PEMANFAATAN LIMBAH RUMAH MAKAN DAN INDUSTRI GULA

advertisement
PEMANFAATAN LIMBAH RUMAH MAKAN DAN INDUSTRI GULA
(MOLASE) UNTUK PRODUKSI BIOGAS
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh :
Indriyani
NIM M0405032
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IL MU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
PENGESAHAN
SKRIPSI
PEMANFAATAN LIMBAH RUMAH MAKAN DAN INDUSTRI GULA
(MOLASE) UNTUK PRODUKSI BIOGAS
Oleh :
Indriyani
NIM. M0405032
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji
Pada tanggal : 1 Februari 2010
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Surakarta,
Penguji I
Penguji II
.
Dra. Noor Soesanti, M.Si.
NIP. 195403261 98103 2 001
Dr. Sunarto, M.S.
NIP. 19540605 99103 1 002
Penguji III
Penguji IV
Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si.
NIP. 196010251 99702 1 001
Dr. Artini Pangastuti, M.Si.
NIP. 197505312 00003 2 001
Mengesahkan
Dekan FMIPA
Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D.
NIP. 19600809 198612 1 001
Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan,M.Si.
NIP. 19500320 197803 2 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri
dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari dapat ditemukan unsur adanya penjiplakan maka gelar
kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.
Surakarta, …………………
Indriyani
NIM. M0405032
PEMANFAATAN LIMBAH RUMAH MAKAN DAN INDUSTRI GULA
(MOLASE) UNTUK PRODUKSI BIOGAS
Indriyani
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
ABSTRAK
Limbah organik dari rumah makan maupun pabrik gula (molase) dapat
dimanfaatkan untuk energi biogas dengan cara fermentasi anaerob. Proses ini
melibatkan metanogen untuk merombak bahan-bahan organik yang terkandung di
dalam limbah menjadi biogas dan lumpur sisa fermentasi yang dapat
dimanfaatkan menjadi pupuk. Kegiatan dengan konsep nir limbah (zero waste)
seperti ini lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui jumlah biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah
makan dan molase serta mengetahui pengaruh perbedaan suhu lingkungan yaitu
suhu ruang (31°C) dan suhu tinggi (50°C) terhadap produksi biogas pada
biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium selama 45 hari proses fermentasi
anaerob.
Penentuan produksi biogas terbaik dari variasi jenis substrat dan perbedaan
suhu lingkungan diketahui dari 24 kombinasi perlakuan. Kombinasi perlakuan
merupakan interaksi antara jenis substrat, suhu lingkungan, dan waktu fermentasi.
Substrat terdiri dari 3 kelompok yaitu : 80% murni limbah rumah makan atau
tanpa penambahan molase, 60% limbah rumah makan ditambahkan 20% molase,
dan 40% limbah rumah makan ditambahkan 40% molase; 2 kondisi suhu
lingkungan yaitu suhu ruang (green house) dan suhu tinggi (50°C); dan 4 kali
waktu pengamatan selama 45 hari proses fermentasi. Masing-masing kelompok
substrat terdiri dari 3 ulangan, baik kelompok substrat pada suhu ruang maupun
suhu tinggi. Selanjutnya dianalisis dengan uji Anava dan uji DMRT pada taraf
5%. Parameter pendukung yang diamati meliputi : pH, suhu, COD, TS, konsorsia
bakteri, volume biogas, dan uji nyala.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah biogas terbaik adalah dari
kelompok substrat murni limbah rumah makan (tanpa molase) dengan pemberian
suhu tinggi (50°C) pada minggu ke -6 (terakhir). Biogas yang dihasilkan sebanyak
27.521 ml (27 liter), dengan nilai rata-rata COD dan TS paling rendah diantara
kelompok lain yaitu 23,22 g/l dan 30,97 g/l. Selain itu, juga diperoleh nilai
efisiensi degradasi tertinggi, yaitu dengan nilai efisiensi degradasi COD sebesar
72,44% dan TS sebesar 68,73%. Tingkat degradasi terbesar terjadi pada minggu
ke-6. Ini menandakan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka semakin besar
pula degradasi yang terjadi. Dengan demikian, limbah tersebut lebih aman bagi
lingkungan.
Kata Kunci : Limbah organik, limbah rumah makan, molase, fermentasi anaerob,
metanogen, biogas, COD, TS
THE UTILIZATION OF KITCHEN WASTE AND SUGAR INDUSTRY
(MOLASE) FOR BIOGAS ENERGY PRODUCTION
Indriyani
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas Maret University, Surakarta
ABSTRACT
Organic waste from kitchen and sugar industry (molase) can be utilized for
biogas energy production by anaerobic digestion. The process makes use of
methanogenic bacteria to disgest organical material inside, converting into biogas
and sludge. The sludge could be utilized as compost or fertilizer. The zero waste
concepts in this organic waste are more promoted recently caused it is
environmentally friendly and sustainable. The purpose of this research is to detect
the number of biogas energy from kitchen waste substrat and molase; and to
detect the influence of different themperature (including spacial and high
themperature) toward biogas energy production at batch biodigester in a
laboratory scale of anaerobic digestion process for 45 days.
The determinant of best biogas energy production could be detected by 24
treatments combination. Treatment combination is an interaction among substrat
types, themperatures, and time digestions. Substrat consist of three groups, they
are : 80% pure kitchen waste or without adding molase, 60% kitchen waste adding
20% molase, and 40% kitchen waste adding 40% molase; two conditions of
themperatures, they are : spacial themperatures (green house) and high
themperature (50°C); and four times of observation time of digestion process for
45 days. Each of these groups consist of three re-treatment. In both spacial ang
high themperature. Then, these will be analyzed by Anava and DMRT test at the
level of 5%. The support parameter which were observed included : pH,
themperature, COD, TS, bacteria concorcium, biogas volume, and burning test.
The result shows that the best qualified biogas production is derived from
the group of pure kitchen waste (without molase) with a high themperature (50°C)
at six th week (the latest week). The result of biogas energy production is 27.521
ml (27 L), with the lowest rate COD and TS among the other groups : 23,22 g/l
and 30,97 g/l. Moreover, the poin of highest degradation efficiency gathered from
COD is 72,44%, and from TS is 68,73%. The highest level of degradation was
conducted in the six th week. This indicates that the development of degradation
efficiency is equivalent to the length time of digestion. Therefore, the quality of
waste will be better. Thus, it will be secure for the environment.
Keywords : Organic waste, kitchen waste, molase, anaerobic digestion,
methanogenic, biogas, COD, TS
MOTTO
Allah tidak memikulkan tanggung jawab kepada seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Q S. Al Baqarah : 286)
Dan janganlah kamu merasa rendah diri, dan jangan pula bersedih hati,
padahal kamulah yang paling tinggi (derajatnya)
jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Al Imran : 139)
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
(QS. Ar Rahman)
Sesungguhnya beserta (sehabis) kesulitan ada kemudahan
(QS. Al. Insyirah : 6)
Allah mungkin tidak memberikan apa yang kita minta, tapi Dia akan
memberikan apa yang kita butuhkan. Karena Allah Maha Megetahui
Lagi Maha Segalanya. Allah mengetahui yang terbaik bagi umatNya.
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah
Allah Maha Besar
Dengan penuh rasa syukur yang teramat tulus
kepadaNya
Penganugerah segalanya tanpa kecuali
Pemilik Segala Yang Bermakna
Maka Kupersembahkan karya sederhanaku ini
teruntuk :
Ibunda dan Ayahanda (Alm) terkasih atas cinta,
pengorbanan dan iringan doa sepanjang waktu
Kakak-kakak dan Adik-adik ku tercinta (Hardi, Iwan,
Heri, Widi, Budi, Andi, dan Khoir)
Atas nasehat, dorongan dan semangatnya
atas keceriaanyya, warnai dunia dengan tawamu…
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan segala
rahmat
dan
hidayah-Nya
yang
tak
terhingga
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul : ‘Pemanfaatan
Limbah Rumah Makan dan Industri Gula (Molase) Untuk Produksi Biogas”.
Penyusunan skripsi ini merupakan suatu syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan strata 1 (S1) pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam melakukan penelitian maupun penyusunan skripsi ini penulis telah
mendapatkan banyak masukan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang
sangat berguna dan bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya dan sebesar -besarnya kepada :
Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan ijin penelitiannya untuk keperluan skripsi.
Drs. Endang Anggarwulan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ijin dan saran kepada penulis dalam penelitian dan
penyusunan skripsi.
Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si., selaku dosen pembimbing I dan Dr. Artini
Pangastuti, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, memberikan masukan, arahan, meluangkan waktu, memberikan
dorongan dan kesabaran kepada penulis selama penelitian hingga akhir
penyusunan skripsi. Terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan yang telah
diberikan.
Dr. Sunarto, M.S., selaku dosen penelaah I dan juga sebagai pembimbing
akademik dan Dra. Noor Soesanti, M.Si., selaku dosen penelaah II yang telah
memberikan bimbingan dan arahan serta masukan kepada penulis selama
penelitian hingga akhir penyusunan skripsi.
Seluruh dosen dan staff di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas
bantuan dan kerjasamanya selama ini kepada penulis.
Dr. Okid Parama Astirin, M.S., selaku Pimpinan Laboratorium Pusat
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret
Surakarta beserta seluruh staff, terima kasih atas izin yang telah diberikan kepada
penulis untuk melaksanakan penelitian di Laboratorium Pusat (green house).
Teman-teman tim biogas (Agus Purnomo, Anugrah Adi Santoso, Kelik
Wijaya, Khori Ex Indarto, Septian Eko Wardoyo, Siti Nur Chotimah, Soffia Noor
Affiati, dan Yanuar), terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama
melaksanakan penelitian.
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima
kasih banyak atas bantuannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam melakukan
penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
masukan yang berupa saran dan kritik yang membangun dari para pembaca akan
sangat membantu. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan pihakpihak yang terkait.
Surakarta, ………Januari 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
iii
ABSTRAK ..................................................................................................
iv
ABSTRACT ................................................................................................
v
HALAMAN MOTTO .................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xv
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................
xvi
BAB I.
PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Perumusan Masalah ...............................................................
4
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
4
D. Manfaat Penelitian .................................................................
5
BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................
6
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................
6
1. Limbah Industri Pangan ..................................................
6
1.1 Limbah Rumah Makan...............................................
6
1.2 Molase .......................................................................
9
2. Teknologi Fermentasi Anaerob .......................................
10
2.1 Prinsip Proses Fermentasi Anaerob ............................
12
2.2 Faktor yang Berpengaruh pada Fermentasi Anaerob .
14
2.3 Fakt or Ketidakseimbangan Fermentasi Anaerob .......
22
2.4 Keuntungan Fermentasi Anaerob ...............................
24
3. Produksi Biogas ................................................................
25
3.1 Kualitas Biogas ..........................................................
25
B. Kerangka Pemikiran ..............................................................
27
C. Hipotesis ................................................................................
30
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................
31
A. Waktu dan Tempat Penelitian ...............................................
31
B. Alat dan Bahan ......................................................................
31
C. Cara Ker ja .............................................................................
32
a.Tahap Perisapan ..................................................................
33
b.Tahap Penelitian ..................................................................
33
1.Pembuatan Inokulum ...................................................
33
2.Fermentasi Anaerob (Produksi Biogas) .......................
34
3.Pengukuran pH dan Suhu .............................................
35
4.Pengukuran Pertumbuhan Bakteri ...............................
35
5.Pengukuran Volume Biogas dan Uji Nyala .................
38
6.Pengukuran Chemical Oxygen Demand (COD) ..........
38
7.Pengukuran Total Solids (TS) ......................................
39
D. Rancangan Percobaan ............................................................
40
E. Analisis Data .........................................................................
42
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
43
a.
Hasil Penelitian ...................................................................
43
b.
Pembahasan .........................................................................
50
BAB V. PENUTUP ...................................................................................
80
A. Kesimpulan ............................................................................
80
B. Saran ......................................................................................
81
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
82
LAMPIRAN ................................................................................................
92
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... 104
RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................................... 105
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Perbandingan antara sistem biogas konvensional dan sistem
biogas dari limbah rumah makan ..............................................
7
Tabel 2.
Kondisi pengoperasian pada proses fermentasi anaerob ...........
11
Tabel 3.
Rancangan percobaan perombakan anaerob limbah
rumah makan dan molase ......................................................
41
Tabel 4.
Karakterisasi awal substrat untuk percobaan ............................
44
Tabel 5.
Rata-rata pH substrat dalam 4 kali waktu pengamatan .............
45
Tabel 6.
Produksi biogas dari limbah organik rumah makan dan
campuran molase menggunakan biodigester sistem curah
dengan waktu fermentasi 6 minggu ..........................................
46
Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) pada nilai
COD substrat limbah rumah makan dan campuran molase
pada fermentasi anaerob ............................................................
47
Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) total solids
substrat limbah rumah makan dan campuran molase pada
fermentasi anaerob.....................................................................
48
Pengaruh konsentrasi COD pada interaksi jenis substrat dan
suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam
biodigester anaerob....................................................................
49
Tabel 10. Pengaruh konsentrasi TS pada interaksi jenis substrat dan
suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam
biodigester anaerob....................................................................
49
Tabel 11. Pengaruh produksi biogas pada interaks i jenis substrat dan
suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam
biodigester anaerob....................................................................
49
Tabel 12. pH substrat sebelum dan sesudah diberi kapur dan NaOH
sebagai pH pada hari ke -0 .........................................................
67
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Kitchen Waste Plants ............................................................
8
Gambar 2.
Alur pengolahan tebu menjadi gula kristal ............................
10
Gambar 3.
Proses pembentukan biogas ...................................................
12
Gambar 4.
Perbandingan tingkat produksi biogas pada 15°C dan 35°C..
18
Gambar 5.
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian .............................
29
Gambar 6.
Produksi biogas pada suhu ruang (25-32°C) dan suhu tinggi
(50°C) .....................................................................................
46
Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing
kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (25-32°C) pada
hari ke-0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45.. ..................
54
Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing
kelompok substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada
hari ke-0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45 ....................
54
Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu ruang (25-32°C)
pada hari ke -0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45.. .........
64
Gambar 10. Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C)
pada hari ke -0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45 ...........
65
Gambar 11. Rata-rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu
ruang (25-32°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke -30, dan
hari ke-45............ ....................................................................
67
Gambar 12. Rata-rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu
tinggi (50ºC) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke -30, dan hari
ke-45 .......................................................................................
68
Gambar 13. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing
kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (25-32°C) pada
hari ke-0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45 ....................
70
Gambar 14. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing
kelompok substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada
hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45 ....................
71
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Hasil pengukuran parameter fisik (suhu, volume biogas,
dan uji nyala), kimia (pH, COD, dan TS), dan biologi
(konsorsia bakteri) dalam 4 kali waktu pengamatan
selama 45 hari waktu penelitian..........................................
92
Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu
lingkungan terhadap nilai COD dalam 4 kali waktu
pengamatan selama 45 hari waktu penelitian......................
95
a.Uji Anava .........................................................................
95
b.Uji DMRT .......................................................................
96
Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu
lingkungan terhadap nilai total solids (TS) dalam 4 kali
waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian...........
97
a.Uji Anava .........................................................................
97
b.Uji DMRT .......................................................................
98
Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu
lingkungan terhadap jumlah volume biogas selama 45
hari waktu pengamatan........................................................
99
a.Uji Anava .........................................................................
99
b.Uji DMRT ....................................................................... 100
Lampiran 5.
Hasil pengamatan pertumbuhan konsorsia bakteri pada
proses fermentasi anaerob substrat limbah organik dengan
menggunakan metode perhitungan secara mik roskopis
dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu
penelitian ............................................................................. 101
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan
Kepanjangan
CH4
Karbon Tetra Hidroksida (metana)
CO2
Karbon dioksida
C
Karbon
N
Nitrogen
O
Oksigen
H2
Hidrogen
H 2S
Hidrogen sulphur
l
Liter
ml
Mililiter
kg
Kilogram
m3
Meter kubik
KWP
Kitchen Waste Plants
LPG
Liquid Petroleum Gas
°C
Derajat celcius
VS
Volatil solids
SPC
Sistem Pengisian Curah
TS
Total Solids
P
Posfor
K
Kalium
Ca
Kalsium
Mg
Mangan
Fe
Fero (besi)
M
Molar
Ni
Nike l
Na
Natrium
kwj
Kilo watt joule
kkal
Kilo kalori
Cl2
Diklorid
F2
Fluor II
ppm
Part Per Million
SO2
Sulphur dioksida
SO3
Sulphur trioksida
H 2SO3
Sulphur acid
cm
Sentimeter
Na(OH)
Natrium hidroksida
mm
Milimeter
COD
Chemical Oxygen Demand
ANAVA
Analisis of Varian
DMRT
Duncan Multiple Range Test
LM+M
Limbah makanan ditambahkan molase
NH3
Nitrit
M_n
Minggu ke_n
SnTnMn
Substrat, Suhu, Waktu
mM
Mili molar
µg
Mikro gram
LKLM
Lumpur Kolam
LCPMKS
Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit
VFA
Volatile Fatty Acid
mg/l
Milligram per liter
NAS
National Academy of Sciences
pH
Derajat keasaman
g/l
Gram per liter
HRT
Hidrolitic Retention Time
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Industri rumah makan merupakan salah satu dari beberapa sektor industri
pangan yang cukup potensial untuk dikembangkan karena meningkatnya populasi
manusia. Semakin banyak industri rumah makan, maka limbah yang dihasilkan
akan semakin meningkat jumlahnya, terutama limbah organik. Apabila tidak
diambil tindakan untuk mengolah limbah tersebut, maka masalah yang akan
ditimbulkan akan semakin besar, yaitu menimbulkan pencemaran lingkungan dan
mengganggu kesehatan masyarakat.
Limbah rumah makan bisa berasal dari dapur, yakni bagian dari sayuran,
buah dan bahan makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang,
bisa juga sisa makanan yang tidak habis disantap para tamu (Nugroho dkk., 2007).
Sebagian besar dari limbah tersebut langsung dibuang tanpa pengolahan terlebih
dahulu. Hal seperti ini dapat menimbulkan masalah pencemaran maupun
kesehatan lingkungan. Limbah rumah makan jika dibiarkan terdekomposisi secara
aerob terbuka (tanpa diolah) maka akan menghasilkan gas metana (CH4) yang
bersama dengan gas karbondioksida (CO 2) akan memberikan efek rumah kaca dan
menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Padahal, gas metan ini
sebenarnya sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber energi dalam bentuk
biogas (Khasristya , 2004).
Bahan yang sudah umum digunakan dalam produksi biogas adalah
limbah peternakan, seperti kotoran sapi. Tidak menutup kemungkinan bahwa
limbah organik lain juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar (substrat) dalam
pembentukan biogas, karena prinsip dalam pembentukan biogas adalah bahan
organik yang akan didekomposisi secara anaerob oleh mikroorganisme. Limbah
rumah makan cukup berpotensi dijadikan sebagai bahan pembuatan biogas karena
mengandung bahan organik sangat tinggi. Bahan organik tersebut terdiri dari
karbohidrat, protein, lemak, selulosa atau ligno selulosa, dan hemiselulosa yang
dapat didegradasi secara biologi (Jenie dan Winiati, 1993).
Penggunaan teknik biodigester biasa digunakan dalam mengolah limbah
organik untuk dijadikan biogas. Pemanfaatan limbah organik untuk produksi
biogas dapat mengurangi jumlah limbah rumah makan yang semakin bertambah,
dan dapat mereduksi emisi gas metan, sehingga dapat berperan positif dalam
upaya penyelesaian permasalahan pemanasan global (efek rumah kaca)
(Khasristya, 2004).
Sejauh ini, digester yang telah digunakan dalam pengolahan limbah
organik umumnya memiliki desain yang rumit sehingga diperlukan tenaga ahli
untuk membuatnya dan juga membutuhkan dana besar dalam pembuatannya
(Khasristya, 2004). Diperlukan tipe digester alternatif yang lebih sederhana dan
mudah pengoperasiannya, sehingga da pat diterapkan di industri rumah makan
kecil. Selain itu, perlu modifikasi sistem biodigester agar dapat dihasilkan biogas
secara optimal. Modifikasi tersebut misalnya dengan variasi substrat, baik jenis
maupun konsentrasi dan parameter yang spesifik, seperti suhu, pH, dan agitasi.
