PRESENTASI MICHAEL SPENCE DI BAPPENAS

advertisement
PRESENTASI MICHAEL SPENCE DI BAPPENAS
Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkelanjutan, Tinggi dan Inklusif
(Sustained High Inclusive Growth)
A. Michael Spence Sebagai Ketua Komisi Pertumbuhan dan Pembangunan
Pada tanggal 27 Maret, 2008, Bappenas telah mendapat kehormatan untuk
mendengar pandangan Dr. Michael Spence tentang pertumbuhan ekonomi (growth)
dan pembangunan (development). Michael Spence adalah seorang peraih Nobel
Memorial Prize pada tahun 2001, untuk karyanya tentang kajian pasar dan informasi
yang asimetris. Spence juga pernah menjadi Dekan Stanford Graduate School of
Business dan antara tahun 1975 dan 1990 menjadi professor di bidang ekonomi dan
business administration di Universitas Harvard. Ketika menyampaikan paparannya di
Bappenas, Spence berbicara dalam kapasitasnya sebagai Ketua Commission on
Growth and Development. Komisi ini didirikan pada tahun 2006 dengan tugas
menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang kebijakan dan strategi yang
mendasari pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan kemiskinan. Komisi ini
disponsori oleh World Bank, pemerintah Belanda, Swedia dan Inggris. Titik tolak dari
pelaksanaan tugas Komisi ini adalah publikasi World Bank tahun 2001 tentang
“Lessons of the 1990s”, yang merupakan tinjauan tentang dampak reformasi
kelembagaan dan kebijakan selama dasawarsa 90an untuk selanjutnya melihat
kedepan untuk dasawarsa berikutnya dan periode jauh setelah masa kini. Dasawarsa
90an diistilahkan sebagai “initial conditions”
sedangkan periode berikutnya
merupakan tantangan yang dihadapi kedepan untuk mana hasil penelitian Komisi ini
akan memberi arahan-arahan agar dapat menghadapinya dan untuk mencapai
“sustained high inclusive growth”. Hasil rumusan untuk arahan-arahan ini akan untuk
pertama kali diedarkan pada tanggal 21 Mei tahun 2008.
Secara keseluruhan, paparan Prof. Spence mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas dan tidak mempunyai suatu kerangka pemikiran (model/teori) yang utuh.
Hal ini kelihatan juga dari tanggapan yang diberikannya atas beberapa pertanyaan
yang diajukan peserta paparan, yaitu bahwa ia tidak atau belum tahu jawabannya.
Jawaban Prof Spence ini mungkin terkait dengan sifat pekerjaan Komisi yang
dipimpinnya, yaitu untuk menghasilkan rumusan rekomendasi kebijakan berdasar
studi kasus dari beberapa negara hasilnya baru disampaikan pada bulan Mei 2008.
Dalam paparannya ini Prof Spence selalu mengatakan bahwa rekomendasi yang akan
dirumuskan Komisinya akan tergantung dari keadaan spesifik dari masing-masing
negara yang menghadapi tantangan untuk tumbuh dan membangun. Mengingat sifat
paparan Prof. Spence yang belum konklusif ini, maka tanggapan yang akan
disampaikan pada ulasan ini hanya akan menyentuh beberapa aspek sebagai berikut
(tanggapan atasnya akan diberikan pada Bagian B di bawah ini) : a.1. Suatu landasan
kerja Komisi ini adalah suatu kutipan dari Robert Solow (salah seorang anggota
Komisi dan juga ekonom dan peraih Hadiah Nobel atas Teori Neo-Klasik Solow
tentang pertumbuhan ekonomi) yang pada intinya mengatakan bahwa berbeda
dengan anggapan banyak kalangan bahwa upaya pertumbuhan ekonomi jangka
panjang merupakan upaya yang sangat mudah untuk dicapai, maka dalam realita
upaya ini sangat sulit dan andaikata dapat tercapai akan sangat sulit untuk dapat
memahaminya; a.2. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan difasilitasi oleh
pemanfaatan dari kaitan (link) dengan ekonomi global, yang dapat dijelaskan oleh
kajian Kurva/Frontir Kemungkinan Produksi (Kajian PPC); a.3. Pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dapat dipengaruhi oleh perkembangan demografi, yang
menyangkut antara lain aspek strukur umur penduduk; a.4. Pertumbuhan ekonomi
selain harus “sustained” dan ‘high” juga harus “inclusive”. Untuk ini Prof. Spence
memberi contoh China yang mempunyai pertumbuhan tinggi tetapi mempunyai Gini
Coefficient Ratio sebesar 0,45; a.5. Prof. Spence mengatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan memerlukan waktu beberapa dasawarsa (“sustained
means over several decades”), dan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan merupakan
tujuan akhir tetapi hanya merupakan suatu sarana untuk mencapai berbagai sasaran
lain seperti penciptaan kesempatan untuk dapat bekerja dan agar masyarakatnya
menjadi kreatif .
B. Tanggapan Atas Beberapa Butir Paparan Prof Spence
Karena paparan Prof. Spence tidak mempunyai kerangka pikiran yang utuh
maka tanggapan berikut atas paparan ini dilakukan melalui pendekatan bahasan
beberapa butir argumennya, sesuai dengan yang disebut pada butir a.1 sampai dengan
butir a.5 di bagian A di atas.
Pertama, Prof. Spence mengatakan bahwa Robert Solow merupakan salah
satu anggota Komisinya yang berasal dari kalangan akademisi. Spence juga secara
khusus mengutip pernyataan Robert Solow yang mengatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi secara berkelanjutan sangat sulit dicapai.
Ringkasnya teori Solow dapat dijelaskan dari rumus sebagai berikut :
ΔY/Y = (α. ΔK/K) + (β. ΔL/L) + SR
di mana :
Y
= PDB
ΔY/Y = pertumbuhan ekonomi, yaitu ((PDBt - PDBt-1)/PDBt-1)
K
= modal
L
= tenaga kerja
α
= timbangan pertambahan modal pada ΔY/Y
β
= timbangan pertambahan tenaga kerya pada ΔY/Y
SR
= Solow Residual
Rumus ini mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berasal dari alokasi
sumber daya ekonomi (K dan L)menurut mekanisme pasar sesuai dengan MPP
(Marginal Physical Productivity) dari masing-masing sumber daya ekonomi tersebut.
Dalam hal ada sumbangan pertumbuhan dari sumber lain maka sumbangan ini
dianggap ditentukan secara eksogenous, sehingga disebut Solow Residual. Dalam
teorinya Solow sebenarnya tidak mengakui SR ini (sehingga disebut sebagai suatu
“residual” saja) karena sumbangan pertumbuhan jenis ini berasal dari adanya
“external economies” yang dalam model teori klasik yang bersandar pada bekerjanya
mekanisme pasar secara sempurna tidak dapat terjadi. Solow dalam teorinya
mengatakan bahwa asal saja tidak ada intervensi pemerintah dalam perekonomian
masing-masing negara (yang masing-masing mempunyai rasio k/l, yaitu perbandingan
antara modal dan tenaga kerja, yang berbeda) di dunia maka suatu waktu akan terjadi
konvergensi tingkat kemakmuran (PDB per kapita) dari semua negara, misalnya
pendapatan per kapita Indonesia akan menjadi sama dengan pendapatan per kapita
Jepang, Inggris dan AS. Teori Robert Solow yang demikian terkait dengan pandangan
Solow sebagai seorang ekonom dari mashab neo-klasik yang, berbeda dengan para
ekonom dari mashab Keynesian, tidak setuju dengan adanya intervensi pemerintah
dalam kegiatan ekonomi dunia usaha swasta.
Dalam kaitan dengan teori Solow ini, maka yang hendak ditanyakan apakah
pandangan Solow sebagai anggota Commission on Growth and Development ini tetap
akan dipertahankannya ? Hal ini akan terasa ganjil karena suatu landasan kerja
Komisi ini adalah bahwa peranan pemerintah dalam upaya pertumbuhan dan
pembangunan suatu negara penting. Prof. Spence bahkan mengatakan bahwa
Komisinya tidak setuju dengan Washington Consensus yang ingin menghilangkan
semua intervensi pemerintah yang akan menghambat kegiatan dunia usaha swasta.
Kedua, suatu peralatan kajian (analytical instrument) yang menarik pada
paparan Prof. Spence adalah konsep production possibility curve (ppc). Spence
menggunakan ppc ini untuk memudahkan pemahaman tentang manfaat yang akan
diperoleh bagi pertumbuhan dan pembangunan suatu negara apabila membuka diri
pada perekonomian global. (Lihat Diagram A)
Diagram A
Kurva/Frontir Kemungkinan Produksi
sepeda
ppc2
ppc1
y
*
x2
*
z
*
x1
*
beras
Keterangan :
- Diasumsikan suatu perekonomian hanya memprokusi sepeda dan beras.
- Pada suatu saat negara ini dapat menentukan tingkat produksi dengan memilih
kombinasi tertentu antara sepeda dan beras
- Hanya pada titik-titik suatu ppc (misalnya ppc1) dapat dicapai kombinasi
antara sepeda dan beras yang optimal, misalnya pada titik y dan z.
- Sedangkan titik x1 dan titik x2 tingkat produksi (kombinasi antara sepeda dan
beras) merupakan tingkat yang tidak optimal dan tidak efisien
- Dalam dinamika perkembangannya suatu ppc dapat bergeser ke ppc yang
lebih tinggi (ppc1 ke ppc 2) misalnya karena ada teknologi baru atau
ditemukannya sumber daya alam baru, sehingga kemungkinan peningkatan
pertumbuhan tidak lagi dibatasi oleh misalnya titik y dan z pada ppc1 tetapi
dapat lebih tinggi lagi, yaitu pada setiap titik di ppc2.
Pada paparannya di Bappenas, Prof. Spence mengatakan bahwa peningkatan
pertumbuhan ekonomi dapat dicapai antara lain dengan memperbesar akses ke
perekonomian global. Menurutnya, akses ke ekonomi dunia akan memperbesar
jangkauan pasar melebihi batasan pasar domestik. Selain itu, Spence mengatakan
bahwa mengadakan kaitan dengan ekonomi global juga akan memperbesar
kemungkinan pengusaha dalam negeri untuk mamanfaatkan alih teknologi dari
berbagai perusahaan negara-negara yang telah lebih maju (yang akan mengakibatkan
perseseran ppc1 ke ppc2) . Selanjutnya, paparan Spence mengimplikasikan bahwa
pertumbuhan di bawah titik-titik optimal, dalam Diagram A adalah pada titik x1 dan
x2 yang berada titik-titik yang berada pada ppc1, disebabkan oleh inefisiensi dalam
mengalokasi sumber daya ekonomi. Inefisiensi ini karena harga dari sumber daya
ekonomi yang bersangkutan tidak mencerminkan nilai kelangkaannya. Dalam hal ini,
jika harga BBM (misalnya Premium) sebesar Rp 4,800 per liter, sedangkan nilai
kelangkaannya adalah Rp 9,000 per liter, maka akan terjadi berbagai masalah
disalokasi seperti pengoplosan dan penyelundupan BBM. Akibat dari masalah
disalokasi ini adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang di bawah potensinya (di
bawah kurva ppc). Mengatasi masalah disalokasi ini adalah dengan meningkatkan
harga BBM sampai menyamai nilai kelangkaannya.
Dilain pihak, Prof Spence tidak ataupun belum sempat menjelaskan bagaimana
jika peningkatan harga BBM ini akan menganggu stabilitas ekonomi (kenaikan
inflasi) dan bahkan menganggu stabilitas politik (kerusuhan sosial-politik) paling
tidak dalam jangka pendek. Walaupun dalam misi Komisi Spence ini hendak
mencapai pertumbuhan jangka panjang (sustained high inclusive growth), dalam
realita tidak dapat diabaikan gejolak jangka pendek. Seperti yang pernah dikatakan
oleh ahli ekonomi seniornya Spence, yaitu John Maynard Keynes (pengarang buku
terkenal “General Theory of Empoyment, Interest and Money” dan penasehat Presiden
Franklin Delano Roosevelt dalam perumusan kebijakan “New Deal” untuk mengatasi
masalah pengangguran berat setelah masa depresi yang melanda ekonomi AS bahkan
ekonomi dunia yang pecah pada tahun 1929): “…in the long-run we are all dead…”.
Prof. Spence juga tidak menyentuh masalah konsistensi kebijakan ekonomi pasar
dengan landasan konstitusi suatu negara, dalam hal Indonesia dengan Pasal 33
UUD45.
Ketiga, Prof. Spence mengatakan bahwa masalah struktur umur yang terutama
dihadapi negara-negara yang sedang membangun dapat diatasi dengan mempermudah
mobilitas penduduk. Seperti diketahui, struktur umur suatu negara umumnya dibagi
menurut kohort lima tahunan (0-4, 5-9, 10-14, dst). Pada struktur demikian, negaranegara yang sedang membangun umumnya mempunyai digram yang lebih berbentuk
piramida (sangat gemuk di bawah dan semakin ramping ke atas) sedang pada negaranegara yang sudah maju lebih berbentuk tugu (yang relatif ramping dari bawah
sampai atas). Walaupun negara-negara maju menghadapi strukur umur yang menua
(semakin banyak yang masuk kohort di atas 65 tahun), negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia menghadapi masalah struktur umur yang muda (jauh
lebih banyak kohort antara 0 sampai 15 tahun). Struktur yang demikian
mengakibatkan dua permasalahan yang kurang menguntungakan bagi pertumbuhan
dan pembangunan. Masalah pertama, adalah bahwa struktur ini akan menyebabkan
pertumbuhan penduduk terus tinggi walaupun diberlakukan program KB karena terus
mengalirnya kohort 10-14 ke kohort 15-19 untuk menjadi “pengantin baru”. Masalah
kedua dari struktur umur yang muda adalah relatif tingginya “dependency ratio” di
negara-negara berkembang daripada di negara-negara maju. Dependency ratio
merupakan angka persentase dari kelompok umur 0 sampai 15 tahun (di tambah
kelompok umur di atas 65 tahun) terhadap kelompok umur 15 sampai dengan 64
tahun). Jadi rasio ini mengambarkan berapa besar kelompok umur yang “tidak
produktif” terhadap kelompok umur yang “produktif”, ataupun dari sisi yang lain,
berapa besar tanggungan kelompok produktif untuk memberi nafkah pada kelompok
yang tidak produktif. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil proporsi penduduk
yang dapat aktif bekerja sehingga tidak ikut menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Walaupun Indonesia masih termasuk negara yang sedang membangun, suatu
survey yang diadakan bersama antara Bappenas, BPS dan UNFPA menunjukknan
bahwa dependency ratio Indonesia dalam proyeksi sampai dengan tahun 2025
cenderung menurun yaitu membaik.(Lihat Tabel A di bawah), dari 54,7 persen dalam
tahun 2000 menjadi 45,3 persen pada tahun 2024.
TABEL A
STRUKTUR UMUR PENDUDUK INDONESIA
(dalam persen)
2000-2024
TAHUN
Kelompok
Umur
0 - 14
15 - 64
65 +
Dependency
Ratio
2000
30,7
64,6
4,7
54,7
2005
2009
2014
2019
2024
28,3
66,7
5,0
49,9
26,5
68,3
5,3
46,4
25,2
69,0
5,8
44,8
24,1
69,2
6,7
44,5
23,0
68,8
8,1
45,3
Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia, 2000-2025, Bappenas,BPS,UNFPA.
