1 dampak nilai tukar terhadap perdagangan internasional sektor

advertisement
DAMPAK NILAI TUKAR TERHADAP PERDAGANGAN
INTERNASIONAL SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA
(KUARTAL I:2005– KUARTAL IV:2012)
Anung Yoga Anindhita
Magister Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
ABSTRACT
This study is aimed at analyzing and estimating the impact of the exchange
rate (price effect and risk effect) on international manufacturing industries using time
series data from Q1:2005 to Q4:2012. The analysis are on the two models: 1) demand
for imports of raw and auxiliary materials, and 2) demand for exports of
manufacturing industries. The results show in the first model that demand for
imports of raw and auxiliary materials needed by the domestic manufacturing sector
is very susceptible to the shock and volatily of exchange rate. Meanwhile, the results
in the second model shows that demand for exports of manufacturing industries is
susceptible to recession in its main destination countries. Yet, it is also not able to
take advantage of the depreciation of the exchange rate due to lack of
competitiveness.
JEL Classification: F31, F32, F41, F47, C32
Keywords: Exchange Rate, Exchange Rate Volatility, Imports of Raw and
Auxiliary Materials, Exports of Manufacturing Industries, International
Trade, Manufacturing Sector.
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mengestimasi dampak yang
ditimbulkan nilai tukar (efek harga dan efek resiko) terhadap perdagangan
internasional industri manufaktur dengan menggunakan data runtun waktu periode
kuartal I:2005 hingga kuartal IV:2012 dalam dua model: 1) Permintaan impor bahan
baku dan penolong; dan 2) Permintaan ekspor industri manufaktur. Hasil dari model
pertama menunjukkan bahwa permintaan impor bahan baku dan penolong yang
dibutuhkan oleh sektor manufaktur dalam negeri sangat rentan terhadap shock dan
volatilitas nilai tukar. Sementara untuk model kedua didapatkan hasil bahwa kondisi
permintaan ekspor industri manufaktur rentan akan adanya resesi di negara-negara
tujuan utamanya, namun di satu sisi tidak mampu mengambil keuntungan dari
depresiasi nilai tukar disebabkan kurangnya daya saing pada barang-barang ekspor
industri manufaktur.
Klasifikasi JEL: F31, F32, F41, F47, C32
Kata Kunci: Nilai tukar, Volatilitas Nilai Tukar, Impor Bahan Baku dan Penolong,
Ekspor Industri Manufaktur, Perdagangan Internasional, Sektor
Industri Manufaktur.
1
2
1. Pendahuluan
Dalam perjalanan rezim nilai tukar, Indonesia mengalami fase penting saat
pelepasan band intervensi Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tanggal 14 Agustus
1997. Peristiwa tersebut menandakan perubahan sistem nilai tukar dari mengambang
terkendali dengan band intervensi bergerak merangkak (managed floating with crawling
band system) menjadi mengambang bebas (floating exchange rate).
Latar belakang dari perubahan sistem nilai tukar tersebut adalah
Indonesia−yang saat itu cadangan devisinya terkuras dan Rupiah mengalami tekanan
kuat−memutuskan melaksanakan sistem mengambang bebas sesuai paket reformasi
ekonomi yang direkomendasikan oleh IMF. Namun, karena kebijakan pelepasan
band intervensi tersebut lebih menyiratkan ekspektasi yang negatif karena dilakukan
saat Rupiah sedang tertekan dan diperparah serangan spekulasi yang memburuk
(destabilizing speculation), dampak selanjutnya adalah nilai tukar Rupiah semakin
terdepresiasi tajam (Gambar 1)
Rp/USD
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (Bank Indonesia), berbagai edisi, diolah
Gambar 1. Pergerakan Nilai Tukar Rupiah/US Dollar Juni 1997–Mei 1998
Dalam konteks perdagangan internasional, kestabilan nilai tukar merupakan
keadaan yang lebih diinginkan oleh pelaku pasar. Hal ini didasarkan pengaruh nilai
tukar terhadap perdagangan melalui: 1) biaya dan harga yang akhirnya menghasilkan
perubahan harga relatif dalam perdagangan (Carbaugh, 2005: 416-422); dan 2)
volatilitas nilai tukar itu sendiri akan menimbulkan resiko dalam transaksi karena
perbedaan nilai spot transaksi dengan nilai spot pembayaran. Walaupun resiko tersebut
dapat ditutup dengan melakukan pemagaran nilai tukar (hedging)—yakni dengan
melakukan transaksi di pasar forward—besarnya premi yang ditanggung importir tetap
akan membebani transaksi. (Krugman dan Obsfeld, 2003:575).
Dalam berbagai penelitian di berbagai negara akhir-akhir ini, kedua dampak
nilai tukar tersebut telah diidentifikasikan dalam model perdagangan agregat suatu
negara sebagaimana yang dilakukan Siregar dan Rajan (2003), Fang, Lai dan Miller
(2005), Prusty (2008), Oskooeedan Hegerty (2009), Appuhamilage dan Alhayky
3
%
Pertumbuhan
(2010), Bilquees, Mukhtar dan Maliq (2010), Bethune, Thaver dan Plante (2012).
Secara umum penelitian-penelitian tersebut menunjukkan terjadi hubungan antara
ekspor-impor dengan penyesuaian harga akibat perubahan nilai tukar. Hubungan dan
arah penyesuaian tersebut sejalan dengan yang digambarkan dalam Kondisi MarshallLerner. Salah satu syarat yang mendukung arah dan penyesuaian tersebut adalah jika
negara-negara obyek penelitian memiliki daya saing terhadap mitra dagangnya.
Tidak tercapainya hubungan dan arah penyesuaian Kondisi Marshall-Lerner
dapat dilihat dengan tidak berlangsungnya arah penyesuaian ekspor maupun impor
suatu negara melalui depresiasi/apresiasi. Dalam konteks ekspor Indonesia ketika
terjadi depresiasi tajam setelah krisis moneter tahun 1997, kondisi ini telah
digambarkan Siregar dan Rajan (2003) dalam pendahuluan penelitiannya—walaupun
dalam penelitiannya menggunakan data seri tahun 1980 hingga kuartal II tahun
1997—yang menunjukkan Indonesia tidak mengalami penyesuaian ekspor melalui
depresiasi nilai tukar sebagaimana negara-negara Asia yang terkena krisis, yakni
Malaysia, Thailand dan Filipina. (Gambar 2)
Tahu
Sumber: Siregar dan Rajan (2003: 221)
Gambar 2. Tingkat Pertumbuhan Ekspor di Beberapa Negara yang
Mengalami Krisis Mata Uang di Asia pada tahun 1997
Salah satu penyebab krisis ekonomi sebagai lanjutan krisis moneter di
Indonesia pada saat itu secara garis besar dapat dijelaskan pada rapuhnya sektor riil
(perdagangan). Sebelum krisis, kinerja impor Indonesia ditandai dengan dominasi
impor bahan baku dan penolong terutama oleh industri. Dominasi impor bahan baku
dan penolong di sektor industri ini terjadi dikarenakan sektor industri mengalami
ketergantungan akan bahan baku dan penolong yang diimpor dari luar negeri.
Dampak selanjutnya dari ketergantungan ini mengakibatkan rentannya produksi
industri manufaktur terhadap eksternalitas luar negeri, sebagaimana yang diperkirakan
sebelum krisis oleh Dumairy (1996) dan diulas saat krisis oleh Tambunan (1998).
4
Pada Gambar 3, dapat dilihat kontribusi impor yang jauh di atas barang
modal dan barang konsumsi. Ketika krisis moneter tahun 1997-1998—di mana nilai
tukar terdepresiasi sangat tajam—impor bahan baku dan penolong yang
berkecenderungan mempunyai tren yang terus meningkat sejak tahun 1986 hingga
tahun 1996, tiba-tiba mengalami shock yang ditandai oleh penurunan tajam pada
tahun 1997-1998. Dari grafik juga dapat dilihat bahwa shock cenderung hanya terjadi
pada impor bahan baku dan penolong dan barang modal, sedangkan pada impor
barang konsumsi cenderung tidak mengalami shock.
