BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang perjanjian 1. Pengertian perjanjian Dena Valente memberikan pengertian janji sebagai promise is the communication of an intention to undertake or assume an obligation. 1 Pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu seseorang yang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang2 . Perjanjian atau persetujuan diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memiliki pengertian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Para sarjana hukum umumnya berpendapat bahwa batasan atau pengertian perjanjian yang terdapat dalam rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menunjukan kekurangan dan dapat dikatakan terlalu luas serta banyak mengandung beberapa kelemahan. Adapun kelemahan tersebut adalah antara lain :3 a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. b. Kata perbuatan yang mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. d. Tanpa menyebut suatu tujuan. Menurut R. Setiawan, definisi tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan definisi tersebut : 1 2 3 Dena Valente, Enforcing Promises Consideration and Intention in th e Law of Contract, A dissertation submitted in partial fulfilment of the degree of Bachelor of Laws (Honours) at the University of Otago , 2010, Hal. 03 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Cetakan Pertama, Jakarta, 2010, Hal. 15-16 Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata, Percetakan Pohon Cahaya, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011, Hal. 71-72 a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga menurut beliau perumusannya menjadi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 4 Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 5 Atas dasar beberapa alasan tersebut diatas, maka perlu adanya perumusan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian yang merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud dengan perjanjian itu adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.6 Suatu perjanjian dapat dilakukan dengan bentuk tertulis yang mana bentuk secara tertulis ini dapat dilakukan dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan dan bentuk lisan. Kedua bentuk tersebut memiliki kekuatan yang sama dalam artian sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak hanya saja apabila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti apabila terjadi suatu sengketa sedangkan bentuk lisan akan mengalami kesulitan mencari pembuktiannya karena selain memerlukan saksi, juga diperlukan adanya itikad baik dari para pihak yang membuat perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad, unsur-unsur perjanjian tersebut yang meliputi :7 a. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang. b. Adanya suatu persetujuan antara pihak-pihak tersebut. c. Adanya suatu tujuan yang ingin dicapai. d. Adanya suatu prestasi yang akan dilaksanakan. 4 R. Setiawan, Pokok -Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994, Hal. 49 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, Hal. 78 6 Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata, Percetakan Pohon Cahaya, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011, Hal. 72 7 Ibid, Hal. 31 5 e. Adanya bentuk tertentu, baik tertulis ataupun lisan. f. Adanya syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian. 2. Syarat sahnya perjanjian Di dalam suatu perjanjian yang perlu diperhatikan adalah perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang harus memenuhi sekurang-kurangnya empat unsur perjanjian. Berkenaan dengan unsur kelima (bentuk perjanjian) ihwalnya adalah apakah perbuatan hukum tersebut merupakan perjanjian formil atau tindakan hukum yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertentu. Suatu perbuatan hukum yang dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian haruslah sah menurut hukum. Sah atau tidaknya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mana terdapat 4 syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah :8 a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Syarat pada point 1 dan point 2 disebut syarat subjektif yang apabila kedua point tersebut tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan. Syarat pada point 3 dan 4 disebut sebagai syarat objektif yang apabila kedua point tersebut tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum. 3. Asas-asas perjanjian Asas hukum merupakan suatu dasar atau pokok yang karena sifatnya fundamental dan dikenal didalam hukum perjanjian yang klasik adalah asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat, asas kebebasan berkontrak dan dalam hukum kontrak perlu ditambahkan asas keseimbangan9 : a. Asas itikad baik 8 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Keempat, Bandung, 2014 Hal. 73 9 Ibid, Hal. 28-29 Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu melainkan juga oleh itikad baik. Pengertian itikad baik mempunyai dua arti, yaitu pengertian objektif adalah perjanjian yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan mentaati norma kepatutan dan kesusilaan, pengertian subjektif adalah pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang, apabila terjadi perselisihan pendapat tentang pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai atau mencampuri pelaksanaan perjanjian apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Menurut Siti Ismijati Jenie, itikad baik pada awalnya berasal dari hukum Romawi yang disebut Bonafites. Inti konsep Bonafides tersebut adalah Fides, merupakan sumber religius bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran dari orang lain. 10 Dalam civil law di Jerman, itikad baik dalam hubungan kontraktual tercantum dalam Pasal 242 Burgerlichen Gesetzbuches (BGB), yang dinyatakan An Obligator has a duty to perform according to the requirements of good faith, taking costumary practice into consideration.11 Perintah normatif tersebut tidak memberikan petunjuk sebagai alasan umum dan seperti pernyataan tidak menarik yang boleh menjadi penting bagi hukum Jerman. b. Asas konsensualisme Asas konsensualisme berasal dari bahasa lain yaitu consensus yang berarti sepakat. Asas ini diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan sepakat mereka yang mengikatkan diri, artinya dari asas ini pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan, sedangkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang 10 11 Arvie Johan, Kesetaraan dan Keseimbangan Sebagai Perwujudan itikad Baik Berlandaskan Pancasila, Jurnal Ilmu Hukum Volume 14 Nomor 1, 2011, Hal. 133 Pieck, M, A. Study of Significant Aspect of German Contract Law, Annual Survey of International & Comparative Law, Vol. 3 Issue 1 (7), 1996, Hal. 13 Hukum Perdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya kesepakatan. c. Asas kekuatan mengikat Suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan oleh karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual yang telah disepakati bersama. Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat secara sah telah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa perjanjian-perjanjian yang telah dibuat itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. d. Asas kebebasan berkontrak Para pihak menurut kehendaknya dapat dengan bebas membuat suatu perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang dikehendaki. Para pihak juga bebas menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum ataupun kesusilaan (Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Asas kebebasan berkontrak ini terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Durkheim, kebebasan adalah At its root, „liberty itself is the product of regulation.‟ Regulations may infringe our negative freedom, but such rules are necessary to build social solidarity. Durkheim appeals to a positive freedom for contracts to exist by a social and legal standard of fairness. Only a paradigm shift in legal theory and practice can displace the traditional emphasis on negative freedom and anti-regulation.12 Kebebasan berkontrak adalah asas yang essensial, baik bagi individu dalam mengembangkan diri dalam kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan. Didalam asas kebebasan berkontrak kehidupan sosial mengandung unsur-unsur tertentu yang dapat dijadikan ukuran terpenuhi atau tidaknya asas tersebut dalam suatu perjanjian, seperti :13 1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian. 2) Kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun. 3) Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian. 4) Kebebasan untuk menetapkan isi dan cara perjanjian tersebut dilakukan. 5) Kebebasan untuk menyimpangi bentuk undang-undang yang berlaku. e. Asas keseimbangan Asas keseimbangan menurut Sri Gambir Melati hatta yang dikutip dari bukunya Agus Yudha Hernoko adalah suatu kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajibannya dalam perjanjian.14 Agus Yudha memberikan pemahaman terhadap makna keseimbangan tersebut adalah sebagai keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak dan oleh karena itu dalam hal apabila tidak terjadi keseimbangan posisi yang dapat menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah) untuk menyeimbangkannya.15 Ketidakseimbangan menimbulkan ketidakadilan sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat dalam perjanjian.16 Asas keseimbangan menurut pendapat dari Herline Budiono yang juga dikutip dari Agus Yudha Hernoko adalah suatu asas mempunyai makna asas etikal 12 Rosalee Dorfman, The Regulation of Fairness and Duty of Good Faith in English Contract Law: A Relational Contract Theory Assessment, Leeds Journal of Law & Criminology Vol. 1 No. 1, 2013, Hal. 98-99 13 Fitria Hudaningrum, Hubungan Antara Asas Kebebasan Berkontrak , Pacta Sun Servada dan Itikad Baik, Jurnal Reporterium Edisi 2 Juli-Desember, Tahun I ISSN : 2355-2646, 2014, Hal. 45 14 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Hal. 28 15 Ibid, Hal. 28 16 A. Yudha Harnoko dan Ika Yunia Ratnawati, Jurnal Hukum Bisnis Volume 1 Nomor 1 Bulan April, ISSN : 2460 0103, 2013, Hal. 03 sebagai suatu keadaan pembagian beban pada kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keseimbangan di sini berarti pada satu sisi dibatasi kehendak yang berdasarkan suatu pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan dan pada sisi lain merupakan suatu keyakinan atau kemampuan. 4. Berakhirnya suatu perjanjian Berakhirnya suatu perjanjian berbeda dengan hapusnya suatu perikatan, mengenai hapusnya suatu perjanjian tidak diatur secara tegas didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akan tetapi didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya disebutkan mengenai hapusnya suatu perikatan. Istilah atau pengertian perjanjian dan perikatan memiliki makna yang berbeda dan tidak dapat disamakan mengenai pengertiannya. Perjanjian yang telah berakhir belum tentu membuat perikatannya hapus. Suatu perikatan hapus apabila pokok perikatannya telah terpenuhi. Hapusnya perikatan diatur dalam pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan penjelasan bahwa suatu perikatan dapat hapus karena sebabsebab sebagai berikut17 : a. Pembayaran. b. Penawaran pembayaran tunai. c. Pembaharuan hutang. d. Perjumpaan hutang atau kompensasi. e. Pencampuran hutang. f. Pembebasan hutang, musnahnya barang yang terhutang, kebatalan atau pembatalan. g. Berlakunya syarat batal. h. Kadaluwarsa. Hapusnya perikatan belum tentu menghapuskan perjanjian kecuali semua perikatan-perikatan yang ada pada perjanjian tersebut sudah hapus dan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika suatu perjanjian baik sepihak atau timbal balik sudah hapus maka keseluruhan perikatan didalamnya juga hapus, tetapi apabila sebagian perikatan 17 R. Soeroso, Perjanjian Dibawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal. 04 dalam perjanjian sudah hapus pada perjanjian timbal balik maka perjanjian tersebut belum hapus atau berakhir. Perjanjian dapat dikatakan telah berakhir apabila tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai dengan terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian. Pada saat perjanjian tersebut berakhir atau hapus maka hal tersebut dapat mengakibatkan hapusnya perikatan dengan kata lain apabila suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut misalnya perjanjian tersebut hapus akibat dari pembatalan yang disebabkan oleh wanprestasi (Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus dan perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi sehingga apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan suatu perjanjian hapus atau berakhir, yaitu : a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak atau undang-undang. b. Undang-undang telah memberikan penetapan tentang batas waktu berlakunya suatu perjanjian. c. Ditentukan oleh hakim. d. Pernyataan menghentikan perjanjian. e. Tujuan telah tercapai. f. Dengan persetujuan para pihak.18 5. Perjanjian baku a. Pengertian perjanjian baku Perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standart contract. Standart contract merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir.19 Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Agar perjanjian standar dapat memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat perjanjian standar 18 19 Dewi Asmawardhani, “Analisis Asas Konsensualisme Terkait Dengan Kekuatan Pembuktian Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan”, dalam Ganec Swara Volume 9 Nomor 1 Maret 2015, Hal. 171 Renny N. Koloay, Suatu Tinjauan Tentang Perjanjian Baku Yang berlaku Dalam Masyarakat, Jurnal Hukum Unsrat Volume XIX Nomor 4, 2011, Hal. 127 harus diterapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir yang kemudian digandakan sampai dengan jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Formulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain. Dikatakan bersifat ”baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya, Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang ”kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung merasa dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada. Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan bahwa standart contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan, yang ciri-cirinya adalah isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomisnya) kuat, masyarakat atau debitor sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian, terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu, bentuk tertentu (tertulis), dipersiapkan secara massal dan kolektif.20 Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian yang seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan, dengan kata lain yang di bakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil ahli saja klausul-klausul yang telah di bakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang di buat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku. 21 20 21 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal. 285 Sutan Remi Sjahrendi, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal. 55 Menurut Hondius dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya. Syarat baku yang disebutkan umumnya juga dinyatakan sebagai perjanjian baku, jadi pada asasnya isi dari perjanjian baku adalah tetap dan tidak dapat dirundingkan lagi.22 Menurut Mr. FAJ, Gras dalam Purwahid Patrik menyatakan secara yuridis orang yang menandatangani suatu perjanjian baku telah terikat pada isi dari perjanjian itu meskipun pihak lain tidak mempunyai pilihan. 23 b. Dasar perjanjian baku Menurut Asser Ruten dalam Purwahid Patrik, asas-asas perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada 3, yaitu24 : 1) Asas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat pada umumnya bukan secara formal akan tetapi konsensual, artinya perjanjian tersebut selesai karena persetujuan kehendak atau consensus semata2) Asas kekuatan mengikat perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. 3) Asas kebebasan berkontrak, bahwa orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas untuk memilih undangundang yang akan dipakai untuk perjanjian itu. Dari ketiga asas tersebut yang paling penting adalah asas kebebasan berkontrak dan sesuai dengan pernyataan Asser Ruten bahwa asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata yang banyak didalam undang-undang akan tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya. 25 c. 22 Jenis dan karakteristik perjanjian baku Purwahid Patrik, Dasar-Dasar hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian Dan undang -Undang, CV. Mandar Maju, 1994, Hal. 55 23 Ibid, Hal. 03 24 Ibid, Hal. 05 25 Ibid, Hal. 06 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, jenis-jenis perjanjian baku dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :26 1) Perjanjian baku sepihak, perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu dan pihak yang kuat lazimnya adalah kreditor, misalnya perjanjian kredit bank. 2) Perjanjian baku timbal balik, perjanjian baku yang isisnya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku antara buruh (debitor) dan majikan (kreditor) yang terikat dalam suatu organisasi, yaitu pada perjanjian buruh kolektif. 3) Perjanjian baku yang telah ditetapkan oleh pemerintah, perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh pemerintah mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang berhubungan dengan objek hak atas tanah. 4) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat, perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat bersangkutan. Karakteristik utama dari kontrak standar atau perjanjian baku, yaitu bahwa kontrakkontrak semacam itu adalah :27 1) Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi-transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam aktivitas transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi. 2) Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat pembuatnya dan/atau pihak-pihak yang akan mengikatkan diri di dalamnya. 3) Demi pelayanan yang cepat, sebagian besar atau seluruh persyaratan di dalamnya ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dipersiapkan untuk dapat digandakan dan ditawarkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. 4) Biasanya isi dan persyaratannya distandarisasi atau dirumuskan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang berkepentingan dalam memasarkan produk barang atau jasa tertentu kepada masyarakat. 26 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal. 156 27 https://core.ac.uk/download/files/379/11716142.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2016 5) Dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal dan tidak memperhatikan kondisi dan/atau kebutuhan-kebutuhan khusus dari setiap konsurnen dan karena itu pihak konsumen hanya perlu menyetujui atau menolak sama sekali seluruh persyaratan yang ditawarkan. 6. Perjanjian hutang piutang Hutang piutang merupakan perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang., Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memerikan pinjaman dan pihak lain sebagai peminjam uang. Uang yang dipinjamkan akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perjanjian hutang piutang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam meminjam, hal ini sebagaimana diatur dalam bab Ketiga Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan, pinjam meminjam adalah perjanjian yang dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Objek perjanjian pinjam meminjam dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berupa barang-barang yang habis karena pemakaian seperti buah-buahan, minyak tanah, pupuk, cat dan kapur. Uang juga dapat dikatakan sebagai objek dalam perjanjian ini karena uang termasuk barang habis pakai dilihat dari fungsinya sebagai alat tukar dan akan habis karena dipakai. Pihak peminjam dalam perjanjian pinjam meminjam akan mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah dan keadaan yang sama dan apabila uang sebagai objek pinjaman, maka peminjam harus mengembalikan uang dengan nilai yang sma dan uangnya dapat dibelanjakan. Pasal 1756 mengatur tentang hutang yang terjadi karena peminjaman uang yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perjanjian. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa dalam hal peminjam uang, hutang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian, jika sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau adanya perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dengan mata uang yang sama. a. Bunga dalam hutang piutang Sesuai asas kebebasan berkontrak dan juga asas konsensualisme, mengenai keberadaan bunga dan besarnya bunga diserahkan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam ketentuan Pasal 1765 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai bunga dalam hal pinjam meminjam menegaskan bahwa diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang yang artinya bunga boleh diperjanjikan atau sebaliknya tidak diperjanjikan juga tidak mengapa. Bunga yang diperjanjikan dalam hutang piutang biasanya pihak kreditor yang menentukan besarnya bunga yang akan diberikan kepada debitor dan harus dilaksanakan. Bunga yang tidak diperjanjikan tidak mewajibkan debitor untuk membayarnya, akan tetapi jika debitor membayar bunga yang tidak diperjanjikan menurut ketentuan Pasal 1766 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat menuntutnya kembali ataupun mengurangi hutang pokoknya dan sebaliknya bunga yang telah diperjanjikan mewajibkan debitor membayar sampai pada pengembalian hutang pokoknya lunas. Pada pokoknya ada 2 macam bunga yang diatur didalam Pasal 1762 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bunga menurut undang-undang yang dikenal dengan bunga moratoir dan bunga yang telah diperjanjikan. b. Kewajiban para pihak Uraian dibawah ini membahas tentang kewajiban para pihak dalam hutang piutang28 . 1) Kewajiban penanggung Perjanjian hutang piutang sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kewajiban bagi penanggung tidak banyak diatur, pada pokoknya penanggung memiliki kewajiban menyerahkan unag yang dipinjamkannya kepada tertanggung setelah terjadinya perjanjian. Pasal 1759 hingga Pasal 1761 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut : 28 Gatot Supramono, Perjanjian Hutang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Hal. 29-31 a) Uang yang telah diserahkan kepada penanggung sebagai pinjaman sebelum lewat waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta kembali oleh penanggung. b) Apabila dalam perjanjian hutang piutang tidak ditentukan jangka waktu dan penanggung menuntut pengembalian hutang cara yang dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan dan berdasarkan Pasal 1760 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hakim diberi kewenangan untuk menetapkan jangka waktu pengembalian hutang dengan mempertimbangkan keadaan tertanggung serta memberikan kelonggaran kepadanya untuk tertanggung akan membayar hutang. c) Apabila dalam mengembalikan perjanjian hutang tersebut setelah ditentukan tertanggung pihak mampu membayarnya, penanggung juga harus menuntut pengembalian hutang melalui pengadilan dan hakim setelah mempertimbangkan keadaan tertanggung akan menentukan waktu pengembalian tersebut (Pasal 1761 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 2) Kewajiban tertanggung Kewajiban debitor dalam perjanjian hutang piutang sebenarnya tidak banyak, pada pokoknya tertanggung diwajibkan mengembalikan hutang dalam jumlah yang sama disertai dengan pembayaran bunga yang telah diperjanjikan dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1763 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). B. Tinjauan tentang jaminan 1. Pengertian jaminan dan hukum jaminan Pengertian Secara umum jaminan adalah merupakan suatu penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang dan suatu jaminan mengandung adanya kekayaan (materiil) maupun pernyataan kesanggupan (immaterial) yang dapat dijadikan sumber pelunasan utang. Ketentuan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mennyatakan bahwa jaminan adalah segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada ataupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan terhadap segala perikatan perseorangan. Jaminan berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelangsungan modal serta untuk memberikan kepastian hukum bagi kreditor, dalam hal orang yang berhutang tidak dapat melakukan kewajibannya atau wanprestasi maka kreditor dapat mengambil kembali uang yang dipinjamkan kepada debitor dengan menjual barang yang telah dijaminkan sehingga kreditor mendapat kepastian tentang pengembalian uang yang telah dipinjamkan kepada debitor, selain itu juga kreditor yang mempunyai jaminan akan mempunyai kedudukan sebagai kreditor konkuren yang harus didahulukan pembayaran hutangnya daripada kreditor lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1133 ayat (1) dan 1134 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa hal untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan hipotik. Pengertian jaminan menurut M. Bahsan adalah segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu hutang piutang di dalam kehidupan masyarakat29 . Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan30 . Pengertian jaminan menurut Hartono Hadisoeprapto yang dikutip oleh Salim adalah segala sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan31 . Dari beberapa pengertian jaminan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jaminan adalah : a. Segala sesuatu Difokuskan kepada pemenuhan kewajiban kepada kreditor. b. Wujud jaminan ini dapat dinilai dengan uang (jaminan Materiil). c. Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor dengan debitor. Pengertian hukum jaminan menurut J. Satrio adalah peraturan hukum yang mengatur 29 tentang jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitor. 32 , M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan jaminan Kredit Perbankan Indonesia , Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hal. 03 30 Mariam Darus Badrulzaman, Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis Volume 11, 2000, Hal. 12 31 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia , Cetakan Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal. 22 32 J. Satrio, Hukum Jaminan, hak -Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, 2002, Hal. 03 Pengertian hukum jaminan yang dikutip dari Maria Handayani menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan adalah hukum yang mengatur konstruksi yuridis sehingga memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan cara menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan33 . Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah. Pendapat Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan datang, sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan. 34 Dari pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan. Unsur–unsur yang tercantum dalam suatu jaminan berdasarkan dari defenisi atau pengertian jaminan dari para ahli hukum atau pakar hukum di atas tersebut adalah adanya kaidah hukum, adanya pemberi dan penerima kuasa, adanya jaminan dan adanya fasilitas kredit. 2. Fungsi dan sifat Jaminan Fungsi jaminan secara yuridis adalah memberikan kepastian hukum pelunasan suatu hutang didalam perjanjian hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam perjanjian dengan mengadakan perjanjian penjaminan melalui lembaga-lembaga jaminan yang dikenal oleh hukum di Indonesia. Fungsi jaminan dalam pemberian kredit menurut M. Bahsan adalah :35 33 34 35 Maria Handayani, Kajian Hukum Tentang Jaminan Perorangan Terhadap Pemberian Kredit Di PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk Cabang Semarang, Tesis Megister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, Hal. 29 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Cetakan Ketujuh, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal. 05 M. Bahsan, Hukum Jaminan Dan jaminan Kredit Perbankan Indonesia , Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hal. 102-105 a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut bilamana nasabah melakukan cidera janji yaitu tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. b. Menjamin agar nasabah berperan serta didalam transaksi untuk membiayai usaha atau proyeknya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau diperkecil. c. Memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi perjanjian kredit khususnya mengenai pembayaran kembali pelunasan sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. Fungsi jaminan kredit atau disebut sebagai Principal Functions of Collateral menurut Douglas W. Arner antara lain adalah :36 1. Mitigation of substitution in credit risk for a potential financier. 2. Change in capital asset use to make financing available. 3. Signal credit risk strengths or borrower status. 4. Signal risk or bargaining weaknesses. 5. Facilitate credit substitution. 6. Effect on costs and information for credit creation. 7. Provide financiers with known credit risks. 8. Encourage contractual compliance by collateral provider Jaminan yang ideal menurut subekti adalah37 : a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan. b. Tidak melemahkan potensi penerima kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya. c. Memberikan kepastian kepada kreditor dalam arti mudah diuangkan untuk melunasi hutang debitor. Subekti menyimpulkan bahwa fungsi dari jaminan adalah :38 a. Memberikan kepastian hukum kepada kreditor dan debitor. Pihak kreditor mendapatkan kepastian hukum tentang pengembalian pokok kredit bersama bunganya 36 Douglas W. Arner, Property Rights, Collateral, Creditor Rights, and Insolvency in East Asia, Texas International Law Journals Volume 42 No. 515, 2007, Hal. 527 37 Subekti, Jaminan Kredit Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Di Indonesia , Citra Aditya bakti, Bandung, 2001, Hal. 29 38 Ibid, Hal, 30 dan pihak debitor mendapatkan kepastian hukum untuk membayar kembali pokok kredit beserta bunganya. b. Untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh kredit bagi debitor. c. Memberikan keamanan terhadap suatu perjanjian hutang piutang yang telah disepakati bersama. Pengertian kepentingan keamanan disini dapat diartikan sebagai : Security is created where a person („the creditor‟) to whom an obligation is owed by another („the debtor‟) by statute or contract, in addition to the personal promise of the debtor to discharge the obligation, obtains rights exercisable against some property in which the debtor has an interest in order to enforce the discharge of the debtor‟s obligation to the creditor.39 Adapun sifat hak-hak jaminan dalam praktek perbankan adalah bersifat hak kebendaan dan hak perorangan, yang tergolong kedalam jaminan yang bersifat hak kebendaan Hipotik, gadai dan fidusia sedangkan yang tergolong kedalam jaminan yang bersifat hak perorangan adalah perjanjian penanggungan, perutangan tanggung menanggung, perjanjian garansi dan lain sebagainya. Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya, sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lainnya. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan adalah memberikan hak untuk meminta pemenuhan piutangnya kepada kreditor terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitor untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. Ciri khas dari jaminan yang bersifat kebendaan ini adalah dapat dipertahankan atau diminta pemenuhannya terhadap siapapun juga, yaitu terhadap perolehan hak baik berdasarkan atas hak yang umum maupun khusus dan juga terhadap kreditor dan pihak lawannya. Hak tersebut selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dalam artian bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual benda dan eksekusi. 3. Jaminan khusus 39 Tan Cheng Han, Quasi-Security Interests in Loan Agreements: An Overview, National University of Singapore (NUS) - Faculty of Law, Singapore Academy of Law Journal, Vol. 5, No. 2 ISSN: 0218-2009, 1993, Hal. 170 Jaminan khusus adalah suatu bentuk jaminan yang dibentuk untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada jaminan umum, Undang-undang memungkinkan diadakannya jaminan khusus. Hal ini tersirat dari Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam kalimat kecuali diantara para kreditor ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan, dengan demikian Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai sifat yang mengatur (aanvullendrecht) karena para pihak diberi kesempatan untuk membuat perjanjian yang menyimpang, dengan kata lain terdapat kreditor yang diberikan kedudukan yang lebih didahulukan dalam pelunasan hutangnya dibanding kreditor lainnya. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pernyataan yang lebih tegas yaitu hak untuk didahulukan diantara orangorang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan dari hipotik, oleh karena itu alasan untuk didahulukan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang dan dapat juga terjadi karena diperjanjikan antara debitor dan kreditor. Berdasarkan ketentuan Undang-undang yang terdapat dalam Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang hutang piutang yang didahulukan yang disebut privilege, sedangkan yang terjadi karena perjanjian dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu kreditor dapat meminta benda tertentu milik debitor untuk dijadikan sebagai jaminan hutang atau kreditor meminta bantuan pihak ketiga untuk menggantikan kedudukan debitor membayar hutang-hutang debitor kepada kreditor apabila debitor lalai dalam membayar hutangnya atau wanprestasi. Jaminan dengan cara-cara tersebut diatas dikenal sebagai jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan dijaminkan melalui gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan, sedangkan jaminan perorangan dapat dilakukan dapat dilakukan melalui perjanjian penanggungan misalnya borgtocht, garansi, dan lain-lain. Jaminan gadai, fidusia dan hipotik mempunyai kelebihan masing-masing yang mana kelebihan tersebut adalah “As a preliminary working definition it may be stated that fiducia. Indicated the transfer of ownership to the creditor, who generally but not always retained possession as well; pignus indicated the retention of ownership by the debtor, but the transfer of possession to the creditor and hypotheca indicated the retention of both ownership and possession by the debtor, but with the creation of a possessory interest in the creditor”.40 4. Jaminan kebendaan Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditor atas suatu kebendaan milik debitor hak untuk memanfaatkan benda tersebut jika debitor melakukan wanprestasi. Benda debitor yang dijaminkan dapat berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak. Benda bergerak dapat dijaminkan dengan gadai dan fidusia, sedangkan untuk benda tidak bergerak, setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah hanya dapat dibebankan dengan hipotik atas kapal laut dengan bobot 20 m3 atau lebih dan pesawat terbang serta helikopter, sedangkan untuk tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dapat dibebankan dengan hak tanggungan. Apabila yang dijaminkan adalah benda bergerak tidak berwujud maka lembaga jaminan yang dapat digunakan adalah gadai dan fidusia. Pada benda yang dijaminkan dengan jaminan fidusia, benda tersebut harus didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia karena berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) dan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia berkaitan erat dengan lahirnya jaminan fidusia karena berdasarkan Pasal 14 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, lahirnya jaminan fidusia adalah pada tanggal jaminan fidusia dicatat dalam Buku Daftar Fidusia sehingga apabila suatu benda tidak dapat didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sama saja dengan tidak terjadi/muncul suatu jaminan fidusia. Pada saat dimana debitor melakukan wanprestasi maka dalam jaminan kebendaan, kreditor mempunyai hak didahulukan (preferent) dalam pemenuhan piutangnya diantara kreditor-kreditor lainnya dari hasil penjualan harta benda milik debitor. Ciri-ciri dari jaminan kebendaan ini adalah sebagai berikut : 40 Roger B Goebel, Reconstruction The Roman Law Of Real Security, Fordham University School Of Law, Tulane Law Review Volume 29, 1961, Hal. 29 1) Merupakan hak mutlak (absolute) atas suatu benda. 2) Kreditor mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda tertentu milik kreditor. 3) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun. 4) Selalu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada (droit de suit). 5) Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih dahulu terjadi akan lebih diutamakan daripada yang terjadi kemudian (droit de preference). 6) Dapat diperalihkan seperti hipotik. 7) Bersifat perjanjian tambahan (accessoir). 5. Benda-benda sebagai jaminan kebendaan Ketentuan dalam Pasal 500 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa segala apa yang karena hukum perlekatan termasuk dalam sesuatu kebendaan, seperti pun segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang, selama yang akhir-akhir ini melekat pada kebendaan itu laksana dahan dan akar terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari kebendaan tadi, selanjutnya dalam Pasal 501 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa dengan tak mengurangi ketentuan-ketentuan istimewa menurut Undang-undang atau karena perjanjian tiap-tiap hasil perdata adalah bagian dari sesuatu kebendaan, jika dan selama hasil itu belom dapat ditagih, selain itu dalam Pasal 502 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan yang dinamakn hasil karena alam adalah segala apa yang tumbuh timbul dari tanah sendiri dan segala apa yang merupakan hasil dari atau dilahirkan oleh binatang-binatang. Hasil karena pekerjaan orang yang ditarik dari tanah adalah apa yang diperoleh karena penanaman di atasnya, yang dinamakan hasil perdata adalah uang sewa, uang upeti, uang angsuran dan uang bunga. Berdasarkan ketentuan dari Pasal 500,501 dan 502 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut kebendaan dapat diartikan dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, kebendaan itu hanya barang (kebendaan berwujud) dan dalam arti luas, kebendaan meliputi atas barang (benda berwujud) dan hak (benda tidak berwujud). Pengertian benda tidak berwujud dapat diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, kebendaan berwujud itu adalah benda yang dapat diraba, dipegang atau yang dapat dilihat sedangkan dalam arti luas pengertian kebendaan berwujud itu meliputi kebendaan berwujud dalam arti sempit dan bagian dari kebendaan (harta kekayaan) yang karena hukum perlekatan menjadi bagian dari kebendaan itu, yaitu berupa benda berwujud (Pasal 500 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang timbul dari hasil karena alam (Pasal 502 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu Tumbuh timbul dari tanah sendiri seperti buah-buahan yang berasal dari pohon dan hasil atau dilahirkan dari binatang-binatang seperti telur ular, sapi atau anak dari binatang yang melahirkan dan hasil pekerjaan manusia yang diperoleh karena penanaman di atasnya (Pasal 502 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Benda tidak berwujud yang timbul dari hubungan hukum tertentu atau hasil perdata yang terdiri dari piutang-piutang (penagihan) yang belum dapat ditagih (Pasal 501 Kitab Undang Undang Hukum Perdata) berupa piutang atas nama, piutang atas bawa atau piutang atas tunjuk dan penagihanpenagihan lainnya (Pasal 502 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) berupa uang sewa, uang upeti atau uang bunga. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan benda dalam beberapa cara. Pertama benda dibedakan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak, yang kedua benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud (tak bertubuh) dan selanjutnya benda yang dapat dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan. Menurut Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata benda dapat dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak yang dibedakan lagi menjadi : 1) Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu tanah, bangunan, pohon-pohon, kekayaan alam yang ada di bumi dan barang-barang yang tidak dapat terpisah dari tanah dan bangunan41 . 2) Benda tidak bergerak karena terdapat tujuan dalam menggolongkan benda tersebut (Pasal 507 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu segala macam peralatan yang diperuntukkan bagi pabrik atau pertukangan besi. 3) Benda tidak bergerak karena undang-undang mengaturnya (Pasal 508 Kitab UndangUndang Hukum Perdata) yaitu hak penggunaan hasil dari benda itu, hak servitut, hak postal dan segala macam tuntutan hukum untuk menuntut kembali suatu barang tak bergerak. 41 Kansil, Christine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk asas-asas Hukum Perdata, Cetakan Kelima, PT. Pradnya Paramita, 2006, Hal. 160 4) Benda bergerak karena sifatnya (Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dipindahkan seperti meja, kursi dan kendaraan bermotor. 42 5) Benda bergerak karena ketentuan Undang-undang (Pasal 511 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu : a) Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak. b) Hak atas bunga-bunga yang dijanjikan, baik bunga yang diabadikan maupun bunga cagak hidup. c) Perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau yang mengenai benda bergerak. d) Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan dagang atau persekutuan perusahaan, sekalipun benda-benda persekutuan tersebut dan perusahaan itu merupakan kebendaan tidak bergerak. e) Andil dalam perutangan atas beban Negara Indonesia, baik andil-andil karena pendaftaran dalam buku besar maupun sertifikat-sertifikat, surat-surat pengakuan hutang, obligasi atau surat-surat lain yang berharga beserta kupon-kupon atau surat tanda bunga yang termasuk didalamnya. f) Sero-sero atau kupon obligasi dalam perutangan lain, termasuk juga perutangan yang dilakukan Negara-negara asing. Pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak memiliki arti yang penting dalam menentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat digunakan untuk pengikatan perjanjian hutang piutang. Jika benda jaminan berupa benda bergerak maka dapat digunakan lembaga jaminan gadai dan fidusia, sedangkan jika benda jaminan merupakan benda tidak bergerak maka lembaga jaminannya adalah hipotik atau hak tanggungan. Pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak penting untuk penguasaan (bezit), pembebanan (bezwaring) dan kadaluwarsa (verjaring) serta penyerahan (levering). Mengenai benda bergerak, Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tidak dapat dihabiskan, kebendaan dikatakan dapat dihabiskan bilaman karena dipakai menjadi habis, 42 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya, Cetakan kedua, Prenada Media, 2003, Hal. 126 selain benda bergerak dan tidak bergerak serta benda habis pakai, didalam ketentuan Pasal 503 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga membagi benda menjadi : 1) Benda yang berwujud, adalah segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera seperti rumah dan kendaraan bermotor. 2) Benda tak berwujud, adalah semacam hak seperti hak cipta dan hak paten. Pembedaan kebendaan berwujud dan tidak berwujud penting berkaitan dengan penyerahan dan cara mengadakannya yang berbeda. Penyerahan kebendaan bergerak yang berwujud cukup dilakukan dengan penyerahan yang nyata dari tangan ke tangan sedangkan penyerahan kebendaan tidak bergerak yang berwujud dilakukan dengan balik nama dalam register umum sebagaimana diatur dalam Pasal 612 dan 616 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. C. Tinjauan tentang perjanjian asuransi jiwa 1) Pengertian Asuransi Istilah asuransi menurut pengertian riilnya adalah iuran bersama untuk meringankan beban individu jika beban tersebut menghancurkannya. Konsep asuransi sederhana dan umum adalah suatu persediaan yang dipersiapkan oleh sekelompok orang yang memiliki kemungkinan untuk tertimpa kerugian yang berguna untuk menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan sehingga apabila pada saat kerugian tersebut menimpa salah seorang diantara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.43 Pengertian asuransi menurut G. Gopala Khrisna adalah Insurance means the act of securing the payment of a sum of money in the event of loss or damage to property, life, a person etc., by regular payment of premiums. Insurance is a method of spreading over a large number of persons a possible financial loss too serious to be conveniently borne by an individual. The aim of all insu rance is to protect the owner from a variety of risks which he anticipates. The happening of the specified event must involve.44 Menurut ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada 43 44 Erlina, Cover Note Dan Polis Sebagai Alat Bukti Perjanjian Asuransi, Jurispudentie, Volume 1 Nomor 1, Hal. 53 G. Gopala Khrisna, Essentials and Legalities of an Insurance Contract, The ICFAI University Journal of Insurance law Volume VI No. 4, 2008, Hal. 06 tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat suatu evenemen. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, pengertian dari asuransi adalah perjanjian antara 2 pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk : 1. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis atas kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. 2. Memberikan suatu pembayaran yang didasarkan kepada meninggalnya tertanggung atau yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat diuraikan unsur-unsur dari asuransi atau pertanggungan adalah :45 a. Adanya para pihak yaitu penanggung dan tertanggung b. Status pihak-pihak. c. Adanya objek dari asuransi yang diperjanjikan. d. Terdapatnya peristiwa asuransi. e. Adanya hubungan asuransi. 2) Terjadinya perjanjian asuransi Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian, maka didalamnya paling sedikit terdapat dua pihak yang mengadakan kesepakatan. Pihak yang satu adalah pihak yang mengalihkan risiko kepada pihak lain, yang disebut dengan tertanggung, sedangkan pihak yang lain adalah pihak yang menerima risiko dari pihak tertanggung yang disebut dengan penanggung yaitu perusahaan asuransi. Perjanjian asuransi terjadi seketika setelah tercapainya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, hak dan kewajiban timbal balik timbul sejak saat itu, 45 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015 Hal. 08-11 bahkan sebelum polis ditandatangani (Pasal 257 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Asuransi tersebut harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis (Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Polis ini adalah merupakan bukti tertulis untuk membuktikan bahwa perjanjian asuransi itu telah terjadi. (Pasal 258 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)46 . Ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan tadi dapat dipahami apabila sejak saat terjadinya asuransi sampai dengan saat diserahkannya polis yang sudah ditandatangani tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian tidak ada persoalan apa-apa, akan tetapi jika setelah terjadi asuransi belum sempat dibuatkan polisnya atau walaupun sudah dibuatkan polisnya tapi belum ditandatangani atau walaupun sudah ditandatangani tapi belum diserahkan kepada tertanggung dan kemudian terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian bagi tertanggung sangatlah sulit untuk membuktikan bahwa telah terjadi asuransi karena pembuktiannya harus secara tertulis berupa akta yang disebut polis. Dalam Pasal 257 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapainya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung47 . Ketentuan dalam pasal tersebut memberikan pengertian bahwa perjanjian asuransi ini bersifat konsensual walaupun kemudian harus dibuat secara tertulis dalam bentuk polis. Hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung timbul sejak adanya kesepakatan. Kesepakatan memerlukan suatu pembuktian, untuk membuktikan telah terjadinya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung Undang-undang mengharuskan pembuktian dengan alat bukti tertulis berupa akta yang disebut polis. Apabila polis belum dibuat maka pembuktian dapat dilakukan dengan emnggunakan nota, catatan, surat perhitungan, telegram dan sebagainya. Surat-surat ini disebut permulaan bukti tertulis (the beginning of writing evidence). Apabila permulaan bukti tertulis ini sudah ada barulah dapat digunakan alat bukti biasa yang diatur dalam Pasal 258 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada saat kesepakatan antara tertanggung dan penanggung sudah dapat dibuktikan dan kemudian timbul suatu perselisihan tentang syarat-syarat khusus dan janji-janji 46 47 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 55 Erlina, Cover Note Dan Polis Sebagai Alat Bukti Perjanjian Asuransi, Jurispudentie, Volume 1 Nomor 1Juli 2014, Hal. 57 khusus asuransi, maka yang demikian ini boleh dibuktikan dengan menggunakan segala alat bukti. Suatu pembuktian syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus asuransi yang menurut Undang-undang diancam batal jika tidak dimuat didalam polis harus dibuktikan secara tertulis (Pasal 258 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Syarat-syarat khusus yang dimaksud dalam Pasal 258 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah mengenai esensi (inti dari isi) perjanjian asuransi yang telah dibuat itu terutama mengenai realisasi hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung seperti48 : a. Penyebab timbulnya kerugian. b. Pembayaran premi oleh tertanggung. c. Klausal-klausal tertentu. Perjanjian dalam asuransi merupakan perjanjian dengan ciri dan sifat khusus, jika dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Kekhususan tersebut antara lain49 : a. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair (aleatary), maksudnya ialah bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian yang prestasi penanggung harus digantungkan pada suatu peristiwa yang belum pasti, sedangkan prestasi tertanggung sudah pasti dan meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasinya dengan sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata. b. Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), maksudnya adalah bahwa perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang prestasi penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi. Pihak tertanggung pada suatu sisi tidak berjanji untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syaratnya. c. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi (personal), maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus merupakan kerugian orang perorangan, secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun kerugian masyarakat luas. Kerugian yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan diganti oleh penanggung. d. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan kondisi 48 49 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 57 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 92 perjanjian hamper seluruhnya ditentukan diciptakan oleh penanggung /perusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa kondisi perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan sepihak oleh penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun perjanjian dan seharusnya mengetahui apabila timbul pengertian yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung. Diluar sifat yang terkandung dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, ada beberapa sifat lain yang diatur oleh beberapa pasal dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang, yaitu : 1. Bahwa perjanjian asuransi itu adalah suatu perjanjian konsensual yang berarti dapat diadakan hanya berdasarkan kata sepakat antara para pihak-pihak. 2. Bahwa dalam perjanjian asuransi itu unsur “utmost good faith” memegang peranan penting sekali. Unsur utmost good faith yang dengan kata lain dapat disebut dengan itikad baik yang sebenarbenarnya, merupakan asas dari semua perjanjian. 3. Bahwa di dalam perjanjian asuransi itu pada tertanggung harus melekat sifat sebagai orang yang mempunyai kepentingan (interest) atas peristiwa yang tidak tentu artinya sebagai akibat dari peristiwa itu dia dapat menderita kerugian. 3) Pengertian perjanjian asuransi jiwa Pengaturan tentang asuransi jiwa terdapat dalam Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyebutkan bahwa jiwa seseorang dapat, guna keperluan seorang yang berkepentingan, dipertanggungkan baik untuk selama hidup jiwanya itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian50 . Asuransi jiwa merupakan bentuk konkrit dari asuransi sejumlah uang, yang artinya si penjamin berjanji memberikan uang yang jumlahnya sudah di tentukan sebelumnya dengan tidak disandarkan pada suatu kerugian tertentu, sedangkan arti dari kata asuransi dalam bahasa belanda disebut “Verzekering” yang berarti pertanggungan. Dalam suatu pertanggungan jiwa terdapat 2 pihak, yaitu pihak (uang penanggung pertanggungan) 50 yang apabila bersedia sampai habis membayar sejumlah masa pertanggungan uang jaminan (perjanjian asuransi Hilda Yunita Sabrie, Pembayaran klaim Asuransi Jiwa Akibat Tertanggung Bunuh Diri (PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia), Yuridika : Volume 26 Nomor 01 Januari-April 2011, Hal. 36 jiwa)tertanggung tidak meninggal dunia atau sakit, pihak pemegang (pengambil asuransi) yang berkewajiban untuk membayar sejumlah uang (premi) kepada pihak penanggung. Definisi dari asuransi atau pertanggungan jiwa menurut purwosutjipto H.M.N Purwosutjipto yang dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan sebagai akibat langsung meninggalnya orang yang jiwanya di pertanggungkan, telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmat.51 Beberapa pengertian asuransi jiwa adalah sebagai berikut :52 1. Life insurance contract is a contract whereby a person (insurer) agrees for a consideration (that is payment of a sum of money) or a periodical payment, called the premium to pay to another (insured or his estates) a stated sum of money on happening of an event dependent on human life. 2. Life insurance is a contract to pay a certain sum of money on the death of a person in consideration of the due payment of a certain annuity for his life calculated according to the probable duration of life. 3. Life insurance is a contract in which one party agrees to pay a given sum of money upon the happening of a particular event contingent upon the duration of human life in consideration of immediate payment of a smaller sum or other equivalent periodical payments by the other. 4. A life insurance policy promises that the insurer will pay to the policy holder a certain sum of money if the person insured dies or any other specified contingency happens. Pengertian asuransi jiwa tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian ini, akan tetapi pada undang-undang ini memberikan pengertian dari usaha asuransi jiwa. Usaha dari asuransi jiwa menurut ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (6) adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan 51 52 risiko yang memberikan pembayaran kepada Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 169 Suze Orman, Life Insurance : Concept, Nature, And Scope, Chapter II, Hal. 23-24 pemegang polis, tertanggung atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup atau pembayaran lain kepada pemegang polis tertanggung atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Asuransi jiwa merupakan suatu perjanjian timbal balik, artinya suatu perjanjian yang mana para pihak masing-masing mempunyai kewajiban untuk membayar premi yang jumlahnya telah ditentukan oleh penanggung atau pihak asuransi dan penanggung atau pemegang polis mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1774 Undang-Undang Hukum Perdata yaitu bahwa perjanjian pertanggungan jiwa Kitab maupun perjanjian pertanggungan lainnya adalah termasuk ke dalam perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst), dikarenakan kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung tergantung dari ada atau tidak adanya peristiwa tidak tertentu (onzeker voorval). Perjanjian asuransi jiwa atau yang selanjutnya disebut kontrak antara tertanggung dan penangung asuransi jiwa, dalam hal ini kontrak antara tertanggung dan penanggung berlaku konsep yang disebut sebagai pengalihan resiko atas suatu kejadian yang tidak diinginkan (evenement) terjadi pada tertanggung seperti sakit, kematian, kebakaran, kehilangan, kecelakaan ataupun kemacetan yang karenanya tertanggung melakukan perjanjian atau kontrak dengan penanggung dengan memindahkan resiko tertanggung kepada penanggung yang berfungsi sebagai klaim baginya agar evenement dapat ditanggung oleh penanggung sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang telah dibuat secara sah. 4) Jenis-jenis asuransi jiwa yang bisa dijaminkan di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Pontianak Produk-produk yang diberikan oleh Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 biasanya adalah merupakan produk yang berupa asuransi jiwa dan produk yang berupa tabungan serta bisa saja keduanya menjadi satu dalam satu produk asuransi tersebut. Perbedaan antara asuransi jiwa dengan tabungan dapat dilihat dari : a. Asuransi Jiwa : Jumlah uang yang dikehendaki dapat ditentukan sebelumnya, terdapat unsur perlindungan atau proteksi, besarnya premi ditetapkan berdasarkan perhitungan aktuaria, terdapat unsur keharusan dalam membyar premi asuransi secara teratur. b. Tabungan : Jumlah uang tidak dapat ditentukan sebelumnya karena tergantung pada jumlah yang ditabung, tidak terdapat unsur perlindungan, besar tabungan ditentukan oleh keinginan penabung sendiri, tidak ada unsur keharusan untuk menabung dan tidak dilakukan secara teratur. Perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 memiliki produk atau program-program sebagai berikut : a. Program asuransi jiwa perorangan 1) Asuransi jiwa mitra cerdas 2) Asuransi jiwa mitra sehat 3) Asuransi jiwa mitra melati 4) Asuransi jiwa mitra abadi 5) Asuransi jiwa mitra BP-Link 6) Asuransi jiwa mitra guru 7) Asuransi jiwa mitra pusaka 8) Asuransi jiwa mitra beasiswa. 9) Asuransi jiwa mitra permata. 10) Asuransi jiwa mitra prima. 11) Asuransi jiwa etawakatu ideal 12) Asuransi jiwa mitra proteksi mandiri 13) Asuransi jiwa mitra warisan plus 14) Asuransi jiwa dana bahagia 15) Asuransi jiwa aneka guna prima 16) Asuransi jiwa dana prima baru b. Program asuransi kumpulan 1) Asuransi jiwa ekawaktu 2) Asuransi jiwa kredit 3) Asuransi kecelakaan jiwa 4) Asuransi jiwa mitra medicare 5) Asuransi jiwa idaman 6) Program kesejahteraan karyawan Menurut ketentuan dalam Keputusan Direksi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 No.SK.39/DIR/KEU/2007 tentang Pengelolaan Pinjaman Polis Asuransi Jiwa Perorangan yang dimaksud dengan pinjaman polis adalah pinjaman uang yang diberikan kepada pemegang polis dengan jaminan polis perorangan yang telah mempunyai nilai tunai dan tidak menunggak dalam hal pembayaran preminya. Nilai tunai dapat diperoleh setelah polis asuransi berumur kurang lebih dua tahun sampai dengan lima tahun dan besarnya nilai tunai tergantung dari perhitungan yang ditetapkan oleh perusahaan maupun besarnya indeks nilai tunai berdasarkan perhitungan nilai tunai yang ditetapkan oleh perusahaan yang dilihat dari besarnya uang tanggungan yang diperjanjikan dan jumlah premi. Besarnya pinjaman yang boleh dilakukan oleh pemegang polis tergantung dari jenis polis tersebut, untuk polis asuransi yang berfungsi sebagai pembayaran manfaat berkala (DKB/Tahapan) maksimum adalah sebesar 80 % dari nilai tunai pada saat diajukannya pinjaman polis dan untuk polis yang berfungsi sebagai dana kelangsungan belajar adalah sebesar 60 % dari nilai tunai polis pada saat diajukannya pinjaman polis sedangkan untuk jangka waktu pinjaman polis yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi adalah maksimal 24 bulan. Adapun jenis-jenis polis yang dapat dijadikan sebagai jaminan di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Pontianak adalah asuransi jiwa beasiswa berencana, asuransi jiwa mitra cerdas, asuransi jiwa mitra melati, asuransi jiwa dana bahagia, asuransi jiwa ekawaktu ideal, asuransi jiwa dwi guna prima dan asuransi jiwa aneka guna prima. Untuk jenis asuransi jiwa beasiswa berencana, mitra cerdas dan mitra melati pinjaman yang dapat dikeluarkan oleh perusahaan asuransi adalah sebesar 60% dari jumlah nilai tunai setelah polis tersebut berumur kurang lebih 2 tahun dan untuk polis lainnya seperti polis asuransi jiwa dana bahagia, ekawaktu ideal, dwi guna prima dan aneka guna prima perusahaan dapat mengeluarkan pinjaman sebesar 80% dari jumlah nilai tunai yang terdapat pada polis asuransi tersebut setelah jangka waktu kurang lebih lima tahun. Hal ini seperti yang disebutkan pada Keputusan Direksi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 No. SK.39/DIR/KEU/2007 tentang Pengelolaan Pinjaman Polis Asuransi Jiwa Perorangan. 5) Klaim atau tuntutan ganti rugi dalam asuransi jiwa Persoalan peristiwa tak tentu atau evenemen erat sekali hubungannya dengan persoalan ganti kerugian. Dalam Pasal 204 KUHD yang mengatur tentang isi polis, tidak ada ketentuan keharusan mencantumkan evenemen dalam polis asuransi jiwa. Dalam asuransi jiwa, yang dimaksud dengan bahaya adalah meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami kematian tetapi kapan meninggalnya seseorang tidak dapat dipastikan. Inilah yang disebut peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam asuransi jiwa.53 Evenemen ini hanya satu, yaitu ketidakpastian kapan meninggalnya seseorang, sebagai salah satu unsur yang dinyatakan dalam definisi asuransi jiwa karena evenemen ini hanya satu, maka tidak perlu dicantumkan dalam polis. Evenemen meninggalnya tertanggung itu berisi dua, yaitu meninggalnya itu benarbenar terjadi sampai jangka waktu asuransi, dan benar-benar tidak terjadi sampai asuransi berakhir. Kedua-duanya menjadi beban penanggung. Tuntutan ganti kerugian oleh tertanggung kepada penanggung inilah yang biasanya disebut klaim atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa klaim adalah tuntutan terhadap hak yang timbulnya disebabkan karena adanya perjanjian asuransi yang telah berakhir. Besarnya uang santunan yang wajib dibayar oleh penanggung kepada penikmat dalam hal meninggalnya tertanggung sesuai kesepakatan yang tercantum dalam polis. Pembayaran santunan merupakan akibat terjadinya peristiwa, yaitu meninggalnya tertanggung dalam jangka waktu berlakunya asuransi jiwa tetapi apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka tertanggung sebagai pihak dalam asuransi jiwa, berhak memperoleh pengembalian 53 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya bakti, 2006, Hal. 174 sejumlah uang dari penanggung yang jumlahnya telah ditetapkan berdasarkan perjanjian.54 6) Premi dalam asuransi jiwa Dalam Pasal 246 KUHD terdapat kalimat dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi. Dari kalimat ini dapat diketahui bahwa premi adalah salah satu unsur penting dalam pertanggungan karena premi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung.55 Dalam hubungan hukum pertanggungan, penanggung menerima peralihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar, pertanggungan dapat diputuskan, atau setidak-tidaknya pertanggungan itu tidak berjalan. Sebagai suatu perjanjian timbale balik, perjanjian pertanggungan bersifat konsensual, artinya sejak terjadinya kata sepakat, timbullah hak dan kewajiban diantara para pihak. Tetapi pertanggungan itu berjalan. Jika premi belum dibayar, pertanggungan tidak berjalan. Karena itu premi peril dilunasi pada saat pertanggungan itu diadakan atau pada saat bahaya mulai berjalan. Pada pertanggungan yang diadakan untuk jangka waktu tertentu atau untuk suatu perjalanan, premi dibayar lebih dahulu pada saat bahaya mulai berjalan. Tetapi pada pertanggungan yang diadakan untuk jangka waktu yang panjang, pembayaran premi dapat ditentukan secara periodik, misalnya tiap bulan dan pembayaran dilakukan pada permulaan tiap periodik. Besarnya jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung ditentukan dengan suatu prosentase dari jumlah yang dipertanggungkan berdasarkan penilaian risiko yang dipikul oleh penanggung. Dalam prakteknya, penerapan besarnya jumlah premi itu diperjanjikan oleh pihak-pihak secara layak dan dicantumkan di dalam polis. Premi yang telah dibayar oleh tertanggung kepada penanggung itu dapat dituntut pengembaliannya oleh tertanggung, baik untuk seluruhnya maupun sebagian, apabila 54 55 Ibid, Hal. 175 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, bandung, 2006, Hal. 101 pertanggungan baik itu untuk seluruhnya atau sebagian gugur atau menjadi batal, sedangkan tertanggung telah bertindak dengan itikad baik (te goeder trouw, in good faith). Premi yang harus dibayar kembali oleh penanggung itu disebut “premi restorno” (Pasal 281KUHD). Hanya saja pada premi restorno ini ditekankan kepada syarat bahwa penanggung tidak menghadapi bahaya. 56 7) Polis asuransi jiwa Polis menurut pengertian umum adalah suatu perjanjian yang perlu dibuat bukti tertulis suatu perjanjian antara para pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian bukti tertulis untuk perjanjian asuransi. Surat perjanjian ini dibuat dengan itikad baik dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Di dalam surat perjanjian itu disebutkan dengan tegas dan jelas mengenai hal-hal yang diperjanjikan kedua belah pihak, hak-hak masing-masing pihak, sanksi atas pelanggaran dalam perjanjian asuransi dan sebagainya. Polis dapat juga diartikan sebagai surat perjanjian asuransi jiwa yang menguraikan hal-hal yang menjadi dasar dan syarat-syarat asuransi, ditanda tangani oleh penanggung dan pemegang polis. Pengertian mengenai polis tersebut dapat disimpulkan bahwa polis asuransi merupakan salah satu dari alat bukti telah terjadi perjanjian asuransi. Pada dasarnya pengertian polis asuransi jiwa sama dengan pengertian polis pada umumnya. Perbedaan polis asuransi jiwa dengan polis asuransi pada umumnya hanya dari isi polis. Isi polis asuransi jiwa diatur dalam Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan isi polis pada umumnya diatur dalam Pasal 256 Kitab UndangUndang Hukum Dagang. Menurut Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, polis asuransi jiwa harus memuat hal-hal sebagai berikut57 : a. Hari diadakannya asuransi b. Nama tertanggung c. Nama jiwa orang yang diasuransikan d. Saat mulai dan berakhirnya evenemen 56 57 Ibid, Hal. 125 Kansil dan Christine S.T. Kamil, Pokok Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2013, Hal. 182 e. Jumlah asuransi f. Premi asuransi Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa polis asuransi jiwa diatur sendiri dalam Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Mengenai isi polis asuransi jiwa tidak baku karena setiap perusahaan asuransi jiwa mempunyai isi polis tersendiri yang sebenarnya tidak bertentangan dengan bentuk baku Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan di dalam polis dijelaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban pemegang polis serta hak dan kewajiban dari perusahaan asuransi jiwa. Sebagian besar syarat-syarat umum polis yang secara khusus dimasukan dalam kontrak polis yang berhubungan dengan aspek-aspek polis asuransi jiwa perorangan adalah : 1. Unsur yang membentuk kontrak keseluruhan antara pemilik polis dan perusahaan asuransi jiwa yang menyatakan bahwa polis itu sendiri bersama-sama dengan surat permintaan asuransi beserta surat keterangan lain yang disediakan untuk itu jika terlampir akan membentuk kontrak keseluruhan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari polis tersebut. 2. Incontestability (polis tidak dapat dibantah kebenarannya setelah lewat batas waktu hak menguji yang ditentukan) dari kontrak setelah polis berjalan aktif selama periode tertentu. 3. Grade period (tenggang waktu pembayaran premi lanjutan) yang diberikan perusahaan kepada pemilik polis untuk membayar premi renewal. 4. Non-forfeiture benefit (nilai tunai yang ada dapat dipergunakan untuk membeli asuransi jangka warsa) yang tersedia bagi pemilik polis asuransi jiwa yang telah memiliki nilai tunai. 5. Policy loan (hak pemilik polis untuk melakukan pinjaman uang dari perusahaan asuransi dengan menggunakan nilai tunai sebagai jaminan dan dinamakan sebagai pinjaman polis) yang diberikan kepada pemilik polis yang telah memiliki nilai tunai polis. 6. Hak reinstatement (pemulihan polis yang sudah batal karena tidak membayar premi lanjutan menjadi aktif kembali) yang sudah batal yang diberikan oleh pemilik polis. 7. Metode penyesuaian yang dipakai untuk memperbaiki kesalahan umur. 8. Cara penggunaan dividen oleh pemilik polis partisipasi. 9. Settlement options (hak memilih) cara pembayaran uang pertanggungan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. 10. Syarat yang harus dipenuhi oleh pemilik polis dalam hal perubahan tipe asuransi. a. Fasilitas pinjaman polis di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Kantor Cabang Pontianak Pada perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Pontianak memiliki suatu fasilitas yang dinamakan pinjaman polis. Pinjaman polis adalah suatu fasilitas yang diberikan oleh perusahaan kepada pemegang polis yang mana dengan fasilitas tersebut pemegang polis dapat menjaminkan polis untuk mendapatkan pinjaman uang dari perusahaan. Pengertian pinjaman polis menurut Pasal 1 dalam ketentuan Syarat-Syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah suatu pinjaman dana yang dapat diberikan oleh badan atau perusahaan asuransi kepada pemegang polis yang besarnya tergantung nilai tunai. Pengertian Nilai tunai disini dan masih menurut Pasal 1 dalam ketentuan Syarat-Syarat umum polis Asuransi jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah sejumlah uang yang besaran nilainya ditentukan secara aktuaria oleh badan atau perusahaan asuransi berdasarkan perjanjian polis dan menurut Pasal 7 Ayat (1) Syarat-Syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Bersama bumiputera 1912 nilai tunai berlaku pada polis-polis tertentu yang mana premi tersebut dibayarkan secara terus menerus yang mana nilai tunai tersebut besarnya ditentukan oleh badan atau perusahaan asuransi berdasarkan teknis asuransi (aktuaria). Nilai tunai yang terdapat dalam polis asuransi jiwa yang dimiliki oleh pemegang polis atau tertanggung sebenarnya adalah merupakan nilai tunai yang berkembang akibat dari pembayaran premi tertanggung yang mana nilai tunai tersebut didapatkan ketika polis tersebut berumur minimal 1 tahun dan dapat berkembang sesuai dengan perhitungan aktuaria dari perusahaan. Pada saat pemegang polis meminjam uang kepada perusahaan asuransi, sebenarnya pemegang polis tersebut mengambil uang dari polis asuransinya sendiri yang dihasilkan dari pembayaran preminya dan berupa nilai tunai. Pemegang polis lebih memilih untuk meminjam uang dengan cara menjaminkan polis asuransinya daripada harus mengambil semua uang yang terdapat dalam polis asuransinya yang telah memiliki nilai tunai, hal ini disebabkan karena apabila pemegang polis mengambil sejumlah uang yang terdapat dalam nilai tunai tersebut maka otomatis perjanjian asuransi yang telah diadakan oleh pemegang polis dan pihak asuransi dinyatakan telah berakhir dan pemegang polis tidak mendapatkan perlindungan serta sejumlah uang yang diperjanjikan dalam perjanjian asuransi tersebut sedangkan apabila pemegang polis mengambil dana dari jumlah nilai tunai yang ada didalam polis asuransinya dengan cara meminjam uang kepada perusahaan asuransi maka biarpun sejumlah uang tersebut diambil oleh pemegang polis, pemegang polis tetap akan mendapatkan perlindungan dan apabila pada saat pinjaman ataupun pinjaman telah lunas terjadi klaim maka pemegang polis sekaligus peminjam polis tetap mendapatkan dana santunan sebesar yang diperjanjikan pada awal perjanjian asuransi ini terjadi. Fasilitas pinjaman polis ini dibuat karena tidak jarang dari pemegang polis mengajukan klaim atas polisnya sebelum berakhir masa kontrak dengan alasan membutuhkan dana untuk keperluan tertentu, maka dari itu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 memberikan kemudahan kepada pemegang polis melalui pinjaman dana dengan menjaminkan polis yang dimiliki pemegang polis tersebut. Pinjaman polis dilakukan dengan cara dimana pemilik atau pemegang polis menyerahkan polis asli kepada perusahaan asuransi sebagai jaminan atau surat bukti atas hutangnya dan sebelum melakukan pinjaman polis ini pemegang polis harus terlebih dahulu memenuhi prosedur, syarat dan ketentuan peminjaman polis yang diberikan oleh perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 yang tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor SK.39/DIR/KEU/2007 tentang Pengelolaan Pinjaman Polis Asuransi Jiwa Perorangan dan Surat Keputusan Direksi Nomor PE.08/DIR/KEU/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Pinjaman Polis Asuransi Jiwa Perorangan. b. Polis sebagai alat bukti Istilah dan pengertian polis dapat dijumpai dalam Pasal 255 Kitab UndangUndang Hukum Dagang yang menyebutkan bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Pengertian polis menurut Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tersebut dapat didefinisikan bahwa polis adalah alat bukti tertulis (akta) yang menyatakan bahwa telah diadakan perjanjian pertanggungan (asuransi) antara tertanggung dengan penanggung (perusahaan asuransi).58 Polis merupakan bukti yang sempurna tentang adanya perjanjian pertanggungan dan tanpa adanya polis, perjanjian pertanggungan itu menjadi sulit dan terbatas. Polis bukanlah sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, walaupun tanpa adanya polis suatu perjanjian asuransi itu tetap dianggap berlangsung atau ada. Polis hanyalah merupakan alat bukti tertulis tentang adanya perjanjian suatu pertanggungan. Sahnya perjanjian asuransi tetap tunduk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Hal ini diperjelas dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 257 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyebutkan bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak dan kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku sejak saat itu, bahkan sebelum polis ditandatangani. Ketentuan di atas menunjukan bahwa walaupun polis belum ada (belum ditandatangani), perjanjian asuransi telah ada asalkan telah dipenuhinya syarat-syarat persesuaian kehendak (sepakat) sehingga polis dapat diartikan sebagai alat pembuktian saja tentang adanya suatu perjanjian asuransi. Polis sebagai alat bukti ini juga ditegaskan didalam ketentuan Pasal 258 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menyebutkan bahwa untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut (asuransi), diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian boleh lain-lain alat pembuktian digunakan juga manakala sudah ada suatu pembuktian dengan tulisan. Berdasarkan bunyi pasal di atas memberikan penegasan bahwa polis asuransi adalah sebagai alat untuk membuktikan tentang ditutupnya suatu perjanjian asuransi dan bukan sebagai suatu syarat sahnya perjanjian asuransi karena walaupun tanpa polis, perjanjian asuransi itu tetap dapat dibuktikan asalkan terdapat permulaan bukti berupa tulisan. c. Isi polis 58 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 57 Menurut ketentuan Pasal 256 Kitab Undang-Undang Hukum Dadang, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat berikut ini : 1) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi. 2) Nama tertanggung untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga. 3) Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan. 4) Jumlah yang diasuransikan. 5) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung. 6) Waktu bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penaggung. 7) Premi asuransi. 8) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janjijanji khusus yang diadakan antara pihak. Disamping syarat-syarat khusus tersebut, dalam polis harus dicantumkan juga berbagai asuransi yang diadakan lebih dahulu, dengan ancaman batal jika tidak dicantumkan. Berbagai asuransi yang dimaksud adalah seperti tercantum dalam pasal Kitab Undang-Undang Hukum Dagang berikut ini : 1) Reasuransi (Pasal 271 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). 2) Asuransi rangkap (Pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). 3) Asuransi Insolvabilitas (Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). 4) Asuransi kapal yang sudah berangkat berlayar (Pasal 603 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). 5) Asuransi kapal belum tiba di tujuan (Pasal 606 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) 6) Asuransi atas keuntungan yang diharapkan (Pasal 615 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). D. Landasan Teori Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu proses tertentu yang terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidak benarannya. Teori juga merupakan alur penalaran atau logika (fow of reasonic/logic) yang terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis59 . Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan dan kata theoria berasal dari kata thea yang dalam bahasa yunani berarti adalah suatu cara60 . Menurut Laurent Friedmann seperti yang dikutip dari Putu Devianti Sugitha mengungkapkan dasar-dasar esensial dari teori hukum menurut pemikiran dari hans kelsen sebagai berikut61 :Tujuan teori hukum seperti ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku dan bukan mengenai hukum yang sebenarnya. Teori hukum sebagai teori norma-norma tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum. Hukum adalah ilmu pengetahuan normative bukan ilmu alam. Teori hukum adalah formal, suatu teori cara menata, mengubah isi dengan cara khusus. Hubungan antara teori hukum dan system yang khas dari hukum positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata. Berbeda halnya dengan landasan teori, landasan teori atau kerangka memiliki pengertian sebagai upaya mengidentifikasi teori hukum atau teori khusus, konsep hukum, asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian, landasan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat consensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar). Berhubungan dengan itu maka harus dihindari teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep, asas yang bertentangan satu sama lain. Apabila semakin banyak teori, konsep, asas yang berhasil diidentifikasikan semakin tinggi derajat kebenaran (konsensus) yang bisa dicapai. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiranpemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa serta kontruksi data 62 . Adapun teori-teori dan konsep yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Teori sistem hukum 59 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik , Rineka Cipta, Jakarta, 2003, Hal. 194 Putu Devianti Sugitha, Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Perbankan Terkait Adanya Akta Pemberian Hak tanggungan Yang tidak Didaftarkan, Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana , Denpasar, 2014, Hal. 18 61 Ibid, Hal. 18 62 Ibid, Hal. 19 60 Dalam studi ilmu hukum, kebanyakan orang terutama para sarjana hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pandangan Lawrence Friedman tentang sistem hukum. Teori sistem hukum (Legal System Theory) menurut Friedman, terdapat tiga elemen dalam sistem hukum, yaitu structure, substance dan legal culture. Struktur adalah keseluruhan institusi-institusi penegak hukum beserta aparatnya (kepolisian dan anggota polisinya, kejaksaan dan jaksanya, pengadilan dan hakimnya, asosiasi advokat dan pengacaranya), substansi adalah keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan) dan kultur adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak (baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat.63 Hukum itu merupakan suatu sistem, maka hukum itu merupakan tatanan dalam suatu satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain, saling mendukung serta saling berinteraksi, oleh karena itu sistem hukum yang baik tidak boleh ada pertentangan antar unsur-unsurnya. Struktur hukum yang baik harus ditunjang oleh substansi hukum yang baik pula atau sebaliknya dan struktur hukum dan substansi hukum yang baik tidak akan berjalan efektif atau tidak akan dirasakan keberadaannya jika tidak didukung oleh kultur atau budaya hukum masyarakat yang baik pula. Untuk membantu dan memecahkan pokok permasalahan dalam penelitian ini, fasilitas pinjaman dengan jaminan polis di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 akan dikaitkan dengan teori sistem hukum Lawrence Friedman seperti yang dijelaskan tersebut di atas. 2. Teori keadilan John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusiinstitusi sosial (social institutions), Akan tetapi kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan khususnya masyarakat yang lemah sebagai pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip keadilan dengan 63 http://www.digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-582-BAB_1.pdf, September 2015 diakses pada tanggal 30 menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).64 Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan pihak lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan di dasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Konsep ini menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”.65 Ide pokok atau gagasan tentang keadilan ini menurut John Rawls dalam jurnalnya adalah sebagai THE fundamental idea in the concept of justice is that of fairness. It is this aspect of justice for which utilitarianism, in its classical form, is unable to account, but which is represented, even if misleadingly so, in the idea of the social contract. To establish these propositions I shall develop, but of necessity only very briefly, a particular conception of justice by stating two principles which specify it and by considering how they may be thought to arise. The parts of this conception are familiar; but perhaps it is possible by using the notion of fairness as a framework to assemble and to look at them in a new way.66 Pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, di antaranya prinsip persamaan, yaitu setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompatibel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Prinsip pertama yang 64 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1, 2009, hlm. 139-140. Ibid, Hal. 140 66 John Rawls, Justice as Fairness, The Journal of Philosophy, Vol. 54, No. 22, American Philosophical Association, Harvard University, 1957, Hal. 653 65 dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle). Menurut Rawls keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan memberdayakan. menghadirkan Kedua, institusi-institusi setiap aturan sosial, ekonomi sebagai pemandu dan untuk politik yang mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah. John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana dalam sistem pemikiran. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa teori yang tidak benar harus ditolak, begitupun hukum yang tidak adil harus direformasi. Masyarakat yang tertata dengan baik adalah jika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu : a. Dimana setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama. b. Institusi-institusi sosial dasar pada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini institusi dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial. c. Prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial. Keadilan sosial di sini melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas. Dalam hal ini John Rawls banyak berbicara tentang keadilan di bidang ekonomi. Pokok pikiran yang ketiga dalam keadilan tersebut di atas menyangkut bidang kehidupan sosial ekonomi, yaitu adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan dalam hal pembagian keuntungan. Dalam hal ini makna keadilan sebagai fairness bukan merupakan prinsip yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas. Teori Keadilan yang diungkapkan John Rawls ini menyajikan konsep keadilan yang menggeneralisasikan teori kontrak sosial yang diungkapkan oleh John Locke, Rousseau dan I. Kant ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Beberapa gagasan penting tentang keadilan sebagai fairness adalah sebagai berikut :67 3. Prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari kesepakatan. 4. Prinsip keadilan sebagai fairness adalah merupakan prinsip yang akan diterima orangorang yang bebas untuk mengejar kepentingan mereka dalam posisi asali (original position) ketika mendefinisikan kerangka dasar asosiasi mereka. 5. Posisi asal (original position) berkaitan dengan kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial, yaitu situasi hipotetis yang mengarah pada konsepsi keadilan tertentu, misalnya bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal dan sama-sama netral. Dalam posisi asali diasumsikan tak seorang pun tahu tempatnya, posisi atau status sosialnya didalam kehidupan masyarakat termasuk kekayaannya, kecerdasannya, kekuatannya dalam distribusi asset serta kekuatan alam. 6. Keadilan adalah hasil dari persetujuan dan tawar menawar yang fair antar individu dalam posisi asali (yang rasional dan sama-sama netral). 7. Keadilan sebagai fairness menolak prinsip utilitas yang menerima struktur dasar hanya karena memaksimalkan keuntungan tanpa mengindahkan efek-efek permanennya pada kepentingan dan hak dasarnya. Hal ini karena prinsip utilitas tidak konsisten dengan konsepsi kerjasama sosial bagi keuntungan bersama. 8. Kerjasama sosial harus bisa menjamin kepuasan hidup, termasuk dalam hal pembagian keuntungan bagi kelompok/golongan masyarakat yang paling tidak beruntung. Keadilan menurut John Rawls ini dalam hal utama yang ingin diperoleh setiap orang (primary goods) merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diinginkan oleh setiap manusia normal dalam mencapai kebutuhan yang layak, hak-hak, kebebasan, berpendapat dan kesehatan. 67 Fadhilah, Refleksi terhadap Makna Keadilan sebagai Fairness Menurut John Rawls dalam Perspektif Keindonesiaan, Jurnal Madani Edisi II/Nopember, 2007, hlm. 40. Prinsip keadilan, Rawls menyatakan, haruslah berdasar pada asas hak, bukan manfaat. Jika asas manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang fair, hal yang dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk sebanyak mungkin orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya. Prinsip keadilan yang berdasarkan pada asas hak akan melahirkan prosedur yang fair karena berdasar pada hak-hak (individu) yang tak boleh dilanggar, yaitu hak-hak individu memang hal yang diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum utilitarian, maka dengan menghindari pelanggaran terhadap hak semua orang sesungguhnya juga akan menciptakan prosedur yang adil (fair), apapun manfaat yang dihasilkannya. Rawls mengatakan bahwa prosedur harus dibuat pada posisi asal yang diandaikan ada oleh orang-orang yang tak memihak, yang berada di balik selubung ketidaktahuan. Menurut Rawls, sambil berada dalam posisi asal kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan tersebut. Rawls percaya bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli yang mana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan terpenuhi. 3. Teori positivisme Positivisme hukum merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu), dalam definisinya yang paling tradisonal tentang hakekat hukum, dimaknai sebagai norma – norma positif dalam sistem perundangundangan.68 Pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan matrealisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan penjelasan seperti itu mengacu kepada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon Austinndan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya. Menurut positivisme hukum, norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma hukum pula bukan dengan non – norma hukum. Norma hukum positive akan diterima sebagai doktrin yang aksiomatis sepanjang ia mengikuti The rule systematizing logic of legal science yang memuat asas ekslusi, subsumsi, derogasi dan non kontradiksi.69 68 http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 69 http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 Positivisme hukum dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Negara modern. Sebelum abad ke – 18 pikiran itu sudah hadirn dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran Negara modern. Jauh sebelum tradisi untuk menuangkan atau menjadikan hukum iru positif, masyarakat lebih menggunakan apa yang dikenal dengan intercational law atau customary law. Postivisme hukum mencoba menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum. Latar belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan dunia hukum dari segala sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum itu. Sistem normatif umum itu dimanifestasikan di dalam kekuasaan Negara untuk memberlakukan hukum dengan sarana kelengkapannya, yaitu sanksi. Tentang hubungan hukum dan moral diakui oleh kaum positivisme hukum, bahkan hubungan kedua hal tersebut sangat penting dalam kehidupan masyarakat meskipun hubungan itu tidak nampak secara langsung. Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hukum dan moral harus berkaitan satu sama lain, sebab hukum moral memerintahkan muatan aktual hukum bantuan manusia (hukum positif). Hukum moral dan hukum positif itu tidak berhubungan satu sama lain, sebab masing – masing memiliki wilayah keberlakuannya sendiri, meskipun sebagai hukum yang lebih tinggi, hukum moral menentukan validitas keberlakuannya hukum positif. Bila hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, yang mengatur perbuatan batin adalah kaidah yang lain yaitu hukum moral atau kaidah kesusilaan. Hukum positif menyelengarakan kedamaian dan ketenangan hidup manusia di dalam masyarkat, hukum moral justru berperan menyempurnakan kehidupan manusia tersebut. Hukum dan moralitas masing-masing memiliki otonomi ruang lingkup yang ekslusif. Hal ini berarti validitas sebuah aturan hukum yang bergantung pada kriteria hukum. Dalam pandangan positivisme hukum satu-satunya kriteria validitas sebuah hukum adalah pandangan yang formal. Positivisme hukum mendefinisikan hukum sebagai kehendak yaitu perintah yang berasal dari penguasa yang ditunjukan kepada semua warga Negara masyarakat politik (atau Negara ) yang merdeka. Perintah ini memuat tujuan dan kekuatan untuk menggunakan sanksi bagi mereka yang melawan atau melanggarnya.70 Positivisme sosiologis tidak mengakui adanya hukum lain selain dari hukum yang telah ditentukan atau ditetapkan oleh masyarakat. Norma kritis yang ada hubungannya dengan kesadaran akan keadilan di dalam hati manusia tidak memiliki tempat di dalam sistem hukum sosiologis tersebut. Menurut pandangan ini, hukum diterima dan diselidiki sebagai gejala sosial. salah satu aliran positivisme sosiologis ini adalah aliran pemikiran utilitarianisme yuridis. Theo Huijbers menjelaskan bahwa dalam positivisme sosiologis, hukum ditanggapi sebagai terbuka bagi kehidupan masyarkat, yang harus diselidiki melalui metode ilmiah. Aliran ini mencerminkan hubungan yang erat antara hukum dan Negara.71 Bagi aliran pemikiran hukum positif analistis hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum menurut Jhon Austin (1790 – 1859) terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup. Austin menyatakan “Law is a command are which obliges a person or person … Laws and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors” Inti ajaran dari Jhon Austin kurang lebih adalah sebagai berikut :72 a. Hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat, sebagaimana dijelaskan oleh Austin, Positive law … is set by sovereign person, or a sovereign body a person, to members of independent political society wherein that person or body is sovereign or suprme” b. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan ketentuan yang lain secara tegas dapat disebut demikian yaitu diterima tanpa memerhatikan kebaikan atau keburukannya. 70 http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 71 http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 72 http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 c. Konsep kedaulatan tentang Negara mewarnai hampir seluruh ajaran Austin, yang dapat dibuat penjelasan singkat sebagai berikut : 1. Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut Negara yang bersifat internal maupun eksternal; 2. Sifat eksternal dari kedaulatan Negara tercermin pada hukum iternasional, sedangkan sifat internal kedaulatan Negara tercermin pada hukum positif. 3. Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap kedaulatan Negara itu berbeda – beda sesuai dengan kebutuhan subjeknya; 4. Ada perbedaan anatara ketaatan terhdap kedaulatan Negara dengan ketaatan terhadap ancaman pendorong, misalnya, yang membedakan keduanya adalaha ligitimasi. Kedaulatan Negara berdasarkan ligitimasi (didasarkan pada undang – undang) yang berlaku dan di akui secara sah. Pada keataatan terhadap kedaulatan Negara, subjeknya merasakan “ a moral duty to obey” (ada kewajiban moral untuk mentatainya). Austin menjelaskan bahwa pihak yang memiliki kekuasaan menentukan apa yang diperbolehkan dan yang dilarang, kekuasaan dari lembaga superior itu pula memaksa orang lain untuk taat, sebagaimana di jelaskan Austin, “..it is positive law, or law strictly so called, by the institution of the present sovereign in the character of politicall superior…The superiority that is styled sovereignity ana independent political society which sovereignity implies, is distinguished from other superiority and from other society are in a habbit of obedience or submission to a determinated and common superior : let that common superior be certain individual person, or a certain body of individuals, is not habit of obedience to like superior…73 Austin membedakan hukum dalam dua jenis (a) hukum dari tuhan untuk manusia, dan (b) hukum yang dibuat oleh manusia, yang dapat dibedakan lagi kedalam (1) hukum yang sebenarnya,dan (2) hukum tidak sebenarnya. Hukum dalam arti sebenarnya ini disebut hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan 73 http://faisalfarhan89.blogspot.co.id/2013/04/pengaruh-positivisme-hukum-jhon-austin.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 individu kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari organisasi atau club tertentu. 4. Konsep pengalihan risiko asuransi Suatu kemungkinan manusia menghadapi kehilangan atau kerugian adalah merupakan suatu risiko. Risiko yang dihadapi oleh setiap orang itu dapat mengenai baik atas hidupnya sendiri maupun atas harta kekayaannya. Risiko memiliki sifat murni atau ekonomis seperti misalnya terbakarnya rumah, hilangnya dana deposito dan yang kedua adalah resiko non ekonomis seperti misalnya kematian, kecelakaan. Pengertian risiko dalam asuransi adalah ketidakpastian akan terjadinya peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian ekomomis. Risiko dari segi asuransi adalah suatu kemungkinan kerugian yang akan dialami yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi akan tetapi tidak diketahui kapan waktu terjadinya kemungkinan peristiwa tersebut.74 Berdasarkan sifatnya, risiko dibagi menjadi 2 jenis, yaitu resiko murni (pure risk) dan risiko spekulatif (speculative risk). Risiko berdasarkan objek yang dikenal dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu75 : a. Risiko perorangan atau pribadi (personal risk) b. Risiko harta kekayaan (property risk) c. Risiko tanggung jawab (liability risk) Didalam kenyataannya ada beberapa usaha manusia untuk mengatasi risiko, yaitu76 : a. Menghindari (avoidance) b. Mencegah (prevention) c. Memperalihkan (transfer) d. Menerima (assumption or retention) Usaha untuk mengatasi risiko di atas yang berhubungan dengan asuransi adalah memperalihkan risiko. Memperalihkan risiko berarti resiko yang akan dihadapi atau yang 74 Dwi Tatak Subagyo, Analisa hukum atas Penolakan Klaim Asuransi Kesehatan dalam kasus Antara handoyo Dengan Perusahaan Asuransi Allianz, Perspektif Volume xvii Nomor 3 Tahun 2012 Edisi September, Hal. 139 75 Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Uasah Perasuransian, Alumni, Bandung, 2013, Hal. 50 76 Ibid, Hal. 51 menjadi tanggung jawabnya itu meminta pihak lain untuk menerimanya. Pihak lain yang menerima peralihan risiko dapat menerima sebagian atau seluruhnya. Apabila terjadi memperalihkan resiko itu sebagian, maka yang terjadi itu adalah pembagian risiko, sedangkan yang terjadi peralihan risiko itu seluruhnya, maka yang terjadi itu adalah peralihan risiko. Peralihan risiko itu sudah tentu tidak terjadi begitu saja, akan tetapi harus memberikan kewajiban-kewajiban kepada pihak yang memperalihkan risiko. Hal ini harus diperjanjikan terlebih dahulu dengan membuat perjanjian yang khusus diadakan dengan tujuan untuk memperallihkan dan atau membagi resiko ini dinamakan perjanjian asuransi. Menurut teori pengalihan risiko (Risk Transfer Theory), tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Apabila bahaya tersebut terjadi terhadapnya, maka kerugian yang dideritanya sangat besar untuk ditanggung olehnya sendiri.77 Untuk mengurangi beban risiko tersebut, pihak tertanggung berupaya mengalihkan beban risiko ancaman bahaya tersebut kepada pihak lain yang bersedia dengan membayar kontra prestasi yang disebut premi. Asuransi atau pertanggungan didalamnya tersirat pengertian adanya suatu risiko yang terjadinya belum dapat dipastikan dan adanya pelimpahan tanggung jawab memikul beban risiko dari pihak yang mempunyai beban risiko tersebut kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung jawab. Sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ini yang diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima tanggung jawab.78 Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko mengancam harta kekayaan atau jiwanya dengan membayar sejumlah perusahaan asuransi (pananggung), sejak itu pula risiko beralih Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi merugikan, penanggung beruntung memiliki dan tidak menikmati premi kepada kepada penanggung. terjadi peristiwa yang premi yang diterimanya dari tertanggung. 77 78 yang Ibid, Hal. 52 http://library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711011/BA B2.pdf, diakses pada tanggal 02 Oktober 2015 telah E. Penelitian yang relevan Hasil Hasil penelitian terdahulu yang relevan dalam menunjang penelitian ini antara lain adalah : 1. Damayanti, Dyah Astuti, Tesis Polis Sebagai Jaminan Pemberian Pinjaman Uang Kepada Pemegang Polis Asuransi Jiwa Mitra Beasiswa Berencana Pada Perusahaan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Cabang Gondomanan Yogyakarta, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2010. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab peminjam uang tidak dapat membayar angsuran pinjaman uangnya dan untuk mengetahui penyelesaian perjanjian pinjam meminjam uang tersebut antara pemegang polis selaku peminjam dengan AJB Bumiputera 1912. Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa polis asuransi jiwa mitra beasiswa dapat dijadikan jaminan dalam pemberian pinjaman uang kepada pemegang polis asuransi tersebut. Penyebab para responden menunggak angsuran pinjaman uangnya adalah karena (1) tidak ada uang untuk membayar angsuran, (2) sengaja menunda membayar angsuran, dan (3) lupa membayar angsuran. Adapun cara penyelesaian terhadap peminjam yang wanprestasi tersebut adalah dengan cara mengeksekusi polis jaminan, yaitu dengan cara AJB Bumiputera 1912 mencairkan sejumlah nilai tunai dari polis tersebut yang merupakan hak pemegang polis/peminjam dan kemudian digunakan untuk melunasi pinjaman uang tersebut. 2. Rifky R Purnomo, Tesis Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Bank (Study Terhadap PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya Dan PT. Prudential Life Assurance) Di Medan, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana syarat-syarat polis asuransi jiwa yang dapat dijadikan jarninan kredit bank, bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak penanggung kepada pihak kreditor bila debitor belum mengembalikan hutang kredit, bagaimana bentuk penyelesaian sengketa bila klaim asuransi tidak dibayar oleh pihak penanggung. Metode penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : syarat-syarat polis asuransi jiwa yang dapat dijaminkan sebagai jaminan kredit adalah polis asuransi jiwa yang nilai polisnya (uang pertanggungan ) mencukupi untuk membayar sisa hutang yang belum dibayarkan oleh debitor. Dengan kata lain uang pertanggungan tersebut akan digunakan untuk melunasi kewajiban-kewajiban nasabah yang belurn dibayar kepada bank pada masa pegembalian kredit. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak penanggung kepada kreditor bila debitor belum mengembalikan hutang kredit adalah dengan cara membayarkan sisa yang belum dibayar kepada bank dengan kata lain pihak asuransi hanya dapat membayar bila pihak debitor sudah tidak sanggup lagi membayar dikarenakan sakit yang berkepanjangan dan meninggal dunia dan dibayarkan sesuai dengan kontrak kredit yang dibuat antara pihak bank dengan nasahah. Dalam hal penyelesaian sengketa bila klaim asuransi tidak dibayar oleh pihak penanggung adalah dengan cara menyelesaikannya melalui musyawarah atau kekeluargaan karena hal ini merupakan masalah pribadi antara pihak asuransi dengan pihak nasabah. Bila mengalami kebuntuan dapat diselesaikan melalui Badan Mediasi Asuransi Jiwa (BMAI) badan ini khusus menangani masalah klaim-klaim yang merugikan nasabah. Disarankan agar pihak asuransi harus menjelaskan kepada nasahah bahwa kesanggupan pihak asuransi membayar hutang nasabah kepada bank hanya sebatas kesanggupan nilai polis yang dimiliki nasabah tujuaunya agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam hal pelimpahan tanggung jawab, Selain itu pihak pihak penanggung . harus memberi kepastian waktu kapan hutang debitor dapat dibayar. kepada bank. Agar dapat menumbuhkan kepercayaan pihak bank kepada pihak penanggung (pihak asuransi) sehingga bukti perlindungan pihak penanggung kepada kreditor dapat dijadikan jaminan nyata. Mengenai penyelesaian masalah sengketa klaim asuransi, lebih baik diselesaikan secara interent melalui musyawarah sehingga waktu penyelesaiannya cepat. 3. Rizky Arie Prasetyo, Skripsi Perjanjian Gadai polis Dengan jaminan Polis Asuransi Jiwa Di PT. Asuransi Jiwasraya (PERSERO), Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2013. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana proses perjanjian gadai polis dengan polis asuransi jiwa, bagaimana bentuk dan isi dari akta perjanjian gadai polis dengan polis asuransi jiwa dan untuk mengetahui bagaimana penyelesaian nya apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian gadai polis di PT. Asuransi Jiwasraya (PERSERO). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prosedur yang harus dilakukan untuk melakukan perjanjian gadai dengan jaminan gadai polis asuransi di PT. Asuransi Jiwasraya : calon debitor dalam hal ini pemegang polis yang langsung datang ke Kantor PT. Asuransi Jiwasraya, pihak asuransi kemudian memberikan formulir permohonan surat permintaan gadai dengan jaminan gadai polis kepada calon debitor. Setelah semua syarat dipenuhi dan surat permintaan penggadaian polis diisi oleh calon debitor, maka pihak Asuransi Jiwasraya akan mempelajarinya.Kemudian melihat keadaan dari calon debitor itu apakah selama ini calon debitor tidak pernah menunggak membayar preminya. pihak Asuransi Jiwasraya dalam hal ini pimpinan kantor yang mengeluarkan gadai akan memutuskan apabila permohonan ditolak, maka Asuransi Jiwasraya memberitahukan kepada calon debitor baik secara lisan maupun secara tulisan. Apabila permohonan itu disetujui, maka segera diberitahukan kepada calon debitor serta pengisian Surat Pengakuan Hutang. Isi polis asuransi jiwa, diantaranya sebagai berikut: Hari diadakannya asuransi, Nama dari yang dijamin, Nama orang yang akan menerinma asuransi, jika si penutup asuransi meninggal, Waktu mulai dan berhentinya resiko bagi si asurador, Jumlah uang yang dijamin dan Premi dari asuransi.Apabila terjadi wanprestasi maka pihak PT. Asuransi Jiwasraya dengan cara: diakhir masa kontrak, besarnya gadai dengan bunga yang menjadi pokok itu harus di kurangkan dengan jumlah asuransi yang dia (nasabah) bayarkan. Dari beberapa penelitian terdahulu yang penulis sebutkan diatas, perbedaan yang mendasar dengan penelitian ini adalah dari rumusan masalah yang dibahas oleh masingmasing penelitian tersebut. Pada penelitian tersebut membahas tentang syarat-syarat polis asuransi yang bisa dijadikan jaminan, prosedur untuk menjaminkan polis asuransi, proses perjanjian gadai polis asuransi, wanprestasi yang dilakukan oleh debitor atau peminjam uang dengan jaminan polis dan penyelesaian sengketanya sedangkan penelitian yang dibuat oleh penulis permasalahannya menitikberatkan kepada kontruksi hukum polis sebagai objek jaminan, dan akibat hukum dari pinjaman polis tersebut.