KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) Oleh : Ahmad Ridhawi NIM 109045200003 KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1435 H LEMBARAN PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 23 Januari 2014 Ahmad Ridhawi iv iv ABSTRAK Ahmad Ridhawi, 109045200003, Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Konsentrasi Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2013, x+94 halaman. Masalah pokok dari penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor politik yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib Jenis penelitian ini adalah metode penelitian sejarah (history) dengan tujuan untuk memahami masa lalu, dan mencoba menguraikan berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di masa lampau. Jenis data dalam penelitian ini adalah lebih mendominasi kepada data primer yang diperoleh dengan teknik studi pustaka berupa referensi-referensi mengenai Sejarah Peradaban Islam pada masa sahabat, yaitu Sahabat Ali bin Abi Thalib dan tidak terlepas dari analisa-analisa yang positif sehingga memperoleh data-data sejarah tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa konflik yang mewarnai pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Maka dari itu, dengan penelitian ini dapat memberikan pandangan yang positif terhadap sosok Ali bin Abi Thalib ketika menghadapi persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terlepas dari AlQuran dan Sunnah. Kata kunci : Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib Pembimbing : 1. Iding Rosyidin, M.Si 2. Masyrofah, M. Si Daftar Pustaka : 1978 s.d 2013 v KATA PENGANTAR حيْ ِم ِ َن الّر َ ِبسْ ِم اهللِ الّرِحْ َم Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, karena tanpa bantuan, pentunjuk, bimbingan dan saran-saran mungkin penulis tidak akan dapat menyusun laporan ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Jurusan Siyasah Syar’iyah. 3. Bapak Afwan Faizin, MA, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Jurusan Siyasah Syar’iyah. 4. Bapak Dr. Muhammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik. vi 5. Bapak Iding Rosyidin, S.Ag., M.Si Dosen pembimbing I yang penulis hormati, selama bimbingan berlangsung beliau sangat membantu penulis, sehingga penulis bisa mempercepat penyelesaian skripsi ini. 6. Ibu Masyrofah, M.Si Dosen pembimbing II yang penulis banggakan, melalui tangan dingin beliau lah penulis banyak mendapat inspirasi dan ide-ide untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari referensi dan literatur buku selama kuliah. 8. Prof. Dr. H. Afrizal Mansur, M.A Dosen Akidah Filsafat UIN Syarif Kasim Pekanbaru, Riau dan juga sebagai Ayah bagi penulis yang telah banyak membantu memberikan masukan, saran, dan kritikan kepada penulis sehingga penulis dapat merangkai kalimat demi kalimat untuk menyelesaikan skripsi ini. 9. Ibuku tercinta Rukmini Dalil yang juga sangat berperan dalam mendukung pembuatan skripsi ini. Dengan kritikan pedas beliau setiap hari, penulis menjadi fokus kembali untuk menulis skripsi, sehingga skripsi penulis selesai tepat pada waktunya. 10. Semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan laporan ini. vii Pada kesempatan ini, penulis ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak apabila sewaktu mengerjakan skripsi ini ada hal-hal yang kurang berkenan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini, baik dari segi penulisan maupun isi pembahasannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu segala kritik dan saran yang membangun sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memenuhi syarat dan bermanfaat bagi siapa yang membacanya. Jakarta, 23 Januari 2014 Penulis Ahmad Ridhawi viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... iii LEMBARAN PERNYATAAN ............................................................................ iv ABSTRAK ..............................................................................................................v KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1 B. Identifikasi Masalah .........................................................................6 C. Rumusan dan Pembatasan Masalah..................................................7 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................8 E. Tinjauan Pustaka...............................................................................9 F. Metode Penelitian ...........................................................................10 G. Sistematika Penulisan .....................................................................12 BAB II MENGENAL ALI BIN ABI THALIB .............................................14 A. Riwayat Hidupnya ..........................................................................14 B. Pemikiran-Pemikiran Ali bin Abi Thalib ........................................24 BAB III KEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB ........................................ 31 A. Pengangkatan Ali sebagai Khalifah ............................................... 31 B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib ....................................... 41 BAB IV KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB .............47 A. Konflik Ali Bin Abi Thalib dengan Thalhan, Zubair dan Aisyah ......................................................................................48 ix B. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah Dan Kaum Khawarij ..............................................................................62 C. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib .....................................78 D. Strategi Ali dalam Menyelesaikan Konflik Politik di Masa itu ..........................................................................................85 BABV PENUTUP ..........................................................................................91 A. Kesimpulan .....................................................................................91 B. Saran-saran .....................................................................................93 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................94 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang sudah menganut agama Islam semenjak kecil, sehingga ia dijuluki anak muda yang tidak pernah memiliki keyakinan musyrik. Dari kecil ia diasuh dan dibesarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Nabi sendiri menyayanginya karena sifat-sifatnya yang mulia.1 Meskipun masih sangat muda Ali selalu menemani Nabi dalam menyiarkan misinya, dan telah menjadi pejuang yang terkemuka bagi Islam. Dia merupakan prajurit agung, dia berperang dan menjadi terkenal di dalam semua pertempuran yang dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum kafir dan orang-orang Yahudi. Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakan pedang maupun dalam menggunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seorang orator (ahli pidato), Ali merupakan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya menjadi buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya. Ia terkenal sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Disebabkan oleh ilmu, kebijaksanaan, dan kecerdesannya, nasihatnya sangat dihargai oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar, dan dia menempati kedudukan sebagai penasihat utama di dalam kekhalifahan mereka. ---------- 1 Syed Mahmudun Nasir, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung:Remaja Rusda Karya,1991, hlm.194 1 2 Ali adalah seekor singa dalam keberaniannya maupun kedermawanan dan keluhuran budinya. Sederhana, terus terang, tulus hati, dan lapang dada, adalah sifat-sifat Ali sehingga dia merupakan perwujudan dari semua kebajikan manusia. Akan tetapi, kesederhanaan, keterusterangan, dan kelapangdadannya ternyata merupakan kekurangannya sebagai seorang pengusaha karena dia mudah mempercayai orang-orangnya, maka musuhmusuhnya yang cerdik dengan mudah dapat menipunya. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dalam kelompok Khalifah Rasyidin. Ia dilantik menjadi khalifah mengganti Utsman bin Affan yang terbunuh oleh “sekelompok pemberotak asal Mesir”.2 Ali bukan hanya mewarisi jabatan ke-Khalifah, tetapi juga menuai konflik dari Utsman yang sudah tertanam dalam masyarakat Islam. “Sepanjang pemerintahan Utsman telah timbul berbagai ketagangan yang belum dirasakan sebelumnya”.3 Ali tidak dapat melepaskan diri dari konflik tersebut begitu saja. Konflik-konflik itu juga menjadi masalah besar sepanjang pemerintahannya. Badri Yatim mengatakan bahwa “Ali menghadapi berbagai pemberontakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil”.4 Hidupnya dijalaninya untuk menghadapi berbagai konflik dan ---------- 2 Ibrahim Siraj, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cetakan Pertama, 2010, hlm. 27. 3 Konflik timbul cukup kompleks, antara lain disebabkan perluasan kekuasaan, yang diikuti dengan perpecahan, baik oleh situasi umum maupun oleh ketidakmampuan Utsman sendiri untuk mengatasinya. Utsman dikepung di rumahnya di Madinah dalam kondisi tidak memiliki pasukan dan pengawal yang siap melindunginya. Lihat Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan dalam Islam, (Siyasah Dusturiyah), Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm. 184. 4 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 1996, hlm. 39. 3 pemberontakan, yang banyak muncul dari kalangan Islam sendiri dibandingkan dengan yang datang dari luar umat Islam. Memang Ali bin Abi Thalib termasuk salah seorang khalifah yang fenomenal dan mendapat jaminan dari Rasul untuk masuk surga. Mungkin ini pula salah satu faktor yang menyebabkan ia digolongkan pada kelompok Khalifah Ar-Rasyidin. Namun pengelompokan itu tidak menjaminnya terlepas dari berbagai masalah yang rumit sepanjang hidupnya.5 Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah pada bulan juni tahun 565 M melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.6 Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas peristiwa meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah sedang terjadi. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar agar menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Dia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui ---------- 5 Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta:pustaka book publisher,cetakan pertama, 2007,hlm, 89. 6 Muhadi Zainudin dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra Mediatama Press, 2008, hal. 70. 4 musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah. Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Ibn Umar dan Saad misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka membai’at secara terpaksa. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa mereka bersama kaum Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali. Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di berbagai kota. Mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru dan wilayah islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, 5 keluarga Ustman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.7 Sejarah mencatat bahwa dalam pengolahan urusan pemerintahan Ali juga selalu mengutamakan tradisi musyawarah sebagaimana pendahulunya, meskipun sudah kurang efektif, sebab telah terjadi friksi-friksi yang tajam dikalangan umat islam, yaitu antara kelompok Umayyah (pendukung Muawiyah) dan hasyimiyah (pendukung Ali).8 Tidak mengherankan jika kemudian pada masa kepemimpinan Ali, terjadi berbagai konflik-konflik, seperti perang jamal (onta) antara Ali dan Aisyah, perang shiffin antara Ali dan Muawiyah yang membelot sampai terjadinya tahkim9 (masing-masing pihak memilih seorang hakim) dan peritiwa itu terjadi pada tahun 34 H. Setelah selesai perang jamal dan perang Siffin lantas bukan berarti Ali terlepas dari konflik. Sebaliknya ia terpaksa menghadapi perlawanan dari tentaranya sendiri yang tidak setuju dengan penerimaan (tahkim) arbitrase10 dalam penyelesaian konflik dengan Mu’awiyah. Karena penerimaan tahkim ini Ali dan pasukannya mendapat kekalahan dalam peperangan maka sebagian pengikutnya membelot dan membentuk kelompok sendiri yang disebut dengan kaum Khawarij. Konflik dengan kaum ini ternyata sangat melelahkan bagi Ali dan yang tragisnya ini pula yang menyebabkan ia terbunuh. Terbunuhnya Ali ---------- 7 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hlm. 9596. Selanjutnya ditulis Dedi, Sejarah. 8 Dedi, Sejarah, hlm.71 9 Yayan Sopyan, M.Ag, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok: Gramata Publishing, 2010, hlm. 94 10 Tahkim atau arbitrase adalah sebuah proses yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu sengketa dengan mempercayakan kepada suatu pengetara, yaitu orang yang dipercayai dari kedua belah pihak yang bersengketa. Mungkin istilah ini identik dengan wasit. 6 kemudian menimbulkan babak baru dalam sistem pemerintahan di negara Islam. Begitulah gambaran umum tentang konflik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Uraian di atas belum mengungkap semua peristiwa yang terjadi. Untuk mendalami peristiwa ini lebih jauh, perlu dilakukan kajian yang mendalam sehingga pertanyaan yang ada dalam penelitian ini dapat dijawab dengan baik. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas sesungguhnya dapat diambil berbagai unsur yang menjadi identifikasi dari judul ini, antara lain : 1. Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi, yang termasuk kelompok Khalifah Rasyidin, mendapat jaminan dari Rasulullah Saw sebagai penghuni surga sehingga ada indikasi ia terlepas dari kesalahan dan kekeliruan, tetapi masa kepemimpinannya penuh dengan konflik dan tragedi memilukan. 2. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang masih belum banyak diketahui, dan perlu digali lebih mendalam. 3. Penilaian objektif terhadap sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat yang dianggap mumpuni oleh masyarakat umum dan perlu dipertanyakan karena berbeda dengan kenyataan sejarah yang diketahui. 7 4. Berbagai kemungkinan pengajaran yang dapat diambil dari fenomena pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk dianalisis secara politis akademis dan agamis. C. Rumusan Dan Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut, yaitu : 1. Bagaimanakah konflik-konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib? 2. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib? 3. Bagaimana strategi Ali dalam menyelesaikan konflik-konflik pada masa pemerintahannya? Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi masalah menjadi tiga faktor, yaitu : 1. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair dan Aisyah 2. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan 3. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Kaum Khawarij. 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengungkap konflik-konflik politik yang terjadi selama Khalifah Ali bin Abi Thalib menjalankan pemerintahannya. b. Untuk mengungkap faktor-faktor yang timbul dari konflik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu Manfaat praktis dan manfaat akademis. a. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memberikan pemahaman baru terhadap perjalanan perpolitikan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. b. Manfaat Akademis Adapun manfaat akademis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Terungkapnya pemahaman baru dalam masyarakat mengenai perjalanan politik pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang tidak terlepas dari konflik. b) Masyarakat mengetahui bahwa gelar Khalifah Ar-Rasyidin bukan berarti Khalifah Ali bin Abi Thalib terlepas dari kesalahan dan kekeliruan, melainkan juga menghadapi berbagai permasalahan manusia pada umumnya. 9 E. Tinjauan Pustaka Banyak buku yang membahas tentang perjalanan politik pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Buku yang paling banyak mengupas persoalan ini antara lain : 1. History of the Arabs, tulisan Philip K Hitti, yang diterjemahkan oleh R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Buku ini dipopulerkan sebagai rujukan induk paling terkenal dalam sejarah peradaban Islam. Isinya sangat luas mulai dari sejarah Arab sebelum Islam sampai terjadinya perubahan baru islam di abad moderen. Karena pemabahasannya sangat luas membuat penjelasan tentang konflik-konflik politik yang terjadi di masa Usman dan Ali tertuang dalam buku ini secara terpisah dan bentuknya sangat umum. Sulit untuk memahami jalan sejarah perpolitikan itu secara runtut sehingga perlu dibahas secara spesifik. 2. Buku Sejarah Peradaban Islam yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim, M.A, yang termasuk sebagai referensi primer di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sejak tahun 1990/1991. 3. Buku Biografi Ali Bin Ali Thalib yang ditulis oleh Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi pustaka al-Kautsar Jakarta, mengungkap secara luas. Pengalaman hidup dan problematika yang dialami Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahannya. 4. Uraian tentang tentang topik ini juga terdapat dalam Teologi Islam Karya Harun Nasution. Penulisnya mengungkap peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Khalifah Ali ini dari sisi teologis, yaitu menekankan 10 bagaimana hubungan setiap peristiwa itu dengan sekte-sekte teologi Islam. Berbeda dengan kedua buku ini, dalam tulisan penulis membahas secara khusus segala peristiwa yang terkait dengan konflik-konflik yang terjadi pada masa pemerintahan kedua sahabat Rasulullah Saw ini. Pembahasan ditekankan dalam hubungannya dengan proses pemilihan kepala negara dan kepala pemerintahan yang menyeret orang-orang yang dekat dengan Nabi Saw dan konsen untuk Islam. F. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah (history) yang merujuk kepada studi pustaka. Yang dimaksud dengan penelitian sejarah menurut Sejarawan Inggris E.H. Carr (dalam Gall, Gall & Borg, 2007)11 telah menjawab pertanyaan “What is history?”, Sejarah adalah suatu proses interaksi yang terus-menerus antara sejarawan dan fakta yang ada, yang merupakan dialog tidak berujung antara masa lalu dan masa sekarang. Artinya sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Dalam bahasa Arab kata, tarikh, ta’rikh, dan taurikh berarti pemberitahuan terhadap waktu, kadangkala kata tarikhusy syai menunjukkan arti, tujuan dan masa berakhinya. Termasuk di dalamnya peristiwa dan kejadian besar yang sejalan. Sejarah (tarikh) adalah suatu seni yang membahas tentang kejadian-kejadian waktu dari segi spesifikasi dan penentuan waktunya, ---------- 11 Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research. USA: Pearson Education Inc. 11 temanya manusia dan waktu, permasalahannya adalah keadaaan yang menguraikan bagian-bagian ruang lingkup situasi yang terjadi pada manusia dan dalam suatu waktu. 12 Data-data yang diperlukan dan akan dikumpulkan dalam penelitian adalah data-data sebagai berikut : a. Data-data tentang segala konflik yang terjadi, pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. b. Data-data yang terkait dengan penyebab-penyebab kenapa konflik itu terjadi. c. Data-data tentang akibat yang ditimbulkan oleh konflik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang membahas dan menyoroti konflik-konflik politik pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lain yang disebutkan adalah, History of the Arabs karya Philip K Hitti, dan Teologi Islam karya Harun Nasution, Politik Ketatanegaraan dalam Islam karya Jubair Situmorang, Pembunuhan Politik dalam sejarah Dunia kayra Ibrahim Suraj serta buku-buku lain yang menyinggung persoalan yang sedang dibahas. Pengumpulan dilakukan dengan cara mengumpulkan semua referensi yang terkait sebanyak mungkin agar data-data yang diperoleh lebih akurat dan saling mendukung. Kemudian pengumpulan data juga dilakukan dengan bertanya kepada orang-orang yang mungkin tahu dan memahami dengan baik ---------- 12 Hasan Utsman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta:Dept. Agama R.I, 1986) cet. ke-2 12 persoalan yang sedang ditulis. Dimungkinkan juga diperoleh data dari atikel, buletin, karya ilmiah, dan tidak tertutup melalui internet. Selanjutnya data-data yang sudah terkumpul dianalisa dengan cara menelaah semua data yang ada, memahami maksudnya dan kemudian menempatkannya sesuai dengan persoalan penelitian yang sudah dibuat. Rangkaian-rangkaian data itu disusun menjadi laporan penelitian sehingga terwujudlah hasilnya dalam bentuk skripsi. G. Sistematika Penulisan Agar lebih mudah memahami isi skripsi ini maka dibuat sistematika penulisan sebagai berikut : Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab dua membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup riwayat hidup dari masa kecil, pendidikan, prestasi dan kemajuan yang dicapai dalam pemerintahannya. Bab tiga membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup proses pemilihan serta pengangkatan yang berbeda dari ketiga Khalifah sebelumnya, dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pada masa pemerintahannya. 13 Bab empat membahas tentang konflik-konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup inti dari permasalahan skripsi ini. Bab lima adalah bagian akhir dari skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kemudian skripsi dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang dianggap perlu. BAB II MENGENAL ALI BIN ABI THALIB Pada bab ini penulis memperkenalkan siapa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib. Di sini penulis ingin mengemukakan berbagai sisi positif dari beliau karena tidak sedikit hal-hal baik yang terdapat pada diri sang Khalifah. Pembahasan ini bertujuan untuk menghindari sikap subjektif dan pandangan sepihak yang kurang baik jika sisi positif sang khalifah tidak dikemukakan, karena inti persoalan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini lebih kepada persoalan konflik yang cenderung kepada aspek negatifnya. Dengan mengemukakan aspek positif itu supaya keseimbangan pembaca melihat Ali bin Abi Thalib lebih kelihatan. Oleh sebab itu pembahasan dalam bab ini dibagi menjadi beberapa pasal sebagai berikut: A. Riwayat Hidupnya Namanya adalah Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf) bin Abdul Muthalib dipanggil juga dengan nama Syaibah al-Hamdi bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusai bin Kilab bin Lu‟ai bin Ghalib bin Pihir bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma‟ad bin Adnan. Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin.1 Dia adalah anak Paman Rasulullah dan bertemu dengan beliau pada kakeknya yang pertama yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim. Kakeknya ini memliki anak bernama Abu Thalib, sudara kadung Abdullah, ayah dari Nabi ----------- 1 Hepi Andi Bastomi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008, hlm. 22. 14 15 Muhammad saw. Nama yang diberikan kepada Ali pada saat kelahirannya adalah Asad (singa). Nama tersebut hasil pemberian ibunya sebagai kenangan terhadap nama bapaknya yang bernama Asad bin Hasyim.2 Ketika Ali lahir, ayahnya Abu Thalib tidak ada di tempat. Oleh sebab itu pemberian nama Asad hanyalah pemikiran istrinya, ibu Ali. Setelah mengetahui nama yang diberikan kepada anaknya adalah Asad (Haidar) Abu Thalib merasa kurang tertarik sehingga nama itu digantinya dengan Ali.3 Nama inilah yang populer di kalangan umat Islam sampai sekarang. Selain nama yang banyak diketahui umat Islam Ali memiliki nama lain yang patut diketahui. Salah satu gelar itu adalah Abu Turab. Istilah abu dalam bahasa Arab berarti bapak dan turab berarti tanah. Dengan demikian abu turab berarti bapak tanah. Karena pemberian Rasulullah Ali merasa senang saja dengan gelar itu. Pemberian gelar ini mempunyai latar balakang tersendiri. Ketika berkunjung ke rumah Fathimah, putri beliau, Rasulullah Saw bertemu Ali. Karena itu beliau bertanya kepada putrinya tentang keberadaan Ali. Fathimah pun menjelaskan bahwa telah terjadi perselisihan antara Fatimah dengan Ali, lalu Ali marah dan pergi meninggalkan rumah. Oleh sebab itu, Nabi menyuruh seseorang laki-laki yang ada di rumah itu untuk mencari informasi di mana Ali berada. Setelah informasi diperoleh orang itu mengabarkan bahwa Ali sedang tidur di mesjid. Kemudian Rasulullah menjumpai dan benar Ali sedang tidur di mesjid tanpa baju dan tanpa alas sehingga badannya bertaburan debu. Karena itu Rasulullah ----------2 Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali Bin Abi Thalib, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2012, hlm. 13. 3 Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 14. 16 membangunkannya dan memanggil dengan ucapan “wahai Abu At-Turab”. Semenjak itu Ali mendapat gelar Abu Turab.4 Gelar ini dipakai kemudian dipakai oleh lawan-lawannya dan ini didukung oleh beberapa Orientalis. Kabarnya orang-orang Syi‟ah disebut orang Turabiyah dan pengikut Ali disebut Turabi.5 Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan karena ia memiliki seorang anak yang bernama Hasan.6 Ali bin Abi Thalib lahir di Mekah dekat Ka‟bah.7 Menurut al-Faqihi, dan al-Hakim seperti dikutip as-Shalabi Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang lahir di Ka‟bah.8 Terjadi perbedaan pendapat sejarahwan tentang waktu kelahiran Ali bin Abi Thalib. Menurut Hasan al-Basri seperti dijelaskan As-Shalabi, Ali lahir 15 atau 16 tahun sebelum kenabian. Ada pula yang mengatakan Ali lahir lima tahun sebelum kenabian. Ibn Ishak dan kebanyakan ahli sejarah mengatakan Ali lahir 10 tahun sebelum kenabian. Ali Audah mengatakan Ali lahir pada hari Jumat 13 Rajab tahun 600 Masehi. Tahun ini dihitung berdasarkan catatan sejarah dengan jarah 30 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw., yaitu tahun 570 Masehi. Semenjak masa bayi Ali diasuh oleh Nabi Muhammad saw sendiri, karena Nabi dulunya juga diasuh oleh Abu Thalib, ayah Ali.9 Nabi Muhammad saw ketika masih muda dan beliau juga membalas budi pamannya Abu Thalib dengan mengasuh Ali. Rasul sangat sayang kepadanya ----------4 Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 15. Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husen, Bogor : Litera AntarNusa, Pustaka Nasional, 2010, hlm. 28. Selanjutnya disebut Audah, Ali. 6 Audah, Ali, hlm. 28. 7 Audah, Ali, hlm. 27. 8 As-Shalabi, Biografi, hlm. 15. 9 Audah, Ali, hlm. 29. 5 17 karena memiliki sifat yang mulia.10 Sifat yang mulia itu memang sudah kelihatan pada diri Ali semenjak kecil karena bergaul dengan orang yang baik budi pula. Selain takdir Allah, keluarga dan lingkungan dapat berpengaruh kepada generasi yang ditinggalkannya dari segi pisik, bakat, keberanian, penampilan11 dan sebagainya. Seperti diketahui Ali adalah keturunan Bani Hasyim dari Suku Quraisy. Dalam sejarah, suku ini memiliki bahasa yang fasih dan cakap menjelaskan sesuatu secara gamblang. Selain itu mereka juga berakhlak mulia, memiliki sifat keberanian yang luar biasa dan masyarakat sudah mengenal sifat-sifat itu. Pada masa jahiliah mereka berbeda masyarakat lain, hidup rukun dan banyak berpegang teguh kepada syari‟at Nabi Ibrahim.12 Mereka tidak sebagaimana orang-orang Arab lainnya ketika itu yang tidak dibimbing dan muliakan oleh agama, serta tidak dihiasi dengan akhlak. Dalam pergaulan mereka sangat menyayangi anak, saling hormat menghormati, termasuk kepada jenazah, terbebas dari sifat buruk dan prilaku kenistaan. Mereka tidak melakukan pernikahan terlarang seperti dengan anak perempuan sendiri, sudara perempuan sendiri, cucu perempuan, menjaga kehormatan istri dan menjauhi prilaku orang Majusi. Dalam agama mereka sering melaksanakan haji ke Baitullah, mengerjakan amal ibadah. Mereka ----------10 Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 194. Selanjutnya disebut Mahmudunnasir, Islam. 11 As-Shalabi, Biografi, hlm. 15. 12 As-Shalabi, Biografi, hlm. 17. 18 juga mengizinkan putra-putri mereka menikah dengan suku lain tanpa fanatik dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama.13 Abdul Muthalib, kakek Ali sekaligus kakek Rasul pada masa Jahiliah dikenal sebagai dermawan, memberi makan dan minum jamaah haji, pada hal dia bukan orang terkaya dan bukan satu-satunya tokoh yang disegani di kalangan suku Quraisy.14 Tugasnya itu ditambah dengan memelihara sumur Zamzam yang erat kaitannya dengan Baitullah telah mingkatkan derajat dan menambah kemuliaan bagi diri Abdul Muthalib. Termasuk sikap yang menambah kemuliaan mereka pada saat itu adalah mereka mengizinkan terjadinya pernikahan kepada kabilah apa saja. Tanpa adanya syarat apapun dan sikap fanatik atas kabilah mereka. Mereka tidak menikahkan putra-putri mereka kecuali kepada orang-orang yang berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama mereka. Ketentuan itu berlaku bagi mereka dan lebih-lebih bagi tokoh-tokoh mereka. Kemuliaan ini juga diwarisi oleh Abu Thalib ayah Ali sendiri. Ia juga sangat disegani oleh suku Quraisy. Ia sangat menyayangi Nabi Muhammad memeliharanya semenjak kecil, dan membelanya mati-matian dari keinginan orang Quraisy yang membenci Nabi saw. Walaupun tidak sempat syahadat, Abu Thalib telah membela Nabi termasuk menyampaikan tugas dakwah Nabi.15 Terkait atau tidak terkait dengan hal itu, selain mendapat bimbingan dari Nabi semenjak kecil, Ali juga mewarisi kemuliaan dan sikap-sikap baik ----------13 As-Shalabi, Biografi, hlm. 18. As-Shalabi, Biografi, hlm. 19. 15 As-Shalabi, Biografi, hlm. 21. 14 19 dari nenek moyangnya.16 Kemuliaan itu semakin bertambah karena ia dibimbing oleh Nabi sendiri. Sinar al-Quran yang menjadi akhlak Nabi terpantulkan kepada diri Ali.17 Meskipun masih sangat muda Ali selalu mendampingi Nabi dalam setiap kegiatan dakwah dan menjadi pejuang terkemuka di kalangan Islam. Dia merupakan seorang pemberani, menjadi prajurit agung, lihai dalam berperang dan terkenal dalam setiap pertempuran yang dilakukan umat Islam melawan orang-orang kafir dan orang-orang Yahudi.18 Hidup Ali dari awal sudah mendapat cahaya Islam, dan ketika berumur 10 tahun ia menerima Islam tanpa ragu-ragu dan tanpa berunding dengan siapa pun, termasuk dengan ayahnya Abu Thalib sendiri. Ketika Nabi dan Khadijah shalat Ali datang. Ia tidak mengerti ketika melihat keduanya ruku‟ dan sujud serta membaca beberapa ayat. Selesai shalat Ali bertanya kepada Nabi kepada siapa mereka sujud. Nabi menjelaskan bahwa mereka sujud kepada Allah yang mengajak manusia untuk menyembah-Nya.19 Kemudian Nabi mengajak Ali untuk beribadah kepada Allah dan menerima agama Islam secara sempurna dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan. Baik karena keagungan dan keistimewaan suku Qurasiy maupun dari bimbingan Nabi Muhammad saw Ali telah mewarisi berbagai sifat terbaik, ----------16 Dalam ilmu anatomi, darah, dan keturunan (gen) memiliki pengaruh terhadap generasi berikutnya, baik dalam bentuk pisisk maupun dalam kejiwaan, etika sosial, akhlak, kesehatan, dan bakat dan sebagainya. Oleh sebab itu nilai-nilai dan cita-cita yang mereka warisi dari orang tua dan nenek moyang itu akan mereka percayai dan mempetahankannya sekuat tenaga untuk menghormati dan memuliakannya, dan menganggap orang-orang yang mengikuti nilai-nilai dan cita-cita tersebut sebagai generasi dan anak keturunan dari keluarga mereka. 17 As-Shalabi, Biografi, hlm. 32. 18 Mahmudunnasir, Islam, hlm. 194. 19 Audah, Ali, hlm. 28. 20 seperti kefasihan berbahasa, memiliki akhlak yang luhur, pemberani, dermawan, rendah hati, menjauhi kesombongan, sangat memuliakan tamu, ramah, terlepas dari sikap dan prilaku jahiliah. Walaupun berada di lingkungan Nabi, penulis perlu mengemukakan bagaimana proses Ali menjadi muslim. Keislaman Ali seolah-oleh sudah merupakan skenario Allah. Kisah itu berawal dari krisis perekonomian yang dialami masyarakat Qurasiy. Abu Thalib memilik banyak anak, tetapi penulis tidak menjumpai dari berbagai literatur berapa orang anak yang ia miliki. Krisis itu menyulitkan. Rasul berpikir bagaimana cara membantu pamannya ini untuk mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Rasulullah berkata kepada Abbas pamannya yang dianggap lebih berkecukupan dari Bani Hasyim, kata Rasul, “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib memiliki keluarga yang besar. Kamu tahu krisis yang saat ini sedang melanda masyarakat, maka marilah kau berada bersama kami untuk meringankan beban mereka, saya akan mengambil satu orang dari anaknya dan kamu juga mengambil satu orang anaknya untuk kita cukupi segala kebutuhannya.” Lalu Abas berkata, Ya wahai Rasulullah, lalu keduanya berangkat menuju rumah Abu Thalib. Sampai di sana keduanya berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya kami berniat untuk meringankan beban keluargamu.” Berkatalah Abu Thalib kepada keduanya, “Jika kalian berkehendak, maka tinggalkanlah untuk kami anak kami yang bernama Ukail lali ambil siapa yang kalian kehendaki selain dia.20” ----------20 As-Shalabi, Biografi, hlm. 31. 21 Kemudian Rasulullah mengambil Ali untuk hidup bersamanya, dan Abbas mengambil ja‟far untuk hidup bersamanya. Berawal dari situlah maka kemudian Ali hidup bersama Raslullah hingga datangnya risalah kenabian. Selama itu, Ali selalu mendampinginya, dan termasuk orang pertama dari golongan anak-anak yang mengakui dan mempercayainya. Begitu pula Ja‟far juga tetap tinggal bersama Al-Abbas hingga dia masuk Islam dan hidup mandiri.21 Dari sini ternyata Rasulullah telah membalas kebaikan yang dilakukan pamannya Abu Thalib kepada dirinya yang telah merawat dan mencukupi segala kebutuhannya pasca kematian kakeknya Abdul Muthalib. Ini merupakan jalan hadirnya nikmat Allah yang sangat besar kepada Ali karena dari sinilah kemudian Ali dirawat dan dididik oleh Rasulullah sesuai dengan petunjuk Allah. Kepribadian Rasulullah yang bersumber dari al-Qur‟an terpantulkan kepada diri Ali. Ali tumbuh dan berkembang di dalam rumah Islam, dia tahu segala rahasia-rahasia Islam semenjak usia dini. Hal itu terjadi sebelum dakwah Islam mulai melangkah keluar dari rumah Nabi dan mencari pertolongan yang memperkuat dakwahnya kepada manusia, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika datang menemui Nabi Saw saat setelah keislaman Khadijah. Ali mendapati keduanya sedang shalat lalu Ali pun berkata, “Ini apa wahai Muhammad?” Kemudian Nabi pun bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih ----------21 As-Shalabi, Biografi, hlm. 31. 22 dengan kehendak-Nya, dengan Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan utuk menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza.” Ali pun berkata kepada Nabi, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada Abu Thalib.” Namun Rasulullah tidak ingin Ali menceritakan rahasianya kepada siapa pun termasuk Abu Thalib sebelum dia diperintahkan oleh Allah untuk menceritakan urusan itu. Beliau pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini.” Ali pun berdiam diri selama satu malam itu sehingga kemudian Allah memberi kepadanya hidayah Islam. Pada suatu pagi ia menghadap kepada Rasulullah dan berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?” Rasulullah bersabda,” Kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari tuhan Latta dan Uzza, serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah.” Ali pun melakukan apa yang diperintahkan Rasul kepadanya dan menyatakan diri masuk Islam. Setelah itu, Ali sempat mengalami masa-masa khawatir dan takut kemarahan bapaknya Abu Thalib karena dia telah menganut agama Islam. Mula-mula dia menyembunyikan menampakkannya.22 ----------22 As-Shalabi, Biografi, hlm. 33. keislamannya itu, tidak berani 23 Ibnu Ishaq menceritakan, setiap kali datang waktu shalat, Rasulullah keluar menuju tempat perbukitan di Makkah. Dan Ali bin Abi Thalib ikut bersama beliau secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Ia menyembunyikan keislamannya dari bapak, paman-paman, dan keluarganya yang lain. Keduanya mengerjakan shalat di tempat itu. Bila waktu petang tiba, keduanya baru bersiap-siap untuk pulang dengan sembunyi-sembunyi. Pada suatu ketika Abu Thalib pun menemukan keduanya secara sembunyi-sembuyi sedang mengerjakan shalat. Lalu Abu Thalib bertanya kepada Rasulullah, “Wahai anak saudara laki-lakiku, agama apa yang sedang kalian anut ini ?” Rasulullah menjawab, “Ini adalah agama Allah, agama para malaikat-Nya, agama para nabi-Nya, dan agama bapak kita Ibrahim.” Saya telah diutus menjadi seorang Rasul kepada sekalian umat manusia. Dan engkau wahai paman, adalah orang yang lebih berhak untuk menerima nasehat dariku, mendapatkan dakwahku, memenuhi seruanku, dan menolong diriku.”23 Ajakan Rasulullah saw untuk mengucapkan syahadat tidak diterima Abu Thalib, tetapi bukan berarti ia marah kepada Rasul dan anaknya Ali. Sebenarnya Abu Thalib mengakui kebenaran ajaran Islam, tetapi pengaruh wibawa di kalangan kaumnya menghambat ia untuk menjadi muslim.24 Abu Thalib tidak melarang anaknya Ali untuk mengikuti agama yang dibawa Nabi Muhammad saw., bahkan mengizinkannya karena menurut Abu ----------23 As-Shalabi, Biografi, hlm. 33. Abu Thalib berkata bahwa ia tidak mampu meninggalkan agama neneknya Tetapi bukan berarti ia akan berhenti menolong dan membela Rasul dari berbagai ancaman orang-orang Quraisy. As-Shalabi, Biografi, hlm. 33. 24 24 Thalib Muhammad tidak mengajak kecuali kepada kebaikan lalu menyuruhnya untuk selalu mengikuti Rasul.”25 Sebagai muslim yang sangat kuat Ali tidak ragu untuk mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan agama Islam. Pada malam hijrah, Rasulullah saw menugasinya untuk tidur di tempat tidur beliau. Ia ditugaskan Nabi untuk mengembalikan barang-barang kepada orang-orang musyrik pada pagi harinya. Ia pernah ditugaskan untuk membawa panji Rasulullah dalam berbagai peperangan. Rasulullah juga pernah mendelegasikannya untuk membacakan surat Al-Bara‟ah di hadapan kaum muslimin pada musim haji tahun 9 H.26 Ia memiliki 29 anak, 14 laki-laki dan 15 perempuan. Di antara anak laki-lakinya adalah Hasan dan Husein, pemuka pemuda surga, Muhammad ibn Al-Hanafiyah, Abbas, dan Umar. B. Pemikiran-Pemikiran Ali Bin Abi Thalib Pasal ini membicarakn pemikiran-pemikiran dari Ali bin Abi Thalib. Di sini penulis mulai dengan menjelaskan sifat keadilannya. Penjelasannya dikemukakan melalui suatu kisah. Suatu hari, Amirul mukminin melihat baju zirahnya27, yang telah lama hilang, ternyata ada pada seorang Nasrani. Ia tidak tahu, bagaimana baju zirahnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu. Ia berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu ----------25 As-Shalabi, Biografi, hlm. 34. Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007, hlm. 20 27 Yang dimaksud dengan zirah adalah baju besi atau baju rantai yang dikenakan pada waktu perang 26 25 miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh bahwa itu baju miliknya. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib membawa laki-laki itu ke pengadilan. Kadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki Nasrani, “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin?” Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini milikmu. Amirul Mukminin tidak berhak menuduhku.” Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?” Di antara pemikiran yang cukup menarik dari Ali bin Abi Thalib adalah bidang fikih. Ali bin Abi Thalib dianugrahi pemahaman yang baik terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Ia merupakan salah satu poros fikih Islam, dan termasuk di antara kelompok utama pembuat fatwa di kalangan generasi muslim pertama.28 Di sini penulis tidak akan menjelaskan pemikiran fikihnya secara mendetail, tetapi hanya mengambil beberapa pikirannya yang dianggap penting diketahui. Di antara pendapat fikihya yang sangat luas, kita mengenal pandangannya tentang nikah muth‟ah. Ali bin Abi Thalib dielu-elukan oleh kaum Syi‟ah sebagai imam yang ma‟sum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Di kalangan Syi‟ah terdapat hukum yang membolehkan terjadinya nikah muth‟ah, yaitu nikah yang ditetapkan dalam jangka waktu tertentu. Sementara Ali tidak membolehkan nikah muth‟ah.29 ----------28 Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib, Jakarta: Zaman, 2013, hlm. 62. Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400. 29 26 Ali mengatakan bahwa jika dua orang menikah tanpa wali kemudian mereka bersetubuh maka keduanya tak dapat dipisahkan, sedangkan jika keduanya belum bersetubuh maka keduanya harus dipisahkan.30 Ali bin Abi Thalib tidak membolehkan pernikahan orang yang dikebiri. Ia mengatakan, “Seorang laki-laki yang dikebiri tidak boleh menikahi muslimah yang menjaga kehormatan dirinya.” Ali membolehkan umat Islam makan makanan kaum Majusi, kecuali daging. Ia juga mengharamkan makan daging sembelihan kaum Nasrasni Arab karena mereka tidak memegang ajaran Nasrani yang benar, bahkan mereka suka minum arak. Pendapat Ali ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama.31 Ia juga berpendapat bahwa jizyah dari kaum musyrik dapat diterima kecuali kaum musrik Arab. Tentang hal ini ia mengatakan, “Tidak ada pilihan bagi kita berkenaan dengan kaum musyrik Arab kecuali mereka masuk Islam atau perang.”32 Ia menyatukan antara hukuman cambuk dan hukuman rajam bagi muhsan yang berzina. Diriwayatkan dari al-Sya‟bi bahwa Syarahah memiliki seorang suami yang sedang pergi ke Syiria, tetapi tiba-tiba ia mengandung sehingga majikannya membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Wanita ini berzina dan ia mengakuinya.” Ali mencambuk wanita itu seratus kali pada hari kamis dan pada hari Jumatnya ia dirajam. Aku menyaksikan sendiri tubuh wanita itu dikubur sebatas pinggang. Ali berkata ----------30 Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400. Ash-Shalabi, Ali, hlm. 397. 32 Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li Ibn Qudamah, Pustaka Azzam, Jilid 8, hlm. 738 31 27 ketika itu, “Rajam adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. Orang yang menjadi saksi perbuatan zina harus melempar pertama kali, namun karena wanita ini mengakui perbuatannya—tanpa—maka akulah yang melempar pertama kali.” Lalu Ali melempar wanita itu dengan batu, dan diikuti oleh orang-orang yang ada di sana. “Demi Allah,” ungkap al-Sya‟bi, “aku termasuk di antara orang yang melempar wanita itu menemui ajalnya.”33 Dalam redaksi lain, Ali berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan hukum Allah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah saw.” Ali mengharamkan permainan dadu dan catur, bahkan ia tidak mau mengucapkan salam kepada orang yang memiliki dadu. Ali juga menetapkan hukum mengenai perawan yang dipaksa menikah karena takut terjerumus dalam zina. Ia menetapkan mahar mitsil untuk wanita seperti itu dengan mengatakan bahwa mahar untuk perawan seperti mahar untuk wanita lainnya dan bagi janda mahar mitsilnya. Dan ia membolehkan menerima hadiah dari penguasa (sultan), “Janganlah meminta sesuatu pun kepada penguasa. Jika ia memberimu, ambillah, karena dalam baitul mal lebih banyak harta yang halal ketimbang harta yang haram. Ali melipatgandakan hukuman atas orang yang mendapat hukuman pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Atha, dari ayahnya bahwa Ali memukul seorang penyair negro dari Bani Harits, karena ia minum arak pada bulan Ramadhan. Orang itu dicambuk sebanyak delapan dua puluh ----------33 Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li Ibn Qudamah, hlm. 738 28 cambukan. Setelah itu Ali berkata kepadanya, “Ali mencambukku lagi sebanyak dua puluh kali cambukan karena kau melakukan kejahatan kepada Allah dan karena kau berbuka di bulan Ramadhan. Pendapat hukumnya yang lain adalah bahwa harta orang yang suka meminjamkan dan yang suka dititipi tidak dapat dijamin jika hartanya itu rusak tanpa memperthitungkan dari siapa ia mendapatkan hartanya. Diriwayatkan harta ia berkata, “(Harta) Orang yang suka meminjamkan dan memnitipkan tidak dapat dijamin. Ia juga berpendapat bahwa orang yang menolong orang lain dalam kebenaran atau melindungi orang lain dari kezaliman tidak noleh menerima hadiah. Maksudnya, orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk menjalankan urusan masyarakat tidak boleh menerima hadiah dari orang lain karena dianggap akan memengaruhi keputusan atau pendapat hukumnya. Itu beberapa pandangan Ali bin Abi Thalib seputar fikir Islam. Ali bin Abi Thalib memberikan julukan khusus kepada seorang fakih yang dihormati para fakih lainnya. Ia menyebutnya “al-faqih haqq al-faqih”. Ia berkata, “ Maukah kalian kuberi tahu tentang yang paling utama di antara para faqih (al-faqih haqq al-faqih)? Ia adalah orang yang tidak memutuskan harapan manusia dari rahmat Allah, tidak mendorong mereka bermaksiat kepada Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari makar Allah, dan ia tidak meniggalkan Al-Quran karena membencinya, lalu berpaling kepada yang lain. Ketahuilah, tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai pengetahuan, dan tidak ada kebaikan dalam pengetahuan yang tidak disertai 29 pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam pembacaan yang tidak disertai tadabur ─ penelaahan.34 Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sama seperti Umar r.a. Dikisahkan bahwa Umar berkata, “pelajarilah pengetahuan dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah kemuliaan dan kehormatan diri. Bersikap rendah hatilah kepada orang yang mengajari dan yang kau ajari. Jangan menjadi ulama yang sewenang-sewenang, agar ilmumu tidak dikalahkan kebodohan.35 Selain dikenal luas sebagai seorang fakih, Ali bin Abi Thalib juga dikenal sebagai sahabat yang paling memahami kitab Allah. Ia banyak menafsirkan ayatayat Al-Quran sehingga jika kita hendak menghimpun tafsir-tafsir Ali bin Abi Thalib, dibutuhkan berjilid-jilid besar. Di sini kami hanya akan mengungkapkan sebagian tafsirnya atas ayat-ayat Al-Quran yang mulai. Di antaranya, ia menafsirkan firman Allah: Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan penguasa urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, dengan mengatakan bahwa mengembalikan kepada Allah berarti menjadikan kitab Allah sebagai landasan hukum, sedangkan mengembalikan kepada Rasulullah Saw. Berarti memegang sunnah Rasulullah Saw. menafsirkan firman Allah: maka kami akan menghidupkannya dengan kehidupan yang baik, dengan mengatakan bahwa makna kehidupan yang baik adalah qanaah. Mengenai ayat sama saja baik ----------34 H.R. Abu Naim dalam al-Hilyah, jilid I, hlm. 77; Ibn al-Dhurais dan Ibn Akasir pun meriwayatkannya sebagaimana dalam al-Kanz, Jilid 5, hlm. 231. 35 Ibn Abdil Barr dalam Jami‟ al-„Ilm, Jilid I, hlm. 135. 30 berdiam di sana maupun di padang pasir36—ia mengatakan bahwa al-„akif adalah orang yang mukim, sedangkan al-badi adalah orang yang dating ke suatu tempat, dan bukan berasalh dari tempat itu.37 Ia juga mengatakan tentang ayat dan ketahuilah sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, bahwa Allah meguji mereka dengan harta dan anak-anak sehingga menjadi jelas mana orang yang tidak rida atas rezeki dari-Nya dan orang yang rida dengan bagian dari-Nya. Meskipun Allah Swr. mengetahui keadaan mereka, Dia menjadikan harta dan anak-anak sebagai ujian untukb menunjukkan apakah seseorang layak mendapatkan pahala atau siksa. Sebab, ada di antara mereka yang lebih menyukai anak laki-laki dan membenci anak perempuan; sebagian mereka menyukai bertambahnya harta dan membencinya berkurangnya harta.38 Mengenai ayat Al-Quran: sesunnguhnya kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepada-Nya, Ali r.a menjelaskan bahwa ungkapan “kita berasal dari Allah merupakan penegasan bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai kita, sementara ungkapan “kita kembali kepada-Nya” merupakan penegasan bahwa Dialah yang akan membinasakan dan mematikan kita. ----------36 Al-Hajj: 25. Dalam Al-Quran dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama, kata al-badi di terjemahkan di padang pasir. Secara harfiah kata itu berarti yang tinggal di pedesaan. Kita mengenal istilah Arab Baduwi, atau Arab Badui, yang berarti bangsa Arab nomad dari kawasan pedesaan atau padang pasir. 37 Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib hlm. 66 38 Najh al-Balaghah, hlm. 553 BAB III KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB Pada bab tiga ini penulis mengemukakan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dengan segala persoalannya. Bab ini terdiri atas dua pasal. Pasal pertama menjelaskan bagaimana proses yang terjadi dalam pengangkatan Ali sebagai khalifah, serta menggambarkan kondisi umat Islam seputar bai‟at. Ini bertujuan untuk memperkenalkan bahwa sejak awal kepemimpinan Ali sudah dimulai semenjak pengangkatan Ali sendiri. Pasal kedua menjelaskan beberapa kebijakan yang dilakukan Ali dalam memulihkan situasi dan dari tergambarkan bahwa kebijakan itu tidak membuat Ali terlepas dari konflik politik. Uraian tentang itu semua adalah seperti diuraikan berikut ini. A. Pengangkatan Ali Sebagai Khalifah Terbunuhnya khalifah Utsman pada malam jum‟at 18 Dzulhijjah tahun 35 H, membuat suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana kota sangat mencekam, rakyat dan para pembesar mengalami kerisauan, keguncangan. Yang mereka risaukan adalah tidak adanya pemimpin negara dan tidak ada imam.1 Ketika itu terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada satu bagian kaum pemberontak membuat perkumpulan, di bagian lain orangorang Muhajirin dan Anshar membuat suatu kelompok pula, termasuk tabi‟in --------------1 Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung : Mizan, 1978, hlm. 155. Selanjutnya disebut al-Maududi, Khilafah. 31 32 dari kota Madinah. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana dengan umat Islam yang sudah berkembang, membentang dari perbatasan Rum sampai ke Yaman dan dari Afganistan sampai ke Afrika Utara, yang selama beberapa hari tidak memiliki pemimpin.2 Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah secapat mungkin dan dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang menjadi ibu kota Islam. Di sana juga tinggal ahl al-halli wa al-‘aqd, semacam dewan perwakilan yang berhak memilih melakukan bai‟at kepada seorang khalifah. Karena kondisi yang sangat genting tidak mungkin meminta pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri. Keadaan yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang layak dengan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran yang mengancam keutuhan negara. Pada waktu itu ada empat orang sahabat Nabi saw dari enam yang dipilih Umar sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali dianggap yang paling utama. Dalam sebuah pertemuan permusyawaratan Abdurrahman bin „Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai umat setelah Utsman bin Affan.3 Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai pemimpin mereka. Dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali. Jika ada seseorang yang mencalonkan diri di samping Ali pasti tidak akan --------------2 3 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 155. Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. 33 terpilih karena levelnya jauh di bawah Ali.4 Karena itu semua sahabat Rasulullah Saw berbondong-bondong membai‟at Ali sebagai khalifah.5 Mereka mengatakan bahwa masyarakat tidak akan tertib, keadaan tidak akan aman tanpa adanya seorang pemimpin.6 Sebelumnya Ali menolak untuk memikul jabatan itu, tetapi orang banyak berulang-ulang memintanya untuk dibai‟at, dan akhirnya ia mau dibai‟at. Tetapi bai‟at harus dilakukan di mesjid, dan di depan masyarakat banyak dan tidak tersembunyi, dan atas kerelaan kaum muslimin. Bai‟at berlangsung di Mesjid Nabawi, termasuk kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada penolakan, termasuk para sahabat besar, kecuali ada tujuh belas sampai dua puluh orang.7 Dengan demikian kekhalifahan Ali sudah berlangsung secara benar, sempurna dan sesuai dengan prinsip yang mendasari tegaknya khilafah. Ali tidak menguasai pemerintahan dengan kekuatan dan tidak dengan mencurahkan tenaga sedikit pun untuk mencapai kedudukan Khalifah. Ia telah dipilih oleh orang banyak dengan cara musyawarah yang bebas dan dibai‟at oleh mayoritas yang besar kemudian diakui oleh seluruh daerah kecuali daerah Syam.8 Walaupun sudah dibiat oleh masyarakat umum, namun masih ada sekitar tujuh belas hingga dua puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw --------------4 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bi Abi Thalib, hlm. 219. 6 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. 7 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. Tidak disebutkan siapa nama-nama yang yang tidak dapat melakukan bai‟at itu. 8 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157. 5 34 yang tidak mau membai‟at Ali. Penulis melihat bahwa tidak dijelaskan namanama yang tidak mau membai‟at Ali itu. Namun dengan penolakan itu tidak berarti penolakan itu tidak berarti ke Khalifahan Ali tidak sah karena penolak itu bersifat pasif, sementara masyarakat umum sudah melakukan bai‟at.9 Dengan demikian pengangkatan Ali sebagai khalifah telah memperoleh kesempatan untuk menutup lobang yang sangat berbahaya dalam sistem khilafah rasyidah setelah pembunuhan Utsman bin Affan. Tetapi ada tiga faktor yang tidak memungkinkan pulihya keretakan atau tertutupnya lubang itu. Pertama kaum pembangkang yang datang dari berbagai daerah untuk memberontak kepada Utsman terlibat dalam membai‟at Ali bin Abi Thalib. Di antaranya ada pelaku yang membunuh Utsman, dan ada provokasi yang mengobarkan semangat orang lain untuk membunuhnya dan ada pula yang membantu mereka untuk melaksanakan pembunuhan itu. Atas pundak mereka terpikul tanggung jawab kericuhan dan kekacauan tersebut. Oleh sebab itu keikutsertaan mereka dalam pemilihan khalifah telah menyebabkan terjadinya kekacauan besar.10 Salah satu upaya yang memungkinkan menghambat terjadinya fitnah adalah sepakatnya para sahabat besar dalam membai‟at Ali dan mengawasi. Cara ini memungkinkan para pemberontak yang telah membunuh Utsman dapat ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun suasana yang terjadi di kota madinah ketika itu tidak mungkin mencegah --------------9 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157. Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 158. 10 35 orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman dari keikutsertaan mereka dalam pemilihan khalifah yang baru. Kedua, yang membuat sulitnya memulihkan suasana itu adalah sikap netral para sahabat besar dalam pembai‟atan kepada Ali. Sikap netral itu memang menurut mereka merupakan niat baik dengan tujuan mencegah timbulnya fitnah, tetapi ternyata berakibat fatal karena menimbulkan fitnah baru. Para sahabat Nabi itu adalah tokoh yang paling berpengaruh, berwibawa dan menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Beribu-ribu orang menaruh kepercayaan kepada mereka. Karena itu sikap netral dan memisahkan diri dari Ali telah menimbulkan keraguan di hati orang banyak pada saat umat seharusnya bersatu dan membantu memulihkan suasana bersama Ali untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan, namun hal itu tidak terjadi.11 Ketiga, faktor yang menyebabkan sulit pemulihan kondisi adalah munculnya penuntuntutan terhadap pelaku pembunuhan Utsman bin Affan oleh kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi dan kelompok Mu‟awiyah bin Abi Sofyan di pihak lain. Tanpa mengurangi penghormatan dan kedudukan kedua kelompok ini mereka, namun jika ditinjau dari segi hukum harus dikatakan bahwa sikap mereka tidak dapat dibenarkan. Alasannya masa itu bukanlah masa sistem kesukuan yang dikenal pada zaman Jahiliyah yang membolehkan setiap orang, dengan cara bagaimanapun, menuntut balas atas seseorang yang terbunuh dan menggunakan cara-cara apa saja yang ia ingini. Yang benar ialah bahwa pada waktu itu ada pemerintahan --------------11 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 159. 36 yang memiliki peraturan dan aturan yang berdasarkan undang-undang dan syari‟at untuk setiap tuduhan yang diajukan. Adapun hak menuntut bela atas pembunuhan, terletak di tangan pewaris-pewaris Utsman yang masih hidup. Sekiranya pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menangkap kaum penjahat dan mengajukan mereka untuk diadili secara sengaja barulah orangorang lain dapat menuntutnya agar ia berpegang pada keadilan dan kebijaksanaan. Tapi apakah yang dilakukan oleh kedua kelompok itu merupakan jalan yang benar untuk menuntut suatu pemerintahan agar bertindak adil dan bijaksana? Dasar apakah yang dapat mereka kemukakan dalam menolak sama sekali adanya pemerintahan yang sah semata-mata disebabkan ia tidak mau tunduk kepada tuntutan mereka itu? Dan sekiranya Sayyidina Ali tidak dianggap sebagai khalifah yang sah, lalu mengapa mereka menuntutnya agar menangkap kaum penjahat dan menghukum mereka? Apakah Sayyidina Ali adalah seorang pemimpin suku yang dapat menangkap dengan begitu saja siapa pun dan menghukumnya tanpa berlandaskan hukum? Pada hakikatnya tindakan yang dapat disebut sebagai “lebih tidak sesuai dengan hukum” dan “lebih tidak sah” ialah tindakan kelompok yang pertama. Sebab mereka itu seharusnya menuju ke kota Madinah dan mengajukan tuntutannya di sana, yaitu di tempat kediaman khalifah dan juga tempat kaum penjahat dan pewaris-pewaris orang yang terbunuh itu berada, dan di tempat tindakan-tindakan peradilan akan dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Namun sebaliknya, mereka pergi ke Basrah dan 37 mengumpulkan pasukan-pasukan yang besar kemudian mencoba menuntut balas atas kematian Utsman. Sebagai akibatnya, maka terjadilah pertumpahan darah sepuluh ribu orang sebagai ganti penumpahan darah satu orang saja, dan juga menyebabkan kekuasaan negara goyah dan kekacauan berkembang. Sungguh ini adalah cara yang tidak mungkin dianggap sebagai suatu tindakan yang sah, baik dalam pandangan undang-undang Allah dan syari‟at-Nya, atau bahkan dalam pandangan undang-undang apa pun di antara undang-undang sekular.12 Adapun yang lebih tidak sah lagi adalah tindakan kelompok Mu‟awiyah yang menuntut balas untuk Sayyidina Utsman, bukan dalam kedudukannya sebagai pribadi Mu‟awiyah bin Abu Sufyan, tapi dalam kedudukannya sebagai penguasa wilayah Syam. Ia telah menolak menaati pemerintah pusat dan menggunakan tentara wilayahnya untuk mencapai tujuannya ini. Dalam hal ini ia tidak hanya menuntut Sayyidina Ali agar mengajukan pembunuh-pembunuh Utsman ke pengadilan dan menghukum mereka, tapi lebih daripada itu, ia menuntut agar Sayyidina Ali menyerahkan mereka semua kepadanya agar ia (Mu‟awiyah) membunuh mereka dengan tangannya. Semuanya itu benar-benar lebih mirip dengan kekacauan kesukuan yang biasa terjadi sebelum datangnya agama Islam, dan sama sekali tidak sesuai dengan pemerintahan yang sudah teratur di masa Islam.13 Seandainya Mu‟awiyah dibolehkan mengajukan tuntutan itu berdasarkan hubungan kekeluargaan maka hal itu adalah atas nama --------------12 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 160. Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 161. 13 38 pribadinya karena memang Mu‟awiyah bin Abi Sufyan memang kerabat Sayyidina Utsman. Secara pribadi ia mempunyai hak meminta bantuan khalifah untuk menangkap orang-orang jahat itu dan mengadili mereka. Adapun kedudukannya sebagai wali daerah Syam sama sekali ia tidak berhak menuntut dan tidak boleh menolak untuk taat kepada khalifah yang telah dibai’at secara sah, dan telah diakui kekhalifannya oleh seluruh wilayah negara kecuali daerah-daerah di bawah kekuasaan Mu‟awiyah sendiri.14 Demikian pula, ia tidak mempunyai hak menggunakan tentara daerahnya itu untuk menghadapi pemerintahan pusat dan, secara jahiliyah, menuntut agar diserahkan kepadanya kaum tertuduh, bukan kepada pengadilan, tetapi kepada penuntut hukum qishash agar ia berkesempatan membalas dengan tangannya sendiri. Dalam kitabnya, ahkamul-Qur’an, al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi menyebutkan kedudukan masalah ini dalam hubungannya dengan perundangundangan yang benar. Katanya : “Setelah Utsman menjadi syahid, tidak mungkin membiarkan penduduk tanpa pimpinan. Oleh sebab itu kepemimpinan umat ditawarkanlah kepada beberapa sahabat anggota syura bentukan Umar sebelum wafatnya. Orang-orang itu menolak termasuk Ali sendiri. Tetapi kemudian Ali menerima jabatan itu demi menyelamatkan umat dari pertumpahan darah yang lebih besar dengan saling tuduh menuduh dalam kebatilan. Ali khawatir akan memuncaknya kekacauan yang sulit diatasi, dan mungkin akan menyebabkan rusaknya agama serta runtuhnya tiang-tiang --------------14 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 162. 39 Islam. Maka ketika ia telah dibai’at, orang-orang Syam mengajukan syarat untuk membai’atnya, yaitu agar Ali r.a memberikan kesempatan kepada mereka untuk menangkap pembunuh-pembunuh Utsman dan menjatuhi hukuman atas mereka. Maka Ali r.a. berkata kepada mereka : „Masuklah kalian dalam bai’at dan tuntutlah hak itu, niscaya kamu akan memperoleh suatu bai’at sedangkan pembunuh-pembunuh Utsman ada bersamamu. Kami melihat mereka terus-menerus dari pagi sampai senja!‟ sudah barang tentu pendapat Ali lebih tepat dan ucapannya lebih benar. Sebab andaikata Ali langsung menjalankan hukuman atas mereka itu, niscaya kabilah-kabilah mereka akan bersatu padu untuk menentang Ali dan akan terjadilah perang yang ketiga. Karena itu, ia menunggu hingga kekuasaan benar-benar berada di tangannya dan bai’at telah berlangsung secara umum dan tuntutan terhadap para pembunuh dapat diajukan oleh para ahli waris yang sah, dalam suatu majelis pengadilan. Dengan demikian, keputusan akan dijatuhkan secara benar. Dan tidak ada perselisihan pendapat di antara umat tentang kebolehan menunda hukum qishash apabila hal itu akan menyebabkan berkobarnya kekacauan atau bercerai-berainya umat.15 Demikian pula yang terjadi dalam hubungan Thalhah dan Zubair; mereka berdua tidak pernah memakzulkan Ali dari kekuasaan atas suatu wilayah, dan mereka berdua juga tidak pernah meragukan Ali dalam agamanya, tapi keduanya hanya berpendapat bahwa mendahulukan tuntutan terhadap pembunuh-pembunuh Utsman adalah suatu tindakan yang lebih utama. Namun Ali tetap pada pendirianya, ucapan-ucapan --------------15 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 163. 40 kedua orang itu tidak pernah menggoyahkan apa yang telah diputuskannya dan dalam hal ini dia berada di pihak yang benar.” Kemudian al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi menjelaskan ketika menafsirkan ayat : ْ ه اْقتَ َتلُىْافَاصِْلحُىْا بَيْ َنهُـــمَا َفِئنْ َب َغ ت َ ْه اْلمُؤْ ِم ِني َ طائِ َفتـَــانِ ِم َ َْوِإن ْئ ِاَلً اَمْ ِري اهللِ َفِئن َ ِاحْ َدهُ َما عََلً األُخْ َري فَقتِلُىْا الَ ِتً تَبْ ِغً حَ َتً تَ ِف ه َ ْطي ِس ِ ّْب الْمُق ُ ح ِ ُن اهللَ ي َ ِسطُىْا ا ِ ْل َواق ِ َْفاءَتْ َفَأصِْلحُىْا بَيْ َنهُــمَا بِاْلعَد Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. 49:9). Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan agar diusahakan perdamaian sebelum dimulainya peperangan, dan Ia telah menetapkan dibolehkannya berperang ketika timbul perbuatan aniaya. Maka Ali r.a telah bertindak sesuai dengan petunujuk Allah ini; ia memerangi golongan aniaya yang hendak melanggar wewenang imam dan membatalkan hasil ijtihadnya, kemudian mereka itu menjauhkan diri dari pusat nubuwwah dan khilafah dengan membawa serta sekelompok orang yang menuntut apa yang sebenarnya tidak berhak mereka tuntut, kecuali dengan syarat mereka itu menghadiri majelismajelis peradilan dan mengajukan hujjah-hujjah mereka atas lawan. Dan seandainya mereka berbuat yang demikian itu, lalu Ali tidak menjatuhkan hukuman atas mereka, niscaya mereka tidak usah bertengkar dengan Ali atau berusaha menjatuhkannya, sebab dengan sendirinya umat secara keseluruhan pasti akan mencabut kembali bai’at kepadanya dan memakzulkannya. 41 Itulah tiga benih kericuhan yang ada ketika Sayyidina Ali memulai jabatan khalifahnya. Dan ketika ia memulai pemerintahannya, pada saat di kota Madinah masih ada sekitar 2000 kaum pembangkang, tiba-tiba Thalhah dan Zubair, di damping beberapa orang sahabat yang lain, mendatanginya dan berkata kepadanya : “Kami telah memberikan bai’at kami kepada Anda demi melaksanakan hukuman atas kaum penjahat, maka laksanakanlah hal itu terhadap orang-orang yang telah membunuh Utsman.” Ali menjawab : “Wahai saudara-saudaraku, bukannya aku tidak megetahui apa yang kalian ketahui, tapi apa yang dapat aku lakukan dengan suatu kelompok yang memiliki kekuatan atas kita sedangkan kita tidak memiliki kekuatan atas mereka.16 Itulah kondisi yang terjadi sekitar pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Kondisi-kondisi itu ternyata menjadi batu pengganggu yang sangat rumit dan sulit bagi Ali dalam menjalankan pemerintahan. B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib Setelah pengangkatan sebagai Khalifah pasca terbunuhnya Utsman, Ali bin Abi Thalib berusaha keras memulihkan keamanan yang tidak kondusif. Di atas telah dijelaskan bahwa pengangkatan Ali berada dalam kondisi yang amat sulit. Stabilitas yang tidak terjamin menyebabkan Ali mengalami berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Beratnya tugas pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai kebijakan, walaupun kadang--------------16 Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 164 42 kadang kebijakan itu tidak populer, atau bertentangan dengan kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat.17 Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib: Pertama, “memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat pendahulunya Utsman bin Affan, kemudian menggantinya dengan tokohtokoh lain. Pemberhentian itu kelihatan bertujuan untuk mengamankan kekhalifahannya”.18 “Di antara gubernur yang diberhentikan adalah Ya‟la bin Umayyah dan mengangkat sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman. Dalam pemberhetian dan pengangkatan ini Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Ubaidillah tiba di Yaman Ya‟la sudah meninggalkan Yaman dan pergi ke Mekah serta membawa hartanya”.19 Banyak orang yang meninggalkan negerinya dan pergi ke Mekah untuk mendapatkan keamanan sebab orang yang berada di negeri Mekah tidak boleh diganggu. Kemudian Ali memberhentikan Abdullah bin Amir al-Hadrami, gubernur Basrah dan menggantinya dengan Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah Abudllah sudah meninggalkan kota itu menuju Mekah serta membawa sebagian harta. Berbeda dengan di atas Khalifah Ali mendapat kesulitan dalam memberhentikan Abu Musa al-Asy‟ari, Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Umarah bin Syihab. Ketika mendekati kota itu penduduk kota itu dipimpin oleh Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi yang tidak mengharapkan --------------17 H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, hlm. 21 Hitti, History, hlm. 224. 19 Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 203. 18 43 kedatangan Umarah bin Syihab dan memintanya untuk kembali ke Madinah. Penduduk Kufah kelihatannya lebih mempertahankan Abu Musa al-Asy‟ari. Setelah Umarah kembali ke Madinah Abu Musa berkirim surat kepada Khalifah Ali yang isinya menyatakan sang Gubernur bersama rakyatnya membaiat Ali sebagai khalifah yang baru. Dengan demikian kebijakan Ali mengganti Gubernur Kufah tidak berhasil, tetapi karena Abu Musa al-Asy‟ari, gubernur Kufah bersama rakyatnya sudah membaiat Ali maka hal itu tidak terlalu bermasalah. Berbeda dengan pemberhentian dan pengangkatan gubernur sebelumnya Ali mendapat kesulitan besar dalam pemberhentian Gubernur Syam. Untuk daerah ini Ali menunjuk Sahl bin Hunaif salah seorang politikus ulung menggantikan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan. Sesampainya di Tabuk, pos perbatasan Siria Sahl ditahan oleh pasukan Mu‟awiyah dan disuruh kembali. Dengan kembalinya Sahl rakyat Siria merasa gelisah karena ini menurut pandangan masyarakat adalah ulah Mu‟awiyah yang suka berperang. Mereka ingin tahu apa yang akan terjadi sebab ini merupakan pembangkangan dari pihak Mu‟awiyah dan Ali harus menghadapinya dengan tangan besi atau akan berusaha mencari kompromi.20 Dalam menghadapi Mu‟awiyah Ali tidak mau tergesa-gesa, tetapi itu dilakukan dengan penuh hati-hati agar jangan terjadi perpecahan di kalagan umat Islam. Oleh sebab itu Ali mengutus seseorang kepada Mu‟awiyah yang --------------20 Audah, Ali Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 204. 44 menyuruh membai‟atnya dan datang ke Madinah sepengetahuan penduduk Syam agar terjadi kompromi politik yang baik.21 Surat itu tidak langsung dibalas dengan dalih menurut Mu‟awiyah tidak ada suara bulat di kalangan tokoh terkemuka untuk ikut membai‟atnya, walaupun mayoritas umat Islam sudah membai‟atnya. Alasan lain yang dikemukakan Mu‟awiyah akan membai‟at setelah Ali terlebih dahulu berhasil menangkap dan menghukum pembunuh Utsman.22 Tiga bulan kemudian Mu‟awiyah mengirim surat kepada Ali yang dibawa seseorang dari Bani Abas. Surat dibuat dalam bentuk gulungan bersegel dengan format “Dari Mu‟awiyah bin Abi Sufyan kepada Ali Bin Abi Thalib” tanpa menyebut kata “Amir al-Mukminin” dengan perintah bila sudah memasuki kota Madinah gulungan itu diangkat supaya alamatnya dapat dibaca sehingga orang tahu bahwa Mu‟awiyah menantang Amir alMukminin. Setelah itu surat tersebut langsung dibawa kepada Ali sehingga masyarakat tahu bahwa isinya adalah jawaban Mu‟awiyah terhadap Ali dan ingin mengetahui lebih jauh apa maksud Mu‟awiyah dengan perlakuan seperti ini. Setelah surat dibuka ternyata tulisan yang ada dalam surat itu adalah bismillahir rahmanir rahim. Melihat isi surat yang ganjil dan dinilai suatu penghinaan dan mempertanyakan apa maksudnya. Ini dipahami bahwa tuntutan itu ternyata mengada-ada sementara tujuan yang sesungguhnya adalah ingin mengambil kepemimpinan dari Ali. Buktinya setelah Ali wafat Mu‟awiyah mengadakan kesepakatan dengan --------------21 Audah, Ali, hlm. 204. Audah, Ali, hlm. 204. 22 45 Hasan, anak sulung Ali sampai ia sendiri yang memegang kekuasaan. Setelah kekuasaan berada di tangan Mu‟awiyah persoalan pembunuhan Utsman hilang sama sekali dan tidak pernah disinggung-singgung lagi.23 Kebijakan Ali dalam bidang fiqih siyasah antara lain yaitu dalam : (1) urusan korespondensi; (2) urusan pajak (3) urusan angkatan bersenjata (4) urusan administrasi peradilan. Demikian juga strategi pada Perang Shiffin. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.24 Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah menarik tanah-tanah yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para pendukungnya dan hasil tanah itu diserahkan kepada kas negara.25 Kebijakan ini didasarkan atas kepribadian Ali, antara lain akidah yang lurus, jujur, berani, menjaga kehormatan diri, zuhud, senang berkorban, rendah hati, sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman hidup bersama Rasulullah saw selama di Mekah dan Madinah.26 Ketika Ali menjabat sebagai khalifah peran itu yang ingin ditegakkannya dalam memimpin dunia Islam. Setelah melihat adanya tanah dan harta rampasan dan lain-lain yang seharusnya tersimpan dalam baitul mal ternyata berada di tangan para sahabat Utsman dan keluarganya, maka wajar ia mengembalikannya ke kas negara. Orang-orang yang merasa memiliki tanah dan harta yang diperoleh semasa Utsman merasa takun apa yang sudah --------------23 Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 204. H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, hlm. 21 25 Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, hlm. 107. 26 Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, hlm. 255. 24 46 mereka miliki akan diambil lagi dan mereka tidak akan dapat meni‟mati lagi.27 Dengan ini Ali akan berpihak kepada orang-orang miskin. Ini juga menghalangi orang Syam enggan untuk membai‟atnya sebagai khalifah. Kebijakan seperti ini ternyata menjadi penghalang dan kesulitan tersendiri bagi Ali bin Abi Thalib dalam menjalan pemerintahan sehingga hampir sepanjang pemerintahan Ali dapat dikatakan tidak pernah lepas dari konflik. --------------27 Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 206. BAB IV KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB Pada bab empat ini penulis mengemukakan konflik-konflik politik yang terjadi pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Istilah konflik diambil dari bahasa Inggris conflict yaitu a situation in which people, groups or countries are involved in a serious disagreement or argumen.1 Artinya konflik ialah suatu keadaan rakyat atau kelompok atau suatu daerah terlibat dalam ketidak-sepakatan yang seius. Dalam Kamus Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia, konflik diartikan dengan perselisihan, atau pertempuran atau perlawanan.2 Dalam Wikipedia yang penulis ambil dari internet Konflik berasal dari bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.3 Dengan demikian yang dimaksud dengan konflik dalam skripsi ini adalah proses sosial berupa perselisihan dan pertentangan yang terjadi antara berbagai kelompok dalam masa pemerintahan, yaitu pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan tujuan menjatuhkan kekuasaannya. ---------1 Sally Wehmeier, (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Curren English, Oxforf university Prees, 2007, hlm. 305, dan selanjutnya disebut Sally Wahmeier, Oxford dictionary. 2 Antonius Bangun (ed.), Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia, Jakarta : PT Kesaint Blanc Indah Corp, 1993, hlm. 108. 3 Dikutip dari Wikipedia melalui internet pada tanggal 29 Oktober 2013. 47 48 Bab ini dibagi menjadi empat pasal. Pasal pertama, membicarakan tentang konflik Ali dengan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Pasal kedua, membicarakan tentang konflik Ali dengan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan dan kaum Khawarij. Pasal ketiga, membahas tentang faktor-faktor terjadinya konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, dan pasal keempat, membahas tentang strategi Ali dalam menyelesaikan konflik politik pada masa pemerintahannya. A. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman.4 Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.5 Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah. Data tersebut memberikan informasi bahwa Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.6 Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu ---------4 Sahabat yang memberi tahu kepada Aisyah tentang terbunuhnya Utsman dan dibaiatnya Ali adalah Ubaidillah bin Salamah al-Laisi. (Ensiklopedi Islam, Jilid I, hlm. 94) 5 Jeje Zainudin, hlm. 90 6 Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2, hlm. 508 49 akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman. Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran, bahwa penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubair faktor utamanya adalah penuntasan hukum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang menjadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.7 Dengan redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa; “Setelah Utsman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.”8 Hal senada juga diungkapkan Hery Sucipto. Tanpa menyantumkan rujukan, dalam bukunya dia menyebutkan; “Namun, tak berapa lama setelah menunaikan rukun Islam kelima itu, dia [Aisyah] mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya ---------7 Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm. 39. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002), Edisi 2, Cet. I, hlm. 6. 8 50 yang berhak mengganti [khalifah Utsman] adalah kakak iparnya, Thalhah bin Ubaidillah.”9 Ensiklopedi Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah.10 Hipotesa beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan Asma' Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari, Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut `Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali.11 Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Utsman. Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) di masa yang akan datang bisa sering terjadi. ---------9 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, (Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2, hlm. 18 10 Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hlm. 113 11 Asma' Muhammad Ziyadah, hlm. 424 51 Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam bukunya dia menyatakan; “Ada faktor lain yang lebih penting dari tuntutan qishash, diantaranya; (1) Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits alIfki. (2) Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu Bakar…(3) Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri.12 Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan sebauh hadits yang menceritakan situasi Rasulullah saat sakit. Kala itu, Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu Abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.13 Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah ---------12 Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4, hlm. 288. 13 Hadits riwayat Imam Ahmad. CD Hadits Mausu’ah al Hadits al Syarief, (Cairo: Sakh Software, 1996), nomor hadits 22932. 52 bersabda; “Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pasti ia (Ammar) memilih yang paling bijaksana di antara keduanya”14 Dalam hadits kedua ini, tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan dia tidak memperdulikannya (membelanya). Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar di tengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah di saat posisinya beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.15 Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali di kalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan Imam Al Zuhri, tokoh hadits dari generasi tabi‟in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang menfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas ---------14 15 Riwayat Imam Ahmad, no. 23676 Jeje zainudin, hlm. 110 53 menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang menfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al Quran surat An-nur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut menfitnahnya.16 Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan nama Ali dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al Jâmiush Shahîh Al Bukhari (Kitab Al Wudhu‟, no. hadits 191) tanpa ada tambahan perkataan Ibnu Abbas, “Tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”. Tambahan perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah benci dan dendam terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan pada riwayat hadits di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam Shahîhnya melainkan mencukupkan dengan kata-kata Ibnu Abbas, “Laki-laki yang seorang lagi itu adalah Ali”. Kemungkinan tambahan perkataan, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya (yakni kepada Ali)”, adalah dari periwayatan Ma‟mar bin Râsyid, seorang rawi yang terdapat pada sanad Imam Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al Asqalani mencurigai hadits Ma‟mar yang diriwayatkannya di Bashrah. Inilah sebabnya Imam Al Bukhari dalam kasus ini tidak mengambil jalur riwayat dari Ma‟mar melainkan dari Syu‟aib bin Abi Hamzah, orang yang paling kuat riwayatnya dari Az Zuhri.17 Adapun mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang yang mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan ---------16 17 Jeje Zainudin, hlm. 110 Jeje Zainudin, hlm. 112 54 kesahihannya mengingat pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit yang meriwayatkan dari Atha‟ bin Yasâr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan tsabit oleh sebagian ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dîl, namun menurut Ibnu Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari Atha‟ tidak terpelihara. Dan menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha‟ bin Yasâr tidak ada mutâbi’nya. Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasannya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada Musnad-nya no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah bin Mas‟ud.18 Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah. Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya di hadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka berdua, kecemburuan Aisyah pun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali.19 Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah, adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak ada data yang akurat untuk dijadikan alasan bahwa ---------18 Jeje Zainudin, hlm. 112-113 George Jordac, hlm. 373 19 55 perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang-harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.20 Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah, ---------20 Jeje Zainudin, hlm. 113 56 termasuk di dalamnya Thalhah dan Zubair, murni karena menuntut pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zubair dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.21 Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan; “Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara mereka ada di sela-sela kalian dapat menimpakan keburukan atas kalian. Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana yang kalian inginkan.22 Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash. Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah ---------21 Jeje Zainudin, hlm. 119-120 Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hlm. 146. 22 57 bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa. Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperangan pun tidak dapat dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.23 Pada hal saat itu, Thalhah ---------23 Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq, 2004. hlm. 254 58 dan Zubair telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali.24 Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut Joesoef Sou‟yb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya.25 Ia banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan. Perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zubair merupakan fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu diketahui juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi satusatunya? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan? Analisa yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebutkan bahwa sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui suratmenyurat untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis, pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan negosiasi ---------24 Ali Audah, hlm. 231-236 Joeseof Sou‟yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hlm. 479 25 59 selama tiga hari untuk mencari jalan damai. Upaya tersebut sebenarnya berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya. Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai. Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman, baik yang datang dari Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman masing-masing. Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar al-Nakha‟i dan Syuraih bin Aufa. Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana damai itu harus digagalkan. Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan menjadi korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan Aisyah, Thalhah dan Zubair kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damaianya pihak Ali dan Aisyah berarti kematian bagi mereka.26 Sebagian ahli sejarah berkeyakinan bahwa orang-orang di atas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini ---------26 Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq, 2004 hlm. 255 60 adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah. Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan.27 Posisi Aisyah saat itu adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat itu menghadapi pemerintahan bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat itu dipimpin oleh gubernur Utsman bin Hunaif. Terjadi pertempuran terlebih dahulu antara pihak Aisyah dengan pihak Utsman bin Hunaif. Karena Aisyah menginginkan perdamaian, akhirnya disepakati untuk gencatan senjata. Gencatan itu sendiri salah satu isinya adalah mengakui Utsman bin Hunaif sebagai gubernur Basrah berikut bait al-Maal dan gudang senajatanya. Sementara bagi pihak Aisyah, mereka dibolehkan tinggal di mana saja di Basrah, sambil menunggu Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Basrah dan penduduknya dalam keadaan tenang, aktifitas pemerintahan dan praktek keagamaan dapat dilaksanakan seperti harihari biasa.28 Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak senang dengan keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk mengacaukan keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba. Hakim bin Jabalah menculik Utsman bin Hunaif selepas shalat Isya. Mereka juga menyerbu Bait al-Maal dan membunuh para ---------27 Ali Audah, hlm. 225 Ali Audah, hlm. 225 28 61 penjaganya. Ketika hal tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan perlawanan dengan Hakim bin Jabalah. Orang ini kemudian mati bersama tujuh puluh pengikutnya dalam pertempuran dengan Thalhah dan rombongannya.29 Jika diteliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah ini semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat skenario besar di balik kegagalan perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Utsman bin Hunaif, menyerbu bait al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu merupakan asset pemerintahan Ali bin Thalib. Menurut penulis, hal ini menunjukkan bahwa Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba itu, melakukan profokator, mengadu domba pihak Ali dengan cara menculik dan membunuh Utsman bin Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali mempunyai firasat bahwa pelaku penculikan itu adalah pihak Aisyah. Di sisi lain, Hakim bin Jabalah juga melakukan pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi Thalhah yang saat itu memang sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan besar juga berpikir bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan, melakukan penyerangan dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya. Walhasil, kecurigaan dan akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak bisa dihindari. Ketika peperangan berkecamuk Ali mengirim sepucuk surat kepada Zubair dan Thalhah untuk mengingatkan pesan Rasulullah untuk menghindari perang. Karena itu Zubair berusaha menghindar dan Thalhah berpindah dari barisan terdepan dan mengambil posisi belakang. Namun Amr bin Jarmuz ---------29 Ali Audah, hlm. 226 62 bertindak membunuh Zubair dan Marwan bin Hakam membunuh Thalhah.30 Pasukan Ali dapat menguasai dan memenangkan peperangan, sementara Aisyah dalam peperangan itu tertangkap. Ia memperlakukan Aisyah dengan perlakuan yang penuh penghormatan dan setelah itu memulangkannya ke kota Madinah dengan penjagaan yang sempurna dan terhormat.31 Dengan demikian satu peperangan telah dilewati Ali, namun peperangan berikutnya yang lebih sengit lagi sudah menunggu. B. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij Ali dengan Mu‟awiyah Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus. Ia segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong.32 Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. ---------30 Al-Maududi, Khilafah, hlm. 167. Al-Maududi, Khilafah, hlm. 169. 32 Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir. Lihat Jeje Zainudin, hlm. 98 31 63 Ditambah lagi dengan keputusan Ali memecat Muawiyyah menyebabkan kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan -- bukan menolak -pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan umat untuk membaiatnya.33 Telah disinggung sebelumnya, dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Utsman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin ---------33 Alasan kedua yang dikemukakan oleh Muawiyyah tidaklah tepat. Ali Audah bahkan menyebut alasan itu terkesan mengada-ada. Sebab, yang tidak membaiat Ali saat itu hanya beberapa orang. Dan itu pun bersikap netral dan tidak menentang kekhalifahan. Alas an pertama juga dalam pandangan Ali Audah agak rancu. Jika memang alas an tersebut menjadi dasar penentangan Muawiyah terhadap Ali tentunya saat Muawiyyah menjadi pemimpin Negara, kasus seharusnya Muawiyah mengusut siapa kasus terbunuhnya Utsman. Akan tetapi, Muawwiyah tidak pernah melakukannya. Lihat Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain, Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah, (Litera AntarNusa, Jakarta: 2007), cet. Ke-3, hlm. 204. 64 memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.34 Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat ---------34 Harun Nasution. hlm. 7 65 yang—katanya—dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.35Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka. Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah36 [Abu Bakar], saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.37 ---------35 Joesef Soy‟b, hlm. 444-454 Perkataan Utsman kepada Muhammad bin Abi Bakar kala itu adalah; “Kemenakanku, sekiranya ayahmu masih hidup, kau tidak akan memperlakukan aku seperti ini.” 37 Ali Audah, hlm. 216 36 66 Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, dan memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Mu‟awiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersitegang. Ali sendiri ketika menghadapi tantangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.38 ---------38 Ali Audah, hlm. 204 67 Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar. Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu‟bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.39 Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus ---------39 Abbas Mahmud al-Aqqad, hlm. 70 68 lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi, kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Tragedi ini merupakan malapetaka amat besar yang patut disesalkan. Saat perang dahsyat itu berkecamuk, pasukan Ali hamper saja memenangkan pertempuran. Tercatat 7.000 orang Islam gugur.40 Sedang luka korban fisik tidak terhitung. Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angin. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya. Menarik untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy‟ats ---------40 Didin Saefudin Buchori, hlm. 45 69 bin Qais al-Tamimy, Mis‟ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn alThaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim.41 Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena ingin mensucikan Ali dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah.42 Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua kelompok, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan dari pihak Ali mengajukan ---------41 Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI alHaramain, Jakarta: 1994), cet. I, hlm. 474 42 Prof. Dr. Muhammad Amhazun, hlm. 483 70 Abu Musa al-Asy‟ari sebagai juru runding.43 Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam. Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat di hadapannya. Ali dengan Kaum Khawarij Setelah proses tahkim berakhir hasil perundingan tentu saja dimenangkan oleh Muawiyah,44 sedangkan kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai kaum ---------- 43 Didin Saefudin Buchori, hlm. 45 Didin Saefudin Buchori, hlm. 46 44 71 khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim. Kemudian mereka bukan tidak mengakui bahwa mereka tadinya mendesak Ali supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih menyalahkan Ali, kata mereka : “Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut pekataan kami, padahal engkau tahu bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus mempunyai pandangan yang jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan yang lebih tepat dari pendapat kami.”45 Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12.000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase (tahkim) manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.46 Ketika Ali sedang berkhutbah Jum‟at, sebagian orang Khawarij meneriakinya dengan kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengampanyekan pahamnya dengan slogan “hukum itu hanya milik Allah.” ---------45 Hilmi Ali Sy‟ban, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm.32 cet. I 46 Harun Nasution, hlm. 8 dan 13 72 Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagian dari mereka tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk kelompok sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. 73 Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum, sebab ia telah menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak, bukan kepada Allah. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Adapun Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, yang berbunyi : ن َ ْك هُمُ اْلكَبفِرُو َ ل اهللُ َفبَُل ِئ َ َو َمهْ َلمْ َيحْكُمْ ِب َمب أَوْ َز Artinya : barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Almaidah ayat 33. Di ayat berikut Allah menjelaskan : ن َ ْك هُمُ الّظَبلِمُو َ ل اهللُ َفبؤَُل ِئ َ َو َمهْ َلمْ َيحْكُمْ ِب َمب َاوْ َز Artinya: barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. AlMaidah ayat 45. Berdasarkan kedua ayat itu kaum Khawarij menetapkan الحُكْ َم ِاَلب اهلل َ “tidak ada yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anakanak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya. 74 Alhasil, perselisihan kemudian diselesaikan melalui perundingan.47 Ali mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen: Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tidak mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan mengubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad saw., sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.48 ---------47 Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam¸ cet I. 2009. hlm.45 Q.S Al-Ahzab: 21 48 75 Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah di bidang hukum karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran. Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW. Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga”. 76 Bagaimana pun kaum Khawarij tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompok Ali dan kelompok Muawiyah, „Amr bin “Ash dan Abu Musa al-Asy‟ari, yaitu orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Atas dasar ayat al-Quran di atas mereka menetapkan bahwa keempat orang ini telah menjadi kafir dan harus dibunuh. Oleh sebab itu membuat rencana untuk membunuh orang-orang yang terlibat tahkim itu. Dalam menjalankan tugas itu mereka membagi tugas dan menetapkan bagaimana cara pelaksanaan eksekusi itu. Mereka merencanakan pelaksanaan eksekusi serentak pada waktu subuh. Waktu ini dipilih ketika semua mereka itu keluar untuk menjalankan shalat subuh. Ketika waktunya tiba setiap petugas turun dan ternyata yang berhasil adalah pembunuh Ali yang bernama Abdurahman bin Muljam.49 Ali wafat seketika, sedangkan yang ditugasi membunuh Mu‟awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asya‟ri gagal sehingga yang wafat hanyalah Ali bin Abi Thalib saja. Wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah pola kepemimpinan Khalifah Rasyidin. Kemudian diserahkan kepada Hasan.50 Hal itu membuka babak baru bagi sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem khilafah menjadi sistem kerajaan. Sistem yang tersebut terakhir berjalan dalam masa yang cukup lama. Selanjutnya analisa penulis mengenai perkara politik yang menyinggung tentang ketiga konflik diatas yaitu pertama, antara Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair dan Aisyah, kedua, antara Ali dengan Mu‟awiyah, dan ketiga, ---------49 Didin Saefuddin Buchori, hlm. 46 Didin Saefuddin Buchori, hlm. 46 50 77 antara Ali dengan Kaum Khawarij. sebagaimana perkara yang yang diungkap di atas bahwa Aisyah tidak setuju Ali menjadi Khalifah pengganti Utsman akan tetapi Aisyah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian berbeda dengan sahabat senior yaitu Thalhah dan Zubair yang pada mulanya mereka membai‟at Ali tetapi di akhir kisah mereka bersekongkol untuk memerangi Ali. Mereka juga menginginkan kedudukan sebagai Khalifah akan tetapi rakyat Madinah tidak memihak kepada mereka, maka dari itu, ada kecemburuan terhadap Ali di samping mereka juga menuntut tragedi pembunuhan Utsman kepadanya. Begitu pula halnya dengan Mu‟awiyah bin Abu Sofyan yang sangat menginginkan jabatan kekhalifahan, dengan berbagai pengalaman yang ia miliki sebagai politikus dan administrator yang pandai51, wajar saja Umar memilihnya sebagai Gubernur Syam pada waktu itu, akan tetapi ketika di masa Ali, Mu‟awiyah dilengserkan dari kedudukannya, maka dari itu Mu‟awiyah membuat siasat untuk menjatuhkan Ali, dengan dalih menuntut pembunuhan Utsman. Kemudian persoalan munculnya kaum khawarij, tidak terlepas dari persoalan agama dan politik dimana ketika terjadinya tahkim antara kelompok Ali dengan Mu‟awiyah, kelompok ini beranggapan bahwa itu tidak sesuai dengan nash-nash al-Quran dan mengkafirkan pelaksananya. Setelah mereka keluar dari kelompok Ali, maka mereka dikenal dengan istilah kaum Khawarij. Mereka juga berambisi untuk merebut kekuasaan Khalifah Ali bin ---------51 http://nasrullahsaid.blogspot.com/2011/09/akar-konflik-politik-sayyidina-usman.html 78 Abi Thalib pada waktu itu, karena dianggap pemerintahan yang tidak sesuai lagi dengan al-Quran dan sunnah dan ingin mendirikan negara sesuai dengan pendapat mereka yang dianggap benar. Maka dari itu, konflik-konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib sangat kental dengan fenomena politik. Dan tak terlepas pula dari unsur-unsur lain seperti hukum (qishash) maupun agama. C. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib Ada beberapa faktor masalah yang dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik di masa Ali ra. Yaitu kebijakan-kebijakannya yang menyangkut : a) pemecatan Muawiyah sebagai Gubernur Syam, b) penyerahan pembunuh Utsman ra, c) penerimaan tahkim dalam peristiwa Shiffin.52 a). Pemecatan Muawiyah sebagai Gubernur Syam Masalah-masalah itulah yang menimbulkan banyak persengeketaan dan perbedaan pendapat. Dalam masalah pertama yaitu pemecatan Muawiyah. Dikatakan bahwa Ali ra telah menolak pendapat Mughirah bin Syu‟bah dan Ibn Abbas, serta Ziyad bin Handhalah At-Tamimi. Padahal mereka adalah para ahli politik Arab yang terkenal lihai. Mughirah setelah melakukan baiat kepada Ali ra datang menghadap dan berkata: “Bagimu adalah hak, ketaatan, dan nasihat. Hari ini menyebabkan apa yang akan terjadi esok. Kita akan kehilangan hari ini apabila melupakan hari ---------- 52 Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, (Solo:CV. Pustaka Mantiq), hal. 99 79 esok. Sebaiknya, Muawiyah tetapkan dalam jabatannya. Dan para pejabat lain selama mereka masih menunjukkan kesetiaan dan ketaatan, biarkan mereka. “ “Aku tidak sepakat dengan itu. Aku tidak suka berbuat kompromi selama berkaitan dengan agamaku,” jawab Ali ra. “Anda boleh saja mengganti semuanya, kecuali Muawiyah. Dia mempunyai keberanian dan kekuasaan. Seluruh Syam ada di bawah pengaruhnya. Umar ra telah mengangkatnya berkuasa sebagai wali atas seluruh Syam. Itu sebenarnya dapat menjadi alas an anda untuk menetapkannya…,” kata Mughirah. Demi Allah….! Aku menolaknya. Aku tidak akan mempertahankannya walau untuk dua hari saja,” jawab Ali ra keras. Sekeluar Mughirah, masuk Ibn Abbas yang menanyakan bagaimana dengan saran Mughirah. Ali ra mempertanyakan mengapa itu harus dilakukan. Ibn Abbas pun berkata, “Anda dan kita semua mengetahui bahwa Muawiyah dan para sahabatnya adalah orang-orang yang senang keduniaan, jika dia anda tetapkan dalam jabatannya, dia tidak akan peduli siapa yang menjadi atasannya dan bagaimana caranya. Tetapi jika anda pecat, dia akan menusuk anda mengambil jabatan ini bukan dari musayawarah. Tetapi dari hasil pembunuhan Utsman ra. Dan ini akan membuat ahli Syam dan Irak datang menuntut hak dan darah Utsman ra.” Tetapi khalifah Ali ra. Tetap pada pendiriannya. Tak lama kemudian tersiar kabar bahwa Muawiyah menentang khalifah. Ziyad bin Handhalah AtTamimi melaporkan keadaan itu kepada Ali ra. Ziyad termasuk salah satu penasihat Ali ra. 53 ---------53 Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm. 100 80 Itulah perbedaan pendapat antara Khalifah Ali ra. Dengan mereka yang telah terkenal sebagai ahli siasat. Adapun Khalifah Ali ra. Tidak bias menetapkan Muawiyah dalam jabatannya dikarenakan dua sebab. Yaitu : Pertama, jauh sebelumnya Ali ra telah sering menyarankan kepada Khalifah Utsman ra untuk memecat Muawiyah. Ali ra tidak bias menerima alasan bahwa Umar ra lah yang telah mengangkat Muawiyah di Syam.54 Bukan itu saja. Ali ra juga menyarankan untuk memecat pejabat-pejabar lain yang mulai menampakkan ambisi keduaniaannya. Itu demi kebaikan dan kestabilan pemerintahan Utsman ra sendiri. Banyak alasan yang dikemukakan Khalifah Utsman ra, di antaranya adalah Khalifah Umar ra lah yang mengangkat. Ali ra berkata, “Di zaman Umar ra Muawiyah memang takut kepadanya. Tetapi sekarang, setelah Umar ra meninggal tiada lagi yang ditakutinya satu pun.” Setelah menduduki jabatan, apakah Ali ra harus berpaling dari pendapatnya itu? Apakah dia harus mempertahankan alasan yang ditentangnya itu? Apakah dia juga akan berpaling dari umat yang membaiatnya untuk mengubah suasana dan keadaan? Apakah dia harus tetap mengikuti pola pemerintahan Khalifah Utsman ra yang banyak dikecam itu? Tentunya tidak bukan? Beliau harus tetap konsekuen dengan apa yang menjadi kebijakannya. Beliau juga sebenarnya tidak ingin berlaku kekerasan. Masih ingatkah kita, bagaimana Thalhah dan Zubair di peristiwa Jamal ---------- 54 Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm.101 81 mendahului menyerang karena takut dengan usul perdamaian yang diajukan beliau? Bukankah mereka menyerang orang-orang Bashra lebih dahulu sebelum ada komando dari beliau? Mereka sesungguhnya khawatir karena dengan perdamaian mungkin perubahan tidak akan terlaksana. Baiklah kita tinggalkan masalah itu dan kembali ke persoalan semula. Sekarang kita lihat kemungkinan lain. Yaitu dengan mengakui dan mempertahankan Muawiyah dalam jabatannya. Apakah dengan demikian akan menjamin keadaan dan keselamatan? Tidak …sekali-kali tidak akan demikian. Apalagi jabatan itu tidak harus dipegang selama hidup. Juga wajar bukan apabila orang ingin menduduki jabatan yang lebih tinggi? Itulah sebabnya sebenarnya yang terjadi. Dengan kedudukannya Muawiyah berusaha memperkokoh diri dan menancapkan kekuasaannya di Syam. Ambisi yang ada jelas! Dia ingin kekuasaan Syam terus berada di tangan keturunannya. Dengan kekuasaannya itu dia mempersiapkan diri untuk mencari kesempatan mewujudkan angan dan citanya itu. Aneka cara dikumpulkan untuk mencari pendukung. Tinggal kesempatan saja untuk merebut kekuasaan dari tangan Khalifah yang sebenarnya. Kedua, Khalifah Utsman ra terbunuh. Itulah saat yang ditunggu Muawiyah. Kematian Utsman ra dapat dipakai upaya menuntut darah Utsman ra. Dapat dipakainya merebut simpati para penuntut pembunuhnya itu. Dan kesempatan itu tak disia-siakan. Muawiyah telah lama tahu bahwa Ali ra tidak menghendaki dia dalam jabatan. Bahwa Ali ra telah mengetahui ambisi 82 pribadinya. Dan tentu saja dengan pengangkatannya Ali ra sebagai khalifah berarti mengancam kedudukannya.55 Inikah keadaan sebenarnya. Apakah untungnya Khalifah Ali ra, menetapkan Muawiyah dalam jabatannya? Muawiyahlah yang justru beruntung. Keadaan yang kacau memberi kesempatan dia menyusun kekuatan. Jauh sebelumnya Muawiyah sudah berkeinginan melepaskan diri dan mendirikan kerajaan baru dengan Syam sebagai pusat pemerintahan. Selagi Ali ra disibukkan dengan situasi, maka Muawiyah pun ikut-ikutan mengrongrong Ali ra. Muawiyah paham, jika keadaan aman dan stabil maka pasti Ali akan melaksanakan kebijakannya. Yaitu mencopot dari jabatan di Syam. Dan tentu saja itu amat tidak diinginkannya. Untuk menyelamatkan umatlah kebijaksanaan Khalifah Ali ra itu dimunculkan tanpa melihat usul para ahli siasat tersebut. b). Penyerahan Pembunuh Utsman ra Permasalahan selanjutnya yang cukup rumit adalah tindakan terhadap para pembunuh Khalifah Utsman ra. Mereka para penuntut darah Utsman menuntut agar Ali ra menindak mereka yang membunuh Utsman ra. Padahal mereka itu sendiri tidak membaiat Ali ra. Dengan demikian jelas, bahwa sebenarnya mereka tidak dapat menuntut Ali ra mengadili para pembunuh Utsman ra. Apalagi mereka sendiri pun sebenarnya tidak tahu siapakah sebenarnya pembunuh itu. Tidak jelas memang masalahnya. Siapa yang dituntut? Siapa yang berhak menuntut? Siapa yang berhak mengadili? ---------- 55 Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib ,hlm.103 83 Mereka sebenarnya mengetahui dengan jelas bahwa Khalifah Ali ra tidak mungkin melakukan apa yang dituntutkan sebelum keadaan pemerintahan stabil. Namun sepertinya itu sengaja dilakukan. Dalam keadaan yang belum stabil, mereka mendesak dan menuntut Ali ra mengabulkan permintaan mereka. Satu kali Khalifah Ali ra membicarakan tentang pembunuhan Khalifah Utsman ra. Ternyata muncul tidak kurang sepuluh ribu tentara yang mengakui mereka semualah pembunuh Utsman sambil menghubus senjata. Apakah mungkin Khalifah menindak pembunuh Utsman harus mengambil dan menindak mereka semuanya. Melihat demikian, Khalifah Ali ra berkata kepada mereka yang menuntut, “Aku sebenarnya tidaklah bodoh atas apa yang kalian ketahui. Tetapi aku harus berbuat bagaimana menghadapi satu kaum yang menguasai kita sedang kita tidak menguasai mereka. Kini, mereka sudah memberontak dibela budakbudaknya. Pula disertai suku mereka di dusun. Mereka berbuat sekehendak sendiri di sekitar kalian. Nah…, apakah kalian melihat satu kemungkinan melaksanakan seperti yang kalian kehendaki? “Sebenarnya masalah ini adalah masalah jahiliyah. Mereka mempunyai dassar pokok tindakan mereka. Dan pendapat tentang masalah ini pun tidak sama. Sebagian berpendapat sebagaimana kalian. Sedangkan tidak berpendapat demikian. Sekelompok lagi tidak berpendapat apa-apa. Mereka diam menunggu keadaan tenang dan stabil. Bersabarlah kalian…! Jika keadaan telah mantap, pasti tiap hak akan diselesaikan. Sekarang…, urusi keadaan masing-masing. Percayalah…, aku pasti akan mengabulkan permintaan kalian jika tiba waktunya.”56 ---------56 Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm. 107 84 c). Penerimaan Tahkim dalam peristiwa Shiffin penerimaan tahkim pun tidak sedikit yang mencela. Mereka para pencela itu tidak mau melihat keadaan sebenarnya. Sebenarnyalah, Khalifah Ali ra sama sekali tidak berniat menerima tahkim tersebut. Apalagi saat pasukan beliau berada di ambang kemenangan. Dia terpaksa menerima karena pasukannya menghentikan peperangan tanpa perintahnya. Bahkan telah terjadi salah paham yang mengakibatkan mereka saling membunuh. Kaum “Huffad” dan “Qurra” telah menyebarkan dan menyerukan untuk menghentikan peperangan. Bahkan sebagaimana peristiwa terbunuhnya Utsman ra jika tidak dihentikan. Juga memaksa Ali ra untuk segera memanggil Panglima Al-Asytar yang sedang mengejar musuh yang melarikan diri. Kemenangan sudah di ambang pintu…! Mereka mencela juga pengiriman Abu Musa sebagai utusan. Mereka lupa mungkin bahwa itu pun karena paksaan, sebagaimana pemaksaan tahkin. Tapi sebenarnya, Ali ra telah melihat bahwa siapa pun yang dikirim hasilnya akan sama. Memang mungkin Abu Musa itu orang yang lemah dan penuh keraguraguan. Tapi mereka juga lupa bahwa itu pun di paksakan untuk diterima. Aba Musa, Al-Asytar, ataupun Abdullah Ibn Abbas jelas tidak akan berhasil. Amru bin Ash tidak mungkin mencopot Muawiyah dan mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib ra. Apalagi setelah penawaran kelompok Muawiyah dengan Amru bin Ash-nya telah mempunyai siasat yang pasti akan dicapainya dengan jalan apa pun. 85 D. Strategi Ali Dalam Menyelesaikan Konflik Politik Di Masa Itu Di antara masalah yang dirasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar yang perlu dicermati. Berbagai konflik atau tepatnya fitnah yang begitu dahsyat telah terjadi di kalangan para sahabat. Orang-orang yang terlibat dalam konflik itu sesungguhnya adalah generasi sahabat yang disebut di dalam alQur‟an sebagai Khairu Ummah dan semua peristiwa yang terjadi benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sendiri. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, termasuk dalam kajian ini. Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu. Sudah dipahami bahwa satu peristiwa tidak dapat tidak berkaitan dengan peristiwa yang lain, yang disebut dengan kausalitas. Konflik yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahannya. Pembunuhan sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Insiden itu berawal dari pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Bhasrah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai berbau 86 nepotisme. Oleh karena itu, mereka meminta khalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai, seperti Al-Walid bin Uqbah Gubernur Kuffah, Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah Gubernur Mesir. Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman. Khalifah Utsman akhirnya bersedia mengabulkan permintaan mereka dan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa‟id bin Ash, dan Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka. Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Seorang khalifah yang begitu baik sangat sulit dipercaya akan memerintahkan itu. Dimungkin ada orang lain yang memanfaatkan situasi ini. Tetapi itulah yang ditebus Utsman dengan nyawanya sendiri. 87 Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki yang tak kunjung memuaskan. Mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar, siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal ini telah salah satu menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pembai‟atan Ali berjalan dengan mulus karena mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifahan Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya. Ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kedzaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt. Meskipun pembai‟atan Ali berjalan 88 mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Ada kelompok lain yang melarikan diri dari Madinah ke Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai‟atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Ada kelompok yang menangguhkan pembai‟atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Dan ada kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai‟at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan. Ada kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai‟atan. Setelah terjadi pembai‟atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan di atas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi 89 barometer keutuhan umat. Sebab, di sinilah berkumpulnya para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik publik, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah. Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij (nenek moyang wahabi), meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik 90 ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syi‟ah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niat tindakan para pelaku itu sendiri. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi umat akhir zaman ini. Namun bagaimana seharusnya hal itu disikapi secara positif agar untuk dijadikan pengajaran. BAB V PENUTUP Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan secara luas bagaimana terjadinya konflik dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Dalam bab ini sampailah penulis bagian akhir dari tulisan yang berisi penutup. Bab ini dituangkan dalam kesimpulan dan saran-saran dengan urutan sebagai berikut : A. Kesimpulan 1. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib penuh dengan konflik. Dan Ali sendiri mewarisi konflik dari pemerintahan sebelumnya. Sumber-sumber konflik itu sudah ada pada pemerintahan Utsman, dan Ali menjabat sebagai khalifah dalam suasana rakyat yang kurang stabil. 2. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zubair tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, 91 92 cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Dan pada akhirnya perang yang dinamakan perang jamal (tahun 656 M) itu pun tak dapat dihindari. 3. Konflik antara Ali dengan Mu’awiyah (Mei-Juli 657 Masehi) disebabkan ambisi yang besar untuk merebut kekuasaan. Oleh sebab itu ia beralasan belum mau mengakui Ali sebagai Khalifah sebelum pembunuh Utsman tertangkap dan dieksekusi. Buktinya setelah ia berhasil memegang kekuasaan, persoalan pembunuhan Utsman hilang begitu saja dan tidak digubris lagi. 4. Konflik dengan kaum Khawarij disebabkan campuran faktor politik dan agama. Pada mulanya kaum Khawarij merasa kecewa dan tidak puas dengan kebijakan Ali menerima tahkim dalam penyelesaian konflik dengan Muawiyah. Di satu sisi mereka tidak mendapat rampasan perang yang hampir berhasil karena perang terhenti disebabkan tahkim. Setelah itu tahkim ternyata membawa kekalahan yang mengecewakan bukan kemenangan. Setelah itu konflik berlanjut dengan mengangkat motif agama karena kaum Khawarij memandang tindakan tahkim diambil tidak berdasarkan ketentuan al-Quran, tetapi atas inisiatif pikiran manusia semata dan itu membuat pelaksananya kafir. 5. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya 93 secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab. B. Saran-saran 1. Pembahasan tentang konflik politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang penulis lakukan ini terasa belum tuntas. Banyak informasi yang belum penulis peroleh disebabkan kekurang-mampuan penulis, baik karena referensi yang kurang lengkap, maupun kelemahan penulis dalam menguraikan kronologis setiap peristiwa yang ada. Oleh sebab itu, disarankan kepada teman-teman prodi Siyasah Syar’iyah khususnya maupun prodi lain yang terkait dan tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat umum untuk melanjutkan pembahasan ini dengan pembahasan yang lebih sempurna. 2. Kepada Bapak dan Ibu Dosen yang mendalami sejarah politik Islam, khususnya mengenai kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib disarankan untuk memberikan arahan serta bimbingannya agar kami para mahasiswa lebih memahami persoalan ini secara lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Ali bin Abi Thalib, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994. Abu Himam Jeje Zainudin, Akar Konflik Umat Islam, Bandung: Persis Press, 2008. Al-Amini, Abdul Husain, Syaikh, Ali bin Abi Thalib Sang Putra Ka’bah, Jakarta: Al-Huda, 2003. Al-Maududi, Khilafan Dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1978. Audah Ali, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, Jakarta: Litera Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010. Ash-Shalabi Ali Muhamamd, Biografi Ali bin Abi Talib, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2008. Bangun Antonius (Ed.), Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah Corp, 1993. Buchori Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009. Bustomi Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008 Consuelo g. sevilla, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: penerbit universitas Indonesia (UI-Press), 1993. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. Djazuli H.A, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003. Fouda Farag, Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, Jakarta : Dian Rakyat, Cetakan kedua, 2008. Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research. USA: Pearson Education Inc. Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Dept. Agama R.I, 1986. Hitti Philip K, History of the Arabs, terjemahan, Jakarta: Serambi, 2008. 94 95 Imani Mahdi Faqih, Mengapa Mesti Ali?, Jakarta: Citra, 2006. Jordac George, Khalifah Terakhir, Jakarta: Zahra Publishing House, 2013. Karim Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, Cetakan pertama, 2007. Khalid Amru, Biografi Khulafaur Rasyidin, Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2012. Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung : CV Diponegoro, 2006. Katsir Ibnu, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq, 2004. Lahiji Qurbani, Risalah Sang Imam, Ajaran Etika Ali bin Abi Thalib, Jakarta: alHuda, 2011. Mahzun Muhammad, Meluruskan Sejarah Islam, studi kritis peristiwa tahkim, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Murad Musthafa, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib, Jakarta: Zaman, 2013. Mursi Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007. Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986. Nasution Syamruddin, Arbitrase, Riau: Yayasan Pustaka, 2011. Nasir Syed Mahmudun, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rusda Karya, 1991. Qudamah Ibnu, Al-Mughni, Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li ibn Qudamah, Pustaka Azzam, jilid 8. Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996. Siraj Ibrahim, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2010. 96 Situmorang Jubair, Politik Ketatanegaraan dalam Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2012. Sopyan Yayan, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok: Gramata Peublishing, 2010. Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008). Sucipto Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi, Bandung: Mizan, 2006. Sya’ban Hilmi Ali, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004). Wehmeir Sally, (Ed.), Oxforf Advanced Leaner’s Dictionary of Curren English, Oxford university Press, 2007. Zainudin Muhadi dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra Mediatama Press, 2008. INTERNET http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik http://nasrullahsaid.blogspot.com/2011/09/akar-konflik-politik-sayyidinausman.html http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/analisis-sejarah-pemerintahan-alibin.html