MORAL DEKALOG 2016 BAHAN KULIAH PILIHAN PADA SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO MAUMERE DAFTAR ISI BAB I : Pendahuluan.............................................. 3 BAB II : Mengenal Arti, Sejarah, Isi, Konteks Dan Karakteristik Dekalog............................... 5 BAB III : Dasa Firman Sebagai Hukum Moral......... BAB IV : BAB V : Penutup...................................................... 87 Beberapa Perspektif Tentang Hukum Baru........................................................... Moral Dekalog 2016 20 72 2 BAB I PENDAHULUAN Untuk membangun tata hidup bersama dibutuhkan hukum dan aturan yang dapat menjamin kebebasan setiap manusia sehingga setiap orang diperlakukan sama karena martabatnya sebagai citra Allah. Bangsa Israel sebagai pilihan Allah telah mengalami pembebasan dan keselamatan yang merupakan bukti cinta Allah kepada mereka. “Akulah Tuhan Allahmu yang telah menuntun engkau Keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20: 2). Pengalaman pembebasan dan penyelamatan yang dialami bangsa Israel menantang mereka untuk juga terlibat dalam praksis pembebasan dan penyelamatan yang dimulai oleh Allah sendiri. Dialektika antara yang indikatif dan imperatif ini sangat jelas dalam dekalog. Israel sebagai bangsa pilihan Allah dalam sejarah keberadaannya tidak luput dari pengkhianatan dan pemberontakan, maka sejarah Israel dapat dilihat sebagai sejarah yang ditandai oleh pengkhianatan dari pihak Israel dan kesetiaan dari pihak Allah. Ini semua merupakan cerminan dan gambaran sejarah umat manusia pada umumnya. Situasi masyarakat yang ditandai oleh penyembahan berhala, penindasan, pembunuhan, ketidakadilan,korupsi, perampasan dan penyerobotan merupakan konteks yang juga mempengaruhi kemunculan Dasa Firman. Pengalaman bangsa Israel merupakan juga pengalaman manusia yang hidup dalam zaman modern ini. Israel yang memberontak melawan Allah dengan berhala-berhalanya, juga merupakan pengalaman manusia masa kini yang mengesampingkan Allah dan mengandalkan dirinya serta Moral Dekalog 2016 3 kemajuan-kemajuan teknologi. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, terutama pelanggaran atas hak hidup yang termanifestasi dalam tindak kriminal, kekerasan dalam skala mikro maupun mankro, intervensi atas hidup dalam pelbagai bentuknya merupakan persoalan mendasar yang harus dikaji dan direfleksikan. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam dekalog dapat memberikan pencerahan baru untuk membangun tata hidup bersama atas dasar kasih. Akan tetapi, dalam kenyataan banyak sekali persoalanpersoalan etis dan moral yang saat ini mencuat ke permukaan tapi belum terpikirkan ketika Kitab Suci ditulis. Untuk itu, sangatlah perlu menginterpretasikan isi Kitab Suci ini untuk dapat menjawabi persoalan-persoalan krusial di zaman ini. Perbedaan situasi sosio-kultral dan agama dalam Kitab Suci memang tidak bisa dengan mudah disesuaikan dengan situasi manusia saat ini. Perlu suatu pendekatan yang bersifat integral untuk dapat menilai secara tepat pola perilaku manusia sekaran ini. Meski demikian pada dasarnya semua manusia selalu cenderung kepada kebaikan, sebagaimana akan dijumpai dalam Dekalog ini. Hukum yang mendasari pola perilaku manusia adalah: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia. 1 Kuliah Moral Dekalog ini akan lebih terfokus pada teks Kel. 20: 1-17. 1 Servais Pinckaers, Morality: The Catholic View, (South Bend, Indiana: St. Augustine’s Press, 2001), p. 100. Moral Dekalog 2016 4 BAB II MENGENAL ARTI, SEJARAH, ISI, KONTEKS DAN KARAKTERISTIK DEKALOG Pengantar Manusia itu bebas sejauh ia dapat memahami dan menerima perintah-perintah Allah. Ia memiliki kebebasan yang cukup luas jangkauannya, sebab ia boleh makan buah semua pohon yang ada di taman. Namun kebebasan tersebut tidak berarti tanpa batas. Manusia harus berhenti di hadapan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, yang membuatnya mesti menerima hukum moral yang diberikan oleh Allah. Allah sebagai satu-satunya YANG BAIK (sumum bonum) mengetahui secara sempurna pula apa yang baik bagi manusia. 2 Karena itu oleh kasih-Nya, Allah menyampaikan kebaikan itu kepada manusia dalam bentuk perintah-perintah. Dan hukum Allah ini tidak mengurangi kebebasan manusia, tetapi sebaliknya justru melindungi dan memajukan kebebasan yang telsh diberikan kepada manusia. Dalam Perjanjian Lama, hukum Allah tersebut 2 Apabila manusia bertanya tentang apa yang baik, maka ia tidak bisa berhenti pada realitas duniawi semata-mata atau realitas yang tercipta. Kebaikan pada akhirnya hanya berhenti pada Allah, kepenuhan dari kebaikan itu sendiri. Jadi kebaikan yang menarik manusia dan sekaligus mewajibkan manusia itu bersumber pada Allah, dan sesungguhnya adalah Allah sendiri. Yohanes Paulus II, Veritatis SPerjanjian Lamaendor (Cahaya Kebenaran), J. Hadiwikarta (penterj.), (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), p. 55. Moral Dekalog 2016 5 diringkaskan dalam dekalog, yang ditempatkan dalam konteks perjanjian Sinai. Istilah dekalog adalah istilah Yunani yang berarti sepuluh kata (asheret hadebarim), ungkapan yang dapat ditemukan dalam Kitab Ulangan 4,13 untuk menunjukan apa yang disebut sepuluh perintah. Ada sepuluh kata yang ditulis di atas dua loh batu (‘alhalluhot, Ul. 10,4) sebagai sintesis dari kewajiban-kewajiban perjanjian. Dalam tradisi rabinik disebut juga asheret ha-diberot ( istilah yang digunakan dalam Yer. 5,13 untuk mengungkapkan Firman Tuhan). Dua loh batu disebut dua loh batu kesaksian, ditulis di dua belahan (Yeh.32,15). 3 Istilah dekalog untuk menyebut seri perintah-perintah untuk pertama kalinya ditemukan dalam tulisan-tulisan santo Irenius martir di Lyon Perancis kirakira pd th. 202. Dalam teks Perjanjian Lama dekalog dapat ditemukan dalam Kel. 20,2-17 dan dalam Ul. 5,6-21. Pada dasarnya kedua teks mengandung isi yang hampir sama hanya ada beberapa perbedaan, yakni dalam hal pengudusan hari Sabat dan mengenai perintah kesepuluh. Dalam teks Keluaran alasan teologis untuk menguduskan hari Sabat adalah meniru pola kerja Allah yang setelah menciptakan alam semesta selama 6 hari, beristirahat pada hari yang ketujuh. Dengan mengikuti pola kerja Allah manusia dipanggil untuk hidup dan bekerja seperti Allah. Dalam konteks inilah kerja memiliki makna, ikut dalam karya penciptaan Allah. Tujuan akhir hari sabat adalah bahwa manusia dan binatang harus istirahat. Sabat mengungkapkan prinsip penyempurnaan yang ditunjukkan Allah dalam karya penciptaan-Nya. Sedangkan dalam teks Ulangan firman mengenai sabat memiliki alasan teologis dalam korelasinya dengan pembebasan bangsa Israel sebagai budak di tanah Mesir. Kalau Allah telah membuat mereka bebas, 3 Leandro Rossi e Ambrogio Valsecchi, Dizionario Enciclopedico Di Teologia Morale (Decalogo), (Milano: Edizioni Paoline, 1987), p. 207. Moral Dekalog 2016 6 maka sudah selayaknya mereka pun membebaskan para hamba, laki-laki dan perempuan, ternak mereka dari Keletihan bekerja. “Sebab haruslah kau ingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah mesir dan engkau dibawa Keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, itulah sebabnya Tuhan, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat” (Ul. 5,15).4 Berkaitan dengan firman kesepuluh terjadi perubahan susunan antara teks Keluaran dan Ulangan. Dalam teks Ulangan susunannya menempatkan istri terlebih dahulu, baru kemudian rumah, sebab susunan yang terdapat dalam Keluaran dianggap kurang sesuai. Istri dianggap sebagai barang milik/perabot sama seperti barang rumah tangga lainnya. Selain itu dalam teks Ul. ditambahkan kata kerja lain: “Janganlah mengingini istri sesamamu dan jangan menghasratkan rumahnya atau ladangnya, atau hambanya laki-laki atau perempuan, atau lembunya, atau Keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu”. 2.1 Dekalog dan Sejarah Moral Perlu diketahui bahwa dalam sejarah Teologi Moral, dekalog mendapat tempat dominan pada zaman santo Agustinus dan tetap dipertahankan sampai sekarang ini. Sebelum era Bernhard Kieser, Moral Dasar – Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), pp. 168-170. St.Agustinus malahan melihat hubungan yang sangat erat antara hukum dan sejarah atau lebih tepatnya antara hukum ilahi dan kesadaran moral. Hukum ilahi menurutnya adalah kebaikan yang menjadi panduan bagi manusia bagaimana seharusnya bertindak. Sedangkan kesadaran moral terutama adalah kesadaran manusia akan identitas dirinya sebagai gambar dan rupa Allah sendiri dan dengan itu mengetahui bahwa tindakan kasih merupakan pemenuhan dari hukum ilahi itu sendiri (bdk Renzo Gerardi, Storia della Morale, (Bologna: Edizioni Dehoniane, 2003), pp.143-144. 4 Moral Dekalog 2016 7 Agustinus bagian yang mempunyai peranan penting dalam pengajaran moral kristiani adalah kutipan-kutipan atau alukusio.5 Agustinus telah membuat satu perubahan mendalam dan membuat satu pembagian atas perintah-perintah tersebut. Ia mengatakan bahwa dekalog dapat diterima secara kristiani sebagai ungkapan kasih. 6 Seringkali para kritikus lebih menggunakan tuntutan maksimal yang mereka nilai lebih tepat dalam memberikan jawaban atas setiap problem. Jika dicari acuan semua pada dekalog, jelas tidak akan pernah ditemukan referensinya. Nabi Yeremia, Yehezkiel, para penginjil dan St. Paulus tidak mengutip dekalog secara lengkap, tetapi yang jelas mereka selalu mengutip tiga perintah yang bersifat apodiktif secara bersamasama : jangan membunuh, jangan berzinah dan jangan mencuri. Dalam didaché, satu dari traktat pertama moral kristiani, skema dua jalan dapat berguna untuk menjelaskan kewajiban fundamental manusia kepada Allah (kewajiban religius) dan kewajiban manusia kepada sesamanya (kewajiban moral). Kewajiban ini seolah mengulang kembali dua sisi utama dari dekalog itu sendiri, yakni: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia. Pada saat jemaat kristiani sudah menjalin hubungan baik dengan orang Yahudi, maka ditetapkanlah bentuk yang dapat diterima mengenai hubugan antara dua perjanjian itu: Perjanjian Lama dan perjanjian baru. Dekalog pun akhirnya dapat diterima dalam arti universal dan dalam dimensi injili. Kotbah di bukit menunjukkan apa yang lebih dituntut dari seorang kristiani, yakni keadilan yang lebih besar dari pada keadilan kaum farisi dan ahli taurat, yakni keadilan yang dijiwai oleh kasih, oleh tuntutan 5 Franz Bockle, Fundamental Moral Theology, (Dublin: Gill and Macmillan Ltd., 1980), p. 130. 6 St.Agustinus, De Moribus ecclesiae catholicae 15.25 Moral Dekalog 2016 8 kebaikan hati. Jadi dekalog tidak lagi menjadi hukum yang berada di luar diri manusia, tetapi terutama terintegrasi dalam diri pribadi (hati nurani) untuk menentukan segala tindakan dan perbuatan moralnya. 7 2.2 Dekalog sebagai satu kesatuan organik Dekalog merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Tiap firman menunjuk kepada yang lain dan kepada keseluruhan; mereka bergantung satu sama lain. Kedua loh batu saling menerangkan dan membentuk satu kesatuan. Pelanggaran terhadap satu perintah berarti pelanggaran seluruh hukum (Yak. 2,10-11). Artinya seseorang tak dapat menghormati sesama tanpa memuji Allah, Penciptanya. Begitu pula seseorang tak dapat menyembah Allah, tanpa mengasihi sesama manusia, yang adalah makhluk ciptaan-Nya. Cinta kepada Allah direalisasikan dalam mencintai sesamanya: “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barang siapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1Yoh 4,20-21). Jadi Dekalog mempersatukan kehidupan rohani dan kehidupan sosial. 2.3 Pengalaman Pembebasan 7 Manusia kristiani yang bermoral mestinya bukan hanya melakukan hukum secara eksternal, melainkan terutama melakukan hukum terinspirasi oleh kasih kepada Allah dengan segenap hatinya; kasih semacam inilah yang diajarkan dan diinsipirasi oleh Kristus sendiri. Karena itu melakukan perintahperintah dekalog secara konsisten adalah suatu bentuk perbuatan kasih yang lahir dari iman dan kemudian menjadi prinsip keutamaan Kristiani. Servais Pinckaers, Op. Cit., p. 20. Moral Dekalog 2016 9 Dekalog harus dipahami dalam konteks perjanjian antara Yahwe dan umat Israel. Yahwe sebagai Allah pembebas dan penuh kasih telah membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir, dari negeri perbudakan. Pengalaman pembebasan tersebut, menjadi dasar sikap Israel kepada Allah dan kepada orang lain. Dengan demikian, tuntutan untuk mentaati perintah Allah bukanlah sebagai paksaan dan beban, melainkan sebagai tanggapan umat atas kasih Allah yang membuat mereka menjadi bangsa yang bebas. Allah yang telah membebaskan Israel menuntut sikap taat dari umat-Nya. Pengalaman dikasihi inilah yang hendaknya menjadi dasar dan sikap orang Israel terhadap sesamanya, bahkan sikap terhadap orang asing. “Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah mesir” (Kel. 20,21); “Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak yatim, juga janganlah engkau mengambil pakaian seorang janda menjadi gadai. Haruslah kau ingat bahwa engkau pun dahulu budak di mesir dan ditebus Tuhan, Allahmu di sana” (Ul. 24,1718; bdk. 24,22) .8 Perkenalan diri Allah dalam Kel. 20,2 kemudian disusul oleh pernyataan kedua mengenai diri-Nya (Kel. 20, 5b,6 / Ul. 5,9b,10) beserta konsekwensi kalau identitas itu tidak dihormati. “Karena Aku, Allah Tuhanmu, adalah Allah yang cemburu yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku”. Dari sini dapat benar-benar terlihat adanya 8 Cardinal Walter Kasper, Mercy – The Essence of the Gospel and the Key to Christian Life, William Madges (trans.), Quezon City, Phlippines, 2015), p. 46. Dalam konteks ini Kardinal Kasper menjelaskan bahwa revelasi identitas Allah yang sejati tampak lewat peristiwa pembebasan Israel dari Mesir dan penampakkan-Nya di Gunung Sinai dan Horeb. Malah Yahwe yang telah membebaskan Israel dari Mesir itu telah menjadi ungkapan iman paling fundamental dalam Perjanjian Lama. Moral Dekalog 2016 10 ikatan antara Allah yang Esa, yang telah membebaskan umat Israel dari perbudakan mesir dengan sikap serta iman Israel itu sendiri. Dari pembukaan dekalog inilah terlihat karakeristik ilahi dari dekalog dan buku perjanjian sebagai pemakluman kehendak Allah yang menuntut sikap iman umat yang mendalam kepada-Nya. Umat Israel dengan mengingat kebaikan dan kerahiman Allah, mereka dipanggil untuk selalu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yakni menjalankan segala sesuatu yang perlu untuk hidup bersama secara teratur dan untuk melindungi kehidupan umat terutama mereka yang lemah, tanpa pembela. Di samping itu, dekalog mengingatkan bahwa Allah adalah penolong mereka dan penolong semua orang, maka sikap yang dituntut adalah melekatkan diri kepada-Nya. Dalam rumusan yang lebih kuno, dekalog melindungi hak asasi bangsa Israel, sedangkan dalam Ulangan, dekalog menuntut sikap hati yang baik dan murni. Kriteria yang menentukan sikap bangsa Israel dalam berhadapan dengan kultur dan agama kanaan adalah iman mereka dalam perjanjian. 9 Etos Israel oleh karenanya ditentukan dan dikarakterisasikan oleh keputusan untuk mengabdi kepada Allah yang esa. Dengan demikian, Allah telah memisahkan mereka dari segala sesuatu yang dapat membahayakan hubungan perjanjian tersebut. Perintah-perintah Allah ditujukan kepada orang Israel sebagai bangsa, sebagai keseluruhan komunitas yang hidup. Hanya iman kepada Allah yang esa yang menjadi dasar penyatu dan yang memungkinkan bangsa Israel menjadi suatu bangsa yang terpilih, umat perjanjian. Keyakinan akan keselamatan dalam sejarah ini lebih lanjut terbukti ketika Allah selalu memenuhi janji yang telah dibuat kepada keturunan-Nya. Tuntutan yang Allah perbuat terhadap bangsa-Nya dibenarkan dalam bab 9 Ibid. Moral Dekalog 2016 11 terakhir Kitab Ulangan. Ketika suku-suku Israel diberi tanah Kanaan, Allah pada saat yang sama memberikan hukuman berat kepada penduduk negeri itu dan kepada dewa-dewa mereka. Keadilan Allah (sedhaqah) dalam penghakiman-Nya, hendaknya menjadi norma dan pedoman hidup bagi Israel. 2.4 Hukum Apodiktik dan Dekalog Bentuk dekalog menggunakan kalimat-kalimat apodiktik, yakni kalimat yang singkat, langsung, tanpa syarat melarang atau memerintahkan sesuatu, misalnya: jangan membunuh, jangan berbuat zinah, jangan mencuri. Hukum apodiktik ini merupakan salah satu bentuk nasihat biasa bukan hanya di Israel tetapi juga pada bangsa lain, tetangga Israel. Nasihat-nasihat orang tua biasanya dirumuskan dalam bentuk apodiktik. Kalimat-kalimat dalam dekalog yang berbentuk apodiktik berasal dari lingkungan Keluarga besar (klan) dan pertama-tama merupakan nasihat leluhur untuk anggota Keluarga. Demikian, dekalog yang berbentuk apodiktik menyangkut pedoman hidup dalam hidup bersama dalam klan. Gerstenberg, seperti dikutip oleh Frans Bockle, mengatakan bahwa: kita harus mencari asal hukum larangan dalam Keluarga besar sebelum adanya negara. Ia juga melihat bahwa ada hubungan tertutup antara kalimat-kalimat apodiktik dengan tradisi kebijaksanaan, hubungan yang telah membuatnya mungkin untuk menemukan asal muasal hukum apodiktik dalam kebijaksanaan tradisional klan dan Keluarga Israel. 10 Sementara Nielsen menyoroti bahwa apa yang disebut hukum larangan lebih berhubungan dengan masalah kultus dan religius. Dalam kalimat-kalimat apodiktik elemen moral dan religius ditekankan secara tegas. Kalimat-kalimat 10 Frans Bockle, Op. Cit., p.129. Moral Dekalog 2016 12 tersebut diungkapkan dalam bentuk perintah, larangan atau teguran dan membuatnya sah secara permanen mengenai apa yang harus diperhatikan , sebagai sesuatu yang salah dalam komunitas.11 Yang menarik dalam kalimat-kalimat apodiktik ini adalah bahwa penulisannya di banyak teks selalu ditulis bersama-sama, terutama perintah jangan membunuh, jangan berjinah dan jangan mencuri, jangan bersumpah palsu (Kel. 20,13-16; Ul. 5,17-20; Yer. 7,9; Hos. 4,2; Mat. 5,21-37; 19,18; Mrk. 10, 19; Luk. 12,5759; 18,20). Perintah-perintah singkat ini sudah ada sebelum dekalog. Ketiga perintah ini dideretkan bersama karena perintahperintah tersebut menyangkut perlindungan hidup, tatanan Keluarga, milik dan nama baik seseorang. Disamping deretan perintah-perintah tersebut, perintah lain yang dirumuskan secara positif juga ditulis berurutan; kuduskanlah hari Sabat dan hormatilah ayah dan ibumu (Kel. 20,8.12; Ul. 5,12.15; Im. 19,3). 2.5 Dekalog Dalam Konteks Sinai Eksegese modern telah menunjukkan bahwa dekalog pada mulanya bukanlah bagian dari perikop sinai dan pada mulanya bukanlah satu kesatuan, tetapi melalui proses editorial. Pada tahap berikutnya dalam proses editorial, dekalog secara sengaja ditempatkan pada cerita Sinai yang dimulai pada Kel. 19 sampai Ul. 10. Apabila dikurangi bagian-bagian yang umumnya diakui sebagai tradisi Priest (P), maka konteks dekalog hanyalah (Kel. 19,2b-24, 15a dan 32-34) Pada bagian inilah dimasukan dua kumpulan hukum, yakni Dekalog (Kel. 20, 2-20) dan Kitab Perjanjian (Kel. 20, 22-23, 33). Konteks Sinai menceritakan penampakan Yahwe (Kel. 19 dan 20) ditambah dengan dua cerita yang lebih kuno yakni cerita mengenai perjamuan kultis(24,1-2,910) dan cerita mengenai Musa di puncak gunung (Kel. 24,12-15a). 11 Ibid. Moral Dekalog 2016 13 Dalam konteks inilah, dikatakan bahwa dekalog merupakan sisipan dalam cerita Sinai.12 Oleh karena manipulasi teks inilah, maka pembukaan dekalog (Kel. 20,2) yang menyatakan Yahwe sebagai pembicara memiliki kepentingan besar bukan hanya untuk dekalog, tetapi juga untuk seluruh buku perjanjian dan peristiwa sinai secara keseluruhan. Hal ini memberikan pembenaran ilahi atas norma-norma. Dengan demikian, dekalog dan seluruh buku perjanjian mendapat otoritas ilahi, yakni di bawah Kekuasan Allah sebagai pembebas. Keluaran 34,10-28 adalah rapresentasi dari perjanjian (berith) antara Allah dan umat terpilih. Hal ini mungkin untuk melihat ide dasar dari sumber Jahwista, piagam perjanjian untuk komunitas umat terpilih yang melihatnya sebagai berith, untuk melindungi mereka dan untuk melawan pengaruh dari lingkungan Kanaan. Berbicara mengenai perjanjian antara Allah dengan Israel, hal penting yang perlu diingat adalah makna asli dari kata berith itu sendiri. Menurut M. Weinfeld, seperti dikutip Bockle, kata ini tidak menunjuk pada persetujuan antara dua pihak, tetapi kata ini mengandung ide pemberian kewajiban. Berith diperintahkan dan kata ini sinonim dengan hukum atau perintah. Jadi perjanjian Sinai adalah pemberian hukum dan kewajiban kepada umat Israel (Kel.24, 3-8).13 Dalam arti ini, dekalog dapat dipahami sebagai perintah Allah. 12 13 Bernhard Kieser, Op.Cit., pp. 170-172 Frans Bockle, Op. Cit., p. 132. Moral Dekalog 2016 14 2.6 Yesus dan Dekalog Berkaitan dengan dekalog Yesus melihat bahwa hukum Perjanjian Lama, Taurat Musa tetap berguna bahkan Ia sendiri mengatakan bahwa: Aku datang bukan untuk menghapus Taurat, melainkan untuk menggenapinya (Mt). Dalam pembicaraan-Nya dengan pemuda kaya yang menanyakan syarat-syarat untuk memperoleh hidup yang kekal, Yesus pertama-tama mengacu pada perintah dekalog, walaupun tidak menyebutkannya secara komPerjanjian Lamait. Akan tetapi, Yesus tidak berhenti hanya pada pelaksanaan perintah dekalog, tetapi menuntut lebih yakni melepaskan keterikatan pada milik, menjual apa yang dimiliki, memberikannya kepada orang miskin lalu datang mengikuti-Nya. Pemuda kaya diundang untuk mengikuti Yesus yang merupakan pemenuhan hukum Allah itu sendiri. Oleh karenanya, berkaitan dengan pelaksanaan hukum, Yesus menghindari sikap legalistis seperti kaum Farisi dan ahli taurat. 14 Ada ethos injili yang diajarkan oleh Yesus. Kesempurnaan tidak bisa diperoleh hanya sebatas melaksanakan hukum-hukum yang tertulis. Bagi Yesus yang paling penting bukanlah penampilan lahiriah, namun sikap batin seseorang. Dalam konteks inilah, Yesus memberikan sikapnya terhadap dekalog dan hukum Taurat pada umumya: bahwa bukan hanya pelaksanaan hukum secara harafiah, dan perbuatan-perbuatan yang nampak saja, melainkan yang paling utama adalah sikap batin, intensi dan motivasi seseorang yang merupakan dasar setiap perbuatan moral. Di sini seseorang bisa menilai tindakannya sendiri: bersih atau tidak bersih, tulus atau tidak tulus, baik atau tidak baik. Sebab Yesus 14 Yohanes Paulus II, Op.Cit., pp.55-56. Pemuda kaya dalam injil itu tampaknya bukan seseorang yang tidak mengetahui tentang hukum. Namun tampaknya ia hanya melaksanakan hukum secara legaltistik dan belum sampai kepada kebaikan moral yang sejati. Untuk sampai pada kebaikan moral yang sejati orang harus masuk ke dalam Kristus dengan seluruh diri pribadinya. Moral Dekalog 2016 15 sendiri mengatakan bahwa bukan apa yang masuk ke dalam perut manusia yang menajiskan orang, tetapi justru apa yang Keluar dari hati manusia itulah yang jahat. Apabila hal ini disadari sungguh-sungguh oleh manusia, maka dia akan menghasilkan buah bukan hanya dengan semakin menyembah Allah (taat pada hukum-hukum-Nya), melainkan manusia semakin kagum akan dirinya sendiri sebagai tanda kebaikan dari Allah.15 Orang dituntut untuk mengontrol dan menjaga hati, pikiran serta keinginannya. Hal inilah yang tidak mudah. Sebab kemurnian hati itulah yang dituntut. Dalam perdebatannya dengan kaum farisi dan ahli Taurat mengenai Sabat, Yesus pun mengambil sikap berbeda dari pada sikap orang Farisi. Yesus mengembalikan makna Sabat pada motivasi awalnya, yakni sebagai saat pembebasan, sehingga pada saat berhadapan dengan orang yang dibelenggu oleh penyakit dan dosa, Yesus menyembuhkannya kendati pada hari sabat: “Sabat dibuat untuk manusia bukannya manusia untuk hari Sabat” (Mrk. 2,27). Dalam sikap hidup-Nya, Yesus juga menampilkan sikap bersahabat dengan para pendosa, dengan mereka yang tidak dianggap bersih berdasarkan hukum lama. Dari sini tampak bahwa bagi Yesus yang lebih penting adalah nilai hidup manusia, bukannya ketaatan buta pada hukum. YESUS menjadi manusia bebas dan pembebas, karena untuk itulah Ia diutus, menghadirkan wajah Allah yang baik hati dan berbelas kasih. 16 Ia diutus untuk melaksanakan kehendak Allah, yakni mencintai Allah dan sesama. Dalam kerangka inilah Yesus merangkum hukum Taurat dan Kitab para nabi dalam satu perintah kasih, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Dengan demikian pada intinya, moralitas Perjanjian Lama dan moralitas perjanjian baru, memiliki persamaan, yakni: ketaatan mutlak pada kehendak Allah, hidup 15 16 Ibid., p. 57. Cardinal Walter Kasper, Op. Cit., pp. 65-69. Moral Dekalog 2016 16 sebagaimana dikehendaki oleh Allah sendiri. Cinta kepada Allah dikonkritkan dalam mentaati perintah-perintah-Nya. “Tetapi barang siapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui bahwa kita ada di dalam Dia” (1 Yoh. 2,5). Kalau engkau mengasihi Tuhan, Allah-Mu, dengan hidup menurut jalan yang ditujukkan-Nya dan berpegang pada firman, ketetapan dan peraturan-Nya, engkau akan hidup dan bertambah banyak. (Ul. 30,16). 2.7 Karakteristik Dasar Dekalog 1. Dekalog merupakan tanda kasih Allah kepada manusia. Allah yang pertama-tama mengasihi umatNya dan Ia menuntut tanggapan bebas dari manusia. 2. Hubungan dialektis antara aspek indicative dan imperative nampak jelas dalam prolog Dekalog. “Akulah Tuhan Allahmu yang telah membawa kamu Keluar dari Mesir, Keluar dari rumah perbudakan.” Sabda ini pertama-tama menunjuk pada Allah dan juga bernada perintah untuk dilaksanakan. Sebab pengalaman pembebasan dari Allah ini menjadi dasar untuk umat Israel membebaskan orang-orang yang hidup dalam penindasan. Lebih tepatnya Yahwe, sang Pembebas melarang umat-Nya untuk melakukan penindasan dalam bentuk apapun kepada orang lain, terutama orang asing. 3. Dekalog secara jelas mengatur hubungan antara Allah dan manusia, mencakup hak dan kewajiban manusia. Allah menuntut hak untuk disembah dengan segenap hati dan budi, menuntut cinta yang utuh, tidak terbagi dari umat-Nya. Moral Dekalog 2016 17 4 Hampir semua perintah dirumuskan secara negatif, kecuali perintah yang berhubungan dengan Sabat dan hormat pada orang tua. 5. Kalau rumusan negatif diubah menjadi rumusan positif, maka ada kemungkinan perluasan makna. Contoh larangan membunuh dapat diganti dengan menggunakan rumusan positif “Hormatilah kehidupan”. 6. Keberadaan dua versi dekalog yang berbeda, yakni Kel. 20: 117 dan Ul. 5: 6-21. menujukkan bahwa dekalog merupakan hasil dari suatu sejarah literer yang panjang. 7. Di dalam berbagai teks, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, ada tiga (3) perintah singkat yang selalu ditemukan: “ Jangan membunuh, jangan berzinah dan jangan mencuri.” Ketiga perintah ini sama dengan hukum apodiktik yang umum dalam masyarakat Timur Tengah. 8. Perintah yang berkaitan dengan Institusi Sabat memiliki perbedaan signifikan terutama berkaitan dengan motivasinya. Motivasi Sabat dalam Kel. 20 dikaitkan dengan kisah penciptaan, meniru pola, ritme kerja Allah dalam proses penciptaan. Sementara dalam Ulangan 5, motivasi Sabat dikaitkan dengan kisah pembebasan umat Israel dari perbudakan Mesir. Pengalaman pembebasan yang dialami menjadi alasan etis untuk membebaskan orang-orang yang bekerja dalam ketergantungan (budak). Sabat adalah hari pembebasan bagi orang-orang yang bekerja dalam ketergantungan ini dan sekaligus juga menjadi perayaan pembebasan bagi orang-orang bebas-merdeka. Dalam konteks ini, dekalog dapat dikategorikan sebagai hukum kebebasan. Moral Dekalog 2016 18 Kalau menganalisis kembali isi setiap perintah dalam dekalog, maka dapat ditemukan nilai-nilai dasar yang mau diperjuangkan dan dilindungi, yakni: 1. Monotheisme yang menuntut kesetiaan dan komitment untuk mencintai Allah dengan hati yang tidak terbagi. 2. Prinsip keadilan dalam arti memberikan kepada setiap individu atau pihak lain apa yang menjadi haknya, termasuk hak Allah untuk dipuji dan dihormati serta disembah 3. Perlindungan terhadap orang-orang lemah dan tidak berdaya dalam Keluarga dan masyarakat. 4. Perlindungan dan penghormatan terhadap sakralitas hidup manusia, menerima dan melindungi kehidupan itu sejak awal keberadaannya. 5. Perlindungan terhadap kesetiaan dan keutuhan Keluarga dan kemurnian keturunan (seksualitas). 6. Prinsip keadilan: melindungi hak milik orang lain 7. Prinsip kebenaran: melindungi orang dari kesaksian palsu (saksi dusta) tentang sesamanya, tuntutan untuk selalu mengatakan kebenaran. Hal ini menyangkut kehidupan dan martabat sesama, terutama dalam kasus pengadilan. 8. Menjaga kemurnian hati dan budi, menjaga orang agar tidak jatuh ke dalam ketamakan dan keserakahan (mengendalikan libido possendi). Moral Dekalog 2016 19 BAB III DASA FIRMAN SEBAGAI HUKUM MORAL 3.1. Perintah I: Jangan Ada Padamu Allah Lain di HadapanKu 3.1.1 Maksud awal Larangan ini harus dipahami dalam konteks pernyataan Allah: “Akulah Tuhan, Allahmu yang telah membawa engkau Keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan”. Dari pernyataan tersebut menjadi jelas bahwa Allah yang benar dan otentik adalah Allah Pembebas, yang menuntut dari umat-Nya pengabdian khusus, ketaatan tanpa syarat. Allah Pembebas meminta satu relasi eksklusif dari umatNYa. Allah yang telah membawa mereka dari negeri perbudakan mengklaim sebagai satu-satunya Allah, sehingga Israel tidak diperkenankan memberi tempat pada Allah lain. Dalam konteks inilah pemazmur melukiskan ketakberdayaan berhala-berhala buatan tangan manusia. “Berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia, mempunyai mulut tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga tetapi tidak dapat mendengar ….” (Mzm 15,2-8). Dari mazmur ini dapat dilihat bahwa tidak ada gunanya menaruh harapan kepada barang-barang duniawi, berhala. Semua itu hanyalah ilusi. Percaya mesti hanya kepada Allah yang sudah jelas kekuasaan-Nya, yang telah dialami umat Israel dalam peristiwa pembebasan dari negeri Mesir. Perintah ini melarang bangsa Israel untuk menyembah dewa-dewa lain, illah-illah lain, Moral Dekalog 2016 20 karena di negara-negara sekitar Israel memang ada kultus penyembahan dewa-dewa. Perintah jangan ada padamu allah-allah lain mendasarkan klaimnya pada kenyaaan bahwa Israel telah menjadi milik Yahwe, maka Ia meminta satu sikap radikal, penyembahan tunggal dengan hati yang tidak terbagi.17 Sebab Allah yang esa dan benar sudah terlebih dahulu menyatakan dirinya kepada umat Israel dan sejalan dengan itu panggilan dan hakikat manusia yang sejati pun dinyatakan. Manusia dipanggil untuk member kesaksian tentang Allah, dengan bertingkah laku sesuai dengan kenyataan bahwa ia diciptakan ‘mnurut citra Allah’ dan serupa dengan Allah (KGK, no. 2085).18 3.1.2 Perkembangan lebih lanjut Firman I dapat dipahami juga sebagai larangan menyembah berhala, idolatria. Berhala adalah semua hal atau nilai-nilai manusiawi/duniawi dan terbatas sifatnya yang kemudian dimutlakan: mengallahkan apa yang bukan Allah. Pada zaman modern ini berhala-berhala itu dapat berupa harta kekayaan, kekuasaan, Ilmu pengetahuan dan teknologi atau manusia sendiri. Sesungguhnya dengan menyembah berhala, manusia menundukkan dirinya di bawah kekuasaan apa yang diberhalakan, apa yang dituhankan, ia ditindas, dijadikannya tidak bebas lagi. Tidak jarang orang menjadikan barang-barang duniawi sebagai andalan hidup, penentu segalanya, penentu kebahagiaan. 17 Bernard Kieser, Op.Cit., pp.177-178. Propinsi Gerejani Ende, Katekismus Gereja Katolik, H.Embuiru (penterj.), Ende: Percetakan Arnoldus, 1995, p.537. 18 Moral Dekalog 2016 21 Ajaran mengenai Allah yang esa ini memiliki pendasarannya dalam iman yang bersifat eksklusif, sama seperti cinta kasih sejati di antara manusia yang adalah eksklusif. Hubungan yang eksklusif memberi makna total pada hidup dan karena itu menuntut seluruh hidup. Jadi ketunggalan Allah dalam monotheisme bukan ketunggalan satu pribadi Allah, melainkan mesti dipahami sebagai: relasi dengan Allah mengikat aku kepada Engkau-Tunggal. Relasi semacam ini yang tidak bisa dengan mudah dikhianati. Larangan untuk menyembah allah-allah lain sesungguhnya diserta dengan dua alasan utama: pertama, Allah itu cemburu, artinya: Dia bukan iri hati, melainkan selalu terlibat, berjuang untuk milik kepunyaan-Nya (yang diperoleh dengan pembebasan), baik dengan cara memeliharanya atau dengan cara menghukumnya. Kedua, Allah menuntut ketaatan pada perintahperintah-Nya (hal itu berlaku untuk firman pertama dan semua firman lainnya). Ada hukuman kolektif bagi Israel kalau tidak taat. Itu berarti Israel berhadapan dengan Allah bukan sebagai masing-masing pribadi, melainkan dalam kebersamaan umat Allah dan dalam kebersamaan sejarah keselamatan.19 Dalam kaitannya dengan larangan menyembah dewa-dewa lain ini, ada larangan membuat patung. Patung selalu dimengerti juga sebagai ‘ukiran’ yang berfungsi sebagai pengantara kehadiran Allah. Patung memusatkan kehadiran kuasa yang mengatur dan mengarahkan hidup manusia kepada barang dan tempat tertentu. Kehadiran patung dikatakan menjamin kehadiran Allah dan hal ini tidak bisa dibenarkan. Karena itulah, maka Israel dilarang untuk membuat patung. Kitab Ul 27:15 melihat larangan pembuatan patung ini dalam hubungannya dnegan penyembahan terhadap Yahwe 19 Bernard Kieser, Op.Cit., p. 178. Moral Dekalog 2016 22 sendiri. Yahwe bukanlah semacam kuasa alamiah yang boleh dipusatkan manusia pada tempat tertentu. Sebab Allah adalah ‘Yahwe’, yaitu Allah bagi umat-Nya, yang setia mengikuti perjalanan umat-Nya. Demikian pula dalam Ul 4:15-20 ditegaskan supaya ‘janganlah mata orang terikat pada rupa mana pun jua yang hanyalah ciptaan Allah! Hendaklah telinga orang terikat pada Sabda Allah untuk menaatinya. Larang membuat patung terutama karena jangan sampai Allah dikuasai oleh manusia. Sebaliknya justru manusialah yang mesti dikuasai oleh Allah. Manusia dengan ketaatan penuh menyembah Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, seluruh hidup.20 Jadi, yang dilarang dalam perintah ini adalah membuat patung Yahwe, sebab dengan pembuatan patung Yahwe manusia mereduksi Allah, merendahkan ke taraf ciptaan, dengan menghadirkan Allah dalam patung berarti manusia menguasai ruang gerak Allah. Padahal Allah Israel adalah Allah yang bebas. Hanya satu yang dapat menjadi simbol Allah yaitu Yesus Kristus, Sabda yang menjadi manusia. Dialah gambar Allah yang Kelihatan, yang menjadi model dan contoh bagi manusia. 3.1.3 Bentuk-Bentuk Pelanggaran Firman I: 1. Penyembahan berhala: mengallahkan apa yang sesungguhnya bukan Allah: uang, kekuasaan, ideologi, ras, kebebasan, seks. 2. Ramalan dan magi: persoalan masa depan manusia tidak bisa ditentukan oleh manusia sendiri, namun tergantung dari penyelenggaraan Ilahi. Melalui kekuatan-kekuatan magis, manusia meminta perlindungan atau malahan mencelakakan orang lain, yakni melalui teluh, tenung, sihir, dsb. Di samping itu, penggunaan jimat dan susuk 20 Ibid., p. 179. Moral Dekalog 2016 23 merupakan pelanggaran terhadap firman I dekalog. Meminta kekayaan melalui penyembahan dewa dan sebagainya merupakan pelanggaran terhadap firman I juga. 3. Mencobai Allah dengan perkataan dan perbuatan, memaksa Allah untuk membuat mujizat. Sacrilegi: menghina,menajiskan, tidak menghormati sakramensakramen, terutama ekaristi. Simoni: jual beli barang rohani, karunia Allah, merendahkan martabat berkat/anugerah Allah. “Kamu telah menerima dengan cuma-cuma, karena itu, berikanlah pula dengan cumacuma”. Bidaah, yaitu menyangkal atau meragu-ragukan dengan tegas suatu kebenaran yang semestinya harus diimani dengan sikap iman ilahi dan Katolik, sesudah penerimaan Sakramen Pembaptisan; murtad, menyangkal iman kepercayaan Kristiani secara menyeluruh; skisma, yakni menolak untuk tunduk kepada Sri Paus atau persekutuan dengan anggota-anggota Gereja yang takluk kepadanya. 