BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Persepsi Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi (Mulyana, 2003:167). Menurut Philip Kotler (2006: 174) persepsi merupakan proses di mana orang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran dunia yang berarti. Hal senada juga diungkapkan oleh Schiffman et al (2008), menurut mereka persepsi merupakan proses yang dilakukan individu untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan stimuli ke dalam gambar yang berarti dan masuk akal mengenai dunia. Dalam konteks komunikasi, John R. Wenburg dan William W. Wilmot mengartikan persepsi sebagai cara organisme memberi makna (Mulyana, 2003:168). Jadi, dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan cara seseorang untuk memaknai informasi-informasi yang ada di sekitarnya. Persepsi merupakan inti komunikasi, karena melalui persepsi seseorang memilih dan mengartikan pesanpesan yang ditangkapnya sehingga kemudian dapat menentukan bagaimana ia merespon pesan tersebut. Komunikasi yang efektif tidak akan terwujud tanpa adanya persepsi yang akurat. Sunaryo (2004: 98) menyatakan syarat terjadinya persepsi adalah sebagai berikut: 1) Adanya objek yang dipersepsi. 2) Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi. 3) Adanya alat indera reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus. 4) Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon. Persepsi yang timbul dalam benak setiap orang dapat berbeda antara seorang dengan yang lainnya. Sebagaimana diungkapkan Rahmat (2008) yang mana dikutip oleh Carolina dan Ester (2014: 11) bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural yang ada dalam diri manusia. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli. Sedangkan faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Dengan demikian, perbedaan persepsi yang timbul dalam benak setiap orang dapat berbeda karena dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Sedangkan menurut Robbins (2008: 175-176), ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: 1) Pelaku persepsi, ketika seorang individu melihat target dan berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pribadi dari pembuat persepsi individual tersebut. Karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi meliputi sikap, kepribadian, motif, minat, pengalaman masa lalu, dan harapan-harapan seseorang. 2) Target atau objek, karakteristik dari target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. 3) Situasi, merupakan konteks di mana pelaku persepsi melihat objek atau target. Faktor ini dapat meliputi waktu ataupun keadaan sosial. Timbulnya persepsi dalam benak seseorang tidak terjadi begitu saja, namun persepsi tersebut timbul dari serangkaian proses tertentu. Alex Sobur (2003) menyatakan ada 3 tahap proses persepsi, yaitu: 1) Seleksi, adalah proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. 8 2) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Dalam fase ini rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk. Interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Namun, persepsi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. 3) Reaksi, bertindak sehubungan dengan apa yang telah diserap. Reaksi terdiri dari reaksi tersembunyi yaitu pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi. 2.2. Teori Kategori Sosial Teori kategori sosial beranggapan bahwa terdapat kategori sosial yang luas dalam masyarakat kota industri yang kurang lebih memiliki perilaku sama terhadap rangsangan-rangsangan tertentu. Kategori sosial tersebut didasarkan pada usia, jenis kelamin, tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, tempat tinggal (desa atau kota), ataupun agama. Asumsi dasar dari teori ini adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang sama akan membentuk sikap yang sama dalam menghadapi rangsangan tertentu. Persamaan dalam orientasi serta sikap akan berpengaruh pula terhadap tanggapan mereka dalam menerima pesan komunikasi. Masyarakat yang memiliki orientasi sama, lebih kurang akan memilih isi komunikasi yang sama dan akan menanggapi isi komunikasi tersebut dengan cara yang sama. (Suprapto, 2009: 23) 9 2.3. Komunikasi Politik Komunikasi politik secara etimologis berasal dari kata komunikasi dan politik. Komunikasi sebagaimana diungkapkan oleh Hovland, Janis, dan Kelly merupakan proses di mana individu (komunikator) mengirimkan stimuli (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku orang lain. Harold D. Lasswell, seorang ahli ilmu politik merumuskan definisi komunikasi dalam sebuah rangkaian pertanyaan, “Siapa mengatakan apa, melalui apa, kepada siapa, dan apa akibatnya”. Definisi Lasswell ini kemudian menjadi model yang populer dalam jagat ilmu komunikasi. Sedangkan politik menurut Lasswell adalah ilmu tentang kekuasaan. Hal tersebut tercermin dalam salah satu ungkapannya “when we speak of the science of politics, we mean the science of power.” 1 Bertolak dari definisi-definisi di atas, kita dapat sepakat bahwa komunikasi politik adalah suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik (Cangara: 2009). Sama halnya dengan komunikasi pada umumnya, komunikasi politik mencakup beberapa unsur yaitu: komunikator, pesan, media atau saluran, sasaran dan efek. a. Komunikator politik Komunikator politik sebagai sumber informasi merupakan pihakpihak yang dapat memberikan informasi mengenai hal-hal yang berbau politik yaitu orang-orang yang duduk di pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif, fungsionaris partai politik, LSM, dan kelompokkelompok masyarakat yang dapat memengaruhi jalannya pemerintahan. 1 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 19. 10 b. Pesan politik Pesan politik merupakan inti dari sebuah proses komunikasi politik. Pesan politik dapat disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal, disadari maupun tidak disadari. c. Media Media adalah alat yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya. d. Sasaran Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap partai atau kandidat dalam pemilihan umum. e. Efek Dari sebuah proses komunikasi politik, diharapkan dapat menimbulkan efek yaitu terciptanya pemahaman terhadap pesan-pesan politik yang disampaikan khususnya berkaitan dengan pemerintah maupun partai politik yang pada akhirnya akan bermuara pada keputusan memberikan suara pada partai atau kandidat yang bersangkutan. Adapun fungsi dari komunikasi politik menurut Cangara (2009), yang merupakan kombinasi fungsi-fungsi komunikasi yang dirumuskan oleh McNair dan Goran Hedebro adalah sebagai berikut: a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh lembaga politik. b. Sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan lembaga politik. c. Memberikan motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai. d. Menjadi wadah yang mampu menampung ide-ide masyarakat yang dapat berkembang menjadi opini publik. e. Mendidik masyarakat tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak suara. 11 f. Menjadi hiburan bagi masyarakat dalam konteks “pesta demokrasi” dengan menampilkan juru kampanye, artis, dan para pengamat politik. g. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional. h. Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi. i. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita, agenda setting, maupun komentar-komentar politik. j. Menjadi watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya good governance yang transparan dan akuntabilitas. 2.4. Iklan Politik Iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif (Jaiz, 2014). Tujuan iklan menurut Shimp (2000: 261), di antaranya adalah sebagai berikut: • Informing (memberikan informasi): membuat konsumen sadar akan merk, memberikan informasi mengenai fitur dan manfaat produk, serta membentuk citra positif produk. • Persuading (mempersuasi): membujuk konsumen untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. • Reminding (mengingatkan): menjaga agar merk yang diiklankan tetap terekam dalam benak konsumen. 12 • Adding Value (memberikan nilai tambah): memberikan nilai tambah dengan cara penyempurnaan kualitas dan inovasi pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. • Assisting (mendampingi), sebagai pendamping yang menfasilitasi upayaupaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. Menurut Cangara (2009: 345), iklan politik merupakan “... the purchase and use of advertising space, paid for at commercial rates, in order to transmit political messages to a mass audience”. Iklan politik merupakan elemen yang cukup penting dalam sebuah rangkaian kegiatan komunikasi politik. Pada umumnya, tujuan dari iklan politik adalah untuk membentuk citra dan persepsi positif tentang produk politik yang diiklankan. Adapun media yang dapat digunakan dalam beriklan dapat bermacammacam misalnya baliho, koran, radio, televisi, maupun internet. Melalui iklan, partai politik ataupun kandidat pemilihan umum dapat mengkomunikasikan pesan-pesan kepada calon pemilih. Hingga saat ini, penggunaan televisi sebagai media iklan politik dinilai masih cukup efektif terbukti dengan masih banyaknya iklan politik yang bertebaran di televisi. Robert Denton dalam Cangara (2009: 345) mengatakan bahwa televisi memiliki peranan yang sangat besar dalam pertumbuhan iklan politik. Hal ini dikarenakan adanya simbiosis antara televisi dengan komunikator politik. Televisi tentunya meraup keuntungan dari adanya iklan politik yang masuk dalam kanalnya. Demikian pula dengan sang komunikator politik yang diuntungkan dengan keterjangkauan audiens televisi yang luas sehingga memungkinkan pesannya diterima banyak orang dalam sekejap mata. Televisi sebagai media beriklan memiliki sebagaimana diungkapkan oleh Jefkins (1997: 110-112): a. Kesan realistik. 13 beberapa keunggulan Karena sifatnya yang visual dan merupakan kombinasi warna, suara dan gerakan, hingga nampak hidup dan nyata. b. Masyarakat lebih tanggap. Karena iklan televisi disiarkan dari tumah ke rumah dalam suasana yang serba santai atau rekreatif, maka masyarakat lebih siap memberikan perhatian. c. Repetisi/pengulangan. Iklan televisi bisa ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikanya dan dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu bangkit. d. Adanya pemilihan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang mengefektifkan penjangkauan masyarakat. e. Ideal bagi para pedagang eceran. Selain karena para pedangan suka menonton televisi, hal itu disebabkan iklan-iklan televisi memang sangat membantu usaha mereka, bahkan seolah-olah iklan tersebut ditujukan semata-mata kepada mereka. f. Terkait erat dengan media lain. Tayangan iklan televisi mungkin saja terlupakan begitu cepat, tetapi kelemahan ini bisa diatasi dengan memadukannya pada wahana iklan lain. 2.5. Makna Indonesia Perindo yang sebelumnya menyatakan diri sebagai ormas, resmi mendeklarasikan dirinya sebagai partai politik pada 7 Februari 2015 lalu 2. Sebagai sebuah partai politik baru, Perindo tentunya melakukan berbagai langkah untuk mempromosikan partainya kepada khalayak. Salah satunya 2 Basuki Rahmat N., “Perindo Jadi Partai, Punya Potensi Untuk Menjadi Besar” (online) http://www.cnnindonesia.com/politik/20150207233959-32-30401/perindo-jadi-partai-punya-potensiuntuk-menjadi-besar/ 14 dengan membuat tayangan-tayangan iklan di televisi. Adapun tayangan iklan yang akan peneliti bahas adalah iklan Perindo versi “Siapakah Indonesia”. Dalam iklan tersebut, Perindo mentransferkan makna yang dirumuskan Perindo mengenai siapakah yang layak untuk disebut sebagai Indonesia. Sebagaimana diungkapkan dalam iklan “Siapakah Indonesia”, Indonesia bukanlah soal etnisitas ataupun agama apa yang dianut, namun “Indonesia adalah mereka yang tulus hati mencintai negeri ini. Mereka yang tulus berjuang, bertindak secara nyata, menyejahterakan Indonesia.” Pada pernyataan tersebut tersirat nilai-nilai kebangsaan yaitu patriotisme dan nasionalisme. Adapun menurut Abdulgani dalam Anwar (2014: 51-52) keduanya sama-sama bersumber dari rasa cinta, namun kecintaan tersebut memiliki arah yang berbeda. Patriotisme lebih terarah pada tanah air, sedangkan nasionalisme adalah kecintaan yang lebih terarah kepada sesama bangsa. Keduanya memuat nilai solidaritas, yaitu solidaritas terhadap nasib tanah dan bangsanya. Suprapto dkk. dalam Sakty (2012: 9) menyatakan bahwa patriotisme adalah semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Menurut Bakry dalam Sakty (2012:9) Patriotisme merupakan jiwa dan semangat cinta tanah air yang melengkapi eksistensi nasionalisme. Rashid dalam Sakty (2012: 10) menyebutkan beberapa nilai patriotisme, yaitu: kesetiaan, keberanian, rela berkorban, serta kecintaan pada bangsa dan negara. Nasionalisme menurut Mardiasmo dalam Anwar (2014: 51): “Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaaannya. Secara umum, ini ada tiga, yaitu: otonomi nasionalis, kesatuan nasional dan identitas nasional. Dalam hal ini dapat dijelaskan otonomi nasional sebagai kewajiban untuk mengatur dan mengurus tanah air sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam mengelola pemerintahan termasuk kekayaan alam. Kesatuan nasional, sebagai sifat tunggal demi pemersatu bangsa. Dan identitas nasional, 15 memiliki tujuan bahwa setiap golongan yang menjadikan asas pendapat kejadian memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup bagi negara kebangsaan.” Lebih jauh lagi, Abdulgani dalam Anwar (2014: 52-53) mengungkapkan konsep nasionalisme Indonesia sebagai berikut: “Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang tidak didasarkan atas persamaan ras, suku dan agama. Melainkan semata-mata didasarkan atas suatu konsepsi mental spiritual, yaitu sikap mental untuk terus hidup bersatu sebagai bangsa, bersumber kepada kebudayaan Indonesia sendiri dan berkepribadian sendiri. Ia adalah nasionalisme yang ber “Bhineka Tunggal Ika”, suatu dasar yang telah diletakkan oleh pujangga Empu Tantullar dalam bukunya “Sutasoma” pada abad ke-13. Nasionalisme Indoensia mengutamakan kerukunan dan menentang perpecahan. Hal ini juga berlaku di bidang kehidupan beragama yang berbeda-beda. Nasionalisme dalam hal ini, memelihara dan menyuburkan kerukunan itu.” Konsep nasionalisme berkaitan erat dengan konsep bangsa. Menurut Suryadinata (2010: 187-188), negara-negara di Asia Tenggara umumnya terbagi menjadi dua jenis: negara pribumi (indigenous state) dan negara imigran (immigrant state). Negara pribumi cenderung menganut konsep ethno-nation (bangsa berdasarkan ras dan etnis) sedangkan negara imigran cenderung pada konsep social-nation (bangsa yang berdasarkan multi-ras dan multi-etnis). Indonesia sendiri meskipun merupakan negara pribumi, namun pada dasarnya konsep kebangsaan Indonesia bukan berdasarkan ethno-nation karena Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Akan tetapi ketika dihadapkan dengan “masalah Tionghoa”, konsep bangsa Indonesia seakan lebih dekat dengan ethnonation yang menonjolkan aspek kepribumiannya. Dalam konsep tersebut, kebangsaan seseorang ditentukan berdasarkan ras dan etnis, sehingga etnis Tionghoa peranakan yang meskipun sudah berstatus sebagai WNI masih belum bisa dikatakan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. 16 Sebenarnya, para proklamator kita memiliki konsep yang berbeda mengenai bangsa. Hatta memberi batasan bangsa Indonesia dalam arti politik, yaitu seorang demokrat sejati yang berwarga negara Indonesia tanpa melihat keturunannya 3. Sedangkan Bung Karno mendasarkan pemikirannya pada pendapat Ernest Renan dan Otto Bauer. Menurut Ernest Renan, bangsa adalah sekelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang sama. Artinya walaupun di dalam suatu kelompok manusia terdapat berbagai suku, agama, ras, budaya, bahasa, adat istiadat dan sebagainya, namun mereka memiliki sejarah dan citacita yang sama dan dapat disebut dengan bangsa (Chotib, dkk., 2007: 5). Dengan mengacu pada pendapat Ernest Renan, Bung Karno mengatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa (une nation est un âme). Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarité). Kebangsaan tidak bergantung pada persamaan bahasa, meski dengan adanya bahasa persatuan dapat lebih memperkuat rasa kebangsaan. Mengutip pendapat Renan, Soekarno mengatakan yang menjadi pengikat suatu bangsa untuk menjadi satu jiwa adalah kehendak untuk hidup bersama (le désir d’ être ensemble) 4. Menurut Otto Bauer (Cholis, dkk., 2007: 5), bangsa merupakan sekelompok manusia yang memiliki persamaan karakter karena persamaan nasib dan pengalaman sejarah budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan tumbuh kembangnya bangsa. Mengacu pada pendapat Bauer, Bung Karno menekankan perwujudan bangsa sebagai ekspresi persamaan karakter yang tumbuh karena persatuan pengalaman. Dari pendapat Bauer, Bung Karno menyimpulkan bahwa meskipun agama, warna kulit, bahasanya berlain-lainan asalkan sekelompok manusia selama bertahun-tahun mengalami nasib yang sama akan tumbuh persatuan watak, persatuan watak inilah yang menentukan sifat 3 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008 (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 188-189. 4 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 370. 17 bangsa 5. Demikianlah pemikiran Bung Karno mengenai konsep bangsa. Menurut Bung Karno, kebangsaan Indonesia adalah satu tubuh dengan banyak kaki. “Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia banyak kakinya…. ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatera, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa… kaki daripada satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia!” 6 2.6. Politik Identitas Politik identitas secara umum dapat diartikan sebagai politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh seperti persoalan politik yang dimunculkan akibat problematika jender, etnis/ras, maupun persoalan-persoalan politik karena perbedaan agama, kepercayaan, dan bahasa (Abdillah, 2002: 22). Dari definisi tersebut, jelas bahwa jender, etnis, dan agama menjadi wacanawacana yang umum dalam kajian politik identitas. Dalam konteks etnis, pembedaan suku asli dan pendatang kerap kali menjadi sebuah permasalahan. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan masalah Tionghoa. Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai suatu tujuan tertentu, di mana kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu etnis sebagai adanya suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh mereka (Buchari, 2014: 20). Menilik pada masalah Tionghoa di Indonesia, politik identitas pun menjadi sebuah alat perjuangan bagi etnis Tionghoa yang notabene merupakan etnis minoritas nonpribumi. Dalam penelitiannya mengenai etnis Tionghoa di Kalimantan Barat, La Ode menemukan bahwa politik identitas menjadi salah satu faktor penyebab keterlibatan etnis Tionghoa dalam dunia 5 6 Ibid. Ibid. hlm. 369. 18 politik di Indonesia 7. Adapun tujuan dari perjuangan politik etnis Tionghoa di sana adalah untuk mencapai persamaan status bagi semua etnis. Demikian halnya dengan masalah yang peneliti angkat dalam penelitian ini, politik identitas menjadi konsep yang tak dapat diabaikan dalam mempersepsi iklan Perindo versi “Siapakah Indonesia?”. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa konsep bangsa Indonesia merupakan salah satu kunci penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Kenyataan mengenai identitas Ketua Umum DPP Perindo yang berasal dari etnis Tionghoa tak dapat dipisahkan dari upaya Perindo untuk mengubah pandangan masyarakat mengenai konsep bangsa Indonesia melalui iklan yang ditayangkannya. 2.7. Penelitian-Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya yang menjadi referensi bagi penelitian ini di antaranya penelitian Achmad Fuad Abdul Rozak (2009) berjudul IKLAN POLITIK CALEG DALAM PERSEPSI PEMILIH PEMULA (Study Deskriptif Kualitatif Tentang Iklan Politik Caleg DPRD II Surakarta Melalui Media Luar Ruang Dalam Persepsi Pemilih Pemula di SMA Negeri III Surakarta). Penelitian tersebut mengungkapkan secara terperinci bentuk iklan politik caleg DPRD II Surakarta yang menggunakan media luar ruang serta bagaimana pemilih pemula mempersepsi iklan tersebut. Dalam menganalisis persepsi pemilih pemula, peneliti menggunakan tiga tahapan persepsi: seleksi, interpretasi, reaksi. Selain itu penelitian yang juga menjadi referensi peneliti adalah penelitian Rintis Tri Hartanto (2015) dengan judul PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP IKLAN POLITIK ABURIZAL BAKRIE PADA MEDIA TELEVISI TV ONE (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Mahasiswa Terhadap Iklan Politik Aburizal Bakrie di Media Televisi TV ONE Pada Mahasiswa Komunikasi Non Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2011). Penelitian tersebut 7 M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008 (Jakarta: Yayasan Obor, 2012), hlm. 185. 19 menganalisis persepsi mahasiswa terhadap beberapa iklan politik Aburizal Bakrie (ARB) yang tayang di TV One. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap iklan politik ARB bervariasi, namun ada kecenderungan persepsi mahasiswa melihat dari visi misi dan latar belakang ARB. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu meneliti persepsi audiens terhadap iklan politik. Peneliti ini juga menggunakan tiga tahap persepsi dalam menggambarkan persepsi, sama halnya dengan penelitian Hartanto (2015). Namun berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya, peneliti mencoba menggambarkan persepsi mahasiswa secara spesifik terhadap makna Indonesia yang terkandung dalam iklan “Siapakah Indonesia?”. Selain itu, peneliti juga menggunakan teori Kategori Sosial untuk melihat adanya kecenderungan persepsi pada mahasiswa UKSW. 2.8. Kerangka Pikir Konsep Indonesia pribumi nonpribumi Kurangnya penerimaan terhadap etnis Tionghoa dalam bidang politik Perindo Iklan TV versi “Siapakah Indonesia?” Makna Indonesia Teori Kategori Sosial Persepsi mahasiswa UKSW: • Seleksi • Interpretasi • Reaksi Bagan 1: Kerangka Pikir Penelitian 20