pengaruh perbedaan posisi penempatan lampu

advertisement
PENGARUH PERBEDAAN POSISI PENEMPATAN
LAMPU TABUNG TERHADAP HASIL TANGKAPAN
BAGAN APUNG
NELA INDAH ERMAWATI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Perbedaan Posisi
Penempatan Lampu Tabung terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung adalah
karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau
dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, 17 Februari 2011
Nela Indah Ermawati
ABSTRAK
NELA INDAH ERMAWATI, C44070064. Pengaruh Perbedaan Posisi
Penempatan Lampu Tabung terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung. Dibimbing
oleh GONDO PUSPITO dan M. DAHRI ISKANDAR.
Kenaikan harga minyak tanah memicu penggantian lampu petromaks pada
perikanan bagan apung. Nelayan mencoba beralih menggunakan jenis lampu
tabung (tubular lamp) dengan sumber listrik yang dihasilkan oleh mesin
pembangkit listrik berukuran kecil (genset). Lampu tabung digunakan karena
lampu ini lebih hemat energi dan lebih terang jika dibandingkan dengan lampu
pijar. Nelayan Palabuhanratu masih belum menemukan cara paling efektif untuk
mengoperasikan lampu tabung. Penelitian ini mencoba cara lain untuk
memecahkan permasalahan tersebut dengan cara menggunakan lampu dalam air.
Cara penggunaan lampu tabung yang benar akan memberikan hasil tangkapan
yang banyak. Lampu dalam air dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti stoples
Nutrisari dan lampu tabung (TL) 24 watt. Posisi penempatan lampu tabung adalah
di atas permukaan air dan di dalam air pada kedalaman 1 m di bawah permukaan
air. Pada penelitian ini komposisi hasil tangkapan pada pengoperasian bagan
apung dengan menggunakan kedua lampu dihitung dan selanjutnya dibandingkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan yang diperoleh
cukup berbeda. Hasil tangkapan lampu tabung lebih beragam, namun dengan
kuantitas yang lebih sedikit dibandingkan dengan lampu dalam air. Jenis
tangkapan yang diperoleh lampu tabung adalah tembang (Sardinella fimbriata)
seberat 21,8 kg, kembung (Rastrelliger spp.) 13,8 kg, cumi-cumi (Loligo sp.) 8,5
kg, layur (Trichiurus sp) 8 kg, tongkol (Auxis thazard) 5 kg dan teri (Stolephorus
commersonii) 5 kg. Adapun komposisi hasil tangkapan lampu dalam air
didominasi oleh teri seberat 39,4 kg. Hasil tangkapan lainnya adalah rebon 31,4
kg, kembung 29,5 kg, tembang 29,2 kg, layur 21,5 kg dan tongkol 0,5 kg.
Kesimpulan yang diperoleh adalah penggunaan lampu dalam air lebih efektif
dibandingkan dengan lampu tabung dengan berat tangkapan masing-masing
adalah 151,7 kg dan 65,1 kg.
Kata kunci: lampu tabung, bagan apung, dan Palabuhanratu.
© Hak cipta IPB, Tahun 2012
Hak cipta dilidungi Undang-Undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
PENGARUH PERBEDAAN POSISI PENEMPATAN
LAMPU TABUNG TERHADAP HASIL TANGKAPAN
BAGAN APUNG
NELA INDAH ERMAWATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
: Pengaruh Perbedaan Posisi Penempatan Lampu
Tabung terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung
: Nela Indah Ermawati
NRP
: C44070064
Program Studi
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Departemen
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Gondo Puspito M.Sc.
NIP 19630524 198803 1 010
Ir. Mokhamad Dahri Iskandar M.Si
NIP 19690604 199412 1 001
Diketahui:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc.
NIP 19621223 198703 1 001
Tanggal lulus : 9 Desember 2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Perbedaan Posisi Penempatan Lampu Tabung terhadap Hasil
Tangkapan Bagan Apung”. Penelitian pada skripsi ini bertujuan untuk
menentukan cara penggunaan lampu tabung yang efektif agar mendapatkan hasil
tangkapan yang banyak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Gondo Puspito M.Sc dan Ir. Mokhamad Dahri Iskandar M.Si sebagai
Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan
bimbingannya selama penyusunan skripsi.;
2. Dr. Ir. Diniah, M.Si. selaku Dosen Penguji Utama yang telah memberikan
arahan dan saran dalam perbaikan skripsi ini.;
3. Dr. Ir. M. Imron, M. Si selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang telah memberikan saran dan
masukan dalam perbaikan skripsi ini.;
4. Orangtua tercinta, Edy Rahwono dan Rosmawati ; dan
5. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan yang
disebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak
yang memerlukan.
Bogor, Februari 2012
Nela Indah Ermawati
RIWAYAT HIDUP
Nela Indah Ermawati dilahirkan di Depok, 31 Mei
1989. Putri pertama dari dua bersaudara pasangan Edy
Rahwono dan Rosmawati.
Penulis menempuh pendidikan di Kota Depok, mulai
dari TK ABA 7 Depok, SD Negeri Parung Bingung 2 Depok,
SMP Muhammadiyah 4 Depok dan akhirnya lulus dari SMA
Negeri 1 Depok pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis masuk IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Mayor Teknologi
dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama berkuliah, penulis aktif mengikuti organisasi mahasiswa, seperti
Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Mahasiswa TPB IPB (2007-2008), staf CIA
Crative Innovative for Allah Forum Keluarga Muslim FPIK, Staf Biro Bisnis dan
Kemitraan BEM KM Kabinet Generasi Inspirasi (2009-2010) serta Badan
Pengawas Himpunan Profesi Himafarin.
Pada tahun 2010 penulis berhasil memenangkan medali Perunggu pada
Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Bali untuk kategori Program Kreativitas
Mahasiswa bidang Penerapan Teknologi. Selanjutnya, pada tahun 2011 penulis
mendapatkan dana hibah pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang penulisan
Artikel Ilmiah. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan
penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Perbedaan Posisi
Penempatan Lampu Tabung terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
v
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................
1.2 Tujuan......................................................................................................
1.3 Manfaat...................................................................................................
1
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bagan.......................................................................................................
2.1.1 Pengelompokan bagan....................................................................
2.1.2 Bagan apung...................................................................................
2.2 Cahaya………….....................................................................................
2.3 Fisiologi Ikan..........................................................................................
3
3
3
4
7
3 METODE PENELITIAN
3.1
3.2
3.3
3.4
Waktu dan Tempat..................................................................................
Alat dan Bahan........................................................................................
Metode Pengambilan Data…..................................................................
Metode Analisis Data.............................................................................
9
9
10
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Iluminasi Cahaya....................................................................................
14
4.1.1 Lampu tabung................................................................................
(1) Medium udara..........................................................................
(2) Medium air...............................................................................
4.1.2 Lampu dalam air.............................................................................
(1) Medium udara..........................................................................
(2) Medium air...............................................................................
14
14
16
18
18
20
4.2 Komposisi Hasil Tangkapan...................................................................
4.2.1 Hasil tangkapan bagan apung.....................................................
(1) Komposisi hasil total tangkapan berdasarkan jenis.................
(2) Komposisi hasil total tangkapan berdasarkan waktu...............
4.2.2 Hasil tangkapan bagan apung dengan lampu tabung....................
(1) Komposisi berat tangkapan berdasarkan jenis organisme.......
(2) Komposisi berat tangkapan berdasarkan waktu penangkapan
4.2.3 Hasil tangkapan bagan apung dengan lampu dalam air................
(1) Komposisi berat tangkapan berdasarkan jenis organisme......
(2) Komposisi berat tangkapan berdasarkan waktu penangkapan
22
22
22
25
27
27
29
30
30
32
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan................................................................................................ 34
5.2 Saran.......................................................................................................... 34
36
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
LAMPIRAN.........................................................................................................
38
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Nilai iluminasi cahaya lampu tabung pada medium udara…..................
16
2
Nilai iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air….......................
17
3
Nilai iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium udara….............
20
4
Nilai iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium air…..................
21
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Pembiasan dan pemantulan cahaya…......................................................
6
2 Penyebaran cahaya tampak......................................................................
7
3 Lampu tabung...........................................................................................
10
4 Konstruksi dan dimensi lampu dalam......................................................
11
5 Posisi pengukuran iluminasi cahaya secara horizontal pada kerangka
jaring bagan..............................................................................................
6 Posisi pengukuran iluminasi cahaya dengan luxmeter.............................
12
13
7 Iluminasi dan arah pancaran cahaya lampu tabung..................................
16
8 Penyebaran iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air.................
18
9 Penyebaran cahaya lampu dalam air .......................................................
20
10 Penyebaran iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium air……....
23
11 Persentase berat hasil tangkapan bagan ...................................................
24
12 Berat hasil tangkapan total berdasarkan jenis waktu per penangkapan...
26
13 Berat hasil tangkapan bagan dengan lampu tabung ................................
28
14 Berat hasil tangkapan bagan dengan lampu tabung berdasarkan jenis
waktu per penangkapan............................................................................
15 Berat hasil tangkapan bagan dengan lampu dalam air.............................
30
32
16 Berat hasil tangkapan bagan dengan lampu dalam air berdasarkan jenis
per waktu penangkapan............................................................................
33
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Peta lokasi penelitian……........................................................................
38
2
Bagan apung……………….....................................................................
39
3
Organisme hasil tangkapan......................................................................
40
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bagan di Palabuhanratu merupakan alat tangkap yang diperhitungkan.
Menurut data statistik perikanan Palabuhanratu
tahun 2010, usaha perikanan
bagan dengan modal yang relatif kecil mampu menghasilkan jumlah hasil
tangkapan 76.365 kg per tahun. Jika dibandingkan dengan alat tangkap lain yang
memiliki jumlah hasil tangkapan yang sama akan diperlukan modal yang lebih
besar. Penggunaan bagan di Palabuhanratu menurut data statistik tahun 2010
sebanyak 164 unit penangkapan (Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu
2011).
Pengoperasian bagan memerlukan alat bantu cahaya sebagai pengumpul
ikan. Pada awalnya sumber cahaya yang digunakan adalah lampu petromaks.
Penggunaan lampu petromaks kini sudah ditinggalkan, karena harga bahan bakar
minyak tanah sangat mahal. Nelayan mencoba beralih menggunakan jenis lampu
tabung (tubular lamp) dengan sumber listrik yang dihasilkan oleh mesin
pembangkit listrik berukuran kecil (genset).
Nelayan Palabuhanratu masih belum menemukan cara paling efektif untuk
mengoperasikan lampu tabung. Cara operasi yang dilakukan nelayan dengan
menggantungkan lampu di bawah rumah bagan dengan atau tanpa kap lampu.
Untuk kap lampu digunakan helm, wadah plastik (baskom) atau loyang kue
berbentuk persegi. Penelitian ini mencoba cara lain untuk memecahkan
permasalahan tersebut dengan cara menggunakan lampu dalam air. Upaya ini
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas bagan apung.
Penelitian mengenai cahaya pada perikanan bagan telah banyak dilakukan
sehingga pustaka menjadi beragam. Holil (2000) melakukan penelitian mengenai
lampu TL dengan sumber energi listrik dari solar cell system pada pengoperasian
bagan apung. Zulfia (1999) meneliti mengenai pengaruh waktu hauling dan nilai
iluminasi cahaya lampu pada bagan diesel. Penelitian mengenai nilai iluminasi
cahaya yang terbaik dari berbagai merek lampu pijar dan aplikasinya pada
perikanan bagan tancap diteliti oleh Nurdiana (2005). Pada tahun 2008, Tobing
melakukan penelitian mengenai pemusatan cahaya petromaks melalui penggunaan
tudung kerucut dan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan bagan. Pemusatan
cahaya juga diteliti oleh Prasetyo (2009) yang melakukan penelitian mengenai
pemusatan cahaya petromaks pada kedalaman 8 m dan pengaruhnya pada
produktivitas bagan.
Penelitian mengenai lampu tabung sebagai alat bantu penangkapan pada
bagan hingga saat ini belum pernah dilakukan. Hal tersebut menjadi nilai unggul
dalam penelitian kali ini. Penggunaan stoples Nutrisari menggambarkan bahwa
barang-barang yang sudah dianggap kurang bermanfaat sebagai wadah dalam
membuat lampu dalam air sebenarnya masih memiliki daya guna yang besar.
Melalui daya kreatifitas, pemanfaatan barang-barang sederhana secara optimal
dapat menjawab permasalahan yang muncul di masyarakat.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan cara penggunaan lampu tabung
yang efektif pada pengoperasian bagan apung untuk mendapatkan hasil tangkapan
yang banyak.
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1) Sebagai informasi bagi nelayan mengenai penggunaan lampu tabung pada
penangkapan ikan dengan alat tangkap bagan; dan
2) Sebagai masukan untuk evaluasi kegiatan perikanan bagan dan bahan
pertimbangan untuk penelitian lanjutan dalam mengembangkan alat tangkap
bagan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bagan
Bagan merupakan suatu alat tangkap yang termasuk kedalam kelompok
jaring angkat dan terdiri atas beberapa komponen, yaitu jaring, rumah bagan, dan
lampu. Jaring bagan umumnya berkuran 9 × 9 (m), dengan ukuran mata jaring
(mesh size) 0,5-1 cm. Bahan jaring yang digunakan terbuat dari PE (polyethylene).
Bagan dioperasikan dengan cara mengangkat dan menurunkan jaring secara
vertikal. Sebagai alat bantu digunakan cahaya untuk pengumpul ikan (Subani dan
Barus 1989).
2.1.1 Pengelompokan bagan
Von Brandt (1984) mengklasifikasikan bagan ke dalam kelompok alat
tangkap yang dalam pengoperasiannya menggunakan cahaya sebagai alat bantu
untuk memikat ikan. Ikan yang menjadi tujuan penangkapan adalah jenis-jenis
ikan yang bersifat fototaksis positif.
Bagan, menurut Subani dan Barus (1989), dikelompokkan atas bagan
tancap, bagan rakit atau bagan apung dan bagan perahu. Bagan tancap berbentuk
bangunan bujur sangkar yang terbuat dari bambu betung yang ditanam ke dasar
perairan. Lokasi pengoperasian bagan tancap tidak dapat dipindah-pindahkan.
Bagan rakit memiliki rakit bambu sebagai landasan rumah bagan sekaligus alat
apungnya. Bagan rakit sama halnya dengan bagan apung, dapat dipindahpindahkan dengan bantuan perahu penarik. Adapun bagan perahu menggunakan
dua perahu sebagai penopang. Jarak antara kedua perahu digunakan sebagai
tempat pengoperasian alat tangkap.
2.1.2 Bagan apung
Bagan apung adalah jaring angkat yang keberadaannya dapat dipindahpindahkan. Pada bagian bawah kanan-kiri bagan terdapat alat apung berupa drum
dan rakit sebagai pondasi rumah bagan. Bagan apung tidak dilengkapi dengan alat
bantu perpindahan tempat pengoperasian. Untuk proses pemindahan lokasi bagan
apung dilakukan dengan bantuan perahu penarik (Subani dan Barus 1989).
2.2 Cahaya
Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang apabila dipancarkan atau
diserap akan memperlihatkan sifat-sifat partikel. Cahaya dapat merambat pada
medium hampa udara dengan kecepatan 3 × 108 m/detik. Adapun laju cahaya
merupakan konstanta fisika fundamental (Young and Freedman 2004).
Bila cahaya ditransmisikan dari satu medium ke medium yang lain, maka
frekuensinya tidak akan berubah. Hal ini terjadi karena setiap siklus
gelombangnya tidak mengalami perubahan. Perubahan hanya terjadi pada panjang
gelombang dan laju gelombang. Hal ini disebabkan oleh panjang gelombang
secara umum akan berbeda pada material yang berbeda (Young and Freedman
2004).
Cahaya yang melewati dua medium berbeda akan mengalami refraksi.
Refraksi adalah perubahan kecepatan cahaya akibat perbedaan medium yang
menyebabkan perubahan lintasan cahaya. Refraksi juga dikenal dengan
pembiasan. Indeks refraksi dari sebuah material optik merupakan rasio antara laju
cahaya c dalam ruang hampa terhadap laju cahaya v dalam material itu. Hal ini
dapat dilihat melalui persamaan berikut:
n=c/v
Keterangan
n
c
v
:
: Indeks refraksi atau indeks bias;
: Laju cahaya dalam ruang hampa (m/detik); dan
: Laju cahaya dalam material tertentu (m/detik).
Cahaya yang melewati dua medium dengan indeks refraksi yang berbeda
akan mengalami penyerapan, pemantulan atau pembiasan (Puspito 2008). Saat
cahaya dari medium udara melalui medium air akan terjadi pembiasan cahaya.
Hukum Snellius mengatakan bahwa rasio dari sinus sudut θa dan θb sama dengan
rasio antara indeks refraksi medium a dan b. Sudut θa dan θb diukur dari garis
normal terhadap permukaan. Rumusnya dapat dituliskan sebagai berikut:
=
atau
na sin θa = nb sin θb
Keterangan
n
n
θ
θ
N
:
:
:
:
:
:
Indeks refraksi medium a (udara);
Indeks refraksi medium b (air);
Sudut sinar datang terhadap garis normal;
Sudut sinar yang direfraksikan terhadap garis normal; dan
Garis normal.
Pembiasan dan pemantulan cahaya disajikan pada Gambar 1.
NN
θ
θ
Udar
Udara
Air
θ
Gambar 1 Pembiasan dan pemantulan cahaya (Young and Freedman 2004)
Sinar yang bergerak dari medium satu ke medium lainnya dengan indeks
refraksi yang lebih besar akan mengalami pembelokan mendekati garis normal.
Sinar yang datang dari udara ke dalam air (nb(air) > na(udara)) akan mengalami
penurunan laju gelombang (Young and Freedman 2004).
Menurut Cayless dan Marsden (1983), kekuatan atau intensitas cahaya
ditentukan berdasarkan iluminasinya. Iluminasi adalah kekuatan cahaya yang
dipancarkan oleh sumber cahaya dan mengenai suatu permukaaan benda. Besar
intensitas cahaya dapat diukur dengan satuan candela. Iluminasi cahaya akan
semakin menurun seiring dengan bertambahnya jarak terhadap sumber cahaya.
Pengukuran iluminasi cahaya dapat dilakukan dengan menggunakan rumus
berikut :
E = I / r2
Keterangan
E
I
R
:
: Iluminasi cahaya (lux);
: Intesitas cahaya (candela); dan
: Jarak dari sumber cahaya (m).
Gelombang cahaya tersebar dari ultraviolet hingga infrared. Cahaya
ultraviolet memiliki panjang gelombang kurang dari 390 µm dan infrared
memiliki panjang gelombang lebih dari 770 µm. Gelombang yang terdapat antara
cahaya ultraviolet dan cahaya infrared adalah gelombang cahaya tampak yang
terdiri dari violet (390 – 455 µm), biru (455 – 492 µm), hijau (492 – 577 µm),
kuning (577 – 497 µm), orange (597 – 622 µm), dan merah (622 – 770 µm).
Namun, hanya cahaya yang berasal dari gelombang 400 - 750 µm termasuk ke
dalam gelombang cahaya tampak (Ben Yami 1988). Gambar 2 menunjukkan
penyebaran gelombang cahaya tampak (Ben Yami 1987).
Gambar 2 Penyebaran cahaya tampak (Ben Yami 1987)
2.3 Lampu
Lampu berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia adalah alat untuk
menerangi atau pelita (KBBI 2011). Terdapat empat jenis lampu listrik yaitu
lampu tabung atau lampu TL (tubular lamp), lampu LED (light emitting diode),
lampu halogen, dan lampu pijar. (Hindarto 2011). Salah satu jenis lampu listrik
yang banyak digunakan adalah lampu tabung. Pada lampu tabung terdapat
elektron yang dipancarkan dari dalam tabung dan menyebabkan atom-atom media
gas di dalam tabung berpendar atau melepaskan energi cahaya. Pendar cahaya
inilah yang kemudian biasa dilihat dalam bentuk cahaya berwarna putih. Lampu
tabung lebih hemat energi dibanding lampu pijar, karena tidak terjadi hubungan
langsung antara kutub positif dan negatif untuk membuat filamen berpijar dan
menghasilkan cahaya seperti pada cara lampu pijar. Cahaya yang dihasilkan oleh
lampu tabung juga lebih terang dibandingkan dengan cahaya lampu pijar (Pratiwi
2011).
2.4 Fisiologi ikan
Iluminasi cahaya pada umumnya menurun seiring dengan meningkatnya
jarak dari sumber cahaya. Hal ini terjadi karena beragam sebab. Untuk alasan
geometris, iluminasi akan memberikan efek secara proporsional terhadap objek
dan permukaan air di sekitarnya. Selain itu, hal mendasar yang memberikan
pengaruh besar adalah transparansi. Cahaya yang melalui air yang bening akan
tiba dengan lebih baik dibandingkan dengan air yang keruh.
Pada saat cahaya bulan kuat, seperti saat terjadi purnama, cahaya di
permukaan air menjadi lebih terang. Hal ini berakibat pada tingkah laku ikan yang
memiliki ketertarikan pada cahaya tidak begitu terlihat (Ben Yami 1988).
Mata adalah reseptor penglihatan yang sempurna untuk sebagian besar
ikan. Cahaya memasuki mata melalui kornea, selaput bening pada bagian depan
mata. Selanjutnya cahaya membentuk fokus bayangan untuk dianalisis oleh retina.
Pada ikan, peran kornea dalam memfokuskan cahaya sangat kecil karena
perbedaan indeks bias antara kornea dan air sangat kecil. Hal ini membuat lensa
mata menjadi lebih bulat dan dilakukan pergerakan lensa untuk meningkatkan
pemfokusan. Pada siang hari, distribusi pigmen yang terdapat pada kornea akan
berfungsi sebagai penyaring cahaya. Sensitivitas dan ketajaman mata tergantung
pada terangnya bayangan yang mencapai retina. Penerimaan cahaya pada retina
mata ikan secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi pergerakan
dan tingkah laku ikan (Fujaya 2004).
Tingkah laku ikan terhadap cahaya, menurut Gunarso (1988) dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu fototaksis positif dan fototaksis negatif. Tingkah
laku ikan yang tertarik untuk mendekati sumber cahaya disebut dengan fototaksis
positif. Adapun tingkah laku menjauhi sumber cahaya disebut fototaksis negatif.
Ikan yang menjadi hasil tangkapan bagan terdiri dari ikan yang bersifat
fototaksis positif dan fototaksis negatif. Ikan yang bersifat fototaksis positif
diantaranya cumi-cumi, rebon dan teri. Adapun contoh ikan yang fototaksis
negatif, biasanya merupakan termasuk dalam jenis ikan predator contohnya adalah
layur dan tongkol (Subani dan Barus 1989).
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan tempat
Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama penelitian yaitu
pengukuran nilai iluminasi pada medium udara yang dilakukan di Laboratorium
Teknologi Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Tahap
kedua penelitian yaitu persiapan dan pengoperasian bagan apung dilakukan di
perairan Teluk Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat dari bulan Juli sampai
September 2010 (Lampiran 1).
3.2 Alat dan bahan
Alat yang digunakan pada tahap pertama penelitian adalah bagan apung
(Gambar pada Lampiran 2), lampu tabung, lampu dalam air, serok, luxmeter,
termometer, penggaris, dan timbangan digital. Bahan yang digunakan pada tahap
pertama penelitian merupakan bahan-bahan untuk pembuatan lampu dalam air
yang terdiri atas lampu tabung, stoples Nutrisari, kabel listrik eterna, saklar, stop
kontak listrik, stabilizer, generator listrik berdaya 1.000 watt, lampu tabung 24
watt, karet plastik, lem silicone rubber, dan terminal listrik.
Alat yang digunakan pada tahap kedua penelitian adalah lampu tabung,
lampu dalam air, luxmeter, karton hitam, penggaris, tali, sedangkan bahan-bahan
yang digunakan adalah lampu tabung dan lampu dalam air. Berikut ini adalah
gambar lampu tabung merek Phillips 24 watt yang digunakan sebagai bahan
penelitian tahap pertama dan kedua (Gambar 3).
Gambar 3 Lampu tabung.
Pembuatan lampu dalam air diawali dengan memasukkan lampu TL
kedalam stoples Nutrisari. Bagian atas stoples ditutup dengan lem dan karet
plastik. Ujicoba kebocoran lampu dilakukan dengan cara memberi pemberat pada
lampu, menenggelamkan lampu sedalam 1 m dan menyalakannya selama 1 jam.
Jika tidak ada kebocoran pada stoples, maka pembuatan lampu dalam air dianggap
berhasil. Konstruksi lampu dalam air dapat dilihat pada Gambar 4.
8 cm
Lem
Karet
18 cm
Gambar 4 Konstruksi dan dimensi lampu dalam air.
3.3 Metode pengambilan data
Metode untuk pengambilan data yang digunakan adalah metode
percobaan. Operasi penangkapan dilakukan secara langsung pada bagan apung
dengan menggunakan lampu tabung dan lampu dalam air di perairan teluk
Palabuhanratu. Data yang dikumpulkan terdiri atas data nilai iluminasi cahaya dan
hasil tangkapan yang diperoleh.
Penelitian terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama yaitu pengukuran
nilai iluminasi cahaya pada medium udara. Tahap kedua adalah pengukuran nilai
iluminasi cahaya di dalam air dan operasi penangkapan bagan apung di
Palabuhanratu. Pengukuran nilai iluminasi pada medium udara dilakukan dengan
mengukur iluminasi lampu pada ruang gelap dengan kemiringan sudut tertentu.
Pengukuran dilakukan bergantian antara lampu tabung dan lampu dalam air. Jarak
antara luxmeter dan lampu sejauh 1 m (Gambar 6).
Gambar 6 Posisi pengukuran iluminasi cahaya dengan luxmeter pada sudut15°,
30°, 45°, 60°, 75°, 90° hingga sudut 360°.
