GADAI ATAS BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE CABANG TANGERANG SKRIPSI Oleh: AFRILLIA HERWANTI E1A009013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 GADAI ATAS BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE CABANG TANGERANG SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Soedirman Oleh: AFRILLIA HERWANTI E1A009013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 ii iii PRAKATA Segala Puja dan Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Berkat dan Kasih Karunia -Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Gadai Atas Benda Objek Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen di PT. Federal International Finance (FIF) Cabang Tangerang sebagai syarat untuk mendapat gelar kesarjanaan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tid ak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bimbingan. 2. Bapak Edi Waluyo, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing I yang telah bersedia menyediakan waktunya setiap hari untuk memberikan banyak bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis kuliah serta pemahaman ilmu dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Nur Wakhid, S. H., M. H. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan banyak bimbingan dan arahan serta ilmu dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Budiman Setyo Haryanto, S. H., M. H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan demi kesempur naan skripsi ini. iv 5. Ibu Haedah Faradz, S. H., M. H. Selaku pembimbing akademik yang telah membantu memberikan motivasi dan memperlancar proses perkuliahan. 6. Seluruh Dosen, Staff Administrasi, dan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang mendidik, dan memberikan pengetahuan baik mengenai mata kuliah atau di luar mata kuliah. 7. Keluarga besar PT. Federal International Finance (PT. FIF) Cabang Tangerang, terima kasih atas izin dan data yang telah diberikan terkait skripsi ini. 8. Keluarga besar mahasiswa FH Unsoed khususnya teman-teman angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan yang telah kita lewati bersama. 9. Keluarga besar Lembaga Kajian Hukum dan Sosial (LKHS), Pro Justicia (PJ), Justicia English Club, terima kasih atas kebersamaannya dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti studi di Fakultas Hukum UNSOED ini. 10. Keluarga tercinta yang telah membantu dan memberikan semangat, support baik materiil maupun immateriil. 11. Para Sahabat, Ancis si tukang delivery order, Yolan – Irma-Deni si penjaga pintu, Fony, Lincang dan Pameyah yang selalu member ikan support lewat media social. 12. Teman-teman sependeritaan Iam, Coro, Aci, Ilfan, ina, mila yang selalu menemani duduk-duduk dan di saat-saat tidak terduga terima kasih atas v dukungan, kebersamaan dan kebahagian serta rekan-rekan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima ka sih atas dukungannya. Purwokerto, November 2013 Penulis vi GADAI ATAS BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE (FIF) CABANG TANGERANG OLEH : AFRILLIA HERWANTI E1A009013 ABSTRAKSI Perjanjian Pembiayaan Konsumen adalah perjanjian dengan mana konsumen memberi perintah (kuasa) kepada Perusahaan Pembiayaan Konsumen, yang menerimanya, untuk dan atas namanya membayar harga pembelian kepada Penjual (pemasok), dengan pengembalian ditambah bunga atau biaya secara angsuran. Untuk memberikan pengamanan atas pengembalian seluruh tagihan yang menjadi kewajiban konsumen, dalam praktiknya Perusahaan Pembiayan Konsumen, selalu meminta jaminan dalam bentuk fidusia yang berupa penyerahan hak milik atas benda jaminan dengan tetap mempertahankan penguasaan benda pada pemberi jaminan. Persoalan yang muncul dalam penelitian ini adalah digadaikannya benda jaminan fidusia oleh pemberi fidusia, yang kemudian dilanjutkan dengan peristiwa gadai ulang oleh penerima gadai, dan untuk penyelesaian permasalahan tersebut, para pihak yang terkait melakukan oper alih kredit. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pemberi jaminan fidusia maupun gadai haruslah orang yang memiliki kewenangan bertindak; Apakah tindakan gadai ulang yang dilakukan oleh pemegang gadai kepada penerima gadai melahirkan gadai yang sah menurut hukum; Konstruksi hukum pakah yang dimaksud dengan perjanjian “oper alih kredit” antara PT. Federal International Finance dengan Arie Wijaya dalam sistem hukum perjanjian. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memahami teoriteori hukum atas peristiwa hukum tentang prosedur pembebanan fidusia dan prosedur lahirnya hak gadai serta novasi. Penelitian ini adalah penelitian hukum yurid normatif, dengan menggunakan metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi dokumenter serta wawancara sebagai data pendukung. Data yang terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberi jaminan baik fidusia maupun gadai harus mempunyai kewenangan bertindak yaitu pemilik. Jika tidak mempunyai kewenangan bertindak maka jaminan tidak sah. Gadai ulang merupakan gadai yang tidak sah karena pemberi gadai berkedudukan sebagai penerima gadai yang tidak mempunyai kewenangan bertindak untuk memberikan jaminan; P eristiwa oper alih kredit adalah merupakan peristiwa pergantian kedudukan debitor lama oleh debitor baru, yang dapat terjadi atas kehendak kreditor atau debitor. Kata kunci : Jaminan Fidusia, kewenangan bertindak, pemberi jaminan vii PAWN ON THE FIDUCIARY OBJECT IN THE CONSUMER FINANCE AGREEMENT OF PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE TANGERANG ABSTRACT Consumer Financing Agreement is an agreement by which the consumer gives order to the Consumer Finance Company, who receive it, and on his behalf to pay the purchase price to the seller (supplier), and the consumer should pay the refund refund plus interest with installments. To provide safeguards for repayment of all the bills that become obligations of the consumer, in practice, consumer financing company always ask for collateral in the form of fiduciary, which means there is transfer of property right of fiduciary object, while the control of fiduciary object is the debtor. one of issues that arise in the practice of fiduciary is the fiduciary object pawned by the consumer, which followed by the repeat pawn by the recipient of the pawn, and for the settlement of problem, the parties concerned do credit trans fer. Based on the foregoing, the problems which will be discussed in this research is whether the giver of fiduciary or pawner should be someone who has the authority to act; Whether the repeat pawn by the recipient of pawn is a lawful pawn; What is the meaning of credit transfer in the legal system of the treaty. This research was carried out with the purpose to understand about the installation of fiduciary, pawn rights and novation. This research is the juridical normative using the method of data collection that is a study if literature and documentary, and interviews as supporting data. The Data collected is then presented in the form of a narrative text. The results showed that in providing the fiduciary or pawn, the guarantor must have the authority to act (bevoegd beschikking). People who have the authority to act is the owner. If the guarantor is not the person who have the authority to act, then the result is that the fiduciary or pawn is not lawful, which means the fiduciary or pawn was never born; the repeat pawn is not a lawful pawn because the pawner still serves as the recipient of the pawn, which means the repeat pawner does not have the authority to act to provide the guarantee; In the civil law sense, credit transfer is a transfer of authority from old debtor to new debtor, that happen because of the willingness of the creditor or debtor. Key words: Fiduciary, The authority to act, Guarantor viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii SURAT PERNYATAAN .....................................................................................iii PRAKATA ............................................................................................................iv ABSTRAK..............................................................................................................v ABSTRACT .........................................................................................................vii DAFTAR ISI.......................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1 B. Perumusan Masalah................................................................................... 11 C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 11 D. Kegunaan Penelitian...................................................................................12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................13 A. Hukum Jaminan......................................................................................... 13 1. Pengertian Hukum Jaminan.................................................................13 2. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus.................................................. 15 3. Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan..................................... 18 B. Gadai.......................................................................................................... 20 1. Pengertian Gadai.................................................................................. 20 ix 2. Objek Gadai......................................................................................... 22 3. Orang yang Berwenang Menggadaikan............................................... 23 4. Lahirnya Gadai..................................................................................... 28 5. Hak dan Kewajiban Dalam Gadai........................................................ 36 6. Hapusnya Gadai................................................................................... 38 C. Fidusia........................................................................................................ 39 1. Sejarah dan Pengertian Fidusia............................................................ 40 2. Kedudukan Para Pihak......................................................................... 44 3. Objek Jaminan Fidusia dalam Yurisprudensi................................. .... 47 4. Pengalihan atas Benda Objek Jaminan Fidusia................................ ... 49 5. Sifat-Sifat Fidusia................................................................................. 55 6. Lahir dan Hapusnya Fidusia................................................................. 58 D. Hapusnya Perikatan.................................................................................... 63 1. Hapusnya Perikatan Karena Pembayaran............................................ 64 2. Hapusnya Perikatan Karena Pembaharuan Utang (Novasi)................. 65 a. Novasi Objektif........................................................................ 66 b. Novasi Subjektif Pasif.............................................................. 67 c. Novasi Subjektif Aktif............................................................. 68 3. Akibat Novasi....................................................................................... 71 a. Akibat Novasi Bagi Kreditor................................................... 71 b. Akibat Novasi Bagi Jaminan Kebendaan................................. 72 BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................74 A. Metode Pendekatan.................................................................................... 74 x B. Spesifikasi Penelitian................................................................................. 75 C. Lokasi Penelitian........................................................................................ 75 D. Sumber Bahan Hukum...............................................................................75 E. Metode Penyajian Bahan Hukum............................................................... 76 F. Metode Analisa Bahan Hukum.................................................................. 76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................78 A. Hasil Penelitian.......................................................................................... 78 B. Pembahasan................................................................................................ 91 BAB V PENUTUP.............................................................................................114 A. Simpulan...................................................................................................114 B. Saran.........................................................................................................115 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mempertahankan hidupnya mau tidak mau manusia harus memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, manusia menggunakan sistem ekonomi tradisional dengan menciptakan hubungan barter yaitu dengan cara saling tukar menukar benda antar manusia lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Seiring dengan perkembanga n jaman, terjadi peralihan dari sistem ekonomi tradisional menjadi sistem ekonomi modern dengan adanya alat tukar berupa uang dan ditandai dengan hadirnya lembaga perbankan (bank) yaitu badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit atau angsuran. 1 Alat tukar berupa uang dan munculnya lembaga perbankan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi jualbeli dikarenakan bank menyediakan fasilitas kredit, sehingga masyarakat dapat meminjam dana dari bank untuk membeli kebutuhannya dan mengembalikan dana tersebut secara angsuran kepada bank. Dengan sistem kredit ini maka masyarakat yang tidak mampu membeli benda secara tunai 1 Sunaryo, 2008, Hukum Lembaga Pembiayaan,Jakarta, Sinar Grafika, hal. 10. 2 memiliki alternatif lain untuk tetap dapat melakukan pembelian benda yang dibutuhkan. Mengenai jual-beli diatur dalam Pasal 1457 Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang berikutnya akan disingkat dengan K.U.H.. Perdata. Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian tersebut dianggap telah ada setelah terbentuknya suatu kesepakatan antara para pihak mengena i objek perjanjian jual beli dan harganya. Pada prinsipnya perjanjian jual beli membebankan kewajiban kepada kedua belah pihak yang mana pihak penjual akan memberikan bendanya kepada pihak pembeli setelah pihak pembeli membayar benda sesuai dengan harga yang telah disepakati. Namun, di masyarakat tidak semua orang memiliki sejumlah uang pada saat kebutuhan akan benda yang hendak dibeli sangat mendesak, sehingga transaksi jual beli berkembang sesuai dengan semakin banyaknya kebutuhan manusia. Seiring dengan perkembangan jaman, kemajuan di bidang teknologi semakin berkembang pula, hal ini memacu produsen untuk menghasilkan benda yang semakin beragam dan laku di pasaran. Munculnya berbagai benda dengan keunggulannya masing-masing meningkatkan keinginan konsumtif masyarakat untuk memilikinya, meskipun tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama secara ekonomi untuk membelinya. 3 Namun, bank yang selama ini dikenal luas oleh masyarakat ternyata tidak mampu memenuhi berbagai keperluan dana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kesulitan masyarakat mengakses dana dari bank, disebabkan antara lain karena jangkauan penyebaran kredit bank yang belum merata, keharusan bank menerapkan prinsip prudent banking , dan keharusan debitor untuk menyerahkan jaminan. 2 Dalam mengatasi permasalahan kebutuhan masyarakat akan dana, pemerintah memperkenalkan sumber dana alternatif lain yang fleksibel sesuai dengan tingkat kemampuan dan kebutuhan masyarakat, yaitu berupa Pembiayaan Konsumen yang dilaksanakan oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen. Melalui pembiayaan konsumen, masyarakat yang tadinya kesulitan membeli benda secara tunai akan dapat teratasi. Maksud dari dimunculkannya perusahaan pembiayaan konsumen adalah untuk menggantikan peranan bank sebagai lembaga keuangan formal dalam menya lurkan kredit konsumen (konsumtif). Dalam sistem perbankan, fasilitas pemberian pinjaman uang untuk tujuan pembelian benda dikenal dengan istilah kredit konsumen (konsumtif), yaitu suatu jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada orang perseorangan untuk dipergunakan membiayai pembelian benda konsumsi, artinya uang kredit 2 akan habis terpakai Sunaryo, OpCit, hal. 3. untuk memenuhi kebutuhan pembelian 4 benda,karena tujuan dari kredit konsumen (konsumtif) adalah untuk membantu seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya. 3 Ada beberapa pendapat mengenai konstruksi hukum pembiayaan konsumen, pendapat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua. Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa penulis yang menyatakan sebagai berikut: 1) Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniarti yang menyatakan antara Perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen harus ada kontrak pembiayaan yang sifatnya pemberian kredit karena perusahaan pembiayaan konsumen wajib menyediakan kredit sejumlah uang kepada konsumen sebagai harga benda yang dibelinya dari pemasok, sedangkan pihak konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada perusahaan. 4 2) Sunaryo yang menyatakan bahwa hubungan kontraktual antara perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen sejenis dengan perjanjian kredit pada umumnya. Ketentuan – ketentuan tentang perjanjian kredit dalam K.U.H. Perdata berlaku sepanjang tidak ditentukan lain. 5 3) Munir Fuady yang menyatakan bahwa pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit konsumen yaitu kredit yang diberikan kepada konsumen guna pembelian benda kons umsi dan jasa seperti 3 Muhammad Djumnaha, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 273 . 4 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan,Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 248. 5 Sunaryo, Op.Cit,hal. 107. 5 yang dibedakan dari pinjaman yang digunakan untuk tujuan produktif atau dagang. Hanya saja, pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan kredit konsumen diberikan olehbank. Namun demikian, pengertian kredit konsumen sebenarnya secara substansi sama saja dengan pembiayaan konsumen. 6 Menurut para penulis tersebut, hubungan kontraktual perjanjian pembiayaan konsumen antara perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen “bersifat” atau “sejenis” dengan perjanjian kredit. Namun, pada hakikatnya mereka menyatakan perjanjian pembiayaan konsumen adalah perjanjian pinjam – meminjam uang sebagaimana diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (K.U.H.. Perdata) khususnya Buku III Bab XIII Pasal 1754 – 1773 K.U.H.. Perdata. Pendapat kedua dikemukakan oleh Yurico Wibisono, yang menyatakan bahwa hubungan kontraktual antara perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen bukan perjanjian pinjam – meminjam uang, melainkan “perjanjian pemberian perintah yang mengandung kuasa” (lastgeving ), dengan ciri khusus : Pemberi perintah (lastgever) adalah konsumen yang membutuhkan uang guna membeli benda, penerima perintah (lasthebber) adalah perusahaan pembiayaan konsumen yaitu lembaga keuangan bukan bank yang kegiatan usahanya menyediaka n dana untuk 6 Munir Fuady, 2006, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek , Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 126 . 6 membiayai pembelian benda bagi konsumen yang tidak memiliki uang tunai untuk membeli benda.7 Dengan demikian, menurut pendapat kedua, perjanjian pembiayaan konsumen adalah termasuk kategori “perjanjian pemberian perintah (yang mengandung kuasa)” sebagaimana diatur dalam Buku III Bab XVI Pasal 1792 -1819 K.U.H. Perdata, dan berdasarkan ciri khusus tersebut, Muhammad Yurico Wibisono menyatakan konstruksi hukum perjanjian pembiayaan konsumen dalam rumusan sebagai berikut : “Perjanjian Pembiayaan Konsumen adalah perjanjian dengan mana konsumen memberi perintah (kuasa) kepada perusahaan pembiayaan konsumen, yang menerimanya, untuk dan atas namanya membayar harga pembelian kepada penjual (pemasok), dengan pengembalian ditambah bunga atau biaya secara angsuran”. 8 Menghadapi adanya dua pendapat mengenai konstruksi hukum perjanjian pembiayaan konsumen yang terjadi antara perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen. penulis kemukakan bahwa dalam sistem keuangan, perbedaan hakiki antara lembaga keuangan (financial intermediary institution) bank dan bukan bank atau lembaga keuangan lainnya adalah didasarkan pada jenis kegiatan usaha pokoknya. Pada prinsipnya lembaga keuangan yang kegiatan usaha pokoknya menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman uang (kredit), disebut Bank. Sebaliknya lembaga keuangan yang kegiatan usaha pokoknya menghimpun 7 M. Jurico Wibisono, 2012, Kajian Yuridis Transaksi Pembiayaan Konsumen Pada PT. Federal Internasional Finance (FIF) Cabang Cilacap, Hasil Penelitian Sarjana Hukum Universitas Negeri Jenderal Soedirman , hal. 75 8 Loc. Cit 7 dana dari masyarakat “tidak secara langsung” dan menyalurkan dananya kepada masyarakat “tidak dalam bentuk pinjaman uang”, disebut lembaga keuangan bukan bank dan selalu disebut atau diberi nama sesuai dengan jenis kegiatan usaha pokoknya. Salah satu dari lembaga keuangan bukan bank adalah perusahaan pembiayaan konsumen yang secara tegas diatur dalam Pasal 1 angka 5 Keppres No. 61 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. Hal ini berarti perusahaa n pembiayaan konsumen secara yuridis normatif kegiatan usaha pokoknya pasti bukan menyalurkan dana dalam bentuk pinjaman. Konsekuensinya, hubungan kontraktual antara perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen tidaklah mungkin dalam bentuk pinjaman uang.Atas dasar argumentasi tersebut, maka penulis menganut pendapat yang mengatakan konstruksi hukum perjanjian pembiayaan konsumen bukanlah perjanjian pinjam meminjam uang melainkan perjanjian pemberian (mengandung kuasa) dengan ciri khusus. Pada prinsipnya transaksi pembiayaan konsumen terjadi dengan mekanisme : Seseorang yang membutuhkan benda datang kepada pemasok untuk memilih dan menentukan benda (konsumsi) yang dibutuhkan. Setelah ada kecocokan jenis benda dan harganya, kemudian ia menghubungi perusahaan pembiayaan konsumen untuk memperoleh pembiayaan atas harga 8 benda yang akan dibelinya. Perusahaan pembiayaan konsumen yang telah setuju atas pembiayaan tersebut kemudian memberikan fasilitas pembiayaan dengan tindakan membeli benda tersebut untuk dan atas nama konsumen dan membayar harga benda secara tunai kepada penjual benda (pemasok). Setelah menerima pembayaran harga benda, penjual benda (pemasok) menyerahkan benda tersebut kepada konsumen. Dengan penyerahan benda tersebut, maka sejak itu konsumen terpenuhi kebutuhannya untuk memiliki benda. Selanjutnya, konsumen wajib mengembalikan uang pembiayaan yang telah dikeluarkan untuk membayar harga pembelian benda secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen. Dalam praktiknya, guna memberikan pengamanan atas tagihan uang yang telah dibayarkan untuk membeli benda, perusahaan pembiayaan konsumen selalu meminta jaminan pengembalian uangnya kepada konsumen dalam bentuk jaminan fidusia atas benda yang dibeli konsumen. Pengikatan jaminan fidusia bagi konsumen dianggap tidak memberatkan, karena konsumen tidak perlu menyediakan benda lain miliknya untuk dijadikan jaminan. Bagi perusahaan pembiayaan, pengikatan jaminan fidusia dirasa cukup aman, karena pada saat itu juga hak milik atas benda yang dibeli konsumen berpindah kepadanya. Sementara itu konsumen hanya berkedudukan sebagai pemegang saja (peminjam, pemakai,penyewa), dan hak milik atas benda yang dibeli baru dapat diperoleh kembali oleh 9 konsumen, apabila ia telah melunasi kewajibannya secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen. Dalam praktik transaksi pembiayaan konsumen yang demikian, persoalan yang secara potensial dapat timbul salah satunya adalah konsumen tidak secara baik melaksanakan kewajiban angsurannya. Ini berarti konsumen wanprestasi. Jika konsumen wanprestasi maka akibat hukumnya perusahaan pembiayaan konsumen dapat mengeksekusi benda jaminan untuk mengambil pelunasan utang konsumen. Dalam hal demikian tujuan konsumen untuk memiliki benda kebutuhan yang telah dibeli tidak tercapai. Persoalan lain yang muncul terhadap pengikatan jaminan fidusia dalam transaksi pembiayaan konsumen biasanya berkaitan dengan benda jaminan, yaitu benda jaminan oleh pemberi fidusia dialihkan kepada pihak ketiga, seperti dijual atau digadaikan. Salah satu dari peristiwa digadaikannya benda jaminan fidusia dalam transaksi pembiayaan konsumen yang ditemukan penulis terjadi pada transaksi pembiayaan konsumen antara PT. Federal International Finance Cabang Tangerang (selanjutnya disebut PT. FIF) dengan konsumen yang bernama Firdiyanto. Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, diperoleh data awal sebagai berikut: 1) Firdiyanto menggadaikan objek benda jaminan berupa sepeda motor merek Honda Revo Spoke 110 dengan nomor polisi B 3530 NNM kepada Abu Mubarok; 10 2) Karena Firdiyanto tidak dapat melunasi utangnya, oleh Abu Mubarok sepeda motor tersebut digadaikan kepada Ari Wijaya; 3) Abu Mubarok juga tidak mampu melunasi utangnya kepada Ari Wijaya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Penyelesaian yang dilakukan oleh Ari Wijaya adalah, membuat kesepakatan baru dengan pihak PT. FIF berupa “oper alih kredit” dari Firdiyanto kepada Ari Wijaya. Intinya, dalam transaksi pembiayaan konsumen tersebut terjadi peristiwa digadaikannya benda jaminan fidusia oleh konsumen sebagai debitor pemberi fidusia, dan terjadinya “gadai ulang” oleh penerima gadai, atas benda objek jaminan berupa sepeda motor. J. Satrio menyatakan bahwa prinsip umum dalam hukum jaminan adalah bahwa pemberi jaminan haruslah orang yang wenang bertindak bebas terhadap bendanya (beschikkings bevoegd ) yaitu pemilik. Berdasarkan statemen tersebut kiranya dapat dinyatakan bahwa dalam transaksi pembiayaan konsumen antara PT. FIF dengan Firdiyanto terjadi komplikasi hukum pada aspek jaminannya, namun ternyata penyelesaian komplikasi hukum tersebut diatasi dengan cara “oper alih kredit”. Dari uraian tersebut, penulis tak hendak mengkaji mengenai perjanjian pembiayaan konsumen, karena yang menarik bagi penulis adalah untuk mengkaji aspek jaminannya yaitu mengenai jaminan fidusia dan gadai ulang atas benda yang diperoleh melalui transaksi pembiayaan konsumen oleh PT. FIF kepada Firdiyanto. 11 B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal – hal sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah, perumusan masalah yang dikemukakan adalah: 1. Apakah pemberi jaminan (Firdiyanto) mempunyai kewenangan bertindak untuk memberikan jaminan ? 2. Apakah tindakan “gadai ulang”yang dilakukan oleh pemegang gadai (Abu Mubarok) kepada penerima gadai (Ari Wijaya) melahirkan gadai yang sah menurut hukum ? 3. Apakah yang dimaksud dengan perjanjian “oper alih kredit” antara PT. Federal International Finance dengan Ari Wijaya dalam sistem hukum perjanjian ? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka penelitian ini memiliki tujuan antara lain sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apakah pemberi jaminan fidusia maupun gadai haruslah orang yang memiliki kewenangan bertindak. 2. Untuk memahami tentang tindakan “gadai ulang”yang dilakukan oleh pemegang gadai (Abu Mubarok) kepada penerima gadai (Ari Wijaya ) melahirkan gadai yang sah sah menurut hukum. 3. Untuk memahami pengertian dan akibat hukum perjanjian “oper alih kredit” antara PT. Federal International Finance dengan Ari Wijaya. 12 D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan antara lain sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum, menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca khususnya bagi mahasiswa yang hendak melakukan penelitian yang berhubungan dengan hukum jaminan, dan menambah referensi mengenai kemungkinan permasalahan yang akan muncul terhadap model jaminan dalam perjanjian pembiayaan konsumen dan perjanjian lain yang diikatkan dengan suatu jaminan tertentu. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang melakukan perjanjian khususnya perjanjian pembiayaan konsumen yang dijaminkan dengan jaminan fidusia, se hingga jika terdapat permasalahan dalam praktiknya, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran penyelesaian terhadap suatu permasalahan dalam peristiwa hukum yang terjadi. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini akan mengkaji mengenai segi jaminan atas pelunasan tagihan pengembalian uang yang telah dikeluarkan oleh perusahaan pembiayaan konsumen terhadap konsumen yang menerima pembiayaan guna membeli barang konsumsi. pembiayaan konsumen,penulis pembiayaan konsumen Mengenai adalah konstruksi menganut perjanjian pendapat hukum yang pemberian perjanjian menyatakan perintah (yang mengandung kuasa) dengan ciri khusus.Dengan demikian sesuai dengan permasalahan yang diajukan, disini hanya akan dikedepankan mengenai kajian teoritik yang berkaitan dengan aspek jaminannya saja yaitu mengenai fidusia dan gadai serta aspek yang berkaitan dengan pembayaran hutang khususnya tentang novasi sebagaimana diatur dalam K.U.H. Perdata. Sebagai pengantar kajian gadai dan fidusia, pertama -tama akan diuraikan tentang teori-teori dasar Hukum Jaminan. A. Hukum Jaminan 1. Pengertian Hukum Jaminan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah jaminan berasal dari kata jamin yang berarti “tanggung” sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang. Istilah jaminan juga merupakan terjemahan dari istilah zakerheid atau cautie yaitu kemampuan 14 debitor untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap kreditornya.9 K.U.H. Perdata tidak memberikan perumusan mengenai istilah jaminan. Sehubungan dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan / atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan. 10 Dari pengertian tersebut maka jaminan memiliki fungsi bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan utang dari debitor apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan atau wanprestasi. Untuk menjamin pelunasan piutang kreditor, debitor harus menyediakan jaminan yang dapat dinilai dengan uang dan memiliki nilai minimal sebesar jumlah utang debitor. Oleh karena itu, yang dijadikan jaminan adalah suatu hak atas piutang – piutang atau suatu benda yang dapat dialihkan kepada orang lain, sehingga jika debitor tidak dapat melunasi utangnya maka jaminan tersebut dapat diuangkan untuk membayar utang kepada kreditor. Sehubungan dengan pengertian istilah jaminan, menurut J. Satrio hukum jaminan diartikan sebagai peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan – jaminan 9 piutang seorang kreditor terhadap seorang debitor. Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 66. Hartono Hadisaputro, 1984, Seri Hukum Perdata, Pokok – Pokok Hukum Perdata dan Hukum Jaminan, Yogyakarta, Liberty, hal. 50. 10 15 Ringkasnya, hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. 11 2. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus Pada dasarnya jaminan memiliki fungsi sebagai sarana untuk menjamin pelunasan utang dari debitor terhadap kreditor, karena dalam suatu perikatan antara debitor dan kreditor, pihak kreditor memiliki suatu kepentingan bahwa debitor memenuhi kewajibannya dalam perikatan tersebut. Kewajiban debitor yang memiliki utang kepada seorang kreditor adalah melunasi utangnya dengan jaminan seluruh harta kekayaan debitor. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1131 K.U.H.. Perdata yang menyatakan sebagai berikut : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.” Dari pasal tersebut diketahui bahwa selain seluruh harta kekayaan si berutang (debitor) menjadi jaminan atas utangnya. Mengenai jenis harta yang menjadi jaminan pelunasan utang debitor pada kreditor yaitu harta yang sudah ada, maupun baru akan ada di kemudian hari. Hal ini dimaksudkan apabila Debitor tidak dapat melunasi utang dari harta yang sedang dimilikinya, maka hal itu tidak menghapuskan adanya utang. Pelunasan utang selanjutnya dibayarkan pada saat debitor dalam keadaan sanggup membayar sisanya dengan harta yang ada di kemudian hari. 11 J. Satrio, Op.Cit, hal. 3. 16 Selanjutnya dalam Pasal 1132 K.U.H. Perdata dikatakan, bahwa : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya, pendapatan penjualan dibagi – bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing – masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan – alasan yang sah untuk didahulukan.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 dan 1132 K.U.H. Perdata, berdasarkan sifatnya jaminan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Jaminan yang bersifat umum ( Pasal 1131 K.U.H. Perdata); 2. Jaminan yang bersifat khusus ( Pasal 1132 K.U.H. Perdata). Jaminan Umum yaitu jaminan yang ditujukan kepada seluruh kreditor terhadap segala kebendaan milik debitor. 12 Kreditor dalam jaminan umum ini dinamakan kreditor konkuren karena pada jaminan umum, tiap – tiap kreditor memiliki kedudukan yang sama dalam menagih pelunasan piutang dari hasil penjualan segala kebendaan yang dimiliki debitor, sehingga tidak ada kreditor yang diutamakan atau diistimewakan dari kreditor lain. Hal ini dikarenakan dalam jaminan umum diletakkan Prinsip Persamaan Kedudukan dari para Kreditor (Paritas Creditorium), asas ini memberikan kreditor kedudukan yang sama tinggi baik yang tagihannya sudah lama ataupun masih baru. Perwujudan persamaan itu diwujudkan dalam bentuk pembagian hasil penjualan harta kekayaan debitor secara pond’s – pond’s gewijs, yaitu menurut perimbangan besar kecil masing – masing tagihan. 13 Hak jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan atau timbul 12 13 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 74. Hartono Hadisaputro, Op.Cit, hal. 5. 17 karena undang – undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak perlu diperjanjikan sebelumnya. Dalam praktik, jaminan umum ini tidak memuaskan bagi kreditor karena kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi pinjaman yang diberikan. 14 Dengan jaminan umum, kreditor tidak mengetahui besarnya kemungkinan debitor mampu melaksanakan kewajibannya dengan kekayaan debitor, karena kreditor tidak mengetahui besarnya kekayaan yang dimiliki oleh debitor, sehingga ada kemungkinan kekayaan yang dimiliki debitor tidak mencukupi untuk melunasi utangnya terhadap kreditor. Berdasarkan hal tersebut, seorang kreditor pasti menginginkan jaminan yang lebih memberi kedudukan terhadap kreditor untuk mengambil pelunasan utang dari debitor. Agar kreditor memiliki kedudukan yang lebih baik dibandingkan kreditor lainnya dalam mengambil pelunasan utang, maka utang kreditor dapat diikatkan dengan jaminan yang bersifat khusus yang memberikan hak preferensi bagi kreditor. Kreditor yang memiliki hak preferensi dinamakan dengan kreditor preferen. Siapa saja yang menjadi kreditor preferen dapat diketahui dari ketentuan dalam Pasal 1133 K.U.H. Perdata mengenai “alasan – alasan yang sah untuk di dahulukan”, maksudnya di sini adalah memberikan kedudukan kreditor untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan piutang. 14 15 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok – Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan , Yogyakarta, Liberty, hal. 45. 15 Hartono Hadisaputro, Op.Cit, hal. 5. 18 Alasan yang sah untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan piutang itu diberikan dalam Pasal 1133 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa : “Hak untuk didahulukan di antara orang – orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan dari hipotik.” Dari ketentuan Pasal 1133 K.U.H. Perdata tersebut dapat diketahui bahwa jaminan yang bersifat khusus itu dapat terjadi karena diberikan atau ditentukan olah undang – undang (hak istimewa) atau dapat terjadi karena diperjanjikan oleh para pihak dalam perikatan (Gadai, Hipotik, Fidusia). 3. Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan Kreditor preferen memiliki kedudukan yang lebih baik daripada kreditor konkuren karena kreditor preferen adalah kreditor yang piutangnya ditentukan oleh undang – undang sebagai piutang yang diistimewakan dan piutang yang diikat dengan kebendaan tertentu atau dijamin oleh seseorang. 16 Jaminan yang bersifat khusus dapat dibedakan atas : 1. Jaminan yang bersifat perseorangan (persoonlijke zekerheidrechten), yaitu adanya seseorang tertentu atau badan hukum yang bersedia menjamin pelunasan utang tertentu bila debitor wanprestasi. 2. Jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten), yaitu adanya suatu kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang. Jaminan perorangan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari seorang debitor 16 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal . 76 . 19 yang dapat ditagih. Jaminan perseorangan dapat berupa penjaminan utang atau borgtocht (personal Guarantee), jaminan perusahaan (Corporate Guarantee), perikatan tanggung menanggung, dan garansi bank (Bank Guarantee).17 Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada seorang kreditor kedudukan yang lebih baik, karena kreditor didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitor, selain itu jaminan kebendaan memberikan tekanan psikologis kepada debitor untuk melunasi utang – utangnya karena ada benda miliknya yang dipakai sebagai jaminan. 18 Atas dasar itu benda yang dijadikan jaminan oleh debitor haruslah benda yang bersifat kebendaan, artinya benda tersebut harus dapat dinilai dengan uang atau bernilai ekonomis ketika dijual serta dapat dipindah tangankan atau diasingkan kepada orang lain. Jaminan kebendaan itu dapat berupa jaminan kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak. Untuk benda bergerak disediakan lembaga jaminan Gadai (Pasal 1150 K.U.H. Perdata s/d Pasal 1160 K.H.U. Perdata) dan jaminan Fidusia yang diatur di luar K.U.H. Perdata (Undang – Undang Nomor. 42 Tahun 1999), sedangkan untuk benda tidak bergerak disediakan lembaga jaminan Hipotik (1162 K.U.H. Perdata dan selanjutnya). 17 18 J. Satrio, Op.Cit, hal. 13. J. Satrio, Op.Cit, hal. 12. 20 B. Gadai 1. Pengertian Gadai Istilah lembaga jaminan gadai ini merupakan terjemahan kata pand atau vuistpand (bahasa belanda), pledge atau pawn (bahasa inggris) yang merupakan lembaga jaminan yang berlaku bagi personal property, pfand atau faustpfand(bahasa jerman) dengan lembaganya yang disebut zuruckbehaltungsrechte yaitu semacam possesory liens (hak gadai). Dalam hukum adat Indonesia istilah gadai ini disebut dengan cekelan.19 Dalam K.U.H. Perdata pengertian gadai dirumus kan dalam Pasal 1150 K.U.H. Perdata, sebagai berikut : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari benda tersebut secara didahulukan dari orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang benda tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah benda itu digadaikan, biaya -biaya mana harus didahulukan.” Dari perumusan Pasal 1150 K.U.H. Perdata di atas dapat diketahui bahwa gadai merupakan suatu hak jaminan kebendaan atas kebendaan bergerak tertentu milik debitor untuk dijadikan jaminan pelunasan utang yang memberikan hak didahulukan kepada pemegang hak gadai atas kreditor lainnya, setelah terlebih dahulu dikurangi biaya untuk lelang dan biaya untuk menyelamatkan benda – benda gadai yang diambil dari hasil penjualan benda itu. Berikutnya Pasal 1152 ayat (3) K.U.H. Perdata menyatakan : 19 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 104. 21 “Apabila, namun benda tersebut itu hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembali sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1977 ayat (2), sedangkan apabila hak gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang.” Pasal 1152 ayat (3) K.U.H. Perdata ini menunjukkan adanya sifat droit de suite yang berarti gadai menimbulkan hak kebendaan sehingga hak gadai selalu mengikuti benda objek jaminan gadai dan dapat dipertahankan terhadap siapa pun benda tersebut berada. Dengan adanya sifat droit de suite tersebut maka kreditor memiliki hak untuk menuntut kembali benda – benda yang digadaikan yang telah hilang atau dicuri orang di tangan siapa pun benda gadai itu ditemukan. Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu yang timbul dari suatu perikatan sehingga dapat dikatakan bahwa gadai mengacu kepada perjanjian pokok suatu perikatan. Yang termasuk perjanjian pokok di sini adalah perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum pinjam meminjam yang pelunasannya dijamin dengan kebendaan bergerak. 20 Berdasarkan hal tersebut, berarti gadai merupakan perjanjian assesoir yang berarti gadai hanya akan ada apabila ada perikatan pokoknya, sehingga apabila perikatan pokoknya hapus maka gadai juga hapus. Namun, tidak adanya gadai tidak menghilangkan perikatan pokoknya karena gadai timbul setelah diperjanjikan oleh para pihak. 20 Ibid, hal. 106. 22 2. Objek Gadai Yang dimaksud dengan objek hukum dalam gadai adalah benda – benda apa saja yang dapat dijadikan benda gadai atau yang dapat dijaminkan dengan jaminan gadai. Pasal 1150 K.U.H. Perdata menyatakan : “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak......” Dari ketentuan dalam pasal tersebut dapat diketahui bahwa objek dari gadai adalah benda bergerak. Menurut Pasal 503 K.U.H. Perdata, benda bergerak dibagi menjadi benda bergerak bertubuh (lichamelijk) dan benda bergerak tidak bertubuh (onlichamelijk). Benda bergerak bertubuh misalnya kendaraan, peralatan elektronik dan peralatan rumah tangga, sedangkan benda bergerak tidak bertubuh disebutkan di dalam Pasal 1152 ayat (1) dan 1152 bis K.U.H. Perdata, yang menyatakan : Pasal 1152 ayat (1) K.U.H. Perdata : “Hak gadai atas benda – benda bergerak dan atas piutang – piutang bawa.....” Pasal 1152 bis K.U.H. Perdata : “Untuk meletakkan hak gadai atas surat – surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya.” Berdasarkan kedua Pasal tersebut, maka yang dapat dikategorikan sebagai benda bergerak tidak bertubuh yaitu berupa piutang – piutang atau tagihan – tagihan dalam bentuk surat berharga yang dapat dikelompokkan menjadi: 21 a. Surat berharga atas bawa (aan order, to order); 21 Ibid, hal. 112. 23 b. Surat berharga atas tunjuk (aan tonnder, to bearer); c. Surat berharga atas nama (op nam). 3. Orang Yang Berwenang Menggadaikan Suatu perjanjian akan selalu mengikat para pihak yang membuat perjanjian. Untuk menentukan siapa saja yang berwenang menggadaikan suatu benda, terlebih dahulu harus diketahui siapa saja para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai, yang kemudian akan ditentukan kriteria seperti apa yang harus dimiliki oleh pihak yang mau menggadaikan suatu benda. Para pihak dalam gadai secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) subjek hukum, antara lain :22 1) Pemberi gadai (pandgever) yaitu pihak yang memberikan jaminan gadai; 2) Penerima gadai (pandnemer) yaitu pihak yang menerima jaminan gadai. Selain pemberi gadai dan penerima gadai, K.U.H. Perdata juga menyebutkan pihak lain yang dapat ikut serta dalam perjanjian jaminan gadai. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1152 ayat (1) K.U.H. Perdata yang menyatakan : “Hak gadai atas benda – benda bergerak dan atas piutang – piutang bawa diletakkan dengan membawa benda gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.” 22 D. Gandaprawira, 1979, Pengaturan Hukum Tentang Gadai (PAND), Badan Pembinan Hukum Nasional Departemen Kehakiman ed, Hukum Jaminan, Yogyakarta, Binacipta, hal. 71. 24 Dari Pasal 1152 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa ada pihak lain yang berkedudukan sebagai “pihak ketiga pemegang gadai” apabila para pihak yaitu pemberi gadai dan penerima gadai menghendakinya. Jadi, benda gadai tidak harus berada dalam penguasaan penerima gadai saja, namun dapat berada dalam penguasaan pihak ketiga pemegang gadai, yang penting adalah benda objek jaminan gadai tersebut keluar dari penguasaan debitor yang berkedudukan sebagai pemberi gadai. J. Satrio menyatakan, ada satu lagi pihak dalam gadai yang berkedudukan sebagai “pihak ketiga pemberi gadai.” Penjelasan dari beliau adalah sebagai berikut : “Pasal 1156 ayat (2) K.U.H. Perdata memberikan kemungkinan bahwa benda yang dijadikan jaminan tidak harus kebendaan milik debitor tapi dapat juga kebendaan bergerak milik orang lain yang digadaikan. Dengan kata lain, seseorang dapat saja menggadaikan kebendaan bergerak miliknya untuk menjamin utang orang lain atau seseorang dapat mempunyai utang dengan jaminan benda bergerak milik orang lain. Bila yang memberikan jaminan debitor sendiri, dinamakan dengan debitor pemberi gadai sedangkan bila yang memberikan jaminan adalah orang lain, maka yang bersangkutan dinamakan dengan pihak ketiga pemberi gadai.”23 Berdasarkan pernyataan dari J. Satrio tersebut, pihak ketiga pemberi gadai adalah pihak yang bertanggung jawab atas utang orang lain, tetapi tanggung jawabnya hanya berupa kebendaan saja, bukan berarti pihak ketiga pemberi gadai itu bertanggung jawab untuk memenuhi prestasi kepada kreditor karena pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai kewajiban kepada kreditor (tidak mempunyai utang). 23 J. Satrio, Op.Cit, hal. 98. 25 Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa pada dasarnya para pihak dalam gadai dapat dikategorikan menjadi dua: 1) Pihak yang melakukan perjanjian jaminan gadai yaitu Debitor pemberi gadai dan Kreditor pemegang gadai; 2) Pihak ketiga yang turut serta dalam perjanjian jaminan gadai yaitu pihak ketiga pemberi gadai dan pihak ketiga pemegang gadai. Setelah mengetahui siapa saja para pihak dalam gadai, maka selanjutnya akan dibahas mengenai kewenangan menggadaikan. Menggadaikan termasuk dalam tindakan pemilikan (beschikking ) dan tindakan pemilikan merupakan tindakan hukum yang membawa atau dapat membawa konsekuensi yang sangat besar, karenanya tidaklah heran kalau untuk dapat menggadaikan disyaratkan adanya kewenangan bertindak – kewenangan khusus, tidak cukup kecakapan bertindak saja. 24 Kewenangan bertindak (beschikkingbevoegd) adalah kewenangan untuk bertindak dalam suatu peristiwa yang khusus. Orang yang wenang bertindak adalah orang yang memiliki kedudukan untuk melakukan perjanjian, seda ngkan orang yang tidak berwenang adalah orang yang tidakmemiliki kedudukan untuk melakukan perjanjian. 25 Yang dimaksud dengan tindakan kepemilikan di sini adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan kedudukannya sebagai pemilik. Dengan kedudukannya sebagai pemilik atas suatu benda, maka berdasarkan 24 Ibid, hal. 111. J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 2, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal . 3. 25 26 Pasal 570 K.U.H. Perdata, seseorang yang menjadi pemilik atas suatu benda berhak untuk “menikmati kegunaan atas benda miliknya” dan “bertindak bebas atas bendanya”, termasuk menggadaikan bendanya. Berdasarkan hal tersebut maka seseorang yang ingin menggadaikan (pemberi gadai) suatu benda, haruslah pemilik dari benda tersebut. Apabila pemberi gadai bukanlah pemilik dari benda yang digadaikan maka gadai tidak sah. 26 Mengenai hal ini, untuk kepentingan bagi pihak kreditor, undang – undang memberikan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 1152 ayat (4) yang antara lain menyatakan: “Hal tidak berkuasanya si pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan benda gadainya, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan terhadap si berpiutang yang telah menerima benda tersebut dalam gadai, dengan tidak mengurangi hak si yang kehilangan atau kecurian benda itu, untuk menuntutnya kembali.” Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa ada suatu kondisi yang memberikan kerugian pada kreditor pemegang gadai apabila benda gadai yang diserahkan kepadanya bukanlah milik si pemberi gadai. Apabila demikian, maka ada kemungkinan kreditor dapat dituntut untuk mengembalikan benda gadainya oleh pemilik dari benda gadai tersebut. Dalam hal ini, Pasal 1152 ayat (4) memberikan perlindungan kepada kreditor penerima gadai dengan memberikan pengecualian bahwa, apabila pemberi gadai bukanlah orang yang berwenang (pemilik) atas benda gadai, maka kreditor tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap benda gadai yang diterimanya dari pemberi gadai yang bukan pemilik. Dengan begitu maka 26 J. Satrio, Op.Cit , hal. 112. 27 pemilik sebenarnya dari benda tersebut tidak memiliki hak untuk menuntut pengembalian atas benda miliknya. Pasal 1152 ayat (4) tersebut berlaku apabila kreditor penerima gadai beritikad baik (te goeder trouw).27 Kreditor dapat dikatakan memiliki itikad baik apabila dia tidak mengetahui bahwa pemberi gadai bukanlah pemilik dari benda gadai yang digadaikan kepadanya, Namun, apabila kreditornya beritikad buruk (mengetahui) maka ketentuan tersebut tidak berlaku. Hal ini selaras dengan Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata yang juga ditera pkan dalam hal gadai, isi dari pasal tersebut adalah : “Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak harus dibayar maka benda siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya .” Berdasarkan pasal tersebut maka kreditor yang beritikad baik dapat menganggap bahwa debitor yang menguasai benda bergerak tidak bernama adalah pemilik dari benda tersebut. 28 Jika mencermati lebih lanjut dapat dikatakan bahwa, apabila benda bergerak tersebut adalah benda bergerak atas nama maka kreditor bukanlah kreditor yang beritikad baik, karena pemilik sebenarnya dari beda bergerak tersebut dapat diketahui dar i surat – surat yang menyertainya. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa orang yang berwenang untuk menggadaikan suatu benda adalah pemilik dari benda tersebut. Apabila dia bukan pemilik benda, maka penerima gadai yang beritikad baik tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak boleh dituntut 27 28 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 118. Lo. Cit . 28 untuk mengembalikan benda tersebut oleh pemilik sebenarnya. Namun, apabila benda yang digadaikan padanya adalah benda bergerak atas nama, maka pemilik dari benda tersebut boleh menuntut pengembalian bendanya karena dianggap kreditor sudah beritikad buruk. 4. Lahirnya Gadai Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, sehingga untuk adanya perjanjian gadai harus ada perjanjian pendahuluan yang disebut perjanjian pokok yang pada umumnya adalah perjanjian pinjam - meminjam. Oleh karena itu perjanjian gadai dikatakan sebagai perjanjian assesoir, artinya perjanjian gadai hanya akan ada bila sebelumnya ada perjanjian pokoknya. Dalam perjanjian yang dijamin dengan gadai, secara khusus diserahkan suatu kebendaan bergerak dari debitor kepada kreditor, yang menimbulkan hak bagi kreditor untuk menahan kebendaan bergerak yang digadaikan tersebut sampai dengan debitor memenuhi prestasi kepada kreditor. Penguasaan benda gadai oleh kreditor tersebut merupakan unsur esensial, yaitu unsur mutlak yang selalu harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa adanya unsur tersebut perjanjian gadai tidak mungkin ada. 29 Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya perjanjian gadai akan terjadi apabila benda – benda yang digadaikan berada dalam penguasaan kredit or. Persyaratan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1152 ayat (2) dan ayat (3) K.U.H. Perdata yang menyatakan sebagai berikut: 29 J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal . 67 . 29 Ayat 2 “Hak gadai atas benda – benda bergerak dan atas piutang bawa diletakkan dengan membawa benda gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.” Ayat 3 “Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang tetap dibiarkan dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang.” Dari ketentuan Pasal 1152 ayat (1) dan (2) K.U.H. Perdata dapat disimpulkan bahwa sahnya suatu perjanjian gadai itu didasarkan kepada penyerahan kebendaan yang digadaikan ke dalam penguasaan kreditor atau pihak ketiga yang ditunjuk bersama. Apabila benda gadai tetap berada dalam penguasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah. Penyerahan di sini bukanlah penyerahan secara yuridis yang menyebabkan si penerima menjadi pemilik benda gadai. Hal ini berarti, penerima gadai tidak memiliki hak untuk menikmati benda gadai dan hak untuk bertindak bebas terhadap benda gadai itu. Oleh karena itu, dengan penyerahan tersebut, pemegang gadai hanya berkedudukan sebagai pemegang saja dan benda gadai hanya sebagai jaminan pemenuhan prestasi. Penerima gadai tida k menjadi bezitter dalam arti bezit keperdataan yaitu suatu keadaan di mana seseorang menguasai suatu benda seolah – olah benda itu adalah miliknya sendiri. 30 Oleh karena itulah, maksud dari penyerahan tersebut adalah benda gadai harus keluar dari penguasaan pemberi gadai. 30 Subekti, 2002, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hal. 63. 30 Berdasarkan hal tersebut maka pada prinsipnya ada 2 (dua) syarat untuk lahirnya gadai. Pertama, adanya perjanjian gadai. Kedua, adanya penyerahan benda gadai dari debitor kepada kreditor, antara lain sebagai berikut : 31 1) Perjanjian gadai. Perjanjian gadai sebagai perjanjian assesoir memiliki arti bahwa untuk terjadinya gadai, harus terlebih dahulu dibuat suatu perjanjian gadai dengan tujuan untuk memberikan jaminan terhadap perjanjian pokoknya. Bentuk dari perjanjian gadai tidak ditentukan secara khusus, apakah dibuat secara tertulis atau lisan, namun yang terpenting adalah bahwa perjanjian gadai tersebut harus dibuktikan adanya. 2) Penyerahan benda gadai dari pemberi gadai kepada pemegang gadai. Syarat yang kedua yang mesti ada yaitu adanya penyerahan nyata kebendaan yang digadaikan tersebut dari tangan debitor pemberi gadai ke dalam penguasaan kreditor pemegang gadai. Penyerahan nyata tidak perlu harus merupakan penyerahan dari tangan ke tangan, yang penting benda jaminan keluar dari kekuasaan pemberi jaminan. Dengan cara traditio brevi manu atau secara simbolis tidak menjadi halangan sepanjang benda gadai sudah ada dalam tangan pemegang gadai. 32 31 ELIPS, 1998, Seri Dasar Hukum Ekonomi 4: Hukum Jaminan Indonesia, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, , hal. 16 . 32 J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak – Hak Jaminan Kebendaan, Op.Cit, hal. 97. 31 Sesuai dengan yang sudah disebutkan sebelumnya objek gadai terdiri dari benda bergerak tidak bertubuh dan benda bergerak bertubuh, maka penyerahan bendanya dapat dibagi berdasarkan: a. Gadai terhadap benda bergerak bertubuh dan tagihan atas bawa, dilakukan dengan cara membawa kebendaan yang akan digadaikan tersebut dan kemudian diserahkan kepada kreditor untuk dijadikan jaminan. b. Gadai terhadap tagihan atas tunjuk dilakukan dengan cara penyerahan dan endosemen karena memuat piutang-piutang yang memuat nama orang yang menerima pembayaran. Sehingga tanpa adanya endosemen, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa dia memiliki tagihan atas itu. Endosemen berfungsi sebagai bukti bahwa pembayaran dapat dilakukan kepada kreditor apabila debitor tidak memenuhi prestasinya. c. Gadai terhadap tagihan atas nama dilakukan dengan cara memberitahukan kepada debitor, bahwa surat tersebut telah dijadikan jaminan gadai. Pemberitahuan dari kreditor ini dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis yang penting pemberitahuan tersebut merupakan bukti bahwa debitor telah mengeluarkan penguasaan atas surat yang dijadikan jaminan gadai tersebut. Lahirnya gadai dapat dilihat dalam skema berikut : 32 Skema Lahirnya Gadai Perjanjian Pokok Debitor Kreditor Pemberi gadaiPerjanjian Gadai Penerima gadai (1) Pemeganggadai Penyerahan Benda Benda (2) Benda Pihak ketiga pemegang gadai Benda Benda Benda Dalam praktiknya, dapat terjadi dua kemungkinan peristiwa yang timbul dalam gadai, antara lain: 1) Gadai Kedua Peristiwa gadai kedua dapat terjadi apabila adanya dua tagihan pada dua orang kreditor yang timbul pada saat yang sama dan dijamin dengan satu benda gadai yang sama, atau adanya dua tagihan pada dua orang kreditor yang berlainan yang timbul secara berturut – turut, tetapi dijamin dengan benda gadai yang sama. Dalam hal ini, kedudukan kreditor yang satu bagi kreditor lain merupakan pihak 33 ketiga. Dalam hal piutang terjadi berturut – turut tersebut, maka cara meletakkan gadai cukup dengan pemberitahuan kepada pemegang gadai pertama (yang terlebih dahulu menjadi pemegang gadai) tentang adanya perjanjian gadai lagi. Dengan adanya ciri gadai sebagai hak kebendaan maka pada prinsipnya hak kebendaan yang lahir lebih dahulu memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripa da hak kebendaan yang lahir kemudian. Sehingga adanya gadai yang kedua pada asasnya tidak melemahkan gadai yang pertama. 33 2) Gadai ulang Peristiwa gadai ulang dapat terjadi apabila kreditor pemegang gadai atau pihak ketiga pemegang gadai menjaminkan benda gadai yang ada dalam penguasaannya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan pemberi gadai. Dalam hal ini, benda gadai tetap milik pemberi gadai, sehingga pemegang gadai yang hanya memiliki hak gadai sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk menggadaikan kare na dia bukanlah pemilik. 34 Untuk lebih memperjelas lagi mengenai peristiwa gadai kedua dan gadai ulang, penulis akan mencoba menerangkannya dengan bagan disertai contoh di bawah ini: 33 34 Rachmadi, Usman, Op.Cit, hal. 125. J. Satrio, Op. Cit, hal. 114. 34 Skema Gadai Kedua Perjanjian Pokok Kreditor Rp. 3.000.000, - C Perjanjian Pokok Debitor Rp. 10.000.000,- A Kreditor B Penerima Perjanjian GadaiPemberi Perjanjian Gadai Penerima gadai Gadai (KEDUA) Gadai (PERTAMA)Pemegang gadai Pihak III pemegang gadai Penyerahan Benda Benda Rp. 15.000.000,- Rp. 15.000.000,- Misalkan A berhutang kepada B sebesar 10 juta rupiah dengan menyerahkan sepeda motor seharga Rp.15.000.000,- dalam penguasaan B sebagai jaminan gadai. Kemudian A berhutang lagi kepada C sebesar Rp. 3.000.000,- dengan jaminan sepeda motornya yang berada dala m penguasaan B. Dalam peristiwa tersebut dari sudut pandang C maka B adalah pihak ketiga yang memegang benda gadai. Dalam hal pelunasannya apabila A tidak memenuhi prestasinya, maka B mendapatkan pelunasan lebih dahulu sebesar Rp. 10.000.000,- kemudian sisa hasil uang hasil penjualan untuk melunasi hutang C. Peristiwa inilah yang disebut gadai kedua. Karena menggadaikan untuk “kedua kalinya” atas benda yang sama. 35 Skema Gadai Ulang Perjanjian Pokok Kreditor A Pemberi gadai Perjanjian Pokok Rp. 10.000.000,- Debitor Rp. 10.000.000, - Kreditor B Perjanjian GadaiPenerima Perjanjian GadaiPenerima gadai (ulang) C gadai Pemegang pemegang gadai gadai Penyerahan Benda Penyerahan Benda Benda Rp. 15.000.000,- Misalkan A berhutang kepada B Rp. 10.000.000,- dan sebagai jaminan hutangnya menyerahkan sepeda motornya seharga Rp. 15.000.000,sebagai benda gadai dalam penguasaan B. Tanpa sepengetahuan A, B yang berhutang kepada C menyerahkan sepeda motor milik A seba gai jaminan hutangnya kepada C. Peristiwa inilah yang disebut gadai ulang,yaitu peristiwa di mana seorang pemegang gadai (B) menggadaikan barang gadai yang ia pegang kepada kreditornya B yaitu C. Dalam hal ini tindakan B menggadaikan benda gadai yang ia pe gang merupakan suatu pelanggaran terhadap prinsip dalam hukum jaminan, dimana B tidak berwenang untuk menggadaikan benda gadai karena dia bukan pemilik dari benda gadai tersebut. 36 5. Hak dan Kewajiban Dalam Gadai Setiap perbuatan hukum berupa perjanjian selalu mengikat para pihak yang membentuk perjanjian itu. Gadai yang diperjanjikan antara para pihak, mengikat para pihak yang membentuknya. Para pihak, yaitu pemberi gadai dan penerima gadai terikat untuk melaksanakan hak dan kewajibannya masing- masing. Dari Pasal 1150 – 1160 K.U.H. Perdata yang mengatur mengenai gadai, dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak dalam gadai, yaitu sebagai berikut: a. Kewajiban pemberi gadai 1) Berkewajiban memenuhi prestasi yang diperjanjikan dan menyerahkan benda jaminan kepada pemegang gadai sampai pemberi gadai memenuhi prestasinya kepada penerima gadai; 2) Berkewajiban memberikan ganti kerugian atas biaya – biaya yang dikeluarkan pemegang gadai untuk merawat benda miliknya yang dijaminkan; b. Kewajiban pemegang gadai 1) Berkewajiban untuk menjaga dan merawat benda gadai serta bertanggung jawab atas hilangnya dan rusaknya benda gadai ( Pasal 1157 K.U.H. Perdata); 2) Berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai apabila akan diadakan penjualan atas benda gadai (1156 ayat 2 dan 3); 3) Berkew ajiban mengembalikan benda yang digadaikan apabila pemberi gadai telah memenuhi prestasi atau mengembalikan uang 37 sisa hasil penjualan setelah dipotong dengan biaya perawatan dan bunga (Pasal 1159 ayat 1 K.U.H. Perdata); 4) Berkewajiban memperingatkan pemberi gadai apabila pemberi gadai telah lalai memenuhi kewajibannya dan menyerahkan daftar perhitungan hasil penjualan benda gadai (1155 ayat 1 K.U.H. Perdata ). d. Hak pemberi gadai 1) Berhak untuk menuntut apabila benda rusak atau hilang akibat kelalaian pemegang gadai; 2) Berhak untuk mengetahui apabila benda gadai akan dijual akibat pemberi gadai tidak memenuhi prestasi pada waktu yang telah ditentukan; 3) berhak untuk mendapatkan pengembalian benda gadai apabila telah memenuhi prestasi atau mendapatkan sisa hasil penjualan benda gadai apabila pemberi gadai tidak memenuhi prestasi sesuai dengan yang telah diperjanjikan. e. Hak pemegang gadai 1) Memiliki hak retentie yaitu hak untuk menahan benda gadai selama pemberi gadai belum memenuhi prestasinya (Pasal 1159 ayat 1 K.U.H. Perdata); 2) Memiliki hak parate eksekusi yaitu hak untuk melakukan penjualas atas benda gadai dengan kekuasaannya sendiri di hadapan publik sesuai dengan kebiasaan – kebiasaan setempat serta syarat – syarat 38 yang lazim berlaku ( Pasal 1155 ayat 1 K.U.H. Perdata), atau bila perlu melakukan eksekusi atas putusan pengadilan dan menurut cara yang ditentukan oleh hakim ( Pasal 1156 ayat 1 K.U.H. Perdata); 3) Mendapatkan pergantian biaya perawatan benda gadai yang dikeluarkannya (1157 ayat 2 K.U.H. Perdata ) dan atas bunga benda yang timbul dari piutang (1158 K.U.H. Perdata ); 4) Memiliki hak preferensi yaitu hak untuk didahulukan dalam mendapatkan pelunasan utangnya (Pasal 1133 K.U.H. Perdata ). 6. Hapusnya Gadai Di dalam K.U.H. Perdata , tidak diatur secara khusus mengenai hapus dan berakhirnya gadai. Namun demikian, hapus dan berakhirnya gadai dapat dilihat dari pengaturan gadai pada Pasal 1150 – 1160 K.U.H. Perdata dan analisis dari ketentuan – ketentuan dalam gadai yang telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hal – hal yang menyebabkan gadai hapus atau berakhir adalah sebagai berikut: 1) Hapusnya perjanjian pokok atau perjanjian pendahuluan yang dijamin dengan gadai. Hal ini sesuai dengan sifat perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir, artinya, ada tidaknya gadai ditentukan oleh perjanjian pokoknya, apabila perjanjian pokok hapus maka gadai pun hapus; 39 2) Terjadinya pencampuran di mana pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik dari benda gadai; 35 3) Lepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang gadai secara sukarela, misalnya pemegang gadai menyerahkan kembali benda gadai dalam penguasaan debitor. Ini berarti benda gadai tidak berada di luar penguasaan debitor sehingga gadai menjadi hapus (Pasal 1152 ayat 3); 4) Terjadinya penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang gadai, karena apabila terjadi penyalahgunaan benda gadai padahal pemegang gadai wajib memelihara benda gadai, maka pemberi gadai berhak menuntut pengembalian benda tersebut. oleh karena itu gadai menjadi hapus ( Pasal 1159 K.U.H. Perdata). C. Fidusia Salah satu jaminan benda bergerak lainnya selain jaminan gadai adalah jaminan fidusia. Lembaga fidusia dalam perkembangannya lahir untuk memenuhi kebutuhan hukum akan lembaga jaminan yang praktis bagi benda bergerak, karena dalam fidusia benda objek jaminan tetap berada dalam penguasaan debitor sehingga apabila benda tersebut merupakan benda modal, debitor masih dapat menjalankan usahanya sebagaimana mestinya dan dari hasil usaha tersebut dapat diharapkan debitor melunasi hutangnya. Di Indonesia berlaku dua jenis fidusia yaitu fidusia yang berdasarkan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan 35 Rachmadi, usman, Op.Cit, hal. 144. 40 Fidusia (UUJF) dan yang berdasarkan yurisprudensi. Perbedaan yang paling terlihat ada pada segi prosedural pembebanan fidusia. fidusia berdasarkan UUJF mewajibkan pembebanan fidusia berdasarkan akta notarill yang kemudian didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, sedangkan pembebanan fidusia berdasarkan yurisprudensi tidak disyaratkan bentuk tertentu. Berlakunya UUJF di Indonesia tidak membuat fidusia yang dibuat sebelum undang – undang tersebut tidak berlaku. Sebagian besar para sarjana berpendapat bahwa memang fidusia perlu diatur dengan undang – undang. namun, berdasarkan kepentingan umum maka hukum harus membiarkan para pihak untuk mengatur hubungan hukum mereka sendiri sesuai dengan apa yang mereka anggap baik dan berguna. 36 Jadi, tidak dikatakan bahwa perjanjian fidusia yang dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan UUJF menjadi batal, tetapi tetap berlaku bagi para pihak. Hanya saja tidak berlaku ketentuan UUJF atasnya. Hal ini berarti penjaminan tersebut masih bisa berjalan dengan akibat hukum menurut hukum yang lama yaitu fidusia berdasarkan yurisprudensi. 37 1. Sejarah dan Pengertian Fidusia Jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Pada saat itu masyarakat Romawi mengenal bentuk jaminan fidusia, yaitu fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan 36 J. Satrio, 2005,Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia,Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 84. 37 Ibid, hal. 342. 41 yang dibuat dengan kreditor. 38 Maksud dari istilah tersebut adalah bahw a debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepada debitor apabila utangnya debitor telah lunas. Namun, jaminan dengan bentuk yang seperti ini memiliki kelemahan karena tidak memiliki kepastian hukum sehingga yang dikedepankan adalah moral dari kreditor. Apabila pada saat utang debitor telah lunas tetapi kreditor tidak mau mengembalikan hak kepemilikannya maka debitor tidak dapat berbuat apa – apa. Dikarenakan adanya kelemahan tersebut maka berkembanglah jaminan gadai dan hipotek. Gadai merupakan jaminan kebendaan bergerak, sedangkan hipotek merupakan jaminan kebendaan tidak bergerak. Kedua bentuk jaminan ini dianggap lebih aman karena diatur dalam hukum tertulis. Sehingga kreditor penerima jaminan dilarang memiliki barang jaminan dengan cara apapun, dan berdasarkan hukum berkewajiban untuk mengembalikan barang jaminan kepada debitor apabila debitor telah melunasi utangnya. Pada akhir abad ke 19 muncul suatu keadaan yang menimbulkan kebutuhan akan lembaga jaminan yang lain dikarenakan ada permasalahan dalam bidang pertanian. Pada masa itu para pengusaha pertanian membutuhkan modal, tetapi bank hanya mau memberikan modal apabila ada jaminan benda bergerak berupa alat pertanian atau jaminan benda tidak 38 Gunawan, Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Seri Jaminan Hukum bisnis: Jaminan Fidusia. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hal. 114. 42 bergerak berupa tanah, padahal alat pertanian sangat dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan, sedangkan sangat sedikit orang yang memiliki tanah. Keadaan inilah yang melahirkan jaminan baru yang disebut dengan oogstverband (ikatan panen), bentuk jaminan ini memungkinkan untuk adanya jaminan benda bergerak tetapi penguasaan benda jaminannya ada pada pemberi jaminan. Namun, orang melihat oogsvtverband ini sebagai suatu penyeludupan hukum dari gadai, karena benda jaminannya benda bergerak tetapi tidak diserahkan ke dalam kekuasaan penerima gadai, maka orang menyebutnya dengan gadai tanpa bezit (bezitloss pandrecht).39 Dengan demikian muncul suatu keadaan, di mana di satu pihak ada kebutuhan untuk dimungkinkannya gadai tetapi di pihak lain tidak menghendaki adanya bentuk jaminan tersebut. Sehingga muncullah lembaga fiduciare eigendomsoverdracht atau disingkat dengan fidusia yang berlaku sekarang ini. Di Belanda, fidusia diakui melalui Bierbrouwerry Arrest tanggal 29 Januari 1929, yang kemudian di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan Arrest Hooggerechtshof Surabaya18 Agustus 1932. Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditor. J. Satrio dalam literaturnya menyatakan kepercayaan yang dimaksud di sini adalah bahwa debitor akan melunasi utangnya dengan jaminan penyerahan hak milik atas benda yang dimilikinya untuk mengambil pelunasan utang apabila debitor tidak dapat 39 J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak – Hak Jaminan Kebendaan, Op.Cit. hal. 168. 43 melunasi utangnya dengan waktu yang telah ditentukan, dan bagi debitor, kepercayaan bahwa hak miliknya akan kembali setelah utang – utangnya dilunasi. 40 Menurut Oey Hoey Tiong, fidusia atau lengkapnya “Fiduciaire Eigendomsoverdracht” diartikan sebagai jaminan atas benda – benda bergerak di samping gadai, dimana yang diserahkan sebagai jaminan kepada kreditor adalah hak milik, sedang barangnya tetap dikuasai debitor sehingga yang terjadi adalah penyerahan secara constitutum possessorium. 41Maksud dari istilah tersebut, yang diserahkan adalah hak milik, sebab kebendaan fidusia tetap berada dalam penguasaan pemilik asal (debitor). Pengertian tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJF menyatakan : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa jaminan fidusia merupakan jaminan yang dilakukan dengan memberikan hak kepemilikan atas benda yang dimiliki debitor kepada kreditor sebagai jaminan pemenuhan prestasi tertentu, dengan syarat bahwa kreditor akan mengembalikan hak kepemilikannya kepada debitor apabila debitor telah melaksanakan kewajibannya. 40 Ibid, hal. 179. Oey Hoey Tiong, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur – Unsur Perikatan, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 21. 41 44 2. Kedudukan Para Pihak Dengan diserahkannya hak kepemilikan atas benda yang dijadikan objek jaminan fidusia, menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan debitor pemberi fidusia dan kreditor penerima fidusia. Dalam fiducia cum creditore, penyerahan hak milik pada fidusia terjadi secara sempurna, artinya : Kreditor penerima fidusia menjadi pemilik yang sempurna, sebagai pemilik tentu saja ia bebas berbuat apapun terhadap barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban mengembalikan hak milik atas barang tadi kepada debitor pemberi fidusia. 42 Namun, hal tersebut bertentangan dengan prinsip hukum jaminan di mana dalam hukum jaminan tidak diperbolehkan seorang penerima jaminan menjadi pemilik dari barang jaminan, bahkan walaupun debitor wanprestasi, kreditor tetap tidak dapat menjadi pemilik dari benda jaminan. Kreditor hanya berhak menjual benda jaminan untuk melunasi utangnya debitor dan sisa dari penjualan diberikan kembali kepada debitor. Mengenai hal tersebut Pitlo berpendapat :43 “Kreditor telah benar – benar menjadi pemilik, tetapi dengan kewenangan yang sangat terbatas. Hak kebendaan kreditor atas benda jaminan dibatasi dengan suatu perjanjian obligatoir, malahan dapat dikatakan telah digerogoti besar sekali, sebab sebagai pemilik, kreditor tidak diperkenankan untuk menjual, menggadaikan lagi, menukarkan, bahkan tidak dapat memakainya” Berdasarkan pendapat Pitlo tersebut, dalam fidusia kedudukan kreditor adalah sebagai pemilik dari benda fidusia karena dia memegang hak milik dari benda itu. Namun, sebagai pemilik, hak untuk berbuat bebas yang 42 43 Oey Hoey Tiong, Op.Cit, hal. 47. J. Satrio, Op.Cit, hal. 178. 45 dimilikinya adalah terbatas, dan hak itu baru dapat digunakan apabila debitor tidak dapat memenuhi prestasinya. Jika debitor tidak dapat memenuhi prestasinya, maka kreditor berhak menjual benda jaminan untuk mengambil pelunasan utangnya. Jadi, hak yang dimiliki kreditor sebagai pemilik hanya terbatas pada tindakan untuk mengambil pelunasan atas utang debitor kepadanya. Namun, apabila debitor melunasi utangnya maka kreditor berkewajiban untuk mengembalikan hak milik atas benda jaminan kepada debitor. Sehingga, sebenarnya penyerahan hak milik di sini hanya sebagai jaminan saja yang membuat kedudukan kreditor sebagai pemilik sangat terbatas. Hal ini ditegaskan dengan adanya Keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1500 K / Sip / 1978 tanggal 2 Februari 1980 yang memiliki pertimbangan bahwa :44 “Penyerahan hak milik kepada kreditor dalam fiduciaire eigendom overdracht bukanlah suatu penyerahan hak milik dalam arti yang sesungguhnya seperti halnya dalam jual beli, sehingga kreditor tidak akan menjadi pemilik yang penuh (volle eigenaar). Ia hanyalah seorang bezitloss eigenaar atas barang – barang jaminan dan tujuan tujuan dari perjanjian itu sendiri, kewenangan kreditor hanyalah setaraf dengan kewenangan yang dimiliki oleh seorang yang berhak atas barang – barang jaminan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung jelaslah bahwa prinsip dari hukum jaminan tidak dapat dilanggar, sehingga kedudukan dari kreditor penerima jaminan fidusia walaupun sebagai pemilik tapi sebenarnya hanyalah sebagai pemegang jaminan saja. Kewenangan sebagai pemilik hanyalah kewenangan yang berhubungan untuk mengambil pelunasan utang yaitu 44 Oey Hoey Tiong, Op. Cit, hal. 49. 46 untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitor tidak memenuhi prestasi dan mengembalikan hak kepemilikan dari benda jaminan apabila debitor telah memenuhi prestasinya. Diserahkannya benda jaminan secara constitutum possessorium menempatkan benda jaminan tetap berada dalam penguasaan debitor, karena yang diserahkan kepada kreditor hanyalah hak milik saja. Sehingga jika dilihat, kedudukan debitor tidak berubah, seakan – akan dia tidak menjaminkan benda apapun. Padahal, ada perubahan yang terjadi dengan kedudukan debitor yang pada awalnya adalah pemilik dan berhak berbuat bebas terhadap bendanya, menjadi peminjam pakai yang hanya berhak untuk menikmati benda seakan – akan dia adalah pemilik dari benda jaminan tersebut. Dengan berubahnya kedudukan debitor dari pemilik menjadi peminjam pakai, maka debitor dilarang berbuat bebas untuk mengalihkan benda yang ada dalam penguasaannya, baik dengan menjual ataupun menjaminkannya kepada pihak ketiga. Namun, batasan bagi debitor untuk berbuat bebas terhadap bendanya hanya selama debitor belum melunasi utangnya kepada kreditor, apabila debitor telah melunasi utangnya kepada debitor maka debitor berhak untuk mendapatkan kembali hak miliknya. Dengan mendapatkan kembali hak miliknya, maka kedudukan debitor berubah dari peminjam pakai menjadi pemilik dari benda. 47 3. Objek jaminan fidusia dalam yurisprudensi Pada zaman Romawi yaitu pada bentuk fiducia cum creditore, fidusia dapat dilakukan baik atas benda bergerak maupun benda tetap. 45 Jika mengingat bahwa pada masa tersebut di zaman Romawi tidak ada bentuk jaminan lain maka hal tersebut adalah wajar. Namun, dalam perkembangannya, hilangnya kebiasaan menjaminkan benda secara fiducia cum creditore dikarenakan muncul jaminan gadai dan hipotik yang penjaminannya dilakukan berdasarkan pembagian benda, yaitu dalam Pasal 503 dan 504 K.U.H. Perdata : Pasal 503 K.U.H. Perdata “Tiap – tiap kebendaan adalah ber tubuh atau tidak bertubuh.” Pasal 504 K.U.H. Perdata “Tiap – tiap kebendaan adalah bergerak atau tak bergerak, satu sama lain menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian berikut ” Berdasarkan kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa K.U.H. Perdata membagi benda menjadi benda bertubuh dan tidak bertubuh, benda bergerak dan tidak bergerak. Dengan adanya pembagian benda tersebut, telah diketahui pula bahwa terdapat dua jenis jaminan berupa gadai yang menjadi jaminan bagi benda bergerak dan hipotek yang menjadi jaminan bagi benda tetap. Sehingga, fidusia yang pada waktu itu dianggap sebagai penyeludupan hukum dari gadai yang berupa jaminan benda bergerak, memiliki objek berupa benda bergerak juga. 45 Ibid, hal. 58. 48 Pendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan terhadap barang bergerak itu menjadi yurisprudensi tetap, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia. Di Indonesia, Pengadilan Tinggi Surabaya dalam Keputusan Nomor 158 / 1950 / Pdt tertanggal 22 Maret 1951 dan Mahkamah Agung dalam Keputusan Nomor 372 K / Sip / 1970 tanggal 1 September 1971 berpendapat sama, yaitu bahwa fidusia hanya sah sepanjang mengenai barang bergerak. 46 Berdasarkan keputusan tersebut Oey Hoey Tiong dalam bukunya menyatakan bahwa : 47 “Objek jaminan fidusia pada mulanya hanyalah benda bergerak saja. Namun, dengan dikeluarkannya Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 terjadi perubahan mengenai objek jaminan fidusia. Karena, dalam UUPA, tanah yang bisa dibebani dengan hak tanggungan dan hipotek adalah tanah tanah hak milik, tanah hak guna bangunan, dan tanah hak guna usaha. Bangunan – bangunan yang terletak di atas tana h tidak bisa dihipotekkan terlepas dari tanahnya. Dengan demikian, seseorang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hak sewa tidak dapat membebaninya dengan hak tanggungan. Oleh karena itu jalan satu – satunya yang tepat adalah fidusia.” Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terjadi perubahan terhadap benda yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia. Pada masa fiducia cum creditore objek fidusia berupa benda bergerak dan tidak bergera. Kemudian dengan adanya lembaga jaminan gadai dan hipotik , objek fidusia berupa benda bergerak saja, dan setelah lahirnya UUPA objek fidusia berubah lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak yang berupa benda – 46 Loc. Cit. Ibid, hal.61. 47 49 benda yang tidak dapat dibebankan dengan hak tanggungan dan hipotek,misalnya bangunan di atas tanah milik orang lain. 4. Pengalihan atas benda objek jaminan fidusia Pengalihan yang dimaksud dalam hal ini dapat terjadi apabila ada suatu peristiwa hukum di mana benda yang menjadi objek jaminan fidusia atau hak milik atas benda tersebut dialihkan kepada pihak ketiga. Apabila yang dialihkan adalah bendanya maka pihak yang mengalihkan adalah debitor, karena dalam fidusia yang menguasai benda jaminan adalah debitor. Sebaliknya, apabila yang dialihkan adalah hak milik atas benda maka pihak kreditor yang melakukan pengalihan hak milik tersebut kepada pihak lain. . Dalam praktik, seseorang dapat memberikan jaminan atas suatu benda kepada lebih dari satu kreditor, dengan syarat nilai dari benda tersebut jika dieksekusi dapat melunasi utang kepada kreditor – kreditor terkait sehingga peristiwa ini sering disebut dengan “fidusia kedua.” Dalam hal tersebut, kreditor yang paling diutamakan adalah kreditor yang memiliki kedudukan paling kuat di antara kreditor lain dalam mengambil pelunasan utang terhadap debitor, yaitu kreditor yang memegang hak milik atas benda jaminan. Kreditor yang memegang hak milik atas benda jaminan memiliki kedudukan yang lebih kuat karena dapat lebih dahulu mendapatkan pelunasan utang daripada kreditor yang tidak memegang hak milik. Ketentuan tersebut juga terdapat dalam hal gadai. Dalam gadai yang diserahkan kepada kreditor adalah benda jaminannya. Apabila terjadi gadai kedua di mana benda gadai dijaminkan kepada lebih dari satu kreditor, maka 50 kreditor pemegang benda jaminan memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam mengambil pelunasan utang daripada kreditor yang tidak memegang benda jaminan. Skema fidusia kedua Perjanjian pokok Kreditor Perjanjian pokok Debitor Kreditor Perjanjian fidusia C Perjanjian fidusia A (II) B ( I) benda Penyerahan Hak milik Hak milik Tidak ada hak milik Dari skema tersebut dapat diketahui mengenai peristiwa terjadinya fidusia kedua yang terjadi karena : A melakukan perjanjian pokok berupa perjanjian pinjam meminjam uang dengan B, karena perjanjian itu diikat dengan fidusia maka A menyerahkan hak milik atas bendanya kepada B. Kemudian A melakukan perjanjian pinjam meminjam uang lagi dengan C dengan jaminan fidusia berupa benda miliknya yang telah dijadikan jaminan fidusia dan hak miliknya berada di A. Dengan begitu maka B dan C adalah kreditor penerima fidusia, dan kedudukan B lebih kuat karena dia memegang hak milik atas benda jaminan langsung dapat dieksekusi apabila A tidak 51 membayar utangnya. Sedangkan C tidak memegang hak milik karena hak milik sudah diserahkan kepada B. Selanjutnya dalam praktik juga dikenal adanya beberapa peristiwa hukum yang seharusnya tidak boleh dilakukan yaitu berupa pengalihan benda jaminan fidusia oleh debitor dan pengalihan hak milik atas benda jaminan oleh kreditor (fidusia ulang). Kedua hal tersebut sebenarnya tidak boleh dila kukan. Dengan adanya prinsip pemberian jaminan pada gadai, yaitu bahwa pemberi jaminan gadai haruslah orang yang wenang bertindak atau dia adalah pemilik dari benda yang dijaminkan, maka dalam fidusia prinsip tersebut juga dapat diterapkan sehingga pemberi fidusia pun haruslah pemilik dari benda yang dijadikan jaminan fidusia, Sedangkan, debitor dalam fidusia dan kreditor dalam fidusia bukanlah pemilik yang berwenang untuk memberikan jaminan fidusia. Dalam membahas mengenai pengalihan atas benda jaminan kepada pihak ketiga, penulis juga akan membahas mengenai ada tidaknya perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada pihak ketiga sebagai pihak yang menerima pengalihan Penjelasan atas peristiwa pengalihan tersebut adalah sebagai berikut : a. Mengalihkan benda ja minan fidusia kepada pihak ketiga Pengalihan benda jaminan yang dilakukan debitor terjadi apabila debitor pemberi fidusia memberikan benda jaminan ke dalam penguasaan orang lain dengan cara menjual atau menggadaikan benda jaminan yang telah difidusiakan. A pabila dihubungkan dengan gadai, pihak ketiga yang 52 berkedudukan sebagai penerima benda gadai yang dialihkan padanya oleh pemegang gadai, mendapatkan perlindungan berdasarkan Pasal 1152 ayat (4) junto Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata, yang pada intinya me nyatakan bahwa kreditor pemegang gadai tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila dia menerima benda gadai dari pemberi gadai yang bukan pemilik apabila kreditor beritikad baik, yang berarti kreditor tidak mengetahui bahwa pemberi gadai bukanlah pemilik dari benda gadai dan benda gadai bukan benda bergerak atas nama. Dalam hal jaminan fidusia, pihak ketiga yang menjadi pembeli atau penerima jaminan gadai atas benda jaminan fidusia yang dialihkan padanya, tidak mendapatkan perlindungan dari Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata. Karena dalam praktik fidusia, yang dijaminkan biasanya adalah benda bergerak atas nama dengan bukti berupa hak milik yang telah dijaminkan kepada kreditor penerima fidusia. Sehingga, berdasarkan hal tersebut pihak ketiga dinyatakan tidak beritikad baik, karena seharusnya dia mempertanyakan bukti kepemilikan atas benda yang dialihkan kepadanya, sehingga dia mengetahui bahwa yang melakukan pengalihan bukanlah pemilik atas benda tersebut. b. Mengalihkan hak milik atas benda jaminan kepada pihak ketiga (fidusia ulang) Fidusia ulang terjadi apabila kreditor mengalihkan hak milik atas benda jaminan fidusia yang ada padanya dengan menjaminkan kembali hak milik tersebut dengan jaminan fidusia kepada pihak ketiga. Dalam hal ini, 53 pihak ketiga penerima aminan j tidak mendapatkan perlindungan dari Pasal 1977 K.U.H. Perdata, karena pasal tersebut hanya memberikan perlindungan kepada orang yang beritikad baik. Pihak ketiga yang menerima jaminan tidak dapat dikatakan beritikad aik, karena apabila ia beritikad baik maka ia akan menduga menduga – duga di mana benda yang hak miliknya ada pada pihak yang mengalihkan (kreditor penerima fidusia), tetapi karena pihak ketiga tetap menerima, maka pihak ketiga tidak beritikad baik. 48 Untuk memperjelas peristiwa hukum tersebut dapat dilihat dalam skema dan contoh berikut ini : Skema pengalihan benda jam inan fidusia oleh debitor Perjanjian gadai A B ( II ) Penerima gadai Perjanjian fidusia C (I) debitor kreditor motor penyerahan penyerahan Hak milik motor Hak milik Berdasarkan skema tersebut dapat dideskripsikan bahwa pada awalnya B melakukan perjanjian fidusia dengan C, sehingga hak milik atas benda jaminan yang berada di B diserahkan kepada C. Kemudian, B mengalihkan benda jaminan fidusia yang ada padanya dengan melakukan 48 Ibid, hal. 50. 54 perjanjian gadai dengan A. Dalam hal tersebut kedudukan B bukanlah lagi sebagai pemilik dari benda jaminan, tapi sebagai peminjam pakai. Sebagai peminjam pakai seharusnya B tidak berhak untuk memberikan jaminan gadai, karena yang berhak untuk memberikan jaminan hanyalah pemilik dari benda jaminan. Oleh karena itu perjanjian gadai antara A dan B adalah tidak sah. Dalam peristiwa ini yang dijaminkan adalah motor yang berkedudukan sebagai benda bergerak atas nama. Terhadap benda bergerak atas nama yang dijadikan jaminan, maka pemilik dari benda tersebut dapat diketahui dari bukti kepemilikan atas benda bergerak. Apabila A melakukan perjanjian gadai dengan B, maka A tidak mendapatkan perlindungan dari Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata karena A berkedudukan sebagai kreditor yang beritikad buruk. A berkedudukan sebagai kreditor beritikad buruk karena A seharusnya mengetahui bahwa benda yang dijaminkan padanya bukanlah benda milik B, hal tersebut dapat dibuktikan dengan B yang tidak memegang bukti kepemilikan atas benda bergerak atas nama. Kecuali apabila benda bergerak yang dijaminkan pada A adalah benda bergerak tidak atas nama, maka A dapat menganggap yang menguasai benda itu adalah pemilik dari benda. Sehingga A dinyatakan beriktikad baik dan dilindungi Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata . 55 Skema pengalihan oleh kreditor ( fidusia ulang ) Perjanjian fidusia A Perjanjian fidusia B ( II ) C (I) Kreditor penerima fidusia Kreditor penerima fidusia debitor motor penyerahan Hak milik penyerahan Hak milik Hak milik Berdasarkan skema tersebut, pada awalnya B yang telah melakukan perjanjian fidusia dengan C, sehingga B menerima hak milik atas benda jaminan fidusia yang ada pada C. Kemudian, B yang mengalihkan hak milik tersebut dengan melakukan perjanjian fidusia dengan A, sehingga hak milik yang ada padanya diberikan kepada A. Dalam hal ini A juga berkedudukan sebagai kreditor yang beritikad buruk., karena dengan melihat hak milik yang bukan atas nama B, A harusnya telah mengetahui bahwa benda yang dijaminkan bukanlah milik B dan tidak berada pada B. Namun, karena C tetap menerima fidusia tersebut dengan mengetahui keadaan yang sebenarnya maka C tidak beritikad baik dan tidak dilindungi Pasal 1977 ayat (1) K.U.H. Perdata. 5. Sifat – Sifat fidusia Sebagai suatu perjanjian jaminan, Fidusia memiliki sifat – sifat tertentu yang membedakannya dengan jaminan lainnya. Fidusia memiliki 56 sifat accessoir, kebendaan, preferensi dan obligatoir, yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Sifat accessoir dari perjanjian jaminan fidusia Perjanjian fidusia dibuat dengan tujuan untuk memberikan jaminan terhadap pemenuhan prestasi yang timbul dari perjanjian pokok. Oleh karena itu, perjanjian fidusia merupakan perjanjian accessoir (ikutan). Sebagai perjanjian acce ssoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut :49 1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok; 2. Keabsahannya semata – mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok. 3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi. b. Sifat droit de suite Fidusia sebagai hak kebendaan memiliki sifat droit de suite. Pemberian sifat droite de suite ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang kuat kepada pemegang tetap mengikuti bendanya ke dalam siapa pun ia berpindah. Prinsip droit de suite berlaku terhadap semua jaminan kebendaan yang memerikan hak kebendaan kepada kreditornya. Dalam prinsip tersebut juga dapat terlihat 49 Gunawan, Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit. hal . 125. 57 adanya pengecualian berlakunya sifat droit de suite yaitu pada benda persediaan yang menjadi objek fidusia. c. Sifat droit de preference Sifat droit de preference atau sifat mendahului. Penerima fidusia (kreditor) memiliki hak didahulukan atau diutamakan terhadap kreditor lainnya, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, walaupun penerima fidusia adalah orang yang pailit atau dilikuidasi. d. Fidusia sebagai perjanjian obligatoir Fidusia sebagai jaminan yang menimbulkan hak kebendaan memberikan kedudukan yang didahulukan kepada kreditor dalam pelunasan utangnya. Sebagai hak kebendaan, dengan sendirinya sifat dan ciri – ciri hak kebendaan tersebut, fidusia bukanlah perjanjian obligatoir yang bersifat perorangan. Namun, beberapa sarjana menyatakan bahwa salah satu sifat fidusia adalah sebagai perjanjian obligatoir.Perjanjian fidusia bersifat obligatoir, berarti hak penerima fidusia merupakan hak milik sepenuhnya, meskipun hak tersebut dibatasi oleh hal – hal yang ditetapkan bersama dalam perjanjian, akan tetapi pembatasan hak milik ini bersifat pribadi yang lahir karena adanya hubungan perutangan antara debitor dan kreditor. Karena itu, penerima fidusia bebas untuk menentukan cara 58 pemenuhan piutangnya terhadap benda yang dijaminkan melalui fidusia. 6. Lahir dan hapusnya Fidusia Indonesia menganut dua sistem hukum jaminan fidusia yaitu yang berdasarkan yurisprudensi dan yang berdasarkan UUJF. Dalam fidusia yang tunduk pada yurisprudensi, jaminan fidusia dianggap telah lahir apabila jaminan fidusia sudah dinyatakan secara terang – terangan baik secara lisan ataupun dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta notaris, sedangkan fidusia berdasarkan undang – undang jaminan fidusia dinyatakan telah lahir apabila dibuat dengan akta notaris dan kemudian didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia. Dalam fidusia yang tunduk pada yurisprudensi, untuk lahirnya jaminan fidusia terjadi dalam tiga tahap :50 1. Tahap pendahuluan Fidusia diawali dengan adanya perjanjian pokok yang biasanya berupa perjanjian pinjam meminjam uang antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa atas utang debitor kepada kreditor, debitor menyerahkan hak kepemilikan atas benda yang dimiliki debitor, dan kreditor berkewajiban untuk mengembalikan benda milik debitor tersebut apabila debitor telah melunasi utangnya. Namun, apabila debitor tidak dapat melunasi 50 Martin Roestamy, 2009, Hukum Jaminan Fidusia, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang Fidusia Atas Benda Tidak Terdaftar, Bogor, Unida Press, hal. 57. 59 utangnya maka kreditor berhak untuk melakukan eksekusi dengan menjual barang milik debitor untuk mendapatkan pelunasan utang. Perjanjian ini dalam praktik di masyarakat biasanya dilakukan dengan akta, baik dengan akta di bawah tangan ataupun dengan akta autentik, walaupun pada tidak secara tegas disyaratkan bahwa perjanjian tersebut harus tertulis sehingga secara teoritis perjanjian ini dapat juga dilakukan secara lisan, tapi demi keamanan biasanya para pihak menggunakan akta. 51 Akta tersebut dimaksudkan untuk dijadikan bukti, maka agar akta itu memiliki kekuatan hukum sebagai bukti tertulis, akta itu harus memenuhi syarat – syarat untuk itu. Akta itu harus ditandatangani oleh orang, terhadap siapa bukti itu akan digunakan, dan secara sah sampai di tangan pihak untuk keuntungan siapa bukti itu diadakan. Pada akta di bawah tangan, biasanya caranya adalah dengan menyerahkan akta yang bersangkutan.Yang penting adalah bahwa di dalam akta fidusia disebutkan secara jelas adanya kehendak/ maksud untuk menyerahkan hak milik benda fidusia sebagai jaminan kepada kreditor dan bahwa penyerahan itu telah diterima oleh kreditor, juga perlu disebutkan bahwa selanjutnya debitor fidusia tidak lagi memegang benda fidusia untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kreditor.52J. Satrio menyatakan bahwa lahirnya hak jaminan fidusia berdasarkan yurisprudensi pada perjanjian fidusia yang di bawah 51 52 J. Satrio,Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia,Op. Cit, hal. 85. Ibid, hal, 86. 60 tangan menimbulkan akibat hukum hanya bagi para pihak yang mengadakannya. Perjanjian tersebut tidak berlaku bagi pihak ketiga. Menurut Meijers, yang dimaksud dengan pihak ketiga di sini adalah para kreditor konkuren 2. Tahap penyerahan hak kebendaan secara constitutum possessorium Dalam tahap ini dilakukan penyerahan hak kebendaan yang dilakukan oleh pemberi jaminan fidusia kepada penerima jaminan fidusia. penyerahan tersebut bersifat abstrak karena dalam kenyataannya benda – benda yang diserahkan tersebut tidak pernah berpindah penguasaannya dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia, benda yang diserahkan sebagai jaminan tetap berada pada pemberi jaminan. Penyerahan tersebut dilakukan secara constitutum possessorium, artinya benda tetap dikuasai oleh debitor walaupun hak miliknya tetap berpindah kepada kreditor. Menurut kebiasaan, penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan tersebut dilakukan dengan menandatangani surat penyerahan hak milik yang dilampiri dengan daftar barang – barang yang diserahkan. daftar tersebut memuat secara rinci barang – barang yang dijaminkan itu dengan rumusan kata – kata yang jelas. Dengan penandatanganan aktapenyerahan maka lahirlah jaminan fidusia 3. Tahap pinjam pakai Tahap ini disebut juga fase perjanjian pinjam pakai antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia, artinya kreditor selaku pemilik 61 dengan kewenangannya yang terbatas meminjamkan kepada debitor benda jaminan dengan ketentuan bahwa debitor harus merawat benda tersebut.Pada dasarnya klausul perjanjian fidusia adalah hampir sama walaupun objeknya berbeda. Misalnya, apabila hak kebendaan yang dijaminkan berupa benda bergerak tidak berwujud yaitu piutang maka hak untuk menagih utang tetap dilakukan oleh pemberi jaminan walaupun pemindahan kekuasaan untuk menagih utang ada pada penerima jaminan. Demikian pula pada bergerak yang berwujud, hak untuk menggunakan benda tersebut ada pada pemberi fidusia walaupun hak kepemilikannya berada pada penerima fidusia. 53 Dengan lahirnya hak jaminan fidusia berdasarkan yurisprudensi, maka muncul hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakannya. Hak utama kreditor penerima fidusia adalah menjual objek jaminan fidusia (eksekusi) dalam hal debitor wanprestasi untuk mengambil pelunasan atas utang debitor, dengan kewajiban bahwa kreditor akan mengembalikan uang sisa hasil penjualan benda jaminan fidusia. Sedangkan, debitor pemberi fidusia berkewajiban untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Setelah mengetahui mengenai lahirnya fidusia, maka harus diketahui juga tentang bagaimana suatu jaminan fidusia dikatakan hapus. Hapusnya fidusia pada dasarnya adalah sama baik fidusia yang tunduk pada 53 Martin Roestamy,Op. Cit, hal. 58. 62 yurisprudensi ataupun fidusia yang tunduk pada UUJF. Hapusnya jaminan fidusia secara umum dapat disebabkan karena hal – hal berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia; b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, memiliki arti : Bila disesuaikan dengan sifat accessoir dari jaminan fidusia, adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya perikatan pokoknya yang menimbulkan utang dan piutang. Apabila utang tersebut hapus maka dengan se ndirinya jaminan fidusia juga hapus. Pengertian utang dalam hal ini berarti adalah suatu perikatan, maka dalam hal demikian Pasal 1381 K.U.H. Perdata yang mengatur hapusnya perikatan juga dapat diterapkan contohnya dengan adanya pelunasan atau pembaharuan utang (novasi). Dengan hapusnya jaminan fidusia dalam hal hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusai, hak kepemilikan atas objek jaminan fidusia dengan sendirinya akan kembali kepada pemberi fidusia, karena telah terpenuhinya syarat batal (onder ontbindende voorwaarde). Untuk itu tidak diperlukan adanya tindakan pengalihan kembali atas hak kepemilikan benda yang dijadikan objek jaminan fidusia dari penerima fidusia kepada pemberi fidusia. Hal ini juga sesuai dengan sifat accessoir jaminan fidusia. 54 Pelepasan hak jaminan fidusia oleh penerima fidusia dapat menjadi salah satu sebab hapusnya hak jaminan fidusia. Hal tersebut adalah dapat 54 Rachmadi Usman, Op. Cit. hal. 226. 63 dibenarkan mengingat penerima fidusia adalah pihak yang memiliki hak atas jaminan fidusia tersebut. Jadi, apabila penerima fidusia secara sukarela tidak jadi untuk mengikatkan perjanjian pokoknya dengan jaminan fidusia maka secara otomatis fidusia hapus, karena pada dasarnya fidusia diperikatkan agar penerima fidusia mendapatkan jaminan pelunasan. Seperti perikaran pada umumnya, apabila objek perikatan musnah maka perikatan dapat dikatakan berakhir kecuali apabila diperjanjikan lain. Hapusnya fidusia apabila barang jaminan musnah juga dapat dibenarkan, karena apabila tidak ada objek jaminan fidusia maka fungsi dari fidusia sebagai jaminan sudah tidak berlaku lagi. D. Hapusnya Perikatan Telah diuraikan dalam kajian mengenai gadai dan fidusia, bahwa hakhak jaminan kebendaan sebagai jaminan accessoir mempunyai sifat akan hapus bila perjanjian pokok yang dijaminnya hapus. Uraian berikut adalah mengenai hapusnya perikatan sebagaimana diatur dalam K.U.H. Perdata. Dalam K.U.H. Perdata , hapusnya perikatan diatur dalam Bab IV Buku III Pasal 1381 K.U.H. Perdata, ketentuan mengenai hapusnya perikatan yang diatur dalam Pasal tersebut berlaku baik untuk perikatan yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari undang – undang. Dalam Pasal 1381 K.U.H. Perdata disebutkan 11 (sebelas) hal yang menyebabkan hapusnya perikatan, namun da lam penulisan ini penulis hanya akan membahas dua saja yaitu hapusnya perikatan karena pembayaran dan hapusnya perikatan karena pembaharuan hutang. 64 1. Hapusnya Perikatan Karena Pembayaran Kata pembayaran dalam kehidupan sehari – hari selalu dikaitkan dengan penyerahan sejumlah uang tertentu, padahal yang dimaksud dengan pembayaran dalam Pasal 1381 adalah lebih luas daripada sekadar membayar sejumlah uang. Yang dimaksud undang – undang atas pembayaran ialah pelaksanaan atas pemenuhan atau pelunasan tiap wujud perikatan. Pada asasnya hanya orang berkepentingan saja, yaitu orang yang berhutang yang dapat melakukan pembayaran secara sah untuk memenuhi prestasi, tetapi seorang pihak ketiga yang tidak berkepentingan pun dapat melakukan pembayaran secara sah untuk memenuhi prestasi asalkan pihak ketiga itu bertindak atas nama si berhutang atau jika ia bertindak atas namanya sendiri asalkan ia tidak menggantikan kedudukan si kreditor. Pasal tersebut pada intinya menetapkan bahwa siapa saja boleh melakukan pembayaran untuk memenuhi suatu perikatan si berhutang dengan syarat apabila yang membayar adalah pihak ketiga, pihak ketiga tidak menggantikan hak – hak si berpiutang atas pemenuhan suatu prestasi. Karena jika pihak ketiga menggantikan hak – hak si berpiutang berarti perikatan sebenarnya masih hidup, hanya kreditornya saja yang berbeda. Selain itu Pasal 1382 tidak mengatur mengenai pergantian hak, Menggantikan hak – hak si berpiutang dinamakan Subrogasi yang diatur dalam Pasal 1400 s/d 1403 K.U.H. Perdata . Dalam hal subrogasi, hutang telah terbayar lunas oleh seorang pihak ketiga, hanya perikatan hutang – hutang masih hidup terus karena pihak 65 ketiga itu lalu menggantikan hak – hak si berpiutang terhadap diri si berhutang. Subrogasi dapat terjadi dengan suatu perjanjian antara pihak ketiga yang membayar hutang dan si berhutang yang menerima pembayaran itu, atau karena penetapan undang – undang. 55 2. Hapusnya Perikatan Karena Pembaharuan Hutang (Novasi) Novasi adalah perjanjian dengan mana suatu perikatan dihapuskan dan sekaligus diadakan atau dilahirkan perikatan baru yang menggantikan perikatan yang lama yang telah hapus. 56 Novasi diadakan berdasarkan perjanjian antara para pihak sehingga sebagaimana pada perjanjian pada umumnya, novasi harus memenuhi syarat – syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 K.U.H. Perdata. Maka dengan demikian, syarat untuk adanya novasi ada dua hal, yaitu :57 1. Adanya perikatan yang lahir dari perjanjian ataupun undang – undang yang hendak diganti; 2. Adanya perikatan baru yang hanya lahir dari perjanjian dengan klausul untuk “menghapus” perikatan sebelumnya. Dalam mengadakan Novasi disyaratkan ada nya kehendak untuk mengadakan novasi yang dinyatakan secara tegas, namun undang – undang tidak mensyaratkan bentuk tertulis, walaupun biasanya diungkapkan dalam suatu perjanjian. Antara perikatan yang lama dengan yang baru terdapat hubungan kausal, maksudnya adalah bahwa penghapusan perikatan lama 55 Subekti, Op.Cit. hal. 155. J. Satrio, 1996, Hukum Perikatan: Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2, B andung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 4. 57 Ibid, hal. 15. 56 66 dilakukan haruslah dengan cara membuat perikatan yang baru, dengan konsekuensi bahwa adanya cacat pada perjanjian novasi dan perjanjian novasi itu menjadi batal, maka perjanjian yang lama tidak hapus. Ada 3 macam cara untuk terjadinya novasi yang diatur dalam pasal 1413, yaitu : 1. 2. 3. a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapus karenanya (Novasi Objektif); Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama yang oleh si berutang dibebaskan dari perikatannya (Novasi Subjektif Pasif); Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari piutangannya (Novasi Subjektif Aktiv). Novasi Objektif Novasi objektif didasarkan atas Pasal 1413 sub 1 K.U.H. Perdata. Novasi objektif memiliki arti bahwa perikatan yang terjadi di antara debitor dan kreditor digantikan dengan perikatan yang baru. Pergantian yang dimaksud di sini adalah pergantian “objek prestasi perikatan”. Apabila objek prestasi perikatan berupa benda, baru dapat dikatakan terjadi pergantian objek prestasi apabila ada perubahan identitas yang cukup besar pada benda yang bersangkutan, untuk itu harus dilihat pada fungsi dari benda tersebut berdasarkan pandangan masyarakat secara umum.58 Apabila objek perikatannya berupa tindakan penyerahan benda tertentu (untuk memberikan sesuatu), suatu perbuatan tertentu (kewajiban melakukan sesuatu), atau bahkan kewajiban untuk mengambil sikap tertentu 58 J. Satrio, Hukum Perikatan: Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2, Op.Cit, hal. 24. 67 (untuk tidak melakukan sesuatu) biasanya tidak dianggap sebagai perubahan objek prestasi. Misalkan : Perjanjian jual beli dengan membayar sejumlah uang atas suatu harga barang diubah menjadi tukar menukar barang. Doktrin masih mengenal satu macam lagi jenis novasi objektif selain perubahan dalam objek prestasi, yaitu persetujuan untuk mengubah daripada perjanjian antara para pihak. Dalam peristiwa novasi seperti ini dapat terjadi apabila objek prestasi perikatan (kewajiban debitor) tidak berubah, tetapi para pihak sepakat untuk mengubah sumber daripada perikatan mereka. Misalnya : kesepakatan untuk mengubah hutang berdasarkan jual beli menjadi hutang berdasarkan hutang piutang (Teori Novasi). 59 b. Novasi subjektif pasif Dasar dari novasi subjektif pasif adalah Pasal 1413 sub 2 K.U.H. Perdata. Di sini yang diganti adalah orang yang berhutang (debitor) yang memiliki kewajiban prestasi terhadap kreditor atau orang yang berada pada segi passiva. 60 Untuk lahirnya novasi subjektif pasif, terlebih dahulu harus ada kesepakatan yang didasarkan atas perjanjian antara : 1. Debitor lama dengan Debitor baru Dalam novasi subjektif pasif debitor lama akan digantikan dengan debitor yang baru, sehingga harus ada persetujuan dari debitor yang baru untuk bersedia menggantikan kewajiban dari debitor yang lama. 2. 59 Debitor lama dengan Kreditor Ibid, hal. 30. Ibid, hal. 33. 60 68 Debitor lama berkewajiban untuk memberitahukan dan mendapatkan persetujuan dari kreditor atas pergantian subjek yang akan memenuhi prestasi kepada kreditor dan membebaskan debitor lama dari perikatannya. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa novasi subjektif pasif merupakan perjanjian antara tiga pihak, yaitu antara debitor lama dengan debitor baru dan antara debitor lama dengan kreditor, yang berarti bahwa debitor baru mau menggantikan debitor lama sebagai debitor dan bahwa kreditor menerima debitor lama digantikan kedudukannya dengan debitor baru. 61 Akibat hukum dengan diadakannya novasi subjektif pasif ini adalah bawa kreditor tidak dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi kepada debitor lama, karena dengan digantikannya debitor lama menjadi debitor baru, maka hubungan antara kreditor dengan debitor lama juga hapus. c. Novasi subjektif aktif Pada novasi subjektif aktif terjadi pergantian pada pihak kreditor, dari kreditor yang lama menjadi kreditor yang baru. Dengan pergantian kreditor tersebut, debitor dibebaskan dari perikatan dengan kreditor yang lama. Novasi ini juga dapat terjadi karena perubahan komposisi kreditor, misalnya dari seorang kreditor menjadi beberapa kreditor. 62 Dalam literatur tidak disebutkan mengenai syarat terjadinya novasi subjektif aktif. Pada dasarnya novasi subjektif pasif dan novasi subjektif aktif adalah sama – sama perjanjian tiga pihak antara debitor lama – debitor baru – 61 Ibid, hal. 34. Ibid, hal. 45 62 69 dan kreditor di mana ada perikatan baru untuk menghapuskan perikatan lama dengan mengubah salah satu pihak dalam perikatan. Perbedaannya hanyalah bahwa dalam novasi subjektif pasif yang berubah adalah pihak debitor, sedangkan dalam novasi subjektif aktif yang berubah adalah pihak kreditor. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa syarat terjadinya novasi subjektif pasif dapat dianalogikan untuk menjadi syarat terjadinya novasi subjektif aktif. Sehingga, untuk lahirnya novasi subjektif aktif harus didasarkan kesepakatan antara para pihak, yaitu : 1. Kreditor lama dengan Kreditor baru Dalam novasi subjektif aktif terjadi pergantian kedudukan dari kreditor yang lama menjadi kreditor yang baru. Sehingga, agar novasi tersebut sah, maka harus ada persetujuan dari kreditor yang baru untuk bersedia menggantikan kedudukan kreditor lama dalam menerima pemenuhan prestasi dari debitor 2. Kreditor lama dengan Debitor Kreditor lama berkewajiban untuk memberitahukan dan mendapatkan persetujuan dari debitor atas pergantian subjek yang akan menerima pemenuhan prestasi dari debitor. Pemberitahuan ini bertujuan agar debitor mengetahui kepada siapa dia seharusnya memenuhi kewajibannya, dan dengan adanya pemberitahuan ini, pihak debitor juga mengetahui bahwa dia tidak berkewajiban lagi untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor lama. Karena novasi 70 subjektif aktif sudah menghapuskan perikatan lama yang dilakukan antara kreditor lama dengan debitor. Dalam terjadinya novasi subjektif, baik novasi subjektif aktif maupun novasi subjektif pasif disyaratkan juga adanya kehendak yang datang dari para pihak untuk mengadakan novasi. Kehendak ini bisa datang baik dari pihak debitor maupun pihak kreditor. Berdasar kan kehendaknya, terjadinya novasi subjektif dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut : 1. Expromissio Pasal 1416 K.U.H. Perdata mengatakan bahwa : “Pembaharuan utang dengan penunjukan seorang berutang baru untuk mengganti yang lama dapat dijalankan tanpa bantuan orang berutang yang pertama.” Dalam pasal tersebut mengatur bahwa novasi subjektif dapat terjadi tanpa mengikutsertakan pihak debitor lama ( Novasi subjektif pasif ) atau kreditor lama (Novasi Subjektif Pasif ). Sehingga novasi di sini hanya dilaksanakan oleh dua pihak saja, yaitu pihak debitor baru dan kreditor (Novasi subjektif pasif ) dan juga pihak debitor dan kreditor lama (Novasi subjektif aktif ). Dalam doktrin, terjadinya novasi ini disebut dengan “Exprommisso” yang mensyaratkan adanya kehendak dari pihak kreditor untuk mengadakan novasi. 63 2. Delegasi atau pemindahan Pasal 1417 mengatakan bahwa : “Delegasi atau pemindahan, dengan mana seorang berhutang, memberikan kepada orang yang menghutangkan padanya seorang 63 Ibid, hal. 35. 71 yang berutang baru, yang mengikatkan dirinya kepada si berpiutang, tidak menerbitkan suatu pembaharuan utang, jika si berpiutang tidak secara tegas menyatakan, bahwa ia bermaksud untuk membebaskan orang berutang yang melakukan pemindahan itu.” Berdasarkan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa novasi subjektif juga dapat terjadi apabila ada kehendak, yang berasal dari debitor untuk mengadakan novasi, dengan syarat bahwa para pihak harus menyatakan menyetujui dan menerima adanya pergantian salah satu pihak dalam perikatan yang baru. Walaupun pasal tersebut cenderung mengatur mengenai novasi subjektif pasif dengan adanya kalimat “Memberikan...seorang berutang baru.” Namun, menurut Rutten delegasi bukanlah istilah yang hanya diterapkan pada novasi subjektif pasif saja tetapi juga untuk novasi subjektif aktif. Sehingga, dalam novasi subjektif aktiv debitor dapat merekomendasikan kreditor baru untuk menggantikan kreditor lama.64 3. Akibat Novasi a. Akibat novasi bagi kreditor Akibat novasi bagi kreditor diatur dalam Pasal 1418 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa : “Si berpiutang yang membebaskan si berutang yang telah melakukan pemindahan, tak dapat menuntut orang tersebut, jika orang yang ditunjuk untuk mengalihkan itu jatuh dalam keadaan pailit atau nyata – nyata tak mampu, kecuali jika hak penuntutan itu dengan tegas dipertahankan dalam perjanjian, atau jika orang berutang yang ditunjuk sebagai pengganti itu pada saat pemindahan telah nyata – nyata bangkrut, atau telah berada dalam keadaan terus – menerus merosot kekayaannya.” 64 Ibid, hal. 39. 72 Pasal tersebut pa da intinya menerangkan bahwa, setelah terjadinya novasi, kreditor yang telah membebaskan debitor tidak dapat menuntut debitor lama apabila debitor baru yang menggantikan jatuh pailit, kecuali apabila debitor baru tanpa diketahui kreditor sejak awal sudah dalam keadaan pailit atau telah diperjanjikan sebelumnya dalam perjanjian bahwa kreditor berhak menuntut apabila debitor baru pailit maka kreditor berhak untuk menuntut debitor lama. Dasar pikiran dari hal tersebut adalah bahwa kreditor memiliki resiko tidak dipenuhinya prestasi baik dari debitor lama ataupun debitor baru. 65 b. Akibat novasi terhadap jaminan kebendaan Akibat novasi terhadap jaminan – jaminan kebendaan diatur dalam Pasal 1421 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa : “Hak – hak istimewa dan hipotik – hipotik yang melekat pada piutang lama, tidak berpindah kepada piutang baru yang menggantikannya, kecuali kalau hal itu secara tegas dipertahankan oleh si berpiutang.” Pasal tersebut pada intinya menerangkan bahwa semua jaminan pada perikatan lama menjadi hapus termasuk jaminan gadai dan fidusia, kecuali kreditor menghendaki tetap mempertahankan jaminan untuk tetap ada. Namun, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip jaminan sebagai suatu perjanjian assesoir yang berarti hapusnya perikatan pokok memiliki akibat hukum bahwa jaminan yang mengikuti perikatan tersebut juga hapus. 65 Ibid, hal. 48. 73 Mengenai hal tersebut J. Satrio mengatakan bahwa untuk mempertahankan jaminan maka para pihak harus memperjanjikan lagi jaminannya. Hal ini berarti memperjanjikan ulang jaminan adalah cara untuk mempertahankan jaminan yang dimaksud dalam Pasal 1421 K.U.H. Perdata, karena pada prinsipnya jika perikatan pokok hapus maka perikatan assesoir juga ikut hapus. 66 66 Ibid, hal. 52 74 BAB III METODE PENELITIAN Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedang penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. 67 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang di dasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. 68 A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian 67 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press. hal. 6. Ibid, hal.43. 68 75 yuridis normatif membahas mengenai doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. Penelitian ini kerap disebut penelitian yang bersifat teoritis. 69 B. Spesifikasi Penelitian Bentuk penelitian ini bersifat preskriptif yaitu dengan mempelajari tujuan hukum, asas -asas hukum, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian ini menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang ada dan kemudian mengambil kesimpulan dari bahan-bahan tentang objek masalah yang akan diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu dan menetapkan standar prosedur, kete ntuanketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini mengambil tempat di PT. Federal International Finance Cabang Tanggerang yang beralamatkan di Jl. Jenderal Soedirman, Ruko Tanggerang City, Blok. D.16 No.17. D. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas,70 antara lain sebagai berikut : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 69 Zainuddin Ali,2009 , Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar grafika, hal. 24. Ibid, hal. 47 70 76 b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen-dokumen yang petunjuk petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer,71 yaitu pustaka di bidang ilmu hukum yang berkaitan dengan penelitian dan dokumendokumen yang diperoleh dari PT. Federal International Finance Cabang Tangerang antara lain sebagai berikut : a. Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor103000921411. b. Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia c. Perjanjian Oper Alih Kredit E. Metode Penyajian Bahan Hukum Metode penyajian bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode display, yang merupakan suatu kegiatan memilah-milah bahan hukum ke dalam bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh bahan hukum yang dikumpulkan. Dalam kegiatan ini, bahan hukum akan disajikan dalam bentuk Teks Naratif. F. Metode Analisa Bahan Hukum Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data normatif kualitatif dengan model interpretasi hukum dan model analisa logika deduktif. 71 Ibid, hal. 56 Metode analisis normatif kualitatif, yaitu 77 pembahasan dan penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil penelitian terhadap norma, kaidah, maupun teori hukum yang relevan dengan pokok permasalahan. Sedangkan model analisis logika deduktif adalah menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan ya ng konkret yang dihadapi. 78 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, didapatkan data sekunder berupa perjanjian pembiayaan konsumen dan perjanjian pengalihan hak dan kewajiban, yaitu sebagai berikut: Data 1. Perjanjian Pembiayaan Konsumen 1.1 Judul perjanjian : Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Federal International Finance (FIF) Nomor 103000921411. 1.2 Para pihak - Pihak pertama : PT. Federal International Finance (Perusahaan Pembiayaan Konsumen) - Pihak kedua : Firdiyanto (Penerima Fasilitas yang menerima pembiayaan) - Supplier 1.3 Objek jual beli : Penyedia barang konsumen (sepeda motor). : Sepeda motor second merek Honda Revo 110 Spoke Tahun 2011, Warna Hitam. Nomor BPKB H09920189 atas nama Dede Suhendra 1.4 Struktur Pembiayaan Konsumen Fasilitas pembiayaan konsumen diberikan kepada Penerima Fasilitas oleh Pemberi Fasilitas dengan struktur pembiayaan konsumen yang disepakati sebagai berikut : 79 - Pokok pembiayaan sejumlah Rp. 8.819.300. - Bunga sejumlah Rp. 4.585.700. - Hutang pembiayaan sejumlah Rp. 13.405.000. - Periode pembayaran 14 Agustus 2011 – 14 Juni 2014 dengan waktu pembayaran 35 (tiga puluh lima) kali. - Pembayaran dilakukan secara angsuran sebesar Rp. 383.000 per bulan dan jatuh tempo pada tanggal 14 setiap bulannya dengan biaya keterlambatan 0.50 % per hari. 1.5 Hubungan hukum (perjanjian pembiayaan) - Penerima Fasilitas menerima fasilita s pembiayaan dan menyetujui fasilitas pembiayaan tersebut langsung pembayaran fasilitas tersebut langsung dibayarkan kepada dealer oleh Pemberi Fasilitas. - Penerima Fasilitas dengan ini menyatakan berhutang kepada Pemberi Fasilitas dan Pemberi Fasilitas mempunyai piutang kepada Penerima Fasilitas atas hutang pembiayaan Hutang pembiayaan sejumlah Rp. 13.405.000. - Penerima Fasilitas telah menerima barang yang dibayar Pemberi Fasilitas dari Dealer Sepeda motor merek Honda Revo 110 Spoke, Tahun 2011, Warna Hitam. Nomor BPKB H 09920189. 1.6 Kewajiban Penerima Fasilitas (Konsumen). - Membayar angsuran selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo secara tertib dan teratur. Pembayaran angsuran dianggap sah dan 80 diterima apabila telah dapat diuangkan dan / atau tercatat pada rekening Pemberi Fasilitas. - Membayar bunga atas uang pokok pembiayaan kepada Penerima Fasilitas dan wajib dibayar kepada Pemberi Fasilitas dalam angsuran. - Membayar denda atas setiap keterlambatan pembayaran angsuran yang dihitung per hari dari jumlah angsuran yang terutang sejak saat jatuh temponya hingga terbayarkannya angsuran tersebut ditambah biaya tagih. - Menanggung setiap beban pajak atas barang dan biaya-biaya lain yang timbul sehubungan dengan fasilitas pembiayaan ini. - Memelihara dan menjaga keutuhan barang tersebut sebaik-baiknya dan memperbaiki segala kerusakan atas biaya Penerima Fasilitas sendiri hingga setiap saat dan dari waktu ke waktu barang digunakan sebagaimana mestinya. - Mengizinkan / atau memperbolehkan Pemberi Fasilitas dan / atau kuasanya untuk melihat dan / atau memeriksa kondisi / keadaan barang di manapun barang tersebut berada, termasuk memasuki ruangan apapun bukan sebagai tindakan memasuki ruangan orang lain tanpa izin. 1.7 Larangan Penerima Fasilitas - Dilarang mengalihkan dengan cara apapun termasuk tetapi tidak terbatas pada menggadaikan, menjaminkan, menyewakan atau 81 menjual barang, baik seluruhnya ataupun sebagian kepada pihak lain kecuali dengan persetujuan tertulis dari Pemberi Fas ilitas sebelumnya. 1.8 Penjaminan Untuk menjamin pelunasan setiap dan seluruh kewajiban Penerima Fasilitas berdasarkan perjanjian pembiayaan ini, Penerima Fasilitas setuju dan sepakat mengikatkan diri kepada Pemberi Fasilitas untuk menyerahkan dokumen barang, yaitu Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) kepada Pemberi Fasilitas terhitung sejak diterbitkannya BPKB (bagi kendaraan baru) atau sejak menandatangani perjanjian pembiayaan ini (bagi kendaraan bekas pakai) hingga seluruh kewajiban Penerima Fasilitas terhadap Pemberi Fasilitas berdasarkan perjanjian pembiayaan ini lunas. 1.9 Cidera janji Penerima Fasilitas dinyatakan telah melakukan cidera janji yang dengan lewatnya waktu telah cukup membuktikan untuk mana hal tersebut tidak perlu dibuktikan lagi dengan suatu surat atau apapun akan tetapi cukup dengan terjadinya salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut : - Penerima Fasilitas lalai dan/atau tidak dan/atau gagal memenuhi satu atau lebih kewajiban sebagaimana ditentukan dalam perjanjian ini. - Penerima Fasilitas lalai dan/tidak dan/gagal melakukan pembayaran angsuran selambat- lambatnya pada tanggal jatuh tempo. 82 - Penerima Fasilitas dimohonkan pailit, diletakkan di bawah pengampunan, likuidasi atau mengajukan penundaan pembayaran hutang. - Penerima Fasilita s melakukan cidera janji kepada Pemberi Fasilitas berdasarkan perikatan – perikatan dan/atau perjanjian lainnya yang dibuat dan ditandatangani dengan Pemberi Fasilitas. 1.10 Akibat cidera janji - Pemberi Fasilitas berhak menuntut pelunasan kepada Penerima Fasilitas, sebagaimana Penerima Fasilitas sepakat untuk melakukan pelunasan atas seluruh/sisa kewajiban Penerima Fasilitas yang masih ada, untuk seketika dan sekaligus lunas. - Apabila Penerima Fasilitas tidak dapat melunasi seluruh/sisa kewajibannya terhadap Pemberi Fasilitas maka Penerima Fasilitas sepakat mengikatkan diri untuk menyerahkan barang kepada Pemberi Fasilitas sebagaimana Pemberi Fasilitas berhak mengambil atau menerima penyerahan barang berikut setiap dokumennya yang terkait, termasuk STNK untuk dijualkan dengan cara yang dianggap baik oleh Pemberi Fasilitas atau melalui institusi yang berwenang untuk menjualkan barang guna pelunasan seluruh / sisa kewajiban Penerima Fasilitas yang masih terutang setelah dikurangi biaya – biaya yang dikeluarkan oleh Pemberi Fasilitas. - Perjanjian dan penyerahan barang tidak berarti Penerima Fasilitas telah melunasi kewajiban yang masih terutang kepada Pemberi 83 Fasilitas, apabila hasil penjualan barang tidak mencukupi pelunasan kewajibannya kepada Pemberi Fasilitas maka Penerima Fasilitas berkewajiban untuk membayar sisanya kepada Pemberi Fasilitas hingga seluruh kewajiban Penerima Fasilitas kepada Pemberi Fasilitas lunas demikian sebaliknya. 1.11 Berakhirnya Perjanjian Pembiayaan Perjanjian pembiayaan ini berakhir apabila Penerima Fasilitas telah melunasi setiap dan seluruh kewajibannya berdasarkan perjanjian pembiayaan ini kepada Pemberi Fasilitas. 1.12 Penyelesaian Perselisihan Segala perselisihan yang mungkin timbul dari pelaksanaan perjanjian pembiayaan ini, para pihak setuju memilih domisili hukum yang tetap dan seumumnya di kantor panitera pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi kantor cabang Pemberi Fasilitas atau di tempat lainnya yang ditunjuk oleh Pemberi Fasilitas. 1.13 Lain – Lain - Segala sengketa atau resiko lainnya yang timbul akibat hubungan Penerima Fasilitas dengan Dealer selama perjanjian ini berlangsung termasuk tetapi tidak terbatas pada dokumen barang seperti STNK dan/atau BPKB tidak menghalangi hak – hak Pemberi Fasilitas dan Penerima Fasilitas sesuai isi perjanjian pembiayaan ini. - Pemberi Fasilitas berhak untuk melakukan pelaporan pidana atas tindakan Penerima Fasilitas dengan mengalihkan dengan cara 84 apapun termasuk tetapi tidak terbatas pada menggadaikan, menjaminkan, menyewakan, atau menjual barang baik seluruhnya ataupun sebagian pada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari Pemberi Fasilitas serta kebenaran atas data, informasi, identitas diri, dokumen, keterangan atau uraian yang disampaikan Penerima Fasilitas kepada Pemberi Fasilitas. - Penerima Fasilitas wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Fasilitas setiap terjadi perubahan data Penerima Fasilitas termasuk perubahan tempat tinggal Penerima Fasilitas. - Penerima Fasilitas setuju bahwa berdasarkan pertimbangan Pemberi Fasilitas sendiri, Pemberi Fasilitas berhak mengalihkan baik seluruh maupun sebagian hak dan kewajibannya yang timbul berdasarkan perjanjian pembiayaan ini kepada pihak ketiga manapun. Data 2. Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia 2.1 Judul : Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia 2.2 P ara Pihak - Pihak pertama : Firdiyanto selaku Pemberi kuasa - Pihak kedua : PT. Federal International Finance (FIF) Cabang Tangerang selaku Penerima kuasa 2.3 Objek Jaminan : Sepeda motor second merek Honda Revo 110 Spoke Tahun 2011, Warna Hitam. Nomor BPKB H09920189 atas nama Dede Suhendra 85 2.4 Isi perjanjian - Berdasarkan surat kuasa ini, Pemberi kuasa memberikan hak substitusi kepada Penerima kuasa untuk dan atas nama Pemberi kuasa mewakili pemberi kuasa dalam melakukan tindakan – tindakan hukum. - Dalam hal Pemberi kuasa memberikan penjaminan terhadap Perjanjian Pembiayaan antara Penerima Fasilitas dengan Penerima Kuasa, Pemberi Kuasa selaku penjamin dengan tegas melepaskan semua hak istimewa maupun pengecualian yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada penjamin khusus tetapi tidak terbatas pada pasal 1832 K.U.H. Perdata. - Surat kuasa ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen sebagaimana disebut di atas. Dengan demikian surat kuasa ini tidak dapat dicabut hingga berakhirnya masa pembiayaan berdasarkan Perjanjian Pembiayaan. 2.5 Hak dan Kewajiban Penerima Kuasa - Penerima kuasa membuat dan menandatangani Akta Jaminan Fidusia (termasuk perubahan - perubahannya) di hadapan notaris serta mendaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia setempat hingga terbit sertifikat jaminan fidusia dengan syarat-syarat dan ketentuan seperti yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang Jaminan perubahannya. Fidusia berikut peraturan pelaksana dan 86 - Penerima kuasa berwenang menghadap tetapi tidak terbatas pada instansi dan pejabat yang berwenang untuk membuat, menandatangani, memberikan keterangan, menyerahkan semua dan setiap surat, akta, permohonan, laporan, formulir dan surat- surat lainnya termasuk Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia, Pernyataan Pendaftaran Fidusia, Permohonan Pendaftaran atas Perubahan Jaminan Fidusia dalam hal terjadi perubahan atas data yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia. - Penerima kuasa berwenang untuk menerima pembayaran, kwitansi, melakukan dan mengerjakan tindakan serta perbuatan apapun juga yang diperlukan dan dipandang baik oleh Penerima kuasa untuk melaksanakan tindakan yang dikuasakan. Data 3. Wawancara dengan PT. FIF Cabang Tangerang 3.1 PT. FIF menyatakan bahwa : - Sebelum menyelesaikan kewajibannya kepada PT. FIF Cabang Tangerang, Firdiyanto selaku Penerima Fasilitas menggadaikan objek pembiayaan berupa Sepeda motor second merek Honda Revo 110 Spoke Tahun 2011, Warna Hitam, atas nama Dede Suhendra, kepada Abu Mubarok. - Abu Mubarok yang memiliki utang kepada Ari Wijaya sebesar Rp.2.000.000,- memberikan motor Second merek Honda Revo 110 Spoke tersebut sebagai jaminan atas utangnya kepada Ari Wijaya. 87 - Karena Abu Mubarok tidak bisa membayar utangnya kepada Ari Wijaya, Ari Wijaya mendatangi pihak PT. FIF Cabang Tangerang dan kemudian melakukan perjanjian oper alih kredit. Data 4. Perjanjian Pengalihan Hak dan Kewajiban 4.1 Judul : Perjanjian Pengalihan Hak dan Kewajiban Nomor 103000921411 4.2 Para pihak - Pihak pertama : Firdiyanto selaku Penerima Fasilitas (Konsumen). - Pihak kedua : Ari Wijaya Selaku Penerima Fasilitas Baru dan Pemberi Jaminan. 4.3 Para pihak terlebih dahulu menerangkan : - Berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen nomor 103000921411 tanggal 14 juli 2011 (perjanjian pembiayaan tersebut berikut dengan segala perubahan dan penambahan disebut dengan “Perjanjian Pembiayaan”). Penerima Fasilitas telah menerima pembiayaan dari PT. Federal International Finance, berkedudukan di Jakarta dan berkantor cabang di Tangerang, dan secara bersama – sama atau masing-masing selanjutnya disebut dengan “Pemberi Fasilitas” dengan sejumlah atau sesuai dengan ketentuan Perjanjian Pembiayaan tersebut. 88 4.4. Maksud para pihak - Penerima Fasilitas berkehendak mengalihkan hak dan kewajibannya yang timbul berdasarkan perjanjian pembiayaan tersebut kepada Penerima Fasilitas baru. - Segala hak dan kewajiban yang akan dialihkan tersebut adalah timbul dari perjanjian pembiayaan yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian ini. - Segala hak yang akan dialihkan Penerima Fasilitas kepada Penerima Fasilitas baru telah diketahui dan diberitahukan kepada Pemberi Fasilitas. 4.5 Syarat perjanjian - Atas persetujuan Pemberi Fasilitas, Penerima Fasilitas dengan ini menyatakan melepas segala hak dan kewajibannya sebagai Penerima Fasilitas dan menyerahkan/mengalihkannya kepada Penerima Fasilitas Baru yang mana atas penyerahan tersebut Penerima Fasilitas Baru menyatakan, menyetujui, menerima baik penyerahan dan kewajiban tersebut dari Penerima Fasilitas. - Penerima Fasilitas dan Penerima Fasilitas Baru sepakat dan setuju bahwa atas penyerahan hak dan kewajiban tersebut di atas telah diselesaikan seluruh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul di antara para pihak secara seketika dan sekaligus lunas, sehingga tidak ada lagi hak – hak dan kewajiban kewajiban baru yang harus dipenuhi dikemudian hari oleh dan/atau antara Penerima Fasilitas 89 dan Penerima Fasilitas Baru kecuali kewajiban – kewajiban Penerima Fasilitas Baru kepada Pemberi Fasilitas. - Penerima Fasilitas Baru menyatakan dengan ini setuju dan mengikatkan diri sepenuhnya terhadap kewajiban-kewajiba n yang timbul dari perjanjian pembiayaan tersebut, termasuk akan tetapi tidak terbatas pada kewajiban melakukan pembayaran angsuran kepada Pemberi Fasilitas tiap-tiap bulannya, yaitu pada setiap tanggal 14 dengan jumlah sebesar Rp.383.000 sampai dengan fasilitas pembiayaan lunas seluruhnya, baik yang belum jatuh tempo maupun yang sudah jatuh tempo tetapi belum dibayar oleh Penerima Fasilitas termasuk segala bunga, denda dan biaya lainnya yang masih terutang. - Penerima Fasilitas baru menyatakan setuju dan mengikatkan diri bahwa atas segala apa yang telah di bayar oleh Penerima Fasilitas kepada Pemberi Fasilitas tidak dapat / boleh diminta kembali dengan alasan apapun juga oleh Penerima Fasilitas baru. - Penerima Fasilitas Baru setuju dan mengikatkan diri untuk memberikan jaminan fidusia atas barang jaminan tersebut kepada Pemberi Fasilitas/ penerima jaminan. Segala resiko atas pemakaian objek jaminan fidusia tersebut mulai saat ditandatangani perjanjian ini beralih kepada Penerima Fasilitas Baru dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penerima Fasilitas Baru. 90 - Atas pengalihan hak dan kewajiban dari Penerima Fasilitas kepada Penerima Fasilitas Baru, Pemberi Jaminan mengikatkan diri kepada Penerima Fasilitas Baru untuk menjamin lebih jauh pembayaran dengan baik segala sesuatu yang terhubung dan harus dibayar oleh Penerima Fasilitas Baru kepada Pemberi Fasilitas. - Apabila timbul perselisihan sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini, para pihak setuju memilih domisili di tempat yang tepat dan umum di kantor Panitera Pengadilan Negeri atau di tempat lainnya yang ditunjuk oleh Penerima Fasilitas. Data 5. Penjaminan 5.1 Judul : Adenddum Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia Nomor 103000921411 5.2 Para pihak - Pihak pertama : Ari Wijaya (Penerima Fasilitas dan Pemberi Jaminan) - Pihak kedua : PT. Federal International Finance Cabang (Pemberi Fasilitas dan Penerima Jaminan) 5.1 Isi perjanjian : Merubah ketentuan objek jaminan fidusia berupa 1 (satu) unit sepeda motor second Honda Revo 110Spoke Tahun 2011 warna hitam atas nama Dede Suhendra. 91 Data 6. Surat Pernyataan Kronologi diadakannya oper alih kredit 6.1 Judul : Surat Pernyataan 6.2 Pihak yang membuat : Ari Wijaya 6.3 Isi - AriWijaya mendapatkan sepeda motor Honda Revo 110 Spoke atas nama Dede Suhendra dari Arie Mubarok yang memiliki utang sebesar Rp.2000.000,- - Atas saran Abu Mubarok, Arie Wijaya mendatangi PT. FIF Cabang Tangerang untuk melakukan oper alih kredit, agar motor tersebut dapat dimiliki oleh Arie Wijaya. B. Pembahasan Pembiayaan konsumen adala h kegiatan yang dilaksanakan oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen untuk menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan agar konsumen dapat memenuhi kebutuhannya. Agar kegiatan pembiayaan konsumen dapat dilaksanakan, para pihak yaitu Konsumen dan Perusahaan Pembiayaan Konsumen membuat perjanjian pembiayaan konsumen yang dengan mana konsumen memberi perintah (kuasa) kepada perusahaan pembiayaan konsumen, yang menerimanya, untuk dan atas namanya membayar harga pembelian kepada penjual (pemasok), dengan pengembalian ditambah bunga atau biaya secara angsuran. Dalam praktiknya, untuk memberikan pengamanan atas tagihan uang yang telah dibayarkan untuk membeli benda, perusahaan pembiayaan 92 konsumen selalu meminta jaminan pengembalian uangnya kepada konsumen dalam bentuk jaminan fidusia atas benda yang dibeli konsumen. Secara teoritis pembebanan jaminan fidusia dapat dibagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan jenis fidus ia yang dipilih oleh para pihak karena di Indonesia terdapat dua sistem hukum fidusia yang berlaku, yaitu fidusia yang tunduk kepada yurisprudensi dan fidusia yang tunduk kepada Undang – Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 (UUJF). Pembebanan jaminan fidusia yang tunduk pada yurisprudensi dilakukan dengan 3 (tiga) fase, yaitu : 1. Tahap pendahuluan yaitu tahap dibuatnya perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan fidusia; 2. Tahap penyeraha n benda secara constitutum possessorium yaitu tahap pada saat pemberi fidusiamenyerahkan benda objek jaminan fidusia kepada penerima fidusia. Penyerahan benda fidusia secara constitutum possessorium memiliki arti bahwa penyerahan benda fidusia tidak dilakukan secara nyata karena benda tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusa, yang diserahkan adalah bukti kepemilikan atas benda yang menjadi objek fidus ia; 3. Tahap perjanjian pinjam pakai yang berarti kedudukan pemberi fidusia terhadap benda hanya sebagai peminjam pakai yang berkewajiban untuk merawat bendanya. Sebagai peminjam pakai, pemberi fidusia dapat menggunakan benda fidusia namun tidak berhak untuk mengalihkan benda tersebut. 93 Apabila para pihak tunduk pada fidusia berdasarkan UUJF maka diperlukan juga adanya 3 (tiga) fase pembebanan jaminan fidusia : 1. Adanya perjanjian antara para pihak untuk menjamin perjanjian pokok dengan jaminan fidusia; 2. Pembuatan akta Jaminan Fidusia oleh Notaris; 3. Pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) yang merupakan saat lahirnya fidusia. Dalam fidusia yang tunduk pada UUJF, Perjanjian tersebut harus dituangkan dalam akta notarill sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) UUJF. Pemberian hak jaminan fidusia dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam Akta Jaminan Fidusia. Selanjutnya, akta jaminan tersebut didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada di tempat kedudukan Pemberi Fidusia dengan cara mengajukan permohonan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran, kemudian menerbitkan dan menyerahkan sertifikat jaminan fidusia kepada Penerima Fidusia (Pasal 14 ayat 3 UUJF) dan segala keterangan mengenai benda fidusia yang menjadi objek jaminan yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum (Pasal 18 UUJF). Berdasarkan hal tersebut, dalam perjanjian pembiayaan konsumen yang dijamin dengan fidusia, Konsumen harus menyerahkan bukti kepemilikan atas benda objek jaminan kepada Perusahaan Pembiayaan 94 Konsumen sampai dengan Konsumen dapat memenuhi prestasinya untuk melunasi angsuran. Sebelum konsumen melunasi angsurannya, maka kedudukan konsumen hanya sebagai peminjam pakai yang berhak untuk menggunakan benda jaminan seperti halnya pemilik, namun tidak berhak untuk mengalihkan benda jaminan tersebut karena konsumen bukanlah atau belum menjadi pemilik dari benda. Dalam memberikan jaminan fidusia, seorang pemberi fidusia haruslah memiliki kewenangan bertindak (beschikkingbevoegd) adalah kewenangan untuk bertindak dalam suatu peristiwa yang khusus. Orang yang wenang bertindak adalah orang yang me miliki kedudukan untuk melakukan perjanjian tertentu, sedangkan orang yang tidak wenang bertindak adalah orang yang tidak memiliki kedudukan untuk melakukan perjanjian tertentu. Adanya syarat kewenangan bertindak dalam memberikan jaminan merupakan suatu pe laksanaan dari suatuazas hukum yaitu azasNemo plus juris transfer potestquamipse habet yang berarti bahwa seseorang itu tidak dapat memperalihkan hak melebihi apa yang menjadi haknya. Dan lazimnya yang wenang untuk menguasai benda adalah pemilik. 72 Dalam K.U.H. Perdata asas ini terdapat dalam pasal 584 K.U.H. Perdata yang berbunyi : “Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan; karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang – undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk 72 Sri SoedewiMasjchoenSofwan, 1975, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hal. 75. 95 memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.” Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pemindahan hak milik hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik kepada pemilik baru, karena pemilik dari suatu benda adalah orang yang berhak menikmati benda miliknya dan berbuat bebas terhadap benda miliknya. hal ini sesuai dengan pernyataan dari J. Satrio :73 “Menggadaikan termasuk dalam tindakan pemilikan (beschikking) dan tindakan pemilikan merupakan tindakan hukum yang membawa atau dapat membawa konsekuensi yang sangat besar, karenanya tidaklah heran kalau untuk dapat menggadaikan disyaratkan adanya kewenangan bertindak – kewenangan khusus, tidak cukup kecakapan bertindak saja.” Berdasarkan pernyataan J. Satrio tersebut, orang yang wenang bertindak adalah orang yang dapat mengambil tindakan kepemilikan. Tindakan kepemilikan di sini dapat diartikan sebagai tindakan yang dapat dilakukan seseorang untuk melakukan suatu hal dengan kedudukannya sebagai pemilik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang memiliki kewenangan bertindak atau seseorang diperbolehkan untuk memberikan jaminan gadai apabila dia adalah pemilik dari benda gadai. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 1156 ayat (2) K.U.H. Perdata memberikan kemungkinan bahwa benda yang dijadikan jaminan tidak harus kebendaan milik debitor tapi dapat juga kebendaan bergerak milik orang lain yang digadaikan. Dengan kata lain, seseorang dapat saja menggadaikan kebendaan bergerak miliknya untuk menjamin utang orang lain atau 73 J. Satrio,Hukum Jaminan,Hak – Hak Jaminan Kebendaa, Op.Cit, hal. 111. 96 seseorang dapat mempunyai utang dengan jaminan benda bergerak milik orang lain. Dalam hal ini bukan berarti debitor yang tidak memiliki harta untuk digadaikan kemudian meminjam benda milik orang lain dan atas izin orang tersebut berpura-pura sebagai pemilik dari benda dan kemudian menggadaikannya. Namun, yang memberikan jaminan gadai haruslah pemilik dari benda tersebut, yang menggadaikan bendanya untuk dijadikan jaminan utang orang lain dengan kedudukannya sebagai pihak ketiga pemberi gadai. Berdasarkan hal tersebut, harus ditekankan bahwa tiap orang yang hendak menggadaikan suatu benda haruslah pemilik dari benda, walaupun orang tersebut bukanlah orang yang berhutang. Apabila seseorang menggadaikan benda yang bukan miliknya maka akibat hukumnya adalah gadai tidak sah atau dianggap tidak pernah ada. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 1152 ayat 4 junto Pasal 1977 ayat 1 K.U.H. Perdata memberikan perlindungan bagi kreditor yang beritikad baik, yaitu kreditor yang tidak mengetahui bahwa pihak yang memberikan jaminan gadai bukanlah pemilik dari benda gadai, sehingga kreditor tidak dapat dituntut untuk mengembalikan benda gadai oleh pemilik asli benda tersebut. Ketentuan tersebut berlaku terhadap benda gadai berupa benda bergerak tidak atas nama, karena pada prinsipnya setiap orang dapat menganggap orang yang menguasai benda bergerak tidak atas nama sebagai 97 pemilik dari benda tersebut. Apabila benda gadai berupa benda bergerak atas nama, maka kreditor tidak mendapatkan perlindungan. Menurut kepustakaan hukum, yang dimaksud dengan penge rtian benda atas nama adalah benda-benda yang dapat diketahui oleh siapapun juga pemiliknya, dalam suatu daftar yang disediakan untuk maksud itu, dan bendabenda itu terdaftar atas nama pemiliknya. 74 Peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pendaftaran kendaraan bermotor dimaksud terdapat dalam : 1) UU No. 14 Tahun 1992 tentang “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.” 2) PP No. 44 Tahun 1993 tentang “Kendaraan dan Pengemudi”. Dalam UU No. 14 Tahun 1992 Pasal 14 ditentukan bahwa : “Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib di daftarkan; Sebagai bukti pendaftaran diberikan bukti pendaftaran kendaraan bermotor.” Syarat-syarat dan tata cara pendaftaran, bentuk dan jenis tanda bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dalam PP No. 44 Tahun 1993, khususnya dalam Bab IV Pasal 172 sampai dengan Pasal 203. Beberapa hal pokok mengenai sistem pendaftaran kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pengertian kendaraan bermotor Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada dalam kendaraan itu (Pasal 1 angka 1); 74 Kartono, 1974, Persetujuan Jual-beli menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 23. 98 salah satu jenisnya berupa sepeda motor, yaitu kendaraan bermotor roda dua atau tiga tanpa rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping (Pasal 1angka 2). 2. Instansi dan tujuan Pendaftaran Instansi yang berwenang untuk melakukan Pendaftaran kendaraan bermotor adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 180), dan tujuan pendaftaran adalah untuk : - Tertib administrasi; - Pengendalian kendaraan yang dioperasikan di Indonesia; - Mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan menyangkut Kendaraan yang bersangkutan; dalam rangka perencaan; - Rekayasa dan manajemen lalu lintas dan angkutan jalan dan memenuhi kebutuhan data lainnya dalam rangka perencanaan pembangunan nasional (Pasal 172 ayat 2). Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud Kepolisian Negara Republik Indonesia menyelenggarakan sistem informasi kendaraan bermotor. 3. Pendaftaran pertama Yang dimaksud dengan pendaftaran kendaraan bermotor yang pertama kali adalah pendaftaran atas kendaraan bermotor baru yang merupakan syarat agar kendaraan bermotor bisa dioperasikan di jalan; Untuk dapat dilakukan pendaftaran pertama syarat pokok yang wajib dipenuhi adalah : a. Ada sertifikat registrasi uji tipe dan tanda lulus uji tipe atau buku dan tanda lulus uji berkala. b. Ada bukti pemilikan kendaraan bermotor yang sah. 99 Disamping kedua syarat tersebut, harus dilengkapi pula data pelengkap lain yaitu : - Identitas kendaraan bermotor; - Identitas pemilik; - Bukti pelunasan pembayaran pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan; identitas kendaraan bermotor; jenis kendaraan bermotor dan tanggal pembelian Pasal 174). Sebagai bukti bahwa kendaraan bermotor telah didaftarkan, diberikan Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor dan tanda nomor kendaraan juga diberikan “Buku Pemilik Kendaraan Bermotor” (Pasal 175).Buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) pada pokoknya memuat data mengenai identitas kendaraan bermotor dan identitas pemilik serta nomor pendaftaran (Pasal 176 ayat 1; dan catatan setiap perubahan identitas kendaraan dan identitas pemilik Pasal 176 ayat 2). Dari hal- hal tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan pendaftaran kendaraan bermotor adalah pencatatan tentang : identifikasi kendaraan bermotor termasuk didalamnya identifikasi pemiliknya dalam BPKB; Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa pada hakekatnya BPKB adalah : “sarana identifikasi atas kendaraan bermotor yang berlaku sebagai bukti pengenal yang sah bagi kendaraan bermotor yang bersangkutan.” Dengan dicatatnya identitas pemilik kendaraan bermotor didalamnya, maka disamping sebagai bukti pengenal yang sah bagi kendaraan bermotor yang bersangkutan, menurut ketentuan sebagaimana disebutkan 100 dalam BPKB itu sendiri dinyatakan bahwa BPKB dapat disamakan dengan sertifikat kepemilikan (Certificate of ownership ). Dalam hal objek gadai kendaraan bermotor, maka pemberi gadai diharuskan menyerahkan kendaraan bermotor beserta perlengkapannya berupa STNK dan BPKB kepada pe nerima gadai. Dengan diserahkannya STNK dan BPKB kepada penerima gadai, maka penerima gadai dapat mengetahui identitas pemilik dari benda gadai.Dalam hal penerima gadai, menerima dalam gadai kendaraan bermotor tanpa disertai STNK dan BPKB, maka penerima gadai adalah kreditor beritikad buruk karena dia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pemberi gadai bukanlah pemilik dari benda gadai. Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan data yang diperoleh penulis, maka pertama-tama perlu dideskripsikan kembali peristiwa hukum yang me lingkupi timbulnya permaslahan dalam penelitian ini. Dari data-data hasil penelitian No. 1 tentang Perjanjian Pembiayaan Konsumen, No. 2 tentang Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia , No. 3 tentang Wawancara dengan PT. FIF , No. 4 tentang Perjanjian Pengalihan Hak dan Kewajiban dan No. Data 5 No. 6 Tentang Pernyataan atas peristiwa tentang Penjaminan, kiranya dapat dinyatakan terjadinya rentetan peristiwa dalam tahapan sebagai berikut : 1. Firdiyanto adalah pihak pembeli sepeda motor yang dibiayai oleh PT. FIF (selaku Pemberi Fasilitas Pembiayaan Konsumen dan 101 Kreditor Penerima Fidusia). Untuk menjamin pengembalian harga pembeliannya kedua belah pihak sepakat untuk memasang jaminan fidusia. 2. Firdiyanto menggadaikan sepeda motor tersebut kepada Abu Mubarok. 3. Karena Firdiyanto tidak dapat melunasi utangnya, oleh abu Mubarok sepeda motor itu digadaikan lagi kepada Ari Wijaya. 4. Ari Wijaya melakukan oper alih kredit atas kepemilikan motor Firdiyanto. Untuk lebih memperjelas peristiwa tersebut, peristiwa tersebut dapat dilihat dalam bentuk bagan sebagai berikut : Bagan peristiwa Perjanjian pembiayaan FIFF Penerima fidusia Firdiyanto Pemberi fidusia Pemberi gadai Gadai Abu Penerima gadai Pemberi gadai (ulang) Ari W Penerima gadai (ulang) Gadai (ulang) 102 1. Kewenangan Bertindak Pemberi Jaminan (Firdiyanto) Dalam sistem hukum Indonesia ada dua jenis jaminan Fidusia. Yang pertama adalah Fidusia yang tunduk pada yurisprudensi dan kebiasaan, kedua adalah fidusia yang tunduk pada UUJF. Untuk lahirnya fidusia yang tunduk pada yurisprudensi dan kebiasaan, pemasangan fidusia cukup dengan memperjanjikan jaminan fidusia baik secara tertulis (akta di bawah tangan ataupun akta autentik) maupun secara tidak tertulis, dan penyerahan objek jaminan fidusia secara constitutum possessorium. Dalam hukum yurisprudensi dan kebiasaan, memperjanjikan jaminan fidusia dapat dilakukan secara tidak tertulis. Namun, pada praktiknya di masyarakat fidusia selalu diperjanjikan secara tertulis dalam bentuk akta autentik (notariil), sehingga yang diterima masyarakat sampai sekarang adalah fidusia yang diperjanjikan secara tertulis dalam bentuk akta autentik (notariil). Untuk lahirnya jaminan fidusia yang tunduk pada UUJF, pembebanan fidusia harus dibuat dalam bentuk akta notarill dan didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Dari data hasil penelitian nomor 1.8 dapat dideskripsikan bahwa untuk menjamin pemenuhan prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian pembiayaan konsumen, penerima fasilitas (Firdiyanto) diharuskan untuk menye rahkan dokumen barang, yaitu Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) kepada pemberi fasilitas (PT. FIF). Dari data 2.1 sampai dengan 2.5 dapat dideskripsikan bahwa penerima fasilitas (Firdiyanto) memberikan kuasa kepada pemberi fasilitas 103 (PT. FIF) untuk membebankan jaminan fidusia kepada penerima fasilitas dengan dibuatnya perjanjian fidusia secara tertulis yang ditandatangani di hadapan notaris dan dapat didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Berdasarkan data hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pada intinya para pihak ingin membebankan jaminan fidusia dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Namun, berdasarkan data yang diperoleh penulis, PT. FIF tidak pernah melaksanakan kuasa untuk membebankan jaminan fidusia yang dituangkan dalam bentuk akta autentik(notariil). Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa walaupun para pihak memperjanjikan pembebanan fidusia di mana Firdiyanto sebagai penerima fasilitas, telah menyerahkan BPKB dari objek perjanjian yaitu sepeda motor Honda Revo 110 Spoke de ngan nomor polisi B 3530 NNM kepada PT. FIF, menurut tujuan perjaminan fidusia yaitu sebagai jaminan pelunasan utang, tidak pernah melahirkan hak jaminan fidusia, baik fidusia yang tunduk pada yurisprudensi ataupun fidusia yang tunduk pada UUJF karena PT. FIF tidak pernah melaksanakan hal yang dikuasakan kepadanya yaitu untuk memasang/membebankan jaminan fidusia. Apabila jaminan fidusia lahir sebagai perjanjian assesoir dari perjanjian pembiayaan konsumen, maka akibat hukumnya Firdiyanto berkedudukan bukan lagi sebagai pemilik dari sepeda motor Honda Revo 110 Spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM. Dengan lahirnya hak jaminan fidusia, Firdiyanto berkedudukan sebagai pemberi jaminan, artinya Firdiyanto memiliki hak sebagai peminjam pakai atas benda jaminan, sedangkan PT. FIF 104 berkedudukan sebagai penerima jaminan yang artinya PT. FIF memiliki hak sebagai pemilik, namun dengan kewenangan yang terbatas yaitu menarik kembali dan menjual benda jaminan fidusia untuk mendapatkan pelunasan piutang apabila Firdiyanto wanprestasi. Dalam hal Firdiyanto melunasi angsurannya, maka PT. FIF berkewajiban untuk menyerahkan BPKB sepeda motor Honda Revo 110 Spoke kepada Firdiyanto. Dengan diserahkan kembali BPKB sepeda motor kepada Firdiyanto, maka kedudukan Firdiyanto kembali menjadi pemilik atas sepeda motor Honda Revo 110 Spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM. Namun, karena dalam pelaksanaannya tidak pernah lahir hak jaminan fidusia, maka kedudukan Firdiyanto tidak berubah menjadi peminjam pakai. Dalam hal ini kedudukan Firdiyanto tetap sebagai pemilik dari sepeda motor Honda Revo 110 Spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM,dan sebagai debitor yang memiliki utang kepada kreditor yaitu PT. FIF. Dengan kedudukannya sebagai pemilik maka Firdiyanto memiliki kewenangan untuk bertindak bebas terhadap bendanya dan untuk menikmati kegunaan atas bendanya, termasuk untuk memberikan jaminan gadai. 2. Keabsahan Tindakan Gadai Ulang yang Dilakukan Abu Mubarok – Ari Wijaya Dari data hasil penelitian nomor 3.1, dapat dideskripsikan bahwa terdapat dua peristiwa gadai. Pertama adalah gadai yang dilakukan antara Firdiyanto (pemberi gadai) dan Abu Mubarok (penerima gadai); kedua adalah gadai yang dilakukan antara Abu Mubarok (pemberi gadai) dan Ari Wijaya 105 (penerima gadai). Yang pertama dilakukan oleh firdiyanto dan Abu Mubarok adalah gadai pada umumnya yaitu peristiwa di mana pemberi gadai memberikan benda miliknya sebagai jaminan pelunasan utang kepada penerima gadai. Yang kedua antara Abu Mubarok dengan Ari Wijaya disebut dengan gadai ulang yaitu gadai ya ng dilakukan oleh penerima gadai yang menjaminkan benda gadai yang ada di dalam penguasaannya kepada pihak lain. Untuk membahas mengenai keabsahan gadai ulang antara Abu Mubarok dan Ari Wijaya, maka harus dibahas terlebih dahulu mengenai gadai yang dilakukan antara Firdiyanto dan Abu Mubarok, karena kedua gadai tersebut saling berhubungan dan peristiwa gadai ulang tidak dapat timbul tanpa adanya gadai pertama. a. Gadai yang dilakukan antara Firdiyanto dan Abu Mubarok Dengan adanya ketentuan dalam pemberian jaminan gadai yang mensyaratkan bahwa pemberi gadai haruslah orang yang berwenang bertindak (pemilik ) terhadap benda gadai, maka agar pemberian gadai yang dilakukan Firdiyanto kepada Abu Mubarok sah, Firdiyanto haruslah berkedudukan sebagai orang yang berwenang bertindak bebas (pemilik) atas objek gadai yaitu sepeda motor merek Honda Revo 110 spoke warna hitam dengan nomor polisi B 3530 NNM. Dalam pembahasan pertama telah disimpulkan bahwa hak jaminan fidusia tidak pernah lahir, karena tidak pernah terjadi pembebanan fidusia. Hal ini berarti kedudukan Firdiyanto tetap sebagai pemilik dari objek 106 perjanjian. Menurut Pasal 570 K.U.H. Perdata, pemilik atas suatu benda berhak untuk “menikmati kegunaan atas benda miliknya” dan “bertindak bebas atas bendanya”, sehingga Firdiyanto sebagai pemilik atas sepeda motor merek Honda Revo 110 spoke warna hitam dengan nomor polisi B3530 NNM, mempunyai kewenangan bertindak bebas terhadap sepeda motor tersebut, termasuk menggadaikannya kepada orang lain. Dalam menggadaikan benda atas nama, selain pemberi jaminan haruslah pemilik dari benda jaminan, pemberi jaminan juga harus menyertakan perlengkapan benda atas nama tersebut, yaitu STNK dan BPKB. Dalam pelaksanaannya, yang diserahkan Firdiyanto kepada Abu Mubarok hanyalah sepeda motor dan STNK. BPKB tidak diserahkan kepada Abu Mubarok. Penyerahan STNK dan BPKB sebagai alat perlengkapan sepeda motor sebagai benda atas nama dalam setiap peralihan hak jaminan merupakan syarat sahnya penyerahan. Hal ini dimaksudkan agar penerima jaminan dapat menjual benda jaminan untuk mengambil pelunasan piutang apabila pemberi jaminan wanprestasi. Apabila tidak lengkap, maka benda jaminan tidak dapat dijual dan penerima jaminan tidak dapat mengambil pelunasan piutang. Hal ini berarti hak jamina n tidak pernah lahir karena tujuan dari pemberian jaminan yaitu agar penerima jaminan dapat mengambil pelunasan piutang tidak tercapai. Konsekuensi apabila Firdiyanto tidak menyerahkan BPKB kepada Abu Mubarok adalah Abu Mubarok tidak dapat menjual sepeda motor yang 107 dijadikan jaminan gadai untuk mengambil pelunasan piutang apabila Firdiyanto wanprestasi. Hal ini berarti, gadai yang dilakukan antara Firdiyanto kepada Abu Mubarok tidak sah, yang berarti gadai tidak pernah lahir. Konsekuensinya, Firdiyanto tidak berkedudukan sebagai pemberi gadai dan Abu Mubarok tidak berkedudukan sebagai penerima gadai. b. Gadai ulang antara Abu Mubarok dengan Ari Wijaya Pada prinsipnya, peristiwa gadai ulang merupakan gadai yang tidak sah karena gadai ulang terjadi ketika penerima gadai menggadaikan lagi kepada pihak lain benda milik pemberi gadai yang ada padanya. Dalam gadai ulang, P emberi gadai (ulang) bukanlah pemilik dari benda gadai karena pemberi gadai (ulang) masih berkedudukan sebagai penerima jaminan gadai sampai dengan pemberi gadai (pertama) dinyatakan telah melunasi utangnya atau tidak dapat melunasi utangnya. Apabila pemberi gadai (pertama) dapat melunasi utangnya maka penerima gadai berkewajiban untuk mengembalikan benda gadai. Apabila pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya maka penerima gadai berwenang untuk menjual benda gadai tersebut dengan tujuan mengambil pelunasan piutangsesuai dengan jumlah utang pemberi gadai. Jika masih ada sisa uang dari penjualan, maka sisa uang tersebut dikembalikan kepada pemberi gadai. Namun, dalam gadai ulang, penerima gadai menggadaikan benda gadai yang ada padanya kepada pihak lain pada saat perjanjian gadai masih berlangsung. . Dari data hasil penelitian nomor 3.1 dapat dideskripsikan bahwa Abu Mubarok memberikan jaminan gada i kepada Ari Wijaya berupa sepeda 108 motor merek Honda Revo 110 Spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM milik Firdiyanto yang digadaikannya kepadanya. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai penerima gadai, Abu Mubarok menggadaikan lagi benda gadai yang ada padanya kepada pihak lain (Ari Wijaya), sehingga gadai yang dilakukan Abu Mubarok kepada Ari Wijaya termasuk dalam pengertian gadai ulang. Dengan mendasarkan pada teori bahwa peristiwa gadai ulang bukanlah peristiwa gadai yang sah, maka hal tersebut dapat diterapkan dalam peristiwa gadai (ulang) antara Abu Mubarok dan Ari Wijaya. Dalam peristiwa tersebut, Abu Mubarok yang berkedudukan sebagai penerima gadai menggadaikan lagi benda gadai berupa sepeda motor Honda Revo 110 Spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM yang ada padanya kepada Ari Wijaya. Hal ini berarti Abu Mubarok tidak mempunyai kewenangan bertindak untuk menggadaikan, karena Abu Mubarok bukanlah pemilik atas benda gadai, sedangkan yang mempunyai kewenangan bertindak untuk menggadaikan adalah pemilik benda. Pada peristiwa ini, Abu Mubarok (penerima gadai) memberikan gadai kepada Ari Wijaya, maka pemberian gadai yang dilakukan Abu Mubarok kepada Ari Wijaya tidak sah, yang berarti gadai (ulang) tidak pernah lahir. Hal itu berarti, Abu Mubarok tidak pernah berkedudukan sebagai pemberi gadai dan Ari Wijaya tidak pernah berkedudukan sebagai penerima gadai. 109 3. Pengertian perjanjian oper alih kredit antara PT. Federal International Finance Cabang Tangerang dengan Ari Wijaya dalam sistem hukum perjanjian Telah diuraikan dalam tinjauan pustaka bahwa dalam K.U.H. Perdata perikatan dapat hapus apabila terjadi pembaharuan hutang (Novasi) yaitu suatu perjanjian dengan mana suatu perikatan dihapuskan dan sekaligus diadakan atau dilahirkan perikatan baru yang menggantikan perikatan yang lama yang telah hapus. Novasi dapat terjadi karena 3 (tiga) hal, pertama adalah pergantian kedudukan dari kreditor lama oleh kreditor baru, kedua adalah pergantian kedudukan dari debitor lama oleh debitor bar u, ketiga adalah pergantian objek perikatan. Beberapa pokok yang diatur dalam ketentuan novasi dijelaskan dalam doktrin oleh J. Satrio yang menyatakan mengenai ciri khusus dari novasi :75 1. Adanya perjanjian yang sengaja diadakan 2. Untuk menghapus suatu perikatan 3. Adanya perikatan baru yang hanya lahir dari perjanjian dengan klausul untuk “menghapus” perikatan sebelumnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa novasi bertujuan untuk menghapuskan perikatan dan kemudian digantikan dengan perikatan baru. Hapusnya perikatan memiliki akibat hukum bahwa jaminan yang mengikuti perikatan tersebut juga hapus. Namun, dalam Pasal 1421 75 J. Satrio, Op.Cit, hal.2 110 K.U.H. Perdata terdapat pengecualian bahwa jaminan yang menempel pada perikatan pokok tersebut secara tegas dapat dipertahankan oleh si berpiutang. Mengenai hal tersebut J. Satrio mengatakan bahwa untuk mempertahankan jaminan maka para pihak harus memperjanjikan lagi jaminannya. Dengan begitu dapat diketahui bahwa memperjanjikan ulang jaminan adalah cara untuk mempertahankan jaminan yang dimaksud dalam Pasal 1421 K.U.H. Perdata, karena pada prinsipnya jika perikatan pokok hapus maka perikatan assesoir juga ikut hapus. Apabila jaminan tetap ada karena dipertahankan oleh kreditor tanpa diperjanjikan lagi maka hal tersebut bertentangan dengan prinsip hukum jaminan. Oleh karena itu, perikatan jaminan yang menempel (assesoir) pada perikatan pokok yang telah hapus juga ikut hapus. Untuk mengadakan jaminan kembali maka jaminan harus diperjanjikan lagi. Dari data 4.4 dan 4.5 dapat di deskripsikan bahwa maksud para pihak mengadakan oper alih kredit adalah untuk mengalihkan hak dan kewajiban penerima fasilitas lama (Firdiyanto) kepada penerima fasilitas baru (Ari Wijaya). Hal ini berarti, dilakukannya oper alih kredit ini adalah bahwa perikatan antara Firdiyanto (penerima fasilitas lama) dan PT. FIF (pemberi fasilitas) menjadi hapus, sehingga Firdiyanto tidak memiliki hak dan kewajiban apapun lagi terhadap PT. FIF dan begitu pula sebaliknya. Perikatan yang hapus tersebut telah digantikan dengan perikatan baru yaitu antara Ari Wijaya (penerima fasilitas baru) dan PT. FIF (pemberi fasilitas). Ari Wijaya sebagai penerima fasilitas baru memiliki hak dan kewajiban yang sama yang 111 dimiliki oleh Firdiyanto yaitu berkewajiban untuk melunasi angsuran kepada PT. FIF dan berhak menjadi pemilik dari sepeda motor merek Honda Revo 110 spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM apabila angsurannya telah lunas. Berdasarkan peristiwa tersebut dapat dinyatakan bahwa ada pergantian kedudukan debitor lama (penerima fasilitas lama) oleh debitor baru (penerima fasilitas baru). Kedudukan adalah serangkaian hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang, beralihnya kedudukan berarti beralihnya hak dan kewajiban. Dalam hukum perdata, pergantian kedudukan di atur dalam Pasal 1413 K.U.H. Perdata mengenai pembaharuan utang (novasi). Dalam peristiwa ini telah terjadi pergantian kedudukan debitor lama oleh debitor baru yang menyebabkan perikatan antara debitor lama dengan kreditor menjadi hapus dan kemudian digantikan oleh perikatan antara kreditor dan debitor baru. Dalam novasi, pergantian kedudukan debitor disebut dengan Novasi Subjektif Pasif yang diatur dalam Pasal 1413 Poin 2 K.U.H Perdata yaitu suatu perjanjian untuk menghapuskan perikatan yang dilakukan dengan menunjuk seorang berutang baru untuk menggantikan seorang berutang lama, yang kemudian oleh si berpiutang si berutang lama dibebaskan dari perikatannya. Novasi subjektif pasif dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) berdasarkan kehendak diadakannya novasi. Kehendak diadakannya novasi subjektif pasif dapat datang dari dua pihak yaitu kreditor dan debitor. Kehendak yang datang dari pihak kreditor disebut dengan novasi subjektif pasif exprommisso yang 112 diatur dalam Pasal 1416 K.U.H.Perdata. Kehendak yang datang dari pihak debitor disebut dengan novasi subjektif pasif delegasi yang diatur dalam Pasal 1417 K.U.H. Perdata. Berdasarkan data 3.1 dan 6.3 dapat dideskripsikan bahwa atas saran Abu Mubarok, Ari Wijaya mendatangi pihak PT. FIF untuk mengadakan oper alih kredit (novasi) sepeda motor Revo 110 spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM. Atas permintaan Ari Wijaya, PT. FIF menyarankan untuk melakukan pergantian kedudukan debitor yaitu agar Ari Wijaya menggantikan kedudukan Firdiyanto sebagai debitor lama, sehingga Ari Wijaya dapat melanjutkan pembayaran yang tertunda. Hal ini berarti, saran dari Abu Mubarok menjadi motif Ari Wijaya untuk melakukan novasi, bukan kehendak hukum. Yang dimaksud dengan kehendak hukum adalah keinginan untuk melakukan suatu perbuatan dengan mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan. Dalam peristiwa yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa Ari Wijaya tidak menjelaskan mengenai novasi yang ingin dilakukannya. Dalam kedudukannya sebagai kreditor, PT. FIF memberikan solusi untuk melakukan pergantian kedudukan debitor, yaitu pergantian kedudukan Firdiyanto sebagai penerima fasilitas lama (debitor lama) oleh Ari Wijaya sebagai penerima fasilitas baru (debitor baru). Dengan pergantian kedudukan tersebut, maka hak dan kewajiban Fir diyanto beralih kepada Ari Wijaya, sehingga Ari Wijaya menjadi memiliki sepeda motor Honda Revo 110 spoke dengan nomor polisi B 3530 NNM. 113 Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa kehendak hukum mengadakan novasi subjektif pasif datang dari pihak PT. FIF (kreditor), untuk mendapatkan debitor yang lebih baik. Hal ini berarti, kehendak hukum untuk diadakannya novasi subjektif pasif datang dari pihak kreditor. Terjadinya novasi subjektif pasif di mana kehendak diadakannya novasi datang dari pihak kreditor (PT. FIF) disebut dengan Novasi Subjektif Pasif Exprommisso. 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Perjanjian lahir pada saat para pihak menyepakati isi dari perjanjian, hal ini berarti perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, sehingga para pihak diharuskan untuk memenuhi isi dari perjanjian yang dibuat. Untuk menjamin para pihak memenuhi prestasi masing-masing, para pihak membebankan jaminan terhadap perjanjian tersebut. Dalam perjanjian pembiayaan konsumen, jaminan yang dibebankan biasanya adalah jaminan fidusia. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya mengenai jaminan fidusia yang menempel (assesoir) pada perjanjian pembiayaan konsumen, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam memberikan jaminan, pemberi jaminan harus mempunyai kewenangan bertindak (beschikking bevoegd). Orang yang mempunyai kewenangan bertindak adalah pemilik. Seorang pemilik berhak untuk menikmati dan bertindak bebas terhadap bendanya, termasuk untuk memberikan jaminan. Jika pemberi jaminan bukanlah orang yang mempunyai kewenangan bertindak, akibat hukumnya pemberian jaminan yang dilakukan tidak sah, yang berarti jaminan tidak pernah lahir. 2. Gadai ulang merupakan suatu peristiwa yang mana penerima gadai menggadaikan lagi benda yang ada padanya kepada pihak lain 115 sebelum perjanjian gadai berakhir. Hal ini berarti gadai ulang merupakan gadai yang tidak sah, karena pemberi gadai ulang tida k mempunyai kewenangan bertindak untuk memberikan jaminan gadai dalam kedudukannya sebagai penerima gadai. 3. Dalam pengertian hukum perdata, peristiwa oper alih kredit adalah merupakan peristiwa pergantian kedudukan debitor lama oleh debitor baru, yang dapat terjadi atas kehendak kreditor atau debitor. Dalam penelitian ini, terjadi peristiwa pergantian kedudukan debitor lama (Firdiyanto) oleh debitor baru (Arie Wijaya) atas kehendak PT. FIF (Kreditor). Peristiwa tersebut termasuk dalam pengertian Novssi Subje ktif Pasif Exprommisso. B. Saran Jaminan fidusia dalam perjanjian yang dilakukan antara PT. FIF dan Firdiyanto tidak pernah lahir, karena PT. FIF tidak pernah melaksanakan kuasamembebankan jaminan fidusia pada perjanjian pembiayaan konsumen. Jaminan Fidusia hanya lahir pada perjanjian yang dilakukan antara PT. FIF dan Arie Wijaya, sebagai adendum dari perjanjian oper alih kredit. Oleh karena itu, agar lahir jaminan fidusia, pemasangan atau pembebanan jaminan fidusia harus segera dilaksanakan, baik dengan mendaftarkan akta notaril jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai dengan syarat lahirnya jaminan fidusia yang tunduk pada UUJF, atau hanya membuat akta di bawah tangan (notariil) sesuai dengan syarat lahirnya jaminan fidusia yang tunduk pada yurisprudensi. DAFTAR PUSTAKA Literatur Djumnaha , Muhammad. 2000. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati. 2000. Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. ELIPS. 1998. Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 : Hukum Jaminan Indonesia. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Fuady, Munir. 2006. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek. Bandung : Citra Aditya Bakti. Gandaprawira, D. 1979. Pengaturan Hukum Tentang Gadai (PAND), Badan Pembinan Hukum Nasional Departemen Kehakiman ed, Hukum Jaminan. Yogyakarta : Binacipta. Hadisaputro, Hartono. 1984. Seri Hukum Perdata, Pokok – Pokok Hukum Perdata dan Hukum Jaminan. Yogyakarta: Liberty. Hoey Tiong, Oey. 1984. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur – Unsur Perikatan,.Jakarta : Ghalia Indonesia. Kartono.1974. Persetujuan Jual-beli menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta : Sinar Grafika. Roestamy, Martin. 2009. Hukum Jaminan Fidusia, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang Fidusia Atas Benda Tidak Terdaftar. Bogor : Unida Press. Satrio J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1. Bandung : Citra Aditya Bakti. ______ 1996. Hukum Perikatan: Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. _____ 2001. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 2 . Bandung : Citra Aditya Bakti. _____ 2005. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Soedewi Masjchoen Sofwan, Sri. 1980. Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok – Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta : Liberty. Subekti. 2002. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa. Sunaryo. 2008. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta : Sinar Grafika. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Seri Jaminan Hukum bisnis : Jaminan Fidusia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Karya ilmiah Jurico Wibisono, M. 2012. Kajian Yuridis Transaksi Pembiayaan Konsumen Pada PT. Federal Internasional Finance (FIF) Cabang Cilacap, Hasil Penelitian Sarjana Hukum Universitas Negeri Jenderal Soedirman. Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia