I d r is S a r d i : Jangan Panggil Saya Maestro Kata ”p a m it” memang bisa diartikan mundur. Tetapi mundur bukan berarti tak kembali. Setidaknya begitulah m enurut musikus Idris Sardi yang bakal mengge­ lar konser 18 Juni menda­ tang di Jakarta. Beberapa tahun silam dia sempat menyatakan pam it dari panggung musik. Kini biola pula yang memang­ gilnya kembali naik panggung. , "Peristiwa yang lalu menjadi pelajaran buat saya. Artinya saya tidak bisa sembarangan pamit. Saya juga sudah ditegur Tuhan, jadi ada hikmahnya. Saya tidak bisa membiarkan talenta yang diberikan Tuhan. Itu dosa,” sesal Idris di hadapan wartawan baru-baru ini. Tahun 1994, para pengge­ mar musik Indonesia sempat dikejutkan dengan pernyata­ an Idris. Pada konser yang digelar 9 Agustus 1994, musikus kelahiran 7 Juni 1938 ini menyatakan mundur. Sejak itu, dia menghilang dari panggung. Ucapan itu sepertinya bermakna sangat dalam. Itulah konser Idris yang ter­ akhir. Idris sepertinya sudah mantap memutuskan untuk ’’menggantung biola”. "Kata pamit waktu itu saya ucapkan dengan sadar seusai konser. Permainan kami saat itu buruk sekali. Walaupun orang-orang mem­ beri aplaus, saya merasa tidak tampil sesuai harapan. Pada saat itu saya merasa tidak bertanggung jawab. Sebagai pemimpin, saya hanya menyalahkan diri sendiri, dan bukan pemain. Saya dapat pelajaran pahit. Saya malu dan makanya saya pamit,” kenang Idris, Kini Idris memberanikan diri untuk tampil lagi. Persembahan Idris Sardi 2003 (PIS), demikian judul pergelaran itu, sesuai permintaannya. Idris me­ mang menolak pergelaran musik ini disebut konser. Alasannya, dia tidak ingin terbebani istilah. Idris lebih menekankan pada sajian 41 repertoar dengan dukungan sembilan penyanyi dan 34 musikus serta kelompok tari Gumarang Sakti. Jika tak ada halangan, PIS akan berlangsung pada 18 Juni 2003 di Puri Agung, Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat. ’’Tidak mudah bagi saya untuk tampil lagi. Namun selama ini, saya merasa ada tanggung jawab yang belum tercurah tuntas. Usia saya sudah 65 tahun dan lama tidak tampil. Kata persembahan itu artinya jika saya diizinkan Tuhan. PIS sebagai upaya saya memba­ yar utang-utang kepada Tuhan dan negeri ini,” kata violis pemilik biola kaca itu. Bukan Maestro Bagi Idris, pertunjukan PIS sangat besar artinya. Sampai tahun 2003, seorang Idris Sardi telah menempuh perjalanan karier selama 50 tahun. Selain itu, pada 7 Juni mendatang usia Idris akan bertambah menjadi 65 tahun. Untuk itu, peraih 17 piala Citra ini merasa sudah saat­ nya untuk mengungkapkan rasa syukur atas talenta musik yang diberikan Tuhan. Sebagai musikus besar Indonesia, banyak orang memberinya berbagai julukan. Tetapi Idris tampak­ nya hampir tidak peduli. ’’Jangan panggil saya maestro. Si Biola Maut juga tidak. Jangan coba-coba. Panggil saja saya Mas Idris. Saya ini masih belajar, masih banyak yang lebih baik dari saya. Dulu mungkin saya populer. Tetapi orang besar belum tentu orang populer, dan orang populer juga belum tentu orang besar,” katanya ’’Yang pasti, saya tentu merendah. akan bermain klasik seperti Tetapi Idris memang yang diketahui banyak pernah diberi penghargaan orang. Tetapi komposisi Golden Maestro Award dari nanti tidak hanya itu, saya Yayasan Pendidikan Musik juga akan memainkan musik pada