PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA BERBAGAI

advertisement
PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH
PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM
(Glycine max (L.) Merr.)
DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR
DI LAHAN PASANG SURUT
HANS DORIS WELLY
A24080190
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
RINGKASAN
HANS DORIS WELLY. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah pada
Berbagai Varietas Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) dengan Sistem
Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. (Dibimbing oleh MUNIF
GHULAMAHDI).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kedalaman muka air tanah yang
sesuai pada kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray dan Lokal Malang dengan
budidaya jenuh air (BJA) yang dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Banyu
Urip Palembang pada bulan Juni –September 2012.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah
(RPT) dengan faktor kedalaman muka air tanah sebagai petak utama dan faktor
varietas sebagai anak petak. Faktor kedalaman muka air tanah terdiri atas tiga
taraf perlakuan, yaitu kedalaman 10 cm dan kedalaman
20 cm
di bawah
permukaan tanah serta pembanding, yaitu budidaya kering. Faktor varietas terdiri
atas empat jenis perlakuan, yaitu Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan varietas
pembanding yaitu Tanggamus. Benih masing-masing varietas ditanam pada jarak
tanam 25 cm x 10 cm sejumlah 1 benih per lubang. Pada budidaya jenuh air,
kedalaman muka air berdasarkan perlakuan dipertahankan dari mulai penanaman
hingga panen pada saluran sedalam 25 cm dan selebar 30 cm.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas kedelai hitam dapat
ditingkatkan dengan budidaya jenuh air (BJA) di lahan pasang surut. Kedalaman
muka air 10-20 cm di bawah permukaan tanah dapat diterapkan dalam BJA tanpa
perbedaan hasil yang nyata pada kedelai hitam. Jumlah polong tertinggi
ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang pada kedalaman muka air 20 cm di
bawah permukaan tanah. Jumlah polong varietas Ceneng dan Cikuray tidak
dipengaruhi oleh perbedaan taraf kedalaman muka air tanah dalam BJA.
Produktivitas kedelai hitam varietas Lokal Malang mencapai 4.13 ton/ha pada
BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Produktivitas varietas
Ceneng dan Cikuray mencapai 3.45 ton/ha dan 2.75 ton/ha pada BJA kedalaman
muka air 10 cm di bawah permukaan tanah.
PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH
PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM
(Glycine max (L.) Merr.)
DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR
DI LAHAN PASANG SURUT
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
HANS DORIS WELLY
A24080190
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judul : PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH
PADA BERBAGAI
VARIETAS
KEDELAI
HITAM
(Glycine max (L.) Merr.) DENGAN SISTEM BUDIDAYA
JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT.
Nama : HANS DORIS WELLY
NIM : A24080190
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
NIP 19590505 198503 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen
Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat pada
tanggal 23 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Bisronel
Siritoitet dan Ibu Ratna Samongilailai.
Tahun 2001 penulis lulus dari SD N 15 Havea Sikakap, kemudian pada
tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMP N 1 Pagai Utara, Kepulauan
Mentawai. Selanjutnya penulis lulus dari SMA N 1 Pagai Utara, Kepulauan
Mentawai pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima dalam program
prauniversitas Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program BUD dan
memasuki tingkat persiapan bersama (TPB) IPB pada tahun 2008. Selanjutnya
tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan
Hortikultura (AGH), Fakultas Pertanian IPB.
Tahun 2009 hingga 2010 penulis tergabung dalam Koperasi Mahasiswa
AGH pada divisi pemasaran. Tahun 2011 hingga 2012 penulis menjadi asisten
mata kuliah agama Kristen Protestan. Penulis mendapat penghargaan sebagai
juara I lomba web IPB kategori mahasiswa pada tahun 2011.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan
dengan baik. Penelitian pengaruh kedalaman muka air tanah pada berbagai
varietas kedelai hitam dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut terdorong
oleh keinginan untuk mengetahui kedalaman muka air yang sesuai dalam
budidaya jenuh air
untuk kedelai hitam di lahan pasang surut. Penelitian
dilaksanakan di lahan pasang surut, Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam kepada
1. kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan doa dan materi hingga
penulis menyelesaikan perkuliahan dan penelitian,
2. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan selama pelaksanan penelitian dan penulisan
skripsi penulis,
3. dosen pembimbing akademik, Maryati Sari, SP, MSi., atas arahan akademik
selama penulis mengikuti perkuliahan,
4. Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai yang telah mendukung dalam
beasiswa kepada penulis,
5. keluarga Pak Suaji, Pak Muh, Pak Marno dan Bu Ilona atas bantuannya selama
penelitian di lahan pasang surut Palembang,
6. teman-teman mahasiswa Agronomi dan Hortikultura Indigenous angkatan
ke-45 IPB, terkhusus kepada Andri Hamidi dan Arief Setya Nugroho, atas
dukungan semangat dan masukan selama penulisan skripsi, dan
7. teman-teman mahasiswa Mentawai seperjuangan di IPB, yaitu Jhon P.T.
Sakoikoi, Desni R.M. Sakerebau, Helma H. P. Saleleubaja dan Maria Sagulu.
Semoga hasil penelitian ini berguna menjadi pedoman dan acuan bagi
yang memerlukan.
Bogor, 13 Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
x
PENDAHULUAN..........................................................................................
1
Latar Belakang........................................................................................
1
Tujuan Penelitian....................................................................................
3
Hipotesis Penelitian................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
4
Kedelai hitam.........................................................................................
4
Lahan Pasang Surut................................................................................
6
Kedalaman Muka Air pada Budidaya Jenuh Air...................................
8
METODE PENELITIAN...............................................................................
10
Tempat dan Waktu.................................................................................
10
Alat dan Bahan......................................................................................
10
Metode Penelitian..................................................................................
10
Pelaksanaan Penelitian...........................................................................
11
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................
14
Kondisi umum.......................................................................................
14
Hasil.......................................................................................................
16
Pembahasan...........................................................................................
29
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................
43
Kesimpulan............................................................................................
43
Saran......................................................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
44
LAMPIRAN...................................................................................................
49
DAFTAR TABEL
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Halaman
Uji beda nyata perlakuan kedalaman muka air tanah dan varietas
terhadap berbagai peubah yang diamati.................................
16
Tinggi, jumlah daun dan jumlah cabang tanaman kedelai pada
berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut.............
17
Bobot kering biomassa tanaman kedelai pada berbagai
kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut.........................
19
Serapan unsur hara tanaman kedelai pada berbagai kedalaman
muka air tanah di lahan pasang surut.............................................
20
Tinggi, jumlah daun dan jumlah cabang tanaman kedelai pada
beberapa varietas di lahan pasang surut.........................................
21
Bobot kering biomassa tanaman kedelai dari berbagai varietas
kedelai di lahan pasang surut..........................................................
22
Serapan unsur hara beberapa varietas kedelai di lahan pasang
surut.................................................................................................
22
Jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air
tanah dan varietas............................................................................
23
Jumlah cabang tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas.....................................................................
25
Jumlah polong tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas......................................................................
26
Bobot 100 biji tanaman kedelai pada berbagai kedalaman
muka air tanah dan varietas.............................................................
26
Bobot biji per ubinan kedelai pada berbagai kedalaman muka air
tanah dan varietas............................................................................
27
Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas......................................................................
28
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1 Model perlakuan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah
permukaan tanah...............................................................................
12
2 Keragaan pertanaman kedelai hitam pada 7 MST dan
8 MST...............................................................................................
15
3 Penampilan akar varietas Lokal Malang pada budidaya kering,
BJA 20 cm dan BJA 10 cm pada 8 MST dengan perbandingan
leher akar tanaman............................................................................
30
4 Gejala kekuningan pada daun varietas Lokal Malang pada 3 MST
dan masih terlihat pada daun varietas Ceneng pada
4 MST...............................................................................................
31
5 Aklimatisasi kedelai hitam pada 5 MST dan 6 MST......................
31
6 Ilustrasi profil muka air tanah dan perkembangan perakaran
tanaman kedelai dalam budidaya jenuh air...................................
34
7 Penampilan polong kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray, Lokal
Malang dan kedelai kuning varietas Tanggamus setelah
mengalami pemulihan penuh pada 8 MST......................................
37
8 Curah hujan dan waktu tanam kedelai hitam dengan budidaya jenuh air
di lahan pasang surut..................................................................................
39
9 Perbandingan ukuran biji ketiga varietas kedelai hitam dan
varietas Tanggamus terhadap kedalaman muka air tanah..........
40
DAFTAR LAMPIRAN
No
1
Halaman
Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai seluruh
Indonesia tahun 1992-2011............................................................
50
2
Tata letak petak penelitian kedalaman muka air tanah............
51
3
Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan mingguan,
biomassa dan bobot ubinan.............................................................
52
Curah hujan dan hari hujan dari bulan Juni hingga Agustus 2012
di Kecamatan Tanjung Lago...........................................................
53
Suhu dan kelembaban nisbi dari bulan Juni hingga Agustus di
Kecamatan Tanjung Lago...............................................................
54
6
Hasil analisis sampel tanah sebelum penelitian............................
55
8
Kandungan hara daun dan serapan hara pada perlakuan
kedalaman muka air tanah terhadap beberapa varietas kedelai di
lahan pasang surut...........................................................................
56
Keragaan pertanaman kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray,
Lokal Malang dan kedelai kuning varietas Tanggamus setelah
mengalami pemulihan penuh pada 8 MST.....................................
57
4
5
9
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan kedelai di Indonesia menjadi sangat penting dengan
meningkatnya konsumsi kedelai sedangkan impor menjadi kebijakan yang masih
digunakan untuk menutupi kebutuhan kedelai. Kedelai dikonsumsi sebagai
sumber protein nabati yang relatif terjangkau dibandingkan sumber protein
hewani. Menurut Damardjati et al. (2005), peningkatan konsumsi kedelai dipicu
oleh peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan baku industri olahan
pangan seperti tempe, tahu, kecap, susu kedelai, tauco, makanan ringan dan
sebagainya. Sudaryanto dan Swastika (2007) memproyeksikan konsumsi kedelai
secara umum meningkat dari 1.84 juta ton pada tahun 2005 menjadi 2.64 juta ton
pada tahun 2020. Defisit kedelai diproyeksikan terus meningkat dari 1.03 juta ton
pada tahun 2005 menjadi 2 juta ton pada tahun 2020.
Pemenuhan konsumsi kedelai perlu ditunjang oleh produksi kedelai
nasional. Subandi et al. (2007) menyatakan bahwa produksi kedelai nasional
ditentukan oleh dua sumber pertumbuhan utama yaitu areal tanam dan
produktivitas kedelai. Areal tanam dapat menunjukkan minat petani pada kedelai
sedangkan produktivitas menunjukkan kesesuaian lahan dan/atau penerapan
teknologi produksi oleh petani. Dari data BPS (2012), produksi dan luas panen
tanaman kedelai cenderung mengalami penurunan sedangkan produktivitas
kedelai mengalami peningkatan. Luas panen tanaman kedelai pada tahun 1992
yang merupakan tertinggi selama 20 tahun terakhir yang mencapai 1,665,710 ha
terus menurun hingga menjadi 622,254 ha pada tahun 2011.
Hal ini juga
mengakibatkan produksi nasional terus menurun dari 1,869,710 ton pada tahun
1992 menjadi 851,286 ton pada tahun 2011. Produktivitas kedelai nasional
mengalami peningkatan dari selama sepuluh tahun terakhir yang bergerak dari
1.12 ton/ha pada tahun 1992 menjadi 1.37 ton/ha pada tahun 2011 (Lampiran 1).
Kebutuhan terhadap kedelai hitam dapat dilihat dari perkembangan
konsumsi kecap di dalam negeri. Meskipun tidak semua kecap menggunakan
kedelai hitam, konsumsi kecap di Indonesia menunjukkan kebutuhan kedelai
hitam sebagai bahan baku kecap yang lebih berkualitas. Dari 2.2 juta ton
2
kebutuhan kedelai Indonesia di tahun 2012, Wahono (2012) melaporkan bahwa
sekitar 323,400 ton diserap oleh industri kecap dan tauco. Berdasarkan data
Kemenperin (2012), kebutuhan kecap Indonesia disuplai dari impor dengan
peningkatan konsumsi sebesar 43.22% dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Di sisi
lain tejadi peningkatan ekspor kecap Indonesia sebesar 16.16% pada dari tahun
2007 hingga tahun 2011. Peningkatan konsumsi kecap di dalam dan luar negeri
berdampak pada pentingnya peningkatan produksi kedelai hitam Indonesia.
Pengembangan kedelai hitam diperlukan untuk meningkatkan produksi
kedelai hitam dalam mengiringi peningkatan konsumsi kecap di Indonesia. Tidak
seperti kedelai kuning, penelitian untuk pengembangan kedelai hitam tergolong
masih minim. Minimnya pengembangan kedelai hitam mengakibatkan masih
rendahnya produktivitas kedelai hitam di dalam negeri. Menurut Maryani (2007),
rendahnya produksi kedelai hitam berakibat pada peningkatan harga bahan baku
dan kelangkaan kedelai hitam bagi industri kecap sehingga industri kecap tidak
dapat menyerap kedelai hitam dalam jumlah yang besar.
Peningkatan produksi kedelai hitam dapat ditunjang dari peningkatan luas
areal tanam hingga ke lahan-lahan marjinal. Menurut Pinem (2000), strategi
pengembangan kedelai diarahkan pada lahan-lahan rehabilitasi, lahan irigasi
intesif yang masih memungkinkan dimasukkan pola tanam kedelai, lahan tadah
hujan, budidaya kering tidak bermasalah, budidaya kering bereaksi masam
(dengan pemberian kapur secara larikan dan budidaya alley cropping), lahan
gambut, lahan pasang surut, lahan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta atau
BUMN dan lahan hutan sosial.
Kedelai hitam diharapkan dapat dikembangkan dengan penambahan luas
areal tanam di lahan pasang surut. Menurut Adhi et al. (1992), luasan areal pasang
surut ditaksir sekitar 20.1 juta ha. Menurut Sabran et al. (2000), lahan pasang
surut yang tersedia sesuai untuk kegiatan pertanian adalah 5.6 juta ha dan luasan
yang berpotensi dikembangkan untuk pertanian skala besar adalah 2.6 juta ha.
Pengembangan kedelai hitam di lahan pasang surut dari aspek budidaya
tanaman diperhadapkan pada pengelolaan tanah dan pengelolaan air. Menurut
Adhi et al. (1992), kesalahan dalam pengelolaan tanah dan air di lahan pasang
surut dapat mengakibatkan teroksidasinya lapisan pirit sehingga terjadi
3
peningkatan kemasaman tanah dan tertekannya pertumbuhan tanaman. Menurut
Sarwani (2001), strategi pengembangan lahan pasang surut selain pengelolaan
lahan adalah pengelolaan air. Pengelolaan air pada lahan pasang surut bertujuan
untuk menyediakan kebutuhan evapotranspirasi tanaman, membuang kelebihan
air, mencegah terjadinya elemen toksik, dan melindi (leaching) elemen toksik
serta mencegah penurunan muka tanah (gambut). Pengelolaan air pada lahan
pasang surut berupa pengelolaan air tanah (ground water management) atau
pengelolaan air permukaan (surface water management).
Perpaduan pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut diharapkan
dapat meningkatakan produksi kedelai hitam. Menurut Sarwani (2001), dengan
penerapan sistem drainase dangkal yang dikombinasikan dengan pemupukan dan
bahan amelioran, produktivitas kedelai dapat mencapai 2.3 ton/ha. Hasil
penelitian Ghulamahdi et al. (2009) menunjukkan produktivitas kedelai varietas
nasional Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dengan budidaya jenuh air.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman muka air tanah yang
sesuai dalam budidaya jenuh air untuk kedelai hitam di lahan pasang surut.
Hipotesis Penelitian
1) Terdapat taraf pengaturan kedalaman muka air tanah yang mendukung
produktivitas tinggi pada kedelai hitam di lahan pasang surut
2) Terdapat varietas kedelai hitam yang memiliki produktivitas tinggi di
lahan pasang surut
3) Terdapat varietas kedelai hitam yang memiliki produktivitas tinggi dengan
pengaturan kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut.
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai Hitam
Kedelai merupakan tanaman yang berasal dari Manchuria (daratan Cina
bagian timur laut) dan kemudian telah menyebar ke seluruh dunia pada
pertengahan abad ke-20 (Sumarno dan Manshuri, 2007).
Menurut Adie dan
Krisnawati (2007), keberadaan kedelai di Indonesia mulai terekam pertama kali
di Ambon dalam Herbarium Amboinense yang diselesaikan pada tahun 1673.
Sebaran adaptasi kedelai tergolong luas yang mencakup 0o-45o lintang
utara (LU) dan 0o-45o lintang selatan (LS) dengan historis-biologis asal kedelai
terdapat pada wilayah subtropika pada 45o-48o LU. Lingkungan tumbuh yang
mempengaruhi hasil kedelai mencakup faktor iklim dan kesuburan fisiko-kimia
dan biologi tanah. Keberadaan hama dan penyakit selama pertumbuhan kedelai
juga dapat membatasi produktivitas tetapi masih dapat dikendalikan (Sumarno dan
Manshuri, 2007).
Kedelai diklasifikasikan secara botani ke dalam ordo Polypetales, family
Leguminosae, dan subfamily Papilionoideae. Kedelai yang bernilai paling
ekonomis dalam genus Glycine dengan subgenus soja terdiri atas spesies Glycine
ussuriensis dan Glycine max. Kedua spesies ini merupakan tanaman semusim
(Adie dan Krisnawati, 2007).
Karakter kedelai hitam mengarah pada karakter spesies G. ussurinesis
yang memiliki bunga berwarna ungu, biji keras berwarna hitam hingga coklat tua
dengan batang menjalar. Diduga kedelai hitam merupakan hasil persilangan
G. ussurinesis yang bersifat liar dengan kedelai yang telah dibudidayakan G. max
sehingga kandungan protein kedelai hitam lebih tinggi dari pada kedelai kuning
(Adie dan Krisnawati, 2007).
Pigmen kulit biji sebagian besar terletak di lapisan palisade, lapisan terluar
biji setelah kutikula, yang terdiri dari pigmen antosianin dalam vakuola, klorofil
dalam plastid dan berbagai kombinasi hasil uraian dari produk-produk pigmen
tersebut (Adie dan Krisnawati, 2007). Warna hitam pada biji kedelai dikendalikan
oleh gen pigmentasi yang telah disandikan sebagai gen R. Penyebab kulit hitam
5
pada kedelai adalah perwujudan warna ungu yang sangat kuat dari pigmen
antosianin (Nagai, 1921).
Karakteristik kedelai secara umum yang telah dibudidayakan di Indonesia,
berupa tanaman yang tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang, berdaun unifoliet
dan trifoliet, berbulu pada daun dan polong tetapi tidak terlalu padat. Bentuk daun
kedelai terdiri dari lancip, bulat dan lonjong serta terdapat perpaduan bentuk daun
dan umumnya daun kedelai di Indonesia adalah lonjong. Sistem perakaran pada
kedelai terdiri dari sebuah akar tunggang, sejumlah akar sekunder, cabang akar
sekunder dan cabang akar adventif yang tumbuh di bawah hipokotil. Pada bagian
perakaran akan terlihat adanya bintil akar pada 10 hari setelah tanam (Adie dan
Krisnawati, 2007).
Kedelai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri dengan bunga yang
muncul pada 3-5 minggu setelah tanam. Tidak semua bunga kedelai berhasil
menjadi polong dengan tingkat keguguran bunga berkisar 20-80%. Polong tempat
biji kedelai berlekuk lurus atau ramping dan umumnya berisi 2-3 biji per polong.
Pengisian biji di dalam polong sangat dipengaruhi oleh kekurangan atau kelebihan
air, serangan hama dan penyakit serta lain sebagainya sehingga periode pengisian
biji merupakan fase paling kritis untuk pencapaian hasil optimal. Biji sebagai
komponen morfologi yang bernilai ekonomis pada kedelai dapat dikelompokkan
berdasarkan ukurannya, yaitu biji besar (bobot>14 g/100 biji), biji sedang
(10-14 g/100 biji) dan kecil (bobot<10 g/100 biji) (Adie dan Krisnawati, 2007).
Pertumbuhan tanaman kedelai dibagi atas tipe determinit, indeterminit dan
semi-determinit. Pada tipe determinit, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah fase
berbunga, buku teratasnya mengeluarkan bunga, batang tanaman teratas
cenderung berukuran sama dengan batang bagian tengah sehingga pada kondisi
normal batang tidak melilit. Pada tipe indeterminit, pertumbuhan vegetatif masih
berlangsung setelah fase berbunga dan ukuran batang semakin mengecil hingga ke
pucuk. Bentuk peralihan antara pertumbuhan determinit dan interdeminit dikenal
dengan pertumbuhan semi-determinit. Varietas kedelai di Indonesia umumnya
bertipe tumbuh determinit (Adie dan Krisnawati, 2007).
Umur panen kedelai di Indonesia berkisar 75-95 hari, yang tergolong
sangat genjah di bandingkan di wilayah subtropis yang berkisar 150-160 hari
6
setelah tanam (Sumarno, 1991). Menurut Gardner et al. (1985), umur panen yang
lebih lama memberikan hasil lebih banyak dibandingkan umur panen lebih awal.
Tanaman kedelai pada dasarnya sesuai diusahakan pada iklim agak kering
tetapi memerlukan kelembaban tanah yang cukup selama pertumbuhan.
Kebutuhan air yang diperlukan oleh tanaman kedelai yang dipanen pada umur
80-90 hari dapat disuplai dari curah hujan 120-135 mm/bulan. Suhu yang sesuai
untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 22-27oC. Kelembaban udara yang
optimal untuk tanaman kedelai berkisar 75-90% selama periode tanaman tumbuh
hingga stadia pengisian polong dan pada waktu pematangan berkisar
60-75%.
Kisaran pH tanah untuk kedelai tumbuh baik adalah 5.5-7.0 dengan pH optimal
6.0-6.5 (Sumarno dan Manshuri, 2007).
Potensi hasil kedelai hitam yang telah dibudidayakan dengan budidaya
kering bervariasi menurut karakter varietasnya. Varietas Ceneng memiliki potensi
hasil 2 ton/ha dan sesuai untuk tanah masam (Karto, 2005). Varietas Cikuray
memiliki potensi produksi 1.7 ton/ha (Suhartina, 2005).
Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut merupakan salah satu lahan marjinal yang potensial
untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Menurut Rachman et al. (2007),
lahan pasang surut sebagai lahan suboptimal, akan sesuai untuk pengembangan
kedelai bila diikuti dengan penerapan teknologi yang berkaitan dengan konservasi
tanah, pengelolaan air, ameliorasi dan pengelolaan bahan organik serta
pemupukan.
Lahan pasang surut memiliki topografi yang landai dan dipengaruhi oleh
jangkauan air pasang. Menurut Subagyo (2006), ketinggian tempat lahan pasang
surut berkisar dari 0-0.5 m dpl dipinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah
lebih ke pedalaman. Adhi et al. (1992) membagi lahan pasang surut menjadi
lahan tipe luapan A, B, C dan D. Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang
baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Lahan bertipe lupan B hanya
terluapi air pasang pada musim hujan. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air
pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm di bawah
7
permukaan tanah. Lahan bertipe luapan D tidak terluapi air pasang tetapi
kedalaman muka air tanahnya lebih dari 50 cm di bawah permukaan tanah.
Pertanaman palawija seperti kedelai di lahan pasang surut umumnya
ditanam pada tipologi lahan C dan D. Menurut Sarwani (2001), penanaman
kedelai dilakukan bahkan pada musim hujan sekalipun dengan pengelolaan air
aliran satu arah tetapi harus disertai dengan pembuatan saluran drainase dangkal.
Sistem drainase dangkal adalah sistem pengelolaan air bawah tanah. Sistem ini
dirancang dengan menurunkan muka air tanah pada batas antara 40-60 cm dari
permukaan tanah.
Paparan sinar matahari pada tanaman di lahan pasang surut tergolong
penuh tanpa naungan. Menurut Irianto et al. (2005), energi radiasi matahari
dibutuhkan tanaman untuk proses fotosintesis, fotomorfogenesis, fotorespirasi,
perpanjangan sel dan pematangan biji. Pada penelitiannya di Bogor, Baharsjah
et al. (1985) menunjukkan bahwa hasil kedelai lebih tinggi pada musim kemarau
dengan radiasi 345 cal/cm2 selama 6.4 jam dari pada pada musim hujan dengan
radiasi 270 cal/cm2 selama 2.7 jam. Hasil penelitian Syahbuddin dan Las (2002)
menunjukkan bahwa hasil polong tertinggi pada kedelai dicapai pada perlakuan
tanpa naungan dengan tingkat ketersediaan air 50%. Menurut Irianto et al. (2005),
pengembangan kedelai di daerah khatulistiwa sangat didukung oleh kekayaan
radiasi matahari dan ketersediaan air sepanjang tahun oleh hujan orogragfis.
Kemasaman tanah di lahan pasang surut merupakan salah satu faktor yang
harus diperhatikan untuk usaha pertanian. Menurut Adisarwanto dan Sunarlim
(2000), salah satu kendala yang menekan pertumbuhan kedelai di lahan pasang
surut adalah karena sifat kimia tanahnya yang masam dengan pH 3.3-3.8. Ada pun
status hara yang lain adalah C organik (sedang-tinggi), P tersedia (rendah-sangat
rendah), K-dd (rendah-sedang), Al-dd (tinggi). Terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan tanaman disebabkan oleh ketidaktersediaan hara untuk tanaman
pada pH rendah dan terdapatnya senyawa beracun bagi tanaman, seperti pirit.
Pirit merupakan senyawa yang alami terdapat di lahan pasang surut dan
tidak berbahaya bagi tanaman bila pirit berada dalam kondisi tereduksi. Menurut
Subagyo (2006), pH tanah endapan di lahan pasang surut adalah netral hingga
agak alkalis karena adanya ion monokarbonat (HCO3-). Pirit menjadi berbahaya
8
karena mengalami oksidasi dengan turunnya muka air tanah. Lahan menjadi
masam ekstrim (pH 1.3 hingga 3.3) karena dihasilkannya besi III koloidal, asam
sulfat yang terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H +.
Kedalaman Muka Air Tanah pada Budidaya Jenuh Air
Budidaya jenuh air (BJA) adalah budidaya dengan mempertahankan
kedalaman muka air tanah dengan memberikan air terus-menerus pada parit-parit
di sekitar petak pertanaman sehingga lapisan di bawah perakaran menjadi jenuh
air (Hunter et al., 1980; Troedson et al., 1983). Hasil tanaman kedelai terbukti
telah dapat ditingkatkan berdasarkan hasil penelitian-penelitian BJA di Indonesia
(Pasaribu et al., 1988; Ghulamahdi, 2009; Sagala, 2010; Sahuri, 2011;
Dharmaswara, 2011). Menurut Pasaribu et al. (1988), penanaman kedelai dengan
cara penjenuhan kelembaban tanah disertai dengan pembumbunan atau tanpa
pembumbunan dapat memberikan pertumbuhan tanaman optimal dengan hasil di
atas 2 ton/ha. Secara konsisten dengan BJA, produktivitas varietas nasional
Tanggamus yang dapat mencapai 4 ton/ha ditunjukkan dari hasil penelitian
Ghulamahdi (2009), Sagala (2010), Sahuri (2011) dan Dharmaswara (2011).
Usaha mepertahankan kedalaman muka air didukung oleh tekstur tanah
yang dapat memegang air dengan baik. Menurut Hakim et al. (1986), fraksi liat
menjadi pemegang air yang baik sedangkan fraksi debu mendukung air tersedia
dan pembebasan unsur-unsur hara untuk diserap oleh tanaman. Fraksi pasir
menyokong tanah di sekelilingnya yang terdiri dari partikel liat dan debu. Untuk
lahan pasang surut yang telah dijadikan sawah, menurut Murtantiyo (1997),
terdapat lapisan kedap air pada kedalaman sekitar 90 cm di bawah permukaan
tanah yang dapat menahan air dalam waktu yang cukup lama.
Usaha mempertahankan kedalaman muka air tanah menjamin kebutuhan
air tanaman kedelai. Menurut Sumarno dan Manshuri (2007), tanaman kedelai
membutuhkan air berkisar antara 360-405 mm dengan masa tumbuh tanaman
berkisar 80-90 hari.
Ketersediaan air yang cukup mendukung penyerapan hara dan peningkatan
hasil bagi tanaman kedelai. Menurut Gardner et al. (1985), air yang tersedia bagi
tanaman merupakan perbedaan antara jumlah air dalam tanah pada kapasitas
9
lapang dan jumlah air dalam tanah pada persentase pelayuan permanen. Fisher
dan Dunham (1992) menyatakan bahwa aerasi tanah yang jelek yang biasanya
disebabkan oleh kejenuhan air yang merupakan kondisi optimum untuk difusi dan
penimbunan hara di dalam akar. Hanya saja fungsi akar menjadi terganggu karena
kekurangan oksigen dan kenaikan kadar faktor-faktor beracun seperti karbon
dioksida, metana, etilena dan berbagai asam organik. Sitompul dan Guritno (1995)
menambahkan bahwa walaupun tanaman yang kekurangan air memiliki banyak
akar akan tetapi hasil tanaman yang tumbuh dengan keadaan cukup air lebih tetap
lebih tinggi.
