BAB I - pps unud

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kenakalan anak sudah tidak bisa dipandang lagi sebagai kenakalan biasa,
anak-anak banyak melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana, seperti :
mencuri, membawa senjata tajam, terlibat perkelahian, terlibat penggunaan
narkoba, dan lain-lain. Sehingga memerlukan perhatian serius baik dari pemerintah,
orang tua maupun masyarakat. Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak
sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak
adalah individu yang masih labil emosi belum menjadi subyek hukum, maka
penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus.
Dalam menghadapi fenomena tersebut, ketika itu perlakuan terhadap pelaku
kriminal disamakan terhadap anak maupun orang dewasa, sehingga diberbagai
negara dilakukan usaha-usaha ke arah perlindungan anak. Termasuk dalam upaya
ini yaitu dengan dibentuknya Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile court)
pertama di Minos Amerika Serikat tahun 1889, dimana undang-undangnya
didasarkan pada azas parens patrie, yang berarti ”penguasa harus bertindak apabila
anak-anak yang membutuhkan pertolongan”, sedangkan anak dan pemuda yang
melakukan kejahatan sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan
diberi bantuan.1
Pada hakekatnya anak sedang mangalami perkembangan menuju
kedewasaan, dimana pada saat itu memiliki rasa ingin tahu tinggi, selalu ingin
mencoba hal-hal yang baru, sedang mancari jati dirinya, dan sedang mancari-cari
1
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT.Refika Aditama, Bandung, hal. 1.
1
2
atau memilih-milih mana yang cocok baginya. Disamping itu anak juga memiliki
perasaan yang sangat peka baik terhadap kritikan maupun hal-hal yang lain karena
jiwanya masih labil dan emosinya belum stabil sehingga mempengaruhi dirinya
untuk bertindak yang kadang-kadang tidak umum dan diluar aturan yang berlaku di
masyarakat. Anak memiliki sistem penilaian kanak-kanak yang menampilkan
martabat anak sendiri dan kriteria norma tersendiri, sebab sejak lahir anak sudah
menampakan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki
kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf
perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciricirinya, dimulai pada usia bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan
psikis maupun jasmaninya.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya dampak negatif
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan pembangunan yang
cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi serta perubahan gaya
dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang
mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai,
moral dan perilaku anak. Anak yang tidak atau kurang mendapat perhatian, kasih
sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap dan
perilaku, penyesuaian diri serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua
asuh dalam kesehariannya akan mudah terseret dalam pergaulan masyarakat dan
lingkungan yang kurang baik dan merugikan perkembangan pribadinya. Disamping
itu tidak sedikit anak yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan
memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial yang sering
3
mempengaruhi anak untuk melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat
merugikan dirinya sendiri maupun masyarakat.
Kecendrungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran
terhadap ketertiban maupun ketentuan undang-undang oleh pelaku-pelaku muda
usia, atau dengan kata lain meningkatnya kenakalan anak yang mengarah pada
tindakan kriminal, mendorong untuk lebih banyak memberikan perhatian akan
penanggulangan atau penanganannya. Anak yang melakukan kejahatan seharusnya
juga dilindungi dan dibina. Dalam menghadapi masalah Anak yang Berkonflik
dengan Hukum, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih
bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku
anak tersebut Apabila kenakalan anak tidak ditanggulangi secara serius maka hal
ini berarti akan menghancurkan generasi muda penerus cita-cita bangsa. Jika
tidak ditangani sejak dini maka kejahatan anak itu berkembang makin luas, anakanak yang melakukan kejahatan tersebut akan tumbuh dewasa dan berpotensi
melakukan kejahatan yang lebih serius. Untuk mengetahui peta permasalahan
tentang kenakalan anak, dimana kenakalan anak dalam masyarakat disebabkan
ditemukan prilaku anak yang bertentangan dengan norma yang ada dalam
masyarakat disamping norma hukum. Fenomena prilaku anak yang bertentangan
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat itu perlu dipahami dalam
rangka untuk penanggulangannya.
Dalam kaitan perlindungan terhadap hak-hak anak maka tidak seorang
anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang.
Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan seorang anak haruslah sesuai dengan
hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu sesingkat-
4
singkatnya (konvensi Hak Anak Pasal 37 b). Kegiatan perlindungan anak
merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum sehingga
diperlukan adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian
hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan
mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diingini
dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. 2
Membicarakan perlindungan hukum bagi anak tidak dapat dilepaskan
dari tujuan dasar peradilan anak yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan anak
dengan mendahulukan atau mengutamakan kepentingan anak.
Perlunya perlindungan hukum bagi anak dalam perkara pidana didasari
oleh prinsip kedua dari Deklarasi Hak-Hak Anak (Declaration of the Rights of the
Child), yang lengkapnya berbunyi :
The child enjoy special protection, and shall be given opportunities and
facilities, by law and other means, to enable him to develop physically,
morally, spriritually, and socially in a healty and normal menner in
conditions freedom and dignity. In the enactment of the laws for this
purpose the best interest of the child shall be the paramount
consideration.3
(Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh
kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar
menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik,
kejiwaan, moral, spiritual an kemasyarakatan dalam situasi yang sehat,
normal sesuai kebebasan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam
hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan
pertimbangan utama)
Tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak
ditegaskan pula dalam Peraturan Minimum Standar PBB mengenai Administrasi
Peradilan bagi Anak (Beijing Rules) yang disahkan melalui Resolusi Majelis PBB
2
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, hal. 18.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
hal. 109.
3
5
No. 40/33 tanggal 29 Nopember 1985. Dalam commentary yang terdapat di
bawah Rule 5.1 Beijing Rules disebutkan bahwa Rule 5.1 menunjuk pada tujuan
atau sasaran yang sangat penting, yaitu : (the promotion of the well being of the
juvenile) dan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality).4
Lebih
lanjut
dijelaskan
bahwa
memajukan
kesejahteraan
anak
merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani pelanggaran anakanak; khususnya di dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan pidana
harus lebih menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak. Prinsip tersebut
berarti menunjang
prinsip
untuk
menghindari
penggunaan
sanksi
yang
semata- mata bersifat pidana atau semata-mata bersifat menghukum (the
avoidance of merely punitive sanctions). Sedangakan prinsip proporsionalitas
merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum
dalam arti membalas semata-mata (just desort).5
Pendekatan kesejahteraan dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan
terhadap pelaku pelanggaran hukum usia anak, antara lain disebabkan karena dua
faktor, yaitu :
1. Anak-anak dianggap belum mengerti benar akan kesalahan yang telah ia
perbuat, sehingga sudah sepantasnya mereka diberikan/diberlakukan
pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anakanak dengan orang dewasa.
2. Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina, disadarkan akan kesalahan yang sepatutnya tidak ia lakukan.
Dengan demikian, tidak sepantasnya penanganan bagi anak-anak
berpedoman pada mazhab retributif (sebagaimana penanganan terhadap
pelanggar hukum dewasa), tetapi lebih tepat menggunakan mazhab
rehabilitatif. 6
4
Ibid, hal. 112-113.
Ibid, hal. 113.
6
Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2004, Analisa Situasi Sistem
Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice Syastem) di Indonesia, Unicef, Jakarta, hal 72.
5
6
Melalui pendekatan tersebut, para pelanggar usia anak sebisa mungkin dijauhkan
dari proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana, serta segala tindakan
yang akan diambil oleh negara berkaitan dengan pelangaran yang dilakukan oleh
anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. 7
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (1989)
menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang
berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan ‘kepentingan terbaik’ anak.
Ini didasari asumsi bahwa mereka yang berada dalam usia anak tidak dapat
melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung
jawab atas tindakannya. 8
Disamping itu juga dalam hal pemberian sanksi/hukuman terhadap anak
yang terbukti melakukan tindak pidana juga memerlukan perhatian yang serius
karena jangan sampai sanksi yang diterima oleh seorang anak dirasakan
memberatkan dan berdampak negative terhadap perkembangan jiwanya. Perlakuan
terhadap anak yang melakukan tindak pidana tidak semata-mata membalas
perbuatan yang dilakukan tetapi juga untuk mensejahterakan atau memperbaiki
anak tersebut. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana
harus tetap terjamin karena perlindungan anak ditujukan pada segala kegiatan
untuk menjaga agar anak dapat tumbuh dengan wajar, secara lahir dan bathin
serta bebas dari segala bentuk ancaman, hambatan dan gangguan terhadap
perkembangan anak. Upaya pemeliharaan, pengasuhan dan perlindungan
7
Ibid.
8
Ibid. hal. 73
7
merupakan suatu hak yang paling asas yang harus diterima oleh setiap anak tanpa
kecuali.
Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah
sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan ia bagian tidak
terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Artinya
masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminalisasi harus dipahami
secara komprehensif dengan segala aspek persoalan sebstansi atau materi
perundang-undangan pada tahap kebijakan legislasi.9
Persoalan ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat berbagai
keterbatasan dan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan.
Apalagi sering terdapat kecendrungan dalam produk kebijakan legislasi bahwa
hukum pidana hampir selalu digunakan untuk menakut-nakuti atau mengamankan
bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang. Fenomena
semacam ini memberi kesan seolah-olah dirasakan kurang sempurna atau hambar
bila suatu produk perundang-undangan tidak ada ketentuan pidananya (sanksi).10
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam pembentukan peraturan perundangundangan hukum pidana yang didalamnya memuat sanksi pidana haruslah
merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat terpadu artinya harus
juga dilihat dalam perspektif yang lebih luas yaitu dalam perspektif kebijakan
kriminal. Reaksi masyarakat untuk menanggulangi prilaku yang bertentangan
9
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Trck
System & Implementasinya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5.
Depenalisasi hendaknya dibedakan dengan dekriminalisasi. Depenalisasi berarti menghilangkan
ancaman pidana dari suatu perbuatan yang semula dilarang, tetapi memungkinkan diganti dengan
sanksi lain, seperti sanksi administrasi. Sedangkan dekriminalisasi berarti menghilangkan sama
sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan yang semula diancam pidana.
10
Barda Nawawi Arif, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, hal. 40.
8
dengan norma itu dalam hukum pidana dan kriminologi disebut dengan kabijakan
kriminal.
Dalam hal kebijakan kriminal tersebut, Sudarto mendefinisikan dengan
menyitir pendapat Marc Ancel dan G.P.Hoefnagels bahwa kebijakan kriminal itu
merupakan suatu usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan
yang meliputi seluruh asas dan metode yang mendasari reaksi terhadap
pelanggaran hukum pidana, keseluruhan fungsi aparat penegak hukum dan
kebijakan undang-undang dan badan-badan resmi untuk menegakkan norma
masyarakat.11
Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada akhirnya bermuara
pada masalah pilihan terhadap sanksi apa yang dapat didayagunakan secara efektif
untuk menanggulangi kejahatan. Dalam hal ini keterkaitan antara sanksi pidana dan
sanksi tindakan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak.
Untuk mewujudkan hal tersebut di Indonesia telah ditetapkan undangundang yang mengatur mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU
Sistem Peradilan Pidana Anak) erat hubungannya dengan perlakuan khusus
terhadap pelaku tindak pidana anak, oleh karena kedudukan anak memiliki ciri
dan sifat yang khusus atau khas, meskipun anak dapat menentukan langkah
perbuatannya sendiri atas dasar pikiran, perasaan dan hakekatnya, tetapi situasi
dan kondisi lingkungan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya.
11
Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 16.
9
UU Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat pada dasarnya bertujuan untuk
menciptakan perlindungan khusus kepentingan hukum anak yang terlibat tindak
pidana, yang sebelumnya dalam perundang-undangan yang ada dirasa tidak
banyak memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik maupun mental.
Setelah diundangkannya UU Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan aparat
penegak hukum mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan di peradilan, dapat
memperlakukan anak secara khusus dengan dibekali pengetahuan khusus untuk
menangani tindak pidana yang dilakukan anak. Jika ditelaah secara konprehensif
ketentuan hukum substantive dan hukum ajektif yang diformulasikan dalam UU
Sistem Peradilan Pidana Anak, dapatlah dikatakan belum ada pengaturan secara
utuh pengaturan hukum pidana anak.
Sistem hukum dari undang-undang ini masih belum terlepas secara
menyeluruh dari KUHP dan KUHAP sebagai lex specialis, karena asas-asas dan
ajaran-ajaran dari ketentuan hukum pidana yang terkandung dalam KUHP dan
KUHAP tetap diberlakukan dalam ketentuan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Ketentuan hukum substantive UU Sistem Peradilan Pidana Anak masih terikat pada
KUHP walaupun telah ada ketentuan tersendiri mengenai straf soot dan straf maat
serta straf modus system pemidanaan yang berbeda dari KUHP, karena Pasal 45,
Pasal 46,dan Pasal 47 KUHP secara expresis verbis dinyatakan tidak berlaku lagi
oleh ketentuan Pasal 67 UU Pengadilan Anak. Karena UU Sistem Peradilan Pidana
Anak hanya menyatakan, bahwa Pasal 45 s/d 47 KUHP saja yang “dinyatakan tidak
berlaku”. Ini berarti, secara juridis pasal-pasal lain di dalam KUHP tetap berlaku,
antara lain ketentuan tentang “pidana” (Psl. 10 s/d 43), termasuk di dalam-nya
tentang “strafmodus” (seperti “pidana bersyarat” dan pelepasan bersyarat”),
10
ketentuan tentang “percobaan” (Psl. 53 dan 54), tentang “penyertaan” (Psl. 55-56
dst.), tentang “concursus”, “alasan penghapus pidana”, “alasan hapusnya
kewenangan menuntut dan menjalankan pidana” dsb.
Bahkan aturan khusus di dalam Buku II dan III KUHP juga masih berlaku
untuk anak, termasuk di dalamnya ketentuan tentang “pengulangan” (recidive).
Sebagian besar ketentuan KUHP tetap berlaku, karena ketentuan-ketentuan itu
memang tidak diatur di dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga tidak
ada ketentuan di dalam “Ketentuan Peralihan” (Bab XIII) maupun dalam
“Ketentuan Penutup” (Bab XIV) UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang
menyatakan secara umum, bahwa “semua ketentuan yang bertentangan dengan UU
ini dinyatakan tidak berlaku”. Ketentuan umum pidana bersyarat dalam Pasal 14 –f
KUHP, malahan oleh Pasal 73 UU Sistem Peradilan Pidana Anak dengan
restriktif limitative “memperkaku” hanya untuk pidana penjara dan lamanya masa
percobaan maksimum 3 tahun (dengan tidak membedakan antara kejahatan dan
pelanggaran).
Menurut Barda Nawawi Arief, ketentuan KUHP tentang pidana bersyarat
dapat dijatuhkan tidak hanya untuk pidana penjara, tetapi juga untuk pidana
kurungan, denda yang sangat berat, dan bahkan juga untuk pidana tambahan
(apabila hakim tidak menentukan lain). Masa percobaannya, menurut KUHP,
dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. 12 Padahal dilihat dari ide/filosofi
pidana bersyarat sebagai salah satu bentuk alternatif dari pidana perampasan
kemerdekaan atau sebagai salah satu bentuk “non-custodial measures”, dan juga
12
Barda Nawawi Arief, 2005, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Penataran
Nasional HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI XI Tahun 2005, Kerja sama FH UBAYA, Forum
Pemantau Pemberantasan Korupsi, dan ASPEHUPIKI, di Hyatt Hotel, Surabaya, tgl. 14-16 Maret
2005.
11
sebagai salah satu bentuk “strafmodus”, maka seharusnya juga dapat diberikan
untuk pidana kurungan dan jenis-jenis pidana lainnya.
Terhadap pelaku tindak pidana/terdakwa telah ada penjatuhan pidana
secara pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat, sehingga telah terjadi
proses stigmatisasi terhadap pelaku tindak pidana melalui keputusan hakim yang
disampaikan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, pidana
bersyarat sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang
berlaku sekarang masih kurang memberikan perlindungan terhadap individu /
pelaku tindak pidana.
Dengan demikian, pengaturan tentang pidana bersyarat dalam KUHP yang
berlaku sekarang belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana
alternatif penerapan pidana penjara, khususnya pidana penjara waktu pendek. Salah
satu
bentuk
alternatif
pidana
perampasan
kemerdekaan
(alternatives
to
imprisonment) yang lain ialah dengan diadakannya jenis sanksi yang dikenal
dengan istilah probation and judicial supervision (The Tokyo Rules-Rule 8.2 huruf
h). Hal ini juga sesuai dengan Konggres PBB ketiga di Stockhlom pada tahun 1965
tentang
Pencegahan
Kejahatan
dan
Pembinaan
Narapidana,
yang
juga
memfokuskan pada diskusi-diskusi tentang pidana pengawasan (probation) untuk
orang dewasa dan tindakan-tindakan lain yang bersifat non-institusional.13
Menurut Muladi, istilah probation/pidana pengawasan dalam pengertian
modern mempunyai arti sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan
13
hal. 84.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,
12
rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, dengan cara
mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode pengawasan.14
Di samping itu, pidana pengawasan selain dapat mengurangi biaya yang
harus dikeluarkan oleh masyarakat, juga mengurangi banyak kerugian yang
ditimbulkan oleh pidana pencabutan kemerdekaan, terutama dalam bentuk
gangguan terhadap kehidupan sosial yang normal yang akan menambah kesulitan
narapidana dalam penyesuaian diri kepada masayarakat serta keluarganya dan
seringkali meningkatkan kemungkianan timbulnya residivisme.
Di lain pihak, alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan berupa
pidana pengawasan (probation) membantu si pelaku tindak pidana untuk
melanjutkan kehidupan sosial yang normal, meningkatkan kemungkinan untuk
memberikan kompensasi atas kerugian-kerugian si korban akibat tindak pidananya.
Dengan demikian, dalam pidana pengawasan telah tercakup adanya upaya untuk
mengimplementasikan ide atau gagasan perlindungan terhadap kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu pelaku.
Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup
untuk umum, kecuali pembacaan putusan, yaitu pemeriksaan perkara Anak harus
dilakukan secara tertutup di ruang sidang khusus Anak. Walaupun demikian, dalam
hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara
dilakukan secara terbuka, tanpa mengurangi hak Anak. Hal tertentu dan dipandang
perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara
terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka, misalnya perkara
14
Ibid, hal. 155-156
13
pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan
perkara di tempat kejadian perkara.
Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum dapat dijatuhkan sanksi pidana
dan/atau tindakan. Sanksi pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.
(1) Pidana pokok terdiri atas (a) pidana peringatan, (b) pidana dengan syarat
(pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan), (c) pelatihan
kerja, (d) pembinaan dalam lembaga, (e) penjara. (2) Pidana tambahan terdiri atas
pidana perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan
kewajiban adat, sebagaimana diatur Pasal 71. Pidana tindakan terdiri atas (a)
pengembalian anak pada orang tua, (b) penyerahan anak pada seseorang, (c)
perawatan di rumah sakit jiwa, (d) perawatan di LPKS, (e) kewajiban mengikuti
pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta; (f) pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau (g) perbaikan akibat tindak
pidana (Pasal 82).
Yang menarik dari jenis pidana pokok dalam UU Sistem Peradilan Pidana
Anak ialah adanya jenis pidana berupa pidana pengawasan yang menurut Pasal 77
UU Sistem Peradilan Pidana Anak, lamanya minimal 3 bulan dan maksimal 2 (dua)
tahun. Menurut penjelasan pasal 77 tersebut, yang dimaksud dengan pidana
pengawasan ialah pengawasan yang dilakukan oleh jaksa terhadap prilaku anak
dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan
yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Dasar pemikiran dari penyusunan tesis ini adalah Undang-Undang No 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya mengatur tata cara
penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang notebene didalam
14
penegakan hukumnya (proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum)
masih terdapat norma yang kabur (multitafsir) dalam penanganan kejahatan anak
belum jelas diatur mengenai dasar legalitas yang dipakai hakim untuk menjatuhkan
sanksi seperti sanksi pidana pokok bagi anak yang berkonflik dengan hukum yaitu
dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
seperti :
Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atauwww.hukumonline.com
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
www.hukumonline.com
Pasal diatas diatur dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 khususnya
tentang legalitas apa yang dipakai hakim untuk melakukan sanksi pidana pokok
seperti pidana peringatan, pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga,
pelayanan, masyarakat; atau pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam
lembaga; dan penjara terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang dalam
normanya belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan
keadaan suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen). Penelitian tesis ini
juga mengedepankan mengenai belum terdapat pengaturan yang kongkrit dan jelas
(Norma Kosong) terkait dengan belum diaturnya norma khusus atau dituangkannya
dalam satu Pasal khusus tentang sanksi pidana (pengawasan) secara kongkrit dan jelas
didalam aturan positif di Indonesia khususnya dalam Undang-undang No.11 Tahun
15
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sehingga sesuai dengan Instrumen
Internasional sehingga sangat diperlukan pembentukan hukum pada masa mendatang,
oleh sebab itu pemerintah perlu menciptakan peraturan–peraturan yang akurat untuk
mengantisipasi masalah tersebut melalui pembaruan dari hukum pidana yang telah ada
saat ini.
Bertitik tolak bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya berorientasi
pada kebijakan (”policy-oriented”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada
nilai (”value-oriented approach”). Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan
pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian
dari suatu langkah kebijakan atau ”policy” yaitu bagian dari politik hukum/penegakan
hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial.
Pertimbangan
terhadap
hak-hak
anak
sebenarnya
merupakan
pertimbangan moral yang telah diadopsi dalam UU Sistem Peradilan Pidana
Anak. Tujuan utama peradilan anak yang digolongkan sebagai pertimbangan
moral tersebut adalah mewujudkan kesejahteraan anak. Konsekuensi untuk
mewujudkan tujuan dasar tersebut dilakukan dengan mendahulukan atau
mengutamakan kepentingan anak.
Anak yang dijatuhi pidana bersyarat atau pidana pengawasan umumnya
berada diluar Lembaga Pemasyarakatan sehingga terkesan bebas dari hukuman
karena anak tersebut berada dalam lingkungan keluarganya dan tetap dapat
melakukan aktivitasnya sehari-hari seperti bersekolah, bermain dan lain
sebagainya. Padahal anak tersebut tetap diawasi (oleh penuntut umum) dan
dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan
(BAPAS) yang memiliki tugas-tugas (pasal 65 UU Sistem Peradilan Pidana Anak):
16
a. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi,
melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak
selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk
melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan;
b. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di
luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA;
c. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di
LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;
d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak
yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan;
dan
e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak
yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas,
dan cuti bersyarat.
Dengan ketentuan tersebut, maka peran Pembimbing Kemasyarakatan dari
BAPAS dalam perkara sidang anak mengalami perubahan peran yang cukup
signifikan, sebab dengan ketentuan UU No. 11 tahun 2012 ini kedudukan BAPAS
tidak lagi sepenuhnya berada di lini belakang dalam mata rantai proses pemidanaan
anak.
BAPAS sudah sejak semula dari awal tindakan pro justitia, yaitu mulai dari
tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan sudah dituntut perannya untuk
memberikan laporan kemasyarakatan anak pelaku delinkuen. Perkembangan peran
BAPAS ini sudah barang tentu akan menuntut pembenahan personalia (staffing)
dan kualitas SDM petugas BAPAS yang lebih professional terhadap penanganan
perkara anak agar tercapai yang dikehendaki dari tujuan dibuatnya undang-undang
ini dalam melindungi anak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas
maka terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu :
17
a. Bagaimana kebijakan hukum pidana formulasikan
pidana pengawasan
terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam sistem pemidanaan
hukum positif Indonesia ?
b. Bagaimana pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan
Hukum sesuai dengan ide pemasyarakatan yang ditentukan dalam Undang
Undang Nomor 12 Tahun 1995 ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum.
Tujuan umum (het doel van het onderhoek) berupa upaya peneliti untuk
pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a
process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan
pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang
Sistem Peradilan Pidana Anak terkait dengan pidana bersyarat dan
pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis mengenai pidana
pengawasan terhadap anak dalam proses peradilan pidana.
b. Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam
tentang sistem hukum pidana modern dan sistem pemasyarakatan
mengenai sanksi pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum sebagai tujuan pemidanaan yang integratif.
18
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan
pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan hukum mengenai sanksi/hukuman pidana pengawasan
terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagai tujuan
pemidanaan yang integratif.
1.4.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
yang bermanfaat dan dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum
dalam menjatuhkan sanksi terhadap Anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang melakukan tindak pidana pada proses Sidang Sistem
Peradilan Pidana Anak dalam rangka memberikan perlindungan dan
kesejahteraan sosial (anak-Anak yang Berkonflik dengan Hukum), serta
sebagai
upaya peningkatan kinerja BAPAS
dalam memberikan
bimbingan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang telah
dijatuhi putusan pidana bersyarat ataupun pidana pengawasan.
1.5 Orisinalitas Penelitian
Kebijakan pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum memang kajian yang menarik untuk dibahas dalam dunia
akademis, dimana dalam kajian ini bukan hanya membahas mengenai proses pidana
anak yang ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia tetapi
19
membahas pula kebijakan apa yang patut untuk diterapkan dalam proses penanganan
anak yang berkonflik dengan hukum.
Kebanyakan dalam dunia akademis apabila anak melakukan tindak pidana
maka sarana penallah yang mutlak diberlakukan seperti yang telah diterangkan dalam
beberapa tulisan antara lain :
Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana
atas nama Gusti Ayu Kade Komalasari dengan judul ”Sistem Pemidanaan Terhadap
Anak Menurut Hukum Positif Indonesia” dimana rumusan masalahnya meliputi : 1.
bagaimanakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia (Ius
Constitutum)? , 2. apakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di
Indonesia telah sesuai dengan Konvensi Internasional? , 3. bagaimanakah sebaiknya
sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum Indonesia dimasa mendatang (ius
constituendum)?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada ”pemidanaan
terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap
anak sehingga dari rumusan masalahnya adalah mengkaji mengenai aturan positif di
Indonesia serta Konvensi Internasional, dengan hal tersebut penelitian ini mencoba
untuk menentukan bagaimana sebaiknya sistem pemidanaan terhadap anak dimasa
akan datang sesuai dengan hukum yang dicita-citakan, dimana pemidanaan adalah
muara terakhir dari suatu adanya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan adalah
suatu proses penjatuhan pidana terhadap seseorang (terhadap tindak pidana anak,
pemidaaan dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan).
Kedua, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Udayana atas nama I
Wayan Yasa Abadhi dengan judul ”Kebijakan Legislatif Tentang Pidana Dan
Pemindanaan Dalam Undang –Undang No. 3 Tahun 1997” dimana rumusan masalah
meliputi : 1. bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak anak dalam proses
20
peradilan pidana? , 2. bagaimanakah kebijakan tentang pidana dan pemidanaan dalam
Undang-undang No. 3 Tahun 1997?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi
pada ”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji
pemidanaan semata terhadap anak serta memaparkan kebijakan tentang pidana dan
pemidanaan yang tertuang dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sehingga dalam penelitian ini memaparkan bahwa anak yang
bermasalah dengan hukum adalah objek dari hukum yang wajib untuk dipidana apabila
telah secara hukum memenuhi unsur-unsur dari kejahatan yang disangkakan kepada
anak tersebut.
Ketiga, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Diponegoro atas
nama Novie Amalia Nugraheni dengan judul ”Sistem Pemindanaan Edukatif Terhadap
Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana” dimana rumusan masalah meliputi : 1.
Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana di Indonesia saat ini ?, 2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke depan
yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya
berorientasi pada pemidanaan terhadap anak yang bersifat lebih edukatif dengan
rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak yang bermasalah
dengan hukum, namun dalam penelitian ini lebih mengkaji bagaimanakah pemidanaan
yang seharusnya diterapkan kepada anak sehingga pemidanaan tersebut lebih bersifat
edukatif terhadap perkembangan anak tersebut.
Keempat, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Udayana atas
nama I Komang Mahardika Yana dengan judul ”Pembaruan Hukum Pidana Dalam
Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum (Dikaji Dari Perspektif
Peradilan Pidana Indonesia)” dimana rumusan masalah meliputi : 1. bagaimana
proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana ?
21
2. bagaimanakah pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum di Indonesia dalam perspektif Ius Constituendum? .
Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada agar seorang anak sedapat
mungkin untuk tidak dipidana dan meskipun dipidana maka merupakan sebuah
Ultimum Remidium terhadap seorang anak sehingga penggunaan pemidanaan
hendaknya seminimal mungkin dan sehati-hati mungkin untuk diberlakukan sehingga
dalam hal ini sarana non-penal diharapkan dapat diterapkan dalam proses penanganan
anak yang bermasalah dengan hukum khususnya dalam proses penyidikan di
kepolisian.
Bertolak dari beberapa penelitian tesis diatas apabila dibandingkan dengan
penelitian penulis disini mengkaji mengenai pidana dan pemidanaan terhadap anak
bagaimana agar seorang anak sedapat mungkin untuk tidak dipidana dan meskipun
dipidana maka merupakan sebuah Ultimum Remidium terhadap seorang anak sehingga
penggunaan pemidanaan hendaknya seminimal mungkin dan sehati-hati mungkin
untuk diberlakukan sehingga dalam hal ini pidana pokok berupa dengan syarat yaitu
pidana pengawasan (Pasal 71 UU Sistem Peradilan Pidana Anak) diharapkan dapat
diterapkan dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya
dalam proses pengawasan oleh pembimbing kemasyarakatan, dimana dalam hal ini
penulis juga mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana memformulasikan pidana
pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam sistem pembinaan
didalam hukum di Indonesia.
Penelitian terdahulu, penekanan terhadap penelitian ini belum pernah mendapat
kajian oleh karena itu penelitian penulis lakukan dapat dikemukakan karena masih
bersifat orisinil dan layak untuk dijadikan sebagai objek penulisan dalam bentuk tesis.
22
1.6 Landasan Teoritis
1.6.1 Teori Pemidanaan
Tiga permasalahan yang utama dalam hukum pidana adalah tentang
perbuatan yang dilarang, tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang
dan tentang pidana. Permasalahan yang terakhir yakni tentang pidana, di berbagai
negara termasuk Indonesia terus diupayakan untuk mencari alternatif-alternatif dari
pidana hilang
kemerdekaan yang bersifat non-institusional antara lain dalam
bentuk sanksi tindakan. Masalah pidana dan pemidanaan ini sangat dilematis,
mengingat tindak pidana mengakibatkan kerugian individual dan juga sosial,
sehingga masalah ini akan selalu dipengaruhi oleh perkembangan teori-teori
tentang tujuan pemidanaan serta aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari
perkembangan teori-teori tersebut. Rumusan teori-teori tersebut sangat bermanfaat
untuk menguji pemidanaan itu yang mempunyai kegunaan dan sesuai dengan
tujuan pemidanaan yang bersifat universal maupun sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia.
Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak
terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan.
Berkenaan dengan hal tersebut berikut ini akan dikemukakan tentang prinsipprinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori mengenai tujuan pemidanaan.
a. Teori Retributif (Vergeldings Theorieen)
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan, yang merupakan pembenar dari
penjatuhan pidana berupa penderitaan kepada sesorang pelanggar hukum
pidana. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan kepada penjahat
dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain,
23
penjahat telah melakukan penyerangan yang merugikan hak dan kepentingan
hukum. Setiap kejahatan harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak
dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak
memperhatikan masa depan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat.
Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis,
tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.15
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu :
-
Ditujukan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan);
-
Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan
masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).16
Menurut teori ini pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang
dilakukan seseorang. Pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana
itu sendiri. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Teori ini memusatkan perhatiannya pada
masalah perbuatan (jahat) yang telah dilakukannya. Dalam konteks ini pidana
menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah ditimbulkannya.17
Mengenai teori absolut tersebut A. Hanzah dan Siti Rahayu
memberikan komentar sebagai berikut : menurut teori-teori absolut ini setiap
kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar.
Seorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat
akibat-akibat apapun yng mungkin timbul dengan dijatuhhkannya pidana. Tidak
15
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 154.
16
Ibid.
Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
Jambatan, Jakarta, hal. 4
17
24
peduli apakah masyarakat mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau,
tidak dilihat ke masa depan.18
b. Teori Utilitarian atau Teori Telelogis (Doel Theorieen)
Teori ini juga dikenal dengan teori relatif atau teori tujuan, teori ini lahir
sebagai reaksi terhadap teori absolut/teori retributif. Teori ini dikemukakan
oleh John Howard (1726-1791), Cesare Beccaria (1738-1794), dan Jeremy
Bentham (1748-1832). Secara garis besar teori ini mengacu pada dasar bahwa
pidana adalah suatu alat untuk menegakkan hukum dalam masyarakat untuk
mencegah timbulnya suatu kejahatan, sehingga tata tertib masyarakat tetap
terpelihara. Tujuan pidana menurut teori relatif ialah tata tertib masyarakat, dan
untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.
Pidana adalah untuk
mencegah timbulnya tindak pidana dengan tujuan agar tata tertib masyarakat
tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana
mempunyai tiga macam sifat, yaitu : bersifat menakut-nakuti, bersifat
memperbaiki dan bersifat membinasakan. Dasar pembenaran adanya pidana
menurut
teori
ini
adalah
terletak
supaya orang jangan melakukan
kejahatan.19
Jadi menurut pandangan Utilitarianisme bahwa pidana itu ditetapkan bertujuan
untuk pencegahan kejahatan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu
kesejahteraan masyarakat. Proses penjatuhan pidana yang terpenting bukanlah
pidana itu sendiri tetapi sesuatu yang ingin dihasilkan dengan adanya
18
A. Hamsah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 25
19
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit, hal. 16.
25
pemidanaan tersebut. Atas dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut
teori teleologis atau utilitarian penjatuhan pidana ingin dicapai dua hal yaitu :
a) Prevensi umum (General preventie)
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan kejahatan. Dengan
memidana pelaku tindak pidana, diharapkan anggota masyarakat lainnya
tidak akan melakukan tindak pidana.
b) Prevensi khusus (Speciale preventie)
Prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana adalah agar terpidana
jangan mengulangi perbuatannya. Dalam hal ini pidana dimaksudkan untuk
memperbaiki sikap dan perilaku dari pelaku tindak pidana yang berfungsi
untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota
masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.
c. Retributivisme Teleologis (Teleological Retributivist)
Disamping teori-teori tersebut diatas juga muncul paradigma yang
bersifat integratif yang mengakumulasikan kedua pandangan diatas ke dalam
satu pemahaman. Teori ini dipelopori oleh Cesare Lambroso, yang
mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib
masyarakat, sehingga menurut aliran ini tujuan dari pemidanaan adalah bersifat
plural, disatu sisi pidana itu dimaksudkan sebagai pengimbalan atau
pembalasan atas dilakukannya kejahatan, disisi lain pidana itu juga
dimaksudkan sebagai prevensi baik yang bersifat umum maupun khusus. Teori
ini mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus “retribution” dan yang bersifat
26
“utilitarian”, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat
sebagai sarna-sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. 20
Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak
pidana
yang
dengan
suatu
cara
tertentu
diharapkan
untuk
dapat
mangasimilasikan kembali nara pidana kedalam masyarakat.
Teori ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu :
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu
tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.21
Dari teori-teori tentang tujuan pemidanaan sebagaimana telah diuraikan,
maka dalam upaya penanggulangan kejahatan dalam rangka mengatasi kerusakankerusakan yang dilakukan oleh tindak pidana, pemilihan teori integratif sangat
relevan dengan kondisi di Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat
dipakai dasar acuan atau landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Sebagaimana dikemukakan oleh
Muladi dengan asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap
keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang
mangakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Atas dasar itu beliau
mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan
20
21
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hal. 52.
Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 162
27
individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak
pidana. Dalam hal ini ada beberapa tujuan pemidanaan yang ingin dicapai yaitu
pencegahan umum maupun khusus, perlindungan masyarakat, memelihara
solidaritas masyarakat dan pengimbalan atau pengimbangan.
Re-Integrasi sosial berasumsi bahwa pelanggaran hukum terjadi bukan
hanya karena kesalahan individu tetapi juga masyarakat mempunyai andil terhadap
terjadinya pelanggaran hukum tersebut. Oleh karenanya, masyarakat harus
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan pelanggar hukum. Harus
diupayakan pemulihan hubungan yang harmonis antara pelangar hukum dengan
masyarakatnya. Konsep inilah yang melahirkan pemulihan hubungan hidup –
kehidupan dan penghidupan dalam sistem pemasyarakatan. Hidup diartikan sebagai
hubungan antara manusia dengan pencipta-Nya. Kehidupan diartikan sebagai
hubungan antara sesama manusia, sedangkan penghidupan adalah hubungan antara
manusia dengan lingkungannya, dalam kaitan ini manusia memanfaatkan alam
untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pandangan integratif dari tujuan pemidanaan tersebut sesuai dengan
kebijakan mengenai tujuan pemidanaan sebagai tercantum dalam Pasal
54
Rancangan KUHP Tahun 2010, yaitu :
a. Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan
hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap
tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan
tujuan pemidanaan, yaitu sebagai perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan
28
resosialisasi, pemenuhan pandangan adat, serta aspek psikologis untuk
menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.
b. Meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa, namun
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan
martabat manusia.
Dengan ditentukannya tujuan pemidanaan dalam konsep kebijakan
pembaharuan hukum pidana, adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat,
rehabilitasi dan resosialisasi maupun dalam pemenuhan pandangan hukum adat.
Dari
berbagai
pandangan
tentang
teori
pemidanaan
sebagaimana
dikemukakan diatas, dapat disampaikan bahwa ada dua aspek yang ingin dicapai,
yaitu :
1. Aspek perlindungan masyarakat yang pada intinya meliputi tujuan
mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
keseimbangan masyarakat.
2. Aspek perlindungan terhadap individu, yang pada intinya meliputi tujuan
untuk melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku tindak
pidana (resosialisasi) mempengaruhi pelaku agar patuh dan taat pada hukum
melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang
sewenang-wenang di luar hukum.
Perlu ditegaskan bahwa sanksi/hukuman terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum adalah merupakan salah satu sarana yang ingin direncanakan untuk
mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu sebagai dasar pembenar atau tolak ukur
yang dipakai dalam pembahasan terhadap permasalahan dari sanksi/hukuman
terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah ditekankan pada aspek-
29
aspek pokok tersebut yaitu perlindungan secara integratif antara perlindungan
masyarakat dan perlindungan individu khususnya anak-Anak yang Berkonflik
dengan Hukum agar terhindar dari dampak negatif dari pidana penjara karena
masih memiliki jiwa yang labil dan demi masa depan anak yang masih panjang.
Dirumuskannya sanksi pidana dan tindakan tidak lepas dari ide dasar
double track system yang menghendaki agar unsur pencelaan/penderitaan dan unsur
pembinaan sama-sama diakomodasikan dan adanya kesetaraan dalam sistem sanksi
hukum pidana.
Paham filsafat yang mengakui kesetaraan antara punishment dan
treatment adalah filsafat eksistensialisme dari Albert Camus. Camus mengakui
justifikasi punishment bagi seorang pelanggar, karena merupakan konsekuensi logis
dari kebebasan yang disalahgunakan pelaku kejahatan. Namun pada waktu yang
bersamaan si pelaku harus diarahkan lewat sanksi yang mendidik (treatment) untuk
mencapai bentuknya yang lebih penuh dari manusia.22
Ide dasar double track system dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak
yang melakukan kejahatan sangat tepat untuk diterapkan karena disamping untuk
mengindari dampak negative pidana hilang kemerdekaan maka anak dimungkinkan
untuk memperoleh pembinaan guna perkembangan masa depannya.
Perlakuan terhadap anak perlu dibedakan karena pada saat itu darah,
tubuh dan jiwa si anak sedang mengalami perkembangan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa si anak sedang dalam keadaan labil. Jadi ada sesuatu yang
berbeda ketika kita berbicara tentang anak. Anak itu bukan orang dewasa dalam
ukuran mini, karena itu dia tidak bisa disamakan dengan miniatur dari orang
22
M.Sholehuddin, Op.Cit, hal. 30.
30
dewasa, karena itu kita harus memberikan treatment yang berbeda. Kemudian dia
juga dalam masa pertumbuhan dan situasi ini masuk kelompok rawan yang harus
diproteksi sejak awal. Hal itulah yang menyebabkan adanya pembedaan perlakuan
terhadap anak termasuk didalamnya pembedaan dalam penegakan hukum.
Salah satu efek negatif dari pelaksanaan pidana penjara adalah terjadinya
sigmatisasi atau pemberian “cap jahat” terhadap mantan narapidana. Masyarakat
seringkali tidak percaya terhadap mantan narapidana, bahkan secara kultural
kehadiran narapidana ditolak oleh masyarakat. Stigma dan penolakan tersebut
menyebabkan tekanan psikologis pada mantan narapidana, bahkan keluarga juga
ikut merasakan rasa malu. Dalam perspektif teori labeling, tekanan psikologis dan
stigma dari masyarakat (sebagai deviasi primer) kadangkala akan mendorong
mantan narapidana melakukan kejahatan (sebagai deviasi sekunder).
Deviasi
sekunder dapat muncul, karena meskipun mantan narapidana sudah tidak
melakukan kejahatan, masyarakat sering menuduh atau sinis atau mencurigai
bahwa setiap kali ada kejahatan, mantan narapidana tersebut dianggap
pelaku. Berdasarkan label tersebut, mantan narapidana terdorong melakukan
kejahatan lagi.
Deviasi sekunder tersebut merupakan reaksi terhadap deviasi
primer.
Pengertian prisonisasi menurut Clemmer (Sutherland dan Cressey, 1960: 498)
adalah:
the general process by which a child is taught the behavior of his group is
called “socialization” and the somewhat comparable process among
inmates has been named “prizonization”
31
(Proses yang umum, jika seorang anak diajari berperilaku dari
kelompoknya disebut "sosialisasi", dan proses tersebut sedikit banyaknya
terjadi dalam proses antar narapidana dalam penjara, yaitu disebut
prisonisasi)
Dalam prisonisasi narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturanaturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana, mempelajari kepercayaan,
perilaku, dan nilai-nilai masyarakat tersebut. Selanjutnya ditegaskan bahwa
penjara tidak mengubah kejahatan, bahkan melatih kejahatan, sehingga pidana
perampasan kemerdekaan berdampak negatif pada terpidana.
Narapidana yang dipidana di luar LAPAS mempunyai kesempatan untuk
memperbaiki sikap dan tingkah lakunya secara optimal. Narapidana dapat
menggunakan semua fasilitas yang ada untuk pembinaan, misalnya wali
narapidana, pamong narapidana, termasuk dari pembina lain dari BAPAS dan
lembaga sosial lain yang ada, rohaniwan, ahli tingkah laku (psikolog, ahli
pendidikan, ahli bimbingan dan konseling), teman pergaulan. Pemanfaatan fasilitas
tersebut dapat mendorong upaya perbaikan sikap narapidana, khususnya dalam
rangka membangkitkan rasa percaya diri dan resosialisasi. Menurut Sutherland,
upaya
peningkatan
rasa
percaya
diri
termasuk
sarana
penanggulangan
kejahatan. Metode reformasi untuk mengurangi residivis dapat dilakukan dengan 4
macam bentuk perlakuan (treatment), yakni reformasi dinamik, reformasi klinis,
reformasi
hubungan
kelompok,
dan
pelayanan
profesional
(professional
service). Keempat langkah tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan pidana
pengawasan oleh pembina, pamong, dan teman kerja, yaitu untuk memperbaiki
tingkah laku dengan mengembangkan dinamika kelompok, modifikasi perilaku
32
berdasarkan konsep-konsep psikologis, dan pelayanan kepada narapidana secara
profesional.
1.6.3 Teori Kebijakan
Kebijakan penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1. Tahap kebijakan legislatif/formulasi, yaitu dalam menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang
dapat dikenakan.
2. Tahap kebijakan yudikatif/aplikasi, yaitu dalam menerapkan hukum
pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan.
3. Tahap eksekutif/administratif, yaitu dalam melaksanakan hukum pidana
yang dilakukan secara konkrit oleh aparat pelaksana pidana.
Pada
masing-masing
tahap
kebijakan
tersebut
akan
menghadapi
permasalahan-permasalahan tersendiri. Tiga permasalahan pokok dalam hukum
pidana yaitu tentang perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbutan yang
dilarang dan pidana. Dalam tahap formulasi kebijakan legislatif dalam membentuk
perundang-undangan pidana akan meliputi :
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan atau digunakan kepada pelanggar.
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan
hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi
33
hukum dengan cara melihat konfigurasi yang ada dibelakang pembuatan dan
penegakan hukum itu.23 Sedangkan menurut Sudarto, politik hukum adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan siruasi pada suatu saat,
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 24
Penentuan sanksi pidana dalam membentuk perundang-undangan pidana
adalah merupakan kebijakan kriminal (criminal policy) yang pada hakikatnya
merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan. Kebijakan hukum pidana dalam hal ini dapat juga disebut dengan politik
hukum pidana (penal policy). Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan “politik
hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya
guna. Pada kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum
pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.25
Upaya atau kebijakan melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan
kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial
(social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan
sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya perlindungan masyarakat
23
Moh Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, hal. 1-2.
Barda Nawawi Arif, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bhakti, Bandung, hal. 27.
24
25
Sudarto, Op.Cit, hal. 93.
34
(social defence policy). 26 Berdasarkan pemahaman tersebut maka kebijakan atau
upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagaian integral dari
perlindungan masyarakat daan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan utama politik hukum dalam hal ini politik
kriminal (criminal policy) adalah perlindungan masyarakat dalam rangka mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Bertitik tolak pada pandangan tersebut maka dapat dikatakan bahwa
politik hukum pidana itu berarti usaha untuk membentuk atau mewujudkan suatu
undang-undang pidana yang sesuai dengan keadaan, situasi dan nilai-nilai budaya
bangsa agar dapat memenuhi syarat keadilan dan berdaya guna
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif karena termasuk lingkup dogmatik hukum yang mengkaji
atau meneliti aturan-aturan hukum. Penelitian hukum normatif merupakan
penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum
ketentuan mengenai sanksi
27
normatif karena
terhadap Anak yang Berkonflik dengan
Hukum sebagai sarana alternatif pidana hilang kemerdekaan secara tegas
belum diatur tentang pelaksanaannya dalam UU Sistem Peradilan Pidana
26
Barda Nawawi Arif, 2006, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT. Citra Aditya, Bandung, hal. 73.
27
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 11.
35
Anak serta adanya norma kabur maupun konflik norma secara horizontal
dalam pengaturannya.
1.7.2 Metode Pendekatan
Terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan melalui
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan mengadakan
inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sanksi
tindakan
terhadap
Anak
yang
Berkonflik
dengan
Hukum
serta
perlindungan hukum terhadap anak dalam proses sidang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Selain itu juga dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling tali menali antara
pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional,
pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi
pada nilai.28 Sebagai pelengkap, digunakan juga pendekatan perbandingan
hukum atau pendekatan komparatif (comparative approach)
terhadap
penjatuhan sanksi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum di
beberapa negara lain. Berdasarkan cara tersebut diharapkan akan dapat
saling melengkapi sehingga akan dapat memperoleh bahan-bahan hukum
yang dapat dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini.
28
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 61
36
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sesuai dengan jenisnya yang normatif maka penelitian ini menggunakan
bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder. Bahan hukum
primer, yaitu bahan-bahan
hukum
yang
mengikat 29 dalam
bentuk
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.30
Perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, serta Konvensi Hak Anak (Keppres No. 36 tahun
1990).
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasilhasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. 31
Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokmen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
29
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118.
30
Marzuki Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 141.
31
Soekamto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 13.
37
komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder
dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari buku-buku (text book),
artikel, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.7.4 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah metode
sistematis dimana menggunakan kartu sebagai alat pencatat secara rinci
dan sistematis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas dalam penelitian. Dengan pengklasifikasian tersebut diharapkan
dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang
menjadi obyek penelitian
1.7.5 Tehnik Analisis
Bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis, selanjutnya
dianalisis dengan tehnis-tehnis sebagai berikut :
a. Deskriptif, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum.
b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran
dalam ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun
diberlakukan dimasa mendatang. Tehnis interpretatif digunakan
karena adanya norma yang kabur dalam pengaturan sanksi pidana
bersyarat dan pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum. Metode interpretatif yang digunakan diantaranya
adalah grammatical interpretatie yaitu penafsiran menurut arti kata
38
dan sistematische interpretatie yaitu penafsiran dengan mencari
penjelasan pasal-pasal dalam undang-undang.
c. Evaluatif, yaitu melakukan penilaian terhadap suatu pandangan,
pernyataan rumusan norma dalam bahan hukum primer maupun
sekunder.
d. Argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang
bersifat penalaran hukum, hal ini tidak dapat dilepaskan dari tehnis
evaluatif. Dalam permasalahan-permasalahan hukum makin dalam
argumennya berarti makin dalam penataran hukumnya.
39
BAB II
TINJAUAN UMUM
PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK
DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA
2.1. Tinjauan Umum Tentang Pidana Pengawasan
Muladi mengemukakan, bahwa terdapat dua pendekatan dalam upaya
mencarikan formulasi jenis pidana sebagai alternatif pengganti pidana perampasan
kemerdekaan, yaitu:
1. Pendekatan yang melihat dari alternatif pidana perampasan kemerdekaan
(penjara) sebagai alternatif sanction, yaitu sanksi yang dapat menggantikan
sanksi pidana penjara, dimana sanksi alternatif ini hanya dapat digunakan
dan diterima bilamana sanksi tersebut dapat melayani tujuan pemidanaan
dan pidana penjara dipandang memang tidak perlu digunakan.
