledge Management sebagai Strategi Revolusi Pengetahuan Profesi
Dhammaduta
Heriyanto
5. Mengikis Pandangan Materialisme dengan Menerapkan Pathakamma Sutta
sebagai Salah Satu Upaya Revolusi Mental pada Pendidikan Buddhis
Iin Suwarni
6. Unitas dalam Diversitas (Revolusi Mental Melalui Pendidikan Agama Buddha
Menuju Kerukunan Umat Beragama)
Kemanya Karbono
7. Strategi Perubahan Karakter Sivitas Akademika STABN Sriwijaya dalam
Menghadapi Era Globalisasi Perdagangan Bebas (Masyarakat Ekonomi
ASEAN)
Lalita Vistari Satyananda Wiryana Dharma
8. Reorientasi Peran Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha dalam Membentuk
Lulusan yang Kompeten dan Berkarakter
Madiyono
9. Pendidikan Karakter sebagai Upaya Mewujudkan Revolusi Mental
Muawanah
10. Implementasi Revolusi Mental Melalui Metode Pembiasaan
Mulyana
11. Upaya Kausalya sebagai Metode Revolusi Mental dalam Mengubah
Paradigma Simbol Keagamaan Buddha
Nyoto
12. Menyikapi Kuantitas dan Kualitas Penerimaan Mahasiswa pada Sekolah
Tinggi Agama Buddha dalam Perspektif Revolusi Mental
Puja Subekti
13. Strategi Mewujudkan Revolusi Mental Melalui Pendidikan Agama Buddha
Puji Sulani
v
14. Revolusi Mental yang Sukses dengan Jurus Kepemimpinan Buddha
Puriati
15. Optimalisasi Peran Guru dalam Pembentukan Karakter Siswa Melalui
Implementasi Kurikulum 2013
Sabar Sukarno
16. Meningkatkan Peran Dharmaduta melalui Revolusi Mental dalam
Menghadapi Tantangan Masyarakat ASEAN
Santi
17. Konstruksi Konsep Perekonomian Keluarga dalam Ajaran Buddha Sebuah
Tinjauan Pendidikan dalam Membangun Revolusi Mental (Suatu Telaah
Hermeneutika)
Sapardi
18. Revolusi Mental Sivitas Akademika STABN Sriwijaya Tangerang Banten
Mewujudkan Kampus Green, Smart, dan Secure (Tinjauan Telaah Kasus)
Setia Darma
19. Penguatan Integritas Akademik Mahasiswa Melalui Internalisasi Nilai-Nilai
Moral Buddhis
Sugianto
20. Menggumuli Sastra: Membangun Jiwa dan Karakter Anak Bangsa
Suntoro
21. Revolusi Mental: Tantangan dan Peluang Bagi Perguruan Tinggi Agama
Buddha
Sutrisno & Willie Japaries
22. Pendidikan Karakter sebagai Fondasi Utama Revolusi Mental
Tri Amiro
23. Revolusi Mental: Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan
Emosional
Wahyuningsih Julia Wijaya
24. Sinkronisasi Dasa Dharma Pramuka dan Nilai-Nilai Mettā Sutta dalam
Gerakan Nasional Revolusi Mental
Waluyo
25. Penanaman Nilai-Nilai Semangat Kebangsaan dalam Menumbuhkan
Semangat Revolusi Mental Mahasiswa
Warsito
26. Memahami Falsafah Pendidikan Tiongkok Kuno Mengenai Ajaran Sān Zì
Jīng (三 字 经) dan Dì Zĭ Guī (弟 子 規 ) bagi Pendidikan Budi Pekerti pada
Anak Usia Dini sebagai Basis Pembentukan Karakter dalam Rangka Revolusi
Mental Bangsa
Yuriani
vi
MEMBANGUN KEPRIBADIAN SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA
BARU: SEBUAH TELAAH REFERENSI PENDIDIKAN KARAKTER
SEBAGAI SOLUSI REVOLUSI MENTAL
12T
Anwar Aman
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
The authors presents this article related to the national problems that are
increasingly complex, in terms of bad behavior attitude that is incompatible with
the culture and values of Pancasila from various of society, starts from officials
and officers, educators and students, leaders and community even parents and
children.
This condition is already known since the beginning of the independence of
Indonesia and proclaimed the mental revolution, but it seems not or never made.
the President of Indonesia, Joko Widodo, recalls the importance of implementing
mental revolution in order to establish social identity and culture of New
Indonesia. In order to establish the New Indonesia, various meetings and
seminars have been done to declare and motivate all citizens to revolutionized
himself, his family, his people and his party for the New Indonesia.
The focus of this article is to read various writings on how the mental
revolution carried out in accordance with the objectives of national mental
revolution. Based on the review of some writings, the author concludes that
mental revolution should start from the education because through education the
nation's character is build based on the culture and the values of Pancasila,
which is not only taught in the learning or socialized sheer but its application in
daily habits in order to become a social identity and the culture of Indonesia.
Key words: mental revolution, character education
Pendahuluan
Persoalan bangsa di Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan negara-negara
lain, yang tidak pernah selesai. Bukan permasalahan yang satu baru selesai
muncul lagi permasalahan baru, melainkan permasalahan yang satu belum selesai
permasalahan lain muncul lagi dan kalaupun dikatakan selesai tidaklah
terselesaikan dengan baik, yang terselesaikan adalah programnya dengan dana
terserap habis bahkan kurang. Namun persoalan utama dari semua persoalan
tersebut yang sepertinya tak pernah selesainya adalah persoalan mental manusia
Indonesia. Karena itu menurut para ahli dan negarawan, tidak ada jalan lain perlu
1
adanya Revolusi Mental. Kalau memang demikian, dengan cara bagaimana
revolusi mental itu dapat diwujudkan jawabnya tentu dengan pendidikan. Hanya
saja pertanyaan yang perlu dijawab lebih lanjut adalah apa yang harus dilakukan
dengan pendidikan tersebut?
Konon kabarnya gagasan mengenai Revolusi Mental bermula dari
kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul
dan berkarakter. Mochtar Lubis melihat kenyataan di Indonesia bahwa ada
sejumlah kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga pascakolonial masih berlangsung hingga kini, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap
perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri, cenderung menggunakan kekerasan
dalam memecahkan masalah, melecehkan hukum, dan sifat oportunis, sehingga
beliau kemudian menyimpulkan bahwa manusia Indonesia umumnya bermental
munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik,
berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, suka
sombong, dan tukang tiru.
Selain Mochtar Lubis, Koentjaraningrat juga melihat ada kecenderungan
manusia Indonesia yang memiliki sifat meremehkan mutu, suka menerabas, tidak
percaya diri, tidak berdisiplin, dan suka mengabaikan tanggung jawab (Karlina
Suppeli, 2015). Mengapa hal ini terjadi? Sementara dikatakan karena negara ada
tapi tidak hadir, toleransi terus didengungkan tapi yang terjadi adalah intoleransi,
pelajaran dan pendidikan agama waktunya ditingkatkan tapi krisis nilai terus
mendera.
Apanya yang salah? Mengapa negara tidak hadir? Mengapa terjadi
intoleransi? Mengapa terjadi krisis nilai? Tentu banyak yang salah. Kalau kita
hanya mencari apa atau siapa yang salah tanpa mencari penyebab sejatinya dan
menyelesaikannya hanyalah sebuah kesia-siaan. Oleh karena itu ada baiknya
mempelajari kembali makna yang diajarkan Buddha, bahwa sumber penderitaan
tidak lain adalah karena adanya nafsu keinginan. Nafsu keinginan yang tidak
mampu dikendalikan manusia dapat menyebabkan mental menjadi rusak.
Permasalahan tersebut merupakan tantangan yang sekarang telah berimbas
menjadikan semakin terkikisnya anak bangsa akan nilai-nilai integritas, kerja
2
keras dan semangat gotong royong. Dengan kata lain dapat dikatakan tipisnya
nilai-nilai
persatuan dan jati diri keIndonesiaannya yang memiliki nilai-nilai
luhur Pancasila, kepribadian sosial, dan budaya Indonesia.
Secara umum tujuan revolusi mental, menurut Goverment Public Relation
Report Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan
Informatika RI, Edisi 5 Juli 2015, adalah:
1. Mengubah cara pandang, pikir, sikap, perilaku dan cara kerja yang
berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan sehingga Indonesia menjadi
bangsa yang besar dan mampu berkompetensi dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.
2. Membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistik dalam menatap
masa depan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan besar untuk berprestasi
tinggi, produktif dan berpotensi menjadi bangsa maju dan modern dengan
fondasi tiga pilar Trisakti.
3. Mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi,
berkepribadian yang kuat melalui pembentukan Indonesia baru yang unggul
mengedepankan nilai-nilai integritas, kerja keras dan semangat gotong royong.
Dari tujuan tersebut dipahami bahwa revolusi mental merupakan gerakan
hidup baru yakni membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia Baru
dengan mengubah cara pandang, cara berpikir dan cara bekerja yang selama ini
sebagaimana yang dikatakan Mochtar Lubis maupun Koentjaraningrat dalam
uraian terdahulu memiliki keterpurukan.
Di sinilah pendidikan akan berperan mewujudkan maksud tujuan dari
revolusi mental tersebut dengan mengedepankan, pendidikan yang mampu
merubah
mental
manusia
Indonesia,
menjadi
berkarakter
Indonesia,
berkepribadian sosial dan berbudaya Indonesia, demi terwujudnya Kepribadian
Sosial dan Budaya Indonesia, yang berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan
sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetensi dengan
bangsa-bangsa lain di dunia dan yang memiliki cara pandang menatap masa depan
Indonesia sebagai negara dengan kekuatan besar untuk berprestasi tinggi,
3
produktif dan berpotensi menjadi bangsa maju dan modern,
serta memiliki
kedaulatan secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian yang kuat.
Pendidikan sangat berperan dalam mewujudkan tujuan revolusi mental
tersebut, karena itu pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun
identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan
layanan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh negara dapat
membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Pembahasan
Dalam penulisan artikel ini penulis melakukan telaah pustaka pada beberapa
media resmi dan formal, untuk mempelajari, memahami mengenai revolusi
mental sebagai sebuah gagasan solusi membangun mental manusia Indonesia
yang mulai terpuruk, bagaimana menjadi unggul dan berkarakter yang
membentuk kepribadian sosial dan budaya Indonesia yang pada saatnya dalam
waktu relatif tidak terlalu lama mampu mewujudkan Indonesia modern, bangsa
yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa lainnya.
Revolusi mental menyangkut keadaan batin, spiritual dan nilai-nilai (vested
interest) yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, baik dalam sebuah
ruang lingkup kecil atau maupun dalam sebuah Negara. Sebagai sebuah konsep
dan strategi, Revolusi Mental sudah diakui sebagai hal yang mutlak dilakukan
untuk keluar dari masalah krisis karakter bangsa.
Apa sebenarnya maksud dari revolusi mental. Secara istilah, ada dua kata
yang membutuhkan penjelasan, yaitu revolusi dan mental. Saat kampanye
pemilihan Presiden Republik Indonesia, kita mungkin pernah mendengar jargon
yang disampaikan Bapak Jokowi, namun masih dalam tanda tanya, karena dalam
kesempatan itu barangkali cukup hanya disebutkan tanpa perlu dirinci lebih lanjut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi adalah perubahan yang
cukup mendasar dalam suatu bidang, sedangkan mental adalah bersangkutan
dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan dan tenaga.
4
Dengan demikian dapat disimpulkan dari istilah ini bahwa revolusi mental
menyangkut keadaan batin, spiritual dan nilai-nilai (vested interest) yang diyakini
oleh seseorang atau sekelompok orang. Hanya saja sekali lagi, timbul sebuah
pertanyaan, bagaimana cara atau strategi melakukan revolusi itu dan dan dimulai
dari mana dan apa saja yang harus diubah. Menjawab pertanyaan tersebut dalam
sebuah kalimat atau kata-kata lebih mudah daripada menemukan solusinya.
Mencermati beberapa masukan dari berbagai media atau referensi, penulis
berpendapat bahwa salah satu solusi adalah pada proses pendidikan sebagai
kebudayaan.
Cara melakukan revolusi itu melalui pendidikan yang harus dilihat sebagai
proses kebudayaan. Perombakan secara lambat-laun maupun radikal dapat
dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Namun
demikian tidak menutup kemungkinan bagi mahasiswa yang saat ini sudah di
perguruan tinggi.
Dalam perspektif ini kita sebelum memasuki ranah yang lebih teknis, perlu
terlebih dahulu memulainya dari pemahaman filosofi pendidikan. Apa
sesungguhnya filosofi pendidikan kita? Dari mana sejumlah karakter positif
seperti tidak korupsi, tidak nepotisme, tidak kolusi, mandiri, berinisiatif, inovatif,
toleran, dan sebagainya kita mulai bangun? Dengan demikian hanya proses
pendidikan yang mampu menjawab dan menggarap semua itu.
Sekarang semua itu kita bangun mulai dari pendidikan, hanya saja perlu
diperhatikan pendidikan di sini dalam artian luas dan bukan dimaknai sekadar
teknis seperti susunan kurikulum, menambah atau mengurangi jumlah mata
pelajaran, nilai kredit setiap mata pelajaran, atau membangun gedung dan fasilitas
lainnya,
melainkan
membangun
suatu
pemahaman
filosofis
mengenai
membangun manusia Indonesia baru dengan karakter-karakter positif sebagai
karakter bangsa, yang dibangun mulai dari rumah tangga, keluarga, masyarakat
dan lembaga pendidikan. Bagi umat Buddha yang hidup dan berpenghidupan di
Indonesia tentu selain membangun karakter Buddhis yang berlandaskan hiri dan
otappa, sangat wajib membangun karakter bangsa Indonesia yang berlandaskan
nilai-nilai Pancasila.
5
Karena itu menurut saya dan saya setuju bahwa esensi dari Revolusi Mental
untuk keluar dari masalah krisis karakter bangsa adalah pendidikan membangun
karakter bangsa. Dengan kata lain, Revolusi Mental tak lain adalah revolusi
pendidikan, karena itu pula pendidikan sebagai kebudayaan harus menjadi konsep
terdepan. Kebiasaan buruk yang harus di ubah adalah semua hal sebagaimana
telah disebutkan terdahulu, seperti bermental munafik, enggan bertanggung
jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah, boros, bukan
pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, suka sombong, dan tukang tiru.
Semua itu harus diubah, sehingga kita semua dan terutama anak bangsa
memiliki cara pandang, pikir, sikap, perilaku dan cara kerja yang berorientasi
pada kemajuan dan kemodernan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar
dan mampu berkompetensi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pendidikan yang
dapat merubah sikap mental kebiasaan buruk tersebut adalah pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik
sehingga mereka memiliki nilai dan karakter (Kalyana Dhamma) sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota
masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.
Perubahan mental yang dapat dilakukan guna membangun Kepribadian
Sosial dan Budaya Indonesia melalui pendidikan minimal menurut penulis
melalui pembiasaan aktivitas positif setiap hari, dengan melatih diri peserta didik
dengan contoh teladan pendidik yang memiliki karakter teruji baik.
Untuk membentuk karakter menjadi jati diri yang berkepribadian sosial dan
berkebudayaan Indonesia, melalui pendidikan dengan pembiasaan sehari-hari,
yang harus dilatih dan dimiliki, antara lain:
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
6
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
7
13. Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Contoh strategi membentuk karakter menjadi jati diri yang berkepribadian sosial
dan berkebudayaan Indonesia dapat dilihat pada bagan berikut.
8
Dengan penerapan revolusi mental, negara menjadi hadir, toleransi berjalan
dengan harmonis dan dinamis serta nilai-nilai Pancasila mampu menjadi pedoman
hidup bersama, yang mengubah cara pandang, cara berpikir dan cara kerja yang
positif, energik dan mengedepankan nilai-nilai integritas, kerja keras serta
semangat gotong royong, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan
besar untuk berprestasi tinggi, produktif dan berpotensi menjadi bangsa maju dan
modern.
Dari perspektif agama Buddha, dalam revolusi mental pembentukan
karakter sangatlah penting karena merupakan faktor utama di dalam perjalanan
hidup kita. Ini memengaruhi bagaimana kita melihat diri kita, bagaimana kita
berhubungan dengan orang lain dan oleh sebab itu bagaimana mereka
berhubungan dengan kita, cara kita berurusan dengan perubahan-perubahan dalam
kehidupan dan bagaimana kita memandang dunia. Bagian terpenting dalam
menjadi seorang Buddhis adalah pembentukan karakter atau mengembangkan apa
yang Buddha sebut ‘sifat dasar yang indah’ (Kalyana Dhamma, A.I, 248; II, 109).
Secara umum, ada tiga cara atau strategi dalam proses pembentukan
karakter atau mengembangkan Kalyana Dhamma; (1) Melihat perlunya
transformasi/perubahan karakter, (2) memiliki model atau karakter ideal untuk
diterapkan (3) memiliki dan menerapkan cara-cara untuk memodifikasi karakter
itu.
Shravasti Dhammika, menyebutkan
ada banyak kalyana dhamma yang
dapat dibentuk dan dikembangkan, antara lain seperti:
menerima
petualang
ambisius
tegas
hati-hati
ceria
percaya diri
berhati-hati
penuh perhatian
kooperatif
sopan
kreatif
tegas
efisien
energik
Giat
antusias
fokus
ramah
lembut
ikhlas
baik hati
suka berteman
bahagia
pekerja keras
Suka membantu
berwawasan luas
intuitif
bijaksana
logis
setia
dewasa
teliti
berpikiran terbuka
optimis
terorganisir
ramah tamah
sabar
cerdik
produktif
profesional
tepat waktu
pendiam
rasional
realistis
Menenteramkan
relasional
dapat diandalkan
banyak akal
responsif
mengendalikan diri
egois
9
diandalkan
setia
disiplin
tekun
Jujur
Lucu
imajinatif
mandiri
gigih
menarik
tenang
sopan
sensitif
Tulus hati
Cermat, teliti
jujur
Penutup
Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan beberapa informasi
bahwa:
1.
Membangun Kepribadian Sosial dan Budaya Indonesia Baru harus dilakukan
dengan revolusi mental.
2.
Revolusi mental merupakan gerakan hidup baru bangsa Indonesia dalam
upaya mengubah cara pandang, cara berpikir dan bekerja yang selama ini
buruk.
3.
Revolusi mental tersebut dapat dilakukan tidak lagi hanya dengan sosialisasi
melainkan melalui proses pendidikan baik melalui pembelajaran maupun
penerapan karakter yang merupakan kepribadian dan budaya Indonesia yang
berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila.
4.
Dengan dilaksanakannya revolusi mental melalui proses pendidikan tujuan
revolusi mental dapat diwujudkan menjadi kenyataan.
Lakukanlah revolusi mental mulai dari pribadi, rumah tangga, keluarga,
masyarakat dan lembaga pendidikan, melalui pembiasaan setiap hari dengan
pendidikan karakter bangsa Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik
sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota
masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.
Daftar Pustaka
Ditjen Inkompub Kementerian Komunikasi dan Informatika . 2015.Goverment
Public Relation Report. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
1T
1T
1T
10
Karlina Supelli. 2015 dkk. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga
Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif; Buku I
Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan NilaiNilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitbang
Kemendiknas.
Kemendiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pukur
dan Perbukuan Balitbang Kemendiknas.
Shravasti
Dhammika.2010.
Karakter
dan
Htttp://sdhammika.blogspot.com 07/01/2016
Pembentukan Karakter.
U
11
PERAN PENDIDIKAN DALAM REVOLUSI MENTAL:
PENDIDIKAN SEPERTI APA?
12T
Edi Ramawijaya Putra
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
Mental revlolution is an act to change from what we used to have in the
past. This value become floursh in the era of Jokowi-JK precidency. During the
launching of this tagline there has been many issues related to contribution of
many aspects including education. Education is the key to generate people who
has capability to do quick transformation to whole aspects of life including the
way to resolve three main problem such as nationality, economy and intolerance
as well as personality crisis. In order to support the application mental revulotion
education must be transformed from its conventional paradigm into new way of
reformualting well-educated citizenship. The emergence globalization such as
Economic Community of Asean, Free Trade are the forms of global
competitiveness that signaled education muct be able to provide people in order
to compete in single market orientation. This paper is aimed at addressing the
significance of education sector and its roles to support the mission and objectives
of mental revolution.
Keywords: mental revolution, new paradigm on education.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar khususnya di kawasan regional
Asia Tenggara. Demokrasi yang sudah lama lahir seakan membawa pesan bahwa
tujuan bernegara adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1945 telah
mentransformasi berbagai bentuk kepemimpinan bangsa diantaranya orde lama,
orde baru dan reformasi. Konsep-konsep kebangsaan yang secara tekstual sangat
mulia hingga saat ini belum menemukan sebuah tatanan yang layak sebagai
bangsa yang memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Kondisi ini
menyebabkan ketimpangan dalam bernegara mulai dari bentuk yang kecil hingga
besar. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah masih tingginya angka korupsi
yang dilakukan oleh pejabat negara dan pemangku kepentingan lain. Kejahatan
yang luar biasa semacam ini tentu jauh dari esensi berdemokrasi yaitu “oleh
rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat”.
13
Pada era reformasi dilakukan gerakan reformasi birokrasi sebagai ujung
tombak pembentukan prinsip pelayanan publik dan untuk mencapai produktifitas
kerja namun dirusak oleh kepentingan pribadi atau golongan yang tidak
mengatasnamakan kepentingan rakyat. Pada era pemerintahan Presiden Jokowi,
pemerintah melihat bahwa kesenjangan antara konsep yang dibangun dengan
semangat serta fungsi pengawasan tidak berjalan dengan sinkron oleh karena itu
slogan pemerintah adalah tidak lagi membentuk konsep melainkan sebuah
gerakan perubahan yang berorientasi pada pembentukan karakter manusia
(character buliding) dengan melakukan revolusi mental.
Dalam perspektif historis, terminologi revolusi dalam konteks geopolitik
dan sosial ekonomi kali pertama diperkenalkan oleh Karl Marx pada tahun 1983
seratus tahun setelah kematian dari tokoh pemikir marxsim muncul sebuah buku
yang berjudul “The Revulotionary Ideas of Karl Marx”(Callinicos, 1983).
Pemikiran revolusioner Marx ini adalah bentuk jawaban dari runtunya paham
kapitalis yang sebagian besar dianut oleh negara Eropa Timur dan menjadi simbol
transformasi dunia untuk melawan kekuatan adidaya negara blok barat dan blok
timur. Pemikiran revolusioner Marx adalah bentuk kritik akademis untuk
membuka tabir kapitalis yang telah lama menyesengrakan manusia dalam bentuk
ketidakadilan, kemiskinan, eksploitasi dan kelambanan berpikir.
Dalam konteks Indonesia, istilah revolusi secara nasionalmemang tidak bisa
dipisahkan dari sosok Bung Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan
pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi
aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional Indonesia
(Cholish, 2015). Jika konsep revolusi mental yang kekinian tidak dikaitkan
dengan sosial-historisnya akan terjadi bias untuk menangkap esensi dan tujuan
dari gagasan tersebut. Mengapa demikian, secara politis pencalonan Presiden
Jokowi dan Jusuf Kalla diusung oleh PDIP yang dipimpin oleh trah Soekarno
yaitu Megawati. Meski norma penyusunan dari gagasan revolusi mental tidak
meyebutkan landasan literaturnya secara ekplisit namun sangat jelas revolusi
mental ini sangat berkaitan dengan jiwa marhaenis dan wong cilik.
14
Nilai-nilai kebangsaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno di
pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional
Indonesia sedang ‘stagnasi’. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.Ada
beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya
penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat
maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Pada
masa perang pembebasan (liberation)terutama dari kaum kolonialis, semua orang
bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah
selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun. Mengingat pergeseran
nilai tersebut makan revolusi mental dipandang relevan dalam menjawab terhadap
tiga permasalahan bangsa yaitu: (1) merosotnya wibawa bangsa, (2) lemahnya
sendi perekonomian bangsa, dan (3) intoleransi dan krisis kepribadian
bangsa(www.revolusimental.go.id). Tiga permasalahan pokok yang tengah
dihadapi bangsa indonesia ini harus segera diatasi bukan dengan cara yang lambat
dan konvensional melainkan dalam bentuk gerakan yang efisien dan terukur.
Revolusi Mental (disingkat RM) yang digagas dalam pemerintahan Presiden
Joko Widodo bukanlah sebuah slogan atau jargon politik yang menjadi tagline
afiliasi politik tertentu melainkan sebuah kontribusi nyata yang masif dilakukan
secara bersama-sama.Gema revolusi mental yang menjadi isu strategis di era
pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sangat
ditentukan oleh kualitas manusia. Kualitas manusia yang berbeda dari
sebelumnya. Sebagaimana tercantum dalam Sembilan Program Prioritas (Nawa
Cita) poin delapan yaitu “melakukan revolusi karakter bangsa”. Esensi dari
sebuuah revolusi adalah perubahan yang nyata secara cepat dan terukur
menghasilkan sebuah kinerja baru sebagai antitesis dari kinerja-kinerja
sebelumnya. Jika pendidikan menjadi salah satu “key of success” dari
implementasi revolusi mental ini maka tentu pendidikan harus dapat
mengimbangi program yang revolusioner ini. Pendidikan untuk menghasilkan
manusia-manusia yang siap untuk melakukan perubahan yang cepat, signifikan
dan beradab demi tercapainya visi kebangsaan.
15
Pembangunan dan pengembangan karakter secara potensial diemban oleh
sektor pendidikan. Edukasi yang baik berupa pendidikan pengembangan karakter
adalah sebuah proses berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending
process). Selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis, pendidikan karakter
harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Pendidikan seperti
apa yang tepat untuk melaksanakan revolusi mental yang begitu cepat dan
memilki hasil yang terukur. Pendidikan yang sedang berlangsung saat ini masih
mengacu pada pencapaian standar-standar tertentu bukan untuk membangun
karakter dan kepribadian generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, paper ini
bertujuan untuk membahas kondisi pendidikan yang ada dan hal-hal apa yang
perlu untuk dilakukan perbaikan demi tercapainya tujuan dari revolusi mental.
Metode
Metode pembahasan yang digunakan dalam paper ini adalah deskriptif
kualitatif menggunakan bahan-bahan bacaan baik dalam bentuk hardcopy maupun
online. Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang
permasalahan yang dikemukakan pada latar belakang lebih rinci dan spesifik
tentang pendidikan seperti apa yang diharapkan dapat berperan dalam revolusi
mental.
Pembahasan
Pendidikan Indonesia di Tahun 2016
Pembangunan karakter manusia(character buliding) yang menjadi prasyarat
implementasi revolusi mental menempatkan posisi sektor pendidikan menjadi
paling strategis dengan sektor-sektor lain. Hal ini disebabkan oleh esensi dari
sebuah perubahan yang cepat dan efisien membutuhkan sumber daya manusia
yang setara minimal dapat menyeimbangi (balancing). Jika output dari pendidikan
dalam sebuah negara tidak dapat memberikan hasil yang menjadi hardware
sebuah revolusi mental maka revolusi apapun tujuannya hanya akan menjadi
slogan semata. Berdasarkan kebutuhan ini pendidikan di Indonesia harus mampu
memberikan kontribusi nyata dan konkret dalam hal penyediaan manusia-manusia
16
yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Manusia yang berkualitas dan berdaya
saing tinggi tidak dapat dihasilkan dalam waktu yang singkat dan instan
melainkan harus melalui tahapan-tahapan yang panjang sebagai sebuah investasi.
Kondisi pendidikan di Indonesia baik secara kuantitatif dan kualitatif
memang masih tertinggal dibandingkan negara-negara yang maju atau yang sudah
memiliki sistem pendidikan yang maju. Berdasarkan data tahun 2015 dari
(Organization on Economic and Cooperation Development)OECD dan PISA
2012 menempatkan ranking kualitas pendidikan di Indonesia pada urutan ke-69
dari 76 negara. Penilaian ini didasarkan pada indikator kunci pembangunan suatu
bangsa meliputi kemampuan literasi, sains dan matematika. Secara kuantitatif,
pemasalahan penghargaan gaji pendidik, alokasi anggaran pendidikan yang belum
terdistribusi dengan baik, rasio guru-siswa dan fasilitas pendidikan menjadi isu
penting untuk diperhatikan oleh stakeholder pendidikan demi menopang revolusi
mental.
Salah satu hal penting adalah persoalan tata kelola pendidikan dan
komunikasi lintas sektoral yang berdampak pada belum terciptanya blueprint
pendidikan di Indonesia. Menurut Ramawijaya.P (2015) dikutip dalam laman
U
www.kompasiana.com mengungkapkan bahwa meskipun UU Nomor 20 tahun
U
2003 tentang sistem pendidikan nasional telah berlaku dan menjadi pedoman
normatif pendidikan di Indonesia namun pelaksanaannya masih banyak
mengalami penyimpangan. Mekanisme penyaluran anggaran pendidikan yang
dinilai tidak tepat sasaran, tingginya angka kriminalitas di sekolah, rendahnya
mutu pendidikan dan persebaran kesempatan belajar yang tidak merata masih
noda hitam pendidikan. Permasalahan ini mengindikasikan bahwa sistem tata
kelola pendidikan masih belum terkoordinasi dengan baik. Diperlukan koordinasi
yang baik dan merata antara pemerintah pusat, kementerian terkait dan pemerintah
derah sebagai penanggungjawab pendidikan di daerah masing-masing. Jika
koordinasi ini tidak dilakukan akan terjadi kesenjangan informasi yang
diakibatkan karena intensitas koordinasi. Untuk merealisasikan tujuan pendidikan
elemen kementerian-kementerian terkait yang menaungi pendidikan dan
pemerintah daerah perlu memiliki kerangka acuan dan target jelas yang ingin
17
dicapai. Kerangka ini tidak hanya berupa kurikulum tentang isi apa yang harus
diajarkan namun lebih seperti kerangka kerja, kerangka tata kelola, kerangka
koordinasi yang memungkinkan tiap-tiap elemen pemerintahan memiliki koridor
kerja dan standard operating procedure yang dipatuhi bersama.
Pendidikan Indonesia pada Peta Persaingan Global dan Regional
Konsep
revolusi
mental
memiliki
pesan
tersembunyi
dalam
hal
pembangunan kewibawaan bangsa. Maraknya diorientasi kebangsaan, klaim
kebudayaan dalam negeri, pengaruh budaya asing, upaya perlawanan terhadap
ideologi bangsa adalah hal-hal yang dapat berdampak pada merosotnya wibawa
bangsa di mata negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, revolusi mental harus
memiliki dampak bagi setiap warga negara baik ke dalam maupun ke luar. Ke
dalam, adalah aspek batin dan kontemplatif yang muncul spontan melihat diri
menjadi bagian dari anak bangsa sehingga muncul rasa kecintaan yang luar biasa
dan bangkit dari kondisi-kondisi yang tidak baik. Sedangkan ke dalam, bermakna
bahwa setiap unsur harus mengaktualisasikan dirinya kepada kontribusi yang
bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Salah satu upaya aktualisasi dari pesan revolusi mental baik ke dalam
maupun ke laur adalah meningkatkan daya saing diri dalam kancah persaingan
global dan regional. Poin penting dalam menjaga keutuhan bangsa sebagai bangsa
yang merdeka dan berdaulat dari segi ekonomi dan politik menjadi priorotas
penting yang wajib dilaksanakan. UU RPJMN 2005-2025 yang berbunyi
“Karakter Yang diharapkan tangguh, kompetitip, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, patriot, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Iptek
berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Dokumen pembangunan berkelanjutan ini hendaknya menjadi garis besar
setiap implementasi Nawa Cita pemerintahan Jokowi-JK.
Dalam konteks persaingan yang nyata dan terbuka sebagi bagian dari
negara-negara di dunia Indonesia harus mengikuti interaksi dan kerjasama dengan
berbagai negara di dunia untuk melaksanakan kesepakatan bersama diantaranya
MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan AFTA (Asian Free Trade Association).
18
Merujuk pada poin pertama permasalahan pokok bangsa yaitu menurunya wibawa
bangsa, maka sangat penting untuk memilki warganegara yang mampu bersaing
dalam era “single market” dan pasar bebas. Fungsi ini tidak bisa dijalankan secara
parsial dan sendiri-sendiri apalagi atas ego-sektoral dan berbasis kepentingan.
Sebagimana konseptor dari revolusi mental bahwa gerakan ini merupakan suatu
gerakan seluruh masyarakat (pemerintah & rakyat) dengan cara yang cepat untuk
mengangkat kembali nilai‐nilai strategis yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara
untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat
memenangkan persaingan di era globalisasi.
Pendidikan Seperti Apa?
Penulis sangat tergelitik oleh tulisan Hardono (2015) yang dimuat pada
laman
U
kompas.com
U
20
Mei
2015
yang
bertajuk
“Pendidikan
Yang
Memerdekakan, Yang Membangkitkan Bukan Yang Cupu”. Intisari dari artikel
ini adalah orientasi berpikir dari proses pendidikan di Indonesia masih pada level
pekerja dan mengadahkan tangan ke atas. Salah satu yang dicontohkan menjadi
PNS masih dianggap lebih bergengsi dibandingkan memiliki gerai ayam goreng
yang dikelola sendiri. Jika pijakan memasuki jenjang pendidikan hanya untuk
menjadi pegawai pemerintah maka sehebat apapun ide sebuah revolusi tidak akan
berhasil jika diisi oleh generasi yang minim kreatifitas dan terpuruk dalam
keinginan menjadi pegawai bukan menjadi leader. Belajar dari hal ini, pendidikan
harus mampu memberikan kemerdekaan berpikir dan kesadaran untuk bangkit
melakukan hal-hal yang inovatif.
Jika merujuk kepada Nawa Cita (9 Program Priorotas Pembangunan) poin 8
yaitu “revolusi karakter bangsa” dan dokumen Bappenas tentang Rencana
Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) terdapat tiga tujuan utama revolusi
mental yaitu (1) perombakan cara berpikir, (2) perombakan cara kerja dan (3)
perombakan cara hidup. Ketiga tujuan pokok ini bukan bermuara pada produk dan
infrastruktur melainkan pada pembangunan watak, karakter dan mental pada
masing-masing manusia. Tujuan yang pertama dalah perombakan cara pikir. Cara
pikir erat kaitan dengan cara memecahkan sautu masalah yang dihadapi. Pola
19
pikir adalah output dari pendidikan yang konstruktif dan inovatif. Selama ini
pendidikan di Indonesia cenderung mengabaikan interrelasi antara persoalan
kebutuhan dan sistem pendidikan itu sendiri. Pendidikan harusnya menlakukan
kajian yang komprehensif tentang bentuk baku dari output pendidikan dalam era
revolusi mental.
Paradigma pergantian kebijakan pendidikan terutama kurilum sering
dituding sebagai salah satu penyebab tidak adanya program keberlanjutan dan
sinergi difusi dan transisi pendidikan. Misalkan saja kurikulum, tahun 2015
merupakan puncak karut marut sistem tata kelola pendidikan yang berdampak
pada rancangan kurikulum. Pendidikan tinggi telah berada pada cluster riset dan
teknologi yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang
mampu bersaing dalam ranah research-based university. Pemisahan tegas tata
kelola pendidikan tinggi ini disisi lain dapat memberikan peluang yang besar bagi
peneliti dan mahasiswa untuk melakukan kajian dan penelitian yang dapat
berdayaguna dan berhasil guna. Disiisi lain, pengelolaan pendidikan di suatu
negara yang seharusnya holistik dan kolaboratif belum menemukan format
komunikasi dan kerjasama lintas sektoral yang mantap. Melihat persoal tata kelola
pendidikan, perlu dirancan sebuah pendekatan pendidikan yang konstruktif dan
inovatif di semua jenjang. Pendidikan seharusnya memberikan inspirasi dan
motivasi untuk berbuat sesuatu terlepas dari pola pikir feodalis dan konservatif.
Jika pendekatan ini berhasil maka output pendidikan akan menciptakan penemu
(inventor) dalam semua aspek kehidupan bangsa dan memecahkan persoalan
bangsa dengan efektif dan efisien.
Tujuan yang kedua adalah perombakan cara kerja. Cara kerja yang
berkualitas dan memiliki hasil yang jelas terukur. Cara kerja yang perlu menjadi
perhatian khusus dalam hal pembangunan karakte ini adalah perombakan dari
pole kerja yang individulastik-statis menjadi kolaboratif-kreatif. Iklim kerja,
terutama dalam institusi birokrasi masih berorientasi pada kinerja personal bukan
kolektif-kolegial. Hal ini yang membuat persoalan yang paling mendasar dalam
sistem pengembangan manusia untuk mengimplementasikan semangat gotongroyong. Sedangkan tujuan ketiga adalah perubahan cara hidup bangsa yang
20
bermakna bahwa cara hidup harus mencerminkan budaya saling menghargai,
menghormati perbedaan dan gotong-royong. Prinsip-prinsip dalam revolusi
mental ini sebenarnya telah ada dalam dokumen kurikulum pendidikan kita
namun tidak diimplementasikan dengan serius dan komprehensif.
Top Ten Trends Extreme Future
Berhasilnya sebuah negara dalam menjalankan misi pemerintahan dapat
dilihat dari strategi dan nilai pembangunan yang digunakan baik untuk mengatasi
persoalan hari ini dan masa depan. Berkaitan dengan masa depan bangsa sangat
penting untuk mengidentifikasi isu-isu penting yang menjadi trend global untuk
dapat mempersiapkan diri menghadapai perubahan dan kemajuan jaman. Seorang
peneliti bernama James Canton memprediksi 10 isu penting yang akan terjadi di
masa yang akan datang yaitu (1) penemuan/sains yang aneh, (2) perubahan iklim
yang drastis, (3) tingkat individualisme tinggi, (4) inovasi ekonomi, (5)
persaingan tenaga kerja, (6) era Amerika-China, (7) globalisasi, (8) sumber
minyak baru, (9) usia hidup yang relatif panjang dan (10) upaya keselamatan di
masa yang akan datang. Isu-isu penting ini akan menjadi dimensi masa depan
yang harus diantisipasi dari sejak dini. Jika melihat dari aspek probabilitas
mungkin beberapa isu tersebdut sudah mulai terjadi sekarang namun eskalasi dan
peningkatannya akan makin nampak pada tahaun 2025-2050.
Ada dua hal menurut penelitian Canton (2007) yang sangat relevan dengan
revolusi mental yang sedang dilakukan yaitu persaingan tenaga kerja dan tingkat
individualistik yang tinggi. Permasalahan pokok yang ketiga menjadi hal yang
sangat krusial karena poin ini merupakan prasyarat penting dalam penguatan
perekonomian bangsa dan wibawa bangsa. Sebaliknya jika kondidi bangsa tidak
stabil, kondosifitas sangat rentan akan sangat sulit untuk mengatas dua
permasalahan pokok sebelumnya. Intoleransi, krisi kepribadian ini akan terus
menjadi teror dalam bentuk peristiwa-persitiwa yang dapat mengganggu
pertumbuhan ekonomi dan keamanan. Tragedi Bom Sarinah pada januari 2016,
radikalisasi, gerakan separatis dan upaya-upaya lain baik yang berasal dari dalam
21
maupun dari luar menjadi perhatian serius dunia pendidikan dalam melakukan
revolusi mental.
Rekomendasi
Mengingat esensi dari revolusi mental adalah sebuah gerakan yang
dilakukan
secara bersama-sama baik
pemerintah
dan
masyarakat
sipil
(government and civil society) maka peran setiap individu yang terlibat dalam
stakeholder pendidikan sangat diperlukan. Salah satu bentuk yang paling dini
adalah dengan melakukan internalisasi proses dan penanaman nilai revolusi
mental melalui program-program pendidikan. Agenda utama dalam gerakan ini
yaitu menciptakan manusia yang memiliki etos, integritas dan semangat gotong
royong. Ketiga nilai ini merupakan aspek mental yang sudah ditanamkan dulu
oleh founding father bangsa ini namun terkikis oleh jaman dan masuknya doktrin
dan idologi lain. Oleh karena itu setiap satuan pendidikan dapat membentuk
ekstrakurikuler revolusi mental yang diharapkan dapat menjadi sarana untuk
melatih sejak dini prinsip-prinsip kebangsaan sebagaimana tertuang dalam nilainilai revolusi mental yaitu perubahan yang cepat terhadap cara pendang, sikap dan
cara berpikir.
Kesimpulan
Perombakan mendasar yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK
dengan mengusung gerakan revolusi mental tidak akan pernah bisa berhasil jika
tidak diimbangi oleh sistem pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang baik di
Indonesia bisa terwujud apabila persoalan utama pendidikan seperti tata kelola,
mutu dan pengembangan dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat dan efisien.
Pendidikan menjadi prasyarat untuk melaksanakan revolusi bersifat mental. Lahan
garapan dari sektor pendidikan adalah manusia, oleh karena itu peran pendidikan
menjadi perhatian penting untuk menjadi modal utama pembentukan karakter
yang memiliki etos kerja, integritas dan gotong-royong. Internalisasi program
revolusi mental dalam pendidikan dapat dilakukan pada semua jenjang pendidikan
melalui aktifitas
22
yang mendorong untuk
berpikir inovatif, kolaboratif,
konstruktifis dan kritis. Keempat penciri pendidikan ini hendaknya terintegrasi
dalam keseluruhan proses pendidikan. Di era persaingan global dengan segala
dimensinya termasuk yang sudah berlangsung seperti MEA, investasi generasi
muda lewat jalur pendidikan sepertinya menjadi satu-satunya cara agar dapat
mengatkan wibawa bangsa.
Daftar Pustaka
Callinicos, R. 1983. The Revolutionary Ideas of Karl Marx: Literature Review.
London: Roudledge.
Canton, J. 2007. Do You Know What Coming Next? The Extreme Future. USA:
Amazon Publisher.
Cholish. A. 2015. Konsep dan Implementasi Revolusi Mental dalam Perspektif
Kebangsaan. Jakarta: Ganggas Media.
Indy, H. 2015. Pendidikan Yang Memerdekakan dan Membangkitkan.
www.kompas.com . Diakses pada Jumat 15 Januari 2015.
12TU
U12T
Ramawijaya, P. E. 2015. http://www.kompasiana.com/edi_ramawijayaputra/
pendidikan-di-indonesia-siapa-yang-sebenarnya-in-charge . Diakses tanggal
11 Januari 2016.
12TU
U12T
UU RPJMN 2005-2015. www.setkab.go.if . Diakses Jumat 15 Januari 2016.
12TU
U
U1 2T
Musrenbangnas.http://musrenbangnas.bappenas.go.id/files/pramus/revolusimental
/revolusi%20mental.pdf . Diakses tanggal 10 Januari 2016.
U
Nawa Cita. PMK. www.pmk.go.id diakses tanggal 18 Januari 2016.
12TU
U12T
23
GURU HEBAT-TANTANGAN ABAD 21
Effendie Tanumihardja
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
The 21st century has been running for fifteen years, and during those years,
various inventions arise in the field of science and technology. Educational
Testing Services (ETS) defines the 21st century as the century of learning the
ability to: a. gather information; b. manage and organize information; c. evaluate
the quality, relevance, and usefulness of information; d. utilize accurate
information to improve resources. North Central Regional Education Laboratory
(NCREL) identified as the 21st century digital age, broad thinking, effective
communication, and has high productivity. Discovery and thought it would not be
separated from the problem of education. The world of education is not free from
three things: students or college students, educators (teacher or lecturer),
infrastructure, educational atmosphere, and so on. Education in Indonesia is
unlikely to come out of the atmosphere of international education.
There are several things that can be categorized as a mean to cope with the
21st century skills, as follows: the skills of communication and collaboration;
critical thinking skills and problem solving; creative and innovative; leadership
and responsibility; productivity and accountability; social and cross-cultural
skills; control the media; control of information; mastering the technology;
mastering the support systems and so on. Skilled teachers are needed in order to
answer the market demand in the 21st century.
It can be concluded that a great teacher is a teacher who can keep pace
with the rapid development in the 21st century. A great teacher should be able to
communicate and collaborate well, able to think critically, able to solve the
problem, creative, innovative, able to lead well, should be responsible, able to get
along with all levels of social and cross-cultural, high productivity, control the
information and technology, etc.
Keywords: great teachers, skills, the 21st century
“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”
Nelson Mandela
Pendahuluan
Abad 21 ditandai dengan sinergi yang begitu cepat antara ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sekarang bagi dunia pendidikan ruang dan waktu sudah tidak
menjadi masalah lagi. Padahal sebelumnya hal ini menjadi penentu kecepatan dan
keberhasilan penguasaan manusia terhadap ilmu dan teknologi. Dalam dekade ke
25
dua abad 21 dunia makin kompleks dan saling terkait satu sama lain, karena
dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat jarak bukan merupakan masalah
lagi. Apapun yang ingin lihat atau apapun yang terjadi di belahan dunia manapun
pada saat bersamaan dapat kita saksikan sesuai apa adanya.
Menghadapi abad 21, dunia pendidikan ditantang mampu menciptakan tata
kelola pendidikan yang dapat menghasilkan sumber daya manusia sebagai
pemikir handal. Pemikir yang mampu memberikan kontribusi pada tatanan sosial
dan ekonomi, sadar pengetahuan sejajar dengan warga dunia lain. Pandangan ke
depan untuk merancang dunia pendidikan yang diharapkan mampu menghadapi
kemajuan di abad 21, tentu kita harus melihat realita yang ada di negara kita
(BNSP, 2010). Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk memperbaiki mutu
pendidikan melalui perbaikan sistem, kurikulum, sumber daya manusia, sarana
prasarana dan sebagainya yang disesuaikan dengan perkembangan situasi dan
kondisi serta zaman.
Kondisi pendidikan memasuki tahun ke 16 di abad 21 dapat dipandang
sebagai peluang dan tantangan bagi kelompok optimistis, tetapi dapat juga
dipandang sebagai hambatan pendidikan bagi kelompok pesimistis. Tetapi dapat
juga dipandang sebagai peluang dan tantangan sekaligus hambatan bagi kelompok
realistis, karena setiap masalah pasti bisa dijadikan sebagai peluang yang
menantang yang tidak akan lepas dari adanya hambatan. Peluang dan tantangan
yang ada akan membangkitkan motivasi kita untuk maju. Sedangkan hambatan
yang ada akan memunculkan inovasi dan kreativitas untuk menyelesaikannya.
Hasil penelusuran sejumlah pakar pendidikan dunia, ada 4 hal yang
dikategorikan sebagai cara untuk menghadapi kemajuan dan suasana di abad 21.
Ke empat hal itu yaitu cara berpikir, cara bekerja, sarana untuk bekerja dan
terampil untuk hidup di dunia. Dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan
guru harus dilakukan redesign untuk menyesuaikan gerak dan nafas dari ke empat
hal di atas, sehingga pendidikan guru akan mampu menghasilkan tamatan yang
siap menghadapi arus abad ke 21. Makalah sederhana ini mencoba menguak
sebagian cara redesign pendidikan guru menghadapi derasnya kemajuan di abad
ke-21.
26
Tantangan Pendidikan Abad 21
Abad 21 membawa serta berbagai tantangan atas alam, nilai dan
pengendalian pada pendidikan guru. Harapan masyarakat yang terlalu tinggi,
sumber daya manusia pada pendidikan guru yang belum memadai dan etos belajar
yang masih belum maksimal menjadi tantangan bagi kita bersama. Globalisasi
muncul dari negara-negara industri untuk menciptakan produk-produk bermuatan
teknologi tinggi. Negara maju berupaya mengambil pangsa pasar melalui
keunggulan teknologi mereka. Mereka juga berupaya memindahkan industri padat
investasi ke negara lain terutama negara berkembang dengan dalih transfer
teknologi, walaupun pada kenyataannya bagi negara kita, hal itu jarang terjadi.
Puluhan tahun industri otomotif sudah berjalan, tetapi mesin otomotif dengan
komponen intinya masih selalu di impor. Berbeda dengan India yang menerapkan
sistem kalau ada industri yang ingin mendirikan industri di India maka mereka
harus menjual teknologinya dan mendapat royalti dari penjualan produknya.
Sebagai contoh industri otomotif Mercy didirikan di India, semua produknya
menggunakan merk dagang Tata. Industri yang tidak mau menjual teknologi atau
resep produknya tidak bisa menenamkan modalnya di India. Sebagai contoh
pabrik minuman ringan Cocacola tidak bisa didirikan di India karena mereka
menolak untuk menjual resepnya. Demikian pula dengan industri tambang
tembaga, emas dan lain-lain Freeport, sampai saat ini tidak satupun teknologi
penambangan atau teknologi smelter yang ditransferkan kepada tenaga-tenaga
kita.
Globalisasi juga dapat dimaknai sebagai kompetisi dengan basis ilmu dan
teknologi. Sebagai implikasi dari globalisasi muncul ekonomi pengetahuan. Yang
dimaksud ekonomi pengetahuan (knowledge economic) adalah pergerakan atau
perputaran bisnis yang produknya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Produk berbasis iptek ini umumnya melibatkan perguruan tinggi melalui hasil
penelitian dari lembaga atau pusat penelitiannya. Disamping perguruan tinggi
akan terlibat juga lembaga penelitian baik milik pemerintah seperti LIPI dan lainlain maupun lembaga penelitian (BNSP, 2010).
27
Sebagai dampak globalisasi maka akan dirasakan munculnya keteganganketegangan antara dua kutub seperti:
a.
global dengan lokal;
b.
universal dengan individual;
c.
pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan jangka pendek;
d.
kompetisi dengan kesempatan yang sama;
e.
pesatnya kemajuan pengetahuan dengan kemampuan sumber daya manusia;
dan
f.
melalapnya tradisi dengan modernisasi spiritual dengan material.
Globalisasi bagaimanapun tidak mungkin dihindari, oleh karena itu yang
perlu dipikirkan adalah persiapan mental spiritual untuk berubah. Perkembangan
teknologi informasi sudah sedemikian pesatnya sehingga siapapun bisa belajar
untuk meningkatkan kemampuan keterampilan lebih-lebih pengetahuan melalui
dunia maya tanpa memerlukan pembimbing fisik. Begitu mudahnya orang bisa
mengakses pengetahuan apapun melalui benda yang kecil dan ringan bernama IPad dan lain-lain sepanjang terkoneksi dengan internet yang juga bisa diperoleh
dengan beberapa lembar uang puluhan ribu saja. Dampak dari berbagai
kemudahan ini bisa positif bisa negatif. Internet sudah mengubah sistem dan nilai
budaya serta dimensi spiritual, bahkan menggantikan model komunikasi sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Kalau dulu orang menyatakan penyesalan dengan
datang dan meminta maaf secara fisik, sekarang cukup dengan uang seratus rupiah
saja (melalui sms “maafkan aku bro”, bahkan gratis melalui WA, BB, FB dan
lain-lain program dengan mengirim gambar rangkap tangan dan sebagainya).
Pasar tradisional yang sarat dengan hangatnya komunikasi dan sentuhan-sentuhan
persaudaraan digantikan dengan pesan antar (delivery) dan lain jenis yang sangat
kering nuansa komunikasi. Masih banyak dampak negatif lain, disamping
tentunya juga dampak positif yang dapat diperoleh pengguna internet. Kesadaran
internal pengguna dan proteksi eksternal pembuat kebijakan yang akan mampu
menangkal dampak-dampak negatif. Sebagai seorang Buddhis maka kesadaran
internal bisa kita peroleh dan kita kembangkan melalui pemahaman dan
pendalaman Dhamma tentang Sila, Hiri dan Ottapa serta latihan terus menerus
28
Sila dan Bhavana. Kesadaran internal jauh lebih ampuh menangkal dampak
negatif dibandingkan dengan proteksi eksternal.
Berbicara tentang pendidikan terutama pendidikan guru tidak lepas dari
undang-undang peraturan tentang pendidikan. Undang Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 merumuskan tujuan pendidikan nasional adalah
“mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab.” Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional ini maka
harus dijabarkan ke dalam konsep yang lebih jelas dan dapat diukur tingkat
ketercapaiannya secara rinci ke dalam kurikulum. Keterkaitan antara tujuan dan
cara pencapaiannya harus tergambar jelas. Guru merupakan faktor penting sebagai
katalisator antara subyek didik awal yang masih murni dengan skill dan
knowledge minimal untuk bereaksi secara optimal menjadi tamatan mumpuni
dengan skill dan knowledge yang memenuhi persyaratan, minimal lebih besar
sama dengan nilai ketuntasan. Sebagai katalisator maka guru harus aktif dan
mudah diaktifkan kembali. Aktif sendiri tanpa tekanan untuk mempercepat reaksi
tercapainya tujuan proses pembelajaran pada subyek didik menghasilkan tamatan
yang diharapkan. Mudah diaktifkan kembali manakala sebagai katalisator mulai
kehilangan kemampuan katalisasinya. Banyak cara reaktivasi guru sebagai
katalisator, mulai dari otodidak sampai mengikuti pendidikan terstruktur. Karena
guru diharapkan mampu menjadi katalisator yang mumpuni dalam proses belajar
mengajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas, maka beban berat ini menjadi
tanggungan dan tantangan tersendiri di dalam program pendidikan guru. Program
pendidikan guru harus lebih fokus pada peningkatan kemampuan guru sebagai
katalisator. Agar mampu menjadi katalisator yang baik maka kemampuan skill
dan knowledge harus diimbangi dengan kemampuan penyampaian.
29
Guru Hebat Menghadapai Abad 21
Sebelum kita memuncak sampai pada guru hebat, kita gali dulu apa yang
dimaksud dengan guru efektif. Lalu kita definisikan guru hebat sebagai guru
efektif yang mampu mengantisipasi kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di abad 21 ini. Atau bisa diungkapkan sebagai guru efektif plus
plus. Guru efektif adalah: Pertama guru yang memiliki skill menguasai kelas.
Skill menguasasi kelas ditunjukkan oleh kemampuan interpersonal memberikan
empati kepada siswa secara tulus; memiliki hubungan baik dengan siswa; tulus
memperhatikan siswa; menunjukkan minat tinggi dalam mengajar; kemampuan
menciptakan atmosfer untuk bekerja sama; meminimalkan friksi-friksi di kelas;
kemampuan mendengarkan siswa berbicara dalam setiap diskusi. Kedua guru
yang memiliki skill manajemen strategi. Skill manajemen strategi ditunjukkan
oleh kemampuan memberikan tugas untuk tingkatan berfikir yang berbeda;
kemampuan menghadapi siswa yang tidak memiliki perhatian; kemampuan
memberikan variasi saat mengajar. Ketiga guru yang memiliki skill memberi
umpan balik dan penguatan. Skill memberi umpan balik dan penguatan
ditunjukkan oleh kemampuan memberikan bantuan kepada siswa yang
memerlukan;
kemampuan
memberikan feedback
positif kepada
siswa;
kemampuan memberikan bantuan kepada siswa yang lamban belajar; kemampuan
menindaklanjuti untuk jawaban yang kurang memuaskan. Kempat guru yang
memiliki skill terkait dengan peningkatan diri. Skill terkait dengan peningkatan
diri ditunjukkan oleh kemampuan menerapkan kurikulum dan metode mengajar
secara inovatif; kemampuan menambah pengetahuan metode mengajar;
kemampuan memanfaatkan kelompok guru untuk menciptakan metode mengajar.
Guru hebat harus memiliki sejumlah keterampilan yang dibutuhkan oleh
masyarakat di abad 21. Guru hebat selain harus pandai tentang hal-hal terkait
dengan kewarganegaraan, memiliki kepekaan global, pandai mengelola keuangan,
memahami berbagai hal seputar dunia kesehatan dan lingkungan hidup, memiliki
visi kedepan yang jelas juga harus terampil dalam komunikasi dan kolaborasi.
Skill komunikasi dan kolaborasi merujuk kepada kemampuan individu
untuk berkomunikasi secara jelas, menggunakan oral, bentuk tulisan, dan bahasa
30
non verbal, kemampuan berkolaborasi secara efektif dan bertanggungjawab
dengan
orang-orang
yang
berbeda.
Komunikasi
yang
jelas
artinya
menggambarkan ide secara melalui oral, tulisan dan non verbal dalam berbagai
bentuk dan konteks; mendengar dengan cermat dan efektif sehingga memahami
arti
dengan
benar;
dapat
digunakan
untuk
berbagai
tujuan
seperti
menginformasikan, memberi perintah, memotivasi dan meyakinkan ataupun
membujuk. Komunikasi harus efektif dalam berbagai lingkungan misalnya
komunikasi dalam berbagai bahasa. Harus mau membagi tanggungjawab untuk
kolaborasi kerja, dan nilai kontribusi individu dibuat oleh masing-masing anggota
tim (Trilling & Fadel, 2009). Skill komunikasi dan kolaborasi dapat dipelajari
melalui berbagai metode seperti melalui Project Based Learning, Problem Based
Learning, Design Based Learning atau Performance Based Learning (Partnership
for 21 st Century Learning, 2009).
2T
2T
Skill berfikir kritis dan kemampuan menyelesaikan masalah itu termasuk
kemampuan individu untuk beralasan secara efektif, bertanya tepat sasaran dan
menyelesaikan masalah, menganalisis dan mengevaluasi beberapa alternative, dan
merefleksikannya secara kritis pada keputusan dan prosesnya. Trilling & Fadel
(2009) mendefinisikan berfikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis,
menginterpretasikan,
informasi.
mengevaluasi,
menyimpulkan
dan
mengsintesakan
Dapat disimpulkan bahwa skill berfikir kritis di abad 21 adalah
menggunakan teknologi canggih untuk mengakses, memanipulasi, menciptakan,
menganalisis, mengendalikan, menyimpan dan mengkomunikasikan informasi
(Trilling & Fadel, 2009).
Kreativitas sering dijelaskan sebagai skill inti yang dapat dan harus
dipelihara. Kreativitas dan inovasi bisa dikembangkan, seperti skill yang lain
melalui latihan yang terus menerus. Skill kepemimpinan dan bertanggungjawab
itu termasuk kemampuan individu juga untuk bekerja dengan minat yang besar
dengan orang banyak untuk menginspirasi orang lain dengan contoh, untuk
meningkatkan kekuatan orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kategori skill produktivitas dan akuntabilitas itu termasuk menetapkan dan
mencapai tujuan, memprioritaskan kebutuhan, mengelola waktu, bekerja secara
31
etis, bekerja sama dan berkolaborasi dengan kolega dan klien. Skill lintas budaya
dan sikap sosial mendasarkan kepada kemampuan bekerja sama dan berinteraktif
dengan kolega secara professional, memiliki rasa hormat dan toleran terhadap
perbedaan sosial dan budaya. Mengerti dan memahami perbedaan budaya serta
mampu menggunakan perbedaan itu untuk mengembangkan ide-ide baru dan
pemecahan baru terhadap berbagai masalah.
Skill memahami masalah media merupakan hal penting bagi guru hebat. Ini
berarti skill untuk bisa mengakses, mengerti, dan mampu menganalisis pesanpesan yang disampaikan oleh media. Skill ini juga menyangkut kemampuan untuk
mengerti biasnya media dan cara media mempengaruhi keyakinan dan perilaku
pembacanya. Skill tentang informasi berarti kemampuan untuk mengakses
informasi secara efisien, mengenal kapan informasi itu dibutuhkan dan mampu
untuk meletakkan, mengevaluasi informasi secara kritis dan menggunakan secara
efektif, akurat dan kreatif informasi yang dibutuhkan (Andretta, 2005).
Kemahiran teknologi bagi guru hebat antara lain adalah pemanfaatan e-learning.
E-learning didefinisikan sebagai pengaksesan informasi, instruksi, interaksi
melalui internet atau intranet penggunaan materi instruksional seperti bahan
berbasis web dan menggunakan tools seperti email, discussion boards, blogs, chat
atau video misal teleconference. Downes (2005), Anderson (2007) dan Walton
et.al. (2007) berpendapat bahwa guru sekarang sudah (harus?) familier dengan
teknologi web 2.0 untuk membuka jenis pembelajaran. E-learning ini lebih focus
pada membangun pengetahuan kolaboratif, membagi asset pengetahuan, solusi
masalah, dan pemecahan secara tenang antara pengetahuan dan komunikasi,
seperti produksi blogs, video dan interaktif tutorial.
Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal. Bahwa abad 21
merupakan satu keadaan yang sedang kita jalani dengan sejumlah kondisi
kemajuan pesat di berbagai bidang. Perubahan yang begitu mencengangkan dari
detik ke detik terjadi di bidang teknologi informasi. Skill kemarin tidak bisa lagi
memenuhi untuk kondisi hari ini (NCREL, 2003). Sebagai dampaknya maka
32
capaian menjadi guru efektif sudah kurang memadai. Perlu peningkatan istilah
dari guru efektif menjadi guru hebat. Guru hebat memerlukan skill yang juga
hebat untuk menghadapi abad 21. Skill guru hebat adalah skill guru efektif yang
masih harus memperhatikan ketepatan waktu, etika kerja, skill memecahkan
masalah, kemampuan untuk berkolaborasi, skill membaca, menulis dan
berkomunikasi, harus memiliki inovasi dan kreativitas tinggi. Guru hebat harus
memiliki leadership yang kuat dan sikap bertanggungjawab. Guru hebat harus
mampu menjembatani berbagai perbedaan budaya maupun strata sosial
sedemikian sehingga hasil kolaborasi itu akan menghasilkan dampak optimal.
Guru hebat harus mampu mengolah informasi dari manapun (suara burung, media
cetak maupun elektronik dan lain-lain) menjadi hal positif dan membangun. Guru
hebat harus mengembagkan dan menggunakan sarana elektronik dan dunia maya
untuk membagi ilmu melalui pemanfaatan metode e-learning, menggunakan tools
seperti web, blogs, chat dan sebagainya untuk menghasilkan hasil pembelajaran
yang maksimal dan bermanfaat bagi pembelajar.
Daftar Pustaka
Anderson, P. (2007) What is Web 2.0? Ideas, technologies and implications for
education. JISC Technology & Standards Watch: available at
http://www.jisc.org.uk/media/documents/ techwatch/tsw0701b.pdf
U
Andretta, S. (2005). Information literacy: A practitioner’s guide. Oxford, UK:
Chandos Publishing, Ltd.
Badan Standar Nasional Pendidikan (2010). Paradigma Pendidikan Nasional Di
Abad-21. Jakarta: BSNP.
Davis, G.A. & Thomas, M.A. (1989). Effective Schools and Effective Teachers.
Boston: Allyn Bacon.
Downes, S. (2005). E-learning 2.0, eLearn Magazine, 17 October: Accessed on
May 14, 2010 from: http://www.elearnmag.org/subpage.cfm?section
=articles &article=29-1 .
12TU
U12TU
U
Mukminan. (2014). Tantangan pendidikan di abad 21. Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional Teknologi Pendidikan 2014 di Pascasarjana Universitas
Negeri Surabaya 29 November 2014.
33
NCREL & Metiri Group. (2003). enGauge 21st century skills: literacy in the
digital age.
National Institute of Education Singapore. (2009). A Teacher Education Model for
the 21st Century. Singapore: NIES.
Paige, J. (2009). The 21 st Century Skills Movement. Educational Leadership,
9(67).
2T
2T
Partnership for 21 st Century Learning, (2008). 21 st Century skills education &
competitiveness. http://www.21stcenturyskills.org/
2T
2T
P
P
12 TU
U12T
Rotherham, A.J. & Willingham, D. (2009). 21 st century: the challenge ahead.
Educational Leadership. Vol. 67. No 1. September 2009. pp. 16-21.
P
P
Sawchuk S. (2009).21st century skills” focus shifts teachers’ role. Education
Week. 2009 January 7.
The National Center for Public Policy and Higher Education. (2008). Engaging
higher education in societal challenges of the 21 st century.
P
P
Trilling & Fadel. (2009). 21 st Century Learning Skill. San Fransisco: CA: Jhon
Wiley & Sons.
P
P
Walton, G., Barker, J, Hepworth, M. & Stephens, D. (2007). Using Online
Collaborative Learning to Enhance Information Literacy Delivery in a Level
1 Module: An Evaluation, Journal of Information Literacy, 1 (1): 13-30:
available at http://jil.lboro.ac.uk/ojs/index. php/JIL/article/view/RA-V1-I12007-2/3
U
34
KNOWLEDGE MANAGEMENT SEBAGAI STRATEGI
REVOLUSI PENGETAHUAN PROFESI DHARMADUTA
Heriyanto
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
The purpose of this article was to describe the knowledge management in
dharmaduta profession. Data were collected through various resources such as
books and other primary and secondary references. The analysis method that used
was content analysis descriptive explanations and had been narratively discussed
in depth. The result of this article in form and knowledge management pattern in
dharmaduta profession, which can be used to support the assignment and its
function. Here are patterns and knowledge management form that have to be
implemented by a dharmaduta: Learning for an instructor/ a dharma preacher,
knowledge sharing and knowledge transfer for a dharmaduta preacher,
knowledge storage and externalization, organisation environment and the
implementation of dharmaduta knowledge, explicit knowledge become tacit
knowledge and other supportive factor, such as human factor and Information
Communication and Technology (ICT).
Keywords: knowledge, knowledge management, dharmaduta, buddhist religion
Pendahuluan
Perkembangan suatu agama tidak terlepas dari peran dan fungsi seseorang
yang terus dan menyebarkan ajaran agama. Dalam Agama Buddha seseorang yang
menyebarkan ajaran Agama Buddha (Dharma) disebut dengan dharmaduta.
Dharmaduta merupakan utusan dharma yang menyebarkan dan membuat
masyarakat
khususnya
Agama
Buddha
meyakini
dharma.
Dharmaduta
mempunyai peran yang sangat penting dalam pembinaan umat Agama Buddha.
Untuk menjalankan tugas dan fungsi profesi dharmaduta, seorang dharmaduta
harus terus meningkatkan kemampuan serta memiliki pengetahuan dan
pengalaman (knowledge) yang baik. Knowledge yang dimiliki akan mendukung
tugas dan fungsi, serta akan memberikan hasil yang semakin efektif dalam
melakukan pembinaan terhadap umat dengan berbagai kemampuan yang dimiliki.
Knowledge harus mampu dikelola dengan baik sehingga akan memberikan
manfaat maksimal baik untuk organisasi atau pribadi, pengelolan knowledge
disebut dengan knowledge management (KM).
35
Kegiatan
dharmaduta
meliputi
peyuluhan,
perbincangan
dharma
(dharmadesana), dan mendengarkan dharma (dharmasavana). Knowledge
Sharing (KS) sebagai tahapan dari KM merupakan alat untuk saling berbagi
pengetahuan dan pengalaman yang didapat dalam keseharian. KS memungkinkan
untuk saling berbagi (share) knowledge dan untuk selanjutnya knowledge dapat
digunakan dalam peningkatan dan efektivitas kinerja seorang dharmaduta.
Sesuatu yang penting adalah mendokumentasikan knowledge yang tidak tertulis
(tacit) untuk terimplementasi dan terdokumentasi dengan baik sehingga dapat
digunakan secara bersama mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Kenyataan dimasyarakat, seorang dharmaduta satu dengan lainnya tidak
saling berbagi knowledge. Knowledge tidak di transfer dari satu dharmaduta
kepada dharmaduta lain. Knowledge yang dapat digunakan secara bersama dan
terdokumentasi adalah explicit knowledge. Permasalahan lain, tacit knowledge
tidak terimplementasi dalam bentuk explicit knowledge, sehingga knowledge tidak
dapat di share kepada dharmaduta lain. Hasilnya, ketika seorang dharmaduta tidak
lagi menjalankan profesi untuk pembinaan, penyuluhan, dharmadesana, dan
dharmasavana, maka informasi dan knowledge yang dimiliki akan hilang dan
tidak dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya.
Berangkat dari permasalahan belum diterapkannya KM oleh seorang
dharmaduta, kajian ini membahas bagaimana KM dalam profesi dharmaduta.
Tujuan kajian adalah mendeskripsikan bagaimana KM untuk profesi dharmaduta
dan dapat digunakan dalam menjalankan tugas dan fungsi seorang dharmaduta.
Manfaat praktis hasil kajian dapat digunakan sebagai bahan masukan dan arah
kebijakan serta perubahan teknis dalam menggunakan, menyimpan, dan berbagi
pengetauan. Manfaat lain adalah bagaimana KM dapat diterapkan dan digunakan
untuk menjalankan tugas dan fungsi profesi dharmaduta.
Dharmaduta mempunyai pengertian sebagai duta dharma atau utusan
dharma. Darma merupakan ajaran Sang Buddha (Buddha Gotama). Dharmaduta
dapat di nyatakan sebagai seseorang yang menyebarkan dharma sehingga orang
lain ikut meyakini dan menjalankan dharma (Jo Priastana, 2005). Dalam
36
masyarakat sekarang ini, pengertian dharmaduta semakin meluas meliputi
pembabar dharma, penyiaran, penyuluhan, serta penceramah dharma.
Penerapan pembabaran dan ceramah dharma membentuk berbagai pola
yang diturunkan menjadi berbagai bentuk profesi dan kegiatan. Pola kegiatan
pembabaran dan penyebaran dharma yaitu seperti berbincang dharma
(dharmadesana), dan mendengarkan dharma (dharmasavana). Sedangkan dalam
bentuk profesi meliputi kepenyuluhan Agama Buddha dan kepanditaan Agama
Buddha. Kegiatan dharmaduta mempunyai tujuan yang bersifat komunikatif dan
sosial. Kegiatan dharmaduta kegiatan bertujuan untuk mempengaruhi, mengubah,
dan membentuk sikap serta tingkah laku seseorang atau masyarakat untuk
memahami dan menjalankan dharma. Dharmaduta memiliki tugas untuk
menyebarkan dharma kepada masyarakat agar mendapatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan dengan menjalankan ajaran Agama Buddha.
Biksu, Penyuluh, Pandita (romo dan ramani), dan Penceramah darma
merupakan seseorang yang menjalankan profesi dan dapat melakukan penyebaran
dharma ajaran sang Buddha. Dengan kata lain, Biksu, Penyuluh, Pandita, dan
penceramah dharma merupakan orang yang disebut sebagai dharmaduta.
Knowledge
Knowledge terkait dengan rutinitas operasional, praktik, proses, dan nilai.
7T
Knowledge diawali dengan adanya perbedaan makna dan adanya transisi dari
7T
data, informasi, hingga informasi menjadi knowledge (Wallace, 2007) . Pengertian
7T
7T
knowledge secara umum hanya pada pengetahuan yang ditambahkan dengan
pengalaman, tetapi tidak hanya itu, knowledge adalah informasi yang kontekstual,
relevan, dan actionable (Turban, 2008), sehingga knowledge merupakan
sekumpulan informasi yang memiliki pola dan implikasi tertentu, serta memiliki
kemampuan untuk memprediksi dan bertindak.
Knowledge juga merupakan penggabungan antara pengalaman, nilai,
informasi kontekstual, pandangan, dan intuisi para pakar yang membangun
lingkungan, kerangka evaluasi, serta gabungan pengalaman dan informasi baru.
Knowledge diaplikasikan dalam pemahaman pemikiran setiap orang dan melekat
37
dalam diri setiap individu. Berkaitan dengan profesi, knowledge akan digunakan
dalam menjalankan tugas dan fungsi, sehingga tujuan organisasi dan secara umum
tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Tacit Knowledge
Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman
seseorang, kegiatan yang dilakukan, dan sulit didefinisikan, dimana umumnya
dibagikan melalui diskusi dan bercerita. Tacit knowledge meliputi knowledge
yang tidak dapat dituliskan dan dijabarkan yang terdapat dalam diri setiap
individu. Tacit knowledge dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang
personal, spesifik, dan umumnya sulit diformulasi dan dikomunikasikan kepada
pihak lain (Nonaka & Takeuchi, 1995). Tacit Knowledge diperoleh melalui
11T
11T
11T
" learning by doing", knowledge yang diinternalisasikan melalui praktik yang
1 1T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
terdiri dari proses transfer pengetahuan (knowledge transfer) dari pemilik dan
penerima knowledge (Carayannis, Pirzadeh, & Popescu, 2014).