4. Atheisme: Humanisme atheistik: manusia menjadikan dirinya sebagai tujuan, manusia mengandalkan hidup dan usahanya mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup melulu pada kekuatan dan prestasinya sendiri. Otonomi manusia yang diabsolutkan, akibatanya manusia menyangkal setiap ketergantungannya pada Allah, bahkan manusia memanggap Allah sebagai rival dalam mencapai kebebasannya. Atheisme: menolak keberadaan Allah. 5. Sekularisme: pandangan hidup yang bertumpu melulu pada hal-hal duniawi dan menganggap tidak berguna segala sesuatu yang melampaui dunia yang Kelihatan, mengesampingkan nilai-nilai spiritual/rohani, hanya Moral Dekalog 2016 24 menganggap penting apa yang material, sehingga manusia menghapus Allah dari kehidupannya. 6. Agnostisisme: seorang agnostik tidak mengambil sikap terhadap keberadaan Allah karena tidak mungkin membuktikannya. 7. Keputusasaan, di mana manusia berhenti total mengharapkan dari Allah keselamatan pribadinya, segala bantuan rahmat yang berguna bagi keselamatan dan pengampunan segala dosanya. Di sini orang menentang kebaikan Allah, keadilan-Nya – Tuhan selalu setia pada perjanjian-Nya – dan kerahiman-Nya. 8. Dosa kesombongan yang terdiri dari dua bentuk,yakni: pertama, manusia yang menilai kemampuannya sendiri terlalu tinggi, dengan harapan bahwa dia sendiri dapat memperoleh keselamatan tanpa bantuan ilahi (Allah); dan kedua, manusia terlalu menilai dirinya sempurna atau otomatis saja mendapatkan pengampunan dan kerahiman Allah tanpa perlu sikap tobat. Manusia menghendaki kebahagiaan tanpa jasa apapun.21 3.2. Firman II: Jangan Menyebut Nama Tuhan dengan sembarangan 3.2.1. Landasan Kitab Suci: Kel. 20:7 / Ul. 5:11 Apa yang menjadi landasan larangan tersebut? Apa maksudnya menyebut nama Allah dengan sembarangan? Bagaimana dengan penyebutan nama Allah dalam sumpah yang dituntut dalam lingkungan profesi tertentu? 21 Propinsi Gerejani Ende, Op. Cit., pp. 538-539. Moral Dekalog 2016 25 Yang menjadi landasan larangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan adalah karena nama Tuhan itu kudus. Nama menunjukkan identitas diri Allah sendiri. Yahwe yang berarti “Aku adalah Aku” (Kel. 3:14). Larangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan dikaitkan dengan identitas Allah yang adalah Kudus dan benar. „Kekudusan nama Allah menuntut bahwa orang tidak memakainya untuk hal-hal yang tidak penting“ (Kat. Art. 2155). Dia yang kudus harus dihormati dan disembah dengan sikap iman. Larangan ini harus dipahami dalam konteks penyembahan Allah. Di samping itu, nama Allah itu penuh kuasa. Oleh karenanya, jangan menyalahgunakan nama Tuhan yang penuh kuasa untuk tujuan yang tidak seharusnya. 3.2.2. Maksud Perintah Apa maksudnya menyebut nama Tuhan dengan sembarangan? Dalam bahasa Inggris kata yang digunakan untuk kata Ibrani lassaw adalah mischief artinya ditujukan untuk merugikan dan mencelakakan orang lain. Jangan memakai nama Allah untuk mengutuk sesama. Dengan demikian, maksud dari larangan ini adalah supaya tidak menggunakan nama Allah untuk mencelakakan orang lain. Ini berarti menyalahgunakan kekuasaan dan kekuatan inheren nama Allah demi tujuan jahat, yakni membahayakan hidup orang lain. Kata lain yang digunakan adalah in vain dan vanity yang artinya kesia-siaan, dengan sikap menghina dan merendahkan, tanpa makna, dengan sembrono. Nama Allah tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang sia-sia, tidak sungguh-sungguh. Penggunaan kata vain ini dapat kita lihat juga dalam Yes.1:13 “Jangan lagi membawa persembahan yang tidak sungguhsungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-KU”. Penggunaan nama Allah dalam mengambil sumpah sejauh itu dilakukan dengan penuh kesungguhan, dapat dibenarkan. Moral Dekalog 2016 26 Artinya dalam mengangkat sumpah, orang menggunakan nama Allah untuk menjamin kesungguhan, keseriusan sumpah tersebut. Dalam hal ini, orang memanggil Allah sebagai saksi. Berkaitan dengan sumpah, Hukum Kanonik mengatakan: “Sumpah ialah menyerukan nama Allah selaku saksi kebenaran, hanya boleh diucapkan dalam kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan” (KHK. Kan. 1199). Sumpah di pengadilan menggunakan kata “demi Allah atau dalam nama Allah”, maksudnya adalah untuk menjamin kebenaran dari perkataan saksi. Di samping itu, nama Allah boleh digunakan dalam konteks janji yang dibuat dengan penuh kesungguhan, misalnya janji perkawinan, kaul, baptis. Maksudnya adalah bahwa janji yang dibuat, diikrarkan sungguh-sungguh mengikat dan akan dilaksanakan dengan setia. Nama Allah dipakai sebagai jaminan kebenaran. Janji dibuat untuk dilaksanakan bukan untuk diingkari. 3.2.3 Konteks Larangan Sebenarnya maksud dari perintah ini adalah supaya: ‘jangan membuat kosong/hampa nama Yahwe, sebab Yahwe akan memandang bersalah orang yang membuat nama-Nya hampa/kosong.’ Seperti disebutkan di atas nama Yahwe berarti: Aku adalah Aku yang menyatakan diri kepadamu. Allah sudah menyatakan dirinya kepada umat dan tetap mendampingi mereka selalu. Karena itu Allah boleh dipanggil dengan nama-Nya, diserukan dalam doa, tetapi tidak pernah dibenarkan untuk dikuasai. Sebab Allah memang memberitahkan nama-Nya kepada umat. Akan tetapi Dia tidak pernah menyerahkan nama –Nya kepada siapapun. Selain itu larangan untuk menyebut nama Yahwe dengan ‘kosong/sia-sia’ juga menyangkut ibadat Israel. Israel diminta untuk jangan menyeru kepada nama Yahwe dengan sia-sia/kosong, yakni berdoa tanpa didukung oleh seluruh hidup (bdk Mat 7:21, juga dalam tindakan-tindakan penyembahan Moral Dekalog 2016 27 berhala, guna-guna atau hal-hal lain yang sia-sia, seperti wejangan dari para nabi palsu (bdk Yeh 13:6-9). Apa yang dilarang dalam konteks firman II adalah bersumpah palsu atau memakai nama Allah untuk membenarkan diri. Dalam kebiasaan bangsa Israel kuno dan bangsa-bangsa sekitarnya, orang bersumpah atas nama langit, bumi, tetapi bukan atas nama Allah. Dalam Katekismus (No.2150) dikatakan “Bersumpah atau mengangkat sumpah berarti memanggil nama Allah sebagai saksi untuk apa yang kita ucapkan. Itu berarti memanggil kebenaran ilahi supaya ia menjamin kejujuran orang yang bersumpah. Sumpah mewajibkan atas nama Allah. “Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya engkau haruslah engkau bersumpah”. (Ul. 6:13). 22 Dalam konteks inilah, perkataan Yesus dapat kita pahami “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Jangan sekali-kali bersumpah baik demi langit, karena langit adalah tahta Allah, maupun demi bumi karena bumi adalah tumpuan kakiNya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar,……Jika ya hendaklah kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5: 33-37)..Pada intinya, orang yang bersumpah, entah nama Allah dikatakan atau tidak, Allah yang hadir di setiap tempat turut menyaksikan apa yang disumpahkan (bdk. Mzm 139) Bersumpah palsu artinya orang mengangkat sumpah dengan tidak sungguh-sungguh, bersumpah untuk kemudian diingkari. Penggunaan nama Allah dalam sumpah palsu berarti 22 Ibid., p.551. Moral Dekalog 2016 28 mempertaruhkan kekudusan dan kebenaran nama Allah dengan sia-sia. Seorang yang bersumpah palsu berarti menjadikan Allah sebagai pembohong dan penipu. Dalam hal ini Katekismus (No. 2151) selanjutnya berkata: “menolak sumpah palsu adalah satu kewajiban terhadap Allah. Sebagai Pencipta dan Tuhan, Allah adalah tolok ukur kebenaran. Perkataan manusia itu sesuai atau berlawanan dengan Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sejauh sumpah selaras dengan kebenaran dan sah, ia menggarisbawahi bahwa perkataan manusia berhubungan dengan kebenaran Allah. Sebaliknya sumpah palsu menempatkan Allah sebagai saksi untuk suatu penipuan”. 23 Santo Ignatius dari Loyola, sebagaimana dikutip dalam Katekismus Gereka Katolik, No. 2164, berkata: “Jangan bersumpah, baik pada Pencipta maupun pada ciptaan, kecuali dengan kebenaran, karena keperluan dan dengan hormat.” Nama Allah juga tidak dibenarkan untuk membenarkan tindakan kejahatan melawan kemanusiaan. Jangan mengatasnamakan Allah demi kepentingan pribadi. 24 3.3. Firman III: Kuduskanlah Hari Sabat 3.3.1 Maksud awal Terdapat dua motivasi yang berbeda dalam kaitan dengan pelaksanaan hari Sabat. Dalam teks Keluaran 20: 8-11 motivasi dasar dari sabat adalah: meniru pola kerja Allah yang bekerja selama enam hari dan pada hari ketujuh ia beristirahat. Di samping itu, sabat merupakan antisipasi dari sabat abadi setelah manusia selesai dalam memenuhi tugas hidupnya, beristirahat di 23 24 Ibid. Ibid., p.554. Moral Dekalog 2016 29 hadirat Allah. Dengan beristirahat pada hari ketujuh manusia diajak untuk merenungkan seluruh karya dan aktivitasnya dan menyadarkan manusia bahwa ia tidak cukup hanya mengandalkan usahanya sendiri. Sabat memiliki makna penting pada saat bangsa Israel hidup di tanah pembuangan, di mana bangsa Israel bertemu dengan bangsa-bangsa asing dan ada godaan meniru pola hidup bangsa lain yang tidak mempunyai tradisi sabat. Institusi sabat ini mau mengingatkan bangsa Israel agar mereka hidup sesuai dengan identitas mereka sebagai bangsa pilihan Allah yang telah dibebaskan dari perbudakan Mesir. Dalam teks Ulangan 5,12-15 yang menjadi motivasi awal sabat adalah pengalaman pembebasan yang telah dialami bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Sebagai mana mereka telah dibebaskan Yahwe, demikian pula mereka harus membebaskan orang.-orang yang bekerja dalam ketergantungan pada orang lain. Para hamba laki-laki dan perempuan, bahkan lembu harus menikmati istirahat dan saat pembebasan. Sabat memiliki dimensi sosial dan moral yakni menjadi saat pembebasan bagi mereka yang selama enam hari bekerja dalam ketergantungan.25 25 Bernard Kieser, Op.Cit., pp.176-177. Lihat juga dalam Ketekismus Gereja Katolik, No. 2170. Moral Dekalog 2016 30 3.3.2 Perkembangan Makna Dalam perkembangan selanjutnya, sabat direduksi pada sikap legalistis seperti dihayati oleh kaum Farisi. Mereka membuat banyak aturan sampai ke hal-hal kecil, mengatur jalan sampai berapa langkah, tidak boleh memasak, tidak boleh meyembuhkan orang. Dengan banyaknya peraturan yang harus ditaati, sabat mengalami pergeseran makna dari saat pembebasan dan istirahat menjadi beban yang membelenggu dan menindas. Berhadapan dengan sikap legalistis kaum farisi ini, Yesus mengembalikan sabat pada motivasi awalnya yakni sebagai hari Tuhan, saat pembebasan sehingga berhadapan dengan orang yang sakit Yesus lebih memperhatikan hidup dan keselamatan manusia, membebaskan manusia dari perbudakan penyakit yang selama ini membelenggu mereka. Sabat dibuat untuk manusia dan bukannya manusia untuk hari sabat. Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat (Mrk 2:27-28). Hari sabat ditujukan untuk memanusiakan manusia dan bukan sebaliknya. Dalam tradisi kristen, sabat digeser ke hari Minggu yang merupakan hari untuk merayakan hari kebangkitan Yesus, Kelahiran baru. Dalam merayakan hari Tuhan , orang tidak dilarang bekerja dan berbuat baik. Dalam katekismus No. 2184 pun dijelaskan bahwa Sabat adalah saat merenung, berefleksi sehingga manusia dapat memperkembangkan hidupnya. Institusi sabat dibuat untuk membantu semua orang supaya mendapat istirahat dan mempunyai waktu luang secukupnya untuk menghayati nilai hidup Keluarga, budaya, sosial dan keagamaan.26 ( Kat. no. 2117 bdk. GS no. 67). Orang Kristen harus hati-hati agar jangan tanpa alasan berat mewajibkan orang lain melakukan sesuatu yang dapat menghalangi mereka untuk merayakan hari Tuhan. Dalam istilah 26 Propinsi Gerejani Ende, Op.Cit., p.558. Moral Dekalog 2016 31 yang lebih konkret, beristirahat pada hari minggu bukanlah sebagai tujuan melainkan sebagai sarana. Memang umat kristiani mempunyai kewajiban moral untuk merayakan hari Tuhan melalui perayaan ekaristi dan doa-doa lainnya, tetapi hal ini tidak berarti orang tidak boleh melakukan sesuatu. Bagi mereka yang bekerja untuk melayani kepentingan publik, perawat di rumah sakit, para dokter, para karyawan lainnya dapat terus melaksanakan tugas mereka dengan tenang. Akan tetapi yang mesti diperhatikan adalah bahwa para majikan harus memberi kesempatan kepada para karyawan untuk menunaikan tugas kewajiban keagamaannya. Di samping itu, hari Minggu merupakan hari Keluarga, saat yang tepat untuk mengunjungi sanak saudara, memberi perhatian kepada kaum lanjut usia, orang.-orang sakit. Walaupun tuntutan dan desakan ekonomi, para majikan hendaknya memberi kesempatan kepada para karyawan waktu khusus untuk menunaikan kewajiban agamanya. Ini adalah tuntutan dasar dan termasuk hak asasi yang harus diakui dan dilindungi.27 Firman ketiga ini juga mau menyoroti makna kerja bagi manusia. Dalam kitab Kejadian kerja keras untuk mencari nafkah merupakan kutukan dari Allah karena manusia jatuh ke dalam dosa: “Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan memakan dari buah pohon yang telah kuperintahkan kepadamu: jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau, dengan bersusah payah engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupnya” (Kej. 3,17). Akan tetapi, dalam pemahaman teologis kerja memiliki makna sebagai partisipasi dalam karya penciptaan Allah, untuk mengolah dan mengembangkan dunia. Kerja juga memiliki arti antropologis yakni mengembangkan dan menyempurnakan manusia. Itu berarti dengan dan melalui kerja manusia semakin memanusiakan dirinya. Di samping itu, kerja memiliki arti sosial yakni 27 Ibid., p.559. Moral Dekalog 2016 32 memberikan kesempatan kepada manusia untuk menjalin relasi dengan sesamanya. Kerja juga memiliki makna ekonomis yakni memberikan nafkah kepada manusia. 28 Pada saat ini, orang menggeser makna hari sabat, hari minggu untuk rekreasi, lebih dari pada menguduskannya bagi Allah. Bagi mereka yang sudah pensiun atau bagi mereka yang tidak bekerja, menganggur, apakah makna sabat bagi mereka? Untuk konteks zaman sekarang, di mana orang bekerja hanya 5 hari, apakah makna hari sabat? 3.4. Perintah IV: Hormatilah Ayahmu dan Ibumu 3.4.1. Maksud Awal Baik ayah maupun ibu sudah sepantasnya dihormati dengan penghormatan yang sama. Hormat yang diberikan kepada mereka (kabbed) adalah sama dengan hormat dan kemuliaan yang menyelubungi Yahwe (bdk Mal 1:6). Satu hal yang menarik dari firman atau perintah ini adalah formulasinya yang positif. Motif untuk mentaatinya adalah adanya suatu janji dan bukan karena perasaan takut akan dihukum. “Supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Yahwe, Allahmu kepadamu” (Kel.20,12). Tidak dijanjikan umur yang panjang, tetapi supaya orang tinggal lama di tanah yang diberikan Allah. Karena itu demi hormat dan kemuliaan Allah, yang merevelasikan kemuliaan-Nya dalam bentuk pemberian tanah, maka Israel diajak untuk menghormati 28 Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, No. 67, R.Hardawiryana (penterj.), (Jakarta:Obor,1995), p.599. Moral Dekalog 2016 33 orang tua (mereka yang telah mewariskan tanah), supaya dapat semakin lama tinggal di tanah warisan orang tua, milik pusaka bangsa, pemberian Allah, pokok keselamatan. Dalam konteks Keluaran ini, tanah adalah anugerah istimewa dari Yahwe. Bangsa yang tinggal di tanah perbudakan akan kembali menduduki tanah terjanji, sebagai milik mereka - sebagai bangsa yang bebas merdeka. Sebaliknya dalam teks Ulangan, tanah (milik pusaka dan pemberian Allah) sudah tidak ada lagi. Itu sebabnya rumusan janji pun sedikit berubah, yakni bahwa orang berumur lanjut dan berkeadaan baik. “Supaya lanjut umurmu dan supaya baik keadaanmu di tanah yang diberikan Yahwe, Allahmu kepadamu”(Ul 5:16). Harta keselamatan bukan lagi tanah, melainkan keadaan baik dan umur panjang seperti Abraham. Teks ini memang harus dipahamai dalam konteks pembuangan. Bangsa Israel hidup di pembuangan sehingga tanah mereka sudah hilang. Dengan demikian dalam situasi pembuangan itu umur yang panjang dan keadaan hidup yang baik tentu menjadi anugerah Allah bagi Israel.29 Apakah yang dimaksud dengan menghormati ayah dan ibu? Dalam Perjanjian Lama firman ini menyangkut sikap anak terhadap orang tua, dalam arti negatif yakni tidak boleh memukul, tidak boleh mengutuk atau menghina orang tua (bdk. Kel. 21:15,17; Im. 20:9; Ul. 27:16; Ams. 19:26 ; 20:20). Orang yang memukul dan mengina orang tuanya layak mendapat hukuman. Dalam arti positif, firman IV ini mengajarkan sikap hormat kepada orang tua, generasi tua yang dipandang sebagai pewaris tradisi dan memiliki banyak pengalaman, terutama 29 Bernard Kieser, Op.Cit., pp.175-176. Moral Dekalog 2016 34 pengalaman religius: Mereka yang tua-tua ini menjadi figur dan model kebijaksanaan. Persoalan yang muncul sekarang ini adalah banyak orang tua, lanjut usia yang merasa dirinya tidak dipakai lagi, bahkan dianggap sebagai beban Keluarga dan masyarakat, terutama dalam kultur yang menekankan produktivitas. Penghormatan kepada orang tua pertama-tama adalah tugas dan kewajiban anak, khususnya anak dewasa. Mereka hendaknya selalu memperhatikan orang tua yang mulai melemah, tidak berpenghasilan, serta bertanggung jawab dalam merawat dan mengurus mereka, sehingga tidak sampai terlantar. (Bdk. Sir. 3:12-13:16; Mat. 15:4-6). Anak-anak harus memperhatikan kebutuhan: material, spritual dan psikologis. Problem yang dihadapi secara sosial adalah orang tua yang dipantijompokan. Mereka sering merasa diri dibuang, dijauhkan, merasa diri tidak berguna lagi, mengalami kesepian yang mendalam. Hormat kepada orang tua juga mencakup sikap hormat dan mau kerja sama antara generasi tua dan muda; yang muda mau menerima warisan tradisi secara kritis. Pertanyaanya: dalam keadaan apakah anak tidak boleh tunduk kepada perintah orang tua? 3.4.2. Perkembangan Makna Hormat kepada orang tua juga menyangkut ketaatan kepada mereka dalam batas-batas tertentu, sesuai dengan perkembangan zaman. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan konflik maka perlu diciptakan dialog yang baik antara anak-anak dengan orang tua. Moral Dekalog 2016 35 Firman keempat ini bisa diperluas cakupannya pada hubungan antara orang muda dengan orang tua, antara guru dengan murid, antara majikan dengan para pekerja, antara pemerintah dan warga negara. Pokok yang perlu dihatikan adalah tugas dan tanggungjawab orang tua terhadap anak. Orang tua dalam tindakan mereka yang khas menurunkan keturunan menjadi rekan kerja Allah dalam tata penciptaan. Karena itu tugas dan kewajiban orang tua bukan hanya melahirkan dan memberi makan, melainkan juga mendidik dan membentuk anak-anak dalam kehidupan iman, sosial dan moral. Keluarga menjadi basis untuk pembentukan kepribadian anak dan tempat penanaman nilai-nilai. Oang tua perlu selalu menciptakan suasana penuh cinta, saling menghormati, persaudaraan, rasa setia kawan, solidaritas, kesetiaan dalam Keluarga sehingga anak dapat bertumbuh dengan baik.30 Relasi antara warga negara dengan pemerintah: Dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas utilitarian, di mana orang menilai manusia berdasarkan pada produktivitas semata-mata, maka firman ini memiliki relevansi dan sekaligus menjadi tantangan besar. 30 Propinsi Gerejani Ende, Op.Cit., pp.565-569. Moral Dekalog 2016 36 3.5. Firman V: Jangan Membunuh 3.5.1 Maksud Awal Firman: Maksud awal perintah ini adalah mau melindungi hidup manusia yang tidak bersalah, juga orang Israel yang merdeka. Kata yang gunakan untuk menunjuk pada pembunuhan adalah ratsah dan hemit. Kata ratsah menunjuk pada pembunuhan secara keji,sengaja, dengan maksud jahat membuat mati seseorang. Kata ratsah ini ditemukan dalam KS sebanyak 46 kali, secara khusus dalam teks-teks hukum yang mengatur tempat-tempat pelarian, tempat perlindungan bagi orang yang telah membunuh secara tidak sengaja dapat melarikan diri. Kata ratsah ini tidak termasuk pada kasus pembunuhan waktu perang, dalam pembelaan diri, pelaksanaan hukuman mati. Jadi pembunuhan yang dilarang adalah pembunuhan illegal. Kata ratsah memberi kualifikasi khusus pada pembunuhan secara keji diserta dengan kekerasan kepada seorang manusia yang tidak dapat melawan serangan: “Siapa yang memukul dengan barang besi sehingga orang itu mati, maka ia seorang pembunuh; pastilah pembunuh itu dibunuh…” (Bil. 35,16ss). Pembunuhan semacam ini dikaitkan dengan dendam darah. Jadi yang pertama-tama mau dilindungi adalah orang Israel yang merdeka. Dalam kisah pembunuhan yang pertama (Kain dan Hebel) di mana sang kakak membunuh adiknya, Allah berkata: “Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanah. Maka sekarang terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu” (Kej. 4,10). Pada kira-kira abad V S.M, tradisi Priest (P) memperluas cakupan perlindungan hidup itu bagi setiap manusia “Siapa Moral Dekalog 2016 37 menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”( Kej. 9,6) “Siapa yang memukul seseorang sehingga mati, pastilah ia dihukum mati” (Kel. 21,12). Perjanjian Lama membedakan antara hidup orang merdeka dengan hidup seorang budak (Bdk. Kel. 21, 12-13) antara hidup janin dan hidup orang dewasa (bdk Kel. 21,22). Untuk itu Firman jangan membunuh sesungguhnya mau menjamin nilai kehidupan dan melindunginya dari nafsu dendam pribadi. 3.5.2 Pemahaman Baru Dalam Perjanjian Baru, terutama dalam kotbah di bukit, Yesus memperluas cakupan firman jangan membunuh sampai pada larangan untuk membenci dan memarahi orang. Yesus tidak hanya melarang pembunuhan real, tetapi mengajak untuk menghormati hidup manusia dengan menciptakan satu sikap batin yang tulus dan baik, memiliki kepekaan dan keprihatian terhadap hidup orang lain, membangun persaudaraan di mana setiap orang dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi yang bermartabat luhur. Persaudaraan universal dan kehidupan bersama dapat dibangun bukan hanya dengan menjauhkan nafsu balas dendam, tetapi terlebih dalam kemauan kuat dan kehendak yang baik untuk merangkul setiap manusia yang jauh untuk menjadi saudara. Ini adalah kasih yang otentik, mendobrak batas-batas SARA. Dengan demikian, firman Kelima dalam rumusan positifnya mengajak orang untuk mencintai, memelihara, melindungi dan membela kehidupan manusia dari berbagai ancaman. Moral Dekalog 2016 38 Berkaitan dengan firman jangan membunuh ada pertanyaan penting yang perlu untuk dikaji. Apakah dibenarkan membunuh seseorang dalam rangka membela diri? Apakah ini memang merupakan satu kekecualian dari larangan membunuh? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelim Vitae menulis: “Dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penggantinya dalam kesatuan dengan para Uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa pembunuhan langsung dan disengaja terhadap manusia yang tidak bersalah adalah selalu merupakan perbuatan immoral” (EV no. 57). 31 Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa perintah jangan membunuh memiliki dua ketetapan, yakni: yang berhubungan dengan tindakan moral dan yang jelas-jelas immoral dalam dirinya sendiri. Tindakan immoral adalah pembunuhan secara langsung dan disengaja. Ketetapan yang kedua ini berkaitan dengan dengan obyek perbuatan tersebut: siapa saja yang membunuh seorang manusia yang tak berdosa/tak bersalah adalah selalu salah. Larangan membunuh yang ada dalam dekalog mengacu pada tindakan kehendak bebas dan sasaran langsung dari perbuatan itu, yakni manusia yang tidak bersalah. Dengan ketetapan ini, firman Kelima memiliki nilai absolut tanpa kekecualian. Pembelaan diri melawan agresor yang tidak adil bukanlah kekecualian dari firman jangan membunuh. Sebab, agresor yang tidak adil dalam realita bukanlah manusia tak bersalah. Dia sendiri malah menghina dan menginjak-nginjak sakralitas dan integritas hidup manusia. Di sini hukuman mati juga mendapat pembenaran dari konsep dasar tersebut di atas, yakni membela martabat dan hak-hak dasar manusia yang telah diinjak-injak si 31 Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, R.Hardawiryana (penterj), (Jakarta:Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996), p.83. Moral Dekalog 2016 39 penjahat. Hukuman mati kepada orang yang melakukan tindakan kriminal yang merugikan kesejahteraan umum, adalah tindakan keadilan, mengganjar penjahat sesuai kejahatan yang dilakukan. Akan tetapi masalah hukuman mati ini mesti dikaji kembali secara mendalam. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, No. 56 meminta supaya hukuman itu diterapkan secara sangat terbatas, atau bahkan supaya dihapus sama sekali. Dengan demikian pemerintah di satu sisi mempertahankan ketertiban umum dan menjamin keamanan masyarakat, di sisi lain member kepada terpidana dorongan dan bantuan untuk mengubah perilakunya dan mendapat rehabilitasi. Lebih jauh Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa hukuman mati dewasa ini tidaklah diperlukan lagi. Artinya perlaksanaan hukuman mati bisa dibenarkan kalau memang tanpa tindakan itu masyarakat sudah tidak bisa dilindungi lagi. Akan tetapi dengan perbaikan penataan sistem hukuman seperti dewasa ini, maka hukuman mati jelas tidak bisa dibenarkan lagi.32 Tekanan dari firman Kelima hendaknya dipahami dalam arti positif: suatu perintah untuk mencintai , menghargai, memelihara dan melindungi hidup manusia dan intergritas pribadinya. Bagaimanakah caranya agar hidup manusia berlangsung terus? Tentus saja dengan menaruh hormat terhadap nilai hidup manusia, dengan menjadikan hidup manusia itu sebagai tujuan dan bukan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan lain. Firman jangan membunuh mendapat aktualitasnya pada zaman sekarang, di mana hidup manusia diancam dari pelbagai aspek, dari saat permulaan sampai saat akhir hidupnya, lebih-lebih dalam dunia yang ditandai oleh kultur kematian. Kemajuan ilmu dan pengetahuan di satu pihak memberi keuntungan bagi hidup manusia, namun di lain pihak mengancam martabat hidup manusia itu sendiri: teknologi genetika telah 32 Ibid., p. 82. Moral Dekalog 2016 40 memungkinkan pembuatan manusia menurut kriteria tertentu, dengan tingkat kecerdasan tertentu, dengan jenis Kelamin tertentu melalui manipulasi genetika. Kemajuan ilmu dan pengetahuan pun telah memicu eksperimen terhadap manusia, bayi tabung, cloning, intervensi atas embrio dan pembuatan embrio sematamata demi kepentingan riset dan farmakologi. Manusia sudah direduksi ke taraf objek, jaringan biologis yang siap digunakan di laboratorium. Dalam konteks inilah, katekismus gereja katolik memperluas cakupan firman jangan membunuh sampai kepada aspek-aspek berikut ini. 3.5.3 Penerapan Firman Jangan Membunuh 3.5.3.1. Hormat Terhadap Hidup Manusia: pada tahap awal perkembangannya, larangan aborsi and intervensi atas embrio, pembelaan diri yang sah, bunuh diri dan eutanasia, 3.5.3.2. Hormat Terhadap Martabat Pribadi Manusia Hormat pada jiwa Hormat pada kesehatan Hormat pada pribadi dalam penelitian ilmiah. Hormat pada integritas fisik, menyangkut tranPerjanjian Lamaantasi organ. Pembelaan damai: perdamaian dan menghindari perang Moral Dekalog 2016 41 3.5.3.3 Persoalan Aborsi Ada dua kelompok yang mencoba menilai moralitas aborsi. Kelompok pertama beranggapan bahwa dalam batas-batas tertentu aborsi itu boleh dilakukan. Argumen mereka adalah bahwa sampai pada waktu tertentu embrio itu bukanlah manusia individual, sehingga tindakan aborsi diperbolehkan. Ada banyak orang yang mencoba menentukan kapan embrio dapat disebut manusia individual dan sebagai pribadi. Norman M. Ford menyatakan bahwa embrio mencapai individualitasnya sebagai manusia setelah hari ke-14, yaitu saat munculnya stria primitiva (bagian organ otak dan sistem saraf). Penulis lain mengatakan bahwa embrio itu bukanlah manusia sebagai pribadi. Alasannya, manusia sebagai pribadi mesti memiliki kriteria-kriteria tertentu, seperti: berkesadaran diri, rasionalitas, memiliki pemahaman moral (menurut TH. Engelhartd). Menurut Joseph Fischer, manusia baru disebut sebagai person, kalau ia memiliki kesadaran akan waktu, kesadaran diri, otonomi. Sedangkan menurut R. McCormik, manusia disebut sebagai pribadi kalau mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Pendapat lain, seperti Peter Singer, menyatakan bahwa manusia itu dikatakan pribadi kalau ia mempunyai kemampuan untuk merasakan sakit dan gembira. Judith Thomson, seorang feminis dalam artikelnya yang berjudul “A Defense of Abortion”, mengakui bahwa embrio mempunyai hak untuk hidup, tetapi, haknya untuk hidup tidak berarti harus melanggar hak wanita untuk menentukan apa yang akan terjadi atas tubuhnya. Embrio tidak mempunyai hak untuk diam dalam rahim si wanita selama sembilan bulan, jika si wanita tidak mau memberikan ijin bagi embrio yang diam dalam rahimnya. Jadi dalam hal ini ada konflik antara hak embrio untuk hidup dan hak wanita untuk tidak memberikan tempat/rahim pada Moral Dekalog 2016 42 embrio. Anak yang dikandung di rahimnya dapat dilihat sebagai tamu yang tidak diundang, sehingga dalam kasus kehamilan yang tidak diinginkan, wanita mempunya hak untuk menyingkirkan embrio dari rahimnya.33 Kelompok kedua adalah mereka yang menolak aborsi karena aborsi bertentangan dengan firman jangan membunuh. Hidup manusia sudah dimulai pada saat konsepsi, yakni saat sel telur dibuahi oleh spermatozoa. Pada saat konsepsi atau pembuahan itulah, sudah mulai manusia baru yang hidup menurut program dan kode genetiknya sendiri, sehingga ia bukan lagi hidup ayah maupun hidup ibunya, tetapi hidup manusia baru yang tumbuh menurut hukum perkembangannya. Kenyataan ini didukung oleh hasil riset ilmu pengetahuan ilmiah: embriologi dan biologi molekular. Di samping itu, mereka yang menolak aborsi mendasarkan argumennya pada karakter kudusnya hidup manusia. Manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang ditentukan untuk bersatu dalam kehidupan Allah sendiri. Hidup manusia adalah anugerah Allah sendiri yang harus dirawat, dipelihara, dilindungi dan dicintai. Manusia tidak mempunyai hak untuk mengambil hidupnya sendiri dan hidup orang lain. Hanya Allah yang adalah Tuhan dan pemilik hidup, manusia hanyalah sebagai pelaksananya. Gereja Katolik sejak awal menentang aborsi karena aborsi bertentangan dengan hukum Allah, hukum natural, melanggar 33 Judith Jarvis Thomson: A Defense of Abortion dalam Ronald Munson (Ed.), Intervention and Reflection: Basic Issues in Medical Ethics (Belmont: Wadsworth, 1996), pp. 69-80. Dalam tulisan ini Judith Thomson memberikan argumennya untuk membantah pendapat bahwa fetus sudah disebut sebagai manusia sejak saat pembuahan. Moral Dekalog 2016 43 prinsip keadilan dan cinta sesama dan dikategorikan sebagai dosa pembunuhan. Posisi gereja berhadapan dengan kejahatan moral aborsi bersifat tetap dari dulu sampai sekarang. Hal ini dapat ditemukan dalam dokumen gereja awal, misalnya dalam Didachè 2,2, sebagaimana dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik, dikatakan:”Engkau tidak boleh mengaborsi dan juga tidak boleh membunuh anak yang baru dilahirkan”.34 Dalam Gaudium et Spes juga gereja menegaskan kembali moralitas aborsi: “Allah Tuhan kehidupan telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindakan kejahatan yang durhaka” (GS no. 51).35 Selanjutnya Ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali ajaran gereja mengenai aborsi: ”Saya menegaskan bahwa aborsi langsung dan diinginkan, artinya dilakukan dan diinginkan sebagai tujuan atau sebagai cara merupakan satu perbuatan immoral berat.” 36 Dengan demikian menjadi jelas, bahwa aborsi langsung apapun alasannya tidak dapat dibenarkan menurut moral. Di samping itu ada aborsi yang dinamakan aborsi eugenetika, yakni mengaborsi janin yang cacat karena beranggapan lebih baik mati sebelum lahir dari pada menderita seumur hidup. Aborsi eugenetika pun tak dapat dibenarkan, sebab ini adalah aborsi langsung. Akan tetapi aborsi tidak langsung dapat diijinkan di bawah prinsip double effect, yakni prinsip moral yang berdasar pada empat kriteria berikut: 34 Katekismus Gereka Katolik No. 2271, Op.Cit., p. 578. Ibid. 36 Yohanes Paulus II, Evengelium Vitae, No. 57. 35 Moral Dekalog 2016 44 Tindakan/perbuatan pada pada dirinya sendiri per se adalah baik atau indiferen. Maksud agen hanyalah mencapai efek baik, sedangkan efek buruk hanyalah ditolerir. Efek buruk bukanlah cara/sarana untuk mencapai efek baik. Ada proporsionalitas yang memadai antara efek baik dan efek buruk. Ada kasus-kasus yang bisa menggunakan prinsip double effect, misalnya kasus seorang wanita yang sedang mengandung, namun ditemukan kanker ganas di rahim. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan si ibu dari kematian akibat kanker ganas tersebut hanyalah dengan mengangkat rahimya, dengan konsekuensi kematian janin. Dalam kasus ini, kematian janin tidak dinginkan tetapi hanya sebagai efek samping. Dalam kasus konflik antara nilai hidup ibu dan janin, moral katolik mengajarkan supaya sedapat mungkin diselamatakan kedua hidup tersebut. Akan tetapi kalau tidak memungkinkan lagi, maka harus diselamatkan hidup yang paling bisa diselamatkan. Dalam kasus kehamilan sebagai akibat kejahatan pemerkosaan, beberapa teolog moral Katolik mengatakan bahwa tindakan membersihkan sperma agresif dalam vagina si korban, sah secara moral, namun pada saat pembuahan sudah terjadi, tidak dibenarkan untuk menggugurkannya. Maka dalam kasus sulit seperti ini, yang harus dilakukan adalah pendekatan pastoral untuk menolong si korban sehingga ia terbebas dari stress berkepanjangan, down, kehilangan makna hidup. Pelbagai bentuk pendampingan, dukungan moral dan spiritual mesti selalu diberi, sehingga akhirnya ia dapat menerima dan merawat anak yang sedang dikandungnya dengan penuh cinta kasih. Dalam kasus pemerkosaan seperti ini baik si wanita korban kejahatan seksual, maupun anak yang dikandung sama-sama tidak berdosa sehingga sudah sepatutnya dilindungi. Moral Dekalog 2016 45 3.5.3.4 Eutanasia Eutanasia berasal dari kata eu artinya baik, enak dan thanatos artinya mati. 37 Jadi secara etimologis eutanasia berarti kematian yang tidak disertai rasa sakit, kematian karena rasa belas kasih. Moralitas eutanasia didasarkan pada prinsip bahwa hidup itu adalah anugerah Allah yang harus diterima dengan rasa syukur dan karena itu tidak bisa dihilangkan atau dihapus oleh siapapun. Eutanasia dikategorikan sebagai kejahatan pembunuhan. Karenanya tidak seorang pun memiliki hak untuk melakukan eutanasia baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain yang dipercayakan pada tanggung jawabnya. Eutanasia merupakan satu bentuk penolakan atas rencana cinta Allah atas hidup manusia. Di samping itu, eutanasia amat bertolak belakang dengan keutamaan cinta kasih kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Ada dua macam eutanasia: eutanasia aktif, yakni tindakan aktif membuat mati seorang pasien yang berada dalam sakarat maut, atau sakit tak tersembuhkan, dengan jalan memberikan obat atau suntikan letal sehingga mengakibatkan kematian secara prematur. Yang kedua adalah eutanasia pasif, artinya membiarkan si pasien yang berada dalam keadaan sakratul maut, atau koma dengan tidak memberikan perawatan yang seharusnya atau malahan menghentikan pengobatan yang memang perlu sehingga mengakibatkan si pasien mati secara cepat. 