Sumber: Indikator Ekonomi (Badan Pusat Statistik), berbagai edisi, diolah
Gambar 3. Perkembangan Impor Non Migas Berdasarkan Golongan
Penggunaan Barang Tahun 1996 - 2004
Dampak dari shock pada saat krisis moneter tahun 1997 tersebut
mengakibatkan tidak mampunya sektor industri manufaktur berproduksi yang
berdampak pada pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya angka pengangguran
di tahun berikutnya sehingga terjadi krisis ekonomi. Hal ini sejalan temuan ILO dan
UNDP (1998) dikutip dari Romdiati (2003) yang memperlihatkan jumlah penganggur
yang dihasilkan oleh sektor konstruksi dan manufaktur mencapai dua juta pekerja
atau sepuluh kali lipat dari mereka di sektor keuangan dan jasa perusahaan. Dengan
kondisi tersebut, sektor industri manufaktur mengalami persentase penurunan
kontribusi terhadap pertumbuhan PDB yang sangat tajam dibandingkan dengan
sektor lainnya pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 .
Kerentanan terhadap shock yang berasal dari eksternalitas nilai tukar atau
produksi sektor industri manufaktur tersebut ternyata tidak dibarengi dengan
pengurangan ketergantungan terhadap impor bahan baku dan penolong. Meneruskan
tren pada Gambar 3 menunjukkan perbandingan impor bahan baku dan penolong
dibandingkan dengan barang konsumsi dan barang modal hingga pasca krisis tahun
1998 cenderung tidak bergeser dan sangat mendominasi hingga kisaran lebih dari 70
persen.
Di sisi lain, ekspor industri manufaktur telah berkontribusi dalam
perekonomian Indonesia yang mana menyumbang lebih dari 80 persen dari ekspor
5
nonmigas dan lebih dari 60 persen dari total ekspor Indonesia pada periode tahun
1990-an sebelum krisis moneter 1997-1998. Proporsi yang besar tersebut, jika
dikaitkan dengan tidak terkoreksinya ekspor selama terdepresiasinya Rupiah di saat
krisis moneter pada tahun 1997-1998 sebagaimana digambarkan pada Gambar 2 di
atas, dapat dikatakan industri manufaktur ikut memberikan kontribusi besar terhadap
tidak berjalannya koreksi ekspor yang diekspektasikan meningkat.
Dengan latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini ditujukan untuk
menganalisis dan mengestimasi dampak nilai tukar terhadap perdagangan
internasional sektor industri di Indonesia pada periode yang berbeda jauh setelah
krisis 1998-1997 (Q1:2005 – Q4:2012). Sesuai dengan dugaan identifikasi
permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian akan dispesikasikan
melalui model permintaan impor bahan baku dan penolong dan model permintaan
ekspor hasil industri manufaktur sebagai model yang menggambarkan keadaan
kondisi perdagangan industri manufaktur Indonesia.
2. Tinjauan Pustaka
Teori-Teori
Sebagaimana yang telah disinggung dalam pendahuluan, dampak nilai tukar
terhadap perdagangan internasional diindentisikasikan ke dalam dua dampak, yakni:
1) melalui penyesuaiannya terhadap harga (price effect). 2) melalui resiko transaksi
perdagangan internasional yang ditimbulkan (risk effect). Kedua dampak tersebut
selanjutnya menjadi fokus utama penelitian.
Dampak pertama, yakni penyesuaian terhadap harga telah dipaparkan dalam
Kondisi Marshall-Lerner (Marshall-Lerner Condition) yang menjelaskan bagaimana
elastisitas permintaan impor dan ekspor akan mempengaruhi neraca pembayaran
melalui transaksi berjalan (dengan asumsi neraca modal tetap). Kondisi MarshallLerner tersebut mensyaratkan bahwa penjumlahan mutlak elastisitas ekspor dan
impor harus lebih besar dari angka 1 (satu) agar tercapai perbaikan transaksi berjalan
(terjadi surplus). Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, depresiasi tidak akan
memperbaiki atau bahkan malah memperburuk transaksi berjalan.
Sedangkan untuk dampak kedua—yakni resiko nilai tukar—terjadi setiap kali
seorang investor, perusahaan atau bank menghadapi kewajiban pembayaran di masa
mendatang dalam valuta asing. Kondisi tersebut berarti pelaku pembayaran itu
mengalami resiko nilai tukar (foreign exchange risk) atau apa yang disebut sebagai “posisi
terbuka” (open position) (D. Salvatore, 1997:30). Terkait adanya resiko tersebut, maka
pelaku transaksi dapat melakukan upaya dalam menghindari resiko nilai tukar
tersebut dengan melakukan pemagaran nilai tukar atau hedging yang dapat dilakukan di
pasar forward. Namun, pemagaran resiko nilai tukar ini juga menimbulkan biaya jika
terjadi premi terhadap transaksinya. Timbulnya biaya yang harus dipikul dalam rangka
melakukan pemagaran resiko nilai tukar tersebut akan menimbulkan biaya
perdagangan internasional yang selanjutnya berkecenderungan mengurangi volume
perdagangan. Hal tersebut juga didukung oleh Suardhini dan Goeltom (1997: 93)
yang menyatakan bahwa resiko fluktuasi keuntungan perdagangan dalam jangka
pendek bisa dikurangi dengan melakukan transaksi di pasar forward. Tetapi, sebagai
akibatnya akan menimbulkan biaya perdagangan internasional akan meningkat yang
akhirnya menimbulkan anti-trade bias.
6
Tabel 1. Beberapa Hasil Penelitian Sebelumnya
2.1.1
Referensi
Siregar dan Rajan (2003)
Obyek/Periode Penelitian
Ekspor dan impor agregat
Indonesia (Multilateral).
Periode kuartal pertama tahun
1980 sampai dengan kuartal
kedua tahun 1997.
Hasil
Model Ekspor:
- Real effective exchange rate (REER) tidak
berdampak signifikan.
- Volatilitas nilai tukar berdampak secara
signifikan mengurangi ekspor.
Model Impor:
- REER berdampak positif secara signifikan,
berhubungan positif terhadap impor.
- Volatilitas nilai tukar tidak berdampak
signifikan, namun akan signifikan jika
diberlakukan segregasi impor bahan baku dan
impor barang modal.
2.1.2
Fang, Lai dan Miller
(2005)
2.1.3
2.1.4
Prusty (2008)
2.1.5
Ekspor delapan negara Asia
(Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand, Philipina, Korea
Selatan, Taiwan dan Jepang)
terhadap Amerika Serikat.
Periode Januari 1979 sampai
dengan April 2003.
Pertumbuhan ekspor India
(multilateral).
Periode Maret 1992 sampai
dengan April 2007.
- Depresiasi memberikan dampak yang lemah
dalam mendorong Ekspor
- Volatilitas berdampak buruk terhadap ekspor.
Ekspor dan impor di 102
industri berbeda perdagangan
bilateral Meksiko terhadap
Amerika Serikat tahun 1962 –
2004.
Perdagangan Srilanka terhadap
Cina dengan periode penelitian
kuartal pertama tahun 1993
sampai dengan kuartal keempat
tahun 2007.
- Volatilitas lebih banyak berdampak buruk
terhadap perdagangan bilateral industri-industri
yang diteliti.
2.1.6
Oskooee dan Hegerty
(2009)
2.1.7
Appuhamilage dan
Alhayky (2010)
2.1.8
Bilquees, Mukhtar dan
Maliq (2010)
Ekspor tiga negara Asia, yakni
India, Pakistan dan Srilanka.
