TINJAUAN PUSTAKA Definisi Horison

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Horison Penimbunan Liat
Macam-macam h orison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan
horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison
argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti
iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah
penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah
memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik
dan tidak ada selaput liat .
Horison Argilik
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) di sebutkan bahwa
horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai
dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat
dari horison di atasnya, dan (3)
Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan
kandungan liat horison eluviasi.
Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu
horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut :
1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut :
(a)
Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar
butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar,
berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka keteba lan
minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari
seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2)
Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berpasir atau
skeletal berpasir, maka ketebalan minimum 15 cm; atau (3) Jika
horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan
gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15
cm atau lebih; dan
(b)
Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa
salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang
menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat
menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua
permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis,
memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi
berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien
pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada
wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka
rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2
kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan
2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi
(lithologic discontinuity ) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat
lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison
iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di
dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut :
(a)
Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah
halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka
horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat
lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau
(b)
Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halus mengandung
liat total antara 15 sampai 40 persen, maka horison argilik harus
mengandung liat 1,2 kali lebih banyak dibandingkan horison
eluviasi; atau
6
(c)
Apabila
horison
eluviasi,
dalam
fraksi
tanah
halusnya
mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik
harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak
(misalnya 42 persen vs 50 persen).
Horison Kambik
Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses
alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau
merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut.
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa
horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih.
Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari
lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus
memenuhi semua syarat berikut:
1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung,
atau yang lebih halus; dan
2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu
bentuk berikut :
a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah
didrainase, dan semua sifat berikut:
(1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan
pada lebih dari setengah volume tanah; dan
(2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara;
dan
(3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di
dalam matriks sebagai berikut:
(a) Value warna 3 atau kurang dan kroma 0; atau
7
(b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau
kurang; atau
(c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan
terdapat konsentrai redoks; atau
b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari
permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab,
sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta
memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada
lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih
sifat berikut:
(1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi,
warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi
dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau
horison yang berada di atasnya; atau
(2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat
atau gipsum; dan
3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon
antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau
fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik,
petrogipsik, placik, atau spodik; dan
4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap
(tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak
bersifat rapuh.
Genesis Horison Penimbunan Liat
Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) horison argilik
merupakan penciri utama untuk tanah Alfisol dan Ultisol. Namun demikian, kedua
8
ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang
relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu
lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian
basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol
mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu
35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam
125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa
(berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman
180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan
kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah.
Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen
maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah
Alfisol sebagai ”tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik),
dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari
permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar
atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah ”tanah-tanah dengan
horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada
kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas
horison argilik, lebih kecil dari 35%.
Horison penimbunan liat dihasilkan oleh satu atau lebih proses yang
terjadi secara bergantian ataupun berlangsung tahap demi tahap. Proses
tersebut dapat mempengaruhi horison permukaan, horison bawah permukaan,
ataupun keduanya. Selain itu, proses-proses tersebut berbeda-beda untuk setiap
tanah. Pada beberapa tanah iluviasi liat terjadi secara nyata, sementara pada
tanah yang lain, sulit dibedakan dengan liat yang dihasilkan dari proses
pelapukan in situ. Namun menurut Soil Survey Staff (1999) tidak semua proses
dapat dipahami, atau dijelaskan secara lengkap. Tanah-tanah yang menunjukkan
9
perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi,
serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin
akan berpengaruh pada pengelolaan tanah.
Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana
tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison
argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering
tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang
ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan
aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980).
Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison
argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1)
eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga
tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi butirbutir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari
lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi
(pengendapan) liat di
lapisan bawah (Buol et al., 1980)
Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat
menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran
iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi
disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya
terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2)
terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B.
Dispersi
Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam
suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu
halus, debu kasar dan lainnya, pada mulanya terikat satu sama lain dengan
10
bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga
liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik,
bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya
penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980).
Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat
seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari
permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan
bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol
perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama
dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas
menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai
flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat
dibebaskan.
Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat
lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di
lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah,
karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu
yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral
yang mudah lapuk.
Translokasi
Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis
pori (Mohr et al., 1972). Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan
tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler.
Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung
tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam
larutan rendah, maka liat dapat terdispersi. Rendahnya elektrolit dalam tanah
11
dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara
kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permuka an tanah,
akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen.
Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah.
Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan
lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding
dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu
juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah
berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu
rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik,
sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan
air dan proses pemindahan liat.
Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison
lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari
liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga
kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah
dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa
membentuk partikel yang berukuran liat.
Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam
tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana prose s
pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka
perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi.
