EMOSI NEGATIF DAN PERILAKU PORNOGRAFI Oleh : Drs. Pius Heru Priyanto, M.Si. Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang ABSTRACT Sexual crimes such as rape occur in Indonesia, so that the President of the Republic of Indonesia, Jokowi, make a decree to aggravate the punishment of the perpetrators with penalties chemical castration and a maximum of 20 years imprisonment. Sexual crimes not out of the habit of watching porn (pornography behavior) from childhood to adulthood. The impact of watching porn is harmful to the brain and the brain shrinks the front center called the Ventral Tegmental Area (VTA). The impact of the shrinking VTA is physically difficult to control behavior. Negative emotions such as fear, anger, sadness, disgust, disgust, dislike, underestimate the teenager who became one of the triggers people to watch pornography. The results showed that there is a very significant positive correlation (r = 0.599, p <0.01) between negative emotions with pornographic behavior. The higher the negative emotions, the higher the behavior of pornography. The research subjects in 48 student activists in Soegijapranata Unika Semarang. Keywords: Negative emotions, behavior pornography A. PERMASALAHAN Pembunuhan dan perkosaan serta kejahatan seksual yang diakibatkan oleh pornografi akhir-akhir ini marak diberitakan di berbagai media cetak, TV, Radio, dan media sosial lain. Berikut ini data-data hasil penelusuran dari situs internet seperti pada tahun 2016 : detik.com; kompas.com, okezone.com; komnasperempuan.go.id; dan kpai.go.id (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) disajikan dalam gambar agar lebih mudah dipahami. 12 Bahwa korban kekerasan seksual pada ranah personal seperti rumah tangga, teman bermain, mengobrol, dan orang-orang yang paling dekat dengan korban menduduki peringkat tertinggi dengan jumlah total 3166 kasus dengan perincian 76% berbentuk perkosaan, pencabulan sebesar 19% dan pelecehan seksual sebesar 5%. Akibat perkosaan dampaknya lebih parah dari sisi psikologis, sosial dan fisik baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Pada ranah komunitas dimana menunjuk pada situasi yang lebih umum seperti di tempat kerja, terminal, sekolah, pertanian, dan tempat-tempat yang sifatnya lebih umum, perkosaan pada perempuan menduduki ranking satu dengan 1.657 kasus, disusul kasus pencabulan sebesar 1.064 kasus. Kekerasan seksual pada anak yang paling banyak dilakukan dengan cara sodomi (771 kasus), kemudian disusul dengan tindakan pencabulan (511 kasus), perkosaan sebanyak 122 pada anak dan pada sesama saudara (incest) sebanyak 20 kasus yang mengalami kekerasan seksual. 13 Kekerasan yang tampak tragis adalah pada janin sebanyak 19 kasus (mungkin ini sebagai laporan yang masuk sebagai percobaan aborsi). Korban kekerasan dialami paling banyak pada anak laki-laki sebanyak 1.698 kasus dan kekerasan pada anak perempuan sebanyak 1.131 kasus. Kalau dikaji dari gambar di atas dan di bawah ini tampak bahwa yang mengalami sodomi adalah anak laki-laki dan yang paling banyak mengalami kekerasan juga anak laki-laki. Pada gambar di bawah ini terdapat gambaran tentang pelaku, yaitu laki-laki (1.468 kasus pelaku kekerasan) yang menjadi tokoh utama kekerasan seksual pada anak. Sedangkan perempuan tampak minor yaitu 164 kasus pelaku kekerasan, dan yang tidak diketahui jenis kelamin pelaku sebanyak 57 kasus. 14 Gambar di bawah ini menunjukkan hubungan pelaku dengan korban kekerasan, tokoh pelaku kekerasan utama adalah teman (551 kasus), orang yang tidak dikenal menduduki ranking kedua yaitu 536 kasus. Tetangga yang seharusnya menjadi pelindung ketika orang tuanya tidak ada di rumah justru menjadi pelaku kekerasan sebanyak 151 kasus. Guru yang seharusnya menjadi orang yang digugu dan ditiru justru menjadi pelaku kekerasan pada anak sebanyak 98,kasus. Sedangkan ayah atau ibu kandung sebanyak 76 kasus melakukan kekerasan pada anak yang seharusnya memberikan cinta dan kasih sayang dalam sepanjang kehidupan anak. Pacar melakukan kekerasan sebanyak 72 kasus. di atas dapat disimpulkan bahwa akibat terlalu banyak menonton pornografi, juga dari permasalahan adanya sebab-sebab lain seperti konflik dan rendahnya kontrol diri baik moral maupun norma-norma sosial serta adanya kesempatan menjadikan anak baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Pelakunya kebanyakan adalah orang-orang yang terdekat di mana anak atau orang dewasa itu berada. B. PORNOGRAFI Pornografi pada saat ini, walaupun sudah diblokir oleh pemerintah, namun karena kecanggihan teknologi dan mudahnya orang membeli HP Android, sehingga mampu mengakses film pornografi. Menonton film porno lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Adapun kerugian orang yang sering menonton film pornografi, seperti yang sering diakses di TV akhir-akhir ini adalah adanya pemerkosaan dan pembunuhan yang marak terjadi di mana-mana. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi? Orang yang menonton film porno, maka fantasi tentang hubungan seksual dieksplorasi sangat tinggi disertai 15 dengan rasa nikmat yang sangat tinggi karena adanya fantasi yang kurahg terkontrol, karena adanya stimulus yang tinggi dari film porno. Melihat pornografi meningkatkan efek imaginasi yang tinggi tentang perilaku seksual (yang di dalamnya sering terkandung kekerasan seksual). Di dalam pornografi terdapat para pemain dengan perilaku saling mengalahkan guna menimbulkan efek kepuasan (dengan imaginasi semata) dan tentunya mengabaikan efek moral, efek psikologis dan efek perilaku sosial dalam masyarakat (Frow, 2012. H. 361). Kondisi ini semata-mata industri pornografi dimotivasi oleh keuntungan finansial yang sangat besar jumlahnya dengan mengabaikan berbagai efek yang ditimbulkannya. Namun menonton film pornografi adalah sebuah pilihan seperti halnya kita menonton berbagai acara di TV, tinggal meng klik tombol. Hasil penelitian para ilmuwan di Jerman menyatakan bahwa orang yang sering menonton film porno menyebabkan penyusutan otak di daerah sriatum, dimana di daerah sriatum tersebut berhubungan dengan motivasi. Dengan kata lain, sering menonton film porno menyebabkan motivasi menjadi berkurang untuk meraih sesuatu yang lebih baik (secara positif). Film porno merangsang orang yang melihatnya dan merangsang otak mengeluarkan dopamin, yaitu enzim yang menyebabkan rasa bahagia tinggi. Kondisi ini menjadikan orang yang sering menonton film porno membutuhkan rangsangan seksual tinggi untuk melakukan relasi seksual. Otak akhirnya membutuhkan dopamin yang lebih banyak untuk mendapat rangsangan seksual, dan akhirnya akan menjadi semakin ketagihan menonton film porno. Menurut penelitian yang dipublikasikan di JAMA Psychiatry tahun 2014, menonton pornografi secara teratur dapat menumpulkan respon terhadap rangsangan seksual dari waktu ke waktu. Mereka akan sulit terangsang jika hanya melakukan hubungan seksual biasa. Peneliti menyimpulkan, ponografi dapat menciptakan generasi muda yang putus asa di kamar tidur (Maharani, 2015). Menurut Ronald J. Hilton, seorang ahli bedah otak di San Antonio Hospital (US), menyatakan bahwa efek ketagihan porno mengakibatkan otak bagian tengah depan disebut Ventral Tegmental Area (VTA) secara fisik mengecil, mengalami penyusutan. Hal inilah yang mengakibatkan orang yang sudah kecanduan porno berat sulit untuk mengontrol perilakunya. Efek ini terjadi secara bertahap, ditandai 16 dengan semakin mengelanturnya kata-kata hingga berakhir pada perilaku yang kurang terkendali. "Pornografi menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol. Ini yang membuat orang-orang yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya," Contoh kasus pemerkosaan akhir-akhir ini di berbagai belahan di Indonesia, korban diperkosa secara beramai-ramai dan akhirnya dibunuh. .Gambar di bawah ini menunjukkan fungsi otak (VTA) mengalami pengecilan (http://kesehatanireng.biogspot.co.id, 2014). Pornografi membuat cara berpikir seseorang menjadi penuh dengan seks semata. Pikiran seks akan menguasai alam bawah sadar mereka. Gambar berbau seks akan melekat pada otak, sehingga pada saat seseorang memutuskan untuk berhenti melihat pornografi-pun, gambar-gambar yang pernah dilihat dimasa lalu akan bertahan sampai jangka panjang. Lihat gambar di bawah ini (http://kesehatanireng.blogspot.co.id, 2014) 17 Mempertimbangkan efek pornografi yang mulidimensional karena meliputi berbagai efek mulai dari efek psikologi, efek moral, efek sosial, efek relasi, efek gender, efek generasi. Sehingga pemerintah perlunya mengadakan sensor film (dan memang sudah dilakukan pemerintah sejak lama) dan memblokir film situs porno. Namun demikian, banyak dari pengakses film porno masih mampu menembus blokir tersebut dan mendownload serta mengedarkan secara luas. Tujuan dari sensor adalah melindungi generasi mudanya dari kekacauan dan rusaknya moral dan cara berpikir yang dipenuhi pornografi (Rao, 2013). Adanya teknologi digital dan Android menyebabkan setiap orang mampu mengakses berbagai gambar dan film dalam hitungan detik dari seluruh dunia. Namun terlalu seringnya orang mengakses situs internet, FB, WA, film-film pendek, termasuk film porno dan berbagai media yang ditawarkan oleh internet menjadikan seseorang menjadi kecanduan akan internet. Terlalu banyak konsumsi teknologi, menciptakan seseorang kecanduan. Kondisi ini menjadikan seseorang tidak sabar dan stres yang mengarah ke kegelisahan hidup psikis dan mental, kurang tertarik membaca buku asli, kemiskinan relasi sosial nyata, kurangnya berelasi dengan alam (Bondar, 2015. H. 289-293). C. Emosi Pembahasan emosi dimulai jaman Plato yang menyatakan emosi sebagai sesuatu yang menyela, mengacaukan dan mengurangi akal sehat manusia. Emosi terletak antara roh dan nafsu makan. Aristoteles memandang emosi dihubungkan dengan kesenangan dan rasa sakit, dan marah, takut dan kasihan. Emosi hams dilihat dalam kerangka etika, karena orang marah sangat tergantung pada stimulus dan situasi waktu itu. Descartes emosi tidak hanya untuk perubahan fisiologis dan perilaku, tetapi juga untuk proses mental seperti persepsi, keyakinan dan memori. Emosi esensinya mengambil inti di tempat jiwa (Strongman, 2003. H. 10-11). Emosi adalah jantung dan jiwa pengalaman manusia. Orang yang tidak punya emosi maka seseorang tidak mempunyai kekhawatiran, tidak punya perasaan sedih, tidak berbahagia dan tidak tertawa dan tidak mengenal perasaan cinta. Terdapat dua tingkatan emosi yaitu emosi primer dan sekunder. Adapun 18 emosi primer adalah emosi yang dianggap sebagai emosi yang berlaku secara umum (bawaan sejak lahir) dan memiliki dasar biologis yaitu (Wade & Tavris 2007; h. 107): 1. Rasa takut (fear) 2. Marah (anger) 3. Sedih (sad) 4. Senang (happy, joy) 5. Terkejut (surprise) 6. Jijik (disgust) 7. Rasa tidak suka, sebal (contempt) Dari ke tujuh emosi primer dasar biologis tersebut terdapat lima emosi negatif yaitu : rasa takut, marah, sedih, jijik, dan rasa tidak suka/sebal. Emosi netral adalah terkejut, sedangkan emosi positf adalah senang. Hal ini menunjukkan bahwa emosi tampak dominan sehingga orang lebih mudah cenderung bersikap negatif, berpikir dan berperilaku negatif daripada berpikir, bersikap, dan berperilaku positif. Emosi sekunder : variasi emosi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata. orang Amerika lebih sering tersenyum dibandingkan orang Jerman. Bukan karena crang AS lebih ramah daripada org Jerman, orang AS mengeluhkan orang Jerman yang terlalu dingin dan menahan perasaan emosi. Org Jerman menganggap org AS terlalu periang dan menyembunyikan perasaan mereka yang sesungguhnya. Namun orang Jepang jauh lebih sering tersenyum dibandingkan org AS, karena orang Jepang menyembunyikan rasa malu, marah atau emosi negatif lain, sebab perasaan-perasaan tesebut dianggap tidak sopan bila ditunjukkan pada banyak orang (Wade & Tavris 2007; h. 131). Emosionalitas sebagai seberapa cepat dan seberapa kuat reaksi seseorang terhadap provokasi, maka pria lebih emosional dibandingkan wanita. Bagi pria, konflik dengan pasangannya sering kali terasa lebih menyakitkan dibandingkan wanita. Karena pria cenderung menghindari argumen dibandingkan wanita. Hasil penelitian konflik suami-istri, menemukan bahwa detak jantung pria 19 sering kali meningkat drastis.saat konflik dimulai, dan tingginya detak jantung tersebut bertahan selama konflik. Sedangkan detak jantung wanita lebih rendah selama konflik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sistem saraf otonom pada pria lebih sensitif dan reaktif dibandingkian sistem saraf otonom wanita. Saat pria mendapat stres atau dalam situasi kompetisi maka pria menunjukkan peningkatan tekanan darah dan detak jantung dan peningkatan epinephrine yang lebih tinggi daripada wanita (Wade & Tavris 2007; h. 133-135). Kondisi ini menjadikan mengapa pria lebih banyak menderita terkena serangan jantung lebh tinggi daripada wanita. O'Hagan (2006, h. 46) mendefinisikan pelecehan atau penolakan emosional adalah perlakuan tidak pantas yang dilakukan berulang-ulang, berkelanjutan terhadap respon emosional anak yang ekspresif. Peleceh.an emosional menghambat perkembangan emosional bayi, juga menghambat perkembangan bicara. Kondisi ini juga memperlambat proses anak memperoleh kemampuan merasakan dan mengekspresikan emosi yang berbeda dengan tepat, dan akhirnya mengatur dan mengendalikan emosi dan perilaku anak. Hal itu berdampak negatif pada (a), pembangunan pendidikan sosial dan budaya anak; (b) perkembangan psikologis; (c) hubungan sosial di masa dewasa; dan (d) prospek karir. Pelecehan emosional sering dilakukan orang tua atau orang dewasa terhadap anak, karena orang tua merasa lelah dan capai sehabis bekerja diharuskan mendengarkan dan memperhatikan ekspresi anak. Kondisi ini menjadikan anak memperoleh pembelajaran emosi negatif dari orang tua. D. Emosi Negatif Memprediksi Perilaku Pornografi. Hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap sejumlah mahasiswa aktivis di Unika sebanyak 48 orang (Psikologi = 10 mhs, Fakultas Ekonomi Bisnis = 10 mhs, Teknik = 5 mhs, llmu komputer = 6 mhs, Sastra = 6 mhs) didapatkan korelasi positif sangat signifikan (r = 0,599, p < 0,01) antara emosi negatif dengan perilaku pornografi. Semakin tinggi emosi negatif maka semakin tinggi pula perilaku pornografi pada mahasiswa Unika. Emosi negatif antara lain ditandai dengan suka marah-marah dan rasa tidak suka atau sebal pada tekanan stimulus yang kurang sesuai dengan harapannya, misalnya pelayanan yang lelet baik pada sesama mahasiswa, 20 dosen, tenaga kependidikan dan cleaning service. Sedangkan perilaku pornografi antara lain meliputi melihat film situs pornografi dan berkata jorok yang berhubungan dengan "saru'Yporno. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan banyaknya emosi negatif yang dialami seseorang akan mengarahkan pikiran menjadi negatif. Pikiran yang negatif akan mengarahkan sikap menjadi negatif, dan sikap yang negatif akan mengarahkan perilaku menjadi negatif. Salah satu perilaku negatif adalah perilaku menonton pornografi. Bukti empiris adalah secara primer emosi manusia banyak dikuasai emosi negatif antara lain : rasa takut, marah, sedih, jijik, dan rasa tidak suka atau merasa sebal. Semakin tinggi emosi negatif tersebut maka akan mempengaruhi pola pikir seseorang menjadi negatif. Hasil penelitian Walsh, DiLillo, & Moore. (2012, h. 3054-3071) menyatakan bahwa subyek yang kurang mampu mengatur emosinya lebih banyak menggunakan kekerasan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual. Para korban paling banyak adalah orang-orang yang ada didekatnya yang sudah sering dikenal dan dilihatnya. Kekerasan seksual adalah masalah sosial endemik yang terkait dengan gejala seperti kecemasan, depresi, posttraumatic stress disorder (PTSD), penyalahgunaan zat, kesulitan menjalin relasi interpersonal, dan masalah kesehatan yang serius, termasuk HIV/AIDS (Filipas & Ullman dalam Walsh, DiLillo, & Moore. 2012, h. 3054-3071). E. Kesimpulan Terdapat hubungan positif sangat signifikan antara emosi negatif (rasa takut, marah, sedih, jijik, sebal, tidak suka, menyepelekan) dengan perilaku pornografi (menonton fim porno). Semakin tinggi emosi negatif maka semakin tinggi pula perilaku pornografi. Adanya emosi negatif tersebut karena adanya penolakan orang tua terhadap ekspresi emosi yang dilakukan sejak anak, juga adanya modeling dan internalisasi tentang berbagai emosi yang dipelajari dari orang tua atau orang dewasa serta teman-teman di sekelilingnya. Proses pembelajaran pornografi seperti modeling dan pergaulan dari teman-teman serta mudahnya mengakses situs pornografi sehingga menimbulkan perilaku pornografi. 21 Terdapat kesenjangan antara sumber primer informasi psikologi kesehatan dan seksualitas antara remaja terhadap orang tua, guru dan teman-teman. Sementara sumber-sumber sekunder bagi remaja perempuan adalah tenaga profesional kesehatan yang agak susah diakses, dan untuk laki-laki adalah Internet yang bisa diakses setiap saat. (Macintyre, Vega, and Sagbakken, 2015). Remaja belajar tentang hubungan dan perilaku seksual melalui teman, mitra dan, bagi banyak pria adalah pornografi. Hasil penelitian menunjukkan kurangnya informasi yang tersedia pada komunikasi mitra tentang: batas pribadi, kontrasepsi, informasi secara moral dan netral tentang seksualitas, tindakan medis, kontrasepsi, dan aborsi. Kondisi inilah yang memicu perilaku pornografi yang begitu marak sehingga banyak berdampak pemerkosaan dan kekerasan seksual dan berakhir pembunuhan. DAFTAR PUSTAKA ------- 2014. Dampak Negatif Menonton Video Porno Untuk Kesehatan Otak. http://kesehatanjreng.blogspot.co.id/2014/04/ ------- 2016. Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Atas Kasus Kekerasan Seksual YY di Bengkulu dan Kejahatan Seksual yang Memupus Hak Hidup Perempuan Korban. http://www.komnasperempuan.go.id. 3 Mei 2016 -------2016. Komnas Perempuan Mencatat 16.217 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan pada 2015. http://nasionai.kompas.com. 7 Maret 2016 Bondar, A. A. 2015. The Facebook Network And The Young People Of Modern Age. International Journal of Communication Research. Volume 5 • Issue 4, October / December 2015. p (289-293) Frow, J. 2012. Avatar, Identification, Pornography. Cultural Studies Review, volume 18 number 3 December 2012 http://epress.lib.uts.edu.au/iournals/index.php/csri/index. pp. 360-380. Macintyre, A. K-J. , Vega, A. R. M. and Sagbakken, M. 2015. From disease to desire, pleasure to the pill: A qualitative study of adolescent learning about sexual health and sexuality in Chile. Macintyre et al. BMC Public Health (2015) 15:945. DOI 10.1186/s12889-015-2253-9 22 Maharani, D. 2015. Terungkap, Efek Buruk Menonton Film Porno bagi Otak. Kompas, Minggu, 16 Agustus 2015. KOMPAS. Minggu, 16 Agustus 2015. http://health.kompas.com/read/2015/08/16/123638523 O'Hagan, K.2006. Identifying Emotional and Psychological Abuse: A Guide for Childcare Professionals. Berkshire England: Open University Press McGraw-Hill Education. Rao, A. 2013. Film Censorship And Its Relevance In Modern Malaysia. Journal of Arts, Science & Commerce. Vol.-IV, Issue- 4(1), Oct. 2013 [42]. www.researchersworld.com. j E-ISSN 2229-4686 ] ISSN 2231-4172 Strongman, K. T. 2003. The Psychology of Emotion. West Sussex England: John Wiley & Sons Ltd. Fifth edition Wade, C. & Tavris, C. 2007. Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Edisi ke 9. Jilid 2. Walsh, K. DiLillo, D. & Moore, TLM. 2012. Lifetime Sexual Victimization and Poor Risk Perception: Does Emotion Dysregulation Account for the Links? Journal of Interpersonal Violence. Sage: 27(15) 3054 -3071. sagepub.com/journals Permissions.nav. DOI: 10.1177/0886260512441081 23