moral dekalog - STFK Ledalero

advertisement
MORAL
DEKALOG
2016
BAHAN KULIAH PILIHAN PADA SEKOLAH
TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
MAUMERE
DAFTAR ISI
BAB I
: Pendahuluan..............................................
3
BAB II
:
Mengenal Arti, Sejarah, Isi, Konteks Dan
Karakteristik Dekalog...............................
5
BAB III
: Dasa Firman Sebagai Hukum Moral.........
BAB IV
:
BAB V
: Penutup...................................................... 87
Beberapa Perspektif Tentang Hukum
Baru...........................................................
Moral Dekalog 2016
20
72
2
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk membangun tata hidup bersama dibutuhkan hukum
dan aturan yang dapat menjamin kebebasan setiap manusia
sehingga setiap orang diperlakukan sama karena martabatnya
sebagai citra Allah. Bangsa Israel sebagai pilihan Allah telah
mengalami pembebasan dan keselamatan yang merupakan bukti
cinta Allah kepada mereka. “Akulah Tuhan Allahmu yang telah
menuntun
engkau
Keluar
dari
tanah
Mesir,
dari
tempat perbudakan” (Kel. 20: 2). Pengalaman pembebasan dan
penyelamatan yang dialami bangsa Israel menantang mereka
untuk juga terlibat dalam praksis pembebasan dan penyelamatan
yang dimulai oleh Allah sendiri. Dialektika antara yang indikatif
dan imperatif ini sangat jelas dalam dekalog.
Israel sebagai bangsa pilihan Allah dalam sejarah
keberadaannya
tidak
luput
dari
pengkhianatan
dan
pemberontakan, maka sejarah Israel dapat dilihat sebagai sejarah
yang ditandai oleh pengkhianatan dari pihak Israel dan kesetiaan
dari pihak Allah. Ini semua merupakan cerminan dan gambaran
sejarah umat manusia pada umumnya. Situasi masyarakat yang
ditandai oleh penyembahan berhala, penindasan, pembunuhan,
ketidakadilan,korupsi, perampasan dan penyerobotan merupakan
konteks yang juga mempengaruhi kemunculan Dasa Firman.
Pengalaman bangsa Israel merupakan juga pengalaman
manusia yang hidup dalam zaman modern ini. Israel yang
memberontak melawan Allah dengan berhala-berhalanya, juga
merupakan
pengalaman
manusia
masa
kini
yang
mengesampingkan Allah dan mengandalkan dirinya serta
Moral Dekalog 2016
3
kemajuan-kemajuan teknologi. Pelanggaran terhadap hak-hak
asasi manusia, terutama pelanggaran atas hak hidup yang
termanifestasi dalam tindak kriminal, kekerasan dalam skala
mikro maupun mankro, intervensi atas hidup dalam pelbagai
bentuknya merupakan persoalan mendasar yang harus dikaji dan
direfleksikan. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam dekalog
dapat memberikan pencerahan baru untuk membangun tata hidup
bersama atas dasar kasih.
Akan tetapi, dalam kenyataan banyak sekali persoalanpersoalan etis dan moral yang saat ini mencuat ke permukaan tapi
belum terpikirkan ketika Kitab Suci ditulis. Untuk itu, sangatlah
perlu menginterpretasikan isi Kitab Suci ini untuk dapat
menjawabi persoalan-persoalan krusial di zaman ini. Perbedaan
situasi sosio-kultral dan agama dalam Kitab Suci memang tidak
bisa dengan mudah disesuaikan dengan situasi manusia saat ini.
Perlu suatu pendekatan yang bersifat integral untuk dapat menilai
secara tepat pola perilaku manusia sekaran ini. Meski demikian
pada dasarnya semua manusia selalu cenderung kepada kebaikan,
sebagaimana akan dijumpai dalam Dekalog ini. Hukum yang
mendasari pola perilaku manusia adalah: kasih kepada Allah dan
kasih kepada sesama manusia. 1 Kuliah Moral Dekalog ini akan
lebih terfokus pada teks Kel. 20: 1-17.
1
Servais Pinckaers, Morality: The Catholic View, (South Bend,
Indiana: St. Augustine’s Press, 2001), p. 100.
Moral Dekalog 2016
4
BAB II
MENGENAL ARTI, SEJARAH, ISI,
KONTEKS DAN KARAKTERISTIK
DEKALOG
Pengantar
Manusia itu bebas sejauh ia dapat memahami dan
menerima perintah-perintah Allah. Ia memiliki kebebasan yang
cukup luas jangkauannya, sebab ia boleh makan buah semua
pohon yang ada di taman. Namun kebebasan tersebut tidak berarti
tanpa batas. Manusia harus berhenti di hadapan pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, yang membuatnya
mesti menerima hukum moral yang diberikan oleh Allah. Allah
sebagai satu-satunya YANG BAIK (sumum bonum) mengetahui
secara sempurna pula apa yang baik bagi manusia. 2 Karena itu
oleh kasih-Nya, Allah menyampaikan kebaikan itu kepada
manusia dalam bentuk perintah-perintah. Dan hukum Allah ini
tidak mengurangi kebebasan manusia, tetapi sebaliknya justru
melindungi dan memajukan kebebasan yang telsh diberikan
kepada manusia. Dalam Perjanjian Lama, hukum Allah tersebut
2
Apabila manusia bertanya tentang apa yang baik, maka ia tidak bisa
berhenti pada realitas duniawi semata-mata atau realitas yang tercipta.
Kebaikan pada akhirnya hanya berhenti pada Allah, kepenuhan dari kebaikan
itu sendiri. Jadi kebaikan yang menarik manusia dan sekaligus mewajibkan
manusia itu bersumber pada Allah, dan sesungguhnya adalah Allah sendiri.
Yohanes Paulus II, Veritatis SPerjanjian Lamaendor (Cahaya Kebenaran), J.
Hadiwikarta (penterj.), (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1994), p. 55.
Moral Dekalog 2016
5
diringkaskan dalam dekalog, yang ditempatkan dalam konteks
perjanjian Sinai.
Istilah dekalog adalah istilah Yunani yang berarti sepuluh
kata (asheret hadebarim), ungkapan yang dapat ditemukan dalam
Kitab Ulangan 4,13 untuk menunjukan apa yang disebut sepuluh
perintah. Ada sepuluh kata yang ditulis di atas dua loh batu (‘alhalluhot, Ul. 10,4) sebagai sintesis dari kewajiban-kewajiban
perjanjian. Dalam tradisi rabinik disebut juga asheret ha-diberot (
istilah yang digunakan dalam Yer. 5,13 untuk mengungkapkan
Firman Tuhan). Dua loh batu disebut dua loh batu kesaksian,
ditulis di dua belahan (Yeh.32,15). 3 Istilah dekalog untuk
menyebut seri perintah-perintah untuk pertama kalinya ditemukan
dalam tulisan-tulisan santo Irenius martir di Lyon Perancis kirakira pd th. 202.
Dalam teks Perjanjian Lama dekalog dapat ditemukan
dalam Kel. 20,2-17 dan dalam Ul. 5,6-21. Pada dasarnya kedua
teks mengandung isi yang hampir sama hanya ada beberapa
perbedaan, yakni dalam hal pengudusan hari Sabat dan mengenai
perintah kesepuluh. Dalam teks Keluaran alasan teologis untuk
menguduskan hari Sabat adalah meniru pola kerja Allah yang
setelah menciptakan alam semesta selama 6 hari, beristirahat pada
hari yang ketujuh. Dengan mengikuti pola kerja Allah manusia
dipanggil untuk hidup dan bekerja seperti Allah. Dalam konteks
inilah kerja memiliki makna, ikut dalam karya penciptaan Allah.
Tujuan akhir hari sabat adalah bahwa manusia dan binatang harus
istirahat. Sabat mengungkapkan prinsip penyempurnaan yang
ditunjukkan Allah dalam karya penciptaan-Nya. Sedangkan dalam
teks Ulangan firman mengenai sabat memiliki alasan teologis
dalam korelasinya dengan pembebasan bangsa Israel sebagai
budak di tanah Mesir. Kalau Allah telah membuat mereka bebas,
3
Leandro Rossi e Ambrogio Valsecchi, Dizionario Enciclopedico Di
Teologia Morale (Decalogo), (Milano: Edizioni Paoline, 1987), p. 207.
Moral Dekalog 2016
6
maka sudah selayaknya mereka pun membebaskan para hamba,
laki-laki dan perempuan, ternak mereka dari Keletihan bekerja.
“Sebab haruslah kau ingat, bahwa engkaupun dahulu budak di
tanah mesir dan engkau dibawa Keluar dari sana oleh Tuhan,
Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung,
itulah sebabnya Tuhan, Allahmu, memerintahkan engkau
merayakan hari Sabat” (Ul. 5,15).4
Berkaitan dengan firman kesepuluh terjadi perubahan
susunan antara teks Keluaran dan Ulangan. Dalam teks Ulangan
susunannya menempatkan istri terlebih dahulu, baru kemudian
rumah, sebab susunan yang terdapat dalam Keluaran
dianggap kurang sesuai. Istri dianggap sebagai barang
milik/perabot sama seperti barang rumah tangga lainnya. Selain
itu dalam teks Ul. ditambahkan kata kerja lain: “Janganlah
mengingini istri sesamamu dan jangan menghasratkan
rumahnya atau ladangnya, atau hambanya laki-laki atau
perempuan, atau lembunya, atau Keledainya, atau apapun yang
dipunyai sesamamu”.
2.1 Dekalog dan Sejarah Moral
Perlu diketahui bahwa dalam sejarah Teologi Moral,
dekalog mendapat tempat dominan pada zaman santo Agustinus
dan tetap dipertahankan sampai sekarang ini. Sebelum era
Bernhard Kieser, Moral Dasar – Kaitan Iman dan Perbuatan,
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), pp. 168-170. St.Agustinus malahan melihat
hubungan yang sangat erat antara hukum dan sejarah atau lebih tepatnya antara
hukum ilahi dan kesadaran moral. Hukum ilahi menurutnya adalah kebaikan
yang menjadi panduan bagi manusia bagaimana seharusnya bertindak.
Sedangkan kesadaran moral terutama adalah kesadaran manusia akan identitas
dirinya sebagai gambar dan rupa Allah sendiri dan dengan itu mengetahui
bahwa tindakan kasih merupakan pemenuhan dari hukum ilahi itu sendiri (bdk
Renzo Gerardi, Storia della Morale, (Bologna: Edizioni Dehoniane, 2003),
pp.143-144.
4
Moral Dekalog 2016
7
Agustinus bagian yang mempunyai peranan penting dalam
pengajaran moral kristiani adalah kutipan-kutipan atau alukusio.5
Agustinus telah membuat satu perubahan mendalam dan
membuat satu pembagian atas perintah-perintah tersebut. Ia
mengatakan bahwa dekalog dapat diterima secara kristiani sebagai
ungkapan kasih. 6 Seringkali para kritikus lebih menggunakan
tuntutan maksimal yang mereka nilai lebih tepat dalam
memberikan jawaban atas setiap problem. Jika dicari acuan semua
pada dekalog, jelas tidak akan pernah ditemukan referensinya.
Nabi Yeremia, Yehezkiel, para penginjil dan St. Paulus tidak
mengutip dekalog secara lengkap, tetapi yang jelas mereka selalu
mengutip tiga perintah yang bersifat apodiktif secara bersamasama : jangan membunuh, jangan berzinah dan jangan
mencuri.
Dalam didaché, satu dari traktat pertama moral kristiani,
skema dua jalan dapat berguna untuk menjelaskan kewajiban
fundamental manusia kepada Allah (kewajiban religius) dan
kewajiban
manusia
kepada
sesamanya
(kewajiban
moral). Kewajiban ini seolah mengulang kembali dua sisi utama
dari dekalog itu sendiri, yakni: kasih kepada Allah dan kasih
kepada sesama manusia.
Pada saat jemaat kristiani sudah menjalin hubungan baik
dengan orang Yahudi, maka ditetapkanlah bentuk yang dapat
diterima mengenai hubugan antara dua perjanjian itu: Perjanjian
Lama dan perjanjian baru. Dekalog pun akhirnya dapat diterima
dalam arti universal dan dalam dimensi injili. Kotbah di bukit
menunjukkan apa yang lebih dituntut dari seorang kristiani, yakni
keadilan yang lebih besar dari pada keadilan kaum farisi dan ahli
taurat, yakni keadilan yang dijiwai oleh kasih, oleh tuntutan
5
Franz Bockle, Fundamental Moral Theology, (Dublin: Gill and
Macmillan Ltd., 1980), p. 130.
6
St.Agustinus, De Moribus ecclesiae catholicae 15.25
Moral Dekalog 2016
8
kebaikan hati. Jadi dekalog tidak lagi menjadi hukum yang berada
di luar diri manusia, tetapi terutama terintegrasi dalam diri pribadi
(hati nurani) untuk menentukan segala tindakan dan perbuatan
moralnya. 7
2.2 Dekalog sebagai satu kesatuan organik
Dekalog merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan satu dari yang lain. Tiap firman menunjuk kepada
yang lain dan kepada keseluruhan; mereka bergantung satu sama
lain. Kedua loh batu saling menerangkan dan membentuk satu
kesatuan. Pelanggaran terhadap satu perintah berarti pelanggaran
seluruh hukum (Yak. 2,10-11). Artinya seseorang tak dapat
menghormati sesama tanpa memuji Allah, Penciptanya. Begitu
pula seseorang tak dapat menyembah Allah, tanpa mengasihi
sesama manusia, yang adalah makhluk ciptaan-Nya. Cinta kepada
Allah direalisasikan dalam mencintai sesamanya: “Jikalau
seorang berkata: “Aku mengasihi Allah, dan ia membenci
saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa
tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tak mungkin
mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita
terima dari Dia: Barang
siapa
mengasihi Allah, ia
harus juga mengasihi saudaranya.” (1Yoh 4,20-21). Jadi Dekalog
mempersatukan kehidupan rohani dan kehidupan sosial.
2.3 Pengalaman Pembebasan
7
Manusia kristiani yang bermoral mestinya bukan hanya melakukan
hukum secara eksternal, melainkan terutama melakukan hukum terinspirasi
oleh kasih kepada Allah dengan segenap hatinya; kasih semacam inilah yang
diajarkan dan diinsipirasi oleh Kristus sendiri. Karena itu melakukan perintahperintah dekalog secara konsisten adalah suatu bentuk perbuatan kasih yang
lahir dari iman dan kemudian menjadi prinsip keutamaan Kristiani. Servais
Pinckaers, Op. Cit., p. 20.
Moral Dekalog 2016
9
Dekalog harus dipahami dalam konteks perjanjian antara
Yahwe dan umat Israel. Yahwe sebagai Allah pembebas dan
penuh kasih telah membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir,
dari negeri perbudakan. Pengalaman pembebasan tersebut,
menjadi dasar sikap Israel kepada Allah dan kepada orang lain.
Dengan demikian, tuntutan untuk mentaati perintah Allah
bukanlah sebagai paksaan dan beban, melainkan sebagai
tanggapan umat atas kasih Allah yang membuat mereka menjadi
bangsa yang bebas. Allah yang telah membebaskan Israel
menuntut sikap taat dari umat-Nya.
Pengalaman dikasihi inilah yang hendaknya menjadi dasar
dan sikap orang Israel terhadap sesamanya, bahkan sikap terhadap
orang asing. “Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang asing,
sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah mesir” (Kel.
20,21); “Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak
yatim, juga janganlah engkau mengambil pakaian seorang janda
menjadi gadai. Haruslah kau ingat bahwa engkau pun dahulu
budak di mesir dan ditebus Tuhan, Allahmu di sana” (Ul. 24,1718; bdk. 24,22) .8
Perkenalan diri Allah dalam Kel. 20,2 kemudian disusul
oleh pernyataan kedua mengenai diri-Nya (Kel. 20, 5b,6 / Ul.
5,9b,10) beserta konsekwensi kalau identitas itu tidak dihormati.
“Karena Aku, Allah Tuhanmu, adalah Allah yang cemburu yang
membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada
keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang
membenci Aku”. Dari sini dapat benar-benar terlihat adanya
8
Cardinal Walter Kasper, Mercy – The Essence of the Gospel and the
Key to Christian Life, William Madges (trans.), Quezon City, Phlippines,
2015), p. 46. Dalam konteks ini Kardinal Kasper menjelaskan bahwa revelasi
identitas Allah yang sejati tampak lewat peristiwa pembebasan Israel dari Mesir
dan penampakkan-Nya di Gunung Sinai dan Horeb. Malah Yahwe yang telah
membebaskan Israel dari Mesir itu telah menjadi ungkapan iman paling
fundamental dalam Perjanjian Lama.
Moral Dekalog 2016
10
ikatan antara Allah yang Esa, yang telah membebaskan umat
Israel dari perbudakan mesir dengan sikap serta iman Israel itu
sendiri. Dari pembukaan dekalog inilah terlihat karakeristik
ilahi dari dekalog dan buku perjanjian sebagai pemakluman
kehendak Allah yang menuntut sikap iman umat yang
mendalam kepada-Nya.
Umat Israel dengan mengingat kebaikan dan kerahiman
Allah, mereka dipanggil untuk selalu hidup sesuai dengan
kehendak Allah, yakni menjalankan segala sesuatu yang perlu
untuk hidup bersama secara teratur dan untuk melindungi
kehidupan umat terutama mereka yang lemah, tanpa pembela. Di
samping itu, dekalog mengingatkan bahwa Allah adalah penolong
mereka dan penolong semua orang, maka sikap yang dituntut
adalah melekatkan diri kepada-Nya. Dalam rumusan yang lebih
kuno, dekalog melindungi hak asasi bangsa Israel, sedangkan
dalam Ulangan, dekalog menuntut sikap hati yang baik dan
murni.
Kriteria yang menentukan sikap bangsa Israel dalam
berhadapan dengan kultur dan agama kanaan adalah iman mereka
dalam perjanjian. 9 Etos Israel oleh karenanya ditentukan dan
dikarakterisasikan oleh keputusan untuk mengabdi kepada Allah
yang esa. Dengan demikian, Allah telah memisahkan mereka dari
segala sesuatu yang dapat membahayakan hubungan perjanjian
tersebut. Perintah-perintah Allah ditujukan kepada orang Israel
sebagai bangsa, sebagai keseluruhan komunitas yang hidup.
Hanya iman kepada Allah yang esa yang menjadi dasar penyatu
dan yang memungkinkan bangsa Israel menjadi suatu bangsa yang
terpilih, umat perjanjian. Keyakinan akan keselamatan dalam
sejarah ini lebih lanjut terbukti ketika Allah selalu memenuhi
janji yang telah dibuat kepada keturunan-Nya. Tuntutan yang
Allah perbuat terhadap bangsa-Nya dibenarkan dalam bab
9
Ibid.
Moral Dekalog 2016
11
terakhir Kitab Ulangan. Ketika suku-suku Israel diberi tanah
Kanaan, Allah pada saat yang sama memberikan hukuman berat
kepada penduduk negeri itu dan kepada dewa-dewa mereka.
Keadilan Allah (sedhaqah) dalam penghakiman-Nya, hendaknya
menjadi norma dan pedoman hidup bagi Israel.
2.4 Hukum Apodiktik dan Dekalog
Bentuk dekalog menggunakan kalimat-kalimat apodiktik,
yakni kalimat yang singkat, langsung, tanpa syarat melarang atau
memerintahkan sesuatu, misalnya: jangan membunuh, jangan
berbuat zinah, jangan mencuri. Hukum apodiktik ini merupakan
salah satu bentuk nasihat biasa bukan hanya di Israel tetapi juga
pada bangsa lain, tetangga Israel. Nasihat-nasihat orang tua
biasanya dirumuskan dalam bentuk apodiktik.
Kalimat-kalimat dalam dekalog yang berbentuk apodiktik
berasal dari lingkungan Keluarga besar (klan) dan pertama-tama
merupakan nasihat leluhur untuk anggota Keluarga. Demikian,
dekalog yang berbentuk apodiktik menyangkut pedoman hidup
dalam hidup bersama dalam klan. Gerstenberg, seperti dikutip
oleh Frans Bockle, mengatakan bahwa: kita harus mencari asal
hukum larangan dalam Keluarga besar sebelum adanya negara. Ia
juga melihat bahwa ada hubungan tertutup antara kalimat-kalimat
apodiktik dengan tradisi kebijaksanaan, hubungan yang telah
membuatnya mungkin untuk menemukan asal muasal hukum
apodiktik dalam kebijaksanaan tradisional klan dan Keluarga
Israel. 10 Sementara Nielsen menyoroti bahwa apa yang disebut
hukum larangan lebih berhubungan dengan masalah kultus dan
religius. Dalam kalimat-kalimat apodiktik elemen moral dan
religius
ditekankan
secara
tegas.
Kalimat-kalimat
10
Frans Bockle, Op. Cit., p.129.
Moral Dekalog 2016
12
tersebut diungkapkan dalam bentuk perintah, larangan atau
teguran dan membuatnya sah secara permanen mengenai apa yang
harus diperhatikan , sebagai sesuatu yang salah dalam
komunitas.11
Yang menarik dalam kalimat-kalimat apodiktik ini adalah
bahwa penulisannya di banyak teks selalu ditulis bersama-sama,
terutama perintah jangan membunuh, jangan berjinah dan jangan
mencuri, jangan bersumpah palsu (Kel. 20,13-16; Ul. 5,17-20;
Yer. 7,9; Hos. 4,2; Mat. 5,21-37; 19,18; Mrk. 10, 19; Luk. 12,5759; 18,20). Perintah-perintah singkat ini sudah ada sebelum
dekalog. Ketiga perintah ini dideretkan bersama karena perintahperintah tersebut menyangkut perlindungan hidup, tatanan
Keluarga, milik dan nama baik seseorang. Disamping deretan
perintah-perintah tersebut, perintah lain yang dirumuskan secara
positif juga ditulis berurutan; kuduskanlah hari Sabat dan
hormatilah ayah dan ibumu (Kel. 20,8.12; Ul. 5,12.15; Im. 19,3).
2.5 Dekalog Dalam Konteks Sinai
Eksegese modern telah menunjukkan bahwa dekalog pada
mulanya bukanlah bagian dari perikop sinai dan pada mulanya
bukanlah satu kesatuan, tetapi melalui proses editorial. Pada tahap
berikutnya dalam proses editorial, dekalog secara sengaja
ditempatkan pada cerita Sinai yang dimulai pada Kel. 19 sampai
Ul. 10. Apabila dikurangi bagian-bagian yang umumnya diakui
sebagai tradisi Priest (P), maka konteks dekalog hanyalah (Kel.
19,2b-24, 15a dan 32-34) Pada bagian inilah dimasukan dua
kumpulan hukum, yakni Dekalog (Kel. 20, 2-20) dan Kitab
Perjanjian (Kel. 20, 22-23, 33). Konteks Sinai menceritakan
penampakan Yahwe (Kel. 19 dan 20) ditambah dengan dua cerita
yang lebih kuno yakni cerita mengenai perjamuan kultis(24,1-2,910) dan cerita mengenai Musa di puncak gunung (Kel. 24,12-15a).
11
Ibid.
Moral Dekalog 2016
13
Dalam konteks inilah, dikatakan bahwa dekalog merupakan
sisipan dalam cerita Sinai.12
Oleh karena manipulasi teks inilah, maka pembukaan
dekalog (Kel. 20,2) yang menyatakan Yahwe sebagai
pembicara memiliki kepentingan besar bukan hanya untuk
dekalog, tetapi juga untuk seluruh buku perjanjian dan peristiwa
sinai secara keseluruhan. Hal ini memberikan pembenaran ilahi
atas norma-norma. Dengan demikian, dekalog dan seluruh buku
perjanjian mendapat otoritas ilahi, yakni di bawah Kekuasan
Allah sebagai pembebas.
Keluaran 34,10-28 adalah rapresentasi dari perjanjian
(berith) antara Allah dan umat terpilih. Hal ini mungkin untuk
melihat ide dasar dari sumber Jahwista, piagam perjanjian untuk
komunitas umat terpilih yang melihatnya sebagai berith, untuk
melindungi mereka dan untuk melawan pengaruh dari lingkungan
Kanaan. Berbicara mengenai perjanjian antara Allah dengan
Israel, hal penting yang perlu diingat adalah makna asli dari kata
berith itu sendiri. Menurut M. Weinfeld, seperti dikutip Bockle,
kata ini tidak menunjuk pada persetujuan antara dua pihak, tetapi
kata ini mengandung ide pemberian kewajiban. Berith
diperintahkan dan kata ini sinonim dengan hukum atau perintah.
Jadi perjanjian Sinai adalah pemberian hukum dan kewajiban
kepada umat Israel (Kel.24, 3-8).13 Dalam arti ini, dekalog dapat
dipahami sebagai perintah Allah.
12
13
Bernhard Kieser, Op.Cit., pp. 170-172
Frans Bockle, Op. Cit., p. 132.
Moral Dekalog 2016
14
2.6 Yesus dan Dekalog
Berkaitan dengan dekalog Yesus melihat bahwa hukum
Perjanjian Lama, Taurat Musa tetap berguna bahkan Ia sendiri
mengatakan bahwa: Aku datang bukan untuk menghapus Taurat,
melainkan untuk menggenapinya (Mt). Dalam pembicaraan-Nya
dengan pemuda kaya yang menanyakan syarat-syarat untuk
memperoleh hidup yang kekal, Yesus pertama-tama mengacu
pada perintah dekalog, walaupun tidak menyebutkannya secara
komPerjanjian Lamait. Akan tetapi, Yesus tidak berhenti hanya
pada pelaksanaan perintah dekalog, tetapi menuntut lebih yakni
melepaskan keterikatan pada milik, menjual apa yang dimiliki,
memberikannya kepada orang miskin lalu datang mengikuti-Nya.
Pemuda kaya diundang untuk mengikuti Yesus yang merupakan
pemenuhan hukum Allah itu sendiri. Oleh karenanya, berkaitan
dengan pelaksanaan hukum, Yesus menghindari sikap legalistis
seperti kaum Farisi dan ahli taurat. 14 Ada ethos injili yang
diajarkan oleh Yesus. Kesempurnaan tidak bisa diperoleh hanya
sebatas melaksanakan hukum-hukum yang tertulis.
Bagi Yesus yang paling penting bukanlah penampilan
lahiriah, namun sikap batin seseorang. Dalam konteks inilah,
Yesus memberikan sikapnya terhadap dekalog dan hukum Taurat
pada umumya: bahwa bukan hanya pelaksanaan hukum secara
harafiah, dan perbuatan-perbuatan yang nampak saja, melainkan
yang paling utama adalah sikap batin, intensi dan motivasi
seseorang yang merupakan dasar setiap perbuatan moral. Di sini
seseorang bisa menilai tindakannya sendiri: bersih atau tidak
bersih, tulus atau tidak tulus, baik atau tidak baik. Sebab Yesus
14
Yohanes Paulus II, Op.Cit., pp.55-56. Pemuda kaya dalam injil itu
tampaknya bukan seseorang yang tidak mengetahui tentang hukum. Namun
tampaknya ia hanya melaksanakan hukum secara legaltistik dan belum sampai
kepada kebaikan moral yang sejati. Untuk sampai pada kebaikan moral yang
sejati orang harus masuk ke dalam Kristus dengan seluruh diri pribadinya.
Moral Dekalog 2016
15
sendiri mengatakan bahwa bukan apa yang masuk ke dalam perut
manusia yang menajiskan orang, tetapi justru apa yang Keluar
dari hati manusia itulah yang jahat. Apabila hal ini disadari
sungguh-sungguh oleh manusia, maka dia akan menghasilkan
buah bukan hanya dengan semakin menyembah Allah (taat pada
hukum-hukum-Nya), melainkan manusia semakin kagum akan
dirinya sendiri sebagai tanda kebaikan dari Allah.15
Orang dituntut untuk mengontrol dan menjaga hati, pikiran
serta keinginannya. Hal inilah yang tidak mudah. Sebab
kemurnian hati itulah yang dituntut. Dalam perdebatannya
dengan kaum farisi dan ahli Taurat mengenai Sabat, Yesus pun
mengambil sikap berbeda dari pada sikap orang Farisi. Yesus
mengembalikan makna Sabat pada motivasi awalnya, yakni
sebagai saat pembebasan, sehingga pada saat berhadapan dengan
orang yang dibelenggu oleh penyakit dan dosa, Yesus
menyembuhkannya kendati pada hari sabat: “Sabat dibuat untuk
manusia bukannya manusia untuk hari Sabat” (Mrk. 2,27). Dalam
sikap hidup-Nya, Yesus juga menampilkan sikap bersahabat
dengan para pendosa, dengan mereka yang tidak dianggap bersih
berdasarkan hukum lama. Dari sini tampak bahwa bagi Yesus
yang lebih penting adalah nilai hidup manusia, bukannya ketaatan
buta pada hukum. YESUS menjadi manusia bebas dan pembebas,
karena untuk itulah Ia diutus, menghadirkan wajah Allah yang
baik hati dan berbelas kasih. 16 Ia diutus untuk melaksanakan
kehendak Allah, yakni mencintai Allah dan sesama.
Dalam kerangka inilah Yesus merangkum hukum Taurat
dan Kitab para nabi dalam satu perintah kasih, yakni kasih kepada
Allah dan kasih kepada sesama. Dengan demikian pada intinya,
moralitas Perjanjian Lama dan moralitas perjanjian baru, memiliki
persamaan, yakni: ketaatan mutlak pada kehendak Allah, hidup
15
16
Ibid., p. 57.
Cardinal Walter Kasper, Op. Cit., pp. 65-69.
Moral Dekalog 2016
16
sebagaimana dikehendaki oleh Allah sendiri. Cinta kepada Allah
dikonkritkan dalam mentaati perintah-perintah-Nya. “Tetapi
barang siapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu
sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui
bahwa kita ada di dalam Dia” (1 Yoh. 2,5). Kalau engkau
mengasihi Tuhan, Allah-Mu, dengan hidup menurut jalan yang
ditujukkan-Nya dan berpegang pada firman, ketetapan
dan peraturan-Nya, engkau akan hidup dan bertambah banyak.
(Ul. 30,16).
2.7 Karakteristik Dasar Dekalog
1. Dekalog merupakan tanda kasih Allah kepada manusia. Allah
yang pertama-tama mengasihi umatNya dan Ia menuntut
tanggapan bebas dari manusia.
2. Hubungan dialektis antara aspek indicative dan imperative
nampak jelas dalam prolog Dekalog. “Akulah Tuhan Allahmu
yang telah membawa kamu Keluar dari Mesir, Keluar dari rumah
perbudakan.” Sabda ini pertama-tama menunjuk pada Allah dan
juga bernada perintah untuk dilaksanakan. Sebab pengalaman
pembebasan dari Allah ini menjadi dasar untuk umat Israel
membebaskan orang-orang yang hidup dalam penindasan. Lebih
tepatnya Yahwe, sang Pembebas melarang umat-Nya untuk
melakukan penindasan dalam bentuk apapun kepada orang lain,
terutama orang asing.
3. Dekalog secara jelas mengatur hubungan antara Allah dan
manusia, mencakup hak dan kewajiban manusia. Allah menuntut
hak untuk disembah dengan segenap hati dan budi, menuntut cinta
yang utuh, tidak terbagi dari umat-Nya.
Moral Dekalog 2016
17
4 Hampir semua perintah dirumuskan secara negatif, kecuali
perintah yang berhubungan dengan Sabat dan hormat pada
orang tua.
5. Kalau rumusan negatif diubah menjadi rumusan positif, maka
ada kemungkinan perluasan makna. Contoh larangan membunuh
dapat diganti dengan menggunakan rumusan positif “Hormatilah
kehidupan”.
6. Keberadaan dua versi dekalog yang berbeda, yakni Kel. 20: 117 dan Ul. 5: 6-21. menujukkan bahwa dekalog merupakan hasil
dari suatu sejarah literer yang panjang.
7. Di dalam berbagai teks, baik dalam Perjanjian Lama maupun
dalam Perjanjian Baru, ada tiga (3) perintah singkat yang selalu
ditemukan: “ Jangan membunuh, jangan berzinah dan jangan
mencuri.” Ketiga perintah ini sama dengan hukum apodiktik yang
umum dalam masyarakat Timur Tengah.
8. Perintah yang berkaitan dengan Institusi Sabat memiliki
perbedaan signifikan terutama berkaitan dengan motivasinya.
Motivasi Sabat dalam Kel. 20 dikaitkan dengan kisah penciptaan,
meniru pola, ritme kerja Allah dalam proses penciptaan.
Sementara dalam Ulangan 5, motivasi Sabat dikaitkan
dengan kisah pembebasan umat Israel dari perbudakan Mesir.
Pengalaman pembebasan yang dialami menjadi alasan etis untuk
membebaskan orang-orang yang bekerja dalam ketergantungan
(budak). Sabat adalah hari pembebasan bagi orang-orang yang
bekerja dalam ketergantungan ini dan sekaligus juga menjadi
perayaan pembebasan bagi orang-orang bebas-merdeka. Dalam
konteks ini, dekalog dapat dikategorikan sebagai hukum
kebebasan.
Moral Dekalog 2016
18
Kalau menganalisis kembali isi setiap perintah dalam dekalog,
maka dapat ditemukan nilai-nilai dasar yang mau diperjuangkan
dan dilindungi, yakni:
1. Monotheisme yang menuntut kesetiaan dan komitment untuk
mencintai Allah dengan hati yang tidak terbagi.
2. Prinsip keadilan dalam arti memberikan kepada setiap
individu atau pihak lain apa yang menjadi haknya, termasuk hak
Allah untuk dipuji dan dihormati serta disembah
3. Perlindungan terhadap orang-orang lemah dan tidak berdaya
dalam Keluarga dan masyarakat.
4. Perlindungan dan penghormatan terhadap sakralitas hidup
manusia, menerima dan melindungi kehidupan itu sejak awal
keberadaannya.
5. Perlindungan terhadap kesetiaan dan keutuhan Keluarga dan
kemurnian keturunan (seksualitas).
6.
Prinsip keadilan: melindungi hak milik orang lain
7. Prinsip kebenaran: melindungi orang dari kesaksian palsu
(saksi dusta) tentang sesamanya, tuntutan untuk selalu
mengatakan kebenaran. Hal ini menyangkut kehidupan dan
martabat sesama, terutama dalam kasus pengadilan.
8. Menjaga kemurnian hati dan budi, menjaga orang agar tidak
jatuh ke dalam ketamakan dan keserakahan (mengendalikan
libido possendi).
Moral Dekalog 2016
19
BAB III
DASA FIRMAN SEBAGAI HUKUM MORAL
3.1. Perintah I: Jangan Ada Padamu Allah Lain di HadapanKu
3.1.1 Maksud awal
Larangan ini harus dipahami dalam konteks pernyataan
Allah: “Akulah Tuhan, Allahmu yang telah membawa engkau
Keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan”. Dari pernyataan
tersebut menjadi jelas bahwa Allah yang benar dan otentik adalah
Allah Pembebas, yang menuntut dari umat-Nya pengabdian
khusus, ketaatan tanpa syarat. Allah Pembebas meminta satu
relasi eksklusif dari umatNYa. Allah yang telah membawa mereka
dari negeri perbudakan mengklaim sebagai satu-satunya Allah,
sehingga Israel tidak diperkenankan memberi tempat pada Allah
lain.
Dalam
konteks
inilah
pemazmur
melukiskan
ketakberdayaan berhala-berhala buatan tangan manusia. “Berhala
mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia,
mempunyai mulut tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai
mata tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga tetapi tidak
dapat mendengar ….” (Mzm 15,2-8).
Dari mazmur ini dapat dilihat bahwa tidak ada gunanya
menaruh harapan kepada barang-barang duniawi, berhala. Semua
itu hanyalah ilusi. Percaya mesti hanya kepada Allah yang sudah
jelas kekuasaan-Nya, yang telah dialami umat Israel dalam
peristiwa pembebasan dari negeri Mesir. Perintah ini melarang
bangsa Israel untuk menyembah dewa-dewa lain, illah-illah lain,
Moral Dekalog 2016
20
karena di negara-negara sekitar Israel memang ada kultus
penyembahan dewa-dewa.
Perintah jangan ada padamu allah-allah lain mendasarkan
klaimnya pada kenyaaan bahwa Israel telah menjadi milik Yahwe,
maka Ia meminta satu sikap radikal, penyembahan tunggal
dengan hati yang tidak terbagi.17 Sebab Allah yang esa dan benar
sudah terlebih dahulu menyatakan dirinya kepada umat Israel dan
sejalan dengan itu panggilan dan hakikat manusia yang sejati pun
dinyatakan. Manusia dipanggil untuk member kesaksian tentang
Allah, dengan bertingkah laku sesuai dengan kenyataan bahwa ia
diciptakan ‘mnurut citra Allah’ dan serupa dengan Allah (KGK,
no. 2085).18
3.1.2 Perkembangan lebih lanjut
Firman I dapat dipahami juga sebagai larangan
menyembah berhala, idolatria. Berhala adalah semua hal atau
nilai-nilai manusiawi/duniawi dan terbatas sifatnya yang
kemudian dimutlakan: mengallahkan apa yang bukan Allah. Pada
zaman modern ini berhala-berhala itu dapat berupa harta
kekayaan, kekuasaan, Ilmu pengetahuan dan teknologi atau
manusia sendiri. Sesungguhnya dengan menyembah berhala,
manusia menundukkan dirinya di bawah kekuasaan apa yang
diberhalakan, apa yang dituhankan, ia ditindas, dijadikannya tidak
bebas lagi. Tidak jarang orang menjadikan barang-barang
duniawi sebagai andalan hidup, penentu segalanya, penentu
kebahagiaan.
17
Bernard Kieser, Op.Cit., pp.177-178.
Propinsi Gerejani Ende, Katekismus Gereja Katolik, H.Embuiru
(penterj.), Ende: Percetakan Arnoldus, 1995, p.537.
18
Moral Dekalog 2016
21
Ajaran mengenai Allah yang esa ini memiliki
pendasarannya dalam iman yang bersifat eksklusif, sama seperti
cinta kasih sejati di antara manusia yang adalah eksklusif.
Hubungan yang eksklusif memberi makna total pada hidup dan
karena itu menuntut seluruh hidup. Jadi ketunggalan Allah dalam
monotheisme bukan ketunggalan satu pribadi Allah, melainkan
mesti dipahami sebagai: relasi dengan Allah mengikat aku kepada
Engkau-Tunggal. Relasi semacam ini yang tidak bisa dengan
mudah dikhianati.
Larangan untuk menyembah allah-allah lain sesungguhnya
diserta dengan dua alasan utama: pertama, Allah itu cemburu,
artinya: Dia bukan iri hati, melainkan selalu terlibat, berjuang
untuk milik kepunyaan-Nya (yang diperoleh dengan pembebasan),
baik dengan cara memeliharanya atau dengan cara
menghukumnya. Kedua, Allah menuntut ketaatan pada perintahperintah-Nya (hal itu berlaku untuk firman pertama dan semua
firman lainnya). Ada hukuman kolektif bagi Israel kalau tidak
taat. Itu berarti Israel berhadapan dengan Allah bukan sebagai
masing-masing pribadi, melainkan dalam kebersamaan umat
Allah dan dalam kebersamaan sejarah keselamatan.19
Dalam kaitannya dengan larangan menyembah dewa-dewa
lain ini, ada larangan membuat patung. Patung selalu dimengerti
juga sebagai ‘ukiran’ yang berfungsi sebagai pengantara
kehadiran Allah. Patung memusatkan kehadiran kuasa yang
mengatur dan mengarahkan hidup manusia kepada barang dan
tempat tertentu. Kehadiran patung dikatakan menjamin kehadiran
Allah dan hal ini tidak bisa dibenarkan. Karena itulah, maka Israel
dilarang untuk membuat patung.
Kitab Ul 27:15 melihat larangan pembuatan patung ini
dalam hubungannya dnegan penyembahan terhadap Yahwe
19
Bernard Kieser, Op.Cit., p. 178.
Moral Dekalog 2016
22
sendiri. Yahwe bukanlah semacam kuasa alamiah yang boleh
dipusatkan manusia pada tempat tertentu. Sebab Allah adalah
‘Yahwe’, yaitu Allah bagi umat-Nya, yang setia mengikuti
perjalanan umat-Nya. Demikian pula dalam Ul 4:15-20 ditegaskan
supaya ‘janganlah mata orang terikat pada rupa mana pun jua
yang hanyalah ciptaan Allah! Hendaklah telinga orang terikat
pada Sabda Allah untuk menaatinya. Larang membuat patung
terutama karena jangan sampai Allah dikuasai oleh manusia.
Sebaliknya justru manusialah yang mesti dikuasai oleh Allah.
Manusia dengan ketaatan penuh menyembah Allah dengan
segenap hati, segenap jiwa, seluruh hidup.20
Jadi, yang dilarang dalam perintah ini adalah membuat
patung Yahwe, sebab dengan pembuatan patung Yahwe manusia
mereduksi
Allah,
merendahkan
ke
taraf
ciptaan,
dengan
menghadirkan
Allah
dalam
patung
berarti
manusia menguasai ruang gerak Allah. Padahal Allah Israel
adalah Allah yang bebas. Hanya satu yang dapat menjadi simbol
Allah yaitu Yesus Kristus, Sabda yang menjadi manusia. Dialah
gambar Allah yang Kelihatan, yang menjadi model dan contoh
bagi manusia.
3.1.3 Bentuk-Bentuk Pelanggaran Firman I:
1. Penyembahan berhala: mengallahkan apa
yang
sesungguhnya bukan Allah: uang, kekuasaan, ideologi, ras,
kebebasan, seks.
2. Ramalan dan magi: persoalan masa depan manusia tidak
bisa ditentukan oleh manusia sendiri, namun tergantung
dari penyelenggaraan Ilahi. Melalui kekuatan-kekuatan
magis, manusia meminta perlindungan atau malahan
mencelakakan orang lain, yakni melalui teluh, tenung,
sihir, dsb. Di samping itu, penggunaan jimat dan susuk
20
Ibid., p. 179.
Moral Dekalog 2016
23
merupakan pelanggaran terhadap firman I dekalog.
Meminta kekayaan melalui penyembahan dewa dan
sebagainya merupakan pelanggaran terhadap firman I
juga.
3. Mencobai Allah dengan perkataan dan perbuatan,
memaksa Allah untuk membuat mujizat. Sacrilegi:
menghina,menajiskan, tidak menghormati sakramensakramen, terutama ekaristi. Simoni: jual beli barang
rohani,
karunia
Allah,
merendahkan
martabat
berkat/anugerah Allah. “Kamu telah menerima dengan
cuma-cuma, karena itu, berikanlah pula dengan cumacuma”. Bidaah, yaitu menyangkal atau meragu-ragukan
dengan tegas suatu kebenaran yang semestinya harus
diimani dengan sikap iman ilahi dan Katolik, sesudah
penerimaan Sakramen Pembaptisan; murtad, menyangkal
iman kepercayaan Kristiani secara menyeluruh; skisma,
yakni menolak untuk tunduk kepada Sri Paus atau
persekutuan dengan anggota-anggota Gereja yang takluk
kepadanya.
4. Atheisme:


Humanisme atheistik: manusia menjadikan dirinya sebagai
tujuan, manusia mengandalkan hidup dan usahanya
mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup melulu
pada kekuatan dan prestasinya sendiri. Otonomi manusia
yang diabsolutkan, akibatanya manusia menyangkal setiap
ketergantungannya pada Allah, bahkan manusia
memanggap Allah sebagai rival dalam mencapai
kebebasannya.
Atheisme: menolak keberadaan Allah.
5. Sekularisme: pandangan hidup yang bertumpu melulu
pada hal-hal duniawi dan menganggap tidak berguna
segala sesuatu yang melampaui dunia yang Kelihatan,
mengesampingkan nilai-nilai spiritual/rohani, hanya
Moral Dekalog 2016
24
menganggap penting apa yang material, sehingga
manusia menghapus Allah dari kehidupannya.
6. Agnostisisme: seorang agnostik tidak mengambil sikap
terhadap keberadaan Allah karena tidak mungkin
membuktikannya.
7. Keputusasaan, di mana manusia berhenti total
mengharapkan dari Allah keselamatan pribadinya, segala
bantuan rahmat yang berguna bagi keselamatan dan
pengampunan segala dosanya. Di sini orang menentang
kebaikan Allah, keadilan-Nya – Tuhan selalu setia pada
perjanjian-Nya – dan kerahiman-Nya.
8. Dosa kesombongan yang terdiri dari dua bentuk,yakni:
pertama, manusia yang menilai kemampuannya sendiri
terlalu tinggi, dengan harapan bahwa dia sendiri dapat
memperoleh keselamatan tanpa bantuan ilahi (Allah); dan
kedua, manusia terlalu menilai dirinya sempurna atau
otomatis saja mendapatkan pengampunan dan kerahiman
Allah tanpa perlu sikap tobat. Manusia menghendaki
kebahagiaan tanpa jasa apapun.21
3.2. Firman II: Jangan Menyebut Nama Tuhan dengan
sembarangan
3.2.1. Landasan Kitab Suci: Kel. 20:7 / Ul. 5:11
Apa yang menjadi landasan larangan tersebut? Apa
maksudnya menyebut nama Allah dengan sembarangan?
Bagaimana dengan penyebutan nama Allah dalam sumpah yang
dituntut dalam lingkungan profesi tertentu?
21
Propinsi Gerejani Ende, Op. Cit., pp. 538-539.
Moral Dekalog 2016
25
Yang menjadi landasan larangan menyebut nama Tuhan
dengan sembarangan adalah karena nama Tuhan itu kudus. Nama
menunjukkan identitas diri Allah sendiri. Yahwe yang berarti
“Aku adalah Aku” (Kel. 3:14). Larangan menyebut nama Tuhan
dengan sembarangan dikaitkan dengan identitas Allah yang adalah
Kudus dan benar. „Kekudusan nama Allah menuntut bahwa orang
tidak memakainya untuk hal-hal yang tidak penting“ (Kat. Art.
2155). Dia yang kudus harus dihormati dan disembah dengan
sikap iman. Larangan ini harus dipahami dalam konteks
penyembahan Allah. Di samping itu, nama Allah itu penuh kuasa.
Oleh karenanya, jangan menyalahgunakan nama Tuhan yang
penuh kuasa untuk tujuan yang tidak seharusnya.
3.2.2. Maksud Perintah
Apa maksudnya menyebut nama Tuhan dengan
sembarangan? Dalam bahasa Inggris kata yang digunakan untuk
kata Ibrani lassaw adalah mischief artinya ditujukan untuk
merugikan dan mencelakakan orang lain. Jangan memakai nama
Allah untuk mengutuk sesama. Dengan demikian, maksud dari
larangan ini adalah supaya tidak menggunakan nama Allah untuk
mencelakakan orang lain. Ini berarti menyalahgunakan kekuasaan
dan kekuatan inheren nama Allah demi tujuan jahat, yakni
membahayakan hidup orang lain.
Kata lain yang digunakan adalah in vain dan vanity yang
artinya kesia-siaan, dengan sikap menghina dan merendahkan,
tanpa makna, dengan sembrono. Nama Allah tidak boleh
digunakan untuk sesuatu yang sia-sia, tidak sungguh-sungguh.
Penggunaan kata vain ini dapat kita lihat juga dalam Yes.1:13
“Jangan lagi membawa persembahan yang tidak sungguhsungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-KU”.
Penggunaan nama Allah dalam mengambil sumpah sejauh
itu dilakukan dengan penuh kesungguhan, dapat dibenarkan.
Moral Dekalog 2016
26
Artinya dalam mengangkat sumpah, orang menggunakan nama
Allah untuk menjamin kesungguhan, keseriusan sumpah tersebut.
Dalam hal ini, orang memanggil Allah sebagai saksi. Berkaitan
dengan sumpah, Hukum Kanonik mengatakan: “Sumpah ialah
menyerukan nama Allah selaku saksi kebenaran, hanya boleh
diucapkan dalam kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan” (KHK.
Kan. 1199).
Sumpah di pengadilan menggunakan kata “demi Allah
atau dalam nama Allah”, maksudnya adalah untuk menjamin
kebenaran dari perkataan saksi. Di samping itu, nama Allah boleh
digunakan dalam konteks janji yang dibuat dengan penuh
kesungguhan, misalnya janji perkawinan, kaul, baptis. Maksudnya
adalah bahwa janji yang dibuat, diikrarkan sungguh-sungguh
mengikat dan akan dilaksanakan dengan setia. Nama Allah
dipakai sebagai jaminan kebenaran. Janji dibuat untuk
dilaksanakan bukan untuk diingkari.
3.2.3 Konteks Larangan
Sebenarnya maksud dari perintah ini adalah supaya:
‘jangan membuat kosong/hampa nama Yahwe, sebab Yahwe akan
memandang bersalah orang yang membuat nama-Nya
hampa/kosong.’ Seperti disebutkan di atas nama Yahwe berarti:
Aku adalah Aku yang menyatakan diri kepadamu. Allah sudah
menyatakan dirinya kepada umat dan tetap mendampingi mereka
selalu. Karena itu Allah boleh dipanggil dengan nama-Nya,
diserukan dalam doa, tetapi tidak pernah dibenarkan untuk
dikuasai. Sebab Allah memang memberitahkan nama-Nya kepada
umat. Akan tetapi Dia tidak pernah menyerahkan nama –Nya
kepada siapapun. Selain itu larangan untuk menyebut nama
Yahwe dengan ‘kosong/sia-sia’ juga menyangkut ibadat Israel.
Israel diminta untuk jangan menyeru kepada nama Yahwe dengan
sia-sia/kosong, yakni berdoa tanpa didukung oleh seluruh hidup
(bdk Mat 7:21, juga dalam tindakan-tindakan penyembahan
Moral Dekalog 2016
27
berhala, guna-guna atau hal-hal lain yang sia-sia, seperti
wejangan dari para nabi palsu (bdk Yeh 13:6-9).
Apa yang dilarang dalam konteks firman II adalah
bersumpah palsu atau memakai nama Allah untuk membenarkan
diri. Dalam kebiasaan bangsa Israel kuno dan bangsa-bangsa
sekitarnya, orang bersumpah atas nama langit, bumi, tetapi bukan
atas nama Allah. Dalam Katekismus (No.2150) dikatakan
“Bersumpah atau mengangkat sumpah berarti memanggil nama
Allah sebagai saksi untuk apa yang kita ucapkan. Itu berarti
memanggil kebenaran ilahi supaya ia menjamin kejujuran orang
yang bersumpah. Sumpah mewajibkan atas nama Allah. “Engkau
harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau
beribadah dan demi nama-Nya engkau haruslah engkau
bersumpah”. (Ul. 6:13). 22
Dalam konteks inilah, perkataan Yesus dapat kita pahami
“Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek
moyang kita: jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah
sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Jangan sekali-kali bersumpah baik demi langit, karena langit
adalah tahta Allah, maupun demi bumi karena bumi adalah
tumpuan kakiNya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem
adalah kota Raja Besar,……Jika ya hendaklah kamu katakan ya,
jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih
daripada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5: 33-37)..Pada intinya,
orang yang bersumpah, entah nama Allah dikatakan atau tidak,
Allah yang hadir di setiap tempat turut menyaksikan apa yang
disumpahkan (bdk. Mzm 139)
Bersumpah palsu artinya orang mengangkat sumpah
dengan tidak sungguh-sungguh, bersumpah untuk kemudian
diingkari. Penggunaan nama Allah dalam sumpah palsu berarti
22
Ibid., p.551.
Moral Dekalog 2016
28
mempertaruhkan kekudusan dan kebenaran nama Allah dengan
sia-sia. Seorang yang bersumpah palsu berarti menjadikan Allah
sebagai pembohong dan penipu. Dalam hal ini Katekismus (No.
2151) selanjutnya berkata: “menolak sumpah palsu adalah satu
kewajiban terhadap Allah. Sebagai Pencipta dan Tuhan, Allah
adalah tolok ukur kebenaran. Perkataan manusia itu sesuai atau
berlawanan dengan Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri.
Sejauh sumpah selaras dengan kebenaran dan sah, ia
menggarisbawahi bahwa perkataan manusia berhubungan dengan
kebenaran Allah. Sebaliknya sumpah palsu menempatkan Allah
sebagai saksi untuk suatu penipuan”. 23
Santo Ignatius dari Loyola, sebagaimana dikutip dalam
Katekismus Gereka Katolik, No. 2164, berkata: “Jangan
bersumpah, baik pada Pencipta maupun pada ciptaan, kecuali
dengan kebenaran, karena keperluan dan dengan hormat.” Nama
Allah juga tidak dibenarkan untuk membenarkan tindakan
kejahatan melawan kemanusiaan. Jangan mengatasnamakan Allah
demi kepentingan pribadi. 24
3.3. Firman III: Kuduskanlah Hari Sabat
3.3.1 Maksud awal
Terdapat dua motivasi yang berbeda dalam kaitan dengan
pelaksanaan hari Sabat. Dalam teks Keluaran 20: 8-11 motivasi
dasar dari sabat adalah: meniru pola kerja Allah yang bekerja
selama enam hari dan pada hari ketujuh ia beristirahat. Di
samping itu, sabat merupakan antisipasi dari sabat abadi setelah
manusia selesai dalam memenuhi tugas hidupnya, beristirahat di
23
24
Ibid.
Ibid., p.554.
Moral Dekalog 2016
29
hadirat Allah. Dengan beristirahat pada hari ketujuh manusia
diajak untuk merenungkan seluruh karya dan aktivitasnya dan
menyadarkan manusia bahwa ia tidak cukup hanya mengandalkan
usahanya sendiri.
Sabat memiliki makna penting pada saat bangsa Israel
hidup di tanah pembuangan, di mana bangsa Israel bertemu
dengan bangsa-bangsa asing dan ada godaan meniru pola hidup
bangsa lain yang tidak mempunyai tradisi sabat. Institusi sabat ini
mau mengingatkan bangsa Israel agar mereka hidup sesuai dengan
identitas mereka sebagai bangsa pilihan Allah yang telah
dibebaskan dari perbudakan Mesir.
Dalam teks Ulangan 5,12-15 yang menjadi motivasi awal
sabat adalah pengalaman pembebasan yang telah dialami bangsa
Israel dari perbudakan Mesir. Sebagai mana mereka telah
dibebaskan Yahwe, demikian pula mereka harus membebaskan
orang.-orang yang bekerja dalam ketergantungan pada orang lain.
Para hamba laki-laki dan perempuan, bahkan lembu harus
menikmati istirahat dan saat pembebasan. Sabat memiliki dimensi
sosial dan moral yakni menjadi saat pembebasan bagi mereka
yang selama enam hari bekerja dalam ketergantungan.25
25
Bernard Kieser, Op.Cit., pp.176-177. Lihat juga dalam Ketekismus
Gereja Katolik, No. 2170.
Moral Dekalog 2016
30
3.3.2 Perkembangan Makna
Dalam perkembangan selanjutnya, sabat direduksi pada
sikap legalistis seperti dihayati oleh kaum Farisi. Mereka
membuat banyak aturan sampai ke hal-hal kecil, mengatur jalan
sampai berapa langkah, tidak boleh memasak, tidak boleh
meyembuhkan orang. Dengan banyaknya peraturan yang harus
ditaati, sabat mengalami pergeseran makna dari saat pembebasan
dan istirahat menjadi beban yang membelenggu dan
menindas. Berhadapan dengan sikap legalistis kaum farisi ini,
Yesus mengembalikan sabat pada motivasi awalnya yakni sebagai
hari Tuhan, saat pembebasan sehingga berhadapan dengan orang
yang sakit Yesus lebih memperhatikan hidup dan keselamatan
manusia, membebaskan manusia dari perbudakan penyakit yang
selama ini membelenggu mereka. Sabat dibuat untuk manusia dan
bukannya manusia untuk hari sabat. Anak manusia adalah Tuhan
atas hari Sabat (Mrk 2:27-28). Hari sabat ditujukan untuk
memanusiakan manusia dan bukan sebaliknya.
Dalam tradisi kristen, sabat digeser ke hari Minggu yang
merupakan hari untuk merayakan hari kebangkitan Yesus,
Kelahiran baru. Dalam merayakan hari Tuhan , orang tidak
dilarang bekerja dan berbuat baik. Dalam katekismus No. 2184
pun dijelaskan bahwa Sabat adalah saat merenung, berefleksi
sehingga manusia dapat memperkembangkan hidupnya. Institusi
sabat dibuat untuk membantu semua orang supaya mendapat
istirahat dan mempunyai waktu luang secukupnya untuk
menghayati nilai hidup Keluarga, budaya, sosial dan
keagamaan.26 ( Kat. no. 2117 bdk. GS no. 67).
Orang Kristen harus hati-hati agar jangan tanpa alasan
berat mewajibkan orang lain melakukan sesuatu yang dapat
menghalangi mereka untuk merayakan hari Tuhan. Dalam istilah
26
Propinsi Gerejani Ende, Op.Cit., p.558.
Moral Dekalog 2016
31
yang lebih konkret, beristirahat pada hari minggu bukanlah
sebagai tujuan melainkan sebagai sarana. Memang umat kristiani
mempunyai kewajiban moral untuk merayakan hari Tuhan melalui
perayaan ekaristi dan doa-doa lainnya, tetapi hal ini tidak berarti
orang tidak boleh melakukan sesuatu. Bagi mereka yang bekerja
untuk melayani kepentingan publik, perawat di rumah sakit, para
dokter, para karyawan lainnya dapat terus melaksanakan tugas
mereka dengan tenang. Akan tetapi yang mesti diperhatikan
adalah bahwa para majikan harus memberi kesempatan kepada
para karyawan untuk menunaikan tugas kewajiban keagamaannya.
Di samping itu, hari Minggu merupakan hari Keluarga,
saat yang tepat untuk mengunjungi sanak saudara, memberi
perhatian kepada kaum lanjut usia, orang.-orang sakit. Walaupun
tuntutan dan desakan ekonomi, para majikan hendaknya memberi
kesempatan kepada para karyawan waktu khusus untuk
menunaikan kewajiban agamanya. Ini adalah tuntutan dasar dan
termasuk hak asasi yang harus diakui dan dilindungi.27
Firman ketiga ini juga mau menyoroti makna kerja bagi
manusia. Dalam kitab Kejadian kerja keras untuk mencari nafkah
merupakan kutukan dari Allah karena manusia jatuh ke dalam
dosa: “Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan
memakan dari buah pohon yang telah kuperintahkan kepadamu:
jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena
engkau, dengan bersusah payah engkau akan mencari rejekimu
dari tanah seumur hidupnya” (Kej. 3,17). Akan tetapi, dalam
pemahaman teologis kerja memiliki makna sebagai partisipasi
dalam karya penciptaan Allah, untuk mengolah dan
mengembangkan dunia. Kerja juga memiliki arti antropologis
yakni mengembangkan dan menyempurnakan manusia. Itu berarti
dengan dan melalui kerja manusia semakin memanusiakan
dirinya. Di samping itu, kerja memiliki arti sosial yakni
27
Ibid., p.559.
Moral Dekalog 2016
32
memberikan kesempatan kepada manusia untuk menjalin relasi
dengan sesamanya. Kerja juga memiliki makna ekonomis yakni
memberikan nafkah kepada manusia. 28



Pada saat ini, orang menggeser makna hari sabat, hari
minggu untuk rekreasi, lebih dari pada menguduskannya
bagi Allah.
Bagi mereka yang sudah pensiun atau bagi mereka yang
tidak bekerja, menganggur, apakah makna sabat bagi
mereka?
Untuk konteks zaman sekarang, di mana orang bekerja
hanya 5 hari, apakah makna hari sabat?
3.4. Perintah IV: Hormatilah Ayahmu dan Ibumu
3.4.1. Maksud Awal
Baik ayah maupun ibu sudah sepantasnya dihormati
dengan penghormatan yang sama. Hormat yang diberikan kepada
mereka (kabbed) adalah sama dengan hormat dan kemuliaan yang
menyelubungi Yahwe (bdk Mal 1:6). Satu hal yang menarik dari
firman atau perintah ini adalah formulasinya yang positif. Motif
untuk mentaatinya adalah adanya suatu janji dan bukan karena
perasaan takut akan dihukum. “Supaya lanjut umurmu di
tanah yang diberikan Yahwe, Allahmu kepadamu” (Kel.20,12).
Tidak dijanjikan umur yang panjang, tetapi supaya orang tinggal
lama di tanah yang diberikan Allah. Karena itu demi hormat dan
kemuliaan Allah, yang merevelasikan kemuliaan-Nya dalam
bentuk pemberian tanah, maka Israel diajak untuk menghormati
28
Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, No. 67,
R.Hardawiryana (penterj.), (Jakarta:Obor,1995), p.599.
Moral Dekalog 2016
33
orang tua (mereka yang telah mewariskan tanah), supaya dapat
semakin lama tinggal di tanah warisan orang tua, milik pusaka
bangsa, pemberian Allah, pokok keselamatan.
Dalam konteks Keluaran ini, tanah adalah anugerah
istimewa dari Yahwe. Bangsa yang tinggal di tanah
perbudakan akan kembali menduduki tanah terjanji, sebagai milik
mereka - sebagai bangsa yang bebas merdeka. Sebaliknya dalam
teks Ulangan, tanah (milik pusaka dan pemberian Allah) sudah
tidak ada lagi. Itu sebabnya rumusan janji pun sedikit berubah,
yakni bahwa orang berumur lanjut dan berkeadaan baik. “Supaya
lanjut umurmu dan supaya baik keadaanmu di tanah
yang diberikan Yahwe, Allahmu kepadamu”(Ul 5:16). Harta
keselamatan bukan lagi tanah, melainkan keadaan baik dan umur
panjang seperti Abraham. Teks ini memang harus dipahamai
dalam
konteks
pembuangan.
Bangsa
Israel
hidup
di pembuangan sehingga tanah mereka sudah hilang. Dengan
demikian dalam situasi pembuangan itu umur yang panjang dan
keadaan hidup yang baik tentu menjadi anugerah Allah bagi
Israel.29
Apakah yang dimaksud dengan menghormati ayah dan
ibu?


Dalam Perjanjian Lama firman ini menyangkut sikap anak
terhadap orang tua, dalam arti negatif yakni tidak boleh
memukul, tidak boleh mengutuk atau menghina orang tua
(bdk. Kel. 21:15,17; Im. 20:9; Ul. 27:16; Ams. 19:26 ;
20:20). Orang yang memukul dan mengina orang tuanya
layak mendapat hukuman.
Dalam arti positif, firman IV ini mengajarkan sikap hormat
kepada orang tua, generasi tua yang dipandang sebagai
pewaris tradisi dan memiliki banyak pengalaman, terutama
29
Bernard Kieser, Op.Cit., pp.175-176.
Moral Dekalog 2016
34





pengalaman religius: Mereka yang tua-tua ini menjadi
figur dan model kebijaksanaan.
Persoalan yang muncul sekarang ini adalah banyak orang
tua, lanjut usia yang merasa dirinya tidak dipakai lagi,
bahkan dianggap sebagai beban Keluarga dan masyarakat,
terutama dalam kultur yang menekankan produktivitas.
Penghormatan kepada orang tua pertama-tama adalah
tugas dan kewajiban anak, khususnya anak dewasa.
Mereka hendaknya selalu memperhatikan orang tua yang
mulai melemah, tidak berpenghasilan, serta bertanggung
jawab dalam merawat dan mengurus mereka, sehingga
tidak sampai terlantar. (Bdk. Sir. 3:12-13:16; Mat. 15:4-6).
Anak-anak harus memperhatikan kebutuhan: material,
spritual dan psikologis.
Problem yang dihadapi secara sosial adalah orang tua yang
dipantijompokan. Mereka sering merasa diri dibuang,
dijauhkan, merasa diri tidak berguna lagi, mengalami
kesepian yang mendalam.
Hormat kepada orang tua juga mencakup sikap hormat dan
mau kerja sama antara generasi tua dan muda; yang muda
mau menerima warisan tradisi secara kritis.
Pertanyaanya: dalam keadaan apakah anak tidak boleh
tunduk kepada perintah orang tua?
3.4.2. Perkembangan Makna

Hormat kepada orang tua juga menyangkut ketaatan
kepada mereka dalam batas-batas tertentu, sesuai dengan
perkembangan zaman. Agar tidak terjadi kesalahpahaman
dan konflik maka perlu diciptakan dialog yang baik antara
anak-anak dengan orang tua.
Moral Dekalog 2016
35


Firman keempat ini bisa diperluas cakupannya pada
hubungan antara orang muda dengan orang tua, antara
guru dengan murid, antara majikan dengan para pekerja,
antara pemerintah dan warga negara.
Pokok yang perlu dihatikan adalah tugas dan
tanggungjawab orang tua terhadap anak. Orang tua dalam
tindakan mereka yang khas menurunkan keturunan
menjadi rekan kerja Allah dalam tata penciptaan. Karena
itu tugas dan kewajiban orang tua bukan hanya melahirkan
dan memberi makan, melainkan juga mendidik dan
membentuk anak-anak dalam kehidupan iman, sosial dan
moral. Keluarga menjadi basis untuk pembentukan
kepribadian anak dan tempat penanaman nilai-nilai. Oang
tua perlu selalu menciptakan suasana penuh cinta, saling
menghormati, persaudaraan, rasa setia kawan, solidaritas,
kesetiaan dalam Keluarga sehingga anak dapat bertumbuh
dengan baik.30
Relasi antara warga negara dengan pemerintah:

Dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas utilitarian, di
mana orang menilai manusia berdasarkan pada
produktivitas semata-mata, maka firman ini memiliki
relevansi dan sekaligus menjadi tantangan besar.
30
Propinsi Gerejani Ende, Op.Cit., pp.565-569.
Moral Dekalog 2016
36
3.5. Firman V: Jangan Membunuh
3.5.1 Maksud Awal Firman:
Maksud awal perintah ini adalah mau melindungi hidup
manusia yang tidak bersalah, juga orang Israel yang merdeka.
Kata yang gunakan untuk menunjuk pada pembunuhan adalah
ratsah dan hemit. Kata ratsah menunjuk pada pembunuhan secara
keji,sengaja, dengan maksud jahat membuat mati seseorang. Kata
ratsah ini ditemukan dalam KS sebanyak 46 kali, secara khusus
dalam teks-teks hukum yang mengatur tempat-tempat pelarian,
tempat perlindungan bagi orang yang telah membunuh secara
tidak sengaja dapat melarikan diri.
Kata ratsah ini tidak termasuk pada kasus pembunuhan
waktu perang, dalam pembelaan diri, pelaksanaan hukuman mati.
Jadi pembunuhan yang dilarang adalah pembunuhan illegal. Kata
ratsah memberi kualifikasi khusus pada pembunuhan secara keji
diserta dengan kekerasan kepada seorang manusia yang tidak
dapat melawan serangan: “Siapa yang memukul dengan barang
besi sehingga orang itu mati, maka ia seorang pembunuh;
pastilah pembunuh itu dibunuh…” (Bil. 35,16ss).
Pembunuhan semacam ini dikaitkan dengan dendam
darah. Jadi yang pertama-tama mau dilindungi adalah orang
Israel yang merdeka. Dalam kisah pembunuhan yang pertama
(Kain dan Hebel) di mana sang kakak membunuh adiknya, Allah
berkata: “Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanah. Maka
sekarang terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang
mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari
tanganmu” (Kej. 4,10).
Pada kira-kira abad V S.M, tradisi Priest (P) memperluas
cakupan perlindungan hidup itu bagi setiap manusia “Siapa
Moral Dekalog 2016
37
menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh
manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya
sendiri”( Kej. 9,6) “Siapa yang memukul seseorang sehingga
mati, pastilah ia dihukum mati” (Kel. 21,12). Perjanjian Lama
membedakan antara hidup orang merdeka dengan hidup seorang
budak (Bdk. Kel. 21, 12-13) antara hidup janin dan hidup orang
dewasa (bdk Kel. 21,22). Untuk itu Firman jangan membunuh
sesungguhnya mau menjamin nilai kehidupan dan melindunginya
dari nafsu dendam pribadi.
3.5.2 Pemahaman Baru
Dalam Perjanjian Baru, terutama dalam kotbah di bukit,
Yesus memperluas cakupan firman jangan membunuh sampai
pada larangan untuk membenci dan memarahi orang. Yesus tidak
hanya melarang
pembunuhan real, tetapi mengajak
untuk menghormati hidup manusia dengan menciptakan satu
sikap batin yang tulus dan baik, memiliki kepekaan dan
keprihatian terhadap hidup orang lain, membangun persaudaraan
di mana setiap orang dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi
yang bermartabat luhur.
Persaudaraan universal dan kehidupan bersama dapat
dibangun bukan hanya dengan menjauhkan nafsu balas dendam,
tetapi terlebih dalam kemauan kuat dan kehendak yang
baik untuk merangkul setiap manusia yang jauh untuk menjadi
saudara. Ini adalah kasih yang otentik, mendobrak batas-batas
SARA. Dengan demikian, firman Kelima dalam rumusan
positifnya mengajak orang untuk mencintai, memelihara,
melindungi dan membela kehidupan manusia dari berbagai
ancaman.
Moral Dekalog 2016
38
Berkaitan dengan firman jangan membunuh ada
pertanyaan penting yang perlu untuk dikaji. Apakah dibenarkan
membunuh seseorang dalam rangka membela diri? Apakah ini
memang merupakan satu kekecualian dari larangan membunuh?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Paus Yohanes Paulus II
dalam Evangelim Vitae menulis: “Dengan otoritas yang diberikan
Kristus kepada Petrus dan para penggantinya dalam kesatuan
dengan para Uskup Gereja Katolik, saya menegaskan
bahwa pembunuhan langsung dan disengaja terhadap manusia
yang tidak bersalah adalah selalu merupakan perbuatan immoral”
(EV no. 57). 31 Dari pernyataan tersebut dapat dilihat
bahwa perintah jangan membunuh memiliki dua ketetapan,
yakni: yang berhubungan dengan tindakan moral dan yang
jelas-jelas immoral dalam dirinya sendiri.
Tindakan immoral adalah pembunuhan secara langsung
dan disengaja. Ketetapan yang kedua ini berkaitan dengan
dengan
obyek perbuatan tersebut: siapa saja yang
membunuh
seorang
manusia
yang
tak
berdosa/tak
bersalah adalah selalu salah. Larangan membunuh yang ada
dalam dekalog mengacu pada tindakan kehendak bebas dan
sasaran langsung dari perbuatan itu, yakni manusia yang tidak
bersalah. Dengan ketetapan ini, firman Kelima memiliki nilai
absolut tanpa kekecualian.
Pembelaan diri melawan agresor yang tidak adil bukanlah
kekecualian dari firman jangan membunuh. Sebab, agresor
yang tidak adil dalam realita bukanlah manusia tak bersalah. Dia
sendiri malah menghina dan menginjak-nginjak sakralitas dan
integritas hidup manusia. Di sini hukuman mati juga mendapat
pembenaran dari konsep dasar tersebut di atas, yakni membela
martabat dan hak-hak dasar manusia yang telah diinjak-injak si
31
Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, R.Hardawiryana (penterj),
(Jakarta:Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996), p.83.
Moral Dekalog 2016
39
penjahat. Hukuman mati kepada orang yang melakukan tindakan
kriminal yang merugikan kesejahteraan umum, adalah tindakan
keadilan, mengganjar penjahat sesuai kejahatan yang dilakukan.
Akan tetapi masalah hukuman mati ini mesti dikaji kembali secara
mendalam. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, No.
56 meminta supaya hukuman itu diterapkan secara sangat terbatas,
atau bahkan supaya dihapus sama sekali. Dengan demikian
pemerintah di satu sisi mempertahankan ketertiban umum dan
menjamin keamanan masyarakat, di sisi lain member kepada
terpidana dorongan dan bantuan untuk mengubah perilakunya dan
mendapat rehabilitasi. Lebih jauh Paus Yohanes Paulus II
mengatakan bahwa hukuman mati dewasa ini tidaklah diperlukan
lagi. Artinya perlaksanaan hukuman mati bisa dibenarkan kalau
memang tanpa tindakan itu masyarakat sudah tidak bisa
dilindungi lagi. Akan tetapi dengan perbaikan penataan sistem
hukuman seperti dewasa ini, maka hukuman mati jelas tidak bisa
dibenarkan lagi.32
Tekanan dari firman Kelima hendaknya dipahami dalam arti
positif: suatu perintah untuk mencintai , menghargai, memelihara
dan melindungi hidup manusia dan intergritas pribadinya.
Bagaimanakah caranya agar hidup manusia berlangsung terus?
Tentus saja dengan menaruh hormat terhadap nilai hidup
manusia, dengan menjadikan hidup manusia itu sebagai tujuan
dan bukan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan lain.
Firman jangan membunuh mendapat aktualitasnya pada
zaman sekarang, di mana hidup manusia diancam dari pelbagai
aspek, dari saat permulaan sampai saat akhir hidupnya, lebih-lebih
dalam dunia yang ditandai oleh kultur kematian. Kemajuan ilmu
dan pengetahuan di satu pihak memberi keuntungan bagi hidup
manusia, namun di lain pihak mengancam martabat hidup
manusia
itu
sendiri:
teknologi
genetika
telah
32
Ibid., p. 82.
Moral Dekalog 2016
40
memungkinkan pembuatan manusia menurut kriteria tertentu,
dengan tingkat kecerdasan tertentu, dengan jenis Kelamin tertentu
melalui manipulasi genetika. Kemajuan ilmu dan pengetahuan
pun telah memicu eksperimen terhadap manusia, bayi tabung,
cloning, intervensi atas embrio dan pembuatan embrio sematamata demi kepentingan riset dan farmakologi. Manusia sudah
direduksi ke taraf objek, jaringan biologis yang siap digunakan di
laboratorium. Dalam konteks inilah, katekismus gereja katolik
memperluas cakupan firman jangan membunuh sampai kepada
aspek-aspek berikut ini.
3.5.3 Penerapan Firman Jangan Membunuh
3.5.3.1. Hormat Terhadap Hidup Manusia:




pada tahap awal perkembangannya,
larangan aborsi and intervensi atas embrio,
pembelaan diri yang sah,
bunuh diri dan eutanasia,
3.5.3.2. Hormat Terhadap Martabat Pribadi
Manusia





Hormat pada jiwa
Hormat pada kesehatan
Hormat pada pribadi dalam penelitian ilmiah.
Hormat pada integritas fisik, menyangkut tranPerjanjian
Lamaantasi organ.
Pembelaan damai: perdamaian dan menghindari perang
Moral Dekalog 2016
41
3.5.3.3 Persoalan Aborsi
Ada dua kelompok yang mencoba menilai moralitas
aborsi. Kelompok pertama beranggapan bahwa dalam batas-batas
tertentu aborsi itu boleh dilakukan. Argumen mereka adalah
bahwa sampai pada waktu tertentu embrio itu bukanlah manusia
individual, sehingga tindakan aborsi diperbolehkan. Ada banyak
orang yang mencoba menentukan kapan embrio dapat disebut
manusia individual dan sebagai pribadi.
Norman M. Ford menyatakan bahwa embrio mencapai
individualitasnya sebagai manusia setelah hari ke-14, yaitu saat
munculnya stria primitiva (bagian organ otak dan sistem saraf).
Penulis lain mengatakan bahwa embrio itu bukanlah manusia
sebagai pribadi. Alasannya, manusia sebagai pribadi mesti
memiliki kriteria-kriteria tertentu, seperti: berkesadaran diri,
rasionalitas, memiliki pemahaman moral (menurut TH.
Engelhartd). Menurut Joseph Fischer, manusia baru disebut
sebagai person, kalau ia memiliki kesadaran akan waktu,
kesadaran diri, otonomi. Sedangkan menurut R. McCormik,
manusia disebut sebagai pribadi kalau mempunyai kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain. Pendapat lain, seperti Peter
Singer, menyatakan bahwa manusia itu dikatakan pribadi kalau ia
mempunyai kemampuan untuk merasakan sakit dan gembira.
Judith Thomson, seorang feminis dalam artikelnya yang
berjudul “A Defense of Abortion”, mengakui bahwa embrio
mempunyai hak untuk hidup, tetapi, haknya untuk hidup tidak
berarti harus melanggar hak wanita untuk menentukan apa yang
akan terjadi atas tubuhnya. Embrio tidak mempunyai hak untuk
diam dalam rahim si wanita selama sembilan bulan, jika si wanita
tidak mau memberikan ijin bagi embrio yang diam dalam
rahimnya. Jadi dalam hal ini ada konflik antara hak embrio untuk
hidup dan hak wanita untuk tidak memberikan tempat/rahim pada
Moral Dekalog 2016
42
embrio. Anak yang dikandung di rahimnya dapat dilihat sebagai
tamu yang tidak diundang, sehingga dalam kasus kehamilan yang
tidak diinginkan, wanita mempunya hak untuk menyingkirkan
embrio dari rahimnya.33
Kelompok kedua adalah mereka yang menolak aborsi
karena aborsi bertentangan dengan firman jangan membunuh.
Hidup manusia sudah dimulai pada saat konsepsi, yakni saat sel
telur dibuahi oleh spermatozoa.
Pada saat konsepsi atau pembuahan itulah, sudah mulai
manusia baru yang hidup menurut program dan kode genetiknya
sendiri, sehingga ia bukan lagi hidup ayah maupun hidup ibunya,
tetapi hidup manusia baru yang tumbuh menurut hukum
perkembangannya. Kenyataan ini didukung oleh hasil riset ilmu
pengetahuan ilmiah: embriologi dan biologi molekular. Di
samping itu, mereka yang menolak aborsi mendasarkan
argumennya pada karakter kudusnya hidup manusia. Manusia itu
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang ditentukan untuk
bersatu dalam kehidupan Allah sendiri.
Hidup manusia adalah anugerah Allah sendiri yang harus
dirawat, dipelihara, dilindungi dan dicintai. Manusia tidak
mempunyai hak untuk mengambil hidupnya sendiri dan hidup
orang lain. Hanya Allah yang adalah Tuhan dan pemilik hidup,
manusia hanyalah sebagai pelaksananya.
Gereja Katolik sejak awal menentang aborsi karena aborsi
bertentangan dengan hukum Allah, hukum natural, melanggar
33
Judith Jarvis Thomson: A Defense of Abortion dalam Ronald
Munson (Ed.), Intervention and Reflection: Basic Issues in Medical Ethics
(Belmont: Wadsworth, 1996), pp. 69-80. Dalam tulisan ini Judith Thomson
memberikan argumennya untuk membantah pendapat bahwa fetus sudah
disebut sebagai manusia sejak saat pembuahan.
Moral Dekalog 2016
43
prinsip keadilan dan cinta sesama dan dikategorikan sebagai dosa
pembunuhan. Posisi gereja berhadapan dengan kejahatan moral
aborsi bersifat tetap dari dulu sampai sekarang. Hal ini dapat
ditemukan dalam dokumen gereja awal, misalnya dalam Didachè
2,2, sebagaimana dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik,
dikatakan:”Engkau tidak boleh mengaborsi dan juga tidak boleh
membunuh anak yang baru dilahirkan”.34
Dalam Gaudium et Spes juga gereja menegaskan kembali
moralitas
aborsi:
“Allah
Tuhan
kehidupan
telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup
kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak
baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi
dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak
merupakan tindakan kejahatan yang durhaka” (GS no. 51).35
Selanjutnya Ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes
Paulus II menegaskan kembali ajaran gereja mengenai aborsi:
”Saya menegaskan bahwa aborsi langsung dan diinginkan,
artinya dilakukan dan diinginkan sebagai tujuan atau sebagai
cara merupakan satu perbuatan immoral berat.” 36 Dengan
demikian menjadi jelas, bahwa aborsi langsung apapun alasannya
tidak dapat dibenarkan menurut moral. Di samping itu ada aborsi
yang dinamakan aborsi eugenetika, yakni mengaborsi janin yang
cacat karena beranggapan lebih baik mati sebelum lahir dari pada
menderita seumur hidup. Aborsi eugenetika pun tak dapat
dibenarkan, sebab ini adalah aborsi langsung. Akan tetapi aborsi
tidak langsung dapat diijinkan di bawah prinsip double effect,
yakni prinsip moral yang berdasar pada empat kriteria berikut:
34
Katekismus Gereka Katolik No. 2271, Op.Cit., p. 578.
Ibid.
36
Yohanes Paulus II, Evengelium Vitae, No. 57.
35
Moral Dekalog 2016
44




Tindakan/perbuatan pada pada dirinya sendiri per se
adalah baik atau indiferen.
Maksud agen hanyalah mencapai efek baik, sedangkan
efek buruk hanyalah ditolerir.
Efek buruk bukanlah cara/sarana untuk mencapai efek
baik.
Ada proporsionalitas yang memadai antara efek baik
dan efek buruk.
Ada kasus-kasus yang bisa menggunakan prinsip double
effect, misalnya kasus seorang wanita yang sedang mengandung,
namun ditemukan kanker ganas di rahim. Satu-satunya cara untuk
menyelamatkan si ibu dari kematian akibat kanker ganas tersebut
hanyalah dengan mengangkat rahimya, dengan konsekuensi
kematian janin. Dalam kasus ini, kematian janin tidak dinginkan
tetapi hanya sebagai efek samping. Dalam kasus konflik antara
nilai hidup ibu dan janin, moral katolik mengajarkan supaya
sedapat mungkin diselamatakan kedua hidup tersebut. Akan tetapi
kalau tidak memungkinkan lagi, maka harus diselamatkan hidup
yang paling bisa diselamatkan.
Dalam kasus kehamilan sebagai akibat kejahatan
pemerkosaan, beberapa teolog moral Katolik mengatakan bahwa
tindakan membersihkan sperma agresif dalam vagina si korban,
sah secara moral, namun pada saat pembuahan sudah terjadi, tidak
dibenarkan untuk menggugurkannya. Maka dalam kasus sulit
seperti ini, yang harus dilakukan adalah pendekatan pastoral untuk
menolong si korban sehingga ia terbebas dari stress
berkepanjangan, down, kehilangan makna hidup. Pelbagai bentuk
pendampingan, dukungan moral dan spiritual mesti selalu diberi,
sehingga akhirnya ia dapat menerima dan merawat anak yang
sedang dikandungnya dengan penuh cinta kasih. Dalam kasus
pemerkosaan seperti ini baik si wanita korban kejahatan seksual,
maupun anak yang dikandung sama-sama tidak berdosa sehingga
sudah sepatutnya dilindungi.
Moral Dekalog 2016
45
3.5.3.4 Eutanasia
Eutanasia berasal dari kata eu artinya baik, enak dan
thanatos artinya mati. 37 Jadi secara etimologis eutanasia berarti
kematian yang tidak disertai rasa sakit, kematian karena
rasa belas kasih. Moralitas eutanasia didasarkan pada prinsip
bahwa hidup itu adalah anugerah Allah yang harus diterima
dengan rasa syukur dan karena itu tidak bisa dihilangkan atau
dihapus oleh siapapun.
Eutanasia dikategorikan sebagai kejahatan pembunuhan.
Karenanya tidak seorang pun memiliki hak untuk melakukan
eutanasia baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain
yang dipercayakan pada tanggung jawabnya. Eutanasia
merupakan satu bentuk penolakan atas rencana cinta Allah atas
hidup manusia. Di samping itu, eutanasia amat bertolak belakang
dengan keutamaan cinta kasih kepada diri sendiri dan kepada
orang lain.
Ada dua macam eutanasia: eutanasia aktif, yakni tindakan
aktif membuat mati seorang pasien yang berada dalam sakarat
maut, atau sakit tak tersembuhkan, dengan jalan memberikan obat
atau suntikan letal sehingga mengakibatkan kematian secara
prematur. Yang kedua adalah eutanasia pasif, artinya membiarkan
si pasien yang berada dalam keadaan sakratul maut, atau koma
dengan tidak memberikan perawatan yang seharusnya atau
malahan menghentikan pengobatan yang memang perlu sehingga
mengakibatkan si pasien mati secara cepat. 38
37
Leandro Rossi & Ambrogio Valsecchi, Dizionario Enciclopedico Di
Teologia Morale, (Torino:Edizioni Paoline, 1987), p. 380.
38
Dionigi Tettamanzi, Bioetica – Diffendere le frontiere della vita
(Casale Monfferato (AL): Piemme, 1996), pp. 427-428.
Moral Dekalog 2016
46
Moral katolik mengajarkan bahwa setiap umat kristiani
hendaknya memberi perawatan yang perlu kepada pasien sebagai
wujud cinta kepada sesama. Akan tetapi dalam kasus di mana
segala usaha pengobatan sudah dilakukan tetapi keadaan pasien
tetap tidak berubah, malah semakin memburuk, maka dalam
situasi ketika kematian sudah mendekat dan tidak dapat dielakkan,
tindakan menghentikan pengobatan dapat dijikan secara moral.
Hal ini tidak dapat disamakan dengan tindakan eutanasia tetapi
terlebih sebagai ungkapan penerimaan kondisi manusiawi di
mana realita kematian memang tidak bisa dihindari. Sikap yang
tepat dalam kondisi demikian adalah, mendampingi si pasien
sehingga ia sungguh dikuatkan dan didukung, seraya menyiapkan
ia agar benar-benar siap dan iklas untuk beralih ke hidup abadi.
3.5.3.5 Pembelaan Diri yang Sah
Dalam moral katolik pembelaan diri yang sah sehingga
menimbulkan kematian si aggresor yang tidak adil, dibenarkan
secara moral. Hal ini sesuai dengan kecenderungan kodrati untuk
membela hidupnya sendiri. Individu yang diserang dan
hidupnya diancam mempunyai hak dan kewajiban untuk
membela diri, untuk tidak tunduk pada penyerang.
Katekismus dengan mengambil otoritas St. Thomas
Aquinas mengatakan: “Dari tindakan orang yang membela diri
sendiri, dapat menyusul tindakan ganda, yang satu ia
menyelamatkan hidupnya sendiri, yang lain adalah pembunuhan
si penyerang”. 39 Dari tindakan pembelaan diri tersebut dapat
dilihat, bahwa dampak yang pertama diinginkan sedangkan yang
kedua tidak disengaja, namun sebagai efek samping.
Pembunuhan si penyerang yang tidak adil, tidak dapat
dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja. Pembunuhan ini
39
Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, q. 64, ad. 7 dalam
Katekismus Gereja Katolik, No. 2263.
Moral Dekalog 2016
47
hanyalah sebagai konseskuensi dari tindakan membela diri.
Penilaian moral atas pembelaan diri yang sah dapat dilihat dalam
Katekismus: “Siapa yang membela hidupnya sendiri tidaklah
bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis
penyerangnya dengan satu pukulan yang mematikan”.40
Dalam kasus pembelaan diri pun dapat diterapkan prinsip
double effect. Salah satu syarat dari prinsip ini adalah adanya
proporsionalitas antara efek baik dan efek buruk.. “Jika seorang
waktu membela dirinya sendiri, mempergunakan kekuatan yang
lebih besar dari pada sewajarnya, maka ia tidak dibenarkan”. 41
Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa pembunuhan
manusia yang tidak berdosa dengan sengaja secara berat
bertentangan dan melawan martabat manusia dan sakralitas hidup
manusia, bertentangan dengan kaidah emas, dengan kekudusan
Pencipta. Hukum yang melarang pembunuhan ini, mempunyai
keabasahannya universal, mewajibkan dan mengikat semua dan
masing-masing, selalu dan di mana-mana..42
3.6. Firman VI: Jangan Berzinah
Sebelum masuk pada maksud awal firman ini, ada baiknya
terlebih dahulu dipahamia apa yang dimaksud dengan zinah.
Dalam Perjanjian Lama zinah adalah hubungan seks yang
dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan
seorang pria lain yang bukan suaminya, entah dengan pria
yang kawin ataupun belum. 43 Oleh karena itu, perzinahan
hanyalah suatu pelanggararan atas hak suami, dan tak pernah
40
Katekismus Gereka Katolik, No. 2264.
St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, q. 67, a.4).
42
Katekismus Gereja Katolik, no. 2259 dan 2261.
43
Stefan Leks, Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 157.
41
Moral Dekalog 2016
48
melawan hak wanita/istri. Karena dalam tradisi Yahudi yang
mempunyai hak hanyalah pria, termasuk hak atas wanita/istri.
3.6.1 Maksud Awal
Maksud awal firman ini adalah untuk melindungi stabilitas
keluarga demi mempertahankan keturunan yang sah. Melalui
perzinahan, seorang pria mengganggu dan merongrong kesatuan
keluarga lain dan sekaligus merebut hak suami atas istrinya.
Sedangkan seorang wanita yang berzinah itu sendiri merugikan
dan menghancurkan rumah tangganya dengan hidup tidak setia.
Hubungan seksual antara seorang pria yang sudah beristri dengan
seorang pelacur atau wanita yang masih gadis, tidak dikategorikan
sebagai perzinahan.
Dalam pemahaman selanjutnya, firman jangan berzinah
dimaksudkan untuk melindungi nilai kesetiaan dalam perkawinan.
Tata kesatuan dalam perkawinan bisa hancur karena
ketidaksetiaan dari salah satu partner. Kesetiaan dalam
perkawinan menuntut satu relasi cinta yang eksklusif antara
suami istri.
Dalam Perjanjian Lama, realitas perkawinan dipakai oleh
para nabi sebagai lambang hubungan antara Yahwe dengan Israel,
di mana Allah/Yahwe digambarkan sebagai mempelai pria yang
selalu setia kepada Israel yang adalah mempelai wanita.
Walaupun Israel sering kali tidak setia dengan menyeleweng,
seperti berzinah dengan menyembah dewa-dewi asing, Allah tetap
menunjukkan cinta dan kesetiaan-Nya. Gambaran yang sangat
Moral Dekalog 2016
49
indah ini, misalnya, dilukiskan dalam pernikahan Hosea dengan
seorang pelacur (Hos. 1-3).44
3.6.2 Pemahaman Lebih Lanjut
Dalam Perjanjian Baru, Yesus membertikan visi baru
berkaitan dengan perzinahan. Kalau dalam Perjanjian Lama,
hanya suami yang mempunyai hak dalam perkawinan, maka
dalam Perjanjian Baru istri pun mempunyai hak yang sama seperti
suami. Hal ini dapat dilihat dalam perdebatan Yesus dengan orang
farisi berkaitan dengan soal perceraian. “Barang siapa
menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup
dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si
istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain , ia
berbuat zinah” (Mrk 10,11-12). Berkaitan dengan zinah, Yesus
memperluas cakupan zinah bukan hanya sebagai perbuatan
lahiriah, tetapi juga menyangkut perbuatan kehendak, keinginan
dalam hati untuk mengingini seorang perempuan: “Setiap orang
yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah
berzinah dengan dia dalam hatinya”( Mat. 5,28).45
Perbuatan zinah merupakan pelanggaran terhadap nilai
kesetiaan dalam perkawinan. Dan kesetiaan yang dilanggar oleh
salah satu partner dalam pandangan Yesus, tidak dapat dijadikan
alasan untuk meminta perceraian. Dalam konteks inilah, Yesus
mengembalikan makna perkawinan sesuai sesuai dengan
tujuannya yang semula, yakni apa yang telah disatukan Allah
seperti pada awal mula, tidak boleh diceraikan oleh manusia.
Kesetiaan suami istri dalam untung dan malang akan menjadi
44
Paul M.Quayi, The Christian Meaning of Human Sexuality, (San
Francisco:Ignatius Press, 1985), pp.44-45.
45
Ibid. p. 155. Hati menurut pemikiran Yahudi adalah pusat
pemikiran, aktifitas intelektual dan keputusan, bukan emosi seperti yang
dimengerti oleh manusia modern.
Moral Dekalog 2016
50
gambaran kesetiaan Allah pada umat-Nya, dan gambaran
kesetiaan Kristus kepada gereja-Nya.
Katekismus memperluas cakupan firman jangan berzinah
yakni menjauhkan diri dari segala tindakan yang mencemarkan
kemurnian hati dan hidup, di mana setiap orang dipanggil pada
kemurnian. Kemurnian merupakan tugas dan panggilan setiap
orang secara pribadi, namun juga membutuhkan lingkungan dan
kultur
yang mendukung dimensi-dimensi susila dan
rohani.
Kemurnian adalah integrasi
seksualitas yang
membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin
manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani.
Keutamaan kemurnian menjamin keutuhan pribadi dan
kesempurnaan penyerahan diri. Dalam keutamaan ini ada
keutamaan lain yakni pengendalian diri. Dengan akal budinya
manusia dapat mengatur dan mengendalikan nafsu dan dorongan
seksualnya. Keutamaan ini penting untuk menjaga kemurnian
hati.46
Seksualitas sebagai ekspresi keberadaan manusia
merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri. Seksualitas
merupakan bagian integral kepribadian manusia, artinya bahwa
seksualitas ini sangat berpengaruh terhadap hidup seseorang, cara
dia berprilaku dan cara ia berada. Seksualitas sebagai suatu energi
dalam diri manusia harus diatur dan diarahkan supaya tidak liar
dan merendahkan martabat pribadi seseorang dan orang lain.
Dalam tata perkawinan, seksualitas menjadi sarana untuk
memperdalam kesatuan antara suami dan istri demi kesejahteraan
dan kebahagiaan bersama. Pada hakikatnya seksualitas dalam
konteks perkawian terarah pada prokreasi. Dengan demikian,
aktivitas seksualitas yang mengecualikan aspek prokreatif,
bertentangan dengan makna seksualitas yang sesungguhnya.
46
Katekismus Gereja Katolik, No. 2337-2345.
Moral Dekalog 2016
51
3.6.3 Pelanggaran-Pelanggaran
Melawan Kemurnian:
Katekismus menyebut beberapa bentuk pelanggaran melawan
kemurnian:





Ketidakmunian dimengerti sebagai dorongan untuk selalu
mengejar dan memuaskan segala keinginan dan
kenikmatan seksual.
Masturbasi: rangsangan alat-alat
Kelamin
yang
disengaja dengan tujuan untuk mencapai kenikmatan
seksual. Tindakan ini bertentangan dengan ajaran moral
gereja karena memisahkan seksualiatas dari hakikat dan
tujuan dasarnya. Seksualitas mengandung dimensi
interrelasional, hubungan intersubjekstif. Masturbasi
merupakan pembiasan daya kekuatan seksualitas, yakni
menikmati seks secara egoistik serta memisahkannya dari
dimensi prokreatif.
Percabulan: yakni hubungan seksual diantara seorang pria
dan seorang wanita yang tidak terikat ikatan perkawinan.
Pada hakikatya seksualiatas manusia ditujukan untuk
kebahagiaan suami istri yang terbuka pada Kelahiran anak.
Prostitusi: merupakan tindakan yang merendahkan
martabat wanita dengan mereduksinya hanya sebagai alat
pemuas nafsu seks, merupakan satu pelecehan terhadap
nilai kemurnian dan kekudusan.
Homosekualitas: ada dua macam homoseksualitas, yakni
homoseksualitas karena Kelainan kromosom secara kodrat
dan
homoseksualitas
sebagai
kecenderungan.
Homoseksualitas adalah daya tarik seksual terhadap orang
sejenis Kelamin. Homoseksualitas ini bertentangan
dengan hukum kodrat. Dalam hubungan seksual di antara
Moral Dekalog 2016
52