Periode penelitian antara tahun
1960 sampai dengan 2007
2.1.9
Bethune, Thaver dan
Plante (2012)
Perdagangan (ekspor dan
impor) negara Afrika Selatan
dengan negara-negara Uni
Eropa selama periode 1980
sampai dengan 2009
- Terjadi kausalitas dua arah antara pertumbuhan
ekspor dengan pertumbuhan nilai tukar.
- Variabel Real exchange rate lag 1 periode (RERt1) menunjukkan akibat depresiasi secara
signifikan mendorong ekspor, dan mengurangi
impor.
- Volatilitas nilai tukar mengakibatkan dampak
negatif terhadap baik ekspor maupun impor
- Volatilitas nilai tukar memberikan dampak
negatif terhadap ekspor negara-negara yang
diteliti baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang
- Variabel term of trade juga menghasilkan
hubungan yang sesuai ekspektasi, yakni
penurunan pada REER (depresiasi) akan
memberikan peningkatan pada ekspor
- REER berhubungan negatif dengan ekspor,
- volatilitas nilai tukar menimbulkan dampak
buruk baik dalam jangka pendek dan jangka
panjang.
(Catatan: REER tidak dimasukkan sebagai variabel
penjelas impor karena afrika selatan
dipertimbangkan keterbukaan ekonominya kecil
dan digantikan variabel cadangan devisa)
7
Penelitian Sebelumnya
Kedua dampak nilai tukar seperti yang disebutkan dalam teori-teori di atas
telah dispesifikasikan dalam beberapa penelitian yang sempat disinggung sebelumnya.
Spefisikasi model yang dilakukan bervariasi, baik itu terhadap transaksi berjalan, atau
secara parsial terhadap ekspor atau impor. Juga terhadap obyek penelitian, apakah
merupakan perdagangan bilateral ataupun multilateral. Hasil yang dihasilkan
bervariatif, mengacu pada variasi spefisikasi model atau lingkup perdagangan yang
digunakan.
Alat analisis yang digunakan juga bervariasi, baik itu menggunakan model
struktural ataupun pengembangan model-model analisis time series seperti VECM,
VAR , maupun kausalitas. Namun, pada dasarnya variabel-variabel dampak nilai tukar
tidak berbeda, yakni perubahan nilai tukar dan volatilitasnya. Secara ringkas,
penelitian terdahulu dirangkum pada tabel 1.
3. Model Analisis dan Data
Pembentukan Model Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong
Dalam menyusun model impor, dasar model akan mengacu pada Leamer dan
Stren (1976) dalam buku: “Quantitative International Economics”. Adapun bentuk
fungsional yang mendasar dari permintaan impor agregat adalah sebagai berikut:
π‘Œ
𝑀 = π‘Ž+𝑏𝑃 +𝑐
π‘Œ
𝑃𝑀
π‘ƒπ‘Œ
+ 𝑒 ....................................................................................................... (1)
Di mana M adalah kuantitas impor, Y adalah pendapatan nasional, π‘ƒπ‘Œ adalah
tingkat harga barang domestik dan PM adalah tingkat harga impor. Persamaan
π‘Œ
tersebut juga dapat dibaca 𝑀 adalah kuantitas impor, 𝑃 adalah pendapatan nasional
riil, dan
π‘Œ
𝑃𝑀
π‘ƒπ‘Œ
adalah harga relatif impor.
Untuk menghasilkan parameter yang dibaca sebagai elastisitas atau persentase
perubahan variabel tergantung yang diakibatkan perubahan satu persen variabel
bebas, maka persamaan (1) ditambahkan logaritma natural pada masing-masing
variabelnya, sehingga akan diubah sebagai berikut:
𝑙𝑛 𝑀 = 𝑙𝑛 π‘Ž + 𝑏 𝑙𝑛
π‘Œ
π‘ƒπ‘Œ
+ 𝑐 𝑙𝑛
𝑃𝑀
π‘ƒπ‘Œ
+ 𝑙𝑛 𝑒 ............................................................................. (2)
Untuk penyederhanaan notasi penulisan, model pada persamaan (2) di atas
akan ditulis kembali sebagai berikut:
ln Mt = ln α + β ln Yt + γ ln HRMt + ln u .............................................................................. (3)
Di mana M adalah nilai impor riil, Y adalah pendapatan nasional riil, HRM adalah
harga relatif impor dan u merupakan error term.
Karena barang impor yang diteliti adalah impor bahan baku dan penolong
(bukan impor agregat), maka variabel pendapatan nasional menjadi tidak relevan.
Leamer dan Stren (1976:13) menyarankan agar variabel yang digunakan adalah
produksi sektor industri. Dengan demikian persamaan (3) ditulis menjadi:
8
ln MBt = ln α + β ln PRODt + γ ln HRMt + ln u ................................................................ (4)
Di mana, MB adalah nilai impor bahan baku dan penolong riil, PROD adalah
nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil, HRM adalah harga relatif
impor bahan baku dan penolong, dan u adalah error term.
Memasukkan Variabel-Variabel Dampak Nilai Tukar
Selanjutnya dimasukkan variabel-variabel yang merupakan representasi nilai
tukar yang berdampak pada impor, yakni: 1) variabel apresiasi/depresiasi nilai tukar;
dan 2) variabel volatilitas nilai tukar. Dengan memasukkan kedua variabel tambahan
yang merupakan dampak nilai tukar, maka model persamaan (4) akan menjadi:
ln MBt = ln α + β ln PRODt + γ ln HRMt + δ ln NEERt+ θ ln VOLt+ ln u ................... (5)
Di mana, MB adalah nilai impor bahan baku dan penolong riil, PROD adalah nilai
produksi sektor industri manufaktur domestik riil, HRM adalah harga relatif impor
bahan baku dan penolong, NEER adalah nilai tukar efektif nominal (nominal effective
exchange rate), VOL adalah volatilitas nilai tukar dan u adalah error term
Selanjutnya, dilakukan penggabungan variabel harga relatif impor (HRM)
dengan NEER untuk mendapakan nilai Real Effective Exchange Rate (REER) yang
lebih menggambarkan Term of Trade (TOT), yang dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
𝑅𝐸𝐸𝑅 = 𝑁𝐸𝐸𝑅 π‘₯
𝑃𝑀
................................................................................................................ (6)
π‘ƒπ‘Œ
Di mana 𝑅𝐸𝐸𝑅 adalah nilai tukar efektif riil, NEER adalah nilai tukar efektif
nominal, PM adalah indeks harga impor bahan baku dan penolong, dan PY adalah
indeks harga bahan baku dan penolong domestik.
Sehingga persamaan (5) menjadi :
ln MBt = ln α + β ln PRODt+ γ ln REERt+ θ ln VOLt + ln u............................................ (7)
Pengukuran Volatilitas atau Resiko Nilai Tukar
Dalam penelitian ini, volatilitas nilai tukar dibentuk dengan menggunakan
Nomimal Effective Exchange Rate (NEER) karena nilai nominal lebih menggambarkan
volatilitas yang mendorong ketidakpastian yang dihadapi pelaku perdagangan
internasional secara langsung (Bourdon dan Korinek, 2011: 16). Sedangkan untuk
metode pengukurannya, digunakan standar deviasi rata-rata bergerak (MASD: Moving
Average Standard Deviation) yang diperkenalkan oleh Kenen dan Rodrik (1986) dengan
rumus sebagai berikut:
𝑛
Μ…
2
∑ (𝑋 −𝑋)
𝑉𝑂𝐿 = √( 𝑖=1 𝑖 ) ............................................................................................................. (8)
𝑛−1
Di mana Xi adalah NEER, 𝑋̅ adalah rata-rata dari 4 triwulanan NEER, dan
n= 4
9
Masalah Agregasi
Model yang sejauh ini disusun menggambarkan sebuah agregasi model impor
bahan baku dan penolong. Masalah tersebut meninggalkan masalah dampak agregasi
yang mungkin ditimbulkan, sehingga penggunaan model data panel bisa dijadikan
alternatif. Namun, ketiadaan data yang lengkap seperti data segregasi variabel terikat
yakni data impor bahan baku dan penolong berdasarkan negara asal maupun data
ekspor manufaktur berdasarkan negara tujuan yang disusun secara bulanan atau
triwulan, menjadikan model data panel sulit untuk digunakan.
Menurut Leamer dan Stren (1976:41-42), masalah agregasi ini bisa dihindari
dengan menggunakan angka indeks pada variabel-variabel yang digunakan. Angka
indeks ini mampu mengurangi penggunaan sejumlah besar data yang
menggambarkan fenomena ekonomi yang kompleks. Dalam penelitian ini, agregasi
ke dalam angka indeks tunggal dilakukan dengan membuat rata-rata indeks
komponen variabel-variabel bebas yang berasal dari negara-negara mitra dagang
(pendapatan, harga, nilai tukar) tertimbang terhadap kontribusi perdagangan bilateral
(total ekspor dan impor) masing-masing negara tersebut terhadap Indonesia selama
periode penelitian.
Masalah Kelambanan (Lag)
Dalam model perdagangan internasional sangat memungkinkan terjadinya lag
karena adanya perbedaan waktu saat transaksi (pembuatan keputusan) dengan
diterimanya barang akibat proses yang harus dilalui. Terbentuknya lag juga diperkuat
dengan apa yang dikenal sebagai kurva J, yang menjelaskan hubungan antara
keseimbangan perdagangan dengan depresiasi mata uang (Krugman dan Obsfeld,
2005: 464). Kurva J ini, oleh Gujarati dan Porter (2012: 275) dijadikan landasan
terjadinya lag dalam model perdagangan internasional.
Adanya lag dalam model diindentifikasikan bersifat terbatas (infinite lag model),
sehingga metode yang digunakan adalah menggunakan metode ad hoc Alt dan
Timbergen. Yakni dengan melakukan regresi secara berurutan hingga t-n, yang mana
sudah tidak ditemukan pengaruh yang signifikan dari koefisien variabel penjelas.
Sehingga, model impor bahan baku dengan memperhatikan lag dapat
dituliskan seperti pada persamaan (10):
𝑙𝑛 𝑀𝐡𝑑 = 𝑙𝑛 𝛼 + ∑π‘˜π‘›=0 𝛽𝑛 𝑙𝑛 𝑃𝑅𝑂𝐷𝑑−𝑛 + ∑π‘˜π‘›=0 𝛾𝑛 𝑙𝑛 𝑅𝐸𝐸𝑅𝑑−𝑛 + πœƒπ‘™π‘› 𝑉𝑂𝐿𝑑 +
𝐿𝑛 𝑒 ......................................................................................................................... (10)
Di mana, MB adalah nilai impor bahan baku dan penolong riil, PROD adalah
nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil, REER adalah nilai tukar
efektif riil (real effective exchange rate) dari impor bahan baku dan penolong, VOL adalah
volatilitas nilai tukar dan u adalah error term. Tanda sigma menunjukkan variabelvariabel yang menggunakan lag dengan metode ad hoc.
Pembentukan Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur
Dengan proses identifikasi variabel dan penyusunan model yang hampir sama
dengan model permintaan impor bahan baku dan penolong, model permintaan
ekspor industri manufaktur merupakan fungsi dari pendapatan riil luar negeri (dalam
hal ini mitra dagang), REER ekspor industri manufaktur, dan volatilitas nilai tukar.
10
Dalam persamaan regresi, model yang dikembangkan untuk ekspor industri
manufaktur adalah sebagai berikut:
𝑙𝑛 𝑋𝑀𝐴𝑁𝑑 = 𝑙𝑛 𝛼 + ∑π‘˜π‘›=π‘œ 𝛽𝑛 𝑙𝑛 π‘ŒπΏπ‘π‘‘−𝑛 + ∑π‘˜π‘›=0 𝛾𝑛 𝑙𝑛 𝑅𝐸𝐸𝑅𝑑−𝑛 + πœƒπ‘™π‘› 𝑉𝑂𝐿𝑑 +
𝐿𝑛 𝑒 ......................................................................................................................... (11)
Dimana XMAN adalah nilai ekspor industri manufaktur riil, YLN adalah pendapatan
riil negara tujuan ekspor industri manufaktur, REER adalah nilai tukar efektif riil,
VOL adalah volatilitas nilai tukar dan u adalah error term.
Data
Sampel data yang digunakan adalah melalui perilaku berdasar deret waktu
(time series) yang dipotret dalam data triwulanan antara Q1:2005 sampai dengan
Q4:2012. Data yang digunakan adalah data sekunder dan dikumpulan secara online
melalui publikasi resmi yang dimuat pada situs-situs lembaga yang menyediakan data
yang dibutuhkan. Sebagian besar data diperoleh dari Bank Indonesia
(http://www.bi.go.id/id/statistik/seki) antara lain: 1) impor barang menurut kategori
ekonomi dalam ribu USD; 2) PDB menurut lapangan usaha dalam milyar USD; 3)
Indeks nilai tukar nominal rupiah terhadap negara-negara mitra dagang utama; 4)
ekspor non migas berdasarkan kategori sektor dalam ribuan USD.
Sumber data berikutnya adalah dari situs resmi Organization for Economics and
Co-operation and Development (OECD): (http://stats.oecd.org/). Data-data yang
diperoleh antara lain: 1) Indeks GDP negara-negara yang menjadi anggora OECD
dalam kuartalan; dan 2) Indeks harga produsen industri manufaktur. Data pendukung
lainnya adalah dari Badan Pusat Statistik (http://bps.go.id/) berupa data indeks harga
perdagangan besar Indonesia.
4. Hasil Analisis Data
Analisis Data Model Impor Bahan Baku dan Penolong
Gambaran awal melalui diagram pencar (scatter plot) seperti yang disajikan
pada Gambar 4 menghasilkan variabel-variabel bebas (dalam bentuk logaritma
natural) yang dispesifikasikan berkecenderungan mempunyai hubungan dengan
variabel tergantung antara lain: 1) Nilai produksi sektor industri manufaktur domestik
riil lag 1 periode (LNPRODt-1); 2) Real Effective Exchange Rate lag 1 periode
(LNREERt-1), dan 3) volatilitas nilai tukar (LNVOLt). Dari hasil tersebut, pemetaan
hubungan variabel menunjukkan kecenderungan terjadi lag 1 periode pada variabel
produksi sektor industri manufaktur dan nilai tukar dalam menjelaskan permintaan
impor bahan baku dan penolong di Indonesia.
11
12.1
12.0
4.6
11.9
12.0
4.5
11.8
11.7
11.8
11.7
4.4
LNREER
LNPRODT_1
LNPROD
11.9
11.6
11.5
11.4
4.3
4.2
11.3
11.6
4.1
11.2
11.5
14.2
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
11.1
14.2
15.4
14.4
14.6
4.6
2.5
4.5
2.0
4.4
1.5
4.3
4.2
15.0
15.2
15.4
4.0
14.2
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
15.4
LNMB
1.0
0.5
4.1
4.0
14.2
14.8
LNMB
LNVOL
LNREERT_1
LNMB
0.0
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
15.4
LNMB
-0.5
14.2
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
15.4
LNMB
Gambar 4. Diagram Pencar (Scatter Plot) antara Variabel Tergantung
dengan Variabel-Variabel Bebas Model Permintaan Impor Bahan
Baku dan Penolong
Tabel 2. Hasil Pengujian Augmented Dicky Fuller pada Variabel-Variabel
Fungsi Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong
t tabel
(tingkat kesalahan 5 %)
LNMBt
-2.164747
-3.562882
D(LNMB) t
-4.874066
-3.568379
LNPRODt-1
-3.352311
-3.562882
D(LNPROD t-1)
-5.976503
-3.568379
LNREER t-1
-2.588685
-3.562882
D(LNREER t-1)
-5.976503
-3.568379
LNVOLt
-2.112516
-3.562882
D(LNVOL)t
4.881631
-3.568379
Keterangan: Pengujian ADF memasukkan unsur intersep dan tren (kuasa pengujian terbesar),
pemilihan jumlah lag berdasarkan SIC
Variabel
t hitung ADF
Langkah yang dilakukan kemudian adalah melakukan pengujian dua langkah
Engle-Granger pada variabel-variabel di atas. Tabel 2 menunjukkan bahwa
keseluruhan variabel tidak stasioner pada level, namun stasioner pada diferensiasi
pertama. Hasil tersebut dilihat dari angka mutlak pada t hitung ADF yang seluruhnya
lebih kecil jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5
persen, namun pada diferensiasi pertama angka mutlak pada t hitung ADF
seluruhnya lebih besar jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat
kesalahan 5 persen.