2. Pendekatan yang menyatakan bahwa sanksi alternatif merupakan salah satu
upaya untuk mencapai tujuan dari pemidanaan di mana dengan pidana
penjara tujuan pemidanaan itu malah tidak dapat dicapai.32
Pendekatan terhadap pencarian alternatif pidana perampasan kemerdekaan di atas,
diupayakan harus tetap kritis dan realistis, oleh karena memang ada fungsi hukum
pidana yang tidak mungkin dihilangkan hanya dengan alternatif pidana penjara
saja. Yang paling utama adalah adanya keserasian, keselarasan dan keseimbangan
dalam penggunaan alternatif pidana perampasan kemerdekan yang sesuai dengan
tujuan pemidanaan yang ingin dicapai. Perkembangan tujuan pidana dan
pemidanaan tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi
sudah mengarah pada upaya perbaikanperbaikan ke arah yang lebih manusiawi.
Dalam Konggres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan
Narapidana yang ketiga di Stockhlom pada tahun 1965, salah satunya membahas
32
Muladi, Op. Cit, hal. 24.
40
perihal tindakan-tindakan yang bersifat non-institutional berupa probation (pidana
pengawasan) bagi para pelaku tindak pidana sebagai alternatif pidana perampasan
kemerdekaan 33 . Keadaan ini dipertegas lagi dengan adannya rekomendasi yang
diusulkan oleh sub-Committee II The Sixth United Nation Conggres in the
Prevention of Offenders tahun 1980 di Caracas, yang membicarakan topik
Deinstitutionalization of Corrections”, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
“In a resolution on alternatives to imprisonment, the Conggres
recommended that Member States examine their legislation with a view
towards removing legal obstacles to utilizing alternatives to imprisonment
in appropriates cases in countries where such obstacles exits an encourage
wider community participation in the implementation of alternatives to
imprisonment and activities aimed at the
rehabilitation of offenders”.34
Bentuk-bentuk alternatif pidana perampasan kemerdekaan seperti Probation
(Pidana Pengawasan) telah diterima dan diterapkan di Amerika dan Inggris, dimana
ditentukan pada fase pertama pelaku tindak pidana hanya dinyatakan bersalah dan
ditetapkan suatu masa percobaan. Sedangkan fase kedua pidana baru dijalani
apabila terpidana melakukan tindak pidana pada fase pertama. Adapun yang
berlaku di Perancis dan Belgia menunjukkan perkembangan tersendiri yaitu apabila
dalam masa percobaan melakukan tindak pidana, maka pidana yang telah
ditetapkan harus dijalani.
Menurut
Muladi,
35
pidana pengawasan (probation) mempunyai
keuntungan-keuntungan apabila dilihat dari segi orang yang dikenai antara lain
sebagai berikut :
33
Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 84.
The Sixth United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders, 1980, dalam Muladi, Op.Cit, hal. 151.
35
Ibid, hal. 153-154.
34
41
a. Akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di
masyarakat, sepanjang kesejahteraan terpidana dalam hal ini dipertimbangkan
sebagai hal yang lebih utama dari pada risiko yang mungkin diderita oleh
masyarakat, seandainya si terpidana dilepas di masyarakat. Dalam rangka
pemberian kesempatan ini, persyaratan yang paling utama adalah kesehatan
mental dari terpidana.
b. Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan hidupnya
sehari-hari sebagai manusia, yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat.
c. Akan mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan
kemerdekaan.
Kemudian keuntungan-keuntungan dari sisi masyarakat adalah :
a. Di dalam menentukan apakah harus dijatuhkan pidana pengawasan atau
pidana perampasan kemerdekaan, maka salah satu pertimbangan utama
adalah sampai seberapa jauhkah unsur-unsur pokok kehidupan masyarakat
memperoleh manfaat dari pemberian pidana pengawasan tersebut. Hal ini
dapat diamati dari keikutsertaan terpidana di dalam pekerjaan-pekerjaan
yang secara ekonomis menguntungkan kehidupan masyarakat. Demikian
pula keikutsertaan terpidana di dalam kehidupan keluarga merupakan
sesuatu yang sangat bernilai dari sudut masyarakat.
b. Secara finansiil maka pidana dengan syarat (probation) yang merupakan
pembinaan di luar lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan
pembinaan di dalam lembaga.
c. Bila ditinjau dari segi pelaksana pidana dengan syarat (probation officer)
keuntungannya adalah, bahwa dengan pidana dengan syarat (probation) di
luar lembaga para petugas pelaksana pidana dengan syarat dapat
menggunakan segala fasilitas yang ada di masyarakat untuk mengadakan
rehabilitasi terhadap terpidana dengan syarat (probation). Fasilitas ini dapat
berupa bantuan pembinaan dari masyarakat setempat, jasa-jasa pengadaan
lapangan pekerjaan pemerintah ataupun swasta, dan sebagainya.
Dikaitkan dengan pandangan tentang pentingnya pidana pengawasan
(probation) sebagai salah satu mata rantai sistem penyelenggaraan hukum pidana,
maka yang harus dihapuskan dalam hal ini adalah adanya kesan, bahwa pidana
non-custodial merupakan sikap kemurahan hati, pemberian ampun, atau
pembebasan, sebab di dalam kerangka sebab musabab kejahatan dari pelaku tindak
pidana serta usaha-usaha untuk menetralisasikan sebab musabab tersebut, maka
peranan pengawasan di dalam pembinaan di luar lembaga ini menjadi suatu
42
keadaan dinamis untuk memecahkan masalah. Howard Jones mengatakan
mengenai hal ini, bahwa:
“It (Probation) is not a “let-of” then, because the probationer must either
make good or suffer punishment later. In fact, the duty of reporting to a
probation officer and accounting for one’s behaviour to him over a long
period is much more onerous than some formal punishments such as a fine,
especially if, as is often the case, additional duties and restrictions are also
imposed under the terms of the probation order. Whatever the theory, the
probationer must often feel that to be placed on probation is itself a
punishment”.36
Menurut Howard Jones untuk adanya Probation dipersyaratkan hal-hal sebagai
berikut:
(1) No punishment is imposed initially;
(2) The offender is given a fixed period to redeem himself;
(3) During this period he is placed under the supervision of a probation officer
(a) in order to keep the court information of his progress, (b) to help him to
make the best of the opportunity given to him;
(4) If he makes good, the original crime is considered to have been purged, but
if he fails to do so, he may be brought back into court and sentenced for
this, as well as for any other crime he may have committed since.37
Untuk menjatuhkan pidana pengawasan/probation tersebut biasanya diadakan
pembatasan
yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan. Muladi
mengemukakan bahwa pembatasan dalam menentukan tindak-tindak pidana yang
pelakunya dikecualikan dari pengenaan probation adalah tindak-tindak pidana yang
secara tradisional tidak disukai (menjijikkan) oleh masyarakat, yaitu :
1. Kejahatan-kejahatan kekerasan.
2. Kejahatan-kejahatan terhadap moral.
3. Kejahatan-kejahatan yang melibatkan penggunaan senjata-senjata yang
mematikan.
4. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan seseorang karena diupah oleh orang
lain.
5. Kejahatan-kejahatan terhadap pemerintah.
6. Kejahatan-kejahatan yang diancam pidana tertentu.38
36
Howard Jones, 1956, Crime and The Penal System, Univ. Tutonal Press LTD, Clifton
House, Euston Rood, London, N.W.I, hal. 254.
37
Ibid, hal. 254.
43
Pada tahun 1962 telah dipublikasikan Report of the Interdepartemental
Committee on the Probation service, yang antara lain menyatakan, bahwa
menempatkan seseorang di bawah probtion harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Atas dasar sifat kejahatan dan catatan si pelaku tindak pidana, demi
kepentingan masyarakat tidak dipertimbangkan untuk menerapkan cara
yang keras untuk membinanya,
2. Risiko bagi masyarakat melalui penerapan pembebasan si pelaku tindak
pidana diperbesar berdasarkan alasan-alasan moral, sosial dan ekonomi,
3. Pelaku tindak pidana memerlukan perhatian terus menerus,
4. Pelaku tindak pidana mampu untuk menanggapi perhatian tersebut dalam
keadaan bebas.39
Dari uraian di atas jelas kiranya, bahwa alternatif pidana perampasan
kemerdekaan berupa probation atau pidana pengawasan tidak hanya demi
kepentingan si pelaku tindak pidana, namun juga demi kepentingan masyarakat.
Selain dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat juga
mengurangi banyak kerugian yang ditimbulkan oleh pidana perampasan
kemerdekaan, terutama dalam bentuk gangguan terhadap kehidupan sosial yang
normal yang akan menambah kesulitan narapidana dalam penyesuaian diri kepada
masyarakat serta keluarganya dan seringkali meningkatkan kemungkinan
timbulnya residivisme. Tujuan probation ini seperti dikutip dalam salah satu situs
internet disebutkan, bahwa:
“The purpose of the order (probation) is to rehabilitate the offender, protect the
public and prevent the offender committing further offences”.40
(Tujuan pidana pengawasan adalah untuk merehabilitasi pelaku, melindungi
masyarakat dan mencegah pelaku melakukan tindak pidana lebih lanjut).
38
Ibid, hal. 157.
Rupert Cross, 1975, The English Sentencing System, Butterworths, London, hal. 21.
40
http//www. Goeggle. Probation. com, Sentencing Alternatives: From Incarceration to
Diversion, 2002, hal. 18
39
44
Dalam draft resolusi yang dihasilkan Konggres PBB ke-8 mengenai “The
Prevention of Crime and Treatment of Offenders”, yang diselengarakan di Havana,
Cuba, pada tanggal 27 Agustus-7 september 1990, diungkapkan latar belakang
perlunya dibuat “Standard Minimum Rules” (SMR) untuk tindakan-tindakan nonCustodial, dimana dalam rule 8.2 pejabat yang berwenang memidana dapat
menentukan salah satunya dengan penerapan “Pengawasan” (Probation and
Judicial Supervision). Pemilihan tindakan ini harus didasarkan pada penilaian
kriteria yang ditetapkan mengenai hal-hal sebagai berikut:
1) The nature and gravity of the offence;
2) The personality, background of the offender;
3) The purposes of sentencing; and
4) The rights of victims.41
Apabila menyimak ketentuan mengenai pidana pengawasan ini dalam
konsep Rancangan KUHP Nasional, maka dalam penjelasan Rancangan KUHP
Nasional tersebut dinyatakan, bahwa pelaksanaan pidana pengawasan ini dikaitkan
dengan ancaman pidana penjara. Pidana pengawasan bersifat “non-custodial”, atau
pidana penjara bersyarat yang terdapat dalam KUHP lama. Jenis pidna ini
merupakan alternatif dari pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana
yang berat sifatnya.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa pidana pengawasan adalah bersifat
alternatif pidana perampasan kemerdekaan bersyarat, yaitu adanya ketentuan untuk
tidak dijalankannya pidana yang telah dijatuhkan (yang berkaitan dengan pidana
penjara) dengan diadakannya syarat-syarat tertentu dan ditetapkan masa percobaan
paling lama 3 tahun.
41
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.110.
45
Berkaitan dengan hukuman dengan adanya masa percobaan ini, dapat
diambil bahan perbandingan di negara lain, yaitu di Perancis yang disebut dengan
istilah “Les surcis” yang dibedakan antara “surcis simple” (hukuman-hukuman
percobaan biasa) dengan surcise avec mise al’apreuve” (hukuman percobaan
dengan ditentukan jangka waktunya).
42
Hukuman-hukuman percobaan biasa
(surcise simple) adalah hukumanhukuman percobaan dengan jangka waktu
percobaan sudah tetap, yaitu selama 5 tahun. Misalnya, kepada terdakwa dijatuhi
hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan biasa, maka masa percobaan
tersebut adalah 5 tahun. Terpidana dapat bebas atau tidak, terserah kepada dia
sendiri apakah selama masa percobaan tersebut dia lolos atau tidak dari perbuatan
melakukan sesuatu tindak pidana. Kalau ternyata ia melakukan sesuatu tindak
pidana, maka ia harus menjalani hukuman yang telah dijatuhkan tadi, ditambah lagi
dengan hukuman-hukuman baru.
Sedangkan hukuman percobaan ditentukan waktunya (surcis avec
al’epreuve) adalah hukuman percobaan dimana kepada si tertuduh dijatuhi
hukuman penjara misalnya 1 tahun, dengan ditentukan masa percobaan selama 3
tahun. Artinya dia tidak perlu menjalani hukuman penjara selama 1 tahun tersebut,
akan tetapi ia diikuti (diawasi) selama 3 tahun itu. Selama itu kepadanya diberikan
kewajiban-kewajiban tertentu. Kalau dia berhasil memenuhi kewajiban-kewajiban
tersebut maka loloslah ia untuk tidak menjalani hukuman tadi. Sebaliknya apabila
ia tidak memenuhinya, maka ada kemungkinan bahwa ia akan dimasukkan. Semua
hukuman bersyarat mengandung syarat umum yang menyatakan bahwa seorang
42
Lintong Oloan Siahaan, 1981, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan
Kita, Ghalia Indonesia, hal. 84-85.
46
pelaku tindak pidana akan melakukan kejahatan lagi dalam batas waktu yang telah
ditentukan. Kemudian dapat dibedakan dua syarat yang istimewa (khusus) yaitu :
1. Syarat-syarat yang secara khusus disebut oleh undang-undang (pembayaran
ganti rugi atau kompensasi bagi segaka kerugian sebagai akibat dari suatu
kejahatan tadi harus memperoleh perawatan pada suatu lembaga yang
diperinci oleh pengadilan), dan
2. Syarat-syarat lain yang berkaitan dengan perilaku si pelaku kejahatan yang
tidak boleh membatasi kemerdekaan agama maupun politik yang
dianutnya.43
Meskipun tidak harus, syarat-syarat tambahan dapat dicantumkan dan disebut
dengan hukuman bersyarat. Akhirnya dinas probasi dapat diberi instruksi untuk
memberi nasehat, membantu dan melindungi si pelaku kejahatan yang telah
dijatuhi hukuman. Hukuman bersyarat mirip sekali dengan probasi (probation)
apabila diberikan perintah untuk menasehati, membantu dan melindungi, dan juga
mirip sekali dengan “surcis simple” apabila hanya dibuat syarat umum yaitu bahwa
tidak akan dilakukannya lagi kejahatan kelak. Putusan bersyarat mempunyai sifat
positif dan negatif. Hal tersebut berkaitan dengan syarat-syarat yang ditentukan.
Sifat negatif terdapatialah syarat umum, yang harus selalu diadakan yaitu bahwa si
terhukum tidak akan melakukan peristiwa pidana selama masa percobaan.
Kewajiban hukum yang khusus tidak ditentukan dalam hal ini. Semua orang, juga
yang tidak dihukum secara bersyarat tidak boleh melakukan peristiwa-peristiwa
pidana. Dengan syarat yang umum ini si terhukum tidak dimasukkan dalam
penjara. Suatu dorongan untuk mendidik diri sendiri, memperbaiki sendiri tidak
ada. Selanjutnya yang terutama merupakan kekuatan dan arti yang penting daripada
putusan bersyarat (sifat positif) ialah syarat-syarat khusus, dengan mana hakim
43
L.H.C. Hulsman dalam Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sistem Peradilan Pidana dalam
Perspektif Perbandingan Hukum, Penyadur, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 90
47
dapat memaksa si terhukum secara tidak langsung untuk mendidik diri dan bekerja
sendiri.44
Dalam Konsep KUHP Nasional tahun 2008 yang merupakan rancangan
KUHP Nasional di masa depan, jenis pidana pengawasan ini sudah diatur dan
ditempatkan sebagai salah satu pidana pokok Pasal 60 (pasal 65 konsep 2008).
Pengaturan tentang pidana pengawasan ini tercantum dalam Pasal 72, Pasal 73 dan
Pasal 74 konsep 2000 (pasal 77,78,79 konsep 2008). berkaitan dengan syarat-syarat
umum dan syarat-syarat khusus tersebut, perumusannya tercantum dalam Pasal 73
konsep 2000 (pasal 78 konsep 2008) yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 73 (1)
Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi
dan perbuatannya,
(1) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dijatuhkan untuk
waktu paling lama 3 (tiga) tahun,
(2) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat :
a. Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; dan
b. Terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana
pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul
oleh tindak pidana yang dilakukan; atau
c. Terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan
tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan
berpolitik.
(3) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
44
Ibid, hal. 312.
48
(4) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik,
maka Balai Pemasyarakatn Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen
Hukum dan Perundang-undangan dapat mengusulkan kepada hakim pengawa
untuk memperpendek masa pengawasannnya.
(5) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setlah
mendengar para pihak.
Perihal syarat-syarat di atas patut diperhatikan pendapat dari I.J Shain, seorang
Direktur Penelitian dari Judicial of California yang mengemukakan bahwa
terdakwa yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebaiknya tidak dijatuhi pidana
penjara (dalam artian dapat dikenai alternatif dari pidana penjara semacam pidana
pengawasan ini,). Adapun syarat-syarat yang dikemukakan, adalah :
1. Terdakwa selain tidak termasuk penjahat “professional”, juga tidak
mempunyai banyak riwayat kriminalitas;
2. Dalam melakukan tindak pidana banyak factor-faktor yang meringankan;
3. Terdakwa tidak melakukan ancaman maupun menyebabkan penderitaan
atau kerugian yang serius pada korban (korban-korbannya);
4. Fakta-fakta menunjukkan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana oleh
karena ada provokasi dari pihak korban;
5. Terdakwa bersedia untuk memberikan ganti rugi atas kerugian materi
maupun luka-luka yang diderita korban;
6. Tidak terdapat cukup alasan yang menujukkan, bahwa terdakwa akan
melakukan lagi tindak, atau tidak terdapat cukup petunjuk bahwa sifat-sifat
jahat terdakwa akan muncul lagi.45
Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
pengawasan (probation) dapat pula dilihat dalam salah satu situs internet yang
uraiannya sebagai berikut:
“When deciding whether to give a defendant probation (where it’is allowed), the
judge will look at the defendant’s record and the seriousness of the crime. The
judge will also consider:
45
H.Eddy Djunaedi Karnasudirdja, 1983, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan
Pengamatan Narapidana, Tanpa penerbit, hal 92.
49
1. whether the crime was violent;
2. whether the defendant is a danger to society;
3. whether the defendant made or is willing to make restitution to the victim, and
4. whether the victim was partially at fault.”46
(Ketika keputusan yang diambil berupa pengenaan pidana pengawasan (jika hal ini
diperbolehkan), hakim harus memperhatikan rekaman kejahatan yang pernah
dilakukan oleh pelaku dan seberapa serius kejahatan tersebut. Selain itu hakim
juga harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. apakah kejahatan yang telah dilakukan bersifat tindak kekerasan atau tidak;
2. apakah pelaku merupakan orang yang berbahaya bagi masyarakat;
3. apakah pelaku telah atau mau memberikan ganti rugi atas penderitaan atau
kerugian yang dialami pihak korban;
4. apakah pihak korban ikut bersalah atas tindak pidana yang terjadi)
2.2 Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak
2.2.1 Pengertian Anak
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum
dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan
dibawah umur (minderjarig heid/ inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak
yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian
anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut
hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal
ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.
Perbedaan pengertian anak tersebut dapat
dilihat pada tiap aturan
perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.47
46
47
Http//www.goeggle.probation.com, Op.Cit, hal. 35.
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, Hal 5.
50
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak
diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum
yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Yang
dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi
dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa).48
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia
menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat di
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang
Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
pengertian anak adalah orang yang dalam perkara Anak yang Berkonflik dengan
Hukum telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin.
Pada 30 Juli 2012, DPR-RI mengesahkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan menggantikan UU Pengadilan Anak, 2
tahun sejak diundangkan yaitu akan mulai berlaku pada 30 Juli 2014. UU No. 11
Tahun 2012 telah mengadopsi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VII/2010
yaitu dengan memberikan pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum
sebagai anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
48
Shanty Dellyana, Op Cit, Hal.50.
51
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU
No. 11 Tahun 2012).
Namun hal berbeda ditunjukkan dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak
memilih dalam Pemilu misalnya seseorang dianggap telah mampu bertanggung
jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya kalau ia sudah mencapai usia 17
(tujuh belas) tahun. Melihat dari hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan
bahwa penetapan batas umur anak adalah relatif tergantung pada kepentingannya.
2.2.2 Hak-hak Anak
Anak tetaplah anak, dengan segala ketidakmandirian yang ada mereka
sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa di
sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus diimplementasikan dalam
kehidupan dan penghidupan mereka.
Dalam hukum positif Indonesia, perlindungan terhadap hak-hak anak dapat
ditemui di berbagai peraturan perundang-undangan, seperti yang tertuang dalam
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990, yang
merupakan ratifikasi dari Konvensi PBB Konvensi tentang Hak-Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child); Undang-Undang No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak; dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Secara rinci dapat dilihat berikut ini:
Hak-hak Anak dalam Konvensi PBB (KepPres No. 36 Tahun 1990):
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman.
Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan,
keselamatan, dan kesehatan.
Tugas negara untuk menghormati tanggung jawab, hak dan kewajiban orang tua
serta keluarga.
52
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin
perkembangan dan kelangsungan hidup anak.
Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin
perkembangan dan kelangsungan hidup anak.
Hak memperoleh kebangsaan, nama, serta hak untuk mengetahui dan diasuh
orang tuanya.
Hak memelihara jatidiri termasuk kebangsaan, nama, dan hubungan keluarga.
Hak untuk tinggal bersama orang tua.
Kebebasan menyatakan pendapat/pandangan.
Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragaman.
Kebebasan untuk berhimpun, berkumpul, dan berserikat.
Memperoleh informasi dan aneka ragam sumber yang diperlukan.
Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan,
penelantaran atau perlakuan salah (eksploitas) serta penyalahgunaan seksual.
Memperoleh perlindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan pribadi,
keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah).
Perlindungan anak yang tidak mempunyai orang tua menjadi kewajiban negara.
Perlindungan terhadap anak yang berstatus pengungsi.
Hak perawatan khusus bagi anak cacat.
Memperoleh pelayanan kesehatan
Hak memperoleh manfaat jaminan sosial (asuransi sosial).
Hak anak atas taraf hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental dan
sosial.
Hak anak atas pendidikan.
Hak anak untuk beristirahat dan bersenang-senang untuk terlibat dalam
kegiatan bermain, berekreasi, dan seni budaya.
Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi.
Perlindungan dari penggunaan obat terlarang.
Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.
Perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan anak.
Larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi.
Hukum acara peradilan pidana.
Hak memperoleh bantuan hukum baik di dalam atau di luar pengadilan.
Hak-hak anak menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak (Pasal 2 sampai pasal 8):
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk
tumbuh dan berkembang dengan wajar.
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk
menjadi warga negara yang baik dan berguna.
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan.
53
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar.
Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama-tama mendapat
pertolongan, bantuan dan perlindungan.
Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara
atau orang atau badan.
Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan
keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.
Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang
bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya.
Pelayanan dan asuhan juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan
bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan putusan hakim.
Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan
anak yang bersangkutan.
Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak
menjadi hak setiap anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendirian
politik, dan kedudukan sosial.
Hak-hak anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Pasal 4 – Pasal 18):
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua.
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.
Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
54
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Khusus bagi anak yang menyandang cacat, juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga
berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,
dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Setiap anak yang menyandang cacat berhak meperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan
dari perlakuan diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan
perlakuan salah lainnya.
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir.
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan
dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam
kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
dan pelibatan dalam peperangan.
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sarana penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukum yang tidak manusiawi.
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilakukan sebagai upaya
terakhir.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak: mendapatkan perlakuan
secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa,
memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh
keadilan di depan Sistem Peradilan Pidana Anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Memerhatikan apa yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 di atas, sebenarnya merupakan penegasan dari peraturan yang ada
sebelumnya. Selain itu, rumusan yang tertuang dalam undang-undang tersebut
55
sebagian juga merupakan upaya adopsi dari rumusan yang berlaku secara
internasional, melalui berbagai Konvensi dan Instrumen Internasional lainnya.
Sebagi
contoh,
pengaturan
tentang
hak
anak
dalam
kaitan
dengan
pertanggungjawaban terhadap kenakalan/tindak pidana yang dilakukannya.
Resolusi PBB No. 45/113 menyatakan bahwa:
Rule 1.1. Imprisonment should be used a last resort (pidana penjara harus
digunakan sebagai upaya terakhir)
Rule 1.2. Deprivation of the liberty of a juvenile should be a disposition of last
resort and the minimum necessary period and should be limited to
exceptional cases (perampasan kemerdekaan anak harus ditetapkan
sebagai upaya terakhir dan utuk jangka waktu yang minimal yang
diperlukan, serta dibatasi
untuk kasus-kasus
yang luar
biasa/eksponensial)49
Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, menurut
Arief Gosita ada beberapa hak-hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaannya
secara bersama-sama yaitu:50
1. Sebelum Persidangan
a. Sebagai Pelaku
1) Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah.
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja
(ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat penahanan misalnya)
3) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan
diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo.
4) Hak untuk mendaptkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap
dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib)
b. Sebagai Korban
1) Hak mendapatkan pelayanan karena penderitaan mental, fisik, dan sosialnya
2) Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang
tanggap dan peka tanpa imbalan (kooperatif)
3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dan siapa saja
(berbagai ancaman, penganiayaan, pemerasan misalnya)
49
Lihat Rule 1.1 dan 1.2. Resolusi PBB 45/113 tentang UN Rules for the Protection of
Juveniles Deprived of their Liberty.
50
Arief Gosita, Op.Cit, hal. 10-13
56
4) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan
diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo
5) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai
pelapor, saksi/korban.
c. Sebagai Saksi:
1) Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang
tanggap dan peka, tanpa mempersulit para pelapor
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja yang
karena kesaksiannya (berbagai ancaman, penganiayaan misalnya)
3) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaaan
(transport)
2. Selama Persidangan
a. Sebagai Pelaku
1) Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan
kasusnya
2) Hak mendapatkan pendamping, penasihat selama persidangan
3) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan
mengenai dirinya (transport, perawatan, kesehatan)
4) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik sosial (berbagai
macam ancaman, penganiayaan, cara, dantempat-tempat penahanan misalnya)
5) Hak untuk menyatakan pendapat
6) Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan
penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1
ayat 22)
7) Hak untuk mendapatkann perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif,
yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya
8) Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya
b. Sebagai Korban
1) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai
saksi/korban (transport, penyuluhan)
2) Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan
kasusnya
3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai
macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya)
4) Hak untuk menyatakan pendapat
5) Hak untuk mengganti kerugian atas kerugian, penderitaannya
6) Hak untuk memohon persidangan tertutup.
c. Sebagai Saksi
57
1) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai aksi
(transport, penyuluhan)
2) Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan
kasusnya
3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai
macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya)
4) Hak untuk mendapatkan izin dari sekolah untuk menjadi saksi.
3. Setelah Persidangan
a. Sebagai Pelaku:
1) Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai Pemasyarakatan
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan, yang
menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman,
penganiayaan, epmbunuhan misalnya)
3) Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluarganya.
b. Sebagai Korban
1) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai
macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya)
2) Hak atas pelayanan di bidang mental, fisik, dan sosial.
c. Sebagai Saksi
1) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.
2.3. Batasan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus dan/ atau
dapat51 dirujuk oleh setiap negara dalam menangani Anak yang Berkonflik dengan
51
Hukum internasional memiliki 2 (dua) sifat , yakni instrumen yang mengikat secara hukum
(legally binding instrument) dan instrument yang tidak mengikat secara hukum (instruments not legally
binding) namun memiliki kekuatan secara moral (have morally persuasive force), Sifat mengikat ini bergantung
pada jenis intrumen hukum internasional tersebut. Instrumen Hukum internasional yang berbentuk perjanjian
internasional (treaty) seperti kovenan, konvensi, protocol memiliki sifat mengikat secara hukum. Negara yang
telah meratifikasi suatu intrumen perjanjian internasional harus melaksanakan kewajiban hukum berdasarkan
prinsip itikad baik (pacta sunt servanda principles). Apabila instrument tersebut diformulasikan dalam bentuk
deklarasi, guidelines, prinsip-prinsip biasanya memiliki karakteristik tidak mengikat secara hukum. Negara
58
Hukum.
Hukum
internasional
mensyaratkan
negara
untuk
memberikan
perlindungan hukum dan penghormatan terhadap Anak yang Berkonflik dengan
Hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi
(kelembagaan).52
Secara konseptual Anak yang Berkonflik dengan Hukum (children in conflict
with the law), dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak:
Pasal 1 butir 3
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan pidana Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat
seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences.
Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa
tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang
anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan
criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa
termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.53
Persinggungan dengan sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan
anak berhadapan dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana menggambarkan
suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana
atau melanggar kesesuaian hukum pidana. Dengan demikian istilah sistem
tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakannya, namun instrument tersebut dapat dijadikan sebagai
rujukan (sumber) hukum.
52
Inter-Parliamentary Union & UNICEF, 2006, Improving the Protection of Children in Conflict
with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF ROSA
53
Op. Cit, hal. 17
59
peradilan pidana anak dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana
yang dikonstruksikan pada anak.
Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia tidak
hanya dimaknai hanya sekedar penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup akar
permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana dan upaya
pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup
banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama
dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk
pelaku-pelaku dalam proses tersebut54. Dengan demikian, istilah sistem peradilan
pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme dan
ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana.55
Mengacu pada proses ini, maka terdapat 3 (tiga) tahap peradilan anak, tahap
pertama, mencakup pencegahan anak dari tindak pidana. Tahap ini meliputi
implementasi
tujuan kebijakan
sosial
yang
memungkinkan
anak
dalam
pertumbuhannya sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Tahap kedua, ditandai
anak bersentuhan dengan prosedur formal sistem peradilan pidana. Tahap ini
merupakan bentuk tanggung jawab anak melalui proses peradilan pidana. Tahap
54
Nikhil Roy & Mabel Wong, 2004, Juvenile Justice : Modern Concepts of Working with Children
in Conflict with the Law, Save the Children UK
55
Volz, 2009, Advocacy Strategies Training Manual: General Comment No.10: Children’s Rights in
Juvenile Justice, Defence for Children International
60
ketiga, resosialisasi diawali dari proses isolasi di lembaga pemasyarakatan sampai
pembebasan anak.56
Sebangun dengan kerangka di atas, standar internasional sistem peradilan
pidana anak pada prinsipnya ditujukan untuk mendorong kekhususan praktikpraktik peradilan pidana anak dan mengembangkan sistem peradilan pidana yang
berbeda sehingga perlakuan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sesuai
dengan usia dan tingkat kematangannya.
57
Hal ini dikarenakan terdapatnya
kesenjangan tingkat kematangan antara orang dewasa dengan anak, baik secara
moral, kognitif, psikologis, dan emosional.58 Oleh karenanya, dalam membangun
sistem peradilan anak semestinya berperspektif bahwa Anak yang Berkonflik
dengan Hukum pada dasarnya merupakan korban, meskipun anak tersebut telah
melakukan tindak pidana.
Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan
ekstrinsik dari kenakalan anak :
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :
a. Faktor intelegentia
b. Faktor usia
c. Faktor kelamin
d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
a. Faktor rumah tangga
b. Faktor pendidikan dan sekolah
c. Faktor pergaulan anak
d. Faktor mass media.59
56
Barbara Henkes, 2000, The Role of Education in Juvenile Justice in Eastern Europe and
The Farmer Soviet Union, Constitutional & Legal Policy Institute, Hungary
57
Inter-Parliamentary Union & UNICEF, Op.Cit
Hangama Anwari, tanpa tahun, Justice for The Children: The situation for children in conflict with
the law in Afghanistan, UNICEF and AIHRC
58
59
Wagiati Soetodjo, Op.Cit, hal 17
61
Kenakalan anak diambil dari istilah juvenile delinquency, berasal dari
juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja; sedangkan delinquency artinya wrong doing,
terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial,
kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat
diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.60
Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan
Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu Undang-undang
Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok yang
menakankan segi pelanggaran hukumnya, adapula kelompok yang menekankan
pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau
belum melanggar hukum. Namun, semua sependapat bahwa dasar pengertian
kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat antisosial.
Mardjono Reksodiputro (1995) dalam sebuah makalahnya menyatakan
bahwa apabila ada pendapat yang menyatakan kalau perilaku delinkuen selalu akan
membawa anak (baik pria maupun wanita) menjadi pelaku kejahatan atau penjahat
di masa yang akan datang adalah keliru. Akan tetapi, beliau berpendapat bahwa
apabila masalah delinkuensi anak itu tidak ditangani dengan baik, maka pada masa
yang akan datang dapat terjadi kenaikan kriminalitas dalam masyarakat, merupakan
pendapat yang logis dan dianut oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu,
secara kasus individual seorang anak delinkuen (juga yang melakukan tindak
pidana serius seperti: pembunuhan) janganlah diberi stigma sebagai ”penjahat
60
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, PT.RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal 25
62
kecil” yang akan tumbuh menjadi penjahat ”besar”. Hal ini tidak mengurangi
kenyaatan bahwa pengalaman dan penelitian empirik menunjukkan kurangnya
perhatian terhadap permasalahan delinkuensi anak sebagai gejala sosial dapat
meningkatkan secara cepat angka statistik kriminal yang bersangkutan.61
Apa yang dimaksud dengan kenakalan anak, banyak pendapat yang
memberikan definisi. Paul Moedikno (1983) memberikan perumusan bahwa
juvenile delinquency yaitu:
1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan,
bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang
oleh hukum pidana, seperti: mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jengki
tidak sopan, mode you can see dan sebagainya.
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,
termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.62
Menurut Kartini Kartono (1992) bahwa yang dimaksud dengan juvenile
delinquency adalah:63
Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda,
merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga
mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang
menyimpang.
Menurut Fuad Hassan, yang dikatakan juvenile delinquency adalah
perbuatan antisosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.64
61
Mardjono Reksodiputro dkk, 1995, Pemasyarakatan Terpidana Anak dan Wanita Dalam
Masyarakat Yang Sedang Membangun. Sponsor: Masumoto Foundation-Japan, Universitas
Indonesia, Jakarta, hal 37
62
Paul Moedikno dalam Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja,
Bandung: Armico, 983, hal. 22
63
Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2. Kenakalan Remaja, Rajawali Press, Jakarta,
hal 7
64
Fuad Hassan dalam Romli Atmasasmita, Op.Cit. hal 22.
63
Paul M. Tappan memberikan perumusan tentang pengertian juvenile
delinquency adalah.65
The juvenile delinquent is a person has been adjudicated as such by a
court of proper jurisdiction though he may be no different up until the
time of court contact and adjuctication at any rate, from masses of
children who are not delinquent.
Sementara Maud A. Merril (1996) merumuskan juvenile delinquency
sebagai berikut:66
A child is classified as a delinquent when his antisocial tendencies appear
to be so grave that he become or ought to become the subject of official
action.
(Seorang anak digolongkan sebagai anak delinkuen apabila tampak
adanya kecenderungan-kecenderungan antisosial yang demikian
memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya
mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau
mengasingkannya).
R. Kusumanto Setyonegoro (1967) yang mengemukakan pendapatnya
terkait kenakalan anak sebagai berikut:67
Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan
pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu
lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat
yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak,
maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku
yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent,
maka tingkah laku itu sering disebut delinkuen; dan jika ia dewasa maka
tingkah laku ini sering kali disebut psikopatik dan jika terang-terangan
melawan hukum disebut kriminal.
Tim proyek Juvenile Delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Desember 1967 memberikan perumusan mengenai juvenile delinquency sebagai
berikut:68
65
Ibid, hal. 20
Maud A. Merril dalam W.A. Gerungan, 1996, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Eresco,
Bandung, hal. 199
67
R. Kusumanto Setyonegoro, dalam Romli Atmasasmita, Op.Cit, hal. 23
68
Ibid
66
64
Suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang
dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta
ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.
Sementara Romli Atmasasmita sendiri berpendapat bahwa juvenile
delinquency adalah sebagai berikut:69
Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18
tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap normanorma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan
pribadi si anak yang bersangkutan
Dalam undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, yang diistilahkan dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
dapat dilihat dalam Pasal 1 butir (3), yang menyatakan bahwa Anak yang
Berkonflik dengan Hukum adalah:
(3) Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
Dari berbagai pendapat yang memberikan batasan tentang kenakalan anak,
menunjukkan bahwa juvenile delinquency adalah perilaku anak yang merupakan
perbuatan yang melanggar norma, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa
disebut sebagai kejahatan. Terlalu kejam apabila pelaku anak disebut sebagai
penjahat anak bukan kenakalan anak, sementara bila memerhatikan kebijakan
Pelaksanaan/Eksekutif terkait anak yang melakukan kenakalan (Anak yang
Berkonflik dengan Hukum), penyebutan anak yang berada dalam Lembaga
Pemasyarakatan bukan sebagai ”Narapidana Anak” tetapi sebagai ”Anak Didik
Pemasyarakatan”.
69
Ibid
65
Dalam KUHP Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan
pidana (Kejahatan) harus mengandung unsur-unsur:
1.
2.
3.
4.
Adanya perbuatan manusia;
Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;
Adanya kesalahan
Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.
Batasan yang demikian memang berlaku untuk orang dewasa, tetapi apabila
pelakunya adalah anak, tentu ada hal-hal yang sangat berbeda dengan orang
dewasa.
Apalagi
dalam
KUHP
ditegaskan
bahwa
seseorang
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atas syarat kesadaran diri yang
bersangkutan. Ia harus mengetahui dan menyadari bahwa perbuatannya itu
terlarang menurut hukum yang berlaku, sedangkan seorang anak dengan
karakteristik yang ada padanya karena ketidakmampuannya, berbeda dengan orang
dewasa yang memiliki cara berpikir normal akibat dari kehidupan rohani yang telah
sempurna, pribadi yang telah mantap menampakkan rasa tanggung jawab sehingga
dapat mempertanggungjawabkan atas segala sesuatu atau segala tindakan yang
telah dipilihnya.70
Bagi anak, yang dalam hal ini di Amerika Serikat dikenal dengan istilah
Juvenile Delinquency, tentu memiliki kejiwaan yang labil, kemantapan psikis yang
masih dalam proses pengembangan, dan perkembangan otak yang belum sempurna,
yang tentu saja konsekuensinya belum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,
berbeda dengan kondisi orang dewasa. Tindakan si anak dalam lingkup Juvenile
Delinquency yang memang kadang kala menjurus kepada pelanggaran ketertiban
umum, tidak lalu diartikan sebagai kejahatan, tetapi kenakalan karena
70
Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hal. 12
66
perilakunyatersebut timbul karena kondisi psikologi yang tidak seimbang, selain
juga ia tidak sadar secara penuh akan perbuatannya itu.
Di Amerika Serikat, ada pembedaan antara perbuatan yang dilakukan oleh
anak dengan orang dewasa. Suatu tindakan antisosial yang melanggar norma
hukum pidana, kesusilaan, ketertiban umum, yang apabila dilakukan oleh
seseorang yang berusia di atas 21 tahun, maka perbuatannya itu disebut kejahatan
(crime). Jika dilakukan oleh seseorang yang usianya di bawah 21 tahun disebut
kenakalan (delinquency).
Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency itu
menurut Alder (1980), adalah:
1. Kebut-kebutan di jalan yang mangganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
2. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman
lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan
dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan;
3. Perkelahian antargeng, antarkelompok, antarsekolah, antarsuku (tawuran),
sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa;
4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di
temapat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam
kedurjanaan dan tindak a-susila;
5. Kriminalitas anak, remaja, dan adolensens antara lain berupa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret,
menyerang, merampok, mengganggu, menggarong, melakukan pembunuhann
dengan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan dan
pelanggaran lainnya;
6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau
orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang
mengganggu sekitarnya;
7. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial, atau
didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut
pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi, balas dendam, kekecewaan
ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain;
8. Kecanduan dan ketagihan Narkoba (obat bius, drug, opium, ganja) yang erat
kaitannya dengan kejahatan;
9. Tindakan-tindakan immoral seksual secara terang-terangan tanpa tedeng alingaling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali
67
(promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan
usaha-usaha kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya;
10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya
pada anak remaja disertai dengan tindakan-tindakan sadis;
11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga
menimbulkan akses kriminalitas;
12. Komersialisasi seks, penggunguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan
pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;
13. Tindakan radikal dan ekstrem dengan jalan kekerasan, penculikan dan
pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;
14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak
dan remaja psikopatik, neurotic dan menderita gangguan jiwa lainnya;
15. Tindakan kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitics lethargoical)
dan ledakan meningitis serta post-encephalitics, juga luka dikepala dengan
kerusakan otak yang adakalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga
orang yang bersangkutan tidak mampu mengendalikan diri;
16. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan pada karakter
anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang
imperior.71
Gejala kenakalan anak akan terungkap apabila diteliti bagaimana ciri-ciri
khas atau ciri-ciri umum yang menonjol pada tingkah laku anak-anak puber di atas,
yakni:
1. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta
kebutuhan untuk memamerkan diri, sementara lingkungan orang dewasa yang
sedang demam materil di mana orang mendewa-dewakan kehidupan lux dan
kemewahan, sehingga anak-anak muda usia yang emosi dan mentalnya yang
belum matang serta dalam situasi yang labil, maka dengan mudah ia akan ikut
terjangkit nafsu serakah duniawi. Anak puber dan adolscent ini pada umumnya
belum berpenghasilan, sementara itu keinginan untuk memiliki atau berkuasa
dan memanjakan diri dalam bentuk materil, misalnya ingin berpakaian bagus,
baik motor, piknik, pesta pora, hura-hura, dan lain-lain demi harga diri yang
semakin tinggi, semua itu semakin menuntut untuk dipenuhi. Apabila anak
tidak mampu untuk mengendalikan emosi yang semakin menekan, kemudian
pengawasan dan pendidikan dari orang tua kurang, maka akan mudah sekali
anak/remaja terjerumus dengan melakukan tindak kriminal, misal mencuri,
menodong, menggarong demi mendapatkan penghasilan tanpa harus
mengeluarkan keringat dan tenaga yang besar;
2. Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian
yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri, misalnya terefleksi
pada kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya;
3. Senang mencari perhatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya dengan
jalan mabuk-mabukan minuman keras;
71
Kartini Kartono, Op.Cit., hal 21-23
68
4. Sikap hidupnya bercorak a-sosial dan keluar dari dunia objektif ke arah dunia
subjektif, sehingga ia tidak lagi suka pada kegunaan-kegunaan teknis yang
sifatnya pragmatis, melainkan lebih suka berkelompok dengan teman
sebayanya. Dengan demikian, mereka merasa lebih kuat, aman, dan lebih berani
untuk berjuan dalam melakukan eksplorasi dan eksperimen hidup dalam
dunianya yang baru, maka banyak ditemui pemuda-pemuda yang mempunyai
geng-geng tersendiri. Anak-anak dalam geng yang demikian, umumnya
mempunyai kebiasaan yang aneh dan mencolok (kontroversial), senang
mengunjungi tempat-tempat hiburan, pelacuran (prostitusi), perjudian dan
mabuk-mabukan. Selain itu gemar mencari gara-gara, tingkahnya
menjengkelkan, mengganggu orang lain dan membbuat gaduh, keonaran di
mana-mana sebagai sasaran keberandalanny. Semua gejala keberandalan dan
kejahatan yang muncul merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi
anak yang mengandung unsur ledakan-ledakan dan usaha mencari identitas diri
menuju kedewasaan serta kemandirian jiwa.
5. Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas
maupun identifikasi lama dan mencari aku ”ideal’ sebagai identitas baru serta
substitusi identitas lama.72
2.4 Sanksi Pidana Terhadap Anak dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
Sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan pada anak diatur dalam Pasal
71 sampai dengan Pasal 81 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Bentuk-bentuk sanksi dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tersebut tampak sama dengan bentuk-bentuk program diversi, seperti:
pengawasan
masyarakat
(community
supervision);
restitusi
(restitution);
kompensasi (conpensation); denda (fine); pemberian nasihat (conseling); pelayanan
klien khusus; kegiatan yang melibatkan pihak keluarga (family Intervention).
Dengan mencermati bentuk-bentuk sanksi tindakan dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 dengan bentuk-bentuk program diversi, tampak terdapat
kesamaan antara program diversi dengan salah satu bentuk sanksi tindakan dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Namun demikian, bentuk-bentuk sanksi dalam UU tersebut merupakan produk
72
Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hal 15-16
69
putusan hakim melalui proses pemeriksaan perkara pidana secara formal. Sanksisanksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut, sudah dapat
menimbulkan efek negatif proses pengadilan dan menimbulkan stigma (cap jahat)
terhadap anak. Dengan adanya putusan-putusan dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 telah menimbulkan cap secara yuridis bahwa anak tersebut sebagai
Anak yang Berkonflik dengan Hukum, hal ini tentunya berbeda dengan tujuan yang
dikehendaki oleh konsep diversi.
Kebijakan formulasi dalam UU No. 11 Tahun 2012, tidak menentukan
diversi dalam bentuk penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta
penghentian pemeriksaan dalam rangka perlindungan anak (kecuali bagi pelaku
anak yang berumur kurang dari 12 tahun). Namun demikian dengan adanya jenis
putusan hakim berupa: denda; mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja,
sama dengan bentuk-bentuk program diversi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan
adanya indikasi dapat diterimanya konsep diversi. Sanksi hukum pidana yang dapat
dijatuhkan pada anak diatur dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 81 UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk-bentuk
sanksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut tampak sama dengan
bentuk-bentuk program diversi, seperti: pengawasan masyarakat (community
supervision); restitusi (restitution); kompensasi (conpensation); denda (fine);
pemberian nasihat (conseling); pelayanan klien khusus; kegiatan yang melibatkan
pihak keluarga (family Intervention).
70
Dengan mencermati bentuk-bentuk sanksi tindakan dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 dengan bentuk-bentuk program diversi, tampak terdapat
kesamaan antara program diversi dengan salah satu bentuk sanksi tindakan dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Namun demikian, bentuk-bentuk sanksi dalam UU tersebut merupakan produk
putusan hakim melalui proses pemeriksaan perkara pidana secara formal. Sanksisanksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut, sudah dapat
menimbulkan efek negatif proses pengadilan dan menimbulkan stigma (cap jahat)
terhadap anak. Dengan adanya putusan-putusan dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 telah menimbulkan cap secara yuridis bahwa anak tersebut sebagai
Anak yang Berkonflik dengan Hukum, hal ini tentunya berbeda dengan tujuan yang
dikehendaki oleh konsep diversi.
Kebijakan formulasi dalam UU No. 11 Tahun 2012, tidak menentukan
diversi dalam bentuk penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta
penghentian pemeriksaan dalam rangka perlindungan anak (kecuali bagi pelaku
anak yang berumur kurang dari 12 tahun). Namun demikian dengan adanya jenis
putusan hakim berupa: denda; mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja,
sama dengan bentuk-bentuk program diversi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan
adanya indikasi dapat diterimanya konsep diversi.
71
2.5
Sistem
Dan
Tujuan
Pemidanaan
yang
Dikaitkan
dengan
Ide
Pemasyarakatan
Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dinyatakan oleh Sahardjo,
sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai
proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan
narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya
sebagai
tempat
pembalasan
berganti
sebagai
tempat
pembinaan.
Didalam
perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:73
1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina
dan yang dibina;
2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku
melalui keteladanan;
3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;
4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan
bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental
spiritual.
Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam
lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan
keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang
masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli yang
profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa
terbatasnya dana peraturan dan perundang-undangan yang masih memakai reglemen
penjara (Gestichten Reglemen 1917 No.708.74
Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan
narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan
73
Departemen Kehakiman, 1990, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan
Tujuan pembinaan narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan
meningkatkan budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan/rumah tahanan negara.
74
72
pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat
tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas.
Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita
pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas dengan
pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting
adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar
hukum. Dalam arti sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum
pidana diterapkan.
Perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap
sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan
ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan
atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang
penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar
hukum.75
J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan
bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau
jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan
pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si
pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru,
melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.76
Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana
tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan
75
Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan
mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan
yang sama setelah pelakunya dipidana mati.
76
J.E. Sahetapi, 1992, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta, hal. 279
73
bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa
menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai
obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan
kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.77
Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian
konflik (conflict resolution), mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke
arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and
possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior).78
Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar
hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan
itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana (strafbevoegdheid
van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung
dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan
norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan
konflik.
Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros
yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa
hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan
kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari
segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan
hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum
77
78
Ibid, hal. 280
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op Cit, hal. 21.
74
sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan
terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum.79
Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak
itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses.
Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana,
jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat
pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk
pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:80
1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan
yang dibina;
2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui
keteladanan;
3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;
4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan
bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental
spiritual.
Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan
narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan
pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat
tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas.
Akibatnya,
setiap
petugas
akan
mengalami
kejenuhan
mengenai
cita-cita
pemasyarakatan.
Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana
dimaksudkan untuk a) mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent
recidivism); b) mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama similar acts); c)
79
Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu
yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang
dapat diterima kembali dalam masyarakat.
80
Departemen Kehakiman, Op Cit.
75
menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for
the expression of realiatory motives).81
Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah
untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau
diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment is to create a
possibility for the release of emotion that are aroused by the time).82
Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah
terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama
memperkuat
kembali
nilai-nilai
sosial
(reinforcing
social
values),
kedua
menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of
crime).83
Ahli di bidang kepenjaraan (penolog) mengakui bahwa ada 3 (tiga) elemen
pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1) petugas; 2) narapidana; dan 3)
masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan
tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah
melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman
kembali ke masyarakat.
Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa
indikator:
1. Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan.
2. Pelanggaran hak-hak narapidana.
3. Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat.
4. Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.
81
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. cit, hal. 20.
Ibid, hal. 19.
83
Ibid., hal. 21.
82
76
2.6 Perlindungan Hukum demi Kesejahteraan Anak
Peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk
perlindungan yang diberikan hukum kepada anak yang telah melakukan tindak
pidana. Orientasi dari keseluruhan proses peradilan pidana anak ini harus ditujukan
pada kesejahteraan anak itu sendiri, dengan dilandasi prinsip kepentingan terbaik
anak (the best interest for children).
Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMRJJ (Beijing Rules) dalam rule 5.1 bahwa:
“The juvenile justice system shall emphasize the well – being of the
juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always
be in proportion to the circumtances of both the offender and the offence”.84
Dari Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran
dibentuknya peradilan anak, yaitu: (a) Memajukan kesejahteraan anak (the
promotion of the well being of the juvenile), Artinya, Prinsip kesejahteraan anak ini
harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat
dijadikan dasar untuk tidak menerapkan penggunaan sanksi yang semata-mata
bersifat pidana, atau yang bersifat menghukum.85 Sedapat mungkin sanksi pidana,
terutama pidana penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan
anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un Rules
For The Protection Of Juveniles Deprived Of Thei Liberty. (Barda Nawawi Arief,
1996:13); (b) Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of
proporsionality). Prinsip yang kedua ini merupakan sarana untuk mengekang
penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann
84
85
Muladi, 1992, Op. Cit, Hal. 112
Ibid, hal 113
77
dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak
janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula
harus berfungsi semata-mata sebagai suatu lembaga sosial.86
Sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses
perlindungan hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan
dan jaminan-jaminan khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini
tentunya tidak mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi setiap
orang.
Jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang
bersifat prosedural yang paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk
diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges); (b) Hak untuk
tetap diam (the right to remain silent) ; (c) Hak untuk memperoleh penasehat
hukum (the right to councel); (d) Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to
the presence of a parent of guardian);(e) Hak untuk menghadapkan saksi dan
pemeriksaan silang para saksi (the right to confront and cross-examine witness); (f)
Hak untuk banding ke tingkat yang lebih tinggi (the right to appeal to a higher
authority).87
Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan
perlindungan terhadap anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana,
seyogyanya dimulai dari ketentuan-ketentuan hukum yang seoptimal mungkin
menjamin hak-hak anak, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar
perlindungan anak yang berlaku universal, yakni: (a) non-diskriminasi; (b)
86
87
Ibid, hal 114
Ibid, hal 117
78
kepentingan terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam lingkup nasional, jaminan hukum secara khusus yang diberikan
kepada anak sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Sedangkan, secara Internasional diatur dalam
The Beijing Rules.
Sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminanjaminan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya
substansi undang-undang peradilan anak tersebut belum cukup memberikan
jaminan perlindungan. Dalam hal ini,
terdapat beberapa ketentuan yang
inkonsistensi dengan peraturan induknya (KUHP) dan Undang-undang 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan anak, dan mengabaikan prinsip kepentingan terbaik
bagi anak (the best interest for children).
Berikut ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang Nomor113
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: (1) Mengenai batasan
minimum usia minimal pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal
responsibility) bagi anak yang terlampau rendah. Undang-undang Peradilan
Anak menetapkan batasan usia minimal anak untuk dapat dihadapkan ke
pengadilan adalah 12 (duabelas) tahun (Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012). Meskipun sanksi yang ditetapkan bagi anak usia 12 – 18 tahun hanya berupa
tindakan, namun dengan batasan usia minimal pertanggunjawaban pidana yang
terlampau rendah ini memungkinkan timbulnya ekses-ekses negatif yang dirasakan
anak, yakni pengalaman selama proses diajukan ke persidangan
akan
menimbulkan stigma dan trauma yang akan dirasakan anak. Hal ini jelas
79
merupakan dampak yang tidak dapat dihindari anak yang diajukan ke persidangan,
mengingat anak masih terus tumbuh berkembang dalam masyarakat, sedangkan
stigma “jahat” dari masyarakat akan terus dirasakan anak selama tumbuh
kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak pengabaian prinsip terbaik
bagi anak; (2) Adanya inkonsistensi dengan peraturan induknya, yakni KUHP.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, maka ketentuan Pasal 45,
46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan ini jelas akan menimbulkan
implikasi yuridis tersendiri, mengingat ketentuan yang terkait dengan anak sebagai
pelaku tindak pidana dalam KUHP tidak hanya terletak pada Pasal 45, 46, 47
KUHP saja, melainkan terkait pula dengan pasal-pasal lain dalam buku II dan III
KUHP. Dengan tidak adanya penegasan dalam Undang-undang Sistem Peradilan
Pidana Anak tersebut maka dapat dikatakan bahwa ketentuan selain pasal 45, 46,
47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku untuk anak.88
Di sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan Undangundang Nomor 11 Tahun 2012. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan
aturan/sistem pemidanaan umum, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 harus
tetap berpedoman pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum yang diatur dalam
peraturan induknya (KUHP) sepanjang tidak diatur tersendiri dalam undangundang yang bersangkutan. Mengingat beberapa ketentuan dalam buku I
(khususnya Bab II dan Bab III) KUHP semisal ketentuan mengenai pidana,
percobaan, konkursus, recidive, dan ketentuan lainnya tidak diatur dalam Undangundang Nomor 11 Tahun 2012, maka aturan dalam KUHP tetap berlaku bagi anak
88
Barda Nawawi Arief, 2005, Makalah “Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia”,
diselenggarakan di Ubaya, Hotel Hyat
80
karena merupakan bagian sistem yang tidak terpisahkan. Hal ini sungguh
merugikan anak, karena untuk beberapa ketentuan seperti yang disebutkan di atas,
terhadap anak tetap dikenakan ketentuan yang berlaku pula untuk orang dewasa
pada umumnya.
Mengenai pidana penjara, Jenis Pidana ini masih merupakan jenis pidana
pokok yang dikenakan juga kepada anak. Yang dipermasalahkan di sini bukan lah
jenis ataupun bobot pidana penjara itu sendiri, melainkan tidak adanya aturan yang
menjadi pedoman bagi hakim untuk melaksanakan sanksi pidana bagi anak.
Dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut juga tidak
diatur mengenai kewenangan hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan
proses pemeriksaan (seperti yang telah diatur dalam The Beijing Rules, Rule 17.4)
Seperti yang diatur dalam The Beijing Rules, adapun prinsip-prinsip yang
seharusnya diatur sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam
perkara anak, adalah sebagai berikut:
Rule 17.1 : (a) reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus
diseimbangkan dengan keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak pidana; (b)
pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan setelah
pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin; (c) perampasan
kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius
(termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan
tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih
tepat; (d) kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam
mempertimbangkan kasus anak. Rule 17. 4 : Adanya prinsip “diversi”, yakni
hakim diberikan kewenangan untuk menghentikan atau tidak melanjutkan proses
pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim dapat tidak menjatuhkan sanksi apapun
terhadap anak. Rule 19.1: penempatan seorang anak dalam lembaga
Pemasyarakatan (penjara. pen) harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the
last resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan. 89
89
Barda Nawawi Arief, Op. Cit
81
2.7 Sistem Pemidanaan di Indonesia
L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the
sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and
punishment). 90 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan
diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan
ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu
ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi
(hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum
Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat
dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.91
Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bertolak dari pengertian
di atas, maka apabila aturan aturan perundang-undangan (the statutory rules)
dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah
dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum
maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya
merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundangundangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari
aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum
terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku
II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan
90
91
L.H.C. Hullsman dalam Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 23.
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 129.
82
khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun
dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum. 92
Gambaran sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia saat ini, dapat dilihat
dalam skema sebagai berikut 93 :
SENTENCING SYSTEM
SYSTEM OF
PUNISHMENT
STATUTORY
RULES
SPECIAL RULES
GENERAL
RULES
BUKU II
KUHP
BUKU III
KUHP
BUKU I
KUHP
UU KHUSUS
(DI LUAR KUHP)
Dari skema di atas, dapat diljelaskan bahwa ketentuan pidana yang tercantum
dalam semua Undang-Undang Khusus di luar KUHP merupakan bagian khusus
(sub sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan.
Dengan demikian, sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Khusus di
luar KUHP harus terintegrasi dalam (konsisten dengan) aturan umum (general
92
93
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 136.
Ibid, hal. 27.
83
rules). Namun, dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP tersebut dapat
membuat aturan khusus yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum.
Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup
3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman
pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).
a. Jenis pidana (strafsoort)
Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari :
1) Pidana pokok berupa :
- Pidana mati ;
- Pidana penjara ;
- Pidana kurungan ;
- Pidana denda ;
- Pidana tutupan.
2) Pidana tambahan berupa :
- Pencabutan beberapa hak tertentu ;
- Perampasan barang-barang tertentu ;
- Pengumuman putusan hakim.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya
mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.
b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)
Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada
perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan
satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim
bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau
jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman.
Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk
menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan
84
hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenangwenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.
Hal tersebut senada dengan pendapat Leo Polak yang mengemukakan
bahwa salah satu syarat dalam pemberian pidana adalah beratnya pidana harus
seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya
delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.94
Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan
minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam
memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat
ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan
keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat
intelektual atau kecerdasannya.
KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum
khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15
(lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan
maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan
pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya. Adapun pidana penjara
dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Dalam undangundang juga diatur mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan
mengurangi pidana. Keadan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan
dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah
maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi seperiga, seperti
94
Djoko Prakoso dan Nurwachid, 1983,Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 20.
85
ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 KUHP. Pasal 53 ayat (2) KUHP
berbunyi “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan
dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “Dalam hal
pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”.
Disamping ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaankeadaan
yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive
serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi
maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan
pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.95
c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)
KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal
yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus
suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang
dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam
undang-undang.
Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana
(strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang
hanya maksimum dan minimum pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai kebebasan
hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan. Hal ini
disebabkan undang-undang hanya menentukan batas maksimum dan minimum
95
Sudarto, Op.Cit. hal. 14.
86
pidananya saja. Sebagai konsekuensi dari masalah tersebut, akan terjadi hal yang
disebut dengan disparitas pidana.
87
BAB III
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA FORMULASI PIDANA PENGAWASAN
TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM
SISTEM PEMIDANAAN DIDALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
3.1 Substansi Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam
Kebijakan Hukum di Indonesia
Perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak walaupun kadangkala sama
dengan kejahatan yang dilakukan orang dewasa, tidak berarti sanksi yang yang
diberikan juga sama. Anak tetaplah anak yang tentu saja masih mengalami proses
perkembangan fisik, mental, psikis, dan sosial menuju kesempurnaan seperti yang
dimiliki oleh dewasa. Konsekuensinya, reaksi terhadap anak tidak sama dengan
reaksi yang diberikan orang dewasa, yang lebih mengarah kepada punitif.
Setelah diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, telah diatur secara khusus tentang hukum
pidana materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana bagi anak
yang telah melakukan kenakalan. Oleh karena itu, UU No. 11/2012 merupakan
hukum yang khusus (lex spesialis) dari hukum yang umum (lex generalis) yang
tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP).96
Lahirnya UU No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tentu
mempunyai latar belakang. Dalam konsideran diuraikan bahwa latar belakang
lahirnya UU No. 11/2012:
96
Nashriana, Op. Cit, hal. 75
88
a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan
perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem
peradilan;
c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan
hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan
perlindungan khusus terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum;
Dari konsideran tersebut telah dirumuskan pentingnya perangkat hukum dan
kelembagaan yang khusus disediakan bagi anak yang secara kebetulan berhadapan
dengan hukum. Hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa terhadap anak
yang walaupun secara kualitas dan kuantitas dapat saja melakukan perbuatan
melanggar hukum seperti halnya yang dilakukan orang dewasa, tetapi penanganan
yang diberikan tidak harus sama dengan penanganan bagi orang dewasa yang
melakukan kejahatan.
Sebelum memahani tentang pengertian Anak yang Berkonflik dengan
Hukum, terlebih dahulu perlu memahami batas umur bagi anak yang diajukan ke
sidang anak. Secara eksplisit dapat dilihat pada Pasal 1 butir 3.
Pasal 1 butir 3
Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dari rumusan ini hanya membatasi diri khususnya dalam perkara Anak
yang Berkonflik dengan Hukum saja tanpa membedakan jenis kelamin
antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Dari pasal di atas tersebut menunjukkan bahwa yang disebut sebagai anak
yang dapat diperkarakan ke sidang anak hanyalah anak yang berumur 12 tahun
sampai 18 tahun dan belum pernah kawin. Terhadap anak yang walaupun belum
89
mencapai 18 tahun tetapi telah menikah, secara a contrario tidak dapat diajukan ke
sidang anak, tetapi ke sidang orang dewasa berdasarkan KUHP dan KUHAP.
Walaupun
Undang-undang
Sistem
Peradilan
Pidana
Anak
tidak
merumuskan lebih jelas tentang tindak pidana yang dapat dilanggar bagi anak,
karena dalam Penjelasan pasal pun dirumuskan ”cukup jelas”, akan tetapi dapat
dipahami bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah selain tindak pidana yang
dirumuskan dalam KUHP, tetapi juga tindak pidana di luar KUHP semisal: UU
tentang Narkotika, UU Psikotropika, UU Hak Cipta dan sebagainya.
Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 butir 1 yang dimaksud
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara
Anak yang Berkonflik dengan Hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Berdasarkan penjelasan umum UU Sistem Peradilan Pidana Anak pada
paragraf ke 7 menyebutkan bahwa adapun substansi yang diatur dalam UndangUndang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan
secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk
menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat
menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan
diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh
karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan
hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik
90
bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses
Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu
bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak,
dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
3.2 Penetapan Sanksi/Hukuman Terhadap Anak yang Berkonflik dengan
Hukum Dalam Kebijakan Hukum di Indonesia
Di atas telah diuraikan tentang pengertian Anak yang Berkonflik dengan
Hukum seperti yang tertuang dalam Pasal 1 butir 2. Namun, undang-undang tidak
merumuskan secara eksplisit tentang pengertian tindak pidana atau kenakalan yang
dilakukan oleh anak.
Pada penjelasan atas Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, pada Paragraf 8 Bagian Umum menyatakan bahwa
dari kasus yang muncul, ada kalanya Anak berada dalam status saksi dan/atau
korban sehingga Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam UndangUndang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan
perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua
belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai
umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi
tindakan dan pidana.
Perumusan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan ini menunjukan bahwa UU
No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menganut apa yang
91
disebut dengan Double Track System. Dengan kata lain, UU ini telah secara
eksplisit mengatur tentang jenis sanksi Pidana dan sanksi Tindakan sekaligus.
Menurut Muladi (2002)97, penggunaan sistem dua jalur (Zweipurigkeit) merupakan
konsekuensi dianutnya Aliran Neo Klasik.
98
Pemikiran bahwa pendekatan
tradisional seolah-olah sistem Tindakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak
mampu harus ditinggalkan.
Dalam pembangunan hukum pidana positif Indonesia, memang telah diakui
keberadaan sanksi tindakan selain sanksi pidana, walaupun dalam KUHP menganut
Single Track System yang hanya mengatur tentang satu jenis saja yaitu sanksi
pidana (Pasal 10 KUHP). Pengancaman Sanksi Tindakan dalam UU 11/2012
menunjukkan bahwa ada sarana lain selain pidana (penal) sebagai sarana dalam
penanggulangan kejahatan.
Sebenarnya di tingkat praktis, perbedaan antara pidana dan tindakan sering
agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental.
Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada
ide dasar ”Mengapa diadakan pemidanaan?”; sedangkan sanksi tindakan bertolak
dari ide dasar; ”Untuk apa diadakan pemidanaan itu?”.
Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap
pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah
seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera); maka
fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah.
97
Muladi, Op. Cit, hal. 156
Dalam Aliran Neo Klasik, berusaha untuk memanfaatkan kelebihan kedua aliran
sebelumnya (aliran Klasik dan aliran Modern) dan meninggalkan kelemahan yang ada. Asas
pembalasan diperbaiki dengan teori kesalahan yang bertumpu pada usia, aptologi, dan pengaruh
lingkungan. Dikembangkan alasan-alasan yang memperingan dan memperberat pemidanaan;
kesaksian ahli (expert testimony) ditonjolkan; diaturnya system dua jalur (Double Track System).
98
92
Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan
(pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja diberikan kepada seorang
pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan
masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Atau seperti yang dikatakan
J.E. Jokers (1987), bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang
diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai
tujuan yang bersifat sosial.99
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari
ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa
(bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain
ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga
merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan di pelaku. Dengan
demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terlatak pada
ada tidaknya unsur pencelaan, bukan ada tidak nya unsur penderitaan sanksi
tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori
pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia
semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindung masyarakat dari
ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu. Singkatnya sanksi
pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan,
sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.
Perbedaan orientasi ide dasar dari dua jenis sanksi tersebut, sebenarnya
memiliki kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat
99
hal. 350
J.E. Jonkers, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta
93
indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai
sumber sanksi tindakan.100
Lebih lanjut, terkait dengan sanksi bagi Anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang berupa sanksi pidana, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan.
Untuk pidana pokok, ada 5 (lima) macam sebagaimana yang ditetapkan dalam
Pasal 71 ayat (1), yaitu:
a. pidana peringatan
b. pidana dengan syarat
1. pembinaan di luar lembaga;
2. pelayanan masyarakat; atau
3. pengawasan
c. pelatihan kerja
d. pembinaan dalam lembaga;
e. penjara
Sedangkan mengenai pidana tambahan berdasarkan Pasal 71 ayat (2) ada dua
macam, yakni:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat
c. apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan
denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan
martabat Anak.
ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, dimana memuat
pidana pokok berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
pidana mati
pidana penjara
pidana kurungan
pidana denda
pidana tutupan
100
M. Sholehuddin, Op. Cit, hal. 32-33
94
maka khusus untuk pidana mati, Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
tidak menghendaki apabila anak yang telah melakukan kenakalan diancam dan
dijatuhi pidana pokok berupa pidana pidana mati. Sebagaimana diketahui bahwa
pemeriksaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum dilatarbelangi oleh filosofi
bahwa semata-mata demi kepentingan anak. Artinya, terhadap anak yang notabene
sebagai generasi penerus bangsa tidak diinginkan untuk dijatuhi pidana mati,
karena anak sangat memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan yang menunjang perkembangan fisik, mental, dan
sosialnya. Karena itu, apabila diancamkan pidana mati, maka upaya pembinaan dan
perlindungan tidak akan pernah dapat diberikan sementara usia yang akan dijalani
oleh seorang anak masih sangat panjang. Demikian pula sama halnya dengan
ancaman pidana seumur hidup, yang bermakna bahwa pelaksanaan pidana akan
dilalui sepanjang hidup si anak di lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut tidak
diinginkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, UU Sistem Peradilan Pidana Anak
menegaskan bahwa terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang telah
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 10
(sepuluh) tahun.101
Dari kelima pidana pokok yang diperuntukkan bagi Anak yang Berkonflik
dengan Hukum, pidana pengawasan adalah jenis pidana yang baru. Yang dimaksud
dengan pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak yakni
pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap perilaku anak dalam
101
Nashriana, Op. Cit
95
kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang
dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. 102 Jadi pidana pengawasan bukan
merupakan pidana penjara ataupun kurungan yang dilaksanakan di rumah si anak,
tetapi berupa pengawasan terhadap terpidana selama waktu tertentu yang
ditetapkan putusan pengadilan.
Mengenai pidana tambahan, Pasal 10 KUHP, merumuskan tiga macam,
yaitu berupa:
a. pencabutan beberapa hak tertentu
b. perampasan barang-barang tertentu
c. pengumuman putusan hakim
Apabila ketentuan tentang pidana tambahan dalam KUHP dibandingkan
dengan ketentuan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak menunjukkan bahwa
UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak menghendaki agar anak yang melakukan
kenakalan dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, selain
juga pengumuman putusan hakim.
Berkaitan dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu,103
memang sudah sepatutnya tidak diberlakukan terhadap anak. Anak yang memang
lebih dikedepankan haknya dibanding kewajiban yang ada padanya, akan menjadi
berseberangan terhadap hak-hak yang seharusnya ia peroleh sebagai seorang anak.
Sebagai contoh haknya untuk mendapat pendidikan, apabila hak tersebut dicabut,
102
Lihat Penjelasan Pasal 84 UU Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak
Dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah:
hak untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu;
hak untuk bekerja pada Angkatan Bersenjata;
hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diselenggarakan menurut peraturan
umum;
hak untuk menjadi penasihat atau kuasa yang diangkat oleh hakim, hak untuk menjadi wali,
wali pengawasan, pengampu, atau pengampu pengawas dari anak-anaknya sendiri;
hak orang tua, hak perwalian, dan hak pengampuan atas anak-anaknya sendiri;
hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu
103
1.
2.
3.
4.
5.
6.
96
maka secara otomatis si anak sebagai generasi penerus bangsa akan menjadi bodoh,
yang memang sesuatu hal yang tidak dikehendaki bersama. Apalagi dikatikan
dengan Tujuan Negara yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam
mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat, tidak terkecuali anak-anak.
Berkaitan dengan pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana, UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak menjelaskan
lebih jauh tentang hal ini. Artinya, ketentuan yang berlaku dikembalikan pada
KUHP sebagai hukum umum. Pasal 39 KUHP merumuskan bahwa:
(1) barang-barang kepunyaan terpidana, yang diperoleh dari kejahatan atau dengan
sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
(2) jika dijatuhkan hukuman lantaran melakukan kejahatan tiada dengan sengaja
atau lantaran melakukan pelanggaran, dapat juga dijatuhkan hukuman
merampas itu dalam hal tertentu seperti yang ditentukan undang-undang;
(3) perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya terbatas pada barang-barang yang telah disita.
Sebagai komparasi, dalam Wvs Nederland yang memasukkan Bab baru
(BabVIII A) terkait ketentuan khusus bagi anak pada tahun 1961 berdasarkan UU
Nomor 9 November 1961, S. 402 dan kemudian mengalami perubahan beberapa
kali, terakhir dengan UU 7 Juli 1994 No. 528, merumuskan bahwa jenis-jenis
perampasan barang (Pasal 33a) yaitu:
1. barang yang dimiliki terpidana atau yang dapat digunakan olehnya sebagai alat
melakukan tindak pidana;
2. barang-barang yang berhubungan dengan dilakukannya tindak pidana;
3. barang yang digunakan untuk melakukan atau mempersiapkan tindak pidana;
4. barang yang digunakan merusak hasil penyelidikan kejahatan;
5. barang yang dihasilkan atau dituju/diharapkan;
6. right in rem dan right in personam yang berhubungan dengan butir 1-5.104
104
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 14
Lihat juga Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.30
97
Dari apa yang telah diatur dalam KUHP Belanda tersebut, tampak bahwa
ketentuan dalam KUHP Belanda telah mengatur secara spesifik terkait dengan
pidana tambahan perampasan barang-barang tertentu bagi anak bila dibandingkan
dengan ketentuan yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selanjutnya tentang pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat,
dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan
“kewajiban adat” adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan
norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak
membahayakan kesehatan fisik dan mental Anak.
Dalam rancangan KUHP tahun 2005, selain mengatur tentang pidana
pokok, juga mengatur pidana tambahan dan pidana khusus. Terhadap pidana
tambahan, telah direncanakan pemberlakukan pidana pembayaran ganti kerugian
ini, selain juga penambahan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat
dan 3 (jenis) pidana tambahan yang sama dengan KUHP. Artinya, Undang-undang
Sistem Peradilan Pidana Anak telah lebih dahulu menerbitkan ketentuan yang
terkait dengan pidana tambahan berupa ganti kerugian, hanya saja tidak ada
penjelasan lebih jauh tentang hal itu dan Peraturan Pemerintah yang diisyaratkan
oleh UU tersebut juga belum diterbitkan.
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga tidak menginginkan
anak yang telah melakukan kenakalan dijatuhi pidana tambahan berupa
Pengumuman Keputusan Hakim. Hal ini memang dibenarkan, karena anak yang
walaupun telah divonis pidana yang tentu saja akan berpengaruh terhadap
perkembangann fisik, sosial, dan mentalnya, akan menambah penderitaannya kalau
ditambah dengan pengumuman terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim
98
tersebut yang kemudian akan diketahui oleh masyarakat luas termasuk temantemannya. Hal inilah yang tidak dikehendaki timbul pada seorang anak, sekalipun
ia telah melakukan kejahatan.
Jenis sanksi hukuman yang kedua bagi Anak yang Berkonflik dengan
Hukum adalah berupa tindakan. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) Undang-undang
Sistem Peradilan Pidana Anak, sanksi tersebut ada tiga macam, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
pengembalian kepada orang tua/Wali;
penyerahan kepada seseorang;
perawatan di rumah sakit jiwa;
perawatan di LPKS;
kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
Apabila Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang menurut Putusan
pengadilan dikembalikan kepada orang tua, wali, atau seseorang bukan berarti
sepenuhnya di bawah pengawasan orang tua tersebut, akan tetapi anak yang
bersangkutan tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing
Kemasyarakatan.
Dalam suatu perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum, apabila hakim
berpendapat bahwa orang tua, wali, atau seseorang tidak dapat memberikan
pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim dapat menetapkan anak
tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (sebagai anak sipil) untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan
untuk memberikan bekal ketrampilan di bidang pertukangan, pertanian,
perbengkelan, tata rias, dan sebagainya, sehingga setelah selesai menjalani
Tindakan dapat hidup lebih baik dan mandiri.
99
Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja diselenggarakan
oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial; akan
tetapi dalam dalam kepentingan anak menghendaki, hakim dapat menetapkan anak
yang bersangkutan diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti:
pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan memerhatikan agama
anak yang bersangkutan.
Penjatuhan sanksi hukum berupa tindakan: (a) pengembalian kepada orang
tua/Wali; (b) penyerahan kepada seseorang; (c) perawatan di rumah sakit jiwa; (d)
perawatan di LPKS; (e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; (f) pencabutan surat izin
mengemudi; dan/atau (g) perbaikan akibat tindak pidana. tersebut pada ayat (1)
huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun, pada ayat (1)
dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah. (Pasal 82 ayat (2, 3, 4) UU 11/2012). Yang dimaksud
dengan penyerahan kepada seseorang adalah penyerahan kepada orang dewasa
yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab, oleh Hakim serta
dipercaya oleh anak. Yang dimaksud perawatan dirumah sakit jiwa adalah tindakan
yang diberikan kepada Anak yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita
gangguan jiwa atau penyakit jiwa, sedangkan Yang dimaksud dengan ”perbaikan
akibat tindak pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh
tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya
tindak pidana.
100
Terhadap anak yang melakukan kenakalan, sanksi hukuman yang dapat
diberikan secara skematis dapat dilihat pada bagan berikut:
101
PIDANA PERINGATAN
PIDANA DENGAN SYARAT
a. Pembinaan lembaga
b. Pelayanan masyarakat
c. Pengawasan
PIDANA
POKOK
PIDANA
Pasal 71 UU
11/2012
PELATIHAN KERJA
PEMBINAAN
DALAM LEMBAGA
PENJARA
PIDANA
TAMBAHAN
PERAMPASAN
KEUNTUNGAN YANG
DIPEROLEH DARI
TINDAK PIDANA
PEMENUHAN
KEWAJIBAN ADAT
SANKSI
Pengembalian kepada orang tua/wali
Penyerahan kepada seseorang
TINDAKAN
Pasal 82 UU
11/2012
Perawatan di rumah sakit jiwa
Perawatan di LPKS
Kewajiban
mengikuti
pendidikan
formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta
Penncabutan surat izin mengemudi
Perbaikan akibat tindak pidana
-
-
Pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf
f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun.
Pada ayat (1) dapat diajukan oleh
Penuntut Umum dalam tuntutannya,
kecuali tindak pidana diancam dengan
pidana penjara paling singkat 7 (tujuh)
tahun.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
102
Sebagai perbandingan, di Belanda melalui Bab VIIIA KUHP Belanda (WvS
Nederland), Pasal 77 h merumuskan tentang sanksi hukuman yang dapat diberikan
terhadap anak, yaitu:
1. Pidana Pokok:
a. untuk kejahatan; kurungan anak (juvenile detention) atau denda;
b. untuk pelanggaran: denda
2. Satu atau lebih sanksi alternatif berikut ini dapat dikenakan sebagai pengganti
pidana pokok dalam ayat (1):
a. kerja sosial/pelayanan masyarakat
b. pekerjaan untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak
pidana;
c. mengikuti proyek pelatihan.
3. Pidana tambahan, yang terdiri dari:
a. Perampasan (barang);
b. Pencabutan SIM;
4. Tindakan-tindakan terdiri dari:
a. penempatan pada lembaga khusus untuk anak;
b. penyitaan;
c. perampasan keuntungan dari perbuatan melawan hukum;
d. kompensasi/ganti rugi atas kerusakan/kerugian.105
e.
3.3 Pidana Pengawasan Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan
Relevansinya Dengan Teori Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Modern di
Indonesia
Pemidanaan
atau
sering
juga
disebut
dengan
pemberian
pidana
(strafteemeting), menurut Soedarto dalam bukunya Hukum dan Hukum Pidana
memberikan dua makna, yakni:
1. dalam arti umum: pemberian pidana (poena) oleh pembentuk undangundang adalah hal penetapan sanksi hukum pidana (Pemberian pidana in
Abstracto)
Batasan ini didasarkan penganutan asas Legalitas dari zaman Aufklarung
yang menentukan bahwa dalam pengenaan pidana diperlukan undangundang terlebih dahulu. Petunjuk undang-undanglah yang menetapkan
peraturan tentang pidananya, tidak hanya tentang crime atau delictum-nya
ialah tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana.
105
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 37-38.
103
2. dalam arti khusus/konkret: menyangkut berbagai badan atau lembaga yang
mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut
(Pemberian pidana in Concreto)106.
Sebelum berlakunya UU Sistem Peradilan Pidana Anak, hukum materiil anak
yang juga termasuk pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP.
Dalam Pasal 45 dirumuskan:
Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang
dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh
memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya,
walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau
memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan tidak
dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan
atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497,
503-505, 514, 517-519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum
lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan
salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang
bersalah itu.
Sementara dalam Pasal 46 berbunyi:
Jika hakim memerintahkan supaya si tersalah itu diserahkan kepada
Pemerintah, maka ia: baik ditempatkan dalam rumah pendidikan negeri, supaya
di situ atau dengan cara lain ia mendapat pendidikan dari pihak Pemerintah,
baik diserahkan kepada seseorang yang ada di negara Indonesia atau kepada
perserikatan yang mempunyai hak badan hukum yang ada di Indonesia, atau
kepada balai derma yang ada di negara Indonesia supaya di situ mendapat
pendidikan dari mereka, atau kemudian dengan cara lain dari Pemerintah,
dalam kedua itu selama-lamanya sampai berumur delapan belas tahun.
Kemudian dalam Pasal 47 dirumuskan:
(1) jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama yang
ditetapkan atas perbuatan yang patut dihukum itu dikurangi dengan
spertiganya;
(2) jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara
seumur hidup, maka dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun;
(3) hukuman tambahan yang tersebut dalam Pasal 10 huruf b 1e dan 3e tidak
dijatuhkan.
106
Soedarto, Op. Cit, hal. 3
104
Apabila ancaman hukuman yang disediakan terhadap anak menurut KUHP
dibandingkan dengan ancaman hukuman anak dalam UU Sistem Peradilan Pidana
Anak, bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengancam lebih ringan.
Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, pola pemidanaannya dapat dilihat
sebagai berikut:
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum
genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan
setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas)
tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap
diajukan ke sidang Anak (Pasal 20);
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas)
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b.
mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama
6 (enam) bulan (Pasal 21 ayat (10)).
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan
dengan syarat sebagai berikut: (a) Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun
atau lebih; dan (b) diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih (Pasal 32 ayat (1)).
Dengan memerhatikan bunyi Pasal 32 ayat (1), maka pasal ini diperuntukkan
bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang pada dasarnya penahanan
dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap Anak
harus pula memperhatikan kepentingan Anak yang menyangkut pertumbuhan
dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial, Anak dan
kepentingan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga, baik
pemerintah maupun swasta, di bidang kesejahteraan sosial Anak, antara lain
panti asuhan, dan panti rehabilitasi.
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (2) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada
Pasa 32 ayat (3) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan;
(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus
tetap dipenuhi; (5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan
penempatan Anak di LPKS (Pasal 32 ayat (2), (3), (4) dan (5);
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
105
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari; (2) Jangka
waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan
Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan)
hari; (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum; (4) Penahanan terhadap Anak
dilaksanakan di LPAS (5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat
dilakukan di LPKS setempat (Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5).
Tehadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan
penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima)
hari; (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas
permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri
paling lama 5 (lima) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. (Pasal 34
ayat(1), (2) dan (3));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan
penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari; (2) Jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari; (3) Dalam hal jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum
memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. (Pasal 35 ayat (1),
(2) dan (3));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan
pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan
paling lama 10 (sepuluh) hari; (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari; (3) Dalam hal jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim
Banding belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.
(Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan
penahanan paling lama 15 (lima belas) hari; (2) Jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh
Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari; (3) Dalam hal
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir
dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi
hukum (Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal
37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah berakhir, petugas tempat Anak ditahan
harus segera mengeluarkan Anak demi hukum (Pasal 39);
106
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Pejabat yang melakukan penangkapan atau
penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai
hak memperoleh bantuan hukum; (2) Dalam hal pejabat tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penangkapan atau penahanan
terhadap Anak batal demi hukum (Pasal 40 ayat (1) dan (2));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, hakim dapat menjatuhkan Pidana atau Tindakan (Pasal
71 ayat (1));
Terkait pidana bersyarat, dapat diberikan hakim apabila pidana penjara yang
akan diajtuhkan paling lama 1 (satu) tahun dengan ditentukannya syarat umum
dan syarat khusus, yang lamanya Pidana Bersyarat tersebut paling lama 3
(tiga) tahun. Syarat umum adalah bahwa Anak yang Berkonflik dengan
Hukum tidak akan melakukan kenakalan selama menjalani masa pidana
bersyarat, sementara syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak
melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap
memerhatikan kebebasan anak. Bahwa selama menjalani pidana bersyarat,
bagi anak dilakukan pengawas oleh Jaksa dan dibimbing oleh Pembimbing
Kemasyarakatan. (Pasal 73 ayat (1) sampai (8));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, pidana Pengawasan dijatuhkan paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun, yang ditempatkan di bawah pengawasan
Jaksa dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 77 ayat (1) dan
(2));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak
paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa; (6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
(Pasal 82 ayat (2) dan (6));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, hakim dapat menjatuhkan Tindakan (Pasal 82 ayat
(1));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, Anak yang dijatuhi penjara ditempatkan di LPKA.
(Pasal 85 ayat (1));
Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Anak yang belum selesai menjalani pidana di
LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke
lembaga pemasyarakatan pemuda; (2) Dalam hal Anak telah mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak
dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan
kesinambungan pembinaan Anak; (3) Dalam hal tidak terdapat lembaga
pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke lembaga pemasyarakatan
107
dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 86
ayat (1), (2) dan (3));
108
BAB IV
PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK
DENGAN HUKUM SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN YANG
INTEGRATIF SESUAI DENGAN IDE DAN SISTEM PEMASYARAKATAN
4.1 Pidana Pengawasan Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Ditinjau Dari Aspek Teori Pemidanaan Yang Integratif
Pelaksanaan pembinaan anak didik mempunyai metode pembinaan yang
berbeda dengan pembinaan narapidana dewasa, hal ini terkait dengan karakteristik
yang melekat pada diri anak. Anak merupakan individu yang sedang dalam proses
tumbuh kembang sehingga segala perlakuan terhadap anak harus dapat
menciptakan kondisi yang kondusif dalam rangka mendukung proses tumbuh
kembang tersebut.
Pembinaan anak didik harus dapat memberi jaminan bahwa hak-hak anak
sebagaimana tertuang dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dapat
dipenuhi. Dengan terpenuhinya hak-hak anak akan dapat mendukung proses
tumbuh kembang anak.
Pada beberapa instrument hukum yang mengatur tentang anak, telah
memberi nuansa pemihakan terhadap anak, misalnya sebagaimana yang terkandung
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, mengatur tentang perlakuan terhadap terhadap anak yang melakukan
pelanggaran hukum. Didalamnya diatur tentang tata cara penyidikan, penuntutan
dan persidangan, dimana diberlakukan ketentuan khusus yaitu tidak mengenakan
109
seragam seperti layaknya diberlakukan kepada orang dewasa. Hal itu untuk
menjaga agar perkembangan psikologis anak tidak terganggu.
Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan
bahwa perlindungan anak adalah merupakan hak anak yang sangat esensial.
Perlindungan
ini
meliputi
perlindungan
terhadap
kekerasan,
eksploitasi,
diskriminasi dan penelantaran.107
Tujuan
pemidanaan
mengalami
perkembangan
sesuai
dengan
perkembangan paradigma pemidanaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam
sejarah,
tujuan
(doktrin)
pemidanaan
telah
mengalami
beberapa
fase
perkembangan, yaitu: Pembalasan, Penjeraan, Rehabilitasi dan Re-Integrasi.
Doktrin pembalasan berasumsi bahwa konsep keadilan digambarkan
sebagai suatu keseimbangan; mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa. Artinya
bagi setiap pembunuhan maka akan dikatakan adil apabila si pembunuh di hukum
mati.
Doktrin penjeraan berasumsi bahwa manusia itu bebas maka kesakitan yang
paling hakiki adalah dicabut kebebasannya. Dengan demikian si pelaku kejahatan
akan takut dan jera untuk melakukan perbuatan jahatnya. Namun yang menjadi
masalah adalah pelaksanaan pidana hilang kebebasan bergerak
melalui
pemenjaraan pun tidak bebas masalah. Karena terbukti bahwa pemasukan orang ke
dalam penjara ternyata dapat menimbulkan dampak prisonisasi. Prisonisasi adalah
keadaan dimana terjadi suatu proses sosialisasi nilai-nilai masyarakat penjara yang
107
139
Sujanto, Adi dan Didin Sudirman. 2008. Pemasyarakatan. Vetlas Production, Jakarta, hal
110
dapat menimbulkan si narapidana dapat lebih buruk atau lebih jahat dibandingkan
dengan sebelum ia masuk penjara.
Doktrin rehabilitasi berasumsi bahwa pada hakekatnya pelanggar hukum itu
adalah orang memiliki kekurangan atau memiliki penyakit. Oleh sebab itu ia harus
diperbaiki atau direhabilitasi.
Doktrin re-integrasi sosial berasumsi bahwa pelanggaran hukum terjadi
bukan hanya karena kesalahan individu tetapi juga masyarakat mempunyai andil
terhadap terjadinya pelanggaran hukum tersebut. Oleh karenanya masyarakat harus
ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan hukum. Harus diupayakan
pemulihan
hubungan
yang
harmonis
antara
pelanggar
hukum
dengan
masyarakatnya. Konsep inilah yang melahirkan pemulihan hubungan hidupkehidupan dan penghidupan dalam sistem pemasyarakatan. Hidup diartikan sebagai
hubungan antara manusia dengan pencipta-Nya. Kehidupan diartikan sebagai
hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dalam kaitan ini manusia
memanfaatkan alam untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Sejalan dengan Konsep Pemasyarakatan dan dikaitkan dengan pembinaan
anak yang berhadapan dengan hukum, sekarang berhembus konsep yang
dinamakan Restoratif Justice atau keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah
suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu
bersama-sama
memecahkan
masalah,
dan
bagaimana
menangani
akibat/implikasinya dimasa yang akan datang (Tony Marshall, diadopsi oleh
111
Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB). Adapun prinsip-prinsip dari Keadilan
Restoratif (seperti yang diuraikan oleh Apong Herlina, LSM Anak) adalah 108:
a. Membuat pelanggar hukum bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian
yang ditimbulkan oleh kesalahnnya.
b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif.
c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, dan sekolah serta teman
sebaya.
d. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah
tersebut.
e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi
sosial yang formal.
f. Memperhatikan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas, maka secara internasional telah
dikeluarkan berbagai konvensi yang menuntun setiap Negara anggota PBB untuk
memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum, misalnya Beijing Rules
(1985), Riyadh Guidelines (1990), Peraturan PBB tentang Perlindungan bagi
Remaja yang Kehilangan Kebebasannya (1990) dan lain sebagainya.
Penerapan tujuan pemidanaan yang terintegrasi tersebut
menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan permasalahan yang berhubungan
dengan anak, sebagaimana yang dituangkan dalam konsideran Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyatakan :
-
-
bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan
perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem
peradilan;
bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan
hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan
perlindungan khusus terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum;
Disamping itu, dalam kenyataannya masalah anak mencakup beberapa hal, yaitu :
108
Ibid, hal 141
112
a. Visi mengenai pembangunan yang pro terhadap anak dan yang mengutamakan
kepentingan terbaik anak terintegrasi ke dalam sistem dan model pembangunan;
b. Sistem hukum perlindungan anak yang masih menampilkan kesenjangan dan
kekosongan hukum mengenai anak dan hak-hak anak yang masih belum
sepenuhnya terintegrasi ke dalam norma hukum positif dan belum maksimalnya
penegakkan hukum anak;
c. Realitas anak-anak yang berada dalam situasi sulit seperti pekerja anak, anak
jalanan, kekerasan terhadap anak, penyalahgunaan anak, pelacuran anak, dan
sejumlah masalah anak-anak yang memerlukan intervensi khusus, semakin
nyata ditemukan dalam masyarakat dan negara Indonesia yang justru tengah
giat melaksanakan pembangunan;
d. Keterbatasan institusi atau pihak yang konsern dengan masalah anak -sebagai
kekuatan penting untuk mendorong perlindungan, kesejahteraan dan
pengembangan anak baik pada tingkat pemerintah maupun lembaga swadaya
masyarakat. Keterbatasan institusi yang konsern dengan masalah anak pada
tataran kualitas maupun kuantitas, sumber daya manusia, dan komitmen yang
kuat dalam pengelolaan program aksi untuk anak.109
Mengacu pada beberapa masalah tersebut, maka terdapat beberapa gagasan
mengenai alternatif program aksi yang dapat dilakukan untuk menangani masalah
Anak yang Berkonflik dengan Hukum, yaitu :
a. Advokasi tersistem terhadap masalah anak untuk membangun situasi, struktur
dan sistem yang lebih memihak kepada anak dan mengintegrasikan visi
pembangunan yang berwawasan hak-hak anak.
b. Pengembangan sistem hukum anak untuk menjamin perlindungan hak-hak anak
yang lebih maju, termasuk mengusahakan program pembuatan hukum anak,
harmonisasi hukum anak dengan konvensi-konvensi internasional, dan
mengembangkan kebijakan penegakkan hukum anak.
c. Mengembangkan preseder hukum tentang perlindungan anak yang dilakukan
lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang konsern dengan masalah anak
sebagai pihak yang dapat mewakili kepentingan hukum anak di pengadilan
(class action).
d. Merumuskan program aksi nasional untuk perlindungan anak dan penegakkan
hak-hak anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga yang konsern lainnya.
e. Melakukan kampanye nasional perlindungan anak sebagai upaya
membangkitkan penyadaran masyarakat (public awareness rising) terhadap
masalah yang melanda anak-anak.
f. Membentuk lembaga khusus yang bekerja untuk memberikan perlindungan anakanak.
109
Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak
Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 4-5.
113
g. Melakukan kajian dan pengembangan masalah anak, hukum anak dan perangkat
pendukung penegakkan hak-hak anak.
h. Melakukan pengembangan sumber daya manusia dan penguatan
lembaga (capacity building) khususnya lembaga swadaya masyarakat yang
konsern dengan masalah anak dan hak-hak anak.
i. Membangun jaringan kerja (networking) nasional dan internasional dengan
lembaga dan organisasi yang menangani masalah anak-anak.110
Dengan demikian terdapat landasan yuridis lain yang mengatur upaya
pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana atau Anak yang Berkonflik dengan
Hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, yang juga menetapkan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana
atau Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang telah diputus dikenai sanksi,
berupa pidana penjara, terhadapnya akan dilakukan proses pembinaan dalam sistem
pemasyarakatan dan ditempatkan secara khusus dalam Lembaga Pemasyarakatan
Anak (LPA). Tetapi khusus terhadap anak, dalam undang-undang ini tentang sanksi
yang dapat dijatuhkan tidak mengikuti ketentuan sanksi tentang pidana pokok yang
diatur dalam Pasal 10 KUHP, dan menentukan sanksi secara tersendiri yang
dituangkan dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada
Anak yang Berkonflik dengan Hukum ialah : a. pidana peringatan; b. pidana
dengan syarat (pembinaan luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan); c.
pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; e. pidana penjara (maksimum 10
tahun). Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18
(delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang
bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak
110
Ibid, hlm. 5-6
114
Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ketentuan Pasal 84 ayat: (1) anak yang ditahan ditempatkan di LPA;
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan,
perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) LPAS wajib
menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan
penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); (5)
Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan disebutkan sebagai berikut.
Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari
manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau
kekhilafaan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas.
Yang harus diberantas diberantas adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan narapidana berbuat hal-hal bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat
dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan
narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya dan
mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan Pemasyarakatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sedangkan yang
115
dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 butir 2 UndangUndang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang
dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
Untuk pelaksanaan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana di
Lembaga Pemasyarakatan Anak diatur dalam Pasal 20 Undang- Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan terhadap
anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan penggolongan
berdasarkan: umur, jenis kelamin, lamanya pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan,
dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Dalam konteks pembinaan terhadap anak, kepentingan terbaik anak harus
menjadi pertimbangan utama, bukan prosedur formal atas nama kepastian hukum.
Tak dapat dipungkiri, bahwa berkaitan dengan proses penanganan perkara anak
seringkali muncul pro dan kontra terhadap langkah-langkah yang diambil. Di satu
sisi ada kelompok masyarakat yang menghendaki agar anak yang terlibat dalam
kejahatan ditangani secara tegas, untuk memberikan pelajaran bagi anak. Tetapi di
sisi yang lain, juga ada kelompok masyarakat yang menghendaki kearifan dalam
menyelesaikan perkara yang melibatkan anak. Dalam konteks ini patut kiranya
dikemukakan berbagai ukuran normatif yang menjadi dasar bagi anak dalam rangka
116
pelaksanaan pembinaan, yang mendasarkan pada prinsip dasar yang terdapat dalam
instrument internasional.
Konvensi Hak-hak Anak 1989 memuat prinsip-prinsip yang menjadi
pijakan dalam pembinaan anak, yang menyatakan bahwa: The child, by the reason
of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care,
including appropriate legal, before as wellas other birth. Whereas the child, by the
reason of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care,
including appropriate legal protection, before as well as after birth. (Anak karena
ketidakmatangan
jasmani
dan
mentalnya,
memerlukan
pengamanan
dan
pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan
sesudah kelahirannya; Mengingat alasan karena ketidakmatangan jasmani dan
mental dari anak, maka memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus
termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahirannya).111
Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut di atas, maka dalam Konvensi hakhak Anak 1989 terdapat beberapa pokok-pokok pikiran, antara lain :
a. Pengakuan bahwa anak demi perkembangan jiwanya yang penuh dan harmonis,
harus tumbuh kembang dalam lingkungan keluarga, dalam suasana bahagia,
penuh kasih sayang, dan pengertian.
b. Sebagaimana ketentuan dalam Deklarasi Hak Anak, anak dengan berbagai alasan
kekurang matangan fisik dan mentalnya, membutuhkan perhatian dan
penjagaan khusus termasuk kebutuhan akan perlindungan hukum baik sebelum
maupun sesudah kelahirannya.
c. Dengan tidak mengabaikan pentingnya peranan nilai-nilai tradisi dan kultural
setiap bangsa, sejauh menyangkut perlindungan dan perkembangan harmonis
anak.
Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak 1989 tersebut dipahami, bahwa
dalam proses pembinaan anak, lingkungan keluarganya haruslah memberikan ruang
111
United Nations Centre for Human Right, UNICEF,Convention on The Right of The
Child. Information Kit. Dalam Paulus, hal 84
117
yang cukup baik secara jasmani maupun rohani yang memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang secara sehat dalam suasana yang bahagia dan dan penuh
pengertian. Sikap penuh pengertian mengandung makna, bahwa lingkungan
keluarga haruslah memahami
kebutuhan/kepentingan anak dalam
rangka
pertumbuhan jiwa dan jasmaninya secara sehat. Pengakuan secara sadar terhadap
berbagai kepentingan dan kebutuhan dasar anak menjadi kunci dalam melakukan
pembinaan anak.
4.2 Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum
ditinjau dari aspek Sistem Pemasyarakatan
4.2.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan
Terkait dengan istilah sistem maka konten dari sistem tersebut selalu harus
berisi hal-hal yang terkait dengan kebutuhan sistem. Kalau tidak, amaka sistem
akan mengalami pembusukan (entrofi) serta lambaat laun akan mengalami
kegagalan. Kebutuhan sistem meliputi: Pertama, sistem harus memiliki daya
penyesuaian diri demi berlangsungya sistem tersebut yakni adanya dukungan
sarana dan prasarana (aspek ekonomi). Kedua, sistem harus memiliki
kekuasaann/kewenangan dalam mencapai tujuannya (aspek politik). Ketiga, sistem
harus memiliki regulasi untuk mengintegrasikan semua sumber daya yang dimiliki
demi efektifitas dan efisiensi berlangsungnya sistem tersebut (aspek sosial).
Keempat, sistem harus memiliki daya untuk memelihara pola-pola demi keutuhan
sistem melalui sistem budaya (reward and punishment).
Sehubungan dengan itu, dalam UU Pemasyarakatan telah diberi batasan
tentang sistem pemasyarakatan, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta
118
cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
(Pasal 1 Angka 2 UU Pemasyarakatan).
Sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan
pengertian di atas, didasarkan pada Pancasila. Bahwa Pancasila yang digali dari
bumi Indonesia sendiri selian sebagai dasar Negara, juga sebagai pandanganhidup
bangsa Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, tujuan yang akan dicapai
oleh bangsa Indonesia, dan sebagai perjanjian luhur rakyat Indonesia. 112
Dengan mendasarkan kepada Falsafah Negara, diharapkan pelaksanaan
system pemasyarakatan tersebut sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
semua sila dari Pancasila, sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana
dengan baik.
