BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenakalan anak sudah tidak bisa dipandang lagi sebagai kenakalan biasa, anak-anak banyak melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana, seperti : mencuri, membawa senjata tajam, terlibat perkelahian, terlibat penggunaan narkoba, dan lain-lain. Sehingga memerlukan perhatian serius baik dari pemerintah, orang tua maupun masyarakat. Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi belum menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus. Dalam menghadapi fenomena tersebut, ketika itu perlakuan terhadap pelaku kriminal disamakan terhadap anak maupun orang dewasa, sehingga diberbagai negara dilakukan usaha-usaha ke arah perlindungan anak. Termasuk dalam upaya ini yaitu dengan dibentuknya Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile court) pertama di Minos Amerika Serikat tahun 1889, dimana undang-undangnya didasarkan pada azas parens patrie, yang berarti ”penguasa harus bertindak apabila anak-anak yang membutuhkan pertolongan”, sedangkan anak dan pemuda yang melakukan kejahatan sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan.1 Pada hakekatnya anak sedang mangalami perkembangan menuju kedewasaan, dimana pada saat itu memiliki rasa ingin tahu tinggi, selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, sedang mancari jati dirinya, dan sedang mancari-cari 1 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT.Refika Aditama, Bandung, hal. 1. 1 2 atau memilih-milih mana yang cocok baginya. Disamping itu anak juga memiliki perasaan yang sangat peka baik terhadap kritikan maupun hal-hal yang lain karena jiwanya masih labil dan emosinya belum stabil sehingga mempengaruhi dirinya untuk bertindak yang kadang-kadang tidak umum dan diluar aturan yang berlaku di masyarakat. Anak memiliki sistem penilaian kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma tersendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciricirinya, dimulai pada usia bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai, moral dan perilaku anak. Anak yang tidak atau kurang mendapat perhatian, kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap dan perilaku, penyesuaian diri serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh dalam kesehariannya akan mudah terseret dalam pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang baik dan merugikan perkembangan pribadinya. Disamping itu tidak sedikit anak yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial yang sering 3 mempengaruhi anak untuk melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun masyarakat. Kecendrungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran terhadap ketertiban maupun ketentuan undang-undang oleh pelaku-pelaku muda usia, atau dengan kata lain meningkatnya kenakalan anak yang mengarah pada tindakan kriminal, mendorong untuk lebih banyak memberikan perhatian akan penanggulangan atau penanganannya. Anak yang melakukan kejahatan seharusnya juga dilindungi dan dibina. Dalam menghadapi masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut Apabila kenakalan anak tidak ditanggulangi secara serius maka hal ini berarti akan menghancurkan generasi muda penerus cita-cita bangsa. Jika tidak ditangani sejak dini maka kejahatan anak itu berkembang makin luas, anakanak yang melakukan kejahatan tersebut akan tumbuh dewasa dan berpotensi melakukan kejahatan yang lebih serius. Untuk mengetahui peta permasalahan tentang kenakalan anak, dimana kenakalan anak dalam masyarakat disebabkan ditemukan prilaku anak yang bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat disamping norma hukum. Fenomena prilaku anak yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat itu perlu dipahami dalam rangka untuk penanggulangannya. Dalam kaitan perlindungan terhadap hak-hak anak maka tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan seorang anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu sesingkat- 4 singkatnya (konvensi Hak Anak Pasal 37 b). Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum sehingga diperlukan adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diingini dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. 2 Membicarakan perlindungan hukum bagi anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan dasar peradilan anak yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan mendahulukan atau mengutamakan kepentingan anak. Perlunya perlindungan hukum bagi anak dalam perkara pidana didasari oleh prinsip kedua dari Deklarasi Hak-Hak Anak (Declaration of the Rights of the Child), yang lengkapnya berbunyi : The child enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and other means, to enable him to develop physically, morally, spriritually, and socially in a healty and normal menner in conditions freedom and dignity. In the enactment of the laws for this purpose the best interest of the child shall be the paramount consideration.3 (Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spiritual an kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai kebebasan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama) Tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak ditegaskan pula dalam Peraturan Minimum Standar PBB mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (Beijing Rules) yang disahkan melalui Resolusi Majelis PBB 2 Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, hal. 18. Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 109. 3 5 No. 40/33 tanggal 29 Nopember 1985. Dalam commentary yang terdapat di bawah Rule 5.1 Beijing Rules disebutkan bahwa Rule 5.1 menunjuk pada tujuan atau sasaran yang sangat penting, yaitu : (the promotion of the well being of the juvenile) dan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality).4 Lebih lanjut dijelaskan bahwa memajukan kesejahteraan anak merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani pelanggaran anakanak; khususnya di dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak. Prinsip tersebut berarti menunjang prinsip untuk menghindari penggunaan sanksi yang semata- mata bersifat pidana atau semata-mata bersifat menghukum (the avoidance of merely punitive sanctions). Sedangakan prinsip proporsionalitas merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata (just desort).5 Pendekatan kesejahteraan dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelaku pelanggaran hukum usia anak, antara lain disebabkan karena dua faktor, yaitu : 1. Anak-anak dianggap belum mengerti benar akan kesalahan yang telah ia perbuat, sehingga sudah sepantasnya mereka diberikan/diberlakukan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anakanak dengan orang dewasa. 2. Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina, disadarkan akan kesalahan yang sepatutnya tidak ia lakukan. Dengan demikian, tidak sepantasnya penanganan bagi anak-anak berpedoman pada mazhab retributif (sebagaimana penanganan terhadap pelanggar hukum dewasa), tetapi lebih tepat menggunakan mazhab rehabilitatif. 6 4 Ibid, hal. 112-113. Ibid, hal. 113. 6 Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2004, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice Syastem) di Indonesia, Unicef, Jakarta, hal 72. 5 6 Melalui pendekatan tersebut, para pelanggar usia anak sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana, serta segala tindakan yang akan diambil oleh negara berkaitan dengan pelangaran yang dilakukan oleh anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. 7 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (1989) menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan ‘kepentingan terbaik’ anak. Ini didasari asumsi bahwa mereka yang berada dalam usia anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya. 8 Disamping itu juga dalam hal pemberian sanksi/hukuman terhadap anak yang terbukti melakukan tindak pidana juga memerlukan perhatian yang serius karena jangan sampai sanksi yang diterima oleh seorang anak dirasakan memberatkan dan berdampak negative terhadap perkembangan jiwanya. Perlakuan terhadap anak yang melakukan tindak pidana tidak semata-mata membalas perbuatan yang dilakukan tetapi juga untuk mensejahterakan atau memperbaiki anak tersebut. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana harus tetap terjamin karena perlindungan anak ditujukan pada segala kegiatan untuk menjaga agar anak dapat tumbuh dengan wajar, secara lahir dan bathin serta bebas dari segala bentuk ancaman, hambatan dan gangguan terhadap perkembangan anak. Upaya pemeliharaan, pengasuhan dan perlindungan 7 Ibid. 8 Ibid. hal. 73 7 merupakan suatu hak yang paling asas yang harus diterima oleh setiap anak tanpa kecuali. Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan ia bagian tidak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Artinya masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminalisasi harus dipahami secara komprehensif dengan segala aspek persoalan sebstansi atau materi perundang-undangan pada tahap kebijakan legislasi.9 Persoalan ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat berbagai keterbatasan dan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan. Apalagi sering terdapat kecendrungan dalam produk kebijakan legislasi bahwa hukum pidana hampir selalu digunakan untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang. Fenomena semacam ini memberi kesan seolah-olah dirasakan kurang sempurna atau hambar bila suatu produk perundang-undangan tidak ada ketentuan pidananya (sanksi).10 Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam pembentukan peraturan perundangundangan hukum pidana yang didalamnya memuat sanksi pidana haruslah merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat terpadu artinya harus juga dilihat dalam perspektif yang lebih luas yaitu dalam perspektif kebijakan kriminal. Reaksi masyarakat untuk menanggulangi prilaku yang bertentangan 9 M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Trck System & Implementasinya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5. Depenalisasi hendaknya dibedakan dengan dekriminalisasi. Depenalisasi berarti menghilangkan ancaman pidana dari suatu perbuatan yang semula dilarang, tetapi memungkinkan diganti dengan sanksi lain, seperti sanksi administrasi. Sedangkan dekriminalisasi berarti menghilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan yang semula diancam pidana. 10 Barda Nawawi Arif, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, hal. 40. 8 dengan norma itu dalam hukum pidana dan kriminologi disebut dengan kabijakan kriminal. Dalam hal kebijakan kriminal tersebut, Sudarto mendefinisikan dengan menyitir pendapat Marc Ancel dan G.P.Hoefnagels bahwa kebijakan kriminal itu merupakan suatu usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang meliputi seluruh asas dan metode yang mendasari reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana, keseluruhan fungsi aparat penegak hukum dan kebijakan undang-undang dan badan-badan resmi untuk menegakkan norma masyarakat.11 Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada akhirnya bermuara pada masalah pilihan terhadap sanksi apa yang dapat didayagunakan secara efektif untuk menanggulangi kejahatan. Dalam hal ini keterkaitan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Untuk mewujudkan hal tersebut di Indonesia telah ditetapkan undangundang yang mengatur mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU Sistem Peradilan Pidana Anak) erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak, oleh karena kedudukan anak memiliki ciri dan sifat yang khusus atau khas, meskipun anak dapat menentukan langkah perbuatannya sendiri atas dasar pikiran, perasaan dan hakekatnya, tetapi situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. 11 Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 16. 9 UU Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan perlindungan khusus kepentingan hukum anak yang terlibat tindak pidana, yang sebelumnya dalam perundang-undangan yang ada dirasa tidak banyak memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik maupun mental. Setelah diundangkannya UU Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan aparat penegak hukum mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan di peradilan, dapat memperlakukan anak secara khusus dengan dibekali pengetahuan khusus untuk menangani tindak pidana yang dilakukan anak. Jika ditelaah secara konprehensif ketentuan hukum substantive dan hukum ajektif yang diformulasikan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, dapatlah dikatakan belum ada pengaturan secara utuh pengaturan hukum pidana anak. Sistem hukum dari undang-undang ini masih belum terlepas secara menyeluruh dari KUHP dan KUHAP sebagai lex specialis, karena asas-asas dan ajaran-ajaran dari ketentuan hukum pidana yang terkandung dalam KUHP dan KUHAP tetap diberlakukan dalam ketentuan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketentuan hukum substantive UU Sistem Peradilan Pidana Anak masih terikat pada KUHP walaupun telah ada ketentuan tersendiri mengenai straf soot dan straf maat serta straf modus system pemidanaan yang berbeda dari KUHP, karena Pasal 45, Pasal 46,dan Pasal 47 KUHP secara expresis verbis dinyatakan tidak berlaku lagi oleh ketentuan Pasal 67 UU Pengadilan Anak. Karena UU Sistem Peradilan Pidana Anak hanya menyatakan, bahwa Pasal 45 s/d 47 KUHP saja yang “dinyatakan tidak berlaku”. Ini berarti, secara juridis pasal-pasal lain di dalam KUHP tetap berlaku, antara lain ketentuan tentang “pidana” (Psl. 10 s/d 43), termasuk di dalam-nya tentang “strafmodus” (seperti “pidana bersyarat” dan pelepasan bersyarat”), 10 ketentuan tentang “percobaan” (Psl. 53 dan 54), tentang “penyertaan” (Psl. 55-56 dst.), tentang “concursus”, “alasan penghapus pidana”, “alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana” dsb. Bahkan aturan khusus di dalam Buku II dan III KUHP juga masih berlaku untuk anak, termasuk di dalamnya ketentuan tentang “pengulangan” (recidive). Sebagian besar ketentuan KUHP tetap berlaku, karena ketentuan-ketentuan itu memang tidak diatur di dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga tidak ada ketentuan di dalam “Ketentuan Peralihan” (Bab XIII) maupun dalam “Ketentuan Penutup” (Bab XIV) UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan secara umum, bahwa “semua ketentuan yang bertentangan dengan UU ini dinyatakan tidak berlaku”. Ketentuan umum pidana bersyarat dalam Pasal 14 –f KUHP, malahan oleh Pasal 73 UU Sistem Peradilan Pidana Anak dengan restriktif limitative “memperkaku” hanya untuk pidana penjara dan lamanya masa percobaan maksimum 3 tahun (dengan tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran). Menurut Barda Nawawi Arief, ketentuan KUHP tentang pidana bersyarat dapat dijatuhkan tidak hanya untuk pidana penjara, tetapi juga untuk pidana kurungan, denda yang sangat berat, dan bahkan juga untuk pidana tambahan (apabila hakim tidak menentukan lain). Masa percobaannya, menurut KUHP, dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. 12 Padahal dilihat dari ide/filosofi pidana bersyarat sebagai salah satu bentuk alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan atau sebagai salah satu bentuk “non-custodial measures”, dan juga 12 Barda Nawawi Arief, 2005, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Penataran Nasional HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI XI Tahun 2005, Kerja sama FH UBAYA, Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, dan ASPEHUPIKI, di Hyatt Hotel, Surabaya, tgl. 14-16 Maret 2005. 11 sebagai salah satu bentuk “strafmodus”, maka seharusnya juga dapat diberikan untuk pidana kurungan dan jenis-jenis pidana lainnya. Terhadap pelaku tindak pidana/terdakwa telah ada penjatuhan pidana secara pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat, sehingga telah terjadi proses stigmatisasi terhadap pelaku tindak pidana melalui keputusan hakim yang disampaikan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, pidana bersyarat sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang berlaku sekarang masih kurang memberikan perlindungan terhadap individu / pelaku tindak pidana. Dengan demikian, pengaturan tentang pidana bersyarat dalam KUHP yang berlaku sekarang belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan pidana penjara, khususnya pidana penjara waktu pendek. Salah satu bentuk alternatif pidana perampasan kemerdekaan (alternatives to imprisonment) yang lain ialah dengan diadakannya jenis sanksi yang dikenal dengan istilah probation and judicial supervision (The Tokyo Rules-Rule 8.2 huruf h). Hal ini juga sesuai dengan Konggres PBB ketiga di Stockhlom pada tahun 1965 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana, yang juga memfokuskan pada diskusi-diskusi tentang pidana pengawasan (probation) untuk orang dewasa dan tindakan-tindakan lain yang bersifat non-institusional.13 Menurut Muladi, istilah probation/pidana pengawasan dalam pengertian modern mempunyai arti sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan 13 hal. 84. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 12 rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode pengawasan.14 Di samping itu, pidana pengawasan selain dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, juga mengurangi banyak kerugian yang ditimbulkan oleh pidana pencabutan kemerdekaan, terutama dalam bentuk gangguan terhadap kehidupan sosial yang normal yang akan menambah kesulitan narapidana dalam penyesuaian diri kepada masayarakat serta keluarganya dan seringkali meningkatkan kemungkianan timbulnya residivisme. Di lain pihak, alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana pengawasan (probation) membantu si pelaku tindak pidana untuk melanjutkan kehidupan sosial yang normal, meningkatkan kemungkinan untuk memberikan kompensasi atas kerugian-kerugian si korban akibat tindak pidananya. Dengan demikian, dalam pidana pengawasan telah tercakup adanya upaya untuk mengimplementasikan ide atau gagasan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pelaku. Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan, yaitu pemeriksaan perkara Anak harus dilakukan secara tertutup di ruang sidang khusus Anak. Walaupun demikian, dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa mengurangi hak Anak. Hal tertentu dan dipandang perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka, misalnya perkara 14 Ibid, hal. 155-156 13 pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara. Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum dapat dijatuhkan sanksi pidana dan/atau tindakan. Sanksi pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. (1) Pidana pokok terdiri atas (a) pidana peringatan, (b) pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan), (c) pelatihan kerja, (d) pembinaan dalam lembaga, (e) penjara. (2) Pidana tambahan terdiri atas pidana perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan kewajiban adat, sebagaimana diatur Pasal 71. Pidana tindakan terdiri atas (a) pengembalian anak pada orang tua, (b) penyerahan anak pada seseorang, (c) perawatan di rumah sakit jiwa, (d) perawatan di LPKS, (e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; (f) pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau (g) perbaikan akibat tindak pidana (Pasal 82). Yang menarik dari jenis pidana pokok dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak ialah adanya jenis pidana berupa pidana pengawasan yang menurut Pasal 77 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, lamanya minimal 3 bulan dan maksimal 2 (dua) tahun. Menurut penjelasan pasal 77 tersebut, yang dimaksud dengan pidana pengawasan ialah pengawasan yang dilakukan oleh jaksa terhadap prilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Dasar pemikiran dari penyusunan tesis ini adalah Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya mengatur tata cara penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang notebene didalam 14 penegakan hukumnya (proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum) masih terdapat norma yang kabur (multitafsir) dalam penanganan kejahatan anak belum jelas diatur mengenai dasar legalitas yang dipakai hakim untuk menjatuhkan sanksi seperti sanksi pidana pokok bagi anak yang berkonflik dengan hukum yaitu dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak seperti : Pasal 71 (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atauwww.hukumonline.com 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. www.hukumonline.com Pasal diatas diatur dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 khususnya tentang legalitas apa yang dipakai hakim untuk melakukan sanksi pidana pokok seperti pidana peringatan, pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan, masyarakat; atau pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga; dan penjara terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang dalam normanya belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen). Penelitian tesis ini juga mengedepankan mengenai belum terdapat pengaturan yang kongkrit dan jelas (Norma Kosong) terkait dengan belum diaturnya norma khusus atau dituangkannya dalam satu Pasal khusus tentang sanksi pidana (pengawasan) secara kongkrit dan jelas didalam aturan positif di Indonesia khususnya dalam Undang-undang No.11 Tahun 15 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sehingga sesuai dengan Instrumen Internasional sehingga sangat diperlukan pembentukan hukum pada masa mendatang, oleh sebab itu pemerintah perlu menciptakan peraturan–peraturan yang akurat untuk mengantisipasi masalah tersebut melalui pembaruan dari hukum pidana yang telah ada saat ini. Bertitik tolak bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya berorientasi pada kebijakan (”policy-oriented”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (”value-oriented approach”). Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau ”policy” yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial. Pertimbangan terhadap hak-hak anak sebenarnya merupakan pertimbangan moral yang telah diadopsi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Tujuan utama peradilan anak yang digolongkan sebagai pertimbangan moral tersebut adalah mewujudkan kesejahteraan anak. Konsekuensi untuk mewujudkan tujuan dasar tersebut dilakukan dengan mendahulukan atau mengutamakan kepentingan anak. Anak yang dijatuhi pidana bersyarat atau pidana pengawasan umumnya berada diluar Lembaga Pemasyarakatan sehingga terkesan bebas dari hukuman karena anak tersebut berada dalam lingkungan keluarganya dan tetap dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari seperti bersekolah, bermain dan lain sebagainya. Padahal anak tersebut tetap diawasi (oleh penuntut umum) dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang memiliki tugas-tugas (pasal 65 UU Sistem Peradilan Pidana Anak): 16 a. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan; b. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA; c. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya; d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Dengan ketentuan tersebut, maka peran Pembimbing Kemasyarakatan dari BAPAS dalam perkara sidang anak mengalami perubahan peran yang cukup signifikan, sebab dengan ketentuan UU No. 11 tahun 2012 ini kedudukan BAPAS tidak lagi sepenuhnya berada di lini belakang dalam mata rantai proses pemidanaan anak. BAPAS sudah sejak semula dari awal tindakan pro justitia, yaitu mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan sudah dituntut perannya untuk memberikan laporan kemasyarakatan anak pelaku delinkuen. Perkembangan peran BAPAS ini sudah barang tentu akan menuntut pembenahan personalia (staffing) dan kualitas SDM petugas BAPAS yang lebih professional terhadap penanganan perkara anak agar tercapai yang dikehendaki dari tujuan dibuatnya undang-undang ini dalam melindungi anak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu : 17 a. Bagaimana kebijakan hukum pidana formulasikan pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam sistem pemidanaan hukum positif Indonesia ? b. Bagaimana pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sesuai dengan ide pemasyarakatan yang ditentukan dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum. Tujuan umum (het doel van het onderhoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang Sistem Peradilan Pidana Anak terkait dengan pidana bersyarat dan pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis mengenai pidana pengawasan terhadap anak dalam proses peradilan pidana. b. Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam tentang sistem hukum pidana modern dan sistem pemasyarakatan mengenai sanksi pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagai tujuan pemidanaan yang integratif. 18 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum mengenai sanksi/hukuman pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagai tujuan pemidanaan yang integratif. 1.4.2 Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dan dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang melakukan tindak pidana pada proses Sidang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam rangka memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial (anak-Anak yang Berkonflik dengan Hukum), serta sebagai upaya peningkatan kinerja BAPAS dalam memberikan bimbingan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang telah dijatuhi putusan pidana bersyarat ataupun pidana pengawasan. 1.5 Orisinalitas Penelitian Kebijakan pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang berkonflik dengan hukum memang kajian yang menarik untuk dibahas dalam dunia akademis, dimana dalam kajian ini bukan hanya membahas mengenai proses pidana anak yang ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia tetapi 19 membahas pula kebijakan apa yang patut untuk diterapkan dalam proses penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Kebanyakan dalam dunia akademis apabila anak melakukan tindak pidana maka sarana penallah yang mutlak diberlakukan seperti yang telah diterangkan dalam beberapa tulisan antara lain : Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana atas nama Gusti Ayu Kade Komalasari dengan judul ”Sistem Pemidanaan Terhadap Anak Menurut Hukum Positif Indonesia” dimana rumusan masalahnya meliputi : 1. bagaimanakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia (Ius Constitutum)? , 2. apakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia telah sesuai dengan Konvensi Internasional? , 3. bagaimanakah sebaiknya sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum Indonesia dimasa mendatang (ius constituendum)?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada ”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak sehingga dari rumusan masalahnya adalah mengkaji mengenai aturan positif di Indonesia serta Konvensi Internasional, dengan hal tersebut penelitian ini mencoba untuk menentukan bagaimana sebaiknya sistem pemidanaan terhadap anak dimasa akan datang sesuai dengan hukum yang dicita-citakan, dimana pemidanaan adalah muara terakhir dari suatu adanya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan adalah suatu proses penjatuhan pidana terhadap seseorang (terhadap tindak pidana anak, pemidaaan dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan). Kedua, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Udayana atas nama I Wayan Yasa Abadhi dengan judul ”Kebijakan Legislatif Tentang Pidana Dan Pemindanaan Dalam Undang –Undang No. 3 Tahun 1997” dimana rumusan masalah meliputi : 1. bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak anak dalam proses 20 peradilan pidana? , 2. bagaimanakah kebijakan tentang pidana dan pemidanaan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada ”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak serta memaparkan kebijakan tentang pidana dan pemidanaan yang tertuang dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sehingga dalam penelitian ini memaparkan bahwa anak yang bermasalah dengan hukum adalah objek dari hukum yang wajib untuk dipidana apabila telah secara hukum memenuhi unsur-unsur dari kejahatan yang disangkakan kepada anak tersebut. Ketiga, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Diponegoro atas nama Novie Amalia Nugraheni dengan judul ”Sistem Pemindanaan Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana” dimana rumusan masalah meliputi : 1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia saat ini ?, 2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada pemidanaan terhadap anak yang bersifat lebih edukatif dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, namun dalam penelitian ini lebih mengkaji bagaimanakah pemidanaan yang seharusnya diterapkan kepada anak sehingga pemidanaan tersebut lebih bersifat edukatif terhadap perkembangan anak tersebut. Keempat, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Udayana atas nama I Komang Mahardika Yana dengan judul ”Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum (Dikaji Dari Perspektif Peradilan Pidana Indonesia)” dimana rumusan masalah meliputi : 1. bagaimana proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana ? 21 2. bagaimanakah pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia dalam perspektif Ius Constituendum? . Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada agar seorang anak sedapat mungkin untuk tidak dipidana dan meskipun dipidana maka merupakan sebuah Ultimum Remidium terhadap seorang anak sehingga penggunaan pemidanaan hendaknya seminimal mungkin dan sehati-hati mungkin untuk diberlakukan sehingga dalam hal ini sarana non-penal diharapkan dapat diterapkan dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya dalam proses penyidikan di kepolisian. Bertolak dari beberapa penelitian tesis diatas apabila dibandingkan dengan penelitian penulis disini mengkaji mengenai pidana dan pemidanaan terhadap anak bagaimana agar seorang anak sedapat mungkin untuk tidak dipidana dan meskipun dipidana maka merupakan sebuah Ultimum Remidium terhadap seorang anak sehingga penggunaan pemidanaan hendaknya seminimal mungkin dan sehati-hati mungkin untuk diberlakukan sehingga dalam hal ini pidana pokok berupa dengan syarat yaitu pidana pengawasan (Pasal 71 UU Sistem Peradilan Pidana Anak) diharapkan dapat diterapkan dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya dalam proses pengawasan oleh pembimbing kemasyarakatan, dimana dalam hal ini penulis juga mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana memformulasikan pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam sistem pembinaan didalam hukum di Indonesia. Penelitian terdahulu, penekanan terhadap penelitian ini belum pernah mendapat kajian oleh karena itu penelitian penulis lakukan dapat dikemukakan karena masih bersifat orisinil dan layak untuk dijadikan sebagai objek penulisan dalam bentuk tesis. 22 1.6 Landasan Teoritis 1.6.1 Teori Pemidanaan Tiga permasalahan yang utama dalam hukum pidana adalah tentang perbuatan yang dilarang, tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan tentang pidana. Permasalahan yang terakhir yakni tentang pidana, di berbagai negara termasuk Indonesia terus diupayakan untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana hilang kemerdekaan yang bersifat non-institusional antara lain dalam bentuk sanksi tindakan. Masalah pidana dan pemidanaan ini sangat dilematis, mengingat tindak pidana mengakibatkan kerugian individual dan juga sosial, sehingga masalah ini akan selalu dipengaruhi oleh perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan serta aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut. Rumusan teori-teori tersebut sangat bermanfaat untuk menguji pemidanaan itu yang mempunyai kegunaan dan sesuai dengan tujuan pemidanaan yang bersifat universal maupun sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Berkenaan dengan hal tersebut berikut ini akan dikemukakan tentang prinsipprinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori mengenai tujuan pemidanaan. a. Teori Retributif (Vergeldings Theorieen) Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan, yang merupakan pembenar dari penjatuhan pidana berupa penderitaan kepada sesorang pelanggar hukum pidana. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan kepada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain, 23 penjahat telah melakukan penyerangan yang merugikan hak dan kepentingan hukum. Setiap kejahatan harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.15 Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu : - Ditujukan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan); - Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).16 Menurut teori ini pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang dilakukan seseorang. Pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Teori ini memusatkan perhatiannya pada masalah perbuatan (jahat) yang telah dilakukannya. Dalam konteks ini pidana menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah ditimbulkannya.17 Mengenai teori absolut tersebut A. Hanzah dan Siti Rahayu memberikan komentar sebagai berikut : menurut teori-teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yng mungkin timbul dengan dijatuhhkannya pidana. Tidak 15 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 154. 16 Ibid. Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jambatan, Jakarta, hal. 4 17 24 peduli apakah masyarakat mungkin dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.18 b. Teori Utilitarian atau Teori Telelogis (Doel Theorieen) Teori ini juga dikenal dengan teori relatif atau teori tujuan, teori ini lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut/teori retributif. Teori ini dikemukakan oleh John Howard (1726-1791), Cesare Beccaria (1738-1794), dan Jeremy Bentham (1748-1832). Secara garis besar teori ini mengacu pada dasar bahwa pidana adalah suatu alat untuk menegakkan hukum dalam masyarakat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, sehingga tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Tujuan pidana menurut teori relatif ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah untuk mencegah timbulnya tindak pidana dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana mempunyai tiga macam sifat, yaitu : bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki dan bersifat membinasakan. Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak supaya orang jangan melakukan kejahatan.19 Jadi menurut pandangan Utilitarianisme bahwa pidana itu ditetapkan bertujuan untuk pencegahan kejahatan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat. Proses penjatuhan pidana yang terpenting bukanlah pidana itu sendiri tetapi sesuatu yang ingin dihasilkan dengan adanya 18 A. Hamsah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 25 19 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit, hal. 16. 25 pemidanaan tersebut. Atas dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut teori teleologis atau utilitarian penjatuhan pidana ingin dicapai dua hal yaitu : a) Prevensi umum (General preventie) Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan kejahatan. Dengan memidana pelaku tindak pidana, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. b) Prevensi khusus (Speciale preventie) Prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana adalah agar terpidana jangan mengulangi perbuatannya. Dalam hal ini pidana dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku dari pelaku tindak pidana yang berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya. c. Retributivisme Teleologis (Teleological Retributivist) Disamping teori-teori tersebut diatas juga muncul paradigma yang bersifat integratif yang mengakumulasikan kedua pandangan diatas ke dalam satu pemahaman. Teori ini dipelopori oleh Cesare Lambroso, yang mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, sehingga menurut aliran ini tujuan dari pemidanaan adalah bersifat plural, disatu sisi pidana itu dimaksudkan sebagai pengimbalan atau pembalasan atas dilakukannya kejahatan, disisi lain pidana itu juga dimaksudkan sebagai prevensi baik yang bersifat umum maupun khusus. Teori ini mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus “retribution” dan yang bersifat 26 “utilitarian”, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat sebagai sarna-sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. 20 Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mangasimilasikan kembali nara pidana kedalam masyarakat. Teori ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu : 1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.21 Dari teori-teori tentang tujuan pemidanaan sebagaimana telah diuraikan, maka dalam upaya penanggulangan kejahatan dalam rangka mengatasi kerusakankerusakan yang dilakukan oleh tindak pidana, pemilihan teori integratif sangat relevan dengan kondisi di Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dipakai dasar acuan atau landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dengan asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mangakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Atas dasar itu beliau mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan 20 21 Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hal. 52. Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 162 27 individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Dalam hal ini ada beberapa tujuan pemidanaan yang ingin dicapai yaitu pencegahan umum maupun khusus, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan atau pengimbangan. Re-Integrasi sosial berasumsi bahwa pelanggaran hukum terjadi bukan hanya karena kesalahan individu tetapi juga masyarakat mempunyai andil terhadap terjadinya pelanggaran hukum tersebut. Oleh karenanya, masyarakat harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan pelanggar hukum. Harus diupayakan pemulihan hubungan yang harmonis antara pelangar hukum dengan masyarakatnya. Konsep inilah yang melahirkan pemulihan hubungan hidup – kehidupan dan penghidupan dalam sistem pemasyarakatan. Hidup diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan pencipta-Nya. Kehidupan diartikan sebagai hubungan antara sesama manusia, sedangkan penghidupan adalah hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dalam kaitan ini manusia memanfaatkan alam untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pandangan integratif dari tujuan pemidanaan tersebut sesuai dengan kebijakan mengenai tujuan pemidanaan sebagai tercantum dalam Pasal 54 Rancangan KUHP Tahun 2010, yaitu : a. Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan pemidanaan, yaitu sebagai perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan 28 resosialisasi, pemenuhan pandangan adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. b. Meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia. Dengan ditentukannya tujuan pemidanaan dalam konsep kebijakan pembaharuan hukum pidana, adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi maupun dalam pemenuhan pandangan hukum adat. Dari berbagai pandangan tentang teori pemidanaan sebagaimana dikemukakan diatas, dapat disampaikan bahwa ada dua aspek yang ingin dicapai, yaitu : 1. Aspek perlindungan masyarakat yang pada intinya meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat. 2. Aspek perlindungan terhadap individu, yang pada intinya meliputi tujuan untuk melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana (resosialisasi) mempengaruhi pelaku agar patuh dan taat pada hukum melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang di luar hukum. Perlu ditegaskan bahwa sanksi/hukuman terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah merupakan salah satu sarana yang ingin direncanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu sebagai dasar pembenar atau tolak ukur yang dipakai dalam pembahasan terhadap permasalahan dari sanksi/hukuman terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah ditekankan pada aspek- 29 aspek pokok tersebut yaitu perlindungan secara integratif antara perlindungan masyarakat dan perlindungan individu khususnya anak-Anak yang Berkonflik dengan Hukum agar terhindar dari dampak negatif dari pidana penjara karena masih memiliki jiwa yang labil dan demi masa depan anak yang masih panjang. Dirumuskannya sanksi pidana dan tindakan tidak lepas dari ide dasar double track system yang menghendaki agar unsur pencelaan/penderitaan dan unsur pembinaan sama-sama diakomodasikan dan adanya kesetaraan dalam sistem sanksi hukum pidana. Paham filsafat yang mengakui kesetaraan antara punishment dan treatment adalah filsafat eksistensialisme dari Albert Camus. Camus mengakui justifikasi punishment bagi seorang pelanggar, karena merupakan konsekuensi logis dari kebebasan yang disalahgunakan pelaku kejahatan. Namun pada waktu yang bersamaan si pelaku harus diarahkan lewat sanksi yang mendidik (treatment) untuk mencapai bentuknya yang lebih penuh dari manusia.22 Ide dasar double track system dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan kejahatan sangat tepat untuk diterapkan karena disamping untuk mengindari dampak negative pidana hilang kemerdekaan maka anak dimungkinkan untuk memperoleh pembinaan guna perkembangan masa depannya. Perlakuan terhadap anak perlu dibedakan karena pada saat itu darah, tubuh dan jiwa si anak sedang mengalami perkembangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa si anak sedang dalam keadaan labil. Jadi ada sesuatu yang berbeda ketika kita berbicara tentang anak. Anak itu bukan orang dewasa dalam ukuran mini, karena itu dia tidak bisa disamakan dengan miniatur dari orang 22 M.Sholehuddin, Op.Cit, hal. 30. 30 dewasa, karena itu kita harus memberikan treatment yang berbeda. Kemudian dia juga dalam masa pertumbuhan dan situasi ini masuk kelompok rawan yang harus diproteksi sejak awal. Hal itulah yang menyebabkan adanya pembedaan perlakuan terhadap anak termasuk didalamnya pembedaan dalam penegakan hukum. Salah satu efek negatif dari pelaksanaan pidana penjara adalah terjadinya sigmatisasi atau pemberian “cap jahat” terhadap mantan narapidana. Masyarakat seringkali tidak percaya terhadap mantan narapidana, bahkan secara kultural kehadiran narapidana ditolak oleh masyarakat. Stigma dan penolakan tersebut menyebabkan tekanan psikologis pada mantan narapidana, bahkan keluarga juga ikut merasakan rasa malu. Dalam perspektif teori labeling, tekanan psikologis dan stigma dari masyarakat (sebagai deviasi primer) kadangkala akan mendorong mantan narapidana melakukan kejahatan (sebagai deviasi sekunder). Deviasi sekunder dapat muncul, karena meskipun mantan narapidana sudah tidak melakukan kejahatan, masyarakat sering menuduh atau sinis atau mencurigai bahwa setiap kali ada kejahatan, mantan narapidana tersebut dianggap pelaku. Berdasarkan label tersebut, mantan narapidana terdorong melakukan kejahatan lagi. Deviasi sekunder tersebut merupakan reaksi terhadap deviasi primer. Pengertian prisonisasi menurut Clemmer (Sutherland dan Cressey, 1960: 498) adalah: the general process by which a child is taught the behavior of his group is called “socialization” and the somewhat comparable process among inmates has been named “prizonization” 31 (Proses yang umum, jika seorang anak diajari berperilaku dari kelompoknya disebut "sosialisasi", dan proses tersebut sedikit banyaknya terjadi dalam proses antar narapidana dalam penjara, yaitu disebut prisonisasi) Dalam prisonisasi narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturanaturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana, mempelajari kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai masyarakat tersebut. Selanjutnya ditegaskan bahwa penjara tidak mengubah kejahatan, bahkan melatih kejahatan, sehingga pidana perampasan kemerdekaan berdampak negatif pada terpidana. Narapidana yang dipidana di luar LAPAS mempunyai kesempatan untuk memperbaiki sikap dan tingkah lakunya secara optimal. Narapidana dapat menggunakan semua fasilitas yang ada untuk pembinaan, misalnya wali narapidana, pamong narapidana, termasuk dari pembina lain dari BAPAS dan lembaga sosial lain yang ada, rohaniwan, ahli tingkah laku (psikolog, ahli pendidikan, ahli bimbingan dan konseling), teman pergaulan. Pemanfaatan fasilitas tersebut dapat mendorong upaya perbaikan sikap narapidana, khususnya dalam rangka membangkitkan rasa percaya diri dan resosialisasi. Menurut Sutherland, upaya peningkatan rasa percaya diri termasuk sarana penanggulangan kejahatan. Metode reformasi untuk mengurangi residivis dapat dilakukan dengan 4 macam bentuk perlakuan (treatment), yakni reformasi dinamik, reformasi klinis, reformasi hubungan kelompok, dan pelayanan profesional (professional service). Keempat langkah tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan pidana pengawasan oleh pembina, pamong, dan teman kerja, yaitu untuk memperbaiki tingkah laku dengan mengembangkan dinamika kelompok, modifikasi perilaku 32 berdasarkan konsep-konsep psikologis, dan pelayanan kepada narapidana secara profesional. 1.6.3 Teori Kebijakan Kebijakan penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1. Tahap kebijakan legislatif/formulasi, yaitu dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. 2. Tahap kebijakan yudikatif/aplikasi, yaitu dalam menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 3. Tahap eksekutif/administratif, yaitu dalam melaksanakan hukum pidana yang dilakukan secara konkrit oleh aparat pelaksana pidana. Pada masing-masing tahap kebijakan tersebut akan menghadapi permasalahan-permasalahan tersendiri. Tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana yaitu tentang perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbutan yang dilarang dan pidana. Dalam tahap formulasi kebijakan legislatif dalam membentuk perundang-undangan pidana akan meliputi : 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan atau digunakan kepada pelanggar. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi 33 hukum dengan cara melihat konfigurasi yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu.23 Sedangkan menurut Sudarto, politik hukum adalah : a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan siruasi pada suatu saat, b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 24 Penentuan sanksi pidana dalam membentuk perundang-undangan pidana adalah merupakan kebijakan kriminal (criminal policy) yang pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan hukum pidana dalam hal ini dapat juga disebut dengan politik hukum pidana (penal policy). Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Pada kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.25 Upaya atau kebijakan melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya perlindungan masyarakat 23 Moh Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, hal. 1-2. Barda Nawawi Arif, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 27. 24 25 Sudarto, Op.Cit, hal. 93. 34 (social defence policy). 26 Berdasarkan pemahaman tersebut maka kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagaian integral dari perlindungan masyarakat daan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan utama politik hukum dalam hal ini politik kriminal (criminal policy) adalah perlindungan masyarakat dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. Bertitik tolak pada pandangan tersebut maka dapat dikatakan bahwa politik hukum pidana itu berarti usaha untuk membentuk atau mewujudkan suatu undang-undang pidana yang sesuai dengan keadaan, situasi dan nilai-nilai budaya bangsa agar dapat memenuhi syarat keadilan dan berdaya guna 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena termasuk lingkup dogmatik hukum yang mengkaji atau meneliti aturan-aturan hukum. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum ketentuan mengenai sanksi 27 normatif karena terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagai sarana alternatif pidana hilang kemerdekaan secara tegas belum diatur tentang pelaksanaannya dalam UU Sistem Peradilan Pidana 26 Barda Nawawi Arif, 2006, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya, Bandung, hal. 73. 27 Soemitro, Ronny Hanitijo, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 11. 35 Anak serta adanya norma kabur maupun konflik norma secara horizontal dalam pengaturannya. 1.7.2 Metode Pendekatan Terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan mengadakan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sanksi tindakan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum serta perlindungan hukum terhadap anak dalam proses sidang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu juga dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling tali menali antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.28 Sebagai pelengkap, digunakan juga pendekatan perbandingan hukum atau pendekatan komparatif (comparative approach) terhadap penjatuhan sanksi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum di beberapa negara lain. Berdasarkan cara tersebut diharapkan akan dapat saling melengkapi sehingga akan dapat memperoleh bahan-bahan hukum yang dapat dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini. 28 Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 61 36 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Sesuai dengan jenisnya yang normatif maka penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat 29 dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.30 Perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta Konvensi Hak Anak (Keppres No. 36 tahun 1990). Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasilhasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. 31 Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokmen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan 29 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 30 Marzuki Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 141. 31 Soekamto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 37 komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari buku-buku (text book), artikel, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. 1.7.4 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah metode sistematis dimana menggunakan kartu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistematis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian. Dengan pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian 1.7.5 Tehnik Analisis Bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisis dengan tehnis-tehnis sebagai berikut : a. Deskriptif, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum. b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa mendatang. Tehnis interpretatif digunakan karena adanya norma yang kabur dalam pengaturan sanksi pidana bersyarat dan pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Metode interpretatif yang digunakan diantaranya adalah grammatical interpretatie yaitu penafsiran menurut arti kata 38 dan sistematische interpretatie yaitu penafsiran dengan mencari penjelasan pasal-pasal dalam undang-undang. c. Evaluatif, yaitu melakukan penilaian terhadap suatu pandangan, pernyataan rumusan norma dalam bahan hukum primer maupun sekunder. d. Argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, hal ini tidak dapat dilepaskan dari tehnis evaluatif. Dalam permasalahan-permasalahan hukum makin dalam argumennya berarti makin dalam penataran hukumnya. 39 BAB II TINJAUAN UMUM PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum Tentang Pidana Pengawasan Muladi mengemukakan, bahwa terdapat dua pendekatan dalam upaya mencarikan formulasi jenis pidana sebagai alternatif pengganti pidana perampasan kemerdekaan, yaitu: 1. Pendekatan yang melihat dari alternatif pidana perampasan kemerdekaan (penjara) sebagai alternatif sanction, yaitu sanksi yang dapat menggantikan sanksi pidana penjara, dimana sanksi alternatif ini hanya dapat digunakan dan diterima bilamana sanksi tersebut dapat melayani tujuan pemidanaan dan pidana penjara dipandang memang tidak perlu digunakan. 2. Pendekatan yang menyatakan bahwa sanksi alternatif merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan dari pemidanaan di mana dengan pidana penjara tujuan pemidanaan itu malah tidak dapat dicapai.32 Pendekatan terhadap pencarian alternatif pidana perampasan kemerdekaan di atas, diupayakan harus tetap kritis dan realistis, oleh karena memang ada fungsi hukum pidana yang tidak mungkin dihilangkan hanya dengan alternatif pidana penjara saja. Yang paling utama adalah adanya keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam penggunaan alternatif pidana perampasan kemerdekan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang ingin dicapai. Perkembangan tujuan pidana dan pemidanaan tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya perbaikanperbaikan ke arah yang lebih manusiawi. Dalam Konggres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana yang ketiga di Stockhlom pada tahun 1965, salah satunya membahas 32 Muladi, Op. Cit, hal. 24. 40 perihal tindakan-tindakan yang bersifat non-institutional berupa probation (pidana pengawasan) bagi para pelaku tindak pidana sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan 33 . Keadaan ini dipertegas lagi dengan adannya rekomendasi yang diusulkan oleh sub-Committee II The Sixth United Nation Conggres in the Prevention of Offenders tahun 1980 di Caracas, yang membicarakan topik Deinstitutionalization of Corrections”, yang antara lain berbunyi sebagai berikut: “In a resolution on alternatives to imprisonment, the Conggres recommended that Member States examine their legislation with a view towards removing legal obstacles to utilizing alternatives to imprisonment in appropriates cases in countries where such obstacles exits an encourage wider community participation in the implementation of alternatives to imprisonment and activities aimed at the rehabilitation of offenders”.34 Bentuk-bentuk alternatif pidana perampasan kemerdekaan seperti Probation (Pidana Pengawasan) telah diterima dan diterapkan di Amerika dan Inggris, dimana ditentukan pada fase pertama pelaku tindak pidana hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan suatu masa percobaan. Sedangkan fase kedua pidana baru dijalani apabila terpidana melakukan tindak pidana pada fase pertama. Adapun yang berlaku di Perancis dan Belgia menunjukkan perkembangan tersendiri yaitu apabila dalam masa percobaan melakukan tindak pidana, maka pidana yang telah ditetapkan harus dijalani. Menurut Muladi, 35 pidana pengawasan (probation) mempunyai keuntungan-keuntungan apabila dilihat dari segi orang yang dikenai antara lain sebagai berikut : 33 Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 84. The Sixth United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, 1980, dalam Muladi, Op.Cit, hal. 151. 35 Ibid, hal. 153-154. 34 41 a. Akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, sepanjang kesejahteraan terpidana dalam hal ini dipertimbangkan sebagai hal yang lebih utama dari pada risiko yang mungkin diderita oleh masyarakat, seandainya si terpidana dilepas di masyarakat. Dalam rangka pemberian kesempatan ini, persyaratan yang paling utama adalah kesehatan mental dari terpidana. b. Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia, yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. c. Akan mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan kemerdekaan. Kemudian keuntungan-keuntungan dari sisi masyarakat adalah : a. Di dalam menentukan apakah harus dijatuhkan pidana pengawasan atau pidana perampasan kemerdekaan, maka salah satu pertimbangan utama adalah sampai seberapa jauhkah unsur-unsur pokok kehidupan masyarakat memperoleh manfaat dari pemberian pidana pengawasan tersebut. Hal ini dapat diamati dari keikutsertaan terpidana di dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara ekonomis menguntungkan kehidupan masyarakat. Demikian pula keikutsertaan terpidana di dalam kehidupan keluarga merupakan sesuatu yang sangat bernilai dari sudut masyarakat. b. Secara finansiil maka pidana dengan syarat (probation) yang merupakan pembinaan di luar lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan pembinaan di dalam lembaga. c. Bila ditinjau dari segi pelaksana pidana dengan syarat (probation officer) keuntungannya adalah, bahwa dengan pidana dengan syarat (probation) di luar lembaga para petugas pelaksana pidana dengan syarat dapat menggunakan segala fasilitas yang ada di masyarakat untuk mengadakan rehabilitasi terhadap terpidana dengan syarat (probation). Fasilitas ini dapat berupa bantuan pembinaan dari masyarakat setempat, jasa-jasa pengadaan lapangan pekerjaan pemerintah ataupun swasta, dan sebagainya. Dikaitkan dengan pandangan tentang pentingnya pidana pengawasan (probation) sebagai salah satu mata rantai sistem penyelenggaraan hukum pidana, maka yang harus dihapuskan dalam hal ini adalah adanya kesan, bahwa pidana non-custodial merupakan sikap kemurahan hati, pemberian ampun, atau pembebasan, sebab di dalam kerangka sebab musabab kejahatan dari pelaku tindak pidana serta usaha-usaha untuk menetralisasikan sebab musabab tersebut, maka peranan pengawasan di dalam pembinaan di luar lembaga ini menjadi suatu 42 keadaan dinamis untuk memecahkan masalah. Howard Jones mengatakan mengenai hal ini, bahwa: “It (Probation) is not a “let-of” then, because the probationer must either make good or suffer punishment later. In fact, the duty of reporting to a probation officer and accounting for one’s behaviour to him over a long period is much more onerous than some formal punishments such as a fine, especially if, as is often the case, additional duties and restrictions are also imposed under the terms of the probation order. Whatever the theory, the probationer must often feel that to be placed on probation is itself a punishment”.36 Menurut Howard Jones untuk adanya Probation dipersyaratkan hal-hal sebagai berikut: (1) No punishment is imposed initially; (2) The offender is given a fixed period to redeem himself; (3) During this period he is placed under the supervision of a probation officer (a) in order to keep the court information of his progress, (b) to help him to make the best of the opportunity given to him; (4) If he makes good, the original crime is considered to have been purged, but if he fails to do so, he may be brought back into court and sentenced for this, as well as for any other crime he may have committed since.37 Untuk menjatuhkan pidana pengawasan/probation tersebut biasanya diadakan pembatasan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan. Muladi mengemukakan bahwa pembatasan dalam menentukan tindak-tindak pidana yang pelakunya dikecualikan dari pengenaan probation adalah tindak-tindak pidana yang secara tradisional tidak disukai (menjijikkan) oleh masyarakat, yaitu : 1. Kejahatan-kejahatan kekerasan. 2. Kejahatan-kejahatan terhadap moral. 3. Kejahatan-kejahatan yang melibatkan penggunaan senjata-senjata yang mematikan. 4. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan seseorang karena diupah oleh orang lain. 5. Kejahatan-kejahatan terhadap pemerintah. 6. Kejahatan-kejahatan yang diancam pidana tertentu.38 36 Howard Jones, 1956, Crime and The Penal System, Univ. Tutonal Press LTD, Clifton House, Euston Rood, London, N.W.I, hal. 254. 37 Ibid, hal. 254. 43 Pada tahun 1962 telah dipublikasikan Report of the Interdepartemental Committee on the Probation service, yang antara lain menyatakan, bahwa menempatkan seseorang di bawah probtion harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Atas dasar sifat kejahatan dan catatan si pelaku tindak pidana, demi kepentingan masyarakat tidak dipertimbangkan untuk menerapkan cara yang keras untuk membinanya, 2. Risiko bagi masyarakat melalui penerapan pembebasan si pelaku tindak pidana diperbesar berdasarkan alasan-alasan moral, sosial dan ekonomi, 3. Pelaku tindak pidana memerlukan perhatian terus menerus, 4. Pelaku tindak pidana mampu untuk menanggapi perhatian tersebut dalam keadaan bebas.39 Dari uraian di atas jelas kiranya, bahwa alternatif pidana perampasan kemerdekaan berupa probation atau pidana pengawasan tidak hanya demi kepentingan si pelaku tindak pidana, namun juga demi kepentingan masyarakat. Selain dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat juga mengurangi banyak kerugian yang ditimbulkan oleh pidana perampasan kemerdekaan, terutama dalam bentuk gangguan terhadap kehidupan sosial yang normal yang akan menambah kesulitan narapidana dalam penyesuaian diri kepada masyarakat serta keluarganya dan seringkali meningkatkan kemungkinan timbulnya residivisme. Tujuan probation ini seperti dikutip dalam salah satu situs internet disebutkan, bahwa: “The purpose of the order (probation) is to rehabilitate the offender, protect the public and prevent the offender committing further offences”.40 (Tujuan pidana pengawasan adalah untuk merehabilitasi pelaku, melindungi masyarakat dan mencegah pelaku melakukan tindak pidana lebih lanjut). 38 Ibid, hal. 157. Rupert Cross, 1975, The English Sentencing System, Butterworths, London, hal. 21. 40 http//www. Goeggle. Probation. com, Sentencing Alternatives: From Incarceration to Diversion, 2002, hal. 18 39 44 Dalam draft resolusi yang dihasilkan Konggres PBB ke-8 mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders”, yang diselengarakan di Havana, Cuba, pada tanggal 27 Agustus-7 september 1990, diungkapkan latar belakang perlunya dibuat “Standard Minimum Rules” (SMR) untuk tindakan-tindakan nonCustodial, dimana dalam rule 8.2 pejabat yang berwenang memidana dapat menentukan salah satunya dengan penerapan “Pengawasan” (Probation and Judicial Supervision). Pemilihan tindakan ini harus didasarkan pada penilaian kriteria yang ditetapkan mengenai hal-hal sebagai berikut: 1) The nature and gravity of the offence; 2) The personality, background of the offender; 3) The purposes of sentencing; and 4) The rights of victims.41 Apabila menyimak ketentuan mengenai pidana pengawasan ini dalam konsep Rancangan KUHP Nasional, maka dalam penjelasan Rancangan KUHP Nasional tersebut dinyatakan, bahwa pelaksanaan pidana pengawasan ini dikaitkan dengan ancaman pidana penjara. Pidana pengawasan bersifat “non-custodial”, atau pidana penjara bersyarat yang terdapat dalam KUHP lama. Jenis pidna ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya. Seperti telah disebutkan di atas bahwa pidana pengawasan adalah bersifat alternatif pidana perampasan kemerdekaan bersyarat, yaitu adanya ketentuan untuk tidak dijalankannya pidana yang telah dijatuhkan (yang berkaitan dengan pidana penjara) dengan diadakannya syarat-syarat tertentu dan ditetapkan masa percobaan paling lama 3 tahun. 41 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.110. 45 Berkaitan dengan hukuman dengan adanya masa percobaan ini, dapat diambil bahan perbandingan di negara lain, yaitu di Perancis yang disebut dengan istilah “Les surcis” yang dibedakan antara “surcis simple” (hukuman-hukuman percobaan biasa) dengan surcise avec mise al’apreuve” (hukuman percobaan dengan ditentukan jangka waktunya). 42 Hukuman-hukuman percobaan biasa (surcise simple) adalah hukumanhukuman percobaan dengan jangka waktu percobaan sudah tetap, yaitu selama 5 tahun. Misalnya, kepada terdakwa dijatuhi hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan biasa, maka masa percobaan tersebut adalah 5 tahun. Terpidana dapat bebas atau tidak, terserah kepada dia sendiri apakah selama masa percobaan tersebut dia lolos atau tidak dari perbuatan melakukan sesuatu tindak pidana. Kalau ternyata ia melakukan sesuatu tindak pidana, maka ia harus menjalani hukuman yang telah dijatuhkan tadi, ditambah lagi dengan hukuman-hukuman baru. Sedangkan hukuman percobaan ditentukan waktunya (surcis avec al’epreuve) adalah hukuman percobaan dimana kepada si tertuduh dijatuhi hukuman penjara misalnya 1 tahun, dengan ditentukan masa percobaan selama 3 tahun. Artinya dia tidak perlu menjalani hukuman penjara selama 1 tahun tersebut, akan tetapi ia diikuti (diawasi) selama 3 tahun itu. Selama itu kepadanya diberikan kewajiban-kewajiban tertentu. Kalau dia berhasil memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut maka loloslah ia untuk tidak menjalani hukuman tadi. Sebaliknya apabila ia tidak memenuhinya, maka ada kemungkinan bahwa ia akan dimasukkan. Semua hukuman bersyarat mengandung syarat umum yang menyatakan bahwa seorang 42 Lintong Oloan Siahaan, 1981, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia, hal. 84-85. 46 pelaku tindak pidana akan melakukan kejahatan lagi dalam batas waktu yang telah ditentukan. Kemudian dapat dibedakan dua syarat yang istimewa (khusus) yaitu : 1. Syarat-syarat yang secara khusus disebut oleh undang-undang (pembayaran ganti rugi atau kompensasi bagi segaka kerugian sebagai akibat dari suatu kejahatan tadi harus memperoleh perawatan pada suatu lembaga yang diperinci oleh pengadilan), dan 2. Syarat-syarat lain yang berkaitan dengan perilaku si pelaku kejahatan yang tidak boleh membatasi kemerdekaan agama maupun politik yang dianutnya.43 Meskipun tidak harus, syarat-syarat tambahan dapat dicantumkan dan disebut dengan hukuman bersyarat. Akhirnya dinas probasi dapat diberi instruksi untuk memberi nasehat, membantu dan melindungi si pelaku kejahatan yang telah dijatuhi hukuman. Hukuman bersyarat mirip sekali dengan probasi (probation) apabila diberikan perintah untuk menasehati, membantu dan melindungi, dan juga mirip sekali dengan “surcis simple” apabila hanya dibuat syarat umum yaitu bahwa tidak akan dilakukannya lagi kejahatan kelak. Putusan bersyarat mempunyai sifat positif dan negatif. Hal tersebut berkaitan dengan syarat-syarat yang ditentukan. Sifat negatif terdapatialah syarat umum, yang harus selalu diadakan yaitu bahwa si terhukum tidak akan melakukan peristiwa pidana selama masa percobaan. Kewajiban hukum yang khusus tidak ditentukan dalam hal ini. Semua orang, juga yang tidak dihukum secara bersyarat tidak boleh melakukan peristiwa-peristiwa pidana. Dengan syarat yang umum ini si terhukum tidak dimasukkan dalam penjara. Suatu dorongan untuk mendidik diri sendiri, memperbaiki sendiri tidak ada. Selanjutnya yang terutama merupakan kekuatan dan arti yang penting daripada putusan bersyarat (sifat positif) ialah syarat-syarat khusus, dengan mana hakim 43 L.H.C. Hulsman dalam Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Penyadur, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 90 47 dapat memaksa si terhukum secara tidak langsung untuk mendidik diri dan bekerja sendiri.44 Dalam Konsep KUHP Nasional tahun 2008 yang merupakan rancangan KUHP Nasional di masa depan, jenis pidana pengawasan ini sudah diatur dan ditempatkan sebagai salah satu pidana pokok Pasal 60 (pasal 65 konsep 2008). Pengaturan tentang pidana pengawasan ini tercantum dalam Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 74 konsep 2000 (pasal 77,78,79 konsep 2008). berkaitan dengan syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus tersebut, perumusannya tercantum dalam Pasal 73 konsep 2000 (pasal 78 konsep 2008) yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 73 (1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya, (1) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun, (2) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat : a. Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; dan b. Terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; atau c. Terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. (3) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Perundang-undangan. 44 Ibid, hal. 312. 48 (4) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, maka Balai Pemasyarakatn Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Perundang-undangan dapat mengusulkan kepada hakim pengawa untuk memperpendek masa pengawasannnya. (5) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setlah mendengar para pihak. Perihal syarat-syarat di atas patut diperhatikan pendapat dari I.J Shain, seorang Direktur Penelitian dari Judicial of California yang mengemukakan bahwa terdakwa yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebaiknya tidak dijatuhi pidana penjara (dalam artian dapat dikenai alternatif dari pidana penjara semacam pidana pengawasan ini,). Adapun syarat-syarat yang dikemukakan, adalah : 1. Terdakwa selain tidak termasuk penjahat “professional”, juga tidak mempunyai banyak riwayat kriminalitas; 2. Dalam melakukan tindak pidana banyak factor-faktor yang meringankan; 3. Terdakwa tidak melakukan ancaman maupun menyebabkan penderitaan atau kerugian yang serius pada korban (korban-korbannya); 4. Fakta-fakta menunjukkan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana oleh karena ada provokasi dari pihak korban; 5. Terdakwa bersedia untuk memberikan ganti rugi atas kerugian materi maupun luka-luka yang diderita korban; 6. Tidak terdapat cukup alasan yang menujukkan, bahwa terdakwa akan melakukan lagi tindak, atau tidak terdapat cukup petunjuk bahwa sifat-sifat jahat terdakwa akan muncul lagi.45 Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pengawasan (probation) dapat pula dilihat dalam salah satu situs internet yang uraiannya sebagai berikut: “When deciding whether to give a defendant probation (where it’is allowed), the judge will look at the defendant’s record and the seriousness of the crime. The judge will also consider: 45 H.Eddy Djunaedi Karnasudirdja, 1983, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana, Tanpa penerbit, hal 92. 49 1. whether the crime was violent; 2. whether the defendant is a danger to society; 3. whether the defendant made or is willing to make restitution to the victim, and 4. whether the victim was partially at fault.”46 (Ketika keputusan yang diambil berupa pengenaan pidana pengawasan (jika hal ini diperbolehkan), hakim harus memperhatikan rekaman kejahatan yang pernah dilakukan oleh pelaku dan seberapa serius kejahatan tersebut. Selain itu hakim juga harus mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. apakah kejahatan yang telah dilakukan bersifat tindak kekerasan atau tidak; 2. apakah pelaku merupakan orang yang berbahaya bagi masyarakat; 3. apakah pelaku telah atau mau memberikan ganti rugi atas penderitaan atau kerugian yang dialami pihak korban; 4. apakah pihak korban ikut bersalah atas tindak pidana yang terjadi) 2.2 Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak 2.2.1 Pengertian Anak Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid/ inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat dilihat pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.47 46 47 Http//www.goeggle.probation.com, Op.Cit, hal. 35. Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, Hal 5. 50 Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa).48 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin. Pada 30 Juli 2012, DPR-RI mengesahkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan menggantikan UU Pengadilan Anak, 2 tahun sejak diundangkan yaitu akan mulai berlaku pada 30 Juli 2014. UU No. 11 Tahun 2012 telah mengadopsi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VII/2010 yaitu dengan memberikan pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagai anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 48 Shanty Dellyana, Op Cit, Hal.50. 51 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU No. 11 Tahun 2012). Namun hal berbeda ditunjukkan dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih dalam Pemilu misalnya seseorang dianggap telah mampu bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya kalau ia sudah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun. Melihat dari hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan batas umur anak adalah relatif tergantung pada kepentingannya. 2.2.2 Hak-hak Anak Anak tetaplah anak, dengan segala ketidakmandirian yang ada mereka sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa di sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus diimplementasikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka. Dalam hukum positif Indonesia, perlindungan terhadap hak-hak anak dapat ditemui di berbagai peraturan perundang-undangan, seperti yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990, yang merupakan ratifikasi dari Konvensi PBB Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child); Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara rinci dapat dilihat berikut ini: Hak-hak Anak dalam Konvensi PBB (KepPres No. 36 Tahun 1990): ï‚· ï‚· ï‚· Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman. Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan. Tugas negara untuk menghormati tanggung jawab, hak dan kewajiban orang tua serta keluarga. 52 ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak. Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak. Hak memperoleh kebangsaan, nama, serta hak untuk mengetahui dan diasuh orang tuanya. Hak memelihara jatidiri termasuk kebangsaan, nama, dan hubungan keluarga. Hak untuk tinggal bersama orang tua. Kebebasan menyatakan pendapat/pandangan. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragaman. Kebebasan untuk berhimpun, berkumpul, dan berserikat. Memperoleh informasi dan aneka ragam sumber yang diperlukan. Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah (eksploitas) serta penyalahgunaan seksual. Memperoleh perlindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan pribadi, keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah). Perlindungan anak yang tidak mempunyai orang tua menjadi kewajiban negara. Perlindungan terhadap anak yang berstatus pengungsi. Hak perawatan khusus bagi anak cacat. Memperoleh pelayanan kesehatan Hak memperoleh manfaat jaminan sosial (asuransi sosial). Hak anak atas taraf hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental dan sosial. Hak anak atas pendidikan. Hak anak untuk beristirahat dan bersenang-senang untuk terlibat dalam kegiatan bermain, berekreasi, dan seni budaya. Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi. Perlindungan dari penggunaan obat terlarang. Melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual. Perlindungan terhadap penculikan dan penjualan atau perdagangan anak. Larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi. Hukum acara peradilan pidana. Hak memperoleh bantuan hukum baik di dalam atau di luar pengadilan. Hak-hak anak menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Pasal 2 sampai pasal 8): ï‚· ï‚· ï‚· Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 53 ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama-tama mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan. Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan. Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan putusan hakim. Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan. Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial. Hak-hak anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 4 – Pasal 18): ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. 54 ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Khusus bagi anak yang menyandang cacat, juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Setiap anak yang menyandang cacat berhak meperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sarana penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukum yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak: mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan Sistem Peradilan Pidana Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Memerhatikan apa yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 di atas, sebenarnya merupakan penegasan dari peraturan yang ada sebelumnya. Selain itu, rumusan yang tertuang dalam undang-undang tersebut 55 sebagian juga merupakan upaya adopsi dari rumusan yang berlaku secara internasional, melalui berbagai Konvensi dan Instrumen Internasional lainnya. Sebagi contoh, pengaturan tentang hak anak dalam kaitan dengan pertanggungjawaban terhadap kenakalan/tindak pidana yang dilakukannya. Resolusi PBB No. 45/113 menyatakan bahwa: Rule 1.1. Imprisonment should be used a last resort (pidana penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir) Rule 1.2. Deprivation of the liberty of a juvenile should be a disposition of last resort and the minimum necessary period and should be limited to exceptional cases (perampasan kemerdekaan anak harus ditetapkan sebagai upaya terakhir dan utuk jangka waktu yang minimal yang diperlukan, serta dibatasi untuk kasus-kasus yang luar biasa/eksponensial)49 Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, menurut Arief Gosita ada beberapa hak-hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaannya secara bersama-sama yaitu:50 1. Sebelum Persidangan a. Sebagai Pelaku 1) Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah. 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat penahanan misalnya) 3) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo. 4) Hak untuk mendaptkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib) b. Sebagai Korban 1) Hak mendapatkan pelayanan karena penderitaan mental, fisik, dan sosialnya 2) Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka tanpa imbalan (kooperatif) 3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dan siapa saja (berbagai ancaman, penganiayaan, pemerasan misalnya) 49 Lihat Rule 1.1 dan 1.2. Resolusi PBB 45/113 tentang UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty. 50 Arief Gosita, Op.Cit, hal. 10-13 56 4) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo 5) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai pelapor, saksi/korban. c. Sebagai Saksi: 1) Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka, tanpa mempersulit para pelapor 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja yang karena kesaksiannya (berbagai ancaman, penganiayaan misalnya) 3) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaaan (transport) 2. Selama Persidangan a. Sebagai Pelaku 1) Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya 2) Hak mendapatkan pendamping, penasihat selama persidangan 3) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan, kesehatan) 4) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara, dantempat-tempat penahanan misalnya) 5) Hak untuk menyatakan pendapat 6) Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 ayat 22) 7) Hak untuk mendapatkann perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya 8) Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya b. Sebagai Korban 1) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai saksi/korban (transport, penyuluhan) 2) Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya 3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya) 4) Hak untuk menyatakan pendapat 5) Hak untuk mengganti kerugian atas kerugian, penderitaannya 6) Hak untuk memohon persidangan tertutup. c. Sebagai Saksi 57 1) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai aksi (transport, penyuluhan) 2) Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya 3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya) 4) Hak untuk mendapatkan izin dari sekolah untuk menjadi saksi. 3. Setelah Persidangan a. Sebagai Pelaku: 1) Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai Pemasyarakatan 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, epmbunuhan misalnya) 3) Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluarganya. b. Sebagai Korban 1) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya) 2) Hak atas pelayanan di bidang mental, fisik, dan sosial. c. Sebagai Saksi 1) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja. 2.3. Batasan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus dan/ atau dapat51 dirujuk oleh setiap negara dalam menangani Anak yang Berkonflik dengan 51 Hukum internasional memiliki 2 (dua) sifat , yakni instrumen yang mengikat secara hukum (legally binding instrument) dan instrument yang tidak mengikat secara hukum (instruments not legally binding) namun memiliki kekuatan secara moral (have morally persuasive force), Sifat mengikat ini bergantung pada jenis intrumen hukum internasional tersebut. Instrumen Hukum internasional yang berbentuk perjanjian internasional (treaty) seperti kovenan, konvensi, protocol memiliki sifat mengikat secara hukum. Negara yang telah meratifikasi suatu intrumen perjanjian internasional harus melaksanakan kewajiban hukum berdasarkan prinsip itikad baik (pacta sunt servanda principles). Apabila instrument tersebut diformulasikan dalam bentuk deklarasi, guidelines, prinsip-prinsip biasanya memiliki karakteristik tidak mengikat secara hukum. Negara 58 Hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan hukum dan penghormatan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi (kelembagaan).52 Secara konseptual Anak yang Berkonflik dengan Hukum (children in conflict with the law), dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak: Pasal 1 butir 3 Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.53 Persinggungan dengan sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan anak berhadapan dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana atau melanggar kesesuaian hukum pidana. Dengan demikian istilah sistem tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakannya, namun instrument tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan (sumber) hukum. 52 Inter-Parliamentary Union & UNICEF, 2006, Improving the Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF ROSA 53 Op. Cit, hal. 17 59 peradilan pidana anak dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana yang dikonstruksikan pada anak. Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut54. Dengan demikian, istilah sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.55 Mengacu pada proses ini, maka terdapat 3 (tiga) tahap peradilan anak, tahap pertama, mencakup pencegahan anak dari tindak pidana. Tahap ini meliputi implementasi tujuan kebijakan sosial yang memungkinkan anak dalam pertumbuhannya sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Tahap kedua, ditandai anak bersentuhan dengan prosedur formal sistem peradilan pidana. Tahap ini merupakan bentuk tanggung jawab anak melalui proses peradilan pidana. Tahap 54 Nikhil Roy & Mabel Wong, 2004, Juvenile Justice : Modern Concepts of Working with Children in Conflict with the Law, Save the Children UK 55 Volz, 2009, Advocacy Strategies Training Manual: General Comment No.10: Children’s Rights in Juvenile Justice, Defence for Children International 60 ketiga, resosialisasi diawali dari proses isolasi di lembaga pemasyarakatan sampai pembebasan anak.56 Sebangun dengan kerangka di atas, standar internasional sistem peradilan pidana anak pada prinsipnya ditujukan untuk mendorong kekhususan praktikpraktik peradilan pidana anak dan mengembangkan sistem peradilan pidana yang berbeda sehingga perlakuan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya. 57 Hal ini dikarenakan terdapatnya kesenjangan tingkat kematangan antara orang dewasa dengan anak, baik secara moral, kognitif, psikologis, dan emosional.58 Oleh karenanya, dalam membangun sistem peradilan anak semestinya berperspektif bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada dasarnya merupakan korban, meskipun anak tersebut telah melakukan tindak pidana. Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak : 1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah : a. Faktor intelegentia b. Faktor usia c. Faktor kelamin d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga. 2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah : a. Faktor rumah tangga b. Faktor pendidikan dan sekolah c. Faktor pergaulan anak d. Faktor mass media.59 56 Barbara Henkes, 2000, The Role of Education in Juvenile Justice in Eastern Europe and The Farmer Soviet Union, Constitutional & Legal Policy Institute, Hungary 57 Inter-Parliamentary Union & UNICEF, Op.Cit Hangama Anwari, tanpa tahun, Justice for The Children: The situation for children in conflict with the law in Afghanistan, UNICEF and AIHRC 58 59 Wagiati Soetodjo, Op.Cit, hal 17 61 Kenakalan anak diambil dari istilah juvenile delinquency, berasal dari juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja; sedangkan delinquency artinya wrong doing, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.60 Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu Undang-undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok yang menakankan segi pelanggaran hukumnya, adapula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. Namun, semua sependapat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat antisosial. Mardjono Reksodiputro (1995) dalam sebuah makalahnya menyatakan bahwa apabila ada pendapat yang menyatakan kalau perilaku delinkuen selalu akan membawa anak (baik pria maupun wanita) menjadi pelaku kejahatan atau penjahat di masa yang akan datang adalah keliru. Akan tetapi, beliau berpendapat bahwa apabila masalah delinkuensi anak itu tidak ditangani dengan baik, maka pada masa yang akan datang dapat terjadi kenaikan kriminalitas dalam masyarakat, merupakan pendapat yang logis dan dianut oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, secara kasus individual seorang anak delinkuen (juga yang melakukan tindak pidana serius seperti: pembunuhan) janganlah diberi stigma sebagai ”penjahat 60 Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 25 62 kecil” yang akan tumbuh menjadi penjahat ”besar”. Hal ini tidak mengurangi kenyaatan bahwa pengalaman dan penelitian empirik menunjukkan kurangnya perhatian terhadap permasalahan delinkuensi anak sebagai gejala sosial dapat meningkatkan secara cepat angka statistik kriminal yang bersangkutan.61 Apa yang dimaksud dengan kenakalan anak, banyak pendapat yang memberikan definisi. Paul Moedikno (1983) memberikan perumusan bahwa juvenile delinquency yaitu: 1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti: mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya 2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jengki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya. 3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.62 Menurut Kartini Kartono (1992) bahwa yang dimaksud dengan juvenile delinquency adalah:63 Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Menurut Fuad Hassan, yang dikatakan juvenile delinquency adalah perbuatan antisosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.64 61 Mardjono Reksodiputro dkk, 1995, Pemasyarakatan Terpidana Anak dan Wanita Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun. Sponsor: Masumoto Foundation-Japan, Universitas Indonesia, Jakarta, hal 37 62 Paul Moedikno dalam Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung: Armico, 983, hal. 22 63 Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2. Kenakalan Remaja, Rajawali Press, Jakarta, hal 7 64 Fuad Hassan dalam Romli Atmasasmita, Op.Cit. hal 22. 63 Paul M. Tappan memberikan perumusan tentang pengertian juvenile delinquency adalah.65 The juvenile delinquent is a person has been adjudicated as such by a court of proper jurisdiction though he may be no different up until the time of court contact and adjuctication at any rate, from masses of children who are not delinquent. Sementara Maud A. Merril (1996) merumuskan juvenile delinquency sebagai berikut:66 A child is classified as a delinquent when his antisocial tendencies appear to be so grave that he become or ought to become the subject of official action. (Seorang anak digolongkan sebagai anak delinkuen apabila tampak adanya kecenderungan-kecenderungan antisosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya). R. Kusumanto Setyonegoro (1967) yang mengemukakan pendapatnya terkait kenakalan anak sebagai berikut:67 Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delinkuen; dan jika ia dewasa maka tingkah laku ini sering kali disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal. Tim proyek Juvenile Delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Desember 1967 memberikan perumusan mengenai juvenile delinquency sebagai berikut:68 65 Ibid, hal. 20 Maud A. Merril dalam W.A. Gerungan, 1996, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Eresco, Bandung, hal. 199 67 R. Kusumanto Setyonegoro, dalam Romli Atmasasmita, Op.Cit, hal. 23 68 Ibid 66 64 Suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela. Sementara Romli Atmasasmita sendiri berpendapat bahwa juvenile delinquency adalah sebagai berikut:69 Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap normanorma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan Dalam undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diistilahkan dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum dapat dilihat dalam Pasal 1 butir (3), yang menyatakan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah: (3) Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dari berbagai pendapat yang memberikan batasan tentang kenakalan anak, menunjukkan bahwa juvenile delinquency adalah perilaku anak yang merupakan perbuatan yang melanggar norma, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Terlalu kejam apabila pelaku anak disebut sebagai penjahat anak bukan kenakalan anak, sementara bila memerhatikan kebijakan Pelaksanaan/Eksekutif terkait anak yang melakukan kenakalan (Anak yang Berkonflik dengan Hukum), penyebutan anak yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sebagai ”Narapidana Anak” tetapi sebagai ”Anak Didik Pemasyarakatan”. 69 Ibid 65 Dalam KUHP Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (Kejahatan) harus mengandung unsur-unsur: 1. 2. 3. 4. Adanya perbuatan manusia; Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum; Adanya kesalahan Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan. Batasan yang demikian memang berlaku untuk orang dewasa, tetapi apabila pelakunya adalah anak, tentu ada hal-hal yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Apalagi dalam KUHP ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atas syarat kesadaran diri yang bersangkutan. Ia harus mengetahui dan menyadari bahwa perbuatannya itu terlarang menurut hukum yang berlaku, sedangkan seorang anak dengan karakteristik yang ada padanya karena ketidakmampuannya, berbeda dengan orang dewasa yang memiliki cara berpikir normal akibat dari kehidupan rohani yang telah sempurna, pribadi yang telah mantap menampakkan rasa tanggung jawab sehingga dapat mempertanggungjawabkan atas segala sesuatu atau segala tindakan yang telah dipilihnya.70 Bagi anak, yang dalam hal ini di Amerika Serikat dikenal dengan istilah Juvenile Delinquency, tentu memiliki kejiwaan yang labil, kemantapan psikis yang masih dalam proses pengembangan, dan perkembangan otak yang belum sempurna, yang tentu saja konsekuensinya belum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, berbeda dengan kondisi orang dewasa. Tindakan si anak dalam lingkup Juvenile Delinquency yang memang kadang kala menjurus kepada pelanggaran ketertiban umum, tidak lalu diartikan sebagai kejahatan, tetapi kenakalan karena 70 Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hal. 12 66 perilakunyatersebut timbul karena kondisi psikologi yang tidak seimbang, selain juga ia tidak sadar secara penuh akan perbuatannya itu. Di Amerika Serikat, ada pembedaan antara perbuatan yang dilakukan oleh anak dengan orang dewasa. Suatu tindakan antisosial yang melanggar norma hukum pidana, kesusilaan, ketertiban umum, yang apabila dilakukan oleh seseorang yang berusia di atas 21 tahun, maka perbuatannya itu disebut kejahatan (crime). Jika dilakukan oleh seseorang yang usianya di bawah 21 tahun disebut kenakalan (delinquency). Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency itu menurut Alder (1980), adalah: 1. Kebut-kebutan di jalan yang mangganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain; 2. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan; 3. Perkelahian antargeng, antarkelompok, antarsekolah, antarsuku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa; 4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di temapat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindak a-susila; 5. Kriminalitas anak, remaja, dan adolensens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, mengganggu, menggarong, melakukan pembunuhann dengan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya; 6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang mengganggu sekitarnya; 7. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi, balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain; 8. Kecanduan dan ketagihan Narkoba (obat bius, drug, opium, ganja) yang erat kaitannya dengan kejahatan; 9. Tindakan-tindakan immoral seksual secara terang-terangan tanpa tedeng alingaling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali 67 (promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usaha-usaha kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya; 10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada anak remaja disertai dengan tindakan-tindakan sadis; 11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan akses kriminalitas; 12. Komersialisasi seks, penggunguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin; 13. Tindakan radikal dan ekstrem dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja; 14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik, neurotic dan menderita gangguan jiwa lainnya; 15. Tindakan kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitics lethargoical) dan ledakan meningitis serta post-encephalitics, juga luka dikepala dengan kerusakan otak yang adakalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu mengendalikan diri; 16. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang imperior.71 Gejala kenakalan anak akan terungkap apabila diteliti bagaimana ciri-ciri khas atau ciri-ciri umum yang menonjol pada tingkah laku anak-anak puber di atas, yakni: 1. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta kebutuhan untuk memamerkan diri, sementara lingkungan orang dewasa yang sedang demam materil di mana orang mendewa-dewakan kehidupan lux dan kemewahan, sehingga anak-anak muda usia yang emosi dan mentalnya yang belum matang serta dalam situasi yang labil, maka dengan mudah ia akan ikut terjangkit nafsu serakah duniawi. Anak puber dan adolscent ini pada umumnya belum berpenghasilan, sementara itu keinginan untuk memiliki atau berkuasa dan memanjakan diri dalam bentuk materil, misalnya ingin berpakaian bagus, baik motor, piknik, pesta pora, hura-hura, dan lain-lain demi harga diri yang semakin tinggi, semua itu semakin menuntut untuk dipenuhi. Apabila anak tidak mampu untuk mengendalikan emosi yang semakin menekan, kemudian pengawasan dan pendidikan dari orang tua kurang, maka akan mudah sekali anak/remaja terjerumus dengan melakukan tindak kriminal, misal mencuri, menodong, menggarong demi mendapatkan penghasilan tanpa harus mengeluarkan keringat dan tenaga yang besar; 2. Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri, misalnya terefleksi pada kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya; 3. Senang mencari perhatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya dengan jalan mabuk-mabukan minuman keras; 71 Kartini Kartono, Op.Cit., hal 21-23 68 4. Sikap hidupnya bercorak a-sosial dan keluar dari dunia objektif ke arah dunia subjektif, sehingga ia tidak lagi suka pada kegunaan-kegunaan teknis yang sifatnya pragmatis, melainkan lebih suka berkelompok dengan teman sebayanya. Dengan demikian, mereka merasa lebih kuat, aman, dan lebih berani untuk berjuan dalam melakukan eksplorasi dan eksperimen hidup dalam dunianya yang baru, maka banyak ditemui pemuda-pemuda yang mempunyai geng-geng tersendiri. Anak-anak dalam geng yang demikian, umumnya mempunyai kebiasaan yang aneh dan mencolok (kontroversial), senang mengunjungi tempat-tempat hiburan, pelacuran (prostitusi), perjudian dan mabuk-mabukan. Selain itu gemar mencari gara-gara, tingkahnya menjengkelkan, mengganggu orang lain dan membbuat gaduh, keonaran di mana-mana sebagai sasaran keberandalanny. Semua gejala keberandalan dan kejahatan yang muncul merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur ledakan-ledakan dan usaha mencari identitas diri menuju kedewasaan serta kemandirian jiwa. 5. Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas maupun identifikasi lama dan mencari aku ”ideal’ sebagai identitas baru serta substitusi identitas lama.72 2.4 Sanksi Pidana Terhadap Anak dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan pada anak diatur dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 81 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk-bentuk sanksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut tampak sama dengan bentuk-bentuk program diversi, seperti: pengawasan masyarakat (community supervision); restitusi (restitution); kompensasi (conpensation); denda (fine); pemberian nasihat (conseling); pelayanan klien khusus; kegiatan yang melibatkan pihak keluarga (family Intervention). Dengan mencermati bentuk-bentuk sanksi tindakan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dengan bentuk-bentuk program diversi, tampak terdapat kesamaan antara program diversi dengan salah satu bentuk sanksi tindakan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun demikian, bentuk-bentuk sanksi dalam UU tersebut merupakan produk 72 Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hal 15-16 69 putusan hakim melalui proses pemeriksaan perkara pidana secara formal. Sanksisanksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut, sudah dapat menimbulkan efek negatif proses pengadilan dan menimbulkan stigma (cap jahat) terhadap anak. Dengan adanya putusan-putusan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 telah menimbulkan cap secara yuridis bahwa anak tersebut sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum, hal ini tentunya berbeda dengan tujuan yang dikehendaki oleh konsep diversi. Kebijakan formulasi dalam UU No. 11 Tahun 2012, tidak menentukan diversi dalam bentuk penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta penghentian pemeriksaan dalam rangka perlindungan anak (kecuali bagi pelaku anak yang berumur kurang dari 12 tahun). Namun demikian dengan adanya jenis putusan hakim berupa: denda; mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, sama dengan bentuk-bentuk program diversi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya indikasi dapat diterimanya konsep diversi. Sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan pada anak diatur dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 81 UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk-bentuk sanksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut tampak sama dengan bentuk-bentuk program diversi, seperti: pengawasan masyarakat (community supervision); restitusi (restitution); kompensasi (conpensation); denda (fine); pemberian nasihat (conseling); pelayanan klien khusus; kegiatan yang melibatkan pihak keluarga (family Intervention). 70 Dengan mencermati bentuk-bentuk sanksi tindakan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dengan bentuk-bentuk program diversi, tampak terdapat kesamaan antara program diversi dengan salah satu bentuk sanksi tindakan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun demikian, bentuk-bentuk sanksi dalam UU tersebut merupakan produk putusan hakim melalui proses pemeriksaan perkara pidana secara formal. Sanksisanksi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut, sudah dapat menimbulkan efek negatif proses pengadilan dan menimbulkan stigma (cap jahat) terhadap anak. Dengan adanya putusan-putusan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 telah menimbulkan cap secara yuridis bahwa anak tersebut sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum, hal ini tentunya berbeda dengan tujuan yang dikehendaki oleh konsep diversi. Kebijakan formulasi dalam UU No. 11 Tahun 2012, tidak menentukan diversi dalam bentuk penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta penghentian pemeriksaan dalam rangka perlindungan anak (kecuali bagi pelaku anak yang berumur kurang dari 12 tahun). Namun demikian dengan adanya jenis putusan hakim berupa: denda; mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, sama dengan bentuk-bentuk program diversi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya indikasi dapat diterimanya konsep diversi. 71 2.5 Sistem Dan Tujuan Pemidanaan yang Dikaitkan dengan Ide Pemasyarakatan Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dinyatakan oleh Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:73 1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; 2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan; 3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; 4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual. Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli yang profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa terbatasnya dana peraturan dan perundang-undangan yang masih memakai reglemen penjara (Gestichten Reglemen 1917 No.708.74 Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan 73 Departemen Kehakiman, 1990, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Tujuan pembinaan narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/rumah tahanan negara. 74 72 pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam arti sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan. Perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum.75 J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.76 Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan 75 Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah pelakunya dipidana mati. 76 J.E. Sahetapi, 1992, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta, hal. 279 73 bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.77 Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian konflik (conflict resolution), mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior).78 Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana (strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik. Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum 77 78 Ibid, hal. 280 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op Cit, hal. 21. 74 sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum.79 Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:80 1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; 2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan; 3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; 4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual. Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan mengenai cita-cita pemasyarakatan. Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana dimaksudkan untuk a) mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism); b) mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama similar acts); c) 79 Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. 80 Departemen Kehakiman, Op Cit. 75 menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for the expression of realiatory motives).81 Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment is to create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time).82 Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values), kedua menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime).83 Ahli di bidang kepenjaraan (penolog) mengakui bahwa ada 3 (tiga) elemen pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1) petugas; 2) narapidana; dan 3) masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman kembali ke masyarakat. Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa indikator: 1. Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. 2. Pelanggaran hak-hak narapidana. 3. Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat. 4. Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan. 81 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. cit, hal. 20. Ibid, hal. 19. 83 Ibid., hal. 21. 82 76 2.6 Perlindungan Hukum demi Kesejahteraan Anak Peradilan pidana (juvenile justice) merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan hukum kepada anak yang telah melakukan tindak pidana. Orientasi dari keseluruhan proses peradilan pidana anak ini harus ditujukan pada kesejahteraan anak itu sendiri, dengan dilandasi prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest for children). Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMRJJ (Beijing Rules) dalam rule 5.1 bahwa: “The juvenile justice system shall emphasize the well – being of the juvenileand shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumtances of both the offender and the offence”.84 Dari Aims of Juvenile Justice ini dapat disimpulkan adanya dua sasaran dibentuknya peradilan anak, yaitu: (a) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile), Artinya, Prinsip kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat menghukum.85 Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang Un Rules For The Protection Of Juveniles Deprived Of Thei Liberty. (Barda Nawawi Arief, 1996:13); (b) Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip yang kedua ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann 84 85 Muladi, 1992, Op. Cit, Hal. 112 Ibid, hal 113 77 dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi semata-mata sebagai suatu lembaga sosial.86 Sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses perlindungan hukum terhadap anak dalam peradilan anak memerlukan perlakuan dan jaminan-jaminan khusus dari undang-undang. Jaminan-jaminan khusus ini tentunya tidak mengesampingkan jaminan-jaminan umum yang berlaku bagi setiap orang. Jaminan umum yang dimaksud tersebut adalah jaminan-jaminan yang bersifat prosedural yang paling mendasar, antara lain: (a) Hak untuk diberitahukannya tuduhan (the right to be notified of the charges); (b) Hak untuk tetap diam (the right to remain silent) ; (c) Hak untuk memperoleh penasehat hukum (the right to councel); (d) Hak untuk hadirnya orang tua/wali (the right to the presence of a parent of guardian);(e) Hak untuk menghadapkan saksi dan pemeriksaan silang para saksi (the right to confront and cross-examine witness); (f) Hak untuk banding ke tingkat yang lebih tinggi (the right to appeal to a higher authority).87 Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keseluruhan perlindungan terhadap anak, dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana, seyogyanya dimulai dari ketentuan-ketentuan hukum yang seoptimal mungkin menjamin hak-hak anak, dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar perlindungan anak yang berlaku universal, yakni: (a) non-diskriminasi; (b) 86 87 Ibid, hal 114 Ibid, hal 117 78 kepentingan terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam lingkup nasional, jaminan hukum secara khusus yang diberikan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Sedangkan, secara Internasional diatur dalam The Beijing Rules. Sebagai peraturan yang secara khusus mengatur perlakuan dan jaminanjaminan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana, pada kenyataannya substansi undang-undang peradilan anak tersebut belum cukup memberikan jaminan perlindungan. Dalam hal ini, terdapat beberapa ketentuan yang inkonsistensi dengan peraturan induknya (KUHP) dan Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dan mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for children). Berikut ini adalah beberapa catatan terhadap Undang-undang Nomor113 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: (1) Mengenai batasan minimum usia minimal pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal responsibility) bagi anak yang terlampau rendah. Undang-undang Peradilan Anak menetapkan batasan usia minimal anak untuk dapat dihadapkan ke pengadilan adalah 12 (duabelas) tahun (Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012). Meskipun sanksi yang ditetapkan bagi anak usia 12 – 18 tahun hanya berupa tindakan, namun dengan batasan usia minimal pertanggunjawaban pidana yang terlampau rendah ini memungkinkan timbulnya ekses-ekses negatif yang dirasakan anak, yakni pengalaman selama proses diajukan ke persidangan akan menimbulkan stigma dan trauma yang akan dirasakan anak. Hal ini jelas 79 merupakan dampak yang tidak dapat dihindari anak yang diajukan ke persidangan, mengingat anak masih terus tumbuh berkembang dalam masyarakat, sedangkan stigma “jahat” dari masyarakat akan terus dirasakan anak selama tumbuh kembangnya tersebut. Di sinilah menurut penulis letak pengabaian prinsip terbaik bagi anak; (2) Adanya inkonsistensi dengan peraturan induknya, yakni KUHP. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, maka ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan ini jelas akan menimbulkan implikasi yuridis tersendiri, mengingat ketentuan yang terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP tidak hanya terletak pada Pasal 45, 46, 47 KUHP saja, melainkan terkait pula dengan pasal-pasal lain dalam buku II dan III KUHP. Dengan tidak adanya penegasan dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut maka dapat dikatakan bahwa ketentuan selain pasal 45, 46, 47 KUHP secara yuridis masih tetap berlaku untuk anak.88 Di sini nampak adanya inkonsistensi dan ketidaksistematisan Undangundang Nomor 11 Tahun 2012. Sebagai salah satu sub dari keseluruhan aturan/sistem pemidanaan umum, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 harus tetap berpedoman pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum yang diatur dalam peraturan induknya (KUHP) sepanjang tidak diatur tersendiri dalam undangundang yang bersangkutan. Mengingat beberapa ketentuan dalam buku I (khususnya Bab II dan Bab III) KUHP semisal ketentuan mengenai pidana, percobaan, konkursus, recidive, dan ketentuan lainnya tidak diatur dalam Undangundang Nomor 11 Tahun 2012, maka aturan dalam KUHP tetap berlaku bagi anak 88 Barda Nawawi Arief, 2005, Makalah “Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia”, diselenggarakan di Ubaya, Hotel Hyat 80 karena merupakan bagian sistem yang tidak terpisahkan. Hal ini sungguh merugikan anak, karena untuk beberapa ketentuan seperti yang disebutkan di atas, terhadap anak tetap dikenakan ketentuan yang berlaku pula untuk orang dewasa pada umumnya. Mengenai pidana penjara, Jenis Pidana ini masih merupakan jenis pidana pokok yang dikenakan juga kepada anak. Yang dipermasalahkan di sini bukan lah jenis ataupun bobot pidana penjara itu sendiri, melainkan tidak adanya aturan yang menjadi pedoman bagi hakim untuk melaksanakan sanksi pidana bagi anak. Dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut juga tidak diatur mengenai kewenangan hakim untuk tidak meneruskan atau menghentikan proses pemeriksaan (seperti yang telah diatur dalam The Beijing Rules, Rule 17.4) Seperti yang diatur dalam The Beijing Rules, adapun prinsip-prinsip yang seharusnya diatur sebagai pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara anak, adalah sebagai berikut: Rule 17.1 : (a) reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan dengan keadaan-keadaan dan bobot keseriusan tindak pidana; (b) pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin; (c) perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih tepat; (d) kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak. Rule 17. 4 : Adanya prinsip “diversi”, yakni hakim diberikan kewenangan untuk menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan, atau dengan kata lain hakim dapat tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap anak. Rule 19.1: penempatan seorang anak dalam lembaga Pemasyarakatan (penjara. pen) harus selalu ditetapkan sebagai upaya terakhir (the last resort) dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan. 89 89 Barda Nawawi Arief, Op. Cit 81 2.7 Sistem Pemidanaan di Indonesia L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment). 90 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.91 Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bertolak dari pengertian di atas, maka apabila aturan aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundangundangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan 90 91 L.H.C. Hullsman dalam Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 23. Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 129. 82 khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum. 92 Gambaran sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia saat ini, dapat dilihat dalam skema sebagai berikut 93 : SENTENCING SYSTEM SYSTEM OF PUNISHMENT STATUTORY RULES SPECIAL RULES GENERAL RULES BUKU II KUHP BUKU III KUHP BUKU I KUHP UU KHUSUS (DI LUAR KUHP) Dari skema di atas, dapat diljelaskan bahwa ketentuan pidana yang tercantum dalam semua Undang-Undang Khusus di luar KUHP merupakan bagian khusus (sub sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan. Dengan demikian, sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP harus terintegrasi dalam (konsisten dengan) aturan umum (general 92 93 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 136. Ibid, hal. 27. 83 rules). Namun, dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP tersebut dapat membuat aturan khusus yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum. Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus). a. Jenis pidana (strafsoort) Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari : 1) Pidana pokok berupa : - Pidana mati ; - Pidana penjara ; - Pidana kurungan ; - Pidana denda ; - Pidana tutupan. 2) Pidana tambahan berupa : - Pencabutan beberapa hak tertentu ; - Perampasan barang-barang tertentu ; - Pengumuman putusan hakim. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan. b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat) Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan 84 hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenangwenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Leo Polak yang mengemukakan bahwa salah satu syarat dalam pemberian pidana adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.94 Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya. KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Dalam undangundang juga diatur mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi seperiga, seperti 94 Djoko Prakoso dan Nurwachid, 1983,Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 20. 85 ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 KUHP. Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”. Disamping ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaankeadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.95 c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus) KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan. Hal ini disebabkan undang-undang hanya menentukan batas maksimum dan minimum 95 Sudarto, Op.Cit. hal. 14. 86 pidananya saja. Sebagai konsekuensi dari masalah tersebut, akan terjadi hal yang disebut dengan disparitas pidana. 87 BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA FORMULASI PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PEMIDANAAN DIDALAM HUKUM POSITIF INDONESIA 3.1 Substansi Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Kebijakan Hukum di Indonesia Perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak walaupun kadangkala sama dengan kejahatan yang dilakukan orang dewasa, tidak berarti sanksi yang yang diberikan juga sama. Anak tetaplah anak yang tentu saja masih mengalami proses perkembangan fisik, mental, psikis, dan sosial menuju kesempurnaan seperti yang dimiliki oleh dewasa. Konsekuensinya, reaksi terhadap anak tidak sama dengan reaksi yang diberikan orang dewasa, yang lebih mengarah kepada punitif. Setelah diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, telah diatur secara khusus tentang hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana bagi anak yang telah melakukan kenakalan. Oleh karena itu, UU No. 11/2012 merupakan hukum yang khusus (lex spesialis) dari hukum yang umum (lex generalis) yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP).96 Lahirnya UU No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tentu mempunyai latar belakang. Dalam konsideran diuraikan bahwa latar belakang lahirnya UU No. 11/2012: 96 Nashriana, Op. Cit, hal. 75 88 a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan; c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum; Dari konsideran tersebut telah dirumuskan pentingnya perangkat hukum dan kelembagaan yang khusus disediakan bagi anak yang secara kebetulan berhadapan dengan hukum. Hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa terhadap anak yang walaupun secara kualitas dan kuantitas dapat saja melakukan perbuatan melanggar hukum seperti halnya yang dilakukan orang dewasa, tetapi penanganan yang diberikan tidak harus sama dengan penanganan bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan. Sebelum memahani tentang pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum, terlebih dahulu perlu memahami batas umur bagi anak yang diajukan ke sidang anak. Secara eksplisit dapat dilihat pada Pasal 1 butir 3. Pasal 1 butir 3 Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dari rumusan ini hanya membatasi diri khususnya dalam perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum saja tanpa membedakan jenis kelamin antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dari pasal di atas tersebut menunjukkan bahwa yang disebut sebagai anak yang dapat diperkarakan ke sidang anak hanyalah anak yang berumur 12 tahun sampai 18 tahun dan belum pernah kawin. Terhadap anak yang walaupun belum 89 mencapai 18 tahun tetapi telah menikah, secara a contrario tidak dapat diajukan ke sidang anak, tetapi ke sidang orang dewasa berdasarkan KUHP dan KUHAP. Walaupun Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak merumuskan lebih jelas tentang tindak pidana yang dapat dilanggar bagi anak, karena dalam Penjelasan pasal pun dirumuskan ”cukup jelas”, akan tetapi dapat dipahami bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah selain tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP, tetapi juga tindak pidana di luar KUHP semisal: UU tentang Narkotika, UU Psikotropika, UU Hak Cipta dan sebagainya. Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 butir 1 yang dimaksud Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Berdasarkan penjelasan umum UU Sistem Peradilan Pidana Anak pada paragraf ke 7 menyebutkan bahwa adapun substansi yang diatur dalam UndangUndang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik 90 bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. 3.2 Penetapan Sanksi/Hukuman Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Dalam Kebijakan Hukum di Indonesia Di atas telah diuraikan tentang pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum seperti yang tertuang dalam Pasal 1 butir 2. Namun, undang-undang tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak. Pada penjelasan atas Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pada Paragraf 8 Bagian Umum menyatakan bahwa dari kasus yang muncul, ada kalanya Anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam UndangUndang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Perumusan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan ini menunjukan bahwa UU No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menganut apa yang 91 disebut dengan Double Track System. Dengan kata lain, UU ini telah secara eksplisit mengatur tentang jenis sanksi Pidana dan sanksi Tindakan sekaligus. Menurut Muladi (2002)97, penggunaan sistem dua jalur (Zweipurigkeit) merupakan konsekuensi dianutnya Aliran Neo Klasik. 98 Pemikiran bahwa pendekatan tradisional seolah-olah sistem Tindakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak mampu harus ditinggalkan. Dalam pembangunan hukum pidana positif Indonesia, memang telah diakui keberadaan sanksi tindakan selain sanksi pidana, walaupun dalam KUHP menganut Single Track System yang hanya mengatur tentang satu jenis saja yaitu sanksi pidana (Pasal 10 KUHP). Pengancaman Sanksi Tindakan dalam UU 11/2012 menunjukkan bahwa ada sarana lain selain pidana (penal) sebagai sarana dalam penanggulangan kejahatan. Sebenarnya di tingkat praktis, perbedaan antara pidana dan tindakan sering agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar ”Mengapa diadakan pemidanaan?”; sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar; ”Untuk apa diadakan pemidanaan itu?”. Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera); maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. 97 Muladi, Op. Cit, hal. 156 Dalam Aliran Neo Klasik, berusaha untuk memanfaatkan kelebihan kedua aliran sebelumnya (aliran Klasik dan aliran Modern) dan meninggalkan kelemahan yang ada. Asas pembalasan diperbaiki dengan teori kesalahan yang bertumpu pada usia, aptologi, dan pengaruh lingkungan. Dikembangkan alasan-alasan yang memperingan dan memperberat pemidanaan; kesaksian ahli (expert testimony) ditonjolkan; diaturnya system dua jalur (Double Track System). 98 92 Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja diberikan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Atau seperti yang dikatakan J.E. Jokers (1987), bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.99 Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan di pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terlatak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan ada tidak nya unsur penderitaan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindung masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu. Singkatnya sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat. Perbedaan orientasi ide dasar dari dua jenis sanksi tersebut, sebenarnya memiliki kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat 99 hal. 350 J.E. Jonkers, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta 93 indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber sanksi tindakan.100 Lebih lanjut, terkait dengan sanksi bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang berupa sanksi pidana, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok, ada 5 (lima) macam sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 71 ayat (1), yaitu: a. pidana peringatan b. pidana dengan syarat 1. pembinaan di luar lembaga; 2. pelayanan masyarakat; atau 3. pengawasan c. pelatihan kerja d. pembinaan dalam lembaga; e. penjara Sedangkan mengenai pidana tambahan berdasarkan Pasal 71 ayat (2) ada dua macam, yakni: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat c. apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak. ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, dimana memuat pidana pokok berupa: a. b. c. d. e. pidana mati pidana penjara pidana kurungan pidana denda pidana tutupan 100 M. Sholehuddin, Op. Cit, hal. 32-33 94 maka khusus untuk pidana mati, Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak menghendaki apabila anak yang telah melakukan kenakalan diancam dan dijatuhi pidana pokok berupa pidana pidana mati. Sebagaimana diketahui bahwa pemeriksaan Anak yang Berkonflik dengan Hukum dilatarbelangi oleh filosofi bahwa semata-mata demi kepentingan anak. Artinya, terhadap anak yang notabene sebagai generasi penerus bangsa tidak diinginkan untuk dijatuhi pidana mati, karena anak sangat memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan yang menunjang perkembangan fisik, mental, dan sosialnya. Karena itu, apabila diancamkan pidana mati, maka upaya pembinaan dan perlindungan tidak akan pernah dapat diberikan sementara usia yang akan dijalani oleh seorang anak masih sangat panjang. Demikian pula sama halnya dengan ancaman pidana seumur hidup, yang bermakna bahwa pelaksanaan pidana akan dilalui sepanjang hidup si anak di lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut tidak diinginkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, UU Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 10 (sepuluh) tahun.101 Dari kelima pidana pokok yang diperuntukkan bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, pidana pengawasan adalah jenis pidana yang baru. Yang dimaksud dengan pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap perilaku anak dalam 101 Nashriana, Op. Cit 95 kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. 102 Jadi pidana pengawasan bukan merupakan pidana penjara ataupun kurungan yang dilaksanakan di rumah si anak, tetapi berupa pengawasan terhadap terpidana selama waktu tertentu yang ditetapkan putusan pengadilan. Mengenai pidana tambahan, Pasal 10 KUHP, merumuskan tiga macam, yaitu berupa: a. pencabutan beberapa hak tertentu b. perampasan barang-barang tertentu c. pengumuman putusan hakim Apabila ketentuan tentang pidana tambahan dalam KUHP dibandingkan dengan ketentuan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak menunjukkan bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak menghendaki agar anak yang melakukan kenakalan dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, selain juga pengumuman putusan hakim. Berkaitan dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu,103 memang sudah sepatutnya tidak diberlakukan terhadap anak. Anak yang memang lebih dikedepankan haknya dibanding kewajiban yang ada padanya, akan menjadi berseberangan terhadap hak-hak yang seharusnya ia peroleh sebagai seorang anak. Sebagai contoh haknya untuk mendapat pendidikan, apabila hak tersebut dicabut, 102 Lihat Penjelasan Pasal 84 UU Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah: hak untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu; hak untuk bekerja pada Angkatan Bersenjata; hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diselenggarakan menurut peraturan umum; hak untuk menjadi penasihat atau kuasa yang diangkat oleh hakim, hak untuk menjadi wali, wali pengawasan, pengampu, atau pengampu pengawas dari anak-anaknya sendiri; hak orang tua, hak perwalian, dan hak pengampuan atas anak-anaknya sendiri; hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu 103 1. 2. 3. 4. 5. 6. 96 maka secara otomatis si anak sebagai generasi penerus bangsa akan menjadi bodoh, yang memang sesuatu hal yang tidak dikehendaki bersama. Apalagi dikatikan dengan Tujuan Negara yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat, tidak terkecuali anak-anak. Berkaitan dengan pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak menjelaskan lebih jauh tentang hal ini. Artinya, ketentuan yang berlaku dikembalikan pada KUHP sebagai hukum umum. Pasal 39 KUHP merumuskan bahwa: (1) barang-barang kepunyaan terpidana, yang diperoleh dari kejahatan atau dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas; (2) jika dijatuhkan hukuman lantaran melakukan kejahatan tiada dengan sengaja atau lantaran melakukan pelanggaran, dapat juga dijatuhkan hukuman merampas itu dalam hal tertentu seperti yang ditentukan undang-undang; (3) perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya terbatas pada barang-barang yang telah disita. Sebagai komparasi, dalam Wvs Nederland yang memasukkan Bab baru (BabVIII A) terkait ketentuan khusus bagi anak pada tahun 1961 berdasarkan UU Nomor 9 November 1961, S. 402 dan kemudian mengalami perubahan beberapa kali, terakhir dengan UU 7 Juli 1994 No. 528, merumuskan bahwa jenis-jenis perampasan barang (Pasal 33a) yaitu: 1. barang yang dimiliki terpidana atau yang dapat digunakan olehnya sebagai alat melakukan tindak pidana; 2. barang-barang yang berhubungan dengan dilakukannya tindak pidana; 3. barang yang digunakan untuk melakukan atau mempersiapkan tindak pidana; 4. barang yang digunakan merusak hasil penyelidikan kejahatan; 5. barang yang dihasilkan atau dituju/diharapkan; 6. right in rem dan right in personam yang berhubungan dengan butir 1-5.104 104 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 14 Lihat juga Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.30 97 Dari apa yang telah diatur dalam KUHP Belanda tersebut, tampak bahwa ketentuan dalam KUHP Belanda telah mengatur secara spesifik terkait dengan pidana tambahan perampasan barang-barang tertentu bagi anak bila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Selanjutnya tentang pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan “kewajiban adat” adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental Anak. Dalam rancangan KUHP tahun 2005, selain mengatur tentang pidana pokok, juga mengatur pidana tambahan dan pidana khusus. Terhadap pidana tambahan, telah direncanakan pemberlakukan pidana pembayaran ganti kerugian ini, selain juga penambahan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dan 3 (jenis) pidana tambahan yang sama dengan KUHP. Artinya, Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah lebih dahulu menerbitkan ketentuan yang terkait dengan pidana tambahan berupa ganti kerugian, hanya saja tidak ada penjelasan lebih jauh tentang hal itu dan Peraturan Pemerintah yang diisyaratkan oleh UU tersebut juga belum diterbitkan. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga tidak menginginkan anak yang telah melakukan kenakalan dijatuhi pidana tambahan berupa Pengumuman Keputusan Hakim. Hal ini memang dibenarkan, karena anak yang walaupun telah divonis pidana yang tentu saja akan berpengaruh terhadap perkembangann fisik, sosial, dan mentalnya, akan menambah penderitaannya kalau ditambah dengan pengumuman terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim 98 tersebut yang kemudian akan diketahui oleh masyarakat luas termasuk temantemannya. Hal inilah yang tidak dikehendaki timbul pada seorang anak, sekalipun ia telah melakukan kejahatan. Jenis sanksi hukuman yang kedua bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah berupa tindakan. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, sanksi tersebut ada tiga macam, yaitu: a. b. c. d. e. pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. Apabila Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang menurut Putusan pengadilan dikembalikan kepada orang tua, wali, atau seseorang bukan berarti sepenuhnya di bawah pengawasan orang tua tersebut, akan tetapi anak yang bersangkutan tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam suatu perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum, apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau seseorang tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (sebagai anak sipil) untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal ketrampilan di bidang pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya, sehingga setelah selesai menjalani Tindakan dapat hidup lebih baik dan mandiri. 99 Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial; akan tetapi dalam dalam kepentingan anak menghendaki, hakim dapat menetapkan anak yang bersangkutan diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti: pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan memerhatikan agama anak yang bersangkutan. Penjatuhan sanksi hukum berupa tindakan: (a) pengembalian kepada orang tua/Wali; (b) penyerahan kepada seseorang; (c) perawatan di rumah sakit jiwa; (d) perawatan di LPKS; (e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; (f) pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau (g) perbaikan akibat tindak pidana. tersebut pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun, pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 82 ayat (2, 3, 4) UU 11/2012). Yang dimaksud dengan penyerahan kepada seseorang adalah penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab, oleh Hakim serta dipercaya oleh anak. Yang dimaksud perawatan dirumah sakit jiwa adalah tindakan yang diberikan kepada Anak yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa, sedangkan Yang dimaksud dengan ”perbaikan akibat tindak pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya tindak pidana. 100 Terhadap anak yang melakukan kenakalan, sanksi hukuman yang dapat diberikan secara skematis dapat dilihat pada bagan berikut: 101 PIDANA PERINGATAN PIDANA DENGAN SYARAT a. Pembinaan lembaga b. Pelayanan masyarakat c. Pengawasan PIDANA POKOK PIDANA Pasal 71 UU 11/2012 PELATIHAN KERJA PEMBINAAN DALAM LEMBAGA PENJARA PIDANA TAMBAHAN PERAMPASAN KEUNTUNGAN YANG DIPEROLEH DARI TINDAK PIDANA PEMENUHAN KEWAJIBAN ADAT SANKSI Pengembalian kepada orang tua/wali Penyerahan kepada seseorang TINDAKAN Pasal 82 UU 11/2012 Perawatan di rumah sakit jiwa Perawatan di LPKS Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta Penncabutan surat izin mengemudi Perbaikan akibat tindak pidana - - Pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. Pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 102 Sebagai perbandingan, di Belanda melalui Bab VIIIA KUHP Belanda (WvS Nederland), Pasal 77 h merumuskan tentang sanksi hukuman yang dapat diberikan terhadap anak, yaitu: 1. Pidana Pokok: a. untuk kejahatan; kurungan anak (juvenile detention) atau denda; b. untuk pelanggaran: denda 2. Satu atau lebih sanksi alternatif berikut ini dapat dikenakan sebagai pengganti pidana pokok dalam ayat (1): a. kerja sosial/pelayanan masyarakat b. pekerjaan untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana; c. mengikuti proyek pelatihan. 3. Pidana tambahan, yang terdiri dari: a. Perampasan (barang); b. Pencabutan SIM; 4. Tindakan-tindakan terdiri dari: a. penempatan pada lembaga khusus untuk anak; b. penyitaan; c. perampasan keuntungan dari perbuatan melawan hukum; d. kompensasi/ganti rugi atas kerusakan/kerugian.105 e. 3.3 Pidana Pengawasan Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan Relevansinya Dengan Teori Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Modern di Indonesia Pemidanaan atau sering juga disebut dengan pemberian pidana (strafteemeting), menurut Soedarto dalam bukunya Hukum dan Hukum Pidana memberikan dua makna, yakni: 1. dalam arti umum: pemberian pidana (poena) oleh pembentuk undangundang adalah hal penetapan sanksi hukum pidana (Pemberian pidana in Abstracto) Batasan ini didasarkan penganutan asas Legalitas dari zaman Aufklarung yang menentukan bahwa dalam pengenaan pidana diperlukan undangundang terlebih dahulu. Petunjuk undang-undanglah yang menetapkan peraturan tentang pidananya, tidak hanya tentang crime atau delictum-nya ialah tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana. 105 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 37-38. 103 2. dalam arti khusus/konkret: menyangkut berbagai badan atau lembaga yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut (Pemberian pidana in Concreto)106. Sebelum berlakunya UU Sistem Peradilan Pidana Anak, hukum materiil anak yang juga termasuk pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP. Dalam Pasal 45 dirumuskan: Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu. Sementara dalam Pasal 46 berbunyi: Jika hakim memerintahkan supaya si tersalah itu diserahkan kepada Pemerintah, maka ia: baik ditempatkan dalam rumah pendidikan negeri, supaya di situ atau dengan cara lain ia mendapat pendidikan dari pihak Pemerintah, baik diserahkan kepada seseorang yang ada di negara Indonesia atau kepada perserikatan yang mempunyai hak badan hukum yang ada di Indonesia, atau kepada balai derma yang ada di negara Indonesia supaya di situ mendapat pendidikan dari mereka, atau kemudian dengan cara lain dari Pemerintah, dalam kedua itu selama-lamanya sampai berumur delapan belas tahun. Kemudian dalam Pasal 47 dirumuskan: (1) jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama yang ditetapkan atas perbuatan yang patut dihukum itu dikurangi dengan spertiganya; (2) jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun; (3) hukuman tambahan yang tersebut dalam Pasal 10 huruf b 1e dan 3e tidak dijatuhkan. 106 Soedarto, Op. Cit, hal. 3 104 Apabila ancaman hukuman yang disediakan terhadap anak menurut KUHP dibandingkan dengan ancaman hukuman anak dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengancam lebih ringan. Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, pola pemidanaannya dapat dilihat sebagai berikut: ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak (Pasal 20); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan (Pasal 21 ayat (10)). Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: (a) Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan (b) diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih (Pasal 32 ayat (1)). Dengan memerhatikan bunyi Pasal 32 ayat (1), maka pasal ini diperuntukkan bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap Anak harus pula memperhatikan kepentingan Anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial, Anak dan kepentingan masyarakat. Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga, baik pemerintah maupun swasta, di bidang kesejahteraan sosial Anak, antara lain panti asuhan, dan panti rehabilitasi. Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (2) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada Pasa 32 ayat (3) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan; (4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi; (5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS (Pasal 32 ayat (2), (3), (4) dan (5); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 105 ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari; (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari; (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum; (4) Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS (5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat (Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5). Tehadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari; (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. (Pasal 34 ayat(1), (2) dan (3)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari; (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari; (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. (Pasal 35 ayat (1), (2) dan (3)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari; (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari; (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Banding belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. (Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari; (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari; (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum (Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah berakhir, petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum (Pasal 39); 106 ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum; (2) Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penangkapan atau penahanan terhadap Anak batal demi hukum (Pasal 40 ayat (1) dan (2)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, hakim dapat menjatuhkan Pidana atau Tindakan (Pasal 71 ayat (1)); Terkait pidana bersyarat, dapat diberikan hakim apabila pidana penjara yang akan diajtuhkan paling lama 1 (satu) tahun dengan ditentukannya syarat umum dan syarat khusus, yang lamanya Pidana Bersyarat tersebut paling lama 3 (tiga) tahun. Syarat umum adalah bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum tidak akan melakukan kenakalan selama menjalani masa pidana bersyarat, sementara syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memerhatikan kebebasan anak. Bahwa selama menjalani pidana bersyarat, bagi anak dilakukan pengawas oleh Jaksa dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 73 ayat (1) sampai (8)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, pidana Pengawasan dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun, yang ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 77 ayat (1) dan (2)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa; (6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun (Pasal 82 ayat (2) dan (6)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, hakim dapat menjatuhkan Tindakan (Pasal 82 ayat (1)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, Anak yang dijatuhi penjara ditempatkan di LPKA. (Pasal 85 ayat (1)); Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2, (1) Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda; (2) Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak; (3) Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke lembaga pemasyarakatan 107 dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 86 ayat (1), (2) dan (3)); 108 BAB IV PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN YANG INTEGRATIF SESUAI DENGAN IDE DAN SISTEM PEMASYARAKATAN 4.1 Pidana Pengawasan Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Ditinjau Dari Aspek Teori Pemidanaan Yang Integratif Pelaksanaan pembinaan anak didik mempunyai metode pembinaan yang berbeda dengan pembinaan narapidana dewasa, hal ini terkait dengan karakteristik yang melekat pada diri anak. Anak merupakan individu yang sedang dalam proses tumbuh kembang sehingga segala perlakuan terhadap anak harus dapat menciptakan kondisi yang kondusif dalam rangka mendukung proses tumbuh kembang tersebut. Pembinaan anak didik harus dapat memberi jaminan bahwa hak-hak anak sebagaimana tertuang dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dapat dipenuhi. Dengan terpenuhinya hak-hak anak akan dapat mendukung proses tumbuh kembang anak. Pada beberapa instrument hukum yang mengatur tentang anak, telah memberi nuansa pemihakan terhadap anak, misalnya sebagaimana yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur tentang perlakuan terhadap terhadap anak yang melakukan pelanggaran hukum. Didalamnya diatur tentang tata cara penyidikan, penuntutan dan persidangan, dimana diberlakukan ketentuan khusus yaitu tidak mengenakan 109 seragam seperti layaknya diberlakukan kepada orang dewasa. Hal itu untuk menjaga agar perkembangan psikologis anak tidak terganggu. Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlindungan anak adalah merupakan hak anak yang sangat esensial. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran.107 Tujuan pemidanaan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan paradigma pemidanaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam sejarah, tujuan (doktrin) pemidanaan telah mengalami beberapa fase perkembangan, yaitu: Pembalasan, Penjeraan, Rehabilitasi dan Re-Integrasi. Doktrin pembalasan berasumsi bahwa konsep keadilan digambarkan sebagai suatu keseimbangan; mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa. Artinya bagi setiap pembunuhan maka akan dikatakan adil apabila si pembunuh di hukum mati. Doktrin penjeraan berasumsi bahwa manusia itu bebas maka kesakitan yang paling hakiki adalah dicabut kebebasannya. Dengan demikian si pelaku kejahatan akan takut dan jera untuk melakukan perbuatan jahatnya. Namun yang menjadi masalah adalah pelaksanaan pidana hilang kebebasan bergerak melalui pemenjaraan pun tidak bebas masalah. Karena terbukti bahwa pemasukan orang ke dalam penjara ternyata dapat menimbulkan dampak prisonisasi. Prisonisasi adalah keadaan dimana terjadi suatu proses sosialisasi nilai-nilai masyarakat penjara yang 107 139 Sujanto, Adi dan Didin Sudirman. 2008. Pemasyarakatan. Vetlas Production, Jakarta, hal 110 dapat menimbulkan si narapidana dapat lebih buruk atau lebih jahat dibandingkan dengan sebelum ia masuk penjara. Doktrin rehabilitasi berasumsi bahwa pada hakekatnya pelanggar hukum itu adalah orang memiliki kekurangan atau memiliki penyakit. Oleh sebab itu ia harus diperbaiki atau direhabilitasi. Doktrin re-integrasi sosial berasumsi bahwa pelanggaran hukum terjadi bukan hanya karena kesalahan individu tetapi juga masyarakat mempunyai andil terhadap terjadinya pelanggaran hukum tersebut. Oleh karenanya masyarakat harus ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan hukum. Harus diupayakan pemulihan hubungan yang harmonis antara pelanggar hukum dengan masyarakatnya. Konsep inilah yang melahirkan pemulihan hubungan hidupkehidupan dan penghidupan dalam sistem pemasyarakatan. Hidup diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan pencipta-Nya. Kehidupan diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dalam kaitan ini manusia memanfaatkan alam untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sejalan dengan Konsep Pemasyarakatan dan dikaitkan dengan pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum, sekarang berhembus konsep yang dinamakan Restoratif Justice atau keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana menangani akibat/implikasinya dimasa yang akan datang (Tony Marshall, diadopsi oleh 111 Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB). Adapun prinsip-prinsip dari Keadilan Restoratif (seperti yang diuraikan oleh Apong Herlina, LSM Anak) adalah 108: a. Membuat pelanggar hukum bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahnnya. b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif. c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, dan sekolah serta teman sebaya. d. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah tersebut. e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal. f. Memperhatikan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas, maka secara internasional telah dikeluarkan berbagai konvensi yang menuntun setiap Negara anggota PBB untuk memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum, misalnya Beijing Rules (1985), Riyadh Guidelines (1990), Peraturan PBB tentang Perlindungan bagi Remaja yang Kehilangan Kebebasannya (1990) dan lain sebagainya. Penerapan tujuan pemidanaan yang terintegrasi tersebut menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan permasalahan yang berhubungan dengan anak, sebagaimana yang dituangkan dalam konsideran Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyatakan : - - bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan; bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum; Disamping itu, dalam kenyataannya masalah anak mencakup beberapa hal, yaitu : 108 Ibid, hal 141 112 a. Visi mengenai pembangunan yang pro terhadap anak dan yang mengutamakan kepentingan terbaik anak terintegrasi ke dalam sistem dan model pembangunan; b. Sistem hukum perlindungan anak yang masih menampilkan kesenjangan dan kekosongan hukum mengenai anak dan hak-hak anak yang masih belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam norma hukum positif dan belum maksimalnya penegakkan hukum anak; c. Realitas anak-anak yang berada dalam situasi sulit seperti pekerja anak, anak jalanan, kekerasan terhadap anak, penyalahgunaan anak, pelacuran anak, dan sejumlah masalah anak-anak yang memerlukan intervensi khusus, semakin nyata ditemukan dalam masyarakat dan negara Indonesia yang justru tengah giat melaksanakan pembangunan; d. Keterbatasan institusi atau pihak yang konsern dengan masalah anak -sebagai kekuatan penting untuk mendorong perlindungan, kesejahteraan dan pengembangan anak baik pada tingkat pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Keterbatasan institusi yang konsern dengan masalah anak pada tataran kualitas maupun kuantitas, sumber daya manusia, dan komitmen yang kuat dalam pengelolaan program aksi untuk anak.109 Mengacu pada beberapa masalah tersebut, maka terdapat beberapa gagasan mengenai alternatif program aksi yang dapat dilakukan untuk menangani masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum, yaitu : a. Advokasi tersistem terhadap masalah anak untuk membangun situasi, struktur dan sistem yang lebih memihak kepada anak dan mengintegrasikan visi pembangunan yang berwawasan hak-hak anak. b. Pengembangan sistem hukum anak untuk menjamin perlindungan hak-hak anak yang lebih maju, termasuk mengusahakan program pembuatan hukum anak, harmonisasi hukum anak dengan konvensi-konvensi internasional, dan mengembangkan kebijakan penegakkan hukum anak. c. Mengembangkan preseder hukum tentang perlindungan anak yang dilakukan lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang konsern dengan masalah anak sebagai pihak yang dapat mewakili kepentingan hukum anak di pengadilan (class action). d. Merumuskan program aksi nasional untuk perlindungan anak dan penegakkan hak-hak anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga yang konsern lainnya. e. Melakukan kampanye nasional perlindungan anak sebagai upaya membangkitkan penyadaran masyarakat (public awareness rising) terhadap masalah yang melanda anak-anak. f. Membentuk lembaga khusus yang bekerja untuk memberikan perlindungan anakanak. 109 Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 4-5. 113 g. Melakukan kajian dan pengembangan masalah anak, hukum anak dan perangkat pendukung penegakkan hak-hak anak. h. Melakukan pengembangan sumber daya manusia dan penguatan lembaga (capacity building) khususnya lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan masalah anak dan hak-hak anak. i. Membangun jaringan kerja (networking) nasional dan internasional dengan lembaga dan organisasi yang menangani masalah anak-anak.110 Dengan demikian terdapat landasan yuridis lain yang mengatur upaya pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana atau Anak yang Berkonflik dengan Hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang juga menetapkan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana atau Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang telah diputus dikenai sanksi, berupa pidana penjara, terhadapnya akan dilakukan proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan ditempatkan secara khusus dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA). Tetapi khusus terhadap anak, dalam undang-undang ini tentang sanksi yang dapat dijatuhkan tidak mengikuti ketentuan sanksi tentang pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, dan menentukan sanksi secara tersendiri yang dituangkan dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum ialah : a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat (pembinaan luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan); c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; e. pidana penjara (maksimum 10 tahun). Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak 110 Ibid, hlm. 5-6 114 Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ketentuan Pasal 84 ayat: (1) anak yang ditahan ditempatkan di LPA; (2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); (5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan sebagai berikut. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafaan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Selanjutnya apa yang dimaksud dengan Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sedangkan yang 115 dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 butir 2 UndangUndang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Untuk pelaksanaan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak diatur dalam Pasal 20 Undang- Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan terhadap anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan penggolongan berdasarkan: umur, jenis kelamin, lamanya pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Dalam konteks pembinaan terhadap anak, kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama, bukan prosedur formal atas nama kepastian hukum. Tak dapat dipungkiri, bahwa berkaitan dengan proses penanganan perkara anak seringkali muncul pro dan kontra terhadap langkah-langkah yang diambil. Di satu sisi ada kelompok masyarakat yang menghendaki agar anak yang terlibat dalam kejahatan ditangani secara tegas, untuk memberikan pelajaran bagi anak. Tetapi di sisi yang lain, juga ada kelompok masyarakat yang menghendaki kearifan dalam menyelesaikan perkara yang melibatkan anak. Dalam konteks ini patut kiranya dikemukakan berbagai ukuran normatif yang menjadi dasar bagi anak dalam rangka 116 pelaksanaan pembinaan, yang mendasarkan pada prinsip dasar yang terdapat dalam instrument internasional. Konvensi Hak-hak Anak 1989 memuat prinsip-prinsip yang menjadi pijakan dalam pembinaan anak, yang menyatakan bahwa: The child, by the reason of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal, before as wellas other birth. Whereas the child, by the reason of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth. (Anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahirannya; Mengingat alasan karena ketidakmatangan jasmani dan mental dari anak, maka memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahirannya).111 Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut di atas, maka dalam Konvensi hakhak Anak 1989 terdapat beberapa pokok-pokok pikiran, antara lain : a. Pengakuan bahwa anak demi perkembangan jiwanya yang penuh dan harmonis, harus tumbuh kembang dalam lingkungan keluarga, dalam suasana bahagia, penuh kasih sayang, dan pengertian. b. Sebagaimana ketentuan dalam Deklarasi Hak Anak, anak dengan berbagai alasan kekurang matangan fisik dan mentalnya, membutuhkan perhatian dan penjagaan khusus termasuk kebutuhan akan perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah kelahirannya. c. Dengan tidak mengabaikan pentingnya peranan nilai-nilai tradisi dan kultural setiap bangsa, sejauh menyangkut perlindungan dan perkembangan harmonis anak. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak 1989 tersebut dipahami, bahwa dalam proses pembinaan anak, lingkungan keluarganya haruslah memberikan ruang 111 United Nations Centre for Human Right, UNICEF,Convention on The Right of The Child. Information Kit. Dalam Paulus, hal 84 117 yang cukup baik secara jasmani maupun rohani yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dalam suasana yang bahagia dan dan penuh pengertian. Sikap penuh pengertian mengandung makna, bahwa lingkungan keluarga haruslah memahami kebutuhan/kepentingan anak dalam rangka pertumbuhan jiwa dan jasmaninya secara sehat. Pengakuan secara sadar terhadap berbagai kepentingan dan kebutuhan dasar anak menjadi kunci dalam melakukan pembinaan anak. 4.2 Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum ditinjau dari aspek Sistem Pemasyarakatan 4.2.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan Terkait dengan istilah sistem maka konten dari sistem tersebut selalu harus berisi hal-hal yang terkait dengan kebutuhan sistem. Kalau tidak, amaka sistem akan mengalami pembusukan (entrofi) serta lambaat laun akan mengalami kegagalan. Kebutuhan sistem meliputi: Pertama, sistem harus memiliki daya penyesuaian diri demi berlangsungya sistem tersebut yakni adanya dukungan sarana dan prasarana (aspek ekonomi). Kedua, sistem harus memiliki kekuasaann/kewenangan dalam mencapai tujuannya (aspek politik). Ketiga, sistem harus memiliki regulasi untuk mengintegrasikan semua sumber daya yang dimiliki demi efektifitas dan efisiensi berlangsungnya sistem tersebut (aspek sosial). Keempat, sistem harus memiliki daya untuk memelihara pola-pola demi keutuhan sistem melalui sistem budaya (reward and punishment). Sehubungan dengan itu, dalam UU Pemasyarakatan telah diberi batasan tentang sistem pemasyarakatan, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta 118 cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Pasal 1 Angka 2 UU Pemasyarakatan). Sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan pengertian di atas, didasarkan pada Pancasila. Bahwa Pancasila yang digali dari bumi Indonesia sendiri selian sebagai dasar Negara, juga sebagai pandanganhidup bangsa Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, dan sebagai perjanjian luhur rakyat Indonesia. 112 Dengan mendasarkan kepada Falsafah Negara, diharapkan pelaksanaan system pemasyarakatan tersebut sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam semua sila dari Pancasila, sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik. Dalam sistem tersebut, pihak-pihak yang berhubungan bukan hanya antara Pembina dengan yang dibina, melainkan juga dengan pihak masyarakat. Hubungan segitiga ini dilaksanakan secara terpadu, dengan tujuan untuk meningkatkan orangorang yang dibina. Kalau warga yang dibina nantinya dapat mempbaiki dirinya, tentu mereka akan diterima kembali ke masyarakat, tanpa perlu ada kecurigaan lagi. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3 UU Pemasyarakatan bahwa system 112 Padmo Wahyono, 1981, Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, hal. 26-27 119 pemasyarakatan berfungsi menyiapkan wagra binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Hubungan mantan narapidana dengan masyarakat diharapkan dapat pulih kembali seperti sediakala. 4.2.2 Asas-Asas Pembinaan Pemasyarakatan Dalam melaksanakan pembinaan pemasyarakatan, perlu didasarkan pada suatu asas yang merupakan pegangan/pedoman bagi para Pembina agar tujuann pembinaan yang dilakukan dapat tercapai dengan baik. Untuk itu, berdasarkan Pasal 2 UU Pemasyarakatan, asas-asas pembinaan pemasyarakatan melingkupi: a. Asas pengayoman b. Asas persamaan perlakuan dan pelayanan c. Asas pendidikan d. Asas pembimbingan e. Asas penghormatan harkat dan martabat manusia f. Asas kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan g. Asas terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. a. Asas pengayoman Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada warga binaan pemasyarakatan agar mereka menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat nantinya. 120 Jadi asas ini dilaksanakan untuk kepentingan mengayomi masyarakat secara umum, karena masih berkaitan erat dengan fungsi hukum untuk melindungi masyarakat. Di samping itu, secara implisit termasuk pula pengayoman terhadap para narapidana selama mereka menjalani pidananya di LAPAS, karena sebagai warga binaan pemasyarakatan mereka harus dilindungi, LAPAS bukan tempat untuk pembalasan dendam para narapidana yang telah melakukan kesalahan.113 b. Asas persamaan perlakuan dan pelayanan Asas ini dimaksudkan agar terhadap warga binaan pemasyarakatan mendapat persamaan perlakuan dan pelayanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, tanpa membeda-bedakan orang. Karena itu, dalam melakukan pembinaan tidak boleh membedakan narapidana yang berasal dari kalangan orang kaya dan kalangan orang miskin, atau berasal dari kalangan pada status tertentu dengan kalangan lainnya. c. Asas pendidikan Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan mendapat pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Antara lain dengan menanamkan jiwa kekeluargaan, ketrampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan menunaikan Ibadan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dengan menanamkan jiwa kekeluargaan kepada mereka, diharapkan tumbuh sikap kekeluargaan antara sesame warga binaan pemasyarakatan dan 113 Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 117 121 antara warga binaan dengan Pembina atau pejabat/pegawai LAPAS, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan baik laksana hidup dalam sebuah keluarga. Adapun penyelenggaraan pendidikan kerohanian dan member kesempatan untuk melaksanakan ibadahnya, agar mereka mempunyai pengetahuan agama secara baik, dan dengan menunaikan ibadah sesuai dengan agama yang mereka anut, akan mendekatkan diri kepada Tuhan, bertobat atas segala dosa dan kesalahan yang telah dilakukan. d. Asas pembimbingan Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan mendapat pembimbingan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Dengan dilakukan pendidikan dan pembimbingan ketrampilan, diharapkan untuk menghilangkan rasa jenuh hidup dalam LAPAS, yang tujuan pokoknya adalah memberikan bekal pengetahuan kepada narapidana supaya mereka terampil dalam melakukan pekerjaan, sehingga setelah selesai menjalani pidananya, mereka tidak akan menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan kembali. e. Asas penghormatan harkat dan martabat manusia Asas ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan pembinaan harus memperlakukan warga binaan pemasyarakatan sebagaimana layaknya seorang manusia. Meskipun seorang narapidana adalah orang yang telah melakukan kesalahan, sebesar dan seberat apa pun, mereka tetap manusia. Sebagai manusia harus tetap dihormati harkat dan martabatnya. Apabila tidak dilakukan demikian, maka itu berarti terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 122 f. Asas kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan Warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu yang telah ditentukan melalui putusan hakim. Maksud penempaan itu adalah untuk member kesempatan kepada Negara untuk memperbaiki, melalui pendidikan dan pembinaan. Seseorang yang dihukum pidana penjara atau kurungan harus menjalani pidananya di LAPAS, selama dalam LAPAS inilah mereka menjadi hilang kemerdekaannya. Artinya ia tidak bebas untuk berpergian ke mana pun atau melakukan aktivitas di luar. Hilangnya kebebasan untuk melakukan kegiatan di luar tersebut sebagai satu-satunya penderitaan yang dialami selama menjadi penghuni dalam LAPAS, walaupun selama dalam LAPAS warga binaan pemasyarakatan tetap mempunyai hak-hak lainnya sebagai layaknya manusia. Atau dengan kata lain, hak-hak keperdataannya tetap dilindungi, speerti hak mendapat perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan ketrampilan, olah raga, atau rekreasi. g. Asas terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selama narapidana mendapat pembinaan di LAPAS, mereka tetap dijamin haknya untuk berhubungan dengan keluarga atau orang-orang tertentu. Pada prinsipnya, untuk melakukan pembinaan, narapidana tidak boleh diasingkan sama sekali dengan masyarakat. Mereka tetap dapat berhubungan dengan keluarganya. Mereka diperbolehkan menemui dan berbicara dengan keluarga yang datang berkunjung ke LAPAS. Kunjungan keluarga ini diharapkan dapat member 123 semangat bagi mereka untuk hidup sementara di LAPAS, dan mereka merasa tidak ditinggalkan oleh keluarganya. Selain itu warga binaan juga diperbolehkan berhubungan dengan orang lain yang bukan keluarganya, sperti pejabat yang berkunjung ke LAPAS, rohaniawan atau seniman. 4.2.3 Arti dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Anak Secara umum, yang dimaksud Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Dari pengertian di atas, terlihat adanya pembedaan penamaan antara narapidana dan anak didik pemasyarakatan, walaupun secara hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang yang menghuni LAPAS berdasarkan putusan pengadilan. Perbedaan ini tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan bahwa penamaan “anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak” karena dipengaruhi oleh gaya bahasa eufemismus. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakan ungkapan halus untuk menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan dan mensugestikan sesuatu yang tidak mengenakkan bagi anak.114 Sementara fungsi Lembaga Pemasyarakatan anak adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan, yakni: a. Anak pidana; b. Anak Negara, dan c. Anak sipil. 114 Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 115 124 Konkretnya, LAPAS Anak mempunyai cirri, kekhasan dan motivasi tertentu seperti LAPAS Wanita, LAPAS Remaja, LAPAS Narkotika. Pada asasnya, pembinaan anak didik pemasyarakatan harus dalam LAPAS Anak, terpisah dengan pembinaan orang dewasa/narapidana. Hal ini secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 60 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Prinsip ini tetap dipegang walaupun pada suatu daerah belum ada LAPAS Anak, tetapi anak didik pemasyarakatan ditempatkan terpisah dengan orang dewasa. Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak, berhak untuk memperoleh pendidikan dan latihan baik formil maupun informal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya. Sebagai tempat yang berfungsi untuk melakukan pendidikan dan pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan, maka LAPAS Anak dibatasi jangka waktu pendidikan dan pembinaannya. Tegasnya, ada jangka waktu dan kriteria tertentu seseorang anak tidak lagi berada di LAPAS Anak. Dalam hal apakah, seorang anak khususnya anak pidana tidak lagi berada dalam LAPAS Anak? Apabila disarikan dari ketentuan Pasal 86 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, maka seorang anak tidak berada di LAPAS Anak dalam hal: (1) Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. (2) Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak. (3) Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. 125 Sedangkan terhadap anak didik pemasyarakatan lainnya (anak Negara) apabila telah menjalani masa pendidikannya dalam LAPAS Anak paling sedikit 1 (satu) tahun dan berkelakukan baik, sehingga tidak memerlukan lagi pembinaan, maka kepala lembaga pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada Menteri Kehakiman agar anak tersebut dapat dikeluarkan dari LAPAS Anak tanpa syarat umum dan syarat khusus. 4.2.4 Anak Didik Pemasyarakatan dan Hak-haknya a. Anak Pidana Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak pidana ditempatkan di LAPAS Anak dan wajib didaftar dan penggolongan pembinaan. 1) Pendaftaran anak pidana meliputi: a) pencatatan ï‚· putusan pengadilan ï‚· jati diri, dan ï‚· barang dan uang yang dibawa b) pemeriksaann kesehatan c) pembuatan pas foto d) pembuatan berita acara serah terima anak pidana 2) Berdasarkan Pasal 20 UU Pemasyarakatan, penggolongan pembinaan anak pidana atas dasar: a) umur b) jenis kelamin c) lama pidana yang dijatuhkan d) jenis kejahatan, dan e) kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. 3) Hak-hak Anak Pidana seperti yang diatur dalam Pasal 22 UU Pemasyarakatan, adalah: a) berhak melakukan Ibadan sesuai dengan agama dan kepercayaannya 126 b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani berhak mendapat pendidikan dan pengajaran berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak berhak menyampaikan keluhan berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga berhak mendapatkan pembebasan bersyarat berhak mendapatkan cuti menjelang bebas, dan berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku Selanjutnya terhadap ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan pembinaan anak pidana diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Sementara mengenai syarat-syarat dan atat cara pelaksanaan hak-hak anak pidana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 3, 4 UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada asasnya, anak pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu dan anak pidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain, untuk kepentingan: ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· pembinaan; keamanan dan ketertiban; pendidikan; proses peradilan; dan lainnya yang dianggap perlu b. Anak Negara Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai 127 berumur 18 (delapan belas) tahun. Bagi anak yang ditempatkan di LAPAS Anak wajib didaftar (Pasal 25 UU Pemasyarakatan). 1) Pendaftaran anak Negara meliputi: a) pencatatan: ï‚· putusan pengadilan ï‚· jati diri; dan ï‚· barang dan uang yang dibawa b) pemeriksaan kesehatan c) pembuatan pas foto d) pengambilan sidik jari e) pembuatan berita cara serah terima anak negara 2) Berdasarkan Pasal 27 UU Pemasyarakatan, penggolongan pembinaan anak Negara atas dasar: a) umur b) jenis kelamin c) lamanya pembinaan; dan d) kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan 3) Hak-hak Anak Negara seperti yang diatur dalam Pasal 29 UU Pemasyarakatan, adalah: a) berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya b) berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani c) berhak mendapat pendidikan dan pengajaran d) berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak e) berhak menyampaikan keluhan f) berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang g) berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya h) berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga i) berhak mendapatkan pembebasan bersyarat j) berhak mendapatkan cuti menjelang bebas, dan k) berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku Anak Negara tidak berhak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya dan juga tidak berhak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), karena dia bukan pidana. Anak negara wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu, dan dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lainnya. Alasan pemindahan itu adaah untuk: 128 ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· pembinaan; keamanan dan ketertiban; pendidikan; dan lainnya yang dianggap perlu. c. Anak sipil 1) Pengertian Anak sipil adalah anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Pasal 384 KUH Perdata mengatakan dasar penempatan menempatkan si anak menjadi anak sipil haruslah berdasarkan alasan-alasan yang sungguh-sungguh merasa tak puas atas kelakuan si anak yang belum dewasa. Adapun yang berhak mengajukan permintaan itu adalah: ï‚· Orang tua (Ayah atau Ibu) ï‚· Wali ï‚· Orang tua asuh ï‚· Dewan Perwalian 2) Penempatan Anak Sipil Menurut Pasal 32 UU Pemasyarakatan, anak sipil ditempatkan di LAPAS Anak. Penempatan itu paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun, dengan ketentuan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sementara menurut ketentuan Pasal 384 KUH Perdata, penempatan anak sipil itu boleh di Lembaga Negara atau Partikelir/Swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Penempatan diselenggarakan dengan biaya si anak, orang tua, wali, orang tua asuh, atau atas beban Negara. 129 Sementara menurut ketentuan Pasal 384 KUH Perdata, penempatan anak sipil itu boleh di Lembaga Negara atau Partikelir/Swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Penempatan diselenggarakan dengan biaya di anak, orang tua, wali, orang tua asuh, atau atas beban Negara. 3) Pendaftaran Anak Sipil Di Lembaga Pemasyarakatan Anak, anak sipil wajib di daftar, yang meliputi:: a) pencatatan: ï‚· penetapan pengadilan ï‚· jati diri, dan ï‚· barang dan uang yang dibawa b) pemeriksaan kesehatan c) pembuatan pas foto d) pengambilan sidik jari e) pembuatan berita acara serah terima anak sipil 4) Pembinaan Anak Sipil Pembinaan anak sipil diatur dalam Pasal 34 UU Pemasyarakatan dan dilaksanakan di LAPAS Anak. Untuk itu dilakukan pembinaan anak sipil atas dasar: a) b) c) d) umur jenis kelamin lamanya pembinaan; dan criteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan 5) Hak-hak Anak Sipil Hak-hak Anak Sipil seperti yang diatur dalam Pasal 36 jo Pasal 14 UU Pemasyarakatan, adalah: a) b) c) d) e) f) berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani berhak mendapat pendidikan dan pengajaran berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak berhak menyampaikan keluhan berhak mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang 130 g) berhak menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya h) berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga i) berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundanagundangan yang berlaku Syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak anak sipil diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perlu dicatat, bahwa anak sipil tidak berhak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya, karena anak belum boleh bekerja. Demikian juga tidak berhak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), karena dia bukan dipidana, maupun cuti menjelang bebas. Anak sipil wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Anak sipil dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lainnya. Alasan pemindahan itu adalah untuk: ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· pembinaan; keamanan dan ketertiban; pendidikan; dan lainnya yang dianggap perlu. 6) Proses penetapan Anak Sipil Untuk menetapkan seorang anak menjadi anak sipil, hanya dapat dilakukan dengan memanggil dan mendengar wali pengawas, keluarga sedarah, keluarga semenda, Dewan Perwalian, si anak itu sendiri. Apabila si anak yang belum dewasa tidak hadir, maka sidang diundur sampai waktu tertentu dam si anak dipanggil kembali, dengan perintah menghadirkan anak tersebut oleh juru sita atau polisi. Apabila si anak tetap juga tidak hadir, maka pengadilan memutuskan tanpa mendengar si anak tersebut. 131 Penetapan dapat berisi memerintahkan atau menolak penempatan si anak. Apabila si anak atau wali tidak mampu untuk membayar, maka hakim menetapkan segala biaya ditanggung oleh Negara. Pelaksanaan penempatan si anak sendiri ke dalam LAPAS Anak dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Sesuai ketentuan Pasal 384a KUH Perdata, si wali senatiasa dapat memperpendek waktu penempatan yang telah ditentukan dalam penetapan hakim. Sementara untuk memperpanjangnya harus dilakukan atas permintaan lembaga. 4.2.5 Hukuman Disiplin bagi Anak Pidana Telah diketahui di atas bahwa semua anak yang menghuni di LAPAS Anak mempunyai kewajiban untuk mentaati seluruh peraturan keamanan dan ketertiban di tempat tersebut. Berhubung hal tersebut merupakan kewajiban, maka kunsekuensinya apabila dilalaikan atau dilanggar, kepada si anak akan dikenakan hukuman disiplin. Mengenai siapa yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin tersebut, UU Pemasyarakatan telah menunjuk Kepala LAPAS Anak. Kepala LAPAS Anak diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi yang dimaksud, karena ia sebagai pemimpin mempunyai tanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di lingkungannya (Pasal 46 UU Pemasyarakatan). Dalam UU Pemasyarakatan, tidak mengatur secara lengkap tentang pelanggaran yang dilakukan. UU Pemasyarakatan hanya mengatur hukuman disiplin terhadap anak pidana saja, sedangkan terhadap anak Negara dan anak sipil bagaimana bentuk dan jenis hukumannya tidak diatur secara tegas. Sanksi apa yang diberikan Kepala LAPAS Anak kepada anak Negara dan anak sipil, tergantung 132 kebijaksanaan Kepala LAPAS Anak tersebut, hanya saja tentu tidak seberat hukuman disiplin terhadap anak pidana yang melakukan pelanggaran disiplin. Penjatuhan hukuman disiplin tersebut, karena terhadap anak Negara dan anak sipil juga diberi kewajiban-kewajiban oleh undang-undang, seperti anak pidana. Kemudian mengenai hukuman disiplin yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap anak pidana? Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Pemasyarakatan mengatur ada dua jenis hukuman disiplin, yaitu: a. tutupan sunyi paling lama (enam) hari; b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk waktu tertentu sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya meniadakan hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) untuk satu tahun. Hukuman disiplin tersebut dapat dijatuhkan oleh Kepala LAPAS Anak secara kumulatif, artinya selain tutupan sunyi juga sekaligus pengurangan hak-hak tertentu yang seharusnya diperoleh oleh anak pidana. Penjatuhan hukuman tersebut sangat tergantung pada berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh anak pidana dan kebijaksanaan Kepala LAPAS Anak. Selanjutnya undang-undang juga member ancaman kepada anak pidana yang mengulangi perbuatan pelanggarannya lagi. Ancaman ini hanya ditujukan kepada mereka yang pernah dijatuhi hukuman disiplin berupa tutupan sunyi saja, karena dianggap melakukan pelanggaan berat. Sesuai Pasal 27 ayat (4) UU Pemasyarakatan, dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 x 6 hari = 12 hari. Dengan diperberat hukumannya diharapkan mereka akan merasa kapok untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. 133 Di lain pihak, bagi petugas LAPAS yang memberikan atau menjatuhkan hukuman disiplin sehubungan dengan pelanggaran yang telah dilakukan oleh anak pidana menyangkut keamanan dan ketertiban di LAPAS, mereka memiliki kewajibann sebagai berikut: a. memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang; b. mendasarkan tindakannya pada tata tertib Lembaga Pemasyarakatan Anak. Pembebasan Bersyarat Di atas telah diuraikan tentang hak-hak yang dipunyai oleh seorang anak yang berstatus anak pidana, anak Negara dan anak sipil. Terhadap anak pidana dan anak Negara, salah satu hak yang mereka miliki adalah pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat yang dapat diberikan terhadap anak Negara dan anak pidana, diberikan apabila si anak telah menjalani pidananya/hukumannya 2/3 (dua pertiga) dari masa hukuman yang telah dijatuhkan dan sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan serta berkelakuan baik di bawah pengawasan jaksa dan pembimbing kemassyarakatan (PK) dan pengamatan serta Tim Pengamat Pemasyarakatan. Pembebasan bersyarat dimaksud disertai dengan masa percobaan yang lamanya sama dengan sisa pidana yang harus dijalani si anak. Dalam pembebasan bersyarat sesuai dengan Pasal 80 ayat (4) UU Sistem Peradilan Pidana Anak ditentukan syarat umum dan syarat khusus seperti yang diatur dalam Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu syarat umum yaitu bahwa anak pidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani 134 pembebasan bersyarat; syarat khusus yaitu: syarat yang menentukan bahwa untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam pembebasan bersyarat dengan tetap memerhatikan kebebasan anak. Pengamatan terhadap bimbingan ini dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (Pasal 62 ayat (2) UU Pemasyarakatan). Pidana Bersyarat Dalam Pasal 71 dan Pasal 82 UU Sistem Peradilan Pidana Anak diatur tentang sanksi yang diancamkan terhadap anak yang melakukan kenakalan. Pasal 71 mengatur tentang sanksi pidana; sementara Pasal 82 mengatur tentang sanksi tindakan. Salah satu sanksi pidana pokok yang diancamkan terhadap anak adalah pidana penjara. Pidana penjara diancamkan terhadap anak yang terlingkup dalam pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum berdasarkan Pasal 1 Angka 2, yang ancamannya seperdua dari ancaman orang dewasa (apabila melakukan tindak pidana yang bukan ancaman pidana mati atau seumur hidup); dan ancaman maksimal 10 tahun apabila melakukan pelanggaran pasal yang mengancamkan pidana mati atau seumur hidup. Berkaitan dengan hal di atas, maka dalam ilmu hukum dikenal adanya hukuman pidana penjara, hakim dapat memerintahkan supaya terdakwa tidak perlu menjalani, kecuali dalam waktu yang ditentukan ternyata melakukan tindak pidana lagi (Pasal 14 f KUHP). Dalam masa percobaan ternyata si terpidana melakukan tindak pidana lagi, baik perbuatan yang sejenis ataupun tidak, maka terpidana wajib menjalani pidananya dan pelaksanaannya dilakukan berdasarkan perintah hakim. 135 Jadi jaksa selaku eksekutor tidak dapat secara langsung mengeksekusi si terpidana yang melakukan tindak pidana kembali, sebelum ada perintah hakim. Untuk perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum, hukuman pidana bersyarat telah diatur tersendiri dalam Pasal 73 UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat, apabila pidana yang dijatuhkan itu paling lama 2 (dua) tahun. Maksimal 2 tahun tersebut bukan besarnya ancaman pidana dari suatu ketentuan undang-undang yang berlaku bagi anak, tetapi hukuman maksimal yang dijatuhkan hakim khusus untuk pidana bersyarat. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat tersebut, undangundang menghendaki supaya hakim menentukan dua syarat, yaitu: - syarat umum - syarat khusus Yang dimaksud dengan syarat umum adalah bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pidana bersyarat. Apabila melakukan tindak pidana lagi, maka berlaku ketentuan di atas, wajib menjalani hukuman pidana penjaranya setelah atas perintah hakim. Sedangkan syarat khusus ialah penentuan sikap untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memerhatikan kebebasan anak. Syarat khusus ini dapat berupa antara lain terpidana tidak boleh mengendarai motor, atau kewajiban untuk mengikuti kegiatan yang diprogramkan oleh Balai Pemasyarakatan. Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus harus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum. Sebagaimana diketahui di atas, bahwa hukuman pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama dua tahun, dan mengenai jangka waktu 136 masa pidana bersyarat, undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya memperbolehkan maksimal 3 (tiga) tahun. Selama menjalani pidana bersyarat, pengawasannya dilakukan oleh kejaksaan. Sedangkan Pembimbing Kemasyarakatan yang melakukan pembimbingan terhadap terpidana, dengan maksud agar anak tersebut menepati persyaratan yang telah ditentukan. Terpidana bersyarat dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan, dan statusnya sebagai Klien Pemasyarakatan. Selama Anak yang Berkonflik dengan Hukum tersebut berstatus Klien Pemasyarakatan, dapat mengikuti pendidikan sekolah, di mana si anak tercatat sebagai murid. Meskipun diperbolehkan tetap melanjutkan sekolah, anak tetap menjalani dan memenuhi syarat umum dan syarat khusus yang telah ditentukan.115 4.3 Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum ditinjau dari Aspek Perlindungan Hukum maupun Syarat Kemanfaatan Hukum Pidana bagi Kesejahteraan Sosial (anak) Anak seyogianya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan Negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anaklah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan. Semakin modern suatu Negara, seharusnya semakin besar perhatiannya dalam menciptakan situasi yang kondusif bagi menumbuhkembangkan anak-anak dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan Negara terhadap anak- 115 Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 93-95 137 anak meliputi aspek kehidupan, yaitu ekonomi, social, budaya, politik, hankam, maupun aspek hukum. Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.116 Kesejahteraan anak merupakan orientasi utama dari perlindungan hukum. Secara umum, kesejahteraan anak tersebut adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun social. Berdasarkan prinsip nondiskrimiinasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak baik itu anak dalam keadaan normal maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan tersebut.117 Melihat berbagai macam peraturan yang ada, mulai dari Instrumen Internasional, antara lain Konvensi Hak Anak, Deklarasi Universal tentang Hakhak Asasi Manusia (DUHAM), ICPPR, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana, Aturan-aturan Tingkah Laku bagi Petugas Penegak Hukum, Peraturan Minimum Standar PBB mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing 116 117 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 155 Nasir Djamil, M. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Sinar Grafika, Jakarta hal 148 138 Rules), Riyadhh Guidelines (Pedoman PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja), Prinsip Perlindungan Semua Orang yang di bawah Bentuk Penahanan apa pun atau Pemenjaraan, Peraturan PBB bagi perlindungan anak yang Kehilangan Kebebasannya. Di samping itu, juga ada Instrumen Nasional, antara lain UUD 1945, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka telah berhasil dirumuskan jaminan hak anak yang sedang mengikuti proses peradilan pidana dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak tertangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak; k. memperoleh advokasi social; l. memperolehh kehidupan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayanan kesehatan; dan p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, khusus bagi anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. b. c. d. e. f. g. mendapat pengurangan masa pidana; memperoleh asimilasi; memperoleh cuti mengunjungi keluarga; memperoleh pembebasan bersyarat; memperoleh cuti menjelang bebas; memperoleh cuti bersyarat; memperoleh hal lain sesuai dengan ketentuan peratutan perundang-undangan. 139 Secara tegas, jaminan hak asasi anak yang sudah dimasukkan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut merupakan konsekuensi dari politik hukum perlindungan hak-hak anak. Hal yang penting di sini adalah bahwa sebenarnya anak bukanlah untuk dihukum, sehingga jaminan hak anak tersebut merupakan penjelmaan upaya memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Rumusan hak-hak anak yang ada dalam Pasal 3 dan pasal 4 UU Sistem Peradilan Pidana Anak berupaya untuk memberikan jaminan hukum sesuai dengan prinsipprinsip perlindungan anak, yakni prinsip nondiskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi anak, tidak hanya mempertimbangkan keadaan psikis (kejiwaan) namun juga keadaan fisiknya. Dari segi psikis pertumbuhan jiwa anak belum sempurna dan matang, sehingga fungsi bathinnya belum sempurna juga. Dalam keadaan yang demikian ini, anak belum mempunyai cukup kematangan psikis untuk mempertimbangkan keadaan dan konsekuensi dari perbuatannya, sedang dari segi fisik anak belum kuat melakukan pekerjaan karena fisiknya masih lemah, sehingga tidak ataukurang tepat bila harus dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya.118 Kriteria kesalahan tersebut harus menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam menyelesaikan perkara pidana dan atau melakukan upaya penanggulanganan atas terjadinya tindak pidana/kejahatan. Atas dasar hal tersebut, proses peradilan 118 Suwantji Sisworahardjo, 1986, Hak-Hak Anak dalam Proses Peradilan Pidana, Yayasan LBH Indonesia dan Rajawali, Jakarta, hal.33. 140 pidana yang digelar tujuannya bukanlah pada penghukuman, tetapi perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan penanggulangan tindakannya melalui tindakan pengadilan yang konkrit. Komitmen dari masyarakat internasional untuk memberikan jaminan khusus bagi anak-anak generasi penerus bangsa di bidang hukum dan peradilan, dapat dilihat dalam Kongres-Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa yang secara terus menerus memberikan perhatian khusus terhadap masalah perlindungan anak. Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan anak (khususnya anak pidana) agar dilakukan pembinaan secara memadai, di dalam Beijing Rules, pada Rule 2325 menetapkan, bahwa anak setelah melalui proses ajudikasi, pada akhirnya dapat ditempatkan di dalam Lembaga atau mungkin di luar Lembaga untuk dibina. Pembinaan anak di luar lembaga dalam pelaksanaannya perlu dipersiapkan secara matang dengan cara melibatkan suatu lembaga yang independen, misalnya Parole, Probation, Lembaga-lembaga Kesejahteraan Anak dengan petugas yang berkualitas, ditunjang dengan fasilitas yang memadai dalam kerangka rehabilitasi anak. Sedangkan Rule 26 menetapkan, bahwa pembinaan anak di dalam Lembaga diarahkan agar pembinaan tidak bersifat umum, melainkan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya anak bersangkutan (individualisasi pembinaan) penyediaan tenaga-tenaga medis, ahli jiwa. Satu hal penting dalam kaitan ini adalah tetap diperbolehkannya campur tangan orang tua, keluarga, dalam usaha pembinaan selama anak di dalam Lembaga.119 Dalam pelaksanaan pembinaan terhadap anak, saat ini telah ada suatu landasan yuridis yang mengatur upaya pembinaan terhadap anak pelaku tindak 119 Paulus Hadisuprapto, Op. Cit., hal. 112-113 141 pidana, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketentuan perundang-undangan tersebut, menetapkan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana yang telah diputus dikenai sanksi, berupa pidana penjara, terhadapnya akan dilakukan proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan ditempatkan secara khusus dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA). Penempatan anak pelaku tindak pidana akan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang terpisah dari narapidana dewasa. Anak yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, berhak memperoleh pendidikan dan latihan baik formal maupun informal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya. Mengenai yang dimaksud dengan Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur tentang apa yang yang dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima 142 kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Guna melaksanakan pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga, yaitu Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Mengacu ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Bab VI dengan judul Pelayanan, Perawatan, Pendidikan, Pembinaan Anak, dan pembimbingan Klien Anak Pasal 84, menentukan : (1) Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS; (2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); (5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Dengan demikian melalui pelaksanaan pembinaan dengan sistem pemasyarakatan maka Anak Didik Pemasyarakatan diharapkan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana lagi. Pada akhirnya diharapkan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat 143 ikut aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.120 Anak Didik Pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 8 Undang- Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdiri dari Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil. Dalam pelaksanaan pembinaannya masing-masing anak didik pemasyarakatan mendapat perlakuan tertentu sesuai dengan kepentingan pertumbuhan dan perkembangannya. Selanjutnya dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur bahwa pelaksanaan pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana (anak pidana) di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebelumnya dilakukan penggolongan berdasarkan: umur, jenis kelamin, lamanya pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Sistem Pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan, dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dan masyarakat. Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing warga binaan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Hak-hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 14, Pasal 22, Pasal 29 dan Pasal 36 UndangUndang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan itu tidak diperoleh secara otomatis tapi dengan syarat atau kriteria tertentu, di mana untuk setiap golongan warga binaan ditentukan syarat dan tata cara yang berbeda karena masing-masing 120 Darwan Print, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 58 144 golongan mempunyai hak yang berbeda. Maka guna mengatur tata cara dan pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara Dan Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sebagaimana dijelaskan pada Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem Pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan, dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dan masyarakat. Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing warga binaan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Warga binaan dalam sistem pemasyarakatan mempunyai hak untuk mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarganya maupun pihak lain, memperoleh informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya. Hak-hak itu tidak diperoleh secara otomatis tapi dengan syarat atau kriteria tertentu seperti halnya untuk mendapat remisi, asimilasi harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Agar hak dari warga binaan sebagaimana tercantum dalam 145 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dapat terselenggara dengan baik, maka untuk setiap golongan warga binaan ditentukan syarat dan tata cara yang berbeda karena masing-masing golongan mempunyai hak yang berbeda, seperti halnya Anak Pidana tidak mempunyai hak untuk mendapat upah ataupun premi, Anak Negara tidak mempunyai hak untuk mendapat upah ataupun remisi, dan Anak Sipil tidak mendapat upah, remisi, pembebasan bersyarat ataupun cuti menjelang bebas. Anak Pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu, yang dalam pelaksanaan program pembinaan tersebut diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 23 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995), maka telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Khusus tentang pembinaan terhadap Anak Pidana diatur dalam Pasal 17 – 21 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, sebagai berikut: Pasal 17 (1) Pembinaan Anak Pidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan. (2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu : a. tahap awal; b. tahap lanjutan; dan c. tahap akhir. (3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Wali Anak Pidana. (4) Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan hasil pengamatan, penilaian, dan pelaporan terhadap pelaksanaan pembinaan. (5) Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. 146 Pasal 18 Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilaksanakan menurut pentahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 19 (1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a meliputi: a. masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan; b. perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; c. pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan d. penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. (2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b meliputi : a. perencanaan program pembinaan lanjutan; b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan; c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. (3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c meliputi : a. perencanaan program integrasi; b. pelaksanaan program integrasi; dan c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir. (4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. (5) Dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Kepala LAPAS Anak wajib memperhatikan Litmas. (6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis kegiatan program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 20 (1) Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di LAPAS Anak. (2) Pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar LAPAS Anak oleh BAPAS. (3) Dalam hal Anak Pidana tidak memenuhi syarat-syarat tertentu, pembinaan tahap akhir Anak Pidana yang bersangkutan tetap dilaksanakan di LAPAS Anak. Pasal 21 Dalam hal terdapat Anak Pidana yang tidak dimungkinkan memperoleh kesempatan asimilasi dan atau integrasi maka Anak Pidana yang bersangkutan diberikan pembinaan khusus. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan 147 Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai wujud pelembagaan respons masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan pola pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berorientasi pada masyarakat, yaitu pembinaan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan, sehingga sangat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu Pasal 9 ayat (1) memberikan peluang bagi Menteri untuk mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan dalam rangka penyelenggaraan system pemasyarakatan. Kerja sama yang dimaksud perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Untuk itu telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Di mana Peaturan Pemerintah ini memberikan peluang kepada instansi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan dan perorangan untuk ikut berperan serta membina dan membimbing Warga Binaan Pemasyarakatan dalam bentuk hubungan kerja sama baik yang bersifat fungsional maupun kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan pembimbingan tertentu. Pembinaan dilaksanakan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), sedangkan pembimbingan diadakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. 148 Selanjutnya agar program kerja sama penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan berjalan sebagaimana mestinya, Peraturan Pemerintah ini mewajibkan baik Menteri maupun mitra kerja sama menyediakan sumber daya yang diperlukan bagi penyelenggaraan program pembinaan dan atau pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai tata cara kerja sama, jangka waktu kerja sama dan pihak-pihak yang membuat kesepakatan kerja sama, dengan maksud memudahkan para pihak dalam mengadakan kerja sama tersebut. Laporan berkala mengenai pelaksanaan kerja sama sebagai salah satu bentuk pengawasan disampaikan kepada Menteri, yang sekaligus berguna untuk mengevaluasi hasilnya. Menteri atau pejabat yang berwenang dapat menghentikan kerja sama apabila pelaksanaannya dianggap tidak sesuai dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak 149 mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dan penyelenggaraannya, program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Sejalan dengan hal tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan terpidana yang beradasarkan asas Pancasila, dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.121 Pada uraian sebelumnya disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pembimbingan tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Tentang pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang dilakukan oleh LAPAS diatur dalam Bab II Pasal 6 sampai dengan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999, sedangkan tentang pelaksanaan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang dilakukan oleh 121 Soejono Dirjosisworo, 1974, Kisah-Kisah Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung, hal 147 150 BAPAS diatur dalam Bab III Pasal 31 sampai dengan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999. Adapun pelaksanaannya dilakukan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) dan dilakukan oleh BAPAS (Balai Pemasyarakatan) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Di mana dalam penjelasannya disebutkan bahwa Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dilaksanakan secara intramural (di dalam LAPAS) dan secara ekstramural (di luar LAPAS). Pembinaan secara intramural yang dilakukan di dalam LAPAS disebut asimilasi, yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang sudah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang sudah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali ditengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS. Pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan warga binaan dalam sistem pemasyarakatan tersebut diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dan penyelenggaraannya, program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan 151 Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tersebut memberikan arah bahwa sistem pembinaan dan pembimbingan yang diharapkan merupakan sistem pembinaan dan pembimbingan yang mengakomodasikan adanya pergeseran paradigma pembinaan dari sistem pemasyarakatan lama menjadi pembinaan dalam system pemasyarakatan dengan paradigma baru, mengingat dalam pelaksanaannya disamping melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap perilaku warga binaan juga mendasarkan pada faktor-faktor penyebab yang berbeda-beda yang terdapat pada masing-masing warga binaan (termasuk anak) sesuai dengan kepribadian dan latar belakang masing-masing. Sebagai wujud pelaksanaan pembinaan maka Lembaga Pemasyarakatan Anak telah melaksanakan proses pemasyarakatan dengan mengacu pada beberapa kebijakan yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, di mana proses pemasyarakatan tersebut merupakan bentuk implementasi dari pelaksanaan pembinaan yang memiliki ruang lingkup pembinaan baik dalam bentuk pembinaan kepribadian (pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual, pembinaan kesadaran hukum), maupun pembinaan kepribadian lanjutan/pembinaan 152 kemandirian (program-program ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, ketrampilan untuk mendukung usaha industri kecil, ketrampilan yang disesuaikan dengan bakat masing-masing, ketrampilan yang mendukung usaha sesuai perkembangan teknologi). Dalam proses pembinaan tersebut juga dilakukan kebijakan-kebijakan bagi anak didik yang telah menjalani sebagian pidana penjara baik dalam bentuk Asimilasi yang dilakukan di dalam maupun di luar LAPAS, atau dilakukan Integrasi dibawah bimbingan petugas BAPAS. Proses pembinaan tersebut tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak tetapi harus mendapat kontrol dan partisipasi dari masyarakat serta harus dilakukan kerjasama secara sinergis yang tidak hanya dengan instansi penegak hukum (Polri, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri) tetapi juga dengan instansi lainnya maupun dengan pihak swasta. Untuk itu guna melaksanakan pembinaan secara terpadu, dan mendapat kontrol serta partisipasi dan kerja sama dengan masyarakat, badan-badan kemasyarakatan serta instansi-instansi terkait, maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tersebut ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai wujud pelembagaan respons masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan pola pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berorientasi pada masyarakat, 153 yaitu pembinaan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan, sehingga sangat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 memberikan peluang kepada instansi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan dan perorangan untuk ikut berperan serta membina dan membimbing Warga Binaan Pemasyarakatan dalam bentuk hubungan kerja sama baik yang bersifat fungsional maupun kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan pembimbingan tertentu. Pembinaan dilaksanakan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), sedangkan pembimbingan diadakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Agar pelaksanaan kegiatan kerja sama dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien, maka pembinaan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Selanjutnya agar program kerja sama penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan berjalan sebagaimana mestinya, Peraturan Pemerintah ini mewajibkan baik Menteri maupun mitra kerja sama menyediakan sumber daya yang diperlukan bagi penyelenggaraan program pembinaan dan atau pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 ini mengatur mengenai tata cara kerja sama, jangka waktu kerja sama dan pihak-pihak yang membuat kesepakatan kerja sama, dengan maksud memudahkan para pihak dalam mengadakan kerja sama tersebut. Laporan berkala mengenai pelaksanaan kerja sama sebagai salah satu bentuk pengawasan disampaikan kepada Menteri, yang 154 sekaligus berguna untuk mengevaluasi hasilnya. Menteri atau pejabat yang berwenang dapat menghentikan kerja sama apabila pelaksanaannya dianggap tidak sesuai dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Diperlukan tingkat ketepatan yang cermat dalam melakukan evaluasi secara terus menerus dan treatmen yang efektif dan berhasil guna untuk diberikan dalam proses pembinaan merupakan komponen penentu yang mendukung keberhasilan dari pembinaan tersebut. Mencermati beberapa kebijakan tentang sistem pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan terhadap anak pidana maka telah terdapat pola pembinaan terpadu, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian cukup beralasan apabila dikatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan memiliki ciri atau kharakteristik, yaitu dapat dilihat dari komponen-komponen Inputs, Outputs, Feed Back, Noise, dan Control Point.122 122 A.Widiada Gunakarya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, CV.Armico, Bandung, hal. 152. 155 Pendekatan sistem tersebut tidak bersifat parsial tetapi holistik, yaitu mengembangkan keseluruhan komponen-komponen yang terkait dengan sistem pemasyarakatan, yaitu 1. In puts; Salah satu inputs dari Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah Anak Didik Lapas dari berbagai latar belakang kehidupan, jenis kejahatan, usia dan lingkungan, yang turut membentuk karakteristik dari kehidupan anak didik Lapas tersebut. Tentunya hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung keadaan anak didik tersebut akan berpengaruh kepada sistem pemasyarakatan. Anak didik bukan satu-satunya input atau sub sistem dalam Sistem Pemasyarakatan, input yang lain adalah policies, prosedur, kartu pembinaan, peraturan tata tertib keamanan, kerja sama dengan instansi-instansi lain, lembagalembaga kemasyarakatan, pelaporan, evaluasi, pusat-pusat pengadilan, susunan organisasi, sarana dan prasarana LPA, BAPAS, keuangan, personil dan pembinaan personil, dan yang lain. 2. Out puts; Outputs dari Lembaga Pemasyarakatan Anak tidak terlepas dari kualitas dan sinergitas dari seluruh sub sistem atau komponen yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan proses pembinaan yang berlangsung selama dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak. 3. Feed Back; Sistem evaluasi dari seluruh proses pembinaan yang telah dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak, sayangnya system ini belum berkembang secara optimal. Untuk itu, diperlukan monitoring dan evaluasi dari Lembaga 156 Pemasyarakatan Anak terhadap out putsnya secara integral terhadap perilaku kehidupan anak didik ketika berada di tengah-tengah masyarakat dalam jangka waktu tertentu. 4. Noise dan Control Point Noise adalah suara-suara yang tidak menggembirakan yang muncul dan meluas pada saat feed back information sedang dikumpulkan. Penggunaan sistem manajemen personil (personil management system) dalam memecahkan noise suatu sistem dengan menciptakan konsep management by exception, adalah pendekatan system pemasyarakatan yang akan menjadikan para pimpinan pada segala tingkatan dan para petugas pelaksana dapat melaksanakan fungsinya lebih efisien dan efektif sebagai suatu control point dalam pelaksanaan pembinaan.123 Berbagai kasus anak pelaku tindak pidana yang terjadi dan ditangani melalui proses peradilan dengan berbagai perlakuan yang secara konsisten sesuai dengan persepsi yuridis prosedural, nampaknya ada suatu kebutuhan untuk mengkaji kembali peraturan-peraturan yang hingga kini dijadikan landasan operasional dalam penanganan dan penyelesaian anak yang telah melakukan tindak pidana. Lebih-lebih saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diharapkan mampu memberikan perlindungan hak-hak anak untuk mencapai kematangan, kedewasaan dan kesejahteraannya. Di sisi lain, adanya kasus-kasus seperti yang telah disebutkan di depan, menyadarkan bahwa ternyata perilaku menyimpang yang dilakukan anak memang bersifat kriminal secara yuridis. 123 Ibid, hal 153-155 157 BAB V PENUTUP Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut: 5.1 Simpulan 1. Kebijakan hukum pidana formulasikan pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam sistem pemidanaan hukum positif Indonesia pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia serta pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policyoriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("valueoriented approach"). 2. Pidana pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan permasalahan yang berhubungan dengan anak, sebagaimana yang dituangkan dalam konsideran Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sesuai dengan ide pemasyarakatan yang bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem 158 Pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu, warga binaan dan masyarakat. 5.2 Saran 1. Hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan penal saat ini dalam penanganan proses anak yang berkonflik dengan hukum haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi bagi anak, oleh karena itu dari perspektif ius constituendum diperlukan pula penggunaan kebijakan non-penal. Kebijakan non penal melalui sanksi tindakan dalam proses anak yang berkonflik dengan hukum memerlukan dukungan adanya pengaturan hukum positif secara jelas sehingga aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya memiliki pegangan yuridis yang jelas dalam penanganan proses anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilaksanakan dengan benar dan adil guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Kebijakan tersebut sangat perlu diupayakan untuk mencegah stigmatisasi dan proses labeling yang kerap terjadi apabila anak diproses melalui sistem peradilan pidana anak. 2. Hendaknya dalam konteks pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka diperlukan upaya pembinaan (pola pembinaan) yang menjadi tanggung jawab bersama secara integral dan tidak hanya seolah-olah menjadi tanggung jawab Lembaga Pemasyarakatan Anak saja. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai 159 suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan, sehingga sangat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.