Pada penelitian ini digunakan biodigester sistem curah (batch ) dengan
modifikasi jenis dan konsentrasi substrat serta pemberian suhu yang berbeda pada
substrat. Substrat yang digunakan adalah limbah yang dihasilkan dari rumah
makan sekitar kampus UNS (tidak termasuk rumah makan padang), terdiri dari
bagian sayuran yang tidak termasak, buah yang telah membusuk dan sisa
makanan yang tidak habis dimakan. Substrat tersebut dicampur dengan limbah
industri gula (molase) yang diambil dar i Pabrik Gula Tasikmadu. Suhu yang
dibedakan adalah suhu ruang (green house : 25-32ºC) dan suhu tinggi (50ºC).
Menurut Widodo dkk.,(2006), agar bakteri dapat tumbuh dengan baik, selain
temperatur, juga diperlukan unsur hara. Nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri
terutama adalah karbon, nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium
dan kobalt.
Penambahan molase ke dalam substrat limbah rumah makan diasumsikan
dapat memberikan pengaruh positif terhadap hasil produksi biogas. Selain
mengandung kalori cukup tinggi karena terdiri dari glukosa dan fruktosa juga
memiliki kandungan zat berguna seperti kalsium, magnesium, potasium, dan besi.
Alasan lain adalah karena harganya yang murah, berlimpah, memiliki komposisi
C, N, dan O cukup untuk pertumbuhan bakteri. Pemanfaatan molase dalam
biodigester diharapkan dapat memberikan nilai tambah dari limbah industri gula.
Saat ini jumlah molase yang diproduksi di seluruh Indonesia mencapai 1,3 juta
ton per tahun da n pemanfaatannya belum maksimal (Pramana, 2008).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah:
1.
Berapa volume biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah makan dan
molase dalam biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium selama 45
hari proses perombakan anaerob?
2.
Apakah pemberian suhu tinggi (50ºC) pada biodigester tipe curah (batch)
skala laboratorium selama 45 hari proses perombakan anaerob dapat
mempengaruhi volume biogas yang dihasilkan?
C. Tujuan Penelitian
Setelah mengetahui perumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan
dicapai dari penelitian ini yaitu:
1.
Mengetahui volume biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah
makan dan molase dalam biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium
selama 45 hari proses perombakan anaerob.
2.
Mengetahui pengaruh pemberian suhu tinggi (50ºC) pada biodigester tipe
curah (batch) skala laboratorium terhadap volume biogas yang dihasilkan
selama 45 hari proses perombakan anaerob.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Memberikan informasi mengenai volume biogas yang dihasilkan pada proses
perombakan anaerob limbah rumah makan dan molase selama 45 hari dalam
biodigester tipe curah (batch ) skala laboratorium.
2.
Memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian suhu tinggi (50ºC)
pada biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium terhadap volume
biogas yang dihasilkan selama 45 hari proses perombakan anaerob.
3.
Mereduksi limbah yang dihasilkan dari industri rumah makan khususnya
rumah makan di sekitar kampus UNS maupun industri pabrik gula (molase).
4.
Mengurangi pencemaran yang ditimbulkan dari limbah rumah makan
sehingga tidak mengganggu kesehatan masyarakat.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Limbah Industri Pangan
1.1 Limbah Rumah Makan
Limbah rumah makan bisa berasal dari dapur, yakni bagian dari sayuran
dan bahan makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang. Limbah
bisa juga dari sisa makanan yang tidak habis disantap para tamu. Limbah seperti
sayuran, tepung ikan, dan bungkil memiliki kandungan energi dan nitrogen tinggi
(Nugroho, 2007).
Hammad (1996) menyatakan bahwa sampah organik sayur-sayuran dan
buah-buahan adalah substrat terbaik untuk produksi biogas. Limbah sayuran dapat
menghasilkan biogas 8x lebih banyak dibandingkan limbah kotoran ternak
(Haryati, 2006). Dari 1,5 kg limbah makanan dapat diproduksi 500 m3 gas metana
dan reaksi ini berjalan sempurna dalam waktu 48 jam. Sedangkan dalam sistem
biogas konvensional yang menggunakan kotoran hewan ternak atau kotoran
manusia sebagai substratnya, dari 40 kg limbah kotoran dapat diproduksi jumlah
gas metana yang sama, yaitu 500 m3 gas metana. Waktu yang dibutuhkan dalam
sistem biogas konvensional adalah 40 hari (Kale and Mehetre, 2009).
Tabel 1 : Perbandingan antara sistem biogas konvensional dan sistem biogas dari
limbah rumah makan
Faktor yang Berpengaruh Biogas Konvensional Biogas dari Limbah Rumah
Makan
Jumlah substrat
40 kg+40 ltr air
1-1,5 kg+15 ltr air
Inokulum
Kotoran hewan
Slurry
80 ltr, lumpur
15 ltr, air
40 hari
48 jam
4000 ltr
1000-1500 ltr
Waktu reaksi
perombakan
Ukuran standar untuk
kebutuhan rumah tangga
Bahan mengandung
zat tepung
Sumber : http://www.copperwiki.org/index.php/Kitchen_Waste_Bio-Gas
A.Malakahmad dkk.,(2009) menyatakan dengan perbandingan proporsi
dari 75% limbah dapur dan 25% lumpur aktif yang dicampur dan diuji dalam
reaktor dapat menghasilkan produksi gas metana yang terbaik dalam waktu yang
singkat yaitu dihasilkan gas metana sebanyak 74%. Sedangkan menurut
alpsenviro.com (2005) limbah makanan dapat menghasilkan biogas dengan
komposisi sebagai berikut : gas metana (CH4) 70-75%, karbondioksida (CO)2 1015% dan uap air 5-10%.
Pengembang teknologi pengolahan sampah, Mohammad Taherzadeh dari
Universitas Boras Swedia menyebutkan, 10 ton sampah basah buah dan sayur bisa
menghasilkan 700 m3 gas metana . Menurut Taherzadeh, satu meter kubik gas
metana setara dengan satu liter bensin (Anonim, 2008).
Energi Plant
Scheme
Gambar 1. Kitchen Waste Plants
Sumber : http://www.biogreenenergi.com/index.htm
Keterangan :
KWP : Kitchen Waste Plants
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan (warung makan/kantin di area
kampus UNS) dapat diketahui bahwa setiap warung makan/kantin dapat
menghasilkan limbah organik sebanyak 3 sampai 8 kg setiap harinya. Limbah
organik tersebut diantaranya adalah bahan baku sisa memasak seperti potongan
tangkai sayur, kulit buah, dan kulit irisan bumbu masak. Selain itu, limbah
organik juga dihasilkan dari makanan yang tidak habis terjual, termasuk nasi.
Menurut Unnithan (2008), limbah buangan biodegradable yang berasal
dari limbah dapur di dunia 25% atau kurang lebih 300 milyar kg dalam setahun.
Dari jumlah tersebut dapat dibuat 150 milyar meter kubik biogas. Dengan
demikian penggunaan biogas dari limbah dapur ini akan be rarti suatu
pengurangan konsumsi 150 milyar kg LPG, 210 milyar liter minyak tanah, 510
milyar kg arang dan 1.220 milyar kg kayu. Energi panas yang dihasilkan dari
biogas tersebut adalah satu milyar megawatt.
1.2 Molase
Menurut Judoamidjojo dkk (1992) tetes tebu atau molase merupakan
hasil samping pembuatan gula. Sedang menurut Pramana (2008), molase adalah
sejenis sirup sisa dari proses pengkristalan gula pasir. Molase tidak dapat
dikristalkan karena mengandung banyak glukosa dan fruktosa yang sulit untuk
dikristalkan. Molase mengandung sejumlah besar gula, baik sukrosa maupun gula
pereduksi. Total kandungan gula berkisar 48-56% dan pHnya sekitar 5,5-5,6
(Sa’id, 1987). Limbah industri gula (molase) termasuk kategori limbah dengan
kandungan energi tinggi teta pi rendah kandungan nitrogen. Selain itu, molase juga
tinggi akan kandungan karbohidrat tetapi rendah kandungan protein (Pramana,
2008).
Sumber molase itu sendiri dapat berasal dari tebu maupun bit. Hanya
molase dari tebu yang digunakan dalam penelitian in i. Molase dari tebu dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu molase kelas 1, kelas 2, dan black strap . Molase kelas 1
didapatkan pada proses kristalisasi tahap pertama. Saat kristalisasi terdapat sisa
jus yang tidak mengkristal dan berwarna bening. Molase kelas 2 atau biasa disebut
dengan “Dark ” karena warnanya yang agak kecoklatan, diperoleh saat kristalisasi
tahap kedua. Pada proses kristalisasi tahap akhir diperoleh molase jenis black
strap, dengan warna yang mendekati hitam (coklat tua).
Molase jenis black strap selain mengandung kalori cukup tinggi karena
terdiri dari glukosa dan fruktosa juga memiliki kandungan zat berguna seperti
kalsium, magnesium, potasium, besi, dan berbagai vitamin juga terkandung di
dalamnya. Selain itu, molase memiliki komposisi C, N, dan O cukup untuk
pertumbuhan bakteri (Pramana, 2008). Molase jenis black strap mengandung 7080% gula yang terdiri dari 70% gula invert (Sa’id, 1987).
Gambar 2. Alur Pengolahan Tebu Menjadi Gula Kristal (Purwono, 2003)
2. Teknologi Fermentasi Anaerob
Proses daur hidup di alam oleh semua makhluk hidup berlangsung
melalui berbagai tahapan panjang yang dapat dibedakan menjadi dua arah yaitu,
pembentukan (biosintesa) dan pemecahan (biolisa). Kedua proses tersebut dikenal
dengan istilah biokonversi.
Pada hakekatnya, energi yang terkandung dalam bahan organik
merupakan energi matahari yang diikat oleh tanaman melalui proses fotosintesis.
Pemanfaatan kembali energi tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung adalah pengambilan kembali energi matahari yang terikat biomassa.
(Judoamidjojo et a l., 1989).
Limbah rumah makan memiliki kandungan organik cukup tinggi. Sangat
dimungkinkan jika di dalam limbah tersebut masih terkandung energi yang masih
diikat oleh biomassa selama proses daur hidupnya. Dengan teknologi perombakan
(biokonversi) anaerob, energi yang masih terkandung dalam biomassa limbah
makanan dapat dimanfaatkan.
Proses fermentasi anaerobik merupakan proses pemecahan bahan organik
oleh aktivitas metanogen dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa oks igen
dengan memanfaatkan bahan organik tersebut sebagai sumber karbon atau energi.
Produk akhir biokonversi anaerob adalah biogas, yaitu campuran metana dan
karbon dioksida yang dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan. Proses
anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas meskipun
proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Tabel 2) (de Mez et
al., 2003 dan Haryati, 2006).
Tabel 2. Kondisi pengoperasian pada proses fermentasi anaerob
Parameter
Temperatur
Mesofilik
Termofilik
Nilai
pH
7- 8
Alkalinitas
35ºC
54ºC
2500 mg/L minimum
Waktu retensi
Laju terjenuhkan
Hasil biogas
10 - 30 hari
0,15 – 0,35 kg VS/m3/hari
4,5 – 11 m3kg VS
Kandungan metana
Sumber : Engler et al., (2000)
60-70 %
Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk buangan dengan
beban organik dan berat molekul tinggi, mampu mereduksi energi terkandung
dalam limbah untuk pengolahan lingkungan dan mampu mendegradasi senyawasenyawa senobiotik maupun rekalsitran (Bitton, 1999).
2.1 Prinsip-prinsip proses fermentasi anaerob
Senyawa kompleks organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh
bakteri di dalam proses metabolismenya karena membran sel bakteri hanya dapat
dilewati oleh senyawa organik sederhana seperti glukosa, asam amino dan asam
lemak volatil.
Tahap Hidrolisis
bakteri
Bahan
organik,
karbohidrat,
lemak dan
protein
Tahap Asidifikasi
Tahap Pembentukan Metana
Asam asetat,
H2 dan CO2
bakteri
Gas
Metana
CO2
bakteri
Asam
Propionik
Asam Butirik
Alkohol
Senyawa
lainnya
Bakteri fermentasi
Asam
Asetat
Bakteri Asetogenik
Metanogen
Gambar 3. Proses pembentukan biogas (Sufyandi, 2001)
Proses fermentasi anaerob terdiri dari tiga tahap berikut, masing-masing
dengan karakteristik kelompok mikroorganisme yang berbeda.
1). Tahap Hidrolisis : adalah proses penguraian senyawa kompleks organik
menjadi senyawa sederhana agar dapat diserap membran sel mikroba, dilakukan
oleh kelompok bakteri hidrolitik. Bahan organik didegradasi/dicerna secara
eksternal oleh enzim ekstraselular mikroorganisme (selulase, amilase, protease
dan lipase). Hidrolisis mencakup hidrolisis karbohidrat menjadi monomermonomernya, protein menjadi asam-asam amino, dan lemak atau minyak menjadi
asam-asam lemak rantai panjang ataupun alkohol. Hidrolisis akan mempengaruhi
kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling lambat dapat
mempengaruhi laju keseluruhan (Adrianto et al., 2001).
2). Tahap Asidifikasi dan Asetogenesis (Pengasaman) : pada tahap asidifikasi,
bakteri menghasilkan asam dengan mengubah seyawa rantai pendek hasil proses
pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H 2) dan karbondioksida.
Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dan berkembang
pada keadaan asam. Pembentukan asam pada kondisi anaerob penting untuk
pembentukan gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Bakteri
tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam
organik, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas metana (tahap
asetogenesis).
3). Tahap akhir dalam proses fermentasi anaerob adalah pembentukan gas metana.
Metanogen mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi
senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh kelompok archaea ini
menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO 2.
Bakteri asam dan metan bekerjasama secara simbiosis. Bakteri asam membentuk
keadaan
atmosfir
yang
id eal
untuk
metanogen. Sedangkan
metanogen
menggunakan asam yang dihasilkan bakteri asam. Tanpa adanya proses simbiotik
tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam
(Werner et al., 1989 dan Khasristya, 2004).
Menurut Suyati (2006), 3 kelompok bakteri yang berperan dalam proses
pembentukan biogas, antara lain :
1.
Kelompok bakteri fermentatif : Streptococci, Bactero ides, dan beberapa jenis
Enterobacteriaceae
2.
Kelompok bakteri asetogenik : Desulvofibrio
3.
Kelompok
metanogen
:
Methanobacterium,
Methanobacillus,
Methanosarcina , dan Methanococcus.
2.2 Faktor-faktor yang berpengaruh pada fermentasi anaerob
Di
dalam
proses
pembentukan
biogas
digunakan
alat
untuk
memfermentasikan substrat, yang disebut sebagai bioreaktor atau biodigester.
Berdasarkan cara pengisian bahan bakunya, biodigester dibedakan menjadi dua,
yaitu sistem pengisian curah (batch ) dan kontinyu (Loebis & Tobing, 1992;
Metcalf & Eddy, 2003).
Sistem pengisian curah (SPC) adalah cara penggantian bahan yang
dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari biodigester
setelah produksi biogas terhenti, dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku
yang baru. Umumnya, sistem ini didesain untuk limbah padatan seperti sayuran
atau hijauan. Isi dari digester biasanya dihangatkan dan dipertahankan
temperaturnya. Selain itu kadangkala diaduk untuk melepaskan gelembunggelembung gas dari sludge (Khasristya, 2004) .
Tipe batch digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan yang
diproses sebelum unit yang besar dibangun (Meynell, 1976). Sistem ini terdiri dari
dua komponen, yaitu tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. Tangki dapat
dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan digunakan sebagai pupuk
kemudian bahan baku yang baru dimasukkan lagi. Tangki ditutup dan proses
fermentasi diawali kembali (Khasristya, 2004 & Haryati, 2006).
Tergantung dari jenis bahan limbah dan temperatur yang dipakai, sistem
batch akan mulai berproduksi setelah minggu kedua sampai minggu keempat.
Sistem batch biasanya dibuat dalam beberapa set sekaligus sehingga paling tidak
ada yang beroperasi dengan baik (Haryati, 2006). Untuk memperoleh biogas yang
banyak, sistem ini perlu dibuat dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan
kontinyuitas hasil biogas tercapai (Abdullah, 1991; GTZ, 1997; Widodo, 2005;
UN, 1980 dalam Nurhasanah et al., 2006).
Masing-masing sistem memiliki kelebihan maupun kekurangannya.
Sistem pengisian curah (batch ) memiliki konstruksi yang lebih sederhana namun
biogas yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan pengisian kontinyu.
Keuntungan lain dari tipe batch adalah bila bahan berserat atau sulit diproses, tipe
batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu. Bila selama proses terjadi
kesalahan, misalnya karena bahan beracun maka proses dapat dihentikan dan
dimulai dengan yang baru (Meynell, 1976). Sedangkan sistem kontinyu, sifatnya
lebih efisien, lumpur dihasilkan setiap hari karena selalu diisi dengan substrat
yang baru (kontinyu), laju produksi gas lebih tinggi per volume bahan atau
substrat, namun desain digester lebih kompleks. Potensi biogas yang dihasilkan
dari biodigester bergantung pada: jenis substrat, kuantitas substrat, persentase
kandungan bahan organik, dan total padatan (Werner et al., 1989).
Selain pengaruh substrat, fermentasi anaerob juga dipengaruhi oleh
faktor -faktor lingkungan (de Mez et al., 2003). Proses fermentasi anaerob
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa
mikroorganisme dan jasad aktif, sedangkan faktor abiotik terdiri dari suhu, pH,
pengadukan (agitasi), substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat
dan adanya bahan toksik (Wellinger, 1999).
1. Suhu
Suhu
merupakan
faktor
penting
yang
mempengaruhi
aktifitas
mikroorganisme. Suhu optimal proses fermentasi anaerob dibedakan menjadi tiga
yaitu suhu tinggi (45-60oC) untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3
gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek dan bebas dari desinfektan,
suhu sedang (27-40oC) (suhu kamar ruang/lingkungan), dan suhu rendah (< 22oC)
(banyak dipe ngaruhi udara musim sedang) (Metcalf & Eddy, 2003). Pada kondisi
rendah, proses perombakan berjalan lambat, kondisi sedang, perombakan
berlangsung cukup baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan
kenaika n suhu, serta kondisi tinggi untuk bakteri termofil dengan perombakan
optimal pada 55oC (NAS, 1981 dan B itton, 1999). Proses fermentasi anaerob
sangat peka terhadap perubahan suhu, umumnya suhu optimal termofil pada
kisaran 52-58 oC, namun dampak negatif dapat terjadi pada suhu lebih tinggi dari
60 oC. Hal ini diseba bkan oleh toksisitas ammonia yang semakin meningkat
dengan meningkatnya suhu, tetapi pengenceran substrat pada suhu tinggi
memudahkan difusi bahan terlarut (Wellinger & Lindeberg, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Khasristya (2004) dan
Haryati (2006) bahwa temperatur yang optimal untuk biodigester adalah 30-35ºC.
Temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan
produksi metana di dalam biodigester dengan lama proses yang pendek.
Temperatur yang tinggi jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah
dicerna dengan baik pada range temperatur sedang, selain itu bakteri termofilik
mudah mati karena perubahan temperatur. Sedangkan bakeri mesofilik adalah
bakteri yang tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil, khususnya bila
perubahan berjalan perlahan.
Menurut Haryati (2006), jika temperatur turun menjadi 10ºC, produksi
gas akan terhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik
yaitu antara 25-35ºC. Biogas yang dihasilkan pada kondisi diluar temperatur
tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih tinggi. Sedangkan
menurut Fry (1974), pada temperatur yang rendah 15ºC laju aktivitas bakteri
sekitar setengahnya dari laju aktivitas pada temperatur 35ºC. Apabila bakteri
bekerja pada temperatur 40ºC produksi gas akan berjalan dengan cepat hanya
beberapa jam dan untuk selanjutnya hanya akan diproduksi gas yang sedikit.
Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada suhu
35ºC dibanding pada suhu 15ºC dan menghasilkan hampir 15 kali lebih banyak
gas pada waktu proses yang sama. Pada Gambar 4 dapat dilihat perbedaan jumlah
gas yang diproduksi ketika digester dipertahankan pada suhu 15ºC dibanding suhu
35ºC. Seperti halnya proses secara biologi tingkat produksi metana berlipat untuk
tiap peningkatan temperatur sebesar 10ºC-15ºC. Jumlah total dari gas yang
diproduksi
pada
jumlah
bahan
yang
tetap,
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya temperatur (Meynell, 1976).