Dalam sistem tersebut, pihak-pihak yang berhubungan bukan hanya antara
Pembina dengan yang dibina, melainkan juga dengan pihak masyarakat. Hubungan
segitiga ini dilaksanakan secara terpadu, dengan tujuan untuk meningkatkan orangorang yang dibina. Kalau warga yang dibina nantinya dapat mempbaiki dirinya,
tentu mereka akan diterima kembali ke masyarakat, tanpa perlu ada kecurigaan
lagi. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3 UU Pemasyarakatan bahwa system
112
Padmo Wahyono, 1981, Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, hal. 26-27
119
pemasyarakatan berfungsi menyiapkan wagra binaan pemasyarakatan agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Hubungan mantan
narapidana dengan masyarakat diharapkan dapat pulih kembali seperti sediakala.
4.2.2 Asas-Asas Pembinaan Pemasyarakatan
Dalam melaksanakan pembinaan pemasyarakatan, perlu didasarkan pada
suatu asas yang merupakan pegangan/pedoman bagi para Pembina agar tujuann
pembinaan yang dilakukan dapat tercapai dengan baik. Untuk itu, berdasarkan
Pasal 2 UU Pemasyarakatan, asas-asas pembinaan pemasyarakatan melingkupi:
a. Asas pengayoman
b. Asas persamaan perlakuan dan pelayanan
c. Asas pendidikan
d. Asas pembimbingan
e. Asas penghormatan harkat dan martabat manusia
f. Asas kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
g. Asas terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu.
a. Asas pengayoman
Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan terhadap warga
binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan
bekal hidup kepada warga binaan pemasyarakatan agar mereka menjadi warga
yang berguna di dalam masyarakat nantinya.
120
Jadi asas ini dilaksanakan untuk kepentingan mengayomi masyarakat secara
umum, karena masih berkaitan erat dengan fungsi hukum untuk melindungi
masyarakat. Di samping itu, secara implisit termasuk pula pengayoman terhadap
para narapidana selama mereka menjalani pidananya di LAPAS, karena sebagai
warga binaan pemasyarakatan mereka harus dilindungi, LAPAS bukan tempat
untuk pembalasan dendam para narapidana yang telah melakukan kesalahan.113
b. Asas persamaan perlakuan dan pelayanan
Asas ini dimaksudkan agar terhadap warga binaan pemasyarakatan
mendapat
persamaan
perlakuan
dan
pelayanan
di
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan, tanpa membeda-bedakan orang. Karena itu, dalam melakukan
pembinaan tidak boleh membedakan narapidana yang berasal dari kalangan orang
kaya dan kalangan orang miskin, atau berasal dari kalangan pada status tertentu
dengan kalangan lainnya.
c. Asas pendidikan
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan
mendapat pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Antara lain
dengan menanamkan jiwa kekeluargaan, ketrampilan, pendidikan kerohanian, dan
kesempatan menunaikan Ibadan sesuai dengan agamanya masing-masing.
Dengan menanamkan jiwa kekeluargaan kepada mereka, diharapkan
tumbuh sikap kekeluargaan antara sesame warga binaan pemasyarakatan dan
113
Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 117
121
antara warga binaan dengan Pembina atau pejabat/pegawai LAPAS, sehingga
mereka dapat berkomunikasi dengan baik laksana hidup dalam sebuah keluarga.
Adapun penyelenggaraan pendidikan kerohanian dan member kesempatan
untuk melaksanakan ibadahnya, agar mereka mempunyai pengetahuan agama
secara baik, dan dengan menunaikan ibadah sesuai dengan agama yang mereka
anut, akan mendekatkan diri kepada Tuhan, bertobat atas segala dosa dan
kesalahan yang telah dilakukan.
d. Asas pembimbingan
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan
mendapat pembimbingan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Dengan
dilakukan pendidikan dan pembimbingan ketrampilan, diharapkan untuk
menghilangkan rasa jenuh hidup dalam LAPAS, yang tujuan pokoknya adalah
memberikan bekal pengetahuan kepada narapidana supaya mereka terampil dalam
melakukan pekerjaan, sehingga setelah selesai menjalani pidananya, mereka tidak
akan menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan kembali.
e. Asas penghormatan harkat dan martabat manusia
Asas ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan pembinaan harus
memperlakukan warga binaan pemasyarakatan sebagaimana layaknya seorang
manusia. Meskipun seorang narapidana adalah orang yang telah melakukan
kesalahan, sebesar dan seberat apa pun, mereka tetap manusia. Sebagai manusia
harus tetap dihormati harkat dan martabatnya. Apabila tidak dilakukan demikian,
maka itu berarti terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
122
f. Asas kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
Warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka
waktu yang telah ditentukan melalui putusan hakim. Maksud penempaan itu
adalah untuk member kesempatan kepada Negara untuk memperbaiki, melalui
pendidikan dan pembinaan. Seseorang yang dihukum pidana penjara atau
kurungan harus menjalani pidananya di LAPAS, selama dalam LAPAS inilah
mereka menjadi hilang kemerdekaannya. Artinya ia tidak bebas untuk berpergian
ke mana pun atau melakukan aktivitas di luar. Hilangnya kebebasan untuk
melakukan kegiatan di luar tersebut sebagai satu-satunya penderitaan yang dialami
selama menjadi penghuni dalam LAPAS, walaupun selama dalam LAPAS warga
binaan pemasyarakatan tetap mempunyai hak-hak lainnya sebagai layaknya
manusia. Atau dengan kata lain, hak-hak keperdataannya tetap dilindungi, speerti
hak mendapat perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan
ketrampilan, olah raga, atau rekreasi.
g. Asas terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.
Selama narapidana mendapat pembinaan di LAPAS, mereka tetap dijamin
haknya untuk berhubungan dengan keluarga atau orang-orang tertentu. Pada
prinsipnya, untuk melakukan pembinaan, narapidana tidak boleh diasingkan sama
sekali dengan masyarakat. Mereka tetap dapat berhubungan dengan keluarganya.
Mereka diperbolehkan menemui dan berbicara dengan keluarga yang datang
berkunjung ke LAPAS. Kunjungan keluarga ini diharapkan dapat member
123
semangat bagi mereka untuk hidup sementara di LAPAS, dan mereka merasa tidak
ditinggalkan oleh keluarganya. Selain itu warga binaan juga diperbolehkan
berhubungan dengan orang lain yang bukan keluarganya, sperti pejabat yang
berkunjung ke LAPAS, rohaniawan atau seniman.
4.2.3 Arti dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Anak
Secara umum, yang dimaksud Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat
untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Dari pengertian di atas, terlihat adanya pembedaan penamaan antara
narapidana dan anak didik pemasyarakatan, walaupun secara hakikat mempunyai
kesamaan yaitu orang yang menghuni LAPAS berdasarkan putusan pengadilan.
Perbedaan ini tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan
bahwa penamaan “anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak” karena
dipengaruhi oleh gaya bahasa eufemismus. Dengan menggunakan istilah anak didik
pemasyarakatan tersebut merupakan ungkapan halus untuk menggantikan istilah
narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan dan mensugestikan sesuatu
yang tidak mengenakkan bagi anak.114
Sementara fungsi Lembaga Pemasyarakatan anak adalah tempat pendidikan
dan pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan, yakni:
a. Anak pidana;
b. Anak Negara, dan
c. Anak sipil.
114
Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 115
124
Konkretnya, LAPAS Anak mempunyai cirri, kekhasan dan motivasi
tertentu seperti LAPAS Wanita, LAPAS Remaja, LAPAS Narkotika.
Pada asasnya, pembinaan anak didik pemasyarakatan harus dalam LAPAS
Anak, terpisah dengan pembinaan orang dewasa/narapidana. Hal ini secara eksplisit
telah diatur dalam Pasal 60 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Prinsip ini tetap dipegang walaupun pada suatu daerah belum ada
LAPAS Anak, tetapi anak didik pemasyarakatan ditempatkan terpisah dengan
orang dewasa.
Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak, berhak untuk memperoleh
pendidikan dan latihan baik formil maupun informal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya.
Sebagai tempat yang berfungsi untuk melakukan pendidikan dan pembinaan
bagi anak didik pemasyarakatan, maka LAPAS Anak dibatasi jangka waktu
pendidikan dan pembinaannya. Tegasnya, ada jangka waktu dan kriteria tertentu
seseorang anak tidak lagi berada di LAPAS Anak. Dalam hal apakah, seorang anak
khususnya anak pidana tidak lagi berada dalam LAPAS Anak? Apabila disarikan
dari ketentuan Pasal 86 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, maka seorang anak
tidak berada di LAPAS Anak dalam hal:
(1) Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan
pemuda.
(2) Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi
belum selesai menjalani pidana, Anak dipindahkan ke lembaga
pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan
Anak.
(3) Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA
dapat memindahkan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari
Pembimbing Kemasyarakatan.
125
Sedangkan terhadap anak didik pemasyarakatan lainnya (anak Negara)
apabila telah menjalani masa pendidikannya dalam LAPAS Anak paling sedikit 1
(satu) tahun dan berkelakukan baik, sehingga tidak memerlukan lagi pembinaan,
maka kepala lembaga pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada
Menteri Kehakiman agar anak tersebut dapat dikeluarkan dari LAPAS Anak tanpa
syarat umum dan syarat khusus.
4.2.4 Anak Didik Pemasyarakatan dan Hak-haknya
a. Anak Pidana
Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun.
Anak pidana ditempatkan di LAPAS Anak dan wajib didaftar dan
penggolongan pembinaan.
1) Pendaftaran anak pidana meliputi:
a) pencatatan
ï‚· putusan pengadilan
ï‚· jati diri, dan
ï‚· barang dan uang yang dibawa
b) pemeriksaann kesehatan
c) pembuatan pas foto
d) pembuatan berita acara serah terima anak pidana
2) Berdasarkan Pasal 20 UU Pemasyarakatan, penggolongan pembinaan anak
pidana atas dasar:
a) umur
b) jenis kelamin
c) lama pidana yang dijatuhkan
d) jenis kejahatan, dan
e) kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
3) Hak-hak Anak Pidana seperti yang diatur dalam Pasal 22 UU Pemasyarakatan,
adalah:
a) berhak melakukan Ibadan sesuai dengan agama dan kepercayaannya
126
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
berhak menyampaikan keluhan
berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya
berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
berhak mendapatkan pembebasan bersyarat
berhak mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku
Selanjutnya terhadap ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan
pembinaan anak pidana diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Sementara
mengenai syarat-syarat dan atat cara pelaksanaan hak-hak anak pidana diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 3, 4 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pada asasnya, anak pidana wajib mengikuti secara tertib program
pembinaan dan kegiatan tertentu dan anak pidana dapat dipindahkan dari satu
LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain, untuk kepentingan:
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
pembinaan;
keamanan dan ketertiban;
pendidikan;
proses peradilan; dan
lainnya yang dianggap perlu
b. Anak Negara
Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai
127
berumur 18 (delapan belas) tahun. Bagi anak yang ditempatkan di LAPAS Anak
wajib didaftar (Pasal 25 UU Pemasyarakatan).
1) Pendaftaran anak Negara meliputi:
a) pencatatan:
ï‚· putusan pengadilan
ï‚· jati diri; dan
ï‚· barang dan uang yang dibawa
b) pemeriksaan kesehatan
c) pembuatan pas foto
d) pengambilan sidik jari
e) pembuatan berita cara serah terima anak negara
2) Berdasarkan Pasal 27 UU Pemasyarakatan, penggolongan pembinaan anak
Negara atas dasar:
a) umur
b) jenis kelamin
c) lamanya pembinaan; dan
d) kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
3) Hak-hak Anak Negara seperti yang diatur dalam Pasal 29 UU Pemasyarakatan,
adalah:
a) berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
b) berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
c) berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
d) berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e) berhak menyampaikan keluhan
f) berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
g) berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya
h) berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
i) berhak mendapatkan pembebasan bersyarat
j) berhak mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
k) berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku
Anak Negara tidak berhak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan
yang dilakukannya dan juga tidak berhak untuk mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi), karena dia bukan pidana. Anak negara wajib mengikuti secara
tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu, dan dapat dipindahkan dari satu
LAPAS Anak ke LAPAS Anak lainnya. Alasan pemindahan itu adaah untuk:
128
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
pembinaan;
keamanan dan ketertiban;
pendidikan; dan
lainnya yang dianggap perlu.
c. Anak sipil
1) Pengertian
Anak sipil adalah anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orang tua, wali,
atau orang tua asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya.
Pasal 384 KUH Perdata mengatakan dasar penempatan menempatkan si anak
menjadi anak sipil haruslah berdasarkan alasan-alasan yang sungguh-sungguh
merasa tak puas atas kelakuan si anak yang belum dewasa.
Adapun yang berhak mengajukan permintaan itu adalah:
ï‚· Orang tua (Ayah atau Ibu)
ï‚· Wali
ï‚· Orang tua asuh
ï‚· Dewan Perwalian
2) Penempatan Anak Sipil
Menurut Pasal 32 UU Pemasyarakatan, anak sipil ditempatkan di LAPAS
Anak. Penempatan itu paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum
berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang
pada saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun, dengan ketentuan
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Sementara menurut ketentuan Pasal 384 KUH Perdata, penempatan anak
sipil itu boleh di Lembaga Negara atau Partikelir/Swasta yang ditunjuk oleh
Menteri Kehakiman. Penempatan diselenggarakan dengan biaya si anak, orang tua,
wali, orang tua asuh, atau atas beban Negara.
129
Sementara menurut ketentuan Pasal 384 KUH Perdata, penempatan anak
sipil itu boleh di Lembaga Negara atau Partikelir/Swasta yang ditunjuk oleh
Menteri Kehakiman. Penempatan diselenggarakan dengan biaya di anak, orang tua,
wali, orang tua asuh, atau atas beban Negara.
3) Pendaftaran Anak Sipil
Di Lembaga Pemasyarakatan Anak, anak sipil wajib di daftar, yang meliputi::
a) pencatatan:
ï‚· penetapan pengadilan
ï‚· jati diri, dan
ï‚· barang dan uang yang dibawa
b) pemeriksaan kesehatan
c) pembuatan pas foto
d) pengambilan sidik jari
e) pembuatan berita acara serah terima anak sipil
4) Pembinaan Anak Sipil
Pembinaan anak sipil diatur dalam Pasal 34 UU Pemasyarakatan dan
dilaksanakan di LAPAS Anak. Untuk itu dilakukan pembinaan anak sipil atas
dasar:
a)
b)
c)
d)
umur
jenis kelamin
lamanya pembinaan; dan
criteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
5) Hak-hak Anak Sipil
Hak-hak Anak Sipil seperti yang diatur dalam Pasal 36 jo Pasal 14 UU
Pemasyarakatan, adalah:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
berhak mendapat pendidikan dan pengajaran
berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
berhak menyampaikan keluhan
berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang
130
g) berhak menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya
h) berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
i) berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundanagundangan yang berlaku
Syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak anak sipil diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Perlu dicatat, bahwa anak sipil tidak berhak mendapatkan
upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya, karena anak belum boleh
bekerja. Demikian juga tidak berhak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana
(remisi), karena dia bukan dipidana, maupun cuti menjelang bebas.
Anak sipil wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan
tertentu, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Anak sipil dapat dipindahkan
dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lainnya. Alasan pemindahan itu adalah
untuk:
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
pembinaan;
keamanan dan ketertiban;
pendidikan; dan
lainnya yang dianggap perlu.
6) Proses penetapan Anak Sipil
Untuk menetapkan seorang anak menjadi anak sipil, hanya dapat dilakukan
dengan memanggil dan mendengar wali pengawas, keluarga sedarah, keluarga
semenda, Dewan Perwalian, si anak itu sendiri. Apabila si anak yang belum dewasa
tidak hadir, maka sidang diundur sampai waktu tertentu dam si anak dipanggil
kembali, dengan perintah menghadirkan anak tersebut oleh juru sita atau polisi.
Apabila si anak tetap juga tidak hadir, maka pengadilan memutuskan tanpa
mendengar si anak tersebut.
131
Penetapan dapat berisi memerintahkan atau menolak penempatan si anak.
Apabila si anak atau wali tidak mampu untuk membayar, maka hakim menetapkan
segala biaya ditanggung oleh Negara. Pelaksanaan penempatan si anak sendiri ke
dalam LAPAS Anak dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
Sesuai ketentuan Pasal 384a KUH Perdata, si wali senatiasa dapat
memperpendek waktu penempatan yang telah ditentukan dalam penetapan hakim.
Sementara untuk memperpanjangnya harus dilakukan atas permintaan lembaga.
4.2.5 Hukuman Disiplin bagi Anak Pidana
Telah diketahui di atas bahwa semua anak yang menghuni di LAPAS Anak
mempunyai kewajiban untuk mentaati seluruh peraturan keamanan dan ketertiban
di tempat tersebut. Berhubung hal tersebut merupakan kewajiban, maka
kunsekuensinya apabila dilalaikan atau dilanggar, kepada si anak akan dikenakan
hukuman disiplin.
Mengenai siapa yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin tersebut,
UU Pemasyarakatan telah menunjuk Kepala LAPAS Anak. Kepala LAPAS Anak
diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi yang dimaksud, karena ia sebagai
pemimpin mempunyai tanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di
lingkungannya (Pasal 46 UU Pemasyarakatan).
Dalam UU Pemasyarakatan, tidak mengatur secara lengkap tentang
pelanggaran yang dilakukan. UU Pemasyarakatan hanya mengatur hukuman
disiplin terhadap anak pidana saja, sedangkan terhadap anak Negara dan anak sipil
bagaimana bentuk dan jenis hukumannya tidak diatur secara tegas. Sanksi apa yang
diberikan Kepala LAPAS Anak kepada anak Negara dan anak sipil, tergantung
132
kebijaksanaan Kepala LAPAS Anak tersebut, hanya saja tentu tidak seberat
hukuman disiplin terhadap anak pidana yang melakukan pelanggaran disiplin.
Penjatuhan hukuman disiplin tersebut, karena terhadap anak Negara dan anak sipil
juga diberi kewajiban-kewajiban oleh undang-undang, seperti anak pidana.
Kemudian mengenai hukuman disiplin yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan terhadap anak pidana? Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Pemasyarakatan
mengatur ada dua jenis hukuman disiplin, yaitu:
a. tutupan sunyi paling lama (enam) hari;
b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk waktu tertentu sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya meniadakan hak untuk
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) untuk satu tahun.
Hukuman disiplin tersebut dapat dijatuhkan oleh Kepala LAPAS Anak
secara kumulatif, artinya selain tutupan sunyi juga sekaligus pengurangan hak-hak
tertentu yang seharusnya diperoleh oleh anak pidana. Penjatuhan hukuman tersebut
sangat tergantung pada berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh anak
pidana dan kebijaksanaan Kepala LAPAS Anak.
Selanjutnya undang-undang juga member ancaman kepada anak pidana yang
mengulangi perbuatan pelanggarannya lagi. Ancaman ini hanya ditujukan kepada
mereka yang pernah dijatuhi hukuman disiplin berupa tutupan sunyi saja, karena
dianggap melakukan pelanggaan berat. Sesuai Pasal 27 ayat (4) UU
Pemasyarakatan, dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 x 6 hari
= 12 hari. Dengan diperberat hukumannya diharapkan mereka akan merasa kapok
untuk tidak melakukan pelanggaran lagi.
133
Di lain pihak, bagi petugas LAPAS yang memberikan atau menjatuhkan
hukuman disiplin sehubungan dengan pelanggaran yang telah dilakukan oleh anak
pidana menyangkut keamanan dan ketertiban di LAPAS, mereka memiliki
kewajibann sebagai berikut:
a. memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak
bertindak sewenang-wenang;
b. mendasarkan tindakannya pada tata tertib Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Pembebasan Bersyarat
Di atas telah diuraikan tentang hak-hak yang dipunyai oleh seorang anak
yang berstatus anak pidana, anak Negara dan anak sipil. Terhadap anak pidana dan
anak Negara, salah satu hak yang mereka miliki adalah pembebasan bersyarat.
Pembebasan bersyarat yang dapat diberikan terhadap anak Negara dan anak
pidana, diberikan apabila si anak telah menjalani pidananya/hukumannya 2/3 (dua
pertiga) dari masa hukuman yang telah dijatuhkan dan sekurang-kurangnya 9
(sembilan) bulan serta berkelakuan baik di bawah pengawasan jaksa dan
pembimbing kemassyarakatan (PK) dan pengamatan serta Tim Pengamat
Pemasyarakatan.
Pembebasan bersyarat dimaksud disertai dengan masa percobaan yang
lamanya sama dengan sisa pidana yang harus dijalani si anak. Dalam pembebasan
bersyarat sesuai dengan Pasal 80 ayat (4) UU Sistem Peradilan Pidana Anak
ditentukan syarat umum dan syarat khusus seperti yang diatur dalam Pasal 73 ayat
(3) dan ayat (4) UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu syarat umum yaitu bahwa
anak pidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani
134
pembebasan bersyarat; syarat khusus yaitu: syarat yang menentukan bahwa untuk
melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam pembebasan
bersyarat dengan tetap memerhatikan kebebasan anak.
Pengamatan terhadap bimbingan ini dilakukan oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan (Pasal 62 ayat (2) UU Pemasyarakatan).
Pidana Bersyarat
Dalam Pasal 71 dan Pasal 82 UU Sistem Peradilan Pidana Anak diatur
tentang sanksi yang diancamkan terhadap anak yang melakukan kenakalan. Pasal
71 mengatur tentang sanksi pidana; sementara Pasal 82 mengatur tentang sanksi
tindakan.
Salah satu sanksi pidana pokok yang diancamkan terhadap anak adalah
pidana penjara. Pidana penjara diancamkan terhadap anak yang terlingkup dalam
pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum berdasarkan Pasal 1 Angka 2,
yang ancamannya seperdua dari ancaman orang dewasa (apabila melakukan tindak
pidana yang bukan ancaman pidana mati atau seumur hidup); dan ancaman
maksimal 10 tahun apabila melakukan pelanggaran pasal yang mengancamkan
pidana mati atau seumur hidup.
Berkaitan dengan hal di atas, maka dalam ilmu hukum dikenal adanya
hukuman pidana penjara, hakim dapat memerintahkan supaya terdakwa tidak perlu
menjalani, kecuali dalam waktu yang ditentukan ternyata melakukan tindak pidana
lagi (Pasal 14 f KUHP). Dalam masa percobaan ternyata si terpidana melakukan
tindak pidana lagi, baik perbuatan yang sejenis ataupun tidak, maka terpidana wajib
menjalani pidananya dan pelaksanaannya dilakukan berdasarkan perintah hakim.
135
Jadi jaksa selaku eksekutor tidak dapat secara langsung mengeksekusi si terpidana
yang melakukan tindak pidana kembali, sebelum ada perintah hakim.
Untuk perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum, hukuman pidana
bersyarat telah diatur tersendiri dalam Pasal 73 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat, apabila pidana yang dijatuhkan itu
paling lama 2 (dua) tahun. Maksimal 2 tahun tersebut bukan besarnya ancaman
pidana dari suatu ketentuan undang-undang yang berlaku bagi anak, tetapi
hukuman maksimal yang dijatuhkan hakim khusus untuk pidana bersyarat.
Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat tersebut, undangundang menghendaki supaya hakim menentukan dua syarat, yaitu:
-
syarat umum
-
syarat khusus
Yang dimaksud dengan syarat umum adalah bahwa Anak yang Berkonflik
dengan Hukum tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pidana
bersyarat. Apabila melakukan tindak pidana lagi, maka berlaku ketentuan di atas,
wajib menjalani hukuman pidana penjaranya setelah atas perintah hakim.
Sedangkan syarat khusus ialah penentuan sikap untuk melakukan atau tidak
melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap
memerhatikan kebebasan anak. Syarat khusus ini dapat berupa antara lain terpidana
tidak boleh mengendarai motor, atau kewajiban untuk mengikuti kegiatan yang
diprogramkan oleh Balai Pemasyarakatan. Masa pidana bersyarat bagi syarat
khusus harus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum.
Sebagaimana diketahui di atas, bahwa hukuman pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada terdakwa paling lama dua tahun, dan mengenai jangka waktu
136
masa pidana bersyarat, undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya
memperbolehkan maksimal 3 (tiga) tahun.
Selama menjalani pidana bersyarat, pengawasannya dilakukan oleh
kejaksaan.
Sedangkan
Pembimbing
Kemasyarakatan
yang
melakukan
pembimbingan terhadap terpidana, dengan maksud agar anak tersebut menepati
persyaratan
yang
telah
ditentukan.
Terpidana
bersyarat
dibimbing oleh
Pembimbing Kemasyarakatan, dan statusnya sebagai Klien Pemasyarakatan.
Selama Anak yang Berkonflik dengan Hukum tersebut berstatus Klien
Pemasyarakatan, dapat mengikuti pendidikan sekolah, di mana si anak tercatat
sebagai murid. Meskipun diperbolehkan tetap melanjutkan sekolah, anak tetap
menjalani dan memenuhi syarat umum dan syarat khusus yang telah ditentukan.115
4.3 Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum
ditinjau dari Aspek Perlindungan Hukum maupun Syarat Kemanfaatan
Hukum Pidana bagi Kesejahteraan Sosial (anak)
Anak seyogianya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan Negara
di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini
dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anaklah kemajuan suatu bangsa
tersebut akan ditentukan.