Walaupun dependency ratio diperoyeksikan membaik, hal ini tidak boleh
membuat kita terlena sebab penurunan ini, yang juga dikenal dengan istilah “dividen
demografi”, hanya menunjukkan semakin besarnya proporsi kelompok umur yang
potensial produktif, tetapi belum tentu langsung dapat menyumbang pada
pertumbuhan ekonomi. Hal ini masih tergantung pada jawaban atas pertanyaan
berapakah dari kelompok “usia kerja” ini termasuk kelompok “angkatan kerja”,
selanjutnya berapa proporsi dari “angkatan kerja” ini “berkerja” yaitu tidak
menganggur, yang selanjutnya tergantung pada seberapa besar tersedianya
kesempatan kerja.
Untuk mengatasi masalah struktur umur ini, Spence dalam paparannya di
Bappenas menyarankan agar mobilitas penduduk ditingkatkan, yaitu dikurangi
hambatan dalam bentuk regulasi dan melalui pembangunan infrastruktur transportasi
antar daerah, sehingga setiap tenaga kerja sesuai dengan kemampuannya dapat
mencari pekerjaan di tempat yang paling membutuhkannya diseluruh Indonesia.
Keempat, mandat Komisi yang diketuai Prof Spence adalah untuk
merumuskan rekomendasi kebijakan untuk petumbuhan dan pembangunan, dalam
mana pertumbuhan tidak hanya tinggi dan berlanjutan (sustained) tetapi juga merata
(inclusive).
Dalam paparannya, Prof. Spence menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
“inclusive” adalah pemerataan/pemberdayaan sacara luas, termasuk dalam arti sosial,
budaya dan politik. Prof Spence mencontohkan bahwa suatu kebijakan yang akan
counter-produktif (toxic policy towards disaster) adalah kebijakan pemberdayaan dan
pemerataan berdasar kelompok etnis ataupun agama, yang walaupun tidak
dikatakannya, suatu contoh adalah kebijakan “bumi-putera” di Malaysia yang telah
menyebabkan kelompok keturunan etnis India merasa disisihkan. Meskipun demikian,
dalam rangka pertumbuhan ekonomi, aspek inklusif yang dimaksud Prof Spence
tentunya menyangkut pembagian/distribusi kue pendapatan nasional di antara seluruh
penduduk suatu negara. Untuk ini, suatu patokan untuk mengukurnya secara
kuantitatif adalah “Gini Ratio”.
Secara grafis, Gini Ratio adalah suatu perbandingan antara daerah D dengan
daerah ABC.(lihat Diagram B).
DIAGRAM B
Gini Ratio
C
D
A
B
Keterangan :
- Sumbu horizontal bagian bawah menggambarkan persentase penerima
pendapatan secara kumulatif (dari persentase yang ke-10, ke-20, ke-30 dst
sampai yang ke-100).
- Sumbu vertikal bagian kiri menggambarkan persentase pendapatan yang
diterima secara kumulatif (dari yang ke-10 persen pertama sampai dengan ke
100 persen terakhir).
- Garis lurus A-C menggambarkan pemerataan yang paling sempurna.
- Garis A-B menggambarkan pemertaan paling tidak sempurna
- Gini ratio menggambarkan daerah antara garis A-C dan A-B (=D) dengan total
daerah segitiga ABC, yaitu D/ABC.
- Dengan demikian Gini Ratio mempunyai nilai antara 0 (ketika garis lengkung
AC berimpitan dengan garis lurus AC) dan nilai 1 (ketika garis lengkung
menjadi garis datar AB).
- Semakin gemuk daerah D, semakin besar nilai Gini ratio dan semakin buruk
pemerataan pendapatan.
-
Semakin kurus daerah D, semakin kecil nilai Gini Ratio dan semakin baik
permerataan pendapatan atau dengan istilah Prof Spence, semakin “inclusive”
pertumbuhan dan pembangunan.
Prof Spence mengatakan bahwa di China Gini Rationya adalah 0,45 yang
sebenarnya relatif tidak merata (pemerataan adalah relatif baik kalau berada antara
0,20 dan 0,35 dan relatif kurang merata kalau bernilai antara 0.50 dan 0.70). Gini
Ratio dari Indonesia dan dari beberapa daerah tertentu di Indonesia antara tahun 1999
dan tahun 2005 diberikan pada Tabel B di bawah ini.
TABEL B
Gini Ratio di Indonesia dan Beberapa Daerah
1999 dan 2005
Indonesia/Daerah
1999
NAD
0,24
Sumatera Utara
0,25
Riau
0,24
DKI Jakarta
0,31
DI Yogyakarta
0,33
Sulawesi Utara
0,27
Maluku
0,24
INDONESIA
0,30
Sumber : Badan Pusat Statistik
2005
0,29
0,32
0,28
0,26
0,41
0,32
0,25
0,38
Walaupun data Gini Ratio secara rata-rata dari semua daerah di atas dan untuk
Indonesia termasuk relatif baik (kecuali DI Yogyakarta tahun 2005) data ini harus
dilihat secara lebih kritis agar tidak menjadi informasi yang kurang tepat. Misalnya,
DI Yogyakarta dikenal sebagai daerah turis yang cukup ramai sehingga terdapat
banyak usaha kerajinan yang relatif ramai dikalangan usaha rumah-tangga dan kecil.
Namun pada tahun 2005 Gini rationya memburuk menjadi 0,41 dari 0,33 pada tahun
1999. Kalau alasannya adalah gempa yang terjadi maka NAD tertimpa bencana
tsunami namun Gini rationya relatif baik di bawah 0,30. Suatu kemungkinan sebab
dari beberapa kejanggalan data ini adalah datanya yang merupakan hasil Survey
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dikumpulkan BPS berdasarkan pengeluaran dan
bukan pendapatan rumah tangga. Bagaimanapun untuk dapat memperoleh gambaran
yang akurat tentang sifat “inclusive” dari pertumbuhan dan pembangunan ini, maka
data tersebut perlu ditinjau lebih lanjut secara lebih teliti.
Kelima, dalam paparannya Prof. Spence mengatakan bahwa pencapaian
sustained high economic growth memerlukan waktu beberapa dasawarsa. Pernyatan
ini dapat dimengerti dalam konteks kaitan antara pertumbuhan ekonomi (disini diberi
anotasi G) dan pembangunan (disini diberi anotasi D). Kalau G semata-mata
merupakan fenomena ekonomi maka D merupakan gabungan fenomena ekonomi dan
non-ekonomi, seperti politik, sosial budaya, dan hukum, termasuk apa yang oleh Prof.
Spence dan Komisinya disebut sebagai “what makes people become creative”.
Seperti diketahui perubahan dari fenomena ekonomi, seperti inflasi, ekspor, import
termasuk pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dan diukur dalam waktu yang relatif
singkat, misalnya dalam waktu, bulanan, triwulanan, dan tahunan. Dilain pihak,
fenomena non-ekonomi, seperti di bidang politik dan hukum, menyangkut perubahan-
perubahan yang memerlukan waktu yang sangat panjang dan tidak mustahil beberapa
dasawarsa. Hal ini karena setiap bidang non-ekonomi ini menyangkut perubahan
institisional yang mengatur norma-norma perilaku para anggota masyarakat.
Sementara itu, juga diketahui bahwa G dapat berjalan secara berkelanjutan
(secara “sustained”) hanya kalau berlangsung secara serasi dengan dilaksanakannya
pembangunan (D). Dengan lain perkataan, G yang berkelanjutan hanya dapat dicapai
dalam kerangka D prosesnya memerlukan jangka waktu yang relatif sangat lama
(beberapa dasawarsa). Karena inilah maka kiranya Spence dan Komisinya
mengatakan bahwa “sustained high inclusive growth requires several decades to
accomplish”.
Sebagai tambahan tanggapan atas paparan Prof. Spence tentang pertumbuhan
(G) dan pembangunan (D) dapat disimpulkan bahwa sehubungan dengan adanya
dikotomi negara-negara “maju” (developed) dan negara-negara “belum maju” (underdeveloped), dapat diidentifikasi tiga tahap perkembangan. Tahap pertama, ketika D
tidak dapat berlangsung tanpa adanya G, karena pembangunan terlebih dahulu
mensyratkan adanya sumber pembiayaan yang berasal dari pertumbuhan ekonomi.
Tahap kedua, ketika G tidak dapat berlangsung secara berkelanjutan tanpa adanya D,
dan tahap ketiga, ketika proses D telah relatif selesai sehingga yang perlu dikelola
hanyalah G. Tahap pertama dan kedua merupakan tahapan yang masih dilalui oleh
negara-negara yang sekarang dikategorikan sebagai “belum maju” (underdeveloped)
dan tahap ketiga merupakan tahapan yang telah dicapai negara-negara yang sekarang
dikelompokkan ke dalam negara-negara “maju” (developed).
C. Beberapa Masukkan Bagi Pertumbuhan dan Pembangunan Indonesia
Dalam paparannya, Prof Mchael Spence mengatakan bahwa “..at this stage of our
understanding of economic development, no one knows with a sufficient degree of
conviction, the necessary and sufficient conditions for growth”. Dengan demikian
diakui oleh Prof. Spence bahwa sampai saat inipun hasil pemikirannya maupun hasil
kerja Komisi yang ia pimpin belum menemukan resep-resep yang mujarab bagi
penyelesaian masalah-masalah pencapaian “sustained high inclusive growth”.
Mesipun demikian, dari apa yang telah dipaparkan Prof. Spence di Bappenas,
beberapa hal yang mungkin dapat dipakai sebagai bahan untuk pemikiran atas
pertumbuhan dan pembangunan di Indonesia adalah sebagai berikut:
- Dalam konsep “sustained high inclusive growth”, pengertian “high” sesuai
dengan kondisi spesifik di Indonesia perlu diteliti lebih lanjut. Potensi
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang telah terealisasi dalam periode setelah
krisis berada pada kisaran 4-6 persen dibandingkan dengan kisaran 6-8 persen
sebelum krisis. Perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor ekonomi dan faktorfaktor non-ekonomi apa saja yang menentukan kisaran tersebut. Dalam
penelitian faktor-faktor ini, paparan Prof. Spence dapat digunakan sebagai titik
tolak;
- Dalam konsep “sustained high inclusive growth”, pengertian “inclusive”
sesuai dengan kondisi spesifik di Indonesia perlu ditinjau lebih lanjut.
Indikator Gini Coefficient dan data yang yang dihasilkan BPS belum
memadai, apalagi kalau pengertian “inclusive” tidak hanya meliputi
pemerataan pendapatan tetapi juga tak adanya diskriminasi dalam penyediaan
kesempatan di antara semua individu dan kelompok anak negeri ini;
- Dalam proses perencanaan pembangunan perlu diperhatikan keserasian tahaptahap pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
-
Dalam RPJPN 2005-2025 jangka panjang diartikan sebagai periode 20 tahun.
Dilain pihak, pengertian “sustained” dalam paparan Prof. Spence, memerlukan
waktu beberapa dasawarsa, yang dapat mencapai 30 sampai 50 tahun atau
bahkan lebih, mengingat pembangunan memerlukan upaya “institution
building” (umumnya non-ekonomi) yang memerlukan waktu relatif sangat
lama. Walaupun prioritas pembangunan saat ini (jangka pendek dan jangka
menengah) masih lebih banyak tertumpu di bidang ekonomi, upaya
pembangunan institusi ini tetap perlu direncanakan secara cermat agar dalam
jangka panjang perekonomian Indonesia tidak lagi mudah terguncang oleh
“menjalarnya virus ekonomi global” sebagaimana yang terjadi pada akhir
tahun 1997, dan pertumbuhan ekonomi dapat benar-benar menjadi
“sustained”.
Data proyeksi penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2025 hendaknya
jangan membuat kita terlena bahwa perbaikan struktur umur penduduk akan
memberi “dividen demografi” bagi upaya pertumbuhan dan pembangunan di
Indonesia.
Biro Humas dan TU Pimpinan
Download