studi awal: gambaran histopatologik pankreas, hepar dan ginjal

advertisement
STUDI AWAL: GAMBARAN HISTOPATOLOGIK
PANKREAS, HEPAR DAN GINJAL TIKUS DIABETES
MELLITUS YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN
DENGAN PEWARNAAN HEMATOKSILIN EOSIN
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
DISUSUN OLEH :
FIIZHDA BAQARIZKY
1112103000039
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurah limpahkan pada Nabi besar Muhammad SAW,
beserta keluarga, sahabat dan umat Islam.
Penelitian ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua
Program Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen Program Studi Pendidikan
Dokter yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya
untuk menempuh masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Selaku dosen pembimbing penelitian saya dr. Devy Ariany, M.Biomed
dan Ibu Nurlaely Mida Rachmawati, M.Biomed, yang selalu membimbing
dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
3. dr. Dyah Ayu Woro Setyaningrum dan dr. Nurmila Sari, M.Kes selaku
dewan penguji penelitian saya, untuk ilmu, waktu dan tenaga dalam
memperbaiki laporan penelitian ini.
4. Kedua orang tua tercinta, Ir. Sabardi dan Dra. Eni Irawati yang selalu
memberikan kasih sayangnya, doa, nasihat, bimbingannya, serta semangat
sepanjang hidup saya.
5. Kedua adik saya Fridam Amrulah Baqarizky dan Nabila Baqarizky yang
selalu memberikan dukungan dan semangatnya untuk menjalani proses
pembelajaran di Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
6. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS selaku penanggungjawab (PJ)
modul riset PSPD 2012, drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku PJ
laboratorium Riset. Ibu Nurlaely Mida R, S.Si, M.Biomed, DMS selaku PJ
Animal house dan Ibu Endah Wulandari, M.Biomed selaku PJ
laboratorium Biokimia, Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed selaku PJ
laboratorium histologi yang telah memberikan izin atas penggunaan lab
pada penelitian ini.
7. Untuk
teman
seperjuangan
penelitian,
Putri
Junitasari,
Galang
Prahanarendra, Fakhri Muhammad Suradi Kartanegara, Abdul Rasyid, M
Imam Alkautsar, Faisal Ravif, M Azharan Alwi.
8. Untuk ka Fadel Askary, Ka Fahrizal Harris Harahap, Pathurrahman dan
Annisa Mardhiyah yang sudah memperbolehkan saya untuk menggunakan
tikus penelitiannya.
9. Seluruh mahasiswa PSPD 2012 yang masih berjuang bersama serta
sahabat saya.
10. Laboran yang terlibat Ibu Ai, Mba Din, Mba Suryani, Mas Rachmadi.
Juga pada Mas Haris, Mas Panji yang sangat membantu berlangsungnya
penelitian ini.
11. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak yang membaca laporan penelitian ini. Akhir kata, semoga peenelitian ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya, bagi peneliti pada
khususnya.
Ciputat, 26 Februari 2015
Penulis
vi
ABSTRAK
Fiizhda Baqarizky. Program Studi Pendidikan Dokter. Studi Awal:
Gambaran Histopatologik Pankreas, Hepar, dan Ginjal Tikus Diabetes
Mellitus yang Diinduksi Streptozotocin dengan Pewarnaan Hematoksilin
Eosin. 2015.
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang terjadi akibat defisiensi atau
ketidakekfektifan dari insulin yang diproduksi oleh pankreas. Penyakit ini akan
berdampak negatif dalam jangka panjang terhadap organ-organ lain seperti hepar
dan ginjal. Streptozotocin (STZ) merupakan antimikroba yang disintesis dari
mikroorganisme tanah yaitu Streptomyces achromogenes. STZ ini bersifat toksik
selektif terhadap sel β pankreas sehingga dapat merusak fungsi dan struktur sel
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologik
akibat pemberian STZ 60 mg/kgBB single dose secara intraperitoneal pada organ
pankreas, hepar dan ginjal tikus DM dengan menggunakan pewarnaan
Hematoksilin Eosin (HE). Hasil penelitian ini menunjukkan pada tikus yang
diberikan STZ terjadi perubahan bentuk nukleus sel β pankreas menjadi tidak
beraturan sebagai bentuk proses nekrosis, perubahan ukuran nukleus hepatosit
menjadi lebih besar dan perubahan ukuran glomerulus yang menjadi lebih besar
serta susunan epitel yang tidak beraturan pada tubulus tikus. Dapat disimpulkan
bahwa STZ dapat memberikan gambaran patologis pada organ pankreas, hepar
dan ginjal tikus DM dengan menggunakan pewarnaan HE.
Kata kunci: Streptozotocin, histopatologik, pankreas, hepar, ginjal, DM, tikus
ABSTRACT
Fiizhda Baqarizky. Medical Education Study Program. Preliminary Study:
Histopathological Overview of Pancreas, Liver, and Renal in StreptozotocinInduced Diabetes Mellitus Rats Using Hematoxylin Eosin Stainning. 2015.
Diabetes Mellitus (DM) is a disease caused by deficiency or ineffective of insulin
produced by the pancreas. The disease will have a negative impact to the other
organs such as the liver and the kidney chronically. Streptozotocin (STZ) is an
antimicrobial which synthesized from the soil microorganism called Streptomyces
achromogenes. STZ is selectively toxic to pancreatic β cells which could damage
the function and structure of its. This study aims to describe histopathological of
pancreas, liver, and renal diabetic rats after injected by STZ 60 mg/kgBB single
dose administration intraperitoneally using Hematoxylin Eosin (HE). The results
of this study shows that the nucleus of pancreatic β cells diabetic rats deformed
become irregular as a form of necrosis processes, the nucleus of hepatocytes and
the glomerulus of diabetic rats become larger and the arrangement of tubular
epithelial diabetic rats become irregular. It concluded that the STZ provides
pathological features in the pancreas, liver, and renal diabetic rats using HE
staining.
Key word: Streptozotocin, histopathologic, pancreas, liver, renal, DM, mice
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ABSTRAK ....................................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
DAFTAR TABEL ........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
ii
iii
iv
v
vii
viii
x
xi
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ...............................................................................
1.2 Rumusan masalah ..........................................................................
1.3 Hipotesis ........................................................................................
1.4 Tujuan penelitian ...........................................................................
1.5 Manfaat penelitian .........................................................................
1.5.1 Bagi peneliti .........................................................................
1.5.2 Bagi institusi ........................................................................
1
3
3
3
4
4
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan teori …...........................................................................
2.1.1 Diabetes Mellitus ...............................................................
2.1.2 Epidemiologi DM ..............................................................
2.1.3 Klasifikasi DM …...…........................................................
2.1.4 Patofisiologi DM ................................................................
2.1.4.1. Patofisiologi DM Tipe 1 .......................................
2.1.4.2. Patofisiologi DM Tipe 2 .......................................
2.1.5 Diagnosis DM ....................................................................
2.1.6 Streptozotocin ….................................................................
2.1.7 Gambaran Histologi Pankreas ............................................
2.1.8 Gambaran Histologi Hepar ................................................
2.1.9 Gambaran Histologi Ginjal ................................................
2.2 Kerangka Teori …...….................................................................
5
5
5
6
7
8
9
9
12
13
13
13
15
BAB 3 METODE PENELITIAN
1.1 Desain Penelitian ...........................................................................
1.2 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................
1.2.1 Waktu Penelitian ..............................................................
1.2.2 Tempat Penelitian ............................................................
1.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................
1.3.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .........................................
1.3.1.1 Kriteria Inklusi ...................................................
1.3.1.2 Kriteria Eksklusi ................................................
1.4 Cara Kerja Penelitian ....................................................................
16
16
16
16
16
17
18
18
18
viii
1.4.1
1.4.2
1.4.3
1.4.4
1.4.5
Alat dan Bahan Penelitian ....................................................
Adaptasi Hewan Coba …......................................................
Tahap Induksi STZ …………………..................................
Tahap Nekropsi …………………........................................
Tahap Pemrosesan Jaringan ...............................................
3.4.5.1 Dehidrasi ….............................................................
3.4.5.2 Clearing …..............................................................
3.4.5.3 Embedding ….........................................................
3.4.5.4 Blocking ….............................................................
3.4.6 Pemotongan Jaringan …........................................................
3.4.7 Tahap Pewarnaan HE ….......................................................
3.4.8 Foto Jaringan …....................................................................
1.5 Alur Penelitian ……………........................................................
18
19
19
19
20
20
20
21
21
21
22
23
23
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pankreas ...…….....………...……...….…...…....………………
4.2 Hepar ………...............................................................................
4.3 Ginjal ……....................................................................................
25
27
30
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ........................................................................................
5.2 Saran ..............................................................................................
34
34
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
LAMPIRAN ..................................................................................................
35
38
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi DM .................................................................
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM ………………………...............................
Tabel 4.1 Data Morfologi Pulau Langerhans Tikus Kontrol Negatif ..........
Tabel 4.2 Data Morfologi Pulau Langerhans Tikus Kontrol Positif ............
Tabel 4.3 Data Morfologi Hepatosit Tikus Kontrol Negatif ........................
Tabel 4.4 Data Morfologi Hepatosit Tikus Kontrol Positif .........................
Tabel 4.5 Data Morfologi Ginjal Tikus Kontrol Negatif .............................
Tabel 4.6 Data Morfologi Ginjal Tikus Kontrol Positif ..............................
Tabel 6.1 Rata-rata Glukosa Darah Tikus ....................................................
x
6
10
25
26
28
28
30
31
46
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Langkah-langkah diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa …………………………………………………………………...
Gambar 4.1.a Pankreas tikus kontrol negatif (1) 20x ..………….................
Gambar 4.1.b Pankreas tikus kontrol positif (1) 20x ...................................
Gambar 4.1.c Pankreas tikus kontrol negatif (1) 40x ..................................
Gambar 4.1.d Pankreas tikus kontrol positif (1) 40x ……………...............
Gambar 4.2.a Hepar tikus kontrol negatif (1) 20x ………….......................
Gambar 4.2.b Hepar tikus kontrol positif (1) 20x …………………............
Gambar 4.2.c Hepar tikus kontrol negatif (1) 40x (insert: hepatosit) ……..
Gambar 4.2.d Hepar tikus kontrol positif (1) 40x (insert: hepatosit) .........
Gambar 4.3.a Ginjal tikus kontrol negatif (1) 20x ....................................
Gambar 4.3.b Ginjal tikus kontrol positif (1) 20x ……………..................
Gambar 4.3.c Ginjal tikus kontrol negatif (1) 40x …….............................
Gambar 4.3.d Ginjal tikus kontrol positif (1) 40x ……………..................
Gambar 4.3.e Ginjal tikus kontrol negatif (1) 40x (insert: T. kontortus) .....
Gambar 4.3.f Ginjal tikus kontrol positif (1) 40x (insert: T. kontortus) …..
Gambar 6.1 Surat Keterangan Tikus Sehat ................................................
Gambar 6.2 Proses sampel penelitian ........................................................
Gambar 6.3 Proses anastesi hewan coba ....................................................
Gambar 6.4 Proses nekropsi .......................................................................
Gambar 6.5 Proses dehidrasi ......................................................................
Gambar 6.6 Proses clearing .......................................................................
Gambar 6.7 Proses embedding ...................................................................
Gambar 6.8 Proses blocking ......................................................................
Gambar 6.9 Pemotongan jaringan .............................................................
Gambar 6.10 Set pewarnaan hematoksilin eosin .......................................
Gambar 6.11 Pankreas Tikus Kontrol Negatif 2 ........................................
Gambar 6.12 Pankreas Tikus Kontrol Negatif 3 ........................................
Gambar 6.13 Pankreas Tikus Kontrol Negatif 4 ........................................
Gambar 6.14 Pankreas Tikus Kontrol Negatif 5 ........................................
Gambar 6.15 Pankreas Tikus Kontrol Negatif 6 ........................................
Gambar 6.16 Pankreas Tikus Kontrol Positif 2 ........................................
Gambar 6.17 Pankreas Tikus Kontrol Positif 3 ........................................
Gambar 6.18 Pankreas Tikus Kontrol Positif 4 ........................................
Gambar 6.19 Pankreas Tikus Kontrol Positif 5 ........................................
Gambar 6.20 Pankreas Tikus Kontrol Positif 6 ........................................
Gambar 6.21 Hepar Tikus Kontrol Negatif 2 ............................................
Gambar 6.22 Hepar Tikus Kontrol Negatif 3 ............................................
Gambar 6.23 Hepar Tikus Kontrol Negatif 4 ............................................
Gambar 6.24 Hepar Tikus Kontrol Negatif 5 ............................................
Gambar 6.25 Hepar Tikus Kontrol Negatif 6 ...........................................
Gambar 6.26 Hepar Tikus Kontrol Positif 2
...........................................
Gambar 6.27 Hepar Tikus Kontrol Positif 3
...........................................
Gambar 6.28 Hepar Tikus Kontrol Positif 4
...........................................
Gambar 6.29 Hepar Tikus Kontrol Positif 5 ............................................
xi
11
27
27
27
27
29
29
29
29
32
32
32
32
32
32
38
39
39
39
39
40
40
40
40
40
41
41
41
41
41
41
42
42
42
42
42
42
43
43
43
43
43
43
44
Gambar 6.30 Hepar Tikus Kontrol Positif 6
Gambar 6.31 Ginjal Tikus Kontrol Negatif 2
Gambar 6.32 Ginjal Tikus Kontrol Negatif 3
Gambar 6.33 Ginjal Tikus Kontrol Negatif 4
Gambar 6.34 Ginjal Tikus Kontrol Negatif 5
Gambar 6.35 Ginjal Tikus Kontrol Negatif 6
Gambar 6.36 Ginjal Tikus Kontrol Positif 2
Gambar 6.37 Ginjal Tikus Kontrol Positif 3
Gambar 6.38 Ginjal Tikus Kontrol Positif 4
Gambar 6.39 Ginjal Tikus Kontrol Positif 5
Gambar 6.40 Ginjal Tikus Kontrol Positif 6
xii
............................................
............................................
............................................
............................................
............................................
............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
.............................................
44
44
44
44
44
45
45
45
45
45
45
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Tikus Sehat ....................................................
Lampiran 2 Gambar Proses Penelitian .........................................................
Lampiran 3 Hasil Preparat ...........................................................................
Lampiran 4 Pengukuran Glukosa Darah Tikus ............................................
Lampiran 5 Riwayat Penulis ........................................................................
xiii
38
39
41
46
47
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pola hidup yang tidak sehat di era globalisasi saat ini dapat menyebabkan
angka non-communicable disease meningkat, salah satunya Diabetes Mellitus
(DM). Menurut American Diabetes Association pada tahun 2010, DM adalah
suatu kelompok dari penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah di atas nilai normal yang disebabkan oleh terganggunya sekresi
insulin, kerja insulin itu sendiri ataupun keduanya.1 Berdasarkan data World
Health Organization (WHO) tahun 2010, bahwa akan ada 220 juta orang di dunia
yang terkena diabetes di tahun 2004 dan memperkirakan bahwa angka kematian
akibat diabetes akan berlipat ganda antara tahun 2005 dan 2030.2 Sedangkan
menurut International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2013 ini terdapat
382 juta orang di dunia yang hidup dengan diabetes di rentang usia 40-59 tahun
dan 80% dari mereka berasal dari low- and middle-income countries. IDF
memperkirakan bahwa di akhir tahun 2013 nanti penyakit diabetes ini akan
menyebabkan 5,1 juta kematian dan bila tidak segera ditindaklanjuti pada 25
tahun yang akan datang akan menyebabkan kenaikan angka diabetes sebanyak
592 juta orang.3
Berdasarkan hasil dari penelitian Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 pada
penduduk dengan usia ≥ 15 tahun, didapatkan 36,6% atau sepertiga dari jumlah
penduduk mengalami gula darah puasa terganggu dan 29,2% dari jumlah
penduduk mengalami tes toleransi glukosa dimana bila tidak ditindak lanjuti akan
berkembang menjadi DM.4 Sedangkan menurut hasil penelitian dari Badan Pusat
Statistik Indonesia tahun 2003 prevalensi penduduk dengan usia diatas 20 tahun
sebanyak 133 juta yang menderita DM sebanyak 8,2 juta penduduk (14,7%) pada
daerah urban dan 5,5 juta penduduk (7,2%) pada daerah rural. Kemudian
diperkirakan pada tahun 2030 sebanyak 194 juta penduduk yang berusia di atas
2
20 tahun yang menderita DM bertambah menjadi 12 juta penduduk di daerah
urban dan 8,1 juta penduduk di daerah rural.5
Peran insulin sangatlah penting dalam proses metabolisme glukosa,
karena insulin bertugas dalam memecah glukosa yang diserap ke dalam tubuh
menjadi glikogen untuk disimpan sebagai cadangan makanan. Insulin disintesis di
dalam sel β pankreas tepatnya di retikulum endoplasma. Insulin akan disekresikan
bila ada rangsangan berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah. Kemudian
insulin akan berikatan dengan insulin receptors substrate di membran sel jaringan
perifer dan ikatan antara insulin dengan reseptor tersebut akan menghasilkan
sinyal untuk regulasi dan proses metabolisme glukosa di dalam sel. Namun,
regulasi dan proses metabolisme glukosa juga dilakukan di jaringan hepar.6
Jaringan hepar juga melakukan proses homeostasis kadar glukosa dalam
tubuh khususnya kadar glukosa puasa dimana jumlah glukosa endogen yang
berasal dari hasil glukoneogenesis dan glikogenolisis meningkat. Dalam keadaan
ini insulin berperan pada efek inhibisi kerja metabolisme tersebut. Bila terjadi
resistensi insulin maka kemampuan dalam menginhibisi glukoneogenesis dan
glikogenolisis akan semakin menurun sehingga terjadi peningkatan produksi
kadar glukosa darah dari hepar.6 Kadar glukosa yang meningkat dapat
menyebabkan gangguan metabolisme lainnya dan menghasilkan radikal bebas.
Radikal bebas ini dapat merusak sel-sel yang ada di tubuh kita seperti pada hepar
dan ginjal. Selain berfungsi untuk homeostasis glukosa dalam tubuh, hepar juga
berfungsi sebagai penghancur zat toksik dimana salah satunya adalah radikal
bebas sehingga sel-sel hepar berpeluang terjadi kerusakan akibat akumulasi zat
tersebut. Selain itu radikal bebas juga akan merusak sel endotel dalam tubuh.
Ginjal merupakan organ yang dipenuhi oleh pembuluh darah. Bila sel endotel
pada pembuluh darah telah dirusak oleh radikal bebas maka kemungkinan fungsi
kerja ginjal akan menurun.9
3
Streptozotocin
(STZ,
2-deoxy-2-(3-(methyl-3-nitrosoureido)-D-
glucopyranose) adalah antimikroba yang disintesis dari mikroorganisme tanah
yaitu Streptomyces achromogenes.7 STZ juga merupakan senyawa glucosaminenitrosurea yang bersifat toksik karena dapat merusak DNA. Zat ini dapat masuk
ke dalam sel β pankreas dengan bantuan GLUT-2 sehingga bersifat selektif-toksik
terhadap sel-sel tersebut. Ketika DNA sel tersebut sudah rusak maka akan
mengaktivasi poli ADP-ribosilase dan pada akhirnya akan terbentuk radikal bebas
yang dapat merusak sel β pankreas.8 Menurut penelitian Muhammad Zafar dan
Syed Naeem-ul-Hassan Naqvi tahun 2010 dijelaskan bahwa pada pemberian STZ
dengan dosis 45 mg/kgBB, yang dilarutkan dengan dapar natrium sitrat pada pH
4,5, mengakibatkan peningkatan berat hepar dan ginjal serta penurunan berat
pankreas. Hal tersebut membuktikan bahwa STZ dapat merusak sel-sel pankreas
yang akan memberikan dampak kerusakan metabolisme pada hepar dan ginjal.13
Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian mengenai perubahan
gambaran histopatologik organ hepar, pankreas dan ginjal menggunakan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dengan cara menginduksikan STZ kepada
tikus strain Sprague dawley untuk membuat kondisi tubuhnya mengalami DM.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran histopatologik pada organ pankreas, hepar, dan ginjal
tikus DM yang telah diinduksi STZ dengan pewarnaan HE?
1.3 Hipotesis
Terdapat perubahan gambaran histopatologik pada organ pankreas, hepar dan
ginjal tikus DM yang telah diinduksi STZ dengan pewarnaan HE.
1.4 Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran histopatologik akibat pemberian STZ pada organ pankreas,
hepar dan ginjal tikus DM dengan pewarnaan HE.
4
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1
Bagi Peneliti
1. Menambah pengetahuan mengenai pengaruh pemberian STZ terhadap
organ pankreas, hepar dan ginjal
2. Menambah pengalaman dan mengasah keterampilan dalam melakukan
histoteknik
3. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran
pada Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
1.5.2
Bagi Institusi
Menjadi bahan acuan dalam penyusunan protokol histoteknik di
Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga dapat digunakan oleh peneliti lain.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit gangguan
metabolik yang menimbulkan kondisi tubuh menjadi hiperglikemia.9 Menurut
WHO tahun 2010, DM merupakan penyakit kronik akibat dari pankreas yang tidak
dapat memproduksi insulin yang cukup atau kondisi dimana tubuh penderita tidak
dapat menggunakan insulin.2
2.1.2
Epidemiologi DM
Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF), Diabetes Atlas 6th
edition tahun 2013, dari total 328 juta orang yang mengalami diabetes berusia
kisaran 40 hingga 59 tahun dan 80% dari mereka hidup di negara dengan
penghasilan menengah kebawah. Penyumbang angka penderita diabetes
kemungkinan akan meningkat, khususnya diabetes mellitus tipe 2, sebanyak 55%
pada tahun 2035. Diabetes Mellitus dapat ditemukan di semua negara. Pada tahun
2013 terdapat 10 negara dengan penderita diabetes terbanyak yaitu China, India,
USA, Brazil, Rusia, Meksiko, Indonesia, German, Mesir dan yang terakhir adalah
Jepang.3
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan analisis yang merujuk pada American
Diabetes Association (ADA) 2011 dan gejala klasik DM didapatkan bahwa dari
penduduk Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun sebanyak 6,9% menderita DM. Dari
keseluruhan jumlah penduduk Indonesia 7,7% perempuan dan 5,6% laki-laki
terdiagnosis DM. Maka bisa kita simpulkan bahwa penderita DM lebih banyak
terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.4
6
2.1.3
Klasifikasi DM
Klasifikasi diabetes mellitus menurut NIH Diabetes Data Group tahun
1979 dibagi berdasarkan terapi farmakologinya yaitu Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) dan Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Namun pada tahun 1997, klasifikasi tersebut dianggap tidak mewakili dari proses
patogenesis dan etiologi dari tiap jenis DM. Maka beberapa komite diabetologis
internasional menyarankan untuk merubah klasifikasi DM yang sudah disahkan
oleh ADA dan WHO, berdasarkan pathogenesis dan etiologinya yaitu10:
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi DM
Tipe 1
Tipe 2
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut

Autoimun

Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain

Defek genetik fungsi sel beta

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes mellitus gestasional
Sumber: PERKENI, 2011
Diabetes Mellitus Tipe 1 merupakan keadaan hiperglikemia yang
diakibatkan terjadinya destruksi sel β pankreas. Penyebab destruksi sel β pankreas
dibagi menjadi dua yaitu, 95% dari seluruh kasus DM Tipe 1 disebabkan oleh
autoimun dan kurang dari 5% oleh idiopatik. DM Tipe 1 ini bisa dikatakan sebagai
gangguan proses katabolisme karbohidrat dimana insulin tidak ada di sirkulasi
7
darah, glukagon plasma meningkat dan sel β pankreas gagal untuk merespon
stimulasi insulinogenik. Akibat tidak adanya insulin, hepar, otot dan lemak tidak
dapat mengabsorbsi nutrisi serta tidak dapat melanjutkan distribusi glukosa, asam
amino dan asam lemak ke dalam sirkulasi darah. Hal tersebut berdampak pada
terbentuknya benda keton. Sehingga pada penderita DM Tipe 1 sangat bergantung
pada pemberian insulin setiap harinya. Biasanya DM Tipe 1 ini terjadi pada anakanak atau remaja muda dengan puncak kejadian saat usia anak belum bersekolah
dan lagi sekitar masa pubertas.10
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan kelompok penyakit heterogen
ditandai dengan adanya resistensi insulin, gangguan sekresi insulin dan
peningkatan produksi glukosa. Resistensi insulin bisa diakibatkan oleh faktor
penuaan, gaya hidup dan obesitas sentral. Maka dari itu penderita DM Tipe 2 ini
tidak selalu mutlak membutuhkan insulin untuk seumur hidup, bahkan bisa dengan
cara memberikan obat anti diabetes (OAD). Biasanya DM Tipe 2 terjadi pada
orang dewasa berumur lebih dari 40 tahun dengan berbagai macam derajat
obesitas. 10
Diabetes Gestasional adalah diabetes yang terjadi saat kehamilan.
Intoleransi glukosa mungkin terjadi saat hamil dan berhubungan dengan resistensi
insulin dimana akan terjadi perubahan metabolisme pada akhir kehamilan. Usia
akhir kehamilan merupakan saat-saat dimana kebutuhan insulin meningkat
sehingga bila terjadi diabetes akan menyebabkan gangguan toleransi glukosa. 10
2.1.4
Patofisiologi DM
Diabetes Mellitus dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik,
faktor lingkungan dan gaya hidup. Berdasarkan dari etologinya, kondisi
hiperglikemia dapat disebabkan oleh penurunan sekresi insulin, peningkatan
penggunaan glukosa dan peningkatan produksi glukosa. Gangguan metabolisme
8
dengan DM dapat menyebabkan kelainan sekunder pada beberapa sistem organ
sehingga dapat mempersulit pengobatan.9
2.1.4.1
Patofisiologi DM Tipe 1
Diabetes tipe ini terjadi akibat destruksi autoimun sel beta. Terdapat
tiga mekanisme yang saling berkaitan dalam peran mendestruksi sel β
pankreas, yaitu kerentanan genetik, autoimunitas, dan pengaruh lingkungan.
Pada mekanisme kerentanan genetik, lokus yang berperan pada DM Tipe 1
terletak pada kromosom 6p21. Di dalam lokus tersebut terdapat gen MHC
kelas II (HLA-DP, -DQ, -DR) yang menentukan kerentanan dan resistensi
terhadap DM Tipe 1. Dari kelompok gen MHC kelas II tersebut, alel spesifik
gen HLA-DQA1 dan HLA-DQB1 yang memiliki pengaruh terkuat pada efek
kerentanan terhadap DM Tipe 1 karena alel tersebut mengkode suatu asam
amino selain aspartat pada posisi 57 di rantai β molekul HLA. Dimana
aspartat yang terletak pada posisi tersebut memiliki peran penting sebagai
protektor terhadap diabetes, contohnya pada alel spesifik gen HLA-DR2.
Namun, mekanisme gen HLA-DR dan HLA-DQ dalam mempengaruhi
kerentanan terhadap DM Tipe 1 masih belum jelas.18
Kelompok MHC kelas II tersebut akan mengekspresikan antigen
pada permukaan membran sel makrofag dan limfosit B. MHC kelas II
berikatan dengan peptida dari antigen kemudian membawanya untuk
berikatan dengan reseptor sel T di permukaan membran sel limfosit T
CD4+.9,18 Kemudian Limfosit T akan menstimulasi sekresi sitokin dan terjadi
insulitis. Sel β pankreas peka terhadap efek toksik dari beberapa sitokin yaitu
TNF-α, interferon γ dan IL-1. Ketika seluruh sel β pankreas terdestruksi,
pulau Langehrans menjadi atrofi dan marker imunologis menghilang.
Semakin lama proses ini terjadi, semakin menurun jumlah dari sel β pankreas.
Ketika 80% sel β pankreas sudah terdestruksi dan berkurangnya produksi
insulin maka sudah dapat dikatakan bahwa pasien telah mengalami diabetes.
Respon imun pada DM Tipe 1 termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV.9,10,19
9
Selain akibat kerentanan genetik, DM Tipe 1 ini juga dapat
disebabkan oleh adanya reaksi autoimun. Berbagai autoantibodi terhadap sel
islet muncul saat anak menginjak usia 9 bulan. Diantara berbagai antigen
intrasel
yang
menjadi
sasaran
autoantibodi
adalah
asam
glutamat
dekarboksilase (GAD), insulin dan beberapa protein sitoplasma lainnya. Lalu,
faktor lingkungan juga dapat memicu reaksi autoimun dengan merusak sel β
pankreas. Contohnya seperti infeksi oleh coxsackievirus B, parotitis, campak,
rubella. Berkaitan dengan DM Tipe 1 karena timbulnya responimun terhadap
suatu protein virus yang memiliki susunan asam amino yang sama degan
suatu protein sel β pankreas.19
2.1.4.2 Patofisiologi DM Tipe 2
Diabetes Mellitus Tipe 2 ditandai dengan adanya 3 proses
patofisiologi diantaranya (1) terganggunya sekresi insulin;
(2) resistensi
insulin di jaringan perifer; (3) peningkatan produksi glukosa dari hepar.
Obesitas adalah hal yang paling sering muncul pada DM Tipe 2 karena
adiposit menyekresikan produk biologis seperti leptin, TNF-α, asam lemak
bebas, resistin dan adiponektin dimana produk tersebut berfungsi untuk
memodulasi sekresi insulin, kerja insulin dan berat badan yang akan
menyebakan resistensi insulin. Secara pathogenesis, resistensi insulin
diakibatkan oleh adanya kerusakan pada sinyal PI-3-kinase, dimana akan
menurunkan translokasi GLUT4 ke membran plasma. Akibat dari resistensi
insulin, tubuh kita tidak dapat mengabsorbsi dan menggunakan glukosa yang
masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan kondisi hiperglikemia dan
terjadi perubahan metabolisme tubuh.9
2.1.5
Diagnosis DM
Penegakkan diagnosis DM dilakukan dengan cara pemeriksaan kadar
glukosa darah menggunakan plasma darah vena atau whole blood. Keluhankeluhan klasik DM adalah:
10
1. Poliuria
2. Polidipsi
3. Polifagia
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
5. Keluhan lain berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Menurut PERKENI tahun 2011 diagnosis DM dapat ditegakkan dengan
tiga cara, yaitu:
1. Keluhan klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL
2. Keluhan klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan memberikan 75 gram
glukosa.
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
(Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir)
Atau
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
(Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam)
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
(TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.)
*Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria
diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik.
Sumber: PERKENI, 2011.
11
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT)
atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
1. TGT: Diagnosis TGT dapat ditegakkan bila setelah pemeriksaan
TTGO didapat hasil glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L)
2. GDPT: Diagnosis GDPT dapat ditegakkan bila hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9
mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
Gambar 2.1 Langkah-langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa
Sumber: PERKENI, 2011.
12
2.1.6
Streptozotocin
Streptozotocin (STZ) atau 2-Deoxy-2-[[(methylnitrosoamino)-carbonyl]
amino]-D-glucopyranose adalah salah satu agen diabetogenik dengan kemampuan
toksiknya yang dapat mendestruksi sel β pankreas. Secara struktur, STZ adalah
derivat N-nitrosurea dari D-glukosamin yang diisolasi dari Streptomyces
achromogenes.11 STZ ini dapat disebut juga sebagai salah satu agen antineoplastik sintetik yang digunakan untuk obat kemoterapi pada kanker, khususnya
kanker pulau Langerhans pankreas.12
Menurut Mafee dan Swann tahun 1969, STZ memiliki banyak sekali
pengaruh terhadap proses biologis yaitu seperti produksi kerusakan sel akut dan
kronik, karsinogenik, teratogenik dan mutagenesis. Biasanya zat ini digunakan
untuk menginduksi hewan percobaan menjadi mirip dengan kondisi diabetes.
Dosis yang sering digunakan antara 40-60 mg/kg intravena namun efektif juga
melalui intraperitoneal degan dosis yang sama. Kerja dari STZ ini secara langsung
membuat kerusakan pada proses degranulasi dan menurunkan kapasitas sekresi
insulin pada sel β pankreas dengan menggunakan GLUT-2 sehingga dapat
menyebabkan kerusakan DNA.13,14
Saat STZ berada dalam sel, akan meningkatkan guanilil siklase dan
menambah formasi cGMP dan membebaskan nitrit oksida. Nitrit oksida
merupakan stres oksidatif yang dapat merusak sel. Kemudian adanya defosforilasi
ATP meningkatkan substrat xantin oksidase dimana sel β sangat peka terhadap
enzim ini. Xantin oksidase akan memproduksi hidrogen peroksida dan radikal
hidroksil. Akhirnya gabungan antara nitrit oksida dan macam-macam zat oksigen
reaktif tersebut mengakibatkan fragmentasi DNA.8 Selain itu, STZ dapat merusak
DNA dengan proses metilasi DNA yang akan membentuk ion karbonium (CH3+)
kemudian mengaktifkan enzim poly ADP-ribose synthetase (PARP). Dengan
adanya aktivasi dari PARP, dalam upaya memperbaiki DNA yang rusak, akan
menyebabkan deplesi NAD+ dan persediaan ATP yang akhirnya terjadi nekrosis
dari sel β pankreas.17
13
2.1.7. Gambaran Histologi Pankreas
Organ pankreas terdiri atas eksokrin dan endokrin. Bagian sel-sel
endokrin membentuk Pulau Langerhans.15 Pulau Langerhans dikelilingi oleh
jaringan ikat retikulin dan berada tersebar di antara asini, yaitu bagian eksokrin
pankreas. Diameter pulau Langerhans sebesar 0,1-0,2 mm dan di dalamnya berisi
ribuan sel. Pulau Langerhans biasanya berbentuk egg-shaped dan terdiri atas selsel yang berbentuk poligonal atau bulat. 16,20 Pulau Langerhans tampak lebih pucat
dibandingkan dengan area eksokrin karena tidak memiliki granul zimogen. 16,22
Bagian eksokrin dari pankreas dibagi menjadi beberapa lobus oleh septa
jaringan ikat. Lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa lobulus oleh sedikit
jaringan ikat dan tidak memiliki batas yang tegas.16 Bagian eksokrin terdiri atas
sel-sel asiner yang berbentuk piramid dan memiliki inti sel di bagian basal.
Karakteristik sel asiner adalah sitoplasma dengan sifat basofilik terang pada
bagian basal dan asidofilik granul zimogen pada bagian apeks.20,22
2.1.8. Gambaran Histologi Hepar
Berdasarkan teori, sel parenkim hepar terdiri atas hepatosit. Hepar dibagi
menjadi lobus dan dibagi lagi menjadi lobulus oleh jaringan ikat yang disebut
kapsula Gibson. Lobulus hepar terdiri dari beberapa sinusoid bersatu pada vena
sentralis pada bagian tengah. Vena sentralis ini tersusun atas sel-sel endotel. Di
daerah antara lobulus dapat ditemukan portal triad yang terdiri dari vena porta,
arteri hepatica, pembuluh limfe, dan duktus biliaris.16 Hepatosit berbentuk
polihedral dengan diameter 20-30 µm dengan susunan dari perifer ke medial
menuju vena sentralis. Diantara dua barisan hepatosit terbentuk sebuah saluran
yang disebut kanalikuli biliaris. Kanalikuli ini tidak memiliki endotel. Hepatosit
memiliki nukleus yang berbentuk bulat dan besar yang letaknya di tengah sel.22
2.1.9. Gambaran Histologi Ginjal
Ginjal secara mikroskopik dibagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan
medulla. Di dalam bagian tersebut terdapat tubulus uriniferus yang terdiri atas
14
nefron dan duktus kolektivus. Nefron tersusun atas glomerulus, kapsula Bowman,
tubulus kontortus proksimal, Ansa Henle, dan tubulus kontortus distal. Bagian
korteks itu sendiri terdiri atas glomerulus, kapsula Bowman dan tubulus kontortus
(Gambar 4.5). Sedangkan medulla terdiri atas segmen piramid yang berisikan
Ansa Henle dan tubulus kolektivus.16
Bagian pertama nefron dimulai dengan kapsula Bowman yang merupakan
ruang sempit berbentuk piala antara lapisan viseralis dan lapisan parietalis yang
mana akan dilewati ultrafiltrat. Kapsula Bowman membungkus glomerulus.
Glomerulus merupakan anastomosis kapiler-kapiler fenestrata yang berasal dari
arteri renalis, dimana sel endotel kapiler tersebut membentuk taut yang erat dan
dikelilingi oleh membran basalis hingga membentuk suatu kumpulan yang dapat
diidentifikasi di bawah mikroskop.16
Setelah melalui glomerulus dilanjutkan ke tubulus kontortus proksimal.
Tubulus kontortus proksimal memiliki epitel selapis kubus dengan brushborder
yang jelas. Bila dilihat dibawah mikroskop, lumen tubulus kontortus proksimal
terlihat penuh atau kotor. 16
Tubulus kontortus distal tersusun atas epitel selapis kubus yang tidak
memiliki brushborder. Sehingga pada gambaran di bawah mikroskop lumen
duktus akan terlihat bersih. 16
15
2.2 Kerangka Teori
16
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1.
Desain Penelitian
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah desain eksperimental
laboratorium.
3.2.
Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2014.
3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal House, Laboratorium
Biokimia, Laboratorium Biologi, Laboratorium Farmakologi, Laboratorium
Histologi, dan Laboratorium Riset Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jl.
Kertamukti No. 05, Pisangan Ciputat 15419, Tangerang Selatan.
3.3.
Populasi dan Sampel Penelitian
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus jantan strain
Sprague dawley umur 80 hari dengan berat badan rata-rata 180-200 gram. Hewan
coba diperoleh dari Departemen Patologi Institut Pertanian Bogor. (Lampiran 1)
Pada penelitian ini organ yang digunakan sebagai sampel adalah hepar, pankreas
dan ginjal dari 2 kelompok hewan percobaan, yaitu:
1. Kelompok I adalah tikus yang tidak diinduksi STZ sebanyak 6 ekor
2. Kelompok II adalah tikus yang diinduksi STZ 60 mg/kgBB sebanyak 6 ekor
Hewan percobaan yang digunakan sebagai sampel berasal dari hewan
percobaan yang digunakan oleh Fadel dkk tahun 2014 dengan jumlah hewan
penelitian 30 tikus yang merupakan jumlah minimal hewan coba sesuai dengan
rumus Federer. Setelah dilakukan terapi ekstrak Nigella sativa selama 3 minggu,
17
jumlah hewan dalam penelitian yang tersisa 24 ekor. 6 ekor mati setelah proses
induksi Streptozotocin dan selama penelitian berlangsung. 24 hewan penelitian
yang tersisa masing-masing adalah: 9 hewan untuk kontrol negatif, 7 hewan untuk
kontrol positif dan 8 hewan untuk kelompok terapi. Kematian hewan penelitian
diduga antara lain akibat efek toksisitas pada Streptozotocin, keadaan Animal
House yang kurang higinis dan banyaknya orang yang sering keluar masuk
Animal House. Hal ini dapat menyebabkan hewan coba rentan terkena infeksi dan
stress.26
Pada penelitian ini hanya menggunakan 2 kelompok yaitu kontrol negatif dan
induksi STZ. Besar sampel ditentukan dengan rumus Mead’s Resource Equation
Formula, sebagai berikut27:
E=N-B–T
E = Error Component (10-20)
N = Jumlah individu percobaan (sampel) dalam semua kelompok (dikurang 1)
B = Blocking Component (dikurang 1)
T = Jumlah kelompok terapi (dikurang 1)
E=N–0–T
E=N–0–T
≥ 10 = (N – 1) – (T – 1)
≤ 20 = (N – 1) – (T – 1)
≥ 10 = (N – 1) – (2 – 1)
≤ 20 = (N – 1) – (2 – 1)
≥ 10 = (N – 1) – 1
≤ 20 = (N – 1) – 1
≥ 10 = N – 2
≤ 20 = N – 2
N ≥ 12
N ≤ 18
Jumlah total sampel adalah 12 ekor yang masih dalam rentang 12-18 ditambah
10% menjadi 14 ekor, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kontrol negatif dan
induksi STZ. Setiap kelompok terdiri dari 7 ekor tikus jantan strain Sprague
dawley
3.3.1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
18
3.3.1.1. Kriteria Inklusi