Explicit Knowledge
Explicit Knowledge adalah knowledge yang sudah dapat dikemukakan
dalam bentuk data, formula, spesifikasi produk, manual, dan prinsip-prinsip
umum. Explicit knowledge dapat diidentifikasi , terbentuk , dan disajikan lebih
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
mudah. Explicit knowledge dapat dituangkan dan digunakan dalam bentuk
11T
11T
11T
11 T
database dan ditransfer antar individu tanpa perlu berinteraksi langsung .
1 1T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
Explicit knowledge yang telah diformulasikan, biasanya disajikan dalam
bentuk tulisan, terdokumentasi, dan mudah di transfer kepada orang lain. Explicit
knowledge sebagai pengetahuan yang dapat ditransformasikan dalam bentuk
formal dan bahasa yang sistematis. Dokumen, buku panduan, peraturan, dan
literatur merupakan beberapa contoh explicit knowledge.
Knowledge Management (KM)
KM adalah pendekatan sistemik yang membantu muncul dan mengalirnya
informasi dan pengetahuan kepada orang yang tepat pada saat yang tepat untuk
38
menciptakan nilai. KM memungkinkan individu, tim , dan seluruh anggota
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
organisasi untuk kolektif dan sistematis membuat, berbagi , dan menerapkan
11T
knowledge
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
untuk mencapai
11 T
11T
11T
11T
11T
1 1T
tujuan . KM
11T
11T
11T
11 T
11T
memberikan kontribusi untuk
11T
meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional , berinovasi , dan mengubah
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
kualitas (North & Kumta, (2014).
KM merupakan serangkaian proses yang dikembangkan untuk menciptakan,
mengumpulkan, memelihara, dan mendiseminasikan knowledge. KM juga
didefinisikan sebagai akuisisi , penyimpanan , pengambilan , aplikasi , generasi ,
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11 T
11T
dan rangkuman dari seluruh aset knowledge organisasi dengan cara yang
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
terkontrol . KM membutuhkan pertalian informasi dengan informasi, informasi
11T
dengan aktivitas, dan informasi dengan manusia untuk mewujudkan Knowledge
sharing (Tang, 2000). Kebutuhan akan knowledge sharing menjadikan seluruh
anggota organisasi mengedepankan kepentingan berbagi knowledge, khusunya
tacit knowledge. Dengan adanya KM, aset informasi, keahlian, dan pengalaman
akan tergabung menjadi sebuah knowledge yang explicit dengan manajemen
untuk digunakan mencapai tujuan.
Proses Knowledge Management
Alavi dan Leidner (2001), KM terdiri dari empat proses, yaitu:
a. Knowledge Creation, merupakan penciptaan knowledge berhubungan dengan
pengembangan knowledge baru atau menggantikan knowledge yang telah
tersedia baik tacit knowledge maupun explicit knowledge.
b. Knowledge Storage, merupakan kegiatan penyimpanan dan pengambilan
kembali knowledge yang berada dalam berbagai bentuk struktur komponen,
pengetahuan, kodifikasi pengetahuan, dan menyimpan knowledge untuk
memori organisasi (organizational memory). Penyimpanan knowledge
merupakan bentuk explicit dari knowledge yang setiap saat dapat digunakan
untuk dukungan terhadap kegiatan dan pekerjaan, menjadi aset penting untuk
mencapai tujuan.
c. Knowledge Transfer, merupakan tahapan bagaimana knowledge ditransfer dan
terjadi proses berbagi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok
39
pada kelompok dalam organisasi. Dalam proses ini dapat terjadi kegiatan
berdiskusi, seminar, belajar dan pembelajaran, serta bekerja kelompok untuk
saling berbagi pengetahuan. Knowledge transefer merupakan proses dalam
knowledge sharing.
d. Knowledge Application, mengaplikasikan pengetahuan merupakan integrasi
knowledge ke dalam proses dan aktivitas, operasional, tugas dan fungsi dalam
organisasi secara mandiri yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi.
Knowledge yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi digunakan untuk
menjalankan tugas dan fungsi, untuk selanjutnya memberikan kontribusi besar
terhadap keberhasilan organisasi.
Komponen Pendukung Proses Knowledge Management
KM berorientasi untuk menghasilkan knowledge dari informasi dan
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
1 1T
mengubahnya menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan . Proses dan
11T
11T
11T
11 T
11 T
implementasi KM secara garis besar membutuhkan 3 komponen yaitu proses
11T
11T
bisnis (business processes), infrastruktur ( infrastructure), dan l ingkungan
11T
1 1T
11T
(environment).
Metode Kajian
Kajian Knowledge Managament sebagai Strategi Revolusi Pengetahuan
Profesi Dharmaduta menggunakan metode content analysis. Dilakukan analisis
mendalam dari sumber-sumber relevan yang kemudian dideskripsikan dan
dinarasikan dalam bentuk hasil kajian. Wawancara dan observasi lapangan juga
dilakukan pada beberapa subjek dan objek yang menjadi kajian untuk
memperkuat data dan analisis.
Pembahasan
Knowledge management sangat penting bagi seorang dharmaduta.
Knowledge yang dimiliki seorang dharmaduta baik tacit dan explicit dapat di
share kepada dharmaduta lain, pada akhirnya knowledge yang ada akan digunakan
untuk mencapai tujuan dalam pelayanan, pengabdian, pembinaan, dan secara
40
khusus menyebarkan dan membabarkan dharma. Bentuk dan pola knowledge
management dapat diterapkan dan diimplementasikan untuk mendukung tugas
dan fungsi sebagai seorang dharmaduta. Adapaun bentuk dan pola knowledge
management dharmaduta sebagai berikut:
1. Pembelajaran untuk Dharmaduta
Perubahan permanen pada perilaku sebagai akibat dari pengalaman dapat
diperoleh melalui pembelajaran. Pembelajaran untuk dharmaduta dapat
dilakukan secara kolektif, baik yang terjadi secara alami maupun melalui
program yang terencana dalam organisasi. Pembelajaran merupakan aspek
yang krusial untuk membuka dan membentuk knowledge baru. Pendidikan
merupakan penciptaan knowledge (knowledge creation) bagi dharmaduta,
dapat dilakukan melalui pelatihan, kursus, sekolah, dan kuliah. Perkuliahan
jurusan dharmaduta telah tersedia dibeberapa Sekolah Tinggi Agama Buddha
baik yang dibiayai pemerintah (Negeri) seperti Sekolah Tinggi Agama Buddha
(STAB) Negeri Sriwijaya Tangerang Banten dan STAB Raden Wijaya maupun
sekolah tinggi swasta. Beberapa organisasi keagamaan buddhis seperti
MAGABUDHI juga telah membuka kursus dharmaduta.
Tidak dipungkiri, hasil observasi menunjukkan para dharmaduta yang kurang
menguasai pengetahuan Agama Buddha secara mendalam. Knowledge yang
dimiliki lebih banyak terbatas pada hasil dari pengalaman dimasyarakat tidak
melalui formal melalui perguruan tinggi. Pengetahuan Abhidhamma, Sutta, dan
vinaya dalam Agama Buddha dirasa masih sangat kurang, hasilnya seorang
dharmaduta kurang efektif dalam berceramah, pembabaran, dan pengembangan
Agama Buddha. Oleh karena itu pembelajaran bagi seorang dharmaduta harus
segera diimplementasikan. Dharmaduta harus dituntut untuk peningkatan
knowledge melalui kuliah dan kursus bidang Agama Buddha sehingga
memungkinkan terjadinya penciptaan pengetauan.
Dengan
pembelajaran
dan
pendidikan,
penciptaan
pengetahuan
akan
meningkat, setiap dharmaduta dapat meningkatkan efektivitas dalam
menjalankan tugas dan fungsi. Melalui pendidikan dalam bentuk kursus,
sekolah, dan perkuliahan, seorang dharmaduta dibekali kompetensi yang kuat
41
dalam melakukan tugas dan fungsi sebagai penyebar dan pembababar dharma.
Kemampuan dan penguasaan pengetahuan Agama Buddha akan semakin
meningkat. Kemampuan dan pemahaman ajaran Agama Buddha juga akan
didukung dengan legalitas seperti ijazah dan bentuk-bentuk sertifikat lainnya
yang memberikan nilai positif terhadap profesi seorang dharmaduta.
2. Knowledge Sharing dan Knowledge Transfer Dharmaduta
Knowledge yang didapatkan hasil pembelajaran dan pengalaman harus berguna
bagi para dharmaduta lainnya dan bagi masyarkat yang membutuhkan.
Knowledge sharing (KS) merupakan tahapan dalam KM, dimana dengan KS
seorang dharmaduta dapat membagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman
(knowledge) yang didapat dalam keseharian. KS dharmaduta dapat dilakukan
dalam bentuk seminar dharmaduta, pelatihan, workshop, dan kursus yang dapat
diadakan oleh organisasi seperti majelis, baik majelis cabang, daerah, dan
majelis pusat. Pertemuan dan diskusi kecil antara kelompok dharmaduta juga
dapat dilakukan, dengan demikian akan menciptakan knowledge baru dan
merevolusi pengetahuan bagi dharmaduta yang tergabung dalam kelompok
diskusi.
Sharing membentuk adanya knowledge transfer (KT), bagaimana knowledge
ditransfer antar dharmaduta, dharmaduta dengan kelompok, dan kelompok
pada kelompok dalam organisasi. Kaitannya dengan profesi juga bagaimana
pengetahuan dharma dari seorang dharmaduta ditransfer kepada masyarakat,
dalam hal ini umat Agama Buddha. KT dapat terjadi pada kegiatan berdiskusi,
seminar, belajar dan pembelajaran, serta bekerja kelompok untuk saling
berbagi knowledge. Ceramah yang diberikan dharmaduta juga merupakan
implementasi KS seorang dharmaduta kepada masyarakat dan kelompok umat
beragama.
3. Knowledge Storage dan E xternalization
7T
Bagaimana seorang dharmaduta menjadikan knowledge yang tidak tertulis
(tacit) menjadi knowledge yang tertuang dalam bentuk siap pakai oleh orang
lain (explicit). Untuk mewujudkan tacit menjadi explicit proses eksternalisasi
harus segera dilakukan. Kemampuan mendokumentasikan dan mewujudkan
42
knowledge dalam bentuk dokumen dan tulisan menjadi sangat penting dan
segera dilakukan. Menulis buku, jurnal, artikel, dan penelitian harus dilakukan
oleh seorang dharmaduta, khususnya oleh para dharmaduta yang telah banyak
pengalaman dalam melakukan pembinaan, menyebaran, dan pembabaran
dharma kepada masyarakat.
Penyimpanan explicit knowledge juga membutuhkan manajemen yang baik.
Komputer yang tersedia pada organisasi, yayasan, vihara, cetiya, dan pada
lembaga-lembaga lain tempat para dharmaduta berada dapat digunakan sebagai
alat penyimpanan knowledge. Melalui pendanaan yang baik juga dapat
diciptakan sebuah Knowledge Management System (KMS), sehingga
pengetahuan dapat digunakan dengan baik dan cepat ketika dibutuhkan,
membawa nilai tambah bagi organisasin dan dharmaduta untuk mencapai
tujuan.
4. Lingkungan Organisasi dan Implementasi Knowledge Dharmaduta
11T
Lingkungan yang memfasilitasi budaya KS merupakan komponen penting
11T
11 T
11T
implementasi KM. Selain lingkungan internal, lingkungan external juga
berpengaruh terhadap proses KM. Kebijakan pemerintah, sumber pendanaan,
trend dan kemajuan masyarakat yang semakin berkembang akan berpengaruh
terhadap proses implementasi KM. Untuk itu setiap organisasi, yayasan, dan
berbagai institusi yang bergerak dalam bidang Agama Buddha harus segera
menciptakan lingkungan dengan budaya KS. Melakukan berbagai manajemen
dan kebijakan guna terciptanya budaya sharing dan KM yang baik. Dengan
demikian setiap dharmaduta tentunya akan menjadi bagian dari organisasi yang
melakukan penerapan dan implementasi KM.
Knowledge Application (KA), mengaplikasikan knowledge merupakan
integrasi knowledge kedalam proses dan aktivitas, operasional, serta tugas
dharmaduta. Dharmaduta secara fungsi dalam organisasi secara mandiri
menggunakan KM untuk digunakan mencapai tujuan individu dan organisasi.
Knowledge
yang
dimiliki
oleh
setiap
dharmaduta
digunakan
untuk
menjalankan tugas dan fungsi, untuk selanjutnya memberikan kontribusi besar
43
terhadap keberhasilan seorang dharmaduta dalam pembabaran dharma,
pembinaan, dan pengembangan Agama Buddha.
5. Explicit Knowledge menjadi Tacit Knowledge
Tahapan ini merupakan internalisasi explicit knowledge menjadi tacit
knowledge. Bagaimana hasil pemikiran dalam bentuk buku, jurnal, artikel, dan
penelitian oleh seorang dharmaduta akan memberikan pengetahuan dan
pengalaman baru bagi seorang dharmaduta. Organisasi hendaknya membentuk
budaya membaca, dan seorang dharmaduta harus memiliki kemampuan akses
informasi untuk mencari sumber-sumber pengetahuan bagi pengembangan dan
peningkatan knowledge. Buku-buku referensi buddhis dan internet dapat
dijadikan sebagai sumber belajar dan pembelajaran bagi seorang dharmaduta.
6. Human Factor Knowledge Management
Salah satu faktor pendukung implementasi KM dharmaduta adalah faktor
manusia (human factor) dan faktor teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Human factor adalah bagaimana semua dharmaduta mempunyai pengetahuan
yang dapat menjadi aset yang digunakan bersama untuk mencapai tujuan
profesi dharmaduta dan pembabaran dharma secara efektif. Sumber Daya
Manusia (SDM) dalam hal ini seorang dharmaduta dengan segala knowledge
yang dimiliki menjadi aset penting dalam mencapai tujuan profesi dharmaduta
dan organisasi.
TIK dapat menjadi alat dalam mencari, menciptakan, dan menyimpan
knowledge yang dimiliki dharmaduta. Dengan kemanjuan TIK akan
memudahkan seorang dharmaduta dalam mencari informasi yang dibutuhkan.
Mencari sumber-sumber pengetahuan melalui internet, melakukan sharing dan
knowledge transfer antar sesama dharmaduta juga dapat didukung dengan
dukungan TIK. Sistem komputer juga menjadi solusi dalam melakukan
penyimpanan knowledge sehingga dapat digunakan kapan saja secara bersama
seperti Knowledge Management System (KMS).
44
Kesimpulan
KM penting untuk segera diimplementasikan dalam profesi dharmaduta.
KM menjadikan knowledge yang dimiliki oleh seorang dharmaduta dapat di share
dan di transfer kepada dharmaduta lain. Tacit knowledge yang dimiliki oleh
seorang dharmaduta dapat diwujudkan secara explicit yang selanjutnya dapat
digunakan secara bersama untuk mencapai tujuan profesi dharmaduta dan juga
tujuan organisasi. Implementasi KM oleh seorang dharmaduta akan menghasilkan
berbagai knowledge yang terdokumentasi dan tersimpan dengan baik. Selanjutnya
dokumentasi dan wujud explicit knowledge akan digunakan secara bersama dan
akan berguna untuk generasi dharmaduta selanjutnya. Implementasi KM menjadi
strategi dalam revolusi pengetahuan dharmaduta. Dengan KM seluruh proses dan
manajemen pengetahuan dharmaduta akan tertata dengan baik, hasilnya terjadi
efektivitas tugas, dan fungsi profesi seorang dharmaduta.
Daftar Pustaka
Anantatmula, V & Kanungo, S. 2010. Modeling Enablers for Successful KM
Implementation. Journal of Knowledge Management, 14 (1): 100 – 113.
Bellinger, Castro & Mills. 2004. Data, Information, Knowledge, and Wisdom.
Systems Thinking "A journey in the realm of systems” http://systemsthinking.org/dikw/dikw.htm (Diakses 27 Mei 2015).
12TU
U12T
Chen, Chen, & Kinshuk. 2009. Examining the Factors Influencing Participants’
Knowledge Sharing Behavior in Virtual Learning Communities.
Educational Technology & Society, 12 (1), 134–148.
Cheng & Lau. 2009. Knowledge Sharing in Academic Institutions: a Study of
Multimedia University Malaysia. (G. Turner, Penyunt.) Electronic Journal
of Knowledge Management, 7 (3), (pp 313 - 324).
Elias G. Carayannis, Ali Pirzadeh, Denisa Popescu. 2014. Institutional Learning
and Knowledge Transfer Across Epistemic Communities New Tools of
Global Governance. Springer.
Jo Priastana. 2005. Komunikasi dan Dharmaduta. Jakarta: Yasodhara Puteri.
45
Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Barat. 2014. Pendidikan
Dharmaduta Kemenag Sekadau. http://kalbar.kemenag.go.id/index.php?
a=berita&id = 199461 (Diakses 28 Agustus 2015).
12TU
U12TU
U
Kearns & Papadopoulos. 2000. Building a learning and training culture: The
experience of five OECD countries. Adelaide: National Centre for
Vocational Education Research.
Klaus North, Gita Kumta. 2014. Knowledge Management Value Creation
Through Organizational Learning: (Tanpa kota): Springer.
Lam, Alice. 2000. Tacit Knowledge, Organizational Learning and Societal
Institutions: An Integrated Framework. European Group for Organizational
Studies: Sage Publications.
Nonaka, I. & Takeuchi, H. 1995. The knowledge-creating company. New York:
Oxford University Press.
Tang, Shanhong. 2000. Knowledge Management in Libraries in the 21st Century.
66th IFLA Council and General Conference.
Tobing, Paul L. 2007. Knowledge Management: Konsep, Arsitektur dan
Implementasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Turban. 2008. Information Technology for Management - Transforming
Organizations in the Digital Economy (6th Edition ed.). Hoboken: John
Wiley & Sons.
Wallace, Danny. 2007. Knowledge Management. Historical and Cross
Disciplinary Themes: Greenwood Publish.
46
MENGIKIS PANDANGAN MATERIALISME DENGAN MENERAPKAN
PATHAKAMMA SUTTA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA REVOLUSI
MENTAL PADA PENDIDIKAN BUDDHIS
12T
Iin Suwarni
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
It is time of condition where Buddhists who declined virtues , selfishness ,
declining nature of Hiri and Otappa , lack of compassion , commit crimes ,
and the ambitious nature of collecting treasures become problem , which is
one contributing factor of low understanding of Pattakamma Sutta . It requires
a mental revolution by applying the contents of Pattakamma Sutta .
This article aims to determine the extent role of Pattakamma Sutta to erode
the view of materialism, which is applied in carrying out measures right
livelihood and do not harm any party and shows the success of efforts mental
revolution. T he results of this analysis indicate that the role of Pattakamma
Sutta to erode strongly supports the view of materialism . The application of
Pattakamma Sutta increases, the view of materialism will decline and did not
reappear , and not much crime occurs to acquire wealth . In contrary, the
view of materialism and a growing number of crimes will increase if there is
no attempt to increase the role of Pattakamma Sutta .
It can be concluded that the attempts to erode the view of materialism
requires the role of Patakamma Sutta by applying a variety of ways
according to the B uddha D harma . If efforts to improve the mental revolution
on Patakamma Sutta r ole can actually be implemented to the maximum , it will
be very supportive to erode the view of materialism and will create a
disciplined Buddhists precepts precepts , especially for the world of Buddhist
education .
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1T
1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
Keywords: erode, materialism, Pattakamma Sutta
11T
Pendahuluan
Di era globalisasi sekarang ini, telah banyak mempengaruhi segala sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Era ini membawa perubahan
modernisai, liberalisasi dan kapitalisasi. Dimana perubahan tersebut, memberikan
pengaruh positif dan negatif. Hal ini telah diantisipasi oleh pihak pemerintah
diantaranya dengan mewajibkan seluruh warga negara Indonesia untuk menganut
agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Diharapkan seseorang yang
menganut agama sebagai pedoman hidupnya, akan mengurangi perilaku yang
47
tidak sesuai dengan norma agama. Sebagai pelaku pendidikan Buddhis saat ini
penting sekali untuk mencanangkan revolusi mental sejak dini yang diharapkan
memahami dhamma yang terdapat
dalam Pattakamma Sutta sehingga tidak
muncul pandangan materialisme.
Tidak sedikit dijumpai orang yang telah dapat memenuhi kebutuhannya dan
hidup dengan mewah, tetapi masih dapat melakukan hal-hal yang merugikan
orang lain, untuk terus menambah materi yang dimiliki. Hal tersebut dapat terjadi
karena beberapa faktor diantaranya seperti para kaum carvaka memperbanyak
harta kekayaan tanpa memiliki pengertian yang benar dan melakukan pemuasan
jasmani dimasa kehidupannya. Ia melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
sila, diantaranya mereka pergi ke tempat hiburan dan dalam kesehariannya hanya
digunakan untuk bersenang-senang. Di kehidupan sekarang pun tidak sedikit
umat Buddha yang melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh kaum
carvaka yaitu memuaskan keinginannya. Bahkan untuk memenuhi keinginan
yang tidak ada habisnya, mereka melakukan berbagai cara untuk memperbanyak
kekayaan tanpa mempedulikan pihak lain. Dengan memiliki pandangan demikian
maka menimbulkan munculnya pandangan materialisme dalam diri seseorang
yang mengakibatkan banyak dilakukannya tindakan yang merugikan dirinya dan
orang lain. Namun, hal tersebut kurang disadarinya karena hanya memikirkan cara
untuk memuaskan diri. Pandangan materialisme juga dimiliki oleh Brahma Baka
bahwa keadaan ini permanen, keadaaan ini
tetap, keadaan ini abadi, tidak
dilahirkan, tidak bisa menjadi tua, tidak mati, sehingga yang terpikirkan untuk
menikmati kehidupan yang ada. Dalam pikirannya tidak pernah terpuaskan pada
segala sesuatu yang dimilikinya termasuk pada harta kekayaan, sehingga akan
terus mengejar materi.
Dengan adanya rasa keakuan dalam diri seseorang juga menyebabkan
munculnya pandangan materialisme yang memberikan dampak negatif dan perlu
untuk ditindaklanjuti sejak masih mengenyam pendidikan melalui revolusi mental
dengan menerapkan Pattakamma Sutta.
48
Pembahasan
Hakikat Pandangan Materialisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke tiga, Pandangan dijelaskan
sebagai gagasan; pendapat (821). Sedangkan, materialisme adalah pandangan
hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia
didalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu
yang mengatasi alam indra (723). Dengan pandangan akan materi tersebut, maka
menyebabkan seseorang akan melakukan segala sesuatu untuk memenuhi
keinginannya yang berhubungan dengan materi. Hal inilah yang menjadi dasar
seseorang memiliki pandangan materialisme yang beranggapan bahwa materi
yang diatas segalanya.
Dijelaskan pula oleh Hsing Yun (2004: 50) dalam karyanya yang berjudul
“Menjadi Baik” bahwa pengertian pandangan materialisme sebagaimana terdapat
dalam Shastra Mahaprajnaparamitta dijelaskan bahwa : “pandangan materialisme
merupakan suatu pandangan yang mengarah pada keinginan memicu rasa
ketidakpuasan dari awal hingga akhir ketika memiliki suatu benda atau materi”.
Merupakan hal yang wajar ketika seseorang menginginkan untuk memiliki
sesuatu ia akan merasa tidak puas karena keinginannya belum terpenuhi. Namun,
ketika seseorang telah mencapai keinginan tersebut tetap saja ia merasa tidak puas
karena ia akan merasa takut kehilangan atas sesuatu yang dimilikinya dan ingin
terus menambah tanpa ada rasa cukup. Sehingga dapat dikatakan seorang yang
memiliki pandangan materialisme ini tidak ada sedikitpun rasa puas dengan apa
yang telah dimiliki dan akan terus memenuhi keinginannya, tanpa diiringi
pandangan benar. Sifat seperti ini yang memicu seeorang melakukan kejahatan
untuk memenuhi keinginannya.
Dijelaskan juga dalam Avadana (2004: 51) bahwa seorang yang memiliki
pandangan materialisme seperti berikut: “Bahkan jika tujuh harta karun
dicurahkan dari langit, mereka tetap tidak akan dapat memuaskan nafsu keinginan
membawa sedikit kesenangan dan mendatangkan banyak masalah. Hanya orang
bijak yang dapat memahami kebenaran ini ”.
49
Dari kutipan diatas dapat dianalisis bahwa seseorang yang memiliki
pandangan materialisme meskipun telah memiliki limpahan materi tetap tidak
akan merasa puas. Bahkan dapat diumpamakan jika tujuh harta karun dicurahkan
dari langit sekalipun tidak akan dapat memuaskan nafsu keinginannya. Pandangan
semacam ini akan mendatangkan banyak masalah dan ia sendiri tidak
menyadarinya bahwa nafsu keinginan akan membawa sedikit kesenangan dan
bersifat sementara saja. Karena dengan tidak adanya rasa puas itu akan membuat
batin seseorang tidak tenang selalu diliputi keinginan yang tidak ada habisnya.
Manusia yang memiliki pandangan ini selalu mencari keuntungan untuk dirinya
sendiri pada hal-hal yang bersifat keduniawian.
Apabila seseorang menginginkan sesuatu hanya untuk pemenuhan
kebutuhan tidak akan membuat seseorang menjadi terikat. Namun, apabila
seseorang menginginkan sesuatu lebih dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan
dan bahkan dirinya menikmati, inilah yang menimbulkan keterikatan dan
kemelekatan pada sesuatu yang dinikmati. Jadi, pandangan materialisme
merupakan keinginan yang dilandasi oleh keinginan yang tak terhingga. Meskipun
keinginannya telah terpenuhi namun ingin terus mengejar. Dalam pencapaian
keinginannya tidak ada sedikitpun perasaan puas sehingga selalu menginginkan
hal yang sama meskipun telah dimiliki.
Suhubungan dengan pandangan materialisme dan akibatnya terdapat
penjelasan juga dalam Dhammapada XXI, 291 seperti berikut ini :
paradukkhūpadhānena
Attano sukhamiccati
Verasamsaggasamsaţţho
Verā so na parimuccati
Artinya:
Barangsiapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan
menimbulkan penderitaan pada orang lain, maka ia tidak akan
terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam kebencian” (Anonim,
2005: 126-127)
50
Dalam syair Dhammapada tersebut tersirat watak seseorang yang memiliki
pandangan
materialisme.
Jelas
sekali
bahwa seseorang tersebut
hanya
mementingkan dirinya sendiri dalam hal apapun termasuk dalam hal materi akan
melakukan cara apapun sekalipun menimbulkan penderitaan pada orang lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat sifat demikian akan menimbulkan kebencian
yang tiada akhirnya dan menciptakan kondisi yang tidak nyaman dalam
pergaulan. Keadaan demikian yang memicu banyak munculnya tindak kejahatan
dimana-mana. Setiap individu hendaknya memiliki rasa tanggung jawab masingmasing agar kondisi tersebut tidak terjadi karena tidak ada seorang pun yang
benar-benar mampu menaklukkan orang lain tetapi dengan upaya diri sendiri yang
dapat merubah segala sesuatu. Dengan demikian inilah perlunya dunia pendidikan
Buddhis untuk melakukan penanaman Pattakamma Sutta sebagai upaya revolusi
mental agar tidak muncul pandangan materialisme sejak usia dini, sehingga akan
mencetak umat Buddha yang berwelas asih dan tidak lobha.
Menurut Widya. K (1989: 23) dijelaskan bahwa “seseorang yang memiliki
pandangan materialisme termasuk menerapkan salah satu dari jalan ekstrim yaitu
mencari kesenangan melalui materi yang dimiliki dan tiada puasnya”. Mencari
kesenangan melalui materi yang dimiliki dan tidak adanya kepuasan batin akan
sangat membelenggu perasaan seseorang. Ia yang tidak memiliki rasa puas berarti
batinnya diliputi penderitaan. Dengan demikian, bagi umat Buddha sudah jelas
bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik dan tidak membawa
kebahagiaan. Bagi siapapun yang menuruti keinginannya untuk memuaskan diri
dalam kenikmatan indriya dan nafsu duniawi akan terlibat dalam suatu lingkaran
yang tidak ada ujungnya.
Memiliki rasa berkecukupan dalam kehidupan ini memiliki kadar yang
berbeda-beda antara individu. Apabila dilihat sepertinya tak seorang pun dapat
mencapai kebahagiaan sempurna dalam materi. Apabila seseorang tidak
mengendalikan hati dan pikiran dengan baik maka yang akan muncul adalah rasa
tamak. Kaitannya dengan pandangan materialisme Dhammananda (2004: 265)
memberikan penjelasan bahwa pandangan materialisme “mengejar kebahagiaan
dalam pemuasan nafsu perolehan materi”. Padahal apabila dikaji lebih jauh bahwa
51
dengan materi manusia tidak akan pernah menemukan pemuasan, hal itu hanya
seperti mimpi indah saja. Secara logika tidak mungkin dapat memperoleh segala
sesuatu
yang
dinginkan,
karena
ketidakpuasan
merupakan
sifat
setiap
kemelekatan. Dari berbagai pendapat mengenai pandangan materialisme diatas
dapat disimpulkan bahwa pandangan materialisme adalah pandangan hidup
ekstrim yang mengarah pada keinginan memicu rasa ketidakpuasan dari awal
hingga akhir ketika memiliki suatu benda atau materi. Meskipun telah memiliki
berlimpahan materi tetap tidak akan merasa puas dan hanya mementingkan
dirinya sendiri bahkan sampai menimbulkan penderitaan bagi orang lain pun tidak
dipedulikan karena batinnya diliputi kemelekatan.
Banyak orang yang mengidentikkan bahwa kebahagiaan duniawi itu jika
memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Padahal apabila dikaji tidak sedikit
orang yang berlimpah harta tetapi tidak merasa bahagia, gelisah dan menderita
karena mereka gagal memahami bahwa uang bisa saja membeli kesenangan
duniawi tetapi tidak bisa membeli kebahagiaan batin. Kebahagiaan tidak hanya
dapat dinilai dengan harta kekayaan yang dimiliki, tetapi dengan pemahaman
yang benar tentang kehidupan inilah yang dapat membawa ketenangan dan
kebahagiaan dalam hidup tanpa diliputi keinginan yang tidak ada habisnya.
Ciri-Ciri Materialisme
a.
Diskriminatif adalah sikap seseorang yang membeda-bedakan atau meninggi
rendahkan orang lain berdasarkan keadaan ekonomi, suku, dan biologis.
b.
Pelit atau kikir adalah sikap seseorang yang tidak mau rugi atau sulit untuk
mengeluarkan atau memberi sesuatu kepada sesamanya yang membutuhkan
tanpa alasan yang jelas.
c.
Mudah merendahkan atau meremehkan segala yang bersifat keagamaan atau
moralitas dalam ucapan dan tindakan nyata.
d.
Mengukur relasi atau pergaulan hanya dari sisi untung dan rugi, tanpa mau
berkorban bagi orang lain.
Menjadi hal yang wajar jika setiap manusia memiliki keinginan untuk
menjadi kaya tetapi kekayaannya diperoleh dengan cara yang benar. Karena
52
dengan kekayaan yang dimiliki akan dapat membawa kesejahteraan hidupnya dan
juga dapat berbuat baik dengan menolong sesama. Sehingga dengan kekayaan
yang diperoleh dengan cara yang benar ini, batinnya akan merasa tenang tidak
resah memikirkan akibat yang telah dilakukan dari usahanya dalam memperoleh
harta. Manusia juga memiliki suatu keinginan agar dikenal dalam masyarakat
dalam hal kedudukannya, yang dihormati oleh masyarakat lainnya. Seseorang
akan mendapat nama terpandang apabila memiliki penghidupan dan jalan hidup
yang baik. Termasuk dalam hal memperoleh kekayaan dengan cara-cara yang
benar akan membawa kemasyuran atau terpandang dalam masyarakat, sehingga
karakter yang merupakan ciri dari materialisme dapat dihilangkan.
Pattakamma Sutta
Pattakamma Sutta merupakan bagian dari Samyutta Nikaya. Sutta ini
ditujukan untuk umat awam dalam memperoleh kekayaan dengan cara yang
benar. Sutta ini dilatarbelakangi ketika Buddha didekati oleh seorang umat awam
yang bernama Dighajanu yang meminta nasehat. Dighajanu berkata bahwa
sebagai orang biasa yang beristri dan beranak, ia dan keluarganya menikmati
kesenangan duniawi seperti pakaian bagus, wangi‐wangian, dan perhiasan emas
dan perak yang mahal. Ia meminta Buddha untuk mengajarinya cara bagaimana ia
dapat menjamin keberlangsungan kesejahteraan dan kebahagiaannya dalam
kehidupan saat ini dan dalam kehidupannya yang akan datang.
Buddha kemudian melanjutkan dengan memberikan kotbah ini kepada
Dighajanu dan dalam menjelaskannya menggunakan perumpamaan dari tangki air
yang besar dalam mengumpulkan air hujan. Beliau menunjukkan bagaimana harta
kekayaan, duniawi dan spiritual, dapat dikumpulkan secara bersamaan oleh
siapapun dengan kualitas‐kualitas yang tepat.
Dalam Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya, disebutkan bahwa ada empat
hal agung di dunia ini yang diharapkan oleh setiap orang. Empat hal tersebut
adalah harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma, harapan agar
menjadi orang terhormat di masyarakat, harapan agar menjalani kehidupan
dengan damai dan sehat, serta harapan agar dapat terlahir kembali di alam-alam
53
bahagia. Di sutta ini diterangkan pula agar dalam usaha mencapai keberhasilan,
sebaiknya
seseorang
berusaha
dengan
semangat
yang
tinggi
(utthanaviriyadhigatehi), dengan daya-upaya sendiri (sedavakkhitehi), dan dengan
cara-cara benar yang sesuai dengan Dhamma (dhammikehidhammaladdhehi).
Ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para perumahtangga dalam
menggunakan kekayaannya yang telah diperoleh secara benar sebagaimana
dijelaskan Sang Buddha dalam Pattakamma Sutta seperti yaitu : a) Ia sebaiknya
menggunakan kekayaan untuk kepentingan sendiri dan keluarga; b) Ia mempunyai
kewajiban menjaga kekayaannya; c) Ia mempunyai kewajiban lain seperti
membayar pajak; d) Ia selayaknya menyokong kebutuhan para Samana dan
Brahmana (Karunaviro, 2005: 22).
Seseorang yang telah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar secara
luas ia sebaiknya menggunakannya untuk dinikmati sendiri sebagai hasil jerih
payahnya, merawat orang tua, merawat putra putrinya, pembantu, para pekerja
dan menjamu teman serta pendatang secara benar. Ia juga wajib menjaga hartanya
dari bahaya seperti kebakaran, banjir, pencuri dan pewaris yang tidak diinginkan
serta penjahat. Kewajiban lainnya dengan harta yang dimiliki adalah membayar
pajak kepada pemerintah dan menghormati leluhur. Dan juga tidak meninggalkan
berbuat baik kapada para Samana dan Brahmana baik yang telah mencapai
kesucian maupun yang belum mencapai tingkat kesucian.
Diharapkan dengan keempat langkah diatas akan menemukan jalan
penyelesaian dalam meningkatkan kesejahteraan sosial sehingga memperoleh
kemakmuran dan kebahagiaan yang merupakan harapan setiap orang. Setelah
memperoleh kebahagiaan dari memiliki materi, hendaknya menyadari bahwa
kenyataan sehari-hari yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yang
berhubungan dengan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena hubungan antara
segi materi dan segi moral spiritual sangat ditekankan dan erat sekali dalam
evolusi masyarakat. Sehingga setelah sukses secara materi hendaknya menjadi
sarana untuk mengembangkan kesuksesan mental spiritual. Buddha kemudian
melanjutkan dengan memberikan kotbah ini kepada Dighajanu dan dalam
54
melakukannya, menggunakan perumpamaan dari tangki air yang besar dalam
mengumpulkan air hujan.
Beliau menunjukkan bagaimana harta kekayaan, duniawi dan spiritual,
dapat dikumpulkan secara bersamaan oleh siapapun dengan kualitas‐kualitas yang
tepat, yaitu: “Empat kualitas yang menumbuhkan kekayaan duniawi dan
kemajuan: usaha terus menerus, kewaspadaan yang sepenuhnya, persahabatan
yang baik, dan penghidupan yang seimbang” (Dhammasiri, 2005: 97).
Dengan cara apapun seseorang melibatkan diri dalam memperoleh
penghidupan, ia harus bekerja keras dan tidak malas. Ia harus memahami apa
yang perlu untuk dilakukan, belajar untuk melakukannya dengan baik,
menyelesaikannya dengan baik, dan juga mendelegasikan pekerjaan pada orang
lain apabila diperlukan.
Harta kekayaan apapun yang telah dikumpulkan dengan sah dan benar harus
dijaga dengan sebaikbaiknya. Aset harus dilindungi dari penipuan atau
penyalah‐gunaan dan diurus dengan baik untuk menghindari pajak yang tidak
penting atau penyitaan yang tidak tepat oleh Negara. Harta milik harus dilindungi
dengan baik dari pencurian atau kehilangan. Harta milik tidak seharusnya
diijinkan untuk dihambur‐hamburkan oleh anggota keluarga yang tidak
bertanggung‐jawab.
Seseorang harus bergaul dengan teman yang tepat. Tidak penting yang
muda atau tua sepanjang mereka bermoral baik, dermawan dan memiliki
kebijaksanaan dan bersifat spiritual. Dengan cara seperti ini, ia akan dipengaruhi
secara positif, dan hidup di jalan yang benar. Seseorang harus waspada dengan
pendapatan dan pengeluarannya dan hidup dalam batas kemampuan dirinya.
Seseorang hendaknya tidak terlalu boros atau kikir, dan meyakinkan bahwa
pendapatannya lebih dari pengeluarannya dan bukan sebaliknya. Siapapun yang
hidup melampaui kemampuan dirinya akan memiliki banyak masalah dan segera
menuju keruntuhan. Yang paling ekstrimnya, si kikir yang menimbun harta
kekayaannya akan memiliki hidup yang tidak bahagia dan sampai pada akhir yang
menyedihkan.
55
Penutup
Faktor yang dapat mengikis pandangan materialisme terdiri dari banyak hal.
Tetapi setelah melalui pengamatan ternyata upaya yang efektif untuk mengikis
pandangan materialisme adalah dengan salah satu upaya revolusi mental melalui
penerapan Pattakamma Sutta. Karena Pattakamma Sutta dan pandangan
materialisme memiliki hubungan yang sangat erat sehingga saling berkaitan satu
dengan yang lain. Di Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya, disebutkan bahwa ada
empat hal agung di dunia ini yang diharapkan oleh setiap orang. Empat hal
tersebut adalah harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma,
harapan agar menjadi orang terhormat di masyarakat, harapan agar menjalani
kehidupan dengan damai dan sehat, serta harapan agar dapat terlahir kembali di
alam-alam bahagia. Di sutta ini diterangkan pula agar dalam usaha mencapai
keberhasilan, sebaiknya seseorang berusaha dengan semangat yang tinggi
(utthanaviriyadhigatehi), dengan daya-upaya sendiri (sedavakkhitehi), dan dengan
cara-cara benar yang sesuai dengan Dhamma (dhammikehidhammaladdhehi).
Akan lebih baik materi yang kita dapatkan, dikelola dengan bijaksana dengan
memberikan kelebihan harta yang kita miliki untuk menolong orang lain yang
masih kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan hasil analisa penulisan artikel ini, maka penulis memberikan
saran kepada seluruh umat Buddha khususnya lembaga pendidikan Buddhis dan
seluruh umat Buddha pada umumnya untuk dapat menyelenggarakan kegiatan
untuk memperdalam dhamma.. Untuk dapat mengikis pandangan materialisme
umat Buddha seperti yang diharapkan penulis dapat dilakukan dengan berbagai
cara yaitu: (a) melaksanakan kegiatan Pekan Pendalaman Dhamma, (b)
melaksanakan seminar materi Dhamma dalam rangka revolusi mental, (c)
mengadakan pelatihan meditasi
Daftar Pustaka
Anonim. 2006. 30 Tahun Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia. Jakarta:
Wisma Sangha Theravada Indonesia.
___________. 2007. Lima Sifat Seorang. Jakarta: Penerbit Mizan.
56
Dhammasiri, S. 2005. Relevansi Agama Buddha Dalam Kehidupan Sosial.
Jakarta: Graha Metta Sejahtera.
____________. 2005. Keyakinan Umat Buddha. Bandung: Karaniya.
Dhammananda. 2004. Be Happy. Bandung: Karaniya.
Yun Hsing Master. 2004. Menjadi Baik. Bandung: Karaniya.
Jotidhammo, Limiadi, R.A. 2000. Panduan Tipitaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Karunaviro. 2005. Aspek Ekonomi dan Pengembangan Mental Spiritual. Jakarta:
Dhammacakka.
Mukti, W. K. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan.
Piyadasi, M. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta Barat: Yayasan Pendidikan
Buddhis Tri Ratna.
_______. 2005. Tipitaka, Dhammapada. (Terjemahan). Jakarta: Dewi Kalyana.
Tim Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitamedia Press.
Wardhana Krishna. 2005. Jalan Spiritual. Yogyakarta: Penerbit Delphi.
Wijanarko, J. 2006. Anak Cerdas Ceria Berakhlak. Tangerang: The Happy Holy
Kids.
57
UNITAS DALAM DIVERSITAS
(REVOLUSI MENTAL MELALUI PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA
MENUJU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA)
Kemanya Karbono
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
1 2T
Abstract
This article aims to describe on how Buddhist education contribute
positively in maintaining pluralism and multiculturalism towards unity in
diversity and try to offer a religious conflict resolution in a Buddhist perspective.
The initial step in mental revolution through religious education is to
change the paradigm of religious education. Buddhist education model that can
be adopted in Indonesia is a model of religious education at the wall and beyond
the wall. This model is able to produce private tolerant, inclusive, affirming the
spirit of pluralism and multiculturalism.
Revolution on Buddhist education teacher's personality is also important in
terms of creating intra and inter religious harmony. A Buddhist religious
education teachers should have Dhammakatika (five nature a Buddhist teacher)
as set out in Udayi Sutta.
The Buddha offers a conflict resolution that are consisted of two phases,
namely preventive and curative. In the preventive stage Buddhists must develop
six things that create harmony and unity like water and milk as described in
Saraniyadhamma Sutta the Buddha and Kosambiya Sutta. At this stage of the
Buddha offers seven curative methods of conflict resolution (Adhikaranasamatha).
Keywords: revolution, buddhism education
Pendahuluan
Bangsa Indonesia memiliki nuansa kemajemukan, salah satunya terwujud
dalam berbagai agama yang dianut oleh masyarakatnya. Keragaman tersebut
adalah kekayaan tak terhingga jika dikelola dengan baik dapat menjadi sesuatu
yang berharga, bermanfaat, dan menguntungkan bangsa. Kemajemukan agama
seyogyanya diterima oleh semua kalangan masyarakat dan menjadikan hal tersbut
sebagai pilar dan alat perekat umat beragama dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indoensia.
Pada kondisi masyarakat yang memeluk agama homogen, agama berperan
sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan. Namun ia
59
dapat menjadi kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah belah, bahkan
menghancurkn jika tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota
masyarakat. Kemajemukan pada tingkat agama ditambah dengan keragaman pada
wilayah tafsir menambah banyaknya perbedaan. Setiap pemeluk agama memiliki
kapasitas dan kemampuan berpikir yang berbeda dalam menginterpretasikan
ajaran sehingga menimbulkan beragamanya pemahaman yang pada akhirnya
melahirkan sekte, mazhab, atau aliran baru. Keragaman agama tersebut dapat
menjadi pemicu konflik, baik horizontal (antar pemeluk agama) maupun vertikal
(antar pemeluk agama dengan pemerintah) yang dapat memicu disintegrasi
bangsa.
Banyak perselisihan antar umat manusia yang bersumber dari keagamaan,
perpecahan yang membawa lebel agama biasanyaa lebih tajam, hal tersebut terjadi
karena agama atau sekte tertentu dipercayai dan dipegang secara fanatik. Bangsa
Indonesia memiliki sejarah panjang berkaitan dengan konflik bernuansa agama,
sejak era reformasi tercatat banyak konflik bernuansa agama, seperti penyeranagn
rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok tahun 2002, konflik Poso pada Desember
2003, hingga yang terbaru adalah kasus pembakaran gereja di Singkil, Aceh dan
pembakaran tempat ibadah di Tolikara, Papua.
Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, konflik yang bersumber dari
permasalahan agama baik intra maupun inter bukan hanya terjadi sekarang,
bahkan pada jaman kehidupan Sang Buddha pun hal tersebut banyak terjadi
konflik meskipun hanya pada tataran kognitif evaluatif. Kemunculan Buddha
Gautama sebagai guru spiritual yang mendapat sambutan baik dari masyarakat
dianggap sebagai sebuah ancaman bagi eksistensi guru spiritual yang sudah
mapan seperti misalnya Niganta Nataputta, sehingga banyak usaha yang
dilakukan untuk menjatuhkan Sang Buddha. Contoh nyata adalah dalam Upali
sutta, dimana Upali dikirim oleh Niganta Nataputta untuk menjatuhkan Sang
Buddha walaupun akhirnya justru ia ingin menjadi murid Buddha.
Konflik bernuansa agama selalu mengusik keharmonisan dan menjadi
momok bagi keutuhan bangsa harus segera mendapat penangan segera.
Perubahan-perubahan baik secra revolusi maupun secara gradasi harus segera
60
dilakukan. Perubahan menuju harmonisasi adalah dengan menciptakan pribadi
yang mengedepankan sisi kemanusiaan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Pendidikan merupakan sarana bagi orang agar lebih manusiawi. Pada zaman
globalisasi makna dari pendiidkan tidak boleh dipersemoit sebagai sarana praktis
yang mempersiapkan manusia yang siap kerja. Penddikn harus dimaknai sebagai
proses membentuk manuia yang manussa, mempersiapkan orang-orang yang
tinggal di dan dengan dunia, dan membentu peserta didik menjadi agen
kemanusiaan. Pendidikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu
untuk memenuhi kepentingan kelompoknya.
Konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia menunjukan lemahnya
pendidikan dalam membangun fondasi mental masyarakat, terutama adalah
pendidikan agama. Seharusya pendidikan agama menjadi garda paling depan
dalam membangun karakter masyarakat indoensia yang inklusif, toleran, humanis,
yang meneguhkan spirit pluralisme dan multikulturalisme. Guru agama (baik
formal, nonformal, maupun informal) memiliki peranan yang sangat besar dalam
menciptkan pribadi yang toleran yang memandang pluralisme sebagai suatu fakta
sejarah yang tidak dapat dipungkiri dan diingkari oleh siapapun. Pendidikan
agama seharusnya mampu melahirkan peserta didik yang inklusif yang
menganggap mereka yang berbeda sebagai mitra yang harus dihormati dan
dihargai bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan.
Pendidikan mampu menghasilkan dua jenis inividu yang berbeda, yakni
individu yang mempromosikan dan menghormati pluralitas, keberagaman, dan
multikulturalisme atau individu yang tidak toleran terhadap pluralitas,
keberagaman, dan multikulturalisme. Dalam kondisi tersebut, pendidikan agama
Buddha memiliki kontribusi mempertahankan atau mengancam pluralitas,
kefragaman agama, dan kebudayaan Indonesia. Realitas yag terjadi masih ada
guru agama yang melakuakn proses pendidikan agama secara doktriner sehingga
melahirkan memunculkan klaim kemutlakan, fanatik, dan ekslusif, sehingga
agama menjadi anti realitas. Hal penting yang harus segera dipecahkan adalah
bagaiaman membangun pendidikan agama Buddha yang mungkin memberika
kontribusi positif untuk memperkuat pluralism dan multikulturalisme di
61
Indoensia? Bagaimana karakter guru pendidikan agama Buddha ideal yang
mampu menghasilkan peserta didik yang toleran, inklusif, dan mengedepankan
harmonisasi?
Pembahasan
Penyebab Konflik Keagamaan
Salah satu peranan agama yang signifikan adalah membentuk kesatuan atau
integrasi sosial. Dengan menganut suatu agama, melakukan ritual dan
memeprcayai hal-hal sakral yang sama akan menyatukan umat dikalangan
penganut agama tersebut, namun fungsi agama sebagai pemersatu biasanya efektif
apabila agama tersebut dianut oleh masyarakat yang tertutup (eksklusif). Dalam
masyarakat yang multi agama dan multiras peran agama sebagai pemersatu
diragukan, justru ada kecenderungan sebagai sumber konflik dan menciptakan
kelas sosial dalam bentuk strata.
Banyak perselisihan antar umat manusia yang bersumber dari keagamaan,
perpecahan yang membawa lebel agama biasanyaa lebih tajam, hal tersebut terjadi
karena agama atau sekte tertentu dipercayai dan dipegang secara fanatik.
Beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama diantaranya adalah:
perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras umat beragama,
perbedaan tingkat kebudyan, dan masalah mayoritas dan minoritas pemeluk
agama.
Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Konflik merupakan hasil dari proses disosiatif yaitu proses yang sifatnya
menceraikan atau memecah, perbedaan doktrin adalah salah satu factor yang
menimbulkan konflik, apalagi ditambah sikap fanatik dari penganut suatu aka
memambah tajam. Disadari atau tidak seiap pihak mempunyai gambaran tentang
ajaran agamanya, membandingkan dan memberikan penilaian terhadap agama
sendiri dengan agama lain. Penilaian tersebut biasanya bersifat subyektif,
penilaian tertinggi selalu diberikan kepada agama sendiri dan sering kali
melahirkan kesombongan religius. Penilaian terhadap agama lain lokasinya
berada pada alam pikiran, namun terkadang terungkap dalam kata-kata dan
62
tulisan. Ketika penilaian tersebut terlontar keluar maka agama lain yang dinilai
akan memberikan reaksi atau tanggapan atas penilaian sebelumnya sehingga
sering kali memicu konflik yang disebut apologetika.
Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Indonesia adalah Negara yang kaya dengan perbedaan, diantaranya adalah
perbedaan suku, budaya, adat dan agama. Perbedaan tersebut tidaklah menjadi
suatu penghalang bagi teciptanya kerukunan hidup, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah dengan adanya perbedaan suku, dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk perpecahan antar uamat
manusia.
Banyak kesombongan rasial yang menjadi pemicu konflik, misalnya adalah
anggapan bahwa kulit putih lebih baik disbanding kulit lainnya, kulit putih
ditakdirkan untuk membawa obor kemajuan bagi dunia. Kesombongan rasial
mencapai puncaknya pada bangsa Jerman zaman rezim Hitler yang mempunyai
prnsip kulit putih adalah amnuisa super yang mendapat tugas untuk
menghancuran ras lain yang lebih rendah. Potensi terjadinya konflik berdasarkan
rasial sudah ada sejak dulu ditambah dengan adanya perbedaan agama maka
konflik tersebut semakin meluas.
Masalah Mayoritas dan Minorits Golongan Agama.
Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab, namun dalam
masyarakat agama pluralistis penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan
minoritas golongan agama. Secara umum sudah diketahui bahwa agama-agama
besar di dunia tidak mempunyai penganut yang sama besarnya disetiap negara.
Negara-negara Eropa barat dan Amerika mayoritas adalah penganut agama
Kristen. Sedangkan Indonesia, Malaysia, Afganisthan mayoritas adalah penganut
Islam. Dampak hubungan mayoritas dan minoritas pada tingkat internasional juga
terasa meskipun tidak sehebat pengaruhnya dalam skala nasional.
Dalam masalah konflik mayoritas dan minoritas ada bebarapa hal yang
perlu mendapat perhatian, diantaranya yaitu: agama diubah menjadi idiologi,
63
prasangka mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, mitos dari mayoritas.
Dalam mayoritas keagamaan yang mengembangkan suatu ideology yang
bercampur dengan mitos yang penuh emosi, dimana kepentingan keagamaan dan
kepentingan politik luluh dalam satu kesatuan, hal ini akan menubuhkan
keyakinan bahwa kaum mayoritas ini dianggap berkuasa yang berhak menentukan
dan menjaga jalannya masayrakat. Usaha yang bersangkutan dengan kepentingan
kaum minoritas harus meminta dan mendapat persetujuan dari mayoritas,
sedangkan mayoritas boleh bertindak semaunya tanpa perlu meminta ijin terhadap
minoritas, misalnya dalam hal pengadaan sarana dasar seperti rumah ibadah,
rumah sakit, gedung sekolah dan lain-lain. Bahkan ada pemikiran yang
merupakan cerminan dari sikap intoleransi seperti: “ Kalau anda berkuasa adalah
kewajiban anda mentolelir saya karena saya benar, tetapi jika saya berkuasa
adalah kewajiban saya untuk mengejar saudara karena anda bersalah”.
Sasaran Revolusi Mental dalam Pendidikan Agama Buddha
Mengubah Paradigma Pendidikan Agama
Bangsa Indoenesia yang multiras, multietnik, multiagama, dan multi budaya
memiliki potensi besar terjadi konflik. Perbedaan suku, ras, dan budaya ditambah
dengan perbedaan agama dimana banyak manifestasi dan ekspresi keagamaan
semakin memperbesar potensi tersebut. Pertanyaan mendasar yang harus segera
dijawab adalah bentuk/model pendidikan agama Buddha seperti apa yang ideal
dalam konteks tersebut? Untuk dapat menjawab pertnyaan tersebut maka menjadi
penting untuk mempertimbangkan model pendidikan agama yang diusulkan oleh
Jack Seymour dan Tabita Kartika Cristiani. Mereka mengusulkan tiga model
pendidikan agama, yakni: in the wall, at the wall, dan beyond the wall. Secara
terperinci tiga model agama tersebut adalah sebagai berikut:
Model In the wall. Model ini lebih menekankan pada fase pembentukan
keyakinan (iman) yang hanya mempelajari tradisi sendiri tanpa menghubungkan
dengan tradisin lain. Implikasi dari hal tersebut, siswa menjadi terisolir dalam
tradisi sendiri dan cenderung memiliki kesalah pahaman dan prasangka terhadap
tradisi agama lain. Model ini berorientasi mengajarkan agamanya sesuai agama
64
tersebut tanpa berdialog dengan agama lain, sehingga cenderung membentuk
pribadi intoleran. Model ini sejajar dengan model pendidikan agama ekslusif yang
mempertegas garis demarkasi antara pemeluk agama satu dengan lainnya,
dampaknya melahirkan claim truth (klaim kebenaran), monopoli Tuhan, dan
superioritas satu agama terhadap agama lain.
Model pendidikan agama At the wall. Paradigma pendidikan agam at the
wall
tidak
hanya
mengajarkan
agamanya
sendiri,
melainkan
sudah
mendiskusikannya dengan agama yang lain. Sudah terjadi transformasi keyakinan
dengan belajar mengakui perbedaan dan terlibat dialog antar agama. Dialog ini
dilihat sebgai pencarian arti yang lebih luas dari nilai-nilai umum. Model ini
membantu mereka melihat diri sendiri sebagai orang lain, dengan demikian
mengurangi rasa superiritas atas agama lain. Kesediaan untuk mengetahui orang
lain akan memperluas perspektif dan pengetahuan sehingga menghindari
kesalahpahaman dan prasangka serta emnumbuhkan perasaan hormat terhadap
agama lain. Model ini digambarkan dengan ungkapan “melewati dan datang
kembali” yaitu meningglakan tradisi sendiri untuk masuk dan mepelajari tradisi
lain kemudian kembali pada taradisinya. Model ini meperkaya keyakinan peserta
didik dan menghargai keberadaan agama lain dan mengakui nilai-nilai universal.
Model pendidikan agama Beyond the wall. Paradigama pendidkan agama ini
tidak sekedar berorientasi untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang yang
berbeda agama, namun lebih dari itu mengajak peserta didik untuk menciptakan
perdamaian, keadilan, harmonisasi, dan melibatkan mereka dalam kerja sama
kegiatan kemanusiaan. Berbeda keyakainan bukanlah penghalang untuk bekerja
sama dalam kepentingan kemanusiaan. Fase ini sering disebut fase keyakinan
(iman) praktis, musuh agama bukan penganut agama lain, melainkan kekerasan,
ketidak adlian dan lain-lain (Cristina, 2014).
Model
pendidikan
agama
Beyond
the
wall
membantu
siswa
menghubungkan antara teori, praktik, pengetahuan, dan perbuatan. Model ini
dirasa tepat untuk pendidikan agama Buddha di Indoensia. Agus Nuryanto
memberikan penilaian bahwa model pendidikan agama di Indoensia (terutama
Islam) didominasi oleh model in the wall. Dalam pendidikan buddhis model ini
65
bukan berarti sama sekali tidak diadopsi oleh guru pendidikan agama Buddha,
meskipun kecil model ini jiga dianut oleh sebagaian guru. Oleh karenanya
menjadi penting untuk menggeser dari model pendidikan agama in the wall
menuju at the wall, dan pada akhirnya penerapan model pendidikan agama yang
paling ideal yaitu model beyond the wall.
Pengetahuan akan tradisi agama lain merupakan modal berharga bagi
pengembangan budaya toleransi dan membantu menemukan nilai-nilai universal
dari setiap agama. Toleransi bukanlah bernegoisasi dengan filosofis agama lain,
melainkan bahwa kita memiliki keyakainan mendasar yang berbeda dengan
keyakinan orang lain dan kita mentolerir hal tersebut. Dengan mengetahui tradisi
agama lain maka seseorang akan mengetahui nilai-nilai universal yang terdapat
dalam agamanya dengan agama lain. Hal tersebut akan menumbuhkan budaya
toleran dan kemauan bekerja sama dengan pemeluk agama lain sehingga terbina
kehidupan yang harmonis. Kemauan mengetahui tradisi agama lain tidak lahir
dari model pendidikan agama in the wall karena model ini justru melahirkan
pribadi yang intoleran. Pendidikan agama Buddha baik formal, nonformal,
maupun informal perlu mengadopsi model pendidikan agama at dan beyond the
wall. Sehingga tercipta generasi buddhis yang mengedepankan toleransi sesuai
dengan ajaran Buddha yang penuh cinta kasih.
Sifat Ideal Guru Pendidikan Agama Buddha
Salah satu faktor pentingnya revolusi mental dlam pendidikan adalah karena
kesalaahan yang dilakukan guru. Mulyasa menyatakan “Keslaahan utama guru
adalah belum memberikan bekal dasar yang optimal kepada peserta didik
diantaranya yaitu sikap spiritual dan sikap sosial. Pendidik seakan lupa bahwa
makna pendidikan seperti tertuang dalam undang-undang adalah mewujudkan
pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalaian diri, kepribadin,
lecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, msyarakat,
bangsa, dan negara. Dalam rangka menciptaka masyarakat harmonis yang jauh
dari konflik maka revolusi mental harus diawali dari guru. Seorang guru
66
pendidikan agama harus memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Buddha
sebagai guru dewa dan manusia banyak memberikan kriteria guru yang ideal yang
mampu mendidik dengan baik.
Dalam Lohicca Sutta, Digha Nikaya 12 mndeskripsikan kriteria guru yang
tidk layak dicela, bahwa seoarng guru selayaknya memiliki kemmpuan
Desananana, guru harus menguasai apa yang akan ia ajarkan dan ia telah
mencapai apa yang ia ajarkan, dan dengan kemampuan mengajarnya ia membuat
muridnya mencapai apa yang telah ia capai. Sedangkan dalam Udayi Sutta,
Anguttara Nikaya, Pancaka Nipata, Sang Buddha menganjurkan agar dalam
mengajarkan dhamma seseorang harus membangun lima standar atau lima sifat
yang harus dimiliki, yakni: (1) Saya akan memberikan kotnah yang bertingkat;
Memberikan kotbah yang bertingkat dimaksudkan bahwa seorang guru
pendidikan agama Buddha harus memberikan materi dari yang sederhana menuju
taapan yang lebih dalam. Guru mengajar dengan cara yang menuju pada topiktopik yang makin mendalam dan makin tinggi, atau orang harus mengajar
Dhamma dengan cara yang sesuai dengan kecenderungan mental dari para
pendengarnya; (2) Saya akan memberikan kotbahnyang masuk akal. Memberikan
ajaran yang masuk akal dimaksudkan bahwa materi yang disampaiakn tidak
bertentangan dengan akal sehat dan logika; (3) Saya berbicara karena tergerak
simpati, dimaksudkan bahwa seorang pendidik mengajar apa yang dikuasai
terhadap siswa demi kesejhteraannya; (4) Saya akan berbicara bukan demi
keuntungan duniawi, artinya bahwa dalam mengajar seorang guru harus ikhlas
tanpa mengharapka imbalan, denagn demiakan ia akan mengajar denagn tekun
dan membimbing peserta didik hingga mampu. (5) Saya akan berbicara tanpa
menyindir diri sendiri atau orang lain. Hal ini dimaksudkan guru agama harus
mengajarar dengan tanpa memuji dirinya sendiri atau agamanya sendiri dengan
merendahkan orang atau agama lain.
Resolusi Konflik Perspektif Buddhis
1. Tahap Preventif
Dalam kehidupan tentunya konflik adalah hal yang tidak dapat terhindar.
Pada kondisi tertentu konflik membawa suatu hal yang positif, namun konflik yng
67
tidak terkendali akan membawa dampak yang destruktif. Untuk mencegah
terjadinya konflik dalam kehidupan beragama Sang Buddha menawarkan resolusi
konflik pada tahap prefentiv dan kuratif.
Pada tahap preventif, Sang Buddha menganjurkan dalam Cula Ghosinga
Sutta, Kosambiya Sutta, dan Saraniyadhamma Sutta, ada ennam hal yang harus
dikembangkan agar hidup rukun damai, bersatu bagaikan air dan susu, yakni: (1)
berbuat dengan penuh metta melalui pikiran baik di depan atau di belakang; (2)
berbuat dengan penuh metta melalui ucapan baik di depan atau di belakang; (3)
berbuat dengan penuh metta melalui perbuatan badan jasmani baik di depan atau
di belakang; (4) berdana; (5) bersama-sama mematuhi norma dan menjalankan
moralitas (sila); (6) memiliki pandangan yang benar.
2. Kuratif
Dalam Samagama Sutta Sang Buddha menawarkan prinsip dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi. Sebenarnya metode tersebut adalah untuk
menyelesaiakn konflik internal kehidupan Sangha, namun demikain prinsipprinsipnya dapat diterapkan untukm menyelesaiakn konflik antar umat Bergama.
Terdapat tujuh metode penyelesain konflik (Adhikaranasamatha) yakni:
(1)
penghapusan perkara melalui konfrontasi (samukha-vianyo). Model penyelesaian
ini dilakukan oleh dua pihak yang bertikai dengan mengikuti pedoman yang telah
mereka sepakati; (2) penyelesaian konflik oleh opini mayoritas (yebhuyyasika).
Penyelesaian konflik dilakukan oleh pihak yang bertikai dengan bantuan pihak
ketiga yang menyelesaikan konflik berdasar pedoaman yang telah tetapkan; (3)
penghapusan perkara karena ingatan (sati-vinayo). Perkara diselesaikan karena
yang melanggar tidak ingat ia telah melakukan pelanggran; (4) penghapusan
perkara karena ketidak-warasan masa lalu (amulhavinayo); penyelesaian konflik
karena pelaku tidak ingat apa yang ia perbuat di masa lalu karena kehilangan
ingatan; (5) pengakuan atas suatu pelanggaran (patinnata-karanam); penyelesaian
konflik dengan pengakaun keslahan melalui bantuan mediator; (6) pernyataan
karakter buruk atas seseorang (papiyyasika), dan (7) menutup dengan rumput
(tina-vattharaka); penyelesaian konflik melalui memafkn dengan bantuan
mediator.
68
Somaratne menyatakan bahwa dalam konteks modern, metode resolusi
konflik meliputi: negoisasi (resolusi diri), mediasi (bantuan pihak ketiga), atribase
(pengambilan keputusan pihak ketiga), konsiliasi (pihak ketiga mengusulkan
solusi yang tidak mengikat), dan diplomasi. Buddhisme mengadopsi metode
mediasi, konsiliasi, dan atribase ketika Sang Buddha menyelesaikan konflik
dalam komunitas sangha, Buddha dianggap mediator, fasilitator, dan konsiliator
yang baik.
Penutup
11T
Pluralitas dan multikulturalisme yang ada pada bangsa Indoensia memiliki
implikasi negatif dan positif. Pendidikan agama harus mampu meminimalisir
dampak negatif yaitu ketegangan, konflik, kekersan dan kekejaman atas anama
agama. Agama Buddha sebagai salah satu bagian dari hal tersebut harus memiliki
kontribusi positif dalam meneguhkan toleransi. Hal yang perlu dilakukan adalah
dengan mengubah paradigma pendidikan agama. Model pendidikan agama
Buddah yang dapat diadopsi di Indoensia adalah model pendidikan agama at the
wall dan beyond the wall. Model ini mampu menghasilakn pribadi toleran,
inklusif yang meneguhkan semanagat pluralism dn multikulturalisme. Model
pendidikan agama doktriner seperti in the wall sudah saat ditinggalkan oleh para
guru agama, karena model ini akan mengahsilkan individu yang intoleran dan
fanatik yang memicu potensi konflik dan menyebabkan disintegrasi bangsa.
11T
Revolusi kepribadian guru pendidika agama Buddha juga penting
dilakukan. Seorang guru pendidikan agama Buddha seyogyanya memiliki
Dhammakatika (5 sifat dasar seorang guru agana Buddha) seperti tertuang dalam
Udayi Sutta. Ketika konflik sudah terjadi dan tidak dapat dihindarkan maka Sang
Buddha menawarkan resolusi konflik yang terdiri dari dua tahap yaitu prefentiv
dan kuratif. Dalam tahap prefentif umat Buddha harus mengembangkan enam hal
yang menciptakan kerukunan dan persatauan bagaiakan air dengan susu seperti
yang dijelaskn Sang Buddha dalam Saraniyadhamma Sutta dan Kosambiya Sutta.
Pada tahap kuratif Sang Buddha menawarkan 7 metode penyelesaian konflik
( Adhikaranasamatha).
11T
69
Daftar Pustaka
Agus Bustanudin. 2010. Agama dan Fenomena Sosial Buku Ajar Sosiologi
Agama. Jakarta: UI Press.
Hendropuspito. 2006. Sosiologi Agama. Jakarta: Kanisius.
Kawaaon, Selviyanti. “Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Perilaku
Toleran pada Warga Sekolah”. Jurnal Tadbir, Vol. 2 No. 1, 2014, IAIN
Gorontalo.
Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Rosdakarya.
Nottingham, Elizabeth. K. 2002. Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar
Sosiologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nuryanto, Agus. 2011. “Islamic Education in Pluralistic Society”. Al-Jamiah.
Vol. 49, No. 2.
Nyanaponika & Bodhi. 2003. Numerical Discourses of The Buddha. Terjemahan
oleh Wena Cintiawati dan Lanny Anggawati. Klaten: Vihara Bodhivamsa
Wisma Dhammaguna.
Somaratne. 2012. “Modernity in the Ancient Method of Resolving Monastic
Conflict: Study of the Samagama Sutta”. SIJBS, Vol. 2, Sri Lanka
International Buddhist Academy.
Cristiani, Tabita K. dalam Selviyanti Kawaaon “ Pendidikan Agama Islam dalam
Membentuk Perilaku Toleran pada Warga Sekolah”. Jurnal Tadbir, Vol. 2
No. 1, 2014, IAIN Gorontalo), h.67.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
70
STRATEGI PERUBAHAN KARAKTER SIVITAS AKADEMIKA STABN
SRIWIJAYA TANGERANG BANTEN DALAM MENGHADAPI ERA
GLOBALISASI PERDAGANGAN BEBAS
(MASYARAKAT EKONOMI ASEAN/MEA)
Lalita Vistari Satyananda Wiryana Dharma
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
12T
Abstract
The inclusion era of free trade globalization, namely Asean Economic
Community (AEC) in Indonesia is likely two sides of a coin, which has positive
and negative effects. The positive impact AEC imposed earlier, namely ASEAN
increased competitiveness and to attract foreign investors, as well as create new
job opportunities in Indonesia and could improve national welfare of the nation.
The negative impact of the inclusion of the era of free trade in Southeast Asia,
namely unpreparedness in various fields, such as economics, education, and
human resources including the academic society STABN Sriwijaya Tangerang of
Banten.
Revolution or character changes of the entire human resources
academicians of STABN Sriwijaya needs to be done and improved in order to
graduate STABN Sriwijaya become qualified, professional, and competitive. The
character changes of the student needs to be done, which can be started from the
students themselves, as studious, punctual, disciplined in collecting duties, and
also to equip themselves with new skills needed work world today, such as
mastery of foreign languages, Leadership, Digital Literacy, Communication,
Emotional intelligency, Entrepreneurship, Global Citizenship, Problem Solving,
and Team-Working. The character changes of the entire academic community are
mentally prepared to work hard, be responsible, work together in teams, tough
(resilient), tolerant, and skilled (expert) in their respective fields is authorized for
the entire academic community to be able to work in global, advanced, modern
and competitive world. In contrary to the academicians who do not want to make
changes will be left behind.
Keywords: revolution, character changes, AEC, competitive
Pendahuluan
Revolusi mental merupakan program unggulan yang diwacanakan oleh
Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Jusuf Kalla
untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan bermartabat. Untuk
mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan bermartabat dibutuhkan
71
perubahan mental (revolusi mental) dalam diri warga negara Indonesia. Hal ini
merupakan suatu tantangan besar bagi warga negara Indonesia yang majemuk,
yang pendapatan nasional negara masih jauh bila dibandingkan dengan negaranegara lain seperti Singapura dan Malaysia. Revolusi mental merupakan suatu
perubahan sikap positif yang merupakan suatu aksi (action) dan bukan merupakan
jargon (slogan) saja. Perubahan ini harus diikuti oleh seluruh masyarakat
Indonesia, tak terkecuali sivitas akademika STABN Sriwijaya. Kampus STABN
SriwijayaTangerang Banten mempunyai visi dan misi sebagai berikut:
Visi:
menjadi lembaga pendidikan terkemuka tahun 2020 dengan
mengedepankan kearifan lokal. Misi: mewujudkan SDM yang unggul, terkemuka
dan berkepribadian Buddhis, memperluas jaringan kerjasama dalam bidang tri
darma perguruan tinggi, memenuhi sarana dan prasarana, dan mewujudkan sistem
administrasi yang akuntabel.
Revolusi mental dalam semua segi kehidupan diharapkan terjadi di semua
bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi, pendidikan, Perguruan Tinggi, sumber
daya manusia, dll. Hal ini dapat dimulai dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni
diawali dengan adanya perubahan karakter, seperti berdisiplin, taat pada aturan,
membuang sampah pada tempatnya, taat berlalu lintas, dan rajin bekerja.
Perubahan karakter merupakan tonggak awal untuk memulai revolusi mental, dan
hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dalam dunia pendidikan
untuk mengubah generasi bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, terlebih lagi
dalam menjawab berbagai perubahan global yang terjadi begitu cepat dalam era
perdagangan bebas (free trade/MEA), tenaga kerja bebas, perkembangan
informasi, teknologi, budaya, seni, dan ilmu pengetahuan.
Indonesia ditantang untuk dapat melakukan revolusi mental di setiap aspek
kehidupan, termasuk seluruh sivitas akademika Sekolah Tinggi Agama Buddha
Negeri (STABN) Sriwijaya Tangerang Banten. Hal ini dapat diawali dengan
melakukan perubahan karakter pada hal-hal kecil, seperti membuang sampah pada
tempatnya, mematuhi peraturan lalu lintas meskipun tidak ada polisi lalu lintas
yang mengawasi, memulai dan mengakhiri perkuliahan tepat waktu, belajar
dengan tekun, bekerja keras, bertanggung jawab, disiplin, melayani mahasiswa
72
dengan baik, profesional dalam bekerja maupun belajar. Bahkan dengan adanya
era globalisasi perdagangan bebas Asean (MEA), diharapkan nilai-nilai
profesionalitas sumber daya manusia menjadi lebih baik lagi, seperti berkarakter,
rajin, tangguh, mampu beradaptasi, mampu bekerja di bawah tekanan dan dapat
menyelesaikan tugas tepat waktu.
Pendidikan karakter berasal dari dua suku kata, yakni pendidikan dan
karakter. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (2008) definisi karakter adalah
tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, ahlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain.
Muchlas Samani dan Hariyanto (2012: 45) mengungkapkan “pendidikan
karakter sebagai proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi
manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan
karsa.” Menurut Dharma Kesuma (2012:5) “pendidikan karakter adalah sebuah
proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam
kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang
itu.”
Jadi dapat disimpulkan pendidikan karakter adalah tuntunan atau proses
pendidikan yang bertujuan untuk membina siswa agar memiliki nilai-nilai dan
perilaku yang baik, terpatri di dalam jiwa, sehingga siswa dapat berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan Pendidikan Karakter
Gunawan (2012) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter memiliki
esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk kepribadian peserta didik supaya
menjadi anak, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Pendidikan
karakter di Indonesia dimulai dari nilai moral agama, sedangkan secara psikologis
dan sosial budaya pembentukan karakter dalam diri siswa meliputi olah hati, olah
pikir, olah raga dan kinestetik, atau yang mencakup seluruh potensi individu
manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
73
Pendidikan karakter menurut Muslih (2011: 80) bertujuan untuk
“meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu dan seimbang.”
Melalui
pendidikan
karakter peserta didik
tidak
hanya
memiliki
pengetahuan kognitif (IQ), afektif dan psikomotorik, namun juga memiliki
kecerdasan emosi/EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) yang
merupakan isi pendidikan karakter. Dengan memiliki kecerdasan spiritual (SQ)
dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang dapat menghadapi segala macam tantangan
dengan bijak, mampu memilah hal yang baik dan yang buruk, dapat beradaptasi
(bersikap toleran), tangguh (tahan uji), bertanggung jawab, dan kompetitif.
Intinya, pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk peserta didik yang
kompetitif, berakhlak, bermoral, bertoleran, tangguh (tahan uji), bergotong
royong, berjiwa patriotik, bersifat dinamis, beriman dan bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa (IMTAK), dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK).
Revolusi Perguruan Tinggi dalam Menghadapi MEA
Tenaga kerja terampil Indonesia
masih tertinggal jauh dibandingkan
negara-negara ASEAN lainnya, seperti kutip dalam data ASEAN Productivity
Organization (APO) menunjukkan bahwa dari 1000 tenaga kerja Indonesia hanya
ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina 8,3%, dan Singapura 34,7%.
Data ini sungguh menyedihkan, mengingat era perdagangan dan persaingan bebas
sudah terjadi di Indonesia. Beberapa pembenahan perlu dilakukan dalam dunia
pendidikan, seperti diungkapkan Wisnu Anang Jaya (2015) menyatakan bahwa
dalam menghadapi MEA, pemerintah Indonesia perlu melakukan persiapan, mulai
dari persiapan infrastuktur sampai kepada persiapan dalam menciptakan SDM
Indonesia yang terampil, mumpini dan professional, yang dalam hal ini
difokuskan pada pendidikan yang berkualitas.
Pemerintah perlu melakukan pembenahan diri dalam mempersiapkan SDM
yang terdidik, terampil dan terlatih, seperti di Singapura, setiap pekerja
74
professional mempunyai licence atau surat izin dari pemerintah (Departemen
Tenaga Kerja) dalam melakukan bidang profesionalitasnya masing-masing, tak
terkecuali guru, dosen ataupun supir bus. Hal ini dinilai perlu karena ini adalah
modal dasar seorang pekerja yang menyatakan bahwa diriya menguasai suatu
keahlian (skill) di bidangnya, selain juga sebagai nilai tambah (plus) bagi individu
itu sendiri.
Untuk menyingkapi hal ini, perguruan tinggi memegang peranan penting
dalam melakukan percepatan pembenahan baik dalam segi
kurikulum dan
kualitas (akreditasi dan penjaminan mutu Perguruan Tinggi) supaya dapat
menghasilkan lulusan yang berkarakter, memiliki motivasi tinggi, disiplin, teguh
pada tujuan, berorientasi mengerjakan tugas, menguasai keterampilan kognitif
sebagai keterampilan dasar (hard skills) dan pendidikan karakter sebagai
keterampilan tambahan (soft skills), sehingga mahasiswa mampu mengembangkan
nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotorik, maupun nilai-nilai karakter positif
lainnya, seperti rajin, bekerja keras, dapat beradaptasi di lingkungan kerja
(toleran), mampu bekerja di bawah tekanan (tahan uji) dan mampu bersaing
dengan tenaga kerja lainnya di lingkungan pasar bebas (ASEAN).
Revolusi pada perguruan tinggi mencakup tri darma perguruan tinggi, yakni
pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Pertama, dengan
pendidikan diharapkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia meningkat dan
bangsa Indonesia menjadi bermartabat. Hal ini sejalan dengan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang dituangkan dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003,
sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan dunia digital
yang merambah seluruh dunia, maka diperlukan revolusi dalam dunia pendidikan.
Oleh karena itu perguruan tinggi perlu melengkapi mahasiswanya dengan
75
keterampilan-keterampilan karakter (life skill) yang dibutuhkan dalam dunia kerja
sekarang
ini.
Pearson
(2014)
seperti
dikutip
dalam
tribunnews.com,
mengungkapkan bahwa pendidikan zaman sekarang tidak lagi didominasi 3Rs
(Reading, wRiting, and aRithmetic), tetapi juga menyangkut keterampilan soft
skills yang dibutuhkan dunia kerja sekarang, seperti kepemimpinan, Pengetahuan
Digital, komunikasi, kecerdasan emosi, mampu beradaptasi (toleran), dapat
menyelesaikan masalah, dan bekerjasama dalam tim. Ketujuh hal ini terangkum
dalam keterampilan soft skills.
Elfindri (2011:10) mendefinisikan soft skills sebagai keterampilan hidup
sangat menentukan keberhasilan seseorang, seperti kerja keras, jujur, visioner,
eksekutor, dan disiplin. Soft skills merupakan keterampilan dan kecakapan hidup
yang wajib dimiliki bagi diri sendiri, kelompok ataupun masyarakat, dan
hubungannya dengan Tuhan. Sedangkan menurut Kaipa dan Milus (2005: 3-6)
soft skills adalah kunci untuk meraih kesuksesan, termasuk di dalamnya
kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi, kreativitas, penyelesaian
masalah, kemampuan presentasi, kerendahan hati, kepercayaan diri, komitmen,
kecerdasan emosional, integritas dan kerja keras.
Keterampilan dasar hard skill (kognitif) merupakan keterampilan dasar akan
suatu keahlian yang dimiliki, seperti keterampilan lulusan Dharmacarya untuk
dapat mengajar pendidikan agama Buddha di tingkat SD, SMP maupun SMU,
sedangkan keterampilan soft skills (afektif, psikomotorik, dll) merupakan
keterampilan penunjang atau nilai-nilai karakter yang berperan penting dalam
kehidupan seseorang. Penelitian di Amerika membuktikan bahwa kesuksesan
seseorang di dunia kerja didominasi dengan keterampilan soft skills (karakter)
sebanyak 80%, sedangkan keterampilan hard skill (kognitif/pengetahuan/IQ )
hanya berperan 20%, sedangkan pendidikan di Indonesia berbanding terbalik,
seperti diungkapkan oleh Illah Sailah (2007) bahwa pendidikan di Indonesia
muatan soft skills hanya 10% sedangkan hard skills 90%.
Keterampilan baru yang disebutkan oleh beberapa ahli diatas merupakan
gabungan antara keterampilan dasar (hard-skills) dan keterampilan penunjang
(soft-skills) yang tidak dapat dielakan wajib dikuasai oleh lulusan STABN
76
Sriwijaya supaya dapat sukses di dunia kerja sesuai dengan perkembangan zaman
yang semakin maju dan kompetitif.
Kedua, bidang penelitian. Penelitian mempunyai peranan penting bagi
kemajuan perguruan tinggi, kesejahteraan sivitas akademika, serta kemajuan
bangsa
dan
negara.
Dari
penelitian,
mahasiswa
dan
dosen
mampu
mengembangkan ilmunya dalam penelitian, menyampaikan aspirasi, ide, gagasan
dan juga berpikir kritis. Penelitian merupakan suatu proses pembelajaran yang
akan membawa perubahan bagi Indonesia kearah yang lebih maju dan terdepan.
Seperti diamanatkan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono bahwa bangsa yang maju
adalah bangsa yang berorientasi budaya tulis. Hal ini dapat kita mulai sebagai
orang tua ataupun pendidik dengan memberikan hadiah buku kepada anak, karena
bangsa yang maju adalah bangsa yang berorentasi pada budaya tulis dibandingkan
budaya tutur dan lisan (newsbisnis.com).
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini mahasiswa ditantang untuk
menyuarakan aspirasinya dalam bahasa tulisan, tidak seperti zaman orde baru
yang melakukan demonstrasi di jalan ataupun berakhir dengan tindakan anarkis.
Pola pikir mahasiswa dan dosen dalam melakukan penelitian memegang peranan
yang sangat penting, karena mahasiswa mempunyai tujuan mengenai hal-hal yang
ingin dicapai melalui penelitiannya, baik berupa menyampaikan ide, pendapat,
ataupun aspirasi suara mahasiswa, yang diharapkan dapat membawa manfaat bagi
seluruh sivitas akademika dan orang lain di luar perguruan tinggi yang diteliti.
Ketiga, bidang pengabdian pada masyarakat. Pengabdian pada masyarakat adalah
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sivitas akademika, baik oleh dosen
bersama-sama dengan mahasiswa untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dalam hal ini, dosen bersama-sama dengan mahasiswa dapat
melakukan berbagai kegiatan positif dengan melakukan sosialisasi dengan
masyarakat dalam kontribusi nyata, seperti melakukan sosialisasi pentingnya
menjaga kebersihan tangan bagi anak Tk atau SD, mengadakan bimbingan belajar
gratis bagi anak jalanan, memanfaatkan berbagai aplikasi sosial media, seperti
77
membuat blog untuk menyampaikan aspirasi, membuat poster yang meyuarakan
hati dosen ataupun mahasiswa, membuat film pendek, dan sebagainya.
Hasil dan Pembahasan
Revolusi mental dalam dunia pendidikan di mulai dari lini masing-masing
pribadi. Sebagai pendidik dengan tugas mendidik mahasiswa menjadi pribadi
yang berkarakter, disiplin, tepat waktu, professional dalam mengerjakan tugasnya
sendiri, dapat beradaptasi mengikuti teknologi informasi yang ada, mampu
berbahasa asing, memiliki keterampilan (skill) tambahan lainnya, dan mampu
menyelesaikan tugas tepat waktu.
Sesuai dengan permintaan pasar di lapangan yang memerlukan lulusan atau
tenaga kerja yang terdidik dan terampil dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,
berarti mahasiswa diharapkan mampu mengetik dan menguasai microsoft word,
excel, power-point, penggunaan internet, dll, seperti juga halnya berkarakter
(jujur, disiplin, tepat waktu), mampu berceramah atau membabarkan Dharma
(sebagai lulusan Dharmaduta) dan mampu
mengajar dengan baik sesuai
perkembangan zaman (sebagai lulusan Dharmacarya).
Secara garis besar, masih perlu dilakukan pembenahan dalam melakukan
revolusi mental di STABN Sriwijaya secara menyeluruh supaya lulusan STABN
Sriwijaya siap menghadapi MEA. Sebagai contoh, pendidik atau para dosen di
STABN Sriwijaya dapat konsisten dalam menerapkan aturan bagi mahasiswanya
sesuai dengan peraturan yang tertulis pada kontrak perkuliahan, seperti mahasiswa
dan dosen wajib datang tepat waktu, mahasiswa wajib mengumpulkan tugas tepat,
dan adanya pemberian sanksi bagi mahasiswa yang tidak hadir melebihi 4 kali
kehadiran dengan tidak memperbolehkannya mengikuti UTS ataupun UAS.
Apabila sivitas akademika STABN Sriwijaya ingin berubah ke arah yang
lebih baik, terlebih lagi ingin menghasilkan lulusan yang berkualitas dan
lulusannya mampu bersaing dengan universitas dari negara-negara ASEAN, maka
dibutuhkan kerjasama dari semua pihak untuk dapat mewujudkannya. Dalam
beberapa hal perlu dilakukan pembenahan, seperti pembenahan hal-hal yang
bersifat teknis dan administratif kemahasiswaan, dan konsekuen dalam
78
melaksanakan aturan akademik. Sebagai contoh, ketidakkonsistenan aturan yang
ada dikarenakan beberapa dosen merasa kasihan pada mahasiswa yang
bersangkutan, namun hal ini sebenarnya merupakan bumerang bagi mahasiswa
dan dosen yang bersangkutan sendiri. sebagai contoh, apabila ada dua orang
mahasiswa yang presensi kehadirannya kurang dari 65% total kehadiran
dikarenakan sulit bangun pagi dan sering sakit, dan dosen memaklumi hal ini,
maka hal ini akan berdampak pada kualitas lulusan STABN Sriwijaya yang
minim disiplin, tidak tepat waktu, dan tidak mampu bersaing di dunia kerja.
Mahasiswa tidak dapat disalahkan, karena ini seperti buah simalakama yang
saling berhubungan. Citra lulusan STABN Sriwijaya dipertaruhkan, karena itulah
dibutuhkan konsistensi dan aturan yang jelas bagi mahasiswa dan dosen untuk
membentuk karakter bangsa yang baik dan berkualitas sesuai dengan permintaan
pasar, terlebih lagi dalam mendidik mahasiswa supaya berkualitas, unggul dan
berkarakter dalam menghadapi MEA.
Aspek kognitif (hard skill) bukanlah syarat utama bagi mahasiswa agar
dapat berhasil di dunia kerja namun mempunyai karakter dan keterampilan yang
dibutuhkan dalam hidup (soft skills) adalah hal yang utama, seperti
kepemimpinan,
pengambilan
keputusan,
memiliki
pengetahuan
digital,
komunikasi, kreativitas, mampu menyelesaikan masalah, kemampuan presentasi,
memiliki kerendahan hati, kepercayaan diri, komitmen, kecerdasan emosional,
integritas, bekerja keras, mampu beradaptasi (toleran), mampu bekerja di bawah
tekanan (tangguh/tahan uji), dan bekerja sama dalam tim merupakan modal utama
agar dapat sukses bersaing dengan tenaga kerja lainnya di lingkungan pasar bebas
se-Asia Tenggara (ASEAN).
Penutup
Masuknya era globalisasi perdagangan bebas MEA di Indonesia seperti dua
sisi mata uang, yang mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Hal ini
tergantung dari tiap-tiap individu untuk menyingkapi dan menggunakannya sebaik
mungkin. Bagi mahasiswa yang siap mental untuk bekerja keras, siap bekerja di
bawah tekanan, mampu berbahasa asing, dan memiliki keterampilan (skill) di
79
bidangnya masing-masing adalah modal dasar bagi setiap mahasiswa untuk dapat
berkarya di dunia kerja yang semakin maju, modern dan kompetitif, sebaliknya
bagi mahasiswa yang tidak mau melakukan perubahan akan tertinggal jauh.
Mahasiswa juga perlu membekali diri dengan keterampilan soft skills yang
dibutuhkan dunia kerja sekarang, seperti kepemimpinan, pengambilan keputusan,
memiliki pengetahuan digital,
komunikasi, kreativitas, penyelesaian masalah,
kemampuan presentasi, kerendahan hati, kepercayaan diri, komitmen, kecerdasan
emosional, integritas, bekerja keras, mampu beradaptasi (toleran), mampu bekerja
di bawah tekanan (tangguh/tahan uji), dan bekerjasama dalam tim merupakan
modal utama agar dapat sukses
bersaing
dengan tenaga kerja lainnya di
lingkungan pasar bebas se-Asia Tenggara (ASEAN).
Peran STABN Sriwijaya dalam menghadapi MEA adalah agar seluruh
sivitas akademika dapat bersama-sama melakukan perubahan karakter, baik bagi
staf atau karyawan STABN Sriwijaya dalam mewujudkan sistem adminstrasi
yang akuntabel dan memberikan pelayanan prima bagi dosen dan mahasiswa.
Bagi dosen dan mahasiswa agar dapat melaksanakan tri darma perguruan tinggi,
secara bersama-sama berperan aktif dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian
pada masyarakat agar dapat mempersiapkan SDM yang unggul, tangguh dan
berkarakter.
Daftar Pustaka
Dharma Kesuma. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di
Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Elfindri, dkk. 2011. Soft Skills untuk Pendidik. Praninta Offser.
Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta.
Hamonangan, Salomo Harvard. 2014. Peran Perguruan Tinggi Mempersiapkan
Mahasiswa Menghadapi AEC 2015. http://suaramahasiswa.com/peranperguruan-tinggi-mempersiapkan-mahasiswa-menghadapi-aec-2015/ .
Diakses tanggal 6 Januari 2016.
12TU
U1 2T
Illah Sailah. 2007. Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi, Sosialisasi
Pengembangan Soft Skills di Kopertis VII. Surabaya.
80
Jaya, Wisnu Andang. 2015. “MEA dan Pendidikan yang Berkualitas”. Kompas.
10 Mei 2015. http://www.kompasiana.com/wisnuandangjaya/mea-danpendidikan-yang-berkualitas_55530d2db67e611308130970 .
Diakses
tanggal 6 Januari 2016.
12TU
U12T
Kaipa P & Milus T. 2005. Soft Skills are Smart Skills. Diakses dari
http://www.kaipagroup.com tanggal 8 Januari 2015.
12TU
U12T
Masnur, Muslih. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Muchlas Samani dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Suroso. 2015. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia.
Tarigan, Agita. 2015. Pemerintah harus Matangkan Pendidikan hadapi MEA.
http://www.antaranews.com/berita/481322/pemerintah-harus-matangkanpendidikan-hadapi-mea . Diakses tanggal 6 Januari 2015.
12TU
U12 T
Yuniati, Mita. 2015. Dampak MEA Terhadap Dunia Pendidikan.
https://www.islampos.com/dampak-mea-terhadap-dunia-pendidikan222676/ . Diakses tanggal 6 Januari 2015.
12TU
U12T
12TU
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140826_pasar_tenaga_k
erja_aec
U12T
12TU
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuanganumum/20545-masyarakat-ekonomi-asean-mea-dan-perekonomianindonesia . Diakses tanggal 6 Januari 2016.
U12T
12TU
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomiasean-mea-2015
U1 2T
12TU
12TU
https://www.facebook.com/RakyatDemokratik/posts/844441238922499
U12T
http://www.berdikarionline.com/lmnd-mea-2015-ancam-sektor-pendidikannasional/
U12T
81
REORIENTASI PERAN DOSEN SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA
DALAM MEMBENTUK LULUSAN
YANG KOMPETEN DAN BERKARAKTER
12T
Madiyono
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
Low quality of human resources turns into the decline of education in
Indonesia. Education in Indonesia marred by the behavior is not commendable
the learners and any other components, so it is appropriate if the current
improvement efforts through Buddhist mental revolutionary movement also
suffered College students and graduated from Buddhist College partly judged less
competent and does not reflect the noble values of Buddhism.
One matter that can improve the quality of graduates to be more competent
and character is a lecturer. Therefore, there must be a paradigm shift within the
Buddhist College ongoing effort to improve the quality of heself/himself. In order
to form graduates who are competent and has characters, some things need to do
by lecturers, as follow: lecturers need to optimizing its role, forming personal
branding, eliminating a variety of mental illnesses, changing the paradigm of the
learners and learning strategy, implement the five working culture ministry of
religion, as well as to collaborate and establish good communication with various
components in a high school in realizing the vision and mission that has been set.
Keywords: lecturers, graduates who are competent and have character
Pendahuluan
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia melalui perubahan kurikulum dan penyediaan sarana prasarana serta
faktor pendukung lainnya.Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan
ternyata masih belum mampu mewujudkan tujuan yang diharapkan. Indikator
yang dapat dicermati, antara lain dari rendahnya kualitas sumber daya manusia
Indonesia yang merupakan produk dari proses pendidikan yang telah diterapkan
selama ini.
Berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan
oleh United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 2014 menyatakan
bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 108 dunia dalam hal pembangunan
sumber daya manusia (SDM). Dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, SDM
83
Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunai Darusalam, Malaysia, dan
Thailand. Peringkat Indonesia dalam pembangunan SDM sedikit di atas Filipina.
Data tersebut tentu harus menjadi perhatian seluruh stakeholder pendidikan,
karena 31 Desember 2015 telah resmi diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Hal utama yang perlu diperhatikan berkaitan dengan MEA yaitu kesiapan
SDM Indonesia dalam bersaing dengan SDM dari negara ASEAN lainnya.Ketika
MEA diberlakukan, persaingan bebas dalam bidang perdagangan (free trade) dan
persaingan tenaga kerja (free labour)di wilayah regional ASEAN tak dapat
dihindari. Jika kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan kualitasnya
maka akan kalah saing dengan SDM dari negara lain. Sangat ironis jika ketika
MEA diberlakukan ternyata tenaga kerja Indonesia tak mampu bersaing di negara
ASEAN lainnya dan bahkan hanya menjadi kuli di negeri sendiri karena posisiposisi strategis telah diisi oleh tenaga kerja dari luar Indonesia.
Masalah sumber daya manusia terkait erat dengan bidang pendidikan.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan produk pendidikan yang
selama ini diterapkan.Hal tersebut berarti ada sesuatu yang harus dibenahi dalam
sistem pendidikan.Ternyatadalam bidang pendidikan, Indonesia juga sedang
berada dalam keadaan gawat darurat. Menurut Bawesdan (2014) pendidikan
Indonesia berada pada peringkat ke 64 dari 65 negara berdasarkan lembaga
Programme For International Study Assessment (PISA). Dari tahun 2000 hingga
2012 tren kinerja pendidikan Indonesia cenderung stagnan.Indonesia juga berada
pada peringkat 103 dunia dari negara yang sistem pendidikannya diwarnai aksi
suap menyuap dan pungutan liar. Dalam hal kekerasan yang melibatkan peserta
didik juga sangat memprihatinkan. Hanya dalam dua bulan yaitu Oktober dan
November 2014 telah terjadi 230 kasus kekerasan yang melibatkan peserta
didik(Mulyasa (2014: 3). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi banyak
perubahan nilai di masyarakat. Nilai-nilai luhur yang sejak dulu menjadi
kebanggaan Indonesia seperti gotong royong, toleransi, keramahtamahan, dan
relijius
mulai
terkikis
oleh
pengaruh
negatif
dari
globalisasi
dan
modernisasi.Meskipun dalam system pendidikan Indonesia mewajibkan peserta
didik untuk belajar pendidikan agama, ternyata pada praktiknya, produk
84
pendidikan tersebut ketika sudah bekerja justru banyak yang melanggar prinsipprinsip agama. Sebagai contoh, para koruptor yang menjarah uang negara
sebagian
merupakan
para pejabat
yang mengerti
dengan
baik
ajaran
agama.Ironisnya, para pejabat yang merupakan produk pendidikan Indonesia,
yang bekerja di kementerian agama justru banyak yang terjerat kasus korupsi.Jika
tidak ada penanganan yang tepat maka Indonesia akan makin terpuruk dan sangat
mungkin mengalami keadaan yang jauh lebih parah daripada saat ini. Oleh karena
itu, sangat tepat jika saat ini pemerintah mencanangkan program revolusi mental
bagi seluruh warga bangsa, tak terkecuali bagi para pejabat dan para pendidik.
Tak jauh berbeda dengan produk pendidikan pada umumnya, para lulusan
dari sekolah tinggi agama Buddha juga masih sangat perlu ditingkatkan
kualitasnya, baik kompetensi maupun karakternya. Para mahasiswa dan lulusan
dari sekolah tinggi agama Buddha belum menunjukkan perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan lulusan dari perguruan tinggi umum. Seharusnya, lulusan
dari sekolah tinggi agama Buddha paling tidak memiliki keunggulan dalam
berperilaku baik. Seharusnya mahasiswa dan lulusan dari sekolah tinggi agama
Buddha lebih unggul dalam mempraktikkan ajaran agama, lebih beretika, lebih
tertata tindak tanduknya, dan lebih terjaga moralitasnya. Faktanya tak seideal
yang diharapkan. Dari tahun ke tahun selalu ada saja kasus asusila yang berakibat
fatal bagi mahasiswa dan berimbas ke nama baik kampus.
Masyarakat juga
merasakan bahwa ada beberapa lulusan sekolah tinggi agama Buddha yang
kurang memberikan manfaat. Sebagai contoh, pada waktu kunjungan ke Kulon
Progo Yogyakarta di tahun 2011, ada keluhan bahwa sarjana lulusan sekolah
tinggi agama Buddha jarang membantu vihara, tidak aktif di sekolah minggu,
meskipun sekarang ini sudah menjadi guru pendidikan agama Buddha di
daerahnya. Bahkan ada pula lulusan yang telah berganti agama karena menikah
dengan pasangan yang berbeda agama. Hal itu merupakan contoh bahwa nilainilai agama Buddha belum meresap ke batin sehingga pembelajaran agama
Buddha yang diperolehnya selama kuliah baru sebatas pengetahuan. Oleh karena
itu, sudah saatnya budaya kampus, kepedulian sivitas akademika terhadap
kehidupan mahasiswa di luar kampus ditingkatkan. Review dan perbaikan
85
kurikulum sekolah tinggi agama Buddha perlu terus disesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman agar kualitas lulusan semakin baik, lebih
kompeten dan berkarakter.
Banyak faktor yang turut menentukan kualitas pendidikan dan lulusan
sekolah tinggi agama Buddha. Selain kurikulum yang seharusnya disesuaikan
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan stakeholder, masih terdapat faktor
lain yang turut berpengaruh terhadap kualitas lulusan, yaitu: sarana prasarana,
pola kepemimpinan kampus, budaya di dalam dan di luar lingkungan kampus,
sinergitas antara warga kampus dalam mewujudkan visi misi, kualitas dosen dan
cara pengajarannya, serta kualitas input mahasiswa. Dalam artikel ini penulis
hanya akan menguraikan peran dosen dalam membentuk lulusan yang kompeten
dan berkarakter.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang dibahas dalam artikel
ini yaitu apa saja peran dan upayayang dilakukandosen agar pendidikan di sekolah
tinggi agama Buddha dapat membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter?
Kajian ini diharapkan memberi manfaat bagi penulis, para dosen, dan
pimpinan terutama dalam memahami peran dosen dalam membentuk lulusan
sekolah tinggi agama Buddha yang kompeten dan berkarakter. Bagi penulis,
artikel ini diharapkan mampu menjadi bahan refleksi terhadap hal yang sudah
dilakukan selama menjalani profesi sebagai dosen dan sebagai referensi
perencanaan dalam upaya meningkatkan kinerja di masa yang akan datang. Bagi
para dosen, artikel ini diharapkan dapat menyegarkan kembali pemahaman
tentang tugas dan fungsi sebagai dosen dan mengubah paradigma lama dengan
paradigma baru. Bagi pimpinan, artikel ini diharapkan dapat menambah bahan
analisis terhadap kinerja dosen di sekolah tinggi yang dipimpinnya serta menjadi
sarana berbagi gagasan tentang peran dosen dalam pembentukan lulusan yang
kompeten dan berkarakter.
Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, dosen adalah pendidik
professional
dan
ilmuwan
dengan
tugas
utama
mentrasformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melaui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kata
86
professional mengandung makna bahwa pekerjaan sebagai dosen merupakan
pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.Hal utama yang membedakan dosen
dengan guru adalah kata ilmuwan.Dosen adalah ilmuwan, bukan hanya sekedar
pengajar. Konsekuensinya, dosen wajib melakukan penelitian dan menyebarkan
hasil penelitiannya melalui pengajaran dan juga pengabdian kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dosen berkewajiban
melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;
merencanakan,
melaksanakan
proses
pembelajaran,
serta
menilai
dan
mengevaluasi hasil pembelajaran; meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif
atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu,
atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung
tinggi peraturan perundang-undangan, hokum, dan kode etik, serta nilai-nilai
agama dan etika; memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Dosen memiliki hak untuk memperolah penghasilan dan jaminan
kesejahteraan social; mendapatkan promosi dan penghargaan; memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar,
informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat; memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan
otonomi keilmuan; memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan
menentukan kelulusan peserta didik; memiliki kebebasan berserikat dalam
organisasi profesi.
Berdasarkan Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT), kompetensi
lulusan dilih at dari capaian pembelajaran. Menurut SNPT program sarjana,
capaian pembelajaranmencakup ranah sikap dan tata nilai, penguasaan
pengetahuan/keilmuan, keterampilan umum dan keterampilan khusus.Ranah sikap
merupakan penghayatan tentang nilai, norma, dan aspek kehidupan yang
87
terbentuk dari proses pendidikan, lingkungan kampus, lingkungan kehidupan
keluarga, msyarakat, atau pengalaman kerja mahasiswa. Ranah pengetahuan
meliputi penguasan teori dalam bidang ilmu dan keahlian tertentu, atau
penguasaan konsep, fakta, informasi, dan metode dalam bidang tertentu.Ranah
keterampilan
merupakan
kemampuan
psikomotorik
dan
kemampuan
menggunakan metode, bahan, dan instrument, yang diperoleh melalui pendidikan,
pelatihan, atau pengalaman kerja mahasiswa.
Berkaitan dengan karakter ada beberapa istilah yang dikemukakan para
penulis. Karakter berarti tabiat atau kepribadian seseorang. Coon mendefinisikan
karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang
berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima
masyarakat. Menurut Zainal dan Sujak (2011: 2), karakter mengacu pada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviours), motivasi (motivation), dan
keterampilan (skills).Dalam artikel ini yang dimaksud dengan lulusan yang
berkarakter yaitu sarjana dari sekolah tinggi agama Buddha yang memiliki
motivasi, sikap, perilaku yang terpuji sesuai nilai-nilai luhur Buddhisme.
Pembahasan
Pendidikan merupakan solusi utama untuk mengatasi masalah SDM. Dari
uraian sebelumnya jelas terlihat hubungan nyata antara SDM dan pendidikan.
Ketika SDM Indonesia diperingkat rendah, ternyata begitu pula dengan peringkat
kualitas pendidikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketika ingin
memperbaiki kualitas SDM maka yang harus pertama kali dibenahi adalah system
pendidikannya. Jika sistem pendidikan sudah maju maka kompetensi lulusan
(SDM) yang lebih berkualitas dapat direalisasikan.
Dosen merupakan salah satu komponen perguruan tinggi yang sangat
mempengaruhi lulusan yang dihasilkan. Hal ini karena dosen merupakan ujung
tombak pendidikan yang secara langsung berhadapan dengan mahasiswa.
Kurikulum dapat saja berganti secara periodik dan dirancang secara ideal, tetapi
jika tidak ada upaya serius dari dosen untuk mengaplikasikannya dan dosen juga
tidak meningkatkan kualitas diri dan kualitas pembelajarannya niscaya tidak akan
88
mempengaruhi kompetensi lulusan secara signifikan. Oleh karena itu, seorang
yang telah memilih profesi sebagai dosen maka harus menyadari sepenuhnya
tentang hak, kewajiban, dan tanggungjawabnya sehingga akan selalu berusaha
memberikan yang terbaik bagi sekolah tinggi tempatnya bekerja, bagi mahasiswa
dan lulusannya. Jika dosen sudah memiliki kesadaran mengenai dirinya maka ada
harapan peningkatan kualitas lulusan yang kompeten, dan berkarakter. Oleh
karena itu, dalam rangka membentuk lulusan yang kompeten dan berkarater maka
dosen di sekolah tinggi agama Buddha juga harus siap mengubah diri,
meningkatkan kinerja, mereformasi kebiasaan, dan merevolusi mentalnya. Berikut
ini adalah beberapaupaya yang dapat dilakukan, yang dapat menjadi bahan
refleksi untuk merevolusi mental diri dosen dalam membentuk lulusan yang
kompeten dan berkarakter.
Mengoptimalkan Peran Dosen
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 dijelaskan bahwa dosen adalah
pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentrasformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melaui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari
pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga peran utama
dosen yaitu sebagai pendidik, peneliti, dan pelayan masyarakat.
Sebagai pengajar, dosen harus mampu merencanakan perkuliahan,
melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan mengevaluasi hasilnya. Di samping
harus mampu melakukan tugas nya sebagai pengajar, dosen di sekolah tinggi
agama Buddha juga merupakan pendidik
yang menjadi teladan bagi
mahasiswanya. Pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah tinggi agama
sepatutnya mampu tercerap hingga ke batin. Oleh karena itu, jika dalam kegiatan
pembelajaran mahasiswa tidak melihat adanya teladan dari dosen yang mengajar
maka pada akhirnya pembelajaran yang dilakukan akan tak bermakna.
Mahasiswa dapat meraih skor yang tinggi tetapi ilmu (agama) yang dipelajari
hanya sebatas pengetahuan, serupa dengan pengetahuan sekuler pada umumnya.
Oleh karena itu, dosen sekolah tinggi agama Buddha tidak cukup jika hanya
89
sebagai pengajar.Dosen sekolah tinggi agama Buddha juga berperan sebagai
fasilitator, motivator, inspirator, evaluator, pembimbing dan sekaligus teladan
bagi mahasiswa.
Peran lainnya seorang dosen adalah sebagai peneliti. Inilah yang
membedakan dengan profesi guru.Jika guru tidak wajib melakukan penelitian
maka untuk mengembangkan keilmuannya dosen wajib melakukan penelitian.
Meskipun tanpa bantuan biaya dari negara maupun sumber lainnya, penelitian
harus dilaksanakan oleh seorang dosen. Penelitian yang dilakukan oleh dosen
sekolah tinggi agama seharusnya hasilnya dapat dijadikan referensi bagi banyak
pihak dan menjadi informasi yang berharga bagi pengembangan ilmu agama
Buddha maupun bidang social keagamaan Buddha. Hasil penelitiannya pada
akhirnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan Dharma, dan pengayaan
materi perkuliahan di kelas.
Selain sebagai pendidik dan peneliti, dosen juga sebagai pelayan
masyarakat.Sebagai abdi atau pelayan masyarakat maka dosen tidak cukup hanya
berada di kampus setiap hari. Dosen memiliki tanggung jawab menerapkan ilmu
dan keahliannya dimasyarakat demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mencerdaskan orang banyak. Oleh karena itu, dosen juga harus turut aktif di
masyarakat. Interaksi dengan masyarakat memungkinkan munculnya banyak ide
penelitian yang hasilnya juga akan dikembalikan ke masyarakat.
Peran sebagai pembimbing mahasiswa, motivator, dan inspirator merupakan
hal yang dapat secara langsung mempengaruhi lulusan karena dari komunikasi
inten secara individu agar terlihat hal-hal yang patut diteladani oleh mahasiswa.
Oleh karena itu, agar lulusan yang terbentuk disamping memiliki kompetensi dan
berkarakter baik maka peran dosen harus dioptimalkan, tetapi tetap alami.
Membentuk Citra Diri (Personal Branding)
Personal branding berkaitan dengan citra diri yang dibentuk oleh dosen
tentang keahlian dalam keilmuan, perilaku dan kemampuannya dalam
menyelesaikan masalah dalam kehidupannya. Setiap orang memiliki branding
yang berbeda, yang pada akhirnya memberikan penilaian yang berbeda. Citra diri
90
dosen memiliki arti penting bagi dosen, mahasiswa dan bahkan pimpinan.
Seorang yang sudah memiliki citra diri yang kuat maka akan memiliki pengaruh
bagi lingkungannya. Upaya dosen dalam membentuk citra dirinya dapat teramati
dari bagaimana cara berpikir, bicara, berperilaku, dan menunjukkan keahliannya
kepada orang di sekitarnya.
Citra diri dosen juga menjadi hal yang memiliki peran dalam membentuk
lulusan yang kompeten dan berkarakter. Citra diri positif terhadap dosen dapat
menginspirasi mahasiswanya. Citra diri dosen dapat menjadi teladan mahasiswa
dalam banyak aspek. Jika ada nilai-nilai keteladanan yang dimiliki dosen maka
juga akan berimbas positif bagi pembentukan karakter lulusan dan pada akhirnya
berdampak pada budaya kampus dan citra kampus.
Beberapa aspek yang dapat menjadi teladan mahasiswa antara lain: sikap
dasar (postur psikologis), cara dan gaya bicara, kebiasaan bekerja, pakaian,
interaksi, proses berpikir, selera, cara mengambil keputusan, dan gaya hidup
secara umum (Mulyasa, 2009: 46-47). Memang tidak mudah untuk menjadi
teladan kebaikan bagi mahasiswa, tetapi hal tersebut harus diupayakan.
Pengkondisian oleh sistem kerja yang demokratis, jelas dan adil, gaya
kepemimpinan yang tepat, budaya kampus, dan upaya-upaya yang kontinyu dari
seluruh sivitas akademika dapat membentuk personal branding dosen dan
mahasiswa. Jika citra diri terbentuk oleh karena kesadaran dari dalam diri dosen
dan mahasiswa, yang ditunjang oleh sistem yang jelas maka akan berdampak pada
kualitas lulusan dari sekolah tinggi agama Buddha.
Menghilangkan Berbagai ‘Penyakit Mental’
Dosen adalah profesi yang mulia, tetapi pada kenyataanya cukup sulit bagi
beberapa dosen untuk menjalankan profesinya dengan ideal. Hal itu karena
sebagian dosen mengalami ‘penyakit mental’yang relatif sering kambuh. Jika
tidak di atasi, maka seperti halnya penyakit pada umumnya, akan mengganggu
kinerja dan produktifitas dosen. Beberapa penyakit yang umumnya dialami dosen
yaitu kudis (kurang disiplin), kurap (kurang aplikatif), asma (asal masuk), lesu
91
(lemah sumber), mual (mutu ujian amat lemah), gatal (galau tanpa alasan), tipus
(tidak punya selera).
Sebagian penyakit tersebut dapat menular ke mahasiswa sehingga jika tidak
dikendalikan akan berdampak pada kualitas lulusan. Kudis dan lesu dengan
mudah menular ke mahasiswa. Asma juga bisa menjadi penyakit menurun.
Sebagai contoh, ketika dosen terlambat masuk ke ruang kelas maka
mahasiswanya pun akan meniru hal yang sama. Jika terus dibiarkan maka yang
terjadi mahasiswa akan terlambat terus untuk memasuki ruang kuliah dan akan
mempengaruhi lainnya. Untuk mengatasi hal ini maka yang diperlukan adalah
ketegasan dosen dan kekompakan dalam menegakkan aturan. Jika aturan hanya
ditegakkan secara parsial hanya oleh beberapa dosen maka yang terjadi adalah
adanya sentimen mahasiswa terhadap dosen tertentu.
Penyakit lesu juga berbahaya dan sudah biasa dialami. Ketika membuat
tugas, kebanyakan mahasiswa saat ini malas membuka buku, membaca referensi
langsung dari buku.Sebagian beralasan bukunya sulit dicari, dan sebagainya.
Mahasiswa lebih memilih menggunakan internet untuk mencari sumber referensi
dalam mengerjakan tugas.Memanfaatkan internet sebagai sumber belajar tentu
tidak menjadi soal, jika sesuai ketentuan. Masalahnya sebagian mahasiswa hanya
copy-paste artikel punya orang lain tanpa mengubah atau mengeditnya sama
sekali dan tidak menuliskan sumbernya. Penyakit ini juga dapat dialami dosen.
Oleh karena itu, agar tidak menular ke mahasiswa maka perlu dicarikan obat
penawar yang menyembuhkan. Penawar tersebut dapat berupa reward and
punishment atau penyadaran hukum perbuatan dan konsekuensi. Niscaya, jika
penyakit ini tidak dialami dosen maka mahasiswa juga akan terkondisi untuk
mengikuti aturan sehingga akan menjadi kebiasaan, yang secara tidak langsung
merevolusi mentalnya untuk menjadi lebih baik. Pada akhirnya maka lulusan yang
terbentuk juga akan memiliki karakter yang terpuji dan bebas dari penyakit
mental.
92
Mengubah Paradigma tentang Peserta Didik
dan Strategi Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran yang biasa diterapkan pada kebanyakan
perkuliahan adalah pembelajaran yang berpusat pada dosen, dengan metode
utamanya yaitu ceramah.Pada pendekatan tipe tersebut maka dosen menjadi
sumber pengetahuan utama dan paling mendominasi selama kegiatan kuliah
berlangsung. Mahasiswa hanya sedikit bicara, hanya sebagai pendengar
pasifyang mencatat apa yang disampaikan dosen. Akibatnya, kemampuan
mahasiswa dalam berargumen dan mengemukakan pendapat akansangat kurang.
Dampaknya dapat dilihat pada lulusan: nilai ujiannya bagus tetapi seringkali tidak
memahami apa yang telah dipelajari.
Pendekatan yang memposisikan mahasiswa sebagai objek pengetahuan
tidak banyak membawa manfaat bagi kemampuan mahasiswa secara nyata. Oleh
karena itu, paradigma dosen dalam memperlakukan mahasiswa selama kegiatan
perkualiahan perlu diubah. Dengan menyadari bahwa hakikatnya setiap individu
memiliki kemampuan dan menyadari bahwa yang sedang dalam proses belajar
adalah mahasiswa maka yang perlu diterapkan yaitu pendekatan pembelajaran
yang berpusat pada mahasiswa. Dalam pembelajaran yang memposisikan
mahasiswa menjadi subjek belajar, maka yang aktif selama kegiatan perkuliahan
adalah mahasiswa.Mahasiswa yang mencari informasi, dan mengkonstruk
pengetahuannya sendiri dengan difasilitasi oleh dosen.Pendekatan konstrktivisme
ini dijabarkan dalam berbagai strategi pembelajaran, seperti discovery learning,
problem based learning, project based learning, dan lainnya. Jika strategi tersebut
sering dipraktikkan maka kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi,
bekerjasama, dan memecahkan masalah akan semakin meningkat. Kemampuan
seperti itulah yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja.
Mengimplementasikan 5 Budaya Kerja Kementerian Agama
Lima budaya kerja kementerian agama merupakan kristalisasi ide dalam
menerjemahkan gerakan revolusi mental dari presiden Joko Widodo. Budaya
93
kerja kementerian agama terdiri atas 5 poin utama yaitu integritas, profesionalitas,
inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan.
Gerakan merevolusi mental memang harus dilakukan secara masif oleh
seluruh rakyat Indonesia, termasuk para pegawaidi kementerian agama. Sebagai
bagian dari kementerian agama, dosen dan tenaga kependidikan di sekolah tinggi
agama Buddha juga harus menerapkan budaya kerja tersebut dalam keseharian di
kampus.
Dalam hal upaya merevolusi mental, kementerian agama memposisikan
integritas pada posisi pertama.
Integritas merupakan keselarasan antara hati,
pikiran, perkataan, dan perbuatan. Hal ini merupakan dasar perilaku yang
menentukan kualitas yang lainnya. Seorang yang cerdas dapat menjadi
professional, dan dapat melakukan banyak inovasi tetapi sangat berbahaya jika
tidak memiliki integritas.
Dengan menerapkan lima budaya kerja di sekolah tinggi agama Buddha
niscaya dapat mengubah sikap mental seluruh sivitas akademika, selama upaya
yang dilakukan konsisten dan sistem evaluasi dan pengawasannya jelas, adil dan
terbuka. Jika diimplementasikan secara konsisten maka akan berpengaruh
terhadap kualitas lulusan sehingga memiliki kompetensi dan karakter sesuai yang
menjadi tujuan pendidikan di sekolah tinggi agama Buddha.
Berkolaborasi dan Menjalin Komunikasi yang Baik
dengan Teman Sejawat dan Seluruh Civitas Akademika
Jika semua potensi yang dimiliki sivitas akademika mengarah kepada visi
misi sekolah tinggi agama Buddha maka
realisasi visi misi tersebut sangat
mungkin terjadi. Visi misi tidak lagi sekedar hiasan dinding yang terkungkung
dalam frame yang kaku.
Alangkah baiknya jika visi misi terpatri dalam diri setiap sivitas akademika
sekolah tinggi agama Buddha dan kemudian diupayakan diwujudkan melalui
optimalisasi seluruh kekuatan yang ada di kampus. Hal itu sangat mungkin terjadi
jika setiap komponen sivitas akademika, terutama dosen dan tenaga kependidikan
menjalankan tugasnya dengan efektif dan komunikasi yang baik dapat diciptakan
94
secara dinamis.Jika seluruh potensi terarah pada satu arah yang jelas maka upaya
membentuk kualitas lulusan yang kompeten dan berkarakter tidak lagi menjadi hal
yang mustahil.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Berbagai masalah yang berkaitan dengan SDM dapat diminimalisasi dengan
meningkatkan kualitas sistem pendidikan karakter dan gerakan revolusi
mental sebagai upaya masif yang dilakukan oleh seluruh rakyat dalam rangka
mengembangkan kembali nilai budaya luhur bangsa.
2. Upaya yang dapat dilakukan dilakukan oleh dosen sekolah tinggi agama
Buddhadalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter, antara lain
dengan cara mengoptimalkan peran sebagai dosen, membentuk personal
branding, menghilangkan berbagai penyakit mental, mengubah paradigma
mengenai peserta didik dan strategi pembelajaran, mengimplementasikan 5
budaya kerja kementerian agama, serta dengan berkolaborasi dan menjalin
komunikasi yang baik dengan berbagai komponen di sekolah tinggi dalam
mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan.
Saran
Agar tujuan dalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter dapat
tercapai, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1. Upaya dosen dalam
membentuk lulusan yang kompeten dan berkarakter
seharusnya didukung karena pada hakikatnya tujuan tersebut bukanlah hanya
tanggung jawab dosen, melainkan tanggung jawab seluruh sivitas akademika.
Oleh karena itu, sinergitas antar komponen pendidikan di sekolah tinggi
agama Buddha perlu terus ditingkatkan.
2. Untuk meningkatkan kualitas diri dosen, maka perlu dirancang suatu sistem
yang mengkondisikan dosen dapat mengubah kebiasaan yag tidak efektif dan
produktif serta agar termotivasi secara terus menerus untuk mengembangkan
95
diri, misalnya melalui forum diskusi ilmiah, seminar, pelatihan, dan studi
lanjut.
3. Pencapaian visi dan misi sekolah tinggi antara lain dipengaruhi oleh sinergitas
pendidik dan tenaga kependidikan, dan juga civitas akademika lainnya. Oleh
karena itu, akan lebih baik jika pimpinan sekolah tinggi melakukan evaluasi
kinerja nyata dan memastikan seluruh sivitas akademika benar-benar
menjalankan tugasnya dengan baik.
Daftar Pustaka
Mulyasa. 2014. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Mulyasa. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Saroni, Mohammad. 2011. Personal Branding Guru. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Zainal dan Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Jakarta:
Gaung Persada Press.
Undang-Undang No 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Peraturan Pemerintah RI No 37 Tahun 2009 tentang Dosen.
96
PENDIDIKAN KARAKTER
SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL
12T
Muawanah
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
Mental revolution starts from the education. Education is very important,
as the strategic role of educations is to form children's mental nation.
Development of culture and national character is realized through the area of
education. Character development education is a continuous process and never
ends (never ending process). As long as a nation exist, a character education must
be an integral part of education over the generations.
Implementation of character education should not be linked to the budget. It
takes commitment and integrity of the stakeholders in the education sector to
seriously implement the values of life in every lesson. Character education does
not just teach what is right and what is wrong, but also inculcate the habit
(habituation) of which one is a good thing. By doing so, students become
acquainted (cognitive) about which one is good and bad, able to feel (affective)
good value (loving the good/moral feeling), and behavior (moral action), and
used to do (psychomotor). Thus, character education is closely related to the habit
(custom) practiced and performed.
Children do not need a curriculum, but a real life that support them. They
learn from real life. What happens now, a lot of value or an existing teachings
that are obscured, covered up with a lie that is packaged in an iconic form of
advertising that is actually misleading.
Keywords: character, education, mental revolution
Pendahuluan
Pada dasawarsa terakhir ini, krisis kepercayaan diri bangsa Indonesia sudah
cukup memprihatinkan. Berbagai tindakan negatif banyak terjadi di berbagai
daerah, mulai dari perilaku seks bebas, tawuran pelajar dan mahasiswa, hingga
maraknya kasus bunuh diri. Dunia pendidikan telah memberikan porsi yang
sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan tujuan utama pendidikan, yaitu
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan
seimbang. Terpuruknya bangsa Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh
krisis ekonomi, melainkan juga oleh krisis akhlak yang berakar dari kurangnya
penanaman pendidikan karakter.
97
Pendidikan adalah gerbang menuju kehidupan yang lebih baik dengan
memperjuangkan hal-hal terkecil hingga hal-hal terbesar yang normalnya akan
dilewati oleh setiap manusia. Pendidikan adalah bekal untuk mengejar semua
yang ditargetkan oleh seseorang dalam kehidupannya sehingga tanpa pendidikan,
maka logikanya semua yang diimpikannya akan menjadi sangat sulit untuk dapat
diwujudkan.
Faktanya, memang tidak semua orang yang berpendidikan sukses dalam
perjalanan hidupnya, tetapi jika dilakukan perbandingan maka orang yang
berpendidikan tetap jauh lebih banyak yang bisa mengecap kesuksesan daripada
orang yang tidak pernah mengecap pendidikan, baik pendidikan formal maupun
non formal. Pendidikan adalah alat untuk mengembangkan diri, mental, pola pikir
dan juga kualitas diri seseorang.
Jika orang yang sudah dibekali ilmu saja terbukti masih ada atau bahkan
banyak yang mengalami kegagalan, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak
dibekali ilmu sama sekali? Logikanya sudah pasti mereka akan lebih kesulitan
dalam mengembangkan hal-hal yang diminatinya dengan tujuan untuk
mendapatkan level kehidupan yang lebih baik. Proses hidup membutuhkan teori,
dan dengan pendidikan lah teori tersebut bisa didapatkan.
Jangan meyakini opini sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.
Apa pun alasannya, setiap orang tetap membutuhkan pendidikan. Meskipun
pendidikan tidak menjamin kesuksesan seseorang, namun pendidikan akan
membekali kualitas diri yang lebih baik sehingga akan lebih berpeluang untuk
mendapatkan apa yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan alat terpenting
untuk merealisasikan semua impian.Pendidikan adalah prioritas untuk menuju ke
arah yang lebih baik dan masa depan yang lebih layak.
Oleh karena itu, untuk pendidikan yang lebih baik perlu adanya revolusi
mental dalam pendidikan. Dalam bidang pendidikan, revolusi mental harus
mampu menanamkan nilai-nilai yang berharga bagi guru, kepala sekolah, dan
pengawas, sebagai bekal bagi mereka untuk memberikan layanan yang optimal
kepada peserta didik, sehingga mampu melahirkan generasi emas. Mengubah
98
mental guru, kepala sekolah, dan pengawas tidak bisa dilakukan secara serta merta
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Mengingat peran pendidikan sangat strategis dalam membentuk mental anak
bangsa. Pengembangan kebudayaan maupun karakter bangsa diwujudkan melalui
ranah pendidikan. Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses
berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending process). Selama sebuah
3T
3T7T
3T7T
3T
bangsa ada dan ingin tetap eksis, pendidikan karakter harus menjadi bagian
terpadu dari pendidikan alih generasi.
Sejatinya, pendidikan merupakan sarana pembentuk karakter bangsa.
Mengapa? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pendidikan diartikan
sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Sedangkan, Karakter artinya cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Jadi, pendidikan berkarakter adalah pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang
bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan
keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sarana yang
penting dalam pembentukan karakter setiap warga dalam suatu bangsa. Peranan
pendidikan akan dapat mempengaruhi kokohnya keimanan dan secara tidak
langsung juga moralitas dan karakter bangsa. Fakta historis telah menunjukkan
bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai secara nyata dari adanya
kecerdasan. Kecerdasan dapat berfungsi setelah disentuh oleh pendidikan dan para
penyentuhnya adalah para guru di sekolah. Kecerdasan adalah asset utama untuk
melestarikan bangsa itu sendiri. Apapun yang dimiliki oleh suatu bangsa tak akan
berarti bila pengelolaannya tidak dilandasi oleh kecerdasan.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan
budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan
99
keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau
watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Sasaran pendidikan
karakter adalah seluruh Sekolah yang ada di Indonesia, baik negeri maupun
swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan
administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah
yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik
dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke
sekolah-sekolah lainnya.
Implementasi pendidikan karakter tidak harus dikaitkan dengan anggaran.
Dibutuhkan komitmen dan integritas para pemangku kepentingan di bidang
pendidikan untuk secara sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai kehidupan di
setiap pembelajaran. Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana yang
benar
dan
mana
yang
salah,
tetapi
juga
menanamkan
kebiasaan
( habituation) tentang hal mana yang baik. Dengan begitu, peserta didik menjadi
7T
3T7 T
3T
paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif)
nilai yang baik ( loving the good/moral feeling), dan perilaku yang baik ( moral
7T
3T 7T
3T
7T
action), dan biasa melakukan (psikomotor). Jadi, pendidikan karakter erat
3 T7T
3T
berkaitan dengan habit (kebiasaan) yang dipraktikkan dan dilakukan.
3T
3T 7T
7T
Thomas Lickona, dalam bukunya, Education for Character, menawarkan
3T
3T 7T
3T7T
3T
dua nilai utama pendidikan karakter yang berdasar atas hukum moral, yaitu sikap
hormat dan bertanggung jawab. Nilai-nilai tersebut mewakili dasar moralitas
utama yang berlaku secara universal. Sebab, itu memiliki tujuan dan merupakan
nilai yang nyata bahwa terkandung nilai-nilai baik bagi semua orang, baik secara
individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Ada tiga hal pokok untuk memahami konsep rasa hormat. Pertama,
3T
7T
3T7T
penghormatan terhadap diri sendiri. Maksudnya, mengharuskan kita untuk
memperlakukan apa yang ada pada hidup kita sebagai manusia yang memiliki
nilai secara alami. Kedua , penghormatan terhadap orang lain, mengharuskan kita
3T
3T7 T
7T
untuk memperlakukan semua orang, bahkan orang-orang yang kita benci, sebagai
manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama dengan kita
100
sebagai individu. Ketiga, hormat terhadap lingkungan, sebuah kewajiban untuk
3T
3T7T
3T7T
3T
melindungi alam dan lingkungan ketika kita hidup dari rapuhnya ekosistem dan
segala kehidupan yang bergantung di dalamnya.
Sedangkan tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari rasa
hormat. Jika menghormati orang lain, itu berarti kita menghargai mereka. Jika
menghargai mereka, kita merasakan sebuah ukuran dari rasa tanggung jawab kita
untuk menghormati kesejahteraan hidup mereka. Tanggung jawab secara literal
’’kemampuan untuk merespons atau menjawab’’. Artinya, tanggung jawab
berorientasi terhadap orang lain, memberikan bentuk perhatian, dan secara aktif
memberikan respons terhadap apa yang mereka inginkan. Tanggung jawab
menekankan kepada kewajiban positif untuk saling melindungi.
Sikap hormat dan tanggung jawab adalah dua nilai moral dasar dalam
membentuk mental anak yang harus diajarkan di sekolah. Tentunya masih banyak
nilai lain, misalnya kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri,
tolong-menolong, peduli terhadap sesama, keberanian, dan sikap demokratis.
Namun, nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan
tanggung jawab atau sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan
bertanggung jawab. Bagaimana strategi pengajaran tentang rasa hormat dan
tanggung jawab? Bergantung kepada kebijaksanaan masing-masing sekolah.
Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena tiga hal: (1) secara
makro, telah terjadi kemerosotan karakter bangsa ditandai oleh tingginya indeks
korupsi, premanisme dan kekerasan; (2) secara mikro dalam dunia pendidikan
juga banyak kasus bullying , tawuran-antar pelajar, kelemahan sistem kurikulum
3T
3T7T
7T
dan proses pembelajaran yang tidak kondusif bagi pembentukan karakter bangsa;
(3) Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih sejak kampanye sudah
menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga hal utama kedaulatan politik,
kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya.
Pentingnya pendidikan karakter ini juga seperti kutipan dari Presiden
Soekarno bahwa tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter
bangsa. Mahatma Gandhi juga mengatakan bahwa pendidikan tanpa karakter
101
adalah satu dari tujuh ”dosa-dosa berat” dari sebuah masyarakat ( seven deadly
7T
sins of society).
7T
Istilah pendidikan karakter mulai dicetuskan akhir abad ke-18 oleh seorang
pakar pendidikan dari Jerman yakni Friedrich Foerster (1869-1966) yang
menandai pendidikan karakter dengan 4 ciri yakni: (1) anak didik menghormati
nilai dan normatif yang ada, (2) membangun rasa percaya diri sehingga anak didik
tidak takut suasana baru, (3) adanya otonomi diri dimana anak didik menghayati
dan mengamalkan aturan sampai kemudian terinternalisasi dalam dirinya, dan (4)
keteguhan anak dalam mewujudkan apa yang dianggap baik dan penghormatan
pada komitmen yang dipilihnya.
Dalam konteks Indonesia, Presiden pertama Soekarno merumuskan UU No.
4/1950 bahwa pendidikan harus sesuai dengan tujuan negara dan perlunya nation
3T
3T7T
and character building karena masyarakat Indonesia mengalami kerusakan
3T 7T
3T
mental yang parah akibat penjajahan. Tahun 1965 Soekarno memutuskan
Pancasila sebagai dasar Sistim Pendidikan Nasional dan menjadi pelajaran wajib
dari Sekolah Dasar sampai Pergurutan Tinggai. Keputusan ini lalu dipertegas
Presiden Soeharto di tahun 1967.
Tahun 1976 Pelajaran pancasila di ganti menjadi PMP (Pendidikan Moral
Pancasila) dan tahun 1979 Presiden Soeharto menjadikan P-4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai program nasional. Tahun 1994
PMP diganti menjadi PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).
Tahun 2001, di tengah tuntutan reformasi untuk mereformasi Pancasila
versi Orde Baru, PPKN di ganti hanya PKN (Pendidikan Kewarganegaraan). Di
dunia Pendidikan sejak reformasi Pancasila justru terkesan di pinggirkan. Persepsi
peserta didik terhadap pelajaran Pancasila dari SD sampai perguruan tinggi juga
sangat tidak menggembirakan.
Sejak terpilih beberapa bulan lalu Jokowi-JK sudah menegaskan perlunya
revolusi mental. Di bidang pendidikan, hal ini sinkron dengan Pendidikan
Karakter yang belum lama digodok kemendikbud terkait pelaksanaan kurikulum
2013 (K-2013). K-2013 yang relatif pelaksanaannya kacau balau, tapi secara
konseptual mengandung menekanan pada aspek tidak hanya kognitif, tapi juga
102
afektif, motorik dan social-skill sehingga bila dilaksanakan dengan baik dan benar
bisa mendorong pembentukan karakter di sekolah.
Pusat Kurikulum Kemendikbud telah menyusun strategi pendidikan
karekter ini, yang melalui empat hal yakni pembelajaran ( teaching ), keteladanan
7T
7T
( modelling ), penguatan ( reinforcing ) dan pembiasaan ( habituating ). Nilai-nilai
7T
7T
7T
7T
7T
7T
dalam pendidikan karakter diambil dari empat sumber utama yakni: agama,
budaya, Pancasila dan tujuan pendidikan.
Kemendikbud juga telah menetapkan 18 nilai utama dalam pendidikan
karakter yakni relijius, jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, mandiri, demokratis,
ingin-tahu,
semangat-kebangsaan,
cinta-tanah-air,
menghargai-prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta-damai, gemar-membaca, peduli-lingkungan, pedulisosial, dan tanggung-jawab .
16T
Di level sekolah guru akan menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan
karakter karena mereka yang langsung berinteraksi dengan anak didik. Guru
sesuai asal katanya di gugu (dipercaya) dan di tiru (menjadi tauladan) memegang
peranan penting. Sayangnya profil guru baik dari profesionalitas, kompetensi,
kesejahteraan dan pemerataan guru antara kota dan desa masih belum baik. Hal ini
harus segera di perbaiki kemendikbud di bawah menteri baru Anies Baswedan.
Selain itu disadari bahwa bagaimanapun pendidikan karakter ini harus
dalam koridor revolusi mental. Oleh karena itu, pendidikan karakter akan saling
terkait dengan aspek lainnya dalam kehidupan bernegara seperti agama, budaya,
sosial, politik dan sebagainya. Oleh karena itu pendidikan karakter di sekolah saja
tidak cukup. Porsi yang besar justru dari keluarga dan masyarakat. Pembentukan
karakter mensyaratkan sistim politik yang sehat, penegakkan hukum yang adil,
kesejahteraan masyarakat yang makin merata dan penghargaan masyarakat atas
nilai, norma dan konsititusi yang sudah disepakati bersama.
Istilah "Revolusi Mental" berasal dari dua suku kata, yakni 'revolusi' dan
'mental'. Arti dari 'Revolusi' adalah sebuah perubahan yang dilakukan dengan
3T
3T
cepat dan biasanya menuju kearah lebih baik. Beda dengan evolusi, yang mana
perubahannya berlangsung lambat. 'Mental' memiliki arti yang berhubungan
dengan watak dan batin manusia. Adapun istilah mentalitas menurut KBBI
103
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) bermakna aktivitas jiwa, cara berpikir, dan
berperasaan. Maka, istilah "Revolusi Mental" dapat ditafsirkan sebagai aktivitas
mengubah kualitas manusia kearah yang lebih bermutu dan bermental kuat dalam
berbagai aspek dengan jangka waktu yang cepat.
Soekarno, di pidatonya mengatakan "Dalam kehidupan sehari-hari, praktek
3T
3T7T
revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras,
dan punya semangat gotong royong." “Revolusi Mental adalah suatu gerakan
7T
untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati
putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyalanyala.”
Itulah adalah gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh
Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956.
Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek, padahal
tujuan revolusi untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum
tercapai. Kita tahu, negeri ini telah mengalami penjajahan selama 350 tahun.
Selama itu pula bangsa kita mendapat penindasan, diperbudak, diperas setiap tetes
sumber daya manusia maupun alamnya. Karena itu setelah merdeka, pekerjaan
paling besar yang harus dilakukan oleh para pemimpin bangsa adalah membangun
mental manusia Indonesia. Caranya, dengan gerakan revolusi mental itu.
Revolusi di jaman kemerdekaan adalah sebuah perjuangan fisik, perang
melawan penjajah dan sekutunya, untuk mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kini, 70 tahun setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya
perjuangan itu belum, dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus
melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda. Bukan lagi mengangkat
senjata, tapi membangun jiwa bangsa.
Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap,
dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga
Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsabangsa lain di dunia.
Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Membangun
jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga penting. Namun
104
seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara, tak hanya sekadar
pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun
jiwa bangsa. Bahkan masa depan suatu bangsa amat tergantung dengan
kemampuan mereka menjaga kebersihan dan kekuatan jiwanya.
Dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah
membangun jiwa bangsa. Tentu saja diperlukan keahlian, atau menguasai
keilmuan, namun tanpa dilandasi jiwa yang merdeka, pembangunan tidak akan
mencapai tujuannya. Inilah ide dasar dari digaungkannya kembali gerakan
revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa bangsa yang terpenting adalah
jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Jiwa merdeka disebut
Presiden Jokowi sebagai positivisme. Sedangkan jiwa budak, jiwa tidak merdeka,
atau jiwa yang tidak ingin maju adalah negativisme.
Revolusi mental menurut Presiden Joko Wododo adalah revolusi jiwa
bangsa dari jiwa budak yang negativisme ke jiwa merdeka yang penuh dengan
keunggulan atau positivisme. Gerakan revolusi mental semakin relevan bagi
bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tiga problem pokok bangsa
yaitu; merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, dan terakhir
melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Lewat gerakan revolusi mental,
Presiden Jokowi bertekad membawa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat
secara politik, berdiri di kaki sendiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah
menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat
gotong royong. Pemerintahan Presiden Jokowi berkomitmen untuk jadi pelopor
gerakan revolusi mental kepada masyarakat agar menjadi gerakan sosial, karena
pelaku revolusi mental adalah seluruh rakyat Indonesia.Para pemimpin dan aparat
negara akan jadi pelopor untuk menggerakkan revolusi mental, dimulai dari
masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L).
Sebagai pelopor gerakan revolusi mental, pemerintah lewat K/L harus
melakukan tiga hal utama yaitu: bersinergi, membangun manajemen isu, dan
terakhir penguatan kapasitas aparat negara. Setelah pembenahan ke dalam,
dilakukan
juga
pembenahan
ke
luar
lewat
edukasi
dan
keterlibatan
105
masyarakat. Gerakan revolusi mental terbukti berdampak positif terhadap kinerja
pemerintahan Jokowi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ada banyak prestasi
yang diraih berkat semangat integritas, kerja keras, dan gotong royong dari aparat
negara dan juga masyarakat.
Pembahasan
Revolusi mental merupakan jawaban atas perubahan karakter yang terjadi di
tengah bangsa Indonesia. Karakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong
royong merupakan karakter orisinal bangsa Indonesia yang belakangan ini mulai
hilang dari karakter masyarakat. Perubahan karakter yang merusak mental ini
menjadi salah satu penyebab maraknya terjadi korupsi, nepotisme, intoleransi,
ketimpangan pembangunan, dan berbagai permasalahan lain di tengah
masyarakat.
Revolusi mental adalah upaya untuk mengembalikan bangsa Indonesia
kepada karakter aslinya. Namun revolusi ini tidak dapat dilakukan secara sporadik
tanpa tujuan dan pendekatan yang tepat. Perubahan mental bangsa yang sudah
berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun harus diperbaiki lewat revolusi yang
terencana, efektif, dan menyentuh semua lapisan masyarakat.
Revolusi mental merupakan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Maka sesuai amanat Pembukaan Undang-undang 1945, pemerintah sangat
berkewajiban menjalankan tugas konstitusional ini. Pemerintah harus dapat
merancang skema yang tepat dalam mengupayakan terjadinya revolusi mental.
Revolusi mental tidak dapat dilakukan secara sektoral atau per bagian-bagian.
Revolusi mental harus dilakukan secara holistik sehingga kembalinya karakter
hakiki bangsa Indonesia dapat terjadi secara menyeluruh.
Menjawab itu, pendidikan, baik di tengah keluarga, sekolah, pesantren,
organisasi, institusi, dan lain sebagainya, bisa dikatakan adalah satu-satunya jalan
untuk bisa mengembalikan bangsa Indonesia kepada karakter hakikinya. Pada
hakekatnya, pendidikan adalah usaha membentuk insan-insan akademis yang
berpikir mandiri dan dapat bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuatnya.
Pendidikan sudah dialami manusia sejak berusia muda hingga dewasa. Melalui
106
pendidikan diharapkan dapat tercipta kehidupan yang lebih baik bagi diri insan
tersebut, juga keluarga, masyarakat, bangsa, dan peradaban manusia.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah memberikan definisi tentang pendidikan. Menurut UU
ini, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan berkualitas akan menghasilkan bangsa berkualitas. Bangsa
berkualitas akan menampilkan karakter bangsa yang orisinal dan bermutu.
Karakter bangsa yang bermutu ini akan memberantas berbagai keburukan mental
seperti korupsi, nepotisme, dan intoleransi. Pembangunan nasional hanya dapat
terwujud jika karakter dan pengetahuan masyarakat dikembangkan melalui
pendidikan.
Komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran setiap warga negara
akan dapat memampukan mengerjakan revolusi mental. Mencerdaskan kehidupan
bangsa adalah tugas bersama. Revolusi mental melalui pendidikan karakter harus
terus diupayakan sehingga dapat dibentuk manusia Indonesia yang mampu
memanusiakan manusia Indonesia lainnya.
Penutup
Revolusi mental merupakan bentuk transformasi pembentukan karakter
bangsa melalui pembangunan keluarga. Di dalam revolusi mental ditegaskan
bahwa karakter dan kesejahteraan bangsa dapat tercipta di awali dari lingkup
masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga memiliki peran besar dalam proses
pembentukan karakter setiap individu yang nantinya merupakan cikal bakal
bagian dari bangsa Indonesia. Di sinilah tugas dan peran orang tua mendominasi
keberhasilan pembentukan karakter tersebut. Orangtua yang berhasil adalah
orangtua yang mampu menciptakan karakter positif yang kuat pada diri anak.
107
Revolusi mental diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap nilainilai luhur budaya bangsa. Nilai-nilai luhur ini diharapkan menjadi karakter yang
menjadi landasan untuk memperkuat kebersamaan dan persatuan, toleransi,
tenggang rasa, gotong royong, etos kerja dan menciptakan kehidupan keluarga
yang harmonis.
Keluarga memegang peranan penting dalam membangun perubahan mental
yang dibutuhkan oleh Indonesia melalui 8 (delapan) fungsinya yang dimilikinya
yaitu fungsi agama, pendidikan, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, social dan
budaya, ekonomi, dan lingkungan. Peran inilah sebagai upaya implementasi
gerakan revolusi mental. Lantas apa yang diharapkan dari pendidikan zaman ini?
Dunia berkembang sangat kompleks. Teknologi menjadi pemacu utama yang
membuat orang kaget setiap waktu. Situasi dan suasana yang serba baru selalu
bermunculan setiap saat. Maka pengaruh kemajuan teknologi membuat manusia
kewalahan dalam mempertahaankan hal-hal yang baik. Dalam situasi demikian,
kemajuan zaman yang begitu cepat menantang sekaligus menuntut tanggung
jawab atas dunia pendidikan kita. Tantangan kemajuan zaman akhirnya
menghadirkan sikap mental instant dan jalan pintas untuk mencapai kualitas atau
kesuksesan tanpa proses. Prinsip klasik: ”berjuang sekuat tenaga dulu baru
dapatkan hasil yang baik” gugur. Orang harap gampang tanpa proses, serba
instant itu yang bertumbuh subur, wajah pendidikan makin suram. Maka
yang menjadi harapan kita adalah penataan dunia pendidikan yang lebih baik
karena dunia pendidikanlah yang menjadi oven pemanusiaan manusia. Tugas dan
tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan adalah janganlah mereduksi misi
pemanusiaan manusia hanya sebatas penataan intelek/otak saja, tetapi perlu
pendidikan budi pekerti, pembentukan mental, pembinaan iman serta pendidikan
watak yang sejalan sehingga out put dari dunia pendidikan tetap menghasilkan
insan-insan pecinta kebenaran yang berkepribadian utuh tanpa pincang. Revolusi
mental adalah solusi yang terbaik untuk Indonesia.
108
Daftar Pustaka
Fizha, Fit. 2015. Revolusi Mental Membangun Jiwa Merdeka Menuju Bangsa
Besar. Kominfo.go.id. Diakses tanggal 31 Desember 2015
U
U
Koesoema, Doni. 2015. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Mulyasa. 2015. Revolusi Mental Dalam Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2014. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Sinarat, Sahat Martin. 2015. Revolusi Mental dan Upaya Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa. Satuharapan.com. Diakses tanggal 31 Desember 2015.
U
U
Suprapto, B. 2014. “Revolusi Mental di Mulai dari Pendidikan”. Jawa Pos. 05
September 2014.
109
IMPLEMENTASI REVOLUSI MENTAL
MELALUI METODE PEMBIASAAN
12T
Mulyana
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
The beginning of ASEAN free trade increase competition between countries,
especially in Southeast Asia. The competition will increase when the free markets
of Asia and the world begins. It takes the readiness of all Indonesia citizens to
face competition. Seeing the ability of Indonesia at this time, it takes effort to
change the mindset and competitiveness. Mental revolution is one of the
breakthrough that re-echoed by Joko Widodo since presidential election
campaign in the 2014. It takes the right method in the implementation of the
mental revolution thus providing a quick and significant results, but it is effective
and efficient. In the concrete phase, the method of habituation as a road or a way
to apply a deliberate, repeated, continuous, sustainable, so that an act becomes a
habit that is internalized in a person is the right way in the implementation of a
mental revolution.
