1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare adalah salah satu penyakit menular yang merupakan penyebab kematian di negara berkembang bagi bayi (18%), yang artinya lebih dari 5.000 anak yang meninggal setiap hari akibat diare di seluruh dunia. Menurut WHO dan UNICEF, ada sekitar 2 miliar kasus diare di seluruh dunia setiap tahun dan 1,9 juta anak-anak usia kurang dari 5 tahun meninggal karena diare setiap tahun. Dari seluruh kematian anak akibat diare, sebanyak 78% terjadi di kawasan Afrika dan Asia Tenggara (World Gastroenterology Organization, 2012). Salah satu tujuan MDG’s (Millenium Development Goals) adalah penurunan angka kematian anak menjadi 2/3 bagian menjadi sebanyak 32 per kelahiran hidup dari sebelumnya pada tahun 1990 sebanyak 97 per kelahiran hidup (Kemenkes, 2011). Hal ini tidak mudah dilakukan mengingat masih tingginya angka kematian balita. Penyebab utama kematian balita di Indonesia adalah diare. Pada tahun 2000, incident rate (IR) diare adalah 301/1.000 dan data terakhir, yaitu pada tahun 2010, sebesar 411/1.000. Terjadi peningkatan sekitar 36,5% dalam 10 tahun ini (Widoyono, 2011). 2 Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia menunjukkan angka kematian diare pada anak balita adalah 6,60/00 per tahun pada tahun 1980, kemudian 3,70/00 (tahun 1985), 2,10/00 (tahun 1992), dan 1,00/00 (tahun 1995). Anak usia di bawah 5 tahun mengalami 2-3 episode diare per tahun. Diperkirakan, kematian anak akibat diare sekitar 200-250 ribu setiap tahunnya. Berdasarkan SKRT, tahun 1986 CFR sebesar 15%, tahun 1990 CFR sebesar 12%. Laporan yang masuk ke Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa setiap anak mengalami serangan diare sebanyak 1,6-2 kali setahun (Widoyono, 2011). Kejadian diare di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012 diperkirakan sebanyak 207.239 penderita dan yang ditangani sebanyak 102.193 penderita atau sebesar 51,2% dari total penderita. Hal ini menunjukkan masih kurangnya penanganan kasus diare di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Dinas Kesehatan Provinsi NTT, 2012) Di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), penyakit diare merupakan penyumbang kematian pada bayi urutan ke 3 setelah gizi buruk dan pneumonia. Pada tahun 2012 kematian akibat diare pada bayi sebanyak 10 kasus. Angka kesakitan diare di Kabupaten TTU tahun 2012 sebesar 19,8/1000 penduduk, meningkat dibandingkan dengan kasus diare pada tahun 2011 (13,61/1000 penduduk). Potensi KLB diare terjadi di 4 wilayah puskesmas dari 26 puskesmas di Kabupaten TTU, yaitu: Puskesmas Nunpene, Puskesmas Noemuti, Puskesmas Oelolok dan Puskesmas Tublopo, 3 dengan jumlah kasus sebanyak 2.145 kasus. Puskesmas Nunpene mengalami KLB diare selama 2 tahun berturut-turut (Dinas Kesehatan Kabupaten TTU, 2012). Cakupan diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Nunpene tahun 2012 sebanyak 739 kasus dari 304 bayi usia 0-6 bulan atau 243%. Hal ini menunjukkan masih tingginya kasus diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Nunpene. Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Nunpene tahun 2012 sebanyak 87 orang dari jumlah bayi usia 0-6 bulan sebanyak 304 orang atau 29%. Hal ini menunjukkan masih rendahnya cakupan ASI yang ada di Puskesmas Nunpene (Puskesmas Nunpene, 2012). Berbagai faktor mempengaruhi kejadian diare, di antaranya faktor lingkungan, faktor balita, faktor ibu dan faktor sosiodemografis. Faktor risiko penyebab diare menurut faktor ibu berupa pengetahuan, perilaku dan higiene ibu. Perilaku hidup bersih yang dilakukan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dalam mencegah terjadinya penyakit diare pada bayi. Rendahnya pengetahuan ibu mengenai hidup sehat merupakan faktor risiko yang menyebabkan penyakit diare pada bayi. Faktor balita berupa status gizi, pemberian ASI eksklusif, imunisasi dan faktor lain (Adisasmito, 2007). Selain itu, ada juga faktor sosial budaya yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif, yaitu kolostrum dianggap sebagai susu basi, ibu harus berhenti menyusui anaknya saat mengetahui dirinya hamil, ibu 4 yang bekerja di luar rumah tidak bisa terus menyusui anaknya, ibu yang kurang gizi tidak bisa menghasilkan ASI yang cukup, cairan tidak boleh diberikan pada bayi yang sakit atau yang terkena diare, bayi menolak untuk disusui secara terus menerus menandakan bayi tidak suka ASI (Kemenkes RI, 2011). Pada tahun 2001, World Health Organization/Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa ASI eksklusif selama 6 bulan pertama hidup bayi adalah yang