Tikus jantan strain Sprague dawley yang sehat

Berat badan 180-200 gr

Kontrol negatif dengan glukosa darah < 200 mg/dL

Kontrol positif dengan glukosa darah > 200 mg/dL
3.3.1.2. Kriteria Eksklusi

Tikus jantan strain Sprague dawley yang mati selama proses
induksi STZ dan perlakuan
3.4.
Cara Kerja Penelitian
3.4.1. Alat dan Bahan Penelitian
a. Tahap Nekropsi
Kapas, minor set surgeon, papan potong, zipline plastic bag, dan ether
untuk anastesi
b. Tahap Fiksasi
Formalin-PBS 10%
c. Tahap Dehidrasi
Gelas ukur (1000 ml, 500 ml), beaker Glass (1000 ml, 500 ml), corong
kaca, aquades, alkohol absolut CH3CH2OH Mallinckrodt Chemicals,
alkohol 95%, dan toluol.
d. Tahap Clearing
Larutan toluol:alkohol (1:1)
e. Tahap Embedding
Hotplate stirer (sRS 710 HA), vials stopper tools neck, dan Paraplast
Leica Microsystem
f. Tahap Blocking
Cetakan blocking
g. Tahap Pemotongan
Object glass, bunsen, mikrotom geser, korek api gas, waterbath, kulkas,
beaker glass 200 ml, putih telur, gliserin, dan es batu.
19
h. Tahap Pewarnaan
Cover glass, staining jar, mikroskop shimadzu T025A, spatula kaca, timer,
xylol, hematoksilin, eosin, balsam Canada, dan H2SO4.
i. Tahap Foto Jaringan
Kotak preparat, kamera preparat, komputer lab, DVD foto, mikroskop
Olympus BX41
j. Untuk semua tahap histoteknik
Tisu dan tisu berpori
3.4.2. Adaptasi Hewan Coba
Setelah hewan tiba di laboratorium animal house, hewan coba
diadaptasikan selama 14 hari dengan diberi makan dan minum ad libitum.
Bedding dan kandang diganti dengan yang baru setiap 3 hari.26
3.4.3. Tahap Induksi STZ
Pada hari ke-15 tikus dipuasakan selama 10 jam sebelum
dilakukan penginduksian STZ 48-60 mg/kgBB secara intraperitoneal.
Kemudian dilakukan pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke-5
setelah penginduksin STZ (hari ke-21). Tikus yang digunakan pada
percobaan ini yang memiliki kadar glukosa darah > 200 mg/dL.26
3.4.4. Tahap Nekropsi
Siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Kemudian ambil plastik
yang sudah ditulis nama atau kode tikus dan organ. Tuangkan formalinPBS 10% ke dalam plastik sekitar 20x volume jaringan sampel. Tikus
dianastesi dengan cara dimasukkan ke dalam toples berisi kapas yang
diberikan eter. Tunggu hingga tikus hilang kesadaran dengan cara
memberikan rangsang nyeri pada telapak kaki tikus, bila tidak memberi
respon maka efek anastesi sudah bekerja. Proses pembedahan dilakukan
pada bagian abdominothoracal dan
dilakukan nekropsi organ hepar,
20
pankreas, ginjal. Organ dipotong dengan ketebalan 3-5 mm dan
dimasukan ke dalam plastik yang berisi formalin-PBS 10%.28
3.4.5. Tahap Pemrosesan Jaringan
3.4.5.1. Dehidrasi
Proses dehidrasi menggunakan alkohol dengan variasi konsentrasi
50%, 70%, 80%, 90%. Pengenceran alkohol dilakukan dengan cara
penghitungan sebagai berikut:
1. Pengenceran alkohol 50% = 500 ml alkohol 95% + 450 ml aquades
2. Pengenceran alkohol 70% = 700 ml alkohol 95% + 250 ml aquades
3. Pengenceran alkohol 80% = 800 ml akohol 95% + 150 ml aquades
4. Pengenceran alkohol 90% = 900 ml alkohol 95% + 50 ml aquades
Setiap konsentrasi larutan alkohol tersebut ditempatkan pada 3
buah pot plastik masing-masing setinggi 2/3 pot plastik. Setiap pot
dengan konsentrasi alkohol yang sama diberi label I, II, III untuk
menandakan urutan proses dehidrasi.21,28
Tahap dehidrasi dimulai dengan memasukkan potongan hepar,
ginjal dan pankreas ke dalam pot plastik berlabel I, II, lalu III.
Potongan organ direndam selama 15 menit secara berurutan ke dalam
larutan alkohol 50%, 70%, 80%, 90% dan 95%. 21
3.4.5.2. Clearing
Tahapan Clearing bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari
jaringan, karena alkohol dan parafin tidak dapat menyatu, sehingga
larutan yang akan dimasukkan ke dalam jaringan dapat berikatan
dengan parafin. Pada tahapan ini digunakan larutan toluol:alkohol
(1:1) dan toluol murni.21
21
Pertama,
potongan
organ
dimasukan
ke
dalam
larutan
toluol:alkohol (1:1) dan direndam selama 25 menit. Kemudian
potongan organ tersebut dipindahkan dan direndam kedalam toluol
murni selama 60 menit hingga menjadi bening. Perendaman dalam
toluol murni diperpanjang sampai potongan menjadi bening. Waktu
perendaman dalam toluol murni paling lama selama 120 menit, karena
akan menyebabkan pengerasan pada jaringan sehingga sulit untuk
dilakukan pemotongan.21
3.4.5.3. Embedding
Tahap embedding bertujuan untuk mengeluarkan cairan pada saat
proses clearing dan menggantinya dengan parafin karena cairan saat
proses clearing dapat mengkristal di dalam jaringan dan menyebabkan
jaringan mudah robek saat tahap pemotongan.21
Pertama, buat larutan toluol : parafin (50 ml : 50 ml). Kemudian
bungkus organ menggunakan tissue berpori lalu rendam dalam larutan
tersebut dan diamkan pada suhu ruangan selama 24 jam. Setelah itu
cairkan parafin dengan suhu diantara 56-62oC dan diberi label I, II, III
dan IV. Masukkan potongan organ ke dalam larutan parafin secara
berurutan, masing-masingnya selama 15 menit.21
3.4.5.3. Blocking
Tahapan ini merupakan proses pembuatan blok preparat agar
organ dapat dipotong dengan mikrotom. Cairkan parafin lalu tuangkan
sedikit ke dalam cetakan blok. Masukan potongan organ secara
perlahan dan kemudian tuangkan kembali parafin hingga merendam
organ.21
3.4.6. Pemotongan Jaringan
22
Proses ini merupakan pemotongan jaringan dengan menggunakan
mikrotom. Pertama, rekatkan blok parafin diatas blok kayu dengan cara
memanaskan salah satu sisi blok parafin hingga sedikit mencair
kemudian langsung tempelkan. Letakan blok parafin dan balok kayu
tersebut pada holder (pemegang) di mikrotom dan kencangkan. Lakukan
pemotongan jaringan ini dengan ketebalan 6 µm. Jika diperlukan sudut
kemiringan pisau mikrotom diatur pada sudut 20-30 derajat.21
Setelah blok parafin berhasil dipotong, dengan kuas dan rendam
potongan tersebut dalam waterbath dengan suhu air 37-40 oC hingga
potongan terlihat meregang. Kemudian oleskan putih telur yang dicampur
dengan gliserin pada kaca objek secukupnya. Lalu ambil potongan
tersebut menggunakan kaca objek ke dalam waterbath. Letakan kaca
objek tersebut pada hotplate dengan suhu 40-45 oC hingga kering.
Setelah kering dan potongan melekat dengan kuat pada kaca objek,
angkat dari hotplate dan potongan siap untuk diwarnai.21
3.4.7. Tahapan Pewarnaan HE
Sebelum memulai proses pewarnaan masukkan xylol, alkohol
dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, alkohol absolut, alkohol asam,
hematoksilin, eosin dan aquades ke dalam staining jar dengan ¾ volume
maksimum. Masukkan dan rendam cawan yang berisi preparat kedalam
staining jar yang berisi xylol selama 10 menit sebanyak 2 kali. Lalu
pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol absolut
selama 5 menit sebanyak 2 kali. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam
staining jar berisi alkohol konsentrasi 90% selama 1 menit.21
Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol
konsentrasi 80% selama 1 menit. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam
staining jar berisi alkohol konsentrasi 70% selama 1 menit. Pindahkan
dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi aquades selama 4 menit.
23
Pindahkan cawan tersebut dan rendam ke dalam staining jar yang berisi
Hematoksilin dengan durasi hepar 4 menit; ginjal 2 menit; pankreas 1
menit. Selama durasi itu dilakukan pengamatan dibawah mikroskop
untuk menghindari terjadinya overstainning hematoksilin. Lakukan
perendaman cawan di dalam staining jar berisi aquades sebanyak 3 kali
dengan durasi 1 menit. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining
jar berisi alkohol asam selama 30 detik.21
Kemudian pindahkan dan rendam cawan kedalam staining jar
yang sudah dialiri air mengalir selama 1 menit. Pindahkan dan rendam
cawan ke dalam staining jar berisi Eosin selama 1 menit. Selama durasi
itu dilakukan pengamatan dibawah mikroskop untuk menghindari
terjadinya overstainning eosin.21
Lakukan pemindahan dan perendaman cawan di dalam staining jar
berisi aquades sebanyak 3 kali dengan durasi 1 menit. Pindahkan secara
berurutan dan rendam cawan ke dalam staining jar yang berisi alkohol
dengan konsetrasi meningkat dari 70% sampai alkohol absolut selama 1
menit dan xylol sebanyak 2 kali 3 menit.21
Segera teteskan dan ratakan canada balsam secukupnya di atas
preparat dan ditutup dengan cover glass. Amati di bawah mikroskop dan
jangan biarkan ada gelembung udara pada preparat. Berikan nama
organ/kode organ serta tanggal pembuatan. Tunggu hingga kering.
Preparat siap disimpan.21
3.4.8. Foto Jaringan
Preparat diamati dan difoto dengan menggunakan mikroskop
