AFRILLIA HERWANTI - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
GADAI ATAS BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN
PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE
CABANG TANGERANG
SKRIPSI
Oleh:
AFRILLIA HERWANTI
E1A009013
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
GADAI ATAS BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM
PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. FEDERAL
INTERNATIONAL FINANCE CABANG TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Soedirman
Oleh:
AFRILLIA HERWANTI
E1A009013
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
iii
PRAKATA
Segala Puja dan Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah melimpahkan Berkat dan Kasih Karunia -Nya, sehingga
Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Gadai Atas Benda Objek
Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen di PT. Federal
International Finance (FIF) Cabang Tangerang sebagai syarat untuk mendapat
gelar kesarjanaan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto.
Pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tid ak akan berhasil dengan baik
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bimbingan.
2.
Bapak Edi Waluyo, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
Dosen Pembimbing I yang telah bersedia menyediakan waktunya setiap hari
untuk memberikan banyak bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis
kuliah serta pemahaman ilmu dalam penulisan skripsi ini.
3.
Bapak Nur Wakhid, S. H., M. H. selaku Dosen Pembimbing II yang juga
telah memberikan banyak bimbingan dan arahan serta ilmu dalam penulisan
skripsi ini.
4.
Bapak Budiman Setyo Haryanto, S. H., M. H. selaku Dosen Penguji Skripsi
yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan demi kesempur naan
skripsi ini.
iv
5.
Ibu Haedah Faradz, S. H., M. H. Selaku pembimbing akademik yang telah
membantu memberikan motivasi dan memperlancar proses perkuliahan.
6.
Seluruh Dosen, Staff Administrasi, dan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas
Jenderal
Soedirman
yang
mendidik,
dan
memberikan
pengetahuan baik mengenai mata kuliah atau di luar mata kuliah.
7.
Keluarga besar PT. Federal International Finance (PT. FIF) Cabang
Tangerang, terima kasih atas izin dan data yang telah diberikan terkait skripsi
ini.
8.
Keluarga besar mahasiswa FH Unsoed khususnya teman-teman angkatan
2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas
kebersamaan yang telah kita lewati bersama.
9.
Keluarga besar Lembaga Kajian Hukum dan Sosial (LKHS), Pro Justicia
(PJ), Justicia English Club, terima kasih atas kebersamaannya dan
pengalaman yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti studi di
Fakultas Hukum UNSOED ini.
10. Keluarga tercinta yang telah membantu dan memberikan semangat, support
baik materiil maupun immateriil.
11. Para Sahabat, Ancis si tukang delivery order, Yolan – Irma-Deni si penjaga
pintu, Fony, Lincang dan Pameyah yang selalu member ikan support lewat
media social.
12. Teman-teman sependeritaan Iam, Coro, Aci, Ilfan, ina, mila yang selalu
menemani duduk-duduk dan di saat-saat tidak terduga terima kasih atas
v
dukungan, kebersamaan dan kebahagian serta rekan-rekan yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu terima ka sih atas dukungannya.
Purwokerto, November 2013
Penulis
vi
GADAI ATAS BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM
PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT FEDERAL
INTERNATIONAL FINANCE (FIF) CABANG TANGERANG
OLEH :
AFRILLIA HERWANTI
E1A009013
ABSTRAKSI
Perjanjian Pembiayaan Konsumen adalah perjanjian dengan mana
konsumen memberi perintah (kuasa) kepada Perusahaan Pembiayaan
Konsumen, yang menerimanya, untuk dan atas namanya membayar harga
pembelian kepada Penjual (pemasok), dengan pengembalian ditambah bunga
atau biaya secara angsuran. Untuk memberikan pengamanan atas
pengembalian seluruh tagihan yang menjadi kewajiban konsumen, dalam
praktiknya Perusahaan Pembiayan Konsumen, selalu meminta jaminan dalam
bentuk fidusia yang berupa penyerahan hak milik atas benda jaminan dengan
tetap mempertahankan penguasaan benda pada pemberi jaminan. Persoalan
yang muncul dalam penelitian ini adalah digadaikannya benda jaminan
fidusia oleh pemberi fidusia, yang kemudian dilanjutkan dengan peristiwa
gadai ulang oleh penerima gadai, dan untuk penyelesaian permasalahan
tersebut, para pihak yang terkait melakukan oper alih kredit. Berdasarkan hal
tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah
pemberi jaminan fidusia maupun gadai haruslah orang yang memiliki
kewenangan bertindak; Apakah tindakan gadai ulang yang dilakukan oleh
pemegang gadai kepada penerima gadai melahirkan gadai yang sah menurut
hukum; Konstruksi hukum pakah yang dimaksud dengan perjanjian “oper
alih kredit” antara PT. Federal International Finance dengan Arie Wijaya
dalam sistem hukum perjanjian.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memahami teoriteori hukum atas peristiwa hukum tentang prosedur pembebanan fidusia dan
prosedur lahirnya hak gadai serta novasi. Penelitian ini adalah penelitian
hukum yurid normatif, dengan menggunakan metode pengumpulan data
berupa studi kepustakaan dan studi dokumenter serta wawancara sebagai data
pendukung. Data yang terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk teks
naratif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberi jaminan baik fidusia
maupun gadai harus mempunyai kewenangan bertindak yaitu pemilik. Jika
tidak mempunyai kewenangan bertindak maka jaminan tidak sah. Gadai
ulang merupakan gadai yang tidak sah karena pemberi gadai berkedudukan
sebagai penerima gadai yang tidak mempunyai kewenangan bertindak untuk
memberikan jaminan; P eristiwa oper alih kredit adalah merupakan peristiwa
pergantian kedudukan debitor lama oleh debitor baru, yang dapat terjadi atas
kehendak kreditor atau debitor.
Kata kunci : Jaminan Fidusia, kewenangan bertindak, pemberi jaminan
vii
PAWN ON THE FIDUCIARY OBJECT IN THE CONSUMER
FINANCE AGREEMENT OF PT. FEDERAL INTERNATIONAL
FINANCE TANGERANG
ABSTRACT
Consumer Financing Agreement is an agreement by which the
consumer gives order to the Consumer Finance Company, who receive it, and
on his behalf to pay the purchase price to the seller (supplier), and the
consumer should pay the refund refund plus interest with installments. To
provide safeguards for repayment of all the bills that become obligations of
the consumer, in practice, consumer financing company always ask for
collateral in the form of fiduciary, which means there is transfer of property
right of fiduciary object, while the control of fiduciary object is the debtor.
one of issues that arise in the practice of fiduciary is the fiduciary object
pawned by the consumer, which followed by the repeat pawn by the recipient
of the pawn, and for the settlement of problem, the parties concerned do
credit trans fer. Based on the foregoing, the problems which will be discussed
in this research is whether the giver of fiduciary or pawner should be
someone who has the authority to act; Whether the repeat pawn by the
recipient of pawn is a lawful pawn; What is the meaning of credit transfer in
the legal system of the treaty.
This research was carried out with the purpose to understand about
the installation of fiduciary, pawn rights and novation. This research is the
juridical normative using the method of data collection that is a study if
literature and documentary, and interviews as supporting data. The Data
collected is then presented in the form of a narrative text.
The results showed that in providing the fiduciary or pawn, the
guarantor must have the authority to act (bevoegd beschikking). People who
have the authority to act is the owner. If the guarantor is not the person who
have the authority to act, then the result is that the fiduciary or pawn is not
lawful, which means the fiduciary or pawn was never born; the repeat pawn is
not a lawful pawn because the pawner still serves as the recipient of the pawn,
which means the repeat pawner does not have the authority to act to provide
the guarantee; In the civil law sense, credit transfer is a transfer of authority
from old debtor to new debtor, that happen because of the willingness of the
creditor or debtor.
Key words: Fiduciary, The authority to act, Guarantor
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii
SURAT PERNYATAAN .....................................................................................iii
PRAKATA ............................................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
ABSTRACT .........................................................................................................vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Perumusan Masalah................................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 11
D. Kegunaan Penelitian...................................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................13
A. Hukum Jaminan......................................................................................... 13
1. Pengertian Hukum Jaminan.................................................................13
2. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus.................................................. 15
3. Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan..................................... 18
B. Gadai.......................................................................................................... 20
1. Pengertian Gadai.................................................................................. 20
ix
2. Objek Gadai......................................................................................... 22
3. Orang yang Berwenang Menggadaikan............................................... 23
4. Lahirnya Gadai..................................................................................... 28
5. Hak dan Kewajiban Dalam Gadai........................................................ 36
6. Hapusnya Gadai................................................................................... 38
C. Fidusia........................................................................................................ 39
1. Sejarah dan Pengertian Fidusia............................................................ 40
2. Kedudukan Para Pihak......................................................................... 44
3. Objek Jaminan Fidusia dalam Yurisprudensi................................. .... 47
4. Pengalihan atas Benda Objek Jaminan Fidusia................................ ... 49
5. Sifat-Sifat Fidusia................................................................................. 55
6. Lahir dan Hapusnya Fidusia................................................................. 58
D. Hapusnya Perikatan.................................................................................... 63
1. Hapusnya Perikatan Karena Pembayaran............................................ 64
2. Hapusnya Perikatan Karena Pembaharuan Utang (Novasi)................. 65
a. Novasi Objektif........................................................................ 66
b. Novasi Subjektif Pasif.............................................................. 67
c. Novasi Subjektif Aktif............................................................. 68
3. Akibat Novasi....................................................................................... 71
a. Akibat Novasi Bagi Kreditor................................................... 71
b. Akibat Novasi Bagi Jaminan Kebendaan................................. 72
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................74
A. Metode Pendekatan.................................................................................... 74
x
B. Spesifikasi Penelitian................................................................................. 75
C. Lokasi Penelitian........................................................................................ 75
D. Sumber Bahan Hukum...............................................................................75
E. Metode Penyajian Bahan Hukum............................................................... 76
F. Metode Analisa Bahan Hukum.................................................................. 76
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................78
A. Hasil Penelitian.......................................................................................... 78
B. Pembahasan................................................................................................ 91
BAB V PENUTUP.............................................................................................114
A. Simpulan...................................................................................................114
B. Saran.........................................................................................................115
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam mempertahankan hidupnya mau tidak mau manusia harus
memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, manusia
menggunakan sistem ekonomi tradisional dengan menciptakan hubungan
barter yaitu dengan cara saling tukar menukar benda antar manusia lainnya
yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Seiring dengan
perkembanga n jaman, terjadi peralihan dari sistem ekonomi tradisional
menjadi sistem ekonomi modern dengan adanya alat tukar berupa uang dan
ditandai dengan hadirnya lembaga perbankan (bank) yaitu badan usaha yang
melakukan kegiatan di bidang keuangan dengan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat
dalam bentuk kredit atau angsuran. 1
Alat tukar berupa uang dan munculnya lembaga perbankan
memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi jualbeli dikarenakan bank menyediakan fasilitas kredit, sehingga masyarakat
dapat meminjam dana dari bank untuk membeli kebutuhannya dan
mengembalikan dana tersebut secara angsuran kepada bank. Dengan sistem
kredit ini maka masyarakat yang tidak mampu membeli benda secara tunai
1
Sunaryo, 2008, Hukum Lembaga Pembiayaan,Jakarta, Sinar Grafika, hal. 10.
2
memiliki alternatif lain untuk tetap dapat melakukan pembelian benda yang
dibutuhkan.
Mengenai jual-beli diatur dalam Pasal 1457 Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang berikutnya akan disingkat dengan K.U.H..
Perdata. Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian tersebut
dianggap telah ada setelah terbentuknya suatu kesepakatan antara para pihak
mengena i objek perjanjian jual beli dan harganya.
Pada prinsipnya perjanjian jual beli membebankan kewajiban kepada
kedua belah pihak yang mana pihak penjual akan memberikan bendanya
kepada pihak pembeli setelah pihak pembeli membayar benda sesuai dengan
harga yang telah disepakati. Namun, di masyarakat tidak semua orang
memiliki sejumlah uang pada saat kebutuhan akan benda yang hendak dibeli
sangat mendesak, sehingga transaksi jual beli berkembang sesuai dengan
semakin banyaknya kebutuhan manusia.
Seiring dengan perkembangan jaman, kemajuan di bidang teknologi
semakin berkembang pula, hal ini memacu produsen untuk menghasilkan
benda yang semakin beragam dan laku di pasaran. Munculnya berbagai benda
dengan keunggulannya masing-masing meningkatkan keinginan konsumtif
masyarakat untuk memilikinya, meskipun tidak semua orang memiliki
kemampuan yang sama secara ekonomi untuk membelinya.
3
Namun, bank yang selama ini dikenal luas oleh masyarakat ternyata
tidak mampu memenuhi berbagai keperluan dana yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Kesulitan masyarakat mengakses dana dari bank, disebabkan
antara lain karena jangkauan penyebaran kredit bank yang belum merata,
keharusan bank menerapkan prinsip prudent banking , dan keharusan debitor
untuk menyerahkan jaminan. 2
Dalam mengatasi permasalahan kebutuhan masyarakat akan dana,
pemerintah memperkenalkan sumber dana alternatif lain yang fleksibel sesuai
dengan tingkat kemampuan dan kebutuhan masyarakat, yaitu berupa
Pembiayaan Konsumen yang dilaksanakan oleh Perusahaan Pembiayaan
Konsumen. Melalui pembiayaan konsumen, masyarakat yang tadinya
kesulitan membeli benda secara tunai akan dapat teratasi. Maksud dari
dimunculkannya
perusahaan
pembiayaan
konsumen
adalah
untuk
menggantikan peranan bank sebagai lembaga keuangan formal dalam
menya lurkan kredit konsumen (konsumtif).
Dalam sistem perbankan, fasilitas pemberian pinjaman uang untuk
tujuan pembelian benda dikenal dengan istilah kredit konsumen (konsumtif),
yaitu suatu jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada orang perseorangan
untuk dipergunakan membiayai pembelian benda konsumsi, artinya uang
kredit
2
akan
habis
terpakai
Sunaryo, OpCit, hal. 3.
untuk
memenuhi
kebutuhan
pembelian
4
benda,karena tujuan dari kredit konsumen (konsumtif) adalah untuk
membantu seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya. 3
Ada beberapa pendapat mengenai konstruksi hukum pembiayaan
konsumen, pendapat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua. Pendapat
pertama dikemukakan oleh beberapa penulis yang menyatakan sebagai
berikut:
1)
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniarti yang menyatakan
antara Perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen harus
ada kontrak pembiayaan yang sifatnya pemberian kredit karena
perusahaan pembiayaan konsumen wajib menyediakan kredit
sejumlah uang kepada konsumen sebagai harga benda yang
dibelinya
dari
pemasok,
sedangkan pihak
konsumen
wajib
membayar kembali kredit secara angsuran kepada perusahaan. 4
2)
Sunaryo yang menyatakan bahwa hubungan kontraktual antara
perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen sejenis dengan
perjanjian kredit pada umumnya. Ketentuan – ketentuan tentang
perjanjian kredit dalam K.U.H. Perdata berlaku sepanjang tidak
ditentukan lain. 5
3)
Munir Fuady yang menyatakan bahwa pembiayaan konsumen ini
tidak lain dari sejenis kredit konsumen yaitu kredit yang diberikan
kepada konsumen guna pembelian benda kons umsi dan jasa seperti
3
Muhammad Djumnaha, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, hal. 273 .
4
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan,Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 248.
5
Sunaryo, Op.Cit,hal. 107.
5
yang dibedakan dari pinjaman yang digunakan untuk tujuan
produktif atau dagang. Hanya saja, pembiayaan konsumen dilakukan
oleh perusahaan pembiayaan sedangkan kredit konsumen diberikan
olehbank. Namun demikian, pengertian kredit konsumen sebenarnya
secara substansi sama saja dengan pembiayaan konsumen. 6
Menurut para penulis tersebut, hubungan kontraktual perjanjian
pembiayaan konsumen antara perusahaan pembiayaan konsumen dengan
konsumen “bersifat” atau “sejenis” dengan perjanjian kredit. Namun, pada
hakikatnya mereka menyatakan perjanjian pembiayaan konsumen adalah
perjanjian pinjam – meminjam uang sebagaimana diatur dalam Kitab Undang
– Undang Hukum Perdata (K.U.H.. Perdata) khususnya Buku III Bab XIII
Pasal 1754 – 1773 K.U.H.. Perdata.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Yurico Wibisono, yang
menyatakan bahwa hubungan kontraktual antara perusahaan pembiayaan
konsumen dengan konsumen bukan perjanjian pinjam – meminjam uang,
melainkan “perjanjian pemberian perintah yang mengandung kuasa”
(lastgeving ), dengan ciri khusus : Pemberi perintah (lastgever) adalah
konsumen yang membutuhkan uang guna membeli benda, penerima perintah
(lasthebber) adalah perusahaan pembiayaan konsumen yaitu lembaga
keuangan bukan bank yang kegiatan usahanya menyediaka n dana untuk
6
Munir Fuady, 2006, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek , Bandung,
Citra Aditya Bakti, hal. 126 .
6
membiayai pembelian benda bagi konsumen yang tidak memiliki uang tunai
untuk membeli benda.7
Dengan demikian, menurut pendapat kedua, perjanjian pembiayaan
konsumen adalah termasuk kategori “perjanjian pemberian perintah (yang
mengandung kuasa)” sebagaimana diatur dalam Buku III Bab XVI Pasal
1792 -1819 K.U.H. Perdata, dan berdasarkan ciri khusus tersebut,
Muhammad Yurico Wibisono menyatakan konstruksi hukum perjanjian
pembiayaan konsumen dalam rumusan sebagai berikut :
“Perjanjian Pembiayaan Konsumen adalah perjanjian dengan mana
konsumen memberi perintah (kuasa) kepada perusahaan pembiayaan
konsumen, yang menerimanya, untuk dan atas namanya membayar
harga pembelian kepada penjual (pemasok), dengan pengembalian
ditambah bunga atau biaya secara angsuran”. 8
Menghadapi adanya dua pendapat mengenai konstruksi hukum
perjanjian pembiayaan konsumen yang terjadi antara perusahaan pembiayaan
konsumen dengan konsumen. penulis kemukakan bahwa dalam sistem
keuangan, perbedaan hakiki antara lembaga keuangan (financial intermediary
institution) bank dan bukan bank atau lembaga keuangan lainnya adalah
didasarkan pada jenis kegiatan usaha pokoknya.
Pada prinsipnya lembaga keuangan yang kegiatan usaha pokoknya
menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman uang (kredit), disebut Bank.
Sebaliknya lembaga keuangan yang kegiatan usaha pokoknya menghimpun
7
M. Jurico Wibisono, 2012, Kajian Yuridis Transaksi Pembiayaan Konsumen Pada PT.
Federal Internasional Finance (FIF) Cabang Cilacap, Hasil Penelitian Sarjana Hukum
Universitas Negeri Jenderal Soedirman , hal. 75
8
Loc. Cit
7
dana dari masyarakat “tidak secara langsung” dan menyalurkan dananya
kepada masyarakat “tidak dalam bentuk pinjaman uang”, disebut lembaga
keuangan bukan bank dan selalu disebut atau diberi nama sesuai dengan jenis
kegiatan usaha pokoknya.
Salah satu dari lembaga keuangan bukan bank adalah perusahaan
pembiayaan konsumen yang secara tegas diatur dalam Pasal 1 angka 5
Keppres No. 61 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa perusahaan
pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan
bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam
bidang usaha lembaga pembiayaan.
Hal ini berarti perusahaa n pembiayaan konsumen secara yuridis
normatif kegiatan usaha pokoknya pasti bukan menyalurkan dana dalam
bentuk pinjaman. Konsekuensinya, hubungan kontraktual antara perusahaan
pembiayaan konsumen dengan konsumen tidaklah mungkin dalam bentuk
pinjaman uang.Atas dasar argumentasi tersebut, maka penulis menganut
pendapat yang mengatakan konstruksi hukum perjanjian pembiayaan
konsumen bukanlah perjanjian pinjam meminjam uang melainkan perjanjian
pemberian (mengandung kuasa) dengan ciri khusus.
Pada prinsipnya transaksi pembiayaan konsumen terjadi dengan
mekanisme : Seseorang yang membutuhkan benda datang kepada pemasok
untuk memilih dan menentukan benda (konsumsi) yang dibutuhkan. Setelah
ada kecocokan jenis benda dan harganya, kemudian ia menghubungi
perusahaan pembiayaan konsumen untuk memperoleh pembiayaan atas harga
8
benda yang akan dibelinya. Perusahaan pembiayaan konsumen yang telah
setuju atas pembiayaan tersebut kemudian memberikan fasilitas pembiayaan
dengan tindakan membeli benda tersebut untuk dan atas nama konsumen dan
membayar harga benda secara tunai kepada penjual benda (pemasok). Setelah
menerima pembayaran harga benda, penjual benda (pemasok) menyerahkan
benda tersebut kepada konsumen. Dengan penyerahan benda tersebut, maka
sejak itu konsumen terpenuhi kebutuhannya untuk memiliki benda.
Selanjutnya, konsumen wajib mengembalikan uang pembiayaan yang telah
dikeluarkan untuk membayar harga pembelian benda secara angsuran kepada
perusahaan pembiayaan konsumen.
Dalam praktiknya, guna memberikan pengamanan atas tagihan uang
yang telah dibayarkan untuk membeli benda, perusahaan pembiayaan
konsumen selalu meminta jaminan pengembalian uangnya kepada konsumen
dalam bentuk jaminan fidusia atas benda yang dibeli konsumen. Pengikatan
jaminan fidusia bagi konsumen dianggap tidak memberatkan, karena
konsumen tidak perlu menyediakan benda lain miliknya untuk dijadikan
jaminan.
Bagi perusahaan pembiayaan, pengikatan jaminan fidusia dirasa
cukup aman, karena pada saat itu juga hak milik atas benda yang dibeli
konsumen
berpindah
kepadanya.
Sementara
itu
konsumen
hanya
berkedudukan sebagai pemegang saja (peminjam, pemakai,penyewa), dan
hak milik atas benda yang dibeli baru dapat diperoleh kembali oleh
9
konsumen, apabila ia telah melunasi kewajibannya secara angsuran kepada
perusahaan pembiayaan konsumen.
Dalam praktik transaksi pembiayaan konsumen yang demikian,
persoalan yang secara potensial dapat timbul salah satunya adalah konsumen
tidak secara baik melaksanakan kewajiban angsurannya. Ini berarti konsumen
wanprestasi. Jika konsumen wanprestasi maka akibat hukumnya perusahaan
pembiayaan konsumen dapat mengeksekusi benda jaminan untuk mengambil
pelunasan utang konsumen. Dalam hal demikian tujuan konsumen untuk
memiliki benda kebutuhan yang telah dibeli tidak tercapai. Persoalan lain
yang muncul terhadap pengikatan jaminan fidusia dalam transaksi
pembiayaan konsumen biasanya berkaitan dengan benda jaminan, yaitu benda
jaminan oleh pemberi fidusia dialihkan kepada pihak ketiga, seperti dijual
atau digadaikan.
Salah satu dari peristiwa digadaikannya benda jaminan fidusia dalam
transaksi pembiayaan konsumen yang ditemukan penulis terjadi pada
transaksi pembiayaan konsumen antara PT. Federal International Finance
Cabang Tangerang (selanjutnya disebut PT. FIF) dengan konsumen yang
bernama Firdiyanto. Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh
penulis, diperoleh data awal sebagai berikut:
1)
Firdiyanto menggadaikan objek benda jaminan berupa sepeda motor
merek Honda Revo Spoke 110 dengan nomor polisi B 3530 NNM
kepada Abu Mubarok;
10
2)
Karena Firdiyanto tidak dapat melunasi utangnya, oleh Abu
Mubarok sepeda motor tersebut digadaikan kepada Ari Wijaya;
3)
Abu Mubarok juga tidak mampu melunasi utangnya kepada Ari
Wijaya sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Penyelesaian yang dilakukan oleh Ari Wijaya adalah, membuat
kesepakatan baru dengan pihak PT. FIF berupa “oper alih kredit” dari
Firdiyanto kepada Ari Wijaya. Intinya, dalam transaksi pembiayaan
konsumen tersebut terjadi peristiwa digadaikannya benda jaminan fidusia
oleh konsumen sebagai debitor pemberi fidusia, dan terjadinya “gadai ulang”
oleh penerima gadai, atas benda objek jaminan berupa sepeda motor.
J. Satrio menyatakan bahwa prinsip umum dalam hukum jaminan
adalah bahwa pemberi jaminan haruslah orang yang wenang bertindak bebas
terhadap bendanya (beschikkings bevoegd ) yaitu pemilik. Berdasarkan
statemen tersebut kiranya dapat dinyatakan bahwa dalam transaksi
pembiayaan konsumen antara PT. FIF dengan Firdiyanto terjadi komplikasi
hukum pada aspek jaminannya, namun ternyata penyelesaian komplikasi
hukum tersebut diatasi dengan cara “oper alih kredit”.
Dari uraian tersebut, penulis tak hendak mengkaji mengenai
perjanjian pembiayaan konsumen, karena yang menarik bagi penulis adalah
untuk mengkaji aspek jaminannya yaitu mengenai jaminan fidusia dan gadai
ulang atas benda yang diperoleh melalui transaksi pembiayaan konsumen
oleh PT. FIF kepada Firdiyanto.
11
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal – hal sebagaimana telah diuraikan dalam latar
belakang masalah, perumusan masalah yang dikemukakan adalah:
1. Apakah pemberi jaminan (Firdiyanto) mempunyai kewenangan
bertindak untuk memberikan jaminan ?
2. Apakah tindakan “gadai ulang”yang dilakukan oleh pemegang gadai
(Abu Mubarok) kepada penerima gadai (Ari Wijaya) melahirkan
gadai yang sah menurut hukum ?
3. Apakah yang dimaksud dengan perjanjian “oper alih kredit” antara
PT. Federal International Finance dengan Ari Wijaya dalam sistem
hukum perjanjian ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini,
maka penelitian ini memiliki tujuan antara lain sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui apakah pemberi jaminan fidusia maupun gadai
haruslah orang yang memiliki kewenangan bertindak.
2.
Untuk memahami tentang tindakan “gadai ulang”yang dilakukan
oleh pemegang gadai (Abu Mubarok) kepada penerima gadai (Ari
Wijaya ) melahirkan gadai yang sah sah menurut hukum.
3.
Untuk memahami pengertian dan akibat hukum perjanjian “oper alih
kredit” antara PT. Federal International Finance dengan Ari Wijaya.
12
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan antara lain sebagai berikut :
1.
Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam
perkembangan ilmu hukum, menambah pengetahuan dan wawasan
bagi pembaca khususnya bagi mahasiswa yang hendak melakukan
penelitian
yang
berhubungan
dengan
hukum
jaminan,
dan
menambah referensi mengenai kemungkinan permasalahan yang
akan muncul terhadap model jaminan dalam perjanjian pembiayaan
konsumen dan perjanjian lain yang diikatkan dengan suatu jaminan
tertentu.
2.
Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak
yang melakukan perjanjian khususnya perjanjian pembiayaan
konsumen yang dijaminkan dengan jaminan fidusia, se hingga jika
terdapat permasalahan dalam praktiknya, hasil penelitian ini dapat
memberikan gambaran penyelesaian terhadap suatu permasalahan
dalam peristiwa hukum yang terjadi.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini akan mengkaji mengenai segi jaminan atas pelunasan
tagihan pengembalian uang yang telah dikeluarkan oleh perusahaan
pembiayaan konsumen terhadap konsumen yang menerima pembiayaan guna
membeli
barang
konsumsi.
pembiayaan
konsumen,penulis
pembiayaan
konsumen
Mengenai
adalah
konstruksi
menganut
perjanjian
pendapat
hukum
yang
pemberian
perjanjian
menyatakan
perintah
(yang
mengandung kuasa) dengan ciri khusus.Dengan demikian sesuai dengan
permasalahan yang diajukan, disini hanya akan dikedepankan mengenai
kajian teoritik yang berkaitan dengan aspek jaminannya saja yaitu mengenai
fidusia dan gadai serta aspek yang berkaitan dengan pembayaran hutang
khususnya tentang novasi sebagaimana diatur dalam K.U.H. Perdata. Sebagai
pengantar kajian gadai dan fidusia, pertama -tama akan diuraikan tentang
teori-teori dasar Hukum Jaminan.
A. Hukum Jaminan
1.
Pengertian Hukum Jaminan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah jaminan
berasal dari kata jamin yang berarti “tanggung” sehingga jaminan dapat
diartikan sebagai tanggungan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah
tanggungan atas segala perikatan dari seseorang. Istilah jaminan juga
merupakan terjemahan dari istilah zakerheid atau cautie yaitu kemampuan
14
debitor untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor yang
dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis
sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap
kreditornya.9
K.U.H. Perdata tidak memberikan perumusan mengenai istilah
jaminan. Sehubungan dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman merumuskan
jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan /
atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu
perikatan. 10 Dari pengertian tersebut maka jaminan memiliki fungsi bagi
kreditor untuk mendapatkan pelunasan utang dari debitor apabila debitor
tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan atau wanprestasi.
Untuk
menjamin
pelunasan
piutang
kreditor,
debitor
harus
menyediakan jaminan yang dapat dinilai dengan uang dan memiliki nilai
minimal sebesar jumlah utang debitor. Oleh karena itu, yang dijadikan
jaminan adalah suatu hak atas piutang – piutang atau suatu benda yang dapat
dialihkan kepada orang lain, sehingga jika debitor tidak dapat melunasi
utangnya maka jaminan tersebut dapat diuangkan untuk membayar utang
kepada kreditor.
Sehubungan dengan pengertian istilah jaminan, menurut J. Satrio
hukum jaminan diartikan sebagai peraturan hukum yang mengatur tentang
jaminan – jaminan
9
piutang seorang kreditor terhadap seorang debitor.
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 66.
Hartono Hadisaputro, 1984, Seri Hukum Perdata, Pokok – Pokok Hukum Perdata dan
Hukum Jaminan, Yogyakarta, Liberty, hal. 50.
10
15
Ringkasnya, hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan
piutang seseorang. 11
2.
Jaminan Umum dan Jaminan Khusus
Pada dasarnya jaminan memiliki fungsi sebagai sarana untuk
menjamin pelunasan utang dari debitor terhadap kreditor, karena dalam suatu
perikatan antara debitor dan kreditor, pihak kreditor memiliki suatu
kepentingan bahwa debitor memenuhi kewajibannya dalam perikatan
tersebut.
Kewajiban debitor yang memiliki utang kepada seorang kreditor
adalah melunasi utangnya dengan jaminan seluruh harta kekayaan debitor.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1131 K.U.H.. Perdata yang menyatakan
sebagai berikut :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru akan ada di
kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan.”
Dari pasal tersebut diketahui bahwa selain seluruh harta kekayaan si
berutang (debitor) menjadi jaminan atas utangnya. Mengenai jenis harta yang
menjadi jaminan pelunasan utang debitor pada kreditor yaitu harta yang
sudah ada, maupun baru akan ada di kemudian hari. Hal ini dimaksudkan
apabila Debitor tidak dapat melunasi utang dari harta yang sedang
dimilikinya, maka hal itu tidak menghapuskan adanya utang. Pelunasan utang
selanjutnya dibayarkan pada saat debitor dalam keadaan sanggup membayar
sisanya dengan harta yang ada di kemudian hari.
11
J. Satrio, Op.Cit, hal. 3.
16
Selanjutnya dalam Pasal 1132 K.U.H. Perdata dikatakan, bahwa :
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang
yang mengutangkan kepadanya, pendapatan penjualan dibagi – bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang
masing – masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada
alasan – alasan yang sah untuk didahulukan.”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 dan 1132 K.U.H. Perdata,
berdasarkan sifatnya jaminan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.
Jaminan yang bersifat umum ( Pasal 1131 K.U.H. Perdata);
2.
Jaminan yang bersifat khusus ( Pasal 1132 K.U.H. Perdata).
Jaminan Umum yaitu jaminan yang ditujukan kepada seluruh
kreditor terhadap segala kebendaan milik debitor. 12 Kreditor dalam jaminan
umum ini dinamakan kreditor konkuren karena pada jaminan umum, tiap –
tiap kreditor memiliki kedudukan yang sama dalam menagih pelunasan
piutang dari hasil penjualan segala kebendaan yang dimiliki debitor, sehingga
tidak ada kreditor yang diutamakan atau diistimewakan dari kreditor lain.
Hal ini dikarenakan dalam jaminan umum diletakkan Prinsip
Persamaan Kedudukan dari para Kreditor (Paritas Creditorium), asas ini
memberikan kreditor kedudukan yang sama tinggi baik yang tagihannya
sudah lama ataupun masih baru. Perwujudan persamaan itu diwujudkan
dalam bentuk pembagian hasil penjualan harta kekayaan debitor secara
pond’s – pond’s gewijs, yaitu menurut perimbangan besar kecil masing –
masing tagihan. 13 Hak jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan atau timbul
12
13
Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 74.
Hartono Hadisaputro, Op.Cit, hal. 5.
17
karena undang – undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak
perlu diperjanjikan sebelumnya.
Dalam praktik, jaminan umum ini tidak memuaskan bagi kreditor
karena kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi pinjaman yang
diberikan. 14 Dengan jaminan umum, kreditor tidak mengetahui besarnya
kemungkinan debitor mampu melaksanakan kewajibannya dengan kekayaan
debitor, karena kreditor tidak mengetahui besarnya kekayaan yang dimiliki
oleh debitor, sehingga ada kemungkinan kekayaan yang dimiliki debitor tidak
mencukupi untuk melunasi utangnya terhadap kreditor.
Berdasarkan hal tersebut, seorang kreditor pasti menginginkan
jaminan yang lebih memberi kedudukan terhadap kreditor untuk mengambil
pelunasan utang dari debitor. Agar kreditor memiliki kedudukan yang lebih
baik dibandingkan kreditor lainnya dalam mengambil pelunasan utang, maka
utang kreditor dapat diikatkan dengan jaminan yang bersifat khusus yang
memberikan hak preferensi bagi kreditor. Kreditor yang memiliki hak
preferensi dinamakan dengan kreditor preferen.
Siapa saja yang menjadi kreditor preferen dapat diketahui dari
ketentuan dalam Pasal 1133 K.U.H. Perdata mengenai “alasan – alasan yang
sah untuk di dahulukan”, maksudnya di sini adalah memberikan kedudukan
kreditor untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan piutang.
14
15
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok – Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan , Yogyakarta, Liberty, hal. 45.
15
Hartono Hadisaputro, Op.Cit, hal. 5.
18
Alasan yang sah untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan
piutang itu diberikan dalam Pasal 1133 K.U.H. Perdata yang menyatakan
bahwa :
“Hak untuk didahulukan di antara orang – orang berpiutang terbit
dari hak istimewa dari gadai dan dari hipotik.”
Dari ketentuan Pasal 1133 K.U.H. Perdata tersebut dapat diketahui
bahwa jaminan yang bersifat khusus itu dapat terjadi karena diberikan atau
ditentukan olah undang – undang (hak istimewa) atau dapat terjadi karena
diperjanjikan oleh para pihak dalam perikatan (Gadai, Hipotik, Fidusia).
3.
Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan
Kreditor preferen memiliki kedudukan yang lebih baik daripada
kreditor konkuren karena kreditor preferen adalah kreditor yang piutangnya
ditentukan oleh undang – undang sebagai piutang yang diistimewakan dan
piutang yang diikat dengan kebendaan tertentu atau dijamin oleh seseorang. 16
Jaminan yang bersifat khusus dapat dibedakan atas :
1. Jaminan yang bersifat perseorangan (persoonlijke zekerheidrechten),
yaitu adanya seseorang tertentu atau badan hukum yang bersedia
menjamin pelunasan utang tertentu bila debitor wanprestasi.
2. Jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten), yaitu adanya suatu
kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang.
Jaminan perorangan adalah jaminan yang memberikan kepada
kreditor kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari seorang debitor
16
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal . 76 .
19
yang dapat ditagih. Jaminan perseorangan dapat berupa penjaminan utang
atau borgtocht (personal Guarantee), jaminan perusahaan (Corporate
Guarantee), perikatan tanggung menanggung, dan garansi bank (Bank
Guarantee).17
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada
seorang kreditor kedudukan yang lebih baik, karena kreditor didahulukan dan
dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan
benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitor, selain itu
jaminan kebendaan memberikan tekanan psikologis kepada debitor untuk
melunasi utang – utangnya karena ada benda miliknya yang dipakai sebagai
jaminan. 18 Atas dasar itu benda yang dijadikan jaminan oleh debitor haruslah
benda yang bersifat kebendaan, artinya benda tersebut harus dapat dinilai
dengan uang atau bernilai ekonomis ketika dijual serta dapat dipindah
tangankan atau diasingkan kepada orang lain.
Jaminan kebendaan itu dapat berupa jaminan kebendaan bergerak
dan kebendaan tidak bergerak. Untuk benda bergerak disediakan lembaga
jaminan Gadai (Pasal 1150 K.U.H. Perdata s/d Pasal 1160 K.H.U. Perdata)
dan jaminan Fidusia yang diatur di luar K.U.H. Perdata (Undang – Undang
Nomor. 42 Tahun 1999), sedangkan untuk benda tidak bergerak disediakan
lembaga jaminan Hipotik (1162 K.U.H. Perdata dan selanjutnya).
17
18
J. Satrio, Op.Cit, hal. 13.
J. Satrio, Op.Cit, hal. 12.
20
B. Gadai
1.
Pengertian Gadai
Istilah lembaga jaminan gadai ini merupakan terjemahan kata pand
atau vuistpand (bahasa belanda), pledge atau pawn (bahasa inggris) yang
merupakan lembaga jaminan yang berlaku bagi personal property, pfand atau
faustpfand(bahasa
jerman)
dengan
lembaganya
yang
disebut
zuruckbehaltungsrechte yaitu semacam possesory liens (hak gadai). Dalam
hukum adat Indonesia istilah gadai ini disebut dengan cekelan.19
Dalam K.U.H. Perdata pengertian gadai dirumus kan dalam Pasal
1150 K.U.H. Perdata, sebagai berikut :
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas
suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau orang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari benda tersebut secara didahulukan dari orang-orang berpiutang
lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang benda tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah
benda itu digadaikan, biaya -biaya mana harus didahulukan.”
Dari perumusan Pasal 1150 K.U.H. Perdata di atas dapat diketahui
bahwa gadai merupakan suatu hak jaminan kebendaan atas kebendaan
bergerak tertentu milik debitor untuk dijadikan jaminan pelunasan utang yang
memberikan hak didahulukan kepada pemegang hak gadai atas kreditor
lainnya, setelah terlebih dahulu dikurangi biaya untuk lelang dan biaya untuk
menyelamatkan benda – benda gadai yang diambil dari hasil penjualan benda
itu.
Berikutnya Pasal 1152 ayat (3) K.U.H. Perdata menyatakan :
19
Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 104.
21
“Apabila, namun benda tersebut itu hilang dari tangan penerima
gadai ini atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya
kembali sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1977 ayat (2),
sedangkan apabila hak gadai didapatnya kembali, hak gadai
dianggap tidak pernah hilang.”
Pasal 1152 ayat (3) K.U.H. Perdata ini menunjukkan adanya sifat
droit de suite yang berarti gadai menimbulkan hak kebendaan sehingga hak
gadai selalu mengikuti benda objek jaminan gadai dan dapat dipertahankan
terhadap siapa pun benda tersebut berada. Dengan adanya sifat droit de suite
tersebut maka kreditor memiliki hak untuk menuntut kembali benda – benda
yang digadaikan yang telah hilang atau dicuri orang di tangan siapa pun
benda gadai itu ditemukan.
Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas
suatu kewajiban prestasi tertentu yang timbul dari suatu perikatan sehingga
dapat dikatakan bahwa gadai mengacu kepada perjanjian pokok suatu
perikatan. Yang termasuk perjanjian pokok di sini adalah perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum pinjam meminjam yang pelunasannya
dijamin dengan kebendaan bergerak. 20 Berdasarkan hal tersebut, berarti gadai
merupakan perjanjian assesoir yang berarti gadai hanya akan ada apabila ada
perikatan pokoknya, sehingga apabila perikatan pokoknya hapus maka gadai
juga hapus. Namun, tidak adanya gadai tidak menghilangkan perikatan
pokoknya karena gadai timbul setelah diperjanjikan oleh para pihak.
20
Ibid, hal. 106.
22
2.
Objek Gadai
Yang dimaksud dengan objek hukum dalam gadai adalah benda –
benda apa saja yang dapat dijadikan benda gadai atau yang dapat dijaminkan
dengan jaminan gadai. Pasal 1150 K.U.H. Perdata menyatakan :
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas
suatu benda bergerak......”
Dari ketentuan dalam pasal tersebut dapat diketahui bahwa objek
dari gadai adalah benda bergerak. Menurut Pasal 503 K.U.H. Perdata, benda
bergerak dibagi menjadi benda bergerak bertubuh (lichamelijk) dan benda
bergerak tidak bertubuh (onlichamelijk). Benda bergerak bertubuh misalnya
kendaraan, peralatan elektronik dan peralatan rumah tangga, sedangkan benda
bergerak tidak bertubuh disebutkan di dalam Pasal 1152 ayat (1) dan 1152 bis
K.U.H. Perdata, yang menyatakan :
Pasal 1152 ayat (1) K.U.H. Perdata :
“Hak gadai atas benda – benda bergerak dan atas piutang – piutang
bawa.....”
Pasal 1152 bis K.U.H. Perdata :
“Untuk meletakkan hak gadai atas surat – surat tunjuk diperlukan,
selainnya endosemennya, penyerahan suratnya.”
Berdasarkan kedua Pasal tersebut, maka yang dapat dikategorikan
sebagai benda bergerak tidak bertubuh yaitu berupa piutang – piutang atau
tagihan – tagihan dalam bentuk surat berharga yang dapat dikelompokkan
menjadi: 21
a. Surat berharga atas bawa (aan order, to order);
21
Ibid, hal. 112.
23
b. Surat berharga atas tunjuk (aan tonnder, to bearer);
c. Surat berharga atas nama (op nam).
3.
Orang Yang Berwenang Menggadaikan
Suatu perjanjian akan selalu mengikat para pihak yang membuat
perjanjian. Untuk menentukan siapa saja yang berwenang menggadaikan
suatu benda, terlebih dahulu harus diketahui siapa saja para pihak yang
terlibat dalam perjanjian gadai, yang kemudian akan ditentukan kriteria
seperti apa yang harus dimiliki oleh pihak yang mau menggadaikan suatu
benda.
Para pihak dalam gadai secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua)
subjek hukum, antara lain :22
1)
Pemberi gadai (pandgever) yaitu pihak yang memberikan jaminan
gadai;
2)
Penerima gadai (pandnemer) yaitu pihak yang menerima jaminan
gadai.
Selain pemberi gadai dan penerima gadai, K.U.H. Perdata juga
menyebutkan pihak lain yang dapat ikut serta dalam perjanjian jaminan gadai.
Hal ini disebutkan dalam Pasal 1152 ayat (1) K.U.H. Perdata yang
menyatakan :
“Hak gadai atas benda – benda bergerak dan atas piutang – piutang
bawa diletakkan dengan membawa benda gadainya di bawah
kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa
telah disetujui oleh kedua belah pihak.”
22
D. Gandaprawira, 1979, Pengaturan Hukum Tentang Gadai (PAND), Badan Pembinan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman ed, Hukum Jaminan, Yogyakarta, Binacipta, hal. 71.
24
Dari Pasal 1152 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa ada pihak
lain yang berkedudukan sebagai “pihak ketiga pemegang gadai” apabila para
pihak yaitu pemberi gadai dan penerima gadai menghendakinya. Jadi, benda
gadai tidak harus berada dalam penguasaan penerima gadai saja, namun dapat
berada dalam penguasaan pihak ketiga pemegang gadai, yang penting adalah
benda objek jaminan gadai tersebut keluar dari penguasaan debitor yang
berkedudukan sebagai pemberi gadai.
J. Satrio menyatakan, ada satu lagi pihak dalam gadai yang
berkedudukan sebagai “pihak ketiga pemberi gadai.” Penjelasan dari beliau
adalah sebagai berikut :
“Pasal 1156 ayat (2) K.U.H. Perdata memberikan kemungkinan
bahwa benda yang dijadikan jaminan tidak harus kebendaan milik
debitor tapi dapat juga kebendaan bergerak milik orang lain yang
digadaikan. Dengan kata lain, seseorang dapat saja menggadaikan
kebendaan bergerak miliknya untuk menjamin utang orang lain atau
seseorang dapat mempunyai utang dengan jaminan benda bergerak
milik orang lain. Bila yang memberikan jaminan debitor sendiri,
dinamakan dengan debitor pemberi gadai sedangkan bila yang
memberikan jaminan adalah orang lain, maka yang bersangkutan
dinamakan dengan pihak ketiga pemberi gadai.”23
Berdasarkan pernyataan dari J. Satrio tersebut, pihak ketiga pemberi
gadai adalah pihak yang bertanggung jawab atas utang orang lain, tetapi
tanggung jawabnya hanya berupa kebendaan saja, bukan berarti pihak ketiga
pemberi gadai itu bertanggung jawab untuk memenuhi prestasi kepada
kreditor karena pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai kewajiban
kepada kreditor (tidak mempunyai utang).
23
J. Satrio, Op.Cit, hal. 98.
25
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, dapat diambil
kesimpulan, bahwa pada dasarnya para pihak dalam gadai dapat
dikategorikan menjadi dua:
1)
Pihak yang melakukan perjanjian jaminan gadai yaitu Debitor
pemberi gadai dan Kreditor pemegang gadai;
2)
Pihak ketiga yang turut serta dalam perjanjian jaminan gadai yaitu
pihak ketiga pemberi gadai dan pihak ketiga pemegang gadai.
Setelah mengetahui siapa saja para pihak dalam gadai, maka
selanjutnya
akan
dibahas
mengenai
kewenangan
menggadaikan.
Menggadaikan termasuk dalam tindakan pemilikan (beschikking ) dan
tindakan pemilikan merupakan tindakan hukum yang membawa atau dapat
membawa konsekuensi yang sangat besar, karenanya tidaklah heran kalau
untuk dapat menggadaikan disyaratkan adanya kewenangan bertindak –
kewenangan khusus, tidak cukup kecakapan bertindak saja. 24
Kewenangan bertindak (beschikkingbevoegd) adalah kewenangan
untuk bertindak dalam suatu peristiwa yang khusus. Orang yang wenang
bertindak adalah orang yang memiliki kedudukan untuk melakukan
perjanjian, seda ngkan orang yang tidak berwenang adalah orang yang
tidakmemiliki kedudukan untuk melakukan perjanjian. 25
Yang dimaksud dengan tindakan kepemilikan di sini adalah tindakan
yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan kedudukannya sebagai pemilik.
Dengan kedudukannya sebagai pemilik atas suatu benda, maka berdasarkan
24
Ibid, hal. 111.
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 2,
Bandung, Citra Aditya Bakti, hal . 3.
25
26
Pasal 570 K.U.H. Perdata, seseorang yang menjadi pemilik atas suatu benda
berhak untuk “menikmati kegunaan atas benda miliknya” dan “bertindak
bebas atas bendanya”, termasuk menggadaikan bendanya.
Berdasarkan hal tersebut maka seseorang yang ingin menggadaikan
(pemberi gadai) suatu benda, haruslah pemilik dari benda tersebut. Apabila
pemberi gadai bukanlah pemilik dari benda yang digadaikan maka gadai tidak
sah. 26 Mengenai hal ini, untuk kepentingan bagi pihak kreditor, undang –
undang memberikan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1152 ayat (4)
yang antara lain menyatakan:
“Hal tidak berkuasanya si pemberi gadai untuk bertindak bebas
dengan benda gadainya, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan
terhadap si berpiutang yang telah menerima benda tersebut dalam
gadai, dengan tidak mengurangi hak si yang kehilangan atau
kecurian benda itu, untuk menuntutnya kembali.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa ada suatu
kondisi yang memberikan kerugian pada kreditor pemegang gadai apabila
benda gadai yang diserahkan kepadanya bukanlah milik si pemberi gadai.
Apabila demikian, maka ada kemungkinan kreditor dapat dituntut untuk
mengembalikan benda gadainya oleh pemilik dari benda gadai tersebut.
Dalam hal ini, Pasal 1152 ayat (4) memberikan perlindungan kepada
kreditor penerima gadai dengan memberikan pengecualian bahwa, apabila
pemberi gadai bukanlah orang yang berwenang (pemilik) atas benda gadai,
maka kreditor tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap benda gadai yang
diterimanya dari pemberi gadai yang bukan pemilik. Dengan begitu maka
26
J. Satrio, Op.Cit , hal. 112.
27
pemilik sebenarnya dari benda tersebut tidak memiliki hak untuk menuntut
pengembalian atas benda miliknya.
Pasal 1152 ayat (4) tersebut berlaku apabila kreditor penerima gadai
beritikad baik (te goeder trouw).27 Kreditor dapat dikatakan memiliki itikad
baik apabila dia tidak mengetahui bahwa pemberi gadai bukanlah pemilik
dari benda gadai yang digadaikan kepadanya, Namun, apabila kreditornya
beritikad buruk (mengetahui) maka ketentuan tersebut tidak berlaku. Hal ini
selaras dengan Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata yang juga ditera pkan
dalam hal gadai, isi dari pasal tersebut adalah : “Terhadap benda bergerak
yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar maka
benda siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya .”
Berdasarkan pasal tersebut maka kreditor yang beritikad baik dapat
menganggap bahwa debitor yang menguasai benda bergerak tidak bernama
adalah pemilik dari benda tersebut. 28 Jika mencermati lebih lanjut dapat
dikatakan bahwa, apabila benda bergerak tersebut adalah benda bergerak atas
nama maka kreditor bukanlah kreditor yang beritikad baik, karena pemilik
sebenarnya dari beda bergerak tersebut dapat diketahui dar i surat – surat yang
menyertainya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa orang yang
berwenang untuk menggadaikan suatu benda adalah pemilik dari benda
tersebut. Apabila dia bukan pemilik benda, maka penerima gadai yang
beritikad baik tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak boleh dituntut
27
28
Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 118.
Lo. Cit .
28
untuk mengembalikan benda tersebut oleh pemilik sebenarnya. Namun,
apabila benda yang digadaikan padanya adalah benda bergerak atas nama,
maka pemilik dari benda tersebut boleh menuntut pengembalian bendanya
karena dianggap kreditor sudah beritikad buruk.
4.
Lahirnya Gadai
Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas
suatu kewajiban prestasi tertentu, sehingga untuk adanya perjanjian gadai
harus ada perjanjian pendahuluan yang disebut perjanjian pokok yang pada
umumnya adalah perjanjian pinjam - meminjam. Oleh karena itu perjanjian
gadai dikatakan sebagai perjanjian assesoir, artinya perjanjian gadai hanya
akan ada bila sebelumnya ada perjanjian pokoknya.
Dalam perjanjian yang dijamin dengan gadai, secara khusus
diserahkan suatu kebendaan bergerak dari debitor kepada kreditor, yang
menimbulkan hak bagi kreditor untuk menahan kebendaan bergerak yang
digadaikan tersebut sampai dengan debitor memenuhi prestasi kepada
kreditor. Penguasaan benda gadai oleh kreditor tersebut merupakan unsur
esensial, yaitu unsur mutlak yang selalu harus ada dalam suatu perjanjian,
tanpa adanya unsur tersebut perjanjian gadai tidak mungkin ada. 29
Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya perjanjian gadai akan terjadi
apabila benda – benda yang digadaikan berada dalam penguasaan kredit or.
Persyaratan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1152 ayat (2) dan ayat (3)
K.U.H. Perdata yang menyatakan sebagai berikut:
29
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1,
Bandung, Citra Aditya Bakti, hal . 67 .
29
Ayat 2
“Hak gadai atas benda – benda bergerak dan atas piutang bawa
diletakkan dengan membawa benda gadainya di bawah kekuasaan si
berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui
oleh kedua belah pihak.”
Ayat 3
“Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang tetap dibiarkan
dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang
kembali atas kemauan si berpiutang.”
Dari ketentuan Pasal 1152 ayat (1) dan (2) K.U.H. Perdata dapat
disimpulkan bahwa sahnya suatu perjanjian gadai itu didasarkan kepada
penyerahan kebendaan yang digadaikan ke dalam penguasaan kreditor atau
pihak ketiga yang ditunjuk bersama. Apabila benda gadai tetap berada dalam
penguasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah.
Penyerahan di sini bukanlah penyerahan secara yuridis yang
menyebabkan si penerima menjadi pemilik benda gadai. Hal ini berarti,
penerima gadai tidak memiliki hak untuk menikmati benda gadai dan hak
untuk bertindak bebas terhadap benda gadai itu. Oleh karena itu, dengan
penyerahan tersebut, pemegang gadai hanya berkedudukan sebagai
pemegang saja dan benda gadai hanya sebagai jaminan pemenuhan prestasi.
Penerima gadai tida k menjadi bezitter dalam arti bezit keperdataan yaitu
suatu keadaan di mana seseorang menguasai suatu benda seolah – olah benda
itu adalah miliknya sendiri. 30 Oleh karena itulah, maksud dari penyerahan
tersebut adalah benda gadai harus keluar dari penguasaan pemberi gadai.
30
Subekti, 2002, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hal. 63.
30
Berdasarkan hal tersebut maka pada prinsipnya ada 2 (dua) syarat
untuk lahirnya gadai. Pertama, adanya perjanjian gadai. Kedua, adanya
penyerahan benda gadai dari debitor kepada kreditor, antara lain sebagai
berikut : 31
1)
Perjanjian gadai.
Perjanjian gadai sebagai perjanjian assesoir memiliki arti bahwa
untuk terjadinya gadai, harus terlebih dahulu dibuat suatu perjanjian
gadai dengan tujuan untuk memberikan jaminan terhadap perjanjian
pokoknya. Bentuk dari perjanjian gadai tidak ditentukan secara
khusus, apakah dibuat secara tertulis atau lisan, namun yang
terpenting adalah bahwa perjanjian gadai tersebut harus dibuktikan
adanya.
2)
Penyerahan benda gadai dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
Syarat yang kedua yang mesti ada yaitu adanya penyerahan nyata
kebendaan yang digadaikan tersebut dari tangan debitor pemberi
gadai ke dalam penguasaan kreditor pemegang gadai. Penyerahan
nyata tidak perlu harus merupakan penyerahan dari tangan ke
tangan, yang penting benda jaminan keluar dari kekuasaan pemberi
jaminan. Dengan cara traditio brevi manu atau secara simbolis tidak
menjadi halangan sepanjang benda gadai sudah ada dalam tangan
pemegang gadai. 32
31
ELIPS, 1998, Seri Dasar Hukum Ekonomi 4: Hukum Jaminan Indonesia, Jakarta,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, , hal. 16 .
32
J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak – Hak Jaminan Kebendaan, Op.Cit, hal. 97.
31
Sesuai dengan yang sudah disebutkan sebelumnya objek gadai terdiri
dari benda bergerak tidak bertubuh dan benda bergerak bertubuh, maka
penyerahan bendanya dapat dibagi berdasarkan:
a.
Gadai terhadap benda bergerak bertubuh dan tagihan atas bawa,
dilakukan dengan cara membawa kebendaan yang akan digadaikan
tersebut dan kemudian diserahkan kepada kreditor untuk dijadikan
jaminan.
b. Gadai terhadap tagihan atas tunjuk dilakukan dengan cara
penyerahan dan endosemen karena memuat piutang-piutang yang
memuat nama orang yang menerima pembayaran. Sehingga tanpa
adanya endosemen, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa dia
memiliki tagihan atas itu. Endosemen berfungsi sebagai bukti bahwa
pembayaran dapat dilakukan kepada kreditor apabila debitor tidak
memenuhi prestasinya.
c.
Gadai terhadap tagihan atas nama dilakukan dengan cara
memberitahukan kepada debitor,
bahwa surat tersebut telah
dijadikan jaminan gadai. Pemberitahuan dari kreditor ini dapat
dilakukan secara lisan ataupun tertulis yang penting pemberitahuan
tersebut merupakan bukti bahwa debitor telah mengeluarkan
penguasaan atas surat yang dijadikan jaminan gadai tersebut.
Lahirnya gadai dapat dilihat dalam skema berikut :
32
Skema Lahirnya Gadai
Perjanjian Pokok
Debitor
Kreditor
Pemberi gadaiPerjanjian Gadai Penerima gadai
(1) Pemeganggadai
Penyerahan
Benda
Benda
(2)
Benda
Pihak ketiga
pemegang gadai
Benda
Benda
Benda
Dalam praktiknya, dapat terjadi dua kemungkinan peristiwa yang
timbul dalam gadai, antara lain:
1)
Gadai Kedua
Peristiwa gadai kedua dapat terjadi apabila adanya dua tagihan pada
dua orang kreditor yang timbul pada saat yang sama dan dijamin
dengan satu benda gadai yang sama, atau adanya dua tagihan pada
dua orang kreditor yang berlainan yang timbul secara berturut –
turut, tetapi dijamin dengan benda gadai yang sama. Dalam hal ini,
kedudukan kreditor yang satu bagi kreditor lain merupakan pihak
33
ketiga. Dalam hal piutang terjadi berturut – turut tersebut, maka cara
meletakkan gadai cukup dengan pemberitahuan kepada pemegang
gadai pertama (yang terlebih dahulu menjadi pemegang gadai)
tentang adanya perjanjian gadai lagi. Dengan adanya ciri gadai
sebagai hak kebendaan maka pada prinsipnya hak kebendaan yang
lahir lebih dahulu memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripa da
hak kebendaan yang lahir kemudian. Sehingga adanya gadai yang
kedua pada asasnya tidak melemahkan gadai yang pertama. 33
2)
Gadai ulang
Peristiwa gadai ulang dapat terjadi apabila kreditor pemegang gadai
atau pihak ketiga pemegang gadai menjaminkan benda gadai yang
ada dalam penguasaannya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan
pemberi gadai. Dalam hal ini, benda gadai tetap milik pemberi gadai,
sehingga pemegang gadai yang hanya memiliki hak gadai
sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk menggadaikan kare na
dia bukanlah pemilik. 34
Untuk lebih memperjelas lagi mengenai peristiwa gadai kedua dan
gadai ulang, penulis akan mencoba menerangkannya dengan bagan disertai
contoh di bawah ini:
33
34
Rachmadi, Usman, Op.Cit, hal. 125.
J. Satrio, Op. Cit, hal. 114.
34
Skema Gadai Kedua
Perjanjian Pokok
Kreditor
Rp. 3.000.000, -
C
Perjanjian Pokok
Debitor
Rp. 10.000.000,-
A
Kreditor
B
Penerima Perjanjian GadaiPemberi Perjanjian Gadai Penerima gadai
Gadai (KEDUA)
Gadai (PERTAMA)Pemegang gadai
Pihak III pemegang gadai
Penyerahan
Benda
Benda
Rp. 15.000.000,-
Rp. 15.000.000,-
Misalkan A berhutang kepada B sebesar 10 juta rupiah dengan
menyerahkan sepeda motor seharga Rp.15.000.000,- dalam penguasaan B
sebagai jaminan gadai. Kemudian A berhutang lagi kepada C sebesar
Rp. 3.000.000,- dengan jaminan sepeda motornya yang berada dala m
penguasaan B. Dalam peristiwa tersebut dari sudut pandang C maka B adalah
pihak ketiga yang memegang benda gadai. Dalam hal pelunasannya apabila A
tidak memenuhi prestasinya, maka B mendapatkan pelunasan lebih dahulu
sebesar Rp. 10.000.000,- kemudian sisa hasil uang hasil penjualan untuk
melunasi hutang C. Peristiwa inilah yang disebut gadai kedua. Karena
menggadaikan untuk “kedua kalinya” atas benda yang sama.
35
Skema Gadai Ulang
Perjanjian Pokok
Kreditor
A
Pemberi
gadai
Perjanjian Pokok
Rp. 10.000.000,-
Debitor
Rp. 10.000.000, -
Kreditor
B
Perjanjian GadaiPenerima
Perjanjian GadaiPenerima
gadai
(ulang)
C
gadai
Pemegang pemegang gadai
gadai
Penyerahan
Benda
Penyerahan
Benda
Benda
Rp. 15.000.000,-
Misalkan A berhutang kepada B Rp. 10.000.000,- dan sebagai
jaminan hutangnya menyerahkan sepeda motornya seharga Rp. 15.000.000,sebagai benda gadai dalam penguasaan B. Tanpa sepengetahuan A, B yang
berhutang kepada C menyerahkan sepeda motor milik A seba gai jaminan
hutangnya kepada C. Peristiwa inilah yang disebut gadai ulang,yaitu
peristiwa di mana seorang pemegang gadai (B) menggadaikan barang gadai
yang ia pegang kepada kreditornya B yaitu C. Dalam hal ini tindakan B
menggadaikan benda gadai yang ia pe gang merupakan suatu pelanggaran
terhadap prinsip dalam hukum jaminan, dimana B tidak berwenang untuk
menggadaikan benda gadai karena dia bukan pemilik dari benda gadai
tersebut.
36
5.
Hak dan Kewajiban Dalam Gadai
Setiap perbuatan hukum berupa perjanjian selalu mengikat para
pihak yang membentuk perjanjian itu. Gadai yang diperjanjikan antara para
pihak, mengikat para pihak yang membentuknya. Para pihak, yaitu pemberi
gadai dan penerima gadai terikat untuk melaksanakan hak dan kewajibannya
masing- masing. Dari Pasal 1150 – 1160 K.U.H. Perdata yang mengatur
mengenai gadai, dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak dalam gadai,
yaitu sebagai berikut:
a.
Kewajiban pemberi gadai
1)
Berkewajiban
memenuhi
prestasi
yang
diperjanjikan
dan
menyerahkan benda jaminan kepada pemegang gadai sampai
pemberi gadai memenuhi prestasinya kepada penerima gadai;
2)
Berkewajiban memberikan ganti kerugian atas biaya – biaya yang
dikeluarkan pemegang gadai untuk merawat benda miliknya yang
dijaminkan;
b. Kewajiban pemegang gadai
1)
Berkewajiban untuk menjaga dan merawat benda gadai serta
bertanggung jawab atas hilangnya dan rusaknya benda gadai ( Pasal
1157 K.U.H. Perdata);
2)
Berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai apabila akan
diadakan penjualan atas benda gadai (1156 ayat 2 dan 3);
3)
Berkew ajiban mengembalikan benda yang digadaikan apabila
pemberi gadai telah memenuhi prestasi atau mengembalikan uang
37
sisa hasil penjualan setelah dipotong dengan biaya perawatan dan
bunga (Pasal 1159 ayat 1 K.U.H. Perdata);
4)
Berkewajiban memperingatkan pemberi gadai apabila pemberi gadai
telah lalai memenuhi kewajibannya dan menyerahkan daftar
perhitungan hasil penjualan benda gadai (1155 ayat 1 K.U.H.
Perdata ).
d. Hak pemberi gadai
1)
Berhak untuk menuntut apabila benda rusak atau hilang akibat
kelalaian pemegang gadai;
2)
Berhak untuk mengetahui apabila benda gadai akan dijual akibat
pemberi gadai tidak memenuhi prestasi pada waktu yang telah
ditentukan;
3)
berhak untuk mendapatkan pengembalian benda gadai apabila telah
memenuhi prestasi atau mendapatkan sisa hasil penjualan benda
gadai apabila pemberi gadai tidak memenuhi prestasi sesuai dengan
yang telah diperjanjikan.
e. Hak pemegang gadai
1)
Memiliki hak retentie yaitu hak untuk menahan benda gadai selama
pemberi gadai belum memenuhi prestasinya (Pasal 1159 ayat 1
K.U.H. Perdata);
2)
Memiliki hak parate eksekusi yaitu hak untuk melakukan penjualas
atas benda gadai dengan kekuasaannya sendiri di hadapan publik
sesuai dengan kebiasaan – kebiasaan setempat serta syarat – syarat
38
yang lazim berlaku ( Pasal 1155 ayat 1 K.U.H. Perdata), atau bila
perlu melakukan eksekusi atas putusan pengadilan dan menurut cara
yang ditentukan oleh hakim ( Pasal 1156 ayat 1 K.U.H. Perdata);
3)
Mendapatkan pergantian biaya perawatan benda gadai yang
dikeluarkannya (1157 ayat 2 K.U.H. Perdata ) dan atas bunga benda
yang timbul dari piutang (1158 K.U.H. Perdata );
4)
Memiliki hak preferensi yaitu hak untuk didahulukan dalam
mendapatkan pelunasan utangnya (Pasal 1133 K.U.H. Perdata ).
6.
Hapusnya Gadai
Di dalam K.U.H. Perdata , tidak diatur secara khusus mengenai hapus
dan berakhirnya gadai. Namun demikian, hapus dan berakhirnya gadai dapat
dilihat dari pengaturan gadai pada Pasal 1150 – 1160 K.U.H. Perdata dan
analisis dari ketentuan – ketentuan dalam gadai yang telah dibahas
sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hal –
hal yang menyebabkan gadai hapus atau berakhir adalah sebagai berikut:
1)
Hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian pendahuluan yang
dijamin dengan gadai. Hal ini sesuai dengan sifat perjanjian gadai
sebagai perjanjian accessoir, artinya, ada tidaknya gadai ditentukan
oleh perjanjian pokoknya, apabila perjanjian pokok hapus maka
gadai pun hapus;
39
2)
Terjadinya pencampuran di mana pemegang gadai sekaligus juga
menjadi pemilik dari benda gadai; 35
3)
Lepasnya
benda
yang
digadaikan
dari
penguasaan
kreditor
pemegang gadai secara sukarela, misalnya pemegang gadai
menyerahkan kembali benda gadai dalam penguasaan debitor. Ini
berarti benda gadai tidak berada di luar penguasaan debitor sehingga
gadai menjadi hapus (Pasal 1152 ayat 3);
4)
Terjadinya penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang gadai,
karena apabila terjadi penyalahgunaan benda gadai padahal
pemegang gadai wajib memelihara benda gadai, maka pemberi gadai
berhak menuntut pengembalian benda tersebut. oleh karena itu gadai
menjadi hapus ( Pasal 1159 K.U.H. Perdata).
C. Fidusia
Salah satu jaminan benda bergerak lainnya selain jaminan gadai
adalah jaminan fidusia. Lembaga fidusia dalam perkembangannya lahir untuk
memenuhi kebutuhan hukum akan lembaga jaminan yang praktis bagi benda
bergerak, karena dalam fidusia benda objek jaminan tetap berada dalam
penguasaan debitor sehingga apabila benda tersebut merupakan benda modal,
debitor masih dapat menjalankan usahanya sebagaimana mestinya dan dari
hasil usaha tersebut dapat diharapkan debitor melunasi hutangnya.
Di Indonesia berlaku dua jenis fidusia yaitu fidusia yang
berdasarkan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
35
Rachmadi, usman, Op.Cit, hal. 144.
40
Fidusia (UUJF) dan yang berdasarkan yurisprudensi. Perbedaan yang paling
terlihat ada pada segi prosedural pembebanan fidusia. fidusia berdasarkan
UUJF mewajibkan pembebanan fidusia berdasarkan akta notarill yang
kemudian didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, sedangkan pembebanan
fidusia berdasarkan yurisprudensi tidak disyaratkan bentuk tertentu.
Berlakunya UUJF di Indonesia tidak membuat fidusia yang dibuat
sebelum undang – undang tersebut tidak berlaku. Sebagian besar para sarjana
berpendapat bahwa memang fidusia perlu diatur dengan undang – undang.
namun, berdasarkan kepentingan umum maka hukum harus membiarkan para
pihak untuk mengatur hubungan hukum mereka sendiri sesuai dengan apa
yang mereka anggap baik dan berguna. 36
Jadi, tidak dikatakan bahwa perjanjian fidusia yang dilaksanakan
tidak sesuai dengan ketentuan UUJF menjadi batal, tetapi tetap berlaku bagi
para pihak. Hanya saja tidak berlaku ketentuan UUJF atasnya. Hal ini berarti
penjaminan tersebut masih bisa berjalan dengan akibat hukum menurut
hukum yang lama yaitu fidusia berdasarkan yurisprudensi. 37
1.
Sejarah dan Pengertian Fidusia
Jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat
hukum Romawi. Pada saat itu masyarakat Romawi mengenal bentuk jaminan
fidusia, yaitu fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan
36
J. Satrio, 2005,Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia,Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, hal. 84.
37
Ibid, hal. 342.
41
yang dibuat dengan kreditor. 38 Maksud dari istilah tersebut adalah bahw a
debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor
sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan
mengalihkan kembali kepada debitor apabila utangnya debitor telah lunas.
Namun, jaminan dengan bentuk yang seperti ini memiliki kelemahan
karena tidak memiliki kepastian hukum sehingga yang dikedepankan adalah
moral dari kreditor. Apabila pada saat utang debitor telah lunas tetapi kreditor
tidak mau mengembalikan hak kepemilikannya maka debitor tidak dapat
berbuat apa – apa.
Dikarenakan adanya kelemahan tersebut maka berkembanglah
jaminan gadai dan hipotek. Gadai merupakan jaminan kebendaan bergerak,
sedangkan hipotek merupakan jaminan kebendaan tidak bergerak. Kedua
bentuk jaminan ini dianggap lebih aman karena diatur dalam hukum tertulis.
Sehingga kreditor penerima jaminan dilarang memiliki barang jaminan
dengan
cara
apapun,
dan
berdasarkan
hukum
berkewajiban
untuk
mengembalikan barang jaminan kepada debitor apabila debitor telah melunasi
utangnya.
Pada akhir abad ke 19 muncul suatu keadaan yang menimbulkan
kebutuhan akan lembaga jaminan yang lain dikarenakan ada permasalahan
dalam bidang pertanian. Pada masa itu para pengusaha pertanian
membutuhkan modal, tetapi bank hanya mau memberikan modal apabila ada
jaminan benda bergerak berupa alat pertanian atau jaminan benda tidak
38
Gunawan, Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Seri Jaminan Hukum bisnis: Jaminan
Fidusia. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hal. 114.
42
bergerak berupa tanah, padahal alat pertanian sangat dibutuhkan untuk
melakukan pekerjaan, sedangkan sangat sedikit orang yang memiliki tanah.
Keadaan inilah yang melahirkan jaminan baru yang disebut dengan
oogstverband (ikatan panen), bentuk jaminan ini memungkinkan untuk
adanya jaminan benda bergerak tetapi penguasaan benda jaminannya ada
pada pemberi jaminan. Namun, orang melihat oogsvtverband ini sebagai
suatu penyeludupan hukum dari gadai, karena benda jaminannya benda
bergerak tetapi tidak diserahkan ke dalam kekuasaan penerima gadai, maka
orang menyebutnya dengan gadai tanpa bezit (bezitloss pandrecht).39
Dengan demikian muncul suatu keadaan, di mana di satu pihak ada
kebutuhan untuk dimungkinkannya gadai tetapi di pihak lain tidak
menghendaki adanya bentuk jaminan tersebut. Sehingga muncullah lembaga
fiduciare eigendomsoverdracht atau disingkat dengan fidusia yang berlaku
sekarang ini. Di Belanda, fidusia diakui melalui Bierbrouwerry Arrest tanggal
29 Januari 1929, yang kemudian di Indonesia diakui oleh yurisprudensi
berdasarkan Arrest Hooggerechtshof Surabaya18 Agustus 1932.
Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya
kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan
sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditor. J. Satrio dalam literaturnya
menyatakan kepercayaan yang dimaksud di sini adalah bahwa debitor akan
melunasi utangnya dengan jaminan penyerahan hak milik atas benda yang
dimilikinya untuk mengambil pelunasan utang apabila debitor tidak dapat
39
J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak – Hak Jaminan Kebendaan, Op.Cit. hal. 168.
43
melunasi utangnya dengan waktu yang telah ditentukan, dan bagi debitor,
kepercayaan bahwa hak miliknya akan kembali setelah utang – utangnya
dilunasi. 40
Menurut Oey Hoey Tiong, fidusia atau lengkapnya “Fiduciaire
Eigendomsoverdracht” diartikan sebagai jaminan atas benda – benda
bergerak di samping gadai, dimana yang diserahkan sebagai jaminan kepada
kreditor adalah hak milik, sedang barangnya tetap dikuasai debitor sehingga
yang terjadi adalah penyerahan secara constitutum possessorium. 41Maksud
dari istilah tersebut, yang diserahkan adalah hak milik, sebab kebendaan
fidusia tetap berada dalam penguasaan pemilik asal (debitor).
Pengertian tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJF
menyatakan :
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa jaminan
fidusia merupakan jaminan yang dilakukan dengan memberikan hak
kepemilikan atas benda yang dimiliki debitor kepada kreditor sebagai jaminan
pemenuhan
prestasi
tertentu,
dengan
syarat
bahwa
kreditor
akan
mengembalikan hak kepemilikannya kepada debitor apabila debitor telah
melaksanakan kewajibannya.
40
Ibid, hal. 179.
Oey Hoey Tiong, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur – Unsur Perikatan, Jakarta,
Ghalia Indonesia, hal. 21.
41
44
2.
Kedudukan Para Pihak
Dengan diserahkannya hak kepemilikan atas benda yang dijadikan
objek jaminan fidusia, menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan debitor
pemberi fidusia dan kreditor penerima fidusia. Dalam fiducia cum creditore,
penyerahan hak milik pada fidusia terjadi secara sempurna, artinya : Kreditor
penerima fidusia menjadi pemilik yang sempurna, sebagai pemilik tentu saja
ia bebas berbuat apapun terhadap barang yang dimilikinya, hanya saja
berdasarkan fides ia berkewajiban mengembalikan hak milik atas barang tadi
kepada debitor pemberi fidusia. 42
Namun, hal tersebut bertentangan dengan prinsip hukum jaminan di
mana dalam hukum jaminan tidak diperbolehkan seorang penerima jaminan
menjadi pemilik dari barang jaminan, bahkan walaupun debitor wanprestasi,
kreditor tetap tidak dapat menjadi pemilik dari benda jaminan. Kreditor hanya
berhak menjual benda jaminan untuk melunasi utangnya debitor dan sisa dari
penjualan diberikan kembali kepada debitor.
Mengenai hal tersebut Pitlo berpendapat :43
“Kreditor telah benar – benar menjadi pemilik, tetapi dengan
kewenangan yang sangat terbatas. Hak kebendaan kreditor atas
benda jaminan dibatasi dengan suatu perjanjian obligatoir, malahan
dapat dikatakan telah digerogoti besar sekali, sebab sebagai pemilik,
kreditor tidak diperkenankan untuk menjual, menggadaikan lagi,
menukarkan, bahkan tidak dapat memakainya”
Berdasarkan pendapat Pitlo tersebut, dalam fidusia kedudukan
kreditor adalah sebagai pemilik dari benda fidusia karena dia memegang hak
milik dari benda itu. Namun, sebagai pemilik, hak untuk berbuat bebas yang
42
43
Oey Hoey Tiong, Op.Cit, hal. 47.
J. Satrio, Op.Cit, hal. 178.
45
dimilikinya adalah terbatas, dan hak itu baru dapat digunakan apabila debitor
tidak dapat memenuhi prestasinya. Jika debitor tidak dapat memenuhi
prestasinya, maka kreditor berhak menjual benda jaminan untuk mengambil
pelunasan utangnya. Jadi, hak yang dimiliki kreditor sebagai pemilik hanya
terbatas pada tindakan untuk mengambil pelunasan atas utang debitor
kepadanya. Namun, apabila debitor melunasi utangnya maka kreditor
berkewajiban untuk mengembalikan hak milik atas benda jaminan kepada
debitor. Sehingga, sebenarnya penyerahan hak milik di sini hanya sebagai
jaminan saja yang membuat kedudukan kreditor sebagai pemilik sangat
terbatas.
Hal ini ditegaskan dengan adanya Keputusan Mahkamah Agung
(MA) Nomor 1500 K / Sip / 1978 tanggal 2 Februari 1980 yang memiliki
pertimbangan bahwa :44
“Penyerahan hak milik kepada kreditor dalam fiduciaire eigendom
overdracht bukanlah suatu penyerahan hak milik dalam arti yang
sesungguhnya seperti halnya dalam jual beli, sehingga kreditor tidak
akan menjadi pemilik yang penuh (volle eigenaar). Ia hanyalah
seorang bezitloss eigenaar atas barang – barang jaminan dan tujuan
tujuan dari perjanjian itu sendiri, kewenangan kreditor hanyalah
setaraf dengan kewenangan yang dimiliki oleh seorang yang berhak
atas barang – barang jaminan.”
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung jelaslah bahwa prinsip
dari hukum jaminan tidak dapat dilanggar, sehingga kedudukan dari kreditor
penerima jaminan fidusia walaupun sebagai pemilik tapi sebenarnya hanyalah
sebagai pemegang jaminan saja. Kewenangan sebagai pemilik hanyalah
kewenangan yang berhubungan untuk mengambil pelunasan utang yaitu
44
Oey Hoey Tiong, Op. Cit, hal. 49.
46
untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitor tidak memenuhi prestasi
dan mengembalikan hak kepemilikan dari benda jaminan apabila debitor telah
memenuhi prestasinya.
Diserahkannya benda jaminan secara constitutum possessorium
menempatkan benda jaminan tetap berada dalam penguasaan debitor, karena
yang diserahkan kepada kreditor hanyalah hak milik saja. Sehingga jika
dilihat, kedudukan debitor tidak berubah, seakan – akan dia tidak
menjaminkan benda apapun. Padahal, ada perubahan yang terjadi dengan
kedudukan debitor yang pada awalnya adalah pemilik dan berhak berbuat
bebas terhadap bendanya, menjadi peminjam pakai yang hanya berhak untuk
menikmati benda seakan – akan dia adalah pemilik dari benda jaminan
tersebut.
Dengan berubahnya kedudukan debitor dari pemilik menjadi
peminjam pakai, maka debitor dilarang berbuat bebas untuk mengalihkan
benda yang ada dalam penguasaannya, baik dengan menjual ataupun
menjaminkannya kepada pihak ketiga. Namun, batasan bagi debitor untuk
berbuat bebas terhadap bendanya hanya selama debitor belum melunasi
utangnya kepada kreditor, apabila debitor telah melunasi utangnya kepada
debitor maka debitor berhak untuk mendapatkan kembali hak miliknya.
Dengan mendapatkan kembali hak miliknya, maka kedudukan debitor
berubah dari peminjam pakai menjadi pemilik dari benda.
47
3.
Objek jaminan fidusia dalam yurisprudensi
Pada zaman Romawi yaitu pada bentuk fiducia cum creditore,
fidusia dapat dilakukan baik atas benda bergerak maupun benda tetap. 45 Jika
mengingat bahwa pada masa tersebut di zaman Romawi tidak ada bentuk
jaminan
lain
maka
hal
tersebut
adalah
wajar.
Namun,
dalam
perkembangannya, hilangnya kebiasaan menjaminkan benda secara fiducia
cum creditore dikarenakan muncul jaminan gadai dan hipotik yang
penjaminannya dilakukan berdasarkan pembagian benda, yaitu dalam Pasal
503 dan 504 K.U.H. Perdata :
Pasal 503 K.U.H. Perdata
“Tiap – tiap kebendaan adalah ber tubuh atau tidak bertubuh.”
Pasal 504 K.U.H. Perdata
“Tiap – tiap kebendaan adalah bergerak atau tak bergerak, satu sama
lain menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian berikut ”
Berdasarkan kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa K.U.H.
Perdata membagi benda menjadi benda bertubuh dan tidak bertubuh, benda
bergerak dan tidak bergerak. Dengan adanya pembagian benda tersebut, telah
diketahui pula bahwa terdapat dua jenis jaminan berupa gadai yang menjadi
jaminan bagi benda bergerak dan hipotek yang menjadi jaminan bagi benda
tetap. Sehingga, fidusia yang pada waktu itu dianggap sebagai penyeludupan
hukum dari gadai yang berupa jaminan benda bergerak, memiliki objek
berupa benda bergerak juga.
45
Ibid, hal. 58.
48
Pendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan terhadap barang
bergerak itu menjadi yurisprudensi tetap, baik di negeri Belanda maupun di
Indonesia. Di Indonesia, Pengadilan Tinggi Surabaya dalam Keputusan
Nomor 158 / 1950 / Pdt tertanggal 22 Maret 1951 dan Mahkamah Agung
dalam Keputusan Nomor 372 K / Sip / 1970 tanggal 1 September 1971
berpendapat sama, yaitu bahwa fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang
bergerak. 46
Berdasarkan keputusan tersebut Oey Hoey Tiong dalam bukunya
menyatakan bahwa : 47
“Objek jaminan fidusia pada mulanya hanyalah benda bergerak saja.
Namun, dengan dikeluarkannya Undang – Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960 terjadi perubahan mengenai objek jaminan
fidusia. Karena, dalam UUPA, tanah yang bisa dibebani dengan hak
tanggungan dan hipotek adalah tanah tanah hak milik, tanah hak
guna bangunan, dan tanah hak guna usaha. Bangunan – bangunan
yang terletak di atas tana h tidak bisa dihipotekkan terlepas dari
tanahnya. Dengan demikian, seseorang yang memiliki bangunan di
atas tanah dengan hak sewa tidak dapat membebaninya dengan hak
tanggungan. Oleh karena itu jalan satu – satunya yang tepat adalah
fidusia.”
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terjadi perubahan
terhadap benda yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
Pada masa
fiducia cum creditore objek fidusia berupa benda bergerak dan tidak bergera.
Kemudian dengan adanya lembaga jaminan gadai dan hipotik , objek fidusia
berupa benda bergerak saja, dan setelah lahirnya UUPA objek fidusia berubah
lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak yang berupa benda –
46
Loc. Cit.
Ibid, hal.61.
47
49
benda
yang
tidak
dapat
dibebankan
dengan
hak
tanggungan
dan
hipotek,misalnya bangunan di atas tanah milik orang lain.
4. Pengalihan atas benda objek jaminan fidusia
Pengalihan yang dimaksud dalam hal ini dapat terjadi apabila ada
suatu peristiwa hukum di mana benda yang menjadi objek jaminan fidusia
atau hak milik atas benda tersebut dialihkan kepada pihak ketiga. Apabila
yang dialihkan adalah bendanya maka pihak yang mengalihkan adalah
debitor, karena dalam fidusia yang menguasai benda jaminan adalah debitor.
Sebaliknya, apabila yang dialihkan adalah hak milik atas benda maka pihak
kreditor yang melakukan pengalihan hak milik tersebut kepada pihak lain. .
Dalam praktik, seseorang dapat memberikan jaminan atas suatu
benda kepada lebih dari satu kreditor, dengan syarat nilai dari benda tersebut
jika dieksekusi dapat melunasi utang kepada kreditor – kreditor terkait
sehingga peristiwa ini sering disebut dengan “fidusia kedua.” Dalam hal
tersebut, kreditor yang paling diutamakan adalah kreditor yang memiliki
kedudukan paling kuat di antara kreditor lain dalam mengambil pelunasan
utang terhadap debitor, yaitu kreditor yang memegang hak milik atas benda
jaminan. Kreditor yang memegang hak milik atas benda jaminan memiliki
kedudukan yang lebih kuat karena dapat lebih dahulu mendapatkan pelunasan
utang daripada kreditor yang tidak memegang hak milik.
Ketentuan tersebut juga terdapat dalam hal gadai. Dalam gadai yang
diserahkan kepada kreditor adalah benda jaminannya. Apabila terjadi gadai
kedua di mana benda gadai dijaminkan kepada lebih dari satu kreditor, maka
50
kreditor pemegang benda jaminan memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam
mengambil pelunasan utang daripada kreditor yang tidak memegang benda
jaminan.
Skema fidusia kedua
Perjanjian pokok
Kreditor
Perjanjian pokok
Debitor
Kreditor
Perjanjian fidusia
C
Perjanjian fidusia
A
(II)
B
( I)
benda
Penyerahan
Hak
milik
Hak
milik
Tidak ada
hak milik
Dari skema tersebut dapat diketahui mengenai peristiwa terjadinya
fidusia kedua yang terjadi karena : A melakukan perjanjian pokok berupa
perjanjian pinjam meminjam uang dengan B, karena perjanjian itu diikat
dengan fidusia maka A menyerahkan hak milik atas bendanya kepada B.
Kemudian A melakukan perjanjian pinjam meminjam uang lagi dengan C
dengan jaminan fidusia berupa benda miliknya yang telah dijadikan jaminan
fidusia dan hak miliknya berada di A. Dengan begitu maka B dan C adalah
kreditor penerima fidusia, dan kedudukan B lebih kuat karena dia memegang
hak milik atas benda jaminan langsung dapat dieksekusi apabila A tidak
51
membayar utangnya. Sedangkan C tidak memegang hak milik karena hak
milik sudah diserahkan kepada B.
Selanjutnya dalam praktik juga dikenal adanya beberapa peristiwa
hukum yang seharusnya tidak boleh dilakukan yaitu berupa pengalihan benda
jaminan fidusia oleh debitor dan pengalihan hak milik atas benda jaminan
oleh kreditor (fidusia ulang). Kedua hal tersebut sebenarnya tidak boleh
dila kukan. Dengan adanya prinsip pemberian jaminan pada gadai, yaitu
bahwa pemberi jaminan gadai haruslah orang yang wenang bertindak atau dia
adalah pemilik dari benda yang dijaminkan, maka dalam fidusia prinsip
tersebut juga dapat diterapkan sehingga pemberi fidusia pun haruslah pemilik
dari benda yang dijadikan jaminan fidusia, Sedangkan, debitor dalam fidusia
dan kreditor dalam fidusia bukanlah pemilik yang berwenang untuk
memberikan jaminan fidusia.
Dalam membahas mengenai pengalihan atas benda jaminan kepada
pihak ketiga, penulis juga akan membahas mengenai ada tidaknya
perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada pihak ketiga sebagai pihak
yang menerima pengalihan Penjelasan atas peristiwa pengalihan tersebut
adalah sebagai berikut :
a.
Mengalihkan benda ja minan fidusia kepada pihak ketiga
Pengalihan benda jaminan yang dilakukan debitor terjadi apabila
debitor pemberi fidusia memberikan benda jaminan ke dalam penguasaan
orang lain dengan cara menjual atau menggadaikan benda jaminan yang telah
difidusiakan. A pabila dihubungkan dengan gadai, pihak ketiga yang
52
berkedudukan sebagai penerima benda gadai yang dialihkan padanya oleh
pemegang gadai, mendapatkan perlindungan berdasarkan Pasal 1152 ayat (4)
junto Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata, yang pada intinya me nyatakan
bahwa kreditor pemegang gadai tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila
dia menerima benda gadai dari pemberi gadai yang bukan pemilik apabila
kreditor beritikad baik, yang berarti kreditor tidak mengetahui bahwa pemberi
gadai bukanlah pemilik dari benda gadai dan benda gadai bukan benda
bergerak atas nama.
Dalam hal jaminan fidusia, pihak ketiga yang menjadi pembeli atau
penerima jaminan gadai atas benda jaminan fidusia yang dialihkan padanya,
tidak mendapatkan perlindungan dari Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata.
Karena dalam praktik fidusia, yang dijaminkan biasanya adalah benda
bergerak atas nama dengan bukti berupa hak milik yang telah dijaminkan
kepada kreditor penerima fidusia. Sehingga, berdasarkan hal tersebut pihak
ketiga
dinyatakan
tidak
beritikad
baik,
karena
seharusnya
dia
mempertanyakan bukti kepemilikan atas benda yang dialihkan kepadanya,
sehingga dia mengetahui bahwa yang melakukan pengalihan bukanlah
pemilik atas benda tersebut.
b.
Mengalihkan hak milik atas benda jaminan kepada pihak ketiga
(fidusia ulang)
Fidusia ulang terjadi apabila kreditor mengalihkan hak milik atas
benda jaminan fidusia yang ada padanya dengan menjaminkan kembali hak
milik tersebut dengan jaminan fidusia kepada pihak ketiga. Dalam hal ini,
53
pihak ketiga penerima aminan
j
tidak mendapatkan perlindungan dari Pasal
1977 K.U.H. Perdata, karena pasal tersebut hanya memberikan perlindungan
kepada orang yang beritikad baik.
Pihak ketiga yang menerima jaminan tidak dapat dikatakan beritikad
aik, karena apabila ia beritikad baik maka ia akan menduga menduga – duga
di mana benda yang hak miliknya ada pada pihak yang mengalihkan (kreditor
penerima fidusia), tetapi karena pihak ketiga tetap menerima, maka pihak
ketiga tidak beritikad baik. 48
Untuk memperjelas peristiwa hukum tersebut dapat dilihat dalam
skema dan contoh berikut ini :
Skema pengalihan benda jam inan fidusia oleh debitor
Perjanjian gadai
A
B
( II )
Penerima
gadai
Perjanjian fidusia
C
(I)
debitor
kreditor
motor
penyerahan
penyerahan
Hak milik
motor
Hak milik
Berdasarkan skema tersebut dapat dideskripsikan bahwa pada
awalnya B melakukan perjanjian fidusia dengan C, sehingga hak milik atas
benda jaminan yang berada di B diserahkan kepada C. Kemudian, B
mengalihkan benda jaminan fidusia yang ada padanya dengan melakukan
48
Ibid, hal. 50.
54
perjanjian gadai dengan A. Dalam hal tersebut kedudukan B bukanlah lagi
sebagai pemilik dari benda jaminan, tapi sebagai peminjam pakai. Sebagai
peminjam pakai seharusnya B tidak berhak untuk memberikan jaminan gadai,
karena yang berhak untuk memberikan jaminan hanyalah pemilik dari benda
jaminan. Oleh karena itu perjanjian gadai antara A dan B adalah tidak sah.
Dalam
peristiwa
ini
yang
dijaminkan
adalah
motor
yang
berkedudukan sebagai benda bergerak atas nama. Terhadap benda bergerak
atas nama yang dijadikan jaminan, maka pemilik dari benda tersebut dapat
diketahui dari bukti kepemilikan atas benda bergerak. Apabila A melakukan
perjanjian gadai dengan B, maka A tidak mendapatkan perlindungan dari
Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata karena A berkedudukan sebagai kreditor
yang beritikad buruk. A berkedudukan sebagai kreditor beritikad buruk
karena A seharusnya mengetahui bahwa benda yang dijaminkan padanya
bukanlah benda milik B, hal tersebut dapat dibuktikan dengan B yang tidak
memegang bukti kepemilikan atas benda bergerak atas nama. Kecuali apabila
benda bergerak yang dijaminkan pada A adalah benda bergerak tidak atas
nama, maka A dapat menganggap yang menguasai benda itu adalah pemilik
dari benda. Sehingga A dinyatakan beriktikad baik dan dilindungi Pasal 1977
ayat (1) K.U.H. Perdata .
55
Skema pengalihan oleh kreditor ( fidusia ulang )
Perjanjian fidusia
A
Perjanjian fidusia
B
( II )
C
(I)
Kreditor
penerima fidusia
Kreditor
penerima fidusia
debitor
motor
penyerahan
Hak milik
penyerahan
Hak milik
Hak milik
Berdasarkan skema tersebut, pada awalnya B yang telah melakukan
perjanjian fidusia dengan C, sehingga B menerima hak milik atas benda
jaminan fidusia yang ada pada C. Kemudian, B yang mengalihkan hak milik
tersebut dengan melakukan perjanjian fidusia dengan A, sehingga hak milik
yang ada padanya diberikan kepada A. Dalam hal ini A juga berkedudukan
sebagai kreditor yang beritikad buruk., karena dengan melihat hak milik yang
bukan atas nama B, A harusnya telah mengetahui bahwa benda yang
dijaminkan bukanlah milik B dan tidak berada pada B. Namun, karena C
tetap menerima fidusia tersebut dengan mengetahui keadaan yang sebenarnya
maka C tidak beritikad baik dan tidak dilindungi Pasal 1977 ayat (1) K.U.H.
Perdata.
5. Sifat – Sifat fidusia
Sebagai suatu perjanjian jaminan, Fidusia memiliki sifat – sifat
tertentu yang membedakannya dengan jaminan lainnya. Fidusia memiliki
56
sifat accessoir, kebendaan, preferensi dan obligatoir, yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Sifat accessoir dari perjanjian jaminan fidusia
Perjanjian fidusia dibuat dengan tujuan untuk memberikan jaminan
terhadap pemenuhan prestasi yang timbul dari perjanjian pokok.
Oleh karena itu, perjanjian fidusia merupakan perjanjian accessoir
(ikutan). Sebagai perjanjian acce ssoir, perjanjian jaminan fidusia
memiliki sifat sebagai berikut :49
1.
Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
2.
Keabsahannya semata – mata ditentukan oleh sah tidaknya
perjanjian pokok.
3.
Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika
ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak
dipenuhi.
b.
Sifat droit de suite
Fidusia sebagai hak kebendaan memiliki sifat droit de suite.
Pemberian sifat droite de suite ini dimaksudkan untuk memberikan
kedudukan yang kuat kepada pemegang tetap mengikuti bendanya
ke dalam siapa pun ia berpindah. Prinsip droit de suite berlaku
terhadap semua jaminan kebendaan yang memerikan hak kebendaan
kepada kreditornya. Dalam prinsip tersebut juga dapat terlihat
49
Gunawan, Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit. hal . 125.
57
adanya pengecualian berlakunya sifat droit de suite yaitu pada benda
persediaan yang menjadi objek fidusia.
c.
Sifat droit de preference
Sifat droit de preference atau sifat mendahului. Penerima fidusia
(kreditor) memiliki hak didahulukan atau diutamakan terhadap
kreditor lainnya, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda yang menjadi
objek jaminan fidusia, walaupun penerima fidusia adalah orang yang
pailit atau dilikuidasi.
d.
Fidusia sebagai perjanjian obligatoir
Fidusia sebagai jaminan yang menimbulkan hak kebendaan
memberikan kedudukan yang didahulukan kepada kreditor dalam
pelunasan utangnya. Sebagai hak kebendaan, dengan sendirinya sifat
dan ciri – ciri hak kebendaan tersebut, fidusia bukanlah perjanjian
obligatoir yang bersifat perorangan. Namun, beberapa sarjana
menyatakan bahwa salah satu sifat fidusia adalah sebagai perjanjian
obligatoir.Perjanjian fidusia bersifat obligatoir, berarti hak penerima
fidusia merupakan hak milik sepenuhnya, meskipun hak tersebut
dibatasi oleh hal – hal yang ditetapkan bersama dalam perjanjian,
akan tetapi pembatasan hak milik ini bersifat pribadi yang lahir
karena adanya hubungan perutangan antara debitor dan kreditor.
Karena itu, penerima fidusia bebas untuk menentukan cara
58
pemenuhan piutangnya terhadap benda yang dijaminkan melalui
fidusia.
6. Lahir dan hapusnya Fidusia
Indonesia menganut dua sistem hukum jaminan fidusia yaitu yang
berdasarkan yurisprudensi dan yang berdasarkan UUJF. Dalam fidusia yang
tunduk pada yurisprudensi, jaminan fidusia dianggap telah lahir apabila
jaminan fidusia sudah dinyatakan secara terang – terangan baik secara lisan
ataupun dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta notaris, sedangkan
fidusia berdasarkan undang – undang jaminan fidusia dinyatakan telah lahir
apabila dibuat dengan akta notaris dan kemudian didaftarkan di kantor
pendaftaran fidusia.
Dalam fidusia yang tunduk pada yurisprudensi, untuk lahirnya
jaminan fidusia terjadi dalam tiga tahap :50
1.
Tahap pendahuluan
Fidusia diawali dengan adanya perjanjian pokok yang biasanya
berupa perjanjian pinjam meminjam uang antara debitor dan
kreditor. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa atas utang
debitor kepada kreditor, debitor menyerahkan hak kepemilikan atas
benda yang dimiliki debitor, dan kreditor berkewajiban untuk
mengembalikan benda milik debitor tersebut apabila debitor telah
melunasi utangnya. Namun, apabila debitor tidak dapat melunasi
50
Martin Roestamy, 2009, Hukum Jaminan Fidusia, Perlindungan Hukum Terhadap
Kreditor Pemegang Fidusia Atas Benda Tidak Terdaftar, Bogor, Unida Press, hal. 57.
59
utangnya maka kreditor berhak untuk melakukan eksekusi dengan
menjual barang milik debitor untuk mendapatkan pelunasan utang.
Perjanjian ini dalam praktik di masyarakat biasanya dilakukan
dengan akta, baik dengan akta di bawah tangan ataupun dengan akta
autentik, walaupun pada tidak secara tegas disyaratkan bahwa
perjanjian tersebut harus tertulis sehingga secara teoritis perjanjian
ini dapat juga dilakukan secara lisan, tapi demi keamanan biasanya
para pihak menggunakan akta. 51 Akta tersebut dimaksudkan untuk
dijadikan bukti, maka agar akta itu memiliki kekuatan hukum
sebagai bukti tertulis, akta itu harus memenuhi syarat – syarat untuk
itu. Akta itu harus ditandatangani oleh orang, terhadap siapa bukti
itu akan digunakan, dan secara sah sampai di tangan pihak untuk
keuntungan siapa bukti itu diadakan. Pada akta di bawah tangan,
biasanya
caranya
adalah
dengan
menyerahkan
akta
yang
bersangkutan.Yang penting adalah bahwa di dalam akta fidusia
disebutkan
secara
jelas
adanya
kehendak/ maksud
untuk
menyerahkan hak milik benda fidusia sebagai jaminan kepada
kreditor dan bahwa penyerahan itu telah diterima oleh kreditor, juga
perlu disebutkan bahwa selanjutnya debitor fidusia tidak lagi
memegang benda fidusia untuk dirinya sendiri, tetapi untuk
kreditor.52J. Satrio menyatakan bahwa lahirnya hak jaminan fidusia
berdasarkan yurisprudensi pada perjanjian fidusia yang di bawah
51
52
J. Satrio,Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia,Op. Cit, hal. 85.
Ibid, hal, 86.
60
tangan menimbulkan akibat hukum hanya bagi para pihak yang
mengadakannya. Perjanjian tersebut tidak berlaku bagi pihak ketiga.
Menurut Meijers, yang dimaksud dengan pihak ketiga di sini adalah
para kreditor konkuren
2.
Tahap penyerahan hak kebendaan secara constitutum possessorium
Dalam tahap ini dilakukan penyerahan hak kebendaan yang
dilakukan oleh pemberi jaminan fidusia kepada penerima jaminan
fidusia.
penyerahan
tersebut
bersifat
abstrak
karena
dalam
kenyataannya benda – benda yang diserahkan tersebut tidak pernah
berpindah penguasaannya dari pemberi fidusia kepada penerima
fidusia, benda yang diserahkan sebagai jaminan tetap berada pada
pemberi jaminan. Penyerahan tersebut dilakukan secara constitutum
possessorium, artinya benda tetap dikuasai oleh debitor walaupun
hak miliknya tetap berpindah kepada kreditor. Menurut kebiasaan,
penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan tersebut dilakukan
dengan menandatangani surat penyerahan hak milik yang dilampiri
dengan daftar barang – barang yang diserahkan. daftar tersebut
memuat secara rinci barang – barang yang dijaminkan itu dengan
rumusan kata – kata yang jelas. Dengan penandatanganan
aktapenyerahan maka lahirlah jaminan fidusia
3.
Tahap pinjam pakai
Tahap ini disebut juga fase perjanjian pinjam pakai antara pemberi
fidusia dengan penerima fidusia, artinya kreditor selaku pemilik
61
dengan kewenangannya yang terbatas meminjamkan kepada debitor
benda jaminan dengan ketentuan bahwa debitor harus merawat
benda tersebut.Pada dasarnya klausul perjanjian fidusia adalah
hampir sama walaupun objeknya berbeda. Misalnya, apabila hak
kebendaan yang dijaminkan berupa benda bergerak tidak berwujud
yaitu piutang maka hak untuk menagih utang tetap dilakukan oleh
pemberi jaminan walaupun pemindahan kekuasaan untuk menagih
utang ada pada penerima jaminan. Demikian pula pada bergerak
yang berwujud, hak untuk menggunakan benda tersebut ada pada
pemberi fidusia walaupun hak kepemilikannya berada pada penerima
fidusia. 53
Dengan lahirnya hak jaminan fidusia berdasarkan yurisprudensi,
maka muncul hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakannya. Hak
utama kreditor penerima fidusia adalah menjual objek jaminan fidusia
(eksekusi) dalam hal debitor wanprestasi untuk mengambil pelunasan atas
utang debitor, dengan kewajiban bahwa kreditor akan mengembalikan uang
sisa hasil penjualan benda jaminan fidusia. Sedangkan, debitor pemberi
fidusia berkewajiban untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi.
Setelah mengetahui mengenai lahirnya fidusia, maka harus diketahui
juga tentang bagaimana suatu jaminan fidusia dikatakan hapus. Hapusnya
fidusia pada dasarnya adalah sama baik fidusia yang tunduk pada
53
Martin Roestamy,Op. Cit, hal. 58.
62
yurisprudensi ataupun fidusia yang tunduk pada UUJF. Hapusnya jaminan
fidusia secara umum dapat disebabkan karena hal – hal berikut :
a.
Hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia;
b.
Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia;
c.
Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, memiliki arti : Bila
disesuaikan dengan sifat accessoir dari jaminan fidusia, adanya jaminan
fidusia tergantung pada adanya perikatan pokoknya yang menimbulkan utang
dan piutang. Apabila utang tersebut hapus maka dengan se ndirinya jaminan
fidusia juga hapus. Pengertian utang dalam hal ini berarti adalah suatu
perikatan, maka dalam hal demikian Pasal 1381 K.U.H. Perdata yang
mengatur hapusnya perikatan juga dapat diterapkan contohnya dengan adanya
pelunasan atau pembaharuan utang (novasi).
Dengan hapusnya jaminan fidusia dalam hal hapusnya utang yang
dijamin dengan jaminan fidusai, hak kepemilikan atas objek jaminan fidusia
dengan sendirinya akan kembali kepada pemberi fidusia, karena telah
terpenuhinya syarat batal (onder ontbindende voorwaarde). Untuk itu tidak
diperlukan adanya tindakan pengalihan kembali atas hak kepemilikan benda
yang dijadikan objek jaminan fidusia dari penerima fidusia kepada pemberi
fidusia. Hal ini juga sesuai dengan sifat accessoir jaminan fidusia. 54
Pelepasan hak jaminan fidusia oleh penerima fidusia dapat menjadi
salah satu sebab hapusnya hak jaminan fidusia. Hal tersebut adalah dapat
54
Rachmadi Usman, Op. Cit. hal. 226.
63
dibenarkan mengingat penerima fidusia adalah pihak yang memiliki hak atas
jaminan fidusia tersebut. Jadi, apabila penerima fidusia secara sukarela tidak
jadi untuk mengikatkan perjanjian pokoknya dengan jaminan fidusia maka
secara otomatis fidusia hapus, karena pada dasarnya fidusia diperikatkan agar
penerima fidusia mendapatkan jaminan pelunasan.
Seperti perikaran pada umumnya, apabila objek perikatan musnah
maka perikatan dapat dikatakan berakhir kecuali apabila diperjanjikan lain.
Hapusnya fidusia apabila barang jaminan musnah juga dapat dibenarkan,
karena apabila tidak ada objek jaminan fidusia maka fungsi dari fidusia
sebagai jaminan sudah tidak berlaku lagi.
D.
Hapusnya Perikatan
Telah diuraikan dalam kajian mengenai gadai dan fidusia, bahwa hakhak jaminan kebendaan sebagai jaminan accessoir mempunyai sifat akan hapus
bila perjanjian pokok yang dijaminnya hapus. Uraian berikut adalah mengenai
hapusnya perikatan sebagaimana diatur dalam K.U.H. Perdata.
Dalam K.U.H. Perdata , hapusnya perikatan diatur dalam Bab IV Buku
III Pasal 1381 K.U.H. Perdata, ketentuan mengenai hapusnya perikatan yang
diatur dalam Pasal tersebut berlaku baik untuk perikatan yang lahir dari
perjanjian maupun yang lahir dari undang – undang. Dalam Pasal 1381 K.U.H.
Perdata disebutkan 11 (sebelas) hal yang menyebabkan hapusnya perikatan,
namun da lam penulisan ini penulis hanya akan membahas dua saja yaitu
hapusnya perikatan karena pembayaran dan hapusnya perikatan karena
pembaharuan hutang.
64
1.
Hapusnya Perikatan Karena Pembayaran
Kata pembayaran dalam kehidupan sehari – hari selalu dikaitkan
dengan penyerahan sejumlah uang tertentu, padahal yang dimaksud dengan
pembayaran dalam Pasal 1381 adalah lebih luas daripada sekadar membayar
sejumlah uang. Yang dimaksud undang – undang atas pembayaran ialah
pelaksanaan atas pemenuhan atau pelunasan tiap wujud perikatan.
Pada asasnya hanya orang berkepentingan saja, yaitu orang yang
berhutang yang dapat melakukan pembayaran secara sah untuk memenuhi
prestasi, tetapi seorang pihak ketiga yang tidak berkepentingan pun dapat
melakukan pembayaran secara sah untuk memenuhi prestasi asalkan pihak
ketiga itu bertindak atas nama si berhutang atau jika ia bertindak atas
namanya sendiri asalkan ia tidak menggantikan kedudukan si kreditor.
Pasal tersebut pada intinya menetapkan bahwa siapa saja boleh
melakukan pembayaran untuk memenuhi suatu perikatan si berhutang dengan
syarat apabila yang membayar adalah pihak ketiga, pihak ketiga tidak
menggantikan hak – hak si berpiutang atas pemenuhan suatu prestasi. Karena
jika pihak ketiga menggantikan hak – hak si berpiutang berarti perikatan
sebenarnya masih hidup, hanya kreditornya saja yang berbeda. Selain itu
Pasal 1382 tidak mengatur mengenai pergantian hak, Menggantikan hak –
hak si berpiutang dinamakan Subrogasi yang diatur dalam Pasal 1400 s/d
1403 K.U.H. Perdata .
Dalam hal subrogasi, hutang telah terbayar lunas oleh seorang pihak
ketiga, hanya perikatan hutang – hutang masih hidup terus karena pihak
65
ketiga itu lalu menggantikan hak – hak si berpiutang terhadap diri si
berhutang. Subrogasi dapat terjadi dengan suatu perjanjian antara pihak
ketiga yang membayar hutang dan si berhutang yang menerima pembayaran
itu, atau karena penetapan undang – undang. 55
2. Hapusnya Perikatan Karena Pembaharuan Hutang (Novasi)
Novasi adalah perjanjian dengan mana suatu perikatan dihapuskan
dan sekaligus diadakan atau dilahirkan perikatan baru yang menggantikan
perikatan yang lama yang telah hapus. 56 Novasi diadakan berdasarkan
perjanjian antara para pihak sehingga sebagaimana pada perjanjian pada
umumnya, novasi harus memenuhi syarat – syarat perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 K.U.H. Perdata. Maka dengan demikian, syarat untuk
adanya novasi ada dua hal, yaitu :57
1.
Adanya perikatan yang lahir dari perjanjian ataupun undang –
undang yang hendak diganti;
2.
Adanya perikatan baru yang hanya lahir dari perjanjian dengan
klausul untuk “menghapus” perikatan sebelumnya.
Dalam mengadakan Novasi disyaratkan ada nya kehendak untuk
mengadakan novasi yang dinyatakan secara tegas, namun undang – undang
tidak mensyaratkan bentuk tertulis, walaupun biasanya diungkapkan dalam
suatu perjanjian. Antara perikatan yang lama dengan yang baru terdapat
hubungan kausal, maksudnya adalah bahwa penghapusan perikatan lama
55
Subekti, Op.Cit. hal. 155.
J. Satrio, 1996, Hukum Perikatan: Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2, B andung,
PT. Citra Aditya Bakti, hal. 4.
57
Ibid, hal. 15.
56
66
dilakukan haruslah dengan cara membuat perikatan yang baru, dengan
konsekuensi bahwa adanya cacat pada perjanjian novasi dan perjanjian novasi
itu menjadi batal, maka perjanjian yang lama tidak hapus.
Ada 3 macam cara untuk terjadinya novasi yang diatur dalam pasal
1413, yaitu :
1.
2.
3.
a.
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan
utang yang lama, yang dihapus karenanya (Novasi Objektif);
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama yang oleh si berutang dibebaskan dari perikatannya
(Novasi Subjektif Pasif);
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang berpiutang
baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap
siapa si berutang dibebaskan dari piutangannya (Novasi Subjektif
Aktiv).
Novasi Objektif
Novasi objektif didasarkan atas Pasal 1413 sub 1 K.U.H. Perdata.
Novasi objektif memiliki arti bahwa perikatan yang terjadi di antara debitor
dan kreditor digantikan dengan perikatan yang baru. Pergantian yang
dimaksud di sini adalah pergantian “objek prestasi perikatan”. Apabila objek
prestasi perikatan berupa benda, baru dapat dikatakan terjadi pergantian objek
prestasi apabila ada perubahan identitas yang cukup besar pada benda yang
bersangkutan, untuk itu harus dilihat pada fungsi dari benda tersebut
berdasarkan pandangan masyarakat secara umum.58
Apabila objek perikatannya berupa tindakan penyerahan benda
tertentu (untuk memberikan sesuatu), suatu perbuatan tertentu (kewajiban
melakukan sesuatu), atau bahkan kewajiban untuk mengambil sikap tertentu
58
J. Satrio, Hukum Perikatan: Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2, Op.Cit, hal. 24.
67
(untuk tidak melakukan sesuatu) biasanya tidak dianggap sebagai perubahan
objek prestasi. Misalkan : Perjanjian jual beli dengan membayar sejumlah
uang atas suatu harga barang diubah menjadi tukar menukar barang.
Doktrin masih mengenal satu macam lagi jenis novasi objektif selain
perubahan dalam objek prestasi, yaitu persetujuan untuk mengubah daripada
perjanjian antara para pihak. Dalam peristiwa novasi seperti ini dapat terjadi
apabila objek prestasi perikatan (kewajiban debitor) tidak berubah, tetapi para
pihak sepakat untuk mengubah sumber daripada perikatan mereka. Misalnya :
kesepakatan untuk mengubah hutang berdasarkan jual beli menjadi hutang
berdasarkan hutang piutang (Teori Novasi). 59
b.
Novasi subjektif pasif
Dasar dari novasi subjektif pasif adalah Pasal 1413 sub 2 K.U.H.
Perdata. Di sini yang diganti adalah orang yang berhutang (debitor) yang
memiliki kewajiban prestasi terhadap kreditor atau orang yang berada pada
segi passiva. 60 Untuk lahirnya novasi subjektif pasif, terlebih dahulu harus
ada kesepakatan yang didasarkan atas perjanjian antara :
1.
Debitor lama dengan Debitor baru
Dalam novasi subjektif pasif debitor lama akan digantikan dengan
debitor yang baru, sehingga harus ada persetujuan dari debitor yang
baru untuk bersedia menggantikan kewajiban dari debitor yang lama.
2.
59
Debitor lama dengan Kreditor
Ibid, hal. 30.
Ibid, hal. 33.
60
68
Debitor lama berkewajiban untuk memberitahukan dan mendapatkan
persetujuan dari kreditor atas pergantian subjek yang akan
memenuhi prestasi kepada kreditor dan membebaskan debitor lama
dari perikatannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa novasi subjektif
pasif merupakan perjanjian antara tiga pihak, yaitu antara debitor lama
dengan debitor baru dan antara debitor lama dengan kreditor, yang berarti
bahwa debitor baru mau menggantikan debitor lama sebagai debitor dan
bahwa kreditor menerima debitor lama digantikan kedudukannya dengan
debitor baru. 61 Akibat hukum dengan diadakannya novasi subjektif pasif ini
adalah bawa kreditor tidak dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi
kepada debitor lama, karena dengan digantikannya debitor lama menjadi
debitor baru, maka hubungan antara kreditor dengan debitor lama juga hapus.
c.
Novasi subjektif aktif
Pada novasi subjektif aktif terjadi pergantian pada pihak kreditor,
dari kreditor yang lama menjadi kreditor yang baru. Dengan pergantian
kreditor tersebut, debitor dibebaskan dari perikatan dengan kreditor yang
lama. Novasi ini juga dapat terjadi karena perubahan komposisi kreditor,
misalnya dari seorang kreditor menjadi beberapa kreditor. 62
Dalam literatur tidak disebutkan mengenai syarat terjadinya novasi
subjektif aktif. Pada dasarnya novasi subjektif pasif dan novasi subjektif aktif
adalah sama – sama perjanjian tiga pihak antara debitor lama – debitor baru –
61
Ibid, hal. 34.
Ibid, hal. 45
62
69
dan kreditor di mana ada perikatan baru untuk menghapuskan perikatan lama
dengan mengubah salah satu pihak dalam perikatan.
Perbedaannya hanyalah bahwa dalam novasi subjektif pasif yang
berubah adalah pihak debitor, sedangkan dalam novasi subjektif aktif yang
berubah adalah pihak kreditor. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
disimpulkan
bahwa
syarat
terjadinya
novasi
subjektif
pasif
dapat
dianalogikan untuk menjadi syarat terjadinya novasi subjektif aktif. Sehingga,
untuk lahirnya novasi subjektif aktif harus didasarkan kesepakatan antara para
pihak, yaitu :
1.
Kreditor lama dengan Kreditor baru
Dalam novasi subjektif aktif terjadi pergantian kedudukan dari
kreditor yang lama menjadi kreditor yang baru. Sehingga, agar
novasi tersebut sah, maka harus ada persetujuan dari kreditor yang
baru untuk bersedia menggantikan kedudukan kreditor lama dalam
menerima pemenuhan prestasi dari debitor
2.
Kreditor lama dengan Debitor
Kreditor
lama
berkewajiban
untuk
memberitahukan
dan
mendapatkan persetujuan dari debitor atas pergantian subjek yang
akan menerima pemenuhan prestasi dari debitor. Pemberitahuan ini
bertujuan agar debitor mengetahui kepada siapa dia seharusnya
memenuhi kewajibannya, dan dengan adanya pemberitahuan ini,
pihak debitor juga mengetahui bahwa dia tidak berkewajiban lagi
untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor lama. Karena novasi
70
subjektif aktif sudah menghapuskan perikatan lama yang dilakukan
antara kreditor lama dengan debitor.
Dalam terjadinya novasi subjektif, baik novasi subjektif aktif
maupun novasi subjektif pasif disyaratkan juga adanya kehendak yang datang
dari para pihak untuk mengadakan novasi. Kehendak ini bisa datang baik dari
pihak debitor maupun pihak kreditor. Berdasar kan kehendaknya, terjadinya
novasi subjektif dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
1.
Expromissio
Pasal 1416 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa :
“Pembaharuan utang dengan penunjukan seorang berutang baru
untuk mengganti yang lama dapat dijalankan tanpa bantuan orang
berutang yang pertama.”
Dalam pasal tersebut mengatur bahwa novasi subjektif dapat terjadi
tanpa mengikutsertakan pihak debitor lama ( Novasi subjektif pasif ) atau
kreditor lama (Novasi Subjektif Pasif ). Sehingga novasi di sini hanya
dilaksanakan oleh dua pihak saja, yaitu pihak debitor baru dan kreditor
(Novasi subjektif pasif ) dan juga pihak debitor dan kreditor lama (Novasi
subjektif aktif ). Dalam doktrin, terjadinya novasi ini disebut dengan
“Exprommisso” yang mensyaratkan adanya kehendak dari pihak kreditor
untuk mengadakan novasi. 63
2.
Delegasi atau pemindahan
Pasal 1417 mengatakan bahwa :
“Delegasi atau pemindahan, dengan mana seorang berhutang,
memberikan kepada orang yang menghutangkan padanya seorang
63
Ibid, hal. 35.
71
yang berutang baru, yang mengikatkan dirinya kepada si berpiutang,
tidak menerbitkan suatu pembaharuan utang, jika si berpiutang tidak
secara tegas menyatakan, bahwa ia bermaksud untuk membebaskan
orang berutang yang melakukan pemindahan itu.”
Berdasarkan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa novasi subjektif
juga dapat terjadi apabila ada kehendak, yang berasal dari debitor untuk
mengadakan novasi, dengan syarat bahwa para pihak harus menyatakan
menyetujui dan menerima adanya pergantian salah satu pihak dalam perikatan
yang baru. Walaupun pasal tersebut cenderung mengatur mengenai novasi
subjektif pasif dengan adanya kalimat “Memberikan...seorang berutang baru.”
Namun, menurut Rutten delegasi bukanlah istilah yang hanya diterapkan pada
novasi subjektif pasif saja tetapi juga untuk novasi subjektif aktif. Sehingga,
dalam novasi subjektif aktiv debitor dapat merekomendasikan kreditor baru
untuk menggantikan kreditor lama.64
3. Akibat Novasi
a. Akibat novasi bagi kreditor
Akibat novasi bagi kreditor diatur dalam Pasal 1418 K.U.H. Perdata
yang menyatakan bahwa :
“Si berpiutang yang membebaskan si berutang yang telah melakukan
pemindahan, tak dapat menuntut orang tersebut, jika orang yang
ditunjuk untuk mengalihkan itu jatuh dalam keadaan pailit atau nyata
– nyata tak mampu, kecuali jika hak penuntutan itu dengan tegas
dipertahankan dalam perjanjian, atau jika orang berutang yang
ditunjuk sebagai pengganti itu pada saat pemindahan telah nyata –
nyata bangkrut, atau telah berada dalam keadaan terus – menerus
merosot kekayaannya.”
64
Ibid, hal. 39.
72
Pasal tersebut pa da intinya menerangkan bahwa, setelah terjadinya
novasi, kreditor yang telah membebaskan debitor tidak dapat menuntut
debitor lama apabila debitor baru yang menggantikan jatuh pailit, kecuali
apabila debitor baru tanpa diketahui kreditor sejak awal sudah dalam keadaan
pailit atau telah diperjanjikan sebelumnya dalam perjanjian bahwa kreditor
berhak menuntut apabila debitor baru pailit maka kreditor berhak untuk
menuntut debitor lama. Dasar pikiran dari hal tersebut adalah bahwa kreditor
memiliki resiko tidak dipenuhinya prestasi baik dari debitor lama ataupun
debitor baru. 65
b. Akibat novasi terhadap jaminan kebendaan
Akibat novasi terhadap jaminan – jaminan kebendaan diatur dalam
Pasal 1421 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa :
“Hak – hak istimewa dan hipotik – hipotik yang melekat pada
piutang lama, tidak berpindah kepada piutang baru yang
menggantikannya, kecuali kalau hal itu secara tegas dipertahankan
oleh si berpiutang.”
Pasal tersebut pada intinya menerangkan bahwa semua jaminan pada
perikatan lama menjadi hapus termasuk jaminan gadai dan fidusia, kecuali
kreditor menghendaki tetap mempertahankan jaminan untuk tetap ada.
Namun, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip jaminan sebagai
suatu perjanjian assesoir yang berarti hapusnya perikatan pokok memiliki
akibat hukum bahwa jaminan yang mengikuti perikatan tersebut juga hapus.
65
Ibid, hal. 48.
73
Mengenai hal tersebut J. Satrio mengatakan bahwa untuk
mempertahankan jaminan maka para pihak harus memperjanjikan lagi
jaminannya. Hal ini berarti memperjanjikan ulang jaminan adalah cara untuk
mempertahankan jaminan yang dimaksud dalam Pasal 1421 K.U.H. Perdata,
karena pada prinsipnya jika perikatan pokok hapus maka perikatan assesoir
juga ikut hapus. 66
66
Ibid, hal. 52
74
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan
suatu masalah, sedang penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun
dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia,
maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan
tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan
penelitian. 67
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang di dasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisisnya. Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan. 68
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian
67
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press. hal. 6.
Ibid, hal.43.
68
75
yuridis normatif membahas mengenai doktrin-doktrin atau asas-asas dalam
ilmu hukum. Penelitian ini kerap disebut penelitian yang bersifat teoritis. 69
B. Spesifikasi Penelitian
Bentuk penelitian ini bersifat preskriptif yaitu dengan mempelajari
tujuan hukum, asas -asas hukum, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian ini menggambarkan keadaan
dari objek yang diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu yang didasarkan
atas peraturan perundang-undangan yang ada dan kemudian mengambil
kesimpulan dari bahan-bahan tentang objek masalah yang akan diteliti dengan
keyakinan-keyakinan tertentu dan menetapkan standar prosedur, kete ntuanketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini mengambil tempat di PT. Federal International
Finance Cabang Tanggerang yang beralamatkan di Jl. Jenderal Soedirman,
Ruko Tanggerang City, Blok. D.16 No.17.
D. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
otoritas,70 antara lain sebagai berikut :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
69
Zainuddin Ali,2009 , Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar grafika, hal. 24.
Ibid, hal. 47
70
76
b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia
2.
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
merupakan
dokumen-dokumen
yang
petunjuk petunjuk atau
penjelasan mengenai bahan hukum primer,71 yaitu pustaka di bidang
ilmu hukum yang berkaitan dengan penelitian dan dokumendokumen yang diperoleh dari PT. Federal International Finance
Cabang Tangerang antara lain sebagai berikut :
a. Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor103000921411.
b. Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia
c. Perjanjian Oper Alih Kredit
E. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode display, yang merupakan suatu kegiatan memilah-milah bahan
hukum ke dalam bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh bahan
hukum yang dikumpulkan. Dalam kegiatan ini, bahan hukum akan disajikan
dalam bentuk Teks Naratif.
F. Metode Analisa Bahan Hukum
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis data normatif kualitatif dengan model interpretasi hukum dan
model analisa logika deduktif.
71
Ibid, hal. 56
Metode analisis normatif kualitatif, yaitu
77
pembahasan dan penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil
penelitian terhadap norma, kaidah, maupun teori hukum yang relevan dengan
pokok permasalahan. Sedangkan model analisis logika deduktif adalah
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan ya ng konkret yang dihadapi.
78
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, didapatkan data
sekunder berupa perjanjian pembiayaan konsumen dan perjanjian pengalihan
hak dan kewajiban, yaitu sebagai berikut:
Data 1. Perjanjian Pembiayaan Konsumen
1.1 Judul perjanjian
: Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Federal
International Finance (FIF) Nomor 103000921411.
1.2 Para pihak
-
Pihak pertama
: PT. Federal International Finance
(Perusahaan Pembiayaan Konsumen)
-
Pihak kedua
: Firdiyanto
(Penerima Fasilitas yang menerima pembiayaan)
-
Supplier
1.3 Objek jual beli
: Penyedia barang konsumen (sepeda motor).
: Sepeda motor second merek Honda Revo 110
Spoke Tahun 2011, Warna Hitam. Nomor BPKB
H09920189 atas nama Dede Suhendra
1.4 Struktur Pembiayaan Konsumen
Fasilitas pembiayaan konsumen diberikan kepada Penerima Fasilitas
oleh Pemberi Fasilitas dengan struktur pembiayaan konsumen yang
disepakati sebagai berikut :
79
-
Pokok pembiayaan sejumlah Rp. 8.819.300.
-
Bunga sejumlah Rp. 4.585.700.
-
Hutang pembiayaan sejumlah Rp. 13.405.000.
-
Periode pembayaran 14 Agustus 2011 – 14 Juni 2014 dengan waktu
pembayaran 35 (tiga puluh lima) kali.
-
Pembayaran dilakukan secara angsuran sebesar Rp. 383.000 per
bulan dan jatuh tempo pada tanggal 14 setiap bulannya dengan biaya
keterlambatan 0.50 % per hari.
1.5 Hubungan hukum (perjanjian pembiayaan)
-
Penerima Fasilitas menerima fasilita s pembiayaan dan menyetujui
fasilitas pembiayaan tersebut langsung pembayaran fasilitas tersebut
langsung dibayarkan kepada dealer oleh Pemberi Fasilitas.
-
Penerima Fasilitas dengan ini menyatakan berhutang kepada
Pemberi Fasilitas dan Pemberi Fasilitas mempunyai piutang kepada
Penerima Fasilitas atas hutang pembiayaan Hutang pembiayaan
sejumlah Rp. 13.405.000.
-
Penerima Fasilitas telah menerima barang yang dibayar Pemberi
Fasilitas dari Dealer Sepeda motor merek Honda Revo 110 Spoke,
Tahun 2011, Warna Hitam. Nomor BPKB H 09920189.
1.6 Kewajiban Penerima Fasilitas (Konsumen).
-
Membayar angsuran selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo
secara tertib dan teratur. Pembayaran angsuran dianggap sah dan
80
diterima apabila telah dapat diuangkan dan / atau tercatat pada
rekening Pemberi Fasilitas.
-
Membayar bunga atas uang pokok pembiayaan kepada Penerima
Fasilitas dan wajib dibayar kepada Pemberi Fasilitas dalam
angsuran.
-
Membayar denda atas setiap keterlambatan pembayaran angsuran
yang dihitung per hari dari jumlah angsuran yang terutang sejak saat
jatuh temponya hingga terbayarkannya angsuran tersebut ditambah
biaya tagih.
-
Menanggung setiap beban pajak atas barang dan biaya-biaya lain
yang timbul sehubungan dengan fasilitas pembiayaan ini.
-
Memelihara dan menjaga keutuhan barang tersebut sebaik-baiknya
dan memperbaiki segala kerusakan atas biaya Penerima Fasilitas
sendiri hingga setiap saat dan dari waktu ke waktu barang digunakan
sebagaimana mestinya.
-
Mengizinkan / atau memperbolehkan Pemberi Fasilitas dan / atau
kuasanya untuk melihat dan / atau memeriksa kondisi / keadaan
barang
di manapun barang tersebut berada, termasuk memasuki
ruangan apapun bukan sebagai tindakan memasuki ruangan orang
lain tanpa izin.
1.7 Larangan Penerima Fasilitas
-
Dilarang mengalihkan dengan cara apapun termasuk tetapi tidak
terbatas pada menggadaikan, menjaminkan, menyewakan atau
81
menjual barang, baik seluruhnya ataupun sebagian kepada pihak lain
kecuali
dengan
persetujuan
tertulis
dari
Pemberi
Fas ilitas
sebelumnya.
1.8 Penjaminan
Untuk menjamin pelunasan setiap dan seluruh kewajiban Penerima
Fasilitas berdasarkan perjanjian pembiayaan ini, Penerima Fasilitas setuju dan
sepakat mengikatkan diri kepada Pemberi Fasilitas untuk menyerahkan
dokumen barang, yaitu Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) kepada
Pemberi Fasilitas terhitung sejak diterbitkannya BPKB (bagi kendaraan baru)
atau sejak menandatangani perjanjian pembiayaan ini (bagi kendaraan bekas
pakai) hingga seluruh kewajiban Penerima Fasilitas terhadap Pemberi
Fasilitas berdasarkan perjanjian pembiayaan ini lunas.
1.9 Cidera janji
Penerima Fasilitas dinyatakan telah melakukan cidera janji yang
dengan lewatnya waktu telah cukup membuktikan untuk mana hal tersebut
tidak perlu dibuktikan lagi dengan suatu surat atau apapun akan tetapi cukup
dengan terjadinya salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut :
-
Penerima Fasilitas lalai dan/atau tidak dan/atau gagal memenuhi satu
atau lebih kewajiban sebagaimana ditentukan dalam perjanjian ini.
-
Penerima Fasilitas lalai dan/tidak dan/gagal melakukan pembayaran
angsuran selambat- lambatnya pada tanggal jatuh tempo.
82
-
Penerima Fasilitas dimohonkan pailit, diletakkan di bawah
pengampunan, likuidasi atau mengajukan penundaan pembayaran
hutang.
-
Penerima Fasilita s melakukan cidera janji kepada Pemberi Fasilitas
berdasarkan perikatan – perikatan dan/atau perjanjian lainnya yang
dibuat dan ditandatangani dengan Pemberi Fasilitas.
1.10 Akibat cidera janji
-
Pemberi Fasilitas berhak menuntut pelunasan kepada Penerima
Fasilitas, sebagaimana Penerima Fasilitas sepakat untuk melakukan
pelunasan atas seluruh/sisa kewajiban Penerima Fasilitas yang masih
ada, untuk seketika dan sekaligus lunas.
-
Apabila Penerima Fasilitas tidak dapat melunasi seluruh/sisa
kewajibannya terhadap Pemberi Fasilitas maka Penerima Fasilitas
sepakat mengikatkan diri untuk menyerahkan barang kepada
Pemberi Fasilitas sebagaimana Pemberi Fasilitas berhak mengambil
atau menerima penyerahan barang berikut setiap dokumennya yang
terkait, termasuk STNK untuk dijualkan dengan cara yang dianggap
baik oleh Pemberi Fasilitas atau melalui institusi yang berwenang
untuk menjualkan barang guna pelunasan seluruh / sisa kewajiban
Penerima Fasilitas yang masih terutang setelah dikurangi biaya –
biaya yang dikeluarkan oleh Pemberi Fasilitas.
-
Perjanjian dan penyerahan barang tidak berarti Penerima Fasilitas
telah melunasi kewajiban yang masih terutang kepada Pemberi
83
Fasilitas, apabila hasil penjualan barang tidak mencukupi pelunasan
kewajibannya kepada Pemberi Fasilitas maka Penerima Fasilitas
berkewajiban untuk membayar sisanya kepada Pemberi Fasilitas
hingga seluruh kewajiban Penerima Fasilitas kepada Pemberi
Fasilitas lunas demikian sebaliknya.
1.11 Berakhirnya Perjanjian Pembiayaan
Perjanjian pembiayaan ini berakhir apabila Penerima Fasilitas telah
melunasi
setiap
dan
seluruh
kewajibannya
berdasarkan
perjanjian
pembiayaan ini kepada Pemberi Fasilitas.
1.12 Penyelesaian Perselisihan
Segala perselisihan yang mungkin timbul dari pelaksanaan perjanjian
pembiayaan ini, para pihak setuju memilih domisili hukum yang tetap dan
seumumnya di kantor panitera pengadilan negeri yang wilayah hukumnya
meliputi kantor cabang Pemberi Fasilitas atau di tempat lainnya yang
ditunjuk oleh Pemberi Fasilitas.
1.13 Lain – Lain
-
Segala sengketa atau resiko lainnya yang timbul akibat hubungan
Penerima Fasilitas dengan Dealer selama perjanjian ini berlangsung
termasuk tetapi tidak terbatas pada dokumen barang seperti STNK
dan/atau BPKB tidak menghalangi hak – hak Pemberi Fasilitas dan
Penerima Fasilitas sesuai isi perjanjian pembiayaan ini.
-
Pemberi Fasilitas berhak untuk melakukan pelaporan pidana atas
tindakan Penerima Fasilitas dengan mengalihkan dengan cara
84
apapun
termasuk
tetapi
tidak
terbatas
pada
menggadaikan,
menjaminkan, menyewakan, atau menjual barang baik seluruhnya
ataupun sebagian pada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari
Pemberi Fasilitas serta kebenaran atas data, informasi, identitas diri,
dokumen, keterangan atau uraian yang disampaikan Penerima
Fasilitas kepada Pemberi Fasilitas.
-
Penerima Fasilitas wajib memberitahukan secara tertulis kepada
Pemberi Fasilitas setiap terjadi perubahan data Penerima Fasilitas
termasuk perubahan tempat tinggal Penerima Fasilitas.
-
Penerima Fasilitas setuju bahwa berdasarkan pertimbangan Pemberi
Fasilitas sendiri, Pemberi Fasilitas berhak mengalihkan baik seluruh
maupun sebagian hak dan kewajibannya yang timbul berdasarkan
perjanjian pembiayaan ini kepada pihak ketiga manapun.
Data 2. Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia
2.1 Judul
: Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia
2.2 P ara Pihak
- Pihak pertama
: Firdiyanto selaku Pemberi kuasa
- Pihak kedua
: PT. Federal International Finance (FIF) Cabang
Tangerang selaku Penerima kuasa
2.3 Objek Jaminan
: Sepeda motor second merek Honda Revo 110
Spoke Tahun 2011, Warna Hitam. Nomor BPKB
H09920189 atas nama Dede Suhendra
85
2.4 Isi perjanjian
-
Berdasarkan surat kuasa ini, Pemberi kuasa memberikan hak
substitusi kepada Penerima kuasa untuk dan atas nama Pemberi
kuasa mewakili pemberi kuasa dalam melakukan tindakan –
tindakan hukum.
-
Dalam hal Pemberi kuasa memberikan penjaminan terhadap
Perjanjian Pembiayaan antara Penerima Fasilitas dengan Penerima
Kuasa, Pemberi Kuasa selaku penjamin dengan tegas melepaskan
semua hak istimewa maupun pengecualian yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan kepada penjamin khusus tetapi tidak
terbatas pada pasal 1832 K.U.H. Perdata.
-
Surat kuasa ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
Perjanjian Pembiayaan Konsumen sebagaimana disebut di atas.
Dengan demikian surat kuasa ini tidak dapat dicabut hingga
berakhirnya masa pembiayaan berdasarkan Perjanjian Pembiayaan.
2.5 Hak dan Kewajiban Penerima Kuasa
-
Penerima kuasa membuat dan menandatangani Akta Jaminan Fidusia
(termasuk perubahan - perubahannya) di hadapan notaris serta
mendaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia setempat hingga terbit
sertifikat jaminan fidusia dengan syarat-syarat dan ketentuan seperti
yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang mengatur
tentang
Jaminan
perubahannya.
Fidusia
berikut
peraturan
pelaksana
dan
86
-
Penerima kuasa berwenang menghadap tetapi tidak terbatas pada
instansi
dan
pejabat
yang
berwenang
untuk
membuat,
menandatangani, memberikan keterangan, menyerahkan semua dan
setiap surat, akta, permohonan, laporan, formulir dan surat- surat
lainnya termasuk Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia,
Pernyataan Pendaftaran Fidusia, Permohonan Pendaftaran atas
Perubahan Jaminan Fidusia dalam hal terjadi perubahan atas data
yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia.
-
Penerima kuasa berwenang untuk menerima pembayaran, kwitansi,
melakukan dan mengerjakan tindakan serta perbuatan apapun juga
yang diperlukan dan dipandang baik oleh Penerima kuasa untuk
melaksanakan tindakan yang dikuasakan.
Data 3. Wawancara dengan PT. FIF Cabang Tangerang
3.1 PT. FIF menyatakan bahwa :
-
Sebelum menyelesaikan kewajibannya kepada PT. FIF Cabang
Tangerang, Firdiyanto selaku Penerima Fasilitas menggadaikan
objek pembiayaan berupa Sepeda motor second merek Honda Revo
110 Spoke Tahun 2011, Warna Hitam, atas nama Dede Suhendra,
kepada Abu Mubarok.
-
Abu Mubarok yang memiliki utang kepada Ari Wijaya sebesar
Rp.2.000.000,- memberikan motor Second merek Honda Revo 110
Spoke tersebut sebagai jaminan atas utangnya kepada Ari Wijaya.
87
-
Karena Abu Mubarok tidak bisa membayar utangnya kepada Ari
Wijaya, Ari Wijaya mendatangi pihak PT. FIF Cabang Tangerang
dan kemudian melakukan perjanjian oper alih kredit.
Data 4. Perjanjian Pengalihan Hak dan Kewajiban
4.1 Judul
: Perjanjian Pengalihan Hak dan Kewajiban Nomor
103000921411
4.2 Para pihak
-
Pihak pertama : Firdiyanto selaku Penerima Fasilitas (Konsumen).
-
Pihak kedua
: Ari Wijaya
Selaku Penerima Fasilitas Baru dan Pemberi Jaminan.
4.3 Para pihak terlebih dahulu menerangkan :
-
Berdasarkan
perjanjian
pembiayaan
konsumen
nomor
103000921411 tanggal 14 juli 2011 (perjanjian pembiayaan tersebut
berikut dengan segala perubahan dan penambahan disebut dengan
“Perjanjian Pembiayaan”). Penerima Fasilitas telah menerima
pembiayaan dari PT. Federal International Finance, berkedudukan di
Jakarta dan berkantor cabang di Tangerang, dan secara bersama –
sama atau masing-masing selanjutnya disebut dengan “Pemberi
Fasilitas” dengan sejumlah atau sesuai dengan ketentuan Perjanjian
Pembiayaan tersebut.
88
4.4. Maksud para pihak
-
Penerima Fasilitas berkehendak mengalihkan hak dan kewajibannya
yang timbul berdasarkan perjanjian pembiayaan tersebut kepada
Penerima Fasilitas baru.
-
Segala hak dan kewajiban yang akan dialihkan tersebut adalah
timbul dari perjanjian pembiayaan yang merupakan satu kesatuan
dan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian ini.
-
Segala hak yang akan dialihkan Penerima Fasilitas kepada Penerima
Fasilitas baru telah diketahui dan diberitahukan kepada Pemberi
Fasilitas.
4.5 Syarat perjanjian
-
Atas persetujuan Pemberi Fasilitas, Penerima Fasilitas dengan ini
menyatakan melepas segala hak dan kewajibannya sebagai Penerima
Fasilitas
dan
menyerahkan/mengalihkannya
kepada
Penerima
Fasilitas Baru yang mana atas penyerahan tersebut Penerima
Fasilitas Baru menyatakan, menyetujui, menerima baik penyerahan
dan kewajiban tersebut dari Penerima Fasilitas.
-
Penerima Fasilitas dan Penerima Fasilitas Baru sepakat dan setuju
bahwa atas penyerahan hak dan kewajiban tersebut di atas telah
diselesaikan seluruh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul
di antara para pihak secara seketika dan sekaligus lunas, sehingga
tidak ada lagi hak – hak dan kewajiban kewajiban baru yang harus
dipenuhi dikemudian hari oleh dan/atau antara Penerima Fasilitas
89
dan Penerima Fasilitas Baru kecuali kewajiban – kewajiban
Penerima Fasilitas Baru kepada Pemberi Fasilitas.
-
Penerima Fasilitas Baru menyatakan dengan ini setuju dan
mengikatkan diri sepenuhnya terhadap kewajiban-kewajiba n yang
timbul dari perjanjian pembiayaan tersebut, termasuk akan tetapi
tidak terbatas pada kewajiban melakukan pembayaran angsuran
kepada Pemberi Fasilitas tiap-tiap bulannya, yaitu pada setiap
tanggal 14 dengan jumlah sebesar Rp.383.000 sampai dengan
fasilitas pembiayaan lunas seluruhnya, baik yang belum jatuh tempo
maupun yang sudah jatuh tempo tetapi belum dibayar oleh Penerima
Fasilitas termasuk segala bunga, denda dan biaya lainnya yang masih
terutang.
-
Penerima Fasilitas baru menyatakan setuju dan mengikatkan diri
bahwa atas segala apa yang telah di bayar oleh Penerima Fasilitas
kepada Pemberi Fasilitas tidak dapat / boleh diminta kembali dengan
alasan apapun juga oleh Penerima Fasilitas baru.
-
Penerima Fasilitas Baru setuju dan mengikatkan diri untuk
memberikan jaminan fidusia atas barang jaminan tersebut kepada
Pemberi Fasilitas/ penerima jaminan. Segala resiko atas pemakaian
objek jaminan fidusia tersebut mulai saat ditandatangani perjanjian
ini beralih kepada Penerima Fasilitas Baru dan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab Penerima Fasilitas Baru.
90
-
Atas pengalihan hak dan kewajiban dari Penerima Fasilitas kepada
Penerima Fasilitas Baru, Pemberi Jaminan mengikatkan diri kepada
Penerima Fasilitas Baru untuk menjamin lebih jauh pembayaran
dengan baik segala sesuatu yang terhubung dan harus dibayar oleh
Penerima Fasilitas Baru kepada Pemberi Fasilitas.
-
Apabila timbul perselisihan sebagai akibat dari pelaksanaan
perjanjian ini, para pihak setuju memilih domisili di tempat yang
tepat dan umum di kantor Panitera Pengadilan Negeri atau di tempat
lainnya yang ditunjuk oleh Penerima Fasilitas.
Data 5. Penjaminan
5.1 Judul
: Adenddum Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia
Nomor 103000921411
5.2 Para pihak
-
Pihak pertama
: Ari Wijaya
(Penerima Fasilitas dan Pemberi Jaminan)
-
Pihak kedua
: PT. Federal International Finance Cabang
(Pemberi Fasilitas dan Penerima Jaminan)
5.1 Isi perjanjian
: Merubah ketentuan objek jaminan fidusia berupa
1 (satu) unit sepeda motor second Honda Revo
110Spoke Tahun 2011 warna hitam atas nama
Dede Suhendra.
91
Data 6. Surat Pernyataan Kronologi diadakannya oper alih kredit
6.1 Judul
: Surat Pernyataan
6.2 Pihak yang membuat : Ari Wijaya
6.3 Isi
-
AriWijaya mendapatkan sepeda motor Honda Revo 110 Spoke atas
nama Dede Suhendra dari Arie Mubarok yang memiliki utang
sebesar Rp.2000.000,-
-
Atas saran Abu Mubarok, Arie Wijaya mendatangi PT. FIF Cabang
Tangerang untuk melakukan oper alih kredit, agar motor tersebut
dapat dimiliki oleh Arie Wijaya.
B. Pembahasan
Pembiayaan konsumen adala h kegiatan yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Pembiayaan Konsumen untuk menyalurkan dana kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan agar konsumen dapat memenuhi
kebutuhannya. Agar kegiatan pembiayaan konsumen dapat dilaksanakan, para
pihak yaitu Konsumen dan Perusahaan Pembiayaan Konsumen membuat
perjanjian pembiayaan konsumen yang dengan mana konsumen memberi
perintah
(kuasa)
kepada
perusahaan
pembiayaan
konsumen,
yang
menerimanya, untuk dan atas namanya membayar harga pembelian kepada
penjual (pemasok), dengan pengembalian ditambah bunga atau biaya secara
angsuran.
Dalam praktiknya, untuk memberikan pengamanan atas tagihan uang
yang telah dibayarkan untuk membeli benda, perusahaan pembiayaan
92
konsumen selalu meminta jaminan pengembalian uangnya kepada konsumen
dalam bentuk jaminan fidusia atas benda yang dibeli konsumen. Secara
teoritis pembebanan jaminan fidusia dapat dibagi menjadi 2 (dua) sesuai
dengan jenis fidus ia yang dipilih oleh para pihak karena di Indonesia terdapat
dua sistem hukum fidusia yang berlaku, yaitu fidusia yang tunduk kepada
yurisprudensi dan fidusia yang tunduk kepada Undang – Undang Jaminan
Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 (UUJF).
Pembebanan jaminan fidusia yang tunduk pada yurisprudensi
dilakukan dengan 3 (tiga) fase, yaitu :
1.
Tahap pendahuluan yaitu tahap dibuatnya perjanjian pokok yang
dijamin dengan jaminan fidusia;
2.
Tahap penyeraha n benda secara constitutum possessorium yaitu
tahap pada saat pemberi fidusiamenyerahkan benda objek jaminan
fidusia kepada penerima fidusia. Penyerahan benda fidusia secara
constitutum possessorium memiliki arti bahwa penyerahan benda
fidusia tidak dilakukan secara nyata karena benda tetap berada dalam
penguasaan
pemberi
fidusa,
yang
diserahkan
adalah
bukti
kepemilikan atas benda yang menjadi objek fidus ia;
3.
Tahap perjanjian pinjam pakai yang berarti kedudukan pemberi
fidusia terhadap benda hanya sebagai peminjam pakai yang
berkewajiban untuk merawat bendanya. Sebagai peminjam pakai,
pemberi fidusia dapat menggunakan benda fidusia namun tidak
berhak untuk mengalihkan benda tersebut.
93
Apabila para pihak tunduk pada fidusia berdasarkan UUJF maka
diperlukan juga adanya 3 (tiga) fase pembebanan jaminan fidusia :
1.
Adanya perjanjian antara para pihak untuk menjamin perjanjian
pokok dengan jaminan fidusia;
2.
Pembuatan akta Jaminan Fidusia oleh Notaris;
3.
Pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF)
yang merupakan saat lahirnya fidusia.
Dalam fidusia yang tunduk pada UUJF, Perjanjian tersebut harus
dituangkan dalam akta notarill sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1)
UUJF. Pemberian hak jaminan fidusia dilakukan dengan perjanjian tertulis,
yang dituangkan dalam Akta Jaminan Fidusia. Selanjutnya, akta jaminan
tersebut didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada di tempat
kedudukan Pemberi Fidusia dengan cara mengajukan permohonan ke Kantor
Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat jaminan
fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan
permohonan
pendaftaran,
kemudian
menerbitkan
dan
menyerahkan sertifikat jaminan fidusia kepada Penerima Fidusia (Pasal 14
ayat 3 UUJF) dan segala keterangan mengenai benda fidusia yang menjadi
objek jaminan yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk
umum (Pasal 18 UUJF).
Berdasarkan hal tersebut, dalam perjanjian pembiayaan konsumen
yang dijamin dengan fidusia, Konsumen harus menyerahkan bukti
kepemilikan atas benda objek jaminan kepada Perusahaan Pembiayaan
94
Konsumen sampai dengan Konsumen dapat memenuhi prestasinya untuk
melunasi angsuran. Sebelum konsumen melunasi angsurannya, maka
kedudukan konsumen hanya sebagai peminjam pakai yang berhak untuk
menggunakan benda jaminan seperti halnya pemilik, namun tidak berhak
untuk mengalihkan benda jaminan tersebut karena konsumen bukanlah atau
belum menjadi pemilik dari benda.
Dalam memberikan jaminan fidusia, seorang pemberi fidusia
haruslah memiliki kewenangan bertindak (beschikkingbevoegd) adalah
kewenangan untuk bertindak dalam suatu peristiwa yang khusus. Orang yang
wenang bertindak adalah orang yang me miliki kedudukan untuk melakukan
perjanjian tertentu, sedangkan orang yang tidak wenang bertindak adalah
orang yang tidak memiliki kedudukan untuk melakukan perjanjian tertentu.
Adanya syarat kewenangan bertindak dalam memberikan jaminan
merupakan suatu pe laksanaan dari suatuazas hukum yaitu azasNemo plus
juris transfer potestquamipse habet yang berarti bahwa seseorang itu tidak
dapat memperalihkan hak melebihi apa yang menjadi haknya. Dan lazimnya
yang wenang untuk menguasai benda adalah pemilik. 72
Dalam K.U.H. Perdata asas ini terdapat dalam pasal 584 K.U.H.
Perdata yang berbunyi :
“Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara
lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan; karena
daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang – undang,
maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau
penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk
72
Sri SoedewiMasjchoenSofwan, 1975, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hal. 75.
95
memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan itu.”
Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pemindahan hak
milik hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik kepada pemilik baru,
karena pemilik dari suatu benda adalah orang yang berhak menikmati benda
miliknya dan berbuat bebas terhadap benda miliknya. hal ini sesuai dengan
pernyataan dari J. Satrio :73
“Menggadaikan termasuk dalam tindakan pemilikan (beschikking)
dan tindakan pemilikan merupakan tindakan hukum yang membawa
atau dapat membawa konsekuensi yang sangat besar, karenanya
tidaklah heran kalau untuk dapat menggadaikan disyaratkan adanya
kewenangan bertindak – kewenangan khusus, tidak cukup kecakapan
bertindak saja.”
Berdasarkan pernyataan J. Satrio tersebut, orang yang wenang
bertindak adalah orang yang dapat mengambil tindakan kepemilikan.
Tindakan kepemilikan di sini dapat diartikan sebagai tindakan yang dapat
dilakukan seseorang untuk melakukan suatu hal dengan kedudukannya
sebagai pemilik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang memiliki
kewenangan bertindak atau seseorang diperbolehkan untuk memberikan
jaminan gadai apabila dia adalah pemilik dari benda gadai.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 1156 ayat (2) K.U.H. Perdata
memberikan kemungkinan bahwa benda yang dijadikan jaminan tidak harus
kebendaan milik debitor tapi dapat juga kebendaan bergerak milik orang lain
yang digadaikan. Dengan kata lain, seseorang dapat saja menggadaikan
kebendaan bergerak miliknya untuk menjamin utang orang lain atau
73
J. Satrio,Hukum Jaminan,Hak – Hak Jaminan Kebendaa, Op.Cit, hal. 111.
96
seseorang dapat mempunyai utang dengan jaminan benda bergerak milik
orang lain.
Dalam hal ini bukan berarti debitor yang tidak memiliki harta untuk
digadaikan kemudian meminjam benda milik orang lain dan atas izin orang
tersebut
berpura-pura
sebagai
pemilik
dari
benda
dan
kemudian
menggadaikannya. Namun, yang memberikan jaminan gadai haruslah pemilik
dari benda tersebut, yang menggadaikan bendanya untuk dijadikan jaminan
utang orang lain dengan kedudukannya sebagai pihak ketiga pemberi gadai.
Berdasarkan hal tersebut, harus ditekankan bahwa tiap orang yang
hendak menggadaikan suatu benda haruslah pemilik dari benda, walaupun
orang tersebut bukanlah orang yang berhutang. Apabila seseorang
menggadaikan benda yang bukan miliknya maka akibat hukumnya adalah
gadai tidak sah atau dianggap tidak pernah ada.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 1152 ayat 4 junto Pasal 1977
ayat 1 K.U.H. Perdata memberikan perlindungan bagi kreditor yang beritikad
baik, yaitu kreditor yang tidak mengetahui bahwa pihak yang memberikan
jaminan gadai bukanlah pemilik dari benda gadai, sehingga kreditor tidak
dapat dituntut untuk mengembalikan benda gadai oleh pemilik asli benda
tersebut.
Ketentuan tersebut berlaku terhadap benda gadai berupa benda
bergerak tidak atas nama, karena pada prinsipnya setiap orang dapat
menganggap orang yang menguasai benda bergerak tidak atas nama sebagai
97
pemilik dari benda tersebut. Apabila benda gadai berupa benda bergerak atas
nama, maka kreditor tidak mendapatkan perlindungan.
Menurut kepustakaan hukum, yang dimaksud dengan penge rtian
benda atas nama adalah benda-benda yang dapat diketahui oleh siapapun juga
pemiliknya, dalam suatu daftar yang disediakan untuk maksud itu, dan bendabenda itu terdaftar atas nama pemiliknya. 74
Peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pendaftaran kendaraan bermotor dimaksud terdapat dalam :
1)
UU No. 14 Tahun 1992 tentang “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.”
2)
PP No. 44 Tahun 1993 tentang “Kendaraan dan Pengemudi”.
Dalam UU No. 14 Tahun 1992 Pasal 14 ditentukan bahwa :
“Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib di
daftarkan; Sebagai bukti pendaftaran diberikan bukti pendaftaran
kendaraan bermotor.”
Syarat-syarat dan tata cara pendaftaran, bentuk dan jenis tanda bukti
pendaftaran sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dalam PP No. 44
Tahun 1993, khususnya dalam Bab IV Pasal 172 sampai dengan Pasal 203.
Beberapa hal pokok mengenai sistem pendaftaran kendaraan
bermotor sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Pengertian kendaraan bermotor
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh
peralatan teknik yang berada dalam kendaraan itu (Pasal 1 angka 1);
74
Kartono, 1974, Persetujuan Jual-beli menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 23.
98
salah satu jenisnya berupa sepeda motor, yaitu kendaraan bermotor
roda dua atau tiga tanpa rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta
samping (Pasal 1angka 2).
2.
Instansi dan tujuan Pendaftaran
Instansi yang berwenang untuk melakukan Pendaftaran kendaraan
bermotor adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 180),
dan tujuan pendaftaran adalah untuk :
- Tertib administrasi;
- Pengendalian kendaraan yang dioperasikan di Indonesia;
- Mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan menyangkut
Kendaraan yang bersangkutan; dalam rangka perencaan;
- Rekayasa dan manajemen lalu lintas dan angkutan jalan dan
memenuhi kebutuhan data lainnya dalam rangka perencanaan
pembangunan nasional (Pasal 172 ayat 2).
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyelenggarakan sistem informasi kendaraan
bermotor.
3. Pendaftaran pertama
Yang dimaksud dengan pendaftaran kendaraan bermotor yang
pertama kali adalah pendaftaran atas kendaraan bermotor baru yang
merupakan syarat agar kendaraan bermotor bisa dioperasikan di
jalan; Untuk dapat dilakukan pendaftaran pertama syarat pokok yang
wajib dipenuhi adalah :
a. Ada sertifikat registrasi uji tipe dan tanda lulus uji tipe atau buku dan
tanda lulus uji berkala.
b. Ada bukti pemilikan kendaraan bermotor yang sah.
99
Disamping kedua syarat tersebut, harus dilengkapi pula data
pelengkap lain yaitu :
- Identitas kendaraan bermotor;
- Identitas pemilik;
- Bukti pelunasan pembayaran pajak kendaraan bermotor, bea balik
nama kendaraan bermotor dan sumbangan wajib dana kecelakaan
lalu lintas jalan; identitas kendaraan bermotor; jenis kendaraan
bermotor dan tanggal pembelian Pasal 174).
Sebagai bukti bahwa kendaraan bermotor telah didaftarkan,
diberikan Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor dan tanda nomor
kendaraan juga diberikan “Buku Pemilik Kendaraan Bermotor”
(Pasal 175).Buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) pada
pokoknya memuat data mengenai identitas kendaraan bermotor dan
identitas pemilik serta nomor pendaftaran (Pasal 176 ayat 1; dan
catatan setiap perubahan identitas kendaraan dan identitas pemilik
Pasal 176 ayat 2).
Dari hal- hal tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
pendaftaran kendaraan bermotor adalah pencatatan tentang : identifikasi
kendaraan bermotor termasuk didalamnya identifikasi pemiliknya dalam
BPKB; Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa pada hakekatnya
BPKB adalah : “sarana identifikasi atas kendaraan bermotor yang berlaku
sebagai
bukti
pengenal
yang
sah
bagi
kendaraan
bermotor
yang
bersangkutan.” Dengan dicatatnya identitas pemilik kendaraan bermotor
didalamnya, maka disamping sebagai bukti pengenal yang sah bagi kendaraan
bermotor yang bersangkutan, menurut ketentuan sebagaimana disebutkan
100
dalam BPKB itu sendiri dinyatakan bahwa BPKB dapat disamakan dengan
sertifikat kepemilikan (Certificate of ownership ).
Dalam hal objek gadai kendaraan bermotor, maka pemberi gadai
diharuskan menyerahkan kendaraan bermotor beserta perlengkapannya
berupa STNK dan BPKB kepada pe nerima gadai. Dengan diserahkannya
STNK dan BPKB kepada penerima gadai, maka penerima gadai dapat
mengetahui identitas pemilik dari benda gadai.Dalam hal penerima gadai,
menerima dalam gadai kendaraan bermotor tanpa disertai STNK dan BPKB,
maka penerima gadai adalah kreditor beritikad buruk karena dia mengetahui
atau seharusnya mengetahui bahwa pemberi gadai bukanlah pemilik dari
benda gadai.
Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan
data yang diperoleh penulis, maka pertama-tama perlu dideskripsikan kembali
peristiwa hukum yang me lingkupi timbulnya permaslahan dalam penelitian
ini.
Dari data-data hasil penelitian No. 1 tentang Perjanjian Pembiayaan
Konsumen, No. 2 tentang Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia , No. 3 tentang
Wawancara dengan PT. FIF , No. 4 tentang Perjanjian Pengalihan Hak dan
Kewajiban dan No. Data 5 No. 6 Tentang Pernyataan atas peristiwa tentang
Penjaminan, kiranya dapat dinyatakan terjadinya rentetan peristiwa dalam
tahapan sebagai berikut :
1.
Firdiyanto adalah pihak pembeli sepeda motor yang dibiayai oleh
PT. FIF (selaku Pemberi Fasilitas Pembiayaan Konsumen dan
101
Kreditor Penerima Fidusia). Untuk menjamin pengembalian harga
pembeliannya kedua belah pihak sepakat untuk memasang jaminan
fidusia.
2.
Firdiyanto menggadaikan sepeda motor tersebut kepada Abu
Mubarok.
3.
Karena Firdiyanto tidak dapat melunasi utangnya, oleh abu Mubarok
sepeda motor itu digadaikan lagi kepada Ari Wijaya.
4.
Ari Wijaya melakukan oper alih kredit atas kepemilikan motor
Firdiyanto.
Untuk lebih memperjelas peristiwa tersebut, peristiwa tersebut dapat
dilihat dalam bentuk bagan sebagai berikut :
Bagan peristiwa
Perjanjian pembiayaan
FIFF
Penerima fidusia
Firdiyanto
Pemberi fidusia
Pemberi gadai
Gadai
Abu
Penerima gadai
Pemberi gadai (ulang)
Ari W
Penerima gadai
(ulang)
Gadai
(ulang)
102
1. Kewenangan Bertindak Pemberi Jaminan (Firdiyanto)
Dalam sistem hukum Indonesia ada dua jenis jaminan Fidusia. Yang
pertama adalah Fidusia yang tunduk pada yurisprudensi dan kebiasaan, kedua
adalah fidusia yang tunduk pada UUJF. Untuk lahirnya fidusia yang tunduk
pada yurisprudensi dan kebiasaan, pemasangan fidusia cukup dengan
memperjanjikan jaminan fidusia baik secara tertulis (akta di bawah tangan
ataupun akta autentik) maupun secara tidak tertulis, dan penyerahan objek
jaminan
fidusia
secara
constitutum
possessorium.
Dalam
hukum
yurisprudensi dan kebiasaan, memperjanjikan jaminan fidusia dapat
dilakukan secara tidak tertulis. Namun, pada praktiknya di masyarakat fidusia
selalu diperjanjikan secara tertulis dalam bentuk akta autentik (notariil),
sehingga yang diterima masyarakat sampai sekarang adalah fidusia yang
diperjanjikan secara tertulis dalam bentuk akta autentik (notariil). Untuk
lahirnya jaminan fidusia yang tunduk pada UUJF, pembebanan fidusia harus
dibuat dalam bentuk akta notarill dan didaftarkan di Kantor Pendaftaran
Fidusia.
Dari data hasil penelitian nomor 1.8 dapat dideskripsikan bahwa
untuk menjamin pemenuhan prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian
pembiayaan konsumen, penerima fasilitas (Firdiyanto) diharuskan untuk
menye rahkan dokumen barang, yaitu Buku Pemilik Kendaraan Bermotor
(BPKB) kepada pemberi fasilitas (PT. FIF).
Dari data 2.1 sampai dengan 2.5 dapat dideskripsikan bahwa
penerima fasilitas (Firdiyanto) memberikan kuasa kepada pemberi fasilitas
103
(PT. FIF) untuk membebankan jaminan fidusia kepada penerima fasilitas
dengan dibuatnya perjanjian fidusia secara tertulis yang ditandatangani di
hadapan notaris dan dapat didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Berdasarkan data hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pada intinya
para pihak ingin membebankan jaminan fidusia dalam perjanjian pembiayaan
konsumen. Namun, berdasarkan data yang diperoleh penulis, PT. FIF tidak
pernah melaksanakan kuasa untuk membebankan jaminan fidusia yang
dituangkan dalam bentuk akta autentik(notariil).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa walaupun para
pihak memperjanjikan pembebanan fidusia di mana Firdiyanto sebagai
penerima fasilitas, telah menyerahkan BPKB dari objek perjanjian yaitu
sepeda motor Honda Revo 110 Spoke de ngan nomor polisi B 3530 NNM
kepada PT. FIF, menurut tujuan perjaminan fidusia yaitu sebagai jaminan
pelunasan utang, tidak pernah melahirkan hak jaminan fidusia, baik fidusia
yang tunduk pada yurisprudensi ataupun fidusia yang tunduk pada UUJF
karena PT. FIF tidak pernah melaksanakan hal yang dikuasakan kepadanya
yaitu untuk memasang/membebankan jaminan fidusia.
Apabila jaminan fidusia lahir sebagai perjanjian assesoir dari
perjanjian pembiayaan konsumen, maka akibat hukumnya Firdiyanto
berkedudukan bukan lagi sebagai pemilik dari sepeda motor Honda Revo 110
Spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM. Dengan lahirnya hak jaminan
fidusia, Firdiyanto berkedudukan sebagai pemberi jaminan, artinya Firdiyanto
memiliki hak sebagai peminjam pakai atas benda jaminan, sedangkan PT. FIF
104
berkedudukan sebagai penerima jaminan yang artinya PT. FIF memiliki hak
sebagai pemilik, namun dengan kewenangan yang terbatas yaitu menarik
kembali dan menjual benda jaminan fidusia untuk mendapatkan pelunasan
piutang apabila Firdiyanto wanprestasi. Dalam hal Firdiyanto melunasi
angsurannya, maka PT. FIF berkewajiban untuk menyerahkan BPKB sepeda
motor Honda Revo 110 Spoke kepada Firdiyanto. Dengan diserahkan
kembali BPKB sepeda motor kepada Firdiyanto, maka kedudukan Firdiyanto
kembali menjadi pemilik atas sepeda motor Honda Revo 110 Spoke dengan
nomor polisi B 3530 NNM.
Namun, karena dalam pelaksanaannya tidak pernah lahir hak
jaminan fidusia, maka kedudukan Firdiyanto tidak berubah menjadi
peminjam pakai. Dalam hal ini kedudukan Firdiyanto tetap sebagai pemilik
dari sepeda motor Honda Revo 110 Spoke dengan nomor polisi B 3530
NNM,dan sebagai debitor yang memiliki utang kepada kreditor yaitu PT. FIF.
Dengan
kedudukannya
sebagai
pemilik
maka
Firdiyanto
memiliki
kewenangan untuk bertindak bebas terhadap bendanya dan untuk menikmati
kegunaan atas bendanya, termasuk untuk memberikan jaminan gadai.
2. Keabsahan Tindakan Gadai Ulang yang Dilakukan Abu Mubarok – Ari
Wijaya
Dari data hasil penelitian nomor 3.1, dapat dideskripsikan bahwa
terdapat dua peristiwa gadai. Pertama adalah gadai yang dilakukan antara
Firdiyanto (pemberi gadai) dan Abu Mubarok (penerima gadai); kedua adalah
gadai yang dilakukan antara Abu Mubarok (pemberi gadai) dan Ari Wijaya
105
(penerima gadai). Yang pertama dilakukan oleh firdiyanto dan Abu Mubarok
adalah gadai pada umumnya yaitu peristiwa di mana pemberi gadai
memberikan benda miliknya sebagai jaminan pelunasan utang kepada
penerima gadai. Yang kedua antara Abu Mubarok dengan Ari Wijaya disebut
dengan gadai ulang yaitu gadai ya ng dilakukan oleh penerima gadai yang
menjaminkan benda gadai yang ada di dalam penguasaannya kepada pihak
lain.
Untuk membahas mengenai keabsahan gadai ulang antara Abu
Mubarok dan Ari Wijaya, maka harus dibahas terlebih dahulu mengenai gadai
yang dilakukan antara Firdiyanto dan Abu Mubarok, karena kedua gadai
tersebut saling berhubungan dan peristiwa gadai ulang tidak dapat timbul
tanpa adanya gadai pertama.
a. Gadai yang dilakukan antara Firdiyanto dan Abu Mubarok
Dengan adanya ketentuan dalam pemberian jaminan gadai yang
mensyaratkan bahwa pemberi gadai haruslah orang yang berwenang
bertindak (pemilik ) terhadap benda gadai, maka agar pemberian gadai yang
dilakukan Firdiyanto kepada Abu Mubarok sah, Firdiyanto haruslah
berkedudukan sebagai orang yang berwenang bertindak bebas (pemilik) atas
objek gadai yaitu sepeda motor merek Honda Revo 110 spoke warna hitam
dengan nomor polisi B 3530 NNM.
Dalam pembahasan pertama telah disimpulkan bahwa hak jaminan
fidusia tidak pernah lahir, karena tidak pernah terjadi pembebanan fidusia.
Hal ini berarti kedudukan Firdiyanto tetap sebagai pemilik dari objek
106
perjanjian. Menurut Pasal 570 K.U.H. Perdata, pemilik atas suatu benda
berhak untuk “menikmati kegunaan atas benda miliknya” dan “bertindak
bebas atas bendanya”, sehingga Firdiyanto sebagai pemilik atas sepeda motor
merek Honda Revo 110 spoke warna hitam dengan nomor polisi B3530
NNM, mempunyai kewenangan bertindak bebas terhadap sepeda motor
tersebut, termasuk menggadaikannya kepada orang lain.
Dalam menggadaikan benda atas nama, selain pemberi jaminan
haruslah pemilik dari benda jaminan, pemberi jaminan juga harus
menyertakan perlengkapan benda atas nama tersebut, yaitu STNK dan BPKB.
Dalam pelaksanaannya, yang diserahkan Firdiyanto kepada Abu Mubarok
hanyalah sepeda motor dan STNK. BPKB tidak diserahkan kepada Abu
Mubarok.
Penyerahan STNK dan BPKB sebagai alat perlengkapan sepeda
motor sebagai benda atas nama dalam setiap peralihan hak jaminan
merupakan syarat sahnya penyerahan. Hal ini dimaksudkan agar penerima
jaminan dapat menjual benda jaminan untuk mengambil pelunasan piutang
apabila pemberi jaminan wanprestasi. Apabila tidak lengkap, maka benda
jaminan tidak dapat dijual dan penerima jaminan tidak dapat mengambil
pelunasan piutang. Hal ini berarti hak jamina n tidak pernah lahir karena
tujuan dari pemberian jaminan yaitu agar penerima jaminan dapat mengambil
pelunasan piutang tidak tercapai.
Konsekuensi apabila Firdiyanto tidak menyerahkan BPKB kepada
Abu Mubarok adalah Abu Mubarok tidak dapat menjual sepeda motor yang
107
dijadikan jaminan gadai untuk mengambil pelunasan piutang apabila
Firdiyanto wanprestasi. Hal ini berarti, gadai yang dilakukan antara
Firdiyanto kepada Abu Mubarok tidak sah, yang berarti gadai tidak pernah
lahir. Konsekuensinya, Firdiyanto tidak berkedudukan sebagai pemberi gadai
dan Abu Mubarok tidak berkedudukan sebagai penerima gadai.
b. Gadai ulang antara Abu Mubarok dengan Ari Wijaya
Pada prinsipnya, peristiwa gadai ulang merupakan gadai yang tidak
sah karena gadai ulang terjadi ketika penerima gadai menggadaikan lagi
kepada pihak lain benda milik pemberi gadai yang ada padanya. Dalam gadai
ulang, P emberi gadai (ulang) bukanlah pemilik dari benda gadai karena
pemberi gadai (ulang) masih berkedudukan sebagai penerima jaminan gadai
sampai dengan pemberi gadai (pertama) dinyatakan telah melunasi utangnya
atau tidak dapat melunasi utangnya. Apabila pemberi gadai (pertama) dapat
melunasi utangnya maka penerima gadai berkewajiban untuk mengembalikan
benda gadai. Apabila pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya maka
penerima gadai berwenang untuk menjual benda gadai tersebut dengan tujuan
mengambil pelunasan piutangsesuai dengan jumlah utang pemberi gadai. Jika
masih ada sisa uang dari penjualan, maka sisa uang tersebut dikembalikan
kepada pemberi gadai. Namun, dalam gadai ulang, penerima gadai
menggadaikan benda gadai yang ada padanya kepada pihak lain pada saat
perjanjian gadai masih berlangsung. .
Dari data hasil penelitian nomor 3.1 dapat dideskripsikan bahwa Abu
Mubarok memberikan jaminan gada i kepada Ari Wijaya berupa sepeda
108
motor merek Honda Revo 110 Spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM milik
Firdiyanto yang digadaikannya kepadanya. Berdasarkan hal tersebut dapat
dinyatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai penerima gadai, Abu
Mubarok menggadaikan lagi benda gadai yang ada padanya kepada pihak lain
(Ari Wijaya), sehingga gadai yang dilakukan Abu Mubarok kepada Ari
Wijaya termasuk dalam pengertian gadai ulang.
Dengan mendasarkan pada teori bahwa peristiwa gadai ulang
bukanlah peristiwa gadai yang sah, maka hal tersebut dapat diterapkan dalam
peristiwa gadai (ulang) antara Abu Mubarok dan Ari Wijaya. Dalam peristiwa
tersebut, Abu Mubarok yang berkedudukan sebagai penerima gadai
menggadaikan lagi benda gadai berupa sepeda motor Honda Revo 110 Spoke
dengan nomor polisi B 3530 NNM yang ada padanya kepada Ari Wijaya. Hal
ini berarti Abu Mubarok tidak mempunyai kewenangan bertindak untuk
menggadaikan, karena Abu Mubarok bukanlah pemilik atas benda gadai,
sedangkan yang mempunyai kewenangan bertindak untuk menggadaikan
adalah pemilik benda.
Pada peristiwa ini, Abu Mubarok (penerima gadai) memberikan
gadai kepada Ari Wijaya, maka pemberian gadai yang dilakukan Abu
Mubarok kepada Ari Wijaya tidak sah, yang berarti gadai (ulang) tidak
pernah lahir. Hal itu berarti, Abu Mubarok tidak pernah berkedudukan
sebagai pemberi gadai dan Ari Wijaya tidak pernah berkedudukan sebagai
penerima gadai.
109
3. Pengertian perjanjian oper alih kredit antara PT. Federal International
Finance Cabang Tangerang dengan Ari Wijaya dalam sistem hukum
perjanjian
Telah diuraikan dalam tinjauan pustaka bahwa dalam K.U.H. Perdata
perikatan dapat hapus apabila terjadi pembaharuan hutang (Novasi) yaitu
suatu perjanjian dengan mana suatu perikatan dihapuskan dan sekaligus
diadakan atau dilahirkan perikatan baru yang menggantikan perikatan yang
lama yang telah hapus. Novasi dapat terjadi karena 3 (tiga) hal, pertama
adalah pergantian kedudukan dari kreditor lama oleh kreditor baru, kedua
adalah pergantian kedudukan dari debitor lama oleh debitor bar u, ketiga
adalah pergantian objek perikatan.
Beberapa pokok yang diatur dalam ketentuan novasi dijelaskan
dalam doktrin oleh J. Satrio yang menyatakan mengenai ciri khusus dari
novasi :75
1.
Adanya perjanjian yang sengaja diadakan
2.
Untuk menghapus suatu perikatan
3.
Adanya perikatan baru yang hanya lahir dari perjanjian dengan
klausul untuk “menghapus” perikatan sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa novasi
bertujuan untuk menghapuskan perikatan dan kemudian digantikan dengan
perikatan baru. Hapusnya perikatan memiliki akibat hukum bahwa jaminan
yang mengikuti perikatan tersebut juga hapus. Namun, dalam Pasal 1421
75
J. Satrio, Op.Cit, hal.2
110
K.U.H. Perdata terdapat pengecualian bahwa jaminan yang menempel pada
perikatan pokok tersebut secara tegas dapat dipertahankan oleh si berpiutang.
Mengenai hal tersebut J. Satrio mengatakan bahwa untuk
mempertahankan jaminan maka para pihak harus memperjanjikan lagi
jaminannya. Dengan begitu dapat diketahui bahwa memperjanjikan ulang
jaminan adalah cara untuk mempertahankan jaminan yang dimaksud dalam
Pasal 1421 K.U.H. Perdata, karena pada prinsipnya jika perikatan pokok
hapus maka perikatan assesoir juga ikut hapus. Apabila jaminan tetap ada
karena dipertahankan oleh kreditor tanpa diperjanjikan lagi maka hal tersebut
bertentangan dengan prinsip hukum jaminan. Oleh karena itu, perikatan
jaminan yang menempel (assesoir) pada perikatan pokok yang telah hapus
juga ikut hapus. Untuk mengadakan jaminan kembali maka jaminan harus
diperjanjikan lagi.
Dari data 4.4 dan 4.5 dapat di deskripsikan bahwa maksud para
pihak mengadakan oper alih kredit adalah untuk mengalihkan hak dan
kewajiban penerima fasilitas lama (Firdiyanto) kepada penerima fasilitas baru
(Ari Wijaya). Hal ini berarti, dilakukannya oper alih kredit ini adalah bahwa
perikatan antara Firdiyanto (penerima fasilitas lama) dan PT. FIF (pemberi
fasilitas) menjadi hapus, sehingga Firdiyanto tidak memiliki hak dan
kewajiban apapun lagi terhadap PT. FIF dan begitu pula sebaliknya. Perikatan
yang hapus tersebut telah digantikan dengan perikatan baru yaitu antara Ari
Wijaya (penerima fasilitas baru) dan PT. FIF (pemberi fasilitas). Ari Wijaya
sebagai penerima fasilitas baru memiliki hak dan kewajiban yang sama yang
111
dimiliki oleh Firdiyanto yaitu berkewajiban untuk melunasi angsuran kepada
PT. FIF dan berhak menjadi pemilik dari sepeda motor merek Honda Revo
110 spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM apabila angsurannya telah
lunas.
Berdasarkan peristiwa tersebut dapat dinyatakan bahwa ada
pergantian kedudukan debitor lama (penerima fasilitas lama) oleh debitor
baru (penerima fasilitas baru). Kedudukan adalah serangkaian hak dan
kewajiban yang dimiliki seseorang, beralihnya kedudukan berarti beralihnya
hak dan kewajiban. Dalam hukum perdata, pergantian kedudukan di atur
dalam Pasal 1413 K.U.H. Perdata mengenai pembaharuan utang (novasi).
Dalam peristiwa ini telah terjadi pergantian kedudukan debitor lama
oleh debitor baru yang menyebabkan perikatan antara debitor lama dengan
kreditor menjadi hapus dan kemudian digantikan oleh perikatan antara
kreditor dan debitor baru. Dalam novasi, pergantian kedudukan debitor
disebut dengan Novasi Subjektif Pasif yang diatur dalam Pasal 1413 Poin 2
K.U.H Perdata yaitu suatu perjanjian untuk menghapuskan perikatan yang
dilakukan dengan menunjuk seorang berutang baru untuk menggantikan
seorang berutang lama, yang kemudian oleh si berpiutang si berutang lama
dibebaskan dari perikatannya.
Novasi subjektif pasif dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) berdasarkan
kehendak diadakannya novasi. Kehendak diadakannya novasi subjektif pasif
dapat datang dari dua pihak yaitu kreditor dan debitor. Kehendak yang datang
dari pihak kreditor disebut dengan novasi subjektif pasif exprommisso yang
112
diatur dalam Pasal 1416 K.U.H.Perdata. Kehendak yang datang dari pihak
debitor disebut dengan novasi subjektif pasif delegasi yang diatur dalam Pasal
1417 K.U.H. Perdata.
Berdasarkan data 3.1 dan 6.3 dapat dideskripsikan bahwa atas saran
Abu Mubarok, Ari Wijaya mendatangi pihak PT. FIF untuk mengadakan oper
alih kredit (novasi) sepeda motor Revo 110 spoke dengan nomor polisi B
3530 NNM. Atas permintaan Ari Wijaya, PT. FIF menyarankan untuk
melakukan
pergantian
kedudukan
debitor
yaitu
agar
Ari
Wijaya
menggantikan kedudukan Firdiyanto sebagai debitor lama, sehingga Ari
Wijaya dapat melanjutkan pembayaran yang tertunda.
Hal ini berarti, saran dari Abu Mubarok menjadi motif Ari Wijaya
untuk melakukan novasi, bukan kehendak hukum. Yang dimaksud dengan
kehendak hukum adalah keinginan untuk melakukan suatu perbuatan dengan
mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan. Dalam peristiwa
yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa Ari Wijaya tidak
menjelaskan
mengenai
novasi
yang
ingin
dilakukannya.
Dalam
kedudukannya sebagai kreditor, PT. FIF memberikan solusi untuk
melakukan pergantian kedudukan debitor, yaitu pergantian kedudukan
Firdiyanto sebagai penerima fasilitas lama (debitor lama) oleh Ari Wijaya
sebagai penerima fasilitas baru (debitor baru). Dengan pergantian kedudukan
tersebut, maka hak dan kewajiban Fir diyanto beralih kepada Ari Wijaya,
sehingga Ari Wijaya menjadi memiliki sepeda motor Honda Revo 110 spoke
dengan nomor polisi B 3530 NNM.
113
Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa kehendak hukum
mengadakan novasi subjektif pasif datang dari pihak PT. FIF (kreditor), untuk
mendapatkan debitor yang lebih baik. Hal ini berarti, kehendak hukum untuk
diadakannya novasi subjektif pasif datang dari pihak kreditor. Terjadinya
novasi subjektif pasif di mana kehendak diadakannya novasi datang dari
pihak kreditor (PT. FIF) disebut dengan Novasi Subjektif Pasif Exprommisso.
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjanjian lahir pada saat para pihak menyepakati isi dari perjanjian,
hal ini berarti perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, sehingga
para pihak diharuskan untuk memenuhi isi dari perjanjian yang dibuat. Untuk
menjamin para pihak memenuhi prestasi masing-masing, para pihak
membebankan jaminan terhadap perjanjian tersebut. Dalam perjanjian
pembiayaan konsumen, jaminan yang dibebankan biasanya adalah jaminan
fidusia. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya mengenai
jaminan fidusia yang menempel (assesoir) pada perjanjian pembiayaan
konsumen, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Dalam memberikan jaminan, pemberi jaminan harus mempunyai
kewenangan
bertindak
(beschikking
bevoegd).
Orang
yang
mempunyai kewenangan bertindak adalah pemilik. Seorang pemilik
berhak untuk menikmati dan bertindak bebas terhadap bendanya,
termasuk untuk memberikan jaminan. Jika pemberi jaminan
bukanlah orang yang mempunyai kewenangan bertindak, akibat
hukumnya pemberian jaminan yang dilakukan tidak sah, yang berarti
jaminan tidak pernah lahir.
2.
Gadai ulang merupakan suatu peristiwa yang mana penerima gadai
menggadaikan lagi benda yang ada padanya kepada pihak lain
115
sebelum perjanjian gadai berakhir. Hal ini berarti gadai ulang
merupakan gadai yang tidak sah, karena pemberi gadai ulang tida k
mempunyai kewenangan bertindak untuk memberikan jaminan gadai
dalam kedudukannya sebagai penerima gadai.
3.
Dalam pengertian hukum perdata, peristiwa oper alih kredit adalah
merupakan peristiwa pergantian kedudukan debitor lama oleh
debitor baru, yang dapat terjadi atas kehendak kreditor atau debitor.
Dalam penelitian ini, terjadi peristiwa pergantian kedudukan debitor
lama (Firdiyanto) oleh debitor baru (Arie Wijaya) atas kehendak PT.
FIF (Kreditor). Peristiwa tersebut termasuk dalam pengertian Novssi
Subje ktif Pasif Exprommisso.
B. Saran
Jaminan fidusia dalam perjanjian yang dilakukan antara PT. FIF dan
Firdiyanto tidak pernah lahir, karena PT. FIF tidak pernah melaksanakan
kuasamembebankan jaminan fidusia pada perjanjian pembiayaan konsumen.
Jaminan Fidusia hanya lahir pada perjanjian yang dilakukan antara PT. FIF
dan Arie Wijaya, sebagai adendum dari perjanjian oper alih kredit. Oleh
karena itu, agar lahir jaminan fidusia, pemasangan atau pembebanan
jaminan fidusia harus segera dilaksanakan, baik dengan mendaftarkan akta
notaril jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai dengan
syarat lahirnya jaminan fidusia yang tunduk pada UUJF, atau hanya
membuat akta di bawah tangan (notariil) sesuai dengan syarat lahirnya
jaminan fidusia yang tunduk pada yurisprudensi.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Djumnaha , Muhammad. 2000. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati. 2000. Segi Hukum Lembaga Keuangan
dan Pembiayaan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
ELIPS. 1998. Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 : Hukum Jaminan Indonesia. Jakarta :
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Fuady, Munir. 2006. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Gandaprawira, D. 1979. Pengaturan Hukum Tentang Gadai (PAND), Badan
Pembinan Hukum Nasional Departemen Kehakiman ed, Hukum Jaminan.
Yogyakarta : Binacipta.
Hadisaputro, Hartono. 1984. Seri Hukum Perdata, Pokok – Pokok Hukum Perdata
dan Hukum Jaminan. Yogyakarta: Liberty.
Hoey Tiong, Oey. 1984. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur – Unsur Perikatan,.Jakarta
: Ghalia Indonesia.
Kartono.1974. Persetujuan Jual-beli menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta : Sinar Grafika.
Roestamy, Martin. 2009. Hukum Jaminan Fidusia, Perlindungan Hukum Terhadap
Kreditor Pemegang Fidusia Atas Benda Tidak Terdaftar. Bogor : Unida Press.
Satrio J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
______ 1996. Hukum Perikatan: Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
_____ 2001. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 2 .
Bandung : Citra Aditya Bakti.
_____ 2005. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti
Soedewi Masjchoen Sofwan, Sri. 1980. Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok –
Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta : Liberty.
Subekti. 2002. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa.
Sunaryo. 2008. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta : Sinar Grafika.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Seri Jaminan Hukum bisnis : Jaminan
Fidusia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Karya ilmiah
Jurico Wibisono, M. 2012. Kajian Yuridis Transaksi Pembiayaan Konsumen Pada
PT. Federal Internasional Finance (FIF) Cabang Cilacap, Hasil Penelitian Sarjana
Hukum Universitas Negeri Jenderal Soedirman.
Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Download