12
Dengan kestasioneran data seluruh variabel pada diferensiasi pertama, maka
terbuka kemungkinan terjadinya regresi yang terkointegrasi. Hasil pengujian (Tabel 3)
menunjukkan terjadinya regresi yang kointegrasi. Ini dapat dilihat dari hasil pengujian
ADF terhadap seluruh residual yang stasioner pada level, yang ditunjukkan pada nilai
mutlak pada t hitung ADF yang lebih besar dari pada nilai mutlak t tabel pada tingkat
kesalahan 5 persen.
Tabel 3. Pengujian ADF pada Residual Model Permintaan Impor Bahan
Baku dan Penolong
Variabel
t hitung ADF
t tabel (tingkat
kesalahan 5 %)
RESID01
-2.316621
-1.952066
RESID02
-2.569497
-1.952066
RESID03 -3.882789
-1.953381
Keterangan: Pengujian ADF untuk residual, pemilihan jumlah lag berdasarkan SIC
RESID01 adalah residual hasil regresi lnmbt dengan lnprodt-1
RESID02 adalah residual hasil regresi lnmbt dengan lnreert-1
RESID03 adalah residual hasil regresi lnmbt dengan lnvolt
Tabel 4. Hasil Estimasi Model Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong
Variabel Tergantung: LNMBt
Variabel bebas:
Konstanta
LNPRODt-1
LNREER t-1
LNVOLt
R2
Adj. R2
F-stat
Prob(F-statistic)
DW Statistic
Parameter
(probabilitas)
5,014
(0,005)
0,637
(0.0000)
0,616
(0,0001)
– 0,132
(0,0014)
0,833
0,815
46,71
(0,000000)
1.737541
Keterangan: angka dalam kurung merupakan nilai probabilitas
Dari hasil perhitungan regresi yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan
gambaran arah koefisien parameter yang arahnya sesuai dengan yang diekspektasikan,
di mana variabel nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil lag 1 periode
(LNPROD t-1) dan nilai tukar efektif riil lag 1 periode (LNREERt-1) berhubungan
positif, sedangkan volatilitas (resiko) nilai tukar berhubungan negatif.
Hasil regresi model permintaan impor bahan baku dan penolong
menunjukkan tiga koefisien parameter variabel-variabel yang signifikan dengan
tingkat kesalahan 5 persen dan arah korelasi yang diekspektasikan, yakni: 1) nilai
produksi riil sektor Industri manufaktur domestik riil lag 1 periode (LNPRODt-1); 2)
Real Effective Exchange Rate lag 1 periode (LNREERt-1); dan 3) volatilitas nilai tukar
(LVOLt). Ketiga variabel tersebut juga memberikan pengaruh secara simultan dan
13
mampu menjelaskan variasi variabel tergantung sebesar 83,3 persen. Selanjutnya,
Interpretasi yang lebih dalam mengenai besaran parameter dan implikasinya terhadap
temuan empiris akan dibahas di bagian pembahasan.
Analisis Data Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur.
Berbeda dengan hasil diagram pencar (scatter plot) model permintaan impor
bahan baku dan penolong, variabel-variabel bebas yang dispesifikasikan pada model
permintaan ekspor industri manufaktur tidak mengalami kelambanan (lag). Seperti
yang disajikan dalam Gambar 5, hubungan yang jelas hanya terlihat pada pendapatan
negara-negara tujuan ekspor industri manufaktur (LNYLN) dan volatilitas nilai tukar
(LNVOL). Sedangkan, variabel nilai tukar efektif riil (REER) tidak menghasilkan
hubungan yang jelas baik dalam periode yang sama atau dengan kelambanan (lag)
periode-periode sebelumnya.
4.70
4.70
4.7
4.69
4.68
4.6
4.68
LNYLNT_1
LNYLN
4.66
4.65
LNREER
4.66
4.67
4.64
4.5
4.4
4.62
4.64
4.63
4.3
4.60
4.62
4.61
14.8
15.0
15.2
15.4
15.6
4.58
14.8
15.8
15.0
15.2
15.4
15.6
15.8
LNXMAN
LNXMAN
4.7
4.2
14.8
15.0
15.2
15.4
15.6
15.8
LNXMAN
9
8
7
6
4.5
LNVOL
LNREERT_1
4.6
4.4
5
4
3
2
4.3
1
4.2
14.8
15.0
15.2
15.4
LNXMAN
15.6
15.8
0
14.8
15.0
15.2
15.4
15.6
15.8
LNXMAN
Gambar 5 Diagram Pencar (Scatter Plot) antara Variabel Tergantung dengan
Variabel-Variabel Bebas Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur
Pengujian ADF yang dirangkum dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa
keseluruhan variabel tidak stasioner pada level, namun stasioner pada diferensiasi
pertama. Dapat dilihat, angka mutlak pada t hitung ADF yang seluruhnya lebih kecil
jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen,
namun pada diferensiasi pertama angka mutlak pada t hitung ADF seluruhnya lebih
besar jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen.
Dengan dihasilkannya kestasioneran data seluruh variabel pada diferensiasi pertama,
maka dalam model permintaan ekspor industri manufaktur ini juga terbuka
kemungkinan terjadinya regresi yang terkointegrasi.
Selanjutnya dari hasil Tabel 6, didapatkan hasil dua hubungan yang
terkointegrasi, yakni antara variabel tergantung permintaan ekspor industri
manufaktur (LNXMANt) dengan variabel pendapatan negara-negara tujuan ekspor
industri manufaktur (LNYLNt) dan variabel volatilitas nilai tukar (LNVOLt).
14
Sedangkan variabel nilai tukar effektif riil (LNREERt)—yang berkecenderungan tidak
mempunyai hubungan dengan variabel ekspor industri manufaktur (LNXMANt)—
tidak terkointegrasi.
Tabel 5 Hasil Pengujian Augmented Dicky Fuller (ADF) pada VariabelVariabel Fungsi Permintaan Ekspor Industri Manufaktur
Variabel
t hitung ADF
LNXMANt
D(LNXMAN) t
LNYLN t
D(LNYLN) t
LNREERt
D(LNREER t)
LNVOL t
D(LNVOL t)
-1.874144
-4.797623
-3.259710
-3.682288
-2.463036
-5.351709
-2.139627
-4.709830
t tabel
(tingkat kesalahan 5 %)
-3.562882
-3.568379
-3.568379
-3.574244
-3.562882
-3.568379
-3.562882
-3.568379
Keterangan: Pengujian ADF memasukkan unsur intersep dan tren (kuasa pengujian terbesar), pemilihan jumlah lag
berdasarkan SIC
Tabel 6 Pengujian Augmented Dicky Fuller
Permintaan Ekspor Industri Manufaktur
Variabel
t hitung ADF
RESID01
RESID02
RESID03
-2.050862
-1.605562
-3.695243
pada Residual Model
t tabel
(tingkat kesalahan 5 %)
-1.952066
-1.952066
-1.952066
Keterangan: Pengujian ADF untuk residual, pemilihan jumlah lag berdasarkan SIC
RESID01 adalah residual hasil regresi LNXMANt dengan LNYLNt
RESID02 adalah residual hasil regresi LNXMANt dengan LNREERt
RESID03 adalah residual hasil regresi LNXMANt dengan LNVOLt
Setelah dilakukan perhitungan regresi, masih ditemui gangguan otokorelasi
positif yang ditandai dengan rendahya nilai statistik Durbin Watson (DW) yang hanya
sebesar 1,16. Oleh karena itu diperlakukan perbaikan model dengan menggunakan
metode weighted least square menggunakan Two-Steps Durbin Watson Statistic, tampak
terjadi perubahan nilai statistik DW sebesar 1,72 yang lebih besar dari nilai krisis dl
sebesar 1.17. Nilai tersebut—walaupun masih sedikit di bawah nilai du sebesar 1,73
yang berarti masih di daerah tanpa kesimpulan adanya—bisa menghindarkan
koefisien parameter yang dihasilkan di daerah berkesimpulan adanya otokorelasi
positif. Hasil regresi setelah dilakukan perbaikan terhadap otokorelasi positif dijasikan
pada Tabel 7.
Hasil Tabel 7 menunjukkan hanya dua koefisien parameter variabel-variabel
yang signifikan dengan tingkat kesalahan 5 yakni pendapatan riil negara-negara tujuan
ekspor industri manufaktur (LNYLNt), dan volatilitas nilai tukar (LVOLt) sesuai arah
yang diekspektasikan. Sedangkan Real Effective Exchange Rate (LNREERt) secara
parsial tidak signifikan mempengaruhi permintaan ekspor industri. Variabel-variabel
bebas dalam model memberikan pengaruh secara simultan dan mampu menjelaskan
variasi variabel tergantung sebesar 67 persen.
15
Tabel 7. Hasil Estimasi Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur
Variabel Tergantung: LNXMANt
Variabel bebas:
Konstanta
Parameter
(probabilitas)
-1.085
(0.695)
3,61
(0.005)
0.095
(0.541)
– 0.023
(0.024)
0,67
0,63
18,34
0,000001
LNYLNt*
LNREERt*
LNVOL t *
R2
Adj. R2
F-stat
Prob(F-statistic)
1.724718
DW Statictic
Keterangan: - angka dalam kurung merupakan nilai probabilitas
- tanda (*) merupakan hasil iterasi Two-Steps Durbin Watson Statistic
Di mana:
LNXMANt*
LNYLNt*
LNREERt*
LNVOLt*
= LNXMANt - (0.4195905 × LNXMANt-1)
= LNYLNt - (0.4195905 × LNYLNt-1)
= LNREERt - (0.4195905 × LNREERt-1)
= LNVOLt - (0.4195905 × LNVOLt-1)
5. Pembahasan
Dari hasil dari perhitungan estimasi model permintaan impor bahan baku dan
penolong, didapatkan ketiga variabel yang dispesifikasikan memberikan dampak yang
signifikan dengan arah korelasi sesuai yang diekspektasikan. Keseluruhan hubungan
yang dihasilkan juga terkointegrasi dan berarti terjadi hubungan antara variabelvariabel bebas dengan variabel tergantung dalam jangka panjang.
Variabel pertama, logaritma natural nilai permintaan impor bahan baku dan
penolong riil lag satu periode (LNPRODt-1) menghasilkan interpretasi bahwa di
Indonesia kenaikan (penurunan) nilai impor bahan baku dan penolong riil (LNMBt)
disebabkan oleh kenaikan (penurunan) nilai produksi sektor manufaktur domestik riil
pada periode sebelumnya (LNPRODt-1) dengan elastisitas sebesar 0,637. Dalam
analisis regresi, arah hubungan adalah searah, yakni variabel bebas mempengaruhi
variabel tergantung. Namun, banyak analisis kualitatif—seperti yang dipaparkan
dalam bagian latar belakang—yang mengulas bahwa pada saat periode krisis moneter
tahun 1997 produksi sektor industri manufaktur mengalami ketergantungan akan
impor bahan baku dan penolong sehingga memicu kenaikan impor bahan baku dan
penolong tersebut (terjadi kausalitas). Karena model yang dispesifikasikan berbentuk
struktural, dibutuhkan analisis lanjutan lagi untuk menguji kausalitas hubungan
tersebut, namun keterbatasan penelitian dengan model struktural mengakibatkan
analisis VAR dengan uji kausalitas Engle-Ganger tidak digunakan.
Masalah kemungkinan terjadinya terjadinya kausalitas pada periode
penelitian—yakni ketergantungan produksi sektor manufaktur domestik terhadap
impor bahan baku dan penolong—diperkuat oleh pernyataan Kepala Badan Pusat
Statistik, Rusman Heriawan yang dimuat di situs Investor Daily Indonesia pada
tanggal 1 Agustus 2011 bahwa terjadi ketergantungan yang tinggi sektor industri
16
manufaktur terhadap impor bahan baku dan penolong masih tinggi. Ketergantungan
impor bahan baku dan penolong tersebut selanjutnya diserap untuk industri nasional
yang output-nya sebagian besar untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Hanya
sebagian kecil yang outputnya untuk ekspor karena daya saing produk nasional masih
lemah
(lihat:
http://www.investor.co.id/home/tinggi-ketergantungan-industriterhadap-bahan-impor/17153).
Ketergantungan yang besar terhadap impor bahan baku dan penolong
tersebut juga mendorong pemerintah lebih memilih untuk memberi insentif
berupa tax holiday kepada industri pengolahan dan manufaktur dalam mengimpor
bahan baku. Kebijakan ini cukup beralasan, dikarenakan kekuatiran
terjadinya overheating karena ketidaktersediaan bahan baku serta pertimbangan bahwa
industri
manufaktur
menyerap
tenaga
sangat
tinggi
(lihat:
http://www.tempo.co/read/news/2011/05/03/090331836/Industri-ManufakturMendapat-Insentif-Impor-Bahan-Baku)
Besarnya impor bahan baku dan penolong untuk menopang produksi
manufaktur ini juga menandakan kecenderungan rendahnya keterkaitan (linkage)
sektor-sektor di bawah sektor industri manufaktur. Jika dilihat dari struktur impor
bahan baku dan penolong Indonesia, komponen terbesar adalah bahan pasokan
olahan untuk industri yang besarnya rata-rata lebih dari 40 persen dari keseluruhan
impor bahan baku dan penolong), disusul kemudian dengan bahan bakar dan
pelumas olahan dan suku cadang dan perlengkapan untuk barang modal. Dengan
struktur tersebut, industri manufaktur lebih dominan dalam mengimpor bahan
pasokan olahan yang siap untuk diproses dibandingkan dengan bahan pasokan baku
yang seharusnya merupakan input yang berasal dari ouput dari sektor-sektor di
bawahnya.
Selanjutnya, hasil estimasi juga menunjukkan bahwa dua variabel yang
dispesifikasikan sebagai dampak nilai tukar—yakni real effective exchange rate lag 1
periode (LNREERt-1) dan volatilitas nilai tukar (LNVOLt)—signifikan berdampak
terhadap impor bahan baku dan penolong tersebut. Dengan kata lain, ketergantungan
akan impor bahan baku dan penolong seperti diindikasikan sebelumnya, rentan
terhadap shock eksternalitas nilai tukar.
Untuk variabel dalam nilai tukar pertama, yakni (LNREERt-1) menunjukkan
bahwa depresiasi 1 persen real effective exchange rate lag 1 periode (LNREERt-1) akan
mengoreksi penurunan nilai impor bahan baku dan penolong riil pada periode
berikutnya (LNMBt) sebesar 0,616 (hampir sama dengan nilai koefisien variabel
produksi industri manufaktur dalam negeri). Keadaan ini juga menggambarkan
bahwa shock nilai tukar akan menimbulkan dampak ganda jika terjadi ketergantungan
produksi sektor manufaktur terhdap impor bahan baku dan penolong. Dengan
kondisi tersebut, depresiasi yang tinggi dalam periode yang lama akan rawan
menyebabkan deindustrialisasi.
Sedangkan dampak kedua dampak dari nilai tukar, yakni besarnya volatilitas
yang dihadapi (LNVOLt) —walaupun dampaknya relatif lebih kecil (elastisitas
sebesar 0,132), menunjukkan bahwa semakin besarnya volatilitas nilai tukar akan
memberikan dampak buruk bagi produsen industri manufaktur dalam negeri dalam
kegiatan produksinya. Dengan demikian, resiko maupun biaya pemagaran yang
diakibatkan volatilitas nilai tukar sesuai dengan yang diekspektasikan mengurangi
jumlah impor bahan baku dan penolong.
17
Dengan kedua variabel dampak nilai tukar yang dispesifikasikan signifikan
dalam menjelaskan variasi impor bahan baku dan penolong, menunjukkan kondisi
permintaan impor bahan baku dan penolong berkecenderungan rentan akan shock
nilai tukar seperti halnya krisis moneter pada tahun 1998 walaupun saat itu volatilitas
nilai tukar lebih stabil dan terjaga dengan adanya band intervensi. Shock nilai tukar
pada sektor industri pada tahun 1998 menunjukkan bahwa ketergantungan akan
impor bahan baku dan penolong yang merupakan salah satu kerapuhan sektor riil
akan menyebabkan rentetan proses yang menjurus ke arah krisis ekonomi.
Selanjutnya, masuk ke model kedua—yakni permintaan ekspor industri
manufaktur—hasil koefisien parameter variabel pendapatan riil negara tujuan ekspor
industri manufaktur (LNYLNt) menunjukkan bahwa ekspor industri manufaktur
sangat mengandalkan kenaikan pendapatan negara-negara tujuan ekspornya.
Koefisien parameter sebesar 3.61 berarti respon ekspor industri manufaktur elastis
terhadap perubahan pendapatan negara-negara tujuan ekspor.
Hasil ini mengambarkan bahwa shock terhadap pendapatan riil negara-negara
tujuan ekspor industri manufaktur utama akan lebih berdampak terhadap jumlah
ekspor industri manufaktur Indonesia. Sebaran negara-negara tujuan ekspor industri
manufaktur dengan persentase terbesar hanya tersebar pada 6 negara: Amerika
Serikat, Jepang, Republik Rakyat Cina, Singapura, India dan Malaysia (lebih dari 5
persen). Dengan sebaran tersebut, maka shock yang dimaksudkan akan tergambar
turunnya nilai ekspor industri manufaktur serentak pada tahun 2009 seiring dengan
menurunnya pendapatan negara-negara tujuan utama ekspor setelah mengalami krisis
global.
Berlanjut ke variabel kedua—yang berbeda dengan efek pendapatan negaranegara tujuan ekspor—efek harga melalui perubahan nilai tukar (LNREERt) pada
hasil perhitungan estimasi regresi yang dihasikan tidak mempunyai koefisien
parameter yang signifikan dalam menjelaskan variasi perubahan ekspor. Dengan
demikian, koreksi ekpor karena perubahan nilai tukar seperti yang digambarkan pada
Kondisi Marshall-Lerner tidak terjadi. Tidak berjalannya koreksi harga melalui nilai
tukar ini dapat mengacu pada daya saing dan jenis produk ekspor industri
manufaktur Indonesia. Ekspor produk industri berdaya saing rendah bisa diakibatkan
dengan tingginya biaya produksi dan biaya transportasi. Biaya produksi tinggi akan
mengacu pada biaya bahan baku, biaya energi dan upah minimum pekerja. Biaya
bahan baku—seperti dijelaskan sebelumnya—sangat terkait dengan ketergantungan
sektor industri manufaktur dengan impor bahan baku dan penolong. Biaya energi dan
upah minimum pekerja merupakan biaya yang terus membebani pengusaha, karena
sering kali kenaikan tarif dasar listrik berkala dibarengi dengan kenaikan upah
minimum. Sedangkan biaya transportasi merupakan masalah pelik yang berdampak
pada biaya yang semakin tinggi dan mengganggu kelancaran stok produksi sangat
terkait dengan penyediaan infrakstruktur oleh pemerintah.
Jika dilihat dari jenis produksi industri manufaktur, selama ini ekspor
industri manufaktur ditulang-punggungi terutama oleh produk-produk yang
unfinished goods yang kurang mempunyai nilai tambah yakni pengolahan kelapa sawit
yang mana 49 persen berupa palm oil dan pengolahan karet yang sekitar 78 persen
berupa crumb rubber. Jenis ekspor yang didominasi unfinished goods ini juga mengurangi
daya saing yang selanjutnya tidak mendukung bekerjanya penyesuaian harga melalui
nilai tukar dalam mendorong ekspor industri manufaktur.
18
Variabel terakhir, volatilitas nilai tukar (LNVOLt) menghasilkan koefisien
yang sesuai dengan arah yang diharapkan walaupun nilai koefisiennya kecil sebesar 0.023 (inelastis), yakni berhubungan negatif atau volatilitas yang meningkat dari nilai
tukar memberikan dampak yang buruk bagi ekspor industri manufaktur.
Hasil tersebut seiring dengan yang dihasilkan pada model impor bahan baku
dan penolong yang berarti resiko fluktuasi keuntungan perdagangan dalam jangka
pendek—walaupun bisa dikurangi dengan melakukan transaksi di pasar forward—akan
menimbulkan biaya perdagangan internasional akan meningkat yang akhirnya
menimbulkan pengurangan terhadap ekspor. Dengan demikian, kestabilan nilai tukar
dalam jangka pendek lebih disukai oleh para pelaku perdagangan internasional dalam
menjalankan aktivitas ekspor dan impor dibandingkan jika terdapat volatilitas yang
tinggi yang akan menimbulkan ketidakpastian dan menimbulkan biaya pemagaran.
6. Simpulan dan Rekomendasi
Sebagaimana hasil yang diperoleh, arah dampak nilai tukar menghasilkan hasil
yang berbeda pada kedua model yang dispesifikasikan. Dari kedua dampak nilai tukar
yang dispesifikasikan—yakni efek harga (REER) dan efek resiko (volatilitas)—
kesemuanya berlaku pada model permintaan impor bahan baku dan penolong.
Sedangkan pada model permintaan ekspor industri manufaktur, hanya mendapati
efek resiko sebagai dampak yang signifikan berpengaruh.
Dalam model struktural yang dibentuk, efek pendapatan yang bekerja
menggambarkan impor bahan baku dan penolong didorong oleh kebutuhan produksi
sektor industri manufaktur. Diperlukan analisis lanjutan untuk membuktikan apakah
produksi sektor manufaktur tergantung oleh impor bahan baku dan penolong
hubungan terbalik (kausalitas). Namun, secara tidak langsung kecenderungan ini telah
diperkuat oleh pola dominasi impor bahan baku dan penolong serta kebijakan
insentif tax holiday terhadap impor bahan baku dan penolong. Keadaan ini secara
simultan dapat memperparah dampak yang ditimbulkan depresiasi nilai tukar yang
tajam (efek harga) yang mengakibatkan ketidakmampuan sektor industri mengimpor
bahan baku dan penolong untuk memenuhi kebutuhan produksinya.
Pada model kedua, permintaan ekspor hasil industri manufaktur sangat
tergantung kepada pendapatan riil negara-negara tujuannya. Artinya, efek pendapatan
yang bekerja pada permintaan ekspor industri manufaktur adalah sangat besar
(elastis). Dengan demikian, adanya krisis global terhadap negara-negara tujuan ekspor
industri manufaktur dipastikan akan mengakibatkan penurunan ekspor industri
manufaktur. Sementara, mekanisme penyesuaian yang diharapkan dari depresiasi
untuk mendorong ekspor industri manufaktur tidak terjadi. Artinya, koreksi nilai
tukar melalui efek harga tidak bekerja pada ekspor industri manufaktur. Kondisi ini
mengambarkan daya saing yang rendah dari barang-barang ekspor industri
manufaktur Indonesia.