Prosedur pengoperasian bagan apung meliputi urutan sebagai berikut:
1) Pengoperasian alat tangkap dibagi dalam 3 kelompok waktu, yaitu pukul
19.00-22.00, 22.00-01.00, dan 01.00-04.00;
2) Penggunaan lampu tabung dan lampu dalam air bergantian secara acak
seiring dengan kelompok waktu penangkapan;
3) Pelaksanaan percobaan ini diawali dengan merangkai 4 buah lampu untuk
setiap jenis lampu pada setiap operasi penangkapan;
4)
Lampu tabung digantungkan pada ketinggian 1 m di atas perukaan air laut,
sedangkan lampu dalam air pada kedalaman 1 m di bawah permukaan air
laut;
5)
Pengukuran iluminasi cahaya dilakukan setiap kedalaman 1 m sampai
kedalaman 12 m. Posisi pengukuran iluminasi diatas bagan ditunjukkan pada
Gambar 5;
f
8 m
1,3 m
2,6 m 3,9 m
8 m
a
b
c
d
e
Keterangan
a
b
c
d
e
f
:
:
:
:
:
:
:
Titik tengah kerangka bagan;
Posisi pengukuran 1,3 m;
Posisi pengukuran 2,6 m;.
Posisi pengukuran 3,9 m;
Posisi penempatan 4 buah lampu; dan
Kerangka bagan.
Gambar 5 Posisi pengukuran iluminasi cahaya secara horizontal diatas jaring
bagan.
6) Bobot total hasil tangkapan pada setiap perlakuan ditimbang dan
diidentifikasi jenisnya; dan
7) Operasi penangkapan dilakukan sebanyak 5 kali ulangan untuk setiap
perlakuan lampu.
3.4 Metode analisis data
Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif komparatif.
Metode deskriptif komparatif adalah metode dengan menjelaskan dan melakukan
perbandingan data hasil penelitian dari dua perlakuan yang berbeda. Pada
penelitian ini dibandingkan antara data dengan menggunakan lampu tabung dan
lampu dalam air. Hasil penelitian yang digunakan dalam analisis berupa data,
grafik dan tabel.
Perbandingan dilakukan antara lampu tabung standar di atas permukaan air
dengan lampu tabung terbungkus stoples Nutrisasi di dalam air. Data yang
diambil berupa nilai iluminasi cahaya pada medium udara dan medium air, serta
hasil tangkapan yang diperoleh. Data tersebut diolah secara komparatif dan dibuat
grafiknya untuk memudahkan dalam analisa deskriptif.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Iluminasi cahaya
Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan.
Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang
tinggi, arah pancaran yang menyebar ke samping dan sebagian besar cahaya
merambat di dalam air.
Hasil pengukuran iluminasi cahaya terhadap lampu tabung dan lampu
dalam air pada medium udara dan air memberikan hasil yang cukup berbeda.
Penyebabnya yaitu kerapatan medium udara lebih rendah dibandingkan dengan
medium air.
4.1.1 Lampu tabung
(1) Medium udara
Hasil pengukuran iluminasi cahaya lampu tabung pada medium udara
disajikan pada Tabel 1. Adapun grafiknya dijelaskan pada Gambar 7. Cahaya
lampu tabung pada medium udara memancar ke segala arah dengan iluminasi
cahaya yang berbeda pada setiap sudut pengukuran. Perbedaan nilai iluminasi
cahaya yang kecil terdapat pada bagian bawah lampu.
Pada Tabel 1 di bawah ini terlihat bahwa pada sudut 90 o-150o dan 210o270o memberikan iluminasi cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan sudut
yang lain. Hal ini terjadi karena cahaya yang dipancarkan berasal dari permukaan
sisi lampu yang paling luas. Sementara itu, nilai iluminasi lampu tabung tertinggi
diperoleh pada sudut 120o dan 240o, yaitu sebesar 184 lux. Pada sudut tersebut
terjadi akumulasi cahaya yang berasal dari permukaan sisi luar lampu dan sisi
dalam lampu yang melewati celah antar tabung.
Tabel 1 Nilai iluminasi cahaya lampu tabung pada medium udara.
Sudut
(o)
0 / 360
Iluminasi
(lux)
32
15 / 345
55
30 / 330
81
45 / 315
132
60 / 300
144
75 / 285
151
90 / 270
167
105 / 255
171
120 / 240
184
135 / 225
179
150 / 210
173
165 / 195
155
180
153
Nilai iluminasi cahaya lampu tabung pada medium udara memperoleh
nilai terendah pada sudut 0 o atau 360o, yaitu sebesar 32 lux. Pada bagian tersebut
cahaya terhalang oleh kepala lampu. Cahaya yang mampu melewati sudut itu
hanya sedikit, sehingga nilai iluminasi cahaya yang diperoleh sangat rendah.
0°
200
315°
150
45°
100
50
270°
90°
0
Series1
Nilai iluminasi
(lux)
225°
135°
180°
Gambar 7 Iluminasi dan arah pancaran cahaya lampu tabung.
Lampu tabung memancarkan cahaya dengan arah yang menyebar. Pada
Gambar 7 terlihat bahwa cahaya lampu tabung pada bagian bawah memiliki nilai
iluminasi yang tidak terlalu berbeda. Penyebabnya adalah luasan permukaan
lampu tabung pada bagian tersebut relatif sama, sehingga cahaya yang
dipancarkan memiliki nilai iluminasi yang tidak terlalu berbeda. Pada Gambar 7
ditunjukkan dengan bentuknya yang hampir mendatar.
(2) Medium air
Lampu tabung pada medium air memiliki nilai iluminasi cahaya, seperti
tersaji pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai iluminasi cahaya tertinggi
diperoleh pada jarak 1,3 m (a) dari pusat pengukuran. Pada titik pusat pengukuran
diperoleh niai iluminasi cahaya sebesar 51,7 lux. Nilai ini lebih kecil
dibandingkan dengan nilai iluminasi cahaya pada jarak 1,3 m (a) yang bernilai
54,5 lux. Hal ini dimungkinkan karena luasan permukaan lampu tabung pada
bagian bawah lebih kecil dibandingkan dengan luasan bagian samping tabung.
Pada bagian bawah lampu tabung -- yang menjadi titik pusat pengukuran -dihasilkan nilai iluminasi cahaya yang lebih kecil.
Tabel 2 Nilai iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air
Kedalaman
(m)
Iluminasi cahaya pada posisi
pengukuran (lux)
a
b
c
d
-1
51,7
54,5
33,3
7,8
-2
27,7
33,7
23,7
9,2
-3
12
17,8
12,3
6,4
-4
5,9
6,8
9,9
3,3
-5
2
3,3
6,6
1,1
-6
1,3
1,8
2
0,1
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai iluminasi cahaya lampu semakin
menurun seiring dengan meningkatknya jarak dari pusat lampu. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Cayless dan Marsden (1983) yang menyebutkan bahwa nilai
iluminasi adalah rasio dari intensitas cahaya dengan kuadrat jarak dari sumber
cahaya (E=I /r2).
Berdasarkan hasil pengukuran nilai iluminasi cahaya lampu tabung pada
medium air juga diketahui bahwa seiring dengan semakin bertambahnya
kedalamanan titik pengukuran, nilai iluminasi cahaya semakin menurun. Berikut
tampilan penyebaran iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air tersaji
dalam Gambar 8.
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-3
-2
-1
0
1
2
3
Gambar 8 Penyebaran nilai iluminasi cahaya lampu tabung pada medium air.
Penyebaran cahaya lampu tabung pada medium air diperlihatkan pada
Gambar 8. Penyebaran cahaya terlihat menurun seiring meningkatnya jarak
dengan sumber cahaya. Cahaya lampu tabung pada medium air hanya mencapai
kedalaman 6 m. Cahaya yang melewati medium air memiliki jangkauan yang
kurang luas. Nilai iluminasi yang cukup tinggi hanya terdapat di sekitar sumber
lampu tabung. Penyebabnya yaitu indeks bias air lebih tinggi dibandingkan
dengan udara. Selain itu, jumlah partikel yang melayang dalam air akan
menghambat penetrasi cahaya dalam air. Partikel yang melayang tersebut,
menurut Hutabarat (2006) akan mempengaruhi nilai kekeruhan suatu perairan.
4.1.2
Lampu dalam air
(1) Medium udara
Iluminasi cahaya lampu dalam air berbeda dengan iluminasi cahaya lampu
tabung biasa. Cahaya pada lampu dalam air telah mengalami pembiasan.
Pembiasan adalah perubahan lintasan cahaya akibat dua medium yang berbeda.
Perbedaan arah pancaran lampu tabung dan lampu dalam air disebabkan oleh
stoples yang terdapat pada lampu dalam air. Besarnya pembiasan yang terjadi
tergantung dari ketebalan medium yang dilaluinya. Pembiasan yang terjadi kali ini
disebabkan oleh ketebalan dari stoples kaca yang menjadi wadah lampu dalam air.
Pada pengoperasian lampu dalam air, cahaya yang berasal dari lampu
melewati medium udara di dalam stoples, medium kaca stoples dan medium
udara. Pada medium kaca stoples terjadi pembiasan cahaya. Besarnya pembiasan
sangat dipengaruhi oleh kejernihan dan ketebalan kaca stoples. Ketebalan kaca
stoples yang tidak sama pada setiap sisinya mengakibatkan nilai iluminasi cahaya
lampu menjadi berbeda.
Pada Tabel 3 ditunjukkan nilai iluminasi cahaya lampu dalam air pada
medium udara. Nilai iluminasi yang diperoleh pada sudut 45o-315o berada pada
kisaran 46-137 lux. Pada sudut 0 o-30 o dan 330o-360o tidak terdeteksi adanya
cahaya atau nilai iluminasinya nol. Hal ini terjadi karena cahaya dari lampu
terhalang oleh kepala lampu dan tutup stoples.
Nilai iluminasi cahaya pada lampu dalam air terfokus pada sudut 75o-150o
sebesar 104-137 lux. Nilai iluminasi terbesar diperoleh pada sudut 90o. Cahaya
yang terfokus ini disebabkan oleh akumulasi cahaya dari permukaan lampu yang
sejajar pada sisi samping. Penyebab lainnya adalah pembiasan yang disebabkan
oleh stoples. Pembiasan pada kaca stoples membuat arah pancaran cahaya
menjadi lebih terfokus di bagian samping lampu.
Tabel 3 Nilai iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium udara
Sudut
(o)
0 / 360
Iluminasi
(lux)
0
15 / 345
0
30 / 330
0
45 / 315
46
60 / 300
83
75 / 285
104
90 / 270
137
105 / 255
134
120 / 240
132
135 / 225
127
150 / 210
119
165 / 195
97
180
93
Arah penyebaran cahaya lampu dalam air pada pengukuran di medium
udara dapat dilihat pada Gambar 9. Pada gambar tersebut terlihat pola penyebaran
lampu dalam air terfokus pada sisi lampu.
315°
270°
200
150
100
50
0
0°
45°
90°
Series1
Nilai Iluminasi
(lux)
225°
135°
180°
Gambar 9 Penyebaran cahaya lampu dalam air.
Lampu dalam air menggunakan stoples berbentuk tabung sebagai wadah
utama. Ketebalan kaca stoples akan mempengaruhi nilai iluminasi lampu dalam
air. Pada lampu dalam air yang di operasikan pada medium udara, terjadi
perambatan cahaya yang melewati medium udara – kaca – udara. Hal ini
menyebabkan cahaya mengalami pembelokan, sehingga arah pancaran cahaya
lebih terfokus. Cahaya pada sudut 90 o dan 270 o merupakan cahaya dengan
intensitas paling tinggi. Pada sudut tersebut terjadi akumulasi cahaya dari ulir
yang sejajar dan akumulasi pembiasan cahayanya.
(2) Medium air
Lampu dalam air memiliki iluminasi cahaya yang menyebar ke samping.
Hal ini dinilai baik sebagai pengumpul ikan pada pengoperasian bagan. Cahaya
yang menyebar ke arah samping lebih dapat memikat ikan, karena ikan lebih
tersebar di sekeliling bagan.
Nilai rataan iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium air tersaji
pada Tabel 4. Nilai iluminasi terbesar diperoleh pada titik pengukuran a pada titik
0 yang berada di antara lampu pada kedalaman 1 m, yaitu sebesar 263 lux. Seperti
halnya pada lampu tabung, nilai illuminasi cahaya lampu dalam air mengalami
penurunan seiring jarak yang meningkat dari sumber cahaya. Iluminasi cahaya
lampu dalam air masih dapat dideteksi hingga kedalaman 10 meter dari lampu.
Tabel 4 Nilai rataan iluminasi cahaya lampu dalam air pada medium air
Kedalaman
(m)
Iluminasi cahaya pada posisi
pengukuran (lux)
a
b
c
d
-1
263
95,2
3,9
1,6
-2
209,6
48,2
16,8
2,2
-3
91,6
30,8
22,4
3,4
-4
42,1
29
17
3,7
-5
25,8
19,6
11,2
4,5
-6
14,6
12,1
7,9
3,5
-7
8,5
7,6
5,0
3,2
-8
5,1
4,3
3,2
1,6
-9
2,7
3,5
1,7
0,8
-10
0,9
1,1
1
0
Nilai rataan iluminasi lampu dalam air dapat dilihat pada Tabel 4 diatas.
Nilai iluminasi semakin menurun seiring dengan meningkatnya jarak dari lampu
dalam air. Dilihat dari penurunannya dapat diketahui bahwa penyebaran cahaya
lampu dalam air pada medium air terlihat menyebar ke segala arah. Iluminasi
cahaya yang terdeteksi masih lebih besar jika dibandingkan dengan iluminasi
lampu tabung pada kedalaman yang sama. Cahaya lampu dalam air masih dapat
menembus kedalaman 10 m meskipun dengan intensitas yang sangat rendah.
Intensitas cahaya lampu tabung pada kedalaman 10 m diperoleh sebesar 0,9 lux.
Cahaya pada lampu tabung hanya mampu menembus kedalaman 6 m. Pada
kedalaman 7 m sudah tidak dapat terdeteksi adanya cahaya lampu.
Penurunan iluminasi secara signifikan terjadi pada kedalaman 3 m. Nilai
iluminasi cahaya pada kedalaman 2 m diperoleh 209,6 lux, sedangkan pada
kedalaman 3 m diperoleh hanya 91,6 lux. Hal ini sesuai dengan hasil perhitungan
iluminasi lampu dalam air pada medium udara. Pada medium udara terlihat
penurunan iluminasi pada sudut 180 o. Penyebab penurunan iluminasi ini diduga
terjadi karena ketebalan kaca stoples yang tidak merata pada setiap sisinya.
Penyebab selanjutnya adalah kondisi perairan dan cuaca di lokasi perhitungan.
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
-9
-10
-3
-2
-1
0
1
2
3
Gambar 10 Penyebaran nilai iluminasi cahaya lampu tabung dalam air
pada medium air.
Penyebaran iluminasi cahaya lampu tabung dalam air pada medium air
terlihat pada Gambar 10. Melalui gambar terlihat bahwa penyebaran cahaya
lampu dalam air pada medium air menyebar pada kolom perairan. Penurunan nilai
iluminasi pada kedalaman 6 hingga 10 m terjadi secara perlahan. Cahaya yang
terdeteksi pada kedalaman 10 m sangat kecil, yaitu kurang dari 1 lux.
4.2 Komposisi hasil tangkapan
4.2.1 Hasil tangkapan bagan apung
(1) Komposisi hasil tangkapan total berdasarkan jenis
Hasil tangkapan total bagan yang diperoleh seberat 216,75 kg yang terdiri
atas beragam jenis ikan. Masing-masing adalah teri (Stolephorus commersonii),
layur (Trichiurus sp), kembung (Rastrelliger spp.), tembang (Sardinella
fimbriata), tongkol (Auxis thazard), rebon (Mysis sp.), dan cumi-cumi (Loligo
sp.). Gambar organisme hasil tangkapan dirujuk pada Lampiran 3. Persentase
berat hasil tangkapan bagan per jenis organisme dapat dilihat Gambar 11.
60
Berat (kg)
50
51
44.4
43.35
40
34.5
29.5
30
20
10
8.5
5.5
0
Teri
Layur
Kembung Tembang Tongkol
Jenis ikan
Rebon
cumi
Gambar 11 Persentase berat hasil tangkapan bagan.
Hasil tangkapan didominasi oleh tembang seberat 51 kg atau 23,53% dari
berat total hasil tangkapan. Berikutnya teri seberat 44,44 kg (20,48 %), kembung
43,35 kg (20,00%), rebon 34,5 kg (15,92 %), layur 29,5 kg (13,61 %) dan cumicumi 8,5 kg (3,92 %). Tongkol menempati urutan terakhir seberat 5,5 kg (2,54%).
Tembang menjadi jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan bagan
apung.
Nybakken (1988) mengatakan bahwa ikan tembang merupakan ikan
pelagis permukaan yang menyukai perairan terbuka dengan kedalaman hingga
150 m sebagai habitatnya. Kedalaman ini merupakan zona yang masih dapat
ditembus oleh cahaya. Penggunaan alat bantu
menyebabkan
jenis
ikan
tembang
banyak
cahaya pada bagan akan
tertangkap.
Apalagi
musim
penangkapan tembang berlangsung sepanjang tahun. Ini didukung oleh data
Statistik PPN Palabuhanratu 2010 yang menyebutkan bahwa tembang didaratkan
sepanjang tahun di Palabuhanratu.
Jenis ikan berikutnya yang tertangkap adalah teri seberat 44,4 kg atau
sekitar 20,48% dari total tangkapan 151,7 kg. Teri merupakan ikan pelagis kecil
pemakan plankton. Menurut Hutomo (1987), ada dua jenis plankton yang menjadi
makanan teri, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton biasanya menjadi
makanan bagi teri yang memiliki ukuran panjang p < 40 mm. Adapun
zooplankton umumnya menjadi makanan bagi teri yang berukuran panjang p ≥ 40
mm. Fitoplankton harus selalu berada pada zona fotik atau perairan yang terdapat
cahaya agar dapat tetap hidup (Basmi 1995). Plankton yang berada di sekitar
bagan akan hidup, berkumpul dan berkembang biak dengan baik dikarenakan
adanya cahaya dari lampu.