Lingkungan perakaran juga memerlukan udara untuk perkembangan akar
dan mikroorganisme tanah. Menurut Soepardi (1974), pori aerasi diperlukan oleh
perakaran tanaman dalam mendukung ketersediaan udara di dalam tanah. Menurut
Adisarwanto dan Sunarlim (2000), respirasi akar tanaman yang terhambat pada
kondisi air berlebih (jenuh air) dapat menghambat penyerapan hara. Pada kondisi
anaerobik aktivitas bakteri penambat nitrogen terhambat, sehingga tanaman
kedelai akan kekurangan nitrogen. Untuk mencegah kondisi tersebut, diperlukan
sistem drainase.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Areal penelitian terletak pada ketinggian
28 m di atas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga
September 2012. Pengeringan biomassa tanaman dilakukan di Laboratorium
Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura. Analisis tanah dan daun
dilakukan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat pengolah tanah, alat pengukur dan plang
label percobaan serta pompa air. Pompa air yang digunakan adalah pompa dengan
diameter pipa berukuran 2 inci.
Bahan yang akan digunakan adalah tiga benih varietas kedelai hitam, yaitu
Ceneng, Cikuray dan Lokal Malang, serta satu benih varietas kedelai kuning
sebagai pembanding, yaitu Tanggamus. Bahan lain yang digunakan adalah kapur
Dolomit (CaMg(CO3)2) dengan dosis 2 ton/ha, SP36 dengan dosis 200 kg/ha, dan
KCl dengan dosis 100 kg/ha, serta Urea dengan konsentrasi 10 g/l air dalam
volume semprot 400 l/ha. Bahan untuk perlakuan benih yaitu Rhizobium sebanyak
5 g/kg benih dan insektisida dengan bahan aktif karbosulfan 25.53% sebanyak
15 g/kg benih. Pengendalian gulma pada persiapan lahan menggunakan herbisida
sistemik dengan bahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l dan herbisida
pembeku biji gulma dengan bahan aktif etil pirazosulfuron 10%. Untuk
penanggulangan hama digunakan insektisida dengan bahan aktif klorantraniliprol
50 g/l dan rodentisida dengan bahan aktif brodifakum 0.005%.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan petak terpisah
(RPT) dengan faktor kedalaman muka air tanah sebagai petak utama dan faktor
varietas sebagai anak petak. Faktor kedalaman muka air tanah terdiri atas tiga
11
taraf perlakuan, yaitu kedalaman 10 cm dan kedalaman 20 cm di bawah
permukaan tanah serta pembanding, yaitu budidaya kering. Faktor varietas terdiri
atas empat jenis perlakuan, yaitu Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan varietas
pembanding yaitu Tanggamus. Faktor varietas sebagai anak petak diacak di dalam
faktor kedalaman muka air tanah dengan tiga ulangan sehingga diperoleh 36
satuan penelitian (Lampiran 2).
Model liner penelitian ini adalah Yijk = μ + αi + βj + γik + (αβ)ij + ρk + εijk,
dengan:
i
= kedalaman muka air tanah ke 1, 2, 3;
j
= varietas ke 1, 2, 3, 4;
k
= ulangan ke 1, 2, 3;
Yijk = nilai pengamatan perlakuan kedalaman air tanah ke-i, varietas ke-j, dan
ulangan ke-k;
μ
= nilai rata-rata umum;
αi
= pengaruh perlakuan kedalaman muka air tanah ke- i;
βj
= pengaruh perlakuan varietas ke-j;
γik
= pengaruh galat perlakuan kedalaman muka air tanah ke-i dan ulangan ke-k
(galat a);
ρk
= pengaruh aditif dari ulangan ke-k;
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara kedalaman muka air tanah ke-i dan varietas ke-j;
εijk
= pengaruh galat yang timbul dari taraf kedalaman muka air tanah ke-i dan
varietas ke-j pada ulangan ke-k (galat b).
Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan kedalaman muka air tanah terhadap
varietas yang diuji berdasarkan analisis ragam (uji F-hitung) pada taraf 5%,
dilakukan uji lanjut untuk melihat perbedaan antar perlakuan dengan Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan
sampel tanah dilakukan sebelum persiapan lahan untuk
mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sebelum penanaman. Persiapan lahan
dilakukan dengan membersihkan lahan dari gulma. Petakan dibuat dengan ukuran
5 m x 2 m. Saluran petakan dibuat selebar 30 cm dan sedalam 25 cm.
12
Tiap petakan ditambahkan kapur Dolomit, SP36, dan KCl pada dua minggu
sebelum penanaman. Aplikasi pengapuran dan pemupukan dilakuan dengan cara
disebar secara merata di atas permukaan tanah kemudian tanah diolah ringan.
Benih diinokulasi sebelum penanaman dengan Rhizobium sp. selama
15 menit dan disalut dengan insektisida karbosulfan. Benih kemudian ditanam
pada jarak tanam 25 cm x 10 cm dengan jumlah 1 benih per lubang tanam.
Gambar 1. Model perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm
(kanan) di bawah permukaan tanah
Kegiatan pemeliharaan meliputi pengairan dan drainase, pengendalian gulma,
pengendalian hama dan penyakit serta penyemprotan urea. Pengairan dilakukan
bila muka air tanah telah turun sedangkan drainase dilakukan bila muka air tanah
naik dari perlakuan di dalam saluran (Gambar 1). Pengendalian gulma dilakukan
secara manual 4 minggu setelah tanam (MST). Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan ketika terdapat gejala dan serangan hama dan penyakit. Tanaman
kedelai dipupuk dengan urea melalui daun pada 3, 4, 5 dan 6 MST.
Pengamatan dilakuan saat fase vegetatif dan generatif pada 10 tanaman
contoh di tiap unit penelitian. Pengamatan fase vegetatif mencakup tinggi tanaman
dan jumlah daun pada 2, 4, 6, 8, 10 MST.
Komponen pengamatan diuraikan sebagai berikut:
1. tinggi tanaman yang diukur dari bekas munculnya kotiledon hingga titik
tumbuh,
2. jumlah daun yang dihitung dari daun yang telah mekar sempurna. Trifoliet
daun dihitung sebagai satu unit daun,
3. waktu berbunga 50% dari populasi yang diamati pada setiap varietas,
4. saat panen yang ditentukan ketika 85% daun tiap unit percobaan telah
menguning dan polong kedelai telah berwarna kecoklatan,
13
5. bobot kering biomassa yang diamati pada 8 MST dengan mencabut satu
tanaman di luar tanaman contoh dan bukan tanaman pinggir serta di luar
petak panen di tiap petakan percobaan (Lampiran 3). Tanaman yang telah
dicabut dipisahkan menjadi daun, batang, akar, dan bintil akar. Bobot kering
biomassa ditimbang setelah komponen tersebut dioven selama 24 jam dengan
suhu 105 oC,
6. jumlah cabang tanaman yang dihitung pada saat panen,
7. jumlah polong tanaman yang merupakan polong bernas yang dihitung per
tanaman,
8. bobot biji per ubinan yang dihitung dari ubinan yang berukuran 4 m x 1 m di
tiap petak perlakuan,
9. bobot 100 biji yang ditimbang dari 100 biji kedelai tiap perlakuan, dan
10. produktivitas yang ditentukan dari hasil ubinan (Lampiran 3).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Pertumbuhan dan produksi kedelai hitam sangat dipengaruhi oleh kondisi
iklim, kondisi tanah, teknik budidaya dan karakter varietas yang dipilih di lahan
pasang surut. Lokasi penelitian merupakan areal lahan pasang surut yang
kedalaman muka air tanahnya masih dapat ditemukan kurang dari 50 cm di bawah
permukaan tanah dan tidak terluapi oleh pengaruh pasang besar dan kecil air laut.
Sumber air yang digunakan di dalam saluran penelitian dipengaruhi oleh pasang
surut air laut dengan salinitas yang rendah dan daya hantar listrik yang sangat
rendah sehingga tidak membahayakan tanaman kedelai (Lampiran 6).
Kondisi iklim dapat diketahui dari data curah hujan dan hari hujan, suhu
rata-rata harian, dan kelembaban rata-rata harian. Kondisi iklim selama penelitian
digambarkan dari curah hujan dan hari hujan yang terus menurun dari bulan Juni
hingga bulan Agustus dan kecenderungan suhu yang semakin meningkat.
Berdasarkan data BMKG Palembang (2012), curah hujan selama penelitian turun
dari 100 ml/bulan yang diikuti penurunan hari hujan dari 10 hari/bulan
(Lampiran 4). Suhu rata-rata selama tiga bulan penelitian adalah 27 oC dengan
suhu minimum rata-rata mencapai 23oC dan suhu maksimum rata-rata mencapai
32oC. Kelembaban rata-rata terukur rata-rata 80% (Lampiran 5).
Sifat tanah sebelum penelitian ditunjukkan dari sifat fisik dan kimia tanah
yang dianalisis dari sampel bahan kering tanah (Lampiran 6). Tekstur tanah
bersifat liat berdebu dengan komposisi 54% liat, 44% debu dan 2% pasir.
Kandungan karbon organik tergolong sangat tinggi dan nitrogen organik
tergolong tinggi dengan nilai berturut-turut yaitu 8.38% dan 0.52% sehingga rasio
karbon-nitrogen bahan organiknya adalah 16.00 yang tergolong tinggi. Meskipun
kadar P2O5 dan K2O tanah tergolong sedang, ketersediaan kedua hara tersebut
sangat tinggi untuk tanaman (Lampiran 6).
Nilai kejenuhan basah (KB) dari kation-kation basa (Ca, Mg, K dan Na)
tanahnya tergolong sedang yaitu 44.00% sehingga sekitar 56% kation lainnya
berupa Al3+ dan H+ terjerap pada koloid tanah yang membuat tanah memiliki nilai
pH yang rendah. Derajat kemasaman tanah sebelum penelitian tergolong sangat
15
masam dengan nilai pH yaitu 4.4 berdasarkan larutan air dan tergolong masam
berdasarkan larutan kalium klorida dengan nilai pH yaitu 3.80 (Lampiran 6).
Keseimbangan nilai pH tanah tergantung pada pertukaran ion-ion basa dan
ion-ion asam yang dipertukarkan. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) tanah
sebelum penelitian yaitu 21.66 cmolc/kg tergolong sedang dan tidak terdapat
kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar. Nilai KTKCa, KTKMg
KTKNa dan KTKK berturut-turut adalah 4.65 cmolc/kg (sedang), 3.60 cmolc/kg
(tinggi), 1.22 cmolc/kg (tinggi) dan 0.14 cmolc/kg (rendah). Nilai KTKAl3+ KTKH+
berturut-turut adalah 2.40 cmolc/kg (sangat rendah) dan 1.22 cmolc/kg.
Gambar 2. Keragaan pertanaman kedelai hitam pada 7 MST (kiri) dan 8 MST
(kanan).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai dengan BJA mengikuti
pola pertumbuhan sigmoid. Kecambah kedelai hitam mulai keluar ke permukaan
tanah pada 3 hari setelah tanam (HST) dan serentak muncul dengan unifoliet pada
7 HST. Serangan ulat penggulung daun dan pemakan daun dikendalikan pada
3 MST dan 7 MST. Kedelai hitam pada BJA mengalami pemulihan sempurna
pada 7 MST dari cekaman jenuh air di bawah perkaran (Gambar 2). Serangan
tikus dikendalikan pada 8 MST. Varietas Ceneng berbunga lebih awal, yaitu pada
35 HST yang diikuti oleh varietas Cikuray dan Lokal Malang pada 38 HST serta
Tanggamus pada 42 HST. Varietas Cikuray memiliki umur panen lebih awal,
yaitu pada 80 HST yang diikuti oleh varietas Ceneng dan Lokal Malang pada
84 HST serta Tanggamus pada 92 HST. Kedelai hitam dan Tanggamus yang
ditanam di lahan kering umumnya berbunga dan panen lebih awal dari kedelai
yang ditanam dengan BJA.
16
Hasil
Faktor kedalaman muka air tanah dan varietas kedelai hitam nyata
mempengaruhi beberapa peubah pengamatan. Tidak ada peubah pengamatan yang
hanya dipengaruhi faktor varietas saja tetapi ada peubah yang hanya dipengaruhi
kedalaman muka air tanah saja seperti jumlah daun tanaman pada 10 MST, jumlah
cabang, bobot kering daun, bobot kering batang dan bobot kering akar (Tabel 1).
Tabel 1. Uji beda nyata perlakuan kedalaman muka air tanah dan varietas
terhadap berbagai peubah yang diamati
Peubah
pengamatan
Tinggi
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
Jumlah daun
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
Jumlah cabang
Jumlah polong
Bobot kering
biomassa
daun
batang
akar
bintil akar
Serapan hara
nitrogen
fosfor
kalium
kalsium
Bobot 100 biji
Bobot ubinan
Produktivitas
Ulangan
(U)
Sumber Keragaman
Kedalaman muka air tanah
Varietas
U*K
K*V
(K)
(V)
tn
tn
tn
tn
tn
*
**
**
**
**
tn
tn
tn
*
**
**
**
**
**
**
*
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
**
**
**
*
**
**
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
**
*
*
**
tn
tn
**
**
tn
tn
**
tn
**
**
tn
tn
tn
tn
tn
**
*
**
**
**
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
*
*
*
**
**
**
*
*
*
tn
**
tn
tn
**
*
**
**
**
**
**
tn
tn
*
tn
**
**
**
Keterangan: * = berbeda nyata,
** = berbeda sangat nyata,
tn = tidak berbeda nyata
17
Kedalaman Muka Air Tanah
Kedalaman muka air tanah nyata mempengaruhi tinggi dan jumlah daun
tanaman dari 2 MST hingga 10 MST, jumlah cabang, jumlah polong, bobot kering
biomassa, serapan hara, bobot 100 biji, bobot ubinan dan produktivitas kedelai
hitam di lahan pasang surut. Umumnya nilai peubah pertanaman kedelai hitam
pada BJA lebih tinggi dari pada tanaman kedelai hitam dari budidaya kering
(Tabel 1).
Tinggi tanaman kedelai dari 2 MST hingga 10 MST pada BJA pada
kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah berbeda
nyata dengan budidaya kering di lahan pasang surut. Tinggi tanaman antara BJA
kedalaman muka air 10 cm tidak berbeda nyata dengan kedalaman muka air
20 cm di bawah permukaan tanah pada umur tanaman sebelum 8 MST tetapi
berbeda nyata saat berumur 8 MST hingga 10 MST (Tabel 2).
Tinggi tanaman kedelai pada umur 10 MST pada BJA kedalaman muka air
20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dari pada kedelai pada BJA
kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah dan budidaya kering. Tinggi
tanaman kedelai rata-rata pada BJA kedalaman muka air 20 cm dan 10 cm di
bawah permukaan tanah adalah 70.16 cm dan 66.50 cm sedangkan pada budidaya
kering tinggi tanaman kedelai hanya mencapai rata-rata 22.15 cm (Tabel 2).
Tabel 2 . Tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman
muka air tanah di lahan pasang surut
Peubah pengamatan
Tinggi
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
Jumlah daun
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
10 MST
Kedalaman muka air BJA
20 cm
10 cm
----------------------------(cm)-----------------------------4.12b
4.97a
5.22a
9.26b
18.80a
17.84a
19.98b
53.52a
50.77a
21.96c
70.09a
66.28b
22.15c
70.16a
66.50b
-----------------------(daun)--------------------------3.0ab
2.9b
3.1a
4.6b
7.7a
7.4a
6.9b
17.3a
16.9a
7.0b
25.0a
23.4a
3.7b
21.6a
22.8a
Budidaya kering
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
18
Jumlah daun kedelai pada BJA tidak berbeda nyata dengan budidaya
kering pada 2 MST. Jumlah daun kedelai antara BJA kedalaman muka air 10 cm
tidak berbeda nyata dengan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah
saat tanaman berumur 4 MST hingga 10 MST. Jumlah daun kedelai pada BJA
berbeda nyata dengan kedelai pada budidaya kering saat berumur 4 MST hingga
10 MST di lahan pasang surut (Tabel 2).
Jumlah daun maksimum rata-rata tanaman kedelai pada 8 MST tidak
berbeda nyata antara BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah
permukaan tanah di lahan pasang surut. Jumlah daun kedelai dari BJA kedalaman
muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah berbeda nyata terhadap
jumlah daun tanaman kedelai dengan budidaya kering pada 8 MST. Jumlah daun
kedelai rata-rata pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm dapat mencapai
23.44 daun dan 25.03 daun sedangkan jumlah daun rata-rata kedelai dengan
budidaya kering hanya mencapai 6.97 daun (Tabel 2).
Kedalaman muka air tanah mempengaruhi bobot kering biomassa, daun,
batang, akar, dan bintil akar tanaman kedelai. Bobot kering biomassa, daun,
batang, akar dan bintil akar kedelai dari BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan
20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot-bobot kedua
perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap kedelai pada budidaya kering (Tabel 3).
Bobot kering biomassa kedelai dengan BJA 767-790% (delapan kali) lebih
tinggi dari pada kedelai dengan budidaya kering. Bobot kering biomasa tanaman
kedelai sebesar 3.79 g per tanaman dibagi menjadi 46% bahan kering daun,
43% bahan kering batang, 3% bahan kering akar, dan 0% bahan kering bintil akar.
Bobot kering biomassa kedelai pada BJA kedalaman muka air 10 cm di bawah
permukaan tanah sebesar 28.68 g per tanaman dibagi menjadi 35% bahan kering
daun, 56% bahan kering batang, 6% bahan kering akar dan 3% bahan kering bintil
akar. Bobot kering biomassa kedelai pada BJA kedalaman muka air 20 cm di
bawah permukaan tanah sebesar 29.53% dibagi menjadi 34% bahan kering daun,
58% bahan kering batang, 5% bahan kering akar dan 3% bahan kering bintil akar
(Tabel 3).
Bobot kering daun kedelai dengan BJA mencapai 9.98 g per tanaman pada
kedalaman muka air 10 cm dan 10.14 g per tanaman pada kedalaman muka air
19
20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering daun kedelai dengan BJA
584-593% (enam kali) lebih tinggi dari pada bobot daun kedelai dengan budidaya
kering (Tabel 3).
Tabel 3. Bobot kering biomassa tanaman kedelai pada berbagai kedalaman
muka air tanah di lahan pasang surut
Peubah pengamatan
Bobot kering daun
Bobot kering batang
Bobot kering akar
Bobot kering bintil akar
Bobot kering biomassa
Kedalaman muka air BJA
20 cm
10 cm
---------------------------(g)--------------------------1.71b
10.14a
9.98a
1.60b
16.97a
15.92a
0.43b
1.60a
1.69a
0.00b
0.82a
1.09a
3.74b
29.53a
28.68a
Budidaya kering
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Bobot kering batang kedelai dengan BJA mencapai 15.92 per tanaman
pada kedalaman 10 cm dan 16.97 g pada kedalaman 20 cm di bawah permukaan
tanah. Bobot kering batang kedelai dengan BJA 995-1061% (sepuluh kali) lebih
tinggi dari pada bobot kering batang kedelai pada budidaya kering (Tabel 3).
Bobot kering akar kedelai dengan BJA mencapai 1.69 g per tanaman pada
BJA kedalaman muka air 10 cm dan 1.60 g per tanaman pada kedalaman muka air
20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering akar kedelai dengan BJA 372%
(empat kali) lebih tinggi dari pada bobot kering akar kedelai dengan budidaya
kering (Tabel 3).
Bobot kering bintil akar kedelai dengan BJA mencapai 0.91 g per tanaman
pada kedalaman muka air 10 cm dan 0.82 g per tanaman pada kedalaman muka air
pada 20 cm di bawah permukaan tanah. Bintil akar kedelai dengan budidaya
kering tidak ditemukan (Tabel 3).
Kemampuan tanaman kedelai dalam menyerap hara dipengaruhi oleh
kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut. Kadar hara dalam daun yang
diserap tanaman di lahan pasang surut disajikan pada lampiran 7. Jumlah hara
yang diserap tanaman kedelai pada BJA perlakuan kedalaman muka air tanah
10 cm dan 20 cm tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda
nyata dan lebih tinggi menyerap hara dari pada kedelai pada budidaya kering.
20
Kemampuan tanaman kedelai pada BJA dalam menyerap unsur nitrogen
509-523% (5 kali) lebih tinggi, unsur fosfor 3,142-3,428% (31-34 kali) lebih
tinggi, unsur kalium 4,281-4,719% (43-47) kali lebih tinggi, dan unsur kalsium
9,994-10,200%
(100-102) kali lebih tinggi dari pada tanaman kedelai pada
budidaya kering (Tabel 4).
Tabel 4. Serapan unsur hara tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah di lahan pasang surut
Serapan
unsur
Nitrogen
Fosfor
Kalium
Kalsium
Budidaya kering
Kedalaman muka air BJA
20 cm
10 cm
-------------------------------------(g)--------------------------------0.94b
4.79a
4.92a
0.01b
0.22a
0.24a
0.03b
1.37a
1.51a
0.01b
1.50a
1.53a
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Varietas
Peubah yang nyata dipengaruhi oleh varietas adalah tinggi tanaman dari
2 MST hingga 10 MST, jumlah daun dari 2 MST hingga 8 MST, jumlah polong,
bobot bintil akar, serapan hara, bobot 100 biji, bobot ubinan dan produktivitas
(Tabel 1). Pertambahan tinggi kedelai terus menigkat secara nyata setelah
tanaman berumur 4 MST dan pertambahan tinggi melandai pada saat tanaman
berumur 8 MST. Jumlah daun kedelai terus meningkat hingga mencapai
maksimum pada 8 MST dan jumlah daun mengalami penurunan pada saat
tanaman berumur 10 MST. Perbedaan kemampuan varietas dalam menyerap hara
ditunjukkan serapan hara masing-masing varietas meskipun tidak ada perbedaan
biomassa antar varietas (Tabel 5).
Tinggi tanaman kedelai hitam varietas Ceneng dan Lokal Malang pada
10 MST tidak berbeda nyata tetapi tinggi kedua varietas tersebut berbeda dengan
varietas Cikuray. Tinggi tanaman rata-rata Lokal Malang pada 10 MST tidak
berbeda nyata dengan varietas Tanggamus, sebagai kedelai kuning pembanding
(Tabel 5).
21
Tabel 5. Tinggi dan jumlah daun beberapa varietas kedelai di lahan pasang
surut
Peubah
pengamatan
Tinggi
2MST
4MST
6MST
8MST
10MST
Jumlah daun
2MST
4MST
6MST
8MST
10MST
Varietas
Ceneng
Cikuray
Lokal Malang
Tanggamus
-----------------------(cm)------------------------------4.71b
3.85c
4.45b
6.08a
16.33a
12.93c
14.72b
17.21a
45.15a
37.55a
39.65b
43.35b
55.74a
44.81b
54.00a
56.55a
55.98b
44.99c
53.38ab
57.41a
-----------------------(daun)------------------------------2.8b
2.8b
2.9b
3.5a
6.1c
6.4bc
6.7ab
7.0a
12.4c
13.2bc
15.0a
14.3ab
16.7c
16.3c
21.9a
19.0b
13.5ab
12.4b
17.6ab
20.8a
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT α= 5%
Jumlah daun maksimum rata-rata tanaman kedelai hitam pada 8 MST
tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Cikuray tetapi jumlah daun kedua varietas
tersebut berbeda nyata dengan jumlah daun varietas Lokal Malang. Jumlah daun
Lokal lebih tinggi dari pada dari pada Ceneng dan Cikuray bahkan dari
Tanggamus pada 8 MST (Tabel 5).
Bobot kering biomassa, daun, batang dan akar tidak berbeda nyata antar
varietas kedelai hitam dan terhadap varietas Tanggamus. Bobot kering biomassa
kedelai hitam berkisar 18.46-21.92 g per tanaman di lahan pasang surut. Bobot
kering daun kedelai hitam berkisar 6.41-8.44 g per tanaman. Bobot kering batang
kedelai hitam berkisar 10.59-12.14 g per tanaman. Bobot kering akar kedelai
hitam berkisar 0.97-1.25 g per tanaman (Tabel 6).
Bobot kering bintil akar kedelai hitam berbeda nyata dengan varietas
Tanggamus tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antar varietas kedelai hitam.
Bobot kering bintil akar secara berturut-turut dari varietas Lokal Malang, Ceneng
dan Cikuray, yaitu 0.57 g, 0.52 g, dan 0.48 g per tanaman. Bobot kering bintil
akar Tanggamus adalah 0.97 g per tanaman (Tabel 6).
22
Tabel 6. Bobot kering biomassa tanaman kedelai dari berbagai varietas kedelai di
lahan pasang surut
Peubah pengamatan
Bobot kering daun
Bobot kering batang
Bobot kering akar
Bobot kering bintil akar
Bobot kering biomassa
Varietas
Ceneng
Cikuray Lokal Malang Tanggamus
---------------------------(g)-------------------------------6.53a
6.41a
8.44a
7.72a
12.14a
10.59a
11.65a
11.59a
1.20ab
0.97b
1.25ab
1.54a
0.52b
0.48b
0.57b
0.97a
20.39a
18.45a
21.91a
21.82a
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT α= 5%
Kemampuan tanaman kedelai dalam menyerap hara dipengaruhi oleh
varietas tanaman kedelai. Kemampuan kedelai hitam varietas Lokal Malang
berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan Cikuray dalam
menyarap unsur nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium. Kemampuan varietas Lokal
Malang dalam menyerap hara tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus
(Tabel 7).
Tabel 7. Serapan unsur hara beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut
Serapan
unsur
Nitrogen
Fosfor
Kalium
Kalsium
Ceneng
Varietas
Cikuray
Lokal Malang
Tanggamus
------------------------------------(g)----------------------------------2.319b
2.468b
4.252a
4.037a
0.110c
0.128bc
0.205a
0.189ab
0.523c
0.860bc
1.295a
1.206ab
0.786b
0.679b
1.467a
1.132ab
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT α= 5%
Interaksi Faktor Kedalaman Muka Air Tanah dengan Varietas
Interaksi kedalaman muka air tanah dan varietas nyata pada peubah tinggi
tanaman pada 2 MST dan 10 MST, jumlah daun pada 2 MST dan 8 MST serta
jumlah cabang tanaman kedelai hitam di lahan pasang surut. Interaksi kedalaman
muka air tanah dan varietas juga nyata pada jumlah polong, serapan kalium, bobot
100 biji, bobot ubinan dan produktivitas (Tabel 1).
23
Jumlah daun kedelai hitam pada budidaya kering tidak berbeda nyata antar
varietas kedelai hitam pada 8 MST. Jumlah daun kedelai hitam pada BJA berbeda
nyata terhadap kedelai hitam pada budidaya kering. Jumlah daun kedelai hitam
varietas Ceneng dan Cikuray tidak berbeda nyata pada BJA kedalaman 10 cm dan
20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah daun varietas Lokal Malang berbeda
nyata antar BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah dan
jumlah daunnya berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan
Cikuray pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah (Tabel 8).
Jumlah daun varietas Ceneng dengan BJA berbeda nyata dengan budidaya
kering. Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah
permukaan tanah, jumlah daun pada BJA 303-311% (3 kali) lebih tinggi dari pada
pada budidaya kering. Jumlah daun varietas Ceneng pada BJA dapat mencapai
21-22 daun sedangkan pada budidaya kering hanya 7 daun (Tabel 8).
Jumlah daun varietas Cikuray dengan BJA berbeda nyata dengan budiaya
kering. Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah
permukaan tanah, jumlah daun pada BJA 361-381% (4 kali) lebih tinggi dari pada
budidaya kering. Jumlah daun varietas Cikuray pada BJA dapat mencapai
21-22 daun sedangkan pada budidaya kering hanya 6 daun (Tabel 8).
Tabel 8. Jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas pada 8 MST
Perlakuan
Budidaya kering
BJA 20 cm
BJA 10 cm
Ceneng
7.0e
21.2d
21.8cd
Jumlah daun
Cikuray
Lokal Malang
5.8e
7.6e
20.9d
32.0a
22.1bcd
26.1b
Tanggamus
7.4e
25.9bc
23.7bcd
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Jumlah daun varietas Lokal Malang dengan BJA berbeda nyata pada
semua perlakuan kedalaman muka air tanah. Jumlah daun tertinggi ditunjukkan
pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Terhadap jumlah daun
pada budidaya kering, jumlah daun pada BJA kedalaman 10 cm 342% (3 kali)
lebih tinggi dan 419% (4 kali) lebih tinggi pada BJA kedalaman 20 cm di bawah
permukaan tanah. Jika pada budidaya kering jumlah daun hanya mencapai 8 daun,
24
jumlah daun pada BJA kedalaman 10 cm mencapi 26 daun dan 32 daun pada BJA
20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah daun varietas Lokal Malang tidak
berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada BJA kedalaman 10 cm tetapi
menjadi berbeda nyata dan lebih tinggi pada BJA kedalaman 20 cm di bawah
permukaan tanah (Tabel 8).
Jumlah cabang dari ketiga varietas kedelai hitam pada BJA kedalaman
10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dari pada budidaya
kering. Jumlah cabang dari ketiga varietas kedelai hitam tidak berbeda nyata pada
perlakuan budidaya kering dan pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm di
bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Lokal Malang dan varietas
Cikuray tidak berbeda nyata tetapi jumlah cabang kedua varietas tersebut berbeda
nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng pada BJA kedalaman 20 cm di
bawah permukaan tanah. Jumlah cabang ketiga varietas kedelai hitam tidak
berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada BJA kedalaman muka air 10 cm
di bawah permukaan tanah (Tabel 9).
Jumlah cabang varietas Ceneng pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan
20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan
tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Jumlah
cabang varietas Ceneng tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada
budidaya kering dan BJA kedalaman 10 cm tetapi berbeda nyata dengan BJA
kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Ceneng
mencapai 3.60-3.73 cabang pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya
mencapai 2.00 cabang (Tabel 9).
Jumlah cabang varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan
20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan
tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Jumlah
cabang varietas Cikuray tidak berbeda nyata dengan jumlah cabang varietas Lokal
Malang pada budidaya kering maupun BJA. Jumlah cabang varietas Cikuray
mencapai 4.07-4.20 cabang pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya
mencapai 2.00 cabang (Tabel 9).
Jumlah cabang varietas Lokal Malang berbeda nyata pada ketiga perlakuan
kedalaman muka air tanah. Jumlah cabang varietas Lokal Malang tidak berbeda
25
nyata dengan varietas Tanggamus pada perlakuan kedalaman muka air tanah
10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Lokal
Malang berbeda nyata dan lebih rendah daripada varietas Tanggamus pada
perlakuan budidaya kering. Varietas Lokal Malang memiliki jumlah cabang
paling terendah pada dari varietas lainnya, yaitu 1.5 cabang pada budidaya kering
tetapi jumlah cabangnya dapat mencapai 4.00-4.60 cabang pada BJA (Tabel 9).
Tabel 9. Jumlah cabang tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas
Perlakuan
Budidaya kering
BJA 20 cm
BJA 10 cm
Ceneng
2.0de
3.6c
3.7bc
Jumlah cabang
Cikuray
Lokal Malang
2.0de
1.5e
4.2ab
4.6a
4.1abc
4.0bc
Tanggamus
2.1d
4.6a
3.7bc
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Jumlah polong dari ketiga varietas kedelai hitam dan varietas Tanggamus
pada budidaya kering tidak berbeda nyata. Jumlah polong dari varietas Ceneng
dan Cikuray pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah
tidak berbeda myata tetapi berbeda nyata dan lebih rendah dari pada varietas
Lokal Malang (Tabel 10).
Jumlah polong dari varietas Ceneng pada BJA kedalaman muka air 10 cm
dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan
tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah polong
varietas Ceneng pada BJA mencapai 65.36-65.40 polong sedangkan pada
budidaya kering hanya mencapai 7.00 polong (Tabel 10).
Jumlah polong dari varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air tanah
10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua
perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada budidaya kering.
Jumlah polong varietas Cikuray mencapai 53.70-62.73 polong pada BJA
sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 8.20 polong (Tabel 10).
Jumlah polong dari varietas Lokal Malang berbeda nyata antar perlakuan
kedalaman muka air. Jumlah polong tertinggi ditunjukkan pada BJA kedalaman
muka air 20 cm yang diikuti kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan
26
tanah dan budidaya kering, yaitu 102.83 polong, 84.66 polong dan 4.40 polong.
Jumlah polong antara varietas Lokal Malang dengan varietas Tanggamus tidak
berbeda nyata pada ketiga perlakuan kedalaman muka air tanah (Tabel 10).
Tabel 10. Jumlah polong tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas
Perlakuan
Budidaya kering
BJA 20 cm
BJA 10 cm
Ceneng
7.0d
65.4c
65.4c
Jumlah polong
Cikuray
Lokal Malang
8.2d
4.4d
53.7c
102.8a
62.7c
84.7b
Tanggamus
8.2d
100.0ab
92.1ab
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Bobot 100 biji dari varietas Ceneng, Cikuray dan Tangamus tidak
berbeda nyata pada budidaya kering tetapi berbeda nyata dan lebih tinggi dari
pada varietas Lokal Malang. Bobot 100 biji dari ketiga varietas kedelai hitam
berbeda nyata pada
BJA. Bobot 100 biji tertinggi ditunjukkan oleh varietas
Cikuray yang diikuti oleh varietas Ceneng dan Lokal Malang. Bobot 100 biji
varietas Ceneng tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 11).
Tabel 11. Bobot 100 biji kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan
varietas
Perlakuan
Budidaya kering
BJA 20 cm
BJA 10 cm
Ceneng
9.60de
10.76bc
11.64b
Bobot 100 biji (g)
Cikuray
Lokal Malang
10.00cd
9.02e
14.00a
10.21cd
13.59a
10.11cd
Tanggamus
10.24cd
11.18b
11.59b
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Bobot 100 biji varietas Ceneng pada BJA antara kedalaman muka air
10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot
100 biji kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan
budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Ceneng pada BJA dapat mencapai
10.76-11.64 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 9.60 g (Tabel 11).
Bobot 100 biji varietas Cikuray pada BJA antara kedalaman muka air
10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot
27
100 biji kedua perlakuan BJA tersebut berbeda nyata dan lebih besar dari pada
budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Cikuray pada BJA dapat mencapai
13.59-14.00 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 10.00 g
(Tabel 11).
Bobot 100 biji varietas Lokal Malang pada BJA antara kedalaman muka
air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi
kedua perlakuan BJA tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada perlakuan
budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Lokal Malang pada BJA dapat mencapai
10.11-10.21 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 9.02 g (Tabel 11).
Tabel 12. Bobot biji per ubinan kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas
Perlakuan
Budidaya kering
BJA 20 cm
BJA 10 cm
Ceneng
6.67e
1570.44c
1623.33bc
Bobot biji per ubinan (g/4 m2)
Cikuray
Lokal Malang
11.85e
7.92e
1112.00d
1945.60a
1293.81d
1876.29a
Tanggamus
13.67e
1997.81a
1851.58ab
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Bobot biji per ubinan masing-masing kedelai hitam pada BJA kedalaman
muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata
tetapi produktivitas dari kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi
dari perlakuan budidaya kering. Bobot biji per ubinan kedelai hitam dan varietas
Tanggamus tidak berbeda nyata pada budidaya kering. Bobot biji per ubinan
kedelai hitam tertinggi ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang yang diikuti oleh
varietas Ceneng dan Cikuray. Bobot biji per ubinan varietas Lokal Malang tidak
berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 12).
Keberadaan saluran dalam BJA berakibat pada pengurangan areal yang
ditanami kedelai sebesar 15% luasan tanam. Hal ini mengakibatkan pendugaan
produktivitas per hektar kedelai dari BJA harus dikurangi 15% produktivitas tanpa
saluran.
Produktivitas varietas Ceneng pada BJA antara perlakuan kedalaman
muka air 10 cm dengan 20 cm tidak berbeda nyata tetapi produktivitas dari kedua
perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering.
28
Produktivitas varietas Ceneng pada BJA mencapai 3.34-3.45 ton/ha sedangkan
pada budidaya kering hanya mencapai 0.26 ton/ha (Tabel 13).
Produktivitas varietas Cikuray pada BJA antara perlakuan kedalaman
muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata
tetapi produktivitas dari kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi
dari pada perlakuan budidaya kering. Produktivitas varietas Cikuray pada BJA
mencapai 2.75-2.36 ton/ha sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai
0.47 ton/ha (Tabel 13).
Tabel 13. Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka
air tanah dan varietas
Perlakuan
Budidaya kering
BJA 20 cm
BJA 10 cm
Budidaya kering
BJA 20 cm
BJA 10 cm
Produktivitas (ton/ha)
Ceneng
Cikuray
Lokal Malang
Tanggamus
--------------------------sebelum dikurangi saluran--------------0.26e
0.47e
0.31e
0.54e
3.92c
2.78d
4.86a
4.99a
4.06bc
3.23d
4.69a
4.62ab
--------------------------sesudah dikurangi saluran--------------0.26e
0.47e
0.31e
0.54e
3.32c
2.36d
4.13a
4.24a
3.45bc
2.75d
3.99a
3.93ab
Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)
Produktivitas Lokal Malang pada BJA antara perlakuan kedalaman air
10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi
produktivitas kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada
perlakuan budidaya kering. Produktivitas varietas Lokal Malang pada BJA dapat
mencapai 3.99-4.13 ton/ha sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai
0.31 ton/ha (Tabel 13).
Umur berbunga dan umur panen kedelai hitam tergantung dari varietasnya.
Varietas Ceneng berbunga lebih cepat yaitu pada 35 hari setelah tanam (HST)
yang diikuti varietas Cikuray dan Lokal Malang berbunga pada 38 HST. Varietas
Tanggamus sebagai tanaman pembanding berbunga lebih lama, yaitu 42 HST.
Varietas Cikuray dipanen lebih awal yaitu pada 80 HST yang diikuti oleh varietas
Lokal Malang dan Ceneng pada 84 HST. Varietas Tanggamus dipanen pada umur
92 HST.
29
Pembahasan
Kedalaman muka air tanah menjadi faktor penting dalam budidaya kedelai
hitam di lahan pasang surut. Pengaruh pengaturan kedalaman muka air tanah
dalam BJA untuk meningkatkan hasil tanaman kedelai hitam dapat ditinjau dari
kecukupan ruang tumbuh untuk perkembangan perakaran dan mikroorganisme di
dalam tanah yang memiliki udara dan kondisi jenuh air di bawah perakaran.
Kondisi jenuh air di bawah perakaran menyumbang ketersediaan air dan kelarutan
hara bagi tanaman yang sekaligus dapat menekan pengaruh racun dan kemasaman
tanah.
Muka air tanah di lokasi penelitian dapat dipertahankan dengan baik
dengan dukungan tekstur tanah yang bersifat liat berdebu. Tekstur liat pada tanah
penelitian menahan air dengan baik tetapi juga membatasi perkembangan akar.
Karena lahan penelitian yang digunakan merupakan sawah bekas penanaman
padi, menurut Murtantiyo (1997) dan Hardjowigeno et al. (2004),
terdapat
lapisan tapak bajak yang telah terbentuk sehingga muka air tanah dapat
dipertahankan pada kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah.
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), tingkat drainase tanah pada
tanah bertekstur liat berdebu agak terhambat hingga terhambat dengan kedalaman
efektif untuk perkembangan akar berkisar 20-30 cm di bawah permukaan tanah.
Bentuk perkembangan perakaran tanaman kedelai hitam dipengaruhi oleh
kedalaman muka air tanah. Perakaran tanaman kedelai hitam dengan BJA pada
awalnya tumbuh secara vertikal ke dalam tanah tetapi kemudian akar menemukan
air lebih dekat 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah pada perlakuan BJA.
Berdasarkan penelitian Jayadi (2009) mengenai rembesan air pada tanggul tanah
dengan tekstur liat, muka air di dalam tanah melandai dari sumber air di dalam
saluran. Menurut Troedson et al. (1983), akar-akar yang terjenuhi karena tumbuh
vertikal ke dalam tanah menjadi mati sehingga pergerakan akar dengan
pembentukan akar-akar baru berubah menjadi horizontal terhadap muka air tanah.
Berbeda dengan BJA, akar kedelai pada budidaya kering terus mencari air vertikal
ke dalam tanah dan perkembangan akar terhenti pada lapisan liat yang tidak dapat
ditembus oleh akar.
30
Perkembangan akar kedelai hitam, sebagai contoh varietas Lokal Malang,
pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah
terhambat sesuai perlakuannya (Gambar 3). Di sisi lain, perkembangan akar pada
budidaya kering tidak tumbuh lebih dalam dari 10 cm karena diduga terhambat
oleh tekstur liat dan berkembang lebih dangkal untuk memanfaatkan air hujan
yang sewaktu-waktu turun di musim kemarau.
Gambar 3. Penampilan akar varietas Lokal Malang pada budidaya kering (kiri),
BJA 20 cm (tengah), dan BJA 10 cm (kanan) pada 8 MST dengan
perbandingan leher akar tanaman. (BJA= Budidaya jenuh air).
Pembentukan akar baru sebagai pengganti beberapa akar yang mati pada
kedelai yang berumur kurang dari 4 MST pada BJA mengakibatkan alokasi
fotosintat lebih diutamakan ke bagian perakaran dari pada untuk menambah
jumlah daun dan tinggi tanaman. Daun tanaman kedelai hitam yang terus
menghasilkan fotosintat untuk mendukung pembentukan akar-akar baru
kekurangan nitrogen sedangkan akar-akar terus menarik hasil fotosintat. Menurut
Troedson et al. (1983), daun-daun tanaman
kedelai kemudian menunjukkan
gejala kekuningan sebagai akibat berkurangnya serapan nitrogen karena matinya
beberapa bagian akar. Gejala kekuningan pada daun kedelai hitam terlihat jelas
pada varietas Lokal Malang pada 3 MST dan masih terlihat pada varietas Ceneng
pada 4 MST (Gambar 4).
31
Gambar 4. Gejala kekuningan pada daun varietas Lokal Malang pada 3 MST
(kiri) dan masih terlihat pada daun varietas Ceneng pada 4 MST
(kanan).
Gambar 5. Aklimatisasi kedelai hitam pada 5 MST (kiri) dan 6 MST (kanan).
Ketersediaan unsur nitrogen sebagai salah satu hara esensial untuk
pembentukan perakaran baru pada kedelai di lahan pasang surut sangat rendah.
Kandungan nitrogen pada tanah sebelum penelitian, yaitu sebesar 0.52% dari
bahan kering tanah, merupakan sumber nitrogen awal bagi pertumbuhan tanaman.
Sumbangan nitrogen yang berasal dari hujan sangat rendah karena curah hujan
juga yang sangat rendah. Menurut Hakim et al. (1986), nitrogen juga menjadi
kurang tersedia karena dimanfaatkan oleh mikroorganisme yang melakukan
dekomposisi bahan organik pada tanah dengan kandungan karbon lebih tinggi dari
pada nitrogen.
Kebutuhan nitrogen disuplai melalui penyemprotan urea lewat daun,
fiksasi nitrogen oleh bakteri rhizobia dan air yang diirigasi pada saluran.
Pemupukan lewat daun dalam konsentrasi yang rendah dapat diserap oleh
tanaman walaupun aplikasinya dilakukan empat kali dalam empat minggu awal
32
pertumbuhan tanaman kedelai. Dengan nilai pH tanah yang rendah dan nilai KTK
tanah yang tergolong sedang, kebutuhan nitrogen di awal pertumbuhan tanaman
tidak ditambahkan pada tanah dengan pupuk urea karena pupuk cenderung tercuci
sehingga tidak efektif untuk diserap oleh tanaman kedelai hitam. Hasil penelitian
Suwarto et al. (1994) dengan percobaan pot menunjukkan penambahan nitrogen
melalui tanah dapat menekan jumlah bintil akar yang terbentuk pada budidaya
jenuh air.
Keberadaan bintil akar sebagai indikator keberadaan bakteri rhizobia pada
perakaran tanaman kedelai menjamin ketersediaan nitrogen untuk tanaman.
Walaupun pada tanah penelitian telah ditambahkan kapur Dolomit dengan dosis
2 ton/ha dan inokulasi Rhizobium sp. pada benih, bintil akar tidak muncul pada
kedelai dengan budidaya kering. Bintil akar varietas Lokal Malang, Ceneng dan
Cikuray dapat ditemukan pada BJA walaupun jumlahnya tidak berbeda nyata
antar kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah dan antar
varietas kedelai hitam. Hal ini diduga bahwa lingkungan tumbuh bagi rhizobia
untuk bersimbiosis dengan tanaman kedelai hitam pada BJA lebih sesuai dari pada
kedelai hitam pada budidaya kering di lahan pasang surut.
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai hitam pada BJA setelah
4 MST mengalami peningkatan dibandingkan dengan budidaya kering dari
parameter tinggi dan jumlah daun. Menurut Troedson et al. (1983) dan Avivi
(1995), daun tanaman kedelai menjadi kembali hijau dan laju pertumbuhan
kedelai lebih tinggi pada BJA karena banyaknya akar dan bintil akar yang muncul
pada tanah yang jenuh air. Pemulihan penuh kedelai hitam secara visual terlihat
pada 7 MST dengan warna daun berubah menjadi hijau tua dan tajuk tanaman
telah mengembang sempurna (Gambar 5).
Pertumbuhan dan perkembangan kedelai hitam dapat dibatasi oleh
ketersediaan air dan ketersediaan hara di lahan pasang surut. Kedelai hitam tidak
dapat tumbuh optimal pada budidaya kering karena kekurangan energi yang
berasal dari kedua faktor tersebut. Jumlah cabang dapat digunakan sebagai
indikator keoptimalan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai hitam
sekaligus penentu potensi hasil di lahan pasang surut. Jumlah cabang kedelai pada
33
budidaya kering rata-rata hanya mencapai 2 cabang sedangkan pada BJA dapat
mencapai 4-5 cabang per tanaman kedelai.
Ketersediaan air yang terus menurun akibat penurunan curah hujan selama
musim kemarau di lahan pasang surut menghambat pertumbuhan tanaman kedelai
pada budidaya kering. Tanaman kedelai hitam di budidaya kering membatasi
pertumbuhannya dan bahkan mati karena tidak mampu menyerap cukup air untuk
menyesuaikan diri dengan laju transpirasinya. Menurut Salisbury dan Ross
(1992), bila potensial air tanah dan potensial air akar sama besar, akar tidak lagi
mengambil air dari tanah tetapi transpirasi dari tajuk tanaman berjalan terus.
Kebutuhan air selama musim kemarau di lahan pasang surut tersedia bagi
tanaman kedelai hitam dengan BJA. Muka air tanah pada BJA yang dipertahankan
dengan perlakuan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan
tanah menjamin kebutuhan air bagi tanaman kedelai hitam. Pada tanah dengan
BJA, terdapat air kapiler pada pori-pori mikro yang dekat dengan perakaran
tanaman kedelai sehingga tanah pada di bawah perakaran selalu berada dalam
kondisi kapasitas lapang dan hara dalam keadaan terlarut (Gambar 6).
Berdasarkan penelitian Wahjunie (2009), pemanasan permukaan tanah oleh
radiasi matahari pada hari-hari tanpa hujan menyebabkan pergerakan air dari
lapisan tanah bawah yang kadar airnya tinggi ke lapisan tanah atas yang kadar
airnya lebih rendah melalui pori-pori mikro tanah dengan kecepatan yang relatif
rendah.
Suplai air yang terjamin mendukung kelarutan hara di area perakaran
tanaman kedelai hitam pada BJA dibandingkan pada budidaya kering. Meskipun
tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam serapan hara oleh kedelai hitam pada
BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, kelarutan
hara yang lebih tinggi pada BJA menyebabkan serapan hara pada BJA lebih tinggi
dari pada budidaya kering. Hal ini ditunjukkan oleh serapan hara pada daun
kedelai hitam pada BJA 509-523% (5 kali) lebih tinggi untuk unsur nitrogen,
3,142-3,428% (31-34 kali) lebih tinggi untuk unsur fosfor dan 4.281-4,710%
(43-47 kali) lebih tinggi untuk unsur kalium, dibandingkan dengan budidaya
kering. Dari hasil penelitian Lestari dan Saragih (2005) di rumah kaca, kadar air
tanah pada kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah,
34
berturut-turut adalah 45.80% dan 21.08%. Dengan tingginya suhu selama
penelitian yang berkorelasi positif dengan transpirasi, Hakim et al. (1986)
menyatakan bahwa pergerakan air kapiler karena transpirasi mendekatkan hara
yang terlarut pada permukaan perakaran tanaman. Hal ini menyebabkan jumlah
hara terlarut dekat perakaran tanaman kedelai hitam dengan BJA lebih tinggi dan
lebih mudah diserap dari pada budidaya kering.
Gambar 6. Ilustrasi profil muka air tanah dan perkembangan perakaran
tanaman kedelai dalam budidaya jenuh air (diilustrasikan penulis
dari hasil penelitian Troedson et al., 1983; Murtantiyo, 1997;
Jayadi, 2009; Wahjunie, 2009).
Tingkat ketersediaan hara yang dapat diserap tanaman dapat diperbaiki
dengan menaikkan nilai pH tanah masam di lahan pasang surut. Menurut
Hakim et al. (1986), penambahan kapur yang mengandung kalsium dan
magnesium secara langsung menambah hara tersebut pada tanaman sekaligus
secara tidak langsung meningkatkan ketersediaan hara lainnya dengan
meningkatnya pH tanah.
Pengapuran pada BJA meningkatkan jumlah unsur kalsium yang dapat
diserap dari tanah dan meningkatkan serapan hara daun kedelai hitam. Meskipun
mendapat masukan kapur Dolomit dalam dosis yang sama (2 ton/ha), upaya
pengapuran pada BJA mendapat respon lebih tinggi dibandingkan pada budidaya
kering. Serapan kalsium pada berbagai varietas kedelai hitam pada BJA
35
kedalaman muka air 10 cm sebesar 1.53 g per tanaman dan pada BJA kedalaman
muka air tanah 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 1.50 g per tanaman
sedangkan pada budidaya kering hanya 0.01 g per tanaman. Meskipun serapan
unsur kalsium tidak berbeda nyata pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan
20 cm di bawah permukaan tanah, serapan kalsium yang lebih tinggi pada kedelai
hitam dengan BJA dibandingkan budidaya kering menunjukkan pengaruh ion
hidrogen dan aluminium dapat ditekan sehingga ketersediaan hara meningkat bagi
tanaman pada BJA. Menurut Kussow (1971), dua bahan penting dari kapur adalah
ion CO32- yang menarik ion hidrogen dari koloid tanah dan ion OH - yang
mengusir aluminium dari kompleks jerapan. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Mochtar (2002) yang menunjukkan penggenangan pada BJA dengan
pengapuran dapat menekan jumlah ion hidrogen dan aluminium yang dapat
dipertukarkan sehingga nilai pH tanah mengalami peningkatan.
Perbaikan nilai pH dari pengapuran dan kelarutan hara dari air kapiler
yang menuju perakaran menunjang ketersediaan hara untuk diserap tanaman.
Bentuk hara yang tersedia untuk diserap oleh tanaman adalah dalam bentuk ionion. Menurut Hakim et al. (1986), kation-kation dari kompleks jerapan harus
memasuki larutan sebelum diserap oleh tanaman. Bila kejenuhan kation tinggi
dalam larutan tanah dekat perakaran, ion H+ dengan mudah dikeluarkan tanaman
untuk menggantikan kation-kation yang diserap oleh tanaman dari kompleks
jerapan atau koloid tanah. Dengan nilai KTK tanah penelitian yang tergolong
sedang, pupuk SP36 dan KCl ditambahkan pada tanah untuk meningkatkan
ketersediaan hara tanah dan cukup tersedia bagi tanaman.
Ketersediaan hara bagi tanaman kedelai hitam pada BJA juga lebih tinggi
dari pada budidaya kering masam pasang surut karena unsur-unsur beracun bagi
tanaman dipertahankan dalam keadaan reduktif pada BJA. Menurut Gardner et al.
(1985), kelarutan aluminium, mangan dan besi, yang dapat bersifat meracun,
meningkat dan membatasi pertumbuhan akar pada pH kurang dari 6.0. Hasil
penelitian Adisarwanto dan Sunarlim (2000) menunjukkan bahwa unsur beracun
yang disebut pirit menjadi kendala yang menekan pertumbuhan kedelai di lahan
pasang surut dan hasil penelitian Subagyo (2006) menunjukkan bahwa pirit
menjadi berbahaya karena mengalami oksidasi dengan turunnya muka air tanah.
36
Di sisi lain, Sanchez (1976) menyatakan bahwa daya meracun aluminium cepat
hilang dari tanah asam pada zona tanah yang tergenang karena alumunium yang
dapat ditukar diendapkan pada pH 5.5 dan tanah yang tergenang akan mengalami
kenaikan nilai pH karena penurunan ion H+ dan peningkatan ion OH-.
Jumlah akar menjadi salah satu penentu jumlah hara yang diserap oleh
tanaman. Meskipun tidak berbeda nyata jumlah akar kedelai hitam pada BJA
dengan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, jumlah
akar pada BJA empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya kering
sehingga kapasitas akar dalam menyerap hara pada BJA lebih tinggi dari pada
budidaya kering. Menurut Ghulamahdi (1999), tingginya jumlah akar pada BJA
diikuti dengan tingginya jumlah bintil akar sehingga terjadi peningkatan aktivitas
nitrogenase, serapan hara oleh akar dan serapan hara oleh daun.
Jumlah dan tingkat penyerapan hara yang dapat diserap tanaman diketahui
dari bobot kering biomassa dan hasil analisis daun. Menurut Hakim et al. (1986),
bahan kering brangkasan didominasi oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan
oksigen yang tidak dapat bereaksi tanpa adanya unsur nitrogen, fosfor, kalium,
magnesium dan unsur-unsur mikro lainnya. Dari hasil analisis tanah sebelum
penelitian, diketahui ketersediaaan hara K2O dan P2O5 sangat tinggi dengan
dukungan bahan organik yang tinggi. Dari hasil analisis daun dan bobot kering
daun, jumlah hara unsur nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium yang diserap
tanaman kedelai pada BJA lebih tinggi dari pada budidaya kering. Hal ini
mengakibatkan bobot kering biomassa kedelai pada BJA delapan kali lebih tinggi
dari pada budidaya kering.
Perbedaan jumlah daun yang dipengaruhi oleh faktor varietas dan
kedalaman muka air tanah mempengaruhi pembentukan polong pada BJA.
Meskipun jumlah daun pada 8 MST dipengaruhi oleh interaksi kedalaman muka
air tanah dan varietas, terdapat varietas kedelai hitam yang tidak dipengaruhi
jumlah daunnya oleh faktor kedalaman muka air tanah dengan BJA. Hanya
kedelai hitam varietas Lokal Malang yang menunjukkan tanggapan berbeda
sedangkan varietas Ceneng dan Cikuray tidak menunjukkan tanggapan yang
berbeda dalam jumlah daun pada 8 MST terhadap perbedaan taraf kedalaman
37
muka air tanah dalam BJA. Perbedaan jumlah daun kedelai hitam diikuti oleh
perbedaan jumlah polong yang dibentuk (Gambar 7) (Lampiran 8).
Gambar 7. Penampilan polong kedelai hitam varietas Ceneng (kiri atas),
Cikuray (kanan atas), Lokal Malang (kiri bawah) dan kedelai
kuning varietas Tanggamus pada 8 MST.
Terdapat varietas kedelai hitam yang tidak dipengaruhi jumlah polongnya
oleh faktor kedalaman muka air tanah dalam BJA meskipun jumlah polong
dipengaruhi oleh interaksi kedalaman muka air tanah dan varietas. Ditinjau dari
tingkat aerasi tanah yang berbeda, jumlah polong varietas Ceneng dan Cikuray
tidak dipengaruhi oleh perbedaan taraf kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di
bawah permukaan tanah. Dengan BJA di lahan pasang surut, jumlah polong
varietas Ceneng mencapai 65 polong sedangkan jumlah polong Cikuray berkisar
54-63 polong. Pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah
dengan tingkat aerasi tanah yang lebih tinggi, varietas Lokal Malang
menunjukkan jumlah polong yang lebih tinggi, yaitu 103 polong. Seperti kedelai
kuning varietas Tanggamus,
kedelai hitam varietas Lokal Malang tanggap
terhadap kedalaman muka air tanah dalam pembentukan polong.
Perpaduan tingkat penyinaran dan ketersediaan air bagi kedelai hitam di
lahan pasang surut mendukung jumlah polong tanaman kedelai yang terbentuk.
Hasil penelitian Sutardi (2011) menunjukkan jumlah polong varietas Cikuray
38
dengan BJA kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah mencapai 33 polong
per tanaman pada dataran rendah Kulon Progo, Jawa Tengah. Tingkat dan lama
penyinaran di lahan pasang surut Banyuasin, Sumatera Selatan diduga lebih tinggi
dari lokasi tersebut sehingga jumlah polong varietas Cikuray dapat mencapai
54 polong pada BJA dengan kedalaman muka air tanah yang sama.
Periode pembentukan dan pengisian polong adalah periode kritis terhadap
hasil kedelai hitam sehingga perlu dijamin dengan ketersediaan air. Dengan suhu
maksimal rata-rata 32oC di lahan pasang surut, pengisian polong tanaman kedelai
hitam pada BJA didukung oleh cahaya penuh tanpa naungan pada tajuk tanaman
dan ketersediaan air di bawah perakaran dalam kondisi jenuh. Menurut
Norouzi et al. (2012), peningkatan cahaya dan serapannya pada tajuk tanaman
kedelai mengakibatkan ketersediaan asimilat dan bobot biji kering lebih tinggi
dari pada kedelai yang mengalami naungan. Pada budidaya kering di lahan pasang
surut, aspek ketersediaan air menjadi kendala rendahnya jumlah dan pengisian
polong. Hal ini menunjukkan tingginya cahaya yang dapat ditangkap tajuk
tanaman di lahan pasang surut perlu diikuti ketersediaan air di perakaran tanaman.
Jumlah daun yang menjadi penyokong fotosintesis pada kedelai hitam
mengalami penurunan pada 10 MST. Sebagai pembanding, varietas Tanggamus
belum mengalami penurunan jumlah daun pada 10 MST dan umur panennya
mencapai 13 MST. Dengan suhu curah hujan rata-rata adalah 35 mm/bulan dan
hanya terdapat empat hari hujan, penurunan jumlah daun ketiga varietas kedelai
hitam yang terjadi pada 10 MST (Bulan Agusutus) diduga disebabkan oleh
tingginya evapotranspirasi dengan suhu maksimum rata-rata yang mencapai
33.3 oC. Hasil penelitian Sagala (2010) dan Sahuri (2011) juga menunjukkan
gugurnya daun kedelai kuning pada 10 MST pada waktu tanam yang sama.
Dengan harapan bertahannya jumlah daun hingga 10 MST, seperti pernyataan
Troedson et al. (1983) dan Gardner et al. (1985), umur panen tanaman lebih lama
berdampak pada suplai asimilat dari source ke sink yang lebih lama sehingga hasil
panen lebih banyak.
Usaha menekan pengaruh evapotranspirasi bagi tanaman kedelai hitam di
lahan pasang surut dapat dilakukan dengan melakukan pergerseran waktu tanam.
Waktu tanam dapat digeser lebih awal dari waktu tanam penelitian yang telah
39
dilakukan sehingga penanaman dilakukan pada pertengahan bulan April hingga
awal bulan Mei. Dengan waktu tanam demikian, ketersediaan air untuk
pertumbuhan tanaman kedelai hitam masih didukung oleh curah hujan yang cukup
sehingga usaha pemberian air pada saluran petakan pertanaman dengan pompa air
dapat dikurangi. Selain itu, waktu panen kedelai pada bulan Juli didukung oleh
rendahnya curah hujan yang mendukung pemasakan biji dan terhindarnya
kehilangan panen karena pengaruh hujan saat panen (Gambar 8). Waktu tanam
tersebut dapat diterapkan dengan acuan waktu panen padi di lokasi penelitian
yang berlangsung pada bulan Februari.
Gambar 8. Curah hujan dan waktu tanam kedelai hitam dengan budidaya jenuh
air di lahan pasang surut.
Terdapat perbedaan bobot biji kedelai hitam antara BJA dan budidaya
kering. Bobot 100 biji kedelai hitam pada BJA yang lebih tinggi dari pada bobot
biji pada budidaya kering (Tabel 8) secara langsung meningkatkan bobot biji per
ubinan (Tabel 9) dan produktivitas
kedelai hitam (Tabel 10) pada BJA
dibandingkan pada budidaya kering. Ketersediaan air pada BJA meningkatkan
bobot 100 biji kedelai hitam 10.78-17.52% untuk varietas Ceneng, 26.42-28.57%
untuk varietas Cikuray dan 10.78-11.65% untuk varietas Lokal Malang
dibandingkan kedelai hitam pada budidaya kering. Menurut Norouzi et al. (2012),
jumlah daun yang dikurangi hingga 75% juga dapat menurunkan bobot biji hingga
28%. Bobot biji kedelai hitam hitam yang lebih tinggi pada BJA diikuti oleh
ukuran bijinya yang lebih besar dari pada kedelai hitam pada budidaya kering
(Gambar 9).
40
Gambar 9. Perbandingan ukuran biji ketiga varietas kedelai hitam dan varietas
Tanggamus terhadap kedalaman muka air tanah (BJA = Budidaya Jenuh Air).
Produksi tanaman kedelai hitam diperkirakan dan dihitung dari jumlah
polong dan bobot biji kering berdasarkan kapasitas varietas yang ditanam pada
kerapatan populasi tertentu. Meskipun bobot biji varietas Lokal Malang tergolong
berukuran kecil, produksi varietas Lokal Malang lebih tinggi dari pada varietas
Cikuray yang memiliki bobot biji yang tergolong sedang. Hal ini disebabkan oleh
jumlah polong varietas Lokal Malang dapat mencapai dua kali lebih tinggi dari
pada varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan
tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobraee dan Shamsi (2011) yang
menunjukkan adanya korelasi negatif antara bobot biji dan jumlah polong yang
berdampak pada hasil ekonomis tanaman kedelai.
Produksi terhadap
luasan (produktivitas)
kedelai
hitam tertinggi
ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang. Bila dibandingkan dengan jumlah
polongnya yang tanggap terhadap kedalaman muka air dalam BJA, produktivitas
Lokal Malang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kedalaman 20 cm
dan 10 cm di bawah permukaan tanah. Dengan bobot 100 biji yang tidak berbeda
nyata antar kedalaman muka air dalam BJA, diduga terjadi kehilangan hasil
varietas Lokal Malang akibat serangan tikus pada 8 MST sehingga produktivitas
Lokal Malang pada kedalaman 20 cm dan 10 cm di bawah permukaan tanah
menjadi 4.13 ton ha dan 3.99 ton/ha. Pengaruh kedalaman muka air tanah untuk
41
produktivitas kedelai kuning, seperti yang diteliti oleh Ghulamahdi et al. (2009),
juga tidak memberikan hasil yang berbeda nyata antar kedalaman muka air tanah.
Tingginya produksi biji varietas Lokal Malang didukung oleh produksi
asimilat dari jumlah daunnya yang lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan
Cikuray. Perbedaan jumlah daun varietas kedelai hitam teramati pada 8 MST pada
BJA. Ditinjau dari teknik budidayanya di lahan pasang surut, jumlah daun yang
terbentuk pada budidaya kering lebih rendah dari BJA sehingga produksi kedelai
hitam varietas Lokal Malang pada BJA 13 kali lebih tinggi dari pada budidaya
kering. Menurut Kobrae dan Shamsi (2011), penghilangan daun untuk
menurunkan jumlah daun sangat mempengaruhi produksi tanaman kedelai. Hasil
penelitian Norouzi et al. (2012) menunjukkan peran daun yang dihilangkan
dengan menurunkan jumlah daun sebesar 25%, 50% dan 75% dapat menurunkan
hasil tanaman sebesar 16%, 25% dan 31%.
Produktivitas kedelai hitam varietas Lokal Malang tidak berbeda nyata
dengan varietas Tanggamus sebagai kedelai kuning yang telah teruji memiliki
produksi tinggi dengan BJA di lahan pasang surut. Dengan demikian kedelai
hitam varietas Lokal Malang merupakan kedelai hitam yang disarankan untuk
dikembangkan di lahan pasang surut dengan BJA.
Konsistensi tanggapan terhadap kedalaman muka air dalam BJA
ditunjukkan oleh varietas Ceneng dan Cikuray. Seperti jumlah polongnya yang
tidak berbeda nyata pada kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm, pengaruh
kedalaman muka air tanah pada BJA juga tidak memberikan perbedaan yang
nyata dalam produktivitas varietas Ceneng dan Cikuray. Meskipun varietas
Cikuray unggul dalam bobot 100 biji terhadap Ceneng, produktivitas Ceneng
lebih tinggi, yaitu 3.32-3.45 ton/ha dari pada Cikuray, yaitu 2.36-275 ton/ha
karena jumlah polong varietas Ceneng yang lebih tinggi dari pada Cikuray.
Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman muka air tanah, tanggapan varietas
Ceneng dan Cikuray untuk produktivitas lebih cenderung kepada BJA kedalaman
10 cm di bawah permukaan tanah.
Perbedaan tinggi tanaman kedelai hitam teramati pada BJA kedalaman
muka air 10 cm dan 20 cm serta budidaya kering pada 10 MST. Tinggi tanaman
kedelai hitam di lahan pasang surut pada 10 MST rata-rata mencapai 22.15 cm
42
pada budidaya kering sedangkan pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di
bawah permukaan tanah mencapai 66.50 cm dan 70.16 cm. Perbedaan tinggi
tanaman tersebut diikuti oleh produktivitas rata-rata pada BJA lebih tinggi dari
pada budidaya kering. Pertumbuhan kedelai hitam pada BJA hingga tinggi
tanaman menjelang saat panen yang berbeda nyata tidak diikuti oleh perbedaan
produktivitas rata-rata kedelai hitam pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm untuk
tiap-tiap varietasnya. Dengan demikian perbedaan tinggi tanaman kedelai hitam
dengan BJA di lahan pasang surut tidak mempengaruhi hasil biji kering tanaman.
Produktivitas kedelai hitam yang tidak berbeda nyata antara BJA 10 cm
dan 20 cm di bawah permukaan tanah menunjukkan kecukupan ruang tumbuh
perakaran dan ketersediaan air yang relatif sama. Dari dasar saluran sedalam
25 cm, muka air setinggi 5 cm sudah cukup menjadi indikator kejenuhan BJA di
lahan pasang surut. Bila muka air tanah naik hingga 10 cm di bawah permukaan
tanah oleh luapan air pasang atau air hujan, produktivitas kedelai hitam BJA
dengan kedalaman 10 cm tetap tidak berbeda nyata dari produktivitas kedalaman
muka air 20 cm di bawah permukaan tanah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Produktivitas kedelai hitam dapat ditingkatkan dengan budidaya jenuh air
(BJA) di lahan pasang surut. BJA dapat meningkatkan jumlah cabang, jumlah
polong, bobot biomassa dan bobot biji tanaman kedelai hitam. Kedalaman muka
air 10-20 cm di bawah permukaan tanah dapat diterapkan untuk BJA tanpa
perbedaan hasil yang nyata pada kedelai hitam. Jumlah polong tertinggi
ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang pada kedalaman muka air 20 cm di
bawah permukaan tanah. Jumlah polong varietas Ceneng dan Cikuray tidak
dipengaruhi oleh perbedaan taraf kedalaman muka air tanah dalam BJA.
Produktivitas kedelai hitam varietas Lokal Malang mencapai 4.13 ton/ha pada
BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah. Produktivitas varietas
Ceneng dan Cikuray mencapai 3.45 ton/ha dan 2.75 ton/ha pada BJA kedalaman
muka air 10 cm di bawah permukaan tanah.
Saran
Perlu diteliti lebih lanjut pengaruh kedalaman muka air tanah dalam
meningkatkan nilai pH tanah sehingga jumlah kapur yang ditambahkan pada
tanah dapat dikurangi. Pengaturan muka air sedalam 20 cm di bawah permukaan
tanah menjadi pilihan budidaya kedelai hitam yang lebih ekonomis. Pengaturan
muka air sedalam 10 cm di bawah permukaan tanah telah menunjang
perkembangan akar dan produksi tanaman kedelai hitam di lahan pasang surut.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi, I.P.G.W., K Nugroho, S. D. Ardi dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya
lahan pasang surut, rawa dan pantai: Potensi, keterbatasan dan
pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono, dan M. Syam (Eds.).
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.
Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut
dan Rawa, Cisarua 3-4 Maret 1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor
Adie, M.M dan A. Krisnawati. 2007. Biologi tanaman kedelai, hal 45-73. Dalam
Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai,
Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
Adisarwanto, T. dan N. Sunarlim. 2000. Pengelolaan hara pada tanaman kedelai
dan strategi penelitiannya. Prosiding Lokakarya Penelitian dan
Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat Teknologi
Lingkungan. Jakarta. 1: 71-79.
Avivi, S. 1995. Efisiensi Serapan N-urea dan Proporsi Fikasasi N setelah
Perlakuan Penelitian Kotiledon pada Budidaya Basah Kedelai (Glycine
max (L.) Merr.). Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 83 hal.
Baharsjah, Yustika S., D. Suardi dan I. Las. 1985. Hubungan iklim dengan
pertumbuhan kedelai, hal.87-102. Dalam S. Somaatmadja et al. (Eds.).
Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Balittanah. 2008. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk.
http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/juknis/juknis_kimia.pdf
[5 Desember 2012]
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Tabel Luas Panen Produktivitas Produksi
Tanaman Kedelai Seluruh Provinsi. http://www.bps.go.id/ [3 Maret 2012]
Damardjati, D.S., Marwoto, D.K.S Swastika, D.M. Arsyad, dan Y. Hilman. 2005.
Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Dharmaswara, I. 2012. Pengaruh Pemupukan Abu Jerami terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Kedelai di Lahan Pasang Surut. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor.Bogor. 52 hal.
Fisher, N.M. dan R.J. Dunham. 1992. Morfologi akar dan zat hara, hal. 111-213.
Dalam P.R. Goldsworthy dan N.M. Fisher (Eds.) Fisiologi Tanaman
Budidaya Tropik. (diterjemahkan dari: The Physiology of Tropical Field
45
Crops, penerjemah: Tohari dan Soedharoedjian). Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 874 hal.
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1985. Fisiologi Tanaman Budidaya.
(diterjemahkan dari: Physiology of Crop Plant, penerjemah: H. Susilo).
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 428 hal.
Ghulamahdi, M. 1999. Perubahan Fisiologi Tanaman Kedelai (Glycine max (L.)
Merr.) pada Budidaya Tadah Hujan dan Jenuh Air. Disertasi. Program
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ghulamahdi, M., M. Melati and D. Sagala. 2009. Production of soybean varieties
under soil culture on tidal swamps. J.Agron. Indonesia 37 (3): 226-232
Hakim, N., Y Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong, dan
H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah, cetakan pertama. Universitas
Lampung. Lampung. 490 hal.
Hardjowigeno, S., H. Subagyo dan M.L. Rayes. 2004. Morflogi dan klasifikasi
tanah sawah, hal.1-28. Dalam F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno,
A.M. Fagi dan W. Hartatik (Eds.). Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna Lahan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 352
hal.
Hunter, MN., PLM de Jabrun and DE Byth. 1980. Response of nine soybean lines
to soil moisture condition close to saturation. Aust. J. of Exp. Agric. And
Animal Husbandry. 20: 339-345.
Jayadi, M. 2009. Analisis Debit Rembesan pada Model Tanggul Tanah. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. 90 hal.
Irianto, G., P. Rejekiningrum, E. Surmaini dan W. Estiningtyas. 2005.
Pewilayahan dan pengembangan kedelai di lahan suboptimal. Prosiding
lokakarya pengembangan kedelai di lahan pasang surut. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan. Malang. hal. 55-71.
Karto. 2005. Persilangan buatan pada empat varietas kedelai. Buletin Teknik
Pertanian 10(2):49-52
[Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2012. Perkembangan ekspor dan impor
komoditi hasil industri dari negara tertentu. http://www.kemenperin.go.id/
[10 November 2012]
Kobraee, S. dan K. Shamsi. 2011. Sink-source relationships in soybean.
Scholarship Research Library 2(4):334-342
46
Kussow, W.R. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Soil Fertility Project.
Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor
Lestari, Y dan S. Saragih. 2005. Pengaruh kedalaman air tanah terhadap
pertumbuhan dan hasil kacang hijau di tanah sulfat masam. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Rawa dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Balittan. Banjarbaru. Hal. 243-249.
Maryani, R. 2007. Analisis permintaan dan penawaran industri kecap di
Indonesia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hal.
Nagai, I. 1921. A genetic-physiological study on the formation of anthocyanin and
brown pigments in plants. J. Coll. Agr. Imp. Tokyo University. 8:1-92
Norouzi, H.A., M. Rezaei, Y. Safarzad dan B. Kaviani. 2012. Exchanging amount
of sink and source affect on soybean yield and yield components. Scholars
Research Library 3(6):3077-3083.
Mochtar. 2002. Tanggap Karakter Agronomi dan Hasil Genotipe Kedelai
Berumur Dalam yang Dipupuk Dolomit pada Sistem Budidaya Jenuh Air.
Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 54 hal.
Murtantiyo, A. 1997. Hubungan fluktuasi muka air saluran dan muka air tanah di
daerah persawahan pasang surut desa saleh agung, petak sekunder P-8/3N
daerah irigasi saleh, sumatera selatan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 103 hal.
Pasaribu, D., V. Sutarto, S. Hutami dan H. Yurimisu. 1988. Pengaruh kejenuhan
air tanah, pembumbunan dan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil
kedelai, hal. 218-229. Dalam Suprapto et al. (Eds.) Risalah Seminar Hasil
Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman. Bogor.
Pinem, R. 2000. Strategi pengembangan produksi kedelai. Prosiding Lokakarya
Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Direktorat
Teknologi Lingkungan. Jakarta. 1: 10-17.
Rachman, A., I.G.M. Subiksa dan Wahyunto. 2007. Perluasan areal tanaman
kedelai ke lahan suboptimal. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono,
Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan
Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Sabran, M., E. William, dan M. Saleh. 2000. Pengujian galur kedelai di lahan
pasang surut. Bul. Agron. 28(2):41-48.
Sagala, D. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada
Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Tesis.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal.
47
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan, Jilid Satu, Edisi
Keempat. (diterjemahkan dari: Plant physiology, 4th edition, penerjemah:
D.R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung. 241 hal.
Sanchez, P.A. 1976. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika, Jilid 2. (diterjemahkan
dari: Properties and management of soils in the tropics, 1st edition,
penerjemah: A. Hamzah). Penerbit ITB. Bandung 303 hal.
Sarwani, M. 2001. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Air di Lahan
Pasang Surut. Dalam I. Ar-Riza, T. Alihamsyah dan M. Sarwani (Eds.).
Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru.
Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. 412 hal.
Soepardi, G. 1974. Sifat dan Ciri Tanah, Jilid I. Departemen Ilmu-ilmu Tanah.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastuti. 2007. Areal Pertanaman dan Sistem
Produksi Kedelai di Indonesia, hal. 104-129. Dalam Sumarno, Suyamto,
A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi
dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor. 521 hal.
Subagyo H. 2006. Lahan pasang surut, hal. 23-98. Dalam D. Ardi S., U. Kurnia,
Mamat H. S., W. Hartatik, dan Sukmara (Eds.). Karakteristik dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Sudaryanto T. dan D.K.S. Swastika. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia, hal. 127. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim
(Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian.
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 154 hal.
Sumarno. 1991. Kedelai dan Cara Budidaya, cetakan ke-4. C.V. Yasaguna.
Jakarta.
Sumarno dan A.G. Manshuri. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi
Kedelai di Indonesia, hal 74-103. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono,
Hermanto, dan H. Kasim (Eds.). Kedelai, Teknik Produksi dan
Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor. 521 hal.
48
Sutardi. 2011. Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Kedelai Hitam dan Kuning
pada Sistem Jenuh Air. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor. 12: 236-243.
Suwarto, W.Q. Mugnisjah, D. Sopandie dan A.K. Makarim. 1994. Pengaruh
pupuk nitrogen dan tinggi muka air tanah terhadap pertumbuhan bintil
akar, pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Bul.
Agron. 22(2):1-15.
Syahbuddin, H dan I. Las. 2002. Kadar air tanah, iklim makro, dan hasil tanaman
kedelai dengan waktu naungan dan pemberian air berbeda. Jurnal
Agromet. 16:1-2.
Troedson, R.J., Lawn B, Byth D.B. and G.L. 1983. Saturates soil culture an
innovative water management option for soybean in the tropics and
subtropics. Dalam: Shanmugasundaram S, Sulzberger E.W., McLean B.T.
(Eds.) Soybean in Tropical and Subtropical Cropping Systems. Proc.
Symp. Tsukuba. Japan. Japan 26 Sep-10 Okt. 1983. Hal 171-180.
Wahjunie, E.D. 2009. Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan
Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K. Disertasi. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 150 hal.
Wahono, T. 2012. Kedelai hitam terbaik dunia ada di Indonesia. http://bisnis
keuangan.kompas.com [3 Januari 2013]
LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai seluruh
Indonesia tahun 1992-2011*
Tahun
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Luas Panen
(ha)
1,665,710
1,468,316
1,406,038
1,476,284
1,277,736
1,118,140
1,094,262
1,151,079
824,484
678,848
544,522
526,796
565,155
621,541
580,534
459,116
590,956
722,791
660,823
622,254
Keterangan: *BPS 2012 (diolah)
Produksi
(ton)
1,869,710
1,707,126
1,564,179
1,679,092
1,515,937
1,356,108
1,304,950
1,382,848
1,017,634
826,932
673,056
671,600
723,483
808,353
747,611
592,534
775,710
974,512
907,031
851,286
Produktivitas
(ton/ha)
1.12
1.16
1.11
1.14
1.19
1.21
1.19
1.20
1.23
1.22
1.24
1.28
1.28
1.30
1.29
1.29
1.31
1.35
1.37
1.37
51
Lampiran 2. Tata letak petak penelitian kedalaman muka air tanah
K0 K0 K0
K1 K2 K1 K2 K2 K1
V3
V2
V4
V1
V4
V3
V2
V1
V2
V4
V3
V1
V4
V3
V1
V3
V3
V4
V1
V4
V3
V2
V1
V4
V1
V2
V3
V1
V2
V3
V2
V2
V4
V4
V1
V2
(a)
(b)
Gambar 1. Tata letak petak penelitian budidaya kering (a) dan budidaya
jenuh air (b)
Keterangan: K0= Budidaya kering,
K1= BJA kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah,
K2= BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah,
V1= Ceneng
V2= Cikuray
V3= Lokal Malang
V4= Tanggamus
52
Lampiran 3. Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan mingguan,
biomassa dan bobot ubinan.
Keterangan:
Petak ubinan berukuran 4mx1m
Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan dua mingguan
Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan biomassa
53
Lampiran 4. Curah hujan dan hari hujan dari bulan Juni hingga Agustus 2012
di Kecamatan Tanjung Lago*
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Curah hujan
Hari hujan
Juni
16
−
−
37
−
−
30
16
20
−
0.1
−
−
−
−
−
−
4.4
−
12
−
−
−
0.1
−
−
−
−
−
−
136
9
Bulan
Juli
Agustus
−
−
−
−
2.8
−
0
−
12.6
−
0
−
−
−
−
−
−
−
−
−
7
−
−
−
0
−
15.1
−
1
−
0
−
0.7
−
−
−
0
−
−
−
−
−
−
−
−
0
−
−
−
−
−
−
−
−
−
0
−
31.4
−
3.4
−
−
39
35
11
4
Keterangan: *BMKG Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, 2012
54
Lampiran 5. Suhu dan kelembaban nisbi dari bulan Juni hingga Agustus di
Kecamatan Tanjung Lago*
Bulan Juni
Bulan Juli
Bulan Agustus
Tgl
T
rata2
T
max
T
min
RH
rata2
T
rata2
T
max
T
min
RH
rata2
T
rata2
T
max
T
min
RH
rata2
1
24.9
29.4
23.7
96
27.5
32.6
24
73
27.9
32.9
23.8
71
2
27.5
32.9
23.7
85
27.5
32.9
24.2
76
27.5
32.6
23.9
73
3
29
33
26
78
27.7
31
24.8
87
27.4
32.8
23.6
73
4
28.6
34.6
25.8
81
26.3
31.7
23.6
89
27.5
32.9
23.5
77
5
25.7
29.4
22.3
90
27.1
32.3
24.4
81
27.7
32.6
24.5
77
6
27.9
32.5
23.9
86
25.8
31.2
22.6
87
28
34.3
24.5
77
7
28.4
33.7
25.5
85
27.7
32.7
23.8
80
27.9
34.1
24.2
74
8
27.2
32.7
22.9
84
28
32.9
24.9
79
27.8
33.1
23.4
76
9
25.4
30.3
23
92
27.2
31.3
24.4
85
27.4
33.6
23.4
75
10
27.2
31.6
24.6
86
27.4
42.6
23.9
83
27.2
34.2
22.8
76
11
29
34.4
25.6
79
26.4
30.7
24.2
87
28.3
33
24.7
78
12
26.7
33.1
22.9
87
26.4
29.8
24.4
85
28.1
34.2
24.7
79
13
28.3
33.3
24.7
82
27
32.8
22.4
77
28.6
34.1
24.6
77
14
28.2
33.2
24.3
80
26.4
30.3
24.5
84
28.2
33.7
24.5
77
15
27.7
33.2
23.5
80
26.7
30.9
23.2
86
27.6
33.7
23.9
78
16
28.2
33.3
24.5
80
22.5
31.3
23.3
90
27.5
33.4
23.4
73
17
27.8
33.2
24.4
77
26.6
31.7
23.8
86
27.8
33.4
23.7
73
18
27.3
32.5
25.2
82
26.9
31.5
23.9
84
28.3
34.5
23.9
73
19
27.9
33.9
24.1
79
27
33.2
23.7
84
27.8
33.6
23.7
76
20
27.6
32.8
24.8
80
27.6
33.1
24.1
79
28
34.3
24.4
75
21
28.3
33.4
25.1
80
28.6
33.5
24.8
78
28.1
33.8
23.5
74
22
28.6
34
25.2
78
27.6
32.6
23.6
77
28.1
33.7
23.9
73
23
28.5
33.8
23.8
74
27.2
32.5
23.6
73
27.9
34.3
23.8
75
24
28.2
33.5
23.6
79
27.3
33.1
21.9
75
28
34.2
24.4
78
25
28.2
32.4
24.4
78
27.5
32.2
24.2
75
28.3
34.1
24.3
70
26
27.5
33.4
23.5
78
28.1
33.5
23.4
75
28.4
34.2
23.8
71
27
28.1
33.6
23.7
73
28.5
34
25
74
26.9
32.3
24
77
28
27.8
32.7
23.8
77
28.4
33.6
24.3
74
24.8
30.4
24.2
95
29
27.8
33.8
24
77
27.7
33
24.1
75
26.3
30
23.6
84
30
27.8
33.6
24
77
27.1
33.2
23.3
77
26.7
31.6
23.4
82
27.3
31.7
23.8
78
27.7
33.8
24.4
76
27.1
32.6
23.9
80.4
27.7
33.3
23.9
76.2
31
Ratarata
27.7
32.9
24.2
81.3
Keterangan: T = suhu
RH= kelembaban nisbi
*BMKG Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, 2011
55
Lampiran 6. Hasil analisis sampel tanah sebelum penelitian*
Komponen analisis tanah
Tekstur
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
pH
H2O
KCl
DHL (dS/m)
Salinitas (mg/l)
Bahan organik
Walkley&Black C (%)
Kjeldahl N (%)
C/N
P2O5 HCl 25% (mg/100g)
K2O HCl 25% (mg/100g)
P2O5 Bray (ppm P)
K2O Morgan (ppm K)
Nilai Tukar Kation (NH4- Acetat 1 N, pH7)
Ca (cmolc/kg)
Mg (cmolc/kg)
K (cmolc/kg)
Na (cmolc/kg)
Jumlah KTK (cmolc/kg)
KTK (cmolc/kg)
KB (%)***
Al 3+ (cmolc/kg)
H+ (cmolc/kg)
Nilai
2
44
54
Karakter**
Liat berdebu
4.4
3.8
0.5
238
Sangat masam
Masam
Sangat rendah
Rendah
8.38
0.52
16
25
9
39.1
73
Sangat tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sangat rendah
Sangat tinggi
Sangat tinggi
4.65
3.6
0.14
1.22
9.61
21.66
44
2.4
1.22
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Sedang
Sedang
Sangat rendah
Keterangan: *Hasil analisis tanah laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah Bogor
**Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah Balittanah (2008) dan berdasarkan
segitiga tanah USDA
**>100 terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar
56
Lampiran 7. Kandungan hara daun dan serapan hara pada perlakuan kedalaman
muka air tanah terhadap beberapa varietas kedelai
di lahan pasang surut
Perlakuan
0.800
0.700
0.600
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
0.035
V1:Ceneng
V2:Cikuray
V3:Lokal malang
V4:Tanggamus
Serapan hara (g)
Serapan hara (g)
K0V1
K0V2
K0V3
K0V4
K1V1
K1V2
K1V3
K1V4
K2V1
K2V2
K2V3
K2V4
Kandungan hara daun*
N
P
K
Ca
--------------------(g)-------------1.81
2.40 0.17 1.10 0.55
1.13
2.87 0.27 1.12 0.59
1.81
2.78 0.29 1.00 0.48
2.08
3.93 0.27 1.03 0.47
9.03
4.03 0.19 0.93 1.45
8.15
4.90 0.23 1.73 1.19
11.48 4.98 0.24 1.46 1.70
11.27 5.17 0.27 1.75 1.51
8.76
4.68 0.22 1.01 1.51
9.95
4.15 0.23 1.43 1.25
12.04 4.21 0.20 1.33 1.48
9.82
5.57 0.22 1.40 1.51
Bobot
daun
0.030
0.025
Keterangan: *Hasil analisis daun di
laboratorium tanah Balai Penelitian
Tanah Bogor
V1:Ceneng
V2:Cikuray
V3:Lokal malang
V4:Tanggamus
0.020
0.015
0.010
0.005
0.000
V1 V2 V3 V4
Budidaya
kering
V1 V2 V3 V4
BJA
10 cm
Perlakuan
V1 V2 V3 V4
BJA
20 cm
V1 V2 V3 V4
V1 V2 V3 V4
Budidaya
kering
BJA
10 cm
Budidaya
kering
Serapan hara (g)
Serapan hara (g)
(b)
V1:Ceneng
V2:Cikuray
V3:Lokal malang
V4:Tanggamus
V1 V2 V3 V4
V1 V2 V3 V4
BJA
10 cm
Perlakuan
(c)
BJA
20 cm
Perlakuan
(a)
0.225
0.200
0.175
0.150
0.125
0.100
0.075
0.050
0.025
0.000
V1 V2 V3 V4
V1 V2 V3 V4
BJA
20 cm
0.225
0.200
0.175
0.150
0.125
0.100
0.075
0.050
0.025
0.000
V1:Ceneng
V2:Cikuray
V3:Lokal malang
V4:Tanggamus
V1 V2 V3 V4
Budidaya
kering
V1 V2 V3 V4
BJA
10 cm
V1 V2 V3 V4
BJA
20 cm
Perlakuan
(d)
Keterangan: serapan unsur nitrogen (a), fosfor (b), kalium (c) dan kalsium (d) pada daun berbagai
varietas kedelai hitam dan varietas Tanggamus terhadap perlakuan kedalaman muka air tanah.
57
Lampiran 8. Keragaan pertanaman kedelai hitam varietas Ceneng (kiri atas),
Cikuray (kanan atas), Lokal Malang (kiri bawah) dan kedelai kuning
varietas Tanggamus (kanan bawah) setelah mengalami pemulihan
penuh pada 8 MST
Download