BAB II LANDASAN TEORI II.1 Kerangka Teori II.1.1 Definisi Properti

advertisement
 BAB II
LANDASAN TEORI
II.1
Kerangka Teori
II.1.1 Definisi Properti Investasi
Menurut International Accounting Standard 40 paragraf 5 (2005) menjelaskan
bahwa:
Properti investasi atau investment property adalah properti (tanah atau bangunan
atau bagian dari suatu bangunan atau kedua-duanya) yang dikuasai (oleh pemilik atau
lessee / penyewa melalui sewa pembiayaan) untuk menghasilkan rental atau untuk
kenaikan nilai atau kedua-duanya, dan tidak untuk:
(a) digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan
administratif; atau
(b) dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari.
Dengan demikian, properti investasi tersebut menghasilkan arus kas yang
sebagian besar tidak tergantung pada aset lain yang dikuasai oleh entitas. Hal ini
membedakan properti investasi dari properti yang digunakan sendiri. Proses produksi
atau pengadaan barang atau jasa (atau penggunaan properti untuk tujuan administratif)
dapat menghasilkan arus kas yang diatribusikan tidak hanya ke properti, tetapi juga ke
aset lain yang digunakan dalam proses produksi atau persediaan. IAS 16: Property,
Plant and Equipment berlaku untuk properti yang digunakan sendiri.
Berikut adalah contoh properti investasi:
a) Tanah yang dikuasai dalam jangka panjang untuk kenaikan nilai dan bukan untuk
dijual jangka pendek dalam kegiatan usaha sehari-hari.
b) Tanah yang dikuasai saat ini yang penggunaannya di masa depan belum ditentukan.
Apabila entitas belum menentukan penggunaan tanah sebagai properti yang
8
digunakan sendiri atau akan dijual jangka pendek dalam kegiatan usaha sehari-hari,
maka tanah tersebut diakui sebagai tanah yang dimiliki dalam rangka kenaikan nilai.
c) Bangunan yang dimiliki oleh entitas (atau dikuasai oleh entitas melalui sewa
pembiayaan) dan disewakan kepada pihak lain melalui satu atau lebih sewa operasi.
d) Bangunan yang belum terpakai tetapi tersedia untuk disewakan kepada pihak lain
melalui satu atau lebih sewa operasi.
Berikut adalah contoh aset yang bukan merupakan properti investasi dan dengan
demikian tidak termasuk dalam ruang lingkup pernyataan ini:
a) Properti yang dimaksudkan untuk dijual dalam kegiatan sehari-hari atau sedang
dalam proses pembangunan atau pengembangan untuk dijual (IAS 14: Inventory),
sebagai contoh properti yang diperoleh secara eksklusif dengan maksud untuk dijual
dalam waktu dekat atau untuk pengembangan dan dijual kembali.
b) Properti dalam proses pembangunan atau pengembangan atas nama pihak ketiga
(IAS 11: Construction Contract).
c) Properti yang digunakan sendiri (IAS 16: Property, Plant and Equipment), termasuk
properti yang dikuasai untuk digunakan di masa depan sebagai properti yang
digunakan sendiri, properti yang dimiliki untuk pengembangan di masa depan dan
penggunaan selanjutnya sebagai proeprti yang digunakan sendiri, properti yang
digunakan oleh karyawan (dengan atau tanpa karyawan tersebut membayar rental
sesuai harga pasar) dan properti yang digunakan sendiri yang menunggu untuk
dijual.
d) Properti yang disewakan kepada entitas lain dengan cara sewa pembiayaan.
9 II.1.1.1 Metode Penggunaan Properti Investasi
Bagi entitas yang menggunakan sebagian dari properti dan menyewakan bagian
lainnya,
jika
kedua
bagian
itu
bisa
dijual
terpisah,
tiap-tiap
bagian
dipertanggungjawabkan dan dihitung sendiri-sendiri. Jika tidak dapat dipisah,
keseluruhan properti dapat diperlakukan sebagai properti investasi jika bagian yang
digunakan sendiri tidak signifikan. Dalam hal ini, ukuran signifikansi adalah sebesar 2%
dan ini dapat juga ditentukan menggunakan jasa appraisal.
Kadang entitas menyediakan jasa di properti yang disewakannya. Jika nilai jasa
ini tidak signifikan dibandingkan nilai perjanjian sewa secara keseluruhan, maka
properti diperlakukan sebagai properti investasi. IAS 40 (2007) menjelaskan salah satu
syarat dari properti investasi yaitu, aliran kas (cash-flow) yang dihasilkan dari properti
investasi ini dapat diatribusikan langsung (directly attributable) ke properti investasi
tersebut. Sebagai contoh, gedung yang disewakan menghasilkan aliran masuk kas. Kas
yang dihasilkan dapat diatribusikan langsung ke gedung tersebut. Namun, gedung yang
disewakan ditambah jasa-jasa lain (seperti misalnya, jasa layanan kamar, resepsionis,
kebersihan, dan keamanan), aliran kas yang dihasilkan tidak dapat diatribusikan
langsung ke gedung karena aliran kas tersebut juga berasal dari jasa-jasa lain. Kecuali
nilai jasa-jasa tersebut signifikan, properti tersebut diakui sebagai properti investasi.
Bagi entitas yang menyewakannya ke grupnya sendiri, maka diakui sebagai aset tetap,
sedangkan dalam laporan entitas sendiri, diakui sebagai properti investasi. Syarat
konsolidasi adalah bila ada dalam satu kendali, sesuai prinsip kesatuan usaha (entity).
10 II.1.1.2 Kepemilikan Properti Investasi
Properti investasi dikuasai oleh entitas melalui kepemilikan, financial lease dan
operating lease. Untuk memperoleh properti investasi melalui financial lease, maka
transaksi tersebut secara substansi menunjukkan pindahnya penguasaan dari lessor ke
lessee dan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Ada pengalihan risiko dari lessor ke lessee;
2. Masa manfaat hampir sama dengan masa ekonomis;
3. Pada akhir perjanjian ada opsi untuk membeli.
Properti investasi yang dikuasai dengan cara operating lease harus memenuhi kriteria
properti investasi (tidak digunakan sendiri oleh lessee). Bila penguasaan dengan cara ini,
maka property interest (hak atas kepemilikan) harus diukur menggunakan fair value.
II.1.1.3 Pengakuan dan Pengukuran Properti Investasi
Properti investasi diakui sebagai aset jika dan hanya jika:
a) besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan dari aset yang tergolong
properti investasi akan mengalir ke dalam entitas; dan
b) biaya perolehan properti investasi dapat diukur dengan andal.
Entitas mengevaluasi sesuai dengan prinsip pengakuan atas seluruh biaya
perolehan properti investasi pada saat terjadinya. Biaya perolehan termasuk biaya yang
terjadi pada saat memperoleh properti investasi dan biaya yang terjadi setelahnya untuk
penambahan, penggantian bagian properti atau perbaikan properti.
Entitas tidak mengakui dalam jumlah tercatat properti investasi sehubungan
dengan biaya harian penggunaan properti. Biaya tersebut lebih tepat diakui dalam
11 laporan laba rugi pada saat terjadinya. Biaya harian penggunaan properti yang utama
adalah biaya tenaga kerja serta bahan habis pakai dan termasuk biaya suku cadang kecil.
Tujuan pengeluaran ini sering digambarkan sebagai ‘perbaikan dan pemeliharaan’ dari
properti.
Bagian dari suatu properti investasi dapat diperoleh melalui penggantian.
Contoh, interior dinding bangunan mungkin merupakan penggantian dinding aslinya.
Berdasarkan prinsip pengakuan, entitas mengakui jumlah tercatat properti investasi atas
biaya penggantian properti investasi pada saat terjadinya biaya, jika kriteria pengakuan
terpenuhi.
II.1.1.4 Pengukuran Pada Saat Pengakuan Awal
Properti investasi pada awalnya diukur sebesar biaya perolehan. Biaya transaksi
termasuk dalam pengukuran awal tersebut. Biaya perolehan dari properti investasi yang
dibeli meliputi harga pembelian dan setiap pengeluaran yang dapat diatribusikan secara
langsung, misalnya biaya jasa, hukum, pajak penjualan dan biaya transaksi lainnya.
Biaya perolehan dari properti investasi yang dibangun sendiri adalah biaya sampai
dengan saat pembangunan atau pengembangan selesai, dimana sampai dengan tanggal
tersebut entitas menggunakan IAS 16.
Biaya perolehan investasi tak bertambah dengan:
a) biaya perintisan (kecuali biaya-biaya yang diperlukan untuk membawa properti ke
kondisi yang diinginkan sehingga dapat digunakan sesuai dengan maksud
manajemen);
12 b) kerugian operasional yang terjadi sebelum properti investasi mencapai tingkat
hunian yang direncanakan; atau
c) pemborosan bahan baku, buruh atau sumber daya lain yang terjadi selama masa
pembangunan atau pengembangan properti.
Biaya perolehan awal hak atas properti yang dikuasai dengan cara sewa dan
dikelompokkan sebagai properti investasi yang harus dicatat sebagai sewa pembiayaan,
dalam hal ini aset harus diakui pada jumlah mana yang yang lebih rendah antara nilai
wajar dan nilai kini dari pembayaran sewa minimum.
Nilai wajar suatu aset di mana transaksi pasar yang serupa tidak tersedia, dapat
diukur secara andal jika:
a) variabilitas dalam range estimasi nilai wajar untuk aset tersebut tidak signifikan;
atau
b) probabilitas dari beragam estimasi dalam kisaran dapat dinilai secara rasional dan
digunakan dalam mengestimasi nilai wajar.
Jika entitas dapat menentukan nilai wajar secara andal, baik dari aset yang diterima atau
diserahkan, maka nilai wajar dari aset uang diserahkan digunakan untuk mengukur biaya
perolehan dari aset yang diterima kecuali jika nilai wajar aset yang diterima lebih jelas.
II.1.1.5 Pengukuran Setelah Pengakuan Awal
IAS 40 (2005) paragraf 30 mengatur bahwa suatu entitas dapat:
a) memilih apakah model nilai wajar atau model biaya untuk seluruh properti investasi
yang menjadi agunan kewajiban yang menghasilkan imbalan yang terkait langsung
dengan nilai wajar dari, atau imbalan dari, aset tertentu termasuk properti investasi.
13 b) memilih apakah model nilai wajar atau model biaya untuk seluruh properti investasi
lain, tanpa memperhatikan pilihan sebagaimana dimaksud diatas.
Model Nilai Wajar
Definisi nilai wajar mengacu pada transaksi wajar. Transaksi wajar adalah
transaksi antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan tertentu atau khusus, yang
membuat harga transaksi tidak mencerminkan karakteristik dari kondisi pasar. Transaksi
tersebut dianggap terjadi di antara pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa,
yang masing-masing bertindak secara independen.
Nilai wajar properti investasi merupakan harga yang mana properti dapat
dipertukarkan
antara
pihak-pihak
yang
memiliki
pengetahuan
memadai
dan
berkeinginan dalam suatu transaksi yang wajar. Nilai wajar tidak mencakup estimasi
kenaikan atau penurunan harga karena kondisi khusus yang diberikan oleh pihak terkait
dengan penjualan. Berikut merupakan penjelasan nilai wajar secara spesifik:
ƒ
Dilakukan setelah pengukuran awal
Setelah pengakuan awal, entitas yang memilih menggunakan model nilai wajar
mengukur seluruh properti investasi berdasarkan nilai wajar, kecuali dalam kasus
nilai wajar tak dapat diestimasikan.
ƒ
Apabila hal atas properti yang dimiliki oleh lessee melalui sewa operasi diklasifikasi
sebagai properti investasi maka model nilai wajar harus diterapkan.
ƒ
Keuntungan / kerugian dari pengukuran nilai wajar masuk ke laporan laba-rugi
(P&L).
ƒ
Nilai wajar diukur pada saat tanggal neraca, atau harus mencerminkan kondisi pasar
pada tanggal neraca.
14 Nilai wajar properti investasi mencerminkan, antara lain, penghasilan rental dari
sewa yang sedang berjalan dan asumsi-asumsi yang layak dan rasional yang
mencerminkan keyakinan pihak-pihak yang berkeinginan bertransaksi dan memiliki
pengetahuan memadai mengenai asumsi tentang penghasilan rental dari sewa di masa
depan dengan mengingat kondisi sekarang. Dengan dasar pemikiran yang sama, nilai
wajar juga mencerminkan arus kas keluar (termasuk pembayaran rental dan arus kas
keluar lainnya) yang dapat diperkirakan sehubungan dengan properti tersebut. Sebagian
arus kas keluar tersebut dicerminkan dalam kewajiban, sementara arus kas keluar
lainnya tidak diakui dalam laporan keuangan sampai dengan tanggal tersebut.
Pedoman nilai wajar terbaik mengacu pada harga kini dalam pasar aktif untuk
properti serupa dalam lokasi dan kondisi yang sama dan berdasarkan pada sewa dan
kontrak lain yang serupa. Entitas harus memerhatikan adanya perbedaan dalam sifat,
lokasi atau kondisi properti, atau ketentuan yang disepakati dalam sewa dan kontrak lain
yang berhubungan dengan properti.
Menurut IAS 40 (2005), tidak tersedianya harga kini dalam pasar yang aktif yang
sejenis, suatu entitas harus mempertimbangkan informasi dari berbagai sumber,
termasuk:
a) harga kini dalam pasar aktif untuk properti yang memiliki sifat, kondisi dan lokasi
berbeda (atau berdasarkan pada sewa atau kontrak lain yang berbeda), disesuaikan
untuk mencerminkan perbedaan tersebut;
b) harga pasar terakhir properti serupa dalam pasar yang kurang aktif, dengan
penyesuaian untuk mencerminkan adanya perubahan dalam kondisi ekonomi sejak
tanggal transaksi terjadi pada harga tersebut;
15 c) proyeksi arus kas diskontoan berdasarkan estimasi arus kas di masa deoan yang
dapat diandalkan, didukung dengan syarat yang terdapat dalam sewa dan kontrak
lain yang ada dengan bukti eksternal seperti pasar kini rental untuk properti serupa
dalam lokasi dan kondisi yang sama, dan penggunaan tarif diskonto yang
mencerminkan penilaian pasar kini dari ketidakpastian dalam jumlah atau waktu
arus kas.
ƒ
Dalam menentukan nilai wajar properti investasi, entitas tidak melakukan
penghitungan ganda atas aset atau kewajiban yang diakui terpisah. Sebagai contoh:
a) peralatan seperti lift atau pendingin ruangan sering kali menjadi satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dari bangunan dan biasanya dimasukkan ke dalam nilai wajar
properti investasi, daripada diakui secara terpisah sebagai aset tetap.
b) jika kantor disewakan termasuk dengan furniturnya, nilai wajar kantor umumnya
memasukkan nilai wajar furnitur, karena penghasilan rental juga terkait dengan
furnitur yang digunakan. Apabila furnitur termasuk dalam nilai wajar properti
investasi, entitas tidak mengakuinya sebagai aset terpisah.
c) nilai wajar properti investasi tidak termasuk biaya dibayar dimuka atau penghasilan
accrued operating lease income, karena entitas mengakui hal tersebut secara
terpisah sebagai aset atau kewajiban;
d) nilai wajar properti investasi yang dikuasai dengan cara sewa mencerminkan adanya
arus kas yang diharapkan (termasuk rental kontijen yang diperkirakan menjadi
utang). Selaras dengan itu, jika penilaian yang diperoleh atas properti adalah nilai
neto dari pembayaran keseluruhan yang diperkirakan terjadi.
16 ƒ
Jika tidak memungkinkan menggunakan nilai wajar, diukur at cost dengan nilai
residu nol.
Model Biaya
ƒ Mengikuti IAS 16 (aset tetap), menggunakan historical cost dikurangi depresiasi dan
impairment.
ƒ Jika properti investasi memenuhi kriteria dimiliki untuk dijual maka entitas:
a)
mengukur aset tersebut sebesar nilai yang lebih rendah antara jumlah tercatat dan
nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya penjualan dan tidak disusutkan
b)
menyajikan aset tersebut dan hasil operasinya secara terpisah di neraca dan
laporan laba rugi.
II.1.1.6 Ketidakmampuan Menetapkan Nilai Wajar yang Andal
Jika perusahaan menentukan nilai wajar properti investasi dalam konstruksi tidak
dapat ditentukan secara reliabel tetapi mengharapkan nilai wajar properti investasi dalam
konstruksi dapat ditentukan secara reliabel ketika konstruksi selesai, maka perusahaan
akan mengukur properti investasi dengan model biaya sampai nilai wajar dapat
ditentukan secara reliabel atau konstruksi selesai (yang terjadi lebih dahulu).
Ketidakmampuan menetapkan nilai wajar yang andal terjadi jika transaksi pasar
serupa jarang terjadi dan alternatif estimasi andal nilai wajar (sebagai contoh,
berdasarkan proyeksi arus kas diskontoan) tidak tersedia. Dalam kasus tersebut properti
investasi harus menerapkan model biaya berdasarkan IAS 16. Nilai residu dari properti
investasi harus diasumsikan nol. Entitas harus menerapkan IAS 16 hingga pelepasan
properti investasi tersebut.
17 Jika sebelumnya entitas telah mengukur properti investasi berdasarkan nilai
wajar, maka entitas harus melanjutkan pengukuran properti tersebut berdasarkan nilai
wajar hingga pelepasan bahkan jika transaksi pasar yang sejenis menjadi jarang terjadi
dan harga pasar menjadi tidak banyak tersedia.
II.1.1.7 Transfer Properti Investasi
Transfer ke atau dari properti investasi dilakukan jika terdapat perubahan
penggunaan yang ditujukan dengan:
a) dimulainya penggunaan oleh pemilik, ditransfer dari properti investasi menjadi
properti yang digunakan sendiri.
b) dimulainya pengembangan untuk dijual, ditransfer dari properti investasi menjadi
persediaan.
c) berakhirnya pemakaian oleh pemilik, ditransfer dari properti yang digunakan sendiri
menjadi properti investasi.
d) dimulainya sewa operasi ke pihak lain, ditransfer dari persediaan ke properti
investasi.
Untuk properti investasi yang dicatat dengan menggunakan nilai wajar dan
kemudian ditransfer menjadi properti yang digunakan sendiri atau sebagai persediaan,
nilai properti untuk akuntansi berikutnya sesuai dengan ketentuan dalam IAS 16 atau
IAS 2: Inventory adalah nilai wajar pada tanggal perubahan penggunaan.
Jika properti yang digunakan sendiri oleh pemilik berubah menjadi properti
investasi dan akan dicatat dengan menggunakan nilai wajar, entitas harus menerapkan
IAS 16 sampai dengan saat tanggal terakhir perubahan penggunaannya. Entitas
18 memperlakukan perbedaan antara jumlah tercatat berdasarkan IAS 16 dan nilai wajar
dengan cara yang sama seperti revaluasi menurut IAS 16.