Menurut Buol et al., (1980), translokasi liat pada Alfisol terjadi pada
lingkungan yang agak masam atau dalam lingkungan “sodik-alkalin”, sedangkan
pada Ultisol terjadi dalam lingkungan yang lebih masam. Selama pemindahan
liat, pada Ultisol sering disertai pemindahan seskuioksida (Al2O3 dan Fe2 O3) dan
bahan organik.
12
Pengendapan
Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi
tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2)
butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air
perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat;
(4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di
horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam,
kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat
dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak,
apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses
pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan
mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara
periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian
tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur
tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter,
agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan
menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal
dengan selaput liat (clay skin).
Khalifa dan Buol (1968) menyatakan bahwa terjadinya selaput liat
berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput
tipis liat (clay film). Selaput tipis liat tersusun dari kristal-kristal liat alumino-silikat
iluviasi yang terorientasi, yang oleh Buol dan Hole (1961) disebut dengan ”clay
skin” dan oleh Brewer (1976) disebut ”illuviation argillan” untuk mendeskripsi
adanya alumino-silikat liat yang mengalami translokasi.
13
Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat
Tanah Ultisol
Bullock
dan
Thompson
(1985)
menyatakan
ekspresi
sifat-sifat
mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara
keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk
translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh
partikel iluviasi.
Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan
kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol
berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison
iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar
diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan
dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya
mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi,
dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori
diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan
dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di
antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids . Argillan
tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai
pengisi pada pori yang berukuran kecil.
Fedoroff dan Eswaran (1985) menyatakan bahwa, argilan pada horison
B, seringkali dalam bentuk microlaminated
yang secara umum bentuk
laminasinya sempurna. Warnanya berkaitan dengan warna plasma, warna
interferensinya (interference colour) lemah sampai sedang, dari abu-abu sampai
kuning pucat. Bila liat kaolinit dominan, keteraturan susunan atau struktur bahan
halus atau plasmik fabriknya (plasmic fabric ) cenderung insepik atau undulik,
14
plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida,
maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna
plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri
dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah
lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit.
Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah
berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna
pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi,
maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari
argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna
interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat.
Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/
mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada,
berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang
pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah
yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna
kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali
dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan
merupakan
bentuk
eksternal
yang
fleksibel
(dapat
membengkok)
dan
memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating)
akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori.
Tanah Alfisol
Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ada perbedaan kenampakan
mikromorf ologi yang jelas pada horison argilik yang ditemukan di tanah Alfisol
berpasir, berlempung, dan berliat. Pada tanah Alfisol yang teksturnya berpasir,
butiran partikel pada horison argilik diselaputi dan dihubungkan oleh liat yang
15
teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat,
tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang
memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat
yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi.
Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran
partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan
bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan
mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini
adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang
sangat jelas dengan matriks tanah.
Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah
dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya
kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat
terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating)
hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968)
mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa,
komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada
horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada
permukaan ped dan sekitar lubang akar.
Kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang berdrainase sangat
buruk berbeda dengan tanah-tanah yang berdrainase agak buruk sampai agak
baik. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nettleton et al. (1968), bahwa
pada tanah yang berdrainase sangat buruk keberadaan argilan sangat sedikit,
sebaliknya meningkat pada tanah yang berdrainase buruk sampai agak baik.
Dikatakan pula bahwa papule umum dijumpai pada tanah yang berdrainase
sangat buruk, sebaliknya sangat sedikit pada tanah-tanah yang berdrainase baik.
16
Tanah Inceptisol
Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara
mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut,
maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun
sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan
kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk
keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai
berikut:
Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur
struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur.
Ditemukan pula str uktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat
porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular.
Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya
adalah tubular.
Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada tanahtanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang
mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam
Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah
berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak
channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang
membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan
pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan.
Pada horison kambik yang memiliki sifat andik, dijumpai mikroagregat
yang membulat yang tersebar secara random dalam horison. Biasanya
mengandung fragmen besi yang berwarna merah, fragment bahan organik yang
17
berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen
lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric.
Bahan Induk Tanah
Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat
penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di
katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada
waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah,
selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling
dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk
dan potensinya untuk pertanian.
Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah
yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya
kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan
liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral
yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan
terakumulasi pada horison B sehingga teksturnya lebih halus, sebaliknya bila
bahan induk sukar dilapuk maka hanya sedikit liat yang terakumulasi pada
horison B. Karena horison argilik terbentuk dengan laju yang relatif lambat, maka
permukaan geomorfik haruslah relatif stabil dan dalam periode yang lama.
Hasil observasi mikromorfologi pada tanah Planosol berbahan induk
volkanik oleh Jongmans et al. (1991) menunjukkan bahwa, perubahan fragmen
batuan volkanik dan biotit me njadi sumber utama fraksi liat. Perbedaan tekstur
pada tanah tersebut akibat iluviasi liat, selain pelapukan dan pembentukan baru
(neoformation).
Dewayany (1984), mengklasifikasikan tanah Orthoxic Tropudult di daerah
Darmaga, yang terbentuk dari bahan induk volkan dengan batas atas horison Bt
18
pada kedalaman 36 cm dan batas bawah 113 cm dari permukaan. Dikatakan
horison argilik tersebut terjadi secara kontinu dan tidak diselingi batuan, mineral
liat yang dominan adalah haloisit. Tirtoso (1984) mengklasifikasikan tanah di
daerah Cikarawang yang berbahan induk volkanik sebagai Tropudult dengan
tebal horison argilik sekitar 40 cm dan mineral liat yang dominan adalah haloisit.
Alghan (1980) mengklasifikasi tanah pada suatu lereng yang berasal dari bahan
induk volkanik di daerah Cigudeg, berturut-turut dari puncak lereng sampai
lereng paling bawah, sebagai Orthoxic Tropohumult, Typic Tropohumult,
Epiaquic Tropohumult, dan Aquic Tropudalf.
Pada daerah yang berbahan induk sedimen kapur (Jonggol dan
sekitarnya) Witja ksono (1986) mengklasifikasikan tanah-tanah Typic Tropaqualf
dan Aquic Tropudalf (Bt 10-51 cm), dan Vertic Tropudalf (Bt 10 – 55 c m), mineral
yang dominan adalah montmorilonit. Namun demikian Penelitian pada tanahtanah berargilik dengan bahan induk sedimen dan volkanik di Indonesia masih
sangatlah terbatas.
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat
Tanah Alfisol
Buol et al. (1980) menjelaskan pembentukan tanah Alfisol diawali oleh
terjadinya pencucian yang intensif terhadap karbonat pada horison permukaan.
Kemudian terjadi eluviasi liat di horison A dan liat tersebut di endapkan di horison
B. Selain itu di horison B juga terjadi pembentukan liat melalui pelapukan
feldspar, mika, dan mineral ferromagnesium. Proses eluviasi berlanjut terus
sehingga menyebab kan horison A lebih terdeplesi (khususnya liat) dibanding
horison B. Proses terakhir adalah tersusunnya bahan kasar di atas bahan halus
membentuk tanah Alfisol.
19
Morfologi yang menonjol pada tanah Alfisol adalah adanya horison
eluviasi dan iluviasi. Thorp dan Smith (1959) menyimpulkan bahwa eluviasi liat di
horison A dan iluviasi liat di horison B merupakan faktor penyebab utama
terjadinya perbedaan tekstur antara kedua horison ini. Rust (1983) menyatakan
bahwa horison permukaan pada tanah Alfisol ditandai dengan warna tanah yang
terang. Pada tanah yang tidak diolah seperti hutan, jatuhan daun merupakan
sumber bahan organik tanah. Pada horison ini belum terjadi perkembangan
struktur yang jelas.
Horison argilik pada tanah Alfisol, sebagaimana yang ditemukan pada
tanah-tanah lain, membutuhkan periode waktu dimana solum atau bagian solum
mengalami proses kekeringan. Dengan demikian hasil pelapukan maupun koloidkoloid yang terlarut di bagian atas solum kemudian dapat terendapkan pada
permukaan struktur, di dala m pori, maupun pada lubang akar. Bartelli dan Odell
(1960) mengatakan bahwa zona pengendapan akan bervariasi, umumnya
menjadi lebih dalam pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Penelitian tentang
horison argilik oleh Nettleton et al. (1975) diperoleh bahwa jika horison argilik
terbentuk akibat proses translokasi liat, maka pada horison tersebut tidak hanya
mengandung lebih banyak liat dari horison A tetapi harus lebih banyak
mengandung liat halus. Selanjutnya dikatakan pula bila pada horison tersebut
tidak terjadi proses pengembangan dan pengkerutan yang jelas maka harus
memiliki selaput liat.
Tanah Ultisol
Beberapa proses dan reaksi secara individu terlibat dalam proses
pembentukan Ultisol. McCaleb (1959) dalam Buol et al. (1980) membicarakan
tentang pembentukan tanah Podsolik Merah Kuning yang kemudian diketahui
sebagai Ultisol.
20
Banyak Ultisol terutama yang terletak pada lahan yang stabil tidak
memiliki selaput liat seperti yang dikemukakan oleh Gamble et al. (1970). Ultisol
di daerah tropik cenderung memiliki horison E yang bertekstur agak lebih halus,
mengandung lebih banyak bahan organik dan besi, dibanding Ultisol yang
berasal dari subtropik.
Pencucian yang ekstensif terjadi pada Ultisol telah mengakibatkan
berpindahnya basa-basa, konsentrasi basa berkurang dengan bertambahnya
kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa siklus biologi terjadi bersamaan dengan
proses pencucian. Permukaan tanah Ultisol yang berdrainase baik berwarna
terang (epipedon okrik). Biasanya dijumpai lapisan yang hitam (10 cm) yang
menunjukkan adanya proses melanisasi pada Ultisol. Proses ini disertai proses
mineralisasi yang sangat cepat pada tanah Ultisol yang berdrainase baik.
Kandungan bahan organik yang relatif tinggi dijumpai pada Ultisol yang
berdrainase buruk (Umbraaquults). Saat permukaan yang berwarna gelap
berkembang di bawah kondisi alamiah maka, kejenuhan basanya (NH4 OAc)
biasanya kurang dari 50%, dan diklasifikasikan sebagai epipedon umbrik.
Kebanyakan epipedon umbrik yang telah dikapur dapat berubah menjadi
epipedon molik. Tanah yang mempunyai epipedon molik akibat pengapuran
dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Ultisol jika bahan yang berada di lapisan
bawahnya merupakan horison argilik dan memiliki kejenuhan basa (jumlah
kation) yang cukup rendah (< 35%).
Kedalaman diagnostik untuk menentukan kejenuhan basa pada Ultisol
adalah 125 cm (50 inci) di bawah permukaan argilik atau pada kedalaman 180
cm (72 inci) di bawah permukaan tanah, pilih mana yang lebih dangkal, bila
tanah tidak ada kontak litik atau paralitik yang lebih dangkal dari kedalaman
tersebut. Kriteria ini dibuat untuk menggambarkan pencucian yang ekstensif
pada
Ultisol
dan
juga
menempatkan
kedalaman
yang
cukup
untuk
21
mengantisipasi perubahan dalam klasifikasi tanah karena praktek pengelolaan
tanah.
Dua kenampakan yang umum tapi tidak harus ada pada Ultisol adalah
plintit dan fragipan. Plintit dapat muncul pada horison bawah permukaan di
Ultisol yang berkembang pada lansekap yang tua dan stabil. Gamble et al.
(1970). Sumber daripada plintit adalah bercak yang berwarna merah terang,
umumnya dengan pola retikulasi (reticulate) di dalam tanah. Saat terjadi
pembasahan dan pengeringan yang
berulang, beberapa dari bercak merah
tersebut mengeras dan tidak dapat balik (irreversible). Namun tidak semua
bercak merah di dalam tanah akan mengeras menjadi plintit. Dari banyak
pengamatan plintit di Ultisol mengindikasikan bahwa plintit dijumpai pada
kedalaman dimana terdapat fluktuasi air tanah musiman. Walaupun plintit
dijumpai pada banyak Ultisol, hanya apabila menjadi pembatas drainase yang
dimasukkan pada sistem taksonomi, yakni berada sekitar 10 – 15% dari volume
horison tanah.
Fragipan dapat dijumpai pada Ultisol, khususnya pada Ultisol yang
berdrainase buruk. Fragipan sama halnya dengan lapisan plintit, dapat menjadi
sebagai pembatas pergerakan air di dalam tanah. Pada Ultisol fragipan menjadi
baur dengan lapisan plintit dimana bercak kelabu terjadi pada zona seperti
bercak plintit yang berwarna merah. Fragipan juga dapat ditemukan tanpa
adanya plintit, dimana terdapat dalam bentuk warna kelabu. Adanya fragipan
pada Ultisol telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1966); Nettleton et al. (1968);
Soil Survey Staff, (1960) namun genesis daripada fragipan masih belum jelas.
Morfologi tanah Ultisol sama dengan tanah Alfisol dalam hal adanya
horison eluviasi dan iluviasi liat. Typic Hapludult paling banyak ditemukan.
Epipedon okrik terdapat di atas horison argilik yang berwarna merah, coklat
kekuningan, dan coklat kemerahan. Secara ideal horison yang ada pada tanah
22
Ultisol adalah A, E, BE, Bt, BC, dan C. Peningkatan liat bertambah secara
berangsur dari bagian atas horison B menjadi maksimum pada bagian atas
horison argilik, kemudian berkurang dengan bertambahnya kedalaman ke
horison C. Ketebalan solum tanah sekitar 1,5 sampai 2 meter.
Proses pembentukan Ultisol menekankan adanya pelapukan yang
ekstensif dan pencucian basa -basa, pembentukan dan translokasi liat, akumulasi
seskuioksida, dan perkembangan warna tanah. Jenis, jumlah, dan distribusi
mineral sangat berpengaruh pada morfologi dan sifat-sifat lain dari Ultisol.
Faktor-faktor seperti komposisi mineral, proses pelapukan dan transformasi
mineral sangat berpengaruh pada perkembangan Ultisol.
23
Download