38 37 Leandro Rossi & Ambrogio Valsecchi, Dizionario Enciclopedico Di Teologia Morale, (Torino:Edizioni Paoline, 1987), p. 380. 38 Dionigi Tettamanzi, Bioetica – Diffendere le frontiere della vita (Casale Monfferato (AL): Piemme, 1996), pp. 427-428. Moral Dekalog 2016 46 Moral katolik mengajarkan bahwa setiap umat kristiani hendaknya memberi perawatan yang perlu kepada pasien sebagai wujud cinta kepada sesama. Akan tetapi dalam kasus di mana segala usaha pengobatan sudah dilakukan tetapi keadaan pasien tetap tidak berubah, malah semakin memburuk, maka dalam situasi ketika kematian sudah mendekat dan tidak dapat dielakkan, tindakan menghentikan pengobatan dapat dijikan secara moral. Hal ini tidak dapat disamakan dengan tindakan eutanasia tetapi terlebih sebagai ungkapan penerimaan kondisi manusiawi di mana realita kematian memang tidak bisa dihindari. Sikap yang tepat dalam kondisi demikian adalah, mendampingi si pasien sehingga ia sungguh dikuatkan dan didukung, seraya menyiapkan ia agar benar-benar siap dan iklas untuk beralih ke hidup abadi. 3.5.3.5 Pembelaan Diri yang Sah Dalam moral katolik pembelaan diri yang sah sehingga menimbulkan kematian si aggresor yang tidak adil, dibenarkan secara moral. Hal ini sesuai dengan kecenderungan kodrati untuk membela hidupnya sendiri. Individu yang diserang dan hidupnya diancam mempunyai hak dan kewajiban untuk membela diri, untuk tidak tunduk pada penyerang. Katekismus dengan mengambil otoritas St. Thomas Aquinas mengatakan: “Dari tindakan orang yang membela diri sendiri, dapat menyusul tindakan ganda, yang satu ia menyelamatkan hidupnya sendiri, yang lain adalah pembunuhan si penyerang”. 39 Dari tindakan pembelaan diri tersebut dapat dilihat, bahwa dampak yang pertama diinginkan sedangkan yang kedua tidak disengaja, namun sebagai efek samping. Pembunuhan si penyerang yang tidak adil, tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja. Pembunuhan ini 39 Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, q. 64, ad. 7 dalam Katekismus Gereja Katolik, No. 2263. Moral Dekalog 2016 47 hanyalah sebagai konseskuensi dari tindakan membela diri. Penilaian moral atas pembelaan diri yang sah dapat dilihat dalam Katekismus: “Siapa yang membela hidupnya sendiri tidaklah bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis penyerangnya dengan satu pukulan yang mematikan”.40 Dalam kasus pembelaan diri pun dapat diterapkan prinsip double effect. Salah satu syarat dari prinsip ini adalah adanya proporsionalitas antara efek baik dan efek buruk.. “Jika seorang waktu membela dirinya sendiri, mempergunakan kekuatan yang lebih besar dari pada sewajarnya, maka ia tidak dibenarkan”. 41 Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa pembunuhan manusia yang tidak berdosa dengan sengaja secara berat bertentangan dan melawan martabat manusia dan sakralitas hidup manusia, bertentangan dengan kaidah emas, dengan kekudusan Pencipta. Hukum yang melarang pembunuhan ini, mempunyai keabasahannya universal, mewajibkan dan mengikat semua dan masing-masing, selalu dan di mana-mana..42 3.6. Firman VI: Jangan Berzinah Sebelum masuk pada maksud awal firman ini, ada baiknya terlebih dahulu dipahamia apa yang dimaksud dengan zinah. Dalam Perjanjian Lama zinah adalah hubungan seks yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan seorang pria lain yang bukan suaminya, entah dengan pria yang kawin ataupun belum. 43 Oleh karena itu, perzinahan hanyalah suatu pelanggararan atas hak suami, dan tak pernah 40 Katekismus Gereka Katolik, No. 2264. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, q. 67, a.4). 42 Katekismus Gereja Katolik, no. 2259 dan 2261. 43 Stefan Leks, Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 157. 41 Moral Dekalog 2016 48 melawan hak wanita/istri. Karena dalam tradisi Yahudi yang mempunyai hak hanyalah pria, termasuk hak atas wanita/istri. 3.6.1 Maksud Awal Maksud awal firman ini adalah untuk melindungi stabilitas keluarga demi mempertahankan keturunan yang sah. Melalui perzinahan, seorang pria mengganggu dan merongrong kesatuan keluarga lain dan sekaligus merebut hak suami atas istrinya. Sedangkan seorang wanita yang berzinah itu sendiri merugikan dan menghancurkan rumah tangganya dengan hidup tidak setia. Hubungan seksual antara seorang pria yang sudah beristri dengan seorang pelacur atau wanita yang masih gadis, tidak dikategorikan sebagai perzinahan. Dalam pemahaman selanjutnya, firman jangan berzinah dimaksudkan untuk melindungi nilai kesetiaan dalam perkawinan. Tata kesatuan dalam perkawinan bisa hancur karena ketidaksetiaan dari salah satu partner. Kesetiaan dalam perkawinan menuntut satu relasi cinta yang eksklusif antara suami istri. Dalam Perjanjian Lama, realitas perkawinan dipakai oleh para nabi sebagai lambang hubungan antara Yahwe dengan Israel, di mana Allah/Yahwe digambarkan sebagai mempelai pria yang selalu setia kepada Israel yang adalah mempelai wanita. Walaupun Israel sering kali tidak setia dengan menyeleweng, seperti berzinah dengan menyembah dewa-dewi asing, Allah tetap menunjukkan cinta dan kesetiaan-Nya. Gambaran yang sangat Moral Dekalog 2016 49 indah ini, misalnya, dilukiskan dalam pernikahan Hosea dengan seorang pelacur (Hos. 1-3).44 3.6.2 Pemahaman Lebih Lanjut Dalam Perjanjian Baru, Yesus membertikan visi baru berkaitan dengan perzinahan. Kalau dalam Perjanjian Lama, hanya suami yang mempunyai hak dalam perkawinan, maka dalam Perjanjian Baru istri pun mempunyai hak yang sama seperti suami. Hal ini dapat dilihat dalam perdebatan Yesus dengan orang farisi berkaitan dengan soal perceraian. “Barang siapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain , ia berbuat zinah” (Mrk 10,11-12). Berkaitan dengan zinah, Yesus memperluas cakupan zinah bukan hanya sebagai perbuatan lahiriah, tetapi juga menyangkut perbuatan kehendak, keinginan dalam hati untuk mengingini seorang perempuan: “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia dalam hatinya”( Mat. 5,28).45 Perbuatan zinah merupakan pelanggaran terhadap nilai kesetiaan dalam perkawinan. Dan kesetiaan yang dilanggar oleh salah satu partner dalam pandangan Yesus, tidak dapat dijadikan alasan untuk meminta perceraian. Dalam konteks inilah, Yesus mengembalikan makna perkawinan sesuai sesuai dengan tujuannya yang semula, yakni apa yang telah disatukan Allah seperti pada awal mula, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Kesetiaan suami istri dalam untung dan malang akan menjadi 44 Paul M.Quayi, The Christian Meaning of Human Sexuality, (San Francisco:Ignatius Press, 1985), pp.44-45. 45 Ibid. p. 155. Hati menurut pemikiran Yahudi adalah pusat pemikiran, aktifitas intelektual dan keputusan, bukan emosi seperti yang dimengerti oleh manusia modern. Moral Dekalog 2016 50 gambaran kesetiaan Allah pada umat-Nya, dan gambaran kesetiaan Kristus kepada gereja-Nya. Katekismus memperluas cakupan firman jangan berzinah yakni menjauhkan diri dari segala tindakan yang mencemarkan kemurnian hati dan hidup, di mana setiap orang dipanggil pada kemurnian. Kemurnian merupakan tugas dan panggilan setiap orang secara pribadi, namun juga membutuhkan lingkungan dan kultur yang mendukung dimensi-dimensi susila dan rohani. Kemurnian adalah integrasi seksualitas yang membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani. Keutamaan kemurnian menjamin keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri. Dalam keutamaan ini ada keutamaan lain yakni pengendalian diri. Dengan akal budinya manusia dapat mengatur dan mengendalikan nafsu dan dorongan seksualnya. Keutamaan ini penting untuk menjaga kemurnian hati.46 Seksualitas sebagai ekspresi keberadaan manusia merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri. Seksualitas merupakan bagian integral kepribadian manusia, artinya bahwa seksualitas ini sangat berpengaruh terhadap hidup seseorang, cara dia berprilaku dan cara ia berada. Seksualitas sebagai suatu energi dalam diri manusia harus diatur dan diarahkan supaya tidak liar dan merendahkan martabat pribadi seseorang dan orang lain. Dalam tata perkawinan, seksualitas menjadi sarana untuk memperdalam kesatuan antara suami dan istri demi kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Pada hakikatnya seksualitas dalam konteks perkawian terarah pada prokreasi. Dengan demikian, aktivitas seksualitas yang mengecualikan aspek prokreatif, bertentangan dengan makna seksualitas yang sesungguhnya. 46 Katekismus Gereja Katolik, No. 2337-2345. Moral Dekalog 2016 51 3.6.3 Pelanggaran-Pelanggaran Melawan Kemurnian: Katekismus menyebut beberapa bentuk pelanggaran melawan kemurnian: Ketidakmunian dimengerti sebagai dorongan untuk selalu mengejar dan memuaskan segala keinginan dan kenikmatan seksual. Masturbasi: rangsangan alat-alat Kelamin yang disengaja dengan tujuan untuk mencapai kenikmatan seksual. Tindakan ini bertentangan dengan ajaran moral gereja karena memisahkan seksualiatas dari hakikat dan tujuan dasarnya. Seksualitas mengandung dimensi interrelasional, hubungan intersubjekstif. Masturbasi merupakan pembiasan daya kekuatan seksualitas, yakni menikmati seks secara egoistik serta memisahkannya dari dimensi prokreatif. Percabulan: yakni hubungan seksual diantara seorang pria dan seorang wanita yang tidak terikat ikatan perkawinan. Pada hakikatya seksualiatas manusia ditujukan untuk kebahagiaan suami istri yang terbuka pada Kelahiran anak. Prostitusi: merupakan tindakan yang merendahkan martabat wanita dengan mereduksinya hanya sebagai alat pemuas nafsu seks, merupakan satu pelecehan terhadap nilai kemurnian dan kekudusan. Homosekualitas: ada dua macam homoseksualitas, yakni homoseksualitas karena Kelainan kromosom secara kodrat dan homoseksualitas sebagai kecenderungan. Homoseksualitas adalah daya tarik seksual terhadap orang sejenis Kelamin. Homoseksualitas ini bertentangan dengan hukum kodrat. Dalam hubungan seksual di antara Moral Dekalog 2016 52 orang homoseks tidak terbuka pada keturunan/prokreasi, kekurangan unsur saling melengkapi. Berhadapan dengan orang-orang homoseksual, mereka harus dipahami dan dihormati sehingga akhirnya mereka dapat memahami dirinya dan secara perlahan-lahan diajak untuk menghayati kemurnian dengan pengendalian diri.47 Selain bentuk-bentuk pelanggaran kemurnian di atas, masih ada bentuk pelangaran lain terhadap perintah keenam, yakni masalah pengaturan Kelahiran atau moralitas penggunaan alat kontrasepsi. Berkaitan dengan soal pengaturan Kelahiran, gereja mengajarkan supaya umat mengikuti Keluarga berencana alamiah (KBA), yakni dengan melakukan pantang berkala selama masa-masa subur. Dalam KBA ini ada kerja sama antara suami dan istri, ada saling pengertian dan saling mendukung, dan dapat juga meningkatkan komunikasi di antara mereka. Di samping itu, firman ini juga menyangkut moralitas inseminasi artifisial (FIVET) bagi pasangan-pasangan yang tidak subur. Apakah inseminasi artifisial dibenarkan secara moral? Sangat penting untuk membedakan antara FIVET homolog dan FIVET heterolog. Dalam FIVET homolog baik sel telur maupun spermatozoa berasal dari pasangan yang sama. Oleh karena ada Kelainan hormonal maka di antara mereka tidak bisa melangsungkan pembuahan di dalam rahim si istri. Melalui FIVET ini, zigot lalu ditransfer ke rahim si istri. Dalam FIVET heterolog dilibatkan juga pihak ketiga, di mana sel telur atau spermatozoa bisa berasal satu dari salah satu pasangan dan yang lainnya berasal dari pendonor, atau bisa juga kedua-duanya berasal dari pendonor. Lebih dari itu, anak dari pembuahan itu ditransfer bukannya ke rahim istri sendiri, tetapi ditransfer ke rahim orang lain. Hal ini jelas tidak dapat dibenarkan 47 Ibid., No. 2351-2356. Moral Dekalog 2016 53 secara moral. Keberatan moral dari FIVET ini adalah bahwa anak lahir ke dunia bukan di dalam dan melalui perkawinan yang sah sebagai buah cinta suami-istri. Anak merupakan anugerah Tuhan. Tetapi yang tampak di sini anak menjadi produk teknologi tertentu.48 3.7. Perintah VII: Jangan Mencuri 3.7.1 Maksud awal Maksud awal firman jangan mencuri sebetulnya lebih dikaitkan dengan pencurian manusia, penculikan manusia bebas. Jadi firman ini mau melindungi kemerdekaan orang Israel yang bebas. Kata yang digunakan untuk menunjuk firman ini adalah kata ganav. Kata ini merujuk pada tindakan pencurian manusia atau penculikan dalam bahasa sekarang.49 Dalam kitab Keluaran 21,16 dikatakan: “Siapa yang menculik seorang manusia, baik ia telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti dihukum mati”. Dalam Kitab Ulangan dikatakan: “Apabila sekarang kedapatan sedang menculik orang, salah seorang saudaranya dari antara orang Israel, lalu memperlakukan dia sebagai budak dan menjual dia, maka haruslah penculik itu mati. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengahtengahmu!” Ul. 24,7. Dari kedua ayat ini menjadi jelas, bahwa firman jangan mencuri pertama-tama dimaksukan untuk melindungi kebebasan orang merdeka dan melarang penjualan manusia untuk dijadikan budak. Landasan dasarnya jelas bahwa orang Israel pun dulu sebagai budak, namun kasih dan kebaikan Allah telah membebaskan mereka dari status budak menjadi 48 Dionigi Tettamanzi, Bioetica – Diffendere le Frontiere della Vita, (Casale Monfferato (AL): Edizioni Piemme, 1996), pp. 156-157. 49 Bernhard Kieser, Op.Cit., p.174. Moral Dekalog 2016 54 seorang merdeka. Pengalaman pembebasan ini hendaknya menjadi titik acuan bagi orang Israel untuk menghormati manusia lain sebagai manusia bebas merdeka. Akan tetapi oleh karena keadaan ekonomi di Israel yang buruk dan kemiskinan yang merajalela, maka kondisi ini membuat orang dengan terpaksa menjual tanahnya sebagai gadaian dan bahkan menjual anak atau dirinya sebagai budak untuk menghapus utang. Untuk itu tetap ada aturan bahwa seorang budak harus dibebaskan pada tahun ketujuh (Tahun sabat) dan pada tahun ke lima puluh (Tahun Yobel). “Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah ia bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun ke tujuh ia dijinkan Keluar sebagai orang merdeka, dengan tidak membayar tebusan apa-apa” (Kel. 21,2). Pada tahun kelima puluh tanah-tanah yang terpaksa dijual karena kemiskinan itu harus dikembalikan lagi kepada pemiliknya karena tanah ini merupakan anugerah Allah bagi bangsa Israel, tanah janganlah dijual mutlak karena Tuhanlah pemilik tanah, sedangkan orang-orang Israel adalah orang asing dan pendatang bagi Allah (Imamat 23,23) dan juga para budak harus dibebaskan:”Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga menyerahkan diri kepadamu, maka janganlah memperbudak dia. Sebagai orang upahan dan sebagai pendatang ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia harus bekerja padamu. Kemudian ia harus diijinkan Keluar dari padamu, ia bersama anak-anaknya, lalu pulang kembali kepada kaumnya dan ia boleh pulang ke tanah milik nenek moyangnya”(Im. 25,39-41). Motif dasar dari pembebasan ini adalah tindakan pembebasan Allah yang dilakukan atas Israel. Hal ini menjadi tuntutan etis dan moral bagi Israel. Moral Dekalog 2016 55 3.7.2 Perkembangan Pemahaman Perkembangan lebih lanjut dari firman jangan mencuri mengacu pada pencurian barang. Pencurian barang milik orang lain jelas bertentangan dengan prinsip keadilan yang berbunyi: berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dalam Perjanjian Lama harta milik bukanlah hak mutlak seseorang, sebab yang menjadi pemilik mutlak adalah Allah sendiri. Yang dilarang dalam firman ini adalah pencurian dari atas, yang dilakukan oleh orang-orang berkuasa dan berada terhadap yang lemah/miskin, tanpa mengabaikan juga pencurian dari bawah yang dilakukan oleh orang-orang lemah/miskin. 50 Dalam Kitab Ulangan dikatakan “Jika ia seorang miskin, janganlah engkau tidur dengan barang gadaiannya. Kembalikanlah barang gadaian itu kepadanya sebelum matahari terbenam, supaya ia dapat tidur dengan memakai kainnya sendiri dan memberkati engkau. Maka engkau akan menjadi benar di hadapan Tuhan Allahmu”(Ul. 24, 12-13). Para nabi terutama Amos mengkritik para penguasa dan orang kaya serta para penikmat karena mereka telah bersikap masa bodoh terhadap nasib orang miskin, bahkan mereka berbuat curang terhadap orang miskin. Nabi Mikha mengkritik para spekulan dan pencatut tanah: “Yang menginginkan ladang-ladang, mereka merampasanya, dan rumah-rumah, mereka menyerobotnya; yang menindas orang dengan rumahnya, manusia dengan milik pusakanya”(Mikha 2,2). Pencurian dari atas ini dapat dilihat dalam peristiwa penyerobotan Raja Ahab yang menginginkan tanah milik Nabot seorang miskin. Ahab bersama permaisurinya Izabel berdaya upaya untuk merebut tanah milik Nabot dengan fitnah sehingga Nabot dihukum mati. Lalu Elia menubuatkan hukuman berat atas raja Ahas dan keturunannya karena kejahatannya itu. 50 Ibid., pp.174-175. Moral Dekalog 2016 56 Firman jangan mencuri diperluas maknanya sampai pada makna sosial dari harta milik itu. Kekayaan adalah anugerah Allah yang diberikan kepada semua manusia dan ditujukan kepada seluruh manusia. Karena itu tindakan penumpukan kekayaan oleh segelintir orang sehingga menimbulkan penderitaan dan kemiskinan bagi sebagian besar orang jelas merupakan bentuk perlanggaran terhadap firman jangan mencuri. Adalah satu tindakan jahat membiarkan orang lain mati karena keserakahan dan kerakusan seseorang. Dalam konteks sekarang ini, firman ketujuh memperoleh aktualisasinya dalam memperlakukan manusia. Manusia janganlah dijadikan sebagai objek atau direduksi hanya sebagai alat produksi. Bagaimanapun juga, manusia harus tetap menjadi subjek, dan tujuan dari segala aktivitasnya. Adalah bertentangan dengan dengan firman ketujuh, apabila menjadikan manusia sebagai objek untuk memperkaya diri, misalnya seorang dokter atau psikolog yang menggunakan kesempatan dalam proses pengobatan, kaum majikan yang menggaji karyawan dengan gaji di bawah standar minimum. Tindakan eksploitasi terhadap para papa miskin dan kaum buruh jelas bertentangan dengan prinsip keadilan yang sangat erat berhubungan dengan firman ketujuh ini.51 Jurang yang semakin lebar antara kaum kaya dan kaum miskin menuntut adanya keadilan dalam pemerataan pembagian hasil dan pemberian kesempatan yang sama. Untuk itu, dibutuhkan juga solidaritas antar manusia, antar golongan, antar negara. Solidaritas menuntut kesediaan mereka yang punya untuk dengan rela hati mau membagi kepada mereka yang miskin dan berkekurangan. 