Semakin modern suatu Negara, seharusnya semakin besar perhatiannya
dalam menciptakan situasi yang kondusif bagi menumbuhkembangkan anak-anak
dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan Negara terhadap anak-
115
Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 93-95
137
anak meliputi aspek kehidupan, yaitu ekonomi, social, budaya, politik, hankam,
maupun aspek hukum.
Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan
sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi
anak (fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan anak.116
Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum.
Secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun social.
Berdasarkan prinsip nondiskrimiinasi, kesejahteraan merupakan hak setiap
anak tanpa terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam
keadaan normal maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas
yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan
tersebut.117
Melihat berbagai macam peraturan yang ada, mulai dari Instrumen
Internasional, antara lain Konvensi Hak Anak, Deklarasi Universal tentang Hakhak Asasi Manusia (DUHAM), ICPPR, Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia, Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap
Narapidana, Aturan-aturan Tingkah Laku bagi Petugas Penegak Hukum, Peraturan
Minimum Standar PBB mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing
116
117
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 155
Nasir Djamil, M. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Sinar Grafika, Jakarta hal 148
138
Rules), Riyadhh Guidelines (Pedoman PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak
Pidana Remaja), Prinsip Perlindungan Semua Orang yang di bawah Bentuk
Penahanan apa pun atau Pemenjaraan, Peraturan PBB bagi perlindungan anak yang
Kehilangan Kebebasannya. Di samping itu, juga ada Instrumen Nasional, antara
lain UUD 1945, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka telah
berhasil dirumuskan jaminan hak anak yang sedang mengikuti proses peradilan
pidana dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak tertangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak,
dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k. memperoleh advokasi social;
l. memperolehh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayanan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, khusus bagi anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
mendapat pengurangan masa pidana;
memperoleh asimilasi;
memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
memperoleh pembebasan bersyarat;
memperoleh cuti menjelang bebas;
memperoleh cuti bersyarat;
memperoleh hal lain sesuai dengan ketentuan peratutan perundang-undangan.
139
Secara tegas, jaminan hak asasi anak yang sudah dimasukkan dalam UU Sistem
Peradilan Pidana Anak tersebut merupakan konsekuensi dari politik hukum
perlindungan hak-hak anak. Hal yang penting di sini adalah bahwa sebenarnya anak
bukanlah untuk dihukum, sehingga jaminan hak anak tersebut merupakan
penjelmaan upaya memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak yang
berkonflik dengan hukum.
Rumusan hak-hak anak yang ada dalam Pasal 3 dan pasal 4 UU Sistem Peradilan
Pidana Anak berupaya untuk memberikan jaminan hukum sesuai dengan prinsipprinsip perlindungan anak, yakni prinsip nondiskriminasi, prinsip kepentingan
terbaik bagi anak, prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta
prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
Mengenai
pertanggungjawaban
pidana
bagi
anak,
tidak
hanya
mempertimbangkan keadaan psikis (kejiwaan) namun juga keadaan fisiknya. Dari
segi psikis pertumbuhan jiwa anak belum sempurna dan matang, sehingga fungsi
bathinnya belum sempurna juga. Dalam keadaan yang demikian ini, anak belum
mempunyai cukup kematangan psikis untuk mempertimbangkan keadaan dan
konsekuensi dari perbuatannya, sedang dari segi fisik anak belum kuat melakukan
pekerjaan karena fisiknya masih lemah, sehingga tidak ataukurang tepat bila harus
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya.118
Kriteria kesalahan tersebut harus menjadi dasar pertimbangan bagi hakim
dalam menyelesaikan perkara pidana dan atau melakukan upaya penanggulanganan
atas terjadinya tindak pidana/kejahatan. Atas dasar hal tersebut, proses peradilan
118
Suwantji Sisworahardjo, 1986, Hak-Hak Anak dalam Proses Peradilan Pidana,
Yayasan LBH Indonesia dan Rajawali, Jakarta, hal.33.
140
pidana yang digelar tujuannya bukanlah pada penghukuman, tetapi perbaikan
kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan penanggulangan
tindakannya melalui tindakan pengadilan yang konkrit.
Komitmen dari masyarakat internasional untuk memberikan jaminan khusus
bagi anak-anak generasi penerus bangsa di bidang hukum dan peradilan, dapat
dilihat dalam Kongres-Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa yang secara terus
menerus memberikan perhatian khusus terhadap masalah perlindungan anak.
Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan anak (khususnya anak pidana)
agar dilakukan pembinaan secara memadai, di dalam Beijing Rules, pada Rule 2325 menetapkan, bahwa anak setelah melalui proses ajudikasi, pada akhirnya dapat
ditempatkan di dalam Lembaga atau mungkin di luar Lembaga untuk dibina.
Pembinaan anak di luar lembaga dalam pelaksanaannya perlu dipersiapkan secara
matang dengan cara melibatkan suatu lembaga yang independen, misalnya Parole,
Probation,
Lembaga-lembaga
Kesejahteraan
Anak
dengan
petugas
yang
berkualitas, ditunjang dengan fasilitas yang memadai dalam kerangka rehabilitasi
anak. Sedangkan Rule 26 menetapkan, bahwa pembinaan anak di dalam Lembaga
diarahkan agar pembinaan tidak bersifat umum, melainkan memperhatikan kondisi
sosial, ekonomi dan budaya anak bersangkutan (individualisasi pembinaan)
penyediaan tenaga-tenaga medis, ahli jiwa. Satu hal penting dalam kaitan ini adalah
tetap diperbolehkannya campur tangan orang tua, keluarga, dalam usaha pembinaan
selama anak di dalam Lembaga.119
Dalam pelaksanaan pembinaan terhadap anak, saat ini telah ada suatu
landasan yuridis yang mengatur upaya pembinaan terhadap anak pelaku tindak
119
Paulus Hadisuprapto, Op. Cit., hal. 112-113
141
pidana, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Ketentuan
perundang-undangan
tersebut,
menetapkan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana yang telah diputus dikenai
sanksi, berupa pidana penjara, terhadapnya akan dilakukan proses pembinaan
dalam sistem pemasyarakatan dan ditempatkan secara khusus dalam Lembaga
Pemasyarakatan Anak (LPA). Penempatan anak pelaku tindak pidana akan
dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang terpisah dari narapidana dewasa.
Anak yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, berhak memperoleh
pendidikan dan latihan baik formal maupun informal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya.
Mengenai yang dimaksud dengan Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang
menyebutkan bahwa Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan
warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan diatur tentang apa yang yang dimaksud dengan
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
berdasarkan
Pancasila
yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
142
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Guna melaksanakan pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan tersebut
dilakukan oleh suatu lembaga, yaitu Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang
merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan (vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan). Mengacu ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Bab VI dengan judul Pelayanan,
Perawatan, Pendidikan, Pembinaan Anak, dan pembimbingan Klien Anak Pasal 84,
menentukan : (1) Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS; (2) Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan
pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) LPAS wajib menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Pembimbing Kemasyarakatan
melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); (5) Bapas wajib melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Dengan
demikian
melalui
pelaksanaan
pembinaan
dengan
sistem
pemasyarakatan maka Anak Didik Pemasyarakatan diharapkan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana lagi. Pada
akhirnya diharapkan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat
143
ikut aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab.120
Anak Didik Pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 8 Undang- Undang No.
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdiri dari Anak Pidana, Anak Negara dan
Anak Sipil. Dalam pelaksanaan pembinaannya masing-masing anak didik
pemasyarakatan
mendapat
perlakuan
tertentu
sesuai
dengan
kepentingan
pertumbuhan dan perkembangannya.
Selanjutnya dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan mengatur bahwa pelaksanaan pembinaan terhadap anak pelaku
tindak pidana (anak pidana) di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebelumnya
dilakukan penggolongan berdasarkan: umur, jenis kelamin, lamanya pidana yang
dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau
perkembangan pembinaan.
Sistem Pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan,
pendidikan, dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan
kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dan masyarakat.
Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem
pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing warga
binaan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Hak-hak
sebagaimana tertuang dalam Pasal 14, Pasal 22, Pasal 29 dan Pasal 36 UndangUndang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan itu tidak diperoleh secara
otomatis tapi dengan syarat atau kriteria tertentu, di mana untuk setiap golongan
warga binaan ditentukan syarat dan tata cara yang berbeda karena masing-masing
120
Darwan Print, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 58
144
golongan mempunyai hak yang berbeda. Maka guna mengatur tata cara dan
pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara Dan Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan.
Sebagaimana dijelaskan pada Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No.
32 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk
mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk
melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh
warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari
nilai-nilai
yang
terkandung
dalam
Pancasila.
Sistem
Pemasyarakatan
menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan, dan bimbingan
bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang
asasi antara individu warga binaan dan masyarakat.
Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip
sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing
warga binaan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Warga
binaan dalam sistem pemasyarakatan mempunyai hak untuk mendapatkan
pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak mereka untuk menjalankan
ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarganya maupun pihak lain,
memperoleh informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh
pendidikan yang layak dan sebagainya.
Hak-hak itu tidak diperoleh secara otomatis tapi dengan syarat atau kriteria
tertentu seperti halnya untuk mendapat remisi, asimilasi harus memenuhi syarat
yang sudah ditentukan. Agar hak dari warga binaan sebagaimana tercantum dalam
145
Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 36 ayat
(2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dapat
terselenggara dengan baik, maka untuk setiap golongan warga binaan ditentukan
syarat dan tata cara yang berbeda karena masing-masing golongan mempunyai hak
yang berbeda, seperti halnya Anak Pidana tidak mempunyai hak untuk mendapat
upah ataupun premi, Anak Negara tidak mempunyai hak untuk mendapat upah
ataupun remisi, dan Anak Sipil tidak mendapat upah, remisi, pembebasan bersyarat
ataupun cuti menjelang bebas.
Anak Pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan
kegiatan tertentu, yang dalam pelaksanaan program pembinaan tersebut diatur
dengan peraturan pemerintah (Pasal 23 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995), maka
telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Khusus tentang pembinaan terhadap Anak Pidana diatur dalam Pasal 17 –
21 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Pembinaan Anak Pidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan.
(2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga)
tahap, yaitu :
a. tahap awal;
b. tahap lanjutan; dan
c. tahap akhir.
(3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui sidang
Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina
Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Wali Anak Pidana.
(4) Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan hasil pengamatan,
penilaian, dan pelaporan terhadap pelaksanaan pembinaan.
(5) Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian, dan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
146
Pasal 18
Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilaksanakan
menurut pentahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 19
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a
meliputi:
a. masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu)
bulan;
b. perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
c. pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan
d. penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf
b meliputi :
a. perencanaan program pembinaan lanjutan;
b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan
d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c
meliputi :
a. perencanaan program integrasi;
b. pelaksanaan program integrasi; dan
c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
(4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3)
ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.
(5) Dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) Kepala LAPAS Anak wajib memperhatikan Litmas.
(6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis kegiatan program pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 20
(1) Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di LAPAS Anak.
(2) Pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar LAPAS Anak oleh BAPAS.
(3) Dalam hal Anak Pidana tidak memenuhi syarat-syarat tertentu, pembinaan
tahap akhir Anak Pidana yang bersangkutan tetap dilaksanakan di LAPAS
Anak.
Pasal 21
Dalam hal terdapat Anak Pidana yang tidak dimungkinkan memperoleh
kesempatan asimilasi dan atau integrasi maka Anak Pidana yang bersangkutan
diberikan pembinaan khusus.
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan
147
Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat
berperan
kembali
sebagai
anggota
masyarakat
yang
bebas
dan
bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai
wujud pelembagaan respons masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada
hakekatnya merupakan pola pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang
berorientasi pada masyarakat, yaitu pembinaan yang dilaksanakan secara terpadu
antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. Peran serta masyarakat harus
dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan, sehingga sangat
diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu Pasal 9 ayat
(1) memberikan peluang bagi Menteri untuk mengadakan kerja sama dengan
instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan
dalam rangka penyelenggaraan system pemasyarakatan. Kerja sama yang dimaksud
perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk itu telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1999
tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan. Di mana Peaturan Pemerintah ini memberikan peluang
kepada instansi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan dan perorangan untuk
ikut berperan serta membina dan membimbing Warga Binaan Pemasyarakatan
dalam bentuk hubungan kerja sama baik yang bersifat fungsional maupun
kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan pembimbingan tertentu.
Pembinaan dilaksanakan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), sedangkan
pembimbingan diadakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) agar Warga Binaan
Pemasyarakatan dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat.
148
Selanjutnya agar program kerja sama penyelenggaraan pembinaan dan
pembimbingan berjalan sebagaimana mestinya, Peraturan
Pemerintah ini
mewajibkan baik Menteri maupun mitra kerja sama menyediakan sumber daya
yang diperlukan bagi penyelenggaraan program pembinaan dan atau pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai tata cara kerja sama,
jangka waktu kerja sama dan pihak-pihak yang membuat kesepakatan kerja sama,
dengan maksud memudahkan para pihak dalam mengadakan kerja sama tersebut.
Laporan berkala mengenai pelaksanaan kerja sama sebagai salah satu bentuk
pengawasan disampaikan kepada Menteri, yang sekaligus berguna untuk
mengevaluasi hasilnya. Menteri atau pejabat yang berwenang dapat menghentikan
kerja sama apabila pelaksanaannya dianggap tidak sesuai dengan penyelenggaraan
sistem pemasyarakatan.
Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang
dibina,
dan
masyarakat
untuk
meningkatkan
kualitas
Warga
Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan
tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
149
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Bertitik tolak dari
pemahaman sistem pemasyarakatan dan penyelenggaraannya, program pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan oleh BAPAS ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian
dan kegiatan pembinaan kemandirian.
Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar
bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan
pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar
Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab. Sejalan dengan hal tersebut, secara singkat
dapat dikatakan bahwa sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan terpidana
yang beradasarkan asas Pancasila, dan memandang terpidana sebagai makhluk
Tuhan, individu dan anggota masyarakat.121
Pada uraian sebelumnya disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan
pembinaan dan pembimbingan tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Tentang pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan
pemasyarakatan yang dilakukan oleh LAPAS diatur dalam Bab II Pasal 6 sampai
dengan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999, sedangkan tentang
pelaksanaan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang dilakukan oleh
121
Soejono Dirjosisworo, 1974, Kisah-Kisah Penjara di Berbagai Negara, Alumni,
Bandung, hal 147
150
BAPAS diatur dalam Bab III Pasal 31 sampai dengan Pasal 45 Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999.
Adapun pelaksanaannya dilakukan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan)
dan dilakukan oleh BAPAS (Balai Pemasyarakatan) sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Di
mana dalam penjelasannya disebutkan bahwa Pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan di LAPAS dilaksanakan secara intramural (di dalam LAPAS) dan
secara ekstramural (di luar LAPAS). Pembinaan secara intramural yang dilakukan
di dalam LAPAS disebut asimilasi, yaitu proses pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan yang sudah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan
mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstramural yang
dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan yang sudah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup
dan berada kembali ditengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan
pengawasan BAPAS.
Pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan warga binaan dalam sistem
pemasyarakatan tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan
agar
menjadi
manusia
seutuhnya,
menyadari
kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dan penyelenggaraannya,
program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan
151
Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS ditekankan pada kegiatan pembinaan
kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian.
Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar
bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan
pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar
Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999
tersebut memberikan arah bahwa sistem pembinaan dan pembimbingan yang
diharapkan
merupakan
sistem
pembinaan
dan
pembimbingan
yang
mengakomodasikan adanya pergeseran paradigma pembinaan dari sistem
pemasyarakatan lama menjadi pembinaan dalam system pemasyarakatan dengan
paradigma baru, mengingat dalam pelaksanaannya disamping melakukan
pembinaan dan pembimbingan terhadap perilaku warga binaan juga mendasarkan
pada faktor-faktor penyebab yang berbeda-beda yang terdapat pada masing-masing
warga binaan (termasuk anak) sesuai dengan kepribadian dan latar belakang
masing-masing.
Sebagai wujud pelaksanaan pembinaan maka Lembaga Pemasyarakatan
Anak telah melaksanakan proses pemasyarakatan dengan mengacu pada beberapa
kebijakan yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di
atas, di mana proses pemasyarakatan tersebut merupakan bentuk implementasi dari
pelaksanaan pembinaan yang memiliki ruang lingkup pembinaan baik dalam
bentuk pembinaan kepribadian (pembinaan kesadaran beragama, pembinaan
kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual, pembinaan
kesadaran
hukum),
maupun
pembinaan
kepribadian
lanjutan/pembinaan
152
kemandirian (program-program ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha
mandiri, ketrampilan untuk mendukung usaha industri kecil, ketrampilan yang
disesuaikan dengan bakat masing-masing, ketrampilan yang mendukung usaha
sesuai perkembangan teknologi). Dalam proses pembinaan tersebut juga dilakukan
kebijakan-kebijakan bagi anak didik yang telah menjalani sebagian pidana penjara
baik dalam bentuk Asimilasi yang dilakukan di dalam maupun di luar LAPAS, atau
dilakukan Integrasi dibawah bimbingan petugas BAPAS. Proses pembinaan
tersebut tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak
tetapi harus mendapat kontrol dan partisipasi dari masyarakat serta harus dilakukan
kerjasama secara sinergis yang tidak hanya dengan instansi penegak hukum (Polri,
Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri) tetapi juga dengan instansi lainnya maupun
dengan pihak swasta.
Untuk itu guna melaksanakan pembinaan secara terpadu, dan mendapat
kontrol serta partisipasi dan kerja sama dengan masyarakat, badan-badan
kemasyarakatan serta instansi-instansi terkait, maka telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam penjelasan
umum Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tersebut ditegaskan bahwa
sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar
dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai wujud pelembagaan respons
masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan pola
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berorientasi pada masyarakat,
153
yaitu pembinaan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,
dan masyarakat. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai suatu aspek
integral dari kegiatan pembinaan, sehingga sangat diperlukan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999
memberikan peluang kepada instansi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan dan
perorangan untuk ikut berperan serta membina dan membimbing Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam bentuk hubungan kerja sama baik yang bersifat fungsional
maupun kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan pembimbingan
tertentu. Pembinaan dilaksanakan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS),
sedangkan pembimbingan diadakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) agar
Warga Binaan Pemasyarakatan dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat.
Agar pelaksanaan kegiatan kerja sama dapat berjalan dengan baik, efektif dan
efisien, maka pembinaan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Selanjutnya agar program kerja sama penyelenggaraan pembinaan dan
pembimbingan berjalan sebagaimana mestinya, Peraturan Pemerintah ini
mewajibkan baik Menteri maupun mitra kerja sama menyediakan sumber daya
yang diperlukan bagi penyelenggaraan program pembinaan dan atau pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 ini mengatur mengenai tata
cara kerja sama, jangka waktu kerja sama dan pihak-pihak yang membuat
kesepakatan kerja sama, dengan maksud memudahkan para pihak dalam
mengadakan kerja sama tersebut. Laporan berkala mengenai pelaksanaan kerja
sama sebagai salah satu bentuk pengawasan disampaikan kepada Menteri, yang
154
sekaligus berguna untuk mengevaluasi hasilnya. Menteri atau pejabat yang
berwenang dapat menghentikan kerja sama apabila pelaksanaannya dianggap tidak
sesuai dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Diperlukan tingkat
ketepatan yang cermat dalam melakukan evaluasi secara terus menerus dan
treatmen yang efektif dan berhasil guna untuk diberikan dalam proses pembinaan
merupakan komponen penentu yang mendukung keberhasilan dari pembinaan
tersebut.
Mencermati beberapa kebijakan tentang sistem pemasyarakatan dalam
pelaksanaan pembinaan terhadap anak pidana maka telah terdapat pola pembinaan
terpadu, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan yang ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan
kegiatan pembinaan kemandirian berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara
terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Dengan demikian cukup beralasan apabila dikatakan bahwa Sistem
Pemasyarakatan memiliki ciri atau kharakteristik, yaitu dapat dilihat dari
komponen-komponen Inputs, Outputs, Feed Back, Noise, dan Control Point.122
122
A.Widiada Gunakarya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, CV.Armico,
Bandung, hal. 152.
155
Pendekatan
sistem
tersebut
tidak
bersifat
parsial
tetapi
holistik,
yaitu
mengembangkan keseluruhan komponen-komponen yang terkait dengan sistem
pemasyarakatan, yaitu
1. In puts;
Salah satu inputs dari Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah Anak Didik
Lapas dari berbagai latar belakang kehidupan, jenis kejahatan, usia dan lingkungan,
yang turut membentuk karakteristik dari kehidupan anak didik Lapas tersebut.
Tentunya hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung keadaan anak didik
tersebut akan berpengaruh kepada sistem pemasyarakatan.
Anak didik bukan satu-satunya input atau sub sistem dalam Sistem
Pemasyarakatan, input yang lain adalah policies, prosedur, kartu pembinaan,
peraturan tata tertib keamanan, kerja sama dengan instansi-instansi lain, lembagalembaga kemasyarakatan, pelaporan, evaluasi, pusat-pusat pengadilan, susunan
organisasi, sarana dan prasarana LPA, BAPAS, keuangan, personil dan pembinaan
personil, dan yang lain.
2. Out puts;
Outputs dari Lembaga Pemasyarakatan Anak tidak terlepas dari kualitas dan
sinergitas dari seluruh sub sistem atau komponen yang terkait baik langsung
maupun tidak langsung dengan proses pembinaan yang berlangsung selama dalam
Lembaga Pemasyarakatan Anak.
3. Feed Back;
Sistem evaluasi dari seluruh proses pembinaan yang telah dilaksanakan oleh
Lembaga Pemasyarakatan Anak, sayangnya system ini belum berkembang secara
optimal. Untuk itu, diperlukan monitoring dan evaluasi dari Lembaga
156
Pemasyarakatan Anak terhadap out putsnya secara integral terhadap perilaku
kehidupan anak didik ketika berada di tengah-tengah masyarakat dalam jangka
waktu tertentu.
4. Noise dan Control Point
Noise adalah suara-suara yang tidak menggembirakan yang muncul dan
meluas pada saat feed back information sedang dikumpulkan. Penggunaan sistem
manajemen personil (personil management system) dalam memecahkan noise suatu
sistem dengan menciptakan konsep management by exception, adalah pendekatan
system pemasyarakatan yang akan menjadikan para pimpinan pada segala tingkatan
dan para petugas pelaksana dapat melaksanakan fungsinya lebih efisien dan efektif
sebagai suatu control point dalam pelaksanaan pembinaan.123
Berbagai kasus anak pelaku tindak pidana yang terjadi dan ditangani
melalui proses peradilan dengan berbagai perlakuan yang secara konsisten sesuai
dengan persepsi yuridis prosedural, nampaknya ada suatu kebutuhan untuk
mengkaji kembali peraturan-peraturan yang hingga kini dijadikan landasan
operasional dalam penanganan dan penyelesaian anak yang telah melakukan tindak
pidana. Lebih-lebih saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diharapkan mampu memberikan perlindungan
hak-hak anak untuk mencapai kematangan, kedewasaan dan kesejahteraannya. Di
sisi lain, adanya kasus-kasus seperti yang telah disebutkan di depan, menyadarkan
bahwa ternyata perilaku menyimpang yang dilakukan anak memang bersifat
kriminal secara yuridis.
123
Ibid, hal 153-155
157
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah
diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:
5.1 Simpulan
1. Kebijakan hukum pidana formulasikan pidana pengawasan terhadap Anak
yang Berkonflik dengan Hukum dalam sistem pemidanaan hukum positif
Indonesia pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia serta pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus
ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policyoriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("valueoriented approach").
2. Pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum
menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan permasalahan yang
berhubungan dengan anak, sebagaimana yang dituangkan dalam konsideran
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Sesuai dengan ide pemasyarakatan yang bertujuan untuk mengembalikan
Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk
melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana
oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem
158
Pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan dan
bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan
hubungan yang asasi antara individu, warga binaan dan masyarakat.
5.2 Saran
1. Hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan
penal saat ini dalam penanganan proses anak yang berkonflik dengan hukum
haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi
bagi anak, oleh karena itu dari perspektif ius constituendum diperlukan pula
penggunaan kebijakan non-penal. Kebijakan non penal melalui sanksi tindakan
dalam proses anak yang berkonflik dengan hukum memerlukan dukungan
adanya pengaturan hukum positif secara jelas sehingga aparat penegak hukum
dalam pelaksanaannya memiliki pegangan yuridis yang jelas dalam
penanganan proses anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilaksanakan
dengan benar dan adil guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
Kebijakan tersebut sangat perlu diupayakan untuk mencegah stigmatisasi dan
proses labeling yang kerap terjadi apabila anak diproses melalui sistem
peradilan pidana anak.
2. Hendaknya dalam konteks pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dapat
berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka diperlukan upaya pembinaan
(pola pembinaan) yang menjadi tanggung jawab bersama secara integral
dan
tidak
hanya
seolah-olah
menjadi
tanggung
jawab
Lembaga
Pemasyarakatan Anak saja. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai
159
suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan, sehingga sangat diperlukan
dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Download