Kembung tertangkap seberat 43,35 kg (20% ). Menurut Bal & Rao (1984)
diacu dalam Parerung (1996), kembung merupakan ikan pelagis yang
memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Kembung tersebar pada perairan
pantai dengan kedalaman 20 - 90 m yang menjadi habitat plankton dan ikan-ikan
kecil (Collete & Nauen 1983). Selain itu, kembung merupakan organisme diurnal
yang banyak aktif di siang hari. Pada malam hari keberadaannya menyebar di
seluruh lapisan kedalaman. Penangkapannya hanya dapat dilakukan dengan
bantuan cahaya, seperti bagan (Laevastu dan Hayes 1981).
Hasil tangkapan rebon seberat 34,5 kg (15,92%). Rebon merupakan
organisme yang bersifat fototaksis positif atau tertarik terhadap cahaya. Migrasi
hariannya berlangsung seiring dengan perubahan intensitas cahaya matahari.
Pergerakannya lebih disebabkan oleh aktivitas mencari makan dan menghindari
dari serangan predator yang akan memangsanya. Penggunaan cahaya pada bagan
menyebabkan plankton berkumpul dan berkembang biak dengan baik di sekitar
bagan. Hal ini yang mengundang rebon untuk datang dan tertangkap pada bagan
apung.
Jenis ikan hasil tangkapan selanjutnya adalah layur yang tertangkap
seberat 29,5 kg (13,61%). Layur sebenarnya bukan target utama penangkapan
dengan bagan. Layur merupakan jenis ikan demersal yang hanya sesekali saja
muncul ke permukaan atau kolom perairan untuk mendapatkan mangsa.
Keberadaannya di sekitar bagan lebih dikarenakan ativitasnya dalam mencari
makanan berupa ikan, udang dan berbagai jenis cumi-cumi yang banyak
berkumpul di sekitar bagan. Wewengkang (2002) menyebutkan layur termasuk
ikan buas yang memangsa ikan-ikan kecil, udang-udangan dan berbagai jenis
cumi. Menurutnya, layur tertangkap bukan karena bersifat fototaksis positif
melainkan karena tertarik oleh organisme yang menjadi sasaran makanannya.
Jenis cumi-cumi hanya tertangkap seberat 8,5 kg. Cumi-cumi merupakan
organisme demersal yang digolongkan sebagai karnivor. Organisme ini umumnya
memakan zooplankton, udang dan ikan-ikan kecil. Migrasi cumi-cumi
dipengaruhi oleh keberadaan predator dan penyebaran makanannya. Menurut
Tasywiruddin (1999), umumnya cumi-cumi tersebar di perairan pantai hingga
kedalaman 400 m. Pada lokasi ini terdapat banyak makanan cumi-cumi, sehingga
cumi-cumi banyak tersebar dan kemudian tertangkap pada bagan.
(2) Komposisi berat hasil tangkapan total berdasarkan waktu penangkapan
Jenis dan berat ikan yang didapat pada tiga waktu penangkapan cukup
berbeda. Gambar 12 menjelaskan berat hasil tangkapan berdasarkan jenis per
waktu penangkapan.
35
30
25
Berat (kg)
Teri
20
Layur
Kembung
15
Tembang
Tongkol
10
Rebon
cumi
5
0
19.00 - 22.00
22.00 - 01.00
Waktu penangkapan
01.00 - 04.00
Gambar 12 Berat hasil tangkapan total berdasarkan jenis per waktu penangkapan.
Berdasarkan Gambar 12, hasil tangkapan terbanyak diperoleh pada pukul
01.00-04.00 WIB seberat 97,6 kg atau 45,03% dari berat total tangkapan. Pada
pukul 19.00-22.00 WIB diperoleh hasil tangkapan seberat 77,85 kg (35,92%).
Adapun pada waktu penangkapan pukul 22.00-01.00 WIB diperoleh hasil
tangkapan paling sedikit, yaitu 41,3 kg atau (19,05%).
Jenis tangkapan terberat antara pukul 19.00-22.00 WIB adalah tembang
seberat 28,5 kg. Selanjutnya kembung seberat 12,6 kg antara pukul 22.00-01.00
WIB. Adapun teri dan rebon -dalam jumlah yang tidak terlalu berbeda yaitu 31,4
kg dan 30,5 kg- menjadi 2 jenis ikan tangkapan terberat antara waktu
penangkapan 01.00–04.00 WIB.
Tembang menjadi hasil tangkapan terbanyak karena tembang termasuk
kelompok hewan fototaksis positif (Gunarso 1988). Makanan utama organisme
fototaksis positif umumnya adalah plankton dan ikan-ikan kecil (Laevastu dan
Hayes 1981). Keberadaan plankton yang berlimpah diakibatkan adanya cahaya
dari lampu dan sinar matahari sore yang masih dapat terdeteksi. Keberadaan
plankton ini membuat tembang berkumpul dan tertangkap pada bagan apung.
Pada waktu penangkapan antara pukul 22.00-01.00 WIB, kembung
menjadi tangkapan terbanyak meskipun jumlahnya menurun dari waktu
penangkapan sebelumnya. Keberadaan kembung yang lebih sedikit ini disebabkan
oleh jumlah plankton yang tidak terlalu banyak. Menurut Bal & Rao (1984) diacu
dalam Parerung (1996), kembung merupakan ikan pelagis yang memanfaatkan
plankton sebagai makanannya. Sedikitnya keberadaan plankton terlihat dari ikanikan kecil pemakan plankton seperti teri dan rebon sangat sedikit. Selain itu, ikan
layur sebagai predator kembung cukup melimpah.
Ikan jenis teri, layur, kembung dan tembang tertangkap pada ketiga waktu
penangkapan. Tongkol, rebon dan cumi-cumi tidak tertangkap pada sebagian
waktu penangkapan. Hasil tangkapan tongkol terbanyak pada waktu penangkapan
pukul 19.00-22.00 WIB seberat 5 kg. Rebon dan cumi tertangkap paling banyak
antara pukul 01.00-04.00 WIB seberat 30,5 kg dan cumi-cumi seberat 8,5 kg.
Teri paling banyak tertangkap antara pukul 01.00-04.00 WIB. Pada waktu
tersebut teri yang tertangkap 31,4 kg. Menurut Hutomo (1987), teri merupakan
organisme yang memanfaatkan plankton sebagai makanan utamanya. Basmi
(1995) menambahkan bahwa keberadaan plankton akan melimpah saat ada cahaya
yang cukup. Keberadaaan pemangsa teri juga mempengaruhi jumlah hasil
tangkapan. Predator yang memangsa teri pada waktu tersebut jumlahnya tidak
terlalu banyak. Hal ini menyebabkan teri yang tertangkap semakin banyak.
Layur merupakan ikan predator yang memanfaatkan ikan kecil, udang, dan
cumi-cumi sebagai makanannya. Berat hasil tangkapan layur berbanding terbalik
dengan ikan-ikan kecil. Pada saat waktu penangkapan antara pukul 19.00-22.00
WIB, layur yang tertangkap mencapai jumlah terbanyak yaitu 12 kg. Teri
tertangkap dalam jumlah sedikit. Rebon dan cumi-cumi tidak ada yang tertangkap.
Pada pengoperasian bagan apung pada penelitian kali ini tongkol tidak
banyak tertangkap. Tongkol tidak berada pada musim puncak penangkapan.
Musim terbaik untuk penangkapan tongkol berada pada bulan Maret hingga Mei.
Tongkol terbanyak tertangkap pada waktu penangkapan antara pukul 19.00-22.00
WIB yaitu seberat 5 kg. Hal ini disebabkan karena layur sebagai predator lain
lebih banyak. Terjadi persaingan antar predator dalam mencari makanan.
4.2.2 Hasil tangkapan bagan apung dengan lampu tabung
(1) Komposisi berat tangkapan bagan berdasarkan jenis organisme
Hasil tangkapan bagan dengan menggunakan lampu tabung dilihat dari
jenis ikannya tidak berbeda dengan hasil tangkapan bagan pada umumnya. Ikan
yang tertangkap adalah teri (Stolephorus commersonii), layur (Trichiurus sp),
kembung (Restrelliger sp.), tembang (Sardinella fimbriata), tongkol (Auxis sp),
rebon (Mysis sp) dan cumi (Loligo sp). Komposisi berat hasil tangkapan dapat
dilihat pada Gambar 12 berikut:
25
21.8
Berat(kg)
20
13.8
15
8.5
8
10
5
5
3
5
0
Teri
Layur
Kembung Tembang Tongkol
Jenis ikan
Rebon
Cumi
Gambar 13 Berat hasil tangkapan bagan dengan lampu tabung
Total berat hasil tangkapan lampu tabung adalah 65,1 kg. Jenis hasil
tangkapannya didominasi oleh tembang dan kembung, yakni seberat 21,8 kg
(33%) dan 13,8 kg (21%). Jenis ikan yang paling sedikit tertangkap adalah rebon
hanya 3 kg (5%). Ikan lain yang juga tertangkap ialah teri seberat 5 kg (8%),
layur 8 kg (12%), tongkol 5 kg (8%) dan cumi-cumi 8,5 kg (13%).
Tembang dan kembung merupakan ikan pelagis yang melakukan
pergerakan diurnal dan menyebar pada malam hari (Laevastu dan Hayes 1981).
Penggunaan lampu tabung akan memancarkan cahaya dengan arah yang
menyebar. Penyebaran cahaya ini menyebabkan keberadaan tembang dan
kembung yang juga menyebar. Hal ini menyebabkan ikan yang berkumpul di
bawah bagan tidak terlalu banyak, sehingga berat hasil tangkapan dengan lampu
tabung sedikit.
Pada penggunaan lampu tabung tertangkap juga cumi-cumi. Cumi-cumi
mendekat ke bagan dan berhasil tertangkap karena menyukai ikan dan udang kecil
sebagai makanannya. Rebon yang termasuk fototaksis positif menjadi makanan
utama cumi-cumi (Prawiradiharjo 1967 diacu dalam Hartati 1998). Keberadaan
cumi-cumi pada perairan menyebabkan rebon yang tertangkap menjadi sedikit,
yaitu seberat 3 kg. Ini berbeda dengan cumi-cumi yang mencapai jumlah
terbanyak saat penggunaan lampu tabung yaitu 8,5 kg.
Layur yang tertangkap pada pengoperasian bagan apung dengan lampu
tabung cukup banyak, yaitu seberat 8 kg. Layur tertangkap karena memakan ikanikan kecil yang berkumpul di sekitar cahaya. Pada saat proses mencari makanan,
layur mendekat dan menyambar mangsanya yang berada di sekitar cahaya. Tobing
(2009) mengatakan bahwa layur menyukai iluminasi cahaya yang rendah untuk
mencari makanan. Pada iluminasi rendah inilah makanan layur seperti rebon dan
teri banyak berkumpul.
Teri tertangkap oleh bagan apung dengan lampu tabung seberat 5 kg.
Adapun rebon hanya tertangkap seberat 3 kg. Teri dan rebon merupakan
organisme fototaksis positif . Organisme fototaksis positif akan bergerombol pada
siang hari dan menyebar ketika cahaya berkurang. Pada malam hari, teri dan
rebon akan berkumpul dan bergerak mendekati cahaya lampu. Teri dan rebon
mendekati sumber cahaya untuk memakan plankton yang banyak berkumpul di
bawah cahaya.
Hasil tangkapan ikan-ikan kecil yang sedikit dikarenakan
banyaknya predator yang berkeliaran di sekeliling bagan. Terbukti
dari
banyaknya layur dan tongkol yang tertangkap, masing-masing seberat 8 kg dan 5
kg. Pada penggunan lampu tabung, jumlah tongkol yang tertangkap dengan berat
lebih banyak dibandingkan dengan lampu dalam air.
Tongkol merupakan ikan pelagis perenang cepat. Kecepatan renang yang
dimiliki tongkol membuat ikan ini mampu menghindar ketika proses
pengangkatan jaring dilakukan. Hal ini yang menyebabkan tongkol tidak banyak
yang tertangkap oleh jaring bagan, yaitu hanya seberat 5 kg.
(2) Komposisi berat tangkapan berdasarkan waktu penangkapan
Jenis ikan yang tertangkap pada setiap waktu penangkapan agak berbeda.
Waktu penangkapan pertama antara 19.00-22.00 WIB diperoleh 24,2 kg atau
sebesar 37,17% dari seluruh hasil tangkapan, waktu penangkapan kedua (22.0001.00 WIB) seberat 12,9 kg. Adapun waktu penangkapan ketiga antara 01.0004.00 WIB diperoleh berat tangkapan tertinggi seberat 28 kg atau sekitar 43,81%
dari total 65,1 kg. Gambar 14 menunjukkan komposisi berat organime hasil
tangkapan berdasarkan waktu penangkapan.
9
8
7
Teri
Berat (kg)
6
Layur
5
Kembung
4
Tembang
Tongkol
3
Rebon
2
Cumi
1
0
19.00 - 22.00
22.00 - 01.00
Waktu penangkapan
01.00 - 04.00
Gambar 14 Berat hasil tangkapan dengan lampu tabung berdasarkan jenis per
waktu penangkapan.
Pada waktu penangkapan pertama antara pukul 19.00-22.00 WIB
diperoleh 5 jenis tangkapan, yaitu teri seberat 2 kg, layur (5 kg), kembung (6,1
kg), tembang (6,1 kg) dan tongkol (5 kg). Rebon dan cumi-cumi tidak didapatkan
pada waktu penangkapan ini. Hal ini diduga karena banyaknya predator rebon dan
cumi pada periode tersebut. Ini terlihat dari jumlah tongkol dan layur yang cukup
banyak tertangkap. Keberadaan kedua ikan ini menyebabkan rebon dan cumicumi melarikan diri.
Jenis ikan yang ditemukan pada waktu penangkapan kedua antara 22.0001.00 WIB hanya dua jenis, yaitu kembung dan tembang. Kembung yang
tertangkap seberat 4,5 kg dan tembang 6,1 kg. Organisme kecil lain yang juga
pemakan plankton, seperti rebon dan teri, tidak mendekat karena menghindari
predator.
Pukul 01.00-04.00 WIB yang menjadi waktu penangkapan paling
produktif dengan berat hasil tangkapan tertinggi yaitu 28 kg (43,81%). Ikan hasil
tangkapannya terdiri atas teri (3 kg), layur (3 kg), kembung (3,2 kg), tembang (7,3
kg), rebon (3 kg), dan cumi (8,5 kg). Pada waktu penangkapan ini jumlah
kembung dan tembang yang tertangkap mengalami penurunan. Hasil tangkapan
didominasi oleh cumi-cumi seberat 8,5 kg.
Tasywiruddin (1999) mengatakan bahwa cumi-cumi menyukai daerah
dengan penerangan lemah. Oleh sebab itu, cumi-cumi banyak tertangkap pada
bagan apung yang menggunakan lampu tabung. Hal ini disebabkan cahaya lampu
yang masuk ke dalam perairan tidak telalu tinggi, yaitu kurang dari 50 lux.
4.2.3 Berat tangkapan bagan apung dengan lampu dalam air
(1) Komposisi berat tangkapan berdasarkan jenis
Penggunaaan lampu tabung dalam air pada bagan apung menghasilkan
ikan dengan jenis dan berat yang berbeda. Total keseluruhan hasil tangkapan
bagan apung dengan lampu dalam air adalah seberat 151,7 kg.
Jenis
tangkapannya berupa teri 39,4 kg (26%), layur 21,5 kg (14,2%), kembung 29,55
kg (19,5%), tembang 29,2 kg (19,3%), tongkol 0,5 kg (0,3%), dan rebon 31,5 kg
(20,8%). Data hasil tangkapan bagan apung dengan lampu dalam air disajikan
pada Gambar 15.
45
40
39.4
35
29.55
Berat (kg)
30
25
31.5
29.2
21.5
20
15
10
5
0.5
0
Teri
Layur
Kembung Tembang
Jenis ikan
Tongkol
Rebon
Gambar 15 Berat hasil tangkapan bagan dengan lampu tabung dalam air
Gambar 15 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan yang paling
mendominasi adalah teri dengan seberat 39,4 kg. Penyebaran cahaya lampu dalam
air yang mempengaruhi penyebaran ikan predator di sekitar bagan terlihat pada
perolehan tertangkapnya ikan predator. Tongkol yang merupakan ikan predator
hanya tertangkap seberat 0,5 kg atau sekitar 0,3% dari total hasil tangkapan.
Hasil tangkapan teri yang melimpah pada bagan apung disebabkan karena
cahaya lampu yang menyebar di sekitar perairan. Penyebaran cahaya akan
mengumpulkan plankton yang menjadi makanan utama teri. Selain itu, jarak
jangkauan
penyebaran
cahaya
pada
lingkup
perendaman
jaring
juga
mempengaruhi jenis hasil tangkapan. Penyebaran cahaya seperti ini menyebabkan
ikan-ikan predator tersebar di sekitar bagan.
Organisme yang menjadi tangkapan terbanyak kedua adalah rebon. Rebon
merupakan organisme kecil pemakan zooplankton. Penggunaan lampu dalam air
menghasilkan rebon seberat 27,5 kg. Rebon hidup pada perairan demersal,
sehingga pada bagan dengan lampu tabung hanya sedikit yang tertangkap. Rebon
tidak tertangkap karena cahaya yang terpancar dari lampu tabung tidak mencapai
dasar perairan, tempat rebon berada. Hal ini berbeda dengan penggunaan lampu
dalam air, dimana cahaya masih dapat menembus kedalaman 10 m.
