PEREMPUAN DALAM ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK (Sebuah Telaah Teologi Kerukunan) Oleh: Kamsul Mahdan Abstrak: Permasalahan perempuan merupakan persoalan yang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Di seluruh dunia, perempuan selalu menjadi pembicaraan yang hangat dan pelik. Kedudukan perempuan dalam berbagai kebudayaan bangsa manusia masa lalu amat memprihatinkan. Mereka menempatkan kaum perempuan ke tempat yang hina, sekunder, pelengkap dan pemuas laki-laki, bahkan dipandang sebagai makhluk yang mendatangkan aib dan racun dunia. Hal ini berlangsung lama hingga Islam datang menyelamatkan kedudukan mereka, dan derajat mereka diangkat setara dengan laki-laki. Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama, perbedaan yang ada hanyalah peran yang dimainkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal serupa juga terjadi dalam pandangan Kristen Katolik, kedudukan laki-laki dan perempuan juga sama. Bahkan perempuan dipandang mempunyai keutamaan tersendiri, yaitu di saat semua orang meninggalkan Yesus, murid-murid perempuan justru menemaninya pada saat penyaliban, dan menjadikan perempuan sebagai pewarta mengenai kebangkitannya yang pertama dan menjadikan mereka sebagai rasul untuk para rasul. Kata Kunci: Perempuan, Islam, dan Kristen Katolik Pendahuluan Kemajemukan (plural) bangsa Indonesia bukanlah persoalan baru, tetapi memang sesuatu yang sudah ada sejak lama. Istilah ini juga digunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menggambarkan struktur masyarakat Indonesia Nasikun1. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu; pertama, majemuk secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuankesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat serta kedaerahan. Kedua, secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perkembangan agama di Indonesia diawali dengan datangnya agama Hindu, disusul oleh agama Budha, Islam dan kemudian Kristen, baik Kristen Protestan maupun Kristen Katolik. Dengan kedatangan orang-orang Cina yang beragama Kong Hu Cu ikut pula memperkaya dunia keagamaan di Indonesia. Dalam kenyataan dan perkembangannya, dewasa ini masing-masing umat beragama mempunyai organisasi seperti, umat Islam mempunyai “Majelis Ulama Indonesia”, umat Kristen mempunyai “Dewan Gereja-gereja Indonesia”, umat Hindu mempunyai “Parisada Hindu Dharma”, umat Budha mempunyai “Majelis Agung Agama Budha Indonesia” dan umat Kong Hu Cu mempunyai “Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia”. Kemajemukan dalam beragama ini berpotensi konflik, terutama pada akhir 60-an sangat deras isu kristenisasi yang akhirnya mendorong Menteri Agama pada waktu itu, Prof. Dr. Mukti Ali pada tahun 1971 melontarkan gagasan dialog pemuka agama sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama. Sejak saat itu, kegiatan dialog diprogramkan dan merupakan kegiatan utama dalam proyek kerukunan hidup beragama Departemen Agama2. Adapun pengertian tentang agama sangatlah berbeda-beda dan tergantung kepada masing-masing umat beragama. Karena keterbatasan manusia dan ketidakmutlakannya, barangkali dapat dikembangkan semacam teologi kerukunan. Istilah ini dimaksudkan untuk mengatakan bahwa pandangan keagamaan yang bersifat sama terhadap suatu permasalahan, meskipun di dalamnya terdapat evolusi yang menggambarkan seolah-olah pandangan keagamaan tersebut tidak utuh dan menyeluruh. Berikut didiskusikan pandangan agama Islam dan Kristen Katolik terhadap perempuan dan implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan dalam Sejarah Kebudayaan Manusia Permasalahan perempuan – sejak dahulu sampai sekarang – tidak pernah habis untuk dibicarakan. Di seluruh dunia, perempuan selalu menjadi pembicaraan yang hangat dan pelik. Padahal, sesungguhnya sebagian dari permasalahan itu muncul dari tindak tanduk dan perilaku perempuan itu sendiri. Kehidupan perempuan pada zaman dahulu sungguh sangat