Gambar 4. Perbandingan tingkat produksi gas pada 15ºC dan 35ºC (F ry, 1973)
Pada kondisi operasi yang sama, perombakan termofil lebih efisien dari
pada perombak mesofil (Lusk, 1991). Beberapa keuntungan yang diperoleh dari
proses termofil dibandingkan dengan proses mesofil adalah:
• Waktu tinggal organik dalam biodigester
lebih singkat karena laju
pertumbuhan ba kteri termofil lebih tinggi dibandingkan dengan laju
pertumbuhan bakteri mesofil.
• Penghilangan organisme patogen lebih baik
• Degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik
• Meningkatkan kelarutan substrat.
Kerugian-kerugian penting proses termofil antara lain:
• Derajat ketidakstabilan tinggi
• Jumlah konsumsi energi lebih besar
• Risiko hambatan ammonia tinggi (Wellinger & Lindeberg, 1999).
2. pH
Nilai pH pada awal proses menunjukkan penurunan karena terjadi
hidrolisis yang umumnya terjadi dalam suasana asam, tetapi nilai ini cenderung
stabil pada tahap selanjunya, yaitu range 6,7-7,7 (Kresnawaty dkk., 2008). pH
pada proses fermentasi anaerob biasa berlangsung antara 6,7-7,6; bakteri
metanogen tidak dapat toleran pada pH di luar 6,7-7,4; sedangkan bakteri non
metanogen mampu hidup pada pH 5-8,5 (NAS, 1981). Nilai pH di luar interval ini
dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam proses fermentasi anaerob.
Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan mempengaruhi
disosiasi ammonia, sulfida dan asam-asam organik, yang merupakan senyawa
penting untuk proses fermentasi anaerob.
Beberapa
senyawa
seperti
asam
organik
dan
karbon
dioksida
menyebabkan penurunan nilai pH, sebaliknya senyawa seperti ammonia akan
meningkatkan nilai pH. Jika nilai pH menurun maka akumulasi asetat yang
terbentuk selama proses perombakan tidak dapat diketahui. Pembentukan asetat
berlangsung selama degradasi substrat dalam proses fermentasi anaerob. Karena
itu, jika pH dalam reaktor turun menunjukkan konsentrasi tinggi asetat dalam
proses perombakan dan proses menjadi terhambat (Reith et al., 2002). Ketika nilai
pH turun, maka yang terjadi adalah perubahan substrat menjadi biogas terhambat
sehingga mengakibatkan penurunan kuantitas biogas. Sedangkan jika nilai pH
terlalu tinggi maka dapat menyebabkan produk akhir yang dihasilkan adalah CO2
sebagai produk utama (Hermawan et al., 2007). Umumnya penambahan Ca(OH)2
digunakan untuk meningkatkan pH limbah cair menjadi netral. Nilai pH pada
reaktor termofil lebih t inggi daripada reaktor mesofil (Bitton, 1999).
3. Mikroorganisme dan Nutrien
Selain suhu dan pH, fermentasi anaerob juga dipengaruhi oleh kehidupan
mikroorganisme yang ada dalam biodigester. Semua mikroorganisme memerlukan
nutrien yang akan menyediakan : a) energi, biasanya diperoleh dari substansi yang
mengandung karbon, b) nitrogen untuk sintesis protein, c) vitamin dan yang
berkaitan dengan faktor pertumbuhan, dan d) mineral (Sherrington, 1981). Nutrien
tersebut antara lain : a) Hydrogen H, nitrogen N, oxygen O, dan carbon C sebagai
bahan utama penyusun bahan organik b) Sulfur: kebutuhan untuk sintesis asam amino
c) Phosphor: komponen penting dalam asam nukleat d) Kalium (K), kalsium (Ca),
magnesium (Mg), dan besi (Fe): dibutuhkan untuk aktifitas enzim dan komponenkomponen logam kompleks.
Sepuluh unsur di atas sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M.
Unsur lain yang sebaiknya terdapat dalam konsentrasi lebih kecil, misalnya Nikel
(Ni) penting untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Konsentrasi tinggi Ca, Mg, K
dan Na dapat menjadi faktor penghambat, sementara konsentrasi rendah (0,01-
0,005 M) kation-kation sel tersebut dapat aktif dan meningkatkan proses
perombakan (Werner et al., 1989).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, mikroba metanogen ju ga
membutuhkan garam-garam anorganik dalam jumlah mikro. Garam-garam
anorganik tersebut digunakan untuk mengendalikan tekanan osmosis internal dan
sebagai kofaktor enzim (Adam, 1980). Penambahan seperti kalsium, kobalt, besi,
magnesium, molibdenum, nikel, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan
logam lain dapat meningkatkan produksi biogas karena kondisi tersebut dapat
meningkatkan populasi bakteri metanogen dalam biodigester (Kresnawaty et al.,
2008).
4. Agitasi (pengadukan)
Faktor lain yang juga berpenga ruh terhadap fermentasi anaerob adalah
proses pengadukan (agitasi). Pengadukan dilakukan untuk mendapatkan campuran
substrat yang homogen dengan ukuran partikel yang kecil. Selain itu, untuk
mencegah terjadinya partikel-partikel terapung pada permukaan cairan dan
berfungsi mencampur metanogen dengan substrat. Pengadukan memberikan
temperatur yang seragam dalam biodigester (Suyati, 2006).
5. Starter
Pengaruh starter juga penting karena starter mengandung metanogen yang
diperlukan untuk mempercepat proses fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter
antara lain : Starter alami; yaitu lumpur aktif seperti lumpur kolam ikan, air
selokan atau cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan timbunan sampah
organik. Starter semi buatan; yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif.
Starter buatan; yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratorium dengan media
buatan (Suyati, 2006).
2.3 Faktor ketidakseimbangan proses fermentasi anaerob
Fermentasi anaerob bergantung pada keseimbangan antara senyawasenyawa dan unsur-unsur berbeda dalam biodigester. Selain itu, bergantung pada
interaksi antara kelompok bakteri dan senyawa organik yang ada, sebagai sumber
makanan diantara beberapa jenis mikroorganisme agar diperoleh hasil biogas yang
optimal. Jika terjadi ketidakseimbangan selama proses perombakan maka
fermentasi anaerob secara total dapat terhenti atau menurun (Werner et al., 1989).
Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena beberapa faktor berikut:
•
Beban hidraulik berlebih. Hal ini terjadi jika waktu tinggal bakteri dalam
biodigester lebih singkat dibandingkan laju pertumbuha nnya. Bakteri tidak
mendapatkan waktu yang cukup untuk tumbuh di dalam biodigester dan akan
tercuci (wash -out). Beban hidraulik berlebih dapat terjadi apa bila volume efektif
digester menurun oleh karena terjadi beban substrat yang ber lebih terhadap
digester.
•
Beban organik berlebih dapat muncul ketika biomassa dengan kandungan
organik tinggi dimasukkan ke dalam digester secara berlebihan. Pada keadaan ini
bakteri tidak mampu memecah senyawa organik yang ada sehingga proses
fermentasi anaerob berjalan lamban.
•
Bahan racun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam bioma ssa substrat
atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Hal ini dapat
terjadi jika biomassa yang kaya protein dicerna kemudian menghasilkan sejumlah
besar ammonia berlebih yang dapat menghambat proses fermentasi. Fermentasi
juga dapat terhambat jika biomassa yang tercerna mengandung konsentrasi tinggi
lemak yang akan didegradasi menjadi senyawa beracun (asam lemak rantai
panjang).
Penelitian mengenai proses perombakan anaerob yang telah dilakukan
sebelumnya
menunjukkan
bahwa
indikator
ketidakseimbangan
proses
perombakan terjadi karena susbstrat asetogenik berlebih meskipun tidak bersifat
toksik. Kenaikan konsentrasi asam or ganik merupakan indikasi bahwa produksi
asam sudah berlebih daripada yang dikonsumsi. Pemberian bahan organik yang
tidak seimbang ke dalam reaktor dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi asam
organik (Wellinger & Lindeberg, 1999).
Sesuai dengan hasil penelitian Haryati (2006) yang menunjukkan bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan proses fermentasi anaerob dalam
biodigester adalah dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogen
terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sa ngat asam (pH <
7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan metanogen. Laju fermentasi akan
menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah dari kisaran pH 6,8-8.
2.4 Keuntungan fermentasi anaerob
Pengolahan limbah secara anaerob memberi banyak keuntungan antara
lain: energi yang bermanfaat, keuntungan lingkungan dan keuntungan ekonomi,
yang secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Memberikan sumber energi bersih yaitu biogas, merupakan bahan bakar yang
tidak mengeluarkan asap sehingga memberikan emisi yang rendah (terutama
kandungan CO2). Hal ini sesuai dengan persetujuan dalam Protokol Kyoto.
b) Mengurangi jumlah padatan, yaitu dapat mengurangi volume maupun beban
limbah organik yang digunakan sebagai substrat dalam fermentasi anaerob.
c) Mengurangi bau dan tidak merusak nilai estetika lingkungan. Selain itu, bahan
yang telah terfermentasi dapat digunakan sebagai pupuk organik karena selama
fermentasi,
senyawa-senyawa
biodegradab le
efektif
dihilangkan,
dan
meninggalkan senyawa tereduksi seperti ammonium, senyawa N organik, sulfida,
senyawa P orga nik yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran pupuk.
d) Biaya pembangunan relatif terjangkau (Reith et al., 2002 & Werner et al.,
1989).
3. Produksi Biogas
Sumber biomassa atau limbah yang berbeda akan menghasilkan
perbedaan kuantitas biogas (Werner et al., 1989). Zhang et al., (2007) dalam
penelitiannya menghasilkan metana sebesar 50-80% dan CO 2 sebesar 20-50%.
Sedangkan Hansen (1999), biogas yang dihasilkan mengandung 60-70% metana
dan 30-40% CO2. Biogas dapat terbakar apabila terdapat kadar metana minimal
57% (Hammad, 1996). Sedangkan menurut Hessami et al., (1996) biogas dapat
terbakar jika kandungan metana minimal 60%.
Biogas dengan kandungan metana 65-70% memiliki nilai kalor sama
dengan 5200-5900 kkal/m3 energi panas setara 1,25 kwj listrik (Veziroglu, 1991
dan de Baire, 1999). Sedangkan untuk gas metana murni (100%) mempunyai nilai
kalor 8900 kkal/m3 (Nurtjahya, 2003). Werner et al., (1989) menyatakan per
kilogram padatan volatil dapat diperoleh 0,3-0,6 m3 biogas.
3.1 Kualitas biogas
Biogas hasil fermentasi anaerob limbah organik umumnya tersusun atas
metana 55-70%, karbon dioksida 30-45% dan sedikit hidrogen sulfida dan amonia
maupun gas-gas lainnya ≤1%. Gas-gas lain yang umumnya ada dalam biogas
antara lain : hidrogen, nitrogen, karbon monoksida , dan hidrokarbon terhalogenasi
serta siloxan. Senyawa pengotor (impuritis) tesebut harus dihilangkan, karena
dapat menyebabkan korosi dan endapan. Substansi yang perlu diperhatikan itu
antara lain: H 2S , siloxan, senyawa aromatik, CO 2, oksigen, nitrogen, dan senyawa
halogen (Cl2 -F2) (Kottner, 2002).
Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi
metana. Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi
(nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya. Kualitas biogas dapat ditingkatkan
dengan memperlakukan beberapa cara yaitu : menghilangkan hidrogen sulphur,
kandungan air, dan karbondioksida (Kapdi et al., 2004 dan Pambudi, 2008).
Hidrogen sulphur mengandung racun dan zat yang menyebabkan korosi,
bila biogas mengadung senyawa ini maka akan menyebabkan gas yang berbahaya
sehingga konsentrasi yang ditoleransi maksimal 5 ppm. Bila gas dibakar maka
hidrogen sulphur akan lebih berbahaya karena akan membentuk senyawa baru
bersama -sama oksigen, yaitu sulphur dioksida/sulphur trioksida (SO2/SO3).
Senyawa ini lebih beracun. Pada saat yang sama akan membentuk sulphur acid
(H2SO3)
suatu
senyawa
yang
lebih
korosif.
Selanjutnya,
penghilangan
karbondioksida bertujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat
digunakan untuk bahan bakar kendaraan (Pambudi, 2008).
B. Kerangka Pemikiran
Jenis industri rumah makan yang digunakan dalam penelitian masih pada
skala kecil, yaitu kantin atau warung makan yang terletak di area kampus UNS
(tidak termasuk rumah makan padang). Rumah makan tersebut setiap harinya
menghasilkan limbah, terutama limbah organik. Limbah organik yang dihasilkan
antara lain bagian sayuran yang tidak termasak, buah, ikan, dan sisa makanan
yang tidak habis dimakan. Pada limbah makana n masih terkandung unsur makro
seperti C, H, dan O. Apabila limbah tersebut dibuang ke lingkungan maka dapat
menimbulkan pencemaran yaitu bau yang tidak sedap dan merusak nilai estetika
lingkungan. Selain itu, limbah akan didegradasi secara aerob (terbuka) oleh
mikroorganisme dan menghasilkan gas metana yang bersamaan dengan gas
karbondioksida akan memberikan efek rumah kaca dan menyebabkan terjadinya
global warming .
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah di atas, salah
satunya adalah dengan te knologi fermentasi anaerob. Teknologi fermentasi
anaerob digunakan untuk mendegradasi limbah secara anaerob dengan bantuan
mikroorganisme, dimana produk yang dihasilkan dari proses perombakan adalah
gas metana yang dapat digunakan sebagai energi alternatif. Selain itu, limbah
yang sudah terdegradasi dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Kerja dari biodigester dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah jenis substrat dan suhu lingkungan. Oleh karenanya, agar proses
perombakan berjalan optimum, maka diperlukan pengaturan dalam sistem
biodigester. Penelitian ini menggunakan penambahan molase sebagai campuran
substrat limbah rumah makan dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu 20% dan
40%. Selain itu, perlakuan suhu lingkungan yang berbeda antara suhu ruang
(31°C) dan suhu tinggi (50°C).
Campuran molase pada substrat limbah rumah makan dan pemberian
suhu tinggi (50°C) diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap
produksi biogas. Molase mengandung banyak unsur mikro yang dapat memacu
aktivitas mikrobia dan meningkatkan populasi metanogen pada proses fermentasi
anaerob (hidrolisis, asidogenesis, metanogenesis), sedangkan pemberian suhu
tinggi diketahui dapat mempercepat perombakan substrat. Dengan demikian,
kedua faktor tersebut dapat membantu da lam optimasi produksi biogas.
Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan
sebagai berikut :
Limbah organik rumah makan (bagian
sayuran tidak termasak, buah dan sisa
makanan yang tidak habis dimakan)
mengandung unsur C, H, dan O
Teknologi Fermentasi
Anaerob
Variasi jenis substrat :
LM 80% + M 0%
LM 60% + M 20%
LM 40% + M 40%
Biodigester anaerob
Perlakuan
Perbedaan suhu
lingkungan :
Suhu ruang (31°C)
Suhu tinggi (50°C)
Pencemaran
lingkungan
Penambahan molase
Proses Fermentasi Anaerob
Hidrolisis
Asidogenesis
Metanogenesis
Selulosa
1. Hidrolisis
(C 6 H1 0 O5 )n+nH2 O
selulosa
n(C 6 H1 2 O6 )
glukosa
Glukosa
Memacu aktivitas
mikrobia dan
meningkatkan
populasi metanogen
(C6 H1 2 O6)n+nH2O
2.
Asidogenesis
CH3 CHOHCOOH
glukosa
asam laktat
CH3 CH2 CH2COOH+CO2 +H2
asam butirat
CH3 CH2OH+CO2
etanol
Asam lemak dan alkohol
4H2+CO2
2H2O+CH4
CH3CH2 OH+CO 2
CH3 COOH+CH4
3. Metanogenesis C H3COOH+CO2
CO2 +CH4
CH3 CH2 CH2COOH+2H2 +CO2
CH3 COOH+CH4
metana
Metana dan CO 2
Optimasi
produksi biogas
Gambar 5. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
Substitusi
unsur mikro
C. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran dapat dibuat hipotesis
sebagai berikut :
1.
Penggunaan limbah rumah makan dan molase dalam biodigester tipe curah
(batch ) skala laboratorium selama 45 hari proses perombakan anaerob dapat
menghasilkan biogas.
2.
Pemberian suhu tinggi (50°C) pada biodigester tipe curah (batch ) skala
laboratorium dapat mempengaruhi volume biogas yang dihasilkan selama 45
hari proses perombakan anaerob.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanan di Laboratorium Pusat (green house) F. MIPA
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian dilaksanakan selama kurang
lebih tiga bulan, dimulai pada bulan Juni sampai Agustus 2009.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup serangkaian alat,
diantaranya sebagai berikut :
a.
Konstruksi biodigester
Rangkaian biodigester terdiri dari jerigen 5 liter, botol 600 ml, selang kecil
dengan panjang 20 cm, mikrotip, rak penyangga, thermocople, ember besar dan
drum besar. Blender, heater da n roll kabel sebagai alat pendukungnya.
b.
Analisis biologi
Peralatan untuk analisis biologi (termasuk alat gelas) meliputi : botol
sampel, gelas piala 500 ml, gelas ukur 10 ml, gelas Erlenmeyer 100 ml, pipet
tetes, tabung reaksi, rak tabung reaksi, hand counter, mikropipet (merk :
eppendorf ), mikro tip, mikroskop cahaya jenis binokuler, hemasitometer, gelas
penutup, dan pipet pasteur.
c.
Analisis fisika dan kimia
Peralatan pengukur analisis fisika dan kimia terdiri dari lilin dan korek,
kruss, tang kruss, des ikator, oven, hot plate , thermometer digital, pH-meter,
peralatan refluks, kondensor Liebiq , peralatan titrasi, dan ruang asam.
d.
Bahan
Bahan penelitian meliputi : substrat yang terdiri dari limbah rumah makan
dan limbah pabrik gula (molase jenis black strap), sumber inokulum dari limbah
rumah makan yang difermentasikan terlebih dahulu selama tiga minggu, garam
fisiologis (jenis :Otsu-NS dengan 0,9% Sodium Chloride), aquades, air, kapur dan
Na(OH) sebagai pemberi suasana basa, K2Cr2O7 , AgSO 4, Fe(NH 4)2 (SO4)6H2O,
indikator feroin, HgSO4, larutan H2SO 4 pekat, dan air suling.
C. Cara Kerja
Penelitian ini menggunakan limbah rumah makan dan molase sebagai
substrat dalam produksi biogas. Sedangkan untuk sumber inokulum, berasal dari
limbah rumah makan yang telah difermentasi selama tiga minggu hingga
terbentuk sludge (lumpur aktif). Untuk alat fermentasinya digunakan biodigester
volume 5 liter, yaitu 80% dari volume biodigester digunakan sebagai volume
kerja, sedangkan sisanya (20%) sebagai ruang udara. Dari 80% (4 L) volume kerja
biodigester, 20% diisi oleh sumber inokulum dan sisanya digunakan untuk
substrat.
Penelitian ini mencakup beberapa tahap/skala percobaan. Tahap percobaan
tersebut adalah :
a.
Tahap Persiapan
Tahap ini mencakup percobaan pendahuluan, menyediakan kebutuhan alat
dan bahan percobaan, serta skematik rancangan percobaan. Persiapan alat dan
bahan serta analisis peubah diamati baik kimia maupun fisika, masing-masing
akan diuraikan pada tahap pelaksanaan percobaan skala laboratorium.
b.
Tahap Penelitian
1.
P embuatan inokulum
Inokulum dibuat dengan cara mencampur biomassa (limbah rumah makan)
dan air dengan perbandingan volume bahan yaitu 1:1. Sebelumnya, biomassa
(limbah) dihomogenasikan terlebih dahulu dengan tambahan air menggunakan
blender. Biomassa yang sudah homogen dimasukkan ke dalam drum. Karena
proses ini berlangsung secara anaerob maka drum harus tertutup rapat. Proses
fermentasi berlangsung selama tiga minggu, hingga terbentuk sludge (lumpur
aktif). Perlu dilakukan agitasi selama proses fermentasi berlangsung. Hal ini
bertujuan agar material-material organik (biomassa) yang ada dalam drum dapat
dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber makanan sehingga
metabolisme maupun perkembangan bakteri dapat berjalan dengan baik. Setelah
sludge terbentuk, dapat langsung dimanfaatkan sebagai sumber inokulum (starter)
dalam sistem fermentasi anaerob.
2.
Fermentasi anaerob (produksi biogas)
Sebelum dimasukkan ke dalam biodigester, limbah perlu dihomogenasikan
dengan campuran air agar substrat (biomassa limbah) dapat lebih mudah dicerna
oleh mikroorganisme. Proses homogenisasi dilakukan dengan menggunakan
blender. Setelah proses homogenisasi selesai, selanjutnya dilakukan pengukuran
beberapa parameter diantaranya : suhu dan pH substrat. Substrat yang bersifat
asam perlu diberi penambahan kapur atau Na(OH) agar dapat bersifat netral,
karena proses perombakan anaerob dapat berjalan optimal pada pH netral (7-8).
Pengukuran parameter berikutnya dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda.
Pengukuran pH, suhu dan pengukuran pertumbuhan bakteri dilakukan 15 hari
sekali, dan pengukuran volume gas maupun uji nyala dilakukan setiap hari (jika
botol penampung gas sudah penuh terisi gas).
Selanjutnya, langkah pertama yang dilakukan dalam mencampur substrat
dengan sumber inokulum dalam biodigester adalah sumber inokulum dimasukkan
terlebih dahulu ke dalam biodigester dengan konsentrasi tertentu (pada penelitian
digunakan konsentrasi 20% dari 4L volume kerja biodigester atau setara dengan
0,8 L). Langkah selanjutnya adalah substrat dimasukkan ke dalam biodigester
sebanyak volume yang tersisa dari volume kerja biodigester (80% dari 4L, atau
kurang lebih 3,2 L). Setelah semua bahan dimasukkan dalam biodigester (jerigen),
biodigester segera ditutup rapat. Proses fermentasi berjalan selama kurang lebih
dua bulan. Selama proses fermentasi berlangsung, biogas yang terbentuk akan
dialirkan dari tangki pencerna (jerigen) ke dalam tangki penampung gas (botol
600 ml) melalui selang kecil. Sebelumnya, tangki penampung gas sudah penuh
terisi air (600 ml). Sehingga ketika gas masuk ke dalam tangki penampung gas,
maka air akan terdorong keluar dan biogas akan masuk ke dalam tangki tersebut
(menggantikan air). Dengan demikian, dapat diketahui volume gas yang masuk ke
dalam tangki penampung gas sama dengan volume air yang keluar dari botol
penampung gas.
Ketika air dalam botol penampung gas sudah habis, itu artinya botol harus
segera diganti agar gas yang sudah didapat tidak hilang. Botol berisi gas diambil
kemudian tutup botol diganti dengan tutup botol yang lebih rapat (tidak ada tip
nya). Penggantian tutup botol dilakukan dengan memasukkan botol ke dalam air
yaitu dengan posisi botol terbalik. Tujuannya adalah agar gas yang ada dalam
botol tidak keluar karena mendapat tekanan dari dalam air. Botol yang telah
diambil diganti dengan botol yang baru yaitu botol sepenuhnya terisi oleh air,
kemudian botol dipasang dalam rangkaian. Demikian selanjutnya hingga
percobaan selesai. Selama proses fermentasi berjalan, dilakukan agitasi sebanyak
2 kali setiap harinya (pagi dan sore hari).
3.
Pengukuran pH dan suhu
Pengukuran pada sampel, elektroda dimasukkan ke dalam sampel dalam
botol sampel lalu pH meter dibaca. Demikian pula untuk pengukuran suhu
substrat menggunakan thermometer digital.
4.
Pengukuran pertumbuhan bakteri
Pengukuran pertumbuhan bakteri sama dengan pengukuran kuantitatif
populasi bakteri. Pada penelitian ini pertumbuhan bakteri dilihat dengan metode
hitungan mikroskopik secara langsung, di mana sebelumnya perlu dilakukan
beberapa kali proses pengenceran. Adapun langkah kerja yang dilakukan dalam
teknik dilusi atau pengenceran adalah sebagai berikut :
o
larutan kultur (sampel) diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam
fisiologis pada tabung reaksi untuk memperoleh dilusi 1/10 bagian.
o
diambil 1 ml dari larutan dilusi 1/10 dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam
fisiologis untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian (10-2 ), dan seterusnya hingga
bakteri dalam larutan dapat dihitung dengan menggunakan mikroskop.
Pada metode hitungan mikroskopik langsung, sampel diletakkan pada
ruang hitung yang disebut hemasitometer dan jumlah sel dapat ditentukan secara
langsung
dengan
bantuan
mikroskop.
Keuntungan
metode
ini
adalah
pelaksanannya cepat dan tidak memerlukan banyak peralatan. Kelemahannya
ialah tidak dapat membedakan sel-sel hidup dan mati, yang artinya hasil yang
diperoleh adalah jumlah total sel yang ada di dalam populasi. Kelemahan lain
adalah terkadang sel cenderung bergerombol sehingga sukar membedakan sel
secara individu. Cara mengatasinya adalah dengan memisahkan gerombolan sel
tersebut dengan menambahkan bahan anti gumpal seperti dinatrium etilen diamin
tetraasetat dan Tween 80 sebanyak 0,1%. Adapun langkah kerja hitungan
mikroskopik dengan hemasitometer adalah sebagai berikut :
o
sebelumnya permukaan hitung dan kaca penutup hemasitometer dibersihkan
o
kaca
penutup
hemasitometer
diletakkan
di
atas
permukaan
hitung
hemasitometer
o
suspensi sel bakteri yang telah diencerkan sebanyak 10 -2 dikocok., Suspensi
diambil 0,1-0,5 ml dengan menggunakan pipet Pasteur. Pengambilan suspensi
dengan pipet Pasteur dapat dilakukan dengan cara pipet tersebut dimasukkan
ke dalam suspensi lalu pangkal pipet ditutup dengan jari telunjuk
o
Ujung pipet Pasteur diletakkan pada lekukan berbentuk V pada tepi kaca
penutup hemasitometer secara cermat dan ruang hemasitometer dibiarkan
terpenuhi suspensi secara kapiler. Jari telunjuk digunakan untuk mengatur
aliran suspensi agar mencegah aliran berlebihan pada bagian bawah kaca
penutup
o
Hemasitometer diletakkan di bawah mikroskop. Diamati dengan objektif
kekuatan lemah dan jumlah sel (yang terdapat pada 80 buah kotak kecil yang
terletak di dalam kotak bagian tengah berukuran 1 mm 2) dihitung.
o
Cara menghitung : pembagian hemasitometer ada 9 area dengan masingmasing area 1 mm2. Kotak yang tengah dibagi menjadi 25 kotak besar yang
masing-masing dibagi lagi menjadi 16 kotak kecil. Jadi terdapat 400 kotak
kecil. Contoh : misal terdapat 500 sel dalam 80 kotak kecil, maka jumlah
sel/ml suspense dapat dihitung : 80 kotak kecil mempunyai luas 0,2 mm2 , jadi
dalam tiap mm2 terdapat 500 x 5 = 2500 sel.
Kedalaman cairan dalam hemasitometer adalah 0,1 mm, jadi volume cairan
dalam 1 mm2 adalah 0,1 mm 3 , maka terdapat 2500 sel/0,1 mm 3 atau 25000
sel/mm3.
1 ml = 1 cm 3 atau 1000 mm3. Maka jumlah sel dalam suspensi asal adalah 2,5
x 107 sel/ml (Suranto, 2001)
5.
Pengukuran volume biogas dan uji nyala
Biogas yang telah dihasilkan dapat diketahui volumenya dengan cara
sebagai berikut : Botol yang telah terisi gas disiapkan, kemudian botol lain yang
masih kosong (ukuran 600 ml) diambil. Apabila pada botol yang berisi gas masih
ada airnya, maka volume air yang ada dalam botol tersebut dihitung yaitu dengan
mengukur tinggi air dalam botol. Kemudian botol kosong diisi air hingga
mencapai tinggi yang ditentukan (tinggi sama dengan botol yang berisi gas).
Volume air kemudian diukur dengan gelas ukur. Volume gas dapat diketahui
dengan cara : Total volume botol – Volume air.
Uji nyala dilakukan dengan cara : lilin, korek, dan botol gas disiapkan.
Lilin dinyalakan kemudian botol didekatkan dengan lilin, tutup botol dibuka dan
bagian badan botol diberi tekanan agar gas yang terdapat dalam botol dapat
keluar. Apabila botol mengandung gas metan dengan konsentrasi tinggi maka
nyala api berwarna biru, sedangkan apabila konsentrasi CO2 tinggi maka nyala api
berwarna kuning. Jika api mati, gas tersebut mengandung amoniak dengan
konsentrasi tinggi (Hermawan dkk., 2007).
6.
Pengukuran kebutuhan oksigen kimia (COD) (Metode Titrasi, Greenberg et
a l., 1992)
Bahan disiapkan antara lain : K2Cr2O 7; Ag2SO4; Fe (NH 4)2 (SO4)2 6H2O;
indikator feroin; HgSO 4; larutan H2SO4 pekat dan peralatan Refluks, Kondensor
Liebiq, Erlenmeyer Asahi dan peralatan Titrasi. Limbah contoh sebanyak 5 ml
yang telah diencerkan dengan air suling dimasukkan ke dalam Erlenmeyer da n
ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 0.025 N dan 10 ml H2SO 4 pekat. Setelah campuran
tersebut dingin, dititrasi dengan larutan Fe(NH4)2(SO 4) 0.025 N, dengan indikator
feroin. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna biru kehijauan menjadi
merah anggur. Volume Fe(NH4)2 (SO 4) 0.025 N yang digunakan untuk titrasi
dicatat sebagai a ml. Dengan prosedur yang sama, dilakukan titrasi terhadap
blangko air suling. Volume Fe(NH4)2(SO 4) yang digunakan dicatat b ml.
Keterangan :
f : faktor pengenceran
7.
Pengukuran Total Solids (TS) (Metode Evaporasi, Greenberg et al, 1992)
Sebanyak 5 ml contoh yang telah diaduk dimasukkan ke dalam kruss.
Sebelum digunakan, kruss dibersihkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu
1050C selama satu jam. Setelah itu kruss didinginkan di dala m desikator hingga
suhu ruang dan ditimbang (A 1). Contoh diuapkan dalam kruss dan diteruskan
dengan pengeringan di dalam oven pada suhu 105 0C selama satu jam atau hingga
bobot konstan. Setelah didinginkan didalam desikator, kruss ditimbang lagi (B).
Total Solids (TS) = (B-A1) x 106
5
D. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap Olah Faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor
pertama adalah variasi jenis substrat yaitu dengan penambahan limbah industri
gula (molase) pada substrat limbah rumah makan dengan beberapa konsentrasi
(20% dan 40%) dan faktor kedua adalah perbedaan suhu lingkungan, yaitu suhu
ruang/green house (310C) sebagai T1 dan suhu tinggi (500C) sebagai T2.
Masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Kombinasi perlakuan yang
diperoleh adalah sebagai berikut:
Kontrol : Inokulum 20%, limbah makanan 80%, molase 0% pada suhu 310C
Kontrol : Inokulum 20%, limbah makanan 80%, molase 0% pada suhu 500C
A1 : Inokulum 20%, limbah makanan 60%, molase 20% pada suhu 31 0C
A2 : Inokulum 20%, limbah makanan 60%, molase 20% pada suhu 50 0C
B1 : Inokulum 20%, limbah makanan 40%, molase 40% pada suhu 310C
B2 : Inokulum 20%, limbah makanan 40%, molase 40% pada suhu 500C
Dilakukan 4 kali pengambilan data beberapa parameter dari masing-masing
kelompok perlakuan yaitu pada minggu ke-0, ke-2, ke-4, dan ke-6.
Sumber inokulum, pH, dan agitasi, data dibuat homogen (tidak
dibedakan). Berikut rancangan percobaan ditampilkan dalam bentuk tabel :
Tabel 3. Rancangan Percobaan Perombakan Anaerob Limbah Rumah Makan dan
Molase
Substrat
Inokulum
Suhu
pH
Agitasi
Waktu
pengambilan data
Kontrol Limbah makanan
0
31 C
7
2x
Minggu ke 0, 2, 4, 6
Kontrol Limbah makanan
500C
7
2x
Minggu ke 0, 2, 4, 6
A1
Limbah makanan
310C
7
2x
Minggu ke 0, 2, 4, 6
A2
Limbah makanan
500C
7
2x
Minggu ke 0, 2, 4, 6
B1
Limbah makanan
310C
7
2x
Minggu ke 0, 2, 4, 6
B2
Limbah makanan
500C
7
2x
Minggu ke 0, 2, 4, 6
Parameter yang akan diukur antara lain pH, suhu, konsorsia bakteri, COD, Total
solids (TS), volume gas, dan uji nyala.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kuantitatif diperoleh dari hasil pengukuran pH dan suhu substrat, volume gas,
COD, TS, dan jumlah konsorsia bakteri. Sedangkan data kualitatif diperoleh dari
hasil uji nyala biogas. Data kuantitatif (COD, TS, dan volume biogas) diolah
dengan menggunakan ANAVA, jika terdapat beda nyata maka dilanjutkan dengan
uji DMRT pada taraf 5%. Sedangkan data kualitatif dianalisis dengan analisis
deskriptif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sebelum proses fermentasi anaerob dimulai, penting diketahui karakter
awal dari masing-masing kelompok substrat. Substrat terdiri dari tiga kelompok,
yaitu : substrat 80% murni limbah rumah makan, tanpa penambahan molase (S1
atau K); substrat 60% limbah rumah makan ditambahkan 20% molase (S2 atau
A); dan substrat 40% limbah rumah makan ditambahkan 40% molase (S3 atau B).
Masing-masing kelompok substrat dibagi lagi dalam dua kelompok suhu
lingkungan yang berbeda, yaitu suhu ruang (T1) dan suhu tinggi (T2).
Tujuan dari karakterisasi adalah untuk melihat nilai efisiensi perombakan
substrat limbah organik terhadap beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi dari
limbah seperti pH, suhu, COD, TS, dan populasi bakteri, yang terjadi selama
proses fermentasi. Selain itu, karakterisasi di awal juga dapat dijadikan acuan
untuk mengetahui sifat limbah yang baik untuk produksi biogas, karena limbah
belum mendapat perlakuan. Berikut adalah karakter substrat sebelum dilakukan
proses fermentasi anaerob :
Tabel 4. Karakterisasi awal substrat untuk percobaan
Kelompok substrat
Parameter
pH
Suhu (°C)
COD (g/l)
TS (g/l)
Populasi
bakteri (sel/ml)
7.11
31.2
88
174
7.83x106
LM 60% + M 20% (A) 7.13
31.4
219
314.88
2.62x107
LM 40% + M 40% (B) 7.07
31.9
259
449.98
3.26x107
LM 80% + M 0% (K)
Keterangan :
LM : Limbah rumah makan
M : Molase
Berdasarkan data pada Tabel 4 diketahui bahwa substrat dengan
penambahan molase (A dan B) memiliki nilai COD dan TS lebih besar
dibandingkan dengan substrat murni limbah rumah makan (K). Ini menandakan
bahwa penambahan molase (tanpa pengenceran) dapat menambah beban organik
pada substrat.
Selain itu perbedaan jenis substrat juga memberikan pengaruh terhadap
nilai pH selama proses fermentasi anaerob. pH substrat akan mengalami sedikit
banyak perubahan. Berikut adalah rata-rata nilai pH dalam empat kali waktu
pengamatan (minggu ke_n) selama proses fermentasi anaerob ber langsung :
Tabel 5. Rata-rata pH substrat dalam 4 kali waktu pengamatan
Kelompok substrat
pH substrat
M0
M2
M4
M6
LM 80% + M 0% (KI)
7.11
6.17
6.14
6.08
LM 60% + M 20% (AI)
7.12
5.23
5.15
4.95
LM 40% + M 40% (BI)
7.07
4.81
4.88
4.80
LM 80% + M 0% (KII)
7.13
6.64
6.89
6.98
LM 60% + M 20% (AII)
7.10
5.26
5.12
5.07
LM 40% + M 40% (BII)
7.14
4.94
4.80
4.75
1. Suhu ruang (T1 : 31°C)
2. Suhu tinggi (T2 : 50°C)
Berdasarkan Tabel 5, pH substrat mulai mengalami penurunan pada
minggu kedua. Seharusnya setelah itu pH dapat kembali netral, tetapi hal
demikian hanya terjadi pada kelompok substrat murni limbah rumah makan pada
suhu tinggi (KII). Sedangkan kelompok substrat lain, pH cenderung menurun. pH
paling rendah dimiliki oleh kelompok dengan penambahan molase 40%
(kelompok B).
Selain faktor lingkungan seperti pH dan suhu, jenis substrat juga
berpengaruh terhadap hasil produksi biogas. Berikut adalah hasil produksi biogas
berdasarkan variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan dalam
biodigester sistem curah skala laboratorium dengan waktu fermentasi 6 minggu :
Tabel 6. Produksi biogas dari limbah organik rumah makan dan campuran molase
menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6
minggu
Kelompok substrat
Produksi biogas (ml)
M(0-2)
M(2-4)
Total
M(4-6)
(ml)
1. Suhu ruang (T1 : 31°C)
LM 80% + M 0% (KI)
2880
6617
1103
10600
LM 60% + M 20% (AI)
3600
1850
1265
6715
LM 40% + M 40% (BI)
580
1240
1685
3505
LM 80% + M 0% (KII)
5315
7265
14941
27521
LM 60% + M 20% (AII)
2425
1880
3727
8032
LM 40% + M 40% (BII)
2353
4715
570
7638
2. Suhu tinggi (T2 : 50°C)
Gambar 6. Produksi biogas pada suhu ruang (31°C) dan suhu tinggi (50°C)
Keterangan :
KI
: LM 80% + M 0% pada suhu ruang (31°C)
KII
: LM 80% + M 0% pada suhu tinggi (50°C)
AI
: LM 60% + M 20% pada suhu ruang (31°C)
AII
: LM 60% + M 20% pada suhu tinggi (50°C)
BI
:LM 40% + M 40% pada suhu ruang (31°C)
BII
: LM 40% + M 40% pada suhu tinggi (50°C)
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa produksi biogas
tertinggi diperoleh dari kelompok substrat murni limbah rumah makan pada suhu
tinggi (KII). Sedangkan produksi terendah adalah kelompok substrat dengan
penambahan molase 40% pada suhu ruang (BI).
Selain produksi biogas, fermentasi anaerob juga dapat menurunkan tingkat
pencemaran dari limbah organik sehingga lebih aman bagi lingkungan. Besar atau
kecilnya penurunan tersebut dapat dilihat dari nilai efisiensi perombakan atau
degradasi limbah. Berikut merupakan nilai efisiensi perombakan dilihat dari nilai
rata-rata COD dan TS nya :
Tabel 7. Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) pada nilai COD
substrat limbah rumah makan dan campuran molase pada fermentasi
anaerob
Kelompok substrat
Nilai efisiensi degradasi COD (%)
M(0-2)
M(0-4)
M(0-6)
M(2-4)
M (4-6)
LM 80% + M 0% (KI)
20.02
46.74
66.27
33.41
36.67
LM 60% + M 20% (AI)
16.13
31.58
42.71
18.41
16.27
LM 40% + M 40% (BI)
4.48
13.81
19.08
9.77
6.11
LM 80% + M 0% (KII)
27.78
53.29
72.44
35.32
41.00
LM 60% + M 20% (AII)
17.54
32.87
46.74
18.60
20.66
LM 40% + M 40% (BII)
6.10
14.15
21.60
8.58
8.68
1. Suhu ruang (T1 : 31°C)
2. Suhu tinggi (T2 : 50°C)
Tabel 8. Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) total solids substrat
limbah rumah makan dan campuran molase pada fermentasi anaerob
Kelompok substrat
Nilai efisiensi degradasi TS (%)
M(0-2)
M(0-4)
M(0-6)
M(2-4)
M (4-6)
LM 80% + M 0% (KI)
20.39
45.18
64.05
31.14
34.43
LM 60% + M 20% (AI)
21.41
41.08
58.00
25.04
28.71
LM 40% + M 40% (BI)
15.27
34.73
59.90
22.96
24.78
LM 80% + M 0% (KII)
26.27
50.03
68.73
32.22
37.42
LM 60% + M 20% (AII)
22.95
38.58
56.86
20.28
29.76
LM 40% + M 40% (BII)
15.29
35.06
51.62
23.33
25.50
1. Suhu ruang (T1 : 31°C)
2. Suhu tinggi (T2 : 50°C)
Tabel 7 dan 8 menunjukkan bahwa nilai efisiensi perombakan tertinggi
baik COD maupun TS adalah dari kelompok substrat murni limbah rumah makan
pada suhu tinggi (KII) dengan masing-masing memiliki nilai efisiensi 72.44% dan
68.73%. Sedangkan nilai efisiensi terendah adalah kelompok substrat dengan
penambahan molase 40% kondisi suhu ruang, yaitu nilai efisiensi COD 4.48%
dan TS 15.27%.
