BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi komplikasi (Chobanian dkk., 2004). Penderita hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 77,9 juta atau 1 dari 3 penduduk pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030 diperkirakan meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi tahun 2010. Data tahun 2007-2010 menunjukkan bahwa sebanyak 81,5% penderita hipertensi menyadari bahwa bahwa mereka menderita hipertensi, 74,9% menerima pengobatan dengan 52,5% pasien yang tekanan darahnya terkontrol (tekanan darah sistolik <140 mmHg dan diastolik <90 mmHg) dan 47,5% pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol. Persentase pria yang menderita hipertensi lebih tinggi dibanding wanita hingga usia 45 tahun dan sejak usia 45-64 tahun persentasenya sama, kemudian mulai dari 64 tahun ke atas, persentase wanita yang menderita hipertensi lebih tinggi dari pria (Go dkk., 2014). Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terbesar penyebab morbiditas dan mortalitas pada penyakit kardiovaskular (Kearney dkk., 2005). Sejak tahun 1999 hingga 2009, angka kematian akibat hipertensi meningkat 1 2 sebanyak 17,1% (Go dkk., 2014) dengan angka kematian akibat komplikasi hipertensi mencapai 9,4 juta per tahunnya (WHO, 2013). Penyakit hipertensi dapat mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan kematian jika tidak dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat (James dkk., 2014). Sekitar 69% pasien serangan jantung, 77% pasien stroke, dan 74% pasien congestive heart failure (CHF) menderita hipertensi dengan tekanan darah >140/90 mmHg (Go dkk., 2014). Hipertensi menyebabkan kematian pada 45% penderita penyakit jantung dan 51% kematian pada penderita penyakit stroke pada tahun 2008 (WHO, 2013). Selain itu, hipertensi juga menelan biaya yang tidak sedikit dengan biaya langsung dan tidak langsung yang dihabiskan pada tahun 2010 sebesar $46,4 milyar (Go dkk., 2014). Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013b). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 42,38% pria dan 57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012). Hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya pada rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan penyebab kematian tertinggi (Dinkes DIY, 2013). Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menempatkan D.I Yogyakarta sebagai urutan ketiga jumlah kasus hipertensi di Indonesia berdasarkan diagnosis 3 dan/atau riwayat minum obat. Hal ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dari hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2007, dimana D.I Yogyakarta menempati urutan kesepuluh dalam jumlah kasus hipertensi berdasarkan diagnosis dan/atau riwayat minum obat (Kemenkes RI, 2013b). Seiring dengan peningkatan kasus hipertensi dan komplikasi yang dapat terjadi jika hipertensi tidak ditangani dengan tepat, maka penggunaan obat yang rasional pada pasien hipertensi merupakan salah satu elemen penting dalam tercapainya kualitas kesehatan serta perawatan medis bagi pasien sesuai standar yang diharapkan. Penggunaan obat secara tidak rasional dapat menyebabkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, memperparah penyakit, hingga kematian. Selain itu biaya yang dikeluarkan menjadi sangat tinggi (WHO, 2004). Pertimbangan di atas tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap rasionalitas penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi. Penelitian dilakukan pada pasien rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa adanya peningkatan jumlah kasus hipertensi pada tahun 2013 dibanding dengan tahun 2012. Pada tahun 2013, hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit penyebab rawat inap terbesar di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan menempati urutan ketiga penyebab rawat inap pada penyakit tidak menular. Hal ini berbeda dari tahun 2012, dimana hipertensi tidak termasuk dalam 10 penyakit penyebab rawat inap terbesar di rumah sakit tersebut. Pertimbangan lainnya bahwa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah merupakan rumah sakit swasta tipe B (Madya) di Yogyakarta. 4 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 berdasarkan usia, jenis kelamin, riwayat penyakit hipertensi, diagnosis penyakit lain dan penyulit, serta tingkat tekanan darah? 2. Bagaimana pola penggunaan obat pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013? 3. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat antihipertensi yang meliputi ketepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 berdasarkan standar terapi utama JNC 7? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 berdasarkan usia, jenis kelamin, riwayat penyakit hipertensi, diagnosis penyakit lain dan penyulit, serta tingkat tekanan darah. 2. Mengetahui pola penggunaan obat pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013. 3. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat antihipertensi yang meliputi ketepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 berdasarkan standar terapi utama JNC 7. 5 D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumber informasi tentang penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi. 2. Sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan pengobatan rumah sakit. 3. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti. E. Tinjauan Pustaka 1. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg (Depkes RI, 2006) kecuali bila tekanan darah sistolik ≥210 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Setiawati dan Bustani, 1995). Klasifikasi tekanan darah oleh Chobanian dkk. (2004) untuk pasien dewasa (usia ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis dapat dilihat pada tabel I. Tabel I. Klasifikasi Hipertensi (Chobanian dkk., 2004) Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik (mmHg) (mmHg) Normal <120 dan <80 Prehipertensi 120-139 atau 80-89 Hipertensi tingkat 1 140-159 atau 90-99 Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100 Pasien yang menderita hipertensi, kemungkinan besar juga dapat mengalami krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu kelainan klinis 6 ditandai dengan tekanan darah yang sangat tinggi yaitu tekanan sistolik >180 mmHg atau tekanan distolik >120 mmHg yang kemungkinan dapat menimbulkan atau tanda telah terjadi kerusakan organ. Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi yaitu tekanan darah meningkat ekstrim disertai kerusakan organ akut yang progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi yaitu tingginya tekanan darah tanpa adanya kerusakan organ yang progresif sehingga tekanan darah diturunkan dalam waktu beberapa jam hingga hari pada nilai tekanan darah tingkat I (Depkes RI, 2006). 2. Etiologi Hipertensi Hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer atau esensial dan hipertensi sekunder. a. Hipertensi primer Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial (primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan hipertensi esensial (Weber dkk., 2014). Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat (Weber dkk., 2014) serta konsumsi 7 alkohol dan merokok (Mansjoer dkk., 1999). Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan dapat memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan, merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi (Robbins dkk., 2007). b. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk., 2014). Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi. Penghentian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006). Beberapa penyebab hipertensi sekunder dapat dilihat pada tabel II. Tabel II. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes RI, 2006) Penyakit Obat Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH Hiperaldosteronisme primer Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar Penyakit renovaskular estrogen tinggi) Sindroma cushing NSAID, cox-2 inhibitor Phaeochromocytoma Fenilpropanolamin dan analog Koarktasi aorta Siklosforin dan takromilus Penyakit tiroid atau paratiroid Eritropoietin Sibutramin Antidepresan (terutama venlafaxine) 8 3. Gejala Klinis Hipertensi Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada, palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013). 4. Patofisiologi Hipertensi Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh interaksi berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer total (Robbins dkk., 2007). Curah jantung merupakan faktor yang menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer total menentukan nilai tekanan darah diastolik. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan resistensi perifer total (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal dapat dilihat pada gambar 1. 9 Gambar 1. Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal (Saseen dan Maclaughlin, 2008) Renin yang dihasilkan oleh sel justaglomerulus ginjal mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin-1, kemudian angiotensin-1 diubah menjadi angiotensin-2 oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin-2 dapat berikatan dengan reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) atau reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat meningkatkan tekanan darah melalui efek pressor dan volume darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Efek pressor angiotensin-2 meliputi vasokonstriksi, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Selain itu, angiotensin-2 menstimulasi sintetis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium dan air. Retensi natrium dan air ini mengakibatkan kenaikan volume darah, kenaikan resistensi perifer total, dan akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009). 10 Tekanan darah juga diregulasi oleh sistem saraf adrenergik yang dapat menyebabkan terjadinya kontraksi dan relaksasi pembuluh darah. Stimulasi reseptor α-2 pada sistem saraf simpatik menyebabkan penurunan kerja saraf simpatik yang dapat menurunkan tekanan darah. Stimulasi reseptor α-1 pada perifer menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang dapat meningkatkan tekanan darah. Stimulasi reseptor β-1 pada jantung menyebabkan kenaikan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan stimulasi reseptor β-2 pada arteri dan vena menyebabkan terjadinya vasodilatasi (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009). 5. Komplikasi Hipertensi Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi. Apabila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular, maka terdapat peningkatan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskular tersebut. Pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Dosh, 2001). 11 6. Terapi Hipertensi Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan <130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian dkk., 2004). Terapi hipertensi meliputi : a. Terapi non farmakologis Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan dengan menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9; mengadopsi pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi konsumsi garam yaitu tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik dengan teratur seperti jalan kaki 30 menit/hari; serta membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari pada pria dan 1 kali/hari pada wanita (Chobanian dkk., 2004). Selain itu, pasien juga disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok (Weber dkk., 2014). Modifikasi pola hidup dapat menurunkan tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi, dan mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian dkk., 2004). 12 b. Terapi farmakologis Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi tergantung pada tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyulit. Obat-obat antihipertensi seperti diuretik, beta blocker (BB), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), angiotensin receptor blocker (ARB), dan calcium channel blocker (CCB) merupakan agen primer yang dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Obat-obat antihipertensi seperti α-1 blocker, α-2 agonis central, dan vasodilator merupakan alternatif yang digunakan penderita setelah mendapatkan obat pilihan pertama (Chobanian dkk., 2004). Jenis obat yang sering digunakan dalam terapi hipertensi : i. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara langsung angiotensin converting enzyme (ACE) dan menghalangi konversi angiotensin-1 menjadi angiotensin-2. Aksi ini mengurangi angiotensin-2 yang dapat menimbulkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron. Adanya mengakibatkan jalur lain yang menghasilkan ACEI tidak menghalangi angiotensin-2 secara penuh produksi angiotensin-2 sehingga ACEI tidak menyebabkan efek pada metabolisme. Bradikinin terakumulasi pada sebagian pasien karena penghambatan ACE mencegah kerusakan dan inaktivasi bradikinin. Bradikinin dapat mengakibatkan vasodilatasi dengan mengeluarkan nitro oksida, tetapi bradikinin juga dapat menimbulkan terjadinya batuk. Contoh obat golongan ACEI adalah kaptopril, enalapril, dan lisinopril (Saseen, 2009). 13 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) harus dihindari pada pasien dengan arteri stenosis ginjal karena beresiko menimbulkan gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga dikontraindikasikan pada pasien angioedema dan wanita hamil (Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Efek samping ACEI yang paling sering yaitu batuk kering, ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes (Barranger dkk., 2006). ii. Angiotensin receptor blocker (ARB) Angiotensin-2 dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim yaitu RAAS (renin angiotensin aldosterone system) yang melibatkan ACE dan jalur alternatif yang menggunakan enzim kimase (Carter dkk., 2003). Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) hanya menghambat efek angiotensin yang dihasilkan melalui RAAS, sedangkan ARB menghambat angiotensin-2 dari semua jalur. Angiotensin receptor blocker (ARB) menghambat secara langsung reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensin-2 yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi saraf simpatik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari glomerulus. Angiotensin receptor blocker (ARB) tidak memblok reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Hal ini menyebabkan efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB (Depkes RI, 2006). Contoh ARB yaitu valsartan, kandesartan, irbesartan, dan losartan (Chobanian dkk., 2004). 14 Penggunaan ARB biasanya dapat ditoleransi dengan baik, karena tidak menyebabkan batuk dan jarang menyebabkan angioedema (Weber dkk., 2014). Angiotensin receptor blocker (ARB) harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan kerusakan hati dan ginjal serta dikontraindikasikan pada kehamilan. Efek samping ARB meliputi pusing, kelelahan, diare, rasa sakit, dan infeksi (Barranger dkk., 2006). iii. Diuretik Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan mengosongkan simpanan natrium dalam tubuh. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan curah jantung, tetapi setelah 6-8 minggu maka curah jantung kembali normal sedangkan resistensi vaskular menurun. Natrium diperkirakan berperan dalam resistensi vaskular dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivasi saraf. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium intraselular (Benowitz, 2009). Empat subkelas diuretik yang digunakan untuk mengobati hipertensi yaitu tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik terutama golongan tiazid merupakan lini pertama pada pasien hipertensi. Diuretik penahan kalium memiliki efek yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Antagonis aldosteron memiliki efek yang lebih poten dengan mula kerja yang lambat (Depkes RI, 2006). 15 Contoh diuretik tiazid yaitu hidroklorotiazid, klortalidon, dan indapamid. Diuretik loop yaitu bumetanid, torsemid, dan furosemid. Diuretik penahan kalium yaitu amilorid dan triamteren. Antagonis aldosteron yaitu eplerenon dan spironolakton (Chobanian dkk., 2004). Diuretik khususnya diuretik tiazid dikontraindikasikan pada hipersensitivitas terhadap tiazid atau sulfonilurea, anuria, kehamilan, hiponatremia, hiperurisemia simptomatik, gout, hipokalemia yang persisten, hiperkalsemia, penyakit Addison, gangguan hati berat, dan gangguan ginjal berat (kreatinin klirens <30 ml/menit) sedangkan golongan diuretik loop yaitu furosemid dikontraindikasikan pada hipersensitivitas terhadap diuretik loop atau sulfonilurea, gout, anuria, dan pasien koma hepatik akibat sirosis (NFKDOQI, 2004; Lacy dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan ACEI, ARB, NSAID, atau suplemen kalium. Antagonis aldosteron dapat menimbulkan hiperkalemia (Depkes RI, 2006). iv. Beta blocker (penyekat beta) Reseptor beta terdiri dari reseptor beta-1 dan reseptor beta-2. Reseptor beta-1 yang terdapat di jantung dan ginjal berfungsi dalam mengatur denyut jantung, pelepasan renin, dan kontraktilitas jantung. Reseptor beta-2 yang terdapat di paru-paru, hati, pankreas, dan otot polos arteri berfungsi dalam mengatur bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat 16 beta menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan mengurangi pelepasan renin dari ginjal (Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014). Penyekat beta yang berikatan dengan reseptor beta-1 bersifat kardioselektif karena tidak menghambat reseptor beta-2 dan tidak menstimulasi bronkokonstriksi. Obat-obat yang termasuk dalam penyekat beta-1 seperti metoprolol, betaksolol, atenolol, asebutolol, dan bisoprolol lebih aman pada pasien asma, penyakit paru-paru obstruksi kronis, dan penyakit vaskular. Pada dosis tinggi, penyekat beta selektif kehilangan kardioselektifitasnya (Barranger dkk., 2006). Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik (ISA). Asebutolol, karteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara agonis pada beta reseptor parsial (Depkes RI, 2006). Penyekat beta ISA dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang lebih lemah dari agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada pasien dengan denyut jantung yang lemah, maka penyekat beta ISA dapat meningkatkan denyut jantung. Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien dalam keadaan istirahat atau melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan takikardi, dimana pada pasien-pasien ini penyekat beta ISA dapat menurunkan denyut jantung karena adanya dominasi sifat penyekat beta (Saseen, 2009). Penyekat beta harus dihindari pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap BB, hipotensi, kehamilan, bradikardi, blok AV derajat 2 dan 3, edema paru-paru, syok kardiogenik, serta gagal jantung 17 dekompensasi kecuali pada penggunaan karvedilol, metoprolol extended release, dan bisoprolol (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; Lacy dkk., 2006). Efek samping paling sering dari penyekat beta adalah kelelahan, mengantuk, pusing, bronkospasme, mual, dan muntah (Barranger dkk., 2006). v. Calcium channel blocker (CCB) Calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah dengan menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel otot polos arteri. Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti amlodipin dan nifedipin yang bekerja mendilatasi arteri, serta nondihidropiridin seperti dilitiazem dan verapamil yang bekerja mendilatasi arteri dengan efek yang lebih lemah dari dihidropiridin, tetapi memiliki efek mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas. Generasi pertama CCB seperti verapamil dan dilitiazem dapat mempercepat progresifitas congestive heart failure pada pasien dengan kelainan fungsi jantung. Penggunaan CCB generasi pertama harus dihindari kecuali untuk terapi pada pasien angina, hipertensi, atau aritmia (Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014). Dilitiazem dan verapamil harus dihindari pada pasien dengan blok AV derajat 2 dan 3, gagal jantung kongesif karena disfungsi sitolik, hipotensi, bradikardi, dan arterial fibrilasi (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien hipertensi atau hipertensi emergensi karena menyebabkan tekanan darah diastolik tidak teratur dan takikardi (Barranger dkk., 2006). 18 Efek samping utama CCB yaitu menyebabkan edema perifer yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek samping ini dapat dikurangi dengan mengkombinasikan CCB bersama ACEI atau ARB. Calcium channel blocker (CCB) dihidropiridin menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan stroke. Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin tidak direkomendasikan pada pasien gagal jantung, tetapi lebih dipilih pada pasien dengan detak jantung yang cepat dan untuk mengontrol detak jantung pada pasien atrial fibrillation yang tidak dapat mentoleransi penyekat beta. Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin juga dapat mengurangi proteinuria. Calcium channel blocker (CCB) memiliki efek menurunkan tekanan darah yang besar ketika dikombinasi dengan ACEI atau ARB (Weber dkk., 2014). vi. Penyekat alfa-1 Penyekat alfa-1 bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah (ALLHAT, 2003) tanpa menyebabkan penurunan curah jantung dan takikardi (Cross, 2006). Contoh penyekat alfa-1 yaitu prazosin, doksazosin, dan terazosin (Chobanian dkk., 2004). Penyekat alfa-1 harus dihindari pada pasien dengan penyakit kardiovaskular karena dapat meningkatkan resiko kematian (Barranger dkk., 2006). Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa-1 adalah 19 fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan, palpitasi, dan sinkop 1-3 jam setelah dosis pertama. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut dengan pemberian terus menerus. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lanjut usia. Penyekat alfa melewati hambatan otak-darah dan dapat menyebabkan efek samping pada sistem saraf pusat seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi (Depkes RI, 2006). vii. Agonis alfa-2 sentral Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak, curah jantung, dan tahanan perifer (Barranger dkk., 2006). Penggunaan agonis alfa-2 sentral secara kronis menyebabkan retensi natrium dan air, terutama pada penggunaan metildopa. Klonidin dosis rendah dapat digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik. Metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah timbulnya efek antihipertensi yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan (Depkes RI, 2006). Penghentian penggunaan agonis alfa-2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin. Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, tetapi efek ini jarang terjadi. Metildopa harus dihentikan segera apabila terjadi kenaikan serum transaminase atau 20 alkalin fosfatase liver yang menetap (Oparil dkk., 2003). viii. Vasodilator arteri langsung Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin (Depkes RI, 2006). Vasodilator arteri langsung dapat menyebabkan retensi cairan dan takikardia sehingga penggunaannya harus dikombinasi dengan diuretik dan penyekat beta atau obat lainnya (klonidin, dilitiazem, atau verapamil) yang dapat mengurangi denyut jantung (Barranger dkk., 2006). Hidralazin dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan mitral valvular rhemautic heart disease. Minoksidil dikontraindikasikan pada pasien dengan pheochromocytoma, acute myocardial infraction, dan dissecting aortic aneurysm. Efek samping dari hidralazin yaitu terjadinya sindrom seperti lupus (dosis >300mg/hari), dermatitis, demam, dan neuropati perifer. Minoksidil dapat menyebabkan hirsutism (Barranger dkk., 2006). 21 Obat antihipertensi oral yang biasa digunakan menurut Chobanian dkk. (2004) dicantumkan pada tabel III. Tabel III. Obat antihipertensi oral (Chobanian dkk., 2004) Golongan obat Kisar dosis lazim Frekuensi Jenis obat antihipertensi (mg/hari) harian lazim ACEI Benazepril 10-40 1 ARB Diuretik tiazid Diuretik loop Diuretik penahan kalium Kaptopril 25-100 2 Enalapril 5-40 1-2 Fosinopril 10-40 1 Lisinopril 10-40 1 Moeksipril 7,5-30 1 Perindopril 4-8 1 Quinapril 10-80 1 Ramipril 2,5-20 1 Trandopril 1-4 1 Kandesartan 8-32 1 Eprosartan 400-800 1-2 Irbesartan 150-300 1 Losartan 25-100 1-2 Olmesartan 20-40 1 Telmisartan 20-80 1 Valsartan 80-320 1-2 Klorotiazid 125-500 1-2 Klortalidon 12,5-25 1 Hidroklorotiazid 12,5-50 1 Politiazid 2-4 1 Indapamid 1,25-2,5 1 Metolazon 0,5-5 1 Bumetanid 0,5-2 2 Furosemid 20-80 2 Torsemid 2,5-10 1 Amilorid 5-10 1-2 Triamteren 50-100 1-2 Antagonis reseptor aldosteron Eplerenon 50-100 1 Sprinolokton 25-50 1 BB Atenolol 25-100 1 Betaksolol 5-20 1 Bisoprolol 2,5-10 1 Metoprolol 50-100 1-2 22 Golongan obat antihipertensi BB BB dengan intrinsic symphatomimetic activity Tabel III. Lanjutan… Kisar dosis lazim Jenis obat (mg/hari) Metoprolol extended 50-100 release Nadolol 40-120 Frekuensi harian lazim 1 1 Propranolol Propranolol longacting Timolol 40-160 2 60-180 1 20-40 2 Asebutolol 200-800 2 Penbutolol 10-40 1 10-40 2 Kombinasi penyekat alfa dan beta Pindolol Karvedilol 12,5-50 2 Labetolol 200-800 2 CCB dihidropiridin Amlodipin 2,5-10 1 Felodipin 2,5-20 1 Isradipin Nikardipin sustained release Nifedipin long acting 2,5-10 2 60-120 2 30-60 1 10-40 1 180-420, 120-540 1 80-320 2 120-480 1-2 Verapamil 120-360 1 Doksazosin 1-16 1 Prazosin 2-20 2-3 Terazosin 1-20 1-2 Klonidin 0,1-0,8 2 Klonidin patch 0,1-0,3 1 kali/minggu Metildopa 250-1000 2 Reserpin 0,1-0,25 1 Guanfasin 0,5-2 1 Hidralazin 25-100 2 CCB nondihidropiridin Penyekat alfa-1 Agonis alfa-2 dan obat aksi sentral lainnya Vasodilatator arteri Nisoldipin Dilitiazem extended release Verapamil immediate release Verapamil long acting Minoksidil 2,5-80 1-2 Ket. ACEI : angiotensin converting enzyme, ARB : angiotensin receptor blocker, CCB : calcium channel blocker, BB : beta blocker 23 Algoritma terapi hipertensi dapat dilihat pada gambar 2. Modifikasi gaya hidup Tekanan darah belum sesuai target (<140/90 mmHg) (<130/80 mmHg untuk diabetes atau penyakit ginjal kronis) Pilihan obat Tanpa penyakit penyulit