memprihatinkan. Bangsa Athena umpamanya, menempatkan perempuan bukan sebagai manusia tetapi sebagai binatang yang diperjualbelikan. Mereka menganggap perempuan tidak ada gunanya, perempuan diciptakan untuk menjadi budak dan untuk melahirkan bayi-bayi, perempuan dipandang sebagai pemuas kebutuhan dan selera laki-laki, hubungan seksual yang bebas tidak dianggap sebagai melanggar norma, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat kegiatan politik dan seni, serta mereka juga memandang perempuan sebagai najis dan kotoran perbuatan setan. Bangsa Romawi juga menempatkan perempuan di bawah kekuasaan ayahnya dan setelah kawin pindah kepada suami. Kekuasaan terhadap kaum perempuan pada waktu itu meliputi; menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh, hal ini berlaku sampai abad ke-6 M. Hasil usaha dan kerja kaum perempuan menjadi hak milik keluarga laki-laki. Pandangan yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam kebudayaan Hindu. Bagi kaum perempuan yang sudah bersuami, hak hidupnya berakhir dengan kematian suaminya. Istri harus dibakar hidup-hidup pada saat jenazah suaminya dibakar. Kondisi ini berlangsung sampai abad ke-17 M. Perempuan juga dijadikan sebagai sesajen (korban) yang dipersembahkan untuk para dewa. Dan mereka juga memandang perempuan sebagai racun dunia. Sementara bangsa Arab tidak merasa senang bila yang lahir adalah bayi perempuan, karena mereka memandang perempuan sebagai pembawa malapetaka. Oleh karena itu, mereka mengubur anak perempuan hidup-hidup, jika tidak dikuburkan mereka dihantui oleh kemiskinan dan aib yang mencoreng keluarga. Tidak jauh berbeda, bangsa Yahudi menganggap anak perempuan lebih rendah dari laki-laki dan bahkan martabatnya disamakan dengan budak. Perempuan tidak mendapat waris dan orang tuanya diperkenankan untuk menjual anaknya. Dan ada pula yang menganggap perempuan sebagai tunggangan setan bagaikan kalajengking yang maju mundurnya pasti akan menyengat siapapun. Pandangan-pandangan semacam ini terus berlanjut hingga akhirnya pada tahun 586 M. diselenggarakan sebuah seminar di Perancis. Dari hasil seminar disimpulkan bahwa perempuan termasuk golongan manusia yang diciptakan khusus untuk menjadi pelayan laki-laki untuk memenuhi kepentingannya. Perempuan adalah perangkap setan dan puncak segala kejahatan, dan oleh karena itu perempuan dilarang “bicara”3. Sepanjang abad pertengahan kedudukan perempuan masih tetap memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundangundangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Sampai tahun 1882 perempuan Inggris belum lagi memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh dan hak menuntut ke pengadilan. Perempuan dalam Islam Agama Islam telah mengangkat perempuan dari lembah kezaliman dan kegelapan. Islam telah membersihkan mereka dan membuat wajah mereka bercahaya. Islam juga telah mengembalikan kedudukan perempuan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu berdampingan dengan laki-laki dalam kehidupan berdasarkan keadilan Pencipta. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tidak ada perbedaan di antara keduanya dari sisi kejadian dan kemanusiaannya. Dalam Surat Ali Imran Allah menegaskan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua-duanya – yaitu laki-laki dan perempuan – mempunyai hak yang sama”. Hal ini senada juga ditegaskan oleh Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 32, yaitu : “Bagi laki-laki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan dari apa yang diusahakannya”. Ayat-ayat tersebut merupakan penjelasan al-Qur’an yang melenyapkan semua pandangan yang membedakan laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Al-Qur’an telah mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya, serta meluruskan pandangan yang keliru berkaitan dengan kedudukan kaum perempuan. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila al-Ghaffariyah, dan lain-lain tercatat sebagai tokoh perempuan yang terlibat dalam peperangan. Ummu Salim binti Malhan bekerja sebagai perias pengantin, Khadijah binti Khuwailid adalah pedagang yang sukses, Zainab binti Jahsy bekerja sebagai penjamak kulit4. Berdasarkan kenyataan sejarah tersebut, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan perempuan aktif dalam berbagai aktivitas, di dalam maupun di luar rumahnya sendiri, baik sendiri maupun bersama orang lain atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta selama pekerjaan tesebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta dapat memelihara agamanya, yaitu menjauhi dampak negatif pekerjaan tersebut pada dirinya ataupun pada lingkungannya5. Penekanan Islam tentang persamaan laki-laki dengan perempuan terlihat jelas dari perintah Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nur (24) ayat 30-31, yaitu : Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman; hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. Katakanlah kepada perempuan-perempuan beriman; hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”. Selanjutnya suami dan istri digambarkan sebagai pakaian bagi masing-masing (alBaqarah; 187), sebagai teman yang hidup dan tinggal bersama dalam kebahagiaan (al-Ahzab; 21), laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk saling melengkapi (atTaubah; 71). Demikianlah, laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk memenuhi tanggung jawab demi untuk kebahagiaan keduanya dan kebaikan kelompok yang lebih luas dalam kehidupan bermasyarakat. Agar semua tanggung jawab tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan sempurna, maka kaum perempuan diwajibkan belajar sebagaimana belajar diwajibkan kepada laki-laki. Perempuan bebas mempelajari apa saja sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing. Sejarah telah mencatat, banyak perempuan yang sangat menonjol ilmu pengetahuannya sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh laki-laki, umpamanya Aisyah r.a. (istri Nabi). Beliau mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat dalam dan seorang kritikus6. Perempuan yang senantiasa berfikir, belajar, dan mengamalkan apa yang mereka pahami setelah berzikir kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan permohonan mereka dan Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah dalam surat Ali Imran ayat 195 menegaskan: Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman “Sesungguhnya Aku tidak akan menyianyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan”. Demikianlah, semakin jelas bahwa dalam keluarga Islam peran laki-laki dan perempuan adalah saling melengkapi dan bukan bersifat persaingan, berbeda tetapi tidak diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Dengan ungkapan lain, peran laki-laki dan perempuan sama-sama penting, tetapi tidak identik dalam substansinya. Bagi perempuan peran dalam rumah tangga dipandang peran paling suci, namun tidak ada satu pendapat hukum pun dalam Islam yang menghalangi perempuan melakukan peranan lainnya dalam masyarakat jika peran tersebut tidak mengorbankan perannya dalam rumah tangga7. Jikapun ada pembatasan terhadap perempuan bahwa mereka tidak boleh tampil di hadapan umum secara kurang sopan8, semata-mata alasan kesopanan dan menjaga kehormatan perempuan serta pencitraannya sebagai perempuan bermoral dan berbudaya baik. Dan ini tidaklah dimaksudkan sebagai pengucilan dan pengasingan perempuan dari kehidupan bermasyarakat, karena perempuan dalam Islam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat ikut aktif berpartisipasi dalam berbagai jenis pekerjaan yang relevan. Ketentuan tersebut bagi kaum Muslimin bersifat ketuhanan, dan ketentuanketentuan peran dan hak lain bagi perempuan, sebagaimana perintah-perintah lainnya dalam al-Qur’an, dipandang sebagai rencana Tuhan yang telah ditetapkan bagi seluruh umat manusia. Kalaupun kemudian terjadi perubahan, tetapi dalam hakekat harus bersifat Islami9. “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” 10. Peran, hak dan tanggung jawab perempuan adalah sama dengan peran, hak dan tanggung jawab laki-laki, tetapi tidak harus identik dengan peran, hak dan tanggung jawab laki-laki. Persamaan (equality) dan persamaan mutlak (identity) adalah dua hal yang berbeda. Oleh sebab itu, laki-laki dan perempuan harus saling melengkapi dalam suatu organisasi multi fungsi dari pada saling bersaing dalam suatu masyarakat uni-fungsi (fungsi tunggal)11. Selanjutnya perlu diketahui dan difahami asas kehidupan dalam kebangkitan kita saat ini, yaitu : 1. Islam telah mengangkat harkat perempuan dan menjadikannya sebagai mitra laki-laki dalam hak dan kewajiban. 2. Perbedaan hak, peran, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan datang mengikuti perbedaan karakteristik yang tidak dapat dihindarkan. 3. Secara fitrah naluri perempuan dan laki-laki memiliki daya tarik yang kuat12. Itulah pandangan Islam terhadap perempuan. Islam telah menetapkan peran, hak, dan kewajiban perempuan. Islam telah menjelaskan secara rinci berdasarkan kebenaran dan hikmah-hikmahnya dalam al-Qur’an al-Karim. Perempuan dalam Kristen Katolik Dalam agama Kristen Katolik ada pandangan yang menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ide ini pada dasarnya menyamakan tatanan sosial laki-laki dengan tatanan yang diciptakan Tuhan atau hukum alam. Kepemimpinan laki-laki dianggap sebagai sifat yang melekat pada dirinya dan dikehendaki oleh Tuhan. Dan segala yang melawan hukum alam atau kehendak Tuhan atau memberikan kekuasaan dan persamaan hak pada perempuan merupakan perlawanan terhadap Tuhan, dan akan menimbulkan kekacauan moral serta sosial dalam masyarakat. Status moral menurut pandangan tersebut sangat rendah, perempuan bersifat mengabaikan, kurang kontrol diri dan menggoda laki-laki. Hawa adalah perempuan yang tidak taat dan jadi penyebab dosa di bumi dan bahkan dalam pandangan yang paling keras, perempuan sebagai ciptaan setan, sementara Maria Ciptaan Tuhan. Tema-tema tentang ajaran yang merendahkan perempuan itu merupakan tema bagi kebanyakan sejarah Kristen dan merupakan pandangan yang resmi dan dominan. Akan tetapi teologi kesejajaran muncul menggantikan tema-tema tersebut dengan mengacu kepada Kitab Kejadian 1: 27, dimana laki-laki dan perempuan diciptakan dalam bayang-bayang Tuhan, sebagai aturan bagi pandangan hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan maupun laki-laki memiliki bayangan Tuhan secara sama sebagai pribadi-pribadi. Lukas 1: 52 mengisyaratkan pandangan yang radikal tentang kabar baik “menurunkan orang-orang yang kuat dari singgasananya dan mengangkat orang-orang yang rendah”. Tuhan Allah menciptakan langit dan bumi serta sekalian isinya, termasuk manusia yang merupakan mahkota ciptaanNya. Bagian penting dari penciptaan adalah pembentukan keluarga dan penetapan peran manusia selaku mandataris ciptaan13. Bagian Kitab Suci mengenai penciptaan manusia ini mengungkapkan bahwa manusia – laki-laki dan perempuan – diciptakan dalam citra Allah, yang mengandung makna kelengkapan untuk menerima tanggung jawab memelihara ciptaan, dan untuk hidup dalam ikatan kasih dan pelayanan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam. Pembentukan keluarga dalam kisah penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki14 terkait dengan tanggung jawab penerusan generasi umat manusia dan dengan aspek kesatuan dan kesetaraan lakilaki dan perempuan. Mandat dalam kebersamaan dengan “penolong yang sepadan”, yaitu perempuan. Aspek kesetaraan laki-laki dan perempuan – yang diperjuangkan kaum feminis – perlu dipertegas. Tekanan kesepadanan menghindarkan perempuan dari sekedar penolong yang lebih rendah terhadap lakilaki. Kesepadanan menunjuk pada kesamaan hak dan kewajiban di dalam menjalankan mandat Ilahi. “Doktrin tulang rusuk” yang merendahkan perempuan lebih merupakan penyusupan