orang homoseks tidak terbuka pada keturunan/prokreasi,
kekurangan unsur saling melengkapi. Berhadapan dengan
orang-orang homoseksual, mereka harus dipahami dan
dihormati sehingga akhirnya mereka dapat memahami
dirinya dan secara perlahan-lahan diajak untuk
menghayati kemurnian dengan pengendalian diri.47
Selain bentuk-bentuk pelanggaran kemurnian di atas,
masih ada bentuk pelangaran lain terhadap perintah
keenam, yakni masalah pengaturan Kelahiran atau
moralitas penggunaan alat kontrasepsi. Berkaitan dengan
soal pengaturan Kelahiran, gereja mengajarkan supaya
umat mengikuti Keluarga berencana alamiah (KBA), yakni
dengan melakukan pantang berkala selama masa-masa
subur. Dalam KBA ini ada kerja sama antara suami dan
istri, ada saling pengertian dan saling mendukung, dan
dapat juga meningkatkan komunikasi di antara mereka.
Di samping itu, firman ini juga menyangkut moralitas
inseminasi artifisial (FIVET) bagi pasangan-pasangan yang tidak
subur. Apakah inseminasi artifisial dibenarkan secara moral?
Sangat penting untuk membedakan antara FIVET homolog dan
FIVET heterolog. Dalam FIVET homolog baik sel telur maupun
spermatozoa berasal dari pasangan yang sama. Oleh karena ada
Kelainan hormonal maka di antara mereka tidak bisa
melangsungkan pembuahan di dalam rahim si istri. Melalui
FIVET ini, zigot lalu ditransfer ke rahim si istri.
Dalam FIVET heterolog dilibatkan juga pihak ketiga, di mana
sel telur atau spermatozoa bisa berasal satu dari salah satu
pasangan dan yang lainnya berasal dari pendonor, atau bisa juga
kedua-duanya berasal dari pendonor. Lebih dari itu, anak dari
pembuahan itu ditransfer bukannya ke rahim istri sendiri, tetapi
ditransfer ke rahim orang lain. Hal ini jelas tidak dapat dibenarkan
47
Ibid., No. 2351-2356.
Moral Dekalog 2016
53
secara moral. Keberatan moral dari FIVET ini adalah bahwa anak
lahir ke dunia bukan di dalam dan melalui perkawinan yang sah
sebagai buah cinta suami-istri. Anak merupakan anugerah Tuhan.
Tetapi yang tampak di sini anak menjadi produk teknologi
tertentu.48
3.7. Perintah VII: Jangan Mencuri
3.7.1 Maksud awal
Maksud awal firman jangan mencuri sebetulnya lebih
dikaitkan dengan pencurian manusia, penculikan manusia bebas.
Jadi firman ini mau melindungi kemerdekaan orang Israel yang
bebas. Kata yang digunakan untuk menunjuk firman ini adalah
kata ganav. Kata ini merujuk pada tindakan pencurian manusia
atau penculikan dalam bahasa sekarang.49 Dalam kitab Keluaran
21,16 dikatakan: “Siapa yang menculik seorang manusia, baik ia
telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti
dihukum mati”.
Dalam Kitab Ulangan dikatakan: “Apabila sekarang
kedapatan sedang menculik orang, salah seorang saudaranya
dari antara orang Israel, lalu memperlakukan dia sebagai
budak dan menjual dia, maka haruslah penculik itu mati.
Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengahtengahmu!” Ul. 24,7. Dari kedua ayat ini menjadi jelas, bahwa
firman jangan mencuri pertama-tama dimaksukan untuk
melindungi kebebasan orang merdeka dan melarang penjualan
manusia untuk dijadikan budak. Landasan dasarnya jelas bahwa
orang Israel pun dulu sebagai budak, namun kasih dan kebaikan
Allah telah membebaskan mereka dari status budak menjadi
48
Dionigi Tettamanzi, Bioetica – Diffendere le Frontiere della Vita,
(Casale Monfferato (AL): Edizioni Piemme, 1996), pp. 156-157.
49
Bernhard Kieser, Op.Cit., p.174.
Moral Dekalog 2016
54
seorang merdeka. Pengalaman pembebasan ini hendaknya
menjadi titik acuan bagi orang Israel untuk menghormati manusia
lain sebagai manusia bebas merdeka.
Akan tetapi oleh karena keadaan ekonomi di Israel yang
buruk dan kemiskinan yang merajalela, maka kondisi ini membuat
orang dengan terpaksa menjual tanahnya sebagai gadaian dan
bahkan menjual anak atau dirinya sebagai budak untuk
menghapus utang. Untuk itu tetap ada aturan bahwa seorang
budak harus dibebaskan pada tahun ketujuh (Tahun sabat) dan
pada tahun ke lima puluh (Tahun Yobel). “Apabila engkau
membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah ia bekerja padamu
enam tahun lamanya, tetapi pada tahun ke tujuh ia dijinkan
Keluar sebagai orang merdeka, dengan tidak membayar tebusan
apa-apa” (Kel. 21,2).
Pada tahun kelima puluh tanah-tanah yang terpaksa dijual
karena kemiskinan itu harus dikembalikan lagi kepada pemiliknya
karena tanah ini merupakan anugerah Allah bagi bangsa Israel,
tanah janganlah dijual mutlak karena Tuhanlah pemilik tanah,
sedangkan orang-orang Israel adalah orang asing dan pendatang
bagi Allah (Imamat 23,23) dan juga para budak harus
dibebaskan:”Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu,
sehingga menyerahkan diri kepadamu, maka janganlah
memperbudak dia. Sebagai orang upahan dan sebagai pendatang
ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia
harus bekerja padamu. Kemudian ia harus diijinkan Keluar dari
padamu, ia bersama anak-anaknya, lalu pulang kembali kepada
kaumnya dan ia boleh pulang ke tanah milik nenek
moyangnya”(Im. 25,39-41). Motif dasar dari pembebasan ini
adalah tindakan pembebasan Allah yang dilakukan atas Israel. Hal
ini menjadi tuntutan etis dan moral bagi Israel.
Moral Dekalog 2016
55
3.7.2 Perkembangan Pemahaman
Perkembangan lebih lanjut dari firman jangan mencuri
mengacu pada pencurian barang. Pencurian barang milik orang
lain jelas bertentangan dengan prinsip keadilan yang berbunyi:
berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dalam
Perjanjian Lama harta milik bukanlah hak mutlak seseorang,
sebab yang menjadi pemilik mutlak adalah Allah sendiri. Yang
dilarang dalam firman ini adalah pencurian dari atas, yang
dilakukan oleh orang-orang berkuasa dan berada terhadap yang
lemah/miskin, tanpa mengabaikan juga pencurian dari bawah
yang dilakukan oleh orang-orang lemah/miskin. 50 Dalam Kitab
Ulangan dikatakan “Jika ia seorang miskin, janganlah engkau
tidur dengan barang gadaiannya. Kembalikanlah barang gadaian
itu kepadanya sebelum matahari terbenam, supaya ia dapat tidur
dengan memakai kainnya sendiri dan memberkati engkau. Maka
engkau akan menjadi benar di hadapan Tuhan Allahmu”(Ul. 24,
12-13).
Para nabi terutama Amos mengkritik para penguasa dan
orang kaya serta para penikmat karena mereka telah bersikap
masa bodoh terhadap nasib orang miskin, bahkan mereka berbuat
curang terhadap orang miskin. Nabi Mikha mengkritik para
spekulan dan pencatut tanah: “Yang menginginkan ladang-ladang,
mereka
merampasanya,
dan
rumah-rumah,
mereka
menyerobotnya; yang menindas orang dengan rumahnya,
manusia dengan milik pusakanya”(Mikha 2,2). Pencurian dari atas
ini dapat dilihat dalam peristiwa penyerobotan Raja Ahab yang
menginginkan tanah milik Nabot seorang miskin. Ahab bersama
permaisurinya Izabel berdaya upaya untuk merebut tanah milik
Nabot dengan fitnah sehingga Nabot dihukum mati. Lalu Elia
menubuatkan hukuman berat atas raja Ahas dan keturunannya
karena kejahatannya itu.
50
Ibid., pp.174-175.
Moral Dekalog 2016
56
Firman jangan mencuri diperluas maknanya sampai pada
makna sosial dari harta milik itu. Kekayaan adalah anugerah Allah
yang diberikan kepada semua manusia dan ditujukan kepada
seluruh manusia. Karena itu tindakan penumpukan kekayaan oleh
segelintir orang sehingga menimbulkan penderitaan dan
kemiskinan bagi sebagian besar orang jelas merupakan bentuk
perlanggaran terhadap firman jangan mencuri. Adalah satu
tindakan jahat membiarkan orang lain mati karena keserakahan
dan kerakusan seseorang.
Dalam konteks sekarang ini, firman ketujuh memperoleh
aktualisasinya dalam memperlakukan manusia. Manusia
janganlah dijadikan sebagai objek atau direduksi hanya sebagai
alat produksi. Bagaimanapun juga, manusia harus tetap menjadi
subjek, dan tujuan dari segala aktivitasnya. Adalah bertentangan
dengan dengan firman ketujuh, apabila menjadikan manusia
sebagai objek untuk memperkaya diri, misalnya seorang dokter
atau psikolog yang menggunakan kesempatan dalam proses
pengobatan, kaum majikan yang menggaji karyawan dengan gaji
di bawah standar minimum. Tindakan eksploitasi terhadap para
papa miskin dan kaum buruh jelas bertentangan dengan prinsip
keadilan yang sangat erat berhubungan dengan firman ketujuh
ini.51
Jurang yang semakin lebar antara kaum kaya dan kaum
miskin menuntut adanya keadilan dalam pemerataan pembagian
hasil dan pemberian kesempatan yang sama. Untuk itu,
dibutuhkan juga solidaritas antar manusia, antar golongan, antar
negara. Solidaritas menuntut kesediaan mereka yang punya untuk
dengan rela hati mau membagi kepada mereka yang miskin dan
berkekurangan.
51
Benedict M.Ashley, Living the Truth in Love, New York: Society of
St.Paul,1996), p. 364-366.
Moral Dekalog 2016
57
Firman ketujuh juga melindungi pribadi manusia,
khususnya perlindungan atas hak milik yang merupakan dasar
untuk menjamin kebebasan sebagai manusia. Firman ketujuh
mengajak orang beriman untuk memperhatikan kaum miskin
sehingga merekapun dapat memenuhi tuntutan minimal untuk
hidup sebagai manusia. Prinsip keadilan dan cinta kasih mendapat
wujud konkrit dalam pelayanan kepada kaum miskin, di mana
Kristus sendiri mengidentifikasikan diri-Nya dalam dan melalui
mereka. Hal-hal yang perlu dikritisi dalam terang firman jangan
mencuri adalah: tindakan memperlakukan manusia sebagai budak
dalam kasus-kasus seperti para pembantu yang dibayar dengan
upah yang tak sepadan dengan jam kerja mereka (bentuk-bentuk
baru perbudakan); para karyawan pabrik yang dibayar rendah
dalam tatanan sistem ekonomi kapitalis (the primacy of capital
over labour); para penjaga atau pelayan toko yang diupah sangat
rendah demi menghemat pengeluaran dari para pemilik toko, dsb.
Prinsip pembebasan dari firman ketujuh ini adalah: Semua
manusia telah dibebaskan Allah, maka dia tidak boleh dijadikan
korban kepentingan apapun, termasuk kepentingan ekonomi.52
Sementara itu dalam kasus penjarahan masal, apakah
tindakan semacam itu dapat dibenarkan secara moral? Apalagi
kalau penjarahan atau pencurian itu dilakukan karena situasi
mendesak demi mempertahankan hidup? Kasus korupsi yang
dilakukan oleh para petinggi/pejabat negara, atau juga pencurian
waktu yang dilakukan oleh para karyawan, bagaimanakah
menilainya secara moral? Semua tindakan ini tetap dinilai sebagai
perbuatan jahat/dosa. Sebab setiap manusia berhak atas apa yang
menjadi milik kepunyaannya. Setiap tindakan mengambil barang
milik orang lain, menimbun milik orang lain demi memperkaya
diri – juga dengan alasan demi mempertahankan hidup adalah
salah. Tuntutan untuk membangun persaudaraan sejati dalam
terang iman kepada Yesus, sama sekali tidak membenarkan
52
Ibid., pp. 370-374.
Moral Dekalog 2016
58
tindakan mengobyekkan orang lain. Manusia mesti diperlakukan
sebagai saudara, subyek yang bertangunggjawab.
3.8. Perintah VIII: Jangan Mengucapkan Saksi
Dusta
3.8.1. Maksud Awal
Larangan untuk bersaksi dusta erat kaitannya dengan
persidangan perkara di pengadilan. Dalam teks Keluaran 20,16
saksi dusta merupakan terjemahan dari kata bahasa Ibrani: syaker
yang artinya dusta –ada unsur kesengajaan, tahu bahwa itu salah.
Sedangkan dalam teks Ulangan 5,20 saksi dusta mengacu pada
larangan untuk bersaksi palsu, yang merupakan terjemahan dari
kata Ibrani syave. Dalam hal ini seseorang memberikan kesaksian
tetapi tidak diverifikasi terlebih dahulu, atau belum dibuktikan
kebenarannya. Tujuan semula dari firman ini adalah melindungi
orang dari tuduhan palsu yang berdampak negatif, merusak nama
baik atau bahkan lebih jauh demi menentukan hidup matinya
seseorang. Hal ini dapat dipahami dalam konteks tradisi Israel
kuno di mana proses pengadilan dilakukan di pintu gerbang kota.
Dalam proses pengadilan tersebut keberadaan dua orang
saksi sangat menentukan nama baik dan hidup seseorang yang
dituduh bersalah. “… maka engkau harus membawa laki-laki atau
perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar
pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus
dilempari dengan batu sampai mati. Atas kesaksian dua atau tiga
orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati”.
Dalam masyarakat Israel tampak jelas bahwa seorang
benar dapat saja dijatuhi hukuman mati oleh karena kesaksian
Moral Dekalog 2016
59
palsu dari dua orang saksi palsu. Misalnya, karena keserakahan,
iri hati dan ambisi pribadi, raja Ahaz membunuh Nabot melalui
kesaksian palsu. Juga Susana karena ia tidak memenuhi
keinginan nafsu seksual kedua hakim yang bejat, akhirnya
dihukum rajam karena kesaksian palsu kedua hakim itu (Daniel
13,1-49). Dengan ini jelas bahwa kesaksian palsu itu sangat
membahayakan keselamatan orang yang tidak bersalah. Jadi
larangan untuk bersaksi dusta melindungi kepastian hukum dan
keamanan sosial.53
Untuk itu secara positif firman jangan bersaksi dusta
tentang sesamamu sebenarnya mau mengajak orang untuk
membela kebenaran atau selalu menyatakan kebenaran demi
menyelamatkan orang yang tidak bersalah dari tuduhan palsu
yang tidak benar. Memberi kesaksian berarti memberi
keterangan dan penegasan atas apa yang telah terjadi. Seorang
saksi adalah orang yang sungguh turut menyaksikan suatu tindak
kejahatan. Maka seorang saksi yang benar dan jujur akan
mendukung proses pengadilan yang adil.
Dengan demikian firman ini mau menjamin keadilan di
hadapan pengadilan, menjamin proses pengadilan yang bersih,
jujur dan benar, menegakkan kepastian hukum sehingga orang
tidak main-main dengan kebenaran. Yesus sendiri mengatakan
kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak, selebihnya berasal
dari si jahat. Apalagi seringkali kebenaran dan keadilan dalam
pengadilan itu dirongrong oleh kebiasaan suap yang dimotivasi
oleh ketakutan terhadap hukuman atas pelanggaran yang telah
dilakukan.
Pada kenyataannya memang keadilan dan kebenaran
seringkali dikorbankan karena uang. Akibatnya, orang miskin
yang tidak memiliki uang sering kali menjadi korban. Hal ini
53
Bernhard Kieser, Op.Cit., p.175.
Moral Dekalog 2016
60
sering dilakukan bahkan sudah menjadi kebiasaan juga dalam
masyarakat Perjanjian Lama. Nabi Yesaya menulis: “Celakalah
mereka yang membenarkan orang fasik karena suap, yang
memungkiri hak orang benar” (Yes. 5,22-23).
Nabi Amos sendiri terkenal sebagai nabi yang berani
mengkritik ketidakailan yang dilakukan oleh para penguasa dan
orang kaya: “Dosamu berjumlah besar hai kamu yang
menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan
mengesampingkan orang muskin di pintu gerbang” (Amos 5,12).
Dalam Kitab Ulangan ditegaskan hal keadilan di pengadilan:
“Dalam mengadili janganlah pandang bulu, sebab pengadilan
adalah hak Allah” (Ul. 1,17).
3.8.2 Perkembangan Makna
Firman ini dalam pemahaman selanjutnya tidak hanya
terbatas pada perkara pengadilan yang harus dilakukan secara
benar dan adil, tetapi juga menunjuk pada ajakan untuk hidup
dalam kebenaran. Hidup dalam kebenaran adalah konsekuensi
dari iman kepada Allah, yang adalah sumber segala kebenaran,
bahkan kebenaran tertinggi. Sabda dan hukum-Nya adalah
kebenaran. Kristus sendiri menampilkan diri-Nya sebagai
kebenaran, menampilkan anugerah Roh-NYa sebagai Roh
kebenaran (Yoh 14,17) yang membimbing para murid kepada
kebenaran. Kristus sendiri di hadapan Pilatus menyatakan bahwa
kedatangan-Nya ke dunia adalah untuk memberi kesaksian
tentang kebenaran (Yoh. 18,37). Semua ini menjadi suatu seruan
profetis agar setiap orang Kristiani berani memberi kesaksian
tentang kebenaran. Kristus juga telah menjadi saksi kebenaran
sampai Ia sendiri mati oleh karena kebenaran itu. Ini adalah
tindakan kemartiran. Kemartiran adalah bentuk kesaksian
tertinggi dalam memberi kesaksian mengenai kebenaran iman.
Kepercayaan pada kebenaran akan sangat mempengaruhi pilihan
Moral Dekalog 2016
61
seorang Kristiani untuk selalu memilih nilai yang lebih tinggi,
nilai moral dan kebaikan interior atau kekudusannya sendiri.
Kehidupan
fisik
adalah
relatif
dalam
hubungannya
dengan kehidupan spiritual sehingga dalam situasi konflik,
secara moral orang harus memilih kehidupan spiritual. Kebenaran
dan kesetiaan Allah menjadi dasar atau motivasi bagi
manusia untuk selalu bertindak benar dan adil.
Perintah kedelapan ini juga mau mengajak orang untuk
tidak menipu dan berbohong pada diri sendiri, sesama dan Allah.
Kejujuran terhadap diri sendiri merupakan dasar moralitas. Dalam
realitas sehari-hari, ketidakberanian orang untuk mengatakan
kebenaran sering kali dikondisikan oleh faktor-faktor keamanan.
Orang yang lantang atau getol dalam menyuarakan kebenaran dan
keadilan biasanya tidak bisa bertahan lama dalam jabatan atau
tugas yang dipercayakan kepadanya. Dia akan menderita karena
dikucilkan, difitnah, atau bahkan dipecat dari jabatannya.
Katekismus memperluas cakupan firman kedelapan ini
dalam hubungannya dengan kebebasan untuk mengungkapkan
dan menyuarakan kebenaran. Sejauh manakah seseorang harus
mengatakan kebenaran dalam hidup sehari-hari. Apakah benar
dan bijaksana mengatakan semua apa adanya dan di mana saja?
Apakah etis menelanjangi kesalahan orang di depan banyak
orang? Tentu saja dalam mengungkapkan kebenaran setiap orang
harus memperhatikan dan mempertimbangkan integritas pribadi
orang lain dan memperhatikan kepentingan umum. Untuk itu,
dalam mengungkapkan kebenaran orang harus juga bersikap
bijaksana.
Selanjutnya, berkaitan dengan hak atas informasi, maka
hak tersebut harus dituntun dan arahkan oleh kebenaran,
kebebasan, cinta kasih dan solidaritas. Dalam kaitan dengan
persoalan ini, KV II melalui Inter Mirica (IM) mengatakan:
Moral Dekalog 2016
62
Di dalam masyarakat manusia terdapat hak atas informasi
mengenai hal-hal yang sesuai dengan manusia baik
perorangan maupun tergabung dalam masyarakat, menurut
situasi masing-masing. Akan tetapi, pelaksanaan hak ini
secara tepat menuntut agar mengenai isi, komunikasi
selalu benar dan utuh, sambil memperhatikan keadilan dan
cinta kasih. Selain itu, mengenai caranya, hendaklah
berlangsung dengan jujur dan memenuhi syarat;
maksudnya, hendaknya komunikasi itu mengindahkan
sepenuhnya hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang
semestinya serta martabat pribadinya, baik dalam mencari
maupun dalam menyebarkan berita; karena bukan semua
pengetahuan menguntungkan, hanya cinta membangun (1
Kor 8:1).54
Penilaian moral atas informasi yang benar hanya muncul
dari maksud demi kebaikan umum, disesuaikan dengan prinsip
keadilan, kebenaran, kebebasan dan solidariatas. Masyarakat
mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar dan
utuh, tidak dimanipulasi.
Mereka yang bertanggung jawab dalam bidang percetakan
dan media massa/informasi mempunyai kewajiban moril untuk
memperhatikan kebenaran dan kasih dalam memberikan informasi
yang proporsional, akurat, tepat dan tidak menyesatkan serta tidak
meresahkan dan mengganggu kesejahteraan umum. Tugas luhur
mereka yang terlibat dalam pelayanan penyebarluasan informasi
adalah membentuk opini publik yang sehat, membentuk suara hati
yang benar. “Setiap pelanggaran melawan keadilan dan kebenaran
membawa serta kewajiban untuk pemulihan, juga apabila
pengampunan sudah diberikan kepada pencetusnya“ (KGK.
2487).
54
Dokumen Konsili Vatikan II, Inter Mirifica No. 5, R.Hardawiryana
(penterj.) (Jakarta: Obor, 1996), p.54.
Moral Dekalog 2016
63
Salah satu hal yang mesti diperhatikan adalah bahwa
dalam
menyampaikan
kebenaran,
orang
harus
memperhatikan keadaan dan kesiapan orang yang akan
menerimanya. Penyampaian itu mestinya dilakukan berdasarkan
kasih dan bijaksana, misalnya kebenaran yang menyangkut
keadaan pasien.
Berkaitan dengan rahasia jabatan: dokter, militer, hakim:
informasi pribadi yang merugikan orang lain, tidak boleh
disebarluaskan tanpa dasar yang memadai. Berkaitan dengan
kode etik dalam pengakuan dosa, pelayan pengakuan dosa pun
tidak boleh dengan bebas membocorkan rahasia pengakuan dosa
(Kan. 983).
Firman ini juga melarang orang untuk berdusta, artinya
orang mengatakan yang tidak benar dengan maksud untuk
menyesatkan. Dusta berasal dari iblis: “Iblislah bapamu, …. Ia
tidak pernah memihak kebenaran, sebab tidak ada kebenaran
padanya. Kalau ia berdusta, itu sudah wajar karena sudah begitu
sifatnya. Ia pendusta dan asal segala dusta” (Yoh. 8,44). (Bdk.
Kat. 2482). “Dusta adalah pelanggaran paling langsung terhadap
kebenaran. Berdusta berarti berbicara atau berbuat melawan
kebenaran untuk menyesatkan seseorang yang mempunyai hak
untuk mengetahui kebenaran” (Kat. 2483).
Firman ini juga melarang orang untuk memfitnah, yaitu
menyampaikan kesalahan dan pelanggaran seseorang kepada
orang lain yang tidak tahu menahu mengenai hal itu tanpa dasar
yang obyektif dan sah; fitnah berarti membuat penilaian yang
lancang, tanpa bukti yang memadai (Bdk. Kat. 2477)
Firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu juga mau
membangun tata hidup bersama atas dasar kebenaran dan saling
percaya. “Manusia tidak dapat hidup bersama dalam suatu
masyarakat kalau tidak saling mempercayai, sebagai orang yang
Moral Dekalog 2016
64
menyatakan kebenaran satu sama lain” (Summa Theologiae II-II,
q. 103, a.3).
Di samping itu, firman kedelapan ini juga mengajak orang
untuk tidak berbohong kepada diri sendiri, tidak mentolerir
kesalahan diri sendiri. Seorang kristiani mestinya menghindari
sikap munafik. Sikap yang mendiamkan kejahatan dan
ketidakadilan demi kenyamanan diri sendiri. Dalam budaya
manapun setiap orang kristiani mesti berani mengungkapkan apa
yang benar dan menyatakan perbuatan-perbuatan yang salah.
3.8.3 Kesimpulan
Firman jangan bersaksi dusta dimaksudkan untuk
menjamin kebenaran dan keadilan dalam proses pengadilan,
sehingga hak orang kecil dan lemah tidak dikorbankan. Di
samping itu, firman ini mau menegaskan bahwa tata hidup
bersama dapat diupayakan hanya jika kepercayaan yang menjadi
dasar hidup bersama tidak dirusak. Firman ini juga menegaskan
panggilan setiap orang Kristiani dan setiap orang yang
berkehendak baik untuk hidup dalam kebenaran, menjadi saksi
kebenaran, karena kebenaranlah yang akan memerdekakan (Bdk.
Yoh. 8: 32)
3.9. Perintah IX: Jangan Ingin Berbuat Cabul
3.9.1. Makna Awal
Rumusan asli dari perintah ini berbunyi: “Jangan
mengingini istri sesamamu” (Ulangan 5,21a). Kata Ibrani yang
merujuk pada perintah ini adalah kata hamad yang artinya
mengingini. Dalam konteks ini mengingini bukan sekedar
Moral Dekalog 2016
65
mengingini dalam hati, tetapi sudah mengacu pada tindakan
mengambil apa yang diinginkan.55 Dengan demikian, mengingini
istri sesamamu berarti lebih dari sekedar rangsangan hati sematamata. Jadi, dalam perintah kesembilan ini, larangan dimaskudkan
untuk tidak mengingini istri sesama yang disertai dengan upaya
untuk mengambilnya menjadi milik kepunyaan.
Hal yang dipertaruhkan dalam firman ini adalah
kelangsungan dan stabilitas keluarga orang lain yang dilakukan
oleh pihak ketiga, yang berusama memisahkan istri dan ibu dari
suami dan anak serta menghancurkan keharmonisan keluarga
orang lain. Dengan demikian, firman ini sesungguhnya bermaksud
menjaga keutuhan keluarga dan melindunginya dari nafsu tak
terkendali pihak ketiga.
3.9.2 Perkembangan Makna
Perintah jangan mengingini istri sesamamu kemudian
diperluas cakupannya tidak hanya pada persoalan keingingan hati
yang mengarah pada tindakan mengambil istri orang lain, tetapi
mengajak orang untuk menjaga kemurnian hatinya. Kalau
perintah keenam lebih mengacu pada tindakan lahiriah, maka
perintah kesembilan ini lebih kepada sikap hati yang tidak murni,
yang mencanangkan kejahatan untuk mengambil istri orang.
Mengapa kemurnian di sini mendapat penekanan? Sebab pada
hakikatnya segala dosa dan kejahatan berawal dari sikap hati yang
tidak murni, bersih. 56 Yesus sendiri dalam kotbah di bukit
menekankan sikap hati/disposisi batin yang baik. ”Barang siapa
memandang seorang wanita dengan nafsu birahi birahi,
dia sudah berjinah dengan wanita itu dalam hatinya” (Mat.
5,28). Dalam teks ini tampak bahwa moralitas yang dibawa
55
Bernhard Kieser, Op.Cit., p. 175.
Cataldo Zuccaro, Morale Sessuale, (Bologna: Edizioni Dehoniane,
2002), pp.203-206.
56
Moral Dekalog 2016
66
Yesus benar-benar radikal, yakni moralitas yang berakar pada
hati. Karena itu zinah bukan lagi hanya persoalan tindakan
lahiriah, tetapi sudah menjadi sikap hati yang melanggar
kemurniannya. Hati adalah tempat munculnya kebaikan dan
kejahatan: “Dari hati timbul segala pikiran jahat, perzinahan,
percabulan, pencurian, sumpah palsu, hujat” (Mat. 15,19).
Berkaitan dengan soal keinginan, St. Yohanes
membedakan tiga macam hawa nafsu atau keinginan: keinginan
daging, keinginan mata dan kesombongan dunia (I Yoh 2:15-16).
Perintah kesembilan ini mengacu pada keinginan pertama, yakni
keinginan daging. Rasul Paulus menggunakan kata keinginan
pada kondisi pemberontakan daging melawan Roh (Gal. 5,1617,24). Setiap orang Kristiani diajak untuk menjaga kemurnian
hati, mengendalikan keinginan dagingnya dan membiarkan diri
diarahkan oleh Roh Allah. “Roh Allah sudah memberikan kepada
kita hidup yang baru, oleh sebab itu, Dia jugalah harus
menguasai hidup kita.”(Gal. 5,25). Untuk mencapai kemurnian
hati, orang dituntut untuk mengendalikan dirinya, tidak hidup
dikuasai dan diperbudak oleh nafsu, tetapi diarahkan oleh akal
budi dan disinari oleh Roh Allah sendiri. Orang yang telah
dibebaskan dari perhambaan dosa mesti selalu berjuang demi
kemurnian. Dengan bantuan rahmat Allah setiap orang mampu
membangun suatu hidup yang baik .57
3.10. Perintah X: Jangan Mengingini Milik
Sesamamu
3.10. 1 Maksud Awal
Dalam rumusan Keluaran dikatakan: “Jangan mengingini
rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya
57
Katekismus Gereja Katolik, No. 2520.
Moral Dekalog 2016
67
laki-laki atau perempuan, atau lembunya atau Keledainya atau
apa pun yang dimiliki sesamamu” (Kel. 20,17). Sedangkan dalam
versi Ulangan dikatakan: “Janganlah mengingini istri sesamamu,
dan jangan menghasratkan rumahnya atau ladangnya, atau
hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan atau Keledainya,
atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Ul. 5,21). Dari kedua
versi teks ini dapat terlihat suatu perbedaan susunan.
Dalam teks Keluaran istri diletakkan setelah rumah
sedangkan dalam teks Ulangan, sebaliknya istri ditempatkan pada
bagian
pertama.
Hal
ini
menunjukkan
adanya
pergeseran pemahaman. Dalam teks Keluaran istri disejajarkan
dengan barang milik, sedangkan dalam teks Ulangan istri
ditempatkan melampaui barang milik, yakni sebagai pribadi.
Dalam perintah kesepuluh ini yang mau ditekankan adalah
perlindungan harta milik dalam hal ini rumah dan tanah pusaka
dari tindakan penyerobotan pihak lain. Kata mengingini di sini
tidak semata-mata menunjuk pada keinginan biasa, tetapi
keinginan yang sudah mengarah pada tindakan mengambil
kepunyaan orang lain secara tidak adil (bdk. Ul. 7,25). Hal yang
benar-benar dilarang di sini adalah mengingini sesuatu yang
bukan hak dan miliknya.
Dalam tradisi Perjanjian Lama rumah merupakan tempat
tinggal tetap yang berbeda nilainya dengan kemah atau gubuk
untuk berteduh. Tanah berserta Rumah di atasnya merupakan
milik pusaka yang harus dilindungi dari tindakan keserakahan dan
kesewenang-wenangan penguasa. Tanah adalah basis untuk hidup,
bahkan yang dijanjikan Allah. Pemilik mutlak tanah tidak lain
adalah Yahwe sendiri. Oleh sebab itu umat Israel memperoleh
sendiri tanahnya dari Allah. Dengan demikian, tanah tidak boleh
dijual mutlak kepada siapapun. Ada aturan bahwa hanya pada
tahun kelima puluh (tahun Yobel) tanah yang pernah digadaikan
karena situasi kemiskinan harus dikembalikan lagi.
Moral Dekalog 2016
68
3.10.2 Perkembangan Makna
Selanjutnya firman jangan mengingini milik sesama
diperluas jangkauannya pada perlindungan hidup orang miskin
dari tindakan sewenang-wenang: penyerobotan. Juga firman ini
menyangkut larangan untuk meminjamkan uang dengan riba, dan
hal-hal yang diperlukan untuk hidup seseorang (terutama yang
miskin) tidak boleh diambil sebagai gadaian (Ul. 24,6, 12-13, 1718). Kenyataan ini selalu saja disuarakan oleh para nabi yang
melihat ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh orang
berkuasa (bdk. Amos 4,1-3).
Dalam kitab Yesaya dikatakan: “Celakalah mereka yang
menyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi
ladang sehingga tak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya
kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri”.( Yes. 5,8). Berkaitan
dengan penyerobotan tanah oleh penguasa dapat dilihat dalam
contoh pengambilan tanah milik Nabot secara paksa oleh raja
Ahaz. Tindakan Ahaz ini kemudian sangat dikecam oleh Allah
sendiri, sebagai tindakan jahat.
Katekismus Gereja Katolik memberikan penjelasan dari
perintah X ini dengan mengacu pada tindakan untuk
mengendalikan keinginan yang berawal dalam hati manusia.
Perintah ini melarang keinginan atas barang milik orang lain
karena dari keinginan itu lahir pencurian, perampokkan dan
penipuan, penyerobotan. Keinginan yang tak terkontrol dapat
mengarah pada tindak kekerasan bahkan pembunuhan.58
Perintah X ini melarang keserakahan dan keinginan tanpa
batas akan barang-barang duniawi, sikap rakus dan nafsu uang.
Pada prinsipnya menginginkan itu sendiri tidaklah jahat, sejauh
orang hendak mendapatkannya dengan cara-cara yang benar dan
58
Ibid., No. 2537.
Moral Dekalog 2016
69
adil. Akan tetapi menjadi buruk kalau keinginanan akan barangbarang tersebut dipenuhi dengan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan hukum moral dan prinsip keadilan.
Pada hakikatnya keinginan yang mengarah pada
keserakahan berawal dari asumsi kepemilikan atas suatu barang
akan mendatangkan kebahagiaan. Padahal kebahagiaan sangat
berbeda atau tidak bisa diidentikkan dengan keinginan itu sendiri.
Epikuros mengatakan: “jika kamu menginginkan orang lain
bahagia janganlah menambah apa yang telah ia miliki, tetapi
ambillah dari keinginan-keinginannya.” Dengan kata lain,
ketamakan tak dapat dipuaskan dengan memenuhi sesuatu yang
diinginkan tetapi sebaliknya mesti disembuhkan dengan
menghilangkan keinginan tersebut.
Bentuk sederhana dari ketamakan adalah ketamakan atas
hal-hal material, uang dan atas hal-hal yang dapat dibeli dengan
uang. Kitab suci mengatakan bahwa nafsu uang adalah akar dari
segala kejahatan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta
uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah
menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai
duka”. (1 Tim. 6,10).
Perintah ini juga mengajak orang untuk menjauhkan rasa
iri dari dalam hatinya. Rasa iri muncul pada saat melihat orang
lain memiliki sesuatu lalu dalam hatinya ingin memiliki barang
tersebut, dan untuk memperoleh barang tersebut ia menempuh
cara apapun termasuk yang dilarang hukum. Rasa iri menghantar
orang pada tindakan-tindakan terjahat yang akhirnya membawa
pada kematian (lihat Yakobus 4,1-2). Sebab setiap orang yang
menginkan yang jahat bagi sesamanya melakuka dosa berat.59
59
Ibid, No. 2539.
Moral Dekalog 2016
70
Untuk menjauhkan sikap tamak dan rakus ini maka orang
mesti mengembangkan sikap murah hati sesuai dengan apa yang
dikatakan Santo Fransiskus dari Asisi: “Dengan memberi aku
menerima!”. Di samping itu ia harus mengembangkan sikap hati
yang miskin, melepaskan diri dari kelekatan pada materi: “Di
mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6,21).
Kosili Vatikan II dalam Konstitusi Lumen Gentium no. 42
mengatakan: “Umat kristiani diminta untuk mengarahkan
keinginan hati yang tepat supaya mereka dalam mengejar cinta
kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan halhal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat
kemiskinan menurut Injil.” 60 Setiap orang yang telah menerima
Kristus dalam dirinya, maka ia harus menyalibkan daging dengan
segala hawa nafsu dan keinginannya (Gal. 5,24); dan membiarkan
diri dibimbing oleh Roh Kudus(Rom. 8,27). Hal ini sangat relevan
dalam situasi dunia sekarang ini di mana orang dihadapkan pada
tawaran-tawaran yang menawarkan kenikmatan dan kesenangan
materi-dunaiwi, terutama didukung oleh teknologi periklanan
yang canggih.
3.10.3 Kesimpulan
Dalam firman ini yang dilarang bukan hanya mengingini
rumah sesama, tetapi juga semua yang ada di dalamnya: anakanak dan hamba laki-laki dan perempuan, serta barang lainnya.
Dengan adanya firman ini yang mau dikatakan adalah bahwa tata
hidup bersama dirongrong dan diancam bukan hanya oleh
tindakan lahiriah, tetapi juga oleh niat hati yang jahat: mengingini
dan menghasratkan milik sesama secara tidak benar.
60
Dokumen Konsili Vatikan II, R.Hardawiryana (penter.) (Jakarta:
Obor 1996), p. 131.
Moral Dekalog 2016
71
BAB IV
BEBERAPA PERSPEKTIF TENTANG HUKUM
BARU
Dalam bagian ini kita akan membahas tema hukum baru:
kodrat hukum baru, hubungannya dengan hukum lama, isi hukum
baru. Kitab suci dan tradisi gereja telah menggunakan istilah
hukum baru untuk menunjukkan norma-norma dasar kehidupan
kristiani. Santo Paulus mengatakan:”Karena itu tak ada lagi
hukuman apapun bagi mereka yang berada dalam Kristus Yesus.
Oleh karena hukum Roh yang memberi hidup dalam Kristus
Yesus telah membebaskan kamu dari hukum dosa dan dari
kematian.” Dari uraian tersebut Paulus memberikan secara
sistematis kekayaan hukum baru. Dalam kitab Perjanjian Lama
juga telah memuat secara implisit wahyu tentang hukum baru
yang kemudian diambil kembali dan diperdalam dalam teks-teks
Perjanjian Baru. Santo Tomas Aquinas mendasarkan diri pada
teks-teks kitab Suci pada saat ia berbicara mengenai hukum baru.
Untuk itu, kita akan mengacu pada apa yang dibahas oleh Tomas
Aquinas dalam Summa Theologiae I-II, q. 106- 108. Tomas
Aquino membicarakan hukum baru dalam konteks hukum secara
umum dan mengaitkannya dengan hubungan antara hukum dan
rahmat. Menurut Thomas ada dua prinsip yang mempengaruhi
hidup manusia. Prinsip yang mengarah pada kejahatan adalah
setan, sedangkan prinsip yang mengarah pada kebaikan adalah
Allah.
4. 1 Definisi Hukum Baru
Thomas dengan mendefinisikan hukum baru ia tidak
meletakkan kebaruan etika dan yuridis, tetapi terlebih kebaruan
Moral Dekalog 2016
72
ontologis, yakni partisipasi manusia dalam kehidupan ilahi
melalui rahmat yang dihembuskan oleh Roh Kudus. Dengan
demikian Thomas menyatakan bahwa Hukum baru adalah hukum
perjanjian baru yang dicurahkan ke dalam hati manusia. Perjanjian
baru bukannya perjanjian yang ditulis dengan huruf-huruf tetapi
perjanjian Roh kudus yang ditulis dalam hati oleh Roh Kudus itu
sendiri yang menghidupkan. Roma 8,2 menegaskan bahwa hukum
Roh itu menghidupkan. Apa yang esensial dalam hukum Roh
adalah Rahmat Roh Kudus. Hukum baru merupakan anugerah
Roh Kudus, diberikan kepada mereka yang percaya kepada
Kristus. Hal ini dikatakan secara jelas oleh Paulus.
Teks Roma 8,2 menyatakan nilai hukum baru sebagai
anugerah Roh Kudus: adalah Roh Pentekosta yang menyatakan,
meletakkan dalam hati manusia satu hukum. Sejak permulaan
traktat tentang tentang hukum baru, Tomas mengacu pada nubuat
Yeremia berkaitan dengan hukum yang ditulis dalam hati:
“Apakah hukum-hukum Allah yang ditulis dalam hati jika bukan
kehadiran Roh Kudus”. 61 Gerakan dan penerangan ada juga
dalam Summa Theologica yang diperlihatkan sebagai dua tugas
dasar yang Roh Kudus curahkan dalam hati umat yang percaya.
Orang yang benar dicurahkan oleh Roh kudus secara radikal
sehingga karya-karyanya dapat dikatakan karya Roh Kudus itu
sendiri.
Pemikiran Tomas menyoroti aspek-aspek penting dengan
tujuan memberikan usulan metodologi dalam teologi moral.
Aspek yang pertama diberikan oleh dimensi interioritas
sebagaimana diungkapkan dalam kotbah di bukit. Aspek kedua
terletak dalam penekanan kebutuhan iman kepada Kristus untuk
mendefinisikan hukum baru dan hal ini menunjukkan bahwa
61
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Fathers of the English
Dominican Province (trans.), (New York: Benzinger Brothers, 1947), No. I-II,
q.106, a.1.
Moral Dekalog 2016
73
kehidupan kristiani mengarahkan dirinya pada Kristus. Hukum
baru menampilkan karakter kristologis. Kristus adalah Dia yang
memenuhi hukum lama dan pencipta hukum baru.
Lalu muncul pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan
rahmat menurut Tomas ketika ia berbicara dalam konteks hukum
baru? Tak dapat diragukan bahwa yang dimaksud dengan rahmat
adalah Roh Kudus yang tinggal dalam diri umat yang percaya
kepada Kristus yang menerangi akal budi dan menggerakan
kehendak. Rahmat adalah habitus yakni cara berada secara
baru.Habitus mempegaruhi kecenderungan untuk bersikap,
karena rahmat melampaui kodrat, mengkomunikasikan
kecenderungan tersebut ke arah yang benar. Hukum jemaat
Kristiani karenanya adalah rahmat Roh Kudus. Karena itu, rahmat
adalah hukum dan secara prinsipiil hukum baru adalah
rahmat.Tomas mengulangi kebenaran ini dalam komentar atas
surat kepada umat di Roma pada saat ia mengidentifikasikan
hukum roh kehidupan dengan hukum baru: Dalam satu cara
berbeda hukum Roh dapat dikatakan sebagai efek dari Roh kudus
itu sendiri, yakni iman yang bekerja melalui kasih. Dan karena
hukum ini mengajar secara interior atas hal-hal yang harus
dilakukan dan mengarahkan kehendak untuk bereaksi menurut
apa yang dikatakan dalam 1 Yoh. 2,27: pengurapan yang telah
kalian terima dari Dia tinggal dalam diri kalian, dan kalian tidak
perlu sesorang lain mengajar kalian; dan mengarahkan kehendak
untuk bertindak menurut apa yang dikatakan dalam 2 Kor. 5,14 :
”Cinta Kristus mendorong kita”. Dan hukum Roh inilah
merupakan hukum baru, hukum yang Roh Kudus sendiri ciptakan
dalam hati kita. Yeremia 31,33 mengatakan: Aku akan
menempatkan hukumKu di dalam hati mereka, Aku akan
menuliskannya dalam hati mereka”.
Ada pernyataan lain yang membuktikan validitas
interpretasi ini, yakni pernyataan yang diacu pada hukum baru
sebagai lex indita, quasi naturae supperaddita per gratae donum,
Moral Dekalog 2016
74
ditulis dalam hati yang bukan hanya menunjukkan apa yang harus
dilakukan tetapi juga membantu untuk merealisasikannya.62
Hukum baru juga mengandung perintah-perintah yang
melengkapi Rahmat dan pelaksanaan Rahmat tersebut. Perintahperintah ini merupakan elemen sekunder dari hukum baru. Yang
prinsipial dalam hukum baru adalah rahmat Roh Kudus,
sedangkan yang sekunder adalah perintah-perintah yang tertulis
dalam Injil dan juga perintah-perintah moral. 63 Dari sini dapat
dilihat karakteristik dari hukum baru yakni karakter interior dari
hukum baru yang berbeda dari hukum lama. Hukum baru tidak
ditulis dalam loh batu, tetapi dalam kodrat manusia yakni dalam
hatinya. “Hukum lama ditulis dalam loh batu sedangkan hukum
baru ditulis dalam loh yang ada dalam hati manusia seperti
diungkapkan oleh Santo Paulus Rom. 8,2.”64
Pengarang dan pemaklum hukum baru adalah Kristus
sendiri, tetapi hukum baru sebagai ad extra adalah karya Bapa
dan Roh Kudus. “Hukum lama bukan hanya karya Bapa, tetapi
juga Putera sebab hukum lama adalah prafigurasi dari Kristus.
Sebagaimana Yesus sendiri mengatakan dalam Injil “Jika kalian
percaya kepada Musa, kalian percaya juga kepadaKu, sebab Musa
telah menulis tentang Aku” (Yoh. 1,46). Demikian juga, hukum
baru bukan hanya karya Yesus, tetapi juga karya Roh Kudus
seperti yang diungkapkan Paulus: “Hukum Roh kehidupan dalam
Yesus Kristus sehingga kalian tidak perlu masih harus menantikan
hukum Roh kudus yang lain. 65 Kalau dikatakan bahwa hukum
baru merupakan hukum yang dicurahkan oleh Roh Kudus ke
dalam hati manusia yang percaya kepada Kristus, apakah bedanya
dengan hukum kondrat? Apa yang ditulis dalam Injil mengacu
62
Ibid., no. I-II, q. 106. a.1, ad 2.
Ibid., no I-II, q.106.art. 1.
64
Ibid., no. I-II. q.106. art.2.
65
Ibid., art. 4.
63
Moral Dekalog 2016
75
pada rahmat-hukum atau pada kehadiran Roh Kudus di dalam
kita.
Dalam tulisan Injil hanya terkandung apa yang berkaitan
dengan Rahmat Roh Kudus atau sebagai predisposisi atau
sebagai alat yang mengatur penggunaan rahmat yang sama. Yang
ditulis dalam hati adalah hukum rahmat tetapi tidak dimaksudkan
sama dengan hukum kodrat. Satu prinsip dapat dicurahkan kepada
manusia dalam dua cara. Pertama sebagai elemen yang
berhubungan dengan kodrat manusia, dan dalam arti ini
dicurahkan hukum kodrat. Yang kedua adalah sebagai
elemen yang melampaui kodrat melalui anugerah rahmat. Dalam
arti ini, dicurahkan ke dalam manusia hukum baru, bukan hanya
sebagai norma penunjuk hal-hal yang harus dilakukan, tetapi juga
sebagai bantuan untuk melakukannya. Dari uraian di atas dapat
ditarik beberapa kesimpulan: Tekanan pada kenyataan bahwa
hukum baru adalah rahmat kehadiran Roh kudus. Karakternya
interior, tetapi tidak sama dengan hukum natural. Hubungan
prinsipiil/sekunder; dispositivum-ordinativum.
Semua apa yang ditetapkan dalam artikel kedua Tomas
mempertanyakan kemampuan membenarkan dari hukum baru.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa hukum injili berhubungan
dengan dua hal: pertama sebagai elemen utama dan konstitutif
yakni rahmat itu sendiri yang secara internal diberikan oleh Roh
Kudus, Di bawah aspek inilah hukum baru membenarkannya.
Kedua berhubungan dengan hukum injil secara sekunder yakni
mengatur perasaan-perasaan dan tindakan manusia. Di bawah
aspek ini, hukum baru tidak membenarkannya. Seperti
dikatakan oleh Paulus: “Hukum membunuh, sementara Roh
menghidupkan (2 Kor. 3,6) dan Santo Agustinus mengatakan
dalam bukunya De Spiritu et lettera menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan hukum adalah setiap tulisan yang ada di luar
manusia, juga jika dibicarakan perintah-perintah moral, perintahperintah yang ada dalam Injil.
Moral Dekalog 2016
76
Meskipun membantu manusia untuk tidak berdosa, hukum
baru tidak membuat manusia tidak dapat berdosa, oleh karena,
hal ini berhubungan dengan status kemuliaan. Akan tetapi, tak
dapat dikatakan bahwa karena ini, hukum baru menghasilkan
kemarahan karena apa yang ada dalam dirinya sendiri
membantu untuk tidak berdosa. Tetapi harus dicatat bahwa
kemampuan untuk membenarkan yang ada dalam hukum baru
tergantung dari kenyataan bahwa dengan perbedaan-perbedaan
dari hukum lama, ditulis oleh Allah di atas loh yang ada dalam
hati.
Fakta bahwa hukum baru tidak diberikan sejak permulaan dunia
dijelaskan oleh Tomas dalam artikel ketiga dengan memberikan
tiga motivasi:



Karena hukum barus secara prinsipial ada dalam rahmat
Roh Kudus yang tidak harus diberikan secara
berlimpah sebelum mengambil halangan dosa dari kodrat
manusia, yang disempurnakan dalam penebusan Kristus.
Karena kesempurnaannya tidak dapat dicapai pada
permulaan tetapi dikemudian seperti juga dalam
pertumbuhan manusia, mulai dari anak kemudian menjadi
dewasa.
Karena hukum baru adalah hukum rahmat, karenanya
perlu bahwa manusia dibiarkan pada dirinya sendiri dalam
status hukum lama, sebab dengan jatuh ke dalam dosa,
menetaplah kelemahannya dan mengakui kebutuhannya
akan rahmat.
Tapi hukum baru akan berlangsung sampai akhir dunia.
Tomas membuktikannya dalam artikel 4 melalui satu perbedaan.
Jika dilihat perbedaan hukum, perlu menyatakan bahwa pada
status sekarang hukum baru tidak akan mengikuti status lain.
Status ini mengikuti status hukum lama yang tidak sempurna.
Moral Dekalog 2016
77
Sekarang tidak ada status kehidupan saat ini yang dapat lebih
sempurna dari status hukum baru.
Pada dasarnya da sejumlah elemen penting dari definisi
tentang hukum baru, yakni: pertama, hukum baru merupakan
suatu hukum interior atau yang ditulis di dalam hati manusia.
Hukum itu tampak dalam rahmat dari Roh Kudus, diterima
melalui iman akan Kristus dan bekerja dalam bentuk cinta kasih.
Inilah yang menjadi sumber kekuatan utamanya. Hukum baru juga
memiliki elemen-elemen sekunder yang bersifat eksternal, yakni
hukum baru menemukan teks riilnya dalam Kotbah di Bukit dan
sebagai instrumennya adalah sakramen-sakramen.
4. 2 Hubungan Antara Hukum Baru dan Hukum
Lama.
Setelah menjelaskan hukum baru, Tomas melangkah
pada penjelasan mengenai hubungan antara hukum baru dengan
hukum lama. 1) Jika hukum baru adalah hukum yang berbeda dari
hukum lama. 2) Jika hukum baru melengkapi hukum lama. 3) Jika
hukum baru dikandung dalam hukum lama. 4) Manakah yang
lebih berat hukum baru atau hukum lama? Berkaitan dengan
pertanyaan pertama, dalam artikel 1 Thomas menentukan bahwa
diberikan aksen ganda dengan mana hukum dapat dikatakan
berbeda satu dari yang lainnya: karena diarahkan pada tujuan yang
berbeda atau karena ditujukan pada tujuan yang lebih secara
langsung dari pada yang lainnya. Menurut penekanan pertama,
hukum baru tidak berbeda dari hukum lama karena kedua-duanya
memiliki tujuan yang sama yakni tunduk kepada Allah.
Sebaliknya dalam penekanan lain, hukum baru berbeda dari
hukum lama. Oleh karena hukum lama berfungsi sebagai pendidik
anak-anak, seperti menurut kata-kata Santo Paulus (Gal. 3,24),
sementara hukum baru adalah hukum kesempurnaan oleh karena
Moral Dekalog 2016
78
merupakan hukum kasih, di mana Paulus menyatakan bahwa
kasih adalah ikatan kesempurnaan (Kol 3,14).
Katekismus Gereja Katolik (1992) menyatakan: “Hukum Injil
memenuhi,
menghaluskan,
melebihi,
dan
menyempurnakan hukum lama. Dalam sabda bahagia ia
memenuhi janji-janji ilahi, dengan meninggikannya dan
mengarahkannya kepada Kerajaan Surga.Ia menyapa mereka
yang rela menerima harapan baru ini dengan percaya: orang
miskin,orang yang rendah hati, yang berduka cita, manusia yang
suci hatinya dan mereka yang dianiaya demi Kristus. Dengan
demikian, ia merintis jalan-jalan kerajaan Allah yang tidak
diduga sama sekali” (Kat. Art. 1967).66


Reduksi hukum baru pada kasih digarisbawahi oleh
Thomas: “ada beberapa orang dalam Perjanjian Lama,
yang dipenuhi kasih dan rahmat Roh Kudus Mereka
melihat secara prinsipial pada janji-janji abadi dan
spiritual. Dan di bawah aspek ini mereka berhubungan
dengan hukum baru. Kasih Allah dicurahkan ke dalam
hati.
Perbedaan antara hukum baru dan hukum lama terletak
dalam kenyataan bahwa hukum lama menekan dan
memiliki karakter eksterior, sedangkan hukum baru
memiliki karakter interior dan membebaskan. Hukum lama
adalah hukum perbudakan dan ketakutan sedangkan
hukum baru adalah hukum kasih dan membebaskan.
Hukum lama merenggangkan dan diberikan secara
heteronom, sedangkan hukum baru menjernihkan dan
mengangkat kotrat manusia yang menerimanya. Oleh
karena itu, hukum lama yang diberikan kepada manusia
tidak sempurna yakni kekurangan rahmat spiritual. Hukum
lama disebut hukum katakutan sebab mengarah pada
66
Katekismus Gereja Katolik, no. 1967.
Moral Dekalog 2016
79
pelaksanaan perintah-perintah dengan ancaman dan
siksaan tertentu dan menyandarkan diri pada kebaikan
temporal. Sebaliknya hukum baru yang mana dalam
prinsipnya berada dalam tatanan rahmat ilahi yang
dicurahkan ke dalam hati manusia disebut hukum cinta
dan dikatakan mempunyai janji-janji abadi dan spiritual. 67
Kemudian Tomas menambahkan observasinya:
“Dalam Perjanjian Lama ada pemenuhan kasih dan rahmat Roh
kudus yang memperlihatkan secara prinsipiil janji spiritual dan
abadi. Di bawah aspek-aspek tersebut, mereka berhubungan
dengan hukum baru. Demikian juga dalam PB ada banyak
manusia jasmani yang belum sampai pada kesempurnaan hukum
baru. Mereka itu juga dalam PB harus dihantar melalui perasaan
takut terhadap siksaan dan melalui janji-janji jasmani tertentu
menuju karya kebajikan. Meskipun hukum lama memberikan
perintah kasih, namun Roh Kudus tidak diberikan, yang olehnya
kasih dicurahkan ke dalam hati kita (Rom. 5,5).”68
4.3 Konvergensi Antara Hukum Lama dan Baru
Konvergensi antara hukum lama dan hukum baru terletak
dalam kenyataan bahwa hukum lama berfungsi sebagai pendidik
sampai datangnya hukum baru dan dalam aspek tertentu, hukum
lama ini merupakan prafigur dan persiapan bagi hukum baru
Berkaitan dengan hal ini, Katekismus mengatakan:
“Hukum lama adalah tahap pertama dari hukum yang
diwahyukan. Peraturan-praturan moralnya dirangkum dalam
kesepuluh firman. Kesepuluh firman meletakkan dasar untuk
penggilan manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Mereka
(kesepuluh perintah) melarang apa yang melanggar kasih kepada
67
68
Thomas Aquinas, Op.Cit., no.I-II, q. 107, a.1. ad. 2.
Ibid., no. I-II, q.107, a.1, ad.2.
Moral Dekalog 2016
80
Allah dan kepada sesama, dan memerintahkan apa yang hakiki
untuknya. Dekalog adalah sinar bagi hati nurani tiap manusia
untuk menunjukkan kepadanya panggilan dan jalan-jalan Allah
dan melindunginya dari yang jahat.” 69 Dengan demikian hukum
lama merupakan persiapan untuk injil (hukum baru).
Sebab, “hukum baru, hukum injil adalah rahmat Roh
Kudus yang dianugerahkan kepada umat beriman melalui iman
akan Kristus. Ia bekerja melalui kasih: dengan bantun Kotbah
Tuhan di Bukit, ia mengajarkan kita apa yang harus kita lakukan
dan memberi kepada kita rahmat melalui Sakramen-Sakramen,
supaya kita benar-benar melakukannya juga.”70
Untuk itu tampak bahwa hukum baru/hukum injil
“memenuhi”, menghaluskan, melebihi dan menyempurnkan
hukum lama. Dalam sabda bahagia ia memenuhi janji-janji ilahi,
dengan meninggikannya dan mengarahkannya kepada Kerajaan
Surga.” Hukum Injil memenuhi perintah hukum.
Jadi, Manakah yang lebih berat: hukum lama atau hukum
baru? Hukum lama lebih berat dari pada hukum baru ex parte
esteriorum operatum, karena mewajibkan sejumlah besar
tindakan eksternal dengan kompleksitas upacara-upacara. Ini
berbeda dengan hukum baru yang melampaui hukum natural
yakni hukum Kristus sebagaimana terdapat dalam tradisi para
rasul, para bapa Gereja dan Magisterium. Hukum baru
menambahkan kriteria untuk pertobatan umat.
Berkaitan dengan tindakan internal, perintah-perintah
hukum baru jauh lebih berat dari pada hukum lama, karena dalam
hukum baru yang menentukan adalah gerakan batin, keinginankeinginan dalam hati yang tidak dilarang secara tegas oleh hukum
69
70
Katekismus Gereja Katolik, No. 1962.
Ibid., no. 1966.
Moral Dekalog 2016
81
lama secara umum, walaupun ada yang dilarang dalam hal-hal
khusus. Ini adalah hal paling sulit bagi mereka yang tidak
memiliki
keutamaan,
seperti
yang
dikatakan
Santo
Yohanes:”perintah-perintahnya tidaklah berat” I Yoh. 5,3) dan
Agustinus menjelaskan: perintah-perintah tersebut tidaklah berat
bagi mereka yang mencintai, tetapi menjadi berat bagi mereka
yang tidak mencintai.
Hukum baru ini disebut hukum kasih sebab hukum ini
membuat orang beriman bertindak bukan karena takut tetapi
karena kasih yang telah dicurahkan Roh Kudus ke dalam hati. Ia
juga disebut hukum rahmat karena ia memberi rahmat supaya
dapat bertindak berkat kekuatan iman dan sakramen-sakramen. Ia
juga disebut hukum kebebasan karena ia membebaskan manusia
dari peraturan-peraturan ritual dan legal dari hukum lama,
membuat manusia rela bertindak dengan dorongan-dorongan
kasih secara spontan dan mengangkat manusia dari status hamba
yang tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tuannya, ke
dalam status sebagai sahabat Kristus.71
4.4. Isi Hukum Baru
Analisis Tomas Aquinas berkaitan dengan isi hukum
baru, dikembangkan dalam pertanyaan 108 yang menjawab
keempat persoalan berikut:72
1. Jika hukum baru harus memerintahkan atau melarang
tindakan-tindakan eksternal.
2. Jika hukum baru memusatkan perhatiannya pada hal
memerintahkan atau melarang tindakan eksternal.
3. Jika hukum baru membimbing manusia untuk hormat
pada tindakan-tindakan internal.
71
72
Ibid., no. 1972.
Thomas Aquinas, Op.Cit., no. I-II, q.108
Moral Dekalog 2016
82
4. Jika ditambahkan nasihat-nasihat pada perintah-perintah.
Berkaitan dengan persoalan pertama jawabannya positif
dan kristologis. Sesungguhnya harus dingat bahwa prinsip utama
hukum baru adalah rahmat Roh kudus, yang dicurahkan melalui
iman seseorang kepada Kristus. Hukum baru ini sampai kepada
kita melalui Yesus Kristus, dengan mana kemanusiaaNya dipenuhi rahmat dan saat ini kemanusiaan-Nya pun sampai
kepada kita. Oleh karenanya merupakan suatu kebenaran bahwa
rahmat yang keluar dari Sabda yang menjelma sampai kepada kita
melalui hal-hal ekternal dan indrawi dan karena rahmat internal
dalam diri kita bekerja sama dengan keterbukaan hati manusia,
maka segala bentuk kedagingan tunduk terhadap roh dan setelah
itu dihasilkanlah tidakan-tindakan eksternal dan indrawi yang
benar. Tapi tetap harus diingat bahwa hukum injil adalah hukum
kebebasan. Sementara hukum lama yang menentukan jsutru
banyak hal eksternal dan tidak memberikan tempat yang
penuh pada kebebasan manusia.
Jawaban atas pertanyaan apakah hukum baru mengatur
tindakan-tindakan eksternal ditekankan dalam artikel 2: Hukum
baru di dalam perintah-perintahnya dan di dalam laranganlarangannya tidak harus menentukan tindakan-tindakan eksterrnal
lainnya di luar sakramen-sakrakmen dan perintah-perintah moral
yang per se berhubungan dengan alasan keutamaan, seperti jangan
membunuh, jangan mencuri, dan perintah-perintah lainnya secara
umum. Alasannya terletak dalam kenyataan bahwa hukum
baru harus memerintahkan atau melarang di antara hal-hal
ekternal hanya sejauh diperlukan.
Dalam pertanyaan no. 108 Thomas tidak bermaksud
membuat penjelasan secara detail tentang perintah-perintah
hukum baru, tetapi hanya sekedar memberi pembenaran secara
mendalam. Ia melihat bahwa dalam hukum baru tidak harus
mengurangi perintah-perintah relatif pada tindakan-tindakan
Moral Dekalog 2016
83
ekstern: Sakramen-sakramen yang diterima, keutamaankeutamaan yang dipraktekan untuk bekerja sama dengan rahmat
Yesus Kristus yang berkaya dalam diri kita.
Berkaitan dengan tindakan-tindakan internal, Tomas
dengan mengacu pada Agustinus yang mengatakan bahwa kotbah
di bukit mengandung semua norma dan program hidup kristiani.
Yang kedua menunjukkan bahwa disposisi-disposisi yang
diberikan oleh Yesus dalam kotbah di bukit dan nasihat-nasihat
injil yang lainnya cukup untuk menjadi pegangan dan undangundang dalam kehidupan kristiani, yang mengatur perasaanperasaan internal dan impuls-impuls ekternal. Perintah-perintah
ini bukan hanya membawa manusia untuk menahan diri dari
perbuatan-perbuatan yang per se jahat, tetapi juga membantu
untuk tidak melakukan tindakan internal untuk melakukan yang
jahat.(mengatur keinginan hati, hasrat yang tidak baik).
Dalam kotbah di bukit diatur semua gerakan-gerakan
internal/sikap batin manusia yang dimulai dari diri sendiri.
Menurut Tomas, Yesus adalah sahabat yang bijaksana sehingga
nasihat-nasihatnya lebih efektif dan berdaya guna serta
meyakinkan. Perintah-perintah yang mengatur gerak batin dan
motivasi-motivasi mengajarkan kepada kita, agar kita tidak
mencari kemuliaan manusiawi maupun kekayaan duniawi. Lalu
mengajarkan kepada manusia bagaimana mempraktekkan doktrin
Injil dengan meminta bantuan Allah.
Di samping itu,
perlu diingat bahwa
demi
keutamaan perlu melaksanakan perintah-perintah dan tidak cukup
hanya pengakuan iman tetapi mempraktekannya.73
Apakah perbedaan antara nasihat dan perintah? Perintah
mengimPerjanjian Lamaikasikan suatu kebutuhan mendesak
73
Ibid., no. I-II, q. 108. a.3.
Moral Dekalog 2016
84
sedangkan nasihat bersifat lebih lunak dan keputusan untuk
menerima atau tidak diserahkan kepada pribadi yang
bersangkutan.
4.5. Hukum Moral dalam Perjanjian Baru74
4.5.1 Hukum Lama dan Perjanjian Baru
Perjanjian baru memberikan peneguhan bahwa hukum
perjanjian lama bersumber pada Allah. Akan tetapi tetap ada
keyakinan dalam Perjanjian baru bahwa hukum lama hanya
merupakan persiapan bagi kedatangan Kristus, dan karena itu
hanya bersifat sementara. Oleh karena hanya sebagai persiapan
maka ia ditentukan untuk kehilangan daya ikatnya (Rm 7:1-6; Gal
2:16-19). Hukum yang lama bertugas sebagai pembimbing
menuju perjanjian baru dalam Kristus. Untuk itu umat tidak perlu
lagi terikat dalam hukum lama pada bidang moral Perjanjian baru.
Pernyataan ini tentu saja tidak bisa dipahami bahwa segala sesuatu
yang ditetapkan oleh Hukum Perjanjian lama kehilangan daya
ikatnya. Misalnya saja pernyataan bahwa segala sesuatu yang
digariskan dalam sepuluh (10) perintah Allah dari Perjanjian
Lama tidak lagi aktual mesti ditolak. Sebab pengadaan hukum
perjanjian lama memberikan daya ikat kepada hukum kodrat yang
tetap bertahan selamanya. Dan lebih dari itu perjanjian baru juga
menggarisbawahi kewajiban-kewajiban kodrat .
4.5.2. Hakikat dan Ciri Hukum yang Baru
Yesus sendiri tidak menyibukkan diri dengan debat
kasuistik ritus, hukum agama dan tradisi lama. Tujuan utamanya
adalah ketaatan mutlak kepada tuntutan Allah kepada hidup
manusia dan keterbukaan penuh terhadap Roh. Hukum yang baru
74
Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid I, Alex Armanjaya (penerj.),
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), pp. 84-87.
Moral Dekalog 2016
85
terutama dan pertama-tama adalah sebuah hukum bagi hati.
Bagaimana tanggung jawab hati nurani manusia terhadap Allah
dan hukum Roh. Hukum Musa merupakan hukum luar dan kodeks
yang tertulis, sementara hukum Kristus merupakan hukum Roh (II
Kor 3:6).
Namun bagi manusia yang dinodai dosa asal, hukum yang
selaras dengan keberadaan dan hatinya pun, sering menjadi
sesuatu yang bertentangan dengannya atau dilihat sebagai hukum
di luar di dirinya. Untuk perjanjian baru berulang kali
menekankan perlunya untuk menghidari perbuatan daging dan
hidup dalam tuntunan Roh Kudus (hidup menurut Roh). Normanorma moral merupakan perlindungan terhadap ‘manusia daging’.
Norma-norma tersebut memiliki tugas positif: menjadi bantuan
bagi hidup yang penuh damai dan menawarkan petunjuk di jalan
ke arah kesempurnaan.
Moral Dekalog 2016
86
BAB V
PENUTUP
Dekalog tidak lain menunjukkan bahwa Allah senantiasa
memberi hukum-hukum-Nya
kepada umat-Nya. Kesepuluh
firman merupakan wejangan abadi-ilahi yang tak dapat berubah.
Meski kesepuluh firman pada mulanya diberikan sebagai nasihatnasihat bagi umat Israel secara keseluruhan, namum perintahperintah dekalog sesungguhnya bertujuan untuk menjamin
kelangsugan umat dan kemerdekaan dan keamanan seluruh
bangsa. Misalnya umat perlu menghindari dendam darah, tidak
boleh menculik atau mencuri dsb. Selain itu tanah dalam dekalog
ini memiliki nilai utama yang mesti dilindungi. Nilai-nilai lain
brkaitan erat dengan tahan.
Pengakuan kepada Allah pembebas
adalah pokok
kepercayaan perjanjian lama dan menjadi kerangka iman dari
aturan-aturan dalam kesepuluh firman. Yahwe sendiri
menginginkan umat-Nya dan terus menghendaki agar umat itu
berlangsung terus. Kesepuluh firman menjadi nasihat yang
lengkap supaya umat dapat mengarahkan sikap dan tindakan
moralnya. Isi kesepuluh firman tidak lain merupakan ethos Israel,
yaitu segala kebiasaan hidup yang penting untuk kelangsungan
hidup bangsa dan kesejahteraan hidup perorangan. Oleh karena
Israel adala umat yang beriman kepada Yahwe, umat milik Yahwe
, umat yang terbentuk waktu menerima tanah dari tangan Yahwe
sendiri. Umat Israel pun tetap mengakui bahwa Yahwe pun
memperhatikan semua orang.
Moral Dekalog 2016
87
Kehendak Allah memang tidak melekat pada huruf dan
norma. Kehendak Allah memperhatikan umat-Nya. Allah
berkehendak agar umat tetap menjadi milik-Nya dan supaya
mereka terus melanjutkan hidup dalam kedamaian dan
ketenangan. Kehendak Yahwe perlu menjadi dasar hidup umat
atau termasuk etos umat.
Kesepuluh firman memang dapat dimengerti sebagai ethos
untuk mengatur hidup bersamadan membina hormat kepada
pribadi manusia. Demikian pulu kesepuluh firman harus
ditafsirkan sebagai ungkapan iman perjanjian lama. Makna
kesepuluh firman baru akan sungguh terasa, jika dapa ditafsirkan
sebagai ungkapan iman umat tertentu, dalam konteks sosial dan
historis tertentu. Pada dirinya kesepuluh firman bukanlah aturan
abadi.
Dalam terang hukum perjanji baru, kesepuluh firman
mendapatkan pemenuhannya, yakni dalam perintah utama:
mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia dengan segenap
hati. Tindakan kasih ini sudah merupakan bentuk hukum baru
yang menjadi mungkin oleh karena Roh Kudus yang telah
dicurakan ke dalam hati semua orang percaya. Singkatnya, apabila
Allah telah membebaskan umat-Nya dari perbudakan mesir, maka
kini Ia menghendaki umat-Nya terbebas dari perbudakan dosa dan
maut. Rahmat Allah merupakan prakarsa bagi tuntutan-Nya dan
sekaligus menjadi ganjaran, jikalau penetapan-Nya ditaati.
Moral Dekalog 2016
88
Bibliografi
¨ Bauman Clarence, The Sermon on the Mount: the Modern
Quest for Its Meaning, Mercer University Press, Macon 1985
¨ Walderman Janszen, Old Testament Ethics: a paradicmatic
approuch, Westminster/John Knox Press, Louisvile, Kentucky,
1994, hlm. 87-105.
¨ Karl H. Peschke, Chistian Ethics: Moral Theology in the Light
of Vatican II, Vol. 1, Logos Publication, Manila 1985, p. 13-28.
¨ Franz Bockle, Fundamental Moral Theology, Gill and
McMillan, Dublin 1980, p. 127-179.
¨ Marcello Morgante, I dieci Comandamenti, Editrice Rogate,
Roma1996.
¨ William Barclay, The Perjanjian Lamaain Man’s Guide to
Ethics, Collins Fount Paperback, 1973.
¨ Katekismus Gereja Katolik, Percetakan Arnoldus, Ende 1995,
art. 2052-2557. (Lihat Edisi 1997, editio typica)
¨ Bernard Kieser SJ, Paguyuban Manusia dengan Dasar
Firman, Kanisius, Yogyakarta 1991.
¨ ID, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, Kanisius,
Yogyakarta 1987, p. 165-190.
Moral Dekalog 2016
89
¨ J. Kiswara SJ, Dasa Firman Allah: Makna dan
Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta 1988.
Moral Dekalog 2016
90
SKEMA PERKULIAHAN
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II: MEMAHAMI KONTEKS MORAL DEKALOG DARI
PERJANJIAN LAMA HINGGA PERJANJIAN BARU
BAB III: DASA FIRMAN SEBAGAI HUKUM MORAL
BAB IV: BEBERAPA PERSPEKTIF TENTANG HUKUM BARU
BAB V: PENUTUP
Moral Dekalog 2016
91
Download