Suara Pembaruan, 1 Juni 2003 Halaman 3 - Beranda

advertisement
I d r is S a r d i :
Jangan Panggil
Saya Maestro
Kata ”p a m it”
memang bisa
diartikan
mundur.
Tetapi mundur
bukan berarti
tak kembali.
Setidaknya
begitulah
m enurut
musikus Idris
Sardi yang
bakal mengge­
lar konser 18
Juni menda­
tang di
Jakarta.
Beberapa
tahun silam
dia sempat
menyatakan
pam it dari
panggung
musik. Kini
biola pula
yang memang­
gilnya kembali
naik
panggung.
,
"Peristiwa yang lalu
menjadi pelajaran buat saya.
Artinya saya tidak bisa sembarangan pamit. Saya juga
sudah ditegur Tuhan, jadi
ada hikmahnya. Saya tidak
bisa membiarkan talenta
yang diberikan Tuhan. Itu
dosa,” sesal Idris di hadapan
wartawan baru-baru ini.
Tahun 1994, para pengge­
mar musik Indonesia sempat
dikejutkan dengan pernyata­
an Idris. Pada konser yang
digelar 9 Agustus 1994,
musikus kelahiran 7 Juni
1938 ini menyatakan
mundur. Sejak itu, dia
menghilang dari panggung.
Ucapan itu sepertinya
bermakna sangat dalam.
Itulah konser Idris yang ter­
akhir. Idris sepertinya sudah
mantap memutuskan untuk
’’menggantung biola”.
"Kata pamit waktu itu
saya ucapkan dengan sadar
seusai konser. Permainan
kami saat itu buruk sekali.
Walaupun orang-orang mem­
beri aplaus, saya merasa
tidak tampil sesuai harapan.
Pada saat itu saya merasa
tidak bertanggung jawab.
Sebagai pemimpin, saya
hanya menyalahkan diri
sendiri, dan bukan pemain.
Saya dapat pelajaran pahit.
Saya malu dan makanya
saya pamit,” kenang Idris,
Kini Idris memberanikan
diri untuk tampil lagi.
Persembahan Idris Sardi
2003 (PIS), demikian judul
pergelaran itu, sesuai
permintaannya. Idris me­
mang menolak pergelaran
musik ini disebut konser.
Alasannya, dia tidak ingin
terbebani istilah. Idris lebih
menekankan pada sajian 41
repertoar dengan dukungan
sembilan penyanyi dan 34
musikus serta kelompok tari
Gumarang Sakti. Jika tak
ada halangan, PIS akan
berlangsung pada 18 Juni
2003 di Puri Agung, Hotel
Sahid Jaya, Jakarta Pusat.
’’Tidak mudah bagi saya
untuk tampil lagi. Namun
selama ini, saya merasa ada
tanggung jawab yang belum
tercurah tuntas. Usia saya
sudah 65 tahun dan lama
tidak tampil. Kata
persembahan itu artinya jika
saya diizinkan Tuhan. PIS
sebagai upaya saya memba­
yar utang-utang kepada
Tuhan dan negeri ini,” kata
violis pemilik biola kaca itu.
Bukan Maestro
Bagi Idris, pertunjukan
PIS sangat besar artinya.
Sampai tahun 2003, seorang
Idris Sardi telah menempuh
perjalanan karier selama 50
tahun. Selain itu, pada 7 Juni
mendatang usia Idris akan
bertambah menjadi 65 tahun.
Untuk itu, peraih 17 piala
Citra ini merasa sudah saat­
nya untuk mengungkapkan
rasa syukur atas talenta
musik yang diberikan
Tuhan. Sebagai musikus
besar Indonesia, banyak
orang memberinya berbagai
julukan. Tetapi Idris tampak­
nya hampir tidak peduli.
’’Jangan panggil saya
maestro. Si Biola Maut juga
tidak. Jangan coba-coba.
Panggil saja saya Mas Idris.
Saya ini masih belajar,
masih banyak yang lebih
baik dari saya. Dulu
mungkin saya populer.
Tetapi orang besar belum
tentu orang populer, dan
orang populer juga belum
tentu orang besar,” katanya
’’Yang pasti, saya tentu
merendah.
akan bermain klasik seperti
Tetapi Idris memang
yang diketahui banyak
pernah diberi penghargaan
orang. Tetapi komposisi
Golden Maestro Award dari
nanti tidak hanya itu, saya
Yayasan Pendidikan Musik
juga akan memainkan musik
pada tahun 2002. Idris juga
keroncong. Dalam pergelar­
pernah menerima Legenda
an nanti saya bakal berkola­
BASF Award dan pengharga­
borasi dengan kelompok tari
an sebagai Tokoh Legendaris Gumarang Sakti. Jika sela­
Pemain Biola, Komposer dan
ma ini, saya dikenal banyak
Konduktor. Sri Sultan
memainkan musik roman­
Hamengku Buwono X
tik. Kali ini, saya menyuguh­
bahkan memberikan mahko­
kan musik-musik yang
ta sebagai penghargaan,
energik,” janji suami dari
penghormatan, pengabdian,
Ratih Putri ini.
dedikasi dan konsistensi di
Sejak usia lima tahun,
bidang musik Indonesia pada
Idris Sardi memang telah
tahun 2001.
menekuni musik klasik.
Di sisi lain, Idris merasa
Tetapi pada usia tujuh
dirinya sudah tidak lagi
tahun, dia baru diajari sang
cukup komersial. Meskipun
ayah bermain biola. Setelah
demikian, dia menepis
besar, Idris belajar di Akade­
anggapan pesimis mengha­
mi Musik Indonesia pada
dapi pergelaran nanti. Tak
tahun 1950-1955. Selain bela­
heran, Idris melakukan
jar dari sang ayah Mas Sardi,
banyak persiapan mental
Idris juga belajar musik dari
sehingga pada saat pergelar­
sejumlah musikus asing
an tidak mengecewakan.
seperti Nikolai Varfolomijeff
’’Sejak awal saya sudah
(Rusia), Hendrick Tordasi &
memperingatkan promotor.
Frank Sabo (Hongaria),
Saya ini bukan orang yang
Boomer (Jerman, Keney
laku dijual. Tetapi mereka
(Inggris) dan Madame Renee
bersikeras. Ya, sudah, pada
Tovanos (Prancis) dan Henk
akhirnya saya pasrah kepa­
Te Straake (Belanda).
da Tuhan. Setiap kali
bermain biola, saya yakin se­
Malu
lalu ada campur tangan
Seusai menimba ilmu
Tuhan. Kalau nanti pergelar­
dari master-master musik di
an itu kurang mendapat
luar negeri selama bertahunsambutan, saya tinggal
tahun, Idris justru tertan­
berkata, ‘Tuh kan’,” ujarnya
tang bermain musik keron­
merendah.
cong dan irama Melayu. Dia
Untuk konser nanti, Idris
tak ragu belajar dari
tak bersedia merinci kompo­
Achmad & Isbandi (Orkes
sisi. Dia merasa perlu mera­
Puspa Kencana) dan A
hasiakan komposisi yang
Chalik (Orkes Bukit
bakal dimainkannya dengan
Siguntang). ’’Buat orang
pertimbangan pribadi.
yang sudah masuk sekolah
Menurut dia, komposisi itu
musik klasik, saya juga tidak
sengaja tidak disebutkan
agar penonton penasaran.
Kelak, Idris sudah menyiap­
kan kejutan dan sajian mu­
sik spesial untuk penonton.
boleh main di luar klasik.
Saya diisolasi. Tetapi ketika
ayah meninggal tahun 1953,
saya mulai berubah. Umu klasik saya selama lima tahun
lebih, tetapi ternyata tidak
mampu memainkan keron­
cong dan musik Melayu.
Saya malu dan terpukul,”
katanya.
Sebagai putra Indonesia,
Idris merasa malu jika tidak
mampu memainkan musik
Barat. Tahun 1950, saya
masuk orkestra Istana dan di
sanalah mulai berkembang.
Saya memainkan musik
etnik negeri ini, tetapi
dengan dasar musik Barat,”
tambah Idris.
Letnan Kolonel
Mengenai perkembangan
musik klasik sekarang, Idris
melihat banyak kemajuan.
Dulu tidak ada permainan
''Tidak mudah bagi sa y a untuk ta m p il
lagi. Nam un selam a ini, say a m erasa
ada tanggung ja w a b yang belum
tercurah tuntas. Usia sa y a sudah 65
tahun dan lam a tidak tam pil. K ata
persem bahan itu a rtin ya j ik a sa ya
diizin kan Tuhan. P IS sebagai upaya
saya m em b a ya r utang-utang kepada
Tuhan dan negeri ini, ”
kata vio lis p e m ilik biola kaca itu.
keroncong. Apalagi ketika
pulang ke Indonesia, dia
bermain untuk stasiun Radio
Republik Indonesia. Sejak
itu, Idris melanggar aturanaturan baku klasik. Dari
kampung ke kampung, dia
bertanya tentang musik
keroncong. Bahkan Idris
mengaku sempat belajar dari
seorang tukang becak.
’’Klasik, ilmu musik
paling tinggi. Namun ternya­
ta musik negeri kita terlalu
kaya dibandingkan dengan
biola klasik yang mengalami
aransemen baru seperti
Bond, atau Vanessa Mae.
Mereka sangat ekspresif dan
energik. Musik klasik dira­
mu dengan unsur hiburan,
sehingga muncul dalam
kreasi berbeda. Di sisi lain,
pertunjukan musik klasik
juga makin sering karena
pertumbuhan orkestra baru.
Kolaborasi orkestra plus
permainan biola dengan je­
nis musik lain juga makin
berkembang.
’’Tahun 1960-1970-an,
musik klasik memang sudah
diterima. Sayang mereka
tidak bisa menghargai. Saya
pernah diminta tampil di
restoran, sementara orangorang sedang asyik makan.
Padahal kalau cuma begitu,
pakai kaset saja juga bisa.
Lantas saya main buat siapa!
Yang ke sana datang buat
makan kok, bukan untuk
dengar musik. Tetapi toh
waktu itu, saya lakoni juga.
Bagus juga buat pengalaman
saya,” tambahnya.
Kini Idris tentu menolak
jika ditawari tampil di
restoran. Termasuk juga di
hotel-hotel saat perayaan
Tahun Baru. Prestasinya su­
dah mendunia. Bahkan saat
usia 15 tahun, Idris sudah
menjadi solis dan konser
master termuda di Orkes
Studio Djakarta. Mulai
tahun 1953, dia kerap tampil
rutin di istana dalam acaraacara kenegaraan. Di tahun
1955, Idris mengikuti studi
tur ke Eropa. Empat tahun
kemudian, dia kembali dan
membantu RRI Yogyakarta.
Tahun 1966, Idris menja­
di pelatih Satuan Musik
Militer untuk 10 Kodam di
Indonesia dengan murid
sekitar 700 orang. Tahun itu
juga dia diangkat menjadi
pemimpin orkestra TNI
Angkatan Darat dengan
pangkat Letnan Kolonel
CAJ. Pasukan Kopasus juga
pernah digemblengnya pada
tahun 1997.
Pasrah
Kemampuan musiknya
tidak hanya dibuktikan di
panggung. Lewat sejumlah
karya layar lebar, Idris mem­
berikan sumbangan besar.
Sejak tahun 1960, dia telah
menghasilkan lebih dari 300
karya. Beberapa film seperti
Pesta Musik La Bana (1960),
Bernafas dalam Lumpur
(1970), Budak Nafsu (1984),
Doea Tanda Mata (1985),
Tjoet Nja Dhien, (1988) dan
Pacar Ketinggalan Kereta
(1990). Idris juga membuat
ilustrasi musik untuk 130
episode sinetron.
Idris sempat menderita
sakit kanker usus di tahun
1998. Sejak itu, dia juga
mengasingkan diri ke
Pondok Pesantren Tange­
rang di bawah pimpinan KH
Ubadillah Khalid.
Saat berada di sana, dia
juga pernah membuat
rekaman Shalawat Nabi
bersama para santri.
Kemudian sepanjang tahun
2000, Idris kembali aktif dan
menjadi duta kesenian
pemerintah Indonesia.
Saat ini, Idris Sardi
hanya berharap pertunjuk­
annya berjalan lancar dan
sukses. Maklum selama
beberapa tahun, dia menga­
ku tidak lagi menyentuh
biola. Idris berharap seluruh
obsesinya bisa tercapai lewat
konser Persembahan fdris
Sardi 2003.