Adapun nilai rata-rata COD, TS, dan volume biogas dipengaruhi oleh
interaksi antara jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu
fermentasi berdasarkan uji ANAVA yang dilanjutkan uji DMRT 5% ditampilkan
pada Tabel berikut :
Tabel 9. Pengaruh konsentrasi COD pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob
No
Kelompok substrat
Rata-rata COD (g/l)
M0
1
LM 80%+ M 0% (S1)
T1
88 e
2
LM 60% + M 20% (S2)
219 l
3
LM 40% + M 40% (S3)
259 o
M2
T2
84.25
M4
T1
70.38 d
T2
60.85
215 kl
183.67 i
234.18 m
247.39 n
e
M6
T1
46.87 b
T2
39.36 b
T1
29.68 a
T2
23.22 a
177.3 i
149.85 h
144.33 h
125.46 g
114.51
219.89 l
223.23 l
201.03 j
209.5 k
183.58 i
c
f
Tabel 10. Pengaruh konsentrasi TS pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob
No
Kelompok substrat
Rata-rata TS (g/l)
M0
M2
M4
M6
T1
174 f
T2
99.04 cd
T1
138.53 e
T2
73.02 bc
T1
95.39 cd
T2
49.49 ab
T1
62.55 b
T2
30.97 a
1
LM 80%+ M 0% (S1)
2
LM 60% + M 20% (S2)
314.88 h
237.3 g
247.47 g
182.83 f
185.51 f
145.75 e
132.25 e
102.37 d
3
LM 40% + M 40% (S3)
449.98 j
359.46 i
381.25 i
304.49 h
293.71 h
233.44 g
220.93 g
173.91 f
Tabel 11. Pengaruh produksi biogas pada interaksi jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu (0-6 minggu) dalam biodigester anaerob
No
Kelompok substrat
1
LM 80%+ M 0% (S1)
T1
0.96 abc
T2
1.77 abc
Rata-rata volume biogas (L)
M4
M6
T1
T2
T1
T2
2.21 bc
2.42 c
3.68 abc
4.98 d
2
LM 60% + M 20% (S2)
1.2 abc
0.81 abc
0.62 abc
0.63 abc
0.42 abc
1.24 abc
3
LM 40% + M 40% (S3)
0.19 ab
0.78 abc
0.41 abc
1.57 abc
0.56 abc
0.19 ab
M2
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%)
Berdasarkan tabel diatas, interaksi yang terjadi antara jenis substrat dan
suhu lingkungan terhadap lama waktu fermentasi memberikan hasil yang beda
nyata te rhadap nilai COD, TS, dan volume biogas. Interaksi terbaik adalah pada
jenis substrat 80% murni limbah rumah makan kondisi suhu tinggi dan pada
minggu ke-6 waktu fermentasi (tanda cetak tebal).
B. Pembahasan
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar
alternatif untuk menggantikan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas
alam (Haryati, 2006). Proses terjadinya biogas adalah fermentasi anaerob bahan
organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas mudah
terbakar (flammable) (Simamora et al., 2006). Biogas mudah terbakar karena
mengandung gas metana (CH4) dalam persentase cukup tinggi (Setiawan, 2008).
Banyak faktor mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, yaitu faktor
biotik seperti populasi bakteri pada sta rter dan substrat, maupun abiotik seperti
kondisi anaerob, jenis bahan baku isian, nutrisi (C/N), pH, dan suhu. Faktor
tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika kondisi lingkungan optimal
bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et al., 2006).
Penelitian ini menggunakan limbah organik rumah makan di area kampus
UNS, kecuali rumah makan padang. Pengecualian ini dilakukan dengan alasan
karena limbah organik dari rumah makan padang mengandung unsur lemak yang
cukup tinggi. Menurut Mahajoeno (2008), limbah organik yang mengandung
lemak tinggi kemungkinan dapat mengganggu proses perombakan substrat dan
secara tidak langsung akan mengganggu laju produksi biogas. Hal ini karena
apabila lemak berinteraksi dengan NaOH (bahan penetral pH substrat) maka aka n
terbentuk gliserol dan asam lemak yang dapat mengganggu proses perombakan
tersebut (Adrianto, 2003). Selain itu, Wellinger and Lindeberg (1999) juga
menyatakan bahwa biomassa yang mengandung konsentrasi tinggi lemak dapat
menghambat proses fermentasi, sebab dari hasil perombakan dihasilkan senyawa
beracun berupa asam lemak rantai panjang.
Limbah rumah makan ini terdiri dari nasi, sayuran, buah-buahan, ikan,
daging, telur, dan aneka sisa makanan lain nya. Selain itu, digunakan pula limbah
cair industri gula yaitu molase sebagai campuran substrat limbah rumah makan
pada proses perombakan anaerob. Fungsi molase dalam proses perombakan
anaerob bahan organik dapat berperan sebagai sumber karbon. Molase
mengandung unsur C, N, dan O cukup untuk pertumbuhan bakteri (Pramana,
2008). Proses gasifikasi dimungkinkan akan terjadi secara cepat karena molase
merupakan sumber karbon dalam bentuk gula yang mudah diurai (Panji et al.,
2007). Fungsi lain adalah untuk mensubstitusi beberapa unsur mikronutrien yang
dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Menurut Pramana (2008) molase mengandung kalori cukup tinggi karena
terdiri dari glukosa dan fruktosa, selain itu juga memiliki kandungan zat berguna
(mikronutrien) seperti kalsium, magnesium, potasium, dan besi. Me nurut Adam
(1980), metanogen selain membutuhkan nutrisi berupa sumber karbon, nitrogen
dan fosfor sebagai sumber energi dan prekursor untuk sintesis komponen sel
(seperti polisakarida, protein dan asam nukleat) juga membutuhkan garam-garam
anorganik dalam jumlah mikro untuk pengendalian tekanan osmosis internal dan
sebagai kofaktor enzim. Mikronutrien tersebut akan digunakan sebagai suplemen
untuk memacu aktivitas mikrobia, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
produksi biogas (Bardia and Gaur, 1994). Percobaan telah dilakukan oleh
Seenayya et al., (1992), yang menunjukkan penambahan kalsium (5mM), kobalt
(50µg g-1 TS), besi (50 mM), magnesium (7,5 mM), molibdenum (10-20 mM),
nikel (10µg g-1 TS) baik secara tunggal maupun kombinasi dengan logam lain
dapat meningkatkan produksi biogas karena kondisi tersebut meningkatkan
populasi bakteri metanogenik dalam reaktor/biodigester.
Produksi biogas juga sangat ditentukan oleh sifat substrat yang
digunakan. P emilihan limbah rumah makan sebagai substrat utama produksi
biogas karena limbah tersebut termasuk limbah organik yang belum banyak
dimanfaatkan, terutama untuk produksi biogas. Alasan lain adalah karena limbah
rumah makan mengandung banyak unsur material organik seperti karbohidrat,
lemak, dan protein yang dapat didegradasi oleh bakteri melalui proses
perombakan anaerob dan menghasilkan gas metana (Jenie dan Winiati, 1993).
Menurut Hammad (1999), sampah organik seperti sayuran dan buah-buahan
adalah substrat terbaik untuk menghasilkan biogas. Didukung pernyataan Haryati
(2006) yang menyatakan bahwa limbah sayuran dapat menghasilkan biogas 8 kali
lebih banyak dibandingkan limbah kotoran ternak. Pemilihan molase sebagai
campuran substrat limbah rumah makan juga dapat menambah nilai manfaat
karena kandungan mikronutrien pada molase diasumsikan dapat digunakan
sebagai suplai nutrisi untuk pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme.
Selain substrat, pada proses perombakan anaerob juga digunakan
inokulum sebagai starter. Inokulum yang digunakan berasal dari limbah rumah
makan yang sudah difermentasikan (anaerob) terlebih dahulu selama tiga minggu.
Setelah dua minggu akan terbentuk sludge (lumpur aktif) yang mengandung
biakan metanogen. Sludge ini digunakan sebagai starter untuk mempercepat
proses fermentasi anaerob. Perbandingan antara inokulum dengan substrat yang
digunakan adalah 20% dan 80%. Pemakaian inokulum 20% dimaksudkan agar
dapat menghasilkan biogas yang optimal. Karena berdasarkan hasil penelitian
Mahajoeno, dkk (2008) bahwa inokulum LKLM II-20% (b/v) (lumpur kolam dari
limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS)) dengan substrat LCPMKS 15
L, diperoleh produksi biogas paling baik dibandingkan konsentrasi lainnya,
dengan biogas yang mencapai 121 liter.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah biogas yang dihasilkan
dari proses perombakan anaerob limbah rumah makan dan molase sebagai
substratnya, serta mengetahui pengaruh pemberian suhu tinggi (50ºC) terhadap
jumlah biogas yang dihasilkan dari proses perombakan tersebut dengan
menggunakan biodigester tipe curah (b atch) skala laboratorium selama 45 hari
waktu pengamatan. Parameter yang digunakan antara lain pH dan suhu substrat,
konsorsia bakteri, COD, total solids, volume biogas, dan uji nyala.
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa substra t tanpa
penambahan molase atau murni limbah rumah makan (kontrol) dapat
menghasilkan biogas lebih banyak dibandingkan substrat campuran molase. Hasil
ini didapat baik pada kondisi suhu ruang maupun suhu tinggi (50°C) (Tabel 6).
Selain itu, pada grafik (Gambar 7 dan 8) terlihat bahwa pemberian suhu 50ºC
pada biodigester juga dapat meningkatkan produksi biogas. Jumlah volume biogas
yang diperoleh berdasarkan perbedaan jenis maupun konsentrasi substrat dan juga
perbedaan suhu lingkungan dalam 45 hari waktu pengamatan terlihat pada
Gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok
substrat pada kondisi suhu ruang (31°C) pada hari ke -0, hari ke -15,
hari ke-30, dan hari ke-45
Gambar 8. Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok
substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke -0, hari ke -15,
hari ke-30, dan hari ke-45
Keterangan :
K : Limbah makanan 80% dan Molase 0% (+ inokulum 20%)
A : Limbah makanan 60% dan Molase 20% (+ inokulum 20%)
B : Limbah makanan 40% dan Molase 40% (+ inokulum 20%)
T1/I : Suhu ruang (31ºC)
T2/II : Suhu tinggi (50ºC)
Berdasarkan Gambar 7 dan 8, kelompok substrat yang menghasilkan
biogas paling banyak adalah dari kelompok kontrol yaitu mencapai 27 liter,
sedangkan kelompok A dan B menghasilkan biogas lebih sedikit, yaitu 3-8 liter
selama 45 hari proses perombakan. Namun demikian, banyak sedikitnya jumlah
biogas yang dihasilkan tidak dapat menentukan nyala tidaknya biogas yang
dihasilkan. Pada kelompok kontrol kondisi suhu ruang, biogas yang dihasilkan
cukup banyak tetapi tidak dapat menghasilkan nyala api. Hal ini mungkin
dikarenakan kandungan gas metana pada biogas hanya sedikit (dibawah 50%).
Untuk dapat melihat hasil biogas yang terbentuk, pada penelitian ini hanya baru
pada tahap uji nyala, belum sampai tahap analisis kandungan gas metana.
Sehingga gas metana yang terkandung dalam biogas baru dapat diprediksi secara
teoritis. Hammad mengatakan bahwa biogas dapat terbakar apabila terdapat kadar
metana minimal 57%. Sedangkan menurut Hessami dkk. , (1996) biogas dapat
terbakar jika kandungan metana minimal 60%.
Berdasarkan hasil uji nyala api, tidak semua kelompok substrat dapat
menghasilkan nyala api. Hanya kelompok kontrol kondisi suhu tinggi saja yang
dapat menghasilkan nyala api, sedang kelompok lain mati. Pada kelompok lain
pH cenderung terus menurun (Tabel 5.), artinya proses yang berlangsung baru
sampai pada tahap asidogenesis dan asetogenesis, meskipun tidak diketahui sejauh
mana tahapan asidogenesis dan asetogenesis terjadi karena pada penelitian ini
tidak dilakukan pengukuran terhadap nilai VFA (volatile fatty acid ). Menurut
Kresnawaty et al., (2008) penurunan pH terjadi karena asam organik
yang
terbentuk selama asidogenesis seperti asam asetat, propionate, butirat, valerat
bahkan isovalerat dan isobutirat, sedangkan pada tahap asetogenesis produk utama
yang dihasilkan adalah asam lemak volatil. Nilai pH yang terus menurun
mengakibatkan biogas yang dihasilkan tidak optimal (kandungan metana rendah
atau bahkan belum terbentuk). Karena lingkungan yang asam tidak cocok untuk
perkembangan metanogen. Selain itu, beban organik yang berlebih karena
campuran
molase
pada
substrat
limbah
rumah
makan
menyebabkan
ketidakseimbangan proses perombakan anaerob. Bahan beracun yang ada di
dalam biodigester, baik dari biomassa substrat maupun dari senyawa hasil
fermentasi anaerob juga termasuk salah satu faktor yang menghambat
terbentuknya biogas.
Gas yang dihasilkan pada kelompok kontrol (kondisi suhu tinggi) saat
pertama kali belum menghasilkan nyala api. Hal ini dikarenakan proses
perombakan anaerob memerlukan beberapa tahapan, diantaranya : hidrolisis,
asidogenesis, dan methanogenesis. Pada saat awal perombakan masih didominasi
oleh proses hidrolisis, asidogenesis, dan asetogenesis sehingga gas yang
dihasilkannya pun kebanyakan masih berupa gas CO 2, H2, dan senyawa yang
bersifat asam seperti asam asetat (Gambar 3). Gas sudah dapat menghasilkan
nyala api yaitu pada botol kedua. Namun nyala api masih kecil dan berwarna
kuning mendekati orange. Nyala api yang berwarna kuning ini mungkin karena
gas masih didominasi oleh gas CO 2 (masih banyak mengandung unsur karbon).
Apabila 70% volume mengandung unsur karbon maka warna apinya kuning
(Orbis, 2008).
Pada hasil awal tidak semua botol gas dapat menghasilkan nyala api. Hal
ini dikarenakan pH substrat mengalami penurunan pada hari ke-15, artinya proses
yang berlangsung adalah tahap asidogenesis. Setelah setengah bulan berjalan (>3
minggu) , baru diperoleh biogas dengan nyala api berwarna biru. Ketika nyala api
biru berarti biogas yang dihasilkan sudah baik. Pembakaran akan mengeluarkan
api yang berwarna biru, karena gas yang dibakar adalah gas metan (CH4), yang
ikatan molekulnya hanya mengandung 1 atom C dan 4 atom hydrogen (Orbis,
2008). Gas metan ini diperoleh setelah hari ke-20, yaitu hari ke-24. Perlu
diketahui bahwa setelah hari ke-15, pH substrat kembali netral (6,89) hingga hari
ke-45 (6,98) (Gambar 12). Hingga hari ke -45 biogas masih dapat menghasilkan
nyala api berwarna biru.
Jumlah volume biogas yang dihasilkan dari masing-masing kelompok
perlakuan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Tabel 8). Berdasarkan
hasil uji ANAVA diketahui bahwa adanya variasi jenis dan konsentrasi substrat
serta perbedaan suhu lingkungan memberikan pengaruh yang cukup signifikan
terhadap hasil produksi biogas (P<0,05) (Lampiran 4). Setelah dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan DMRT 5% diketahui bahwa terdapat beda nyata dari
masing-masing kombinasi perlakuan (Tabel 11). Dari hasil yang diperoleh,
kondisi terbaik terjadi pada kombinasi perlakuan S1T2M6, yaitu : penggunaan
murni limbah makanan (S1), karena memiliki beban organik (nilai COD) paling
rendah; pemberian suhu tinggi (T2) karena terjadi proses degradasi cepat dan suhu
yang konstan; dan pada minggu ke-6 (M6) karena proses perombakan sudah
berjalan lebih sempurna dibandingkan waktu sebelumnya. Kondisi tersebut
merupakan kombinasi perlakuan terbaik dibandingkan dengan kombinasi
perlakuan lain yang menghasilkan volume biogas lebih sedikit.
Menurut Ratnaningsih dkk., (2009) jumlah produksi biogas yang sangat
kecil menunjukkan bahwa telah terjadi proses degradasi yang tidak maksimal.
Kelompok A dan B dengan penambahan molase pada substrat limbah makanan
menunjukkan terjadi degradasi yang tidak maksimal. Hal ini terlihat dari total
produksi gas yang sangat kecil, yaitu 3-8 liter dalam waktu 45 hari (Tabel 6).
Rendahnya produksi biogas merupakan pengaruh dari variasi jenis substrat dan
perbedaan suhu lingkungan pada masing-masing kelompok perlakuan.
Penambahan molase pada substrat limbah rumah makan (kelompok A
dan B) menimbulkan beban organik berlebih. Hal ini terlihat pada nilai
konsentrasi COD awal yang tinggi pada kelompok A dan B (Tabel 4).
Berdasarkan hasil penelitian Syafila et al., (2003) dengan menggunakan molase
sebagai substrat, produksi gas metana tertinggi adalah 0,479 L/hari dengan beban
COD 10.000mg/L, sedangkan produksi terendah adalah 0,104 L/hari dengan
beban COD 40.000mg/L. Pada laju pembebanan yang lebih tinggi (COD tinggi)
maka pembentukan gas metana menjadi lebih sedikit. Hal ini terjadi karena
banyaknya senyawa kompleks pada biomassa substrat yang sulit didegradasi oleh
mikroorganisme, sehingga dapat mempengaruhi produksi biogas. Menurut
Wellinger dan Lindenberg (1999) beban organik berlebih dapat muncul ketika
biomassa dengan kandungan organik tinggi dimasukkan ke dalam biodigester
secara berlebihan. Bahan organik tergolong tinggi jika memiliki konsentrasi COD
lebih dari 4000 mg/L. Molase memiliki nilai konsentrasi COD lebih dari 285. 000
mg/L (Syafila et al., 2003). Novita (2001) dalam laporan penelitiannya
menyebutkan bahwa molase selain mengandung nilai kebutuhan oksigen kimiawi
(COD) tinggi juga merupakan limbah cair yang memiliki kompleks pigmen coklat
gelap (melanoidin). Melanoidin adalah suatu kompleks pigmen yang terbentuk
dari reaksi non enzimatik antara gula dan asam amino (reaksi Maillard). Pigme n
coklat inilah yang diperkirakan sebagai penghambat dalam proses penanganan
limbah. Menur ut Nugraha (1995), degradasi melanoidin dengan menggunakan
sludge dapat dilakukan melalui proses anaerobik, tetapi perlu dilakukan
penangana n lanjutan seperti penanganan secara aerobik, koagulasi, flokulasi,
adsorpsi dan sebagainya.
Peningkatan konsentrasi organik menyebabkan penurunan nilai COD
pada limbah menjadi sedikit. Hal ini disertai pula dengan penurunan produksi gas
metana. Untuk waktu retensi yang sama, semakin besar konsentrasi organik akan
semakin banyak asam volatil yang dihasilkan oleh proses asetogenesis. Kondisi
ini menyebabkan populasi metanogen tidak dapat melangsungkan proses
metanogenesis dengan sempurna, sehingga hanya sebagian produk proses
asetogenesis yang dikonversi menjadi gas metana. Akibatnya persentase
penyisihan COD
akan
menurun
disertai
dengan
penurunan
persentase
pembentukan gas metan (Syafila et al., 2003 dan Guiot and Berg, 1985).
Gambar 7 dan 8 membuktikan bahwa pada kelompok substrat A dan B
(pada kondisi suhu ruang dan suhu tinggi) menghasilkan biogas yang lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kedua kelompok substrat tersebut
(A dan B) proses metanogenesis belum dapat berlangsung sempurna karena
senyawa asam yang diproduksi terlalu banyak. Dilihat dari perubahan pH masingmasing kelompok substrat yang cenderung menurun (Gambar 11 dan 12 & Tabel
5). Produksi asam yang berlebih ini dimungkinkan karena adanya penambahan
molase. Sebab pada kelompok kontrol kondisi suhu tinggi, pH substrat masih
dapat kembali netral, yang berarti bahwa proses perombakan dapat berjalan
seimbang sehingga biogas yang diha silkan dapat menghasilkan nyala api.
Sedangkan pada kelompok A dan B proses perombakan tidak dapat berjalan
seimbang, dilihat dari pH substrat yang semakin asam sehingga biogas tidak dapat
menghasilkan nyala api (kandungan metana sedikit). Nilai konsentrasi COD yang
terlalu tinggi pada molase mengindikasikan bahwa limbah ini sangat tercemar,
sehingga dapat dimungkinkan pada limbah tersebut mengandung berbagai macam
jenis bakteri khususnya bakteri pembentuk asam. Banyaknya bakteri asam yang
dapat tumbuh dala m substrat tersebut mengakibatkan lingkungan menjadi asam
dan archaea (metanogen) tidak dapat tumbuh pada kondisi tersebut. Dengan
demikian proses perombakan menjadi tidak seimbang. Menurut NAS (1981)
metanogen tidak dapat toleran pada pH diluar 6,7-7,4.
Kandungan
bahan
organik
yang
sangat
tinggi
pada
molase
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan selama proses perombakan anaerob.
Ketidakseimbangan dapat terjadi ketika bahan organik didegradasi oleh bakteri
menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana yaitu pada tahap hidrolisis dan
asedogenesis. Pada tahapan ini terjadi perubahan senyawa organik menjadi
senyawa organik lainnya yang lebih sederhana (tahap hidrolisis) dan senyawa
yang bersifat asam (asedogenesis dan asetogenesis) (Gaudy and Elizabeth, 1980).
Pada tahap hidrolisis, kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan bakteri
tidak mampu memecah senyawa organik yang ada dalam waktu singkat. Karena
bahan organik yang tinggi mengandung banyak senyawa-senyawa kompleks,
dimana dibutuhkan waktu yang lama bagi bakteri untuk mencerna senyawa
tersebut. Akibatnya, proses fermentasi anaerob berjalan lamban. Menurut
Adrianto (2001) hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan
karena tahap yang berlangsung paling lambat dapat mempengaruhi laju
keseluruhan.
Selanjutnya pada tahapan asidogenesis dan asetogenesis senyawa
sederhana tadi diubah kedalam bentuk senyawa asam untuk dikonsumsi oleh
metanogen dan dikonversi menjadi gas metana (pada tahap metanogenesis).
Namun pada tahapan asidogenesis dan asetogenesis ini, asam yang diproduksi
lebih banyak daripada yang dikonsumsi (pH terus menurun), dengan demikian
bakteri metan sulit mengubah produk metabolisme proses asetogenesis menjadi
gas metan. Dimungkinkan pada saat itu terjadi ketidakseimbangan populasi
metanogen terhadap bakteri asam (bakteri asam lebih banyak) yang menyebabkan
lingkungan (substrat) menjadi sangat asam (pH < 7). Menurut Burke (2001), pH
yang terus menurun disebabkan oleh bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat
sehingga asam yang dihasilkan akan lebih banyak dari jumlah yang dapat
dikonsumsi oleh bakteri penghasil metan, akibatnya sistem akan terlalu asam.
Faktor lain yang dapat menghambat produksi biogas adalah adanya
bahan beracun. Bahan beracun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam
biomassa atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa indikator ketidakseimbangan proses
perombakan terjadi karena substrat asetogenik berlebih meskipun tidak bersifat
toksik. Kelompok A dan B (suhu ruang dan suhu tinggi) memiliki konsentrasi
asam organik berlebih (Gambar 11 dan 12). Asam organik berlebih dapat
disebabkan karena pemberian bahan organik yang tidak seimbang ke dalam
reaktor. (Wellinger dan Lindenberg, 1999). Penambahan molase pada kelompok
A dan B merupakan salah satu contoh pemberian bahan organik yang tidak
seimbang karena kandungan bahan organik molase yang terlalu tinggi, sehingga
terbentuk asam organik berlebih.
Molase yang digunakan pada penelitian ini adalah molase jenis black
strap. Molase jenis ini memiliki kandungan zat berguna seperti kalsium,
magnesium, potasium , dan besi (Pramana, 2008). Mikroba metanogen
membutuhkan garam -garam anorganik dalam jumlah mikro untuk mengendalikan
tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim (Adam, 1980). Menurut
Werner et al., (1989) unsur tersebut sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar
10-4 M, karena konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor
penghambat. Mungkin hal tersebut juga merupakan salah satu faktor penghambat
produksi biogas pada kelompok A dan B, karena unsur dengan konsentrasi tinggi
dapat menjadi toksik bagi bakteri.
Pada kelompok kontrol dengan perlakuan suhu tinggi (50°C) dapat
menghasilkan biogas lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol pada suhu
rua ng. Hal ini mungkin dikarenakan perbedaan suhu lingkungan diantara kedua
kelompok substrat tersebut (Gambar 8 dan 9). Pada suhu tinggi (50°C) substrat
akan terdegradasi lebih cepat dan memudahkan difusi bahan terlarut, sehingga
pembentukan gas akan lebih cepat pula. Sesuai dengan pernyataan Metcalf &
Eddy (2003) bahwa suhu termofilik digunakan untuk penghancuran cepat dan
produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek dan bebas
dari desinfektan.
Perbedaan volume biogas yang diperoleh juga dapat disebabkan karena
pada kondisi suhu ruang terjadi perubahan suhu lingkungan 2-5°C (suhu
lingkungan tidak konstan). Hal ini berpengaruh pula terhadap perubahan suhu
substrat. Perubahan suhu yang terlihat cukup signifikan yaitu pada hari ke -45,
suhu substrat turun menjadi ±25°C. Penurunan yang cukup signifikan ini
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berubah, yaitu suhu lingkungan yang
rendah karena hujan. Sehingga kondisi suhu substrat di dalam biodigester pun
menjadi rendah. Material bahan dalam hal ini jerigen yang digunakan sebagai
biodigester bukan merupakan isolator/penahan panas yang baik sehingga
temperatur lingkungan dapat mempengaruhi materi di dalam biodigester (Raliby
dkk., 2009).
Proses fermentasi anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu
(Wellinger and Lindeberg, 1999). Produksi biogas akan menurun secara cepat
akibat perubahan temperatur yang mendadak di dalam reaktor (Ginting, 2007).
Bakteri metanogenik berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan
mendadak pada kondisi-kondisi fisik dan kimiawi. Sebagai contoh, penurunan
2°C secara mendadak pada slurry mungkin secara signifikan berpengaruh pada
pertumbuhan metanogen dan laju produksi gas (Gunnerson and Stuckey, 1986).
Gambar 9 dan 10 merupakan hasil pengamatan suhu substrat pada dua kondisi
yang berbeda yaitu kondisi suhu ruang (31°C) dan suhu tinggi (50°C) dalam 45
hari waktu pengamatan.
Gambar 9. Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu ruang (31°C) pada hari ke-0,
hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke -45
Gambar 10. Rata-rata suhu substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45
Lain halnya dengan kelompok substrat pada kondisi suhu ruang, pada
kelompok substrat suhu tinggi, bagian luar digester sudah diberi termokopel
dengan tujuan mempertahankan suhu agar tetap konstan. Berdasarkan uji
pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa ketika suhu
lingkungan diluar digester diatur 50°C maka suhu substrat (dalam digester) adalah
±45°C. Perbedaan suhu antara di luar dan di dalam digester mungkin disebabkan
karena perbedaan dari masing-masing bahan/media menyerap panas tersebut.
Kondisi di luar digester lebih panas karena media yang menerima panas dalam
bentuk cair (air) sehingga lebih cepat menyerap panas, sedangkan media yang
menerima panas di dalam digester adalah limbah dalam bentuk mendekati padat
(sedikit cair/kental) sehingga proses penyerapan panasnya lebih lama. Suhu
lingkungan diluar digester tetap dipertahankan 50°C dengan menggunakan
termokopel, agar tidak terjadi perubahan suhu substrat (konstan).
Jumlah volume biogas yang dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh
variasi jenis maupun konsentrasi substrat dan pemberian suhu lingkungan yang
berbeda saja, tetapi dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lain, faktor biotik
maupun abiotik. Faktor lain tersebut diantaranya pH substrat, komposisi bahan
organik (konsentrasi COD dan TS), dan mikroorganisme.
Biogas terbentuk karena adanya kerja berbagai bakteri yang ikut terlibat
dalam aktivitas perombakan substrat kompleks. Pertumbuhan bakteri yang terlibat
tersebut sangat dipengaruhi oleh pH, karena pada rentang pH yang tidak sesuai,
mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan
kematian yang pada akhirnya dapat menghambat perolehan gas metana (Rohman,
2009). Nilai pH optimum dalam produksi biogas berkisar antara 7-8 (Fulford,
1988).
Pada awal penelitian, pH limbah makanan cukup asam yaitu 4,3. pH
sangat asam karena banyaknya jeruk dalam limbah tersebut. Sementara itu, pH
awal molase adalah 5,2. Setelah kedua substrat tersebut dicampur dalam suatu
biodigester, pH dari masing-masing kelompok perlakuan berkisar antara 4,7 5,07. pH yang berbeda dikarenakan adanya variasi jenis dan konsentrasi substrat
dalam biodigester.
Mahajoeno dkk., (2008) menyatakan bahwa pH awal substrat 7
memberikan peningkatan laju produksi biogas lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan pH yang lain. Oleh karena itu, di awal penelitian semua kelompok
substrat dijadikan netral dengan penambahan kapur dan NaOH (Ginting, 2007).
Karena pH awal masing-masing kelompok berbeda, maka kapur dan NaOH yang
ditambahkannya pun berbeda, yaitu sebagai berikut :
Tabel 12 : pH substrat sebelum dan sesudah diberi kapur dan NaOH sebagai pH
pada hari ke-0
No Kelompok substrat
Kapur (gr)
NaOH (gr)
pH (mesofilik/termofilik)
1
LM 80% + M 0%
150
25
7.11/7.14
2
LM 60% + M 20%
100
50
7.13/7.10
3
LM 40% + M 40%
100
50
7.07/7.15
Setelah pH substrat netral maka penelitian dapat dimulai. Pengukuran pH
dilakukan 4 kali selama penelitian, yaitu hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari
ke-45. Hasil pengukuran rata-rata pH ditampilkan pada gambar 11 dan 12.
Gambar 11. Rata -rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu ruang
(31°C) pada hari ke -0, hari ke -15, hari ke-30, dan hari ke -45
Gambar 12. Rata-rata pH masing-masing kelompok substrat pada suhu tinggi
(50ºC) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45
Jika dilihat dari data pH yang diperoleh, baik pada suhu ruang (Gambar
11) maupun suhu tinggi (Gambar 12) diketahui bahwa telah terjadi penurunan
nilai pH pada hari ke -15 dan semakin menurun hingga hari ke-45 (Tabel 5).
Tetapi tidak demikian pada kelompok kontrol dengan perlakuan suhu tinggi. Pada
kelompok ini pH mulai menurun pada hari ke-15, kemudian pH kembali naik
(menjadi netral) pada hari ke-30 hingga hari ke-45. pH menurun disebabkan
karena sedang terjadi proses asidifikasi (pembentukan asam) yaitu substrat hasil
tahap hidrolisis diasamkan oleh bakteri fermentatif, sehingga terbentuk senyawa
asam yang dapat menurunkan nilai pH substrat. Setelah proses asidifikasi selesai,
selanjutnya masuk pada tahap metanogenesis yaitu perubahan asam menjadi
metana. Asam yang terbentuk pada tahap asidifikasi akan digunakan oleh bakteri
metanogen sebagai substrat dalam pembentukan gas metan dan CO 2 sehingga pH
kembali netral, karena dari reaksi yang terjadi pada tahap metanogenesis
dihasilkan amonia yang dapat mengembalikan pH substrat menjadi netral
(Gambar 11 : kelompok kontrol pada hari ke-15 dan 30).
Fulford (1988) menyatakan bahwa diawal reaksi pembentukan biogas,
bakteri penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH pada digester menjadi
rendah, kemudian bakteri metanogen menggunakan asam tersebut sebagai substrat
sehingga menaikkan nilai pH. Ini menandakan bahwa dalam proses produksi
biogas ter jadi pengaturan pH secara alami. Tingkat keasaman diatur oleh proses
itu dengan sendirinya. Kresnawaty dkk., (2008) dalam penelitiannya juga
mengatakan bahwa nilai pH pada awal proses menunjukkan penurunan karena
terjadi hidrolisis yang umumnya terjadi dalam suasana asam, tetapi nilai ini
cenderung stabil pada tahap selanjunya, yaitu pada kisaran pH 6,7-7,7. Rentang
pH ini mendekati kondisi ideal pertumbuhan metanogen, yaitu 6,8-7,2. Hal
demikian terjadi karena asam-asam organik diuraikan menjadi metana dan
karbondioksida dan kemungkinan terbentuknya NH3 yang meningkatkan pH
larutan.
Sedangkan pada kelompok substrat lain, nilai pH semakin turun (asam)
hingga hari ke-45. pH paling rendah adalah dari kelompok substrat A dan B (pada
suhu ruang maupun tinggi) yaitu pada kisaran pH 4.5 - 5. Sedangkan pada
kelompok kontrol (suhu ruang), substrat berada pada kisaran pH 6. pH asam pada
kelompok A dan B disebabkan penambahan molase yang kurang tepat.
Penambahan molase dianggap tidak efektif karena mengandung beban organik
berlebih dan merupakan media yang cocok untuk berkembangnya bakteri
pembentuk asam. Bakteri asam secara cepat mengasamkan senyawa sederhana
hasil proses hidrolisis. Namun, proses ini tidak diimbangi dengan perubahan asam
menjadi gas metana dan gas lainnya sehingga produksi asam terus meningkat.
Bakteri asam dan metanogen seharusnya dapat bekerjasama secara simbiosis.
Bakteri asam membentuk keadaan atmosfer yang ideal untuk bakteri metana.
Sedangkan bakteri metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri asam
(Werner et al., 1989 dan Khasristya, 2004).
Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri (Reith et a l.,
2002). Berdasarkan hasil pengamatan konsorsia bakteri pada masing-masing
kelompok substrat dengan menggunakan metode mikroskopis diketahui bahwa
kelompok substrat yang memiliki jumlah konsorsia bakteri tertinggi baik pada
suhu ruang maupun suhu tinggi (secara berurutan) adalah kelompok B, kelompok
A, dan paling kecil jumlahnya adalah kelompok K (kontrol) (Gambar 13 dan 14).
Hasil perhitungan konsorsia bakteri ditampilkan dalam Gambar 13 dan 14.
Gambar 13. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing kelompok
substrat pada kondisi suhu ruang (31°C) pada hari ke -0, hari ke -15,
hari ke-30, dan hari ke -45
Gambar 14. Grafik pertumbuhan konsorsia bakteri dari masing-masing kelompok
substrat pada kondisi suhu tinggi (50°C) pada hari ke -0, hari ke -15,
hari ke-30, dan hari ke -45
Jika dilihat dari gambar 13 dan 14, jumlah konsorsia bakteri pada hari ke0 antara kelompok kontrol dengan kelompok A dan B terlihat berbeda jauh.
Jumlah konsorsia bakteri pada substrat dengan penambahan molase lebih banyak
dibandingkan dengan tanpa molase (Lampiran 5). Hal ini menjadi indikasi bahwa
molase sendiri sudah mengandung berbagai jenis bakteri dalam jumlah banyak.
Bakteri tersebut kemungkinan merupakan bakteri pembentuk asam, karena
kondisi substrat dengan penambahan molase menjadi sangat asam. Sebagai saran
kedepannya, perlu dilakukan sterilisasi terhadap molase sebelum dilakukan
pencampuran substrat. Hal ini dimaksudkan agar bakteri yang ada termasuk
bakteri pembentuk asam tidak ikut dalam proses perombakan anaerob. Selain itu
perlu juga dilakukan pengenceran agar kandungan bahan organiknya menjadi
rendah.
Kemudian apabila dilihat dari pola pertumbuhannya, pada gambar 13
tampak bahwa pola pertumbuhan bakteri pada kelompok substrat A dan B kondisi
suhu ruang adalah sama. Pada hari ke-0 hingga hari ke-15 terjadi penurunan
jumlah konsorsia bakteri, kemudian mulai hari ke-15, hari ke -30 hingga hari ke-45
jumlah konsorsia bakteri terus meningkat. Jika dihubungkan antara grafik nilai pH
(Gambar 11) dengan pertumbuhan konsorsia bakteri (Gambar 13), pada hari ke -0
hingga hari ke -15 penurunan nilai pH yang terjadi tidak dibarengi dengan
meningkatnya jumlah konsorsia bakteri, tetapi sebaliknya jumlah konsorsia
bakteri menurun. Hal ini mungkin pada saat itu sedang berlangsung fase lag
dimana pada fase tersebut berbagai macam jenis bakteri mulai tumbuh dan
beradaptasi. Bakteri yang tidak dapat bertahan dalam kondisi tersebut (asam) akan
mati. Golongan bakteri yang mampu bertahan pada saat itu mungkin tidak
semuanya ikut terwarnai oleh pewarna methylene blue sehingga tidak tampak
pada mikroskop.
Sedangkan mulai hari ke-15 hingga hari ke -45 pH terus menurun yang
dibarengi dengan jumlah konsorsia bakteri yang terus meningkat pada rentang
hari tersebut. Pada lingkungan asam, bakteri pembentuk asam akan cepat tumbuh.
Hal ini dibuktikan dengan kelompok B yang merupakan kelompok substrat paling
asam (kisaran pH 4) merupakan kelompok substrat dengan jumlah konsorsia
bakteri paling banyak. Sama halnya dengan kelompok A dan B, penurunan nilai
pH pada kelompok kontrol (kondisi suhu ruang) dari hari ke-0 hingga hari ke-45
juga diikuti dengan peningkatan jumlah konsorsia bakteri.
Tidak berbeda dengan kondisi suhu ruang, kelompok substrat kondisi
suhu tinggi yang memiliki jumlah konsorsia bakteri paling banyak adalah
kelompok B, kemudian A dan paling sedikit kontrol (K) (Gambar 14). Namun,
ada beberapa letak perbedaan pola pertumbuhan bakteri pada kedua kondisi
lingkungan tersebut yaitu pada kelompok A dan B saat hari ke-15. Pada kondisi
suhu ruang terjadi penurunan jumlah bakteri, sebaliknya pada kondisi suhu tinggi
mengalami peningkatan jumlah bakteri yang juga diikuti dengan penurunan nilai
pH substrat. Pada lingkungan suhu tinggi bakteri asam lebih cepat tumbuh, oleh
karena itu pada awal proses perombakan (pada hari ke-15) jumlah bakteri
pembentuk asam pada kondisi suhu tinggi lebih banyak dibandingkan pada
kondisi suhu ruang. Kemudian pada kelompok substrat A (suhu tinggi),
penurunan nilai pH disertai dengan penurunan jumlah konsorsia bakteri yaitu pada
hari ke-30. Tetapi penurunan jumlahnya tidak terlalu signifikan, sehingga masih
dapat dimungkinkan bahwa bakteri yang mendominasi adalah bakteri pembentuk
asam.
Sebaliknya pada kelompok kontrol (K) kondisi suhu tinggi, peningkatan
nilai pH disertai dengan peningkatan konsorsia bakteri. Pada hari ke -0 hingga hari
ke 45 terjadi peningkatan konsorsia bakteri, padahal pada hari ke-30 dan hari ke45 telah terjadi peningkatan pH (kembali netral) setelah sebelumnya pada hari ke15 sempat terjadi penurunan pH (asam). Mungkin pada saat itu terdapat golongan
mikroorganisme lain yang ikut terwarnai oleh pewarnaan methylene blue,
misalnya jenis Archaea seperti metanogen yang juga berperan pada proses
perombakan anaerob yaitu pada tahapan metanogenesis (perubahan senyawa asam
menjadi gas metana yang bersifat mudah terbakar). Alasan ini didukung karena
hanya dari kelompok kontrol ini saja (suhu tinggi) yang biogas nya dapat
menghasilkan nyala api, sedangkan kelompok lain tidak (termasuk kelompok
kontrol kondisi suhu ruang). Adanya metanogen dalam jumlah yang seimbang
dengan bakteri lain (seperti bakteri asam), merupakan salah satu syarat agar
menghasilkan biogas dengan kandungan metana tinggi sehingga dapat
menghasilkan nyala api.
Tetapi kembali kepada metode yang digunakan, karena metode yang
digunakan adalah sederhana maka tidak dapat dipastikan jenis bakteri maupun
bentuknya, tetapi hanya dapat diketahui jumlahnya. Oleh karena itu, jenis bakteri
yang ada hanya dapat diperkirakan dengan melihat parameter pH dan uji nyala.
Jika dilihat dari pH masing-masing kelompok substrat yang tergolong cukup asam
(Tabel 5), bisa dimungkinkan bahwa bakteri yang mendominasi adalah golongan
bakteri pembentuk asam. Jika dilihat dari uji nyala, kelompok substrat yang dapat
menghasilkan nyala api artinya proses perombakan berjalan seimbang, bakteri
asam dan metanogen berada dalam jumlah yang seimbang sehingga dapat bekerja
secara simbiosis. Jika konsorsia bakteri lebih didominasi oleh bakteri asam maka
proses perombakan menjadi tidak seimbang, akibatnya gas metana yang terbentuk
hanya sedikit atau bahkan tidak ada (karena lingkungan yang terlalu asam dapat
mematikan metanogen). Dengan demikian biogas yang dihasilkan jika dibakar
tidak menimbulkan nyala api.
Selain dihasilkan biogas sebagai sumber energi alternatif yang ramah
lingkungan, proses perombakan anaerob juga dapat menurunkan tingkat
pencemaran dari limbah organik sehingga aman bagi lingkungan. Proses
perombakan atau degradasi bahan organik dapat dilihat dari perubahan karakter
atau sifat outlet limbah (effluent), baik sifat fisik maupun kimia seperti pH, COD
(Chemical Oxygen Demand ), dan Total Solids (TS). Selain perubahan sifat, proses
degradasi juga dapat dilihat dari nilai reduksi/effisiensi perombakan (Tabel 7 dan
8).
Berdasarkan hasil uji ANAVA diketahui bahwa perbedaan jenis substrat
dan suhu lingkungan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai ratarata COD dan TS (P<0,05) (Lampiran 2 dan 3). Setelah dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan DMRT pada taraf 5% diketahui bahwa terdapat beda nyata
antar masing-masing kelompok kombinasi perlakuan (Tabel 9 dan 10). Kelompok
yang memiliki nilai rata-rata COD terendah adalah S1T2M6 (23,22 g/l). Nilai ini
tidak berbeda nyata dengan kelompok S1T1M6, tetapi berbeda nyata dengan
kelompok lain. Seperti halnya COD, nilai rata -rata TS terendah juga pada
kelompok S1T2M6 (30.97 g/l), nilai ini tidak berbeda nyata dengan kelompok
S1T2M4 tetapi berbeda nyata dengan kelompok kombinasi perlakuan lain.
Mikroorganisme dalam limbah terus menerus melakukan proses
metabolisme sepanjang kebutuhan energinya terpenuhi dan akan menghasilkan
senyawa-senyawa yang dapat memberikan dampak terhadap turun naiknya COD
(Hanifah dkk., 2001). COD merupakan variabel terpenting yang menunjukkan
berhasil atau tidaknya proses degradasi (Nugrahini dkk., 2008). Pengukuran COD
mendeteksi keseluruhan senyawa organik, baik organik komplek maupun organik
sederhana (Syamsudin dkk., 2008).
Berdasarkan data yang diperoleh (Lampiran 1), diketahui bahwa telah
terjadi penurunan nilai COD dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Menurut
Munazah dan Prayatni (2008) semakin lama waktu tinggal akan meningkatkan
efisiensi penyisihan yang terjadi. Semakin lama waktu kontak antara limbah
organik dengan biomassa maka proses degradasi pencemar organik dapat
berlangsung lebih lama sehingga kinerja biodigester akan semakin baik dan
konsentrasi effluent yang dihasilkan juga semakin rendah.
Pada masing-masing perlakuan mengalami penurunan nilai COD, tetapi
dengan nilai effisiensi yang berbeda-beda (Tabel 7). Menurut Kresnawaty (2008)
penurunan nilai COD disebabkan karena telah terjadi proses hidrolisis. Pada tahap
tersebut, bahan organik dimanfaatkan oleh mikroorganime sebagai nutrisi dan
mengubahnya ke dalam bentuk senyawa yang lebih sederhana. Reduksi tertinggi
sebesar 72,44% yaitu pada kelompok KII (substrat murni limbah makanan pada
kondisi suhu tinggi) yang terjadi pada minggu ke 0 sampai minggu ke 6. Pada
tahapan tersebut bakteri pendegradasi limbah dapat bekerja secara optimal, karena
waktu tinggal (HRT) yang cukup lama memberi kesempatan kontak lebih lama
antara lumpur anaerobik (inokulum) dengan limbah organik (substrat). Dengan
demikian proses degradasi menjadi lebih baik dibandingkan waktu lainnya.
Sedangkan reduksi terendah sebesar 4,48% yaitu pada kelompok BI
(penambahan 40% molase pada kondisi suhu ruang) pada dua minggu pertama.
Rendahnya nilai effisiensi reduksi COD mungkin dikarenakan kandungan bahan
organik yang terlalu tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai COD influent pada
kelompok A dan B pada Tabel 4. Kandungan senyawa organik COD yang cukup
tinggi menunjukkan bahwa limbah dominan mengandung senyawa organik yang
bersifat komplek dengan tingkat pencemaran yang cukup tinggi. Menurut
Munazah dan Prayatni (2008), semakin tinggi beban influen maka effisiensi
penyisihan akan menurun. Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Mathiot et
a l (1992) dan Borja et al., (1994) dalam Nachaiyasit (2003) bahwa semakin besar
konsentrasi COD pada influen akan semakin kecil pula efisiensi penyisihan yang
terjadi. Hal ini dapat terjadi karena proses secara biologi oleh mikroorganisme
telah mencapai titik optimum sehingga pada beban pengolahan yang lebih tinggi,
zat-zat pencemar tidak dapat lebih banyak tersisihkan, sehingga menghasilkan
bahan organik terlarut resisten yang meningkatkan konsentrasi COD effluent
(Munazah dan Prayatni, 2008).
Selain itu, dapat disebabkan juga oleh tidak sempurnanya proses
fermentasi substrat akibat terlalu rendahnya derajat keasaman substrat, sehingga
proses
dekomposisi
anaerob
pada
biodigester
tidak
mencapai
tahapan
methanogenic sempurna. Hal ini terlihat dari derajat keasaman substrat yang
rendah pada akhir produksi (kelompok A dan B) (Tabel 5), yang menandakan
masih berlangsungnya tahap acetogenic (tahap produksi asam) (Ratnaningsih,
2009). Pada kelompok A dan B, penurunan nilai COD yang relatif kecil mungkin
juga dikarenakan pada proses fermentasi tidak terjadi penyisihan COD, melainkan
senyawa organik hanya berubah bentuk ke senyawa organik lainnya (Gaudy dan
Gaudy, 1980). Oleh karenanya proses yang berlangsung pada biodigester tampak
masih berupa proses asidogenesa (Syafila, 2003). Hal ini didukung oleh nilai pH
yang rendah pada kelompok tersebut (Tabel 5).
Konversi materi organik menjadi bentuk yang lebih sederhana dapat
dilihat pada pembentukan senyawa-senyawa asam. Masih tingginya konsentrasi
asam (pH rendah) pada effluent memperlihatkan bahwa kelompok tersebut
memiliki keterbatasan dalam menjalankan proses metanogenesa. Pada susbtrat
dengan penambahan molase yang terjadi adalah hidrolisis molase menjadi glukosa
yang dilanjutkan dengan pembentukan asam-asam lemak dari glukosa tersebut.
Semakin besar konsentrasi organik maka makin besar produksi asam asam volatil.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya akumulasi asam -asam volatil pada
biodigester dan membutuhkan waktu proses metanogenesa yang lebih lama,
karena diperlukan waktu tinggal metanogen yang lebih lama untuk mengkonsumsi
seluruh asam tersebut (Syafila, 2003).
Gas terbentuk dari proses degradasi limbah oleh mikroba dalam lumpur
anaerobik yang merupakan media utama pendegradasi dalam sistem biodigester.
Selama penelitian dilaksanakan, jumlah volume gas yang didapatkan cukup
fluktuatif (Lampiran 1). Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa jumlah gas yang
terakumulasi sebanding dengan nilai reduksi COD. Tingkat reduksi yang tinggi
akan menghasilkan jumlah akumulasi gas yang besar dan begitu juga sebaliknya
(Nugrahini, 2008). Pernyataan ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dalam
penelitian bahwa kelompok substrat 80% murni limbah rumah makan pada
kondisi suhu tinggi (KII) mempunyai nilai reduksi paling tinggi dan disertai
dengan banyaknya volume biogas yang terbentuk. Terjadinya reduksi COD yang
kecil dikarenakan senyawa organik sederhana hasil hidrolisis mempunyai nilai
COD lebih kecil dibandingkan senyawa organik komplek yang memilki berat
molekul lebih besar (Syamsudin, 2008).
Selain nilai COD, perubahan sifat pada effluent limbah juga dapat dilihat
dari perubahan nilai total solidnya (TS). Berdasarkan perolehan data total solids
selama 45 hari proses perombakan anaerob, diketahui bahwa terjadi penurunan
kadar TS pada semua bahan (Lampiran 1), efisiensi perombakan organik TS
sebesar 15-37% (Tabel 8). Reduksi total solids ini disebabkan perombakan bahan
organik oleh aktivitas mikroorganisme (Ratnaningsih, 2009). Nilai efisiensi
perombakan organik TS tertinggi sebesar 68,73%, yaitu untuk kelompok substrat
murni limbah makanan pada suhu tinggi (KII). Sedangkan terendah adalah
15,27% untuk kelompok substrat dengan penambahan molase 40% pada suhu
ruang (BI).
Nilai efisiensi perombakan organik TS yang cukup tinggi dikarenakan
kandungan bahan organik pada limbah makanan cukup tinggi dan mengandung
unsur protein, lemak, dan karbohidrat. Karakteristik yang demikian membuat
bahan tersebut mudah dicerna oleh mikroorganisme atau mudah diolah secara
biologis. Sedangkan rendahnya nilai reduksi TS pada substrat dengan
penambahan molase (kelompok A dan B) mungkin dikarenakan kandungan bahan
organik yang terlalu tinggi pada molase sehingga mikroorganisme sulit
mendegradasi senyawa-senyawa kompleks yang ada dan membutuhkan waktu
yang relatif lama. Selain itu, sulitnya proses degradasi juga dapat disebabkan
karena pigmen gelap pada molase yang disebut melanoidin (Nugraha, 1995).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Biogas yang dihasilkan dari substrat limbah rumah makan dan molase da lam
biodigester tipe curah (batch) skala laboratorium adalah 3-8 liter selama 45
hari proses perombakan anaerob. Hasil ini lebih sedikit jika dibandingkan
dengan substrat murni limbah rumah makan yaitu mencapai 27 liter.
2.
P emberian suhu tinggi (50ºC) pada biodigester tipe curah (batch ) skala
laboratorium
selama
45
hari
proses
perombakan
anaerob
dapat
mempengaruhi jumlah biogas yang dihasilkan. Pemberian suhu tinggi (50°C)
menghasilkan biogas lebih banyak yaitu mencapai 27 liter, dibandingkan
suhu ruang (31°C) yang hanya menghasilkan 10 liter biogas.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka saran dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
pH substrat sebaiknya dijaga agar tetap netral. Apabila pH asam maka perlu
ditambahkan buffer seperti NaOH atau kapur untuk menetralkannya.
2.
Biodigester dipastikan dalam kondisi anaerob (tidak ada oksigen bebas)
sehingga tidak mengganggu proses perombakan.
3.
Perlu metode yang lebih spesifik dalam mengamati pertumbuhan bakteri
sehingga tidak hanya diketahui jumlah konsorsia bakteri saja tetapi juga dapat
diidentifikasi jenis bakteri yang ada. Dengan demikian diharapkan dapat
diketahui kondisi lingkungan yang tepat untuk pertumbuhan bakteri.
4.
Penambahan molase pada substrat limbah rumah makan menjadi tidak efe ktif.
5.
Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah
organik sebagai sarana perbaikan untuk mencapai optimasi produksi biogas.
Daftar Pustaka
Abdullah, K., Abdul Kohar Irwanto, Nirwan Siregar, Endah Agustina, Armansyah
H.Tambunan, M. Yasin, Edy Hartulistiyoso, Y. Aris Purwanto,
1991.
Energi
dan
Listrik
Pertanian ,
JICA-DGHE/IPB
Project/ADAET, JTA-9a (132).
Adam, K. H. 1980. Process parameter retention time and loading rates. In
National Workshop on Biogas Technology, Kuala Lumpur, 23-24
March 1981, 172-188.
A., T. Setiadi, M.Syafilla dan O.B., Liang. 2001. Studi kinetika reaksi hidrolisis
senyawa kompleks organik dalam proses biodegradasi Anaerob. J
Biosains 6(1):1 -9.
Adrianto A. 2003. Penentuan parameter kinetika proses biodegradasi anaerob
limbah
cair
pabrik
kelapa
sawit.
Laboratorium
Rekayasa
Bioproses, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Riau : Pekanbaru.
Jurnal Natur Indonesia 6(1):45-48 (2003)
A. Malakahmad, N. Ahmad Basri & S. Md. Zain. 2009. An application of
anaerobic baffled reactor to produce biogas from kitchen waste.
http://library.witpress.com/index.html.
Alps Environmental Technologies. 2005. AGRI/Kitchen waste based biogas plant.
http://www.alpsenviro.com/index.html
Anonim. 2008. “UGM Kembangakan Pembangkit Energi Dari Limbah Sayur dan
Buah ”. http://www.muslimdaily.net/
Bardia, N and A.C. Gaur. 1994. Iron suplementation enhances biogas generation.
In: Klass, D.L. (ed). Proceedings Biomass Conference of the
Americas II. New York: National Renewable Energy Laboratory
Golden Co.
Biogreenenergi.com. 2009. Kitchen Waste to Energy Plant Case Study.
http://www.biogreenenergy.com/index.htm.
Bitton, G. 1999. Wastewater Microbiology. 2nd ed. Wiley Liss Inc. New York.
De Baire, L., (1999) Anaerobic Digestion of Solid Waste: State of the Art, Water,
Science Technology. 41: 283-290.
De Mez , T. Z. D., Stams, A. J. M., Reith, J. H., and G., Zeeman. 2003. Methane
production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes.
In : Biomethane and Biohydrogen Status add Perspectives of
biological methane and hydrogen production. Edited by J.H. Reith,
R.H. Wijffels and H. Barten. Dutch Biological Hydrogen
Foundation.
Engler, C.R., M.J. McFarland and R.D. Lacewell,. 2000. Economic and
environmental
impact
of
biogas
production
and
use.
http//:dallas.edu/biogas/eaei.html.
Fry, L.J. 1973. Practical Building of Methane Power Plant For Rural Energy
Independence, 2nd edition, Chapel River Press, Hampshire-Great
Britain.
Gaudy, Anthony and Elizabeth Gaudy. 1980. Microbiology for Environmental
Scientists and Engineers. McGraw Hill, New York, (1980).
Ginting, Nurzainah. 2007. Penenutun Praktikum Teknologi Pengolahan Limbah
Peternakan.
Departemen
Peternakan.
Fakultas
Pertanian
:
Universitas Sumatera Utara.
Greenberg, A.E., L.S. Clasceri and A.D. Easton. 1992. Standard Methods for the
Examination of Water Wastewater. 18th ed. APHA, AWWA,
WACF. Washington.
GTZ.
1997.
Biogas
Utilization.
http://gtz.de/gate/techinfo/biogas/appldev/operation/utilizat.
Guiot, S. R. dan Van Den L. Berg., 1985. Performance of an Upflow Anaerobic
Reactor Combining a Sludge Blanket and a Filter Treating Sugar
Waste. Biotechnology and Bioengineering . Vol. 27. Hal. 800-806.
John Wiley & Sons Inc., 1985.
Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C . 1986. Anaerobic Digestion : Principles and
Practices for Biogas System. The World bank Washington, D.C.,
USA.
Hammad S.M.D. 1999. Integrated environmental and sanitary engineering project
at Mirzapur. Journal of Indian Water Work Association 28:231236
Hanifah, T.A; Christine Jose; dan Titania T.Nugr oho. 2001. Pengolahan limbah
cair tapioka dengan teknologi EM (Effective Microorganisms).
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Riau. Jurnal Natur Indonesia III (2): 95-103 (2001).
Hansen, H. H., Angelidaki, I. and Ahring, B. K. 1999. “Improving thermophilic
anaerobic digestion of swine manure”, Wat. Sci. Tech., 33(8),
1805-1810.
Haryati, Tuti. 2006. Biogas : Limbah peternakan yang menjadi sumber energi
alternatif. Jurnal Wartazoa. Vol 16 no 3 Th 2006. Balai Penelitian
Ternak : Bogor.
Hermawan. Beni., L. Qodriyah., dan C. Puspita. 2007. Pemanfaatan sampah organik
sebagai sumber biogas untuk mengatasi krisis energi dalam negeri.
Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa. Universitas Lampung:Bandar
Lampung
Hessami M.A., Christensen S. and Gani R. 1996. Anaerobic digestion of household
organic waste to produce biogas. Renewable Energy (9) : 1-4, 954-957.
Jenie, B.S.L. dan Winiati P.R. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan.
Kanisius. Yogyakarta.
Jawed, M. and V., Tare. 1999. Microbial composition assessment of anaerobic
biomass through methanogenic activity tests. Water S.A. No.25.
http://www.ias.unu.edu/pub/re -briefs/full-text.pdf.
Judoamidjojo, R.M., E.G. Said dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Dit. Jend. Pendidikan Tinggi. P A U
Bioteknologi IPB : Bogor.
Judoamidjojo, Muljono, Darwis, A.A, dan Sa’id, E.G. 1992. Teknologi
Fermentasi. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor
dengan Lembaga Sumberdaya Informasi Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Kale. S.P. and S.T. Mehetre. 2009. Biogas Plant Based On Kitchen Waste.
Nuclear Agiculture and Biotechnology Division.
Kapdi AA, Vijay VK, Rajest SK & R Prasat. 2004. Biogas Scrubbing
Compression and Storage: Perspectives and Prospectus in India
Context. Renewable Energy. 4:1-8.
Karki, A.B. dan K. Dixit. 1984. Biogas Fieldbook. Sahayogi Press, Khatmandu,
Nepal.
Khasristya Amaru. 2004. Rancang Bangun dan Uji Kinerja Biodigester Plastik
Polyethilene Skala Kecil (Studi Kasus Ds. Cidatar Kec. Cisurupan,
Kab. garut). [Tugas Akhir]. Fakultas Pertanian, UNPAD :
Indonesia.
Kottner, M. 2002. Dry fermentation – a new method for biological treatment in
ecological sanitation systems (ecosan) for biogas and fertilizer
production from stackable biomass suitable for semiarid climates.
In 3 rd International Conference & Exhibition on Integrated
Environmental Management in Southern Africa . Johannesburg,
South
Africa,
Aug
27-30
2002,
pp
http://www.misa.umn.edu/%7Emnproj/pdf/hauby%20final3.pdf.
Kresnawaty, Irma., I. Susanti., Siswanto., dan Tri Panji. 2008. Optimasi produksi
biogas dari limbah lateks cair pekat dengan penambahan logam.
Jurnal Menara Perkebunan . Vol 76(1),hal 23-35 Th 2008. Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia : Bogor.
Loebis A & Tobing. 1992. Penetapan Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
dengan
Metode
Pengujian
Perkebunan 2:146-151
Sederhana.
Berita
Penelitian
Lusk, P. 1991. Methane recovery from animal manures: the current opportunities
casebook. National Renewable Energy Laboratory, NREL/SR580-25245. http://www.nrel.gov/docs/fy99osti/25145.pdf.
Mahajoeno, Edwi, Lay, Bibiana Widiati, Sutjahjo, Suryo Hadi, dan Siswanto.
2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk
Produksi Biogas. Jurnal Bioversitas Volume 9 No. 1.
Metcalf & Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse.
4th ed. McGraw -Hill, Singapore.
Meynell, P. J. 1976. Methane : Planning a Digester. Prism Press. Great Britain.
Munazah, A.R dan Prayatni Soewondo. 2008. Penyisihan organik melalui dua
tahap pengolahan dengan modifikasi ABR dan Constructed
Wetland pada industri rumah tangga. Jurusan Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITB. Volume 4 No 4,
Desember 2008.
Nachaiyasit S. 2003. The effect of shock loads on the performance of an
anaerobic baffled reactor (ABR). 1. Step changes in feed
concentration at constant retention time, 2003.
[NAS] Nationa l Academy of Sciences. 1981. Methane generation from human,
animal, and agricultural wastes. 2nd Ed. National Academy of
Sciences, Washington, D.C.
Novita, Elida. 2001. Optimasi Proses Koagulasi Flokulasi pada Limbah Cair yang
Mengandung Melanoidin. Jurnal ILMU DASAR, Vol.2 No.1,
2001:61-67
Nugraha, B. A. 1995. Kajian Awal Kemampuan Sludge Untuk Mendegradasi
Melanoidin Secara Anaerobik. Skripsi
Fakultas
Teknologi
Pertanian IPB, Bogor.
Nugrahini, Panca; T.M.Rizki Habibi; dan Anita Dwi Safitri. 2008. Penentuan
parameter kinetika proses anarobik campuran limbah cair industri
menggunakan reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB).
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Lampung. Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, Universitas Lampung, 1718 November 2008.
Nugroho, A., R.P Djoko M. dan Danny S. 2007. Cara Mengatasi Limbah Rumah
Makan. Teknik Kimia Universitas Diponegoro : Semarang.
Nurhasanah, Ana., Teguh W.W., Ahmad A. dan Elita R. 2006. Perkembangan
Digester Biogas di Indonesia (Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa
Tengah). Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian :
Serpong.
Nurtjahya, E., S.D. Rumentor, J.F. Salamena, E.Hernawan, S. Darwati dan S.M.
Soenarmo. 2003. Pemanfaatan limbah ternak ruminansia untuk
mengurangi pencemaran lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah
Sains. Program pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Panji, Tri; Suharyanto; dan Siswanto. 2007. Pemanfaatan limbah lateks pekat
untuk produksi biogas dan bioindustri menuju produksi bersih.
Laporan Kemajuan Penelitian Pro yek Riset Insentif Terapan.
Bogor, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. 49p.
Pambudi, N.A. 2008. Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif. Jurusan
Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik:Universitas Gadjah
Mada. http://www.dikti.org/
Pramana, A.S.D. 2008. Selayang Pandang Tentang Molase (Tetes Tebu).
Chemical Engineering Knowledge.
Prastow o, Bambang. 2007. Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil dan
Pengguna Energi Terbarukan : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan Indonesian Center for Estate Crops Research and
Development. Perspektif Vol. 6 No. 2 Desember 2007. Hal 84 - 92
Purwono. 2003. Penentuan Rendeman Gula Tebu Secara Cepat. Science
Philosophy, Graduate Program (S3) Institut Pertanian Bogor.
Raliby, Oesman; Retno Rusdjijati; dan Imron Rosyidi. 2009. Pengolahan limbah
cair tahu menjadi biogas sebagai bahan bakar alternatif pada
industri pengolahan tahu.
Ratnaningsih; H. Widyatmoko; Trieko Yananto. 2009. Potensi pembentukan
biogas pada proses biodegradasi campuran sampah organik segar
dan kotoran sapi dalam batch reaktor anaerob. Vol.5 No.1, Juni
2009. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lansekap
dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti, Jakarta.
Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessen, E. de Jong,
H.W. Elbersen, R. Weusthuis, J.P. van Dijken & L. Raamsdonk.
2002. Co-production of bio-ethanol, electricity and heat from
biomass residues. Proceedings of the 12th European Conference
on Biomass for Energy, Industry and Climate Protection, 17 -21
June 2002, Amsterdam, The Netherlands. pp. 1118 - 1123.
Sa’id, E.G. 1987. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: PT
Mediyatama Sarana Perkasa.
Seenayya, G; Rao, C.V; Shivaraj, D; Preeti; Rao S; and Venkatswamy. 1992.
Final Report Submitted to Department of Non -Conventional
Energy Sources. New Delhi, Govemment of India, 85p.
Setiawan, A.I. 2008. Memanfatkan Kotoran Ternak. Cet 14. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Sherrington, K.B. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Yogyakarta :UGM Press.
Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak Dan
Gas Dari Kotoran Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Singgih, M.L dan Mera K. 2008. Perancangan Alat Teknologi Tepat Guna untuk
Mengurangi Dampak Lingkungan dan Meningkatkan Pendapatan
Rumah
Pemotongan
Ayam.
Prosiding
Seminar
Nasional
Manajemen Teknologi VIII. Program Studi MMT-ITS : Surabaya.
Sufyandi, A. 2001. Informasi Teknologi Tepat guna Untuk Pedesaan Biogas.
Bandung.
Suranto; Ratna Setyaningsih; Ari Susilowati dan Tjahjadi Purwoko. 2001.
Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Jurusan Biologi, Fakultas MIPA
: Universitas Sebelas Maret.
Suyati, F. 2006. Perancangan awal instalasi biogas pada kandang terpencar
Kelompok Ternak Tani Mukti Andhini Dukuh Butuh Prambanan
Untuk
Skala
Rumah
Tangga.
Skripsi.
Jurusan
Teknik
Fisika:Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Syafila, M., H.D.L Azis., dan E. Lyastuti, 2003. Studi mekanisme sel
termobilisasi dan sel bebas dalam fase terlekat pada reactor hibrit
anaerob dengan beban organik tinggi dan perlakuan waktu retensi.
Jurnal. Biosains (1):16-23.
Syafila, M., Asis H. Djajadiningrat., dan Marisa Handajani. 2003. Kinerja
Bioreaktor Hibrid Anaerob dengan Media Batu untuk Pengolahan
Air Buangan yang Mengandung Molase. Departemen Teknik
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. PROC.ITB Sains &
Tek .Vol.35 A, No.1, 2003, 19-31
Syamsudin; Sri Purwati; dan Andri Taufick R. 2008. Efektivitas aplikasi enzim
dalam sistem lumpur aktif pada pengolahan air limbah pulp dan
kertas. Balai Besar Pulp dan Kertas, Bandung. Berita Selulosa Vol.
43(2), hal 83-92, Desember 2008.
United Nations. 1980. Guidebook on Biogas Development. Energy Resources
Development Series No. 21. Economic and Social Commission for
Asia and The Pacific. Bangkok. Thailand.
Unnithan, Chitra. 2008. Compact 'biokitch' to help generate bio gas from kitchen
waste. http://www.business-standard.com/india/
Veziroglu, T.N. 1991. Hydrogen Technology for Every Needs of Human
Settlement. Int. Journal Hydrogen Energy, 12:99.
Wellinger A, & A. Lindeberg 1999. Biogas upgrading and utilization. IEA
Bioenergy Task 24: energy from biological conversion of organik
wastes. 18 p http://www. IEA Bioenergy/Task 24.edu/pdf .
Wellinger
A.
1999.
Process
design
of
agricultural
digesters.
http://ww.homepade.2.nifty.com/biogas/cont/ref.doc/wherefdrcom/
d.14prod.gas.pdf.
Werner U., Stochr V. and N. Hees. 1989. Biogas Plant in Animal Husbandry:
Application
of
the
Dutch
Guesllechaft
Fuer
Technische
Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH.
Widodo, T.W and Agung Hendriadi. 2005. Development of Biogas Processing for
Small Scale Cattle Farm in Indonesia. Conference Proceeding:
International Seminar on Biogas Technology for poverty Reduction
and Sustainable Development. Beijing, October 17-20,2005. pp.
255-261 [in English].
Widodo, T.W., Asari, A., Ana, N., dan Elita, R. 2006. Rekayasa dan Pengujian
Reaktor Biogas Skala Kelompok Tani Ternak. Jurnal En gineering
Pertanian, Vol. IV, No. 1.
Widodo, T.W., Asari, A., Ana, N., dan Elita, R. 2008. Pemanfaatan Limbah
Industri
Pertanian
Untuk
Energi
Biogas.
Balai
Besar
Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong. Badan Litbang
Pertanian, Departemen Pertanian.
Zhang, R., El-Mashad, H.M., Hartman, K., Wang, F., Liu, G Choate, C., and
Gamble, P., 2007. Characterization of food waste as feedstock for
anaerobic digestion. Bioresource Technology. 98 (4), 929-935
Lampiran 1. Hasil pengukuran parameter fisik (pH, suhu, volume biogas, dan uji nyala), kimia (COD dan TS), dan biologi (konsorsia bakteri)
dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian
No
Perlakuan
Kelompok substrat
Inokulum
KODE
Ulangan
pH
M0
I
M2
M4
M6
M0
Suhu (°C)
M2
M4
M6
KONTROL (K)
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
KI1
KI2
KI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
KII1
KII2
KII3
1
2
3
II
Kode A
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
AI1
AI2
AI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
AII1
AII2
AII3
1
2
3
III
Kode B
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
BI1
BI2
BI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
BII1
BII2
BII3
1
2
3
7.04
7.1
7.19
7.11
7.17
7.09
7.15
7.14
6.37
6.21
5.94
6.17
6.56
6.86
6.51
6.64
6.39
6.16
5.87
6.14
6.63
7.54
6.5
6.89
6.33
6.05
5.87
6.08
6.67
7.65
6.61
6.98
30.3
31.5
32
31.3
45.3
45.2
45.2
45.2
29.6
30.5
30.3
30.1
45.3
45.3
45.2
45.3
30.5
30.5
30.3
30.4
45.1
45.3
45.3
45.2
25.3
25.5
25.2
25.3
45.2
45.2
45.2
45.2
7.14
7.08
7.16
7.13
7.07
7.12
7.12
7.1
5.21
5.11
5.37
5.23
5.39
5.52
4.86
5.26
4.97
5.04
5.43
5.15
5.17
5.39
4.81
5.12
4.69
4.93
5.23
4.95
5.1
5.4
4.7
5.07
31.5
31.9
31
31.5
45.3
45.1
45.2
45.2
30.2
29.7
30
30
45.2
45.2
45.3
45.2
29.9
30.4
30.2
30.2
45.2
45.3
45.3
45.3
25.7
25.7
25.3
25.6
45.2
45.1
45.1
45.1
7.09
7.07
7.04
7.07
7.16
7.16
7.12
7.15
4.88
4.76
4.79
4.81
5
4.89
4.94
4.94
5
4.83
4.81
4.88
4.79
4.69
4.92
4.8
4.94
4.74
4.73
4.8
4.73
4.71
4.81
4.75
31.2
32.1
32.5
31.9
45.2
45.3
45.2
45.2
29.4
29.9
30.5
29.9
45.3
45.3
45.2
45.3
30
30.1
30.2
30.1
45.1
45.2
45.2
45.2
25.5
25.7
25.6
25.6
45.3
45.2
45.2
45.2
96
No
Perlakuan
Kelompok substrat
Inokulum
KODE
Ulangan
M0
I
Konsorsia bakteri (sel/ml)
M2
M4
M6
M0
COD (mg/l)
M2
M4
M6
KONTROL (K)
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
KI1
KI2
KI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
KII1
KII2
KII3
1
2
3
II
Kode A
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
AI1
AI2
AI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
AII1
AII2
AII3
1
2
3
III
Kode B
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
BI1
BI2
BI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
BII1
BII2
BII3
1
2
3
6.43E+06
5.95E+06
1.11E+07
7.83E+06
7.70E+06
5.20E+06
6.33E+06
6.41E+06
1.28E+07
1.11E+07
1.30E+07
1.23E+07
1.42E+07
1.64E+07
2.16E+07
1.74E+07
1.72E+07
1.58E+07
1.94E+07
1.75E+07
2.03E+07
2.08E+07
1.76E+07
1.96E+07
88000
69650
49597
33419
2.27E+07
88000
70000
40455
25500
1.94E+07
88000
71500
50550
30121
1.75E+07
1.99E+07 88000.00 70383.33 46867.33 29680.00
84249
64449
40383
24224
1.87E+07
84249
58125
36194
24458
2.33E+07
84249
59963
41491
20973
1.80E+07
2.00E+07 84249.00 60845.67 39356.00 23218.33
2.87E+07
3.01E+07
1.98E+07
2.62E+07
1.94E+07
1.98E+07
2.10E+07
2.01E+07
1.98E+07
1.54E+07
1.89E+07
1.80E+07
2.31E+07
2.19E+07
2.49E+07
2.33E+07
2.10E+07
2.26E+07
2.63E+07
2.33E+07
2.10E+07
2.22E+07
2.25E+07
2.19E+07
154544 129059
2.66E+07 219000 186000
2.69E+07 219000 183000
146000 116838
149000 130485
2.64E+07 219000 182000
2.66E+07 219000.00 183666.67 149848.00 125460.67
150185 123927
2.52E+07 215000 182613
139779 109472
2.53E+07 215000 177477
143015 110122
2.51E+07 215000 171802
2.52E+07 215000.00 177297.33 144326.33 114507.00
2.92E+07
3.34E+07
3.52E+07
3.26E+07
1.86E+07
2.43E+07
1.80E+07
2.03E+07
3.15E+07
2.78E+07
2.62E+07
2.85E+07
2.54E+07
2.65E+07
2.37E+07
2.52E+07
3.19E+07
3.26E+07
3.07E+07
3.17E+07
2.38E+07
2.94E+07
2.52E+07
2.61E+07
3.25E+07 259000 240000
229000 205074
225000 218000
3.65E+07 259000 254000
3.55E+07 259000 248162
215678 205662
3.48E+07 259000.00 247387.33 223226.00 209578.67
200477 178401
3.18E+07 234176 221691
200015 182176
2.91E+07 234176 210775
2.89E+07 234176 227207
202603 190176
2.99E+07 234176.00 219891.00 201031.67 183584.33
96
No
Perlakuan
Kelompok substrat
Inokulum
KODE
Ulangan
M0
I
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
II
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
III
1
2
3
Rata-rata
4
5
6
Rata-rata
KONTROL (K)
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
KI1
KI2
KI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan 80%+Molase 0%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
KII1
KII2
KII3
1
2
3
Kode A
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
AI1
AI2
AI3
1
2
3
Termofilik
Termofilik
Termofilik
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan 60%+Molase 20%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
AII1
AII2
AII3
1
2
3
M2
TS (%)
M4
174.00
138.53
73.46
71.84
73.76
50.36
46.36
51.76
30.66
31.28
30.96
0
0
0
0
4100
1215
2475
2425
2365
550
9301
5090
99.04
73.02
49.49
30.97
0
5315
314.88
314.88
314.88
172.22
294.14
276.06
163.1
188.12
205.32
129.1
131.44
136.22
0
0
0
314.88
247.47
0
185.51
62.55
132.25
0
0
0
1166
540
1174
0
2880
Total
140.76
142.92
131.9
95.39
62.12
63.3
62.22
Volume biogas (ml)
M2
M4
M6
M0
174
174
174
99.04
99.04
99.04
99.5
93.24
93.42
M6
1777
2495
2345
595
508
0
6617
1103
10600
7265
14941
27521
1792
1208
600
0
1215
635
650
0
615
3600
1850
237.3
237.3
237.3
179.1
187.1
182.28
144.12
147.26
145.88
100.88
100.7
105.52
0
0
0
0
550
1875
650
0
1230
1284
1793
650
1265
6715
237.30
182.83
145.75
102.37
0
2425
1880
3727
8032
299.78
299.4
281.96
187.68
238.62
236.48
0
0
0
0
0
580
640
600
0
570
550
565
Kode B
Mesofilik
Mesofilik
Mesofilik
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
BI1
BI2
BI3
1
2
3
449.98
449.98
449.98
373.04
388.32
382.4
449.98
1
2
3
176.58
171.5
173.66
0
0
0
620
549
1184
1065
1850
1800
3505
BII1
BII2
BII3
235.52
233.54
231.26
1685
Limbah makanan
Limbah makanan
Limbah makanan
307.4
304.52
301.56
1240
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
Limbah makanan 40%+Molase 40%
359.46
359.46
359.46
381.25
Termofilik
Termofilik
Termofilik
359.46
304.49
233.44
173.91
0
2353
4715
570
7638
293.71
220.93
0
580
0
0
570
96
Lampiran 2. Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan
terhadap nilai COD dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari
waktu penelitian
a.
Uji Anava
ANOVA
COD
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
4,0E+011
1,1E+009
4,0E+011
df
23
48
71
Mean Square
1,755E+010
22130712,42
F
792,813
Sig.
,000
b.
Uji DMRT
Lampiran 3. Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan
terhadap nilai total solids (TS) dalam 4 kali waktu pengamatan
selama 45 hari waktu penelitian
a.
Uji Anava
ANOVA
TS
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
5331,550
26,371
5357,921
df
23
48
71
Mean Square
231,807
,549
F
421,933
Sig.
,000
b.
Uji DMRT
Lampiran 4. Pengaruh variasi jenis substrat dan perbedaan suhu lingkungan
terhadap jumlah volume biogas selama 45 hari waktu pengamatan
a.
Uji Anava
ANOVA
Volume_biogas
Between Groups
Within Groups
Sum of
Squares
86975843
54256052
Total
1,4E+008
df
23
48
71
Mean Square
3781558,386
1130334,417
F
3,346
Sig.
,000
b.
Uji DMRT
96
Lampiran 5. Hasil pengamatan pertumbuhan konsorsia bakteri pada proses fermentasi anaerob substrat limbah organik dengan menggunakan metode
perhitungan secara mikroskopis dalam 4 kali waktu pengamatan selama 45 hari waktu penelitian
a. Kelompok K (Limbah Makanan 80% + Molase 0%)
Perbesaran : 100 x
Kondisi suhu tinggi (50°C)
Kondisi suhu ruang
b. Kelompok A (Limbah Makanan 60% + Molase 20%)
Perbesaran : 100 x
Kondisi suhu tinggi (50°C)
Kondisi suhu ruang
96
c. Kelompok B (Limbah Makanan 40% + Molase 40%)
Perbesaran : 100 x
Kondisi suhu tinggi (50°C)
Kondisi suhu ruang
96
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
setulus -tulusnya dan sebesar -besarnya kepada :
1.
Ibunda tercinta Hj. Dewi Ombah dan ayahanda Mulyono (Alm), serta
keluarga besar di Jakarta atas dorongan, kekuatan, kesabaran, dan doa yang
tiada henti-hentinya kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi.
2.
Alnol Ramadhan Putra Alfisa, atas cinta dan kasih sayang, atas semangat,
kekuatan, dukungan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.
3.
Sahabat seperjuanganku selama kurang lebih 4 tahun : Chi-Chi, Fadhilla, Ita,
Lia, Opie, Siti, Tari, Te_Pe, Titin, atas bantuan, semangat, dorongan,
keceriaan, dan kebersamaannya selama ini dengan penulis.
4.
Teman-teman tim biogas, terima kasih atas bantuan dan kerjasama selama
menjalankan penelitian dan menyelesaikan skripsi.
5.
Teman-teman Biologi angkatan 2005, terima kasih atas semua bantuan,
motivasi, kerjasama, dan kebersamaannya.
6.
Teman-teman kos Raihana, terima kasih atas segala bantuan dan semangatnya
kepada penulis.
7.
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima
kasih banyak atas bantuannya kepada penulis selama penelitian dan
penyusunan skripsi.
105
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama Lengkap
: Indriyani
Tempat dan Tanggal Lahir
: Jakarta, 20 Oktober 1987
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Status Pernikahan
: Belum menikah
Alamat Asal
: Jl. Saibun RT 012 RW 04 No.1
Kel.Susukan, Kec.Ciracas : Jakarta Timur 13750
No.HP
: 081317911016 / 083866332466
Alamat E-mail
: [email protected]
Pendidikan Formal :
Tingkat
Nama
Tahun mulai
Tahun selesai
Pendidikan
TK
TK Bina Putra
1990
1992
SD
SDN 08 Pagi
1993
1999
SMP
MTsN 7 ‘Model’ Jakarta
1999
2002
SMU
SMU IT Nurul Fikri
2002
2005
Pendidikan Non-Formal :
Nama Pelatihan/Kursus
Instansi Penyelenggara
Tahun
Bimbingan Belajar
Nurul Fikri
2004-2005
EAP
UPTP2B UNS
2006
96
106
Beasiswa yang pernah diperoleh :
Nama Beasiswa
Instansi Pemberi
Tahun
BBM
-
2007-2009
Pengalaman Organisasi :
Organisasi
Jabatan
Tahun
Pramuka
Anggota
1997-1998
Paskibra
Anggota
1999-2000
Bulan Sabit Merah (BSMR)
Anggota
2003-2004
Himabio
Staff Bidang Kaderisasi
2005-2006
Himabio
Kepala Deputi Bidang Kaderisasi
2006-2007
BEM
Staff Departemen Dalam Negeri
2005-2006
Syiar Kegiatan Islam (SKI)
Staff Bidang Syiar
2006-2007
Forum Ukhuwah Jakarta
Anggota
2006-2007
dan Sekitarnya (FOEDJAS)
Pengalaman Bekerja :
Pekerjaan
Tahun
Magang di UPT BPPTK LIPI Yogyakarta
2007
Asisten praktikum biologi umum
2008
Surakarta, ………………
Indriyani
96
Download