Keywords: revolution, mental, habituation
Pendahuluan
Di era globalisasi, persaingan semakin ketat di segala bidang. Persaingan
terjadi bukan hanya terjadi antar individu dalam suatu komunitas tetapi dapat
mencapai lingkup negara, bahkan antar negara. Indonesia sebagai negara dengan
jumlah penduduk peringkat 4 besar di dunia, memiliki posisi strategis dalam
persaingan global tersebut. Harus diakui bahwa jumlah penduduk yang sangat
besar dan sumber daya yang melimpah merupakan daya tarik tersendiri bagi
negara-negara lain. Dalam waktu dekat, Indonesia harus menghadapi persaingan
global untuk lingkup Asia Tenggara. Dibutuhkan kesiapan seluruh komponen
bangsa untuk menghadapi persaingan tersebut, yang akan berlanjut ke persaingan
yang lebih luas. Persaingan global merupakan sesuatu yang pasti terjadi sehingga
harus ditanggapi secara positif.
111
Indonesia dihadapkan pada fenomena yang sangat dramatis, yakni
rendahnya peringkat daya saing sebagai indikator bahwa pendidikan nasional
belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas (Mulyasa,
2015: 2). Jika membandingkan kemampuan dalam bersaing dengan negara lain di
wilayah Asia Tenggara, Indonesia masih berada di level menengah. Human
Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP tahun 2014 melaporkan
bahwa Indonesia berada di peringkat 108, masih kalah dengan Singapura, Brunei
Darussalam, Malaysia, dan Thailand (Mulyasa, 2015: 2). Posisi ini akan semakin
melorot jika tidak direspon secara positif dan segera. Seperti yang disampaikan
oleh Wakil Presiden Jusuf Kala, bahwa ke depan Indonesia semakin berat dalam
menghadapi persaingan di antara negara-negara Asia Tenggara seperti di bidang
ekonomi, sosial, dan pendidikan ( http://news.okezone.com/read/2015/02/2612 TU
/340/1110989/jk-indonesia-berat-hadapi-persaingan-di-asia-tenggara ). Tantangan
U 12T
akan semakin berat ketika pasar bebas Asia dan dunia mulai diberlakukan.
Berkaca pada kemampuan Indonesia saat ini, harus diupayakan trobosan
yang mampu meningkatkan daya saing secara cepat dan signifikan. Dibutuhkan
aksi gebrakan yang mampu menggenjot perubahan mindset seluruh komponen
bangsa dalam menghadapi tantangan persaingan global tersebut. Revolusi mental
merupakan salah satu upaya
komponen bangsa.
mempercepat perubahan sikap mental seluruh
Gagasan revolusi mental kembali digaungkan oleh Joko
Widodo ketika menjadi kontestan dalam memperebutkan kursi kepresidenan pada
pemilihan umum tahun 2014. Konsep revolusi mental atau revolusi karakter
bangsa merupakan salah satu poin dari nawacita, yang merupakan 9 agenda
unggulan calon Jokowi-Jusuf Kala. Nilai-nilai yang diusung dalam nawacita
merupakan adopsi
dari cita-cita perjuangan Sukarno yang dikenal dengan
Trisakti.
Kunci sukses revolusi mental adalah pendidikan karakter. Keberhasilan
pendidikan karakter akan mampu menciptakan karakter atau mentalitas yang baik.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam menggaungkan
kembali program revolusi mental yang dicanangkan pemerintah. Melalui metode
yang tepat, implementasi revolusi mental dapat mencapai hasil yang maksimal,
112
efektif, dan efisien, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing dalam
menghadapi persaingan global.
Pembahasan
Pengertian Revolusi Mental
Di Indonesia, revolusi mental dicetuskan oleh Presiden Sukarno untuk
memompa
semangat
bangsa
Indonesia.
2T
Gerakan
itu
ditujukan
untuk
menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih,
berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala
(GPR Report, 2015: 3). Konsep revolusi mental kembali digaungkan oleh
2T
pasangan Jokowi-JK dalam pemilu 2014 sebagai salah satu program unggulan jika
terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Jokowi menyebut Reformasi belum
mengubah tradisi atau budaya lama, seperti korupsi, intoleransi terhadap
perbedaan, sifat kerakusan, keinginan menang sendiri, pelecehan hukum, dan
oportunisme (Bahtiar Rifai, dkk., 2015: 59). Revolusi mental diyakini mampu
menciptakan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian dalam budaya
yang dilandasi gotong rotong.
Secara harfiah, revolusi mental berasal dari dua kata, yaitu revolusi dan
mental. Revolusi berarti perubahan yang sangat mendasar dalam suatu bidang dan
mental merupakan hal yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang
bukan bersifat benda atau tenaga ( http://kbbi.web.id ). Mental adalah nama bagi
U
U
genangan segala sesuatu yang menyangkut cara hidup, dimana hal-hal yang
bersifat mental (berpikir, bernalar, menimbang-nimbang, memutuskan, dan lainlain), mekipun tidak bersifat fisik tetapi tetap berkaitan dengan fisik keragawian
(Karlina Supelli, 2015: 3). Aktivitas mental akan tercermin dalam sikap dan
tindakan seseorang. Istilah revolusi digunakan untuk menunjuk kea rah perubahan
social-politik yang
berlangsung cepat dan radikal, serta tidak jarang disertai
kekerasan (Karlina Supelli, 2015: 4). Dengan demikian, revolusi mental
merupakan perubahan cara pandang (paradigma) dalam berpikir yang terjadi
secara cepat, serentak, masal, dan hasilnya akan tercermin dalam sikap dan
perilaku. Revolusi mental dapat dimaknai sebagai pergeseran paradigma dalam
113
berpikir bangsa Indonesia. A “mental revolution” – a paradigm shift in thinking
that the Indonesian people and government would need to make in order to
achieve “free, fair, and prosperous” (David N. Merrill dan Bernard A. Burrola,
2015: 20). Revolusi mental merujuk pada adanya revolusi kesadaran, yaitu
perubahan yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah
bangsa, dari sesuatu yang negatif menuju positif (Benny Susetyo, 2015: 12).
Mengacu pada pernyataan tersebut, makna dari revolusi mental adalah
mengembalikan atau mengubah sifat negatif yang dimiliki menjadi sifat atau
karakter positif. Revolusi mental harus menyasar setiap komponen bangsa
Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan revolusi mental diperlukan strategi dan metode
yang tepat dalam implementasinya. Dunia mental tidak hanya tersusun dari
kemampuan kognisi, tetapi juga endapan sistem kepercayaan da sistem nilai,
hasrat, emosi, kehendak, motivasi, dan sebagainya yang semua tumbuh dari
praktik kebiasaan sehari-hari dan/atau dari tardisi (Karlina Supelli, 2015: 6).
Artinya, revolusi mental harus terjadi dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan merupakan satusatunya cara yang dapat dilakukan dalam upaya mewujudkan cita-cita dari
revolusi mental. Secara umum, pendidikan dimaknai sebagai usaha sadar yang
dilakukan oleh orang dewasa terhadap orang yang belum dewasa sehingga
menjadi dewasa, baik fisik maupun psikologis. Hal ini sejalan dengan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Merujuk dari
fungsi dan tujuan pendidikan tersebut, maka revolusi mental merupakan upaya
membangun dan mengembalikan karakter positif bangsa Indonesia secara cepat,
massif, dan tepat. Gede Raka, dkk. menyebutkan 8 karakter positif yang harus
114
dimiliki seseorang agar lebih berhasil dalam hidupnya, yaitu kejujuran, tanggung
jawab, semangat, disiplin diri, kegigihan, apresiasi terhadap kebhinekaan,
semangat berkontribusi, dan optimisme (2011: 107-119). Nurla Isna Aunillah
(2011: 47-96) mengidentifikasi 10 karakter positif, antara lain: jujur, disiplin,
percaya diri, peduli, mandiri, gigih, tegas, bertanggung jawab, kreatif, dan
bersikap kritis. Upaya revolusi mental akan berhasil jika seluruh komponen
bangsa bersedia merefleksikan apa yang telah dilaksanakan. Revolusi mental
hanya bermakna apabila dilandasi oleh keinginan untuk mengoreksi cara
kebiasaan dalam semua bidang kehidupan yang diarahkan untuk mencapai
kebaikan
bersama
(Karlina
Supelli,
2014:
6).
Hasil
koreksi
harus
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya ini, pendidikan
harus menyeimbangkan aspek kognitif tingkat tinggi (kemampuan analitik, logika,
daya-daya reflektif, kritis, imajinatif, dan kreatif), kemampuan afektif, dan
komitmen untuk bertindak (aspek ragawi). Pendidikan tidak lagi hanya
menekankan pada aspek kognitif dengan mengabaikan aspek afektif dan
psikolotorik. Perpaduan antara ketiga aspek tersebut justru akan menghasilkan
manusia cerdas dan memiliki perilaku terpuji.
Metode Pembiasaan
Pada taraf lebih konkret, dibutuhkan strategi dan metode yang tepat agar
penanaman karakter positif tersebut terwujud dalam bersikap dan berperilaku.
Saat ini, dapat dijumpai banyak orang cerdas dan berpengetahuan luas tetapi
pengetahuan tersebut tidak mengilhami sikap dan perilakunya. Bahkan
pengetahuan dan kecerdasannya digunakan untuk hal-hal yang tidak terpuji.
Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah malas merupakan sikap
yang tidak baik tetapi tetap saja ada orang yang menunda-nunda pekerjaan.
Korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji, tetapi korupsi tetap merajalela.
Jika hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan
dan dalan lingkup yang luas akan menjadi budaya.
Kebiasaan merupakan suatu cara bertindak yang telah dikuasai, tahan uji,
dan bersifat seragam (Purwa Atmaja Prawira, 2014: 234). Jika suatu perbuatan
115
atau tindakan telah menjadi kebiasaan maka akan tampak seperti kegiatan yang
bersifat otomatis. Kebiasaan yang dikembangkan secara bertahun-tahun menjadi
berakar dalam perilaku seseorang (Wibowo, 2012: 511).
Metode merupakan suatu cara, jalan, pengaturan, atau pemeriksaan sesuatu
secara benar (Husein Umar, 2010: 86). Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja
dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu tersebut menjadi kebiasaan, yang
berintikan pengalaman, dan akhirnya diamalkan (Mulyasa, 2013: 166). Pengertian
pembiasaan yang mirip juga dikemukakan oleh Ahmad Rahman dalam Amirulloh
Syarbini (2012: 45), yaitu kecenderungan yang dapat diusahakan, yang
mendorongseseorang mengulang-ulang suatu perbuatan fisik atau akal dengan
segera dan yakin tanpa berpikir terlebih dahulu pada saat keaadaan
mengkondisikan, dimana kebiasaan diperoleh dari pengalaman dan latihan. Purwa
Atmaja Prawira (2014: 234-235) menjelaskan 2 cara kebiasaan dapat dilakukan
dalam pembentukan kebiasaan. Pertama, perbuatan yang diulang-ulang sehingga
semakin lama akan semakin tertanam sehingga akan menjadi perbuatan yang
biasa dilakukan. Kedua, ada unsur kesengajaan supaya dapat terbentuk semacam
pola smbutan yang otomatis, dimana cara ini dapat digunakan untuk membentuk
suatu kebiasaan baru guna menggantikan cara-cara atau kebiasaan lama.
Pembiasaan juga meliputi penyusutan atau pengurangan perilaku yang tidak
diperlukan sehingga proses penyusutan atau pengurangan memunculkan pola
bertingkah laku yang baru yang relatif menentap dan otomatis (Muhibbin Syah,
2012: 121). Pembiasaan menempatkan manusia pada sebagai sesuatu yang
istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan menjadi kebiasaan yang
melekat dan spontan, sehingga kekuatan itu dapat digunakan untuk berbagai
kegiatan dalam setiap pekerjaan, dan aktivitas lainnya (Mulyasa, 2013: 166).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode pembiasan dapat diartikan
sebagai suatu jalan atau cara yang terapkan secara sengaja, berulang-ulang,
kontinu, berkelanjutan, sehingga suatu perbuatan menjadi kebiasaan yang
terinternalisasi dalam diri seseorang.
Keberhasilan metode pembiasaan ini harus sangat bergantung pada
komitmen dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Binti Maunah (2009: 98)
116
menjelaskan 4 syarat berhasilnya implementasi metode pembiasaan, yaitu: (a)
memulai pembiasaan sebelum terlambat; (b) pembiasaan hendaknya dilakukan
secara kontinu, teratur dan terprogram, yang akhirnya membentuk kebiasaan yang
utuh, permanen, dan konsisten; (c) pembiasaan harus diawasi secara ketat,
konsisten, dan tegas; dan (d) pembiasaan yang pada awalnya bersifat mekanistis,
haruslah secara berangsur diubah menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata
hati. Dari pendapat di atas, dapat dimaknai beberapa hal, antara lain: (a)
pembiasaan harus dimulai sejak dini, sejak dari kanak-kanak, dan ketika
seseorang belum memiliki kebiasaan-kebiasaan negatif. Jika seseorang telah
memiliki kebiasaan buruk, maka akan lebih sulit dan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk menggantikannya dengan kebiasaan yang bermanfaat. (b)
pembiasaan harus dilakukan secara teratur dan terprogram sehingga proses
memorisasi dan otomatisasi pada individu lebih intensif. (c) pengawasan terhadap
pola pembiasaan harus dilakukan secara ketat sehingga penyimpanganpenyimpangan dapat diminimalkan. Pelaksanaan metode pembiasaan dapat awali
dengan penerapan penguatan dan hukuman sampai terjadi internalisasi pada diri
individu. Ketika seseorang melakukan kebiasaan positif berarti perlu diberikan
penghargaan, sedangkan kebiasan buruk harus mendapat hukuman dan diberikan
pembinaan. (d) Tujuan akhir dari metode pembiasaan adalah internalisasi pada
diri setiap individu. Kebiasaan yang dilandasi dengan pemahaman menjadikan
seseorang bersedia melaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Bagaimanapun juga, metode pembiasaan memiliki kelebihan dan kelemahan.
Binti Maunah (2009: 98) mengemukakan 3 kelebihan dari metode pembiasaan,
yaitu: (a) dapat menghemat waktu dan tenaga dengan baik; (b) pembiasaan dapat
mencakup aspek jasmani maupun mental; dan (c) metode pembiasaan merupakan
metode paling berhasil dalam pembentukan keperibadian.
Penutup
Persaingan yang semakin ketat di era gloalisasi menuntut kesiapan dan
kerjasama seluruh komponen bangsa Indonesia dalam menghadapinya, sehingga
dapat beran sebagai pemain bukan menjadi penonton dalam persaingan tersebut.
117
Revolusi mental merupakan salah satu upaya trobosan yang diharapkan mampu
mengubah paradigma kea rah yang lebih positif dan meningkatkan daya saing
bangsa Indonesia
secara cepat, tepat, dan signifikan. Keberhasilan program
revolusi mental sangat ditentukan oleh metode atau cara pencapaian pada tahap
yang lebih operasional, sehingga keberhasilannya dapat diukur. Metode
pembiasaan merupakan sebagai jalan atau cara dapat diterapkan dalam
mensukseskan program revolusi mental tersebut. Keberhasilan yang diharapkan
dakan
dapat
dicapai
dan
hambatan-hambatan
yang
muncul
dalam
implementasinya dapat diatasi apabila setiap komponen bangsa memiliki kemauan
dan komitmen dalam mendukung revolusi mental. Tanpa adanya kemauan dan
komitmen dari setiap komponen bangsa, revolusi mental hanya akan menjadi
konsep yang menjanjikan tetapi tidak akan terwujud.
Daftar Pustaka
Aunillah, Nurla Isna. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di
Sekolah. Yogyakarta: Laksana.
Gede Raka, dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah: Dari Gagasan ke
Tindakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Maunah, Binti. 2009. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Yogyakarta: Teras.
Merrill, David N. dan Bernard A. Burrola. 2015. International Education’s Role in
Indonesia’s “Mental Revolution”. The Indonesian Journal of Leadership,
Policy, and World Affairs: Strategic Review. January-March 2015, Vol. 5,
No. 1.
Mulyasa, H. E. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
___________. 2013. Manajemen pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Prawira, Purwa Atmaja. 2014. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rifai, Bahtiar. dkk. 2015. Setahun Revolusi Mental Tanpa Panglima. Majalah
Detik. Edisi 19 – 25 Oktober 2015.
118
Supelli, Karlina. 2015. Revolusi Mental sebagai Paradigma Strategi Kebudayaan
(Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014). Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Susetyo, Benny. 2015. Implementasi Revolusi Mental dalam Konteks Kehidupan
Berbangsa sebagai Manusia Merdeka. Bunga Rampai Seminar Nasional
Kebudayaan 2014. Jakarta:. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Syah, Muhibbin. 2012. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Syarbini, Amirulloh. 2012. Buku Pintar Pendidikan Karakter. Jakarta: Prima
Pustaka.
Umar, Husein. 2010. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo. 2012. Manajemen Perubahan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
GPR Report Edisi 5, Juli 2015. Revolusi Mental. Direktorat Jenderal Informasi
dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
U
http://kbbi.web.id.
12TU
http://news.okezone.com/read/2015/02/26/340/1110989/jk-indonesia-berat-hadapi-persaingan-di-asia-tenggara .
U12 T
119
UPAYA KAUSALYA SEBAGAI METODE REVOLUSI MENTAL
DALAM MENGUBAH PARADIGMA SIMBOL KEAGAMAAN BUDDHA
Nyoto
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
Lately, lots of problems that arise in Indonesia and global world regarding
to the problem of religious life, for example the bombing of Buddha statues in
Bamiyan - Taliban and other bombing symbols of Buddhism in Indonesia. This
problem arises because people do not understand the true meaning of symbols in
Buddhism. In order to make people and Buddhists easily understand the true
meaning of the symbol in Buddhism, it is necessary to convey the right method to
explanin the meaning of Buddhism symbols. The easy method to convey the
meaning of Buddhism symbols is called the Kausalya effort. Through Kausalya
efforts, people could easily understand the meaning of Buddhism symbols. By
knowing the true meaning of the symbol in Buddhism, it is expected to emerge a
sense of belonging and respect among religions people.
Keywords: upaya kausalya, mental revolution, buddhist symbol
Pendahuluan
Dengan adanya pemerintahan dan tatanan kenegaraan yang baru, maka akan
muncul tujuan dan slogan yang baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo beserta jajaran kabinetnya mengambil slogan revolusi mental, Begitu
juga dengan pemerintahan Bung Karno Beliau mengedepankan perombakan cara
berpikir, cara kerja, berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat
kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. Lalu bagaimana dengan revolusi mental,
revolusi mental yang saat ini di gaungkan oleh Presiden Joko Widodo dan jajaran
Kabinet Kerja, menurut Ilyas Ismail (2014) bahwa gagasan revolusi mental
menggoda banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk
membabat habis mentalitas, mindset, dan segala bentuk praktik buruk yang sudah
mendarah daging sejak zaman Orde Baru hingga sekarang.
Dengan dikumandangkannya slogan revolusi mental, maka muncul harapan
agar masyaraka Indonesia berubah dalam berpikir, bertindak dan berucap. Apabila
masyarakat Indonesia berhasil merevolusi mental kearah yang lebih baik, maka
121
akan tercipta suasana yang damai dan sejahtera. Rakyat Indonesia akan memiliki
kebiasaaan yang positif misalnya terhindar dari KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme), menjaga kelestarian hutan, memiliki sikap saling menghormati dan
membantu yang lain.
Slogan revolusi mental muncul karena mental rakyat Indonesia yang perlu
dibaiki. Karena memiliki mental yang kurang baik, maka perlu dibuat suatu cara
untuk menanggulangi permasalahan mental tersebut. Bekerjasama dengan
jajarannya pemerintah membuat berbagai program untuk merubah pola pandang
dan kebiasaan masyarakat kearah yang lebih baik. Sebab apabila tidak segera
diperbaiki cara pandang dan kebiasaan masyarakat maka akan berakibat buruk
terhadap kestabilan negara dan alam, sebagai contoh misalnya masyarakat yang
suka membuang sampah sembarangan, kebiasaan ini mencerminkan kebiasaan
buruk yang akan berakibat banjir, penyakit dan polusi udara. Selain itu baru-baru
ini ada bencana kabut asap yang melanda Indonesia, selain merugikan negara
bencana kabut asap juga menyebabkan kematian penyakit dan mengganggu
kelestarian lingkungan.
Adat, budaya dan kebiasaan merupakan suatu fenomena dalam kehidupan
bermasyarakat. Kebiasaan ini memengaruhi pola pikir dan tingkah laku
masyarakat. Dalam mempertahankan tradisi sekelompok masyarakat akan
mentaati dan melaksanakan ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyang,
sebagai contoh misalnya membakar hutan untuk bercocok tanam. Selain hal-hal
yang bersifat duniawi adapula
kebiasaan sipiritual yang dilakukan oleh
masyarakat karena warisan dari nenek moyang.
Di Indonesia banyak peninggalan nenek moyang yang masih dijaga dan
lestarikan hingga saat ini karena dianggap memiliki nilai sejarah dan budaya.
Setiap agama dan tradisi memiliki simbol atau suatu benda yang dianggap sakral
dan dihormati oleh penganutnya. Agama Hindu ada Rupang Trimurti (Siwa,
Brahma dan Wisnu), agama Islam ada Kaqbah, agama Katholik ada Salib, agama
Kristen ada Rupang Yesus, agama Konghu Chu ada Rupang Nabi Konghu Chu
dan agama Buddha ada Rupang Buddha.
122
Simbol dibuat oleh agama tertentu sebagai sarana pembeda dangan ajaran
yang lain agar mudah dikenali oleh pengikutnya dan masyarakat umum. Tetapi
ada sebagian pengikut agama tersebut justru mengartikan lain keberadaan simbolsimbol tersebut, ada yang menganggapnya dewa pelindung, jimat bahkan Tuhan.
Begitu juga dengan umat Buddha yang menggunakanRupang Buddha sebagai
saran dalam melaksanakan puja bakti. Ada sebagian Umat Buddha memiliki
keyakinan bahwa Rupang Buddha memiliki kekuatan tertentu yang bisa
memberikan pertolongan apabila umatnya mengalami musibah. Apabila umat
Buddha memiliki pandangan seperti ini, maka umat Buddha belum mengetahui
makna simbol Rupang Buddha. Dengan memiliki pandangan ini, maka umat
memiliki pandangan salah terhadap kegunaan Rupang Buddha dan akan
memengaruhi perilaku, dan pemahaman terhadap ajaran Buddha.
Umat Buddha yang memiliki anggapan bahwa Rupang Buddha memiliki
kekuatan tertentu mencerminkan bahwa umat Buddha tersebut belum sepenuhnya
mempelajari ajaran Buddha. Hal ini terjadi karena kurangnya informasi yang
didapatkan atau kepercayaan yang dianut oleh orangtua. Apabila pandangan ini
tidak diluruskan, maka akan muncul pandangan salah terhadap kegunaan Rupang
Buddha dan untuk meluruskan pandangan ini diperlukan cara untuk memudahkan
mempelajari ajaran Buddha agar mengerti kegunaan Rupang Buddha.
Dalam Buddha Dhamma teknik mempelajari ajaran Buddha agar mudah
dipahamidan dilaksanakan teknik ini disebut dengan Upaya Kausalya. Metode ini
menjelaskan tentang segala jenis karakter dan permasalahan dalam kehidupan
sangat memengaruhi keberhasilan dalam penyampaian Dhamma. Salah satu
metode yang terkenal adalah dibuatnya simbol-simbol dalam agama Buddha.
Dengan mengerti dan memahami kegunaan Rupang Buddha maka akan merubah
pola pikir dan pemahama umat Buddha. Upaya ini merupakan revolusi mental
umat Buddha dalam memahami simbol keagaamaan Buddha. Berdasarkan latar
belakang masalah, maka permasalah penelitian yang penulis laksanakan ini adalah
adanya paradigma yang salah terhadap simbol-simbol keagaam Buddha.
123
Pengertian revolusi mental adalah gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama
pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih
baik ( http://revolusimental.go.id ).
12TU
U12T
Simbol keagamaan Buddha melambangkan dan mengingatkan akan ajaranajaran Sang Buddha. Selain sebagai pelambangan atas ajaran Sang Buddha simbol
tersebut
juga digunakan
untuk
mepresentasikan
Sang
Buddha sendiri.
( http://KMBUI.ui.ac.id/2015 ).
12TU
U12T
Dalam buku Buddha Dhamma Mahayana dijelaskan bahwa yang dimaksud
upaya kausalyadimaksudkan untuk umat Buddha yang awam guna dapat mengerti
dan memahami ajaran Buddha Sakyamuni dan menguatkan keyakinan dengan
cara mudah dan mudah menghayati ajaran Buddha (Suwarto, 1995: 624).
Pembahasan
Upaya kausalya merupakan metode-metode dalam menyampaikan ajaran
Buddha agar mudah dipahami dan dipraktekan oleh umat Buddha dalam
kehidupan sehari-hari. Metode-metode penyampaian Dhamma (upaya kausalya)
antara lain:
Puja Bakti
Kegiatan spiritual umat Buddha yang paling sering dilaksanakan umat
Buddha adalah puja bhakti. Setiap minggu sekali atau lebih umat Buddha
melaksanakan pembacaan Parita di Vihara. Puja bhakti dilaksanakan di
Dhammasala dan terdapat altar Rupang Buddha beserta perlengkapan puja bhakti
lainnya misalnya dupa, lilin, bunga dan air. Dengan adanya perlengkapan puja
bhakti ini umat mengetahui makna perlengkapan puja bhakti. Adapun makna
perlengkapan puja bhakti adalah:
a. Rupang Buddha
Rupang Buddha merupakan simbol bahwa Sang Buddha pernah hidup dan
membabarkan Dharma untuk melepaskan penderitaan semua makhluk. Selain
itu, Rupang Buddha digunakan sebagai simbol ungkapan terimakasih dan
hormat kepada yang patut dihormati.
124
b. Dupa
Dupa merupakan simbol keharuman ajaran Buddha yang dibabarkan dengan
penuh cinta kasih dan kasih sayang.
c. Lilin
Merupakan simbol pencapaian penerangan sempurna Sang Buddha dan
terbebas dari penderitaan untuk mencapai Nibbana.
d. Bunga
Bunga melambangkan ketidak kekalan semua bentuk yang terbuat dari
perpaduan unsur-unsur.
e. Air
Air melambangkan kerendahan hati Sang Buddha dalam membabarkan
Dhamma dan menghormati semua makhluk.
Simbol-simbol yang terdapat pada proses puja bhakti yang dilaksanakan
umat Buddha merupakan ungkapan terimakasih dan hormat kepada Sang Buddha
dan tidak dijadikan sebagai dewa penolong yang bisa membebaskan masalah dan
mengabulkan permohonan-permohonan.
Ceramah
Ceramah atau diskusi Dhamma dilaksanakan setelah umat Buddha
melaksanakan puja bhakti tepatnya setelah meditasi biasa diselingi dengan diskusi
Dhamma. Melalui diskusi Dhamma penceramah akan menyampaikan penjelasan
tentang makna simbol-simbol dalam agama Buddha sehingga umat akan
memahami dengan benar tentang makna sebenarnya simbol dalam agama Buddha.
Melalui kegiatan ceramah yang disampaikan oleh para Bhikkhu atau Pandita
maka umat memahami makna dari simbol-simbol dalam agama Buddha. Setelah
memahami makna simbol dalam agama Buddha, maka umat Buddha akan
terhindar dari pandangan salah dan mampu mengimformasikan kepada umat
lainnya tentang makna simbol agama Buddha.
125
Lagu-lagu Buddhis
Lagu Buddhis merupakan salah satu metode penyampaian Dhamma yang
menarik. Melalui lagu umat akan tertarik untuk mendengarkan dan memahami
makna dari lagu Buddhis. Melalui lagu-lagu Buddhis para pencipta lagu berusaha
menyampaikan makna simbol-simbol dalam agama Buddha dan umat akan mudah
menerimanya.
Meditasi
Meditasi merupakan ajaran Buddha yang paling dikenal oleh masyarakat
baik umat Buddha dan masyarakat umum. Dari berbagai metode dan objek
meditasi yang dilaksanakan oleh umat Buddha, maka terdapat satu praktik
meditasi yang menggunakan objek rupang Buddha. Dengan memilih objek Patung
Buddha maka umat Buddha berusaha mengingat kembali ajaran dan kemuliaan
Sang Buddha.
Gambar dan Rupang
Salah satu cara penyampaian penjelasan tentang simbol agama Buddha
adalah dengan membuat gambar yang menarik tentang simbol agama Buddha
beserta penjelasannya dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh
umat yang membacanya. Selain itu juga bisa dengan membuat Rupang Buddha
dan memberikan penjelasan arti dari Rupang yang dibuat tersebut. Dengan
demikian umat akan memahami makna dari gambar atau patung tersebut.
Majalah
Dengan menggunakan majalah sebagai sarana untuk menyampaikan
informasi mengenai maka akan mempermudah penyampaian tentang penjelasan
tentang simbol-simbol keagamaan Buddha. Penjelasan simbol agama Buddha
melalui artikel yang dimuat di majalah tertentu akan menarik pembaca baik umat
Buddha atau masyarakat umum. Dengan demikian masyarakat akan memahami
maknasimbol agama Buddha.
126
Dhammaclass
Kelas Dhamma atau kegiatan yang terstruktur yang dilaksanakan di vihara
untuk menyampaikan ajaran Buddha. Melalui kegiatan ini dapat disampaikan pula
tentang makna simbol-simbol agama Buddha sehingga umat Buddha mengetahui
tentang makna sebenarnya dari simbol agama Buddha. Dengan demikian maka
umat Buddha akan terhindar dari pandangan salah tentang simbol agama Buddha.
Internet
Satu-satunya sarana yang dapat menginformasikan sebuah berita yang
akurat dan cepat keseluruh dunia adalah internet. Melalui internet dapat
diinformasikan tentang simbol-simbol agama Buddha beserta penjelasannya,
sehingga masyarakat dapat mengetahui berbagai simbol agama Buddha dan
maknanya. Dengan demikian akan mengubah paradigma masyarakat tentang
simbol-simbol dalam agama Buddha.
Upaya Kausalya sebagai Metode Revolusi Mental
dalam Mengubah Paradigma Simbol Keagamaan Buddha
Melalui berbagai metode yang dilakukan untuk menyampaikan penjelasan
tentang bentuk simbol-simbol keagamman Buddha diharapkan umat Buddha dan
masyarakat umum dapat mengetahui makna yang terkandung dalam simbolsimbol agama Buddha. Dengan memahami makna simbol-simbol tersebut makan
masyarakat tidak akan memiliki pandangan salah dan tercipta toleransi antar umat
beragama.
Bagi umat Buddha dengan upaya kausalya akan merubah pandangan salah
terhadap simbol-simbol agama Buddha dan dapat melaksanakan ajaran Buddha
dengan benar. Dengan demikian maka akan merubah pola pikir dan pemahaman
terhadap suatu simbol keagamaan.
Penutup
Upaya kausalya merupakan metode dalam menyampaikan ajaran Buddha
agar mudah dipahami dan dilaksanakan. Dengan metode yang sederhana dan tepat
sasaran akan memberikan pandangan benar terhadap suatu ajaran yang belum
127
dipahami. Melalui upaya kausalya Buddha mengajarkan Dhamma sesuai dengan
karakter, kebiasaan, adat, dan strata sosial. Metode yang dipakai oleh Buddha
bertujuan untuk mempermudah penyampaian Dhamma.
Berbagai macam upaya kausalya yang digunakan Buddha saat itu masih
digunakan hingga sekarang misalnya ceramah, tanya jawab dan meditasi. Seiring
berkembangnya zaman maka muncul berbagai metode baru dalam penyampaian
Dhamma misalnya melalui internet, majalah dan lain sebagainya.
Peran upaya kausalya dalam merubah pola pikir dan pemahaman
masyarakat terhadap simbol-simbol agama Buddha. Dengan penyampaian
informasi yang benar tentang simbol agama Buddha akan mempermudah
pemahaman masyarakat terhdap simbol agama Buddha dan akan menciptakan
rasa saling menghormati antar umat beragama sehingga mampu menciptakan
suasana damai di Negara Indonesia.
Daftar Pustaka
Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia.
Dhammananda, Sri. 2002. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Karaniya.
12TU
U
http://revolusimental.go.id/
U12T
http://KMBUI.ui.ac.id/2015
128
MENYIKAPI KUANTITAS DAN KUALITAS PENERIMAAN
MAHASISWA PADA SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA
DALAM PERSPEKTIF REVOLUSI MENTAL
Puja Subekti
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
Quantity and quality of student admission became the problems faced by the
Buddhist Colleges in Indonesia. This matter happens because the logical
consequence of the population are Buddhists, the relevance of the study program
with the world of work and the large number of Buddhist Colleges. In order to
solve the problems is to do mental revolution. Coinciding with a moment of
mental revolution then all Buddhist Colleges administrators must respond with
the perspective that it does not matter quantity of the college students, but great
quality graduates is the main thing.
Keywords: quantity , quality , students , the perspective of mental revolution
Pendahuluan
Pendidikan merupakan jalan bagi segala kemajuan, segala kemajuan yang
telah terjadi di dunia ini adalah hasil dari pendidikan. Di era pemerintahan
presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusup Kala, Indonesia mengangkat gerakan
Revolusi mental untuk menggerakan perubahan menuju kemajuan bangsa.
Revolusi mental yang dijalankan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat,
terutama adalah Revolusi Mental di bidang pendidikan. Menyadari pentingnya
revolusi mental dalam bidang pendidikan maka hal tersebut secara tersurat telah
dicamtumkan dalam Nawa Citta yang merupakan agenda prioritas pemerintahan
saat ini, dalam Nawa Citta butir ke-5 tertulis “meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan...”.
Perkembangan agama Buddha juga telah ditopang oleh kegiatan pendidikan,
salah satu bukti nyata kekuatan sistem pendidikan yang dibangun oleh agama
Buddha adalah dibangunnya Universitas Nalanda pada
abad ke-5 Masehi.
Universitas Nalanda merupakan pusat pendidikan yang sangat maju dan
berkualitas pada jamanya sehingga menjadi pusat tujuan para pemikir dunia yang
ingin menimba berbagai Ilmu pengetahuan. Pada zaman sekarang pun di negara129
negara yang memiliki penduduk beragama Buddha juga telah mendirikan pusatpusat pendidikan yang berkarakter atau berbasis ajaran Buddha.
Nilai-nilai kebajikan ajaran agama haruslah dapat dijadikan pedoman
menjalani kehidupan sehari-hari untuk mencapai kebaikan dan kemajuan. Agar
nialai-nilai ajaran agama dapat menjiwai setiap segi kehidupan yang dijalankan
oleh masyarakatnya maka ajaran agama itu harus dipahami dan diresapi oleh
penganutnya. Salah satu cara yang baik untuk menanamkan nilai-nilai ajaran
agama adalah melalui pendidikan. Agama-agama besar di dunia ini telah maju
karena memiliki institusi-institusi pendidikan yang dibagun untuk menanamkan
nilai-nilai ajaranya kepada masyarakat luas. Kegiatan pendidikan terbukti efektif
untuk mempertahankan dan mengembangkan ajaran agama.
Agama Buddha di Indonesia juga telah memulai dan mengembangkan
eksistensinya melalui pendidikan. Telah banyak didirikan sekolah mulai dari
Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas yang bercirikan Agama Buddha. Walaupun pada kenyataanya
sekolah-sekolah tersebut belum menjadi sekolah yang paling unggul jika
dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang bercirikan agama Islam dan Agama
Kristen namun langkah nyata tersebut sangatlah bermanfaat sekali bagi
perkembangan agama Buddha. Dewasa ini dalam jenjang pendidikan tinggi,
agama Buddha juga telah membangun sekolah tinggi baik yang negeri maupun
swasta. Berdirinya Sekolah Tinggi Agama Buddha telah memberikan kesempatan
yang sangat baik sekali bagi putra-putri umat Buddha yang memiliki minat untuk
mendalami ajaran Buddha. Pendirian Sekolah Tinggi Agama Buddha juga sangat
membantu perkembangan pendidikan pada umumnya, sarjana-sarjana lulusan
Sekolah Tinggi Agama Buddha telah mengisi kekurangan-kekurangan guru
pendidikan Agama Buddha.
Dalam proses perjuangannya menuju cita-cita luhur menjadi penyelenggara
pendidikan berkualitas dunia maka tantangan yang dihadapi juga sangat besar.
Tantangan pertama berkaitan dengan keterbatasan sumber daya manusia terutama
para pendidik untuk perguruan tinggi, jika dibandingkan dengan syarat ideal bagi
perguruan tinggi. Diawal-awal perkembangan sekolah tinggi agama Buddha
130
masih banya pengajarnya yang hanya memiliki ijazah S1, namun seiring
perkembanganya dan juga tuntutan aturan pemerintah maka pendidik agama
Buddha telah berusaha untuk meningkatkan diri hingga ke jenjang S2, namun hal
itu belum cukup karena idealnya sekolah tinggi haruslah memiliki tenaka pendidik
yang bergelar doktor hingga profesor. Keadaan ini hingga kini masih menjadi
tantangan sekolah tinggi agama Buddha, dapat dilihat di Indonesia bahwa untuk
dosen agama Buddha yang telah memiliki gelar doktor Agama Buddha saja sangat
jarang apalagi yang sudah profesor. Tantangan yang kedua adalah sedikitnya
minat para siswa untuk melanjutkan pendidikanya ke sekolah tinggi agama
Buddha, hal ini dapat dilihat pada tiap-tiap sekolah tinggi agama Buddha yang
selalu mendapatkan mahasiwa baru dengan jumlah yang minim.
Penerimaan mahasiswa yang minim di sekolah tinggi agama Buddha
merupakan permasalahan yang merata dihadapi oleh setiap sekolah tinggi agama
Buddha di Indonesia, hal ini sebenarnya adalah hal yang wajar jika dikaikan
dengan persentase jumlah penduduk Indonesia yang beragama Buddha. Bukan
hanya dalam hal kuantitas mahasiswanya saja tetapi terkadang permasalah dan
tantangan bagi Sekolah Tinggi Agama Buddha juga ditambah dengan kualitas
input mahasiswanya yang juga tergolong rendah. Permasalahan-permasalahan ini
tentunya tidak bisa dianggap remeh karena untuk menghasilkan lulusan yang
berkualitas selain prosen yang baik maka inputnya juga harus baik. Dengan
adanya masalah klasik inilah maka penulis bermaksud membahasnya dalam
artikel ini dalam judul: “Mensikapi Kuantitas dan Kualitas Penerimaan
Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Agama Buddha
dalam Perspektif Revolusi
Mental”.
Pembahasan
Revolusi Mental dapat dikatakan berasal dari kata revolusi dan mental.
Menurut kamus umum bahasa indonesia kata revolusi berarti perubahan yang
sangat cepat. Kata revolusi sendiri memiliki antonim yaitu evolusi yang berarti
perubahan yang lambat. Sedangkan kata mental menurut kamus umum bahasa
indonesia berarti batin atau watak. Jadi kata revolusi mental berarti perubahan
131
batin, watak, psikologi dan kejiwaan manusia secara cepat. Lebih lanjut menurut
Joko Widodo yang mengankat jargon revolusi mental memberikan pengertian
sebagai berikut:
Jokowi juga mengungkapkan jargon revolusi mental yang diusungnya.
“Revolusi mental itu artinya membangun manusianya dulu, membangun
jiwanya. Pendidikan mulai dari SD persentasenya 70-30 persen
pembangunan karakter, sikap, perilaku dan budi pekerti. Menginjak ke
tingkatan SMP, 60-40 karakter juga masih ada. SMA/SMK 80-20 persen,
karakter. Tanpa pembangunan manusia yang kita dahulukan, sekaya apapun
sebuah negara, provinsi, ya, percuma. Kuncinya di pembangunan manusia,”
tandasnya
( http://surabaya.bisnis.com/read/20140516/25/71407/jokowijelaskan-apa-itu-yang-dimaksud-revolusi-mental ).
U
U
Joko Widodo juga mengungkapkan; “Indonesia, sebut Jokowi, merupakan
bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong.
Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat
membuatrakyat
sejahtera
( http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/
12TU
Jokowi.
dan.Arti.Revolusi.Mental ). Dari pernyataan yang telah disampaikan oleh Joko
U12T
Widodo maka dapat disimpulkan bahwa beliau sangat berharap bahwa revolusi
mental yang beliau canangkan mengutamakan revolusi kearah pembentukan
karakter bangsa, dan Joko Widodo sangat yakin bahwa revolusi mental yang
berkelanjutan haruslah dibangun melalui dunia pendidikan, mulai dari pendidikan
anak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi.
Lebih lanjut menurut Albert WS Kusen dosen di Universitas Samratulangi
mengatakan; “Revolusi Mental itu merujuk dari konsep revolusi, yakni suatu
perubahan drastis yang bersifat progres. Lawannya Evolusi (perubahan yang
sifatnya lambat) ( https://www.facebook.com/notes/albert-kusen/revolusi-mental12TU
sebuah-wacana-perlu-sabuk-pengaman-praksis-antropologi/101523459585334
49/ ). Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan revolusi adalah perubahan sosial dan
U12T
kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokokpokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat
direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa
kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya
132
relatif
karena
revolusi
pun
dapat
memakan
waktu
lama
( https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi ).
12TU
U12T
Konsep revolusi mental sebenarnya mengangkat apa yang telah dikobarkan
oleh Presiden RI yang pertama yaitu Presiden Sukarno, beliau merumuskan
pernyataanya tentang revolusi mental; “Revolusi mental merupakan satu gerakan
untuk mengggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang
berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang
menyala-nyala”. Dari peryataan tersebut terlihat jelas bahwa inti dari revolusi
mental adalah usaha yang kuat untuk membentuk karakter bangsa. Tentang
pembentukan karakter bangsa lebih jelas dari apa yang diungkapkan oleh Yudi
Latief, beliau menyatakan; “Menurut cendekiawan muda ini, revolusi mental
berangkat dari asumsi bahwa dengan mengubah mentalitas akan menimbulkan
perubahan perilaku. Perilaku yang terus diulang akan menjadi kebiasaan, adat
istiadat yang merupakan moralitas. Kebiasaan yang dipertahakan akan
membentuk karakter. Dengan demikian, yang dikehendaki dari gerakan revolusi
mental tidak berhenti pada perubahan pola pikir dan sikap kejiwaan saja, tetapi
juga perubahan kebiasaan, dan pembentukan karakter yang menyatukan antara
pikiran, sikap, dan tindakan sebagai suatu integritas” ( http://www.men
12TU
pan.go.id/berita-terkini/3689-yudi-latief-seminar-revolusi-mental ). Dari berbagai
U12T
pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa revolusi mental adalah usaha
sungguh-sungguh untuk membuat perubahan kearah yang lebih baik dengan
mengutamakan pembentukan karakter bangsa. Perubahan dilakukan dalam segala
bidang kehidupan dan pembentukan karakter terutama melalui dunia pendidikan
mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Kuantitas dan Kualitas Penerimaan Mahasiswa Baru
Kuantitas penerimaan mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha adalah
jumlah mahasiswa yang diterima oleh sekolah tinggi agama Buddha. Pada
umumnya jumlah mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha di Indonesia
relatif minim, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Kualitas penerimaan
mahasiswa pada sekolah tinggi agama Buddha adalah tingkat kemampuan
133
mahasiswa yang diterima pada sekolah tinggi agama Buddha. Selain minimnya
mahasiswa yang diterima pada sekolah tinggi agama Buddha juga terkadang
kualitas dari mahasiswa yang mendaftar di sekolah tinggi agama Buddha juga
tergolong paspasan. Berikut ditampilkan data jumlah mahasiswa pada sekolah
tinggi agama Buddha se-Indonesia.
No.
Kode PT
1.
283001
2.
283002
Nama PT
Jml.
Dosen
Tetap
Jml.
Mhs
Aktif
22
152
Rasio Dosen
Tetap/
Jumlah
Mahasiswa
1 : 6.9
Aktif
17
69
1 : 4.1
Aktif
7
3
1 : 0.4
Aktif
6
8
1 : 1.3
Aktif
2
0
1:0
Aktif
6
47
1 : 7.8
Aktif
7
0
1:0
Aktif
7
26
1 : 3.7
Aktif
6
32
1 : 5.3
Status
STAB Negeri
Sriwijaya
Tangerang
STAB
Negeri Raden
Wijaya
Sekolah
Tinggi
Agama
Buddha
Dutavira
Sekolah
Tinggi
Agama
Buddha
Dharma
Widya
STAB
Samantabadra
NSI
Sekolah
Tinggi
Agama
Buddha
Bodhi
Dharma
STIAB
Jinarakkhita
STAB
Maha Prajna
Jakarta
Sekolah
Tinggi
12T
12T
12T
12T
3.
293001
12T
12T
4.
293002
12T
12T
5.
293003
6.
293004
7.
293005
8.
293006
12T
12 T
12T
12 T
12T
12T
12T
12T
9.
134
293007
12T
Agama
Buddha
Maitreyawira
Sekolah
Tinggi
Agama
Buddha
Nalanda
Sekolah
Tinggi
Agama
Buddha
Syailendra
STAB
Dharmaduta
Mahayana
Tanah Suci
Indonesia
STIAB
Smaratungga
Sekolah
Tinggi
Agama
Buddha
Kertarajasa
12T
10.
293008
12T
Aktif
15
73
1 : 4.9
Aktif
7
1
1 : 0.1
Tutup
0
0
1:0
Aktif
7
64
1 : 9.1
Aktif
5
95
1 : 19
1 2T
11.
293009
12T
12T
12.
293010
13.
293011
14.
293012
12T
12T
12T
12T
12T
1 2T
Menyikapi Kuantitas dan Kualitas Penerimaan Mahasiswa
dalam Perspektif Revolusi Mental
Kesuksesan mencapai target penerimaan mahasiswa pada suatu perguruan
tinggi pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yang utama adalah kualitas pendidikan yang ditawarkan
dan relevansi bidang ilmu dengan dunia kerja. Sedangkan faktor luar terutama
pepulasi peminat yang mungkin meminati program studi yang ditawarkan dan
juga faktor informasi masyarakat. Pada sekolah tinggi agama Buddha tantangan
yang dihadapi dalam proses penerimaan mahasiswa menjadi lengkap karena
faktor dari dalam yaitu kualitas pendidikan dan relevansi bidang ilmu dengan
dunia kerja dapat dikatakan rendah. Tantangan faktor luar juga menjadi lengkap
karena populasi yang memungkinkan berminat terhadap pendidikan di sekolah
tinggi agama Buddha juga rendah. Masalah dalam penerimaan mahasiswa baru
135
juga tidak hanya dalam kuantitas tapi masalah kualitas mahasiswa yang terjaring
menjadi mahasiswa baru juga terkadang rendah.
Menyadari kenyataan bahwa faktor-faktor penyebab minimnya kuantitas
dan kualitas penerimaan mahasiswa tidak bisa dihindari maka para pimpinan
dalam sekolah tinggi agama Buddha harus dapat membuat kebijakan yang benarbenar tepat untuk menyikapi masalah tersebut. Selama ini umumnya sekolah
tinggi agama Buddha hanya mengandalkan penawaran-penawaran kemudahan
dalam menjaring mahasiswa maka hal itu tidaklah efektif untuk jangka panjang.
Demikian juga inisiatif memberikan bonus uang kepada karyawan sekolah tinggi
agama Buddha yang dapat membawa mahasiswa baru juga tidak akan efektif
untuk jangka panjang.
Saat ini bertepatan dengan program pemerintahan yang mengusung jargon
Revolusi Mental maka tidaklah salah jika sekolah tinggi agama Buddha
menggunakan semangat dan nilai revolusi mental dalam menyikapi kenyataan
permasalahan kuantitas dan kualitas penerimaan mahasiswa pada sekolah tinggi
agama Buddha. Hal utama yang segera harus dilakukan adalah membuang
kebiasaan mental mengeluhkan hal yang tidak ada, tetapi saat ini waktunya
menyadari dan menghargai yang sudah ada. Jangan mengeluhkan berapa
mahasiswanya dan siapa mahasiswanya, tetapi harus bertanya bagaimana
menjadikan yang ada ini menjadi permata.
Dalam semangat revolusi mental maka saat ini seharusnya seluruh pimpinan
sekolah tinggi agama Buddha berfokus pada upaya memberikan pendidikan
terbaik bagi mahasiswa yang sudah terjaring menjadi mahasiswa. Manajemen
kampuas harus berfokus pada penggunaan segala strategi yang benar-benar dapat
menjadikan mahasiswa yang ada menjadi lulusan yang berkualitas berlian. Tidak
terlalu penting seberapa banyak lulusan yang dapat dihasilkan, tetapi yang
terutama adalah bagaimana kualitas lulusan yang dapat dihasilkan. Seperti
pepatah bahwa segemgam permata lebih berguna daripada segunung batu.
Demikian juga seharusnya cara berpikir para pimpinan sekolah tinggi lebih fokus
terhadap penerapan cara-cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mengkondisikan
agar seberapapun mahasiswa yang terjaring dapat menjadi lulusan terbaik dengan
136
kualitas berlian sehingga lulusan akan benar-benar berguna bagi masyarakat
Buddhis dan masyarakat luas.
Selama ini yang terjadi bahwa kepengurusan sekolah tinggi lebih cenderung
berkutat pada kebingungan menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya namun
mengabaikan memberikan pendidikan terbaik bagi mahasiswa yang sudah ada.
Sekolah tinggi agama Buddha mesti menjadi tempat studi yang unggul dalam hal
pembentukan karakter, namun pada kenyataanya tidaklah seperti yang diharapkan.
Sekolah tinggi agama Buddha negeri sriwijaya yang merupakan salah satu sekolah
tinggi agama Buddha negeri haruslah menjadi pelopor sebagai sekolah tinggi yang
mengutamakan pembentukan karakter atau harus menjadi sekolah tinggi yang
unggul dalam pembentukan karakter mahasiswanya. Para pimpinan sekolah tinggi
agama Buddha haruslah cermat dalam memahami pola pergaulan mahasiswanya
jangan sampai mahasiswa sekolah tinggi agama Buddha malah memiliki kebiasan
pergaulan yang lebih buruk dari mahasiswa pada umumnya.
Untuk sekolah tinggi agama Buddha negeri sriwijaya hal yang harus
dilakukan pada saat ini mengenai pola pergaulan mahasiswa adalah menciptakan
sistem asrama yang baik dan benar yang dapat mengkondisikan mahasiswa benarbenar terbentuk karakternya. Yang kedua juga harus dilakukan kerjasama dengan
lingkungan masyarakat agar mahasiswa yang tinggal di kos atau dikontrakan
dapat menjalani kehidupan yang lebih berkarakter. Sudah menjadi rahasia yang
umum bahwa ada beberapa mahasiswa sekolah tinggi agama Buddha negeri
sriwijaya yang terlalu bebas hidup di kontrakan bersama mahasiswi. Hal ini
tentunya akan menjadi awal yang buruk bagi perkembangan karakter mereka
sebagai mahasiswa di sekolah tinggi agama Buddha.
Dengan semangat revolusi mental maka sekolah tinggi agama Buddha harus
mengutamakan pembentukan karakter mahasiswanya, hal ini akan benar-benar
terwujud apabila para pimpinanya memiliki visi dan misi yang jelas tentang
pengutamaan pembentukan karakter mahasiswa. Jika para pimpinanya telah
memiliki visi dan misi yang jelas kemudian konsisten dengan apa yang telah
ditetapkan maka bisa diharapkan seluruh civitas akademikanya akan bersemangat
dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Dengan
137
pimpinan yang memiliki visi dan misi yang jelas, konsistensi dalam
pelaksanaanya dan dukungan penuh dari seluruh masyarakat kampus maka tujuan
dari revolusi mental yaitu pembentukan masyarakat yang berkarakter dapat
terwujud di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya.
Penutup
Kesimpulannya bahwa penerimaan mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama
Buddha Sriwijaya relatif rendah/minim, hal ini merupakan konsekuensi logis dari
jumlah penduduk yang beragama Buddha, relevansi program studi dengan dunia
kerja dan banyaknya sekolah tinggi agama Buddha yang sudah didirikan. Dalam
masa revolusi mental ini maka para pimpinan sekolah tinggi agama Buddha
Sriwijaya harus menyadari realitas bahwa jumlah mahasiswa yang dapat dijaring
kuantitasnya sedikit, tetapi ada hal yang mesti menjadi perhatian utama yaitu
tekad untuk mendidik mahasiswa yang sedikit ini dengan cara yang terbaik agar
menjadi lulusan yang berkualitas berlian. Walau sedikit jika menjadi lulusan yang
berkualitas maka akan memberikan pengaruh yang baik bagi kampus dan
masyarakat.
Sarannya, Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya harus segera
berupaya untuk mengambil langkah-langkah strategis yang dapat memberikan
pendidikan yang terbaik kepada mahasiswa. Langkah-langkah nya yang harus
segera diambil adalah menciptakan suasana yang baik di asrama dan memberikan
perhatian khusus terhadap para mahasiswa yang tinggal di kontrakan dengan
menjalin kerjasama dengan masyarakat di lingkungan kampus.
Daftar Pustaka
Albert Kusen: https://www.facebook.com/notes/albert-kusen/revolusi-mentalsebuah-wacana-perlu-sabuk-pengaman-praksis
antropologi/10152345958533449/ . Diakses pada Rabu, 6 Januari 2016.
12TU
U12T
Indra Kuntono: http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi .
danArti.Revolusi.Mental. Diakses pada Rabu, 6 Januari 2016.
12TU
U12TU
U
138
Mariyana Ricky: http://surabaya.bisnis.com/read/20140516/25/71407/jokowijelaskan-apa-itu-yang-dimaksud-revolusi-mental . Diakses pada Rabu, 6
Januari 2016.
U
U
Humas Menpan RB: http://www.menpan.go.id/berita-terkini/3689-yudi-latiefseminar-revolusi-mental . Diakses pada 5 Januari 2016.
12TU
U12T
U
https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi . Diakses pada Rabu, 6 Januari 2016.
U
139
STRATEGI MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL
MELALUI PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA
12T
Puji Sulani
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
This study aims to describe the strategy to realize the mental revolution
through Buddhist education. This study was conducted by conducting a SWOT
analysis in Buddhist education as a basis for planning strategies mental
revolution. Based on this analysis, the strategy pursued to realize the mental
revolution conducted with socialization mental revolution and internalization of
values in Buddhism as well as the value of mental revolution by utilizing
educational institutions and educators; take advantage of the government’s
attention, science and technology, and optimize cooperation with government
institutions engaged in education to change curriculum so oriented on cognitive
aspects are integrated in affective and psychomotor abilities; service changes
learners and Buddhists to provide quality service.
Keywords: strategy, mental revolution, Buddhist education
Pendahuluan
Merosotnya karakter dan mentalitas bangsa Indonesia yang kurang baik
diatasi melalui gerakan bersama oleh komponen bangsa dari lapisan terendah
hingga yang tertinggi. Gerakan tersebut dinamakan dengan revolusi mental.
Gaung revolusi mental digerakkan oleh Presiden Jokowi mencakup semua aspek
dan sendi kehidupan bangsa Indonesia. Revolusi mental merupakan transformasi
etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, semangat dan moralitas yang
menjelma ke dalam perilaku dan tindakan sehari-hari (Supelli, 2015: 6); yang
berhubungan dengan kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar
(Susetyo, 2015: 12).
Gerakan revolusi mental diawali dari diri, kemudian dilakukan di
lingkungan keluarga, lingkungan tempat tingggal, lingkungan kerja dan meluas
menjadi
U
lingkungan
kota
dan
lingkungan
negara
(Jokowi,
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/1603015/revolusi.mental ). Revolusi
U
mental dapat dilakukan oleh diri sendiri sesuai konteks dalam berbagai aspek
kehidupan. Artinya, pola pikir yang menghambat dari perubahan terkecil hingga
141
perubahan terbesar berupa perubahan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan
berkepribadian sebagaimana harapan Jokowi, dapat diubah saat ini juga, dengan
diawali dari diri sendiri.
Revolusi mental telah dilakukan oleh Siddharta Gotama dalam perjalanan
hidupnya mencari kebahagiaan sejati. Ia mengubah jalan salah menjadi benar, dari
jalan ektrim menjadi Jalan Tengah, dari menempuh cara bertapa dengan menyiksa
diri hingga menjalani pertapaan yang benar. Revolusi mental yang dilakukan
memberi hasil terealisasinya kebahagiaan akhir, nibbāna dan tercapainya
kebuddhaan oleh Petapa Siddharta. Buah manis dari revolusi mental Petapa
Siddharta hingga menjadi Buddha diawali dari diri sendiri dan membawa
pengaruh bagi lingkungan dan masyarakat di masa itu. Siswa utama Buddha yang
memiliki latar belakang mentalitas yang rapuh, anak yang terlalu patuh pada guru
tetapi hampir durhaka kepada ibunya sendiri berhasil merevolusi mentalnya
karena Buddha Gotama. Angulimala, menjadi pembunuh karena kepatuhan
terhadap gurunya kemudian berhasil melakukan revolusi mental setelah
ditaklukkan oleh Buddha dengan menjalani kehidupan sebagai samaṇa.
Kesuksesan gerakan revolusi mental secara nasional tergantung pada
strategi dan keterlibatan seluruh aspek serta komponen bangsa. Pendidikan turut
berperan terhadap kesuksesan gerakan ini dengan mengarahkan sistem pendidikan
agar generasi bangsa memiliki mentalitas yang lebih baik. Sesungguhnya,
kebijakan sistem pendidikan yang mengarah pada revolusi mental telah dilakukan
pemerintah sebelumnya melalui pendidikan karakter. Antara pendidikan karakter
dengan revolusi mental memiliki satu tujuan yaitu membentuk karakter bangsa
yang lebih baik, sebagaimana konsep Trisakti ketiga sebagai salah satu akar
revolusi mental yakni Indonesia yang berkepriadian secara sosial budaya. Prinsip
pengembangan pendidikan karakter dilakukan secara berkelanjutan; melalui
semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan; serta
nilai yang tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar (Direktur
Ketenagaan, 2010: 11-12).
Pendidikan Agama Buddha menjadi salah satu bagian dalam revolusi
mental, baik dari segi mata pelajaran maupun komponen Pendidikan Agama
142
Buddha itu sendiri. Masalah yang muncul adalah sejauhmana pengetahuan,
pemahaman, kesiapan dan strategi yang telah disiapkan dalam membantu
mewujudkan revolusi mental oleh pemangku kepentingan Pendidikan Agama
Buddha. Gaung revolusi mental yang disosialisasikan di kalangan pemangku
kepentingan Pendidikan Agama Buddha sampai saat ini belum terdengar, hanya
baru akan dilakukan oleh salah satu Lembaga Pendidikan Keagamaan Buddha
(LPKB) atau Pendidikan Tinggi Keagamaan Buddha (PTKB) yaitu STABN
Sriwijaya melalui seminar bertema revolusi mental dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu, kajian ini difokuskan pada strategi mewujudkan revolusi mental
melalui Pendidikan Agama Buddha. Tujuan kajian ini adalah untuk menawarkan
kepada pemangku kepentingan seperti LPKB, pemerintah, guru, sekolah
bercirikan Buddhis pada khususnya, serta praktisi dan pemerhati Pendidikan
Agama Buddha dalam membantu gerakan revolusi mental.
Mewujudkan Revolusi Mental Melalui Pendidikan Agama Buddha
Pendidikan Agama Buddha merupakan usaha yang dilakukan secara
terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan
ajaran agama Buddha (BSNP, 2006: 89). Pendidikan Agama Buddha memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik
dalam mengamalkan ajaran agama Buddha.
Gerakan revolusi mental yang diprakarsi oleh Presiden Jokowi, menuntut
peran Pendidikan Agama Buddha dalam mewujudkannya. Peran Pendidikan
Agama Buddha adalah sebagai media dalam merevolusi mental peserta didik dan
umat Buddha pada umumnya, agar memiliki mental yang lebih baik sesuai dengan
ajaran agama Buddha. Peran tersebut dilakukan dengan usaha sadar dan terencana
dengan mengembangkan kemampuan peserta didik dan umat Buddha untuk
memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama
Buddha melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Dengan
143
demikian Pendidikan Agama Buddha memiliki posisi strategis sebagai media
revolusi mental umat Buddha yang tidak hanya dilakukan pada pendidikan agama
di sekolah formal, tetapi juga pada sekolah atau lembaga pendidikan nonformal
bahkan pada jalur pendidikan informal yakni keluarga dan lingkungan atau
masyarakat.
Peran tersebut berimbas pada kesiapan pemangku kepentingan Pendidikan
Agama Buddha untuk memikul tanggung jawab dalam mewujudkan revolusi
mental baik bagi dirinya sendiri sebagai pelaku ataupun objek pendidikan.
Tanggung jawab tersebut membutuhkan persiapan matang yang melibatkan
berbagai komponen Pendidikan Agama Buddha. Komponen pendidikan terdiri
dari komponen dasar dan pendukung. Komponen dasar meliputi peserta didik,
proses pembelajaran, lulusan sesuai dengan kompetensi, pendidik, kurikulum dan
bahan pembelajaran. Komponen pendukung terdiri dari peralatan, perpustakaan,
laboratorium, ruang pembelajaran, tempat ibadah, tenaga kependidikan, dan
manajemen satuan pendidikan (Suparman, 2012: 38). Berdasarkan pada acuan
normatif, komponen pendidikan merupakan bagian dari Standar Nasional
Pendidikan yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan (Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 35 ayat (1) tentang
Sistem Pendidikan Nasional).
Analisis SWOT Pendidikan Agama Buddha
Upaya mewujudkan revolusi mental melalui Pendidikan Agama Buddha
diperlukan rencana strategis melalui sistem yang melibatkan komponen
Pendidikan Agama Buddha baik formal, nonformal maupun informal. Perumusan
strategi revolusi mental dalam Pendidikan Agama Buddha perlu dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan kajian mendalam melalui analisis SWOT. Analisis
SWOT
merupakan
akronim
dari
kekuatan
(Strengths)
dan
kelemahan
(Weaknesses) internal serta peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats)
eksternal Pendidikan Agama Buddha. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi
bahwa strategi yang efektif diturunkan dari kesesuaian yang baik antara sumber
144
daya internal yaitu kekuatan dan kelemahan dengan situasi eksternal berupa
peluang dan ancaman. Apabila asumsi tersebut diterapkan akan berimplikasi pada
keberhasilan dari strategi yang dilakukan (Pearce & Robinson, 2008: 200).
Pendidikan Agama Buddha memiliki kekuatan dan kelemahan, tetapi juga
memiliki peluang dan tantangan dalam rangka mewujudkan revolusi mental.
Kekuatan yang dimiliki oleh Pendidikan Agama Buddha berdasarkan komponen
pendidikan yaitu memiliki lembaga pendidikan dan institusi pemerintah yang
strategis dari lokasi maupun posisi dalam masyarakat dan pemerintahan, peserta
didik dan umat tersebar di hampir seluruh provinsi dan cenderung berkelompok,
pembelajaran dilakukan pada jalur pendidikan formal dan nonformal, memiliki
pendidik pada lembaga pendidikan formal dan nonformal, sarana prasarana pada
beberapa wilayah terutama perkotaan cukup memadai dan memiliki nilai-nilai
sebagai sumber revolusi mental. Kelemahan yang dimiliki oleh Pendidikan
Agama Buddha berdasarkan komponennya yaitu pemahaman pemangku
kepentingan terhadap revolusi mental minim, kompetensi lulusan belum sesuai
dengan tujuan pendidikan agama Buddha, pendidik tidak tersebar merata dan
pendidik pada jalur pendidikan nonformal belum memenuhi kualifikasi,
ketersediaan media dan alat komunikasi yang mendukung di desa terbatas,
kurikulum cenderung berorientasi pada aspek kognitif yang rendah, kurang
mampu secara ekonomi, komitmen yang rendah, sistem yang belum tertata.
Pendidikan Agama Buddha dari segi internal teridentifikasi memiliki
kekuatan tetapi juga memiliki kelemahan. Dari segi eksternal, Pendidikan Agama
Buddha memiliki peluang yang dapat dimanfaatkan selain memiliki ancaman
yang harus dihadapi. Peluang tersebut yaitu perhatian pemerintah terhadap
pengembangan Pendidikan Agama Buddha semakin baik, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memberikan akses untuk mengembangkan sistem
Pendidikan Agama Buddha dan kerjasama dengan instansi pemerintah yang
bergerak dalam bidang pendidikan mulai terbuka. Ancaman yang menghalangi
Pendidikan Agama Buddha untuk mewujudkan revolusi mental diantaranya
adalah adanya pengaruh lingkungan peserta didik atau umat Buddha, dukungan
145
masyarakat luas yang kurang dan sikap intoleransi terhadap peribadatan dan
pemahaman ajaran agama Buddha.
Salah satu dari empat elemen SWOT yang paling banyak dimiliki yaitu
kelemahan, sedangkan yang paling sedikit adalah ancaman. Berdasarkan uraian
tersebut maka diidentifikasikan kelemahan dan ancaman yang paling cepat harus
diatasi. Kelemahan yang harus segera diatasi adalah pemahaman pemangku
kepentingan terhadap revolusi mental minim serta kurikulum cenderung
berorientasi pada aspek kognitif yang rendah. Ancaman yang harus segera diatasi
adalah adanya pengaruh lingkungan peserta didik atau umat Buddha. Kelemahan
dan ancaman tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang
yang dimiliki.
Kekuatan yang dimiliki dan sesuai untuk mengatasi kelemahan dan
ancaman adalah memiliki lembaga pendidikan dan institusi pemerintah yang
strategis, peserta didik dan umat tersebar di hampir seluruh provinsi dan
cenderung berkelompok, pembelajaran dilakukan pada jalur pendidikan formal
dan nonformal, memiliki pendidik pada lembaga pendidikan formal dan
nonformal dan memiliki nilai-nilai sebagai sumber revolusi mental. Peluang yang
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kelemahan dan ancaman adalah perhatian
pemerintah terhadap pengembangan Pendidikan Agama Buddha semakin baik,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan akses untuk
mengembangkan sistem Pendidikan Agama Buddha dan kerjasama dengan
instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan mulai terbuka.
Strategi Mewujudkan Revolusi Mental
Berdasarkan analisis SWOT tersebut, maka dapat ditentukan strategi
mewujudkan revolusi mental melalui Pendidikan Agama Buddha. Strategi
pertama adalah dengan menggunakan kekuatan dan peluang dengan cara
memanfaatkan lembaga pendidikan untuk melakukan sosialisasi revolusi mental;
mengoptimalkan institusi pemerintah dalam menjalin kerjasama dengan instansi
pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk mengembangkan peran
Pendidikan Agama Buddha dalam revolusi mental, memanfaatkan kemajuan ilmu
146
pengetahuan dan teknologi untuk sosialisasi revolusi mental bagi semua jalur,
memberikan sosialisasi revolusi mental bagi pendidik agar menjadi agen
perubahan mental melalui pembelajaran, memanfaatkan lembaga pendidikan serta
pendidik dalam melakukan internalisasi nilai-nilai dalam agama Buddha sebagai
sumber revolusi mental bagi peserta didik dan umat Buddha.
Strategi kedua adalah dengan menggunakan kelemahan dan peluang.
Kelemahan yang dimiliki Pendidikan Agama Buddha dan harus segera diatasi
adalah kompetensi lulusan belum sesuai dengan tujuan pendidikan agama
Buddha, pemahaman pendidik dan pemangku kepentingan terhadap revolusi
mental minim, kurikulum cenderung berorientasi pada aspek kognitif yang rendah
dan sistem yang belum tertata. Kelemahan tersebut diatasi dengan memanfaatkan
peluang yakni dengan memanfaatkan sebaik mungkin perhatian pemerintah dan
mengoptimalkan kerjasama dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam
bidang pendidikan dalam rangka mewujudkan kompetensi lulusan sesuai tujuan
Pendidikan Agama Buddha, sosialisasi revolusi mental dan pembenahan
kurikulum agar lebih baik.
Strategi ketiga dilakukan dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi
ancaman. Kekuatan yang diprioritaskan untuk mengatasi ancaman adalah
memanfaatkan lembaga pendidikan serta pendidik dalam melakukan internalisasi
nilai-nilai dalam agama Buddha sebagai sumber revolusi mental maupun nilai
revolusi mental sendiri dalam menghadapi pengaruh lingkungan yang dapat
menurunkan mentalitas peserta didik dan umat Buddha serta untuk memperkokoh
saddha dan khanti dalam menghadapi kurangnya dukungan maupun sikap
intoleransi sebagian masyarakat.
Strategi keempat adalah dengan mengatasi kelemahan dan ancaman.
Kelemahan yang diprioritaskan untuk diatasi adalah pemahaman pendidik dan
pemangku kepentingan terhadap revolusi mental minim yang diatasi dengan
sosialisasi, serta kurikulum yang cenderung berorientasi pada aspek kognitif
rendah yang diatasi dengan evaluasi dan perubahan kurikulum sebagaimana saran
Supelli (2015: 9) agar model pendidikan berorientasi pada aspek kognitif secara
lebih utuh yang terintegrasi ke kemampuan afektif dan komitmen untuk bertindak
147
atau psikomotor. Ancaman adanya pengaruh lingkungan yang dapat menurunkan
mentalitas peserta didik dan umat Buddha diatasi dengan perubahan pelayanan
peserta didik dan umat Buddha, oleh pendidik dan pengelola atau pembina dari
lembaga pendidikan nonformal dan lembaga keagamaan sebagaimana harapan
Haryatmoko (2015: 22) akan adanya perubahan dalam pelayanan publik dengan
memberikan pelayanan yang berkualitas.
Strategi-strategi tersebut dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan
dengan telah mempertimbangkan dan menganalisis permasalahan yang ada dalam
Pendidikan Agama Buddha. Melalui strategi tersebut, maka secara tidak langsung
sumber daya manusia sebagai komponen Pendidikan Agama Buddha melakukan
revolusi mental terhadap dirinya sendiri. Revolusi mental terhadap diri sendiri
dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, vihara dan masyarakat sehingga
menjadi membudaya dan mempengaruhi mental orang-orang sekitar.
Simpulan
Gerakan revolusi mental berimbas pada kesiapan pemangku kepentingan
Pendidikan Agama Buddha untuk mewujudkan revolusi mental baik bagi dirinya
sendiri sebagai pelaku ataupun objek pendidikan. Dalam rangka mewujudkan
gerakan tersebut, perlu dilakukan rencana strategis dengan terlebih dahulu
melakukan analisis SWOT untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan internal
serta peluang dan ancaman eksternal Pendidikan Agama Buddha.
Strategi yang direncanakan untuk melakukan gerakan revolusi mental
melalui Pendidikan Agama Buddha dilakukan dengan sosialisasi revolusi mental
dan internalisasi nilai-nilai dalam agama Buddha serta nilai revolusi mental
dengan memanfaatkan lembaga pendidikan serta pendidik; memanfaatkan
perhatian pemerintah, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengoptimalkan
kerjasama dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan;
melakukan perubahan kurikulum agar berorientasi pada aspek kognitif secara
lebih utuh yang terintegrasi ke kemampuan afektif dan psikomotor; dan perubahan
pelayanan peserta didik dan umat Buddha dengan memberikan pelayanan yang
berkualitas.
148
Saran
Kesuksesan gerakan revolusi mental melalui Pendiidkan Agama Buddha
membutuhkan uluran tangan seluruh komponen pendidikan. Berdasarkan hal
tersebut hasil pembahasan di atas, penulis memberikan saran agar PTKB
memberikan dukungan melalui sosialiasai dan mengembangkan model pendidikan
dan pembelajaran; pendidik menyiapkan diri untuk merevolusi mental diri dan
peserta didik; lembaga pendidikan nonformal turut andil melakukan gerakan
revolusi mental; dan pemerintah melalui Ditjen Bimas Buddha mendukung
sepenuhnya gerakan tersebut melalui internalisasi sumber daya manusianyan.