51 Benedict M.Ashley, Living the Truth in Love, New York: Society of St.Paul,1996), p. 364-366. Moral Dekalog 2016 57 Firman ketujuh juga melindungi pribadi manusia, khususnya perlindungan atas hak milik yang merupakan dasar untuk menjamin kebebasan sebagai manusia. Firman ketujuh mengajak orang beriman untuk memperhatikan kaum miskin sehingga merekapun dapat memenuhi tuntutan minimal untuk hidup sebagai manusia. Prinsip keadilan dan cinta kasih mendapat wujud konkrit dalam pelayanan kepada kaum miskin, di mana Kristus sendiri mengidentifikasikan diri-Nya dalam dan melalui mereka. Hal-hal yang perlu dikritisi dalam terang firman jangan mencuri adalah: tindakan memperlakukan manusia sebagai budak dalam kasus-kasus seperti para pembantu yang dibayar dengan upah yang tak sepadan dengan jam kerja mereka (bentuk-bentuk baru perbudakan); para karyawan pabrik yang dibayar rendah dalam tatanan sistem ekonomi kapitalis (the primacy of capital over labour); para penjaga atau pelayan toko yang diupah sangat rendah demi menghemat pengeluaran dari para pemilik toko, dsb. Prinsip pembebasan dari firman ketujuh ini adalah: Semua manusia telah dibebaskan Allah, maka dia tidak boleh dijadikan korban kepentingan apapun, termasuk kepentingan ekonomi.52 Sementara itu dalam kasus penjarahan masal, apakah tindakan semacam itu dapat dibenarkan secara moral? Apalagi kalau penjarahan atau pencurian itu dilakukan karena situasi mendesak demi mempertahankan hidup? Kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi/pejabat negara, atau juga pencurian waktu yang dilakukan oleh para karyawan, bagaimanakah menilainya secara moral? Semua tindakan ini tetap dinilai sebagai perbuatan jahat/dosa. Sebab setiap manusia berhak atas apa yang menjadi milik kepunyaannya. Setiap tindakan mengambil barang milik orang lain, menimbun milik orang lain demi memperkaya diri – juga dengan alasan demi mempertahankan hidup adalah salah. Tuntutan untuk membangun persaudaraan sejati dalam terang iman kepada Yesus, sama sekali tidak membenarkan 52 Ibid., pp. 370-374. Moral Dekalog 2016 58 tindakan mengobyekkan orang lain. Manusia mesti diperlakukan sebagai saudara, subyek yang bertangunggjawab. 3.8. Perintah VIII: Jangan Mengucapkan Saksi Dusta 3.8.1. Maksud Awal Larangan untuk bersaksi dusta erat kaitannya dengan persidangan perkara di pengadilan. Dalam teks Keluaran 20,16 saksi dusta merupakan terjemahan dari kata bahasa Ibrani: syaker yang artinya dusta –ada unsur kesengajaan, tahu bahwa itu salah. Sedangkan dalam teks Ulangan 5,20 saksi dusta mengacu pada larangan untuk bersaksi palsu, yang merupakan terjemahan dari kata Ibrani syave. Dalam hal ini seseorang memberikan kesaksian tetapi tidak diverifikasi terlebih dahulu, atau belum dibuktikan kebenarannya. Tujuan semula dari firman ini adalah melindungi orang dari tuduhan palsu yang berdampak negatif, merusak nama baik atau bahkan lebih jauh demi menentukan hidup matinya seseorang. Hal ini dapat dipahami dalam konteks tradisi Israel kuno di mana proses pengadilan dilakukan di pintu gerbang kota. Dalam proses pengadilan tersebut keberadaan dua orang saksi sangat menentukan nama baik dan hidup seseorang yang dituduh bersalah. “… maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus dilempari dengan batu sampai mati. Atas kesaksian dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati”. Dalam masyarakat Israel tampak jelas bahwa seorang benar dapat saja dijatuhi hukuman mati oleh karena kesaksian Moral Dekalog 2016 59 palsu dari dua orang saksi palsu. Misalnya, karena keserakahan, iri hati dan ambisi pribadi, raja Ahaz membunuh Nabot melalui kesaksian palsu. Juga Susana karena ia tidak memenuhi keinginan nafsu seksual kedua hakim yang bejat, akhirnya dihukum rajam karena kesaksian palsu kedua hakim itu (Daniel 13,1-49). Dengan ini jelas bahwa kesaksian palsu itu sangat membahayakan keselamatan orang yang tidak bersalah. Jadi larangan untuk bersaksi dusta melindungi kepastian hukum dan keamanan sosial.53 Untuk itu secara positif firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu sebenarnya mau mengajak orang untuk membela kebenaran atau selalu menyatakan kebenaran demi menyelamatkan orang yang tidak bersalah dari tuduhan palsu yang tidak benar. Memberi kesaksian berarti memberi keterangan dan penegasan atas apa yang telah terjadi. Seorang saksi adalah orang yang sungguh turut menyaksikan suatu tindak kejahatan. Maka seorang saksi yang benar dan jujur akan mendukung proses pengadilan yang adil. Dengan demikian firman ini mau menjamin keadilan di hadapan pengadilan, menjamin proses pengadilan yang bersih, jujur dan benar, menegakkan kepastian hukum sehingga orang tidak main-main dengan kebenaran. Yesus sendiri mengatakan kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak, selebihnya berasal dari si jahat. Apalagi seringkali kebenaran dan keadilan dalam pengadilan itu dirongrong oleh kebiasaan suap yang dimotivasi oleh ketakutan terhadap hukuman atas pelanggaran yang telah dilakukan. Pada kenyataannya memang keadilan dan kebenaran seringkali dikorbankan karena uang. Akibatnya, orang miskin yang tidak memiliki uang sering kali menjadi korban. Hal ini 53 Bernhard Kieser, Op.Cit., p.175. Moral Dekalog 2016 60 sering dilakukan bahkan sudah menjadi kebiasaan juga dalam masyarakat Perjanjian Lama. Nabi Yesaya menulis: “Celakalah mereka yang membenarkan orang fasik karena suap, yang memungkiri hak orang benar” (Yes. 5,22-23). Nabi Amos sendiri terkenal sebagai nabi yang berani mengkritik ketidakailan yang dilakukan oleh para penguasa dan orang kaya: “Dosamu berjumlah besar hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan mengesampingkan orang muskin di pintu gerbang” (Amos 5,12). Dalam Kitab Ulangan ditegaskan hal keadilan di pengadilan: “Dalam mengadili janganlah pandang bulu, sebab pengadilan adalah hak Allah” (Ul. 1,17). 3.8.2 Perkembangan Makna Firman ini dalam pemahaman selanjutnya tidak hanya terbatas pada perkara pengadilan yang harus dilakukan secara benar dan adil, tetapi juga menunjuk pada ajakan untuk hidup dalam kebenaran. Hidup dalam kebenaran adalah konsekuensi dari iman kepada Allah, yang adalah sumber segala kebenaran, bahkan kebenaran tertinggi. Sabda dan hukum-Nya adalah kebenaran. Kristus sendiri menampilkan diri-Nya sebagai kebenaran, menampilkan anugerah Roh-NYa sebagai Roh kebenaran (Yoh 14,17) yang membimbing para murid kepada kebenaran. Kristus sendiri di hadapan Pilatus menyatakan bahwa kedatangan-Nya ke dunia adalah untuk memberi kesaksian tentang kebenaran (Yoh. 18,37). Semua ini menjadi suatu seruan profetis agar setiap orang Kristiani berani memberi kesaksian tentang kebenaran. Kristus juga telah menjadi saksi kebenaran sampai Ia sendiri mati oleh karena kebenaran itu. Ini adalah tindakan kemartiran. Kemartiran adalah bentuk kesaksian tertinggi dalam memberi kesaksian mengenai kebenaran iman. Kepercayaan pada kebenaran akan sangat mempengaruhi pilihan Moral Dekalog 2016 61 seorang Kristiani untuk selalu memilih nilai yang lebih tinggi, nilai moral dan kebaikan interior atau kekudusannya sendiri. Kehidupan fisik adalah relatif dalam hubungannya dengan kehidupan spiritual sehingga dalam situasi konflik, secara moral orang harus memilih kehidupan spiritual. Kebenaran dan kesetiaan Allah menjadi dasar atau motivasi bagi manusia untuk selalu bertindak benar dan adil. Perintah kedelapan ini juga mau mengajak orang untuk tidak menipu dan berbohong pada diri sendiri, sesama dan Allah. Kejujuran terhadap diri sendiri merupakan dasar moralitas. Dalam realitas sehari-hari, ketidakberanian orang untuk mengatakan kebenaran sering kali dikondisikan oleh faktor-faktor keamanan. Orang yang lantang atau getol dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan biasanya tidak bisa bertahan lama dalam jabatan atau tugas yang dipercayakan kepadanya. Dia akan menderita karena dikucilkan, difitnah, atau bahkan dipecat dari jabatannya. Katekismus memperluas cakupan firman kedelapan ini dalam hubungannya dengan kebebasan untuk mengungkapkan dan menyuarakan kebenaran. Sejauh manakah seseorang harus mengatakan kebenaran dalam hidup sehari-hari. Apakah benar dan bijaksana mengatakan semua apa adanya dan di mana saja? Apakah etis menelanjangi kesalahan orang di depan banyak orang? Tentu saja dalam mengungkapkan kebenaran setiap orang harus memperhatikan dan mempertimbangkan integritas pribadi orang lain dan memperhatikan kepentingan umum. Untuk itu, dalam mengungkapkan kebenaran orang harus juga bersikap bijaksana. Selanjutnya, berkaitan dengan hak atas informasi, maka hak tersebut harus dituntun dan arahkan oleh kebenaran, kebebasan, cinta kasih dan solidaritas. Dalam kaitan dengan persoalan ini, KV II melalui Inter Mirica (IM) mengatakan: Moral Dekalog 2016 62 Di dalam masyarakat manusia terdapat hak atas informasi mengenai hal-hal yang sesuai dengan manusia baik perorangan maupun tergabung dalam masyarakat, menurut situasi masing-masing. Akan tetapi, pelaksanaan hak ini secara tepat menuntut agar mengenai isi, komunikasi selalu benar dan utuh, sambil memperhatikan keadilan dan cinta kasih. Selain itu, mengenai caranya, hendaklah berlangsung dengan jujur dan memenuhi syarat; maksudnya, hendaknya komunikasi itu mengindahkan sepenuhnya hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang semestinya serta martabat pribadinya, baik dalam mencari maupun dalam menyebarkan berita; karena bukan semua pengetahuan menguntungkan, hanya cinta membangun (1 Kor 8:1).54 Penilaian moral atas informasi yang benar hanya muncul dari maksud demi kebaikan umum, disesuaikan dengan prinsip keadilan, kebenaran, kebebasan dan solidariatas. Masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar dan utuh, tidak dimanipulasi. Mereka yang bertanggung jawab dalam bidang percetakan dan media massa/informasi mempunyai kewajiban moril untuk memperhatikan kebenaran dan kasih dalam memberikan informasi yang proporsional, akurat, tepat dan tidak menyesatkan serta tidak meresahkan dan mengganggu kesejahteraan umum. Tugas luhur mereka yang terlibat dalam pelayanan penyebarluasan informasi adalah membentuk opini publik yang sehat, membentuk suara hati yang benar. “Setiap pelanggaran melawan keadilan dan kebenaran membawa serta kewajiban untuk pemulihan, juga apabila pengampunan sudah diberikan kepada pencetusnya“ (KGK. 2487). 54 Dokumen Konsili Vatikan II, Inter Mirifica No. 5, R.Hardawiryana (penterj.) (Jakarta: Obor, 1996), p.54. Moral Dekalog 2016 63 Salah satu hal yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, orang harus memperhatikan keadaan dan kesiapan orang yang akan menerimanya. Penyampaian itu mestinya dilakukan berdasarkan kasih dan bijaksana, misalnya kebenaran yang menyangkut keadaan pasien. Berkaitan dengan rahasia jabatan: dokter, militer, hakim: informasi pribadi yang merugikan orang lain, tidak boleh disebarluaskan tanpa dasar yang memadai. Berkaitan dengan kode etik dalam pengakuan dosa, pelayan pengakuan dosa pun tidak boleh dengan bebas membocorkan rahasia pengakuan dosa (Kan. 983). Firman ini juga melarang orang untuk berdusta, artinya orang mengatakan yang tidak benar dengan maksud untuk menyesatkan. Dusta berasal dari iblis: “Iblislah bapamu, …. Ia tidak pernah memihak kebenaran, sebab tidak ada kebenaran padanya. Kalau ia berdusta, itu sudah wajar karena sudah begitu sifatnya. Ia pendusta dan asal segala dusta” (Yoh. 8,44). (Bdk. Kat. 2482). “Dusta adalah pelanggaran paling langsung terhadap kebenaran. Berdusta berarti berbicara atau berbuat melawan kebenaran untuk menyesatkan seseorang yang mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran” (Kat. 2483). Firman ini juga melarang orang untuk memfitnah, yaitu menyampaikan kesalahan dan pelanggaran seseorang kepada orang lain yang tidak tahu menahu mengenai hal itu tanpa dasar yang obyektif dan sah; fitnah berarti membuat penilaian yang lancang, tanpa bukti yang memadai (Bdk. Kat. 2477) Firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu juga mau membangun tata hidup bersama atas dasar kebenaran dan saling percaya. “Manusia tidak dapat hidup bersama dalam suatu masyarakat kalau tidak saling mempercayai, sebagai orang yang Moral Dekalog 2016 64 menyatakan kebenaran satu sama lain” (Summa Theologiae II-II, q. 103, a.3). Di samping itu, firman kedelapan ini juga mengajak orang untuk tidak berbohong kepada diri sendiri, tidak mentolerir kesalahan diri sendiri. Seorang kristiani mestinya menghindari sikap munafik. Sikap yang mendiamkan kejahatan dan ketidakadilan demi kenyamanan diri sendiri. Dalam budaya manapun setiap orang kristiani mesti berani mengungkapkan apa yang benar dan menyatakan perbuatan-perbuatan yang salah. 3.8.3 Kesimpulan Firman jangan bersaksi dusta dimaksudkan untuk menjamin kebenaran dan keadilan dalam proses pengadilan, sehingga hak orang kecil dan lemah tidak dikorbankan. Di samping itu, firman ini mau menegaskan bahwa tata hidup bersama dapat diupayakan hanya jika kepercayaan yang menjadi dasar hidup bersama tidak dirusak. Firman ini juga menegaskan panggilan setiap orang Kristiani dan setiap orang yang berkehendak baik untuk hidup dalam kebenaran, menjadi saksi kebenaran, karena kebenaranlah yang akan memerdekakan (Bdk. Yoh. 8: 32) 3.9. Perintah IX: Jangan Ingin Berbuat Cabul 3.9.1. Makna Awal Rumusan asli dari perintah ini berbunyi: “Jangan mengingini istri sesamamu” (Ulangan 5,21a). Kata Ibrani yang merujuk pada perintah ini adalah kata hamad yang artinya mengingini. Dalam konteks ini mengingini bukan sekedar Moral Dekalog 2016 65 mengingini dalam hati, tetapi sudah mengacu pada tindakan mengambil apa yang diinginkan.55 Dengan demikian, mengingini istri sesamamu berarti lebih dari sekedar rangsangan hati sematamata. Jadi, dalam perintah kesembilan ini, larangan dimaskudkan untuk tidak mengingini istri sesama yang disertai dengan upaya untuk mengambilnya menjadi milik kepunyaan. Hal yang dipertaruhkan dalam firman ini adalah kelangsungan dan stabilitas keluarga orang lain yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang berusama memisahkan istri dan ibu dari suami dan anak serta menghancurkan keharmonisan keluarga orang lain. Dengan demikian, firman ini sesungguhnya bermaksud menjaga keutuhan keluarga dan melindunginya dari nafsu tak terkendali pihak ketiga. 3.9.2 Perkembangan Makna Perintah jangan mengingini istri sesamamu kemudian diperluas cakupannya tidak hanya pada persoalan keingingan hati yang mengarah pada tindakan mengambil istri orang lain, tetapi mengajak orang untuk menjaga kemurnian hatinya. Kalau perintah keenam lebih mengacu pada tindakan lahiriah, maka perintah kesembilan ini lebih kepada sikap hati yang tidak murni, yang mencanangkan kejahatan untuk mengambil istri orang. Mengapa kemurnian di sini mendapat penekanan? Sebab pada hakikatnya segala dosa dan kejahatan berawal dari sikap hati yang tidak murni, bersih. 56 Yesus sendiri dalam kotbah di bukit menekankan sikap hati/disposisi batin yang baik. ”Barang siapa memandang seorang wanita dengan nafsu birahi birahi, dia sudah berjinah dengan wanita itu dalam hatinya” (Mat. 5,28). Dalam teks ini tampak bahwa moralitas yang dibawa 55 Bernhard Kieser, Op.Cit., p. 175. Cataldo Zuccaro, Morale Sessuale, (Bologna: Edizioni Dehoniane, 2002), pp.203-206. 56 Moral Dekalog 2016 66 Yesus benar-benar radikal, yakni moralitas yang berakar pada hati. Karena itu zinah bukan lagi hanya persoalan tindakan lahiriah, tetapi sudah menjadi sikap hati yang melanggar kemurniannya. Hati adalah tempat munculnya kebaikan dan kejahatan: “Dari hati timbul segala pikiran jahat, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, hujat” (Mat. 15,19). Berkaitan dengan soal keinginan, St. Yohanes membedakan tiga macam hawa nafsu atau keinginan: keinginan daging, keinginan mata dan kesombongan dunia (I Yoh 2:15-16). Perintah kesembilan ini mengacu pada keinginan pertama, yakni keinginan daging. Rasul Paulus menggunakan kata keinginan pada kondisi pemberontakan daging melawan Roh (Gal. 5,1617,24). Setiap orang Kristiani diajak untuk menjaga kemurnian hati, mengendalikan keinginan dagingnya dan membiarkan diri diarahkan oleh Roh Allah. “Roh Allah sudah memberikan kepada kita hidup yang baru, oleh sebab itu, Dia jugalah harus menguasai hidup kita.”(Gal. 5,25). Untuk mencapai kemurnian hati, orang dituntut untuk mengendalikan dirinya, tidak hidup dikuasai dan diperbudak oleh nafsu, tetapi diarahkan oleh akal budi dan disinari oleh Roh Allah sendiri. Orang yang telah dibebaskan dari perhambaan dosa mesti selalu berjuang demi kemurnian. Dengan bantuan rahmat Allah setiap orang mampu membangun suatu hidup yang baik .57 3.10. Perintah X: Jangan Mengingini Milik Sesamamu 3.10. 1 Maksud Awal Dalam rumusan Keluaran dikatakan: “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya 57 Katekismus Gereja Katolik, No. 2520. Moral Dekalog 2016 67 laki-laki atau perempuan, atau lembunya atau Keledainya atau apa pun yang dimiliki sesamamu” (Kel. 20,17). Sedangkan dalam versi Ulangan dikatakan: “Janganlah mengingini istri sesamamu, dan jangan menghasratkan rumahnya atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan atau Keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Ul. 5,21). Dari kedua versi teks ini dapat terlihat suatu perbedaan susunan. Dalam teks Keluaran istri diletakkan setelah rumah sedangkan dalam teks Ulangan, sebaliknya istri ditempatkan pada bagian pertama. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran pemahaman. Dalam teks Keluaran istri disejajarkan dengan barang milik, sedangkan dalam teks Ulangan istri ditempatkan melampaui barang milik, yakni sebagai pribadi. Dalam perintah kesepuluh ini yang mau ditekankan adalah perlindungan harta milik dalam hal ini rumah dan tanah pusaka dari tindakan penyerobotan pihak lain. Kata mengingini di sini tidak semata-mata menunjuk pada keinginan biasa, tetapi keinginan yang sudah mengarah pada tindakan mengambil kepunyaan orang lain secara tidak adil (bdk. Ul. 7,25). Hal yang benar-benar dilarang di sini adalah mengingini sesuatu yang bukan hak dan miliknya. Dalam tradisi Perjanjian Lama rumah merupakan tempat tinggal tetap yang berbeda nilainya dengan kemah atau gubuk untuk berteduh. Tanah berserta Rumah di atasnya merupakan milik pusaka yang harus dilindungi dari tindakan keserakahan dan kesewenang-wenangan penguasa. Tanah adalah basis untuk hidup, bahkan yang dijanjikan Allah. Pemilik mutlak tanah tidak lain adalah Yahwe sendiri. Oleh sebab itu umat Israel memperoleh sendiri tanahnya dari Allah. Dengan demikian, tanah tidak boleh dijual mutlak kepada siapapun. Ada aturan bahwa hanya pada tahun kelima puluh (tahun Yobel) tanah yang pernah digadaikan karena situasi kemiskinan harus dikembalikan lagi. Moral Dekalog 2016 68 3.10.2 Perkembangan Makna Selanjutnya firman jangan mengingini milik sesama diperluas jangkauannya pada perlindungan hidup orang miskin dari tindakan sewenang-wenang: penyerobotan. Juga firman ini menyangkut larangan untuk meminjamkan uang dengan riba, dan hal-hal yang diperlukan untuk hidup seseorang (terutama yang miskin) tidak boleh diambil sebagai gadaian (Ul. 24,6, 12-13, 1718). Kenyataan ini selalu saja disuarakan oleh para nabi yang melihat ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh orang berkuasa (bdk. Amos 4,1-3). Dalam kitab Yesaya dikatakan: “Celakalah mereka yang menyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi ladang sehingga tak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri”.( Yes. 5,8). Berkaitan dengan penyerobotan tanah oleh penguasa dapat dilihat dalam contoh pengambilan tanah milik Nabot secara paksa oleh raja Ahaz. Tindakan Ahaz ini kemudian sangat dikecam oleh Allah sendiri, sebagai tindakan jahat. Katekismus Gereja Katolik memberikan penjelasan dari perintah X ini dengan mengacu pada tindakan untuk mengendalikan keinginan yang berawal dalam hati manusia. Perintah ini melarang keinginan atas barang milik orang lain karena dari keinginan itu lahir pencurian, perampokkan dan penipuan, penyerobotan. Keinginan yang tak terkontrol dapat mengarah pada tindak kekerasan bahkan pembunuhan.58 Perintah X ini melarang keserakahan dan keinginan tanpa batas akan barang-barang duniawi, sikap rakus dan nafsu uang. Pada prinsipnya menginginkan itu sendiri tidaklah jahat, sejauh orang hendak mendapatkannya dengan cara-cara yang benar dan 58 Ibid., No. 2537. Moral Dekalog 2016 69 adil. Akan tetapi menjadi buruk kalau keinginanan akan barangbarang tersebut dipenuhi dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum moral dan prinsip keadilan. Pada hakikatnya keinginan yang mengarah pada keserakahan berawal dari asumsi kepemilikan atas suatu barang akan mendatangkan kebahagiaan. Padahal kebahagiaan sangat berbeda atau tidak bisa diidentikkan dengan keinginan itu sendiri. Epikuros mengatakan: “jika kamu menginginkan orang lain bahagia janganlah menambah apa yang telah ia miliki, tetapi ambillah dari keinginan-keinginannya.” Dengan kata lain, ketamakan tak dapat dipuaskan dengan memenuhi sesuatu yang diinginkan tetapi sebaliknya mesti disembuhkan dengan menghilangkan keinginan tersebut. Bentuk sederhana dari ketamakan adalah ketamakan atas hal-hal material, uang dan atas hal-hal yang dapat dibeli dengan uang. Kitab suci mengatakan bahwa nafsu uang adalah akar dari segala kejahatan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai duka”. (1 Tim. 6,10). Perintah ini juga mengajak orang untuk menjauhkan rasa iri dari dalam hatinya. Rasa iri muncul pada saat melihat orang lain memiliki sesuatu lalu dalam hatinya ingin memiliki barang tersebut, dan untuk memperoleh barang tersebut ia menempuh cara apapun termasuk yang dilarang hukum. Rasa iri menghantar orang pada tindakan-tindakan terjahat yang akhirnya membawa pada kematian (lihat Yakobus 4,1-2). Sebab setiap orang yang menginkan yang jahat bagi sesamanya melakuka dosa berat.59 59 Ibid, No. 2539. Moral Dekalog 2016 70 Untuk menjauhkan sikap tamak dan rakus ini maka orang mesti mengembangkan sikap murah hati sesuai dengan apa yang dikatakan Santo Fransiskus dari Asisi: “Dengan memberi aku menerima!”. Di samping itu ia harus mengembangkan sikap hati yang miskin, melepaskan diri dari kelekatan pada materi: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6,21). Kosili Vatikan II dalam Konstitusi Lumen Gentium no. 42 mengatakan: “Umat kristiani diminta untuk mengarahkan keinginan hati yang tepat supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan halhal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil.” 60 Setiap orang yang telah menerima Kristus dalam dirinya, maka ia harus menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Gal. 5,24); dan membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus(Rom. 8,27). Hal ini sangat relevan dalam situasi dunia sekarang ini di mana orang dihadapkan pada tawaran-tawaran yang menawarkan kenikmatan dan kesenangan materi-dunaiwi, terutama didukung oleh teknologi periklanan yang canggih. 3.10.3 Kesimpulan Dalam firman ini yang dilarang bukan hanya mengingini rumah sesama, tetapi juga semua yang ada di dalamnya: anakanak dan hamba laki-laki dan perempuan, serta barang lainnya. Dengan adanya firman ini yang mau dikatakan adalah bahwa tata hidup bersama dirongrong dan diancam bukan hanya oleh tindakan lahiriah, tetapi juga oleh niat hati yang jahat: mengingini dan menghasratkan milik sesama secara tidak benar. 60 Dokumen Konsili Vatikan II, R.Hardawiryana (penter.) (Jakarta: Obor 1996), p. 131. Moral Dekalog 2016 71 BAB IV BEBERAPA PERSPEKTIF TENTANG HUKUM BARU Dalam bagian ini kita akan membahas tema hukum baru: kodrat hukum baru, hubungannya dengan hukum lama, isi hukum baru. Kitab suci dan tradisi gereja telah menggunakan istilah hukum baru untuk menunjukkan norma-norma dasar kehidupan kristiani. Santo Paulus mengatakan:”Karena itu tak ada lagi hukuman apapun bagi mereka yang berada dalam Kristus Yesus. Oleh karena hukum Roh yang memberi hidup dalam Kristus Yesus telah membebaskan kamu dari hukum dosa dan dari kematian.” Dari uraian tersebut Paulus memberikan secara sistematis kekayaan hukum baru. Dalam kitab Perjanjian Lama juga telah memuat secara implisit wahyu tentang hukum baru yang kemudian diambil kembali dan diperdalam dalam teks-teks Perjanjian Baru. Santo Tomas Aquinas mendasarkan diri pada teks-teks kitab Suci pada saat ia berbicara mengenai hukum baru. Untuk itu, kita akan mengacu pada apa yang dibahas oleh Tomas Aquinas dalam Summa Theologiae I-II, q. 106- 108. Tomas Aquino membicarakan hukum baru dalam konteks hukum secara umum dan mengaitkannya dengan hubungan antara hukum dan rahmat. Menurut Thomas ada dua prinsip yang mempengaruhi hidup manusia. Prinsip yang mengarah pada kejahatan adalah setan, sedangkan prinsip yang mengarah pada kebaikan adalah Allah. 4. 1 Definisi Hukum Baru Thomas dengan mendefinisikan hukum baru ia tidak meletakkan kebaruan etika dan yuridis, tetapi terlebih kebaruan Moral Dekalog 2016 72 ontologis, yakni partisipasi manusia dalam kehidupan ilahi melalui rahmat yang dihembuskan oleh Roh Kudus. Dengan demikian Thomas menyatakan bahwa Hukum baru adalah hukum perjanjian baru yang dicurahkan ke dalam hati manusia. Perjanjian baru bukannya perjanjian yang ditulis dengan huruf-huruf tetapi perjanjian Roh kudus yang ditulis dalam hati oleh Roh Kudus itu sendiri yang menghidupkan. Roma 8,2 menegaskan bahwa hukum Roh itu menghidupkan. Apa yang esensial dalam hukum Roh adalah Rahmat Roh Kudus. Hukum baru merupakan anugerah Roh Kudus, diberikan kepada mereka yang percaya kepada Kristus. Hal ini dikatakan secara jelas oleh Paulus. Teks Roma 8,2 menyatakan nilai hukum baru sebagai anugerah Roh Kudus: adalah Roh Pentekosta yang menyatakan, meletakkan dalam hati manusia satu hukum. Sejak permulaan traktat tentang tentang hukum baru, Tomas mengacu pada nubuat Yeremia berkaitan dengan hukum yang ditulis dalam hati: “Apakah hukum-hukum Allah yang ditulis dalam hati jika bukan kehadiran Roh Kudus”. 61 Gerakan dan penerangan ada juga dalam Summa Theologica yang diperlihatkan sebagai dua tugas dasar yang Roh Kudus curahkan dalam hati umat yang percaya. Orang yang benar dicurahkan oleh Roh kudus secara radikal sehingga karya-karyanya dapat dikatakan karya Roh Kudus itu sendiri. Pemikiran Tomas menyoroti aspek-aspek penting dengan tujuan memberikan usulan metodologi dalam teologi moral. Aspek yang pertama diberikan oleh dimensi interioritas sebagaimana diungkapkan dalam kotbah di bukit. Aspek kedua terletak dalam penekanan kebutuhan iman kepada Kristus untuk mendefinisikan hukum baru dan hal ini menunjukkan bahwa 61 Thomas Aquinas, Summa Theologica, Fathers of the English Dominican Province (trans.), (New York: Benzinger Brothers, 1947), No. I-II, q.106, a.1. Moral Dekalog 2016 73 kehidupan kristiani mengarahkan dirinya pada Kristus. Hukum baru menampilkan karakter kristologis. Kristus adalah Dia yang memenuhi hukum lama dan pencipta hukum baru. Lalu muncul pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan rahmat menurut Tomas ketika ia berbicara dalam konteks hukum baru? Tak dapat diragukan bahwa yang dimaksud dengan rahmat adalah Roh Kudus yang tinggal dalam diri umat yang percaya kepada Kristus yang menerangi akal budi dan menggerakan kehendak. Rahmat adalah habitus yakni cara berada secara baru.Habitus mempegaruhi kecenderungan untuk bersikap, karena rahmat melampaui kodrat, mengkomunikasikan kecenderungan tersebut ke arah yang benar. Hukum jemaat Kristiani karenanya adalah rahmat Roh Kudus. Karena itu, rahmat adalah hukum dan secara prinsipiil hukum baru adalah rahmat.Tomas mengulangi kebenaran ini dalam komentar atas surat kepada umat di Roma pada saat ia mengidentifikasikan hukum roh kehidupan dengan hukum baru: Dalam satu cara berbeda hukum Roh dapat dikatakan sebagai efek dari Roh kudus itu sendiri, yakni iman yang bekerja melalui kasih. Dan karena hukum ini mengajar secara interior atas hal-hal yang harus dilakukan dan mengarahkan kehendak untuk bereaksi menurut apa yang dikatakan dalam 1 Yoh. 2,27: pengurapan yang telah kalian terima dari Dia tinggal dalam diri kalian, dan kalian tidak perlu sesorang lain mengajar kalian; dan mengarahkan kehendak untuk bertindak menurut apa yang dikatakan dalam 2 Kor. 5,14 : ”Cinta Kristus mendorong kita”. Dan hukum Roh inilah merupakan hukum baru, hukum yang Roh Kudus sendiri ciptakan dalam hati kita. Yeremia 31,33 mengatakan: Aku akan menempatkan hukumKu di dalam hati mereka, Aku akan menuliskannya dalam hati mereka”. Ada pernyataan lain yang membuktikan validitas interpretasi ini, yakni pernyataan yang diacu pada hukum baru sebagai lex indita, quasi naturae supperaddita per gratae donum, Moral Dekalog 2016 74 ditulis dalam hati yang bukan hanya menunjukkan apa yang harus dilakukan tetapi juga membantu untuk merealisasikannya.62 Hukum baru juga mengandung perintah-perintah yang melengkapi Rahmat dan pelaksanaan Rahmat tersebut. Perintahperintah ini merupakan elemen sekunder dari hukum baru. Yang prinsipial dalam hukum baru adalah rahmat Roh Kudus, sedangkan yang sekunder adalah perintah-perintah yang tertulis dalam Injil dan juga perintah-perintah moral. 63 Dari sini dapat dilihat karakteristik dari hukum baru yakni karakter interior dari hukum baru yang berbeda dari hukum lama. Hukum baru tidak ditulis dalam loh batu, tetapi dalam kodrat manusia yakni dalam hatinya. “Hukum lama ditulis dalam loh batu sedangkan hukum baru ditulis dalam loh yang ada dalam hati manusia seperti diungkapkan oleh Santo Paulus Rom. 8,2.”64 Pengarang dan pemaklum hukum baru adalah Kristus sendiri, tetapi hukum baru sebagai ad extra adalah karya Bapa dan Roh Kudus. “Hukum lama bukan hanya karya Bapa, tetapi juga Putera sebab hukum lama adalah prafigurasi dari Kristus. Sebagaimana Yesus sendiri mengatakan dalam Injil “Jika kalian percaya kepada Musa, kalian percaya juga kepadaKu, sebab Musa telah menulis tentang Aku” (Yoh. 1,46). Demikian juga, hukum baru bukan hanya karya Yesus, tetapi juga karya Roh Kudus seperti yang diungkapkan Paulus: “Hukum Roh kehidupan dalam Yesus Kristus sehingga kalian tidak perlu masih harus menantikan hukum Roh kudus yang lain. 65 Kalau dikatakan bahwa hukum baru merupakan hukum yang dicurahkan oleh Roh Kudus ke dalam hati manusia yang percaya kepada Kristus, apakah bedanya dengan hukum kondrat? Apa yang ditulis dalam Injil mengacu 62 Ibid., no. I-II, q. 106. a.1, ad 2. Ibid., no I-II, q.106.art. 1. 64 Ibid., no. I-II. q.106. art.2. 65 Ibid., art. 4. 63 Moral Dekalog 2016 75 pada rahmat-hukum atau pada kehadiran Roh Kudus di dalam kita. Dalam tulisan Injil hanya terkandung apa yang berkaitan dengan Rahmat Roh Kudus atau sebagai predisposisi atau sebagai alat yang mengatur penggunaan rahmat yang sama. Yang ditulis dalam hati adalah hukum rahmat tetapi tidak dimaksudkan sama dengan hukum kodrat. Satu prinsip dapat dicurahkan kepada manusia dalam dua cara. Pertama sebagai elemen yang berhubungan dengan kodrat manusia, dan dalam arti ini dicurahkan hukum kodrat. Yang kedua adalah sebagai elemen yang melampaui kodrat melalui anugerah rahmat. Dalam arti ini, dicurahkan ke dalam manusia hukum baru, bukan hanya sebagai norma penunjuk hal-hal yang harus dilakukan, tetapi juga sebagai bantuan untuk melakukannya. Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan: Tekanan pada kenyataan bahwa hukum baru adalah rahmat kehadiran Roh kudus. Karakternya interior, tetapi tidak sama dengan hukum natural. Hubungan prinsipiil/sekunder; dispositivum-ordinativum. Semua apa yang ditetapkan dalam artikel kedua Tomas mempertanyakan kemampuan membenarkan dari hukum baru. Sebagaimana telah dikatakan bahwa hukum injili berhubungan dengan dua hal: pertama sebagai elemen utama dan konstitutif yakni rahmat itu sendiri yang secara internal diberikan oleh Roh Kudus, Di bawah aspek inilah hukum baru membenarkannya. Kedua berhubungan dengan hukum injil secara sekunder yakni mengatur perasaan-perasaan dan tindakan manusia. Di bawah aspek ini, hukum baru tidak membenarkannya. Seperti dikatakan oleh Paulus: “Hukum membunuh, sementara Roh menghidupkan (2 Kor. 3,6) dan Santo Agustinus mengatakan dalam bukunya De Spiritu et lettera menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah setiap tulisan yang ada di luar manusia, juga jika dibicarakan perintah-perintah moral, perintahperintah yang ada dalam Injil. Moral Dekalog 2016 76 Meskipun membantu manusia untuk tidak berdosa, hukum baru tidak membuat manusia tidak dapat berdosa, oleh karena, hal ini berhubungan dengan status kemuliaan. Akan tetapi, tak dapat dikatakan bahwa karena ini, hukum baru menghasilkan kemarahan karena apa yang ada dalam dirinya sendiri membantu untuk tidak berdosa. Tetapi harus dicatat bahwa kemampuan untuk membenarkan yang ada dalam hukum baru tergantung dari kenyataan bahwa dengan perbedaan-perbedaan dari hukum lama, ditulis oleh Allah di atas loh yang ada dalam hati. Fakta bahwa hukum baru tidak diberikan sejak permulaan dunia dijelaskan oleh Tomas dalam artikel ketiga dengan memberikan tiga motivasi: Karena hukum barus secara prinsipial ada dalam rahmat Roh Kudus yang tidak harus diberikan secara berlimpah sebelum mengambil halangan dosa dari kodrat manusia, yang disempurnakan dalam penebusan Kristus. Karena kesempurnaannya tidak dapat dicapai pada permulaan tetapi dikemudian seperti juga dalam pertumbuhan manusia, mulai dari anak kemudian menjadi dewasa. Karena hukum baru adalah hukum rahmat, karenanya perlu bahwa manusia dibiarkan pada dirinya sendiri dalam status hukum lama, sebab dengan jatuh ke dalam dosa, menetaplah kelemahannya dan mengakui kebutuhannya akan rahmat. Tapi hukum baru akan berlangsung sampai akhir dunia. Tomas membuktikannya dalam artikel 4 melalui satu perbedaan. Jika dilihat perbedaan hukum, perlu menyatakan bahwa pada status sekarang hukum baru tidak akan mengikuti status lain. Status ini mengikuti status hukum lama yang tidak sempurna. Moral Dekalog 2016 77 Sekarang tidak ada status kehidupan saat ini yang dapat lebih sempurna dari status hukum baru. Pada dasarnya da sejumlah elemen penting dari definisi tentang hukum baru, yakni: pertama, hukum baru merupakan suatu hukum interior atau yang ditulis di dalam hati manusia. Hukum itu tampak dalam rahmat dari Roh Kudus, diterima melalui iman akan Kristus dan bekerja dalam bentuk cinta kasih. Inilah yang menjadi sumber kekuatan utamanya. Hukum baru juga memiliki elemen-elemen sekunder yang bersifat eksternal, yakni hukum baru menemukan teks riilnya dalam Kotbah di Bukit dan sebagai instrumennya adalah sakramen-sakramen. 4. 2 Hubungan Antara Hukum Baru dan Hukum Lama. Setelah menjelaskan hukum baru, Tomas melangkah pada penjelasan mengenai hubungan antara hukum baru dengan hukum lama. 1) Jika hukum baru adalah hukum yang berbeda dari hukum lama. 2) Jika hukum baru melengkapi hukum lama. 3) Jika hukum baru dikandung dalam hukum lama. 4) Manakah yang lebih berat hukum baru atau hukum lama? Berkaitan dengan pertanyaan pertama, dalam artikel 1 Thomas menentukan bahwa diberikan aksen ganda dengan mana hukum dapat dikatakan berbeda satu dari yang lainnya: karena diarahkan pada tujuan yang berbeda atau karena ditujukan pada tujuan yang lebih secara langsung dari pada yang lainnya. Menurut penekanan pertama, hukum baru tidak berbeda dari hukum lama karena kedua-duanya memiliki tujuan yang sama yakni tunduk kepada Allah. Sebaliknya dalam penekanan lain, hukum baru berbeda dari hukum lama. Oleh karena hukum lama berfungsi sebagai pendidik anak-anak, seperti menurut kata-kata Santo Paulus (Gal. 3,24), sementara hukum baru adalah hukum kesempurnaan oleh karena Moral Dekalog 2016 78 merupakan hukum kasih, di mana Paulus menyatakan bahwa kasih adalah ikatan kesempurnaan (Kol 3,14). Katekismus Gereja Katolik (1992) menyatakan: “Hukum Injil memenuhi, menghaluskan, melebihi, dan menyempurnakan hukum lama. Dalam sabda bahagia ia memenuhi janji-janji ilahi, dengan meninggikannya dan mengarahkannya kepada Kerajaan Surga.Ia menyapa mereka yang rela menerima harapan baru ini dengan percaya: orang miskin,orang yang rendah hati, yang berduka cita, manusia yang suci hatinya dan mereka yang dianiaya demi Kristus. Dengan demikian, ia merintis jalan-jalan kerajaan Allah yang tidak diduga sama sekali” (Kat. Art. 1967).66 Reduksi hukum baru pada kasih digarisbawahi oleh Thomas: “ada beberapa orang dalam Perjanjian Lama, yang dipenuhi kasih dan rahmat Roh Kudus Mereka melihat secara prinsipial pada janji-janji abadi dan spiritual. Dan di bawah aspek ini mereka berhubungan dengan hukum baru. Kasih Allah dicurahkan ke dalam hati. Perbedaan antara hukum baru dan hukum lama terletak dalam kenyataan bahwa hukum lama menekan dan memiliki karakter eksterior, sedangkan hukum baru memiliki karakter interior dan membebaskan. Hukum lama adalah hukum perbudakan dan ketakutan sedangkan hukum baru adalah hukum kasih dan membebaskan. Hukum lama merenggangkan dan diberikan secara heteronom, sedangkan hukum baru menjernihkan dan mengangkat kotrat manusia yang menerimanya. Oleh karena itu, hukum lama yang diberikan kepada manusia tidak sempurna yakni kekurangan rahmat spiritual. Hukum lama disebut hukum katakutan sebab mengarah pada 66 Katekismus Gereja Katolik, no. 1967. Moral Dekalog 2016 79 pelaksanaan perintah-perintah dengan ancaman dan siksaan tertentu dan menyandarkan diri pada kebaikan temporal. Sebaliknya hukum baru yang mana dalam prinsipnya berada dalam tatanan rahmat ilahi yang dicurahkan ke dalam hati manusia disebut hukum cinta dan dikatakan mempunyai janji-janji abadi dan spiritual. 67 Kemudian Tomas menambahkan observasinya: “Dalam Perjanjian Lama ada pemenuhan kasih dan rahmat Roh kudus yang memperlihatkan secara prinsipiil janji spiritual dan abadi. Di bawah aspek-aspek tersebut, mereka berhubungan dengan hukum baru. Demikian juga dalam PB ada banyak manusia jasmani yang belum sampai pada kesempurnaan hukum baru. Mereka itu juga dalam PB harus dihantar melalui perasaan takut terhadap siksaan dan melalui janji-janji jasmani tertentu menuju karya kebajikan. Meskipun hukum lama memberikan perintah kasih, namun Roh Kudus tidak diberikan, yang olehnya kasih dicurahkan ke dalam hati kita (Rom. 5,5).”68 4.3 Konvergensi Antara Hukum Lama dan Baru Konvergensi antara hukum lama dan hukum baru terletak dalam kenyataan bahwa hukum lama berfungsi sebagai pendidik sampai datangnya hukum baru dan dalam aspek tertentu, hukum lama ini merupakan prafigur dan persiapan bagi hukum baru Berkaitan dengan hal ini, Katekismus mengatakan: “Hukum lama adalah tahap pertama dari hukum yang diwahyukan. Peraturan-praturan moralnya dirangkum dalam kesepuluh firman. Kesepuluh firman meletakkan dasar untuk penggilan manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Mereka (kesepuluh perintah) melarang apa yang melanggar kasih kepada 67 68 Thomas Aquinas, Op.Cit., no.I-II, q. 107, a.1. ad. 2. Ibid., no. I-II, q.107, a.1, ad.2. Moral Dekalog 2016 80 Allah dan kepada sesama, dan memerintahkan apa yang hakiki untuknya. Dekalog adalah sinar bagi hati nurani tiap manusia untuk menunjukkan kepadanya panggilan dan jalan-jalan Allah dan melindunginya dari yang jahat.” 69 Dengan demikian hukum lama merupakan persiapan untuk injil (hukum baru). Sebab, “hukum baru, hukum injil adalah rahmat Roh Kudus yang dianugerahkan kepada umat beriman melalui iman akan Kristus. Ia bekerja melalui kasih: dengan bantun Kotbah Tuhan di Bukit, ia mengajarkan kita apa yang harus kita lakukan dan memberi kepada kita rahmat melalui Sakramen-Sakramen, supaya kita benar-benar melakukannya juga.”70 Untuk itu tampak bahwa hukum baru/hukum injil “memenuhi”, menghaluskan, melebihi dan menyempurnkan hukum lama. Dalam sabda bahagia ia memenuhi janji-janji ilahi, dengan meninggikannya dan mengarahkannya kepada Kerajaan Surga.” Hukum Injil memenuhi perintah hukum. Jadi, Manakah yang lebih berat: hukum lama atau hukum baru? Hukum lama lebih berat dari pada hukum baru ex parte esteriorum operatum, karena mewajibkan sejumlah besar tindakan eksternal dengan kompleksitas upacara-upacara. Ini berbeda dengan hukum baru yang melampaui hukum natural yakni hukum Kristus sebagaimana terdapat dalam tradisi para rasul, para bapa Gereja dan Magisterium. Hukum baru menambahkan kriteria untuk pertobatan umat. Berkaitan dengan tindakan internal, perintah-perintah hukum baru jauh lebih berat dari pada hukum lama, karena dalam hukum baru yang menentukan adalah gerakan batin, keinginankeinginan dalam hati yang tidak dilarang secara tegas oleh hukum 69 70 Katekismus Gereja Katolik, No. 1962. Ibid., no. 1966. Moral Dekalog 2016 81 lama secara umum, walaupun ada yang dilarang dalam hal-hal khusus. Ini adalah hal paling sulit bagi mereka yang tidak memiliki keutamaan, seperti yang dikatakan Santo Yohanes:”perintah-perintahnya tidaklah berat” I Yoh. 5,3) dan Agustinus menjelaskan: perintah-perintah tersebut tidaklah berat bagi mereka yang mencintai, tetapi menjadi berat bagi mereka yang tidak mencintai. Hukum baru ini disebut hukum kasih sebab hukum ini membuat orang beriman bertindak bukan karena takut tetapi karena kasih yang telah dicurahkan Roh Kudus ke dalam hati. Ia juga disebut hukum rahmat karena ia memberi rahmat supaya dapat bertindak berkat kekuatan iman dan sakramen-sakramen. Ia juga disebut hukum kebebasan karena ia membebaskan manusia dari peraturan-peraturan ritual dan legal dari hukum lama, membuat manusia rela bertindak dengan dorongan-dorongan kasih secara spontan dan mengangkat manusia dari status hamba yang tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tuannya, ke dalam status sebagai sahabat Kristus.71 4.4. Isi Hukum Baru Analisis Tomas Aquinas berkaitan dengan isi hukum baru, dikembangkan dalam pertanyaan 108 yang menjawab keempat persoalan berikut:72 1. Jika hukum baru harus memerintahkan atau melarang tindakan-tindakan eksternal. 2. Jika hukum baru memusatkan perhatiannya pada hal memerintahkan atau melarang tindakan eksternal. 3. Jika hukum baru membimbing manusia untuk hormat pada tindakan-tindakan internal. 71 72 Ibid., no. 1972. Thomas Aquinas, Op.Cit., no. I-II, q.108 Moral Dekalog 2016 82 4. Jika ditambahkan nasihat-nasihat pada perintah-perintah. Berkaitan dengan persoalan pertama jawabannya positif dan kristologis. Sesungguhnya harus dingat bahwa prinsip utama hukum baru adalah rahmat Roh kudus, yang dicurahkan melalui iman seseorang kepada Kristus. Hukum baru ini sampai kepada kita melalui Yesus Kristus, dengan mana kemanusiaaNya dipenuhi rahmat dan saat ini kemanusiaan-Nya pun sampai kepada kita. Oleh karenanya merupakan suatu kebenaran bahwa rahmat yang keluar dari Sabda yang menjelma sampai kepada kita melalui hal-hal ekternal dan indrawi dan karena rahmat internal dalam diri kita bekerja sama dengan keterbukaan hati manusia, maka segala bentuk kedagingan tunduk terhadap roh dan setelah itu dihasilkanlah tidakan-tindakan eksternal dan indrawi yang benar. Tapi tetap harus diingat bahwa hukum injil adalah hukum kebebasan. Sementara hukum lama yang menentukan jsutru banyak hal eksternal dan tidak memberikan tempat yang penuh pada kebebasan manusia. Jawaban atas pertanyaan apakah hukum baru mengatur tindakan-tindakan eksternal ditekankan dalam artikel 2: Hukum baru di dalam perintah-perintahnya dan di dalam laranganlarangannya tidak harus menentukan tindakan-tindakan eksterrnal lainnya di luar sakramen-sakrakmen dan perintah-perintah moral yang per se berhubungan dengan alasan keutamaan, seperti jangan membunuh, jangan mencuri, dan perintah-perintah lainnya secara umum. Alasannya terletak dalam kenyataan bahwa hukum baru harus memerintahkan atau melarang di antara hal-hal ekternal hanya sejauh diperlukan. Dalam pertanyaan no. 108 Thomas tidak bermaksud membuat penjelasan secara detail tentang perintah-perintah hukum baru, tetapi hanya sekedar memberi pembenaran secara mendalam. Ia melihat bahwa dalam hukum baru tidak harus mengurangi perintah-perintah relatif pada tindakan-tindakan Moral Dekalog 2016 83 ekstern: Sakramen-sakramen yang diterima, keutamaankeutamaan yang dipraktekan untuk bekerja sama dengan rahmat Yesus Kristus yang berkaya dalam diri kita. Berkaitan dengan tindakan-tindakan internal, Tomas dengan mengacu pada Agustinus yang mengatakan bahwa kotbah di bukit mengandung semua norma dan program hidup kristiani. Yang kedua menunjukkan bahwa disposisi-disposisi yang diberikan oleh Yesus dalam kotbah di bukit dan nasihat-nasihat injil yang lainnya cukup untuk menjadi pegangan dan undangundang dalam kehidupan kristiani, yang mengatur perasaanperasaan internal dan impuls-impuls ekternal. Perintah-perintah ini bukan hanya membawa manusia untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang per se jahat, tetapi juga membantu untuk tidak melakukan tindakan internal untuk melakukan yang jahat.(mengatur keinginan hati, hasrat yang tidak baik). Dalam kotbah di bukit diatur semua gerakan-gerakan internal/sikap batin manusia yang dimulai dari diri sendiri. Menurut Tomas, Yesus adalah sahabat yang bijaksana sehingga nasihat-nasihatnya lebih efektif dan berdaya guna serta meyakinkan. Perintah-perintah yang mengatur gerak batin dan motivasi-motivasi mengajarkan kepada kita, agar kita tidak mencari kemuliaan manusiawi maupun kekayaan duniawi. Lalu mengajarkan kepada manusia bagaimana mempraktekkan doktrin Injil dengan meminta bantuan Allah. Di samping itu, perlu diingat bahwa demi keutamaan perlu melaksanakan perintah-perintah dan tidak cukup hanya pengakuan iman tetapi mempraktekannya.73 Apakah perbedaan antara nasihat dan perintah? Perintah mengimPerjanjian Lamaikasikan suatu kebutuhan mendesak 73 Ibid., no. I-II, q. 108. a.3. Moral Dekalog 2016 84 sedangkan nasihat bersifat lebih lunak dan keputusan untuk menerima atau tidak diserahkan kepada pribadi yang bersangkutan. 4.5. Hukum Moral dalam Perjanjian Baru74 4.5.1 Hukum Lama dan Perjanjian Baru Perjanjian baru memberikan peneguhan bahwa hukum perjanjian lama bersumber pada Allah. Akan tetapi tetap ada keyakinan dalam Perjanjian baru bahwa hukum lama hanya merupakan persiapan bagi kedatangan Kristus, dan karena itu hanya bersifat sementara. Oleh karena hanya sebagai persiapan maka ia ditentukan untuk kehilangan daya ikatnya (Rm 7:1-6; Gal 2:16-19). Hukum yang lama bertugas sebagai pembimbing menuju perjanjian baru dalam Kristus. Untuk itu umat tidak perlu lagi terikat dalam hukum lama pada bidang moral Perjanjian baru. Pernyataan ini tentu saja tidak bisa dipahami bahwa segala sesuatu yang ditetapkan oleh Hukum Perjanjian lama kehilangan daya ikatnya. Misalnya saja pernyataan bahwa segala sesuatu yang digariskan dalam sepuluh (10) perintah Allah dari Perjanjian Lama tidak lagi aktual mesti ditolak. Sebab pengadaan hukum perjanjian lama memberikan daya ikat kepada hukum kodrat yang tetap bertahan selamanya. Dan lebih dari itu perjanjian baru juga menggarisbawahi kewajiban-kewajiban kodrat . 4.5.2. Hakikat dan Ciri Hukum yang Baru Yesus sendiri tidak menyibukkan diri dengan debat kasuistik ritus, hukum agama dan tradisi lama. Tujuan utamanya adalah ketaatan mutlak kepada tuntutan Allah kepada hidup manusia dan keterbukaan penuh terhadap Roh. Hukum yang baru 74 Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid I, Alex Armanjaya (penerj.), (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), pp. 84-87. Moral Dekalog 2016 85 terutama dan pertama-tama adalah sebuah hukum bagi hati. Bagaimana tanggung jawab hati nurani manusia terhadap Allah dan hukum Roh. Hukum Musa merupakan hukum luar dan kodeks yang tertulis, sementara hukum Kristus merupakan hukum Roh (II Kor 3:6). Namun bagi manusia yang dinodai dosa asal, hukum yang selaras dengan keberadaan dan hatinya pun, sering menjadi sesuatu yang bertentangan dengannya atau dilihat sebagai hukum di luar di dirinya. Untuk perjanjian baru berulang kali menekankan perlunya untuk menghidari perbuatan daging dan hidup dalam tuntunan Roh Kudus (hidup menurut Roh). Normanorma moral merupakan perlindungan terhadap ‘manusia daging’. Norma-norma tersebut memiliki tugas positif: menjadi bantuan bagi hidup yang penuh damai dan menawarkan petunjuk di jalan ke arah kesempurnaan. Moral Dekalog 2016 86 BAB V PENUTUP Dekalog tidak lain menunjukkan bahwa Allah senantiasa memberi hukum-hukum-Nya kepada umat-Nya. Kesepuluh firman merupakan wejangan abadi-ilahi yang tak dapat berubah. Meski kesepuluh firman pada mulanya diberikan sebagai nasihatnasihat bagi umat Israel secara keseluruhan, namum perintahperintah dekalog sesungguhnya bertujuan untuk menjamin kelangsugan umat dan kemerdekaan dan keamanan seluruh bangsa. Misalnya umat perlu menghindari dendam darah, tidak boleh menculik atau mencuri dsb. Selain itu tanah dalam dekalog ini memiliki nilai utama yang mesti dilindungi. Nilai-nilai lain brkaitan erat dengan tahan. Pengakuan kepada Allah pembebas adalah pokok kepercayaan perjanjian lama dan menjadi kerangka iman dari aturan-aturan dalam kesepuluh firman. Yahwe sendiri menginginkan umat-Nya dan terus menghendaki agar umat itu berlangsung terus. Kesepuluh firman menjadi nasihat yang lengkap supaya umat dapat mengarahkan sikap dan tindakan moralnya. Isi kesepuluh firman tidak lain merupakan ethos Israel, yaitu segala kebiasaan hidup yang penting untuk kelangsungan hidup bangsa dan kesejahteraan hidup perorangan. Oleh karena Israel adala umat yang beriman kepada Yahwe, umat milik Yahwe , umat yang terbentuk waktu menerima tanah dari tangan Yahwe sendiri. Umat Israel pun tetap mengakui bahwa Yahwe pun memperhatikan semua orang. Moral Dekalog 2016 87 Kehendak Allah memang tidak melekat pada huruf dan norma. Kehendak Allah memperhatikan umat-Nya. Allah berkehendak agar umat tetap menjadi milik-Nya dan supaya mereka terus melanjutkan hidup dalam kedamaian dan ketenangan. Kehendak Yahwe perlu menjadi dasar hidup umat atau termasuk etos umat. Kesepuluh firman memang dapat dimengerti sebagai ethos untuk mengatur hidup bersamadan membina hormat kepada pribadi manusia. Demikian pulu kesepuluh firman harus ditafsirkan sebagai ungkapan iman perjanjian lama. Makna kesepuluh firman baru akan sungguh terasa, jika dapa ditafsirkan sebagai ungkapan iman umat tertentu, dalam konteks sosial dan historis tertentu. Pada dirinya kesepuluh firman bukanlah aturan abadi. Dalam terang hukum perjanji baru, kesepuluh firman mendapatkan pemenuhannya, yakni dalam perintah utama: mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia dengan segenap hati. Tindakan kasih ini sudah merupakan bentuk hukum baru yang menjadi mungkin oleh karena Roh Kudus yang telah dicurakan ke dalam hati semua orang percaya. Singkatnya, apabila Allah telah membebaskan umat-Nya dari perbudakan mesir, maka kini Ia menghendaki umat-Nya terbebas dari perbudakan dosa dan maut. Rahmat Allah merupakan prakarsa bagi tuntutan-Nya dan sekaligus menjadi ganjaran, jikalau penetapan-Nya ditaati. Moral Dekalog 2016 88 Bibliografi ¨ Bauman Clarence, The Sermon on the Mount: the Modern Quest for Its Meaning, Mercer University Press, Macon 1985 ¨ Walderman Janszen, Old Testament Ethics: a paradicmatic approuch, Westminster/John Knox Press, Louisvile, Kentucky, 1994, hlm. 87-105. ¨ Karl H. Peschke, Chistian Ethics: Moral Theology in the Light of Vatican II, Vol. 1, Logos Publication, Manila 1985, p. 13-28. ¨ Franz Bockle, Fundamental Moral Theology, Gill and McMillan, Dublin 1980, p. 127-179. ¨ Marcello Morgante, I dieci Comandamenti, Editrice Rogate, Roma1996. ¨ William Barclay, The Perjanjian Lamaain Man’s Guide to Ethics, Collins Fount Paperback, 1973. ¨ Katekismus Gereja Katolik, Percetakan Arnoldus, Ende 1995, art. 2052-2557. (Lihat Edisi 1997, editio typica) ¨ Bernard Kieser SJ, Paguyuban Manusia dengan Dasar Firman, Kanisius, Yogyakarta 1991. ¨ ID, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, Kanisius, Yogyakarta 1987, p. 165-190. Moral Dekalog 2016 89 ¨ J. Kiswara SJ, Dasa Firman Allah: Makna dan Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta 1988. Moral Dekalog 2016 90 SKEMA PERKULIAHAN BAB I : PENDAHULUAN BAB II: MEMAHAMI KONTEKS MORAL DEKALOG DARI PERJANJIAN LAMA HINGGA PERJANJIAN BARU BAB III: DASA FIRMAN SEBAGAI HUKUM MORAL BAB IV: BEBERAPA PERSPEKTIF TENTANG HUKUM BARU BAB V: PENUTUP Moral Dekalog 2016 91