BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Tindak Pidana
a. Istilah Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah strafbaarfeit. Namun KUHP
tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
strafbaarfeit tersebut. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dan isi dari istilah teresbut. Sayangnya, sampai kini
belum ada keseragaman pendapat (Adami Chazawi, 2011: 67). Dimana
Strafbaarfeit terdiri dari ‘strafbaar’ yang berarti dapat dihukum, dan ‘feit’
yang berarti sebagian dari suatu kenyataan. Sehingga secara harafiah
perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum” (Lamintang, 2013: 181).
Menurut Simons, bahwa strafbaar feit yang diterjemahkan sebagai
peristiwa pidana, ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan
kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan
yang dimaksud Simons adalah kesalahan dalam arti luas yang meliputi
dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). Menurut Van Hamel,
bahwa strafbaar feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh
undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai untuk
dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijten).
Makna kesalahan (schuld) menurut Van Hamel lebih luas daripada
pendapat Simons, karena meliputi kesengajaan, kealpaan, serta kelalaian
dan kemampuan bertanggungjawab (Zainal Abidin Farid, 2010: 224-225).
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundanganundangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai
terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:
1) Tindak pidana
2) Peristiwa pidana
3) Delik
11 12 4) Pelanggaran pidana
5) Perbuatan yang boleh dihukum
6) Perbuatan yang dapat dihukum
7) Perbuatan pidana (Adami Chazawi, 2011: 67-68).
Dari berbagai istilah yang digunakan untuk mendefinisikan
Strafbaarfeit, istilah tindak pidana merupakan istilah yang sering
digunakan oleh pembentuk undang-undang di Indonesia.
b. Pengertian Tindak Pidana
Rumusan mengenai pengertian tindak pidana yang disusun oleh para
ahli hukum ini terdiri dari penganut paham monisme dan paham dualisme,
yang akan diuraikan sebagai berikut:
1) Paham Monisme
Paham Monisme merupakan pandangan yang tidak memisahkan
antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya.
Syarat dipidananya itu juga masuk dan menjadi unsur dari tindak pidana
(Adami Chazawi, 2011: 76). E. Utrecht mengemukan bahwa suatu
peristiwa pidana harus ada dua anasir (bestanddelen) yang sebelumnya
dipenuhi:
a) Suatu kelakuan yang melawan hukum-anasir melawan hukum;
b) Seorang pembuat yang dapat dianggap bertanggungjawab atas
kelakuannya-anasir kesalahan (suatu kelakuan yang dapat dihukum)
(Frans Maramis, 2012: 59-60).
Beberapa ahli hukum yang berpandangan monisme memberikan
definisi tentang tindak pidana sebagai berikut:
a) J.E. Jonkers merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan
kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
b) Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
13 c) H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum
adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan
hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal
dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.
d) Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar
hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan
sebagai dapat dihukum (Adami Chazawi, 2011 : 75).
2) Paham Dualisme
Berbeda dengan konsep pada paham monisme, pada paham
dualisme ini perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja.
Sehingga
ada
pemisahan
antara
perbuatan
pidana
dengan
pertanggungjawaban pidana ((Frans Maramis, 2012: 61). Pandangan ini
dianut oleh beberapa tokoh seperti Moeljatno, Pompe, Vos, dan lainlain.
Moeljatno
menggunakan
istilah
perbuatan
pidana,
yang
didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno,
2008: 59).
Pompe merumuskan bahwa suatu tindak pidana adalah “tindakan
yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum” (Lamintang, 2013: 183).
Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit adalah suatu
kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan (Adami Chazawi, 2011: 72).
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya
dapat dijabarkan kedalam dua unsur, yakni unsur subjektif dan unsur
objektif. Unsur subjektif dari tindak pidana meliputi :
14 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau culpa),
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pooging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP,
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain,
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti pada
kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP,
5) Perasaan takut atau vress seperti yang terdapat dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP (Lamintang, 2013: 193).
Sedangkan unsur objektifnya meliputi :
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid,
2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas” didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP,
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 2013: 193-194).
