konflik politik pada masa pemerintahan khalifah ali bin abi thalib

advertisement
KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh :
Ahmad Ridhawi
NIM 109045200003
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M / 1435 H
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Januari 2014
Ahmad Ridhawi
iv
iv
ABSTRAK
Ahmad Ridhawi, 109045200003, Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib. Konsentrasi Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2013, x+94 halaman.
Masalah pokok dari penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor politik yang terjadi pada
masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap
peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib
Jenis penelitian ini adalah metode penelitian sejarah (history) dengan tujuan untuk
memahami masa lalu, dan mencoba menguraikan berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di
masa lampau. Jenis data dalam penelitian ini adalah lebih mendominasi kepada data primer yang
diperoleh dengan teknik studi pustaka berupa referensi-referensi mengenai Sejarah Peradaban
Islam pada masa sahabat, yaitu Sahabat Ali bin Abi Thalib dan tidak terlepas dari analisa-analisa
yang positif sehingga memperoleh data-data sejarah tepat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa konflik yang mewarnai
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Maka
dari itu, dengan penelitian ini dapat memberikan pandangan yang positif terhadap sosok Ali bin
Abi Thalib ketika menghadapi persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terlepas dari AlQuran dan Sunnah.
Kata kunci
: Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib
Pembimbing
: 1. Iding Rosyidin, M.Si
2. Masyrofah, M. Si
Daftar Pustaka
: 1978 s.d 2013
v
KATA PENGANTAR
‫حيْ ِم‬
ِ َ‫ن الّر‬
َ ‫ِبسْ ِم اهللِ الّرِحْ َم‬
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat
dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan kepada
Nabi Muhammad Saw.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, karena tanpa bantuan,
pentunjuk, bimbingan dan saran-saran mungkin penulis tidak akan dapat
menyusun laporan ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta
para pembantu Dekan.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Jurusan
Siyasah Syar’iyah.
3. Bapak Afwan Faizin, MA, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah,
Jurusan Siyasah Syar’iyah.
4. Bapak Dr. Muhammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Penasehat
Akademik.
vi
5. Bapak Iding Rosyidin, S.Ag., M.Si Dosen pembimbing I yang penulis
hormati, selama bimbingan berlangsung beliau sangat membantu penulis,
sehingga penulis bisa mempercepat penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Masyrofah, M.Si Dosen pembimbing II yang penulis banggakan,
melalui tangan dingin beliau lah penulis banyak mendapat inspirasi dan
ide-ide untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan staf Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari
referensi dan literatur buku selama kuliah.
8. Prof. Dr. H. Afrizal Mansur, M.A Dosen Akidah Filsafat UIN Syarif
Kasim Pekanbaru, Riau dan juga sebagai Ayah bagi penulis yang telah
banyak membantu memberikan masukan, saran, dan kritikan kepada
penulis sehingga penulis dapat merangkai kalimat demi kalimat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
9. Ibuku tercinta Rukmini Dalil yang juga sangat berperan dalam mendukung
pembuatan skripsi ini. Dengan kritikan pedas beliau setiap hari, penulis
menjadi fokus kembali untuk menulis skripsi, sehingga skripsi penulis
selesai tepat pada waktunya.
10. Semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah
memberikan bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan laporan ini.
vii
Pada kesempatan ini, penulis ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak apabila sewaktu mengerjakan skripsi ini ada hal-hal yang
kurang berkenan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini, baik
dari segi penulisan maupun isi pembahasannya, mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu segala kritik dan saran yang
membangun sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memenuhi
syarat dan bermanfaat bagi siapa yang membacanya.
Jakarta, 23 Januari 2014
Penulis
Ahmad Ridhawi
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... iii
LEMBARAN PERNYATAAN ............................................................................ iv
ABSTRAK ..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1
B. Identifikasi Masalah .........................................................................6
C. Rumusan dan Pembatasan Masalah..................................................7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................8
E. Tinjauan Pustaka...............................................................................9
F. Metode Penelitian ...........................................................................10
G. Sistematika Penulisan .....................................................................12
BAB II
MENGENAL ALI BIN ABI THALIB .............................................14
A. Riwayat Hidupnya ..........................................................................14
B. Pemikiran-Pemikiran Ali bin Abi Thalib ........................................24
BAB III
KEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB ........................................ 31
A. Pengangkatan Ali sebagai Khalifah ............................................... 31
B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib ....................................... 41
BAB IV
KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA
PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB .............47
A. Konflik Ali Bin Abi Thalib dengan Thalhan, Zubair
dan Aisyah ......................................................................................48
ix
B. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah Dan
Kaum Khawarij ..............................................................................62
C. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Politik Pada Masa
Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib .....................................78
D. Strategi Ali dalam Menyelesaikan Konflik Politik di
Masa itu ..........................................................................................85
BABV
PENUTUP ..........................................................................................91
A. Kesimpulan .....................................................................................91
B. Saran-saran .....................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................94
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang sudah menganut agama Islam
semenjak kecil, sehingga ia dijuluki anak muda yang tidak pernah memiliki
keyakinan musyrik. Dari kecil ia diasuh dan dibesarkan oleh Nabi Muhammad
Saw. Nabi sendiri menyayanginya karena sifat-sifatnya yang mulia.1 Meskipun
masih sangat muda Ali selalu menemani Nabi dalam menyiarkan misinya, dan
telah menjadi pejuang yang terkemuka bagi Islam. Dia merupakan prajurit
agung, dia berperang dan menjadi terkenal di dalam semua pertempuran yang
dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum kafir dan orang-orang
Yahudi.
Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakan pedang maupun dalam
menggunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seorang orator (ahli pidato),
Ali merupakan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya menjadi
buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya. Ia terkenal
sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Disebabkan oleh ilmu, kebijaksanaan, dan
kecerdesannya, nasihatnya sangat dihargai oleh Khalifah Abu Bakar dan
Umar, dan dia menempati kedudukan sebagai penasihat utama di dalam
kekhalifahan mereka.
----------
1
Syed Mahmudun Nasir, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung:Remaja Rusda
Karya,1991, hlm.194
1
2
Ali adalah seekor singa dalam keberaniannya maupun kedermawanan
dan keluhuran budinya. Sederhana, terus terang, tulus hati, dan lapang dada,
adalah sifat-sifat Ali sehingga dia merupakan perwujudan dari semua
kebajikan manusia. Akan tetapi, kesederhanaan, keterusterangan, dan
kelapangdadannya ternyata merupakan kekurangannya sebagai seorang
pengusaha karena dia mudah mempercayai orang-orangnya, maka musuhmusuhnya yang cerdik dengan mudah dapat menipunya.
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dalam kelompok Khalifah
Rasyidin. Ia dilantik menjadi khalifah mengganti Utsman bin Affan yang
terbunuh oleh “sekelompok pemberotak asal Mesir”.2 Ali bukan hanya
mewarisi jabatan ke-Khalifah, tetapi juga menuai konflik dari Utsman yang
sudah tertanam dalam masyarakat Islam. “Sepanjang pemerintahan Utsman
telah timbul berbagai ketagangan yang belum dirasakan sebelumnya”.3
Ali tidak dapat melepaskan diri dari konflik tersebut begitu saja.
Konflik-konflik itu juga menjadi masalah besar sepanjang pemerintahannya.
Badri Yatim mengatakan bahwa “Ali menghadapi berbagai pemberontakan.
Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan
stabil”.4 Hidupnya dijalaninya untuk menghadapi berbagai konflik dan
----------
2
Ibrahim Siraj, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
cetakan Pertama, 2010, hlm. 27.
3
Konflik timbul cukup kompleks, antara lain disebabkan perluasan kekuasaan, yang
diikuti dengan perpecahan, baik oleh situasi umum maupun oleh ketidakmampuan Utsman sendiri
untuk mengatasinya. Utsman dikepung di rumahnya di Madinah dalam kondisi tidak memiliki
pasukan dan pengawal yang siap melindunginya. Lihat Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan
dalam Islam, (Siyasah Dusturiyah), Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm. 184.
4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press,
1996, hlm. 39.
3
pemberontakan,
yang
banyak
muncul
dari
kalangan
Islam
sendiri
dibandingkan dengan yang datang dari luar umat Islam.
Memang Ali bin Abi Thalib termasuk salah seorang khalifah yang
fenomenal dan mendapat jaminan dari Rasul untuk masuk surga. Mungkin ini
pula salah satu faktor yang menyebabkan ia digolongkan pada kelompok
Khalifah Ar-Rasyidin. Namun pengelompokan itu tidak menjaminnya terlepas
dari berbagai masalah yang rumit sepanjang hidupnya.5
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah pada bulan juni tahun
565 M melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.6 Pengukuhan Ali menjadi
khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali
dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas peristiwa meninggalnya
Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah
sedang terjadi. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat
Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum
pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota
Madinah, seperti Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, dan
Abdullah bin Umar agar menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan
tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih
menginginkan Ali menjadi khalifah. Dia didatangi beberapa kali oleh
kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun
Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui
----------
5
Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta:pustaka book
publisher,cetakan pertama, 2007,hlm, 89.
6
Muhadi Zainudin dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra Mediatama
Press, 2008, hal. 70.
4
musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka.
Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu
segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar,
akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para
tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat
senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah,
Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam yang waktu itu
berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Ibn Umar dan Saad
misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at.
Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka membai’at secara
terpaksa. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa mereka bersama kaum
Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai’at
menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain,
kecuali memilih Ali.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara
aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di berbagai
kota. Mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru dan wilayah islam
sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat islam tidak hanya berada di
tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah
Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali
dan menunjukan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan,
5
keluarga Ustman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena
menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.7
Sejarah mencatat bahwa dalam pengolahan urusan pemerintahan Ali
juga selalu mengutamakan tradisi musyawarah sebagaimana pendahulunya,
meskipun sudah kurang efektif, sebab telah terjadi friksi-friksi yang tajam
dikalangan umat islam, yaitu antara kelompok Umayyah (pendukung
Muawiyah) dan hasyimiyah (pendukung Ali).8
Tidak mengherankan jika kemudian pada masa kepemimpinan Ali,
terjadi berbagai konflik-konflik, seperti perang jamal (onta) antara Ali dan
Aisyah, perang shiffin antara Ali dan Muawiyah yang membelot sampai
terjadinya tahkim9 (masing-masing pihak memilih seorang hakim) dan
peritiwa itu terjadi pada tahun 34 H.
Setelah selesai perang jamal dan perang Siffin lantas bukan berarti Ali
terlepas dari konflik. Sebaliknya ia terpaksa menghadapi perlawanan dari
tentaranya sendiri yang tidak setuju dengan penerimaan (tahkim) arbitrase10
dalam penyelesaian konflik dengan Mu’awiyah. Karena penerimaan tahkim ini
Ali dan pasukannya mendapat kekalahan dalam peperangan maka sebagian
pengikutnya membelot dan membentuk kelompok sendiri yang disebut dengan
kaum Khawarij. Konflik dengan kaum ini ternyata sangat melelahkan bagi Ali
dan yang tragisnya ini pula yang menyebabkan ia terbunuh. Terbunuhnya Ali
----------
7
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hlm. 9596. Selanjutnya ditulis Dedi, Sejarah.
8
Dedi, Sejarah, hlm.71
9
Yayan Sopyan, M.Ag, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok:
Gramata Publishing, 2010, hlm. 94
10
Tahkim atau arbitrase adalah sebuah proses yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu
sengketa dengan mempercayakan kepada suatu pengetara, yaitu orang yang dipercayai dari kedua
belah pihak yang bersengketa. Mungkin istilah ini identik dengan wasit.
6
kemudian menimbulkan babak baru dalam sistem pemerintahan di negara
Islam.
Begitulah gambaran umum tentang konflik yang terjadi pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib. Uraian di atas belum mengungkap semua
peristiwa yang terjadi. Untuk mendalami peristiwa ini lebih jauh, perlu
dilakukan kajian yang mendalam sehingga pertanyaan yang ada dalam
penelitian ini dapat dijawab dengan baik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas sesungguhnya dapat
diambil berbagai unsur yang menjadi identifikasi dari judul ini, antara lain :
1. Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi, yang termasuk kelompok
Khalifah Rasyidin, mendapat jaminan dari Rasulullah Saw sebagai
penghuni surga sehingga ada indikasi ia terlepas dari kesalahan dan
kekeliruan, tetapi masa kepemimpinannya penuh dengan konflik dan
tragedi memilukan.
2. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib yang masih belum banyak diketahui, dan perlu
digali lebih mendalam.
3. Penilaian objektif terhadap sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai
sahabat yang dianggap mumpuni oleh masyarakat umum dan perlu
dipertanyakan karena berbeda dengan kenyataan sejarah yang diketahui.
7
4. Berbagai kemungkinan pengajaran yang dapat diambil dari fenomena
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk dianalisis secara politis
akademis dan agamis.
C. Rumusan Dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah maka penulis mengemukakan
rumusan masalah sebagai berikut, yaitu :
1. Bagaimanakah konflik-konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah
Ali bin Abi Thalib?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik politik
pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib?
3. Bagaimana strategi Ali dalam menyelesaikan konflik-konflik pada masa
pemerintahannya?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi masalah
menjadi tiga faktor, yaitu :
1. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah,
Zubair dan Aisyah
2. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyah bin Abu Sofyan
3. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Kaum
Khawarij.
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengungkap konflik-konflik politik yang terjadi selama
Khalifah Ali bin Abi Thalib menjalankan pemerintahannya.
b. Untuk mengungkap faktor-faktor yang timbul dari konflik pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu Manfaat
praktis dan manfaat akademis.
a. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan pemahaman baru terhadap perjalanan
perpolitikan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
b. Manfaat Akademis
Adapun manfaat akademis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Terungkapnya pemahaman baru dalam masyarakat mengenai
perjalanan politik pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
tidak terlepas dari konflik.
b) Masyarakat mengetahui bahwa gelar Khalifah Ar-Rasyidin bukan
berarti Khalifah Ali bin Abi Thalib terlepas dari kesalahan dan
kekeliruan, melainkan juga menghadapi berbagai permasalahan
manusia pada umumnya.
9
E. Tinjauan Pustaka
Banyak buku yang membahas tentang perjalanan politik pada masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Buku yang paling banyak mengupas persoalan
ini antara lain :
1. History of the Arabs, tulisan Philip K Hitti, yang diterjemahkan oleh R
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Buku ini dipopulerkan
sebagai rujukan induk paling terkenal dalam sejarah peradaban Islam.
Isinya sangat luas mulai dari sejarah Arab sebelum Islam sampai terjadinya
perubahan baru islam di abad moderen. Karena pemabahasannya sangat
luas membuat penjelasan tentang konflik-konflik politik yang terjadi di
masa Usman dan Ali tertuang dalam buku ini secara terpisah dan
bentuknya sangat umum. Sulit untuk memahami jalan sejarah perpolitikan
itu secara runtut sehingga perlu dibahas secara spesifik.
2. Buku Sejarah Peradaban Islam yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim, M.A,
yang termasuk sebagai referensi primer di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, sejak tahun 1990/1991.
3. Buku Biografi Ali Bin Ali Thalib yang ditulis oleh Prof. DR. Ali
Muhammad Ash-Shalabi pustaka al-Kautsar Jakarta, mengungkap secara
luas. Pengalaman hidup dan problematika yang dialami Ali bin Abi Thalib
dalam pemerintahannya.
4. Uraian tentang tentang topik ini juga terdapat dalam Teologi Islam Karya
Harun Nasution. Penulisnya mengungkap peristiwa yang terjadi pada
pemerintahan Khalifah Ali ini dari sisi teologis, yaitu menekankan
10
bagaimana hubungan setiap peristiwa itu dengan sekte-sekte teologi Islam.
Berbeda dengan kedua buku ini, dalam tulisan penulis membahas secara
khusus segala peristiwa yang terkait dengan konflik-konflik yang terjadi
pada masa pemerintahan kedua sahabat Rasulullah Saw ini. Pembahasan
ditekankan dalam hubungannya dengan proses pemilihan kepala negara
dan kepala pemerintahan yang menyeret orang-orang yang dekat dengan
Nabi Saw dan konsen untuk Islam.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
sejarah (history) yang merujuk kepada studi pustaka. Yang dimaksud dengan
penelitian sejarah menurut Sejarawan Inggris E.H. Carr (dalam Gall, Gall &
Borg, 2007)11 telah menjawab pertanyaan “What is history?”, Sejarah adalah
suatu proses interaksi yang terus-menerus antara sejarawan dan fakta yang
ada, yang merupakan dialog tidak berujung antara masa lalu dan masa
sekarang. Artinya sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang
telah terjadi.
Dalam bahasa Arab kata, tarikh, ta’rikh, dan taurikh berarti
pemberitahuan terhadap waktu, kadangkala kata tarikhusy syai menunjukkan
arti, tujuan dan masa berakhinya. Termasuk di dalamnya peristiwa dan
kejadian besar yang sejalan. Sejarah (tarikh) adalah suatu seni yang membahas
tentang kejadian-kejadian waktu dari segi spesifikasi dan penentuan waktunya,
----------
11
Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research. USA:
Pearson Education Inc.
11
temanya manusia dan waktu, permasalahannya adalah keadaaan yang
menguraikan bagian-bagian ruang lingkup situasi yang terjadi pada manusia
dan dalam suatu waktu. 12
Data-data yang diperlukan dan akan dikumpulkan dalam penelitian
adalah data-data sebagai berikut :
a. Data-data tentang segala konflik yang terjadi, pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib.
b. Data-data yang terkait dengan penyebab-penyebab kenapa konflik itu
terjadi.
c. Data-data tentang akibat yang ditimbulkan oleh konflik pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang
membahas dan menyoroti konflik-konflik politik pada masa Khalifah Ali bin
Abi Thalib, antara lain yang disebutkan adalah, History of the Arabs karya
Philip K Hitti, dan Teologi Islam karya Harun Nasution, Politik
Ketatanegaraan dalam Islam karya Jubair Situmorang, Pembunuhan Politik
dalam sejarah Dunia kayra Ibrahim Suraj serta buku-buku lain yang
menyinggung persoalan yang sedang dibahas.
Pengumpulan dilakukan dengan cara mengumpulkan semua referensi
yang terkait sebanyak mungkin agar data-data yang diperoleh lebih akurat dan
saling mendukung. Kemudian pengumpulan data juga dilakukan dengan
bertanya kepada orang-orang yang mungkin tahu dan memahami dengan baik
----------
12
Hasan Utsman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta:Dept. Agama R.I, 1986) cet. ke-2
12
persoalan yang sedang ditulis. Dimungkinkan juga diperoleh data dari atikel,
buletin, karya ilmiah, dan tidak tertutup melalui internet.
Selanjutnya data-data yang sudah terkumpul dianalisa dengan cara
menelaah semua data yang ada, memahami maksudnya dan kemudian
menempatkannya sesuai dengan persoalan
penelitian yang sudah dibuat.
Rangkaian-rangkaian data itu disusun menjadi laporan penelitian sehingga
terwujudlah hasilnya dalam bentuk skripsi.
G. Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah memahami isi skripsi ini maka dibuat sistematika
penulisan sebagai berikut :
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
mencakup riwayat hidup dari masa kecil, pendidikan, prestasi dan kemajuan
yang dicapai dalam pemerintahannya.
Bab tiga membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
mencakup proses pemilihan serta pengangkatan yang berbeda dari ketiga
Khalifah sebelumnya, dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pada masa
pemerintahannya.
13
Bab empat membahas tentang konflik-konflik politik yang terjadi pada
masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup inti dari
permasalahan skripsi ini.
Bab lima adalah bagian akhir dari skripsi yang berisi kesimpulan dan
saran-saran. Kemudian skripsi dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang
dianggap perlu.
BAB II
MENGENAL ALI BIN ABI THALIB
Pada bab ini penulis memperkenalkan siapa sesungguhnya Ali bin Abi
Thalib. Di sini penulis ingin mengemukakan berbagai sisi positif dari beliau
karena tidak sedikit hal-hal baik yang terdapat pada diri sang Khalifah.
Pembahasan ini bertujuan untuk menghindari sikap subjektif dan pandangan
sepihak yang kurang baik jika sisi positif sang khalifah tidak dikemukakan, karena
inti persoalan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini lebih kepada
persoalan
konflik
yang
cenderung
kepada
aspek
negatifnya.
Dengan
mengemukakan aspek positif itu supaya keseimbangan pembaca melihat Ali bin
Abi Thalib lebih kelihatan. Oleh sebab itu pembahasan dalam bab ini dibagi
menjadi beberapa pasal sebagai berikut:
A. Riwayat Hidupnya
Namanya adalah Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf) bin Abdul
Muthalib dipanggil juga dengan nama Syaibah al-Hamdi bin Hasyim bin
Abdu Manaf bin Qusai bin Kilab bin Lu‟ai bin Ghalib bin Pihir bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma‟ad bin Adnan. Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur
Rasyidin.1 Dia adalah anak Paman Rasulullah dan bertemu dengan beliau
pada kakeknya yang pertama yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim. Kakeknya ini
memliki anak bernama Abu Thalib, sudara kadung Abdullah, ayah dari Nabi
-----------
1
Hepi Andi Bastomi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008, hlm. 22.
14
15
Muhammad saw. Nama yang diberikan kepada Ali pada saat kelahirannya
adalah Asad (singa). Nama tersebut hasil pemberian ibunya sebagai kenangan
terhadap nama bapaknya yang bernama Asad bin Hasyim.2
Ketika Ali lahir, ayahnya Abu Thalib tidak ada di tempat. Oleh sebab
itu pemberian nama Asad hanyalah pemikiran istrinya, ibu Ali. Setelah
mengetahui nama yang diberikan kepada anaknya adalah Asad (Haidar) Abu
Thalib merasa kurang tertarik sehingga nama itu digantinya dengan Ali.3
Nama inilah yang populer di kalangan umat Islam sampai sekarang.
Selain nama yang banyak diketahui umat Islam Ali memiliki nama
lain yang patut diketahui. Salah satu gelar itu adalah Abu Turab. Istilah abu
dalam bahasa Arab berarti bapak dan turab berarti tanah. Dengan demikian
abu turab berarti bapak tanah. Karena pemberian Rasulullah Ali merasa
senang saja dengan gelar itu. Pemberian gelar ini mempunyai latar balakang
tersendiri. Ketika berkunjung ke rumah Fathimah, putri beliau, Rasulullah
Saw bertemu Ali. Karena itu beliau bertanya kepada putrinya tentang
keberadaan Ali. Fathimah pun menjelaskan bahwa telah terjadi perselisihan
antara Fatimah dengan Ali, lalu Ali marah dan pergi meninggalkan rumah.
Oleh sebab itu, Nabi menyuruh seseorang laki-laki yang ada di rumah itu
untuk mencari informasi di mana Ali berada. Setelah informasi diperoleh
orang itu mengabarkan bahwa Ali sedang tidur di mesjid. Kemudian
Rasulullah menjumpai dan benar Ali sedang tidur di mesjid tanpa baju dan
tanpa alas sehingga badannya bertaburan debu. Karena itu Rasulullah
----------2
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali Bin Abi Thalib, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2012, hlm. 13.
3
Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 14.
16
membangunkannya dan memanggil dengan ucapan “wahai Abu At-Turab”.
Semenjak itu Ali mendapat gelar Abu Turab.4 Gelar ini dipakai kemudian
dipakai oleh lawan-lawannya dan ini didukung oleh beberapa Orientalis.
Kabarnya orang-orang Syi‟ah disebut orang Turabiyah dan pengikut Ali
disebut Turabi.5 Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan karena ia
memiliki seorang anak yang bernama Hasan.6
Ali bin Abi Thalib lahir di Mekah dekat Ka‟bah.7 Menurut al-Faqihi,
dan al-Hakim seperti dikutip as-Shalabi Ali bin Abi Thalib adalah orang
pertama yang lahir di Ka‟bah.8 Terjadi perbedaan pendapat sejarahwan
tentang waktu kelahiran Ali bin Abi Thalib. Menurut Hasan al-Basri seperti
dijelaskan As-Shalabi, Ali lahir 15 atau 16 tahun sebelum kenabian. Ada pula
yang mengatakan Ali lahir lima tahun sebelum kenabian. Ibn Ishak dan
kebanyakan ahli sejarah mengatakan Ali lahir 10 tahun sebelum kenabian.
Ali Audah mengatakan Ali lahir pada hari Jumat 13 Rajab tahun 600 Masehi.
Tahun ini dihitung berdasarkan catatan sejarah dengan jarah 30 tahun setelah
kelahiran Rasulullah saw., yaitu tahun 570 Masehi.
Semenjak masa bayi Ali diasuh oleh Nabi Muhammad saw sendiri,
karena Nabi dulunya juga diasuh oleh Abu Thalib, ayah Ali.9 Nabi
Muhammad saw ketika masih muda dan beliau juga membalas budi
pamannya Abu Thalib dengan mengasuh Ali. Rasul sangat sayang kepadanya
----------4
Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 15.
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husen, Bogor : Litera AntarNusa,
Pustaka Nasional, 2010, hlm. 28. Selanjutnya disebut Audah, Ali.
6
Audah, Ali, hlm. 28.
7
Audah, Ali, hlm. 27.
8
As-Shalabi, Biografi, hlm. 15.
9
Audah, Ali, hlm. 29.
5
17
karena memiliki sifat yang mulia.10 Sifat yang mulia itu memang sudah
kelihatan pada diri Ali semenjak kecil karena bergaul dengan orang yang baik
budi pula. Selain takdir Allah, keluarga dan lingkungan dapat berpengaruh
kepada generasi yang ditinggalkannya dari segi pisik, bakat, keberanian,
penampilan11 dan sebagainya.
Seperti diketahui Ali adalah keturunan Bani Hasyim dari Suku
Quraisy. Dalam sejarah, suku ini memiliki bahasa yang fasih dan cakap
menjelaskan sesuatu secara gamblang. Selain itu mereka juga berakhlak
mulia, memiliki sifat keberanian yang luar biasa dan masyarakat sudah
mengenal sifat-sifat itu. Pada masa jahiliah mereka berbeda masyarakat lain,
hidup rukun dan banyak berpegang teguh kepada syari‟at Nabi Ibrahim.12
Mereka tidak sebagaimana orang-orang Arab lainnya ketika itu yang tidak
dibimbing dan muliakan oleh agama, serta tidak dihiasi dengan akhlak.
Dalam pergaulan mereka sangat menyayangi anak, saling hormat
menghormati, termasuk kepada jenazah, terbebas dari sifat buruk dan prilaku
kenistaan. Mereka tidak melakukan pernikahan terlarang seperti dengan anak
perempuan sendiri, sudara perempuan sendiri, cucu perempuan, menjaga
kehormatan istri dan menjauhi prilaku orang Majusi. Dalam agama mereka
sering melaksanakan haji ke Baitullah, mengerjakan amal ibadah. Mereka
----------10
Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991,
hlm. 194. Selanjutnya disebut Mahmudunnasir, Islam.
11
As-Shalabi, Biografi, hlm. 15.
12
As-Shalabi, Biografi, hlm. 17.
18
juga mengizinkan putra-putri mereka menikah dengan suku lain tanpa fanatik
dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama.13
Abdul Muthalib, kakek Ali sekaligus kakek Rasul pada masa Jahiliah
dikenal sebagai dermawan, memberi makan dan minum jamaah haji, pada hal
dia bukan orang terkaya dan bukan satu-satunya tokoh yang disegani di
kalangan suku Quraisy.14 Tugasnya itu ditambah dengan memelihara sumur
Zamzam yang erat kaitannya dengan Baitullah telah mingkatkan derajat dan
menambah kemuliaan bagi diri Abdul Muthalib.
Termasuk sikap yang menambah kemuliaan mereka pada saat itu
adalah mereka mengizinkan terjadinya pernikahan kepada kabilah apa saja.
Tanpa adanya syarat apapun dan sikap fanatik atas kabilah mereka. Mereka
tidak menikahkan putra-putri mereka kecuali kepada orang-orang yang
berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama mereka. Ketentuan itu berlaku
bagi mereka dan lebih-lebih bagi tokoh-tokoh mereka.
Kemuliaan ini juga diwarisi oleh Abu Thalib ayah Ali sendiri. Ia juga
sangat disegani oleh suku Quraisy. Ia sangat menyayangi Nabi Muhammad
memeliharanya semenjak kecil, dan membelanya mati-matian dari keinginan
orang Quraisy yang membenci Nabi saw. Walaupun tidak sempat syahadat,
Abu Thalib telah membela Nabi termasuk menyampaikan tugas dakwah
Nabi.15
Terkait atau tidak terkait dengan hal itu, selain mendapat bimbingan
dari Nabi semenjak kecil, Ali juga mewarisi kemuliaan dan sikap-sikap baik
----------13
As-Shalabi, Biografi, hlm. 18.
As-Shalabi, Biografi, hlm. 19.
15
As-Shalabi, Biografi, hlm. 21.
14
19
dari nenek moyangnya.16 Kemuliaan itu semakin bertambah karena ia
dibimbing oleh Nabi sendiri. Sinar al-Quran yang menjadi akhlak Nabi
terpantulkan kepada diri Ali.17 Meskipun masih sangat muda Ali selalu
mendampingi Nabi dalam setiap kegiatan dakwah dan menjadi pejuang
terkemuka di kalangan Islam. Dia merupakan seorang pemberani, menjadi
prajurit agung, lihai dalam berperang dan terkenal dalam setiap pertempuran
yang dilakukan umat Islam melawan orang-orang kafir dan orang-orang
Yahudi.18
Hidup Ali dari awal sudah mendapat cahaya Islam, dan ketika
berumur 10 tahun ia menerima Islam tanpa ragu-ragu dan tanpa berunding
dengan siapa pun, termasuk dengan ayahnya Abu Thalib sendiri. Ketika Nabi
dan Khadijah shalat Ali datang. Ia tidak mengerti ketika melihat keduanya
ruku‟ dan sujud serta membaca beberapa ayat. Selesai shalat Ali bertanya
kepada Nabi kepada siapa mereka sujud. Nabi menjelaskan bahwa mereka
sujud kepada Allah yang mengajak manusia untuk menyembah-Nya.19
Kemudian Nabi mengajak Ali untuk beribadah kepada Allah dan menerima
agama Islam secara sempurna dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan.
Baik karena keagungan dan keistimewaan suku Qurasiy maupun dari
bimbingan Nabi Muhammad saw Ali telah mewarisi berbagai sifat terbaik,
----------16
Dalam ilmu anatomi, darah, dan keturunan (gen) memiliki pengaruh terhadap generasi
berikutnya, baik dalam bentuk pisisk maupun dalam kejiwaan, etika sosial, akhlak, kesehatan, dan
bakat dan sebagainya. Oleh sebab itu nilai-nilai dan cita-cita yang mereka warisi dari orang tua
dan nenek moyang itu akan mereka percayai dan mempetahankannya sekuat tenaga untuk
menghormati dan memuliakannya, dan menganggap orang-orang yang mengikuti nilai-nilai dan
cita-cita tersebut sebagai generasi dan anak keturunan dari keluarga mereka.
17
As-Shalabi, Biografi, hlm. 32.
18
Mahmudunnasir, Islam, hlm. 194.
19
Audah, Ali, hlm. 28.
20
seperti kefasihan berbahasa, memiliki akhlak yang luhur, pemberani,
dermawan, rendah hati, menjauhi kesombongan, sangat memuliakan tamu,
ramah, terlepas dari sikap dan prilaku jahiliah.
Walaupun berada di lingkungan Nabi, penulis perlu mengemukakan
bagaimana proses Ali menjadi muslim. Keislaman Ali seolah-oleh sudah
merupakan skenario Allah. Kisah itu berawal dari krisis perekonomian yang
dialami masyarakat Qurasiy. Abu Thalib memilik banyak anak, tetapi penulis
tidak menjumpai dari berbagai literatur berapa orang anak yang ia miliki.
Krisis itu menyulitkan. Rasul berpikir bagaimana cara membantu pamannya
ini untuk mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Rasulullah berkata kepada
Abbas pamannya yang dianggap lebih berkecukupan dari Bani Hasyim, kata
Rasul, “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib memiliki
keluarga yang besar. Kamu tahu krisis yang saat ini sedang melanda
masyarakat, maka marilah kau berada bersama kami untuk meringankan
beban mereka, saya akan mengambil satu orang dari anaknya dan kamu juga
mengambil satu orang anaknya untuk kita cukupi segala kebutuhannya.” Lalu
Abas berkata, Ya wahai Rasulullah, lalu keduanya berangkat menuju rumah
Abu Thalib. Sampai di sana keduanya berkata, “Wahai Abu Thalib,
sesungguhnya kami berniat untuk meringankan beban keluargamu.”
Berkatalah Abu Thalib kepada keduanya, “Jika kalian berkehendak, maka
tinggalkanlah untuk kami anak kami yang bernama Ukail lali ambil siapa
yang kalian kehendaki selain dia.20”
----------20
As-Shalabi, Biografi, hlm. 31.
21
Kemudian Rasulullah mengambil Ali untuk hidup bersamanya, dan
Abbas mengambil ja‟far untuk hidup bersamanya. Berawal dari situlah maka
kemudian Ali hidup bersama Raslullah hingga datangnya risalah kenabian.
Selama itu, Ali selalu mendampinginya, dan termasuk orang pertama dari
golongan anak-anak yang mengakui dan mempercayainya. Begitu pula Ja‟far
juga tetap tinggal bersama Al-Abbas hingga dia masuk Islam dan hidup
mandiri.21
Dari sini ternyata Rasulullah telah membalas kebaikan yang dilakukan
pamannya Abu Thalib kepada dirinya yang telah merawat dan mencukupi
segala kebutuhannya pasca kematian kakeknya Abdul Muthalib. Ini
merupakan jalan hadirnya nikmat Allah yang sangat besar kepada Ali karena
dari sinilah kemudian Ali dirawat dan dididik oleh Rasulullah sesuai dengan
petunjuk Allah. Kepribadian Rasulullah yang bersumber dari al-Qur‟an
terpantulkan kepada diri Ali. Ali tumbuh dan berkembang di dalam rumah
Islam, dia tahu segala rahasia-rahasia Islam semenjak usia dini. Hal itu terjadi
sebelum dakwah Islam mulai melangkah keluar dari rumah Nabi dan mencari
pertolongan
yang
memperkuat
dakwahnya
kepada
manusia,
dan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika
datang menemui Nabi Saw saat setelah keislaman Khadijah. Ali mendapati
keduanya sedang shalat lalu Ali pun berkata, “Ini apa wahai Muhammad?”
Kemudian Nabi pun bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih
----------21
As-Shalabi, Biografi, hlm. 31.
22
dengan kehendak-Nya, dengan Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau
wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan utuk
menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza.” Ali pun
berkata kepada Nabi, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah
mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang
memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada
Abu Thalib.” Namun Rasulullah tidak ingin Ali menceritakan rahasianya
kepada siapa pun termasuk Abu Thalib sebelum dia diperintahkan oleh Allah
untuk menceritakan urusan itu. Beliau pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali
jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini.” Ali pun
berdiam diri selama satu malam itu sehingga kemudian Allah memberi
kepadanya hidayah Islam. Pada suatu pagi ia menghadap kepada Rasulullah
dan berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?”
Rasulullah bersabda,” Kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah
dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari tuhan Latta dan Uzza,
serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah.” Ali pun
melakukan apa yang diperintahkan Rasul kepadanya dan menyatakan diri
masuk Islam.
Setelah itu, Ali sempat mengalami masa-masa khawatir dan takut
kemarahan bapaknya Abu Thalib karena dia telah menganut agama Islam.
Mula-mula
dia
menyembunyikan
menampakkannya.22
----------22
As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.
keislamannya
itu,
tidak
berani
23
Ibnu Ishaq menceritakan, setiap kali datang waktu shalat, Rasulullah
keluar menuju tempat perbukitan di Makkah. Dan Ali bin Abi Thalib ikut
bersama
beliau
secara
diam-diam
dan
sembunyi-sembunyi.
Ia
menyembunyikan keislamannya dari bapak, paman-paman, dan keluarganya
yang lain. Keduanya mengerjakan shalat di tempat itu. Bila waktu petang
tiba, keduanya baru bersiap-siap untuk pulang dengan sembunyi-sembunyi.
Pada suatu ketika Abu Thalib pun menemukan keduanya secara
sembunyi-sembuyi sedang mengerjakan shalat. Lalu Abu Thalib bertanya
kepada Rasulullah, “Wahai anak saudara laki-lakiku, agama apa yang sedang
kalian anut ini ?” Rasulullah menjawab, “Ini adalah agama Allah, agama para
malaikat-Nya, agama para nabi-Nya, dan agama bapak kita Ibrahim.” Saya
telah diutus menjadi seorang Rasul kepada sekalian umat manusia. Dan
engkau wahai paman, adalah orang yang lebih berhak untuk menerima
nasehat dariku, mendapatkan dakwahku, memenuhi seruanku, dan menolong
diriku.”23
Ajakan Rasulullah saw untuk mengucapkan syahadat tidak diterima
Abu Thalib, tetapi bukan berarti ia marah kepada Rasul dan anaknya Ali.
Sebenarnya Abu Thalib mengakui kebenaran ajaran Islam, tetapi pengaruh
wibawa di kalangan kaumnya menghambat ia untuk menjadi muslim.24
Abu Thalib tidak melarang anaknya Ali untuk mengikuti agama yang
dibawa Nabi Muhammad saw., bahkan mengizinkannya karena menurut Abu
----------23
As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.
Abu Thalib berkata bahwa ia tidak mampu meninggalkan agama neneknya Tetapi bukan
berarti ia akan berhenti menolong dan membela Rasul dari berbagai ancaman orang-orang
Quraisy. As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.
24
24
Thalib
Muhammad
tidak
mengajak
kecuali
kepada
kebaikan
lalu
menyuruhnya untuk selalu mengikuti Rasul.”25
Sebagai muslim yang sangat kuat Ali tidak ragu untuk mengorbankan
dirinya untuk memperjuangkan agama Islam. Pada malam hijrah, Rasulullah
saw menugasinya untuk tidur di tempat tidur beliau. Ia ditugaskan Nabi untuk
mengembalikan barang-barang kepada orang-orang musyrik pada pagi
harinya. Ia pernah ditugaskan untuk membawa panji Rasulullah dalam
berbagai peperangan. Rasulullah juga pernah mendelegasikannya untuk
membacakan surat Al-Bara‟ah di hadapan kaum muslimin pada musim haji
tahun 9 H.26
Ia memiliki 29 anak, 14 laki-laki dan 15 perempuan. Di antara anak
laki-lakinya adalah Hasan dan Husein, pemuka pemuda surga, Muhammad
ibn Al-Hanafiyah, Abbas, dan Umar.
B. Pemikiran-Pemikiran Ali Bin Abi Thalib
Pasal ini membicarakn pemikiran-pemikiran dari Ali bin Abi Thalib.
Di sini penulis mulai dengan menjelaskan sifat keadilannya. Penjelasannya
dikemukakan melalui suatu kisah. Suatu hari, Amirul mukminin melihat baju
zirahnya27, yang telah lama hilang, ternyata ada pada seorang Nasrani. Ia
tidak tahu, bagaimana baju zirahnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu. Ia
berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu
----------25
As-Shalabi, Biografi, hlm. 34.
Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007, hlm. 20
27
Yang dimaksud dengan zirah adalah baju besi atau baju rantai yang dikenakan pada waktu
perang
26
25
miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh bahwa itu
baju miliknya. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib membawa laki-laki itu ke
pengadilan. Kadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki
Nasrani, “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul
Mukminin?”
Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini milikmu. Amirul Mukminin tidak
berhak menuduhku.” Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?”
Di antara pemikiran yang cukup menarik dari Ali bin Abi Thalib
adalah bidang fikih. Ali bin Abi Thalib dianugrahi pemahaman yang baik
terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Ia merupakan salah satu
poros fikih Islam, dan termasuk di antara kelompok utama pembuat fatwa di
kalangan generasi muslim pertama.28 Di sini penulis tidak akan menjelaskan
pemikiran fikihnya secara mendetail, tetapi hanya mengambil beberapa
pikirannya yang dianggap penting diketahui.
Di antara pendapat fikihya yang sangat luas, kita mengenal
pandangannya tentang nikah muth‟ah. Ali bin Abi Thalib dielu-elukan oleh
kaum Syi‟ah sebagai imam yang ma‟sum (terpelihara dari dosa dan
kesalahan). Di kalangan Syi‟ah terdapat hukum yang membolehkan
terjadinya nikah muth‟ah, yaitu nikah yang ditetapkan dalam jangka waktu
tertentu. Sementara Ali tidak membolehkan nikah muth‟ah.29
----------28
Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib, Jakarta: Zaman, 2013, hlm. 62.
Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400.
29
26
Ali mengatakan bahwa jika dua orang menikah tanpa wali kemudian
mereka bersetubuh maka keduanya tak dapat dipisahkan, sedangkan jika
keduanya belum bersetubuh maka keduanya harus dipisahkan.30 Ali bin Abi
Thalib tidak membolehkan pernikahan orang yang dikebiri. Ia mengatakan,
“Seorang laki-laki yang dikebiri tidak boleh menikahi muslimah yang
menjaga kehormatan dirinya.” Ali membolehkan umat Islam makan makanan
kaum Majusi, kecuali daging. Ia juga mengharamkan makan daging
sembelihan kaum Nasrasni Arab karena mereka tidak memegang ajaran
Nasrani yang benar, bahkan mereka suka minum arak. Pendapat Ali ini
berbeda dengan pendapat jumhur ulama.31
Ia juga berpendapat bahwa jizyah dari kaum musyrik dapat diterima
kecuali kaum musrik Arab. Tentang hal ini ia mengatakan, “Tidak ada pilihan
bagi kita berkenaan dengan kaum musyrik Arab kecuali mereka masuk Islam
atau perang.”32
Ia menyatukan antara hukuman cambuk dan hukuman rajam bagi
muhsan yang berzina. Diriwayatkan dari al-Sya‟bi bahwa Syarahah memiliki
seorang suami yang sedang pergi ke Syiria, tetapi tiba-tiba ia mengandung
sehingga majikannya membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib dan
berkata, “Wanita ini berzina dan ia mengakuinya.” Ali mencambuk wanita itu
seratus kali pada hari kamis dan pada hari Jumatnya ia dirajam. Aku
menyaksikan sendiri tubuh wanita itu dikubur sebatas pinggang. Ali berkata
----------30
Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400.
Ash-Shalabi, Ali, hlm. 397.
32
Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li Ibn Qudamah, Pustaka
Azzam, Jilid 8, hlm. 738
31
27
ketika itu, “Rajam adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. Orang yang
menjadi saksi perbuatan zina harus melempar pertama kali, namun karena
wanita ini mengakui perbuatannya—tanpa—maka akulah yang melempar
pertama kali.” Lalu Ali melempar wanita itu dengan batu, dan diikuti oleh
orang-orang yang ada di sana. “Demi Allah,” ungkap al-Sya‟bi, “aku
termasuk di antara orang yang melempar wanita itu menemui ajalnya.”33
Dalam redaksi lain, Ali berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan
hukum Allah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah saw.”
Ali mengharamkan permainan dadu dan catur, bahkan ia tidak mau
mengucapkan salam kepada orang yang memiliki dadu. Ali juga menetapkan
hukum mengenai perawan yang dipaksa menikah karena takut terjerumus
dalam zina. Ia menetapkan mahar mitsil untuk wanita seperti itu dengan
mengatakan bahwa mahar untuk perawan seperti mahar untuk wanita lainnya
dan bagi janda mahar mitsilnya.
Dan ia membolehkan menerima hadiah dari penguasa (sultan),
“Janganlah meminta sesuatu pun kepada penguasa. Jika ia memberimu,
ambillah, karena dalam baitul mal lebih banyak harta yang halal ketimbang
harta yang haram.
Ali melipatgandakan hukuman atas orang yang mendapat hukuman
pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Atha, dari ayahnya bahwa Ali
memukul seorang penyair negro dari Bani Harits, karena ia minum arak pada
bulan Ramadhan. Orang itu dicambuk sebanyak delapan dua puluh
----------33
Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li Ibn Qudamah, hlm. 738
28
cambukan. Setelah itu Ali berkata kepadanya, “Ali mencambukku lagi
sebanyak dua puluh kali cambukan karena kau melakukan kejahatan kepada
Allah dan karena kau berbuka di bulan Ramadhan.
Pendapat hukumnya yang lain adalah bahwa harta orang yang suka
meminjamkan dan yang suka dititipi tidak dapat dijamin jika hartanya itu
rusak tanpa memperthitungkan dari siapa ia mendapatkan hartanya.
Diriwayatkan harta ia berkata, “(Harta) Orang yang suka meminjamkan dan
memnitipkan tidak dapat dijamin.
Ia juga berpendapat bahwa orang yang menolong orang lain dalam
kebenaran atau melindungi orang lain dari kezaliman tidak noleh menerima
hadiah. Maksudnya, orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk
menjalankan urusan masyarakat tidak boleh menerima hadiah dari orang lain
karena dianggap akan memengaruhi keputusan atau pendapat hukumnya. Itu
beberapa pandangan Ali bin Abi Thalib seputar fikir Islam.
Ali bin Abi Thalib memberikan julukan khusus kepada seorang fakih
yang dihormati para fakih lainnya. Ia menyebutnya “al-faqih haqq al-faqih”.
Ia berkata, “ Maukah kalian kuberi tahu tentang yang paling utama di antara
para faqih (al-faqih haqq al-faqih)? Ia adalah orang yang tidak memutuskan
harapan manusia dari rahmat Allah, tidak mendorong mereka bermaksiat
kepada Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari makar Allah, dan ia
tidak meniggalkan Al-Quran karena membencinya, lalu berpaling kepada
yang lain. Ketahuilah, tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai
pengetahuan, dan tidak ada kebaikan dalam pengetahuan yang tidak disertai
29
pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam pembacaan yang tidak disertai
tadabur ─ penelaahan.34
Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sama seperti Umar r.a.
Dikisahkan bahwa Umar berkata, “pelajarilah pengetahuan dan ajarkanlah
kepada manusia. Pelajarilah kemuliaan dan kehormatan diri. Bersikap rendah
hatilah kepada orang yang mengajari dan yang kau ajari. Jangan menjadi
ulama yang sewenang-sewenang, agar ilmumu tidak dikalahkan kebodohan.35
Selain dikenal luas sebagai seorang fakih, Ali bin Abi Thalib juga dikenal
sebagai sahabat yang paling memahami kitab Allah. Ia banyak menafsirkan ayatayat Al-Quran sehingga jika kita hendak menghimpun tafsir-tafsir Ali bin Abi
Thalib, dibutuhkan berjilid-jilid besar. Di sini kami hanya akan mengungkapkan
sebagian tafsirnya atas ayat-ayat Al-Quran yang mulai. Di antaranya, ia
menafsirkan firman Allah: Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan penguasa urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu
maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, dengan mengatakan bahwa
mengembalikan kepada Allah berarti menjadikan kitab Allah sebagai landasan
hukum, sedangkan mengembalikan kepada Rasulullah Saw. Berarti memegang
sunnah Rasulullah Saw. menafsirkan firman Allah: maka kami akan
menghidupkannya dengan kehidupan yang baik, dengan mengatakan bahwa
makna kehidupan yang baik adalah qanaah. Mengenai ayat sama saja baik
----------34
H.R. Abu Naim dalam al-Hilyah, jilid I, hlm. 77; Ibn al-Dhurais dan Ibn Akasir pun
meriwayatkannya sebagaimana dalam al-Kanz, Jilid 5, hlm. 231.
35
Ibn Abdil Barr dalam Jami‟ al-„Ilm, Jilid I, hlm. 135.
30
berdiam di sana maupun di padang pasir36—ia mengatakan bahwa al-„akif adalah
orang yang mukim, sedangkan al-badi adalah orang yang dating ke suatu tempat,
dan bukan berasalh dari tempat itu.37
Ia juga mengatakan tentang ayat dan ketahuilah sesungguhnya harta
kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, bahwa Allah meguji mereka dengan
harta dan anak-anak sehingga menjadi jelas mana orang yang tidak rida atas
rezeki dari-Nya dan orang yang rida dengan bagian dari-Nya. Meskipun Allah
Swr. mengetahui keadaan mereka, Dia menjadikan harta dan anak-anak sebagai
ujian untukb menunjukkan apakah seseorang layak mendapatkan pahala atau
siksa. Sebab, ada di antara mereka yang lebih menyukai anak laki-laki dan
membenci anak perempuan; sebagian mereka menyukai bertambahnya harta dan
membencinya berkurangnya harta.38
Mengenai ayat Al-Quran: sesunnguhnya kita berasal dari Allah dan kita
akan kembali kepada-Nya, Ali r.a menjelaskan bahwa ungkapan “kita berasal dari
Allah merupakan penegasan bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai kita,
sementara ungkapan “kita kembali kepada-Nya” merupakan penegasan bahwa
Dialah yang akan membinasakan dan mematikan kita.
----------36
Al-Hajj: 25. Dalam Al-Quran dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen
Agama, kata al-badi di terjemahkan di padang pasir. Secara harfiah kata itu berarti yang tinggal di
pedesaan. Kita mengenal istilah Arab Baduwi, atau Arab Badui, yang berarti bangsa Arab nomad
dari kawasan pedesaan atau padang pasir.
37
Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib hlm. 66
38
Najh al-Balaghah, hlm. 553
BAB III
KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB
Pada bab tiga ini penulis mengemukakan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
dengan segala persoalannya. Bab ini terdiri atas dua pasal. Pasal pertama
menjelaskan bagaimana proses yang terjadi dalam pengangkatan Ali sebagai
khalifah, serta menggambarkan kondisi umat Islam seputar bai‟at. Ini bertujuan
untuk memperkenalkan bahwa sejak awal kepemimpinan Ali sudah dimulai
semenjak pengangkatan Ali sendiri. Pasal kedua menjelaskan beberapa kebijakan
yang dilakukan Ali dalam memulihkan situasi dan dari tergambarkan bahwa
kebijakan itu tidak membuat Ali terlepas dari konflik politik. Uraian tentang itu
semua adalah seperti diuraikan berikut ini.
A. Pengangkatan Ali Sebagai Khalifah
Terbunuhnya khalifah Utsman pada malam jum‟at 18 Dzulhijjah
tahun 35 H, membuat suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana kota
sangat mencekam, rakyat dan para pembesar mengalami kerisauan,
keguncangan. Yang mereka risaukan adalah tidak adanya pemimpin negara
dan tidak ada imam.1
Ketika itu terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada
satu bagian kaum pemberontak membuat perkumpulan, di bagian lain orangorang Muhajirin dan Anshar membuat suatu kelompok pula, termasuk tabi‟in
--------------1
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung : Mizan, 1978, hlm. 155. Selanjutnya
disebut al-Maududi, Khilafah.
31
32
dari kota Madinah. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana dengan umat Islam
yang sudah berkembang, membentang dari perbatasan Rum sampai ke Yaman
dan dari Afganistan sampai ke Afrika Utara, yang selama beberapa hari tidak
memiliki pemimpin.2
Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah
secapat mungkin dan dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang
menjadi ibu kota Islam. Di sana juga tinggal ahl al-halli wa al-‘aqd, semacam
dewan perwakilan yang berhak memilih melakukan bai‟at kepada seorang
khalifah. Karena kondisi yang sangat genting tidak mungkin meminta
pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri. Keadaan
yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang
layak dengan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran yang
mengancam keutuhan negara. Pada waktu itu ada empat orang sahabat Nabi
saw dari enam yang dipilih Umar sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali
dianggap yang paling utama. Dalam sebuah pertemuan permusyawaratan
Abdurrahman bin „Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai
umat setelah Utsman bin Affan.3
Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai
pemimpin mereka. Dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali.
Jika ada seseorang yang mencalonkan diri di samping Ali pasti tidak akan
--------------2
3
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 155.
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.
33
terpilih karena levelnya jauh di bawah Ali.4 Karena itu semua sahabat
Rasulullah Saw berbondong-bondong membai‟at Ali sebagai khalifah.5
Mereka mengatakan bahwa masyarakat tidak akan tertib, keadaan tidak akan
aman tanpa adanya seorang pemimpin.6
Sebelumnya Ali menolak untuk memikul jabatan itu, tetapi orang
banyak berulang-ulang memintanya untuk dibai‟at, dan akhirnya ia mau
dibai‟at. Tetapi bai‟at harus dilakukan di mesjid, dan di depan masyarakat
banyak dan tidak tersembunyi, dan atas kerelaan kaum muslimin. Bai‟at
berlangsung di Mesjid Nabawi, termasuk kaum Muhajirin dan Anshar dan
tidak ada penolakan, termasuk para sahabat besar, kecuali ada tujuh belas
sampai dua puluh orang.7
Dengan demikian kekhalifahan Ali sudah berlangsung secara benar,
sempurna dan sesuai dengan prinsip yang mendasari tegaknya khilafah. Ali
tidak menguasai pemerintahan dengan kekuatan dan tidak dengan
mencurahkan tenaga sedikit pun untuk mencapai kedudukan Khalifah. Ia
telah dipilih oleh orang banyak dengan cara musyawarah yang bebas dan
dibai‟at oleh mayoritas yang besar kemudian diakui oleh seluruh daerah
kecuali daerah Syam.8
Walaupun sudah dibiat oleh masyarakat umum, namun masih ada
sekitar tujuh belas hingga dua puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw
--------------4
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bi Abi Thalib, hlm. 219.
6
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.
7
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. Tidak disebutkan siapa nama-nama yang
yang tidak dapat melakukan bai‟at itu.
8
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157.
5
34
yang tidak mau membai‟at Ali. Penulis melihat bahwa tidak dijelaskan namanama yang tidak mau membai‟at Ali itu. Namun dengan penolakan itu tidak
berarti penolakan itu tidak berarti ke Khalifahan Ali tidak sah karena penolak
itu bersifat pasif, sementara masyarakat umum sudah melakukan bai‟at.9
Dengan demikian pengangkatan Ali sebagai khalifah telah memperoleh
kesempatan untuk menutup lobang yang sangat berbahaya dalam sistem
khilafah rasyidah setelah pembunuhan Utsman bin Affan.
Tetapi ada tiga faktor yang tidak memungkinkan pulihya keretakan
atau tertutupnya lubang itu. Pertama kaum pembangkang yang datang dari
berbagai daerah untuk memberontak kepada Utsman terlibat dalam
membai‟at Ali bin Abi Thalib. Di antaranya ada pelaku yang membunuh
Utsman, dan ada provokasi yang mengobarkan semangat orang lain untuk
membunuhnya dan ada pula yang membantu mereka untuk melaksanakan
pembunuhan itu. Atas pundak mereka terpikul tanggung jawab kericuhan dan
kekacauan tersebut. Oleh sebab itu keikutsertaan mereka dalam pemilihan
khalifah telah menyebabkan terjadinya kekacauan besar.10
Salah satu upaya yang memungkinkan menghambat terjadinya fitnah
adalah sepakatnya para sahabat besar dalam membai‟at Ali dan mengawasi.
Cara ini memungkinkan para pemberontak yang telah membunuh Utsman
dapat ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun
suasana yang terjadi di kota madinah ketika itu tidak mungkin mencegah
--------------9
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157.
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 158.
10
35
orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman dari keikutsertaan
mereka dalam pemilihan khalifah yang baru.
Kedua, yang membuat sulitnya memulihkan suasana itu adalah sikap
netral para sahabat besar dalam pembai‟atan kepada Ali. Sikap netral itu
memang menurut mereka merupakan niat baik dengan tujuan mencegah
timbulnya fitnah, tetapi ternyata berakibat fatal karena menimbulkan fitnah
baru. Para sahabat Nabi itu adalah tokoh yang paling berpengaruh, berwibawa
dan menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Beribu-ribu orang menaruh
kepercayaan kepada mereka. Karena itu sikap netral dan memisahkan diri dari
Ali telah menimbulkan keraguan di hati orang banyak pada saat umat
seharusnya bersatu dan membantu memulihkan suasana bersama Ali untuk
mengembalikan perdamaian dan keamanan, namun hal itu tidak terjadi.11
Ketiga, faktor yang menyebabkan sulit pemulihan kondisi adalah
munculnya penuntuntutan terhadap pelaku pembunuhan Utsman bin Affan
oleh kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi dan kelompok
Mu‟awiyah bin Abi Sofyan di pihak lain. Tanpa mengurangi penghormatan
dan kedudukan kedua kelompok ini mereka, namun jika ditinjau dari segi
hukum harus dikatakan bahwa sikap mereka tidak dapat dibenarkan.
Alasannya masa itu bukanlah masa sistem kesukuan yang dikenal pada zaman
Jahiliyah yang
membolehkan setiap orang, dengan cara bagaimanapun,
menuntut balas atas seseorang yang terbunuh dan menggunakan cara-cara apa
saja yang ia ingini. Yang benar ialah bahwa pada waktu itu ada pemerintahan
--------------11
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 159.
36
yang memiliki peraturan dan aturan yang berdasarkan undang-undang dan
syari‟at untuk setiap tuduhan yang diajukan. Adapun hak menuntut bela atas
pembunuhan, terletak di tangan pewaris-pewaris Utsman yang masih hidup.
Sekiranya pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menangkap kaum
penjahat dan mengajukan mereka untuk diadili secara sengaja barulah orangorang lain dapat menuntutnya agar ia berpegang pada keadilan dan
kebijaksanaan.
Tapi apakah yang dilakukan oleh kedua kelompok itu merupakan jalan
yang benar untuk menuntut suatu pemerintahan agar bertindak adil dan
bijaksana? Dasar apakah yang dapat mereka kemukakan dalam menolak sama
sekali adanya pemerintahan yang sah semata-mata disebabkan ia tidak mau
tunduk kepada tuntutan mereka itu? Dan sekiranya Sayyidina Ali tidak
dianggap sebagai khalifah yang sah, lalu mengapa mereka menuntutnya agar
menangkap kaum penjahat dan menghukum mereka? Apakah Sayyidina Ali
adalah seorang pemimpin suku yang dapat menangkap dengan begitu saja
siapa pun dan menghukumnya tanpa berlandaskan hukum?
Pada hakikatnya tindakan yang dapat disebut sebagai “lebih tidak
sesuai dengan hukum” dan “lebih tidak sah” ialah tindakan kelompok yang
pertama. Sebab mereka itu seharusnya menuju ke kota Madinah dan
mengajukan tuntutannya di sana, yaitu di tempat kediaman khalifah dan juga
tempat kaum penjahat dan pewaris-pewaris orang yang terbunuh itu berada,
dan di tempat tindakan-tindakan peradilan akan dapat terlaksana dengan
sebaik-baiknya.
Namun
sebaliknya,
mereka
pergi
ke
Basrah
dan
37
mengumpulkan pasukan-pasukan yang besar kemudian mencoba menuntut
balas atas kematian Utsman. Sebagai akibatnya, maka terjadilah pertumpahan
darah sepuluh ribu orang sebagai ganti penumpahan darah satu orang saja,
dan juga menyebabkan kekuasaan negara goyah dan kekacauan berkembang.
Sungguh ini adalah cara yang tidak mungkin dianggap sebagai suatu tindakan
yang sah, baik dalam pandangan undang-undang Allah dan syari‟at-Nya, atau
bahkan dalam pandangan undang-undang apa pun di antara undang-undang
sekular.12
Adapun yang lebih tidak sah lagi adalah tindakan kelompok
Mu‟awiyah yang menuntut balas untuk Sayyidina Utsman, bukan dalam
kedudukannya sebagai pribadi Mu‟awiyah bin Abu Sufyan, tapi dalam
kedudukannya sebagai penguasa wilayah Syam. Ia telah menolak menaati
pemerintah pusat dan menggunakan tentara wilayahnya untuk mencapai
tujuannya ini. Dalam hal ini ia tidak hanya menuntut Sayyidina Ali agar
mengajukan pembunuh-pembunuh Utsman ke pengadilan dan menghukum
mereka, tapi lebih daripada itu, ia menuntut agar Sayyidina Ali menyerahkan
mereka semua kepadanya agar ia (Mu‟awiyah) membunuh mereka dengan
tangannya. Semuanya itu benar-benar lebih mirip dengan kekacauan
kesukuan yang biasa terjadi sebelum datangnya agama Islam, dan sama sekali
tidak sesuai dengan pemerintahan yang sudah teratur di masa Islam.13
Seandainya
Mu‟awiyah
dibolehkan
mengajukan
tuntutan
itu
berdasarkan hubungan kekeluargaan maka hal itu adalah atas nama
--------------12
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 160.
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 161.
13
38
pribadinya karena memang Mu‟awiyah bin Abi Sufyan memang kerabat
Sayyidina Utsman. Secara pribadi ia mempunyai hak meminta bantuan
khalifah untuk menangkap orang-orang jahat itu dan mengadili mereka.
Adapun kedudukannya sebagai wali daerah Syam sama sekali ia tidak berhak
menuntut dan tidak boleh menolak untuk taat kepada khalifah yang telah
dibai’at secara sah, dan telah diakui kekhalifannya oleh seluruh wilayah
negara kecuali daerah-daerah di bawah kekuasaan Mu‟awiyah sendiri.14
Demikian pula, ia tidak mempunyai hak menggunakan tentara
daerahnya itu untuk menghadapi pemerintahan pusat dan, secara jahiliyah,
menuntut agar diserahkan kepadanya kaum tertuduh, bukan kepada
pengadilan, tetapi kepada penuntut hukum qishash agar ia berkesempatan
membalas dengan tangannya sendiri.
Dalam kitabnya, ahkamul-Qur’an, al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi
menyebutkan kedudukan masalah ini dalam hubungannya dengan perundangundangan yang benar. Katanya : “Setelah Utsman menjadi syahid, tidak
mungkin
membiarkan
penduduk
tanpa
pimpinan.
Oleh
sebab
itu
kepemimpinan umat ditawarkanlah kepada beberapa sahabat anggota syura
bentukan Umar sebelum wafatnya. Orang-orang itu menolak termasuk Ali
sendiri. Tetapi kemudian Ali menerima jabatan itu demi menyelamatkan umat
dari pertumpahan darah yang lebih besar dengan saling tuduh menuduh dalam
kebatilan. Ali khawatir akan memuncaknya kekacauan yang sulit diatasi, dan
mungkin akan menyebabkan rusaknya agama serta runtuhnya tiang-tiang
--------------14
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 162.
39
Islam. Maka ketika ia telah dibai’at, orang-orang Syam mengajukan syarat
untuk membai’atnya, yaitu agar Ali r.a memberikan kesempatan kepada
mereka untuk menangkap pembunuh-pembunuh Utsman dan menjatuhi
hukuman atas mereka. Maka Ali r.a. berkata kepada mereka : „Masuklah
kalian dalam bai’at dan tuntutlah hak itu, niscaya kamu akan memperoleh
suatu bai’at sedangkan pembunuh-pembunuh Utsman ada bersamamu. Kami
melihat mereka terus-menerus dari pagi sampai senja!‟ sudah barang tentu
pendapat Ali lebih tepat dan ucapannya lebih benar. Sebab andaikata Ali
langsung menjalankan hukuman atas mereka itu, niscaya kabilah-kabilah
mereka akan bersatu padu untuk menentang Ali dan akan terjadilah perang
yang ketiga. Karena itu, ia menunggu hingga kekuasaan benar-benar berada
di tangannya dan bai’at telah berlangsung secara umum dan tuntutan terhadap
para pembunuh dapat diajukan oleh para ahli waris yang sah, dalam suatu
majelis pengadilan. Dengan demikian, keputusan akan dijatuhkan secara
benar. Dan tidak ada perselisihan pendapat di antara umat tentang kebolehan
menunda hukum qishash apabila hal itu akan menyebabkan berkobarnya
kekacauan atau bercerai-berainya umat.15 Demikian pula yang terjadi dalam
hubungan Thalhah dan Zubair; mereka berdua tidak pernah memakzulkan Ali
dari kekuasaan atas suatu wilayah, dan mereka berdua juga tidak pernah
meragukan Ali dalam agamanya, tapi keduanya hanya berpendapat bahwa
mendahulukan tuntutan terhadap pembunuh-pembunuh Utsman adalah suatu
tindakan yang lebih utama. Namun Ali tetap pada pendirianya, ucapan-ucapan
--------------15
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 163.
40
kedua orang itu tidak pernah menggoyahkan apa yang telah diputuskannya
dan dalam hal ini dia berada di pihak yang benar.”
Kemudian al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi menjelaskan ketika menafsirkan
ayat :
ْ ‫ه اْقتَ َتلُىْافَاصِْلحُىْا بَيْ َنهُـــمَا َفِئنْ َب َغ‬
‫ت‬
َ ْ‫ه اْلمُؤْ ِم ِني‬
َ ‫طائِ َفتـَــانِ ِم‬
َ ْ‫َوِإن‬
ْ‫ئ ِاَلً اَمْ ِري اهللِ َفِئن‬
َ ‫ِاحْ َدهُ َما عََلً األُخْ َري فَقتِلُىْا الَ ِتً تَبْ ِغً حَ َتً تَ ِف‬
‫ه‬
َ ْ‫طي‬
ِ‫س‬
ِ ْ‫ّب الْمُق‬
ُ ‫ح‬
ِ ُ‫ن اهللَ ي‬
َ ِ‫سطُىْا ا‬
ِ ْ‫ل َواق‬
ِ ْ‫َفاءَتْ َفَأصِْلحُىْا بَيْ َنهُــمَا بِاْلعَد‬
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim
terhadap (golongan) yang lain maka perangilah golongan yang berbuat
zalim itu, sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. 49:9).
Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan agar diusahakan perdamaian
sebelum dimulainya peperangan, dan Ia telah menetapkan dibolehkannya
berperang ketika timbul perbuatan aniaya. Maka Ali r.a telah bertindak sesuai
dengan petunujuk Allah ini; ia memerangi golongan aniaya yang hendak
melanggar wewenang imam dan membatalkan hasil ijtihadnya, kemudian
mereka itu menjauhkan diri dari pusat nubuwwah dan khilafah dengan
membawa serta sekelompok orang yang menuntut apa yang sebenarnya tidak
berhak mereka tuntut, kecuali dengan syarat mereka itu menghadiri majelismajelis peradilan dan mengajukan hujjah-hujjah mereka atas lawan. Dan
seandainya mereka berbuat yang demikian itu, lalu Ali tidak menjatuhkan
hukuman atas mereka, niscaya mereka tidak usah bertengkar dengan Ali atau
berusaha menjatuhkannya, sebab dengan sendirinya umat secara keseluruhan
pasti akan mencabut kembali bai’at kepadanya dan memakzulkannya.
41
Itulah tiga benih kericuhan yang ada ketika Sayyidina Ali memulai
jabatan khalifahnya. Dan ketika ia memulai pemerintahannya, pada saat di
kota Madinah masih ada sekitar 2000 kaum pembangkang, tiba-tiba Thalhah
dan Zubair, di damping beberapa orang sahabat yang lain, mendatanginya dan
berkata kepadanya : “Kami telah memberikan bai’at kami kepada Anda demi
melaksanakan hukuman atas kaum penjahat, maka laksanakanlah hal itu
terhadap orang-orang yang telah membunuh Utsman.” Ali menjawab :
“Wahai saudara-saudaraku, bukannya aku tidak megetahui apa yang kalian
ketahui, tapi apa yang dapat aku lakukan dengan suatu kelompok yang
memiliki kekuatan atas kita sedangkan kita tidak memiliki kekuatan atas
mereka.16
Itulah kondisi yang terjadi sekitar pengangkatan Ali bin Abi Thalib.
Kondisi-kondisi itu ternyata menjadi batu pengganggu yang sangat rumit dan
sulit bagi Ali dalam menjalankan pemerintahan.
B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib
Setelah pengangkatan sebagai Khalifah pasca terbunuhnya Utsman,
Ali bin Abi Thalib berusaha keras memulihkan keamanan yang tidak
kondusif. Di atas telah dijelaskan bahwa pengangkatan Ali berada dalam
kondisi yang amat sulit. Stabilitas yang tidak terjamin menyebabkan Ali
mengalami
berbagai
kesulitan
yang
tidak
sedikit.
Beratnya
tugas
pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai kebijakan, walaupun kadang--------------16
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 164
42
kadang kebijakan itu tidak populer, atau bertentangan dengan kecenderungan
yang berkembang dalam masyarakat.17 Di antara langkah-langkah yang
dilakukan Ali bin Abi Thalib:
Pertama, “memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat
pendahulunya Utsman bin Affan, kemudian menggantinya dengan tokohtokoh lain. Pemberhentian itu kelihatan bertujuan untuk mengamankan
kekhalifahannya”.18 “Di antara gubernur yang diberhentikan adalah Ya‟la bin
Umayyah dan mengangkat sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman.
Dalam pemberhetian dan pengangkatan ini Ali tidak mendapat kesulitan
karena ketika Ubaidillah tiba di Yaman Ya‟la sudah meninggalkan Yaman dan
pergi ke Mekah serta
membawa hartanya”.19
Banyak orang yang
meninggalkan negerinya dan pergi ke Mekah untuk mendapatkan keamanan
sebab orang yang berada di negeri Mekah tidak boleh diganggu.
Kemudian Ali memberhentikan Abdullah bin Amir al-Hadrami,
gubernur Basrah dan menggantinya dengan Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini
Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah
Abudllah sudah meninggalkan kota itu menuju Mekah serta membawa
sebagian harta.
Berbeda dengan di atas Khalifah Ali mendapat kesulitan dalam
memberhentikan Abu Musa al-Asy‟ari, Gubernur Kufah dan menggantinya
dengan Umarah bin Syihab. Ketika mendekati kota itu penduduk kota itu
dipimpin oleh Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi yang tidak mengharapkan
--------------17
H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, hlm. 21
Hitti, History, hlm. 224.
19
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 203.
18
43
kedatangan Umarah bin Syihab dan memintanya untuk kembali ke Madinah.
Penduduk Kufah kelihatannya lebih mempertahankan Abu Musa al-Asy‟ari.
Setelah Umarah kembali ke Madinah Abu Musa berkirim surat kepada
Khalifah Ali yang isinya menyatakan sang Gubernur bersama rakyatnya
membaiat Ali sebagai khalifah yang baru. Dengan demikian kebijakan Ali
mengganti Gubernur Kufah tidak berhasil, tetapi karena Abu Musa al-Asy‟ari,
gubernur Kufah bersama rakyatnya sudah membaiat Ali maka hal itu tidak
terlalu bermasalah.
Berbeda
dengan
pemberhentian
dan
pengangkatan
gubernur
sebelumnya Ali mendapat kesulitan besar dalam pemberhentian Gubernur
Syam. Untuk daerah ini Ali menunjuk Sahl bin Hunaif salah seorang politikus
ulung menggantikan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan. Sesampainya di Tabuk, pos
perbatasan Siria Sahl ditahan oleh pasukan Mu‟awiyah dan disuruh kembali.
Dengan kembalinya Sahl rakyat Siria merasa gelisah karena ini menurut
pandangan masyarakat adalah ulah Mu‟awiyah yang suka berperang. Mereka
ingin tahu apa yang akan terjadi sebab ini merupakan pembangkangan dari
pihak Mu‟awiyah dan Ali harus menghadapinya dengan tangan besi atau akan
berusaha mencari kompromi.20
Dalam menghadapi Mu‟awiyah Ali tidak mau tergesa-gesa, tetapi itu
dilakukan dengan penuh hati-hati agar jangan terjadi perpecahan di kalagan
umat Islam. Oleh sebab itu Ali mengutus seseorang kepada Mu‟awiyah yang
--------------20
Audah, Ali Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 204.
44
menyuruh membai‟atnya dan datang ke Madinah sepengetahuan penduduk
Syam agar terjadi kompromi politik yang baik.21
Surat itu tidak langsung dibalas dengan dalih menurut Mu‟awiyah
tidak ada suara bulat di kalangan tokoh terkemuka untuk ikut membai‟atnya,
walaupun mayoritas umat Islam sudah membai‟atnya. Alasan lain yang
dikemukakan Mu‟awiyah akan membai‟at setelah Ali terlebih dahulu berhasil
menangkap dan menghukum pembunuh Utsman.22
Tiga bulan kemudian Mu‟awiyah mengirim surat kepada Ali yang
dibawa seseorang dari Bani Abas. Surat dibuat dalam bentuk gulungan
bersegel dengan format “Dari Mu‟awiyah bin Abi Sufyan kepada Ali Bin Abi
Thalib” tanpa menyebut kata “Amir al-Mukminin” dengan perintah bila
sudah memasuki kota Madinah gulungan itu diangkat supaya alamatnya dapat
dibaca sehingga orang tahu bahwa Mu‟awiyah menantang Amir alMukminin. Setelah itu surat tersebut langsung dibawa kepada Ali sehingga
masyarakat tahu bahwa isinya adalah jawaban Mu‟awiyah terhadap Ali dan
ingin mengetahui lebih jauh apa maksud Mu‟awiyah dengan perlakuan seperti
ini. Setelah surat dibuka ternyata tulisan yang ada dalam surat itu adalah
bismillahir rahmanir rahim. Melihat isi surat yang ganjil dan dinilai suatu
penghinaan dan mempertanyakan apa maksudnya.
Ini dipahami bahwa tuntutan itu ternyata mengada-ada sementara
tujuan yang sesungguhnya adalah ingin mengambil kepemimpinan dari Ali.
Buktinya setelah Ali wafat Mu‟awiyah mengadakan kesepakatan dengan
--------------21
Audah, Ali, hlm. 204.
Audah, Ali, hlm. 204.
22
45
Hasan, anak sulung Ali sampai ia sendiri yang memegang kekuasaan. Setelah
kekuasaan berada di tangan Mu‟awiyah persoalan pembunuhan Utsman
hilang sama sekali dan tidak pernah disinggung-singgung lagi.23
Kebijakan Ali dalam bidang fiqih siyasah antara lain yaitu dalam : (1)
urusan korespondensi; (2) urusan pajak (3) urusan angkatan bersenjata (4)
urusan administrasi peradilan. Demikian juga strategi pada Perang Shiffin. Ia
memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.24
Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah
menarik tanah-tanah yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para
pendukungnya dan hasil tanah itu diserahkan kepada kas negara.25 Kebijakan
ini didasarkan atas kepribadian Ali, antara lain akidah yang lurus, jujur,
berani, menjaga kehormatan diri, zuhud, senang berkorban, rendah hati,
sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman
hidup bersama Rasulullah saw selama di Mekah dan Madinah.26 Ketika Ali
menjabat sebagai khalifah peran itu yang ingin ditegakkannya dalam
memimpin dunia Islam. Setelah melihat adanya tanah dan harta rampasan dan
lain-lain yang seharusnya tersimpan dalam baitul mal ternyata berada di
tangan
para
sahabat
Utsman
dan
keluarganya,
maka
wajar
ia
mengembalikannya ke kas negara. Orang-orang yang merasa memiliki tanah
dan harta yang diperoleh semasa Utsman merasa takun apa yang sudah
--------------23
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 204.
H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, hlm. 21
25
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, hlm. 107.
26
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, hlm. 255.
24
46
mereka miliki akan diambil lagi dan mereka tidak akan dapat meni‟mati
lagi.27
Dengan ini Ali akan berpihak kepada orang-orang miskin. Ini juga
menghalangi orang Syam enggan untuk membai‟atnya sebagai khalifah.
Kebijakan seperti ini ternyata menjadi penghalang dan kesulitan tersendiri
bagi Ali bin Abi Thalib dalam menjalan pemerintahan sehingga hampir
sepanjang pemerintahan Ali dapat dikatakan tidak pernah lepas dari konflik.
--------------27
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 206.
BAB IV
KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Pada bab empat ini penulis mengemukakan konflik-konflik politik yang
terjadi pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Istilah konflik diambil dari bahasa
Inggris conflict yaitu a situation in which people, groups or countries are involved
in a serious disagreement or argumen.1 Artinya konflik ialah suatu keadaan rakyat
atau kelompok atau suatu daerah terlibat dalam ketidak-sepakatan yang seius.
Dalam Kamus Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia,
konflik diartikan dengan perselisihan, atau pertempuran atau perlawanan.2
Dalam Wikipedia yang penulis ambil dari internet Konflik berasal dari
bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.3 Dengan demikian yang
dimaksud dengan konflik dalam skripsi ini adalah proses sosial berupa
perselisihan dan pertentangan yang terjadi antara berbagai kelompok dalam masa
pemerintahan, yaitu pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan tujuan menjatuhkan
kekuasaannya.
---------1
Sally Wehmeier, (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Curren English, Oxforf
university Prees, 2007, hlm. 305, dan selanjutnya disebut Sally Wahmeier, Oxford dictionary.
2
Antonius Bangun (ed.), Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia,
Jakarta : PT Kesaint Blanc Indah Corp, 1993, hlm. 108.
3
Dikutip dari Wikipedia melalui internet pada tanggal 29 Oktober 2013.
47
48
Bab ini dibagi menjadi empat pasal. Pasal pertama, membicarakan tentang
konflik Ali dengan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Pasal kedua, membicarakan
tentang konflik Ali dengan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan dan kaum Khawarij. Pasal
ketiga, membahas tentang faktor-faktor terjadinya konflik politik pada masa
pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, dan pasal keempat, membahas tentang
strategi Ali dalam menyelesaikan konflik politik pada masa pemerintahannya.
A. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah,
beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian
khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat
menjadi khalifah pengganti Utsman.4 Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa
yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti
Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.5 Thalhah
bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah,
meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka
menunaikan umrah. Data tersebut memberikan informasi bahwa Thalhah bin
Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin
Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah
bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.6
Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu
---------4
Sahabat yang memberi tahu kepada Aisyah tentang terbunuhnya Utsman dan dibaiatnya
Ali adalah Ubaidillah bin Salamah al-Laisi. (Ensiklopedi Islam, Jilid I, hlm. 94)
5
Jeje Zainudin, hlm. 90
6
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin,
(Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2, hlm. 508
49
akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan
menghukum para pembunuh Utsman.
Informasi-informasi
di
atas
juga
memberi
gambaran,
bahwa
penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubair
faktor utamanya adalah penuntasan hukum qishah terhadap pembunuh
Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham.
Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan
seharusnya yang menjadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang
diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang
juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad
Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab
terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk
menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya,
Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia
dapat menggantikan posisi Ali.7 Dengan redaksi yang kurang lebih sama,
Harun Nasution juga menyatakan bahwa;
“Setelah Utsman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah
yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka
yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah
yang mendapat sokongan dari Aisyah.”8 Hal senada juga diungkapkan Hery
Sucipto. Tanpa menyantumkan rujukan, dalam bukunya dia menyebutkan;
“Namun, tak berapa lama setelah menunaikan rukun Islam kelima itu,
dia [Aisyah] mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman
meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.
Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya
---------7
Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm. 39.
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press,
Jakarta: 2002), Edisi 2, Cet. I, hlm. 6.
8
50
yang berhak mengganti [khalifah Utsman] adalah kakak iparnya, Thalhah bin
Ubaidillah.”9
Ensiklopedi Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda
dengan yang disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip
sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi
oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua
sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan
rakyat memilihnya menjadi khalifah.10
Hipotesa beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan Asma'
Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari, Muhammad Ziyadah
mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut
`Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali.11 Dasar gerakan `Aisyah adalah
menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara
Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka
bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari
tragedi pembunuhan Utsman. Bagi mereka, persoalan qishash terhadap
pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa
akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh Utsman
itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau
lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) di masa yang
akan datang bisa sering terjadi.
---------9
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi,
(Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2, hlm. 18
10
Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hlm. 113
11
Asma' Muhammad Ziyadah, hlm. 424
51
Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa
yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan
Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak
baiat kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya,
dalam bukunya dia menyatakan;
“Ada faktor lain yang lebih penting dari tuntutan qishash, diantaranya;
(1) Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah
sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak
ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini
disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits alIfki. (2) Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu
Bakar…(3) Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin
Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi
Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri.12
Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan
sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam
Musnadnya meriwayatkan sebauh hadits yang menceritakan situasi Rasulullah
saat sakit. Kala itu, Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu
Abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang
bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati
kepadanya”.13
Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan
rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali
dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun
tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah
---------12
Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya
dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4, hlm. 288.
13
Hadits riwayat Imam Ahmad. CD Hadits Mausu’ah al Hadits al Syarief, (Cairo: Sakh
Software, 1996), nomor hadits 22932.
52
bersabda; “Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pasti ia (Ammar)
memilih yang paling bijaksana di antara keduanya”14 Dalam hadits kedua ini,
tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan
dia tidak memperdulikannya (membelanya).
Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk
terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut
dari sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat)
oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah
Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan
tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur
kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan
Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar di tengah
masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling
tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah di saat posisinya
beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.15
Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah
ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian
hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas
Ali di kalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan Imam Al Zuhri,
tokoh hadits dari generasi tabi‟in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah
dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa
Ali termasuk orang yang menfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas
---------14
15
Riwayat Imam Ahmad, no. 23676
Jeje zainudin, hlm. 110
53
menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah
termasuk orang yang menfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al Quran surat
An-nur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali hanyalah tidak
memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut menfitnahnya.16
Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju
rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan
nama Ali dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al
Jâmiush Shahîh Al Bukhari (Kitab Al Wudhu‟, no. hadits 191) tanpa ada
tambahan perkataan Ibnu Abbas, “Tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.
Tambahan perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah
benci dan dendam terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan
pada riwayat hadits di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam Shahîhnya melainkan mencukupkan dengan kata-kata Ibnu Abbas, “Laki-laki yang
seorang lagi itu adalah Ali”. Kemungkinan tambahan perkataan, “tetapi
Aisyah tidak suka hati kepadanya (yakni kepada Ali)”, adalah dari
periwayatan Ma‟mar bin Râsyid, seorang rawi yang terdapat pada sanad Imam
Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al Asqalani mencurigai hadits Ma‟mar
yang diriwayatkannya di Bashrah. Inilah sebabnya Imam Al Bukhari dalam
kasus ini tidak mengambil jalur riwayat dari Ma‟mar melainkan dari Syu‟aib
bin Abi Hamzah, orang yang paling kuat riwayatnya dari Az Zuhri.17
Adapun mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan
seseorang yang mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan
---------16
17
Jeje Zainudin, hlm. 110
Jeje Zainudin, hlm. 112
54
kesahihannya mengingat pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit
yang meriwayatkan dari Atha‟ bin Yasâr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan
tsabit oleh sebagian ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dîl, namun menurut Ibnu
Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari
Atha‟ tidak terpelihara. Dan menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha‟ bin Yasâr
tidak ada mutâbi’nya. Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah
ada landasannya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang
suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam
Ahmad pada Musnad-nya no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah
bin Mas‟ud.18
Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai
penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat
cemburu kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah.
Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya di
hadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada
Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali
menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka
berdua, kecemburuan Aisyah pun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali.19
Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam
kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada
Khadijah, adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar.
Pendek kata, tidak ada data yang akurat untuk dijadikan alasan bahwa
---------18
Jeje Zainudin, hlm. 112-113
George Jordac, hlm. 373
19
55
perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas
pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat
dipungkiri
adanya
berita-berita
sejarah
telah
menceritakan
adanya
kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum
peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara
Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang
diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah
ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada
peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang-harmonisan hubungan ini telah
ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi
untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara
mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh
terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai
pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara
tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat
dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan
logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi
dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.20
Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari
pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi
para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di
sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah,
---------20
Jeje Zainudin, hlm. 113
56
termasuk di dalamnya Thalhah dan Zubair, murni karena menuntut
pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang
menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara
Aisyah, Thalhah, Zubair dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah
khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat
dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.21
Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali
sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu
Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan
kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali
mengatakan;
“Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui.
Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai
kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka
budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara
mereka ada di sela-sela kalian dapat menimpakan keburukan atas kalian.
Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu
sebagaimana yang kalian inginkan.22
Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah
dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash. Ali kelihatannya
ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim,
terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan
hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat
dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat
ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah
---------21
Jeje Zainudin, hlm. 119-120
Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah,
(Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hlm. 146.
22
57
bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan
dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab,
pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedy
politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh
Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, sementara para
pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai kabilah dan suku
yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh
menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang
tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi
tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman
qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya
penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar
kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.
Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperangan
pun tidak dapat dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal
dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah
menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu
Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak
menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh
Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.23 Pada hal saat itu, Thalhah
---------23
Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq,
2004. hlm. 254
58
dan Zubair telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali
sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali.24
Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta
pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali
di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk
menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban
dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya,
Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut
Joesoef Sou‟yb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk
beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia
menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak
sampai akhir hayatnya.25 Ia banyak merenung dan menyesali perbuatannya
karena ikut terlibat dalam peperangan.
Perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zubair
merupakan fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu diketahui
juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi satusatunya? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh
suasana yang mengakibatkan peperangan?
Analisa yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebutkan bahwa
sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui suratmenyurat untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis, pertengahan
Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan negosiasi
---------24
Ali Audah, hlm. 231-236
Joeseof Sou‟yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hlm. 479
25
59
selama tiga hari untuk mencari jalan damai. Upaya tersebut sebenarnya
berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan
diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya.
Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak
melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan
orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai.
Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang
terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman, baik yang datang dari
Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampung
halaman masing-masing.
Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan kelompok tersebut yang
termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan kepercayaan Ali sendiri
seperti al-Asytar al-Nakha‟i dan Syuraih bin Aufa. Keduanya mengundang
tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat rencana untuk
sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana damai itu
harus digagalkan. Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan menjadi
korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan
Aisyah, Thalhah dan Zubair kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera
menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damaianya pihak Ali dan
Aisyah berarti kematian bagi mereka.26 Sebagian ahli sejarah berkeyakinan
bahwa orang-orang di atas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini
---------26
Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq,
2004 hlm. 255
60
adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali
maupun Aisyah.
Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam
rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan
menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan
pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan.27 Posisi Aisyah
saat itu adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat itu menghadapi
pemerintahan bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat itu dipimpin oleh
gubernur Utsman bin Hunaif. Terjadi pertempuran terlebih dahulu antara
pihak Aisyah dengan pihak Utsman bin Hunaif. Karena Aisyah menginginkan
perdamaian, akhirnya disepakati untuk gencatan senjata. Gencatan itu sendiri
salah satu isinya adalah mengakui Utsman bin Hunaif sebagai gubernur
Basrah berikut bait al-Maal dan gudang senajatanya. Sementara bagi pihak
Aisyah, mereka dibolehkan tinggal di mana saja di Basrah, sambil menunggu
Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Basrah dan penduduknya dalam keadaan tenang,
aktifitas pemerintahan dan praktek keagamaan dapat dilaksanakan seperti harihari biasa.28
Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak
senang dengan keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk
mengacaukan keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah,
pengikut Ibnu Saba. Hakim bin Jabalah menculik Utsman bin Hunaif selepas
shalat Isya. Mereka juga menyerbu Bait al-Maal dan membunuh para
---------27
Ali Audah, hlm. 225
Ali Audah, hlm. 225
28
61
penjaganya. Ketika hal tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan
perlawanan dengan Hakim bin Jabalah. Orang ini kemudian mati bersama
tujuh
puluh
pengikutnya
dalam
pertempuran
dengan
Thalhah
dan
rombongannya.29
Jika diteliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah ini
semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat skenario besar di balik
kegagalan perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Utsman bin Hunaif,
menyerbu bait al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu merupakan
asset pemerintahan Ali bin Thalib. Menurut penulis, hal ini menunjukkan
bahwa Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba itu, melakukan profokator,
mengadu domba pihak Ali dengan cara menculik dan membunuh Utsman bin
Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali mempunyai firasat bahwa pelaku penculikan
itu adalah pihak Aisyah. Di sisi lain, Hakim bin Jabalah juga melakukan
pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi Thalhah yang saat itu memang
sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan besar juga berpikir
bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan, melakukan penyerangan
dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya. Walhasil, kecurigaan dan
akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak bisa dihindari.
Ketika peperangan berkecamuk Ali mengirim sepucuk surat kepada
Zubair dan Thalhah untuk mengingatkan pesan Rasulullah untuk menghindari
perang. Karena itu Zubair berusaha menghindar dan Thalhah berpindah dari
barisan terdepan dan mengambil posisi belakang. Namun Amr bin Jarmuz
---------29
Ali Audah, hlm. 226
62
bertindak membunuh Zubair dan Marwan bin Hakam membunuh Thalhah.30
Pasukan Ali dapat menguasai dan memenangkan peperangan, sementara
Aisyah dalam peperangan itu tertangkap. Ia memperlakukan Aisyah dengan
perlakuan yang penuh penghormatan dan setelah itu memulangkannya ke kota
Madinah dengan penjagaan yang sempurna dan terhormat.31 Dengan demikian
satu peperangan telah dilewati Ali, namun peperangan berikutnya yang lebih
sengit lagi sudah menunggu.
B. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij

Ali dengan Mu‟awiyah
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya,
Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi
korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus. Ia
segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis
pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa
pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang
terpotong.32 Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid
Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu
melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan
dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah
Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali.
---------30
Al-Maududi, Khilafah, hlm. 167.
Al-Maududi, Khilafah, hlm. 169.
32
Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir.
Lihat Jeje Zainudin, hlm. 98
31
63
Ditambah lagi dengan keputusan Ali memecat Muawiyyah menyebabkan
kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan -- bukan menolak -pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas.
Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali
bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyah, tuntutan para pembunuh Utsman
harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari
kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah
berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti
dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara
bulat dari kalangan umat untuk membaiatnya.33
Telah disinggung sebelumnya, dan mengapa Ali menangguhkan qishash
terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah
masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau
membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Utsman dituntaskan. Ada dugaan
saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh
Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan
pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin
---------33
Alasan kedua yang dikemukakan oleh Muawiyyah tidaklah tepat. Ali Audah bahkan
menyebut alasan itu terkesan mengada-ada. Sebab, yang tidak membaiat Ali saat itu hanya
beberapa orang. Dan itu pun bersikap netral dan tidak menentang kekhalifahan. Alas an pertama
juga dalam pandangan Ali Audah agak rancu. Jika memang alas an tersebut menjadi dasar
penentangan Muawiyah terhadap Ali tentunya saat Muawiyyah menjadi pemimpin Negara, kasus
seharusnya Muawiyah mengusut siapa kasus terbunuhnya Utsman. Akan tetapi, Muawwiyah tidak
pernah melakukannya. Lihat Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain,
Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah, (Litera
AntarNusa, Jakarta: 2007), cet. Ke-3, hlm. 204.
64
memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para
pemberontak.34
Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution
mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir,
yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah
Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak
mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan
Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir
Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan
penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui
penduduk Mesir, salah satunya mengangkat Abdullah bin Sa‟ad bin Abi
Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka
Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk
mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran,
Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu
menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan
mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan
delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa‟ad bin
Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh
Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad
bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat
perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat
---------34
Harun Nasution. hlm. 7
65
yang—katanya—dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang
memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh
para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar.
Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu
target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut
Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.35Mungkin
karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan
termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi
salah satu tersangka.
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman,
ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah
menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah
yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain,
Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah,
“dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat
itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk
menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan
statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk
dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah36 [Abu Bakar], saya
meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak
membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.37
---------35
Joesef Soy‟b, hlm. 444-454
Perkataan Utsman kepada Muhammad bin Abi Bakar kala itu adalah; “Kemenakanku,
sekiranya ayahmu masih hidup, kau tidak akan memperlakukan aku seperti ini.”
37
Ali Audah, hlm. 216
36
66
Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa
tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah
kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin
Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang
diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk
kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu
tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu,
dan
memungkinkan
mudahnya
para
perusuh
mengadu
domba
dan
memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Mu‟awiyah mempunyai sikap tegas
untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah
pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan
Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut
pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari
perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu
bersitegang.
Ali sendiri ketika menghadapi tantangan Muawiyah telah melakukan
berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah,
mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut
selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas
surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang
bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa
menyebut gelar Amirul Mukminin.38
---------38
Ali Audah, hlm. 204
67
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi,
negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil
kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan
tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih
dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.
Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali,
seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang
tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih
dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini
seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah
dan Abdullah bin Umar. Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu‟bah tatkala itu
bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah
pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih
dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat.
Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok
opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.39
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam
waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah
tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan
pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana
Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun
menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus
---------39
Abbas Mahmud al-Aqqad, hlm. 70
68
lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin,
suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria.
Perang pun terjadi, kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah
tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram
awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan
sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri
pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Tragedi ini merupakan
malapetaka amat besar yang patut disesalkan. Saat perang dahsyat itu
berkecamuk, pasukan Ali hamper saja memenangkan pertempuran. Tercatat
7.000 orang Islam gugur.40 Sedang luka korban fisik tidak terhitung.
Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai
terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angin. Muawiyah yang sudah
berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh
beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat
untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua
bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian
pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang
menyuruh Ali untuk menerimanya.
Menarik untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat
ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu
sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan
pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy‟ats
---------40
Didin Saefudin Buchori, hlm. 45
69
bin Qais al-Tamimy, Mis‟ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn alThaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya
(khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain
justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk
menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk
melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan
bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut
Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa
setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin
Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak
Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim.41 Kemungkinan
cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena
ingin mensucikan Ali dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij.
Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti
bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari
pihak Muawiyah.42
Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua kelompok, namun
akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan
perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara
masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak
Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan dari pihak Ali mengajukan
---------41
Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa
Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI alHaramain, Jakarta: 1994), cet. I, hlm. 474
42
Prof. Dr. Muhammad Amhazun, hlm. 483
70
Abu Musa al-Asy‟ari sebagai juru runding.43 Perundingan tersebut rencananya
akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul
Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu
Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun
dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi
saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati
kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah
diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena
persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing
yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan
menyindirnya
sebagai
keledai
yang memikul
kitab.
Gagallah
misi
perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada
Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan
yang terhormat di hadapannya.

Ali dengan Kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir hasil perundingan tentu saja
dimenangkan oleh Muawiyah,44 sedangkan kelompok Ali terbelah menjadi
dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan
menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai kaum
----------
43
Didin Saefudin Buchori, hlm. 45
Didin Saefudin Buchori, hlm. 46
44
71
khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima
tahkim.
Kemudian mereka bukan tidak mengakui bahwa mereka tadinya
mendesak Ali supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih menyalahkan
Ali, kata mereka : “Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut pekataan
kami, padahal engkau tahu bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus
mempunyai pandangan yang jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan
yang lebih tepat dari pendapat kami.”45
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12.000
orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di
Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta
syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal
menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa
perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh
diputuskan oleh arbitrase (tahkim) manusia. Putusan hanya dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.46
Ketika Ali sedang berkhutbah Jum‟at, sebagian orang Khawarij
meneriakinya dengan kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali
mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan
kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu
memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan
mengampanyekan pahamnya dengan slogan “hukum itu hanya milik Allah.”
---------45
Hilmi Ali Sy‟ban, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm.32
cet. I
46
Harun Nasution, hlm. 8 dan 13
72
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim
itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas
ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali
bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan
bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagian dari mereka tetap
bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk kelompok sendiri. Abdullah
bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa
menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya
bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah
terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh
siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang
sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi
korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan
dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut.
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari
pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama,
mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta
semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena
Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan
gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah
perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian
dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib.
73
Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah
dalam masalah hukum, sebab ia telah menyerahkan keputusan politiknya
dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah
pihak, bukan kepada Allah. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah
bukan milik manusia. Adapun Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang
harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij
berargumen dengan ayat, yang berbunyi :
‫ن‬
َ ْ‫ك هُمُ اْلكَبفِرُو‬
َ ‫ل اهللُ َفبَُل ِئ‬
َ ‫َو َمهْ َلمْ َيحْكُمْ ِب َمب أَوْ َز‬
Artinya : barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Almaidah ayat 33. Di ayat berikut Allah menjelaskan :
‫ن‬
َ ْ‫ك هُمُ الّظَبلِمُو‬
َ ‫ل اهللُ َفبؤَُل ِئ‬
َ ‫َو َمهْ َلمْ َيحْكُمْ ِب َمب َاوْ َز‬
Artinya: barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. AlMaidah ayat 45.
Berdasarkan kedua ayat itu kaum Khawarij menetapkan
‫الحُكْ َم ِاَلب اهلل‬
َ
“tidak ada yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah”.
Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan
membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi
pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi
mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anakanak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar
karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta
bendanya.
74
Alhasil, perselisihan kemudian diselesaikan melalui perundingan.47 Ali
mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping
ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali
ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas
menjawab dengan beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai
Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tidak
mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak
beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan
mengubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi
pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan
perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi
permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul
Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak
keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad saw.,
sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar
menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad
Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”.48
---------47
Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam¸ cet I. 2009. hlm.45
Q.S Al-Ahzab: 21
48
75
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah di bidang hukum
karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan
mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah
kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan
harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua
utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah,
agar bermusyawarah dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan
Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran
mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh
wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.
Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga
yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding
untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka
lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan
kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta
rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi
mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara
tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau
kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir,
dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir
juga”.
76
Bagaimana pun kaum Khawarij tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa
kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompok Ali
dan kelompok Muawiyah, „Amr bin “Ash dan Abu Musa al-Asy‟ari, yaitu
orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Atas dasar ayat al-Quran di atas
mereka menetapkan bahwa keempat orang ini telah menjadi kafir dan harus
dibunuh. Oleh sebab itu membuat rencana untuk membunuh orang-orang yang
terlibat tahkim itu. Dalam menjalankan tugas itu mereka membagi tugas dan
menetapkan bagaimana cara pelaksanaan eksekusi itu. Mereka merencanakan
pelaksanaan eksekusi serentak pada waktu subuh. Waktu ini dipilih ketika
semua mereka itu keluar untuk menjalankan shalat subuh. Ketika waktunya
tiba setiap petugas turun dan ternyata yang berhasil adalah pembunuh Ali yang
bernama Abdurahman bin Muljam.49 Ali wafat seketika, sedangkan yang
ditugasi membunuh Mu‟awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asya‟ri gagal
sehingga yang wafat hanyalah Ali bin Abi Thalib saja.
Wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah pola kepemimpinan
Khalifah Rasyidin. Kemudian diserahkan kepada Hasan.50 Hal itu membuka
babak baru bagi sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem khilafah
menjadi sistem kerajaan. Sistem yang tersebut terakhir berjalan dalam masa
yang cukup lama.
Selanjutnya analisa penulis mengenai perkara politik yang menyinggung
tentang ketiga konflik diatas yaitu pertama, antara Ali bin Abi Thalib dengan
Thalhah, Zubair dan Aisyah, kedua, antara Ali dengan Mu‟awiyah, dan ketiga,
---------49
Didin Saefuddin Buchori, hlm. 46
Didin Saefuddin Buchori, hlm. 46
50
77
antara Ali dengan Kaum Khawarij. sebagaimana perkara yang yang diungkap
di atas bahwa Aisyah tidak setuju Ali menjadi Khalifah pengganti Utsman
akan tetapi Aisyah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah
Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian berbeda dengan sahabat senior yaitu
Thalhah dan Zubair yang pada mulanya mereka membai‟at Ali tetapi di akhir
kisah mereka bersekongkol untuk memerangi Ali. Mereka juga menginginkan
kedudukan sebagai Khalifah akan tetapi rakyat Madinah tidak memihak
kepada mereka, maka dari itu, ada kecemburuan terhadap Ali di samping
mereka juga menuntut tragedi pembunuhan Utsman kepadanya.
Begitu pula halnya dengan Mu‟awiyah bin Abu Sofyan yang sangat
menginginkan jabatan kekhalifahan, dengan berbagai pengalaman yang ia
miliki sebagai politikus dan administrator yang pandai51, wajar saja Umar
memilihnya sebagai Gubernur Syam pada waktu itu, akan tetapi ketika di
masa Ali, Mu‟awiyah dilengserkan dari kedudukannya, maka dari itu
Mu‟awiyah membuat siasat untuk menjatuhkan Ali, dengan dalih menuntut
pembunuhan Utsman.
Kemudian persoalan munculnya kaum khawarij, tidak terlepas dari
persoalan agama dan politik dimana ketika terjadinya tahkim antara kelompok
Ali dengan Mu‟awiyah, kelompok ini beranggapan bahwa itu tidak sesuai
dengan nash-nash al-Quran dan mengkafirkan pelaksananya. Setelah mereka
keluar dari kelompok Ali, maka mereka dikenal dengan istilah kaum
Khawarij. Mereka juga berambisi untuk merebut kekuasaan Khalifah Ali bin
---------51
http://nasrullahsaid.blogspot.com/2011/09/akar-konflik-politik-sayyidina-usman.html
78
Abi Thalib pada waktu itu, karena dianggap pemerintahan yang tidak sesuai
lagi dengan al-Quran dan sunnah dan ingin mendirikan negara sesuai dengan
pendapat mereka yang dianggap benar.
Maka dari itu, konflik-konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin
Abi Thalib sangat kental dengan fenomena politik. Dan tak terlepas pula dari
unsur-unsur lain seperti hukum (qishash) maupun agama.
C. Faktor-Faktor
Terjadinya
Konflik
Pada
Masa
Pemerintahan
Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Ada beberapa faktor masalah yang dianggap sebagai pemicu terjadinya
konflik di masa Ali ra. Yaitu kebijakan-kebijakannya yang menyangkut : a)
pemecatan Muawiyah sebagai Gubernur Syam, b) penyerahan pembunuh
Utsman ra, c) penerimaan tahkim dalam peristiwa Shiffin.52
a). Pemecatan Muawiyah sebagai Gubernur Syam
Masalah-masalah itulah yang menimbulkan banyak persengeketaan dan
perbedaan pendapat. Dalam masalah pertama yaitu pemecatan Muawiyah.
Dikatakan bahwa Ali ra telah menolak pendapat Mughirah bin Syu‟bah dan
Ibn Abbas, serta Ziyad bin Handhalah At-Tamimi. Padahal mereka adalah
para ahli politik Arab yang terkenal lihai. Mughirah setelah melakukan baiat
kepada Ali ra datang menghadap dan berkata:
“Bagimu adalah hak, ketaatan, dan nasihat. Hari ini menyebabkan apa
yang akan terjadi esok. Kita akan kehilangan hari ini apabila melupakan hari
----------
52
Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, (Solo:CV. Pustaka Mantiq),
hal. 99
79
esok. Sebaiknya, Muawiyah tetapkan dalam jabatannya. Dan para pejabat lain
selama mereka masih menunjukkan kesetiaan dan ketaatan, biarkan mereka. “
“Aku tidak sepakat dengan itu. Aku tidak suka berbuat kompromi selama
berkaitan dengan agamaku,” jawab Ali ra.
“Anda boleh saja mengganti semuanya, kecuali Muawiyah. Dia
mempunyai keberanian dan kekuasaan. Seluruh Syam ada di bawah
pengaruhnya. Umar ra telah mengangkatnya berkuasa sebagai wali atas
seluruh Syam. Itu sebenarnya dapat menjadi alas an anda untuk
menetapkannya…,” kata Mughirah.
Demi Allah….! Aku menolaknya. Aku tidak akan mempertahankannya
walau untuk dua hari saja,” jawab Ali ra keras.
Sekeluar Mughirah, masuk Ibn Abbas yang menanyakan bagaimana
dengan saran Mughirah. Ali ra mempertanyakan mengapa itu harus dilakukan.
Ibn Abbas pun berkata,
“Anda dan kita semua mengetahui bahwa Muawiyah dan para sahabatnya
adalah orang-orang yang senang keduniaan, jika dia anda tetapkan dalam
jabatannya, dia tidak akan peduli siapa yang menjadi atasannya dan
bagaimana caranya. Tetapi jika anda pecat, dia akan menusuk anda
mengambil jabatan ini bukan dari musayawarah. Tetapi dari hasil
pembunuhan Utsman ra. Dan ini akan membuat ahli Syam dan Irak datang
menuntut hak dan darah Utsman ra.”
Tetapi khalifah Ali ra. Tetap pada pendiriannya. Tak lama kemudian
tersiar kabar bahwa Muawiyah menentang khalifah. Ziyad bin Handhalah AtTamimi melaporkan keadaan itu kepada Ali ra. Ziyad termasuk salah satu
penasihat Ali ra. 53
---------53
Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm. 100
80
Itulah perbedaan pendapat antara Khalifah Ali ra. Dengan mereka yang
telah terkenal sebagai ahli siasat.
Adapun Khalifah Ali ra. Tidak bias menetapkan Muawiyah dalam
jabatannya dikarenakan dua sebab. Yaitu :
Pertama, jauh sebelumnya Ali ra telah sering menyarankan kepada
Khalifah Utsman ra untuk memecat Muawiyah. Ali ra tidak bias menerima
alasan bahwa Umar ra lah yang telah mengangkat Muawiyah di Syam.54
Bukan itu saja. Ali ra juga menyarankan untuk memecat pejabat-pejabar lain
yang mulai menampakkan ambisi keduaniaannya. Itu demi kebaikan dan
kestabilan pemerintahan Utsman ra sendiri. Banyak alasan yang dikemukakan
Khalifah Utsman ra, di antaranya adalah Khalifah Umar ra lah yang
mengangkat. Ali ra berkata, “Di zaman Umar ra Muawiyah memang takut
kepadanya. Tetapi sekarang, setelah Umar ra meninggal tiada lagi yang
ditakutinya satu pun.”
Setelah menduduki jabatan, apakah Ali ra harus berpaling dari
pendapatnya itu? Apakah dia harus mempertahankan alasan yang ditentangnya
itu? Apakah dia juga akan berpaling dari umat yang membaiatnya untuk
mengubah suasana dan keadaan? Apakah dia harus tetap mengikuti pola
pemerintahan Khalifah Utsman ra yang banyak dikecam itu?
Tentunya tidak bukan? Beliau harus tetap konsekuen dengan apa yang
menjadi kebijakannya. Beliau juga sebenarnya tidak ingin berlaku kekerasan.
Masih ingatkah kita, bagaimana Thalhah dan Zubair di peristiwa Jamal
----------
54
Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm.101
81
mendahului menyerang karena takut dengan usul perdamaian yang diajukan
beliau? Bukankah mereka menyerang orang-orang Bashra lebih dahulu
sebelum ada komando dari beliau? Mereka sesungguhnya khawatir karena
dengan perdamaian mungkin perubahan tidak akan terlaksana. Baiklah kita
tinggalkan masalah itu dan kembali ke persoalan semula.
Sekarang kita lihat kemungkinan lain. Yaitu dengan mengakui dan
mempertahankan Muawiyah dalam jabatannya. Apakah dengan demikian akan
menjamin keadaan dan keselamatan? Tidak …sekali-kali tidak akan demikian.
Apalagi jabatan itu tidak harus dipegang selama hidup. Juga wajar bukan
apabila orang ingin menduduki jabatan yang lebih tinggi?
Itulah sebabnya sebenarnya yang terjadi. Dengan kedudukannya
Muawiyah berusaha memperkokoh diri dan menancapkan kekuasaannya di
Syam. Ambisi yang ada jelas! Dia ingin kekuasaan Syam terus berada di
tangan keturunannya. Dengan kekuasaannya itu dia mempersiapkan diri untuk
mencari kesempatan mewujudkan angan dan citanya itu. Aneka cara
dikumpulkan untuk mencari pendukung. Tinggal kesempatan saja untuk
merebut kekuasaan dari tangan Khalifah yang sebenarnya.
Kedua, Khalifah Utsman ra terbunuh. Itulah saat yang ditunggu
Muawiyah. Kematian Utsman ra dapat dipakai upaya menuntut darah Utsman
ra. Dapat dipakainya merebut simpati para penuntut pembunuhnya itu. Dan
kesempatan itu tak disia-siakan. Muawiyah telah lama tahu bahwa Ali ra tidak
menghendaki dia dalam jabatan. Bahwa Ali ra telah mengetahui ambisi
82
pribadinya. Dan tentu saja dengan pengangkatannya Ali ra sebagai khalifah
berarti mengancam kedudukannya.55
Inikah keadaan sebenarnya. Apakah untungnya Khalifah Ali ra,
menetapkan Muawiyah dalam jabatannya? Muawiyahlah yang justru
beruntung. Keadaan yang kacau memberi kesempatan dia menyusun kekuatan.
Jauh sebelumnya Muawiyah sudah berkeinginan melepaskan diri dan
mendirikan kerajaan baru dengan Syam sebagai pusat pemerintahan. Selagi
Ali ra disibukkan dengan situasi, maka Muawiyah pun ikut-ikutan mengrongrong Ali ra. Muawiyah paham, jika keadaan aman dan stabil maka pasti Ali
akan melaksanakan kebijakannya. Yaitu mencopot dari jabatan di Syam. Dan
tentu saja itu amat tidak diinginkannya. Untuk menyelamatkan umatlah
kebijaksanaan Khalifah Ali ra itu dimunculkan tanpa melihat usul para ahli
siasat tersebut.
b). Penyerahan Pembunuh Utsman ra
Permasalahan selanjutnya yang cukup rumit adalah tindakan terhadap para
pembunuh Khalifah Utsman ra. Mereka para penuntut darah Utsman menuntut
agar Ali ra menindak mereka yang membunuh Utsman ra. Padahal mereka itu
sendiri tidak membaiat Ali ra. Dengan demikian jelas, bahwa sebenarnya
mereka tidak dapat menuntut Ali ra mengadili para pembunuh Utsman ra.
Apalagi mereka sendiri pun sebenarnya tidak tahu siapakah sebenarnya
pembunuh itu. Tidak jelas memang masalahnya. Siapa yang dituntut? Siapa
yang berhak menuntut? Siapa yang berhak mengadili?
----------
55
Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib ,hlm.103
83
Mereka sebenarnya mengetahui dengan jelas bahwa Khalifah Ali ra tidak
mungkin melakukan apa yang dituntutkan sebelum keadaan pemerintahan
stabil. Namun sepertinya itu sengaja dilakukan. Dalam keadaan yang belum
stabil, mereka mendesak dan menuntut Ali ra mengabulkan permintaan
mereka.
Satu kali Khalifah Ali ra membicarakan tentang pembunuhan Khalifah
Utsman ra. Ternyata muncul tidak kurang sepuluh ribu tentara yang mengakui
mereka semualah pembunuh Utsman sambil menghubus senjata. Apakah
mungkin Khalifah menindak pembunuh Utsman harus mengambil dan
menindak mereka semuanya. Melihat demikian, Khalifah Ali ra berkata
kepada mereka yang menuntut,
“Aku sebenarnya tidaklah bodoh atas apa yang kalian ketahui. Tetapi aku
harus berbuat bagaimana menghadapi satu kaum yang menguasai kita sedang
kita tidak menguasai mereka. Kini, mereka sudah memberontak dibela budakbudaknya. Pula disertai suku mereka di dusun. Mereka berbuat sekehendak
sendiri di sekitar kalian. Nah…, apakah kalian melihat satu kemungkinan
melaksanakan seperti yang kalian kehendaki?
“Sebenarnya masalah ini adalah masalah jahiliyah. Mereka mempunyai
dassar pokok tindakan mereka. Dan pendapat tentang masalah ini pun tidak
sama. Sebagian berpendapat sebagaimana kalian. Sedangkan tidak
berpendapat demikian. Sekelompok lagi tidak berpendapat apa-apa. Mereka
diam menunggu keadaan tenang dan stabil. Bersabarlah kalian…! Jika
keadaan telah mantap, pasti tiap hak akan diselesaikan. Sekarang…, urusi
keadaan masing-masing. Percayalah…, aku pasti akan mengabulkan
permintaan kalian jika tiba waktunya.”56
---------56
Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm. 107
84
c). Penerimaan Tahkim dalam peristiwa Shiffin
penerimaan tahkim pun tidak sedikit yang mencela. Mereka para pencela
itu tidak mau melihat keadaan sebenarnya. Sebenarnyalah, Khalifah Ali ra
sama sekali tidak berniat menerima tahkim tersebut. Apalagi saat pasukan
beliau berada di ambang kemenangan. Dia terpaksa menerima karena
pasukannya menghentikan peperangan tanpa perintahnya. Bahkan telah terjadi
salah paham yang mengakibatkan mereka saling membunuh. Kaum “Huffad”
dan “Qurra” telah menyebarkan dan menyerukan untuk menghentikan
peperangan. Bahkan sebagaimana peristiwa terbunuhnya Utsman ra jika tidak
dihentikan. Juga memaksa Ali ra untuk segera memanggil Panglima Al-Asytar
yang sedang mengejar musuh yang melarikan diri. Kemenangan sudah di
ambang pintu…!
Mereka mencela juga pengiriman Abu Musa sebagai utusan. Mereka lupa
mungkin bahwa itu pun karena paksaan, sebagaimana pemaksaan tahkin. Tapi
sebenarnya, Ali ra telah melihat bahwa siapa pun yang dikirim hasilnya akan
sama. Memang mungkin Abu Musa itu orang yang lemah dan penuh keraguraguan. Tapi mereka juga lupa bahwa itu pun di paksakan untuk diterima. Aba
Musa, Al-Asytar, ataupun Abdullah Ibn Abbas jelas tidak akan berhasil. Amru
bin Ash tidak mungkin mencopot Muawiyah dan mengakui kekuasaan Ali bin
Abi Thalib ra. Apalagi setelah penawaran kelompok Muawiyah dengan Amru
bin Ash-nya telah mempunyai siasat yang pasti akan dicapainya dengan jalan
apa pun.
85
D. Strategi Ali Dalam Menyelesaikan Konflik Politik Di Masa Itu
Di antara masalah yang dirasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin
Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar yang
perlu dicermati. Berbagai konflik atau tepatnya fitnah yang begitu dahsyat
telah terjadi di kalangan para sahabat. Orang-orang yang terlibat dalam
konflik itu sesungguhnya adalah generasi sahabat yang disebut di dalam alQur‟an sebagai Khairu Ummah dan semua peristiwa yang terjadi benar-benar
tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sendiri. Hal itu
menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim,
termasuk dalam kajian ini. Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini,
bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi
sahabat di masa itu.
Sudah dipahami bahwa satu peristiwa tidak dapat tidak berkaitan dengan
peristiwa yang lain, yang disebut dengan kausalitas. Konflik yang
menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin
Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan
dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah
sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahannya. Pembunuhan
sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan
Utsman dan rakyatnya. Insiden itu
berawal dari pembangkangan yang
dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Bhasrah terhadap kekhalifahan
Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai berbau
86
nepotisme. Oleh karena itu, mereka meminta khalifah Utsman untuk memecat
para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai, seperti Al-Walid bin
Uqbah Gubernur Kuffah, Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah Gubernur Mesir.
Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes
dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.
Khalifah Utsman
akhirnya bersedia mengabulkan permintaan mereka dan mengganti Al-Walid
bin Uqbah dengan Sa‟id bin Ash, dan Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah
dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi
rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme
kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri
untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.
Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali
lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka
membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman
yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel
Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar
menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah
Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam
itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk
mengklarifikasi keberadaan surat itu. Seorang khalifah yang begitu baik
sangat sulit dipercaya akan memerintahkan itu. Dimungkin ada orang lain
yang memanfaatkan situasi ini. Tetapi itulah yang ditebus Utsman dengan
nyawanya sendiri.
87
Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu
menyisakan banyak teka-teki yang tak kunjung memuaskan. Mengenai
misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar, siapakah sebenarnya
yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal ini telah salah
satu menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib.
Pembai‟atan Ali berjalan dengan mulus karena mayoritas penduduk
Madinah menerima kekhalifahan Ali dengan antusias. Setelah dilantik
menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk
pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis
besar dari visi politiknya. Ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu.
Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan
oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan
mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara
tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang
paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan
ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga,
tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.
Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala
gangguan kedzaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan
masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan
landasan ketaatan kepada Allah swt. Meskipun pembai‟atan Ali berjalan
88
mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum
muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Ada kelompok lain yang melarikan diri dari Madinah ke Syam segera
setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam
pembai‟atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani
Umayyah dan para pendukung setianya. Ada kelompok yang menangguhkan
pembai‟atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi.
Dan ada kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai‟at kesetiannya
kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat
pembaiatan Ali. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal
terhadap Utsman bin Affan. Ada kelompok sahabat penduduk Madinah yang
menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi
pembai‟atan. Setelah terjadi pembai‟atan, sebagian kecil mereka tidak pulang
ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Sikap
kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah
Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti
diungkapkan di atas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik
menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak
baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah
ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad
hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang
disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam
yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi
89
barometer keutuhan umat. Sebab, di sinilah berkumpulnya para sahabat Nabi
yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja
sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik publik, maka
penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya.
Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka
menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat
cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan
korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan
Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang
penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat
dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya
saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun
Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin
untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh
oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap
Muawiyah. Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka
hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga
tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui
ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij
(nenek moyang wahabi), meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada
nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus
Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal.
Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik
90
ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan
mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau
muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor
penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syi‟ah yang
mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan
pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir
terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena
tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka semua status keimanan
seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai
seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada
hati dan niat tindakan para pelaku itu sendiri. Terakhir, konflik yang terjadi
diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa,
dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat
Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair
al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi umat akhir zaman ini. Namun
bagaimana seharusnya hal itu disikapi secara positif agar untuk dijadikan
pengajaran.
BAB V
PENUTUP
Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan secara luas bagaimana terjadinya
konflik dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Dalam bab ini sampailah
penulis bagian akhir dari tulisan yang berisi penutup. Bab ini dituangkan dalam
kesimpulan dan saran-saran dengan urutan sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib penuh dengan konflik. Dan Ali sendiri
mewarisi konflik dari pemerintahan sebelumnya. Sumber-sumber konflik
itu sudah ada pada pemerintahan Utsman, dan Ali menjabat sebagai
khalifah dalam suasana rakyat yang kurang stabil.
2. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka
menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat
cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan
korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan
Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang
penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat
dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan
pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah,
Thalhah maupun Zubair tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali
sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja,
91
92
cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Dan pada akhirnya perang
yang dinamakan perang jamal (tahun 656 M) itu pun tak dapat dihindari.
3. Konflik antara Ali dengan Mu’awiyah (Mei-Juli 657 Masehi) disebabkan
ambisi yang besar untuk merebut kekuasaan. Oleh sebab itu ia beralasan
belum mau mengakui Ali sebagai Khalifah sebelum pembunuh Utsman
tertangkap dan dieksekusi. Buktinya setelah ia berhasil memegang
kekuasaan, persoalan pembunuhan Utsman hilang begitu saja dan tidak
digubris lagi.
4. Konflik dengan kaum Khawarij disebabkan campuran faktor politik dan
agama. Pada mulanya kaum Khawarij merasa kecewa dan tidak puas
dengan kebijakan Ali menerima tahkim dalam penyelesaian konflik
dengan Muawiyah. Di satu sisi mereka tidak mendapat rampasan perang
yang hampir berhasil karena perang terhenti disebabkan tahkim. Setelah
itu tahkim ternyata membawa kekalahan yang mengecewakan bukan
kemenangan. Setelah itu konflik berlanjut dengan mengangkat motif
agama karena kaum Khawarij memandang tindakan tahkim diambil tidak
berdasarkan ketentuan al-Quran, tetapi atas inisiatif pikiran manusia
semata dan itu membuat pelaksananya kafir.
5. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan
sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua
itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika
sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami
konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya
93
secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
B. Saran-saran
1. Pembahasan tentang konflik politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib yang penulis lakukan ini terasa belum tuntas. Banyak informasi
yang belum penulis peroleh disebabkan kekurang-mampuan penulis, baik
karena referensi yang kurang lengkap, maupun kelemahan penulis dalam
menguraikan kronologis setiap peristiwa yang ada. Oleh sebab itu,
disarankan kepada teman-teman prodi Siyasah Syar’iyah khususnya
maupun prodi lain yang terkait dan tidak tertutup kemungkinan bagi
masyarakat umum untuk melanjutkan pembahasan ini dengan pembahasan
yang lebih sempurna.
2. Kepada Bapak dan Ibu Dosen yang mendalami sejarah politik Islam,
khususnya mengenai kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
disarankan untuk memberikan arahan serta bimbingannya agar kami para
mahasiswa lebih memahami persoalan ini secara lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Ali bin Abi Thalib, Solo: CV. Pustaka Mantiq,
1994.
Abu Himam Jeje Zainudin, Akar Konflik Umat Islam, Bandung: Persis Press,
2008.
Al-Amini, Abdul Husain, Syaikh, Ali bin Abi Thalib Sang Putra Ka’bah, Jakarta:
Al-Huda, 2003.
Al-Maududi, Khilafan Dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1978.
Audah Ali, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, Jakarta: Litera
Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010.
Ash-Shalabi Ali Muhamamd, Biografi Ali bin Abi Talib, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2008.
Bangun Antonius (Ed.), Password English Dictionary for Speaker of Bahasa
Indonesia, Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah Corp, 1993.
Buchori Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermassa,
2009.
Bustomi Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008
Consuelo g. sevilla, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: penerbit universitas
Indonesia (UI-Press), 1993.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1993.
Djazuli H.A, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.
Fouda Farag, Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim, Jakarta : Dian Rakyat, Cetakan kedua, 2008.
Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research.
USA: Pearson Education Inc.
Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Dept. Agama R.I, 1986.
Hitti Philip K, History of the Arabs, terjemahan, Jakarta: Serambi, 2008.
94
95
Imani Mahdi Faqih, Mengapa Mesti Ali?, Jakarta: Citra, 2006.
Jordac George, Khalifah Terakhir, Jakarta: Zahra Publishing House, 2013.
Karim Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, Cetakan pertama, 2007.
Khalid Amru, Biografi Khulafaur Rasyidin, Solo: PT. Aqwam Media Profetika,
2012.
Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah,
Bandung : CV Diponegoro, 2006.
Katsir Ibnu, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul
Haq, 2004.
Lahiji Qurbani, Risalah Sang Imam, Ajaran Etika Ali bin Abi Thalib, Jakarta: alHuda, 2011.
Mahzun Muhammad, Meluruskan Sejarah Islam, studi kritis peristiwa tahkim,
Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Murad Musthafa, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib, Jakarta: Zaman, 2013.
Mursi Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2007.
Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986.
Nasution Syamruddin, Arbitrase, Riau: Yayasan Pustaka, 2011.
Nasir Syed Mahmudun, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung: Remaja
Rusda Karya, 1991.
Qudamah Ibnu, Al-Mughni, Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li ibn Qudamah,
Pustaka Azzam, jilid 8.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Siraj Ibrahim, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010.
96
Situmorang Jubair, Politik Ketatanegaraan dalam Islam, Bandung : Pustaka Setia,
2012.
Sopyan Yayan, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok:
Gramata Peublishing, 2010.
Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008).
Sucipto Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan
Qardhawi, Bandung: Mizan, 2006.
Sya’ban Hilmi Ali, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004).
Wehmeir Sally, (Ed.), Oxforf Advanced Leaner’s Dictionary of Curren English,
Oxford university Press, 2007.
Zainudin Muhadi dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra
Mediatama Press, 2008.
INTERNET
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
http://nasrullahsaid.blogspot.com/2011/09/akar-konflik-politik-sayyidinausman.html
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/analisis-sejarah-pemerintahan-alibin.html
Download