Olympus BX41 dan software Olympus DP2-BSW yang dimulai dari
perbesaran 4x, 10x, 20x, dan 40x.
3.5.
Alur Penelitian
24
25
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Pankreas
Data morfologi sel pada pulau Langerhans pada tikus kontrol negatif dan
kontrol positif yang di nekropsi pada hari ke 21 dan telah dilakukan pewarnaan
dengan hematoksilin eosin (Lampiran 3) sebagai berikut:
Tabel 4.1 Data Morfologi Pulau Langerhans Tikus Kontrol Negatif
KONTROL NEGATIF
Tikus
Batas sel
Bentuk Sel
Sitoplasma
Nukleus
1
Jelas
Bulat
Merah muda
Bulat, ungu
2
Jelas
Bulat
Merah muda
Bulat, ungu
3
Jelas
Bulat
Merah muda
Bulat, ungu
4
Jelas, rapat
Bulat
Merah muda
Bulat, ungu
5
Jelas
Bulat
6
Jelas, rapat
Bulat
Merah muda
keunguan
Bulat, ungu
Merah muda
keunguan
Bulat, ungu
26
Tabel 4.2 Data Morfologi Pulau Langerhans Tikus Kontrol Positif
KONTROL POSITIF
Tikus
1
2
3
4
5
Batas sel
Bentuk Sel
Sitoplasma
Nukleus
Tidak jelas, rapat
Tidak dapat
Merah muda
Bulat-lonjong,
diidentifikasi
Jelas, rapat
Merah muda
diidentifikasi
Tidak jelas, rapat
Tidak dapat
Tidak jelas,
Tidak dapat
bertumpuk
diidentifikasi
Tidak jelas, rapat
Tidak dapat
Merah muda
Bulat-lonjong,
ungu
Merah muda
Bulat-lonjong,
ungu
Merah muda
diidentifikasi
Tidak dapat
Bulat-lonjong,
ungu
diidentifikasi
Tidak jelas
6
Tidak dapat
ungu
Bulat-lonjong,
ungu
Merah muda
diidentifikasi
Bulat-lonjong,
ungu
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Lampiran 4) terjadi peningkatan
kadar glukosa darah pada tikus kontrol positif sebanyak 10,2%.26 Selanjutnya
dilakukan pengamatan morfologi sel antara kedua kelompok.
Berdasarkan hasil pada Tabel 4.1 didapatkan morfologi pulau Langerhans
tikus kontrol negatif yang dominan memiliki batas antar sel yang jelas, bentuk sel
bulat, sitoplasma berwarna merah muda, nukleus berbentuk bulat dan berwarna ungu
dimana dapat disimpulkan masih normal. Sedangkan pada Tabel 4.2 didapatkan
morfologi pulau Langerhans tikus kontrol positif yang dominan memiliki batas antar
sel yang tidak jelas, bentuk sel tidak dapat diidentifikasi dan inti sel yang berbentuk
bulat hingga lonjong namun masih berwarna ungu serta sitoplasma berwarna merah
muda.
27
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.1. (a) Pankreas tikus kontrol negatif (1) 20x; (b) Pankreas tikus kontrol positif (1)
20x; (c) Pankreas tikus kontrol negative (1) 40x; (d) Pankreas tikus kontrol positif (1) 40x.
Pada pankreas kontrol negatif dengan perbesaran 40 kali (Gambar 4.1.c)
tampak pulau Langerhans dengan sel yang tersusun rapat namun batas sel dapat
dikenali, sitoplasma berwarna merah muda dan nukleus tampak berwarna ungu dan
berbentuk bulat. Sedangkan pada pankreas yang diinduksi STZ pada perbesaran 40
kali (Gambar 4.1.d) pulau Langerhans masih dapat dibedakan dengan bagian
eksokrin. Namun bentuk sel sulit dikenali, sitoplasma berwarna merah dan nukleus
berbentuk tidak beraturan mulai dari bentuk bulat hingga lonjong dan berwarna ungu.
Kemungkinan hal ini terjadi akibat efek STZ yang dapat mendestruksi sel β
pankreas secara selektif sehingga sel mengalami proses nekrosis.8 Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Azza A. Attia tahun 2009 yang menunjukan gambaran
nukleus yang berfragmentasi serta nukleus yang piknotik dimana menandakan adanya
proses kerusakan pada sel β pankreas.23
4.2.
Hepar
28
Data morfologi hepatosit tikus kontrol egatif dan kontrol positif setelah
dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin (Lampiran 3) sebagai berikut:
Tabel 4.3 Data Morfologi Hepatosit Tikus Kontrol Negatif
KONTROL NEGATIF
Tikus
Batas sel
Bentuk Sel
Sitoplasma
Nukleus
1
Jelas
Polihedral
Merah muda
Bulat, ungu
2
Jelas
Polihedral
Merah muda
Bulat, ungu
3
Jelas
Polihedral
Merah muda
Bulat, ungu
4
Sebagian jelas,
Polihedral
Merah muda
Bulat, ungu
sebagian tidak
jelas
5
Jelas
Polihedral
Merah muda
Bulat, ungu
6
Jelas, rapat
Polihedral
Merah muda
Bulat, ungu
Tabel 4.4 Data Morfologi Hepatosit Kontrol Positif
KONTROL POSITIF
Tikus
1
2
Batas sel
Bentuk Sel
Sitoplasma
Nukleus
Jelas, rapat
Polihedral
Merah muda
Bulat besar,
ungu
Jelas, rapat
Polihedral
Merah muda
Bulat besar,
ungu
3
Jelas
Polihedral
Merah muda
Bulat, ungu
4
Tidak jelas, rapat
Tidak dapat
Merah muda
Bulat, ungu
Merah muda
Bulat besar,
diidentifikasi
5
Tidak jelas, rapat
Polihedral
ungu
6
Jelas
Polihedral
Merah muda
Bulat besar,
ungu
Berdasarkan hasil pada Tabel 4.3 didapatkan morfologi hepatosit tikus kontrol
negatif yang dominan memiliki batas antar sel yang jelas dan tersusun rapat, bentuk
29
sel polihedral, sitoplasma berwarna merah muda, nukleus berbentuk bulat dan
berwarna ungu dimana dapat disimpulkan masih normal. Sedangkan pada Tabel 4.4
didapatkan morfologi hepatosit tikus kontrol positif yang dominan memiliki batas
antar sel yang jelas, bentuk sel polihedral, sitoplasma merah muda, nukleus berbentuk
bulat besar dan berwarna ungu.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 4.2. (a) Hepar tikus kontrol negatif (1) 20x; (b) Hepar tikus kontrol positif (1)
20x; (c) Hepar tikus kontrol negatif (1) 40x (insert: hepatosit); (d) Hepar tikus kontrol
positif (1) 40x (insert: hepatosit).
Pada hepar kontrol negatif didapatkan bahwa bentuk sel polihedral dengan
batas antar sel jelas, sitoplasma berwaarna merah muda, nukleus berbentuk bulat
dan berwarna ungu (Gambar 4.2.c insert). Pada hepar yang diinduksi STZ terdapat
perbedaan dengan hepar kontrol negatif yaitu ukuran nukleus lebih besar.
Sedangkan bentuk hepatosit, warna sitoplasma, dan warna nukleus tidak ada
perbedaan dengan hepar kontrol negatif (Gambar 4.2.d insert). Hasil penelitian ini
tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh Muhammad Zafar dkk tahun 2009 dimana
30
didapatkan adanya kongesti pada pembuluh darah porta dan sinusoid serta
perubahan susunan konsentris pada hepatosit. Perbedaan di atas kemungkinan
diakibatkan dari jarak waktu antara pemberian STZ dengan pengambilan organ
sampel . Pada penelitian ini nekropsi dilakukan 21 hari setelah pemberian STZ hari
sedangkan Muhammad Zafar dkk tahun 2004 melakukannya setelah 32 hari.24
4.3.
Ginjal
Data morfologi ginjal tikus kontrol negatif dan kontrol positif setelah
dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin (Lampiran 3) sebagai berikut
Tabel 4.5 Data Morfologi Ginjal Tikus Kontrol Negatif
KONTROL NEGATIF
Tikus
1
2
3
4
Glomerulus
Bulat, baik
Kapsula
Ruang Kapsula
Tubulus
Bowman
Bowman
Kontortus
Normal
Normal
Epitel selapis
kubus
Bulat, baik
Normal
Agak menyempit
Epitel selapis
kubus
Bulat, baik
Normal
Normal
Epitel selapis
kubus
Bulat, baik
Normal
Agak menyempit
Epitel selapis
kubus
5
Bulat, baik
Normal
Normal
Epitel selapis
kubus
6
Bulat, baik
Normal
Normal
Epitel selapis
kubus
31
Tabel 4.6 Morfologi Ginjal Tikus Kontrol Positif
KONTROL POSITIF
Tikus
1
2
3
4
Glomerulus
Tidak bulat,
Kapsula
Ruang Kapsula
Tubulus
Bowman
Bowman
Kontortus
Normal
Normal
Epitel tersusun
membesar
Tidak bulat,
tidak teratur
Normal
Menyempit
Epitel tersusun
membesar
Bulat, normal
tidak teratur
Normal
Normal
Epitel tersusun
tidak teratur
Tidak bulat,
Normal
Normal
Epitel tersusun
membesar
5
Tidak bulat,
tidak teratur
Normal
Menyempit
Epitel tersusun
membesar
6
Tidak bulat,
tidak teratur
Normal
Menyempit
Epitel tersusun
membesar
tidak teratur
Berdasarkan hasil pada Tabel 4.5 didapatkan morfologi ginjal tikus kontrol
negatif yang dominan memiliki glomerulus dengan bentuk bulat, kapsula Bowman
yang normal, ruang kapsula Bowman yang normal dan tubulus kontortus yang
tersusun oleh epitel selapis kubus. Sedangkan pada Tabel 4.6 didapatkan morfologi
ginjal tikus kontrol positif yang dominan memiliki glomerulus dengan bentuk tidak
bulat dan membesar, kapsula Bowman yang normal, ruang kapsula Bowman yang
normal dan susunan epitel pada tubulus kontortus yang tidak teratur.
32
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 4.3. (a) Ginjal tikus kontrol negatif (1) 20x; (b) Ginjal tikus kontrol positif (1)
20x; (c) Ginjal tikus kontrol negatif (1) 40x; (d) Ginjal tikus kontrol positif (1) 40x; (e)
Ginjal tikus kontrol negatif (1) 40x (insert: T. kontortus); (f) Ginjal tikus kontrol positif
(1) 40x (insert: T. kontortus)
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa glomerulus pada ginjal yang
diinduksi STZ terlihat lebih besar ukurannya dibanding ginjal kontrol negatif, namun
ruang kapsula Bowman masih dalam kondisi baik (Gambar 4.3.d). Perbedaan tersebut
kemungkinan terjadi akibat perbedaan lokasi pemotongan organ ginjal sehingga
menghasilkan ukuran glomerulus yang berbeda. Selain itu didapatkan pula epitel pada
33
tubulus ginjal yang diinduksi STZ tidak tersusun dengan teratur dibanding epitel pada
tubulus ginjal kontrol negatif (Gambar 4.3.f insert). Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan yang dilakukan oleh Muhammad Zafar dkk tahun 2009 yang tidak
menunjukkan adanya gambaran patologis pada ginjal tikus yang diinduksi STZ.25
Perbedaan di atas kemungkinan efek STZ pada organ ginjal bersifat reversibel yang
terlihat perubahan morfologi seluler 21 hari setelah pemberiannya dan kembali
normal setelah 32 hari. Untuk membuktikan kemungkinan tersebut perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
34
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini, dapat disimpulkan:
1. Pankreas
Gambaran histopatologik organ ini menunjukan adanya perubahan bentuk
pada nukleus yang bulat menjadi tidak beraturan mulai dari bentuk bulat
hingga lonjong sehingga bentuk sel sulit dikenali.
2. Hepar
Pada nukleus tikus yang diinduksi STZ mengalami perbesaran pada
ukurannya namun pada sitoplasma dan bentuk sel tidak mengalami
perubahan.
3. Ginjal
Pada glomerulus tikus yang diinduksi STZ mengalami perbesaran pada
ukurannya dan perubahan susunan epitel pada tubulus menjadi tidak teratur.
5.2 Saran
1. Menganalisis fungsi organ pankreas, hepar, dan ginjal saat 21 hari setelah
pemberian STZ. Hal ini untuk menguatkan pernyataan bahwa pada saat
tersebut sudah mulai terjadi kerusakan fungsi organ atau perubahan morfologi
seluler tidak mempengaruhi fungsi organ.
2. Menganalisis fungsi organ pankreas, hepar, dan ginjal saat 32 hari atau lebih
lama lagi setelah pemberian STZ. Hal ini untuk membuktikan pernyataan
bahwa kerusakan organ-organ tersebut bersifat reversibel.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. American Diabetes Association. Position Statement: Diagnosis and
Classification of Diabetes Melltus; Diabetes Care Vol. 33 Sup. 1. USA:
Diabetes Journal. 2010. 562-569.
2. World Health Organization. Diabetes: The Problem and The Solution. 2010
3. International Diabetes Federation. Executive Summary: IDF Diabetes Atlas
Sixth Edition. 2013.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar. 2013.
5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Diabetes Mellitus Tipe 2
Indoonesia. 2011.
6. Sudoyo Aru W, Setyohadi B, Idrus A, Marcellus SK, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
7. Lenzen Sigur. Alloxan and Streptozotocin Diabetes. Unknown year.
8. Szkudelski T. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action in B Cells
of The Rat Pancreas. Physiol Res. 2001. 50: 536-546.
9. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, et al. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc. 2012.
10. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s Basic and clinical Endocrinology. 8th
Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2007
11. Raza H, John A. Steptozotocin-Induced Cytotoxicity, Oxidative Stress and
Mitochondrial Dysfunction in Human Hepatoma HepG2 Cells. Int. J. Mol.
Sci. 2013, 13, 5751-5767.
36
12. Akbarzadeh A, Norouzian D, Mehrabi MR, Jamshadi, Farhangi A, et al.
Induction of Diabetes by Streptozotocin in Rats. Indian Journal of Clinical
Biochemistry. 2007. 22(2):60-64.
13. Zafar M, Naqvi SN, et al. Effects of STZ-Induced Diabetes on the Relative
Weigh of Kidney, Liver and Pancreas in Albino Rats: A Comparative Study.
2010. Int. J. Morphol. 28(1):135-142.
14. Tian HL, Wei LS, Xu ZX, Zhao RT, Jin DL, et al. Correlation Between Blood
Glucose Level and Diabetes Signs in Streptozotocin-Induced Diabetic Mice.
Global Journal of Pharmacology. 2010. 4(3): 111-116.
15. Tallitsch RB, Guastaferri RS. Histology: An Identification Manual.
Philadelphia: Mosby Elsevier. 2009. Chapter 12-13,16.
16. Gartner, Hiatt LP, Strum JL, et al. Biologi Sel dan Histologi Edisi ke-6.
Jakarta: Binarupa Aksara Publisher. 2012.
17. Eleazu CO, Eleazu KC, Chukwuma S, et al. Review of the Mechanism of Cell
Death Resulting from Streptozotocin Challenge in Experimental Animals, its
Practical Use and Potential Risk to Humans. Journal of Diabetes & Metabolic
Disorders. 2013. 12:60.
18. Kumar V, Cotran RS, Robbin SL. Buku Ajar Patologi Edisi ke-7. Vol 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007.
19. Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar Edisi ke-11. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran FKUI. 2014.
20. Mescher LA. Junquiera’s Basic Histology Text and Atlas. 12th Edition. New
York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2010.
21. Suntoro H. Metode Pewarnaan: Histologi dan Histokimia. Bagian Anatomi
dan Mikroteknik Hewan Fakultas Biologi UGM. Jakarta: Bhiratara Karya
Aksara. 1983.
22. Kuehnel W. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy.
4th Edition. Germany: Thieme. 2002.
37
23. Attia AA. Histological and Electron Microscopic Studies of the Effect of βCarotene on the Pancreas of Streptozotocin (STZ)-Induced Diabetic Rats.
Pakistan Journal of Biological Science. 2009. 12(4): 301-314.
24. Zafar M, Naqvi SN, et al. Altered Liver Morphology and Enzymes in
Streptozotocin Induced Diabetic Rats. Int. J. Morphol. 2009. 27(3):719-725.
25. Zafar M, Naqvi SN, et al. Altered Kidney Morphology and Enzymes in
Streptozotocin Induced Diabetic Rats. Int. J. Morphol. 2009. 27(3):783-790.
26. Askary F. Efek Pemberian Ekstrak Nigella sativa Terhadap Kadar Glukosa
Darah dan Trigliserida Pada Tikus Diabetes Mellitus yang Diinduksi
Streptozotocin. Laporan Penelitian FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2014.
27. Singh AS, Masuku MB. Sampling Techniques & Determination of Sample
Size in Applied Statistic Research: An Overview. Int. J. ECM. 2014. 11(2): 13.
28. Ahmad AJ. Histoteknik Dasar. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
38
LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Tikus Sehat
Gambar 6.1 Surat Keterangan Tikus Sehat
39
Lampiran 2
Gambar Proses Penelitian
Gambar 6.2 Sampel
penelitian
Gambar 6.3 Anastesi hewan
coba
Gambar 6.4 Proses nekropsi
Gambar 6.5 Proses
dehidrasi
40
(Lanjutan)
Gambar 6.6 Proses
clearing
Gambar 6.8 Proses blocking
Gambar 6.7 Proses
embedding
Gambar 6.9 Pemotongan
jaringan
Gambar 6.10 Set
pewarnaan Hematoksilin
Eosin
41
Lampiran 3
Hasil Preparat
A. Pankreas
Gambar 6.11 Pankreas
Tikus Kontrol Negatif 2
Gambar 6.12 Pankreas
Tikus Kontrol Negatif 3
Gambar 6.13 Pankreas
Tikus Kontrol Negatif 4
Gambar 6.14 Pankreas
Tikus Kontrol Negatif 5
Gambar 6.15 Pankreas
Tikus Kontrol Negatif 6
Gambar 6.16 Pankreas
Tikus Kontrol Positif 2
42
Gambar 6.17 Pankreas
Tikus Kontrol Positif 3
Gambar 6.18 Pankreas
Tikus Kontrol Positif 4
Gambar 6.19 Pankreas
Tikus Kontrol Positif 5
Gambar 6.20 Pankreas
Tikus Kontrol Positif 6
B. Hepar
Gambar 6.21 Hepar Tikus
Kontrol Negatif 2
Gambar 6.22 Hepar Tikus
Kontrol Negatif 3
43
Gambar 6.23 Hepar Tikus
Kontrol Negatif 4
Gambar 6.24 Hepar Tikus
Kontrol Negatif 5
Gambar 6.25 Hepar Tikus
Kontrol Negatif 6
Gambar 6.26 Hepar Tikus
Kontrol Positif 2
Gambar 6.27 Hepar Tikus
Kontrol Positif 3
Gambar 6.28 Hepar Tikus
Kontrol Positif 4
44
Gambar 6.29 Hepar Tikus
Kontrol Positif 5
Gambar 6.30 Hepar Tikus
Kontrol Positif 6
C. Ginjal
Gambar 6.31 Ginjal Tikus
Kontrol Negatif 2
Gambar 6.32 Ginjal Tikus
Kontrol Negatif 3
Gambar 6.33 Ginjal Tikus
Kontrol Negatif 4
Gambar 6.34 Ginjal Tikus
Kontrol Negatif 5
45
Gambar 6.35 Ginjal Tikus
Kontrol Negatif 6
Gambar 6.36 Ginjal Tikus
Kontrol Positif 2
Gambar 6.37 Ginjal Tikus
Kontrol Positif 3
Gambar 6.38 Ginjal Tikus
Kontrol Positif 4
Gambar 6.39 Ginjal Tikus
Kontrol Positif 5
Gambar 6.40 Ginjal Tikus
Kontrol Positif 6
46
Lampiran 4
Pengukuran Glukosa Darah Tikus
Pada penelitian yang dilakukan Fadel Askary tahun 2014 didapatkan hasil
glukosa darah sebagai berikut:
Tabel 6.1. Rata-rata Glukosa Darah Tikus26
1 minggu Setelah
Diinduksi
Akhir Minggu ke-3
Perlakuan
presentase
penurunan
(mg/dl)
(mg/dl)
(%)
Kontrol
(-)
122.2
133.3
-9*
Kontrol
(+)
469.0
516.7
-10.2*
Perlakuan
487.9
348.5
28.6
*mengalami peningkatan
Sumber: Askary F. Efek Pemberian Ekstrak NS Terhadap Kadar Glukosa Darah dan
Trigliserida Pada Tikus DM yang Diinduksi STZ. 2014.
47
Lampiran 5
Riwayat Penulis
Identitas
Nama
: Fiizhda Baqarizky
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Surabaya, 7 Juni 1995
Agama
: Islam
Alamat
: Nirwana Estate Blok D No 17, Cibinong –
Kabupaten Bogor
E-mail
: [email protected]
Riwayat Pendidikan

2000-2001
: TK Islam Tegar Beriman Cibinong

2001-2006
: SD Bina Insani Bogor

2006-2009
: SMPN 5 Bogor

2009-2012
: SMAN 1 Bogor

2012 - sekarang
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download