terbaik. Manfaat ASI eksklusif bagi bayi adalah melindungi dari infeksi gastrointestinal dan tidak menyebabkan kekurangan zat besi. ASI mengandung semua zat gizi dan cairan yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh gizi bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya (WHO, 2001). Menyusui adalah strategi utama untuk pencegahan morbiditas dan mortalitas akibat diare dalam beberapa tahun pertama kehidupan. ASI mengandung zat-zat kekebalan berupa anti infeksi, anti-inflamasi dan fungsi imunoregulator, termasuk antibodi sekretori, oligosakarida, glikokonjugat, laktoferin, leukosit, sitokin, dan zat lainnya (Morrow, 2004). ASI mengandung antibodi yang dapat melindungi bayi terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti virus, bakteri, dan parasit enteropatogen spesifik, termasuk Vibrio cholerae, Shigella spp., Escherichia coli, Campylobacter jejuni dan Giardia lamblia. Tidak memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pada bayi mempunyai risiko untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang diberi ASI eksklusif dan kemungkinan 5 menderita dehidrasi berat juga lebih besar (Lamberti, 2011; Morrow, 2004). Bayi yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai risiko menderita diare 5,7 kali dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif (Nurdina, 2008). ASI adalah standar emas untuk nutrisi pelindung pada bayi baru lahir dan memberi efek perlindungan yang kuat terhadap penyakit menular gastroentritis. Komposisi ASI sesuai dengan kebutuhan bayi yang baru lahir untuk perlindungan aktif dan pasif. ASI terjaga kebersihannya karena langsung diminum tanpa menggunakan wadah, sehingga tidak terkontaminasi oleh kuman. Oleh karena itu, anak-anak yang minum ASI eksklusif jarang menderita diare (Walker, 2010). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Nunpene, Kabupaten TTU, Nusa Tenggara Timur. B. Perumusan Masalah Apakah ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Nunpene Kabupaten TTU, Nusa Tenggara Timur? 6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Nunpene, Kabupaten TTU, Nusa Tenggara Timur. 2. Tujuan khusus Untuk mengetahui hubungan antara pola pemberian ASI, pengetahuan ibu, higiene dan sosial budaya dengan angka kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Nunpene, Kabupaten TTU, Nusa Tenggara Timur. D. Keaslian Penelitian Banyak penelitian yang melakukan studi mengenai hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Menurut pengetahuan penulis, masih belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare di wilayah Kabupaten TTU. Penelitian lain yang serupa membahas variabel lain yang berbeda. Penelitian yang berkaitan dengan pemberian ASI eksklusif dan diare yang sudah pernah dilakukan antara lain adalah: 1. Penelitian dari Fatmaningrum yang berjudul Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan Diare pada Bayi 6-11 Bulan di Desa Ardimulyo, Kecamatan 7 Singosari, Kabupaten Malang tahun 2012 dengan metode cross sectional analytic. Hasilnya menunjukkan bahwa diare pada bayi yang menerima ASI eksklusif lebih rendah bila dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. 2. Penelitian dari Moa yang berjudul Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu dalam Tatalaksana Diare dengan Derajat Keparahan Diare pada Balita di RSUD Ruteng Manggarai tahun 2011 dengan metode cross sectional. Hasilnya menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara perilaku (OR: 4,15) dan sikap (3,34) tentang tatalaksana diare dengan derajat keparahan diare. Pengetahuan ibu tidak berhubungan dengan derajat keparahan diare. 3. Penelitian dari Lamberti, dkk. yang berjudul Breastfeeding and the Risk for Diarrhea Morbidity and Mortality, tahun 2011 dengan metode meta analisis. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak menyusui mengakibatkan risiko kematian akibat diare yang lebih besar dibandingkan dengan ASI eksklusif pada bayi usia 0-5 bulan (RR: 10,52) dan dengan menyusui pada anak usia 6-23 bulan (RR: 2,18). Persamaan penelitian yang dilakukan ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah variabel penelitian. Perbedaannya adalah variabel penelitian lainnya, metode, lokasi, subjek, waktu penelitian dan sosial budaya. Penelitian ini lebih berfokus pada aspek pemberian ASI eksklusif dalam upaya meningkatkan imunitas terhadap kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan. 8 E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi satu pertimbangan dalam penatalaksanaan pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan.