PEMANFAATAN LIMBAH RUMAH MAKAN DAN INDUSTRI GULA (MOLASE) UNTUK PRODUKSI BIOGAS Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh : Indriyani NIM M0405032 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN IL MU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 PENGESAHAN SKRIPSI PEMANFAATAN LIMBAH RUMAH MAKAN DAN INDUSTRI GULA (MOLASE) UNTUK PRODUKSI BIOGAS Oleh : Indriyani NIM. M0405032 Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Pada tanggal : 1 Februari 2010 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Surakarta, Penguji I Penguji II . Dra. Noor Soesanti, M.Si. NIP. 195403261 98103 2 001 Dr. Sunarto, M.S. NIP. 19540605 99103 1 002 Penguji III Penguji IV Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si. NIP. 196010251 99702 1 001 Dr. Artini Pangastuti, M.Si. NIP. 197505312 00003 2 001 Mengesahkan Dekan FMIPA Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D. NIP. 19600809 198612 1 001 Ketua Jurusan Biologi Dra. Endang Anggarwulan,M.Si. NIP. 19500320 197803 2 001 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari dapat ditemukan unsur adanya penjiplakan maka gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut. Surakarta, ………………… Indriyani NIM. M0405032 PEMANFAATAN LIMBAH RUMAH MAKAN DAN INDUSTRI GULA (MOLASE) UNTUK PRODUKSI BIOGAS Indriyani Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. ABSTRAK Limbah organik dari rumah makan maupun pabrik gula (molase) dapat dimanfaatkan untuk energi biogas dengan cara fermentasi anaerob. Proses ini melibatkan metanogen untuk merombak bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah menjadi biogas dan lumpur sisa fermentasi yang dapat dimanfaatkan menjadi pupuk. Kegiatan dengan konsep nir limbah (zero waste) seperti ini lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah makan dan molase serta mengetahui pengaruh perbedaan suhu lingkungan yaitu suhu ruang (31°C) dan suhu tinggi (50°C) terhadap produksi biogas pada biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium selama 45 hari proses fermentasi anaerob. Penentuan produksi biogas terbaik dari variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan diketahui dari 24 kombinasi perlakuan. Kombinasi perlakuan merupakan interaksi antara jenis substrat, suhu lingkungan, dan waktu fermentasi. Substrat terdiri dari 3 kelompok yaitu : 80% murni limbah rumah makan atau tanpa penambahan molase, 60% limbah rumah makan ditambahkan 20% molase, dan 40% limbah rumah makan ditambahkan 40% molase; 2 kondisi suhu lingkungan yaitu suhu ruang (green house) dan suhu tinggi (50°C); dan 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari proses fermentasi. Masing-masing kelompok substrat terdiri dari 3 ulangan, baik kelompok substrat pada suhu ruang maupun suhu tinggi. Selanjutnya dianalisis dengan uji Anava dan uji DMRT pada taraf 5%. Parameter pendukung yang diamati meliputi : pH, suhu, COD, TS, konsorsia bakteri, volume biogas, dan uji nyala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah biogas terbaik adalah dari kelompok substrat murni limbah rumah makan (tanpa molase) dengan pemberian suhu tinggi (50°C) pada minggu ke -6 (terakhir). Biogas yang dihasilkan sebanyak 27.521 ml (27 liter), dengan nilai rata-rata COD dan TS paling rendah diantara kelompok lain yaitu 23,22 g/l dan 30,97 g/l. Selain itu, juga diperoleh nilai efisiensi degradasi tertinggi, yaitu dengan nilai efisiensi degradasi COD sebesar 72,44% dan TS sebesar 68,73%. Tingkat degradasi terbesar terjadi pada minggu ke-6. Ini menandakan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka semakin besar pula degradasi yang terjadi. Dengan demikian, limbah tersebut lebih aman bagi lingkungan. Kata Kunci : Limbah organik, limbah rumah makan, molase, fermentasi anaerob, metanogen, biogas, COD, TS THE UTILIZATION OF KITCHEN WASTE AND SUGAR INDUSTRY (MOLASE) FOR BIOGAS ENERGY PRODUCTION Indriyani Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta ABSTRACT Organic waste from kitchen and sugar industry (molase) can be utilized for biogas energy production by anaerobic digestion. The process makes use of methanogenic bacteria to disgest organical material inside, converting into biogas and sludge. The sludge could be utilized as compost or fertilizer. The zero waste concepts in this organic waste are more promoted recently caused it is environmentally friendly and sustainable. The purpose of this research is to detect the number of biogas energy from kitchen waste substrat and molase; and to detect the influence of different themperature (including spacial and high themperature) toward biogas energy production at batch biodigester in a laboratory scale of anaerobic digestion process for 45 days. The determinant of best biogas energy production could be detected by 24 treatments combination. Treatment combination is an interaction among substrat types, themperatures, and time digestions. Substrat consist of three groups, they are : 80% pure kitchen waste or without adding molase, 60% kitchen waste adding 20% molase, and 40% kitchen waste adding 40% molase; two conditions of themperatures, they are : spacial themperatures (green house) and high themperature (50°C); and four times of observation time of digestion process for 45 days. Each of these groups consist of three re-treatment. In both spacial ang high themperature. Then, these will be analyzed by Anava and DMRT test at the level of 5%. The support parameter which were observed included : pH, themperature, COD, TS, bacteria concorcium, biogas volume, and burning test. The result shows that the best qualified biogas production is derived from the group of pure kitchen waste (without molase) with a high themperature (50°C) at six th week (the latest week). The result of biogas energy production is 27.521 ml (27 L), with the lowest rate COD and TS among the other groups : 23,22 g/l and 30,97 g/l. Moreover, the poin of highest degradation efficiency gathered from COD is 72,44%, and from TS is 68,73%. The highest level of degradation was conducted in the six th week. This indicates that the development of degradation efficiency is equivalent to the length time of digestion. Therefore, the quality of waste will be better. Thus, it will be secure for the environment. Keywords : Organic waste, kitchen waste, molase, anaerobic digestion, methanogenic, biogas, COD, TS MOTTO Allah tidak memikulkan tanggung jawab kepada seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Q S. Al Baqarah : 286) Dan janganlah kamu merasa rendah diri, dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Al Imran : 139) Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar Rahman) Sesungguhnya beserta (sehabis) kesulitan ada kemudahan (QS. Al. Insyirah : 6) Allah mungkin tidak memberikan apa yang kita minta, tapi Dia akan memberikan apa yang kita butuhkan. Karena Allah Maha Megetahui Lagi Maha Segalanya. Allah mengetahui yang terbaik bagi umatNya. PERSEMBAHAN Alhamdulillah Allah Maha Besar Dengan penuh rasa syukur yang teramat tulus kepadaNya Penganugerah segalanya tanpa kecuali Pemilik Segala Yang Bermakna Maka Kupersembahkan karya sederhanaku ini teruntuk : Ibunda dan Ayahanda (Alm) terkasih atas cinta, pengorbanan dan iringan doa sepanjang waktu Kakak-kakak dan Adik-adik ku tercinta (Hardi, Iwan, Heri, Widi, Budi, Andi, dan Khoir) Atas nasehat, dorongan dan semangatnya atas keceriaanyya, warnai dunia dengan tawamu… KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul : ‘Pemanfaatan Limbah Rumah Makan dan Industri Gula (Molase) Untuk Produksi Biogas”. Penyusunan skripsi ini merupakan suatu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam melakukan penelitian maupun penyusunan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak masukan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat berguna dan bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan sebesar -besarnya kepada : Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitiannya untuk keperluan skripsi. Drs. Endang Anggarwulan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan saran kepada penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi. Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si., selaku dosen pembimbing I dan Dr. Artini Pangastuti, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, memberikan masukan, arahan, meluangkan waktu, memberikan dorongan dan kesabaran kepada penulis selama penelitian hingga akhir penyusunan skripsi. Terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan yang telah diberikan. Dr. Sunarto, M.S., selaku dosen penelaah I dan juga sebagai pembimbing akademik dan Dra. Noor Soesanti, M.Si., selaku dosen penelaah II yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta masukan kepada penulis selama penelitian hingga akhir penyusunan skripsi. Seluruh dosen dan staff di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini kepada penulis. Dr. Okid Parama Astirin, M.S., selaku Pimpinan Laboratorium Pusat Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta seluruh staff, terima kasih atas izin yang telah diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Laboratorium Pusat (green house). Teman-teman tim biogas (Agus Purnomo, Anugrah Adi Santoso, Kelik Wijaya, Khori Ex Indarto, Septian Eko Wardoyo, Siti Nur Chotimah, Soffia Noor Affiati, dan Yanuar), terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan penelitian. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas bantuannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan yang berupa saran dan kritik yang membangun dari para pembaca akan sangat membantu. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan pihakpihak yang terkait. Surakarta, ………Januari 2010 Penyusun DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... iii ABSTRAK .................................................................................................. iv ABSTRACT ................................................................................................ v HALAMAN MOTTO ................................................................................. vi HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii KATA PENGANTAR ................................................................................. viii DAFTAR ISI ............................................................................................... xi DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Perumusan Masalah ............................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ................................................................. 5 BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................... 6 A. Tinjauan Pustaka ................................................................... 6 1. Limbah Industri Pangan .................................................. 6 1.1 Limbah Rumah Makan............................................... 6 1.2 Molase ....................................................................... 9 2. Teknologi Fermentasi Anaerob ....................................... 10 2.1 Prinsip Proses Fermentasi Anaerob ............................ 12 2.2 Faktor yang Berpengaruh pada Fermentasi Anaerob . 14 2.3 Fakt or Ketidakseimbangan Fermentasi Anaerob ....... 22 2.4 Keuntungan Fermentasi Anaerob ............................... 24 3. Produksi Biogas ................................................................ 25 3.1 Kualitas Biogas .......................................................... 25 B. Kerangka Pemikiran .............................................................. 27 C. Hipotesis ................................................................................ 30 BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................ 31 A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................... 31 B. Alat dan Bahan ...................................................................... 31 C. Cara Ker ja ............................................................................. 32 a.Tahap Perisapan .................................................................. 33 b.Tahap Penelitian .................................................................. 33 1.Pembuatan Inokulum ................................................... 33 2.Fermentasi Anaerob (Produksi Biogas) ....................... 34 3.Pengukuran pH dan Suhu ............................................. 35 4.Pengukuran Pertumbuhan Bakteri ............................... 35 5.Pengukuran Volume Biogas dan Uji Nyala ................. 38 6.Pengukuran Chemical Oxygen Demand (COD) .......... 38 7.Pengukuran Total Solids (TS) ...................................... 39 D. Rancangan Percobaan ............................................................ 40 E. Analisis Data ......................................................................... 42 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 43 a. Hasil Penelitian ................................................................... 43 b. Pembahasan ......................................................................... 50 BAB V. PENUTUP ................................................................................... 80 A. Kesimpulan ............................................................................ 80 B. Saran ...................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 82 LAMPIRAN ................................................................................................ 92 UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... 104 RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................................... 105 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbandingan antara sistem biogas konvensional dan sistem biogas dari limbah rumah makan .............................................. 7 Tabel 2. Kondisi pengoperasian pada proses fermentasi anaerob ........... 11 Tabel 3. Rancangan percobaan perombakan anaerob limbah rumah makan dan molase ...................................................... 41 Tabel 4. Karakterisasi awal substrat untuk percobaan ............................ 44 Tabel 5. Rata-rata pH substrat dalam 4 kali waktu pengamatan ............. 45 Tabel 6. Produksi biogas dari limbah organik rumah makan dan campuran molase menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6 minggu .......................................... 46 Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) pada nilai COD substrat limbah rumah makan dan campuran molase pada fermentasi anaerob ............................................................ 47 Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) total solids substrat limbah rumah makan dan campuran molase pada fermentasi anaerob..................................................................... 48 Pengaruh konsentrasi COD pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob.................................................................... 49 Tabel 10. Pengaruh konsentrasi TS pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob.................................................................... 49 Tabel 11. Pengaruh produksi biogas pada interaks i jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob.................................................................... 49 Tabel 12. pH substrat sebelum dan sesudah diberi kapur dan NaOH sebagai pH pada hari ke -0 ......................................................... 67 Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kitchen Waste Plants ............................................................ 8 Gambar 2. Alur pengolahan tebu menjadi gula kristal ............................ 10 Gambar 3. Proses pembentukan biogas ................................................... 12 Gambar 4. Perbandingan tingkat produksi biogas pada 15°C dan 35°C.. 18 Gambar 5. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ............................. 29 Gambar 6. Produksi biogas pada suhu ruang (25-32°C) dan suhu tinggi (50°C) ..................................................................................... 46 Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (25-32°C) pada hari ke-0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45.. .................. 54 Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke-0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45 .................... 54 Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu ruang (25-32°C) pada hari ke -0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45.. ......... 64 Gambar 10. Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke -0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45 ........... 65 Gambar 11. Rata-rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu ruang (25-32°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke -30, dan hari ke-45............ .................................................................... 67 Gambar 12. Rata-rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu tinggi (50ºC) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke -30, dan hari ke-45 ....................................................................................... 68 Gambar 13. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (25-32°C) pada hari ke-0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45 .................... 70 Gambar 14. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45 .................... 71 Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Hasil pengukuran parameter fisik (suhu, volume biogas, dan uji nyala), kimia (pH, COD, dan TS), dan biologi (konsorsia bakteri) dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian.......................................... 92 Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan terhadap nilai COD dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian...................... 95 a.Uji Anava ......................................................................... 95 b.Uji DMRT ....................................................................... 96 Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan terhadap nilai total solids (TS) dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian........... 97 a.Uji Anava ......................................................................... 97 b.Uji DMRT ....................................................................... 98 Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan terhadap jumlah volume biogas selama 45 hari waktu pengamatan........................................................ 99 a.Uji Anava ......................................................................... 99 b.Uji DMRT ....................................................................... 100 Lampiran 5. Hasil pengamatan pertumbuhan konsorsia bakteri pada proses fermentasi anaerob substrat limbah organik dengan menggunakan metode perhitungan secara mik roskopis dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian ............................................................................. 101 DAFTAR SINGKATAN Singkatan Kepanjangan CH4 Karbon Tetra Hidroksida (metana) CO2 Karbon dioksida C Karbon N Nitrogen O Oksigen H2 Hidrogen H 2S Hidrogen sulphur l Liter ml Mililiter kg Kilogram m3 Meter kubik KWP Kitchen Waste Plants LPG Liquid Petroleum Gas °C Derajat celcius VS Volatil solids SPC Sistem Pengisian Curah TS Total Solids P Posfor K Kalium Ca Kalsium Mg Mangan Fe Fero (besi) M Molar Ni Nike l Na Natrium kwj Kilo watt joule kkal Kilo kalori Cl2 Diklorid F2 Fluor II ppm Part Per Million SO2 Sulphur dioksida SO3 Sulphur trioksida H 2SO3 Sulphur acid cm Sentimeter Na(OH) Natrium hidroksida mm Milimeter COD Chemical Oxygen Demand ANAVA Analisis of Varian DMRT Duncan Multiple Range Test LM+M Limbah makanan ditambahkan molase NH3 Nitrit M_n Minggu ke_n SnTnMn Substrat, Suhu, Waktu mM Mili molar µg Mikro gram LKLM Lumpur Kolam LCPMKS Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit VFA Volatile Fatty Acid mg/l Milligram per liter NAS National Academy of Sciences pH Derajat keasaman g/l Gram per liter HRT Hidrolitic Retention Time BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri rumah makan merupakan salah satu dari beberapa sektor industri pangan yang cukup potensial untuk dikembangkan karena meningkatnya populasi manusia. Semakin banyak industri rumah makan, maka limbah yang dihasilkan akan semakin meningkat jumlahnya, terutama limbah organik. Apabila tidak diambil tindakan untuk mengolah limbah tersebut, maka masalah yang akan ditimbulkan akan semakin besar, yaitu menimbulkan pencemaran lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Limbah rumah makan bisa berasal dari dapur, yakni bagian dari sayuran, buah dan bahan makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang, bisa juga sisa makanan yang tidak habis disantap para tamu (Nugroho dkk., 2007). Sebagian besar dari limbah tersebut langsung dibuang tanpa pengolahan terlebih dahulu. Hal seperti ini dapat menimbulkan masalah pencemaran maupun kesehatan lingkungan. Limbah rumah makan jika dibiarkan terdekomposisi secara aerob terbuka (tanpa diolah) maka akan menghasilkan gas metana (CH4) yang bersama dengan gas karbondioksida (CO 2) akan memberikan efek rumah kaca dan menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Padahal, gas metan ini sebenarnya sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber energi dalam bentuk biogas (Khasristya , 2004). Bahan yang sudah umum digunakan dalam produksi biogas adalah limbah peternakan, seperti kotoran sapi. Tidak menutup kemungkinan bahwa limbah organik lain juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar (substrat) dalam pembentukan biogas, karena prinsip dalam pembentukan biogas adalah bahan organik yang akan didekomposisi secara anaerob oleh mikroorganisme. Limbah rumah makan cukup berpotensi dijadikan sebagai bahan pembuatan biogas karena mengandung bahan organik sangat tinggi. Bahan organik tersebut terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, selulosa atau ligno selulosa, dan hemiselulosa yang dapat didegradasi secara biologi (Jenie dan Winiati, 1993). Penggunaan teknik biodigester biasa digunakan dalam mengolah limbah organik untuk dijadikan biogas. Pemanfaatan limbah organik untuk produksi biogas dapat mengurangi jumlah limbah rumah makan yang semakin bertambah, dan dapat mereduksi emisi gas metan, sehingga dapat berperan positif dalam upaya penyelesaian permasalahan pemanasan global (efek rumah kaca) (Khasristya, 2004). Sejauh ini, digester yang telah digunakan dalam pengolahan limbah organik umumnya memiliki desain yang rumit sehingga diperlukan tenaga ahli untuk membuatnya dan juga membutuhkan dana besar dalam pembuatannya (Khasristya, 2004). Diperlukan tipe digester alternatif yang lebih sederhana dan mudah pengoperasiannya, sehingga da pat diterapkan di industri rumah makan kecil. Selain itu, perlu modifikasi sistem biodigester agar dapat dihasilkan biogas secara optimal. Modifikasi tersebut misalnya dengan variasi substrat, baik jenis maupun konsentrasi dan parameter yang spesifik, seperti suhu, pH, dan agitasi. Pada penelitian ini digunakan biodigester sistem curah (batch ) dengan modifikasi jenis dan konsentrasi substrat serta pemberian suhu yang berbeda pada substrat. Substrat yang digunakan adalah limbah yang dihasilkan dari rumah makan sekitar kampus UNS (tidak termasuk rumah makan padang), terdiri dari bagian sayuran yang tidak termasak, buah yang telah membusuk dan sisa makanan yang tidak habis dimakan. Substrat tersebut dicampur dengan limbah industri gula (molase) yang diambil dar i Pabrik Gula Tasikmadu. Suhu yang dibedakan adalah suhu ruang (green house : 25-32ºC) dan suhu tinggi (50ºC). Menurut Widodo dkk.,(2006), agar bakteri dapat tumbuh dengan baik, selain temperatur, juga diperlukan unsur hara. Nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri terutama adalah karbon, nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium dan kobalt. Penambahan molase ke dalam substrat limbah rumah makan diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap hasil produksi biogas. Selain mengandung kalori cukup tinggi karena terdiri dari glukosa dan fruktosa juga memiliki kandungan zat berguna seperti kalsium, magnesium, potasium, dan besi. Alasan lain adalah karena harganya yang murah, berlimpah, memiliki komposisi C, N, dan O cukup untuk pertumbuhan bakteri. Pemanfaatan molase dalam biodigester diharapkan dapat memberikan nilai tambah dari limbah industri gula. Saat ini jumlah molase yang diproduksi di seluruh Indonesia mencapai 1,3 juta ton per tahun da n pemanfaatannya belum maksimal (Pramana, 2008). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Berapa volume biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah makan dan molase dalam biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium selama 45 hari proses perombakan anaerob? 2. Apakah pemberian suhu tinggi (50ºC) pada biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium selama 45 hari proses perombakan anaerob dapat mempengaruhi volume biogas yang dihasilkan? C. Tujuan Penelitian Setelah mengetahui perumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini yaitu: 1. Mengetahui volume biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah makan dan molase dalam biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium selama 45 hari proses perombakan anaerob. 2. Mengetahui pengaruh pemberian suhu tinggi (50ºC) pada biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium terhadap volume biogas yang dihasilkan selama 45 hari proses perombakan anaerob. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi mengenai volume biogas yang dihasilkan pada proses perombakan anaerob limbah rumah makan dan molase selama 45 hari dalam biodigester tipe curah (batch ) skala laboratorium. 2. Memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian suhu tinggi (50ºC) pada biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium terhadap volume biogas yang dihasilkan selama 45 hari proses perombakan anaerob. 3. Mereduksi limbah yang dihasilkan dari industri rumah makan khususnya rumah makan di sekitar kampus UNS maupun industri pabrik gula (molase). 4. Mengurangi pencemaran yang ditimbulkan dari limbah rumah makan sehingga tidak mengganggu kesehatan masyarakat. BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Limbah Industri Pangan 1.1 Limbah Rumah Makan Limbah rumah makan bisa berasal dari dapur, yakni bagian dari sayuran dan bahan makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang. Limbah bisa juga dari sisa makanan yang tidak habis disantap para tamu. Limbah seperti sayuran, tepung ikan, dan bungkil memiliki kandungan energi dan nitrogen tinggi (Nugroho, 2007). Hammad (1996) menyatakan bahwa sampah organik sayur-sayuran dan buah-buahan adalah substrat terbaik untuk produksi biogas. Limbah sayuran dapat menghasilkan biogas 8x lebih banyak dibandingkan limbah kotoran ternak (Haryati, 2006). Dari 1,5 kg limbah makanan dapat diproduksi 500 m3 gas metana dan reaksi ini berjalan sempurna dalam waktu 48 jam. Sedangkan dalam sistem biogas konvensional yang menggunakan kotoran hewan ternak atau kotoran manusia sebagai substratnya, dari 40 kg limbah kotoran dapat diproduksi jumlah gas metana yang sama, yaitu 500 m3 gas metana. Waktu yang dibutuhkan dalam sistem biogas konvensional adalah 40 hari (Kale and Mehetre, 2009). Tabel 1 : Perbandingan antara sistem biogas konvensional dan sistem biogas dari limbah rumah makan Faktor yang Berpengaruh Biogas Konvensional Biogas dari Limbah Rumah Makan Jumlah substrat 40 kg+40 ltr air 1-1,5 kg+15 ltr air Inokulum Kotoran hewan Slurry 80 ltr, lumpur 15 ltr, air 40 hari 48 jam 4000 ltr 1000-1500 ltr Waktu reaksi perombakan Ukuran standar untuk kebutuhan rumah tangga Bahan mengandung zat tepung Sumber : http://www.copperwiki.org/index.php/Kitchen_Waste_Bio-Gas A.Malakahmad dkk.,(2009) menyatakan dengan perbandingan proporsi dari 75% limbah dapur dan 25% lumpur aktif yang dicampur dan diuji dalam reaktor dapat menghasilkan produksi gas metana yang terbaik dalam waktu yang singkat yaitu dihasilkan gas metana sebanyak 74%. Sedangkan menurut alpsenviro.com (2005) limbah makanan dapat menghasilkan biogas dengan komposisi sebagai berikut : gas metana (CH4) 70-75%, karbondioksida (CO)2 1015% dan uap air 5-10%. Pengembang teknologi pengolahan sampah, Mohammad Taherzadeh dari Universitas Boras Swedia menyebutkan, 10 ton sampah basah buah dan sayur bisa menghasilkan 700 m3 gas metana . Menurut Taherzadeh, satu meter kubik gas metana setara dengan satu liter bensin (Anonim, 2008). Energi Plant Scheme Gambar 1. Kitchen Waste Plants Sumber : http://www.biogreenenergi.com/index.htm Keterangan : KWP : Kitchen Waste Plants Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan (warung makan/kantin di area kampus UNS) dapat diketahui bahwa setiap warung makan/kantin dapat menghasilkan limbah organik sebanyak 3 sampai 8 kg setiap harinya. Limbah organik tersebut diantaranya adalah bahan baku sisa memasak seperti potongan tangkai sayur, kulit buah, dan kulit irisan bumbu masak. Selain itu, limbah organik juga dihasilkan dari makanan yang tidak habis terjual, termasuk nasi. Menurut Unnithan (2008), limbah buangan biodegradable yang berasal dari limbah dapur di dunia 25% atau kurang lebih 300 milyar kg dalam setahun. Dari jumlah tersebut dapat dibuat 150 milyar meter kubik biogas. Dengan demikian penggunaan biogas dari limbah dapur ini akan be rarti suatu pengurangan konsumsi 150 milyar kg LPG, 210 milyar liter minyak tanah, 510 milyar kg arang dan 1.220 milyar kg kayu. Energi panas yang dihasilkan dari biogas tersebut adalah satu milyar megawatt. 1.2 Molase Menurut Judoamidjojo dkk (1992) tetes tebu atau molase merupakan hasil samping pembuatan gula. Sedang menurut Pramana (2008), molase adalah sejenis sirup sisa dari proses pengkristalan gula pasir. Molase tidak dapat dikristalkan karena mengandung banyak glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan. Molase mengandung sejumlah besar gula, baik sukrosa maupun gula pereduksi. Total kandungan gula berkisar 48-56% dan pHnya sekitar 5,5-5,6 (Sa’id, 1987). Limbah industri gula (molase) termasuk kategori limbah dengan kandungan energi tinggi teta pi rendah kandungan nitrogen. Selain itu, molase juga tinggi akan kandungan karbohidrat tetapi rendah kandungan protein (Pramana, 2008). Sumber molase itu sendiri dapat berasal dari tebu maupun bit. Hanya molase dari tebu yang digunakan dalam penelitian in i. Molase dari tebu dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu molase kelas 1, kelas 2, dan black strap . Molase kelas 1 didapatkan pada proses kristalisasi tahap pertama. Saat kristalisasi terdapat sisa jus yang tidak mengkristal dan berwarna bening. Molase kelas 2 atau biasa disebut dengan “Dark ” karena warnanya yang agak kecoklatan, diperoleh saat kristalisasi tahap kedua. Pada proses kristalisasi tahap akhir diperoleh molase jenis black strap, dengan warna yang mendekati hitam (coklat tua). Molase jenis black strap selain mengandung kalori cukup tinggi karena terdiri dari glukosa dan fruktosa juga memiliki kandungan zat berguna seperti kalsium, magnesium, potasium, besi, dan berbagai vitamin juga terkandung di dalamnya. Selain itu, molase memiliki komposisi C, N, dan O cukup untuk pertumbuhan bakteri (Pramana, 2008). Molase jenis black strap mengandung 7080% gula yang terdiri dari 70% gula invert (Sa’id, 1987). Gambar 2. Alur Pengolahan Tebu Menjadi Gula Kristal (Purwono, 2003) 2. Teknologi Fermentasi Anaerob Proses daur hidup di alam oleh semua makhluk hidup berlangsung melalui berbagai tahapan panjang yang dapat dibedakan menjadi dua arah yaitu, pembentukan (biosintesa) dan pemecahan (biolisa). Kedua proses tersebut dikenal dengan istilah biokonversi. Pada hakekatnya, energi yang terkandung dalam bahan organik merupakan energi matahari yang diikat oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Pemanfaatan kembali energi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah pengambilan kembali energi matahari yang terikat biomassa. (Judoamidjojo et a l., 1989). Limbah rumah makan memiliki kandungan organik cukup tinggi. Sangat dimungkinkan jika di dalam limbah tersebut masih terkandung energi yang masih diikat oleh biomassa selama proses daur hidupnya. Dengan teknologi perombakan (biokonversi) anaerob, energi yang masih terkandung dalam biomassa limbah makanan dapat dimanfaatkan. Proses fermentasi anaerobik merupakan proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas metanogen dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa oks igen dengan memanfaatkan bahan organik tersebut sebagai sumber karbon atau energi. Produk akhir biokonversi anaerob adalah biogas, yaitu campuran metana dan karbon dioksida yang dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan. Proses anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Tabel 2) (de Mez et al., 2003 dan Haryati, 2006). Tabel 2. Kondisi pengoperasian pada proses fermentasi anaerob Parameter Temperatur Mesofilik Termofilik Nilai pH 7- 8 Alkalinitas 35ºC 54ºC 2500 mg/L minimum Waktu retensi Laju terjenuhkan Hasil biogas 10 - 30 hari 0,15 – 0,35 kg VS/m3/hari 4,5 – 11 m3kg VS Kandungan metana Sumber : Engler et al., (2000) 60-70 % Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk buangan dengan beban organik dan berat molekul tinggi, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengolahan lingkungan dan mampu mendegradasi senyawasenyawa senobiotik maupun rekalsitran (Bitton, 1999). 2.1 Prinsip-prinsip proses fermentasi anaerob Senyawa kompleks organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh bakteri di dalam proses metabolismenya karena membran sel bakteri hanya dapat dilewati oleh senyawa organik sederhana seperti glukosa, asam amino dan asam lemak volatil. Tahap Hidrolisis bakteri Bahan organik, karbohidrat, lemak dan protein Tahap Asidifikasi Tahap Pembentukan Metana Asam asetat, H2 dan CO2 bakteri Gas Metana CO2 bakteri Asam Propionik Asam Butirik Alkohol Senyawa lainnya Bakteri fermentasi Asam Asetat Bakteri Asetogenik Metanogen Gambar 3. Proses pembentukan biogas (Sufyandi, 2001) Proses fermentasi anaerob terdiri dari tiga tahap berikut, masing-masing dengan karakteristik kelompok mikroorganisme yang berbeda. 1). Tahap Hidrolisis : adalah proses penguraian senyawa kompleks organik menjadi senyawa sederhana agar dapat diserap membran sel mikroba, dilakukan oleh kelompok bakteri hidrolitik. Bahan organik didegradasi/dicerna secara eksternal oleh enzim ekstraselular mikroorganisme (selulase, amilase, protease dan lipase). Hidrolisis mencakup hidrolisis karbohidrat menjadi monomermonomernya, protein menjadi asam-asam amino, dan lemak atau minyak menjadi asam-asam lemak rantai panjang ataupun alkohol. Hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling lambat dapat mempengaruhi laju keseluruhan (Adrianto et al., 2001). 2). Tahap Asidifikasi dan Asetogenesis (Pengasaman) : pada tahap asidifikasi, bakteri menghasilkan asam dengan mengubah seyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H 2) dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Pembentukan asam pada kondisi anaerob penting untuk pembentukan gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas metana (tahap asetogenesis). 3). Tahap akhir dalam proses fermentasi anaerob adalah pembentukan gas metana. Metanogen mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh kelompok archaea ini menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO 2. Bakteri asam dan metan bekerjasama secara simbiosis. Bakteri asam membentuk keadaan atmosfir yang id eal untuk metanogen. Sedangkan metanogen menggunakan asam yang dihasilkan bakteri asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam (Werner et al., 1989 dan Khasristya, 2004). Menurut Suyati (2006), 3 kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas, antara lain : 1. Kelompok bakteri fermentatif : Streptococci, Bactero ides, dan beberapa jenis Enterobacteriaceae 2. Kelompok bakteri asetogenik : Desulvofibrio 3. Kelompok metanogen : Methanobacterium, Methanobacillus, Methanosarcina , dan Methanococcus. 2.2 Faktor-faktor yang berpengaruh pada fermentasi anaerob Di dalam proses pembentukan biogas digunakan alat untuk memfermentasikan substrat, yang disebut sebagai bioreaktor atau biodigester. Berdasarkan cara pengisian bahan bakunya, biodigester dibedakan menjadi dua, yaitu sistem pengisian curah (batch ) dan kontinyu (Loebis & Tobing, 1992; Metcalf & Eddy, 2003). Sistem pengisian curah (SPC) adalah cara penggantian bahan yang dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari biodigester setelah produksi biogas terhenti, dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku yang baru. Umumnya, sistem ini didesain untuk limbah padatan seperti sayuran atau hijauan. Isi dari digester biasanya dihangatkan dan dipertahankan temperaturnya. Selain itu kadangkala diaduk untuk melepaskan gelembunggelembung gas dari sludge (Khasristya, 2004) . Tipe batch digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan yang diproses sebelum unit yang besar dibangun (Meynell, 1976). Sistem ini terdiri dari dua komponen, yaitu tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. Tangki dapat dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan digunakan sebagai pupuk kemudian bahan baku yang baru dimasukkan lagi. Tangki ditutup dan proses fermentasi diawali kembali (Khasristya, 2004 & Haryati, 2006). Tergantung dari jenis bahan limbah dan temperatur yang dipakai, sistem batch akan mulai berproduksi setelah minggu kedua sampai minggu keempat. Sistem batch biasanya dibuat dalam beberapa set sekaligus sehingga paling tidak ada yang beroperasi dengan baik (Haryati, 2006). Untuk memperoleh biogas yang banyak, sistem ini perlu dibuat dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan kontinyuitas hasil biogas tercapai (Abdullah, 1991; GTZ, 1997; Widodo, 2005; UN, 1980 dalam Nurhasanah et al., 2006). Masing-masing sistem memiliki kelebihan maupun kekurangannya. Sistem pengisian curah (batch ) memiliki konstruksi yang lebih sederhana namun biogas yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan pengisian kontinyu. Keuntungan lain dari tipe batch adalah bila bahan berserat atau sulit diproses, tipe batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu. Bila selama proses terjadi kesalahan, misalnya karena bahan beracun maka proses dapat dihentikan dan dimulai dengan yang baru (Meynell, 1976). Sedangkan sistem kontinyu, sifatnya lebih efisien, lumpur dihasilkan setiap hari karena selalu diisi dengan substrat yang baru (kontinyu), laju produksi gas lebih tinggi per volume bahan atau substrat, namun desain digester lebih kompleks. Potensi biogas yang dihasilkan dari biodigester bergantung pada: jenis substrat, kuantitas substrat, persentase kandungan bahan organik, dan total padatan (Werner et al., 1989). Selain pengaruh substrat, fermentasi anaerob juga dipengaruhi oleh faktor -faktor lingkungan (de Mez et al., 2003). Proses fermentasi anaerob dipengaruhi oleh dua faktor yaitu biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad aktif, sedangkan faktor abiotik terdiri dari suhu, pH, pengadukan (agitasi), substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat dan adanya bahan toksik (Wellinger, 1999). 1. Suhu Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. Suhu optimal proses fermentasi anaerob dibedakan menjadi tiga yaitu suhu tinggi (45-60oC) untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek dan bebas dari desinfektan, suhu sedang (27-40oC) (suhu kamar ruang/lingkungan), dan suhu rendah (< 22oC) (banyak dipe ngaruhi udara musim sedang) (Metcalf & Eddy, 2003). Pada kondisi rendah, proses perombakan berjalan lambat, kondisi sedang, perombakan berlangsung cukup baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan kenaika n suhu, serta kondisi tinggi untuk bakteri termofil dengan perombakan optimal pada 55oC (NAS, 1981 dan B itton, 1999). Proses fermentasi anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu, umumnya suhu optimal termofil pada kisaran 52-58 oC, namun dampak negatif dapat terjadi pada suhu lebih tinggi dari 60 oC. Hal ini diseba bkan oleh toksisitas ammonia yang semakin meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi pengenceran substrat pada suhu tinggi memudahkan difusi bahan terlarut (Wellinger & Lindeberg, 1999). Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Khasristya (2004) dan Haryati (2006) bahwa temperatur yang optimal untuk biodigester adalah 30-35ºC. Temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam biodigester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada range temperatur sedang, selain itu bakteri termofilik mudah mati karena perubahan temperatur. Sedangkan bakeri mesofilik adalah bakteri yang tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil, khususnya bila perubahan berjalan perlahan. Menurut Haryati (2006), jika temperatur turun menjadi 10ºC, produksi gas akan terhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik yaitu antara 25-35ºC. Biogas yang dihasilkan pada kondisi diluar temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Fry (1974), pada temperatur yang rendah 15ºC laju aktivitas bakteri sekitar setengahnya dari laju aktivitas pada temperatur 35ºC. Apabila bakteri bekerja pada temperatur 40ºC produksi gas akan berjalan dengan cepat hanya beberapa jam dan untuk selanjutnya hanya akan diproduksi gas yang sedikit. Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada suhu 35ºC dibanding pada suhu 15ºC dan menghasilkan hampir 15 kali lebih banyak gas pada waktu proses yang sama. Pada Gambar 4 dapat dilihat perbedaan jumlah gas yang diproduksi ketika digester dipertahankan pada suhu 15ºC dibanding suhu 35ºC. Seperti halnya proses secara biologi tingkat produksi metana berlipat untuk tiap peningkatan temperatur sebesar 10ºC-15ºC. Jumlah total dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap, meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur (Meynell, 1976). Gambar 4. Perbandingan tingkat produksi gas pada 15ºC dan 35ºC (F ry, 1973) Pada kondisi operasi yang sama, perombakan termofil lebih efisien dari pada perombak mesofil (Lusk, 1991). Beberapa keuntungan yang diperoleh dari proses termofil dibandingkan dengan proses mesofil adalah: • Waktu tinggal organik dalam biodigester lebih singkat karena laju pertumbuhan ba kteri termofil lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan bakteri mesofil. • Penghilangan organisme patogen lebih baik • Degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik • Meningkatkan kelarutan substrat. Kerugian-kerugian penting proses termofil antara lain: • Derajat ketidakstabilan tinggi • Jumlah konsumsi energi lebih besar • Risiko hambatan ammonia tinggi (Wellinger & Lindeberg, 1999). 2. pH Nilai pH pada awal proses menunjukkan penurunan karena terjadi hidrolisis yang umumnya terjadi dalam suasana asam, tetapi nilai ini cenderung stabil pada tahap selanjunya, yaitu range 6,7-7,7 (Kresnawaty dkk., 2008). pH pada proses fermentasi anaerob biasa berlangsung antara 6,7-7,6; bakteri metanogen tidak dapat toleran pada pH di luar 6,7-7,4; sedangkan bakteri non metanogen mampu hidup pada pH 5-8,5 (NAS, 1981). Nilai pH di luar interval ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam proses fermentasi anaerob. Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan mempengaruhi disosiasi ammonia, sulfida dan asam-asam organik, yang merupakan senyawa penting untuk proses fermentasi anaerob. Beberapa senyawa seperti asam organik dan karbon dioksida menyebabkan penurunan nilai pH, sebaliknya senyawa seperti ammonia akan meningkatkan nilai pH. Jika nilai pH menurun maka akumulasi asetat yang terbentuk selama proses perombakan tidak dapat diketahui. Pembentukan asetat berlangsung selama degradasi substrat dalam proses fermentasi anaerob. Karena itu, jika pH dalam reaktor turun menunjukkan konsentrasi tinggi asetat dalam proses perombakan dan proses menjadi terhambat (Reith et al., 2002). Ketika nilai pH turun, maka yang terjadi adalah perubahan substrat menjadi biogas terhambat sehingga mengakibatkan penurunan kuantitas biogas. Sedangkan jika nilai pH terlalu tinggi maka dapat menyebabkan produk akhir yang dihasilkan adalah CO2 sebagai produk utama (Hermawan et al., 2007). Umumnya penambahan Ca(OH)2 digunakan untuk meningkatkan pH limbah cair menjadi netral. Nilai pH pada reaktor termofil lebih t inggi daripada reaktor mesofil (Bitton, 1999). 3. Mikroorganisme dan Nutrien Selain suhu dan pH, fermentasi anaerob juga dipengaruhi oleh kehidupan mikroorganisme yang ada dalam biodigester. Semua mikroorganisme memerlukan nutrien yang akan menyediakan : a) energi, biasanya diperoleh dari substansi yang mengandung karbon, b) nitrogen untuk sintesis protein, c) vitamin dan yang berkaitan dengan faktor pertumbuhan, dan d) mineral (Sherrington, 1981). Nutrien tersebut antara lain : a) Hydrogen H, nitrogen N, oxygen O, dan carbon C sebagai bahan utama penyusun bahan organik b) Sulfur: kebutuhan untuk sintesis asam amino c) Phosphor: komponen penting dalam asam nukleat d) Kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan besi (Fe): dibutuhkan untuk aktifitas enzim dan komponenkomponen logam kompleks. Sepuluh unsur di atas sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M. Unsur lain yang sebaiknya terdapat dalam konsentrasi lebih kecil, misalnya Nikel (Ni) penting untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat, sementara konsentrasi rendah (0,01- 0,005 M) kation-kation sel tersebut dapat aktif dan meningkatkan proses perombakan (Werner et al., 1989). Seperti yang telah dijelaskan di atas, mikroba metanogen ju ga membutuhkan garam-garam anorganik dalam jumlah mikro. Garam-garam anorganik tersebut digunakan untuk mengendalikan tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim (Adam, 1980). Penambahan seperti kalsium, kobalt, besi, magnesium, molibdenum, nikel, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan logam lain dapat meningkatkan produksi biogas karena kondisi tersebut dapat meningkatkan populasi bakteri metanogen dalam biodigester (Kresnawaty et al., 2008). 4. Agitasi (pengadukan) Faktor lain yang juga berpenga ruh terhadap fermentasi anaerob adalah proses pengadukan (agitasi). Pengadukan dilakukan untuk mendapatkan campuran substrat yang homogen dengan ukuran partikel yang kecil. Selain itu, untuk mencegah terjadinya partikel-partikel terapung pada permukaan cairan dan berfungsi mencampur metanogen dengan substrat. Pengadukan memberikan temperatur yang seragam dalam biodigester (Suyati, 2006). 5. Starter Pengaruh starter juga penting karena starter mengandung metanogen yang diperlukan untuk mempercepat proses fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter antara lain : Starter alami; yaitu lumpur aktif seperti lumpur kolam ikan, air selokan atau cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan timbunan sampah organik. Starter semi buatan; yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif. Starter buatan; yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratorium dengan media buatan (Suyati, 2006). 2.3 Faktor ketidakseimbangan proses fermentasi anaerob Fermentasi anaerob bergantung pada keseimbangan antara senyawasenyawa dan unsur-unsur berbeda dalam biodigester. Selain itu, bergantung pada interaksi antara kelompok bakteri dan senyawa organik yang ada, sebagai sumber makanan diantara beberapa jenis mikroorganisme agar diperoleh hasil biogas yang optimal. Jika terjadi ketidakseimbangan selama proses perombakan maka fermentasi anaerob secara total dapat terhenti atau menurun (Werner et al., 1989). Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena beberapa faktor berikut: • Beban hidraulik berlebih. Hal ini terjadi jika waktu tinggal bakteri dalam biodigester lebih singkat dibandingkan laju pertumbuha nnya. Bakteri tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk tumbuh di dalam biodigester dan akan tercuci (wash -out). Beban hidraulik berlebih dapat terjadi apa bila volume efektif digester menurun oleh karena terjadi beban substrat yang ber lebih terhadap digester. • Beban organik berlebih dapat muncul ketika biomassa dengan kandungan organik tinggi dimasukkan ke dalam digester secara berlebihan. Pada keadaan ini bakteri tidak mampu memecah senyawa organik yang ada sehingga proses fermentasi anaerob berjalan lamban. • Bahan racun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam bioma ssa substrat atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Hal ini dapat terjadi jika biomassa yang kaya protein dicerna kemudian menghasilkan sejumlah besar ammonia berlebih yang dapat menghambat proses fermentasi. Fermentasi juga dapat terhambat jika biomassa yang tercerna mengandung konsentrasi tinggi lemak yang akan didegradasi menjadi senyawa beracun (asam lemak rantai panjang). Penelitian mengenai proses perombakan anaerob yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa indikator ketidakseimbangan proses perombakan terjadi karena susbstrat asetogenik berlebih meskipun tidak bersifat toksik. Kenaikan konsentrasi asam or ganik merupakan indikasi bahwa produksi asam sudah berlebih daripada yang dikonsumsi. Pemberian bahan organik yang tidak seimbang ke dalam reaktor dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi asam organik (Wellinger & Lindeberg, 1999). Sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2006) yang menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan proses fermentasi anaerob dalam biodigester adalah dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogen terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sa ngat asam (pH < 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan metanogen. Laju fermentasi akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah dari kisaran pH 6,8-8. 2.4 Keuntungan fermentasi anaerob Pengolahan limbah secara anaerob memberi banyak keuntungan antara lain: energi yang bermanfaat, keuntungan lingkungan dan keuntungan ekonomi, yang secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Memberikan sumber energi bersih yaitu biogas, merupakan bahan bakar yang tidak mengeluarkan asap sehingga memberikan emisi yang rendah (terutama kandungan CO2). Hal ini sesuai dengan persetujuan dalam Protokol Kyoto. b) Mengurangi jumlah padatan, yaitu dapat mengurangi volume maupun beban limbah organik yang digunakan sebagai substrat dalam fermentasi anaerob. c) Mengurangi bau dan tidak merusak nilai estetika lingkungan. Selain itu, bahan yang telah terfermentasi dapat digunakan sebagai pupuk organik karena selama fermentasi, senyawa-senyawa biodegradab le efektif dihilangkan, dan meninggalkan senyawa tereduksi seperti ammonium, senyawa N organik, sulfida, senyawa P orga nik yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran pupuk. d) Biaya pembangunan relatif terjangkau (Reith et al., 2002 & Werner et al., 1989). 3. Produksi Biogas Sumber biomassa atau limbah yang berbeda akan menghasilkan perbedaan kuantitas biogas (Werner et al., 1989). Zhang et al., (2007) dalam penelitiannya menghasilkan metana sebesar 50-80% dan CO 2 sebesar 20-50%. Sedangkan Hansen (1999), biogas yang dihasilkan mengandung 60-70% metana dan 30-40% CO2. Biogas dapat terbakar apabila terdapat kadar metana minimal 57% (Hammad, 1996). Sedangkan menurut Hessami et al., (1996) biogas dapat terbakar jika kandungan metana minimal 60%. Biogas dengan kandungan metana 65-70% memiliki nilai kalor sama dengan 5200-5900 kkal/m3 energi panas setara 1,25 kwj listrik (Veziroglu, 1991 dan de Baire, 1999). Sedangkan untuk gas metana murni (100%) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3 (Nurtjahya, 2003). Werner et al., (1989) menyatakan per kilogram padatan volatil dapat diperoleh 0,3-0,6 m3 biogas. 3.1 Kualitas biogas Biogas hasil fermentasi anaerob limbah organik umumnya tersusun atas metana 55-70%, karbon dioksida 30-45% dan sedikit hidrogen sulfida dan amonia maupun gas-gas lainnya ≤1%. Gas-gas lain yang umumnya ada dalam biogas antara lain : hidrogen, nitrogen, karbon monoksida , dan hidrokarbon terhalogenasi serta siloxan. Senyawa pengotor (impuritis) tesebut harus dihilangkan, karena dapat menyebabkan korosi dan endapan. Substansi yang perlu diperhatikan itu antara lain: H 2S , siloxan, senyawa aromatik, CO 2, oksigen, nitrogen, dan senyawa halogen (Cl2 -F2) (Kottner, 2002). Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana. Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya. Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa cara yaitu : menghilangkan hidrogen sulphur, kandungan air, dan karbondioksida (Kapdi et al., 2004 dan Pambudi, 2008). Hidrogen sulphur mengandung racun dan zat yang menyebabkan korosi, bila biogas mengadung senyawa ini maka akan menyebabkan gas yang berbahaya sehingga konsentrasi yang ditoleransi maksimal 5 ppm. Bila gas dibakar maka hidrogen sulphur akan lebih berbahaya karena akan membentuk senyawa baru bersama -sama oksigen, yaitu sulphur dioksida/sulphur trioksida (SO2/SO3). Senyawa ini lebih beracun. Pada saat yang sama akan membentuk sulphur acid (H2SO3) suatu senyawa yang lebih korosif. Selanjutnya, penghilangan karbondioksida bertujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat digunakan untuk bahan bakar kendaraan (Pambudi, 2008). B. Kerangka Pemikiran Jenis industri rumah makan yang digunakan dalam penelitian masih pada skala kecil, yaitu kantin atau warung makan yang terletak di area kampus UNS (tidak termasuk rumah makan padang). Rumah makan tersebut setiap harinya menghasilkan limbah, terutama limbah organik. Limbah organik yang dihasilkan antara lain bagian sayuran yang tidak termasak, buah, ikan, dan sisa makanan yang tidak habis dimakan. Pada limbah makana n masih terkandung unsur makro seperti C, H, dan O. Apabila limbah tersebut dibuang ke lingkungan maka dapat menimbulkan pencemaran yaitu bau yang tidak sedap dan merusak nilai estetika lingkungan. Selain itu, limbah akan didegradasi secara aerob (terbuka) oleh mikroorganisme dan menghasilkan gas metana yang bersamaan dengan gas karbondioksida akan memberikan efek rumah kaca dan menyebabkan terjadinya global warming . Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah di atas, salah satunya adalah dengan te knologi fermentasi anaerob. Teknologi fermentasi anaerob digunakan untuk mendegradasi limbah secara anaerob dengan bantuan mikroorganisme, dimana produk yang dihasilkan dari proses perombakan adalah gas metana yang dapat digunakan sebagai energi alternatif. Selain itu, limbah yang sudah terdegradasi dapat digunakan sebagai pupuk organik. Kerja dari biodigester dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis substrat dan suhu lingkungan. Oleh karenanya, agar proses perombakan berjalan optimum, maka diperlukan pengaturan dalam sistem biodigester. Penelitian ini menggunakan penambahan molase sebagai campuran substrat limbah rumah makan dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu 20% dan 40%. Selain itu, perlakuan suhu lingkungan yang berbeda antara suhu ruang (31°C) dan suhu tinggi (50°C). Campuran molase pada substrat limbah rumah makan dan pemberian suhu tinggi (50°C) diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap produksi biogas. Molase mengandung banyak unsur mikro yang dapat memacu aktivitas mikrobia dan meningkatkan populasi metanogen pada proses fermentasi anaerob (hidrolisis, asidogenesis, metanogenesis), sedangkan pemberian suhu tinggi diketahui dapat mempercepat perombakan substrat. Dengan demikian, kedua faktor tersebut dapat membantu da lam optimasi produksi biogas. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut : Limbah organik rumah makan (bagian sayuran tidak termasak, buah dan sisa makanan yang tidak habis dimakan) mengandung unsur C, H, dan O Teknologi Fermentasi Anaerob Variasi jenis substrat : LM 80% + M 0% LM 60% + M 20% LM 40% + M 40% Biodigester anaerob Perlakuan Perbedaan suhu lingkungan : Suhu ruang (31°C) Suhu tinggi (50°C) Pencemaran lingkungan Penambahan molase Proses Fermentasi Anaerob Hidrolisis Asidogenesis Metanogenesis Selulosa 1. Hidrolisis (C 6 H1 0 O5 )n+nH2 O selulosa n(C 6 H1 2 O6 ) glukosa Glukosa Memacu aktivitas mikrobia dan meningkatkan populasi metanogen (C6 H1 2 O6)n+nH2O 2. Asidogenesis CH3 CHOHCOOH glukosa asam laktat CH3 CH2 CH2COOH+CO2 +H2 asam butirat CH3 CH2OH+CO2 etanol Asam lemak dan alkohol 4H2+CO2 2H2O+CH4 CH3CH2 OH+CO 2 CH3 COOH+CH4 3. Metanogenesis C H3COOH+CO2 CO2 +CH4 CH3 CH2 CH2COOH+2H2 +CO2 CH3 COOH+CH4 metana Metana dan CO 2 Optimasi produksi biogas Gambar 5. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Substitusi unsur mikro C. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : 1. Penggunaan limbah rumah makan dan molase dalam biodigester tipe curah (batch ) skala laboratorium selama 45 hari proses perombakan anaerob dapat menghasilkan biogas. 2. Pemberian suhu tinggi (50°C) pada biodigester tipe curah (batch ) skala laboratorium dapat mempengaruhi volume biogas yang dihasilkan selama 45 hari proses perombakan anaerob. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanan di Laboratorium Pusat (green house) F. MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan, dimulai pada bulan Juni sampai Agustus 2009. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup serangkaian alat, diantaranya sebagai berikut : a. Konstruksi biodigester Rangkaian biodigester terdiri dari jerigen 5 liter, botol 600 ml, selang kecil dengan panjang 20 cm, mikrotip, rak penyangga, thermocople, ember besar dan drum besar. Blender, heater da n roll kabel sebagai alat pendukungnya. b. Analisis biologi Peralatan untuk analisis biologi (termasuk alat gelas) meliputi : botol sampel, gelas piala 500 ml, gelas ukur 10 ml, gelas Erlenmeyer 100 ml, pipet tetes, tabung reaksi, rak tabung reaksi, hand counter, mikropipet (merk : eppendorf ), mikro tip, mikroskop cahaya jenis binokuler, hemasitometer, gelas penutup, dan pipet pasteur. c. Analisis fisika dan kimia Peralatan pengukur analisis fisika dan kimia terdiri dari lilin dan korek, kruss, tang kruss, des ikator, oven, hot plate , thermometer digital, pH-meter, peralatan refluks, kondensor Liebiq , peralatan titrasi, dan ruang asam. d. Bahan Bahan penelitian meliputi : substrat yang terdiri dari limbah rumah makan dan limbah pabrik gula (molase jenis black strap), sumber inokulum dari limbah rumah makan yang difermentasikan terlebih dahulu selama tiga minggu, garam fisiologis (jenis :Otsu-NS dengan 0,9% Sodium Chloride), aquades, air, kapur dan Na(OH) sebagai pemberi suasana basa, K2Cr2O7 , AgSO 4, Fe(NH 4)2 (SO4)6H2O, indikator feroin, HgSO4, larutan H2SO 4 pekat, dan air suling. C. Cara Kerja Penelitian ini menggunakan limbah rumah makan dan molase sebagai substrat dalam produksi biogas. Sedangkan untuk sumber inokulum, berasal dari limbah rumah makan yang telah difermentasi selama tiga minggu hingga terbentuk sludge (lumpur aktif). Untuk alat fermentasinya digunakan biodigester volume 5 liter, yaitu 80% dari volume biodigester digunakan sebagai volume kerja, sedangkan sisanya (20%) sebagai ruang udara. Dari 80% (4 L) volume kerja biodigester, 20% diisi oleh sumber inokulum dan sisanya digunakan untuk substrat. Penelitian ini mencakup beberapa tahap/skala percobaan. Tahap percobaan tersebut adalah : a. Tahap Persiapan Tahap ini mencakup percobaan pendahuluan, menyediakan kebutuhan alat dan bahan percobaan, serta skematik rancangan percobaan. Persiapan alat dan bahan serta analisis peubah diamati baik kimia maupun fisika, masing-masing akan diuraikan pada tahap pelaksanaan percobaan skala laboratorium. b. Tahap Penelitian 1. P embuatan inokulum Inokulum dibuat dengan cara mencampur biomassa (limbah rumah makan) dan air dengan perbandingan volume bahan yaitu 1:1. Sebelumnya, biomassa (limbah) dihomogenasikan terlebih dahulu dengan tambahan air menggunakan blender. Biomassa yang sudah homogen dimasukkan ke dalam drum. Karena proses ini berlangsung secara anaerob maka drum harus tertutup rapat. Proses fermentasi berlangsung selama tiga minggu, hingga terbentuk sludge (lumpur aktif). Perlu dilakukan agitasi selama proses fermentasi berlangsung. Hal ini bertujuan agar material-material organik (biomassa) yang ada dalam drum dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber makanan sehingga metabolisme maupun perkembangan bakteri dapat berjalan dengan baik. Setelah sludge terbentuk, dapat langsung dimanfaatkan sebagai sumber inokulum (starter) dalam sistem fermentasi anaerob. 2. Fermentasi anaerob (produksi biogas) Sebelum dimasukkan ke dalam biodigester, limbah perlu dihomogenasikan dengan campuran air agar substrat (biomassa limbah) dapat lebih mudah dicerna oleh mikroorganisme. Proses homogenisasi dilakukan dengan menggunakan blender. Setelah proses homogenisasi selesai, selanjutnya dilakukan pengukuran beberapa parameter diantaranya : suhu dan pH substrat. Substrat yang bersifat asam perlu diberi penambahan kapur atau Na(OH) agar dapat bersifat netral, karena proses perombakan anaerob dapat berjalan optimal pada pH netral (7-8). Pengukuran parameter berikutnya dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda. Pengukuran pH, suhu dan pengukuran pertumbuhan bakteri dilakukan 15 hari sekali, dan pengukuran volume gas maupun uji nyala dilakukan setiap hari (jika botol penampung gas sudah penuh terisi gas). Selanjutnya, langkah pertama yang dilakukan dalam mencampur substrat dengan sumber inokulum dalam biodigester adalah sumber inokulum dimasukkan terlebih dahulu ke dalam biodigester dengan konsentrasi tertentu (pada penelitian digunakan konsentrasi 20% dari 4L volume kerja biodigester atau setara dengan 0,8 L). Langkah selanjutnya adalah substrat dimasukkan ke dalam biodigester sebanyak volume yang tersisa dari volume kerja biodigester (80% dari 4L, atau kurang lebih 3,2 L). Setelah semua bahan dimasukkan dalam biodigester (jerigen), biodigester segera ditutup rapat. Proses fermentasi berjalan selama kurang lebih dua bulan. Selama proses fermentasi berlangsung, biogas yang terbentuk akan dialirkan dari tangki pencerna (jerigen) ke dalam tangki penampung gas (botol 600 ml) melalui selang kecil. Sebelumnya, tangki penampung gas sudah penuh terisi air (600 ml). Sehingga ketika gas masuk ke dalam tangki penampung gas, maka air akan terdorong keluar dan biogas akan masuk ke dalam tangki tersebut (menggantikan air). Dengan demikian, dapat diketahui volume gas yang masuk ke dalam tangki penampung gas sama dengan volume air yang keluar dari botol penampung gas. Ketika air dalam botol penampung gas sudah habis, itu artinya botol harus segera diganti agar gas yang sudah didapat tidak hilang. Botol berisi gas diambil kemudian tutup botol diganti dengan tutup botol yang lebih rapat (tidak ada tip nya). Penggantian tutup botol dilakukan dengan memasukkan botol ke dalam air yaitu dengan posisi botol terbalik. Tujuannya adalah agar gas yang ada dalam botol tidak keluar karena mendapat tekanan dari dalam air. Botol yang telah diambil diganti dengan botol yang baru yaitu botol sepenuhnya terisi oleh air, kemudian botol dipasang dalam rangkaian. Demikian selanjutnya hingga percobaan selesai. Selama proses fermentasi berjalan, dilakukan agitasi sebanyak 2 kali setiap harinya (pagi dan sore hari). 3. Pengukuran pH dan suhu Pengukuran pada sampel, elektroda dimasukkan ke dalam sampel dalam botol sampel lalu pH meter dibaca. Demikian pula untuk pengukuran suhu substrat menggunakan thermometer digital. 4. Pengukuran pertumbuhan bakteri Pengukuran pertumbuhan bakteri sama dengan pengukuran kuantitatif populasi bakteri. Pada penelitian ini pertumbuhan bakteri dilihat dengan metode hitungan mikroskopik secara langsung, di mana sebelumnya perlu dilakukan beberapa kali proses pengenceran. Adapun langkah kerja yang dilakukan dalam teknik dilusi atau pengenceran adalah sebagai berikut : o larutan kultur (sampel) diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam fisiologis pada tabung reaksi untuk memperoleh dilusi 1/10 bagian. o diambil 1 ml dari larutan dilusi 1/10 dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam fisiologis untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian (10-2 ), dan seterusnya hingga bakteri dalam larutan dapat dihitung dengan menggunakan mikroskop. Pada metode hitungan mikroskopik langsung, sampel diletakkan pada ruang hitung yang disebut hemasitometer dan jumlah sel dapat ditentukan secara langsung dengan bantuan mikroskop. Keuntungan metode ini adalah pelaksanannya cepat dan tidak memerlukan banyak peralatan. Kelemahannya ialah tidak dapat membedakan sel-sel hidup dan mati, yang artinya hasil yang diperoleh adalah jumlah total sel yang ada di dalam populasi. Kelemahan lain adalah terkadang sel cenderung bergerombol sehingga sukar membedakan sel secara individu. Cara mengatasinya adalah dengan memisahkan gerombolan sel tersebut dengan menambahkan bahan anti gumpal seperti dinatrium etilen diamin tetraasetat dan Tween 80 sebanyak 0,1%. Adapun langkah kerja hitungan mikroskopik dengan hemasitometer adalah sebagai berikut : o sebelumnya permukaan hitung dan kaca penutup hemasitometer dibersihkan o kaca penutup hemasitometer diletakkan di atas permukaan hitung hemasitometer o suspensi sel bakteri yang telah diencerkan sebanyak 10 -2 dikocok., Suspensi diambil 0,1-0,5 ml dengan menggunakan pipet Pasteur. Pengambilan suspensi dengan pipet Pasteur dapat dilakukan dengan cara pipet tersebut dimasukkan ke dalam suspensi lalu pangkal pipet ditutup dengan jari telunjuk o Ujung pipet Pasteur diletakkan pada lekukan berbentuk V pada tepi kaca penutup hemasitometer secara cermat dan ruang hemasitometer dibiarkan terpenuhi suspensi secara kapiler. Jari telunjuk digunakan untuk mengatur aliran suspensi agar mencegah aliran berlebihan pada bagian bawah kaca penutup o Hemasitometer diletakkan di bawah mikroskop. Diamati dengan objektif kekuatan lemah dan jumlah sel (yang terdapat pada 80 buah kotak kecil yang terletak di dalam kotak bagian tengah berukuran 1 mm 2) dihitung. o Cara menghitung : pembagian hemasitometer ada 9 area dengan masingmasing area 1 mm2. Kotak yang tengah dibagi menjadi 25 kotak besar yang masing-masing dibagi lagi menjadi 16 kotak kecil. Jadi terdapat 400 kotak kecil. Contoh : misal terdapat 500 sel dalam 80 kotak kecil, maka jumlah sel/ml suspense dapat dihitung : 80 kotak kecil mempunyai luas 0,2 mm2 , jadi dalam tiap mm2 terdapat 500 x 5 = 2500 sel. Kedalaman cairan dalam hemasitometer adalah 0,1 mm, jadi volume cairan dalam 1 mm2 adalah 0,1 mm 3 , maka terdapat 2500 sel/0,1 mm 3 atau 25000 sel/mm3. 1 ml = 1 cm 3 atau 1000 mm3. Maka jumlah sel dalam suspensi asal adalah 2,5 x 107 sel/ml (Suranto, 2001) 5. Pengukuran volume biogas dan uji nyala Biogas yang telah dihasilkan dapat diketahui volumenya dengan cara sebagai berikut : Botol yang telah terisi gas disiapkan, kemudian botol lain yang masih kosong (ukuran 600 ml) diambil. Apabila pada botol yang berisi gas masih ada airnya, maka volume air yang ada dalam botol tersebut dihitung yaitu dengan mengukur tinggi air dalam botol. Kemudian botol kosong diisi air hingga mencapai tinggi yang ditentukan (tinggi sama dengan botol yang berisi gas). Volume air kemudian diukur dengan gelas ukur. Volume gas dapat diketahui dengan cara : Total volume botol – Volume air. Uji nyala dilakukan dengan cara : lilin, korek, dan botol gas disiapkan. Lilin dinyalakan kemudian botol didekatkan dengan lilin, tutup botol dibuka dan bagian badan botol diberi tekanan agar gas yang terdapat dalam botol dapat keluar. Apabila botol mengandung gas metan dengan konsentrasi tinggi maka nyala api berwarna biru, sedangkan apabila konsentrasi CO2 tinggi maka nyala api berwarna kuning. Jika api mati, gas tersebut mengandung amoniak dengan konsentrasi tinggi (Hermawan dkk., 2007). 6. Pengukuran kebutuhan oksigen kimia (COD) (Metode Titrasi, Greenberg et a l., 1992) Bahan disiapkan antara lain : K2Cr2O 7; Ag2SO4; Fe (NH 4)2 (SO4)2 6H2O; indikator feroin; HgSO 4; larutan H2SO4 pekat dan peralatan Refluks, Kondensor Liebiq, Erlenmeyer Asahi dan peralatan Titrasi. Limbah contoh sebanyak 5 ml yang telah diencerkan dengan air suling dimasukkan ke dalam Erlenmeyer da n ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 0.025 N dan 10 ml H2SO 4 pekat. Setelah campuran tersebut dingin, dititrasi dengan larutan Fe(NH4)2(SO 4) 0.025 N, dengan indikator feroin. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna biru kehijauan menjadi merah anggur. Volume Fe(NH4)2 (SO 4) 0.025 N yang digunakan untuk titrasi dicatat sebagai a ml. Dengan prosedur yang sama, dilakukan titrasi terhadap blangko air suling. Volume Fe(NH4)2(SO 4) yang digunakan dicatat b ml. Keterangan : f : faktor pengenceran 7. Pengukuran Total Solids (TS) (Metode Evaporasi, Greenberg et al, 1992) Sebanyak 5 ml contoh yang telah diaduk dimasukkan ke dalam kruss. Sebelum digunakan, kruss dibersihkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama satu jam. Setelah itu kruss didinginkan di dala m desikator hingga suhu ruang dan ditimbang (A 1). Contoh diuapkan dalam kruss dan diteruskan dengan pengeringan di dalam oven pada suhu 105 0C selama satu jam atau hingga bobot konstan. Setelah didinginkan didalam desikator, kruss ditimbang lagi (B). Total Solids (TS) = (B-A1) x 106 5 D. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Olah Faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah variasi jenis substrat yaitu dengan penambahan limbah industri gula (molase) pada substrat limbah rumah makan dengan beberapa konsentrasi (20% dan 40%) dan faktor kedua adalah perbedaan suhu lingkungan, yaitu suhu ruang/green house (310C) sebagai T1 dan suhu tinggi (500C) sebagai T2. Masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Kombinasi perlakuan yang diperoleh adalah sebagai berikut: Kontrol : Inokulum 20%, limbah makanan 80%, molase 0% pada suhu 310C Kontrol : Inokulum 20%, limbah makanan 80%, molase 0% pada suhu 500C A1 : Inokulum 20%, limbah makanan 60%, molase 20% pada suhu 31 0C A2 : Inokulum 20%, limbah makanan 60%, molase 20% pada suhu 50 0C B1 : Inokulum 20%, limbah makanan 40%, molase 40% pada suhu 310C B2 : Inokulum 20%, limbah makanan 40%, molase 40% pada suhu 500C Dilakukan 4 kali pengambilan data beberapa parameter dari masing-masing kelompok perlakuan yaitu pada minggu ke-0, ke-2, ke-4, dan ke-6. Sumber inokulum, pH, dan agitasi, data dibuat homogen (tidak dibedakan). Berikut rancangan percobaan ditampilkan dalam bentuk tabel : Tabel 3. Rancangan Percobaan Perombakan Anaerob Limbah Rumah Makan dan Molase Substrat Inokulum Suhu pH Agitasi Waktu pengambilan data Kontrol Limbah makanan 0 31 C 7 2x Minggu ke 0, 2, 4, 6 Kontrol Limbah makanan 500C 7 2x Minggu ke 0, 2, 4, 6 A1 Limbah makanan 310C 7 2x Minggu ke 0, 2, 4, 6 A2 Limbah makanan 500C 7 2x Minggu ke 0, 2, 4, 6 B1 Limbah makanan 310C 7 2x Minggu ke 0, 2, 4, 6 B2 Limbah makanan 500C 7 2x Minggu ke 0, 2, 4, 6 Parameter yang akan diukur antara lain pH, suhu, konsorsia bakteri, COD, Total solids (TS), volume gas, dan uji nyala. E. Analisis Data Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pengukuran pH dan suhu substrat, volume gas, COD, TS, dan jumlah konsorsia bakteri. Sedangkan data kualitatif diperoleh dari hasil uji nyala biogas. Data kuantitatif (COD, TS, dan volume biogas) diolah dengan menggunakan ANAVA, jika terdapat beda nyata maka dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. Sedangkan data kualitatif dianalisis dengan analisis deskriptif. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sebelum proses fermentasi anaerob dimulai, penting diketahui karakter awal dari masing-masing kelompok substrat. Substrat terdiri dari tiga kelompok, yaitu : substrat 80% murni limbah rumah makan, tanpa penambahan molase (S1 atau K); substrat 60% limbah rumah makan ditambahkan 20% molase (S2 atau A); dan substrat 40% limbah rumah makan ditambahkan 40% molase (S3 atau B). Masing-masing kelompok substrat dibagi lagi dalam dua kelompok suhu lingkungan yang berbeda, yaitu suhu ruang (T1) dan suhu tinggi (T2). Tujuan dari karakterisasi adalah untuk melihat nilai efisiensi perombakan substrat limbah organik terhadap beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi dari limbah seperti pH, suhu, COD, TS, dan populasi bakteri, yang terjadi selama proses fermentasi. Selain itu, karakterisasi di awal juga dapat dijadikan acuan untuk mengetahui sifat limbah yang baik untuk produksi biogas, karena limbah belum mendapat perlakuan. Berikut adalah karakter substrat sebelum dilakukan proses fermentasi anaerob : Tabel 4. Karakterisasi awal substrat untuk percobaan Kelompok substrat Parameter pH Suhu (°C) COD (g/l) TS (g/l) Populasi bakteri (sel/ml) 7.11 31.2 88 174 7.83x106 LM 60% + M 20% (A) 7.13 31.4 219 314.88 2.62x107 LM 40% + M 40% (B) 7.07 31.9 259 449.98 3.26x107 LM 80% + M 0% (K) Keterangan : LM : Limbah rumah makan M : Molase Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa substrat dengan penambahan molase (A dan B) memiliki nilai COD dan TS lebih besar dibandingkan dengan substrat murni limbah rumah makan (K). Ini menandakan bahwa penambahan molase (tanpa pengenceran) dapat menambah beban organik pada substrat. Selain itu perbedaan jenis substrat juga memberikan pengaruh terhadap nilai pH selama proses fermentasi anaerob. pH substrat akan mengalami sedikit banyak perubahan. Berikut adalah rata-rata nilai pH dalam empat kali waktu pengamatan (minggu ke_n) selama proses fermentasi anaerob ber langsung : Tabel 5. Rata-rata pH substrat dalam 4 kali waktu pengamatan Kelompok substrat pH substrat M0 M2 M4 M6 LM 80% + M 0% (KI) 7.11 6.17 6.14 6.08 LM 60% + M 20% (AI) 7.12 5.23 5.15 4.95 LM 40% + M 40% (BI) 7.07 4.81 4.88 4.80 LM 80% + M 0% (KII) 7.13 6.64 6.89 6.98 LM 60% + M 20% (AII) 7.10 5.26 5.12 5.07 LM 40% + M 40% (BII) 7.14 4.94 4.80 4.75 1. Suhu ruang (T1 : 31°C) 2. Suhu tinggi (T2 : 50°C) Berdasarkan Tabel 5, pH substrat mulai mengalami penurunan pada minggu kedua. Seharusnya setelah itu pH dapat kembali netral, tetapi hal demikian hanya terjadi pada kelompok substrat murni limbah rumah makan pada suhu tinggi (KII). Sedangkan kelompok substrat lain, pH cenderung menurun. pH paling rendah dimiliki oleh kelompok dengan penambahan molase 40% (kelompok B). Selain faktor lingkungan seperti pH dan suhu, jenis substrat juga berpengaruh terhadap hasil produksi biogas. Berikut adalah hasil produksi biogas berdasarkan variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan dalam biodigester sistem curah skala laboratorium dengan waktu fermentasi 6 minggu : Tabel 6. Produksi biogas dari limbah organik rumah makan dan campuran molase menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6 minggu Kelompok substrat Produksi biogas (ml) M(0-2) M(2-4) Total M(4-6) (ml) 1. Suhu ruang (T1 : 31°C) LM 80% + M 0% (KI) 2880 6617 1103 10600 LM 60% + M 20% (AI) 3600 1850 1265 6715 LM 40% + M 40% (BI) 580 1240 1685 3505 LM 80% + M 0% (KII) 5315 7265 14941 27521 LM 60% + M 20% (AII) 2425 1880 3727 8032 LM 40% + M 40% (BII) 2353 4715 570 7638 2. Suhu tinggi (T2 : 50°C) Gambar 6. Produksi biogas pada suhu ruang (31°C) dan suhu tinggi (50°C) Keterangan : KI : LM 80% + M 0% pada suhu ruang (31°C) KII : LM 80% + M 0% pada suhu tinggi (50°C) AI : LM 60% + M 20% pada suhu ruang (31°C) AII : LM 60% + M 20% pada suhu tinggi (50°C) BI :LM 40% + M 40% pada suhu ruang (31°C) BII : LM 40% + M 40% pada suhu tinggi (50°C) Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa produksi biogas tertinggi diperoleh dari kelompok substrat murni limbah rumah makan pada suhu tinggi (KII). Sedangkan produksi terendah adalah kelompok substrat dengan penambahan molase 40% pada suhu ruang (BI). Selain produksi biogas, fermentasi anaerob juga dapat menurunkan tingkat pencemaran dari limbah organik sehingga lebih aman bagi lingkungan. Besar atau kecilnya penurunan tersebut dapat dilihat dari nilai efisiensi perombakan atau degradasi limbah. Berikut merupakan nilai efisiensi perombakan dilihat dari nilai rata-rata COD dan TS nya : Tabel 7. Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) pada nilai COD substrat limbah rumah makan dan campuran molase pada fermentasi anaerob Kelompok substrat Nilai efisiensi degradasi COD (%) M(0-2) M(0-4) M(0-6) M(2-4) M (4-6) LM 80% + M 0% (KI) 20.02 46.74 66.27 33.41 36.67 LM 60% + M 20% (AI) 16.13 31.58 42.71 18.41 16.27 LM 40% + M 40% (BI) 4.48 13.81 19.08 9.77 6.11 LM 80% + M 0% (KII) 27.78 53.29 72.44 35.32 41.00 LM 60% + M 20% (AII) 17.54 32.87 46.74 18.60 20.66 LM 40% + M 40% (BII) 6.10 14.15 21.60 8.58 8.68 1. Suhu ruang (T1 : 31°C) 2. Suhu tinggi (T2 : 50°C) Tabel 8. Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) total solids substrat limbah rumah makan dan campuran molase pada fermentasi anaerob Kelompok substrat Nilai efisiensi degradasi TS (%) M(0-2) M(0-4) M(0-6) M(2-4) M (4-6) LM 80% + M 0% (KI) 20.39 45.18 64.05 31.14 34.43 LM 60% + M 20% (AI) 21.41 41.08 58.00 25.04 28.71 LM 40% + M 40% (BI) 15.27 34.73 59.90 22.96 24.78 LM 80% + M 0% (KII) 26.27 50.03 68.73 32.22 37.42 LM 60% + M 20% (AII) 22.95 38.58 56.86 20.28 29.76 LM 40% + M 40% (BII) 15.29 35.06 51.62 23.33 25.50 1. Suhu ruang (T1 : 31°C) 2. Suhu tinggi (T2 : 50°C) Tabel 7 dan 8 menunjukkan bahwa nilai efisiensi perombakan tertinggi baik COD maupun TS adalah dari kelompok substrat murni limbah rumah makan pada suhu tinggi (KII) dengan masing-masing memiliki nilai efisiensi 72.44% dan 68.73%. Sedangkan nilai efisiensi terendah adalah kelompok substrat dengan penambahan molase 40% kondisi suhu ruang, yaitu nilai efisiensi COD 4.48% dan TS 15.27%. Adapun nilai rata-rata COD, TS, dan volume biogas dipengaruhi oleh interaksi antara jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu fermentasi berdasarkan uji ANAVA yang dilanjutkan uji DMRT 5% ditampilkan pada Tabel berikut : Tabel 9. Pengaruh konsentrasi COD pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob No Kelompok substrat Rata-rata COD (g/l) M0 1 LM 80%+ M 0% (S1) T1 88 e 2 LM 60% + M 20% (S2) 219 l 3 LM 40% + M 40% (S3) 259 o M2 T2 84.25 M4 T1 70.38 d T2 60.85 215 kl 183.67 i 234.18 m 247.39 n e M6 T1 46.87 b T2 39.36 b T1 29.68 a T2 23.22 a 177.3 i 149.85 h 144.33 h 125.46 g 114.51 219.89 l 223.23 l 201.03 j 209.5 k 183.58 i c f Tabel 10. Pengaruh konsentrasi TS pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob No Kelompok substrat Rata-rata TS (g/l) M0 M2 M4 M6 T1 174 f T2 99.04 cd T1 138.53 e T2 73.02 bc T1 95.39 cd T2 49.49 ab T1 62.55 b T2 30.97 a 1 LM 80%+ M 0% (S1) 2 LM 60% + M 20% (S2) 314.88 h 237.3 g 247.47 g 182.83 f 185.51 f 145.75 e 132.25 e 102.37 d 3 LM 40% + M 40% (S3) 449.98 j 359.46 i 381.25 i 304.49 h 293.71 h 233.44 g 220.93 g 173.91 f Tabel 11. Pengaruh produksi biogas pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob No Kelompok substrat 1 LM 80%+ M 0% (S1) T1 0.96 abc T2 1.77 abc Rata-rata volume biogas (L) M4 M6 T1 T2 T1 T2 2.21 bc 2.42 c 3.68 abc 4.98 d 2 LM 60% + M 20% (S2) 1.2 abc 0.81 abc 0.62 abc 0.63 abc 0.42 abc 1.24 abc 3 LM 40% + M 40% (S3) 0.19 ab 0.78 abc 0.41 abc 1.57 abc 0.56 abc 0.19 ab M2 Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%) Berdasarkan tabel diatas, interaksi yang terjadi antara jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu fermentasi memberikan hasil yang beda nyata te rhadap nilai COD, TS, dan volume biogas. Interaksi terbaik adalah pada jenis substrat 80% murni limbah rumah makan kondisi suhu tinggi dan pada minggu ke-6 waktu fermentasi (tanda cetak tebal). B. Pembahasan Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam (Haryati, 2006). Proses terjadinya biogas adalah fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas mudah terbakar (flammable) (Simamora et al., 2006). Biogas mudah terbakar karena mengandung gas metana (CH4) dalam persentase cukup tinggi (Setiawan, 2008). Banyak faktor mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, yaitu faktor biotik seperti populasi bakteri pada sta rter dan substrat, maupun abiotik seperti kondisi anaerob, jenis bahan baku isian, nutrisi (C/N), pH, dan suhu. Faktor tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika kondisi lingkungan optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et al., 2006). Penelitian ini menggunakan limbah organik rumah makan di area kampus UNS, kecuali rumah makan padang. Pengecualian ini dilakukan dengan alasan karena limbah organik dari rumah makan padang mengandung unsur lemak yang cukup tinggi. Menurut Mahajoeno (2008), limbah organik yang mengandung lemak tinggi kemungkinan dapat mengganggu proses perombakan substrat dan secara tidak langsung akan mengganggu laju produksi biogas. Hal ini karena apabila lemak berinteraksi dengan NaOH (bahan penetral pH substrat) maka aka n terbentuk gliserol dan asam lemak yang dapat mengganggu proses perombakan tersebut (Adrianto, 2003). Selain itu, Wellinger and Lindeberg (1999) juga menyatakan bahwa biomassa yang mengandung konsentrasi tinggi lemak dapat menghambat proses fermentasi, sebab dari hasil perombakan dihasilkan senyawa beracun berupa asam lemak rantai panjang. Limbah rumah makan ini terdiri dari nasi, sayuran, buah-buahan, ikan, daging, telur, dan aneka sisa makanan lain nya. Selain itu, digunakan pula limbah cair industri gula yaitu molase sebagai campuran substrat limbah rumah makan pada proses perombakan anaerob. Fungsi molase dalam proses perombakan anaerob bahan organik dapat berperan sebagai sumber karbon. Molase mengandung unsur C, N, dan O cukup untuk pertumbuhan bakteri (Pramana, 2008). Proses gasifikasi dimungkinkan akan terjadi secara cepat karena molase merupakan sumber karbon dalam bentuk gula yang mudah diurai (Panji et al., 2007). Fungsi lain adalah untuk mensubstitusi beberapa unsur mikronutrien yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Pramana (2008) molase mengandung kalori cukup tinggi karena terdiri dari glukosa dan fruktosa, selain itu juga memiliki kandungan zat berguna (mikronutrien) seperti kalsium, magnesium, potasium, dan besi. Me nurut Adam (1980), metanogen selain membutuhkan nutrisi berupa sumber karbon, nitrogen dan fosfor sebagai sumber energi dan prekursor untuk sintesis komponen sel (seperti polisakarida, protein dan asam nukleat) juga membutuhkan garam-garam anorganik dalam jumlah mikro untuk pengendalian tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim. Mikronutrien tersebut akan digunakan sebagai suplemen untuk memacu aktivitas mikrobia, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi biogas (Bardia and Gaur, 1994). Percobaan telah dilakukan oleh Seenayya et al., (1992), yang menunjukkan penambahan kalsium (5mM), kobalt (50µg g-1 TS), besi (50 mM), magnesium (7,5 mM), molibdenum (10-20 mM), nikel (10µg g-1 TS) baik secara tunggal maupun kombinasi dengan logam lain dapat meningkatkan produksi biogas karena kondisi tersebut meningkatkan populasi bakteri metanogenik dalam reaktor/biodigester. Produksi biogas juga sangat ditentukan oleh sifat substrat yang digunakan. P emilihan limbah rumah makan sebagai substrat utama produksi biogas karena limbah tersebut termasuk limbah organik yang belum banyak dimanfaatkan, terutama untuk produksi biogas. Alasan lain adalah karena limbah rumah makan mengandung banyak unsur material organik seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang dapat didegradasi oleh bakteri melalui proses perombakan anaerob dan menghasilkan gas metana (Jenie dan Winiati, 1993). Menurut Hammad (1999), sampah organik seperti sayuran dan buah-buahan adalah substrat terbaik untuk menghasilkan biogas. Didukung pernyataan Haryati (2006) yang menyatakan bahwa limbah sayuran dapat menghasilkan biogas 8 kali lebih banyak dibandingkan limbah kotoran ternak. Pemilihan molase sebagai campuran substrat limbah rumah makan juga dapat menambah nilai manfaat karena kandungan mikronutrien pada molase diasumsikan dapat digunakan sebagai suplai nutrisi untuk pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Selain substrat, pada proses perombakan anaerob juga digunakan inokulum sebagai starter. Inokulum yang digunakan berasal dari limbah rumah makan yang sudah difermentasikan (anaerob) terlebih dahulu selama tiga minggu. Setelah dua minggu akan terbentuk sludge (lumpur aktif) yang mengandung biakan metanogen. Sludge ini digunakan sebagai starter untuk mempercepat proses fermentasi anaerob. Perbandingan antara inokulum dengan substrat yang digunakan adalah 20% dan 80%. Pemakaian inokulum 20% dimaksudkan agar dapat menghasilkan biogas yang optimal. Karena berdasarkan hasil penelitian Mahajoeno, dkk (2008) bahwa inokulum LKLM II-20% (b/v) (lumpur kolam dari limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS)) dengan substrat LCPMKS 15 L, diperoleh produksi biogas paling baik dibandingkan konsentrasi lainnya, dengan biogas yang mencapai 121 liter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah biogas yang dihasilkan dari proses perombakan anaerob limbah rumah makan dan molase sebagai substratnya, serta mengetahui pengaruh pemberian suhu tinggi (50ºC) terhadap jumlah biogas yang dihasilkan dari proses perombakan tersebut dengan menggunakan biodigester tipe curah (b atch) skala laboratorium selama 45 hari waktu pengamatan. Parameter yang digunakan antara lain pH dan suhu substrat, konsorsia bakteri, COD, total solids, volume biogas, dan uji nyala. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa substra t tanpa penambahan molase atau murni limbah rumah makan (kontrol) dapat menghasilkan biogas lebih banyak dibandingkan substrat campuran molase. Hasil ini didapat baik pada kondisi suhu ruang maupun suhu tinggi (50°C) (Tabel 6). Selain itu, pada grafik (Gambar 7 dan 8) terlihat bahwa pemberian suhu 50ºC pada biodigester juga dapat meningkatkan produksi biogas. Jumlah volume biogas yang diperoleh berdasarkan perbedaan jenis maupun konsentrasi substrat dan juga perbedaan suhu lingkungan dalam 45 hari waktu pengamatan terlihat pada Gambar 7 dan 8. Gambar 7. Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (31°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke-45 Gambar 8. Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke-45 Keterangan : K : Limbah makanan 80% dan Molase 0% (+ inokulum 20%) A : Limbah makanan 60% dan Molase 20% (+ inokulum 20%) B : Limbah makanan 40% dan Molase 40% (+ inokulum 20%) T1/I : Suhu ruang (31ºC) T2/II : Suhu tinggi (50ºC) Berdasarkan Gambar 7 dan 8, kelompok substrat yang menghasilkan biogas paling banyak adalah dari kelompok kontrol yaitu mencapai 27 liter, sedangkan kelompok A dan B menghasilkan biogas lebih sedikit, yaitu 3-8 liter selama 45 hari proses perombakan. Namun demikian, banyak sedikitnya jumlah biogas yang dihasilkan tidak dapat menentukan nyala tidaknya biogas yang dihasilkan. Pada kelompok kontrol kondisi suhu ruang, biogas yang dihasilkan cukup banyak tetapi tidak dapat menghasilkan nyala api. Hal ini mungkin dikarenakan kandungan gas metana pada biogas hanya sedikit (dibawah 50%). Untuk dapat melihat hasil biogas yang terbentuk, pada penelitian ini hanya baru pada tahap uji nyala, belum sampai tahap analisis kandungan gas metana. Sehingga gas metana yang terkandung dalam biogas baru dapat diprediksi secara teoritis. Hammad mengatakan bahwa biogas dapat terbakar apabila terdapat kadar metana minimal 57%. Sedangkan menurut Hessami dkk. , (1996) biogas dapat terbakar jika kandungan metana minimal 60%. Berdasarkan hasil uji nyala api, tidak semua kelompok substrat dapat menghasilkan nyala api. Hanya kelompok kontrol kondisi suhu tinggi saja yang dapat menghasilkan nyala api, sedang kelompok lain mati. Pada kelompok lain pH cenderung terus menurun (Tabel 5.), artinya proses yang berlangsung baru sampai pada tahap asidogenesis dan asetogenesis, meskipun tidak diketahui sejauh mana tahapan asidogenesis dan asetogenesis terjadi karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap nilai VFA (volatile fatty acid ). Menurut Kresnawaty et al., (2008) penurunan pH terjadi karena asam organik yang terbentuk selama asidogenesis seperti asam asetat, propionate, butirat, valerat bahkan isovalerat dan isobutirat, sedangkan pada tahap asetogenesis produk utama yang dihasilkan adalah asam lemak volatil. Nilai pH yang terus menurun mengakibatkan biogas yang dihasilkan tidak optimal (kandungan metana rendah atau bahkan belum terbentuk). Karena lingkungan yang asam tidak cocok untuk perkembangan metanogen. Selain itu, beban organik yang berlebih karena campuran molase pada substrat limbah rumah makan menyebabkan ketidakseimbangan proses perombakan anaerob. Bahan beracun yang ada di dalam biodigester, baik dari biomassa substrat maupun dari senyawa hasil fermentasi anaerob juga termasuk salah satu faktor yang menghambat terbentuknya biogas. Gas yang dihasilkan pada kelompok kontrol (kondisi suhu tinggi) saat pertama kali belum menghasilkan nyala api. Hal ini dikarenakan proses perombakan anaerob memerlukan beberapa tahapan, diantaranya : hidrolisis, asidogenesis, dan methanogenesis. Pada saat awal perombakan masih didominasi oleh proses hidrolisis, asidogenesis, dan asetogenesis sehingga gas yang dihasilkannya pun kebanyakan masih berupa gas CO 2, H2, dan senyawa yang bersifat asam seperti asam asetat (Gambar 3). Gas sudah dapat menghasilkan nyala api yaitu pada botol kedua. Namun nyala api masih kecil dan berwarna kuning mendekati orange. Nyala api yang berwarna kuning ini mungkin karena gas masih didominasi oleh gas CO 2 (masih banyak mengandung unsur karbon). Apabila 70% volume mengandung unsur karbon maka warna apinya kuning (Orbis, 2008). Pada hasil awal tidak semua botol gas dapat menghasilkan nyala api. Hal ini dikarenakan pH substrat mengalami penurunan pada hari ke-15, artinya proses yang berlangsung adalah tahap asidogenesis. Setelah setengah bulan berjalan (>3 minggu) , baru diperoleh biogas dengan nyala api berwarna biru. Ketika nyala api biru berarti biogas yang dihasilkan sudah baik. Pembakaran akan mengeluarkan api yang berwarna biru, karena gas yang dibakar adalah gas metan (CH4), yang ikatan molekulnya hanya mengandung 1 atom C dan 4 atom hydrogen (Orbis, 2008). Gas metan ini diperoleh setelah hari ke-20, yaitu hari ke-24. Perlu diketahui bahwa setelah hari ke-15, pH substrat kembali netral (6,89) hingga hari ke-45 (6,98) (Gambar 12). Hingga hari ke -45 biogas masih dapat menghasilkan nyala api berwarna biru. Jumlah volume biogas yang dihasilkan dari masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Tabel 8). Berdasarkan hasil uji ANAVA diketahui bahwa adanya variasi jenis dan konsentrasi substrat serta perbedaan suhu lingkungan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil produksi biogas (P<0,05) (Lampiran 4). Setelah dilakukan uji lanjut dengan menggunakan DMRT 5% diketahui bahwa terdapat beda nyata dari masing-masing kombinasi perlakuan (Tabel 11). Dari hasil yang diperoleh, kondisi terbaik terjadi pada kombinasi perlakuan S1T2M6, yaitu : penggunaan murni limbah makanan (S1), karena memiliki beban organik (nilai COD) paling rendah; pemberian suhu tinggi (T2) karena terjadi proses degradasi cepat dan suhu yang konstan; dan pada minggu ke-6 (M6) karena proses perombakan sudah berjalan lebih sempurna dibandingkan waktu sebelumnya. Kondisi tersebut merupakan kombinasi perlakuan terbaik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lain yang menghasilkan volume biogas lebih sedikit. Menurut Ratnaningsih dkk., (2009) jumlah produksi biogas yang sangat kecil menunjukkan bahwa telah terjadi proses degradasi yang tidak maksimal. Kelompok A dan B dengan penambahan molase pada substrat limbah makanan menunjukkan terjadi degradasi yang tidak maksimal. Hal ini terlihat dari total produksi gas yang sangat kecil, yaitu 3-8 liter dalam waktu 45 hari (Tabel 6). Rendahnya produksi biogas merupakan pengaruh dari variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan pada masing-masing kelompok perlakuan. Penambahan molase pada substrat limbah rumah makan (kelompok A dan B) menimbulkan beban organik berlebih. Hal ini terlihat pada nilai konsentrasi COD awal yang tinggi pada kelompok A dan B (Tabel 4). Berdasarkan hasil penelitian Syafila et al., (2003) dengan menggunakan molase sebagai substrat, produksi gas metana tertinggi adalah 0,479 L/hari dengan beban COD 10.000mg/L, sedangkan produksi terendah adalah 0,104 L/hari dengan beban COD 40.000mg/L. Pada laju pembebanan yang lebih tinggi (COD tinggi) maka pembentukan gas metana menjadi lebih sedikit. Hal ini terjadi karena banyaknya senyawa kompleks pada biomassa substrat yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga dapat mempengaruhi produksi biogas. Menurut Wellinger dan Lindenberg (1999) beban organik berlebih dapat muncul ketika biomassa dengan kandungan organik tinggi dimasukkan ke dalam biodigester secara berlebihan. Bahan organik tergolong tinggi jika memiliki konsentrasi COD lebih dari 4000 mg/L. Molase memiliki nilai konsentrasi COD lebih dari 285. 000 mg/L (Syafila et al., 2003). Novita (2001) dalam laporan penelitiannya menyebutkan bahwa molase selain mengandung nilai kebutuhan oksigen kimiawi (COD) tinggi juga merupakan limbah cair yang memiliki kompleks pigmen coklat gelap (melanoidin). Melanoidin adalah suatu kompleks pigmen yang terbentuk dari reaksi non enzimatik antara gula dan asam amino (reaksi Maillard). Pigme n coklat inilah yang diperkirakan sebagai penghambat dalam proses penanganan limbah. Menur ut Nugraha (1995), degradasi melanoidin dengan menggunakan sludge dapat dilakukan melalui proses anaerobik, tetapi perlu dilakukan penangana n lanjutan seperti penanganan secara aerobik, koagulasi, flokulasi, adsorpsi dan sebagainya. Peningkatan konsentrasi organik menyebabkan penurunan nilai COD pada limbah menjadi sedikit. Hal ini disertai pula dengan penurunan produksi gas metana. Untuk waktu retensi yang sama, semakin besar konsentrasi organik akan semakin banyak asam volatil yang dihasilkan oleh proses asetogenesis. Kondisi ini menyebabkan populasi metanogen tidak dapat melangsungkan proses metanogenesis dengan sempurna, sehingga hanya sebagian produk proses asetogenesis yang dikonversi menjadi gas metana. Akibatnya persentase penyisihan COD akan menurun disertai dengan penurunan persentase pembentukan gas metan (Syafila et al., 2003 dan Guiot and Berg, 1985). Gambar 7 dan 8 membuktikan bahwa pada kelompok substrat A dan B (pada kondisi suhu ruang dan suhu tinggi) menghasilkan biogas yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kedua kelompok substrat tersebut (A dan B) proses metanogenesis belum dapat berlangsung sempurna karena senyawa asam yang diproduksi terlalu banyak. Dilihat dari perubahan pH masingmasing kelompok substrat yang cenderung menurun (Gambar 11 dan 12 & Tabel 5). Produksi asam yang berlebih ini dimungkinkan karena adanya penambahan molase. Sebab pada kelompok kontrol kondisi suhu tinggi, pH substrat masih dapat kembali netral, yang berarti bahwa proses perombakan dapat berjalan seimbang sehingga biogas yang diha silkan dapat menghasilkan nyala api. Sedangkan pada kelompok A dan B proses perombakan tidak dapat berjalan seimbang, dilihat dari pH substrat yang semakin asam sehingga biogas tidak dapat menghasilkan nyala api (kandungan metana sedikit). Nilai konsentrasi COD yang terlalu tinggi pada molase mengindikasikan bahwa limbah ini sangat tercemar, sehingga dapat dimungkinkan pada limbah tersebut mengandung berbagai macam jenis bakteri khususnya bakteri pembentuk asam. Banyaknya bakteri asam yang dapat tumbuh dala m substrat tersebut mengakibatkan lingkungan menjadi asam dan archaea (metanogen) tidak dapat tumbuh pada kondisi tersebut. Dengan demikian proses perombakan menjadi tidak seimbang. Menurut NAS (1981) metanogen tidak dapat toleran pada pH diluar 6,7-7,4. Kandungan bahan organik yang sangat tinggi pada molase mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan selama proses perombakan anaerob. Ketidakseimbangan dapat terjadi ketika bahan organik didegradasi oleh bakteri menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana yaitu pada tahap hidrolisis dan asedogenesis. Pada tahapan ini terjadi perubahan senyawa organik menjadi senyawa organik lainnya yang lebih sederhana (tahap hidrolisis) dan senyawa yang bersifat asam (asedogenesis dan asetogenesis) (Gaudy and Elizabeth, 1980). Pada tahap hidrolisis, kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan bakteri tidak mampu memecah senyawa organik yang ada dalam waktu singkat. Karena bahan organik yang tinggi mengandung banyak senyawa-senyawa kompleks, dimana dibutuhkan waktu yang lama bagi bakteri untuk mencerna senyawa tersebut. Akibatnya, proses fermentasi anaerob berjalan lamban. Menurut Adrianto (2001) hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling lambat dapat mempengaruhi laju keseluruhan. Selanjutnya pada tahapan asidogenesis dan asetogenesis senyawa sederhana tadi diubah kedalam bentuk senyawa asam untuk dikonsumsi oleh metanogen dan dikonversi menjadi gas metana (pada tahap metanogenesis). Namun pada tahapan asidogenesis dan asetogenesis ini, asam yang diproduksi lebih banyak daripada yang dikonsumsi (pH terus menurun), dengan demikian bakteri metan sulit mengubah produk metabolisme proses asetogenesis menjadi gas metan. Dimungkinkan pada saat itu terjadi ketidakseimbangan populasi metanogen terhadap bakteri asam (bakteri asam lebih banyak) yang menyebabkan lingkungan (substrat) menjadi sangat asam (pH < 7). Menurut Burke (2001), pH yang terus menurun disebabkan oleh bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat sehingga asam yang dihasilkan akan lebih banyak dari jumlah yang dapat dikonsumsi oleh bakteri penghasil metan, akibatnya sistem akan terlalu asam. Faktor lain yang dapat menghambat produksi biogas adalah adanya bahan beracun. Bahan beracun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam biomassa atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Banyak penelitian menunjukkan bahwa indikator ketidakseimbangan proses perombakan terjadi karena substrat asetogenik berlebih meskipun tidak bersifat toksik. Kelompok A dan B (suhu ruang dan suhu tinggi) memiliki konsentrasi asam organik berlebih (Gambar 11 dan 12). Asam organik berlebih dapat disebabkan karena pemberian bahan organik yang tidak seimbang ke dalam reaktor. (Wellinger dan Lindenberg, 1999). Penambahan molase pada kelompok A dan B merupakan salah satu contoh pemberian bahan organik yang tidak seimbang karena kandungan bahan organik molase yang terlalu tinggi, sehingga terbentuk asam organik berlebih. Molase yang digunakan pada penelitian ini adalah molase jenis black strap. Molase jenis ini memiliki kandungan zat berguna seperti kalsium, magnesium, potasium , dan besi (Pramana, 2008). Mikroba metanogen membutuhkan garam -garam anorganik dalam jumlah mikro untuk mengendalikan tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim (Adam, 1980). Menurut Werner et al., (1989) unsur tersebut sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M, karena konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat. Mungkin hal tersebut juga merupakan salah satu faktor penghambat produksi biogas pada kelompok A dan B, karena unsur dengan konsentrasi tinggi dapat menjadi toksik bagi bakteri. Pada kelompok kontrol dengan perlakuan suhu tinggi (50°C) dapat menghasilkan biogas lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol pada suhu rua ng. Hal ini mungkin dikarenakan perbedaan suhu lingkungan diantara kedua kelompok substrat tersebut (Gambar 8 dan 9). Pada suhu tinggi (50°C) substrat akan terdegradasi lebih cepat dan memudahkan difusi bahan terlarut, sehingga pembentukan gas akan lebih cepat pula. Sesuai dengan pernyataan Metcalf & Eddy (2003) bahwa suhu termofilik digunakan untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek dan bebas dari desinfektan. Perbedaan volume biogas yang diperoleh juga dapat disebabkan karena pada kondisi suhu ruang terjadi perubahan suhu lingkungan 2-5°C (suhu lingkungan tidak konstan). Hal ini berpengaruh pula terhadap perubahan suhu substrat. Perubahan suhu yang terlihat cukup signifikan yaitu pada hari ke -45, suhu substrat turun menjadi ±25°C. Penurunan yang cukup signifikan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berubah, yaitu suhu lingkungan yang rendah karena hujan. Sehingga kondisi suhu substrat di dalam biodigester pun menjadi rendah. Material bahan dalam hal ini jerigen yang digunakan sebagai biodigester bukan merupakan isolator/penahan panas yang baik sehingga temperatur lingkungan dapat mempengaruhi materi di dalam biodigester (Raliby dkk., 2009). Proses fermentasi anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu (Wellinger and Lindeberg, 1999). Produksi biogas akan menurun secara cepat akibat perubahan temperatur yang mendadak di dalam reaktor (Ginting, 2007). Bakteri metanogenik berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan mendadak pada kondisi-kondisi fisik dan kimiawi. Sebagai contoh, penurunan 2°C secara mendadak pada slurry mungkin secara signifikan berpengaruh pada pertumbuhan metanogen dan laju produksi gas (Gunnerson and Stuckey, 1986). Gambar 9 dan 10 merupakan hasil pengamatan suhu substrat pada dua kondisi yang berbeda yaitu kondisi suhu ruang (31°C) dan suhu tinggi (50°C) dalam 45 hari waktu pengamatan. Gambar 9. Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu ruang (31°C) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45 Gambar 10. Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45 Lain halnya dengan kelompok substrat pada kondisi suhu ruang, pada kelompok substrat suhu tinggi, bagian luar digester sudah diberi termokopel dengan tujuan mempertahankan suhu agar tetap konstan. Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa ketika suhu lingkungan diluar digester diatur 50°C maka suhu substrat (dalam digester) adalah ±45°C. Perbedaan suhu antara di luar dan di dalam digester mungkin disebabkan karena perbedaan dari masing-masing bahan/media menyerap panas tersebut. Kondisi di luar digester lebih panas karena media yang menerima panas dalam bentuk cair (air) sehingga lebih cepat menyerap panas, sedangkan media yang menerima panas di dalam digester adalah limbah dalam bentuk mendekati padat (sedikit cair/kental) sehingga proses penyerapan panasnya lebih lama. Suhu lingkungan diluar digester tetap dipertahankan 50°C dengan menggunakan termokopel, agar tidak terjadi perubahan suhu substrat (konstan). Jumlah volume biogas yang dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh variasi jenis maupun konsentrasi substrat dan pemberian suhu lingkungan yang berbeda saja, tetapi dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lain, faktor biotik maupun abiotik. Faktor lain tersebut diantaranya pH substrat, komposisi bahan organik (konsentrasi COD dan TS), dan mikroorganisme. Biogas terbentuk karena adanya kerja berbagai bakteri yang ikut terlibat dalam aktivitas perombakan substrat kompleks. Pertumbuhan bakteri yang terlibat tersebut sangat dipengaruhi oleh pH, karena pada rentang pH yang tidak sesuai, mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan kematian yang pada akhirnya dapat menghambat perolehan gas metana (Rohman, 2009). Nilai pH optimum dalam produksi biogas berkisar antara 7-8 (Fulford, 1988). Pada awal penelitian, pH limbah makanan cukup asam yaitu 4,3. pH sangat asam karena banyaknya jeruk dalam limbah tersebut. Sementara itu, pH awal molase adalah 5,2. Setelah kedua substrat tersebut dicampur dalam suatu biodigester, pH dari masing-masing kelompok perlakuan berkisar antara 4,7 5,07. pH yang berbeda dikarenakan adanya variasi jenis dan konsentrasi substrat dalam biodigester. Mahajoeno dkk., (2008) menyatakan bahwa pH awal substrat 7 memberikan peningkatan laju produksi biogas lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pH yang lain. Oleh karena itu, di awal penelitian semua kelompok substrat dijadikan netral dengan penambahan kapur dan NaOH (Ginting, 2007). Karena pH awal masing-masing kelompok berbeda, maka kapur dan NaOH yang ditambahkannya pun berbeda, yaitu sebagai berikut : Tabel 12 : pH substrat sebelum dan sesudah diberi kapur dan NaOH sebagai pH pada hari ke-0 No Kelompok substrat Kapur (gr) NaOH (gr) pH (mesofilik/termofilik) 1 LM 80% + M 0% 150 25 7.11/7.14 2 LM 60% + M 20% 100 50 7.13/7.10 3 LM 40% + M 40% 100 50 7.07/7.15 Setelah pH substrat netral maka penelitian dapat dimulai. Pengukuran pH dilakukan 4 kali selama penelitian, yaitu hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke-45. Hasil pengukuran rata-rata pH ditampilkan pada gambar 11 dan 12. Gambar 11. Rata -rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu ruang (31°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45 Gambar 12. Rata-rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu tinggi (50ºC) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45 Jika dilihat dari data pH yang diperoleh, baik pada suhu ruang (Gambar 11) maupun suhu tinggi (Gambar 12) diketahui bahwa telah terjadi penurunan nilai pH pada hari ke -15 dan semakin menurun hingga hari ke-45 (Tabel 5). Tetapi tidak demikian pada kelompok kontrol dengan perlakuan suhu tinggi. Pada kelompok ini pH mulai menurun pada hari ke-15, kemudian pH kembali naik (menjadi netral) pada hari ke-30 hingga hari ke-45. pH menurun disebabkan karena sedang terjadi proses asidifikasi (pembentukan asam) yaitu substrat hasil tahap hidrolisis diasamkan oleh bakteri fermentatif, sehingga terbentuk senyawa asam yang dapat menurunkan nilai pH substrat. Setelah proses asidifikasi selesai, selanjutnya masuk pada tahap metanogenesis yaitu perubahan asam menjadi metana. Asam yang terbentuk pada tahap asidifikasi akan digunakan oleh bakteri metanogen sebagai substrat dalam pembentukan gas metan dan CO 2 sehingga pH kembali netral, karena dari reaksi yang terjadi pada tahap metanogenesis dihasilkan amonia yang dapat mengembalikan pH substrat menjadi netral (Gambar 11 : kelompok kontrol pada hari ke-15 dan 30). Fulford (1988) menyatakan bahwa diawal reaksi pembentukan biogas, bakteri penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH pada digester menjadi rendah, kemudian bakteri metanogen menggunakan asam tersebut sebagai substrat sehingga menaikkan nilai pH. Ini menandakan bahwa dalam proses produksi biogas ter jadi pengaturan pH secara alami. Tingkat keasaman diatur oleh proses itu dengan sendirinya. Kresnawaty dkk., (2008) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa nilai pH pada awal proses menunjukkan penurunan karena terjadi hidrolisis yang umumnya terjadi dalam suasana asam, tetapi nilai ini cenderung stabil pada tahap selanjunya, yaitu pada kisaran pH 6,7-7,7. Rentang pH ini mendekati kondisi ideal pertumbuhan metanogen, yaitu 6,8-7,2. Hal demikian terjadi karena asam-asam organik diuraikan menjadi metana dan karbondioksida dan kemungkinan terbentuknya NH3 yang meningkatkan pH larutan. Sedangkan pada kelompok substrat lain, nilai pH semakin turun (asam) hingga hari ke-45. pH paling rendah adalah dari kelompok substrat A dan B (pada suhu ruang maupun tinggi) yaitu pada kisaran pH 4.5 - 5. Sedangkan pada kelompok kontrol (suhu ruang), substrat berada pada kisaran pH 6. pH asam pada kelompok A dan B disebabkan penambahan molase yang kurang tepat. Penambahan molase dianggap tidak efektif karena mengandung beban organik berlebih dan merupakan media yang cocok untuk berkembangnya bakteri pembentuk asam. Bakteri asam secara cepat mengasamkan senyawa sederhana hasil proses hidrolisis. Namun, proses ini tidak diimbangi dengan perubahan asam menjadi gas metana dan gas lainnya sehingga produksi asam terus meningkat. Bakteri asam dan metanogen seharusnya dapat bekerjasama secara simbiosis. Bakteri asam membentuk keadaan atmosfer yang ideal untuk bakteri metana. Sedangkan bakteri metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri asam (Werner et al., 1989 dan Khasristya, 2004). Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri (Reith et a l., 2002). Berdasarkan hasil pengamatan konsorsia bakteri pada masing-masing kelompok substrat dengan menggunakan metode mikroskopis diketahui bahwa kelompok substrat yang memiliki jumlah konsorsia bakteri tertinggi baik pada suhu ruang maupun suhu tinggi (secara berurutan) adalah kelompok B, kelompok A, dan paling kecil jumlahnya adalah kelompok K (kontrol) (Gambar 13 dan 14). Hasil perhitungan konsorsia bakteri ditampilkan dalam Gambar 13 dan 14. Gambar 13. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (31°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45 Gambar 14. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45 Jika dilihat dari gambar 13 dan 14, jumlah konsorsia bakteri pada hari ke0 antara kelompok kontrol dengan kelompok A dan B terlihat berbeda jauh. Jumlah konsorsia bakteri pada substrat dengan penambahan molase lebih banyak dibandingkan dengan tanpa molase (Lampiran 5). Hal ini menjadi indikasi bahwa molase sendiri sudah mengandung berbagai jenis bakteri dalam jumlah banyak. Bakteri tersebut kemungkinan merupakan bakteri pembentuk asam, karena kondisi substrat dengan penambahan molase menjadi sangat asam. Sebagai saran kedepannya, perlu dilakukan sterilisasi terhadap molase sebelum dilakukan pencampuran substrat. Hal ini dimaksudkan agar bakteri yang ada termasuk bakteri pembentuk asam tidak ikut dalam proses perombakan anaerob. Selain itu perlu juga dilakukan pengenceran agar kandungan bahan organiknya menjadi rendah. Kemudian apabila dilihat dari pola pertumbuhannya, pada gambar 13 tampak bahwa pola pertumbuhan bakteri pada kelompok substrat A dan B kondisi suhu ruang adalah sama. Pada hari ke-0 hingga hari ke-15 terjadi penurunan jumlah konsorsia bakteri, kemudian mulai hari ke-15, hari ke -30 hingga hari ke-45 jumlah konsorsia bakteri terus meningkat. Jika dihubungkan antara grafik nilai pH (Gambar 11) dengan pertumbuhan konsorsia bakteri (Gambar 13), pada hari ke -0 hingga hari ke -15 penurunan nilai pH yang terjadi tidak dibarengi dengan meningkatnya jumlah konsorsia bakteri, tetapi sebaliknya jumlah konsorsia bakteri menurun. Hal ini mungkin pada saat itu sedang berlangsung fase lag dimana pada fase tersebut berbagai macam jenis bakteri mulai tumbuh dan beradaptasi. Bakteri yang tidak dapat bertahan dalam kondisi tersebut (asam) akan mati. Golongan bakteri yang mampu bertahan pada saat itu mungkin tidak semuanya ikut terwarnai oleh pewarna methylene blue sehingga tidak tampak pada mikroskop. Sedangkan mulai hari ke-15 hingga hari ke -45 pH terus menurun yang dibarengi dengan jumlah konsorsia bakteri yang terus meningkat pada rentang hari tersebut. Pada lingkungan asam, bakteri pembentuk asam akan cepat tumbuh. Hal ini dibuktikan dengan kelompok B yang merupakan kelompok substrat paling asam (kisaran pH 4) merupakan kelompok substrat dengan jumlah konsorsia bakteri paling banyak. Sama halnya dengan kelompok A dan B, penurunan nilai pH pada kelompok kontrol (kondisi suhu ruang) dari hari ke-0 hingga hari ke-45 juga diikuti dengan peningkatan jumlah konsorsia bakteri. Tidak berbeda dengan kondisi suhu ruang, kelompok substrat kondisi suhu tinggi yang memiliki jumlah konsorsia bakteri paling banyak adalah kelompok B, kemudian A dan paling sedikit kontrol (K) (Gambar 14). Namun, ada beberapa letak perbedaan pola pertumbuhan bakteri pada kedua kondisi lingkungan tersebut yaitu pada kelompok A dan B saat hari ke-15. Pada kondisi suhu ruang terjadi penurunan jumlah bakteri, sebaliknya pada kondisi suhu tinggi mengalami peningkatan jumlah bakteri yang juga diikuti dengan penurunan nilai pH substrat. Pada lingkungan suhu tinggi bakteri asam lebih cepat tumbuh, oleh karena itu pada awal proses perombakan (pada hari ke-15) jumlah bakteri pembentuk asam pada kondisi suhu tinggi lebih banyak dibandingkan pada kondisi suhu ruang. Kemudian pada kelompok substrat A (suhu tinggi), penurunan nilai pH disertai dengan penurunan jumlah konsorsia bakteri yaitu pada hari ke-30. Tetapi penurunan jumlahnya tidak terlalu signifikan, sehingga masih dapat dimungkinkan bahwa bakteri yang mendominasi adalah bakteri pembentuk asam. Sebaliknya pada kelompok kontrol (K) kondisi suhu tinggi, peningkatan nilai pH disertai dengan peningkatan konsorsia bakteri. Pada hari ke -0 hingga hari ke 45 terjadi peningkatan konsorsia bakteri, padahal pada hari ke-30 dan hari ke45 telah terjadi peningkatan pH (kembali netral) setelah sebelumnya pada hari ke15 sempat terjadi penurunan pH (asam). Mungkin pada saat itu terdapat golongan mikroorganisme lain yang ikut terwarnai oleh pewarnaan methylene blue, misalnya jenis Archaea seperti metanogen yang juga berperan pada proses perombakan anaerob yaitu pada tahapan metanogenesis (perubahan senyawa asam menjadi gas metana yang bersifat mudah terbakar). Alasan ini didukung karena hanya dari kelompok kontrol ini saja (suhu tinggi) yang biogas nya dapat menghasilkan nyala api, sedangkan kelompok lain tidak (termasuk kelompok kontrol kondisi suhu ruang). Adanya metanogen dalam jumlah yang seimbang dengan bakteri lain (seperti bakteri asam), merupakan salah satu syarat agar menghasilkan biogas dengan kandungan metana tinggi sehingga dapat menghasilkan nyala api. Tetapi kembali kepada metode yang digunakan, karena metode yang digunakan adalah sederhana maka tidak dapat dipastikan jenis bakteri maupun bentuknya, tetapi hanya dapat diketahui jumlahnya. Oleh karena itu, jenis bakteri yang ada hanya dapat diperkirakan dengan melihat parameter pH dan uji nyala. Jika dilihat dari pH masing-masing kelompok substrat yang tergolong cukup asam (Tabel 5), bisa dimungkinkan bahwa bakteri yang mendominasi adalah golongan bakteri pembentuk asam. Jika dilihat dari uji nyala, kelompok substrat yang dapat menghasilkan nyala api artinya proses perombakan berjalan seimbang, bakteri asam dan metanogen berada dalam jumlah yang seimbang sehingga dapat bekerja secara simbiosis. Jika konsorsia bakteri lebih didominasi oleh bakteri asam maka proses perombakan menjadi tidak seimbang, akibatnya gas metana yang terbentuk hanya sedikit atau bahkan tidak ada (karena lingkungan yang terlalu asam dapat mematikan metanogen). Dengan demikian biogas yang dihasilkan jika dibakar tidak menimbulkan nyala api. Selain dihasilkan biogas sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, proses perombakan anaerob juga dapat menurunkan tingkat pencemaran dari limbah organik sehingga aman bagi lingkungan. Proses perombakan atau degradasi bahan organik dapat dilihat dari perubahan karakter atau sifat outlet limbah (effluent), baik sifat fisik maupun kimia seperti pH, COD (Chemical Oxygen Demand ), dan Total Solids (TS). Selain perubahan sifat, proses degradasi juga dapat dilihat dari nilai reduksi/effisiensi perombakan (Tabel 7 dan 8). Berdasarkan hasil uji ANAVA diketahui bahwa perbedaan jenis substrat dan suhu lingkungan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai ratarata COD dan TS (P<0,05) (Lampiran 2 dan 3). Setelah dilakukan uji lanjut dengan menggunakan DMRT pada taraf 5% diketahui bahwa terdapat beda nyata antar masing-masing kelompok kombinasi perlakuan (Tabel 9 dan 10). Kelompok yang memiliki nilai rata-rata COD terendah adalah S1T2M6 (23,22 g/l). Nilai ini tidak berbeda nyata dengan kelompok S1T1M6, tetapi berbeda nyata dengan kelompok lain. Seperti halnya COD, nilai rata -rata TS terendah juga pada kelompok S1T2M6 (30.97 g/l), nilai ini tidak berbeda nyata dengan kelompok S1T2M4 tetapi berbeda nyata dengan kelompok kombinasi perlakuan lain. Mikroorganisme dalam limbah terus menerus melakukan proses metabolisme sepanjang kebutuhan energinya terpenuhi dan akan menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat memberikan dampak terhadap turun naiknya COD (Hanifah dkk., 2001). COD merupakan variabel terpenting yang menunjukkan berhasil atau tidaknya proses degradasi (Nugrahini dkk., 2008). Pengukuran COD mendeteksi keseluruhan senyawa organik, baik organik komplek maupun organik sederhana (Syamsudin dkk., 2008). Berdasarkan data yang diperoleh (Lampiran 1), diketahui bahwa telah terjadi penurunan nilai COD dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Menurut Munazah dan Prayatni (2008) semakin lama waktu tinggal akan meningkatkan efisiensi penyisihan yang terjadi. Semakin lama waktu kontak antara limbah organik dengan biomassa maka proses degradasi pencemar organik dapat berlangsung lebih lama sehingga kinerja biodigester akan semakin baik dan konsentrasi effluent yang dihasilkan juga semakin rendah. Pada masing-masing perlakuan mengalami penurunan nilai COD, tetapi dengan nilai effisiensi yang berbeda-beda (Tabel 7). Menurut Kresnawaty (2008) penurunan nilai COD disebabkan karena telah terjadi proses hidrolisis. Pada tahap tersebut, bahan organik dimanfaatkan oleh mikroorganime sebagai nutrisi dan mengubahnya ke dalam bentuk senyawa yang lebih sederhana. Reduksi tertinggi sebesar 72,44% yaitu pada kelompok KII (substrat murni limbah makanan pada kondisi suhu tinggi) yang terjadi pada minggu ke 0 sampai minggu ke 6. Pada tahapan tersebut bakteri pendegradasi limbah dapat bekerja secara optimal, karena waktu tinggal (HRT) yang cukup lama memberi kesempatan kontak lebih lama antara lumpur anaerobik (inokulum) dengan limbah organik (substrat). Dengan demikian proses degradasi menjadi lebih baik dibandingkan waktu lainnya. Sedangkan reduksi terendah sebesar 4,48% yaitu pada kelompok BI (penambahan 40% molase pada kondisi suhu ruang) pada dua minggu pertama. Rendahnya nilai effisiensi reduksi COD mungkin dikarenakan kandungan bahan organik yang terlalu tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai COD influent pada kelompok A dan B pada Tabel 4. Kandungan senyawa organik COD yang cukup tinggi menunjukkan bahwa limbah dominan mengandung senyawa organik yang bersifat komplek dengan tingkat pencemaran yang cukup tinggi. Menurut Munazah dan Prayatni (2008), semakin tinggi beban influen maka effisiensi penyisihan akan menurun. Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Mathiot et a l (1992) dan Borja et al., (1994) dalam Nachaiyasit (2003) bahwa semakin besar konsentrasi COD pada influen akan semakin kecil pula efisiensi penyisihan yang terjadi. Hal ini dapat terjadi karena proses secara biologi oleh mikroorganisme telah mencapai titik optimum sehingga pada beban pengolahan yang lebih tinggi, zat-zat pencemar tidak dapat lebih banyak tersisihkan, sehingga menghasilkan bahan organik terlarut resisten yang meningkatkan konsentrasi COD effluent (Munazah dan Prayatni, 2008). Selain itu, dapat disebabkan juga oleh tidak sempurnanya proses fermentasi substrat akibat terlalu rendahnya derajat keasaman substrat, sehingga proses dekomposisi anaerob pada biodigester tidak mencapai tahapan methanogenic sempurna. Hal ini terlihat dari derajat keasaman substrat yang rendah pada akhir produksi (kelompok A dan B) (Tabel 5), yang menandakan masih berlangsungnya tahap acetogenic (tahap produksi asam) (Ratnaningsih, 2009). Pada kelompok A dan B, penurunan nilai COD yang relatif kecil mungkin juga dikarenakan pada proses fermentasi tidak terjadi penyisihan COD, melainkan senyawa organik hanya berubah bentuk ke senyawa organik lainnya (Gaudy dan Gaudy, 1980). Oleh karenanya proses yang berlangsung pada biodigester tampak masih berupa proses asidogenesa (Syafila, 2003). Hal ini didukung oleh nilai pH yang rendah pada kelompok tersebut (Tabel 5). Konversi materi organik menjadi bentuk yang lebih sederhana dapat dilihat pada pembentukan senyawa-senyawa asam. Masih tingginya konsentrasi asam (pH rendah) pada effluent memperlihatkan bahwa kelompok tersebut memiliki keterbatasan dalam menjalankan proses metanogenesa. Pada susbtrat dengan penambahan molase yang terjadi adalah hidrolisis molase menjadi glukosa yang dilanjutkan dengan pembentukan asam-asam lemak dari glukosa tersebut. Semakin besar konsentrasi organik maka makin besar produksi asam asam volatil. Kondisi ini menyebabkan terjadinya akumulasi asam -asam volatil pada biodigester dan membutuhkan waktu proses metanogenesa yang lebih lama, karena diperlukan waktu tinggal metanogen yang lebih lama untuk mengkonsumsi seluruh asam tersebut (Syafila, 2003). Gas terbentuk dari proses degradasi limbah oleh mikroba dalam lumpur anaerobik yang merupakan media utama pendegradasi dalam sistem biodigester. Selama penelitian dilaksanakan, jumlah volume gas yang didapatkan cukup fluktuatif (Lampiran 1). Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa jumlah gas yang terakumulasi sebanding dengan nilai reduksi COD. Tingkat reduksi yang tinggi akan menghasilkan jumlah akumulasi gas yang besar dan begitu juga sebaliknya (Nugrahini, 2008). Pernyataan ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian bahwa kelompok substrat 80% murni limbah rumah makan pada kondisi suhu tinggi (KII) mempunyai nilai reduksi paling tinggi dan disertai dengan banyaknya volume biogas yang terbentuk. Terjadinya reduksi COD yang kecil dikarenakan senyawa organik sederhana hasil hidrolisis mempunyai nilai COD lebih kecil dibandingkan senyawa organik komplek yang memilki berat molekul lebih besar (Syamsudin, 2008). Selain nilai COD, perubahan sifat pada effluent limbah juga dapat dilihat dari perubahan nilai total solidnya (TS). Berdasarkan perolehan data total solids selama 45 hari proses perombakan anaerob, diketahui bahwa terjadi penurunan kadar TS pada semua bahan (Lampiran 1), efisiensi perombakan organik TS sebesar 15-37% (Tabel 8). Reduksi total solids ini disebabkan perombakan bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme (Ratnaningsih, 2009). Nilai efisiensi perombakan organik TS tertinggi sebesar 68,73%, yaitu untuk kelompok substrat murni limbah makanan pada suhu tinggi (KII). Sedangkan terendah adalah 15,27% untuk kelompok substrat dengan penambahan molase 40% pada suhu ruang (BI). Nilai efisiensi perombakan organik TS yang cukup tinggi dikarenakan kandungan bahan organik pada limbah makanan cukup tinggi dan mengandung unsur protein, lemak, dan karbohidrat. Karakteristik yang demikian membuat bahan tersebut mudah dicerna oleh mikroorganisme atau mudah diolah secara biologis. Sedangkan rendahnya nilai reduksi TS pada substrat dengan penambahan molase (kelompok A dan B) mungkin dikarenakan kandungan bahan organik yang terlalu tinggi pada molase sehingga mikroorganisme sulit mendegradasi senyawa-senyawa kompleks yang ada dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Selain itu, sulitnya proses degradasi juga dapat disebabkan karena pigmen gelap pada molase yang disebut melanoidin (Nugraha, 1995). BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah makan dan molase da lam biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium adalah 3-8 liter selama 45 hari proses perombakan anaerob. Hasil ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan substrat murni limbah rumah makan yaitu mencapai 27 liter. 2. P emberian suhu tinggi (50ºC) pada biodigester tipe curah (batch ) skala laboratorium selama 45 hari proses perombakan anaerob dapat mempengaruhi jumlah biogas yang dihasilkan. Pemberian suhu tinggi (50°C) menghasilkan biogas lebih banyak yaitu mencapai 27 liter, dibandingkan suhu ruang (31°C) yang hanya menghasilkan 10 liter biogas. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. pH substrat sebaiknya dijaga agar tetap netral. Apabila pH asam maka perlu ditambahkan buffer seperti NaOH atau kapur untuk menetralkannya. 2. Biodigester dipastikan dalam kondisi anaerob (tidak ada oksigen bebas) sehingga tidak mengganggu proses perombakan. 3. Perlu metode yang lebih spesifik dalam mengamati pertumbuhan bakteri sehingga tidak hanya diketahui jumlah konsorsia bakteri saja tetapi juga dapat diidentifikasi jenis bakteri yang ada. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui kondisi lingkungan yang tepat untuk pertumbuhan bakteri. 4. Penambahan molase pada substrat limbah rumah makan menjadi tidak efe ktif. 5. Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah organik sebagai sarana perbaikan untuk mencapai optimasi produksi biogas. Daftar Pustaka Abdullah, K., Abdul Kohar Irwanto, Nirwan Siregar, Endah Agustina, Armansyah H.Tambunan, M. Yasin, Edy Hartulistiyoso, Y. Aris Purwanto, 1991. Energi dan Listrik Pertanian , JICA-DGHE/IPB Project/ADAET, JTA-9a (132). Adam, K. H. 1980. Process parameter retention time and loading rates. In National Workshop on Biogas Technology, Kuala Lumpur, 23-24 March 1981, 172-188. A., T. Setiadi, M.Syafilla dan O.B., Liang. 2001. Studi kinetika reaksi hidrolisis senyawa kompleks organik dalam proses biodegradasi Anaerob. J Biosains 6(1):1 -9. Adrianto A. 2003. Penentuan parameter kinetika proses biodegradasi anaerob limbah cair pabrik kelapa sawit. Laboratorium Rekayasa Bioproses, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Riau : Pekanbaru. Jurnal Natur Indonesia 6(1):45-48 (2003) A. Malakahmad, N. Ahmad Basri & S. Md. Zain. 2009. An application of anaerobic baffled reactor to produce biogas from kitchen waste. http://library.witpress.com/index.html. Alps Environmental Technologies. 2005. AGRI/Kitchen waste based biogas plant. http://www.alpsenviro.com/index.html Anonim. 2008. “UGM Kembangakan Pembangkit Energi Dari Limbah Sayur dan Buah ”. http://www.muslimdaily.net/ Bardia, N and A.C. Gaur. 1994. Iron suplementation enhances biogas generation. In: Klass, D.L. (ed). Proceedings Biomass Conference of the Americas II. New York: National Renewable Energy Laboratory Golden Co. Biogreenenergi.com. 2009. Kitchen Waste to Energy Plant Case Study. http://www.biogreenenergy.com/index.htm. Bitton, G. 1999. Wastewater Microbiology. 2nd ed. Wiley Liss Inc. New York. De Baire, L., (1999) Anaerobic Digestion of Solid Waste: State of the Art, Water, Science Technology. 41: 283-290. De Mez , T. Z. D., Stams, A. J. M., Reith, J. H., and G., Zeeman. 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. In : Biomethane and Biohydrogen Status add Perspectives of biological methane and hydrogen production. Edited by J.H. Reith, R.H. Wijffels and H. Barten. Dutch Biological Hydrogen Foundation. Engler, C.R., M.J. McFarland and R.D. Lacewell,. 2000. Economic and environmental impact of biogas production and use. http//:dallas.edu/biogas/eaei.html. Fry, L.J. 1973. Practical Building of Methane Power Plant For Rural Energy Independence, 2nd edition, Chapel River Press, Hampshire-Great Britain. Gaudy, Anthony and Elizabeth Gaudy. 1980. Microbiology for Environmental Scientists and Engineers. McGraw Hill, New York, (1980). Ginting, Nurzainah. 2007. Penenutun Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan. Departemen Peternakan. Fakultas Pertanian : Universitas Sumatera Utara. Greenberg, A.E., L.S. Clasceri and A.D. Easton. 1992. Standard Methods for the Examination of Water Wastewater. 18th ed. APHA, AWWA, WACF. Washington. GTZ. 1997. Biogas Utilization. http://gtz.de/gate/techinfo/biogas/appldev/operation/utilizat. Guiot, S. R. dan Van Den L. Berg., 1985. Performance of an Upflow Anaerobic Reactor Combining a Sludge Blanket and a Filter Treating Sugar Waste. Biotechnology and Bioengineering . Vol. 27. Hal. 800-806. John Wiley & Sons Inc., 1985. Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C . 1986. Anaerobic Digestion : Principles and Practices for Biogas System. The World bank Washington, D.C., USA. Hammad S.M.D. 1999. Integrated environmental and sanitary engineering project at Mirzapur. Journal of Indian Water Work Association 28:231236 Hanifah, T.A; Christine Jose; dan Titania T.Nugr oho. 2001. Pengolahan limbah cair tapioka dengan teknologi EM (Effective Microorganisms). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau. Jurnal Natur Indonesia III (2): 95-103 (2001). Hansen, H. H., Angelidaki, I. and Ahring, B. K. 1999. “Improving thermophilic anaerobic digestion of swine manure”, Wat. Sci. Tech., 33(8), 1805-1810. Haryati, Tuti. 2006. Biogas : Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Jurnal Wartazoa. Vol 16 no 3 Th 2006. Balai Penelitian Ternak : Bogor. Hermawan. Beni., L. Qodriyah., dan C. Puspita. 2007. Pemanfaatan sampah organik sebagai sumber biogas untuk mengatasi krisis energi dalam negeri. Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa. Universitas Lampung:Bandar Lampung Hessami M.A., Christensen S. and Gani R. 1996. Anaerobic digestion of household organic waste to produce biogas. Renewable Energy (9) : 1-4, 954-957. Jenie, B.S.L. dan Winiati P.R. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta. Jawed, M. and V., Tare. 1999. Microbial composition assessment of anaerobic biomass through methanogenic activity tests. Water S.A. No.25. http://www.ias.unu.edu/pub/re -briefs/full-text.pdf. Judoamidjojo, R.M., E.G. Said dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dit. Jend. Pendidikan Tinggi. P A U Bioteknologi IPB : Bogor. Judoamidjojo, Muljono, Darwis, A.A, dan Sa’id, E.G. 1992. Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor dengan Lembaga Sumberdaya Informasi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kale. S.P. and S.T. Mehetre. 2009. Biogas Plant Based On Kitchen Waste. Nuclear Agiculture and Biotechnology Division. Kapdi AA, Vijay VK, Rajest SK & R Prasat. 2004. Biogas Scrubbing Compression and Storage: Perspectives and Prospectus in India Context. Renewable Energy. 4:1-8. Karki, A.B. dan K. Dixit. 1984. Biogas Fieldbook. Sahayogi Press, Khatmandu, Nepal. Khasristya Amaru. 2004. Rancang Bangun dan Uji Kinerja Biodigester Plastik Polyethilene Skala Kecil (Studi Kasus Ds. Cidatar Kec. Cisurupan, Kab. garut). [Tugas Akhir]. Fakultas Pertanian, UNPAD : Indonesia. Kottner, M. 2002. Dry fermentation – a new method for biological treatment in ecological sanitation systems (ecosan) for biogas and fertilizer production from stackable biomass suitable for semiarid climates. In 3 rd International Conference & Exhibition on Integrated Environmental Management in Southern Africa . Johannesburg, South Africa, Aug 27-30 2002, pp http://www.misa.umn.edu/%7Emnproj/pdf/hauby%20final3.pdf. Kresnawaty, Irma., I. Susanti., Siswanto., dan Tri Panji. 2008. Optimasi produksi biogas dari limbah lateks cair pekat dengan penambahan logam. Jurnal Menara Perkebunan . Vol 76(1),hal 23-35 Th 2008. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia : Bogor. Loebis A & Tobing. 1992. Penetapan Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dengan Metode Pengujian Perkebunan 2:146-151 Sederhana. Berita Penelitian Lusk, P. 1991. Methane recovery from animal manures: the current opportunities casebook. National Renewable Energy Laboratory, NREL/SR580-25245. http://www.nrel.gov/docs/fy99osti/25145.pdf. Mahajoeno, Edwi, Lay, Bibiana Widiati, Sutjahjo, Suryo Hadi, dan Siswanto. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Jurnal Bioversitas Volume 9 No. 1. Metcalf & Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse. 4th ed. McGraw -Hill, Singapore. Meynell, P. J. 1976. Methane : Planning a Digester. Prism Press. Great Britain. Munazah, A.R dan Prayatni Soewondo. 2008. Penyisihan organik melalui dua tahap pengolahan dengan modifikasi ABR dan Constructed Wetland pada industri rumah tangga. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITB. Volume 4 No 4, Desember 2008. Nachaiyasit S. 2003. The effect of shock loads on the performance of an anaerobic baffled reactor (ABR). 1. Step changes in feed concentration at constant retention time, 2003. [NAS] Nationa l Academy of Sciences. 1981. Methane generation from human, animal, and agricultural wastes. 2nd Ed. National Academy of Sciences, Washington, D.C. Novita, Elida. 2001. Optimasi Proses Koagulasi Flokulasi pada Limbah Cair yang Mengandung Melanoidin. Jurnal ILMU DASAR, Vol.2 No.1, 2001:61-67 Nugraha, B. A. 1995. Kajian Awal Kemampuan Sludge Untuk Mendegradasi Melanoidin Secara Anaerobik. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Nugrahini, Panca; T.M.Rizki Habibi; dan Anita Dwi Safitri. 2008. Penentuan parameter kinetika proses anarobik campuran limbah cair industri menggunakan reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Jurusan Teknik Kimia, Universitas Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, Universitas Lampung, 1718 November 2008. Nugroho, A., R.P Djoko M. dan Danny S. 2007. Cara Mengatasi Limbah Rumah Makan. Teknik Kimia Universitas Diponegoro : Semarang. Nurhasanah, Ana., Teguh W.W., Ahmad A. dan Elita R. 2006. Perkembangan Digester Biogas di Indonesia (Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah). Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian : Serpong. Nurtjahya, E., S.D. Rumentor, J.F. Salamena, E.Hernawan, S. Darwati dan S.M. Soenarmo. 2003. Pemanfaatan limbah ternak ruminansia untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Panji, Tri; Suharyanto; dan Siswanto. 2007. Pemanfaatan limbah lateks pekat untuk produksi biogas dan bioindustri menuju produksi bersih. Laporan Kemajuan Penelitian Pro yek Riset Insentif Terapan. Bogor, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. 49p. Pambudi, N.A. 2008. Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif. Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik:Universitas Gadjah Mada. http://www.dikti.org/ Pramana, A.S.D. 2008. Selayang Pandang Tentang Molase (Tetes Tebu). Chemical Engineering Knowledge. Prastow o, Bambang. 2007. Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil dan Pengguna Energi Terbarukan : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesian Center for Estate Crops Research and Development. Perspektif Vol. 6 No. 2 Desember 2007. Hal 84 - 92 Purwono. 2003. Penentuan Rendeman Gula Tebu Secara Cepat. Science Philosophy, Graduate Program (S3) Institut Pertanian Bogor. Raliby, Oesman; Retno Rusdjijati; dan Imron Rosyidi. 2009. Pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas sebagai bahan bakar alternatif pada industri pengolahan tahu. Ratnaningsih; H. Widyatmoko; Trieko Yananto. 2009. Potensi pembentukan biogas pada proses biodegradasi campuran sampah organik segar dan kotoran sapi dalam batch reaktor anaerob. Vol.5 No.1, Juni 2009. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti, Jakarta. Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessen, E. de Jong, H.W. Elbersen, R. Weusthuis, J.P. van Dijken & L. Raamsdonk. 2002. Co-production of bio-ethanol, electricity and heat from biomass residues. Proceedings of the 12th European Conference on Biomass for Energy, Industry and Climate Protection, 17 -21 June 2002, Amsterdam, The Netherlands. pp. 1118 - 1123. Sa’id, E.G. 1987. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa. Seenayya, G; Rao, C.V; Shivaraj, D; Preeti; Rao S; and Venkatswamy. 1992. Final Report Submitted to Department of Non -Conventional Energy Sources. New Delhi, Govemment of India, 85p. Setiawan, A.I. 2008. Memanfatkan Kotoran Ternak. Cet 14. Jakarta: Penebar Swadaya. Sherrington, K.B. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta :UGM Press. Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Singgih, M.L dan Mera K. 2008. Perancangan Alat Teknologi Tepat Guna untuk Mengurangi Dampak Lingkungan dan Meningkatkan Pendapatan Rumah Pemotongan Ayam. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VIII. Program Studi MMT-ITS : Surabaya. Sufyandi, A. 2001. Informasi Teknologi Tepat guna Untuk Pedesaan Biogas. Bandung. Suranto; Ratna Setyaningsih; Ari Susilowati dan Tjahjadi Purwoko. 2001. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Jurusan Biologi, Fakultas MIPA : Universitas Sebelas Maret. Suyati, F. 2006. Perancangan awal instalasi biogas pada kandang terpencar Kelompok Ternak Tani Mukti Andhini Dukuh Butuh Prambanan Untuk Skala Rumah Tangga. Skripsi. Jurusan Teknik Fisika:Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Syafila, M., H.D.L Azis., dan E. Lyastuti, 2003. Studi mekanisme sel termobilisasi dan sel bebas dalam fase terlekat pada reactor hibrit anaerob dengan beban organik tinggi dan perlakuan waktu retensi. Jurnal. Biosains (1):16-23. Syafila, M., Asis H. Djajadiningrat., dan Marisa Handajani. 2003. Kinerja Bioreaktor Hibrid Anaerob dengan Media Batu untuk Pengolahan Air Buangan yang Mengandung Molase. Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. PROC.ITB Sains & Tek .Vol.35 A, No.1, 2003, 19-31 Syamsudin; Sri Purwati; dan Andri Taufick R. 2008. Efektivitas aplikasi enzim dalam sistem lumpur aktif pada pengolahan air limbah pulp dan kertas. Balai Besar Pulp dan Kertas, Bandung. Berita Selulosa Vol. 43(2), hal 83-92, Desember 2008. United Nations. 1980. Guidebook on Biogas Development. Energy Resources Development Series No. 21. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. Bangkok. Thailand. Unnithan, Chitra. 2008. Compact 'biokitch' to help generate bio gas from kitchen waste. http://www.business-standard.com/india/ Veziroglu, T.N. 1991. Hydrogen Technology for Every Needs of Human Settlement. Int. Journal Hydrogen Energy, 12:99. Wellinger A, & A. Lindeberg 1999. Biogas upgrading and utilization. IEA Bioenergy Task 24: energy from biological conversion of organik wastes. 18 p http://www. IEA Bioenergy/Task 24.edu/pdf . Wellinger A. 1999. Process design of agricultural digesters. http://ww.homepade.2.nifty.com/biogas/cont/ref.doc/wherefdrcom/ d.14prod.gas.pdf. Werner U., Stochr V. and N. Hees. 1989. Biogas Plant in Animal Husbandry: Application of the Dutch Guesllechaft Fuer Technische Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH. Widodo, T.W and Agung Hendriadi. 2005. Development of Biogas Processing for Small Scale Cattle Farm in Indonesia. Conference Proceeding: International Seminar on Biogas Technology for poverty Reduction and Sustainable Development. Beijing, October 17-20,2005. pp. 255-261 [in English]. Widodo, T.W., Asari, A., Ana, N., dan Elita, R. 2006. Rekayasa dan Pengujian Reaktor Biogas Skala Kelompok Tani Ternak. Jurnal En gineering Pertanian, Vol. IV, No. 1. Widodo, T.W., Asari, A., Ana, N., dan Elita, R. 2008. Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian Untuk Energi Biogas. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Zhang, R., El-Mashad, H.M., Hartman, K., Wang, F., Liu, G Choate, C., and Gamble, P., 2007. Characterization of food waste as feedstock for anaerobic digestion. Bioresource Technology. 98 (4), 929-935 Lampiran 1. Hasil pengukuran parameter fisik (pH, suhu, volume biogas, dan uji nyala), kimia (COD dan TS), dan biologi (konsorsia bakteri) dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian No Perlakuan Kelompok substrat Inokulum KODE Ulangan pH M0 I M2 M4 M6 M0 Suhu (°C) M2 M4 M6 KONTROL (K) 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan KI1 KI2 KI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan KII1 KII2 KII3 1 2 3 II Kode A 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan AI1 AI2 AI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan AII1 AII2 AII3 1 2 3 III Kode B 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan BI1 BI2 BI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan BII1 BII2 BII3 1 2 3 7.04 7.1 7.19 7.11 7.17 7.09 7.15 7.14 6.37 6.21 5.94 6.17 6.56 6.86 6.51 6.64 6.39 6.16 5.87 6.14 6.63 7.54 6.5 6.89 6.33 6.05 5.87 6.08 6.67 7.65 6.61 6.98 30.3 31.5 32 31.3 45.3 45.2 45.2 45.2 29.6 30.5 30.3 30.1 45.3 45.3 45.2 45.3 30.5 30.5 30.3 30.4 45.1 45.3 45.3 45.2 25.3 25.5 25.2 25.3 45.2 45.2 45.2 45.2 7.14 7.08 7.16 7.13 7.07 7.12 7.12 7.1 5.21 5.11 5.37 5.23 5.39 5.52 4.86 5.26 4.97 5.04 5.43 5.15 5.17 5.39 4.81 5.12 4.69 4.93 5.23 4.95 5.1 5.4 4.7 5.07 31.5 31.9 31 31.5 45.3 45.1 45.2 45.2 30.2 29.7 30 30 45.2 45.2 45.3 45.2 29.9 30.4 30.2 30.2 45.2 45.3 45.3 45.3 25.7 25.7 25.3 25.6 45.2 45.1 45.1 45.1 7.09 7.07 7.04 7.07 7.16 7.16 7.12 7.15 4.88 4.76 4.79 4.81 5 4.89 4.94 4.94 5 4.83 4.81 4.88 4.79 4.69 4.92 4.8 4.94 4.74 4.73 4.8 4.73 4.71 4.81 4.75 31.2 32.1 32.5 31.9 45.2 45.3 45.2 45.2 29.4 29.9 30.5 29.9 45.3 45.3 45.2 45.3 30 30.1 30.2 30.1 45.1 45.2 45.2 45.2 25.5 25.7 25.6 25.6 45.3 45.2 45.2 45.2 96 No Perlakuan Kelompok substrat Inokulum KODE Ulangan M0 I Konsorsia bakteri (sel/ml) M2 M4 M6 M0 COD (mg/l) M2 M4 M6 KONTROL (K) 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan KI1 KI2 KI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan KII1 KII2 KII3 1 2 3 II Kode A 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan AI1 AI2 AI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan AII1 AII2 AII3 1 2 3 III Kode B 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan BI1 BI2 BI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan BII1 BII2 BII3 1 2 3 6.43E+06 5.95E+06 1.11E+07 7.83E+06 7.70E+06 5.20E+06 6.33E+06 6.41E+06 1.28E+07 1.11E+07 1.30E+07 1.23E+07 1.42E+07 1.64E+07 2.16E+07 1.74E+07 1.72E+07 1.58E+07 1.94E+07 1.75E+07 2.03E+07 2.08E+07 1.76E+07 1.96E+07 88000 69650 49597 33419 2.27E+07 88000 70000 40455 25500 1.94E+07 88000 71500 50550 30121 1.75E+07 1.99E+07 88000.00 70383.33 46867.33 29680.00 84249 64449 40383 24224 1.87E+07 84249 58125 36194 24458 2.33E+07 84249 59963 41491 20973 1.80E+07 2.00E+07 84249.00 60845.67 39356.00 23218.33 2.87E+07 3.01E+07 1.98E+07 2.62E+07 1.94E+07 1.98E+07 2.10E+07 2.01E+07 1.98E+07 1.54E+07 1.89E+07 1.80E+07 2.31E+07 2.19E+07 2.49E+07 2.33E+07 2.10E+07 2.26E+07 2.63E+07 2.33E+07 2.10E+07 2.22E+07 2.25E+07 2.19E+07 154544 129059 2.66E+07 219000 186000 2.69E+07 219000 183000 146000 116838 149000 130485 2.64E+07 219000 182000 2.66E+07 219000.00 183666.67 149848.00 125460.67 150185 123927 2.52E+07 215000 182613 139779 109472 2.53E+07 215000 177477 143015 110122 2.51E+07 215000 171802 2.52E+07 215000.00 177297.33 144326.33 114507.00 2.92E+07 3.34E+07 3.52E+07 3.26E+07 1.86E+07 2.43E+07 1.80E+07 2.03E+07 3.15E+07 2.78E+07 2.62E+07 2.85E+07 2.54E+07 2.65E+07 2.37E+07 2.52E+07 3.19E+07 3.26E+07 3.07E+07 3.17E+07 2.38E+07 2.94E+07 2.52E+07 2.61E+07 3.25E+07 259000 240000 229000 205074 225000 218000 3.65E+07 259000 254000 3.55E+07 259000 248162 215678 205662 3.48E+07 259000.00 247387.33 223226.00 209578.67 200477 178401 3.18E+07 234176 221691 200015 182176 2.91E+07 234176 210775 2.89E+07 234176 227207 202603 190176 2.99E+07 234176.00 219891.00 201031.67 183584.33 96 No Perlakuan Kelompok substrat Inokulum KODE Ulangan M0 I 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata II 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata III 1 2 3 Rata-rata 4 5 6 Rata-rata KONTROL (K) Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan KI1 KI2 KI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan 80%+Molase 0% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan KII1 KII2 KII3 1 2 3 Kode A Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan AI1 AI2 AI3 1 2 3 Termofilik Termofilik Termofilik Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan 60%+Molase 20% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan AII1 AII2 AII3 1 2 3 M2 TS (%) M4 174.00 138.53 73.46 71.84 73.76 50.36 46.36 51.76 30.66 31.28 30.96 0 0 0 0 4100 1215 2475 2425 2365 550 9301 5090 99.04 73.02 49.49 30.97 0 5315 314.88 314.88 314.88 172.22 294.14 276.06 163.1 188.12 205.32 129.1 131.44 136.22 0 0 0 314.88 247.47 0 185.51 62.55 132.25 0 0 0 1166 540 1174 0 2880 Total 140.76 142.92 131.9 95.39 62.12 63.3 62.22 Volume biogas (ml) M2 M4 M6 M0 174 174 174 99.04 99.04 99.04 99.5 93.24 93.42 M6 1777 2495 2345 595 508 0 6617 1103 10600 7265 14941 27521 1792 1208 600 0 1215 635 650 0 615 3600 1850 237.3 237.3 237.3 179.1 187.1 182.28 144.12 147.26 145.88 100.88 100.7 105.52 0 0 0 0 550 1875 650 0 1230 1284 1793 650 1265 6715 237.30 182.83 145.75 102.37 0 2425 1880 3727 8032 299.78 299.4 281.96 187.68 238.62 236.48 0 0 0 0 0 580 640 600 0 570 550 565 Kode B Mesofilik Mesofilik Mesofilik Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan BI1 BI2 BI3 1 2 3 449.98 449.98 449.98 373.04 388.32 382.4 449.98 1 2 3 176.58 171.5 173.66 0 0 0 620 549 1184 1065 1850 1800 3505 BII1 BII2 BII3 235.52 233.54 231.26 1685 Limbah makanan Limbah makanan Limbah makanan 307.4 304.52 301.56 1240 Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% Limbah makanan 40%+Molase 40% 359.46 359.46 359.46 381.25 Termofilik Termofilik Termofilik 359.46 304.49 233.44 173.91 0 2353 4715 570 7638 293.71 220.93 0 580 0 0 570 96 Lampiran 2. Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan terhadap nilai COD dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian a. Uji Anava ANOVA COD Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 4,0E+011 1,1E+009 4,0E+011 df 23 48 71 Mean Square 1,755E+010 22130712,42 F 792,813 Sig. ,000 b. Uji DMRT Lampiran 3. Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan terhadap nilai total solids (TS) dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian a. Uji Anava ANOVA TS Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 5331,550 26,371 5357,921 df 23 48 71 Mean Square 231,807 ,549 F 421,933 Sig. ,000 b. Uji DMRT Lampiran 4. Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan terhadap jumlah volume biogas selama 45 hari waktu pengamatan a. Uji Anava ANOVA Volume_biogas Between Groups Within Groups Sum of Squares 86975843 54256052 Total 1,4E+008 df 23 48 71 Mean Square 3781558,386 1130334,417 F 3,346 Sig. ,000 b. Uji DMRT 96 Lampiran 5. Hasil pengamatan pertumbuhan konsorsia bakteri pada proses fermentasi anaerob substrat limbah organik dengan menggunakan metode perhitungan secara mikroskopis dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian a. Kelompok K (Limbah Makanan 80% + Molase 0%) Perbesaran : 100 x Kondisi suhu tinggi (50°C) Kondisi suhu ruang b. Kelompok A (Limbah Makanan 60% + Molase 20%) Perbesaran : 100 x Kondisi suhu tinggi (50°C) Kondisi suhu ruang 96 c. Kelompok B (Limbah Makanan 40% + Molase 40%) Perbesaran : 100 x Kondisi suhu tinggi (50°C) Kondisi suhu ruang 96 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus -tulusnya dan sebesar -besarnya kepada : 1. Ibunda tercinta Hj. Dewi Ombah dan ayahanda Mulyono (Alm), serta keluarga besar di Jakarta atas dorongan, kekuatan, kesabaran, dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 2. Alnol Ramadhan Putra Alfisa, atas cinta dan kasih sayang, atas semangat, kekuatan, dukungan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 3. Sahabat seperjuanganku selama kurang lebih 4 tahun : Chi-Chi, Fadhilla, Ita, Lia, Opie, Siti, Tari, Te_Pe, Titin, atas bantuan, semangat, dorongan, keceriaan, dan kebersamaannya selama ini dengan penulis. 4. Teman-teman tim biogas, terima kasih atas bantuan dan kerjasama selama menjalankan penelitian dan menyelesaikan skripsi. 5. Teman-teman Biologi angkatan 2005, terima kasih atas semua bantuan, motivasi, kerjasama, dan kebersamaannya. 6. Teman-teman kos Raihana, terima kasih atas segala bantuan dan semangatnya kepada penulis. 7. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas bantuannya kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi. 105 RIWAYAT HIDUP PENULIS Nama Lengkap : Indriyani Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 20 Oktober 1987 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Status Pernikahan : Belum menikah Alamat Asal : Jl. Saibun RT 012 RW 04 No.1 Kel.Susukan, Kec.Ciracas : Jakarta Timur 13750 No.HP : 081317911016 / 083866332466 Alamat E-mail : [email protected] Pendidikan Formal : Tingkat Nama Tahun mulai Tahun selesai Pendidikan TK TK Bina Putra 1990 1992 SD SDN 08 Pagi 1993 1999 SMP MTsN 7 ‘Model’ Jakarta 1999 2002 SMU SMU IT Nurul Fikri 2002 2005 Pendidikan Non-Formal : Nama Pelatihan/Kursus Instansi Penyelenggara Tahun Bimbingan Belajar Nurul Fikri 2004-2005 EAP UPTP2B UNS 2006 96 106 Beasiswa yang pernah diperoleh : Nama Beasiswa Instansi Pemberi Tahun BBM - 2007-2009 Pengalaman Organisasi : Organisasi Jabatan Tahun Pramuka Anggota 1997-1998 Paskibra Anggota 1999-2000 Bulan Sabit Merah (BSMR) Anggota 2003-2004 Himabio Staff Bidang Kaderisasi 2005-2006 Himabio Kepala Deputi Bidang Kaderisasi 2006-2007 BEM Staff Departemen Dalam Negeri 2005-2006 Syiar Kegiatan Islam (SKI) Staff Bidang Syiar 2006-2007 Forum Ukhuwah Jakarta Anggota 2006-2007 dan Sekitarnya (FOEDJAS) Pengalaman Bekerja : Pekerjaan Tahun Magang di UPT BPPTK LIPI Yogyakarta 2007 Asisten praktikum biologi umum 2008 Surakarta, ……………… Indriyani 96