BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Prasasti merupakan dokumen legalitas. Prasasti dikeluarkan oleh raja atau pejabat yang berwenang dalam kerajaan. Prasasti sīma merupakan legalitas atas perubahan status suatu daerah menjadi wilayah sīma yang memiliki keswatantraan. Daerah yang berstatus swatantra berarti daerah yang bebas atau merdeka, dimana pejabat pemungut pajak tidak boleh memasukinya. Salah satu daerah yang ditetapkan sebagai sīma adalah Tuhañaru. Seperti halnya pada umumnya terdapat dalam prasasti sīma, dalam prasasti Tuhañaru juga memuat ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar sebagai konsekuensi dari penetapan suatu daerah menjadi daerah sīma. Untuk memberi kekuatan pada aturan-aturan yang termuat tersebut, di dalam isi prasasti terdapat mantra sapatha. Mantra sapatha dalam prasasti Tuhañaru berisi hal-hal yang bersifat religius. Isi mantra sapatha prasasti Tuhañaru antra lain memuat unsur sugesti, unsur tujuan, dan diakhiri dengan unsur penutup. Dalam unsur sugesti menyebut hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat. Hal tersebut antara lain dewa-dewa dalam agama Hindu, makhluk mitologi Hindu masa Jawa Kuno, orang-orang yang memiliki kedudukan penting dalam agama Hindu, dan kekuatan-kekuatan gaib sebagai kepercayaan lokal. Dalam unsur tujuan, mantra sapatha ini memuat kalimat-kalimat kutukan terhadap siapapun yang berani 139 140 melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam prasasti. Jika dilihat melalui konteks budayaanya, kalimat-kalimat tersebut mengandung unsur-unsur metafora. Unsur terakhir dalam sapatha adalah penutup. Penutup ini berupa doa penegas agar apa yang diucapkan dalam mantra tersebut diwujudkan. Unsur sugesti dalam mantra sapatha merupakan unsur yang sarat dengan sistem kepercayaan. Sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha di Jawa, masyarakat telah mengenal kepercayaan. Kepercayaan tersebut didefinisikan sebagai kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal masyarakat Jawa kuno bersifat animisme dan dinamisme. Dalam perkembangannya kepercayaan lokal ini bersinggungan dengan dua agama, yaitu Hindu dan Buddha. Proses persinggungan kepercayaan lokal dan agama Hindu-Buddha tersebut tidak serta merta kemudian menghilangkan salah satunya. Dalam perjalanannya, aliran kepercayaan lokal dapat tumbuh berdampingan dengan dua agama tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa proses akulturasi terjadi antara dua aliran tersebut. Selain itu, munculnya kepercayaan lokal di sini menunjukkan eksistensi atau keberadaan kepercayaan lokal itu sendiri oleh masyarakat Jawa Kuno. Unsur-unsur tersebut disebut dengan harapan sebagai saksi atas berbagai macam kutukan yang dimuat. Bentuk-bentuk kutukan yang dimuat dalam sapatha prasasti digolongkan dalam unsur tujuan. Dilihat dari konteks kebudayaan pada masanya, unsur tujuan dalam sapatha prasasti Tuhañaru ini memuat hal-hal yang sifatnya metaforis. Halhal metaforis tersebut dapat diurai melalui konteks kebudayaan yang dideskripsikan dalam Kakawin Sutasoma. 141 Dilihat dari segi fungsinya, mantra sapatha dalam prasasti Tuhañaru memiliki beberapa fungsi. Secara umum mantra sapatha berfungsi sebagai legalitas hukum yang mengatur masyarakat Jawa Kuno. Secara khusus, keberadaan saksi-saksi yang disebut dalam sapatha menunjukkan eksistensi kepercayaan lokal dan akulturasi antara kepercayaan lokal itu dengan agama yang masuk kemudian, yaitu Hindu dan Buddha. Selain hal tersebut, sapatha juga berfungsi sebagai bentuk upaya pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Sapatha digunakan sebagai upaya pengendalian sosial dalam sistem sosial kerajaan. 5.2 Saran-Saran Penelitian ini membahas khusus pada mantra sapatha dalam prasasti Tuhañaru. Penelitian ini setidaknya menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai kajian mantra. Dikarenakan adanya keterbatasan, beberapa hal belum terungkap secara gamblang. Hal-hal tersebut di antaranya adalah unsur-unsur metafora yang digambarkan dalam bentuk makhluk-makhluk laut. Metafora yang digambarkan dalam bentuk makhluk laut belum dapat terungkap dengan jelas. Harapannya, dari penelitian-penelitian yang akan datang dapat melengkapi kekurangan tersebut. Selain mantra sapatha dalam prasasti Tuhañaru, masih terdapat mantramantra sapatha lainnya pada masa Jawa Kuno. Dalam periode kerajaan Majapahit sendiri setidaknya terdapat 49 prasasti. Prasasti-prasasti tersebut umumnya memuat mantra-mantra sapatha. Selain masa Karajaan Majapahit, terdapat kerajaan yang lebih dulu, dia antaranya adalah kerajaan Kadiri, Singhasari, atau 142 Mataram Kuno. Masing-masing kerajaan tersebut tentunya memiliki prasasti yang memuat mantra-mantra sapatha. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dapat dilakukan penelitian serupa pada objek-objek tersebut. Jika penelitian tersebut memungkinkan untuk dilanjutkan oleh peneliti berikutnya, bukan tidak mungkin pada akhirnya dapat dilihat perkembangan budaya mantra.