budaya masyarakat Semit Kuno ke dalam penafsiran Kitab Suci dan tradisi Gereja. Kelengkapan manusia dalam kesatuan dan kesepadanan laki-laki dan perempuan menunjuk pula pada makna perkawinan, baik pada “kesedagingan” mereka (yakni keutuhan pribadi manusia dalam persatuan cinta), maupun pada aspek kemitraan dalam prokreasi dan dalam pemeliharaan ciptaan15. Kitab Injil mengabarkan Yesus sebagai rasul mesianik Tuhan ditolak oleh keluarganya, oleh pemuka agama, masyarakat yang dulu pernah mendengar ajarannya, dan akhirnya oleh murid laki-lakinya sendiri, Petrus, yang menolaknya dan kemudian dipandang pengkhianat. Karena itu murid-murid perempuan merupakan sisa-sisa yang setia yang tetap bersamanya pada saat penyaliban dan menjadi orang pertama di tempat kuburnya untuk menyaksikan kebangkitannya 16. Kutipan-kutipan di atas menggambarkan bahwa dalam pandangan agama Kristen Katolik, laki-laki dan perempuan adalah sederajat atau sejajar, dan bahkan perempuan dipandang mempunyai keutamaan tersendiri, yaitu di saat semua orang meninggalkan Yesus, murid-murid perempuan justru menemaninya pada saat penyaliban, dan menjadikan perempuan sebagai pewarta mengenai kebangkitannya yang pertama dan menjadikan mereka sebagai rasul untuk para rasul17. Berdasarkan spirit teologi kesejajaran tersebut di atas, kinilah saatnya perempuan menyuarakan cara-cara yang mesti ditempuh gereja, kinilah perempuan merasa telah memperoleh pemberdayaan untuk berbicara terus terang mengenai pandangan dan harapan-harapan masa depan gereja, kinilah saatnya perempuan menemukan diri merreka sebagai insan yang memiliki kekuatan untuk kembali kepada kehormatan diri serta menentukan nasib sendiri. Kehendak tersebut ternyata dapat diwujudkan melalui Kitab Hukum Kanonik atau huum gereja yang disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Januari 1983. Knon-kanon itu mengatur berbagai hak dan kewajiban umat beriman Kristiani, khususnya kanon 208-223 dan kanon 225-231. Pada kanonkanon tersebut diatur tentang hak berpendapat, berserikat, hak kebebasan memilih, hak mendapat perlindungan hukum, hak untuk mendapat pelayanan rohani, dan lainnya18. Oleh sebab itu, gereja dituntut mengangkat kemanusiaan perempuan jika ia sungguh-sungguh beriman kepada janji pembebasan yang ditawarkan kepada semua orang dalam diri masyarakat baru dalam Kristus, ia adalah tuntutan atas keimanan dan bukan runtutan atas utopis yang tidak pernah mungkin terjadi. Degradasi Perempuan Perlakuan bangsa-bangsa terhadap perempuan – sebagaimana dijelaskan sebelumnya – menunjukkan bahwa eksistensi perempuan hanyalah sebagai pelengkap dalam kehidupan laki-laki, mereka tidak mempunyai peran, apalagi hak. Dan jikapun ada kewajiban, maka kewajiban itu tidak lebih dari sekedar pelayan kepentingan laki-laki. Perempuan dapat diperjualbelikan bagaikan barang-barang dagangan bahkan perempuan dipandang sebagai sumber kejahatan dan najis. Citra perempuan yang sedemikian buruk dipulihkan dan diangkat oleh Islam ke tingkat yang terhormat, yang menjamin kasih sayang sempurna di antara laki-laki dan perempuan, masing-masing harus saling tolong, saling menguntungkan dalam kepentingan hidupnya. Keadaan ini secara sadar dirumuskan sebagai berikut: 1. Islam meninggikan harkat perempuan dan menjadikannya sebagai mitra lakilaki dalam hak dan kewajiban. 2. Perbedaan hak laki-laki dan perempuan datang mengikuti perbedaan karakteristik yang tidak dapat dihindari. 3. Secara fitrah naluri laki-laki dan perempuan memiliki daya tarik yang kuat19. Rumusan tersebut sebenarnya mengacu kepada pernyataan-pernyataan Allah melalui ayat-ayat-Nya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Panggilan Allah dan kemuliaan yang diberikan-Nya kepada perempuan telah membukakan mata dan nurani kaum perempuan untuk bersama dan berdampingan dengan kaum laki-laki tanpa sekat dan diskriminasi dalam memperjuangkan kehidupan di atas bumi ini. Perkhidmatan perempuan dalam perjuangan berdampingan dengan kaum laki-laki tidak dapat diabaikan dan peran serta mereka justru telah mempercepat kemenangan dalam medan juang. Perhatikan dan pelajarilah pernyataan Ummu Atiyyah al-Anshariyah, ia berkata; “Saya ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali. Saya mendapat tugas menjaga perbekalan, menyiapkan makanan di dapur umum, mengobati yang terluka dan merawat serta menjaga mereka yang luka parah”20. Demikian pula dalam Kristen Katolik – seperti yang sudah dijelaskan – perempuan menempati kedudukan yang sentral dan bahkan ketika kaum laki-laki menjauh dari Yesus, justru perempuanlah yang menjadi murid setia Yesus yang menemaninya di tiang penyaliban dan menjadi saksi kebangkitannya. Bertolak belakang dengan panggilan dan citra perempuan dalam Islam dan Kristen Katolik di atas, dewasa ini di antara perempuan telah mencampakkan diri mereka ke dalam jurang kehinaan dan kenistaan yang sangat dalam, seolah-olah mereka ingin kembali ke “habitat” masa silam dimana perempuan tidak berharga dan tidak memiliki harga diri. Mereka menjadi korban produksi kapitalisme dimana manusia dijadikan sebagai alat tujuan ekonomi. Dalam logika produksi kapitalisme, teknologi digunakan untuk menggalang mobilitas massa demi menyelaraskan selera, gaya hidup, dan kepentingan pribadi. Contoh nyata dari konstatasi ini adalah penolakan oleh sebagian kaum perempuan – terutama di kalangan artis, seniman dan aktivis perempuan – terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornograpi dan Pornoaksi (RUU APP). Belakangan ini, sebagian artis perempuan Indonesia – terutama artis dangdut – menunjukkan penampilan yang erotis dan dapat menggairahkan kaum laki-laki. Dengan alasan seni, mereka berani tampil dengan cara yang dapat mencampakkan dan merendahkan harkat dan martabat mereka. Semua itu mereka lakukan denga n satu alasan, yaitu untuk mendapatkan uang dan popularitas. Pornografi yang tersebar luas saat ini merupakan langkah buruk yang dilakukan oleh media cetak ataupun elektronik demi kegiatan kapitalistik, sehingga gambar-gambar vulgar dan berita-berita cabul sudah dijadikan konsumsi sehari-hari, penampilan gambar ataupun berita-berita sehari-hari diidentikkan dengan perempuan. Hal ini tentu memojokkan kaum perempuan, bahkan pelacuranpun diidentikkan dengan perempuan. Pornografi yang tersebar luas saat ini sudah memperlihatkan ancaman yang serius bagi kita. Pergaulan bebas yang berujung seks bebas, hubungan tanpa ikatan atau saat ini yang lebih dikenal dengan teman tapi mesra (TTM). Tarik menarik definisi pornografi kini sedang terjadi di Indonesia. Para penggemar pornografi dan kalangan seniman menganggap foto bugil Anjasmara dan foto model Isabel Yahya bukanlah termasuk pornografi, begitu pula goyang erotis ala Inul Daratista, melainkan seni. Aktivis feminisme mengatakan “soal porno itu soal persepsi, kalu sejak awal otaknya ‘ngeres’, melihat apa-apa bisa porno”, kata Myra Diarsih dalam sebuah diskusi di SCTV. Pernyataan ini disambut Dani Dewa (penyanyi kelompok Band Dewa), katanya “kalau saya melihat tarian Inul, itu biasa saja, kalau yang lain selalu ngeres ya porno”. Eksploitasi kaum perempuan oleh media massa sudah demikian marak, anehnya mereka – kaum perempuan – merasa senang dan modern. Padahal mereka hanyalah dijadikan alat oleh kalangan tertentu untuk mendapatkan uang dan keuntungan yang besar. Memang harus diakui, belum ada batasan pornografi yang dapat disepakati oleh semua kalangan. Namun paling tidak pornografi dapat dipahami sebagai penyajian seks secara tersendiri, baik dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video, kaset, pertunjukan, pementasan maupun dalam bentuk kata-kata dengan maksud untuk merangsang nafsu birahi21. Dalam RUU APP, pornografi didefinisikan sebagai substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tentang seks, kecabulan, dan atau keerotikan. Berdasarkan pengertian ini, maka