Daftar Pustaka
Supelli, Karlina. 2015. “Revolusi Mental sebagai Paradigma Strategi
Kebudayaan”. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga
Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014. Semiarto Aji Purwanto (ed).
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.
Susetyo, A. Benny. 2015. “Implementasi Revolusi Mental dalam Konteks
Kehidupan Berbangsa sebagai Manusia Merdeka”. Revolusi Mental sebagai
Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014.
Semiarto Aji Purwanto (ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kebudayaan.
Haryatmoko. 2015. “Revolusi Mental di Ranah politik: Orientasi Pelayanan
Publik dan Pola Baru Seleksi Pejabat Publik”. Revolusi Mental sebagai
Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014.
Semiarto Aji Purwanto (ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kebudayaan.
Direktorat Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Kerangka
Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010. Jakarta: Direktorat
Ketenagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendiknas.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006. Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah: Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar SD/MI. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan.
Joko Widodo. 2014. “Revolusi Mental”. http://nasional.kompas.com/read/
2014/05/10/1603015/revolusi.mental . Diakses tanggal 8 Januari 2016.
12TU
U12TU
U
149
Suparman, Atwi. 2012. Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar
dan Inovator Pendidikan. Jakarta: Erlangga.
Pearce II, John A., Robinson, Jr., Richard B. 2008. Manajemen StrategisFormulasi, Implementasi, dan Pengendalian. terj. Yanivi Bachtiar dan
Christine. Jakarta: Salemba Empat.
150
REVOLUSI MENTAL YANG SUKSES
DENGAN JURUS KEPEMIMPINAN BUDDHA
Puriati
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
12T
Abstract
It is time for educators to implement the mental revolution plunged the
nation, especially to the students that we nurture. As a lecturer means to
synchronized a way of life, especially dealing with thoughts, words and deeds/
actions. "Every state is a result of what we have thought and shaped by our
thoughts ..." From thinking, someone would deliver the speech, from what was
said someone would do through deeds. If the major role the leaders did not
realize what s/he was thinking, spoken and action. Errors that have repeatedly
performed together in public life gradually become a national disaster such as
experienced at present.
Characteristics of society and the life of academic scholars, dynamic, and
being critical has a strategic potential to do critical review, and disseminate a
great idea of Mental Revolution. It is appropriate if the Mental Revolution starts
from education, considering education as a strategic role to fom children's mental
nation. In addition, the development of culture and national character are
realized through the area of education. "The leader of Sriwijaya rightly STAB
succession participate directly in the “mental revolution in education”, not just
the idea alone, but an aspiration and advertisement to be realized in greeting for
educational purposes.
Keywords:buddhist leadership, mental revolution
Pendahuluan
Seorang Pemimpin seharusnya mau menerima nasihat atau kritik dari orang
lain. Nasehat atau masukan orang yang tulus dan murni akan membantu dirinya
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab/kekuasaan yang sedang
dijalankan. Lembaga pendidikan Buddha pada umumnya masih tertinggal
dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya, meskipun sudah ada beberapa
yang sudah dapat menjadi percontohan.
Seorang Pemimpin dapat menunjukkan loyalitas pada partner kerja dan
masyarakat, Buddha memberikan rumus untuk para pemimpin/raja dengan; Dasa
Raja-Dhamma yaitu; berdana (dana), kemoralan (sila), berkorban (pariccaga),
ketulusan hati (ajjava), ramah tamah (maddava), kesederhanaan (tapa), tidak
151
marah (akkodha), tidak melakukan kekerasan (avihimsa), kesabaran (khanti),
tidak bertentangan dengan kebenaran (avirodhana) (Kaharuddin, 2004). Jika ada
pemimpin yang melaksanakan Dasa Raja-Dhamma ini, maka pemimpin tersebut
sangat luar biasa. Para pemimpin yang sangguh berbuat
sesuai Dasa Raja-
Dhamma akan disenangi oleh masyarakat yang di pimpinnya.
Kepemimpinan organisasi pendidikan STAB Negeri Agama Buddha
memfokuskan pada kepemimpinan yang memperjuangkan lulusan
yang
berkualitas Buddhisme di bumi Nusantara. STAB Negeri Sriwijaya berkomitmen
bersama para pengelola STAB dapat membina dan mencetak kader-kader umat
Buddha yang siap bertugas di masyarakat wilayah Indonesia.
Pembahasan
Menginplemtasikan Kepemimpinan Organisasi Pendidikan merupakan salah
satu
unsur
Manajemen
Pendidikan
( https://closetonatura.wordpress.com/
1 2TU
manajemen-plh/unsur-manajemen/ ) antara lain: man (manusia), money (uang),
U12T
material (bahan baku), machine (mesin), method (metode), market (pasar).
Sedangkan
12T
11T
unsur-unsur
yang
ada
pada
Manajemen
Pendidikan
yaitu;
Planning/ perencanaan , organising/ pengorganisasian , actuating/controlling /
11T12T
11T12T
11T12T
11T12T
12T
mengendalikan. Maka untuk berjalannya suatu organisasi, kepemimpinan
memegang peran yang sangat penting.
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah bagaimana peran para
pemimpin organisasi pendidikan agama Buddha di Kampus STAB Negeri
Sriwijaya Tangerang Banten mengimplementasikan kepemimpinan sesuai yang
ditunjukkan oleh Buddha?
Kegunaan Teoritik, Kepemimpinan Organisasi Pendidikan STAB Negeri
Sriwijaya Tangerang Banten, diharapkan dapat mengetahui perjuangan para
Pemimpin khususnya sebagai Ketuanya, agar masyarakat sekitar dan berbagai
wilayah tanah air dapat berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki,
hal ini sangat bermanfaat bagi para tokoh Buddhis dan umat Buddha di daerah
yang sangat membutuhkan bimbingan khususnya untuk generasi mudanya.
Jumlah umat Buddha tergolong kecil dicatatan stastitik, namun keberadaan umat
152
Buddha meyebar di wilayah Tanah Air. Pembinaan umat Buddha yang menyebar
di wilayah tanah air ini memerlukan para pendidik Dhamma/, pengetahuan,
kesejahteraan dan strategi yang tepat.
Hak pendidikan bangsa telah dijamin oleh undang-undang khususnya alinea
4 UUD 1945, yang dijabarkan pada bab XIII pasal 31 ayat 1 dan ayat 2. Adanya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, khususnya
pasal 13 Ayat 1 dan pasal 54 ayat 1 dan 2, memiliki prospek dan strategis bagi
lembaga-lembaga agama, khususnya Agama Buddha untuk dapat “kontributif dan
kontekstual”, akan menjadi panduan operasionl-fungsional yang dapat dirasakan
bagi kebutuhan masyarakat. Maka para tokoh Agama Buddha, para Pendidik dan
Bhikkhu Sangha serta penyadang Dana/Donatur, mengunakan Alat penyampaian
ajaran agama, salah satunya yaitu melalui Kepemimpinan Organisasi Pendidikan,
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, untuk
lulusan buddhis yang berkualitas di Indonesia.
Kegunaan praktik, melalui kepemimpinan organisasi pendidikan STAB
Negeri Sriwijaya Tangerang Banten,
ajaran Sang Buddha dapat dilestarikan
secara profesional, bagi orang bijaksana menemukan ajaran/Dhamma/Dharma
merupakan berkah termulia di Dunia ini. Mereka yang memahami dari luar dan
dalam batinnya akan berjuang lebih keras lagi agar dapat terbebas dari Dukkha.
Perjuangan dalam Dhamma semata-mata dilakukan karena kendaraan untuk
mencapai cita-cita luhur (Nibbana) adalah kebajikan termulia.
Praktik langsung untuk menyadari keadaan Sifat Tilakhana (tiga corak
umum) yaitu Anica (ketidak kekalan), Dukkha (derita akibat perubahan terus
menerus) dan Anattha (tanpa inti atau diri yang kekal) menyadarkan makluk
untuk segera menyelesaikan tugas di dunia ini, jalan yang harus ditempuh antara
lain adalah melakukan sila (moral), samadhi (konsentrasi/ pikiran baik yang
terpusat) dan panna (kebijaksanaan). semua makhluk tanpa kecuali,
harus
berjuang sesuai dengan kemampuan masing-masing, untuk mencapai sukses
hingga tujuan akhir kebahagiaan sempurna (nibbana).
Praktik dari revolusi mental yang diungkapkan jokowi, sikap integritas, etos
kerja yang baik dan gotong royong adalah nilai revolusi mental yang dibutuhkan
153
mahasiswa STABN Sriwijaya. Mental masyarakat yang apatis terhadap
perbedaan, serakah ingin menang sendiri, kecendungan kekerasan untuk
menyelesaikan masalah dan berbagai penyakit masyarakat lainnya, dapat kita
ubah dengan menerapkan prinsip-prinsip dhamma dan merubah / merevolusi
mental masyarakat khususnya mahasiswa STABN Sriwijaya agar terciptanya
lulusan yang berkualitas dan berguna untuk bangsa.
Dasar kepemimpinan organisasi pendidikan
STAB Negeri Sriwijaya
Tangerang Banten, agar para pemimpin beserta umat Buddha dapat berpartisifasi
terhadap lulusan yang berkualitas Agama Buddha di Indonesia, adalah karena
Ajaran/Dhamma itu menekankan pada etika dan moral dalam hidup seseorang
dapat dipertahankan melalui Pendidikan Tinggi yang nantinya generasi
mendatang dapat mengenalnya kembali serta mempraktekkannya di manapun
mereka
berada.
Dhamma/ajaran
Buddha
tersebut
antara
lain
adalah:
Kebijaksanaan/panna (Pandangan Benar, Pikiran Benar), moral/sila (Perbuatan
Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar), Konsentrasi/Samadhi (Perhatian Benar,
Konsentrasi Benar). Pelatihan kebijaksanaan, moral dan konsentrasi, dapat
merealisasikan kebenaran anatta (ketidak kekalan) dan Paticca-samuppada
(hukum sebab musabab yang saling bergantungan). Praktik
ajaran Buddha
dilaksanakan agar umat Buddha mencapai cita-cita Nibbana/Nirvana (Kebebasan
mutlak).
Sang Buddha adalah seorang Pemimpin dan guru/teladan yang luar biasa
tentang kebajikannya, hal ini tampak pada kutipan berikut ini:
Para Bhikkhu, dalam kehidupan lampau yang mana pun juga, Sang
Tathagata ... menjadi yang terdepan dalam hal perilaku yang bermanfaat,
seorang pemimpin dalam hal perbuatan benar dalam jasmani, ucapan, dan
pikiran, dalam kedermawanan, perbuatan bermoral, pelaksanaan Uposatha,
dalam menghormati ayah dan ibu, para petapa dan Brahmana, dan
pemimpin suku dan dalam berbagai aktivitas yang pantas, ... (Digha
Nikaya.
Inti dari khotbah awal Buddha dikatakan empat Kebenaran Mulia (1)
dukkha, (2) sebab dukkha, (3) terhentinya dukkha, (4) cara untuk menghentikan
dukkha. Delapan Jalan Mulia antara lain; Pengertian Benar (sammâ-ditthi),
Pikiran Benar (sammâ-sankappa), Ucapan Benar (sammâ-vâcâ), Perbuatan Benar
154
(sammâ-kammanta), Penghidupan Benar (sammâ-âjîva), Usaha Benar (sammâvâyâma), Perhatian Benar (sammâ-sati), Konsentrasi Benar (sammâ-samâdhi).
Realisasi kebenaran anatta (tidak ada diri yang kekal) dan Paticca-samuppada
(hukum sebab musabab yang saling bergantungan) diajarkan sebagai cara untuk
mencapai Nibbana Nirvana (Kebebasan mutlak).
Model Kepemimpinan Organisasi Pendidikan
Berdasarkan Buddha
Sang Buddha sebagai Pemimpin Sangha mengamanatkan pembabaran
agama Buddha sebagaimana disampaikan kepada para siswanya 60 (enam puluh)
arahat, dengan tujuan mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan,
membawa kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan semua orang.
Seorang pemimpin yang baik mampu memimpin dirinya sebelum
memimpin rakyatnya. Hal tersebut sesuai dengan ajaran Sang Buddha sebagai
berikut:
Atta have jitam seyoo, Ya cayam itara paja, Attadantassa posassa, Niccam
sannatacarino. Artinya; lebih baik mengalahkan diri sendiri daripada
menaklukkan makhluk lain; karena siapapun dapat mengendalikan pikiran
dengan baik akan dapat mengendalikan perbuatannya dengan baik pula. Hal
ini sangat sesuai dengan materi revolusi mental, bangsa saat ini.
Revolusi Mental dipelopori oleh Presiden Joko Widodo (Kompas, Sabtu 10
Mei 2014) (BKPB, Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis) yaitu gerakan hidup
baru berupa perubahan cara pandang, pikir dan kerja. Nilai-nilai dalam revolusi
mental tersebut antara lain: (1) integritas (jujur, dipercaya, berkarakter, dan
tanggung jawab); (2) etos kerja (berdaya saing, optimistik, inovatif dan produktif;
(3) gotong royong (kerja sama, solidaritas, komunal, berorientasi kemaslahatan).
Bangsa Indonesia saat ini mengalami terpuruk akibat dari mental korupsi,
serakah, ingin menang sendiri, kecenderungan kekerasan dalam mengatasi
masalah, pelecehan hukum dan sifat oportunis. Keadaan demikian dapat teratasi
oleh Pemimpin berjiwa nasional khususnya para pemimpin yang dapat
mengimplementasikan sepuluh macam Dhamma menjadi Revolusi Mental wajib
155
dilaksanakan oleh seorang Pemimpin (Dasa Raja Dhamma) (Kaharuddin, 2004)
sebagai berikut:
Nilai Integritas antara lain diwujudkan dengan;
(1) berdana/beramal (dana),
(2) kemoralan (sila),
Nilai Etos Kerja diwujudkan dengan;
(3) berkorban (pariccaga),
(4) ketulusan hati (ajjava),
Nilai Gotong Royong diwujudkan dengan;
(5) ramah tamah (maddava),
(6) kesederhanaan (tapa),
(7) tidak marah (akkodha),
(8) tidak melakukan kekerasan (avihimsa),
(9) kesabaran (khanti),
(10) tidak bertentangan dengan kebenaran (avirodhana).
Teori Dasa Raja Dhamma sudah dipraktikkan oleh Sri Baginda Raja Asoka
di India, terbukti dapat mengatasi segala gejolak yang muncul saat itu, serta
menciptakan perdamaian dan kesejahteraan rakyat. Pembahasan Dasa Raja
Dhamma dapat dijelaskan sebagai berikut (Pandita S.Widyadharma):
1) Berdana/beramal (dana), suka menolong orang, pemimpin yang sukses tidak
terikat dengan kekayaannya, berani mengorbankan hartanya demi kepentingan
rakyat.
2) Kemoralan (sila), memiliki moralitas tinggi, (menghindari; pembunuhan,
pencurian,
korupsi,
asusila,
berbohong
dan
segala
yang
membuat
mabuk/lemah kesadaran)
3) Berkorban (pariccaga), kepentingan rakyat dibela dan diperjuangkan demi
tercapai kesejahteraan.
156
4) Ketulusan hati (ajjava), jujur dan bersih, tidak mempunyai kepentingan
pribadi di dalam menjalankan tugas.
5) Ramah tamah (maddava), selalu simpatik dan ramah-tamah terhadap
siapapun.
6) Kesederhanaan (tapa), membiasakan diri hidup sederhana.
7) Tidak marah (akkodha), terbebas dari; keinginan jahat, sikap bermusuhan dan
terbebas dari rasa dendam dengan siapapun.
8) Tidak melakukan kekerasan (avihimsa), memelihara perdamaian, menghindari
peperangan dan segala unsur kekerasan.
9) Kesabaran
(khanti),
dapat
menghadapi
halangan,
kesulitan,
ejekan,
memaafkan perbuatan orang lain yang tidak berkenan.
10) Tidak
bertentangan
dengan
kebenaran
(avirodhana),
mendukung
kesejahteraan rakyat, hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan hati nurani
rakyat.
Demikian pemimpin yang sukses seharusnya menerapkan langkah-langkah
yang sudah ditunjukkan Sang Buddha, agar dapat mencapai tujuan untuk
terciptanya kesejahteraan bangsa/komunitas yang dipimpinnya.
Kesimpulan
Menginplemtasikan Kepemimpinan Organisasi Pendidikan dengan praktik
Dhamma dan revolusi mental dapat menghasilkan hasil kerja yang sempurna.
sikap integritas, etos kerja yang baik dan gotong royong adalah nilai revolusi
mental yang dibutuhkan mahasiswa STABN Sriwijaya dalam mempraktikan nilainilai dhamma. Untuk itu memerlukan sikap kepemimpinan yang baik berdasar
pada nilai-nilai revolusi mental yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Dengan
pemimpin yang memiliki nilai revolusi mental dapat menjadi contoh nyata dan
menanamkan nilai tersebut kepada anak buah, anak didik, dan lingkungan
tempatnya bekerja. Sehingga tercipta lingkungan yang sempurna di STABN
Sriwijaya.
157
Daftar Pustaka
Aggabalo, Bhikkhu. 2007. Dhammapada Atthakatha. Jakarta: Perpustakaan
Narada
Kaharuddin. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist
Centre.
4T
K.H. Dewantara. 2004. Bagian pertama Pendidikan. Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa: Yogyakarta.
Kenneth Bhanchard, dkk. 1997. Leadership and The One Minute Manager:
Kepemimpinan dan Manajer Satu Menit. Terjemahan oleh Anton
Adiwiyoto. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
11T
Robert S. Kaplan & David P. Norton. 2004. Strategy Maps (Converting
Intangible Assets Into Tangible Autcomes. Harvard Business School
Publishing Corporation.
Saddatisa. (Tanpa tahun). Sutta-Nipata: Kitab Suci Agama Buddha.
Diterjemahkan oleh Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. Klaten: Vihara
Boddhivamsa.
Walshe Maurice. 2009. Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha Dĩgha Nikãya.
Jakarta: Dhamma Citta.
Wahyu Kasih, Eka. (Tanpa Tahun). Membangun SDM Unggul dan Branding
Sekolah Melalui Integrasi Pendidikkan Karakter dan IPTEK. Jakarta:
Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3.
158
OPTIMALISASI PERAN GURU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
SISWA MELALUI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Sabar Sukarno
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
Complex problems facing Indonesia today occur among others due to
prolonged mental crisis. To overcome this problem, Indonesia advanced to the
required mental revolution. Education is mentioned as one of the seven points in a
mental revolution. Direction of education of a country governed in the
curriculum. At this time the curriculum applied in Indonesia is Curriculum 2013.
The curriculum 2013 is designed to develop aspects of knowledge, attitudes, and
skills in a balanced manner. Thus mental development or the character of the
nation is expected to be implemented better. To carry out these tasks, the teacher
becomes the foundation for the main have a great responsibility for mental
development the nation's children. The successful development of the character of
the nation is determined by teaching of teachers at school.
Keywords: mental revolution, teachers, curriculum
Pendahuluan
Negara Indonesia dalam usia yang sudah mencapai 70 tahun, siapapun
setuju bila dikatakan bahwa tujuan kemerdekaan belum tercapai. Kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat belum tercapai secara merata, krisis moral yang semakin
mengkhawatirkan, ancaman disintegrasi bangsa, ketertinggalan dalam persaingan
global, dan sebagainya adalah masalah besar yang kini dihadapi bangsa Indonesia.
Dunia pendidikan sering dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab
atas kondisi seperti ini. Memang dapat dilihat dengan jelas bahwa di dunia
pendidikan yang seharusnya bertujuan membangun manusia Indonesia baik secara
materiil maupun moral, tetapi pada kenyataannya di dunia pendidikan itu juga
banyak terjadi praktik-praktik yang justru bersifat merusak karakter bangsa.
Untuk mengembalikan karakter bangsa diperlukan revolusi mental. Revolusi
mental dimulai dari pendidikan, mengingat peran pendidikan sangat strategis
dalam membentuk mental anak bangsa. Pengembangan karakter bangsa
diwujudkan melalui ranah pendidikan.
159
2T
Revolusi mental pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soekarno tahun
1957 ketika revolusi nasional sedang berhenti. Gerakan itu ditujukan untuk
menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berkualitas.
Presiden RI saat ini yaitu Joko Widodo mencanangkan kembali semangat tersebut
dengan tujuan lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan
mempererat persatuan bangsa. Nilai-nilai esensial itu meliputi etos kemajuan,
etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan
optimistis, produktif-inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, dan
berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum (Kementerian
Komunikasi dan Informatika, 2015: 3).
Ide mengenai gerakan revolusi mental adalah sangat penting untuk bangsa
Indonesia saat ini. Kata revolusi berarti sebuah perubahan cepat dan mendasar.
Mental adalah segala sesuatu menyangkut cara hidup
cara berpikir, cara
memandang masalah, cara merasa, cara mempercayai/ meyakini, cara berperilaku
dan bertindak. Mental berkaitan erat dengan karakter dan budaya. Dalam revolusi
mental yang akan diubah adalah mental, jiwa, mindset, atau pikiran bangsa
Indonesia ini. Untuk melakukan perubahan ini apalagi dalam waktu yang singkat
adalah tidak mudah, diperlukan konsep, strategi atau pendekatan, dan juga
kekuatan yang besar. Bagaimanapun tidak sepenuhnya benar bila dikatakan
bahwa revolusi mental adalah proses mengubah, namun lebih tepat dikatakan
sebagai membangun kembali. Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter
santun, sopan, toleransi, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Revolusi
mental sebagai upaya merekonstruksi jatidiri dan karakter bangsa Indonesia
dengan berdasarkan kepada nilai-nilai agama, Pancasila, Undang-undang Dasar
1945 dan budaya lokal. Tugas stakeholder pendidikan, khususnya guru untuk
mengembalikan karakter tersebut ke keaslian, orisinalitas, identitas bangsa
Indonesia. Dengan komitmen semua pihak disertai kesadaran seluruh warga
negara, niscaya karakter ini akan kembali menjadi jati diri bangsa Indonesia.
Salah satu faktor pendukung yang memiliki peran strategis dalam revolusi
mental adalah bidang pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan 7 (tujuh) butir
revolusi mental yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi, dimana dalam butir
160
keempat berbunyi “Indonesia harus bisa menggenggam dunia, pendidikan yang
baik menjadi kuncinya. Dan itu harus menjadi tanggung jawab bersama.”
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies
Baswedan menggariskan 7 (tujuh) ikhtiar revolusi mental bidang pendidikan
yaitu: (a) mengubah paradigma pendidikan berdaya saing menjadi pendidikan
mandiri dan berkepribadian; (b) merancang kurikulum berbasis karakter dari
kearifan lokal serta vokasi yang beragam berdasarkan kebutuhan geografis daerah
dan bakat anak; (c) menciptakan proses belajar yang menumbuhkan kemauan
belajar dari dalam diri anak; (d) memberi kepercayaan penuh pada guru untuk
mengelola suasana dan proses belajar pada anak; (e) memberdayakan orangtua
untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak; (f) membantu kepala sekolah
untuk
menjadi
pemimpin
yang
melayani
warga
sekolah;
dan
(g)
menyederhanakan birokrasi dan regulasi pendidikan diimbangi pendampingan dan
pengawasan
( http://www.paudni.kemdikbud.go.id/bindikmas/berita/pidato12TU
mendikbud-pada-upacara-pencana ngan-gerakan-nasional-revolusi-mental ).
U12TU
U
Masalah mentalitas bangsa adalah bagian dari masalah kultural (budaya),
oleh karena itu salah satu cara mengubahnya harus melalui cara kultural juga,
yakni melalui pendidikan. Dengan kata lain revolusi mental harus dimulai dari
sekolah. Gurulah yang harus bekerja keras untuk melaksanakan tugas ini. Guru
harus melaksanakan pembelajaran yang dapat membentuk karakter siswa. Sejak
beberapa tahun terakhir
di sekolah sudah dicanangkan pendidikan karakter
bangsa dimana pemerintah menetapkan terdapat 18 karakter yang harus
dikembangkan. Setiap karakter diintegrasikan dalam setiap pembelajaran.
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Arief Rahman mengemukakan
bahwa program revolusi mental yang digagas Jokowi-Jusuf Kalla dapat terlaksana
jika menerapkan kurikulum 2013. Ada nilai-nilai pengetahuan yang terstruktur
yang terkandung dalam nilai-nilai kurikulum 2013. Value (nilai) pendidikan harus
terstruktur
pengetahuannya,
sikapnya
dan
pengetahuannya
( http://news.liputan6.com/read/2107050/kurikulum-2013-dinilai-bisa-lahirkan12TU
revolusi-mental-jokowi-jk ). Semiarto Aji Purwanto (2015: xviii) mengemukakan
U12T
161
cara untuk mewujudkan revolusi mental dalam perspektif strategi kebudayaan
juga merujuk pada orientasi dan mekanisme yang harus dilalui. Dua cara yang
mengemuka adalah melalui pendidikan dan upaya rekonstruksi sosial yang lain.
Pembenahan pendidikan dasar, terutama dalam hal penyediaan guru yang
berkualitas dan isi kurikulum yang memadai.
Kurikulum 2013 (K-13) dapat dipandang sebagai respon terhadap
kurikulum sebelumnya yang menurut para pengamat pendidikan lebih
mengedepankan pada aspek kognitif. Tema perubahan pada K-13 yaitu
menciptakan manusia Indonesia yang kreatif, inovatif, proaktif, dan afektif
melalui pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara integratif.
Dalam Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum tercantum karakteristik kurikulum 2013, yaitu dirancang
diantaranya untuk mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap
spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan
intelektual dan psikomotorik. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus mampu
mengintegrasikan ketiga aspek tersebut agar dapat seiring sejalan tanpa ada aspek
yang lebih dominan terhadap aspek yang lain.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam dokumen Implementasi
Kurikulum 2013 menguraikan esensi perubahan dari kurukulum sebelumnya ke
kurikulum 2013. Pada kurikulum sebelumnya mempunyai karakteristik sebagai
berikut: (a) kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan belum secara jelas
diurai, bahkan cenderung dipersepsi menjadi kognitif, afektif, dan psikomotorik
saja, tidak digunakan memandu materi ajar; (b) dominan pada pengetahuan; (c)
aktivitas pembelajaran hanya domain pengetahuan; (d) penilaian dominan
menggunakan tes; (e) rapor cenderung hanya melaporkan kompetensi bidang
pengetahuan.
Pada kurikulum 2013 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (a)
kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan diurai menjadi Kompetensi Inti
KI-1 (sikap spiritual), KI-2 (sikap sosial), KI-3 (pengetahuan) dan KI-4
(keterampilan), yang memandu penetapan materi; (b) perpaduan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan; (c) aktivitas pembelajaran didesain pada tiga
162
ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan; (d) penilain menggunakan tes,
obervasi, portofolio dan penilaian sikap; (e) Rapor berisi komponen sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dilengkapi dengan deskripsi kualitiatif.
Dalam K-13 aspek sikap untuk jenjang pendidikan dasar mendapat porsi
yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan agar peserta
didik menjadi anak yang berkarakter baik (aspek afektif) lebih menonjol. K-13
menempatkan kompetensi inti sikap religius dan sikap sosial menjadi yang utama.
Semua muatan pelajaran bermuara ke arah sikap religius dan sikap sosial yang
baik. Sikap ini bukan sekedar menjadikan religiusitas sebagai pengetahuan, lebih
dari itu harus ada transformasi nilai, menjadikannya sebagai habituasi (kebiasaan)
anak dalam kehidupan nyata sehari-hari, diinternalisasikan pada pribadi yang
pada akhirnya menjadi jati diri anak.
Dalam implementasi K-13, guru harus merubah paradigma mengajar dari
teacher oriented (berorientasi pada guru) ke student oriented (berorentasi pada
siswa). Terdapat perbedaan yang cukup besar dari kedua pendekatan tersebut.
Sanjaya (2012: 96) menguraikan mengenai pembelajaran dengan pendekatan
teacher oriented dan student oriented.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan teacher oriented, guru memegang
peranan yang sangat penting. Sebagai penyampai informasi, sering guru
menggunakan metode ceramah sebagai metode utama. Sebagai evaluator, guru
juga berperan dalam menentukan keberhasilan proses pengajaran diukur dari
sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru.
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi menempatkan siswa
sebagai obyek belajar yang harus menguasai materi pelajaran. Siswa dianggap
sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami apa yang harus dipahami,
sehingga melalui proses pengajaran siswa dituntut memahami segala sesuatu yang
disampaikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari kadangkadang tidak berpijak pada kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat
maupun minat siswa, akan tetapi berangkat dari pandangan apa yang menurut
guru dianggap baik dan bermanfaat. Tujuan utama pengajaran adalah penguasaan
materi pelajaran. Kriteria keberhasilan ditentukan oleh penguasaan materi
163
pelajaran. Maka alat evaluasi yang digunakan biasanya adalah tes hasil belajar
tertulis yang dilaksanakan secara periodik.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan student oriented, mengajar tidak
ditentukan oleh guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri. Kriteria
keberhasilan siswa tidak diukur dari sejauh mana siswa telah menguasai materi
pelajaran, tetapi diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar.
Guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar, tetapi berperan sebagai orang
yang membimbing dan memfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar. Siswa
tidak dianggap sebagai obyek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan
guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subyek belajar yang belajar sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimilikinya. Siswa sebagai organisme
aktif yang memiliki potensi untuk berkembang. Guru bukan satu-satunya sumber
belajar, harus mampu menggali berbagai sumber belajar. Dalam pembelajaran
modern, guru harus dapat memanfaatkan sumber-sumber lain, yang dapat berupa
manusia, alat dan bahan pengajaran, berbagai aktifitas dan kegiatan, dan
lingkungan.
Hal yang baru dalam K-13 adalah adanya Kompetensi Inti (KI), yang terdiri
dari K-1 (sikap spiritual), KI-2 (sikap sosial), KI-3 (pengetahuan) dan KI-4
(keterampilan). Keempat kompetensi tersebut merupakan perwujudan dari
kompetensi sikap, pengetahun dan keterampilan, yang berfungsi untuk memandu
penetapan materi. Kompetensi inti adalah tingkat kemampuan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan yang harus dimiliki oleh peserta didik. Kompetensi
inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata
pelajaran yang relevan.
Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran
diuraikan menjadi kompetensi dasar. Uraian kompetensi dasar untuk memastikan
bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan
harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar
dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, tetapi
sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran
tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya.
164
Pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan. Tujuan pembelajaran
bukanlah penguasaan materi pelajaran, tetapi proses untuk mengubah tingkah laku
siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Penguasaan materi pelajaran
bukanlah akhir dari proses pengajaran, akan tetapi hanya sebagai tujuan antara
untuk pembentukan tingkah laku yang lebih luas. Sejauh mana materi pelajaran
yang dikuasai siswa dapat membentuk pola perilaku siswa. Untuk itu metode dan
strategi yang digunakan tidak hanya sekedar metode ceramah, tetapi
menggunakan berbagai metode seperti diskusi, penugasan, kunjungan ke obyekobjek tertentu dan sebagainya.
Dalam K-13 digunakan konsep pembelajaran baru yaitu menggunakan
pendekatan
saintifik.
Dalam
pedoman
umum
pembelajaran
diuraikan
implementasi kurikulum dalam proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman
belajar pokok yaitu (a) mengamati, (b) menanya, (c) mengumpulkan informasi,
(d) mengasosiasi, (e) mengkomunikasikan. Proses pembelajaran dengan
pendekatan saintifik diharapkan mewujudkan integrasi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan dapat berjalan seiring tanpa ada mengedepankan aspek tertentu.
Proses penilaian harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
pembelajaran, bukan bagian terpisah dari pelajaran. Penilaian harus bersifat
holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif,
dan sensomotorik). Pelaporan penilaian pembelajaran bersifat deskriptif dan
kualitatif mencakup aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Pembahasan
Kurikulum adalah sebuah sistem yang diciptakan untuk pedoman bagi
implementator untuk melaksanakan pendidikan. Sebaik apapun kurikulum itu
akan menjadi tidak efektif jika para implementatornya tidak mempunyai
kompetensi
yang
cukup
baik
untuk
melaksanakannya.
Guru
sebagai
implementator di tingkat lapangan sangat menentukukan efektifitas implementasi
kurikulum.
Kurikulum 2013 sudah disusun dengan konsep yang didasarkan pada
kebutuhan jaman ini, dan dengan melihat kelemahan yang ada dalam kurikulum
165
sebelumnya. Salah satu tema penting dalam K-13 adalah penekanan pada
pengembangan secara seimbang antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Konsep ini menjadi harapan baik bagi semua pihak, tetapi di pihak lain adalah
menjadi tantangan berat bagi para guru. Seperti diketahui bahwa pada saat ini
masih banyak guru yang menganut paradigma lama, mempraktikkan cara-cara
lama dalam pembelajaran, dan belum memiliki kompetensi yang cukup baik
untuk melaksanakan pendidikan yang berkualitas.
Terlepas dari berbagai faktor pendukung lain yang sangat berpengaruh,
harus diakui bahwa guru memang menjadi faktor penentu utama dalam
implementasi K-13 khususnya dalam melaksanakan pendidikan karakter. Guru
harus mampu melaksanakan pembelajaran seperti yang diamanatkan pemerintah
melalui kurikulum. Pemerintah menetapkan bahwa proses pembelajaran harus
diselenggarakan
secara
interaktif,
inspiratif,
menyenangkan,
menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan
perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik.
Pendidikan formal melalui sekolah adalah tempat penting untuk memulai
revolusi mental ini. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan kognitif ke
pengetahuan praktis. Artinya, membentuk mental bukanlah pembicaraan teoriteori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut
mempengaruhi tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di
tataran kebiasaan. Pendidikan mengajarkan nilai (virtue) yang merupakan
pengetahuan praktis.
Dalam kurikulum 2013 sudah dirancang agar dalam pembelajaran
dikembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang.
Standar untuk itu meliputi seluruh proses pembelajaran mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, hingga penilaian pembelajaran, pemanfaatan sumber belajar dan
materi pembelajaran, dan sebagainya. Dengan standar demikian akan dipastikan
bahwa seluruh proses dalam pembelajaran tersebut bertujuan mengembangkan
ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang. Tujuan dari semua
166
itu agar tidak akan terjadi dominasi aspek kognitif yang terjadi selama ini ketika
guru mengimplementasikan kurikulum sebelumnya.
Untuk melaksanakan pendidikan seperti di atas guru harus meninggalkan
cara lama yaitu pendekatan teacher oriented. Pembelajaran dengan pendekatan
student
oriented
akan
menekankan
bahwa
siswalah
yang
melakukan
pembelajaran, bukan guru yang mengajar. Dengan cara ini semua aspek baik
pengetahuan, keterampilan, maupun sikap akan dikembangkan oleh siswa melalui
aktualisasinya. Siswa akan mendapatkan pengalaman belajar secara langsung.
Dalam abad teknologi dan informasi ini, guru mempunyai berbagai peran.
Guru tidak relevan lagi disebut sebagai satu-satunya sumber belajar. Guru dapat
berperan
sebagai
sumber
belajar,
fasilitator,
pengelola,
demonstrator,
pembimbing, motivator, dan evaluator.
Guru sebagai sumber belajar harus dapat menunjukkan sumber belajar pada
siswa. Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk
memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran,
memahami
berbagai
jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut.
Guru sebagai pengelola pembelajaran berperan dalam menciptakan iklim belajar
yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Hakikat pembelajaran
adalah belajarnya siswa bukan mengajarnya guru. Guru harus membimbing siswa
agar dapat menemukan potensi yang dimilikinya, dan membimbingnya agar dapat
melaksanakan tugas. Guru sebagai motivator harus mampu memberikan motivasi
belajar kepada siswa.
Dengan pembelajaran yang mengintegrasikan ketiga ranah pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap secara seimbang maka diharapkan akan membentuk
manusia yang seimbang pula, yaitu orang yang pandai dan mempunyai
pengetahuan baik, mempunyai keterampilan, dan memiliki sikap dan karakter
yang baik. Hal ini akan meminimalisir adanya orang yang pandai tetapi sikapnya
tidak baik, atau tidak mempunyai keterampilan yang diperlukan dalam hidupnya.
Demikian juga diharapkan tidak akan terjadi orang yang sikapnya baik tetapi tidak
cakap dan berpengetahuan. Orang yang pandai, mempunyai keterampilan baik,
serta sikap dan karakter yang baik adalah ciri manusia yang berkualitas baik.
167
Penutup
Revolusi mental harus dilaksanakan dengan berbagai strategi dari berbagai
sektor. Dunia pendidikan adalah sektor yang sangat strategis untuk memulai
revolusi mental. Memang revolusi mental yang dilakukan dalam sektor
pendidikan tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat karena melibatkan proses
pendidikan untuk membentuk mental anak bangsa. Tetapi pendidikan karakter
yang baik akan membentuk mental bangsa yang kuat.
Revolusi mental melalui pendidikan sangat tergantung kepada peran guru
sebagai pelaku utama atau ujung tombak dalam proses pendidikan di lapangan
yaitu di kelas. Untuk menciptakan guru yang mampu melaksanakan tugas
tersebut, guru sendiri harus meningkatkan kompetensinya, pemerintah harus
selalu melakukan pembinaan, dan masyarakat harus mendukung tugas guru. Pada
saat ini, kurikulum 2013 dicanangkan untuk menjadi panduan bagi pelaksanaan
pendidikan yang mengembangkan sikap, mental, dan karakter peserta didik.
Daftar Pustaka
Sanjaya, Wina. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Semiarto Aji Purwanto. 2015. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 2013.
12TU
http://news.liputan6.com/read/2107050/kurikulum-2013-dinilai-bisa-lahirkanrevolusi-mental-jokowi-jk . Diakses 5 Januari 2015.
U12T
12TU
http://www.paudni.kemdikbud.go.id /bindikmas/berita/pidato-mendikbud-padaupacara-pencana ngan-gerakan-nasional-revolusi-mental. Diakses 5 Januari
2015.
U12TU
168
U
MENINGKATKAN PERAN DHARMADUTA
MELALUI REVOLUSI MENTAL DALAM MENGHADAPI
TANTANGAN MASYARAKAT ASEAN
Santi
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12TU
U12T
Abstract
Facing the challenge of the ASEAN community required Human Resources
that are highly competitive. The process of economic integration of ASEAN
community in positive action for the progress and prosperity of the country, but
also have side effects such as shifting challenges due culture aculturation that can
erode the value of religion and national character. To maintain and preserve the
value of religion, the religion as a major milestone extension should come out to
face this challenge. Dharmaduta in the face of these challenges need to boost its
role in education. Certainly related to mental improvement as a professional
instructor who must cultivate and inculcate three values mental revolution in
his/herself. Increasing the role of Dharmaduta through a mental revolution in
facing the challenges of the ASEAN community aims to broaden the reader and
raise awareness to improve the professionalism of Dharmaduta. The efforts to
enhance the role of Dharmaduta through a mental revolution is by taking into
account the competence and expertise that are required as a Dharmaduta, as well
as the selection process as prequisite for Dharmaduta candidate.
Keywords: enhancing the role of dharmaduta, mental revolution, ASEAN
community challenge
Pendahuluan
Indonesia sejak 31 Desember 2015 lalu telah mulai menghadapi era pasal
tunggal ASEAN yaitu ASEAN Economic Community (AEC) yang lebih dikenal
dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di kalangan masyarakat Indonesia.
Persaingan pasar tunggal ASEAN dapat memotivasi Indonesia untuk maju dan
meningkatkan
perekonomian
serta
kemakmuran
masyarakat.
Namun,
pelaksanaannya tidak mudah terkait persaingan yang ketat karena daya saing
Indonesia yang lemah. Fakta dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) melaporkan daya
saing global negara ASEAN tahun 2012-2013 terdapat kesenjangan signifikan
bahwa Singapura memiliki daya saing terbaik pada urutan ke-2, sementara
Indonesia urutan ke-50 di bawah Malaysia, Brunei, dan Thailand. Sementara
169
Kamboja memiliki daya saing rendah pada urutan ke 85. Berdasarkan
pembangunan manusia di ASEAN dari Human Development Index ASEAN Tahun
2010-2012
diketahui bahwa Singapura menempati rangking tertinggi dengan
0,892-0,895. Namun, Myanmar justru terendah dengan 0,490-0,498. Indonesia
diposisi tengah dengan 0,620-0,690 (Jurnal Lemhanas, 2013: 57-59).
Lemahnya daya saing Indonesia bukan satu-satunya krisis yang dihadapi
Indonesia, karena masih banyak krisis lainnya yang melilit Indonesia seperti krisis
kepercayaan diri, krisis kepercayaan sosial, kemiskinan, pengangguran serta
kebodohan. Belum lagi dampak dari
globalisasi seperti individualism,
materialism, hedonism, liberalism yang semakin memudarkan karakter bangsa.
Sesuai dengan Hakim (2013: 80-84) ada empat dampak integrasi ekonomi yaitu:
1. Berkembangnya mass cultur karena alkulturasi budaya dan kemajuan ICT,
sehingga cultur lebih bersifat regional/global dari pada lokal.
2. Integrasi ekonomi MEA yang dibangun dengan proses rasional dan empirik,
akan menggeser paham keagamaan/kepercayaan yang tidak dapat diterima
akal dan rasio.
3. Semakin tinggi sikap hidup materialistik masyarakat di komunitas ASEAN.
4. Maraknya aktivitas integrasi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pergerakan
transnasional jasa/barang mengakibatkan konsekuensi perubahan nilai agama
dan masyarakat yang ada.
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa pelaksanaan AEC dapat
menggeser paham keagamaan serta merubah nilai agama dan masyarakat yang
ada. Ini merupakan tantangan berat bagi Indonesia karena harus menghadapi krisis
jati diri akibat lemahnya mental manusia Indonesia. Hal ini juga ditekankan oleh
Koentjaraningrat (1974) bahwa manusia Indonesia memiliki sifat yang
meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan suka
mengabaikan tanggung jawab. Mentalitas yang lemah ini memperburuk karakter
bangsa.
Sesuai dengan ungkapan bijak bahwa “When wealth is lost, nothing is lost;
when health is lost something is lost; when character is lost, everything is lost”.
Ungkapan ini mengisyaratkan pentingnya karakter, karena jika karakter hilang,
maka semuanya juga hilang. Ungkapan lain yang senada yaitu “Knowledge is
power, but character is more” menekankan bahwa pengetahuan adalah kekuatan
170
tetapi karakter memiliki nilai lebih daripada itu. Character building is a never
ending process, bermakna pembangunan karakter manusia merupakan proses
yang tidak pernah berhenti (Supellini,dkk., 2015: 182).
Berdasarkan ungkapan bijak di atas, maka mentalitas yang lemah harus
terus dibangun dan diperbaiki menjadi mentalitas positif. Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menamakan usaha ini dengan istilah “Revolusi Mental”. Revolusi
mental merupakan suatu gerakan menyeluruh secara cepat untuk mengangkat
kembali nilai strategis yang dibutuhkan bangsa dan negara untuk mampu
menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan
persaingan di era globalisasi.
Revolusi mental harus menyeluruh dari pihak pemerintah hingga rakyat.
Terutama salah satu elemen terkait yang memikul tanggung jawab besar dari
dampak globalisasi yang dapat menggeser nilai agama adalah tokoh agama atau
penyuluh agama. Penyuluh agama harus menjaga dan melestarikan nilai agama
agar tidak tergerus oleh arus globalisasi. Oleh karena itu penyuluh agama Buddha
(Dharmaduta) harus meningkatkan peranannya. Dalam upaya meningkatkan
peranannya,
Dharmaduta
sendiri
harus
memperbaiki
dan
memperkuat
mentalitasnya terlebih dahulu melalui revolusi mental, baru kemudian melakukan
penyuluhan yang professional. Hal ini dilakukan agar Dharmaduta dapat lebih
mempersiapkan diri menjadi sumber daya manusia (SDM) yang terampil dalam
menyuluh, peka terhadap permasalahan dan kritis dalam berperan di masyarakat
untuk menghadapi tantangan masyarakat ASEAN.
Melalui keseluruhan uraian latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan permasalahan yaitu: pentingnya meningkatkan peran Dharmaduta
melalui revolusi mental dalam menghadapi tantangan masyarakat ASEAN.
Artikel ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dalam
meningkatkan
wawasan,
khususnya bagi
para Dharmaduta
agar
dapat
membangkitkan kesadaran, merevolusi mental negatif ke arah positif sehingga
mampu meningkatkan perannya secara efektif untuk melestarikan Dhamma dalam
menghadapi tantangan masyarakat ASEAN. Untuk itu perlu adanya pemahaman
171
benar mengenai tantangan masyarakat ASEAN, Peran Dharmaduta, dan Revolusi
Mental.
Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) terbentuk pada tahun 2003 di
Bali dengan kesepakatan dari sepuluh negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja.
Dalam kesepakatan ini terdapat tiga pilar masyarakat ASEAN yaitu ASEAN
Political Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC), dan
ASEAN Socio Culture Community (ASCC) yang dicanangkan dalam Visi ASEAN
2020. Namun karena kondisi kemajuan China dan India dalam satu kawasan Asia
Pasifik maka Visi ASEAN 2020 dipercepat lima tahun sehingga dilaksanakan
ditahun 2015 (Hakim, 2013: 4).
Pelaksanaan AEC yang ditetapkan tanggal 31 Desember 2015 lalu
merupakan bentuk integrasi ekonomi regional yang melibatkan lima elemen pasar
tunggal yaitu arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja untuk
meningkatkan kesejahteraan
seluruh
anggota ASEAN sehingga mampu
menghadapi persaingan pada lingkup regional dan global (Bakhri, 2015: 25). Efek
samping dari integrasi ekonomi regional yang melibatkan sepuluh negara ASEAN
ini adalah akulturasi budaya dan pergeseran nilai dalam masyarakat seperti halnya
yang diungkapkan di atas mengenai empat dampak dari integrasi ekonomi. Inilah
tantangan masyarakat ASEAN. Berhasil tidaknya Indonesia menghadapi
tantangan ini bergantung dari kuatnya masyarakat memegang nilai agama
(keyakinan pada ajaran agama) dan seberapa besar aplikatif nilai agama dalam
kehidupan untuk menumbuhkan mentalitas positif sebagai karakter bangsa.
Peran Dharmaduta terdiri dari dua kata yaitu peran dan Dharmaduta. Peran
atau peranan diartikan sebagai pelaku dalam sandiwara (Suharto & Iryanto 1989:
161). Sementara dari tinjauan sosiologi peranan terkait dengan kedudukan atau
status (Soekanto, 2001: 268). Dharmaduta adalah istilah penyuluh agama Buddha.
Jadi peran Dharmaduta adalah peran yang dilaksanakan oleh penyuluh agama
Buddha. Penyuluh Agama adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan bimbingan/penyuluhan agama dan pembangunan, berlandaskan
172
dasar hukum: (1) Keppres No.87 Th.1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional;
(2) Kep Menkowasbangpan No. 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999 tentang Jabatan
Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya; (3) Keputusan Bersma
Menteri Agama RI dan Kepala BKN No. 574 Tahun 1999 dan No. 178 Tahun
1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan
Angka Kreditnya.
Walaupun penyuluh agama adalah PNS namun dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat juga disediakan penyuluh agama non PNS. Seperti dinyatakan dalam
lampiran I/KMA/RI/no 39/2015 tentang renstra MA tahun 2015-2019 bagian
penyediaan penyuluh agama dinyatakan bahwa penyuluh agama merupakan salah
satu unsur penting dalam upaya peningkatan pemahaman ajaran agama kepada
masyarakat. Sampai tahun 2014 terdapat 60 orang penyuluh agama Buddha PNS
dan 1722 orang non PNS didukung oleh 1981 Pandita dan 1372 Dharmaduta.
Berdasarkan keputusan Mentri Agama (KMA) No 79 tahun 1985 “penyuluh
agama mempunyai peranan sebagai pembimbing masyarakat, panutan dan
penyambung tugas pemerintah”. Dalam melaksanakan peranannya, penyuluh
agama melaksanakan fungsi informatif dan edukatif dalam
menyampaikan
penerangan agama dan mendidik masyarakat. Fungsi konsultatif, dalam
membantu memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, baik secara pribadi,
keluarga maupun sebagai anggota masyarakat umum. Fungsi Advokatif, dalam
melaksanakan pembelaan terhadap umat/masyarakat dari berbagai ancaman,
gangguan, hambatan dan tantangan yang merugikan nilai agama. Adapun siklus
pekerjaan penyuluh agama adalah: menyusun dan menyiapkan rencana dan
program penyuluhan, melaksanakan penyuluhan, melaporkan pelaksanaan
penyuluhan serta mengevaluasi hasil pelaksanaan penyuluhan. Hal ini senada
dengan definisi bimbingan dan penyuluhan agama sebagai konselor (Arifin, 1976:
11).
Idealisme akan peran penyuluh ini belum sesuai dengan realita penyuluh
agama Buddha yang ada di lapangan saat ini, menurut penelitian Sendri (2012)
dan Iin Suwarni (2008) mengenai peran Dharmaduta ditemukan fakta bahwa
profesionalitas Dharmaduta masih kurang dalam hal penguasaan materi, teknik
173
komunikasi, juga pada rasa percaya diri. Untuk meningkatkan profesionalitas
peran Dharmaduta ini dibutuhkan revolusi mental Dharmaduta.
Istilah revolusi pada abad ke-13 digunakan untuk menggambarkan gerak
benda langit dengan bahasa latin revolver. Berawal pada sejarah raja Inggris 1688,
istilah revolusi mulai digunakan untuk menunjuk perubahan sosial politik yang
berlangsung cepat dan radikal. Kemudian melalui rangkaian kuliah sejarawan
pendidikan Herbert Butterfield yang diterbitkan dalam The Origins of Modern
Science tahun 1949, mulai dikenal revolusi keilmuan yang menandai episode
keilmuan dengan munculnya paradigma baru. Sejak saat itu istilah revolusi tidak
lagi menimbulkan makna negatif seperti radikalisme, dan mulai popular
digunakan sejak Thomas Kuhn menerbitkan The Structure of Scientific
Revolutions pada tahun 1962 (Supelli, dkk., 2015: 4).
Presiden pertama Indonesia, Soekarno menggunakan istilah ini dengan
sebutan revolusi mental yang digagas pada tahun 1957. Gagasan ini kemudian
diangkat kembali oleh calon presiden Jokowi dalam artikelnya “Revolusi Mental”
di Harian Kompas tanggal 10 Mei 2014 yang menekankan perubahan ke arah
yang lebih baik, meliputi institusi dan masyarakat (Indriyanto, 2014: 554), dan
pada saat kampanye tanggal 24 Mei 2014, Jokowi mengusulkan perlunya revolusi
mental sebagai solusi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia, dengan mentransformasi masyarakat dari mental negativisme menuju
positivisme. Berdasarkan hal tersebut, visi pemerintahan Jokowi saat ini adalah
“Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” (Supelli,
dkk., 2015: ix).
Visi
pemerintahan
Jokowi
ini
disosialisasikan
oleh
Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada tanggal 21
Agustus 2015 dalam sosialisasi gerakan nasional revolusi mental. Pada sosialisasi
tersebut dinyatakan bahwa visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri,
dan Berkepribadian” itu, memiliki sembilan agenda prioritas yang dikenal dengan
sebutan nawa cita. Adapun nawa cita kedelapan adalah revolusi karakter bangsa
Indonesia. Untuk merevolusi karakter bangsa pertama perlu dilakukan revolusi
mental. Karakter dan mental dalam ilmu psikologi merupakan dua konsep dari
174
entitas kepribadian. Mental terkait dengan kondisi kejiwaan, sedangkan karaker
mencerminkan perilaku atau penampilan fisik dari individu. Karakter bergantung
pada mental yaitu kemampuan mempersepsikan nilai budaya yang berlaku pada
satu kesatuan masyarakat (Strickland, 2001; Farenga & Ness, 2005).
Revolusi mental menurut Bagir (2014) adalah bagian dari kebudayaan yang
merupakan perubahan sistem nilai masyarakat dalam panutan perilaku. Pernyataan
ini didukung oleh Abduhzein (2014) bahwa revolusi mental terkait karakteristik
kepribadian manusia yang direfleksikan dalam perilaku dan perubahan perilaku
berdasarkan suatu sistem nilai, dalam hal ini ditekankan pada pendidikan karakter.
Kemudian Massardi (2014) juga mengemukakan revolusi mental dalam orientasi
nilai budaya terjadi secara cepat dan fundamental.
Demikian pula dalam makalah “Revolusi Mental dalam Perspektif
Pendidikan Islam” menekankan bahwa revolusi mental merupakan perubahan
yang harus di lakukan oleh perorangan ataupun sekelompok masyarakat menuju
suasana yang bebas dari pertentangan batin. Dengan memperbaiki mental negatif
masyarakat, mencegah agar masyarakat tidak jatuh ke mental negatif, menjaga
kesehatan mental masyarakat, agar pemerintah tidak menghadapi sandungan
ketika melaksanakan program yang telah dicanangkan. Bebas dari mental negatif
yang dimaksud adalah mental positif atau kesehatan mental dengan motivasi
sebagai konsep dasarnya (Tamin: 3-6).
Muhlizi (2014: 453-460) juga menyatakan bahwa perubahan mental yang
baik meliputi transformasi budaya nusantara ke dalam format pembangunan
hukum terkait pemberantasan korupsi bersumber dari dua elemen yakni nilai
agama dan adat. Hal ini karena korupsi membahayakan standar moral dan
intelektual masyarakat. Seperti halnya pendapat Theobald (1990) bahwa korupsi
menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinism.
Tujuan revolusi mental yaitu: (1) mengubah cara pandang, pikir dan sikap,
perilaku dan cara kerja; (2) membangkitkan kesadaran dan membangun sikap
optimistik; (3) mewujudkan Indonesia berdaulat, berdikari dan berkepribadian.
Terkait tujuan maka ada ditetapkan pula delapan disiplin revolusi mental, dimana
175
pada disiplin ketujuh terdapat penekanan pada nilai yang dikembangkan bertujuan
mengatur kehidupan sosial (moralitas publik).
Ada tiga nilai yang ditekankan dalam revolusi mental yaitu: (1) integritas
bermakna jujur, dapat dipercaya, berkarakter dan bertanggung jawab; (2) Etos
kerja bermakna daya saing, optimis, inovatif dan produktif; (3) gotong royong
bermakna kerjasama, solidaritas, dan berorientasi pada kemaslahatan. Tiga nilai
ini perlu dipraktikkan dalam kehidupan. Oleh karenanya salah satu strategi
internalisasi nilai ini adalah melalui pendidikan formal maupun non formal seperti
ceramah, atau keteladanan tokoh dalam masyarakat.
Pembahasan
Integrasi globalisasi saat ini yang menuntut kualitas SDM berdaya saing
tinggi serta tantangan akan tergesernya nilai agama akibat alkulturasi budaya dari
sepuluh Negara ASEAN, maka peran Dharmaduta yang selama ini belum sesuai
dengan idealisme empat fungsi Dharmaduta harus segera ditingkatkan.
Peningkatan ini dilakukan melalui revolusi mental yang menekankan pada tiga
nilai yaitu integritas, etos kerja dan gotong royong. Kalimat ini bermakna,
pertama seorang Dharmaduta harus menumbuhkan nilai integritas dalam dirinya
agar dapat bertanggung jawab dalam pekerjaannya dan dipercaya oleh umat
Buddha. Kedua, Dharmaduta wajib memiliki etos kerja yang tinggi, dimana
Dharmaduta harus berupaya meningkatkan potensi dirinya, selalu inovatif dan
kreatif agar dapat menarik minat umat. Ketiga Dharmaduta dalam menjalankan
fungsinya harus membina kerjasama yang baik, menjalin solidaritas sesuai dengan
Trilogi Umat Beragama.
Revolusi mental Dharmaduta dalam tiga nilai harus dilaksanakan dengan
praktik Dhamma dalam kehidupan agar nilai luhur Dhamma mengakar dalam diri
Dharmaduta dapat menjadi karakter khas umat Buddha sebagai masyarakat
bangsa Indonesia dan tidak mudah tergerus oleh nilai asing dalam tantangan
masyarakat ASEAN.
Berdasarkan urairan peran Dharmaduta pada bagian pendahuluan diketahui
bahwa Dharmaduta melaksanakan fungsi informatif dan edukatif, konsultatif dan
176
advokatif. Keempat fungsi ini bertujuan membimbing umat Buddha agar memiliki
pemahaman Dhamma dan kualitas kehidupan yang baik.
Dalam rangka peningkatan peran Dharmaduta maka perlu diperhatikan
kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan. Oleh karena itu sebelum calon
Dharmaduta terjun mengabdi di masyarakat perlu bekal kompetensi yang mantap
mulai dari penguasaan Dhamma, kemampuan komunikasi efektif, pemahaman
karakter umat yang disuluh. Bekal kompetensi ini harus bersifat link and match
yang menekankan pada aspek pengetahuan dan praktik yang sesuai di kebutuhan
lapangan. Bukan penjejalan ilmu tanpa kesempatan praktik. Selain itu upaya
peningkatan peran Dharmaduta juga harus dimulai dengan proses penyeleksian
calon Dharmaduta, bahwa syarat minimal yang harus dimiliki seorang
Dharmaduta penyuluh agama adalah: pribadi yang menarik, berdedikasi tinggi
dalam tugas, kemampuan komunikasi efektif, serta peduli terhadap nilai
kemanusiaan. Persyaratan ini difokuskan agar seorang Dharmaduta tidak hanya
menjadi pembawa obor yang tidak dapat memanfaatkan obor, dengan kata lain
penyuluh yang memiliki inteligensi tinggi namun lemah dalam emosional dan
spiritual. Oleh karenanya seorang penyuluh yang profesional juga harus
menumbuhkan keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ, agar menjadi contoh
panutan bagi umat Buddha sekaligus sebagai alat revolusi mental bagi umat
Buddha. Hal ini berdasarkan strategi internalisasi nilai yang dijelaskan pada
bagian pendahuluan bahwa melakukan revolusi mental masyarakat juga dapat
melalui peran ceramah dan menjadi tokoh panutan masyarakat.
Dharmaduta profesional yang memiliki bekal kompetensi mantap dan daya
saing tinggi diharapkan dapat melakukan ke empat fungsi penyuluhan dengan
baik dan benar, menggunakan metode penyuluhan yang tepat sesuai kebutuhan
masyarakat. Beberapa metode bimbingan dan penyuluhan dalam Agama Islam
menurut (Amin, 2010: 69-74) yaitu: interview, group guidance, client centered
method, directing counseling, dan educational method. Metode ini sudah sesuai
dengan empat fungsi penyuluh agama. Oleh karenanya Dharmaduta juga harus
dapat mempelajari ke empat metode ini dan berupaya menerapkannya secara
maksimal sesuai karakter dan kebutuhan umat Buddha.
177
Simpulan dan Saran
Salah satu tantangan masyarakat ASEAN dalam integrasi ekonomi adalah
pergeseran nilai akibat alkuturasi budaya asing yang dapat menggerus nilai
agama. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia yang sedang dilanda krisis karakter
bangsa akibat mentalitas yang bobrok. Salah satu elemen yang berperan penting
dalam menjaga dan melestarikan nilai agama adalah penyuluh agama. Oleh
karenanya Dharmaduta harus meningkatkan perannya dalam melaksanakan empat
fungsi Dharmaduta demi melestarikan Dhamma. Adapun upaya meningkatkan
peran Dharmaduta melalui penanaman tiga nilai revolusi mental yaitu integritas,
etos kerja dan gotong royong. Dalam proses revolusi mental dengan tiga nilai
tersebut, juga di perhatikan kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan
Dharmaduta sesuai prinsip link and match. Kemudian penyeleksian calon
Dharmaduta dengan persyaratan yang harus dimiliki seorang Dharmaduta agar
menjadi Dharmaduta yang profesional dan dapat menjadi tokoh masyarakat
dalam merevolusi mental masyarakat demi memperkokoh karakter bangsa
Indonesia agar dapat menghadapi tantangan masyarakat ASEAN.
Melalui artikel ini penulis menyarankan pada pembaca khususnya penyuluh
agama lain maupun Dharmaduta agar berupaya dengan penuh semangat dalam
melakukan revolusi mental pribadi sebelum merevolusi mental masyarakat. Tanpa
upaya dan semangat kuat meningkatkan profesionalitas diri maka diri sendirilah
yang akan tereliminasi dan dengan revolusi mental menjadi mental pribadi yang
kokoh terdapat nilai tambah di mata masyakat yang mampu menjadi panutan bagi
masyarakat.
Daftar Pustaka
Abduhzein, M. 28 Juni 2014. Revolusi Mental, Mulai dari Mana. Kompas. hlm. 6.
Arifin, M. Pokok-Pokok Pikiran tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama,
Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Bagir, H. 2 Oktober 2014. Strategi Kebudayaan dan Revolusi Mental. Kompas.
hlm. 7.
178
Bakhri, B.S. 2015. Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015 dari Perspektif Daya Saing. Jurnal Economica. Volume 1
No.1.
Farenga, S. J. & Ness, D. (editor). 2005. Encyclopedia of Education and Human
Development . New York:M.E. Sharpe, Inc.
Hakim, M.F. 2013. ASEAN Community 2015 dan Tantangannya pada Pendidikan
Islam di Indonesia. Lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat IAIN.
Sunan Ampel.
Indriyanto, Bambang. 2014. Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks
Pendidikan (Mental Revolution Within Educational Contexts). Pusat
Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemdikbud.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan.Jakarta:
Gramedia.
Massardi, Y.A. 2 Desember 2014. Revolusi kebudayaan. Kompas hlm. 6.
Muhzili, Arfan Faiz. 2014. “Revolusi Mental untuk Membentuk Budaya Hukum
Anti Korupsi”. Jurnal Rechtsvinding. 2014 (Volume 3. No 4).
Strickland, B. R. (editor). 2001. Gale Encyclopedia of Psychology (2nd edition).
Farmington Hills: GaleGroup.
Suharto & Iryanto, Tata, 1989, Kamus Bahasa Indonesia Terbaru , Penerbit
Indah, Surabaya.
7T
7T
Supelli, Karlina dkk. 2015. Revolusi Mental Sebagai Strategi Kebudayaan.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.
Tamin, Sudirman. Tanpa tahun. Revolusi Mental dalam Perspektif Pendidikan
Islam.
Theobald, Robin. 1990. Corruption,development and underdevelopment. London:
he mcmillanpress ltd.
Widodo, Joko. “Revolusi Mental”, opini dalam harian Kompas, 10 Mei 2014.
Dokumen:
KMA No 79 tahun 1985 dan KMA RI No 39 tahun 2015
ASEAN Vision 2020. 2000. Tantangan dan Inisiatif. Ganewati Wuryandari
(Editor). Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI.
179
KONSTRUKSI KONSEP PEREKONOMIAN KELUARGA DALAM
AJARAN BUDDHA: SEBUAH TINJAUAN PENDIDIKAN DALAM
MEMBANGUN REVOLUSI MENTAL
(SUATU TELAAH HERMENEUTIKA)
Sapardi
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12TU
U12T
Abstract
Living in harmony with the family in accordance with D hamma is the
ideal condition to make us happy . A ppreciate the universe without destroying
it is a necessity that must be built together . U tilizing the universe by using
enough resources for survival is a noble task that we must build.
Buddha Dharma has taught us to be able to live a balanced, harmonious,
tolerance, and able to understand the essence of life. Understanding the Buddha
Dharma will better equip us to see the potential and responsibility which hasto be
done in this world. This current business processes thus become a moral
benchmark of every human being in order to achieve peace.
The Holy Great teacher, Buddha has overcome three problems of life, as
follows: greed , hatred and ignorance . to understand the meaning of life
right at once practiced in the end can be enlightened and become Buddha .
This modern era as a result of globalization has occurred rivalries are
very strong in all aspects of life community and made human beings to
hedonism . T he decline in the quality of human being becomes a very serious
problem , which must be resolved by the readiness of the increase in the
mentality and morality . A ssociated with the crucial condition that the author
intends to give thought to overcome this, starting from the family circle .
B uild main ideas is about the economy of the family according to the
teachings of Buddha. I t is based on the study and interpretation of the texts
contains in the Tripitaka scripture.
The Buddha was a teacher who taught completely, finishing toward the
supernatural earthly problems. Giving choice to man’s life into homelessness.
Freedom of choice is at our hand, by choosing the option of family life, the
consequences is the need to build a harmonious family, which will never be
separated from the problems of life. One of them is the problem of setting the
economy well.
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11 T
11T
11T
1 1T
11T
1 1T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11 T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
1 1T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
11T
Keywords: household economy, buddha’s teaching, mental revolution
Pendahuluan
Hidup harmonis sesuai dengan alam adalah kondisi ideal. Kondisi ideal
dapat diwujudkan dari keinginan yang tidak terlalu muluk-muluk
dan dapat
membuat kita untuk bahagia. Hidup menghargai alam semesta tanpa dengan
181
merusaknya adalah suatu keniscayaan. Berkembangnya kehidupan modern
dengan proses bisnis perekonomian yang modern tidak mengabaikan terjadinya
kerusakan alam. Manfaat didapat dan alam semesta dirawat untuk terus menerus
memberikan manfaat. Memanfaatkan alam semesta dengan secukupnya untuk
kelangsungan kehidupan adalah tugas mulia yang harus kita bangun.
Buddha Dharma telah mengajarkan kepada kita untuk dapat hidup
seimbang, serasi dan dapat memahami hakekat kehidupan. Memahami Buddha
Dharma dengan baik akan membekali kita untuk melihat potensi dan tanggung
jawab yang harus dilakukan dalam dunia ini. Proses bisnis yang demikian menjadi
tolok ukur moral setiap insan demi tercapainya kedamaian.
Buddha Gotama telah mengatasi 3 (tiga) permasalahan hidup uang menjadi
momok, yaitu keserakahan, kebencian dan kebodohan. Memahami makna
kehidupan dengan benar, makna material yang menjadi sarana kehidupan yang
baik dan lebih baik lagi. Tidak hanya semata-mata dalam satu kehidupan
sekarang, tapi juga tabungan dari perbuatan untuk kehidupan selanjutnya. Melalui
pemahaman tersebut dan sekaligus mempraktikkannya, pada akhirnya dapat
tercerahkan dan menjadi Buddha.
Era modern sekarang ini telah terjadi persaingan-persaingan yang sangat
kuat
dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Berlomba-lomba untuk
menguasai berbagai bidang kehidupan dan saling adu strategi segi dalam berbagai
kepentingan meluas dan terus berkembang diberbagai belahan dunia. Keserakahan
demi keserakahan terus dikembangkan dengan mengabaikan persoalan etis dan
moral. Berkembangnya paham ermo ergo sum (berbelanja maka aku ada)
menjadikan manusia mengarah kepada hedonisme.
Akibat era globalisasi dan berkembangnya kapitalisme, liberalisme dan
berujung pengingkaran diri serta bergembangnya hedonism, maka struktur social
yang sebenarnya selama ini cukup mapan, tergerus dengan globalisasi tersebut.
Kita tidak sadar dengan kondisi yang berkembang. Peningkatan kualitas
intelektual dikembangkan, namun kurang dibarengi dengan kesiapan mentalitas
dan moralitas. Kepandaian yang dimiliki menjadi penyebab korupsi, kolusi dan
nepotisme untuk kepentingan parsial.
182
Dengan memaknai berbagai permasalahan dewasa ini yang terjadi
khususnya yang dialami oleh masyarakat Indonesia, penulis menyadari bahwa
terdapat satu permasalahan yang krusial dalam mengatasi kebutuhan minimal
manusia yaitu kecukupan bidang ekonomi. Bila kebutuhan minimal saja tidak
tercukupi, ini akan menjadi beban dasar setiap individu manusia dalam keluarga.
Terkait dengan sistem perekonomian dalam keluarga menurut ajaran Buddha
terdapat berbagai permasalahan, diantaranya (a) buku-buku maupun artikel terkait
dengan system perekonomian menurt ajaran Buddha kurang; (b) pemahaman
umat Buddha tentang konsep perekonomian Buddhis kurang; (c) sumberdaya
manusia Buddhis yang memahami konsep ekonomi berdasarkan dharma kurang;
(d) pemahaman dan perhatian umat Buddha terhadap konsep ekonomi lemah; (e)
pendidikan-pendidikan Buddhis kurang berkembang; (f) lembaga keagamaan
Buddha kurang memperhatikan kemajuan umat pada bidang ekonomi; (g)
lembaga pendidikan tingggi keagamaan Buddha tidak atau belum peduli terhadap
pendidikan ekonomi Buddhis; (h) kebijakan Pembina umat Buddha belum
berjalan sebagaimana mestinya; (i) riset tentang sistem perekonomian berdasarkan
pada perguruan tinggi keagamaan Buddha menurut ajaran Buddha kurang; (j)
kerja sama lembaga-lembaga keagamaan Buddha masih lemah; (k) kerja sama
lembaga pendidikan Buddhis dengan para pengusaha Buddhis kurang; (l) kerja
sama lembaga pendidikan tinggi Buddhis dengan lembaga pendidikan tinggi
Buddhis luar negeri kurang; (m) belum terbentuk konstruksi konsep-konsep
perekonomian dalam keluarga menurut ajaran Buddha; (n) sistem kemasyarakatan
menurut ajaran Buddha.
Melihat permasalahan yang terjadi dan membelenggu menjadi permasalahan
krusial, khususnya pada proses perekonomian keluarga Buddhis yang terjadi serta
berkeinginan untuk memberikan pemikiran dalam mengatasi hal tersebut, maka
penulis ingin memberikan sumbangsih pemikiran untuk mengatasi permasalahan
tersebut melalui research terhadap teks-teks Kitab Suci Sutta Pitaka dan teks-teks
serta buku-buku lainnya.
Oleh karena itu, menjadi menarik sehingga peneliti ingin melakukan
research tentang kontruksi konsep perekonomian Buddhis dalam kehidupan
183
keluarga. Harapan peneliti ke depan yang ideal bahwa dengan memahami teksteks yang berada dalam Kitab Suci Sutta Pitaka yang terkait dengan konsep
perekonomian akan memberikan menjadi sumber atau acuan untuk menjadi
landasan dalam kehidupan dalam keluarga. Reserch ini didasarkan karena melihat
kondisi sekarang ini banyaknya permasalahan hidup yang dialami seseorang
sebagai bagian dalam keluarga.
Melalui kajian ini, penulis berharap dapat menyajikan teori-teori Buddha
terkait dengan bidang ekonomi, khususnya dalam pembangunan keluarga yang
harmonis dan sejahtera. Hal ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang
sekaligus sumbangsih pemecahan dalam konsep tataran berpikir terkait dengan
permasalahan hidup. Pada sisi lain bagaimana konsep pemikiran manajemen
ekonomi keluarga yang berlandaskan ajaran Buddha.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Buddha adalah guru yang mengajarkan
tuntas, menyelesaikan permasalahan duniawi menuju adiduniawi. Memberikan
pilihan hidup kepada manusia untuk hidup berkeluarga atau hidup menjadi petapa.
Dalam mengambil pilihan tersebut mengandung konsekwensi masing-masing jika
tidak sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan. Dan dalam keduanya
akan membawa kebahagiaan bila sesuai dengan norma-norma yang ada. Untuk
mencapai hal tersebut tidak akan pernah terlepas dari dunia material sebelum
manusia bebas yang sebenarnya (Nibbana). Sehingga memahami dan memaknai
dengan benar akan dunia material menjadi keniscayaan.
Permasalahan bahwa konsep manajemen perekonomian keluarga menurut
ajaran Buddha belum dipahami dengan baik. Hal ini menyebabkan tidak dapat
berkembangnya perekonomian menurut ajaran Buddha. Oleh karenanya bahwa
dengan pemahaman yang benar terhadap hal tersebut, diharapkan akan menjadi
pedoman maupun panduan khususnya bagi umat Buddha dalam kehidupan seharihari.
Untuk dapat menciptakan kondisi tersebut harus ada kesatuan untuk
bersama-sama bergerak dan berkiprah dari berbagai pihak khususnya dari umat
Buddha itu sendiri untuk mengembangkan konsep perekonomian menurut ajaran
Buddha. Ini menjadi pemikiran yang sangat penting. Kajian ini bertujuan untuk:
184
(a) memahami perlunya konstruksi konsep perekonomian keluarga menurut ajaran
Buddha; (b) mendeskripsikan bangunan konsep-konsep perekonomian dalam
keluarga menurut ajaran Buddha; (c) mengetahui manfaat-manfaat konstruksi
konsep perekonomian menurut ajaran Buddha.
Ruang lingkup penelitian ini berada pada kajian pustaka /libary research
untuk mengkonstruksi konsep perekonomi keluarga dengan berfokus pada teks
ajaran Buddha yang tertulis dalam Kitab Suci Sutta Pitaka (Pali Text Society/PTS)
yang dianalisis dengan pendekatan filosofis hermeneutika. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui hakikat mendalam mengenai ajaran Buddha pada bidang kehidupan
bermasyarakat sebagai satu pilihan (diluar kehidupan sebagai petapa), yang
dimulai
dari
kehidupan
sebagai
individu/pribadi,
bermasyarakat
serta
berkehidupan bangsa dan negara, yang pada dasarnya dalam proses tersebut tidak
akan pernah terlepas dari segi ekonomi.
Terkait dengan pengaturan keluarga, yang harus dipahami terlebih dulu
adalah makna perkawinan, baik berlandaskan hukum agama maupun hukum
Negara. Seorang wanita yang menginginkan berjodoh satu dengan yang lainnya
dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang, maka keduanya harus
memiliki kehidupan yang sebanding dalam hal saddha, sila, caga, dan panna.
(Anguttara Nikaya II, 61).
Dalam Pattakammaragga dari Anguttara Nikaya II, Sang Buddha
menjelaskan tentang empat jenis kebahagiaan yang dapat dicapai oleh umat
awam, yaitu: kebahagiaan memiliki kekayaan, kebahagiaan karena menikmati
kekayaan, kebahagiaan tidak memiliki hutang dan kebebasan hidup tanpa cela.
Demikian pula dalam Upali Sutta, Majjhima Nikaya, bahwa untuk menunjang
kehidupan maka seseorang harus memiliki pekerjaan. Dalam menempuh hidup
berkeluarga sebagai pilihan, dan sekaligus juga harus memiliki penghidupan yang
benar sebagaimana dalam Ariya Atthangika Magga, yang terdapat dalam
Dhammacaka-pavatthana Sutta, Majjhima Nikaya. Demikian juga hidup ditempat
yang sesuai sebagaimana dijelaskan dalam Mangala Sutta.
Sang Buddha juga mengajarkan bahwa setiap anggota dalam kehidupan
perumah tangga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dalam
185
Sigalovada Sutta. Setiap anggota dalam keluarga memiliki dan mengembangkan
cinta kasih dan kasih saying sebagaimana dalam Metta Sutta.
Agar dalam
kehidupan yang akan dating juga dapat berbahagia maka setiap anggota keluarga
juga menimbun harta yang sejati sebagaimana dijelaskan dalam Niddhikhanda
Sutta. Hal-hal yang harus dihindari oleh para perumah tangga adalah hal-hal yang
menyebabkan kemerosotan, sebagaimana dijelaskan dalam Parabhava Sutta.
Tiba waktunya yang tepat, orang tua mempunyai tugas untuk memberikan
warisan yang tepat, sebagaimana contoh dalam Rahulovada Sutta. Dalam
Vyagghapajja Sutta, sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi diperlukan
untuk mendapatkan kehidupan duniawai, tanpa mengabaikan dasar moral dan
spirituan. Juga dalam menempuh kehidupan keluarga, Perumah tangga,
mendapatkan bekal yang baik dengan melaksanakan Pancasila Buddhis dalam
kehidupan sehari hari.
Landasan teoritis dalam penelitian ini hermeneutika. Hermeneutika adalah
interpretasi atau tafsir yang akan digunakan untuk mengkaji teks-teks dalam Kitab
Suci Tipitaka sebagai sumber utama (primer) dan buku-buku yang lain sebagai
sumber sekunder (penunjang). Teori hermeneutika yang akan dipergunakan akan
disesuaikan dengan kepentingan pemaknaan terhadap teks-teks, antara lain teori
dari Dhiltey, Ricoeur, Gadamer dll. Dengan menggunakan kajian interpretasi
hermeneutika diharapkan akan diperoleh makna yang terkadung dari teks-teks
Kitab Suci Tipitaka dimaksud dan sekaligus sesuai dengan tujuan dari penelitian
ini.
Pembahasan
Keluarga yang harmonis adalah cita-cita setiap perumah tangga, apapun
agama yang dianutnya. Permasalahannya adalah bahwa dalam membentuk
keluarga yang harmonis banyak halangan dan rintangan, yang tidak semua
perumah tangga mampu mengatasinya. Dalam kotbah-Nya yang pertama kepada 5
(lima) petapa, Sang Buddha menguraikan dengan jelas perihal kehidupan. Hidup
adalah dukkha. Dukkha ada sebabnya. Sebab dukkha dapat dilenyapkan dan Jalan
untuk melenyapkan dukkha.
186
Satu pilihan untuk hidup berkeluarga, tidak akan pernah lepas dari
permasalahan perekonomian. Dalam membentuk keluarga sebagaimana ajaran
Buddha terdapat syarat yang sebaiknya dimiliki oleh pasangan yaitu sebanding
dalam keyakinan, sebanding dalam moralitas, sebanding dalam kedermawanan
dan sebanding dalam kebijaksanaan. Empat hal tersebut sebagai dasar untuk dapat
terciptanya kehidupan yang harmonis dalam keluarga Buddhis.
Agar terciptanya keluarga yang harmonis maka setiap anggota keluarga
haruslah berpenghidupan benar. Ini adalah sumber utama untuk dapat hidup
harmonis dan bahagia, baik bagi para petapa maupun bagi kehidupan berkeluarga.
Karena kemiskinan adalah sebagai sumber malapetaka, maka dalam kehidupan
keluarga maka haruslah kecukupan terkait dengan sandang, pangan dan papan.
Setiap anggota dalam keluarga tentu mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dipatuhi dan dilaksanakan. Hak dan kewajiban haruslah seimbang dan tidak
sepihak. Bila hal-hal yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan dan
sebaliknya yang harus tidak dilakukan tetapi dilakukan maka akan menjadi awal
kemerosotan dalam kehidupan. Oleh karena itu setiap anggota keluarga memiliki
kewajiban untuk menghindarinya.
Untuk mendapatkan materi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
perekonomian dalam keluarga maka setiap anggota keluarga harus bekerja keras
dengan baik dan jujur. Demikian pula bahwa setiap anggota keluarga harus
mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang untuk dapat terciptanya suasana
keluarga yang harmonis. Pada waktunya yang tepat, orang tua tentu akan
memberikan warisan kepada anak-anaknya. Agar terciptanya kehidupan yang
harmonis, setiap anggota keluarga mampu memilih antara kebutuhan dan
keinginan. Mana yang harus didahulukan dan dipentingkan. Dan juga yang tidak
kalah pentingnya bahwa dalam kehidupan sehari-hari sebagai perumah tangga
harus melaksanakan pancasila Buddhis dengan baik.
Penutup
Mengacu kepada hasil pembahasan tersebut di atas bahwa terdapat kearifan
konsep-konsep menurut ajaran Buddha dalam membangun keluarga yang
187
harmonis. Konstruksi konsep-konsep perekonomian dalam membangun keluarga
sangat dibutuhkan. Sehingga umat Buddha dapat memahami dengan baik ajaran
Sang Buddha terkait dengan system perekonomian.
Dalam membangun perekonomian keluarga menurut ajaran Buddha yang
terdapat dalam kitab Tipitaka. Konsep-konsep Berbagai aspek yang harus
dipahami dan sekaligus dilaksanakan oleh perumah tangga. Hal-hal yang harus
dimiliki dalam membentuk keluarga yang harmonis diawali dengan sebanding
dalam keyakinan, sebanding dalam moralitas, sebanding dalam kedermawanan
dan sebanding dalam
kebijaksanaan. Empat hal tersebut menjadi dasar dan
landasan, sehingga perjalanan dalam membangun keluarga yang harmonis akan
kuat.
Dengan
berpatokan
pada
penghidupan
benar,
memahami
akar
permasalahan, memahami sebab-sebab kemerosotan, mampu menciptakan berkah
utama, dapat melaksanakan kewajiban dengan baik, bekerja keras untuk
mendapatkan penghasilan, mengembangkan cinta kasih kepada semua mahluk
hidup, memberikan jamuan terhadap tamu,
memberikan warisan yang tepat,
hidup sesuai dengan kebutuhan dan bukan keinginan, memiliki sarana dan
prasarana yang cukup, dan lain sebagainya. Dengan melaksanakan hal-hal
demikian maka manfaat akan dapat diperoleh yaitu hidup berbahagia dalam
kehidupan perumah tangga.
Terkait dengan konsep-konsep perekonomian menurut ajaran Buddha,
kiranya dapat lebih banyak lagi yang meneliti. Para dosen dapat mengembangkan
lagi penelitian yang lebih luas. Perguruan tinggi hendaknya lebih apresiasif untuk
mampu memberikan warna yang lebih baik, sehingga mampu memberikan
perubahan-perubahan dalam proses perkembangan.
Daftar Pustaka
Bodhi, Bhikkhu. 1995. The Middle Length Discourse of the Buddha, A
Translation of the Majjhima Nikaya. Boston: Wisdom Publications.
______________. 2006. The Miror Readings (Khuddakapatha). Terjemahan
Cintiawati dan Lena Anggawati. Klaten: Wisma Sambodhi.
188
______________. 2010. Khotbah khotbah Berkelompok Sang Buddha, Samyutta
Nikaya. Terjemahan Indra Anggara. Jakarta: Dhammacittapress.
Bleicher, Josef. 2013. Hermeneutika Kontemporer (Hermeneutika sebagai
Metode, Filsafat dan Kritik. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Jutanago (ed.). 1985. Kitab Suci Dhammapada. Jakarta: Yayasan Dhammadipa
Arama.
Lay, U Ko. 2000. Guide To Tipitaka (Panduan Tipitaka Kitab Suci Agama
Buddha).Terjemahan Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. Klaten:
Vihara Bodhiwamsa.
Mulyono, Edi. 2012. Belajar Hermeneutika. Yogyakarta: IRCiSoD.
Narada. 1988. The Buddha and His Teaching. Kuala Lumpur: Buddhist
Missionary Society.
Ñānamoli, Bhikkhu. 1998. The Life of the Buddha. Kandy: Buddhist Publication
Society.
______________. 2013. Khotbah-Khotbah Menengah Sang Buddha, Majjhima
Nikaya. Terjemahan Edi Wijaya dan Indra Anggara. Jakarta:
Dhammacittapress.
Nyanatiloka. 1970. Buddhist Dictionary: Manual of Buddhist Terms and
Doctrines. Singapore: Singapore Buddhist Meditation Centre.
Palmer, Richard E (2005) Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Riceour. Paul (2014). Teori Interpretasi Membelah Makna dalam Anatomo Teks.
Yogyakarta: IRCiSod.
Saddatissa. 2003. Sutta Nipata Kitab Suci Agama Buddha, terjemahan Lenny
Anggawati dan Wena Cintiawati (Klaten: Vihara Bodhivamsa).
Sumaryono.E (1993). Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Walse. Maurice (2009) Digha Nikaya (Kotbah-kotbah Panjang Sang Buddha)
Jakarta: Dhamma Citta Press.
Widjaya. Hendra (Penerjemah) (2013) Dhammapada Syair Kebenaran. Tanpa
Kota: Ehipassiko Foundation.
189
REVOLUSI MENTAL SIVITAS AKADEMIKA
STAB NEGERI SRIWIJAYA TANGERANG BANTEN:
MEWUJUDKAN KAMPUS GREEN, SMART, DAN SECURE
(TINJAUAN TELAAH KASUS)
12T
Setia Darma
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
Academician means the academic community consists of rector (leadership
element), lecturers, students, and employees of the university (college) has a big
hand in laying the groundwork action Revolution Mental to realize the campus
Green (environmentally conscious), Smart (intelligent, superior) and Secure (safe
and comfortable). Sriwijaya Buddhist College, Tangerang, Banten during its
slogan is Buddhistic, Winning, Character.
National Movement for Mental Revolution stems from the invitation of
President Jokowi as leaders of Indonesia to reform the character of the nation
that has been degraded in depth (revolusinisasi). Backed by a consortium of
national leaders (government bureaucracy, the business community, religious
leaders, academics, artists, and much more)by its strategic values: integrity, work
ethic, and mutual cooperation; The National Movement has three pillars aims to
politically sovereign, independent economic and socio-cultural personality, holds
eight basic principles of Mental Revolution as follows: Mental Revolution is a
social movement to work together towards a better Indonesia; It must be
supported by the government commitment (political will); Must be cross-sectoral;
Collaboration society, private sector, academia, and government; Do the
programs onslaught of values (value attack) to constantly remind the public of the
strategic value in every public space; The design should be easy to implement the
program (user friendly), fun (popular) for all segments of society;The values were
developed primarily intended to regulate public morality (social) is not the
morality of private (individual); Can be measured the impact and benefit of the
community.
With the National Movement's in Sriwijaya Buddhist State College,
Tangerang, Banten realize the Green campus, Smart and Secure in the discussion
of the problems that exist at the level of these three things, already and have not
owned and must improve, equip and continuously improve themselves to meet the
era of the ASEAN economic community to be ready to compete and become a
World Class University in the future.
Keywords: mental revolution, civitas academic, cultural work, integrity
191
Pendahuluan
Era Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK) yang terus berkembang
dan membawa dampak perkembangan sosial budaya pada masyarakat dan
individu perlu diantisipasi oleh Pemerintah, Pimpinan Nasional, Tokoh Agama,
Keluarga dan lain-lain. Kasus-kasus narkoba, teroris, korupsi, pelanggaran HAM,
tindak kekerasan dalam keluarga masyarakat/lingkungan, tidak taat hukum, tidak
berdisiplin merupakan perilaku sehari-hari yang terjadi di masyarakat yang mudah
kita temui/ketahui melalui media sosial. Tindakan tidak mau antri, menyerobot di
jalan, melawan arus lalu lintas, kurang peduli terhadap hak orang lain merupakan
hal-hal biasa yang terjadi di sekitar kita. Perilaku bisa diubah, mental dan karakter
bisa dibangun, karena itu perlu Revolusi Mental, perubahan secara cepat perilaku
bukanlah pilihan, tetapi suatu keharusan agar kita bisa berdiri sejajar dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Kita bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik
dengan memulai Revolusi Mental dari diri sendiri sejak saat ini.
Revolusi Mental sudah hampir dua tahun lalu dicetuskan, perlu Revolusi
Mental keluar dari rawa mediokritas, kemalasan intelektual, kecengengan
emosional, kedangkalan spiritual, kebrutalan dogmatisme, dan dari belenggubelenggu prasangka dan kecurigaan yang menyandera bangsa. Sulit disangkal
namun diantara tantangan-tantangan yang kita hadapi seperti budaya kekerasan,
bebas dari rasa takut, korupsi, dan lain-lain dapat terjadi di masyarakat (F. Magnis
Suseno).
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten sebagai
institusi dibawah Kementerian Agama Republik Indonesia c.q. Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Buddha adalah Kampus Negeri yang mencetak calon
sarjana-sarjana Agama Buddha yang belajar berusaha untuk bekerja berkarya
tentang pendidikan, penyuluhan Agama Buddha, dan lain-lain di kampus Green,
Smart, dan Secure, dengan slogannya Buddhistik, Unggul dan Berkarakter.
Sebagaimana yang diharapkan manusia yaitu ingin bahagia, maju, dan
sejahtera; terdapat dalam Manggala Sutta, Guru Agung Hyang Buddha
menyarankan agar kita terus-menerus belajar dan bergaul dengan para
bijaksanawan, berada di tempat yang sesuai, berpengetahuan luas, memiliki
192
keterampilan, melaksanakan sila, tidak melakukan perbuatan tercela, sering
berdana, menghindari perbuatan buruk, bersemangat untuk mencapai cita-cita, dan
selalu menghormat kepada yang patut untuk dihormati, menjadi berkah bagi kita
di manapun kita berada.
Revolusi Mental merupakan Gerakan Nasional yang dihimbau oleh
pemerintahan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat Indonesia untuk maju dan
berubah, perubahan sikap mental untuk bertindak arif, positif, merubah semua
mindset, merubah yang jelek menjadi baik, bagus, yang malas jadi rajin,
produktif, yang lambat jadi cepat, yang boros jadi hemat, yang bergantungan jadi
mandiri, bekerja buruk atau asal jadi berubah profesional, yang tertutup jadi
transparan, bermewah-mewahan menjadi sederhana atau bersahaja sebagaimana
delapan dasar perilaku kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha.
Ajakan dalam Gerakan Nasional ini dalam lingkup Sekolah Tinggi Agama
Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang diharapkan dapat membawa perubahan yang
signifikan bagi Sivitas Akademika, bagi keluarga besar Sekolah Tinggi Agama
Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang yang merupakan tanggung jawab kedepan
bagi perkembangan pendidikan tinggi Agama Buddha di Nusantara. Permasalahan
yang penulis bahas dalam artikel ini bagi keluarga besar Sivitas Akademika
berkaitan dengan Revolusi Mental untuk mewujudkan kampus Green, Smart dan
Secure.
Penulis mendapatkan manfaat dari penulisan artikel “Revolusi Mental
Civitas Akademika STABN Sriwijaya Tangerang Banten Mewujudkan Kampus
Green, Smart, dan Secure”, yaitu: (a) mendeskripsikan tentang revolusi mental
yang harus dilaksanakan oleh keluarga besar Civitas Akademika Sekolah Tinggi
Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten; (b) mengkaji bagaimana
kampus yang ideal bagi perkembangan pendidikan tinggi Agama Buddha kedepan
yang siap menghadapi tantangan global; (c) apa saja permasalahan pokok yang
menjadi hambatan dan tantangan untuk menjadi kampus yang dapat kompetitif;
(d) kekuatan dan kelemahan apa yang menjadi kendala bagi institusi Sekolah
Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten; (e) mengenali
permasalahan yang ada pada kampus untuk menjadi green, smart, dan secure;
193
serta hal-hal apa yang perlu menjadi pijakan untuk perbaikan ke depan; (f)
memberikan sumbangsih pemikiran untuk kemajuan kampus Sekolah Tinggi
Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten; (g) menjadi referensi bahan
kajian untuk dituangkan pada program kerja jangka pendek dan menengah.
Artikel kajian opini penulis ini disusun dalam rangka seminar yang
diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang
Banten, bahan-bahan tulisan diperoleh sebagaimana penulis muat pada daftar
pustaka, terdiri dari majalah, surat kabar, buku Paritta, internet dan pengamatan
penulis menjadi Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya
Tangerang Banten.
Adapun kerangka pemikiran dari penulisan artikel ini adalah seperti yang
digambarkan berikut:
Aksi Revolusi Mental
Kampus
Green
Smart
Secure
World
Class
University
Mengikat kinerja dengan lima nilai
budaya kerja (integritas, profesional,
inovatif, tanggung jawab, keteladanan)
Pembahasan
Delapan dasar perilaku kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Buddha
(integritas,
profesional,
kemandirian,
akuntabilitas,
keteladanan,
transparansi, religiusitas, bersahaja) hampir sama dengan lima nilai budaya kerja
Kementerian Agama Republik Indonesia, yang telah muncul lebih dahulu
(integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab, keteladanan).
Perubahan yang signifikan dan menjadi nilai tambah bagi institusi Sekolah
Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten adalah agar Sumber
Daya Manusia para dosen harus terus-menerus melakukan Tridharma Perguruan
194
Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,
khususnya Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang penelitian. Para dosen dituntut
untuk dapat mengangkat dan membuat prestasi bersama mahasiswa-mahasiswi
menjadi terkenal di tingkat nasional dan internasional.
Dengan adanya keterbatasan-keterbatasan, halangan-halangan yang ada,
harus diterobos dengan kebijakan-kebijakan yang revolusioner, merevolusi mental
Sumber Daya Manusia, mengikat kinerja seluruh Civitas Akademika dengan lima
nilai budaya kerja (integritas, profesional/kompetensi, inovatif, tanggungjawab,
dan keteladanan), menjadi landasan agar Sriwijaya Green, Smart, Secure dapat
menuju World Class University.
Usaha sadar lingkungan hidup (Green) yaitu dengan lingkungan bersih,
menambah penghijauan, keasrian, daur ulang (re-cycle), memakai kembali (reuse), mematuhi tata-tertib disiplin, mematuhi instruksi bervegetarian, dan tidak
memberikan contoh perilaku merokok di manapun berada.
Cerdas dan unggul (Smart) yaitu dengan multi pilihan peminatan (jenjang
tingkatan, jurusan, fakultas, program studi, konsentrasi, dan lain-lain), multi Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bervariasi baik fisik maupun mental, multi
kegiatan (seminar, pelatihan, pembinaan, dan lain-lain), multi kemampuan
keterampilan
(budaya,
intelektual,
kewirausahaan,
dan
lain-lain),
serta
meningkatkan kompetisi baik dalam negeri maupun internasional (perlombaan,
kontes, dan lain-lain).
Aman dan nyaman (Secure) yaitu dengan meningkatkan fasilitas yang
lengkap dan terkini (multi laboratorium, sarana prasarana, perpustakaan, dan lainlain), penjaminan keamanan dan kesehatan seluruh Civitas Akademika,
penjaminan bekerja kepada mahasiswa yang telah lulus, serta perlunya
meningkatkan kesejahteraan pegawai (koperasi) dan menurunkan biaya-biaya
yang dibebankan kepada mahasiswa.
Penutup
Dengan bersinergi seluruh Sivitas Akademika dengan Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Buddha, Stakeholder atau Mitra, Dewan Penyantun,
195
Majelis-majelis Lembaga Keagamaan Buddha, Umat Buddha, Sangha, baik
dukungan moril materiil, saling mendukung, kerja sama yang baik di dalam dan di
luar negeri upaya mewujudkan kampus yang asri, nyaman, aman, dan melahirkan
cendikiawan-cendikiawan Buddhis yang unggul, inovatif, kreatif, produktif, dan
kompetitif dapat diwujudkan hingga menjadi World Class University.
Kesimpulan
1.
Revolusi Mental merupakan gerakan aksi bersama seluruh masyarakat
Indonesia perlu dilaksanakan segera;
2.
Keluarga besar Civitas Akademika harus berintegritas menunjang perbaikan,
meningkatkan kinerja sesuai lima nilai budaya kerja dan delapan dasar
perilaku
kerja
Direktorat
Jenderal
Bimbingan
Masyarakat
Buddha
Kementerian Agama Republik Indonesia;
3.
Perbaikan, peningkatan, penambahan kerjasama dari pelbagai pihak dalam
mewujudkan kampus Green, Smart, dan Secure perlu dilakukan segera agar
dapat kompetitif menjadikan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri
Sriwijaya Tangerang Banten menuju World Class University.
Saran
1.
Gerakan Nasional Revolusi Mental ditambah dengan jorgan/slogan tersebut
agar dapat diaplikasikan oleh Keluarga besar Civitas Akademika Sekolah
Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten;
2.
Program lima nilai budaya kerja dan delapan dasar perilaku kerja Bimas
Buddha Kemenag RI tidak dapat ditunda dalam dunia kompetitif, secepatnya
merealisasikan kampus Green, Smart dan Secure;
3.
Sosialisasi tiga pilar Revolusi Mental berdaulat secara politik, mandiri secara
ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya agar menjadi cita-cita
bangsa melalui dunia pendidikan tinggi yang terus menerus bersinambungan
dilakukan.
196
Daftar Pustaka
Magnis-suseno, Franz. 2015. “Revolusi Mental”. Harian Kompas. 31 Desember
2015.
Mas’ud, Abdurrahman. 2014. “Revolusi Mental dengan Keteladanan”. Ikhlas
Beramal. Jakarta Pusat: Kementerian Agama RI.
Salman, H. 2015. “Revolusi Mental ASN Kemenag Melalui 5 Nilai BK dan
B2K”. Penuntun Amal Bhakti. Padang: Kanwil Kemenag Sumbar.
197
PENGUATAN INTEGRITAS AKADEMIK MAHASISWA
MELALUI INTERNALISASI NILAI-NILAI MORAL BUDDHIS
12T
Sugianto
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
Mental revolution became the government program of the Indonesian
Republic, a way to improve the mindset, thought patterns, and work patterns of
the Indonesian nation. Campus as a place of higher education providers to do
mental revolution for the academic community in order to improve the quality of
education. Strengthening academic integrity through the internalization of
Buddhist moral value. An attempt to overcome problems such as students'
academic integrity, like absent, cheating, plagiarism, collusion, ghosting, and
others. Moral according to Buddhism is an inner quality that is able to recognize
good and evil which is then followed by behaving in a moral way, such as right
speech, right action and right livelihood. Internalization of moral values is done
by applying the model of Buddhist learning value performed by a variety of
approaches, such as cultivation approach, cognitive moral development
approach, analysis approach value, values clarification approach, and the
approach of learning to do. Students are conditioned to get used to apply honesty,
fairness, respect, responsible, humble on the basis of understanding and selfawareness in academic activities.
Keywords: academic integrity, moral value, buddhist internalization
Pendahuluan
Revolusi mental adalah program yang digaungkan oleh pemerintah
Republik Indonesia untuk mempebaiki kualitas mental bangsa. Berbagai
persoalan mental bangsa menimbulkan keprihatinan sehingga perlu segera atasi.
Bangsa Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa besar, perlahan-lahan mengalami
pergeresaran. Kasus korupsi yang melanda pejabat Negara, tindak kriminal yang
marak terjadi, merusak nama baik bangsa Indonesia. Revolusi mental dilakukan
dengan mengubah cara pandang, cara pikir, dan cara kerja ke arah yang benar
dengan cepat. Revolusi mental menjadi tanggung jawab semua warga negara.
Kampus sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan tinggi memiliki
tanggung jawab merevolusi mental civitas akademi. Penguatan integritas
akademik mahasiswa merupakan bagian dari revolusi mental di bidang
199
pendidikan di kampus. Mahasiswa seyogyanya mengerti dan melaksanakan peran
dan tanggung jawab dengan benar. Sebagai intelektual muda yang bersemangat
mempelajari ilmu pengetahuan sesuai dengan keilmuwan agar menjadi ahli, aktif
berbagai pengembangan diri untuk memperluas pergaulan yang positif, mematuhi
tata tertib kampus.
Pendidikan yang tinggi tidak menjamin mahasiswa mampu melaksanakan
peran dan tanggungjawab akademik di kampus. Disintegritas akademik menjadi
masalah yang masih ditemui di kalangan mahasiswa. Permasalahan akademik
mahasiswa diantaranya sering absen atau masuk kuliah sesuka hati, curang dalam
mengerjakan tugas atau ulangan, solusi untuk menyelesaikan tugas individu,
melakukan plagiat dalam upaya mengerjakan tugas dari dosen, memanipulasi data
penelitian, meminta bantuan orang lain untuk mengerjakan tugas kampus,
terlambat mengumpulkan tugas.
Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual
yang rendah merupakan beberapa penyebab disintegritas akademik dari aspek
mental mahasiswa. Tingkat kecerdasan intelekual yang rendah membuat
mahasiswa tidak mampu mencapai level standar kelulusan. Emosi yang tidak
terkontrol membuat mahasiswa melampiaskan dengan cara yang salah; tidak
tahan dalam menyikapi situai kondisi yang tidak sesuai. Kecerdasan spiritual yang
rendah membuat mahasiwa berbuat dengan tidak berpedoman pada ajaran agama;
melakukan berbagai upaya, baik atau buruk untuk mencapai tujuan akademik.
Berdasarkan aspek fisik, kondisi tubuh mahasiswa yang lemah, mudah sakit
menjadi penghalang mahasiswa aktif dalam kegiatan akademik. Mudah sakit
membuat mahasiswa sering tidak masuk kuliah. Jumlah tatap muka yang menjadi
dasar prasyarat mengikuti ujian tidak terpenuhi. Tugas kuliah yang banyak
membuat badan menjadi sakit. Badan tidak tahan dalam melakukan berbagai
aktivitas akademik. Jumlah tatap muka yang kurang juga bisa menjadi faktor yang
mempengaruhi prestasi mahasiswa di bidang akademik.
Disintegritas akademik mahasiswa menimbulkan berbagai permasalahan.
Mahasiswa bermasalah dengan nilai. Indeks prestasi rendah. Banyak nilai yang
kurang atau bahkan tidak lulus. Harus mengulang perkuliahan sehingga terlambat
200
lulus. Mahasiswa juga dianggap sebagai pribadi yang negatif. Belum dewasa,
emosional, pesimis, tidak taat aturan sehingga kehilangan rasa untuk dipercaya.
Pada umumnya setiap kampus memiliki upaya untuk menjaga atau
memperbaiki integritas akademik mahasiswa. Ada kode etik mahasiswa sebagai
seperangkat peraturan untuk menjaga mahasiswa dari hal-hal negatif. Dosen
pembimbing akademik berkewajiban membimbing dan mengarahkan mahasiswa
dalam bidang akademik. Pada kegiatan pembelajaran dosen biasanya menyisipkan
nilai-nilai yang akan membangun integritas akademik mahasiswa. Badan
Eksekutif Mahasiswwa sebagai wadah berorganisasi mahasiswa juga bisa
mengambil peran dalam penguatan integritas akademik.
Penguatan integritas khususnya dalam bidang pembelajaran dilakukan
melalui penerapan pembelajaran nilai. Model pembelajaran yang mengarah pada
pengembangan kemampuan mahasiswa dalam memahami, mengetahui tingkat
perkembangan moral kognitif, menganalisis permasalahan nilai, mengklarifikasi
nilai, dan menerapkan perilaku yang bernilai. Ada banyak nilai yang dapat
diinternalisasikan dalam pembelajaran. Fokus pembahasan pada makalah ini
adalah internalisasi nilai-nilai moral Buddhis, karena melihat fakta yang terjadi di
perguruan tinggi keagamaan Buddha, ada sebagian mahasiswa Sekolah Tinggi
bermasalah dalam hal integritas akademik.
Moralitas menjadi aspek penting
untuk mencapai tujuan tertinggi yaitu pembebasan (Nibbana). Buddhisme juga
mengajarkan bahwa pikiran adalah pelopor atau pemimpin dari segala seuatu.
Pikiran yang bermoral atau yang berkualitas luhur menjadi landasan mahasiswa
dalam membangun cara pandang, cara pikir, dan cara beraktivitas.
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk menjelaskan cara
menginternalisasikan nilai-nilai moralitas buddhis untuk memperkuat integritas
akademik mahasiswa. Manfaat dari pembahasan ini secara praktis dapat dirasakan
oleh lembaga pendidikan, dosen, dan mahasiswa. Makalah ini ini disusun dengan
menggunakan metode library research.
201
Pembahasan
Menurut Richard De George dalam Brown (2005: 4-5) bertindak yang
berintegritas sama dengan perbuatan yang etis atau bermoral. Acting with integrity
is the same as acting ethically or morally. Integritas juga diartikan sebagai sikap
mental yang menjunjung tinggi kesatuan, keutuhan (wholeness) dan kebersamaan
yang terpadu. Integritas juga berarti kesatuan antara pikiran, ucapan, dan
perbuatan (Goa, 2007: 22). Brown menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
kesatuan adalah adanya keterkaitan atau hubungan antar bagian secara
menyeluruh. Oleh karena itu, mengutip pernyataan Charles Watson dalam Brown
(2005), integritas berarti konsistensi yang mengacu pada keselarasan antara apa
yang dilakukan dengan yang dikatakan. Konsistensi dalam upaya mencapai tujuan
meskipun ada gangguan atau godaan. Tetap teguh sesuai prinsip-prinsip
kebenaran. Tidak gentar dalam mengutamakan pencapaian tujuan dengan
mengesampingkan kebutuhan, kenyamanan, dan kepentingan pribadi.
Menurut Cohen (2010:11) integritas adalah salah satu sifat universal yang
paling berharga. Integrity is adherence to a set of values that incorporate honesty
and freedom from deception. Integritas adalah kepatuhan terhadap nilai-nilai
yang didasarkan pada kejujuran dan kebebasan dari penipuan. Cohen juga
menyebutkan tiga cara untuk menjaga integritas yaitu: keep your word, choose the
harder right over the easier wrong, guard your principles (2010: 24).
Carter dalam Byron mengungkapkan bahwa integritas menyangkut tiga hal,
yaitu: menyelidiki antara yang benar dan yang salah; bertindak atas hal-hal yang
telah diselidiki; dan mengatakan secara terbuka bahwa yang dilakukan
berdasarkan pemahaman terhadap yang benar dan yang salah (Byron, 2010: 70).
Mahasiswa yang berintegritas selalu konsistensi dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawab akademik dengan berpedoman pada cara yang baik dan
benar. Menurut supriyadi, integritas akademik mahasiswa ditandai dengan
penerapan prinsip-prinsip moral di lingkungan akademik yang terkait dengan
kebenaran, kejujuran dan, keadilan. Mahasiswa menjunjung tinggi nilai kejujuan,
kepercayaan, keadilan, penghargaan, tanggung jawab, dan kerendahan hati.
202
Integritas akademik adalah prinsip-prinsip moral yang diterapkan dalam
lingkungan akademik, terutama yang terkait dengan kebenaran, keadilan,
kejujuran. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam integritas akademik mencakup
enam aspek, yaitu: honesty (kejujuran), trust (kepercayaan), fairness (keadilan),
respect (menghargai), responsibility (tanggung jawab), dan humble (rendah hati)
( http://mmr.ugm.ac.id/index.php/integritas-akademik ).
12TU
U12T
Disintergitas akademik adalah kebalikan dari intergitas akademik. Menurut
Supriyadi ada beberapa bentuk disintergitas akademik, antara lain: tidak hadir
pada kegiatan pembelajaran dengan ataupun tanpa alasan yang dapat dibuktikan;
menggunakan pemikiran, proses, hasil ataupun tulisan orang lain tanpa
menyebutkan sumber referensinya secara lengkap; curang atau tidak jujur dalam
proses pembelajaran ataupun penilaian; bekerja sama dengan mahasiswa lain
untuk mempersiapkan atau mengerjakan penugasan individu yang akan dinilai;
mengarang data atau hasil penelitian ataupun dalam mencatat atau melaporkan
hasil penelitian; memanipulasi material, peralatan, atau proses penelitian, atau
mengubah data penelitian sehingga tidak tercatat secara akurat; meminta jasa
orang lain untuk menuliskan atau mengerjakan penugasan; membuat pernyataan
palsu. Bertindak menyenangkan orang lain yang dapat memberikan keuntungan
bagi mahasiswa.
Moralitas dalam agama Buddha dikenal dengan istilah sila yang termasuk
aspek penting untuk menuju pembebasan. Sila yang mendasar menurut
Brahmajala
Sutta
diantaranya:
menghindari
pembunuhan,
menghindari
mengambil barang yang tidak diberikan, menghindari ketidak sucian, menghindari
ucapan salah, menghindari fitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari gosip.
Nyanatiloka (1988), menerjemahkan sila sebagai ‘morality’, ‘virtue’, kualitas
batin dalam mengenali kebaikan dan keburukan dan dilanjutkan dengan tindakan
bermoral. Sedangkan menurut Buddhaghosa sila sebagai cetusan pikiran yang
hadir dalam diri seseorang untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak
baik dan melaksanakan perbuatan yang baik (Ñanamoli, 2010: 11). Empat
kategori sila menurut Buddhagosa yaitu, sikap batin atau kehendak yang harmoni
dan selalu dalam kedamaian dan ketenteraman; penghindaran diri dari perbuatan203
perbuatan buruk; pengendalian diri
mematuhi peraturan atau tata tertib,
pengendalian indera-indera; pengendalian penghidupan atau mata pencaharian;
dan pengendalian memakai barang-barang yang menunjang kehidupan; dan tiada
pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. Sila meliputi unsur ucapan benar,
perbuatan benar, dan penghidupan benar sebagai bagian Jalan Tengah berunsur
delapan untuk merealisasikan Nibbana (SN.V.Sacca Samyutta).
Ucapan benar atau samma-vaca diartikan dengan “Abstaining from lying,
from divisive speech, from abusive speech, & from idle chatter” SN 45.8 (Maggavibhanga Sutta: An Analysis of the Path). Ucapan yang tidak mengandung
kebohongan, tidak memecah-belah, bebas dari cacian, dan tidak omong kosong.
"Speaking of things seen as seen, of thins heard as heard, of things sensed as
sensed, of things cognized as cognizes."(AN. The Worthy Man 150).
Mengucapkan sesuatu yang terlihat sebagai yang dilihat, mengucapkan sesuatu
yang didengar seperti yang didengar, mengucapkan sesuatu yang dirasakan seperti
yang dirasakan, mengucapkan sesuatu yang diketahui seperti yang diketahui.
Seseorang seharusnya mengucapkan kata-kata yang tidak menyakiti diri
sendiri maupun orang lain, hanya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan,
diterima orang lain. Orang yang berbicara tanpa menimbulkan penderitaan bagi
orang lain adalah menyenangkan." One should speak only pleasant words, words
which are acceptable (to others). What one speaks without bringing evils to others
is pleasant" (Theragatha, Vangisa).
Buddha memiliki beberapa pertimbangan sebelum mengucapkan suatu hal.
"Such speech as the Tathagata knows to be true, correct and beneficial, and
which is welcome and agreeable to other; the Tathagata knows the time to use
such speech ” (MN. 58). Berkat rasa kasih sayang kepada semua makhluk,
Buddha memilih mengucapkan kata-kata yang sesuai kenyataan, benar,
bermanfaat, menawan, dan menyenangkan bagi orang lain.
Hal yang perlu direnungkan sebelum berbicara. Bila ucapan itu akan
menyakiti diri sendiri atau orang lain, sebaiknya jangan diucapkan. Namun
ucapkan hal-hal bila menimbulkan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain
(MN. 61 Ambalatthikarahulavada Sutta).
204
Perbuatan benar tidak menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri dan orang
lain. Jika setelah direnungkan ternyata perilaku itu menimbulkan kebahagiaan
bagi diri sendiri dan orang lain, memiliki konsekuensi dan hasil yang
menyenangkan,
maka
perilaku
itu
layak
untuk
dilakukan
(MN
61
Ambalatthikarahulavada Sutta). Penghidupan benar adalah cara hidup yang tidak
merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cara hidup yang bebas dari kejahatan,
pencurian, penipuan. Hidup yang sesuai dengan tata tertib dan norma-norma
hidup lainnya.
Menurut Buddhahghosa sila dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis,
salah satunya mejadi tiga jenis yaitu attadipateyya sila, lokadipateyya sila, dan
dhammadipateyya sila. Attadipateyya sila artinya sila yang dijalankan demi tujuan
pribadi; lokadipateyya sila yang dilaksanakan atas dasar pertimbangan umum;
dhammadipateyya sila yang dilakukan atas dasar penghormatan kepada Dhamma.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, kualitas sila didasarkan pada motivasi dalam
melakukan suatu perbuatan.
Sīla menimbulkan kesadaran bahwa ada persamaan diantara diri sendiri
dengan orang lain. Keown menyatakan bahwa moralitas adalah praktik dari kasih
sayang dan tanpa kekerasan, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
berkenan dilakukan pada diri sendiri . ....virtues such as non-violence and
compassion, and the Buddhist version of the ‘Golden Rule’ counsels us not to do
anything to others we would not like done to ourselves.
Internalisasi nilai-nilai moral Buddhis sebagai dasar penguatan integritas
akademik mahasiswa dilakukan secara terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran
nilai. Pembelajaran pada perguruan tinggi lebih tepat dengan cara pembelajaran
yang aktif. Mahasiswa aktif membangun pengetahuan, mengembangkan diri dan
ketrampilan, serta membangun kesadaran diri tentang arti penting kehidupan
bermoral. Dosen berperan sebagai fasilitator sekaligus pendidik dalam proses
internalisasi nilai-nilai moral Buddhis.
Menurut Superka (2013: 88) dalam Komalasari ada lima pendekatan
pembelajaran nilai yaitu pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan
moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan
205
pendekatan pembelajaran berbuat. Pembelajaran agama cenderung menggunakan
model penanaman nilai dengan asumsi ajaran agama mengandung nilai-nilai ideal
yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Misalnya menanamkan
nilai-nilai dari ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar.
Sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif moral, pembelajaran dapat
diarahkan pada isu-isu moral untuk mengetahui tingkat perkembangan berpikir
berdasarkan aspek moral mahasiswa. Pembelajaran mengacu pada tahap
perkembangan moral mahasiswa. Menurut Kohlberg ada
enam tahap
perkembangan moral yaitu: preconventioal, moralitas individu dan timbal balik,
conventional, moralitas sistem social dan kata hati, postconventional, moralitas
kesejahteraan social, dan moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral
yang umum. Dosen dapat mengetahui tingkat pertimbangan moral mahasiswa dari
cara mahasiswa dalam menanggapi isu-isu disintergitas akademik yang terjadi di
kalangan mahasiswa.
Pembelajaran dengan analisis nilai dilakukan untuk mengetahui kualitas
moral mahasiswa dalam menanggapi isu-isu disintegritas akademik mahasiswa.
Misalnya dosen mengangkat tema plagiat di kampus. Dosen dapat mengetahui
hasil pemikiran mahasiswa yang rasional dan analistik dalam bentuk laporan hasil
analisis. Pada pembelajaran ini, internalisasi nilai masih dalam tahap teoritis,
cenderung menekankan pada aspek kognitif. Oleh karena itu, untuk memperkuat
proses internalisasi nilai, dosen dapat melanjutkan dengan model pendekatan
klarifikasi nilai yang menekankan pada kemampuan bepikir dan kesadaran
emosional dalam memahami nilai yang ada dalam diri mahasiswa.
Klarifikasi
nilai
bertujuan
untuk
menyadarkan
mahasiswa
dan
mengidentifikasi nilai-nilai yang ada dalam diri dan nilai-nilai orang lain.
Mahasiswa diajak jujur dan terbuka dalam membuat penilaian diri, lalu
menyampaikannya kepada teman-teman di kelas. Dosen dapat mengharapkan agar
mahasiswa benar-benar memahami perasaan, nilai-nilai dan perilaku sendiri..
Untuk memperkuat proses internalisasi nilai-nilai moral Buddhis, dosen
dapat menggunakan pendekatan pembelajaran berbuat atau action learning
approach. Tujuannya agar mahasiswa mampu melakukan perbuatan-perbuatan
206
bermoral dalam konteks akademik secara individu maupun bersama-sama.
Pembelajaran dilakukan dengan cara membuat kegiatan yang bersifat individu
maupun kelompok yang telah disepekati bersama antara dosen dan mahasiswa.
Seperti yang dikemukakan oleh Djahiri dalam Komalasari, model pembelajaran
yang dapat dilakukan adalah dengan value clarification technique melalui analisis
nilai, daftar, dan game (2013: 99). Dosen dapat menugaskan mahasiswa membaca
salah satu kisah hidup Buddha atau siswa Buddha yang menjelaskan berkah dari
kehidupan bermoral dan kerugian dari perilaku tidak bermoral. Kemudian
mahasiswa dianjurkan untuk memahami dan mengklarifikasi nilai-nilai moral apa
saja terkandung dalam kisah tersebut; menganalisis permasalah yang terjadi;
mengidentifikasi nilai-nilai moral apa saja yang bisa dijadikan sumber teladan.
Terakhir adalah mahasiswa diminta membuat daftar perilaku
yang tergolong
dalam integritas akademis terinspirasi dari isi kitab suci yang mengandung nilai
kejujuran, kepercayaan, keadilan, menghargai orang lain, tanggung jawab rendah
hati. Berdasarkan daftar perilaku tersebut, mahasiswa diajak untuk konsisten
mempraktikkannya selama perkuliahan berlangsung sehingga akan mengurangi
kebiasan buruk mahasiswa seperti absen, curang, kolusi, plagiat dan lain-lain.
Pada pertemuan terakhir, mahasiswa diminta memberikan penilaian diri terhadap
pencapaian dalam menerapkan perilaku-perilaku. Melalui pembiasaan yang
didasarkan pada pemahaman dan kesadaran diri akan manfaat dari perilaku
akademik yang dipilih, mahasiswa mengkondisikan diri memperkuat integritas
akademik.
Penutup
Penguatan
pembelajaran.
intergitas
Dosen
akademik
menggunakan
mahasiswa
pembelajaran
dilakukan
nilai
pada
saat
dengan
cara
menggabungkan lima pendekatan yang ada dalam pembelajaran nilai yaitu:
pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan
pembelajaran berbuat. Nilai-nilai moral Buddhis berupa kualitas batin luhur yang
207
tercermin dalam ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar
digunakan sebagai landasan dalam membangun integritas akademik mahasiswa
yang meliputi kejujuran, kepatuhan, kedisplinan, kesetiaan, penghargaan, dan
kerendahan hati.
Penguatan integritas akademika mahasiswa sebagai bagian dari revolusi
mental dalam bidang pendidikan berguna untuk memperbaiki mutu akademik
kampus. Lembaga pendidikan tinggi dapat membuat kebijakan-kebijakan yang
mengarah pada progam internalisasi nilai-nilai sebagai upaya menciptakan
suasana akademik kampus yang kondusif. Dosen sebagai tenaga pendidik
diperguruan tinggi berkewajiban untuk membantu mahasiswa membangun
pengetahuan diri, identitas diri yang utuh berlandaskan nilai-nilai moral Buddhis.
Mahasiswa sebagai intelektual muda harus menyadari peran dan tanggung jawab
dalam bidang akademik, dengan cara mempersiapkan diri menjadi pribadi yang
positif, dewasa, stabil, disiplin, patuh, dan optimis menyongsong masa depan.
Daftar Pustaka
Bodhi, Bhikkhu. 2010. Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha Buku Tiga
Khandhavagga Samyutta Nikaya. Jakarta: Dhammacitta Press.
Bodhi, Bhikkhu. 2010. Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha Buku Tiga
Sagathavagga Samyutta Nikaya. Jakarta: Dhammacitta Press.
Brown, Marvin T. 2005. Corporate Integrity: Rethinking Organizational Ethics
and Leadership. Cambridge University Press.
Buddhaghosa. The Path of Purification: Visuddhimaga. tr. Ñanamoli. Kandy:
Buddhist Publication Society, 2010.
Byron, William J. 2010. The Power of Principless. Yogyakarta: Kanisius.
Cohen, William A.. 2010. Heroic Leadership: Leading With Integrity and Honor.
San Fransisco: Jossey Bass A Wiley Imprint.
Djalimin, Judirman. 2010. The Secret Change of Success. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
208
Goa, Hillon I. 2007. Semua Orang Bisa Hebat: Panduan Membangun Tim
Berkinerja Tinggi. Jakarta: Gramedia Wikasarana Indonesia.
Keown, Damien. Buddhist Ethics a Very Short Introduction. England: Oxford
University, (tanpa tahun).
Majjhima Nikaya: The Middle Length Discourses of the Buddha. 2001. Tr.
Bhikkhu Nanamoli and Bhikkhu Bodhi. Oxford: The Pali Text Society.
Norman, K.R. 2007. Theragatha: The Elders’ Verses 1.2 nd Edition. Lancaster:
The Pali Text Society.
P
P
Nyanatiloka, Ven. Buddhist Dictionary Manual of Buddhist Terms & Doctrines
(4th Edition). Kandy / Sri Lanka: Buddhist Publication Society, 1988.
Supriyadi, Didik. Tanpa Tahun. Integritas Akademik. Sumber online:
http://mmr.ugm.ac.id/index.php/integritas-akademik diakses pada tanggal
11 Januari 2016.
12TU
U12T
Walshe, Maurice. 2009. Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya.
Diterjemahkan oleh Team Giri Manggala Publication Team Dhammacitta
Press. Jakarta; DhammaCitta.
Woodward, F.L. 2008. Anguttara Nikaya: The Book of The Gradual Sayings.
Oxford: The Pali Text Society.
209
MENGGUMULI SASTRA:
MEMBANGUN JIWA DAN KARAKTER ANAK BANGSA
Suntoro
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
12T
Abstract
The number of negative cases committed by young people make the
government feel the need to initiate the importance of character education.
Orientation of educational goals that have been emphasizing the realm of
knowledge and skills that must be balanced with a good attitude. As a result, some
subjects such as literature gets a special attention related to the formation of the
spirit and character of the nation. Literary contains high moral values, therefore
it can be used effectively to shape human character and morals. Literature can
foster human beings to know life is multidimensional. Meanwhile, the function of
literature is to teach students to sharpen the sensitivity of the values with open
heart and mind as well as the forging of character as a literary exercise presents
field experiences are endless. Literature also familiarizing us with a large number
of possibilities in human life. Therefore it is essential to promote the relationship
between author, text, teachers, and students for language learning to be more fun
and meaningful. The results are expected to form a human being who knows on
how respect others, know about his limits, and those who do not trouble others.
Keywords: teaching literature, characters
Pendahuluan
Industrialisasi telah menenggelamkan berbagai upaya untuk menegakkan
kembali pilar pendidikan yang murni di Indonesia. Kurikulum pendidikan
berubah-berubah seperti tak mempunyai arah, tiap-tiap tingkatan pendidikan
semakin sarat mata pelajaran titipan, bidang-bidang baru bermunculan seriring
kembalinya para cerdik-cendekia dari menimba ilmu di luar negeri. Sejumlah
mata pelajaran baru diwajibkan berdasarkan alasan yang bermuatan politis
daripada akademis.
Tuntutan menuju masyarakat industri jelas telah menciptakan kesenjangan
dalam hal pemberian porsi pengajaran pada siswa di sekolah. Mata pelajaran yang
berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap memiliki urgensi
lebih dibanding mata pelajaran kemanusiaan (humaniora). Indikator konkritnya
adalah ketiadaan sanggar seni, keterbatasan buku kesastraan, dan media untuk
menyalurkan kreativitas siswa -yang berkaitan dengan budaya khususnya- sangat
211
miskin. Sementara itu fasilitas pendukung pembelajaran sains seperti laboratorium
semakin lengkap, alat peraga sains diperbanyak, dan kelas-kelas sains penuh
peminatnya.
Kesenjangan dalam pengembangan tiga domain kecerdasan –kognitif,
psikomotorik, dan afektif- ibarat bom waktu yang tinggal menunggu saat untuk
meledak. Domain kognitif yang berhubungan dengan rasio berpikir sangat
didewakan dalam setiap pembelajaran di kelas. Domain psikomotor yang
mengembangkan kecakapan hidup juga sedikit banyak tersentuh. Namun, domain
afektif sebagai ukuran mutu sikap manusia seperti dianaktirikan. Hal itu tentu
kurang sesuai dengan tuntutan pendidikan nasional yang bertujuan mencerdasakan
bangsa yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia.
Secerca harapan mulai muncul ketika di tahun 2011 Dinas Pendidikan
menggagas
mengenai
pentingnya
pengembangan
budaya
dan
karakter
berwawasan keindonesiaan. Setiap mata pelajaran harus memuat unsur karakter
dan harus terinternalisasi dalam pembelajaran di kelas. Setiap langkah
pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas harus bermakna bagi
pengembangan kepribadian siswa dalam rangka menumbuhkan karakter yang
tangguh. Seperti yang disampaikan Covey, sukses bukan ditentukan oleh
kepribadian melainkan oleh karakter. Kepribadian merupakan aspek yang
Nampak pada seseorang seperti berpenampilan rapi, ramah, bersih, dan
sebagainya. Sementara itu, sifat tersembunyi dalam diri seseorang seperti kerja
keras, kesederhanaan, pantang menyerah, tanggung jawab, dan ulet itulah
karakter.
Pengembangan budaya dan karakter berwawasan keindonesiaan tentu tak
lepas dari banyaknya kasus negatif yang dilakukan para generasi muda,
khususnya pelajar. Badan Pusat Statistik Indonesia (2010) mencatat dari tahun
2007 tercatat sekitar 3100 orang remaja terlibat dalam kasus kriminalitas, tahun
2008 dan 2009 yang meningkat menjadi 3.300 dan sekitar 4.200 remaja. Tidak
hanya dari segi kuantitas, laporan badan pusat statistik juga menjelaskan bahwa
tindak kriminalitas yang dilakukan oleh remaja juga meningkat dari segi kualitas.
Kenakalan remaja yang pada awalnya hanya berupa perilaku tawuran atau
212
perkelahian antarpelajar, sekarang berkembang sebagai tindak kriminalitas seperti
pencurian, pemerkosaan, penggunaan narkoba hingga pembunuhan.
Terkait dengan gagasan pembentukan karakter peserta didik, beberapa mata
pelajaran mengalami pergeseran kedudukan. Mata pelajaran yang dulu tidak
begitu tersentuh mulai mendapat perhatian karena relevan dengan visi
pembentukan karakter. Salah satunya sastra, dalam struktur kurikulum juga
bergeser menjadi salah satu elemen penting sehingga mendapat perhatian khusus.
Sastra merupakan karya seni hasil pergulatan batin pengarang terhadap masalahmasalah kehidupan mengandung moral yang tinggi, karena itu ia dapat
difungsikan secara efektif untuk membentuk watak dan moral manusia
(Sujarwanto dalam Sujarwanto, Jabrohim, 2001: 508). Sastra dapat membina
manusia untuk mengenal kehidupan yang bersifat multidimensi. Sastra juga dapat
membina kesanggupan rohani manusia untuk dapat menegendalikan segala segi
kehidupan dan tata nilainya (Suyitno, 1986: 11). Sastra juga mampu menanamkan
kesadaran yang tumbuh tanpa paksaan tentang pentingnya pemahaman,
penghayatan dan pengamalan tuntutan nilai-nilai luhur bangsa. Sastra tidak hanya
sekadar berfungsi rekreatif tetapi juga memberi pencerahan hakikat kehidupan
yang bernilai (Sugiarti, 2011).
Oleh karena itu, penting kiranya bagi guru untuk mengajak siswa
“menggumuli” atau “menyetubuhi” sastra dalam bangunan pengajaran yang
bermakna. Artinya prinsip apresiatif pengajaran bahasa mutlak dilakukan untuk
sampai pada ranah “menggumuli” atau “menyetubuhi”. Apresiasi secara umum
diartikan sebagai “penghargaan”, sedangkan dalam konteks pembelajaran bahasa
akan lebih tepat jika diberi pengertian “menyenangkan”. Jadi, pengajaran sastra di
sekolah tidak boleh berhenti pada tataran teoretis saja tetapi yang lebih penting
mengajak siswa untuk menyenangi sastra tersebut.
Pengajaran
sastra
pada
dasarnya
mengemban
misi
afektif,
yaitu
memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap
peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhir menyenangi sastra ialah
menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalahmasalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap nilai, baik dalam
213
konteks individual maupun sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, peran sastra
dalam mencerdaskan dan pengembangan kepribadian siswa sangatlah besar. Oleh
karena itu, penting untuk mengetahui pengajaran sastra yang kreatif dalam rangka
pembentukan karakter positif bagi siswa serta bagaimana memberdayakan sastra
untuk pembentukan karakter siswa.
Sastra dan Pembinaan Karakter
Sastra memiliki potensi besar untuk membawa masyarakat ke arah
perubahan, termasuk perubahan karakter (Herfanda, 2008: 131). Sastra tidak
sekadar memberikan kesenangan, hiburan, dan keindahan tetapi juga mampu
memberikan pencerahan mental dan spiritual. Sastra juga harus dilepaskan dari
penilaian benar dan salah, baik dan buruk, populer dan tidak karena dari segi
mana pun sastra hendak dipandang, dengan cara mana pun sastra hendak
dipelajari, hakikat sastra tetap merupakan suatu dikotomi.
Dalam hal pembinaan karakter, Oemarjati (2012: 49) sekurang-kurangnya
sastra akan memberikan dua sumbangan yakni mengasah kepekaan siswa
terhadap nilai-nilai jika ia mengakrabi sastra dengan keterbukaan hati dan pikiran
serta latihan penempaan watak karena sastra menyajikan medan pengalaman yang
tidak terbatas. Sastra mengakrabkan kita dengan sejumlah besar kemungkinan
dalam kehidupan manusia: kebahagiaan, kebebasan, harga diri, cinta, kasih
sayang, kebencian, kemunafikan, keputusasaan, kematian,
dan sebagainya.
Pertemuan siswa dengan kondisi seperti itu akan membuat dirinya lebih mengenal
kehidupan yang dipenuhi dengan nilai-nilai pantas dan kurang pantas. Pada
akhirnya nanti, siswa akan mengerti betapa kehidupan sangat kompleks dan
mereka akan sadar dan siap jika tiba saatnya harus memilih.
Keragaman sastra senantiasa menghadapkan siswa pada kesempatan
mengolah arus pengalaman yang segar dan tidak ada henti-hentinya. Mengkaji
sastra berarti melatih imaji, kreativitas, dan reaksi terhadap masalah yang
disajikan pengarang. Menggumuli sastra juga memberikan kesiapan yang lebih
“awas” untuk menghadapi kehidupan nyata di kemudian hari. Sastra jelas akan
memberikan pengetahuan tentang budaya suatu masyarakat atau ciri khas suatu
214
masyarakat tertentu. Contoh ketika membaca Kasih Tak Sampai karya Marah
Rusli, sebagian orang pasti akan setuju jika tema dasar novel tersebut adalah
kawin paksa, yang berlaku di Minangkabau. Terlepas dari persepsi umum
tersebut, kalau kita simak secara mendalam justru terdapat nilai luhur yang
mendasari alur roman tersebut.
Pertama, keputusan Sitti Nurbaja menikahi Datuh Meringgih demi menjaga
kehormatan ayahnya yang terlilit utang pada Datuk Meringgih. Kedua, ketika
Baginda Sulaiman wafat, Sitti Nurbaja secara fisik melemparkan suaminya keluar
rumah, yang sesuai dengan hukum adat setempat adalah milik istri. Keputusan
Sitti Nurbaja untuk mengorbankan kepentingan pribadinya demi membela nama
baik keluarga, tetapi pun melaksanakan dengan tegas apa yang menjadi haknya
bilamana saatnya tiba. Ia bukanlah tokoh yang lemah dan penurut yang harus
ditangisi sepanjang membaca roman tersebut, melainkan tokoh yang tahu
kemampuan diri dan harga dirinya, serta tahu kapan ia mendahulukan kepentingan
orang lain dan kapan menuntut haknya. Akan tetapi, sekali lagi pembelajaran
sastra tidak berujung pada penilaian, tetapi mengedepankan nilai apresiasi, yaitu
menghargai apa adanya konteks yang tersedia secara utuh dan padu sebagai karya
seni.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran sastra penting untuk mengedepankan
hubungan antara pengarang, teks, guru, dan siswa agar pembelajaran lebih
menyenangkan dan bermakna. Sastra tidak menyuguhkan pengetahuan dalam
bentuk jadi seperti halnya matematika. Sastra menyajikan suatu kemungkinan
dalam menanggapi permasalahan yang jalinannya sudah digariskan oleh
pengarang. “Kenyataan” yang ada dalam sastra bukanlah untuk diperiksa
kebenarannya dalam terhadap alam nyata, melainkan bersifat mengimbau untuk
menyelami –dan bila perlu- menggali untuk menemukan suatu nilai dari alur
tersebut. Sebagai seorang pembaca dan juga pendidik, tugas guru dalam
pengajaran sastra lebih mirip sebagai pelatih, hanya kadang-kadang saja guru
dituntut menjadi wasit sekaligus.
215
PENGARANG
GURU
SISWA
TEKS
Keterpaduan unsur-unsur tersebut menjadikan kegiatan mengakrabi teks
sebagai suatu upaya menciptakan kembali dunia nyata yang baru. Siswa tidak
akan berhenti pada pertanyaan “Siapa si A?”, tetapi melanjutkan dengan
mempertanyakan “Bagaimana si A?”, bahkan “Mengapa si A berbuat demikian?”
(Oemarjati, 2012: 68-69). Seorang guru yang baik akan mereaksi pertanyaan
semacam itu dengan tanggapan yang positif. Justru pada posisi inilah guru dapat
memberikan masukan
yang berharga pada siswa baik sifatnya untuk
pengembangan kognitif maupun afektif. Inilah justru yang membedakan
pengajaran bahasa dengan pengajaran studi lainnya dan telah menjadi ciri yang
membanggakan juga menggembirakan jika dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Contoh Pengajaran Sastra untuk Pembinaan Watak
Sebagai contoh mengenai peran sastra dalam pembinaan watak akan
diberikan cuplikan-cuplikan dari cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno
Gumira Ajidarma yang merupakan cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 1993.
Cerpen berkisah mengenai kesulitan seorang anak untuk mengarang karena tema
yang diberikan oleh guru tidak disukai anak tersebut. Cerpen ini juga menyentuh
aspek-aspek sosial, psikologis, dan edukatif sehingga diharapkan di akhir
pembelajaran siswa dan guru akan menemukan pengajaran yang kaya dari cerpen
tersebut. Cerpen diawali dengan deskripsi berikut.
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
“Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja.
Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih.
Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua
“Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
216
Dalam cuplikan di atas, pembaca akan menangkap pola umum dalam
pengajaran mengarang di kelas, yaitu pemberian judul kepada siswa. Guru dapat
memancing siswa untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang dilakukan Ibu
Guru Tati. Bahkan, guru juga dapat mengembangkan pembicaraan lebih lanjut
soal pengajaran di kelas rendah, misalnya keseriusan anak-anak menerima tugas
dari guru. Guru dapat bertanya kepada siswa, sudahkan kalian dengan sepenuh
hati menerima tugas dari guru sebagai sebuah amanah? Dari situ dapat juga
dikembangkan pembicaraan lebih lanjut mengenai tanggung jawab, keikhlasan,
kepatuhan yang seharusnya dimiliki oleh seorang siswa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis
sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada
dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari
kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya.
Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati
menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”,
“Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru
Tati dengan benci.
Pemilihan judul yang kaku dalam pengajaran menulis ternyata dapat
menjadi bumerang bagi proses menulis itu sendiri. Dampaknya beragam, salah
satunya seperti yang tertulis dalam cuplikan di atas, yaitu menimbulkan kebencian
pada diri siswa. Siswa akan merasa tertekan jika disuruh menulis berkaitan
dengan hal-hal yang tidak disenangi atau bahkan tidak dikehendaki untuk
diceritakan. Sampai pada tahap ini guru dapat memancing diskusi mengenai sikap
Sandra kepada Ibu Guru Tati. Jika setuju dianjurkan untuk memberi alasan, jika
tidak setuju pun diberi kesempatan menguraikan alasannya. Tentu pembicaraan
ini akan sampai pada tataran norma, nilai, etika, dan etiket karena menyangkut
hubungan guru dan siswa. Suasana belajar juga akan semakin hidup jika setiap
pendapat siswa disertai analogi peristiwa dari pengalaman sehari-hari atau dari
pengalaman membaca referensi. Agar siswa dapat mengekspresikan pendapatnya
secara bebas, guru seyogianya tidak menebarkan berbagai rambu normatif (akan
sangat membantu jika guru berbekal bacaan yang luas). Guru dapat melanjutkan
kegiatan membaca cerpen dengan menampung respon peserta didik terhadap
cuplikan berikut.
217
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra
hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan.
Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan
di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan
bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana.
Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan
sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika
Sandra pulang dari sekolah.
Cuplikan di atas dapat mengajarkan siswa bahwa dalam kehidupan, realitas
seperti itu ada. Guru dapat memberikan pemahaman kepada siswa mengenai nilai
bersyukur atas apa yang dimiliki. Bagaimanapun juga banyak anak-anak di negeri
ini yang harus mengalami nasib seperti Sandra. Guru juga dapat berdiskusi
dengan siswa mengenai kondisi psikologis anak usia dini yang berada pada
kondisi seperti itu.
Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan
kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan
“Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk ke dalam benaknya
adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka
cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias
dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat
tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi
itu sangat memabukkan Sandra.
Sampai cuplikan ini pun siswa akan mempunyai persepsi bahwa Sandra
masih belum dapat menulis. Apa yang ingin ditulis Sandra ternyata sebuah fakta
yang tidak menyenangkan, tabu, dan tidak pantas diceritakan. Demikian pun
ketika Sandra berpikir tentang sosok ibu pada cuplikan berikut.
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir
tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra
melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu
merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan
dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari
minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza
itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang
goreng, dan ayam goreng.
“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
218
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang
menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku
manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku
yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang
terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman
keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager.
Empat cuplikan di atas dapat memberikan pengajaran kepada peserta didik
mengenai cinta, kasih sayang, pengorbanan, dan harapan seorang ibu kepada
anaknya. Bagaimana tokoh ibu dalam cuplikan cerpen di atas memainkan peran
ganda, sebagai sosok dengan perangai negatif dan penyayang. Ibu yang bekerja
dengan gigih untuk masa depan anaknya dan berusaha sekuat tenaga agar anaknya
tidak mengalami nasib seperti dirinya. Tentu penggambaran seperti ini akan
memancing reaksi yang beragam dari peserta didik. Deskripsi konteks cerita
sangat menarik sehingga berpotensi menciptakan reaksi yang tak terduga. Di
sinilah peran guru untuk mengarahkan sehingga siswa sampai tataran apresiasi
yang
benar,
tidak
menghakimi,
dan
menangkap
segala
kemungkinan-
kemungkinan dari konteks yang disediakan.
“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra
menyelipkan kertas di tengah.
Kegiatan pengajaran dapat diakhiri dengan menebak akhir dari sebuah
cerita. Namun, sebelum sampai pada tahap itu guru juga dapat membahas konteks
ketika Sandra menyelipkan kertas di tengah. Hal itu seakan menjadi kebiasaan
siswa di Indonesia, siswa merasa kurang percaya diri terhadap apa yang sudah
dikerjakan. Tak sedikit pula yang beralasan takut jika dibaca guru sehingga perlu
diletakkan di posisi yang aman. Sampai di sini guru dapat memberikan motivasi
kepada peserta didik mengenai pentingnya sikap percaya diri. Guru dapat
menggunakan sebuah analogi, ilustrasi, dan semacamnya untuk meyakinkan
peserta didik bahwa percaya diri harus dimiliki sebagai jembatan kesuksesan.
Tentu banyak hal lagi yang dapat digali dan dijadikan pembelajaran dari tahapan
alur cerpen tersebut.
Pada tahap menebak akhir cerita, tentu peserta didik akan memiliki
pendapat yang beragam. Semakin beragam pendapat siswa tentu semakin bagus
219
karena pendapat tersebut berdasar pada penafsiran sekuen-sekuen sebelumnya.
Tujuan menebak akhir cerita jelas bukan untuk mencari mana yang benar. Lebih
dari itu, justru ingin menggali kegairahan siswa dalam memberikan makna atas
konteks yang disajikan pengarang melalui karya sastra. Setidaknya melalui
kegiatan pengajaran seperti itu ada beberapa manfaat yang diperoleh antara lain:
(1) memberi kesempatan peserta didik untuk “mengalami” teks, yaitu membaca,
menanggapi, menangkap kemungkinan-kemungkinan yang muncul melalui
analogi, dan memahami nuansanya; (2) memperkenalkan ukuran kesahihan tafsir
berdasarkan karya sastra yang multitafsir. Sahnya sebuah tafsiran bergantung pada
argumentasi yang dibangun berdasarkan teks yang ada, bukan rujukan normatif di
luar itu, bukan teori sastra ataupun pendapat pakar.
Penutup
Mengajar merupakan seni. Pembelajaran merupakan proses organik,
konstruktif, dan dinamis yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk
menggali makna melalui proses mengalami, mengandaikan, menjelajahi, dan
menyitesis. Ketika mempelajari sastra, fokus pengajaran tertuju pada peserta
didik, yang tengah membaca, menikmati, dan merespon peristiwa-peristiwa yang
terpapar melalui sastra. Guru berfungsi menumbuhkembangkan jiwa merdeka
peserta didik dalam suasana yang bebas dari tekanan, ketakutan, dan keharusankeharusan. Pembelajaran sastra yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan,
kejujuran, dan saling menghargai antara guru dan peserta didik akan mewujudkan
proses tersebut. Buah pengajaran yang baik adalah orang yang tahu menghormati
orang lain, tahu mengenai batas kemampuannya, dan orang yang tidak
menyusahkan orang lain.
Daftar Pustaka
Herfanda, A.Y. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya dalam Bahasa dan
Budaya dalam Berbagai Perspektif. Anwar Effendi (Ed.). Yogyakarta: FBS
UNY dan Tiara Wacana.
Oemarjati, Boen S. 2012. Mengakrabkan Sastra. Jakarta: UI Press.
220
Sugiarti. 2011. “Kontribusi Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa”.
Didaktik. Majalah Mahasiswa FKIP UMM.
Sujarwanto dan Jabrohim, 2001. Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran
Tranformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Suyitno. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: PT Hanindita.
221
REVOLUSI MENTAL: TANTANGAN DAN PELUANG
BAGI PERGURUAN TINGGI AGAMA BUDDHA
STAB Nalanda
Sutrisno & Willie Japaries
Abstract
Mental revolution of the nation is based on the reality that occurs in the
Buddhist College. The Buddhist College had various challenges, starts from the
curriculum, lecturers and lack number of students who wanted to study at
Buddhist College. It needs to be elaborated on the challenges and opportunities in
mental revolution movement.
Mental revolution is not only designed to promote education, but also need
to strengthen the character of the students. The Students' character is needed in
order to develop human resources in education. The low number of Buddhist
College students were a major problem to be of great concern in order to find
solution to improve the quality to be better in building a man who has a
personality and character.
The idea of mental revolution is expected to restore the value of culturebased education. Development of cultural values intended to lift-up the nation so
that the people of Indonesia may be able to have a national character who are
ableto face the globalization era.
Keywords: mental revolution, challenges, opportunities, buddhist college
Pendidikan perlu mendekatkan peserta didik dengan keutamaan dan kepekaan
etis, sehingga memiliki karakter yang menerangi kebijaksanaan
(apadana sobhini pañña).
Pendahuluan
Istilah “revolusi mental”, seperti kita ketahui, baru dilontarkan Presiden
Jokowi sekitar satu tahun silam. Istilah tersebut kini menjadi kata kunci untuk
membuka peluang berbagai program kegiatan khususnya yang berkaitan dengan
pendidikan. Suatu program pendidikan yang tidak menyinggung sama sekali
slogan nasional ini, tentulah sulit mendapatkan lampu hijau. Perlunya merevolusi
mental bangsa ini tentunya didasarkan pada situasi realita yang di masyarakat dari
lapisan atas para pejabat tinggi hingga rakyat jelata.
Dalam artikel ini akan diuraikan mengenai tantangan dan peluang yang
harus kita hadapi dengan serius dan tekun (appamāda) melalui visi dan misi
PTAB kita masing-masing. Memang harus tekun, karena di satu sisi “tekun
223
melaksanakan Dhamma” (Appamādo ca Dhammesu) merupakan Berkah Utama,
di sisi lain karena tantangan yang kita hadapi sungguh dahsyat ibarat Mara yang
sering mengganggu Sang Buddha. Untuk menghadapinya, agaknya kita perlu
mengubah penekanan pada beberapa kurikulum inti khususnya untuk Prodi
Dharma Acariya. Secara terinci akan diuraikan di bawah ini.
Di samping tantangan dari Mara, kita juga melihat cahaya terang untuk
mengembangkan Dharma sesuai ajaran Guru Agung. Guru Agung bersabda pada
60 siswa pertama Beliau untuk mengajarkan Dharma ke orang banyak (bukan
untuk umat Buddha semata), Dharma yang mulia pada awalnya, mulia pada
pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Mengenai hal ini juga akan dielaborasi
dalam uraian tentang peluang dalam gerakan Revolusi Mental.
Sebelum mengelaborasi tentang tantangan dan peluang, berikut ini kita
simak sejenak mengenai konteks Revolusi Mental itu sendiri. Meningkatnya
perilaku buruk warga negara, termasuk perilaku buruk generasi muda,
mencerminkan adanya kegagalan dalam tranformasi nilai. Kegagalan transformasi
niai itu terlihat dengan meningkatnya kekerasan, seks bebas, penggunaan katakata kasar, perilaku merusak diri, berbohong, mengabaikan tugas, tidak hormat
pada orang tua, dan adanya rasa saling curiga (Mursidin, 2011: 15–16). Kita
semua merasakan hal-hal itu di masyarakat kita dewasa ini, bukan? Apabila
kondisi ini terus berlanjut, Indonesia akan sulit tampil sebagai bangsa yang jaya,
bahkan sangat mungkin mengalami ancaman terbesar abad ini.
Seorang futuris, Francis Fukuyama, mengemukakan bahwa ancaman
terbesar abad ke-21 adalah fenomena munculnya negara gagal. Penyebab negara
gagal
adalah
ketidakmampuan
negara
dalam
menegakkan
hukum
dan
ketergantungan yang tinggi pada pihak asing (Soedarsono, 2009: 35). Sementara
itu, Dalai Lama menyebut abad ini terancam oleh krisis kemanusiaan (humanity)
(Asiaweek, 1999). Pendidikan nilai menjadi kunci untuk mengatasi persoalan ini.
Saat ini adalah momentum yang paling tepat, bila pemerintahan Jokowi-JK ingin
mengimplementasikan gagasan Revolusi Mental yang diusungnya sejak masa
kampanye.
224
Menurut Hasto Kristiyanto-Juru
Bicara Tim Pemenangan Jokowi-JK,
Revolusi Mental merupakan cara yang paling efektif bagi Indonesia untuk
menyalip kemajuan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Revolusi mental bukan hanya dirancang demi memajukan pendidikan, tetapi juga
memperkuat karakter anak didik. Menurutnya, Revolusi Mental adalah solusi
mengakar atas rendahnya SDM Indonesia sehingga dengan mudah Indonesia
tertinggal jauh dari Malaysia dan Singapura. Revolusi Mental ala Jokowi adalah
membangun manusia yang berkepribadian Indonesia: Takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; berperikemanusiaan; memilliki tradisi musyawarah mufakat;
bergotong royong dan selalu memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial
(Kompas.com, 2/7/2014).
Secara substansi, ide revolusi mental ini sudah tepat, sebab mencoba
mengembalikan pendidikan nilai berbasis pada pengembangan budaya. Hal ini
menjadi kelebihan yang menutup kelemahan praksis pendidikan nilai selama ini.
Menurut Ki Hajar Dewantara,
pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan garis hidup bangsanya (kultural-nasional) dan ditujukan untuk
perikehidupan (mattschappelijk), yang dapat mengangkat derajat negeri dan
rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukannya dan pantas bekerja sama dengan
lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia seluruh dunia (Wiyono, 2010:
151-152). Dengan demikian, bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan harus berbasis
pada pandangan hidup bangsa (kultural-nasional). Dengan kata lain, filsafat
pendidikan nasional adalah filsafat bangsa.
Jadi, Revolusi Mental jelas berkaitan erat dengan bidang pendidikan, karena
menyangkut transformasi nilai, kesinambungan dan kedaulatan nilai budaya suatu
bangsa khususnya dalam menghadapi era MEA (masyarakat ekonomi ASEAN)
dan globalisasi. Selanjutnya berikut ini akan kita berbagi tentang tantangan dan
peluang berkaitan dengan gerakan Revolusi Mental, khususnya dari kaca mata
pemangku kepentingan PTAB.
225
Pembahasan
Tantangan: Revolusi Isi Kurikulum PTAB
Belum lama ini kita disuguhkan pada fakta yang mencengangkan. Ranggo
Khadafi, siswa kelas IV SD di Makasar, Jakarta Timur, meninggal pada Minggu
(4/5/2014) pagi di Rumah Sakit Polri Bhayangkara. Sebelum mengembuskan
nafas terakhir, bocah itu dikabarkan mendapat penganiayaan dari kakak kelasnya
sendiri. Alasannya sepele, Ranggo menyenggol makanan ringan yang dibawa oleh
kakak kelasnya di sekolah. Insiden itu berbuntut panjang. Padahal, Ranggo telah
meminta maaf dan mengganti makanan yang jatuh tersebut (Kompas.com,
04/05/2014).
Kejadian serupa terjadi di Bukitinggi, DAN (12), pelajar Sekolah Dasar
Swasta Trisula Perwari Bukittinggi, dianiaya oleh rekan-rekannya saat jam
pelajaran berlangsung. Kejadian ini kemudian menggemparkan dunia pendidikan
Indonesia sebab video kasus itu beredar luas di dunia maya. Dalam waktu singkat,
video itu menjadi pembicaraan di berbagai jejaring sosial, seperti Facebook dan
Twitter. Saat ini video itu sudah dihapus pengunggahnya dari YouTube, tetapi
diunggah kembali oleh akun lain Dalam video berdurasi 1 menit 52 detik itu,
sedikitnya ada empat siswa laki-laki dan seorang siswa perempuan memukuli dan
menendang DAN berkali-kali. Mendapat perlakuan itu, DAN tidak bisa melawan
dan hanya bisa menangis. Alih-alih melerai, siswa lainnya justru menertawakan
dan menyemangati rekannya untuk terus menyerang korban (Kompas.com,
13/10/2014).
Belum tuntas kasus kekerasan oleh anak-anak sekolah dasar (SD) yang
terekam video di Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian beredar lagi video serupa
yang dilakukan oleh anak-anak SD di Kecamatan Pringsurat, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah. Meski belum sempat terunggah di jejaring sosial
YouTube, video berdurasi 2 menit 29 detik itu sudah beredar dari ponsel ke
ponsel di masyarakat. Tak ayal, video tersebut membuat resah warga
Temanggung dan sekitarnya. Dalam video itu terekam aksi brutal anak-anak SD
yang diduga direkam dengan menggunakan perangkat ponsel. Dalam video itu,
terekam jelas aksi kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anak laki-laki
226
berseragam coklat khas Pramuka, yang tengah memukuli seorang anak laki-laki di
sebuah ruang kelas. Selain kepalanya dipukuli, korban yang diketahui berinisial
JCS (10) itu juga dijambak rambutnya, ditendang, dan diseret ke luar kelas.
Korban terlihat tidak berdaya. Ia menjerit dan menangis. Bocah itu sempat hendak
menyelamatkan diri keluar kelas, tetapi oleh para pelaku dikejar dan diseret
kembali masuk ke kelas (Kompas.com, 15/10/2014).
Kejadian bertubi-tubi di atas jelas tidak bisa dianggap kasus biasa. Mungkin
di tempat lain masih banyak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak, tetapi
belum terungkap ke permukaan. Sungguh membuat hati miris. Anak-anak yang
seharusnya masih polos dan menyenangi belajar, bisa berubah menjadi ‘srigala’
bagi anak lainnya. Kalaulah disebut kenakalan, tindakan tersebut telah melampaui
batas toleransi usia pelakunya. Perilaku agresif dan brutal tersebut dalam kondisi
normal hanya mungkin dilakukan penjahat untuk kategori orang dewasa. Perilaku
buruk anak-anak yang melampui kewajaran ini merupakan suatu anomali. Ada
apa dengan anak-anak Indonesia?
Kejadian ini pastilah mengundang keprihatinan dan mengusik kesadaran etis
orang tua, pendidik, pemerintah dan para pihak lainnya. Sekalipun demikian kita
tidak bisa secara reaktif menyalahkan sepenuhnya kepada anak. Terdapat
sejumlah alasan untuk tidak menumpahkan kesalahan sepenuhnya kepada anak.
Pertama, perkembangan anak di usia tersebut berada pada fase play stage
(meniru). Pada fase ini interaksi anak ditandai dengan kuatnya faktor imitasi dan
identifikasi terhadap orang dewasa dan lembaga sosial lainnya. Oleh karena itu
keterlibatan agen-agen sosialisasi seperti keluarga, lembaga keagamaan, media
massa, lembaga pendidikan, lembaga politik dan lingkungan sosial sangat
menentukan. Pada tataran ideal, lembaga-lembaga ini berperan menanamkan nilai
dan norma sosial.
Kedua, perkembangan globalisasi yang didukung akses informasi yang luas
telah menantang efektivitas kontrol sosial masyarakat. Tantangan efektivitas itu
antara lain: (1) tidak menarikknya lembaga sosial konvensioanal, seperti keluarga.
Anak lebih tertarik pada informasi dan hiburan yang disuguhkan TV atau internet;
(2) globalisasi menghadirkan pola interaksi yang berbentuk jaringan luas,
227
sehingga lembaga sosial sulit menjalankan kontrolnya secara otonom; (3)
globalisasi menghadirkan nilai dan norma yang bervariasi, sehingga sangat
mungkin membuat anak mengalami disorientasi etis; (4) globalisasi memperbesar
jangkauan konsep masyarakat, sehingga pengidentifikasian dan kedekatan
interpersonal yang intim sulit terbangun; dan (5) perubahan tatatanan akibat
globalisasi juga membuat masyarakat permisif atas sejumlah penyimpangan.
Ketiga, secara makro konsep dan praktik pendidikan karakter yang digagas
pemerintah bergerak melaju di jalur etika kewajiban dengan menyisihkan etika
keutamaan (virtue). Sekolah dan guru mungkin sangat fasih mengajarkan prinsipprinsip dan aturan moral untuk menilai perbuatan siswanya, tetapi sulit mengenali
kepribadian peserta-didiknya. Prinsip pembelajaran ini bergerak pada penekanan
pertanyaan pokok, what should I do (saya harus melakukan apa)? Bukan what
kind of person should I be (saya harus menjadi orang yang bagaimana)? Oleh
karena itu terjadilah ketidakseimbangan etis. Padahal keduanya tidak harus
menjadi dilema, tetapi dapat berjalan harmonis bersamaan.
Di samping itu, dengan berkuasanya teknologi informasi dan komunikasi,
maka media massa memiliki pengaruh yang besar atas perilaku anak. Sebab apa
yang dilihat dan didengar melalui media tersebut dapat menjadi referensi
bertindak bagi anak-anak. Masalah yang paling sering muncul adalah ekses
tayangan pornografi, pornoaksi dan kekerasan. Bagaimana ini dapat terjadi?
Sebagai contoh, penyedia jasa layanan game online yang menyajikan banyak
adegan kekerasan bahkan pembunuhan, tanpa sadar telah membentuk gaya
penyelesaian masalah di benak anak. Dalam dunia game ini berlaku aturan zero
sum game. Artinya, jika ada dua pihak yang berkompetisi atau bertikai, maka
yang menang mendapatkan nilai +1 dan yang kalah mendapatkan nilai -1 [(+1) (1) = 0]. Dalam pola ini tidak dikenal istilah damai, tidak ada penyelesaian
masalah melalui diskusi atau negosiasi, sebab cara-cara itu dianggap tidak
menguntungkan dan tidak memuaskan. Bukankah kebrutalan dan vandalisme
yang dilakukan oleh anak-anak di atas menyerupai pola ini. Oleh karena itu media
harus memiliki kepekaan etis dalam menyajikan informasi dan tontonan.
228
Jadi, itulah sesungguhnya gambaran tantangan yang harus kita hadapi. Kita
dalam hal ini adalah para petinggi PTAB. Karena tugas kita mencetak guru-guru
yang dapat menanamkan benih-benih Buddha-Dharma kepada anak didiknya yang
notabene terpapar pada pengaruh-pengaruh kontra-Dharma tersebut di atas. Selain
itu, alumni PTAB harus mampu menyebarkan nilai-nilai Dharma yang mulia pada
awalnya, mulia pada pertengahan, dan mulia pada akhirnya kepada semua anak
didiknya yang sangat mungkin bukan seluruhnya beragama Buddha. Mengenai
nilai-nilai Buddhis yang mana yang patut dikembangkan secara umum dan
bagaimana caranya, hal itu pernah dibahas dalam rapat BKPB (Badan Koordinasi
Pendidikan Buddhis) di Tzu Chi Center belum lama yang lalu. Dalam kaitan ini,
beberapa postulat berikut patut kita pikirkan bersama:
1) Mata kuliah pedagogi dan bimbingan konseling perlu diperkaya dengan
metode-metode konseling psikiatrik atau metode untuk mengoreksi mental
yang “sakit”. Karena tampaknya fenomena peserta didik yang kita hadapi
seperti diuraikan di atas tadi adalah jenis psikopatik yang perlu di”terapi”
melalui proses reedukasi.
2) Perlunya kurikulum membabarkan Dharma dengan pola dan terminologi
universal sehingga dapat diterima dengan “mulia” sejak awal hingga akhir
oleh peserta didik atau pendengar beragama lain. Analog dengan kemuliaan
Borobudur yang dapat dinikmati dan dipelajari oleh semua orang, atau televisi
DAAI yang sering memunculkan wejangan Dharma yang terasa mulia bagi
umat Buddhis maupun non-Buddhis.
3) Perlunya forum bersama, mungkin melalui BKPB yang sekarang sudah
memulainya, untuk merumuskan silabus “cara menyampaikan Dharmauniversal kepada seluruh umat”, atau mungkin diberi nama kurikulum
“Revolusi Mental”. Cara kita bukanlah cara “kreatif” menarik umat lain, tapi
sepenuhnya cara menyebarkan Dharma yang bernilai keutamaan universal
(virtue) tanpa pamrih sesuai titah Guru Agung.
4) Selaras dengan pernyataan Dirjen Buddha, bahwa “umat Buddha tidak ingin
eksklusif, tapi inklusif” (Front Roll, edisi Oktober 2015), bilamana
memungkinkan berdasarkan aturan yang ada, dapat membuka pintu Sekolah
229
Minggu, Dharmasekha bagi anak-anak non-Buddhis dengan kuota tertentu,
sehingga terjalin silaturahim kebhinnekaan.
5) Peserta didik perlu diberikan pula pengetahuan terkini tentang perkembangan
iptek yang dapat mempengaruhi karakter moral dan keutamaan anak didik.
Dengan demikian ia dapat mengenal dengan jelas unsur Mara dan dapat
mengatasinya dengan metode yang tepat, misalnya dengan metode meditasi
yang kreatif sesuai daya cerap peserta didik.
6) Revolusi kurikulum menghadapi era Revolusi Mental membutuhkan pula
metode praktik eksperiensial yang tidak hanya praktik mengajar, tapi juga
mungkin mencakup praktik lapangan observasi di tempat praktik psikolog
atau psikiater, bekerja sama dengan RS Jiwa atau panti rehabilitasi jiwa.
Peluang: Pengembangan Pendidikan Dharma
Menurut filosofi Tiongkok, dalam suatu krisis (weiji危机) selalu terdapat
dua aspek, yaitu ancaman bahaya (wei危) dan peluang berkembang (ji机). Di atas
kita sudah berbagi mengenai sudut pandang tantangan, yang di dalamnya
sesungguhnya juga terdapat peluang untuk kita melakukan renovasi, inovasi dan
restrukturisasi kurikulum PTAB agar lulusannya kelak lebih cakap menghadapi
dan “mengobati” masyarakat yang sedang “sakit”. Karena waktu kurikulum
PTAB sekarang dibuat dan disahkan, situasi nasional dan internasional belum
memasuki era reformasi apalagi era revolusi mental dan MEA. Maka merupakan
konsekuensi logis untuk sekarang kita bersama-sama memikirkan revolusi
kurikulum PTAB yang ada.
Sesungguhnya Revolusi Mental bukan hanya tugas dari lulusan dari
program studi Dharma Acariya, tapi juga merupakan tugas mulia dari prodi lain,
termasuk Dharma Duta, Dharma Filsafat dan Dharma Usada. Karena pada
dasarnya fenomena masyarakat yang perlu diubah mentalnya terdapat di setiap
jenjang dan segala usia, yang kesemuanya merupakan klien atau sasaran dari
lulusan kesemua program studi yang ada dalam PTAB.
Selain itu, program studi PTAB, selain yang sudah ada saat ini, yaitu
Dharma Acariya, Dharma Duta, Dharma Filsafat dan Dharma Usada, dapat juga
230
dikembangkan, bila memungkinkan, ke ranah lain yang sesungguhnya sudah
diajarkan Guru Agung, seperti ekonomi, sosial, dan lainnya. Hal ini sesuai dengan
wejangan dalam Berkah Utama, yaitu “Bahusaccan ca” (pengetahuan luas) dan
“Sippan ca” (memiliki ketrampilan). Pembukaan prodi Dharma universal tersebut
harus sesuai kebutuhan warga masyarakat yang pluralis, membuka “eksklusivitas”
dan menerima “inklusivitas” sehingga dapat menarik peserta didik dari berbagai
kalangan. Fenomena ini tampak terjadi pada prodi Dharma Usada di STAB
Nalanda dengan peserta didik yang mayoritas non-Buddhis. Hal ini menunjukkan,
aktualisasi atau elaborasi Dharma yang universal sungguh dapat dirasakan
kemuliaannya oleh semua orang, seperti juga televise DAAI yang banyak
dinikmati kemuliaannya oleh mayoritas non-Buddhis.
Sesungguhnya kata kunci revolusi mental bukan saja perlu kita sikapi
sebagai respons reaktif, tapi terlebih lagi memerlukan revolusi mental proaktif
dari kita sendiri, dengan menggali potensi dari Tipitaka seluas-luasnya bagi
perkembangan Dharma, Nusa dan Bangsa dalam kerangka Revolusi Mental.
Tujuan Revolusi Pendidikan PTAB
Dapat kita simpulkan, jika tujuannya adalah revolusi mental, maka harus
ada juga revolusi kurikulum untuk mencapainya. Kalau masih “business as usual”
tentunya tak akan menghasilkan produk yang dapat sintas dalam era yang
membutuhkan revolusi mental. Pendidikan Revolusi Mental harus diterapkan
sedini mungkin, yaitu pada anak didik di kelompok bermain, di PAUD, hingga
sekolah dasar dan menengah. Semakin lanjut usia semakin sulit untuk mengubah
mental anak didik.
Dengan kata lain, tujuan pendidikan akan tercapai bila lembaga pendidikan
menjalankan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang diintegrasikan
dengan berbagai lingkup kehidupan nyata. Suasana pembelajaran yang
dibutuhkan adalah nuansa belajar yang diliputi kasih sayang, saling menghormati
dan penerimaan keberagaman, atau Metta Karuna. Dalam konteks ini, martabat
manusia (dignity) ditempatkan sebagai norma dasar terpenting.
Humanisme
berarti menghormati orang lain dalam identitas personalnya, dengan keyakinan231
keyakinan,
kepercayaan-kepercayaan,
cita-cita,
ketakutan-ketakutan
dan
kebutuhan-kebutuhannya (Budiningsih, 2010: 4).
Di dalam Ajaran Buddha, penghormatan terhadap martabat manusia
bukanlah hal yang baru. Terobosan yang dilakukan oleh Buddha dengan
membentuk struktur Sangha yang monastik, membuktikan penghormatan agama
Buddha terhadap martabat manusia. Masalah kasta yang menjadi ciri penting
masyarakat India, secara revolusioner diubah oleh Buddha. Dengan tegas, Buddha
mencela sistem kasta yang merendahkan martabat. Dalam Sangha seluruh kasta
bersatu seperti sungai yang menuju air laut. Mereka meninggalkan nama mereka
sebelumnya, kasta dan suku mereka, dan dikenal sebagai anggota dari satu
kesatuan-Sangha (Piyadassi, 2003: 31).
Tujuan dari pendidikan humanis adalah melahirkan pribadi-pribadi
berkarakter. Menurut Magnis-Suseno (2001), pribadi yang humanis adalah pribadi
yang memiliki sikap-sikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya
maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan.
Bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme,
suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Sebaliknya, ia bersikap
terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak
menyetujuinya, dan mampu melihat yang positif di balik perbedaan (dalam
Budiningsih, 2010: 5).
Salah satu strategi pembelajaran humanis adalah belajar bermakna atau
“meaningful learning”. Pandangan ini mengasumsikan bahwa belajar merupakan
asimilasi nilai-nilai kehidupan yang bermakna. Nilai-nilai kehidupan yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan dan pemahaman
yang telah dimiliki sebelumnya. Namun pada praktiknya pembelajaran seperti ini
masih menghadapi sejumlah kendala. Menurut Hardiman (1991), masyarakat dan
keluarga telah memiliki nilai-nilai yang harus diikuti oleh generasi muda. Dalam
menanamkan nilai-nilai tersebut digunakan cara instruktif, ceramah, nasehat,
hukuman edukatif dan kadang-kadang diskusi. Cara transmisi kultural demikian
hanya memberikan “paket nilai-nilai” seperti jadilah warga negara yang baik,
belajarlah dengan rajin, bersikaplah tenggang rasa, berbuatlah sopan, dan lain232
lain. Cara demikian bukan hanya dapat dipertanyakan “isi” kebenarannya, tetapi
juga sangat jarang ada guru atau orang dewasa yang dapat mengajarkannya secara
tepat dengan menghadapi anak dan remaja sebagai subyek nilai yang rasional
(Budiningsih, 2010: 8). Kiranya tepat pesan Margaret Mead di atas, “children
12T
12 T
must be taught how to think, not what to think.”
Pengajaran paket-paket nilai seperti di atas, menempatkan seolah-seolah
etika kewajiban tidak membutuhkan etika keutamaan. Sebagai contoh, akan
menjadi tidak praktis bila seorang guru (acariya) dalam menjalankan tugasnya
sepanjang hari hanya diukur berdasarkan prinsip moral. Jauh lebih efesien, jika
tingkah lakunya diarahkan pada keutamaan yang melekat pada batinnya, misalnya
kesetiaan, ketekunan dan kerja keras. Dalam kehidupan moral yang rutin,
semacam tugas harian mengajar, keutamaan sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
dalam keseharian moral sebaiknya dituntun keutamaan (Bertens, 2011: 226).
Artinya, penilaian etis terhadap siswa dalam keseharian juga harus difokuskan
pada keutamaan.
Berpegang pada norma moral merupakan syarat bagi perilaku yang baik,
tetapi kita belum layak disebut manusia baik dalam arti sepenuhnya. Sebagai
contoh, seorang terapis atau pengusada (usada = obat atau pengobatan) yang
belum pernah melakukan malpraktik, karena taat pada aturan (hukum maupun
moral), belum tentu merupakan seorang praktisi yang sungguh baik dari sudut
pandang moral. Supaya menjadi pengusada yang baik, dia perlu memiliki juga
sikap rela melayani pasien, mengutamakan kesehatan pasien, atau melayani pasien
dengan penuh kasih sayang. Dengan kata lain, ia perlu memiliki keutamaan
(Bertens, 2011: 227). Dalam konteks pembelajaran, guru perlu mengenal secara
personal perilaku peserta didiknya, sehingga dapat menumbuhkan sisi baik sambil
mengikis sisi buruknya.
Pada akhirnya, harus digarisbawahi bahwa setiap usaha transfer nilai
haruslah rasional-instrumental dan mampu menjadikan bangsa ini sebagai bangsa
yang cerdas atau bangsa yang berkarakter. Secara lebih operasional, Tilaar
menyebut manusia indonesia cerdas adalah manusia indonesia yang bermoral
Pancasila dengan penjabaran: (1) manusia Indonesia cerdas adalah anggota
233
masyarakat yang berbudaya; (2) manusia Indonesia cerdas adalah manusia yang
memiliki identitas Indonesia; (3) warga negara indonesia menyadari akan hakhaknya dan kewajibannya di dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; (4)
mempunyai orientasi terhadap perubahan global; (5) manusia yang mandiri; dan
(6) manusia Indonesia cerdas adalah bukan hanya memiliki intelgensia yang
tinggi karena dikembangkan, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan moral
Pancasila (Tilaar, 2006:149-151). Dalam praktiknya, hal ini membutuhkan
keteladan dan dukungan banyak pihak.
Dalam dunia pendidikan, perlu strategi pembelajaran yang empatik dan
tepat sasaran. Praktik pendidikan perlu mendekatkan peserta didik dengan praktikpraktik keutamaan dan kepekaan etis, sehingga peserta didik memiliki karakter
yang menerangi kebijaksanaan (apadana sobhini pañña). Bersama, kita mampu!
.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budiningsih, C. Asri. 2010. “Stategi Pembelajaran Nilai yang Humanis”, dalam
Dinamika
Pendidikan,
Majalah
Ilmu
Pendidikan,
No.02/Th.XVII/Oktober 2010. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan–
Universitas Negeri Yogyakarta.
Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan
Manusia yang Sangat Efektif). Alih bahasa: Budijanto. Jakarta:
Binarupa Aksara.
“Dianiaya Kakak Kelas, Bocah Kelas IV SD di Jakarta Tewas”, diakses dari
http://megapolitan.kompas.com.. . Akses terakhir, 28 Oktober 2014.
12TU
U12T
“Di Mana Guru Saat Pemukulan Siswi SD di Bukittinggi Terjadi?” diakses dari
http://regional.kompas.com ... Akses terakhir, 28 Oktober 2014.
12TU
U
12T
Mursidin. (2011). Moral Sumber Pendidikan: Sebuah Formula Pendidikan Budi
Pekerti di Sekolah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Narvaez, Darcia dan Daniel K. Lapsley. (2012). Teaching Moral Character:
Two Strategies for Teacher Education. Diakses 19 April 2012 dari
http://www.nd.edu/~dnarvaez/documents/NarvaezLapsleyTeacherEduc
ator.pdf .
12TU
U12T
234
Piyadassi, Mahathera. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan
Pendidikan Buddhis Tri Ratna.
“Revolusi Mental Jadi Modal Salip Kemajuan Malaysia-Singapura”, diakses dari
http://nasional.kompas.com.. . Akses terakhir, 28 Oktober 2014.
12TU
U
12T
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2010. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soedarsono, Soemarno. 2009. Karakter Mengantar bangsa Dari Gelap Menuju
Terang. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sukhemo, Widya DK, 2012. Dharma Ajaran Mulia Sang Buddha. Dharma The
Sacred Teaching of Buddha. Dwibahasa/bilingual. PP MAGABUDHI,
Jakarta.
Sukhemo, Suryanti (editor terjemahan), 1997. Maha Mangala Sutta: Berkah
Utama. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.
Tilaar, Ha.A.R. 2010. Paradigma baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka
Cipta.
------------------. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjaun Kritis.
Jakarta: Rineka Cipta.
“Video Pengeroyokan Siswa SD Beredar di Temanggung. Diakses dari
http://regional.kompas.com... Akses terakhir, 28 Oktober 2014.
12T
12T
Wiyono, Teguh. 2010. Rekonstruksi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan. Jakarta Kencana Prenada Media Group.
235
PENDIDIKAN KARAKTER
SEBAGAI FONDASI UTAMA REVOLUSI MENTAL
Tri Amiro
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
The purpose of this article to describe that education is the foundation to
Realize the mental revolution. The method used in this article is a library research
by using qualitative descriptive approach, namely by collecting the data from
sources such as books, magazines, journals and others related to character
education and mental revolution. In conclusion, education is the most
fundamental factor in efforts to achieve a mental revolution. Education is a field
in direct contact with all levels of society. The Government must implement
effective policies in education to achieve education quality that produces quality
and competitive outputs in the globalization era.
Keywords : mental revolution, character education
Pendahuluan
Revolusi mental adalah satu gerakan yang ditujukan untuk menggembleng
manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan
baja, bersemangat elang rajawali berjiwa api yang menyala. Pernyataan ini
pertama kali dinyalakan oleh Presiden Soekarno yang kemudian digelorakan
kembali oleh Joko Widodo pada masa kampanye pemilihan calon presiden tahun
2014.Revolusi mental dicetuskan sebagai suatu langkah yang memerlukan
langkah dan gerakan secara menyeluruh.Revolusi mental lahir dilatarbelakangi
oleh kondisi mental bangsa yang rapuh. Terjadi banyak masalah-masalah soasial
yang acap kali tidak terselesaikan, tindak pidana korupsi yang meraja lela yang
melibatkan pejabat publik, pejabat negara, dan aparatur negara. Hal ini
menimbulkan akibat bukan hanya kerugian keuangan negara tetapi juga
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.Revolusi mental
muncul karena adanay tiga masalah pokok bangsa yang sangat memprihatinkan
dan harus mendapatkan perhatian yang sangat serius.Adapun tiga masalah
tersebut adalah merosotnya wibawa negara, lemahnya sendi perekonomian
bangsa, dan intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.Revolusi mental dapat
237
mewujudkan satu perubahan yang fundamental jika penerapannya mampu
diaplikasikan dengan baik maka bukan tidak mungkin negara akan maju.
Undang-undang Dasar 1945 mengamatkan bahwa salah satu tujuan nasional
bangsa Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa.Untuk mewujudkan
bangsa yang cerdas adalah dengan mendidik anak-anak bangsa.Pendidikan
merupakan suatu langkah yang tepat untuk menyiapkan generasi penerus
bangsa.Apabila pendidikan semakin maju maka bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa yang diperhitungkan dalam era persaingan global. Bangsa Indoensia terus
berbenah untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada.Pemerintah bersamasama dengan masyarakat terus berusaha untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas.Tuntutan terhadanusia yang berkualitas tersebut mampu dihasilkan
dengan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan profesiaonal.
Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di
Indonesia belum sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya, namun
belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Bahkan masih banyak kegagalan dalam pelaksanaannya. Kegagalan demi
kegagalan antara lain disebabkan oleh masalah manajemen yang kurang tepat,
penempatan tenaga yang tidak sesuai dengan bidang keahlian, penanganan yang
bukan oleh ahlinya sampai pada system kurikulum yang selalu berganti-ganti.
Sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui peningkatan mutu pada setiap jenjang pendidikan belum dapat terwujud
secara merata.
Kemanakah arah pendidikan nasional Indonesia? Tidak jelas yang dituju.
Kebijakan dalam bidang pendidikan selalu berubah dalam waktu yang sangat
cepat. Pengambil kebijakan kurang mempertimbangkan faktor pelaksana di
lapangan. Perubahan kurikulum dalam satu dasawrasa terjadi sebanyak tiga kali.
Perubahan yang terlalu cepat. Bahkan terjadi dualism pelaksanaan kurikulum,
terutama bagi pendidikan tingkat dasar dan menengah.Dalam satu kurun waktu
tahun pelajaran, dilaksanakan dua kurikulum yang berbeda.Sebagaiamana dapat
dilihat pada tahun pelajaran 2014/2015 diberlakukan kurikulum tahun 2006 yaitu
KTSP dan kurikulum 2013. Dimana pada semester gasal pendidikan dilaksanakan
238
berdasar kurikulum tahun 2013, namun pada semester genap diberlakukan
kurikulum KTSP. Bukan hanya guru saja yang mengalami kebingungan, akan
tetapi juga para orangtua peserta didik juga mengalami kesusahan dalam ikut
membimbing anak-anaknya.
Kurikulum yang diberlakukan di Indonesia cenderung ikut-ikutan negara
lain yang sudah maju tanpa memperhatikan faktor karakteristik dan topografi serta
geografi negara Indonesia yang sangat heterogen dibandingkan dengan negara
maju lainnya. Apabila kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah saja kurang
jelas, bagaimana dapat mencapai tujuan dari pendidikan nasional itu sendiri.
Memang perlu disadari bahwa mengambil kebijakan dalam bidang pendidikan
memang sangat susah. Adalah hal yang paling mudah menghakimi pendidikan
apabila peserta didik berperilaku di luar harapan. Banyak orangtua yang hanya
menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah saja tanpa memberikan perhtian dan
dukungan kepada pihak sekolah, tetapi hanya bisa menyalahkan saja ketika terjadi
hal yang tidak diinginkan terhadap anaknya.
Seluruh elemen masyarakat harus menyadari bahwa pendidikan bukan
merupakan tanggung jawab sekolah saja.Akan tetapi masyarakat harus
memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemajuan pendidikan.Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal harus benar-benar dapat memberikan bekal
kepada generasi muda untuk menghadapi tuntutan perkembangan zaman yang
kompleks.Sekolah merupakan lembaga dari masyarakat, oleh masyarakat untuk
masyarakat, dan sekolah menghasilkan kemajuan bagi masyarakat.Hendaknya
masyarakat memahami bahwa sekolah bukan hanya sekedar menghasilkan produk
dalam hal ini lulusan yang memuaskan pengguna jasa sekolah saja. Akan tetapi
bagaimana penekanan mutu sekolah sekolah itu harus merujuk pada konsep mutu
pelayanan proses pendidikan di sekolah yang terus menerus dan berkelanjutan.
Hal ini tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah tentang sistem kurikulum
dan kebijakan lain tentang pendidikan.
Oleh karena itu revolusi mental di Indonesia memanga sangat diperlukan
untuk mengatasi keadaan yang berlangsung selama ini.Berbicara tentang revolusi
mental tidak bbisa jauh dari pendidikan. Karena revolusi mental pada dasarnya
239
dalah pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan tentang karakter diri seseorang.
Karakter adalah watak, merupakan aspek kepribadian manusia.Pada dasarnya
karakter dapat diubahatau dikembangkan. Demikian pula dengan mental, dapat
diubah dan kenbangkan. Dimana revolusi adalah proses perubahan secara besarbesaran. Jadi, dalam hal ini pendidikn memegang pernan yang sangat penting atau
sebagai faktor yang fundamental untuk mewujudkan terlaksananya gerakan
revolusi mental.
Metode Kajian
Metode yang digunakan pada kajian ini adalah metode penelitian deskriptif
kualitatif, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah
dikumpulkan dengan sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan
yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Sedangkan pengumpulan data
dilakukan dengan cara dilakukan melalui studi pustaka (library research) dengan
cara membaca buku-buku, jurnal, majalah, artikel, dan sebagainya yang ada
kaitanya dengan revolusi mental terutama dalam bidang pendidikan.
Pembahasan
Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat (pemerintah
dan rakyat) dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis
yang diperlukan oleh bangsa dan negara untuk mampu menciptakan ketertiban
dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era
globalisasi. Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa revolusi mental
sangat berkaitan erat dengan mind, yaitu kesadaran, persepsi dan pikiran itu
adalah mind. Perubahan fundamental dan total atas alam pikiran seseorang agar
Indonesia
menjadi
negara
yang
( http://news.okezone.com/read/2015/04/25/337/
12TU
maju
dan
sukses
1139898/sby-revolusi-mental-
jokowi-dan-marx-berbeda ). Apabila revolusi mental dapat diterpkan dengan baik
U
maka negara akan maju. Revolusi mental berangkat dari diri sendiri. Dimana
seseorang harus mulai merevolusi diri sendiri dengan mengubah sikap dan
perilaku yang apabila selama ini belum sesuai dengan tatanan sosial, peraturan,
240
norma dan etika. Apabila setiap manusia Indonesia mampu memiliki mind set
untuk selalu mentaati semua peraturan yang berlaku.
12T
Revolusi mental yang merupakan bagian dari sembilan agenda prioritas
(nawa cita) pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah sebagai agenda strategis
pembangunan. Apabila mental setiap warga negara Indonesia mengalami
perubahan menuju kea rah yang lebih baik, maka bukan mustahil bahwa impian
Indonesia menjadi bangsa yang maju dan besar akan terwujud. Pokok
permasalahannya sekarang adalah bagaimana mengupayakan agar mental setiap
warga negara bisa berubah.
12T
Perubahan mental pasti dilandasi dengan adanya perubahan karakter.
Dimana karakter dapat dibentuk dalam setiap diri seseorang mulai pada usia dini.
Hal inilah yang menjadikan bidang pendidikan harus mendapatkan perhatian dan
porsi besar dalam mewujudkan revolusi mental. Selama pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan
sudah menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini dapat dilihat bahwa selama
periode 2009-2014 bidang pendidikan mendapatkan anggaran yang paling besar,
hamper 30% dari seluruh anggaran nasional. Pembangunan sarana dan prasarana,
infrastruktur sampai ke pelosok negeri.Pemberian tunjangan profesional kepada
guru dan dosen yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran,
yang merupakan bagian terpenting dari pendidikan, dan masih banyak lagi upaya
yang telah dilakukan.Akan tetapi ada bagian yang harus menjadi perhatian bahwa
bukan hanya anggaran saja yang ditingkatkan, melainkan kebijakan dalam hal
system pendidikan dalam hal ini kurikulum yang bagus dan handal yang sesuai
dengan karakteristik bangsa Indonesia yang harus disiapkan.
12T
Pendidikan merupakan faktor yang memiliki kedudukan strategis untuk
mewujudkan suskesnya revolusi mental. Pendidikan menjadi penting karena
bidang pendidikan yang bersentuhan langsung dengan elemen masyarakat dari
paling bawah sampai kalangan paling atas. Pendidikan merupakan proses
pendewasaan manusia. Kondisi ideal perkembangan manusia Indoensia yang
diharapkan adalah tumbuhnya pribadi yang dewasa yang memiliki kekuatan
kompetensi internal diri untuk memenuhi standar keunggulan prestasi atau kinerja
241
yang menjadi target capaiannya. Pada waktu yang sudah berlalu dan yang
sedangberjalan sekarang ini, pendidikan memiliki kencenderungan berorientasi
pada hasil bukan pada proses, sehingga menimbulkan perilaku instan yang salah.
Pendidikan harus berbasis pada kebutuhan anak dan tidak dijadikan kepentingan
orang tua yang bisa mengeksploitasi anak. Karena proses pendidikan yang selama
ini terjadi adalah sebuah proses pendidikan yang belum merdeka, masih
merampas kemerdekaaan peserta didik. Pendidikan yang berlangsung adalah
pendidikan yang membunuh kreatifitas anak. Meski dalam beberapa kasus siswa
atau anak sudah diberikan kebebasan untuk berkreasi. Namun secara mayoritas
bahwa yang terjadi dalam proses pendidikan adalah transformasi ilmu bukan
transformasi nilai (value).
Menurut Kartadinata dalam Purwanto menyatakan bahwa ada tanggung
jawab unik pendidikan dan pendidikan guru, tanggung jawab unik tersebut adalah
menuntun bangsa ke jalan nilai-nilai moral dan spiritual, mendidik warga negara
atas kemalsahatan masyarakat, dunia dan lingkungan alamnya. Pendidikan guru
mengembang misi penting dalam meujudkan warisan nilai-nilai keadilan
demokrasi, keharmonisan, kesehatan lingkungan dan pewarisan nilai-nilai budaya
yang akan menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kesusksesan
bagi pembangunan dan saing bangsa (2015: 102).
Seorang guru dalam mendidik siswanya harus dengan hati menyentuh penuh
empati, hal ini merupakan perekat antara guru dan siswa. Tujuannya dalah
membangun kepercayaan, iklim salim percaya dimana satu sama lainnya dapat
membangun komitmen emosional. Seorang guru harus bisa menjadi sumber
inspirasi dan dan mengarahkan siswa untuk mencapai harapannya.
Guru dan sekolah berperan sebagai fasilitator pendidikan dan pembelajaran.
Hal ini penting karena kualitas sekolah sangat bergantung pada kualitas guru dan
lingkungannya. Oleh karena itu revolusi mental di sekolah jharus menyentuh
persoalan bagaimana membangun manusia yang berkarakter dan berkualitas,
sehingga pendidikan tidak hanya menjadi ajang pengembangan intelektualitas saja
tetapi membangun karakter manusia, jiwa dan batinnya (Mulyasa, 2015: 19).
Permasalahannya di Indonesia bahwa sebagian besar guru kurang memiliki
242
wawasan praktis serta terlalu teoretis dalam membahas pengajaran dan
pembelajaran di sekolah. Banyak guru yang kurang memiliki rasa percaya diri
yang tinggi. Revolusi mental akan menjadi penghambat pembangunan jika
masyarakat tidak percaya diri dan yakin akan sebuah perubahan.
Revolusi mental diawali dengan adanya pendidikan karakter yang
merupakan implementasi dari kurikulum pendidikan tahun 2013. Pendidikan
karakter bangsa dapat dijadikan sebagai strategi nasional untuk menjalankan
revolusi mental. Dengan pendidikan karakter yang tepat maka revolusi mental
dapat dijalankan dengan baik. Karakter bangsa bukan menjadi hal yang baru bagi
Indonesia.Jauh hari ketika negara Indoensia didirikan, para pendiri bangsa sudah
memikirkan pentingnya karakter untuk menjadikan bangsa ini besar dan
terhormat. Karakter adalah watak, yaitu pengembangan jati diri manusia. Sikap
santun pada orang lain menunjukkan karakter seseorang daripada penampilan
fisik. Pada dasarnya karakter seseorang dapat diubah. Orang yang karakternya
kurang baik, bisa dikembangkan menjadi baik. Orang yang selalu tidak responsif
terhadap sesama dan lingkungan dapat dikembangkan menjadi orang yang sensitif
dan peduli.
Pendidikan karakter yang demikian harus diterapkan pada seluruh jenjang
pendidikan, baik yang formal maupun nonformal dan informal. Mulai dari tingkat
TK sampai dengan jenjang perguruan tinggi.Ini merupakan salah satu langkah
mewujudkan revolusi mental melalu jalur pendidikan. Karakter bangsa dapat
diwariskan kepada generasi penerus melalui proses pendidikan secara utuh, dan
menjadi kekuatan bagi pengembangan dan keberhasilan bisnis untuk mewujudkan
kesejahteraan bangsa. Revolusi mental dimulai dari dalam diri seseorang. Setiap
orang merevolusi dirinya sendiri terlebih dahulu. Banyak tindakan-tindakan nyata
yang pada dasarnya dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap orang untuk
mewujudkan revolusi mental. Tidak perlu melakukan hal-hal yang besar, tetapi
dapat dimulai dengan melakukan hal kecil yang terlihat sepele namun penting.
Sebagai contoh antara lain mencintai produk lokal, budaya antri, saling menolong
sesama, saling menghargai dan menghormati, bersikap jujur dan masih banyak
lagi yang lain.
243
Dalam hal revolusi mental khususnya melalui pendidikan pada jenjang
sekolah, faktor yang paling berperan adalah guru dan kepala sekolah. Revolusi
mental dapat berjalan dengan baik apabila kepala sekolah dapat berperan sebagai
pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas, berkaitan dengan gambaran
sekolah yang dicita-citakan (Mulyasa, 2015: 44). Seorang kepala sekolah harus
dapat memhami tugas dan fungsinya dengan baik. Kebijakan pemerintah harus
ditafsirkan sebagai kebijakan umum, sedangkan bagaimana melaksanakan
kebijakan tersebut dituangkan dalam standar operasional prosedur. Lebih lanjut
Mulyasa olusimenjelaskan bahwa revolusi mental di sekolah tentu saja tidak
terjadi secara otomatis, tetapi sedikitnya didukung oleh dua syarat dasar, yaitu
sikap positif terhadap pembaruan bagi semua warga sekolah dan adanya dukungan
berupa sumber-sumber untuk mengadakan perubahan (2015: 28).
Revolusi mental dapat diawali dengan melakukan hal-hal kecil yang
dilakukan untuk mengubah perilaku peserta didik, seperti dari yang penakut
menjadi pemberani, dari yang kurang percaya diri menjadi percaya diri, dari sikap
hidup boros menjadi hemat, dari pribadi yang lemah menuju yang kuat,
memerangi budaya menyontek. Dalam hal kondisi bangsa yang rapuh dan
memprihatinkan, kata kunci yang harus ditanamkan dan ditumbuhkan dalam
setiap pikiran dan hati orang Indonesia adalah mutu dan kejujuran. Dengan
demikian diperlukan adanya gerakan secara menyeluruh untuk membangun pola
piker dengan semangat mewujudkan pendidikan yang bermutu dan dan
jujur.Langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka peningkatan hasil pendidikan
harus diarahkan pada mutu dan kejujuran. Kartadinata dalam Purwanto (2015:
105) menyatakan bahwa sekecil apapun orang berpikir tentang pendidikan akan
dirasakan berkontribusi signifikan karena berbicara dalam ranah dan pemikiran
yang sama. Pola pikir yang demikian sebagai perekat yang akan mengantarkan
berbagai pemikiran yang besar maupun yang kecil menuju kea rah yang sama
yaitu pendidikan kejujuran dan bermutu.
244
Penutup
Revolusi mental sebagai sebuah keharusan yang sudah tidak bisa ditawartawar lagi harus dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat. Apabila semua
bagian dari bangsa Indoensia mampu melakasanakan revolusi mental dirinya
sendiri, maka gerakan revolusi mental sebagai sebuah gerakan nasional akan
dengan mudah diwujudkan.
Pendidikan merupakan faktor yang terpenting dan fundamental dalam upaya
mewujudkan revolusi mental.Karena pendidikan merupakan bidang yang
bersentuhan langsung dengan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian
diperlukan kebijakan yang jelas dan terarah dalam bidang pendidikan untuk
mewujudkan pendidikan yang bermutu yang menghasilkan keluaran yang
berkualitas dan berdaya saing dalam era globalisasi. Kurikulum yang ditetapkan
sebagai penunjang utama pendidikan harus merupakan kurikulum yang benarbenar sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indoensia. Kurikulum yang
baik dan memberikan hasil yang maksimal di negara lain belum tentu cocok
diterapkan di Indoensia dengan segala kondisi yang serba heterogen.
Pendidikan anti korupsi sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa
yang melandasi pelaksanaaan revolusi mental harus diterapkan pada semua
jenjang pendidikan, baik berdiri sendiri dalam satu mata pelajaran atau mata
kuliah maupun terintitegrasi dengan mata pelajaran atau mata kuliah yang lain.
Daftar Pustaka
Merril, David N. and Burrola, Bernard A. 2015. Indonesia’s Mental Revolution.
The Indonesian Journal oof Leadership, Policy and World Affair: Strategic
Review.Jakarta.
Mulyasa, E. 2015. Revolusi Mental dalam Bidang Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Purwanto, Semiarto Aji. 2014. Bunga Rampai Seminar Nasional Kebudayaan
2014: Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sulistiyowati, Lily S. 2014. Prototipe Media Pendidikan dan Budaya Anti
Korupsi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
245
Okezone.com. 2015. Revolusi mental Jokowi dan Marx Berbeda.
http://news.okezone.com/ read/2015 /04/25/337/1139898/sby-revolusimental-jokowi-dan-marx-berbeda ; diakses tanggal 6 Januari 2016).
12TU
U
246
REVOLUSI MENTAL: PERANAN PENDIDIKAN
DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL
Wahyuningsih Julia Wijaya
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
Abstract
This article is a short essay about the importance of emotional Intelligence
in managing the diminishing traditional moral values in society. The solution
offered in this article is based on both reason and religion, with the purpose to
give readers the perspective of choices to manage the issue.
Library Reaserch is used as a method in viewing the issue. Although the
sources (books and internet) referred to in the text are varied, all are
interconnected, and put in certain order before drawing the final conclusion. The
view that emotional intelligence are very important in managing the diminishing
traditional moral values in society can lead to some directions. Firstly: to adapt
the current education system to accomodate more in enhanching emotional
intelligence programs, and secondly, to ensure that the system will have an
adaptive characyeristic, (able to be put into practice in a relatively practical
way). The main purpose of the adapted education system is to create and
maintain the virtues of generosity, passion and diligence in learning process. As
a final conclusion, teachers will play a very important role in completing this
difficult task.
Keywords:emotional intelligence, education, mental revolution
Pendahuluan
Dalam sejarahnya, budaya kuno masyarakat Indonesia telah menempatkan
pemurnian karakter sebagai esensi utama dalam pencapaian tujuan kehidupan,
Irama kehidupan yang berjalan relatif lambat dan menyediakan cukup waktu
untuk merenung/mengintropeksi diri menjadi faktor pendukung utama dalam
terciptanya keadaan ini. Tidak mengherankan jika sejarah bangsa di masa lampau
selalu
dipenuhi
dengan
keindahan
nilai-nilai
luhur,
seperti:
kejujuran,
kesederhanaan, keuletan, dan kesabaran.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, kecepatan alur kehidupan
meningkat secara drastis. Sudah tidak bisa ditemukan lagi ketentraman dan
kenyamanan spiritual yang biasanya terkandung dalam kegiatan masyarakat
sehari-hari. Kemajuan tehnologi serta tuntutan ekonomi telah mengalihkan
247
preferensi dan tujuan hidup ke hal-hal yang lebih bersifat material. Nilai-nilai
luhur ini pun sudah tidak mendapatkan tempat yang penting di hati masyarakat.
Banyak hal esensial yang menandai karakter suatu bangsa besar pun ikut terancam
pudar. Jelas bahwa ini adalah masalah yang serius. Untuk menanggulanginya
juga merupakan tantangan yang sangat sulit, karena memerlukan perubahan
fundamental secara serentak dari seluruh elemen masyarakat. Gerakan bersama
untuk untuk mengembalikan nilai-nilai luhur bangsa ini bisa diartikan sebagai
gerakan revolusi mental.
Pendidikan akan menjadi alat utama dalam tercapainya tujuan revolusi
mental. Ini dimungkinkan oleh dua nature pendidikan yaitu: (1) cakupannya
yang menyeluruh (diwajibkan untuk semua warga negara usia sekolah) dan (2)
rentang waktunya yang panjang (cukup untuk berperan dalam pembentukkan
watak). Rancangan pendidikan nasional harus mampu membentuk karakter anak
didik yang tidak hanya memiliki kompetensi/keterampilan yang kompetitif tetapi
juga memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Kecerdasan emosional menjadi
sangat esensial karena merupakan sumber dari terbentuknya nilai-nilai positif.
Nilai-nilai seperti: kesederhanaan/tahu bersyukur, kesabaran/toleransi dan
kerajinan/keuletan adalah bentuk-bentuk karakter yang dihasilkan dari kecerdasan
emosi yang ditanamkan sejak dini.
Di masa lalu, banyak orang yang berasumsi bahwa peran kecerdasan
emosional tidaklah sepenting peran kompetensi/keterampilan. Pandangan ini
sekarang sudah banyak berubah. Menurut Daniel Goldman (2000), berdasarkan
beberapa penelitian yang diadakannya, ditemukan bahwa keberhasilan seseorang
lebih dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosionalnya daripada kompetensi/
kecerdasan akademiknya.
Penekanan utama hanya pada kompetensi anak dalam rancangan pendidikan
akan berpotensi untuk menciptakan masyarakat yang penuh pemujaaan pada
nilai-nilai negatif. Masalah mental yang umum seperti: kemelekatan /ketamakan,
kemarahan/kebencian dan kebodohan/kemalasan adalah lawan balik dari nilainilai positif yang diinginkan, sehingga peran pendidikan dalam meningkatkan
kecerdasan mental menjadi topik utama dalam artikel pendek ini. Masalah yang
248
dibahas dalam penelitian ini adalah: (a) memudarnya nilai-nilai luhur warisan
leluhur yang disebabkan oleh beralihnya preferensi dan tujuan hidup masyarakat,
(b) peranan Pendidikan dalam membentuk kecerdasan emosional dalam rangka
menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur bangsa.
Pembahasan
Peran Pendidikan dalam Mengatasi Ketamakan/Kemelekatan
Penyebab Ketamakan
Hal-hal vital bagi kehidupan yang ditawarkan dengan cuma-cuma oleh
kehidupan seperti udara, air, sinar matahari, kesehatan, kedamaian batin dan lainlain tidak berharga dimata sebagian orang. Tetapi ironinya: material, reputasi dan
gengsi yang sering menyebabkan erosi kebahagiaan, menempati ranking pertama
dalam perolehan piala pengorbanan energi dan waktu. Bahkan kadang anugerah
kesehatan pun ikut dikorbankan dalam program pencapaiannya.
Kurangnya perenungan dan kesadaran bahwa tehnologi dan materi hanyalah
alat yang bisa digunakan untuk membantu pencapaian tujuan, tetapi sangat
dangkal dan riskan untuk dijadikan sebagai tujuan itu sendiri menyebabkan
panggung
politik
negeri
dipenuhi
oleh
pejabat
yang
berlomba-lomba
meningkatkan kepemilikan jasmani meskipun harus mengorbankan integritas dan
kedamaian batinnya. Menurut master Yin Shun dalam “The Way to Buddhahood”
ketamakan ini dalam pandangan Buddhisme disebabkan oleh salah satu kegelapan
batin yaitu kemelekatan (Ven Yin Shun, 2000). Kemelekatan mengandung
pandangan yang obsesif dalam mengejar suatu keinginan.
Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosional
untuk Mengatasi Ketamakan
Pendidikan mampu merubah nilai sosial di masyarakat (menumbuhkan nilai
kesederhanaan
dan
integritas).
Ketamakan/kemelekatan
terbentuk
karena
pengaruh dari pandangan sosial yang menempatkan materi/reputasi sebagai hal
yang paling utama dalam kehidupan. Ini diperparah dengan adanya kemajuan
tehnologi yang menyebabkan arus informasi meluap dan tak terbendung, iklan249
iklan di televisi terus mempengaruhi dunia mental dengan menganjurkan
kepemilikan segala lambang kemewahan seperti pakaian, perhiasan, mobil,
apartemen, dll. Dalam iklan digambarkan bahwa kehidupan fantastis dan glamor
akan segera didapatkan seseorang yang mempunyai penampilan indah/
kemampuan finansial/kekuasaan.
Karena terjadi terus menerus dalam jangka
waktu yang panjang, maka tanpa disadari image ini akan mempengaruhi emosi
dan mental seseorang secara perlahan-lahan. Terlebih jika individu yang
bersangkutan jarang mengisi kembali mentalnya dengan hal-hal spiritual yang
sederhana, murni dan menyegarkan. Pendidikan merubah pandangan salah di
masyarakat dengan cara meningkatkan kecerdasan emosional pesertanya dalam
mengembangkan nilai kederhanaan. Kecerdasan emosional yang harus dibentuk
untuk mengatasi ketamakan adalah: tahu bersyukur, mampu berkompetisi secara
sehat dan ikut berbahagia dengan keberhasilan orang lain.
Pendidikan harus mampu memberikan informasi tentang situasi riil dunia
sehingga membuat seseorang mengerti dan belajar mensyukuri dan menghargai
kehidupan, Sebagai contoh sederhana, para murid belajar bahwa orang-orang
yang hidup di Negara yang aman dan berkecukupan hanya mencakup 10 persen
penduduk dunia.
60 juta pengungsi sedang mencari tempat hidup, dengan
menyertakan anak-anak mereka dan tidak membawa uang/barang berharga
apapun, sungguh suatu keadaan yang mengerikan. Juga diantara berjangkitnya
virus-virus ganas dari berbagai penyakit berbahaya (AIDS, Ebola, MERS, SARS)
yang sangat mematikan, kehidupan masih bisa berlangsung hingga sekarang.
Sungguh hal ini sangatlah patut untuk disyukuri. Dengan mengerti keadaan dunia
secara riil. Maka seseorang akan terdorong untuk mempunyai rasa berterima kasih
terhadap kehidupan. Informasi dan pemahaman yang ditawarkan oleh pendidikan,
mendorong para murid untuk mulai memiliki kesadaran bahwa dalam kehidupan
yang normal dan biasa saja sebenarnya sudah mengandung berkah yang luar
biasa.
Untuk memungkinkan pembahasan singkat, maka akan diberikan suatu
ilustrasi kasus yang diberikan oleh Ajahn Brahm dalam salah satu seminarnya. Di
suatu sekolah di Inggris, telah dibentuk dua kelas untuk bahan penelitian. Murid250
murid yang menjadi objek tidak tahu menahu mengenai penelitian ini. Kelas
pertama dinamakan kelas A dan yang lainnya Kelas B Setelah berjalan satu
semester, ternyata hasil ujian anak-anak kelas A jauh lebih bagus daripada anakanak kelas B. Ini sangat mengherankan karena kedua kelas adalah benar-benar
serupa (terdiri dari murid-murid dengan umur, tingkat kecerdasan dan kemauan
seimbang, mendapatkan guru dan bahan pelajaran yang sama). Setelah diselidiki
ternyata murid-murid dari kelas yang diberi nama B, merasa bahwa mereka
kurang cerdas daripada Kelas A (di Inggris anak-anak terpandai dalam bidang
akademik biasanya masuk ke kelas A). Bahkan guru-guru dan para orang tua
murid anak kelas B pun merasa bahwa anak mereka kurang berprestasi dibanding
anak kelas A. Dengan kepercayaan diri yang begitu rendah maka prestasi kelas B
di semester itu berada jauh dibawah kelas A, Perbedaan prestasi kelas A dan B
tidak sesuai dengan perbandingan seimbang kecerdasan murid kedua kelas. Hasil
penelitian ini benar-benar di luar dugaan dan menunjukkan bahwa kepercayaan
diri akan membentuk prestasi seseorang. Pendidikan melalui para pendidiknya
bertanggung jawab untuk menumbuhkan kepercayaan diri yang sehat dari para
anak didiknya. Murid dengan kemampuan yang lebih rendah sudah seharusnya
mendapatkan perhatian lebih untuk meningkatkan kemampuan dan rasa
kepercayaan dirinya.
Para murid juga harus diajarkan untuk berkompetisi secara sehat dan penuh
empati. Peran pendidik dalam hal ini sangtlah penting dengan menunjukkan
penghargaan tulus kepada sikap sportif . Konseling kepada murid-murid yang
selalu bersaing secara agresif harus diberikan untuk menemuka akar masalah yang
mungkin bersumber dari pendidikan orang tua di rumah.
Peran Pendidikan dalam Mengatasi kebencian/Kemarahan
Penyebab Kebencian/kemarahan
Dalam kehidupan modern, sangat dimungkinkan bahwa tuntutan ekonomi
telah merampas nilai-nilai kesabaran, Ini terjadi karena tingginya tuntutan
ekonomi menyebabkan naiknya tingkat stres secara signifikan. Hal ini dengan
mudah bisa diamati dari segala segi kehidupan masyarakat sehari-hari, sebagai
251
contoh umum adalah
situasi lalu-lintas. Lalu lintas perkotaan dipenuhi oleh
pengemudi-pengemudi egois yang membahayakan sesama pemakai jalan.
Pedoman hidup lampau seperti “ Jika ada jalan sempit, berikanlah pada orang lain
untuk berjalan dahulu” sudah tidak berlaku lagi di masyarakat.
Kemarahan/kurangnya kesabaran berdampak sangat negatif terhadap
kesehatan seseorang. Ilustrasi tentang dua tokoh imajiner (X dan Y) dengan latar
belakang serta situasi kehidupan serupa tetapi dengan kebiasaan hidup yang
sangat berbeda akan menggambarkan dampak ini. X adalah seorang pekerja keras
yang sangat berhasil di bidangnya. Setiap hari dia akan bangun pagi karena
sangat termotivasi untuk menyelesaikan proyeknya, ketika sedang mandi, berganti
baju dan sarapan pagi, pikirannya terus dipenuhi dengan proyek dan segala
permasalahannya. Dia mengendarai mobilnya dalam keadaan tergesa-gesa
sehingga menaikkan emosinya. Setiap kendaraan yang ada di depannya
membuatnya mengernyitkan alis karena terasa baginya seolah-olah sengaja untuk
berlambat-lambat. Bahkan lampu merah pun tidak luput dari makiannya karena
ketika mobilnya lewat lampu itu sepertinya sengaja berubah warna sehingga X
kehilangan 5 menit lagi waktu yang sangat berharga. Hari itu, seperti hari-hari
yang lainnya, X dengan tanpa disadarinya menjadi bulan-bulanan dari emosi dan
pikirannya sendiri. Pegawai-pegawai di kantornya pun akan memasuki area
berbahaya ”Ranjau Kemarahan” sesuai dengan kadar emosi X.
Tokoh yang kedua adalah Y, juga seorang pekerja keras , memiliki umur,
latar belakang pendidikan dan sosial yang hampir serupa dengan Y, tetapi
pendapatan dan kekuasaan Y kurang dari pencapaian X. Setiap pagi dia akan
bangun dan dipenuhi dengan pikiran bersyukur atas rejeki, kesehatan dan berkah
yang telah dilimpahkan kepada dirinya dan keluarganya. Dia mandi, berganti baju
dan sarapan pagi dengan perasaan bersyukur atas hari yang indah dan roti yang
enak. Ketika mengendarai mobilnya, Y melihat semua orang di jalan sebagai
teman/saudaranya yang mempunyai problem dan kekhawatiran yang sama dengan
dirinya sehingga meninbulkan perasaan belas kasih dan toleransi. Bahkan
Metromini dan Kopajja yang berjalan dengan sangat semena-mena pun
membuatnya merasa sangat bersimpati pada jantung dan kadar gula darah sang
252
sopir. Di kantornya, para pegawai pun menerima berkah dari “payung emosi” Y.
Masalah-masalah yang paling menjengkelkan pun sangat jarang untuk bisa
melumpuhkan kesabaran Y.
Dari dua ilustrasi di atas, bisa dibayangkan penderitaan mental yang dialami
X bahkan hanya dalam menjalankan aktivitas normalnya sehari-hari. Penderitaan
ini disebabkan karena lemahnya tingkat kesabaran X. Pada 10 tahun pertama,
mungkin banyak orang yang berpendapat bahwa kualitas kehidupan X adalah
lebih baik dari Y karena adanya pendapatan dan kekuasaan yang lebih besar.
Tetapi dengan berlalunya waktu, maka lebih tinggi kemungkinan bahwa X akan
mengalami gangguan penyakit degeneratif akibar stress seperti jantung dan
diabetes. Pada akhirnya, ketika uang tidak mampu lagi membeli kesehatan, maka
keunggulan kualitas hidup Y adalah jauh melebihi imbalan material dan
kekuasaan yang diperoleh X.
Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosional
untuk Mengatasi Kemarahan
Dengan berlatih untuk bekerja dalam satu kelompok, murid-murid belajar
untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam membentuk jejaring kerja,
mendapatkan dukungan dan berkolaborasi. Adam Grant dalam bukunya “ Give
And Take” menyatakan bahwa pengalaman kesuksesan dan kegagalan dalam kerja
kelompok akan memberikan pengetahuan nyata tentang kebutuhan memberi,
berbagi dan bertoleransi
dengan konsekuensi positif bagi seorang yang
berkarakteristik “pemberi” dan konsekuensi negatif bagi seorang yang
berkarakteristik“ penerima (Grant, 2001). Pemberi di sini dimaksudkan sebagai
individu dengan sifat yang ringan tangan, suka membantu, dan tulus. Sedang
penerima mewakili karakteristik individu yang kurang toleran karena selalu
menempatkan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Pengalaman ini
terutama dibutuhkan karena beralihnya karakteristik sebagian besar jenis
pekerjaan di dunia menjadi jenis pekerjaan yang bercorak team-work sehingga
tingkat kesuksesan seseorang akan sangat bergantung pada dukungan dari pihak
lain.
253
Program bimbingan/konseling bisa diadakan untuk membantu murid-murid
yang mempunyai kesulitan dalam mengatasi emosinya. Sesuai dengan pandangan
Buddhisme, kemarahan juga bisa diatasi dengan program meditasi (mindfulness)
(diadakan di sekolah jika memungkinkan). Disini para peserta diajarkan untuk
mengenali saat-saat dan gejala fisik ketika iritasi kecil mulai timbul. Banyak
kemarahan hanya dimulai dengan kejengkelan kecil. Dengan mengenali saat-saat
ini (sebagai hasil dari latihan meditasi), maka kemarahan akan bisa dicegah dari
saat awal terbentuknya dan diatasi agar tidak berlanjut menjadi besar.
Peran Pendidikan dalam Mengatasi Kemalasan.
Kemajuan tehnologi adalah prestasi yang mengesankan dari pandangan ilmu
pengetahuan. Suatu pencapaian yang sangat memukau dari hasrat manusia untuk
sesuatu yang hebat/dahsyat. Tehnologi juga telah mencapai suatu titik dimana
informasi ada di ujung jari tangan. Dengan menggunakan mesin pencari dalam
internet, maka seseorang akan segera terhubung dengan dunia maya. Setelah
mengetikkan alamat maya maka dengan menekan tombol “enter” di keyboard
komputer, maka terbukalah pintu perpustakaan semesta dunia informasi. Dalam
bidang transportasi, tingkat kecepatan alat transportasi menciptakan “dunia yang
makin kecil” dengan drastisnya pengurangan jarak tempuh antar berbagai tempat
di belahan dunia yang berbeda. Dalam bidang kedokteran, penyakit-penyakit
deneneratif yang kronis dan amat sulit penanganannya, mungkin akan
menemukan jalan pemecahan dengan tehnologi kloning (penciptaan organ-organ
tubuh baru untuk menggantikan organ-organ tubuh yang sudah rusak). Ini sangat
mudah ,seperti yang terjadi jika mobil/sepeda motor rusak dan digantikan sparepartnya. Proses pengobatan yang sulit dan panjang akan menjadi jauh lebih cepat
dan sederhana dengan teknologi kloning.
Apa yang sebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari keajaiban teknologi
dunia modern. Semua kemajuan ini mungkin dipandang sebagai hal yang sangat
positif karena membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah. Namun
sebenarnya, jika ditelusuri, kemudahan ini menimbulkan banyak efek negatif bagi
mental seseorang. Yang menakutkan adalah, ketika disadari maka kebiasaan ini
254
sudah mengakar kuat dalam diri. Seperti halnnya kebiasaan makan makanan enak
berkolestrol tinggi secara berlebihan akan membuat seseorang terlena dan lupa
pada bahayanya, sehingga ketika kesadaran timbul maka biasanya penyakit sudah
mulai menderanya. Menariknya, bahwa dalam kebanyakan kasus bukannya
seseorang tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai gaya hidup salah
tersebut, tetapi karena kekuatan dari kebiasaan telah mengalahkan segala akal
sehatnya.
Makanan enak berkolestrol tinggi dari kemajuan tehnologi adalah bahwa
manusia moderen telah terbiasa mendapatkan sesuatu secara instan (kadar
kemalasan manusia moderen sangatlah tinggi). Kerja keras dalam jangka panjang
bukan lagi dipandang sebagai suatu karakter yang luhur, tetapi lebih sebagai suatu
beban yang harus dihindari. Kemalasan adalah penyebab utama dari kebodohan.
Harga yang harus dibayar untuk kemalasan sangat mahal. Tanpa kerja keras maka
cita-cita untuk menciptakan Negara dan bangsa yang kuat hanya akan menjadi
mimpi di siang bolong.
Peranan Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosionla
untuk Mengatasi Kemalasan
Pendidikan membuat seseorang menghargai proses diantaranya:
a) Pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran bahwa keindahan
pencapaian suatu tujuan lebih tergantung pada proses dan bukan pada hasil.
b) Di masa lampau, manusia memerlukan waktu yang relatif panjang untuk
menyelesaikan
suatu
pekerjaan
atau
menempuh
perjalanan,
Dengan
berkembangnya tehnologi, maka waktu untuk menyelesaikan suatu proyek
dipotong secara signifikan. Manusia modern sudah tidak terbiasa lagi dengan
proses karena banyak pekerjaan yang sudah dimekanisasi. Keindahan
pencapaian suatu tujuan telah digantikan oleh kepraktisan dan kenyamanan
(atau ketidaknyamanan?)
Kemajuan tehnologi telah menyebabkan hilangnya kadar keuletan untuk
menikmati proses karena sangat berorientasi pada hasil.
Pendidikan harus
255
mengembangkan program yang mengembalikan nilai kerajinan/keuletan tersebut
dengan memberikan penilaian lebih kepada proses dan bukan kepada hasil. Hasil
evaluasi prestasi murid bisa didasarkan secara seimbang kepada nilai kehadiran,
partisipasi dan ujian. Dengan memberikan nilai kepada kehadiran dan partisipasi,
maka para murid belajar untuk menikmati pelajaran dan tidak hanya berorientasi
pada hasil ujuan akhir. Ini memungkinkan murid dengan prestasi akademik yang
kurang dalam suatu bidang tetapi rajin/ulet berkesempatan mendapatkan
penghargaan dari kecerdasan emosinya. Peserta yang lain juga bisa merasakan
bahwa kerajinan/keuletan merupaka suatu hal yang sangat dihargai baik di dunia
akademik/professional
dan
masyarakat
sehingga
layak
untuk
dimiliki/
dikembangkan.
Kesimpulan
Kemajuan tehnologi telah banyak merubah nilai-nlai luhur yang dianut oleh
masyarakat di masa lampau. Di jaman modern, bukanlah prestasi yang
membanggakan lagi jika seseorang hanya mempunyai karakter yang baik tanpa
disertai dengan kepemilikan materi/kekuasaan yang tinggi. Nilai-nilai warisan
leluhur seperti kesederhanaan, kesabaran dan keuletan telah terancam untuk pudar
Sangat dimungkinkan bahwa program pendidikan yang selama ini kurang
menekankan pada terbentuknya
kecerdasan emosional telah berakibat pada
merosotnya nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Seperti telah diketahui bahwa
kompetensi yang tidak disertai dengan dianutnya nilai kehidupan yang positif
beresiko untuk menghasilkan karakter-karakter yang kurang berintegritas. Oleh
karenanya pendidikan sudah seharusnya memegang peranan penting dalam
revolusi mental untuk mengembalikan nilai-nilai luhur tersebut. Nature
pendidikan yang bersifat wajib dan meliputi jangka waktu yang cukup panjang
juga sangat membantu dalam keberhasilan perannya.
Sesuai dengan tujuan dan misinya, maka rencana pendidikan harus mampu
mengakomodir program-program untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak.
Anak didik wajib mendapatkan pengalaman belajar yang kondusif secara mental
sehingga mampu mengenali dan menumbuhkan sifat-sifat positif dalam dirinya
256
masing-,masing. Contoh yang diambil dalam penelitian ini untuk dibahas secara
singkat adalah: menanamkan rasa selalu bersyukur untuk menumbuhkan nilai
kesedehanaan, menghargai proses untuk menumbuhkan nilai keuletan, serta
toleransi/kerja sama untuk membentuk kesabaran. Dalam implementasinya, maka
perlu dirancang program-program yang menekankan pada praktek seperti: bakti
sosial, kerja kelompok (team work) serta belajar dengan proses (learning with
process).
Revolusi
mental
melalui
menghilangkan nilai sosial negatif
sistim
pendidikan
yang
berhasil
akan
dan melahirkan anak-anak bangsa yang anti
korupsi, sabar/toleransi serta rajin/ulet bekerja. Ini semua adalah bahan-baku
utama dalam membentuk negara Indonesia yang kuat, adil makmur, dan sejahtera
sesuai dengan cita-cita kita semua.
Saran
Karena misi utama pendidikan adalah pembentukan karakter, maka pendidik
mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan emosional anak
didik. Untuk melaksanakan perannya, pendidik memerlukan bekal keterampilan
mental yang cukup. Tantangan terbesar yang mungkin dihadapi oleh para
pendidik adalah: pendidikan yang diberikan oleh orang tua murid di rumah. Jika
pengaruh pendidikan orang tua buruk dan pendidik kurang mempunyai peranan
dalam mempengaruhi mental anak didik, maka hasil yang dicapai dari pendidikan
tidak akan
optimal. Karena beratnya tanggung-jawab pendidik, adalah vital
bahwa seorang pendidik selain memenuhi persyaratan akademis, juga harus
melewati tes psikologi untuk menentukan apakah kepribadiaannya sesuai untuk
memenuhi tuntutan dalam menjalankan proses belajar mengajar di sekolah.
Daftar Pustaka
Adam Grant. 2013. Give And Take. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ajahn Brahm, Youtube, Changing Our Attitudes to Who We Think We Are.
257
Daniel Goldman. 2000. Emotional Intelligen. US.
Ven. Yin Shun, 1998. The Way to Buddhahood. Massachusetts: Wisdom
Publication.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
258
SINKRONISASI DASA DHARMA PRAMUKA DAN NILAI-NILAI
METTĀ SUTTA DALAM GERAKAN NASIONAL
REVOLUSI MENTAL
12T
Waluyo
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
The purpose of this study to determine the synchronization Dasa Dharma
Pramuka and values of Mettā Suttain revolutionizing mental to character building
as the basis for realizing the human quality of Indonesia in various aspects of life.
The study was motivated by the low levels of a sense of the development is often
seen as merely the physical and economic aspects without seeing the inner quality
comprehensively.
Method of the study using synthesis checklist, which consists of a
preliminary synthesis, advanced, and final by discussing in depth the content of
written information regarding the DasaDharma Pramuka, Mettā Sutta, and
mental revolution. Content on three things are analyzed in a systematic and given
the interpretation that led to the answered of formulation of the problem.
The results showed that the strategic value of DasaDharma Pramuka, and
Mettā Sutta in support of the National Movement for Mental Revolution, is (1)
through the perspective and way of thinking, that piety to God Almighty; willing
to help and steadfast; thrifty, careful, and unpretentious; disciplined, courageous,
and faithful; chaste in thought, word, and deed; clever; humble; not arrogant;
satisfied; not busy; calm senses; alert; shameless; not attached to the family; do
not make a mistake; always thinking may all beings be happy; do not expect
others harm; do not stick to the wrong view; and has wisdom; and (2) through the
workings of the words and deeds of physical entities, i.e. obedient and likes
deliberation; responsible and trustworthy; chaste in thought, word, and deed;
honest; gentle; do not make a mistake; do not cheat; not insulting; love of nature
and human affection; patriot polite and knights; obedient and likes deliberation;
diligent, skilled, and happy; disciplined, courageous, and faithful; chaste in
thought, word, and deed; gentle; easy to maintain; not busy; do not make a
mistake; and persevering in the precepts.
Keywords: mental revolution, dasa dharma pramuka, mettā sutta
Pendahuluan
Orientasi pemimpin besar dunia dalam memandang bangsanya dimulai dari
kemajuan berbagai aspek, terutama infrastruktur, sarana prasarana, ekonomi,
industri, dan teknologi. Di samping itu, para pemimpin tidak melupakan
pembangunan sumber daya manusia yang mengarah pada kualitas mental
259
warganya. Indonesia sebagai bangsa besar dan majemuk mempunyai tanggung
jawab dalam menyiapkan mentalitas bangsa dalam menghadapi perubahan zaman
di era global.
Pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 April 2014 yang menjadi
momentum bagi Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah bahwa yang menjadi
pembicaraan dan fokus kita sekadar tentang pembangunan fisik dan ekonomi,
padahal kekurangan terbesar ada pada character building, yang juga disebut
sebagai revolusi mental.Pernyataan tersebut bersifat reflektif dalam melihat
pembangunan secara fisik dan ekonomi yang mengabaikan rasa. Perencanaan
pembangunan yang mengarah pada perangkat hardware menghasilkan manusiamanusia mekanis yang berkarakter kuat, namun lalai akan kemanusiaannya.
Wujud dekadensi moral atas rendahnya kualitas manusia terlihat pada
banyaknya permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Korupsi,
kriminalitas, penindasan atas kelompok minoritas, kerusakan alam, sikap acuh,
perilaku konsumtif, culas, dan rendahnya integritas merupakan beberapa contoh
perbuatan yang semakin meningkat. Perangai yang demikian akan berdampak
pada semakin merosotnya kualitas warga bangsa. Hancurnya suatu bangsa dapat
dilihat dari perilaku dan tindakan warganya. Jika masalah ini tidak segera diatasi,
maka akan berdampak pada segi kehidupan yang lebih luas, bahkan bisa jadi pada
musnahnya peradaban bangsa.
Hasil beberapa survei internasional menunjukkan peringkat Indonesia pada
tingkat tertinggi untuk hal-hal yang buruk dan tingkat rendah untuk hal-hal yang
baik. Sejumlah focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh
budayawan, seniman, perempuan, kaum muda, pengusaha, birokrat, tokoh agama
dan
adat,
akademisi,
maupun
penggiat
lembaga
swadaya
masyarakat
menyimpulkan bahwa kita memang perlu mengubah mentalitas secara
revolusioner karena adanya gejala: krisis nilai dan karakter, krisis pemerintahan,
serta krisis relasi sosial ( http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/mengapa12TU
perlu-revolusi-mental .html ).
U12TU
U
Pada
FGD
tersebut
mengemuka
sejumlah
pernyataan yang mengindikasikan rendahnya mentalitas masyarakat Indonesia,
diantaranya nilai luhur bangsa yang terlupakan; orang yang berperilaku baik,
260
jujur, dan bersih tidak populer, bahkan menjadi musuh bersama; peradaban
Indonesia sedang terhenti, birokrasi yang gendut, berbelit, dan rapuh; penegakan
hukum yang tidak jelas arahnya; respon pemerintah lambat; dan masalah toleransi
mengalami kemunduran disbanding 15 tahun yang lalu. Dengan demikian, upaya
mengantisipasi dampak buruk yang ditimbulkannya sangat diperlukan segera.
Upaya membentuk character building merupakan proses perjalanan panjang
dan tanggung jawab semua komponen, baik pemerintah maupun swasta, lembaga
pendidikan formal, informal maupun nonformal, serta bidang agama maupun
sosial. Proses panjang ini disadari sebagai penguatan karakter baik sebagai upaya
merevolusi mental agar menghasilkan kepribadian manusia yang berkualitas.
Salah satu cara membentuk mental yang berkualitas adalah dengan Gerakan
Pramuka yang menjunjung tinggi Dasa Dharma Pramuka. Dasa Dharma Pramuka
menjadi Kode Kehormatan anggota dalam membentuk watak luhur. Dasa Dharma
Pramuka merupakan alat proses pendidikan diri yang progesif untuk
mengembangkan budi pekerti luhur (Kasan, dkk., 2008: 25).Dasa Dharma
Pramuka dimaknai sebagai bentuk konkret pelaksanaan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam Buddhisme, salah satu nilai-nilai Buddhisme yang
dapat dijadikan sebagai upaya pembentukan mental yang baik adalah Mettā Sutta
yang terdapat pada Kitab Suttanipāta. Mettā Suttamerupakan khotbah Buddha
yang berisi sepuluh syair nilai-nilai kebaikan sebagai manifestasi cinta kasih yang
dimiliki setiap oranguntuk dipancarkan kepada orang (makhluk) lain. Sinergitas
antara Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta memberikan manfaat
sebagai kekuatan dalam mendukung Gerakan Revolusi Mental yang digagas oleh
Pemerintah. Revolusi Mental merupakan perubahan cara kita berpikir dalam
bertindak dan bekerja menghadapi keadaan tertentu ( http://revolusimental.go.id
U
/#lg=1&slide=2 ). Cara berpikir, bertindak, dan bekerja ini memerlukan dasar
U
operasional yang mengakar kuat agar menghasilkan perubahan yang signifikan.
Dasa Dharma Pramuka terdiri atas sepuluh dharma sebagai watak luhur
yang harus dimiliki anggotanya, yaitu (a) takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(b) cinta alam dan kasih sayang sesama manusia; (c) patriot yang sopan dan
ksatria; (d) patuh dan suka bermusyawarah; (e) rela menolong dan tabah; (f) rajin,
261
terampil, dan gembira; (g) hemat, cermat, dan bersahaja; (h) disiplin, berani, dan
setia; (i) bertanggung jawab dan dapat dipercaya; (j) suci dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan (Anggadiredja, dkk.,2011: 36; Suherman, 2011: 56).
Kesepuluh dharma ini merupakan cerminan watak luhur yang harus dimiliki oleh
anggota Pramuka, bahkan nilai-nilainya dapat dipraktikkan oleh seluruh warga
masyarakat. Dharma Pramuka dapat pula dipandang sebagai tuntunan perilaku
dalam membangun hubungan vertikal-horisontal maupun pribadi-sosial.
Nilai-nilai Mettā Suttamengandung kualitas perilaku luhur manusia yang
tekun dalam kebaikan dan mencapai ketenangan batin, yaitu (a) pandai, (b) jujur,
(c) rendah hati, (d) lemah lembut, (e) tidak sombong, (f) merasa puas, (g) mudah
dirawat, (h) tidak sibuk, (i) sederhana, (j) tenang inderanya, (k) waspada, (l) tahu
malu, (m) tidak melekat pada keluarga, (n) tidak melakukan kesalahan walaupun
kecil, (o) selalu berpikir semoga semua makhluk berbahagia, (p) tidak menipu, (q)
tidak menghina, (r) tidak mengharap orang lain celaka, (s) tidak berpegang pada
pandangan
salah,
(t)
tekun
dalam
sīla,
(u)
memiliki
kebijaksanaan
( http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.1.08.amar.html ).
12TU
U12T
Gerakan Nasional Revolusi Mental merupakan gerakan seluruh rakyat
Indonesia bersama Pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi
Indonesia yang lebih baik melalui cara pandang, cara pikir, dan cara kerja agar
berdaulat,
berdikari,
dan
berkepribadian
( http://revolusimental.go.id/ ;
12TU
U12T
Government Public Relations: Topik Revolusi Mental, Edisi 5 Juli 2015). Cara
hidup baru bangsa Indonesia mengarah pada perbaikan karakter untuk menjadi
Indonesia yang kuat, baik dari segi fisik maupun mental. Prinsip dasar dalam
melakukan revolusi mental adalah (a) gerakan sosial untuk bersama-sama menuju
Indonesia yang lebih baik, (b) didukung oleh political will Pemerintah, (c) bersifat
lintas sektoral, (d) kolaborasi masyarakat, privat, akademisi, dan Pemerintah, (e)
dilakukan dengan program value attack untuk senantiasa mengingatkan
masyarakat terhadap nilai-nilai strategis dalam setiap ruang publik, (f) desain
program harus user
friendly dan menyenangkan, (g) nilai-nilai
yang
dikembangkan terutama untuk mengatur moralitas publik (sosial), (h) dapat
diukur
262
dampaknya
dan
dirasakan
manfaatnya
oleh
warga
masyarakat
( http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/8-prinsip-revolusi-mental.html ).
12TU
U12T
Prinsip ini menjadi dasar pelaksanaan setiap program yang dilaksanakan untuk
mendukung Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Kesatuan antara Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta sebagai
alternatif dalam mensintesis konsep baru untuk membentuk karakter atau mental
bangsa Indonesia yang lebih baik agar berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Kedua konsep secara sinergis akan menjadi dasar upaya merevolusi mental
individu yang tecermin pada perilaku diri dan sosialnya.
Metode Kajian
Analisis pembahasan kajian ini menggunakan syntesize checklist yang
terdiri dari sistesis pendahuluan, lanjutan, dan akhir; dengan mempertimbangkan
unsur teks, konteks, dan wacana (Zed, 2008: 71, 76-77). Unsur teks tidak sekadar
merujuk pada kata-kata yang tercetak atau tertulis, tetapi semua jenis komunikasi,
ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya mengenai objek kajian
yaitu Dasa Dharma Pramuka, nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan
Revolusi Mental. Konteks di sini dimaknai sebagai relasi antarteks dengan
memasukkan semua situasi yang terkait dengan hal-hal di luar teks, namun
mempengaruhi pemakaian bahasa. Konteks kajian ini meliputi penyusun teks,
situasi teks dibuat, fungsi teks dalam kerangka tujuan tertentu tentang materi Dasa
Dharma Pramuka, nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi
Mental. Wacana (discourse) pada kajian ini bermaksud mensintesis atau
mengungkap pemahaman teks dan konteks, baik yang tersembunyi maupun jelas
tergambar dari materi Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai yang terkandung
dalam Mettā Sutta dalam upaya merevolusi mental setiap individu.
Sintesis pendahuluan mencakup upaya penggabungan secara konsisten
antara temuan analisis dan sintesis, yang meliputi fakta, gagasan, konsep,
pandangan, teori atau metode sebagai cara kerja dan simpulan-simpulan. Tahap
ini pengkaji berupaya menata kembali hasil analisis dalam rangka menjelaskan
pengertian makna harfiah dan real meaning materi Dasa Dharma Pramuka, nilainilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental; serta unsur
263
subjektif atau bias yang terkandung dalam materi tersebut. Sintesis tahap lanjutan
berkenaan dengan upaya penggabungan hasil pembandingan teks dengan pasti
dan rinci, serta pembuktian hubungan sebab-akibat tentang materi Dasa Dharma
Pramuka, nilai-nilai yang terkandung dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental.
Tahap sintesis akhir (final synthesis) kajian ini menggunakan teknik koligasi
(interpretasi) yang mencakup usaha penggabungan bagian-bagian secara
keseluruhan objek materi Dasa Dharma Pramuka, nilai-nilai yang terkandung
dalam Mettā Sutta, dan Revolusi Mental yang telah dianalisis.
Hasil dan Pembahasan
Isi konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Suttadapat
disejajarkan pada tabel berikut.
Tabel 1
Konsep Dasa Dharma Pramuka dan Nilai-nilai Mettā Sutta
Dasa Dharma Pramuka
Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia
Patriot yang sopan dan ksatria
Patuh dan suka bermusyawarah
Rela menolong dan tabah
Rajin, terampil, dan gembira
Hemat, cermat, dan bersahaja
Disiplin, berani, dan setia
Bertanggung jawab dan dapat dipercaya
Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
264
Nilai-Nilai Mettā Sutta
Pandai
Jujur
Rendah hati
Lemah lembut
Tidak sombong
Merasa puas
Mudah dirawat
Tidak sibuk
Sederhana
Tenang inderanya
Waspada
Tahu malu
Tidak melekat pada keluarga
Tidak berbuat kesalahan
Selalu berpikit semoga semua
makhluk berbahagia
Tidak menipu
Tidak menghina
Tidak mengharap orang lain
celaka
Tidak berpegang pada
pandangan salah
Tekun dalam sīla
Memiliki kebijaksanaan
Komponen analisis kajian ini menghasilkan poin-poin penting yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga unsur (teks, konteks, dan wacana) sebagaimana
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Teks, Konteks, dan Wacana Konsep
Teks
Konteks
Wacana
- Konsep Dasa Dharma Pramuka (DDP), Nilai-Nilai Mettā
Sutta(MS), dan Revolusi Mental (RM)
- Citra konsep DDP, MS, dan RM
- Situasi di luar konsep DDP, MS, dan RM
- Penyusun konsep DDP, MS, dan RM
- Situasi saat DDP, MS, dan RM dibuat
- Fungsi DDP, MS, dan RM
- Sintesis teks dan konteks
- Pemahaman teks dan konteks
Hasil kajian berdasarkan proses analisis dengan menggunakan synthesis
checklist dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3
Proses Synthesis Checklist
Pendahuluan
Lanjutan
Akhir
-
Penggabungan konsep DDP, MS, dan RM
Penataan kembali hasil analisis
Menjelaskan makna harfiah dan real meaning
Subjektivitas/bias konsep DDP, MS, dan RM
Upaya penggabungan hasil pembandingan dengan pasti dan
rinci tentang konsep DDP, MS, dan RM
- Pembuktian hubungan sebab-akibat antarkonsep DDP, MS,
dan RM
- Interpretasi (koligasi)
- Usaha penggabungan hasil analisis bagian-bagian
antarkonsep DDP, MS, dan RM secara keseluruhan
Penggabungan konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta
yang mengarah pada upaya revolusi mental dikategorikan ke dalam tiga kelompok
jenis bentuk-bentuk perbuatan, yaitu pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Hasil
penggabungan konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta dapat
dilihat pada tabel berikut.
265
Tabel 4
Penggabungan Konsep dalam Bentuk Perbuatan untuk Revolusi Mental
Pikiran
Ucapan
Badan Jasmani
(Kerja Perbuatan)
-
Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Rela menolong dan tabah
Hemat, cermat, dan bersahaja
Disiplin, berani, dan setia
Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
Pandai
Rendah hati
Tidak sombong
Merasa puas
Tidak sibuk
Tenang inderanya
Waspada
Tahu malu
Tidak melekat pada keluarga
Tidak berbuat kesalahan
Selalu berpikir semoga semua makhluk hidup berbahagia
Tidak mengharap orang lain celaka
Tidak berpegang pada pandangan salah
Memiliki kebijaksanaan
Patuh dan suka bermusyawarah
Bertanggung jawab dan dapat dipercaya
Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
Jujur
Lemah lembut
Tidak berbuat kesalahan
Tidak menipu
Tidak menghina
Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia
Patriot yang sopan dan ksatria
Patuh dan suka bermusyawarah
Rajin, terampil, dan gembira
Disiplin, berani, dan setia
Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
Lemah lembut
Mudah dirawat
Tidak sibuk
Tidak berbuat kesalahan
Tekun dalam sīla
Revolusi mental menjadi pedoman dalam bekerja yang didahului dengan
cara pandang dan cara pikir dalam diri seseorang. Pada konteks kewargaan,
mental tiap anggota masyarakat hendaknya memiliki dasar pandang dan pikir
dalam segala aktivitasnya. Pada lingkup pikiran yang menghasilkan cara pandang
setiap orang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; rela menolong
266
dan tabah; hemat, cermat, dan bersahaja; disiplin, berani, dan setia; suci dalam
pikiran, perkataan, dan perbuatan; pandai; rendah hati; tidak sombong; merasa
puas; tidak sibuk; tenang inderanya; waspada; tahu malu; tidak melekat pada
keluarga; tidak berbuat kesalahan; selalu berpikir semoga semua makhluk hidup
berbahagia; tidak mengharap orang lain celaka; tidak berpegang pada pandangan
salah; dan memiliki kebijaksanaan.
Merevolusi mental berarti mengubah cara pandang dan cara pikir yang
berorientasi pada pelaksanaan ajaran agama yang tampak pada ibadah formal dan
sosial. Ibadah formal mewujud pada ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
pelaksanaan Dharma, suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan serta hemat,
cermat, dan bersahaja, tenang inderanya, waspada, tidak berbuat kesalahan, tidak
berpegang pada pandangan salah, dan memiliki kebijaksanaan. Ibadah sosial
individu tampak dalam bentuk sikap peduli pada sesama, diantaranya rela
menolong, tidak sibuk terutama jika dimintai bantuan orang lain, tidak
menunjukkan sikap sombong pada orang lain, selalu berpikir semoga semua
makhluk berbahagia, dan tidak mengharapkan orang lain celaka. Karakter ibadah
yang menuju pada pencapaian mentalitas yang luhur ditandai dengan perubahan
diri secara signifikan, dan juga sikap peduli pada sesama. Mental diri yang baik
akan berimbas pada lingkungannya, misalnya, sikap disiplin pada diri sendiri akan
memberi dampak bagi sekitarnya untuk mengikutinya.
Kualitas diri yang baik dapat dilihat pada koneksi individu dengan
lingkungan yang dikenali dari ucapan dan perbuatan saat menjalin hubungan dan
kerja sama dengan manusia lain dan alam sekitar. Hal-hal bernilai strategis
melalui ucapan yang dapat dilakukan oleh setiap individu dalam menjalin
hubungan dengan lingkungannya yaitu jujur, lemah lembut dalam bertutur kata,
dapat dipercaya, tidak menipu, dan tidak menghina orang lain. Karakter ini akan
berdaya guna dalam membentuk kepribadian manusia Indonesia yang menghargai
manusia lain. Perilaku jujur dan dapat dipercaya diperlukan dalam pelayanan
kepada masyarakat. Pejabat yang jujur dan dapat dipercaya akan menjadi teladan
bagi warganya. Hal-hal bernilai strategis melalui perbuatan badan jasmani dalam
merevolusi mental setiap individu, diantaranya mencintai alam dan sesama
267
manusia, suka bermusyawarah, rajin, terampil, dan tekun dalam latihan kemoralan
(sīla). Cara mengubah mental dalam bentuk nyata dilihat dari hubungan manusia
dengan
alamnya.
Pengelolaan
alam
secara
berkelanjutan
memberikan
kelangsungan hidup bagi generasi berikutnya. Generasi yang dididik dengan
mental baik akan berdampak pada kemajuan suatu bangsa di kemudian hari.
Generasi yang rajin dan terampil dalam mengelola alam, mempelajari ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni budaya serta tekun dalam latihan kemoralan
akan memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi tantangan di masa
mendatang.
Kesimpulan dan Saran
Sinkronisasi Dasa Dharma Pramuka dan Mettā Suttamenghasilkan nilainilai strategis yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan Gerakan Nasional Revolusi
Mental melalui cara pandang, cara pikir, dan cara kerja dalam membentuk
manusia Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Nilai strategis
Dasa Dharma Pramuka dan Mettā Sutta melalui cara pandang dan cara pikir, yaitu
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; rela menolong dan tabah; hemat, cermat,
dan bersahaja; disiplin, berani, dan setia; suci dalam pikiran, perkataan, dan
perbuatan; pandai; rendah hati; tidak sombong; merasa puas; tidak sibuk; tenang
inderanya; waspada; tahu malu; tidak melekat pada keluarga; tidak berbuat
kesalahan; selalu berpikir semoga semua makhluk hidup berbahagia; tidak
mengharap orang lain celaka; tidak berpegang pada pandangan salah; dan
memiliki kebijaksanaan. Nilai strategis Dasa Dharma Pramuka dan Mettā Sutta
melalui cara kerja ucapan dan perbuatan badan jasmani, yaitu patuh dan suka
bermusyawarah; bertanggung jawab dan dapat dipercaya; suci dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan; jujur; lemah lembut; tidak berbuat kesalahan; tidak
menipu; tidak menghina; cinta alam dan kasih sayang sesama manusia; patriot
yang sopan dan ksatria; patuh dan suka bermusyawarah; rajin, terampil, dan
gembira; disiplin, berani, dan setia; suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan;
lemah lembut; mudah dirawat; tidak sibuk; tidak berbuat kesalahan; dan tekun
dalam sīla.
268
Hasil sintesis konsep Dasa Dharma Pramuka dan nilai-nilai Mettā Sutta
dalam merevolusi mental dapat digunakan untuk memantabkan gerakan ini
melalui berbagai sektor dan media. Pembentukan nilai-nilai strategis yang
dihasilkan dapat melalui lembaga pendidikan, baik formal, informal, maupun
nonformal.
Daftar Pustaka
Anggadiredja, J.T. dkk. 2011. Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar.
Jakarta: Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Government Public Relations Report: Topik Revolusi Mental. Edisi 5 Juli 2015.
Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian
Komunikasi dan Informatika RI. Diakses dari http://revolusimental.go.id/,
tanggal 8 Januari 2016.
12T
Kasan, dkk. 2008. Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar. Purwokerto:
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Suherman, E. 2011. Pramuka Membangun Ekonomi Bangsa: Menggagas
Pembangunan Ekonomi Masyarakat Melalui Kegiatan Pelatihan
Entrepreneurship di Lingkungan Gerakan Pramuka. Bandung: Alfabeta.
Zed, M. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
12TU
12TU
12TU
12TU
12TU
http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/mengapa-perlu-revolusi-mental.html .
Diakses tanggal 6 Januari 2016.
U12T
http://revolusimental.go.id/#lg=1&slide=2 . Diakses tanggal 6 Januari 2016.
U12T
http://revolusimental.go.id/ . Diakses tanggal 8 Januari 2016.
U12T
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.1.08.amar.html ).
tang-gal 8 Januari 2016.
U12TU
U
Diakses
http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/8-prinsip-revolusi-mental.html .
Diakses tanggal 8 Januari 2016.
U12T
269
PENANAMAN NILAI-NILAI SEMANGAT KEBANGSAAN
DALAM MENUMBUHKAN SEMANGAT
REVOLUSI MENTAL MAHASISWA
12T
Warsito
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
This article discusses the cultivation of the values of the national spirit in
the midst of a crisis of ideology and culture. The author uses descriptive research
approach by using literature data as the main source of this study. The author
uses the study in the context of nation value cultivation to foster the spirit of
student to do mental revolution as to form the character of the young generation
in the spirit of upholding the values of culture and morality. In preparing this
article, the author uses students as the main object of value cultivation concept of
national awareness. Therefore, in writing this article the author used the
approach of value of cultivation strategiesof mental revolution through civic
education courses. Through civic education students are expected to foster civic
spirit and awareness in upholding and developing excellent human character and
morality as well as maintaining the cultural values towards changes in a
sovereign nation, independent and sovereign.
Things that need to be prepared for planting the values of mental revolution
to students are as follows 1) readiness instrumental, in this connection, it takes
the legal umbrella, the juridical basis and the rule of law are clear, concrete and
strong in the overarching process of planting mental revolution to students , 2)
structural readiness, in this connection, it takes a permanent institutional,
legitimate in the central and local levels in the form of the National Cultivation
Agency and the State Defense. 3) cultural readiness, in this connection, it takes
perceptions, views and attitudes of society, community groups, community
organizations, non-governmental organizations and all positive components in a
nation, supportive and helpful ideas, and value cultivation of mental revolution
program among students
Keywords: cultivation, values, national awareness, mental revolution, student
Pendahuluan
Revolusi mental merupakan agenda prioritas pemerintahan Indonesia saat
ini. Revolusi mental merupakan revolusi karakter bangsa yang dilakukan melalui
proses pendidikan. Revolusi mental adalah gerakan seluruh rakyat Indonsia
bersama pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi yang lebih baik
( revolusi mental.go.id ).
U
U
Hal ini dapat dilihat dari point 8 Nawacita yang
berbunyi: “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan
271
kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan
kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan,
seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta
Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan
Indonesia”.
Revolusi mental sendiri telah digelorakan oleh Bung Karno sejak tahun
1957 dan kemudian dihidupkan kembali oleh pemerintahan Jokowi-JK dalam
bingkai konsepsi trisakti (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan
berkepribadian secara kebudayaan). Revolusi mental memfokuskan pada
perubahan karakter, moralitas, pola pikir, bangsa Indonesia untuk kembali ke jati
diri bangsa yang berdaulat, berdikari dan berkeperibadian, di tengah arus
globalisasi. Revolusi mental dalam pembelajaran (Mulyasa, 2015) revolusi mental
harus dijadikan landasan pembangunan pendidikan agar dapat menimbulkan
kesadaran dan mengikat para pejabat dalam sistem pendidikan pada tingkat
nasional dan daerah sehingga menghasilkan kebijakan dan melaksanakan
kebijakan secara berkesinambungan.
Ada
beberapa
aspek
yang
melatarbelakangi
mengapa
mahasiswa
memerlukan revolusi mental yakni aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya. Mahasiswa Indonesia sekarang ini banyak yang telah teracuni oleh nilainilai ideologi asing, baik ideologi liberalisme-kapitalisme, sosialisme-komunisme,
dan aliran keagamaan yang fanatis, militan dan radikal. Kenyataan menunjukkan
bahwa sebagian mahasiswa yang memiliki pola pikir dan pola tindak liberalis,
kebarat-baratan, kekiri-kirian, dan bahkan mudah terprovokasi oleh paham radikal
keagamaan, seperti paham terorisme, fundamentalisme dan gerakan ISIS.
Mahasiswa Indonesia tidak sedikit yang terkotak-kotak oleh kepentingan politik
praktis dari elit politik tertentu. Aspirasi yang digelorakan sekarang ini tidak
semuanya murni untuk kepentingan rakyat, namun telah banyak yang ditunggangi
oleh kepentingan politik yang justru telah merugikan eksistensi pergerakan
mahasiswa yang luhur, murni, obyektif seperti pada masa lalu. Mahasiswa
Indonesia tidak jarang yang kurang memiliki daya saing, etos kerja, dan jiwa
kewirausahaan. Mahasiswa Indonesia saat ini belum semuanya siap menghadapi
272
kompetisi global, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Tidak semua mahasiswa
memiliki inovasi, kreasi, terobosan kreatif dalam menghadapi pasar global
terutama menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara). Mahasiswa
Indonesia tidak sedikit yang berorientasi pada nilai-nilai individualisme,
konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Nilai-nilai toleransi, musyawarah
mufakat, tenggang rasa, sopan, santun dan ramah telah hilang berganti dengan
kekerasan, anarkisme dan kebrutalan yang kadangkala melanggar hukum, seperti
tawuran antar pelajar/mahasiswa, penganiayaan, pengrusakan, terlibat narkoba,
miras, dan prostitusi. Mahasiswa telah mengalami krisis karakter dan krisis jati
diri sehingga perlu dilakukan revolusi mental.
Pembahasan
Nilai-Nilai Revolusi Mental
Nilai-nilai revolusi mental yang harus ditanamkan kepada mahasiswa
sebagai generasi penerus bangsa sebenarnya harus didasarkan pada konsepsi
trisaksi yang telah dicetuskan oleh Soekarno dan digelorakan kembali oleh
pemerintahan Jokowi-JK. Visi trisakti yang memfokuskan pada tiga pilar harus
dihidupkan
kembali,
dijabarkan
kembali,
diaplikasikan
kembali,
dan
dioperasionalkan kembali sesuai dengan konteks kekinian, khususnya sesuai
dengan konteks kemahasiswaan:
Mahasiswa Berdaulat Secara Politik
Diperlukan nilai-nilai kejuangan, kebangsaan, nasionalisme, patriotisme,
dan bela negara yang harus ditanamkan kepada semua mahasiswa Indonesia agar
supaya menjadi benteng dan filter dalam menghadapi nilai-nilai global yang
berasal dari nilai-nilai asing, seperti liberalisme-kapitalisme, sosialismekomunisme, dan nilai-nilai fanatisme-radikalisme-fundamentalisme agama.
Melalui bingkai persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa, maka mahasiswa tidak
akan mudah terkotak-kotak oleh kepentingan politik elit dalam politik praktis. Hal
ini dilakukan untuk menjaga, memelihara, dan mengamankan keyakinan
mahasiswa yang berdaulat dengan memegang teguh empat pilar kebangsaan
(Pancasila, UUD1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI).
273
Mahasiswa Berdikari Secara Ekonomi
Maknanya, diperlukan nilai-nilai inovasi, kreasi, dan invensi (penemuan
baru) yang harus ditanamkan kepada semua mahasiswa Indonesia agar supaya
memiliki daya saing, etos kerja, dan jiwa kewirausahaan bangsa untuk
menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan unggul sehingga akan
dapat
memacu
pertumbuhan
ekonomi,
kesejahteraan
masyarakat,
dan
pembangunan nasional di tengah tantangan pasar bebas dan perdagangan bebas.
Penyiapan sumber daya manusia yang inovatif, kreatif dan enterprenuership akan
menciptakan mahasiswa yang berdikari.
Mahasiswa Berkeperibadian Secara Budaya.
Diperlukan nilai-nilai toleransi, gotong royong, tenggang rasa, humanis,
protagonis, sopan, santun, dan simpatik yang harus ditanamkan kepada semua
mahasiswa Indonesia agar supaya memiliki jiwa, hati, mental, karakter, dan moral
yang baik, benar, unggul, manusiawi, beradab dan bermartabat sehingga akan
mampu membentengi jati diri dan identitas bangsa dari ancaman invidualisme,
liberalisme, materialisme, hedonisme, dan konsumerisme. Penyiapan pola pikir,
dan cara pandang yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal yang dibingkai
dalam semangat, rasa dan paham kebangsaan akan mampu membentuk
mahasiswa yang berkepribadian.
Strategi Menanamkan Revolusi Mental Kepada Mahasiswa
Dalam makalah Focus Group Discusion berkaitan dengan revolusi mental
dijelaskan bahwa:
Strategi menanamkan nilai-nilai revolusi mental kepada mahasiswa harus
dilakukan secara sistematis, logis, dialogis, dan interaktif, dimulai dari calon
mahasiswa, mahasiswa, saat menjadi mahasiswa, dan setelah menjadi
mahasiswa. Penanaman nilai-nilai revolusi mental pada mahasiswa yakni
saat mengikuti Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek), (Subagyo, 2015).
Calon mahasiswa telah berada di perguruan tinggi, diberikan semacam
penataran wawasan kebangsaan dan bela negara yang waktunya cukup memadai,
misalnya dua hari untuk melakukan pemahaman/penghayatan/penjiwaan wawasan
kebangsaan. Penanaman nilai-nilai revolusi mental saat mahasiswa mengikuti
274
mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Dalam mata kuliah dasar umum ini,
setiap mahasiswa harus dibekali dengan nilai-nilai wawasan kebangsaan yang
disesuaikan dengan menyusun Silabus dan dan Satuan acara perkuliahan
Pendidikan kewarganegaraan yang mengarahkan nilai-nilai revolusi mental untuk
meningkatkan wawasan kebangsaan. Para dosen di kampus memegang peran
penting dalam menanamkan nilai-nilai revolusi mental secara nyata, kongkret,
operasional, dengan bahasa lugas, dan mudah dicerna oleh mahasiswa sehingga
tidak membosankan, karena selama ini mahasiswa bosan dengan dengan mata
kuliah pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan oleh dosen secara monoton,
dan berisfat satu arah.
Penanaman
nilai-nilai
revolusi
mental
setelah
mahasiswa
selesai
melaksanakan perkuliahan dan ujian skripsi sehingga tinggal menunggu wisuda.
Sebelum mahasiswa melaksanakan prosesi wisuda maka diperlukan waktu satu
hari untuk menanamkan nilai-nilai revolusi mental yang berbasis pada wawasan
kebangsaan
berupa pembekalan,
sosialisasi
maupun
pelatihan
wawasan
kebangsaan, sehingga akan menjadi bekal bagi para mahasiswa/calon wisudawan
untuk terjun ke tengah masyarakat dan di dunia kerjanya masing-masing.
Harapannya, para mahasiswa mampu menerapkan nilai-nilai revolusi mental dapat
diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan kerjanya masing-masing ke
depannya nanti.
Terdapat beberapa kesiapan yang dibutuhkan untuk melakukan penanaman
nilai-nilai revolusi mental kepada mahasiswa yang harus terpenuhi agar supaya
program ini berjalan dengan lancar, antara lain:
a. Kesiapan Instrumental. Dalam kaitan ini, dibutuhkan payung hukum, landasan
yuridis dan aturan hukum yang jelas, kongkret dan kuat dalam memayungi
proses penanaman revolusi mental kepada para mahasiswa berupa
penyusunan, pembahasan dan pengesahan UU Komponen Cadangan, UU
Komponen Pendukung, UU Bela Negara, UU Wawasan Nusantara, maupun
berbagai aturan perundang-undangan lain yang terkait. Hal ini penting dibuat
agar supaya terdapat pedoman, pegangan, dan koridor dalam melakukan
sosialisasi, internalisasi, dan pelatihan nilai-nilai revolusi mental mahasiswa.
275
b. Kesiapan Struktural. Dalam kaitan ini, dibutuhkan kelembagaan yang
permanen, absah, dan ada di tingkat pusat dan daerah berupa Badan
Penanaman Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara (BPWKBN) di pusat
maupun di daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) yang memiliki tugas, fungsi
dan kewenangan menyelenggarakan pembinaan, sosialisasi, koordinasi,
supervisi, evaluasi, pengawasan, dan pengendalian penanaman nilai-nilai
revolusi mental guna membentuk karakter mahasiswa yang berwawasan
kebangsaan dan berkesadaran bela negara. Badan ini merupakan badan negara
yang bersifat nasional dan bersumber anggaran pemerintah yakni dari APBN.
c. Kesiapan Kultural. Dalam kaitan ini, dibutuhkan persepsi, pandangan, dan
sikap masyarakat, kelompok masyarakat, ormas, LSM dan semua komponen
bangsa yang positif, mendukung dan membantu ide, gagasan, dan program
penanaman nilai-nilai revolusi mental di kalangan mahasiswa. Semua pihak,
khususnya dunia pendidikan di kampus dan di kalangan mahasiswa harus
menilai bahwa program ini sangat baik dan bermanfaat bagi pengembangan
sumber daya manusia Indonesia mengingat mahasisw merupakan generasi
penerus bangsa dan aset insani bangsa yang tidak ternilai dengan apapun
sehingga harus digodok, digembleng, dididik, dilatih dan dibina melalui
revolusi mental sehingga berwawasan kebangsaan dan berkesadaran bela
negara. Cara pandang lama yang menyatakan bahwa penanaman wawasan
kebangsaan dan bela negara sebagai upaya untuk militer masuk politik harus
dikikis dan dibuang jauh-jauh karena jaman telah berubah dan terdapat
keharmonisan yang erat, solid, dan kokoh antara sipil dan militer. Program ini
merupakan murni untuk kepentingan bangsa dan negara, tanpa ada pretensi
politik praktis.
Terbentuknya Resimen Mahasiswa (Menwa)
Untuk merealisasikan UU Nomor 29 Tahun 1954, diselenggarakan Wajib
Latih di kalangan mahasiswa dengan pilot proyek di Bandung pada tanggal 13
Juni 1959-14 September 1959, yang kemudian dikenal dengan WALA 59 (Wajib
Latih tahun 1959). WALA 59 merupakan batalyon inti mahasiswa yang
276
merupakan cikal bakal Resimen Mahasiswa sekarang ini. Kemudian disusul
Batalyon 17 Mei di Kalimantan Selatan. Mahasiswa yang memperoleh latihan ini
siap mempertahankan home-front dan bila perlu ikut memanggul senapan medan
laga. Mahasiswa Wajib Latih ini dididik di Kodam VI/Siliwangi dan para
mahasiswa ini diberi hak untuk mengenakan lambang Siliwangi.
Bermula dari itulah, pada masa demokrasi terpimpin dengan politik
konfrontasi dalam hubungan luar negeri, telah menggugah semangat patriotisme
dan kebangsaan mahasiswa untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa sebagai
sukarelawan. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kemiliteran selanjutnya
dilaksanakan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai potensi pertahanan dan
keamanan negara melalui Rinwa (Resimen Induk Mahasiswa), yang selanjutnya
namanya berubah menjadi Menwa (Resimen Mahasiswa). Tujuan dan Tugas
Pokok Resimen Mahasiswa adalah sebagai berikut. Tujuan Resimen Mahasiswa
Indonesia adalah:
1. Mempersiapkan mahasiswa yang memiliki pengetahuan, sikap disiplin, fisik
dan mental serta berwawasan kebangsaan agar mampu melaksanakan tugas
Tri Dharma Perguruan Tinggi dan menanamkan dasar-dasar kepemimpinan
dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional.
2. Sebagai wadah penyaluran potensi mahasiswa dalam rangka mewujudkan hak
dan kewajiban warga Negara dalam Bela Negara.
3. Mempersiapkan potensi mahasiswa sebagai bagian dari potensi rakyat dalam
Sistem Pertahanan Rakyat Semesta.
Tugas pokok Resimen Mahasiswa Indonesia meliputi:
a. Merencanakan, mempersiapkan dan menyusun seluruh potensi mahasiswa
untuk memantapkan ketahanan nasional, dengan melaksanakan usaha dan atau
kegiatan bela negara.
b. Membantu terwujudnya penyelenggaraan fungsi perlindungan masyarakat
(LINMAS), khususnya Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP)
c. Membantu terlaksananya kesadaran bela negara dan wawasan kebangsaan
dalam organisasi kepemudaan.
277
Kesimpulan
Penanaman sikap revolusi mental melalui pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan menjadi titik acuan terbentuknya keberhasilan pembangunan
bangsa menuju bangsa yang berkarakter, bermoral, dan berbudaya. Oleh sebab itu,
untuk merealisasikan program yang dijadikan konsep baru pemerintahan
diperlukan berbagai sektor antara lain sektor pendidikan, agama dan humanisme,
sosial, dan ekonomi. Keempat sektor tersebut, memiliki penguatan strategi yang
mana sektor pendidikan sangat mendukung terbentuknya mahasiswa Indonesia
dalam menamkan karakter dan moralitas yang tinggi dalam menjunjung nilai-nilai
kebudayaan. Sektor agama dan humanisme sebagai penyeimbang dan pengendali,
maka segala hal yang bersifat tidak baik dapat terluruskan kembali. Sektor sosial
menjadi pokok utama yang mana dalam proses kehidupan pasti akan bergantung
dengan yang lain sebagai rasa kesosialan dengan saling gotong royong, dan
kepedulian antara sesama. Ekonomi dijadikan penentu bagi kesejahteraan rakyat.
Selain itu penanaman revolusi mental akan memberi kesadaran pada masyarakat
akan
besarnya harapan
menuju
bangsa
yang berdaulat,
mandiri,
dan
berkepribadian dengan menanamkan nilai kesadar masyarakat akan pentingnya
kejayaan bangsa dalam menopang kemerosotan karakter bangsa.
Daftar Pustaka
Busroh, Abu Daud & Abubakar Busro. 1993. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Effendi, Taufiq. 2008. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada Seminar
Pembangunan Sumber Daya Manusia Aparatur Negara. Makalah.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Erwin, Muhamad, 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Bandung: Refika Aditama.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Setio Budi. 1997. Jurnal Perencanaan Pembangunan. Nomor 17 Oktober.
278
Sugiyono. 2006. Metode
Bandung: Alfabeta.
Penelitian
Kuantitatif,
Kualitatif
dan
R&D.
Sumarsono, dkk. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
2015. Sosialisasi Gerakan Revolusi Mental. Jakarta: Kementerian Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Subagyo, Agus, 2015. Makalah FGD: Penanaman nilai-nilai revolusi mental bagi
generasi muda khususnya calon mahasiswa untuk membentuk generasi
muda yang berwawasan kebangsaan dan berkesadaran bela negara.
U
revolusimental.go.id
12TU
http://nasional.sindonews.com
U12T
pemerintah.net/uu-asn-aparatur-sipil-negara
12TU
http://www.rayakultura.net/pendidikan-dalam-strategi-kebudayaan
U 12T
279
MEMAHAMI FALSAFAH PENDIDIKAN TIONGKOK KUNO
MENGENAI AJARAN SĀN ZÌ JĪNG (三 字 经) DAN DÌ ZĬ GUĪ (弟 子 規)
BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERT I PADA ANAK USIA DINI
SEBAGAI BASIS PEMBENTUKAN KARAKTER
DALAM RANGKA REVOLUSI MENTAL BANGSA
12T
Yuriani
STAB Negeri Sriwijaya
[email protected]
12T
Abstract
Indonesian moral crisis demonstrated by various phenomena of crime,
disorder and disaster. It is a fact that requires mental revolution movement.
Mental revolution refers to the process of change in thinking, social interaction,
emotional intelligence as well as the cultivation of the noble values of life in a
whole. The starting point for mental revolutionize society and Indonesian nation
is on the roles and responsibilities of education that leads to moral education as
the basis of character formation. Referring to the educational philosophy of
Ancient Chinese are known for teaching San Zi Jing (三 字 经) and Di Zi Gui (弟
子 規) that must be taught as a moral education for early childhood and in its
development as a basis of curriculum schools in Taiwan, Singapore and Malaysia
.The discussion in this article is intended to provide an understanding of the
philosophy of ancient China regarding to the teaching San Zi Jing (三 字 经) and
Di Zi Gui (弟 子 規). This understanding provides the foundation for its
application on moral education in early childhood as the basis of character
formation in the framework of the nation mental revolution.
Keywords: mental revolution, the formation of character, character education,
teaching San Zi Jing (三 字 经) and Di Zi Gui (弟 子 規)
Pendahuluan
16T
Tuntutan adanya revolusi mental menggambarkan bahwa kondisi mental
16T
bangsa yang terjadi sekarang ini sudah sangat buruk. Krisis moral yang menunjuk
pada fenomena banyaknya kejahatan, kekacauan dan bencana sekarang ini terjadi,
melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Revolusi mental membidik upaya transformasi etos, yaitu perubahan
mendasar dalam mentalitas yang meliputi: cara berpikir, cara merasa, cara
mempercayai yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Oleh karenanya, revolusi mental mengacu pada proses perubahan daya pikir,
interaksi sosial, emosional intelegensi serta penanaman karakter nilai luhur
281
budaya bangsa secara cepat dan menyeluruh. Titik awal untuk merevolusi mental
masyarakat dan bangsa Indonesia adalah pada dunia pendidikan.
Pendidikan menjadi fokus untuk memulai revolusi mental ini. Pendidikan
diarahkan pada pembentukan etos warganegara ( citizenship ). Proses pedagogis
7T
7T
membuat etos warganegara ini tumbuh, berkembang dan terwujud dalam tindakan
sehari-hari. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif ( discursive
7T
knowlegde ) ke pengetahuan praktis ( practical knowledge ). Artinya, membentuk
7T
7T
7T
etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi membuat teoriteori tersebut berpengaruh terhadap tindakan sehari-hari.
Pendidikan diarahkan pada transformasi yang dimulai dari pembiasaan
sampai merujuk pada upaya pembentukan karakter (character building).
Pendidikan karakter memuat nilai-nilai luhur, interaksi sosial, kreativitas, daya
juang, melakukan percobaan, inovasi dan melahirkan penemuan-penemuan
merupakan dasar revolusi mental sebuah generasi baru. Pendidikan berbasis
karakter, bukan sekedar melatih anak untuk berpikir nalar atau menghafal, tapi
memasukkan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan budi pekerti menjadi hal yang sangat efektif bila dimulai pada
anak usia dini, karena perlakuan pendidikan pada usia ini memiliki dasar yang
fundamental bagi peletakkan dasar perkembangan perilaku baik anak di masa
mendatang. Pembangunan karakter melalui pendidikan budi pekerti pada anak
usia dini sangat menentukan karakter bangsa ke masa depan.
Mengacu pada satu Hadist dalam agama Islam yang berbunyi “Tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Tiongkok,” mengisyaratkan adanya suatu hal yang dapat
dijadikan panutan dan ketauladanan dari negeri Tiongkok. Di Tiongkok,
pendidikan mendapat peranan yang penting sekali dalam penghidupan
masyarakatnya. Pentingnya pendidikan di dalam kehidupan masyarakat Tiongkok
melahirkan pandangan filofis orang Tionghoa mengenai pendidikan yang berhasil
menjaga kekuasaan bangsa Tiongkok dalam sampai saat ini. Masyarakat
Tiongkok yang menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi
alat bagi filsafat yang mengutamakan etika. Paham Konfucianis menjadi pedoman
dalam
282
pendidikan
yang kemudian
berimplementasi
dalam
penghidupan
masyarakat Tiongkok. Adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa
popularitas paham Konfucianis masih bertahan dan bahkan memberi pengaruh
pada perabadan dunia sampai saat ini.
Dalam falsafah pendidikan Tiongkok Kuno dikenal ajaran sān zì jīng (三 字
15T
经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) yang wajib diajarkan sebagai pendidikan dasar anak15T
17T
anak Tionghoa sejak jaman dahulu hingga abad ini. Sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì
17T
15T
15T
zĭ guī (弟 子 規) diajarkan sebelum anak-anak bisa membaca dan menulis, dalam
17T
bentuk hapalan pantun ataupun nyanyian. Sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟
17T
15T
15T
子 規) merangkum dasar-dasar budaya, pengetahuan umum, pendidikan dan
17 T
sejarah.
17T
Pada medio tahun 1980 sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規)
17T
15T
15T
1 7T
dijadikan dasar kurikulum persekolahan di Taiwan, Singapura dan Malaysia. Di
Indonesia, ajaran sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì zĭ guī (弟 子 規) telah diterapkan
17T
17T
15T
15T
sekolah yang berbasis pendidikan terpadu, sekolah berbasis trilingual (Indonesia,
Inggris dan Mandarin), sekolah berbasis agama Buddha dan sekolah berbasis
agama Konghucu.
Pemahaman falsafah Tiongkok kuno mengenai ajaran sān zì jīng (三 字 经)
15T
15T
dan dì zĭ guī (弟 子 規) menjadi penting bagi pendidikan budi pekerti pada anak
17T
1 5 T17T
usia dini sebagai basis pembentukan karakter dan revolusi mental bangsa. Hal ini
dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran sebagai manusia seutuhnya yang
menjunjung tinggi moralitas dan mengerti hukum sebab akibat yang akhirnya
berwujud dalam perilaku luhur sebagai individu dan warganegara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
15T
Permasalahan dalam kajian ini adalah (a) b agaimana falsafah pendidikan
15T
Tiongkok kuno mengenai ajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規),
15T
15T
(b) bagaimana metode pembelajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子
15T
15T
規) diterapkan bagi pendidikan budi pekerti pada anak usia dini, (c) bagaimana
implikasi pembelajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) pada
15T
15T
283
pendidikan budi pekerti pada anak usia dini sebagai basis membentuk karakter
positif anak dalam rangka revolusi mental bangsa?
Penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman
mengenai falsafah pendidikan Tiongkok kuno berkenaan dengan ajaran sān zì jīng
15T
(三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規). Pemahaman ini memberikan landasan bagi
15T
penerapannya pada pendidikan budi pekerti pada anak usia dini untuk membentuk
karakter positif anak dalam rangka revolusi mental bangsa.
Revolusi Mental
Istilah ‘Revolusi Mental’ telah banyak dipakai dalam sejarah filsafat dan
politik baik di peradaban Barat maupun Timur. Dengan mendefinisikan ‘mental’
sebagai ‘segala sesuatu yang berkaitan dengan cara berpikir’, revolusi mental
dapat diartikan secara umum sebagai suatu perubahan besar terhadap pemikiranpemikiran dasar manusia yang terjadi dengan cepat.
Revolusi mental menunjuk pada keadaan kejiwaaan, roh, spiritual dan nilainilai (vested interest) yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
sebuah ruang lingkup kecil atau bahkan dalam sebuah Negara. (Indra K. Muhtadi
2015: 3)
Hakikat dasar revolusi mental adalah “mengembangkan nilai-nilai luhur
kehidupan.” (Paulus Wirutomo, Kompas: Edisi Rabu (29 April 2015). Nilainilai luhur kehidupan dikembangkan menuju pada transformasi etos, yaitu
perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara
mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan
sehari-hari.
Pembentukan Karakter
Pembentukan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai luhur karakter
yang menyentakan kesadaran berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan kemauan
serta tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut (Akhmad Sudrajat, 2010:
17). Pembentukan karakter merupakan alternatif jawaban mutlak untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik di dalam masyarakat. Muatan nilai-nilai
luhur perilaku manusia dalam pembentukan karakter berhubungan dengan diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
284
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama,budaya dan adat istiadat yang berlaku.
Titik awal untuk merevolusi mental masyarakat Indonesia ada pada
pembentukan karakter pada anak usia dini. (Basilius, dalam Indra K. Muhtadi
2015:2). Sorotan pada anak usia dini karena rentang waktu ini merupakan masa
peka untuk meletakkan dasar pendidikan budi pekerti dalam mengembangkan
karakter positif anak.
Pendidikan Budi Pekerti
Upaya revolusi mental merujuk pada peran dan tanggung jawab pendidikan
yang mengarah pada pendidikan budi pekerti. (Aflian Salim, Harian Bisnis
Indonesia, Edisi 8 September 2015). Pendidikan budi pekerti memberi pandangan
dan penanaman berbagai nilai-nilai luhur kehidupan, seperti: sopan santun,
kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, budaya malu dan taat hukum.
Semua ini bertujuan untuk membentuk karakter yang perlu dikembangkan dan
dibina sejak anak usia dini.
Pendidikan budi pekerti dapat mengacu pada falsafah pendidikan Tiongkok
Kuno yang telah diakui dan dijadikan panutan bagi bangsa lain di dunia ini.
Muhammad Said dan Junimar Affan (1987: 119) dalam bukunya yang berjudul
“Mendidik Dari Zaman ke Zaman” dikatakan bahwa Negeri Tiongkok,
menempatkan pendidikan sebagai hal yang penting sekali dalam penghidupan
masyarakat. Dengan mendapatkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, membuat sistem pendidikan di Tiongkok sangat berkembang dan
maju serta berfungsi dalam menjaga kewibawaan dan kekuasaan Tiongkok
sampai saat ini.
Falsafah pendidikan Tiongkok Kuno mengenai budi pekerti dilandasi ajaran
sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) (Li, yi'an / 李逸 安, 2009: 22):
1) Sān zì jīng (三 字 经)
15T
15T
Sān zì jīng (三 字 经) adalah sebuah kitab yang berisikan ajaran luhur yang
15T
15T
sudah berumur ratusan tahun. Dalam bahasa Inggris, disebut dengan “Three
285
Character Scripture.” Ditulis abad ke-13 C.E. pada jaman dinasti Sòng宋
17T
(960 - 1279 C.E) oleh Ou Shi Zi 區適子(1234–1324 CE). Seiring dengan
berlalunya waktu, isi sān zì Jīng ditambah dan direvisi, terutama di bagian
sejarah oleh Wang Ying Lin / 王 應 麟 (1223-1296 C.E).
17T
Sān zì jīng (三 字 经) terdiri dari 5 bagian. Bagian pertama menyatakan
15T
15T 17T
kepercayaan dasar akan kebaikan umat manusia, pentingnya pendidikan,
bakti terhadap orang tua, hubungan keluarga, hubungan sosial, dan
pengetahuan umum. Bagian kedua adalah pengetahuan mengenai karya
17T
17T
klasik Confusius dan para filsuf serta pedoman mempelajarinya. Bagian
17 T
17T
ketiga berisikan rangkuman sejarah, buku-buku sejarah dan bagaimana
belajar dari sejarah. Bagian keempat adalah contoh-contoh keteladanan
1 7T
17T
orang-orang jaman dahulu dalam hal rendah hati, ketekunan dan tekad belajar
baik itu orang tua, anak kecil, lelaki maupun perempuan. Bagian kelima
berisikan seruan untuk belajar; dan bagian penutup.
Syair sān zì jīng (三 字 经) dibagi menjadi 44 unit dengan 4 bait per-unit.
15T
15T
Setiap unit berisi bagian: teks, kosakata, uraian teks, pertanyaan diskusi,
cerita, menulis dan pemahaman. Sān zì jīng (三 字 经) mengandung sekitar
15T
15T
300 karakter (huruf) Mandarin.
Untuk memberikan gambaran mengenai isi sān zì jīng (三 字 经) dikutip
15T
beberapa syair berikut ini yang menjelaskan hakikat dasar manusia dan
pentingnya belajar pada manusia:
rén zhī chū
xìng běn shàn xìng xiāng jìn
xí xiāng yuǎn
人 之 初,
性 本 善。 性 相 近 ,
习 相 远。
Pada dasarnya sejak lahir nurani semua manusia itu baik dan sama adanya,
namun seiring dengan waktu, kebiasaan, lingkungan dan pendidikan yang
diterima membuat nurani masing-masing manusia menjadi berbeda.
6T
gǒu bú jiào
xìng nǎi qiān jiào zhī dào guì yǐ zhuān
苟 不 教,
性 乃 迁。 教 之 道 , 贵 以 专。
Jikalau nurani dasar manusia yang baik itu tidak dididik dengan baik, maka
seiring dengan waktu, akan terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik dan
menjadi buruk. Cara mendidik yang benar adalah dengan disiplin, serius,
konsisten, terkonsentrasi dan tegas.
6T
286
xī mèng mǔ zé lín chǔ zǐ bù xué
duàn jī zhù
昔 孟 母 , 择 邻 处。
子 不 学 , 断 机 杼。
Dahulu ibunda Mèngzǐ, berpindah-pindah untuk mencari tempat tinggal yang
sesuai (bagi pendidikan anaknya); Ketika anaknya tidak mau belajar, dia
mengunting kain tenunannya.
6T
dòu yān shān
yǒu yì fāng jiào wǔ zǐ
míng jù yáng
窦 燕 山,
有 义 方。 教 五 子 , 名 俱 扬。
Dòu Yānshān mempunyai cara yang benar untuk mendidik anaknya; Ia
mendidik 5 orang anaknya dan semuanya kemudian berhasil dan sukses
dalam kehidupan.
6T
yǎng bú jiào
fù zhī guò jiào bù yán
shī zhī duò
养 不 教,
父 之 过。 教 不 严 , 师 之 惰。
Membesarkan anak tanpa mendidiknya dengan benar adalah kesalahan orang
tua; Mengajar tanpa displin/tidak tegas adalah kemalasan guru.
6T
zǐ bù xué
fēi suǒ yí yòu bù xué lǎo hé wéi
子 不 学,
非 所 宜。 幼 不 学 , 老 何 为。
Seorang anak yang tidak belajar adalah hal yang tidak pantas; Jika tidak
belajar saat muda, apa yang hendak diperbuat kala tua/dewasa ?
6T
yù bù zhuó
bù chéng qì rén bù xué
bù zhī yì
玉 不 琢 , 不 成 器。
人 不 学, 不 知 义
Giok yang tidak diasah tidak akan berguna; Orang yang tidak belajar tidak
akan mengenal kebenaran.
6T
wèi rén zǐ
fāng shào shí qīn shī yǒu
xí lǐ yí
为 人 子,
方 少 时。 亲 师 友 , 习 礼 仪。
Sebagai anak manusia, sejak dari usia dini seharusnya belajar dari
berhubungan dekat dengan guru yang tepat dan teman yang benar. Dari
mereka pelajari norma-norma kehidupan dan praktekkan tata susila.
6T
Dalam perkembangannya, sān zì jīng (三 字 经) dijadikan adalah standar
15T
15T
kurikulum sekolah di Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Singapore. Saat ini di
Indonesia sān zì jīng (三 字 经)
15T
1 5T
dijadikan sumber bagi penyusunan
kurikulum pendidikan budi pekerti pada sekolah berbasis terpadu, sekolah
berbasis trilingual, sekolah berbasis agama Buddha dan sekolah berbasis
agama Konghucu.
Pada tahun 1980, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengakui bahwa sān zì jīng (三 字 经) merupakan buku panduan ajar budi
15T
15T
pekerti tingkat Internasional.
287
2) Dì zĭ guī ( 弟 子 規 )
Dì zĭ guī (弟 子 規) berawal dari buku berjudul “Xün Meng Wen
( 训蒙文 /Naskah Pencerah Batin)” karya Li Yü Xiu dari Dinasti Qing . Buku
1 5T
15T
12T
1 2T
tersebut mengutip makna ayat dari buku berjudul “ Lun Yü ” yang
12T
12T
membahasa inti ajaran Confusianis , Bab IV tentang “pelajaran”). Seorang
12T
12T
cendekiawan bernama Jia Chun Ren dari Dinasti Qing menyusun ulang “Xün
12T
12T
Meng Wen ( 训 蒙文) ke dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah
1 5T
15T
dimengerti, yang kemudian diberi judul “dì zĭ guī ( 弟 子 規 )” ( Feng Xin
P
P13T
Ming, 2013:9)
Pada zaman Tiongkok kuno, buku ini adalah sebuah buku pegangan yang
harus diajarkan oleh semua orangtua dan guru kepada anak atau muridnya.
Semua anak atau murid bukan hanya mempelajarinya saja, tetapi semua
arahan buku ini harus diterapkan dan benar-benar melekat pada diri anak,
sehingga pada zaman Tiongkok kuno banyak menumbuhkan orang berbudi
dan bersusila yang terkenal di dunia sampai saat ini
Secara garis besarnya, ajaran dì zĭ guī (弟 子 規 ), mencakup:
1) Pendahuluan:
子 规 - 总 叙/dì zǐ guī - zǒng xù (berkumpul untuk membacakan dì zǐ
guī)
2) Bab I: Bakti
入 则 孝/Rù zé xiào (berbakti pada orangtua)
3) Bab II: Hubungan saudara sedarah
出 则 弟/ chū zé tì (persaudaraan dan persahabatan di luar rumah)
4) Bab III: Kewaspadaan
谨/ jǐn (kewaspadaan diri)
5) Bab IV: Bisa diandalkan
信/ xìn (kepercayaan/ bisa dipercaya)
6) Bab V: Cinta sesama
泛 爱 众/ fàn ài zhòng (cinta kasih terhadap sesama)
7) Bab VI: Belajar dari orang bijak
亲 仁/ qīn rén (Mendekati orang bijak)
8) Bab VII: Bila kewajiban utama telah dilaksanakan dengan baik, barulah
belajar ilmu
288
余 力 学 文/ yú lì xué wén (Belajar keahlian jika mampu)
9) Penutup: 弟子规终/ dì zǐ guī zhōng (Pedoman menjadi murid dan anak
yang baik selesai)
Pentingnya pendidikan budi pekerti diberikan pada anak usia ini,
ditegaskan dalam filosofi berikut ini
由 于 小 女 孩 和 未 受 污 染 的 性 质,因 此 很 容 易 受 到 赠 言;它
会 直 接 附 加 到 大 脑,到 成 年 不 易 改 变; 因 此,善 良自
信,必 须 从 小 加 以 培 养。 当 孩 子 小 的 时 候,父 母 要 教 育他
们 的 直 接 读 取 和 圣 人 /古 代 智 慧 教 学 智 慧 和 决 心 打 造 精
神 的 经 典 作 品 背 诵 诗 歌。此 外,家 长 应 教 导 因 果 关 系,这
是 做 好 事 也 将 奖 励 良 好 的 法 律,真 践 诚 信 执着 于 道
德。 如 果 从 小 没 有 受 过 训 练,那 么 作 为 成 年 人, 已 经 连
接 不 良 的 生 活 习 惯,这 是 不 可 能 不 可 逆 的,就 像 俗 话 说
“ 早一粥一饭 ” 。
14T
14T
5T
5T
5T
5T
( Yóuyú xiǎo nǚhái hé wèi shòu wūrǎn dì xìngzhì, yīncǐ hěn róngyì
shòudào zèngyán; tā huì zhíjiē fùjiā dào dànǎo, dào chéngnián bùyì
gǎibiàn; yīncǐ, shànliáng, zìxìn, bìxū cóngxiǎo jiāyǐ péiyǎng.Dāng háizi
xiǎo de shíhòu, fùmǔ yào jiàoyù tāmen de zhíjiē dòu qǔ hé
shèngrén/gǔdài zhìhuì jiàoxué zhìhuì hé juéxīn dǎzào jīngshén de
jīngdiǎn zuòpǐn bèisòng shīgē. cǐwài, jiāzhǎng yīng jiàodǎo yīnguǒ
guānxì, zhè shì zuò hǎoshì yě jiāng jiǎnglì liánghǎo de fǎlǜ, zhēn jiàn
chéngxìn zhízhuó yú dàodé.Rúguǒ cóngxiǎo méiyǒu shòuguò xùnliàn,
nàme zuòwéi chéngnián rén, yǐjīng liánjiē bùliáng de shēnghuó xíguàn,
zhè shì bù kěnéng bùkěnì de, jiù xiàng súhuà shuō “zǎo yī zhōu yī fàn”).
14T
14T
“Saat anak kecil dan belum tercemar sifatnya, sangat mudah menerima
kata-kata nasihat; dan itu akan langsung melekat di otaknya, sampai
dewasa tidak mudah berubah; oleh karena itu, kebaikan hati, keyakinan
diri harus dipupuk sejak kecil. Saat anak masih kecil, para orang tua
harus segera mendidik mereka membaca dan menghafal syair-syair
klasik hasil karya orang-orang suci/bijaksana kuno yang bersifat
mendidik untuk membangun kebijaksanaan dan keteguhan mental.
Terlebih lagi, orangtua harus mengajarkan hukum sebab akibat, yaitu
berbuat yang baik akan mendapat balasan yang baik pula, benar-benar
mempraktikan kejujuran dan berpegang teguh pada moralitas. Bila tidak
dididik sejak kecil, maka setelah dewasa, kebiasaan buruk sudah melekat,
sudah tidak mungkin diubah lagi, ibarat kata pepatah “Nasi Sudah
Menjadi Bubur” (Lun Yu I. 6. (6) dalam Waley, Arthur, 1983: 6).
289
Hipotesis
Pemahaman falsafah pendidikan Tiongkok Kuno mengenai sān zì jīng (三
字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) pada pendidikan anak usia dini dapat dijadikan
basis pembentukan karakter dalam rangka revolusi mental bangsa.
Metode Kajian
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu
dengan menggambarkan secara kualitatif fakta, data atau objek material yang
bukan berupa ungkapan bahasa atau wacana (apapun itu bentuknya) melalui
interpretasi yang rinci, tepat dan sistematis.
Hasil Kajian dan Pembahasan
Falsafah Tiongkok Kuno memandang bahwa meniadakan pendidikan budi
pekerti dan moralitas, adalah sumber terjadinya segala kejahatan dan bencana
alam, gejala kehancuran suatu negara. Kerakusan, kedendaman, kedunguan (tidak
bijakasana), kesombongan adalah sumber runtuhnya hati nurani. Untuk
membasmi kejahatan, hanya dapat ditempuh dengan jalan mengajarkan etika,
moralitas dan bakti sebagai fondasi sejak anak masih kecil.
17T
Ajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) sebagai falsafah
17T
15T
15T
pendidikan Tiongkok Kuno dapat diberikan sebelum anak-anak bisa membaca
17T
dan menulis. Di beberapa negara, seperti Tiongkok, Taiwan, Singapura dan
Malaysia, sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì zĭ guī (弟 子 規 ) diberikan sebelum anak
17T
15T
15T
mempelajari ilmu pengetahuan lain. Jadi perilaku bermoral, bersusila dan beretika
dimantapkan terlebih dahulu sebelum anak belajar bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang lainnya.
Sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) merangkum dasar-dasar
15T
15T
pendidikan, sejarah, budaya dan pengetahuan umum yang dijadikan standar bagi
perilaku, tata krama dan budi pekerti kehidupan sehari sehari. Sān zì jīng (三 字
15T
经) dan dì zĭ guī (弟 子 規) berisikan rangkaian syair-syair yang ditulis pada
15T
290
khisaran antara 1200 sampai dengan 1600 karakter Mandarin. Tiap bagian teks
syair diberikan penjelasan untuk memberikan kemudahan memahami maknanya.
Kemudian diberikan pertanyaan diskusi yang memandu anak untuk berpikir lebih
dalam tentang bacaan dan memperkuat pemahaman mereka terhadap tema dari
unit tersebut. Satu atau dua cerita yang relevan disajikan pada bagian cerita untuk
memperkenalkan latar belakang tokoh dan peristiwa sejarah tertentu, mendorong
pikiran kritis, dan menginternalisasi nilai-nilai pendidikan moral. Bagian menulis
dan pemahaman berupa pertanyaan yang memandu anak untuk mengungkapkan
pemikiran atau opini secara tertulis. Dengan demikian secara garis besarnya,
ajaran sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ guī (弟 子 規), disampaikan dengan: (1)
15T
15T
penghapalan sebagai lagu dan puisi sambil bermain; (2) penyalinan sebagai sarana
belajar bahasa; dan (3) cerita sebagai penanaman moralitas dan budi pekerti.
Pendidikan budi pekerti menjadi fondasi bagi terinteralisasinya nilai-nilai
kemoralan dan keluhuran hidup sehingga terwujud dalam perilaku yang
senantiasa mengarah pada kebajikan. Pembiasaan dan adanya ketauladan yang
terus-menerus akan membentuk karakter baik, mulai dari individu, keluarga dan
membawa dampak bagi lingkungan sosial yang lebih besar, yaitu dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses inilah yang pada hakikatnya inti
dari revolusi mental bangsa.
Penutup: Kesimpulan dan Saran
Maraknya tindak kejahatan dan melawan aturan, norma dan hukum sebagai
fenomena degradasi moral yang dapat menghancurkan kehidupan bangsa dan
negara, menyentakan kesadaran akan pentingnya gerakan revolusi mental.
Revolusi mental pada prinsipnya membidik upaya pembentukan karakter melalui
pendidikan kemoralan/budi pekerti yang harus dimulai sejak anak usia dini.
Sebelum mempelajari ilmu pengetahuan, seorang anak haruslah terlebih
dahulu mendapatkan pendidikan kemoralan sebagai fondasi kuat agar dapat
memelihara perilaku luhur. Sudah ribuan tahun, sān zì jīng (三 字 经) dan dì zĭ
15T
15T
guī (弟 子 規) sebagai ajaran Tiongkok kuno adalah standar yang harus
diterapkan oleh seorang anak agar memiliki disiplin yang tinggi serta perilaku dan
291
moralitas yang baik. Ajaran sān zì jīng (三 字 经 ) dan dì zĭ guī (弟 子 規 ) dapat
15T
15T
1 5T
memberikan penyadaran anak akan hakikatnya sebagai manusia yang menjunjung
tinggi moralitas, mengerti hukum sebab akibat yang pada akhirnya berwujud
dalam perilaku luhur sebagai individu dan warganegara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Daftar Pustaka
_______________. A Short History of Chinese Philosophy. Fifth Printing.(1988).
New York: The Macmillan Company.
_______________. Dì zĭ guī (弟 子 規)- Standards for Being a Good Student/
Child with simple explanation (animated).
_______________. Guide to A Happy Life (幸 福 人 生 指 歸 )
_______________. Learn to Perform Our Fundamental Duties (學 習 做 人 的 根
本)
_______________. 2003. Sejarah Peradaban Cina: Analisis Filosofis Historis
dan Sosio Antropologis. Bandung: Humaniora
Aflian Salim. 2015. Revolusi Mental Lewat Pendidikan Keluarga. Harian Bisnis
Indonesia, Edisi 8 September 2015.
Akhmad Sudrajat. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta:
Kemendiknas
Chen, W.H. & Ren, Ch. H. 2004. Khong Hu Cu: Kehidupan Humanis Besar. Alih
Bahasa oleh Arvin Saputra. Editor oleh Lyndon Saputra. Batam: Lucky
Publishers.
Confucianism. Available
Confucianism.htm.
at:
(On
Line)
12 TU
http://staff.bcc.edu/philosophy/
U12TU
Fu, Ch. J. 2003. Gateway to Chinese Culture. Singapore: Asiapac Books. Fung,
Y.L
.
H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak. 1995. Dari Panggung
Peristiwa Sedjarah Dunia I: India Tiongkok dan Djepang Indonesia.
Jakarta: J.B. Wolters – Groningen
292
Hsiung, D.N., Crook, D. (Ed.) 1998. A Chinese-English Dictionary (Revised
Edition). Hàn Yīng Cí Diǎn (Xīu Dìng Bǎn Suō Yìn Běn). Beijing: Foreign
Language Teaching and Research Press.
Indra K. Muhtadi, 2015. Menggulirkan Revolusi Mental di Berbagai Bidang.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kusumohamidjojo, B. 2010. Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Leman. 2009. The Best of Chinese Life Philosophies. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Li, E. & Chan, Y. K. 2014. Chinese Literature: Menelusuri Perkembangan Sastra
Abadi China, Terj.: Clara. Jakarta: PT Elex Media Computindo. Kelompok
Gramedia.
Li, E., Wong, H.K., & Fu, Ch.J. 2013. Modern Chinese History: Sejarah China
Modern 1840-1949. Terj.: Irianto Kurniawan. Jakarta: Penerbit PT Elex
Media Komputindo.
Li, X.X. & Fu, Ch, J. 2001. Origins of Chinese People and Customs: Asal Mula
Budaya dan Bangsa Tionghoa. Alih Bahasa: Clara H.K. Jakarta: Penerbit
PT Elex Media Komputindo.
Li, Yi'an ( 李逸安 ), San zi jing, Bai jia xing, Qian zi wen, Di zi gui ( 三字经 ·
百家姓 · 千字文 · 弟子规), Beijing di 1 ban.(北京第1版), Beijing Shi :
Zhonghua Zhu Ju, 2009. (北京市 : 中华书局, 2009)
.
Lip, E. 1988. Notes on Things Chinese. Singapore: Graham Brash.
Manser, M. H. (Ed.)1999. Concise English-Chinese/Chinese-English Dictionary
(New Edition). Jīng xuǎn Yīng-Hàn/Hàn-Yīng Cídiǎn (Xīnbǎn).Beijing &
Hongkong: The Commercial Press & Oxford University Press.
Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik Dari Zaman ke Zaman.
Bandung: Jemmars.
16T
Paulus Wirutomo, “ Retorika Revolusi Mental”, Kompas: Edisi Rabu (29 April
2015) .
16T
7T
7T12T
12T
Raymond Dawson. 1999. Kong Hu Cu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Rochiati Wiriaatmadja. 2000. Diktat C Sejarah Asia Timur. Bandung: Jurusan
Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI.
293
Tang, M.C. 2014. Kisah-kisah Kebijaksanaan China Klasik: Inspirasi bagi Para
Pemimpin. Cetakan ke-9. (2000). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lau, D. C. 2009. Confucius: The Analects. Harmondsworth: Penguin Books.
_______________.2006 A Concordance to the Analects of Confucius/ 論語引得.
Harvard-Yenching Institute Sinological Index Series, Supplement 16.
Waley, Arthur. 1988. The Analects of Confucius. London: Allen and Unwin.
294
Download