Hasil tangkapan selanjutnya adalah ikan kembung dengan total tangkapan
sebanyak 19,5% dari total tangkapan atau sekitar 29,55 kg. Jumlah ini tidak jauh
berbeda dengan berat ikan tembang, yaitu 29,2 kg atau sekitar 19,3%. Kedua
organisme ini merupakan organism pemakan plankton. Kembung memanfaatkan
zooplankton sebagai makanan utamanya (Laevastu and Hayes 1981).
(2) Komposisi berat tangkapan berdasarkan waktu penangkapan
Berat tangkapan yang diperoleh bagan apung dengan lampu dalam air
berdasarkan waktu penangkapan antara pukul 19.00-22.00 WIB seberat 53,65 kg
dan antara pukul 22.00-01.00 WIB seberat 28,4 kg. Tangkapan paling berat
diperoleh antara pukul 01.00-04.00 WIB seberat 69,6 kg atau sekitar 45,9% dari
total 151,7 kg. Komposisi berat dan jenis tangkapan berdasarkan waktu
penangkapan dapat dilihat pada Gambar 16 sebagai berikut:
30
25
20
Berat (Kg)
Teri
Layur
15
Kembung
Tembang
Tongkol
10
Rebon
5
0
19.00 - 22.00
22.00 - 01.00
Jenis ikan
01.00 - 04.00
Gambar 16. Berat hasil tangkapan bagan dengan lampu dalam air
berdasarkan jenis per waktu penangkapan
Waktu penangkapan antara pukul 19.00-22.00 WIB mendapatkan ikan
sekitar 35,4% dari berat total tangkapan. Ikan yang mendominasi adalah tembang
dengan berat 22,4 kg. Menurut Gunarso (1985) tembang merupakan ikan
fototaksis positif pemakan plankton.
Jika
dibandingkan dengan waktu
penangkapan yang lain jumlah ini adalah terbanyak.
Waktu penangkapan antara pukul 22.00-01.00 WIB hanya menangkap
18,7% dari berat total tangkapan. Jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh
layur. Layur yang tertangkap seberat 9,5 kg. Ikan-ikan kecil seperti teri dan rebon
masih dapat tertangkap walau dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Teri dan
rebon pada waktu penangkapan ini tertangkap seberat 3,4 dan 4 kg. Sedikitnya
tangkapan disebabkan ikan-ikan kecil bergerak menjauhi bagan untuk
menghindari predator.
Berbeda dengan waktu penangkapan sebelumnya yang didominasi oleh
predator, waktu penangkapan antara pukul 01.00-04.00 WIB didominasi oleh
ikan-ikan kecil. Hasil tangkapan teri dan rebon mencapai jumlah terbanyak. Teri
tertangkap seberat 28,4 kg dan rebon 27,5 kg. Pada waktu penangkapan antara
pukul 22.00-01.00 WIB rebon yang tertangkap hanya 4 kg, bahkan tidak
ditemukan pada waktu penangkapan antara pukul 19.00-22.00 WIB. Hal ini
terjadi karena pada waktu tersebut banyak terdapat ikan predator yang memangsa
rebon.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah penangkapan
ikan dengan bagan apung lebih efektif menggunakan lampu tabung dalam air
dibandingkan dengan lampu tabung di atas permukaan air. Hasil tangkapan lampu
dalam air seberat 151,7 kg, sedangkan lampu tabung diatas permukaan air adalah
65,1 kg.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah :
1) Jumlah ulangan diperbanyak agar data yang diperoleh lebih baik; dan
2) Peneliti menggunakan 2 bagan dan mengoperasikan bagan secara bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bal, DV. and KV. Rao. 1984. Marine Fisheries. New Delhi: Mc Graw Hill
Publishing Company. 491 p.
Basmi, J. 1995. Planktonologi: Produksi Primer. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Ben Yami. 1987. Fishing with Light. Roma: Food and Agriculture Organization of
the United Nations. 89 p.
Ben Yami. 1988. Attracting Fish with Light. Roma: Food and Agriculture
Organization of the United Nations. 14-22 p.
Cayless, MA. and AM Marsden. 1983. Lamps and Lightening. 3rd edition.
London: Edward Arnold (Publisher). 552 p.
Collete, BB and CE Nauen. 1983. Scrombids of the World: An Annotated and
Illustrated Catalogue of Tuna, Mackerel, Bonitoa, and Related Species
Know to Date. Roma: FAO Species Catalogue, FAO Fisheries Synopsis. IX
(125)
Fujaya. 2004. Fisiologi Ikan: Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Jakarta:
PT. Rineksa Cipta.
Gunarso, W. 1988. Tingkah Laku Ikan dalam hubungannya dengan Alat, Metoda,
dan Taktik Penangkapan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. 147 hal.
Hartati. 1998. Fluktuasi Musiman Hasil Tangkapan Cumi-cumi (Loliginidae) di
Perairan Selat Alas, NTB. [Tesis]. Bogor: Program Studi Teknologi
Kelautan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 45 hal.
Hindarto,
P.
2011.
Mengenal
Jenis
Lampu
http://astudioarchitect.com/2011/11/mengenal-jenis-jenis-lampu-pijar.html
Desember 2011]
Pijar
[28
Hutabarat. 2006. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
159 hal.
Hutomo. 1987. Peranan Lamun di Perairan Laut Dangkal. Oseana Volume XII,
Nomor 1. Jakarta: Balitbang Biologi Laut, Pustlibang Biologi Laut-LIPI.
Holil, U. 2000. Studi tentang Sebaran Cahaya Lampu TL dalam Air dengan
Sumber Solar Cell System pada Pengoperasian Bagan Apung. [Skripsi].
Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal 2.
Wahyuni dan Team Pustaka Phoenix. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Penerbit Pustaka Phoenix.
Laevastu, T. and ML. Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology.
Franham: Fishing News Book Ltd. 199 p.
Nurdiana. 2005. Iluminasi Cahaya Lampu Pijar 25 Watt pada Medium Udara dan
Aplikasinya pada Perikanan Bagan Tancap. [Skripsi]. Bogor: Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal 31.
Nybakken. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh HM
Eidman, Koesoedibiono, DG Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. XV+ 443 hal.
Parerung. 1996. Pendugaan Potensi Sumberdaya Ikan Kembung (Rastrelliger
spp.) di Perairan Pantai Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Bogor: Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. 36 hal.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2011. Buku Laporan Tahunan
Statistik Perikanan Tangkap 2010 Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu. Sukabumi: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Hal 21 dan 55.
Prasetyo, EW. 2009. Pemusatan Cahaya Petromaks pada Kedalaman 8 m untuk
Meningkatkan Produktivitas Bagan Apung di Palabuhanratu, Jawa Barat.
[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Pratiwi, W. 2011. Mengapa Lampu Neon Lebih Terang. http://penjagahatizone.blogspot.com/2011/04/mengapa-lampu-neon-lebih-terang-dan.html
[28Desember 2011]
Prawiradiharjo. 1967. Jenis-jenis Makanan Cumi-cumi. [Tesis]. Bogor: Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor
Puspito, G. 2008. Lampu Petromaks: Manfaat, Kelemahan dan Solusinya pada
Perikanan Bagan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
49 hal.
Subani, W. dan HR Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang di Indonesia.
Nomor 59 Tahun 1988/199. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut. Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian Perikanan
Laut, Departemen Pertanian. 245 hal.
Tasywiruddin. 1999. Sebaran Kelimpahan Cumi-cumi (Loligo edulis Hoyle,1885)
Berdasarkan Jumlah dan Posisi Lampu pada Operasi Penangkapan dengan
Payang Oras di Perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat. [Tesis]. Bogor:
Program Studi Ilmu Kelautan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Hal 23.
Tobing, TMDLN. 2008. Pemusatan Cahaya Petromaks pada Areal Kerangka
Jaring di Permukaan Air Menggunakan Tabung Berbentuk Kerucut.
[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Von Brandt, A. 1984. Fish Catching Method of the World. London: Fishing News
Book Ltd. 418 p.
Wewengkang. 2002. Analisis Sistem Usaha Penangkapan Ikan Layur (Trichiurus
savala) di Pelabuhanratu dan Kemungkinan Pengembangannya. [Tesis]
Bogor: Program Pascasarjana, Instiut Pertanian Bogor. 80 hal.
Young, HD. and RA Freedman. 2004. Fisika Universitas. Jilid II. Edisi ke-10.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 708 hal.
Zulfia. 1999. Pengaruh Perbedaan Waktu Hauling terhadap Bagan Diesel di
perairan Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat.
[Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 74 hal.
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Lampiran 2 Bagan apung
Sumber : Tobing 2008.
Lampiran 3 Organisme hasil tangkapan
a. Tongkol (Auxis thazard)
b. Kembung (Rastreliger sp)
c. Tembang (Sardinella fimbriata)
d. Cumi (Loligo sp)
e.. Rebon (Mysis sp)
f. Teri (Stolephorus sp)
Download