foto-foto telanjang dan majalah playboy bisa dikatakan pornografi. Berdasarkan pengertian pornografi itu, perempuan telah dieksploitasi untuk menghasilkan uang tanpa memperhitungkan harkat dan martabat perempuan itu sendiri. Pose-pose perempuan yang seronok, merangsang dan jorok dipajang di berbagai media cetak maupun di layar-layar kaca dan yang lebih tragis perempuan menjual dirinya atau bahkan dewasa ini perempuan diperjualbelikan. Aktivitas perempuan sebagaimana diterangkan di atas, diduga kuat ada kekuatan eksternal (negara kapitalis) yang memaksakan ide, kebudayaan, pola pikir, dan gaya hidup yang dianutnya kepada masyarakat berkembang – termasuk Indonesia – dengan alasan globalisasi informasi dan komunikasi. Sementara pembuat keputusan di negeri ini pun tidak cukup mempunyai kekuatan untuk menangkal atau mencegah pornografi dan pornoaksi22. dalam menghadapi teror pornografi, peran agama sangat dibutuhkan bagi penyadaran terhadap bahaya tersebut. Peran agama dicerminkan dalam bentuk tingkah laku yang baik, aturanaturan adat yang ditopang oleh semangat religius sangat dibutuhkan dalam menghambat laju pornografi yang sudah mewabah. Jika keadaan dan perilaku perempuan sebagaimana dijelaskan berkelanjutan tanpa ada usaha sungguh-sungguh untuk menghentikannya, maka kehancuran total sudah semakin mendekat, bukan saja kehancuran eksistensi perempuan dan masyarakat saja, tetapi juga kehancuran bagi negara dan bangsa ini, karena perempuan adalah tiang negara dan kehancuran perempuan berarti juga kehancuran bagi negara. Kesimpulan Dalam Islam, tauhid merupakan pandangan hidup terhadap realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu, dan sejarah manusia. Oleh karena itu, manusia sebagai pelaku tindakan moral harus mampu merubah dirinya sendiri, manusia lainnya atau masyarakat, alam atau lingkungannya, agar dia mampu mengaktualisasikan sibghah (pola) ketuhanan atau perintahNya, baik pada dirinya sendiri maupun pada masyarakat dan lingkungannya. Dengan mentaati perintah Tuhan, berarti manusia akan memperoleh kemenangan, kebahagiaan dan kenikmatan. Dan sebaliknya, apabila menentang-Nya berarti kita akan mendapat hukuman, penderitaan dan kesakitan hidup di dunia dan di akhirat. Bagi umat Kristiani, jika ingin keselamatan dalam Yesus, maka perilaku moral yang agung menjadi bukti bahwa kita ingin tetap mengasihi Allah. Catatan Akhir: 1 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 27-40. Djohan Effendi, "Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan", dalam Agama dan Tantangan Zaman, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm.168. 3 Lihat Abbas Kararah, Berbicara dengan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 95-96. 4 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an , (Bandung: Mizan, 1996), hlm.306. 5 Ibid., hlm. 307. 6 Ibid., hlm. 308. 7 Lihat Lamya’ Al-Faruqi, ‘Ailah, Masa Depan Kaum Wanita, (Surabaya: Al-Fikri, 1997), hlm. 116-117. 8 Lihat Q.S. 24 ayat 41. 9 Arvind Sharma (Ed.), Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia, (Jakarta: Ditperta. Depag. RI, 2002), hlm. 298. 10 Lihat Q.S. 16 ayat 97. 11 Lamya’ Al-Faruqi, Op.Cit., hlm. 81. 12 Lihat Abbas Kararah, Op.Cit., hlm.104-105. 13 Lihat Kejadian 1: 26-29. 14 Lihat Kejadian 2: 18-25. 15 Th. Sumartana, dkk. (redaksi), Di Tengah Hentakan Gelombang Agama dan Keluarga Dalam Tantangan Masa Depan, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1997), hlm. 130-131. 16 Lihat Arvind Sharma, Op.Cit., hlm. 251-254. 17 Lihat Yohane 4.: 1-42. 18 Lihat Al. Andang L. Binawan, Demokratisasi dalam Paroki, Mungkinkah?, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 83-84. 19 Ibid., hlm. 104-105. 20 Ibid., hlm. 127. 21 Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 64. 22 Rizal Mustasyir, "Refleksi Filosofis Atas Pornografi dan Pornoaksi", dalam Pornografi dan Pornoaksi, (Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 2003), hlm. 9. 2