Hasil terakhir pada kedua model yang dispesifikasikan, semakin besarnya
volatilitas nilai tukar akan mengurangi baik itu impor bahan baku dan penolong dan
ekpor industri manufaktur, walaupun dampaknya kecil. Dengan kondisi tersebut,
kestabilan nilai tukar merupakan keadaan yang lebih diinginkan oleh pelaku eksporimpor di sektor industri manufaktur walaupun resiko nilai tukar masih bisa ditekan
dengan pemagaran resiko nilai tukar.
19
Hasil-hasil tersebut menunjukkan perlunya dalam jangka panjang untuk
mengupayakan industri substitusi impor bahan baku dan penolong dari produksi
domestik sektor manufaktur, atau dalam hal ini memperkuat keterkaitan antara
sektor-sektor yang menjadi masukan (input) bagi sektor industri manufaktur. Upayaupaya tersebut dalam akan mencegah dampak eksternalitas nilai tukar yang
mengakibatkan shock terhadap harga impor bahan baku dan penolong yang
selanjutnya mengancam kesinambungan produksi sektor industri manufaktur.
Bagi Ekspor Industri manufaktur, diperlukan upaya untuk membuka pasar
ekspor ke negara-negara non-tradisional untuk mengurangi resiko terjadinya resesi
simultan pada negara-negara tujuan utama ekspor industri manufaktur. Di samping
itu, perlu juga meningkatkan kualitas daya saing dan bernilai tambah pada barangbarang ekspor industri manufaktur dengan membenahi masalah-masalah utama yang
dihadapi sektor industri manufaktur antara lain biaya produksi yang tinggi, serta
upaya mendorong produk finished goods atau bernilai tambah tinggi. Upaya-upaya
tersebut diharapkan akan meningkatkan kemampuan efek harga melalui depresiasi
nilai tukar dalam mendorong ekspornya.
Walaupun dari hasil penelitian volatilitas nilai tukar mempunyai dampak yang
kecil dalam merubah variasi permintaan impor dan ekspor sektor industri
manufaktur, tetap diperlukan stabilisasi nilai tukar yang menjaga agar volatilitas dalam
jangka pendek tidak terlalu tinggi untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap
perdagangan di sektor industri manufaktur.
Daftar Pustaka
Appuhamilage, K.S.A. dan A.A.A. Alhayk. 2010. “Exchange Rate Movements Effect
on Sri Lanka-China Trade”. Journal of Chinese Economic and Foreign Trade
Studies. Vol. 3. No. 3: 254-267.
Apridar. 2012. Ekonomi Internasional (Sejarah, Teori, Konsep dan Permasalahan
dalam Aplikasinya). Yogyakarta: Graha Ilmu
Bank Indonesia. 1998. Buletin Ekonomi Monener dan Perbankan. Jakarta: Direktorat
Statistik Ekonomi dan Moneter-Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2006. Laporan Pemetaan Ekonomi Sektor Industri Nonmigas. Jakarta:
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter-Bank Indonesia.
Bethune, E. M. Ekanayake. R.L. Thaver, dan D. Plante. 2013. “The Effects of
Exchange Rate Volatility on South Africa’s Trade With The European
Union”. The International Journal of Business and Finance Research. Vol. 6. No. 3:
13-26.
Bilquees, Faiz, T. Mukhtar dan S.J. Malik. 2010. “Exchange Rate Volatility and
Export Growth: Evidence from Selected South Asian Countries” Zagreb
International Review of Economics & Business. Vol. 13. No. 2: 27-37.
Carbaugh, Robert J. 2005. International Economics. 10th edition. Mason, OH: Thomson
South-Western
Dumairy, 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Fang, WenShwo; L. YiHao, dan S.M. Miller. 2005. “Export Promotion through
Exchange Rate Policy: Exchange Rate Depreciation or Stabilization?”.
Economics Working Papers. Paper 200507.
Gujarati, D. dan D.C Porter. 2003. Dasar-Dasar Ekonometrika. Edisi 5, Buku 1 dan 2.
Terjemahan: Raden Charles Manungson. Jakarta: Salemba Empat.
20
Hanke, Steve. 1999. “Refl ections on Exchange Rates and Dollarization”. Fordham
Journal of Corporate & Financial Law. Vol. 4. Issue 1 Article 8: 63-76.
Huchet - Bourdon, M. dan J. Korinek. 2011. “ To What Extent Do Exchange Rates
and their Volatility Affect Trade?”. OECD Trade Policy Papers. No. 119.
OECD Publishing.
Investor Daily. 2011. Tinggi, Ketergantungan Industri terhadap Bahan Impor.
http://www.investor.co.id/home/tinggi-ketergantungan-industri-terhadapbahan-impor/17153. Dilihat pada tanggal 16 Nopember 2013.
Kementerian Perindustrian. 2011. Laporan Ekspor Hasil Industri Pengolahan. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian.
Kenen, P. T., dan D. Rodrik. 1986. "Measuring and Analyzing the Effects of Shortterm Volatility in Real Exchange Rates" Review of Economics and Statistics. Vol.
68. No. 2: 311-315.
Krugman, P dan M. Obsfeld. 2003. International Economics: Theory and Policy. 6th
Edition, New York: Addison Wesly.
Kuncoro, Mudradjat. 2009. Ekonomika Indonesia. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Learmer, Edward E dan Robert M Stern. 1976. Quantitative International Economics.
Chicago: Adline Publishing Company.
Neraca Online. 2012. Pasokan Bahan Baku Lokal Seret, Industri Terpaksa Impor.
http://www.neraca.co.id/harian/article/9154/Pasokan.Bahan.Baku.Lokal.S
eret.Industri.Terpaksa.Impor. Dilihat pada tanggal 1 April 2013.
Nopirin. 2013. Ekonomi Internasional. Edisi 3.Yogyakarta: BPFE.
Oskooee, Mohsen Bahmani dan Scott W. Hegerty. 2009. “The Effects of ExchangeRate Volatility on Commodity Trade between the United States and
Mexico”. Southern Economic Journal. Vol. 75. No. 4: 1019–1044.
Prusty, Sadananda. 2008. “An Analysis of Exchange Rate and Export Growth in
India”. The Business Review. Cambridge, Vol. 9. No. 2: 139-144.
Romdiati, Haning, 2003. “Pengangguran Akibat Krisis Ekonomi : Strategi
Penanggulangan Di Tingkat Keluarga Dan Masyarakat”. Prosiding Kongres
Ilmu Pengetahuan Nasional VIII, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 655-668
Rosadi, Dedi, 2012. Ekonometrika dan Analisis Runtun Waktu Terapan dengan Eviews.
Yogyakarta: Andi
Salvatore, Dominick, 1997. Ekonomi Internasional. Jilid 2. Edisi kelima. Terjemahan:
Haris Munandar. Jakarta: Erlangga
Siregar, Reza, and Ramkishen S Rajan. 2003. “Impact of exchange rate volatility on
Indonesia’s tradeperformance in the 1990s”. Journal of Japaneese and
International Economics. Vol. 18: 218–240
Suardhini, Made dan Miranda S Goeltom, 1997. “Analisis Dampak Intervensi Bank
Sentral dalam Penetapan Nilai Tukar terhadap Ekspor-Impor Indonesia”.
Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol. XLV. No 1:97-212.
Suherman Rosyidi, 2012. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori
Ekonomi Mikro Dan Makro. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Tambunan, Tulus, 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Jakarta: LPFE-UI.
Tempo.co. 2011. Industri Manufaktur Mendapat Insentif Impor Bahan Baku.
http://www.tempo.co/read/news/2011/05/03/090331836/IndustriManufaktur-Mendapat-Insentif-Impor-Bahan-Baku. Dilihat pada tanggal 1
April 2013.
Download