BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan kesehatan merupakan jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Pada era JKN ini untuk pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Pelayanan jaminan kesehatan dapat terlaksana secara nasional dengan dilakukannya perjanjian kerjasama antara BPJS dan fasilitas kesehatan yang ada diseluruh Indonesia baik milik pemerintah maupun milik swasta. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (Kementerian Kesehatan, 2013). Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan atau pelayanan kesehatan lainnya (Kementrian Kesehatan, 2014). Fasilitas kesehatan tingkat pertama terdiri dari praktek dokter atau praktek dokter gigi, puskesmas atau yang setara, klinik pratama atau yang setara dan rumah sakit kelas D pratama atau yang setara (Kementrian Kesehatan, 2013). Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan komprehensif tersebut, bagi Fasilitas Kesehatan yang tidak memiliki sarana penunjang wajib membangun jejaring dengan sarana penunjang. Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak memiliki sarana kefarmasian dan juga tidak dapat menunjukkan bukti kerjasama dengan sarana kefarmasian tidak akan dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2013) Salah satu masalah yang sering timbul dan sering menjadi pertanyaan dalam program JKN adalah mutu pelayanan. Masyarakat masih ragu dengan mutu yang diberikan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Menurut Sulastomo ( 2002), Ada dua hal yang meragukan terhadap mutu pelayanan. Pertama, bahwa pasien tidak dapat bebas lagi dalam memilih PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan), baik dokter maupun Rumah Sakit. Kedua, adanya insentif finansial untuk efisiensi dapat saja menimbulkan kekhawatiran bahwa dokter atau Rumah Sakit tidak akan memberikan yang terbaik, mengurangi atau menurunkan pelayanan yang selayaknya harus diberikan dengan harapan untuk memperoleh insentif finansial yang sebesar-besarnya. Hal ini bisa saja sebagai akibat pembiayaan berdasar kapitasi (capitation system). Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Agyei-Baffour dkk (2013), pada penyedia pelayanan kesehatan di Ghana, menyatakan bahwa pasien tidak menyukai sistem kapitasi, karena tidak memberikan keleluasaan untuk memilih Penyedia Pelayanan Kesehatan dan sistem Kapitasi tidak dapat mencakup sebagian besar obat-obatan. Namun menurut Yesalis dkk. (1984), farmasis berpendapat dengan sistem kapitasi mereka tetap melakukan pelayanan obat dengan kualitas yang baik. Disamping masalah mutu yang dikhawatirkan dan dikeluhkan pasien, masalah lain yang timbul adalah tentang posisi Apoteker dalam sistem JKN. Pada Peraturan Menteri Kesehatan No.71 tahun 2013, dalam pasal 3 disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian adalah sebagai pelayanan penunjang bagi pelayanan kesehatan. Partisipasi dalam sistem jaminan kesehatan nasional dapat dilakukan dengan menjadi apotek fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama langsung dengan BPJS untuk menjamin kebutuhan obat rujuk balik atau menjalin kerjasama dengan praktek dokter yang mendaftar menjadi anggota BPJS, sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (Kementerian Kesehatan, 2013). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan Provinsi yang memiliki cukup banyak Apotek, yaitu sekitar 590 Apotek, namun penyebarannya tidak merata. Penyebaran Apotek tersebut adalah: di Kabupaten Sleman 260 apotek, di Kota Yogyakarta sebanyak 148 apotek, di Kabupaten Gunung Kidul hanya 21 Apotek dan di Kabupaten Kulonprogo hanya 22 Apotek (IAI DIY, 2014). Hanya sedikit Apotek yang telibat dalam skema JKN. Apotek yang melakukan kerjasama langsung dengan BPJS kesehatan, yaitu hanya Apotek Program Rujuk Balik (PRB). Hal ini tentu saja mempersulit akses masyarakat terhadap obat, apalagi dengan pelaksanaan JKN ini diharapkan banyak apotek yang memberikan pelayanan dan menjadi provider (Rubiyanto, 2014a). Menurut data BPJS Kesehatan DIY, Apotek