TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Klasifikasi botani kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Divisio
: Tracheophyta
Subdivisio
: Pteropsida
Kelas
: Angiospermae
Subkelas
: Monocotiledonae
Ordo
: Cocoideae
Famili
: Palmae
Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis guineensis Jacq.
Varietas
: Dura, Psifera, Tenera
Gambar 1. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah jenis tanaman dari famili
palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati.
4
5
Pengelompokan berdasarkan warna buah yaitu (i) nigrescent dengan buah berwarna
ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak,
(ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah
masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan
cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm), Pisifera
(tidak bercangkang) dan Tenera (tebal 0,5-4 mm). Buah sawit bergerombol dalam
tandan yang muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit
yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin,
mesokarp adalah serabut buah dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung
inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan embrio dengan
kandungan minyak inti yang berkualitas tinggi (Ditjenbun, 2006).
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis yang
diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di
hutan belantara negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada
tahun 1848, dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda.
Bibit kelapa sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing
berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor.
Hingga saat ini, dua dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai
nenek moyang kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara. Sebagai keturunan kelapa
sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut telah diintroduksi ke Deli Serdang (Sumatera
Utara) sehingga dinamakan Deli Dura.
Perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan
pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara oleh Adrien Hallet, seorang
berkebangsaan Belgia. Luas kebun kelapa sawit terus bertambah, dari 1.272 hektar
6
pada tahun 1916 menjadi 92.307 hektar pada tahun 1938. Sebagian areal
perkebunan kelapa sawit di Sumatera pada mulanya dimiliki oleh masyarakat
secara perorangan, namun dalam perkembangannya, kepemilikan perkebunan ini
digantikan oleh perusahaan-perusahaan asing dari Eropa. Perkebunan kelapa sawit
di Indonesia mulai berkembang pesat pada tahun 1969. Pada saat itu luas areal
perkebunan kelapa sawit adalah 119.500 hektar dengan total produksi minyak sawit
mentah yaitu 189.000 ton per tahun. Sedangkan pada tahun 2005 produksi minyak
kelapa sawit Indonesia mencapai 9,9 juta ton (Hadi, 2004).
Pohon kelapa sawit berbentuk silinder berdiameter 25-75 cm yang tumbuh
tegak lurus dari bonggol. Tingginya bisa mencapai 20-30 m. Namun ada juga jenis
tertentu yang mempunyai ketinggian hanya 2 m. Memiliki akar serabut yang
mengarah ke samping dan bawah. Akar primer berdiameter 6-10 mm, akar sekunder
berdiameter 2-4 mm, sedangkan akar tersier dan kuarter membentuk ikatan pada 30
cm lapisan atas tanah pada radius 1,5-2 m dari pokok sawit. Daun sawit mempunyai
panjang antar 5 sampai 9 m dengan jumlah anakan daun sekitar 125-200 helai dan
panjang 1,2 m. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna hijau muda. Pada
setiap ketiak daun akan tumbuh bunga, baik jantan, betina maupun banci tetapi tidak
semua menjadi buah karena sebagian akan gugur. Letak bunga jantan dan betina
terpisah meskipun masih pada satu pohon (monoecious diclin) dengan waktu
matang berbeda sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan
berbentuk lancip dan panjang sedangkan bunga betina lebih besar dan mekar.
Bunga betina terdiri dari ribuan bunga apabila mengalami penyerbukan akan
menjadi tandan dengan buah sekitar 500-2000 buah. Perkembangbiakan kelapa
sawit secara generatif. Jika buah sawit telah matang maka embrionya akan
7
berkecambah dan menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar atau radikula
(Hartley, 1970).
Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3-4 tahun dan buahnya
menjadi masak 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa
sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda
menjadi merah jingga waktu buah telah masak. Pada saat itu, kandungan minyak
pada daging buahnya telah maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan
lepas dari tangkai tandannya. Kriteria panen merupakan indikasi yang dapat
membantu pemanen agar memotong buah pada saat yang tepat. Kriteria umum
untuk tandan buah yang dapat dipanen yaitu berdasarkan jumlah brondolan yang
jatuh. Untuk memudahkan pengamatan buah, maka dipakai kriteria berikut:
a. Tanaman dengan umur kurang dari 10 tahun, jumlah brondolan yang jatuh
kurang lebih 10 butir.
b. Tanaman dengan umur lebih dari 10 tahun, jumlah brondolan yang jatuh sekitar
15-20 butir.
Namun, secara praktis digunakan suatu aturan umum, yaitu pada setiap 1 kg Tandan
Buah Segar (TBS) terdapat dua brondolan yang jatuh (Tim Penulis PS, 1997).
Risza (1994) menyatakan tinggi rendahnya produktivitas TBS (Tandan
Buah Segar) per hektar suatu kebun tergantung dari komposisi umur tanaman yang
ada di kebun tersebut. Semakin luas komposisi umur tanaman remaja dan renta,
semakin rendah pula produktivitas per hektarnya. Semakin banyak tanaman dewasa
dan teruna semakin tinggi pula produktivitas per hektarnya. Selanjutnya semakin
banyak komposisi tanaman D x P (Dura x Pisifera) semakin tinggi produktivitas per
hektarnya. Komposisi umur tanaman ini setiap tahun berubah sehingga juga
8
berpengaruh terhadap pencapaian produktivitas per hektar per tahunnya. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 1. Pembagian Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan Kelompok Umur
Tanaman Kelapa Sawit
TBM
TM
TM
TM
TM
TM
Umur
0-3 tahun
3-4 tahun
5-12 tahun
12-20 tahun
21-25 tahun
26 tahun
Keterangan
Muda (belum menghasilkan)
Remaja (produksi/ha; sangat rendah)
Teruna (produksi/ha; mengarah naik)
Dewasa (prduksi/ha; posisi puncak)
Tua (produksi/ha; mengarah turun)
Renta (produksi/ha; sangat rendah)
Sumber: Risza, S. 1994. Kelapa Sawit: Upaya Peningkatan Produktivitas. Kanisius.
Yogyakarta
Keterangan:
TBM = Tanaman Belum Menghasilkan
TM = Tanaman Menghasilkan
Minyak sawit yang digunakan sebagai produk pangan dihasilkan dari
minyak sawit maupun minyak inti sawit melalui proses fraksinasi, rafinasi, dan
hidrogenesis. Produksi CPO Indonesia sebagian besar difraksinasi sehingga
dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat. Fraksi olein tersebut digunakan
untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai pelengkap minyak goreng dari
minyak kelapa. Minyak sawit mempunyai potensi yang cukup besar untuk
digunakan di industri-industri non-pangan, industri farmasi, dan industri oleokimia.
Dalam industri farmasi antara lain karoten dan tokoferol digunakan untuk
mencegah kebutaan. Oleokimia dalam industri digunakan sebagai bahan baku
industri kosmetik dan aspal. Oleokimia juga digunakan dalam pembuatan bahan
detergen. Indonesia dan Malaysia adalah negara produsen utama minyak sawit di
dunia juga telah mengembangkan biodiesel dari minyak sawit (palm biodiesel),
tetapi pengembangannya belum komersial. Di Indonesia, penelitian dilakukan oleh
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan dan telah berhasil mengembangkan
biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) (Fauzi dkk., 2004).
9
Data mengenai luas lahan kelapa sawit sangat bervariasi, tergantung
sumbernya. Berdasarkan data statistik dari InfoSAWIT (2013), luas perkebunan
sawit di Indonesia tahun 2013 mencapai sekitar 9,3 juta hektar, dimana sekitar 40%
diusahakan oleh petani, sedangkan sisanya dikuasai perusahaan swasta dan BUMN.
Perkebunan kelapa sawit paling luas berada di Sumatera (69,1% dari luas kebun
kelapa sawit di Indonesia) terutama di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera
Selatan. Produktivitas tanaman kelapa sawit masih bervariasi antara 0,8-4,1 ton
Tandan Buah Segar (TBS) per hektar. Produktivitas tertinggi dicapai di daerah
Provinsi Riau (4,1 ton TBS/ha) dan produkivitas terendah berada di daerah provinsi
Kepulauan Riau sebesar 0,8 ton TBS/ha.
Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa Indonesia
pada tahun 2009 telah menanam kelapa sawit pada lahan seluas kira-kira 7,3 juta
hektar. Organisasi-organisasi non-pemerintah bahkan memperhitungkan sampai
9,2 juta hektar. Indonesia menjadi produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di
dunia. Pada musim panen 2009/2010 menghasilkan 21 juta ton minyak kelapa
sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak kelapa sawit dunia yang
berjumlah 45 juta ton. Di samping minyak kelapa sawit, juga dihasilkan 5,3 juta ton
minyak biji sawit yang masuk ke pasar dunia. Patut diamati bahwa Indonesia
mengalami pertumbuhan ekspor yang luar biasa antara tahun 2003 dan 2010 yaitu
berlipat ganda menjadi 16,2 juta ton (musim panen 2009/2010) dan berdasarkan
perkiraan akan terus meningkat (Adams, 2011).
Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia ditujukan untuk
meningkat pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan dan devisa negara,
menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya
10
saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku dalam negeri, mendorong
pengembangan wilayah serta mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dilakukan dengan
menerapkan prinsip-prinsip pembanguan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan
berbagai peraturan yang berlaku diantaranya Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO) (Wahyunto dkk., 2013).
Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi
bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa
sawit di Indonesia mencapai USD 4.513 (Ditjenbun, 2006). Dari segi daya saing
kelapa sawit cukup menjanjikan dilihat dari produktivitasnya yang tinggi dan
merupakan tanaman yang tahan terhadap berbagai kondisi agroklimat. Selain itu
didorong juga oleh adanya era otonomi daerah yang sehingga daerah tersebut
berusaha meningkatkan pemberdayaan sumber daerahnya dengan pembukaan
lahan sebagai perkebunan kelapa sawit. Melihat hal tersebut maka perkebunan
kelapa sawit memiliki prospek untuk terus dikembangkan.
Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Penyerap CO2
Tumbuhan seperti perkebunan, memiliki mekanisme proses fotosintesis
(asimilasi) yang menyerap CO2 atmosfer bumi dan energi matahari dan disimpan
dalam bentuk biomassa (stok karbon). Selain proses fotosintesis, tumbuhan juga
melakukan pernafasan/respirasi yang menghasilkan CO2 ke atmosfer bumi. Oleh
sebab itu, yang perlu dilihat adalah penyerapan netto-nya yakni CO2 yang diserap
dikurangi CO2 yang dilepas. Henson (1999) menghitung penyerapan netto CO2
perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan hutan alam tropis. Data empiris
tersebut menunjukkan bahwa secara netto kelapa sawit dan hutan alam tropis (juga
11
tanaman lainnya) adalah penyerap CO2 dari atmosfer bumi. Namun kemampuan
perkebunan kelapa sawit dalam menyerap CO2 (secara netto) lebih besar
dibandingkan hutan alam tropis.
Tabel 2. Perbandingan Penyerapan Karbon Dioksida Antara Perkebunan Kelapa Sawit dan
Hutan Alam Tropis
Indikator
Fotosintesis (ton CO2/ha/tahun)
Respirasi (ton CO2/ha/tahun)
Netto (ton CO2/ha/tahun)
Perkebunan Kelapa
Sawit
161,0
96,5
64,5
Hutan Alam Tropis
163,5
121,1
42,4
Sumber: Henson, I. E. (1999). Comparative Eco-Physiology of Palm Oil and Tropical
Forest. Oil Palm and The Environment; A Malaysian Perspective. Malaysian
Palm Oil Growers Council. Kuala Lumpur. P9-39.
Perbedaan penyerapan netto CO2 tersebut disebabkan perbedaan laju
fotosintesis dan respirasi. Pada perkebunan (kelapa sawit) pertumbuhan biomassa
(termasuk produksinya) masih terjadi sampai kelapa sawit ditebang (umur 25
tahun), sehingga laju fotosintesis lebih besar dari laju respirasi. Sedangkan hutan
alam tropis yang sudah mencapai umur dewasa (mature) pertumbuhan biomassa
sudah berhenti atau sangat kecil, sehingga laju fotosintesis sudah sama (mendekati
laju respirasi). Dengan demikian untuk penyerapan CO2 dari atmosfer bumi,
konversi hutan dewasa menjadi perkebunan bukanlah bentuk deforestasi tetapi
bersifat reforestasi (Soemarwoto, 1992). Mungkin lebih tepat disebut afforestasi
yakni membangun fungsi ekologis hutan di luar (administratif) kawasan hutan.
Berdasarkan definisi hutan dengan konsep land cover change yang dianut
banyak negara maupun definisi hutan yang dianut FAO (2010), perkebunan
termasuk perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan sebagai hutan (berfungsi
ekologis hutan), meskipun secara administratif tidak berada dalam kawasan hutan.
Alasannya adalah sebagai berikut.
12
1. Perkebunan kelapa sawit merupakan penumbuhan land cover (afforestasi
menurut konsep land cover change); memiliki canopy cover hampir/mendekati
100 persen pada umur dewasa; dan luas memiliki ketinggian pohon setelah
dewasa lebih dari 5 meter dan luas sehamparan diatas 0,5 hektar.
2. Perkebunan kelapa sawit merupakan permanen crop yang baru direplanting
setelah 25 tahun (timber plantation yang oleh FAO dikategorikan hutan, dipanen
7-10 tahun per siklus) yang berarti fungsi ekologis kelapa sawit lebih lama
daripada timber plantation.
3. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari pelestarian fungsi ekologis
seperti pelestarian daur CO2, daur O2, dan daur air (H2O) melalui mekanisme
fotosintesis dan respirasi tanaman kelapa sawit.
4. Pembudidayaan kelapa sawit melalui perkebunan merupakan suatu mekanisme
efektif melestarikan plasma nutfah (biodiversity), yakni tanaman kelapa sawit
beserta organisme yang ada, fungsi ekologis, dan fungsi ekonomi secara lintas
generasi.
Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO2 dari udara dan
akan melepas O2 ke udara. Proses ini akan terus berlansung selama pertumbuhan
dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari 25
tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Ditjenbun, perkebunan
kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO2 sebanyak 430 juta ton. Kondisi
ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari IOPRI (Indonesia Oil Palm
Research Institute) bahwa fiksasi CO2 adalah 25,71 ton/ha/tahun (Htut, 2004).
Hasil yang ditunjukkan pada agroekosistem kelapa sawit yang berada di
Nigeria pada lahan berpasir yang masam. Biomassa kelapa sawit antara umur 10-17
13
tahun terakumulasi pada batang yaitu berkisar antara 57-69%, kemudian diikuti pada
pelepah berkisar antara 14-20% dan daun berkisar antara 8-10% (Hartley, 1970).
Penelitian oleh Tjitrosemito dan Mawardi (2001) mengemukakan
kandungan karbon kelapa sawit pada umur 19 tahun sekitar 40,28 ton/ha. Jika
dilihat dari hasil tersebut maka diduga perkebunan kelapa sawit berada pada lahan
mineral yang subur.
Hasil penelitian lainnya oleh Htut (2004) menyatakan
kandungan karbon di Salim Indoplantation Riau adalah 1,66 ton/ha/tahun.
Penelitian serupa di Malaysia yang dilakukan oleh Henson (1999) mengemukakan
bahwa karbon biomassa meningkat dengan peningkatan umur. Kondisi maksimum
pada umur 19-24 tahun dengan kandungan karbon sebesar 27.168 ton setiap
hektarnya. Variasi nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan luasan lokasi
penelitian dan umur kelapa sawit.
Namun, pembukaan lahan dengan cara
pembakaran hutan dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan terbukti
melepaskan CO2 sebesar 20–55 ton/ha/tahun (Hooijer et al., 2006).
Areal yang berpotensi untuk perluasan perkebunan kelapa sawit tidak saja
lahan mineral, tetapi juga lahan gambut. Lahan gambut menyimpan karbon yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang
disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10 kali karbon yang disimpan
oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Pertanaman kelapa sawit pada lahan
gambut
mampu
menghasilkan
Tandan
Buah
Segar
(TBS)
sebesar
20,25-23,74 t/ha/tahun. Sebagai pembanding, menurut Lubis dan Wahyono (2008),
pengusahaan kelapa sawit pada lahan mineral dapat menghasilkan TBS rata-rata
22,26 t/ha/tahun dengan puncak produksi sekitar 27,32 t/ha/tahun.
14
Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun
akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 t CO2 atau setara dengan 100 t
C/ha dalam bentuk pohon sawit. Kebun sawit yang mempunyai kedalaman drainase
rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar 73 t/ha/tahun atau 1.820 t/ha/25 tahun.
Jadi net emisi CO2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO2
sebanyak 367 t/ha/25 tahun) adalah sekitar 1.453 t/ha. Jumlah emisi CO2 dalam satu
siklus kelapa sawit selama 25 tahun ini, lebih dari dua kali emisi yang terjadi
sewaktu pembukaan hutan yang besarnya sekitar 587 t/ha (Agus, 2009).
Penelitian oleh Yulianti (2009) pada lahan gambut di PTPN IV Ajamu,
Kabupaten Labuhan Batu menunjukkan bahwa kandungan karbon kelapa sawit
umur 11 tahun adalah sebesar 799 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan
jenis tanah, varietas tanaman, dan lain sebagainya sangat mempengaruhi kandungan
C tanaman sawit. Beberapa penelitian terdahulu juga telah melakukan penelitian
tentang pendugaan C biomassa kelapa sawit pada berbagai jenis lahan. Cadangan
C biomassa pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkisar antara
31-101 ton/ha (Lasco 2002).
Siklus Karbon
Karbon dapat dijumpai di atmosfer sebagai karbon dioksida, di dalam
jaringan tubuh makhluk hidup, dan tebesar dijumpai dalam batuan endapan serta
bahan bakar fosil yang terdapat di dalam perut bumi. Karbon masuk ke dalam tubuh
organisme melalui rantai makanan. Karbon dioksida diserap oleh tumbuhan hijau
melalui proses fotosintesis dan disimpan sebagai biomassa pada berbagai organ,
diantaranya daun. Karbon organik dalam dedaunan hijau kemudian masuk ke tubuh
organisme melalui proses pencernaan dan kembali ke udara melalui proses respirasi.
15
Rangkaian proses ini menghasilkan siklus yang lengkap dan disebut sebagai siklus
karbon. Meskipun demikian, tidak semua karbon pada tubuh organisme kembali ke
atmosfer, sebagian ada yang terikat membentuk biomassa tubuh. Ketika oksigen
tersedia, respirasi aerobik terjadi, yang melepaskan karbon dioksida ke udara atau air
di sekitarnya, menurut reaksi berikut (Wirakusumah, 2003).
C6H12O6 (materi organik) + 6O2
6H2O + 6CO2 + energi
Gambar 2. Siklus Karbon Global
Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO2 di atmosfer dan
CO2 di lautan ke dalam bentuk organik maupun anorganik di daratan dan lautan.
Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C
tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun, dengan adanya aktivitas manusia
(penggunaan bahan bakar fosil dan alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan
pertukaran antara C di atmosfer, daratan, dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan
tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer sebanyak 28% dari
konsentrasi CO2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC, 2000).
Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan
yang mengandung 39 Tt (1 Tera ton = 1012t = 1018g). Sumber terbesar lainnya
16
terdapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomassa pohon,
tumbuhan bawah, nekromasa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau
sekitar 5% dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara
global 4 kali lebih banyak dari pada yang disimpan dalam biomassa vegetasi.
Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan
serapan CO2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer menampung C terendah hanya
sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO2 per tahun 3,3 Gt
(ICRAF, 2001).
Menurut Kinderman et al. (1993) menyatakan bahwa tempat penyimpanan
dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada
perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah, ketersediaan kandungan hara,
dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa,
nekromassa, tanah, dan yang tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak
sebagai media perantara di dalam sikulus karbon. Aliran karbon biotik antara
atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net
primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan
kasar, akaryang mati, dan karbon tanah).
Jumlah C yang disimpan di hutan sangat bervariasi antar sistem penggunaan
lahan, antar tempat, dan antar pengelolaan lahan. Jumlah C yang tersimpan di daratan
khususnya dalam vegetasi dan tanah sekitar 3,5 kali lebih besar dari jumlah C yang
ada di atmosfer dan pertukaran C di daratan dikontrol oleh proses fotosintesis dan
respirasi. Pada skala global C tersimpan dalam tanah jauh lebih besar dari pada yang
tersimpan di vegetasi. Tanah merupakan penyimpan C terbesar pada semua regional
17
sistem regional ekosistem, sedang vegetasi penyimpan C terbesar adalah pada hutan
(IPCC, 2000).
Perkebunan kelapa sawit dari berbagai indikator, lebih unggul dari hutan
tropis dalam memanen energi matahari.
Tabel 3. Perbandingan Kemampuan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Memanen Energi
Matahari Dibandingkan dengan Hutan Tropis
Indikator
Efisiensi fotosintesis (%)
Efisiensi konversi radiasi (g/m)
Pertumbuhan biomass (ton/tahun)
Produksi bahan kering (ton/tahun)
Perkebunan Kelapa Sawit
3,18
1,68
8,3
36,5
Hutan Tropis
1,73
0,86
5,8
25,7
Sumber: Henson, I. E. (1999). Comparative Eco-Physiology of Palm Oil and Tropical Forest.
Oil Palm and The Environment; A Malaysian Perspective. Malaysian Palm Oil
Growers Council. Kuala Lumpur. P9-39
Dari segi efisiensi proses penangkapan energi matahari (efisiensi fotosintesis,
efisiensi konversi radiasi) perkebunan kelapa sawit lebih unggul (lebih efisien)
hampir dua kali lipat dari kemampuan hutan tropis. Kemudian dari segi hasil proses
penangkapan energi matahari (produksi biomassa dan bahan kering) perkebunan
kelapa sawit juga lebih unggul daripada hutan tropis. Pertumbuhan biomassa dan
bahan kering tersebut merupakan indikator produksi energi terbarukan (renewable
energy), laju penyerapan netto CO2 sekaligus laju akumulasi stok karbon yang diserap
persatuan waktu (Sipayung, 2013).
Biomassa dan Cadangan Karbon
Selama pertumbuhan, respirasi harian untuk sebagian besar spesies tumbuhan
budidaya dalam lingkungan budidaya ialah sebesar 25 sampai 30% dari fotosintesis
total, sehingga tumbuhan tersebut berat keringnya bertambah. Apabila respirasinya
lebih besar dibandingkan fotosintesisnya, tumbuhan itu berkurang berat keringnya,
yang dapat ditunjukkan dengan menempatkan tumbuhan dalam ruang gelap, yaitu
dengan mencegah fotosintesisnya (Gardner et al., 2008).
18
Biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area
pada suatu saat. Biomassa umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry
weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) yang
terutama tersusun dari senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon (C),
hidrogren (H), dan oksigen (O) yang diasilkan dari proses fotosintesis tanaman.
Biomassa tumbuhan adalah jumlah berat kering dari seluruh bagian yang hidup dari
tumbuhan dan untuk memudahkannya dibagi menjadi biomassa di atas permukaan
tanah (daun, bunga, buah, ranting, cabang, batang) dan biomassa di bawah
permukaan tanah (Anwar et al., 1984).
Hasil penelitian Hertel et al. (2009) pada lahan bervegetasi hutan primer di
Sulawesi menunjukkan bahwa rata-rata total biomassa tegakan sebesar 303 ton/ha
yang terdiri dari 286 ton/ha berasal dari biomassa di atas permukaan tanah dan dari
akar sebesar 16,8 ton/ha. Kusmana et al. (1992) menyatakan bahwa variasi biomassa
juga dipengaruhi karena perbedaan faktor iklim seperti curah hujan dan suhu. Hal ini
disebabkan karena suhu dan cahaya merupakan faktor lingkungan yang berdampak
bagi proses biologi tumbuhan dan pengambilan karbon oleh tanaman melalui proses
fotosintesis.
Karbon di dalam tumbuhan terikat dalam bahan organik dan terdistribusi
dalam selulosa (40%), polisakarida lain (26%), dan lignin (30%). Sementara itu
distribusi lignin di dalam dinding sel dan kandungan lignin dalam bagian pohon
tidak sama (Adiriono, 2009). Menurut Limbong (2009) unsur karbon merupakan
bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Dinding sel batang secara umum
tersusun oleh selulosa, lignin, dan bahan ekstraktif yang sebagian besar tersusun atas
unsur karbon.
19
Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO2 dari udara
dan mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana
biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas
daun yang disinari, suhu, dan sifat masing-masing jenis tumbuhan. Sisa hasil
fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan dinamakan produktivitas primer
bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi
primer bersih (Whitmore, 1985). Biomassa diukur dari biomassa di atas permukaan
tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah, dari bagian tumbuhan yang hidup,
semak, dan serasah (Brown dan Gaston, 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi
biomassa tanaman antara lain adalah umur tanaman, perkembangan vegetasi,
komposisi dan struktur tanaman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor iklim seperti
suhu dan curah hujan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Thenkabail (2004)
menyatakan bahwa kandungan C biomassa per hektar hanya antara 14,75-14,94 ton
pada umur tanam 1-5 tahun.
Penelitian Muhdi et al. (2014) menyatakan bahwa rata-rata biomassa terbesar
pohon berasal dari batang, yakni 416,6 kg atau 82,97% dari total biomassa pohon.
Selanjutnya biomassa pelepah sebesar 45,2 kg (9,01%), dan daun sebesar 30,3 kg
(6,03%).
Hasil penelitian Muhdi (2013) pada 55 pohon contoh di hutan alam tropika,
Kalimantan Timur menyatakan rata-rata biomassa terbesar pohon berasal dari batang
yakni 485,65 kg (64,31%) dari total biomassa pohon. Biomassa akar sebesar 163,76
kg (21,68 %), cabang 76,69 kg (10,16%), daun 28,84 kg (3,82%), dan buah 0,18 kg
(0,18%) dari total biomassa pohon. Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium
menunjukkan bahwa rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada daun, yakni sebesar
20
108,72%, sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian cabang sebesar
80,21%. Daun memiliki nilai kadar air tertinggi disebabkan oleh struktur daun
tersusun atas rongga stomata yang diisi oleh sedikit bahan penyusun kayu seperti
selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Penelitian di tahun yang berbeda dan di lokasi yang berbeda oleh
Muhdi et al. (2014) pada perkebunan sawit di Sumatera Utara yang menyatakan
bahwa rata-rata kadar air tertinggi terdapat pada pelepah, yakni sebesar 261,9%,
sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian daun, yakni sebesar 143,9%.
Sedangkan hasil penelitian Iswanto et al. (2010) menyatakan bahwa besarnya kadar
air tanaman kelapa sawit berkisar antara 219,9-379,4%.
Hasil di atas diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Onrizal (2004)
dan Hilmi (2003) menunjukkan bahwa kadar air terendah terdapat pada batang. Hal
ini disebabkan karena batang lebih banyak disusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin,
dan zat ekstraktif sehingga rongga sel batang sedikit terisi oleh air.
Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan dengan
bantuan sinar matahari kemudian diubah menjadi karbohidrat untuk selanjutnya
didistribusikan ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam bentuk daun, batang,
cabang, buah dan bunga (Hairiah dan Rahayu, 2007). Walaupun aktifitas
fotosintesis terjadi di daun, namun ternyata distribusi hasil fotosintesis terbesar
digunakan untuk pertumbuhan batang.
Produktivitas suatu komunitas merupakan satu refleksi dari fotosintesis netto
dari spesies-spesies komponennya, dan dipengaruhi kuat oleh banyak faktor selain
daripada intensitas cahaya. Variasi di dalam produktivitas antar komunitas dapat
merupakan akibat faktor-faktor lingkungan, seperti temperatur atau ketersediaan air
21
atau nutrien-nutrien mineral, atau mungkin suatu refleksi dari umur komunitas
tersebut.
Sebagian
besar
dari
urutan-urutan
suksesional
memperlihatkan
kecenderungan yang jelas dari produktivitas, yang ternyata sangat rendah di tanamantanaman yang berkoloni sebelum sesuatu bentuk susunan kanopi yang rumit
berkembang, meningkat sampai suatu maksimum bila satu kanopi dengan banyak
lapisan dibentuk, dan sangat sering menurun di dalam komunitas klimaks
(Fitter dan Hay, 1981).
Karbon
adalah
bahan
penyusun
dasar
semua
senyawa
organik.
Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui
zat kimia lain. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi
seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan
terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO2, dari atmosfer melalui
stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya
sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian
menjadi sumber karbon bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme
mengembalikan CO2 ke atmosfer (Campbell et al., 2004).
Cadangan karbon adalah jumlah karbon dalam suatu pool. Pool karbon
adalah suatu sistem yang mempunyai mekanisme untuk mengakumulasi atau
melepas karbon. Contoh pool karbon adalah biomassa hutan, produk-produk kayu,
tanah, dan atmosfer. Penyerapan karbon adalah proses memindahkan karbon dari
atmosfer dan menyimpannya dalam reservoir (Masripatin dkk., 2010).
Hairiah et al. (2011) menyebutkan bahwa cadangan karbon atau karbon
tersimpan pada ekosistem daratan disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu:
1. Bagian hidup (biomassa)
22
Massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, ranting, dan tajuk
pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman
semusim.
2. Bagian mati (nekromassa)
Massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan
(batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak
atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.
3. Tanah (bahan organik tanah)
Bahan organik tanah adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan
manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan
telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya < 2 mm.
Wibowo (2010) menyebutkan terdapat lima sumber karbon (carbon pools),
yaitu:
1. Karbon di atas permukaan tanah
a. Biomassa pohon. Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang
sangat penting pada ekosistem hutan karena sebagian besar karbon hutan
berasal dari biomassa pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar penyimpanan
C di daratan.
b. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang
berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma.
2. Karbon di dalam tanah
Biomassa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam
tanah dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama.
3. Nekromassa
23
Merupakan batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan
tergeletak di permukaan tanah yang merupakan komponen penting dari C.
4. Serasah
Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan rantingranting yang terletak di permukaan tanah.
5. Bahan organik tanah
Sisa tanaman, hewan, dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam
tanah, dimana sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga
melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.
Besarnya karbon tersimpan di atas permukaan (above ground C-stock) sangat
ditentukan oleh jenis dan umur tanaman, keragaman dan kerapatan tanaman,
kesuburan tanah, kondisi iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut, lamanya
lahan dimanfaatkan untuk penggunaan tertentu, serta cara pengelolaannya. Contoh
variabilitas simpanan karbon dari berbagai jenis tanaman pada lahan gambut di
Kalimantan barat (Susanti et al., 2009), menunjukkan bahwa kelapa sawit dan karet
mempunyai karbon tersimpan yang tidak jauh berbeda dibanding hutan sekunder
yakni berkisar 41-45 ton/ha. Namun demikian, dalam kondisi hutan alami atau dalam
kondisi relatif klimaks, besarnya above ground C-stock bisa mencapai >200 ton/ha.
Umur tanaman sangat menentukan besarnya karbon tersimpan. Oleh karena
itu, dalam menentukan karbon tersimpan dalam biomassa tanaman, digunakan nilai
time average (rata-rata simpanan karbon dalam satu siklus hidup tanaman). Karbon
tersimpan pada tanaman kelapa sawit pada berbagai umur tanaman, dengan nilai time
average-nya menunjukkan perbedaan. Perbedaan nilai time average C tanaman sawit
yang didapat Rogi (2002) yaitu sebesar 60 ton/ha disebabkan oleh adanya perbedaan
24
faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan dan kemampuan tanaman dalam
menambat karbon, misalnya kesuburan tanah, varietas tanaman, dan lain sebagainya
(Susanti et al., 2009).
Gambar 3. Karbon Tersimpan Dalam Tanaman Kelapa Sawit Pada Berbagai Umur
Tanaman Serta Nilai Time Average C (Sumber: Rogi, 2002).
Hasil penelitian Muhdi (2012) di hutan alam tropika, Kalimantan Timur
menyatakan rata-rata kadar karbon berdasarkan kelas diameter memiliki kadar
karbon yang bervariasi, yakni kadar karbon terbesar terdapat pada bagian batang
sebesar 45,75%, dengan kisaran kadar karbon antara 40,29-53,12%. Rata-rata kadar
karbon terkecil yakni pada daun sebesar 19,61%, dengan kisaran kadar karbon ratarata 15,31-22,58% dikarenakan daun memiliki kadar zat terbang dan kadar abu
yang tinggi. Selain itu, daun hanya mengandung sedikit bahan penyusun kayu
sehingga kadar karbon tersimpan sedikit. Besarnya kadar karbon tergantung pada
kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu
maka kadar karbon juga semakin rendah. Rata-rata massa karbon terbesar pohon
berasal dari batang, yakni 253,31 kg (71,14%). Selanjutnya massa karbon akar
sebesar 62,24 kg (17,48%), cabang 34,03 kg (9,56%), daun 6,41 kg (1,80%), dan
buah 0,06 kg (0,02%).
Hasil penelitian Kusuma (2009) menyatakan bahwa rata-rata kadar karbon
tertinggi terdapat pada pangkal batang sebesar 61,62%. Demikian pula halnya
25
dengan penelitian Febrina (2012) yang menyatakan bahwa kadar karbon terbesar
terdapat pada bagian batang sebesar 63,49%.
Kadar karbon pada bagian jaringan pohon lainnya seperti cabang, ranting,
daun dan akar lebih rendah dibandingkan kadar karbon pada batang, karena pada
bagian-bagian ini kadar zat terbang dan kadar abu yang relatif lebih tinggi
dibandingkan pada batang pohon. Batang memiliki kadar karbon yang terbesar
karena pada masa pertumbuhan dan masa produktif, pohon menyerap karbon
melalui daun dalam proses fotosintesis dan hasilnya langsung disebar ke seluruh
bagian pohon yang lain. Bagian pohon yang mampu menyimpan lebih banyak
adalah pada bagian terbesar yaitu batang. Sedangkan daun umumnya tersusun oleh
banyak rongga stomata yang berfungsi untuk pertukaran gas sehingga kurang padat
dan tidak banyak menyimpan karbon.
Kadar karbon memiliki hubungan negatif dengan kadar abu dan kadar zat
terbang. Artinya, semakin tinggi kadar karbon terikat dalam kayu, maka semakin
rendah kadar abu dan kadar zat terbang. Menurut Hilmi (2003), daun memiliki kadar
zat terbang terendah karena daun tersusun atas klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil
b (C55H70O6N4Mg) dengan berat molekul tinggi sehingga meningkatkan kadar abu
pada proses karbonisasi.
Tingkat penyerapan karbon di hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
antara lain adalah iklim, topografi, karakteristik lahan, umur, kerapatan vegetasi,
komposisi serta kualitas tempat tumbuh (Aminudin, 2008). Tingginya kadar karbon
pada bagian batang disebabkan karena unsur karbon menurut Limbong (2009)
merupakan bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Kayu secara umum
tersusun oleh selulosa, lignin dan bahan ekstraktif yang sebagian besar disusun dari
26
unsur karbon. Kadar karbon bagian batang pohon penting dalam menduga potensi
karbon tanaman dan banyak digunakan sebagai dasar perhitungan dalam pendugaan
karbon. Ini erat hubungannya dengan dimensi diameter (Dbh) sebagai indikator
penting dalam kegiatan pengukuran dan perencanaan hutan.
Lebih jelas menurut Aminudin (2008) batang merupakan kayu yang
40-45% tersusun oleh selulosa. Selulosa merupakan molekul gula linear yang
berantai panjang yang tersusun oleh karbon, sehingga makin tinggi selulosa maka
kandungan karbon akan makin tinggi. Adanya variasi horizontal mengakibatkan
adanya kecenderungan variasi dari kerapatan dan juga komponen kimia penyusun
kayu. Makin besar diameter pohon diduga memiliki potensi selulosa dan zat
penyusun kayu lainnya akan lebih besar.
Pemanasan global memiliki dampak besar pada hutan-hutan di dunia.
Ekosistem hutan bisa menjadi sumber dan penyerap karbon. Sektor kehutanan telah
menyumbangkan emisi CO2 sebesar 17,3% dari total emisi gas rumah kaca lainnya
ke atmosfer (IPCC, 2007). Akan tetapi, ekosistem hutan dapat membantu
mengurangi konsentrasi C di atmosfer melalui proses fotosintesis. Melalui proses
fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat,
kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting, daun,
bunga, dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C yang disimpan dalam
biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang
mampu diserap tumbuhan. Nabuurs dan Mohren (1993) mengemukakan model
siklus karbon seperti pada gambar 4 berikut.
27
CO2
CO2
Fotosintesis
dan Respirasi
dan Respirasi
Daun
Cabang
Akar
Batang
Dipanen
Serasah
Dekomposisi
Dekomposisi
CO2
Dekomposisi
Humus
CO2
CO2
Gambar 4. Siklus karbon
Pemodelan Biomassa Tanaman
Metode allometrik merupakan metode pengukuran pertumbuhan tanaman
yang dinyatakan dalam bentuk hubungan-hubungan eksponensial atau logaritma
antar organ tanaman yang terjadi secara harmonis dan perubahan secara proporsional
(Parresol, 1999).
Oohata (1991) menyatakan persamaan allometrik dibentuk dengan cara
menebang pohon per pohon terlebih dahulu, selanjutnya persamaan yang diperoleh
diterapkan pada tanaman pohon yang masih berdiri. Berdasarkan pengalaman,
dikatakan bahwa persamaan allometrik hasilnya akan akurat apabila variabel
bebasnya dinyatakan dalam formulasi volume pohon yang direpresentasikan dalam
28
bentuk D2H. Martin et al. (1998) juga menyatakan bahwa persamaan allometrik dapat
digunakan untuk menghubungkan antara diameter batang pohon dengan variabel
yang lain seperti volume kayu, biomassa pohon, dan kandungan karbon pada
tanaman hutan yang masih berdiri (standing stock).
Metode estimasi dilakukan dengan menggunakan asumsi-asumsi yang lazim
digunakan untuk menaksir kandungan karbon vegetasi hutan. Menurut Brown et al.
(1984) bahwa kandungan karbon vegetasi pohon adalah 50% dari biomassa.
Berdasarkan cara memperleh data, Brown (1997) mengemukakan ada dua
pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama
berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang
kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha). Sedangkan pendekatan
kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa.
Terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa, yaitu (i) sampling dengan
pemanenan (destructive sampling) secara in situ; (ii) sampling tanpa pemanenan
(non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ; (iii)
pendugaan melalui penginderaan jauh; dan (iv) pembuatan model. Untuk masingmasing metode di atas, persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi
cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometrik standard
yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan
allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan
standard ini dapat mengakibatkan galat (error) yang signifikan dalam
mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Heiskanen, 2006).
Pemodelan adalah pengembangan analisis ilmiah yang dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yang berarti bahwa dalam memodelkan suatu ekosistem akan
29
lebih mudah dibandingkan dengan ekosistem sebenarnya (Onrizal, 2004). Model
biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui fotosintesis dan kehilangan
karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ
tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan
melalui persamaan tinggi dan diameter pohon (Johnsen et al., 2001). Kittredge (1944)
untuk pertama kali merumuskan metode allometrik dalam bentuk formulasi
logaritmik sebagai berikut:
Y = aXb
Keterangan:
Y = variabel bergantung (dalam hal ini kandungan biomassa)
X = variabel bebas (dalam hal ini dapat berupa diameter batang atau tinggi pohon)
a, b = konstanta
Model hubungan antara biomassa pohon atau massa karbon pohon dengan
dimensi pohon (diameter dan tinggi pohon) dibuat dengan metode hubungan
allometrik yang menggambarkan biomassa atau massa karbon per pohon sebagai
fungsi dari diameter pohon dan atau tinggi pohon. Persamaan empiris untuk menduga
biomassa sesungguhnya hampir sama dengan persamaan empiris untuk menduga
volume yaitu berdasarkan hubungan antara bobot kering biomassa (W), diameter
pohon (D), dan tinggi pohon (H). Model yang digunakan untuk membangun
alometrik yaitu menggunakan model regresi non linear, baik yang berbentuk pangkat
(power), kuadrat (quadratic), logarithmic, dan exponential.
Proses menganalisis hubungan nilai dan biomassa dilakukan dengan
menggunakan program Microsoft excel atau software SPSS. Pemilihan model terbaik
menggunakan kriteria koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj) dan Root Mean
Square Error (RMSE) paling rendah. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi yang
terkoreksi (R2adj), maka semakin besar peranan nilai peubah tersebut dalam
30
menjelaskan nilai biomassa atas permukaan. Semakin rendah nilai RMSE maka
semakin akurat hasil penaksiran yang diperoleh.
Data diameter dan tinggi pohon diperoleh dengan melakukan pengukuran
pada tanaman yang akan diduga besarnya biomassa dan cadangan karbonnya.
Namun, kendala dalam pengambilan data tinggi tanaman seringkali menjadi
masalah sehingga kurang dianggap penting dan tidak dicatat. Adiriono (2009)
menyatakan ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam
kegiatan pengukuran tinggi tanaman, yaitu:
1. Kesalahan melihat puncak tanaman dikarenakan kondisi tanaman yang rapat
sehingga puncak tanaman tidak terlihat.
2. Tanaman yang akan diukur posisinya miring atau condong. Kesalahan ini dapat
diminimumkan dengan membuat garis tegak lurus terhadap arah condong dan
melakukan pengukuran dari garis tersebut.
3. Jarak antara pengukur dengan tanaman yang diukur tidak horizontal, biasanya
terjadi pada kondisi lapangan yang miring > 15%.
4. Tingkat keakuratan alat pengukuran, dimana tiap-tiap alat pengukuran tinggi
memiliki keakuratan yang berbeda-beda.
Pendugaan data lapangan dilakukan untuk mengetahui besarnya biomassa
atas permukaan pada plot-plot ukur yang telah ditentukan. Pendugaan biomassa
dilakukan
dengan
menggunakan
persamaan
allometrik
seperti
penelitian
Yulianti (2009) yang menemukan persamaan model allometrik kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) dengan varietas Marihat yang dikelola oleh PT. Perkebunan
Nusantara sebagai berikut:
W = 2,14 exp-5 (D1,51*H1,33)
31
Keterangan:
W = Biomassa atas permukaan (ton/ha)
D = Diameter setinggi dada dengan pelepah (cm)
H = Tinggi total kelapa sawit (cm)
Persamaan allometrik dipilih dengan mempertimbangkan kesamaan varietas
dan cara pengelolaan kelapa sawit. Menurut Yulianti (2009), kisaran total biomassa
kelapa sawit pada umur 1 sampai 18 tahun adalah 1,28 ton/ha sampai 29,87 ton/ha.
Secara umum, volume biomassa pada hutan tanaman relatif lebih besar dibandingkan
kelapa sawit. Penelitian di tahun yang berbeda oleh Yulianti dkk (2010) pada
agroekosistem kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV menyimpulkan bahwa
model persamaan alometrik yang terbaik pada penelitiannya adalah model dengan
bentuk Ŷ = ß0Dß1Hß2.
Untuk menduga biomassa atas permukaan, persamaan alometrik yang
menghubungkan biomassa dan komponen tanaman yang mudah diukur seperti
diameter batang sangat diperlukan. Niklas (1994) menyebutkan alometrik berasal
dari bahasa Yunani dari allos (other, lain) dan metron (measure, pengukuran).
Pengukuran alometrik biasa digunakan dalam ilmu biologi untuk menggambarkan
perubahan sistematis dari morfogenesis, fisiologi, adaptasi, dan evolusi
(Huxley, 1993). Perubahan ini biasanya memerlukan pengukuran langsung dengan
menebang pohon (destructive sampling).
Berdasarkan hasil penelitian Purba (2012) bahwa Kabupaten Langkat
memiliki luas areal kebun sawit sebesar 113.725,241 ha. Keberadaan tanaman sawit
kelas umur tanaman menghasilkan pada suatu sistem penggunaan lahan
memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total cadangan karbon. Pada
sawit 70% dari total karbon berasal dari sawit kelas umur tanaman menghasilkan
sedangkan pada sawit kelas umur tanaman belum menghasilkan hanya 30%.
32
Pendugaan cadangan karbon di atas permukaan tanah pada tanaman sawit di
perkebunan Kabupaten Langkat memiliki nilai karbon 68,85 ton/ha (14 tahun).
Cadangan karbon di atas permukaan tanah pada tanaman sawit 3 tahun pada
PT. Mopoli Raya adalah sebesar 19,20 ton/ha. Cadangan karbon di atas permukaan
tanah pada tanaman sawit di areal kebun kelapa sawit Kabupaten Langkat masih
tergolong cukup baik.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Henson (1999) mengungkapkan
bahwa dalam proses ftosintesis (asimilasi) kelapa sawit menyerap sekitar 161 ton
CO2 per hektar per tahun. Bila dikurangi CO2 yang diserap dalam proses respirasi,
maka secara netto kebun kelapa sawit menyerap CO2 sebesar 64,5 ton/ha.
Tabel 4. Hasil Pendugaan Cadangan Karbon Pada Berbagai Perkebunan di Kabupaten
Langkat Dengan Menggunakan Metode Allometrik Tahun 2012
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perusahaan
PT. Kinar Lapiga
PT. Kinar Lapiga
PT. PTPN II
PT. PTPN II
PT. PTPN II
PT. PTPN II
PT. PTPN II
PT. Monopoli Raya
PT. Monopoli Raya
Tahun Tanam
2009
2008
2009
2008
2007
2000
1998
2009
2008
Umur
(tahun)
3
4
3
4
5
12
14
3
4
Total Cadangan
Karbon (ton/ha)
28,18
35,06
19,93
21,49
35,42
55,26
68,85
19,20
21,88
Sumber: Purba, K.D. (2013)
Persamaan pendugaan biomassa yang dibentuk adalah persamaan
pendugaan biomassa batang, cabang, daun, total permukaan tanah, dan akar.
Berdasarkan besarnya standar deviasi model yang terkecil dan nilai koefisien
determinasi yang terbesar, maka model terbaik adalah model dengan satu peubah
penjelas diameter (D) dengan peubah respon tanaman. Alasan lain dalam pemilihan
model tersebut adalah segi ketelitian dan kepraktisan dalam pendugaan biomassa
tanaman maka dalam pendugaan biomassa pada berbagai kondisi hutan adalah
dengan persamaan W = 0,041586 D2.70 (Muhdi, 2013).
Download