Hipertensi tingkat I (SBP 140-159 mmHg atau DBP 90-99 mmHg) Sebagian besar diuretik tiazid, dapat dipertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasi Hipertensi tingkat II (SBP ≥160 mmHg atau DBP ≥100 mmHg) Sebagian besar kombinasi dua obat (biasanya diuretik tiazid dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB) Dengan penyakit penyulit Obat-obatan untuk penyakit penyulit (lihat tabel IV) Obat antihipertensi lain (diuretik, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai kebutuhan Tekanan darah tidak sesuai target Optimalkan dosis atau berikan tambahan obat hingga target tekanan darah tercapai. Gambar 2. Algoritma terapi hipertensi (Chobanian dkk., 2004) The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) menyatakan obat antihipertensi pada kebanyakan pasien hipertensi sebaiknya 24 adalah diuretik tiazid. Rekomendasi ini terutama untuk pasien yang tanpa indikasi penyulit dengan hipertensi tingkat I, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan pula obat antihipertensi lain seperti beta blocker, ACEI, ARB, CCB, atau kombinasi. Pasien dengan hipertensi tingkat II sebaiknya memulai terapi dengan kombinasi dua obat antihipertensi dari golongan yang berbeda (Chobanian dkk., 2004). Penyakit penyulit pada hipertensi meliputi gagal jantung, pasca infark miokard, resiko penyakit koroner yang tinggi, diabetes, penyakit ginjal kronis, dan pencegahan stroke. Penatalaksanaan hipertensi untuk pasien dengan indikasi penyakit penyulit membutuhkan pertimbangan khusus. Berdasarkan JNC 7, adanya indikasi penyulit membutuhkan obat-obat antihipertensi tertentu sebagai lini pertama. Kelas obat yang direkomendasikan merupakan hasil pertimbangan dari berbagai uji klinis tentang penggunaan kelas obat tertentu pada hipertensi dengan penyakit penyulit (Chobanian dkk., 2004). Pemilihan terapi hipertensi dengan penyakit penyulit dapat dilihat pada tabel IV. Tabel IV. Pemilihan terapi hipertensi dengan penyakit penyulit (Chobanian dkk., 2004) Rekomendasi obat Penyakit penyulit Diuretik BB ACEI ARB CCB ALDO ANT Gagal jantung Pasca infark miokard Resiko penyakit koroner tinggi Diabetes Penyakit ginjal kronis Pencegahan stroke Ket. ACEI : angiotensin converting enzyme, ARB : angiotensin receptor blocker, CCB : calcium channel blocker, BB : beta blocker, ALDO ANT : aldosterone antagonist 25 7. Rasionalitas Penggunaan Obat Antihipertensi Penggunaan obat yang irasional merupakan salah satu masalah dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat lebih dari 50% penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan, dan penjualannya. Sekitar 50% lainnya juga tidak digunakan secara tepat oleh pasien (WHO, 2002). Penggunaan obat secara irasional dapat menyebabkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, resistensi obat, memperparah penyakit, hingga kematian. Selain itu biaya yang dikeluarkan menjadi sangat tinggi (WHO, 2004). Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis, sesuai dosis, dan durasi pemberian, serta biaya yang dikeluarkan untuk obat tersebut terbilang rendah bagi pasien dan komunitasnya. Obat yang tepat harus efektif, berkualitas, dan aman (WHO, 1987). Kriteria penggunaan obat yang rasional dikenal dengan asas empat tepat satu waspada, yakni tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, dan waspada terhadap efek samping obat (Imono, 2003). Tepat indikasi berarti obat yang akan digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit yang akurat dan bahwa terapi dengan obat merupakan terapi yang aman dan efektif. Tepat obat berarti pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan nisbah keamanan dan kemanjuran yang terbaik di antara obat yang ada. Tepat pasien berarti tidak ada kontraindikasi atau kondisi khusus yang mempermudah timbulnya efek samping serta terapi obat dapat diterima oleh pasien. Tepat dosis berarti takaran, jalur, saat, lama pemberian sesuai dengan kondisi pasien. Waspada terhadap efek samping obat berarti melaksanakan 26 tindakan pengawasan terhadap efek samping utama obat secara tepat (Imono, 2003). F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien hipertensi, pola pengobatan, dan rasionalitas penggunaan obat antihipertensi yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien, dan ketepatan dosis pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.