6 TINJAUAN PUSTAKA Kandungan Asap Rokok Asap rokok merupakan aerosol heterogen dari pembakaran tembakau, komponen dalam rokok dan pembungkusnya. Komposisi kimia asap rokok tergantung pada jenis tembakau dan cara pembuatan rokok (ada tidaknya filter atau bahan tambahan). Setiap batang rokok mengandung berbagai bahan kimia diantaranya adalah akrolein, karbonmonoksida, nikotin, amoniak, asam formiat, hidrogen sianida, nitrogen oksida, sianogen, phenol, aseton, methanol dan tar (Soeradi 1995; Riveles et al. 2005). Menurut Stedman (1986) asap rokok juga terdiri dari kadmium, naftalen, butan, pirene dan benzopiren. Secara umum bahan kimia pada rokok dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu komponen padat (partikel) dan komponen gas. Komponen padat adalah bagian yang tertinggal dalam filter dan merupakan radikal semiquinon/quinon seperti nikotin, tar, logam (nikel, besi, kadmium, benzipiren dan dibensokarbasol). Sedangkan komponen gas adalah bagian yang dapat melewati filter antara lain karbonmonoksida, nitrogen oksida, amoniak, gas-gas nitrosamin, hidrogen sianida, sianogen, senyawa-senyawa belerang, aldehid, dan keton (Gondodiputro 2007). Diantara berbagai bahan kimia tersebut yang paling berbahaya adalah nikotin, tar dan karbonmonoksida (Soeradi 1995). Nikotin adalah suatu senyawa alkaloid yang terdapat dalam tanaman tembakau. Zat ini berbentuk cairan tidak berwarna, merupakan basa yang mudah menguap dan berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah bersentuhan dengan udara (Gondodiputro 2007). Nikotin memiliki rumus molekul C6H10N2, dengan rumus bangun seperti pada Gambar 2. Gambar 2 Rumus bangun nikotin (Hukkanen et al. 2005) 7 Perbedaan kadar nikotin dalam berbagai merek rokok tergantung pada: a) jenis dan campuran tembakau yang digunakan, b) jumlah tembakau dalam tiap batang rokok, c) senyawa tambahan yang digunakan untuk meningkatkan aroma, dan d) ada tidaknya filter dalam tiap batang rokok (Susanna et al 2003). Berdasarkan kadar nikotin dalam satu batang rokok, rokok dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu rokok dengan nikotin tinggi (> 1,2 mg), sedang (> 0,2–1,2 mg), rendah (>0,01-0,2 mg) dan tanpa nikotin (< 0,01 mg). Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru – paru. Penempelan tar pada paru-paru menyebabkan oksigen tidak dapat beredar ke pembuluh darah. Kadar tar dalam tembakau antara 0,5-35 mg/ batang (Gondodiputro 2007). Negara-negara berkembang seperti Cina, Indonesia dan India memiliki kandungan tar pada rokok berkisar antara 19–33 mg sedangkan negara-negara industri hanya 0,5–20 mg (WHO 2002). Tar merupakan kumpulan berbagai senyawa kimia yang diantaranya bersifat karsinogenik dan bahkan mutagenik. Beberapa senyawa kimia yang terdapat dalam tar diantaranya adalah nitrosamin, SO2 dan kadmium (Hoffmann et al. 1996). Menurut US (2000), rokok kretek di Indonesia termasuk rokok dengan kadar yang tinggi yaitu nikotin 5,07 – 5,51 mg/batang dan kadar tar yaitu 40,7 – 53,7 mg/batang, serta CO 18,2 – 23 mg/batang. Karbonmonoksida merupakan suatu gas beracun yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna. Sekitar 35% asap rokok mengandung karbonmonoksida (Soeradi 1995). Karbonmonoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah dibandingkan dengan oksigen. Hal ini disebabkan karena daya ikat karbonmonoksida dengan hemoglobin 200-250 kali lebih kuat dari daya ikat oksigen dengan hemoglobin. Ikatan antara karbonmonoksida dengan hemoglobin disebut karboksihemoglobin (COHb) (Gondodiputro 2007). 8 Efek Asap Rokok Pada Kesehatan Sekitar tiga perempat dari nikotin yang dihasilkan oleh rokok yang dibakar ternyata keluar melalui asap sampingan ke udara bebas. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa pada sebagian besar penduduk perkotaan yang tidak pernah merokok, ternyata ditemukan nikotin dalam darahnya. Ini menunjukkan besarnya polusi udara yang disebabkan karena asap rokok (Russel et al. 1980; Aditama 1992). Asap rokok arus samping mengandung nikotin lebih banyak daripada dalam asap arus utama. Dengan demikian kadar nikotin yang dilepaskan ke lingkungan lebih banyak dari pada nikotin yang dihisap oleh perokok. Hal ini disebabkan karena asap rokok arus samping dihasilkan secara terus menerus selama rokok menyala walaupun tidak dihisap tanpa melalui penyaringan atau filter (Susanna et al. 2003). Kebiasaan merokok yang cukup tinggi pada negara-negara berkembang mengakibatkan terjadinya kematian sekitar 80–90% akibat kanker paru, 75% bronkitis, 40% kanker kandung kencing dan 25% penyakit jantung (WHO 2002). Kebiasaan merokok juga dapat memberi akibat buruk pada berbagai organ tubuh kita, mulai dari kepala (serangan stroke atau gangguan pembuluh darah otak), gangguan di paru dan jantung, berbagai keluhan di perut, gangguan pada proses kehamilan sampai pada kelainan di kaki (gangguan pembuluh darah di kaki) (Aditama 1992). Namun demikian tidak hanya perokok saja yang berisiko mendapatkan penyakit-penyakit tersebut, tetapi juga orang yang tidak merokok tetapi sering terpapar oleh asap rokok (perokok pasif) (Gondodiputro 2007). Menurut Widodo (2006), pengaruh asap rokok pada saluran pernapasan dapat menimbulkan: a) perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas, b) penyempitan saluran napas, c) turunnya tegangan permukaan alveolus, dan d) perubahan pada ultrastruktur pneumosit tipe I, tipe II dan sel clara yang mengarah pada kematian sel. Gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh kebiasaan merokok adalah gangguan reproduksi. Pada wanita gangguan reproduksi dapat bermacam-macam bentuknya mulai dari gangguan menstruasi, menopause lebih awal, sulit untuk hamil, kehamilan diluar kandungan, keguguran dan timbulnya kelainan pada janin (Zavos dan Zarmakoupis 1999) 9 Pada wanita perokok atau sering terpapar asap rokok, efek nikotin yang merugikan antara lain menghambat pembentukan hormon estrogen. Hormon estrogen ini sangat penting bagi wanita, misalnya pada proses pematangan telur/ovum dan perkembangan lapisan endometrium rahim (uterus). Meningkatnya pembentukkan folikel atresia, yaitu sel telur yang gagal berkembang, merupakan akibat lain yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, wanita perokok atau sering terpapar asap rokok memiliki resiko kemandulan lebih tinggi daripada wanita bukan perokok (Soeradi 1995). Nikotin pada wanita perokok (apalagi perokok berat) dapat menghambat fungsi saluran telur (tuba falopii/tuba uteri) yang melaksanakan transpor telur/ovum yang telah matang masuk ke dalam rahim. Dengan demikian, kalau terjadi pembuahan (fertilisasi), maka embrio yang terbentuk tidak bisa bersarang pada dinding endometrium rahim untuk berkembang secara normal. Keadaan ini menyebabkan frekuensi pembuahan di luar tuba atau perkembangan embrio/janin di luar rahim pada wanita perokok meningkat. Selain dari itu, hormon progesteron yang diperlukan untuk mempertahankan kehamilan menurun, sehingga merugikan perkembangan janin dalam rahim. Disamping itu pengaruh karbonmonoksida yang menimbulkan keadaan hipoksia (kekurangan oksigen) dalam jaringan janin, yang bisa menghambat pertumbuhan, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, bahkan risiko kematian janin (Zenzes 2000). Paparan asap rokok juga berpengaruh pada fungsi dan volume kelenjar tiroid (Pontikides & Krassas 2002). Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin yang tumbuh pada masa perkembangan suatu individu. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon-hormon tiroid yang pada dasarnya berfungsi sebagai pengatur tumbuh. Hormon ini bekerja sebagai katalisator reaksi oksidatif dan mengatur kecepatan metabolisme di dalam tubuh. Adapun yang termasuk hormon tiroid adalah triiodotironin (T3), tiroksin (T4) dan kalsitonin (Turner dan Bagnara 1976). Kelainan pada kelenjar tiroid akan menyebabkan pembentukan hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme) dan defisiensi produksi hormon tiroid (hipotiroidisme) (Price dan Wilson 2005). 10 Biologi Umum Tikus Tikus (Rattus norvegicus) sebagai hewan uji digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus. Tikus merupakan salah satu hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah, karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley (Weihe 1989). Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley merupakan galur tikus albino yang memiliki panjang leher sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekornya (Festing 1979) Sebagai hewan laboratorium tikus banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi, maupun dalam mempelajari tingkah laku. Hal ini disebabkan karena tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung dan tidak mempunyai kantung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Umur dewasa tikus dicapai saat 3-4 bulan, dengan masa kebuntingan 21-22 hari. Kebanyakan tikus mulai kawin pada umur 8–9 minggu. Waktu kawin tikus dilakukan pada masa estrus. Siklus estrus adalah suatu kegiatan fisiologik hewan betina dengan ciri-ciri khusus yang ditandai dengan keinginan untuk kawin. Siklus estrus berlangsung sekitar 4–5 hari dan segera sesudah beranak (post-partum estrus). Untuk mengetahui tahapan pada siklus estrus, dilakukan ulas vagina atau papsmear. Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi menjadi empat fase (Gambar 3) yaitu: a) proestrus, b) estrus, c) metestrus, dan d) diestrus (Partodihardjo 1992). Proestrus adalah fase menjelang estrus dimana gejala birahi mulai muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fase ini folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Peningkatan konsentrasi estrogen dan penurunan sekresi progesteron menyebabkan 11 corpus luteum (CL) mengecil dan atresia. Saluran reproduksi termasuk mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Baker et al. (1980) mengemukakan bahwa fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau bertumpuk jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Fase ini berlangsung selama kira-kira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Fase estrus merupakan fase setelah proestrus ditandai dengan keinginan untuk kawin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-sel kornifikasi yaitu sel epitel yang mengalami penandukan dan seringkali tanpa inti (Baker et al. 1980). Fase ini berlangsung kirakira 12 jam dan biasanya lebih sering terjadi pada malam hari daripada siang hari. . Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung selama 6-15 jam. Fase ini ditandai dengan tumbuhnya CL dan sel-sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh luteinizing hormone (LH) dari adenohyphofisa. Fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Sedangka fase diestrus merupakan fase terpanjang diantara fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60 – 70 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulas vagina pada fase ini menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner dan Bagnara 1976). 12 Proestrus Estrus Diestrus Metestrus Gambar 3 Tahapan fase estrus pada tikus (Safrida 2008) Tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus birahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Perkawinan yang terjadi dalam jangka waktu 24 jam dapat diketahui dengan mengamati sumbat vagina yang merupakan penggumpalan air mani dan berasal dari sekresi kelenjar khusus betina atau memeriksa adanya spermatozoa dalam sediaan apusan vagina (Malole dan Pramono 1989). Sifat reproduksi tikus menyerupai mamalia besar, memiliki interval generasi yang pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam konsumsi pakan (10 gram/100 gram berat badan). Berat badan tikus jantan dewasa sekitar 450–520 gram, dan tikus betina dewasa sekitar 250 – 300 gram. Tikus memiliki jumlah anak yang banyak per kelahiran (6-12 ekor), dengan berat lahir antara 5–6 gram, dan memiliki kecepatan tumbuh 5 gram/hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), tikus betina menjilat vulvanya sebelum anaknya lahir. Selanjutnya betina menarik anak keluar dari vulva dengan mulutnya. Setelah itu betina akan memakan plasenta sebelum menjilat anaknya sampai kering dan akan mengumpulkan semua anaknya sesudah yang terakhir lahir, kemudian anak-anaknya dapat disapih sampai berumur 21 hari. 13 Perkembangan Anak Perkembangan (development) adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan (growth) berarti tahapan peningkatan sesuatu dalam hal perubahan besar, jumlah, ukuran/dimensi sel, organ maupun individu yang diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik (Soetjiningsih 1995). Pertumbuhan juga dapat berarti sebuah tahapan. Dalam ilmu kesehatan anak istilah pertumbuhan dan perkembangan menyangkut semua aspek kemajuan yang dicapai dari konsepsi sampai dewasa. Secara umum seluruh proses perkembangan individu menjadi invidu yang sempurna (dirinya sendiri) berlangsung dalam tiga tahap yaitu: 1) tahap proses konsepsi, 2) tahap proses kelahiran, dan 3) tahap proses perkembangan individu bayi tersebut menjadi seorang pribadi yang khas. Indikator pertumbuhan yang banyak digunakan adalah berat badan dan pertambahan berat (Rogol et al. 2000). Secara umum dua faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui intruksi-instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan, dan ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Yang termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, dan suku bangsa (Rona 1981). Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Secara umum faktor lingkungan dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1) faktor lingkungan pada waktu masih di dalam kandungan (faktor prenatal), dan 2) faktor lingkungan setelah lahir (faktor postnatal). Pertumbuhan linear untuk bayi dan anak lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungan sebelum lahir daripada setelah lahir (Soetjiningsih 1995). Lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir, antara lain adalah: gizi ibu pada waktu hamil, mekanis (posisi fetus yang tidak normal), toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stres, 14 imunitas, dan anoksia embrio ( (Lay dan Wilson 2002). Lingkungan postnatal adalah masa dimana bayi yang baru lahir harus melewati masa transisi, dari suatu sistem yang teratur yang sebagian besar tergantung pada organ-organ ibunya, ke suatu sistem yang tergantung pada kemampuan genetik dan mekanisme homeostatik bayi itu sendiri. Adapun faktor lingkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat digolongkan menjadi: a) faktor biologis, b) faktor fisik, c) faktor psikososial (kemandirian dan perilaku), dan d) faktor keluarga dan adat istiadat (Soetjiningsih 1995). Menurut Schmidt et al. (2002), faktor lingkungan yang juga mempengaruhi perkembangan anak baik masa prenatal maupun postnatal adalah gizi dan pola asuh. Anak yang mengalami kurang gizi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan berat otak, jumlah sel, ukuran besar sel, dan zat-zat biokimia lainnya lebih rendah daripada anak yang normal. Akibat kurang gizi akan menjadi lebih berat, apabila kurang gizi dimulai sejak dalam kandungan. Kemunduran mental yang diakibatkan oleh keadaan kurang gizi yang berat, dapat bersifat permanen. Tetapi pada keadaan kurang gizi yang ringan maupun sedang, kemunduran mental dapat dipulihkan sejalan dengan bertambah baiknya keadaan gizi dan lingkungan tempat anak dibesarkan. Menurut Halfon dan Inkelas (2003), perkembangan fisik merupakan awal dari perkembangan pribadi seseorang yang bersifat biologis. Perkembangan fisik ini mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis. Aspek anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis badan secara keseluruhan. Sedangkan aspek fisiologis ditandai dengan adanya perubahan secara kuantitatif, kualitatif, dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti otot, peredaran darah, pernapasan, syaraf, sekresi kelenjar dan pencernaan. Pengaturan fisiologis pada sel-sel tubuh dilakukan oleh suatu hormon/zat kimia yang disekresi dalam cairan tubuh oleh suatu sel/kelompok sel. Salah satu hormon yang berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangan adalah hormon somatotrof dan hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Hormon yang paling banyak disekresi oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin, akan tetapi juga 15 disekresikan triiodotironin dalam jumlah yang sedang. Fungsi kedua hormon ini secara kualitatif sama, tetapi berbeda dalam kecepatan dan intensitas kerja. Triiodotironin memiliki kecepatan empat kali lebih cepat dari tiroksin, tetapi terdapat jauh lebih sedikit dalam darah (Guyton 1990).