Untuk transfer dari persediaan ke properti investasi yang akan dicatat pada nilai
wajar, perbedaan yang ada antara nilai wajar, perbedaan yang ada antara nilai wajar
properti pada tanggal tersebut dan jumlah tercatatnya diakui dalam laporan laba rugi.
Ketika entitas menyelesaikan pembangunan atau pengembangan properti investasi yang
dibangun sendiri dan yang akan dicatat pada nilai wajar, perbedaan yang ada anatara
nilai wajar properti pada tanggal tersebut dan jumlah tercatatnya diakui laporan labarugi.
II.1.1.8 Pelepasan Properti Investasi
Pelepasan properti investasi terjadi ketika properti investasi tidak digunakan lagi
secara permanen dan tidak memiliki manfaat ekonomis di masa depan yang dapat
diharapkan pada saat pelepasannya. Pelepasan ini dapat dilakukan dengan cara dijual
atau disewakan secara sewa pembiayaan.
Pelepasan properti investasi dapat dilakukan dengan cara dijual atau disewakan
secara sewa pembiayaan. Untuk menentukan tanggal pelepasan properti investasi, entitas
menggunakan kriteria yang diatur dalam IAS 18: Revenue pada pengakuan pendapatan
dari penjualan barang dan jasa. IAS 17: Leases berlaku untuk pelepasan yang dilakukan
dengan cara sewa pembiayaan dan dengan cara jual dan sewa-balik.
Untuk properti investasi yang dicatat dengan menggunakan model nilai wajar,
nilai wajar dari properti investasi tersebut bisa jadi telah mencerminkan keadaan bahwa
bagian yang akan diganti sudah tidak memiliki nilai lagi. Suatu alternatif yang dapat
19 digunakan untuk menentukan nilai wajar yang harus dikurangi sehubungan dengan biaya
yang diganti, jika tidak dapat dilakukan secara praktis adalah dengan memasukkan biaya
pengganti ke dalam jumlah tercatat aset tersebut dan kemudian menentukan kembali
nilai wajar dari aset tersebut, sebagaimana yang diharuskan dalam hal terjadi
penambahan yang tidak memerlukan penggantian.
Laba atau rugi yang timbul dari penghentian atau pelepasan properti investasi
ditentukan dari selisih antara hasil neto dari pelepasan dan jumlah tercatat aset, dan
diakui dalam laporan laba rugi kecuali ada syarat lain dalam periode terjadinya
pelepasan. Kompensasi dari pihak ketiga yang diberikan sehubungan dengan penurunan
nilai, kehilangan atau pengembalian properti investasi harus diakui dalam laporan laba
rugi ketika kompensasi tersebut menjadi piutang.
II.1.1.9 Pengungkapan terkait Properti Investasi
IAS 40 (2005) menjelaskan pengungkapan untuk Model Nilai Wajar dan Model Biaya:
a) apakah entitas tersebut menerapkan model nilai wajar atau model biaya;
b) jika menerapkan model nilai wajar, apakah dan dalam keadaan bagaimana, hak atas
properti yang dikuasai dengan cara sewa operasi diklasifikasikan dan dicatat sebagai
properti investasi;
c) apabila pengklasfikasikan ini sulit dilakukan, kriteria yang digunakan untuk
membedakan properti investasi dengan properti yang digunakan sendiri dan dengan
properti yang dimiliki untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari;
d) metode dan asumsi signifikan yang diterapkan dalam menentukan nilai wajar dari
properti investasi, yang mencakup pernyataan apakah penentuan nilai wajar tersebut
20 didukung oleh bukti pasar atau lebih banyak berdasarkan faktor lain (yang harus
diungkapkan oleh entitas tersebut) karena sifat properti tersebut dan keterbatasan
data pasar yang dapat diperbandingkan;
e) sejauh mana penentuan nilai wajar properti investasi (yang diukur atau diungkapkan
dalam laporan keuangan) didasarkan atas penilaian oleh penilai independen yang
diakui dan memiliki kualifikasi profesional yang relevan serta memiliki pengalaman
mutakhir di lokasi dan kategori properti investasi yang dinilai. Apabila tidak ada
penilaian seperti itu, hal tersebut harus diungkapkan.
Jumlah yang diakui dalam laporan laba-rugi untuk:
f)
penghasilan rental dari properti investasi;
g) beban operasi langsung (mencakup perbaikan dan pemeliharaan) yang timbul dari
properti investasi yang tidak menghasilkan pendapatan rental selama periode
tersebut;
h) perubahan kumulatif dalam nilai yang wajar yang diakui dalam laporan laba rugi
atas penjualan properti investasi dari sekelompok aset yang mana model biaya
digunakan ke kelompok yang menggunakan model nilai wajar;
i)
eksistensi dan jumlah pembatasan atas realisasi dari properti investasi atau
pembayaran penghasilan dan hasil pelepasan;
j)
kewajiban kontraktual untuk membeli, membangun atau mengembangkan properti
investasi atau untuk perbaikan, pemeliharaan atau peningkatan.
IAS 40 (2005) menjelaskan pengungkapan untuk Model Nilai Wajar:
Rekonsiliasi antara jumlah tercatat properti investasi pada awal dan akhir
periode, yang menunjukkan hal-hal berikut:
21 a) penambahan, pengungkapan terpisah untuk penambahan yang dihasilkan dari
akuisisi dan penambahan yang dihasilkan dari pengeluaran setelah perolehan yang
diakui dalam jumlah tercatat aset;
b) penambahan yang dihasilkan dari akuisisi melalui penggabungan usaha;
c) aset yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual atau masuk dalam kelompok
aset yang akan dilepaskan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual dan
pelepasan lain;
d) laba dan rugi neto penyesuaian terhadap nilai wajar;
e) perbedaan nilai tukar neto yang timbul pada penjabaran laporan keuangan dari mata
uang fungsional menjadi mata uang penyajian yang berbeda, termasuk penjabaran
dari kegiatan usaha luar negeri menjadi mata uang penyajian dari entitas pelapor;
f)
transfer ke dan dari persediaan dan properti yang digunakan sendiri;
g) perubahan lain.
IAS 40 (2005) menjelaskan pengungkapan untuk Model Nilai Biaya:
a) Metode penyusutan yang digunakan;
b) Masa manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan;
c) Jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan ( agregat dengan akumulasi rugi
penurunan nilai) pada awal dan akhir periode;
d) Rekonsiliasi jumlah tercatat properti investasi pada awal dan akhir periode, yang
menunjukkan:
i. penambahan, pengungkapan terpisah untuk penambahan yang dihasilkan dari
akuisisi dan penambahan pengeluaran setelah perolehan yang diakui sebagai aset;
ii. penambahan yang dihasilkan dari akuisisi melalui penggabungan usaha;
22 iii. aset yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual atau masuk dalam
kelompok yang akan dilepaskan yang diklasifikasi sebagai dimiliki untuk dijual
yang dinilai dengan jumlah tercatat atau nilai jual yang dinilai dengan jumlah
tercatat atau nilai jual dikurangi beban penjualan, mana yang lebih rendah dan
pelepasan lain;
iv. penyusutan;
v. jumlah dan rugi penurunan nilai yang diakui, dan jumlah pemulihan rugi
penurunan nilai, selama satu periode sesuai IAS 36: Impairment of Asset;
vi. perbedaan nilai tukar neto yang timbul pada penjabaran laporan keuangan dari
mata uang fungsional menjadi mata uang penyajian yang berbeda, termasuk
penjabaran dari kegiatan usaha luar negeri menjadi mata uang penyajian dari
entitas pelapor;
vii. transfer ke dan dari persediaan dan properti yang digunakan sendiri;
viii. perubahan lain.
e) Nilai wajar properti investasi. Jika entitas tidak dapat menentukan nilai wajar
properti investasi secara andal, entitas mengungkapkan:
i. uraian properti investasi;
ii. penjelasan mengapa nilai wajar tidak dapat ditentukan secara andal;
iii. apabila mungkin, kisaran estimasi di mana nilai wajar kemungkinan besar berada.
II.1.2 Pengungkapan (disclosure) dalam Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi, yaitu proses
pengkomunikasian laporan. Laporan keuangan merupakan mekanisme yang penting bagi
23 manajer untuk berkomunikasi dengan pihak investor luar, yaitu investor publik diluar
lingkup manajemen serta tidak terlibat dalam pengelolaan perusahaan.
Dasar perlunya praktek pengungkapan laporan keuangan oleh manajemen
kepada pemegang saham dijelaskan dalam agency theory. Menurut Jensen dan Meckling
(1976), agency relationship (hubungan keagenan) ada bilamana satu atau lebih individu
yang disebut dengan prinsipal bekerja dengan individu atau organisasi lain yang disebut
agent, prinsipal akan menyediakan fasilitas dan mendelegasikan kebijakan pembuatan
keputusan kepada agen.
II.1.2.1 Luas Pengungkapan
Imhoff (1992) dalam Amun dan Fuad (2000) menyatakan kualitas tampak
sebagai atribut yang penting dari suatu informasi akuntansi. Meskipun kualitas akuntansi
masih memiliki makna ganda (ambigous), banyak penelitian yang menggunakan indeks
of disclosure methodology mengemukakan bahwa kualitas pengungkapan dapat diukur
dan digunakan untuk menilai manfaat potensial dari sisi laporan tahunan. Dengan kata
lain Imhoff mengatakan bahwa tingginya kualitas informasi akuntansi sangat berkaitan
dengan tingkat kelengkapan.
Seberapa banyak informasi tersebut harus diungkapkan tidak hanya tergantung
pada keahlian pembaca, tetapi juga pada standar yang dibutuhkan (Hendriksen, 1997).
Ada tiga konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu :
1. Adequate disclosure (pengungkapan cukup)
Merupakan pengungkapan minim yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku, di
mana angka-angka yang disajikan dapat diinterpretasikan dengan benar oleh investor.
24 2. Fair disclosure (pengungkapan wajar)
Pengungkapan yang wajar secara tidak langsung merupakan tujuan etis agar
memberikan perlakuan yang sama kepada semua pemakai laporan dengan menyediakan
informasi yang layak terhadap pembaca potensial.
3. Full Disclosure (Pengungkapan Penuh)
Pengungkapan penuh menyangkut kelengkapan penyajian informasi yang diungkapkan
secara relevan. Pengungkapan penuh memiliki kesan penyajian informasi secara
melimpah, sehingga beberapa pihak menganggapnya tidak baik (Ainun dan Fuad, 2000).
Damough (1993) dalam Ainun dan Fuad (2000) mengemukakan ada dua jenis
pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan standar, yaitu:
1. Pengungkapan Wajib (mandated disclosure)
Merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh standar akuntansi yang
berlaku. Jika perusahaan tidak bersedia untuk mengungkapkan informasi secara
sukarela, pengungkapan wajib akan memaksa pemsahaan untuk mengungkapkannya.
2. Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)
Merupakan pengungkapan butir-butir yang dilakukan sukarela oleh perusahaan tanpa
diharuskan oleh peraturan yang berlaku. Healy dan Palepu (1993) mengemukakan
meskipun semua perusahaan
publik diwajibkan untuk memenuhi pengungkapan
minimum, mereka berbeda secara substantial dalam hal jumlah tambahan informasi yang
diungkap ke pasar modal. Salah satu cara meningkatkan kredibilitas pemsahaan adalah
melalui pengungkapan sukarela secara lebih luas dan membantu investor dalam
memahami strategi bisnis manajemen.
25 II.1.3 Pengertian Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan suatu instrumen yang sangat penting untuk
menilai kinerja keuangan perusahaan maupun instansi tertentu dalam satu periode
akuntansi. Laporan keuangan berisi informasi-informasi berkaitan dengan kinerja
keuangan, pengungkapan non-keuangan, serta informasi lainnya yang bernilai bagi
pengguna laporan keuangan.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 1 (Revisi 2009) per 21 April
2009 menjelaskan bahwa:
Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan
kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi
mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi
sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi.
Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas
penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. (h: 1.05)
Menurut PSAK 1 (Revisi 2009) laporan keuangan yang lengkap terdiri dari
komponen-komponen berikut ini:
(a) laporan posisi keuangan pada akhir periode;
Laporan posisi keuangan terdiri dari:
a. aset yang diklasifikasikan menjadi aset lancar dan aset tidak lancar;
b. liabilitas yang diklasifikasikan menjadi liabilitas jangka pendek dan jangka
panjang;
c. ekuitas yang diklasifikasikan menjadi hak non pengendali dan ekuitas yang dapat
diatribusikan ke pemilik entitas induk.
26 (b) laporan laba rugi komprehensif selama periode;
Entitas menyajikan seluruh pos pendapatan dan beban yang diakui dalam satu
periode:
a. dalam bentuk satu laporan laba rugi komprehensif,atau
b. dalam bentuk dua laporan:
(i) laporan yang menunjukkan komponen laba rugi (laporan laba rugi terpisah);
(ii) laporan yang dimulai dengan laba rugi dan menunjukkan komponen
pendapatan komprehensif lain (laporan pendapatan komprehensif).
(c) laporan perubahan ekuitas selama periode;
Entitas menyajikan laporan perubahan ekuitas yang menunjukkan:
a. total laba rugi komprehensif selama suatu periode, yang menunjukkan secara
terpisah total jumlah yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan
kepada kepentingan non-pengendali;
b. untuk tiap komponen ekuitas, pengaruh penerapan retrospektif atau penyajian
kembali secara retrospektif yang diakui sesuai dengan PSAK 25;
c. untuk setiap komponen ekuitas, rekonsiliasi antara jumlah tercatat pada awal dan
akhir periode, secara terpisah mengungkapkan masing-masing perubahan yang
timbul dari:
(i) laba rugi;
(ii) masing-masing pos pendapatan komprehensif lain; dan
(iii)transaksi dengan pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, yang
menunjukkan secara terpisah kontribusi dari pemilik dan distribusi kepada pemilik
27 dan perubahan hak kepemilikan pada entitas anak yang tidak menyebabkan hilang
pengendalian.
(d) laporan arus kas selama periode;
Informasi arus kas memberikan dasar bagi pengguna laporan keuangan untuk menilai
kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas dan kebutuhan entitas
dalam menggunakan arus kas tersebut. PSAK 2 mengatur persyaratan penyajian dan
pengungkapan informasi arus kas.
(e) catatan atas laporan keuangan
a. menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan
akuntansi tertentu yang digunakan
b. mengungkapkan informasi yang disyaratkan SAK yang tidak disajikan di bagian
manapun dalam laporan keuangan; dan
c. memberikan informasi yang tidak disajikan di bagian manapun dalam laporan
keuangan, tetapi informasi tersebut relevan untuk memahami laporan keuangan.
II.1.3.1 Pelaporan keuangan
Bagi perusahaan terdaftar di Bursa Efek maka terdapat
ketentuan mengenai
batas waktu pelaporan keuangan yang harus dipatuhi perusahaan-perusahaan terdaftar,
dimana ketentuan batas waktu tersebut berbeda di setiap negara. Seluruh perusahaan
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki ketentuan yang diatur PERATURAN
NOMOR
X.K.2:
KEWAJIBAN
PENYAMPAIAN
LAPORAN
KEUANGAN
BERKALA sebagai berikut:
28 1.
Laporan keuangan berkala yang dimaksud dalam peraturan ini adalah laporan
keuangan tahunan dan laporan keuangan tengah tahunan;
2.
Laporan keuangan tahunan harus disertai dengan laporan Akuntan dengan pendapat
yang lazim dan disampaikan kepada Bapepam selambat-lambatnya pada akhir bulan
ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan
3.
Laporan keuangan tengah tahunan disampaikan kepada Bapepam dalam jangka
waktu sebagai berikut:
a) selambat-lambatnya pada akhir bulan pertama setelah tanggal laporan keuangan
tengah tahunan, jika tidak disertai laporan Akuntan;
b) selambat-lambatnya pada akhir bulan kedua setelah tanggal laporan keuangan
tengah tahunan, jika disertai laporan Akuntan dalam rangka penelaahan terbatas;
dan
c) selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan
tengah tahunan, jika disertai laporan Akuntan yang memberikan pendapat tentang
kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.
Perusahaan terdaftar di Bursa Efek Singapura (ASX) memiliki ketentuan
mengenai batas waktu pelaporan keuangan yang tercantum dalam tabel sebagai berikut:
Tabel II.1
Batas Waktu Pelaporan Keuangan di Bursa Efek Singapura(ASX)
Perode Berakhir
Berakhir
tanggal
31
Desember
Berakhir
tanggal
31
Desember(setengah tahun)
Jenis Laporan
Preliminary Final Report
Annual Report
Half-year Financial
Statement
Half-year Financial
Statement- explorers
Batas waktu
28 Februari tahun depan
31 Maret tahun depan
28 Februari tahun depan
16 Maret tahun depan
29 Sedangkan laporan keuangan di Singapura paling lambat diterbitkan pada
tanggal 31 Maret dan 31 Desember. II.1.3.2 Pilar Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
Menurut Martani (2011) terdapat empat pilar standar akuntansi di Indonesia yang
dikembangkan saat ini yaitu:
1) Standar Akuntansi Keuangan
Standar Akuntansi Keuangan adalah SAK yang telah berlaku sekarang dan
nantinya akan dikonvergensikan ke IFRS (International Financial Reporting Standard).
SAK yang telah terkonvergensi ke IFRS diharapkan akan memberikan perspektif
pemahaman yang sama bagi investor asing dalam membaca laporan keuangan
perusahaan Indonesia ataupun investor Indonesia yang ingin ekspansi ke luar negeri.
2) Standar Akuntansi Entitas tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP)
Standar ini akan membantu perusahaan kecil menengah dalam menyediakan
pelaporan keuangan yang tetap relevan dan andal dengan tanpa terjebak dalam
kerumitan standar akuntansi berbasis IFRS yang akan kita adopsi di dalam PSAK. SAK
ETAP ini akan khusus digunakan untuk perusahaan tanpa akuntabilitas publik yang
signifikan dan diterapkan di Indonesia mulai 1 Januari 2011.
3) Standar Akuntansi Syariah.
Standar Akuntansi Syariah akan diluncurkan dalam tiga bahasa yaitu bahasa
Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Standar ini diharapkan dapat mendukung
industri keuangan syariah yang semakin berkembang di Indonesia.
4) Standar Akuntansi Pemerintahan.
30 Instansi Pemerintah menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan, PP 24 tahun
2005 dan diperbaharui menjadi PP 71 tahun 2010. Standar disusun oleh Komite
Akuntansi Pemerintahan kemudian ditetapkan dengan PP. Diterapkan untuk entitas
pemerintah dalam menyusun LKPP dan LKPD:
•
Instansi pemerintah pusat
•
Instansi pemerintah daerah
•
BLU (digabung), BUMN (sebagai investasi) menggunakan PSAK
•
Entitas sektor publik selain pemerintah menggunakan PSAK 45.
Dari keempat pilar yang disebutkan diatas, tak menutup kemungkinan terjadi
perubahan standar akuntansi seiiring dengan berkembangnya perkembangan dunia
akuntansi.
II.1.3.3 Properti investasi dalam SAK UMUM dan SAK ETAP
Perlakuan properti investasi dalam kedua standar ini memang berbeda. SAK
ETAP menyatakan setelah pengakuan awal, seluruh properti investasi harus diukur pada
biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan kerugian penurunan nilai. Hal ini
sesuai dengan aturan SAK ETAP dalam Bab 14 mengenai Properti Investasi, kecuali ada
ketentuan pemerintah yang mengharuskan model revaluasi diterapkan. Sedangkan SAK
UMUM menyatakan setelah pengakuan awal, seluruh properti investasi dapat diukur
dengan metode nilai wajar ataupun metode biaya perolehan. 31 II.1.3.4 Sejarah Standar Properti Investasi
a. Sejarah Standar Properti Investasi di Indonesia
Berikut merupakan tabel mengenai perbedaan PSAK 13 sebelum adopsi dari
International Financial Reporting Standard (IFRS) dan sesudah adopsi.
Tabel II.2
Perubahan PSAK 13
Perubahan
PSAK 13 (2004)
Pengklasifikasian
investasi
Investasi diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan likuiditasnya
yaitu investasi lancar dan investasi jangka panjang.
Pengukuran nilai Pengukuran nilai tercatat investatercatat investasi
si berdasarkan klasifikasinya.
Transfer
Transfer investasi terjadi dari
investasi jangka panjang ke
investasi
lancar.
Sebagai
dampaknya, transfer dicatat pada
nilai terendah antara historical
cost dan nilai pasarnya.
Pengakuan
penurunan nilai
investasi saat
pelepasan
PSAK 13 (2007)
Investasi tidak diklasifikasikan.
Entitas bisa memilih untuk
mengukur
nilai
tercatat
investasi berdasarkan metode
nilai wajar atau model biaya.
Transfer yang terjadi adalah
antara entitas dengan owner
atau perubahan asset (misalnya
properti investasi menjadi
persediaan).Sebagai
dampaknya,
jika
terjadi
transfer
langsung
dicatat
berdasarkan nilai pasarnya.
Penurunan nilai dicatat secara
terpisah dan perlakuannya
sesuai dengan PSAK 48 (2007)
tentang penurunan nilai.
Penurunan nilai investasi lancar
saat pelepasan dicatat padayang
terendah antara biaya dan nilai
pasar pada dasar portofolio
dilakukan terhadap biaya perolehan secara agregat; investasi individual tetap dicatat pada biaya.
Lingkup
Dalam PSAK 13 (2004) yang
Dalam PSAK 13 (2007), selain
pengungkapan
harus diungkapkan hanya perlak- perlakuan akuntansinya juga
dalam laporan keu- uan akuntansi investasinya.
diungkapkan owner. Misalnya
angan.
lessor dan lesse.
b. Sejarah Standar Properti Investasi di Australia
32 Menurut Kemp (2006), AASB 140 merupakan standar baru mengenai properti
investasi di Australia, mulai berlaku sejak awal 1 Januari 2005. Dahulu, Australian
GAAP yang membahas properti investasi termuat dalam AASB 1015, yang menjelaskan
pengakuan awal properti investasi dan AASB 1010 serta 1041 yang mengatur nilai buku
properti investasi jangka panjang. Secara umum, properti investasi pada awalnya diakui
saat harga perolehan dan selanjutnya diukur pada harga perolehan atau nilai wajar sesuai
AASB 1041 dan 1010. Jika properti investasi direvaluasi menurut AASB 1041 maka
kenaikan revaluasi akan dijadikan cadangan. Deloitte (2004) menyajikan tabel
perbandingan mengenai AASB 140 dan Current Australian GAAP.
Tabel II.3
Perbandingan AASB 140 dan Current Australian GAAP
AASB 140
Current Australian GAAP
AASB
140
memperbolehkan
penggunaan cost model atau fair value
model untuk akuntansi properti investasi.
Jika fair value model diadopsi, maka
perubahan nilai wajar akan dimasukkan
ke laporan laba-rugi dan
tidak
dimasukkan ke cadangan revaluasi.
Tidak ada pedoman dan praktek yang
bervariasi. Ketika fair value model
diadopsi, maka perubahan nilai wajar
akan dialokasikan ke cadangan revaluasi
aset.
c. Sejarah Standar Properti Investasi di Singapura
Singapura memiliki standar FRS 25 tentang Accounting for Investment yang
digantikan oleh FRS 40 tentang Investment Property tanggal 16 Maret 2005. Menurut
KPMG (2005) sejak tahun 1980, banyak perusahaan Singapura mengadopsi model
revaluasi yang ditentukan dalam FRS 25 untuk properti investasi dan FRS 16 untuk aset
tetap. Dibandingkan dengan FRS 25, FRS 40 lebih mempunyai pedoman yang jelas
33 mengenai apa itu properti investasi. Di Singapura, sudah menjadi hal umum bahwa
terdapat beberapa properti investasi digunakan untuk kepentingan ganda, yaitu dapat
digunakan untuk menghasilkan pendapatan sewa dan digunakan untuk produksi. Dalam
kasus ini, bagian yang dapat dijual atau disewa melalui finance lease secara terpisah
dapat diklasifikasikan sebagai properti investasi.
Jika bagian tidak bisa dijual atau disewa secara finance lease maka properti
keseluruhan diklasifikasikan sebagai properti investasi, hal ini terjadi jika bagian yang
dimiliki sendiri tidak signifikan dalam keseluruhan properti. Tidak ada pedoman atau
definisi dari kata tidak signifikan yang dijelaskan dalam FRS 40. Dalam menentukan
bagian yang dimiliki sendiri tidak signifikan, entitas perusahaan seharusnya menghitung
tempat yang dimiliki berdasarkan lantai yang digunakan.
II.1.4 Teori Pengukuran
II.1.4.1 Teori Pengukuran Historical Cost
Menurut Sari (2011), berikut ini adalah alasan-alasan yang mendukung historical
cost accounting:
a. Historical cost relevan dalam proses pengambilan keputusan ekonomis, karena
diperlukan data dari masa lalu.
b. Didasarkan pada transaksi yang sudah pasti dan kejadian yang sebenarnya, sehingga
bisa dipertanggungjawabkan.
c. Diperlukan sepanjang sejarah sistem ini masih bermanfaat.
d. Konsep yang paling mudah dipahami.
34 e. Lebih diyakini dapat meminimalisasi subjektivitas dan mengurangi kemungkinan
perubahan oleh pihak tertentu.
f. Current cost accounting masih dapat dipertanyakan.
g. Soal perubahan harga dapat dilaporkan melalui penyajian data atau laporan suplemen.
h. Masih belum cukup bukti dan data untuk menolak akuntansi historis.
II.1.4.2 Teori Pengukuran Current Cost
Menurut Godfrey (2006), current cost accounting adalah suatu sistem akuntansi
dimana aset dinilai pada harga beli pasar sekarang dan keuntungan ditentukan dengan
alokasi yang didasarkan pada biaya sekarang. Dalam metode pengukuran ini, Edwards
dan Bell (2006) menyatakan bahwa yang dibutuhkan oleh manajer adalah bagaimana
mereka mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada untuk memaksimalkan laba.
Oleh karena itu, diperlukan jawaban terhadap tiga pertanyaan berikut:
a. Berapa jumlah aset yang harus dimiliki pada suatu tanggal tertentu
b. Bagaimana seharusnya bentuk aset;
c. Bagaimana aset didanai.
Untuk membuat keputusan tentang ketiga pertanyaan di atas, maka manajer perlu
merumuskan pengharapan tentang kejadian masa yang akan datang. Manajer biasanya
menghadapi masalah apakah ingin mempertahankan suatu aktiva atau utang atau
menjual atau membayarnya dan bagaimana menggunakan atau mendanai kegiatan
perusahaan. Untuk menjawab ini maka diusulkan perhitungan business profit yang
memiliki dua komponen yaitu:
a. Current operating profit
35 Laba dalam komponen ini adalah kelebihan nilai sekarang dari barang atau jasa yang
dijual dengan harga pokoknya.
b. Realizable cost saving (holding Gain)
Laba dalam komponen ini adalah kenaikan harga pokok dari suatu aktiva yang masih
dimiliki sekarang.
Current cost terdiri dari lima bentuk, yaitu:
a. Replacement cost
Yaitu nilai yang diukur saat ini untuk mendapatkan aktiva baru atau menggantinya
dengan kapasitas produksinya yang sama. Metode ini dikritik dalam hal:
1. Subjektivitas penilaian atau taksiran harganya
2. Dalam hal harga suatu aktiva menurun maka penurunan itu akan menimbulkan
pembebanan ke laba rugi lebih rendah dari beban pada historical cost;
3. Perubahan harga umum tidak tergambar dalam metode replacement cost ini, karena
hanya untuk aktiva tertentu;
4. Sukar melakukan perbandingan antar perusahaan yang saling berbeda.
b. Reproduction Cost
Metode ini sama dengan replacement cost.
c. Net Realizable Value
Yaitu suatu metode di mana harga jual dikurangi taksiran biaya penjualan. Pada masa
inflasi NRV lebih besar dari replacement cost karena manajemen tidak mungkin menjual
barangnya tanpa mengharapkan laba marjin general price level. Penyusutan dalam
metode ini dihitung berdasarkan perbedaan harga jual aktiva itu pada awal periode
dibandingkan dengan akhir periode.
36 d. Selling Price
Dalam metode ini nilai yang dipakai adalah harga jual tanpa dikurangi biaya penjualan
sehingga laporan keuangan disusun menurut selling price akan lebih besar daripada net
reliazable value dan metode lainnya.
e. Expected value
Metode ini sangat tergantung pada pengharapan seseorang sehingga bisa lebih besar atau
lebih kecil dibanding metode lainnya. Hal ini disebabkan karena expected value ini
merupakan gambaran dari present value kas di masa yang akan datang.
II.1.4.3 Metode Pengukuran Fair Value Model
IFRS 13 (2011) menyatakan nilai wajar sebagai berikut:
“The price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability in an
orderly transaction between market participants at the measurement date”.
Nilai wajar ini digunakan untuk mengukur:
1. Satu aset
2. Sekelompok aset
3. Satu liabilitas
4. Sekelompok liabilitas
5. Konsiderasi bersih dari satu atau lebih aset dikurangi satu atau lebih liabilitas
terkait
6. Satu segmen atau divisi dari sebuah entitas
7. Satu lokasi atau wilayah dari suatu entitas
8. Satu keseluruhan entitas
37 Yang dimaksud dengan pengukuran di atas bukan merupakan pengukuran awal.
Untuk pengukuran awal (saat aset diakuisisi atau liabilitas muncul), entitas tetap
menggunakan dasar kos pada saat terjadinya transaksi. Setelah pengukuran awal (biasa
disebut sebagai pengukuran setelah pengukuran awal), yaitu saat pelaporan keuangan
(dan untuk pelaporan seterusnya, selama aset masih dikuasai), entitas boleh
memilih model kos (berdasar kos historis) atau model revaluasi (berdasar nilai wajar)
untuk mengukur pos-pos laporan keuangannya.
Dari definisinya, dapat disimpulkan bahwa nilai wajar diukur menggunakan
dasar ketika aset (atau liabilitas) dapat ditukar, bukan ketika aset (liabilitas) benar-benar
ditukar. Cara mengukur ‘ketika aset (liabilitas) dapat ditukar’ dijelaskan dalam
Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) 157 (2007) dengan menggunakan:
1.
Pendekatan Pasar. Dalam pendekatan ini, nilai wajar diukur berdasarkan harga pasar
atau informasi relevan lain yang dihasilkan dari transaksi di pasar. Hal ini termasuk
harga aset (liabilitas) sejenis yang ada di pasar, dan metode penilaian lain yang
konsisten dengan pendekatan pasar. Urutan yang digunakan jika nilai wajar
menggunakan pendekatan pasar adalah, pertama harga pasar aset (liabilitas) pada
saat pelaporan, jika tidak terdapat harga pasar aset (liabilitas) maka menggunakan
harga pasar aset (liabilitas) sejenis, jika tidak terdapat harga pasar aset (liabilitas)
sejenis maka menggunakan model yang konsisten dengan pendekatan pasar
(contohnya model matrix pricing, dll)
2.
Pendekatan Penghasilan. Pendekatan ini menggunakan teknik penilaian untuk
mengubah nilai masa depan (contohnya aliran kas atau laba) ke nilai kininya
terdiskonto
(discounted).
Pengukuran
nilai
wajar
dalam
pendekatan
ini
38 menggunakan dasar nilai yang dilihat dari harapan pasar kini atas nilai aset
(liabilitas) masa depan. Pendekatan ini termasuk menggunakan nilai kini (present
value, option pricing).
3.
Pendekatan Kos. Pendekatan kos disebut juga pendekatan kos pengganti kini
(current replacement cost). Kos pengganti ini adalah jumlah yang diperlukan untuk
menggantikan suatu aset.
Menurut Hitz (2007), terdapat tiga hirarki dalam mengestimasi fair value, yaitu
dengan menggunakan nilai pasar, komparasi dengan harga pasar dari item yang dapat
diperbandingkan dengan item yang dinilai, dan dengan menggunakan estimasi.
Penjelasan hirarki tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mark to market
Merupakan pengukuran fair value dengan menggunakan current market value untuk
item-item tertentu di dalam laporan keuangan yang berasal dari transaksi yang lazim
terjadi (arm’s length transaction) dan harga-harganya juga dapat dengan mudah diukur
dengan harga pasar.
2. Komparasi dengan harga pasar
Merupakan pengukuran fair value dengan menggunakan tidak menggunakan data pasar
langsung, namun hasil penilaian yang diharapkan tetap menggambarkan nilai pasar yang
ditentukan seorang penilai secara profesional.
3. Mark to model
Merupakan pengukuran fair value dengan menggunakan model penilaian yang
didasarkan atas perhitungan-perhitungan dan estimasi tertentu untuk item-item yang
harga pasarnya tidak tersedia.
39 Maka Blommaert dalam Verhog (2003) menyatakan bahwa penggunaan fair
value sesungguhnya dapat menimbulkan implikasi yang bersifat subyektif terutama yang
berkaitan dengan penilaian. Selain itu, Gassen & Schwedler (2009) menemukan bahwa
terdapat pemahaman yang berbeda-beda mengenai fair value. Fair value yang
didasarkan atas harga pasar (mark to market) lebih bernilai dan memiliki decision
usefulness lebih tinggi dibandingkan dengan fair value yang didasarkan atas penilaian
(mark to model). Gassen & Schwedler (2009) juga menemukan bahwa fair value yang
berdasarkan pada harga pasar memiliki decision usefulness yang tinggi untuk aset-aset
lancar dan non operasional, dan untuk aset tidak lancar serta aset-aset yang digunakan
untuk kegiatan operasional, tidak ada perbedaan yang siginifikan dari sisi decision
usefulness baik yang menggunakan historical cost maupun menggunakan market based
fair value.
II.1.5 Teori Pengungkapan
Secara konseptual, pengungkapan merupakan bagian integral dari pelaporan
keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan langkah akhir dalam proses
akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk seperangkat penuh statemen
keuangan. Evans (2000) mengartikan pengungkapan sebagai berikut :
Disclosure means supplying information in the financial statements, including the
statements themselves, the notes to the statements, and the supplementary disclosures
associated with the statements. It doest not extend to public or private statements
made by managament or information provided outside the financial statements.
Secara lebih spesifik, Wolk, tearney, dan Dodd (2001) menginterpretasi pengertian
pengungkapan sebagai berikut :
40 Broadly interpreted, disclosure is concerned with information in both the financial
statements and supplementary communications including footnotes, poststatement
events, management’s discussion and analysis of operations for the fortcoming year,
financial and operating forecasts, and additional financial statements covering
segmental disclosure and extentions beyond historical cost.
Evans membatasi pengertian pengungkapan hanya pada hal - hal yang
menyangkut pelaporan keuangan. Pernyataan manajemen dalam surat kabar atau media
masa lain serta informasi di luar lingkup pelaporan keuangan tidak masuk dalam
pengertian pengungkapan. Sementara itu, Wolk, Tearney, dan Dodd memasukkan pula
statemen keuangan segmental dan statemen yang merefleksi perubahan harga sebagai
bagian dari pengungkapan.
Pengungkapan sering juga dimaknai sebagai penyediaan informasi lebih dari apa
yang dapat disampaikan dalam bentuk statemen keuangan formal. Hal ini tampaknya
sejalan dengan gagasan FASB dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut :
Although financial reporting and financial statements have essentially the same
objectives, some useful information is better provided by financial statements and
some is better provided, or can only be provided, by means of financial reporting
other than financial statements.
Masalah teoritis pengungkapan dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan berikut ini:
1. Untuk siapa informasi diungkapkan?
2. Mengapa pengungkapan harus dilakukan?
3. Seberapa banyak dan informasi apa harus diungkapkan?
4. Bagaimana cara dan kapan mengungkapkan informasi?
Siapa Dituju
Kerangka konseptual telah menetapkan bahwa investor dan kreditor merupakan
pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan sehingga pengungkapan ditujukan terutama
41 untuk mereka. FASB misalnya menetapkan tingkat kecanggihan para investor dan
kreditor cukup tinggi sehingga pengungkapan yang diwajibkan dapat dikatakan lebih
sedikit dibanding yang dituntut oleh SEC karena SEC mempertimbangkan pula
kepentingan investor yang naif. SEC menuntut lebih banyak pengungkapan karena
pelaporan keuangan mempunyai aspek sosial dan publik (public interest). Oleh karena
itu, pengungkapan menuntut lebih dari sekedar pelaporan keuangan tetapi meliputi pula
penyampaian informasi kualitatif atau non-kuantitatif. Karena pihak yang dituju lebih
luas dan model pengambilan keputusannya kurang dapat diidentifikasi, pengungkapan
cenderung untuk meluas dan jarang menjadi sempit (spesifik).
Fungsi atau Tujuan Pengungkapan
Secara umum, tujuan pengungkapan adalah menyajikan informasi yang
dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan untuk melayani
berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda - beda. Telah disinggung bahwa
investor dan kreditor tidak homogen tetapi bervariasi dalam hal kecanggihannya
(sophistication). Karena pasar modal merupakan sarana utama pemenuhan dana dari
masyarakat, pengungkapan dapat diwajibkan untuk tujuan melindungi (protective),
informatif (informative), atau melayani kebutuhan khusus (differential).’
Tujuan Melindungi
Tujuan melindungi dilandasi oleh gagasan bahwa tidak semua pemakai cukup
canggih sehingga pemakai yang naif perlu dilindungi dengan mengungkapkan informasi
yang mereka tidak mungkin memperolehnya atau tidak mungkin mengolah informasi
untuk menangkap substansi ekonomik yang melandasi suatu pos statement keuangan.
Dengan kata lain, pengungkapan dimaksudkan untuk melindungi perlakuan manajemen
42 yang mungkin kurang adil dan terbuka (unfair). Dengan tujuan ini, tingkat atau voluma
pengungkapan akan menjadi tinggi.
Tujuan melindungi biasanya menjadi pertimbangan badan pengawas yang
mendapat autoritas untuk melakukan pengawasan terhadap pasar modal seperti SEC atau
Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Hal ini dapat dipahami karena mereka
bertindak demi kepentingan publik.
Tujuan Informatif
Tujuan informatif dilandasi oleh gagasan bahwa pemakai yang dituju sudah jelas
dengan tingkat kecanggihan tertentu. Dengan demikian, pengungkapan diarahkan untuk
menyediakan informasi yang dapat membantu keefektifan pengambilan keputusan
pemakai tersebut. Tujuan ini biasanya melandasi penyusun standar akuntansi untuk
menentukan tingkat pengungkapan. Dalam kenyataannya, badan pengawas seperti
BAPEPAM bekerja sama dengan penyusun standar (profesi) untuk menentukan
keluasan pengungkapan. Untuk tujuan pengawasan oleh badan kepemerintahan, terdapat
pula pengungkapan yang khusus ditujukan ke badan pengawas melalui formulir-formulir
yang harus diisi oleh perusahaan pada waktu menyerahkan laporan tahunan maupun
kuartalan.
Tujuan Kebutuhan Khusus
Tujuan ini merupakan gabungan dari tujuan perlindungan publik dan tujuan
informatif. Apa yang harus diungkapkan kepada publik dibatasi dengan apa yang
dipandang bermanfaat bagi pemakai yang dituju sementara untuk tujuan pengawasan,
informasi tertentu khusus harus disampaikan kepada badan pengawas berdasarkan
peraturan melalui formulir - formulir yang menuntut pengungkapan secara rinci.
43 II.1.6 Penelitian Sejenis
Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi luasnya
pengungkapan laporan keuangan telah banyak dilakukan. Namun, penelitian yang sering
dilakukan adalah penelitian terhadap pengungkapan laporan keuangan secara
keseluruhan dalam suatu industri, baik properti maupun industri lain seperti manufaktur.
Dari penelitian yang sebelumnya, tidak banyak penelitian yang menganalisa
pengungkapan laporan keuangan secara spesifik pada akun atau standar tertentu. Maka
penelitian ini lebih mengacu pada analisis dan perbandingan pengukuran dan
pengungkapan properti investasi dan properti investasi merupakan akun yang spesifik
dalam perusahaan properti.
Panjaitan (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik spesifik
perusahaan terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan perusahaan real estate dan
properti di BEI. Penelitian ini mengambil 36 sampel selama periode 2005 dan 2006.
Simpulan yang dihasilkan adalah hasil uji hipotesis menunjukkan adanya pengaruh
karakteristik spesifik perusahaan yang mempengaruhi tingkat pengungkapan laporan
keuangan dan dari 8 variabel independen hanya variabel ukuran perusahaan dan Return
On Equity yang memiliki pengaruh signifikan.
Hadi (2001) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan go publik di
BEJ. Variabel dalam penelitian ini adalah size perusahaan, basis perusahaan, likuiditas,
kepemilikan publik dan solvabilitas. Hasil simpulan dalam penelitian ini adalah secara
bersama-sama proporsi kepemilikan publik, basis perusahaaan, solvabilitas, likuiditas
44 dan size perusahaan mempunyai kemampuan menjelaskan variabel luas pengungkapan
sukarela dalam laporan tahunan.
Setiawan (2001) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela informasi laporan tahunan perusahaan di
BEJ. Variabel dependen adalah tingkat pengungkapan sukarela dan variabel
independennya adalah rasio likuiditas, solvabilitas, ukuran perusahaan, umur emiten,
jenis industri dan basis perusahaan. Sampel yang diambil sebanyak 80 perusahaan
dimana analisis data menggunakan analisis regresi linier berganda dengan bantuan SPSS
10.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan sukarela masih
rendah, dengan nilai minimun 14 dan nilai maksimum 40 serta rata-rata skor 26,73.
Laraswita dan Indrayani (2009) melakukan penelitian yang bertujuan
menganalisis pengaruh karakteristik perusahaan yang diwakili oleh tingkat solvabilitas,
tingkat profitabilitas dan ukuran perusahaan terhadap kelengkapan pengungkapan dalam
laporan tahunan dengan unit analisisnya yaitu laporan tahunan perusahaan sektor
properti dan real estate di BEI. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat profitabilitas memiliki pengaruh signifikan
terhadap kelengkapan pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan, sedangkan
tingkat solvabilitas dan ukuran perusahaan (total aktiva) tidak memiliki pengaruh
terhadap kelengkapan pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan.
Irawan (2006) melakukan penelitian untuk menemukan faktor-faktor yang
mempengaruhi
kelengkapan
pengungkapan
laporan
keuangan.Penelitian
ini
menggunakan 45 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ periode 2001-2004. Alat
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda dan t-test.
45 Hasil penelitian ini mengindikasikan variabel ukuran perusahaan, porsi kepemilikan
saham publik, status perusahaan mempengaruhi kelengkapan pengungkapan, sedangkan
umur perusahaan secara negatif berpengaruh terhadap pengungkapan laporan keuangan.
Variabel lainnya seperti leverage, likuiditas, profitabilitas, operating profit margin, net
profit margin dan return on equity tidak berpengaruh terhadap kelengkapan pengaruh
laporan keuangan.
II.1.7 Ketentuan Perpajakan terkait Properti Investasi
II.1.7.1 Ketentuan Perpajakan terkait Properti Investasi di Indonesia
Properti Investasi diatur berbeda dalam peraturan perpajakan di Indonesia. Hal
ini tertuang dalam PMK No 79/PMK/03/08 yang menyatakan bahwa peraturan
perpajakan di Indonesia tidak mengakui adanya properti investasi, melainkan
mengakuinya sebagai aset tetap. Tentunya pengukuran setelah pengakuan awal yang
diperkenankan adalah metode biaya perolehan sebesar biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan aset tersebut. Karena properti investasi diperlakukan sebagai aset tetap
maka aspek penyusutan seperti tarif dan metode penyusutannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan perpajakan. Berikut ketentuan perpajakan yang tertuang dalam PMK NOMOR
79/PMK.03/2008 mengenai penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan:
Pasal 1
1) Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk
tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya
46 sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian
kembali.
2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak badan dalam
negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh
izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar
Amerika Serikat.
Pasal 2
1) Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
2) Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menerbitkan surat keputusan
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan atas permohonan yang diajukan oleh
perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
1) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:
a.
seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak
guna bangunan; atau
b.
seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di
Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
2) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
47 Pasal 4
1) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar
atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali
aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang
memperoleh izin dari Pemerintah.
2) Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai
atau ahli penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata tidak mencerminkan
keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan kembali nilai pasar
atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.
3) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.
Pasal 5
Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal
semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 6
Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi
sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat
mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan
sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Pasal 7
48 1) Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a) Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan
penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.
b) Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk
kelompok aktiva tetap tersebut.
c) Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali
aktiva tetap perusahaan.
2) Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :
a) Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal
tahun pajak yang bersangkutan.
b) Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun
pajak yang bersangkutan.
c) Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
3) Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan
sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan.
Pasal 8
1) Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:
49 a. Aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah memperoleh
persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b; atau
b. Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang
telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10
(sepuluh) tahun, maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku
fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri
yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh persen).
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan
keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan;
b. Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau
pemekaran usaha yang mendapat persetujuan; atau
c. Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan
berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.
3) Selisih antara nilai pengalihan aktiva tetap perusahaan dengan nilai sisa buku fiskal
pada saat pengalihan merupakan keuntungan atau kerugian berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 9
1) Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku
komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana
50 dimaksud dalam Pasal 5 harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan
modal dengan nama "Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan
Tanggal ........................".
2) Pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa
penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, bukan merupakan Objek Pajak berdasarkan
Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 jo. Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 138
Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
3) Dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian saham bonus atau pencatatan
tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih
penilaian kembali secara komersial.
II.1.7.2 Ketentuan Perpajakan terkait Properti Investasi di Australia
Berdasarkan Accounting News BDO (2011), diketahui bahwa pengukuran
deferred tax liabilities dan deferred tax assets tergantung dari perusahaan, apakah akan
menggunakan atau menjual properti investasi. Perlakuan yang berbeda akan
51 menimbulkan tarif pajak yang berbeda juga. Ketika entitas perusahaan memilih
menggunakan fair value model untuk properti investasi maka, entitas mengharapkan:
•
Menyewakan properti investasi sehingga mendapatkan pendapatan sewa.
•
Menjual properti investasi di masa yang akan datang untuk mendapatkan
kenaikan modal.
Tanpa ada rencana spesifik mengenai pelepasan properti investasi, ini akan
menjadi sulit dan subjektif untuk mengestimasikan berapa nilai carrying amount
properti investasi yang akan diperoleh kembali melalui arus kas pendapatan sewa dan
berapa nilai yang diperoleh kembali dari arus kas atas penjualan aset. AASB 112 Income
Taxes (2009) dikeluarkan untuk memberi pengenalan bahwa terdapat asumsi tentang
properti investasi yang akan diperoleh kembali melalui penjualan. Asumsi ini dapat
disanggah apabila properti investasi dilakukan dalam model bisnis bertujuan untuk
mengkonsumsi keuntungan ekonomis properti investasi secara substantif sepanjang
waktu dan bukan untuk dijual.
International Accounting Standard Board (2011) memperjelas bahwa asumsi
pemulihan melalui penjualan tidak dapat disanggah jika aset tidak dapat disusutkan,
karena hal itu berarti tidak ada bagian carrying amount aset yang akan dikonsumsi
selama penggunaan. Properti investasi berupa tanah akan selalu mempunyai dasar pajak
karena diasumsikan diperoleh kembali melalui penjualan.
Implikasi bagi entitas perusahaan di Australia
Dalam Accounting News BDO (2011) dijelaskan bahwa sarana investasi untuk
properti investasi yang cukup dikenal di Australia adalah dengan property trust dimana
karakteristiknya secara umum tidak membayar pajak, sehingga tidak perlu mengakui
52 adanya kewajiban pajak tertangguh. Sebab itu, AASB 112 Income Taxes tidak terlalu
berdampak terhadap property trust dalam mengukur properti investasinya menggunakan
nilai wajar.
Sejarah pajak mengenai properti investasi yang dirangkum dalam Accounting News
BDO (2011):
1) Sebelum Capital Gain Tax dan sebelum September 1999
•
Amandemen ini tidak memiliki dampak bagi properti investasi.
•
Properti investasi dibeli sebelum 20 September 1985 karena tidak perlu
mengakui adanya keuntungan (capital gain) penjualan, sehingga tak perlu
mengakui adanya kewajiban pajak tertangguh.
•
Properti dibeli sejak 20 September 1999 karena peraturan untuk keuntungan
dalam tujuan perpajakan telah dicabut dan dasar pajak harus sama, baik ketika
entitas perusahaan mau menggunakan properti investasi atau menjualnya.
2) Properti dibeli tanggal 20 September 1985 sampai 19 September 1999
Amandemen ini mempengaruhi properti karena kewajiban pajak tertangguh
harus dihitung dengan asumsi terdapat recovery melalui penggunaan atau penjualan.
Dasar pajak mengasumsikan penjualan yang termasuk dalam peraturan sampai dengan
19 September 1999, sedangkan dasar pajak untuk penggunaan properti investasi belum
termasuk dalam peraturan. Dalam prakteknya, dampak ini tidak material karena banyak
properti yang akan mendekati akhir umur manfaatnya, dalam hal ini model bisnis
membantah asumsi recovery of sale.
53 II.1.7.3 Ketentuan Perpajakan terkait Properti Investasi di Singapura
Deloitte (2007) menjelaskan bahwa entitas berukuran kecil dan sedang dapat
memilih model depresiasi biaya atau model penurunan nilai (impairment), dimana nilai
wajarnya dapat dilakukan sesuai standar FRS 40: Investment Property.
Deloitte (2007) menjelaskan karena adanya adopsi FRS 40 mengenai properti
investasi tahun 2007, perusahaan di Singapura diperbolehkan untuk mengkreditkan
keuntungan nilai wajarnya pada akun properti investasi yang diukur dengan nilai wajar.
Maka, tak ada beban pajak tangguhan yang berasal dari keuntungan yang dapat
dibebankan ke laporan laba-rugi. FRS 12 (2004) mensyaratkan adanya kewajiban pajak
tangguhan yang harus diakui pada keuntungan nilai wajar pada properti investasi karena
kenaikan nilai properti menunjukkan peningkatan yang diharapkan di arus sewa yang
akan datang dan atau keuntungan karena pelepasan properti yang dapat dikenakan pajak.
Di Singapura, dimana keuntungan penjualan properti investasi tidak dikenakan
pajak, maka kewajiban pajak tangguhan tidak akan ada jika properti tersebut akan dijual
tetapi dengan pertimbangan waktu penjualan. Meskipun begitu, jika manajemen tetap
ingin menyewakan properti investasi, maka kewajiban pajak tertangguh harus dihitung
berdasarkan keuntungan nilai wajar dikalikan
dengan tarif pajak yang berlaku.
Manajemen yang tetap mempertahankan properti investasi untuk disewa pada akhirnya
tetap menjual properti investasi. Namun untuk periode dimana properti investasi
disewakan maka kewajiban pajak tertangguh harus diperhitungkan. Walaupun INT FRS
21: Income Taxes- Recovery of Revalued Non-Depreciable Asset mempunyai interpretasi
untuk memperbolehkan aset yang tidak disusutkan untuk dipulihkan melalui penjualan
untuk perhitungan akuntansi pajak tertangguh, namun perlakuan ini hanya terbatas untuk
54 tanah yang masih belum diperuntukkan untuk apapun karena umurnya tak terbatas.
Sedangkan properti investasi lainnya, seperti tanah yang disewa, bangunan yang sudah
disewa ataupun belum digunakan untuk apapun harus disusutkan sehingga INT FRS 21
tidak dapat dipakai dalam hal ini.
ICPAS Singapore Accountant (2007) menyatakan bahwa perusahaan di
Singapura tidak menghitung pajak penghasilan tertangguh atas keuntungan revaluasi
properti investasi. Keuntungan revaluasi dari properti investasi dimasukkan dalam
cadangan revaluasi menurut FRS 12 dan pajak tertangguh yang berkaitan akan
berlawanan dengan cadangan revaluasi.
FRS 40 (2005) menyatakan perubahan nilai wajar disyaratkan untuk dimasukkan
dalam laporan laba rugi dan secara umum jumlahnya merupakan pembagian net asset
value dari banyak perusahaan properti. Tentunya beban pajak tertangguh atas
keuntungan nilai wajar akan semakin material dalam adopsi FRS 40.
Dan menurut ICPAS Singapore Accountant (2007) terdapat beberapa argumen
yang menyanggah akuntansi pajak tertangguh. Pertama, adanya kenaikan nilai wajar
yang dinamakan capital gain sehingga capital gain (yang tidak berlaku di Singapura)
akan dikenakan tarif pajak. Kedua, nilai wajar properti dapat ditentukan berdasarkan net
of tax.
FRS 40 (2005) menyatakan segala perubahan nilai wajar properti investasi akan
dimasukkan ke dalam laba rugi, sebagai pengganti dari cadangan revaluasi yang berada
di neraca yang sebelumnya diperbolehkan. Dengan kata lain, revaluasi yang meningkat
akan ditambahkan ke bottomline dan revaluasi yang menurun akan dimasukkan menjadi
earning. Dan atas hal tersebut akan berpengaruh terhadap pengenaan pajak. Ketika
55 perusahaan menjual properti investasi maka akan mengakui adanya capital gain.
Sehingga menjadi kewajiban bagi mereka untuk mengakui pajak tertangguh sebagai
beban dalam laporan keuangan selama tidak ada rencana untuk menjual properti yang
dimiliki.
Menurut Yeoh (2007) sebelum FRS 40, perusahaan properti di Singapura tidak
menghitung pajak tertangguh akibat keuntungan revaluasi properti investasi karena
dampak pada laporan keuangan sesungguhnya tidak material. Namun semenjak
keuntungan revaluasi dari properti investasi dimasukkan dalam cadangan revaluasi,
menurut FRS 12, pajak tertangguh yang terkait akan dihitung berlawanan dengan
cadangan revaluasi. Hal ini yang menyebabkan jumlah pajak tertangguh menjadi kurang
signifikan dan tidak material.
Choy (2007) menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan dalam standar akuntansi di
Singapura mengenai pajak tertangguh. Yang berubah hanyalah FRS 40 saat ini
menganggap keuntungan revaluasi atas properti investasi dapat dijadikan sebagai laba.
Jika dijadikan laba maka atas hal ini dapat dikenakan pajak.
Menurut Yeoh (2007) saat ini perusahaan properti di Singapura tidak membayar
pajak atas keuntungan penjualan properti, karena tidak ada capital gain tax di Singapura.
Dan kebanyakan perusahaan properti menganggap keuntungan revaluasi atas properti
investasi sebaiknya diperlakukan sebagai capital gain dan tidak berhubungan dengan
pajak. FRS 12 (2004) menyatakan bahwa pajak penghasilan tertangguh diakui dalam
pembukuan perusahaan, namun perusahaan dikenai pajak hanya ketika keuntungan
direalisasikan. Sejak keuntungan karena penjualan properti tidak dikenakan pajak
56 walaupun properti dijual (karena tidak ada capital gain tax), maka banyak perusahaan
menganggap pajak tangguhan tak seharusnya diperhitungkan.
Tham (2007) menyatakan beberapa akuntan menginterpretasikan standar ini
bahwa kewajiban pajak tangguhan harus dicatat segera setelah ada hutang pajak karena
penghasilan sewa masa depan. Ketika penghasilan sewa benar-benar diterima maka
kewajiban pajak akan diperhitungkan kembali. Pajak terhutang hanya sekali namun
kewajiban akan ditetapkan dua kali. Padahal ketika aset dijual dan diasumsikan tidak ada
capital gain tax, maka akan jelas bahwa tidak ada kewajiban pajak yang harus dibayar
karena pelepasan ini. Keuntungan tercatat sebagai hasil dari pembalikan kewajiban pajak
tangguhan yang sebelumnya sudah diakui. Melakukan pencatatan atas kewajiban pajak
tangguhan yang belum terhutang dimaksudkan kewajiban dibalikkan ketika properti
dijual sehingga menghasilkan keuntungan artifisial. Jika harga properti turun, reverse
tetap dilakukan dan menghasilkan kerugian artifisial ketika dijual.
57 
Download