’’Saya main untuk orang
lain. Saya tidak pernah bisa
main yang saya mau. Saya
belum puas. Tetapi saya
sadar mesti berkompromi
dengan banyak pertimbang­
an. Saya ingin membahagia­
kan banyak orang. PR saya
adalah bagaimana berkomu­
nikasi dengan hadirin
penikmat. Saya harus bisa
menerjemahkan rasa ke
panggung dan itu banyak
berpengaruh. Untuk itu,
saya pasrah pada Tuhan,”
katanya lagi.
PEMBARUAN/
UNGGUL WIRAWAN
(Ketik ulang dari dokumen aslinya)
Idris Sardi:
Jangan Panggil Saya Maestro
Kata ’’pamit” memang bisa diartikan mundur.
Tetapi mundur bukan berarti tak kembali.
Setidaknya begitulah menurut musikus Idris
Sardi yang bakal menggelar konser 18 Juni
mendatang di Jakarta. Beberapa tahun
silam, dia sempat menyatakan pamit dari
panggung musik. Kini biola pula yang
memanggilnya kembali naik panggung.
"Peristiwa yang lalu menjadi pelajaran buat
saya. Artinya saya tidak bisa sem- barangan
pamit. Saya juga sudah ditegur Tuhan, jadi ada
hikmahnya. Saya tidak bisa membiarkan talenta
yang diberikan Tuhan. Itu dosa,” sesal Idris di
hadapan wartawan baru-baru ini.
Tahun 1994, para penggemar musik
Indonesia sempat dikejutkan dengan pernyataan
Idris. Pada konser yang digelar 9 Agustus 1994,
musikus kelahiran 7 Juni 1938 ini menyatakan
mundur. Sejak itu, dia menghilang dari
panggung. Ucapan itu sepertinya bermakna
sangat dalam. Itulah konser Idris yang terakhir.
Idris sepertinya sudah mantap memutuskan
untuk "menggantung biola”.
"Kata pamit waktu itu saya ucapkan dengan
sadar seusai konser. Permainan kami saat itu
buruk sekali. Walaupun orang-orang memberi
aplaus, saya merasa tidak tampil sesuai
harapan. Pada saat itu saya merasa tidak
bertanggung jawab. Sebagai pemimpin, saya
hanya menyalahkan diri sendiri, dan bukan
pemain. Saya dapat pelajaran pahit. Saya malu
dan makanya saya pamit,” kenang Idris.
Kini Idris memberanikan diri untuk tampil
lagi. Persembahan Idris Sardi 2003 (PIS),
demikian judul pergelaran itu, sesuai
permintaannya. Idris memang menolak
pergelaran musik ini disebut konser.
Alasannya, dia tidak ingin terbebani istilah.
Idris lebih menekankan pada sajian 41
repertoar dengan dukungan sembilan
penyanyi dan 34 musikus serta kelompok
tari Gumarang Sakti. Jika tak ada halangan,
PIS akan berlangsung pada 18 Juni 2003 di
Puri Agung, Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat.
’’Tidak mudah bagi saya untuk tampil
lagi. Namun selama ini, saya merasa ada
tanggung jawab yang belum tercurah tuntas.
Usia saya sudah 65 tahun dan lama tidak
tampil. Kata persembahan itu artinya jika
saya diizinkan Tuhan. PIS sebagai upaya
saya membayar utang-utang kepada Tuhan
dan negeri ini,” kata Violis pemilik biola
kaca itu.
Bukan Maestro
Bagi Idris, pertunjukan PIS sangat besar
artinya. Sampai tahun 2003, seorang Idris
Sardi telah menempuh perjalanan karier
selama 50 tahun. Selain itu, pada 7 Juni
mendatang usia Idris akan bertambah
menjadi 65 tahun. Untuk itu, peraih 17 piala
Citra ini merasa sudah saatnya untuk
mengungkapkan rasa syukur atas talenta
musik yang diberikan Tuhan. Sebagai
musikus besar Indonesia, banyak orang
memberinya berbagai julukan. Tetapi Idris
tampaknya hampir tidak peduli.
’’Jangan panggil saya maestro. Si Biola
Maut juga tidak. Jangan coba- coba. Panggil
saja saya Mas Idris. Saya ini masih belajar,
masih banyak yang lebih baik dari saya.
Dulu mungkin saya populer.
Tetapi orang besar belum tentu orang
populer, dan orang populer juga belum tentu
orang besar,” katanya merendah.
Tetapi Idris memang pernah diberi
penghargaan Golden Maestro Award dari
Yayasan Pendidikan Musik pada tahun
2002. Idris juga pernah menerima Legenda
BASF Award dan penghargaan sebagai
Tokoh Legendaris Pemain Biola, Komposer
dan Konduktor. Sri Sultan Hamengku
Buwono X bahkan memberikan mahkota
sebagai
penghargaan,
penghormatan,
pengabdian, dedikasi dan konsistensi di
bidang musik Indonesia pada tahun 2001.
Di sisi lain, Idris merasa dirinya sudah
tidak lagi cukup komersial. Meskipun
demikian, dia menepis anggapan pesimis
menghadapi pergelaran nanti. Tak heran,
Idris melakukan banyak persiapan mental
sehingga pada saat pergelaran tidak
mengecewakan.
’’Sejak
awal
saya
sudah
memperingatkan promotor. Saya ini bukan
orang yang laku dijual. Tetapi mereka
bersikeras. Ya, sudah, pada akhirnya saya
pasrah kepada Tuhan. Setiap kali bermain
biola, saya yakin selalu ada campur tangan
Tuhan. Kalau nanti pergelaran itu kurang
mendapat sambutan, saya tinggal berkata,
‘Tuh kan’,” ujarnya merendah.
Untuk konser nanti, Idris tak bersedia
merinci komposisi. Dia merasa perlu
merahasiakan komposisi yang bakal
dimainkannya dengan pertimbangan pribadi.
Menurut dia, komposisi itu sengaja tidak
disebutkan agar penonton penasaran. Kelak,
Idris sudah menyiapkan kejutan dan sajian
musik spesial untuk penonton.
’’Yang pasti, saya tentu akan bermain
klasik seperti yang diketahui banyak orang.
Tetapi komposisi nanti tidak hanya itu, saya
juga akan memainkan musik keroncong,
nalam pergelaran nanti saya bakal berkolaborasi dengan kelompok tari Gumarang
Sakti. Jika selt ma ini, saya dikenal banyak
memainkan musik romantik. Kali ini, saya
menyuguhkan musik-musik yang energik,”
janji suami dauri Ratih Putri ini.
Sejak usia lima tahun, Idris Sardi
memang telah menekuni musik klasik.
Tetapi pada usia tujuh tahun, dia baru diajari
sang ayah bermain biola. Setelah besar, Idris
belajar di Akademi Musik Indonesia pada
tahun 19501955. Selain belajar dari sang
ayah Mas Sardi, Idris juga belajar musik dari
sejumlah musikus asing seperti Nikolai
Varfolomijeff (Rusia), Hendrick Tordasi &
Frank Sabo (Hongaria), Boomer (Jerman,
Keney (Inggris) dan Madame Renee
Tovanos (Prancis) dan Henk Te Straake
(Belanda).
Malu
Seusai menimba ilmu dari mastermaster
musik di luar negeri selama bertahun- tahun,
Idris justru tertantang bermain musik
keroncong dan irama Melayu. Dia tak ragu
belajar dari Achmad & Isbandi (Orkes
Puspa Kencana) dan A Chalik (Orkes Bukit
Siguntang). ’’Buat orang yang sudah masuk
sekolah musik klasik, saya juga tidak
boleh main di luar klasik. Saya diisolasi.
Tetapi ketika ayah meninggal tahun 1953,
saya mulai berubah. Ilmu klasik saya
selama lima tahun lebih, tetapi ternyata
tidak mampu memainkan keroncong dan
musik Melayu.
Saya malu dan terpukul,” katanya.
Sebagai putra Indonesia, Idris merasa
malu jika tidak mampu memainkan
musik keroncong. Apalagi ketika pulang
ke Indonesia, dia bermain untuk stasiun
Radio Republik Indonesia. Sejak itu,
’’Tahun 1960-1970-an, musik klasik memang
sudah diterima. Sayang mereka tidak bisa
menghargai. Saya pernah diminta tampil di
restoran, sementara orang- orang sedang asyik
makan. Padahal kalau cuma begitu, pakai
kaset saja juga bisa. Lantas saya main buat
siapa! Yang ke sana datang buat makan kok,
bukan untuk dengar musik. Tetapi toh waktu
itu, saya lakoni juga. Bagus juga buat
pengalaman saya,” tambahnya. Kini Idris
tentu menolak jika ditawari tampil di restoran.
Termasuk juga di hotel-hotel saat perayaan
Tahun Baru. Prestasinya sudah mendunia.