tahun 2002. Idris juga keroncong. Dalam pergelar­ pernah menerima Legenda an nanti saya bakal berkola­ BASF Award dan pengharga­ borasi dengan kelompok tari an sebagai Tokoh Legendaris Gumarang Sakti. Jika sela­ Pemain Biola, Komposer dan ma ini, saya dikenal banyak Konduktor. Sri Sultan memainkan musik roman­ Hamengku Buwono X tik. Kali ini, saya menyuguh­ bahkan memberikan mahko­ kan musik-musik yang ta sebagai penghargaan, energik,” janji suami dari penghormatan, pengabdian, Ratih Putri ini. dedikasi dan konsistensi di Sejak usia lima tahun, bidang musik Indonesia pada Idris Sardi memang telah tahun 2001. menekuni musik klasik. Di sisi lain, Idris merasa Tetapi pada usia tujuh dirinya sudah tidak lagi tahun, dia baru diajari sang cukup komersial. Meskipun ayah bermain biola. Setelah demikian, dia menepis besar, Idris belajar di Akade­ anggapan pesimis mengha­ mi Musik Indonesia pada dapi pergelaran nanti. Tak tahun 1950-1955. Selain bela­ heran, Idris melakukan jar dari sang ayah Mas Sardi, banyak persiapan mental Idris juga belajar musik dari sehingga pada saat pergelar­ sejumlah musikus asing an tidak mengecewakan. seperti Nikolai Varfolomijeff ’’Sejak awal saya sudah (Rusia), Hendrick Tordasi & memperingatkan promotor. Frank Sabo (Hongaria), Saya ini bukan orang yang Boomer (Jerman, Keney laku dijual. Tetapi mereka (Inggris) dan Madame Renee bersikeras. Ya, sudah, pada Tovanos (Prancis) dan Henk akhirnya saya pasrah kepa­ Te Straake (Belanda). da Tuhan. Setiap kali bermain biola, saya yakin se­ Malu lalu ada campur tangan Seusai menimba ilmu Tuhan. Kalau nanti pergelar­ dari master-master musik di an itu kurang mendapat luar negeri selama bertahunsambutan, saya tinggal tahun, Idris justru tertan­ berkata, ‘Tuh kan’,” ujarnya tang bermain musik keron­ merendah. cong dan irama Melayu. Dia Untuk konser nanti, Idris tak ragu belajar dari tak bersedia merinci kompo­ Achmad & Isbandi (Orkes sisi. Dia merasa perlu mera­ Puspa Kencana) dan A hasiakan komposisi yang Chalik (Orkes Bukit bakal dimainkannya dengan Siguntang). ’’Buat orang pertimbangan pribadi. yang sudah masuk sekolah Menurut dia, komposisi itu musik klasik, saya juga tidak sengaja tidak disebutkan agar penonton penasaran. Kelak, Idris sudah menyiap­ kan kejutan dan sajian mu­ sik spesial untuk penonton. boleh main di luar klasik. Saya diisolasi. Tetapi ketika ayah meninggal tahun 1953, saya mulai berubah. Umu klasik saya selama lima tahun lebih, tetapi ternyata tidak mampu memainkan keron­ cong dan musik Melayu. Saya malu dan terpukul,” katanya. Sebagai putra Indonesia, Idris merasa malu jika tidak mampu memainkan musik Barat. Tahun 1950, saya masuk orkestra Istana dan di sanalah mulai berkembang. Saya memainkan musik etnik negeri ini, tetapi dengan dasar musik Barat,” tambah Idris. Letnan Kolonel Mengenai perkembangan musik klasik sekarang, Idris melihat banyak kemajuan. Dulu tidak ada permainan ''Tidak mudah bagi sa y a untuk ta m p il lagi. Nam un selam a ini, say a m erasa ada tanggung ja w a b yang belum tercurah tuntas. Usia sa y a sudah 65 tahun dan lam a tidak tam pil. K ata persem bahan itu a rtin ya j ik a sa ya diizin kan Tuhan. P IS sebagai upaya saya m em b a ya r utang-utang kepada Tuhan dan negeri ini, ” kata vio lis p e m ilik biola kaca itu. keroncong. Apalagi ketika pulang ke Indonesia, dia bermain untuk stasiun Radio Republik Indonesia. Sejak itu, Idris melanggar aturanaturan baku klasik. Dari kampung ke kampung, dia bertanya tentang musik keroncong. Bahkan Idris mengaku sempat belajar dari seorang tukang becak. ’’Klasik, ilmu musik paling tinggi. Namun ternya­ ta musik negeri kita terlalu kaya dibandingkan dengan biola klasik yang mengalami aransemen baru seperti Bond, atau Vanessa Mae. Mereka sangat ekspresif dan energik. Musik klasik dira­ mu dengan unsur hiburan, sehingga muncul dalam kreasi berbeda. Di sisi lain, pertunjukan musik klasik juga makin sering karena pertumbuhan orkestra baru. Kolaborasi orkestra plus permainan biola dengan je­ nis musik lain juga makin berkembang. ’’Tahun 1960-1970-an, musik klasik memang sudah diterima. Sayang mereka tidak bisa menghargai. Saya pernah diminta tampil di restoran, sementara orangorang sedang asyik makan. Padahal kalau cuma begitu, pakai kaset saja juga bisa. Lantas saya main buat siapa! Yang ke sana datang buat makan kok, bukan untuk dengar musik. Tetapi toh waktu itu, saya lakoni juga. Bagus juga buat pengalaman saya,” tambahnya. Kini Idris tentu menolak jika ditawari tampil di restoran. Termasuk juga di hotel-hotel saat perayaan Tahun Baru. Prestasinya su­ dah mendunia. Bahkan saat usia 15 tahun, Idris sudah menjadi solis dan konser master termuda di Orkes Studio Djakarta. Mulai tahun 1953, dia kerap tampil rutin di istana dalam acaraacara kenegaraan. Di tahun 1955, Idris mengikuti studi tur ke Eropa. Empat tahun kemudian, dia kembali dan membantu RRI Yogyakarta. Tahun 1966, Idris menja­ di pelatih Satuan Musik Militer untuk 10 Kodam di Indonesia dengan murid sekitar 700 orang. Tahun itu juga dia diangkat menjadi pemimpin orkestra TNI Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel CAJ. Pasukan Kopasus juga pernah digemblengnya pada tahun 1997. Pasrah Kemampuan musiknya tidak hanya dibuktikan di panggung. Lewat sejumlah karya layar lebar, Idris mem­ berikan sumbangan besar. Sejak tahun 1960, dia telah menghasilkan lebih dari 300 karya. Beberapa film seperti Pesta Musik La Bana (1960), Bernafas dalam Lumpur (1970), Budak Nafsu (1984), Doea Tanda Mata (1985), Tjoet Nja Dhien, (1988) dan Pacar Ketinggalan Kereta (1990). Idris juga membuat ilustrasi musik untuk 130 episode sinetron. Idris sempat menderita sakit kanker usus di tahun 1998. Sejak itu, dia juga mengasingkan diri ke Pondok Pesantren Tange­ rang di bawah pimpinan KH Ubadillah Khalid. Saat berada di sana, dia juga pernah membuat rekaman Shalawat Nabi bersama para santri. Kemudian sepanjang tahun 2000, Idris kembali aktif dan menjadi duta kesenian pemerintah Indonesia. Saat ini, Idris Sardi hanya berharap pertunjuk­ annya berjalan lancar dan sukses. Maklum selama beberapa tahun, dia menga­ ku tidak lagi menyentuh biola. Idris berharap seluruh obsesinya bisa tercapai lewat konser Persembahan fdris Sardi 2003. ’’Saya main untuk orang lain. Saya tidak pernah bisa main yang saya mau. Saya belum puas. Tetapi saya sadar mesti berkompromi dengan banyak pertimbang­ an. Saya ingin membahagia­ kan banyak orang. PR saya adalah bagaimana berkomu­ nikasi dengan hadirin penikmat. Saya harus bisa menerjemahkan rasa ke panggung dan itu banyak berpengaruh. Untuk itu, saya pasrah pada Tuhan,” katanya lagi. PEMBARUAN/ UNGGUL WIRAWAN (Ketik ulang dari dokumen aslinya) Idris Sardi: Jangan Panggil Saya Maestro Kata ’’pamit” memang bisa diartikan mundur. Tetapi mundur bukan berarti tak kembali. Setidaknya begitulah menurut musikus Idris Sardi yang bakal menggelar konser 18 Juni mendatang di Jakarta. Beberapa tahun silam, dia sempat menyatakan pamit dari panggung musik. Kini biola pula yang memanggilnya kembali naik panggung. "Peristiwa yang lalu menjadi pelajaran buat saya. Artinya saya tidak bisa sem- barangan pamit. Saya juga sudah ditegur Tuhan, jadi ada hikmahnya. Saya tidak bisa membiarkan talenta yang diberikan Tuhan. Itu dosa,” sesal Idris di hadapan wartawan baru-baru ini. Tahun 1994, para penggemar musik Indonesia sempat dikejutkan dengan pernyataan Idris. Pada konser yang digelar 9 Agustus 1994, musikus kelahiran 7 Juni 1938 ini menyatakan mundur. Sejak itu, dia menghilang dari panggung. Ucapan itu sepertinya bermakna sangat dalam. Itulah konser Idris yang terakhir. Idris sepertinya sudah mantap memutuskan untuk "menggantung biola”. "Kata pamit waktu itu saya ucapkan dengan sadar seusai konser. Permainan kami saat itu buruk sekali. Walaupun orang-orang memberi aplaus, saya merasa tidak tampil sesuai harapan. Pada saat itu saya merasa tidak bertanggung jawab. Sebagai pemimpin, saya hanya menyalahkan diri sendiri, dan bukan pemain. Saya dapat pelajaran pahit. Saya malu dan makanya saya pamit,” kenang Idris. Kini Idris memberanikan diri untuk tampil lagi. Persembahan Idris Sardi 2003 (PIS), demikian judul pergelaran itu, sesuai permintaannya. Idris memang menolak pergelaran musik ini disebut konser. Alasannya, dia tidak ingin terbebani istilah. Idris lebih menekankan pada sajian 41 repertoar dengan dukungan sembilan penyanyi dan 34 musikus serta kelompok tari Gumarang Sakti. Jika tak ada halangan, PIS akan berlangsung pada 18 Juni 2003 di Puri Agung, Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat. ’’Tidak mudah bagi saya untuk tampil lagi. Namun selama ini, saya merasa ada tanggung jawab yang belum tercurah tuntas. Usia saya sudah 65 tahun dan lama tidak tampil. Kata persembahan itu artinya jika saya diizinkan Tuhan. PIS sebagai upaya saya membayar utang-utang kepada Tuhan dan negeri ini,” kata Violis pemilik biola kaca itu. Bukan Maestro Bagi Idris, pertunjukan PIS sangat besar artinya. Sampai tahun 2003, seorang Idris Sardi telah menempuh perjalanan karier selama 50 tahun. Selain itu, pada 7 Juni mendatang usia Idris akan bertambah menjadi 65 tahun. Untuk itu, peraih 17 piala Citra ini merasa sudah saatnya untuk mengungkapkan rasa syukur atas talenta musik yang diberikan Tuhan. Sebagai musikus besar Indonesia, banyak orang memberinya berbagai julukan. Tetapi Idris tampaknya hampir tidak peduli. ’’Jangan panggil saya maestro. Si Biola Maut juga tidak. Jangan coba- coba. Panggil saja saya Mas Idris. Saya ini masih belajar, masih banyak yang lebih baik dari saya. Dulu mungkin saya populer. Tetapi orang besar belum tentu orang populer, dan orang populer juga belum tentu orang besar,” katanya merendah. Tetapi Idris memang pernah diberi penghargaan Golden Maestro Award dari Yayasan Pendidikan Musik pada tahun 2002. Idris juga pernah menerima Legenda BASF Award dan penghargaan sebagai Tokoh Legendaris Pemain Biola, Komposer dan Konduktor. Sri Sultan Hamengku Buwono X bahkan memberikan mahkota sebagai penghargaan, penghormatan, pengabdian, dedikasi dan konsistensi di bidang musik Indonesia pada tahun 2001. Di sisi lain, Idris merasa dirinya sudah tidak lagi cukup komersial. Meskipun demikian, dia menepis anggapan pesimis menghadapi pergelaran nanti. Tak heran, Idris melakukan banyak persiapan mental sehingga pada saat pergelaran tidak mengecewakan. ’’Sejak awal saya sudah memperingatkan promotor. Saya ini bukan orang yang laku dijual. Tetapi mereka bersikeras. Ya, sudah, pada akhirnya saya pasrah kepada Tuhan. Setiap kali bermain biola, saya yakin selalu ada campur tangan Tuhan. Kalau nanti pergelaran itu kurang mendapat sambutan, saya tinggal berkata, ‘Tuh kan’,” ujarnya merendah. Untuk konser nanti, Idris tak bersedia merinci komposisi. Dia merasa perlu merahasiakan komposisi yang bakal dimainkannya dengan pertimbangan pribadi. Menurut dia, komposisi itu sengaja tidak disebutkan agar penonton penasaran. Kelak, Idris sudah menyiapkan kejutan dan sajian musik spesial untuk penonton. ’’Yang pasti, saya tentu akan bermain klasik seperti yang diketahui banyak orang. Tetapi komposisi nanti tidak hanya itu, saya juga akan memainkan musik keroncong, nalam pergelaran nanti saya bakal berkolaborasi dengan kelompok tari Gumarang Sakti. Jika selt ma ini, saya dikenal banyak memainkan musik romantik. Kali ini, saya menyuguhkan musik-musik yang energik,” janji suami dauri Ratih Putri ini. Sejak usia lima tahun, Idris Sardi memang telah menekuni musik klasik. Tetapi pada usia tujuh tahun, dia baru diajari sang ayah bermain biola. Setelah besar, Idris belajar di Akademi Musik Indonesia pada tahun 19501955. Selain belajar dari sang ayah Mas Sardi, Idris juga belajar musik dari sejumlah musikus asing seperti Nikolai Varfolomijeff (Rusia), Hendrick Tordasi & Frank Sabo (Hongaria), Boomer (Jerman, Keney (Inggris) dan Madame Renee Tovanos (Prancis) dan Henk Te Straake (Belanda). Malu Seusai menimba ilmu dari mastermaster musik di luar negeri selama bertahun- tahun, Idris justru tertantang bermain musik keroncong dan irama Melayu. Dia tak ragu belajar dari Achmad & Isbandi (Orkes Puspa Kencana) dan A Chalik (Orkes Bukit Siguntang). ’’Buat orang yang sudah masuk sekolah musik klasik, saya juga tidak boleh main di luar klasik. Saya diisolasi. Tetapi ketika ayah meninggal tahun 1953, saya mulai berubah. Ilmu klasik saya selama lima tahun lebih, tetapi ternyata tidak mampu memainkan keroncong dan musik Melayu. Saya malu dan terpukul,” katanya. Sebagai putra Indonesia, Idris merasa malu jika tidak mampu memainkan musik keroncong. Apalagi ketika pulang ke Indonesia, dia bermain untuk stasiun Radio Republik Indonesia. Sejak itu, ’’Tahun 1960-1970-an, musik klasik memang sudah diterima. Sayang mereka tidak bisa menghargai. Saya pernah diminta tampil di restoran, sementara orang- orang sedang asyik makan. Padahal kalau cuma begitu, pakai kaset saja juga bisa. Lantas saya main buat siapa! Yang ke sana datang buat makan kok, bukan untuk dengar musik. Tetapi toh waktu itu, saya lakoni juga. Bagus juga buat pengalaman saya,” tambahnya. Kini Idris tentu menolak jika ditawari tampil di restoran. Termasuk juga di hotel-hotel saat perayaan Tahun Baru. Prestasinya sudah mendunia. "Tidak mudah bagi saya untuk tampil lagi. Namun selama ini, sayu merasa ada tanggung jawab yang belum tercurah tuntas. Usia saya sudah 65 tahun dan lama tidak tampil. Kata persembahan itu artinya jika saya diizinkan Tuhan. PIS sebagai upaya saya Tjoet Nja Dhien, (1988) dan Pacar Ketinggalan Kereta (1990). Idris juga membuat ilustrasi musik untuk 130 episode sinetron. Idris sempat menderita sakit kanker usus di tahun 1998. Sejak itu, dia juga mengasingkan diri ke Pondok Pesantren Tangerang di bawah pimpinan KH Ubadillah Khalid. Saat berada di sana, dia juga pernah membuat rekaman Shalawat Nabi bersama para santri. Kemudian sepanjang tahun 2000, Idris kembali aktif dan menjadi duta kesenian pemerintah Indonesia. Saat ini, Idris Sardi hanya berharap pertunjukannya berjalan lancar dan sukses. Maklum selama beberapa tahun, dia mengaku tidak lagi menyentuh biola. Idris berharap seluruh obsesinya bisa tercapai lewat konser Persembahan fdris Sardi 2003. ’ ’ Saya main untuk orang lain. Saya tidak pernah bisa main yang saya mau. Saya belum puas. Tetapi saya sadar mesti berkompromi dengan banyak pertimbangan. Saya ingin membahagiakan banyak orang. PR saya adalah bagaimana berkomunikasi dengan hadirin penikmat. Saya harus bisa menerjemahkan rasa ke panggung dan itu banyak berpengaruh. Untuk itu, saya pasrah pada Tuhan,” katanya lagi. membayar utang-utang kepada Tuhan dan negeri ini, •• kata violis pemilik biola kaca itu. Idris melanggar aturan- aturan baku klasik. Dari kampung ke kampung, dia bertanya tentang musik keroncong. Bahkan Idris mengaku sempat belajar dari seorang tukang becak. ’’Klasik, ilmu musik paling tinggi. Namun ternyata musik negeri kita terlalu kaya dibandingkan dengan Barat. Tahun 1950, saya masuk orkestra Istana dan di sanalah mulai berkembang. Saya memainkan musik etnik negeri ini, tetapi dengan dasar musik Barat,” tambah Idris. Letnan Kolonel Mengenai perkembangan musik klasik sekarang, Idris melihat banyak kemajuan. Dulu tidak ada permainan biola klasik yang mengalami aransemen baru seperti Bond, atau Vanessa Mae. Mereka sangat ekspresif dan energik. Musik klasik diramu dengan unsur hiburan, sehingga muncul dalam kreasi berbeda. Di sisi lain, pertunjukan musik klasik juga makin sering karena pertumbuhan orkestra baru. Kolaborasi orkestra plus permainan biola dengan jenis musik lain juga makin berkembang. Bahkan saat usia 15 tahun, Idris sudah menjadi solis dan konser master termuda di Orkes Studio Djakarta. Mulai tahun 1953, dia kerap tampil rutin di istana dalam acara- acara kenegaraan. Di tahun 1955, Idris mengikuti studi tur ke Eropa. Empat tahun kemudian, dia kembali dan membantu RRI Yogyakarta. Tahun 1966, Idris menjadi pelatih Satuan Musik Militer untuk 10 Kodam di Indonesia dengan murid sekitar 700 orang. Tahun itu juga dia diangkat menjadi pemimpin orkestra TNI Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel CAJ. Pasukan Kopasus juga pernah digemblengnya pada tahun 1997. Pasrah Kemampuan musiknya tidak hanya dibuktikan di panggung. Lewat sejumlah karya layar lebar, Idris memberikan sumbangan besar. Sejak tahun 1960, dia telah menghasilkan lebih dari 300 karya. Beberapa film seperti Pesta Musik La Bana (1960), Bernafas dalam Lumpur (1970), Budak Nafsu (1984), Doea Tanda Mata (1985), PEMBARUAN/ UNGGUL WIRA