Kesejahteraan mengarah pada kualitas kehidupan masyarakat

advertisement
Kesejahteraan mengarah pada kualitas kehidupan masyarakat. Masih
banyaknya individu yang memiliki kesejahteraan yang rendah menjadi suatu
permasalahan bagi suatu Bangsa dan Negara. Kesejahteraan tidak hanya dilihat
pada orang dewasa namun juga pada anak-anak dan remaja. Anak-anak dan
merupakan generasi bangsa yang perlu diperhatikan kualitas kehidupan mereka.
Kesejahteraan anak dan remaja tidak terlepas dari berbagai persoalan.
Masih banyaknya remaja yang merasa kurang bahagia dengan kehidupan mereka
saat ini. Menurut The Children’s Society (Rees dkk, 2010) berdasarkan hasil
survei yang dilakukan di Inggris tahun 2008 dan 2010 pada 7000 anak berusia 1015 tahun dan 2000 anak berusia 8-15 berdasarkan hasil diketahui bahwa 14%
diantaranya tidak bahagia dengan sekolah mereka, 13% penampilan mereka, 10%
berkaitan dengan kondisi keuangan, 13% lingkungan dan 50% tidak merasa
bahagia dengan kesehatan, keluarga, teman, tempat tinggal, keamanan, harta yang
dimiliki, pilihan hidup dan tujuan hidup. Hasil survei ini menunjukkan bahwa
masih banyak anak-anak merasa kurang bahagia saat di sekolah. Lingkungan
sekolah memainkan peran penting dalam kehidupan anak-anak dan remaja yang
berhubungan dengan pengalaman positif dan negatif yang dialami (Nordlander &
Stensota, 2014).
Di Indonesia juga tidak terlepas dari permasalahan berkaitan dengan
kesejahteraan. Berdasarkan Laporan Kebahagiaan Dunia 2015 yang di rilis The
Sustainable
Development Solutions
Network
2015,
tingkat
kebahagiaan
masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga
seperti Singapura, Thailand dan Malaysia (Helliwell dkk, 2015). Berdasarkan
hasil penelitian tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia berada pada peringkat
ke 74, Vietnam peringkat ke 75, Malaysia peringkat ke 61, Thailand peringkat ke
32 dan Singapura berada pada peringkat tertinggi dari beberapa negara di Asia
tenggara yaitu dengan peringkat ke 24 (Helliwell dkk, 2015). Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat kebahagiaan yang
masih rendah.
Kebahagiaan tidak hanya harus dimiliki oleh orang dewasa tetapi juga
anak-anak yang merupakan generasi bangsa. Kebahagiaan pada anak dan remaja
merupakan fokus perhatian terhadap masa depan dunia dikarenakan 31% dari
penduduk dunia berusia di bawah 18 tahun (Helliwell dkk, 2015). Menurut
Helliwell dkk (2015) kesejahteraan pada anak-anak dipengaruhi oleh setiap aspek
kehidupan mereka termasuk kehidupan di sekolah, hanya saja masih banyak
sekolah tidak menjadikan kesejahteraan siswa sebagai tujuan utama. Hal ini dapat
menjadi salah satu faktor masih banyaknya siswa yang merasa kurang bahagia di
sekolah.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti saat praktik kerja
profesi pada salah satu SMP Negeri di Yogyakarta pada bulan Maret-Mei 2015,
diketahui permasalahan yang sering dialami siswa di sekolah adalah kurang
mampu menghadapi tuntutan akademik, penolakan dari teman-teman, adanya
perilaku bullying, kurang puas dengan fasilitas yang ada di sekolah, tidak puas
dengan prestasi yang diperoleh, dan adanya perilaku membolos (Sukvadewi,
2015). Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan guru BK pada bulan Maret
2015 di SMP Negeri X di Yogyakarta diperoleh informasi bahwa dari beberapa
permasalahan yang ditangani oleh guru BK terhadap persoalan anak di sekolah
diketahui bahwa masih banyak siswa mengalami permasalahan di sekolah. Hal ini
karena adanya perbedaan karakteristik siswa di sekolah baik dalam hal
kemampuan akademik, prestasi akademik, latar belakang keluarga yang berbeda
baik dari pendidikan dan status sosial memberikan pengaruh dalam diri siswa.
Adanya perbedaan yang terjadi menimbulkan beberapa persoalan pada siswa
seperti penolakan dari teman-teman, kurang mampu menyesuaikan diri dengan
tuntutan akademik, dan tak jarang diantara mereka menjadi korban bullying dan
adanya ketidakpuasan terhadap peran guru dalam proses belajar. Selain itu
tingginya harapan siswa terhadap sarana dan prasarana di sekolah membuat siswa
sering mengeluhkan dengan fasilitas yang ada di sekolah terutama kelas yang
kurang nyaman. Ketidakpuasan siswa lebih sering terjadi pada siswa kelas 7. Hal
ini disebabkan siswa kelas 7 masih dalam proses penyesuaian diri terhadap
lingkungan sekolah, pembelajaran, hubungan pertemanan dan hubungan dengan
guru. Biasanya beberapa siswa yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan
permasalahan yang dialami di sekolah sering mengalami kegagalan akademik dan
terisolasi dari lingkungan sosial (Sukvadewi, 2015). Berdasarkan hasil evaluasi
yang dilakukan guru BK diketahui bahwa pada tahun masih banyak siswa yang
tidak naik kelas dan diantaranya mengulang di kelas 7 dan beberapa pindah ke
sekolah lain (Sukvadewi, 2015). Berdasarkan pendahuluan yang dilakukan
peneliti saat praktik kerja profesi melalui wawancara dapat diketahui bahwa masih
banyak siswa belum memahami kondisi sekolah dan kurang mampu menerima
secara positif kehidupan di sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara pada lima orang siswa kelas 7 di SMP
Negeri X Yogyakarta yang dilakukan pada bulan Maret 2015, diketahui bahwa
banyak persoalan yang mereka alami di sekolah yang mempengaruhi aktivitas
mereka di sekolah (Sukvadewi, 2015). Menurut AY dan AD menyatakan bahwa
dirinya merasa tidak nyaman berada di sekolah. AY dan AD merasa bahwa
teman-teman di kelas sering tidak menerima dirinya dalam kelompok, menurut
mereka seharusnya teman-teman lebih bersikap baik dan tidak memperlakukan
dirinya seperti itu. AY lebih sering berdiam diri saat di kelas dan merasa kurang
antusias saat belajar. Namun berbeda dengan AD meskipun sering merasa kecewa
dengan sikap beberapa teman-teman yang tidak menerima dirinya tetapi tetap
berusaha antusias saat belajar. Selain itu berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan pada siswa yaitu YL menyatakan bahwa dirinya sering mengelukan
dengan keadaan kelas kurang nyaman, teman yang sulit diajak kerjasama dalam
kelompok dan guru yang kurang memahami siswa di kelas (Sukvadewi, 2015).
Download