"Tidak mudah bagi saya untuk tampil lagi. Namun
selama ini, sayu merasa ada tanggung jawab yang
belum tercurah tuntas. Usia saya sudah 65 tahun
dan lama tidak tampil. Kata persembahan itu artinya
jika saya diizinkan Tuhan. PIS sebagai upaya saya
Tjoet Nja Dhien, (1988) dan Pacar Ketinggalan
Kereta (1990). Idris juga membuat ilustrasi
musik untuk 130 episode sinetron.
Idris sempat menderita sakit kanker usus di
tahun 1998. Sejak itu, dia juga mengasingkan
diri ke Pondok Pesantren Tangerang di bawah
pimpinan KH Ubadillah Khalid.
Saat berada di sana, dia juga pernah
membuat rekaman Shalawat Nabi bersama para
santri. Kemudian sepanjang tahun 2000, Idris
kembali aktif dan menjadi duta kesenian
pemerintah Indonesia.
Saat ini, Idris Sardi hanya berharap
pertunjukannya berjalan lancar dan sukses.
Maklum selama beberapa tahun, dia mengaku
tidak lagi menyentuh biola. Idris berharap
seluruh obsesinya bisa tercapai lewat konser
Persembahan fdris Sardi 2003.
’ ’ Saya main untuk orang lain. Saya tidak
pernah bisa main yang saya mau. Saya belum
puas. Tetapi saya sadar mesti berkompromi
dengan banyak pertimbangan. Saya ingin
membahagiakan banyak orang. PR saya adalah
bagaimana berkomunikasi dengan hadirin
penikmat. Saya harus bisa menerjemahkan rasa
ke panggung dan itu banyak berpengaruh. Untuk
itu, saya pasrah pada Tuhan,” katanya lagi.
membayar utang-utang kepada Tuhan dan negeri
ini, •• kata violis pemilik biola kaca itu.
Idris melanggar aturan- aturan baku
klasik. Dari kampung ke kampung, dia
bertanya tentang musik keroncong.
Bahkan Idris mengaku sempat belajar
dari seorang tukang becak.
’’Klasik, ilmu musik paling tinggi.
Namun ternyata musik negeri kita terlalu
kaya dibandingkan dengan Barat. Tahun
1950, saya masuk orkestra Istana dan di
sanalah mulai berkembang. Saya
memainkan musik etnik negeri ini, tetapi
dengan dasar musik Barat,” tambah Idris.
Letnan Kolonel
Mengenai perkembangan musik klasik
sekarang, Idris melihat banyak kemajuan.
Dulu tidak ada permainan biola klasik
yang mengalami aransemen baru seperti
Bond, atau Vanessa Mae. Mereka sangat
ekspresif dan energik. Musik klasik
diramu dengan unsur hiburan, sehingga
muncul dalam kreasi berbeda. Di sisi
lain, pertunjukan musik klasik juga
makin sering karena pertumbuhan
orkestra baru. Kolaborasi orkestra plus
permainan biola dengan jenis musik lain
juga makin berkembang.
Bahkan saat usia 15 tahun, Idris sudah
menjadi solis dan konser master termuda di
Orkes Studio Djakarta. Mulai tahun 1953, dia
kerap tampil rutin di istana dalam acara- acara
kenegaraan. Di tahun 1955, Idris mengikuti
studi
tur ke Eropa. Empat tahun kemudian, dia
kembali dan membantu RRI Yogyakarta.
Tahun 1966, Idris menjadi pelatih Satuan
Musik Militer untuk 10 Kodam di Indonesia
dengan murid sekitar 700 orang. Tahun itu
juga dia diangkat menjadi pemimpin orkestra
TNI Angkatan Darat dengan pangkat Letnan
Kolonel CAJ. Pasukan Kopasus juga pernah
digemblengnya pada tahun 1997.
Pasrah
Kemampuan
musiknya
tidak
hanya
dibuktikan di panggung. Lewat sejumlah
karya layar lebar, Idris memberikan
sumbangan besar. Sejak tahun 1960, dia telah
menghasilkan lebih dari 300 karya. Beberapa
film seperti Pesta Musik La Bana (1960),
Bernafas dalam Lumpur (1970), Budak Nafsu
(1984), Doea Tanda Mata (1985),
PEMBARUAN/
UNGGUL WIRA
Download