Unsur-unsur tindak pidana menurut Mahrus Ali dalam Bukunya
Dasar-Dasar Hukum Pidana (2012:100) bahwa, pertama perbuatan itu
berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada
timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua,
kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum
baik dalam pengertian formil maupun materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau
keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakukan dan akibat yang
dilarang oleh hukum (Mahrus Ali, 2012: 100).
Selain itu Adami Chazawi menambahkan bahwa unsur-unsur tindak
pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah sebagai
berikut:
1) Unsur tingkah laku;
2) Unsur melawan hukum;
3) Unsur kesalahan;
15 4) Unsur akibat konstitutif;
5) Unsur keadaan yang menyertai;
6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
9) Unsur objek hukum tindak pidana;
10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
Dari 11 unsur tersebut, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan
melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya
berupa unsur objektif (Adami Chazawi, 2011: 82).
d. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Pada mulanya para ahli hukum telah membagi tindak pidana ke
dalam tiga jenis tindakan yang mereka sebut criminal atrocissima, atrocia,
dan levia yang tidak didasarkan pada sesuatu asas tertentu, melainkan
hanya didasarkan pada berat-ringannya kejahatan dimana dilihat dari
berat-ringannya hukuman yang diancamkan (Lamintang, 2013: 208).
Dalam perkembangannya para hali hukum membagi tindakan-tindakan
melawan hukum yang sesuai dengan kebutuhan akan adanya suatu sistem
hukum yang lebih logis bagi kitab undang-undang hukum pidana yang
didasarkan kepada asas-asas tertentu (Lamintang, 2013: 209).
Pada sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
mengenal pembagian delik sebagai berikut:
1) Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua.
2) Pelanggaran yang dimuat di dalam Buku Ketiga.
Pembedaan ini mengikuti sistem Wetboek Strafrecht Nederland,
namun berbeda dengan Nederland KUHP Indonesia membagi lagi
kejahatan tersebut ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan (Zainal
Abidin Farid, 2010: 351). Menurut Tongat:
16 Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Jenis
perbuatan pidana ini juga disebut mala in se, artinya perbuatan
tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut
memang jahat. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan
yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena
undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan pidana
jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita (malum
prohibitum crimes) (Tongat, 2008: 117-118).
Mengenai perbuatan pidana dalam kepustakaan hukum pidana,
selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori
dan praktek dibedakan juga antara lain:
1) Delik dolus dan delik culpa
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal
338 KUHP “dengan sengaja menyebabkan mati orang lain”.
Sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila
kesalahannya itu berbentuk kealpaan. Misalnya Pasal 360 “karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat
(Moeljatno, 2008: 82).
Pada Memorie van Toelichting (MvT), dimuat antara lain bahwa
kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan
suatu kejahatan tertentu (Leden Marpaung, 2012: 13). Mengenai
kesengajaan tersebut, dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) teori,
yaitu:
a) Teori Kehendak (Wiilstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh von Hippel dalam bukunya Die
Grenze Vorsatz und Fahrlässigkeit tahun 1903. Menurutnya,
kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan
kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu (Leden
Marpaung, 2012: 14). Dalam hal ini kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undangundang (Moeljatno, 2008: 186).
17 b) Teori Membayangkan (Voorstellingstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh Frank dalam bukunya Festschrift
Gieszen tahun 1907, yang mengemukakan bahwa manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat. Manusia hanya dapat
mengingini, mengharapkan atau membayangkan (voorstellen)
kemungkinan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila akibat
yang timbul dari tindakan yang dibayangkan sebagai maksud dari
tindakan itu (Leden Marpaung, 2012: 14).
2) Delik commissionis dan Delik ommissionis
Delik commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan
sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Misalnya
mencuri (Pasal 362 KUHP), menggelapkan (Pasal 372 KUHP).
Sedangkan delik ommissionis adalah delik yang terdiri dari tidak
melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya Pasal 164
KUHP dirumuskan bahwa tidak mengindahkan kewajiban menurut
undang-undang sebagai saksi atau ahli (Moeljatno, 2008: 83).
3) Delik biasa dan delik yang dikualifikasi (dikhususkan)
Delik yang dikhususkan adalah delik biasa yang ditambah
dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya.
Misalnya Pasal 363 KUHP mengatur mengenai pencurian yang
dikhususkan karena cara melakukannya di waktu ada kebakaran atau
dengan beberapa orang, maupun karena objeknya adalah hewan
(Moeljatno, 2008: 83-84).
4) Delik menerus dan tidak menerus
Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan
keadaan yang berlangsung terus. Misalnya Pasal 333 KUHP, yaitu
orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah
(wederrechtelijke vrijheids-beroving). Keadaan yang dilarang itu
berjalan terus sampai si korban dilepas atau mati. Jadi, perbuatan yang
dilarang tidak habis ketika perbuatannya selesai seperti dalam
pencurian misalnya (Moeljatno, 2008: 84).
18 5) Delik formal dan delik material
Delik formal adalah delik yang dianggap telah selesai dengan
dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang. Sedangkan delik materiil adalah delik yang
dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (Lamintang, 2013:
212-213).
6) Zelfstandige delicten dan voorgezette delicten
Zelfstandige delicten adalah delik-delik yang berdiri sendiri.
Sedangkan voorgezette delicten adalah delik-delik yang pada
hakikatnya merupakan suatu kumpulan dari beberapa delik yang
berdiri sendiri, yang karena sifatnya dianggap sebagai satu delik
(Lamintang, 2013: 215).
7) Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten
Enkelvoudige delicten adalah delik-delik yang pelakunya telah
dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindak pidana.
samengestelde delicten merupakan delik-delik yang pelakunya telah
berulang kali melakukan tindak pidana (Lamintang, 2013: 215).
8) Aflopende delicten dan voortdurende delicten
Aflopende delicten adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau
ledih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan. voortdurende
delicten adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan
untuk menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan suatu
norma. Contoh voortdurende delicten adalah delik-delik yang
dirumuskan pada Pasal-Pasal 124 ayat (2) angka 4, Pasal 228, dan
Pasal 261 ayat (1) KUHP (Lamintang, 2013: 216-217).
9) Delik aduan dan delik biasa
Delik aduan (klachtdelicten) adalah delik yang hanya dapat
dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan. Delik
aduan dapat dibedakan atas delik aduan absolut dan delik aduan
19 relatif. Delik aduan absolut adalah delik yang dalam semua keadaan
merupakan delik aduan. Delik aduan relatif adalah delik yang dalam
keadaan tertentu merupakan delik aduan, sedangkan biasanya bukan
merupakan delik aduan (Lamintang, 2013: 217-219).
10) Delicten Communia dan delicta propria
Delicten Communia adalah delik-delik yang dapat dilakukan
oleh setiap orang. Sedangkan delicta propria adalah delik-delik yang
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat-sifat
tertentu, misalnya pegawai negeri, sebagai nahkoda ataupun sebagai
anggota militer (Lamintang, 2013: 224).
11) Eenvoudige delicten, gequalificeerde delicten dan gepriviligieerde
delicten
Eenvoudige delicten atau delik-delik yang sederhana adalah
delik-delik dalam bentuk yang pokok seperti yang telah dirumuskan
oleh pembentuk undang-undang. Gequalificeerde delicten atau delikdelik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok
yang
karena
di
dalamnya
terdapat
keadaan-keadaan
yang
memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat.
Sedangkan untuk gepriviligieerde delicten atau delik-delik dengan
keadaan yang meringankan adalah delik-delik dalam bentuk yang
pokok, yang karena didalamnya terdapat keadaan-keadaan yang
meringankan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperingan
(Lamintang, 2013: 224-225).
e. Subjek Tindak Pidana
Subjek Tindak Pidana adalah setiap orang yang dapat dibebani
tanggung jawab pidana atas perbuatan yang dirumuskan dalam undangundang pidana (Marcelly M. Kantjai, 2016: 29). Pembentuk KUHP
berpandangan bahwa hanya manusia atau pribadi alamiah (Belanda:
natuurlijk persoon; Inggris: natural person) saja yang dapat dibebani
20 tanggung jawab pidana, karenanya hanya manusia yang merupakan subjek
tindak pidana dalam KUHP (Mahrus Ali, 2012: 11).
Dalam KUHP, badan hukum (rechtspersoon) bukan subjek tindak
pidana. Hal ini dapat dilihat dari :
1) Pasal 59 KUHP (= 51 Sr.) dimana pidana hanya diancamkan kepada
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, bukan
pada badan hukum itu sendiri.
2) Rumusan delik yang diawali dengan kata hij die (diterjemahkan ke
bahasa Indonesia sebagai barangsiapa) yang menunjuk pada manusia.
3) Tidak ada peraturan tentang pengenaan pidana dan acara pidana untuk
badan hukum (Frans Maramis, 2012: 82-83).
Pada undang-undang pidana khusus seperti Undang-Undang Tindak
Pidana Ekonomi, badan hukum atau korporasi juga menjadi subjek delik.
Jadi, di dalam hal ini kata “barangsiapa” termasuk pula “badan hukum”
atau “korporasi”. (Andi Hamzah, 2010: 100). Model pertanggungjawaban
korporasi dapat berupa:
2) Pengurus
korporasi
sebagai
pembuat
dan
penguruslah
yang
bertanggung jawab,
3) Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab,
dan
4) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab
(Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010: 83)
2. Tinjauan tentang Jaminan Fidusia
a. Pengertian Jaminan Fidusia
Fidusia sendiri berasal dari bahasa Romawi, fides yang berarti
kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam
bahasa Indonesia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut
secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (FEO) yaitu
penyerahan hak milik secara kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa
Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership. Fidusia merupakan salah
21 satu lembaga jaminan kebendaan berdasarkan kepercayaan, yaitu kreditur
dan debitur sepakat mengikat suatu benda sebagai agunan sebagai jaminan
atas utang debitur dimana objek jaminan tersebut pengalihannya secara
constitutum possesorium. Objek jaminan tetap berada pada kekuasaan
nyata debitur sedangkan hak milik objek jaminan berpindah kepada
kreditur. Kreditur yang berkedudukan sebagai penerima Fidusia selama
perjanjian jaminan Fidusia berlangsung memegang hak milik tersebut
hanya sebagai benda jaminan, bukan sebagai pemilik seterusnya
(Aermadepa, 2012: 729). Selain itu penguasaan benda jaminan oleh
debitur berupa hak pakai atas benda jaminan dan debitur wanprestasi, tidak
akan menyebabkan benda jaminan tersebut berubah hak kepemilikannya
(Muhammad Moerdiono Muhtar, 2013: 1)
Fidusia adalah suatu lembaga jaminan yang bersifat perorangan,
yang kini banyak dipraktikkan dalam lalu–lintas hukum perkreditan atau
pinjam–meminjam. (John Salindeho, 1994: 4). Fidusia merupakan istilah
yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-Undang No. 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia juga mengunakan istilah Fidusia (M.
Bahsan, 2007: 50). Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian fidusia dan jaminan
fidusia sebagai berikut :
1) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
2) Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor lainnya.
22 Terkait dengan fidusia, Tamar Frankel berpendapat bahwa
“Fiduciary law regulates relationships that are based on reasonable trust.
Trusting can be defined as “believing that others tell the truth and will
keep their promises” (Tamar Frankel, 2011: 1291).
(hukum fidusia mengatur hubungan yang berdasarkan pada
kepercayaan. Kepercayaan tersebut dapat didefinisikan "mempercayai
bahwa orang lain mengatakan kebenaran dan akan menepati janji mereka).
b. Sifat Jaminan Fidusia
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia diatas mengenai pengertian jaminan fidusia,
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia secara tegas
menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atau
jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan kepada penerima fidusia
yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya, dimana hak ini tidak
hapus karena adanya kapailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia untuk
menggambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi
objek jaminan fidusia.
Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit
bank, yang dilahirkan dengan diawali oleh perjanjian kredit bank. Hal ini
melihat bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assessor.
Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat
sebagai berikut :
1) Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.
2) Keabsahan semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok.
3) Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika
ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak
terpenuhi (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001: 125).
Selain memiliki sifat diatas, jaminan fidusia juga memiliki beberapa
unsur-unsur yaitu:
1) Adanya hak jaminan
23 2) Adanya objek, yaitu benda bergerak / tidak bergerak
3) Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia
4) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor (Salim HS,
2004: 57).
Jaminan fidusia menganut prinsip “droit de preference”. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Jaminan Fidusia, prinsip ini
berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud diatas adalah hak Penerima
Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini
mendahului kreditor-kreditor lainnya. Bahkan ketika pemberi Jaminan
Fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi, hak tersebut tidak dihapus
karena benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak termasuk dalam
harta pailit Pemberi Fidusia. Dengan demikian Penerima Fidusia tergolong
dalam kelompok kreditor separatis (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,
2000: 125).
c. Subjek Jaminan Fidusia
Dalam jaminan fidusia terdapat dua (2) pihak, yakni pemberi
jaminan fidusia yakni orang atau badan usaha yang memiliki benda
jaminan fidusia. Pihak kedua adalah penerima jaminan fidusia yakni bank
atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang terhadap
pemberi jaminan fidusia yang pembayarannya dijamin dengan benda
jaminan fidusia dan harta kekayaan lainnya dari pemberi jaminan fidusia
(Tan Kamelo, 2004: 32).
Terkait deskripsi mengenai pihak yang terlibat dalam jaminan
fidusia, The Hon Justice James Edelman berpendapat bahwa,“To describe
someone as a fiduciary, The proper questions to ask are (1) to whom the
particular 'fiduciary' duties are owed, (2) the nature of those duties, (3) the
manner in which they are said to have been breached, and (4) the
24 consequences which follow from breach” (The Hon Justice James
Edelman, 2012: 4)
(Untuk menggambarkan sebagai pihak dalam jaminan fidusia,
Pertanyaan yang tepat adalah (1) untuk siapa fidusia tersebut digunakan
(2) sifat tugas mereka, (3) ketentuan bahwa mereka telah melanggar
aturan, dan (4) konsekuensi yang mengikuti dari pelanggaran)
d. Objek Jaminan Fidusia
Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah sebagai
berikut :
1) Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum,
2) Dapat atas benda berwujud,
3) Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang,
4) Benda bergerak,
5) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan,
6) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik,
7) Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan
diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian,
tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri,
8) Dapat atas satu satuan jenis benda,
9) Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda,
10) Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia,
11) Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia,
12) Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) (Munir Fuady, 2003:
23).
Terhadap pembebanan fidusia yang berobjekkan barang persediaan,
dalam hukum Anglo Saxon dikenal dengan nama Floating Lien atau
Floating Charge. Lord Justice Romer memberikan kriteria secara umum
mengenai floating charge yakni:
(1) [I]f it is a charge on a class of assets of a company present and
future;(2) [I]f that class is one which, in the ordinary course of the
25 business of the company, would be changing from time to time; and
(3) [I]f you find that by the charge it is contemplated that, until some
future step is taken by or on behalf of those interested in the charge,
the company may carry on its business in the ordinary way as far as
concerns the particular class of assets (Lynn M. LoPucki, Arvin I.
Abraham dan Bernd P. Delahaye, 2013: 1806)
((1) apabila berupa biaya di perusahaan terkait aset tertentu pada
waktu sekarang dan masa depan; (2) apabila kelas tersebut berupa
kegiatan bisnis perusahaan yang berubah dari waktu ke waktu; dan
(3) apabila anda menemukan biaya yang dimaksud, sampai beberapa
langkah ke depan yang diambil oleh atau atas nama dari yang
berkepentingan atas biaya tersebut, dimana perusahaan dapat
melakukan bisnis seperti biasa sejauh pada kelas tertentu dari aset).
Sifat mengambang dari floating charges ini berubah menjadi spesifik
(spesific charges) bila terjadi suatu tindakan yang disebut dengan
kristalisasi (crystalisation), tindakan ini terjadi pada keadaan-keadaan
sebagai berikut:
1) Pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan,
2) Jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan
floating charges,
3) Jika diangkat kurator oleh pengadilan (Munir Fuady, 2003: 24).
3. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim
a. Pengertian Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di
samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan
sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan
cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka
putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan
26 dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto, 2004:
140).
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya
pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan
tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian
bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang
diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang
benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum
nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni
dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak (Mukti Arto, 2004: 141).
b. Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan
sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam
tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian
hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum
melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian
hukum.
Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, dan
sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria dasar
pertanyaan (the four way test) berupa :
1) Benarkah putusanku ini?
2) Jujurkah aku dalam mengambil keputusan?
3) Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
4) Bermanfaatkah putusanku ini? (Lilik Mulyadi, 2007: 136)
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar
1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor
48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu
27 kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal
24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undangundang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. putusan (Mukti Arto, 2004: 142).
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam
ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas
dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas
hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi (Andi Hamzah, 1996: 94).
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak
memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah
tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak
diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih
tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” (Andi
Hamzah, 1996: 95).
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan
dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus
menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan
kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan
28 menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru
dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999
jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk
bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal
(doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan
pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan
dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”.
c. Faktor-Faktor yang Diperhatikan dalam Penjatuhan Pidana
Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya
balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita
kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk
menemukan kebenaran materil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu
tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran
materiil itu hanya merupakan tujuan antara. sebab ada tujuan ahkir yaitu yang
menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu
masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil dan sejahtera (Andi Hamzah,
1985 : 19)
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan adalah sebagai
berikut :
29 1) Faktor Yuridis, yaitu Undang-Undang dan Teori-teori yang berkaitan
dengan kasus atau perkara.
2) Faktor Non Yuridis, yaitu melihat dari lingkungan dan berdasarkan hati
nurani dari hakim itu sendiri.
Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari
batas minimal dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang
lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan UndangUndang
(http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/534/jbptunikompp-gdl-
arirochman-26694-8-unikom_a-v.pdf).
d. Teori Penjatuhan Putusan
Dalam memutus putusan, ada beberapa teori yang digunakan oleh
hakim tersebut. Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan
yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan
penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
1) Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan
antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan
kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan
perkara.
2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Pejatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan
dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan
menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap
pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat
keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam
perkara perdata, pihak terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara
pidana. Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan seni,
lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari
hakim.
30 3) Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya
dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka
menjamin konsistensi dari putusan hakim.
4) Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena
dengan pengalaman yang dihadapinya, seorang hakim dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara
pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat,
ataupun dampak yang ditimbulkan dalam putusan perkara perdata yang
berkaitan pula dengan pihak-pihak yang berperkara dan juga masyarakat.
5) Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara
yang disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan
yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
6) Teori Kebijaksanaan
Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga
dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina,
mendidik dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat menjadi manusia
yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya (Ahmad Rifai,
2010: 102).
31 B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana terhadap
Jaminan Fidusia
Pasal 35 dan Pasal 36 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia
Pertimbangan Hakim dalam
Tindak Pidana terhadap Jaminan
Fidusia Peraturan Mengenai Tindak
Pidana terhadap Jaminan Fidusia
dalam Hukum Positif di
Indonesia
Putusan Pengadilan Negeri
Wates No.
109/Pid.Sus/2013/PN.Wat,
tentang pengalihan fidusia
tanpa persetujuan tertulis dari
penerima fidusia
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka
pemikiran
di
atas
mencoba
memberikan
gambaran mengenai alur berfikir dalam menggambarkan, menelaah,
menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan hukum
tentang Tindak Pidana terhadap Jaminan Fidusia dari segi pengaturan
hukum di Indonesia dan penerapannya dalam sebuah kasus. Dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
32 diatur mengenai tindak pidana terhadap jaminan fidusia yang terdapat
pada Pasal 35 dan Pasal 36. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis
mencoba mencari lagi mengenai segala aturan yang mengatur tindak
pidana terhadap jaminan fidusia dalam hukum positif di Indonesia.
Tindak pidana terhadap jaminan fidusia ini umumnya terjadi pada
masyarakat yang melakukan kredit dalam pembayaran sebuah barang
dan/atau jasa. Salah satunya adalah kasus tindak pidana terhadap
jaminan fidusia yang terjadi di kota Wates, yang menjadi studi penulis
melalui
putusan
Pengadilan
Negeri
Wates
Nomor:
109/Pid.Sus/2014/PN.Wat. Melalui studi kasus dalam putusan terebut
diharapkan penulis dapat menarik sebuah jawaban mengenai
kesesuaian antara pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak
pidana terhadap jaminan fidusia dalam putusan Pengadilan Negeri
Wates
Nomor:
109/Pid.Sus/2014/PN.Wat
perundang-undangan yang berlaku.
dengan
peraturan
Download