Program Rujuk Balik di Provinsi DIY hanya berjumlah 12 Apotek, sedangkan jumlah dokter keluarga sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama sebanyak 124 dan 16 klinik pratama (Hendrawan, 2015). Untuk Apotek Komunitas lainnya, hanya melakukan kerjasama dengan Dokter Keluarga. Besar kecilnya penerimaan jasa pelayanan yang diterima oleh sarana kefarmasian sangat variatif tergantung dengan perjanjian antara sarana pelayanan kefarmasian dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Ketentuan tentang berapa besaran yang diterima atas pelayanan resep pasien BPJS hanya tertuang melalui kerjasama antara Dokter Keluarga dengan sarana pelayanan kefarmasian. Pelaksanaan JKN yang merupakan program besar dan menghimpun dana dalam jumlah fantastis untuk mencakup kesehatan seluruh rakyat Indonesia tentunya merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan peran dan kesejahteraan apoteker Indonesia, sehingga mampu memiliki daya tawar yang tinggi, agar pelayanan kefarmasian dan apoteker tentunya benar-benar tidak dikotak kotakan sebagai area tersendiri dan dianggap sebelah mata dalam sistem kesehatan. Apalagi praktek profesi apoteker di komunitas juga bersinggungan dengan aspek bisnis yang menentukan profitabilitas apotek dan kesejahteraan apotekernya (Hermansyah, 2014). Konsep profit pada sarana kefarmasian secara otomatis mengikuti konsep profit pada fasilitas pelayanan kesehatan pada era JKN ini. Pada era sebelum JKN, profit yang diperoleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berbanding lurus dengan banyaknya pasien yang berkunjung, namun setelah era JKN tentunya konsep profit pada fasilitas kesehatan berubah, dengan sisitem kapitasi yang ditetapkan pemerintah, diharapkan fasilitas kesehatan dapat merawat pasien dengan baik akan tetapi menggunakan sumberdaya yang seefisien mungkin. Jumlah kunjungan pasienpun diharapkan dapat dikurangi, dengan cara meningkatkan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif oleh fasilitas kesehatan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi konsep profit pada sarana kefarmasian, konsep profit pada sarana kefarmasian secara otomatis akan mengikuti konsep profit pada fasilitas pelayanan kesehatan. Konsep profit pada sarana kefarmasian saat ini tidak lagi tergantung pada volume penjualan obat dan bahan habis pakai untuk pasien peserta JKN, melainkan tergantung kepada kemampuan manajemen farmasi, farmakoekonomi dan farmakoterapi apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian baik dalam proses manajemen sarana kefarmasian ataupun pelayanan farmasi klinik kepada pasien (Sudarsono, 2014). Setelah penerapan JKN di Indonesia, banyak spekulasi mengenai dampak dari penerapan sistem baru tersebut kepada fungsi apoteker di Indonesia. Pada saat ini, masih terlalu dini untuk memastikan fungsi dan peran apoteker dalam JKN karena masih banyaknya ruang untuk pengembangan. Akan tetapi, dengan melihat peraturan dan struktur organisasi fasilitas kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa peran apoteker yang diakui terbatas hanya pada pengelolaan dan penyediaan obat dan alat kesehatan (Gones, 2014). Pelaksanaan BPJS mulai awal 2014 merupakan salah satu perubahan yang fundamental dalam pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga mempengaruhi berbagai aspek termasuk pelayanan kefarmasian, sehingga menimbulkan berbagai problematika Apotek, diantaranya adalah Apotek yang bekerjasama secara langsung dengan BPJS dibatasi, tidak ada skema kapitasi untuk apoteker di Apotek, kapitasi diberikan oleh Dokter maka Apotek bergantung kepada Dokter. Sehingga Apotek yang menjalankan kerjasama dengan Dokter keluarga belum meningkatkan omzet Apotek secara signifikan (Ardiningtyas, 2015). Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana sistem pembayaran pada era JKN dalam hal ini sistem kapitasi untuk Apotek Klinik Pratama dan Apotek jejaring, serta sistem pembayaran langsung (fee for service) untuk Apotek Program Rujuk Balik untuk pembayaran obat-obatan dan biaya pelayanan dilihat dari sudut pandang Apoteker. Peneliti ingin mengetahui bagaimana persepsi yang terbentuk oleh apoteker terkait dengan sistem pembayaran yang berbeda pada masing-masing tempat praktek, baik yang bekerjasama langsung dengan BPJS (Apotek PRB), yang bekerjasama dengan Dokter keluarga (Apotek Jejaring), maupun yang praktek pada Klinik Pratama atau bekerjasama dengan Klinik Pratama (Apotek Klinik Pratama) dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap persepsi Apoteker. 1. Perumusan Masalah a. Apakah karakteristik apoteker mempengaruhi persepsi apoteker terhadap penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN? b. Apakah jenis tempat praktek apoteker mempengaruhi persepsi apoteker terhadap penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN? c. Apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap penerapan sistem pembayaran antara Apoteker di Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama dan Apotek Jejaring pada era JKN? 2. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian Hal yang membedakan Kumalasari, (2011) Winariski, (2014) Puliansari, (2014) Penelitian yang dilakukan Unit analisis Pengelolaan Dana Kapitasi dengan jumlah peserta dibawah standar minimal oleh dokter keluarga Pengaruh persepsi provider swasta tentang implementasi Jaminan Kesehatan Nasional terhadap keikutsertaan sebagai Provider Pratama Hubungan Pelayanan JKN terhadap kepuasan apoteker Persepsi apoteker terhadap pelaksanaan sistem kapitasi pada Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama dan Apotek Jejaring Subjek penelitian Dokter Keluarga yang bekerjasama dengan PT.ASKES Pemilik Klinik swasta yang bekerjasama dengan BPJS Apoteker di Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama dan Apotek Jejaring Tempat penelitian Semarang Medan Apoteker pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Apotek Program Rujuk Balik Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta Provinsi DIY 3. Manfaat Penelitian a. Bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kerjasama dengan Apotek dan Apoteker sehingga bermanfaat untuk pembuatan aturan yang berlaku pada era jaminan kesehatan nasional. b. Bagi Asosiasi Profesi Apoteker 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan kondisi dan posisi apoteker pada era JKN yang kemudian dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat perbaikan demi kesejahteraan Apoteker. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan adanya peluang untuk meningkatkan peran Profesi Apoteker dalam hal pelayanan kesehatan maupun yang berkaitan dengan profit. c. Bagi Institusi Pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi sebagai bahan pembelajaran dan memperkaya ilmu pengetahuan. d. Bagi Peneliti 1) Hasil penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh karakteristik Apoteker dan tempat praktek Apoteker terhadap persepsi Apoteker terkait sistem pembayaran (kapitasi dan pembayaran langsung) yang diterapkan di Apotek Jejaring, Apotek Rujuk Balik maupun Klinik Pratama. 2) Hasil penelitian ini digunakan untuk mengetahui perbedaan persepsi Apoteker pada Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama, dan Apotek Jejaring, serta faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi apoteker terhadap sistem pembayaran baik dengan sistem kapitasi, maupun sistem pembayaran langsung. e. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini diharapkan mampu memberikan ide dan dijadikan referensi untuk melanjutkan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh karakteristik apoteker terhadap persepsi apoteker tentang penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN. 2. Mengetahui pengaruh jenis tempat praktek apoteker dengan persepsi Apoteker tentang penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN. 3. Mengetahui perbedaan persepsi antara Apoteker di Apotek Program Rujuk Balik, di Apotek Klinik Pratama dan di Apotek Jejaring terhadap penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN.